Anda di halaman 1dari 3

kan. ”Aku tidak berbohong. Sumpah. Kami hanya berdua.

Jangan
sakiti kami. Anakku… baru empat tahun. Jangan sakiti dia. Aku
akan menuruti semua keinginanmu, tapi jangan—”
”Mommy?”
Jantung Honor nyeri, dan ia memekik lemah, seperti hewan ter-
perangkap yang tak berdaya. Karena tidak bisa menoleh, ia menga-
rahkan matanya kepada Emily. Emily berada beberapa meter dari-
nya, berdiri menggemaskan dengan dua telapak kaki mengarah ke
samping, ikal pirang membingkai wajah manisnya, jemari kaki ge-
muk mengintip dari bawah kelopak bunga sutra merah muda yang
menghiasi sandalnya. Dia mencengkeram ponsel Honor, tampak
khawatir.
Honor dibanjiri perasaan sayang. Ia bertanya-tanya apakah ini
kesempatan terakhirnya melihat Emily sehat, utuh, dan aman. Pi-
kiran itu sangat mengerikan sehingga air matanya menggenang—
dan, demi keselamatan sang anak, dengan cepat ia berkedip.
Baru ketika mencoba bicara, Honor sadar gigi-giginya gemeletuk.
Ia berhasil mengatakan, ”Tidak apa-apa, Sayang.” Matanya beralih
lagi ke wajah pria yang hanya perlu menarik pelatuk untuk meng-
hancurkan jantungnya hingga berkeping-keping. Emily akan sen-
dirian, ketakutan, dan berada dalam belas kasihan pria itu.
Kumohon. Sorot mata Honor memohon tanpa suara kepada pria
itu. Kemudian ia berbisik, ”Kumohon.”
Sepasang mata dingin dan tajam itu terus menatapnya, seiring
pria itu menjauhkan pistol perlahan. Pria itu menurunkannya ke
tanah, meletakkannya di antara paha, tempat yang tidak bisa Emily
www.facebook.com/indonesiapustaka

lihat. Namun, ancaman implisit itu tetap ada.


Dia melepaskan tangannya dari tengkuk Honor dan menoleh
kepada Emily. ”Hai.”
Pria itu tidak tersenyum saat mengatakannya. Garis-garis samar
muncul di kedua sisi mulutnya, tetapi Honor berpikir itu bukan
berasal dari senyuman.

8
Emily menatapnya malu-malu dan membenamkan bagian depan
sandalnya ke rumput tebal. ”Halo.”
Si pria asing mengulurkan tangan. ”Berikan teleponnya padaku.”
Emily tidak bergerak, dan saat pria itu menjentikkan jari tangan-
nya yang terulur, anak itu menggumam, ”Kau tidak mengatakan
tolong.”
Tolong sepertinya adalah konsep asing bagi pria itu. Namun,
sesaat kemudian, dia berkata, ”Tolong.”
Emily mendekatinya selangkah, kemudian langsung berhenti dan
menatap Honor, meminta izin. Meskipun bibir Honor bergetar
nyaris tak terkendali, ia berhasil menyunggingkan senyuman. ”Ti-
dak apa-apa, Sayang. Berikan teleponnya padanya.”
Meski masih malu-malu, Emily mendekat. Kemudian, saat me-
reka sudah bisa bersentuhan, ia membungkuk dan menjatuhkan
telepon ke telapak tangan pria itu.
Tangan yang tercoreng darah menggenggam telepon Honor.
”Terima kasih.”
”Terima kasih kembali. Apakah kau akan menelepon Grandpa?”
Tatapan pria itu beralih kepada Honor. ”Grandpa?”
”Dia akan datang untuk makan malam nanti,” ungkap Emily
ceria.
Sambil terus menatap Honor, pria itu bergumam, ”Benarkah?”
”Kau suka piza?”
”Piza?” Pria itu kembali menatap Emily. ”Yeah. Tentu.”
”Kata Mommy, aku boleh makan malam dengan piza karena itu
pesta.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

”Hah.” Pria itu menyelipkan ponsel ke saku depan celana jinsnya


yang kotor, kemudian melingkari biseps Honor dengan tangannya
yang bebas, dan menarik Honor sambil berdiri. ”Kelihatannya aku
tiba di sini tepat waktu. Ayo masuk. Kau bisa bercerita kepadaku
mengenai pesta malam ini.” Pria itu terus mencengkeram lengan
Honor, menariknya ke rumah. Kaki Honor sangat gemetar sehing-

9
ga nyaris tak sanggup menyangga tubuhnya saat ia melangkah de-
ngan goyah. Perhatian Emily teralihkan oleh si kucing. Dia menge-
jar kucing itu, memanggil, ”Sini, Kitty,” sementara si kucing
menyelinap ke balik semak di ujung halaman.
Segera setelah Emily tidak bisa mendengar, Honor berkata,
”Aku punya sedikit uang. Tidak banyak, mungkin dua ratus dolar.
Beberapa perhiasan. Kau bisa mengambil semua yang kumiliki.
Tapi tolong, jangan sakiti anakku.”
Sambil terus mengoceh, Honor mengamati halaman untuk men-
cari apa pun yang bisa ia gunakan sebagai senjata. Slang air yang
tergulung di gelondongan kayu di tepi beranda? Pot geranium di
anak tangga terbawah? Salah satu bata yang terbenam di tanah,
memagari petak bunga?
Bahkan meskipun bisa melepaskan diri dari cengkeraman pria
itu—yang dari kekuatan cengkeramannya ia tahu akan sulit tetapi
tidak mustahil—Honor tidak akan bisa mencapai benda-benda itu
tepat waktu. Dan dalam proses perlawanan itu, si pria asing hanya
perlu menembaknya. Kemudian, dia bisa melakukan apa saja kepa-
da Emily. Pikiran itu membuat Honor mual.
”Di mana perahumu?”
Honor menoleh dan melongo menatap pria itu.
Dengan tidak sabar, pria itu menggerakkan dagu ke dermaga
yang kosong. ”Siapa yang membawa perahumu?”
”Aku tak punya perahu.”
”Jangan menipuku.”
”Aku menjual perahu itu saat… Dua tahun lalu.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pria itu tampak sedang menilai kejujuran Honor, kemudian


bertanya, ”Di mana mobilmu?”
”Terparkir di depan.”
”Kuncinya ada di dalam?”
Honor ragu, tetapi saat pria itu mencengkeramnya semakin kuat,
ia menggeleng. ”Di rumah. Di kaitan di dinding, dekat pintu dapur.”

10

Anda mungkin juga menyukai