Anda di halaman 1dari 3

”Kau tidak mencuci tangan,” tegur si gadis kecil.

Coburn menelan cupcake itu tanpa mengunyah. ”Apa?”


”Seharusnya kau mencuci tangan dulu sebelum makan.”
”Benarkah?” Ia mengupas kertas cupcake kedua dan menggigit
besar-besar.
Anak itu mengangguk dengan sungguh-sungguh. ”Itu peraturan-
nya.”
Coburn menatap si wanita dewasa, yang bergerak ke belakang si
anak dan menyentuh pundak putrinya dengan sikap melindungi.
”Aku tidak selalu mematuhi peraturan,” katanya. Sambil terus
mengawasi mereka, ia berjalan ke kulkas, membukanya, dan me-
ngeluarkan sebotol susu. Ia membuka tutupnya dan memiringkan
botol ke mulut, lalu langsung menenggak dari mulut botol.
”Mommy, dia minum dari—”
”Aku tahu, Sayang. Tapi sekali ini tidak apa-apa. Dia sangat
haus.”
Dengan takjub, anak itu memandang Coburn yang menenggak
setidaknya sepertiga isi botol sebelum berhenti untuk menarik
napas. Coburn menyeka mulut dengan punggung tangan dan me-
ngembalikan botol susu ke kulkas.
Anak itu mengernyitkan hidung. ”Pakaianmu kotor dan bau.”
”Aku jatuh ke sungai.”
Mata si anak membelalak. ”Kecelakaan?”
”Semacam itu.”
”Kau memakai pelampung sayap?”
”Sayap?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

”Wajahmu bisa mengambang?”


Kebingungan, Coburn menatap sang ibu. Wanita itu menjelas-
kan, ”Dia belajar mengambang telentang di kelas berenang.”
”Aku masih harus pakai pelampung sayapku,” kata si gadis kecil
itu, ”tapi aku dapat bintang emas di fertisikat-ku.”
Dengan gugup, sang ibu membalikkan tubuh putrinya dan

26
menggiringnya ke pintu menuju ruang keluarga. ”Kupikir sebentar
lagi Dora mulai. Bagaimana kalau kau menonton sementara aku
bicara dengan… dengan tamu kita.”
Anak itu enggan beranjak. ”Mommy biilang aku boleh menjilati
mangkuk.”
Sang ibu ragu, kemudian meraih spatula karet dari mangkuk
krim penghias dan menyerahkannya kepada si anak. Si gadis kecil
menerimanya dengan gembira dan berkata kepada Coburn, ”Jangan
makan cupcake-nya lagi. Itu untuk pesta ulang tahunku.” Kemu-
dian, dia cepat-cepat meninggalkan ruangan.
Sang ibu menoleh ke arah Coburn, tetapi tidak mengatakan apa-
apa hingga mereka mendengar suara-suara khas acara televisi itu.
Kemudian, ”Bagaimana kau bisa tahu namaku?”
”Kau janda Eddie Gillette, kan?” Wanita itu hanya menatap
Coburn. ”Itu bukan pertanyaan sulit. Ya atau bukan?”
”Ya.”
”Jadi, kecuali kau menikah lagi…”
Wanita itu menggeleng.
”Kalau begitu, namamu benar Mrs. Gillette. Apa nama depan-
mu?”
”Honor.”
Honor? Coburn belum pernah mengenal siapa pun yang memi-
liki nama itu. Namun, ini Louisiana. Orang-orang memiliki nama
aneh, entah sebagai nama depan dan nama belakang. ”Baiklah,
Honor, aku tidak perlu memperkenalkan diri, bukan?”
”Mereka berkata namamu Lee Collier.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

”Coburn. Senang bertemu denganmu. Duduklah.” Coburn me-


nunjuk kursi di meja dapur.
Honor ragu, kemudian menarik kursi dari bawah meja dan du-
duk dengan perlahan.
Coburn mengeluarkan ponsel dari saku depan celana jinsnya dan
menekan sebuah nomor, mengait satu kaki kursi dengan bagian

27
depan sepatu botnya, lalu duduk di seberang meja. Ia menatap
Honor sambil mendengarkan telepon di ujung lainnya berdering.
Honor gelisah di kursinya. Dia menyatukan kedua tangannya di
pangkuan erat-erat dan berpaling dari Coburn, kemudian, nyaris
dengan sorot membangkang, kembali menatap Coburn dan berta-
han di sana. Dia ketakutan setengah mati tetapi berusaha untuk
tidak menunjukkannya. Wanita itu bernyali, dan bagi Coburn itu
tidak masalah. Ia lebih suka menghadapi sedikit pembangkangan
daripada tangisan dan rengekan.
Ketika teleponnya dijawab oleh rekaman pesan suara otomatis,
ia mengumpat pelan, kemudian menunggu bunyi ding dan berkata,
”Kau tahu siapa ini. Semuanya kacau.”
Segera setelah Coburn mematikan telepon, Honor bertanya,
”Kau punya kaki-tangan?”
”Bisa dibilang begitu.”
”Dia ada di sana saat… penembakan?”
Coburn hanya menatap Honor sekilas.
Honor membasahi bibir, menggigit bibir bawahnya. ”Di siaran
berita disebutkan tujuh orang terbunuh.”
”Hitunganku juga sama.”
Honor bersedekap dan memeluk siku. ”Mengapa kau membu-
nuh mereka?”
”Apa yang mereka katakan di TV?”
”Kau pegawai yang kecewa.”
Coburn mengedikkan bahu. ”Kau boleh menyebutku kecewa.”
”Kau tidak menyukai perusahaan pengangkutan itu?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

”Ya. Terutama si bos.”


”Sam Marset. Tapi, yang lain hanya pekerja sif, seperti kau.
Apakah perlu menembak mereka juga?”
”Ya.”
”Mengapa?”
”Mereka semua saksi.”

28

Anda mungkin juga menyukai