Anda di halaman 1dari 78

PENEGAKAN HUKUM BAGI PERSONEL POLRI

YANG MELAKUKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

DALAM PENANGANAN AKSI UNJUK RASA

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 39 TAHUN 1999

TENTANG HAK ASASI MANUSIA

(Studi Kasus : Kep/ 15/X/2021/ 21 Oktober 2021 Unjuk Rasa di Kabupaten Tangerang)

TESIS

OIeh: THAMRIN MUCHTAR

NPM: 201920252008

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA

2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Tesis : Penegakan Hukum Bagi Personel Polri Yang Melakukan Pelanggaran Hak Asasi

Manusia Dalam Penanganan Aksi Unjuk Rasa Ditinjau Dari Undang-Undang No

39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Studi Kasus :Kep/15/X/2021/21

Oktober 2021 Unjuk Rasa di Kabupaten Tangerang)

Nama : Thamrin Muchtar

NPM : 201920252008

Program Studi/ Fakultas : Magister Ilmu Hukum/Hukum

Bekasi, Maret 2022

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. ERWIN OWAN HERMANSYAH, S.H., M.H. Dr. DWI ATMOKO, S.H., M.H.

NIDN: 0319046403 NIDN: 0316077604

ii
iii
ABSTRAK

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 menyatakan bahwa "kebebasan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, yang disahkan oleh lahirnya UU No 9
Tahun 1998 tentang Kebebasan Berpendapat Umum dimuka. Rally, yang merupakan salah satu kebebasan pribadi dalam ekspresi yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di muka umum, yang juga mengatur prosedur pelaksanaan,
tindakan yang bisa dilakukan, dan apa yang tidak harus dilakukan dalam pelaksanaan pengiriman opini publik. Kepolisian Negara sebagai alat
yang diberikan tugas dan tanggung jawab untuk mengamankan pelaksanaan aksi unjuk rasa, yang juga diatur dalam Undang-undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun keberadaan peraturan ini tidak selalu membuat pelaksanaan demonstrasi
berjalan dengan aman, kita sebenarnya bisa melihat dan mendengar demonstrasi aktivitas sering berakhir dengan bentrokan antara aparat
demonstran. Bentrokan terjadi sering menimbulkan korban terutama di kalangan demonstran. Karena Polisi yang memiliki tameng, tongkat,
dan peralatan lainnya dalam menghalau massa anarkis. Sehingga memberikan indikasi bahwa anggota polisi dalam menjalankan maju
prosedur wajib keselamatan, peraturan, dan perintah dari atasan dalam mengamankan pergerakan pasukan keamanan.
Petugas polisi yang terbukti melakukan tindak kekerasan terhadap pengunjuk rasa akan diberikan sanksi disiplin, kode etik dan bahkan
dituntut pidana ke Pengadilan Umum karena melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur dan hukum. Namun, ada beberapa faktor
yang menyebabkan belum untuk penerapan hukum dan sanksi pidana terhadap anggota polisi yang melakukan kekerasan terhadap pengunjuk
rasa, antara lain adalah faktor mental penegak hukum, faktor hukum itu sendiri dan faktor-faktor masyarakat yang tidak ingin laporan. Oleh
karena itu polisi diharapkan untuk melakukan langkah-langkah yang diambil oleh alam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anggota polisi
yang melakukan tindak kekerasan kekerasan terhadap pengunjuk rasa antara lain adalah memaksimalkan mereka mentalitas dalam penegakan
hukum, memahami undang-undang dan memiliki inisiatif dalam menegakkan hukum .

Kata kunci : penegakan Hukum, personil Polri, Hak Asasi Manusia

iv
ABSTRACT

In the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945 Article 28 states that "freedom of association and assembly, issued a mind with oral
and written and as defined in the legislation, passed by the birth of Law No 9 of 1998 on Freedom of Opinion General Upfront. The rally,
which is one of personal freedom in expression, was regulated in Law No. 9 of 1998 on the submission of opinion in public, which also
regulates the procedures for implementation, the actions that can be done, and what should not be done in the implementation of delivery in
public opinion. State Police as a tool given duties and responsibilities in order to secure the implementation of the rallies, which also provided
for in Act No. 2 of 2002 on the Police of the Republic of Indonesia. But the existence of these regulations will not necessarily make the
implementation of demonstration runs safely, we can actually see and hear activity demonstrations often ending with clashes between the
protesters apparatus. Clashes occur frequently causing casualties especially among protesters. Because the Police who have shields, batons,
and other equipment in the anarchic mass dispel. Thus providing an indication that members of the police in carrying forward the mandatory
safety procedures, rules, and commands from superiors in securing the movement of security forces rally.
Police officers who are convicted of violent acts against protesters will be given disciplinary sanction, the code of ethics and even prosecuted
criminally to the General Court for committing acts that are not in accordance with the procedures and legal. However, there are several
factors that cause the application of the law and criminal sanctions against members of the police who commit violence against protesters,
among other things are mental factors, law enforcement, legal factors themselves and the community factors that do not want to report.
Therefore the police are expected to do the steps taken by nature, impose criminal sanctions against members of the police who commit
violent acts of violence against protesters, among other things to maximize their mentality in law enforcement, understand the legislation and
have the initiative in enforcing the law. Keywords: criminal responsibility, demonstration, and police officers

Keyword: law enforcement, police personnel, human rights.

v
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

Tesis yang berjudul

Penengakan Hukum Bagi Personil Polri Yang Melakukan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Penanganan Aksi Unjuk Rasa Di

Tinjau Dari Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Ini adalah benar-bener merupakan hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung materi yang ditulis oleh orang lain kecuali kutipan sebagai

referensi yang sumbernya telah ditulis secara jelas sesuai dengan kaidah penulisan karya ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan ada kecurangan dalam karya ini, saya bersedia menerima sanksi dari Universitas Bhayangkara Jakarta

Raya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Saya mengijinkan tesis ini dipinjam dan digandakan melalui perpustakaan Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.

Saya memberikan izin kepada perpustakaan Universitas Bhayangkara Jakarta Raya untuk menyimpan tesis ini dalam bentuk digital dan

mempublikasikannya melalui internet selama publikasi tersebut melalui portal Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.

Jakarta, Maret 2022

Yang membuat Pernyataan

Thamrin Muchtar

vi
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan hidayahNya, akhirnya penulis

dapat menyelesaikan tesis yang berjudul, Penegakan Hukum Bagi Personil Polri Yang Melakukan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam

Penanganan Aksi Unsuk Rasa Di Tinjau Dari Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, ini dengan maksud untuk

memenuhi salah satu syarat penyelesaian studi dalam memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.

Di dalam tesis ini, penulis dengan rendah hati mengakui bahwa terdapat banyak kekurangan, hal ini tiada lain karena

keterbatasan kemampuan dan adanya kesulitan-kesulitan dalam proses penyusunannya. Namun, berkat dorongan dan bantuan dari semua

pihak yang sangat berarti, akhirnya penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, penulis menghaturkan terima kasih yang tak

terhingga, khususnya kepada seluruh pihak yang mendorong baik moril maupun material.

Ucapan terima kasih, penulis sampaikan pula kepada seluruh Civitas Akademika Universitas Bhayangkara Jakarta Raya,

terutama kepada :

1. Rektor Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

2. Ibu Dr. Ika Dewi Sartika Saimima, SH.,MH.,MM Dekan Fakultas Hukum Bhayangkara Jakarta Raya

3. Bapak Dr. Erwin Owan Hermansyah, SH.,MH, selaku Pembimbing I

4. Bapak Dr. Dwi Atmoko, SH.,MH , selaku Pembimbing II

5. Bapak/Ibu Dosen yang telah memberikan pengajaran kepada kami.

Semoga segala bantuan dan amal kebaikan semua pihak mendapatkan pahala dan imbalan yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Esa.

Jakarta, Maret 2022

DAFTAR ISI Yang membuat Pernyataan

Halaman
Thamrin Muchtar
COVER DALAM............................................................................................................................................................................. i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................................................................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN.............................................................................................................................................................. iv

ABSTRAK....................................................................................................................................................................................... v

ABSTRACK..................................................................................................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR...................................................................................................................................................................... vii

DAFTAR ISI.................................................................................................................................................................................... viii

vii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................................................... 1

1.2 Identifikasi Masalah............................................................................................................................................ 13

1.3 Rumusan Masalah............................................................................................................................................... 13

1.4 Tujuan Dan Manfaat Penelitian........................................................................................................................... 14

1.4.1 Tujuan penelitian.................................................................................................................................. 14

1.4.2 Manfaat penelitian............................................................................................................................... 14

1.5 Kerangka penelitian............................................................................................................................................ 14

1.5.1 Kerangka Teoritis................................................................................................................................ 14

1.5.2 Kerangka Konseptual.......................................................................................................................... 21

1.5.3 Kerangka Pemikiran............................................................................................................................ 22

1.6 Metode Penelitian ............................................................................................................................................... 23

1.6.1 Metode Pendekatan.............................................................................................................................. 23

1.6.2 Bahan Hukum...................................................................................................................................... 23

1.6.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................................................................................... 24

1.6.4 Teknik Pengolahan Bahan Hukum ...................................................................................................... 24

1.6.5 Analisa Bahan Data............................................................................................................................. 24

1.7 Sistematika Penulis............................................................................................................................................. 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................................................................... 27

2.1 Kepolisian Negara Republik Indonesia................................................................................................................ 27

2.2 Kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum...................................................................................... 31

2.3 Hak Asasi Manusia dan Teori-teori hukum.......................................................................................................... 33

2.4 Pendekatan Penelitian Dan Spesifikasi Penelitian................................................................................................ 47

2.5 Metode Pengumpulan Data Dan Metode Analisa Data........................................................................................ 57

BAB III PENEGAKAN HUKUM BAGI PERSONIL POLRI YANG MELAKUKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANU-

SIA DALAM PENGAMANAN AKSI UNJUK RASA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 39 TAHUN

1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA .............................................................................................................

3.1 Penegakan Hukum Bagi Personil Polri............................................................................................................... 59

3.2 Tinjauan UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM.................................................................................................. 63

BAB IV ANALISIS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TERJADI OLEH PERSONIL POLRI DALAM

PENANGANAN AKSI UNJUK RASA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA ...................

4.1. Penggunaan Kekuatan Kepolisian Dalam Tindakan Kepolisian Menurut Perkap Nomor 1 tahun 2009

Tentang Penggunaan Kekuatan.....................................................................................................................

4.2. Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian

Pendapat di Muka Umum Perkap Nomor 7 Tahun 2012.....................................................................

4.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelanggaran Hak Asasi Manusia.......................................................

viii
4.4. Faktor-faktor Penyebab Belum Terlaksananya Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anggota Polri yang

Melakukan Kekerasan Terhadap Pengunjuk Rasa..........................................................................................

4.5. Faktor Masyarakat/Korban Yang Tidak Melaporkan Adanya Tindak Kekerasan Yang Dilakukan Anggota

Polri Kepada Propam....................................................................................................................................

4.6. Langkah Yang Seharusnya Ditempuh Propam Polri Terhadap Anggota Polri Yang Melakukan Kekerasan

Kepada Pengunjuk Rasa................................................................................................................................

BAB V PENUTUP........................................................................................................................................................................... 95

5.1 Kesimpulan......................................................................................................................................................... 95

5.2 Saran................................................................................................................................................................... 96

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................................... 98

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS................................................................................................................. 103

ix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan Unjuk rasa pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia

tahun 1945. yang menyebutkan bahwa “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan

1
sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang” Pada masa Orde Baru, dimana berpendapat dimuka umum atau berunjuk rasa menjadi hal

tabu, dan sering mendapat perlakuan kasar yang diperlihatkan aparat kepolisian untuk menanggapi aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan.

Namun Seiring bergulirnya rezim orde baru karena krisis moneter yang tidak dapat diatasi sehingga menciptakan krisis kredibilitas yang

2
mendorong munculnya keadaan yang semakin represif.

Tindakan represif berupa perlawanan-perlawanan yang ditunjukkan oleh kalangan mahasiswa dengan kondisi rezim yang sudah

sedemikian stagnan ini menjadi sangat dimaklumi serta bahkan perlawanan itu sendiri menjadi suatu hak. Hak perlawanan yang dilakukan

mahasiswa itu tampaknya dapat dibenarkan dengan melihat dua kondisi obyektif yang mengitarinya, yaitu: Pertama, bahwa tindakan-tindakan

penguasa secara kasar bertentangan dengan keadilan; serta kedua, semua sarana dan jalan hukum yang tersedia untuk menentang

3
ketidakadilan itu sudah dicoba dan tidak berhasil, termasuk protes-protes politik yang bersifat biasa. Lahirnya Undang-undang No 9 tahun

1998 tentang Kemerdekaan Berpendapat Dimuka Umum. Hal itu untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan

sosial dan menjamin hak asasi manusia.Masyarakat diberikan kebebasan dan keleluasaan dalam penyampaian pendapat dimuka umum. Unjuk

rasa atau demonstrasi merupakan salah satu bagian dari kehidupan demokrasi yang merupakan perwujudan tatanan kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. Kehidupan berdemokrasi yang semakin berkembang menjadikan rakyat lebih berani dan terbuka.

Dalam penyampaian aspirasi. Polri diberi amanah oleh undang-undang untuk menjaga keamanan dan ketertiban khususnya saat

melakukan pengamanan pelaksanaan aksi Demonstrasi atau unjuk rasa. Pengunjuk rasa pada pelaksanaan penyampaian pendapat di muka

4
umum, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum.

Reformasi dalam tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dituntut bukan hanya memberikan rasa aman pada semua elemen

masyarakat namun, melalui perubahan struktural dan mental dalam memperkuat efektivitas Polri sehingga terwujud anggota Polri dengan

dedikasi tinggi dan disiplin dari para anggota Polri itu sendiri untuk berusaha melaksanakan tugas-tugasnya. Dan Perpolisian masyarakat yang

5
juga telah dilaksanakan guna mengembangkan profesionalisme polisi dan akuntabilitas kepada masyarakat.

1
Pasal 28 Undang-undang Dasar RI 1945. (Sekretariat Jendral MPR RI. Jakarta. 2011). hlm 154
2
Triyanto Lukmantoro. Kekerasan Negara dan Perlawanan Mahasiswa Di Tengah Krisis.Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang. 1997. hlm 1
3
Franz Magnis-Suseno Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern, Jakarta. Gramedia. 1994. hlm. 146
4
Undang-undang No 9 Tahun 1998 Kemerdekaan Berpendapat Dimuka Umum. Pasal 13 ayat (2)
5
Almanac on Indonesian Security Sector Reform -2007” oleh The Geneva. Center for the Democratic Control of Armed Forces and Indonesian Institute for Strategic and

Defence Studies (LESPERSSI), Juga bacalah Institute for Defence Security and Peace Studies (IDSPS), Backgrounders on Security Sector Reform Tautan web:

http://www.idsps.org/index.php/lang=en, diakses 21 November 2012

1
Tuntutan masyarakat terhadap revitalisasi tugas-tugas Polri semakin meningkat seiring masih terdapat sisi negatif dari

penyelenggaraan tugas pokok Polri berupa penyimpangan perilaku anggota Polri seperti penyalahgunaan kekuasaa/wewenang, kualitas

pelayanan yang buruk terhadap masyarakat, serta bertindak arogan akibat dari karakter militer yang telah mendasar dan terbawa dalam

pelaksanaan tugas sehari-hari. Salah satu pelaksanaan tugas Kepolisian yakni melakukan pengamanan terhadap aksi unjuk rasa. Dalam

pelaksanaan tugas tersebut kepolisian memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas

6
kepolisian.

Aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang marak akhir-akhir ini terkadang disertai juga dengan tindakan yang tidak

bertanggungjawab yaitu dengan melakukan gerakan yang cenderung agresif dan anarkis oleh pengunjuk rasa ketika berlangsungnya aksi

tersebut sehingga tidak jarang terjadi tindakan represif balasan dari kepolisian kepada pengunjuk rasa. Pengunjuk rasa yang diberikan hak

untuk menyampaikan pendapat dimuka umum oleh Undang-Undang, terkadang melakukan tindakan pasif. Tindakan pasif yakni tindakan

seseorang atau kelompok orang yang tidak mencoba menyerang, tetapi tindakan mereka mengganggu atau dapat mengganggu ketertiban

7
masyarakat atau keselamatan masyarakat, dan tidak mengindahkan perintah anggota Polri untuk menghentikan perilaku tersebut.

Pada era reformasi, ditandai dengan tumbangnya orde baru yang dianggap masyarakat sebagai pemerintahan yang otoriter,

masyarakat mengharapkan banyak perubahan dari gaya-gaya Orde Baru terutama dalam hal hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat di

muka umum, karena pada masa Orde Baru masyarakat merasakan hak tersebut sangat dibatasi bahkan dilarang oleh pemerintahan di bawah

pimpinan presiden Suharto selama 32 tahun. Pada masa reformasi masyarakat menuntut agar kebebasan berpendapat dilindungi undang-

undang,

Sebagai bentuk perhatian pemerintah pada awal masa reformasi, pemerintah menunjukan keseriusan dalam menjunjung tinggi hak asasi

manusia, sehingga pada tahun 1998 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan

Pendapat di Muka Umum. Dan dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru pemerintahan negara Indonesia pada tahun 1999 mengesahkan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dengan maksud dan tujuan agar segala sesuatu yang dilaksanakan

dalam pemerintahan Indonesia selalu menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia.

Dengan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum

dan berlakunya undang-undang hak asasi manusia, pemerintah konsen terhadap Kepolisian Republik Indonesia sebagai pemegang tugas dan

fungsi sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban negara yang pada masa itu masih bergabung dalam tubuh ABRI (Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia), yang menggambarkan Polri pada masa itu adalah sosok yang keras, bersenjata, dan perang. Sehingga atas desakan

masyarakat, pakar-pakar hukum, tokoh-tokoh politik, melalui legislative pemerintah Indonesia pada tahun 2002 resmi memisahkan ABRI

(Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang di dalamnya terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian

dengan ditandai lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pada masa itu Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tantangan yang sangat berat, karena harus dapat menunjukan

perubahan paradigma baru di tubuh internal Kepolisian. Dengan peraturan perundang-undangan yang baru, Polri harus lebih mengutamakan

6
Undang-undang No 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian RI. hlm11
7
Peraturan Kapolri No 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Pasal 1 butir 5

2
pelayanan yang humanis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan bagi personil Polri yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana

personil Polri dihadapkan ke Peradilan Umum sama dengan masyarakat sipil biasa.

Tuntutan masyarakat terhadap revitalisasi tugas-tugas Polri semakin meningkat seiring masih terdapat sisi negatif dari

penyelenggaraan tugas pokok Polri berupa penyimpangan perilaku anggota Polri seperti penyalahgunaan kekuasaan / wewenang, kualitas

pelayanan yang buruk terhadap masyarakat, serta bertindak arogan akibat dari karakter militer yang telah mendasar dan terbawa dalam

pelaksanaan tugas sehari-hari. Salah satu pelaksanaan tugas Kepolisian yakni melakukan pengamanan terhadap aksi unjuk rasa.

Seiring dengan peraturan perundang-undangan yang menjamin kebebasan kemerdekaan menyampaikan pendapat, maka akan

menimbulkan maraknya unjuk rasa penyampaian pendapat dari berbagai elemen masyarakat, yang dipandang akan menimbulkan juga

permasalahan-permasalahan tentang penanganan dilakukan Polri yang pada masa lalu sering dipandang masyarakat dalam menjalankan

tugasnya Polri sering mengabaikan hak asasi manusia, sehingga pemerintah Republik Indonesia berusaha sedemikian rupa untuk membuat

regulasi peraturan perundang-undangan tentang cara-cara penanganan aksi unjuk rasa yang tentunya menghindari pelanggaran hak asasi

manusia.

Kegiatan Unjuk rasa pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia

tahun 1945. Yang menyebutkan bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dn tertulis dan

8
sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang” Pada masa Orde Baru, dimana berpendapat dimuka umum atau berunjuk rasa menjadi hal

tabu, dan sering mendapat perlakuan kasar yang diperlihatkan aparat kepolisian untuk menanggapi aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan.

Tindakan represif berupa perlawanan-perlawanan yang ditunjukkan oleh kalangan mahasiswa dengan kondisi rezim yang sudah

sedemikian stagnan ini menjadi sangat dimaklumi serta bahkan perlawanan itu sendiri menjadi suatu hak. Hak perlawanan yang dilakukan

mahasiswa itu sendiri tampaknya dapat dibenarkan dengan melihat dua kondisi obyektif yang mengitarinya, yaitu: Pertama, bahwa tindakan-

tindakan penguasa secara kasar bertentangan dengan keadilan; serta kedua, semua sarana dan jalan hukum yang tersedia untuk menentang

9
ketidakadilan itu sudah dicoba dan tidak berhasil, termasuk protes-protes politik yang bersifat biasa.

Dalam pelaksanaan tugas tersebut kepolisian memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam

10
lingkup tugas kepolisian. Aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang marak akhir-akhir ini terkadang disertai juga dengan tindakan yang tidak

diwujudkan dalam bentuk pembuatan internalisasi dan penegakan HAM. Demonstran sering melakukan gerakan yang cenderung agresif dan

anarkis, sehingga tidak jarang terjadi tindakan represif balasan dari kepolisian kepada pengunjuk rasa. Pengunjuk rasa yang diberikan hak

untuk menyampaikan pendapat dimuka umum oleh undang-undang, terkadang melakukan tindakan pasif. Tindakan pasif yakni tindakan

seseorang atau kelompok orang yang tidak mencoba menyerang, tetapi tindakan mereka mengganggu atau dapat mengganggu ketertiban

11
masyarakat atau keselamatan masyarakat, dan tidak mengindahkan perintah anggota Polri untuk menghentikan perilaku tersebut. Dan

8
Pasal 28 Undang-Undang Dasar RI 1945. (Sekretariat Jendral MPR RI. Jakarta. 2011). hlm 154
9
Franz Magnis-Suseno Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern, Jakarta. Gramedia. 1994. hlm. 146
10
Undang-undang No 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian RI. hlm 11
11
Peraturan Kapolri No 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Pasal 1 butir 5.

3
disamping itu tindakan kekerasan bahkan pemukulan anggota kepolisian kepada pengunjuk rasa sangat bertentangan terhadap HAM dan

merupakan suatu tindak pidana.

Pada dasarnya Polri Sebagai aparatur pemerintah juga berkewajiban untuk melindungi hak asasi manusia (HAM) saat

menyelenggarakan pengamanan. Meningkatnya komitmen terhadap perlindungan dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) yang lebih baik

pada tingkat nasional. Hal itu diwujudkan dengan lahirnya Undang Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. sebagaimana

12
ditetapkan dalam hukum dan standar HAM internasional, polisi memiliki hak-hak, tetapi juga ada batasan terhadap kekuasaan polisi.

13
Personel kepolisian juga memiliki tugas untuk menghormati ketetapan HAM dalam perundang-undangan nasional. Namun Polri juga

dibenarkan untuk melakukan tindakan kepolisian yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah,

menghambat, atau menghentikan tindakan anarki atau pelaku kejahatan lainnya yang mengancam keselamatan atau membahayakan harta,

jiwa, atau kesusilaan. Penggunaan kekuatan merupakan segala upaya, daya, potensi, atau kemampuan anggota Polri dalam rangka

14
melaksanakan tindakan kepolisian untuk menanggulangi aksi anarki.

Oleh karena hal tersebut, Polri telah melakukan pembenahan manajemen sumber daya manusia, khususnya pada aspek sikap dan

perilaku anggota Polri, baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan sosial lainnya, yang mana hal ini antara lain diwujudkan dalam bentuk

pembuatan internalisasi dan penegakan Hak Asasi Manusia. Menyadari tentang pentingnya Hak Asasi Manusia bagi seorang anggota Polri

Dalam hukum HAM internasional, Negara adalah pihak yang memiliki tanggung jawab untuk menghormati, melindungi dan

memenuhi HAM warga negaranya. Tanggung jawab Negara tersebut di Indonesia secara tegas diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 I (ayat 4) dan Undang-Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 2,

pasal 8, dan pasal 71. Polri sebagai aparat penegak hukum yang artinya adalah juga representasi Negara memiliki kewajiban untuk

menjalankan tanggung jawab tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf d Perkap No. 8 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa perlindungan

(to protect), pemajuan (to promote), penghormatan (to respect), dan pemenuhan (to full) HAM adalah tanggung jawab negara, terutama

pemerintah".

Salah satu bentuk dari tanggung jawab Polri dalam perlindungan Hak Asasi Manusia adalah menjalankan tugas dan fungsi Polri

dalam penegakan (to enforce) HAM sesuai dengan hukum positif yang berlaku. Jika Polri tidak menjalankan tanggung jawab tersebut atau

sengaja mengabaikannya, maka disaat itulah telah ada pelanggaran HAM, baik dalam bentuk by omission (pembiaran) ataupun by

commission (intervensi). By omission (pembiaran) adalah pelanggaran HAM yang terjadi ketika Negara:

a) Tidak Melakukan Suatu Tindakan Yang Seharusnya Dilakukan Sebagai Kewajiban Dan Tanggung Jawabnya: Atau

b) Gagal Dalam Melakukan Tindakan Yang Diperlukan Sesuai Kewajiban Dan Tanggung Jawabnya Atau

c) Melakukan Tindakan Membiarkan Suatu Situasi/ Kondisi Yang Seharusnya Dapat Dicegah Dan Atau Tidak Seharusnya Terjadi

Jika Negara Melakukan Upaya-Upaya Sesuai Tanggung Jawab Negara Atas Hak Asasi Manusia. Sedangkan, By Commission

12
Pasal 29 Deklarasi Universal HAM (UDHR) “Apakah Perpolisian Berbasis Ham Itu” hlm 15
13
Undang-Undang Dasar 1945 dan amandemen keempatnya, Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU No 39/1999), Undang-undang tentang Pengadilan Ham (UU No

26/2000) dan KUHP.


14
Protap Kapolri No: Protap/ 1 / X / 2010 tanggal 8 Oktober 2010 tentang Penanggulangan Anarki. Hlm 1

4
(Intervensi Adalah Ketika Negara Melakukan Tindakan Langsung, Intervensi Atau Turut Campur Dalam Mengatur Hak-Hak Warga

Negara Yang Semestinya Dihormati.

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan

Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan

15
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan

seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum

mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang tentang

Hak Asasi Manusia, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,

16
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang termasuk Pelanggaran HAM

yang berat adalah Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Pertanggungjawaban Komando adalah pertanggungjawaban

atas setiap tindakan yang dilakukan atasan oleh bawahannya yang berada dibawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan

tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar. Hukum Hak Asasi Manusia Internasional yang sudah

diratifikasi oleh Indonesia mengikat bagi Negara dan semua unsur pemerintah, termasuk di dalamnya adalah Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun (non derogable rights) meliputi:

1. Hak untuk hidup;

2. Hak untuk tidak disiksa;

3. Hak atas kebebasan pribadi, pikiran/ hati nurani dan hak beragama;

4. Hak untuk tidak diperbudak;

5. Hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum;

6. Hak untuk tidak dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut; dan

7. Hak untuk tidak dipenjara karena tidak ada kemampuan memenuhi perjanjian.

Para penggiat sosial menilai bahwa kepolisian Republik Indonesia adalah instansi yang sangat rentan untuk melakukan

pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap masyarakat, dikarenakan tugas pokok dan fungsinya selalu berdampingan dan bersinggungan

dengan kepentingan masyarakat seperti aksi unjuk rasa yang selalu ditangani oleh pasukan Brimob Polri. Korps Brimob Polri (Brigade

Mobil) merupakan bagian integral Kepolisian Republik Indonesia yang memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melaksanakan dan

mengarahkan kekuatan dalam menanggulangi gangguan keamanan ketertiban masyarakat berkadar tinggi, sehingga pasukan Brimob pun

dalam menjalankan tugasnya dipandang akan sering melakukan tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia.

Korps Brimob merupakan unsur pelaksana tugas pokok Polri secara khusus yang langsung berada di bawah Kapolri. Brimob

Polri memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan (diskresi) atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah

15
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
16
Ibid., hlm, 3

5
pelanggaran hukum atau pelanggaran pidana yang ditanganinya berdasarkan asas nesesitas, proporsionalitas, dan legalitas serta tetap

17
menghormati Hak Asasi Manusia.

Brimob Polri mempunyai kewajiban untuk mengetahui dan melaksanakan hukum dan standar internasional hak asasi manusia yang telah

diterima oleh Pemerintah Indonesia. Brimob Polri harus menghormati dan melindungi harkat dan martabat manusia serta melakukan

penegakan hukum dalam rangka pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia bagi seluruh umat manusia. Brimob

Polri harus segera melaporkan setiap tindakan yang melanggar hukum, kode etik dan prinsip-prinsip dalam pemajuan, perlindungan,

penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia. Segala tindakan Brimob Polri harus menghormati prinsip-prinsip hukum, sewajarnya, tidak

18
diskriminasi, proporsional dan menjunjung tinggi prinsip prinsip kemanusiaan.

Dalam menjalankan tugasnya Brimob Polri tidak dapat bekerja sendiri, Brimob Polri harus bekerja sama dengan masyarakat.

Untuk itu, Brimob Polri dituntut untuk menghargai dan melindungi hak asasi manusia setiap anggota masyarakat sehingga dapat terbangun

rasa percaya masyarakat pada Brimob Polri dan kerjasama yang baik serta profesionalitas Brimob Polri sendiri.

Brimob Polri juga harus memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia sesuai dengan Pasal 3 Perkap 8 Tahun

2009 dalam menjalankan tugasnya, yakni:

1. Prinsip perlindungan minimal, dimana dalam upaya perlindungan dan pemenuhan HAM, Brimob Polri sesuai tugas dan fungsinya

memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dasar bagi warga dari tindakan-tindakan yang berpotensi melanggar

HAM;

2. HAM melekat pada setiap manusia dan merupakan hak yang melekat yang dimiliki setiap manusia didunia karena keberadaannya

atau martabatnya sebagai manusia sejak dalam kandungan hingga akhir hayatnya;

3. HAM saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Bahwa dalam pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan

hak lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian;

4. HAM tidak dapat dibagi, baik itu hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Dua kelompok hak tersebut melekat

(interen) pada martabat setiap manusia;

5. HAM bersifat universal, tidak dapat berubah dan setiap manusia memiliki hak asasi yang sama;

6. HAM bersifat fundamental atau mendasar;

7. Pemenuhan HAM dilakukan dengan mengedepankan prinsip keadilan;

8. HAM mengedepankan prinsip kesetaraan/persamaan hak, bahwa semua orang adalah setara sebagai manusia. Secara spesifik Pasal

19
1 DUHAM menyatakan bahwa: Setiap umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya.

9. Prinsip kebebasan bahwa semua orang dilahirkan merdeka, bebas dari perbudakan dan segala tindakan yang merendahkan

martabatnya sebagai manusia;

17
Komisi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Buku Saku HAM Korps Brimob Polri. 2018.hlm.4
18
Ibid
19
Pasal 5 ayat (2) Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara

Republik Indonesia

6
10. Prinsip non-diskriminasi, yaitu memastikan bahwa tidak seorang pun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor

luar, seperti misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, kepemilikan

status kelahiran atau lainnya; dan

11. Brimob Polri memiliki tugas dan fungsi untuk memberikan perlindungan dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan yang

memiliki kebutuhan khusus (affirmative action).

12. Anggota Brimob Polri sebagai individu memiliki hak asasi yang sama dengan manusia lainnya. Terkait dengan perlindungan bagi

anggota Brimob Polri saat bertugas, merupakan kewajiban dari negara untuk memenuhinya.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, memuat bahwa tugas pokok

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum dan memberikan

20
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat .

Indonesia merupakan negara yang majemuk, negara yang kaya akan keanekaragaman baik suku, ras, budaya, bahasa, agama,

Sangat banyak sekali kejadian konflik sosial atau unjuk rasa yang terjadi yang dilatar belakangi oleh perbedaan-perbedaan tersebut antara lain,

kejadian konflik antar suku Madura dan Suku Dayak di Sambas Kalimantan Barat tahun 1999, konflik sosial di Ambon Maluku 1999-2000

yang dilatarbelakangi oleh agama, konflik sosial yang terjadi di Lampung yang di latar belakangi suku, unjuk rasa yang di Jakarta yang

menimbulkan banyak korban, unjuk rasa mahasiswa di Kabupaten Tangerang yang diketahui ada pelanggaran hak asasi manusia yang

dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap mahasiswa.

Terlepas benar atau tidaknya tindakan Polri tersebut, di dalam institusi Polri apabila terjadi penyimpangan, pelanggaran hukum

dan penyalahgunaan kewenangan, maka anggota Polri akan diproses berdasarkan aturan yang berlaku. Tindakan yang dilakukan Polri dalam

melakukan kekerasan. Kekerasan berupa pukulan dan tendangan oleh aparat kepada massa pengunjuk rasa yang tidak sesuai dengan prosedur,

sangat tidak dibenarkan. Menurut Pasal 351 KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana, menyatakan bahwa:

Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu

lima ratus rupiah,

1. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

2. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

3. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

4. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.


21

Tindakan penganiayaan oleh anggota Polri terhadap pengunjuk rasa merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan secara

hukum. Selain itu dalam Pasal 6 huruf q Peraturan Pemerintah No 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri juga dilarang untuk

“menyalahgunakan wewenang” dalam tugasnya sebagai anggota Kepolisian. Oleh karena itu apabila seorang anggota Polri melakukan

kekerasan harus dilakukan proses peradilan, dan mempertanggungjawabkan secara pidana sesuai dengan kesalahan yang dilakukan.

20
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 13
21
Pasal 351. Solahuddin.KUHP, KUHAP. KUHPerdata. Visi Media. 2012. Jakarta.

7
Pertanggungjawaban anggota Polri yang melakukan pelanggaran akan menjalani proses Sidang disiplin Polri, Sidang Kode Etik Polri, atau

bahkan Peradilan Umum

Dengan adanya beberapa kejadian gangguan keamanan berupa unjuk rasa dan konflik sosial sampai saat ini masih menyisakan

pertanyaan pada masyarakat, pemerhati, dan para aktivis ham, apakah perbuatan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada saat itu

yang dilakukan oleh Petugas Kepolisian telah diproses atau tidak sama sekali.

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang selalu dekat dan bersama masyarakat harus memberikan perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat melalui upaya preemtif, preventif, dan represif yang dapat meningkatkan kesadaran dan

kekuatan serta kepatuhan hukum masyarakat (law abiding citizenship). Keamanan dan ketertiban erat sekali kaitannya dengan tugas Polri

sebagai pelaksana Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (KAMTIBMAS) seperti diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Dengan adanya perubahan dan pembentukan Undang-Undang baru di masa reformasi, Kepolisian Republik Indonesia

mempunyai fungsi sebagai salah satu fungsi pemerintah Negara dalam bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan

22
hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. Polri pemegang kewenangan, tugas pokok dan fungsi Polri sesuai dengan

amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang dituntut untuk bekerja profesional sesuai prosedur dan tidak mengesampingkan hak asasi

manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan membuat tesis dengan

judul Penegakan Hukum Bagi Personil Polri Yang Melakukan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Penanganan Aksi Unjuk Rasa

Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (studi kasu: Kep/ 15/X/2021/ 21 Oktober 2021

Unjuk Rasa di Kabupaten Tangerang)

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka identifikasi masalah yang hendak dikemukakan adalah:

1. Kepolisian Republik Indonesia sebagai pemegang tugas pokok dan fungsi dalam menjaga dan pemeliharaan keamanan dan

ketertiban masyarakat yang rentan melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

2. Kemerdekaan menyampaikan Pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dan lisan, tulisan, dan

sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di muka

umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga ditempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang.

Kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum harus berlandaskan asas keseimbangan antara hak dan kewajiban, asas

musyawarah dan mufakat, asas proporsionalitas, asas manfaat, kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang

bertanggung jawab dalam berpikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum merupakan hak asasi manusia yang

22
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 2

8
dilindungi Undang-Undang, namun masyarakat peserta unjuk rasa sering melakukan tindakan kekerasan dan agresif sehingga sering

menimbulkan bentrokan fisik dengan aparat keamanan.

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, sebagai tolak ukur jaminan perlindungan hak asasi manusia di

Indonesia.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang makalah masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penegakan hukum bagi personil Polri yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam penanganan aksi unjuk

rasa di tinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia?

2. Bagaimanakah Pelanggaran Hak Asasi Manusia bisa terjadi oleh personil Polri dalam penanganan aksi unjuk rasa dan faktor-faktor

apa saja yang mempengaruhinya?

1.4 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Adapun penelitian ini ditujukan untuk:


1. Untuk menemukan dan mengetahui penegakan hukum bagi personil Polri yang melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia

dalam menjalankan tugas pengamanan aksi unjuk rasa.

2. Untuk menemukan dan mengetahui faktor-faktor penyebab sering terjadinya pelanggaran hak Asasi Manusia oleh Kepolisian

dalam menjalankan tugasnya.

1.4.2. Manfaat penelitian ini adalah:

Sedangkan manfaat dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan Ilmu Hukum yaitu hal-hal yang

berkaitan dengan pelaksanaan penanggulangan konflik sosial atau unjuk rasa tanpa mengesampingkan hak asasi manusia.

2. Secara Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna untuk memberikan informasi dan gambaran bagi pemerintah, aparat penegak

hukum, dan masyarakat mengenai pelaksanaan atau implementasi yang dilaksanakan oleh Kepolisian dalam penanggulangan konflik sosial

dan unjuk rasa.

1.5 Kerangka Teoritis, Kerangka Konseptual, dan Kerangka Pemikiran

1.5.1. Kerangka Teoritis

9
Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya

23
bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. Adapun beberapa teori yang

berkaitan dengan penelitian tesis ini adalah:

a. Grand Theory

Sesuai judul yang disajikan, penelitian difokuskan kepada peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, sehingga

Grand theory yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori Hak Asasi Manusia. Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada

diri manusia. Dikalangan para ahli hukum, terdapat tiga teori utama yang menjelaskan asal muasal lahirnya pemikiran mengenai hak asasi

manusia yakni teori hukum kodrat, positivisme, dan utilitarian. Secara umum, di setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu

berlaku tiga prinsip dasar pelaksanaan hukum, yakni supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the

law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law) dan selalu menjunjung tinggi hak asasi

manusia.

24
Menurut Locke hukum itu pelindung hak kodrat. Kejahatan Hak Asasi Manusia merupakan juga sebagai kejahatan

Internasional maka ada keterkaitan hak asasi manusia dan hukum pidana internasional. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dapat

dikategorikan sebagai perbuatan kejahatan atau tindak pidana, yaitu karena melanggar ketentuan hukum hak asasi manusia dengan dikenai

suatu sanksi pidana dalam lingkup nasional maupun internasional. Pengaturan hukum mengenai hak asasi manusia (nasional dan

internasional) pada hakikatnya sebagai rangka dalam melakukan perlindungan dan penegakan hukum atas hak asasi manusia Dalam hukum

pidana internasional terkait perkembangannya dan sejarahnya tidak terlepas dari sejarah perkembangan hak asasi manusia. Keterkaitannya

memiliki ketergantungan dan berkesinambungan satu sama lain, sebagai contoh terbentuknya kejahatan-kejahatan baru dalam dimensi

internasional (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi). 

Pelanggaran terhadap hak asasi manusia berkaitan langsung dengan para subjek-subjek hukum itu sendiri, serta pelanggaran yang dilakukan

termasuk dalam lingkup nasional maupun internasional yang nantinya akan mempunyai hubungan dalam menyelesaikan pelanggaran itu di

hadapan hukum yang berlaku. Prinsip hak asasi manusia ada yang berupa prinsip universalitas, prinsip universal ini dimaksudkan bahwa hak

asasi adalah milik semua orang karena kodratnya sebagai manusia. Prinsip setiap orang memiliki hak yang sama ( equality) dan tanpa

diskriminasi, prinsip ini menyatakan bahwa setiap orang dilahirkan secara bebas dan memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan karena

25
alasan tertentu.

Dan ada yang terakhir prinsip pengakuan indivisibility dan interdependence of different right. Prinsip ini menyatakan bahwa

dalam rangka memenuhi hak asasi manusia maka tidak dapat dipisahkan antara pemenuhan hak-hak sipil dan politik dengan pemenuhan hak-

hak ekonomi, sosial dan budaya. Karena ruang lingkup dari keduanya itu saling berhubungan.

b. Middle Theory

23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian hukum, (Bandung, UI Press Alumni, 1986), hlm. 125.
24
Satjipto Rahardjo, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi (Yogyakarta Genta Publishing 2010. hlm.72
25
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/Justisia/article/view/5929

10
Middle theory dalam penelitian tesis ini menggunakan teori yang menghubungkan grand theory dan applied theory yaitu teori

Keadilan. Pembaruan hukum atau juga sering disebut dengan reformasi hukum di Indonesia bukan sekedar mengubah, menumbuhkan,

mengoreksi, mereview, mengganti, atau menghapus sama sekali ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu sistem

hukum pembaharuan hukum lebih merupakan ruh dalam hukum, mewujudkan melalui pengubahan, penambahan, penggantian, atau

penghapusan suatu ketentuan, kaidah atau asas hukum dalam hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu sistem hukum

sehingga sistem hukum yang berkaitan menjadi lebih baik, lebih adil, lebih bermanfaat, dan menjadi lebih berkepastian menurut hukum.

Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality

before the law). Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus, misalnya, anak-anak yang di bawah umur 17 tahun

mempunyai hak yang berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuan

tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis, misalnya karena perbedaan warna kulit, gender agama dan kepercayaan, sekte tertentu dalam

agama, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan petani miskin. Meskipun demikian, perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis

26
seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai negara, termasuk di negara yang hukumnya sudah maju sekalipun.

Menurut Dicey, Bahwa berlakunya konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), di mana semua orang harus

27
tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun berada di atas hukum (above the law). Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa

segala sesuatu harus dilakukan secara adil. Konsep due process of law sebenarnya terdapat dalam konsep hak-hak fundamental (fundamental

28
rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasan yang tertib (ordered liberty).

Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep hukum tentang keadilan yang fundamental

(fundamental fairness). Perkembangan, due process of law yang prosedural merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan

layak, yang harus dijalankan oleh yang berwenang. misalnya dengan kewajiban membawa surat perintah yang sah, memberikan

pemberitahuan yang pantas, kesempatan yang layak untuk membela diri termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara bila diperlukan,

menghadirkan saksi-saksi yang cukup, memberikan ganti rugi yang layak dengan proses negosiasi atau musyawarah yang pantas, yang harus

dilakukan manakala berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk

hidup, hak untuk kemerdekaan atau kebebasan (liberty), hak atas kepemilikan benda, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak

untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak, hak pilih, hak untuk berpergian kemana dia suka, hak atas privasi, hak atas perlakuan

29
yang sama (equal protection) dan hak-hak fundamental lainnya.

Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat

dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian di

30
dalamnya. Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positivisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-

aturan hukum yang mengakomodir nilai-nilai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu.

26
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat), Bandung: Refika Aditama, 2009, hlm., 207.
27
Ibid., hlm. 3.
28
Ibid., hlm. 46.
29
Ibid., hlm. 47.
30
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung, Nusa Media, 2011, hlm. 7

11
Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran positivisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam.

31
Sehingga pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum alam. Menurut Hans Kelsen:

Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia

realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari filsafat Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang mengandung karakteristik mendalam.

Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda yang pertama adalah dunia kasat mata yang dapat ditangkap melalui indera yang disebut

realitas; yang kedua dunia ide yang tidak tampak.

Keadilan yang bersumber dari cita-cita rasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu

kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat

dicapai melalui suatu tatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan berusaha

mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan.

Dalam penulisan tesis ini dapat menjelaskan fungsi Undang-Undang sangat tergantung dari tujuan penyelenggaraan negara,

keberadaan Undang-Undang pada dasarnya adalah instrumen bagi penguasa untuk menjalankan roda pemerintahan. Secara umum fungsi

Undang-Undang dalam suatu negara adalah sebagai pengatur masyarakat, membatasi penguasaan, sebagai a tool of social engineering serta

sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Sebagai pengatur masyarakat, Undang-Undang berfungsi sebagai pengatur tarik menarik sebagai

kepentingan dari berbagai individu, kelompok atau golongan yang ada di masyarakat dengan memberikan jaminan keadilan dan kepastian

hukum mengenai legal right, privilege, function duty, status or disposition dalam berbagai aspek kehidupan. Karena pandangan dan rasa

keadilan serta kesadaran hukum masyarakat suatu negara tidak mesti seragam.

Maka Undang-Undang harus dapat mengakomodasi segala pandangan dan rasa keadilan serta kesadaran hukum yang hidup.

Tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat sehingga kehadiran Undang-Undang itu dapat diterima oleh seluruh masyarakat.

C. Applied theory

Applied theory dalam penelitian tesis ini menggunakan teori legalitas. Teori Legalitas Menurut kamus umum bahasa Indonesia.

Asas mempunyai beberapa arti, salah satu diantaranya adalah kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, juga berarti

sebagai alas atau landasan. Jika kata itu dihubungkan maka yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai

tumpuan berpikir atau alasan berpendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Kegunaan asas adalah sebagai landasan dasar

tentang apa-apa yang menjadi aturan. Maksudnya adalah bahwa aturan-aturan atau segala sesuatu yang disusun itu dapat diterapkan dan

diperluas pengertiannya asal dalam hal ini tidak bertentangan dengan asasnya. Jadi dapat diibaratkan bahwa asas adalah pondasi dari segala

aturan hukum.

Hans Kelsen Mengatakan makna dari sebuah Keadilan adalah legalitas, dimana suatu peraturan umum adalah adil apabila

diterapkan sesuai dengan aturan tertulis yang mengaturnya, dan sama penerapannya pada semua kasus serupa. Asas legalitas dibangun dengan

dengan tujuan melegitimasi hukum dalam kekuasaan pemerintah agar tercipta Negara Hukum di mana pengertiannya adalah negara

berdasarkan hukum; hukum menjamin keadilan dan perlindungan bagi semua orang yang ada dalam wilayah negara yang bersangkutan.

31
Ibid., hlm. 13.

12
Segala kegiatan negara berdasarkan hukum atau dalam konteks Negara Hukum Indonesia yaitu Negara Berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

32
pemerintahahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali.

Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang sangat fundamental. Asas legalitas dalam hukum pidana begitu penting

untuk menentukan apakah suatu peraturan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi suatu

tindak pidana, maka akan dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat

33
diperlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi.

Asas legalitas termasuk asas yang boleh dikatakan sebagai tiang penyangga hukum pidana. Asas ini tersirat dalam pasal 1 KUHP

yang dirumuskan demikian:

1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum

perbuatan dilakukan.

2) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa

Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi Menurut Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan

dengan terminologi sebagai, tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang

34
telah diadakan lebih dulu. Menurut moeljatno menyebutkan bahwa tiada suatu perbuatan dapat di pidana kecuali atas kekuatan aturan

pidana dalam perundang undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Moelyatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung

35
tiga pengertian :

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang

undang.

2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias).

3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

1.5.2.
Kerangka Konseptual

1. Kepolisian Republik Indonesia yang memiliki tugas dan fungsi mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. ini mengatur tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

sebagai aparat pemeliharaan keamanan dalam negeri.

2. Penyampaian Pendapat di Muka Umum Menurut pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 :

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-

Undang”.

32
https://www.academia.edu/4978927/PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP diakses tanggal 08-11-2016 jam 13.00
33
Mahrus ali, S.H., M.H. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika.hlm59
34
Ibid
35
Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum pidana. Rineka Cipta. Jakarta. hlm 27

13
3. Unjuk Rasa atau Demonstrasi kemerdekaan berpendapat di muka umum tersebut diatur ke dalam Undang-Undang Nomor 9

Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum:

“Unjuk Rasa atau Demonstrasi, yang merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan,

tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum”.

4. Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, dan Penanganan Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

Pasal 3 Huruf E Peraturan Kepala Polisi Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, dan Penanganan

Pendapat di Muka Umum bahwa kegiatan penyampaian pendapat di muka umum dinyatakan sebagai bentuk pelanggaran apabila berlangsung

anarkis, yang disertai dengan tindak pidana atau kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi

orang atau barang, dan kejahatan terhadap penguasa umum. Sedangkan anarkis yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan dengan

sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan kekacauan,

membahayakan keamanan umum, mengancam keselamatan barang dan/atau jiwa, kerusakan fasilitas umum, atau hak milik orang lain.

14
1.5.3. Kerangka Pemikiran

PENEGAKAN HUKUM BAGI PERSONEL POLRI YANG MELAKUKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM

PENANGANAN AKSI UNJUK RASA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI

MANUSIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK


ASASI MANUSIA PERATURAN KAPOLRI NOMOR 8 TAHUN 2009
UNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 1998 TENTANG TENTANG IMPLEMENTASI PRINSIF DAN STANDAR
GRAND TEORY
KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DIMUKA MIDDLE THEORY APPLIED TEORY
HAK ASASI MANUSIA
TEORI HAK ASASI MANUSIA
UMUM TEORI KEADILAN TEORI LEGALITAS

TERCIPTANYA PENANGGULANGAN UNJUK RASA YANG BAIK OLEH POLRI YANG SESUAI DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA

15
1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Metode Pendekatan

Penelitian tesis ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dan kuantitatif yaitu menggambarkan realita yang sesuai dengan

fenomena secara rinci dan tuntas, serta pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci sebagai

pengupas dari permasalahan yang akan diteliti.

1.6.2 Bahan Hukum

Sumber data dalam sebuah penelitian adalah subjek darimana data dapat diperoleh. Berikut merupakan sumber-sumber data yang

digunakan dalam penulisan tesis ini, antara lain:

1. Data Primer

Bahan hukum primer yaitu semua bahan/materi hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis. Bahan hukum

primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian yaitu,

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

4. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Kepolisian Republik Indonesia.

5. Undang-Undang No.39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

6. PP Nomor 2 tahun 2003 Peraturan Disiplin Anggota Polri

7. Perkap 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri

8. Perkap Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara

Penyampaian Pendapat di Muka Umum

2. Data Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu berupa bahan atau materi yang berkaitan dan menjelaskan mengenai permasalahan dari bahan

hukum primer yang terdiri dari buku-buku dan literatur-literatur terkait upaya penanggulangan konflik sosial dan unjuk rasa yang dilakukan

oleh Kepolisian Republik Indonesi

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang Badan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder,

misalnya kamus umum bahasa Indonesia, kamus hukum dan lain sebagaianya.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik dalam pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka yaitu dengan mencari dan

mengumpulkan bahan-bahan teoritis dengan cara mempelajari dan mengutip bahan-bahan pustaka yang berhubungan langsung dengan objek

penelitian. Studi pustaka ini didukung dengan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara yang dilakukan kepada anggota Kepolisian

16
Polda Banten. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data-data dan keterangan terkait penanganan hukum terhadap personil kepolisian

yang melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam penanganan unjuk rasa di Kabupaten Tangerang.

1.6.4 Teknik Pengolahan Bahan Hukum

Data yang sudah terkumpul akan diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut:

a. Seleksi Data, yaitu memeriksa data secara selektif untuk memenuhi kesesuaian data yang dibutuhkan dalam menjawab permasalahan dalam

penelitian;

b. Klasifikasi data, yaitu mengelompokan data sesuai dengan permasalahan yang telah disusun sehingga diperoleh data yang benar-benar

dibutuhkan dalam penelitian ini;

c. Penyusunan data, yaitu menetapkan data sesuai dengan bidang pembahasan dan disusun secara sistematis sesuai dengan konsep, tujuan ,

dan permasalahan sehingga dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang telah disusun.

1.6.5 Analisa Bahan Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan

yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis yuridis. Penelitian ini berangkat dari asumsi tentang realitas atau

fenomena sosial yang bersifat kompleks, dengan memperhatikan pendapat-pendapat ahli yang dirumuskan menjadi penemuan dan kesimpulan

penelitian.

Metode analisis yuridis kualitatif merupakan prosedur penelitian yang dilakukan dengan cara pengamatan dan pengelompokan

data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan ataupun asas-asas

hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan kerangka atau susunan penulisan yang berguna untuk mempermudah pembahasan dari setiap

isi penulisan. Penulisan ini terbagi menjadi lima bab dan diperjelas dengan beberapa sub bab. Sistematika dari penulisan ini adalah sebagai

berikut.:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini berisi mengenai latar belakang, batasan masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

` Bab ini terdiri dari beberapa sub bab dan berisikan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan penelitian ini. Teori-teori ini

merupakan teori yang akan menjadi pendukung dalam proses pembahasan di bab selanjutnya yang diperoleh dari beberapa buku referensi,

jurnal ilmiah, dan lainnya, dan pada bab ini berisikan mengenai Tugas pokok Polri, pengertian konflik sosial dan unjuk rasa , pengertian hak

asasi manusia.

17
BAB III : PENEGAKAN HUKUM BAGI PERSONIL POLRI YANG MELAKUKAN PELANGGARAN HAK ASASI

MANUSIA DALAM PENGAMANAN AKSI UNJUK RASA DI KABUPATEN TANGERANG PROVINSI BANTEN DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG NO 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA

Bab ini berisikan uraian secara rinci dan lengkap tentang pembahasan dan Analisa penelitian rumusan masalah 1 terkait

Penegakan Hukum Bagi Personil Polri Yang Melakukan Pelanggaran HAM Dalam Penanganan Aksi Unjuk Rasa Di Tinjau Dari Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (studi kasus: Kep/ 15/X/ 2021/ 21 Oktober 2021 Unjuk Rasa di Kabupaten

Tangerang)

BAB IV: ANALISIS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP PERSONIL POLRI DALAM PENANGANAN AKSI

UNJUK RASA DAN FAKTOR-FAKTOR APA SAJA YANG MEMPENGARUHINYA

Bab ini berisikan pembahasan Pelanggaran Hak Asasi Manusia bisa terjadi oleh personil Polri dalam penanganan aksi unjuk rasa

dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (studi

kasus: Kep/ 15/X/ 2021/ 21 Oktober 2021 Unjuk Rasa di Kabupaten Tangerang)

BAB V: PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran terkait Penegakan Hukum Bagi Personil Polri Yang Melakukan Pelanggaran HAM

Dalam Penanganan Aksi Unjuk Rasa Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (studi kasus: Kep/

15/X/ 2021/ 21 Oktober 2021 Unjuk Rasa di Kabupaten Tangerang)

18
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepolisian Negara Republik Indonesia

Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan Lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-

36
undangan. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Undang-

Undang No 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pertimbangan keamanan dalam negeri yang merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil,

makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi

kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayan

kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang di bantu masyarakat dengan menjunjung

tinggi hak asasi manusia. Dengan terjadinya perubahan paradigma dalam ketata negaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan TNI dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing, dan Undang-Undang Kepolisian sebelumnya sudah

tidak memadai dan perlu di ganti untuk disesuaiakan dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum serta ketata negaraan Negara Republik

Indonesia maka Pemerintahan Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diharapkan dapat memberikan penegasan

watak Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Tri Brata dan Catur Prasetya sebagai sumber nilai kode etik

Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila. Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya

fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan

berbagai paradigma baru alam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang, dan tanggung jawab Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya.

Tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

37
penegakan hukum, dan memberikan perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam tugasnya Kepolisian Negara

Republik Indonesia harus sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku, dan apabila kepolisian atau personel Polri melakukan

pelanggaran atau melakukan tugasnya tidak sesuai dengan aturan hukum, maka personil Polri akan sama di hadapan hukum yaitu harus

mempertanggung jawabkan apa yang di lakukannya.

Dalam melaksanakan tugas Kepolisian, anggota dihadapkan dengan Penghargaan (Reward) dan hukuman (punishment). Dalam

hal hukuman, anggota polisi yang dalam pelaksanaan tugasnya melanggar undang-undang, maka akan dihadapkan dengan aturan hukum yang

berlaku yaitu sidang disiplin, sidang kode etik, bahkan peradilan umum. Agar tidak terjadi hal seperti itu maka dalam tugasnya dan

36
Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
37
Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

19
perlindungan polisi terhadap warga masyarakat setiap polisi wajib memperhatikan prosedur tetap yang dilandasi asas-asas yaitu asas legalitas,

necesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.

Asas Legalitas yaitu setiap anggota Polri dalam melakukan tindakan harus sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku, baik

38
dalam perundang-undangan nasional maupun internasional.

Asas Necesitas, yaitu setiap anggota Polri yang dalam melakukan tindakan harus didasari oleh suatu kebutuhan untuk mencapai

tujuan penegakan hukum, yang mengharuskan anggota Polri melakukan suatu tindakan membatasi kebebasan seseorang ketika menghadapi

39
kejadian yang tidak dapat dihindarkan.

Asas Proporsionalitas, yaitu setiap anggota Polri yang dalam melakukan tugas harus senantiasa menjaga keseimbangan antara

40
Tindakan yang dilakukan dengan ancaman yang dihadapi dalam penegakan hukum. Dan

Asas Akuntabilitas, yaitu setiap anggota Polri yang melakukan tugas senantiasa harus bertanggung jawab sesuai dengan

41
ketentuan hukum yang berlaku.

Dalam hal pertanggungjawaban sesuai ketentuan hukum yang berlaku anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

dihadapkan dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang aturan disiplin anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia, Kode etik, dan peradilan umum.

Disiplin adalah ketaatan dan kepatuhan yang sungguh-sungguh terhadap peraturan disiplin anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia. Peraturan disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah serangkaian norma untuk membina, menegakan, disiplin

dan memelihara tata tertib kehidupan anggota. Pelanggaran peraturan disiplin adalah ucapan, tulisan, atau perbuatan anggota Polri yang

melanggar aturan disiplin. Disiplin Polri diatur dengan peraturan Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan

42
Disiplin Anggota Polri.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri, merupakan pelaksanaan amanat Undang-

Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Disiplin adalah kehormatan, kehormatan sangat erat kaitannya

dengan kredibilitas dan komitmen, disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kehormatan sebagai anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia yang menunjukan kredibilitas dan komitmen sebagai anggota Polri. Kredibilitas dan komitmen anggota Polri

adalah sebagai pejabat negara yang diberi tugas dan kewenangan selaku pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat penegak hukum dan

pemelihara keamanan.

Tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan mendidik anggota kepolisian negara Republik Indonesia yang

melakukan pelanggaran disiplin, oleh sebab itu setiap atasan hukum wajib memeriksa lebih dahulu dengan seksama anggota Polri yang

38
Protap kapolri Nomor 1/X/ 2010 Tentang Penanggulangan Anarki
39
ibid
40
ibid
41
ibid
42
Peraturan Pemerintah No 2 tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri

20
melakukan pelanggaran disiplin itu. Hukuman disiplin yang dijatuhkan haruslah setimpal dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan,

sehingga hukum disiplin itu dapat diterima oleh rasa keadilan. Adapun dasar hukum Peraturan pemerintah No 2 tahun 2003 adalah:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

2. Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia

Untuk penegakan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri;

1. Kep Kapolri Nomor 42/IX/2004 Tentang Atasan Yang Berhak Menjatuhkan Hukuman Disiplin Di Lingkungan Polri

2. Kep Kapolri Nomor: 43/IX/2004 Tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Anggota

3. Kep Kapolri Nomor: 44/IX/2004 Tentang Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota Polri.

Selain hukuman disiplin, anggota Polri juga dapat dikenakan sanksi kode etik Profesi Kepolisian, yang telah diatur dalam Perkap

Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagai pertimbangan Peraturan kapolri ini adalah

bahwa pelaksanaan tugas, kewenangan, dan tanggung jawab anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dijalankan secara

profesional,proporsional, dan prosedural yang didukung oleh nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya

43
dijabarkan dalam kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai norma berperilaku yang patut dan tidak patut. Bahwa

penegakan kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dilaksanakan secara objektif, akuntabel menjunjung tinggi

kepastian hukum dan rasa keadilan (legal and legitimate), serta hak asasi dengan memperhatikan jasa pengabdian anggota Kepolisian Negara

Republik Indonesia yang diduga melanggar kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Untuk menegakan peraturan-peraturan disiplin dan kode etik profesi Polri dilaksanakan oleh;

a. Propam Polri Bidang Pertanggung jawaban Profesi

b. KEEP

c. Komisi Banding

d. Pengemban Fungsi Hukum

e. SDM Polri

f. Propam Polri Bidang Rehabilitasi Personil

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 29 ayat 1 menyatakan bahwa,

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum, hal ini menunjukan bahwa anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia merupakan warga sipil dan bukan subjek hukum militer.

Jika anggota Polri melakukan tindak pidana terhadap warga sipil seperti pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan, maka

Anggota Polri tersebut tidak hanya telah melakukan tindak pidana, tetapi juga telah melanggar disiplin dan kode etik profesi Polri. Adapun

proses peradilan pidana bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum dilakukan menurut hukum acara yang berlaku

dilingkungan peradilan umum.

43
Perkap No 14 tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Polri Menimbang huruf a

21
Peraturan yang mengikat anggota Polri bertujuan untuk tercapainya supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan

hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law) dan menjunjung

tinggi hak asasi manusia

2.2 Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat Di Muka Umum

Menyampaikan pendapat dimuka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam pasal 28 Undang-Undang

Dasar 1945 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya

ditetapkan dengan undang-Undang.” Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat Di Muka Umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh

Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Setiap kemerdekaan warga negara untuk menyampaikan pendapat

di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan untuk membangun

negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan suasana yang aman tertib dan damai.

Hak menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bahwa

berdasarkan pertimbangan diatas, maka Pemerintahan Indonesia membentuk Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat Di muka Umum.

Adapun bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan atau

mimbar bebas. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan berlandaskan kepada;

1. Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban

2. Asas musyawarah mufakat

3. Asas kepastian hukum dan keadilan

4. Asas proporsionalitas dan

5. Asas manfaat.

Tujuan pengaturan tentang Kemerdekaan Penyampaian Pendapat di muka umum adalah mewujudkan kebebasan yang

bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945.

1. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat

2. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan

tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi

3. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan

perorangan atau kelompok.

Hak dan kewajiban warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas

memperoleh perlindungan hukum dan warga negara yang menyampaikan pendapat itu pun mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk :

1. Menghormati hak-hak kebebasan orang lain

2. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum.

22
3. Mentaati hukum dan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku

4. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum

5. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Meskipun sudah sangat jelas asas, tujuan hak dan kewajiban yang melandasi kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum,

tidak sedikit pelaksanaan unjuk rasa tersebut malah menimbulkan masalah baru, terutama unjuk rasa yang dilakukan dengan anarkis,

mengganggu ketertiban umum, pengrusakan fasilitas umum, membahayakan jiwa masyarakat dan aparat hukum dan lain-lain. Kepolisian

Negara republik Indonesia sebagai pemegang fungsi menjaga keamanan dan ketertiban akan berusaha untuk tetap selalu memegang komitmen

untuk tetap melaksanakan tugas dan fungsinya meskipun terkadang pelaksanaan penertiban pengamanan unjuk rasa berakhir dengan indikasi

adanya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2.3 Hak Asasi Manusia Dan Teori-Teori Hukum

Konsep hak asasi manusia lahir dari pergulatan panjang umat manusia, bagi Sebagian orang bahkan menyebutnya sebagai suara-

suara korban. Terjadinya penindasan dan kesewenang-wenangan merupakan awal pembuka kesadaran tentang konsep hak asasi manusia

44
sejarah perkembangan hak asasi manusia tidak akan berhenti sampai pada hari ini karena muara itu ada pada peradaban manusia itu sendiri.

Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat secara inherent pada diri manusia karena ia manusia. Fokus utama dari hak hak

asasi manusia adalah kehidupan dan martabat manusia. Martabat manusia akan terganggu ketika mereka menjadi korban pelecehan seksual,

penyiksaan, perbudakan, termasuk jika hidup tanpa kecukupan pangan dan perumahan.

Asal usul gagasan mengenai hak asasi manusia dapat diruntut Kembali sampai jauh ke belakang hingga ke zaman kuno dengan

filsafat Stoika hingga ke zaman modern. Dikalangan para ahli hukum terdapat tiga teori utama yang menjelaskan asal muasal lahirnya

45
pemikiran mengenai hak asasi manusia yakni teori hukum kodrati, positivisme, dan anti-utilitarian. Tokoh yang dianggap paling berjasa

dalam meletakan dasar-dasar teori hukum kodrati ialah John Locke dan JJ Rousseau.

Indonesia diberikan anugerah kondisi negara yang unik keragaman masyarakat. Bangsanya majemuk, dengan lebih dari 500

etnik. Beragam pula agama, kepercayaan, dan keyakinan. Apa jadinya jika keragaman itu bersinergi positif dalam harmoni, sebagaimana

46
terjadinya jika keragaman itu membuat komunitas primordial saling meniadakan dan berkonflik dengan kekerasan berdarah

Awalnya adalah keyakinan. Gagasan awal konsep hak asasi manusia berangkat dari sebuah keyakinan setiap manusia, apapun

agamanya, etnis, jenis kelamin, ras, kelas sosial, ataupun orientasi seksual pada dasarnya mempunyai hak yang sama. Gagasan ini menjadi

47
antithesis, menjadi counter culture bagi budaya dominan di zamannya: budaya yang penuh diskriminasi.

Hak Asasi Manusia dikenal sebagai hak paling hakiki dan asasi. Hak tersebut dikonsepkan melekat pada setiap orang, tidak bisa

dibatasi dan tidak dapat dicabut. Hak itu lahir karena melekat pada seseorang sebagai manusia. Disini terkandung prinsip persamaan dan

44
Denny Januar Ali. Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi. Gramedia Cetakan pertama 2013.hlm 1
45
Universitas Islam Indonesia. https://dspace.uii.ac. Id
46
Denny Januar Ali. Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi. Gramedia Cetakan pertama 2013.hlm 5
47
Ibid hlm 5

23
kesetaraan, bahwa setiap orang terlahir dengan sejumlah hak yang sama. Karena itu seorang tidak dapat diperlakukan secara berbeda

48
(diskriminasi).

Teori hukum yang muncul dari abad ke abad dan dari generasi ke generasi, tidak hanya memperlihatkan warna kosmolog dan

semangat zamannya, tetapi juga memunculkan pergeseran cara pandang sesuai dengan peralihan zaman. Maka di samping kita bertemu

dengan para pemikir zaman klasik, pemikir abad pertengahan, zaman modern, dan pemikir kontemporer, tapi serentak itu pula kita berjumpa

dengan generasi hukum alam, generasi rasionalisme, generasi historisme, generasi positivism, generasi sosio-antropologi, general realisme,

dan generasi-generasi lain sesudahnya.

Untuk diketahui, di samping teori-teori yang lahir dalam tradisi Barat, terdapat Pula pemikiran hukum yang bernilai tinggi dalam

kebudayaan-kebudayaan Iain di dunia, misalnya, di Cina, India, Mesir, Jepang, dan Timur Tengah. Tapi karena pemikiran yang Paling subur

mengenai teori hukum, tumbuh dalam tradisi Barat dan berpengaruh besar pada pandangan modern mengenai hukum, maka jejak teon-teori

dari Barat itulah yang akan dipaparkan dalam karya ini. Sudah tentu, tidak semua teori bisa dibahas di Sini. Penulis hanya mengangkat

beberapa teori dari tiap periode dan generasi untuk menunjukkan betapa isi sebuah teori hukum mencerminkan warna kosmologi dan

49
semangat zamannya, berikut pergeseran cara pandang seturut peralihan zaman dan tantangan yang dihadapi.

Dalam penulisan tesis ini penulis mereferensikan beberapa teori yang terkait dengan perlindungan Hak Asasi Manusia

diantaranya dari tokoh yang paling berjasa dalam teori kodrati yaitu John Locke.

A. Teori John Locke (hukum itu hak kodrat)

Sebagai penganut hukum alam abad ke 18, John Locke berpegang pada prinsip hukum pada zaman itu, yakni kebiasaan individu

dan keutamaan rasio. juga mengajarkan tentang kontrak sosial. Dan teorinya tentang hukum beranjak dari dua hal itu. Teorinya, tentu saja

berbeda dengan Hobbes yang hidup di era abad ke-17 (era nation-state yang mengagungkan kekuasaan sentral). Jika kontrak sosial Hobbes

50
mengandaikan adanya penyerahan seluruh hak individu secara total pada penguasa, maka Locke tidak demikian.

Orang-orang yang melakukan kontrak sosial, bukanlah orang-orang yang ketakutan dan pasrah seperti dibayangkan Hobbes.

Mereka, kata Locke, adalah orang-orang yang tertib yang sopan dan menghargai kebebasan hak hidup, dan kepemilikan harta sebagai hak

bawaan sebagai manusia. Semua itu sudah dilestarikan sejak awal masyarakat manusia. Maka Hobbes salah besar, jika mengira masyarakat

awal itu kacau. Mereka hidup tertib, kata Locke. Di situ pun ada perdamaian dan hidup mereka dituntun rasio. Bahkan menurut Locke, itulah

masyarakat ideal, karena hak-hak dasar manusia tidak dilanggar.

Menurut Locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika kontrak sosial dilakukan. Oleh karena itu,

kekuasaan penguasa yang diberikan lewat kontrak sosial, dengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Kalau begitu, adanya kekuasaan

tersebut justru untuk melindungi hak-hak kodrat dimaksud dari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam, baik yang datang dari dalam

maupun dari luar. Begitulah, hukum yang dibuat dalam negara pun bertugas melindungi hak-hak dasar tersebut.

48
Ibid. hlm 6
49
Satjipto Rahardjo. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi.

(Yogyakarta Genta Publishing. 2010), hlm 15


50
Satjipto Rahardjo. Teori Hukum Strategi Tertib manusia Lintas Ruang dan Generasi Yogyakarta Genta Publishing. 2010. hlm 72.

24
Bagaimana memastikan hukum yang dibuat itu memang diarahkan pada perlindungan hak-hak dasar tersebut. Rakyat sendirilah yang harus

menjadi pembuat hukum, begitu kata Locke. Lewat lembaga legislatif, rakyat berhak menentukan warna dan isi sebuah aturan. Hak rakyat

menyusun undang-undang bersifat primer, asli dan tidak bisa dicabut. Karena itu, Locke menempatkan kekuasaan legislasi sebagai inti dalam

kehidupan politik. la berada di atas kekuasaan-kekuasaan lain. Kekuasaan pengadilan maupun hukum kebiasaan-yang dalam tradisi Inggris

menempati posisi sentral dan utama, menurut Locke harus juga berada di bawah kekuasaan legislasi.

Satu-satunya kekuasaan yang harus dihormati oleh badan legislasi adalah hukum alam dan nalar. Mengapa Karena hukum alam

dan nalar itu merupakan landasan cita hukum untuk membuat aturan hukum positif. Cita hukum dimaksud adalah pelestarian masyarakat dan

pelestarian tiap anggota masyarakat, melarang menghancurkan hidupnya, dan melarang merampas hidup dan kekayaan orang lain.

Pemikiran yang lebih eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak asasi dan kebebasan warganya, dikemukakan Oleh

Immanuel Kant. Bagi Kant, manusia merupakan mahluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak dan

kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagiaan rakyat merupakan tujuan negara dan hukum. Oleh karena itu, hak-hak dasar manusia

tidak boleh dilanggar Oleh penguasa. Bahkan pelaksanaan hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi Oleh negara. Untuk tujuan itu, harus ada

pemisahan kekuasaan atas eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Karena perlindungan hak-hak rakyat itu begitu penting, maka seperti halnya tradisi Yunani yang juga dianut Rousseau, Kant

menempatkan lembaga legislasi dan produk-produknya sebagai poros negara republik Bisa dikatakan, dalam konteks perlindungan hak-hak

rakyat, Kant mengambil posisi seorang legalis radikal. Sangat mungkin, Kant memandang perlindungan hak rakyat merupakan suatu imperatif

moral. Ya, menggunakan terminologi Kant, suatu Kategori Imperatif.

Memang, isu kebebasan dan hak-hak dasar manusia menjadi ikon kosmologi abad ke-18. Kosmologi itulah yang mengilhami

pemikiran zaman itu, termasuk Kant, Locke, dan Montesquieu. Selama periode ini, terjadi pergeseran cara pandang tentang hak-hak dasar.

Hak-hak tersebut tidak lagi dilihat hanya sebagai kewajiban yang harus dihormati oleh penguasa, tetapi juga dipandang sebagai hak yang

mutlak dimiliki rakyat. Tiap manusia dikaruniakan hak-hak yang kekal dan tidak dapat dicabut, yang tidak pernah ditinggalkan ketika umat

manusia "beralih'' untuk memasuki era baru dari kehidupan Pramodern ke kehidupan modern, serta tidak pernah berkurang karena tuntutan

"hak memerintah penguasa"

B. Teory Imanuel Kant

Manusia merupakan makhluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya.

Kemakmuran dan kebahagiaan rakyat merupakan tujuan negara dan hukum. Oleh karena itu, hak-hak dasar manusia tidak boleh dilanggar

oleh penguasa. Bahkan pelaksanaan hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi.

Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, Kant dikenal dengan Imperatif Kategoris-nya. Ada dua norma yang mendasari prinsip

ini setiap manusia diperlakukan sesuai martabatnya. Ia harus diperlakukan dalam segala hal sebagai subyek, bukan objek. Orang harus

bertindak dengan dalil bahwa apa yang menjadi dasar tindakannya memang merupakan prinsip semesta. Prinsip semesta yang dimaksud Kant

25
adalah penghargaan akan manusia yang bebas dan otonom. Manusia yang memiliki hak-hak dasar, seperti hak menikah dan hak berkontrak.

51
Di samping itu, terdapat pula hak-hak jenis lain yang disebut hak-hak lahir, seperti hak memiliki.

Menurut Kant, dalam kebebasan dan otonominya, tiap-tiap individu cenderung memperjuangkan kemerdekaan yang dimilikinya.

Ini memang suatu yang wajar. Tapi sangat mungkin, pelaksanaan kemerdekaan seseorang bisa merugikan orang lain. Untuk menghindari

kerugian itu, dibutuhkan hukum. Seruan ini bernuansa imperatif etik, dan oleh karena itu, timbul kewajiban untuk menaati hukum.

Kant percaya, untuk membangun tatanan negara yang rasional, diperlukan suatu hukum dan manajerial pemerintahan yang

memastikan menghormati kebebasan orang lain. Negara tidak perlu rakyatnya dengan kontrol yang bersifat moral atau pun religius. Sebab,

jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kultur nya, maka yang

akan terjadi adalah kekacauan dan konflik. Kebijakan moralitas, hanya akan memecah-belah masyarakat modern yang plural dalam kategori-

kategori agama, moral, maupun kebudayaan. Dari sinilah Kant mengusulkan perlunya tatanan hukum yang obyektif dan imperatif. Makna

hakiki dari hukum yang obyektif dan imperatif itu, adalah hukum menjamin kepentingan semua individu menurut dua prinsip imperatif

kategoris di atas, bukan menurut ukuran-ukuran primordial yang parokial (agama, moralitas, dan kultur tertentu).

Karena hukum harus berpedoman pada dua prinsip imperatif kategoris dimaksud, maka Kant memasukan hukum dalam bidang

'akal praktis'. Hukum merupakan bidang sollen, bukan bidang sein. Ini ada kaitan dengan kategori Kant mengenai akal manusia. Menurut

Kant, manusia memiliki dua jenis akal, yakni 'akal murni' (akal teoritis) dan 'akal praktis'. Akal murni merupakan media untuk melihat 'yang

ada' (Sein), yakni alam, fakta, dan semua yang dapat direkam oleh indera. Sedangkan akal praktis merupakan media untuk menangkap bidang

harus (Sollen) yakni norma-norma. Itulah sebabnya, hukum merupakan bidang akal praktis 'Akal praktis' berbicara tentang apa yang

52
seharusnya. la berbicara tentang Maximes, yaitu prinsip-prinsip kelakuan yang dirasa sebagai kewajiban

Maximes itu sendiri (seperti berkristal dalam imperatif kategoris) memiliki dua sisi yakni materi dan bentuk Materi adalah isi dari

norma-norma (maximes) tersebut. Sedangkan bentuk adalah sifat mewajibkan yang menandai norma-norma itu. Norma-norma ini, menurut

Kant, harus otonom, yakni harus memiliki sifat mewajibkan sendiri. Itu hanya mungkin jika norma-norma tersebut dipandang secara formal

(bentuknya) yakni dalam sifat mewajibkan, Norma yang sungguh-sungguh mewajibkan secara mutlak dan umum itu, adalah norma yang ada

dalam imperatif kategoris di atas. Karena hukum merupakan bidang 'akal maka pembentukannya haruslah mengikuti keharusan menurut

prinsip imperatif kategoris itu. Tidak boleh hukum dibuat atas dasar petimbangan-pertimbangan pragmatis berbasis pengalaman inderawi

seperti rasa enak, rasa suka, rasa untung, dan lain sebagainya. Hanya hormat terhadap norma-norma sebagai kewajiban (Imperatif kategori),

.
yang dapat menjadi motif untuk membentuk aturan hukum

Lalu bagaimana dengan keharusan menaati hukum aturan hukum sebagai norma hukum positif, bukanlah bidang keharusan yang

otonom. la merupakan bidang keharusan yang heteronom. Dalam keharusan yang heteronom, maka berikutnya norma tidak berasal dari rasa

kewajiban yang menyentuh badan manusia, melainkan dari sesuatu yang diluar kewajiban batin. Di sini Kant memperkenalkan istilah legalitas,

yakni 'sifat hukum' dari suatu perbuatan- Inti sifat hukurn dari suatu perbuatan adalah penyesuaian dengan apa yang sudah dibentuk scbagai

hukum. Dapat disimpulkan, bagi Kant, prinsip-prinsip aturan merupakan bidang keharusan yang otonom, dan karenanya mewajibkan secara

51
Ibid. hlm 76
52
Ibid hlm 77

26
otonom pula Sedangkan aturan hukum itu sendiri (sebagai aturan hukum positif) terbilang bidang keharusan yang heteronom, dan oleh karena

itu, dialami gejala yang tidak bersangkut paut dengan persoalan kewajiban batin. Lepas dari apa pun motifnya (rasa respek atau takut) orang

53
harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh hukum.

C. Teori Plato (hukum sebagai sarana keadilan)

Dalam penulisan tesis ini, banyak mengupas tentang hukum dan keadilan sehingga penulis menggunakan teori keadilan sehingga

penulis menggunakan teori keadilan. Seperti kita ketahui bahwa teori- teori keadilan yang kita kenal selama ini adalah lahir dari filsuf-filsuf

Yunani yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan teori Plato yang dikenal dengan Hukum Sebagai

Sarana Keadilan.

Dengan mengambil inti ajaran kebijaksanaan Socrates, maka Plato sang murid, juga mengaitkan hukum dengan kebijaksanaan

dalam teorinya tentang hukum. Namun berbeda haluan dengan Socrates, Plato justru melangkah lebih jauh. Ia tidak seperti Socrates yang

menempatkan kebijaksanaan dalam konteks mutu pribadi individu warga polis. Sebaliknya, Plato justru mengaitkan kebijaksanaan dengan

tipe ideal di bawah pimpinan kaum aristokrat. Dasar perbedaan tersebut terletak pada perbedaan asumsi tentang peluang kesempurnaan pada

manusia. Bagi Socrates, secara individual manusia dimungkinkan mencapai kesempurnaan jiwa secara swasembada. Sedangkan Plato tidak

percaya pada tesis gurunya itu. Bagi Plato, kesempurnaan individu hanya mungkin tercipta dalam konteks negara di bawah kendali para guru

moral, para pimpinan yang bijak, para mitra bestari, yakni kaum aristokrat. Menurut Popper, model Plato tersebut merupakan kerajaan orang

54
yang paling bijak dan menyerupai dewa.

Menurut Plato, pengungkapan kebaikan hanya diterima oleh kaum aristokrat itu. Mereka adalah orang-orang terpilih. Karena

kaum aristokrat (para filsuf) merupakan orang-orang bijaksana, maka di bawah pemerintahan mereka dimungkinkan adanya partisipasi semua

orang dalam gagasan keadilan. Kondisi ini memungkinkan keadilan tercapai secara sempurna. Bila ini yang terjadi, maka hukum tidak

diperlukan. Keadilan bisa tercipta tanpa hukum, karena yang menjadi penguasa adalah kaum cerdik pandai, kaum arif bijaksana yang pasti

mewujudkan theoria (pengetahuan dan pengertian terbaiknya) dalam tindakan. Ini diungkapkan Plato dalam buku The Republic. Dengan kata

lain, aristokrasi sebagai negara ideal Plato, adalah bentuk negara yang pemerintahannya dipegang oleh kaum arif bijaksana, yaitu para filsuf.

Pemerintahan dijalankan dengan bcrpedoman Pada keadilan sesuai ide keadilan orang arif tersebut. Kaum bijak bertindak sebagai guru

sekaligus pelayan kepentingan umum berbasis keadilan.

Tapi seturut dengan merosotnya negara, baik ke dalam bentuk timokrasi maupun dalam wujud oligarki, demokrasi, ataupun

tirani, maka tidak mungkin adanya partisipasi semua orang dalam keadilan Di sinilah hukum dibutuhkan sebagai sarana keadilan. Jadi dapat

dikatakan hukum dalam teori Plato adalah instrumen untuk menghadirkan keadilan di tengah situasi ketidakadilan. Pada sistem timokrasi,

ketidakadilan itu tampil dalam bentuk ambisi para pemimpin mengejar kemewahan, kehormatan, dan kekayaan bagi diri sendiri. Dalam

oligarki, situasi ketidakadilan itu berwujud monopoli penguasaan sumberdaya dari orang kaya yang serakah. Dalam demokrasi, ketidakadilan

53
Ibid. hlm 79
54
Ibid. hlm 40

27
mewajah dalam bentuk kepemimpinan orang-orang tidak terdidik (bukan aristokrat), dan kecenderungan penonjolan interes pribadi para wakil

di Lembaga perwakilan. Sedangkan dalam tirani, ketidakadilan itu menyeruak dalam bentuk kesewenang-wenangan,

Secara lebih riil, Plato merumuskan teorinya tentang hukum, demikian:

1. Hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang penuh situasi ketidakadilan,

2. Aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak muncul kekacauan hukum,

3. Setiap UU harus didahului preambule tentang motif dan tujuan UU tersebut. Manfaatnya adalah agar rakyat dapat mengetahui dan

memahami kegunaan menaati hukum itu, dan insaf tidak baik menaati hukum hanya karena takut dihukum. Ini berangkat dari konsep

Socrates bahwa orang yang cukup saklar tentang hidup yang baik, akan melaksanakan yang baik itu,

4. Tugas hukum adalah membirnbing para warga (Lewat UU) pada suatu hidup yang saleh dan sempurna,

Orang yang melanggar UU harus dihukum tapi hukuman itu bukan balas dendam. Sebab, pelanggaran merupakan suatu penyakit

intelektual manusia karena kebodohan. Seorang penjahat belum cukup tahu tentang keutamaan yang harus dituju dalam hidup ini.

Pengetahuan itu dapat ditambah Lewat pendidikan sehingga ia sembuh dari penyakitnya cara mendidik itu adalah Lewat hukuman, maka

55
hukuman bertujuan memperbaiki sikap moral si penjahat. Jika penyakit itu tidak dapat disembuhkan, maka orang itu harus dibunuh.

Tesis Plato tentang kaum arif bijaksana yang dapat diandalkan sebagai mitra bestari dalam menghadirkan keadilan, mungkin

menjadi peluang eksplanasi yang menarik dalam kajian hukum. Tesis Plato ini dapat menjadi salah satu pisau analisis untuk menjelaskan

krisis hukum dan kemerosotan keadilan dalam bentangan penegakan hukum. Kita bisa membangun semacam hipotesis, misalnya di tangan

pelaksana yang tidak arif dan bijaksana, maka hukum cenderung menjadi alat kemungkaran. Hipotesis ini siap diuji kesahihannya dalam

dunia empirik Dengan begitu kita bisa memberi penjelasan secara ilmiah dan objektif tentang banyak hal selain soal ketidak adilan semisal

1. Logika di balik kemacetan hukum,

2. Mengapa orang enggan berurusan dengan polisi, jaksa, dan hakim,

3. Mengapa orang cenderung main hakim sendiri,

4. Mengapa proses hukum menjadi ladang bisnis,

5. Mengapa terjadi mafia dalam proses hukum, dan Iain sebagainya.

Jadi Plato sebetulnya mengingatkan kita sekali lagi betapa faktor manusia (aparat) merupakan soal yang sangat sentral dalam

hukum di samping faktor faktor Iain, semisal sarana yang memadai, dan yang cukup, kebijakan instansi dan Iain sebagainya. Aturan hukum

yang mutu sekali pun), tidak bisa jalan sendiri tanpa ada manusia yang menjalankannya. Aturan yang baik itu, akan benar-benar manfaatnya

jika si manusia pelaksanaannya juga bermutu secara intelektual dan integritasnya Bahkan di tangan si pelaksana yang arif-bijaksana itu, aturan

yang tidak mutu dan buruk bukan jadi halangan untuk mendatangkan keadilan dan kemaslahatan, begitu juga sebaliknya. Ungkapan seminal

dan Profesor Taverne, ahli hukum Belanda yang cukup tersohor iłu, sebenarnya menunjuk ke situ. Hanya pada tangan hakim, jaksa, dan polisi

yang baik, maka dengan hukum yang buruk sekalipun, kita dapat mempersembahkan hasil yang baik. Dałam konteks Indonesia, suara yang

55
Ibid. hlm 41

28
sama sering diungkapkan berulang-ulang oleh Profesor Satjipto Rahardjo dengan menekankan perlunya 'keberanian', kepeloporan, komitmen

56
moral, dan bertindak kreatif dari aparat hukum.

Sama seperti 'pesan' teori Socrates, teori Plato pun seolah memberi himbauan pada penstudi hukum agar faktor manusia (aparat

hukum) menjadi bagian integral dałam studi hukum. Eksplanasi teoretis yang dihasilkan dari kajian

terhadap faktor aparat iłu, tidak hanya bermanfaat secara praktis dałam rangka penegakan hukum, tetapi juga memberi bobot

ilmiah pada kajian hukum.

Selain Plato, Hans Kelsen mengusung konsep teori keadilan dalam memandang hukum. Hans Kelsen dalam bukunya general

theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan

57
manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian di dalamnya. Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang

bersifat positivisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nilai umum, namun

tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu.

Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam.

58
Sehingga pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum alam. Menurut Hans Kelsen:

“Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia

realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari filsafat Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang mengandung karakteristik mendalam.

Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda: yang pertama adalah dunia kasat mata yang dapat ditangkap melalui indera yang disebut

realitas; yang kedua dunia ide yang tidak tampak.”

Keadilan yang bersumber dari cita-cita rasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu

kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat

dicapai melalui suatu tatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan berusaha

mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian

D. Teori Hans Kelsen Legalitas dan Pemidanaan

Kepastian hukum berkaitan dengan supremasi hukum, karena hukumlah yang berdaulat. Teori kedaulatan hukum menurut

Krabbe bahwa hukumlah memiliki kedaulatan tinggi. Supremasi hukum dapat diartikan dengan asas legalitas dalam konsep negara hukum.

Asas ini mensyaratkan agar setiap Tindakan pemerintah, termasuk badan peradilan, haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Linear dengan hal tersebut,

Hans Kalsen berpendapat bahwa moral harus dipisahkan dari hukum positif, yaitu peraturan perundang-undangan. Bagi kelsen,

moralitas sifatnya yang relatif, selengkapnya dikatakan bahwa “Namun kita mesti berhati-hati dalam menilai tataran hukum positif dari sudut

pandang moral (baik atau buruk, adil atau tidak adil) yang menyatakan bahwa standar penilaian itu bersifat relatif dan menggunakan suatu

56
Ibid. hlm 42
57
Hans Kelsen, “General Theory of Law and State”, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung, Nusa Media, 2011, hlm. 7
58
Ibid., hlm. 13.

29
evaluasi didasarkan pada sistem moral yang berbeda, dan bahwa sebuah tatanan hukum yang dinilai sebagai tatanan yang tidak adil

59
berdasarkan satu sistem moral, bisa saja dinilai adil berdasarkan sistem moral yang lain.

Mendukung hal itu, menurut Hans Kelsen tidak berarti bahwa kriteria validitas dari sebuah hukum itu harus mengacu kepada

moralitas atau keadilan, baik tersirat maupun tersurat. Dengan demikian, seharusnya hukum diwujudkan hanya terbatas pada bagaimana

peraturan perundang-undangan pada dasarnya hanyalah rangkaian kalimat yang tidak akan memberikan, makna tanpa adanya mekanisme

penegakkan hukum yang jelas dan pelaksanaan yang konsisten dari aparat penegak hukumnya. Dalam penelitian ini, penjelasan sebagaimana

60
dimaksud tersebut merupakan bagian dari teori legalitas.

Teori Legalitas bagi penulis juga tidak memiliki arti yang berarti jika tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang mumpuni.

Begitu pentingnya penegakkan hukum, Van Apeldoom sampai memikirkan bagaimana mempertahankan hukum guna mencapai perdamaian

diantara umat manusia. Lebih lengkapnya, dikatakan bahwa "Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi

kepentingan kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan lainnya terhadap apa yang merugikannya.

Pernyataan itu kemudian ditegaskan bahwa "hukum senantiasa hidup dan menguasai kehidupan kita, hukum mencampuri urusan manusia

sebelum ia lahir dan masih mencampurinya sesudah ia meninggal.

Selain itu, dalam penelitian ini juga akan menggunakan teori pemidanaan sebagai pisau analisis dalam membedah objek kajian

penelitian ini. Sebagaimana dikatakan W.A. Bonger, pemidanaan didefinisikan sebagai berikut Menghukum adalah mengenakan penderitaan.

Menghukum sama artinya dengan "celaan kesusilaan" yang timbul terhadap tindak pidana itu, yang juga merupakan penderitaan. Hukuman

pada hakikatnya merupakan perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat (dalam hal ini negara) dengan sadar. Hukuman tidak keluar dari satu

atau beberapa orang, tapi harus suatu kelompok, suatu kolektivitas yang berbuat dengan sadar dan menurut perhitungan akal. Jadi "unsur

61
pokok" baru hukuman, ialah 'tentangan" yang dinyatakan oleh kolektivitas dengan sadar."

Dalam pemikiran M. Sholehuddin dikemukakan bahwa hakikat filsafat pemidanaan itu ada dua fungsi. Pertama, fungsi

fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang memberikan pedoman, kriteria, atau paradigma tentang masalah

pidana dan pemidanaan. Cara ini secara formal dan intrinsik bersifat formal dan terkandung didalam setiap ajaran sistem filsafat. Maksudnya,

setiap asas yang ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan,

dikembangkan, dan diaplikasikan. Kedua, fungsi teori dalam hal ini sebagai beta-teori. Maksudnya filsafat pemidanaan berfungsi sebagai

teori yang mendasari dan melatar belakangi setiap teori-teori pemidanaan.

Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam hukum pidana, mengemukakan teori

62
pemidanaan atau penghukuman dalam hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) aliran yaitu:

a) Teori Absolut atau Teori Pembalasan

59
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, terjemahan Raisul Muttaqien, Bandung, Nusamedia, 2011, hlm.76-77.
60
H.L.A Hart, Konsep Hukum, Terjemahan M. Khozim, Bandung, Nusamedia ,2011. hlm 287.
61
W.A. Bonger, Pengantar tentang kriminologi, Terjemahan R.A. Koesnoen, Jakarta, PT. Pembangunan, tanpa tahun, hlm. 24-25.
62
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, 2000), hlm. 56.

30
Teori ini memberikan statement bahwa penjatuhan pidana semata-mata karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana.

Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Adapun yang

menjadi dasar pembenarannya dari penjatuhan pidana itu terletak pada adanya kejahatan itu sendiri, oleh karena itu pidana mempunyai fungsi

untuk menghilangkan kejahatan tersebut. Bahwa tindak pidana itu harus ditiadakan dengan melakukan pemidanaan sebagai suatu pembalasan

yang seimbang dengan beratnya perbuatan yang dilakukan Hugo de Groot dengan mengikuti pendapat dari Phytagoras, menuliskan bahwa

tidak seharusnya menjatuhkan suatu pidana karena seseorang telah melakukan kejahatan, akan tetapi untuk mencegah supaya orang jangan

63
melakukan kejahatan lagi.

b) Teori relatif atau teori tujuan,

Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak

mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari

64
penjatuhan pidana adalah sebagai berikut:

a) Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-nakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana

baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum).

b) Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang

yang baik dalam masyarakat (preventif khusus).

Sedangkan prevensi khusus, dimaksudkan bahwa pidana adalah pembaharuan yang esensi dari pidana itu sendiri. Sedangkan fungsi

perlindungan dalam teori memperbaiki dapat berupa pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu. Dengan demikian masyarakat

akan terhindar dari kejahatan yang akan terjadi. Oleh karena itu pemidanaan harus memberikan pendidikan dan bekal untuk tujuan

kemasyarakatan.

c). Teori gabungan

Selain teori absolut dan teori relatif juga ada teori ketiga yang disebut teori gabungan. Teori ini muncul sebagai reaksi dari teori sebelumnya

yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai tujuan dari pemidanaan. Teori ini berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif

antara teori absolut dengan teori relatif. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran tentang pemidanaan dari

65
berbagai sudut pandang yaitu:

1. Dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas dengan

kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas

kebenaran.

2. Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk menjatuhkan pidana dan pemidanaan merupakan suatu kewajiban

apabila telah memiliki tujuan yang dikehendaki.

3. Dasar pembenaran dari pidana terletak pada faktor tujuan yakni mempertahankan tertib hukum

63
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier Di Indonesia, (Bandung: Armico, 1988), hlm. 20.
64
Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 26.
65
Muladi, Op. Cit., hlm . 19.

31
Dengan demikian, teori gabungan ini berusaha memadukan konsep-konsep yang dianut oleh teori absolut dan teori relatif.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan yaitu disamping penjatuhan pidana itu harus membuat jera, juga harus memberikan

perlindungan serta pendidikan terhadap masyarakat dan terpidana.

2.4 Pendekatan Penelitian Dan Spesifikasi Penelitian

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang

Nomor 9 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, dan tentunya penulis dalam melakukan penulisan

tesis ini melakukan pendekatan penelitian terhadap keputusan Kep/15/X/2021 pada saat pengamanan unjuk rasa di kabupaten Tangerang

Provinsi Banten.

Dikarenakan penelitian dalam penulisan tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif, maka penulis akan mempersempit

kajian aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam tesis ini, yaitu Undang-Undang No 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Perautaran Kapolri yang terkait, dan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia.

Dalam penulisan tesis ini penulis juga melakukan wawancara kepada personil Polri Div Propam Polda Banten terkait

pengawasan terhadap keputusan sanksi untuk personil yang melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia di saat melaksanakan pengamanan

unjuk rasa di Kabupaten Tangerang.

Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normativ. Mengingat permasalahan yang diteliti dan dikaji berpegang pada aspek

yuridis yaitu mendasarkan pada norma-norma, peraturan-peraturan, perundang-undangan, dengan demikian penelitian ini berdasarkan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sesuai dengan judul dan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, dan supaya dapat memberikan hasil yang

bermanfaat maka penelitian ini dilakukan dengan penelitian yuridis normatif (metode penelitian hukum normatif) metode penelitian yuridis

66
normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder .

Penelitian ini dilakukan guna untuk mendapatkan bahan-bahan berupa teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum, serta peraturan hukum

67
yang berhubungan dengan pokok bahasan. Ruang lingkup penelitian hukum menurut Soerdjono Soekamto meliputi:

a. Sejarah hukum

b. Penelitian terhadap asas-asas hukum.

c. Penelitian terhadap sistematika hukum.

d. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum secara vertikal dan horizontal.

e. Perbandingan hukum

Dalam penelitian ini, ruang lingkup penelitian akan dilakukan penelitian dengan cara menarik asas hukum dimana dilakukan

terhadap hukum positif tertulis yaitu undang-undang Hak Asasi Manusia. Penelitian ini dapat digunakan untuk menarik asas-asas hukum

66
Soerjono Soekanto dan Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),hlm 13.
67
Ibid, hlm 14

32
dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan. Selain itu penelitian ini juga dapat digunakan untuk mencari asas hukum yang

dirumuskan. Penelitian ini dilakukan guna untuk mendapatkan pengetahuan tentang kebijakan hukum dan pelaksanaannya.

Untuk melakukan pengkajian lebih jauh tentang peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan menemukan

permasalahan hukum, penulis akan coba menyajikan sejarah tentang bagaimana hukum itu dibuat menjadi produk hukum, karena kita

mengetahui produk hukum sangat terpengaruh oleh berbagai aspek terutama politik pada saat itu.

Perjalanan sejarah hukum di Indonesia tidak terlepas dari pemerintahan orde lama, orde baru dan orde reformasi. Untuk

mempersingkat pembahasan sejarah, penulis hanya akan membahas peralihan dari orde baru ke masa reformasi yang melahirkan produk-

produk hukum yang akan kita kaji.

Satjipto Raharjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivita memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu

tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya, meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar yaitu,

1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada;

2) cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut;

3) kapan waktunya dan melalui bagaimana hukum itu perlu diubah;

4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-

cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.

M litan Ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Soedarto mengemukakan bahwa politik hukum adalah

kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan

akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Pada tahun

1986, Soedarto mengemukakan kembali bahwa politik hukum merupakan upaya untuk mewujudkan Peraturan-peraturan yang baik sesuai

68
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.

Berbagai pengertian atau definisi tersebut mempunyai substansi makna yang sama dengan definisi yang penulis kemukakan yakni

bahwa politik hukum itu merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan

negara, di sini hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Terkait dengan ini Sunaryati Hartono pernah mengemukakan tentang

“hukum sebagai alat" sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh

pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara. Dasar pemikiran dari berbagai

definisi yang seperti ini didasarkan pada kenyataan bahwa negara kita mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai tujuan

itu dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya melalui pemberlakuan atau penida keberlakuan hukum.

Orde baru yang tampil di atas keruntuhan demokrasi terpimpin pada umumnya diterima kesepakatan bahwa awal kelahiran orde

baru adalah pada saat diterimanya Supersemar dari Soekarno oleh Soeharto yang kemudian si penerima dalam waktu yang sangat cepat

membubarkan PKI. Orde Baru itu sendiri secara resmi didefinisikan sebagai "tatanan kehidupan negara dan bangsa yang diletakkan kembali

pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945. Masyarakat Orde Baru adalah masyarakat Indonesia yang bertekad melaksanakan

68
Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia Jakarta Raja Grafindo persada.2017. hlm. 2

33
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ada baiknya dikemukakan di sini cuplikan pengertian Orde Baru sebagaimana

69
dirumuskan dalam Seminar II Angkatan Darat.

a. Musuh utama Orde Baru adalah PKl/pengikut-pengikutnya yaitu Orde Lama.

b. Orde Baru adalah suatu sikap mental.

c. Tujuan Orde Baru adalah menciptakan kehidupan politik, ekonomi, dan kultural yang dijiwai oleh moral Pancasila, khususnya

sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

d. Orde Baru menghendaki pemikiran yang lebih realistis dan pragmatis, walaupun tidak meninggalkan idealisme perjuangan.

e. Orde Baru menghendaki diutamakannya kepentingan nasional, walaupun tidak meninggalkan commitment ideologi perjuangan

anti imperialisme dan kolonialisme.

f. Orde Baru menginginkan suatu tata susunan yang lebih stabil, berdasarkan lembaga-lembaga (institusional), (misalnya: MPRS,

DPR, Kabinet dan Musyawarah) dan yang kurang dipengaruhi oleh oknum-oknum yang dapat menimbulkan kultus individu;

akan tetapi Orde Baru tidak menolak pimpinan yang kuat dan pemerintahan yang kuat, malahan menghendaki ciri-ciri yang

demikian dalam masa pembangunan.

g. Orde Baru menghendaki pengutamaan konsolidasi ekonomi dan sosial dalam negeri.

h. Orde Baru menghendaki pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari cita-cita demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

i. Orde Baru menghendaki suatu tata politik dan ekonomi yang berlandaskan Pancasila, UUD 1945, dan yang mempunyai prinsip

idiil, operasional dalam ketetapan MPRS IV/ 1966.

j. Orde Baru adalah suatu tata politik dan ekonomi yang belum mempunyai kenyataan, yang ada baru suatu iklim yang cukup

menguntungkan bagi pertumbuhan Orde Baru ini.

k. Orde Baru adalah suatu proses peralihan dari orde lama ke suatu susunan baru.

l. Orde Baru masih menunggu pelaksanaan dari segala ketetapan MPRS IV/ 1966.

m. Orde Baru harus didukung oleh tokoh pimpinan yang berjiwa orde baru yang menduduki tempat-tempat yang strategis.

n. Orde Baru harus didukung oleh suatu imbangan kekuatan yang dimenangkan oleh barisan orde baru.
70

Seperti telah dikemukakan pada awal bab ini, putusnya tarik-menarik antara tiga kekuatan (pada era demokrasi terpimpin)

setelah G30S/PK1 menyebabkan Soekarno dan PKI terlempar dari pentas politik nasional. Yang muncul sebagai pemeran utama Orde Baru

adalah Angkatan Darat, Tampilnya militer di pentas politik kali ini, bukanlah untuk pertama kali, sebab sebelum itu militer memang sudah

terlibat dalam politik praktis sejalan dengan kegiatan ekonomi menyusul diluncurkannya konsep dwifungsi ABRI.

Konsep dwifungsi semula dikemukakan oleh AH. Nasution dalam sebuah rapat Polisi di Porong. la menjelaskan, bahwa militer

di samping fungsi tempurnya untuk mempertahankan eksistensi negara, juga harus berusaha untuk menciptakan atau menjaga agar kehidupan

masyarakat dapat terbina dengan baik. Jadi menurut Nasution, ABRI, di samping mempunyai fungsi konvensional (berperang) juga memiliki

fungsi Iain, yakni pembinaan wilayah/masyarakat, baik dalam rangka ketahanan/pertahanan nasional maupun dalam rangka pembangunan

69
Idem hlm.199

34
nasional pada umumnya. Fungsi ini penting karena kita memerlukan pemerintah yang ``baik dan mendapat dukungan rakyat. Ada landasan

konstitusional mengenai masuknya militer ke dalam politik, yakni UUD 1945 yang menyebut-nyebut adanya golongan dalam anggota

lembaga permusyawaratan rakyat, Semua golongan dalam masyarakat berhak turut serta melaksanakan asas kedaulatan rakyat dan untuk itu

militer pun dapat menjadi kekuatan sosial dan politik. Dikatakannya Badan Pekerja MPRS sependapat, berdasarkan UUD 1945 sistem

ketatanegaraan Indonesia menganut pembagian kekuasaan yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan sesuai dengan falsafah Pancasila yang

daripadanya dapat dibina kerja sama dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Orde Baru dengan segala kelebihan dan kekurangannya bertahan dan berkuasa selama 32 tahun, dengan dwifungsi ABRI nya

Orde baru dapat bertahan. ABRI pada saat itu terdiri dari AD, AL, AU dan Kepolisian. Kepolisian pada masa orde baru masih mencerminkan

sosok militer dan segala aturan yang mengikat masih aturan militer, sehingga sosok Polisi sebagai pelayan pengayom dan pelindung

Masyarakat pada masa itu sangat sulit dirasakan masyarakat, terlebih dalam penanganan aksi demonstrasi massa, polisi dengan budaya militer

lebih kearah melarang dengan mengandalkan kekuatan dan kekerasan.

Tahun 1998 era Orde Baru digantikan dengan era Reformasi yang mengedepankan demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi

manusia, yang menonjol pada perubahan masa itu adalah komitmen negara dan masyarakat untuk menjunjung tinggi kebebasan dengan di

sahkan nya Undang-Undang No 9 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dan di awal era Reformasi

pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan diikuti dengan pemisahan Polri dari

ABRI dengan Di sahkannya Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Serangkaian produk-produk hukum yang berkaitan dengan hak asasi manusia di buat pada awal masa Reformasi adalah sebagai

komitmen negara dan seluruh warga negara untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia yang selama orde baru dirasakan kurang bahkan

dilarang. Sehingga pada Produk Hukum era Reformasi kita akan menjumpai segala sesuatu aturan akan dihadapkan dengan kewajibannya

untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Adapun asas-asas dasar pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia yaitu terdapat pada Bab II Asas-asas dasar;

Pasal 2

“Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai yang secara

kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat

kemanusiaan, kesejahteraan, dan kecerdasan serta keadilan.”

Pasal 3

(1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati

Nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.

(2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum

dan perlakuan yang sama didepan hukum.

(3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.

70
Idem. hlm 200

35
Pasal 4

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Pasal 5

(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama

sesuai dengan martabat kemanusiaannya didepan umum.

(2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.

(3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih

berkenaan dengan kekhususannya.

Pasal 6

(1) Dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan

dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.

(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman.

Pasal 7

(1) Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak

asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima

negara Republik Indonesia.

(2) Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi

hukum nasional.

Pasal 8

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Sedangkan Asas- asas dasar yang berkaitan dengan penyelenggaraan tugas dan wewenang Kepolisian yaitu terdiri dari;

A. Asas Legalitas,

Asas Legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara

tepat dan jelas, asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang aparat hukum, menjamin keamanan individu dengan informasi

yang boleh dan dilarang. Asas legalitas mengandung makna yang luas. Asas ini selalu dijunjung tinggi oleh setiap negara yang menyebut

dirinya sebagai negara hukum. Legalitas adalah asas pokok dalam negara hukum, selain asas perlindungan kebebasan dan hak asasi

manusia.

B. Asas Kewajiban,

Asas Kewajiban yang di maksud dalam penyelenggaraan tugas wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah

sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah

36
1) Memelihara Keamanan dan ketertiban masyarakat,

2) menegakan hukum, dan

3) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.


71

C. Asas Partisipasi,

Asas Partisipasi ini memberikan pengertian bahwa perwujudan dari tercapainya Tindakan maupun tugas-tugas Kepolisian di

masyarakat akan terasa manfaatnya apabila masyarakat sama-sama mendukung dan berpartisipasi serta dapat bersifat kooperatif dalam

rangka pencapaian tujuan bersama yaitu terciptanya keamanan dan ketertiban.

D. Asas Preventif

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian menyikapi bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam

sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia

sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.

Soal tugas pokok Kepolisian sesuai UU No 2 Tahun 2002 yang dibagi menjadi tiga, yakhni Promotif, Preventif, dan Represif.

Pre-emtif ini untuk menghadapi faktor-faktor yang berpotensi untuk munculnya tindakan hukum (dengan himbauan atau pendekatan). Tugas

pre-emtif diemban oleh Sat Binmas dengan program penyuluhan, salah satu kebijakannya adalah "Satu Desa, Satu Polisi" Lebih lanjut, Yang

dimaksud dengan upaya pre-emtif disini adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak

pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam menanggulangi kejahatan secara preemtif menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang baik

sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran/kejahatan tapi

tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha preemtif faktor niat menjadi hilang

meskipun ada kesempatan. Cara pencegahan ini berasal dari teori NKK, yaitu: Niat dan Kesempatan terjadinya kejahatan. Contohnya,

ditengah malam pada saat lampu merah lalu lintas menyala maka pengemudi itu akan berhenti dan mematuhi aturan lalu lintas tersebut

meskipun pada waktu itu tidak ada polisi yang berjaga. Hal ini selalu terjadi dibanyak Negara seperti Singapura, Sydney, dan kota besar

lainnya di dunia. Jadi dalam upaya pre-emtif faktor "NIAT" tidak terjadi.

E. Asas Subsidiaritas.

Asas Subsidiaritas yang memberikan peluang kepada Polri untuk mengambil Prakarsa dan Tindakan pertama dalam hal

penanggung jawab keamanan dan ketertiban, namun untuk mencapai suatu tujuan diperlukan Tindakan lunak guna mengatasi keadaan.

Menurut asas ini segala Tindakan kepolisian yang dilakukan anggota kepolisian haruslah bersifat fungsional artinya dalam melaksanakan

tugas dan wewenang harus sesuai dengan fungsi nya.

Perundang-undangan yang di sahkan pada masa Reformasi sangat menggambarkan suasana pada saat itu masyarakat

Indonesia yang sangat menginginkan kebebasan karena sebagai hak asasi manusia. Namun produk hukum pada masa itu tidak menyalahi

sistem hukum dimana kaedah-kaedah hukum yang merupakan satu kesatuan yang teratur, dan terdiri dari sejumlah sub sistem (hukum tata

Negara, hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang, dan hukum ekonomi), yang saling berkaitan dan

71
Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

37
saling pengaruh mempengaruhi, karena pada masa itu produkn hukum harus selalu dikaitkan dengan landasan grondnorm yaitu

Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan azas-azas hukum umum yang merupakn penjabaran dari pada grondnorm tersebut.

2.5. Metode Pengumpulan Data Dan Metode Analisis Data

72
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat pengumpulan data yaitu studi kepustakaan atau studi dokumen (documentary study)

untuk mengumpulkan data primer, skunder, tersier yang terkait dengan permasalahan yang diajukan dengan cara mempelajari buku-buku,

jurnal hukum, hasil-hasil penelitian dan dokumen-dokumen peraturan perundang -undangan seperti ;

1. Bahan hukum primer

a). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

b). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

c). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,

d). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,

e). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

f). Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat Dimuka Umum.

g).Kep/15/X/2021 Keputusan sanksi Untuk Personil Polri yang melakukan pelanggaran Hak asasi manusia dalam pengamanan unjuk rasa di

Kabupaten Tangerang.

h). Perkap No 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan

i). Perkap No 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Standar dan Prinsip HAM Dalam Pelaksanaan tugas Polri

j). Perkap Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian

Pendapat di Muka Umum

2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder diambil dari literatur, buku-buku dan makalah-makalah yang menyangkut masalah judul yang disajikan

oleh penulis.

3. Bahan hukum tersier

Bahan hukum yang memberikan petunjuk atas bahan primer sekunder seperti kamus dan sebagainya. Metode analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif yaitu analisis yang sifatnya non statistik atau non matematis. Data yang sudah

diperoleh akan dianalisis isinya dengan menggunakan asas-asas hukum, teori-teori hukum, pendapat para ahli dan peraturan perundang-

undangan yang ada, mengenai hak asasi manusia,

Data yang penulis dapatkan untuk melengkapi penulisan tesis ini adalah Surat pelimpahan Bidpropam Polda Banten Nomor :

R/278/ IV/ Huk .12 10 /2021/ Bid Propam 19 Oktober 2021 dalam pemeriksaan Brigadir NP Polres Kota Tangerang dengan tuntutan pasal 3

huruf (f) , pasal 4 huruf (a) Pasal 5 huruf (a) PPRI No 2 Tahun 2003 Video viral Polisi Membanting Mahasiswa Pada Saat Pengamanan Unjuk

72
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) ,hlm27

38
Rasa, dengan menghasilkan keputusan Kep/ 15/X/ 2021 21 Oktober 2021 berupa Teguran tertulis, Petsus 21 hari, tunda gaji berkala, tunda

dik 6 bulan, mutasi demosi.

BAB III

PENEGAKAN HUKUM BAGI PERSONIL POLRI YANG MELAKUKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM

PENGAMANAN AKSI UNJUK RASA DI KABUPATEN TANGERANG PROVINSI BANTEN DITINJAU DARI UNDANG-

UNDANG NO 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA

3.1. Penegakan Hukum Bagi Personil Polri (Studi Kasus Kep/15/X/2021/ 21 Oktober 2021 Unjuk Rasa di Kabupaten Tangerang)

Seperti telah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa sangat banyak peraturan-peraturan yang mengikat institusi Kepolisian Negara

Republik Indonesia, berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Kapolri, semata-mata hanya untuk tercapainya tujuan

hukum yaitu penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law) yang selalu menjunjung tinggi hak asasi

manusia.

Dalam penulisan tesis ini, penulis menggambarkan bahan kajian yang menjadi permasalahan, dengan suatu contoh kejadian

penanganan unjuk rasa di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten pada Bulan Oktober Tahun 2021, yang mengakibatkan adanya tindakan

represif dilakukan seorang anggota polisi terhadap mahasiswa saat menggelar unjuk rasa di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten Rabu

(13/10/2021). Bentuk tindakan represif itu terekam dalam sebuah video yang kemudian viral di media sosial.

Aksi unjuk rasa tersebut dilakukan aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Kabupaten Tangerang saat memperingati hari ulang tahun

(HUT) ke-389 Kabupaten Tangerang. Para mahasiswa menuntut tiga hal kepada Bupati Tangerang Zaki Iskandar, yaitu

1. Soal limbah perusahaan yang belum juga teratasi di Kabupaten Tangerang,

39
2. Melencengnya tugas pokok dan fungsi dari relawan Covid-19,

3. Serta persoalan infrastruktur di wilayah itu.

Di tengah aksi unjuk rasa itulah seorang mahasiswa dari Universitas Islam Nasional Maulana Hasanudin yaitu FA, dibanting

73
seorang Brigadir polisi berinisial NP dari Polres Kota Tangerang. Rekaman video menunjukkan FA dipiting lehernya, lalu digiring NP.

Setelah itu, NP membanting korban ke trotoar hingga terdengar suara benturan yang cukup keras. Seorang polisi yang mengenakan baju

coklat menendang korban. Setelah dibanting dan ditendang, FA mengalami kejang-kejang. Sejumlah aparat kepolisian kemudian berusaha

membantu korban. Setelah video tentang mahasiswa dibanting viral dan mendapat sorotan publik, polisi kemudian meminta maaf atas

kejadian itu. "Polda Banten meminta maaf. Kapolres Kota Tangerang Kombes Wahyu Sri Bintoro juga meminta maaf kepada Saudara korban

FA usia 21 tahun yang mengalami tindakan kekerasan,". Brigadir NP juga meminta maaf atas perlakuannya terhadap FA. dia siap

bertanggung jawab atas perbuatannya. Polisi itu juga meminta maaf kepada keluarga korban. FA menerima permintaan maaf NP. Namun, FA

menegaskan, dia tak akan melupakan kejadian tersebut.

Dari kejadian tersebut banyak desakan kepada Polri untuk menindak anggotanya yang mencekik dan membanting mahasiswa

saat unjuk rasa peringatan hari ulang tahun Kabupaten Tangerang ke-389. Kepolisian diminta untuk membuktikan tagarnya, tentang Polri

Tegas Humanis. Dalam kasus ini LBH Jakarta menyatakan tidak cukup hanya dengan permintaan maaf, anggota polisi yang menjadi pelaku

pembantingan harus ditindak secara etik dan pidana. Para aktivis hak asasi manusia menyebut langkah polisi yang membanting seorang

mahasiswa merupakan tindakan brutal dan membahayakan keselamatan warga yang sedang menyampaikan pendapatnya secara damai. Ini

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu diantaranya, Undang-Undang Nomor 39 tahun, Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang

Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Perkap Nomor 8

Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip HAM POLRI, Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam

Tindakan Kepolisian, 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Jaminan Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Pasal 28 Undang-Undang

Dasar 1945,”

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara

Penyampaian Pendapat di Muka Umum, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip HAM POLRI, serta Peraturan Kapolri

Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, memiliki semangat untuk menjunjung tinggi hak asasi

manusia dalam hal tugas kewenangan Kepolisian Negara RepubliK Indonesia.

Brigadir NP adalah personil Polri yang berdinas di satuan Sabhara Polres Kota Tangerang, tempat kejadian peristiwa pelanggaran

Hak Asasi Manusia tersebut adalah di Wilayah Hukum Polres Tangerang Kabupaten, karena pada saat itu Personil Polres Kota Tangerang

diperbantukan dalam pengamanan unjuk rasa yang dilakukan oleh BEM se- Kabupaten Tangerang. Atas dasar laporan korban FA, Brigadir

73
https://nasional.kompas.com/read/2021/10/14/14521511/polisi-banting-demonstran-di-tangerang-ylbhi-tetap-harus-diproses-hukum?page=all

40
NF menjalani serangkaian pemeriksaan oleh Provos Polres Kota, Propam Polda sehingga dalam waktu sangat singkat kurang lebih 6 hari,

Propam Polda Banten telah selesai melimpahkan Surat ke Atasan langsung NP yaitu Kapolda Banten.

Oknum Polisi Brigadir NP yang membanting mahasiswa di Banten menerima sanksi terberat. Sanksi itu diberikan dalam sidang

disiplin di Bidpropam Polda Banten yang disupervisi Divisi Propam Mabes Polri. Kabid Humas Polda Banten, AKBP Shinto Silitonga

mengatakan, sesuai dengan perintah Kapolda Banten terhadap kasus tersebut dilakukan akselerasi atau percepatan untuk penegakan hukum

terhadap NP. Dimana dalam kasus itu NP dipersangkakan dengan pasal berlapis sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun

2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.

Dikarenakan dalam kasus tersebut NP dituntut dengan peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2002 tentang Peraturan Disiplin

Anggota Polri, sehingga untuk penegakan hukumnya dilakukan oleh Propam dan atasan langsung dari brigadier NP, ini sesuai dengan Pasal

15 Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2003 yaitu Provos adalah satuan fungsi pada Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas

membantu pimpinan untuk membina dan menegakkan disiplin serta memelihara tata tertib kehidupan anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia dan Pasal 13 Atasan yang berhak menghukum, selanjutnya disingkat Ankum, adalah atasan yang karena jabatannya diberi

kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada bawahan yang dipimpinnya.

Dalam persidangan disampaikan hal-hal yang memberatkan Brigadir NP yakni perbuatan  eksesif, di luar prosedur,

menimbulkan korban, dan dapat menjatuhkan nama baik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Fakta hukum dalam kejadian tersebut adalah

Surat pelimpahan Bidpropam Polda Banten Nomor: R/278/ IV/ Huk.12 10 /2021/ Bidpropam 19 Oktober 2021 dalam pemeriksaan Brigadir

NP Polres Kota Tangerang dengan tuntutan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin

Kepolisian Negara Republik Indonesia;

1. Pasal 3 huruf (f) dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib

menjunjung tinggi hak asasi manusia.

2. Pasal 4 huruf (a) Dalam Pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat

3. Pasal 5 huruf (a) Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

dilarang melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah atau kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Dalam putusan Kep/15/X/2021 Polda Banten, Brigadir NP mendapat sanksi yakni;

1. Dilakukan penahanan di tempat khusus selama 21 hari.

2. Mutasi yang bersifat demosi atau dipindah ke tempat lebih rendah yakni menjadi Bintara Polresta Tangerang tanpa jabatan.

3. Memberikan teguran tertulis yang secara administrasi akan mengakibatkan Brigadir NP tertunda dalam kenaikan pangkat dan

terkendala untuk mengikuti pendidikan lanjutan,

Untuk Institusi Kepolisian sendiri, keputusan Kepolisian yang memberikan sanksi kepada anggota kepolisian NP yang

melakukan pembantaian mahasiswa di saat unjuk rasa di Kabupaten Tangerang dengan tuntutan hukum disiplin yang termuat dalam Peraturan

41
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 mungkin sudah dianggap adil dan selesai, karena apa yang dilakukan personil Polri tersebut telah

dipertanggungjawabkan secara hukum yaitu dengan dihadapkan dengan sidang disiplin Polri. Namun lain halnya dengan pandangan para

pakar hukum, para penggiat sosial dan penggiat hak asasi manusia, yang memandang bahwa hukuman disiplin anggota kepolisian tersebut

tidak sejalan dengan tujuan dan cita-cita negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Oleh sebab itu dalam penulisan tesis ini penulis akan mencoba menjelaskan membahas dan coba menganalisa satu persatu dari

hasil penelitian tentang penegakan hukum terhadap personil Polri yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia ditinjau dari Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

3.2 Tinjauan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Studi Kasus Kep/15/X/2021/21 Oktober 2021

Unjuk Rasa di Kabupaten Tangerang)

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan

Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan

74
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pertimbangan Pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang hak asasi manusia yaitu manusia sebagai makhluk ciptaan

Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh ggung jawab

untuk kesejahtraan umat manusia, oleh penciptaNya dianugrahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya

serta keharmonisan lingkungannya. Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal

dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat

secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam penelitian tesis ini, penulis memfokuskan penelitian terhadap substansi pasal-pasal yang terkandung dalam Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berkaitan dengan pokok permasalahan yaitu diantaranya,

Bab 1 Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,

Pasal 1 ayat 6 menyatakan

“Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak

disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang

ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme

hukum yang berlaku”

74
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

42
Dalam Bab II Asas-asas dasar Hak asasi Manusia;

Pasal 2

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati

melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan,

kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Pasal 3

1. Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni untuk

hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.

2. 2.

3. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan

perlakuan yang sama di depan hukum.

4. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.

Pasal 4

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak

untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak

asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun

Pasal 5

1. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai

dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.

2. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.

3. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan

dengan kekhususannya.

Pasal 6

1. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan

dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.

2. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Pasal 7:

1. Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi

manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara

Republik Indonesia.

2. Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia Yang menyangkut hak asasi manusia terutama menjadi

tanggung jawab Pemerintah.

43
Pasal 8:

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Selain asas-asas Hak asasi Manusia, yang menjadi fokus penelitian dalam tinjauan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

dalam Kasus Study Kep/ 15/X/2021/ 21 Oktober 2021 Unjuk Rasa di Kabupaten Tangerang adalah Pengadilan Hak Asasi Manusia yang

terdapat pada Bab IX Pasal 104;

1. Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Pengadilan

Umum.

2. Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.

3. Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi

manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 ayat 6 Menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi

manusia dapat dilakukan oleh siapapun termasuk aparat negara, yang termasuk di dalamnya Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal ini

mengisyaratkan bahwa aparat penegak hukum seperti Polisi dikarenakan tugas dan wewenangnya nya akan sangat rentan atau sangat

berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia sehingga peraturan ini sudah menjadi upaya atau formula hukum agar Kepolisian

Negara Republik Indonesia bekerja secara profesional dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Pasal 3 bab II asas-asas dasar hak asasi manusia menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan

dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum” . Pasal ini menegaskan

persamaan hak setiap manusia di mata hukum equality before the law. Penulis berpendapat bahwa dalam pasal ini dalam penegakan hukum

pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Tangerang Provinsi Banten, mengandung maksud bahwa hak-hak yang harus dijamin adalah

bukan hanya hak korban dari pelanggaran hak asasi manusia itu sendiri, melainkan termasuk oknum personil Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Begitupun pada pasal 5 bab II asas-asas dasar hak asasi manusia mengandung maksud bahwa setiap orang mempunyai hak untuk

menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. Ini berlaku

pada siapapun termasuk korban dan pelaku khsususnya dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia. Dan pada kasus pelanggaran hak asasi

manusia penulis dapat melihat pada pasal 5 ayat 2 lebih menitik beratkan kepada proses penegakan hukum yang adil bagi korban ataupun

pelaku itu sendiri.

Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Polres Tangerang Provinsi Banten yang dilakukan oleh NP, sudah ditangani oleh

Propam Polda Banten dan atasan langsung oknum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia karena pelanggaran hukum yang dilakukan

di proses dengan sidang disiplin sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

44
45
BAB IV

ANALISIS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP PERSONIL POLRI DALAM PENANGANAN AKSI UNJUK

RASA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

4.1. Penggunaan Kekuatan Kepolisian Dalam Tindakan Kepolisian Menurut Perkap Nomor 1 tahun 2009 Tentang

Penggunaan Kekuatan

` SOP (Standard Operating Procedure) adalah aspek dari setiap sistem kualitas yang akan menghadirkan kemampuan untuk

bekerja secara selaras dan sesuai standar yang ada. SOP yang dibuat dengan benar akan memastikan tim beroperasi dalam proses yang formal

dan terkoordinasi, ini bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas tetapi juga mengurangi resiko kesalahan. Begitupun dengan SOP

penanganan unjuk rasa dibuat dengan secara seksama agar dalam penanganan tidak menimbulkan masalah baru terutama yang bertentangan

dengan Hak Asasi Manusia.

Secara konseptual, paradigma penegakan hukum berguna untuk meminimalisasi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan

oleh pihak Kepolisian. Meski secara normatif SOP Kepolisian mewajibkan penghormatan prinsip hak asasi manusia, tampaknya pelanggaran

sulit dihindari sepenuhnya. Serangkaian Peraturan Kepolisian dalam menyikapi kebebasan mengeluarkan pendapat diantaranya Peraturan

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan, Perkap Nomor 7 Tahun 2012 Tentang

Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum dan Perkap No 8 Tahun

2009 Tentang Implementasi Prinsip Hak Asasi Manusia Polri.

Polisi sebagai aparat yang utamanya bertanggung jawab di bidang keamanan dan ketertiban dalam pelaksanaan tugasnya akan

selalu dihadapkan pada situasi dan kondisi yang berubah-ubah sejalan dengan dinamika masyarakat itu sendiri. Sebagai aparat negara

pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, maka Polisi harus selalu bisa memberikan yang terbaik kepada masyarakat. Berbagai macam

program dan petunjuk teknis (Juknis) pun telah dikeluarkan oleh Polri dengan tujuan untuk membentuk sosok Polri yang humanis, berwibawa

dan profesional. Untuk itu dalam penanganan unjuk rasa, Polri sudah menggunakan istilah baru, bukan lagi dinamakan penanganan unjuk rasa

tetapi menjadi “pelayanan unjuk rasa”.

Polri sangat menyadari akan posisinya di masyarakat, dibenci sekaligus dirindu. Oleh karena itu, tolak ukur keberhasilan Polri

sebenarnya sangat mudah, yaitu kepuasan masyarakat. Polri harus mampu memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat walaupun

tidak mungkin bisa memuaskan semua pihak namun kami akan berusaha memberikan yang terbaik. Untuk itu, semua kembali kepada

masyarakat untuk memberikan penilaian kepada Polri, apakah tekad dan niat untuk berubah sudah menjadi kenyataan atau masih sebatas

jargon saja.

Ketika terjadi bentrokan antara massa dan petugas POLRI dalam berbagai kejadian unjuk rasa ataupun peristiwa “chaos” lainnya,

seringkali menimbulkan banyak korban baik dari pihak massa, masyarakat atau bahkan petugas itu sendiri. Namun bila kita melihat

pemberitaan di media televisi atau surat kabar, yang sering jadi topik hangat adalah ketika anggota Polri tengah melakukan tindakan

46
kekerasan. Sebaliknya, ketika petugas yang menjadi korban, sering kali luput dari perhatian dan malahan sering terabaikan, apabila Polisi

yang menjadi korban, lantas kurang mempunyai nilai pemberitaan yang tinggi.

Bagi korban di pihak massa sudah pasti berlaku Hak Asasi Manusia, namun bagaimana dengan Polisinya, apakah ia tidak

mempunyai Hak Asasi Manusia juga atau karena pada saat menjalankan tugas, hakikatnya ia bertindak atas nama hukum. Terlepas dari itu

semua, terhadap anggota yang melakukan pelanggaran, pasti ditindak tegas. Pimpinan Polri juga sangat menyadari bahwa dalam rangka

meningkatkan moril serta semangat tugas bagi personilnya perlu juga diberikan suatu aturan untuk melindungi petugas ketika ia tengah

melaksanakan pekerjaannya.

Dalam rangka menegakkan hukum dan menciptakan keamanan dan ketertiban, maka Polri kadang kala harus menggunakan suatu

tindakan yang dinamakan Tindakan Kepolisian. Agar tindakan ini terukur, mempunyai standar dan dapat dipertanggungjawabkan, maka

selanjutnya Polri mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

Peraturan Kapolri ini selanjutnya kita singkat dengan Perkap Nomor 1 tahun 2009, sudah diundangkan dalam Lembaran Negara

dan disahkan oleh Menkumham dan dapat diakses oleh siapa saja sehingga dengan keterbukaan ini diharapkan penggunaan kekuatan dalam

tindakan kepolisian ini dapat diketahui secara umum sehingga membantu Polri dalam mengawasi pelaksanaan tugas anggotanya serta ke

dalam Polri juga akan berhati-hati dalam bertindak menggunakan kekuatannya. Kesalahan prosedur akan berarti hukuman, dan juga

sebaliknya, apabila tindakan kekerasan terjadi namun dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan Perkap ini, maka personil tersebut

akan mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum.

Perkap ini terdiri dari 7 Bab dan 17 pasal dan ditandatangani oleh Kapolri pada tanggal 13 Januari 2009. Adapun tujuan Perkap

ini dibuat adalah untuk memberikan pedoman bagi anggota Polri dalam pelaksanaan tindakan kepolisian yang memerlukan penggunaan

kekuatan sehingga terhindar dari tindakan yang berlebihan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Beberapa hal yang perlu kita ketahui dalam Perkap ini adalah:

Enam Prinsip Penggunaan Kekuatan, yaitu:

1. Legalitas (harus sesuai hukum)

2. Necessitas (penggunaan kekuatan memang perlu diambil)

3. Proporsionalitas (dilaksanakan seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tindakan POLRI)

4. Kewajiban Umum (Petugas bertindak dengan penilaiannya sendiri berdasarkan situasi & kondisi yang bertujuan menciptakan

kamtibmas)

5. Preventif  (mengutamakan pencegahan)

6. Masuk akal (tindakan diambil dengan alasan yang logis berdasarkan ancaman yang dihadapi)

Enam Tahapan Penggunaan Kekuatan:

1. Kekuatan yang memiliki dampak deteren (berupa kehadiran aparat POLRI atau kendaran dengan atribut POLRI atau lencana)

2. Perintah lisan (ada komunikasi atau perintah, contoh: ”POLISI, jangan bergerak!”)

3. Kendali tangan kosong lunak (dengan gerakan membimbing atau kuncian tangan yang kecil timbulkan cedera fisik)

47
4. Kendali tangan kosong keras (ada kemungkinan timbulkan cedera, contoh dengan bantingan atau tendangan yang melumpuhkan)

5. Kendali senjata tumpul (Sesuai dengan perlawanan tersangka, berpotensi luka ringan, contoh dengan menggunakan gas air mata dan

tongkat polisi)

6. Kendali dengan menggunakan senjata api (tindakan terakhir dengan pertimbangan membahayakan korban, masayarakat dan petugas)

Enam tingkat perlawanan tersangka atau massa:

1. Perlawanan tingkat 1 (contoh diam ditempat dengan duduk ditengah jalan)

2. Perlawanan tingkat 2 (berupa ketidak patuhan lisan dengan tidak mengindahkan himbauan polisi)

3. Perlawanan tingkat 3 (perlawanan pasif dengan tidur di jalan dan diam saja walau duperintahkan bergeser hingga harus diangkat

petugas)

4. Perlawanan tingkat 4 (bertindak defensif dengan menarik, mengelak atau mendorong)

5. Perlawanan tingkat 5 (bertindak agresif dengan memukul atau menyerang korban, petugas atau masyarakat lain)

6. Perlawanan tingkat 6 (bertindak dengan ancaman yang dapat sebabkan luka parah atau kematian bagi korban, petugas dan masyarakat)

Dengan mengacu pada prinsip dan level-level tindakan dan perlawanan di atas, maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa Polri

dalam melaksanakan tugasnya berupa penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian harus mempedomani 6 prinsip tadi, menggunakan

kekuatan sesuai dengan level ancaman yang dihadapi. Dan apabila tindakan yang lebih lunak sudah tidak efektif lagi, maka penggunaan

senjata api merupakan opsi terakhir karena dalam kondisi demikian keselamatan korban, petugas dan masyarakat lain sudah terancam.

4.2. Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum
Perkap Nomor 7 Tahun 2012

Dalam Pengamanan Aksi Unjuk rasa yang merupakan satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum, Kepolisian Negara

Republik Indonesia membuat aturan sebagai formula hukum yang mengatur tata cara penyelenggaraan pengamanan guna meminimalisir

kesalahan dan pelanggaran anggota di lapangan dalam pengamanan aksi unjuk rasa yaitu dengan mengeluarkan Perkap Nomor 7 Tahun 2012

Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

Pertimbangan diberlakukannya perkap Nomor 7 tahun 2012 yaitu,

a. Bahwa setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum dengan lisan atau tulisan secara bebas dan bertanggung

jawab sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan sebagai mana di maksud dalam pasal 28 e Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945,

b. Bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia dalam tertib kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 e UUD 1945,

c. Bahwa ketentuan tentang penyampaian pendapat di muka umum yang sudah ada belum memberikan Batasan-batasan yang belum

jelas, sehingga menimbulkan multitafsir bagi para penyelenggara kegiatan penyampaian pendapat di muka umum dan petugas yang

melaksanakan pengamanan di lapangan,

48
d. Bahwa dalam upaya memberikan pelayanan terhadap kegiatan penyampaian pendapat di muka umum yang mencakup perlindungan

hak dan kewajiban warga negara secara berimbang serta petunjuk pelaksanaan yang jelas bagi aparat sebagai jaminan perlindungan

hukum dan kepastian hukum dalam pengamanan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum,

Dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara

Penyampaian Pendapat di Muka Umum, sangat jelas memasukan beberapa bab yaitu Ketentuan umum, penyampaian pendapat di muka

umum, penyelenggaraan pelayanan, penyelenggaraan pengamanan, penanganan perkara, pembinaan.

Pasal 3 Perkap Nomor 7 tahun 2012, menjelaskan bahwa prinsip dalam peraturan Kapolri ini adalah

a) Legalitas, yaitu pelayanan atas pemberitahuan penyampaian pendapat di muka umum diberikan berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan

b) Perlindungan HAM, yaitu pengamanan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan dengan menjunjung tinggi

HAM;

c) Kepastian hukum, yaitu pelayanan dan pengamanan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum guna menjamin kelancaran dan

ketertiban kegiatan serta terwujudnya kepastian hukum;

d) Keadilan, kegiatan/penindakan dilakukan secara objektif, tidak membeda bedakan dan tidak memihak kepentingan salah satu pihak;

e) Kepentingan umum, pelayanan diberikan dengan mengutamakan kepentingan umum;

f) Keterpaduan, yaitu pelayanan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum dilakukan melalui kerja sama, koordinasi, dan

sinergitas antara unsur-unsur yang dilibatkan dalam setiap kegiatan;

g) Akuntabilitas, yaitu pemberian pelayanan penerbitan STTP dan pengamanan dapat dipertanggungjawabkan;

h) Transparan, yaitu pemberian pelayanan penerbitan STTP dan pengamanan dilakukan dengan memperhatikan asas keterbukaan dan

bersifat informatif bagi pihak yang berkepentingan;

i) Proporsional, yaitu pelayanan pengamanan penyampaian pendapat di muka umum diberikan dengan memperhatikan keseimbangan

antara jumlah peserta, bobot ancaman dengan petugas pengamanan;

j) Keseimbangan, yaitu kegiatan/penindakan diterapkan dengan memperhatikan keseimbangan antara penerapan perlindungan terhadap

hak dan pelaksanaan kewajiban warga negara maupun petugas;

Musyawarah dan mufakat, yaitu penerbitan pemberitahuan dilaksanakan dengan memperhatikan kesepakatan antara pihak-pihak yang

terkait Dan pada BAB II Pasal 4 dijelaskan bahwa. Bentuk kegiatan penyampaian pendapat dimuka umum meliputi:

a) Unjuk Rasa Atau Demonstrasi;

b) Pawai;

c) Rapat Umum;

d) Mimbar Bebas;

e) Penyampaian Ekspresi Secara Lisan, Aksi Diam, Aksi Teatrikal, Dan Isyarat;

f) Penyampaian Pendapat Dengan Alat Peraga, Gambar, Pamflet, Poster, Brosur, Selebaran, Petisi, Spanduk; Dan

49
g) Kegiatan Lain Yang Intinya Bertujuan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Pasal 5

(1) Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk:

Berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dan pendapat dengan lisan atau tulisan;

a. Mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum;

b. Mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan tulisan melalui media cetak

maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa;

c. Mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada Pemerintah yang bersih, efektif, dan efisien, baik

dengan lisan maupun tulisan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

d. Mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan secara bertanggung jawab.

Dalam Perkap ini dijelaskan juga terkait penyelenggaraan pelayanan dan pengamanan yang harus dilakukan oleh Kepolisian Negara

Republik Indonesia, hal ini menunjukan keseriusan Polri dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia, pada bab iv penyelenggaraan

pengamanan

Pasal 18

Penyelenggaraan pengamanan dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, bertujuan untuk:

a. memberikan perlindungan keamanan terhadap peserta penyampaian pendapat di muka umum;

b. menjaga kebebasan penyampaian pendapat dari intervensi pihak lain; dan

c. menjaga keamanan dan ketertiban umum.

Pasal 19

(1) Pengamanan dalam rangka perlindungan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, dilakukan melalui kegiatan sebagai

berikut:

a. melakukan survei lokasi kegiatan;

b. menyiapkan perencanaan kegiatan pengamanan meliputi personel, peralatan dan metode/pola operasi;

c. melakukan koordinasi dengan lingkungan sekitar dan penanggung jawab kegiatan; memberikan arahan kepada penyelenggara agar

menyiapkan pengamanan di lingkungannya; dan

d. memberikan fasilitas pengamanan berupa peralatan ataupun pengaturan demi kelancaran kegiatan penyampaian pendapat di muka

umum.

(2) Pengamanan dalam rangka menjaga kebebasan penyampaian pendapat dari intervensi pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18

huruf b, dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut:

a. mencegah terjadinya gangguan terhadap pelaksanaan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum oleh pihak lain;

b. mencegah terjadinya bentrokan massa; dan c. mencegah pihak lain melakukan kegiatan yang mengganggu pelaksanaan kegiatan

penyampaian pendapat di muka umum.

50
(3) Pengamanan dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c, dilakukan melalui

kegiatan sebagai berikut:

a. melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli;

b. mencegah peserta melakukan tindakan yang melanggar hukum;

c. melakukan penindakan terhadap kejadian yang mengganggu kamtibmas secara proporsional;

d. melakukan koordinasi dengan unsur-unsur aparat lainnya dalam rangka menjamin keamanan dan ketertiban umum; dan

e. melakukan tindakan lain demi tertibnya kegiatan penyampaian pendapat di muka umum.

Pasal 20 (1) Terhadap penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan dengan cara melanggar peraturan perundang-undangan, dapat

dilakukan tindakan sebagai berikut:

a. melakukan upaya persuasif, agar kegiatan dilaksanakan dengan tertib dan sesuai aturan hukum;

b. memberikan peringatan kepada massa peserta penyampaian pendapat di muka umum untuk tetap menjaga keamanan dan ketertiban;

c. memberikan peringatan kepada penanggung jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum bahwa tindakannya, dapat

dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. menghentikan dan membubarkan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum yang melanggar ketentuan peraturan perundang

undangan;

e. membubarkan massa peserta penyampaian pendapat di muka umum;

f. melakukan tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran dan perbuatan anarkis; melakukan penggeledahan dan penyitaan barang

bukti; dan melakukan tindakan kepolisian lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 28 Dalam melakukan tindakan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, antara lain:

a. tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan tindakan

kekerasan, dan menghujat;

b. keluar dari ikatan satuan atau formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;

c. tidak patuh dan taat kepada perintah penanggung jawab pengamanan di lapangan sesuai tingkatannya;

d. tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;

e. tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM; dan

f. melakukan perbuatan lain yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan

Dan pada Perkap ini mengamanatkan juga tentang usaha pembinaan seperti yang tercantum dalam,

BAB VI PEMBINAAN

Pasal 31 Dalam mendukung pelaksanaan tugas penyelenggaraan pelayanan, pengamanan, dan penanganan perkara penyampaian pendapat di

muka umum, dilakukan pembinaan terhadap:

a. Hubungan Dengan Masyarakat; Dan

b. Kemampuan Bertindak.

51
Pasal 32 (1) Pembinaan hubungan dengan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf

a. dilakukan sebagai upaya pendekatan yang harmonis kepada masyarakat selain upaya pendekatan preventif dan represif.

(2) Pembinaan hubungan dengan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk kegiatan:

a. sosialisasi ketentuan penyelenggaraan kemerdekaan penyampaian pendapat di muka umum di kalangan masyarakat agar dapat

memahami dan menaati aturan yang berlaku;

b. pemberian pemahaman kepada segenap petugas mengenai prosedur pelaksanaan tugas pelayanan, pengamanan, penanganan perkara

kemerdekaan penyampaian pendapat di muka umum, sehingga pelaksanaan tugas di lapangan dapat dilaksanakan secara profesional

dan proporsional;

c. penggalangan dan menjalin hubungan baik dengan segenap potensi masyarakat terutama kelompok masyarakat yang aktif melakukan

penyampaian pendapat di muka umum;

d. koordinasi dengan instansi terkait dan potensi masyarakat lainnya dalam rangka mewujudkan daya tangkal terhadap timbulnya

tindakan anarkis;

e. memfasilitasi atau menjadi mediator antara pihak yang menyampaikan pendapat di muka umum dan pihak yang menjadi sasaran

penyampaian pendapat di muka umum; dan

f. penggalangan kepada instansi atau pejabat yang sering menjadi sasaran penyampaian pendapat di muka umum untuk bersifat

terbuka/transparan dalam rangka menampung inspirasi aktivis pengunjuk rasa sehingga tindakan anarkis dapat diminimalisas

Pasal 33 Pembinaan terhadap kemampuan bertindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf

Pembinaan terhadap kemampuan bertindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf b, dilakukan melalui kegiatan:

1. pelatihan rutin pengendalian emosional petugas agar mempunyai ketangguhan mental dalam menghadapi tekanan fisik maupun psikis

khususnya dalam menghadapi massa yang memancing anarkis;

2. pelatihan unit pengendalian massa secara berkesinambungan;

3. peningkatan kelengkapan pengendalian massa dan inovasi peralatan-peralatan untuk mendukung kelancaran tugas pelayanan,

pengamanan, penanganan perkara penyampaian pendapat di muka umum, yang memenuhi standar HAM;

4. peningkatan kemampuan deteksi dini intelijen melalui peningkatan profesionalisme dan kemampuan intelijen; dan

5. peningkatan kemampuan penyidikan dalam penyelesaian perkara yang terkait dengan penyampaian pendapat di muka umum, sehingga

mampu memenuhi target; dan

6. peningkatan koordinasi unsur Criminal Justice System (CJS) guna menunjang kelancaran penyelesaian pemberkasan dan pelimpahan

ke pengadilan.

4.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Adagium “Penegakan hukum dengan melanggar hukum” sangat sering sekali kita dengar baik dari cerita ataupun dari berita yang

setiap hari kita lihat dan baca. Adagium tersebut diarahkan kepada pihak Kepolisian, yang memang instansi inilah salah satu aparat penegak

hukum yang ada di negara Indonesia. Anggapan tersebut senada dengan YLBHI yang memperoleh laporan sepanjang 2019 tentang

52
pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat di muka umum yang terjadi di Indonesia. YLBHI mencatat setidaknya terdapat 78 kasus

pelanggaran dengan korban mencapai 6.128 orang, 51 orang diantaranya meninggal dunia dan 324 orang dari korban merupakan anak-anak.

Dari 78 kasus tersebut 67 kasus tercatat dilakukan oleh aparat kepolisian, baik dari level Polsek, Polres, Polda hingga Mabes Polri menjadi

aktor pelanggar. Satuan dari Internal kepolisian yang melakukan pelanggaran juga tampak beragam dari satuan intelkam, Sabhara, Brimob,

bahkan satuan lalu lintas. Pelanggaran dalam berbagai jenis mulai dari penghalangan dan atau pembatasan aksi, tindakan berkaitan alat/data

75
pribadi, pembubaran tidak sah, tindakan kekerasan, perburuan dan penculikan, kriminalisasi, hingga penghalangan pendampingan hukum.

YLBHI mencatat terjadi pergeseran cara pandang pemerintah khususnya aparat penegak hukum khususnya kepolisian tentang

demonstrasi; dari sebuah hak yang dilindungi Konstitusi dan UU menjadi tindakan yang perlu diwaspadai bahkan menjadi sebuah kejahatan.

Hal ini ditandai dengan munculnya kebijakan yang membatasi hak menyampaikan pendapat di muka umum. Penghalang-halangan, perburuan

hingga penangkapan tidak beralasan setelah aksi menunjukan aparat menganggap sifat dasar demonstrasi adalah melanggar hukum. YLBHI

mencatat pada 2019 terdapat 1.847 korban dari 160 kasus mendapatkan pelanggaran fair trial. Aparat kepolisian merupakan aktor paling

dominan dalam kasus kejahatan pelanggaran fair trial tersebut yakni sekitar 57%.  Angka ini meningkat tajam dibandingkan Laporan Hukum

dan HAM YLBHI pada 2018.  Pada 2018, YLBHI mencatat terdapat 88 kasus penangkapan sewenang-wenang dengan jumlah korban

mencapai 1.144 orang. Angka yang sangat tinggi ini berkaitan erat dengan aksi-aksi massa yang terjadi sepanjang 2019. Ini jelas sangat

melanggar UUD RI 1945, UU 39 Tahun 1999 Tentang HAM, UU 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak Sipil dan

Politik, juga UU 5 Tahun 1998 Tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan.

Jika pada 2018, YLBHI mencatat terdapat 27 kasus penyiksaan dengan pelaku tertinggi adalah kepolisian, pada Laporan Hukum

dan HAM YLBHI pada 2019 tercatat peningkatan pelanggaran terhadap hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain

yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia menjadi 56 kasus dengan korban mencapai 601 orang. Angka korban yang

besar tercatat dalam berbagai aksi demonstrasi dimana aparat menggunakan kekerasan dan juga tindakan-tindakan brutal dan melanggar

hukum. Tingginya angka penyiksaan ini, kemudian diiringi dengan pembiaran dan perlindungan (impunitas) terhadap pelaku-pelaku

76
penyiksaan dengan tidak memberikan sanksi.

Penegakan hukum pidana adalah penerapan hukum pidana secara konkrit oleh aparat penegak hukum. Dengan kata lain,

penegakan hukum pidana merupakan pelaksanaan dari peraturan-peraturan pidana. Dengan demikian, penegakan hukum merupakan suatu

sistem yang menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta perilaku nyata manusia. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi

pedoman atau patokan bagi perilaku atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya. Perilaku atau sikap tindak itu bertujuan untuk

menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian.

Masalah penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor

tersebut mempunyai arti netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada sisi faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai

77
berikut:

75
https://nasional.kompas.com/read/polisi-banting-demonstran-di-tangerang-ylbhi-tetap-harus-diproses-hukum?page=all
76
Ibid.
77
Ibid., hlm 5.

53
a) Faktor perundang-undangan (substansi hukum);

Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini

disebabkan oleh konsep keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur

yang telah ditentukan secara normatif.

Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang

kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelanggaraan hukum bukan hanya mencangkup law

enforcement, namun juga peace maintenance, karena penyelanggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai

kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

b) Faktor aparat penegak hukum

Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik,

tetapi kualitas petugas yang kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah

mentalitas atau kepribadian penegak hukum.

c) Faktor sarana dan fasilitas

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencangkup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak

adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh polisi cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi

mengalami hambatan di dalam tujuannya, walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.

d) Faktor masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga

masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu

kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu

indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

e) Faktor kebudayaan

Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan, kebudayaan menurut Soerjono

Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana

seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah

78
suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi masih terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat Negara atau

aparat Penegak hukum yang termasuk didalamnya Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat diakibatkan dari berbagai macam

faktor, diantaranya;

1. Faktor internal (Personil / oknum pelanggar HAM)

a. Sikap egois,

78
Ibid.hlm 77

54
Sikap egois yang dimiliki pelaku pelanggaran hak asasi manusia memiliki potensi menyebabkan terjadinya kasus pelanggaran hak

asasi manusia. Sikap egois pada pelaku pelanggaran hak asasi manusia membuat ia merasa kepentingannya adalah yang utama,

sehingga ia melanggar hak asasi manusia orang lain untuk memenuhi kepentingannya.

b. Tingkat kesadaran ham yang rendah,

Banyak orang yang tidak terlalu memperhatikan perlindungan hak asasi manusia dan menganggap pelanggaran hak asasi manusia

adalah hal yang biasa selama kepentingannya tercapai. Perilaku ini mendorong terjadinya pelanggaran hak asasi manusia

c. Kondisi Psikologis pelanggar ham,

Faktor internal penyebab pelanggaran hak asasi manusia sangat berkaitan dengan kondisi psikologis pelaku pelanggar hak asasi

manusia. Kondisi psikologis yang tidak stabil dan kondisi psikologis tertentu lainnya dapat menjadi penyebab pelanggaran hak

asasi manusia dan permasalahan keluarga bagi personil polri yang akan melaksanakan penanganan aksi unjuk rasa sehingga

terjadi pelanggaran hak asasi manusia.

d. Tingginya perilaku intoleransi,

Penyebab pelanggaran hak asasi manusia seperti intoleransi dapat mengancam stabilitas nasional. Sikap tidak toleransi pada

suatu suku, ras dan agama tertentu beresiko mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia seperti diskriminasi hingga

pelanggaran hak asasi manusia berat.

e. Rasa ingin balas dendam,

Rasa ingin balas dendam menjadi penyebab pelanggaran hak asasi manusia dan berbagai tindak kriminal Dendam membuat

seseorang rela melakukan tindak kriminal seperti penganiayaan dan pembunuhan, yang merupakan salah satu contoh pelanggaran

hak asasi manusia.

f. Kurangnya rasa empati

Penyebab pelanggaran hak asasi manusia salah satunya yaitu kurangnya rasa empati pada pelaku. Nilai nilai hak asasi manusia

sangat berkaitan dengan rasa kemanusiaan. Ketika seseorang tidak memiliki rasa empati dan kemanusiaan, ia beresiko melakukan

pelanggaran hak asasi manusia.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal penyebab pelanggaran hak asasi manusia yang berdasar pada kondisi dan situasi Negara dan lingkungan sekitar

secara umum disebut juga faktor eksternal penyebab pelanggaran hak asasi manusia.

a. Penyalahgunaan kekuasaan,

b. Penyalahgunaan kekuasaan dari pihak pemerintah atau penguasa beresiko besar menjadi penyebab pelanggaran hak asasi

manusia. Contoh kasus pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power

salah satunya yaitu korupsi, genosida, dan penghilangan orang oleh pemerintah.

c. Sistem hukum yang tidak berjalan,

55
d. Faktor eksternal penyebab pelanggaran hak asasi manusia juga meliputi sistem hukum yang lemah dan tidak berjalan. Tidak

tegasnya penegakan hukum terhadap para pelanggar hak asasi manusia merupakan penyebab pelanggaran hak asasi manusia

makin banyak terjadi. Sebab tidak ada penanganan cepat dan tepat dalam pelanggaran hak asasi manusia.

e. Struktur politik dan sosial

f. Penyebab pelanggaran hak asasi manusia selanjutnya yaitu adanya kesenjangan politik dan sosial pada sebuah Negara. Contoh

kesenjangan politik dan sosial pada sebuah Negara yaitu tata kelola pemerintahan yang salah dan terkesan abai dengan segala hal

yang terjadi di masyarakat.

g. Masalah ekonomi,

h. Masalah ekonomi merupakan sumber dari semua sumber penyebab terjadinya tindak kriminal, termasuk pelanggaran hak asasi

manusia. Kesenjangan ekonomi yang tinggi beresiko menyebabkan pelaku melakukan pelanggaran hak asasi manusia seperti

perampokan, perampasan, pencurian, dan pembunuhan.

i. Kurangnya sosialisasi HAM

j. Sosialisasi mengenai pentingnya penegakan dan perlindungan Hak asasi manusia sangat penting untuk mencegah pelanggaran

hak asasi manusia. Kurangnya pemahaman akan hak asasi manusia membuat pelanggaran hak asasi manusia ringan hingga berat

semakin banyak terjadi.

k. penyalahgunaan teknologi

l. Komputerisasi besar-besaran melahirkan dampak negatif seperti penyalahgunaan teknologi berupa tindak kejahatan seperti

pembobolan dompet elektronik, pembobolan data pribadi dan masyarakat, dan perundangan.

m. Faktor-faktor Penyebab Belum Terlaksananya Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anggota Polri yang Melakukan Kekerasan

Terhadap Pengunjuk Rasa

4.4. Faktor-faktor Penyebab Belum Terlaksananya Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anggota Polri yang Melakukan

Kekerasan Terhadap Pengunjuk Rasa

A. Faktor Mentalitas Penegak hukum

Mental petugas dalam menegakkan hukum sering menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi dalam penegakan hukum.

Penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Secara sosiologis, maka setiap penegakan hukum

mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role).Permasalahan yang timbul dari faktor penegakan hukum yaitu penerapan peran penegakan

79
hukum .Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan proses perwujudan ide-ide (ide keadilan, ide kepastian

80
hukum, dan ide kemanfaatan sosial) yang bersifat abstrak menjadi kenyataan. Upaya penegakan hukum memberikan arti adanya upaya

untuk menjaga agar keberadaan hukum yang diakui di dalam suatu masyarakat dapat tetap ditegakkan. Mental anggota Polri yang tidak

seperti yang diharapkan, Dapat melihat dan merasakan bahwa penegakan hukum di Negara ini berada pada kondisi yang tidak

79
Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat, (Jakarta: Ghlm ia Indonesia, 1998), hlm 30 3
80
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru , hlm. 15

56
81
menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum. Kurang berperannya Propam dalam penegakan hukum

sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi (pertimbangan) Kepolisian. Diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat

terikat oleh hukum, di mana penilaian pribadi juga memegang peranan. Di dalam penegakan hukum, pentingnya suatu diskresi, disebabkan

82
karena :

a. Tidak Ada Peraturan Perundang-Undangan Yang Sedemikian Lengkapnya, Sehingga Dapat Mengatur Semua Perilaku Manusia.
b. Adanya Kelambatan-Kelambatan Untuk Menyesuaikan Perundang Undangan Dengan Perkembangan-Perkembangan Di Dalam
Masyarakat, Sehingga Menimbulkan Ketidakpastian.
c. Kurangnya Biaya Untuk Menerapkan Perundang-Undangan Sebagaimana Yang Dikehendaki Oleh Pembentuk Undang-Undang,
Dan
d. Adanya Kasus-Kasus Individual Yang Memerlukan Penanganan Secara Khusus.
Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang

mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekrutmen yang tidak

transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan

83
hukum. Peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk

84
sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.

B. Faktor Hukumnya Itu Sendiri

Ketentuan hukum kurang jelas dan tidak tersedianya penjelasan yang memadai bahkan tidak adanya penjelasan sama sekali, akan

membuat adanya multitafsir pada masing-masing pihak akan memiliki penafsiran berbeda. Sehingga dapat membuka peluang terjadinya

manipulasi dalam penegakan hukum yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum.

Anggota Polri yang melakukan tindak pidana diadukan/dilaporkan oleh masyarakat, anggota Polri atau sumber lain yang dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan anggota Polri. Adanya beberapa Implementasi hukum dalam tubuh Polri

sering menjadikan penegakan hukum di tubuh Polri menjadi tidak memiliki kejelasan. Hukuman Tindakan Disiplin, Kode Etik, dan Peradilan

Umum. Adanya beberapa jenis proses peradilan dan hukuman dapat menjadi celah dalam memberikan tindakan dan sanksi bagi anggota

Kepolisian yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana. Kualitas penyajian layanan yang tercela dari sudut moral dan hukum antara lain

diskriminasi, permintaan layanan / penegakan hukum alasan kepentingan pribadi, diskresi melampaui batas, mempersulit, arogan, lamban,

tidak sopan manusiawi dan perilaku negatif akan diberikan Hukuman disiplin. Hukuman disiplin dapat berupa:

a. Teguran tertulis;

b. Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun;

c. Penundaan kenaikan gaji berkala;

d. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun;

e. Mutasi yang bersifat demosi;

81
Bahkan menurut Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.penegakan

hukum di negeri ini sedang terancam memasuki kondisi darurat alias zona merah. http://www.saldiisra.web. Diunduh 19 September 2013
82
Op. Chit. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Cet. Ke-10), PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2011. hlm 21
83
Satjipto Rahardjo, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Penerbit Alumni, 1977), hlm. 52
84
Soerjono soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, cet. Ketiga, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hlm.17

57
f. Membebasan dari jabatan;

g. Penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari.

Hukuman bagi anggota Polri yang melanggar Kode Etik diantaranya Etika Kenegaraan, Etika Kelembagaan, Etika Kemasyarakatan

atau Etika kepribadian tercantum dalam Dalam pasal 21 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 14 Tahun 2011

85
Tentang kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menjelaskan bahwa :

(1) Anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar dikenakan sanksi Pelanggaran Komisi Kode Etik Polri, berupa:

1. perilaku Melanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela


2. kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri
dan pihak yang dirugikan.
3. kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-
kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan.
4. Dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurange. kurangnya 1 (satu) tahun.
5. Dipindahtugaskanke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurangkurangnya 1 (satu) tahun.
6. Dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang kurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau
7. PTDH sebagai anggota Polri.
Kondisi riil yang terjadi saat ini di Indonesia mengindikasikan adanya kegagalan aparat-aparat penegak hukum dalam penegakan

hukum.Kegagalan penegakan hukum secara keseluruhan dapat dilihat dari kondisi ketidakmampuan (inability) dan ketidakmampuan

86
(unwillingness) dari aparat penegak hukum itu sendiri. Permasalahan mengenai penegakan hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari

kenyataan, bahwa berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum,

fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu unsur, tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan bahwa

87
seluruh sistem akan terkena pengaruh negatifnya. Dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan

Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan subyektif kepada terperiksa yang

melakukan pelanggaran pada persidangan disiplin akan diproses secara Peradilan umum atas tindak pidana anggota Polri yang belum

menuntaskan perkaranya. Penjatuhan sanksi hukuman disiplin yang ringan bahkan berat belum membebaskan terperiksa dari sanksi

pelanggaran disiplin, karena harus melalui lagi proses Penyidikan pada Peradilan umum.

Jika hukum tertulis yang mengatur suatu bidang kehidupan tertentu dan bidang-bidang lainnya yang berkaitan berada dalam

kepincangan. penegakan hukum terhadap peraturan baik disiplin, kode etik dan pidana terhadap anggota Polri saat ini dirasakan masih jauh

dari harapan dan belum mampu secara maksimal memberikan dampak negatif bagi perilaku anggota Polri baik dikarenakan proses dari

penegakan hukumnya maupun hasil dari penegakan hukum peraturan disiplin, kode etik, atau tindak pidana masih terjadi perbedaan persepsi

tentang pelaksanaan hukuman yang diberikan dalam melakukan pelanggaran.

4.5. Faktor Masyarakat/Korban Yang Tidak Melaporkan Adanya Tindak Kekerasan Yang Dilakukan Anggota Polri Kepada
Propam

85
IbId. Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
86
Amir Syamsuddin (Salah seorang Praktisi Hukum di Jakarta), dalam http://www.unisosdem.org diunduh 19 September 2013
87
Op.Cit.Soerjono soekanto dan Mustafa Abdulah, Sosiologi Hukum....., hlm 20.

58
Masyarakat menjadi korban kekerasan dalam Unjuk rasa yang dilakukan oleh anggota Polri, terkadang enggan untuk melaporkan ke

Pihak propam Polri. Keengganan ini dapat dijadikan salah satu penyebab pihak Propam yang merupakan penegak hukum di Kepolisian tidak

memproses laporan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian. Masyarakat yang tidak melaporkan padahal hukum

tersebut telah berlaku dan diterapkan Pendapat masyarakat mengenai hukum ikut mempengaruhi penegakan hukum dengan kepatuhan hokum

88
Salah satu pendapat masyarakat yaitu mengenai arti hukum yang dianggap identik dengan petugas (penegak sebagai pribadi).

Korban kekerasan dalam berunjuk rasa dapat melaporkan kepada Propam. Provos adalah satuan fungsi pada Kepolisian Negara

Republik Indonesia yang bertugas membantu pimpinan untuk membina dan menegakkan disiplin serta memelihara tata tertib kehidupan

anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Beberapa pengunjuk rasa yang mendapatkan kekerasan, cenderung tidak mau melaporkan

adanya tindakan. kekerasan kepada Kepolisian. Pengunjuk rasa yang terlibat bentrok dengan Kepolisian, harus ke Kantor Kepolisian kembali

untuk melaporkan adanya kekerasan. Hal itu dianggap akan menimbulkan permasalahan baru, karena korban akan memicu melaporkan

anggota Kepolisian yang melakukan kekerasan.

Budaya dalam organisasi Polri seperti yang ada saat ini belum terlalu efektif secara operasional dalam kehidupan Polisi sehari-

hari, pengembangan budaya yang kurang secara terarah dan mengakar kepada kehidupan organisasi. Dan menyebabkan Polisi tidak dapat

diharapkan bersikap dan berperilaku yang konsisten dengan visi, misi, kode etik yang dibangun oleh Polri.Propam yang merupakan Penegak

Hukum Polisi dianggap pengunjuk rasa akan berat sebelah dan kurang kompeten dalam menegakkan hukum. Peraturan sudah baik, namun

kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik,

89
kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.

Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap pelaku atau

peserta penyampaian pendapat di muka umum Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab

menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.

4.6. Langkah Yang Seharusnya Ditempuh Propam Polri Terhadap Anggota Polri Yang Melakukan Kekerasan Kepada

Pengunjuk Rasa

4.6.1. Memaksimalkan Mentalitas Kinerja Propam Polri Dalam Penegakan Hukum Anggota Polri Yang Melakukan Pelanggaran.

Fungsi Seksi Propam dengan yang bertugas langsung melaksanakan pengawasan dan penindakan dapat dijalankan secara

maksimal terhadap anggota Polri yang bermasalah. Oleh karena itu apabila Tugas dan tanggungjawab Propam Polri ingin dapat berjalan

secara maksimal dan sesuai harapan, maka harus dilaksanakan dan dipedomani berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang telah

ada yaitu:

1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 1 tahun 2003 tentang pemberhentian anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 2 tahun 2003 tentang peraturan disiplin anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 3 tahun 2003 tentang pelaksanaan teknis institusional peradilan umum bagi
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

88
Op Chit. Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat, (Jakarta: Ghlm ia Indonesia, 1998), hlm 24
89
Op Cit. Soerjono soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, cet. Ketiga, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hlm.17

59
3) Keputusan Kapolri No.Pol.: KEP/42/IX/2004 tentang atasan yang berhak menjatuhkan hukuman disiplin di lingkungan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
4) Keputusan Kapolri No.Pol.: KEP/43/IX/2004 tentang tata cara penyelesaian pelanggaran disiplin anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
5) Keputusan Kapolri No.Pol.: KEP/44/IX/2004 tentang tata cara sidang disiplin bagi anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
6) Peraturan Kapolri No.Pol.: 7 tahun 2006 tentang Kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
7) Peraturan Kapolri No.Pol.: 8 tahun 2006 tentang organisasi dan tata kerja komisi kode etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Penegakan hukum secara konsepsional terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai - nilai yang terjabarkan dalam

kaidah-kaidah hukum. Sedangkan untuk penegakan hukum sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi menyangkut

membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Provos Polri sebagai

satuan fungsi yang bertugas membantu Pimpinan untuk membina dan menegakkan disiplin serta memelihara tata tertib kehidupan anggota

Polri serta Pimpinan / Ankum atau atasan yang berhak menghukum adalah atasan yang karena jabatannya diberi kewenangan menjatuhkan

hukuman disiplin kepada bawahan yang dipimpinnya. Aparat yang dibutuhkan dalam rangka penegakan hukum disiplin anggota Polri adalah

1) Aparat yang menguasai hukum,

2) Memiliki keterampilan teknis yuridis,

3) Berintegritas,

4) Profesional,

5) Bersih, memiliki komitmen pada keadilan, serta berani dan disiplin.

Dengan demikian maka dalam rangka tegaknya hukum disiplin bagi anggota Polri dapat dilakukan usaha atau kegiatan berupa :

1) Penjatuhan hukuman disiplin haruslah setimpal dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan sehingga hukuman disiplin itu dapat
diterima oleh rasa keadilan.
2) Peningkatan pemahaman anggota Polri terhadap peraturan hukum disiplin anggota Polri.
3) Pemberian teladan ketaatan terhadap hukum.
4) Pembinaan kesadaran hukum.
5) Pembinaan tanggung jawab sosial sebagai warga negara.
6) Tradisi penegakan hukum disiplin yang benar dan konsekuen untuk menghindari kekecewaan masyarakat.
7) Komitmen seluruh anggota Polri terhadap pembentukan disiplinnya dengan titik berat pada keberhasilan pelaksanaan tugas sesuai
90
amanat dan harapan warga masyarakat.

91
Di kalangan Kepolisian di berbagai negara telah mencoba membangun empat lapisan kultur polisi, yaitu :

1. Membangun mentalitas dasar bahwa masyarakat dengan polisi adalah mitra, namun tetap tegas dalam menegakkan hukum
2. Sistem keyakinan dasar yang mengatur perilaku hubungan dengan masyarakat, baik dengan orang yang melakukan kejahatan maupun
orang yang bukan perilaku kejahatan.
3. Mempelajari etos keda atau semangat polisi dalam lingkungan kerjanya sehingga menjadi motivasi sebagai polisi yang baik.
4. Memiliki pedoman pola berpikir dan berperilaku yang membentuk profil polisi dalam tugas di lapangan.

90
A. Kadarmanta “Membangun Kultur Kepolisian”, (PT. Forum Media Utama, Jakarta : 2007), hlm. 42.
91
Ibid. hlm. 43

60
Polisi dan masyarakat yang demokratis, pada prinsipnya berdasarkan atas supremasi hukum, memberikan jaminan dan perlindungan

hak asasi manusia, transparan, bertanggung jawab kepada publik, berorientasi kepada masyarakat, serta adanya pembatasan dan pengawasan

92
kewenangan polisi. Untuk itu komitmen kebersamaan seluruh personel polisi untuk menegakan supremasi hukum melalui:

a. Keteladanan seluruh pemimpin dalam organisasi Kepolisian secara berjenjang


b. Membangun rasa kebanggaan sebagai anggota Kepolisian secara terus menerus sehingga timbul kesadaran akan pentingya
kebanggaan terhadap profesi Kepolisian.
c. Membangun kemitraan dengan masyarakat.
d. Sosialisasi kepada masyarakat tentang sistem pengawasan Internal Polri diantaranya implementasi penegakan hukum disiplin anggota
Polri sehingga masyarakat diharapkan ikut secara aktif memonitor, mengawasi bahkan melaporkan bila ada pelanggaran disiplin
anggota Polri.
Proses Peradilan Pidana bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum dilakukan menurut hukum acara yang

berlaku dilingkungan Peradilan Umum. Hukum dibuat bagi setiap negara bertujuan untuk mengungkapkan pandangan-pandangan normatif

warga negaranya atas kerugian dari setiap bentuk tindakan kejahatan dan menetapkan bentuk hukuman bahwa ketika seseorang melanggar

hukum dan melanggar peraturan, ada suatu ketidakseimbangan sosial dan moral dalam keadilan yang hanya bisa dipulihkan dengan

93
memberikan hukuman kepada pelaku Pelanggaran.

4.6.2. Memahami Produk hukum dan perundang-undangan Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Yang Profesional Dan Akuntabel

Penyidik Propam memiliki banyak referensi produk hukum dan perundang-undangan baik yang berlaku umum maupun yang

berlaku khusus di internal Polri. Sehingga pada saat melakukan penyidikan penyidik Propam dapat menerapkan pasal sesuai dengan

pelanggaran yang dilakukan anggota Polri. Menurut Jimly Asshiddiqie para penegak hukum dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau

unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Kedua penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi,

94
badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri sendiri

Aparat penegak hukum memiliki fungsi yang sangat strategis dan signifikan dalam penegakan hukum. Hal ini tercermin dari para aparat

95
penegak hukum itu merupakan salah satu unsur yang paling berpengaruh dalam penegakan hukum.

Melakukan pelatihan teknis pelaksanaan penyidikan perkara Pelanggaran Disiplin, kegiatan rapat kerja teknis Internal propam dan
kegiatan pelaksanaan supervisi Internal Propam
1) Melaksanakan kegiatan pelatihan teknis pelaksanaan Penyidikan Perkara Pelanggaran Disiplin Dengan Materi Pelatihan:
2) Pembuatan Laporan / Pengaduan, Teknik Penyelidikan.
3) Teknik Pemeriksaan Saksi Dan Terperiksa.
4) Penerapan Pasal, Pembuatan Resume Dan Pemberkasan Perkara Pelanggaran Disiplin.
5) Pembuatan Persangkaan Dan Penuntutan Perkara Pelanggaran Disiplin.
6) Kuh Pidana Dan Kuhap.
7) Juklak Dan Juknis Penyidikan Tindak Pidana.

92
Wawancara dengan Kepala Seksi Profesi dan Pengamanan Polres Tangerang.
93
Pembahasan Umum. Kelvin Carlsmith, John Darley, dan Paul Robinson.Why Do We Punish? Deterrence and just Desserts as Motives of Punishment. Journal of

Personality And Psychology. 2002. hlm 284


94
Jimly Asshiddiqie.makalah Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia, Disampaikan pada acara seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam

rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 17 Februari 2006 hlm 14.
95
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Kedua belas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 101

61
8) Peraturan Pemerintah Rl No.1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri, Peraturan Pemerintah Ri No.2 Tahun 2003 Tentang
Peraturan Disiplin Anggota Polda, Peraturan Pemerintah Ri No.3. Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan
Umum Bagi Anggota Polda Dan
9) Peraturan Kapolri No.7 Dan No.14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Polri.

4.6.3. Inisiatif Propam Polri Dalam Melakukan Penyidikan Dan Menerima Laporan Pengaduan Dari Korban Kekerasan Pengunjuk

Rasa

Berawal dari adanya laporan dan pengaduan yang masuk tentang terjadinya pelanggaran disiplin, khususnya tindak kekerasan

kepada pengunjuk rasa oleh anggota Polri dilakukan kegiatan penyidikan dengan kegiatan pemeriksaan dan penyelidikan kepada anggota

Polri dan korban pelapor. Penegakan hukum secara konsepsional terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai - nilai yang terjabarkan

dalam kaidah - kaidah hukum dalam sikap dan tindakan untuk menciptakan, memelihara dan menjunjung tinggi keadilan. Oleh karena itu

untuk menghasilkan tegaknya hukum termasuk dalam hal ini tegaknya hukum disiplin anggota Polri, maka penegakan hukum secara

konsepsional dalam upaya penegakan hukum berkeadilan.

Propam melakukan Pemanggilan untuk pemeriksaan saksi anggota Polri. Dalam kasus pelanggaran disiplin yang dilaporkan masyarakat dan

berdampak pada citra Polri yang memerlukan percepatan pemeriksaan dan laporan kepada pimpinan atas kasus yang terjadi dengan Penerapan

pasal atas pelanggaran disiplin secara tepat. Inisiatif Pihak Propam dalam penegak hukum adalah menerapkan hukum disiplin anggota Polri

dalam hal ini Provos Polri sebagai satuan fungsi yang bertugas membantu Pimpinan untuk membina dan menegakkan disiplin serta

memelihara tata tertib kehidupan anggota Polri. Seksi propam yang merupakan penegakan hukumnya Polri bertugas untuk menyelenggarakan

fungsinya sebagai:

1. Pelayanan Pengaduan Masyarakat Tentang Penyimpangan Perilaku Dan Tindakan Personel Polri;
2. Penegakan Disiplin, Ketertiban Dan Pengamanan Internal Personel Polres;
3. Pelaksanaan Sidang Disiplin Dan/Atau Kode Etik Profesi Serta Pemuliaan Profesi Personel;
4. Pengawasan Dan Penilaian Terhadap Personel Polres Yang Sedang Dan Telah Menjalankan Hukuman Disiplin Dan/Atau Kode
Etik Profesi; Dan
5. Penerbitan Rehabilitasi Personel Polres Yang Telah Melaksanakan Hukuman Dan Yang Tidak Terbukti Melakukan Pelanggaran
96
Disiplin Dan/Atau Kode Etik Profesi.

Propam Polri yang memiliki banyak referensi hukum dan perundang undangan, baik yang berlaku umum maupun yang berlaku khusus

di internal Polri. Sehingga dalam perkembangan proses penyidikan perkara pelanggaran disiplin, anggota Polri dipublikasikan secara luas

kepada masyarakat terutama kepada pihak pelapor yang menjadi korban, disampaikan penjelasan secara tertulis oleh pihak penyidik Propam

Polri. Mengimplementasikan nilai-nilai paradigma baru Polri sebagai polisi yang berwatak sipil dan nilai-nilai reformasi Polri dalam proses

penegakkan hukum disiplin anggota Polda seperti :

a) Dalam melakukan penyidikan pelanggaran disiplin hendaknya didasarkan pada keunggulan yang berorientasi prestasi, dedikasi
maupun kejujuran bukan karena kepentingan pribadi ataupun golongan.
b) Dalam penyidikan sampai dengan penjatuhan sanksi hukuman disiplin didasari oleh komitmen menjunjung tinggi nilai-nilai etik
dan moral.

96
Sadjijono, Etika Hukum, Laksilang Medialanta, Yogyakarta, 2008, hlm 79

62
c) Pelaksanaan penyidikan pelanggaran disiplin sampai dengan penjatuhan hukuman disiplin harus dapat dipertanggung jawabkan,
transparan, tidak diskriminatif dan berkelanjutan yang berorientasi pada menitikberatkan secara terus-menerus disiplin anggota
97
Polri.

Dengan kondisi penegakan hukum yang memiliki inisiatif disiplin anggota Polri yang sesuai harapan niscaya akan menjadikan tegaknya

disiplin anggota signifikan seiring dengan paradigma baru Polri sebagai polisi yang profesional, obyektif, transparan dan akuntabel.

97
Op Chit. hlm 136

63
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

1. Indonesia sebagai negara hukum, oleh karena itu semua warga negara tanpa terkecuali, harus mentaati peraturan-peraturan sebagai bentuk

hukum, termasuk anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memiliki tugas dan wewenang sebagai pelayan, pelindung, dan

pengayom masyarakat serta sebagai salah satu aparat penegak hukum (APH). Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dan dalam dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diatur

dalam berbagai aturan perundang-undangan sebagai petunjuk teknis, serta apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh personil Polri, maka

akan dihadapkan dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang peraturan disiplin, kode etik bahkan pidana yang akan dilaksanakan di

peradilan umum. Dalam penegakan hukum personel Kepolisian Negara Indonesia yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam studi

kasus Kep/15/X/ 2021 tentang keputusan Kapolda Banten dalam penerapan sanksi terhadap oknum anggota Kepolisian Polres Tangerang

dengan memberikan sanksi demosi, patsus 21 hari, serta teguran lisan yang secara penulis berkesimpulan bahwa penegakan hukum tersebut

sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan sudah memenuhi asas keadilan.

2. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun

tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-

Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan

mekanisme hukum yang berlaku. Secara sederhana, pelanggaran ham yaitu apabila hak seseorang tidak di jaga, dilindungi, dihormati, bahkan

sampai di cabut atau diabaikan. Pelanggaran hak asasi manusia bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk yang termasuk rentan melakukan

pelanggaran hak asasi manusia adalah aparat negara atau aparat penegak hukum seperti Polisi. Pelanggaran hak asasi manusia rentan

dilakukan oleh personil polisi dikarenakan tugas pokok dan kewenangan polisi adalah selalu berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga

dengan tugas dan wewenangnya, polisi akan selalu berhubungan dengan masyarakat. Adapun pelanggaran hak asasi manusia tersebut masih

sering dilakukan oleh oknum Polri, ada beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya;

1. Faktor internal ( Personil / oknum pelanggar ham )

a. Sikap Egois,

b. Tingkat Kesadaran Ham Yang Rendah,

c. Kondisi Psikologis Pelanggar Ham

d. Tingginya Perilaku Intoleransi

e. Rasa Ingin Balas Dendam

f. Kurangnya Rasa Empati


2. Faktor eksternal

Penyalahgunaan kekuasaan

a. Sistem Hukum Yang Tidak Berjalan

64
b. Struktur Politik Dan Sosial

c. Masalah Ekonomi

d. Kurangnya Sosialisasi Ham

e. Penyalahgunaan Teknologi

5.2. Saran

1 Bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap anggota Polri yang melakukan tindakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa belum terlaksana

sebagaimana mestinya terbukti tidak adanya proses Peradilan dan pemberian sanksi, baik sanksi Disiplin, sanksi Kode etik maupun sanksi

Pidana oleh Propam Polres Tangerang. Beberapa Faktor-faktor Penyebab Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anggota Polri yang

melakukan Kekerasan terhadap pengunjuk rasa Belum terlaksana sebagaimana mestinya, diantaranya :

a. Faktor Mentalitas Penegak hukum Seksi propam yang merupakan penegakan hukumnya Polri dinilai kurang dapat melaksanakan fungsinya.

Lemahnya mentalitas dan tidak adanya inisiatif aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana

mestinya. Karena peraturan yang sudah baik, namun dengan kualitas penegak hukum yang masih rendah akan menimbulkan banyak masalah.

b. Faktor Hukumnya Itu Sendiri Adanya beberapa Peraturan Perundang-undangan di tubuh Polri membuat Penegakan hukum di Internal Polri

menjadi kurang jelas adanya multitafsir pada masing-masing pihak akan memiliki penafsiran berbeda, pada akhirnya akan berpengaruh pada

Implementasi hukum itu sendiri, apakah akan diproses secara Disiplin, Kode Etik, dan/atau Peradilan Umum.

c. Faktor Masyarakat/Korban Yang Tidak Melapor ke Propam Korban kekerasan yang dilakukan anggota Polri dalam berunjuk rasa

kebanyakan enggan melaporkan ke Propam, masyarakat masih menganggap proses Hukum Polisi akan berat sebelah dan kurang kompeten

dalam menegakkan hukum.

2. Dalam penegakan hukum terhadap personil yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia, Kepolisian Negara Republik Indonesia harus

selalu berpedoman terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku agar dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Polri dapat berjalan

secara profesional dan proporsional. Langkah yang Seharusnya ditempuh Propam Polri terhadap anggota polri yang melakukan kekerasan

kepada pengunjuk rasa yakni dengan cara: Memaksimalkan Mentalitas Kinerja Propam Polri Dalam Penegakan Hukum Disiplin Anggota

Polri, Memahami Produk Hukum Dan Perundang-undangan Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Yang Profesional dan Akuntabel, Dan

Inisiatif Propam Polri Dalam Melakukan Penyidikan Dan menerima Laporan Pengaduan Dari Korban Kekerasan Pengunjuk Rasa. Agar

meminimalisir pelanggaran yang terjadi dalam pengamanan unjuk rasa, pola pembinaan terhadap Personil Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang termuat dalam Perkap Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan

Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, harus selalu dilaksanakan.

65
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Triyanto Lukmantoro. Kekerasan Negara dan Perlawanan Mahasiswa Di Tengah Krisis.Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas

Diponegoro Semarang. 1997. hlm 1

Franz Magnis-Suseno Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern, Jakarta. Gramedia. 1994. hlm. 146

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian hukum, (Bandung, UI Press Alumni, 1986), hlm. 125.

Satjipto Raharjo, Teori Hukum Startegi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi (Yogyakarta Genta Publishing 2010. hlm.72

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Bandung: Refika Aditama, 2009, hlm., 207.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung, Nusa Media, 2011, hlm. 7

Mahrus ali, S.H., M.H. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika.hlm59

Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum pidana. Rineka Cipta. Jakarta. hlm 27

Denny Januar Ali. Menjadi Indoensia Tanpa Diskriminasi. Gramedia Cetakan pertama 2013.hlm 1

Denny Januar Ali. Menjadi Indoensia Tanpa Diskriminasi. Garmedia Cetakan peratama 2013.hlm 5

Satjipto Rahardjo. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. (Jogyakarta Genta Publishing. 2010), hlm 15

Satjipto Raharjo. Teori Hukum Strategi Tertib manusia Lintas Ruang dan Generasi Yogyakarta Genta Publishing. 2010. hlm 72.

Hans Kelsen, “General Theory of Law and State”, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung, Nusa Media, 2011, hlm. 7

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, terjemahan Raisul Muttaqien, Bandung, Nusamedia, 2011, hlm.76-77.

H.L.A Hart, Konsep Hukum, Terjemahan M. Khozim, Bandung, Nusamedia ,2011. hlm 287.

W.A. Bonger, Pengantar tentang kriminologi, Terjemahan R.A. Koesnoen, Jakarta, PT. Pembangunan, tanpa tahun, hlm. 24-25.

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, 2000), hlm. 56.

Djoko Prakoso, Hukum Penitensir Di Indonesia, (Bandung: Armico, 1988), hlm. 20.

Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 26.

Soerjono Soekanto dan Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),hlm 13.

Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia Jakarta Raja Garfindo persada.2017. hlm. 2

Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal 30 3

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru , hlm. 15

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Cet. Ke-10), PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2011. hlm 21

Satjipto Rahardjo, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Penerbit Alumni, 1977), hlm. 52

Soerjono soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, cet. Ketiga, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hlm.17

Amir Syamsuddin (Salah seorang Praktisi Hukum di Jakarta), dalam http://www.unisosdem.org diunduh 19 September 2013

66
Soerjono soekanto dan Mustafa Abdulah, Sosiologi Hukum....., hlm 20.Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam

Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal 24

Soerjono soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, cet. Ketiga, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hlm.17

A. Kadarmanta “Membangun Kultur Kepolisian”, (PT. Forum Media Utama, Jakarta : 2007), hlm. 42.

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),hlm27

Jimly Asshiddiqie.makalah Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia, Disampaikan pada acara seminar “Menyoal Moral

Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gaja Mada 17 Februari 2006 hlm 14.

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Kedua belas, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 101

Sadjijono, Etika Hukum, Laksilang Medialanta, Yogyakarta, 2008, hal 79

Franz Magnis-Suseno Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern, Jakarta. Gramedia. 1994. hlm. 146

Perundang-undangan

Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-undang No 9 Tahun 1998 Kemerdekaan Berpendapat Dimuka Umum. Pasal 13 ayat (2)

Undang-undang No 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian RI. hlm11

Undang-undang No 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian RI. hlm 11

Peraturan Kapolri No 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Pasal 1 butir 5.

Pasal 29 Deklarasikan Universal HAM (UDHR) “Apakah Perpolisian Berbasis Ham Itu” hal 15

Undang-Undang Dasar 1945 dan amendemen keempatnya, Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU No39/1999), Undang-undang tentang

Pengadilan Ham (UU No 26/2000) dan KUHP.

Protap Kapolri No: Protap/ 1 / X / 2010 tanggal 8 Oktober 2010 tentang Penanggulangan Anarki. hlm 1

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Komisi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Buku Saku HAM Korps Brimob Polri. 2018.hlm.4

Pasal 5 ayat (2) Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan

Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 13

Pasal 351. Solahuddin.KUHP, KUHAP. KUHPerdata. Visi Media. 2012. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 2

Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

67
Protap kapolri Nomor 1/X/ 2010 Tentang Penanggulangan Anarki

Perarturan Pemerintah No 2 tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri

Perkap No 14 tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Polri Menimbang huruf a

Pasal 28 Undang-undang Dasar RI 1945. (Sekretariat Jendral MPR RI. Jakarta. 2011). hlm 154

Peraturan Kapolri No 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Pasal 1 butir 5

Pasal 28 Undang-Undang Dasar RI 1945. (Sekretariat Jendral MPR RI. Jakarta. 2011). hlm 154

Artikel/journal

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/Justisia/article/view/5929

https://www.academia.edu/4978927/PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP diakses tanggal 08-11-2016 jam 13.00

Universitas Islam Indonesia. https://dspace.uii.ac. Id

https://nasional.kompas.com/read/2021/10/14/14521511/polisi-banting-demonstran-di-tangerang-ylbhi-tetap-harus-diproses-hukum?

page=all https://nasional.kompas.com/read/polisi-banting-demonstran-di-tangerang-ylbhi-tetap-harus-diproses-hukum?

page=all diakses 8 Februari 2022

Bahkan menurut Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas

Andalas, Padang.penegakan hukum di negeri ini sedang terancam memasuki kondisi darurat alias zona merah.

http://www.saldiisra. web. Diunduh 28 Januari 2022

Wawancara dengan Kepala Seksi Profesi dan Pengamanan Polres Tanggerang.

Pembahasan Umum. Kelvin Carlsmith, John Darley, dan Paul Robinson.Why Do We Punish? Deterrence and just Desserts as Motives of

Punishment. Journal of Personality And Psycology. 2002. Hal 284

Almanac on Indonesian Security Sector Reform -2007” oleh The Geneva. Canter for the Democratic Control of Armed Forces and Indonesian

Institute for Strategic and Defence Studies (LESPERSSI), Juga bacalah Institute for Defence Security and Peace Studies

(IDSPS), Backgrounders on Security Sector Reform Tautan web: http://www.idsps.org/index.php/lang=en, diakses 8

Februari 2022

68
69

Anda mungkin juga menyukai