Cerita Dari Beranda Negeri Buku Ekspedis
Cerita Dari Beranda Negeri Buku Ekspedis
ii
iii
Ketentuan Pidana
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimak-
sud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
UGM MARITIME CULTURE EXPEDITION
“Sangihe: The Northern Gate of Nusantara”
vi
Penulis
Sultan Kurnia A.B.
Dwi Kurnia Sandy
Fuad Anshori
Lengkong Sanggar Ginaris
Muhamad Destrianto
Natasha Devanand Dhanwani
Editor
Sandy Maulana Yusuf Tahuna
Umar Hanif Al Faruqy
Wulandari Retnaningtiyas
Manganitu
Manganitu
Selatan
Kepulauan Sangihe
Daftar Isi
1. Sambutan viii
10. Lintas Batas Utara: Bibit Perang yang Diikat Darah dan Sejarah 65
15. Dari Dapur Ekspedisi: Romansa Tujuh Bulan dengan Nusa Utara 107
Rasa haru dan bangga begitu saja menyeruak ketika tim UGM
Maritime Culture Expedition 2017, yang telah melakukan ekspedisi di
bawah air dan di darat, menyodorkan draft buku karya mereka. Tanpa
melihat isinya lebih dahulu, sudah muncul rasa syukur, bahwa di sela-sela
kesibukan kuliah, tim masih mampu meluangkan waktu untuk mempub-
likasikan hasil ekspedisi sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiah dan
moral dari kegiatan tersebut. Tenaga, waktu, pikiran dan upaya pengum-
pulan dana yang telah tercurah untuk melaksanakan ekspedisi, menjadi
lengkap dengan tuntasnya penulisan buku ini.
Mengapa mereka memilih Sangihe, ada apa dengan Sangihe? Sangihe
hanyalah salah satu kepulauan kecil dalam peta wilayah Indonesia yang
luas. Kebanyakan orang mungkin tidak terlalu perduli dengan keberadaan
salah satu kepulauan terluar ini. Akan tetapi, setelah membaca karya
anak-anak muda ini, tampak adanya banyak informasi baru yang mampu
memperluas wawasan. Melalui kesadaran kerja sama kolaboratif, anggo-
ta tim yang mayoritas adalah mahasiswa Arkeologi, bersama dengan ang-
gota tim yang mempunyai latar belakang Antropologi, Ilmu Sejarah, serta
Komputer dan Sistem Informasi, berhasil menguak dan merekam sebagi-
an dari “rahasia” Sangihe. Dari catatan mereka, Sangihe diketahui me-
nyimpan beragam tinggalan, potensi alam dan budaya yang perlu dike-
tahui secara lebih luas, sekaligus masalah sosial, ekonomi, politik yang
pelik dan membutuhkan perhatian.
Hasil kerja keras, rekaman, dan pemikiran anak muda yang tertuang
pada karya tulis populer ini patut diapresiasi. Semoga karya ini, dan karya
-karya berikutnya, dapat menginspirasi berbagai pihak untuk lebih mem-
perhatikan wilayah-wilayah terluar, agar tetap menjadi bagian dari NKRI.
dengan wilayah yang luas dan sumber daya alam yang berlimpah. Kepu-
lauan Nusantara dikenal sebagai penghasil komoditas unggulan yang
menjadi primadona dunia, seperti kapur barus, kemenyan, emas, perak,
dan rempah-rempah. Selain itu, perairan Nusantara yang membentang
luas menghubungkan belahan timur dan barat bumi menjadikannya se-
bagai jalur lalu lintas bagi perdagangan internasional. Sejarah mencatat,
ratusan ribu kapal bangsa asing setiap tahunnya berlayar di perairan
Indonesia untuk urusan ekonomi, dagang, politik, dan juga kontak bu-
daya.
Rahardjo dalam tulisannya yang berjudul Prospek dan Tantangan
Arkeologi Maritim di Indonesia, mengatakan bahwa dalam waktu yang
lama semua kontak budaya, dagang, dan politik tersebut telah melahir-
kan peradaban maritim yang maju di Kepulauan Nusantara. Di berbagai
wilayah Nusantara tumbuh kerajaan-kerajaan berbasis maritim dengan
aktivitas utama, yakni perdagangan.
Beberapa contoh kerajaan tersebut adalah Sriwijaya dan Majapahit
yang mewakili pada masa Hindu-Buddha dan Kesultanan Aceh, Demak,
3
Informasi lainnya yang tak kalah penting adalah sejak ribuan tahun
lalu kepulauan ini diduga menjadi jalur migrasi budaya dari Asia
Tenggara ke wilayah Melanesia dan Mikronesia, seperti yang dikemukan
Soegondho dalam tulisannya yang berjudul Arkeologi Membuktikan
bahwa Sulawesi Utara adalah Gerbang Asia Pasifik Sejak Masa
Prasejarah.
Melakukan penelitian di kepulauan terluar memang menjadi tantang-
an tersendiri. Medan yang berat, biaya yang besar, dan akses yang sulit
adalah beberapa alasan membuat orang akan berpikir dua kali melaku-
kan penelitian di sana. Namun, sebenarnya di balik semua tantangan itu,
kepulauan terluar justru menjanjikan pengalaman penelitian yang he-
bat, apalagi bagi mahasiswa yang haus akan kegiatan lapangan.
Selain itu, lokasi yang jauh dan sulitnya akses menjadikan data di ke-
pulauan terluar berpotensi besar masih dalam kondisi ‘asli’ (preserved)
atau belum banyak mengalami transformasi. Lebih dari itu, penelitian di
daerah terluar tentu akan memperkaya khazanah pengetahuan sejarah
budaya maritim Indonesia yang selama ini banyak terfokus pada pulau-
pulau besar. Harapannya, penelitian sejarah budaya maritim akan mem-
buka jalan untuk melakukan pembangunan di berbagai aspek lainnya di
kepulauan terluar, seperti aspek ekonomi, sosial, dan pariwisata. Oleh
karena begitu pentingnya penelitian di sana, mari lebih sering melirik
kepulauan terluar.
7
Jalan Panjang
Menuju Ekspedisi Sangihe
telah digagas sejak beberapa tahun belakangan oleh para senior. Bah-
kan, pernah tercetus sebuah ide untuk melakukan pelatihan sekaligus
penelitian ABA yang melibatkan mahasiswa arkeologi se-Indonesia. Inti
gagasan tersebut adalah mengadakan suatu kegiatan yang tidak hanya
bersifat temporal seperti PKM dan skripsi, tetapi juga kegiatan yang si-
fatnya berkelanjutan dengan perencanaan jangka panjang. Beberapa ka-
li upaya untuk mewujudkan keinginan tersebut telah dilakukan akan te-
tapi belum kesampaian. Hingga akhirnya tiba momentum baik pada ta-
hun 2017, cita-cita itu dapat terlaksana dalam kegiatan bertajuk “UGM
Maritime Culture Expedition”.
Kegiatan ini pada awalnya merupakan penelitian yang fokus pada ka-
jian arkeologi bawah air. Namun, kemudian kajiannya meluas sehingga
akhirnya diberi nama “UGM Maritime Culture Expedition”. Perluasan ka-
jian tersebut didasarkan atas kesepakatan, bahwa arkeologi bawah air
tidak dapat dilepaskan dari kajian sejarah budaya maritim yang perlu
melibatkan disiplin ilmu lain. Dengan perluasan kajian seperti itu, maka
target data yang semula hanya kapal karam di dalam laut kemudian
ditambah dengan data lain berupa sejarah lisan, arsip lama, hingga data
etnografi.
Cerita tentang persiapan Ekspedisi Sangihe dimulai sejak awal De-
sember hingga pelaksanaannya di bulan April dan Mei. Dalam kurun
waktu lima bulan, cukup banyak yang telah dilakukan dan dipelajari. Ti-
dak hanya belajar tentang ilmu arkeologi saat penelitian lapangan, kami
juga belajar hal-hal lain pada setiap proses persiapan yang dilakukan
11
Sejak awal bulan April, Khoir berada di Pulau Bawean untuk mela-
kukan penelitian yang berbeda. Kabar kurang baiknya, seminggu men-
jelang keberangkatan Ekspedisi Sangihe, ia masih terjebak di Pulau
Bawean karena cuaca ekstrem. “Saya belum bisa pulang, kapal PELNI
tidak ada yang berani menyeberang ke Pulau Jawa, badai besar dan ge-
lombang tinggi,” tulis Khoir dalam sebuah SMS yang ia kirimkan pada
kami, malam 22 April. Padahal, dalam rencana awal Khoir dijadwalkan
berangkat ke Sangihe pada tanggal 24 April dari Jakarta bersama rom-
bongan kementerian. Ia sangat diharapkan berangkat ke Sangihe karena
selain paling diandalkan untuk kegiatan penyelaman, sebagian peralatan
selam yang akan digunakan tim di Sangihe nanti juga dibawa olehnya.
Maka dengan kondisi yang cukup genting itu, Khoir hanya punya dua
pilihan. Pertama, tetap tinggal di Pulau Bawean menunggu cuaca normal
yang diperkirakan satu minggu lagi, tapi akibatnya tidak jadi berangkat
Ke Sangihe. Kedua, berangkat ekspedisi ke Sangihe tapi sebelumnya
bertaruh nyawa menyeberangi Laut Bawean, bagaimanapun caranya.
Akhirnya Khoir menempuh pilihan kedua. Ia menyeberang dari Pulau
Bawean ke Lamongan sekitar pukul 04.00 subuh dengan menumpang
perahu nelayan. “Sangat berisiko, tapi hanya ini satu-satunya jalan, tidak
ada kapal PELNI” SMS Khoir kepada kami, sesaat sebelum ia menyebe-
rangi Laut Bawean yang dikenal ganas itu.
Syukurlah, Khoir sampai di Lamongan pagi 23 April dengan selamat.
Semula, ia berniat pulang ke Jogja terlebih dahulu agar bisa beristirahat
dan menyiapkan segala sesuatunya, tapi waktu sudah tidak lagi cukup.
Atas kesepakatan tim, Khoir akhirnya melanjutkan perjalanan dari
Lamongan ke Surabaya lalu menginap semalam di sana. Keesokan
subuhnya ia terbang dari Bandara Juanda menuju Bandara Soekarno-
Hatta.
Tengah malam tanggal 24 April, Khoir dan tim yang sudah menunggu
di Jakarta melanjutkan penerbangan Jakarta-Manado-Sangihe. Setelah
melalui penerbangan panjang, tanggal 25 pagi mereka tiba di Sangihe
dengan selamat meski dalam kondisi yang sangat lelah. Pagi itu, diawali
dengan pengurusan surat izin ke Pemerintah Daerah Kepulauan Sangihe
oleh Khoir dan kawan-kawan, Ekspedisi Sangihe pun dimulai.
13
Sangihe I Kekendage
Ini adalah sekumpulan syair magis. Tidak percaya? Sini biar kuberi tahu:
“Pssst, beberapa orang berkata kalau syair ini bisa menautkan hati para
pendatang dengan Sangihe.”
Limembong bantugĕ
Soang kinariadiangku2×
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 14
Silahkan bernyanyi!
15
bisa tiba di sana, kami Tim KKN-PPM UGM mesti menjalani perjalanan da-
rat, laut, dan udara selama kurang lebih tiga hari. Perjalanan berawal dari
Yogyakarta kemudian ke Surabaya lalu ke Manado hingga akhirnya sam-
pai di Sangihe. Perjalanan panjang paling terasa saat naik kapal feri dari
Manado menuju Sangihe selama sepuluh jam. Kapal berlayar di Laut
Sulawesi di antara gugusan pulau-pulau kecil Nusa Utara.
KKN-PPM UGM merupakan perkenalan pertama kami dengan Sangihe,
sebuah daerah yang sebelumnya kami tidak pernah tahu dan tak sekali-
pun mendengar namanya. Bagi kami, Sangihe tidak hanya terasa jauh da-
lam ukuran jarak geografis, tapi juga secara emosional dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nama Sangihe jarang terdengar dalam perbincangan nasional baik da-
lam segi ekonomi, sosial, maupun budayanya. Banyak orang ketika men-
dengar nama Sangihe akan bertanya “Di mana itu Sangihe?” Bahkan ada
juga yang bertanya “Apa itu Sangihe?” Inilah salah satu realita daerah
yang berstatus sebagai ‘terluar dan terdepan’; tidak banyak orang yang
17
rempah, era kolonialisme, dan Perang Dunia II. Dasar utama Sangihe
diduga sebagai pintu gerbang Nusantara tidak terlepas dari lokasinya
secara geografis, yakni berada di bagian utara dari wilayah NKRI sekaligus
berada tepat di bagian selatan wilayah negara Filipina. Atas lokasi secara
geografis itu Sangihe diduga merupakan pintu masuk bangsa asing dari
Asia Pasifik ke Nusantara.
Sebagai sebuah hipotesis, kami menyadari harus ada indikator-indi-
kator yang perlu diajukan untuk kemudian dicari dan dikumpulkan data-
nya. Maka, dalam hipotesis Sangihe sebagai pintu gerbang Nusantara ka-
mi membuat beberapa indikator, yaitu (1) adanya catatan sejarah yang
menyebutkan Sangihe sebagai jalur pelayaran, tempat berlabuh, atau
bahkan sebagai tempat tinggal bangsa asing dalam pelayaran ke Nusan-
tara; (2) sejarah lisan yang berkembang pada masyarakat Sangihe terkait
poin pertama; dan (3) adanya tinggalan-tinggalan arkeologis yang mem-
buktikan kehadiran bangsa asing di Kepulauan Sangihe seperti kapal
karam, pesawat terbang, keramik, senjata, karya seni, bangunan tempat
tinggal, hingga makam.
Setelah mengemukakan hipotesis dan menyusun daftar indikator,
maka tibalah saatnya untuk pembuktian. Usaha pembuktian dilakukan
dengan menggunakan tiga pendekatan, yakni arkeologi maritim, sejarah,
dan antropologi. Pendekatan sejarah dan antropologi kemudian disatu-
harus kajian arkeologi bawah air dan kenapa harus jauh-jauh ke Sangihe?
Pertanyaan “kenapa harus kajian arkeologi bawah air” tentu terkait de-
ngan sejauh mana pengetahuan dan kemampuan kami untuk dapat mela-
kukan penelitian itu, khususnya tentang kemampuan menyelam dan be-
kerja di dalam air, “sudah bisa atau belum?” Sedangkan pertanyaan
kedua “kenapa jauh-jauh ke Sangihe” kaitannya dengan dari mana dan
bagaimana caranya mencari dana kalau penelitiannya sejauh itu padahal
waktu persiapan begitu sedikit. Menanggapi itu, dulu kami hanya men-
jawab dengan usaha dan latihan yang maksimal. Kami memaklumi bahwa
ada keraguan atas penelitian ini akan dapat terlaksana atau tidak.
Sebagai mahasiswa, kami ingat kata Bung Rhoma ‘masa muda itu ada-
lah masa yang berapi-api’. Selama api itu menyala, teruslah melangkah
dan membuat sesuatu yang tidak biasa. ‘Walau letih mengarungi hati, asa
itu tak ‘kan mati’, kata Dedy Corbuzier dalam lagunya Keajaiban Semesta.
Benar saja, saat kami menginjakkan kaki di Kepulauan Sangihe bulan Mei
lalu dan menyelam di kedalaman 25 meter di bawah permukaan laut, saat
kami berhasil mengukur setiap bagian kapal karam berukuran 40 meter
dan jangkar kuno di arus laut yang cukup kuat, pada akhirnya, kami ingin
katakan bahwa kami bisa.
rapa narasi yang secara umum menjelaskan peranan Laut Sulawesi pada
masa lalu. Dalam bukunya yang berjudul Orang Laut, Bajak Laut, Raja
Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, A.B Lapian memasukkan
daerah kepulauan Sangihe-Talaud, atau yang lebih dikenal dengan Nusa
Utara, ke dalam suatu tatanan sistem yang dinamakan “Sistem Laut
Sulawesi”. Mengenai Laut Sulawesi, Dennys Lombard mengatakan bahwa
Laut Sulawesi, kawasan Laut Sulu, dan Laut Maluku merupakan segitiga
kawasan yang membentuk suatu kesatuan lintasan niaga bagian timur
Nusantara. Anthony Reid dalam penggambaran era Age of Commerce,
mengatakan bahwa Jalur Sangihe-Talaud merupakan lintasan niaga yang
menghubungkan jalur pelayaran ke daratan Cina melalui rute Filipina dan
Sulu menuju Spice of Island (kepulauan rempah-rempah).
Catatan paling tua mengenai Sangihe ditulis oleh Antonio Pigafetta, sa-
lah satu petualang yang ikut ambil bagian dalam ekspedisi Magellan tahun
1519-1521 Masehi. Ia menulis:
23
Referensi
Arsip
Buku
Brilman, David. 2000. Kabar Baik Di Bibir Pasifik. Jakarta: Sinar Harapan.
Dwisaptarini, Ayu Oktafi. 2014. Tipologi Temuan Keramik di Situs
Singhasari, Kecamatan Singosari, Jawa Timur (Kajian Atas Dasar
Temuan Fragmen Keramik). Yogyakarta: Skripsi Arkeologi, Fakultas
Ilmu Budaya, UGM.
Lapian, A.B. dkk. 1990. Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid I
(Pra Sejarah Hingga 17 Agustus 1945). Jakarta: Yayasan Pusat Studi
Pelayaran Niaga.
__________. 2009. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan
Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu.
Ulaen, Alex J. 2016. Nusa Utara ari Lintasan Niaga Ke Daerah Perbatasan.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Utomo, Bambang Budi. 2015. Bangkitlah Bangsa Bahari. Jakarta:
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 32
Internet
http://sangihekab.go.id/home/index.php?
mid=Sejarah&m=1&document_srl=857 .
http://budaya-indonesia.org/SEJARAH-SANGIHE.
Kaghoo, Max Sudirno. 2015. Gumansalangi (Kisah Moyang Suku Sangihe).
(https://www.kompasiana.com/dirnokaghoo/gumansalangi-kisah-
moyang-suku-sangihe_5509b554a33311af4d2e3ac6) diakses pada
tanggal 12 Februari 2017, pukul 18.30 .
Pigafetta, Antonio. 1986. Primer viaje alrededor del Globo. Barcelona:
Ediciones Orbis, S.A. (https://issuu.com/jldelrioluque/docs/
antonio_pigafetta_-_primer_viaje_alrededor_del_glo) diakses pada
tanggal 10 Januari 2017, pukul 17.30.
33
Kata pujangga, cinta adalah lautan tak bertepi. Karena cinta, seseorang
bisa menjadi budak, hamba, bahkan pemuja mereka yang dicintai.
kamu coba!
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 34
Terjemahan dalam buku Alex John Ulaen Nusa Utara: Dari Lintasan
Niaga ke Daerah perbatasan
Walau sudah berlalu lebih dari tiga abad, cerita Ekspedisi Ferdinand
Magellan selalu menarik untuk diperbincangkan. Sejarah pelayarannya
melalui jalur barat dari Spanyol ke pulau rempah lalu kembali melalui
jalur timur disebut-sebut sebagai pelayaran pertama mengelilingi bumi.
Karena informasi tentang pengetahuan sejarah yang mengagumkan itu,
para ahli terus menggali informasi pengetahuan dan teknologi pelayar-
an yang dimiliki Magellan melalui tinggalan-tingalannya. Di Indonesia,
jejak-jejak pelayaran Magellan belum banyak diketahui, padahal
Indonesia adalah tujuan utama dari ekspedisi itu.
Maka menjadi menarik, ketika di Sangihe terdapat data-data seperti
yang dijelaskan di atas. Mari membuat asumsi seluas-luasnya. Apakah
Jangkar, bangkai kapal kayu, dan lukisan dinding gua di atas ada kaitan-
nya dengan Rombongan Ekspedisi Magellan-Elcano pada abad ke-16
Masehi? Atau itu semua hanya tinggalan dari orang Eropa lainnya yang
datang pada abad berikutnya? Menarik untuk ditelusuri pada penelitian
selanjutnya.
Jejak-Jejak Sejarah
Kepulauan Sangihe
J tuju jika Istana Kendahe Tahuna merupakan istana yang unik dan
ika Anda pernah berkunjung ke Tahuna, Anda mungkin akan se-
dengan baik. Keturunan Raja Bastian kini tinggal di rumah yang berjarak
10 meter dari istana leluhurnya. Barang-barang antik milik raja Bastian
juga masih disimpan seperti botol anggur, gelas, meja, dan mangkuk
yang tampaknya didatangkan dari Eropa.
Di sudut lainnya yakni di Kecamatan Manganitu, terdapat istana
milik Raja Mocodompis. Sebagaimana istana Raja Bastian, bentuk ba-
ngunan itu juga lebih mirip rumah bergaya Indis. Saat ini istana tersebut
beralih fungsi menjadi museum yang menjabarkan sejarah Sangihe. Raja
terakhir, yaitu Willem Manuel Pandensolang Mocodompis adalah anak
seorang mantan raja dari Kerajaan Manganitu yang bernama Manuel
Soeha Hariraya Mocodompis.
W. M. P. Mocodompis menggantikan ayahnya sebagai raja Manga-
nitu pada 1910 dan memindahkan kerajaannya dari Manganitu ke
Tamako pada 1916. Pada akhir hayatnya, W. M. P. Mocodompis ditang-
kap pada Desember 1944 dan dibunuh oleh tentara Jepang yang telah
mendarat di Sangihe karena dianggap sebagai mata-mata sekutu. Beliau
dipancung bersama pembesar lainnya di Tanjung Tahuna pada 19 Janu-
ari 1945.
Selain istana, jejak sejarah kerajaan yang pernah berada di Sangir
adalah makam-makam raja seperti makam raja Bastian di desa Bunga-
lawang, Kecamatan Tahuna, makam raja Adrian di Desa Tahuna, Keca-
matan Tahuna, dan makam Raja Mocodompis yang terletak di Desa
Barengke, kecamatan Manganitu. Khusus makam Raja Bastian, bahasa
Belanda digunakan sebagai bahasa pada prasasti dan di sekitarnya juga
terdapat makam-makam milik orang Belanda.
Keberadaan istana dan makam raja menunjukkan bahwa telah ada
pemerintahan yang teratur di Sangir. Bentuk bangunan yang tergolong
bersahaja seakan menyiratkan bahwa jarak antara raja dengan rakyat
biasa tidak terlampau jauh. Walau pengaruh kerajaan-kerajaan tersebut
telah jauh berkurang, namun warisan-warisannya masih dapat dijumpai
di masa sekarang. Warisan yang memberitakan kiprah para raja di Sangir
kepada generasi yang hidup di masa sekarang dan masa berikutnya.
Jejak-jejak pemerintahan tersebut rupanya berkaitan dengan jejak
penyebaran agama Nasrani yang telah lama sekali masuk ke Pulau
Sangir. Pada 5 Oktober 1568, orang-orang Portugis menginjakkan
44
Waktu kecil ingat nggak lagu yang biasa dinyanyiin buat menghafal arah
mata angin? “Eh, tidak,” katamu. “Apa jangan-jangan cuma di SD-ku
doang ya? Hahaha.”
Nih, kalau di Sangihe, agak ribet lagi. Lebih panjang dan kayaknya bakal
sulit dibuatin lagu, hahaha.
Utara (Sawenahe)
Timur (Dahi)
Tenggara (Mahai)
Selatan (Timuhe)
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 50
Barat (Bahe)
lagu apa?
51
peternak sapi di daerah kepulauan yang dikelilingi laut luas seperti ini?
Sulit untuk dipercaya. Belakangan saya baru tahu, bahwa SAPI adalah
kependekan dari Sangihe-Filipina. Jadi, orang SAPI adalah orang Sangihe
-Filipina. Istilah itu diberikan pada orang-orang Sangir yang hidup di
wilayah Sangihe bagian utara dan Filipina bagian selatan. Mereka yang
telah hidup berabad-abad lamanya di dua wilayah itu dan telah mere-
generasi melalui kawin campur termasuk dengan orang Filipina.
Dari Om Shofie–seorang warga Sangihe yang rumahnya kami tum-
pangi selama Ekspedisi Sangihe–saya mengetahui bahwa jumlah orang
SAPI sangat banyak bahkan mencapai ribuan. Om Shofie sendiri katanya
pernah bertemu dengan orang SAPI ketika mencari ikan di laut jauh. Di
Filipina Selatan, mereka banyak tinggal di Pulau Mindanao, Pulau Balut,
dan Pulau Saragani, sedangkan di Kepulauan Sangihe mereka lebih
tekonsentrasi di bagian utara, walaupun sebenarnya juga tersebar di
pulau-pulau di bagian selatan hingga ke Manado.
Pada waktu tertentu orang-orang SAPI akan saling mengunjungi, ber-
pindah tempat tinggal, dan melakukan kegiatan secara bersama-sama
53
dan pemerintah setempat tidak sampai hati untuk menindak dan meng-
usirnya karena berkeyakinan bahwa orang SAPI adalah orang Indonesia
juga.
Pak Alffian–seorang Guru SMA Tahuna yang menjadi narasumber
kami–pernah juga sekali bercerita tentang orang SAPI. Kata Pak Alffian,
orang SAPI keluar masuk wilayah Indonesia dan Filipina tanpa sepenge-
tahuan pihak terkait, bukan karena ingin sengaja melanggar, tapi me-
mang begitulah hidupnya sejak dahulu. Sebagian besar mereka belum
memiliki status kewarganegaraan yang resmi. Mereka bukan warga ne-
gara Filipina dan bukan pula warga negara Indonesia. “Inilah salah satu
realitas masyarakat di perbatasan Sangihe-Filipina yang belum diketa-
hui banyak orang,” ucap Pak Alffian.
Menurut sejarah lisan orang Sangir, orang-orang SAPI pada awalnya
merupakan kelompok masyarakat yang berasal dari keturunan yang sa-
ma. Bahkan dalam perkembangannya, mereka telah melahirkan sub-
budaya sendiri di Nusa Utara. Mereka memiliki bahasa yang sedikit ber-
beda, yakni gabungan bahasa Sangir dan Filipina.
Menurut beberapa sumber, jauh sebelum berdirinya NKRI dan Ne-
gara Republik Filipina, orang SAPI telah hidup di pulau-pulau yang kini
menjadi wilayah perbatasan dua negara itu. Baru setelah berdirinya
NKRI dan Republik Filipina, kasus orang SAPI menjadi salah satu per-
soalan yang cukup pelik. Di saat kedua negara menentukan batas
dengan lebih baik, kasus Orang SAPI tetap harus menjadi perhatian seri-
us dari kedua negara khususnya bagi Indonesia dalam mencegah aksi
terorisme dan radikalisme.
Diketahui bersama, akhir-akhir ini wilayah Filipina bagian selatan
bergejolak karena aksi terorisme kelompok Abu Sayyaf, di mana salah
satu basisnya berada di kepulauan Mindanao. Natasha Devanand dalam
tulisannya di buku ini menceritakan bagaimana penyebaran aksi teror-
isme dan paham radikalisme dari Filipina Selatan ke Indonesia berpo-
tensi dilakukan melalui proses kehidupan Orang SAPI. Menurut Natasha,
proses berpindah tempat dan saling mengunjungi orang SAPI yang cu-
kup bebas dan mendapat toleransi dari kedua negara berpotensi besar
menjadi pintu masuk penyebaran paham radikalisme, aksi terorisme,
hingga penyelundupan senjata tajam dari Filipina Selatan ke Indonesia.
57
Referensi
“ibu kota” ISIS di Suriah. Letak Marawi yang berada di Pulau Mindanao,
Filipina Selatan, menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi militer
Indonesia. Mereka takut pengaruh ISIS dapat menyebar ke Indonesia
melalui gerbang utara Nusantara, yakni Kabupaten Kepulauan Sangihe
dan Kabupaten Kepulauan Talaud yang hanya berbatasan laut dengan
Filipina Selatan. Menurut Ulaen (2016), luas lautan yang menjadi batas
antara Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud
dengan Filipina Selatan adalah 41.7367 km2. Adanya kedekatan jarak
geografis─walaupun kedua daerah disekat oleh lautan─membuat ma-
syarakat yang hidup di daerah perbatasan memiliki cerita menariknya
sendiri.
Baik masyarakat Indonesia yang hidup di Sangihe-Talaud, maupun
masyarakat Filipina yang tinggal di Pulau Mindanao, memiliki hubungan
yang kompleks terkait aksi terorisme dan perdagangan senjata. Hingga
saat ini, banyak dari masyarakat Sangihe-Talaud yang masih memiliki ke-
luarga di Filipina. Mereka kerap saling mengunjungi untuk saling ber-
tukar barang. Beberapa sumber informasi lain menyebut bahwa senjata-
senjata yang ada di Sangihe-Talaud berasal dari Filipina Selatan, disebar-
kan melalui proses pertukaran tersebut.
Smith (2005) menjelaskan bahwa Filipina Selatan teridentifikasi seba-
gai rute untuk melakukan pergerakan senjata antara Mindanao dengan
kelompok Jemaah Islamiyah. Senjata ini diselundupkan ke Indonesia
melalui Sangihe-Talaud untuk selanjutnya digunakan sebagai amunisi
dalam menyulut banyak konflik di wilayah Indonesia Timur, salah satu-
nya Konflik Poso. Selain itu, Filipina Selatan juga digunakan sebagai
kamp militer kelompok separatis Filipina, Moro Islamist Liberation Front
(MILF).
Di pertengahan tahun 2017, Filipina Selatan mendapat sorotan penuh
dari media di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari adanya aksi terorisme
di Marawi yang mengaku berafiliasi dengan kekuatan ISIS. Sontak, berita
tersebut membuat publik Indonesia panik. Timbul kekhawatiran menge-
nai kondisi keamanan di daerah perbatasan Indonesia-Filipina, yakni di
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud.
Dilansir dari laman kompas.com, Kompas pada 30 Mei 2017 menge-
luarkan berita dengan judul Waspadai Potensi Rembesan Maute. Inti
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 68
KOTA TAHUNA DAN PELABUHANNYA nakan tidak adanya pagar atau pun
SEBAGAI SALAH SATU PENGHUBUNG tembok besi yang secara nyata mem-
PERTUKARAN SUMBER DAYA ANTARA
INDONESIA DAN FILIPINA batasi dua wilayah. Ditinjau dari sisi
hukum, perbatasan dianggap sebagai
wilayah yang krusial karena di sanalah stigma kemiskinan, pusat
perdagangan gelap, dan rute kriminal menyeruak (Velasco, 2010). Se-
bagaimana wilayah terluar Indonesia lainnya, Kepulauan Sangihe dan
Kepulauan Talaud juga jauh dari mata pembangunan. Pembangunan
yang cenderung sentralistik pada wilayah Jawa dan sekitarnya menim-
bulkan rasa iri dari daerah-daerah terluar. Mereka merasa tidak di-
Indonesia-kan. Keinginan memberontak kemudian muncul dengan me-
manfaatkan ketersediaan senjata dan masyarakat yang tidak terima atas
ketimpangan.
Bila dilihat dari kacamata historis, Kepulauan Sangihe dan Kepulauan
Talaud telah menjalin relasi dengan Filipina sejak abad XV. Bangsa Cina
dalam pelayaran mereka menuju Kepulauan Maluku akan singgah di
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 70
Filipina dan Sangihe untuk menukarkan barang. Pada tahun 1512, arma-
da Spanyol yang dipimpin oleh Ferdinand Magellan datang ke Filipina
dan juga ke Sangihe-Talaud untuk urusan dagang mereka. Hal ini kemu-
dian diikuti oleh Portugis di tahun 1526. Tidak ada batasan di antara
Mindanao dengan Kepulauan Nusa Utara─sebutan lain untuk Kepulauan
Sangihe dan Kepulauan Talaud─saat itu karena keduanya menjadi dua
pelabuhan yang saling dihubungkan oleh jalur perdagangan.
Kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi da-
gang Belanda, di wilayah Nusa Utara menyebabkan Sangihe terpaksa
tunduk dalam kuasa VOC. Terjadi kesepakatan di antara VOC dengan
raja di Kepulauan Sangihe di mana masyarakat Sangihe yang masih ber-
agama Katolik dipindahkan ke Manila (Velasco, 2010). Sangihe kemu-
dian dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Minahasa. Hal ini me-
nyebabkan Sangihe yang awalnya merupakan wilayah perdagangan di-
golongkan menjadi wilayah perbatasan di masa kolonial. Meskipun
demikian, beberapa orang Sangihe tetap melakukan perjalanan ke
Mindanao guna berdagang atau pun mencari pasangan (dengan sistem
pernikahan eksogami) (Velasco, 2010). Seiring berjalannya waktu, per-
jalanan Sangihe-Filipina semakin sulit dilakukan setelah kedua negara
menjadi republik karena aturan batasan negara yang terlampau kaku.
Pelayaran lintas batas kembali terjadi setelah pertumbuhan industri
perkebunan dan industri perikanan di kawasan selatan Mindanao. Ke-
banyakan buruh didatangkan dari wilayah Sangihe-Talaud. Para pemilik
kebun lebih memilih mempekerjakan mereka ketimbang orang-orang
Filipina. Perekonomian Indonesia yang memburuk di kurun tahun 1950-
1960 menyebabkan aktifnya kembali arus perdagangan di antara kedua
negara. Para pedagang Mindanao membawa beras dan jagung untuk ke-
mudian ditukarkan dengan kopra dan hasil laut orang Sangihe-Talaud
(Ulaen, 2016).
Dari perdagangan ini terdapat orang yang saling mengunjungi satu
sama lain dengan melintasi batas negara, mereka disebut pelintas batas.
Terdapat dua jenis pelintas batas negara, yakni pelintas batas legal dan
ilegal. Pelintas dapat dikatakan legal apabila ia melewati pintu keluar
masuk (check point harbour) resmi di kedua negara. Di Indonesia, pintu
keluar masuk ini terdapat di Pulau Marore, Pulau Miangas dan Tarakan,
71
Referensi
Daftar Dokumen
nada ancaman kepada tokoh politik yang “dibenci” adalah perkara hina.
Terlebih, dalam konstestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) yang
menganut asas demokrasi sebagai pilar utama. Ada belasan bahkan
puluhan cara lain yang lebih elegan untuk memenangkan pertarungan
memperebutkan kursi kekuasaan. Dari Nusa Utara, Indonesia dapat bel-
ajar cara berpolitik yang sehat.
Pagi, 5 Juni 2017, suara gaduh kesibukan terdengar di Desa Lapango,
Manganitu Selatan. Kaum perempuan terlihat hilir mudik menyiapkan
tamo, kue adat berbentuk menyerupai gunung yang terbuat dari se-
macam dodol kuning. Di puncak gunungan tamo, bunga berwarna
kuning diletakkan. Sementara itu, para lelaki bahu membahu memper-
siapkan kebutuhan pesta penyambutan bupati Sangihe terpilih, Jabes
Gaghana─Helmut Hontong. Seluruh ornamen pesta disesuaikan dengan
warna kuning, warna khas Partai Golongan Karya (Partai Golkar), partai
politik yang mengusung Jabes Gaghana di pilkada kali ini. Menarik di-
amati bagaimana identitas politik nasional menyatu dalam kehidupan
politik lokal Sangihe.
Di pilkada 2017, pasangan Jabes Gaghana-Helmut Hontong–dikenal
juga dengan nama Megahago, akronim dari Memile (memilih) Gaghana-
Hontong–dihadapkan dengan pasangan Hironimus Makagasa-Fransiscus
Silangen guna merebut kursi orang nomor satu dan orang nomor dua di
Sangihe. Berat! Pilkada kali ini lagi-lagi membenturkan dua kekuatan
besar politik di Sangihe, yakni Partai Golkar dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P). Juga, dua nama calon bupati yang tidak
asing dengan tampuk kekuasaan. Selain Hironimus Makagasa yang me-
rupakan bupati petahana, Jabes Gaghana merupakan wakil bupati yang
telah menjabat di dua periode sebelumnya. Sehingga, secara popular-
itas, dapat dikatakan bahwa dua calon bupati merupakan figur yang
telah sama-sama dikenal masyarakat Sangihe. Lantas, apa yang menjadi
kunci keberhasilan pasangan Megahago dalam memenangkan perta-
rungan politik 2017?
Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai hal tersebut, mari kita
telaah terlebih dahulu segmentasi politik masyarakat di Sangihe. Perta-
ma, ada segmentasi agama. Mayoritas masyarakat Sangihe beragama
Kristen dengan aliran kepercayaan Gereja Masehi Injil Sangihe (GMIS)
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 78
Barangkali, ini adalah cermin nyata dari salah satu lirik adat berupa
doa yang dinyanyikan bersamaan dengan tagonggong. “Pemimpin ada-
lah matahari sedangkan rakyat adalah bintang.” Pemimpin tidak akan
ada apabila rakyat tidak ada. Rakyat akan sulit sejahtera apabila tidak
mendukung dan menghormati pemimpin. Keduanya harus saling menja-
ga, harus saling paham dengan porsi tanggung jawab masing-masing.
Hal inilah yang menjadi pemahaman penting dari masyarakat Sangir
ketika melihat kekuasaan.
Tidak terasa matahari telah meninggalkan langit Desa Lapango.
Gelap. Namun, sorak-sorai perayaan masih belum usai. Hentakan musik
makin terdengar nyaring. Seluruh desa khusyuk bergoyang ria menik-
mati Disco Bunke, melupakan semua segmentasi politik, sibuk meraya-
kan kehadiran pemimpin baru mereka secara bersama-sama.
Referensi
Biar panjat sosialmu berbau kearifan lokal, ini ada semboyan dari daerah
Sangihe:
Sangihe:
The Beauty of Hidden Paradise
in Northern Indonesia
Jika orang bilang Indonesia tanah surga, maka itu adalah surga yang
besar. Di dalamnya terdapat surga-surga kecil yang sebagian sudah
sangat dikenal dan dikelola dengan baik, seperti Bali, Lombok dan Yogya-
karta. Namun, sebagian lagi masih kurang dikenal dengan pengelolaan
yang minim. Tempat-tempat tersebut saat ini sering kita sebut dengan
istilah ‘surga tersembunyi’.
Kini, kita lupakan sejenak tentang Pulau Bali yang telah populer atau
‘Sepuluh Bali Baru’ yang sedang dikelola dengan serius oleh pemerintah.
Saatnya melayangkan pandangan ke daerah terluar Indonesia yang ber-
batasan dengan Filipina, yaitu Kepulauan Sangihe. Daerah yang layak di-
sebut ‘surga tersembunyi’ dan berperan sebagai beranda negeri di utara
jauh.
Kearifan Lokal
Keindahan Sangihe tidak hanya dapat dilihat di daratan tapi juga dapat
dirasakan dengan menyelami bawah lautnya. Kearifan lokal masyarakat-
nya dalam menjaga laut berbuah pada kelestarian terumbu karang dan
spesies ikan. Hal ini tentu menjadi potensi besar dalam pengembangan
wisata selam ke depannya.
Selain ikan dan terumbu karang, Kepulauan Sangihe juga memiliki Gu-
nung Api Karangetang, yaitu gunung api aktif di bawah laut. Di lokasi ini,
kita dapat menyelam sambil merasakan gelembung air laut yang dihasil-
kan oleh Gunung Api Karangetang. Di bawah laut Sangihe juga terdapat
peninggalan Perang Dunia II berupa bangkai kapal milik Jepang di Teluk
Tahuna. Kapal karam yang memiliki ukuran 40 m, tinggi 5 m dan lebar 7 m
itu telah tenggelam selama 75 tahun dan kini menjadi rumah bagi ribuan
ikan cantik dan terumbu karang.
Epilog
Referensi
Saya yang bertindak sebagai fasilitator FGD saat itu dapat menangkap
maksud Pak Alffian. Sebagai seorang guru dengan berlatar belakang ilmu
seni, Pak Alffian tidak ingin terkesan ahli di bidang ilmu lain. Selain itu,
belakangan saya juga tahu bahwa sebenarnya Pak Alffian berasal dari
Minahasa, sehingga di Sangihe beliau adalah warga pendatang. Baginya
status sebagai seorang pendatang membuatnya harus berhati-hati jika
berbicara tentang sejarah budaya Sangihe. Ia takut terlihat lebih tahu
dari pada masyarakat asli, walaupun sebenarnya Pak Alffian memang
tahu betul seluk beluk sejarah dan kebudayaan Sangihe.
Lebih dari dua puluh tahun Pak Alffian tinggal di Sangihe sebagai
seorang guru. Selama itu pula, di sela-sela tugasnya mengajar di seko-
lah, Pak Alffian aktif mengungkap sejarah lokal dengan cara bertanya
pada tetua adat, membaca naskah-naskah lama, hingga mendatangi
tinggalan-tinggalan sejarah Sangihe. Tak terhitung lagi berapa banyak
situs dan tinggalan sejarah Sangihe yang telah disurveinya, mulai dari
kapal karam, makam kuno, jangkar tua, lukisan dinding gua, kubur batu,
istana lama, hingga parit-parit pertahanan Jepang di atas Gunung Awu.
Suatu kali saat kami diundang makan malam di rumahnya, Pak Alffian
bercerita bahwa beliau bisa melakukan itu semua karena sering pindah
97
TIM EKSPEDISI BERSAMA DENGAN PAK ALFFIAN DAN KELUARGANYA SETELAH SESI
MAKAN MALAM.
tugas mengajar, mulai dari Kec. Tamako, Manganitu hingga saat ini di
Kota Tahuna. Di setiap daerah tugasnya itu, beliau sering pergi ke
pelosok-pelosok kampung untuk mencari tahu sejarah dan budaya
setempat serta menemukan situs-situs.
Lalu dari mana biayanya melakukan itu semua? Pak Alffian menjawab
“biaya sendiri.” Ia berkata, “kalau sudah suka dan hobi apapun kita laku-
kan”. Khusus untuk mengungkap tinggalan sejarah di pulau-pulau kecil
yang jauh dari tempat tinggalnya, Pak Alffian punya strategi sendiri.
Katanya, minimal dalam satu tahun sekali, guru-guru dari seluruh pe-
losok Kepulauan Sangihe akan diundang oleh Pemerintah Daerah untuk
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 98
melakukan pertemuan di Kota Tahuna. Pada saat itu, Pak Alffian akan
bertanya pada guru-guru yang berasal dari pulau-pulau terjauh tentang
tinggalan sejarah yang ada di tempat mereka. Jika dirasa penting dan
menarik, pada waktu luang seperti pada libur sekolah, Pak Alffian akan
langsung mengunjungi tinggalan itu. Namun, jika tidak ada waktu, ia
akan meminta tolong untuk memotokan tinggalan tersebut, lalu pada
pertemuan selanjutnya pada tahun berikutnya di Kota Tahuna, ia akan
meminta foto-foto itu. Bagi saya, ini semangat dan dedikasi yang besar
seorang pendatang pada tanah Sangir.
Hebatnya lagi, Pak Alffian tidak hanya mengungkap sejarah dan buda-
ya Sangihe untuk kepuasannya sendiri, tapi juga melestarikannya. Salah
satu caranya melestarikan sejarah budaya Sangihe adalah dengan mem-
buat kerajinan tangan, seperti pedang dan alat musik, asbak, hingga pot
bunga bermotifkan tenun khas Sangihe. Ia melakukan itu bersama anak-
anak yang tergabung dalam Sanggar Rumah Apapuhang, sebuah tempat
berkarya dan berkreasi anak-anak sekitar tempat tinggalnya dan didiri-
kannya secara mandiri. Selain itu, Pak Alffian juga aktif mempublikasikan
sejarah dan kebudayaan Sangihe ke masyarakat luas dengan cara menu-
lis di blog, berbagi video di Youtube dan berbagi foto di media sosial
lainnya seperti Facebook dan Instagram.
Publikasinya itulah yang dua tahun lalu membuka mata kami tim KKN
-PPM UGM tentang kekayaan potensi sejarah dan budaya di Sangihe.
Hingga akhirnya, pada tahun ini kami melakukan UGM Maritime Culture
Expedition, juga berawal dari tulisan-tulisan Pak Alffian.
Dari 40-50 data yang kami dapatkan, baik di darat maupun di bawah
laut, hampir 90% bersumber dari data-data Pak Alffian. Karena itu, saya
pernah berkata pada Pak Alffian, “sebenarnya dalam ekspedisi ini kami
tidak menemukan data, tapi hanya mengumpulkan kembali semua data-
data yang sebelumnya didapatkan Pak Alffian.” Tentang ini, Pak Alffian
hanya menanggapinya, “ya tidak begitu, saya kan hanya hobi, kalian
tetap berperan penting, apalagi jika nanti data-data itu dianalisis secara
ilmiah sesuai ilmu masing-masing, akan sangat bermanfaat untuk
Sangihe. Jadi saya sangat menunggu hasilnya.”
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 100
Penelitian Partisipatoris
dan Ucapan Terima Kasih
Oleh: Sultan Kurnia A.B.
tak pada setiap proses penelitian mulai dari perumusan masalah, pe-
ngumpulan data, hingga pengambilan kesimpulan, yang semuanya dila-
kukan bersama dengan masyarakat lokal dan dalam waktu yang relatif
lama. Tujuannya, adalah agar hasil penelitian benar-benar dapat dipa-
hami dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat.
Lalu, apakah UGM Maritime Culture Expedition termasuk sebuah
penelitian partisipatoris? Pada awalnya, di dalam proposal kami tidak
mendesain penelitian ini menggunakan pendekatan partisipatoris,
mengingat waktu yang terlalu singkat. Namun, tanpa disadari setelah
menjalani penelitian selama sepuluh hari, sepertinya kami telah mela-
kukan penelitian bersifat partisipatori. Merefleksi kegiatan UGM Mari-
time Culture Expedition di Sangihe, dukungan dan keterlibatan masya-
rakat lokal begitu sangat terasa. Masyarakat setempat tidak hanya
bersedia untuk kami wawancarai, namun juga rela mengorbankan wak-
tu dan tenaganya untuk bersama-sama mengumpulkan data dan me-
nyimpulkan bagaimana sebenarnya sejarah budaya Sangihe. Lebih dari
semua itu, masyarakat juga dengan ikhlasnya mengizinkan kami tinggal
di rumah dan makan di warung mereka secara gratis selama kegiatan
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 102
di rumahnya. Hal ini sebenarnya terpaksa kami lakukan. Jika uang itu
diserahkan langsung, kami yakin Tante Erma dan Om Shofie tidak akan
bersedia menerimanya.
Akibat ulah itu, pada subuh buta, beberapa jam sebelum kami naik
kapal feri ke Manado, Om Shofie dan Tante Erma menyusul kami ke Pela-
buhan Tahuna. Mereka berangkat dari Lapango yang berjarak sekitar 60
kilometer jauhnya menggunakan sepeda motor. Tujuannya hanya untuk
mengembalikan uang yang kami tinggalkan tempo hari. “Besok-besok,
tidak usah tinggal di rumah tante lagi kalau tetap ingin memberi uang,”
pesan Tante Erma sesaat sebelum kami menaiki kapal.
Kepada Oma dan Opa, yang dengan setulus hati menyediakan semua
kebutuhan konsumsi tim Ekspedisi. Pada Oma dan Opa, diam-diam kami
juga meninggalkan sedikit uang di dalam tasnya sebagai pengganti biaya
konsumsi selama kegiatan. Alasannya sama, Oma dan Opa tidak akan
menerima uang itu jika diserahkan langsung. Oma baru mengetahui pe-
rihal uang tersebut setelah kami memberitahunya melalui telepon saat
perjalanan pulang ke Kota Tahuna. Menyikapi hal tersebut, Oma ber-
pesan kepada kami “Terima kasih atas hadiahnya. Jangan lupakan
Sangihe dan sering-seringlah berkunjung ke sini.” Sebelumnya, tanpa se-
pengetahuan kami, Oma juga telah menyiapkan mobil carteran untuk
kepulangan tim dari Manganitu Selatan ke Kota Tahuna.
Kepada Pak Alffian, yang dengan penuh kesabaran melayani proses
wawancara hingga larut malam. Beliau juga membantu tim mengumpul-
kan data hingga menghubungkan tim pada banyak pihak. Atas undangan
makan malam dan hiburan musiknya pada hari terakhir di Sangihe, kami
ucapkan terima kasih.
Kepada Om Edy dan keluarga, yang telah berbaik hati menyediakan
rumahnya sebagai basecamp Tim Tahuna-Manganitu. Bahkan, Om Edy
dan keluarganya sampai pindah ke rumah yang lain agar kami bisa lelu-
asa di sana. Terima kasih juga atas pinjaman motor dan antar jemput
tim selam dengan segala peralatannya menggunakan angkot biru itu.
Kepada Bang Ucil, yang mendampingi tim selam melakukan peng-
ukuran kapal karam dan jangkar selama lima hari lebih. Ling-Ling, Juan,
dan Lestari; anak-anak hebat yang menjadi teman survei tim menyusuri
teluk, mendaki bukit, hingga menyeberang ke pulau-pulau tak ber-
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 104
penghuni. Juga kepada seorang anak kecil di Desa Lesa, yang dengan
sangat menyesal kami lupa namanya. Jasanya takkan terlupakan karena
tanpa pamrih ia bersedia mengantarkan kami ke situs lukisan dinding
gua di sebuah teluk yang curam dengan perahu kecilnya. Padahal, waktu
itu kondisi air laut sedang pasang dan kondisi perahu melebihi muatan.
Kami berjanji, sebagian hasil penjualan buku ini akan diberikan padanya
saat pelaksanaan ekspedisi periode ke-
ANAK KECIL DI DESA LESA, YANG
dua, di akhir tahun 2018 nanti, In sya MENGANTARKAN KAMI
Allah. MENGGUNAKAN PERAHU KECIL
S Budaya,
ore itu hanyalah satu sore yang super biasa di Fakultas Ilmu
Universitas Gadjah Mada. Bunyi derit ketikan yang
menyebalkan, gurauan tak jelas, cekikikan tawa, juga hal-hal lain yang
terlampau malesi untuk diamati, tercecer di mana-mana. Sekonyong ke-
mudian, berlagak filsuf, beberapa mahasiswa prodi Arkeologi mendis-
kusikan soal pelik. Mereka mempertanyakan fungsi eksistensi mereka di
ranah akademik.
Sudah menjadi rahasia umum kalau mahasiswa arkeologi kerap men-
dapat kritikan mengenai minimnya kegiatan penelitian yang mereka ada-
kan, terlebih di ranah bawah air. Keberadaan Divisi Arkeologi Bawah Air
di bawah payung besar Himpunan Mahasiswa Arkeologi (HIMA) UGM,
hanya sekadar sebagai wadah guna mendapat sertifikasi selam. Tidak ada
kejelasan yang lebih lanjut setelah label kemampuan itu diemban.
Melihat fenomena tersebut, juga diiringi kegelisahan kolektif tentang
bagaimana sebenarnya bangsa asing masuk ke Nusantara pada abad
Masehi, mereka sepakat bertanya: apakah bangsa asing masuk ke Nusan-
tara hanya melalui jalur barat (Pulau Sumatra dan Selat Malaka) seperti
yang banyak dibahas oleh para peneliti terdahulu? Tidak adakah jalur
lain?
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 110
go yang terdapat di sampul buku ini. Akhirnya, dengan waktu yang terba-
tas, tim memutuskan untuk mencari pengganti dari program studi Antro-
pologi saja, seorang mahasiswi Antropologi lainnya lantas direkrut.
Kembali ke fokus pembahasan. Perbatasan negara seperti Sangihe
jelas memiliki berbagai konflik kepentingan yang bernuasa politis. Ilmu
arkeologi tidak membekali mahasiswanya dengan kemampuan peka ter-
hadap kondisi masyarakat area penelitiannya. Di sinilah fungsi utama
antropolog. Dalam mengungkap gerbang utara Nusantara, pasti akan ber-
singgungan dengan berbagai kepentingan negara-negara lain. Si maha-
siswi Antropologi yang mempelajari berbagi teori kebudayan dirasa mam-
pu untuk menjelaskan gejala sosial yang terjadi. Lebih dari itu, dia juga
dapat menjadi pemancing diskusi dan wawancara dengan berbagai pihak
yang berkaitan dengan tradisi laut masyarakat Sangihe, sejarah lisan
115
Tenang-tenang Saja
dominan dan mereka yang tidak dominan dalam tim. Orang-orang awal
dirasa sebagai pengambil keputusan utama tim, sementara mereka yang
rekrutan seolah hanya mengikuti keputusan yang ada tanpa mencoba
memberikan masukan yang berarti.
Justru, aura kekompakan baru benar-benar terasa setelah tim berada
di Sangihe. Setiap orang mampu mengerjakan tugas yang dibebankan
dengan maksimal, walaupun sesekali terdapat kendala di saat pengam-
bilan data. Satu hal yang pasti, kita tidak dapat memaksakan cara kerja
kita kepada setiap orang di dalam tim. Perlu kepekaan guna melihat ber-
bagai masalah yang timbul dalam tim. Kehadiran ketua diperlukan di saat-
saat terjadinya konflik untuk mencegah terjadinya perpecahan.
Sebelum tiba pada kesimpulan bahwa Sangihe adalah gerbang utara
Nusantara, masih banyak hal yang harus diteliti dan masih banyak pula
fenomena yang mesti diverifikasi. Butuh waktu tentu saja, juga integrasi
antarbidang keilmuan guna membuktikan hipotesis tersebut. Di saat tun-
tutan zaman semakin tinggi terhadap hasil instan, sebuah keniscayaan
ketika kita sebagai peneliti tidak melibatkan ilmu-ilmu yang bergerak di
bidang sinematografi seperti Himakomsi. Masyarakat hari ini dan masa
depan merupakan masyarakat yang haus akan informasi, tetapi mereka
hanya akan tertarik dengan informasi yang dikemas secara menarik.
Ucapan terima kasih selaku Tim Ekspedisi Budaya Maritim Sangihe
kami berikan kepada teman-teman Arkeologi UGM, Antropologi UGM,
Sejarah UGM, dan Himakomsi UGM yang telah bersama-sama berdina-
mika dalam penelitian ini. Nampaknya, proyek ini masih memiliki jalan
panjang ke depannya. Siap berkolaborasi lagi kan? Akhir kata, saya selaku
koordinator lapangan mengucapkan “Sampai jumpa di ekspedisi Sangihe
selanjutnya!”
117
Dok. UMCE 2017
118
Pusat Kota Tahuna tampak dari Puncak Pusunge, salah satu puncak
yang ada di Kepulauan Sangihe.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 120
Menengok
Pulau
Dok. UMCE 2017 Bebalang.
Selain kopra, pala juga banyak tumbuh di Sangihe, meski kini tidak
sebegitu dicari seperti pada abad ke-15. Dahulu, bangsa Eropa berbon-
dong-bondong mencari pulau rempah, dimulai dengan ekspedisi
Magellan dan dilanjutkan oleh ekspedisi-ekspedisi lain yang telah me-
renggut banyak korban jiwa. Di sisi lain, ekspedisi-ekspedisi tersebut
telah menuntut terciptanya ilmu navigasi, pemetaan, dan penciptaan
ramuan obat karena banyaknya penyakit seperti skorbut dan disentri.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 122
Dua orang nelayan dari Lapango berangkat untuk mencari ikan ke laut
menggunakan perahu jenis pump boat. Sebuah kapal yang banyak ter-
dapat di Sangihe dengan ciri khas tertentu.
Awak
Natasha Devanand
Sebagai penulis
Dalam ekspedisi ini, berperan sebagai antropolog
want to be serta mencoba menjadi bagian kecil dari
masyarakat Sangihe yang penuh toleransi. Seorang
mahasiswi jurusan Antropologi Budaya, Universitas
Gadjah Mada angkatan 2015. Anda dapat menjumpai saya dengan me-
ngirimkan email berupa kritik, masukan, curhat, dsb. di natunatasha513
@gmail.com. Sampai jumpa :)
Muhamad Destrianto
Sebagai penulis
Dalam pelakasanaan UGM Maritime Culture
Expedition (UMCE) 2017 bertugas sebagai Hubungan
Masyarakat (HUMAS). Berproses dan belajar meru-
pakan hal yang pasti akan dihadapi dalam hidup.
Menjadi mahasiswa Arkeologi contohnya, mempelajari ‘masa lalu’ yang
kadang dianggap tidak terlalu penting adalah tantangannya. Di samping
pertanyaan seputar dinosaurus yang ditanyakan oleh para kolega di
Padang, cerita tentang pencari harta karun, ataupun tentang pekerjaan
setelah tamat kuliah nantinya yang selalu mengganggu. Namun itu semua
bagian dari hal-hal yang menyenangkan dalam dunia arkeologi. Kalau
tidak percaya maupun punya rasa ingin tahu yang lebih tentang cerita
menjadi mahasiswa arkeologi, bolehlah kita ngobrol santai atau bertukar
pikiran dalam diskusi dan tidak ada guru di antara kita nantinya, soalnya
saya juga masih belajar. Silakan kontak melalui email di mhddestrianto
@gmail.com. Selain menggemari dunia arkeologi, saya juga menggemari
Juventus, sebuah klub sepakbola dari Italia yang kini sedang menunggu
datangnya Piala “Si Kuping Besar”.
Fuad Anshori
Sebagai penulis
Berperan sebagai penulis di salah satu tulisan di buku
ini. Pada kegiatan UMCE tahun lalu diamanahi seba-
gai koordinator tim ekspedisi. Mahasiswa departe-
men arkeologi angkatan 2015 yang masih mencari
tahu bagaimana bangunan disebut sebagai bangunan tradisional dan ba-
gaimana bangunan disebut sebagai bangunan modern? Hehehe. Mung-
kin tergantung sudut pandang masyarakat tertentu terhadap suatu ba-
ngunan karena kebudayaan selalu berkembang. Bahkan bangunan yang
dulu disebut modern bisa jadi di masa yang akan datang disebut tradi-
sional. Belajar di jurusan Arkeologi memang menyenangkan (tidak hanya
di arkeologi mungkin ya), di mana kita harus menciptakan suatu masalah
dan menjawab permasalahan tersebut. Sila kontak fuadanshori90
@gmail.com jika ingin ngobrol santai.
Wulandari Retnaningtiyas
Sebagai editor, desainer grafis dan penata letak
Juga berperan sebagai proofreader dalam penyusun-
an buku ini. Selain ingin belajar menulis yang baik,
juga ingin belajar mengembangkan kemampuan da-
lam bidang desain grafis. Jika berkenan berbagi ilmu
menulis dan desain grafis, ditunggu kontak lebih lanjut melalui email
wulan.retnaningtiyas@gmail.com