Anda di halaman 1dari 140

i

ii
iii

Buku karya Tim UGM Maritime Culture Expedition 2017


Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 1
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif
setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimak-
sud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
UGM MARITIME CULTURE EXPEDITION
“Sangihe: The Northern Gate of Nusantara”
vi

CERITA DARI BERANDA NEGERI


©2018
Sangihe: The Northern Gate of Nusantara

Penulis
Sultan Kurnia A.B.
Dwi Kurnia Sandy
Fuad Anshori
Lengkong Sanggar Ginaris
Muhamad Destrianto
Natasha Devanand Dhanwani

Editor
Sandy Maulana Yusuf Tahuna
Umar Hanif Al Faruqy
Wulandari Retnaningtiyas
Manganitu

Desainer Grafis dan Penata Letak


Umar Hanif Al Faruqy
Wulandari Retnaningtiyas

Manganitu
Selatan

Kepulauan Sangihe

CERITA DARI BERANDA NEGERI


Yogyakarta:
ix + 128 hlm.; 14,8x21 cm
ISBN:
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
vii

Daftar Isi

1. Sambutan viii

2. Melirik Kepulauan Terluar 1

3. Jalan Panjang Menuju Ekspedisi Sangihe 7

4. Sangihe: The Northern Gate of Nusantara 15

5. Asal Usul Sangihe: Legenda, Mitos, dan Cerita Rakyat 21

6. Ekspedisi Ferdinand Magellan dan Kemunculan Nama Sangihe 35

7. Jejak-jejak Sejarah Kepulauan Sangihe 41

8. Dilema di Garis Batas: Potret Orang SAPI 51

9. Saling Rintang antara Iman dan Tradisi di Nusa Utara 57

10. Lintas Batas Utara: Bibit Perang yang Diikat Darah dan Sejarah 65

11. Sudahi Politik Berbalut Kebencian, Mari Goyang Bunke! 75

12. Sangihe: The Beauty of Hidden Paradise in Northern Indonesia 83

13. Teladan dari Sangihe: Sosok Pak Alffian Walukow 93

14. Penelitian Partisipatoris dan Ucapan Terima Kasih 101

15. Dari Dapur Ekspedisi: Romansa Tujuh Bulan dengan Nusa Utara 107

16. Rekam Beku Hidup Sangihe: Dalam Bingkai Ekspedisi 117


viii

Sambutan Fakultas Ilmu Budaya UGM

Merupakan sebuah kebanggaan bagi Universitas Gadjah Mada bahwa


para mahasiswa Arkeologi, Ilmu Sejarah, Antropologi, dan Sekolah Vokasi
UGM telah melaksanakan sebuah ekspedisi yang menginspirasi pada ta-
hun 2017, yakni ekspedisi ke pulau Sangihe. Ekspedisi tersebut berjalan
dengan sangat lancar. Ada beberapa hal yang menjadi penting untuk di-
ceritakan dari ekspedisi tersebut. Ketika banyak orang berbicara menge-
nai persoalan disruptive technology, yang dianggap sebagai pemikiran
yang melanglang buana ke masa depan atau menjadi process the making
ke masa depan, orang kemudian cenderung mereduksi disruptive techno-
logy dari sisi pengembangan IT. Kalau dilihat secara lebih kritis, sebe-
tulnya yang dilakukan oleh para mahasiswa UGM dalam ekspedisi terse-
but telah menjelaskan usaha yang sangat signifikan untuk perkembangan
kemanusiaan yang juga bersifat disruptive. Maritim sebagai sebuah per-
adaban dan kelanjutan kehidupan manusia seringkali terlewatkan dari ide
disruption tersebut. Padahal, Indonesia adalah negara maritim terbesar di
dunia yang penguasaan produksi pengetahuan terhadap maritim tersebut
masih sangat minimal. Preservasi biota laut, penjelajahan laut untuk me-
mahami sumber produksi pengetahuan masa lampau lewat tinggalan-
tinggalan maritim di laut Sangihe akan menjadi sumber untuk menjelas-
kan kebudayaan manusia di masa depan.
Pada tahun 2018 ini, ekspedisi kembali akan dilaksanakan. Usaha dan
keberanian yang pantang menyerah untuk kontribusi mereka pada pro-
duksi pengetahuan maritim di Indonesia lewat pengembangan kajian
Arkeologi maritim sudah selayaknya mendapatkan dukungan dari ber-
bagai pihak. Besar harapan kami agar usaha generasi muda yang perkasa
ini mendapatkan support dari berbagai pihak untuk kemajuan kajian yang
sangat langka di dunia ini. Atas bantuan dan kontribusi dari berbagai pi-
hak, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada mengucapkan beribu
terima kasih.

Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM


Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA
ix

Sambutan Departemen Arkeologi FIB UGM

Rasa haru dan bangga begitu saja menyeruak ketika tim UGM
Maritime Culture Expedition 2017, yang telah melakukan ekspedisi di
bawah air dan di darat, menyodorkan draft buku karya mereka. Tanpa
melihat isinya lebih dahulu, sudah muncul rasa syukur, bahwa di sela-sela
kesibukan kuliah, tim masih mampu meluangkan waktu untuk mempub-
likasikan hasil ekspedisi sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiah dan
moral dari kegiatan tersebut. Tenaga, waktu, pikiran dan upaya pengum-
pulan dana yang telah tercurah untuk melaksanakan ekspedisi, menjadi
lengkap dengan tuntasnya penulisan buku ini.
Mengapa mereka memilih Sangihe, ada apa dengan Sangihe? Sangihe
hanyalah salah satu kepulauan kecil dalam peta wilayah Indonesia yang
luas. Kebanyakan orang mungkin tidak terlalu perduli dengan keberadaan
salah satu kepulauan terluar ini. Akan tetapi, setelah membaca karya
anak-anak muda ini, tampak adanya banyak informasi baru yang mampu
memperluas wawasan. Melalui kesadaran kerja sama kolaboratif, anggo-
ta tim yang mayoritas adalah mahasiswa Arkeologi, bersama dengan ang-
gota tim yang mempunyai latar belakang Antropologi, Ilmu Sejarah, serta
Komputer dan Sistem Informasi, berhasil menguak dan merekam sebagi-
an dari “rahasia” Sangihe. Dari catatan mereka, Sangihe diketahui me-
nyimpan beragam tinggalan, potensi alam dan budaya yang perlu dike-
tahui secara lebih luas, sekaligus masalah sosial, ekonomi, politik yang
pelik dan membutuhkan perhatian.
Hasil kerja keras, rekaman, dan pemikiran anak muda yang tertuang
pada karya tulis populer ini patut diapresiasi. Semoga karya ini, dan karya
-karya berikutnya, dapat menginspirasi berbagai pihak untuk lebih mem-
perhatikan wilayah-wilayah terluar, agar tetap menjadi bagian dari NKRI.

Ketua Departemen Arkeologi FIB UGM


Dr. Anggraeni, M.A.
1

Dok. UMCE 2017

Melirik Kepulauan Terluar

Oleh: Sultan Kurnia A.B. dan M. Destrianto


Editor: Wulandari Retnaningtiyas
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 2

“UGM Maritime Culture Expedition


sejatinya muncul dari semangat yang
sama, yakni membangun Indonesia dari
pinggiran melalui pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya kajian sejarah
budaya maritim.”

T tara, Indonesia telah dikenal dunia sebagai bangsa maritim


idak disangkal lagi, sejak dahulu ketika masih bernama Nusan-

dengan wilayah yang luas dan sumber daya alam yang berlimpah. Kepu-
lauan Nusantara dikenal sebagai penghasil komoditas unggulan yang
menjadi primadona dunia, seperti kapur barus, kemenyan, emas, perak,
dan rempah-rempah. Selain itu, perairan Nusantara yang membentang
luas menghubungkan belahan timur dan barat bumi menjadikannya se-
bagai jalur lalu lintas bagi perdagangan internasional. Sejarah mencatat,
ratusan ribu kapal bangsa asing setiap tahunnya berlayar di perairan
Indonesia untuk urusan ekonomi, dagang, politik, dan juga kontak bu-
daya.
Rahardjo dalam tulisannya yang berjudul Prospek dan Tantangan
Arkeologi Maritim di Indonesia, mengatakan bahwa dalam waktu yang
lama semua kontak budaya, dagang, dan politik tersebut telah melahir-
kan peradaban maritim yang maju di Kepulauan Nusantara. Di berbagai
wilayah Nusantara tumbuh kerajaan-kerajaan berbasis maritim dengan
aktivitas utama, yakni perdagangan.
Beberapa contoh kerajaan tersebut adalah Sriwijaya dan Majapahit
yang mewakili pada masa Hindu-Buddha dan Kesultanan Aceh, Demak,
3

Mataram Islam, Banten, Makassar, hingga Ternate yang mewakili ke-


rajaan Islam.
Pada masa sebelum dan usai kemerdekaan, kisah mengenai kebe-
saran dan kejayaan kerajaan-kerajaan tersebut menjadi sumber inspi-
rasi para pendiri bangsa dalam membangun Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Disebutkan dalam banyak tulisan, bahwa kesepakatan
atas luas wilayah NKRI salah satunya berdasarkan pada wilayah-wilayah
yang pernah dikuasai dan mendapat pengaruh Kerajaan Majapahit.
Wilayah tersebut melingkupi hampir seluruh kepulauan Nusantara, dari
Sabang hingga Merauke.
Kondisinya kemudian berbeda pada akhir orde baru dan selama orde
lama, kisah tentang bangsa maritim tinggal sekadar memori sejarah
yang diajarkan di sekolah-sekolah. Memori sejarah yang tak lebih dari
sekedar pengingat tentang betapa jayanya Indonesia sebagai bangsa
maritim di masa lalu. Pada masa orde baru terutama, spirit sebagai
bangsa maritim seakan ditinggalkan. Hampir semua aspek pembangun-
an difokuskan pada pulau-pulau besar dan dilakukan secara terpusat
yang berbasis agraris. Kondisi ini terus berlanjut pada masa berikutnya,
yakni pasca-reformasi.
Hingga akhirnya pada masa Presiden Joko Widodo, spirit sebagai
bangsa maritim kembali digelorakan. Bahkan, dalam Nawa Cita-nya,
Presiden Joko Widodo bercita-cita mewujudkan Indonesia sebagai poros
maritim dunia.

“Hingga akhirnya pada era Presiden Joko Widodo,


spirit sebagai bangsa maritim kembali
digelorakan. Bahkan, dalam Nawa Cita-nya,
Presiden Joko Widodo bercita-cita mewujudkan
Indonesia sebagai poros maritim dunia.”
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 4

Dok. UMCE 2017 Dok. UMCE 2017

ARSIP BERUPA FOTO-FOTO LAMA SANGIHE YANG DIPAMERKAN DI ISTANA MANGANITU.

Implikasi atas cita-cita tersebut kemudian terlihat dari perubahan


arah pembangunan beberapa tahun belakangan. Pembangunan yang se-
belumnya lebih banyak dilakukan pada sektor agraris kini lebih difokus-
kan pada sektor maritim. Pembangunan yang sebelumnya dilakukan se-
cara terpusat, kini dilakukan secara merata hingga ke daerah-daerah ter-
luar dan perbatasan. Pemerintah menyebut gerakan ini dengan istilah
‘membangun dari pinggiran’.
UGM Maritime Culture Expedition sejatinya muncul dari semangat
yang sama, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran melalui pengem-
bangan ilmu pengetahuan khususnya kajian sejarah budaya maritim.
Tidak dapat dipungkiri, selama ini perhatian atas sejarah maritim di
pulau-pulau kecil khususnya kepulauan terluar cukup minim. Buku-buku
sejarah dan laporan penelitian yang menjadi pengetahuan selama ini
lebih banyak bercerita tentang kerajaan-kerajaan besar dan aktivitas
kemaritiman di sekitar pulau-pulau besar, seperti Jawa, Sumatra,
Kalimantan dan Sulawesi. Padahal sebagai Negara Kepulauan, pulau-
pulau kecil di daerah terluar pastinya juga memiliki peranan penting
yang tidak dapat dilupakan begitu saja.
Dalam konteks pelayaran bangsa-bangsa asing ke Nusantara, diasum-
sikan bahwa sebelum kapal-kapal mereka sampai di pulau-pulau besar
di bagian tengah Indonesia, daerah pertama yang dilewati dan
5

disinggahi adalah pulau-pulau kecil di daerah terluar. Secara geografis,


kepulauan terluar berpotensi lebih dahulu bersinggungan dengan bang-
sa asing dibanding pulau-pulau besar.
Salah satu contoh yang dapat kita lihat adalah Kepulauan Natuna di
perairan barat Indonesia yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan dan
negara-negara tetangga. Kepulauan Natuna dapat disebut sebagai pintu
gerbang masuknya pengaruh asing khususnya dari jalur Cina Selatan.
Pendapat ini didasarkan pada beragam bukti arkeologis seperti kapal
karam, keramik, dan koin, serta budaya intangible. Tak hanya sebagai
pintu gerbang, Kepulauan Natuna juga disebut sebagai tempat tinggal
beragam suku bangsa yang seiring berjalannya waktu saling berakultur-
asi membentuk budaya sendiri.
Kini, hasil kajian di Kepulauan Natuna mendapat perhatian yang cu-
kup besar, karena selain sebagai pengetahuan budaya maritim pada ma-
sa lalu, juga menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam menyikapi
konflik Laut Cina Selatan yang belakangan ini semakin memanas.
Di samping Kepulauan Natuna, ada pula kepulauan Nusa Utara di
bagian timur yang diduga memiliki peran tak kalah penting. Nusa Utara
adalah sebutan untuk gugusan kepulauan di perairan perbatasan
Indonesia dan Filipina. Dari catatan sejarah, diketahui bahwa Kepulauan
Nusa Utara dahulunya merupakan jalur pelayaran Internasional yang
menghubungkan kawasan Asia Timur dan Samudera Pasifik.

“Sejak ribuan tahun lalu kepulauan ini


diduga menjadi jalur migrasi budaya dari
Asia Tenggara ke wilayah Melanesia dan
Mikronesia, seperti yang dikemukan
Soegondho dalam tulisannya yang berjudul
Arkeologi Membuktikan bahwa Sulawesi
Utara adalah Gerbang Asia Pasifik Sejak
Masa Prasejarah.”
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 6

Informasi lainnya yang tak kalah penting adalah sejak ribuan tahun
lalu kepulauan ini diduga menjadi jalur migrasi budaya dari Asia
Tenggara ke wilayah Melanesia dan Mikronesia, seperti yang dikemukan
Soegondho dalam tulisannya yang berjudul Arkeologi Membuktikan
bahwa Sulawesi Utara adalah Gerbang Asia Pasifik Sejak Masa
Prasejarah.
Melakukan penelitian di kepulauan terluar memang menjadi tantang-
an tersendiri. Medan yang berat, biaya yang besar, dan akses yang sulit
adalah beberapa alasan membuat orang akan berpikir dua kali melaku-
kan penelitian di sana. Namun, sebenarnya di balik semua tantangan itu,
kepulauan terluar justru menjanjikan pengalaman penelitian yang he-
bat, apalagi bagi mahasiswa yang haus akan kegiatan lapangan.
Selain itu, lokasi yang jauh dan sulitnya akses menjadikan data di ke-
pulauan terluar berpotensi besar masih dalam kondisi ‘asli’ (preserved)
atau belum banyak mengalami transformasi. Lebih dari itu, penelitian di
daerah terluar tentu akan memperkaya khazanah pengetahuan sejarah
budaya maritim Indonesia yang selama ini banyak terfokus pada pulau-
pulau besar. Harapannya, penelitian sejarah budaya maritim akan mem-
buka jalan untuk melakukan pembangunan di berbagai aspek lainnya di
kepulauan terluar, seperti aspek ekonomi, sosial, dan pariwisata. Oleh
karena begitu pentingnya penelitian di sana, mari lebih sering melirik
kepulauan terluar.
7

Dok. UMCE 2017

Jalan Panjang
Menuju Ekspedisi Sangihe

Oleh: Sultan Kurnia A.B.


Editor: Wulandari Retnaningtiyas
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 8

Kendala ABA dan Jalan Panjang untuk Mengatasinya

P nurut banyak pihak berjalan cukup lambat. Kondisi pertumbuhan


erkembangan kajian arkeologi bawah air (ABA) di Indonesia me-

kajian ini mengalami turun-naik sejak pertama kali dikembangkan di


Indonesia sejak 1980an hingga kini. Bahkan, ada pendapat mengatakan
bahwa di lingkungan kampus kajian ABA masih jalan di tempat. Kampus
yang diharapkan menjadi tempat mencetak ahli arkeologi bawah air
sejak dini hingga kini belum menunjukan peranan yang signifikan.
Sebenarnya tidak hanya di lingkungan kampus. Pada lingkungan yang
lebih luas sekalipun seperti di lembaga penelitian tingkat nasional apa-
lagi lokal, penelitian ABA juga belum berkembang merata. Penyebabnya
cukup banyak, mulai dari terbatasnya sumber daya manusia yang
handal, minimnya peralatan, hingga terbatasnya dana.
Di Universitas Gadjah Mada, dengan status sebagai mahasiswa, kami
bersyukur bisa mencicipi penelitian ABA sejak bangku kuliah. Tiga hal
yang menjadi kendala sulitnya perkembangan ABA telah disiasati oleh
para senior terdahulu. Sejak awal tahun 2000, dibentuk suatu wadah
untuk menampung dan mengembangkan bakat mahasiswa di bidang
ABA. Dulu wadah itu bernama KAPAK, kini berganti nama menjadi Divisi
Arkeologi Bawah Air. Tujuan jangka panjang dibentuknya wadah ini ada-
lah menyiapkan sumber daya manusia yang handal sejak dini di bidang
kajian arkeologi bawah air.
Melalui kedua wadah ini, selama bertahun-tahun mahasiswa belajar
teknik menyelam, mulai dari tingkat paling dasar hingga tingkat advance
dan master dengan bimbingan Sentra Selam Jogja. Harus diakui, ke-
mampuan menyelam menjadi salah satu modal utama untuk menekuni
dunia ABA. Dalam wadah ini pula semangat untuk selalu mengembang-
kan kajian arkeologi bawah air dipupuk dari satu generasi ke generasi
berikutnya, melalui diskusi-diskusi ringan. Kendala kedua terkait terba-
tasnya peralatan selam terselesaikan dengan disediakannya peralatan
yang terbilang lengkap oleh pihak universitas sejak tahun 2010. Adapun
kendala ketiga terkait terbatasnya dana beberapa kali dapat teratasi
dengan menjalin kerja sama dan mengajukan proposal ke berbagai
9

lembaga, kementerian, dan pihak swasta. Hasil dari usaha-usaha itu


dapat dilihat dalam lima tahun terakhir.
Pada tahun 2012, dua mahasiswa Arkeologi UGM, Hengky dan
Shinatria melakukan penelitian arkeologi bawah air dengan tema pem-
bentukan data dan manajemen penyelaman di Kapal Karam USAT
Liberty, Tulamben, Bali. Penelitian tersebut dilakukan dalam rangka me-
nyelesaikan tugas akhir (skripsi). Pada tahun 2014, giliran Ganes bersa-
ma timnya melakukan penelitian Kapal Karam Indonoor di Karimunjawa
dengan tema strategi pelestarian kapal karam. Penelitian ini pada awal-
nya merupakan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang didanai
KEMENRISTEK-DIKTI dan akhirnya berbuah menjadi skripsi. Tradisi PKM
kemudian berlanjut pada tahun 2016, ketika Dwi Kurnia Sandy bersama
timnya melakukan penelitian kapal karam MV. Boelongan Nederland di
Sumatera Barat. Hasil penelitian kolaboratif dengan kajian geologi dan
pariwisata itu, pada tahun yang sama ber-
hasil memenangi dua lomba karya tulis di ACARA PELEPASAN TIM
Malang dan Jepang, menghasilkan dua buah EKSPEDISI OLEH KETUA
DEPARTEMEN ARKEOLOGI,
skripsi, serta dipresentasikan dalam konfe- SUBDIT KREATIVITAS
rensi internasional. MAHASISWA, DAN DEKAN FIB

Dok. UMCE 2017


CERITA DARI BERANDA NEG ERI 10

Pada tahun 2017, perkembangan penelitian ABA di UGM cukup


signifikan. Selain Ekspedisi Sangihe, ada enam judul penelitian lain yang
menjadi topik skripsi mahasiswa UGM. Tiga di antaranya mengambil
studi kasus kapal karam di Pulau Bawean, satu tentang kapal MV.
Boelongan Nederland di Sumatera Barat, dan satu lagi tentang pesawat
tempur Amerika di Makassar.

Sebuah Cita-Cita Lama

K arkeologi maritim dengan lingkup yang lebih besar sebenarnya


einginan untuk melakukan penelitian arkeologi bawah air dan

telah digagas sejak beberapa tahun belakangan oleh para senior. Bah-
kan, pernah tercetus sebuah ide untuk melakukan pelatihan sekaligus
penelitian ABA yang melibatkan mahasiswa arkeologi se-Indonesia. Inti
gagasan tersebut adalah mengadakan suatu kegiatan yang tidak hanya
bersifat temporal seperti PKM dan skripsi, tetapi juga kegiatan yang si-
fatnya berkelanjutan dengan perencanaan jangka panjang. Beberapa ka-
li upaya untuk mewujudkan keinginan tersebut telah dilakukan akan te-
tapi belum kesampaian. Hingga akhirnya tiba momentum baik pada ta-
hun 2017, cita-cita itu dapat terlaksana dalam kegiatan bertajuk “UGM
Maritime Culture Expedition”.
Kegiatan ini pada awalnya merupakan penelitian yang fokus pada ka-
jian arkeologi bawah air. Namun, kemudian kajiannya meluas sehingga
akhirnya diberi nama “UGM Maritime Culture Expedition”. Perluasan ka-
jian tersebut didasarkan atas kesepakatan, bahwa arkeologi bawah air
tidak dapat dilepaskan dari kajian sejarah budaya maritim yang perlu
melibatkan disiplin ilmu lain. Dengan perluasan kajian seperti itu, maka
target data yang semula hanya kapal karam di dalam laut kemudian
ditambah dengan data lain berupa sejarah lisan, arsip lama, hingga data
etnografi.
Cerita tentang persiapan Ekspedisi Sangihe dimulai sejak awal De-
sember hingga pelaksanaannya di bulan April dan Mei. Dalam kurun
waktu lima bulan, cukup banyak yang telah dilakukan dan dipelajari. Ti-
dak hanya belajar tentang ilmu arkeologi saat penelitian lapangan, kami
juga belajar hal-hal lain pada setiap proses persiapan yang dilakukan
11

seperti: cara menulis proposal yang me-


narik, membangun jaringan khususnya
dengan pemerintah pusat dan pemerin-
tah daerah, serta manajemen ekspedisi
yang penuh dinamika karena melibat-
kan banyak pihak.
Memutar waktu ke belakang, cerita
ini berawal pada suatu malam di per-
tengahan bulan Desember tahun lalu.
Di sebuah kedai kopi di pinggiran Kota
Yogyakarta, ide Ekspedisi Sangihe diba-
has secara serius untuk pertama kali-
nya. Perlahan namun pasti, empat bu-
lan kemudian ide ekspedisi ini sampai
juga ke meja Ketua Departemen Arkeo-
logi UGM. Upaya realisasi kemudian
berlanjut dengan adanya audiensi de-
ngan pihak Dekanat Fakultas Ilmu Bu-
daya dan Direktur Kemahasiswaan
UGM, pengurusan perizinan ke Peme-
rintah Daerah Sangihe, hingga penyeba-
ran proposal kegiatan ke sejumlah ke-
Dok. UMCE 2017
menterian dan pihak swasta.
LATIHAN RUTIN Selama tiga bulan masa persiapan, hari-hari tim
SELAM OLEH HIMA
UGM DI PONGGOK ekspedisi diisi dengan puluhan kali rapat dan bela-
KLATEN. san kali diskusi. Diskusi paling rutin dilakukan bersa-
ma Mas Jajang Agus Sonjaya dan Mas Mada; dua
orang senior yang ahli dalam kajian Arkeologi Maritim.
Hingga menjelang seminggu keberangkatan ke Sangihe, berbagai pe-
ristiwa menarik terus terjadi dan rasanya perlu untuk diceritakan. Salah
satunya terkait pemberangkatan tim ekspedisi yang terbagi dalam em-
pat kloter melalui kota yang berbeda-beda yaitu Jakarta, Yogyakarta,
Surabaya, dan Semarang. Di antara perjalanan yang berbeda itu, cerita
paling menarik dilalui oleh Muslim Dimas Khoir.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 12

Sejak awal bulan April, Khoir berada di Pulau Bawean untuk mela-
kukan penelitian yang berbeda. Kabar kurang baiknya, seminggu men-
jelang keberangkatan Ekspedisi Sangihe, ia masih terjebak di Pulau
Bawean karena cuaca ekstrem. “Saya belum bisa pulang, kapal PELNI
tidak ada yang berani menyeberang ke Pulau Jawa, badai besar dan ge-
lombang tinggi,” tulis Khoir dalam sebuah SMS yang ia kirimkan pada
kami, malam 22 April. Padahal, dalam rencana awal Khoir dijadwalkan
berangkat ke Sangihe pada tanggal 24 April dari Jakarta bersama rom-
bongan kementerian. Ia sangat diharapkan berangkat ke Sangihe karena
selain paling diandalkan untuk kegiatan penyelaman, sebagian peralatan
selam yang akan digunakan tim di Sangihe nanti juga dibawa olehnya.
Maka dengan kondisi yang cukup genting itu, Khoir hanya punya dua
pilihan. Pertama, tetap tinggal di Pulau Bawean menunggu cuaca normal
yang diperkirakan satu minggu lagi, tapi akibatnya tidak jadi berangkat
Ke Sangihe. Kedua, berangkat ekspedisi ke Sangihe tapi sebelumnya
bertaruh nyawa menyeberangi Laut Bawean, bagaimanapun caranya.
Akhirnya Khoir menempuh pilihan kedua. Ia menyeberang dari Pulau
Bawean ke Lamongan sekitar pukul 04.00 subuh dengan menumpang
perahu nelayan. “Sangat berisiko, tapi hanya ini satu-satunya jalan, tidak
ada kapal PELNI” SMS Khoir kepada kami, sesaat sebelum ia menyebe-
rangi Laut Bawean yang dikenal ganas itu.
Syukurlah, Khoir sampai di Lamongan pagi 23 April dengan selamat.
Semula, ia berniat pulang ke Jogja terlebih dahulu agar bisa beristirahat
dan menyiapkan segala sesuatunya, tapi waktu sudah tidak lagi cukup.
Atas kesepakatan tim, Khoir akhirnya melanjutkan perjalanan dari
Lamongan ke Surabaya lalu menginap semalam di sana. Keesokan
subuhnya ia terbang dari Bandara Juanda menuju Bandara Soekarno-
Hatta.
Tengah malam tanggal 24 April, Khoir dan tim yang sudah menunggu
di Jakarta melanjutkan penerbangan Jakarta-Manado-Sangihe. Setelah
melalui penerbangan panjang, tanggal 25 pagi mereka tiba di Sangihe
dengan selamat meski dalam kondisi yang sangat lelah. Pagi itu, diawali
dengan pengurusan surat izin ke Pemerintah Daerah Kepulauan Sangihe
oleh Khoir dan kawan-kawan, Ekspedisi Sangihe pun dimulai.
13

Selamat Datang di Bincang Lain!


Di sini kita akan berbincang-bincang tentang pengetahuan dan
fakta-fakta unik lain tentang Sangihe.

Sangihe I Kekendage

Ini adalah sekumpulan syair magis. Tidak percaya? Sini biar kuberi tahu:
“Pssst, beberapa orang berkata kalau syair ini bisa menautkan hati para
pendatang dengan Sangihe.”

Tertarik membuktikan kebenaran cerita ini? Kira-kira beginilah lirik syair


berserta artinya:

Sangihĕ i kĕkĕndagĕ sarang papateku

Si dutu maka ļuasĕ daļung u naungku.

Maning pia dade dala

Limembong bantugĕ

Ta kere soang sangihĕ maning kurang damene

Soang kinariadiangku sangihĕ2×

Sene ene naungku taku tetahĕndungang

Soang kinariadiangku2×
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 14

Sangihe kukasihi hingga akhir hayatku

Senantiasa membahagiakan isi hatiku

Meski di tempat lain ada yang lebih menarik

Namun tak semenarik kotaku meski kurang ramainya

Kota tempat kelahiranku Sangihe

Di sana hatiku selalu mengingat

Kota tempat lahirku.

(dialihbahasakan oleh Agrendy Saselah)

Silahkan bernyanyi!
15

Dok. UMCE 2017

Sangihe: The Northern


Gate of Nusantara

Oleh: Sultan Kurnia A.B. dan Dwi Kurnia Sandy


Editor: Wulandari Retnaningtiyas
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 16

“Di balik lokasinya yang begitu jauh dan


cerita sunyi sebagai daerah terluar,
Sangihe ternyata menyimpan potensi
besar berupa hasil kelautan, sumber
daya alam seperti rempah, dan potensi
sejarah budaya maritim.”

S Kepulauan Sangihe pada pertengahan 2015 lalu. Hingga akhirnya


angat jauh, adalah kesan pertama kami ketika menginjakkan kaki di

bisa tiba di sana, kami Tim KKN-PPM UGM mesti menjalani perjalanan da-
rat, laut, dan udara selama kurang lebih tiga hari. Perjalanan berawal dari
Yogyakarta kemudian ke Surabaya lalu ke Manado hingga akhirnya sam-
pai di Sangihe. Perjalanan panjang paling terasa saat naik kapal feri dari
Manado menuju Sangihe selama sepuluh jam. Kapal berlayar di Laut
Sulawesi di antara gugusan pulau-pulau kecil Nusa Utara.
KKN-PPM UGM merupakan perkenalan pertama kami dengan Sangihe,
sebuah daerah yang sebelumnya kami tidak pernah tahu dan tak sekali-
pun mendengar namanya. Bagi kami, Sangihe tidak hanya terasa jauh da-
lam ukuran jarak geografis, tapi juga secara emosional dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nama Sangihe jarang terdengar dalam perbincangan nasional baik da-
lam segi ekonomi, sosial, maupun budayanya. Banyak orang ketika men-
dengar nama Sangihe akan bertanya “Di mana itu Sangihe?” Bahkan ada
juga yang bertanya “Apa itu Sangihe?” Inilah salah satu realita daerah
yang berstatus sebagai ‘terluar dan terdepan’; tidak banyak orang yang
17

mengetahuinya. Apalagi bagi Sangihe yang dalam peta Indonesia perlu


kejelian untuk melihat lokasinya. Dalam peta Indonesia, Kepulauan
Sangihe yang terdiri lebih dari 90 pulau itu hanya ditandai dengan titik ke-
cil di ujung utara, bahkan dalam skala peta yang lebih kecil tak terlihat sa-
ma sekali.
Beruntung, KKN-PPM UGM pada pertengahan 2015 yang lalu mem-
buka padangan saya tentang Sangihe. Di balik lokasinya yang begitu jauh
dan cerita sunyi sebagai daerah terluar, Sangihe ternyata menyimpan po-
tensi besar seperti hasil kelautan, rempah, dan potensi sejarah budaya
maritim.
Di sela-sela kegiatan pegabdian masyarakat KKN dua tahun lalu, de-
ngan dibantu teman-teman lain, kami mengumpulkan beberapa data me-
narik terkait tinggalan arkeologis di Sangihe, di darat dan di bawah laut.
Selain itu, didapatkan pula informasi tentang budaya bahari masyarakat
setempat, isu konflik politik daerah perbatasan, hingga data potensi wisa-
ta bahari yang cukup menjanjikan.
Data tersebutlah yang dua tahun kemudian menjadi pemantik lahirnya
kegiatan bernama ‘UGM Maritime Culture Expedition’. Atas hasil analisis
singkat pada data berupa kapal karam, makam kuno, dan pelabuhan-pe-
labuhan lama yang kemudian dikaitkan dengan penelitian terdahulu, ma-
ka diasumsikan Sangihe adalah pintu gerbang Nusantara di bagian utara.
Melihat kembali riwayat penelitian terdahulu dan literatur yang ada,
sebenarnya Santoso Soegondho pernah mengemukakan bahwa Nusa
Utara–sebutan untuk gugusan kepulauan di perbatasan Indonesia dan
Filipina Selatan–merupakan salah satu pintu gerbang Kepulauan Nusan-
tara. Hal itu dikemukan dalam tulisannya yang berjudul Arkeologi Mem-
buktikan Indonesia sebagai Pintu Gerbang Asia Pasifik Sejak Masa Pra-
sejarah. Namun dalam tulisan itu, Soegondho lebih banyak berbicara
Nusa Utara sebagai pintu gerbang Asia Pasifik pada masa prasejarah, se-
dangkan masa perdagangan rempah, kolonialisme, hingga Perang Dunia II
tidak banyak dibahas.
Berangkat dari dugaan itu, kami kemudian mengemukakan sebuah hi-
potesis, yaitu ‘Sangihe: The Northern Gate of Nusantara’. Pada intinya,
hipotesis ini bermaksud untuk membuktikan Sangihe sebagai pintu ger-
bang Nusantara di bagian utara, khususnya pada masa perdagangan
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 18

rempah, era kolonialisme, dan Perang Dunia II. Dasar utama Sangihe
diduga sebagai pintu gerbang Nusantara tidak terlepas dari lokasinya
secara geografis, yakni berada di bagian utara dari wilayah NKRI sekaligus
berada tepat di bagian selatan wilayah negara Filipina. Atas lokasi secara
geografis itu Sangihe diduga merupakan pintu masuk bangsa asing dari
Asia Pasifik ke Nusantara.
Sebagai sebuah hipotesis, kami menyadari harus ada indikator-indi-
kator yang perlu diajukan untuk kemudian dicari dan dikumpulkan data-
nya. Maka, dalam hipotesis Sangihe sebagai pintu gerbang Nusantara ka-
mi membuat beberapa indikator, yaitu (1) adanya catatan sejarah yang
menyebutkan Sangihe sebagai jalur pelayaran, tempat berlabuh, atau
bahkan sebagai tempat tinggal bangsa asing dalam pelayaran ke Nusan-
tara; (2) sejarah lisan yang berkembang pada masyarakat Sangihe terkait
poin pertama; dan (3) adanya tinggalan-tinggalan arkeologis yang mem-
buktikan kehadiran bangsa asing di Kepulauan Sangihe seperti kapal
karam, pesawat terbang, keramik, senjata, karya seni, bangunan tempat
tinggal, hingga makam.
Setelah mengemukakan hipotesis dan menyusun daftar indikator,
maka tibalah saatnya untuk pembuktian. Usaha pembuktian dilakukan
dengan menggunakan tiga pendekatan, yakni arkeologi maritim, sejarah,
dan antropologi. Pendekatan sejarah dan antropologi kemudian disatu-

“Kami kemudian mengemukakan sebuah


hipotesis, yaitu ‘Sangihe: The Northern Gate of
Nusantara’. Pada intinya, hipotesis ini
bermaksud untuk membuktikan Sangihe sebagai
pintu gerbang Nusantara di bagian utara,
khususnya pada masa perdagangan rempah, era
kolonialisme, dan Perang Dunia II.”
19

kan menjadi etnohistoris. Kenapa mesti menggunakan tiga pendekatan


tersebut? Karena kami percaya bahwa dengan kolaborasi pendekatan
sejarah, arkeologi, dan antropologi, akan dihasilkan penelitian yang lebih
komprehensif terkait pengungkapan sejarah masa lalu. Setidaknya itu
yang kami dengar dan kami pelajari selama kuliah di Fakultas Ilmu
Budaya.
Mengenai cara kerjanya, pendekatan sejarah lebih banyak mengkaji
arsip-arsip terkait sejarah Kepulauan Sangihe dan arsip surat perjanjian
dagang antara kerajaan lokal dengan VOC. Pendekatan antropologi lebih
banyak mencari data dengan cara berbaur pada masyarakat lokal. Wa-
wancara mendalam dilakukan untuk mengungkap kepercayaan, tradisi,
dan pengetahuan masyarakat Sangihe terhadap laut.
Terakhir, pendekatan arkeologi maritim berfokus mengumpulkan data
berupa tinggalan-tinggalan arkeologis, baik yang berada di darat maupun
di bawah laut. Tinggalan tersebut cukup beragam mulai dari kapal karam,
jangkar, lukisan dinding gua, makam Belanda dan Jepang, kubur batu,
keramik, gereja, istana, hingga persenjataan. Dengan tiga pendekatan ini,
diharapkan pembuktian hipotesis Sangihe sebagai pintu gerbang Nusan-
tara akan lebih kuat dan teruji.
Dalam kegiatan ini kami juga menyadari, bahwa selain belajar untuk
melakukan penelitian yang komprehensif, juga penting membuat hasil
penelitian yang menarik dan dapat dinikmati oleh masyarakat umum. Se-
buah penelitian yang tidak hanya menghasilkan catatan harian atau lapo-
ran kegiatan semata, tapi juga menghasilkan luaran yang lebih mudah di-
pahami banyak kalangan. Oleh karena itu, kami juga berkolaborasi de-
ngan mahasiswa Komputer dan Sistem Informasi UGM. Melalui keahlian
mereka, semua kegiatan ekspedisi didokumentasikan dalam bentuk foto
dan video secara baik. Hilirnya, hasil penelitian berupa buku dan film
dokumenter.
Ada anggapan bahwa penelitian yang berawal dengan membuat hipo-
tesis kemudian mencari bukti-buktinya (deduktif), lebih sulit dari pada
penelitian yang berawal dari mengumpulkan data setelah itu membuat
kesimpulan (induktif). Apalagi jika kajian penelitiannya tentang arkeologi
bawah air dan lokasinya jauh. Karena itu, beberapa pertanyaan pernah
diajukan kepada kami saat penelitian ini mulai disosialisasikan. “Kenapa
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 20

harus kajian arkeologi bawah air dan kenapa harus jauh-jauh ke Sangihe?
Pertanyaan “kenapa harus kajian arkeologi bawah air” tentu terkait de-
ngan sejauh mana pengetahuan dan kemampuan kami untuk dapat mela-
kukan penelitian itu, khususnya tentang kemampuan menyelam dan be-
kerja di dalam air, “sudah bisa atau belum?” Sedangkan pertanyaan
kedua “kenapa jauh-jauh ke Sangihe” kaitannya dengan dari mana dan
bagaimana caranya mencari dana kalau penelitiannya sejauh itu padahal
waktu persiapan begitu sedikit. Menanggapi itu, dulu kami hanya men-
jawab dengan usaha dan latihan yang maksimal. Kami memaklumi bahwa
ada keraguan atas penelitian ini akan dapat terlaksana atau tidak.
Sebagai mahasiswa, kami ingat kata Bung Rhoma ‘masa muda itu ada-
lah masa yang berapi-api’. Selama api itu menyala, teruslah melangkah
dan membuat sesuatu yang tidak biasa. ‘Walau letih mengarungi hati, asa
itu tak ‘kan mati’, kata Dedy Corbuzier dalam lagunya Keajaiban Semesta.
Benar saja, saat kami menginjakkan kaki di Kepulauan Sangihe bulan Mei
lalu dan menyelam di kedalaman 25 meter di bawah permukaan laut, saat
kami berhasil mengukur setiap bagian kapal karam berukuran 40 meter
dan jangkar kuno di arus laut yang cukup kuat, pada akhirnya, kami ingin
katakan bahwa kami bisa.

“Kami ingat kata Bung Rhoma ‘masa muda


itu adalah masa yang berapi-api’. Selama
api itu menyala, teruslah melangkah dan
membuat sesuatu yang tidak biasa.
‘Walau letih mengarungi hati, asa itu
takkan mati’, kata Deddy Corbuzier dalam
lagunya Keajaiban Semesta.”
21

Dok. UMCE 2017

Asal Usul Sangihe: Legenda, Mitos


dan Cerita Rakyat

Oleh: Muhamad Destrianto


Editor: Sandy Maulana Yusuf & Sultan Kurnia A.B.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 22

“Berbicara mengenai sejarah


Kepulauan Sangihe tidak dapat terlepas
dari cerita yang beredar di masyarakat.
Cerita tersebut sudah menjadi
tradisi lisan yang dituturkan secara
turun-termurun. Cerita Gumansalangi
merupakan salah satu kisah legenda
paling utuh yang meriwayatkan Sangihe,
mulai dari penduduknya hingga lakon
yang melatarbelakangi terbentuknya
kerajaan-kerajaan di Sangihe.”

N relatif masih minim ditemukan, namun demikian terdapat bebe-


arasi yang secara khusus menjelaskan sejarah Kepulauan Sangihe

rapa narasi yang secara umum menjelaskan peranan Laut Sulawesi pada
masa lalu. Dalam bukunya yang berjudul Orang Laut, Bajak Laut, Raja
Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, A.B Lapian memasukkan
daerah kepulauan Sangihe-Talaud, atau yang lebih dikenal dengan Nusa
Utara, ke dalam suatu tatanan sistem yang dinamakan “Sistem Laut
Sulawesi”. Mengenai Laut Sulawesi, Dennys Lombard mengatakan bahwa
Laut Sulawesi, kawasan Laut Sulu, dan Laut Maluku merupakan segitiga
kawasan yang membentuk suatu kesatuan lintasan niaga bagian timur
Nusantara. Anthony Reid dalam penggambaran era Age of Commerce,
mengatakan bahwa Jalur Sangihe-Talaud merupakan lintasan niaga yang
menghubungkan jalur pelayaran ke daratan Cina melalui rute Filipina dan
Sulu menuju Spice of Island (kepulauan rempah-rempah).
Catatan paling tua mengenai Sangihe ditulis oleh Antonio Pigafetta, sa-
lah satu petualang yang ikut ambil bagian dalam ekspedisi Magellan tahun
1519-1521 Masehi. Ia menulis:
23

Dok. UMCE 2017

FGD BERSAMA MASYARAKAT LOKAL DAN STAKEHOLDERS TERKAIT UNTUK MENGETAHUI


SEJARAH AWAL MULA KEPULAUAN SANGIHE.

“La grande, que se llama sanghir, está gobernada por


cuatro reyes cuyos nombres son: raja Matandatu, raja Laga,
raja Bapti y raja Parabu. se halla situada hacia los 3° 30’ de
latitud septentrional, y a veintiesiete leguas de sarangani”

Kutipan catatan perjalanan tersebut menyebutkan bahwa kepulauan


Sangihe telah diperintah oleh empat raja, yaitu Raja Matandatu, Raja
Laga, Raja Bapti dan Raja Parabu. Pada pelayaran tersebut rombongan
Magellan juga melewati beberapa gugusan pulau yang ada di bagian
utara sebelum tiba di Maluku.
Berbicara mengenai sejarah Kepulauan Sangihe tidak dapat terlepas
dari cerita yang beredar di masyarakat. Cerita tersebut sudah menjadi
tradisi lisan yang dituturkan secara turun temurun. Cerita Gumansalangi
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 24

merupakan salah satu kisah legenda paling utuh yang meriwayatkan


Sangihe, mulai dari penduduknya hingga lakon yang melatarbelakangi
terbentuknya kerajaan-kerajaan di Sangihe.
Kisah Gumansalangi sendiri mempunyai versi yang berbeda-beda di
kalangan masyarakat, di antaranya Cerita Gumansalangi versi Siau, Cerita
Gumansalangi versi Talaud, Cerita Gumansalangi versi Sangihe Besar,
Cerita Gumansalangi versi orang-orang yang ada di bekas Kerajaan
Tabukan, juga versi orang-orang di luar kerajaan.
Dari keempat versi cerita tersebut, Sebagian besar kisah tersebut me-
nyebut Gumansalangi sebagai putra mahkota dari kerajaan di Filipina.
Cerita versi Siau misalnya. Dalam kisah ini diceritakan bahwa Guman-
salangi diperintahkan ayahnya untuk membuat kerajaan baru. Maka, ber-
layarlah dia mengarungi laut. Dalam perjalanannya, Gumansalangi sing-
gah di Pulau Marulung (Pulau Bulut), Pulau Mandolokang (Taghulandang),
Pulau Siau, hingga tiba di Sangihe Besar. Pada tahun 1300, wilayah keraja-
an yang didirikan Gumansalangi telah mencakup Pulau Bulut, Filipina
Selatan. Dalam versi kedua, yakni versi Talaud, Gumansalangi diceritakan
berangkat dari Molibagu, sempat singgah di Pulau Ruang, lalu menuju
Taghulandang, Biaro, Siau, Mindanao, untuk kemudian sampai di Pulau
Sangihe. Selanjutnya, Gumansalangi menetap di Sangihe hingga kerajaan
pertama di pulau ini didirikan pada tahun 1425.
Selanjutnya dalam versi Sangihe, Gumansalangi diceritakan kabur dari
kerajaan yang diperintah oleh ayahnya setelah mengetahui rencana
bahwa ia akan dibunuh. Rencana itu terkuak setelah Batahalawo dan
Batahasulu, pengikut setia Gumansalangi, mencuri dengar percakapan
raja. Mereka kabur dengan menggunakan ular naga besar jelmaan dari
ikat kepala Batahalawo. Ular naga tersebut kemudian membawa Guman-
salangi, Batahalawo, dan Batahasulu ke Rane dan tebing Mênanawo, lalu
mengitari bukit Bowong Panamba, Dumêga, dan Areng Kambing. Sesam-
painya di sana, Gumansalangi dihadapkan dengan peristiwa aneh, mulai
dari kedatangan seorang nenek yang menumpang berteduh hingga dida-
tangi gadis cantik di malam berikutnya. Puncaknya adalah di saat suasa-
na tenang, Gumansalangi mendengar suara yang menyuruh ia mengam-
bil telur di pucuk pohon yang sangat besar dengan catatan telur tersebut
tidak boleh sampai pecah. Kemudian, oleh Gumansalangi, ditebanglah
25

pohon tersebut. Dalam perjalanan pulang, telur yang dibawanya pecah,


sekonyong kemudian muncullah putri cantik yang kelak dikenal dengan
nama Konda Wulaen atau Sangiang Ondo Wasa (putri perintang malam).
Singkat cerita, mereka menikah dan menjadi Kasili Mědělu dan Sangiang
Měngkila, yang berarti Putra Guntur dan Putri Kilat. Cerita yang berkem-
bang ini menjadi bagian dari lahirnya nama Sangihe dan menjadi inspirasi
untuk pemotongan kue adat Tamo.
Dalam versi terakhir, Gumansalangi diceritakan sebagai pangeran ke-
rajaan di Filipina Selatan yang memiliki perangai buruk. Guna memberi-
kan pelajaran, ayahnya, sang raja, mengasingkan Gumansalangi ke hutan.
Di hutan itulah, tangis Gumansalangi pecah. Ia menyesali segala perilaku
buruknya. Melihat hal tersebut, raja di kahyangan menjadi iba. Ia lantas
menyuruh salah satu putrinya, Putri Konda, untuk turun ke Bumi guna
menemui Gumansalangi. Sang putri lalu menyamar menjadi wanita buruk
rupa yang tengah tersesat di hutan. Gumansalangi lantas menolong si
putri yang tengah menyamar dengan amat baik. Ia bahkan mempersila-
kan wanita buruk rupa untuk tinggal di rumah pengasingannya selama
beberapa hari. Alangkah terkejutnya Gumansalangi ketika si wanita buruk
rupa tiba-tiba menghilang dari rumahnya. Ternyata, sang putri tengah
kembali ke kahyangan untuk memohon izin ayahnya, raja kahyangan,
agar bisa menjadi istri Gumansalangi dalam sisa hidupnya. Mereka lalu
menikah.
Gumansalangi bersama istrinya lalu mencari tempat tinggal baru de-
ngan melihat beberapa pertanda yang diberikan raja kahyangan, yaitu
tempat tersebut harus diguyur hujan beserta guntur selama tiga hari tiga
malam. Maka, dimulailah perjalanan Gumansalangi dan Putri Konda. Me-
reka sempat singgah di Pulau Marulung, Pulau Tagulandang, Gunung Ru-
ang, Pulau Siau, Gunung Tamata, namun belum juga menemukan per-
tanda yang dimaksud raja. Mereka terus melanjutkan perjalanan hingga
kemudian tiba di pulau besar yang kerap disebut Tampungang Lawo. Di
tempat inilah pertanda berupa hujan selama tiga hari tiga malam muncul.
Akhirnya, Gumansalangi dan Putri Konda memutuskan untuk tinggal di
pulau ini. Di kemudian hari, oleh penduduk setempat, mereka dielu-
elukan sebagai raja pertama di Tabukan.
Berdasarkan cerita di atas, yang telah menjadi tradisi lisan secara
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 26

turun temurun di kalangan masyarakat, dapat diketahui bahwa cerita ter-


sebut memiliki alur dan waktu yang berbeda. Sama seperti cerita rakyat
yang berkembang di daerah lainnya, cerita mengenai Pangeran Guman-
salangi pun belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Namun, dengan datang-
nya bangsa asing (Belanda) membuat cerita Gumansalangi berusaha un-
tuk dituliskan oleh para budayawan, sejarawan, serta pemerhati kebuda-
yaan dan sejarah Sangihe. Dari tulisan itu, lahir beberapa karya yang
memuat cerita Gumansalangi yakni Manga wĕkeng asaḷʼu tau Sangihẹ̆:
Cerita-cerita asal orang Sangir = Stories of the origins of the Sangir peo-
ple, dan Bĕkeng Makaampo (The Story of Makaampo) dari jurnal Bijdra-
gen tot de taal,-Land–enVolkendkunde, Volume 113 (1957).

“Berbicara mengenai sejarah Kepulauan


Sangihe tidak dapat terlepas dari cerita yang
beredar di masyarakat. Cerita tersebut sudah
menjadi tradisi lisan yang dituturkan secara
turun temurun. Cerita Gumansalangi
merupakan salah satu kisah legenda paling
utuh yang meriwayatkan Sangihe, mulai dari
penduduknya hingga lakon yang
melatarbelakangi terbentuknya kerajaan-
kerajaan di Sangihe.”
27

Bangsa Eropa di Kepulauan Sangihe:

dari Portugis hingga Belanda

Tujuan awal kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara adalah


mencari sumber rempah-rempah, melakukan kontak, serta terlibat dalam
aktivitas perdagangan dengan penguasa atau penduduk lokal. Akan te-
tapi seiring berjalannya waktu, ada keinginan dari bangsa Eropa tersebut
untuk menguasai dan memonopoli komoditas perdagangan demi meraih
keuntungan. Hasrat penguasaan tersebut tidak jarang bermuara pada
terjadinya konflik antara pendatang dengan para penguasa atau pen-
duduk lokal, atau bahkan juga terjadi konflik antarbangsa Eropa sendiri.
Hal ini juga terjadi pada awal kedatangan Portugis dan Spanyol yang
keduanya ingin menguasai daerah Maluku. Selain dari sisi persaingan
ekonomis, ternyata konflik ini juga mempunyai nilai politik. Maka, untuk
mencari jalan keluarnya, dilakukanlah diplomasi yang dikenal dengan na-
ma ‘Questao das Malucas’ antara kedua negara tersebut. Hasil dari diplo-
masi tersebut adalah Kepulauan Filipina masuk dalam wilayah Spanyol
dan Maluku menjadi wilayah Portugis (Lapian, 2009). Dengan adanya
konflik yang terjadi antara bangsa Portugis dan Spanyol, membuat wila-
yah laut Sulawesi termasuk daerah Kepulauan Sangihe juga terkena dam-
paknya. Selain konflik yang terjadi antara Portugis dan Spanyol, datang-
nya Belanda dan Inggris juga turut meramaikan persaingan di bidang eko-
nomi dan sosial politik.
Pemerintah kolonial Belanda (VOC) berusaha untuk menyingkirkan
kekuasaan Spanyol di bagian utara khususnya di Laut Sulawesi. Jika dili-
hat dari data sejarah, tercatat ada beberapa peristiwa yang melibatkan
VOC dengan Spanyol. Pada tahun 1614, VOC dengan dibantu oleh
Ternate berhasil menduduki Siau dan menghalau Spanyol dari pulau ini.
Dengan adanya bantuan dari Ternate membuat terjadinya pembagian
penduduk, yakni penduduk yang beragama Islam menjadi warga Ternate,
sedangkan penduduk agama Kristen menjadi warga VOC. Selang bebera-
pa tahun kemudian tepatnya tahun 1624, Spanyol berhasil merebut Siau
dan berkuasa sampai tahun 1677. Adanya konflik yang terjadi di Laut
Sulawesi juga berdampak ke wilayah Sangihe-Talaud. Sebagai buktinya,
pada tanggal 10 September 1688, terjadi sebuah perjanjian yang melibat-
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 28

kan kerajaan lokal yakni Kerajaan Candahar (Kendahe, Sangihe-Talaud)


dengan pihak VOC. Perjanjian tersebut berisi mengenai penyerahan ke-
daulatan atas Mangindanau (Selatan) dan Teluk Butuhan/Saranggani yang
ditandatangani di Benteng Casteel Orangie, Ternate (Lapian, dkk, 1990:
48).
Konflik yang terjadi di wilayah Laut Sulawesi juga membawa dampak
bagi kerajaan-kerajaan lokal di Sangihe-Talaud. Seperti yang dikemukakan
Lapian (2009), bahwa setidaknya ada sembilan kerajaan yang ada di
Sangihe-Talaud pada abad XVII, namun pada awal abad XIX hanya terda-
pat enam kerajaan yang berkuasa, empat di antaranya berkuasa di Pulau
Sangir besar yakni: Tabukan (bagian Timur), Kendahe (Kandahar), Tahuna,
dan Manganitu (bagian Barat). Pada perkembangannya, kerajaan-keraja-
an tersebut mendapat pengaruh dari Spanyol maupun Belanda. Hal ini
menyebabkan terjadinya perubahan peta kekuasaan di wilayah Sangihe.
Selain bangsa Eropa, wilayah Sangihe-Talaud juga pernah dikuasai oleh
Jepang dalam kurun waktu yang singkat. Dengan berkuasanya Jepang di
daerah ini, membuat Sangihe-Talaud terlibat dalam Perang Pasifik antara
Jepang dengan Sekutu. Selain bukti sejarah baik tulisan maupun foto, juga
terdapat bukti arkeologis, yaitu adanya indikasi kapal Jepang yang tengge-
lam di perairan Teluk Tahuna.

“Setidaknya ada sembilan kerajaan yang


ada di Sangihe-Talaud pada abad XVII,
namun pada awal abad XIX hanya
terdapat enam kerajaan yang berkuasa,
empat di antaranya berkuasa di Pulau
Sangir besar yakni: Tabukan (bagian
Timur, Kendahe (Kandahar, Tahuna, dan
Manganitu bagian Barat.”
29

Jatuhnya kekuasaan Spanyol di bagian utara ke tangan pemerintah


Belanda (VOC), membuat masuknya zending dengan masif ke wilayah
Sangihe-Talaud. Masuknya zending ke wilayah Sangihe-Talaud melalui
Nederlandse Zending Genootschap (NZG) yang didukung langsung oleh
Kerajaan Belanda (Brilman, 2000). Pengaruh zending di Sangihe mulai
besar pada tahun 1850an. Dalam penyebarannya, Nederlandse Zending
Genootschap (NZG) mengutus beberapa nama untuk menjalankan misi-
nya tersebut, di antaranya adalah Carl W.L.M Schroder, E.T Steller, F.
Kelling, dan A. Grohe. Carl. W.L.M Schroder dan E.T Steller mendapat
tugas di pulau Sangihe Besar, sedangkan F. Kelling dan A. Grohe bertugas
di daerah Siau. Kemudian, dalam penugasannya, Steller dan Schroder
memutuskan untuk membagi wilayah kerjanya. Steller memutuskan
untuk melayani bagian barat pulau Sangihe, sedangkan Schroder di ba-
gian timurnya. Fokus utama yang menjadi permasalahan dalam pelayan-
an zending adalah perzinaan, poligami, dan pemabukan. Ketiga masalah
tersebut merupakan permasalahan sosial yang utama ditemukan di seti-
ap daerah Hindia-Belanda. Steller dan Schroder kemudian memutuskan
untuk menetap di Sangihe hingga akhir hayatnya.
Perjuangan mereka berdua diteruskan oleh anggota lainnya yang di-
utus NZG. Seiring berjalannya waktu, pemerintah kolonial Belanda juga
mendirikan sekolah zending di Sangihe. Pendirian sekolah itu dilatar-

“Steller memutuskan untuk melayani bagian


barat pulau Sangihe, sedangkan Schroder di
bagian timurnya. Fokus utama yang menjadi
permasalahan dalam pelayanan zending adalah
perzinaan, poligami, dan pemabukan. Ketiga
masalah tersebut merupakan permasalahan
sosial yang utama ditemukan di setiap daerah
Hindia-Belanda. Steller dan Schroder kemudian
memutuskan untuk menetap di Sangihe hingga
akhir hayatnya.”
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 30

Dok. UMCE 2017

belakangi oleh perkembangan FOTO DAN RUMAH PENDETA STELLER.


zending yang pesat. Adanya ke- PENDETA STELLER ADALAH SALAH SATU
pentingan politik etis yang dibawa PENGINJIL PERTAMA YANG DATANG KE
TANAH SANGIHE UNTUK MENYEBARKAN
oleh Belanda membuat pendidikan AGAMA KRISTEN PADA AKHIR ABAD KE-19.
zending sedikit bergeser. Hal ini
dapat terlihat dengan hadirnya sekolah untuk Bumiputera. Selain adanya
sekolah, untuk mendukung pelayanan juga didirikan sebuah gereja di
Manganitu.
Selain adanya penyebaran agama Kristen maupun zending, menurut
penduduk setempat dahulunya juga pernah berkembang agama Islam
yang dibawa oleh para pedagang dan para penguasa dari Maluku. Namun,
penyebaran agama Islam terhenti dikarenakan beberapa hal.
Bukti lain adanya kontak dengan bangsa asing adalah tinggalan keramik
asing yang sering diidentikkan sebagai kontak perdagangan. Temuan ke-
ramik tersebar di berbagai situs baik dari masa pengaruh agama Hindu-
31

Buddha hingga masa pengaruh agama Islam (Dwisaptarini, 2014). Temu-


an tersebut memiliki berbagai bentuk, seperti cangkir, mangkuk, piring,
dan cawan. Temuan keramik yang ada di Indonesia berasal dari berbagai
bangsa seperti Cina (Tiongkok), Thailand, Kamboja, Vietnam, Jepang,
Timur Tengah dan Eropa (Utomo, 2015:50). Namun rata-rata temuan ke-
ramik yang paling banyak berasal dari Cina (Tiongkok).

Referensi

Arsip

Arma, Alem Putra. 2017. Laporan Penelitian Ekspedisi Maritim Sangihe:


Northen Gate Nusantara (Perjalanan Historis Sangihe dan Relevansi
di Masa Sekarang). Tidak diterbitkan.
ANRI. Staatblad tahun 1871 nomor 104.
______. Staatblad tahun 1872 nomor 99.

Buku

Brilman, David. 2000. Kabar Baik Di Bibir Pasifik. Jakarta: Sinar Harapan.
Dwisaptarini, Ayu Oktafi. 2014. Tipologi Temuan Keramik di Situs
Singhasari, Kecamatan Singosari, Jawa Timur (Kajian Atas Dasar
Temuan Fragmen Keramik). Yogyakarta: Skripsi Arkeologi, Fakultas
Ilmu Budaya, UGM.
Lapian, A.B. dkk. 1990. Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid I
(Pra Sejarah Hingga 17 Agustus 1945). Jakarta: Yayasan Pusat Studi
Pelayaran Niaga.
__________. 2009. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan
Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu.
Ulaen, Alex J. 2016. Nusa Utara ari Lintasan Niaga Ke Daerah Perbatasan.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Utomo, Bambang Budi. 2015. Bangkitlah Bangsa Bahari. Jakarta:
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 32

Internet

http://sangihekab.go.id/home/index.php?
mid=Sejarah&m=1&document_srl=857 .
http://budaya-indonesia.org/SEJARAH-SANGIHE.
Kaghoo, Max Sudirno. 2015. Gumansalangi (Kisah Moyang Suku Sangihe).
(https://www.kompasiana.com/dirnokaghoo/gumansalangi-kisah-
moyang-suku-sangihe_5509b554a33311af4d2e3ac6) diakses pada
tanggal 12 Februari 2017, pukul 18.30 .
Pigafetta, Antonio. 1986. Primer viaje alrededor del Globo. Barcelona:
Ediciones Orbis, S.A. (https://issuu.com/jldelrioluque/docs/
antonio_pigafetta_-_primer_viaje_alrededor_del_glo) diakses pada
tanggal 10 Januari 2017, pukul 17.30.
33

Selamat Datang di Bincang Lain!


Di sini kita akan berbincang-bincang tentang pengetahuan dan
fakta-fakta unik lain tentang Sangihe.

Kata pujangga, cinta adalah lautan tak bertepi. Karena cinta, seseorang
bisa menjadi budak, hamba, bahkan pemuja mereka yang dicintai.

Nah-nah, saking cintanya sama laut, orang-orang Sangir sampai


membuat bahasa sendiri yang mereka pergunakan saat melaut.
Namanya, Bahasa Sasahara.

Nih, sepintas buat

kamu coba!
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 34

Bahasa Sehari-hari Bahasa Laut


Bahasa Indonesia
(Sasahili) (Sasahara)

Sakaeng Perahu Pato

Bulang Bulan Mandaulu

Pahuru Umpan Patota

Sawange Teluk Belenggang

Lua Ombak Dumolang

Sasi Air Laut Daghe

Apeng Pantai Linghareng

Koaneng Kanan Katihakang

Kaihi Kiri Talengka

Tanggene Tanjung Kalalone

Bulude Gunung Tadetene


35

Dok. UMCE 2017

Ekspedisi Ferdinand Magellan


dan Kemunculan Nama Sangihe

Oleh: Sultan Kurnia A.B.


Editor: Wulandari Retnaningtiyas
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 36

“Mari membuat asumsi seluas-luasnya.


Apakah jangkar, bangkai kapal kayu,
dan lukisan dinding gua di Sangihe
ada kaitannya dengan rombongan
Ekspedisi Magellan-Elcano pada abad
ke-16 Masehi? Atau itu semua hanya
tinggalan dari orang Eropa lainnya
yang datang pada abad berikutnya?”

T layaran mengelilingi bumi. Ekspedisi dengan misi utama mene-


ersebutlah ekspedisi maha agung dalam tonggak sejarah pe-

mukan pulau rempah di belahan bumi timur jauh. Pemimpinnya


Ferdinand Magellan; seorang keturunan bangsawan Spanyol yang di-
percaya Raja Charles I untuk menemukan ‘pulau rempah’ melalui jalur
barat.
Ekspedisi itu dimulai pada tahun 1519 yang berawal dari Spanyol,
kemudian melayari Samudra Atlantik, terus ke barat menuju pantai ti-
mur Amerika Selatan. Mereka menyusuri banyak selat-selat, menying-
gahi banyak pulau dan bertemu penduduk lokal, hingga ‘tersesat’ di laut
luas yang sebelumnya tak pernah dikenal; itulah Samudera Pasifik yang
kita kenal hari ini.
Setelah berlayar dua tahun lamanya, mengelilingi hampir setengah
luasnya bumi, pada 16 Maret 1521, Rombongan Magellan tiba di darat-
an Filipina. Di sini, asa untuk menemukan pulau rempah tinggal selang-
kah lagi. Dari Filipina pelayaran tinggal dilanjutkan ke selatan lalu sampai
di Kepulauan Maluku. Namun tragis, sebelum rencana itu terwujud sang
pemimpin besar Ferdinand Magellan mati terbunuh oleh Lapu-lapu, se-
orang penguasa lokal di daratan Mactan (Filipina).
37

Pelayaran panjang Magellan pun berakhir di Filipina. Seperti yang di-


sebut oleh banyak ahli, Magellan sang pemimpin besar tak pernah sam-
pai ke pulau rempah. Namun, cerita tentang ekspedisi itu belum tamat.
Dengan bekal dan pasukan yang tersisa, komando diambil alih oleh
Gomez de Espenosa yang menahkodai kapal Trinidad dan Elcano me-
nahkodai kapal Victoria.
Pada episode terakhir pelayaran ini, sebelum akhirnya mereka sam-
pai dan menemukan pulau rempah (Maluku) di penghujung tahun 1521,
nama Sangihe muncul dalam catatan Pigafetta. Pigafetta adalah seorang
sastrawan Italia yang ikut dalam rombongan Magellan dan bertugas
mencatat seluruh perjalanan ekspedisi agung itu.
Mengutip catatan Pigafetta dalam Primer viaje alrededor del Globo:

“.....28 Ocobre 1521.., por su consejo navagesmo al


sursodoesto........ Sangir, Siendo imposible doblar la punta
de la issla grande, apsamos de largo cerca de muchos
islotes. la isla se ilama sangir y tiene cuatro reyes: raja
matandatu, raja laga, raja bapi y raja parabu.

Terjemahan dalam buku Alex John Ulaen Nusa Utara: Dari Lintasan
Niaga ke Daerah perbatasan

*...Tanggal 28 Oktober 1521, (dari Filipina) berlayar ke


arah selatan tenggara, kami melewati delapan buah pulau,
sebagian dihuni dan sebagian tidak berpenghuni..+ *Pulau
Sangir merupakan pulau terbesar, di sana terdapat empat
raja, yakni Raja Matandatu, Raja Laga, Raja Bapti dan Raja
Parabu…+
(Ulaen, 2003)
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 38

Dok. UMCE 2017

Bagi sejarawan, potongan catatan Pigafetta ini PENGUKURAN


dinilai sangat penting karena menceritakan salah JANGKAR KUNO
YANG DIDUGA MILIK
satu pelayaran pertama bangsa Eropa di kawasan SPANYOL
Nusa Utara. Bagi Tim Ekspedisi Sangihe, informasi
dalam catatan Pigafetta memunculkan beberapa pertanyaan. ‘Bagai-
mana Pigafetta bisa mengetahui nama-nama raja di Kepulauan Sangihe?
Apakah ia bersama rombongan singgah dan tinggal sementara waktu di
Sangihe atau hanya melewati dan langsung melanjutkan pelayaran ke
arah selatan, yakni ke Maluku?’ Hingga kini belum ada bukti sejarah
yang dapat menjawabnya.
Namun demikian, menarik untuk menelaah sejarah lisan yang ber-
kembang masyarakat Sangir saat ini. Masyarakat Sangihe percaya bah-
wa Spanyol tiba di Kepulauan Sangihe jauh sebelum kedatangan
Belanda di sana. Diceritakan bahwa di Kepulauan Sangihe, Spanyol me-
nyebarkan agama Katolik dan berdagang dengan kerajaan lokal. Hal ini
juga disebutkan Alex John Ulaen dalam bukunya yang berjudul Nusa
Utara dari Lintasan Niaga hingga Daerah Perbatasan.
39

Menurut Ulaen, selain Portugis, Spanyol adalah bangsa pertama yang


datang melalui Filipina untuk menyebarkan agama Kristen di Kepulauan
Sangihe. Sejarah mencatat bahwa, selain menemukan pulau rempah,
ekspedisi Ferdinand Magellan juga memiliki misi untuk menyebarkan
agama Katolik dan hal itu telah dilakukannya pada banyak daerah yang
disinggahinya selama ekspedisi berlangsung.
Selain sejarah lisan, menarik juga untuk melihat tinggalan arkeologis
di Kepulauan Sangihe yang diduga milik Spanyol. Di Lesa, sebuah desa
berjarak sekitar 5 kilometer dari Kota Tahuna, terdapat dua buah jang-
kar dan bangkai perahu kayu yang diduga oleh masyarakat setempat se-
bagai tinggalan Spanyol. Dari hasil pengukuran yang kami lakukan, di-
ketahui bahwa kedua jangkar tersebut memiliki ukuran panjang sekitar
4 meter, tenggelam di kedalam sekitar 2-3 meter, dan kondisinya relatif
utuh.
Tinggalan lain adalah lukisan dinding gua di pinggir pantai yang ber-
jarak sekitar 200 meter dari lokasi jangkar. Lukisan yang dipahatkan ter-
sebut mengambarkan seorang pemimpin memakai jubah besar, topi be-
sar melingkar, dan tongkat panjang serta dikelilingi oleh beberapa orang
seperti prajuritnya.
Berbeda dengan jangkar
dan lukisan dinding gua yang
dapat kami identifikasi, bang-
kai kapal kayu di Desa Lesa
tidak dapat diidentifikasi ka-
rena tertimbun oleh pasir
pantai serta pengawasan ma-
syarakat sekitar yang ketat
dan penuh curiga kepada ka-
mi. Tidak hanya merahasiakan
lokasi persisnya kapal, masya-
rakat setempat juga mem-
bumbuinya dengan mitos-
Dok. UMCE 2017
mitos yang menakutkan dan
menciutkan nyali.
GAMBAR LUKISAN GOA DI DESA LESA.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 40

Walau sudah berlalu lebih dari tiga abad, cerita Ekspedisi Ferdinand
Magellan selalu menarik untuk diperbincangkan. Sejarah pelayarannya
melalui jalur barat dari Spanyol ke pulau rempah lalu kembali melalui
jalur timur disebut-sebut sebagai pelayaran pertama mengelilingi bumi.
Karena informasi tentang pengetahuan sejarah yang mengagumkan itu,
para ahli terus menggali informasi pengetahuan dan teknologi pelayar-
an yang dimiliki Magellan melalui tinggalan-tingalannya. Di Indonesia,
jejak-jejak pelayaran Magellan belum banyak diketahui, padahal
Indonesia adalah tujuan utama dari ekspedisi itu.
Maka menjadi menarik, ketika di Sangihe terdapat data-data seperti
yang dijelaskan di atas. Mari membuat asumsi seluas-luasnya. Apakah
Jangkar, bangkai kapal kayu, dan lukisan dinding gua di atas ada kaitan-
nya dengan Rombongan Ekspedisi Magellan-Elcano pada abad ke-16
Masehi? Atau itu semua hanya tinggalan dari orang Eropa lainnya yang
datang pada abad berikutnya? Menarik untuk ditelusuri pada penelitian
selanjutnya.

“Bagi Tim Ekspedisi Sangihe, informasi dalam


catatan Pigafetta memunculkan beberapa
pertanyaan: Bagaimana Pigafetta bisa mengetahui
nama-nama raja di Kepulauan Sangihe? Apakah ia
bersama rombongan singgah dan tinggal
sementara waktu di Sangihe atau hanya melewati
dan langsung melanjutkan pelayaran ke arah
selatan, yakni ke Maluku? Hingga kini belum ada
bukti sejarah yang dapat menjawabnya.”
41

Dok. UMCE 2017

Jejak-Jejak Sejarah
Kepulauan Sangihe

Oleh: Lengkong Sanggar Ginaris dan Fuad Anshori


Editor: Umar Hanif Al-Faruqy
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 42

“Ragam jejak sejarah seperti rumah


tinggal, gereja, makam, hingga bangkai
kapal karam terserak di Pulau Sangir.
Jejak-jejak tersebut dapat dijumpai
di Tahuna, Manganitu, dan
Manganitu Selatan.”

J tuju jika Istana Kendahe Tahuna merupakan istana yang unik dan
ika Anda pernah berkunjung ke Tahuna, Anda mungkin akan se-

antimainstream. Walaupun disebut istana, bangunan itu lebih cocok di-


sebut rumah tinggal melihat bentuknya yang begitu sederhana. Namun
karena pernah ada raja yang berhuni di situ, maka bangunan itu tetap
disebut istana. Adalah Bapak Syahrul Ponto, keturunan dari raja Sulai-
man Ponto yang kini tinggal di istana itu. Berbagai barang kerajaan ma-
sih beliau simpan, seperti piring perak, keris raja, kitab tahlil, dan lain
sebagainya. Salah satu yang cukup berharga ialah medali perak yang di-
anugerahkan kerajaan Belanda kepada Raja Sulaiman Ponto.
Serupa tapi tak sama. Istana berwujud bangunan sederhana rupanya
terdapat juga di sudut lain Pulau Sangir. Berada di tengah kampung
Apeng Sembeka, Kecamatan Tahuna, terdapat sebuah bangunan mirip
rumah kuno bergaya Indis. Ukurannya tidak terbilang besar, namun
siapa kira bangunan itu pernah ditinggali oleh seorang raja bernama
Raja Bastian, sehingga bangunan itu pun juga masih dapat disebut seba-
gai istana. Tidak diketahui dengan pasti kapan istana itu dibangun. Seca-
ra turun-temurun rumah itu dihuni oleh keturunan Raja Bastian hingga
tahun 2009, ketika rumah itu akhirnya berpindah tangan dan kini beralih
fungsi menjadi kantor. Meski demikian, keaslian bangunan masih dijaga
43

dengan baik. Keturunan Raja Bastian kini tinggal di rumah yang berjarak
10 meter dari istana leluhurnya. Barang-barang antik milik raja Bastian
juga masih disimpan seperti botol anggur, gelas, meja, dan mangkuk
yang tampaknya didatangkan dari Eropa.
Di sudut lainnya yakni di Kecamatan Manganitu, terdapat istana
milik Raja Mocodompis. Sebagaimana istana Raja Bastian, bentuk ba-
ngunan itu juga lebih mirip rumah bergaya Indis. Saat ini istana tersebut
beralih fungsi menjadi museum yang menjabarkan sejarah Sangihe. Raja
terakhir, yaitu Willem Manuel Pandensolang Mocodompis adalah anak
seorang mantan raja dari Kerajaan Manganitu yang bernama Manuel
Soeha Hariraya Mocodompis.
W. M. P. Mocodompis menggantikan ayahnya sebagai raja Manga-
nitu pada 1910 dan memindahkan kerajaannya dari Manganitu ke
Tamako pada 1916. Pada akhir hayatnya, W. M. P. Mocodompis ditang-
kap pada Desember 1944 dan dibunuh oleh tentara Jepang yang telah
mendarat di Sangihe karena dianggap sebagai mata-mata sekutu. Beliau
dipancung bersama pembesar lainnya di Tanjung Tahuna pada 19 Janu-
ari 1945.
Selain istana, jejak sejarah kerajaan yang pernah berada di Sangir
adalah makam-makam raja seperti makam raja Bastian di desa Bunga-
lawang, Kecamatan Tahuna, makam raja Adrian di Desa Tahuna, Keca-
matan Tahuna, dan makam Raja Mocodompis yang terletak di Desa
Barengke, kecamatan Manganitu. Khusus makam Raja Bastian, bahasa
Belanda digunakan sebagai bahasa pada prasasti dan di sekitarnya juga
terdapat makam-makam milik orang Belanda.
Keberadaan istana dan makam raja menunjukkan bahwa telah ada
pemerintahan yang teratur di Sangir. Bentuk bangunan yang tergolong
bersahaja seakan menyiratkan bahwa jarak antara raja dengan rakyat
biasa tidak terlampau jauh. Walau pengaruh kerajaan-kerajaan tersebut
telah jauh berkurang, namun warisan-warisannya masih dapat dijumpai
di masa sekarang. Warisan yang memberitakan kiprah para raja di Sangir
kepada generasi yang hidup di masa sekarang dan masa berikutnya.
Jejak-jejak pemerintahan tersebut rupanya berkaitan dengan jejak
penyebaran agama Nasrani yang telah lama sekali masuk ke Pulau
Sangir. Pada 5 Oktober 1568, orang-orang Portugis menginjakkan
44

Dok. UMCE 2017 Dok. UMCE 2017

ISTANA KENDAHE-TAHUNA RUMAH BEKAS ISTANA RAJA BASTIAN

Dok. UMCE 2017

GEREJA PETRA MANGANITU

Dok. UMCE 2017 Dok. UMCE 2017

RUMAH RAJA MOCODOMPIS, KOMPLEKS MAKAM KELUARGA


MANGANITU RAJA W.M.P. MOCODOMPIS
45

kakinya ke Kerajaan Kalongan dan disambut dengan damai oleh Raja


Pontoralage. Raja dan rakyat di Kerajaan Kalongan pun mulai belajar
agama Nasrani kepada Pater Pedro Mascharenas. Sayangnya, sedikit se-
kali peninggalan sejarah di Pulau Sangir yang dapat menuturkan sejarah
perkembangan agama Nasrani. Berbagai gereja tua yang ada di sana te-
lah bersalin rupa, seperti bangunan gereja Petra Manganitu yang berada
di Kampung Nala, Kecamatan Manganitu. Walau demikian, berbagai
barang peninggalan sejarah milik gereja masih tersimpan seperti mim-
bar, bangku jemaat, lonceng, dan hiasan berbentuk ayam di puncak
atap.
Tak jauh dari gereja Petra Manganitu, terdapat rumah kediaman
pendeta yang masih tampak asli. Rumah itu dulunya merupakan ke-
diaman pendeta Ernes Traugott Steller–seorang penginjil dari Jerman–
yang datang ke Sangihe tahun 1857. Steller beserta rekannya berusaha
membenahi kondisi moral jemaatnya agar memiliki hati yang saleh dan
hidup yang suci. Praktik-praktik yang dianggap bertentangan dengan
ajaran Kristen seperti kepercayaan takhayul, meminum minuman keras,
dan perkawinan poligami mulai dihilangkan. Kini, peran rumah itu tidak
hanya sebagai rumah pendeta saja, namun juga sebagai tempat perte-
muan, tempat pengasuhan anak yatim, dan tempat belajar pertukangan.
Walau agama Nasrani sudah dipeluk oleh banyak orang Sangir, na-
mun tidak serta merta mereka meninggalkan tradisi. Kesinambungan itu
masih dapat dijumpai pada kebiasaan masyarakat Pulau Sangir yang me-
makamkan sanak keluarga mereka di dekat tempat tinggal. Misalnya
ialah Makam Y.M Rainaro yang terletak di dekat sebuah rumah tua Jalan
Nusa Utara No. 1, Kecamatan Tahuna.
Tradisi penguburan di Pulau Sangir masih ada sangkut paut dengan
tradisi megalitikum. Mereka mendirikan kubur dari batu alam berupa
dolmen yang biasanya dipahat dalam bentuk persegi. Kubur-kubur se-
macam itu masih terdapat di Desa Bawuniang, Kecamatan Manganitu.
Batu-batu itu diambil dari dekat tanjung di Desa Tamako. Saat pengang-
katan batu diiringi dengan permainan musik dari kendang tradisional se-
tempat yang disebut tagonggong dan diikuti saling berbalas pantun.
Tradisi itu masih dijalankan hingga akhir abad ke-20 karena sumber batu
yang dipakai telah hilang untuk pendirian dermaga feri.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 46

“Keberadaan istana dan makam raja


menunjukkan bahwa telah ada pemerintahan
yang teratur di Sangir. Bentuk bangunan yang
tergolong bersahaja seakan menyiratkan
bahwa jarak antara raja dengan rakyat biasa
tidak terlampau jauh. Walau pengaruh
kerajaan-kerajaan tersebut telah jauh
berkurang, namun warisan-warisannya masih
dapat dijumpai di masa sekarang,
memberitakan kiprah para raja di Sangir
kepada generasi yang hidup di masa sekarang
dan masa berikutnya.”

Jejak sejarah di Pulau Sangir tidak hanya berada di daratan, namun


juga di bawah permukaan air, seperti jangkar tua dan dan bangkai kapal
sepanjang lebih kurang 40 meter yang berada di Teluk Tahuna. Tidak di-
ketahui siapa si empunya kapal. Akan tetapi, warga setempat meyakini
jika kapal itu merupakan kapal milik tentara Jepang yang hancur terkena
serangan udara Sekutu. Dewasa ini, lokasi kapal karam tersebut dige-
mari oleh para penyelam yang menikmati keindahan terumbu karang
dan bangkai kapal. Bentuk kapal yang cenderung utuh menciptakan se-
buah daya tarik. Daun kemudi kapal (rudder), ruang kemudi mesin,
tiang, baling-baling dan palka masih ada di tempatnya seakan kapal itu
belum tersentuh oleh siapapun. Kapal karam tersebut semakin meme-
sona dengan kehadiran terumbu karang yang menyelimuti bangkai ka-
pal. Terumbu karang yang tumbuh menjadi habitat bagi ikan-ikan, na-
mun juga turut mempercepat proses kerusakan kapal.
Jika benar kapal itu milik tentara Jepang, maka hal itu menegaskan
pentingnya posisi Pulau Sangir pada masa Perang Dunia II. Dikisahkan
bahwa pada masa itu, Douglas MacArthur–Jenderal tentara Amerika–
47

berusaha memukul balik kedudukan Jepang di Samudera Pasifik dengan


strategi loncat katak. Strategi itu diwujudkan dengan menyerang satu
pulau ke pulau yang lain. Pulau Sangir barangkali menjadi salah satu pu-
lau yang menjadi sasaran Douglas MacArthur. Hal ini diperkuat dengan
keberadaan Gua Jepang di Desa Sowaeng, Kecamatan Manganitu. Gua
itu sebenarnya merupakan sebuah gua alami yang menurut penduduk
sekitar pernah dijadikan sebagai markas. Di atas gua itulah pernah dite-
mukan senjata-senjata tinggalan Jepang yang sayangnya kini telah raib.
Jejak kehadiran Jepang di Pulau Sangir juga dapat dibuktikan dengan
kompleks makam tokoh-tokoh yang dipancung oleh Jepang. Kompleks
makam itu berada di Bungalawang, Kecamatan Tahuna. Salah satu tokoh
yang menjadi korban Jepang adalah Dr. Gyula Cseszko, pendiri rumah
sakit pertama di Sangihe.
48

Dok. UMCE 2017 Dok. UMCE 2017

BEKAS RUMAH PENDETA STELLER KOMPLEKS KUBUR BATU (DOLMEN)

Dok. UMCE 2017

BAGIAN BELAKANG (BURITAN) PADA KAPAL

Dok. UMCE 2017

GUA JEPANG SOWAENG


49

Selamat Datang di Bincang Lain!


Di sini kita akan berbincang-bincang tentang pengetahuan dan
fakta-fakta unik lain tentang Sangihe.

“Utara utara utara, timur laut, timur~”

Waktu kecil ingat nggak lagu yang biasa dinyanyiin buat menghafal arah
mata angin? “Eh, tidak,” katamu. “Apa jangan-jangan cuma di SD-ku
doang ya? Hahaha.”

Nih, kalau di Sangihe, agak ribet lagi. Lebih panjang dan kayaknya bakal
sulit dibuatin lagu, hahaha.

Utara (Sawenahe)

Utara timur laut (Laesuiki sawenahe)

Timur laut (Laesuiki)

Timur timur laut (Laesuiki dahi)

Timur (Dahi)

Timur tenggara (Mahaing dahi)

Tenggara (Mahai)

Selatan tenggara (Mahaing timuhe)

Selatan (Timuhe)
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 50

Selatan barat daya (Tahanging timuhe)

Barat daya (Tahanging)

Barat, barat daya (Tahanging bahe)

Barat (Bahe)

Barat, barat laut (Poloeng bahe)

Barat laut (Poloeng)

Utara barat laut (Poloeng sawenahe)

Kamu ada ide, arah mata angin Sangihe

enaknya dinyanyikan dengan nada

lagu apa?
51

Dok. UMCE 2017

Dilema di Garis Batas:


Potret Orang SAPI

Oleh: Sultan Kurnia A.B.


Editor: Wulandari Retnaningtiyas
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 52

“Jika kita pernah tinggal cukup lama


atau minimal singgah beberapa hari
di Sangihe, maka kita akan cukup
familiar dengan kata ‘orang SAPI’.”

A orang Sangir yang beternak sapi. Di situ saya berpikir, adakah


walnya, saya mengira orang SAPI adalah istilah untuk orang-

peternak sapi di daerah kepulauan yang dikelilingi laut luas seperti ini?
Sulit untuk dipercaya. Belakangan saya baru tahu, bahwa SAPI adalah
kependekan dari Sangihe-Filipina. Jadi, orang SAPI adalah orang Sangihe
-Filipina. Istilah itu diberikan pada orang-orang Sangir yang hidup di
wilayah Sangihe bagian utara dan Filipina bagian selatan. Mereka yang
telah hidup berabad-abad lamanya di dua wilayah itu dan telah mere-
generasi melalui kawin campur termasuk dengan orang Filipina.
Dari Om Shofie–seorang warga Sangihe yang rumahnya kami tum-
pangi selama Ekspedisi Sangihe–saya mengetahui bahwa jumlah orang
SAPI sangat banyak bahkan mencapai ribuan. Om Shofie sendiri katanya
pernah bertemu dengan orang SAPI ketika mencari ikan di laut jauh. Di
Filipina Selatan, mereka banyak tinggal di Pulau Mindanao, Pulau Balut,
dan Pulau Saragani, sedangkan di Kepulauan Sangihe mereka lebih
tekonsentrasi di bagian utara, walaupun sebenarnya juga tersebar di
pulau-pulau di bagian selatan hingga ke Manado.
Pada waktu tertentu orang-orang SAPI akan saling mengunjungi, ber-
pindah tempat tinggal, dan melakukan kegiatan secara bersama-sama
53

Dok. UMCE 2017

PERAHU ADALAH SALAH SATU seperti mencari ikan. Aktivitas tersebut


ALAT TRANSPORTASI UTAMA DI dalam beberapa dekade terakhir dianggap
SANGIHE. SEPERTI PADA FOTO
SEORANG IBU DAN ANAKNYA sebagai masalah yang cukup pelik. Orang
PERGI KE PASAR MENGGUNAKAN SAPI tinggal dan berpindah tempat di
PERAHU antara dua wilayah negara yang berdau-
lat, tanpa sepengetahuan pihak imigrasi
Indonesia maupun Filipina. Singkatnya, secara konstitusi mereka me-
langgar wilayah teritorial.
TNI Angkatan Laut Indonesia beberapa kali mengeluhkan keadaan ini.
Orang SAPI sulit untuk ditindak ketika kedapatan mencari ikan di per-
airan Indonesia. Mereka mengaku orang Sangir, tapi sebenarnya mereka
tinggal di Filipina Selatan. Kasus lain adalah ketika ribuan orang SAPI
tinggal untuk beberapa lama di Kota Bitung yang sebelumnya terdampar
di Pelabuhan Bitung saat mencari ikan. Di Kota Bitung, mereka dianggap
tinggal secara ilegal karena tidak memiliki KTP (identitas resmi kewarga-
negaraan) sehingga harus ditindak. Namun, di sisi lain masyarakat lokal
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 54

dan pemerintah setempat tidak sampai hati untuk menindak dan meng-
usirnya karena berkeyakinan bahwa orang SAPI adalah orang Indonesia
juga.
Pak Alffian–seorang Guru SMA Tahuna yang menjadi narasumber
kami–pernah juga sekali bercerita tentang orang SAPI. Kata Pak Alffian,
orang SAPI keluar masuk wilayah Indonesia dan Filipina tanpa sepenge-
tahuan pihak terkait, bukan karena ingin sengaja melanggar, tapi me-
mang begitulah hidupnya sejak dahulu. Sebagian besar mereka belum
memiliki status kewarganegaraan yang resmi. Mereka bukan warga ne-
gara Filipina dan bukan pula warga negara Indonesia. “Inilah salah satu
realitas masyarakat di perbatasan Sangihe-Filipina yang belum diketa-
hui banyak orang,” ucap Pak Alffian.
Menurut sejarah lisan orang Sangir, orang-orang SAPI pada awalnya
merupakan kelompok masyarakat yang berasal dari keturunan yang sa-
ma. Bahkan dalam perkembangannya, mereka telah melahirkan sub-
budaya sendiri di Nusa Utara. Mereka memiliki bahasa yang sedikit ber-
beda, yakni gabungan bahasa Sangir dan Filipina.
Menurut beberapa sumber, jauh sebelum berdirinya NKRI dan Ne-
gara Republik Filipina, orang SAPI telah hidup di pulau-pulau yang kini
menjadi wilayah perbatasan dua negara itu. Baru setelah berdirinya
NKRI dan Republik Filipina, kasus orang SAPI menjadi salah satu per-
soalan yang cukup pelik. Di saat kedua negara menentukan batas

“Orang SAPI tinggal dan berpindah tempat


di antara dua wilayah negara yang
berdaulat,tanpa sepengetahuan pihak
imigrasi Indonesia maupun Filipina.
Singkatnya, secara konstitusi mereka
melanggar wilayah teritorial.”
55

wilayahnya, pulau-pulau yang menjadi tempat tinggal orang SAPI kemu-


dian terpisah secara administratif. Pulau Mindanao, Balut, dan pulau se-
kitarnya, masuk dalam wilayah Filipina, sementara Kepulauan Sangihe
bagian utara masuk dalam wilayah Indonesia. Dengan kondisi demikian,
Pak Alffian berkata “Orang SAPI yang berasal dari satu keturunan dan
telah hidup berabad-abad lamanya, kini dipisahkan oleh batas Negara.”
Menurut Alex John Ulaen dalam bukunya Nusa Utara dari Lintasan
Niaga hingga Daerah Perbatasan, usaha pemerintah untuk mengatasi
persoalan Orang SAPI pernah dilakukan pada masa pemerintahan
Presiden Megawati. Isu mengenai wilayah perbatasan dan orang SAPI
dibahas saat kunjungan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo ke
Indonesia pada November 2001. Namun, saat itu belum ada langkah
konkret bagaimana cara mengatasinya.
Hingga kini, kehidupan orang-orang SAPI yang berpindah tempat ting-
gal antara Filipina Selatan ke Sangihe Utara dan tradisi saling mengun-
jungi masih berjalan, walau intensitasnya lebih sedikit. Pada awal tahun
ini, pemerintah Republik Indoneisa melalui Kementerian Luar Negeri
juga telah memberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pada ribuan orang
SAPI. Harapannya orang SAPI akan kembali dan tinggal di Kepulauan
Sangihe untuk selamanya dan menjadi warga negara Indonesia seutuh-
nya. Namun, meskipun persoalan kewarganegaraan telah dapat teratasi

“Orang SAPI tetap harus menjadi perhatian


serius dari kedua negara khususnya bagi
Indonesia dalam mencegah aksi terorisme dan
radikalisme.”
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 56

dengan lebih baik, kasus Orang SAPI tetap harus menjadi perhatian seri-
us dari kedua negara khususnya bagi Indonesia dalam mencegah aksi
terorisme dan radikalisme.
Diketahui bersama, akhir-akhir ini wilayah Filipina bagian selatan
bergejolak karena aksi terorisme kelompok Abu Sayyaf, di mana salah
satu basisnya berada di kepulauan Mindanao. Natasha Devanand dalam
tulisannya di buku ini menceritakan bagaimana penyebaran aksi teror-
isme dan paham radikalisme dari Filipina Selatan ke Indonesia berpo-
tensi dilakukan melalui proses kehidupan Orang SAPI. Menurut Natasha,
proses berpindah tempat dan saling mengunjungi orang SAPI yang cu-
kup bebas dan mendapat toleransi dari kedua negara berpotensi besar
menjadi pintu masuk penyebaran paham radikalisme, aksi terorisme,
hingga penyelundupan senjata tajam dari Filipina Selatan ke Indonesia.
57

Dok. UMCE 2017

Saling Rintang antara


Iman dan Tradisi di Nusa Utara

Oleh: Natasha Devanand


Editor: Sandy Maulana Yusuf
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 58

“Dua kebudayaan terbentur di


Nusa Utara. Satu berlandaskan
keyakinan, satunya bermodalkan adat
dan sejarah. Kepada siapa orang Sangir
lantas berpegang?”

S sudut Kota Desa Lapango, Sangihe. Diiringi petikan pelan gitar,


ore di bulan Mei, sayup nyanyian kristiani menggema di salah satu

orang-orang Sangir menikmati selesainya hari dalam suasana religius


nan syahdu. Ini adalah rutinitas ritus mereka. Hampir seluruh acara adat
dan keagamaan tidak pernah lepas dari nyanyi dan tarian. Semuanya
bermula selepas kedatangan ajaran Kristen. Ada banyak hal yang dine-
gosiasikan. Bukan hanya pola pikir, melainkan seluruh aspek perilaku
keseharian orang-orang Sangir.
Agustinus Batlajery (2010) menjelaskan bahwa sebelum ajaran
Kristen masuk ke Sangihe, ajaran Katolik yang dibawa Portugis dan
Spanyol telah terlebih dahulu berkembang. Ajaran Kristen sendiri per-
tama kali hadir ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi
dagang Belanda, datang mengambil alih Kepulauan Sangihe pada abad
XVI. Selain mengurusi urusan dagang, VOC juga berperan sebagai per-
wakilan pemerintah yang berkewajiban memajukan agama dan melin-
dungi gereja.
Pada masa-masa awal kedatangan VOC, Sangihe masih belum memi-
liki gereja Kristen. Padahal, awak kapal VOC yang beragama Kristen dan
warga Sangihe yang telah mengganti agamanya membutuhkan gereja
59

sebagai tempat pengasuhan agama baru. Oleh karenanya, VOC segera


mendirikan gereja Kristen pertama di Sangihe. Guna mempermudah
urusan terkait keagamaan, VOC menerapkan kebijakan di mana ajaran
gereja yang berada di wilayah jajahan disamakan dengan ajaran gereja
di Belanda, yakni ajaran Gereja Calvinis .
Polemik mulai muncul setelah VOC mengalami kebangkrutan di tahun
1799. Akibatnya, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih pengajaran
agama Kristen di Sangihe. Namun rupanya, mereka mengalami kesulitan
untuk mengikuti ajaran-ajaran Gereja Calvinis. Dengan demikian, untuk
menyederhanakan masalah, pemerintah Hindia Belanda memutuskan
agar gereja-gereja di Sangihe dapat mengatur dirinya sendiri dengan
menjadi Gereja Injil Independen. Kebijakan ini dimulai sejak tahun 1934.
Selepas keputusan tersebut terjadi negoisasi antara gereja dan budaya
lokal Sangihe.
Dialektika kerap kali muncul antara kebudayaan yang telah ada
dengan kebudayaan yang hadir kemudian. Peleburan dari dua kebu-
dayaan tersebut akan menjadi laku baru dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat. Dalam kasus orang-orang Sangir di Desa Lapango, Manga-
nitu Selatan, negosiasi antara kepercayaan animisme yang dianggap me-
wakili kebudayaan lama dan ajaran Kristen sebagai kebudayaan baru
terjadi dalam beberapa aspek, yaitu pengobatan bagi orang yang sakit,
makna kematian, dan mekanisme memanggil hujan.
Sakit menjadi hal yang kompleks dan selalu diperdebatkan, begitu
pula metode pengobatannya. Menurut orang Sangir yang berkeyakinan
GMIST, praktik pengobatan yang masih menggunakan kepercayaan ter-
hadap ‘orang pintar’ sudah tidak pantas lagi dilakukan. Hal ini dikarena-
kan praktik tersebut melanggar Sepuluh Perintah Allah dalam agama
Kristen. “Mereka yang mengaku sebagai ‘orang pintar’ ini sebenarnya
bikin bodoh masyarakat. Ada saudara yang muntaber malah dibawa
pergi ke ‘orang pintar.’ Dokter marah karena si saudara ini bisa mati ke-
habisan cairan tubuh,” ujar seorang berkeyakinan Kristen GMIST yang
saya wawancarai.
Kegundahan tersebut menandakan terjadinya perubahan paradigma
di benak beberapa orang Sangir. Saat ini, mereka lebih memercayai
dunia kedokteran yang mutakhir ketimbang ‘orang pintar’ yang mereka
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 60

“Dialektika kerap kali muncul antara


kebudayaan yang telah ada dengan
kebudayaan yang hadir kemudian. Dalam
kasus orang-orang Sangir di Desa Lapango,
Manganitu Selatan, negoisasi antara
kepercayaan animisme yang dianggap
mewakili kebudayaan lama dan ajaran
Kristen sebagai kebudayaan baru terjadi
dalam beberapa aspek, yaitu pengobatan
bagi orang yang sakit, makna kematian,
dan mekanisme memanggil hujan.”

anggap sebagai berhala. Penyebutan berhala di kalimat sebelumnya


tidak mengandung intensi untuk merendahkan, melainkan disebabkan
adanya tafsir bahwa kekuatan-kekuatan spiritual selain dari Tuhan di-
anggap sebagai kekuatan gaib yang tidak pantas untuk dipercayai (disim-
bolkan dengan berhala). Hal ini dipertegas melalui firman Allah dalam
Alkitab:

“Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang


ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang
ada di dalam air di bawah bumi. “
“Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya,
sebab Aku Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang
membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada
keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang
membenci Aku,”
(Keluaran 20: 4-5).
61

Selain sakit, perdebatan mengenai kematian juga menjadi topik dia-


lektis yang menarik untuk diperbincangkan. Ada yang beranggapan
bahwa kematian hanya suatu simbol yang menyatakan telah masuknya
seseorang kepada fase kehidupan berikutnya. Ada pula yang mengira
bahwa setelah seseorang mati maka dia akan benar-benar hilang dari
dunia seperti yang diajarkan oleh agama Kristen. Menurut agama
Kristen, dengan mengutip beberapa ayat Alkitab yang membicarakan
kematian, kematian diartikan sebagai:

“Apabila nyawanya (manusia) melayang, Ia kembali ke tanah;


pada hari itu juga lenyaplah maksud-maksudnya.”
(Mazmur 146:4);
“Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati,
tetapi orang yang mati tak tahu apa-apa, tak ada upah lagi bagi
mereka, bahkan kenangan kepada mereka sudah lenyap.”
(Pengkhotbah 9:5);
“Dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai
engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau
diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi
debu.”
(Kejadian 3:19).

Dalam kematian, proses negosiasi dapat dilihat dengan masih banyak-


nya masyarakat Sangir yang memakamkan keluarganya di depan rumah.
Mereka percaya akan adanya ingkude (kehidupan setelah kematian)
dengan roh orang yang telah meninggal akan berubah menjadi kunduwa
(kembaran manusia). Meski adanya kepercayaan tersebut, terdapat
negosiasi dengan memajang simbol-simbol Kristiani di atas makam.
Tidak semua orang Sangir percaya dengan konsep kehidupan setelah
kematian. Sebagian lain menganggap penguburan di depan rumah su-
dah tidak diperbolehkan dengan alasan bahwa hal tersebut merusak
pemandangan. Namun demikian, menguburkan saudara di depan rumah
telah menjadi suatu kebiasaan sendiri di Sangihe. Para pelaku meng-
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 62

Dok. UMCE 2017

anggap bahwa dengan mengu- SALAH SATU WUJUD AKULTURASI AGAMA


burkan sanak saudara di dekat KRISTEN DENGAN ADAT LAMA SANGIHE
DAPAT DILIHAT DARI PROSES PEMOTONGAN
rumah, akan membuat mereka KUE TAMO. SEBELUM MEMOTONG KUE
merasa dekat. Fenomena ini da- TAMO, SEORANG PEREMPUAN AKAN MEM-
pat dimaknai sebagai manifes- BACA DOA YANG BERISI PENGHORMATAN
PADA LELUHUR, ALAM, DAN JUGA KEPADA
tasi symbolic immortality. TUHAN DALAM KEPERCAYAAN KRISTEN.
Sejak lama, manusia telah
membayangkan adanya kehidupan yang kekal secara kultural. Antropo-
log mendefinisikan hal tersebut dengan istilah symbolic immortality.
Pandangan ini menganggap kematian sebagai fase simbolis, imajinasi
yang dikonstruksi bersama oleh masyarakat (Lifton and Olson, 1974).
Sedikit rumit memang. Sederhananya, orang yang telah meninggal sebe-
narnya tetap hidup di tengah masyarakat karena yang mati hanyalah
fisik mereka. Secara kultural, mereka terus hadir dalam ingatan dan se-
tiap relik kehidupan orang-orang Sangir.
Tak berhenti di masalah pemaknaan kematian, proses negoisasi juga
terjadi ketika masyarakat Sangihe membicarakan hujan. Sebagaimana
63

“Dalam kematian, proses negosiasi dapat


dilihat dengan masih banyaknya
masyarakat Sangir yang memakamkan
keluarganya di depan rumah. Mereka
percaya akan adanya ingkude: kehidupan
setelah kematian,)dengan roh orang yang
telah meninggal akan berubah menjadi
kunduwa: kembaran manusia. Meski
adanya kepercayaan tersebut, terdapat
negosiasi dengan memajang simbol-simbol
Kristiani di atas makam.”

daerah-daerah lain di Indonesia, orang-orang Sangir terdahulu percaya


bahwa hujan dapat dipanggil melalui mekanisme khusus. Dalam kasus
mereka melalui tetabuhan alat musik tradisional, tagonggong.
Tagonggong adalah alat musik adat orang Sangir yang terbuat dari
kulit kambing dan berbentuk menyerupai gendang. Biasanya, tagong-
gong dimainkan bersamaan dengan masamper, yakni cara menyanyikan
pantun yang dilakukan secara berbalas. Tidak jarang, tarian dansa antara
laki-laki dan perempuan turut meramaikan permainan alat musik ini.
Oleh orang Sangir, tagonggong disimbolkan sebagai musik perayaan se-
hingga kerap dimainkan di gereja, terutama pada saat perkawinan.
Selain sebagai musik perayaan, tagonggong juga dipercaya memiliki
kekuatan magis untuk memanggil hujan. Namun, sama halnya dengan
praktik pengobatan menggunakan ‘orang pintar,’ tradisi memanggil hu-
jan dengan menggunakan tagonggong dianggap irelevan dengan ajaran
Kristen. Alasannya juga sama, pemeluk agama Kristen tidak boleh me-
mercayai kekuatan gaib apa pun selain yang datangnya dari Tuhan dan
Alkitab. Terdapat kutipan percakapan menarik ketika saya menanyai
Opa, satu-satunya pemain tagonggong yang tersisa di Desa Lapango,
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 64

mengenai nilai magis tagonggong dan kemampuannya mendatangkan


hujan: “Kalau main tagonggong, hujan bisa turun, tetapi bukan itu fungsi
utamanya. Tagonggong ini hanya permainan adat. Kalau tiada hujan,
berdoa saja.”
Tagonggong hanya digunakan oleh mereka yang beraliran Kristen
GMIST. Aliran lain seperti Advent dan Pantekosta tidak memainkan alat
musik tersebut karena mereka dituntut untuk memurnikan kembali
ajaran Kristen. Tradisi-tradisi lokal yang tidak sesuai dengan agama
Kristen akan dihapuskan. Sehingga, hanya aliran Kristen GMIST yang ber-
negosiasi antara tradisi dan kepercayaan setempat.
Saat ini, sebagian masyarakat Sangir percaya, banyak dari kepercaya-
an lokal mereka yang sudah tidak sejalan dengan ajaran Kristen yang
mereka anut. Namun, pengaruh-pengaruh dari masa kebudayaan sebe-
lumnya tidak sepenuhnya dapat hilang. Dialektika dan negoisasi terjadi.
Aliran Kristen GMIST adalah mereka yang paling banyak berkompromi
dengan tradisi dan kepercayaan awal orang Sangir.

Referensi

Alkitab (Terj.) 2010. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.


Batlajery, Agustinus Marthinus Luther. 2010. “The Unity of the Church
According to Calvin and its Meaning for the Churches in Indonesia.”
Disertasi. Vrije Universiteit Amsterdam.
Lifton, Robert Jay dan Eric Olson. 1974. “Symbolic Immortality.” Living
and Dying. London: Wildwood House.
65

Dok. UMCE 2017

Lintas Batas Utara:


Bibit Perang yang Diikat
Darah dan Sejarah
Oleh: Natasha Devanand
Editor: Sandy Maulana Yusuf
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 66

“Batas bukan hanya berperan sebagai


pemisah. Di Nusa Utara, batas adalah
batang jati yang meranggas, panas,
disebabkan ancaman terorisme
yang kerap melintas.”

D parau meminta tolong, bergema di seantero Balibo, kota yang


entum senapan meletup bertubi-tubi. Teriakan serang, jeritan

terletak di distrik Bobonaro, Timor Leste. Lima jurnalis asal Australia


yang tengah dalam tugas liputan berlari kocar-kacir. Invasi mendadak
yang dilakukan pasukan Indonesia ke Balibo berujung maut bagi mereka.
Tragis! Begitulah penggambaran konflik di wilayah perbatasan yang di-
ceritakan dalam film berjudul “Balibo” arahan Robert Connolly. Miris
memang menyaksikannya, tetapi bagaimana bila reka adegan konflik
tersebut kembali terulang di tepi utara Nusantara? Bukan dalam bentuk
invasi berlatar kolonialisme, melainkan dalam wujud aksi teror?
Hingga sekarang, terorisme masih menjadi salah satu ancaman ter-
besar bagi kedamaian dunia dengan pengaruh Islamic State of Iraq and
Syria (ISIS) sebagai tokoh utamanya. Propaganda ISIS yang menjanjikan
tegaknya khilafah, konsep pemerintahan dalam Islam, ternyata mampu
menarik simpati banyak orang-orang Islam untuk ikut berjuang bersama
jaringan terorisme ini. Selain itu, kecerdikan ISIS dalam merangkul
gerakan separatis berbasis Islam lain yang tersebar di berbagai negara
dunia membuat ancaman organisasi ini semakin nyata.
Di Asia Tenggara, ISIS menyasar Marawi sebagai duplikasi dari Raqqa,
67

“ibu kota” ISIS di Suriah. Letak Marawi yang berada di Pulau Mindanao,
Filipina Selatan, menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi militer
Indonesia. Mereka takut pengaruh ISIS dapat menyebar ke Indonesia
melalui gerbang utara Nusantara, yakni Kabupaten Kepulauan Sangihe
dan Kabupaten Kepulauan Talaud yang hanya berbatasan laut dengan
Filipina Selatan. Menurut Ulaen (2016), luas lautan yang menjadi batas
antara Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud
dengan Filipina Selatan adalah 41.7367 km2. Adanya kedekatan jarak
geografis─walaupun kedua daerah disekat oleh lautan─membuat ma-
syarakat yang hidup di daerah perbatasan memiliki cerita menariknya
sendiri.
Baik masyarakat Indonesia yang hidup di Sangihe-Talaud, maupun
masyarakat Filipina yang tinggal di Pulau Mindanao, memiliki hubungan
yang kompleks terkait aksi terorisme dan perdagangan senjata. Hingga
saat ini, banyak dari masyarakat Sangihe-Talaud yang masih memiliki ke-
luarga di Filipina. Mereka kerap saling mengunjungi untuk saling ber-
tukar barang. Beberapa sumber informasi lain menyebut bahwa senjata-
senjata yang ada di Sangihe-Talaud berasal dari Filipina Selatan, disebar-
kan melalui proses pertukaran tersebut.
Smith (2005) menjelaskan bahwa Filipina Selatan teridentifikasi seba-
gai rute untuk melakukan pergerakan senjata antara Mindanao dengan
kelompok Jemaah Islamiyah. Senjata ini diselundupkan ke Indonesia
melalui Sangihe-Talaud untuk selanjutnya digunakan sebagai amunisi
dalam menyulut banyak konflik di wilayah Indonesia Timur, salah satu-
nya Konflik Poso. Selain itu, Filipina Selatan juga digunakan sebagai
kamp militer kelompok separatis Filipina, Moro Islamist Liberation Front
(MILF).
Di pertengahan tahun 2017, Filipina Selatan mendapat sorotan penuh
dari media di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari adanya aksi terorisme
di Marawi yang mengaku berafiliasi dengan kekuatan ISIS. Sontak, berita
tersebut membuat publik Indonesia panik. Timbul kekhawatiran menge-
nai kondisi keamanan di daerah perbatasan Indonesia-Filipina, yakni di
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud.
Dilansir dari laman kompas.com, Kompas pada 30 Mei 2017 menge-
luarkan berita dengan judul Waspadai Potensi Rembesan Maute. Inti
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 68

dari berita ini adalah keberhasilan kelompok pemberontak Maute dalam


merebut Kota Marawi. Ada kemungkinan kelompok pemberontak dapat
melarikan diri ke Indonesia dengan memanfaatkan keamanan perbata-
san yang lemah. Menyikapi hal tersebut, pihak militer Indonesia segera
memperketat keamanan di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabu-
paten Kepulauan Talaud. Strategi patroli digunakan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) untuk memonitor berbagai tindakan radikal selama sem-
bilan puluh hari ke depan.
Adanya ancaman terorisme yang nyata dari Filipina Selatan membuat
Indonesia menuntut kejelasan mengenai masalah perbatasan di antara
kedua negara. Kedua negara akhirnya sepakat untuk mengubah batas
garis putus-putus yang menyekat perairan mereka dengan garis lurus.
Dengan adanya garis lurus, maka secara de jure, batas di antara kedua
negara menjadi lebih rigid. Kehadiran pelintas batas ilegal─seorang atau
sekelompok orang yang melintasi batas negara secara ilegal─yang se-
lama ini menghantui perairan Indonesia-Filipina juga menjadi salah satu
alasan mengapa kedua negara perlu merevisi kembali batas di antara
keduanya. Tidak jarang, arus perpindahan yang dilakukan pelintas batas
ilegal dapat merugikan kedua belah negara.
Batas kelautan sendiri sebenarnya sangat kompleks. Hal ini dikare-

“Ketika batasan hadir di Nusa Utara, beberapa


kelompok radikal malah dengan sengaja
bermain. Memanfaatkan kegelisahan negara,
juga menggunakan kebiasaan masyarakat
Sangir dan Filipina yang senang bertukar lintas
negara, mereka menyusupkan paham dan
perlengkapan perang.”
69

Dok. UMCE 2017

KOTA TAHUNA DAN PELABUHANNYA nakan tidak adanya pagar atau pun
SEBAGAI SALAH SATU PENGHUBUNG tembok besi yang secara nyata mem-
PERTUKARAN SUMBER DAYA ANTARA
INDONESIA DAN FILIPINA batasi dua wilayah. Ditinjau dari sisi
hukum, perbatasan dianggap sebagai
wilayah yang krusial karena di sanalah stigma kemiskinan, pusat
perdagangan gelap, dan rute kriminal menyeruak (Velasco, 2010). Se-
bagaimana wilayah terluar Indonesia lainnya, Kepulauan Sangihe dan
Kepulauan Talaud juga jauh dari mata pembangunan. Pembangunan
yang cenderung sentralistik pada wilayah Jawa dan sekitarnya menim-
bulkan rasa iri dari daerah-daerah terluar. Mereka merasa tidak di-
Indonesia-kan. Keinginan memberontak kemudian muncul dengan me-
manfaatkan ketersediaan senjata dan masyarakat yang tidak terima atas
ketimpangan.
Bila dilihat dari kacamata historis, Kepulauan Sangihe dan Kepulauan
Talaud telah menjalin relasi dengan Filipina sejak abad XV. Bangsa Cina
dalam pelayaran mereka menuju Kepulauan Maluku akan singgah di
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 70

Filipina dan Sangihe untuk menukarkan barang. Pada tahun 1512, arma-
da Spanyol yang dipimpin oleh Ferdinand Magellan datang ke Filipina
dan juga ke Sangihe-Talaud untuk urusan dagang mereka. Hal ini kemu-
dian diikuti oleh Portugis di tahun 1526. Tidak ada batasan di antara
Mindanao dengan Kepulauan Nusa Utara─sebutan lain untuk Kepulauan
Sangihe dan Kepulauan Talaud─saat itu karena keduanya menjadi dua
pelabuhan yang saling dihubungkan oleh jalur perdagangan.
Kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi da-
gang Belanda, di wilayah Nusa Utara menyebabkan Sangihe terpaksa
tunduk dalam kuasa VOC. Terjadi kesepakatan di antara VOC dengan
raja di Kepulauan Sangihe di mana masyarakat Sangihe yang masih ber-
agama Katolik dipindahkan ke Manila (Velasco, 2010). Sangihe kemu-
dian dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Minahasa. Hal ini me-
nyebabkan Sangihe yang awalnya merupakan wilayah perdagangan di-
golongkan menjadi wilayah perbatasan di masa kolonial. Meskipun
demikian, beberapa orang Sangihe tetap melakukan perjalanan ke
Mindanao guna berdagang atau pun mencari pasangan (dengan sistem
pernikahan eksogami) (Velasco, 2010). Seiring berjalannya waktu, per-
jalanan Sangihe-Filipina semakin sulit dilakukan setelah kedua negara
menjadi republik karena aturan batasan negara yang terlampau kaku.
Pelayaran lintas batas kembali terjadi setelah pertumbuhan industri
perkebunan dan industri perikanan di kawasan selatan Mindanao. Ke-
banyakan buruh didatangkan dari wilayah Sangihe-Talaud. Para pemilik
kebun lebih memilih mempekerjakan mereka ketimbang orang-orang
Filipina. Perekonomian Indonesia yang memburuk di kurun tahun 1950-
1960 menyebabkan aktifnya kembali arus perdagangan di antara kedua
negara. Para pedagang Mindanao membawa beras dan jagung untuk ke-
mudian ditukarkan dengan kopra dan hasil laut orang Sangihe-Talaud
(Ulaen, 2016).
Dari perdagangan ini terdapat orang yang saling mengunjungi satu
sama lain dengan melintasi batas negara, mereka disebut pelintas batas.
Terdapat dua jenis pelintas batas negara, yakni pelintas batas legal dan
ilegal. Pelintas dapat dikatakan legal apabila ia melewati pintu keluar
masuk (check point harbour) resmi di kedua negara. Di Indonesia, pintu
keluar masuk ini terdapat di Pulau Marore, Pulau Miangas dan Tarakan,
71

Dok. UMCE 2017

MASYARAKAT LAPANGO sedangkan Filipina memiliki Pulau Bulus,


BERJALAN DI TALUD MENUJU Tibanban, dan Tawi-Tawi sebagai pos resmi
PASAR INDUK LAPANGO,
SANGIHE. mereka. Pelintas yang ingin menetap dike-
nai biaya serta terdapat ketentuan menge-
nai jumlah barang yang boleh diangkut (Ulaen, 2016). Pelintas ilegal
masuk melewati jalur gelap yang tidak melewati pos wilayah yang telah
ditetapkan. Jalur ini merupakan jalur yang rawan dan dipenuhi dengan
pulau-pulau yang kerap menjadi daerah persinggahan teroris dan bajak
laut (Priswanto, 2014).
Kehadiran pelintas batas ilegal menimbulkan masalah tersendiri bagi
Indonesia dan Filipina. Secara hukum, warga Indonesia yang berada di
Filipina dan juga warga Filipina yang menetap di Indonesia secara ilegal
menjadi warga yang tidak terdokumentasi. Akibat hal ini, terjadi polemik
dengan hukum-hukum positif negara yang membuatnya menjadi hukum
yang kabur. Guna menindaklanjuti hal tersebut, Indonesia dan Filipina
telah bertemu pada tahun 1956 yang menghasilkan “Agreement on
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 72

Immigration between the Republic of Philiphines and Republic of


Indonesia.” Perjanjian ini mengontrol waktu diperbolehkannya pelintas
batas melintas juga beberapa hal lain terkait kontrol di wilayah perba-
tasan. Selanjutnya, pada tahun 1965, perjanjian pertama direvisi dan
menghasilkan perjanjian baru, yaitu “Joint Directives and Guidelines on
The Agreement between Republic of Indonesia and the Republic of
Philipines.” Dalam aturan baru ini, jenis barang yang dapat dibawa pe-
lintas, jumlah maksimal nilai barang, dan ukuran volume kapal yang
tidak boleh lebih dari 200 m3 disepakati bersama. Kemudian, pada tahun
1974, ditetapkanlah daerah-daerah lintas batas ilegal yaitu Mabila,
Balut, San Austin, Bongao, dan Tawi-tawi di Filipina, dan Marore,
Miangas, dan Tarakan di Indonesia (Priswanto, 2015).
Meskipun telah memiliki dasar perjanjian yang “kuat,” tetap saja
wilayah perbatasan selalu menjadi lahan yang subur bagi bibit teror-
isme. Hastings (2013) mencatat, dari tahun 2003 sampai tahun 2007,
jaringan teroris Jemaah Islamiyah beberapa kali mengirim mujahid asal
Indonesia ke Filipina. Strategi yang kerap digunakan jaringan ini adalah
dengan menikahkan orang-orang Filipina yang berjiwa radikal dengan
orang-orang Indonesia, atau sebaliknya. Selanjutnya, orang-orang inilah
yang akan “mondar-mandir” mengangkut amunisi, senjata, dan keperlu-
an-keperluan lain yang dibutuhkan dengan menggunakan pumpboat
(jenis kapal kecil cepat di Filipina yang digunakan pula di Sangihe).
Lantas, apa yang dapat dipelajari dari pola ini? Guna menguatkan
ikatan, jaringan Jemaah Islamiyah membangun relasi pertukaran ber-
dasarkan hubungan kekerabatan yang luas. Pertukaran dilakukan secara
terus-menerus sehingga menyebabkan intensifikasi kontak (Laksono,
1996). Sesungguhnya, ini adalah pola kebiasaan yang serupa dengan apa
yang dilakukan masyarakat Sangir berabad-abad dahulu. Cobalah mene-
ngok lagi pada catatan sejarah.
Setelah kolonialisme menghantui Indonesia dan Filipina pada abad
XVI, sebagian besar wilayah Indonesia terpaksa tunduk di bawah arahan
Belanda. Wilayah Filipina jatuh di tangan Spanyol (Ulaen, 2016). Hal ini
menyebabkan dua wilayah yang semula berhubungan niaga, terpisah
menjadi dua dan menjadi wilayah perbatasan. Namun, hubungan
kultural tidak pernah sekaku batasan politis. Antara Sangihe-Talaud
73

dengan Filipina telah terjadi pertukaran material atau pun kekerabatan


yang membuat keduanya membentuk satu interaksi sosial.
Tujuan politik dan juga penghargaan terhadap politik turut memenga-
ruhi bagaimana batasan itu muncul. Batasan sendiri merupakan imaji-
nasi yang dapat dibayangkan secara berbeda-beda oleh setiap komuni-
tas, sebagaimana yang disebutkan Nugent dan Asiwaju (Navis, 2004).
Batasan negara memiliki peran yang sangat penting terhadap negara. As
Sahlins dalam Yuval-Davis (2004), menyatakan bahwa batasan adalah
hak istimewa yang memberi kejelasan terhadap perbedaan negara dan
juga kepemilikan negara. Batasan negara berfungsi sebagai strategi mili-
ter dan juga ekonomi. Ketika ada yang melanggar batas negara secara
ilegal, mereka dapat dianggap sebagai teroris, kelompok radikal, atau
jaringan yang berusaha mengusik kedaulatan negara.
Ketika perbatasan itu kemudian hadir di Nusa Utara, beberapa kelom-
pok radikal malah dengan sengaja bermain di batasan tersebut. Meman-
faatkan kegelisahan negara juga menggunakan kebiasaan masyarakat
Sangir dan Filipina yang senang bertukar lintas negara untuk menyusup-
kan paham dan perlengkapan perang. Pada akhirnya, mari kita sama-
sama bertanya, kepada siapa batas itu seyogyanya menyekat?

Referensi

Anderson, Benedict. 2006. Imagined Communities: Revised ed. New York:


Verso.
Hastings, Justin V. 2013. The Ambiguous Political Economy of Terrorism
in Southeast Asia’s Borderlands. Sydney: Johns Hopkins University
Press.
Laksono. PM. 1996. “Exchange and Its Other: A Reflection on The
Common Ground for the Keise” dalam David Mearns and Chris Healey
(eds.), Remaking Maluku. Darwin: Northen Territory University Centre
for Southeast Asian Studies.
Priswanto. 2014. Pelintas Batas Indonesia-Philipina di Kabupaten
Kepulauan Sangihe. Yogyakarta: Kepel Press.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 74

Priswanto. 2015. Mobilittas Undocumented Citizen di Wilayah


Perbatasan. Yogyakarta: Kepel Press.
Smith, Peter Moore. 2005. Terrorism and Violence in Southeast Asia:
Transnational Challenges to States and Regional Stability. New York:
M.E. Sharpe.
Ulaen, Alex J. 2016. Nusa Utara dari Lintasan Niaga Ke Daerah
Perbatasan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Velasco, Djorina. 2010. “Navigating the Indonesian-Philippine Border:
The Challenges of Life in the Borderzone”. Kasarinlan: Philippine
Journal of Third World Studies Vol. 25 (1-2), Pp.95-118.
Yuval-Davis, Nira. 2004. “Borders, Boundaries, and the Politics of
Belonging”, dalam Stephen May, Tariq Modood, dan Judith Squires
(ed.), Ethnicity, Nationalism, and Minority Rights. Cambridge:
Cambridge University Press.

Daftar Dokumen

Kompas. Selasa, 30 Mei 2017. “Waspadai Potensi Rembesan Maute”.


75

Dok. UMCE 2017

Sudahi Politik Berbalut Kebencian,


Mari Goyang Bunke!

Oleh: Natasha Devanand


Editor: Sandy Maulana Yusuf
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 76

“Di tengah perayaan pesta yang makin


gempita, terselip satu orang
berbaju merah di khalayak yang
hampir seluruhnya menggunakan
atribut kuning, identitas Golkar.
Ia datang untuk ikut bergoyang.”

D tetabuhan juga riuh terdengar, saling bertalu meramaikan gen-


erap langkah mengadu di salah satu gang sempit ibu kota. Sorak

dang telinga penghuni gang yang barangkali tengah menyantap makan


malam bersama keluarga. Seharusnya ini menjadi pawai obor biasa
seandainya tidak ada yel-yel “bunuh si Ahok, sekarang juga!” yang dilon-
tarkan peserta pawai berusia kanak-kanak. Seharusnya pawai ini hanya
menjadi seremoni reguler menyambut datangnya bulan suci Ramadan.
Namun, mengapa perbedaan pilihan politik yang dibungkus peliknya isu
penistaan agama yang menguar? Mengapa harus anak-anak lugu yang
diperalat menjadi mesin politik penebar kebencian? Meracau dan
menyalak bunuh kepada dia yang dianggap menodai keagungan firman
Tuhan.
Dilansir dari laman BBC Indonesia, Rini Hildayani, pakar psikologi asal
Universitas Indonesia, sungguh menyayangkan hal ini. “Apabila sejak ke-
cil anak telah dibiarkan mengucapkan kalimat agresif tanpa adanya kon-
sekuensi tertentu, mereka dapat menganggap itu sebagai sesuatu yang
lumrah. Itu berbahaya!” ujarnya.
Selain berdampak buruk bagi moralitas lisan anak, sesungguhnya,
memperalat anak di bawah umur guna meluapkan kata-kata penuh
77

nada ancaman kepada tokoh politik yang “dibenci” adalah perkara hina.
Terlebih, dalam konstestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) yang
menganut asas demokrasi sebagai pilar utama. Ada belasan bahkan
puluhan cara lain yang lebih elegan untuk memenangkan pertarungan
memperebutkan kursi kekuasaan. Dari Nusa Utara, Indonesia dapat bel-
ajar cara berpolitik yang sehat.
Pagi, 5 Juni 2017, suara gaduh kesibukan terdengar di Desa Lapango,
Manganitu Selatan. Kaum perempuan terlihat hilir mudik menyiapkan
tamo, kue adat berbentuk menyerupai gunung yang terbuat dari se-
macam dodol kuning. Di puncak gunungan tamo, bunga berwarna
kuning diletakkan. Sementara itu, para lelaki bahu membahu memper-
siapkan kebutuhan pesta penyambutan bupati Sangihe terpilih, Jabes
Gaghana─Helmut Hontong. Seluruh ornamen pesta disesuaikan dengan
warna kuning, warna khas Partai Golongan Karya (Partai Golkar), partai
politik yang mengusung Jabes Gaghana di pilkada kali ini. Menarik di-
amati bagaimana identitas politik nasional menyatu dalam kehidupan
politik lokal Sangihe.
Di pilkada 2017, pasangan Jabes Gaghana-Helmut Hontong–dikenal
juga dengan nama Megahago, akronim dari Memile (memilih) Gaghana-
Hontong–dihadapkan dengan pasangan Hironimus Makagasa-Fransiscus
Silangen guna merebut kursi orang nomor satu dan orang nomor dua di
Sangihe. Berat! Pilkada kali ini lagi-lagi membenturkan dua kekuatan
besar politik di Sangihe, yakni Partai Golkar dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P). Juga, dua nama calon bupati yang tidak
asing dengan tampuk kekuasaan. Selain Hironimus Makagasa yang me-
rupakan bupati petahana, Jabes Gaghana merupakan wakil bupati yang
telah menjabat di dua periode sebelumnya. Sehingga, secara popular-
itas, dapat dikatakan bahwa dua calon bupati merupakan figur yang
telah sama-sama dikenal masyarakat Sangihe. Lantas, apa yang menjadi
kunci keberhasilan pasangan Megahago dalam memenangkan perta-
rungan politik 2017?
Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai hal tersebut, mari kita
telaah terlebih dahulu segmentasi politik masyarakat di Sangihe. Perta-
ma, ada segmentasi agama. Mayoritas masyarakat Sangihe beragama
Kristen dengan aliran kepercayaan Gereja Masehi Injil Sangihe (GMIS)
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 78

Dok. UMCE 2017

yang menjadi penyumbang massa ter- SPANDUK BUPATI TERPIH


besar, disusul aliran Adven, Pantekosta, (MEGAHAGO) TERPAMPANG DI
ACARA SYUKURAN MASYARAKAT
kemudian Islam. Sistem parokial yang MANGANITU SELATAN PADA BULAN
dianut kepercayaan Kristen membuat MEI 2017.
pilihan masyarakat mengikuti gereja
tempat dirinya tinggal, sehingga segmentasi ini sebenarnya tidak terlalu
bermasalah.
Segmentasi kedua adalah segmentasi politik. Partai Golkar dan PDI-P
sebagai dua partai besar membuat segmentasi yang cukup problematik
di masyarakat Sangihe. Perbedaan haluan paham menyebabkan sekat di
antara dua kelompok simpatisan. Namun, negosiasi yang terjadi malah
membuahkan hasil demokrasi yang apik. Seperti apa yang kita harapkan
dari demokrasi, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan juga untuk rakyat.
Gerardo L. Munck (2016) menjelaskan bahwa demokrasi tidak hanya
melihat dari apa yang dilakukan oleh pemerintah, melainkan bagaimana
suatu kelompok masyarakat merespon segala kebijakan politik yang
79

Dok. UMCE 2017

Dok. UMCE 2017

KODE ‘DUA JARI’ DARI MASYARAKAT MANGANITU SELATAN SEBAGAI TANDA


KEMENANGAN BUPATI TERPILIH MEGAHAGO.

ditentukan. Sudah sepantasnya masyarakat menjadi pihak aktif yang


memiliki akses terhadap ruang politik dan turut memengaruhi kebijakan
-kebijakan politik yang tengah dibuat pemangku kekuasaan.
Fenomena inilah yang dimanfaatkan betul oleh pasangan Megahago.
Menyadari bahwa masyarakat Sangihe merupakan kaum yang melek
politik, tim sukses pasangan ini segera menyusun strategi kampanye
yang apik. Mereka menggunakan teknologi terkini layaknya drone untuk
membuat video kampanye yang menarik.
Selain drone, tim sukses juga menggunakan lagu bernuansa disco re-
mix khas Sangihe sebagai media kampanye. Beberapa judul lagu yang
cukup populer di antaranya: Disco Bunke Pica; Megahago Mahena Du-
kung Jeg dan Hh; Jeg Hh Mendaftar; Ramainya Kampanye Partai Golkar
di Kep. Sangihe; dan Sangihe Hebat. Lagu-lagu ini disebar melalui kaset
bahkan turut ditayangkan di televisi kabel. Tidak hanya orang dewasa,
anak-anak pun asyik menyanyikan lagu kampanye tersebut. Bernyanyi
dan bergoyang adalah adalah satu cara yang tepat dalam memikat hati
orang Sangihe dan pasangan Megahago berhasil memanfaatkannya.
Media memiliki semacam soft power di mana penikmatnya tidak me-
rasa bahwa dirinya masuk dalam suatu aktivitas politik. Keterikatan poli-
tik terinternalisasi otomatis dalam diri mereka, baik secara sadar mau-
pun tidak sadar. Musik merupakan salah satu soft power dengan abilitas
untuk mendapatkan apa yang seseorang atau suatu kelompok kuasa
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 80

inginkan. Apabila masyarakat mau menerima suatu kuasa akibat do-


rongan soft power, maka dapat dikatakan kuasa itu berhasil.
Joseph S. Nye Jr (2004) menjelaskan lebih lanjut perihal kemampuan
musik sebagai soft power. Menurutnya, soft power (kekuasaan atraktif)
merupakan strategi politik yang jauh lebih efektif diterapkan guna men-
dulang suara ketimbang menggunakan hard power yang hanya mengan-
dalkan tekanan dan pemaksaan secara langsung. Soft power hadir dari
kemampuannya menginterpretasi modernitas. Di Sangihe, modernitas
itu menguar dalam bentuk musik-musik disco remix yang menggelitik,
tetapi menarik.

Akhirnya, pasangan bupati dan wakil bupati terpilih yang telah


ditunggu sedemikian lama datang juga di Desa Lapango. Kedatangan
mereka disambut oleh ketua adat setempat. Tak berselang lama,
pendeta dengan salib di dekat kantong jasnya juga datang dan langsung
menyalami tangan pasangan terpilih. Dengan penuh kebanggaan,
pendeta itu berseru. “Kemenangan ini bukan hanya milik Megahago, ini
adalah kemenangan Sangir bersama. Tuhan telah berkehendak maka
bernyanyilah untuk Tuhan!”
Semua orang lantas bernyanyi, saling bergandengan, ramai bertepuk
tangan. Raut bahagia terpancar di wajah tiap orang yang hadir. Meski-
pun secara tersirat pesta ini dapat dikatakan sebagai perayaan keme-
nangan Partai Golkar atas PDI-P, tidak lantas menyebabkan mereka yang
memiliki pilihan politik berbeda tidak boleh bergabung. Di tengah pe-
rayaan pesta yang makin gempita, terselip satu orang berbaju merah di
khalayak yang hampir seluruhnya menggunakan atribut kuning, identi-
tas Golkar. Ia datang untuk ikut bergoyang. Tidak ada lagi intensi saling
iri, rasa dengki kepada golongan yang menang. Semuanya melebur da-
lam riuh kebahagian yang makin berdentum. Posko-posko kemenangan
Megahago tidak lebih merupakan pemberian masyarakat terhadap ke-
menangan tersebut. Segala pengeluaran ditanggung oleh masyarakat
dalam turut meramaikan kemenangan.
81

Barangkali, ini adalah cermin nyata dari salah satu lirik adat berupa
doa yang dinyanyikan bersamaan dengan tagonggong. “Pemimpin ada-
lah matahari sedangkan rakyat adalah bintang.” Pemimpin tidak akan
ada apabila rakyat tidak ada. Rakyat akan sulit sejahtera apabila tidak
mendukung dan menghormati pemimpin. Keduanya harus saling menja-
ga, harus saling paham dengan porsi tanggung jawab masing-masing.
Hal inilah yang menjadi pemahaman penting dari masyarakat Sangir
ketika melihat kekuasaan.
Tidak terasa matahari telah meninggalkan langit Desa Lapango.
Gelap. Namun, sorak-sorai perayaan masih belum usai. Hentakan musik
makin terdengar nyaring. Seluruh desa khusyuk bergoyang ria menik-
mati Disco Bunke, melupakan semua segmentasi politik, sibuk meraya-
kan kehadiran pemimpin baru mereka secara bersama-sama.

“Politik tidak selalu soal strategi


meninggikan diri atau pun siasat
menjatuhkan sejawat. Di Sangihe, politik
bisa seasyik goyang badan disko.”

Referensi

Munck, Gerardo L. 2016. “What is Democracy? A Reconceptualization of


the Quality of Democracy”. Democratization Vol.23. No.1. pp.1-26.
Nye Jr, Joseph S. 2004. Soft Power: The Means to Success in World
Politics. New York: Public Affairs.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 82

Selamat Datang di Bincang Lain!


Di sini kita akan berbincang-bincang tentang pengetahuan dan
fakta-fakta unik lain tentang Sangihe.

Semboyan daerah Sangihe


Men Sana in Corpore Sano; Cogito Ergo Sum; Expecto Patronum?

Sebagian kamu, saya percaya, pasti telah mendengar berbagai


semboyan-semboyan asing, mengutipnya di bio media sosial agar terlihat
intelek, karena pada dasarnya saya juga dahulu begitu, hahaha.

Biar panjat sosialmu berbau kearifan lokal, ini ada semboyan dari daerah
Sangihe:

“Somahë Kai Këkage—Pantuku Paka Salëntino”


(Tabah, ulet, tegar melawan arus—Jeli, bijak ketika ikut arus)

dialihbahasakan oleh Agrendy Saselah


83

Dok. UMCE 2017

Sangihe:
The Beauty of Hidden Paradise
in Northern Indonesia

Oleh: Sultan Kurnia A.B.


Editor: Wulandari Retnaningtiyas
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 84

“Di Kepulauan Sangihe, kita bisa saja


mematahkan kompas, mengangkat
jangkar, lalu membiarkan perahu dibawa
ombak. Di pulau manapun terdampar,
kita akan mendapati pantai berpasir
putih dan laut kehijauan. Pantai-pantai
inilah yang mengilhami Jan Albert
Tatengkeng menulis puisi-puisinya
hampir seabad yang lalu.”

(Majalah Tempo, Edisi Khusus I, November, 2015:59)

T mungkin yang pertama kali terlintas dalam pikiran adalah Bali,


idak dapat dipungkiri, jika berbicara tentang wisata Indonesia,

salah satu destinasi terbaik di dunia yang kepopulerannya bahkan menga-


lahkan nama Indonesia sendiri. Beberapa wisatawan mancanegara yang
pernah diwawancarai oleh media nasional mengaku lebih mengenal Bali
dari pada Indonesia, bahkan ada yang bertanya balik, “Apakah Indonesia
berada di Bali?”
Inilah salah satu kondisi pariwisata Indonesia dalam beberapa dekade
terakhir, yang kemudian menjadi pelecut bagi pemerintah saat ini untuk
menggenjot promosi wisata lain lebih optimal lagi. Pemerintah ingin me-
nunjukan bahwa wisata Indonesia tidak hanya Bali. Negeri yang dijuluki
tanah surga ini punya ribuan pulau indah lainnya yang tersebar dari
Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Pulau-pulau
yang menjadi rumah bagi ratusan suku bangsa dengan adat dan budaya
yang juga tak kalah mengagumkan. Karena itu, sejak tahun 2016 peme-
rintahan Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Pariwisata membuat
kebijakan ‘Sepuluh Bali Baru’.
Kebijakan ‘Sepuluh Bali Baru’ merupakan salah satu usaha pemerintah
untuk mengembangkan sepuluh destinasi wisata di Indonesia agar
85

mampu menjadi destinasi unggulan seperti halnya Bali. Kesepuluh des-


tinasi tersebut adalah Danau Toba, Belitung, Tanjung Lesung, Kepulauan
Seribu, Candi Borobudur, Mandalika Lombok, Pulau Komodo, Taman
Nasional Wakatobi, dan Morotai.

Surga di Ujung Utara

Jika orang bilang Indonesia tanah surga, maka itu adalah surga yang
besar. Di dalamnya terdapat surga-surga kecil yang sebagian sudah
sangat dikenal dan dikelola dengan baik, seperti Bali, Lombok dan Yogya-
karta. Namun, sebagian lagi masih kurang dikenal dengan pengelolaan
yang minim. Tempat-tempat tersebut saat ini sering kita sebut dengan
istilah ‘surga tersembunyi’.
Kini, kita lupakan sejenak tentang Pulau Bali yang telah populer atau
‘Sepuluh Bali Baru’ yang sedang dikelola dengan serius oleh pemerintah.
Saatnya melayangkan pandangan ke daerah terluar Indonesia yang ber-
batasan dengan Filipina, yaitu Kepulauan Sangihe. Daerah yang layak di-
sebut ‘surga tersembunyi’ dan berperan sebagai beranda negeri di utara
jauh.

Sejuta Pesona Kepulauan Sangihe

Kepulauan Sangihe termasuk ke dalam wilayah Sulawesi Utara yang


berbatasan dengan Kepulauan Talaud dan Samudera Pasifik di sebelah
barat, serta Kepulauan Filipina Selatan di sebelah utara. Kepulauan ini
berjarak sekitar 300 km dari Kota Manado sebagai ibu kota Provinsi
Sulawesi Utara dan dapat ditempuh selama 45 menit dengan pesawat
terbang atau 6-10 jam menggunakan kapal laut.
Jarak yang begitu jauh dan dibatasi laut luas membuat Sangihe hari ini
belum dikenal publik, padahal daerah yang terdiri atas 90-an pulau ini
memiliki potensi sumber daya alam yang berlimpah. Sangihe tercatat
sebagai salah satu daerah penghasil ikan laut dan kelapa terbesar di
Indonesia (BPS Kabupaten Kepulauan Sangihe, 2015). Dalam konteks
pengembangan pariwisata, Kepulauan Sangihe adalah daerah dengan se-
juta potensi wisata yang siap mendunia.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 86

Dok. UMCE 2017

Sangir Besar adalah nama pulau GUGUSAN PULAU DAN PERBUKITAN DI


terbesar di Kepulauan Sangihe KECAMATAN MANGANITU SELATAN
dengan lebar hanya sekitar 10 kilo-
meter. Pulau ini memiliki karakteristik alam yang terdiri dari gunung api
yang masih aktif (Gunung Awu), dataran tinggi, hingga pesisir dengan
pantai-pantai dan teluk yang indah. Kondisi alam seperti ini membuat
pemandangan di Sangir Besar begitu lengkap dan memanjakan mata. Dari
Gunung Awu kita bisa melihat jelas pulau-pulau kecil terhampar di tengah
laut biru, mendengar deburan ombak, dan melihat nelayan yang ber-
aktivitas di pantai pasir putih.
Anugerah lain yang dimiliki Pulau Sangir Besar adalah teluk-teluk indah
yang sejak abad pertengahan Masehi telah dimanfaatkan masyarakat
lokal maupun kapal asing sebagai pelabuhan alami. Salah satunya adalah
Teluk Tahuna, yang kini berfungsi sebagai pelabuhan utama. Di Teluk
Tahuna juga berdiri Kota Tahuna, ibu kota Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Jika dilihat dari puncak tinggi, kawasan Teluk Tahuna menyajikan pe-
mandangan yang berbeda pada malam hari. Semarak lampu Kota Tahuna,
hamparan laut biru dan perbukitan hijau yang mengelilingi. Selain itu,
87

Dok. UMCE 2017

Sangihe juga memiliki pulau-pulau NELAYAN DESA BEBALANG DUDUK


kecil nan menawan, seperti Pulau SANTAI MENUNGGU HASIL PENJUALAN
IKANNYA DI PASAR LAPANGO
Bebalang, Batunderang, Dakupang-
Mandaku di bagian selatan, dan Pulau
Bukide di bagian utara. Pulau-pulau ini adalah rumah bagi kelompok-
kelompok kecil masyarakat yang hampir semua bekerja sebagai nelayan.

Kearifan Lokal

Secara geografis, Kepulauan Sangihe berada di antara dua lempeng


aktif, yakni Lempeng Pasifik dan Lempeng Eurasia. Kondisi ini menyebab-
kan wilayah Sangihe sering dilanda gempa bumi dan gelombang besar
(BPS Kabupaten Kepulauan Sangihe, 2015). Namun, hal tersebut bukanlah
sepenuhnya menjadi ancaman yang menimbulkan ketakutan berlebihan
bagi masyarakat Sangihe, justru menciptakan kearifan lokal yang mem-
buat mereka semakin dekat dengan Tuhan dan menghormati alam sepe-
nuh jiwanya.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 88

Dalam aturan adat, masyarakat hanya boleh menangkap ikan pada


pagi, siang, dan malam hari. Selain dari ketiga waktu itu tidak diperbo-
lehkan, karena mereka menyepakati ikan juga perlu dilestarikan dengan
memberikan kesempatan untuk bertelur utamanya pada sore hingga ma-
lam. Penghormatan kepada laut juga terlihat dari penggunaan bahasa.
Ketika berada di laut, mereka tidak boleh berbicara kasar. Hal tersebut
dilakukan sebagai bentuk penghormatan pada Mawendo, penguasa laut
dalam kepercayaan lokal Sangihe.
Hidup di pulau-pulau kecil yang penuh risiko membuat masyarakat
Sangihe begitu menjaga persatuan dan kesatuan. Hampir segala kegiatan
atau acara dilakukan secara gotong royong mulai dari menangkap ikan,
beribadah, pesta kematian, hingga hiburan. Bagi mereka, kesusahan se-
orang adalah kesusahan semuanya dan sebaliknya kesenangan seorang
juga kesenangan semuanya.
Sebagaimana halnya masyarakat lainnya di daerah timur dan kepu-
lauan, masyarakat Sangihe memiliki tradisi hiburan yang kuat. Suatu pe-
mandangan umum bahwa anak-anak, orang tua, hingga kakek nenek di
Sangihe memiliki keahlian bermain musik, menari, atau bernyanyi. Me-
reka biasa melakukannya di dalam gereja, di pantai, rumah, dan warung.
Akan tetapi di antara tempat itu semua, pantai adalah tempat terbaik dan
yang paling syahdu. Di pantai, masyarakat Sangihe akan menghibur diri
dan mengungkapkan segala rasa setelah lelah pergi melaut. Mereka ber-
nyanyi tentang kecintaan yang mendalam pada tanah Sangir, tentang laut
sebagai sumber kehidupan, dan tentang kerinduan pada keluarga atau
kekasih di pulau nan jauh.
Salah satu alat musik tradisional yang biasanya digunakan untuk
mengiringi hiburan itu adalah musik bambu. Alat musik dari bambu ku-
ning ini memiliki teknik pembuatan yang cukup rumit sehingga tidak se-
mua orang Sangir bisa membuatnya. Karena itulah, alat musik bambu
menjadi sangat unik, baik dari segi bentuk maupun nada suara yang di-
hasilkan.
Musik bambu biasanya dibuat dalam bentuk terompet, seruling, dan
gitar dengan ukuran berkisar antara 30 cm hingga 2 meter. Ke depan, se-
lain berfungsi sebagai pengiring musik, musik bambu juga dapat dijadikan
kerajinan tangan khas Sangihe sebagai oleh-oleh untuk wisatawan.
89

“Hidup di pulau-pulau kecil yang penuh risiko


membuat masyarakat Sangihe begitu menjaga
persatuan dan kesatuan. Hampir segala
kegiatan atau acara dilakukan secara gotong
royong mulai dari menangkap ikan, beribadah,
pesta kematian, hingga hiburan. Bagi mereka,
kesusahan seorang adalah kesusahan
semuanya dan sebaliknya kesenangan seorang
juga kesenangan semuanya.”

Berbicara tentang kerajinan tangan, sebenarnya Sangihe juga memiliki


kerajinan lain, yaitu Kerawang. Kerajinan ini sejenis kain tenun pada
umumnya yang dibuat dari bahan benang namun memiliki teknik pem-
buatan dan motif yang berbeda. Jika di tempat lain motif kain dibuat se-
kaligus saat menenun, motif Kerawang dibuat dengan cara melubangi
kain tenunnya terlebih dahulu, setelah itu diisi dengan jahitan benang se-
suai motif yang diinginkan.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 90

Surga Bawah Laut

Keindahan Sangihe tidak hanya dapat dilihat di daratan tapi juga dapat
dirasakan dengan menyelami bawah lautnya. Kearifan lokal masyarakat-
nya dalam menjaga laut berbuah pada kelestarian terumbu karang dan
spesies ikan. Hal ini tentu menjadi potensi besar dalam pengembangan
wisata selam ke depannya.
Selain ikan dan terumbu karang, Kepulauan Sangihe juga memiliki Gu-
nung Api Karangetang, yaitu gunung api aktif di bawah laut. Di lokasi ini,
kita dapat menyelam sambil merasakan gelembung air laut yang dihasil-
kan oleh Gunung Api Karangetang. Di bawah laut Sangihe juga terdapat
peninggalan Perang Dunia II berupa bangkai kapal milik Jepang di Teluk
Tahuna. Kapal karam yang memiliki ukuran 40 m, tinggi 5 m dan lebar 7 m
itu telah tenggelam selama 75 tahun dan kini menjadi rumah bagi ribuan
ikan cantik dan terumbu karang.

Epilog

Pariwisata Indonesia memiliki slogan unggulan yang selama ini tidak


hanya dipromosikan di dalam negeri, namun juga di seluruh penjuru du-
nia. Ya, Wonderful Indonesia.
Mengutip dari laman resmi Kementerian Pariwisata Indonesia, slogan
Wonderful Indonesia sejatinya mengajak dunia untuk menikmati ke-
indahan Indonesia secara luas. Tidak hanya Bali, Yogyakarta, Lombok,
atau daerah lain yang telah populer, akan tetapi juga daerah-daerah yang
memiliki keindahan dan tak kalah mengagumkan namun belum dikenal
luas. Keindahan sejati yang akan mengisi kalbu, memperkaya rasa dan
hati.
Maka untuk mencapai tujuan itu sepenuhnya, eksplorasi dan menge-
nalkan daerah kepulauan di wilayah terluar Indonesia seperti halnya Ke-
pulauan Sangihe adalah salah satu langkah yang perlu dilakukan. Daerah-
daerah dengan pesona alam dan budayanya yang berbeda serta ke-
hidupan masyarakatnya yang menawarkan pengalaman baru. Bukankah
saat ini kecendrungan traveler untuk melakukan wisata lebih pada ke-
giatan yang menantang, menguji nyali, berbaur dengan masyarakat lokal,
91

serta mengenal tempat-tempat yang belum banyak dieksplorasi sehingga


menawarkan pengalaman yang berbeda? Ini adalah peluang besar bagi
pengembangan wisata Indonesia.
Langkah ini semakin perlu dilakukan karena sejalan dengan program
baru yang dibuat oleh Kementerian Pariwisata Indonesia saat ini, yakni
Festival Crossborder. Sebuah kegiatan untuk mengembangkan wisata
daerah terluar dan perbatasan dalam melalui konsep festival. Selain itu,
dalam kerangka tujuan besar pemerintah saat ini, yakni menjadikan
Indonesia sebagai poros maritim dunia, maka pengembangan wisata di
Kepulauan Sangihe sebagai daerah pinggiran adalah suatu langkah stra-
tegis yang perlu dilakukan. Hal ini sehaluan dengan instruksi Presiden
bahwa segala pembangunan pada aspek kemaritiman perlu ditingkatkan
salah satunya adalah wisata bahari di daerah kepulauan.
Jika sudah dipahami demikian, lalu bagaimana strategi terbaik pe-
ngembangan wisata bahari di Kepulauan Sangihe ke depannya? Mari
bersama-sama memikirkannya.

Referensi

Majalah Tempo, Edisi khusus I, November, 2015:59.


CERITA DARI BERANDA NEG ERI 92
93
94

Teladan dari Sangihe:


Sosok Pak Alffian Walukow

Oleh: Sultan Kurnia A.B.


Editor: Wulandari Retnaningtiyas

Dok. UMCE 2017


95

“Tak terhitung lagi berapa banyak situs


dan tinggalan sejarah Sangihe yang
telah disurveinya, mulai dari kapal
karam, makam kuno, jangkar tua,
lukisan dinding gua, kubur batu, istana
lama, hingga parit-parit pertahanan
Jepang di atas gunung Awu.”

P sedang dilangsungkan Focus Group Discussion (FGD) tentang Stra-


agi itu, 26 April 2017, di sebuah rumah makan tepi Teluk Tahuna,

tegi Pengelolaan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) di Kepulauan


Sangihe. FGD diselenggarakan atas kerja sama Kementerian Koordinator
Bidang Kemaritiman dan Tim Ekspedisi Sangihe. Meskipun tema utama-
nya tentang pengelolaan BMKT, FGD itu juga membahas tentang sejarah
dan budaya Sangihe secara umum. Pihak-pihak yang hadir, antara lain
perwakilan Pemerintah Daerah Kabupaten Kep. Sangihe, Balai Arkeologi
Manado, Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo, instansi-instansi ter-
kait, dan perwakilan masyarakat lokal.
Setelah beberapa pembicara perwakilan pemerintah menyampaikan
materinya, kini tiba giliran Pak Alffian Walukow untuk bercerita menge-
nai sejarah budaya di Sangihe.
“Mohon maaf sebelumnya, sebenarnya saya bukanlah ahli sejarah
dan budayawan, melainkan hanya Guru SMA kesenian yang kebetulan
sangat suka menggali cerita dan sejarah Sangir”, Pak Alffian mengawali
pembicarannya pagi itu. Ia bermaksud mengoreksi keterangan tentang
dirinya dalam surat undangan yang kami tulis sebelumnya, yakni sebagai
sejarawan dan budayawan Sangihe.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 96

Saya yang bertindak sebagai fasilitator FGD saat itu dapat menangkap
maksud Pak Alffian. Sebagai seorang guru dengan berlatar belakang ilmu
seni, Pak Alffian tidak ingin terkesan ahli di bidang ilmu lain. Selain itu,
belakangan saya juga tahu bahwa sebenarnya Pak Alffian berasal dari
Minahasa, sehingga di Sangihe beliau adalah warga pendatang. Baginya
status sebagai seorang pendatang membuatnya harus berhati-hati jika
berbicara tentang sejarah budaya Sangihe. Ia takut terlihat lebih tahu
dari pada masyarakat asli, walaupun sebenarnya Pak Alffian memang
tahu betul seluk beluk sejarah dan kebudayaan Sangihe.
Lebih dari dua puluh tahun Pak Alffian tinggal di Sangihe sebagai
seorang guru. Selama itu pula, di sela-sela tugasnya mengajar di seko-
lah, Pak Alffian aktif mengungkap sejarah lokal dengan cara bertanya
pada tetua adat, membaca naskah-naskah lama, hingga mendatangi
tinggalan-tinggalan sejarah Sangihe. Tak terhitung lagi berapa banyak
situs dan tinggalan sejarah Sangihe yang telah disurveinya, mulai dari
kapal karam, makam kuno, jangkar tua, lukisan dinding gua, kubur batu,
istana lama, hingga parit-parit pertahanan Jepang di atas Gunung Awu.
Suatu kali saat kami diundang makan malam di rumahnya, Pak Alffian
bercerita bahwa beliau bisa melakukan itu semua karena sering pindah
97

Dok. UMCE 2017

TIM EKSPEDISI BERSAMA DENGAN PAK ALFFIAN DAN KELUARGANYA SETELAH SESI
MAKAN MALAM.

tugas mengajar, mulai dari Kec. Tamako, Manganitu hingga saat ini di
Kota Tahuna. Di setiap daerah tugasnya itu, beliau sering pergi ke
pelosok-pelosok kampung untuk mencari tahu sejarah dan budaya
setempat serta menemukan situs-situs.
Lalu dari mana biayanya melakukan itu semua? Pak Alffian menjawab
“biaya sendiri.” Ia berkata, “kalau sudah suka dan hobi apapun kita laku-
kan”. Khusus untuk mengungkap tinggalan sejarah di pulau-pulau kecil
yang jauh dari tempat tinggalnya, Pak Alffian punya strategi sendiri.
Katanya, minimal dalam satu tahun sekali, guru-guru dari seluruh pe-
losok Kepulauan Sangihe akan diundang oleh Pemerintah Daerah untuk
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 98

melakukan pertemuan di Kota Tahuna. Pada saat itu, Pak Alffian akan
bertanya pada guru-guru yang berasal dari pulau-pulau terjauh tentang
tinggalan sejarah yang ada di tempat mereka. Jika dirasa penting dan
menarik, pada waktu luang seperti pada libur sekolah, Pak Alffian akan
langsung mengunjungi tinggalan itu. Namun, jika tidak ada waktu, ia
akan meminta tolong untuk memotokan tinggalan tersebut, lalu pada
pertemuan selanjutnya pada tahun berikutnya di Kota Tahuna, ia akan
meminta foto-foto itu. Bagi saya, ini semangat dan dedikasi yang besar
seorang pendatang pada tanah Sangir.
Hebatnya lagi, Pak Alffian tidak hanya mengungkap sejarah dan buda-
ya Sangihe untuk kepuasannya sendiri, tapi juga melestarikannya. Salah
satu caranya melestarikan sejarah budaya Sangihe adalah dengan mem-
buat kerajinan tangan, seperti pedang dan alat musik, asbak, hingga pot
bunga bermotifkan tenun khas Sangihe. Ia melakukan itu bersama anak-
anak yang tergabung dalam Sanggar Rumah Apapuhang, sebuah tempat
berkarya dan berkreasi anak-anak sekitar tempat tinggalnya dan didiri-
kannya secara mandiri. Selain itu, Pak Alffian juga aktif mempublikasikan
sejarah dan kebudayaan Sangihe ke masyarakat luas dengan cara menu-
lis di blog, berbagi video di Youtube dan berbagi foto di media sosial
lainnya seperti Facebook dan Instagram.

“Publikasinya itulah yang dua tahun lalu


membuka mata kami tim KKN-PPM UGM
tentang kekayaan potensi sejarah dan
budaya di Sangihe. Hingga akhirnya, pada
tahun ini kami melakukan UGM Maritime
Culture Expedition, juga berawal dari
tulisan-tulisan Pak Alffian.”
99

Publikasinya itulah yang dua tahun lalu membuka mata kami tim KKN
-PPM UGM tentang kekayaan potensi sejarah dan budaya di Sangihe.
Hingga akhirnya, pada tahun ini kami melakukan UGM Maritime Culture
Expedition, juga berawal dari tulisan-tulisan Pak Alffian.
Dari 40-50 data yang kami dapatkan, baik di darat maupun di bawah
laut, hampir 90% bersumber dari data-data Pak Alffian. Karena itu, saya
pernah berkata pada Pak Alffian, “sebenarnya dalam ekspedisi ini kami
tidak menemukan data, tapi hanya mengumpulkan kembali semua data-
data yang sebelumnya didapatkan Pak Alffian.” Tentang ini, Pak Alffian
hanya menanggapinya, “ya tidak begitu, saya kan hanya hobi, kalian
tetap berperan penting, apalagi jika nanti data-data itu dianalisis secara
ilmiah sesuai ilmu masing-masing, akan sangat bermanfaat untuk
Sangihe. Jadi saya sangat menunggu hasilnya.”
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 100

Selamat Datang di Bincang Lain!


Di sini kita akan berbincang-bincang tentang pengetahuan dan
fakta-fakta unik lain tentang Sangihe.

Berbagai pepatah dan artinya


Pepatah bagaikan doa dan impian yang selalu digandengkan dengan
masyarakat yang menciptakannya. Di dalam sebuah pepatah terdapat
cerminan ideal karakter orang-orang di daerah di mana pepatah itu
tercipta. Inilah pepatah orang Sangir dalam menjalani kehidupannya,
beberapa di antaranya digunakan dengan menambahkan kata “Jangan”:

- Abe pangumbalang biang, apa sungkalene lawo = jangan me-


ngandalkan diri sendiri, melaksanakan sesuatu harus mempunyai per-
timbangan.

- Bahoa Melehedo Oho. = Bangau menunggu air surut (Sabar dalam


penantian)

dan beberapa di antaranya digunakan dengan menambahkan kata


“jangan” diawal pepatah

- Tawe Makakende Are = tidak dapat menggetarkan dagu (menganggap


sesuatu itu gampang)

- Mebara pakeang su awa = mengandalkan baju di badan (berjuang


tanpa apa-apa).

- Mendalenda dego = Mengilaukan Kursi bersantai (pemalas/bermalas-


malasan).
101

Penelitian Partisipatoris
dan Ucapan Terima Kasih
Oleh: Sultan Kurnia A.B.

A tian partisipatoris? Menurut ahli, salah satu indikatornya terle-


pa tandanya suatu penelitian dapat dikatakan sebagai peneli-

tak pada setiap proses penelitian mulai dari perumusan masalah, pe-
ngumpulan data, hingga pengambilan kesimpulan, yang semuanya dila-
kukan bersama dengan masyarakat lokal dan dalam waktu yang relatif
lama. Tujuannya, adalah agar hasil penelitian benar-benar dapat dipa-
hami dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat.
Lalu, apakah UGM Maritime Culture Expedition termasuk sebuah
penelitian partisipatoris? Pada awalnya, di dalam proposal kami tidak
mendesain penelitian ini menggunakan pendekatan partisipatoris,
mengingat waktu yang terlalu singkat. Namun, tanpa disadari setelah
menjalani penelitian selama sepuluh hari, sepertinya kami telah mela-
kukan penelitian bersifat partisipatori. Merefleksi kegiatan UGM Mari-
time Culture Expedition di Sangihe, dukungan dan keterlibatan masya-
rakat lokal begitu sangat terasa. Masyarakat setempat tidak hanya
bersedia untuk kami wawancarai, namun juga rela mengorbankan wak-
tu dan tenaganya untuk bersama-sama mengumpulkan data dan me-
nyimpulkan bagaimana sebenarnya sejarah budaya Sangihe. Lebih dari
semua itu, masyarakat juga dengan ikhlasnya mengizinkan kami tinggal
di rumah dan makan di warung mereka secara gratis selama kegiatan
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 102

Dok. UMCE 2017

berlangsung. Untuk itu, ucapan terima kasih TIM EKSPEDISI BERSAMA


sebesar-besarnya kami haturkan pada selu- NELAYAN SETEMPAT
MENURUNKAN PERAHU
ruh masyarakat Manganitu Selatan, Tahuna, UNTUK SURVEI KE PULAU-
dan Manganitu. PULAU KECIL

Ucapan terima kasih khususnya kami sam-


paikan kepada Om Shofie dan Tante Erma, yang menyediakan rumah-
nya untuk ditempati oleh Tim Manganitu Selatan. Keduanya yang pada
satu hari sebelum kepulangan tim ke Manado, mendadak menelepon
kami yang saat itu sudah berada di Kota Tahuna. “Kenapa kalian
tinggalkan uang di dalam tas tante?” tanya Tante Erma. Rupanya Om
Shofie dan Tante Erma tahu, bahwa diam-diam kami meningalkan uang
di dalam tasnya dengan maksud untuk mengganti biaya listrik dan air
103

di rumahnya. Hal ini sebenarnya terpaksa kami lakukan. Jika uang itu
diserahkan langsung, kami yakin Tante Erma dan Om Shofie tidak akan
bersedia menerimanya.
Akibat ulah itu, pada subuh buta, beberapa jam sebelum kami naik
kapal feri ke Manado, Om Shofie dan Tante Erma menyusul kami ke Pela-
buhan Tahuna. Mereka berangkat dari Lapango yang berjarak sekitar 60
kilometer jauhnya menggunakan sepeda motor. Tujuannya hanya untuk
mengembalikan uang yang kami tinggalkan tempo hari. “Besok-besok,
tidak usah tinggal di rumah tante lagi kalau tetap ingin memberi uang,”
pesan Tante Erma sesaat sebelum kami menaiki kapal.
Kepada Oma dan Opa, yang dengan setulus hati menyediakan semua
kebutuhan konsumsi tim Ekspedisi. Pada Oma dan Opa, diam-diam kami
juga meninggalkan sedikit uang di dalam tasnya sebagai pengganti biaya
konsumsi selama kegiatan. Alasannya sama, Oma dan Opa tidak akan
menerima uang itu jika diserahkan langsung. Oma baru mengetahui pe-
rihal uang tersebut setelah kami memberitahunya melalui telepon saat
perjalanan pulang ke Kota Tahuna. Menyikapi hal tersebut, Oma ber-
pesan kepada kami “Terima kasih atas hadiahnya. Jangan lupakan
Sangihe dan sering-seringlah berkunjung ke sini.” Sebelumnya, tanpa se-
pengetahuan kami, Oma juga telah menyiapkan mobil carteran untuk
kepulangan tim dari Manganitu Selatan ke Kota Tahuna.
Kepada Pak Alffian, yang dengan penuh kesabaran melayani proses
wawancara hingga larut malam. Beliau juga membantu tim mengumpul-
kan data hingga menghubungkan tim pada banyak pihak. Atas undangan
makan malam dan hiburan musiknya pada hari terakhir di Sangihe, kami
ucapkan terima kasih.
Kepada Om Edy dan keluarga, yang telah berbaik hati menyediakan
rumahnya sebagai basecamp Tim Tahuna-Manganitu. Bahkan, Om Edy
dan keluarganya sampai pindah ke rumah yang lain agar kami bisa lelu-
asa di sana. Terima kasih juga atas pinjaman motor dan antar jemput
tim selam dengan segala peralatannya menggunakan angkot biru itu.
Kepada Bang Ucil, yang mendampingi tim selam melakukan peng-
ukuran kapal karam dan jangkar selama lima hari lebih. Ling-Ling, Juan,
dan Lestari; anak-anak hebat yang menjadi teman survei tim menyusuri
teluk, mendaki bukit, hingga menyeberang ke pulau-pulau tak ber-
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 104

penghuni. Juga kepada seorang anak kecil di Desa Lesa, yang dengan
sangat menyesal kami lupa namanya. Jasanya takkan terlupakan karena
tanpa pamrih ia bersedia mengantarkan kami ke situs lukisan dinding
gua di sebuah teluk yang curam dengan perahu kecilnya. Padahal, waktu
itu kondisi air laut sedang pasang dan kondisi perahu melebihi muatan.
Kami berjanji, sebagian hasil penjualan buku ini akan diberikan padanya
saat pelaksanaan ekspedisi periode ke-
ANAK KECIL DI DESA LESA, YANG
dua, di akhir tahun 2018 nanti, In sya MENGANTARKAN KAMI
Allah. MENGGUNAKAN PERAHU KECIL

Dok. UMCE 2017

Kepada Esterina D. C. Gaghana, seorang teman, mahasiswi UGM asal


Sangihe, yang telah membantu menghubungkan tim ekspedisi dengan
pihak Pemerintah Daerah Sangihe sehingga akhirnya kami mendapat
banyak kemudahan.
105

Kepada Bapak Holfried Makawekes, Bapak Yance, Bapak Dawis


Lintuhaseng, dan narasumber lainnya atas semua informasi penting dan
cerita jenakanya.
Kepada Mas Jajang Agus Sonjaya, yang penuh kesabaran membim-
bing kami sejak awal ide ekspedisi dicetuskan, pelaksanaan kegiatan,
hingga penulisan buku ini. Mas Jajang yang tanpa sepengetahuan, diam-
diam naik pesawat yang sama dengan kami saat penerbangan Manado-
Sangihe. Padahal sebelumnya ia berucap “Belum tahu tanggal pasti bisa
berangkat ke Sangihe.” Benar-benar surprise untuk kami.
Kepada Mas Ahmad Surya Ramadhan, atas bimbingan dan bantuan-
nya sejak awal persiapan, pelatihan materi selam di Ponggok, hingga pe-
laksanaan kegiatan di Sangihe.
Kepada Bapak Joko Siswanto dan semua keluarga besar Balai
Arkeologi Sulawesi Utara, atas bantuan dan fasilitasnya selama di
Manado. Juga atas kesempatan kunjungan situs dan city tour-nya.

Terima kasih sebesar-besarnya juga kami sampaikan kepada Rektor


Universitas Gadjah Mada, Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D (2014-
2017) dan Rektor Prof. Ir. Panut Mulyono, M. Eng., D.Eng. (2017-
sekarang) beserta jajarannya, atas semua dukungan dan fasilitas yang
diberikan atas terselenggaranya ekspedisi ini.
Kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Dr . Wening Udasmoro, M.Hum.,
DEA beserta jajarannya yang telah memberikan dukungan penuh
kepada tim sejak awal persiapan hingga ekspedisi selesai. Terima kasih
secara khusus kami sampaikan kepada Ibu Dekan yang telah berkenan
memberikan kata sambutan dalam buku ini.
Kepada Ketua Departemen Arkeologi, Dr. Anggraeni M.A., dan jaja-
rannya, yang telah memberikan perhatian besar pada ekspedisi ini, dan
atas dukungan fasilitasnya. Terima kasih secara khusus disampaikan
kepada Ibu Ketua Departemen yang telah berkenan memberikan kata
sambutan dalam buku ini dan mengkoreksi isi buku secara umum.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 106

Tak lupa, ucapan terima kasih sebesar-besarnya juga kami sampaikan


kepada Himpunan Mahasiswa Arkeologi UGM, Pengurus Departemen
Arkeologi, Dekanat Fakultas Ilmu Budaya, dan Pimpinan Universitas
Gadjah Mada.
Kepada Bapak Ibu Dosen di Departemen Arkeologi, Antropologi,
Sejarah, serta Komputer dan Sistem Informasi.
Kepada Sentra Selam Jogja, Bu Ika dan Pak Jek yang selalu membim-
bing kami belajar menyelam dan manajemen kegiatan lapangan.
Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kemente-
rian Kelautan Perikanan, dan Kementerian Koordinator Bidang Kema-
ritiman, yang telah memfasilitasi kegiatan. Terima kasih kami ucapkan
kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Sebagai sebuah penelitian yang murni diinisiasi dan dilakukan oleh
mahasiswa, kegiatan UGM Maritime Culture Expediton tentu tidak ter-
lepas dari segala kekurangan baik pada saat persiapan, pelaksanaan,
maupun pascakegiatan. Sama halnya dengan buku ini, yang menjadi
ikhtiar kami untuk mempublikasikan hasil penelitian secara lebih populer,
mungkin masih terdapat kesalahan baik dalam cara penulisan maupun
lainnya yang luput dari kesadaran kami. Karena itu, kami mengharapkan
masukan, saran, serta kritik dari semua pihak sebagai perbaikan untuk ke
depannya. Jalasveva Jayamahe.
107
108

Dari Dapur Ekspedisi

ROMANSA TUJUH BULAN


DENGAN NUSA UTARA

Oleh: Dwi Kurnia Sandy


Editor: Sandy Maulana Yusuf & Umar Hanif Al Faruqy
109

“Berbagai hasil riset menyebutkan


bahwa pada abad Masehi, kebudayaan
di Nusantara masuk dari Sumatra, baru
kemudian menjalar ke timur. Sebagai
manusia skeptis, kami lantas bertanya,
apa memang benar demikian? Bila rasa
ingin tahu adalah pondasi utama
nalar kemahasiswaan, maka
apa yang sebenarnya dapat
agent of change lakukan?”

S Budaya,
ore itu hanyalah satu sore yang super biasa di Fakultas Ilmu
Universitas Gadjah Mada. Bunyi derit ketikan yang
menyebalkan, gurauan tak jelas, cekikikan tawa, juga hal-hal lain yang
terlampau malesi untuk diamati, tercecer di mana-mana. Sekonyong ke-
mudian, berlagak filsuf, beberapa mahasiswa prodi Arkeologi mendis-
kusikan soal pelik. Mereka mempertanyakan fungsi eksistensi mereka di
ranah akademik.
Sudah menjadi rahasia umum kalau mahasiswa arkeologi kerap men-
dapat kritikan mengenai minimnya kegiatan penelitian yang mereka ada-
kan, terlebih di ranah bawah air. Keberadaan Divisi Arkeologi Bawah Air
di bawah payung besar Himpunan Mahasiswa Arkeologi (HIMA) UGM,
hanya sekadar sebagai wadah guna mendapat sertifikasi selam. Tidak ada
kejelasan yang lebih lanjut setelah label kemampuan itu diemban.
Melihat fenomena tersebut, juga diiringi kegelisahan kolektif tentang
bagaimana sebenarnya bangsa asing masuk ke Nusantara pada abad
Masehi, mereka sepakat bertanya: apakah bangsa asing masuk ke Nusan-
tara hanya melalui jalur barat (Pulau Sumatra dan Selat Malaka) seperti
yang banyak dibahas oleh para peneliti terdahulu? Tidak adakah jalur
lain?
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 110

Mengingat begitu luasnya wilayah Nusantara, sore itu mereka yakin


bahwa ada jalur lain yang juga memainkan peran penting sebagai pintu
gerbang Nusantara. Jalur lain itu tertuju pada Kepulauan Sangihe di
Nusa Utara. Jika Pulau Sumatra dan Selat Malaka menjadi pintu masuk
bangsa asing ke Nusantara dari jalur barat, maka Kepulauan Sangihe
adalah pintu masuk bangsa asing ke Nusantara dari jalur timur.
Sampai di satu titik, hipotesis akan tetap menjadi hipotesis jika tidak
ada usaha pembuktiannya. Maka, tantangan tersebutlah yang akhirnya
memprakarsai UGM Maritime Culture Expedition: Sangihe, The
Northern Gate of Nusantara.
Kisah ini adalah coretan pengalaman koordinator lapangan yang
mencoba menggambarkan dinamika yang terjadi selama tujuh bulan,
mulai dari persiapan hingga waktu pelaksanaan ekspedisi dalam wujud
kalimat. Cerita seru mengenai perbenturan ide dari banyak kepala. Soal
kompromi, mengenai negosiasi dialektis dalam rangka membuktikan
hipotesis bersama. Boleh jadi, anda akan menemukan banyak bias
karena toh tulisan ini dibuat dari satu sudut pandang. Namun, terlepas
dari semua hal remeh-temeh tersebut, selamat membaca!
111

Ketika Masalah Mulai Muncul

Sejak bulan November 2016, beberapa mahasiswa yang dari awal


mendiskusikan kegiatan ini telah membentuk tim kecil. Selama satu
bulan, tim tersebut mulai merancang konsep penelitian, berdiskusi
dengan para dosen, bolak-balik perpustakaan, dan hal-hal lainnya. Dari
Desember 2016 hingga Januari 2017, tim segera mendata siapa dan
instansi apa yang dapat diajak bekerja sama. Hal yang mungkin harus
diketahui, kegiatan ini benar-benar dimulai tanpa modal uang. Seluruh
biaya operasional tim di awal-awal pembentukannya hanya mengan-
dalkan pinjaman dari anggota tim. Pada bulan tersebut juga, proposal
sponsor mulai disebar ke berbagai tujuan.
Sembari menunggu tindak lanjut proposal, tim merekrut beberapa
orang yang dibutuhkan. Selain menambah personel dari Arkeologi, tim
juga bergegas mencari orang dengan bidang keilmuan lain. Seorang
mahasiswa Sejarah menjadi yang pertama direkrut. Seseorang yang
menurut kami sangat cerdas karena benar-benar paham dengan seluk-
beluk Perang Dunia II, data awal yang ingin kami ketahui dalam proyek
ini.
Dalam dinamika pencarian data di penelitian ini, dia sebenarya menja-
di salah satu orang yang akan diberangkatkan ke Sangihe. Namun, akibat
satu dan lain hal, niat itu tidak dapat terwujud. Saat itu, beberapa ang-
gota tim harus mengikuti praktikum ekskavasi sebagai salah satu syarat

“Sampai di satu titik, hipotesis akan tetap


menjadi hipotesis jika tidak ada usaha
pembuktiannya. Maka, tantangan
tersebutlah yang akhirnya memprakarsai
UGM Maritime Culture Expedition: Sangihe,
The Northern Gate of Nusantara.”
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 112

Dok. UMCE 2017

kelulusan mata kuliah “Metode TIM SELAM EKSPEDISI BERSAMA


Ekskavasi.” Padahal sebelumnya, mereka PEMANDU LOKAL BANG UCIL,
BERSIAP MELAKUKAN
telah dipesankan tiket pesawat oleh tim. PENGUKURAN KAPAL KARAM
Rencana yang telah disusun akhirnya DI TELUK TAHUNA
harus dirombak total.
Kendala juga terjadi pada jadwal ekskavasi yang selalu berubah bah-
kan setelah tim melakukan diskusi dengan dosen pengampu mata kuliah.
Pada saat yang bersamaan, mahasiswa Sejarah tersebut juga mengajukan
izin karena ada hal yang juga harus diselesaikan pada mata kuliahnya.
Kehadiran dua masalah ini sempat menyebabkan kondisi internal tim
menjadi tidak harmonis. Pada akhirnya, tim berberat hati memutuskan
untuk tidak memberangkatkannya ke Sangihe, melainkan ke Gedung
Arsip Nasional di Jakarta.
Rupanya, keputusan ini merupakan jalan keluar yang tepat. Ketika tim
advance–tim yang bertugas menyiapkan berbagai keperluan ekspedisi–
113

tiba di Sangihe, selama seminggu mereka tidak berhasil menemukan arsip


sejarah apapun di sana. Beda halnya dengannya yang malah berhasil
menemukan beberapa arsip penting yang terkait Sangihe dan kerajaan-
kerajaan yang pernah bercokol di sana. Salah satunya seperti arsip
perjanjian raja-raja di Sangihe dengan Belanda.
Patut diperhatikan bahwa andilnya besar dalam proyek ini. Dia mam-
pu membaca arsip yang tidak mampu dilakukan oleh anggota lain. Posisi
arsip sebagai sumber sejarah menempati kedudukan yang tertinggi se-
hingga tergolong sebagai sumber primer. Harus diakui, Sangihe bukanlah
suku bangsa yang gemar menulis, melainkan suku bangsa dengan tradisi
lisan yang kuat.
Adanya arsip perjanjian tadi sedikit banyak dapat menjelaskan perja-
lanan sejarah yang dialami oleh Sangihe. Meskipun mungkin dapat mem-
bacanya, dalam arkeologi tidak diajarkan secara dasar untuk melakukan
kritik sumber seperti sejarah. Itulah mengapa mahasiswa berlatar prog-
ram studi Sejarah dibutuhkan untuk memberikan informasi dari data-data
tertulis yang ada. Selain arsip, penelitian ini juga mencari sumber-sumber
dari buku dan tulisan ilmiah. Buku-buku tersebut antara lain berisi gam-
baran umum tentang dunia maritim, perdagangan dan pelayaran, serta
penjelasan mengenai Sangihe sebagai sebuah kepulauan. Buku yang dida-
pat membahas perjalanan historis daerah Nusa Utara yang di dalamnya
terdapat Sangihe.

Dilema Profesionalitas dan Pertemanan

Masalah yang hadir berikutnya boleh dikatakan menambah drama


persiapan ekspedisi kami. Sekitar sembilan hari sebelum keberangkatan
di bulan April, saya memprotes ketidakhadiran seorang mahasiswi Antro-
pologi di forum. Benarlah sebuah pepatah yang menyebut “Emosi hanya
akan menghancurkanmu dan lingkunganmu.” Emosi sesaat saya menye-
babkan mahasiswi tersebut mengundurkan diri akibat merasa tidak mam-
pu bekerja dalam tim. Setelahnya, ada satu lagi anggota dari Arkeologi
yang mengundurkan diri dengan alasan yang hampir sama. Keputusan
tersebut sontak membuat seisi tim kaget, alasannya dia merupakan salah
satu penggagas dari ekspedisi ini, serta dialah yang merancang desain lo-
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 114

Dok. UMCE 2017

AJI (KETUA TIM DOKUMENTASI) SEDANG MENYIAPKAN KAMERANYA UNTUK


PENGAMBILAN VIDEO DI SEKITAR PULAU BEBALANG DAN MANDAKU.

go yang terdapat di sampul buku ini. Akhirnya, dengan waktu yang terba-
tas, tim memutuskan untuk mencari pengganti dari program studi Antro-
pologi saja, seorang mahasiswi Antropologi lainnya lantas direkrut.
Kembali ke fokus pembahasan. Perbatasan negara seperti Sangihe
jelas memiliki berbagai konflik kepentingan yang bernuasa politis. Ilmu
arkeologi tidak membekali mahasiswanya dengan kemampuan peka ter-
hadap kondisi masyarakat area penelitiannya. Di sinilah fungsi utama
antropolog. Dalam mengungkap gerbang utara Nusantara, pasti akan ber-
singgungan dengan berbagai kepentingan negara-negara lain. Si maha-
siswi Antropologi yang mempelajari berbagi teori kebudayan dirasa mam-
pu untuk menjelaskan gejala sosial yang terjadi. Lebih dari itu, dia juga
dapat menjadi pemancing diskusi dan wawancara dengan berbagai pihak
yang berkaitan dengan tradisi laut masyarakat Sangihe, sejarah lisan
115

setempat, serta riwayat perdagangan dan perang di Sangihe.


Tidak bisa dipungkiri kemampuannya untuk melihat fenomena yang
terjadi di dalam masyarakat pada saat ini sangat dibutuhkan. Hampir
semua orang bisa mengamati perilaku masyarakat, namun mungkin
hanya dia dan ilmunya lah yang dapat menceritakan kembali dengan
metode-metode yang dapat dipertanggungjawabkan.

Tenang-tenang Saja

Pepatah kuno menyebut “Berikan pekerjaan pada yang ahlinya.” Hal


inilah yang melatarbelakangi keterlibatan Aji dan Arraghib dari Himpunan
Mahasiswa Komputer dan Sistem Informasi (Himakomsi) dalam proyek
ini. Tidak ada yang dapat menampik bagaimana kehebatan dari teman
kita yang dua ini. Mereka adalah dua saudara yang sudah lama bekerja
sama dalam menggarap berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan
video dan foto. Sebelum mereka bekerja sama dalam penelitian ini,
mereka sedang menggarap film berjudul Tengkorak. Film ini berkisah me-
ngenai dampak penemuan tengkorak terbesar di dunia kaitannya dengan
rekonstruksi ulang sejarah manusia.
Dengan sederet kemampuan yang dimiliki, pembaca mungkin berpikir
bahwa mereka hanya dilibatkan sebagai pengambil gambar dan video.
Bisa saja iya, bisa pula tidak. Cara pandang yang berbeda dari Aji dan
Arraghib dalam melihat sebuah permasalahan ternyata memberikan
perspektif baru terhadap penelitian ini. Mereka mencoba melihat pene-
litian ini sebagai sebuah produk yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.

Perjalanan Masih Panjang

Pada akhirnya, seluruh anggota tim berhasil menunaikan tugasnya


masing-masing. Ketimbang mengumbar pencapaian, saya lebih tertarik
membahas masalah-masalah yang terdapat dalam tim. Tujuannya? Semo-
ga masalah yang sama tidak lagi muncul di kemudian hari.
Masalah utama yang muncul adalah pembentukan tim ini tidak dari
awal melibatkan semua anggota tim. Hal ini menyebabkan beberapa
rekrutan seolah tidak merasa memiliki ekspedisi. Ada kesan orang yang
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 116

dominan dan mereka yang tidak dominan dalam tim. Orang-orang awal
dirasa sebagai pengambil keputusan utama tim, sementara mereka yang
rekrutan seolah hanya mengikuti keputusan yang ada tanpa mencoba
memberikan masukan yang berarti.
Justru, aura kekompakan baru benar-benar terasa setelah tim berada
di Sangihe. Setiap orang mampu mengerjakan tugas yang dibebankan
dengan maksimal, walaupun sesekali terdapat kendala di saat pengam-
bilan data. Satu hal yang pasti, kita tidak dapat memaksakan cara kerja
kita kepada setiap orang di dalam tim. Perlu kepekaan guna melihat ber-
bagai masalah yang timbul dalam tim. Kehadiran ketua diperlukan di saat-
saat terjadinya konflik untuk mencegah terjadinya perpecahan.
Sebelum tiba pada kesimpulan bahwa Sangihe adalah gerbang utara
Nusantara, masih banyak hal yang harus diteliti dan masih banyak pula
fenomena yang mesti diverifikasi. Butuh waktu tentu saja, juga integrasi
antarbidang keilmuan guna membuktikan hipotesis tersebut. Di saat tun-
tutan zaman semakin tinggi terhadap hasil instan, sebuah keniscayaan
ketika kita sebagai peneliti tidak melibatkan ilmu-ilmu yang bergerak di
bidang sinematografi seperti Himakomsi. Masyarakat hari ini dan masa
depan merupakan masyarakat yang haus akan informasi, tetapi mereka
hanya akan tertarik dengan informasi yang dikemas secara menarik.
Ucapan terima kasih selaku Tim Ekspedisi Budaya Maritim Sangihe
kami berikan kepada teman-teman Arkeologi UGM, Antropologi UGM,
Sejarah UGM, dan Himakomsi UGM yang telah bersama-sama berdina-
mika dalam penelitian ini. Nampaknya, proyek ini masih memiliki jalan
panjang ke depannya. Siap berkolaborasi lagi kan? Akhir kata, saya selaku
koordinator lapangan mengucapkan “Sampai jumpa di ekspedisi Sangihe
selanjutnya!”
117
Dok. UMCE 2017
118

Rekam Beku Hidup Sangihe


Dalam Bingkai Ekspedisi

Teks oleh: Fuad Anshori


Editor: Umar Hanif Al Faruqy
119

Dok. UMCE 2017

Sebagai salah satu ikon yang melekat


pada Kapubaten Kepulauan Sangihe, Tu-
gu Malahasa telah berpuluh-puluh tahun
tegak berdiri di sudut kota ini. Menjadi-
kan setiap pengunjung dari luar pulau
untuk mengingat sejarah tentang pulau
penghasil kopra. Ya, Sangihe memang su-
dah sejak berpuluh-puluh tahun lalu dike-
nal sebagai penghasil kopra, daging buah
kelapa yang dikeringkan dan selanjutnya
dapat diolah menjadi minyak kelapa. Tu-
gu Malahasa sebagai sentral poin bagi
mobilisasi masyarakat di Kota Tahuna, se-
cara tidak langsung telah memberikan ru-
ang ventilasi bagi kegiatan sosial dan eko-
nomi di pusat kota.

Dok. UMCE 2017

Pusat Kota Tahuna tampak dari Puncak Pusunge, salah satu puncak
yang ada di Kepulauan Sangihe.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 120

Dok. UMCE 2017

Boulevard Tahuna memanjang mengikuti garis pantai. Menjadi tempat


menarik untuk menikmati keindahan laut dan sunset pada saat sore
hari. Masyarakat banyak menghabiskan waktu sore untuk duduk-du-
duk di trotoar dan anak-anak kecil memainkan layang-layang di sepan-
jang jalan ini, karena memang mobilitas kendaraan yang tidak terlalu
ramai.

Dok. UMCE 2017

Menikmati ombak dan angin sembari bercerita.


121

Menengok
Pulau
Dok. UMCE 2017 Bebalang.

Dok. UMCE 2017

Selain kopra, pala juga banyak tumbuh di Sangihe, meski kini tidak
sebegitu dicari seperti pada abad ke-15. Dahulu, bangsa Eropa berbon-
dong-bondong mencari pulau rempah, dimulai dengan ekspedisi
Magellan dan dilanjutkan oleh ekspedisi-ekspedisi lain yang telah me-
renggut banyak korban jiwa. Di sisi lain, ekspedisi-ekspedisi tersebut
telah menuntut terciptanya ilmu navigasi, pemetaan, dan penciptaan
ramuan obat karena banyaknya penyakit seperti skorbut dan disentri.
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 122

Dok. UMCE 2017

Dua orang nelayan dari Lapango berangkat untuk mencari ikan ke laut
menggunakan perahu jenis pump boat. Sebuah kapal yang banyak ter-
dapat di Sangihe dengan ciri khas tertentu.

Dok. UMCE 2017

Ibu-ibu di Kampung Lapango sedang mengumpulkan ikan dari hasil


tangkapan nelayan. Menjualnya kembali untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi selain pala.
123

Dok. UMCE 2017

Alat musik asli Sangihe ditampilkan pada kegiatan-kegiatan upacara


tertentu dan dimainkan oleh masyarakat. Alat musik ini menggunakan
bahan bambu yang dirangkai menjadi instrumen musik serupa seruling
kecil dan besar serta terompet. Tidak heran jika Sangihe dijuluki se-
bagai “Negeri Seribu Nyanyian” karena memang banyak alat musik dan
lagu yang tercipta dari masyarakat Sangihe.
124

Awak

Cerita dari Beranda Negeri


125

Sultan Kurnia A.B.


Penggagas ekspedisi, anggota tim bawah air, dan
penulis buku Cerita dari Beranda Negeri
Sebagai follow up hasil ekspedisi Sangihe tahun 2017,
awardee beasiswa (S2 dan S3) dari Taoyaka Program
Jepang ini, mempunyai rencana penelitian pelestari-
an kapal karam Jepang di Sangihe. Mahasiswa Arkeologi angkatan 2012
ini selalu mengatakan bahwa menulis adalah tugas wajib mahasiswa
arkeologi setelah berpetualang melakukan penelitian lapangan. Jika ingin
mengenal Sultan lebih lanjut, Anda dapat menjumpainya di
sultankurnia.blogspot.com atau email: Sultankurnia@mail.ugm.ac.id

Natasha Devanand
Sebagai penulis
Dalam ekspedisi ini, berperan sebagai antropolog
want to be serta mencoba menjadi bagian kecil dari
masyarakat Sangihe yang penuh toleransi. Seorang
mahasiswi jurusan Antropologi Budaya, Universitas
Gadjah Mada angkatan 2015. Anda dapat menjumpai saya dengan me-
ngirimkan email berupa kritik, masukan, curhat, dsb. di natunatasha513
@gmail.com. Sampai jumpa :)

Dwi Kurnia Sandy


Sebagai penulis
Saat ekspedisi, saya berperan jadi tukang ngatur dan
nyusun (dalam bahasa gampangnya koordinator la-
pangan) agenda kegiatan dari praacara sampai pas-
caekspedisi. Sekarang lagi giat berlatih supaya jadi
atlet freediving. Lagi sibuk ngurusin Komunitas Malamuseum Yogyakarta
dan belajar Burial. Gak suka nulis, sukanya cuma makan. Email:
dksandy22@gmail.com
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 126

Muhamad Destrianto
Sebagai penulis
Dalam pelakasanaan UGM Maritime Culture
Expedition (UMCE) 2017 bertugas sebagai Hubungan
Masyarakat (HUMAS). Berproses dan belajar meru-
pakan hal yang pasti akan dihadapi dalam hidup.
Menjadi mahasiswa Arkeologi contohnya, mempelajari ‘masa lalu’ yang
kadang dianggap tidak terlalu penting adalah tantangannya. Di samping
pertanyaan seputar dinosaurus yang ditanyakan oleh para kolega di
Padang, cerita tentang pencari harta karun, ataupun tentang pekerjaan
setelah tamat kuliah nantinya yang selalu mengganggu. Namun itu semua
bagian dari hal-hal yang menyenangkan dalam dunia arkeologi. Kalau
tidak percaya maupun punya rasa ingin tahu yang lebih tentang cerita
menjadi mahasiswa arkeologi, bolehlah kita ngobrol santai atau bertukar
pikiran dalam diskusi dan tidak ada guru di antara kita nantinya, soalnya
saya juga masih belajar. Silakan kontak melalui email di mhddestrianto
@gmail.com. Selain menggemari dunia arkeologi, saya juga menggemari
Juventus, sebuah klub sepakbola dari Italia yang kini sedang menunggu
datangnya Piala “Si Kuping Besar”.

Lengkong Sanggar Ginaris


Sebagai penulis
Lahir di Purworejo, 6 November 1995. Pada tahun
2017, ia berhasil menuntaskan studinya di Departe-
men Arkeologi Universitas Gajah Mada. Ia memiliki
hobi yang cukup aneh untuk remaja seusianya; ber-
buru bangunan Indis dan makam Belanda tua. Dokumentasi perburuan-
nya dapat dilihat di akun Instagramnya lengkong_sanggar dan buah pikir-
nya dapat dibaca di blognya jejakkolonial.blogspot.com
127

Fuad Anshori
Sebagai penulis
Berperan sebagai penulis di salah satu tulisan di buku
ini. Pada kegiatan UMCE tahun lalu diamanahi seba-
gai koordinator tim ekspedisi. Mahasiswa departe-
men arkeologi angkatan 2015 yang masih mencari
tahu bagaimana bangunan disebut sebagai bangunan tradisional dan ba-
gaimana bangunan disebut sebagai bangunan modern? Hehehe. Mung-
kin tergantung sudut pandang masyarakat tertentu terhadap suatu ba-
ngunan karena kebudayaan selalu berkembang. Bahkan bangunan yang
dulu disebut modern bisa jadi di masa yang akan datang disebut tradi-
sional. Belajar di jurusan Arkeologi memang menyenangkan (tidak hanya
di arkeologi mungkin ya), di mana kita harus menciptakan suatu masalah
dan menjawab permasalahan tersebut. Sila kontak fuadanshori90
@gmail.com jika ingin ngobrol santai.

Sandy Maulana Yusuf


Sebagai editor
Berperan sebagai tukang sunting di buku Catatan dari
Beranda Negeri. Sandy percaya, masuk prodi arkeo-
logi adalah jalan (yang semoga) tepat untuk meng-
gapai cita-cita menjadi jurnalis di National Geo-
graphic. Masih belajar soal jurnalistik di BPPM Balairung UGM. Bila ingin
ngobrol-ngobrol santai, sila kontak sandymaulanay@gmail.com. Ciao!
CERITA DARI BERANDA NEG ERI 128

Wulandari Retnaningtiyas
Sebagai editor, desainer grafis dan penata letak
Juga berperan sebagai proofreader dalam penyusun-
an buku ini. Selain ingin belajar menulis yang baik,
juga ingin belajar mengembangkan kemampuan da-
lam bidang desain grafis. Jika berkenan berbagi ilmu
menulis dan desain grafis, ditunggu kontak lebih lanjut melalui email
wulan.retnaningtiyas@gmail.com

Umar Hanif Al Faruqy


Sebagai editor, desainer grafis dan penata letak
Tidak ikut ekspedisi, tetapi mendapat kepercayaan
untuk membantu meyelesaikan buku ini. Hanya se-
orang mahasiswa program studi Arkeologi angkatan
2012 yang sangat butuh banyak belajar. Cukup senang
menulis dan nyaris selalu senang ketika mendapat kerja untuk mendesain
poster ilmiah atau segala jenis publikasi ilmiah lainnya. Buku ini juga salah
satunya. Email? marhaniv@gmail.com
131

Anda mungkin juga menyukai