Anda di halaman 1dari 3

”Mari berharap yang terbaik.


”Menurut surat lamaran di kantornya, dia tinggal di Orange,
Texas, sebelum pindah ke Tambour. Tapi, alamatnya sudah kupe-
riksa dan ternyata palsu.”
”Jadi, tidak ada yang tahu pasti dari mana dia berasal.”
”Tidak ada yang bisa ditanyai,” sahut Fred getir. ”Rekan-rekan
kerjanya di galangan pemuatan sudah tewas.”
”Tapi, dia sudah tinggal di Tambour tiga belas bulan. Dia pasti
mengenal seseorang.”
”Tidak ada yang mengaku mengenalnya.”
”Tidak akan ada yang mau melakukan itu, bukan?”
”Kukira tidak. Setelah kejadian semalam, siapa yang mau meng-
klaim sebagai temannya?”
”Bartender? Pelayan? Seseorang yang melakukan transaksi de-
ngannya?”
”Para petugas sudah menyisir banyak tempat. Seorang kasir di
Rouse’s tempat dia beberapa kali belanja berkata bahwa Coburn
cukup menyenangkan, tetapi tidak ramah. Kata si kasir, dia selalu
membayar tunai. Kami sudah memeriksa nomor Jaminan Sosial-
nya. Tidak ada kartu kredit, tidak ada utang. Tidak ada rekening
bank di kota mana pun. Dia mencairkan cek gajinya di salah satu
tempat yang memotong biaya beberapa persen.”
”Orang itu tidak ingin meninggalkan jejak dokumen.”
”Dan dia berhasil.”
Doral bertanya sudahkah tetangga-tetangga Coburn ditanyai.
”Aku sendiri yang melakukannya,” Fred menjawab. ”Semua
www.facebook.com/indonesiapustaka

orang di kompleks apartemen mengenalnya karena penampilannya.


Para wanita berpendapat dia menarik dalam cara tertentu.”
”Cara tertentu apa?”
”Berharap mereka bisa bercinta dengannya, tetapi menganggap-
nya tidak cocok untuk hubungan serius.”
”Itu termasuk ‘cara’?”

20
”Tentu saja itu sebuah ‘cara’.”
”Kata siapa?”
”Aku tahu begitu saja.” Fred menyodok rusuk kembarannya.
”Tentu saja aku lebih memahami wanita dibandingkan denganmu.”
”Tak perlu menyindirku.”
Mereka terkekeh, kemudian Fred kembali serius. ”Para pria yang
kuajak bicara berkata bahwa mereka enggan membuat masalah de-
ngan Coburn, dan itu tidak pernah terjadi, karena dia datang dan
pergi bahkan tanpa mengangguk kepada siapa pun.”
”Pacar?”
”Tidak ada yang tahu.”
”Pasangan sejenis?”
”Tidak ada yang tahu juga.”
”Kau sudah menggeledah apartemennya?”
”Dengan teliti. Itu studio satu kamar yang eisien di sisi timur
kota, dan sama sekali tidak ada yang bisa dijadikan petunjuk.
Pakaian kerja di lemari. Chicken pot pie di lemari pembeku. Pria
itu hidup bak rahib. Hanya ada satu eksemplar Sports Illustrated di
meja kecil. Sebuah TV, tapi tidak tersambung dengan layanan TV
kabel. Tidak ada barang pribadi di tempat itu. Tidak ada buku
catatan, kalender, buku alamat. Nihil.”
”Komputer?”
”Tidak ada.”
”Bagaimana dengan teleponnya?”
Fred menemukan ponsel di TKP dan yakin bahwa itu bukan
milik mayat-mayat penuh lubang peluru di sana. ”Telepon keluar
www.facebook.com/indonesiapustaka

terakhirnya ke restoran Cina kumuh yang melayani pesan antar di


kota, dan satu telepon masuk dari telemarketer.”
”Hanya itu? Dua panggilan?”
”Dalam 36 jam.”
”Ya ampun.” Doral menepuk lalat yang hinggap.
”Kami sudah memeriksa panggilan-panggilan dalam daftarnya.

21
Memeriksa nomor milik siapa saja di sana. Tapi, saat ini, kita tidak
tahu apa-apa tentang Lee Coburn, kecuali bahwa dia ada di suatu
tempat di luar sana, dan kita akan terlibat masalah besar jika tidak
menemukannya.” Sambil merendahkan suara, Fred menambahkan,
”Dan aku lebih ingin dia kembali dalam keadaan tewas. Itu yang
terbaik untuk kita, kan? Kita akan menemukan tubuh tak bernya-
wanya mengambang di rawa.”
”Penduduk kota tidak akan protes. Marset sangat dihormati di
sini. Nyaris bisa dibilang pangerannya Tambour.”
Sam Marset adalah pemilik Royale Trucking Company, presiden
Rotary Club, seorang pengurus Gereja Katolik St. Boniface, ang-
gota Eagle Scout, seorang Mason. Dia mengetuai berbagai dewan
dan biasanya menjadi pemimpin parade Mardi Gras kota. Dia pilar
komunitas yang dikagumi dan disukai masyarakat.
Sekarang dia adalah jasad dengan sebuah lubang peluru di ke-
pala, dan, seolah itu belum cukup membunuhnya, satu peluru lagi
ditembakkan ke bagian dada untuk memastikan. Enam korban
penembakan lain mungkin tidak akan terlalu dirindukan, tetapi
pembunuhan Marset menjamin adanya konferensi pers yang disi-
arkan televisi pagi itu. Kejadian tersebut telah diliput berbagai
surat kabar komunitas dari area pantai negara bagian, dan semua
stasiun televisi besar New Orleans hadir.
Fred memberikan keterangan di depan mikrofon, diapit pejabat
kota, termasuk kembarannya sendiri. Departemen Kepolisian New
Orleans telah meminjamkan ahli sketsa kepada Kepolisian
Tambour, yang menggambar sketsa Coburn berdasarkan deskripsi
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang diberikan para tetangga: pria Kaukasia dengan tinggi sekitar


190 sentimeter, berat rata-rata, bertubuh atletis, berambut hitam,
bermata biru, berumur 34 tahun berdasarkan catatan kepegawai-
annya.
Fred menutup konferensi pers dengan memajang sketsa tersebut
memenuhi layar televisi dan memperingatkan warga lokal bahwa

22

Anda mungkin juga menyukai