Anda di halaman 1dari 13

Konsep TB Paru

Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari kelompok
Mycobacterium yaitu Mycobacterium Tuberculosis ( Kemenkes RI,2014). Tuberkulosis adalah
penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tubercul osis).
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB
anak terjadi pada anak usia 0-14 tahun (Kemenkes RI,2016).
Etiologi
Penyebab tuberkulosis paru adalah Mycobacterium Tuberculsis. Ada beberapa spesies
Mycobacterium, antara lain: M. Tuberculosis, M. Africanum, M. Bovis, M. Leprae dan
sebagainya. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok mikobakterium
selain Mycobacterium Tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal
sebagai MOTT (mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang mengganggu
penegakan diagnosis dan pengobatan TB (Menkes RI, 2017).
Sifat kuman Mycobacterium Tuberculosismenurut Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 67 Tahun
2016adalah sebagai berikut:
Berbentuk batang , panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron.
Bersifat tahan asam
Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa.
Tahan terhadap suhu 4 0 C – 70 0 C.
Sangat peka terhadap panas , sinar matahari dan sinar ultra violet. Dalam dahak pada suhu 30-37
derajad celcius akan mati dalam waktu lebih kurang 1 mingg
Kuman dapat bersifat dorman (Kemenkes, 2016).
Patogenesis
Kuman pada percik renik akan terhirup dan mencapai alveolus. Sebagian kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik, sehingga tidak terjadi respon
imunologis spesifik. Sebagian lainya tidak dapat dihancurkan. Makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB yang dihancurkan. Kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan berkembang biak di
dalam makrofag dan menyebabkan lisis makrofag. Kemudian kuman TB membentuk lesi di tempat
tersebut , yang dinamakan fokus primer ghon.
Kuman TB menyebar dari fokus primer ghon menuju kelenjar limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) .Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah maka kelenjar limfe yang
akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru maka yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer,
limfangitis, dan limfadingitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara
lengkap (masa inkubasi) bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu.
Pada masa ini kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 10.000- 100.000, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respon imunitas selular.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi
kompleks primer , imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan
adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa
inkubasi, uji tuberkulin masih negatif pada sebagian individu dengan sistem imun yang berfungsi
baik , pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi
sejumlah
kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila sistem imunitas selular telah terbentuk,
kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular
spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk , fokus primer di jaringan paru akan mengalami resolusi secara
sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi,
tetapi penyembuhanya tidak sempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB tetap dapat hidup
dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis perkijuan yang berat , bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar hilus yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi akan membesar karena reaksi
inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada distal paru
melalui mekanisme ventil. Obstruksi total dapat mengakibatkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi di dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endotrakheal atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menyebabkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular dapat terjadi penyebaran limfogen
dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi
penyebaran hematogen langsung , yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Gejala klinis

Penderita TB paru tidak selalu menunjukan gejala klinis. Sebagian besar yang mengalami infeksi
primer tidak menunjukan gejala yang berarti. Namun, pada penderita infeksi primer yang menjadi
progresif dan sakit (3-4% dari yang terinfeksi), gejalanya dapat berupa gejala umum dan gejala
respiratorik. Perjalanan penyakit dan gejalanya bervariasi tergantung pada usia dan keadaan
umum penderita saat terinfeksi. Gejala umum berupa demam dan malaise. Demam biasanya
timbul pada petang dan malam hari disertai dengan keringat. Demam ini mirip dengan demam
yang disebabkan oleh influenza. Namun kadang- kadang dapat mencapai suhu 400-410C. Gejala
demam ini bersifat hilang timbul. Malaise yang terjadi dalam jangka waktu panjang berupa pegal-
pegal, rasa lelah, anorexia, nafsu makan berkurang, serta penurunan berat badan.
Gejala respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif merupakan gejala yang paling
sering terjadi dan merupakan indikator yang sensitif untuk penyakit tuberkulosis paru aktif. Batuk
ini sering bersifat persisten karena perkembangan penyakitnya lambat. Gejala sesak nafas timbul
jika terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura,
ekstensi radang parenkim atau miliar. Nyeri dada biasanya bersifat nyeri pleuritik karena
terlibatnya pleura dalam proses penyakit. Hemoptisis mulai dari yang ringan sampai yang masif
mungkin saja terjadi.
Pada reaktivasi tuberkulosis, gejalanya berupa demam menetap yang naik dan turun (hectic
fever), berkeringat pada malam hari yang menyebabkan basah
kuyup (drenching night sweat), batuk kronik dan hemoptisis. Pemeriksaan fisik sangat tidak
sensitif dan sangat non spesific terutama pada fase awal penyakit. Pada fase lanjut diagnosis lebih
mudah ditegakan melalui pemeriksaan fisik, antara lain melalui ditemukannya demam, penurunan
berat badan, crackle, mengi dan suara bronkial. Tidak jarang pula terjadi efusi pleura.1

Resiko penularan

Resiko seseorang untuk tertular penyakit tuberkulosis paru tergantung dari tingkat pajanan
dengan percikan dahak. Pasien tuberkulosis paru BTA positif memberi kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pada pasien dengan BTA negatif.
Resiko penularan setiap tahunnya ditunjukan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection
(ARTI) yaitu proporsi penduduk yang beresiko terinfeks
TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi
setiap tahun. Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi 1-3% Infeksi TB dibuktikan dengan
perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. 13
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan
diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000

terinfeksi TB dan 10 % diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap


tahun. Setiap 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk). Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya
tahan tubuh seluler (celluler immunity) dan merupakan faktor resiko paling kuat
bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit TB (TB aktif). Bila jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi paparan TB, yaitu:

1. Faktor sosial ekonomi

Faktor ini berkaitan erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan
perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja yang buruk dapat
memudahkan penularan TB, karena pendapatan yang kecil membuat orang
tidak dapat layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan.

Status Gizi

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi, dll akan mempengaruhi
daya tahan tubuh seseorang, sehingga rentan terhadap penyakit TB Paru. Keadaan ini merupakan
faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
Umur

Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif 15-50 tahun.
Dengan terjadinya transisi demografi saat ini menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi
lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun
sistem imun seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai macam penyakit
termasuk penyakit TB Paru.
Jenis Kelamin

Penderita TB Paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Sedikitnya
dalam periode setahun ada 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB Paru, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada perempuan lebih banyak terjadi kematian akibat TB Paru dibandingkan
dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih
tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem
pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan penyebab TB Paru.13 Meskipun jenis
kelamin dan usia sama dengan yang di negara-negara maju saat ini, prevalensi laki-laki melebihi
perempuan setelah usia 15 tahun meningkatkan kemungkinan bahwa kasus TB di antara
perempuan lebih rendah di negara berkembang.14

Diagnosis TB Paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu
(SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakan dengan ditemukannya kuman TB. Pada
program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopik merupakan
diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan
sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan
mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB Paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Pemeriksaan Dahak Mikroskopik

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan
menentukan potensi penularan. Pemeriksaan untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi- Sewaktu (SPS).
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat
pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

 P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera


setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas Fasilitas pelayan kesehatan.
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasilitas pelayan kesehatan pada
hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2 spesimen


dahak mengingat masih belum optimal fungsi sistem dan hasil jaminan mutu
eksternal pemeriksaan laboratorium.

Gambar 1. Alur diagnostik TB paru(5).


Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena:


Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh


lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kemih, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis TB Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan pada foto toraks
menunjukan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA
negatif harus meliputi:
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
Foto toraks abnormaldahak
sesuai SPS pada
dengan pemeriksaan
gambaran sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan HIV negatif.
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
2) Tuberkulosis BTA negatif
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.
Kasus yang sebelumnya diobati
Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan
atau kultur).
Kasus setelah putus berobat (default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan.
Kasus pindahan
Adalah pasien yang dipindahkan ke tempat lain untuk melanjutkan pengobatannya.
Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti:
Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya
Kembali diobati dengan BTA negatif
Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah


kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT – Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (Intensif)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung
untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat yang lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan
Hasil Pengobatan TB BTA positif

Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow
up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya

Pengobatan lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi
tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan pada satu
pemeriksaan sebelumnya
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun
Putus Berobat (Default)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima atau lebih selama pengobatan
Pindah (Transfer Out)
Adalah pasien yang dipindah dari unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan
hasil pengobatannya tidak diketahui
Keberhasilan pengobatan (treatment success)
Jumlah yang sembuh dan pengobatan lengkap. Digunakan pada pasien dengan BTA+ atau biakan
positif.5
Penatalaksanaan Diet Pada Penyakit Tuberkulosis Paru 1. Jenis Diet Jenis diet yang diberikan pada
pasien Tuberkolosis Paru adalah diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP). 2. Tujuan Diet Tujuan diet
tinggi kalori tinggi protein adalah untuk: a. Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat
untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh. b. Menambah berat badan hingga
mencapai berat badan normal. 3. Syarat Diet a. Energi tinggi,yaitu 40-45 kkal/kg BB. b. Protein
tinggi,yaitu 1,5-2,5 g/kg BB. c. Lemak cukup,yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total. d.
Karbohidrat cukup,yaitu sisa dari kebutuhan energi total. e. Vitamin dan mineral cukup,sesuai
kebutuhan normal. f. Makanan diberikan dalam bentuk mudah cerna. 4. Macam Diet Dan Indikasi
Pemberian Diet tinggi kalori tinggi protein diberikan kepada pasien: a. Kurang energi protein (KEP).
b. Sebelum dan setelah operasi tertentu,multi trauma,serta selama radioterapi dan kemoterapi. c. Luka
bakar berat dan baru sembuh dari penyakit dengan panas tinggi. d. Hipertiroid,hamil,dan post-partum
di mana kebutuhan energi dan protein meningkat. Menurut keadaan,pasien dapat diberikan salah satu
dari dua macam diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP) seperti dibawah ini: a. Diet tinggi kalori
tinggi protein I (TKTP) Energi: 2600 kkal, protein:100 g (2 g/kg BB). b. Diet tinggi kalori tinggi
protein II (TKTP) Energi: 3000 kkal, protein/;125 g (2,5 g/kg BB

Anda mungkin juga menyukai