Anda di halaman 1dari 96

STATUS MAHAR DALAM PERCERAIAN QABLA DUKHUL

(PERBANDINGAN PANDANGAN IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Hukum

Pada Prodi Perbandingan Mazhab

Oleh:

MUHAMMAD DONI
1813020006

PRODI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

1444 H/2022 M
HALAMAN PERSEMBAHAN

‫ميحرلا نمحرلا هللا‬ ‫بسم‬

‫احلمد هلل الذي قد اخرخا نتائج الفكر الرابب احلجا وحط عنهم من مساء العقل كل‬

‫حجاب من سحاب اجلهل‬

Alhamdulillahi rabbil’alamiin.. Segala puji bagi Allah Ta’ala, Tuhan


pemilik alam semesta ini, tiada daya kita sebagai manusia melainkan nikmat
yang diberikan oleh Allah kepada kita, kepada Allah kita minta ampun dan
kepada Allah kita memohon pertolongan. Allah juga mengutus para Rasul-
Nya untuk mengajarkan kita bagaimana beribadah dan bersyukur serta
panutan kita dalam melakukan amalan sehari-hari. Kita tidak bisa melakukan
apa-apa selain bersyukur dan bertaqwa kepada Allah terhadap apa yang ada
pada diri kita ini.

Karya ku ini pertama kali aku persembahkan teruntuk kedua orang tuaku
bapak dan amak

berkat dukungan dan do’a dari beliaulah perjuanganku dalam menuntut ilmu
dari sekolah dasar hingga tingkat perguruan tinggi ini

aku sangat berterima kasih kepada bapak dan amak terlebih lagi di antara
ketiga anak amak hanya akulah yang sampai melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi

teruntuk guru-guruku dan pribadi yang telah mengajarkan aku mulai dari
tulis baca semoga ilmu yang telah engkau ajarkan bernilai pahala di sisi-Nya
dan menjadi ilmu yang bermanfaat

ucapan terimakasih juga teruntuk uda dan uni sebagai kakak kandung yang
selalu mendukung adikmu untuk giat dalam menjalani perkuliahan ini

i
ucapan terimaksih selanjutnya kepada kawan-kawan Himpunan Mahasiswa
Prodi Perbandingan Mazhab (HMP PM)

kawan-kawan seperjuangan PM yang selalu saling ingat mengingatkan


diantara kita,

semoga persahabatan kita tidak hanya sampai di sini, namun hingga


selamanya sesuai harapan penulis

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna karena
masih banyak kekurangan-kekurangan akibat kelemahan dan ketidaktahuan
penulis.

Oleh karena itu, penulis berharap mudah-mudahan Allah Ta’ala


mengampuni terhadap kesalahan dan kekhilafan dari penulis. Setidaknya
sedikit ada juga bermanfaat bagi pembaca dan mohon maaf atas segala
kekurangan dan kesalahan.

Penulis,

Muhammad Doni
NIM. 1813020006

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “STATUS MAHAR DALAM PERCERAIAN QABLA


DUKHUL (PERBANDINGAN PANDANGAN IMAM MALIK DAN IMAM
SYAFI’I)”, yang disusun oleh Muhammad Doni, NIM 1813020006,
mahasiswa Prodi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol
Padang, dinyatakan telah memenuhi persyaratan ilmiah dan dapat disetujui
untuk diajukan ke sidang Munaqasyah.

Demikian persetujuan ini diberikan untuk dapat dipergunakan


sebagaimana mestinya.

Padang, 8 Juli 2022

Disetujui Oleh,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Zulfikri, MA Neni Yuherlis, M.H


NIP. 19571119 198703 1001 NIP.19861216 201903 2011

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul Status Mahar Dalam Perceraian Qabla Dukhul


(Perbandingan Pandangan Imam Malik Dan Imam Syafi’i, yang disusun
oleh Muhammad Doni, NIM. 1813020006 Prodi Perbandingan Mazhab
Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang telah memenuhi persyaratan
ilmiah dan diperbaiki sebagaimana kritikan dan saran dari Tim Penguji
Sidang Munaqasyah.

Disahkan di : Padang

Tanggal : 2 Agustus 2022

Tim Penguji Sidang Munaqasyah

Dr. Ikhwan, S.H., M.Ag


NIP.19700718199503 1001
Penguji I

Dr. Bakhtiar, M.Ag


NIP.19760709200710 1002
Penguji II

Dr. Zulfikri, M.A


NIP. 19571119 198703 1001
Penguji III/Pembimbing I

Neni Yuherlis, M.H


NIP.19861216 201903 2011
Penguji IV/Pembimbing II

iv
PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan bahwa sejauh yang diketahui, dalam


skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi. Dan sepanjang pengetahuan
saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, melainkan yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar kepustakaan.

Padang, 2 Agustus 2022

Yang menyatakan,

Muhammad Doni
NIM. 1813020006

v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Muhammad Doni
NIM : 1813020006
Program Studi : Perbandingan Mazhab
Judul Skripsi : Status Mahar Dalam Perceraian Qabla Dukhul

(Perbandingan Pandangan Imam Malik Dan Imam


Syafi’i)

Dengan ini menyatakan persetujuan publikasi karya ilmiah untuk


kepentingan akademis pada Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang.

Padang, 2 Agustus 2022

Yang Menyatakan,

Muhammad Doni
NIM. 1813020006

vi
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah SWT yang telah


melimpahkan karunia dan nikmat-Nya kepada penulis untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Status Mahar Dalam Kasus
Perceraian Qabla Dukhul (Perbandingan Pandangan Imam Malik Dan
Imam Syafi’i).

Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi sebagian persyaratan


untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) Program Strata Satu (S1) pada
Prodi Perbandingan Mazhab Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang.
Ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada Ayah tercinta Daman Huri
dan Ibu Tercinta Asnidar, selanjutnya kakak tercinta Dedi Yanto dan Desi
Andespa dan seluruh keluarga besar penulis. Ucapan terimaksih yang
sebesar-besarnya Penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam menyelesaikan
skripsi ini kepada:

1. Rektor UIN Imam Bonjol Padang, Ibu Prof. Dr. Martin Kustati, M.Pd
dan kepada Wakil Rektor I Bapak Dr. Yasrul Huda, MA dan kepada
Wakil Rektor II Bapak Testru Hendra, M.Ag dan Wakil Rektor III
Bapak Welhendri Azwar, M.Si, Ph.D serta seluruh jajarannya.
Kemudian Dekan Fakultas Syari’ah, Bapak Dr. Ikhwan, SH, M.Ag
serta Wakil Dekan I Bapak Dr. Abrar, M.Ag dan Wakil Dekan II Ibu
Azhariah Khalida, M.Ag dan Wakil Dekan III Ibu Ridha Mulyani, SH,
MH kemudian Bapak Alfadli, M.Ag dan Bapak Aidil Aulya, S.H.I.,
M.A. Hk selaku Ketua dan Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab
yang telah membimbing dan menasehati penulis dalam menjalani
studi di kampus ini.
2. Ibu Dr. Asrina, M.Ag selaku Dosen Penasehat Akademik, Bapak Dr.
H. Zulfikri., MA selaku pembimbing I, Ibu Neni Yuherlis, MH selaku
pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran
untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak dan Ibu seluruh Dosen Fakultas Syari’ah yang telah
memberikan semua ilmu dan pengalaman yang sangat bermanfaat
bagi penulis selama menuntut ilmu di UIN Imam Bonjol Padang,
serta seluruh karyawan/ti dan segenap civitas akademika Fakultas
Syari’ah.
4. Pimpinan perpustakaan Universitas dan Pimpinan perpustakaan
Fakultas beserta jajarannya yang telah memfasilitasi penulis dalam
mengumpulkan sumber-sumber dalam penulisan skrpsi ini.
5. Teman-teman Prodi Perbandingan Mazhab yang sama-sama
berjuang dan menulis skripsi dan saling membantu dalam
pencarian sumber terkait demi selesainya skripsi ini.

vii
6. Teman-teman KKN Tematik Nagari Bukik Batabuah Kecamatan
Canduang, teman-teman Praktek Peradilan di Pengadilan Agama
Maninjau, teman-teman dari Resimen Mahasiswa (MENWA)
Batalyon 103 Mahasakti UIN IB Padang, keluarga Ikatan
Mahasiswa Sri Antokan (IMSA) Kab. Agam, serta sahabat-sahabat
penulis terutama Ukhwatun Hasanah (Rizky Ramadhana, Azmi
Noris, Haryuni Husna, Rahmeza Putri, Qorry A’yuna Putri) dan
sahabat penulis khususnya kepada Aknes Fitraloka, Yosi Muliardi,
Zulhairi, Melin Sari Narti, Dinda Asrona, Suci Yani, Jenofri Mardian,
Alvino Sandra, Betalia Hasmi, Nadia Surtika, Lathifah, Tegar
Mayukho Rifa’i, Ardiansyah, M. Hasbi Mukhlis, Mhd. Ilham Armi,
Asna Melinda, dan teman-teman yang sepergaulan dengan penulis.

Akhirnya penulis memohon kepada Allah SWT semoga


menjadikan apa yang telah penulis lakukan bernilai ibadah dan hanya
mengaharab Ridho-Nya dan bermanfaat di dunia dan akhirat. Dan do’a
penulis untuk semua pihak yang telah berpartisipasi secara lansung
maupun tidak lansung, semoga Allah membalasi semua kebaikannya.
Harapan penulis semoga karya tulis ini bermanfaat bagi yang
membacanya terutama bagi penulis, Aamiin.

Padang, 2 Agustus 2022

Penulis,

Muhammad Doni
NIM. 1813020006

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Sistem transliterasi yang digunakan disesuaikan dengan SKB Menteri


Agama dan Menteri Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor : 158
tahun 1987 dan nomor : 0543/u/1987, kecuali pengecualian yang dipandang
perlu.

ARAB LATIN ARAB LATIN


Tidak ‫ط‬ Th
‫ا‬
dilambangkan

‫ب‬ B ‫ظ‬ Zh

‫ت‬ T ‫ع‬ ‘

‫ث‬ Ts ‫غ‬ Gh

‫ج‬ J ‫ف‬ F

‫ح‬ H ‫ق‬ Q

‫خ‬ Kh ‫ك‬ K

‫د‬ D ‫ل‬ L

‫ذ‬ Dz ‫م‬ M

‫ر‬ R ‫ن‬ N

‫ز‬ Z ‫و‬ W

‫س‬ S ‫ه‬ H

‫ش‬ Sy ‫ء‬ ‘

‫ص‬ Sh ‫ي‬ Y

‫ض‬ Dh

ix
Catatan :

a. Vocal Tunggal (Monoftong)


(َ) (fathah)= a, misalnya (‫ )جحد‬di tulis jahada
b. Vocal Rangkap (Diftong)
(َ) (kasrah)= i, misalnya (‫ )سئل‬ditulis suila
c. Vocal Panjang (Maddah)
(َ) (dhommah) = u, misalnya (‫)روي‬
d. Ta Marbuthah (‫)ة‬
Ta Marbuthah hidup atau mendapat harkat fathah, kasrah dan
dhammah, transliterasinya adalah /t/, misalnya : (‫=)الشريعة المطهرة‬
ditulis al-syariat al-muthaharah.
e. Syaddah (tasydid)
Syaddah yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan tanda
(َ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yakni huruf
yang sama dengan mendapat tanda syaddah, misalnya (‫ مجدد‬,‫)مقدمة‬
ditulis muqaddimah, mujaddid.
f. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam system penulisan Arab dilambangkan
dengan huruf (‫ )ال‬transliterasinya adalah /al/, misalnya (‫ )القول‬ditulis
al-qaul.
g. Hamzah
Untuk hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata
ditransilasikan apostrof. Adapun hamzah yang terletak diawal kata
tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab, huruf hamzah menjadi
alif, misalnya (‫ اليه‬,‫ امناء‬,‫ )ائمة‬ditulis a’immah, ummana’, ilaih.

Pengecualian:

a. Nama atau kata yang dirangkai dengan kata Allah, ditulis menjadi
satu, seperti (‫ )عبد هللا‬ditulis abdullah, (‫ )الي هللا‬ditulis ilallah.

x
b. Untuk kata yang diserap secara baku dalam bahasa Indonesia, ditulis
dengan ejaan Indonesia seperti: (‫ )صالة‬ditulis shalat, (‫ )حديث‬ditulis
hadits.
c. Untuk nama-nama kota yang sudah populer tersebut seperti (‫)قاهرة‬
ditulis cairo, (‫ )دمشق‬ditulis damaskus, (‫ )يردن‬ditulis yordania.

xi
ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Status Mahar Dalam Perceraian Qabla Dukhul


(Perbandingan Pandangan Imam Malik Dan Imam Syafi’i), Penulis:
Muhammad Doni, NIM. 1813020006 Prodi Perbandingan Mazhab.
Adapun yang penulis maksud dengan judul diatas adalah mengkaji,
menelaah, dan menganalisis perbedaan pendapat antara Imam Mazhab.
Pembahasan ini dilatarbelakangi karena adanya perbedaan pendapat antara
Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ketentuan mahar bagi orang yang
bercerai sebelum melakukan hubungan badan (dukhul). Imam Malik
berpendapat bahwa jika terjadi perceraian Qabla Dukhul maka suami tidak
boleh meminta mahar kembali kepada istri dengan alasan bahwa Imam Malik
memandang kepada ain (benda) dari mahar itu sendiri, yaitu telah di
serahkan kepada pihak istri ketika akad nikah dan dia telah memiliki mahar
itu semuanya. Sedangkan menurut Imam Syafi’i berpendapat bahwa jika
terjadi perceraian Qabla Dukhul suami boleh meminta kembali kepada
istrinya setengah mahar, dengan alasan Imam Syafi’i berpendapat bahwa ada
ketentuan gugurnya mahar dalam beberapa keadaaan, baik gugur
keseluruhan, maupun gugur sebagian, kemudian alasan secara umum mahar
yang telah diberikan kepada istri telah menjadi hak dan tanggungannya,
maka boleh saja suami meminta kepada istri asalkan pihak istri redha dan
mau memberikan kepada suaminya tersebut. Rumusan masalah dalam
skripsi ini adalah bagaimana status mahar dalam kasus perceraian Qabla
Dukhul menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i? yang menjadi pertanyaan
penelitian dalam skripsi ini adalah Kenapa Imam Malik dan Imam Syafi’i
berbeda pendapat tentang status mahar dalam perceraian Qabla Dukhul ?
Manakah pendapat yang paling rajih dari pendapat Imam Malik dan Imam
Syafi’i mengenai status mahar dalam perceraian Qabla Dukhul ? Jenis
penelitian ini adalah dalam bentuk studi kepustakaan (literature study)
dengan mengacu kepada kitab-kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan
pembuatan skripsi ini yang di ambil dari bahan-bahan tertulis dan juga
diambil dari literatur lainnya yang sesuai. Dalam hal ini penulis
mengumpulkan segala persoalan yang ditemukan terkait dengan tema
penelitian ini. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan maka penulis
menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya perbedaan pendapat adalah
berbeda dalam menggunakan dalil dan berbeda dalam menetapkan hukum.
Pendapat yang rajih menurut analisis penulis adalah pendapat Imam Syafi’i
karena pendapat ini lebih rajin dan tidak memandang kepada satu sebab saja
melainkan dari beberapa keadaan serta ada ketentuan mahar itu bisa gugur
dengan beberapa keadaan.

Kata Kunci: Mahar, Perceraian, Qabla Dukhul

xii
ABSTRACT

This thesis is entitled "The Status of Dowry in the Divorce of Qabla


Dukhul (Comparison of the Views of Imam Malik and Imam Syafi'i),
Author: Muhammad Doni, NIM. 1813020006 School Comparison Study
Program. As for what the author means by the title above is to examine,
examine, and analyze the differences of opinion between the Imams of the
Schools. This discussion is motivated by differences of opinion between
Imam Malik and Imam Syafi'i regarding the dowry provisions for divorced
people before having sexual relations (dukhul). Imam Malik is of the opinion
that if there is a divorce of Qabla Dukhul , the husband should not ask for the
dowry back to the wife on the grounds that Imam Malik looks at the ain
(object) of the dowry itself, which has been handed over to the wife during
the marriage contract and she already has the dowry. everything. Meanwhile,
according to Imam Shafi'i, he is of the opinion that if there is a divorce in
Qabla Dukhul , the husband may ask his wife to return half of the dowry, on
the grounds that Imam Shafi'i is of the opinion that there is a provision for
the dowry to fall in several circumstances, either in whole or in part, then the
general reason is The dowry that has been given to the wife has become her
right and responsibility, then it is permissible for the husband to ask the wife
as long as the wife is happy and wants to give it to her husband. The
formulation of the problem in this thesis is what is the status of the dowry in
the divorce case of Qabla Dukhul according to Imam Malik and Imam Syafi'i?
The research question in this thesis is Why do Imam Malik and Imam Syafi'i
have different opinions about the status of the dowry in the divorce of Qabla
Dukhul ? Which is the most thorough opinion of Imam Malik and Imam Shafi'i
regarding the status of the dowry in the divorce of Qabla Dukhul ? This type
of research is in the form of a literature study with reference to books and
books related to the making of this thesis which are taken from written
materials and also taken from other appropriate literature. In this case the
author collects all the problems found related to the theme of this research.
Based on the research that the writer did, the writer concludes that the
causes of differences of opinion are different in using the argument and
different in establishing the law. The opinion that is rajih according to the
author's analysis is the opinion of Imam Shafi'i because this opinion is more
diligent and does not look at one cause only but from several circumstances
and there is a provision that the dowry can fall under several circumstances.

Keywords: Dowry, Divorce, Qabla Dukhul

xiii
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………………………….... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………………...….... iii

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………………………. iv

PERNYATAAN ORINALITAS……………………………………………………….………... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIYAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS……………………………………………………... vi

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..….... vii

PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………………………….…. ix

ABSTRAK…………………………………………………………………………………………..… xii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………….... xiv

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang………………………………………………………………..… 1


1.2. Rumusan Masalah…………………………………………………………...… 6
1.3. Pertanyaan Penelitian……………………………………………………...... 7
1.4. Tujuan Penelitian…………………………………………………………...…. 7
1.5. Signifikansi Penelitian………………………………...………………...…... 7
1.6. Studi Literatur…………………………………………………………….......... 7
1.7. Landasan Teori……………………………………………..………………… 10
1.8. Metode Penelitian…………………………………………..……………….. 15

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG MAHAR DAN PERCERAIAN

2.1. Mahar

2.1.1. Pengertian Dan Dasar Hukum Mahar………………..……. 17

xiv
2.1.2. Syarat Mahar……………………………………………………….... 20
2.1.3. Bentuk, jenis dan nilai mahar……………………………...…. 21
2.1.4. Ukuran Mahar…………………………………………………..…... 24
2.1.5. Macam-macam Mahar………………………………………..…. 25
2.1.6. Pendapat Imam Malik tentang Mahar………………..…… 27
2.1.7. Pendapat Imam Syafi’i tentang Mahar…………….…….... 30

2.2. Perceraian

2.2.1. Pengertian Perceraian………………………………..…………. 30


2.2.2. Hukum Perceraian…………………………………………..……. 31
2.2.3. Macam-Macam Perceraian…................................................. 32
2.2.4. Hikmah Perceraian………………………………..………………. 33
2.2.5. Pendapat Imam Malik tentang Perceraian…….….…….. 35
2.2.6. Pendapat Imam Syafi’i tentang Perceraian………..…… 36

BAB III : PROFIL IMAM MAZHAB

3.1 Profil Imam Malik………………………………………………………….....… 39


3.1.1. Riwayat Hidup Imam Malik…………………………...….....… 39
3.1.2. Kehidupan Imam Malik…………………………………….…… 40
3.1.3. Pendidikan Imam Malik………………………………..……..... 41
3.1.4. Guru-guru Imam Malik……………………………………....…. 42
3.1.5. Murid-murid Imam Malik…………………………...........…… 43
3.1.6. Karya Imam Malik…………………………………………...….... 46
3.1.7. Metode Istimbath Hukum Imam Malik………….............. 47

3.2 Profil Imam Syafi’i………………………………………………………...….… 52


3.2.1. Riwayat Hidup Imam Syafi’i…………………………………... 52
3.2.2. Pendidikan Imam Syafi’i………………………………………... 53
3.2.3. Guru-guru Imam Syafi’i…………………………………………. 55

xv
3.2.4. Murid-murid Imam Syafi’i……………………………………... 56
3.2.5. Pemikiran dan Karya Imam Syafi’i…………………………. 57
3.2.6. Fiqih Imam Syafi’i…………………………………………….……. 60
3.2.7. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i………………….… 61

BAB IV : PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I MENGENAI STATUS


MAHAR DALAM KASUS PERCERAIAN QABLA DUKHUL

4.1. Sebab perbedaan pendapat antara Imam Malik dan


Imam Syafi’i.................................................................................................. 63
4.2. Analisis penulis terhadap pendapat yang rajih mengenai
status mahar dalam kasus perceraian Qabla Dukhul ................. 69

BAB V : PENUTUP

5.1. Kesimpulan…………………………………………………..…………………. 73
5.2. Saran ………………………………………………………………..…………….. 74

KEPUSTAKAAN…………………………………………………………………………...….….. 75

BIODATA PENULIS...............…………………………………………….…………………… 78

LAMPIRAN…………………………………………………………………….……………..…… 79

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Nikah menurut bahasa artinya “berkumpul menjadi satu”. Sedangkan


menurut Syara’ adalah “akad yang isinya pembolehan melakukan hubungan
badan dengan memakai lafaz nikah atau tazwij”. Menurut pendapat yang
shahih, bahwa kata “nikah” itu secara makna hakikat adalah “akad” ,
sedangkan majaznya “persetubuhan”. (Al-Malibari, 1993, hal. 1)

Ketentuan mengenai terlaksananya akad nikah dengan baik tetap


mempunyai kedudukan yang sangat menentukan. Untuk sah atau tidaknya
sebuah pernikahan, mestilah memenuhi rukun-rukunnya. Di antara rukun
nikah adalah:

1. Adanya pengantin laki-laki dan perempuan


2. Kewajiban membayar maskawin atau mahar
3. Harus hadirnya wali dari calon mempelai perempuan
Ada beberapa syarat untuk laki-laki untuk menjadi wali dalam nikah, yaitu
muslim, aqil dan baligh. (Moh.Rifa'i, 1978, hal. 462)
4. Disaksikan oleh dua orang saksi
Hal ini merupakan suatu yang sangat penting untuk kemaslahatan kedua
mempelai, dan juga sebagai kepastian hukum untuk masyarakat umum,
demikian juga baik suami maupun istri. (Moh.Rifa'i, 1978, hal. 462)
Sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda:

ِ ِ ‫ َال نِ َك‬: ‫ال‬


َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صلَّى‬
ِِّ‫اح ا َّال ب َو‬
‫ل‬ َ ُّ ِ‫ اَ َّن الن‬: ‫عن عائشة اهنع هللا يضر قال‬
َ ‫َِّب‬
,‫ك‬ َ ِ‫اح َعلَى غَ ِْْي ذَل‬ِ ‫اى َد ْي َع ْد ٍل َوَما َكا َن ِم ْن نِ َك‬
ِ ‫و َش‬
َ

1
2

Artinya: “ Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang
adil, pernikahan yang bukan demikian maka batal”. (Al-Mulaqqan, hal.
363-364)

Tanpa adanya wali dan dua orang saksi yang adil maka nikah
seseorang tidak sah atau batal.

5. Adanya ijab dan qabul

Ijab dan qabul adalah ucapan inti dalam sebuah pernikahan. Ijab adalah
ucapan wali dari pihak perempuan, sedangkan qabul adalah ucapan
mempelai laki-laki. Qabul berarti menerima yaitu menerima aqad yang
disampaikan oleh wali dari si perempuan. (Moh.Rifa'i, 1978, hal. 453)

Dalam pengertian yang lebih luas, pernikahan merupakan suatu


ikatan lahir antara dua orang, laki-laki dan perempuan, untuk hidup
bersama-sama dalam satu rumah tangga dan mengharapkan keturunan yang
dilansungkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Syari’at Islam. (Moh.Rifa'i,
1978, hal. 453).

Oleh karena itu, tujuan dari pernikahan adalah membentuk tatanan


keluarga dan keturunan sesuai dengan ajaran Islam. Pada dasarnya
pernikahan itu diperintahkan atau dianjurkan oleh Syara’. (Moh.Rifa'i, 1978,
hal. 454).

Firman Allah SWT. :

.ً‫ع فَِا ْن ِخ ْفتُ ْم اََّال تَ ْع ِدلُْوا فَ َو ِح َدة‬ َ َ‫س ِاء َمثْ ََن َوثُل‬
َ ‫ث َوُرَاب‬ ِ ِ
َ ّ‫اب لَ ُك ْم م َن الن‬
ِ
َ َ‫فَانْك ُح ْوا َما ط‬

Artinya:

“… Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kami sukai, dua, tiga atau


empat, tetapi jika kamu tidak mampu berlaku adil, maka nikahilah satu saja…”
(QS: An-nisa’ ayat 3).
3

Dalam sebuah hubungan pernikahan sebagian kalangan masyarakat


adanya suatu perkara yang membuat hubungan pernikahan itu menjadi
renggang sehingga terjadilah suatu perceraian. Perceraian yaitu melepaskan
ikatan nikah dari pihak suami dengan mengucapkan lafadh tertentu,
misalnya suami berkata kepada isterinya: “Kamu telah kuthalaq ”, dengan
ucapan seperti ini ikatan nikah menjadi lepas, artinya suami istri menjadi
bercerai. (Moh.Rifa'i, 1978, hal. 483)

Studi ini mengangkat tema tentang mahar, yang mana terjadi


perbedaan pendapat antara Imam Malik dengan Imam Syafi’i mengenai
status mahar dalam perceraian Qabla Dukhul . Dalam persoalan itu Ulama
berbeda pendapat tentang seorang perempuan yang mengembalikan mahar
kepada suaminya, kemudian diceraikan Qabla Dukhul :

1. Imam Malik mengatakan bahwa suami tidak boleh meminta kembali


mahar kepada istrinya.
2. Imam Syafi’i mengatakan bahwa suami boleh meminta kembali
setengah mahar kepada istrinya. (Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtashid, 2016, hal. 47-48)

‫ مث طلقها‬,‫ أرأيت ان تزوج الرجل ادلرأة فوىبت لو صداقها قبل البناء هبا‬:‫قلت‬
‫ ال‬:‫ قال مالك‬:‫الزوج أيكون لو عليها من الصداق شيء ام ال يف قول مالك؟ قال‬
(Anas, 1994, hal. 153) .‫شيءللزوج عليها‬
”Aku bertanya: apakah menurutmu jika seorang laki-laki menikahi
seorang wanita dan dia memberinya mahar sebelum membangun bersamanya,
kemudian suaminya menceraikannya, apakah dia memiliki sesuatu dari
maharnya atau tidak, menurut Malik? Dia berkata: Malik berkata: tidak ada
sesuatu bagi suami atasnya (dari si istri)”.
4

‫ واذا أصدق الرجل ادلرأة داننْي او دراىم فدفعها اليها‬:‫قال الشافعي رمحة هللا عليو‬
‫ ومها يتصادقان‬,‫ والداننْي والدارىم قائمة ابعياهنا مل تغْي‬,‫مث طلقها قبل ان يدخل هبا‬
.‫على اهنا ىي أبعياهنا رجع عليها بنصفها‬
(Asy-Syafi'i, 2001, hal. 158)

“Imam Syafi’i berkata: Apabila seorang laki-laki memberikan mahar


kepada wanita berupa dinar atau dirham, dan mahar tersebut telah ia
serahkan kepada si wanita, kemudian ia menceraikannya sebelum dukhul,
sementara dinar atau dirham masih seperti semula tanpa ada perubahan dan
keduanya saling menyatakan bahwa dinar dan dirham belum berubah
sedikitpun, maka dia laki-laki berhak menuntut si wanita agar mengembalikan
seperdua dari mahar itu.” (Syafi'i, Ringkasan Kitab Al Umm, 2008, hal. 487)

‫واجلمهور على ان ادلرأة الصغْية واحملجورة ليس ذلا ان هتب من صداقها النصف‬
.‫ اال ان يعفوا‬: ‫ جيوز ان هتب مصْيا لعموم قولو تعاىل‬: ‫ وشذ قوم فقالوا‬,‫الواجب ذلا‬
.‫ يرجع عليها بنصف الصداق‬:‫ وقال الشافعي‬,‫ ليس يرجع عليها بشيئ‬: ‫فقال مالك‬
(Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal. 19)

“Jumhur berpendapat bahwa wanita yang masih kecil dan wanita yang
dalam perwalian tidak boleh mengembalikan maharnya yang telah menjadi
haknya. Sekelompok ulama berpendapat dengan pendapat yang aneh, mereka
mengatakan bahwa wanita itu boleh mengembalikan maharnya. Dalam
pembahasan ini mereka ulama berbeda pendapat tentang seorang wanita jika
mengembalikan mahar kepada suaminya yang diceraikan sebelum dukhul.
Menurut Imam Malik bahwa suami tidak boleh meminta kembali kepada
istrinya sedikitpun. Sedangkan menurut Imam Syafi’i boleh meminta kembali
kepada istrinya setengah dari mahar”. (Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtashid, 2016, hal. 47-48)
5

Inilah perkataan dari Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang perbedaan
pendapat mengenai status mahar terhadap kasus perceraian Qabla Dukhul .

Dalam kitab bidayatul mujtahid, pembahasan tentang mahar terdiri


dari 6 masalah:

Masalah pertama: Hukum dan rukun-rukun mahar.

Masalah kedua: Penetapan semua mahar milik istri.

Masalah ketiga: Pembagian Mahar.

Masalah keempat: Penyerahan dan hukumnya.

Masalah kelima: Mahar yang tidak sah.

Masalah keenam: Perselisihan suami-istri dalam mahar

(Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, 2016, hal. 32).

Berkenaan dengan ini, penulis tertarik dengan meneliti mengenai


mahar, yang mana terdapat perbedaan ulama terhadap ketentuan mahar
dalam masalah perceraian, apakah dalam perceraian Qabla Dukhul harus
mengembalikan mahar atau tidak?

Jadi, perceraian yang terjadi pada kasus ini adalah terhadap wanita
yang dicerai sebelum dukhul. Pada kondisi inilah Imam Malik dan Imam
Syafi’i berbeda pendapat mengenai status mahar dalam persoalan perceraian
yang terjadi Qabla Dukhul .

Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 237 Allah SWT berfirman:

َّ‫ضتُ ْم اِال‬ ْ ‫ف َما فَ َر‬


ُ ‫ص‬ ْ ِ‫ض ًة فَن‬
َ ْ‫ضتُ ْم َذلُ َّن فَ ِري‬ ُّ ََ‫َواِ ْن طَلَّ ْقتُ ُم ْو ُى َّن ِم ْن قَ ْب ِل اَ ْن َت‬
ْ ‫س ْو ُى َّن َوقَ ْد فَ َر‬
ِ‫ واِ ْن تَ ع ُفوا اَقْرب ل‬,‫اح‬ ِ ِِ ِ
‫س ُوا‬
َ ‫ن‬ْ َ‫ت‬ ‫ال‬
َ ‫و‬
َ ,‫ى‬ ‫و‬َ ‫ق‬
ْ ‫لت‬
َّ ُ َ ْ ْ َ ِ ‫اَ ْن يَّ ْع ُف ْو َن اَ ْو يَ ْع ُف ْوا الَّذ ْي بِيَده ُع ْق َدةُ النّ َك‬
ِ ‫اَّلل ِِبَا تَ ْعملُو َن ب‬ ِ
.‫صْي ٌر‬ َ َْ ََّ ‫ض َل بَ ْي نَ ُك ْم ا َّن‬ ْ ‫الْ َف‬
6

Artinya:

Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal
kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang
telah kamu tentukan kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan
oleh orang yang akad nikah ada di tangannya. Pembebasan itu lebih dekat
kepada taqwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh,
Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan. ( Q.S Al-Baqarah;237)

Ayat ini merupakan ketentuan untuk membayar seperdua bagi mahar


yang telah ditentukan yang belum dibayar sedangkan terjadi perceraian
sebelum dicampuri.

Ulama juga sepakat bahwa dalam perceraian yang diajukan oleh istri
kepada suami (khuluk) dengan membayar mut’ah atau ganti terhadap
terjadinya perceraian tersebut. Namun, dalam persoalan ini perceraian yang
terjadi adalah perceraian dari suami kepada istri (thalaq) yang terdapat
perbedaan pendapat pada furu’iyah dari perceraian itu.

Menurut kebiasan secara umum yang penulis temui di masyarakat,


ketika terjadi kasus perceraian Qabla Dukhul tidak adanya ketentuan yang
jelas terkait pengembalian mahar atau tidaknya. Namun, dalam persoalan ini
Imam Malik dan Imam Syafi’i berbeda pendapat tentang seorang wanita
yang telah di beri mahar namun di cerai sebelum digauli.

Berdasarkan persoalan perbedaan mengenai ketentuan mahar dalam


kasus perceraian ini, maka penulis menjadikan objek penelitian ini dengan
judul “STATUS MAHAR DALAM PERCERAIAN QABLA DUKHUL
(Perbandingan Pandangan Imam Malik Dan Imam Syafi’i)”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas, pokok masalah dalam penelitian ini


adalah bagaimana status mahar dalam kasus perceraian Qabla Dukhul
menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i?
7

1.3. Pertanyaan Penelitian


1.3.1. Kenapa Imam Malik dan Imam Syafi’i berbeda pendapat tentang
status mahar dalam hal perceraian Qabla Dukhul ?
1.3.2. Manakah pendapat yang paling rajih dari pendapat Imam Malik
dan Imam Syafi’i mengenai status mahar dalam perceraian Qabla
Dukhul ?

1.4. Tujuan Penelitian


1.4.1. Untuk mengetahui penyebab perbedaan pendapat antara Imam
Malik dan Imam Syafi’i mengenai status mahar dalam perceraian
Qabla Dukhul .
1.4.2. Untuk mengetahui pendapat yang rajih diantara kedua pendapat
tersebut.

1.5. Signifikansi Penelitian


Adapun manfaat yang dicapai dalam penelitian ini ialah :
1. Memberi manfaat bagi umat Islam terutama bagi masyarakat
awam yang belum memahami persoalan status mahar dalam kasus
perceraian.
2. Dapat dijadikan sebagai referensi mengenai ketentuan mahar
ketika terjadi perceraian terutama perceraian Qabla Dukhul dan
dapat menjadikan solusi mengenai perbedaan pendapat ulama.

1.6. Studi Literatur


1.6.1. Penelitian dalam bentuk skripsi oleh Nur Ilmi Wahab (2015)
Universitas Alauddin Makasar dengan judul: “Sengketa
Pengembalian Mahar Dalam Perceraian Qabla Dukhul Akibat
Ketidakmampuan Suami”. Rumusan masalahnya yaitu: bagaimana
ketetapan mengenai mahar dalam perceraian Qabla Dukhul ?
Sehingga hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa proses
penyelesaian sengketa pengembalian mahar dalam perceraian
Qabla Dukhul secara garis besar sesuai dengan peraturan
8

perundang-undangan yang berlaku di pengadilan agama. Dimana


dalam proses perceraian tersebut suami selaku tergugat konvensi
mengajukan gugatan tuntutan balik yaitu pengembalian mahar
berupa cincin emas 1,5 gram dan uang belanja sebesar 20 juta.
Kemudian dalam proses reprik-duplik istrinya menyanggupi
pengembalian mahar berupa cincin 1,5 gram. Kemudian majelis
hakim mengabulkan gugatan penggugat konvensi menjatuhkan
thalaq satu ba’in shugra tergugat konvensi. Jadi kesimpulannya
adalah bagi pihak yang bersengketa dalam perkara perceraian
terutama untuk suami sebaiknya tidak meminta kembali mahar
perkawinan dan uang belanja yang telah diberikan ketika
melakukan akad pernikahan berhubungan mahar itu sudah
merupakan hak si istri. Kemudian kepada penegak keadilan dan
hukum khususnya hakim, agar dalam memutus sebuah perkara
dapat memenuhi rasa keadilan di kedua belah pihak.
1.6.2. Penelitian dalam bentuk skripsi oleh Megawati (2020) IAIN
Parepare dengan judul: “Implikasi Pengembalian Uang Panai Pada
Perceraian Qabla Dukhul di Patampanua Kab. Pinrang”. Rumusan
masalahnya adalah bagaimana pengimplikasikan pengembalian
uang panai pada kasus perceraian? Sehingga hasil penelitiannya
adalah pada perceraian Qabla Dukhul pria biasanya meminta
kembali uang panai yang telah diberikan kepada wanita. Dalam
peraturan perundang-undangan hal tersebut tidak tercantum dan
hanya terdapat pada hukum adat. Pengembalian uang panai
memang seharusnya dilakukan jika terjadi perceraian, hal ini
dikarenakan pihak laki-laki mengalami beberapa kerugian di
karenakan perceraian Qabla Dukhul . Pihak laki-laki mengalami
kerugian dalam hal mahar yang telah di berikan, uang belanja
termasuk di dalamnya uang pesta. Selain itu, kerugian yang lebih
besar adalah ketika pihak wanita tidak menyukai pihak laki-laki.
9

Sehingga hasil penilitian ini dapat di simpulkan sebelum


keputusan pengembalian uang panai pihak keluarga wanita masih
berusaha membujuk anaknya. Pada perceraian Qabla Dukhul di
patam panua, pengembalian uang panai ada yang sepenuhnya dan
ada pula sebagian saja yang berdasarkan pihak laki-laki dan juga
ada inisiatif dari pihak wanita. Pengembalian uang panai pada
perceraian Qabla Dukhul di patam panua sudah termasuk dalam
maslahat.
1.6.3. Penelitian dalam bentuk skripsi oleh Sulaeman Jazuli (2012) IAIN
Wali Songo dengan judul skripsi: “Pandangan Hukum Islam
Terhadap Penarikan Kembali Harta Seserahan Pasca Perceraian
(Studi Kasus Di Desa Sindangjaya Kecamatan Ketanggungan
Kabupaten Brebes)”. Rumusan masalahnya adalah bagaimana
pandangan hukum islam mengenai penerikan kembali harta
seserahan (Mahar) pasca perceraian? Sehingga hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi penarikan kembali
harta seserahan (Mahar) pasca perceraian di desa Sindangjaya
adalah adat yang sudah di laksanakan dari jaman dulu. Adat ini di
kenal oleh masyarakat dan sebagian besar melaksanakan adat.
Dalam proses penarikan harta seserahan (Mahar) dengan cara
kekeluargaan dan musyawarah, dari pihak keluarga suami yang
mendatangi pihak keluarga istri sekaligus membagi harta
seserahan. Menurut pandangan islam tradisi ini adalah urf yakni
segala sesuatu baik berupa perkataan atau perbuatan yang di
laksanakan masyarakat secara berulang-ulang dan dikenal oleh
sebuah masyarakat. Melihat praktik urf ini maka dapat di
simpulkan bahwa tradisi yang ada di desa sindang jaya boleh
untuk di laksanakan karena tidak bertentangan dengan dalil
syara’ dan tidak menghalalkan yang haram juga yang tidak
mengaharamkan yang halal.
10

1.6.4. Penelitian dalam bentuk skripsi oleh M. Nurkholis Arya (2016)


UIN Raden Intan Lampung dengan judul skripsi: “ Pengembalian
harta sesan dan uang jujur dalam perkara perceraian perspektif
hukum islam”. Dengan rumusan masalah bagaimana ketetapan
pengembalian harta sesan dan uang jujur dalam perkera
perceraian perspektif hukum islam? Sehingga hasil penelitian ini
adalah bahwa hakim dalam memutus perkara perceraian dengan
pengembalian harta sesan dan penolakan pengembalian uang
jujur telah sesuai syariat islam. Pada penelitian ini peneliti
pengkiaskan pengembalian uang jujur dengan pembalian mahar,
yang mana apabila perceraian dan pihak suami meminta cerai,
maka istri tidak berkewajiban untuk mengembalikan mahar
tersebut. Maka keputusan hakim yang menolak mengabulkan
uang jujur sesuai syariat islam. Pengembalian harta sesan dalam
perkara perceraian di lihat dari salah satu maqosid syar iah yaitu
hifzu mal yang termasuk dalam kategori maslahat hajiyat yang
berada di bawah dhoruriyat dan tahsiniyat, karna dalam
pengembalian harta sesan tersebut dapat menjadi maslahat bagi
pihak termohon maupun anaknya.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah penulis paparkan


terkait pengembalian mahar dalam kasus perceraian Qabla Dukhul
tersebut, penulis berkesimpulan perlu adanya penelitian terhadap
pendapat dari Imam Mazhab, pada penelitian ini penulis meneliti
pendapat antara Imam Malik dengan Imam Syafi’i mengenai status
mahar dalam kasus perceraian Qabla Dukhul .

1.7. Landasan Teori

1.7.1. Mahar

Mahar dalam bahasa arab Shadaq. Asalnya isim masdar dari kata
ashdaqa, masdarnya isdaq di ambil dari kata shidqin (benar).
11

Dinamakan shadaq memberikan arti benar-benar cinta nikah dan


inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin.
(Azzam, hal. 251)

Mahar atau maskawin adalah suatu harta yang diberikan oleh


mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan saat pernikahan
berlansung.

Mahar merupakan salah satu faktor penting dalam suatu


pernikahan. Dalam buku Fiqh Islam Lengkap mahar adalah salah
satu syarat nikah. Mahar disebut juga dalam kitab nikah yaitu
kitab mahally bahwa tanpa mahar maka seseorang tidak
dibolehkannya melakukan hubungan dengan istrinya. Secara
istilah atau syara’ mahar merupakan sejumlah harta yang harus
dibayarkan oleh suami untuk halalnya berhubungan suami istri.

Dalam Islam, mahar dipandang sebagai bentuk penghargaan


terhadap kemuliaan seorang perempuan. Begitu tingginya posisi
perempuan sehingga mewajibkan bagi laki-laki yang hendak
menikahinya dengan memberikan mahar.

Suatu hukum dalam Islam terdapat perbedaan-perbedaan


pendapat mengenai status mahar terhadap kasus perceraian
Qabla Dukhul , seperti halnya dalam persoalan ini, timbul
perbedaan pendapat. Pertama, adanya pendapat yang
mengatakan bahwa mahar yang telah diberikan kepada istri jika
terjadinya perceraian maka tidak boleh meminta kembali, dan ada
pendapat yang mengakatan bahwa boleh minta kembali setengah
dari mahar yang telah diberikan pada akad nikah. Dalam hal ini
mereka ulama berbeda pendapat yaitu Imam Malik mengatakan
bahwa suami tidak boleh meminta kembali kepada istrinya.
Berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i bahwa beliau berpendapat
12

boleh meminta kembali kepada istrinya setengah mahar. (Rusyd,


Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, 2016, hal. 48)

1.7.2. Perceraian
Perceraian adalah melepaskan ikatan antara suami dengan istri
dalam suatu pernikahan yang sah dengan menggunakan lafadh
tertentu. Perceraian adalah perbuatan yang halal namun juga
suatu hal yang dibenci oleh Allah SWT.
Sebagaimana sabda Nabi SAW.

‫ عن حمارب بن داثر عن ابن عمر رضى هللا عنهما‬,‫جاء يف أليب داود‬


‫ رواه أبوداود‬.‫ ابغض احلالل اىل هللا الطالق‬:‫ قال رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬:‫قال‬
‫وابن ماجو‬
Artinya:
Dari Ibnu Umar semoga Allah meredhai keduanya berkata dia:
telah bersabda Rasulullah SAW: Sesuatu yang halal yang dibenci
oleh Allah adalah Thalaq (perceraian). H.R. Abu Dawud dan Ibnu
Majah.

1.7.3. Imam Malik


Imam Malik lahir di kota Madinah daerah Hijaz, menurut riwayat
yang masyhur, pada tahun 93 Hijriah (712 Masehi). Nama beliau
sejak kecil ialah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-Ashbahi.
Beliau merupakan keturunan bangsa Arab dari dusun Dzu Ashbah,
sebuah dusun di kota Himyar dan jajahan Negeri Yaman. (Chalil K.
M., 2016, hal. 85)
Semasa kecil beliau mampu membaca dan menghafal Al-Qur’an,
juga mampu mempelajari sunnah. Setelah dewasa, beliau belajar
kepada para ulama dan fuqaha di kota Madinah. Beliau
menghimpun pengetahuan yang di dengarnya dari mereka (ulama
dan fuqaha), menghafal pendapat-pendapat mereka, menaqal
13

atsar-atsar mereka, mempelajari dengan seksama pendirian-


pendirian atau aliran-aliran mereka, mengambil kaedah-kaedah
mereka.
Perlu diketahui, kakeknya Imam Malik merupakan pembesar
tabi’in dan ulama terkemuka. Beliau merupakan seorang pelajar
yang setia dalam menuntut ilmu pengetahuan. (Chalil K. M., 2016,
hal. 87).

1.7.4. Imam Syafi’i


Imam Syafi’i lahir pada bulan rajab tahun 150 Hijriah (767
Masehi). Menurut riwayat, pada tahun itu juga wafat Imam Hanafi
di Baghdad. Ibunya menamakan beliau “Muhammad”. Sementara
berselang beberapa hari kemudian tersiar berita dari Baghdad
yang menyebutkan bahwa Imam Hanafi telah wafat dan telah
dimakamkan di rashafah, baghdad sebelah timur. Imam Syafi’i
lahir di kampung Ghuzah, wilayah Asqalan yang letaknya di dekat
pantai lautan putih sebelah tengah palestina.
Sejak kecil, nama Imam Syafi’i adalah Muhammad. Silsilah beliau
dari nasab ayah ialah Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi’i bin
Saib bin abdu yazid bin Hasyim bin Abdul Mutahaib bin Abdu
Manaf. (Chalil K. M., 2016, hal. 166)
Imam Syafi’i ketika belajar senantiasa menderita kesukaran dan
kekurangan uang untuk membeli perlengkapan belajar, seperti
kertas, tinta, dan sebagainya. Beliau sering kali mencari tulang-
tulang dari jalan-jalan dan mengumpulkannya, guna menulis
diatasnya materi pembelajaran yang akan diperoleh dari guru
beliau, beliau kerap kali mendatangkan kantor pemerintahan
untuk mencari kertas-kertas yang tidak dipakai yang telah
dibuang ke dalam keranjang. Kertas-kertas itu dipilihnya yang
kiranya masih bisa dipergunakan untuk ditulis lalu diambilnya
14

dan dikumpulkannya, kemudian dipergunakan untuk menulis


catatan pelajaran yang diperolehnya. (Chalil K. M., 2016, hal. 171)
Ketika Imam Syafi’i berumur 10 tahun, Imam Syafi’i sudah hafal
dan mengerti kitab Al-muwattha’ karya Imam Malik. Ketika beliau
belajar ilmu hadits kepada Imam Sufyan bin Uyainah, sang guru
besar kagum kepada beliau. Beliaupun dapat menempuh ujian
ilmu hadits serta lulus mendapat ijazah ilmu hadits dari guru
besar tersebut. Pada waktu itu, beliau belum pernah berjumpa
dengan Imam Maliki, penyusun kitab Muwattha’. Pada umur 15
tahun beliau diberi izin oleh para guru untuk mengajar dan
memberi fatwa kepada masyarakat, maka beliau tidak keberatan
menduduki posisi guru besar dan mufti di masjidil haram di
Mekkah.

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah dalam bentuk studi kepustakaan
(literature study) dengan mengacu kepada buku-buku dan kitab-
kitab yang berkaitan dengan pembuatan skripsi ini yang di ambil
dari bahan-bahan tertulis dan juga diambil dari literatur lainnya
yang sesuai. Dalam hal ini penulis mengumpulkan segala
persoalan yang ditemukan terkait dengan tema penelitian ini.

1.8.2. Pendekatan Penelitian


Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif. Kualitatif adalah pendekatan yang
dilakukan secara utuh kepada subjek penelitian yang terdapat
sebuah peristiwa dimana peneliti menjadi intrumen kunci dalam
penelitian, kemudian hasil dari pendekatan tersebut diuraikan
dalam bentuk kata-kata. Sehingga menjadi tujuan dari penelitian
15

kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita pengalaman


dibalik pembahasan ini.

1.8.3. Jenis Data

Data primer
Data primer merupakan jenis data pokok. Pada uraian ini
data pokoknya adalah kitab-kitab sebagai sumber rujukan utama
dalam penulisan ini. Kitab yang dimaksud adalah kitab kuning
atau kitab klasik yang dari para ulama terdahulu yang termasuk di
dalamnya pendapat-pendapat ulama mazhab, kitab tersebut
adalah kitab karya dari Imam Malik: Kitab Al-mudawwanatul
Kubra dan kitab karya Imam Syafi’i: Kitab Al-Umm dengan kitab
perbandingannya adalah kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu
Rusyd.

Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang mendukung data primer.
Sebagai pendukung dari data primer ini yaitu dengan
menggunakan buku-buku dari ulama kontemporer serta buku-
buku lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian ini.

1.8.4. Teknik pengumpulan data


Pengumpulan data yang penulis gunakan yaitu karena
penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka metode
pengumpulan data yang lebih cepat adalah dengan metode
dokumentasi yaitu dengan mencari data-data dalam bentuk
tulisan dari beberapa sumber yang ada baik dari buku, jurnal dan
sebagainya yang berkaitan dengan penelitian.

1.8.5. Teknik analisis data


Dalam menganalisis data-data penulis menggunakan metode
tarjih, yaitu dengan cara membandingkan kehujjahan masing-
16

masing pendapat dan memilih salah satu pendapat yang kuat


terhadap persoalan status mahar dalam perceraian Qabla Dukhul
menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i.
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MAHAR DAN PERCERAIAN

2.1. Mahar
2.1.1. Pengertian dan dasar hukum mahar

Mahar secara bahasa artinya maskawin. Sedangkan


menurut istilah, mahar ialah “pemberian yang wajib dari calon
suami kepada calon istri sebagai tanda ketulusan hati calon suami
untuk menimbulkan rasa cinta kasih untuk seorang istri kepada
calon suaminya”. Atau, “Suatu pemberian yang diwajibkan bagi
calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda
maupun dalam bentuk jasa.

Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan


seorang wanita dengan cara memberikan hak kepadanya
diantaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya
diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada orang
lain yang dekat ataupun sangat dekat dengannya. (Ghozali, 2003,
hal. 84-85)

Mahar atau yang disebut juga dengan Shadaq ialah


pemberian khusus laki-laki kepada perempuan yang
melangsungkan perkawinan pada waktu aqad nikah. Hukum
memberikan mahar itu adalah wajib dalam artian laki-laki yang
ingin mengawini seorang perempuan mesti menyerahkan mahar
kepada istrinya itu. Namun, dalam menempatkannya sebagai
rukun terdapat beberapa perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Ada yang mengatakan mahar adalah rukun dan ada yang
mengatakan mahar adalah syarat. (Syarifuddin, 2003, hal. 97)

17
18

Landasan wajibnya menyerahkan mahar itu ditetapkan


dalam Al-qur’an dan dalam hadits Nabi. Dalil dalam ayat Al-qur’an
adalah firman Allah SWT dalam surat An-nisa’ ayat 4 yaitu:

ِ ِ ِ ِ ِِ ِ
ً ‫ب لَ ُك ْم َع ْن َشْي ٍئ ّمْنوُ نَ ْف‬
ُ‫سا فَ ُكلُ ْوه‬ َ ْ ‫ص ُدقَاهت َّن ْنلَةً فَا ْن ط‬
َ ‫سآ َء‬
َ ّ‫َوآتُوا الن‬
‫َىنِْي ئًآ َّم ِريْ ًئآ‬
“Berikanlah mahar kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang
hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai Makanan) yang sedap
lagi baik akibatnya”. (Q.S. An-Nisa’:4)

Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu


yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan
untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.

Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan lalu dia


memberikan sebagian maharnya maka itu boleh diterima. Akan
tetapi, jika istri dalam memberikan maharnya karena malu, atau
karena takut, maka tidak boleh menerimanya. (Ghozali, 2003, hal.
85)

Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisa’ ayat 20:

‫ارا فََال ََْ ُخ ُذ ْوا‬ ِ ‫ال َزو ٍج َّم َكا َن َزو ٍج وآتَي تم اِح َد‬ ِ ْ ُ‫واِ ْن اَر ْد ُت‬
ً َ‫اى َّن قْنط‬
ُ ْ ُْْ َ ْ ْ َ ‫استْب َد‬ َ َ
‫ِمْنوُ َشْي ئًا اَََْ ُخ ُذ ْونَوُ بُ ْهتَ ًاان َواِ ْثًا ُّمبِْي نَا‬
“Dan jika kamu mengganti istrimu dengan istri yang lain,
sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang diantara
mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil
kembali darinya barang sedikitpun. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (Q.S. An-Nisa’: 20)
19

Dalam ayat selanjutnya Allah SWT berfirman:

‫ظ‬ ٍ ‫ض ُك ْم اِ َىل بِ ْع‬


ً ‫ض َّواَ َخ ْذ َن ِمْن ُك ْم ِّم ْي ثَاقًا غَِلْي‬ َ ْ‫ف ََْ ُخ ُذ ْونَوُ َوقَ ْد اَف‬
ُ ‫ضى بَ ْع‬ َ ‫َوَكْي‬

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal


sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai
suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat”. (Q.S. An-Nisa’: 21)

Karena mahar itu harus ada saat nikah, bahkan Imam Malik
mengatakan mahar sebagai rukun nikah, maka hukum
memberikannya adalah wajib. (Ghozali, 2003, hal. 86)

Rasulullah SAW bersabda:

‫ ان النِب ملسو هيلع هللا ىلص اجاز نكاح امراة‬: ‫عن عبد هللا بن عامر بن ربيعة عن ابيو‬
)‫( رواه امحد وابن ماجو والرتمذي‬.‫ اخرجو الرتمذي وصححو‬,‫على نغلني‬
Artinya:

Dari Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah ra. Dari ayahnya bahwa
Nabi SAW membolehkan menikahi perempuan dengan sepasang
sandal. Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, dinilai shahih olehnya. (al-
Shan'ani, 2006, hal. 414)

Adapun dalil terkait dari hadits diantaranya adalah sabda


Nabi SAW yang berasal dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’idiy dalam suatu
kisah panjang dalam bentuk hadits mutafaq alaih:

‫اي رسول هللا ان مل يكن لك هبا حاجة فزوجنيها فقال ىل عندك من‬...
‫ فقال اذىب اىل اىلك فانرر ىل دجد‬,‫شيئ فقال ال وهللا اي رسول هللا‬
20

‫شيئا فذىب مث رجع فقال ال و هللا ما وجدت شيئا فقال رسول هللا صلى‬
...‫هللا عليو وسلم انرر ولو خاَتا من حديد‬
(Bulughul Maram 1005/1597)

Artinya:

……Ya Rasulallah bila anda tidak punya keinginan untuk


mengawininya, maka kawinkan saya dengannya. Nabi berkata “Apa
kamu memiliki sesuatu”. Ia berkata: “tidak ya Rasulullah”. Nabi
berkata: “pergilah kepada keluargamu mungkin kamu akan
mendapatkan sesuatu”. Kemudian dia pergi dan segera kembali dan
berkata: “saya tidak memperoleh sesuatu ya Rasulullah”. Nabi
berkata: “carilah walaupun hanya sebentuk cincin besi”…….
(Syarifuddin, 2003, hal. 98)

2.1.2. Syarat Mahar

Mahar itu ialah suatu yang wajib ada dan dijelaskan bentuk
dan harganya pada waktu akad berlangsung. Jika tidak disebutkan
pada waktu akad, maka kewajibannya harus ditunaikannya
selama masa perkawinan hingga putusnya perkawinan dalam
bentuk kematian ataupun dalam bentuk perceraian. Mahar yang
disebut secara jelas dalam aqad disebut mahar musamma. Jika
mahar tidak disebutkan jenis dan jumlahnya, maka kewajibannya
adalah sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam
keluarganya. Mahar dalam bentuk ini disebut mahar mitsil.

Mahar musamma sebaiknya diserahkan lansung secara


tunai pada waktu aqad nikah supaya selesai pelaksanaan
kewajiban. Meskipun demikian dalam keadaan tertentu dapat saja
diserahkan secara tidak tunai, bahkan dapat pembayarannya
secara cicilan. (Syarifuddin, 2003, hal. 98)
21

Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi


syarat-syarat sebagai berikut:

a. Harta atau bendanya harus yang berharga. Tidak sah mahar


itu dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada
ketentuan mengenai banyak atau sedikitnya mahar. Akan
tetapi apabila mahar itu sedikit tapi bernilai maka tetap sah.
b. Barangnya harus yang suci dan bisa diambil manfaatnya.
Tidak sah mahar itu dengan khamar, babi, ataupun darah,
karena semua itu haram dan tidak berharga.
c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil
barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak
bermaksud untuk memilikinya karena ia berniat untuk
mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan
barang hasil ghasab tidaklah sah, tetapi akadnya tetap sah.
d. Mahar bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah
mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaan
dan kebaradaannya, atau tidak disebutkan secara jelas
jenisnya. (Ghozali, 2003, hal. 87-88)

2.1.3. Bentuk, jenis dan nilai mahar

Secara umum, mahar itu dalam bentuk uang atau dalam


bentuk barang berharga lainnya. Namun Syari’at Islam
memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu.
Mahar dalam bentuk jasa ini berlandaskan kepada Al-qur’an dan
demikian juga dalam hadits Nabi SAW. (Syarifuddin, 2003, hal.
100)

Contoh mahar dalam berntuk jasa dalam Al-qur’an adalah


mengembalakan kambing selama 8 tahun sebagai mahar
perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan. Hal ini
dikisahkan oleh Allah dalam al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 27:
22

‫ني َعلَى اَ ْن ََْ ُج َرِن َثَ ِانَ ِح َج ٍج‬


ِ ْ َ‫ت َىات‬ ِ ‫ال اِِن اُ ِريد اَ ْن اُنْ ِكح‬
ََّ َ‫ك ا ْح َدى ابْ ن‬ َ َ ُ ْ ّ َ َ‫ق‬
...‫ت َع ْش ًرا فَ ِم ْن ِعْن ِد َك‬ ِ
َ ‫فَا ْن اََْتَ ْم‬
Artinya:

“Berkatalah dia (Syu’aib); “Sesungguhnya aku bermaksud


menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak
perempuanku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku
delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu
adalah urusanmu”. (Q.S. Al-Qashash:27)

Contoh dalam hadits Nabi adalah menjadikan mengajarkan


Al-qur’an sebagai mahar sebagaimana terdapat dalam hadits dari
Sahal bin Sa’ad al-Saadiy yang haditsnya mutafaq alaih, dari
hadits panjang yang dikutip diatas:

‫ قال‬,‫قال ماذا معك من القرأن قال معي سورة كذا و كذا عددىا‬...
‫ اذىب فقد ملكتكها ِبا معك‬:‫ قال‬,‫تقرؤ ىن عن ظهر قلبك قال نعم‬
‫من القرأن‬
(Bulughul Maram 1005/1597)

Artinya:

….Nabi berkata: “Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat


Al-qur’an?” Ia menjawab: “Ya, surat ini dan surat ini, sambil
menghitungnya”, Nabi berkata: “Kamu hafal surat-surat itu di luar
kepala?” Dia menjawab: “Ya”. Nabi berkata: “Pergilah, saya
kawinkan engakau dengan perempuan itu dengan mahar
mengajarkan Al-qur’an”. (Syarifuddin, 2003, hal. 100-101)
23

Jika mahar itu dalam bentuk uang atau barang berharga


maka Nabi SAW menghendaki mahar itu dalam bentuk yang lebih
sederhana. Hal ini sesuai dengan sabdanya dari ‘Uqbah bin ‘Amir
yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan disahkan oleh Hakim ucapan
Nabi:

,‫خْي الصداق أيسره‬: ‫ قال رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬:‫ قال‬,‫ هنع هللا يضر‬,‫عن عقبة بن عامر‬
.‫ وصححو احلاكم‬,‫أخرجو أبو داود‬
Artinya:

Dari Uqbah ibn Amir semoga Allah meredhainya dia


berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: Sebaik-baiknya mahar itu
adalah yang paling mudah.(H.R. Abu Dawud)

Hal ini dikuatkan pula dengan hadits Nabi dari Sahal ibn
Sa’ad yang dikeluarkan oleh al-Hakim yang mengatakan:

‫ زوج النىب ملسو هيلع هللا ىلص رجال امرأة‬:‫ قال‬,‫ رضي هللا عنهما‬,‫عن سهل بن سعد‬

.‫ أخرجو احلاكم‬.‫خبات من حديد‬

Artinya:

Dari Sahl Ibn Saad, semoga Allah meredhainya berkata:


Bahwa Nabi SAW. pernah mengawinkan seorang laki-laki dengan
perempuan dengan maharnya sebentuk cincin besi. (Bulughul
Maram, 1034)

Jika mahar itu dalam bentuk barang maka syaratnya:

a. Jelas dan diketahi bentuknya


b. Barang itu miliknya sendiri
24

c. Barangnya adalah sesuatu yang memenuhi syarat untuk


diperjualbelikan
d. Dapat diserahkan pada waktunya (Syarifuddin, 2003, hal.
102)

2.1.4. Ukuran mahar


Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat
bahwa bagi mahar itu tidak ada batasan tertinggi. Kemudian
mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya.
Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha
Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa untuk ukuran
mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang berharga
bagi yang lain maka dapat dijadikan sebagai mahar. Pendapat ini
juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam
Malik. (Ghozali, 2003, hal. 88)
Sebagaimana ulama fiqih yang lain berpendapat bahwa
mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para
pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit
seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham,
atau nilai dengan barangnya sebanding dengan berat emas dan
perak tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit
mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang
mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh
dirham.
Perbedaan pendapat ini kata Ibn Rusyd ada dua hal, yaitu:
1. Ketidakjelasan aqad nikah itu antara keduanya sebagai
salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah
kerelaan menerima ganti, baik menerima sedikit maupun
menerima banyak, seperti halnya dalam jual beli dan
25

kedudukannya sebagai ibadah yang telah ada


ketentuannya. Oleh karena itu ditinjau dari satu segi bahwa
dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki wanita untuk
selamanya, maka perkawinan sama halnya dengan
pertukaran. Tetapi jika ditinjau dari segi adanya larangan
mengadakan persetujuan dalam mengadakan mahar, maka
mahar itu dapat dipandang sebagai ibadah.
2. Adanya pertikaian antara qiyas yang menghendaki adanya
pembatasan mahar dengan pemahaman hadits yang tidak
menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang
menghendaki adanya pembatasan ialah seperti pernikahan
itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.

Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi SAW, “Carilah


walaupun hanya cincin besi”, merupakan dalil bahwa mahar itu
tidak memiliki batas terendahnya. Jika memang ada batas
terendahnya tentu beliau menjelaskannya. (Ghozali, 2003, hal. 89-
90)

2.1.5. Macam-macam mahar


Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu
mahar musamma dan mahar mitsil (sepadan).
a. Mahar musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang telah disebut atau
telah dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah
berlansung, atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu
akad nikah.
Ulama fiqih sepakat bahwa dalam pelaksanaanya,
mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
1. Telah bercampur (berhubungan badan). Dalam hal ini
Allah SWT berfirman:
26

‫ارا فََال‬ ِ ‫ال َزو ٍج َّم َكا َن َزو ٍج وآتَي تم اِح َد‬ ِ ْ ُ‫واِ ْن اَر ْد ُّت‬
ً َ‫اى َّن قْنط‬
ُ ْ ُْْ َ ْ ْ َ ‫استْب َد‬ َ َ
‫ََْ ُخ ُذ ْوا ِمْنوُ َشْي ئًا‬
Artinya:

”Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang


lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seorang di
antara mereka harta yang banyak, maka kamu jangan
mengambil kembali darinya barang sedikitpun”. (Q.S.An-
Nisa’:20)

2. Salah satu dari suami istri meninggal. itu menurut ijma’.


Yaitu jika salah satu dari suami atau istri meninggal
dunia, maka mahar musamma diberikan secara penuh
kepada yang tinggal dari mereka.

Mahar musamma juga wajib dibayar semuanya jika suami


telah berhubungan badan dengan istri, dan ternyata nikahnya
fasid dengan sebab-sebab tertentu, seperti itu juga istri
tersebut ternyata mahramnya sendiri, atau dikira perawan
ternyata adalah janda, atau hamil dari bekas suami lama.
(Ghozali, 2003, hal. 92-93)

b. Mahar mitsil (sepadan)


Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya
pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau
mahar yang diukur atau sepadan dengan mahar yang pernah
diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga
sekitarnya, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan
sebagainya.
Bila mahar itu (mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya
pada saat sebelum atau terjadi pernikahan), maka mahar itu
mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita
27

(kakak perempuan dari ayah atau ibu, bibi, anak perempuan


bibi). Apabila tidak ada, maka mahar mitsil itu beralih dengan
ukuran perempuan lain yang sederajat dengannya.
Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaaan sebagai berikut:
1. Apabila tidak dijelaskan kadar mahar dan besarnya ketika
berlansung akad nikah, kemudian suami telah bercampur
dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami
telah berhubungan dengan istri dan ternyata nikahnya
tidak sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya
disebut nikah tafwidh. Nikah seperti ini menurut jumhur ulama
adalah dibolehkan. Firman Allah SWT QS Al-Baqarah ayat 236:

َ ْ‫ض ْوا َذلُ َّن فَ ِري‬


‫ض ًة‬ ُ ‫س ْو ُى َّن اَ ْو تَ ْف ِر‬
ُّ ََ‫سآ َء َما َملْ َت‬ ِ َّ ِ
َ ّ‫اح َعلَْي ُك ْم ا ْن طَل ْقتُ ُم الن‬
َ َ‫َال ُجن‬

Artinya:

“Tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu menceraikan istri-istri


kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu
tentukan maharnya….” (Q.S.Al-Baqarah:236)

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh


menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan
jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu. Dalam hal ini, maka istri
berhak menerima mahar mitsil. (Ghozali, 2003, hal. 93-94)

2.1.6. Pendapat Imam Malik tentang Mahar

Berdasarkan kepada beberapa sumber kitab-kitab karya


ulama malikiyah, beberapa pendapat itu menyatakan sepakat
bahwa mahar adalah salah satu rukun dalam nikah, meskipun ada
beberapa juga yang tidak sepakat. Namun, pendapat ulama maliki
28

yang mengatakan bahwa mahar itu bukan dari rukun nikah adalah
pendapat yang sangat sedikit sekali dan justru tidak menganggap
penting perbedaan itu.

Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama


malikiyah, hal ini paling karena disebabkan oleh dua hal. Bagi
ulama malikiyah yang mengatakan mahar sebagai syarat nikah,
seperti pendapat ulama Syafi’i, Hambali dan Hanafi, merasa
bahwa sahnya nikah cukup dengan terpenuhinya tiga pokok, yaitu
suami istri, wali, dan Shighat ijab qabul. Selama tiga hal ini
terpenuhi, maka pernikahan telah bisa dikatakan sah, meskipun
membatalkan keberadaan mahar. Pendapat ini sedikit kurang baik
dengan hak perempuan, karena memberikan kemudahan
terhadap terpenuhinya mahar. Sementara itu, jumhur ulama
Malikiyah mengatakan bahwa mahar merupakan rukun dengan
memandang kepada sisi sah dan tidak sahnya akad nikah
bergantung dari eksistensi mahar yang termasuk pokok dalam
suatu pernikahan, sehingga posisi mahar sama dengan suami dan
istri, wali, dan shighat ijab qabul.

Pendapat Imam Malik yang mengatakan mahar itu sebagai


rukun nikah secara tidak lansung memiliki ketentuan yang sangat
penting dan memposisikan perempuan pada posisi yang tinggi,
oleh karena itu bisa dilihat dari penerapan yang dihasilkan. Mahar
(al shadaq) dalam akad nikah merupakan rukun, ini dipandang
dari sisi tidak sahnya persyaratan yang bersifat menggugurkan
atau mentiadakan status mahar. Dampak dari pandangan ini
adalah status tidak sahnya akad nikah, apabila disyaratkan dalam
akad tersebut pentiadaan keberadaan mahar.

Dalam hal ini menjadi tidak ada kesepakatan untuk


menggugurkan mahar yang akan diberikan kepada perempuan.
29

Meskipun kesepakatan dari kedua belah pihak untuk


menghapuskan mahar. Secara tidak lansung, penerapan hukum ini
memberikan pesan dan penghargaan kepada perempuan (dalam
bentuk mahar) tidak bisa ditiadakan, bahkan Nabi sendiri dalam
satu kesempatan, ketika menyarankan kepada sahabatnya untuk
menikahi seorang perempuan haruslah dengan memberikan
mahar, meskipun itu sebuah cincin dari besi atau bacaan al-Qur’an
(untuk mengajarkan kepada perempuan).

Berangkat dari hadits Nabi tersebut, pendapat ini


menunjukkan bahwa mahar sangatlah penting, sehingga mahar
dimasukan kedalam bagian dari rukun nikah, setiap calon suami
wajib memberi mahar sebatas kemampuannya. Pendapat ulama
Maliki juga menjadi landasan bahwa agama Islam sangat memberi
kemudahan dan tidak bersifat memberatkan bagi umat Islam.
Itulah sebabnya Ibnu Thaimiyah menegaskan bahwa sebaiknya di
dalam pemberian mahar harus tetap dibayar (meskipun kedua
pihak sepakat untuk meniadakannya) sesuai dengan kemampuan
mempelai laki-laki. Pemberian mahar tersebut baik yang
didahulukan atau yang ditangguhkan pembayarannya, maka
hendaklah tidak melampaui mahar yang diberikan kepda istri
Rasulullah SAW dan putri-putri beliau, yaitu sebesar antara empat
ratus sampai lima ratus dirham. Jika diukur dengan dirham yang
bersih maka kira-kira mencapai Sembilan belas dirham.
(Thaimiyah, hal. 174)

Pendapat Imam Malik ini untuk mengangkat harkat dan


martabat wanita agar wanita tidak direndahkan, karena kalau
mahar dijadikan sebagai syarat bukan rukun, maka akan banyak
celah untuk melakukan penghapusan terhadap pembayaran
30

mahar, maka seakan-akan wanita sebagai makhluk yang tidak


punya harga.

2.1.7. Pendapat Imam Syafi’i tentang Mahar

Dalam sebuah karyanya Al-Umm, Imam Syafi’i menyatakan


apabila seorang laki-laki melakukan akad nikah dengan seorang
perempuan dan apabila si laki-laki menikahi perempuan itu
dengan mahar 1000 dirham, maka pernikahan dinyatakan sah dan
perempuan itu berhak menerima mahar yang biasa diterima oleh
perempuan sepertinya (mahar mitsil) baik jumlahnya kurang dari
1000 dirham ataupun lebih banyak dari 2000 dirham. Dalam
masalah ini hukum akad nikahnya sah tapi hukum maharnya
rusak (fasid).

2.2. Perceraian

2.2.1. Pengertian perceraian

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu


selamanya hingga meninggal salah seorang suami atau istri. Inilah
sebenarnya yang dianjurkan oleh agama Islam. Namun dalam
keadaaan tertentu terdapat hal-hal yang mengharuskan putus
suatu perkawinan itu dalam artian jika hubungan perkawinan
tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini
Islam membolehkan putusnya perkawinan sebagai langkah
tarakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya
perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.

Secara harfiyah thalaq itu berarti lepas dan bebas. Dalam


mengemukakan arti thalaq secara terminologis kelihatannya
ulama mengemukakan rumusan yang berbeda namun hakikatnya
sama. Al-Mahalli dalam kitabnya Syarh Minhaj al-Thalibin
merumuskan:
31

‫حل قيد النكاح بلفظ طالق ونوه‬

Artinya:

Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan


lafaz thalaq dan sejenisnya. (Syarifuddin, 2003, hal. 125-126)

2.2.2. Hukum Perceraian

Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunah


Allah dan sunah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam.
Sebaliknya melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu
menyalahi sunah Allah dan sunah Rasul tersebut dan menyalahi
kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang sakinah
mawaddah dan rahmah.

Meskipun demikian jika hubungan pernikahan itu tidak


dapat lagi dipertahankan dan bila dilanjutkan akan mengalami
kehancuran dan kemudharatan dalam suatu rumah tangga, maka
Islam membuka pintu keluar untuk terjadinya perceraian. Oleh
karena itu, pada dasarnya perceraian itu adalah sesuatu yang
tidak disenangi. (Syarifuddin, 2003, hal. 126)

Adapun ketidaksenangan Nabi SAW kepada perceraian itu


terlihat dalam haditsnya dari Ibnu Umar menurut riwayat Abu
Dawud, Ibnu Majah dan di sahkan oleh Hakim, sabda Nabi:

.‫ ابغض احلالل اىل هللا الطالق‬:‫ عن النِب ملسو هيلع هللا ىلص قال‬,‫عن ابن عمر هنع هللا يضر‬
)‫(رواه ابوا داود وابن ماجة‬
Artinya:
32

Dari Ibn Umar semoga Allah meredhainya, dari Nabi SAW


bersabda: Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalak
(perceraian).(H.R Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Walaupun hukum asal dari thalaq itu adalah boleh, namun


melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu maka hukum
thalaq itu adalah sebagi berikut:

a. Nadab atau sunah, yaitu dalam keadaan rumah tangga


sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya
dipertahankan juga kemudaratan yang lebih banyak akan
timbul.
b. Mubah atau boleh saja dialakukan bila memang perlu
terjadinya perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang
dirugikan dengan perceraian itu sedangkan manfaatnya
juga ada.
c. Wajib atau mesti dilakukan. Yaitu perceraian yang
dilakukan oleh hakim terhadap seseorang yang telah
bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa
tertentu, sedangkan dia tidak mau pula membayar kafarah
sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya.
Tindakannya itu memudaratkan istrinya.
d. Haram atau tidak boleh. Yaitu perceraian itu dilakukan
tanpa alasan sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci
yang dalam masa itu ia telah menggauli. (Syarifuddin,
2003, hal. 127)

2.2.3. Macam-macam perceraian


Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya
hubungan suami-istri. Putusnya perkawinan itu ada dalam
beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang
33

berkehendak untuk putusnya perkawinan itu, dalam hal ini ada 4


kemungkinan:
1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui
matinya salah seorang suami istri. Dengan kematian itu
dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan.
2. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami karena alasan
tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan
tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut thalak.
3. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri
melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan
sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak
untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri ini
dengan membayar uang ganti rugi diterima oleh suami dan
dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus perkawinan
itu. Putusnya perkawinan dengan cara ini disebut khulu’.
4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak
ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau
pada istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan
perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam
bentuk ini disebut fasakh. (Syarifuddin, 2003, hal. 124-125)

2.2.4. Hikmah Perceraian


Syekh Hasan Ayyub menemukan hikmah perceraian dengan
menjelaskan bahwa pada dasarnya, kehidupan perkawinan
merupakan kehidupan yang berpijak pada rasa cinta dan kasih
sayang, dan masing-masing suami dan istri memainkan peran
pentingnya untuk saling mengisi. Sebesar mana keserasian,
keharmonisan, kehangatan dan saling memahami di antara suami
dan istri, sebesar itulah kehidupan perkawinan menjadi kehidupan
yang bahagia, indah dan nikmat.
34

Lebih lanjut, syekh Hasan Ayyub, menjelaskan bahwa


seandainya hukum menutup pintu bagi suami dan istri, tidak
mengizinkan mereka berpisah pada saat darurat, maka dapat
mengakibatkan bahaya yang menjadikan kehidupan suami dan istri
bagaikan di neraka. Hal ini tentu akan menyengsarakan anak-anak
dan menyelimuti mereka dengan kepedihan dan kehinaan,
sehingga mereka menjadi tonggak-tonggak muda yang tidak tahan
badai. Selalu saja jika suami dan istri tidak bahagia, maka anak-
anak tidak bahagia. Dari kondisi ini mereka tumbuh menjadi
pribadi yang dipenihi dendam dan dengki, kezaliman dan
kegelapan, berlebihan dalam kesia-siaan dan kemurkaan untuk
kemudian lari dari kenyataaan yang pahit dan menakutkan dan
memuakkan yang dijauhi oleh setiap penghuninya, agar tidak jatuh
dalam rawa kebencian, intrik, kepiluan dan kehinaan.
Perceraian merupakan pintu rahmat yang dibuka bagi
semua orang agar masing-masing suami dan istri dapat membenahi
kesalahan yang dilakukannya, dan memenuhi kehidupan yang baru
dengan orang yang baru dipilihnya menurut kriteria-kriteria yang
cocok, yang seharusnya memperkecil kerugian, memperbanyak
keuntungan, dan memetik pelajaran dari pengalaman masa lalu.
(Muhammad Syaifuddin, 2013, hal. 168)
Muhammad Thalib juga menjelaskan tentang hikmah
perceraian, terutama perceraian menurut hukum Islam. Menurut
Muhammad Thalib, perkawinan disyariatkan oleh Islam untuk
mengembangbiakkan generasi manusia. Islam telah mensyariatkan
cara-cara yang dapat menjamin berjalannya hubungan keluarga
secara stabil. Islam memerintahkan berbuat baik terhadap
keluarga, sabar menghadapi kekurangan-kekurangan antara suami
istri, bersikap kasih sayang, lemah lembut, dan sebagainya. Islam
secara umum memperhatikan kenyataan dalam kehidupan
35

manusia, karena tidak semua manusia mau berpegang pada syariat


ini. Banyak orang yang berjiwa jahat dan bersifat buruk. Untuk
menghindari perilaku suami yang merugikan istri atau sebaliknya,
Islam menyediakan aturan thalaq. Allah berfirman dalam surah An-
Nisa’ ayat 130:
ِ ‫واِ ْن يَّت َف َّرقَا ي ْغ ِن هللا ُك َّال ِمن سعتِ ِو وَكا َن هللا و‬
‫اس ًعا َح ِكْي ًما‬ َُ َ ََ ْ ّ ُ ُ َ َ
Artinya:
“Jika mereka berkehendak bercerai, Allah akan memberikan
kecukupan kepada masing-masing (setelah bercerai) dari limpahan
karunia-Nya. Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Bijaksana
aturan-Nya”. (Q.S. An-Nisa’:130)

Perceraian merupakan solusi terakhir bagi setiap


permasalahan rumah tangga. Oleh karena itu, orang-orang yang
melarang perceraian berarti menutup jalan keluar bagi suami dan
istri jika masalah kehidupan perkawinan menghimpit keduanya.
Mereka membunuh perasaan kasih sayang persaudaraaan dan
kemanusiaan di dalam diri suami dan istri terhadap pasangannya,
karena ia membencinya dan terkadang mengutuknya serta
mengharapkannya tertimpa musibah atau bencana. (Muhammad
Syaifuddin, 2013, hal. 169)

2.2.5. Pendapat Imam Malik tentang Perceraian

Menurut Imam Malik, perceraian adalah suatu sifat hukum


yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.

Imam Malik adalah seorang ulama besar yang alim yang


sangat cinta kepada Nabi SAW dan sangat benci terhadap orang
yang membuat model baru dalam urusan agama dan perbuatan
yang dalam istilah agama disebut bid’ah.
36

Dalam hal perceraian ini, Imam Malik berpendapat sebagai


berikut:

‫ أنت خلية أو برية أو ابئنة اهنا ثالث‬:‫قال مالك يف الرجل يقول المرأتو‬
‫ أواحدة‬,‫ ويدين يف الت مل يدخل هبا‬,‫تطليقات للمرأة الت قد دخلو هبا‬
.‫ فان قال واحدة أحلف علي ذالك‬,‫أراد ثالاث‬
(Malik, 2011, hal. 271)

Artinya:

Imam Malik berkata dalam permasalahan seorang laki-laki


yang mengatakan pada istrinya “anti khaliyatun atau bariyatun atau
bainatun” hal itu jatuh talaq tiga kali bagi istri yang telah digauli,
dan akan ditangguhkan bagi istri yang belum digauli, apakah suami
tersebut menghendaki thalaq satu atau thalaq tiga, apakah suami
berkata satu talaq, atau suami disumpah akan hal itu.

Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa menurut


Imam Malik jatuhnya talaq itu membutuhkan niat dari suami yang
mengucapkannya, kecuali bila lafal itu telah jelas untuk benar-
benar menjatuhkan talaq. Apabila uangkapan talaq menggunakan
lafal sindiran dan tidak ada niat serta tidak ada indikasi dari istri
akan tujuan talaq tersebut maka tidak jatuh talaq.

2.2.6. Pendapat Imam Syafi’i tentang Perceraian

Menurut Imam Syafi’i, perceraian adalah pelepasan akad


nikah dengan lafal talaq atau yang semakna dengan itu. Talaq dapat
dikatakan sah apabila diucapkan oleh suami yang berakal, baligh
dan atas kehendak sendiri (mukhtar). Artinya orang belum
mukallaf tidak sah, seperti talaq anak kecil, orang gila atau tidak
37

sadar, penderita ayan, dan orang tidur. Begitu juga talaq yang
dilakukan oleh bukan suami atau wakilnya juga tidak sah.
Termasuk talaq orang yang dipaksa tanpa alasan yang benar juga
tidak sah. Misalkan seorang suami yang diancam akan dibunuh,
dipotong anggota tubuhnya, dipukuli, dikecam atau dipukul dengan
ringan sementara dia adalah orang yang terhormat dan
dipermalukan itu menghinakannya. (Zuhaili, 2010, hal. 581)

Yang dimaksud dengan pemaksaan disini adalah ancaman


tersebut benar-benar akan dilakukan oleh si pemaksa. Dipenjelasan
lain Imam Syafi’i menyebutkan bahwa al-ikrah (paksaan) hanya ada
satu macam yaitu al-ikrah al-mulji’i sedangkan selain itu tidak
disebut al-ikrah, ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa al-ikrah bisa
terjadi dengan menakut-nakuti dan ancaman yang tidak disukai
dan terlarang, seperti dipukul dengan keras, dipenjara dalam waktu
yang lama, atau rusaknya harta benda. (Zuhaili, 2010, hal. 342)

Imam Syafi’i beserta ulama lainnya (Imam Malik, Abu Daud


dan Imam Ahmad) berpendapat bahwa talaq orang yang dipaksa
tidak sah, pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Abdullah bin
Umar, Ibnu Az-Zubair, Umar bin Al-Khatab, Ali bin Abi Thalib dan
Ibnu Abbas ra. (Rasyid, 2007, hal. 583)

Dijelaskan juga tentang pendapat sejumlah ulama yang


menyebutkan tentang talaq yang dijatuhkan oleh suami dalam
keadaan dipaksa, seperti pendapat yang diriwayatkan oleh Umar,
Ali, Ibnu Abbas dan sejumlah ulama lainnya termasuk Imam Syafi’i
menyatakan bahwa talaq orang dipaksa dibawah tekanan maka
talaqnya tidak jatuh.

Landasan Mazhab Syafi’i yang mendasari pendapat di atas


adalah sabda Nabi SAW:
38

,‫ حدثنا االوزعي‬,‫ حدثنا الوليدبن مسلم‬,‫حدثنا دمحم بن ادلصفى احلمصي‬


‫ عن ابن عباس عن النِب ملسو هيلع هللا ىلص قال ان هللا وضع عن امت اخلط‬,‫عن عطاء‬
‫ رواه ابن ماجة والبيهقي‬. ‫ حديث جسن‬.‫والنسيان وما استكرىوا عليو‬
.‫وغْيمها‬
(Majah 2123, Juz 10)

Artinya:

“Dari Ibn Abbas dari Nabi Muhammad berkata:


“sesungguhnya Allah SWT telah mengangkat segala dosa dari
umatku yang tidak sengaja berbuat, lupa dan juga dipaksa dibawah
tekanan” HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dan lainnya. (Qudamah, 2013,
hal. 284)
BAB III

PROFIL IMAM MAZHAB

3.1. Profil Imam Malik

3.1.1. Riwayat Hidup Imam Malik


Imam Malik adalah imam kedua dari empat imam dalam
Islam, dari segi umur, beliau lahir 13 tahun setelah Abu Hanifah.
(Asy-Syubarbasi, 1993, hal. 71) Nama lengkap beliau adalah Abu
Abdullah Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Amir bin Haris
bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi al-Humairi.
Beliau merupakan Imam dari Al-Hijrah. Nenek moyang mereka
berasal dari Bani Tamim bin Murrah dari suku Quraisy. Imam Malik
adalah saudara Utsman bin Ubaidillah At-Taimi, saudara Thalhah
bin Ubaidillah. Beliau lahir di Madinah tahun 93 H, belian berasal
dari keturunan bangsa Himyar, jajahan Negeri Yaman. (Yanggo,
1997, hal. 103)
Ayah Imam Malik adalah Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn
Abi Al-Haris Ibn Sa’ad Ibn Auf Ibn Ady Ibn Malik Ibn Jazid. (Khalill,
2016, hal. 84) Ibunya bernama Siti Aliyah binti Syuraik Ibn Abdul
Rahman Ibn Syuraik Al-Azdiyah. Ada riwayat yang mengatakan
bahwa Imam Malik berada dalam kandungan ibunya selama 2
tahun ada pula yang mengatakan sampai 3 tahun.
Imam malik Ibn Anas dilahirkan saat menjelang periode
sahabat Nabi SAW di Madinah, ia lahir pada masa Bani Umayyah
tepat pada pemerintahan Al-walid Abdul Malik (setelah Umar ibn
Abdul Aziz) dan meninggal pada zaman Bani Abbas, tepatnya pada
zaman pemerintahan Al-Rayid (179 H). (Mubarok, 2000, hal. 79)
Imam Malik menikah dengan seorang hamba yang kemudian
melahirkan 3 anak laki-laki (Muhammad, Hammad dan Yahya) dan
seorang anak perempuan (Fatimah yang mendapat julukan Umm

39
40

al-Mu’minin). Menurut Abu Umar, Fatimah termasuk di antara


anak-anaknya yang dengan tekun mempelajari dan hafal dengan
baik Kitab al-Muwaththa’.

3.1.2. Kehidupan Imam Malik


Setelah ditinggal orang yang menjamin kehidupannya, Imam
Malik harus mampu membiayai barang dagangannya seharga 400
dinar yang merupakan warisan dari ayahnya, tetapi karena
perhatian beliau hanya tercurah kepada masalah keilmuan saja
sehingga beliau tidak memikirkan usaha dagangnya, akahirnya
beliau mengalami kebangkrutan dan kehidupan bersama
keluarganya pun semakin menderita. (Asy-Syarqawi, 2000, hal.
278)
Selama menuntut ilmu Imam Malik dikenal sangat sabar,
sering beliau menemui kesulitan dan penderitaan. Ibnu Al-Qayyim
pernah mengatakan “Penderitaan Malik selama menuntut ilmu
sedemikian rupa sampai-sampai ia pernah terpaksa harus
memotong kayu atap rumahnya, kemudian dijual di pasar. (al-
Maraghi A. M., 2000, hal. 79)
Setelah Imam Malik tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan
hidup keluarganya kecuali dengan mengorbankan tekad menuntut
ilmu, mulailah Imam Malik menyatakan seruannya kepada
penguasa, agar para ahli dijamin dapat mencurahkan waktu dan
tenaga untuk menekuni ilmu yaitu dengan memberi gaji atau
penghasilan lain untuk menjamin kehidupan mereka.
Namun tak seorangpun pengusaha yang menghiraukan
seruan Imam Malik. Karena pada saat itu Daula Umayyah sedang
sibuk memperkokoh dan menetapkan kekuasaannya, mereka
sedang menarik simpati para ilmuan yang tua bukan yang muda.
Hingga akhirnya secara kebetulan Imam Malik bertemu dengan
pemuda dari mesir yang juga menuntut ilmu, pemuda itu bernama
41

Al-Layts Ibn Sa’ad dan keduanya saling mengagumi kecerdasan


masing-masing. Hingga timbullah semangat persaudaraan atas
dasar saling menghormati.
Meskipun Imam Malik senantiasa menutupi kemiskinan dan
penderitaannya dengan selalu berpakaian baik, rapi dan bersih
serta memakai wangi-wangian, tetapi Al-Layts ibn Sa’ad
mengetahui kondisi Imam Malik yang sebenarnya, sehingga
sepulangnya ke negerinya, Al-Layts tetap mengirikan hadiah uang
kepada Imam Malik di Madinah, dan itu Khalifah yang berkuasa
menyambut baik seruan Imam Malik agar penguasa memberikan
gaji atau penghasilan kepada para ahli ilmu. (Asy-Syarqawi, 2000,
hal. 278)

3.1.3. Pendidikan Imam Malik


Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa
pemerintahan Khalifah Sulaiman Ibn Abdul Malik dari Bani
Umayyah, pada masa itu masih terdapat beberapa golongan
pendukung Islam antara lain sahabat Anshar dan Muhajirin.
Pelajaran pertama yang diterimanya adalah Al-qur’an yakni
bagaimana cara membacanya, memahami makna tafsirnya. Beliau
juga hafal Al-qur’an diluar kepala. Selain itu beliau juga
mempelajari hadits Nabi SAW, sehingga beliau dapat julukan
sebagai ahli hadits.
Sejak masa kanak-kanak Imam Malik sudah terkenal sebagai
ulama dan guru dalam pengajaran Islam. Kakeknya yang senama
dengannya, merupakan ulama hadits yang terkenal dan dipandang
sebagai perawi hadits yang hidup sampai Imam Malik berusia 10
tahun. Dan pada saat itupun Imam Malik sudah mulai bersekolah,
dan dewasa beliau terus menuntut ilmu. Imam Malik mempelajari
bermacam-macam bidang ilmu pengetahuan seperti hadits, Al-Rad
42

al-Ahlil Ahwa Fatwa, fatwa dari para sahabat-sahabat dan ilmu fiqih
ahli ra’yu (fikir). (Asy-Syubarbasi, 1993, hal. 75)
Selain itu sejak kecil beliau juga telah hafal Al-qur’an. Hal itu
beliau lakukan karena senantiasa beliau mendapatkan dorongan
dari ibundanya agar senantiasa giat menuntut ilmu.

3.1.4. Guru-Guru Imam Malik


Saat menuntut ilmu Imam Malik mempunyai banyak guru.
Dalam kitab “Tahdzibul Asma wa Lughat” mengatakan bahwa Imam
Malik pernah belajar kepada 900 syeikh, 300 diantaranya dari
golongan tabi’in dan 600 lagi dari golongan tabi’ tabi’in.
Guru-guru Imam Malik adalah orang-orang yang beliau pilih,
dan pilihan imam didasarkan kepada ketaatannya beragama, ilmu
fiqihnya, cara meriwayatkan hadits, syarat-syarat meriwayatkan
dan mereka adalah orang-orang yang bisa dipercaya. Imam Malik
meninggalkan perawi yang banyak mempunyai hutang dan suka
mendamaikan yang mana riwayat-riwayat mereka tidak dikenal.
Adz-Dzahabi berkata, “untuk pertama kalinya malik mencari
ilmu pada tahun 120 Hijriyah, yaitu tahun dimana Hasan Al-Basri
meninggal. Malik mengambil hadits dari nafi’ yaitu orang yang tidak
bisa ditinggalkannya dalam periwayatan.
Diantara guru-guru yang terkenal adalah:
1. Abu Radih Nafi Bin Abd Al-Rahman
Dalam bidang al-Qur’an, Imam Malik belajar membaca
dan menghafal al-Qura’n sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu
tajwid yang baku dari ulama yang terkenal, Abu Radih Nafi
Bin Abd Al-Rahman yang sangat terkenal dalam bidang ini
hingga masa sekarang.
2. Nafi’
Nafi’ merupakan seorang ulama hadits yang besar pada
masa awal kehidupan Imam Malik. Nafi’ mempelajari ini dari
43

gurunya yang mashur (Abdullah ibn Umar) karena Nafi’ pada


mulanya adalah seorang budak yang dimerdekakannya
setelah 30 tahun melayaninya. Orang yang mengetahui
kedudukan Abdullah ibn Umar dalam khazanah hadits niscaya
akan memahami betapa beruntungnya Nafi’ dapat belajar dari
tokoh yang sedemikian besar.
3. Rabiah bin Abdul Rahman
Beliau berguru kepadanya ketika masa kecil. Imam
Malik banyak mendengarkan hadits-hadits Nabi dari beliau.
Selain itu beliau juga merupakan guru Imam Malik dalam
bidang hukum Islam. (Mubarok, 2000, hal. 137)
4. Muhammad bin yahya al-Anshari
Beliau merupakan guru Imam Malik yang lain. Termasuk juga
kedalam kelompok tabi’in dia biasa mengajar di masjid
Nabawi Madinah.

Sedangkan guru-guru beliau yang lain adalah ja’far ash-Shidiq.


Abu Hazim Salmah bin Nidar, Hisyam bin Urwah, Yahya bin Sa’id dan
lain-lain.

3.1.5. Murid-murid Imam Malik


Imam Malik mempunyai banyak sekali murid yang terdiri dari
para ulama. Qodhi Ilyad menyebutkan bahwa lebih dari 1000 orang
ulama terkenal yang menjadi murid Imam Malik, diantaranya:
Muhammad bin Nuskim al-Auhri, Rabi’ah bin Abdurrahman, Yahya
bin Zaid al-Anshori, Muhammad bin Ajlal, Salim bin Abi Umayyah,
Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Ziab, Abdul Malik bin Juraih,
Muhammad bin Ishaq dan Sulaiman bin Marham al-Amasi.
Imam Malik tertenal dengan sikapnya yang berpegang kuat
kepada As-Sunnah, amalan ahli Madinah, al-Masbahi al-Mursalah,
pendapat sahabat (qaul sahabi) jika sah sanadnya dan al-istihsan.
44

Murid-murid Imam Malik ada yang datang dari Mesir, Afrika Utara,
dan Spanyol. Tujuh orang yang termasyhur dari Mesir adalah:
1. Abu Abdullah, Abdurrahman ibnu Qasim (meninggal di Mesir
pada tahun 191 H) dia belajar ilmu fiqih dari Imam Malik
selama 20 tahun dan al-Laits bin Sa’ad seorang ahli fiqih Mesir
(meninggal tahun 175 H). abu Abdullah adalah seorang yang
paling alim tentang ilmu Imam Malik dikalangan sahabatnya,
dan orang yang paling amanah terhadap ilmu Imam Malik.
2. Abu Muhammad, Abdullah bin Wahb bin Muslim (dilahirkan
pada tahun 125 H dan meninggal tahun 197 H). dia belajar
dari Imam Malik selama 20 tahun. Setelah itu, dia
mengembang madzhab Maliki di Mesir. Dia telah melakukan
usaha yang serius untuk membekukan mazhab Maliki. Imam
Malik pernah menulis suratnya kepadanya dengan menyebut
gelar “Fiqih Mesir” dan “ Abu Muhammad al-Mufti”. Dia juga
pernah belajar ilmu fiqih dari al-Laits bin Sa’ad. Dia juga
seorang ahli hadits yang dipercaya dan mendapat julukan
“Diwan Ilmu”.
3. Asyhab bin Abdul Aziz al-Qaisi, dilahirkan pada tahun yang
sama dengan Imam Syafi’i, yaitu pada tahun 150 H, dan
meninggal pada tahun 204 H. kelahirannya tepat Sembilan
belas hari setelah Imam Syafi’i lahir. Dia telah mempelajari
ilmu fiqih dari Imam Malik dan al-Laits bin Sa’ad.
4. Abu Muhammad Abdullah bin Avdul Hakam. Meninggal pada
tahun 214 H. dia merupakan orang yang paling alim tentang
pendapat Imam Malik. Dia menjadi pemimpin madzhab Malili
setelah Asyhab.
5. Asbagh Ibnul Fajr al-Umawi. Dia dinisbahkan kepada Bani
Umayyah karena ada hubungan hamba sahaya. Dia meninggal
45

pada tahun 225 H. dia belajar fiqih kepada Ibnul Qasim, Ibnu
Wahb, dan Asyhab.
6. Muhammad bib Abdullah Ibnul Hakam. Dia meninggal pada
tahun 268 H. dia menuntut ilmu, khususnya ilmu fiqih kepada
ayahnya dan juga kepada ulam Madzhab Maliki pada
zamannya, dia juga belajar kepada Imam Syafi’i.
7. Muhammad bin Ibrahim al-Askandari bin Ziyad yang terkenal
dengan Ibnul Mawaz (meninggal pada tahun 269 H). dia
belajar ilmu fiqih kepada ulama semasanya sehingga dia
mumpuni dalam bidang fiqih dan fatwa. Kitab al-
Nawwaziyyah merupakan kitab yang agung yang pernah
dihasilkan oleh madzhab Maliki. Ia mengandungi masalah
hukum yang paling shahih, bahasanya mudah dan
pembahasannya menyeluruh. Cara kitab ini menyelesaikan
masalah-masalah cabang ialah dengan menyandarkan kepada
ushul (asas dan dasar). (Az-Zuhaili, 2010, hal. 41)

Banyak sekali para penuntut ilmu meriwayatkan hadits dari


Imam Malik ketika beliau masih muda belia. Beberapa kelompok yang
meriwayatkan hadits dari beliau, diantaranya:

Guru-guru beliau, diantaranya:

a. Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zahrani


b. Yahya bin Sa’ad Al-Ansshari
c. Peman beliau, Abu Sahl Nafi’ bin Malik

Dari kalangan teman sejawat beliau adalah:

a. Ma’mar bin Rasyid


b. Abdul Malik bin Juraij
c. Imam Abu Hanifah, An-Nu’man bin Tsabit
d. Syu’bah bin al-Hajaj
46

e. Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri


f. Al-Laits bin Sa’id

Orang-orang yang meriwayatkan dari Imam Malik setelah


mereka adalah:

a. Yahya Bin Sa’id Al- Qaththan


b. Abdullah bin Al-Mubarak
c. Abdurrahman bin Mahdi
d. Waki’ bin al Jarrah
e. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i

Sedangkan yang meriwayatkan Al-Muwaththa’ banyak sekali:

a. Abdullah bin Yusuf At Tunisi


b. Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabi
c. Abdullah bin Wahb al-Mishri
d. Yahya bin Yahya al-Laitsi
e. Abu Mush’ab az-Zuhri

Sedangkan yang seangkatan adalah sufyan bin said al-sauri, lais


bin saad al-Misri, al-auza’i, Hamad bin Zaid, Sufyan bin Uyaynah,
Hammad bin Salamah, Abu Hanifah dan putranya Hammad, Qodhi Abu
Yusuf, Qodhi Syuraik bin Abdullah dan Syafi’i, Abdullah bin Mubarok,
Muhammad bin hasan.

3.1.6. Karya Imam Malik

Di antara karya Imam Malik adalah kitab Al-Muwatha’ yang di


tulis pada tahun 144 H. Atas anjuran Khalifah Ja’far Al-Mansyur,
menurut peneliti Abu Bakar Al-Abhary atsar Rosulullah SAW, para
sahabat dan tabi’in yang tercantum dalam kitab al-Muwatha’ sejumlah
1.720 orang.
47

Pendapat Imam Malik bisa sampai pada kita melalui 2 buah


kitab, yaitu al-Muwatha’ dan Al-Mudawwanah al-Kubro. (Yanggo,
1997, hal. 117) Kitab al-Muwatha’ mengandung dua aspek yaitu aspek
hadits dan aspek fiqih. Adanya aspek hadits karena al-Muwatha’
banyak mengandung hadits yang berasal dari Rasulullah SAW atau
dari sahabat atau tabi’in. Hadits itu diperoleh dari 95 orang yang
kesemuanya dari penduduk Madinah, kecuali 6 orang diantaranya:
Abu Alzubair (Makkah), Humaid al-Ta’wil dan Ayyub Al-Sahtiyang
(basrah), Atha’ bin Abdullah (khurasan), abdul Karim (jazirah),
Ibrahim ibn Abi Abiah (syam).

Sedangkan yang dimaksud aspek fiqih adalah karna kitab al-


Muwaatha’ disusun berdasarkan sistematika dengan bab-bab
pembahasan layaknya kitab fiqih. Ada bab thaharah, sholat, zakat,
nikah, dan lain-lain.

Kitab lain karangan Imam Malik adalah kitab mudawwanah al-


Kubro yang merupakan kumpulan risalah yang memuat kurang lebih
1.036 masalah dari fatwa Imam Malik yang dikumpulkan oleh As’ad
bin al-Furaid Al-Naisabury yang berasal dari tunis yang pernah
menjadi murid Imam Malik.

3.1.7. Metode Istimbat Hukum Imam Malik

Imam Malik merupakan imam madzhab yang memiliki


perbedaan Istimbat hukum dengan imam mazhab lainnya. Imam Malik
sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadikan
pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka madzhab ini, murid-
murud Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu,
mengumpulkan dasar-dasar fiqhiyah Imam Malik kemudian
menuliskannya. Dasar-dasar fiqhiyah itu kendatipun tidak ditulis
sendiri oleh Imam Malik, akan tetapi mempunyai kesinabungan
48

pemikiran, paling tidak beberapa isyarat itu dapat dijumpai dalam


fatwa-fatwa Imam Malik dan bukunya “almuwaththa”. secara jelas
Imam Malik menerangkan bahwa dia mengambil “tradisi orang-orang
Madinah” sebagai salah satu sumber hukum setelah al-Qur’an dan as-
sunnah. Bahkan ia mengambil hadits Munqathi’ dan mursal selama
tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah.

Mengenai metode istimbath Imam Malik telah dijelaskan oleh


Al-qadi iyat dalam al-Mudarik dar Al Rasyid, dan juga salah seorang
fuqaha malikiyah. Kemudian dalam kitab al-Bahjah yang di simpulkan
oleh pengarang kitab Tarikh al-Madzhabil Islamiyah disebutkan
sebagai berikut:

‫وخالصة ماذكره ىذان العادلان وغْيمها إن منهاج إمام دار اذلجرة انو ايخذ‬
,‫ فان مل جيد ىف كتاب هللا تعاىل نصا ادجو اىل السنة‬,‫بكتاب هللا تعاىل اوال‬
‫ وفتاوي الصحابة واقضيتهم‬,‫ويدخل يف السنة عنده احاديث رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬
‫ ومن بعد آلة بشيىت فروعها جيئ القياس‬.‫وعمل اىل ادلدينة‬
Artinya:

“kesimpulan apa yang telah dikemukakan oleh kedua alim ulama


dan yang lainnya bahwasanya metode ijtihad imam Darul Hijrah itu
bahwa sesungguhnya mengambil dari kitab Allah SWT, apabila beliau
tidak mendapat suatu nash didalamnya maka dia mencarinya di dalam
sunnah, dan menurut beliau yang masih tergolong kategori sunnah
perkataan Rasulullah SAW, fatwa-fatwa sahabat, putusan hukum
mereka dan perbuatan penduduk Madinah. Setelah sunnah dengan
berbagai cabangnya barulah datang (dipakai) qiyas”. (Zahrah, hal.
423)
49

Walaupun para ulama hadits yang ditemui oleh Imam Malik


termasuk kelompok ulama tradisional yang menolak pemakaian akal
dalam kajian hukum, namun pengaruh Rabi’ah bin Yahya bin Sa’id
tetap kuat pada corak kajian fiqihnya. Hal ini dapat dilihat pada
metodologi kajian hukum mazhab Malik yang bersumber pada: Al-
Qur’an, Hadits, tradisi masyarakat Madinah, fatwa sahabat, qiyas,
maslahah mursalah, istihsan, sad al-dzara’i.

Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiediqy mengatakan Imam


Malik bin Anas mendasarkan fatwanya kepada kitabullah, sunnah
yang beliau pandang shohih, amal ahli Madinah, qiyas, istihsan. (Ash-
Shiedieqy, 1997, hal. 88)

Menurut as-Satibi dalam kitab al-Muwafaqot menyimpulkan


dasar-dasar Imam Malik ada empat yaitu al-Qur’an, Hadits, ijma’, ra’yu.
Sedangkan fatwa sahabat dan amal ahli Madinah digolongkan dalam
sunnah. Ra’yu meliputi maslahah mursalah, sad al-zara’i, adat (urf),
istihsan dan istishab.

Secara garis besar, dasar-dasar Imam Malik dalam menetapkan


suatu hukum dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Al-qur’an
Ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dengan bahasa arab yang diriwayatkan
secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf. (Ash-Shiedieqy,
1997, hal. 88)Dalam mengambil hukum di dalam al-Qur’an
beliau berdasarkam atas dzahir nash Al-Qur’an atau
keumamannya, meliputi mahfum al-muwaffaqah dan mafhum
aula dengan memperhatikan illatnya.
2. Sunnah (Hadits)
50

Adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir


(ketetapan) Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan
hukum. (Siroj, 1981, hal. 55) Dalam mengambil hukum, Imam
Malik mengikuti cara yang dilakukan dalam mengambil hukum
di dalam al-Qur’an. Beliau lebih mengutamakan makna yang
terkandung dalam sunnah pada dhahir sunnah ( sunnah
Mutawatir atau masyhur)
3. Amal Ahli Madinah
Mazhab Maliki memberikan kedudukan yang penting
bagi perbuatan orang-orang Madinah, sehingga kadang-kadang
mengenyampingkan hadits ahad, karena amalan ahli Madinah
merupakan pemberian oleh jama’ah sedangkan hadits ahad
merupakan pemberian perorangan. Apabila pekerjaan itu
bertentangan dengan perkerjaan orang Madinah, menurut
pandanganya sama kedudukannya dengan yang diriwayatkan
mereka, dimana mereka mewarisi pekerjaan tersebut dari
nenek moyang mereka secara berurutan sampai kepada para
sahabat.
Imam Malik mengatakan dasar amal ahli Madinah
karena mereka paling banyak mendengar dan menerima
hadits. Amal ahli Madinah yang digunakan sebagai dasar
hukum merupakan hasil mencontoh Rasulullah SAW bukan
dari Ijtihad ahli Madinah, serta amal amal ahli Madinah
sebelum terbunuhnya Usman bin Affan. (Yanggo, 1997, hal.
107)
4. Fatwa sahabat
Fatwa sahabat merupakan fatwa yang berasal dari
sahabat besar yang didasarkan pada al-naql. Dan fatwa sahabat
itu berwujud hadits yang wajib diamalkan, karena menurut
Imam Malik sahabat tersebut tidak akan memberikan fatwa
51

kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW,


dalam hal ini Imam Malik mensyaratkan fatwa sahabat
tersebut harus tidak bertentangan dengan hadits marfu’.
5. Qiyas
Qiyas merupakan menghubungkan suatu kejadian yang
tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam
hukum yang telah ditetapkan oleh nashnya karena adanya
kesamaan dua kejadian itu di dalam “illat hukum”. Dan qiyas ini
merupakan pintu awal dalam ijtihad untuk menentukan hukum
yang tidak ada nashnya baik dalam al-Qur’an atau sunnah.
(Khallaf, 2002, hal. 74)
6. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah yaitu memelihara tujuan-tujuan
syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang menolak
makhluk. Imam Malik menggunakan maslahah mursalah pada
kepentingan yang sesuai dengan semangat syari’ah dan tidak
bertentangan dengan salah satu sumbernya serta pada
kepentingan yang bersifat dharury (meliputi pemeliharaan
agama, kehidupan, akal, keturunan, dan kekayaan.
7. Istihsan
Metode istihsan hukum yang digunakan Imam Malik
adalah maslahah yang bersifat umum bukan sekedar maslahah
yang hanya berlaku untuk orang tertentu. Selain itu maslahah
tersebut juga tidak boleh bertentangan dengan ketentuan nash
(baik al-Qur’an maupun sunnah). Sedangkan istihsan menurut
hukum Islam dengan mengambil maslahah yang merupakan
bagian dari dalil yaitu bersifat kulli (menyeluruh) dengan
maksud mengutamakan al-istidlal al-mursal dari pada qiyas,
sebab menggunakan istihsan itu bukan berarti hanya
mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan
52

mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara’


secara keseluruhan. (Yanggo, 1997, hal. 109)
8. Sadd al-zara’i
Imam Malik menggunakan sadd al-zara’I sebagai landasan
dalam menetapkan hukum, karena menurutnya semua jalan
atau sebab yang menuju kepada yang haram atau larangan,
hukumnya haram. Dan semua jalan atau sebab yang menuju
kepada yang halal, halal pula hukumnya.

3.2. Profil Imam Syafi’i


3.2.1. Riwayat Hidup Imam Syafi’i
Imam Syafi’i adalah seorang ulama yang sangat masyhur.
Setiap orang memperhatikannya akan tertarik untuk mengetahui
lebih dalam pribadinya, perilakunya serta peninggalannya yang
telah membuat orang yang memperhatikannya mengobati,
memuliakan dan mengagungkannya. (asy-Syak'ah, hal. 349) Ia
ulama mujtahid (ahli ijtihad) dibidang fiqih dan salah seorang dari
empat mazhab yang terkenal dalam Islam. Ia hidup di masa
pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin dan al-Ma’mun
dari Dinasti Abbasiyah. Ia dilahirkan di Gaza, sebuah kota kecil di
Laut Tengah pada tahun 150 H / 767 M. (Rahman, 1993, hal. 159)
Imam Syafi’i dengan tenang menghembuskan nafas yang
terakhir sesudah sholat isya, malam Jum’at bulan Rajab tahun 204H
/819 M dengan disaksikan muridnya Rabi al-Jizi. (Asy-Syubarbasi,
1993, hal. 97)
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdullah
Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. ia sering dipanggil dengan nama
Abu Abdullah, karena salah seorang putranya bernama Abdullah.
Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak
pengikut, ia lebih dikenal dengan nama Imam Syafi’i dan
53

mazhabnya disebut mazhab Syafi’i. Kata Syafi’i dinisbahkan kepada


kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i ibn al-Saib. Ayahnya bernama
Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn al-Saib ibn Abdul Manaf,
sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah ibn al-Hasan
ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Dari garis keturunan ayahnya,
Imam Syafi’i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad SAW.
(Chalil M. , 1996, hal. 231)
Pada Abdul Manaf, kakek Nabi SAW. yang ketiga, sedangkan
dari pihak ibunya, ia adalah cicit dari bangsawan Arab Quraisy.
Dengan pertalian tersebut di atas, Imam Syafi’i menganggap dirinya
dari orang yang dekat kepada Rasulullah SAW, bahkan beliau dari
keturunan Zawil Kubra yang berjuang bersama dengan Rasulullah
SAW di zaman Jahiliyah dan Ialam.
Mereka bersama dengan Rasulullah juga semasa orang
Quraisy mengasingkan Rasulullah dan bersama turut menanggung
penderitaan bersama-sama dengan Rasulullah. Keluarga Imam
Syafi’i adalah dari keluarga Palestina yang miskin yang dihalau dari
segi negerinya, mereka hidup dalam perkampungan yang nyaman.
Meskipun dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam keluarga
tang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri apalagi
malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari hadits dari
ulama-ulama hadits yang banyak terdapat di Mekkah. Beliau
terpaksa mengumpulkan batu-batu yang baik, belulang, pelepah
tamar dan tulang unta untuk ditulis di atasnya. Kadangkala beliau
pergi ke tampat-tempat perkumpulan orang banyak meminta
kertas untuk menulis pelajarannya.
3.2.2. Pendidikan Imam Syafi’i
Pada waktu beliau hidup di tengah-tengah masyarakat,
mula-mula belajar dengan Muslim bin Khalid al-Zinji, kemudian
beliau melanjutkan pebelajarannya ke Madinah, dimana menemui
54

Imam Malik untuk meminta izin agar dipeekenankan meriwayatkan


hadits-haditsnya. Sebelum Imam Malik engizinkannya, Imam Syafi’i
sempat di tes untuk membaca kitab al-Muwaththa’ dihadapannya,
kemudian beliau membacanya di luar kepala.
Setelah belajar kepada Imam Malik, pada tahun 195 H. beliau
pergi ke Bagdad untuk menuntut ilmu dan mengambil pendapat-
pendapat dari murid-murid Imam Abu Hanifah, dengan cara
bermunazarah dan berdebat dengan mereka, selama dua tahun
beliau berada di Bagdad kemudian beliau ke Makkah, dilanjutkan
ke Yaman, beliau berguru pada Matrak bin Mazim dan di Irak beliau
berguru kepada Muhammad bin Hasan. Diantara guru-guru beliau
ada yang beraliran tradisional atau aliran hadits. Seperti Imam
Malik dan ada pula yang mengikuti paha, Mu’tazilah dan Syiah.
Pengalaman yang diperoleh Imam Syafi’i dari berbagai aliran Fiqh
tersebut membawanya ke dalam cakrawala berpikir yang luas,
beliau mengetahui letak keturunan dan kelemahan, luas dan
sempitnya pandangan masing-masing mazhab tersebut, dengan
bakal itulah beliau melangkah untuk mengajukan berbagai kritik
dan kemudian mengambil jalan keluarnya sendiri.
Mula-mula beliau berbeda pendapat dengan gurunya Imam
Malik. Perbedaan ini berkembang dedemikian rupa sehingga ia
menulis buku Khilaf Malik yang sebagian besar berisi kritik
terhadap pendapat (fiqh) mazhab gurunya itu. Beliau juga terjun
dalam perdebatan sengit dengan Mazhab Hanafi dan banyak
mengeluarkan koreksi terhadapnya. Dari kritik-kritik Imam Syafi’i
terhadap kedua mazhab tersebut akhirnya ia muncul dengan
mazhab baru yang merupakan sintesa antara fiqh ahli hadits dan
fiqh ahli ra’yu yang benar-benar Mazhab Syafi’i ini adalah
kehidupan empat tahunnya di Mesir. (Zaid, 1986, hal. 29)
55

3.2.3. Guru-Guru Imam Syafi’i


Al-Syafi’i menerima fiqh dan hadits dari banyak guru yang
masing-masing mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-
tempat yang berjauhan satu sama lainnya. Ada di antara gurunya
yang mu’tazilili yang memperkatakan ilmu kalam yang tidak
disukainya. Dia mengambil mana yang perlu diambil dan dia
tinggalkan mana yang perlu ditinggalkan. Al- Syafi’i menerimanya
dari ulama-ulama Mekkah, ulama-ulama Madinah, i]ulama-ulama
Irak dan ulama-ulama Yaman. (Ash-Shiedieqy, 1997, hal. 486)
Ulama-ulama di Mekkah yang menjadi gurunya adalah:
a. Muslim ibn Khalid az-Zinji
b. Sufyan ibn Uyainah
c. Said ibn al-Kudah
d. Daud ibn Abdurrahman
e. Al-Attar
f. Abdul Hamid ibn Abdul Aziz ibn Abi Daud. (Chalil M. , 1996,
hal. 149)
Ulama-ulama di Madinah yang menjadi gurunya adalah:
a. Malik ibn Anas
b. Ibrahim ibn Saad al-Ansari
c. Abdul Azizi ibn Muhammad al-Darawardi
d. Ibrahim ibn Yahya al-Asami
e. Muhammad Said ibn Abi Fudaik
f. Abdullah ibn Nafi al-Shani (Asy-Syubarbasi, 1993, hal. 135)
Ulama-ulama di Irak yang menjadi gurunya adalah:
a. Waki ibn Jarrah
b. Abu Usamah
c. Hammad ibn Usamah
d. Ismail ibn Ulaiyah
e. Abdul Wahab ibn Ulaiyah
56

f. Muhammad ibn Hasan (Zaid, 1986, hal. 487)


Ulama-ulama Yaman yang menjadi gurunya adalah:
a. Muththarif ibn Mizan
b. Hisyam ibn Yusuf
c. Hakim Shan’a (Ibu Kota Republik Yaman)
d. Umar ibn Abi Maslahah al-Auza’i
e. Yahya Hasan (Asy-Syubarbasi, 1993, hal. 122)

3.2.4. Murid-murid Imam Syafi’i


Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasanya guru-guru
dari Imam Syafi’i sangat banyak, maka tidak kurang pula murid-
muridnya. Diantara murid-murid Imam Syafi’i adalah:
a. Abu Bakar al-Humaidi
b. Ibrahim ibn Muhammad al-Abbas
c. Bau Bakar Muhammad ibn Idris
d. Musa ibn Abi al-Jarud (Asy-Syubarbasi, 1993, hal. 151)
Murid-muridnya yang keluaran Baghdad adalah:
a. Al-Hasan al-Sabah al-Za’farani
b. Al-Husain ibn Ali al-Karabisi
c. Abu Tsaur al-Baghdadi
d. Abu Ja’far at-Thabari (Asy-Syubarbasi, 1993, hal. 151)
Murid-muridnya yang keluaran Mesir adalah:
a. Al-Rabi’in ibn Sulaiman al-Muradi
b. Abdullah ibn Zuber al-Humaidi
c. Abu Ya’kub Yusuf Ibnu Yahya al-Buwaithi
d. Abu Ibrahim Ismail ibn Yahya al-Muzany
e. Al-Rabi’I ibn Sulaiman al-Jizi
f. Harmalah ibn Yahya at-Tujibi
g. Yunus ibn Abdil A’la
h. Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakam
i. Abdurrahman ibn Abdullah ibn Abdul Hakam
57

j. Abu Bakar al-Humaidi


k. Abdul Azizi ibn Umar
l. Abu Utsman, Muhammad ibn Syafi’i
m. Abu Hanifah al-Asnawi.

Murid-murid dari Imam Syafi’i dari kalangan perempuan


tercatat yaitu saudara perempuan al-Muzani. Mereka adalah para
cendikiawan besar dalam bidang pemikiran Islam dengan banyak
karangan dari bukunya, baik dalam Fiqih maupun lainnya.
(Maraghi, 2001, hal. 93)

Diantara para muridnya yang terkenal sekali adalah Ahmad


ibn Hambal yang mana beliau telah memberi jawaban kepada
pertanyaan tentang Imam Syafi’i dengan katanya: Allah Ta’ala telah
memberi kesenangan dan kemudahan kepada kami melalui Imam
Syafi’i. Kami telah mempelajari pendapat kaum-kaum dan kami
telah menyalin kitab-kitab mereka tetapi apabila Imam Syafi’i
datang kami belajar kepadanya, kami dapati bahwa Imam Syafi’i
lebih alim dari orang-orang lain.

3.2.5. Pemikiran Dan Karya Imam Syafi’i


Sebagaimana Imam Malik di mana pemikiran beliau banyak
dipengaruhi oleh tingkat kehidupan sosial masyarakat dimana
beliau tinggal, maka demikian pula Imam Syafi’i, ketika beliau
berada di Hijaz, sunnah dan juga hadits dengan tatanan kehidupan
sosial yang sederhana hingga relatif tidak banyak timbul masalah
kemasyarakatan dan cara pengambilan yang lansung dari teks al-
Qur’an serta sunnah telah memadai untuk menyelesaikannya, maka
sangat wajar jika Imam Syafi’i cendrung kepada aliran ahli hadits,
karena memang beliau menuntut ilmu dan belajar dari Imam
tersebut. Akan tetapi setelah beliau pergi ke Baghdad dan menetap
untuk beberapa tahun, serta mempelajari Fiqh Abu Hanifah dan
58

Mazhab ahli ra’yu, maka mulailah beliau condong kepada aliran


rasional ini.
Apalagi beliau menyaksikan sendiri bahwa tingginya tingkat
kebudayaan di Irak sebagai daerah yang para ahli Fiqih sering kali
tidak menemukan ketegasan jawabannya dalam al-Qur’an maupun
as-Sunnah. Keadaan inilah yang mendorong mereka untuk
melakukan ijtihad dan menggunakan rasio dalam penetapan suatu
hukum. (Maraghi, 2001, hal. 30)
Seperti penulis kemukakan diatas bahwa yang paling
menentukan keorisinilitas mazhabnya adalah kehidupan selama
empat tahun di Mesir. Memang banyak kota dimana Imam Syafi’i
mengembangkan dan mengambil ilmu, seperti Yaman. Persia,
Baghdad dan kota-kota lainnya, tetapi di Mesirlah sampai beliau
meninggal dunia. Banyak digunakan untuk menulis karya-
karyanya, bahkan untuk merevisi buku-buku yang telah ditulisnya,
juga meletakkan dasar-dasar madzhab barunya yang dikenal
dengan Qaul Jadidnya.
Dengan perpaduan pemikiran beliau akibat pengaruh dari
corak pendidikan dan pengalamannya dari berbagai Negara,
disinilah Imam Syafi’i mengkompromikannya, mengkombinasikan
serta mendiskusikan Fiqih Negara Hijaz yang menjadikan beliau
terkenal dengan ahli ra’yu.
Misalnya beliau sependapat dengan Imam Malik (ahli hadits)
dalam mengambil al-Qur’an sebagi dasar pertam hukum Islam.
Karena menurutnya as-sunnah berfungsi menjelaskan dan
menafsirkan al-Qur’an maka dia menjadikan as-sunnah sebagai
dasar hukum kedua.
Di lain pihak, Imam Syafi’i sepakat dengan mazhab Hanafi
(ahli ra’yu) dalam kecendrungan memakai ijtihad atau rasio, namun
Imam Syafi’i memberikan suatu batasan dalam dasar ijtihad atau
59

ra’yu tersebut berbentuk qiyas (analogi), dan dalam pemikiran


qiyas ini Imam Syafi’i memberikan ketentuan-ketentuannya. Beliau
juga sependapat dengan golongan Maliki dalam mengambil ijma’
sebagai sumber hukum sesudah al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi
beliau memberikan persyaratan-persyaratan yang sangat ketat
sebagai ijma’ bukan semata-mata hasil pemikiran, hasil pemikiran
tanpa ketentuan-ketentuan yang pasti. (Maraghi, 2001, hal. 34)
Terhadap karya-karya Imam Syafi’i, Imam Abu Muhammad bin
Husain bin Muhammad al-Muzani, yaitu salah seorang murid Imam
Syafi’i yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i telah mengarang kitab
sebanyak 113 kitab, baik kitab dalam ilmu Ushul Fiqh, dan lain-
lainnya, sebagai pegangan dan pengetahuan yang kita temui
sekarang.
Khusunya untuk kepustakaan Indonesia diantaranya sebagai
berikut:
a. Ar-Risalah
Kitab ini disusun berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul
fiqih yang didalamnya diterangkan pokok-pokok pegangan
Imam Syafi’i dalam mengistinbathkan atau menetapkan suatu
hukum.
b. Al-Umm
Kitab induk ini berisikan hasil-hasil ijtihad Imam Syafi’i
yang telah dikondisikan dalam bentuk juz dan jilid yang
membahas masalah thaharah, ibadah, amaliyah, hingga
masalah peradilan seperti jinayah, muamalat, munakahat dan
lain-lain sebagainya.
c. Ikhtilaf al-Hadits
Disebut Ikhtilaf al-Hadits karena di dalamnya
mengungkapkan perbedaan para ulama dalam prinsipnya
tentang hadits mulai dari sanad sampai perawi yang dapat
60

dipegangi, termasuk anlisisnya tentang hadits yang


menurutnya dapat dipegangi sebagai hujjah.
d. Musnad
Di dalam musnad isinya hampir sama dengan yang ada
di dalam kitab Ikhtilaf al-Hadits, kitab ini juga menggunakan
persoalan mengenai hadits hanya dalam hal ini terdapat kisah
bahwa hadits yang disebut dalam kitab ini adalah hadits yang
dipergunakan Imam Syafi’i, khususnya yang berkaitan dengan
fiqih dalam kitab al-umm, dimana dari segi sanadnya telah
dijelaskan secara jelas dan rinci.

3.2.6. Fiqih Imam Syafi’i


Ilmu fiqih yang dibawa oleh Imam Syafi’i merupakan suatu
zaman perkembangan fiqih dalam sejarah perundangan Islam. Oleh
sebab itu, beliau mengumpulkan atau menyatukan ilmu fiqih ahli-
ahli akal dan pikir dengan ilmu fiqih ahli-ahli akal dan hadits. Ilmu
Imam Syafi’i merupakan ikatan sunnah dengan qiyas dan pemikiran
dengan beberapa cara-cara atau peraturan untuk memahami al-
Qur’an dan hadits. Beliau juga menerapkan kaidah-kaidah
pengeluaran hukum dan kesimpulannya, oleh karena itulah beliau
berhak dianggap sebagai penulis ilmu Ushul Fiqih. (Asy-Syubarbasi,
1993)
Menurut apa yang terbukti diatas bahwa Imam Syafi’i mulai
menyusun fiqihnya setelah beliau mempelajari ilmu fiqih di
Madinah dan fiqih orang-orang Irak. Madzab Syafi’i mulai
berkembang di Mesir, yang terkenal dengan qaul jadiddnya yang
diajarkan beliau di Masjid ‘Amr ibn Ash. Perkembangan ini semakin
bertambah sejak banyaknya para ulama dan para cendikiawan yang
mengikuti pelajarannya. Seperti Muhammad ibn Abdullah ibn
61

Abdul Hakim, Ismail ibn Yahya al-Buwaithy, ar-Rabi, al-Jizi, Asyhab


Ibnu Qasim dan Ibn Mawaz.
Oleh karena itu, munculah mazhab yang telah dianut
sebelumnya, yaitu mazhab Hanafi dan mazhab Maliki. (Ibrahim,
1991, hal. 94-95). Walaupun pada tahun 197 H beliau telah
mengajarkan qaul qadimnya di Baghdad, namun perkembangan
mazhab Syafi’i barulah setelah beliau meninggal dunia yang
dikembangkan oleh Hasan ibn Muhammad al-Za’fani (wafat 260 H)

3.2.7. Metode istinbath Imam Syafi’i


Keempat Imam mazhab sepakat mengatakan bahwa sumber
hukum Islam adalah al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Dua
sumber tersebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena
keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah
SWT.
Ada juga dalil-dalil lain selain al-Qur’an dan sunnah seperti
qiyas, istihsan, istishlah, dan lainnya, tetapi dalil ini hanya dalil
pendukung yang hanya merupakan alat bantu untuk sampai kepada
hukum-hukum yang dikandung oleh al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah SAW. Karena hanya sebagi alat bantu untuk memahami
Qur’an dan sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai metode
istinbath. Oleh karena yang disebut sebagai “dalil-dalil pendukung”
di atas pasa sisi lain disebut juga sebagai metode istinbath, para
ulama Imam mazhab tidak sependapat menggunakannya sebagai
sumber hukum Islam.
Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam
Syafi’i dalam istinbath hukum antara lain:
1. Al-Qur’an
2. Sunnah
3. Ijma’
62

4. Menggunakan al-Qiyas dan at-Takhyir bila menghadapi


ikhtilaf. (Zuhri, 1996, hal. 113)

Sedangkan minhaj atau langkah-langkah ijtihad Imam Syafi’i,


seperti yang dikutip DR. Jaih Mubarok dari Ahmad Amin dalam
kitabnya Duha al-Islam, yaitu sebagai berikut:

....rujukan pokok adalah Al-Qur’an dan sunnah. Apabila suatu


persoalan tidak diatur dalam al-Qur’am dan sunnah, hukumnya
ditentukan dengan Qiyas. Sunnah digunakan apabila sanadnya sahih.
Ijma’ diutamakan atas khabar mufrad. Makna yang diambil dari
hadits adalah makna zahir. Apabila suatu lafaz ihtimal
(mengandung makna lain), maka makna zahir lebih diutamakan.
hadits munqathi' ditolak kecuali jalur Ibn Al-Musayyab As-Asl tidak
boleh diqiyaskan kepada al-asl. Kata “mengapa” dan “bagaimana”
tidak boleh dipertanyakan kepada al-Qur’an dan sunnah, keduanya
dipertanyakan hanya kepada al-Furu’. (Mubarok, 2000, hal. 105-
106)
BAB IV

PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I MENGENAI STATUS MAHAR


DALAM KASUS PERCERAIAN QABLA DUKHUL

4.1. Sebab perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Imam Syafi’i

Saat melansungkan akad nikah, ulama mazhab berpendapat bahwa


mahar termasuk syarat sahnya nikah. Oleh karena itu tidak boleh
diadakan persetujuan untuk meniadakannya. Wahbah al-Zuhaili
berpendapat bahwa mahar bukan menjadi syarat sahnya nikah, tetapi
hanya merupakan konsekwensi logis yang harus dibayarkan dengan
adanya akad nikah. Musthafa Al-Maraghi menambahkan bahwa mahar
juga berfungsi sebagai alat bukti atas kesungguhan, keseriusan atau
kuatnya hubungan dan ikatan yang dijalani oleh kedua belah pihak. (al-
Maraghi A. M., 1992, hal. 330)

Kasus perceraian ini banyak sekali mengalami pertanyaan-


pertanyaan yang berhubungan dengannya, seperti perceraian antara
suami dan istri namun mereka selama menjalankan hubungan pernikahan
belum pernah melakukan hubungan badan (dukhul).

Dalam hal ini Imam Malik dan Imam Syafi’i berbeda pendapat
tentang seorang wanita yang diceraikan sebelum digauli:

‫ مث طلقها‬,‫ أرأيت ان تزوج الرجل ادلرأة فوىبت لو صداقها قبل البناء هبا‬:‫قلت‬
‫ ال‬:‫ قال مالك‬:‫الزوج أيكون لو عليها من الصداق شيء ام ال يف قول مالك؟ قال‬
(Anas, 1994, hal. 153) .‫شيءللزوج عليها‬
Artinya:

Aku bertanya: apakah menurutmu jika seorang laki-laki


menikahi seorang wanita dan dia memberinya mahar sebelum

63
64

membangun bersamanya, kemudian suaminya menceraikannya,


apakah dia memiliki sesuatu dari maharnya atau tidak, menurut Malik?
Dia berkata: Malik berkata: tidak ada sesuatu bagi suami atasnya (dari
si istri).

‫ واذا أصدق الرجل ادلرأة داننْي او دراىم فدفعها‬:‫قال الشافعي رمحة هللا عليو‬
‫ ومها‬,‫ والداننْي والدارىم قائمة ابعياهنا مل تغْي‬,‫اليها مث طلقها قبل ان يدخل هبا‬
.‫يتصادقان على اهنا ىي أبعياهنا رجع عليها بنصفها‬
(Asy-Syafi'i, 2001, hal. 158)

Artinya:

“Imam Syafi’i berkata: Apabila seorang laki-laki memberikan


mahar kepada wanita berupa dinar atau dirham, dan mahar tersebut
telah ia serahkan kepada si wanita, kemudian ia menceraikannya
sebelum dukhul, sementara dinar atau dirham masih seperti semula
tanpa ada perubahan dan keduanya saling menyatakan bahwa dinar
dan dirham belum berubah sedikitpun, maka dia laki-laki berhak
menuntut si wanita agar mengembalikan seperdua dari mahar itu.”
(Syafi'i, Ringkasan Kitab Al Umm, 2008, hal. 487)

1. Imam Malik berpendapat bahwa suami tidak boleh meminta kembali


kepada istrinya sedikitpun.
2. Imam Syafi’i berpendapat bahwa suami boleh meminta kembali
kepada istrinya setengah mahar. (Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtashid, 2016, hal. 47-48)

Adapun sebab perbedaan pendapat kedua Imam ini adalah dalam


pertanyaan, apakah setengah mahar yang diminta oleh suami karena
perceraian terdapat pada barang yang menjadi mahar atau terdapat pada
tanggungan istri? Ulama yang mengatakan bahwa hal itu terdapat barang
65

yang menjadi mahar, mereka berpendapat bahwa suami tidak boleh


meminta kembali sedikitpun, karena dia telah memegang mahar itu
semuanya. (Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, 2016,
hal. 48)

Jadi, alasan Imam Malik mengatakan tidak boleh meminta kembali


kepada istri sedikitpun karena berpandangan bahwa barang tersebut
adalah mahar dan telah diserahkan ketika akad nikah, artinya mahar itu
telah menjadi hak miliknya si istri. Apapun bentuk pemberian ketika
akad nikah yang dijadikan sebagai mahar karena statusnya telah di
serahkan dan pemindahan hak milik maka tidak boleh di minta kembali.

Sedangkan ulama yang menganggap hal itu berada dalam


tanggungan istri, berpendapat bahwa suami boleh meminta kembali
mahar itu sekalipun istri yang memberikan, seperti jika istri memberikan
harta miliknya selain mahar itu kepada suami.

Imam Syafi’i mengatakan boleh meminta kembali kepada istri


setengah dari mahar dengan alasan bahwa mahar yang telah diberikan
kepada istri telah menjadi hak dan tanggungannya, maka boleh saja
suami meminta kepada istri asalkan pihak istri redha dan mau
memberikan kepada suaminya tersebut. (Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtashid, 2016, hal. 47)

Jadi pada konsepnya Imam Syafi’i tidak memandang kepada ain


(benda) dari mahar tersebut. Memang mahar itu telah diberikan ketika
akad nikah dan telah menjadi milik si istri. Suami yang bercerai dengan
istrinya sedangkan mereka belum berhubungan suami istri maka boleh
saja atau tidak ada larangan bagi suami untuk meminta mahar itu
kembali, sama hal nya memberikan harta miliknya selain dari mahar.
Justru yang dipandang adalah pihak si istri mau atau tidaknya
mengembalikan mahar tersebut kepada suaminya.
66

Dalam kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i beliau


mengemukakan apabila seorang laki-laki memberikan mahar kepada
wanita berupa dinar atau dirham, dan mahar tersebut telah ia serahkan
kepada si wanita, kemudian suami menceraikannya sebelum dukhul,
sementara dinar atau dirham masih seperti sediakala tanpa perubahan
dan keduanya saling membenarkan bahwa dinar dan dirham belum
berubah sedikitpun, maka laki-laki tersebut berhak menuntut si wanita
agar mengembalikan seperduanya. Jika ternyata dinar dan dirham
mengalami perubahan, maka si laki-laki dapat menuntut wanita untuk
menyerahkan seperdua dari jumlah mahar pada saat diserahkan, karena
si laki-laki itu memberikannya kepada si wanita dalam suatu akad dan
telah diserahterimakan. Dengan demikian, jika bertambah, maka
tambahan itu menjadi milik si wanita, sedangkan bila berkurang, maka ia
menanggung resikonya. (Syafi'i, Ringkasan Kitab Al Umm, 2009, hal. 487-
488)

Perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Imam Syafi’i adalah


berbeda dalam menggunakan dalil dan berbeda pandangan terhadap
memposisikan mahar yang telah diserahkan kepada si istri dan hak milik
setelah mahar diserahkan.

Dalil yang digunakan Imam Malik adalah hadits riwayat Abu


Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah:

‫ َع ْن َع ِم ِرو‬,‫ني الْ ُم َعلِّ ُم‬ ُ ْ‫س‬


ِ
َ ‫ َح َّدثَنَا ُح‬,‫ يَ ْع ِن ابْ ِن ُزَريْ ٍع‬,‫ َح َّدثَنَا يَذيْ ُد‬,‫س َّد ٌد‬ َ ‫َح َّدثَنَا ُم‬
‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو‬ َ ‫ِب‬ ٍ َّ‫ َواِبْ ِن َعب‬,‫ َع ِن ابْ ِن ُع َم َر‬,‫س‬
ُّ َِّ‫اس َع ِن الن‬ ٍ ‫ َع ْن طَ ُاو‬,‫ب‬ ٍ ‫بْ ِن ُش َعْي‬
‫ب ِىبَةً فَيَ ْرِج َع ِفْي َها إَِّال الْ َوالِ َد‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ َال ََ ُّل ل َر ُج ٍل أَ ْن يُ ْعط َي َعطيَّوً اَ ْو يَ َه‬:‫َو َسل َم قَاَل‬
َّ
‫ب ِيْ ُك ُل‬ ِ ‫فِْي َما يُ ْع ِطي َولَ َدهُ َوَمثَل الَّ ِذ ْي يُ ْع ِطي الْ َع ِطيَةَ ُمثَّ يَ ْرِج َع فِْي َها َك َمثَ ِل الْ َك ْل‬
ُ
.‫فَِإ َذا َشبِ َع قَاَء َعاَد ِ ْيف قَ ْيئِ ِو‬
67

Artinya:

Dari Ibnu Ibnu Umar dan ibnu abbas, dari Nabi SAW bersabda:
Tidaklah halal jika seorang memberikan pemberian kemudian dia menarik
lagi pemberiannya, kecuali orang tua (yang menarik lagi) sesuatu yang
telah dia berikan kepada anaknya. Perumpamaan orang yang memberi
kemudian menarik kembali pemberiannya seperti anjing yang memakan
kembali muntahannya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu
Majah) (Dawud, 3539)

Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi melarang untuk meminta


kembali barang yang telah diberikan dengan pengecualian pemberian
orang tua kepada anaknya. Pengecualian ini karena anak berada dalam
tanggungan orang tua memalui nasab. Kata “tidak halal” pada hadits
memberikan makna secara umum bahwa tidak boleh (haram) meminta
kembali sesuatu yang telah diberikan, dengan perumpamaan seperti
anjing yang memakan kembali muntahannya.

Ketentuan tidak boleh meminta kembali barang yang telah


diberikan ini menjadi landasan bagi Imam Malik mengatakan bahwa
mahar yang telah diberikan tidak boleh diminta kembali sekalipun
terjadi perceraian Qabla Dukhul . Berbeda halnya dengan mahar tersebut
belum diserahkan jika terjadi perceraian maka tidak perlu dibayarkan

Imam Malik juga mengatakan bahwa perceraian hidup Qabla


Dukhul dalam kasus ini sama halnya dengan perceraian Qabla Dukhul
dengan meninggalnya si suami yang belum menyerahkan mahar kepada
istrinya, yang mana istri tidak ada hak untuk mendapatkan mahar lagi.
Berbedanya jika suami telah memberikan maharnya ketika akad nikah
dan bercerai Qabla Dukhul maka bagi suami tidak ada hak juga untuk
meminta kembali kepada istri, karena mahar tersebut telah diserahkan
maka telah menjadi haknya si istri.
68

Sementara dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i yang


mengatakan boleh bagi suami meminta sebagian mahar kepada istri jika
terjadi perceraian Qabla Dukhul adalah berdasarkan kepada Q.S Al-
Baqarah ayat 237:

‫ضتُ ْم‬
ْ ‫ف َما فَ َر‬ ْ ِ‫ضةً فَن‬
ُ ‫ص‬ َ ْ‫ضتُ ْم َذلُ َّن فَ ِري‬ ُّ ََ‫َواِ ْن طَلَّ ْقتُ ُم ْو ُى َّن ِم ْن قَ ْب ِل أَ ْن َت‬
ْ ‫س ْو ُى َّن َوقَ ْدفَ َر‬

‫ب لِلتَّ ْق َوى َوَال‬ ِ ‫اَِّال اَ ْن يَّ ْع ُف ْو َن اَ ْويَ ْع ُف َوا الَّ ِذ ْي بِيَ ِدهِ ُع ْق َدةُ النِّ َك‬
ُ ‫اح َواَ ْن تَ ْع ُف ْوا اَق َْر‬
ِ ‫اَّلل ِِبَا تَ ْعملُو َن ب‬ ِ
‫ص ْي ٌر‬ َ َْ ََّ ‫ض َل بَ ْي نَ ُك ْم ا َّن‬
ْ ‫س ُوا الْ َف‬
َ ‫تَ ْن‬

Artinya:

“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh


(campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah
seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka
(membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada
ditangannya, pembebasan itu lebih dekat kepada taqwa. Dan janganlah
kamu lupa kabaikan diantara kamu. Sungguh Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Baqarah ayat 237)

Imam Syafi’i membenarkan bahwa boleh (tidak ada dosa) jika


menceraikan istri sebelum dukhul yang belum ditentukan maharnya dan
yang sudah ditentukan maharnya. Maka mahar yang telah ditentukan jika
terjadi perceraian Qabla Dukhul bagi suami harus membayar seperdua
dari yang telah ditentukan tersebut. Namun dalam persoalan mahar yang
telah ditentukan dan telah diberikan ketika akad nikah, maka mahar
telah menjadi haknya si istri, maka jika terjadi perceraian Qabla Dukhul ,
suami boleh meminta setengah dari mahar yang telah diberikan.

Dalam menyikapi hadits mengenai larangan untuk meminta


kembali sesuatu yang yang telah diberikan Imam Syafi’i membenarkan
hadits tersebut, namun benda pemberian dalam makna hadits berbeda
dengan pemberian mahar menurut Imam Syafi’i, sehingga ketentuan
pada hadits tersebut tidak bisa dipakaikan kepada mahar.
69

Selanjutnya Imam Syafi’i mengaitkan kepada ketentuan bahwa


mahar bisa gugur secara keseluruhan ataupun sebagian. Mahar itu gugur
apabila terjadi 3 hal berikut:

1. Apabila terjadi perceraian sebelum berhubungan suami istri


2. Apabila terjadi khulu’
3. Apabila si istri menyerahkan sepenuhnya mahar itu kepada
suaminya

Pendapat boleh meminta kembali setengah mahar karena salah


satu penyebab gugurnya mahar adalah terjadinya perceraian sebelum
berhubungan suami istri. Dikatakan gugur keseluruhan jika perceraian
itu sebelum dukhul dan belum ditentukan maharnya, sedangkan mahar
telah diberikan ketika akad nikah, maka Imam Syafi’i berpendapat
terjadinya perceraian Qabla Dukhul menyebabkan gugur sebahagian
mahar dan suami boleh meminta setengah dari mahar kepada si istri.

Imam Syafi’i tidak menyamakan pemberian mahar seperti


pemberian benda biasa yang tidak boleh diminta kembali karena hadits
tersebut tidak ada menjelaskan benda pemberian itu termasuk mahar.

4.2. Analisis penulis terhadap pendapat yang rajih mengenai status


mahar dalam kasus perceraian Qabla Dukhul

Dalam suatu hukum, tentunya ada banyak pendapat dari


beberapa kalangan ulama, bisa jadi karena berbeda-beda dalam
memahami dalil yang sama dan bisa juga karena berbeda dalam
menggunakan dalil terhadap suatu hukum. Maka dalam perbedaan
pendapat antara Imam Malik dan Imam Syafi’i ini, penulis melakukan
suatu pandangan atau analisis terkait pendapat yang rajih (kuat) yaitu
dengan menggunakan metode komperatif dengan membandingkan
kedua pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dan memilih pendapat
mana yang lebih kuat menurut penulis mengenai status mahar bagi
70

perceraian Qabla Dukhul . Setelah penulis memahami kedua pendapat


tersebut serta membandingkan, menganalisa dan memahami dalil yang
telah dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i, maka penulis
berkesimpulan untuk pendapat yang lebih rajih adalah pendapat Imam
Syafi’i.

Bahwa dalam kasus perceraian Qabla Dukhul bagi suami boleh


meminta setengah kepada si istri karena memang hak milik mahar telah
menjadi milik si istri, secara umum, maka yang menentukan tergantung
kepada istri, mau atau tidaknya untuk mengembalikan setengah dari
ukuran mahar tersebut. Namun secara khusus penulis berargumen
bahwa dalam ketentuan mahar ini tidak sempit, artinya masih ada
kaitannya dengan hal-hal lain seperti mahar itu bisa gugur jika terjadi hal
tertentu.

Alasan demikian adalah sesuai dengan pendapat yang


dikemukakan oleh Abu Zahrah mahar itu bisa gugur, sebagian atupun
semuanya, maka mahar itu gugur sebagian bila adanya perceraian Qabla
Dukhul . Dan mahar itu bisa juga gugur semuanya jika terjadi fasakh
ataupun karena murtad.

Menurut penulis pendapat yang dikemukakan oleh Imam Malik


hanya berpatokan kepada benda dari mahar itu saja yang kepemilikan
mahar telah berpindah kepada istri, penulis memilih pendapat Imam
Syafi’i karena pendapat ini tidak hanya berpatokan kepada satu hal saja
melainkan ada beberapa pertimbangan sesuai ketentuan-ketentuan
terhadap gugurnya mahar. Penulis juga beranalisis bahwa suatu
kepemilikan yang telah pindah maka dia berhak atas apa yang dia miliki
apalagi kepada istri sendiri, artinya secara umum dalam meminta
kembali mahar tersebut boleh saja tergantung kepada pihak istri mau
mengembalikan sebagian atau tidaknya seperti meminta yang lainnya
selain mahar. Kemudian mahar juga sesuatu yang jika di bayarkan maka
71

membolehkan berhubungan suami istri, sedangkan kasus perceraian ini


sebelum melakukan hubungan suami istri, inilah yang menjadi salah satu
patokan dari analisis penulis menganai status mahar Qabla Dukhul.

Berbeda halnya dengan perceraian Qabla Dukhul sedangkan


mahar belum di serahkan ketika akad nikah, maka perihal seperti ini
ulama sepakat bahwa jika terjadi perceraian terhadap perempuan Qabla
Dukhul sedangkan maharnya belum ditentukan, maka dia hanya berhak
menerima mut’ah, yaitu harta yang diberikan oleh suami kepada istri jika
melakukan perceraian dan ini bukan termasuk kepada mahar.

Ketika akad pernikahan tanpa menyerahkan mahar jika ditinjau


dari hukumnya maka pernikahan tersebut adalah sah. Pernikahan tanpa
menentukan mahar ini dinamakan dengan pernikahan tafwidh. (Zuhaily,
hal. 241) Namun ulama berpendapat jika seperti demikian, maka belum
diperbolehkannya dukhul selama belum diberikan mahar kepada si istri.

Menurut analisis penulis, berdasarkan dalil yang dikemukakan


oleh Imam Malik adalah menggunakan hadits karena memang secara
jelas tidak ada nash yang menjelaskan mengenai status mahar ini di
dalam al-Qur’an. Imam Malik dalam menetapkan suatu hukum yang
berdalil kepada al-Qur’an jika terdapat nash yang jelas terhadap suatu
hukum tertentu. Dengan demikian, Imam Malik dikenal dengan ahli ra’yu
karena dalam menetapkan suatu hukum yang tidak ada nash secara jelas
yaitu menggunakan amal ahli madinah.

Berdasarkan perbedaan mengenai mahar tersebut, faktor yang


menjadi sebab perbedaan ini adalah berbeda dalam memposisikan
mahar. Imam Malik memposisikan mahar sebagai rukun dari akad nikah,
jika salah satu rukun dalam suatu ibadah rusak atau tidak ada maka
ibadah itu akan batal. Oleh karena demikian, mahar menurut Imam Malik
tidak boleh diminta kembali jika terjadi perceraian qabla dukhul apalagi
72

setelah terjadinya dukhul. Berbeda halnya dengan pendapat Imam Syafi’i,


yaitu memposisikan mahar bukanlah rukun dalam aqad nikah tetapi
harus ada ketika berlansungnya aqad. Dengan demikian jika terjadi
perceraian qabla dukhul suami boleh meminta kembali setengah dari
mahar.

Adapun relevansinya dengan kondisi sekarang, jarang


ditemukan adanya pengembalian mahar jika terjadi kasus perceraian
qabla dukhul karena disebabkan oleh faktor urf (kebiasaan). Kebiasaan
yang terjadi dimasyarakat saat ini, mahar yang telah diberikan suami
ketika aqad nikah tidak diminta kembali dengan adanya rasa
pertimbangan si suami kepada si istri. Hal seperti demikian bukan
berarti melanggar suatu ketentuan, karena konsep dari pengembalian
mahar ini adalah sebuah kebolehan bukan ketentuan wajib untuk
diminta sebagian dari mahar jika terjadi perceraian Qabla dukhul.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah penulis lakukan terhadap status mahar


dalam kasus perceraian Qabla Dukhul dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sebab terjadinya perbedaan pendapat antara Imam Malik dan
Imam Syafi’i adalah berbeda dalam memahami dalil:
- Imam Malik mengatakan suami tidak boleh meminta kembali
mahar karena memandang kepada benda dari mahar tersebut,
yang mana mahar tersebut telah diberikan kepada istri, artinya
kepemilikan mahar telah berpindah, maka tidak boleh
meminta kembali sesuatu yang telah diberikan.
- Dalil yang digunakan oleh Imam Malik adalah Hadits dari
riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah
tentang tidak boleh meminta kembali barang yang telah
diberikan.
- Imam Syafi’i mengatakan suami boleh meminta kembali
setengah dari ukuran mahar karena memandang kepada
hakikat dari mahar tersebut yaitu pemberian dari suami
kepada istri untuk membolehkan dukhul, sedangkan
perceraian ini terjadi sebelum dukhul, sebab mahar telah
diberikan ketika akad nikah, serta ada ketentuan yang
membuat gugurnya mahar, baik gugur sebagian maupun gugur
keseluruhan, perceraian Qabla Dukhul menyebabkan gugurnya
mahar sebahagian, maka Imam Syafi’i berpendapat suami
boleh meminta kembali kepada istri setengah dari mahar.
- Dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i adalah dari Q.S Al-
Baqarah ayat 237

73
74

2. Analisis penulis terhadap pendapat yang kuat adalah pendapat


dari Imam Syafi’i karena lebih rajin dan terhadap ketentuan dari
mahar itu sendiri. pendapat ini tidak hanya memandang kepada
satu ketentuan saja, melainkan ada beberapa pertimbangan yaitu
adanya sesuatu yang menjadi sebab gugurnya mahar. Oleh karena
demikian, menurut penulis pendapat inilah yang rajih.

B. Saran

a) Kepada semua pihak yang akan melakukan pernikahan dan yang telah
berkeluarga agar menjaga hubungan pernikahan sehingga terciptanya
keluarga yang sakinah mawaddah warahmah agar tidak terjadi
perceraian.
b) Kepada semua kalangan masyarakat agar tidak saling menyalahkan
antara satu dengan yang lainnya terhadap perbedaan-perbedaan yang
terjadi terutama dalam masalah hukum.
c) Kepada penuntut ilmu supaya tidak hanya memandang hukum itu
kepada satu pendapat saja agar tidak terjadinya pemahaman yang
sempit.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Qur’an al-Karim

Al-Ashbahi, Malik bin Anas.1994. Al-Mudawwanatul Kubra. Juz-2

Alkaf, Abdullah Zaki. 2012. Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi.

Al-Malibari, Zainuddin Bin Abdul Aziz. 1993. Terjemahan Fathul Mu’in (3).

Surabaya: Al-Hidayah.

Al-Maraghi, Abdullah Musthofa. 2000. Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah.

Yogyakarta: LPPPSM.

Al-Qur’anul Karim

Ashshiddiqy, Teungku Muhammad Hasby. 1997. Pengantar Hukum islam.

Semarang: Pustaka Riski.

Asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris.2001. Al-Umm.

Asy-Syarqawi, Abdur Rahman. 2000. Riwayat 9 Imam Fiqih. Bandung:

Pustaka Hidayah.

Asy-Syurbasi, Ahmad. 1993. Sejarah dan Biografi 4 Imam Mazhab. Jakarta: PT.

Bumi Aksara.

Chalil, Moenawar. 2016. Biografi 4 Serangkai Imam Mazhab. Jakarta: Gema

Insani.

75
Ghozali, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenadamedia

Group.

Ibrahim, Muslim. 1991. Pengantar Fiqh Muqaran. Jakarta: Erlangga.

Khallaf, Abdul Wahab. 2002. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Mahmassani, Subhi. 1976. Filsafat Hukum Dalam Islam. Bandung: al-Ma’arif.

Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Cet. II.

Bandung: Rosdakarya.

Qudamah, Ibnu. 2013. Al-Mughni. Jakarta: Pustaka Azzam.

Rasyid, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid. Jakarta:

Pustaka Amani.

Rifa’i, Moh. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: CV. Toha Putra

Semarang.

Rusyd, Ibnu. 2016. Terjemahan Bidayah Al- Mujtahid wa Nihayah Al-

Muqtashid (2). Jakarta :Maktabah Asy-syuruq Ad-Dauliyyah.

Rusyd, Ibnu. 559 H. Bidayatul Mujtahid. Juz-2

Syafi’i, Imam. 2008. Terjemahan Ringkasan Kitab Al Umm. Jakarta: Pustaka

Azzam

Syaifuddin, Muhammad. 2013. Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika.


Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenadamedia

Group.

Thaimiyah, Ibnu. Terjemahan Majmu’ Fatawa tentang Nikah. Surabaya: Islam

Rahmatan Putra Azam.

Yanggo, Huzaemah Thido. 1997. Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakarta:

Logos.

Zahrah, Muhammad Abu. Tarikh al Madzahib al Islamiyah. Beirut: Dar al-Fikr.

Zuhaili, Wahbah. 2010. Terjemahan Al-Fiqhu As-Syafi’i Al-Musyassar. Jakarta:

Almahira.

Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh Islami Wa ‘Adillatuhu. Cet. Ke-4 Juz ke-9. Suriah: Dar

At-Fikr
BIODATA PENULIS

Nama : Muhammad Doni

NIM : 1813020006

Prodi : Perbandingan Mazhab

Tempat / Tgl Lahir : Koto Tuo / 26 November 1997

N0. HP : 0812-6114-4568

Alamat : Jorong Gantiang Koto Tuo,

Kanagarian Canduang Koto

Laweh,

Kec. Canduang, Kab. Agam

Orang Tua:

1. Nama Ayah : Daman Huri


Pekerjaan Ayah : Tani
2. Nama Ibu : Asnidar
Pekerjaan Ibu : Tani
3. Anak yang ke : 3 dari 3 bersaudara

Jenjang Pendidikan:

1. (2005-2011) : Sekolah Dasar Negeri (SDN) 04 Gantiang Koto Tuo


2. (2011-2015) : Madrasah Tsanawiyah Tarbiyah Islamiyah
(MTs-TI) Canduang
3. (2015-2018) : Madrasah Aliyah Tarbiyah Islamiyah (MA-TI) Canduang
4. (2018-2022) : Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang
Pengalaman Organisasi:

1. (2016-2017) : Pengurus Organisasi Santri Tarbiyah Islamiyah (OSTI)


2. (2018-2019) : Anggota Resimen Mahasiswa (MENWA)
3. (2018-2022) : Anggota Asosiasi Mahasiswa Arrasuli (AMR) Padang
4. (2018-2022) : Anggota Ikatan Mahasiswa Canduang Koto Laweh
(IMACAKO) Kota Padang
5. (2018-2022) : Anggota Ikatan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah (IMTI)
6. (2018-2020) : Anggota Ikatan Mahasiswa Sri Antokan (IMSA)
Kab. Agam
7. (2019-2020) : Komandan Detasemen Markas (Dandema) Menwa
8. (2020-2021) : Pengurus IMSA Kab. Agam
9. (2020-2021) : Pengurus HMP Perbandingan Mazhab
10. (2020-2021) : Kasi Teritorial (Kasiter) Menwa YON 103 Mahasakti
11. (2021-2022) : Wakil Ketua IMSA Kab. Agam
12. (2021-2022) : Ketua Umum HMP Perbandingan Mazhab
13. (2021-2022) : Wakil Komandan Menwa YON 103 Mahasakti
14. (2021-2026) : Pengurus Wilayah Ikatan Pemuda Tarbiyah Islamiyah
(PW-IPTI) Sumatera Barat
Pelatihan Yang Pernah Diikuti:

1. Tahun 2019 : Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Dasar (PKMD)


2. Tahun 2019 : Pendidikan Dasar Militer (DIKSARMIL) Menwa
di Batalyon Infantri 133 Yudha Sakti
3. Tahun 2019 : Kursus Kader Pelaksana (SUSKALAK) Menwa
di Batalyon Infantri 133 Yudha Sakti
4. Tahun 2020 : Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah (LKTM)
5. Tahun 2020 : Pelatihan Kewirausahaan di Fakultas Syari’ah
6. Tahun 2021 : Latihan LEMPIKUR (Lempar Pisau Sangkur)

Anda mungkin juga menyukai