Anda di halaman 1dari 2

Pada tanggal 1 Oktober 2022 terjadi tragedi yang amat memilukan untuk sepakbola

Indonesia dan seluruh masyarakat Indonesia. Malam itu menjadi malam yang tidak bisa
dilupakan bagi penikmat sepakbola, para korban dan keluarga korban, 131 tewas dan ratusan
korban luka-luka.
Malam itu terjadi pertandingan besar antara Arema Malang VS Persebaya Surabaya.
Kedua klub tersebut merupakan rival abadi sejak zaman perserikatan. Dengan adanya gengsi
antar supporter, manjadikan laga ini seperti mempertaruhkan harga diri dan gengsi antar kedua
pendukung klub tersebut. Laga berlangsung dengan tensi tinggi dari sebelum pertandingan
dimulai, sehingga tekanan dilapangan dirasakan sangat besar oleh para pemain dan tim official.
Permainan keras mewarnai jalannya pertandingan. Pertandingan pun berakhir 2-3 untuk
kemenangan Persebaya. Para supporter Arema tidak terima atas kekalahan tim kesayangannya
itu, mereka turun ke lapangan sebagai bukti kekecewaan kepada pemain. Aparat kepolisian yang
dibantu TNI kewalahan membentung penonton yang turun ke lapangan.
Karena gagal mengahalau penonton yang nekat ke lapangan, aparat kepolisian kemudian
menembakan gas air mata ke arah tribun untuk mengendalikan keadaan. Namun, langkah
petugas kepolisian yang mengeluarkan gas air mata membuat suasana tidak kondusif alias kacau.
Penonton berhamburan keluar stadion. Mereka berdesak-desakan untuk menyelamatkan diri
keluar dari stadion, celakanya jumlah penonton sebanyak 42 ribu yang melebihi kapasitas yang
seharusnya hanya 38 ribu orang membuat aliran penonton keluar tersumbat. Akhirnya mereka
terjepit, terinjak-injak, kehabisan napas.
Kerusuhan tersebut juga merupakan salah satu yang terburuk dari garis panjang bencana
stadion yang tragis. Pada tahun 1964, total 320 orang tewas dan lebih dari 1.000 terluka selama
penyerbuan di kualifikasi Olimpiade Peru-Argentina di Lima. Pada tahun 1985, total 39 orang
tewas dan 600 anggota di stadion Heysel di Brussel, Belgia, ketika penggemar terbentur tembok
yang kemudian runtuh saat final piala eropa antara Liverpool dan juventus. Di inggris kerusuhan
terjadi di stadion Hillsborough di Sheffield pada tahun 1989, mengakibatkan kematian 97
penggemar Liverpool yang menghadiri resmi final Piala FA klub melawan Nottingham Forest.
Kejadian di Kanjuruhan beberapa waktu lalu dapat menimbulkan dampak psikologis
tersendiri. Dampak psikologis terbesar adalah pada keluarga korban yang ditinggalkan. Kejadian
itu menyebabkan para keluarga korban menjadi takut pada sepakbola, banyak ibu yang menjadi
benci dengan sepakbola, dan banyak anak-anak yang akan dilarang menonton dan bermain
sepakbola oleh orang tua mereka. Kejadian ini juga menimbulkan trauma tersendiri bagi
keluarga korban yang ditinggalkan orang tersayang mereka dengan tiba-tiba, itu akan
menimbulakan rasa kehilangan yang dalam dan dapat belarut-larut dalam kesedihan.
Selain itu, biasanya para keluarga korban akan mengalami self balming (menyalahkan
diri sendiri). Perasaan ini akan muncul dan berkata “ andai aku melarangnya, pasti dia masih
hidup”. Perasaan ini jika tidak ditangani dengan baik dan tepat akan berdampak buruk bagi
pemulihan psikologis keluarga korban.
Selain itu para korban tidak hanya mengalami trauma fisik saja, tapi juga secara
psikologis. Mereka butuh penanganan dan pedampingan intensif dari ahli untuk memulihkan
mental mereka damapak dari peristiwa pilu itu. Menurut Dokter Spesialis Jiwa RS Saiful Anwar
Malang, Ratri Istiqomah, mengatakan tragedy kanjuruhan sangat berdampak terhadap mental
bukan hanya korban langsung tapi juga mereka yang selamat dari peristiwa itu. Termasuk
keluarga, kerabat, dan rekan korban
Menurut Dokter Ratri Istiqomah, korban yang dirawat di rumah sakit menimbulkan
berbagai pertanda stress, misalnya pasien kerab terbayang-bayang dengan tragedy itu dan ada
juga yang mudah kaget jika dipicu kisah itu lagi

Anda mungkin juga menyukai