Anda di halaman 1dari 3

1

Mommy?”

”Hmm?”
”Mommy?”
”Hmm?”
”Ada orang di halaman.”
”Apa?”
Anak empat tahun itu datang untuk berdiri di sudut meja dapur
dan menatap penuh damba krim hias yang dibubuhkan sang ibu
di atas cupcake. ”Bisa aku minta, Mommy?”
”Bolehkah aku minta. Setelah aku selesai, kau boleh menjilati
www.facebook.com/indonesiapustaka

mangkuknya.”
”Mommy membuat rasa cokelat.”
”Karena cokelat rasa favoritmu, dan kau gadis favoritku,” sang
ibu menjawab, mengedipkan sebelah mata pada si gadis kecil.
”Dan,” ia menambahkan, sengaja bicara lambat, ”aku akan membe-
rikan taburan segera setelah menyelesaikan krim hiasnya.”

5
Emily tersenyum lebar, kemudian wajahnya berkerut penuh
kekhawatiran. ”Dia sakit.”
”Siapa yang sakit?”
”Orang itu.”
”Orang apa?”
”Yang di halaman.”
Pernyataan Emily akhirnya menembus sikap skeptis khas ibu
yang menyaring ocehan tak penting. ”Benar-benar ada orang di
luar?” Honor meletakkan cupcake yang sudah dihias di piring, me-
ngembalikan spatula ke mangkuk krim, dan tanpa sadar mengelap
kedua tangannya di serbet sambil mengitari putrinya.
”Dia tiduran karena dia sakit.”
Emily membuntuti ibunya yang berjalan dari dapur ke ruang
keluarga. Honor melongok dari jendela depan, memandang ke se-
gala arah, tetapi hanya melihat rumput St. Augustine di halaman
yang menurun landai ke dermaga.
Di balik papan-papan kayu yang lapuk oleh cuaca, air rawa ber-
gerak lambat, seekor capung menyambar-nyambar permukaan dan
menimbulkan riak. Si kucing liar, yang tetap datang meski Honor
terus mengusirnya, sedang mengintai mangsa tak terlihat di petak
bunga zinnia yang berwarna cerah.
”Mm, tidak ada—”
”Dekat semak berbunga putih,” sela Emily keras kepala. ”Aku
melihatnya dari jendela kamarku.”
Honor menuju pintu, membuka kunci, menggeser gerendel,
melangkah ke beranda, lalu menatap ke arah semak mawar Sharon.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dan orang itu ada di sana, menelungkup agak miring ke kiri,


wajahnya tidak terlihat oleh Honor, lengan kirinya terjulur di atas
kepala. Dia berbaring tak bergerak. Honor bahkan tidak bisa me-
lihat gerakan rusuk yang menunjukkan pria itu masih bernapas.
Dengan cepat, Honor berbalik dan mendorong lembut Emily
agar masuk ke rumah. ”Sayang, pergi ke kamar Mommy. Ponsel

6
Mommy ada di nakas. Tolong ambilkan.” Tak ingin membuat
anaknya ketakutan, ia menjaga suaranya setenang mungkin, tetapi
dengan cepat menuruni beranda dan berlari menyeberangi rumput
basah ke arah sosok tak berdaya itu.
Setelah lebih dekat, Honor melihat bahwa pakaian pria itu ko-
tor, sobek-sobek, dan bernoda darah. Ada coreng-moreng darah di
kulit lengan dan tangannya. Darah kering membuat seberkas ram-
but gelap di puncak kepalanya menggumpal.
Honor berlutut dan menyentuh pundak pria itu. Saat pria itu
mengerang, Honor mendesah lega. ”Sir? Bisakah Anda mendengar
saya? Anda terluka. Saya akan memanggil bantuan.”
Pria itu bangkit dengan sangat cepat sehingga Honor tak sempat
mundur, apalagi membela diri. Si pria asing menyerang dengan
akurat dan secepat kilat. Tangan kirinya bergerak cepat mencengke-
ram tengkuk Honor, sedangkan tangan kanannya menodongkan
laras pistol yang pendek gemuk ke celah sempit rusuk-rusuk Honor.
Dia mengarahkannya ke kiri atas, ke arah jantung Honor, yang
menggelembung karena ketakutan.
”Ada siapa lagi di sini?”
Pita suara Honor seolah membeku karena takut; ia tak bisa
berbicara.
Pria itu meremas tengkuk Honor dan mengulangi dengan pene-
kanan, ”Ada siapa lagi?”
Honor harus mencoba beberapa kali sebelum mampu tergagap,
”A… anakku—”
”Ada siapa lagi selain anak itu?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Honor menggeleng. Atau mencoba menggeleng. Cengkeraman


pria itu di tengkuknya sangat erat. Ia bisa merasakan tekanan se-
tiap jari orang asing itu.
Mata biru pria itu menusuk tajam. ”Kalau kau membohongi-
ku…”
Honor merintih bahkan sebelum ancaman itu selesai dilontar-

Anda mungkin juga menyukai