Anda di halaman 1dari 201

“Saya jamin, tak mudah melupakan buku ini begitu Anda menyelesaikannya ....

Pengaruh luar biasa

buku ini sebagian datang dari fakta nyata bahwa penulisnya adalah seorang polimatik. Sedang

sebagian lainnya datang dari caranya bercerita tentang apa yang terjadi padanya—dengan penuh
semangat, bekerja dan berjuang, menolak kemudahan, menanti untuk hidup, dan belajar untuk

mati—dengan begitu baik. Tak satu pun di antaranya yang cengeng. Tak ada yang dilebih-lebihkan.
Seperti tulisannya kepada seorang teman, ‘Ini cukup tragis dan cukup bisa dibayangkan.’ Serta
cukup penting untuk bisa dilewatkan begitu saja.”

—Janet Maslin, e New York Times

“Memoar Paul Kalanithi, When Breath Becomes Air, yang ditulis saat ia menghadapi diagnosis

kanker mematikan, benar-benar menyentuh. Namun, buku ini merupakan investasi emosional
yang tak sia-sia: memoar yang mendalam dan menggugah tentang keluarga, kedokteran, dan

sastra. Secara tak terduga buku ini sangat inspiratif meski berlatar menyedihkan.”

— e Washington Post

“Memoar anumerta Paul Kalanithi, When Breath Becomes Air, memiliki daya tarik dan kebijakan

tragedi kuno Yunani ... [Kalanithi] menyampaikan kisahnya dalam sebuah prosa lugas yang indah.
Buku ini penuh dengan re eksi sarat makna sekaligus sangat pedih mengenai kematian, yang lahir

dari seorang dokter terlatih yang familier dengan apa yang ada di depan sana .... Narasinya begitu

meyakinkan dan kuat hingga Anda akan berharap dia bisa selamat dari kematiannya dan

menceritakan bagaimana keluarga dan teman-temannya selepas kepergiannya.”

— e Boston Globe

“Memilukan sekaligus spektakuler ... [Kalanithi] begitu menyenangkan, dekat, dan rendah hati

sehingga Anda akan tersedot ke dalam dunianya dan lupa ke mana kisah ini menuju.”

—USA Today

“Pendekatan [Kalanithi] yang tidak sentimental itulah yang membuat When Breath Becomes Air
sangat orisinal—sekaligus memilukan .... Satu-satunya kelemahan buku ini, sebagaimana hidup

penulisnya, adalah berakhir terlalu cepat.”


—Entertainment Weekly

“[When Breath Becomes Air] membuka kepala saya dengan keindahannya.”

—Cheryl Strayed

“Memesona, memilukan, dan sangat indah. Memoar Dr. Kalanithi yang terlalu muda ini
merupakan sebuah bukti bahwa mereka yang sekaratlah yang paling bisa mengajari kita tentang

kehidupan.”

—Atul Gawande

“Berkat When Breath Becomes Air, kita yang belum pernah bertemu langsung dengan Paul Kalanithi

akan berduka atas kematiannya, sekaligus mengambil pelajaran dari hidupnya. Buku ini merupakan

salah satu dari sedikit buku yang saya anggap sebagai sebuah berkah—Saya akan
merekomendasikannya kepada semua orang, siapa saja.”

—Ann Patchett

“Inspiratif ... perjuangan Kalanithi untuk mende nisikan peran gandanya sebagai dokter dan

pasien, serta pendapatnya dalam topik mengenai apa makna kehidupan dan bagaimana seseorang
menentukan apa yang paling penting saat hanya ada sedikit waktu .... Memoar yang sangat

menggugah ini mengungkapkan betapa banyak hal yang bisa diraih dengan pengabdian dan rasa
syukur, saat kehidupan dijalani dengan keberanian dan ketabahan.”

—Publishers Weekly

“Sebuah perenungan mengenai kematian yang menggugah dari seorang penulis berbakat dengan

dua sudut pandang dari seorang dokter dan pasien yang menjelaskan satu hal ... menulis bukanlah
bedah otak. Namun, jarang sekali ada seseorang yang begitu baik dalam menulis sekaligus sangat
terampil sebagai seorang dokter bedah saraf.”
—Kirkus Reviews (resensi berbintang)

“Memoar yang mengggugah dan menghunjam. Perenungan yang begitu mengesankan dan
menyentuh mengenai pilihan-pilihan yang membuat hidup layak dijalani, bahkan saat kematian di

depan mata. Buku ini akan mendorong pembacanya merenungi nilai dan kematian mereka sendiri.”
—Booklist

“Dr. Kalanithi menggambarkan dengan begitu jelas sekaligus sederhana, secara mendalam tanpa

sedikit pun rasa iba kepada diri sendiri. Perjalanannya dari seorang mahasiswa kedokteran yang
lugu, menjadi seorang ahli bedah saraf yang objektif dan tangguh, hingga kemudian menjadi
seorang pasien tak berdaya yang sekarat karena kanker. Tiap dokter harus membaca buku ini—

yang ditulis oleh sejawatnya sendiri, untuk bisa memahami dan mengatasi penghalang yang kita
bangun antara kita dan pasien begitu lulus dari sekolah kedokteran.”

—Henry Marsh, penulis Do No Harm: Stories of Life, Death, and Brain Surgery

“Sebuah buku mengagumkan, yang sarat dengan kehidupan, digerakkan oleh kekaguman dan
pertanyaan bagaimana seharusnya kita hidup. Paul Kalanithi hidup dan meninggal dalam
pencarian akan kesempurnaan, dan dengan testimoninya ini, ia mendapatkannya.”

—Gavin Francis, penulis Adventures in Human Being

“Buku yang hebat selalu mengajak pembacanya berbicara kepada diri sendiri. Kalanithi
mengajarkan kita bahwa hidup tak cukup dijalankan dengan satu skenario saja—terutama untuk
membahagiakan orang-orang yang kita sayangi.”

—Fahd Pahdepie, penulis, CEO Inspirasi.co


Peristiwa-peristiwa yang dijelaskan dalam buku
ini berdasarkan ingatan dr. Kalanithi terhadap
situasi yang benar-benar terjadi di dunia
nyata. Namun, nama semua pasien yang dibahas—
seandainya tercantum—telah diubah. Selain itu,
dalam setiap kasus medis yang dijelaskan,
detail-detail pengidentifikasi—misalnya usia,
gender, etnis, profesi, hubungan keluarga,
tempat tinggal, sejarah medis, dan/atau
diagnosis pasien—telah diubah. Dengan satu
perkecualian, nama semua kolega, teman, dan
dokter yang merawat dr. Kalanithi juga telah
diubah. Kesamaan dengan siapa pun yang masih
hidup atau sudah tiada, akibat penggantian nama
atau detail pengidentifikasi, sepenuhnya
bersifat kebetulan dan tidak disengaja.
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Kata Pengantar oleh Abraham Verghese
When Breath Becomes Air
Diterjemahkan dari When Breath Becomes Air
Terbitan Random House, 2016
Karya Paul Kalanithi
Cetakan Pertama, Agustus 2016
Penerjemah: Ingrid Dwijani & Yusa Tripeni
Penyunting: Ika Yuliana Kurniasih
Perancang sampul: Anas Romdoni & labusiam
Pemeriksa aksara: Fitriana & Pritameani
Penata aksara: Arya Zendi
Foto sampul: iStock
Digitalisasi: Faza Hekmatyar

Copyright © 2016 by Corcovado, Inc.


All rights reserved.
Published in the United States by Random House, an imprint and division of Penguin Random
House LLC, New York.
Random House and the House colophon are registered trademarks of Penguin Random House LLC.
Hak terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ada pada Penerbit Bentang
Diterbitkan oleh Penerbit Bentang
(PT Bentang Pustaka)
Anggota Ikapi
Jln. Plemburan No. 1, Pogung Lor, RT 11, RW 48
SIA XV, Sleman, Yogyakarta – 55284
Telp.: 0274 – 889248
Faks: 0274 – 883753
Surel: info@bentangpustaka.com
Surel redaksi: redaksi@bentangpustaka.com
http://www.bentangpustaka.com

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Kalanithi, Paul

When Breath Becomes Air/Paul Kalanithi; penerjemah: Ingrid Dwijani & Yusa Tripeni;
penyunting, Ika Yuliana Kurniasih.—Yogyakarta: Bentang, 2016.

Judul asli: When Breath Becomes Air


ISBN 978-602-291-247-7
1. Fiksi Biogra s. I. Judul.
823. 082

E-book ini didistribusikan oleh:

Mizan Digital Publishing

Jl. Jagakarsa Raya No. 40

Jakarta Selatan - 12620

Phone.: +62-21-7864547 (Hunting)

Fax.: +62-21-7864272

email: mizandigitalpublishing@mizan.com

Mizan Online Bookstore: www.mizan.com dan www.mizanstore.com


Untuk Cady
Kau yang mencari makna kehidupan dalam kematian,
Kini menjumpainya dalam udara yang pernah menjadi napas.
Nama-nama baru tak dikenal, nama-nama lama menghilang:
Hingga waktu menyudahi tubuh, tetapi bukan jiwa.
Pembaca! Maka luangkan waktu, selagi kau ada,
Beberapa langkah saja menuju keabadian.

—Baron Brooke Fulke Greville, “Caelica 83”


Daftar Isi
1. Kata Pengantar oleh Abraham Verghese
2. Prolog
3. BAGIAN I: Dengan Kesehatan Sempurna, Aku Memulai
4. BAGIAN II: Pantang Mundur hingga Ajal Menjelang
5. Epilog oleh Lucy Kalanithi
6. Ucapan Terima Kasih
Kata Pengantar
Abraham Verghese

T
erpikir olehku, selagi aku menuliskannya, bahwa kata pengantar
buku ini mungkin lebih tepat jika dianggap sebagai kata penutup.
Karena, ketika menyangkut Paul Kalanithi, semua pemahaman
tentang waktu berubah total. Mula-mula—atau mungkin pada akhirnya—
aku mengenal Paul hanya setelah kematiannya. (Bersabarlah dahulu.) Aku
mengenalnya paling akrab ketika dia sudah tiada.
Aku berjumpa dengannya pada suatu siang yang mengesankan di
Stanford awal Februari 2014. Dia baru saja menerbitkan artikel berjudul
“Seberapa Banyak Waktuku yang Tersisa?” di e New York Times, sebuah
esai yang kemudian mendatangkan respons luar biasa, curahan hati dari
para pembaca. Pada hari-hari berikutnya artikel itu meluas berlipat ganda.
(Aku dokter spesialis penyakit menular, jadi maaf kalau aku tidak
menggunakan kata “mewabah” sebagai kiasan.) Setelah itu, Paul
mengatakan ingin menemuiku untuk mengobrol dan meminta saran
mengenai agen sastra, penyunting, proses penerbitan—dia ingin menulis
buku, yaitu buku ini, yang kini sedang Anda pegang. Aku ingat matahari
menerobos masuk dari balik pohon magnolia di luar kantorku dan
menerangi adegan ini: Paul duduk di hadapanku, sepasang tangan
indahnya sama sekali tidak bergerak, jenggot nabinya lebat, mata gelapnya
mengamatiku. Dalam ingatanku, pemandangan itu punya kualitas seperti
lukisan Vermeer, dengan ketajaman camera obscura. Aku ingat berpikir,
Kau harus mengingat momen ini, karena gambaran yang jatuh ke retinaku
sangatlah berharga. Juga karena, dalam konteks diagnosis Paul, aku tidak
hanya menyadari mortalitasnya, tetapi juga mortalitasku sendiri.
Siang itu kami bicara banyak hal. Paul adalah kepala dokter residen
bedah saraf. Kami mungkin pernah bersilang jalan pada suatu waktu,
tetapi tidak ingat apakah kami pernah menangani pasien yang sama. Dia
mengatakan bahwa dia mengambil Jurusan Bahasa Inggris dan Biologi
ketika kuliah sarjana di Stanford, lalu tetap menekuninya untuk meraih
gelar master dalam Sastra Inggris. Kami membicarakan kecintaan seumur
hidupnya pada menulis dan membaca. Terpikir olehku bahwa dia bisa
dengan mudah menjadi dosen Bahasa Inggris—dan memang, tampaknya
dia pernah menempuh jalur itu pada suatu waktu dalam hidupnya.
Namun, kemudian, persis seperti yang terjadi kepada Rasul Paulus dalam
perjalanannya menuju Damaskus, dia merasa terpanggil. Dia akhirnya
menjadi dokter, tetapi selalu bermimpi untuk kembali ke dunia
kesusastraan dalam bentuk tertentu. Sebuah buku, mungkin. Suatu hari
nanti. Dia mengira dirinya punya waktu, jadi kenapa tidak? Namun, kini
justru waktulah yang hanya sedikit sekali dimilikinya.
Aku ingat senyuman Paul yang lembut dan masam, ada sedikit
kenakalan di sana, walaupun wajahnya tampak kurus dan lelah. Dia telah
mengalami cobaan berat sehubungan dengan kankernya, tetapi terapi
biologis baru telah menghasilkan respons yang baik, memungkinkannya
untuk sedikit memandang ke depan. Katanya, pada saat kuliah kedokteran
dia berasumsi hendak menjadi psikiater, tetapi kemudian malah jatuh
cinta pada bedah saraf.
Ini bukan sekadar jatuh cinta pada segala
kerumitan otak, bukan sekadar kepuasan melatih
sepasang tangannya untuk meraih kesuksesan-
kesuksesan menakjubkan—ini adalah cinta dan
empati terhadap orang-orang yang menderita,
terhadap apa yang mereka tanggung, dan apa
yang bisa dia lakukan untuk membantu mereka.

Kurasa Paul tidak bercerita sebanyak ini karena aku lebih banyak
mendengar mengenainya dari mahasiswa-mahasiswaku yang menjadi
asistennya: Paul sangat meyakini dimensi moral dalam pekerjaannya. Lalu,
kami membicarakan kematiannya yang menjelang.
Setelah pertemuan itu, kami terus berhubungan lewat surel, tetapi tak
pernah berjumpa kembali. Bukan hanya karena aku menghilang ke dalam
duniaku sendiri yang dipenuhi tenggat waktu dan tanggung jawab,
melainkan aku juga sangat paham bahwa aku harus menghormati waktu
yang dimilikinya. Biar Paul yang memutuskan kalau dia ingin menemuiku.
Kurasa dia tak perlu terbebani kewajiban membina pertemanan baru.
Akan tetapi, aku sering merenungkan Paul dan istrinya. Aku ingin
bertanya apakah dia menulis. Sempatkah dia? Selama bertahun-tahun,
sebagai dokter yang sibuk, aku selalu berjuang mencari waktu untuk
menulis. Aku ingin memberitahunya bahwa seorang penulis terkenal, yang
bersimpati terhadap masalah abadi ini, pernah berkata kepadaku,
“Seandainya aku dokter bedah saraf dan mengatakan harus meninggalkan
tamu-tamuku untuk melakukan kraniotomi darurat, tak seorang pun akan
berkomentar. Namun, seandainya aku mengatakan harus meninggalkan
tamu-tamuku di ruang duduk dan pergi ke lantai atas untuk menulis .…”
Aku bertanya-tanya apakah Paul akan menganggap hal ini menggelikan.
Lagi pula, dia memang bisa mengatakan hendak melakukan kraniotomi!
Ini masuk akal! Namun, kemudian dia bisa pergi untuk menulis.
Selagi menulis buku ini, Paul menerbitkan esai singkat yang luar biasa di
Stanford Medicine, dalam edisi yang membahas gagasan mengenai waktu.
Esaiku juga dimuat dalam edisi yang sama. Artikelku berdampingan
dengan artikelnya walaupun sumbangan tulisannya baru kuketahui ketika
majalah itu sudah berada di tanganku. Ketika membaca kata-kata Paul,
sekilas bisa kulihat lebih dalam lagi sesuatu yang diisyaratkan dalam
esainya di e New York Times: tulisan Paul benar-benar menakjubkan. Dia
bisa menulis mengenai apa saja, dan tulisannya akan sama hebatnya.
Namun, dia tidak menulis mengenai apa saja—dia menulis tentang waktu
dan apa arti waktu baginya sekarang, sehubungan dengan penyakitnya.
Dan, ini membuat segalanya begitu mengharukan.
Akan tetapi, aku harus kembali pada hal yang satu ini: prosa Paul tak
terlupakan. Dia memintal emas dengan penanya.
Aku membaca tulisan Paul berulang-ulang, berusaha memahami apa
yang dikemukakannya. Pertama, tulisan Paul bagai musik. Tulisannya
bergema layaknya puisi Galway Kinnell, nyaris seperti puisi prosa.
(“Jika kebetulan pada suatu hari / kau
mendapati dirimu bersama seseorang yang kau
cintai / di sebuah kafe di salah satu ujung /
Pont Mirabeau, di bar bermeja kayu kemerahan /
dengan anggur dalam gelas-gelas tegak terbuka
.…” Itulah larik Kinnell, dari puisi yang pernah
kudengar dibacakannya di sebuah toko buku di
Iowa City tanpa pernah menunduk membaca dari
kertasnya.)
Akan tetapi, tulisan Paul juga memiliki cita rasa lain, sesuatu dari tanah
kuno, dari masa sebelum bar-bar bermeja kayu kemerahan ada. Akhirnya,
terpikirkan olehku beberapa hari kemudian ketika aku kembali membaca
esainya: tulisan Paul mengingatkanku pada tulisan omas Browne.
Browne menulis Religio Medici dalam bentuk prosa pada 1642, lengkap
dengan semua ejaan dan penuturan kunonya. Semasa menjadi dokter
muda, aku terobsesi dengan buku itu, terus membacanya seperti petani
yang berupaya mengeringkan rawa walaupun ayahnya telah gagal
melakukannya. Itu tugas yang sia-sia, tetapi aku ingin sekali memahami
rahasia-rahasia buku itu, yang kulemparkan dengan frustrasi, lalu
kupungut kembali, tidak yakin buku itu punya sesuatu untukku. Namun,
ketika menyuarakan kata-katanya, aku merasa buku itu punya sesuatu
untukku. Aku merasa tidak memiliki reseptor kritis yang diperlukan agar
huruf-huruf itu menyanyi dan menyampaikan makna mereka. Buku itu
tetap kabur, tak peduli seberapa keras aku berusaha memahaminya.
Anda mungkin bertanya mengapa. Mengapa aku terus berupaya? Siapa
yang peduli terhadap Religio Medici?
Well, pahlawanku, William Osler, peduli, dan itulah sebabnya. Osler
adalah Bapak Kedokteran Modern, lelaki yang wafat pada 1919. Dia
menyukai buku itu. Dia menyimpannya di nakas. Dia minta dikuburkan
bersama buku Religio Medici. Sekeras apa pun aku berusaha, aku sama
sekali tidak memahami apa yang dilihat Osler dari buku itu.
Setelah banyak upaya—dan setelah beberapa dekade berlalu—akhirnya
buku itu mengungkapkan dirinya kepadaku. (Aku terbantu karena edisi
yang lebih baru menggunakan ejaan modern.) Ternyata triknya adalah
dengan membaca keras-keras agar iramanya tak terlewatkan: “Kita
membawa ketakjuban itu, kita mencari di luar diri kita: Ada seluruh Afrika
dan keajaibannya dalam diri kita; kita adalah secuil alam yang pemberani
dan berjiwa petualang; dan orang yang mengamati, dengan bijak akan
mempelajarinya secara ringkas, padahal yang lainnya bersusah payah
menghadapinya dalam bentuk potongan terpisah dan buku tebal.”
Ketika Anda tiba di paragraf terakhir buku Paul, bacalah keras-keras dan
Anda akan mendengar kalimat panjang yang sama, irama yang menurut
Anda selaras dengan ketukan kaki .… Namun, sama seperti ketika
menghadapi karya Browne, Anda hanya akan tersesat. Terpikir olehku
bahwa Paul adalah kebangkitan-kembali Browne. (Atau, mengingat bahwa
beranjaknya waktu hanyalah ilusi kita, mungkin malah Browne yang
merupakan kebangkitan-kembali Kalanithi. Ya, ini sangat
membingungkan.)
Lalu, Paul berpulang. Aku menghadiri upacara pemakamannya di gereja
Stanford, ruangan indah yang sering kukunjungi ketika sedang sepi, untuk
duduk dan mengagumi cahayanya, keheningannya, dan di sanalah aku
selalu mendapatkan penyegaran. Gereja itu dipenuhi orang yang
mengikuti kebaktian. Aku duduk agak jauh di samping, mendengarkan
serangkaian cerita haru dan terkadang heboh dari teman-teman terdekat
Paul, pendetanya, dan saudara laki-lakinya.
Ya, Paul sudah tiada, tetapi anehnya aku merasa mulai mengenalnya,
melebihi saat kunjungannya ke kantorku, melebihi beberapa esai yang
ditulisnya. Dia menjelma dalam kisah-kisah yang diungkapkan di Gereja
Memorial Stanford. Kubah katedral yang menjulang menjadi ruangan yang
pas untuk mengenang lelaki yang kini tubuhnya terkubur di dalam tanah,
tetapi yang tetap saja terasa begitu hidup. Dia menjelma dalam bentuk istri
dan bayi perempuan tercintanya, orangtua dan saudara-saudara
kandungnya yang berduka; dia menjelma di wajah begitu banyak teman,
kolega, dan mantan pasien yang menyesaki tempat itu; lalu dia ada di
perjamuan, di luar ruangan dilatari begitu banyak orang yang berkumpul.
Aku melihat wajah-wajah yang tampak tenang, tersenyum, seakan-akan
mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang teramat sangat indah di
dalam gereja. Mungkin ekspresi wajahku juga seperti itu: kami
menemukan makna dalam ritual kebaktian, dalam ritual pengucapan
eulogi, dalam air mata yang menetes bersama-sama. Ada makna lebih
lanjut yang muncul saat perjamuan, tempat kami memuaskan dahaga,
memberi makan tubuh kami, dan bercakap dengan orang-orang asing yang
terhubung secara akrab dengan kami lewat Paul.
Akan tetapi, ketika menerima halaman-halaman yang kini Anda pegang,
dua bulan setelah kematian Paul, barulah aku merasa bahwa pada akhirnya
aku mengenalnya, mengenalnya lebih baik daripada sekadar teman.
Setelah membaca buku yang hendak Anda baca ini, kuakui aku merasa
tidak layak: ada kejujuran dan kebenaran dalam tulisan itu yang
membuatku terpana.
Bersiaplah. Duduklah. Lihatlah seperti apa
keberanian itu. Lihatlah betapa beraninya
mengungkapkan diri dengan cara seperti itu.
Akan tetapi, yang paling penting, lihatlah seperti apa hidup yang terus
berlanjut itu, yang secara luar biasa memengaruhi kehidupan orang lain
setelah Anda tiada, lewat kata-kata Anda. Di dunia dengan komunikasi
yang tidak sinkron, ketika kita sering kali begitu asyik di depan layar,
dengan pandangan terpaku pada benda persegi empat yang mendengung
di tangan kita, dan perhatian kita dikuasai oleh sesuatu yang fana,
berhentilah dan resapi dialog dengan kolega mudaku yang sudah tiada ini,
yang kini kekal dan tetap hidup dalam ingatan. Dengarkanlah Paul. Dalam
keheningan di antara kata-katanya, dengarkanlah respons apa yang
hendak Anda sampaikan kepadanya. Itulah pesannya. Aku telah
menerimanya. Kuharap Anda merasakannya juga. Ini karunia. Aku tak
akan menghalangi Anda mengenal Paul.
Prolog

Webster sangat terobsesi dengan kematian


Dan melihat tengkorak di balik kulit;
Dan makhluk-makhluk tanpa dada di bawah tanah
Bersandar dengan seringai tak berbibir.

—T.S. Eliot, “Bisik-Bisik Keabadian”

S
epintas kulihat gambar-gambar pemindaian CT, diagnosisnya
sudah jelas: paru-paru dipenuhi tumor yang tak terhitung
banyaknya, tulang belakang berubah bentuk, satu lobus hati rusak.
Itu adalah kanker yang telah menyebar luas. Aku adalah dokter residen
bedah saraf yang sedang menjalani tahun terakhir pelatihan. Selama enam
tahun terakhir, aku telah meneliti banyak sekali gambar pemindaian
semacam itu, berharap menemukan prosedur tertentu yang mungkin
bermanfaat bagi pasien. Namun, ini berbeda: ini gambar pemindaian
tubuhku sendiri.
Aku tidak sedang berada di ruang radiologi, berseragam operasi dan
berjubah putih. Aku mengenakan jubah pasien, terhubung dengan tiang
infus, menggunakan komputer yang ditinggalkan perawat di kamar rumah
sakitku bersama istriku yang seorang internis, Lucy, di sampingku.
Kembali kuteliti setiap urutannya: gambar paru-paru, gambar tulang,
gambar hati, berpindah dari atas ke bawah, lalu dari kiri ke kanan,
kemudian dari depan ke belakang, persis seperti pelatihan yang kudapat,
seakan-akan aku bisa menemukan sesuatu yang bisa mengubah
diagnosisnya.
Kami sama-sama berbaring di ranjang rumah sakit.
Lucy berkata, dengan lirih, seakan-akan sedang membaca dari skrip,
“Menurutmu, ada kemungkinan sesuatu yang lain?”
“Tidak,” jawabku.
Kami berpelukan erat seperti sepasang kekasih muda. Setahun yang lalu
kami berdua sudah curiga, tetapi menolak untuk percaya, atau bahkan
membahas, bahwa kanker sedang berkembang dalam tubuhku.
Sekitar enam bulan sebelumnya, bobotku mulai merosot dan aku
menderita sakit punggung parah. Ketika berpakaian pada pagi hari, ikat
pinggangku bergeser satu lubang, lalu dua lubang lebih ketat. Aku
menemui dokter umum langgananku, mantan teman kuliah di Stanford.
Saudara laki-lakinya meninggal tiba-tiba semasa menjadi dokter residen
bedah saraf setelah mengabaikan tanda-tanda infeksi ganas, jadi dia
mengawasi kesehatanku layaknya seorang ibu. Namun, setibanya di sana,
aku mendapati dokter yang berbeda di kantornya—ternyata mantan
teman kuliahku itu sedang cuti hamil.
Dengan mengenakan jubah biru tipis di atas ranjang periksa yang
dingin, kujelaskan gejala-gejala penyakitku kepada dokter perempuan itu.
“Tentu saja,” kataku, lalu melanjutkan, “seandainya ini pertanyaan ujian
kompetensi—lelaki berusia 35 tahun dengan penurunan bobot tak
terjelaskan dan permulaan sakit punggung—jawabannya pasti (C) kanker.
Namun, mungkin aku hanya bekerja terlalu keras. Entahlah. Aku ingin
menjalani MRI untuk memastikan.”
“Kurasa kita harus melakukan röntgen dahulu,” katanya. MRI untuk
sakit punggung biayanya mahal dan, belakangan ini, pencitraan yang tidak
perlu telah menjadi fokus nasional untuk mengusahakan penghematan
biaya. Namun, nilai gambar pemindaian juga bergantung pada apa yang
dicari: röntgen bisa dibilang tidak berguna untuk mendeteksi kanker.
Tetap saja, bagi banyak dokter, memerintahkan MRI pada tahap awal
seperti ini adalah bentuk pembelotan. Dia melanjutkan, “Gambar röntgen
tidak benar-benar peka, tetapi masuk akal jika kita memulainya dari sana.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita melakukan röntgen eksi-ekstensi
saja—mungkin diagnosis yang lebih realistis adalah spondilolistesis
ismik?”
Lewat pantulan cermin dinding, aku bisa melihat dokter itu mencarinya
di Google.
“Itu pars fracture yang menyerang hingga 5% orang dan sering menjadi
penyebab sakit punggung pada mereka yang masih muda.”
“Oke, kalau begitu, akan kuperintahkan röntgen eksi-ekstensi.”
“Terima kasih,” kataku.
Mengapa aku begitu berwibawa ketika mengenakan jubah dokter bedah,
tetapi begitu penurut ketika berjubah pasien? Sebenarnya aku tahu lebih
banyak mengenai nyeri punggung daripada dokter itu—setengah
pelatihanku sebagai dokter bedah saraf berhubungan dengan gangguan
tulang punggung. Namun, mungkin spondi lebih besar kemungkinannya.
Persentase penyakit itu memang cukup besar pada orang dewasa muda—
dan kanker tulang belakang di usia 30-an tahun? Kemungkinannya tak
akan melebihi satu di antara sepuluh ribu. Seandainya pun kanker tulang
belakang seratus kali lipat lebih lazim daripada itu, penyakit tersebut
masih kalah lazim jika dibandingkan spondi. Mungkin aku hanya panik.
Hasil röntgennya tampak baik-baik saja. Kami menyimpulkan gejala-
gejala penyakitku sebagai akibat kerja keras dan tubuh yang menua. Kami
menjadwalkan janji temu lanjutan, lalu aku kembali bekerja untuk
menyelesaikan kasus terakhirku pada hari itu. Penurunan bobotku
melambat dan nyeri punggungnya menjadi tertahankan. Dosis ibuprofen
yang sewajarnya mampu membuatku bertahan sepanjang hari. Lagi pula,
tak banyak lagi hari kerja melelahkan selama empat belas jam yang harus
kujalani. Perjalananku dari mahasiswa kedokteran menjadi dosen bedah
saraf sudah hampir selesai: setelah menjalani sepuluh tahun pelatihan
tanpa kenal lelah, aku bertekad untuk bertahan selama lima belas bulan
lagi hingga pelatihanku berakhir. Aku telah mendapatkan penghormatan
dari para seniorku, meraih penghargaan nasional yang prestisius, dan
sedang mempertimbangkan tawaran kerja dari beberapa universitas
terkemuka. Ketua program studiku di Stanford baru-baru ini mengajakku
bercakap-cakap, kemudian berkata, “Paul, kurasa kau akan menjadi
kandidat nomor satu saat melamar pekerjaan apa pun. Asal tahu saja,
kami hendak mulai mencari seseorang sepertimu di fakultas. Aku tidak
menjanjikan apa-apa, tentu saja, tetapi itu sesuatu yang harus kau
pertimbangkan.”
Pada usia 36 tahun, aku telah mencapai puncak gunung; aku bisa
melihat Tanah yang Dijanjikan, dari Gilead sampai Jerikho hingga Laut
Mediterania. Aku bisa melihat kapal katamaran cantik di laut yang akan
kugunakan bersama Lucy dan anak-anak kami nanti pada akhir pekan.
Aku bisa melihat ketegangan di punggungku terurai selagi jadwal kerjaku
berkurang dan kehidupan menjadi lebih mudah dikelola. Aku bisa melihat
diriku pada akhirnya menjadi suami yang telah kujanjikan.
Lalu, beberapa minggu kemudian, aku mulai mengalami serangan-
serangan nyeri dada yang parah. Apakah aku menabrak sesuatu di tempat
kerja? Tulang rusukku, entah bagaimana, retak? Terkadang, pada malam
hari, aku terbangun di atas seprai basah dengan keringat bercucuran.
Bobotku mulai anjlok lagi, kini semakin cepat, dari 80 menjadi 65
kilogram. Aku menderita batuk berkepanjangan. Hanya tersisa sedikit
keraguan. Pada suatu Sabtu siang aku dan Lucy berbaring di bawah
matahari di Taman Dolores di San Francisco, menunggu saudara
perempuan Lucy. Sekilas Lucy melirik layar ponselku yang menayangkan
hasil-hasil pencarian basis data medis: “frekuensi kanker pada usia 30
hingga 40 tahun.”
“Apa?” katanya. “Aku tidak tahu kau benar-benar mengkhawatirkan
persoalan ini.”
Aku tidak menjawab. Aku tak tahu harus berkata apa.
“Kau mau menceritakannya kepadaku?” tanyanya.
Lucy marah karena dia juga mengkhawatirkan hal yang sama. Dia marah
karena aku tidak membicarakan hal itu dengannya. Dia marah karena aku
menjanjikan sebuah kehidupan, tetapi memberinya kehidupan lain.
“Tolong coba katakan kenapa kau tidak menceritakannya kepadaku?”
tanyanya.
Aku mematikan ponsel. “Ayo kita cari es krim,” kataku.

M inggu berikutnya adalah jadwal berlibur kami untuk mengunjungi


beberapa mantan teman kuliah di New York. Mungkin tidur
nyenyak dan beberapa gelas koktail bisa membantu kami agar bisa
terhubung kembali dan meredakan ketegangan pernikahan kami.
Akan tetapi, Lucy punya rencana lain. “Aku tidak ikut ke New York
bersamamu,” katanya beberapa hari sebelum perjalanan itu. Dia hendak
pindah selama seminggu; dia ingin punya waktu untuk merenungkan
kondisi pernikahan kami. Dia mengatakannya dengan nada datar dan itu
hanya semakin memperparah serangan vertigo yang kurasakan.
“Apa?” sahutku. “Tidak.”
“Aku sangat mencintaimu, itulah sebabnya ini sangat membingungkan,”
jawab Lucy. “Namun, aku khawatir kita tidak menginginkan hal yang sama
dari hubungan kita. Aku merasa kita tidak sepenuhnya terhubung. Aku
tidak ingin mengetahui kekhawatiran-kekhawatiranmu secara kebetulan.
Ketika aku bercerita kepadamu bahwa aku merasa terisolasi, tampaknya
kau tidak menganggap itu sebagai masalah. Aku perlu melakukan sesuatu
yang berbeda.”
“Segalanya akan baik-baik saja,” kataku. “Ini hanya masalah
pelatihanku.”
Apakah segalanya benar-benar seburuk itu? Pelatihan bedah saraf, salah
satu spesialisasi kedokteran yang paling berat dan menantang, jelas telah
membebani pernikahan kami. Ada begitu banyak malam ketika aku pulang
larut dari kerja, setelah Lucy tidur, lalu tumbang di lantai ruang tamu,
kelelahan; juga ada begitu banyak pagi ketika aku pergi bekerja dalam
kegelapan awal hari sebelum Lucy terbangun.
Akan tetapi, karier kami kini memuncak—sebagian besar universitas
menginginkan kami berdua: aku di bagian bedah saraf, Lucy di bagian
penyakit dalam. Kami telah berhasil melewati bagian tersulit dalam
perjalanan kami. Bukankah kami telah mendiskusikan ini lusinan kali?
Tidakkah dia menyadari bahwa ini waktu terburuk baginya untuk
mengacaukan segalanya? Tidakkah dia melihat bahwa pelatihanku tinggal
setahun lagi, bahwa aku mencintainya, bahwa kami sudah begitu dekat
dengan kehidupan bersama yang selalu kami idam-idamkan?
“Seandainya hanya masalah pelatihan, aku sanggup menghadapinya,”
kata Lucy. “Kita sudah berhasil hingga sejauh ini. Namun, masalahnya
adalah, bagaimana kalau itu bukan hanya masalah pelatihan? Apakah kau
benar-benar menganggap segalanya akan lebih baik ketika kau sudah
menjadi dokter bedah saraf akademis?”
Kuusulkan untuk membatalkan perjalanan itu, untuk menjadi lebih
terbuka, untuk menemui terapis pernikahan yang disarankannya beberapa
bulan lalu, tetapi Lucy bersikeras bahwa dia perlu waktu—sendirian. Pada
saat itu kabut kebingungan seketika lenyap dan hanya meninggalkan
tepian tajam. Baiklah, kataku. Kalau dia memutuskan untuk pergi, aku
akan menganggap hubungan kami sudah berakhir. Jika ternyata
menderita kanker, aku tak akan memberitahunya—dia bebas menjalani
kehidupan apa pun yang dipilihnya.
Sebelum berangkat ke New York, aku menyelipkan beberapa janji temu
medis untuk menyingkirkan beberapa kemungkinan jenis kanker yang
umum diderita oleh orang muda. (Testis? Tidak. Melanoma? Tidak.
Leukemia? Tidak.) Layanan bedah saraf selalu sibuk, seperti biasa. Kamis
malam berubah menjadi Jumat pagi ketika aku terjebak di ruang operasi
selama 36 jam penuh, menangani serangkaian kasus yang sangat rumit:
aneurisme raksasa, bypass arteri intraserebral, malformasi arteriovenosa.
Diam-diam aku membisikkan ucapan terima kasih ketika dokter
penanggung jawab pasien masuk, memberiku waktu beberapa menit
untuk menyandarkan punggung di dinding. Satu-satunya kesempatan
untuk melakukan röntgen dada adalah ketika aku meninggalkan rumah
sakit, dalam perjalanan pulang sebelum menuju bandara. Aku berpikir
bahwa jika aku memang menderita kanker, ini mungkin menjadi kali
terakhir aku akan bertemu teman-temanku, atau bisa juga aku tidak
menderita kanker, jadi sama sekali tidak ada alasan untuk membatalkan
perjalanan itu.
Aku bergegas pulang untuk mengambil tas-tasku. Lucy mengantarku ke
bandara dengan mobil dan mengatakan bahwa dia telah menjadwalkan
kami untuk mengikuti terapi pernikahan.
Dari gerbang keberangkatan, aku mengiriminya pesan singkat:
“Seandainya saja kau ada di sini.”
Beberapa menit kemudian, muncul jawaban darinya: “Aku mencintaimu.
Aku akan ada di sini ketika kau kembali.”
Punggungku sangat kaku selama penerbangan dan ketika aku tiba di
Stasiun Grand Central untuk menaiki kereta ke rumah temanku di bagian
utara, tubuhku dijalari rasa nyeri. Selama beberapa bulan terakhir aku
terserang kejang punggung dengan tingkat keparahan berbeda-beda,
mulai dari rasa nyeri yang bisa diabaikan sampai rasa nyeri yang
membuatku berhenti bicara untuk mengertakkan gigi hingga rasa nyeri
begitu parah yang membuatku meringkuk di lantai dan berteriak. Rasa
nyeri ini cenderung menuju ujung spektrum yang lebih parah. Aku
berbaring di bangku keras di ruang tunggu, merasakan otot-otot
punggungku meliuk-liuk, bernapas untuk mengendalikan rasa nyeri—
ibuprofen sama sekali tidak mempan—dan menyebut setiap otot yang
mengejang untuk mencegah keluarnya air mata: erector spinae, rhomboid,
latissimus, piriformis .…
Seorang penjaga keamanan mendekat. “Pak, Anda tidak boleh berbaring
di sini.”
“Maaf,” kataku tersengal-sengal. “Kejang … punggung … parah.”
“Anda tetap tidak boleh berbaring di sini.”
Maaf, tetapi aku sekarat gara-gara kanker.
Kata-kata itu tertahan di lidahku—tetapi bagaimana jika tidak?
Mungkin ini hanya sesuatu yang harus dijalani oleh penderita nyeri
punggung. Aku tahu banyak soal nyeri punggung—anatominya,
siologinya, kata-kata berbeda yang digunakan pasien untuk menjelaskan
beragam jenis rasa nyeri—tetapi aku tak tahu seperti apa rasanya.
Mungkin memang seperti ini. Mungkin. Atau, mungkin aku tidak ingin
mendapat kesialan. Mungkin aku hanya tidak ingin mengucapkan kata
“kanker” keras-keras.
Aku menegakkan tubuh dan berjalan terpincang-pincang menuju peron.
Hari sudah sore ketika aku tiba di rumah temanku di Cold Spring, 80
kilometer di utara Manhattan, di dekat Sungai Hudson. Kedatanganku
disambut selusin teman terdekatku bertahun-tahun yang lalu. Sorak-sorai
sambutan mereka berbaur dengan keriuhan anak-anak kecil yang gembira.
Pelukan-pelukan menyusul, lalu badai dan kegelapan sedingin es menjalari
tanganku.
“Lucy tidak ikut?”
“Urusan pekerjaan mendadak,” jawabku. “Pada menit terakhir.”
“Oh, sayang sekali!”
“Kalian keberatan kalau aku meletakkan tas-tasku dan beristirahat
sejenak?”
Tadinya aku berharap beberapa hari di luar RO (ruang operasi), dengan
tidur, istirahat, dan relaksasi yang memadai—singkatnya cita rasa
kehidupan normal—bisa menyurutkan gejala-gejala penyakitku menjadi
spektrum nyeri punggung dan kelelahan yang normal. Namun, setelah
satu atau dua hari, jelas penyakitku sama sekali tidak mereda.
Aku tidur sepanjang sarapan dan beringsut ke meja makan siang untuk
menatap piring-piring berisikan cassoulet dan kaki kepiting yang tak
sanggup kusantap. Saat makan malam, aku sudah kelelahan dan siap
untuk tidur lagi. Terkadang aku membacakan cerita untuk anak-anak,
tetapi seringnya mereka bermain-main di atas dan di sekitarku, melompat
dan berteriak-teriak. (“Anak-anak, kurasa Paman Paul perlu istirahat.
Kenapa kalian tidak bermain di sana saja?”) Aku ingat ketika aku menjadi
konselor perkemahan musim panas selama satu hari, lima belas tahun
yang lalu, duduk di pinggir danau di California Utara bersama
segerombolan anak kecil periang yang menggunakanku sebagai
penghalang dalam permainan rumit Rebut Bendera, sementara aku
membaca buku berjudul Death and Philosophy.
Aku sering menertawakan keganjilan momen itu: seorang pemuda 20
tahun di antara keindahan pepohonan, danau, pegunungan, kicau burung
berbaur dengan teriakan anak-anak periang berusia 4 tahun, asyik
membaca buku hitam kecil mengenai kematian. Baru sekarang, dalam
momen ini, aku merasakan kemiripannya: alih-alih Danau Tahoe, ini
Sungai Hudson; anak-anaknya bukan anak orang asing, melainkan anak
teman-temanku; alih-alih buku mengenai kematian, tubuh sekaratkulah
yang saat ini memisahkanku dari kehidupan di sekelilingku.
Pada malam ketiga aku bercakap dengan Mike, tuan rumah kami, untuk
memberitahunya bahwa aku hendak memperpendek liburan dan pulang
keesokan harinya.
“Kau tampak kurang sehat,” katanya. “Semuanya baik-baik saja?”
“Kenapa kita tidak mengambil beberapa botol scotch kemudian duduk
bersama?” jawabku.
Di depan perapian aku berkata, “Mike, kurasa aku mengidap kanker.
Dan, bukan jenis yang jinak juga.”
Itulah kali pertama aku mengucapkan kata itu keras-keras.
“Oke,” kata Mike. “Kurasa ini bukan semacam lelucon?”
“Ya.”
Mike terdiam. “Aku tak tahu harus berkata apa.”
“Well, kurasa, pertama-tama harus kukatakan bahwa aku tidak tahu
persis apakah aku terkena kanker. Aku hanya merasa sangat yakin—
banyak gejala penyakitnya yang mengarah ke sana. Besok aku akan pulang
dan mencari tahu. Kuharap aku keliru.”
Mike menawarkan diri untuk menyimpan koperku, lalu
mengirimkannya ke rumah sehingga aku tak perlu membawa-bawanya
selama perjalanan pulang. Dia mengantarku ke bandara keesokan paginya
dan enam jam kemudian aku mendarat di San Francisco. Ponselku
berdering ketika aku melangkah keluar dari pesawat. Telepon dari dokter
umum langgananku yang mengabarkan hasil röntgen: paru-paruku, alih-
alih jernih, tampak kabur, seakan-akan lensa kamera perekamnya telah
dibiarkan terbuka terlalu lama. Dia mengatakan tidak yakin apa artinya
itu.
Kemungkinan besar dia tahu apa artinya itu.
Aku tahu.
Lucy menjemputku di bandara, tetapi aku menunggu hingga kami tiba
di rumah untuk memberitahunya. Kami duduk di sofa, dan ketika kuberi
tahu, dia mengerti. Dia menyandarkan kepala di bahuku, dan jarak di
antara kami menghilang.
“Aku membutuhkanmu,” bisikku.
“Aku tak akan pernah meninggalkanmu,” sahut Lucy.
Kami menelepon seorang teman dekat, salah seorang dokter bedah saraf
di rumah sakit, dan memintanya untuk memasukkanku ke sana.
Aku menerima gelang plastik yang dipakai semua pasien, mengenakan
jubah rumah sakit biru muda yang tak asing lagi, berjalan melewati
perawat-perawat yang kukenal, dan dimasukkan ke sebuah kamar—kamar
tempatku menemui ratusan pasien selama bertahun-tahun. Di kamar ini
aku pernah duduk bersama pasien-pasienku untuk menjelaskan diagnosis
mematikan dan prosedur operasi yang rumit; di kamar ini aku pernah
memberi selamat kepada pasien yang sembuh dari penyakit dan melihat
kegembiraan mereka karena dikembalikan pada kehidupan mereka; di
kamar ini aku pernah mengumumkan kematian pasien. Di kamar ini aku
pernah duduk di kursi, mencuci tangan di wastafel, menulis instruksi-
instruksi di papan tulis putih, mengganti kalender. Dan, saat didera
keletihan yang amat sangat, aku dahulu bahkan ingin berbaring di ranjang
ini dan terlelap. Kini aku benar-benar berbaring di sana, terjaga
sepenuhnya.
Seorang perawat muda, yang belum pernah kujumpai, melongokkan
kepala ke kamar.
“Dokter akan segera datang.”
Dan, seiring perkataan itu, masa depan yang kubayangkan, yang
sebentar lagi akan terwujud, puncak dari perjuanganku selama berdekade-
dekade, menguap.
Lalu, kekuasaan TUHAN meliputi aku, dan Ia membawa aku ke luar dengan perantaraan
Roh-Nya, dan menempatkan aku di tengah-tengah lembah yang penuh dengan tulang-
tulang.

Ia membawa aku melihat tulang-tulang itu berkeliling-keliling dan sungguh, amat


banyak bertaburan di lembah itu; lihat, tulang-tulang itu amat kering.

Lalu, Ia berfirman kepadaku, “Hai, anak manusia, dapatkah tulang-tulang ini


dihidupkan kembali?”

—Yehezkiel 37:1–3, Alkitab terjemahan Raja James

A
ku tahu pasti bahwa aku tak akan pernah menjadi dokter. Aku
berbaring di bawah matahari, bersantai di plato gurun persis di
atas rumah kami. Pamanku, seorang dokter, seperti profesi
banyak kerabatku yang lain, sebelumnya bertanya kepadaku apa yang
kurencanakan untuk karierku, kini setelah aku hendak kuliah, dan
pertanyaan itu nyaris tak berkesan. Seandainya dipaksa menjawab, kurasa
aku akan mengatakan bahwa aku ingin menjadi penulis. Namun,
sejujurnya, pikiran mengenai karier pada saat itu tampak absurd.
Beberapa minggu lagi aku akan meninggalkan kota kecil Arizona ini dan,
alih-alih merasa seperti orang yang sedang bersiap mendaki tangga karier,
aku lebih merasa seperti elektron berdengung yang hendak mencapai
kecepatan untuk terlepas, terlempar ke jagat raya yang asing dan
berkilauan.
Aku berbaring di sana, di tanah, bermandikan cahaya matahari dan
kenangan, merasakan ukuran kota ini yang menciut; kota berpenduduk 15
ribu orang, berjarak 1.000 kilometer dari asrama kampus baruku di
Stanford beserta semua janjinya.
Aku mengenal kedokteran hanya melalui ketidakhadirannya—secara
spesi k, ketidakhadiran seorang ayah ketika aku tumbuh besar, seseorang
yang pergi bekerja sebelum fajar dan pulang dalam kegelapan untuk
menyantap sepiring hidangan makan malam yang dipanaskan kembali.
Ketika aku berusia 10 tahun, ayahku memindahkan kami—tiga bocah
laki-laki berusia 14, 10, dan 8 tahun—dari Bronxville, New York, daerah
pinggiran kota yang padat dan makmur persis di utara Manhattan, ke
Kingman, Arizona, lembah gurun yang dikelilingi dua rangkaian
pegunungan, yang dikenal dunia luar terutama sebagai tempat untuk
mengisi bensin dalam perjalanan menuju tempat lain.
Ayahku terpikat oleh mataharinya, oleh biaya hidupnya—bagaimana
lagi dia bisa membiayai ketiga putranya untuk kuliah di universitas yang
diinginkannya?—dan oleh peluang membuka praktik kardiologi
regionalnya sendiri. Dedikasinya yang tak kenal lelah terhadap para pasien
membuat ayahku diterima sebagai anggota komunitas yang dihormati tak
lama setelah menetap di sana. Ketika kami benar-benar bertemu
dengannya, larut malam atau saat akhir pekan, dia menunjukkan
campuran antara kasih sayang manis dan perintah galak, peluk cium
bercampur pernyataan keras, “Mudah sekali menjadi yang nomor satu:
temukan orang yang nomor satu, lalu raih satu angka lebih tinggi daripada
nilainya.” Dia telah mencapai semacam kompromi dalam pikirannya
bahwa peran sebagai ayah bisa disaring; luapan-luapan berintensitas
tinggi yang singkat dan padat (tetapi jujur) bisa disamakan dengan … apa
pun yang dilakukan oleh ayah-ayah lain. Yang kupahami hanyalah, jika itu
yang harus dibayar untuk menjadi dokter, harganya terlalu mahal.
Dari plato gurun itu, aku bisa melihat rumah kami, persis di luar garis
batas kota, di kaki Pegunungan Cerbat, di antara gurun batu merah yang
ditumbuhi semak mesquite, tumbleweeds, dan kaktus berbentuk pedal di
sana sini. Di luar sini angin berdebu mendadak berpusar-pusar ke atas,
mengaburkan penglihatan, lalu menghilang. Kekosongan membentang,
lalu menghilang di kejauhan. Kedua anjing kami, Max dan Nip, tak pernah
jemu dengan kebebasan seperti ini. Setiap hari mereka pergi menjelajah
dan membawa pulang semacam harta karun gurun: kaki kijang, cabikan-
cabikan daging kelinci untuk disantap belakangan, tengkorak kuda yang
memutih dikelantang matahari, tulang rahang coyote.
Aku dan teman-temanku juga mencintai kebebasan itu dan kami
menghabiskan sesiangan dengan menjelajah, berjalan-jalan, mencari
tulang dan sungai gurun yang langka. Setelah menghabiskan tahun-tahun
awalku di pinggiran kota yang tak begitu rimbun di Timur Laut, dengan
toko permen dan jalanan utama yang didereti pepohonan, aku
menganggap gurun liar yang berangin ini sangat asing dan memikat.
Dalam perjalanan seorang diri pertamaku sebagai bocah berusia 10
tahun, aku menemukan jeruji penutup saluran irigasi yang sudah usang.
Aku membukanya paksa dengan jemariku, mengangkatnya, dan di sana,
beberapa inci dari wajahku, tampak tiga jaring putih yang bagaikan sutra.
Pada masing-masing jaring terdapat tubuh bulat hitam mengilat, berhias
gambar jam pasir merah darah mengerikan, berjalan dengan kaki-kaki
kurus mereka yang panjang. Di dekat setiap laba-laba itu, terdapat sebuah
kantong pucat berdenyut-denyut, dipenuhi janin laba-laba black widow
yang tak terhitung banyaknya.
Kengerian membuatku menjatuhkan kembali jeruji itu. Aku
terjengkang. Kengerian itu bersumber dari berbagai macam “fakta desa”
(Tak ada yang lebih mematikan dibandingkan gigitan laba-laba black widow)
dan postur ganjil, kilau hitam, serta gambar jam pasir merah yang ada di
tubuh laba-laba itu. Setelah peristiwa itu, aku dihantui mimpi buruk
selama bertahun-tahun.
Gurun menawarkan berbagai kengerian: tarantula, laba-laba serigala,
laba-laba biola, kalajengking kulit kayu, kalajengking cambuk, kelabang,
ular punggung-berlian, ular derik sidewinder, ular derik Mojave. Pada
akhirnya kami mengenal, bahkan merasa nyaman, dengan makhluk-
makhluk ini. Sekadar iseng, ketika aku dan teman-temanku menemukan
sarang laba-laba serigala, kami akan menjatuhkan seekor semut ke tepi
jaring dan menyaksikan ketika upaya semut itu untuk meloloskan diri dari
belitan menciptakan riak-riak yang menjalari benang-benang sutra itu,
menuju lubang hitam yang ada di pusatnya. Kami menantikan momen
fatal ketika laba-laba menyeruak dari lubang jaringnya dan menyambar
semut sial itu dengan rahang bawahnya. Fakta desa adalah istilah yang
kupakai untuk menggantikan legenda kota. Ketika kali pertama
mengenalnya, fakta desa memberikan kekuatan dongeng pada makhluk-
makhluk gurun dan membuat, misalnya, kadal monster Gila sama
nyatanya dengan Gorgon, makhluk dalam mitologi Yunani. Hanya setelah
tinggal di gurun selama beberapa waktu, barulah kami menyadari bahwa
beberapa fakta desa, seperti misalnya keberadaan jackalope, semacam
terwelu bertanduk rusa, sengaja diciptakan untuk membingungkan orang
kota dan menghibur penduduk lokal. Aku pernah menghabiskan waktu
satu jam untuk meyakinkan sekelompok murid pertukaran pelajar dari
Berlin bahwa, ya, memang ada spesies coyote tertentu yang tinggal di
dalam kaktus dan bisa melompat sejauh 10 meter untuk menyerang
mangsanya (misalnya, orang Jerman yang tidak waspada). Namun, tak
seorang pun tahu persis kebenarannya di antara pasir yang berpusar-
pusar; karena, untuk setiap fakta desa yang tampak mustahil, ada satu
fakta yang terasa mantap dan nyata. Selalu periksa sepatumu kalau-kalau
ada kalajengkingnya, misalnya, kedengaran sangat masuk akal.
Ketika berusia 16 tahun, aku diharuskan mengantar adik laki-lakiku,
Jeevan, ke sekolah dengan mobil. Pada suatu pagi, seperti biasa, aku
terlambat bangun dan, ketika Jeevan berdiri dengan tidak sabar di ruang
depan, berteriak bahwa dia tak mau dihukum lagi gara-gara
keterlambatanku, jadi tolong bergegaslah, aku cepat-cepat menuruni
tangga, membuka pintu depan … dan nyaris menginjak ular derik
sepanjang 2 meter yang sedang terlelap. Ada fakta desa lain yang
menyebutkan bahwa kalau kita membunuh ular derik di ambang pintu
rumah kita, pasangan dan anak-anaknya akan datang untuk bersarang
secara permanen di sana, seperti ibu monster Grendel yang berniat
membalas dendam. Jadi, aku dan Jeevan melakukan undian: yang
beruntung harus mengambil sekop, yang tidak beruntung harus
mengambil sarung bantal dan sarung tangan tebal untuk berkebun. Dan,
setelah melakukan serangkaian gerakan serius sekaligus menggelikan,
kami berhasil memasukkan ular itu ke sarung bantal. Lalu, bagaikan
pelempar martil Olimpiade, kulemparkan semuanya ke gurun, kemudian
berencana untuk mengambil sarung bantalnya belakangan siang nanti
agar tidak terlibat masalah dengan ibu kami.

D i antara banyak misteri masa kecil kami, yang terutama bukanlah


mengapa ayah kami memutuskan untuk memboyong keluarganya ke
kota gurun Kingman, Arizona, yang kemudian kami sukai, melainkan
bagaimana cara Ayah meyakinkan Ibu untuk ikut serta dengannya. Mereka
kawin lari dengan penuh cinta, melintasi dunia, dari bagian selatan India
ke New York City (ayahku Kristen, ibuku Hindu, pernikahan mereka
dikutuk oleh keluarga dari kedua belah pihak dan menimbulkan keretakan
keluarga selama bertahun-tahun—ibu dari ibuku tak pernah mengakui
namaku, Paul, tetapi bersikeras agar aku dipanggil dengan nama tengahku,
Sudhir), lalu ke Arizona. Di sini ibuku terpaksa menghadapi ketakutannya
yang luar biasa dan sulit diatasi terhadap ular. Bahkan, ular red racer yang
paling kecil, paling imut, dan paling tidak berbahaya pun bisa
membuatnya berteriak memasuki rumah, lalu mengunci semua pintu dan
mempersenjatai diri dengan perkakas besar dan tajam yang ada di
dekatnya—garu, parang, dan kapak.
Ular memang menjadi sumber kecemasan terus-menerus, tetapi masa
depan anak-anaknyalah yang paling ditakuti ibuku. Sebelum kami pindah,
kakak laki-lakiku, Suman, sudah hampir menyelesaikan SMA di
Westchester County yang lulusan-lulusannya biasa diterima di universitas
elite. Suman diterima di Stanford tak lama setelah tiba di Kingman dan
segera meninggalkan rumah. Namun, kami menyadari bahwa Kingman
bukanlah Westchester. Ketika ibuku meneliti sistem sekolah negeri di
Mohave County, dia menjadi kalut. Sensus Amerika Serikat baru-baru ini
mengidenti kasi Kingman sebagai distrik paling tak berpendidikan di
Amerika. Tingkat putus sekolah di SMA-nya lebih dari 30%. Hanya
segelintir pelajar yang meneruskan ke universitas dan jelas tidak ada yang
kuliah di Harvard, standar keunggulan bagi ayahku. Untuk mendapatkan
saran, ibuku menelepon teman-teman dan kerabat-kerabatnya di
pinggiran kota Pantai Timur yang kaya, dan mendapati bahwa sebagian
dari mereka bersimpati, sementara yang lainnya merasa senang karena
anak-anak mereka tak perlu bersaing lagi dengan anak-anak keluarga
Kalanithi yang mendadak kurang pendidikan.
Pada malam hari ibuku menangis, terisak-isak sendirian di ranjangnya.
Ibuku, yang khawatir sistem sekolah tak bermutu akan menghambat
kemajuan anak-anaknya, mendapatkan, entah dari mana, “daftar bacaan
untuk persiapan universitas”. Ibuku sendiri, yang kuliah di India untuk
menjadi psikolog, menikah pada usia 23 tahun, dan sibuk membesarkan
tiga anak di tempat yang bukan negaranya sendiri, belum membaca
banyak buku yang ada di dalam daftar itu. Namun, dia memastikan anak-
anaknya tidak kekurangan bacaan. Dia menyuruhku membaca 1984 ketika
aku berusia 10 tahun; buku itu rupanya menanamkan kepedulian dan
kecintaan mendalamku terhadap bahasa.
Berbagai buku dan penulis lain menyusul selagi kami mengikuti daftar
itu secara berurutan: e Count of Monte Cristo, Edgar Allan Poe, Robinson
Crusoe, Ivanhoe, Gogol, e Last of the Mohicans, Dickens, Twain, Austen,
Billy Budd .… Menginjak usia 12 tahun, aku memilih sendiri buku-
bukunya, dan kakakku, Suman, mengirimiku buku-buku yang sudah
dibacanya di universitas: e Prince, Don Quixote, Candide, Le Morte
D’Arthur, Beowulf, oreau, Sartre, Camus. Beberapa buku meninggalkan
jejak lebih dalam daripada buku-buku lainnya. Brave New World melandasi
lsafat moralku yang baru muncul dan menjadi topik esaiku untuk
mendaftar ke universitas, esai berisi pendapatku yang menyatakan bahwa
kebahagiaan bukanlah tujuan hidup. Hamlet membantuku ribuan kali
melewati krisis remaja pada umumnya. “To His Coy Mistress” dan puisi-
puisi romantis lainnya menuntunku dan teman-temanku melewati
berbagai kesialan yang menyenangkan selama SMA—kami sering
mengendap-endap pada malam hari, misalnya untuk menyanyikan
“American Pie” di bawah jendela kapten tim pemandu sorak. (Ayahnya
pendeta lokal, jadi kami beralasan bahwa kemungkinan kecil dia akan
menembak kami.) Setelah tepergok pulang pada saat fajar dari
petualangan larut malam semacam itu, ibuku merasa khawatir dan
menginterogasiku dengan saksama mengenai obat-obatan yang
dikonsumsi remaja, tanpa pernah curiga bahwa hal paling memabukkan
yang pernah kualami sejauh itu adalah buku puisi romantis pemberiannya
minggu lalu.
Buku menjadi sahabat terdekatku, lensa sangat
peka yang memberikan pandangan-pandangan baru
mengenai dunia.
Dalam upaya memastikan anak-anaknya berpendidikan, ibuku
berkendara mengantarkan kami sejauh lebih dari 160 kilometer ke utara,
ke kota besar terdekat, Las Vegas, agar kami bisa mengikuti ujian PSAT,
SAT, dan ACT. Dia bergabung dengan dewan sekolah, menggerakkan guru-
guru, dan menuntut agar kelas Advanced Placement1 ditambahkan ke
dalam kurikulum. Ibuku menjadi fenomena: dia berupaya seorang diri
mengubah sistem sekolah Kingman, dan berhasil. Mendadak muncul
perasaan di seluruh SMA kami bahwa yang menjadi de nisi cakrawala
bukan lagi kedua rangkaian pegunungan yang membatasi kota, melainkan
apa yang membentang di baliknya.
Pada tahun terakhir masa SMA sahabatku, Leo, peringkat kedua di
sekolah dan anak termiskin yang kukenal, mendapat saran dari guru
pembimbing sekolah. “Kau pintar—kau lebih baik mendaftar untuk
menjadi tentara.”
Leo menceritakannya kepadaku setelah itu. “Sialan,” katanya. “Kalau kau
hendak kuliah di Harvard, atau Yale, atau Stanford, aku juga.”
Aku tak tahu mana yang lebih menyenangkan bagiku, ketika aku
diterima di Stanford atau ketika Leo diterima di Yale.
Musim panas berlalu dan, karena perkuliahan di Stanford dimulai
sebulan lebih lambat daripada universitas-universitas lain, semua
temanku berpencaran, meninggalkanku sendirian. Hampir setiap siang
aku berjalan ke gurun sendirian, tidur siang dan melamun hingga pacarku,
Abigail, menyelesaikan giliran kerjanya di satu-satunya kedai kopi di
Kingman. Gurun menawarkan jalan pintas, melintasi pegunungan hingga
ke kota, dan berjalan kaki lebih menyenangkan daripada menyetir mobil.
Abigail berusia awal 20-an tahun, mahasiswi di Scripps College yang,
karena ingin menghindari pinjaman biaya pendidikan, cuti satu semester
untuk mengumpulkan uang kuliah. Aku terpikat oleh kematangannya,
oleh perasaan bahwa dia mengetahui rahasia-rahasia yang hanya bisa
didapat di kampus—dia kuliah psikologi!—dan kami sering bertemu
begitu dia selesai bekerja. Dia menjadi pertanda rahasia, dunia baru yang
menantiku beberapa minggu lagi saja. Suatu siang aku terbangun dari
tidur, mendongak, dan melihat burung-burung hering terbang berputar-
putar, mengiraku bangkai. Aku menengok arloji; sudah hampir pukul 3.00
sore. Aku akan terlambat. Aku membersihkan celana jinsku dan berlari-
lari kecil sepanjang perjalanan melintasi gurun hingga pasir berubah
menjadi trotoar dan bangunan-bangunan pertama muncul. Aku berbelok
dan mendapati Abigail, dengan sapu di tangan, sedang membersihkan
lantai kedai kopi.
“Mesin espresso-nya sudah kubersihkan,” katanya, lalu melanjutkan,
“jadi tidak ada es kopi susu untukmu hari ini.”
Setelah lantai selesai disapu, kami masuk ke kedai. Abigail berjalan ke
mesin kas dan mengambil buku yang disimpannya di situ. “Ini,” katanya
sambil melemparkan buku itu kepadaku. “Kau harus membaca ini. Kau
selalu membaca semacam sampah berbudaya-tinggi—mengapa kau tidak
mencoba sesuatu yang ringan sesekali?”
Itu novel lima ratus halaman berjudul Satan: His Psychotherapy and Cure
by the Unfortunate Dr. Kassler, J.S.P.S., karya Jeremy Leven. Aku membawa
pulang buku itu dan membacanya dalam satu hari. Itu bukan budaya
tinggi. Seharusnya lucu, tetapi ternyata tidak. Namun, buku itu memang
membuat asumsi serampangan bahwa pikiran hanyalah hasil kerja otak,
dan gagasan ini sangat memikatku; ini mengejutkan pemahaman naifku
mengenai dunia. Tentu saja itu seharusnya benar—jika tidak, apa yang
dilakukan otak kita? Walaupun manusia punya kehendak bebas, kita juga
organisme biologis—otak adalah organ, tunduk pada semua hukum sika
juga! Kesusastraan memberikan berbagai penuturan mengenai makna
menjadi manusia; maka, otak adalah mesin yang entah bagaimana
memungkinkan hal itu. Rasanya seperti sihir. Malam itu, di kamarku, aku
membuka katalog mata kuliahku di Stanford, yang telah kubaca lusinan
kali, lalu meraih Stabilo. Selain semua kelas sastra yang telah kutandai,
aku juga mulai mencari kelas biologi dan ilmu saraf.

B eberapa tahun kemudian aku belum berpikir banyak mengenai karier,


tetapi sudah hampir menyelesaikan kuliah sarjana dalam Sastra
Inggris dan Biologi Manusia.
Alih-alih kesuksesan, aku lebih terdorong oleh
upaya untuk memahami dengan sungguh-sungguh:
Apa yang membuat kehidupan manusia bermakna?

Aku masih menganggap kesusastraan memberikan penuturan terbaik


mengenai kehidupan pikiran, sementara ilmu saraf memaparkan
peraturan-peraturan otak yang paling elegan. Makna, walaupun
merupakan konsep rumit, seakan-akan tak terpisahkan dari hubungan
antarmanusia dan nilai-nilai moral. e Waste Land karya T.S. Eliot
sangatlah berpengaruh, menghubungkan ketidakbermaknaan dengan
isolasi, dan pencarian gigih terhadap hubungan antarmanusia. Aku
mendapati kiasan-kiasan Eliot meresap ke dalam bahasaku sendiri. Para
penulis lain juga berpengaruh. Nabokov, atas kesadarannya mengenai
betapa penderitaan bisa menjadikan kita kebal terhadap penderitaan
nyata orang lain. Conrad, atas pemahamannya yang sangat peka mengenai
betapa kesalahan komunikasi di antara orang-orang bisa begitu
berdampak terhadap kehidupan mereka. Kesusastraan bukan hanya
menjabarkan pengalaman orang lain, melainkan aku yakin juga
memberikan materi terkaya untuk perenungan moral. Perjalanan
singkatku ke dalam etika formal lsafat analitis terasa sangat kering,
tanpa adanya kekacauan dan bobot kehidupan manusia yang nyata.
Sepanjang masa kuliah, studi ilmiah kontemplatifku mengenai makna
manusia berbenturan dengan keinginanku untuk menempa dan
memperkuat hubungan-hubungan antarmanusia yang membentuk makna
itu.
Jika kehidupan yang tak disertai pemahaman
tidak layak dijalani, apakah kehidupan yang
tidak dijalani layak dipahami?
Ketika memasuki musim panas pada tahun keduaku, aku melamar
untuk dua pekerjaan: sebagai pemagang di Pusat Riset Primata Yerkes
yang sangat ilmiah di Atlanta dan sebagai pembantu koki di Kamp Sierra,
tempat liburan keluarga untuk alumni Stanford di pantai Danau Fallen
Leaf yang berbatasan dengan keindahan menakjubkan Desolation
Wilderness di Hutan Nasional Eldorado. Brosur kamp itu hanya
menjanjikan musim panas terbaik dalam hidupmu. Aku terkejut dan
tersanjung ketika lamaranku diterima. Namun, waktu itu aku baru tahu
bahwa monyet macaca punya sebentuk budaya dasar, jadi aku ingin bekerja
di Yerkes dan melihat kemungkinan asal alami dari makna itu sendiri.
Dengan kata lain, aku bisa memilih untuk mempelajari makna atau
mengalaminya.
Setelah menunda selama mungkin, akhirnya aku memilih kamp itu.
Kemudian, aku mampir ke kantor pembimbing biologiku untuk
memberitahukan putusanku. Ketika aku berjalan masuk, dia sedang
duduk di balik mejanya, asyik membaca jurnal, seperti biasa. Dia adalah
lelaki bermata sayu yang ramah sekaligus pendiam, tetapi ketika aku
memberitahukan rencanaku, dia menjadi orang yang benar-benar berbeda:
dia langsung membelalak, wajahnya bersemu merah, dan bintik-bintik
ludah berhamburan.
“Apa?” katanya. “Ketika kau dewasa, kau akan menjadi ilmuwan atau …
koki?”
Pada akhirnya, semester berakhir dan aku menyusuri jalanan gunung
yang berliku-liku menuju kamp, masih merasa sedikit khawatir jangan-
jangan aku telah membuat putusan yang keliru dalam hidupku. Namun,
keraguanku hanya bertahan sebentar. Kamp itu memenuhi janjinya,
menghimpun semua pemandangan ideal masa muda: keindahan mewujud
dalam semua danau, gunung, dan orang; kekayaan mewujud dalam
pengalaman, percakapan, dan persahabatan. Pada malam-malam bulan
purnama cahaya membanjiri seluruh hutan belantara sehingga kami bisa
mendaki tanpa menggunakan lampu kepala. Kami tiba di jalan setapak
pada pukul 2.00 dini hari, mendaki ke puncak terdekat, Gunung Tallac,
persis sebelum matahari terbit; malam cerah berbintang terpantul di
danau-danau datar dan tenang yang tersebar di bawah kami. Sambil
berdesak-desakan di dalam kantong tidur di puncak, hampir 3.000 meter
tingginya, kami menahan embusan-embusan angin dingin dengan kopi
yang dibawa seseorang dengan bijaknya. Lalu, kami duduk menyaksikan
selagi pertanda pertama cahaya matahari dan semburat biru mudanya
langit merembes keluar dari cakrawala timur, perlahan menghapus
bintang-bintang. Langit pagi menyebar luas dan tinggi hingga cahaya
pertama matahari muncul. Para penglaju pagi tampak mulai meramaikan
jalanan-jalanan Danau Tahoe Selatan di kejauhan. Namun, ketika
mendongak, kita bisa melihat birunya hari memenuhi setengah belahan
langit, sedangkan di barat, malam masih belum tertaklukkan—hitam
kelam, bintang-bintang berkilau terang, bulan purnama masih terpaku di
langit. Di timur matahari bersinar sepenuhnya ke arahmu; di barat malam
bertakhta tanpa menunjukkan tanda-tanda akan menyerah. Tak ada lsuf
yang bisa menjelaskan keagungan ini lebih baik daripada mengalaminya
sendiri, berdiri di antara siang dan malam. Rasanya seakan-akan inilah
momen ketika Tuhan berkata, “Jadilah terang!” Mau tak mau kau akan
merasakan keberadaanmu yang hanya seperti bintik kecil dilatari luasnya
gunung, bumi, jagat raya, tetapi kau juga masih merasakan kedua kakimu
menjejak lereng, yang kembali menegaskan kehadiranmu di antara
keagungan itu.
Inilah musim panas di Kamp Sierra, yang mungkin tidak berbeda dari
semua kamp lainnya, tetapi di sana setiap hari serasa dipenuhi kehidupan
dan hubungan yang memberikan makna pada kehidupan. Pada malam-
malam lain sekelompok dari kami berada di balkon ruang makan,
menyesap wiski bersama asisten direktur kamp tersebut, Mo, alumnus
Stanford yang sedang cuti dari studi doktoral dalam Bahasa Inggris,
sambil mendiskusikan sastra dan masalah-masalah berat kehidupan
pascaremaja. Pada tahun berikutnya dia kembali menempuh studi
doktoralnya, kemudian mengirimiku cerita pendek pertamanya yang
diterbitkan, yang meringkas kebersamaan kami.

K ini mendadak aku tahu apa yang kuinginkan. Aku ingin para
pembimbing menumpuk kayu bakar … dan membiarkan abuku
berjatuhan, kemudian berbaur dengan pasir. Tulang-tulangku hilang di
antara kayu apung, gigi-gigiku lenyap di antara pasir .… Aku tidak
memercayai kebijakan anak kecil, juga kebijakan para tetua. Ada momen,
titik puncak, ketika jumlah total pengalaman yang terhimpun digerus oleh
detail-detail kehidupan. Kita tak pernah sebijak ketika hidup dalam
momen ini.

S ekembalinya di kampus, aku tidak merindukan monyet-monyet itu.


Kehidupan terasa kaya dan bernas, dan selama dua tahun berikutnya
aku terus mencari pemahaman lebih mendalam mengenai kehidupan
pikiran. Aku mempelajari sastra dan lsafat untuk memahami hal yang
membuat kehidupan bermakna, mempelajari ilmu saraf dan bekerja di lab
fMRI untuk memahami cara otak bisa membuat suatu organisme mampu
menemukan makna di dunia, dan memperkaya hubunganku dengan
sekelompok teman dekat lewat berbagai petualangan. Kami menyerbu
kafetaria sekolah dengan berpakaian seperti orang Mongolia;
menciptakan kelompok persaudaraan palsu, lengkap dengan acara-acara
inisiasi palsu di rumah kecil kami; berpose di depan gerbang Istana
Buckingham mengenakan kostum gorila; menyusup ke dalam Gereja
Memorial pada tengah malam untuk berbaring telentang dan
mendengarkan suara kami menggema di ruangan berkubah; dan
seterusnya. (Lalu, aku tahu bahwa Virginia Woolf pernah menaiki kapal
perang dengan berpakaian seperti anggota Kerajaan Etiopia dan, karena
merasa ditegur, aku berhenti menyombongkan lelucon-lelucon sepele
kami.)
Pada tahun terakhir kuliah, di salah satu kelas ilmu saraf terakhirku
yang membahas etika dan ilmu saraf, kami mengunjungi rumah yang
menampung para penderita cedera otak parah. Kami berjalan memasuki
area resepsionis utama dan disambut raungan memilukan. Pemandu kami,
seorang perempuan ramah berusia 30-an tahun, memperkenalkan diri
kepada kelompok kami, tetapi mataku mencari-cari sumber suara itu. Di
balik meja resepsionis terdapat televisi layar lebar yang menayangkan
sinetron dan disetel tanpa suara. Seorang perempuan bermata biru dan
berambut cokelat tertata rapi, dengan kepala menggeleng-geleng penuh
emosi, memenuhi layar televisi ketika dia memohon kepada seseorang
yang tak terekam kamera; lalu kamera menjauh, dan tampaklah
kekasihnya yang berahang tegas dan pasti bersuara parau itu; mereka
berpelukan mesra. Raungan itu semakin melengking. Aku melangkah
lebih dekat untuk mengintip ke balik meja. Dan, di sana, di atas tikar biru
di depan televisi, duduk seorang gadis bergaun motif bunga-bunga
sederhana, mungkin berusia 20-an tahun, dengan kedua tangan terkepal
ditekankan ke mata, berayun-ayun keras ke depan dan ke belakang,
meraung dan terus meraung. Ketika dia berayun-ayun, sekilas kulihat
bagian belakang kepalanya, di tempat rambutnya menipis, menunjukkan
sepetak besar kulit kepala yang pucat.
Aku melangkah mundur, kemudian bergabung dengan kelompokku yang
beranjak pergi untuk berkeliling fasilitas itu. Setelah berbicara dengan
pemandu, aku jadi tahu bahwa banyak penghuni di sana yang nyaris
tenggelam semasa kecil. Ketika memandang ke sekeliling, kuperhatikan
tak ada pengunjung lain, kecuali kami. Apakah biasanya memang seperti ini?
tanyaku.
Mulanya, jelas pemandu itu, keluarga berkunjung secara teratur setiap
hari atau bahkan dua kali sehari. Lalu, mungkin dua hari sekali. Lalu,
hanya pada akhir pekan. Setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun,
kunjungan-kunjungan itu semakin jarang hingga hanya, misalnya, saat
ulang tahun atau Natal. Pada akhirnya, sebagian besar keluarga pindah
sejauh mungkin.
“Aku tidak menyalahkan mereka,” kata pemandu itu. “Memang berat
merawat anak-anak ini.”
Kemarahan bergolak dalam diriku. Berat? Tentu saja berat, tetapi
bagaimana mungkin orangtua mengabaikan anak-anak ini? Di suatu
ruangan pasien-pasien terbaring di ranjang, sebagian besar tak bergerak,
diatur membentuk barisan-barisan rapi seperti tentara di barak. Aku
berjalan menyusuri salah satu baris hingga tatapanku berserobok dengan
salah seorang dari mereka. Gadis berambut gelap kusut itu sudah pada
penghujung masa remajanya. Aku berhenti dan mencoba tersenyum
kepadanya, menunjukkan bahwa aku peduli. Kuraih sebelah tangannya
yang terasa lunglai dalam genggamanku. Namun, dia berdeguk dan, sambil
memandang lurus ke arahku, tersenyum.
“Kurasa dia tersenyum,” kataku kepada perawat.
“Mungkin,” katanya. “Terkadang sulit untuk memastikannya.”
Akan tetapi, aku meyakininya. Gadis itu tersenyum.
Ketika kami kembali ke kampus, aku adalah orang terakhir yang
meninggalkan ruangan bersama dosen. “Jadi, bagaimana menurutmu?”
tanyanya.
Aku menjawab terang-terangan bahwa aku tidak percaya para orangtua
telah mengabaikan anak-anak malang itu dan betapa salah seorang dari
mereka bahkan tersenyum kepadaku.
Dia dosen pembimbing, seseorang yang berpikir secara mendalam
betapa sains dan moralitas saling bersilangan. Aku berharap dia
menyetujuiku.
“Ya,” katanya. “Benar. Kau benar. Namun, terkadang, kau tahu, kurasa
akan lebih baik kalau mereka mati.”
Kuraih tasku, lalu pergi.
Gadis itu memang tersenyum, bukan?
Baru belakangan kusadari bahwa kunjungan kami telah menambahkan
dimensi baru pada pemahamanku mengenai fakta bahwa otak
memungkinkan kemampuan kita untuk membentuk hubungan dan
membuat kehidupan bermakna. Namun, terkadang otak itu rusak.
M enjelang kelulusan, aku terusik perasaan bahwa masih ada terlalu
banyak hal yang belum terpecahkan bagiku, bahwa aku belum
selesai belajar. Aku mendaftar untuk kuliah pascasarjana di Sastra Inggris
Stanford dan diterima. Aku memahami bahasa sebagai kekuatan yang
nyaris supernatural, hadir di antara orang-orang, memungkinkan otak
kita, yang terlindung tengkorak setebal 1 sentimeter, agar berhubungan.
Sebuah kata menjadi bermakna hanya di antara orang-orang, dan makna
kehidupan, kebajikannya, berkaitan dengan kedalaman hubungan-
hubungan yang kita bentuk. Aspek hubungan manusialah—yaitu
“keterhubungan manusia”—yang melandasi makna. Namun, entah
bagaimana, proses ini berlangsung di dalam otak dan tubuh kita, tunduk
pada perintah-perintah siologis mereka sendiri, rentan terhadap
kerusakan dan kegagalan. Pasti ada penjelasannya, pikirku, bahwa bahasa
kehidupan yang kita alami—bahasa kegairahan, bahasa kelaparan, bahasa
cinta—memiliki semacam hubungan, betapa pun rumitnya, dengan bahasa
neuron, saluran pencernaan, dan detak jantung.
Di Stanford aku beruntung bisa belajar dari Richard Rorty, mungkin
lsuf terbesar pada zamannya. Di bawah bimbingannya, aku mulai melihat
semua disiplin ilmu menciptakan sebuah kosakata, serangkaian alat untuk
memahami kehidupan manusia dengan cara tertentu. Karya sastra besar
memberikan rangkaian alat mereka sendiri, mendorong pembaca untuk
menggunakan kosakata itu. Untuk tesisku, aku mempelajari karya Walt
Whitman, penyair yang seabad silam dirasuki pertanyaan-pertanyaan
serupa yang menghantuiku. Dia ingin mencari cara untuk memahami dan
menjelaskan apa yang disebutnya “Manusia Fisiologis-Spiritual”.
Selagi menyelesaikan tesisku, aku hanya bisa menyimpulkan bahwa
Whitman tidak lebih beruntung daripada kita semua dalam membangun
kosakata “ siologis-spiritual” yang koheren, tetapi paling tidak cara-
caranya yang berujung kegagalan menjadi pencerahan bagi kita. Aku juga
semakin yakin bahwa aku kurang berminat meneruskan studi sastra, yang
kesibukan utamanya mulai kuanggap terlalu politis dan bertentangan
dengan sains. Salah seorang pembimbing tesisku berkomentar bahwa
menemukan komunitas untukku dalam dunia sastra akan sulit karena—
seperti yang dikatakannya—sebagian besar doktor bahasa Inggris bereaksi
terhadap sains “seperti monyet bereaksi terhadap api, yaitu dengan
kengerian luar biasa”. Aku tidak yakin ke mana tujuan hidupku. Tesisku
—“Whitman and the Medicalization of Personality”—mendapat
sambutan baik, tetapi itu tesis yang tidak lazim karena menyertakan
sejarah psikiatri dan ilmu saraf dalam jumlah yang sama banyaknya
dengan kritik sastra. Tesis itu tidak begitu cocok di jurusan Bahasa
Inggris. Aku tidak begitu cocok berada di jurusan Bahasa Inggris.
Beberapa teman kuliah terdekatku pindah ke New York City untuk
memburu kehidupan dalam dunia seni—beberapa dalam komedi, yang
lainnya dalam dunia jurnalisme dan televisi—sesaat aku berpikir untuk
bergabung dengan mereka dan memulai kehidupan baru. Namun, aku
belum bisa melepaskan pertanyaan: di mana biologi, moralitas, sastra, dan
loso bersilangan? Ketika berjalan pulang dari pertandingan sepak bola
pada suatu siang, diiringi embusan angin musim gugur yang sepoi-sepoi,
aku membiarkan pikiranku berkelana. Suara Santo Agustinus di kebun
memerintahkan “ambil dan bacalah”, tetapi suara yang kudengar
memerintahkan sebaliknya: “Singkirkan buku-buku itu dan praktikkan
kedokteran”. Mendadak semuanya tampak jelas. Walaupun—atau
mungkin karena—ayahku, pamanku, dan kakak laki-lakiku berprofesi
sebagai dokter, kedokteran tak pernah terpikirkan olehku sebagai
kemungkinan serius. Namun, bukankah Whitman sendiri menulis bahwa
hanya dokter yang benar-benar bisa memahami “Manusia Fisiologis-
Spiritual”?
Keesokan harinya aku berkonsultasi dengan seorang pembimbing
prakedokteran untuk mengetahui persiapannya. Menyiapkan diri untuk
sekolah kedokteran memerlukan waktu sekitar setahun kuliah intensif,
ditambah waktu pendaftaran, yang menambahkan delapan belas bulan
lagi. Ini berarti membiarkan teman-temanku pergi ke New York untuk
terus memperdalam hubungan-hubungan mereka tanpaku. Ini berarti
mengesampingkan sastra. Namun, ini akan memberiku peluang untuk
mencari jawaban-jawaban yang tidak ada di buku, untuk mencari jenis
keagungan yang berbeda, untuk menempa hubungan dengan mereka yang
menderita, dan untuk terus menindaklanjuti pertanyaan mengenai apa
yang membuat kehidupan manusia bermakna, bahkan ketika menghadapi
kematian dan pembusukan.
Aku mulai mengikuti kuliah-kuliah prakedokteran yang diperlukan, yang
penuh dengan pelajaran tentang kimia dan sika. Karena enggan
mengambil pekerjaan paruh-waktu—itu akan memperlambat studiku—
tetapi tak mampu menyewa kamar di Palo Alto, aku mencari jendela
terbuka di sebuah kamar asrama kosong dan memanjat masuk. Setelah
beberapa minggu menjadi penghuni gelap, aku dipergoki pengurus asrama
—yang kebetulan kukenal. Perempuan itu memberiku kunci kamar dan
beberapa peringatan berguna, seperti kapan kamp pemandu sorak SMA
akan tiba di sana. Kurasa aku lebih baik menghindar agar tidak menjadi
penjahat seks terdaftar, jadi aku mengemas tenda, beberapa buku, dan
granola, lalu menuju Danau Tahoe hingga keadaan aman untuk kembali ke
asrama.
Karena siklus pendaftaran sekolah kedokteran perlu waktu delapan
belas bulan, aku punya setahun waktu bebas begitu kelas-kelasku berakhir.
Beberapa dosen menyarankanku untuk meraih gelar dalam sejarah dan
lsafat sains serta kedokteran sebelum memutuskan untuk meninggalkan
dunia akademis untuk selama-lamanya. Jadi, aku mendaftar dan diterima
dalam program HPS (Sejarah dan Filsafat Sains) di Cambridge. Aku
menghabiskan tahun berikutnya di kelas-kelas di pedesaan Inggris.
Di sana aku mendapati diriku semakin sering
menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan
mengenai kehidupan-dan-kematian memerlukan
pengalaman langsung agar menghasilkan opini-
opini moral yang berarti.
Kata-kata mulai terasa seringan napas yang membawanya. Ketika
kurenungkan kembali, kusadari bahwa aku hanya menegaskan apa yang
sudah kuketahui: aku ingin pengalaman langsung itu. Hanya melalui
praktik kedokteranlah aku bisa menekuni lsafat biologis yang serius.
Spekulasi moral tidak berarti jika
dibandingkan tindakan moral.
Aku menyelesaikan kuliah dan kembali ke Amerika Serikat. Aku hendak
kuliah kedokteran di Yale.

K au mungkin mengira bahwa, ketika membedah orang mati untuk kali


pertama, kau akan merasa sedikit gamang. Namun, anehnya
segalanya terasa normal. Lampu-lampu terang, meja-meja baja nirkarat,
dan dosen-dosen berdasi kupu-kupu memberikan suasana kepantasan.
Walaupun begitu, irisan pertama itu, yang memanjang dari tengkuk
hingga punggung bawah, tak terlupakan. Pisau bedahnya begitu tajam
sehingga, alih-alih mengiris, kau merasa seakan-akan sedang membuka
ritsleting kulit, memperlihatkan otot-otot yang tersembunyi dan terlarang
di baliknya. Dan, walaupun sudah menyiapkan diri, kau akan tepergok
merasa malu sekaligus senang. Bedah mayat adalah ritual inisiasi
kedokteran dan pelanggaran terhadap kesakralan, memunculkan berbagai
perasaan: mulai dari jijik, senang, mual, frustrasi, dan takjub hingga,
seiring berlalunya waktu, kejemuan latihan akademis belaka. Segalanya
bergerak di antara perasaan iba dan banal: di sinilah kau berada,
melanggar tabu masyarakat paling mendasar, tetapi formaldehida adalah
perangsang nafsu makan yang kuat sehingga kau juga mendambakan
burrito. Pada akhirnya, ketika kau menyelesaikan tugas dengan memotong
saraf median, menggergaji tulang panggul menjadi dua, dan mengiris
jantung hingga terbuka, yang menang adalah perasaan banal: pelanggaran
sakral mewujud dalam sifat teman-teman sekelasmu secara umum, yang
dipenuhi si sok tahu, si badut kelas, dan lain-lain. Bagi banyak orang,
bedah mayat melambangkan transformasi dari mahasiswa sopan dan
serius menjadi dokter yang keras dan angkuh.
Keseriusan misi moral kedokteran membuat hari-hari awalku di sekolah
kedokteran terasa sangat berat. Hari pertama, sebelum kami bisa
membedah mayat, adalah kali kedua pelatihan CPR (cardiopulmonary
resuscitation) bagiku. Kali pertama, semasa kuliah dahulu, CPR adalah
sesuatu yang menggelikan, tidak serius, dan ditertawakan semua orang:
video dengan akting payah dan maneken plastik tak bertungkai itu
tampak sangat palsu. Namun, kini, kemungkinan bahwa suatu hari nanti
kami harus menggunakan keahlian ini menggairahkan segalanya. Selagi
berkali-kali aku menghantamkan telapak tangan ke dada anak kecil
mungil dari plastik, mau tak mau aku mendengar, di antara gurauan
sesama mahasiswa, derak tulang-tulang rusuk yang nyata.
Mayat membalikkan polaritasnya. Kau berpura-pura maneken itu asli;
kau berpura-pura mayat itu palsu. Namun, pada hari pertama itu, kau
benar-benar tidak akan sanggup. Ketika menghadapi mayat, yang sedikit
membiru dan gembung, ketidakbernyawaan total dan kemanusiaan
totalnya tak terbantahkan. Kesadaran bahwa empat bulan lagi aku akan
membelah kepala manusia ini dengan gergaji terasa tak bermoral.
Akan tetapi, ada dosen-dosen anatomi yang siap sedia. Dan, nasihat
yang mereka berikan kepada kami adalah pandanglah baik-baik wajah
mayat itu sekali saja, lalu biarkan tertutup setelahnya; itu lebih
memudahkan pekerjaan. Begitu kami siap untuk membuka penutup
kepala mayat kami—diiringi helaan napas panjang dan tatapan serius—
seorang dokter bedah menghampiri kami untuk mengobrol sambil
menyandarkan kedua sikunya di atas kepala mayat itu. Sambil menunjuk
berbagai tanda dan bekas luka pada torso telanjang itu, dia
merekonstruksi sejarah si pasien. Bekas luka ini berasal dari operasi hernia
inguinal, yang ini endarterektomi karotis; tanda-tanda di sini
menunjukkan goresan, mungkin hepatitis, bilirubin tinggi; dia mungkin
meninggal karena kanker pankreas walaupun tidak ada bekas luka yang
menunjukkan hal itu—penyakit itu terlalu cepat membunuhnya.
Sementara itu, mau tak mau aku menatap kedua siku yang bergeser-geser
itu, yang bergulir di atas kepala tertutup itu seiring setiap hipotesis medis
dan pelajaran kosakata yang diberikan. Aku berpikir, Prosopagnosia adalah
gangguan saraf yang membuat seseorang kehilangan kemampuan mengenali
wajah. Sebentar lagi aku akan menderita gangguan itu, dengan gergaji di
tangan.
Setelah beberapa minggu, dramanya menghilang. Dalam percakapan
dengan mahasiswa nonkedokteran, ketika menceritakan kisah-kisah
mengenai mayat, ternyata aku menonjolkan kejijikan, kengerian, dan
keganjilannya, seakan-akan untuk meyakinkan mereka bahwa aku normal,
walaupun aku menghabiskan waktu enam jam seminggu untuk membedah
mayat. Terkadang kuceritakan momen ketika aku berbalik dan melihat
seorang teman sekelas, jenis perempuan yang sangat feminin, berjinjit di
atas dingklik, dengan riang memalu pahatnya ke tulang punggung seorang
perempuan, sementara serpih-serpih tulang beterbangan di udara. Aku
menceritakan kisah ini seakan-akan untuk menjauhkanku darinya, tetapi
kesamaanku dengannya tak terbantahkan. Bagaimanapun, bukankah aku
baru saja membongkar tulang rusuk seorang lelaki menggunakan tang
dengan sama bersemangatnya? Walaupun menggarap orang mati, yang
wajahnya tertutup dan namanya menjadi misteri, kau akan menyadari
bahwa kemanusiaannya muncul di benakmu. Ketika membedah perut
mayat itu, aku menemukan dua butir pil mor n yang belum tecerna. Itu
berarti dia mati dalam keadaan kesakitan, mungkin sendirian dan
berkutat membuka tutup botol pil.
Tentu saja mayat-mayat itu, semasa masih hidup, mendonasikan diri
mereka sendiri secara sukarela pada takdir seperti ini, dan bahasa di
sekitar tubuh-tubuh di depan kami seketika berubah untuk mere eksikan
fakta itu. Kami diperintahkan untuk tak lagi menyebut mereka “mayat”;
“donor” adalah istilah yang lebih baik. Dan, ya, elemen pelanggaran dalam
pembedahan jelas telah jauh berkurang semenjak masa lalu yang buruk
itu. (Pertama-tama, mahasiswa tak lagi diharuskan membawa mayat
sendiri seperti yang terjadi pada abad kesembilan belas. Dan, sekolah
kedokteran telah menghentikan dukungan mereka terhadap praktik
perampokan kuburan untuk mendapatkan mayat—penjarahan itu sendiri
merupakan kemajuan pesat dari pembunuhan, cara yang pernah menjadi
sedemikian umum sehingga memunculkan kata kerja tersendiri: burke,
yang dide nisikan OED (kamus bahasa Inggris Oxford) sebagai
‘membunuh diam-diam lewat pembekapan atau pencekikan, atau dengan
tujuan menjual mayat korban untuk pembedahan’.) Namun, orang yang
paling tahu—para dokter—hampir tidak pernah mendonasikan tubuh
mereka. Kalau begitu, seberapa tahunya donor-donor itu? Seperti yang
dikatakan seorang dosen anatomi kepadaku, “Kau tak akan menceritakan
detail-detail mengerikan yang terjadi saat operasi kepada pasien kalau itu
membuat mereka tidak setuju dioperasi.”
Seandainya pun donor-donor itu cukup tahu—dan ini mungkin saja
terjadi walaupun dosen anatomi menutup-nutupinya—bukan pikiran
hendak dibedah yang menyakitkan hati, melainkan pikiran bahwa ibumu,
ayahmu, atau kakekmu hendak dicincang oleh mahasiswa-mahasiswa
kedokteran konyol berusia 20 tahun. Setiap kali membaca pralab dan
melihat istilah seperti “gergaji tulang”, aku bertanya-tanya apakah kali ini
akan menjadi sesi ketika akhirnya aku muntah. Namun, aku jarang
bermasalah di lab, bahkan ketika aku tahu bahwa “gergaji tulang” yang
disebutkan tadi tak lebih dari sekadar gergaji kayu karatan biasa. Momen
ketika aku nyaris muntah tidaklah terjadi di dekat lab, tetapi ketika aku
mengunjungi makam nenekku di New York pada peringatan dua puluh
tahun wafatnya. Aku mendapati diriku membungkuk, nyaris menangis,
dan meminta maaf—bukan kepada mayat yang kubedah, melainkan
kepada cucu-cucu mayatku. Bahkan, pernah terjadi, di tengah kegiatan lab
kami, seorang anak laki-laki meminta kembali mayat ibunya yang sudah
setengah dibedah. Ya, ibunya telah setuju, tetapi si anak tak sanggup
membayangkannya. Aku tahu aku akan melakukan hal yang sama. (Mayat
itu akhirnya dikembalikan.)
Di lab anatomi kami menganggap mayat sebagai benda, secara har ah
mengerdilkannya menjadi organ, jaringan, saraf, otot. Pada hari pertama
itu, kau benar-benar tidak bisa menyangkal kemanusiaan mayat itu.
Namun, ketika kau menguliti tungkai-tungkainya, mengiris otot-otot yang
mengganggu, mengeluarkan paru-paru, mengiris jantung hingga terbuka,
dan mengambil satu lobus hatinya, sulit untuk mengenali tumpukan
jaringan ini sebagai manusia. Pada akhirnya, lab anatomi tak lagi menjadi
pelanggaran kesakralan, tetapi lebih menyerupai sesuatu yang
mengganggu kesenangan, dan kesadaran itu benar-benar memalukan.
Dalam momen-momen perenungan yang langka, diam-diam kami semua
meminta maaf kepada mayat-mayat yang kami bedah; bukan karena kami
merasakan adanya pelanggaran terhadap kesakralan itu, melainkan justru
karena kami tidak merasakannya.
Bagaimanapun, itu bukan kekejian biasa. Semua aspek kedokteran,
bukan hanya bedah mayat, melanggar ranah-ranah yang sakral. Dokter
menyerang tubuh dengan segala macam cara yang bisa dibayangkan.
Dokter melihat orang-orang pada saat paling rentan, paling menakutkan,
dan paling privat bagi mereka. Dokter mengawal mereka memasuki dunia,
lalu mengantarkan mereka meninggalkan dunia. Melihat tubuh sebagai
materi dan mekanisme adalah sisi lain dari meredakan penderitaan
terbesar manusia. Akibatnya, penderitaan terbesar manusia menjadi alat
pedagogis semata. Dosen anatomi mungkin berada di ujung ekstrem
hubungan ini, tetapi kesamaan mereka dengan mayat-mayat itu tetap ada.
Pada masa awal, ketika aku membuat irisan cepat panjang melintasi
diafragma donorku untuk memudahkan mencari arteri limpa, pengawas
kami tampak berang sekaligus ngeri saat melihatnya. Bukan karena aku
telah menghancurkan struktur penting atau salah memahami konsep
kunci atau merusak sesi pembedahan selanjutnya, melainkan karena aku
tampak begitu tak acuh saat melakukannya. Ekspresi di wajahnya,
ketidakmampuannya dalam menyuarakan kesedihannya, telah
mengajariku lebih banyak mengenai kedokteran daripada kuliah apa pun
yang kuhadiri. Ketika kujelaskan bahwa dosen anatomi lain menyuruhku
membuat irisan itu, kesedihan pengawas kami berubah menjadi
kemarahan, dan mendadak dosen-dosen berwajah merah padam
dikumpulkan di lorong.
Pada waktu lain, kesamaan itu jauh lebih sederhana. Pernah suatu kali,
ketika menunjukkan kerusakan donor kami akibat kanker pankreas, dosen
kami bertanya, “Berapa usia lelaki ini?”
“Tujuh puluh empat,” jawab kami.
“Itu usiaku,” sahutnya sambil meletakkan probe dan beranjak pergi.

S ekolah kedokteran mempertajam pemahamanku mengenai hubungan


antara makna, kehidupan, dan kematian. Aku melihat keterhubungan
manusia, yang pernah kutulis semasa kuliah sarjana, diwujudkan dalam
hubungan dokter-pasien. Sebagai mahasiswa kedokteran, kami
dihadapkan pada kematian, penderitaan, dan pekerjaan yang melibatkan
perawatan pasien, tetapi sekaligus terlindung dari beban tanggung jawab
yang nyata walaupun kami bisa melihat momoknya. Mahasiswa
kedokteran menghabiskan dua tahun pertama di kelas, bergaul, belajar,
dan membaca; mudah untuk menganggap pekerjaan kami sebagai
perpanjangan dari kuliah sarjana saja. Namun, pacarku, Lucy, yang
kujumpai pada tahun pertama sekolah kedokteran (dan yang kemudian
menjadi istriku), memahami makna implisit teks akademisnya. Kapasitas
Lucy untuk mencintai nyaris tak terbatas dan itu menjadi pelajaran
bagiku. Suatu malam, di sofa apartemenku, ketika sedang mempelajari
garis-garis bergelombang yang menyusun EKG (gra k rekam jantung), dia
kebingungan, lalu dengan tepat mengidenti kasi aritmia fatal. Seketika
dia tersadar dan mulai menangis: dari mana pun “EKG praktik” ini berasal,
pasiennya tidak bertahan hidup. Garis berlekuk-lekuk di halaman itu lebih
dari sekadar garis; itu brilasi ventrikular yang merosot menjadi asistol,
dan itu bisa membuatmu menangis.
Aku dan Lucy kuliah di Sekolah Kedokteran Yale ketika Shep Nuland
masih mengajar di sana, tetapi aku hanya mengenalnya dalam kapasitasku
sebagai pembaca. Nuland adalah lsuf dan dokter bedah terkenal yang
buku berpengaruhnya mengenai mortalitas, How We Die, terbit ketika aku
masih SMA, tetapi baru sampai di tanganku saat aku sekolah kedokteran.
Dari semua buku yang kubaca, hanya segelintir yang secara terang-
terangan dan menyeluruh membahas fakta mendasar mengenai
eksistensi: semua organisme, tak peduli ikan mas atau cucu laki-laki, pasti
akan mati. Aku mempelajari buku itu di kamarku pada malam hari, dan
betul-betul mengingat penjelasan Nuland mengenai penyakit neneknya,
dan betapa satu bagian itu benar-benar menjelaskan bagaimana ranah
personal, kedokteran, dan spiritual saling berbaur. Nuland ingat betapa,
semasa kecil, dia melakukan permainan dengan menggunakan telunjuk,
menekan kulit neneknya untuk melihat berapa lama waktu yang
diperlukan kulit itu untuk kembali ke bentuk semula—bagian dari proses
penuaan yang seiring dengan sesak napas yang mulai menderanya,
menunjukkan “kemunduran perlahan-lahan menuju gagal jantung
kongestif … penurunan signi kan jumlah oksigen yang mampu diserap
darah yang menua dari jaringan menua paru-paru yang menua”. Namun,
“yang paling nyata”, lanjut Nuland, “adalah kemunduran perlahan-lahan
dari kehidupan .… Pada saat Bubbeh berhenti berdoa, bisa dibilang dia
juga telah menghentikan segalanya.” Strok fatal yang dialami neneknya
mengingatkan Nuland pada Religio Medici karya Sir omas Browne:
“Dengan perjuangan dan penderitaan seperti apa kita datang ke dunia,
kita tidaklah tahu, tetapi jelas bukan perkara mudah untuk meninggalkan
dunia.”
Aku telah menghabiskan begitu banyak waktu untuk kuliah sastra di
Stanford dan sejarah kedokteran di Cambridge dalam upaya untuk lebih
memahami kepelikan kematian, tetapi aku hanya merasa seakan-akan
semuanya masih tidak bisa kupahami. Penjelasan seperti yang dituturkan
Nuland meyakinkanku bahwa hal-hal semacam itu hanya bisa dipahami
secara langsung. Aku belajar kedokteran untuk menyaksikan misteri ganda
kematian, manifestasi berdasarkan pengalaman dan manifestasi
biologisnya: yang sangat personal sekaligus sama sekali tidak personal.
Aku ingat Nuland, dalam bab-bab awal How We Die, menulis mengenai
dirinya semasa menjadi mahasiswa kedokteran muda, sendirian di UGD
dengan seorang pasien yang jantungnya telah berhenti berdetak. Dalam
keputusasaan, dia mengiris dada pasien itu hingga terbuka, dan berupaya
memompa jantungnya secara manual, secara har ah berusaha untuk
meremas kehidupan agar kembali kepadanya. Pasien itu meninggal dan
Nuland ditemukan pengawasnya, bermandikan darah dan kegagalan.
Sekolah kedokteran telah berubah pada saat aku belajar di sana sehingga
adegan semacam itu benar-benar tak terbayangkan: sebagai mahasiswa
kedokteran, kami jarang diperbolehkan menyentuh pasien, apalagi
membelah dada mereka. Namun, yang belum berubah adalah semangat
kepahlawanan dalam mengemban tanggung jawab di antara darah dan
kegagalan. Kusadari bahwa inilah gambaran sejati seorang dokter.

P eristiwa kelahiran pertama yang kusaksikan sekaligus merupakan


peristiwa kematian pertama.
Aku baru saja mengambil ujian kedokteran tahap 1, menyelesaikan dua
tahun studi intensifku dengan membenamkan diri dalam buku-buku,
terkurung di perpustakaan, mempelajari catatan-catatan kuliah di kedai
kopi, meninjau ulang kartu-kartu peraga buatanku sendiri sambil
berbaring di ranjang. Dua tahun selanjutnya akan kuhabiskan di klinik dan
rumah sakit. Akhirnya, aku mempraktikkan pengetahuan teoretis untuk
menghilangkan penderitaan nyata, dengan pasien, alih-alih sesuatu yang
abstrak, sebagai fokus utamaku. Aku memulai di bagian kebidanan dan
ginekologi, mendapat giliran kerja malam di bangsal persalinan dan
kelahiran.
Ketika berjalan memasuki gedung itu pada saat matahari terbenam, aku
berupaya mengingat tahap-tahap persalinan, pembukaan mulut rahim
yang sesuai, nama “tahap-tahap” yang menunjukkan keluarnya bayi—
segala hal yang mungkin akan berguna ketika saatnya tiba. Sebagai
mahasiswa kedokteran, tugasku adalah belajar melalui pengamatan dan
berupaya tidak merintangi. Dokter residen, yang telah menyelesaikan
sekolah kedokteran dan kini mengikuti pelatihan dalam spesialisasi
tertentu, juga perawat dengan pengalaman klinis selama bertahun-tahun,
akan menjadi instruktur utamaku. Namun, masih tersisa ketakutan—aku
bisa merasakan getarannya—jangan-jangan, secara kebetulan atau
memang direncanakan, aku akan dipanggil untuk membantu kelahiran
bayi sendirian, kemudian gagal melakukannya.
Aku berjalan menuju ruang istirahat dokter, tempatku bertemu dokter
residen. Aku berjalan masuk dan melihat seorang perempuan muda
berambut gelap sedang berbaring di sofa, menyantap roti lapis dengan
lahapnya sambil menonton televisi dan membaca artikel jurnal. Aku
memperkenalkan diri.
“Oh, hai,” katanya. “Aku Melissa. Aku akan berada di sini atau di ruang
panggil kalau kau memerlukanku. Mungkin hal terbaik yang bisa kau
lakukan adalah mengawasi pasien bernama Garcia. Usianya 22 tahun,
berada di sini karena persalinan prematur dan anak kembar. Semua hal
lainnya standar saja.”
Di antara gigitan-gigitan roti lapis, Melissa menjelaskan serentetan
fakta dan informasi: Si kembar baru berusia 23,5 minggu; harapannya
adalah mempertahankan kehamilan hingga janinnya bisa lebih
berkembang, seberapa pun lamanya itu; 24 minggu dianggap awal
kemungkinan hidup janin, dan setiap hari berikutnya akan menciptakan
perbedaan; pasien diberi berbagai macam obat untuk mengontrol
kontraksinya. Penyeranta Melissa berbunyi.
“Oke,” katanya sambil mengayunkan kaki dari sofa. “Aku harus pergi.
Kau bisa tetap di sini kalau mau. Kita punya saluran-saluran televisi kabel
yang bagus. Atau, kau bisa ikut bersamaku.”
Aku mengikuti Melissa ke ruang perawat. Satu dinding ruangan didereti
monitor yang menayangkan garis-garis telemetri bergelombang.
“Apa itu?” tanyaku.
“Itu hasil tokometer dan detak jantung janin. Ayo, akan kutunjukkan
pasiennya. Dia tidak bisa bahasa Inggris. Kau bisa bahasa Spanyol?”
Aku menggeleng. Melissa membawaku ke dalam kamar. Ruangan itu
gelap gulita. Si ibu berbaring di ranjang, beristirahat, tenang, kabel-kabel
untuk memonitor kondisi janin membelit perutnya, mencatat
kontraksinya dan detak jantung si kembar, lalu mengirimkan sinyalnya ke
layar-layar yang kulihat di ruang perawat. Sang ayah berdiri di samping
tempat tidur, menggenggam tangan istrinya, kekhawatiran tampak
terpahat di keningnya. Melissa membisikkan sesuatu kepada mereka
dalam bahasa Spanyol, lalu menggiringku ke luar.
Selama beberapa jam berikutnya, segalanya berjalan lancar. Melissa
tidur di ruang istirahat dokter. Aku berupaya memahami coretan-coretan
tak terbaca di catatan pasien Garcia, yang rasanya seperti membaca
hieroglif, dan berhasil mengetahui bahwa nama pertama perempuan itu
adalah Elena. Ini kehamilan keduanya. Dia tidak mendapat perawatan
kehamilan dan tidak punya asuransi. Aku mencatat nama obat-obatan
yang diberikan kepadanya untuk kucari tahu belakangan. Aku membaca
sedikit mengenai kelahiran prematur di buku teks yang kutemukan di
ruang istirahat dokter. Bayi prematur, jika bertahan hidup, tampaknya
berisiko tinggi mengalami pendarahan otak dan kelumpuhan otak.
Namun, kakak laki-lakiku, Suman, tiga dekade yang lalu lahir hampir
delapan minggu prematur dan kini dia membuka praktik sebagai dokter
saraf. Aku berjalan menghampiri perawat dan memintanya mengajariku
cara membaca garis berlekuk-lekuk kecil di monitor, yang bagiku tidak
lebih jelas daripada tulisan dokter, tetapi yang tampaknya bisa
meramalkan keadaan tenang atau bencana. Dia mengangguk dan mulai
mengajariku cara membaca kontraksi dan reaksi jantung janin
terhadapnya, dan jika kau perhatikan lebih saksama, kau bisa melihat—
Perawat itu terdiam. Kekhawatiran melintas di wajahnya. Tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, dia bangkit dan berlari ke kamar Elena,
lalu keluar lagi, meraih telepon, dan menghubungi Melissa lewat
penyeranta. Semenit kemudian, Melissa tiba dengan mata mengantuk,
memandang garis-garis itu, lalu bergegas memasuki kamar pasien,
dibuntuti olehku. Dia mengeluarkan ponsel dan menelepon dokter
penanggung jawab pasien itu, berbicara cepat dengan istilah-istilah yang
hanya bisa kupahami sebagian. Kupahami bahwa si kembar berada dalam
bahaya, dan satu-satunya peluang hidup mereka adalah melalui operasi
Caesar darurat.
Aku terseret bersama kehebohan itu ke dalam ruang operasi. Mereka
membaringkan Elena di meja, obat-obatan mengalir ke dalam pembuluh
darahnya. Dengan panik, perawat mengoleskan larutan antiseptik ke
perut Elena yang membengkak, sementara aku, dokter residen, dan dokter
penanggung jawab pasien menyiramkan cairan alkohol pembersih ke
tangan dan lengan kami. Aku meniru usapan-usapan cepat mereka, lalu
berdiri diam ketika mereka berbisik menyumpah. Beberapa dokter
anestesi mengintubasi pasien sementara dokter bedah senior, yaitu dokter
penanggung jawab pasien, bergerak-gerak gelisah.
“Ayolah,” katanya. “Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus bergerak
lebih cepat!”
Aku berdiri di samping dokter itu ketika dia mengiris perut Elena hingga
terbuka, membuat irisan melengkung panjang di bawah pusar, persis di
bawah puncak perut yang menonjol. Aku berupaya mengamati setiap
gerakan, memeras otak untuk mengingat sketsa-sketsa anatomis di buku
teks. Kulit bergeser membuka ketika tersentuh pisau bedah. Dokter itu
mengiris dengan percaya diri, menembus fasia rektus putih liat yang
menyelubungi otot, lalu memisahkan fasia dan otot di bawahnya dengan
tangan, memperlihatkan penampakan pertama rahim yang berbentuk
seperti melon. Dia juga mengiris rahim itu hingga terbuka, dan sebuah
wajah mungil muncul, lalu menghilang lagi di antara darah. Kedua tangan
dokter itu masuk ke rahim, menarik satu, lalu dua bayi ungu, yang nyaris
tak bergerak, dengan mata terpejam rapat, seperti burung-burung mungil
yang terlalu cepat jatuh dari sarang. Dengan tulang-tulang yang terlihat di
bawah kulit transparan, mereka tampak lebih menyerupai sketsa awal bayi
daripada bayi sebenarnya. Terlalu mungil untuk digendong, tak lebih besar
daripada tangan si dokter bedah. Dengan cepat kedua bayi itu diserahkan
kepada para dokter ICU pascakelahiran yang sudah menunggu, yang
kemudian bergegas membawa mereka ke ruang ICU pascakelahiran.
Setelah terhindar dari bahaya langsung, kecepatan operasi menurun,
kepanikan berubah menjadi sesuatu yang menyerupai ketenangan. Bau
daging terbakar menguar ketika kauter menghentikan semburan-
semburan kecil darah. Rahim dijahit kembali. Jahitannya tampak seperti
deretan gigi yang menggigit luka terbuka hingga menutup.
“Dokter, Anda ingin peritoneumnya ditutup?” tanya Melissa. “Baru-baru
ini saya membaca bahwa itu tak perlu dilakukan.”
“Janganlah manusia memisahkan apa yang disatukan oleh Tuhan,” jawab
dokter itu. “Setidaknya tak lebih dari sementara saja. Aku lebih senang
meninggalkan segalanya dalam keadaan yang sama seperti ketika aku
menemukannya—ayo kita jahit kembali.”
Peritoneum adalah membran yang menyelubungi rongga perut. Entah
bagaimana, aku sama sekali melewatkan pembukaan peritoneum, dan kini
aku sama sekali tidak melihatnya. Bagiku, luka itu mirip sekumpulan
jaringan tak beraturan. Namun, bagi dokter bedah, luka itu punya urutan
yang jelas, seperti balok pualam bagi seorang pemahat.
Melissa menyatakan hendak melakukan jahitan peritoneal,
memasukkan tang ke dalam luka itu, lalu menarik selapis jaringan
transparan di antara otot dan rahim. Mendadak peritoneum, dan lubang
yang menganga di sana, tampak jelas. Melissa menjahitnya hingga
menutup, lalu melanjutkan menjahit otot dan fasia, menyatukan
keduanya kembali dengan jarum besar dan beberapa jahitan melingkar.
Dokter bedahnya pergi, dan akhirnya kulit disatukan kembali lewat
jahitan. Melissa bertanya apakah aku ingin menyelesaikan dua jahitan
terakhir.
Tanganku gemetar ketika memasukkan jarum menembus jaringan
bawah kulit. Ketika aku mengeratkan jahitan, kulihat jarumnya sedikit
bengkok. Kulit itu menyatu secara timpang, segumpal lemak menyembul
ke luar.
Melissa mendesah. “Jahitannya tidak rata,” katanya. “Seharusnya kau
hanya mengambil lapisan dermalnya—kau lihat garis putih tipis ini?”
Aku melihatnya. Bukan hanya otakku yang harus dilatih, melainkan juga
mataku.
“Gunting!” Melissa memotong simpul-simpul amatirku, menjahit
kembali luka itu, membalutnya, lalu pasien dibawa ke ruang pemulihan.
Sesuai penjelasan Melissa tadi, 26 minggu di dalam rahim dianggap
sebagai awal kemungkinan hidup. Si kembar bertahan selama 23 minggu
dan 6 hari. Organ-organ mereka sudah terbentuk, tetapi mungkin belum
siap bertanggung jawab menunjang kehidupan. Seharusnya mereka masih
harus mengalami perkembangan terlindung di dalam rahim selama
hampir empat bulan lagi. Di dalam rahim darah beroksigen dan zat-zat
gizi memasuki tubuh mereka lewat tali pusat. Kini oksigen harus masuk
lewat paru-paru mereka, sedangkan paru-paru itu tak mampu melakukan
pengembangan rumit dan pentransferan gas yang disebut pernapasan.
Aku pergi menengok mereka di ICU pascakelahiran, masing-masing bayi
berada di dalam inkubator plastik bening, dikerdilkan oleh mesin-mesin
besar yang berbunyi bip bip, nyaris tak terlihat di antara belitan kabel dan
selang. Di sisi inkubator itu terdapat lubang kecil bagi orangtua untuk
menjulurkan tangan dan mengusap lembut kaki atau lengan bayi,
memberikan sentuhan manusia yang sangat penting.
Matahari terbit, giliran kerjaku berakhir. Aku pulang, bayangan si
kembar yang dikeluarkan dari rahim mengusik tidurku. Seperti halnya
paru-paru prematur, aku merasa tidak siap bertanggung jawab menunjang
kehidupan.
Ketika kembali bekerja malam itu, aku ditugasi mengawasi seorang ibu
baru. Tak seorang pun menemukan masalah dengan kehamilan ini.
Segalanya benar-benar berjalan sesuai rutin; hari itu bahkan tepat tanggal
persalinannya. Bersama perawat, aku mengikuti kemajuan stabil ibu itu,
kontraksi semakin teratur mengguncang tubuhnya. Perawat melaporkan
pembukaan mulut rahim, dari 3 sentimeter menjadi 5 sentimeter, lalu 10
sentimeter.
“Oke, kini saatnya mengejan,” kata perawat.
Dia berpaling kepadaku dan berkata, “Jangan khawatir—kami akan
menghubungimu lewat penyeranta ketika persalinannya sudah dekat.”
Aku menjumpai Melissa di ruang istirahat dokter. Setelah beberapa
waktu, tim persalinan dipanggil ke kamar: persalinan sudah dekat. Di luar
pintu Melissa memberiku jubah, sarung tangan, dan sepasang penutup
sepatu panjang.
“Biasanya berantakan,” katanya.
Kami memasuki kamar. Aku berdiri canggung agak jauh di samping
hingga Melissa mendorongku ke depan, di antara sepasang kaki pasien,
persis di depan dokter penanggung jawab pasien.
“Ayo mengejan!” seru perawat menyemangati. “Sekali lagi: persis seperti
tadi, tetapi tanpa teriakan.”
Teriakan itu tidak berhenti, dan segera dibarengi semburan darah dan
cairan-cairan lainnya. Kerapian diagram-diagram kedokteran sama sekali
tidak bisa merepresentasikan Alam, yang bukan hanya berwarna merah
dalam perkelahian, melainkan juga dalam kelahiran. (Ini bukan foto karya
Anne Geddes.)
Jelas bahwa, pada praktiknya, belajar menjadi
dokter akan menjadi pendidikan yang sangat
berbeda dari menjadi mahasiswa kedokteran di
kelas. Membaca buku dan menjawab pertanyaan
pilihan ganda sangatlah berbeda dari melakukan
tindakan, disertai tanggung jawab yang
mengikutinya.
Pengetahuan bahwa kau harus penuh perhitungan ketika menarik
kepala bayi untuk memudahkan pengeluaran bahunya, tidaklah sama
dengan benar-benar melakukannya. Bagaimana kalau aku terlalu keras
menariknya? (Cedera saraf yang tak bisa dipulihkan, teriak otakku.) Kepala
bayi muncul setiap kali ibunya mengejan, lalu masuk kembali seiring
setiap jeda, tiga langkah maju, dua langkah mundur. Aku menunggu. Otak
manusia telah menjadikan tugas organisme paling mendasar, yaitu
reproduksi, menjadi urusan berbahaya. Otak yang sama itu menjadikan
hal-hal semacam unit persalinan dan kelahiran, kardiotokometer, epidural,
dan operasi Caesar darurat dimungkinkan sekaligus diperlukan.
Aku berdiri diam, tak yakin kapan harus bertindak atau harus berbuat
apa. Suara dokter menuntun sepasang tanganku ke kepala bayi yang
muncul dan, pada pengejanan berikutnya, dengan lembut aku menuntun
bahunya saat bayi itu menyembul ke luar. Bayi itu besar, montok, dan
basah, ukurannya jelas tiga kali lipat lebih besar daripada makhluk kembar
mirip burung yang lahir malam sebelumnya. Melissa menjepit tali pusat,
kemudian aku memotongnya. Mata bayi perempuan itu terbuka dan dia
mulai menangis. Aku menggendong bayi itu sedetik lebih lama, merasakan
bobot dan substansinya, lalu menyerahkannya kepada perawat yang
membawanya kepada ibunya.
Aku berjalan menuju ruang tunggu untuk mengumumkan kabar
gembira itu kepada keluarga besar. Sekitar selusin anggota keluarga yang
berkumpul di sana melompat riang, dengan riuh berjabat tangan dan
berpelukan. Akulah nabi yang kembali dari puncak gunung dengan
membawa kabar perjanjian baru yang menggembirakan! Semua kekacauan
saat proses kelahiran menghilang; di sini aku baru saja menggendong
anggota terbaru keluarga ini, keponakan lelaki ini, sepupu gadis ini.
Ketika kembali ke bangsal dengan bersemangat, aku bertemu Melissa.
“Hai, kau tahu kabar si kembar kemarin malam?” tanyaku.
Wajahnya berubah muram. Bayi A meninggal kemarin siang; Bayi B
berhasil hidup tak sampai 24 jam, lalu meninggal kira-kira pada saat aku
membantu kelahiran bayi yang baru. Pada saat itu, aku hanya bisa
mengingat Samuel Beckett dan kiasannya bahwa semuanya, dalam hal ini
si kembar, telah mencapai batas akhir mereka: “Suatu hari kita lahir, suatu
hari kita akan mati, pada hari yang sama, pada detik yang sama ….
Kelahiran mengangkangi kubur, cahaya berkilau sekejap, lalu malam
kembali turun.” Aku telah berdiri di samping “si penggali kubur” dengan
“tang”-nya. Apa makna kehidupan-kehidupan itu?
“Kau pikir itu buruk?” lanjut Melissa. “Sebagian besar ibu dengan bayi
yang meninggal di dalam rahim masih harus melewati persalinan dan
melahirkan bayi mereka. Bisakah kau membayangkannya? Setidaknya si
kembar itu punya peluang untuk hidup.”
Korek api berkedip, tetapi tidak menyala. Raungan ibu di kamar 543,
garis merah membara di kelopak mata bawah si ayah, air mata yang diam-
diam menjalari wajahnya: sisi lain dari kegembiraan ini, kehadiran
kematian yang tak terduga, tak adil, dan tak tertanggungkan .…
Pemahaman apa yang bisa muncul dari situ, kata-kata penghiburan apa
yang tersedia?
“Apakah melakukan operasi Caesar darurat adalah pilihan yang tepat?”
tanyaku.
“Pasti,” jawab Melissa. “Itu satu-satunya peluang yang mereka miliki.”
“Apa yang terjadi kalau kau tidak mengoperasinya?”
“Mungkin mereka akan mati. Gra k denyut jantung janin yang tidak
normal menunjukkan kapan darah janin mengalami asidemia; entah
bagaimana, tali pusatnya menjadi membahayakan, atau terjadi hal lain
yang sangat buruk.”
“Namun, bagaimana kau bisa tahu kapan gra knya tampak cukup
buruk? Mana yang lebih buruk, dilahirkan terlalu dini atau menunggu
terlalu lama untuk lahir?”
“Putusan berdasarkan pengalaman.”
Putusan yang sangat berat. Seumur hidup, pernahkah aku membuat
putusan yang lebih berat daripada memilih antara saus cocol Prancis dan
saus cocol Reuben? Bagaimana aku bisa belajar untuk membuat, dan hidup
dengan, putusan semacam itu? Aku masih harus menjalani banyak praktik
kedokteran untuk belajar, tetapi akankah pengetahuan saja cukup, ketika
kehidupan dan kematian yang menjadi taruhan? Jelas kecerdasan saja
tidak cukup; kejelasan moral juga diperlukan. Entah bagaimana, aku harus
percaya bahwa diriku tidak hanya akan memperoleh pengetahuan, tetapi
juga kebijaksanaan. Bagaimanapun, ketika aku berjalan memasuki rumah
sakit sehari sebelumnya, kelahiran dan kematian hanya berupa konsep
abstrak. Kini aku telah menyaksikan keduanya dari dekat. Mungkin tokoh
Pozzo dalam karya Beckett benar. Mungkin kehidupan memang hanya
“sekejap”, terlalu singkat untuk direnungkan. Namun, aku harus
memusatkan fokusku pada peranku yang akan datang, terlibat begitu
dekat dengan kapan dan bagaimana kematian akan datang—seorang
penggali kubur dengan tang.W
Tak lama setelah itu, rotasi kebidanan dan ginekologiku berakhir dan
langsung berganti dengan onkologi bedah. Aku dan Mari, sesama
mahasiswa kedokteran, akan bergiliran kerja bersama-sama. Beberapa
minggu kemudian, setelah melewati malam-malam tanpa tidur, Mari
ditugasi membantu dalam Whipple, operasi rumit yang melibatkan
pengaturan kembali sebagian besar organ perut sebagai upaya untuk
mengangkat kanker pankreas. Dalam operasi itu, biasanya mahasiswa
kedokteran berdiri diam—atau paling-paling berada di belakang—selama
sembilan jam penuh. Dipilih untuk membantu dalam operasi itu dianggap
beruntung karena tingkat kerumitannya yang ekstrem—hanya kepala
dokter residen yang diperbolehkan berpartisipasi secara aktif. Namun, itu
operasi yang melelahkan, ujian tertinggi bagi keahlian dokter bedah
umum. Lima belas menit setelah operasi dimulai, aku melihat Mari sedang
menangis di lorong. Dokter bedah selalu memulai operasi Whipple dengan
menyisipkan kamera mungil lewat irisan kecil untuk mencari metastasis
karena kanker yang menyebar akan menjadikan operasi itu tak berguna
sehingga membuatnya harus dibatalkan. Ketika berdiri di sana, menunggu
di dalam RO dengan bayangan operasi sembilan jam di depan mata, Mari
membisikkan sebuah pikiran: Aku sangat lelah—kumohon Tuhan, semoga
memang ada metastasis. Dan, itulah yang terjadi. Si pasien dijahit kembali,
prosedurnya dibatalkan. Mula-mula muncul kelegaan, lalu diikuti perasaan
malu yang mendalam dan memedihkan. Mari bergegas meninggalkan RO,
dia perlu mencurahkan perasaan. Dia melihatku, dan aku menjadi
tempatnya mencurahkan perasaan.

P ada tahun keempat sekolah kedokteran aku menyaksikan ketika, satu


per satu, banyak teman sekelasku memilih spesialisasi dalam bidang
yang tak terlalu berat (misalnya, radiologi atau dermatologi) dan melamar
sebagai dokter residen. Karena ini membingungkanku, aku
mengumpulkan data dari beberapa sekolah kedokteran elite dan
menemukan tren yang sama: pada akhir sekolah kedokteran, sebagian
besar mahasiswa cenderung berfokus pada spesialisasi “gaya hidup”—
dengan jam kerja yang lebih manusiawi, gaji lebih tinggi, dan tekanan yang
lebih ringan—idealisme dalam esai pendaftaran sekolah kedokteran
mereka memudar atau hilang. Ketika kelulusan semakin dekat dan, sesuai
tradisi Yale, kami duduk untuk menuliskan kembali sumpah dokter kami
—perpaduan antara kata-kata Hippocrates, Maimonides, Osler, dan
beberapa bapak kedokteran besar lainnya—beberapa mahasiswa
menyatakan ingin menghapus kalimat yang menuntut agar kami
meletakkan kepentingan pasien di atas kepentingan kami sendiri. (Yang
lainnya tidak membiarkan diskusi ini berlanjut lama. Kata-kata itu tetap
tercantum. Jenis keegoisan semacam ini kuanggap sebagai antitesis
kedokteran dan, harus dicatat, benar-benar masuk akal. Sesungguhnya,
beginilah cara 99% orang memilih pekerjaan mereka: gaji, lingkungan
kerja, dan jam kerja. Namun, di situlah intinya. Mendahulukan gaya hidup
adalah caramu mendapatkan pekerjaan—bukan panggilan hati.)
Aku sendiri memilih bedah saraf sebagai spesialisasiku. Pilihan ini, yang
telah kurenungkan selama beberapa waktu, terpatri pada suatu malam di
sebuah kamar persis di samping RO. Saat itu diam-diam aku
mendengarkan dengan takjub ketika seorang dokter bedah saraf pediatri
duduk bersama orangtua seorang anak yang menderita tumor otak besar,
yang malam itu datang dengan keluhan sakit kepala. Dokter itu tidak
hanya menyampaikan fakta-fakta klinis, tetapi juga membahas fakta-fakta
kemanusiaannya, mengakui tragedi dalam situasi itu dan memberikan
bimbingan. Kebetulan ibu anak itu adalah dokter radiologi. Tumornya
tampak ganas—si ibu sudah mempelajari gambar-gambar pemindaiannya,
dan kini dia duduk di kursi plastik, di bawah lampu neon, tampak
terguncang.
“Nah, Claire,” kata dokter bedah itu memulai dengan lembut.
“Apakah seburuk kelihatannya?” sela si ibu. “Menurutmu, itu kanker?”
“Aku tak tahu. Apa yang benar-benar kuketahui—dan aku tahu bahwa
kau juga mengetahuinya—adalah bahwa kehidupan kalian akan—
kehidupan kalian sudah berubah. Ini akan menjadi perjalanan panjang,
kalian mengerti? Kalian harus ada di sana untuk menyokong satu sama
lain, tetapi kalian juga harus beristirahat ketika memerlukannya. Jenis
penyakit seperti ini bisa menyatukan kalian atau bisa memecah belah
kalian. Kini, melebihi kapan pun, kalian harus ada di sana untuk
menyokong satu sama lain. Aku tidak ingin salah seorang dari kalian
terjaga semalaman di samping ranjang atau tak pernah meninggalkan
rumah sakit. Oke?”
Lalu, dokter itu menjelaskan operasi yang direncanakan, kemungkinan
hasilnya dan segala kemungkinan lain, putusan-putusan apa yang harus
dibuat sekarang, putusan-putusan apa yang harus mulai mereka pikirkan,
tetapi tak perlu langsung diputuskan, dan jenis-jenis putusan apa yang
belum perlu mereka khawatirkan sama sekali. Pada akhir percakapan
keluarga itu tidak merasa tenang, tetapi tampaknya mereka sanggup
menghadapi masa depan. Aku mengamati wajah orangtua itu—yang mula-
mula pucat, kuyu, seakan-akan berasal dari dunia lain—berubah tajam
dan terfokus. Ketika duduk di sana, kusadari bahwa pertanyaan-
pertanyaan yang bersilangan dengan kehidupan, kematian, dan makna,
pertanyaan-pertanyaan yang pasti akan dihadapi semua orang pada suatu
waktu, biasanya muncul dalam konteks medis. Dalam situasi nyata ketika
seseorang menghadapi pertanyaan-pertanyaan ini, itu menjadi latihan
loso s dan biologis yang tak terhindarkan. Manusia adalah organisme,
tunduk pada hukum sik, sayangnya termasuk hukum yang menyatakan
bahwa entropi selalu meningkat. Penyakit adalah molekul-molekul yang
berperilaku keliru; persyaratan dasar kehidupan adalah metabolisme, dan
kematian menjadi akhirnya.
Sementara semua dokter mengobati penyakit, dokter bedah saraf
menangani ujian identitas: secara tak terhindarkan, setiap operasi pada
otak merupakan tindakan memanipulasi substansi diri kita sendiri, dan
setiap percakapan dengan pasien yang menjalani bedah otak mau tidak
mau harus menghadapi fakta ini. Selain itu, bagi pasien dan keluarganya,
bedah otak biasanya merupakan peristiwa paling dramatis yang pernah
mereka hadapi dan, oleh karena itu, menimbulkan dampak selayaknya
sebuah peristiwa kehidupan yang besar.
Di persimpangan-persimpangan kritis di antaranya, pertanyaannya
bukan hanya apakah pasiennya akan hidup atau mati, melainkan jenis
kehidupan seperti apa yang patut dijalani. Bersediakah kau menukar
kemampuan bicaramu—atau kemampuan bicara ibumu—dengan
beberapa bulan ekstra kehidupan dalam kebisuan? Menukar perluasan
titik buta penglihatanmu untuk menghapus kemungkinan kecil
pendarahan otak yang fatal? Menukar fungsi tangan kananmu untuk
menghentikan kejang-kejang? Seberapa besar penderitaan neurologis yang
kau biarkan diderita oleh anakmu sebelum kau mengatakan bahwa
kematian akan lebih baik baginya? Karena otak memperantarai
pengalaman kita terhadap dunia, semua masalah bedah saraf akan
memaksa pasien dan keluarganya, idealnya dengan dokter sebagai
pembimbing, untuk menjawab pertanyaan ini: Apa yang membuat
kehidupan cukup bermakna sehingga layak dilanjutkan?
Aku terpikat oleh bedah saraf, dengan tuntutannya yang tak kenal
ampun terhadap kesempurnaan; Seperti konsep Yunani kuno arete, pikirku,
ketika kebajikan memerlukan keunggulan moral, emosional, mental, dan sik.
Bedah saraf seakan-akan menyajikan konfrontasi paling telak dan
menantang ketika berhadapan dengan makna, identitas, dan kematian.
Sehubungan dengan tanggung jawab sangat besar yang mereka emban,
dokter bedah saraf juga menguasai berbagai bidang: bedah saraf,
pengobatan ICU, neurologi, dan radiologi. Kusadari bahwa aku tidak hanya
harus melatih otak dan tanganku; aku juga harus melatih mataku, dan
mungkin organ-organ lainnya. Gagasan ini menakjubkan sekaligus
memabukkan: mungkin aku juga bisa bergabung dengan jajaran
cendekiawan yang berjalan memasuki semak-semak terimbun penuh
masalah emosional, ilmiah, dan spiritual, untuk kemudian menemukan
atau menciptakan jalan keluar.

S etelah menyelesaikan sekolah kedokteran, aku dan Lucy, yang baru


saja menikah, menuju California untuk mulai menjadi dokter residen,
aku di Stanford, Lucy di UCSF yang terletak di dekat rumah. Sekolah
kedokteran sudah resmi kami selesaikan—kini tanggung jawab nyata
menanti. Singkatnya, aku mendapat beberapa teman dekat di rumah sakit,
terutama Victoria, sesama dokter residen, dan Je , dokter residen bedah
vaskular yang beberapa tahun lebih senior daripada kami. Selama tujuh
tahun menjalani pelatihan, kami akan berkembang daripada sekadar
menyaksikan drama kedokteran hingga menjadi aktor utama di dalamnya.
Sebagai dokter magang pada tahun pertama pelatihan, seseorang bisa
dibilang hanya mengerjakan pekerjaan administrasi, dilatari kehidupan
dan kematian—walaupun, bahkan pada saat itu pun, beban kerjanya luar
biasa. Pada hari pertamaku di rumah sakit, kepala dokter residen
memberitahuku, “Dokter residen bedah saraf bukan hanya dokter bedah
terbaik—kita adalah dokter terbaik di rumah sakit. Itulah tujuanmu.
Buatlah kami bangga.” Direktur, ketika melewati bangsal, memberitahuku,
“Makanlah selalu dengan tangan kiri. Kau harus belajar menggunakan
kedua tanganmu dengan sama baiknya.” Salah seorang dokter residen
senior mengatakan kepadaku, “Asal tahu saja—kepala dokter residen
sedang menghadapi perceraian, jadi saat ini dia benar-benar membaktikan
diri pada pekerjaannya. Jangan berbasa-basi dengannya.” Dokter magang
ramah yang seharusnya mengarahkanku, tetapi malah begitu saja
memberiku daftar 43 pasien memberitahuku, “Satu-satunya hal yang
harus kukatakan kepadamu adalah mereka selalu bisa lebih menyakitimu,
tetapi mereka tidak bisa menghentikan waktu.” Lalu, dia berjalan
meninggalkanku.
Aku tidak meninggalkan rumah sakit pada dua hari pertama itu, tetapi
dengan segera tumpukan dokumen yang menguras waktu dan tampak
mustahil diselesaikan itu menjadi pekerjaan satu jam saja. Namun, ketika
kau bekerja di rumah sakit, dokumen yang kau arsipkan bukan sekadar
dokumen: itu fragmen-fragmen cerita yang penuh dengan risiko dan
kemenangan.
Seorang anak berusia 8 tahun bernama Matthew, misalnya, datang pada
suatu hari, mengeluhkan sakit kepala, tetapi kemudian mengetahui
adanya tumor yang berbatasan dengan hipotalamusnya. Hipotalamus
mengatur hasrat-hasrat dasar kita: tidur, lapar, haus, dan seks.
Membiarkan tumor itu akan menyerahkan Matthew pada kehidupan yang
dipenuhi radiasi, operasi-operasi lanjutan, kateter-kateter otak …
singkatnya akan menghabiskan masa kecilnya. Pengangkatan menyeluruh
bisa mencegah hal itu, tetapi dengan risiko merusak hipotalamus,
menjadikan Matthew budak dari hasrat-hasratnya. Dokter bedah harus
bertindak, memasukkan endoskop kecil lewat hidung Matthew dan
mengebor dasar tengkoraknya. Begitu endoskop itu berada di dalam,
dokter bedah melihat bidang kosong dan mengangkat tumor itu. Beberapa
hari kemudian Matthew keluyuran di sekitar bangsal, mencuri permen
dari para perawat, siap untuk pulang. Malam itu, dengan gembira, aku
mengisi berhalaman-halaman dokumen pelepasannya dari rumah sakit.
Aku kehilangan pasien pertamaku pada suatu Selasa.
Dia adalah perempuan berusia 82 tahun, bertubuh kecil ramping, orang
paling sehat di layanan bedah umum, tempatku menghabiskan waktu
sebulan sebagai dokter magang. (Saat dilakukan autopsi, dokter
patologinya terkejut ketika mengetahui usia perempuan itu: “Dia punya
organ-organ seperti perempuan berusia 50 tahun!”) Dia dirawat karena
sembelit akibat gangguan usus ringan. Setelah enam hari berharap agar
usus-ususnya terurai sendiri dari belitan, kami melakukan operasi kecil
untuk membantu menyelesaikan masalah itu. Pada Senin malam, sekitar
pukul 8.00, aku mampir untuk mengecek perempuan itu. Dia sadar
sepenuhnya dan tampak baik-baik saja. Sambil mengobrol, aku
mengeluarkan daftar pekerjaanku pada hari itu dari saku dan mencoret
butir terakhir (pengecekan pasca-operasi, Mrs. Harvey). Saatnya pulang
dan beristirahat.
Selepas tengah malam, telepon berdering. Pasiennya dalam keadaan
gawat. Dengan kepuasan pekerjaan birokratis yang mendadak lenyap, aku
duduk di ranjang dan meneriakkan perintah-perintah, “Bolus LR 1 liter,
EKG, röntgen dada, stat—aku berangkat ke sana.” Aku menelepon kepala
dokter residen dan dia menyuruhku untuk menambahkan beberapa
pemeriksaan lab dan meneleponnya kembali ketika aku sudah lebih
memahami situasinya. Aku bergegas ke rumah sakit dan mendapati Mrs.
Harvey sedang bernapas dengan susah payah, denyut jantungnya berpacu,
tekanan darahnya anjlok. Keadaannya tidak membaik, tak peduli apa pun
yang kulakukan. Dan, karena akulah satu-satunya dokter magang bedah
umum yang bisa dipanggil, penyerantaku berbunyi tanpa henti, dipenuhi
panggilan-panggilan yang bisa kuabaikan (pasien-pasien yang
memerlukan obat tidur) dan yang tak bisa kuabaikan (pecahnya aneurisme
aorta di UGD).
Aku tenggelam, kewalahan, ditarik ke ribuan arah, dan kondisi Mrs.
Harvey masih belum membaik. Aku mengatur pemindahannya ke ICU. Di
sana kami memberondongnya dengan obat dan cairan untuk mencegah
kematian. Lalu, aku menghabiskan beberapa jam berikutnya dengan
berlarian di antara pasienku yang terancam kematian di UGD dan
pasienku yang secara aktif sedang sekarat di ICU. Pada pukul 05.45, pasien
di UGD dalam perjalanan ke RO, sementara kondisi Mrs. Harvey relatif
stabil. Dia memerlukan 12 liter cairan, 2 unit darah, ventilator, dan 3 alat
peningkat tekanan darah yang berbeda agar tetap hidup.
Ketika akhirnya aku meninggalkan rumah sakit pada Selasa pukul 5.00
sore, keadaan Mrs. Harvey tidak membaik—atau memburuk. Pada pukul
7.00 malam, telepon berdering: jantung Mrs. Harvey berhenti berdetak
dan tim ICU sedang mengupayakan CPR. Aku bergegas kembali ke rumah
sakit dan sekali lagi dia bertahan hidup. Nyaris. Kali ini, alih-alih pulang,
aku makan malam di dekat rumah sakit, sekadar berjaga-jaga.
Pada pukul 8.00 malam, ponselku berdering: Mrs. Harvey sudah tiada.
Aku pulang untuk tidur.
Aku berada dalam keadaan antara marah dan sedih. Apa pun alasannya,
Mrs. Harvey telah menembus berlapis-lapis dokumen untuk menjadi
pasienku. Keesokan harinya aku menghadiri autopsinya, menyaksikan
dokter-dokter patologi membedah tubuhnya dan mengeluarkan organ-
organnya. Kuamati sendiri organ-organ itu, kutelusurkan tanganku ke atas
organ-organ itu, kuperiksa simpul-simpul yang kubuat pada ususnya.
Sejak saat itu, aku bertekad memperlakukan semua dokumenku sebagai
pasien, bukan sebaliknya.
Pada tahun pertama itu aku menyaksikan kematian. Terkadang aku
melihatnya mengintip di pojokan, pada waktu lain aku melihatnya merasa
malu karena tepergok berada di ruangan yang sama. Inilah beberapa orang
yang kusaksikan kematiannya.
1. Seorang pecandu alkohol, darahnya tak lagi bisa membeku, meninggal
karena pendarahan di sendi-sendi dan di bawah kulit. Setiap hari
memar-memar itu menyebar. Sebelum menceracau, dia mendongak
memandangku dan berkata, “Ini tidak adil—aku telah mengencerkan
minumanku dengan air.”
2. Seorang dokter patologi meninggal karena pneumonia, tersengal-sengal
menuju kematian sebelum akhirnya dibawa untuk diautopsi—
perjalanan terakhir perempuan itu ke lab patologi, tempatnya
menghabiskan bertahun-tahun waktu hidupnya.
3. Seorang lelaki yang telah menjalani prosedur bedah saraf kecil untuk
mengatasi sengatan-sengatan nyeri yang menjalari wajahnya: setetes
kecil semen cair telah diletakkan pada saraf yang dicurigai agar
pembuluh darah tidak menekannya. Seminggu kemudian dia menderita
sakit kepala parah. Hampir semua tes dilakukan, tetapi diagnosisnya tak
pernah teridenti kasi.
4. Lusinan kasus trauma kepala: bunuh diri, tertembak, perkelahian di bar,
kecelakaan motor, tabrakan mobil. Serangan rusa.
Terkadang beban dari semua itu bisa dirasakan. Ada di dalam udara,
tekanan, dan kesedihan. Normalnya, kau menghirupnya dalam napasmu
tanpa memperhatikan. Namun, pada hari-hari tertentu, misalnya pada
hari yang panas dan lembap, beban itu terasa menyesakkan. Terkadang
inilah yang kurasakan ketika berada di rumah sakit: terjebak dalam musim
panas tak berkesudahan di hutan, banjir keringat, dihujani air mata dari
keluarga pasien yang meninggal.

P ada tahun kedua pelatihan kaulah yang kali pertama tiba ketika
terjadi keadaan darurat. Beberapa pasien tak bisa kau selamatkan.
Yang lainnya bisa: kali pertama aku melarikan pasien koma dari UGD ke
RO, membersihkan darah dari tengkoraknya, lalu menyaksikannya
tersadar, mulai berbicara dengan keluarganya, dan mengeluhkan irisan di
kepalanya, aku terhanyut dalam kelinglungan euforia, berjalan-jalan di
sekitar rumah sakit pada pukul 2.00 dini hari hingga tak tahu di mana aku
berada. Aku memerlukan waktu 45 menit untuk menemukan jalan
kembali.
Jadwal kerjanya melelahkan. Sebagai dokter residen, kami bekerja 100
jam dalam seminggu; peraturan resmi membatasi jam kerja kami hingga
88 jam dalam seminggu, tetapi selalu ada lebih banyak pekerjaan yang
harus diselesaikan. Mataku berair, kepalaku berdenyut-denyut, aku
menenggak minuman pembangkit energi pada pukul 2.00 dini hari. Di
tempat kerja aku sanggup bertahan. Namun, begitu berjalan
meninggalkan rumah sakit, kelelahan melandaku. Aku terhuyung-huyung
melintasi lapangan parkir, sering kali tidur sejenak di mobil sebelum
menyetir selama lima belas menit untuk tidur di rumah.
Tidak semua dokter residen sanggup menghadapi tekanannya. Seorang
dokter residen benar-benar tidak sanggup menerima celaan atau tanggung
jawab. Dia dokter bedah berbakat, tetapi tak mau mengakui ketika
melakukan kesalahan. Aku duduk bersamanya pada suatu hari di ruang
istirahat dokter ketika dia memohon agar aku membantunya
menyelamatkan kariernya.
“Yang harus kau lakukan,” kataku sebelum melanjutkan, “hanyalah
memandang lurus ke mataku dan berkata, ‘Maaf. Apa yang terjadi adalah
kesalahanku dan aku tak akan membiarkannya terjadi lagi.’”
“Namun, perawatnya yang—”
“Tidak. Kau harus bisa mengatakannya dan bersungguh-sungguh
dengan perkataanmu. Cobalah lagi.”
“Tetapi—”
“Tidak. Katakanlah.”
Percakapan seperti ini berlanjut selama satu jam sebelum akhirnya aku
menyadari bahwa dia tak terselamatkan.
Tekanan membuat dokter residen lain meninggalkan gelanggang
sepenuhnya; dia memilih melakukan pekerjaan konsultasi yang tidak
terlalu berat.
Yang lainnya bahkan membayar harga lebih mahal.
Seiring dengan keahlianku yang meningkat, begitu juga tanggung
jawabku. Perlu kemampuan prognosis yang mustahil untuk belajar menilai
hidup siapa yang bisa diselamatkan, hidup siapa yang tidak bisa
diselamatkan, dan hidup siapa yang seharusnya tidak diselamatkan. Aku
melakukan kesalahan-kesalahan. Melarikan pasien ke RO untuk sebisa
mungkin menyelamatkan sebagian kecil otaknya agar jantungnya tetap
berdetak, tetapi dia tak akan pernah bisa bicara, dia makan lewat selang,
dan dia ditakdirkan menjalani eksistensi yang tak pernah diinginkannya
.… Ini kuanggap sebagai kegagalan yang lebih mengerikan daripada
kematian pasien. Eksistensi membingungkan—dengan metabolisme di
luar kesadaran—menjadi beban tak tertanggungkan yang biasanya
dilimpahkan kepada panti perawatan. Di sana keluarga yang tak bisa
mendapatkan kepastian akan semakin jarang berkunjung hingga
pneumonia atau luka baring yang fatal menyerang pasien. Beberapa pasien
bersikeras untuk tetap hidup dan merengkuh peluangnya dengan mata
terbuka. Namun, banyak yang pasrah, atau tidak sanggup, dan dokter
bedah saraf harus belajar memutuskan.
Aku memulai karier ini, antara lain, untuk
memburu kematian: untuk meraihnya, membuka
selubungnya, dan melihatnya secara langsung,
tanpa berkedip. Bedah saraf memikatku karena
menyangkut saling terjalinnya otak dan
kesadaran, dan juga saling terjalinnya kehidupan
dan kematian.
Tadinya kupikir kehidupan yang dihabiskan dalam ruang di antara
kedua hal itu tidak hanya akan memberiku panggung untuk menunjukkan
tindakan welas asih, tetapi juga akan meningkatkan keberadaanku sendiri:
pergi sejauh mungkin dari materialisme picik, dari hal-hal sepele untuk
kepentingan diri sendiri, dan berada tepat di sana, di inti
permasalahannya, putusan dan perjuangan antara hidup-dan-mati yang
sesungguhnya … pasti sejenis transenden bisa ditemukan di sana, kan?
Akan tetapi, ketika menjadi dokter residen, sesuatu yang lain perlahan-
lahan terkuak. Di tengah rentetan cedera kepala yang tak ada habisnya itu,
aku mulai curiga bahwa berada begitu dekat dengan cahaya garang
momen-momen semacam itu hanya akan membutakanku terhadap kodrat
mereka, sama seperti mencoba belajar astronomi dengan menatap
matahari secara langsung. Aku belum pernah bersama pasien-pasien dalam
momen menentukan mereka, aku hanya hadir pada momen menentukan
itu. Aku mengamati banyak penderitaan; yang lebih buruk lagi, aku
menjadi terbiasa dengannya. Ketika sedang tenggelam, bahkan di dalam
darah, seseorang akan beradaptasi, belajar mengapung, berenang, bahkan
menikmati hidup, bergaul dengan para perawat, dokter, dan orang lain
yang menggelayuti rakit yang sama, terjebak dalam gelombang pasang
yang sama.
Aku dan sesama dokter residen, Je , menangani kasus-kasus trauma
bersama-sama. Ketika dia memanggilku ke bangsal trauma karena ada
kasus cedera kepala konkuren, kami selalu kompak. Dia memeriksa bagian
perut, lalu meminta prognosisku mengenai fungsi kognitif pasien. “Well,
dia masih bisa menjadi senator,” jawabku suatu kali, “tetapi hanya di
negara bagian kecil.” Je tertawa, dan sejak saat itu, populasi negara
bagian menjadi barometer kami dalam menilai tingkat keparahan cedera
kepala. “Dia Wyoming atau California?” tanya Je , berupaya menentukan
seberapa intensif rencana perawatannya. Atau, aku berkata, “Je , aku tahu
tekanan darahnya labil, tetapi aku harus membawanya ke RO. Kalau tidak,
dia akan pindah dari Washington ke Idaho—kau bisa menstabilkannya?”
Di kafetaria pada suatu hari, ketika aku sedang menyantap makan siang
khasku—Diet Coke dan es krim lapis—penyerantaku mengumumkan
kasus trauma berat yang baru saja masuk. Aku berlari ke bangsal trauma,
menyelipkan es krim lapisku ke belakang komputer persis ketika tim
paramedis tiba, mendorong brankar, dan memberitahukan detail-
detailnya: “Lelaki 22 tahun, kecelakaan motor, 60 kilometer per jam,
kemungkinan otaknya keluar dari hidung .…”
Aku langsung bekerja, meminta nampan intubasi, memeriksa fungsi-
fungsi penting lainnya. Begitu pasien sudah diintubasi dengan aman, aku
meneliti berbagai cederanya: wajah memar, goresan aspal jalanan, pupil
membesar. Kami memompa banyak manitol untuk mengurangi
pembengkakan otak dan melarikannya ke alat pemindai: tengkorak pecah,
pendarahan berat dan tersebar. Dalam benakku, aku sudah merencanakan
irisan kulit kepala, bagaimana aku akan mengebor tulang, mengeluarkan
darahnya. Tekanan darahnya mendadak anjlok. Kami melarikannya
kembali ke bangsal trauma dan, tepat ketika seluruh tim trauma tiba,
jantungnya berhenti berdetak. Pasien langsung dirubung berbagai
aktivitas: kateter diselipkan ke dalam arteri paha, selang-selang didorong
jauh memasuki dada, obat-obatan disuntikkan ke selang infus, sementara
itu, kepalan tangan memukul-mukul jantung agar darah tetap mengalir.
Setelah tiga puluh menit, kami membiarkan pasien menyelesaikan
kematiannya. Dengan jenis cedera kepala semacam itu, kami semua
bergumam setuju bahwa kematian memang lebih baik untuknya.
Aku menyelinap keluar dari bangsal trauma, persis ketika keluarga
pasien dibawa masuk untuk melihat mayatnya. Lalu, aku ingat: Diet Coke
dan es krim lapisku … dan betapa gerahnya bangsal trauma. Salah seorang
dokter residen UGD menggantikanku, kemudian aku menyelinap masuk
kembali, bagai hantu, untuk menyelamatkan es krim lapis di depan mayat
anak laki-laki yang tak bisa kuselamatkan.
Tiga puluh menit di dalam lemari pembeku menghidupkan kembali es
krim lapisku. Lumayan enak, pikirku sambil mengorek keping-keping
cokelat dari gigi ketika keluarga itu mengucapkan salam perpisahan
terakhir mereka.
Aku bertanya-tanya apakah dalam waktu
singkatku sebagai dokter, aku mengalami lebih
banyak kemunduran daripada kemajuan moral.
Beberapa hari kemudian aku mendengar bahwa Laurie, seorang teman
dari sekolah kedokteran, tertabrak mobil. Dokter bedah saraf telah
melakukan operasi sebagai upaya untuk menyelamatkannya. Jantung
perempuan itu sempat berhenti berdetak, kemudian dipulihkan kembali,
lalu meninggal keesokan harinya. Aku tidak ingin tahu lebih banyak. Masa
ketika seseorang hanya “tewas dalam kecelakaan mobil” telah lama berlalu.
Kini kata-kata itu membuka kotak Pandora, dan dari sana muncullah
semua gambaran itu: brankar yang didorong, darah di lantai bangsal
trauma, selang yang dimasukkan lewat tenggorokan, pukulan-pukulan di
dada. Aku bisa melihat tanganku, sepasang tanganku sendiri, mencukur
kulit kepala Laurie, pisau bedah mengiris kepalanya hingga terbuka, aku
bisa mendengar kebisingan bor dan mencium bau tulang terbakar,
debunya berpusar-pusar, aku bisa melihat retakan-retakan ketika
membongkar satu bagian tengkoraknya. Rambut Laurie tercukur
setengah, kepalanya berubah bentuk. Dia sama sekali tidak menyerupai
dirinya sendiri; dia menjadi orang asing bagi keluarga dan teman-
temannya. Mungkin ada selang-selang dada, dan sebelah kakinya
dipasangi penahan .…
Aku tidak menanyakan detail-detailnya. Aku sudah mengetahui terlalu
banyak detail.
Dalam momen itu, aku teringat pada semua peristiwa yang
menunjukkan kegagalanku dalam berempati: saat-saat ketika aku
mengesampingkan kekhawatiran pasien atau mengabaikan rasa nyeri
pasien karena didesak tuntutan-tuntutan lain. Orang-orang dengan
penderitaan yang kulihat, kucatat, dan kukemas rapi dalam berbagai
diagnosis, dengan makna yang gagal kupahami—mereka semua datang
kembali, penuh dendam, marah, dan tak terhindarkan.
Aku khawatir diriku sedang berproses menjadi stereotip dokter dalam
karya Tolstoy, sibuk dengan formalisme kosong, berfokus pada prosedur
perawatan penyakit yang sudah di luar kepala—dan benar-benar
melewatkan makna kemanusiaan yang lebih besar. (“Dokter-dokter datang
menemuinya satu per satu dan, dalam konsultasi, banyak berbicara dalam
bahasa Prancis, Jerman, dan Latin, saling menyalahkan satu sama lain,
lalu meresepkan berbagai jenis obat untuk semua penyakit yang mereka
ketahui. Namun, tak ada seorang pun dari mereka yang pernah
memikirkan gagasan sederhana bahwa mereka tidak bisa mengetahui
penyakit yang diderita Natasha.”)
Seorang ibu menemuiku, baru saja didiagnosis kanker otak. Dia
kebingungan, ketakutan, dilanda ketidakpastian. Aku kelelahan, tidak bisa
berempati. Aku menjawab semua pertanyaannya dengan terburu-buru,
meyakinkannya bahwa operasi itu pasti berhasil, dan meyakinkan diriku
sendiri bahwa tidak ada cukup waktu untuk menjawab semua
pertanyaannya dengan jujur. Namun, mengapa aku tidak menyisihkan
waktu? Seorang dokter hewan pemarah menolak nasihat dan bujukan para
dokter, perawat, dan ahli terapi sik selama berminggu-minggu; akibatnya
luka punggungnya pecah, persis seperti yang telah kami peringatkan
kepadanya. Aku dipanggil keluar dari RO, kujahit luka pecah itu,
sementara dia berteriak kesakitan, dan kukatakan kepada diri sendiri
bahwa dia memang pantas menerimanya.
Tak seorang pun pantas menerimanya.
Aku hanya sedikit terhibur ketika mengetahui bahwa William Carlos
Williams dan Richard Selzer pernah mengaku melakukan hal yang lebih
buruk, dan aku bersumpah untuk berbuat lebih baik. Di antara semua
tragedi dan kegagalan itu, aku khawatir diriku tak lagi melihat betapa
pentingnya hubungan antarmanusia—bukan hubungan antara pasien dan
keluarga mereka, melainkan hubungan antara dokter dan pasien.
Keunggulan teknik tidaklah cukup. Sebagai dokter residen, cita-cita
tertinggiku bukanlah menyelamatkan nyawa orang-orang—toh semua
orang pada akhirnya meninggal—melainkan membimbing pasien atau
keluarganya agar bisa memahami kematian atau penyakit yang diderita.
Ketika seorang pasien datang dengan pendarahan kepala fatal, percakapan
pertama dengan dokter bedah saraf bisa memengaruhi cara keluarganya
mengingat kematian itu untuk selamanya, dari kepasrahan yang tenang
(“Mungkin ini sudah saatnya.”) hingga penyesalan terang-terangan
(“Dokter-dokter itu tidak mendengarkan! Mereka bahkan tidak berupaya
menyelamatkannya!”).
Ketika tidak bisa lagi menggunakan pisau
bedah, kata-kata menjadi satu-satunya alat yang
bisa dipakai oleh dokter bedah.
Di antara penderitaan unik yang ditimbulkan oleh kerusakan otak
parah, penderitaan sering kali lebih dirasakan oleh keluarga daripada si
pasien, dan bukan hanya dokter yang gagal melihat makna seutuhnya.
Keluarga yang berkumpul di sekeliling orang tercinta mereka—orang
tercinta mereka dengan kepala tercukur yang berisi otak babak belur—
biasanya juga gagal memahami makna seutuhnya. Mereka melihat masa
lalu, akumulasi kenangan, cinta yang serasa disegarkan kembali, dan
kesemuanya itu direpresentasikan oleh tubuh di hadapan mereka. Aku
melihat kemungkinan masa depan, mesin-mesin pernapasan yang
dihubungkan lewat lubang operasi di leher, cairan kental menetes masuk
lewat lubang di perut, kemungkinan penyembuhan parsial yang lama dan
menyakitkan—atau, kemungkinan besar, kemustahilan untuk
mengembalikan si pasien menjadi orang yang mereka ingat.
Dalam momen-momen ini, aku tidak bertindak seperti yang sering kali
kulakukan, yaitu sebagai musuh kematian, tetapi sebagai duta besarnya.
Aku harus membantu keluarga itu memahami bahwa orang yang mereka
kenal—manusia utuh yang independen dan penuh semangat itu—kini
hanya hidup pada masa lalu dan aku memerlukan masukan dari mereka
untuk memahami masa depan macam apa yang diinginkan pasien:
kematian yang nyaman atau terikat di antara kantong-kantong cairan
yang masuk dan keluar dari tubuh, bertahan walaupun tak mampu
berjuang.
Seandainya aku lebih religius sewaktu masih muda, mungkin aku telah
menjadi pendeta karena peran sebagai pendetalah yang kucari.

D engan fokus yang kuperbarui, persetujuan tertulis—ritual pasien


menandatangani secarik kertas sebagai bukti bahwa
mengizinkan dilakukannya operasi—bukan menjadi latihan yuridis untuk
dia

menyebutkan semua risiko secepat mungkin seperti sulih suara dalam


iklan obat baru, melainkan sebagai peluang untuk menempa perjanjian
dengan rekan sependeritaan: Di sinilah kita bersama-sama, dan inilah
jalannya—aku berjanji untuk menuntunmu, sebisa mungkin, ke sisi seberang.
Saat itu aku sudah lebih e sien dan berpengalaman sebagai dokter
residen. Akhirnya, aku bisa sedikit bernapas, tak lagi berjuang mati-
matian untuk tetap hidup. Kini aku mengemban tanggung jawab penuh
atas kesejahteraan pasien-pasienku.
Pikiranku beralih kepada ayahku. Sebagai mahasiswa kedokteran, aku
dan Lucy pernah mengikuti tugas kelilingnya di rumah sakit di Kingman,
mengamati ketika dia memberi penghiburan dan candaan kepada pasien-
pasiennya. Kepada seorang perempuan yang sedang memulihkan diri dari
operasi jantung, dia bertanya, “Kau lapar? Mau diambilkan makanan apa?”
“Apa saja,” jawab perempuan itu. “Aku kelaparan.”
“Well, bagaimana kalau lobster dan steik?” Ayahku meraih telepon dan
menelepon ruang perawat. “Pasienku perlu lobster dan steik—sekarang
juga!” Dia berbalik menghadap perempuan itu, lalu berkata sambil
tersenyum, “Makanannya sedang dalam perjalanan, tetapi mungkin
penampilannya lebih mirip roti lapis kalkun.”
Hubungan-hubungan antarmanusia yang dibentuk ayahku dengan
santai, kepercayaan yang ditanamkannya ke dalam diri pasien-pasiennya,
menjadi inspirasi bagiku.
Seorang perempuan berusia 35 tahun duduk di ranjang ICU-nya dengan
wajah penuh kengerian. Dia sedang berbelanja untuk keperluan ulang
tahun saudara perempuannya ketika mendadak kejang-kejang. Gambar
pemindaian menunjukkan tumor otak jinak yang menekan bagian depan
lobus otak kanannya. Sehubungan dengan risiko operasi, itu jenis tumor
terbaik yang berada di lokasi terbaik yang bisa dimiliki pasien; hampir bisa
dipastikan bahwa pembedahan akan menghilangkan kejang-kejangnya.
Alternatifnya adalah minum obat antikejang beracun seumur hidup.
Namun, bisa kulihat bahwa gagasan bedah otak membuatnya ketakutan,
melebihi ketakutan kebanyakan pasien lain. Perempuan itu sendirian dan
berada di tempat asing, diciduk dari keriuhan pusat perbelanjaan yang
dikenalnya dan dimasukkan ke ruang ICU penuh dengan bunyi bip bip,
alarm asing, dan bau antiseptik. Dia pasti akan menolak pembedahan
kalau aku langsung mencerocos dengan memerinci semua risiko dan
kemungkinan komplikasinya.
Aku bisa saja melakukannya, aku akan mendokumentasikan
penolakannya di catatan pasien, menganggap tugasku selesai, dan beralih
ke tugas berikutnya. Namun, dengan seizin pasien, aku mengumpulkan
keluarganya. Kami kemudian membicarakan opsi-opsinya dengan tenang.
Selagi kami berbicara, aku bisa melihat kemustahilan pilihan yang
dihadapinya berubah menjadi putusan yang sulit, tetapi bisa dipahami.
Aku menemuinya dalam sebuah ruang ketika dia kuanggap sebagai
seorang manusia, bukannya masalah yang harus dipecahkan. Dia memilih
pembedahan. Operasinya berlangsung mulus. Dia pulang dua hari
kemudian dan tak pernah mengalami kejang-kejang lagi.
Penyakit berat apa pun pasti mengubah kehidupan pasien—sebenarnya,
kehidupan seluruh keluarganya. Namun, penyakit otak punya keganjilan
misterius lain. Kematian seorang anak laki-laki pasti menghancurkan jagat
raya orangtuanya yang tertata rapi; tetapi seberapa banyak yang tak bisa
dipahami ketika pasien tersebut menderita mati-otak dengan tubuh
hangat dan jantung yang masih berdetak? Akar bencana berarti runtuhnya
sebuah bintang dan tak ada gambar yang bisa mengungkapkan dengan
tepat seperti apa tatapan pasien ketika mendengar diagnosis dokter bedah
saraf. Terkadang beritanya begitu mengejutkan hingga otak mengalami
korsleting. Fenomena ini dikenal sebagai sindrom “psikogenik”, versi
parah dari pingsan yang dialami beberapa orang setelah mendengar kabar
buruk.
Ketika ibuku, sendirian di kampus, mendengar bahwa ayahnya—yang
telah memperjuangkan haknya untuk mendapat pendidikan di pedesaan
India pada 1960-an—akhirnya meninggal setelah menjalani perawatan
panjang di rumah sakit, Ibu mengalami kejang psikogenik—yang berlanjut
hingga dia pulang untuk menghadiri pemakaman ayahnya. Salah seorang
pasienku, ketika didiagnosis menderita kanker otak, mendadak koma. Aku
memerintahkan berbagai pemeriksaan lab, pemindaian, dan EEG untuk
mencari penyebabnya, tetapi tidak menunjukkan hasil apa-apa. Tes
de nitifnya sangat sederhana: aku mengangkat lengan pasien ke atas
wajahnya dan melepaskannya. Pasien yang mengalami koma psikogenik
masih memiliki sedikit kemauan sadar sehingga bisa menghindar agar tak
memukul dirinya sendiri. Perawatan dilakukan dengan berbicara untuk
menenangkannya hingga kata-katamu terhubung dan pasien terbangun.
Kanker otak muncul dalam dua variasi: kanker primer yang muncul di
otak dan metastasis yang beremigrasi dari tempat lain dalam tubuh, yang
paling umum dari paru-paru. Pembedahan tidak menyembuhkan
penyakitnya, tetapi bisa memperpanjang hidup; bagi kebanyakan orang,
kanker pada otak mengisyaratkan kematian dalam waktu satu tahun atau
mungkin dua tahun. Mrs. Lee berusia akhir 50-an tahun dan bermata
hijau pucat. Dua hari yang lalu dia dipindahkan ke dalam perawatanku
dari sebuah rumah sakit di dekat rumahnya, 160 kilometer jauhnya dari
rumah sakitku. Suaminya, mengenakan kemeja kotak-kotak yang
dimasukkan ke celana jins dengan rapi, berdiri di samping ranjangnya
sambil memutar-mutar cincin kawin. Aku memperkenalkan diri dan
duduk, kemudian Mrs. Lee bercerita kepadaku: Selama beberapa hari
terakhir, dia merasakan gelenyar di tangan kanan, lalu mulai kehilangan
kendali atas tangan kanannya hingga tak lagi mampu mengancingkan
blus. Dia pergi ke UGD setempat karena khawatir dia mendapat serangan
strok. MRI dilakukan di sana, lalu perempuan itu dikirim kemari.
“Adakah yang memberi tahu Anda mengenai apa hasil MRI-nya?”
tanyaku.
“Tidak.” Tanggung jawab telah dipindahkan, sebagaimana yang sering
terjadi ketika menyangkut kabar buruk. Kami sering cekcok dengan dokter
onkologi mengenai siapa yang bertugas menyampaikan kabar. Seberapa
sering aku pernah melakukan hal yang sama? Well, kurasa masalahnya bisa
berhenti di sini.
“Oke,” kataku. “Kita perlu bicara banyak. Kalau tidak keberatan, bisakah
Anda mengatakan kepada saya apa yang terjadi menurut Anda? Ini selalu
membantu saya untuk memastikan tidak ada sesuatu pun yang tak
terjawab.”
“Well, kurasa aku terkena strok, tetapi kurasa … tidak?”
“Benar. Anda tidak terkena strok.” Aku terdiam. Aku bisa melihat
luasnya jurang antara kehidupan yang dimilikinya minggu lalu dan
kehidupan yang hendak dijalaninya. Dia dan suaminya tampak tidak siap
mendengar kanker otak—memangnya ada orang yang siap?—jadi aku
memulai dengan mundur beberapa langkah. “MRI menunjukkan benjolan
di otak Anda yang menimbulkan gejala-gejala yang Anda alami.”
Hening.
“Anda ingin melihat MRI-nya?”
“Ya.”
Aku menampilkan gambar-gambar itu di komputer di samping ranjang,
menunjukkan hidung, mata, dan telinga untuk memberinya orientasi.
Lalu, kutunjukkan tumor itu, bundaran putih menggumpal yang
mengelilingi sebuah inti nekrosis hitam.
“Apa itu?” tanyanya.
Bisa apa saja. Mungkin infeksi. Kita tak akan tahu sebelum pembedahan
dilakukan.
Kecenderunganku untuk menghindari pertanyaan masih ada, yaitu
membiarkan kekhawatiran mereka melayang-layang di dalam kepala,
tanpa mendapat kepastian.
“Kami tidak bisa memastikan sebelum pembedahan dilakukan,” kataku
memulai, lalu melanjutkan, “tetapi kelihatannya sangat mirip tumor otak.”
“Apakah itu kanker?”
“Sekali lagi, kami tidak bisa memastikan hingga benjolan itu diambil dan
diteliti oleh dokter-dokter patologi kami. Namun, kalau harus menebak,
saya akan menjawab ya.”
Berdasarkan hasil pemindaian, tak ada keraguan dalam benakku bahwa
ini glioblastoma—kanker otak agresif, jenis kanker yang paling buruk.
Namun, hal ini kusampaikan secara perlahan-lahan sambil mengamati
reaksi Mrs. Lee dan suaminya. Setelah menyampaikan kemungkinan
kanker otak, aku ragu mereka bisa mengingat banyak hal lain. Tragedi
besar sebaiknya disampaikan sedikit demi sedikit. Hanya ada segelintir
pasien yang menuntut semua penjelasan sekaligus; kebanyakan perlu
waktu untuk mencerna kabar itu. Mereka tidak menanyakan prognosis—
tidak seperti dalam kasus trauma, ketika hanya ada waktu sekitar sepuluh
menit untuk menjelaskan dan membuat putusan penting, di sini aku bisa
membiarkan segalanya dicerna dan dipahami terlebih dahulu.
Aku membahas secara mendetail apa yang akan terjadi selama beberapa
hari selanjutnya: apa akibat pembedahan; bagaimana kami hanya akan
mencukur selajur kecil rambut agar penampilannya tetap menarik;
bagaimana lengannya mungkin sedikit melemah setelah pembedahan,
tetapi kemudian akan menguat kembali; dan kalau segalanya berjalan
lancar, dia akan keluar dari rumah sakit pada hari ketiga; bahwa ini hanya
langkah pertama dalam sebuah maraton; bahwa istirahat sangat penting;
dan bahwa aku tidak mengharapkan mereka memahami apa yang baru
saja kukatakan dan kami akan mengulangi semuanya sekali lagi.
Setelah pembedahan, kami bicara lagi, kali ini membahas kemoterapi,
radiasi, dan prognosis. Pada saat itu aku sudah memahami beberapa
peraturan dasar. Pertama, statistik mendetail hanya untuk gedung riset,
bukan kamar rumah sakit. Statistik standar, kurva Kaplan-Meier,
mengukur jumlah pasien yang bertahan hidup setelah beberapa waktu. Ini
standar pengukuran yang kami gunakan untuk memperkirakan kemajuan
dan membantu kami memahami keganasan penyakitnya. Untuk
glioblastoma, kurvanya menukik tajam hingga hanya sekitar 5% pasien
yang masih hidup setelah dua tahun. Kedua, akurat itu penting, tetapi kau
harus selalu menyisakan ruang untuk harapan. Alih-alih mengatakan,
“Rata-rata kelangsungan hidupnya selama sebelas bulan” atau “Anda
punya peluang 95% untuk meninggal dalam waktu dua tahun,” aku
berkata, “Sebagian besar pasien hidup berbulan-bulan hingga beberapa
tahun.” Bagiku, penjelasan ini lebih jujur. Masalahnya, kau tidak bisa tahu
di mana posisi pasti masing-masing pasien di kurva itu: Akankah dia
meninggal dalam waktu enam atau enam puluh bulan? Aku yakin tidaklah
bertanggung jawab untuk mengatakannya secara akurat dan pasti. Dokter-
dokter serampangan yang memberikan angka spesi k itu (“Dokter
mengatakan usiaku tinggal enam bulan lagi”): Siapakah mereka, pikirku
bertanya-tanya, dan siapa yang mengajari mereka statistik?
Ketika mendengar kabar buruk, sebagian besar pasien tetap membisu.
(Bagaimanapun, salah satu makna awal kata pasien adalah ‘orang yang
menanggung penderitaan tanpa mengeluh.’) Tak peduli karena terguncang
atau menjaga martabat, keheningan biasanya merajai sehingga
menggenggam tangan pasien menjadi cara berkomunikasi. Beberapa
pasien langsung berubah tegar (biasanya pasangannya, alih-alih pasien itu
sendiri): “Kami akan melawan dan mengalahkan penyakit ini, Dok.”
Senjatanya bervariasi, mulai dari doa, harta, obat herbal, hingga sel induk.
Bagiku, ketegaran itu selalu tampak rapuh, optimisme tidak realistis yang
menjadi satu-satunya alternatif bagi keputusasaan yang menghancurkan.
Bagaimanapun, jika pembedahannya mendesak, sikap siap berperang itu
cocok.
Di RO, tumor kelabu gelap yang membusuk itu tampak bagaikan
penyusup di antara lipatan-lipatan otak yang menyerupai daging berwarna
krem. Aku merasa benar-benar marah ketika menemukannya (Kena kau,
dasar sialan, gumamku). Mengangkat tumor itu rasanya memuaskan—
walaupun aku tahu sel-sel kanker mikroskopis telah menyebar ke seluruh
otak yang tampak sehat. Kekambuhan yang nyaris tak terhindarkan
menjadi masalah untuk hari lain. Hadapi satu per satu. Keterbukaan
terhadap hubungan antarmanusia bukan berarti mengungkapkan
kebenaran agung dari altar; itu berarti menemui pasien di tempat mereka
berada, di ruang depan atau di ruang tengah gereja, lalu membimbing
mereka sejauh kemampuanmu.
Akan tetapi, keterbukaan terhadap hubungan antarmanusia juga ada
harganya.
Suatu malam, pada tahun ketigaku, aku bertemu Je , temanku di bedah
vaskular, profesi yang sama-sama serius dan penuh tuntutan. Kami
menyadari kemurungan satu sama lain. “Kau lebih dahulu,” katanya.
Kemudian, aku menceritakan kematian seorang anak kecil yang kepalanya
ditembak gara-gara memakai sepatu dengan warna keliru. Namun, dia
nyaris selamat .… Di antara serentetan tumor otak fatal yang tidak bisa
dioperasi akhir-akhir ini, harapanku tertuju pada keselamatan anak ini.
Namun, ternyata dia tidak selamat. Je terdiam, dan aku menunggu
ceritanya. Dia malah tertawa, meninju lenganku, dan berkata, “Well,
kurasa aku belajar satu hal: ketika merasa tertekan gara-gara pekerjaan,
aku selalu bisa bicara dengan dokter bedah saraf untuk mendapatkan
penghiburan.”
Ketika menyetir pulang pada malam itu, setelah menjelaskan dengan
lembut kepada seorang ibu bahwa bayinya yang baru lahir tidak punya
otak dan akan segera meninggal, aku menyalakan radio; NPR
mengumumkan kekeringan yang berlanjut di California. Mendadak air
mata mengaliri wajahku.
Hadir bersama pasien dalam momen-momen seperti itu jelas ada biaya
emosionalnya, tetapi juga ada ganjarannya. Kurasa aku tak pernah
menghabiskan waktuku semenit pun untuk bertanya-tanya mengapa aku
melakukan pekerjaan ini atau apakah pekerjaan ini memberi hasil yang
setimpal. Panggilan hati untuk melindungi kehidupan—dan bukan hanya
kehidupan, melainkan juga identitas orang lain; mungkin tidak terlalu
berlebihan jika menyebutnya jiwa orang lain—tampak jelas dalam
kesakralan pekerjaan ini.
Sebelum mengoperasi otak pasien, kusadari bahwa pertama-tama aku
harus memahami pikirannya: identitasnya, nilai-nilai yang dijunjungnya,
apa yang membuat kehidupannya layak dijalani, dan keputusasaan apa
yang menjadikannya masuk akal untuk membiarkan kehidupan itu
berakhir.
Harga yang harus kubayar untuk dedikasiku
terhadap kesuksesan sangatlah tinggi, dan
kegagalan yang tak terhindarkan memunculkan
rasa bersalah yang nyaris tak tertanggungkan.
Beban-beban itulah yang menjadikan kedokteran
sakral dan sangat tidak masuk akal: ketika
memanggul salib orang lain, terkadang seseorang
akan hancur karena bobot yang ditanggungnya.
Di tengah perjalanan sebagai dokter residen, harus ada waktu yang
disisihkan untuk pelatihan tambahan. Ini mungkin hanya ada dalam
kedokteran: etos bedah saraf—keunggulan dalam segala hal—menyatakan
bahwa keunggulan dalam bedah saraf saja tidaklah cukup. Untuk
mempraktikkan bidang itu, dokter bedah saraf harus terus maju dan
unggul di bidang-bidang lainnya juga. Terkadang bidangnya sangat umum,
seperti dalam kasus dokter bedah saraf dan jurnalis Sanjay Gupta, tetapi
dokter paling sering berfokus pada bidang yang berhubungan. Jalur
terberat dan paling prestisius adalah menjadi dokter bedah saraf sekaligus
ilmuwan saraf.
Pada tahun keempatku, aku mulai bekerja di lab Stanford yang
dikhususkan untuk ilmu pengetahuan saraf motorik dasar dan
pengembangan teknologi prostetik neural yang akan memungkinkan,
misalnya, orang lumpuh untuk mengendalikan kursor komputer atau
lengan robot lewat pikiran. Kepala lab, seorang dosen neurobiologi
sekaligus teknik listrik, sesama lelaki India generasi kedua di Amerika
Serikat, mendapat panggilan sayang “V” dari semua orang. V tujuh tahun
lebih tua daripadaku, tetapi kami cocok layaknya saudara. Labnya telah
menjadi pemimpin dunia dalam pembacaan sinyal-sinyal otak, tetapi aku
memulai di bawah bimbingan V.
Aku memulai sebuah proyek untuk melakukan hal sebaliknya: menulis
sinyal-sinyal ke dalam otak. Bagaimanapun, jika lengan robotmu tidak bisa
merasakan sekuat apa gelas anggur harus dipegang, kau akan memecahkan
banyak gelas anggur. Namun, implikasi penulisan sinyal-sinyal ke dalam
otak, atau “neuromodulasi”, jangkauannya jauh lebih luas daripada itu:
bisa dibayangkan bahwa kemampuan mengendalikan tembakan-tembakan
neural akan memungkinkan pengobatan sejumlah penyakit neurologis
dan psikis yang saat ini tak bisa diobati atau tak bisa diatasi, mulai dari
depresi berat hingga penyakit Huntington, skizofrenia, sindrom Tourette,
hingga OCD (gangguan kompulsif obsesif) … kemungkinannya tak
terbatas. Kini setelah mengesampingkan pembedahan, aku mulai belajar
menerapkan teknik-teknik baru dalam terapi gen melalui serangkaian
eksperimen “yang pertama dari jenisnya”.
Setelah berada di sana selama satu tahun, aku dan V duduk menghadiri
pertemuan mingguan kami. Aku menyukai percakapan-percakapan ini. V
tidak seperti ilmuwan-ilmuwan lain yang kukenal. Dia bicara lembut dan
sangat peduli terhadap orang lain dan misi klinis, dan sering kali mengaku
kepadaku bahwa dia sendiri berharap menjadi dokter bedah. Akhirnya,
aku memahami bahwa sains adalah karier yang paling politis, kompetitif,
dan berat yang bisa kau temukan, dipenuhi godaan untuk mencari jalur-
jalur mudah.
Seseorang bisa mengandalkan V untuk selalu memilih jalan yang jujur
(dan sering kali tidak mementingkan diri sendiri) untuk maju. Sementara
sebagian besar ilmuwan berupaya menerbitkan artikel dalam jurnal-jurnal
paling prestisius dan memperkenalkan nama mereka di luar sana, V
menyatakan bahwa kewajiban kita hanyalah bersikap jujur terhadap kisah
ilmiah dan menjelaskannya tanpa kompromi. Aku belum pernah berjumpa
dengan seseorang yang begitu sukses, tetapi juga begitu berkomitmen
terhadap kebaikan. V adalah suri teladan yang nyata.
Alih-alih tersenyum ketika aku duduk di depannya, V tampak
menderita. Dia mendesah dan berkata, “Kini aku ingin kau bertindak
sebagai dokter.”
“Oke.”
“Mereka mengatakan aku menderita kanker pankreas.”
“V … oke. Ceritakan kepadaku.”
Dia menjelaskan penurunan bobotnya yang bertahap, gangguan
pencernaan, dan pemindaian CT untuk “tindakan pencegahan”-nya baru-
baru ini—benar-benar prosedur nonstandar pada tahap itu—yang
menunjukkan benjolan di pankreasnya. Kami membahas tindakan ke
depannya, operasi Whipple mengerikan yang sebentar lagi harus
dijalaninya (“Kau akan merasa seperti ditabrak truk,” kataku), siapa dokter
bedah terbaik, dampak penyakit itu terhadap istri dan anak-anaknya, dan
cara menjalankan lab selama absen panjangnya. Kanker pankreas punya
prognosis suram, tetapi tentu saja tidak ada cara untuk tahu apa artinya
itu bagi V.
Dia terdiam. “Paul,” katanya, “menurutmu hidupku bermakna? Apakah
aku membuat pilihan-pilihan yang benar?”
Ini menakjubkan: bahkan seseorang yang kuanggap teladan moral pun
punya pertanyaan-pertanyaan ini ketika menghadapi mortalitas.
Pembedahan, kemoterapi, dan radiasi yang dijalani V sangatlah berat,
tetapi sukses. Dia kembali bekerja setahun kemudian, persis ketika aku
kembali pada tugas-tugas klinisku di rumah sakit. Rambut V telah menipis
dan memutih dan kilau di matanya telah berubah suram. Pada saat
percakapan mingguan terakhir kami, dia berpaling kepadaku dan berkata,
“Kau tahu, hari ini adalah hari pertama segalanya tampak layak dijalani
bagiku. Maksudku, jelas aku bersedia menjalani apa saja demi anak-
anakku, tetapi hari ini adalah hari pertama semua penderitaan itu tampak
layak dijalani.”
Betapa sedikitnya para dokter memahami neraka tempat kami
menjebloskan pasien-pasien kami.

P ada tahun keenamku aku kembali bekerja purnawaktu di rumah sakit.


Risetku di lab V kini dialihkan ke hari libur dan waktu luang kalaupun
ada. Kebanyakan orang, bahkan kolega-kolega terdekat kami, tidak begitu
memahami lubang hitam tugas sebagai dokter residen bedah saraf. Salah
seorang perawat favoritku, setelah bertahan hingga pukul 10.00 pada
suatu malam untuk membantu kami menyelesaikan sebuah kasus panjang
yang sulit, berkata kepadaku, “Untunglah besok saya libur. Anda jugakah?”
“Ehm, tidak.”
“Tetapi, setidaknya Anda bisa datang terlambat atau semacamnya,
bukan? Kapan Anda biasanya masuk?”
“Pukul 6.00 pagi.”
“Benarkah?”
“Ya.”
“Setiap hari?”
“Setiap hari.”
“Juga saat akhir pekan?”
“Tentu saja.”
Dalam bertugas sebagai dokter residen, ada pepatah: Hari-harinya
panjang, tetapi tahun-tahunnya pendek. Dalam bertugas sebagai dokter
residen bedah saraf, hari biasanya dimulai pukul 6.00 pagi dan terus
berjalan hingga operasi selesai, dan ini sebagiannya bergantung pada
seberapa cepat kerjamu di RO.
Keahlian bedah seorang dokter residen dinilai berdasarkan teknik dan
kecepatannya. Kau tidak boleh ceroboh, tetapi kau juga tidak boleh
lamban. Sejak penutupan luka pertama dan seterusnya, kalau kau
menghabiskan terlalu banyak waktu untuk membuatnya sangat akurat,
teknisi ruang operasi akan berkata, “Tampaknya kita punya dokter bedah
plastik!” Atau, “Aku memahami strategimu: pada saat kau selesai menjahit
setengah luka teratas, luka di dasarnya akan sembuh sendiri! Bekerja
setengahnya saja—pintar sekali!” Kepala dokter residen selalu menasihati
dokter junior, “Sekarang belajarlah mengerjakannya dengan cepat. Kau
bisa belajar mengerjakannya dengan baik belakangan.” Di RO mata semua
orang selalu tertuju pada jam. Demi kepentingan pasien: Sudah seberapa
lama dia berada dalam pengaruh anestesi? Selama prosedur panjang,
saraf-saraf bisa rusak, otot-otot bisa robek, ginjal bisa mengalami
kegagalan. Demi kepentingan semua orang: Pukul berapa kita akan keluar
dari sini malam ini?
Aku melihat ada dua strategi yang bisa digunakan untuk memangkas
waktu; kura-kura dan kelinci yang mungkin bisa menjadi contoh
terbaiknya. Kelinci bergerak secepat mungkin, tangan-tangan tampak
kabur, instrumen-instrumen berdenting, jatuh ke lantai; kulit menyibak
bagai tirai, kulit penutup tengkorak berada di nampan sebelum debu-debu
tulang jatuh. Akibatnya, lubangnya mungkin harus diperluas 1 sentimeter
di sana sini karena letaknya tidak optimal. Sebaliknya, kura-kura bekerja
dengan cermat, tanpa melakukan gerakan yang sia-sia, mengukur dua kali,
mengiris satu kali. Tidak ada langkah operasi yang perlu diperbaiki;
segalanya berjalan dengan teratur dan akurat. Jika kelinci melakukan
terlalu banyak kesalahan langkah kecil dan harus terus melakukan
perbaikan, kura-kura menang. Jika kura-kura menghabiskan terlalu
banyak waktu untuk merencanakan setiap langkah, kelinci menang.
Yang ganjil sehubungan dengan waktu di RO adalah tak peduli kau
bekerja cepat dengan panik atau bekerja dengan tenang, kau tidak akan
menyadari berlalunya waktu. Jika kebosanan adalah, seperti kata
Heidegger, kesadaran terhadap berlalunya waktu, pembedahan terasa
seperti kebalikannya: fokus mendalam membuat kedua jarum jam seakan-
akan diletakkan secara acak. Dua jam bisa terasa seperti semenit. Begitu
jahitan terakhir selesai dan lukanya diperban, mendadak waktu normal
dimulai kembali. Kau nyaris bisa mendengar suara whuuush keras. Lalu,
kau mulai bertanya-tanya: Berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga
pasien terbangun? Seberapa lama hingga kasus berikutnya bergulir
masuk? Dan, pukul berapa aku akan pulang malam ini?
Setelah kasus terakhir selesai, barulah aku merasakan lamanya hari,
menyadari langkahku yang terseret. Beberapa tugas administrasi terakhir
sebelum meninggalkan rumah sakit terasa sangat berat.
Tidak bisakah ini menunggu sampai besok?
Tidak.
Terdengar desahan, dan Bumi kembali bergerak mengelilingi matahari.
Sebagai kepala dokter residen, hampir semua tanggung jawab
dibebankan ke pundakku, dan peluang untuk sukses—atau gagal—terasa
lebih besar daripada yang sudah-sudah.
Sakitnya kegagalan membuatku memahami
bahwa keunggulan teknis adalah persyaratan
moral. Iktikad baik tidaklah cukup ketika ada
begitu banyak orang yang bergantung pada
keahlianku, ketika perbedaan antara tragedi dan
kemenangan didefinisikan oleh 1 atau 2
milimeter saja.
Suatu hari, Matthew, bocah laki-laki penderita tumor otak yang
memukau bangsal beberapa tahun silam, kembali masuk rumah sakit.
Hipotalamusnya memang mengalami sedikit kerusakan saat operasi
pengangkatan tumor waktu itu; bocah 8 tahun yang manis itu kini telah
menjadi monster berusia 12 tahun. Dia tak pernah berhenti makan; dia
sering mengamuk. Lengan ibunya dipenuhi bekas-bekas cakaran berwarna
ungu. Pada akhirnya, Matthew dimasukkan ke panti perawatan; dia telah
menjadi iblis yang dibangkitkan gara-gara kerusakan 1 milimeter saja.
Untuk setiap pembedahan, keluarga dan dokter bedah memutuskan
bersama-sama apakah manfaatnya lebih besar daripada risikonya, tetapi
ini pun masih membuat patah hati. Tak seorang pun ingin memikirkan
akan seperti apa Matthew ketika menjadi bocah 12 tahun berbobot 140
kilogram.
Pada hari lain aku meletakkan sebuah elektroda sedalam 9 sentimeter ke
otak pasien untuk mengatasi tremor akibat Parkinson. Sasarannya adalah
nukleus subtalamik, struktur mungil berbentuk almond yang berada jauh
di dalam otak. Setiap bagian nukleus subtalamik mendukung fungsi yang
berbeda: gerakan, kognisi, emosi. Di ruang operasi kami menyalakan arus
listrik untuk menilai tremornya. Dengan semua mata tertuju pada tangan
kiri pasien, kami sepakat bahwa tremornya tampak berkurang.
Lalu, suara pasien, yang kebingungan, terdengar di antara gumaman
setuju kami, “Aku merasa … teramat sangat sedih.”
“Matikan arusnya!” seruku.
“Oh, kini perasaan itu menghilang,” kata pasien.
“Ayo kita periksa kembali arus dan impedansinya. Oke. Nyalakan arus
.…”
“Tidak, segalanya … terasa … begitu menyedihkan. Hanya ada kegelapan
dan, dan … kesedihan.”
“Keluarkan elektrodanya!”
Kami menarik elektroda itu keluar dan menyisipkannya kembali, kali ini
2 milimeter lebih ke kanan. Tremornya menghilang. Dan, syukurlah pasien
merasa baik-baik saja.
Suatu kali aku pernah menggarap sebuah kasus larut malam bersama
salah seorang dokter bedah saraf penanggung jawab pasien itu,
kraniektomi suboskipital untuk mengatasi malaformasi batang otak. Itu
salah satu pembedahan paling elegan, dilakukan di bagian tubuh yang
mungkin paling sulit—untuk mencapainya saja sangat sulit, tak peduli
seberapa banyak pengalamanmu. Namun, malam itu aku merasa semua
berjalan lancar: alat-alat seakan-akan menjadi perpanjangan jemari
tanganku; kulit, otot, dan tulang seakan-akan membuka sendiri; lalu, di
sanalah aku, menatap sebuah tonjolan kuning mengilat, benjolan yang
berada jauh di batang otak. Mendadak dokter penanggung jawab pasien
menghentikanku.
“Paul, apa yang terjadi kalau kau mengiris 2 milimeter lebih dalam di
sini?” Dia menunjuk.
Gambar-gambar salindia anatomi saraf berkelebatan di dalam kepalaku.
“Penglihatan ganda?”
“Bukan,” katanya. “Sindrom locked-in.” Mengirisnya 2 milimeter lebih
dalam akan membuat pasien lumpuh total, kecuali kemampuannya
berkedip. Dokter itu tidak mendongak dari mikroskopnya. “Dan, aku tahu
karena, ketika melakukan operasi ini untuk kali ketiga, itulah tepatnya
yang terjadi.”
Bedah saraf memerlukan komitmen terhadap keunggulan diri sendiri
dan komitmen terhadap identitas orang lain. Putusan melakukan operasi
pun melibatkan penilaian atas kemampuan diri sendiri, juga pemahaman
mendalam mengenai siapa pasien itu dan apa yang paling dicintainya.
Beberapa area otak dianggap nyaris tak boleh diganggu gugat, seperti
korteks motor primer, yang kerusakannya akan mengakibatkan
kelumpuhan bagian-bagian tubuh yang terkena dampaknya. Namun,
daerah-daerah korteks tersakral adalah bagian yang mengendalikan
bahasa. Daerah-daerah itu, yang biasanya terletak di sebelah kiri, disebut
area Wernicke dan Broca; yang satu untuk memahami bahasa, sedangkan
yang satu lagi untuk menghasilkan bahasa.
Kerusakan pada area Broca mengakibatkan ketidakmampuan berbicara
atau menulis walaupun pasien bisa dengan mudah memahami bahasa.
Kerusakan pada area Wernicke mengakibatkan ketidakmampuan
memahami bahasa; walaupun pasien masih bisa bicara, bahasa yang
dihasilkannya berupa serentetan kata, frasa, dan gambaran yang tak
berhubungan, tata bahasa tanpa semantik. Jika kedua area itu rusak,
pasien menjadi terisolasi; sesuatu yang penting baginya sebagai manusia
telah hilang untuk selamanya. Setelah seseorang mengalami trauma
kepala atau strok, kerusakan pada area-area ini sering kali mengekang
insting dokter bedah untuk menyelamatkan nyawanya: kehidupan macam
apa yang akan pasien itu jalani tanpa adanya bahasa?
Semasa menjadi mahasiswa kedokteran, pasien pertama yang kujumpai
dengan masalah semacam ini adalah seorang lelaki berusia 62 tahun yang
menderita tumor otak. Kami memasuki kamarnya ketika melakukan
pemeriksaan pada pagi hari dan dokter residen bertanya kepadanya, “Mr.
Michaels, bagaimana kabar Anda hari ini?”
“Empat enam satu delapan sembilan belas!” jawabnya riang.
Tumor telah mengganggu sirkuit bicaranya sehingga dia hanya bisa
mengucapkan serentetan bilangan, tetapi dia masih punya prosodi, dia
masih bisa menunjukkan emosi: tersenyum, memberengut, mendesah. Dia
mengucapkan serangkaian bilangan lagi, kali ini dengan cepat. Ada
sesuatu yang ingin disampaikannya kepada kami, tetapi digit-digit itu
tidak bisa mengomunikasikan apa pun selain ketakutan dan
kemarahannya. Tim dokter bersiap meninggalkan kamar; entah kenapa,
aku tetap di sana.
“Empat belas satu dua delapan,” katanya memohon sambil memegangi
tanganku. “Empat belas satu dua delapan.”
“Maaf.”
“Empat belas satu dua delapan,” katanya muram sambil menatap
mataku.
Lalu, aku pergi menyusul tim dokter. Pasien itu meninggal beberapa
bulan kemudian, dikuburkan bersama pesan apa pun yang ingin
disampaikannya kepada dunia.
Ketika tumor atau malformasinya berbatasan dengan area-area bahasa
ini, dokter bedah melakukan banyak tindakan pencegahan, misalnya
memerintahkan serangkaian pemindaian yang berbeda dan pemeriksaan
neuropsikologis secara mendetail. Namun, yang terpenting, pembedahan
dilakukan saat pasien dalam keadaan sadar dan berbicara. Setelah otak
terpajan, tetapi sebelum pengirisan tumor, dokter bedah menggunakan
elektroda berujung bulat yang dipegang tangan untuk mengantarkan arus
listrik sehingga bisa mengejutkan sebuah area kecil di korteks, sementara
pasien melakukan berbagai tugas verbal: menyebut nama-nama benda,
menyebut abjad secara berurutan, dan seterusnya. Ketika elektroda
mengirimkan arus ke bagian penting korteks, ucapan pasien terganggu: “A
B C D E guh guh guh rrr … F G H I .…” Lalu, otak dan tumornya dipetakan
untuk menentukan bagian apa yang bisa dipotong dengan aman. Pasien
dijaga agar tetap tersadar sepanjang operasi, disibukkan dengan
kombinasi antara tugas-tugas verbal formal dan obrolan ringan.
Suatu malam, ketika sedang melakukan persiapan untuk salah satu
kasus seperti ini, aku memeriksa MRI pasien dan melihat bahwa tumor
telah menutupi area-area bahasa sepenuhnya. Bukan pertanda baik.
Ketika memeriksa catatan-catatannya, aku melihat bahwa dewan tumor
rumah sakit—panel pakar yang terdiri atas dokter bedah, dokter onkologi,
dokter radiologi, dan dokter patologi—menganggap kasus itu terlalu
berbahaya untuk ditangani dengan pembedahan. Bagaimana mungkin
dokter bedah memilih untuk melakukan operasi? Aku menjadi sedikit geram:
pada titik tertentu, tugas kamilah untuk berkata tidak. Pasien didorong ke
dalam kamar. Dia mengarahkan pandangannya kepadaku dan menunjuk
kepalanya. “Aku mau ini dikeluarkan dari otakku. Mengerti?”
Dokter penanggung jawab pasien berjalan masuk dan melihat ekspresi
di wajahku. “Aku tahu,” katanya. “Aku sudah berusaha membujuknya agar
tidak melakukan operasi ini selama kira-kira dua jam. Tidak perlu repot-
repot menjelaskan kepadanya. Sudah siap?”
Alih-alih mengucapkan urutan alfabet atau latihan menghitung seperti
biasa, sepanjang pembedahan itu kami dihujani serentetan perintah dan
kata-kata makian.
“Tumor keparat itu sudah dikeluarkan dari kepalaku? Mengapa kalian
melambat? Ayo, lebih cepat! Aku mau tumor itu keluar. Keparat! Aku bisa
tinggal di sini sepanjang hari, aku tak peduli, keluarkan sajalah!”
Perlahan-lahan aku mengangkat tumor besar itu sembari
memperhatikan tanda-tanda kesulitan bicara sekecil apa pun. Diiringi
monolog pasien yang tak berkesudahan, tumor itu kini tergeletak di atas
cawan petri dan otak pasien yang kini bersih tampak berkilau.
“Mengapa kau berhenti? Kau ini sialan, ya? Kubilang aku mau tumor
keparat itu hilang!”
“Sudah selesai,” kataku. “Sudah dikeluarkan.”
Bagaimana mungkin pasien itu masih bisa bicara? Mengingat ukuran
dan letak tumornya, itu tampak mustahil. Mungkin kata-kata makian
melewati sirkuit yang agak berbeda dari bahasa lainnya. Mungkin, entah
bagaimana, tumor itu mengakibatkan sirkuit otaknya berubah .…
Akan tetapi, tengkorak itu tidak akan menutup sendiri. Besok masih ada
waktu untuk berspekulasi.

A ku telah mencapai puncak karierku sebagai dokter residen. Aku telah


menguasai operasi-operasi inti. Risetku meraih penghargaan
tertinggi. Tawaran pekerjaan membanjir dari seluruh negeri. Stanford
membuka lowongan untuk posisi yang sangat pas dengan minatku, yaitu
dokter bedah saraf dan ahli saraf yang berfokus pada teknik-teknik
modulasi neural. Salah seorang dokter residen junior menghampiriku dan
berkata, “Aku baru saja mendengar dari bos-bos—kalau mereka menerima
lamaranmu, kau akan menjadi pembimbing fakultasku!”
“Shhh,” kataku. “Jangan merusak keberuntunganku.”
Bagiku rasanya seakan-akan helaian-helaian individual biologi,
moralitas, kehidupan, dan kematian akhirnya mulai saling menjalin
menjadi, kalau bukan sebuah sistem moral yang sempurna, pandangan
koheren terhadap dunia dan kesadaran mengenai tempatku di dalamnya.
Dokter di bidang-bidang yang sangat penuh tuntutan bertemu dengan
pasien pada momen-momen perubahan, momen-momen paling autentik
ketika kehidupan dan identitas terancam; tugas mereka termasuk
mempelajari apa yang membuat kehidupan pasien itu layak dijalani dan
berencana menyelamatkannya jika memungkinkan—atau membiarkan
kedamaian datang dalam kematian jika tidak memungkinkan. Kekuasaan
semacam itu memerlukan tanggung jawab besar karena ikut merasa
bersalah dan menerima tuduhan.
Aku sedang menghadiri konferensi di San Diego ketika ponselku
berdering. Sesama dokter residen, Victoria, menelepon.
“Paul?”
Ada sesuatu yang keliru. Perutku mengejang.
“Ada apa?” tanyaku.
Hening.
“Vic?”
“Je . Dia bunuh diri.”
“Apa?”
Je sedang menyelesaikan beasiswa dokter bedahnya di Midwest dan
kami sama-sama teramat sangat sibuk … kami hilang kontak. Aku
berupaya mengingat percakapan terakhir kami, tetapi tidak bisa.
“Dia, eh—tampaknya dia menangani kasus komplikasi yang sulit dan
pasiennya meninggal. Semalam dia memanjat atap sebuah gedung dan
terjun dari sana. Selebihnya aku tidak begitu tahu.”
Aku mencari pertanyaan yang bisa mendatangkan pemahaman. Tak satu
pun muncul. Aku hanya bisa membayangkan perasaan bersalah yang luar
biasa itu, yang datang seperti gelombang pasang, mengangkatnya ke atas
gedung itu dan menerjunkannya.
Seandainya saja aku bisa berjalan bersama Je meninggalkan pintu
rumah sakit pada malam itu. Seandainya saja kami bisa saling bersimpati
seperti yang biasa kami lakukan dahulu. Seandainya saja aku bisa
mengatakan kepadanya apa yang kupahami mengenai kehidupan dan jalan
hidup yang kami pilih, walaupun hanya untuk mendengar nasihat cerdik
dan bijaknya. Kematian menghampiri kita semua. Bagi kami, bagi pasien
kami: itulah takdir kami sebagai organisme yang hidup, bernapas, dan
bermetabolisme. Sebagian besar kehidupan dijalani dengan kepasifan
terhadap kematian—itu sesuatu yang menimpamu dan menimpa mereka
yang ada di sekelilingmu. Namun, aku dan Je telah berlatih selama
bertahun-tahun untuk secara aktif terlibat dengan kematian,
menggulatinya seperti Yakub dan malaikat maut, sekaligus menghadapi
makna sebuah kehidupan. Kami memanggul kuk yang berat, yaitu
tanggung jawab mortal. Kehidupan dan identitas pasien kami mungkin
berada di tangan kami, tetapi kematian selalu menang.

Seandainya pun kau sempurna, dunia tidaklah


sempurna. Rahasianya adalah dengan mengetahui
bahwa kartu telah ditumpuk, kau akan kalah,
tangan atau penilaianmu akan keliru, tetapi kau
tetap saja berjuang untuk menang demi
pasienmu. Kau tak akan pernah bisa mencapai
kesempurnaan, tetapi kau bisa memercayai
asimtot ke arah yang kau perjuangkan tanpa
kenal lelah itu.

1
Program Pemerintah Amerika Serikat yang memungkinkan para siswa SMA mengambil dan
menyelesaikan beberapa mata kuliah tahun pertama. Siswa yang lulus di kelas ini dak perlu
mengambil kelas yang sama di ngkat perguruan nggi.—peny.
Seandainya aku penulis buku, aku akan menyusun daftar, disertai komentar, mengenai
berbagai kematian manusia: dia yang seharusnya mengajari manusia untuk mati, pada
saat bersamaan akan mengajari mereka untuk hidup.

—Michel de Montaigne,

“That to Study Philosophy Is to Learn to Die”

K
etika berbaring di sebelah Lucy di ranjang rumah sakit, kami
berdua menangis. Gambar-gambar pemindaian CT masih
berpendar di layar komputer, identitas sebagai dokter—
identitasku—tak lagi penting. Dengan kanker yang menyerang berbagai
sistem organ, diagnosisnya sudah jelas. Ruangan itu hening. Lucy
mengatakan dia mencintaiku. “Aku tidak mau mati,” kataku. Aku
menyuruhnya untuk menikah lagi karena aku tak sanggup membayangkan
dia hidup seorang diri. Kukatakan kepadanya bahwa kami harus langsung
menegosiasikan kembali pinjaman kami. Kami mulai menelepon anggota-
anggota keluarga. Lalu, Victoria memasuki kamar, kemudian kami
membahas hasil pemindaian itu dan kemungkinan pengobatan
mendatang. Ketika dia membahas persiapan untuk kembali menjadi
dokter residen, aku menghentikannya.
“Victoria,” kataku, lalu melanjutkan, “aku tak akan pernah kembali ke
rumah sakit ini sebagai dokter. Benar, kan?”
Satu bab kehidupanku tampaknya telah berakhir; mungkin seluruh buku
sedang menutup. Alih-alih menjadi sosok pendeta yang membantu
transisi kehidupan, aku mendapati diriku sebagai domba yang hilang dan
kebingungan.
Sakit parah tidak mengubah kehidupan, tetapi
menghancurkan kehidupan.
Itu tidak begitu terasa seperti pencerahan—cahaya menyilaukan yang
menyoroti Apa yang Benar-Benar Bermakna—tetapi lebih terasa seperti
seseorang baru saja mengebom jalan yang ada di depanku. Kini aku harus
berjalan memutar.
Adik laki-lakiku, Jeevan, tiba di sisi ranjangku. “Kau telah meraih begitu
banyak kesuksesan,” katanya. “Kau tahu itu, kan?”
Aku mendesah. Dia bermaksud baik, tetapi kata-kata itu terdengar
hampa. Kehidupanku telah membangun potensi, potensi yang kini tak
akan terwujud. Aku berencana untuk berbuat begitu banyak dan kini aku
sudah nyaris mewujudkannya. Aku dilemahkan secara sik, masa depan
yang kubayangkan dan identitas pribadiku runtuh, dan aku menghadapi
dilema eksistensial yang sama seperti yang dihadapi pasien-pasienku.
Diagnosis kanker paru-paru itu telah dikon rmasi. Masa depan yang
kurencanakan dengan cermat dan kuraih dengan susah payah tak lagi ada.
Kematian, yang begitu familier dalam pekerjaanku, kini mengunjungiku
secara pribadi. Di sinilah kami berada, akhirnya saling berhadapan, tetapi
tampaknya tak ada satu pun mengenai kematian yang bisa dikenali. Ketika
berdiri di persimpangan jalan, di tempat aku seharusnya bisa melihat dan
mengikuti jejak kaki pasien tak terhitung banyaknya yang telah kutangani
selama bertahun-tahun, aku malah melihat gurun putih berkilau, kosong
dan garang, seakan-akan badai pasir telah menghapus semua jejak yang
kukenal.
Matahari terbenam. Aku diizinkan pulang keesokan paginya. Janji temu
onkologi ditetapkan minggu ini, tetapi perawat mengatakan dokter
onkologiku akan mampir malam itu sebelum dia pergi menjemput anak-
anaknya. Nama dokter itu Emma Hayward dan dia ingin berkenalan
sebelum kunjungan periksa awal. Aku sedikit mengenal Emma—aku
pernah merawat beberapa pasiennya—tetapi kami tak pernah mengobrol
melebihi basa-basi profesional. Orangtua dan kedua saudara laki-lakiku
tersebar di dalam kamar, tidak banyak berkata-kata, sementara Lucy
duduk di samping ranjang sambil menggenggam tanganku. Pintu terbuka
dan Emma berjalan masuk. Jubah putihnya menunjukkan kekusutan hari
yang panjang, tetapi senyumnya tampak segar. Dia diikuti oleh sesama
dokter dan seorang dokter residen. Emma hanya beberapa tahun lebih tua
daripadaku, rambutnya panjang dan gelap, tetapi sebagaimana yang
umum terjadi pada semua orang yang menghabiskan waktu bersama
kematian, rambut itu dijalari warna kelabu. Dia menarik kursi.
“Hai, namaku Emma,” katanya. “Maaf kalau kunjungan hari ini begitu
singkat, tetapi aku ingin mampir dan memperkenalkan diri.”
Kami berjabat tangan, lenganku terbelit selang infus.
“Terima kasih sudah mampir,” kataku. “Aku tahu kau harus menjemput
anak-anakmu. Ini keluargaku.” Emma mengangguk kepada Lucy,
orangtuaku, dan kedua saudara laki-lakiku.
“Aku ikut prihatin atas apa yang menimpamu,” katanya. “Menimpa
kalian semua. Akan ada banyak waktu untuk membicarakannya dalam
beberapa hari ini. Aku sudah meminta lab untuk mulai melakukan
beberapa tes pada sampel tumormu yang akan membantu mengarahkan
terapinya. Pengobatannya bisa kemoterapi atau bukan, tergantung dari
hasil tes-tes itu.”
Delapan belas bulan sebelumnya, aku masuk rumah sakit karena usus
buntu. Di sana aku tidak diperlakukan seperti pasien, tetapi seperti
kolega, nyaris seperti konsultan untuk kasusku sendiri. Kini aku
mengharapkan hal yang sama. “Aku tahu, sekarang bukan saatnya,”
kataku, lalu melanjutkan, “tetapi aku ingin bicara mengenai kurva
kelangsungan hidup Kaplan-Meier.”
“Tidak,” jawab Emma. “Sama sekali tidak.”
Muncul keheningan singkat. Betapa lancangnya dia, pikirku. Ini cara
dokter—dokter sepertiku—untuk memahami prognosisnya. Aku berhak tahu.
“Kita bisa bicara mengenai terapi belakangan,” kata Emma. “Kita juga
bisa bicara mengenai kau kembali bekerja kalau itu yang ingin kau
lakukan. Kombinasi kemoterapi tradisional—cisplatin, pemetrexed,
mungkin dengan Avastin juga—berisiko tinggi mengakibatkan neuropati
perifer, jadi kami mungkin akan mengganti cisplatin dengan carboplatin
yang bisa lebih melindungi sarafmu karena kau dokter bedah.”
Kembali bekerja? Dia bicara apa? Apakah dia berkhayal? Atau, aku salah
total mengenai prognosisku? Dan, bagaimana kami bisa bicara mengenai semua
ini tanpa perkiraan kelangsungan hidup yang realistis? Tanah, yang telah
bergolak dan berguncang selama beberapa hari terakhir ini kembali
bergoyang-goyang.
“Kita bisa membahas detail-detailnya belakangan,” lanjut Emma,
“karena aku tahu, banyak sekali yang harus dipahami. Yang paling utama,
aku hanya ingin bertemu dengan kalian semua sebelum janji temu kita
pada Kamis. Adakah sesuatu yang bisa kulakukan atau kujawab—selain
tentang kurva kelangsungan hidup—hari ini?”
“Tidak,” jawabku, benakku masih terguncang. “Terima kasih banyak
sudah mampir. Aku sungguh menghargainya.”
“Ini kartu namaku,” katanya, lalu melanjutkan, “dan ada nomor telepon
kliniknya. Silakan menelepon kalau ada yang ingin ditanyakan sebelum
kita bertemu dua hari lagi.”
Keluarga dan teman-temanku segera menghubungi jejaring kolega
kedokteran kami untuk mencari dokter onkologi kanker paru-paru terbaik
di seluruh negeri. Ada pusat perawatan kanker yang besar di Houston dan
New York; di situkah aku harus dirawat? Persiapan pindah atau pindah
tempat sementara atau apa pun itu bisa diurus belakangan.
Jawaban-jawaban muncul dengan cepat dan lebih kurang dengan suara
bulat: Emma bukan hanya salah seorang dokter terbaik—dokter onkologi
terkenal di dunia yang bekerja sebagai pakar kanker paru-paru di salah
satu dewan penasihat kanker nasional besar—melainkan juga dikenal
penuh kasih, seseorang yang tahu kapan harus mendorong dan kapan
harus mencegah. Sekilas kurenungkan rangkaian peristiwa yang
membuatku menapaki dunia, penempatanku sebagai dokter residen
ditentukan oleh proses pencocokan terkomputerisasi, dan akhirnya aku
ditugaskan di sini, mendapat diagnosis ganjil, kemudian ditangani oleh
salah seorang dokter terbaik di bidangnya.
Setelah menghabiskan sebagian besar minggu itu di ranjang, dengan
kanker yang semakin berkembang, aku menjadi jauh lebih lemah.
Tubuhku, dan identitas yang melekatinya, telah berubah secara radikal.
Naik turun ranjang untuk pergi ke kamar mandi tak lagi menjadi program
motor subkortikal otomatis; kegiatan itu memerlukan upaya dan
perencanaan. Para ahli terapi sik memberikan daftar barang yang
memudahkan perpindahanku ke rumah: tongkat, kursi toilet yang
dimodi kasi, dan balok-balok busa untuk menyokong kakiku selama
beristirahat. Ketika terpincang-pincang meninggalkan rumah sakit, aku
bertanya-tanya betapa, baru enam hari yang lalu, aku menghabiskan
waktu hampir 36 jam penuh di ruang operasi. Apakah aku telah menjadi
sebegitu sakitnya dalam waktu seminggu? Ya, sebagian. Namun, aku juga
memanfaatkan sejumlah trik dan bantuan dari sesama dokter bedah
untuk melalui 36 jam itu—dan, walaupun demikian, aku menderita rasa
nyeri yang luar biasa.
Apakah penegasan atas ketakutanku—dalam bentuk hasil-hasil lab dan
pemindaian CT yang tidak hanya menunjukkan kanker, tetapi juga tubuh
yang kepayahan dan mendekati kematian—telah melepaskanku dari
kewajiban untuk melayani, dari tugasku terhadap pasien, terhadap bedah
saraf, terhadap pencarian akan kebaikan? Ya, pikirku, dan di situlah
paradoksnya: sama seperti pelari yang melintasi garis nis hanya untuk
merobohkan diri, tanpa tugas menangani orang sakit yang mendorongku
untuk maju, aku menjadi orang cacat.
Biasanya, ketika mendapat pasien dengan kondisi ganjil, aku
berkonsultasi dengan dokter spesialis yang berhubungan dan
menghabiskan waktu untuk membaca mengenai kondisi itu. Ini
tampaknya tak berbeda, tetapi ketika aku mulai membaca mengenai
kemoterapi yang melibatkan berbagai macam zat, juga serangkaian
pengobatan baru dan lebih modern yang menyasar mutasi-mutasi spesi k,
jumlah pertanyaan yang kumiliki sama sekali menghalangi adanya studi
terarah yang berguna. (Mengutip Alexander Pope: “Sedikit belajar itu
berbahaya; / Minumlah banyak-banyak atau jangan cicipi mata air Pierian.”)
Tanpa pengalaman medis yang tepat, aku tidak bisa menempatkan diri di
dunia informasi yang baru ini, tidak bisa menemukan tempatku di kurva
Kaplan-Meier. Aku menanti kunjungan klinikku dengan penuh harap.
Akan tetapi, aku lebih sering beristirahat.
Aku duduk, menatap fotoku dan Lucy semasa masih kuliah kedokteran,
berdansa dan tertawa; ini sangat menyedihkan, mereka berdua
merencanakan kehidupan bersama-sama, tanpa menyadari, tanpa pernah
mencurigai, kerapuhan mereka sendiri. Temanku, Laurie, sudah
bertunangan ketika tewas dalam kecelakaan mobil—apakah ini lebih
kejam?
Keluargaku terlibat dalam berbagai kegiatan untuk mengubah
kehidupanku dari seorang dokter menjadi pasien. Kami membuka akun di
apotek yang melayani pembelian obat lewat surel, memesan pagar ranjang,
dan membeli kasur ergonomis untuk membantu meredakan nyeri
punggungku yang menyiksa. Rencana keuangan kami, yang beberapa hari
sebelumnya didasarkan peningkatan pendapatanku sebanyak enam kali
lipat tahun depan, kini tampak genting, dan berbagai instrumen keuangan
baru tampaknya diperlukan untuk melindungi Lucy. Ayahku menyatakan
bahwa semua perubahan ini berarti kepasrahan terhadap penyakit itu: aku
harus mengalahkan penyakit ini, entah bagaimana aku harus sembuh.
Seberapa sering aku mendengar anggota keluarga pasien membuat
pernyataan serupa? Saat itu aku tak pernah tahu apa yang harus
kukatakan kepada mereka, dan kini aku tak tahu apa yang harus
kukatakan kepada ayahku.
Apa cerita alternatifnya?

D ua hari kemudian aku dan Lucy menemui Emma di klinik.


Orangtuaku tetap berada di ruang tunggu. Asisten medis melakukan
pengukuran-pengukuran vital terhadapku. Emma dan praktisi perawatnya
sangat tepat waktu, kemudian Emma menarik kursi ke hadapanku agar
bisa berbicara berhadap-hadapan, mata bertemu mata.
“Halo lagi,” katanya. “Ini Alexis, tangan kananku.” Dia menunjuk praktisi
perawat itu yang duduk di depan komputer untuk mencatat. “Aku tahu ada
banyak hal yang harus didiskusikan, tetapi pertama-tama: Apa kabar?”
“Baik-baik saja, mengingat segalanya,” jawabku. “Menikmati ‘liburanku’,
kurasa. Apa kabar?”
“Oh, aku baik-baik saja.” Emma terdiam—biasanya pasien tidak
menanyakan kabar dokternya, tetapi Emma juga kolegaku. “Minggu ini
aku menangani layanan rawat inap, jadi kau tahulah seperti apa itu.” Dia
tersenyum. Aku dan Lucy jelas tahu. Dokter spesialis rawat jalan mendapat
giliran kerja di layanan rawat inap secara berkala, menambahkan beberapa
jam kerja pada hari mereka yang sudah sangat sibuk.
Setelah berbasa-basi lagi, kami mulai memasuki diskusi yang nyaman
mengenai posisi riset kanker paru-paru. Ada dua jalur ke depannya, kata
Emma. Metode tradisional adalah kemoterapi, yang secara generik
menyasar sel-sel yang membelah dengan cepat—terutama sel-sel kanker,
tetapi juga sel-sel di sumsum tulang, folikel-folikel rambut, usus, dan
seterusnya. Emma mengulas data dan opsi-opsinya, memberikan ceramah
seakan-akan kepada dokter lain—tetapi sekali lagi tanpa menyebut kurva
kelangsungan hidup Kaplan-Meier.
Akan tetapi, terapi-terapi yang lebih baru telah dikembangkan, yang
menyasar cacat-cacat molekuler spesi k dalam kanker itu sendiri. Aku
pernah mendengar desas-desus mengenai upaya semacam itu—ini sudah
lama menjadi cawan suci dalam penanganan kanker—dan aku terkejut
ketika mengetahui seberapa banyak kemajuan yang telah dicapai.
Pengobatan-pengobatan ini tampaknya memberikan kelangsungan hidup
jangka panjang pada “beberapa” pasien.
“Sebagian besar hasil tesmu sudah keluar,” kata Emma. “Kau mengalami
mutasi PI3K, tetapi tak seorang pun tahu pasti apa artinya itu untuk saat
ini. Tes untuk mutasi paling umum pada pasien-pasien sepertimu, EGFR,
masih diproses. Aku yakin itulah yang terjadi kepadamu dan, kalau
memang demikian, ada pil bernama Tarceva yang bisa kau konsumsi alih-
alih menjalani kemoterapi. Hasil tes itu seharusnya keluar besok, Jumat,
tetapi sakitmu cukup parah sehingga aku telah mengatur kemoterapi
untukmu, dimulai Senin, kalau-kalau tes EGFR-nya negatif.”
Aku langsung merasakan kesamaan dengannya. Persis seperti inilah
caraku menangani bedah saraf: punya rencana A, B, dan C pada saat
bersamaan.
“Untuk kemoterapi, putusan utama kita adalah carboplatin versus
cisplatin. Dalam studi-studi terisolasi, ketika keduanya dibandingkan,
carboplatin ditoleransi lebih baik. Cisplatin punya hasil yang secara
potensial lebih baik, tetapi toksisitasnya jauh lebih buruk, terutama untuk
saraf, walaupun semua datanya sudah lama dan tidak ada perbandingan
langsung dengan program-program kemoterapi modern kita. Bagaimana
menurutmu?”
“Aku tidak terlalu mengkhawatirkan perlindungan terhadap tanganku
untuk keperluan pembedahan,” jawabku. “Ada banyak hal yang bisa
kulakukan dengan hidupku. Kalau aku kehilangan kemampuan tangan,
aku bisa mencari pekerjaan lain, atau tidak bekerja, atau entahlah.”
Emma terdiam. “Aku harus mengajukan pertanyaan ini: Apakah menjadi
dokter bedah penting bagimu? Apakah itu yang ingin kau lakukan?”
“Well, ya, aku menghabiskan hampir tiga per empat hidupku
mempersiapkan diri untuk melakukannya.”
“Oke, kalau begitu, kusarankan agar kita menggunakan carboplatin.
Kurasa itu tak akan mengubah kelangsungan hidup, dan kurasa itu bisa
mengubah kualitas hidupmu secara dramatis. Kau punya pertanyaan
lain?”
Emma tampaknya yakin bahwa inilah caranya, dan aku akan
mengikutinya dengan gembira. Mungkin aku mulai membiarkan diriku
percaya bahwa melakukan pembedahan lagi adalah suatu kemungkinan.
Aku merasakan diriku sedikit relaks.
“Aku boleh mulai merokok?” tanyaku bergurau.
Lucy tertawa dan Emma memutar bola mata.
“Tidak. Ada pertanyaan serius?”
“Kurva Kaplan-Meier—”
“Kita tidak membahas hal itu,” katanya.
Aku tidak memahami penolakannya. Lagi pula, aku dokter yang familier
dengan semua statistik ini. Aku bisa mencari tahu sendiri … jadi itulah
yang harus kulakukan.
“Oke,” kataku, “kalau begitu, kurasa semuanya sudah cukup jelas. Besok
kami akan mendapat informasi darimu mengenai hasil EGFR-nya. Kalau
positif, kita akan memulai pilnya, Tarceva. Kalau negatif, kita akan
memulai kemoterapi pada Senin.”
“Benar. Dan, aku ingin kau tahu satu hal lagi: sekarang aku doktermu.
Kalau ada masalah apa pun, mulai dari perawatan utama hingga apa pun,
temui kami terlebih dahulu.”
Sekali lagi aku tiba-tiba merasakan kesamaan kami.
“Terima kasih,” kataku. “Dan, semoga beruntung di bangsal rawat jalan.”
Emma meninggalkan ruangan, lalu melongokkan kepala sedetik
kemudian. “Kau boleh menolaknya, tetapi ada beberapa penggalang dana
kanker paru-paru yang ingin bertemu denganmu. Jangan dijawab
sekarang—pikirkanlah, dan beri tahu Alexis kalau kau tertarik. Jangan
lakukan apa pun yang tidak kau inginkan.”
Ketika kami pulang, Lucy berkomentar, “Dia hebat. Dia cocok untukmu.
Walaupun .…” Dia tersenyum. “Kurasa dia menyukaimu.”
“Dan?”
“Well, ada studi yang mengatakan bahwa dokter melakukan pekerjaan
yang lebih buruk dalam membuat prognosis untuk pasien yang secara
pribadi menarik bagi mereka.”
“Dalam daftar hal yang harus dikhawatirkan,” kataku sambil tertawa,
“kurasa itu berada di urutan terakhir.”
Aku mulai menyadari bahwa berhubungan
begitu dekat dengan mortalitasku sendiri tidak
mengubah apa pun, sekaligus mengubah segalanya.
Sebelum didiagnosis kanker, aku tahu bahwa suatu hari nanti aku akan
mati, tetapi aku tak tahu kapan. Setelah diagnosis itu, aku tahu bahwa
suatu hari nanti aku akan mati, tetapi aku tak tahu kapan. Namun, kini
aku sangat menyadari kematian. Masalahnya tidak terlalu ilmiah. Fakta
mengenai kematian memang meresahkan. Namun, tak ada cara lain untuk
hidup.

P erlahan-lahan kabut medis itu terangkat—setidaknya kini aku punya


cukup banyak informasi untuk mendalami literaturnya. Walaupun
angka-angkanya membingungkan, mengalami mutasi EGFR tampaknya
menambah waktu hidup rata-rata setahun, dengan potensi kelangsungan
hidup jangka panjang; tidak mengalaminya menandakan 80% peluang
kematian dalam waktu dua tahun. Mengklari kasi sisa hidupku akan
menjadi sebuah proses.
Keesokan harinya, aku dan Lucy pergi ke bank sperma untuk
mengawetkan gamet dan mempertahankan opsi kami. Kami selalu
berencana memiliki anak pada akhir program residensiku, tetapi kini .…
Obat-obatan kanker pasti punya efek yang tak diketahui terhadap
spermaku, jadi untuk mempertahankan peluang memiliki anak, kami
harus membekukan sperma sebelum aku memulai pengobatan. Seorang
perempuan muda menjelaskan berbagai rencana pembayaran dan opsi
penyimpanan serta formulir-formulir resmi untuk kepemilikannya. Di
mejanya terdapat beraneka pam et warna-warni mengenai berbagai
kegiatan sosial untuk orang muda penderita kanker: grup improvisasi,
grup cappella, acara komedi tunggal, dan seterusnya. Aku iri melihat wajah
bahagia mereka karena tahu bahwa, secara statistik, mereka semua
mungkin punya jenis kanker yang sangat bisa disembuhkan dan harapan
hidup yang masuk akal.
Hanya ada 0,0012% penderita kanker paru-paru berusia 36 tahun. Ya,
semua pasien kanker memang tidak beruntung, tetapi ada “kanker” dan
ada “KANKER”, dan kau harus benar-benar sial untuk mendapat jenis yang
kedua. Ketika perempuan muda itu meminta kami memerinci apa yang
akan terjadi pada sperma itu jika salah seorang dari kami “meninggal”—
siapa yang secara sah memiliki sperma itu jika terjadi kematian—air mata
mulai mengaliri wajah Lucy.
Kata harapan kali pertama muncul dalam bahasa Inggris sekitar seribu
tahun yang lalu, menunjukkan semacam kombinasi antara keyakinan dan
keinginan. Namun, apa yang kuinginkan, yaitu kehidupan, bukanlah
sesuatu yang kuyakini akan terjadi, yaitu kematian. Maka, ketika berbicara
mengenai harapan, apakah aku benar-benar bermaksud mengatakan
“Sisakan ruang untuk keinginan yang belum diketahui?” Tidak. Statistik
kedokteran tidak hanya menjelaskan angka-angka semacam kelangsungan
hidup rata-rata, tetapi juga mengukur keyakinan kita terhadap angka-
angka kita dengan alat-alat semacam kadar keyakinan, interval keyakinan,
dan batas keyakinan. Jadi, apakah yang kumaksudkan adalah “Sisakan
ruang untuk hasil yang secara statistik mustahil, tetapi masih masuk akal
—kelangsungan hidup persis di atas interval keyakinan 95% yang
terukur?” Bukankah itu yang disebut harapan? Bisakah kita membagi
kurva itu menjadi bagian-bagian eksistensial, mulai dari “pasrah”,
“pesimistis”, “realistis”, “berharap”, hingga “berkhayal”? Bukankah angka-
angka itu hanyalah bilangan? Bukankah kita semua baru saja menyerah
terhadap “harapan” bahwa setiap pasien berada di atas rata-rata?
Terpikir olehku bahwa hubunganku dengan statistik langsung berubah
begitu diriku menjadi statistik.
Selama menjadi dokter residen, aku duduk bersama pasien dan keluarga
yang tak terhitung banyaknya untuk mendiskusikan prognosis suram; ini
salah satu pekerjaan terpenting seorang dokter. Tugas ini lebih mudah jika
pasiennya berusia 94 tahun, dalam tahap-tahap akhir demensia, dan
mengalami pendarahan otak parah. Namun, bagi seseorang sepertiku—
pemuda berusia 36 tahun yang didiagnosis kanker mematikan—benar-
benar tak ada kata-kata untuk mengungkapkannya.
Alasan dokter tidak memberikan prognosis spesi k kepada pasien
bukanlah karena mereka tidak bisa. Jika harapan pasien berada di luar
batas-batas kemungkinan—seseorang berharap untuk hidup hingga 130
tahun, misalnya, atau seseorang mengira bintik-bintik jinak di kulitnya
adalah tanda-tanda menjelang kematian—dokter jelas-jelas dipercaya
untuk membawa harapan orang itu ke ranah kemungkinan yang masuk
akal. Yang dicari pasien bukanlah pengetahuan ilmiah yang
disembunyikan dokter, melainkan kebenaran eksistensial yang harus
dicari sendiri oleh setiap orang. Menjadi terlalu terpengaruh oleh statistik
sama seperti berupaya melegakan dahaga dengan air asin. Kecemasan
dalam menghadapi mortalitas tidak bisa diobati dengan probabilitas.
Ketika kami pulang dari bank sperma, aku mendapat telepon yang
mengabarkan bahwa aku memang mengalami mutasi yang bisa
disembuhkan (EGFR). Kemoterapi dibatalkan, syukurlah, dan Tarceva, pil
putih mungil, menjadi pengobatanku. Aku langsung mulai merasa lebih
kuat. Dan, aku merasakan setitik harapan walaupun tak lagi tahu apa
pastinya itu. Kabut yang menyelubungi hidupku bergulung mundur satu
inci dan secuil langit biru tampak mengintip.
Dalam minggu-minggu selanjutnya, nafsu makanku kembali. Bobot
tubuhku naik sedikit. Aku mengalami serangan jerawat parah yang khas,
pertanda adanya respons yang baik. Lucy selalu menyukai kulit halusku,
tetapi kini kulit itu bopeng-bopeng dan, akibat obat pengencer darah,
terus-menerus berdarah. Bagian mana pun dariku yang dikenal tampan
perlahan-lahan terhapus—walaupun sejujurnya aku senang menjadi lebih
jelek asalkan tetap hidup. Lucy mengatakan tetap menyukai kulitku,
walaupun penuh jerawat. Namun, walaupun aku tahu bahwa identitas kita
bukan hanya berasal dari otak, aku menjalani perwujudan kodratnya.
Lelaki yang menyukai kegiatan lintas alam, berkemah, dan lari, yang
mengungkapkan cinta lewat pelukan dahsyat, yang melambung-
lambungkan keponakannya yang terkikik riang ke udara—aku tak lagi
menjadi lelaki itu. Paling-paling aku bisa bercita-cita menjadi orang itu
lagi.
Pada pertemuan dua kali seminggu kami yang pertama, diskusiku
dengan Emma menyimpang dari masalah pengobatan (“Bagaimana
ruamnya?”) menjadi hal yang lebih eksistensial. Narasi kanker tradisional
—yaitu seseorang harus mundur, menghabiskan waktu bersama keluarga,
dan menjejakkan kaki ke tanah—menjadi salah satu opsi.
“Banyak orang yang, begitu didiagnosis, langsung berhenti kerja
sepenuhnya,” kata Emma. “Yang lainnya sangat berfokus pada pekerjaan.
Yang mana pun bukan masalah.”
“Aku telah memetakan karierku sendiri selama empat puluh tahun—dua
puluh tahun pertama sebagai ilmuwan dan dokter bedah, dua puluh tahun
berikutnya sebagai penulis. Namun, kini, karena kemungkinan besar aku
sudah jauh memasuki dua puluh tahun terakhirku, aku tak tahu karier apa
yang harus kukejar.”
“Well, aku tidak bisa menjawab itu,” kata Emma. “Aku hanya bisa
mengatakan bahwa kau bisa kembali pada pekerjaan dokter bedah, kalau
mau, tetapi kau harus tahu apa yang terpenting untukmu.”
“Akan lebih mudah kalau aku tahu seberapa banyak waktuku yang
tersisa. Kalau punya waktu dua tahun, aku akan menulis. Kalau masih ada
waktu sepuluh tahun, aku akan kembali pada sains dan pembedahan.”
“Kau tahu aku tidak bisa memberimu angka.”
Ya, aku tahu. Semuanya terserah kepadaku—mengutip perkataan yang
sering diulangi Emma—untuk menemukan nilai-nilaiku. Sebagian dari
diriku merasa bahwa ini pengelakan tanggung jawab: oke, baiklah, aku
juga tak pernah memberikan angka spesi k kepada pasien, tetapi
bukankah aku selalu punya pemahaman mengenai bagaimana keadaan
pasien? Bagaimana lagi aku bisa membuat putusan antara hidup dan mati?
Lalu, aku ingat saat-saat ketika aku keliru: saat aku menganjurkan sebuah
keluarga untuk mencabut alat penyokong hidup putranya, tetapi orangtua
itu muncul dua tahun kemudian, memperlihatkan kepadaku video
YouTube putranya bermain piano dan mengirim cupcakes sebagai ucapan
terima kasih karena telah menyelamatkan nyawa putranya.
Janji temuku dengan dokter onkologi adalah yang terpenting dari
banyak janji temu dengan berbagai penyedia layanan kesehatan, tetapi
bukan itu saja. Atas desakan Lucy, kami mulai menemui ahli terapi
pernikahan yang mengkhususkan diri pada pasien kanker. Aku dan Lucy
duduk di kantornya yang tak berjendela, berdampingan di kursi berlengan,
memerinci betapa kehidupan kami, saat ini dan pada masa yang akan
datang, dihancurkan oleh diagnosisku, sakitnya perasaan karena
mengetahui dan tidak mengetahui masa depan, kesulitan membuat
rencana, perlunya saling mendukung. Sesungguhnya kanker telah
membantu menyelamatkan pernikahan kami.
“Well, kalian berdua menangani masalah ini dengan lebih baik daripada
semua pasangan lain yang pernah kujumpai,” kata ahli terapi itu pada
akhir sesi pertama kami. “Aku tidak yakin apakah aku punya nasihat
untuk kalian.”
Aku tertawa ketika kami berjalan keluar—setidaknya aku kembali
unggul dalam sesuatu. Bertahun-tahun melayani pasien yang menderita
penyakit mematikan telah membuahkan hasil! Aku berpaling kepada Lucy,
berharap melihat senyuman; dia malah menggeleng-gelengkan kepala.
“Tidakkah kau mengerti?” katanya sambil meraih tanganku. “Kalau kita
yang terbaik dalam hal ini, berarti keadaan tidak akan menjadi lebih baik
daripada sekarang.”
Jika beban mortalitas tidak menjadi lebih ringan, apakah setidaknya
beban itu menjadi lebih familier?
Begitu didiagnosis menderita penyakit mematikan, aku mulai
memandang dunia lewat dua perspektif; aku mulai melihat kematian
sebagai dokter sekaligus pasien. Sebagai dokter, aku tahu tidak boleh
menyatakan “Kanker adalah pertarungan yang akan kumenangkan!” atau
“Mengapa aku?” (Jawabannya: Mengapa bukan aku?) Aku tahu banyak
mengenai perawatan medis, komplikasi, dan algoritme pengobatan.
Dengan cepat aku belajar dari dokter onkologi dan studiku sendiri bahwa
saat ini kanker paru-paru stadium IV adalah penyakit yang kisahnya bisa
berubah, seperti AIDS pada penghujung 1980-an; masih tergolong
penyakit yang sangat mematikan, tetapi diikuti kemunculan terapi-terapi
yang, untuk kali pertama, memberikan bertahun-tahun harapan hidup.
Walaupun pelatihan sebagai dokter dan ilmuwan membantuku
memproses data dan menerima batasan yang bisa diungkapkan data itu
mengenai prognosisku, ini tidak membantuku sebagai pasien. Ini tidak
memberitahuku dan Lucy apakah kami harus meneruskan rencana untuk
memiliki anak atau apakah makna mengasuh kehidupan baru, sementara
kehidupanku sendiri memudar. Ini juga tidak memberitahuku apakah
harus memperjuangkan karierku, meraih kembali ambisi yang telah
kukejar mati-matian sebegitu lamanya, tetapi tanpa kepastian waktu
untuk memungkasinya.
Seperti pasien-pasienku sendiri, aku harus menghadapi mortalitasku
dan berupaya memahami apa yang membuat kehidupanku layak dijalani—
dan untuk itu aku memerlukan bantuan Emma. Aku tercabik antara
menjadi dokter dan menjadi pasien, menyelami sains kedokteran dan
berpaling kembali pada literatur untuk mendapatkan jawaban.
Aku berjuang, sambil menghadapi kematianku
sendiri, untuk membangun kembali kehidupan
lamaku—atau mungkin mencari kehidupan baru.

S ebagian besar mingguku tidak dihabiskan untuk terapi kognitif,


tetapi untuk terapi sik. Aku telah mengirim hampir semua pasienku
untuk mengikuti terapi sik. Dan, kini aku terkejut ketika mendapati
betapa sulitnya itu. Sebagai dokter, kau punya pemahaman mengenai
bagaimana rasanya menderita sakit. Namun, hingga kau mengalaminya
sendiri, kau tidak akan benar-benar tahu bagaimana rasanya. Ini seperti
jatuh cinta atau punya anak. Kau tidak bisa menghargai kerja keras yang
muncul bersamanya atau hal-hal kecil lainnya. Ketika diinfus, misalnya,
kau benar-benar bisa merasakan garamnya ketika mereka mulai
mengalirkan cairannya. Mereka mengatakan bahwa ini terjadi kepada
semua orang, tetapi bahkan setelah sebelas tahun berkutat di dunia
kedokteran, aku tak pernah tahu.
Dalam terapi sik, aku bahkan belum mengangkat beban, baru
mengangkat kaki. Ini melelahkan sekaligus memalukan. Otakku baik-baik
saja, tetapi aku tidak merasa seperti diriku sendiri. Tubuhku ringkih dan
lemah—orang yang mampu berlari setengah-maraton menjadi kenangan
yang jauh—dan itu juga membentuk identitasku. Nyeri punggung yang
menyiksa bisa membentuk identitas; juga kelelahan dan rasa mual. Karen,
pelatih pribadiku, bertanya apa saja tujuanku. Aku memilih dua:
mengendarai sepeda dan berlari. Ketika menghadapi kelemahan, muncul
kebulatan tekad. Aku terus berjuang hari demi hari, dan setiap
peningkatan kecil dalam kekuatan akan memperluas kemungkinan dunia
dan kemungkinan versi diriku. Aku mulai menambah pengulangan
gerakan, beban, dan menit pada latihanku, mendorong diriku sendiri
hingga nyaris muntah. Setelah dua bulan, aku bisa duduk selama tiga
puluh menit tanpa merasa lelah. Aku mulai bisa pergi makan malam
bersama teman-temanku lagi.
Pada suatu siang aku dan Lucy bermobil ke Cañada Road, tempat
bersepeda favorit kami. (Biasanya kami bersepeda ke sana—keangkuhan
memaksaku untuk mengimbuhkan informasi ini—tetapi bukit-bukitnya
masih terlalu berat untuk tubuh ringanku.) Aku berhasil mengayuh
dengan susah payah sejauh 10 kilometer. Ini sangat berbeda dari
bersepeda sejauh 50 kilometer pada musim panas yang lalu, tetapi
setidaknya aku bisa menyeimbangkan diri di atas dua roda.
Ini kemenangan atau kekalahan?
Aku mulai menantikan pertemuan-pertemuanku dengan Emma. Di
kantornya, aku merasa seperti diriku sendiri, seperti sebuah jati diri. Di
luar kantornya, aku tak lagi tahu siapa diriku. Karena tidak bekerja, aku
tidak merasa seperti diriku sendiri, seorang dokter bedah saraf, seorang
ilmuwan—bisa dibilang seorang pemuda dengan masa depan cemerlang
terbentang di hadapannya. Di rumah, dengan kondisi lemah, aku khawatir
diriku tidak terlalu berguna sebagai suami bagi Lucy. Aku telah berubah
dari subjek menjadi objek langsung di setiap kalimat kehidupanku.
Dalam lsafat abad keempat belas, kata pasien hanya berarti ‘objek suatu
tindakan’, dan begitulah yang kurasakan. Sebagai dokter, aku adalah agen,
penyebab; sebagai pasien, aku hanya sesuatu yang menjadi tempat
terjadinya segala hal. Namun, di kantor Emma, aku dan Lucy bisa
bergurau, bertukar bahasa khas dokter, bebas bicara mengenai harapan
dan mimpi kami, berupaya menyusun rencana untuk terus maju. Setelah
dua bulan, Emma tetap tidak memberikan prognosis apa pun dengan jelas
dan setiap statistik yang kukutip dibantahnya dengan peringatan agar aku
berfokus pada nilai-nilaiku. Walaupun merasa tidak puas, setidaknya aku
merasa seperti seseorang, seperti manusia, alih-alih benda yang
menunjukkan hukum termodinamika kedua (semua tatanan cenderung
menuju entropi, pembusukan, dan seterusnya).
Ketika berhadapan langsung dengan mortalitas, banyak putusan
menjadi terkompresi, mendesak, dan pantang mundur. Yang terutama
bagi kami: Haruskah aku dan Lucy punya anak? Walaupun pernikahan
kami menegang mendekati akhir pelatihanku sebagai dokter residen, kami
tetap saling mencintai. Hubungan kami masih sarat makna, berupa
kosakata bersama yang berevolusi sehubungan dengan apa yang
bermakna. Jika keterhubungan manusia membentuk fondasi makna, bagi
kami membesarkan anak akan mengimbuhkan dimensi lain pada makna
itu. Ini sesuatu yang selalu kami inginkan dan kami berdua terdorong oleh
insting untuk tetap melakukannya, untuk menambahkan kursi lain di
meja keluarga kami.
Kami berdua ingin menjadi orangtua, kami memikirkan satu sama lain.
Lucy berharap aku punya sisa waktu bertahun-tahun, tetapi mengingat
prognosisku, dia merasa bahwa pilihan itu—apakah hendak
menghabiskan sisa waktuku sebagai seorang ayah—harus dibuat olehku.
“Apa yang paling mengkhawatirkan atau menyedihkan bagimu?”
tanyanya suatu malam ketika kami sedang berbaring di ranjang.
“Meninggalkanmu,” jawabku.
Aku tahu, seorang anak akan membawa kebahagiaan bagi seluruh
keluarga dan aku tidak sanggup membayangkan Lucy hidup tanpa suami
dan tanpa anak setelah aku tiada. Namun, aku bersikeras bahwa putusan
itu pada akhirnya harus dibuat oleh Lucy: bagaimanapun, kemungkinan
besar dia harus membesarkan anak itu sendirian dan merawat kami
berdua ketika penyakitku semakin parah.
“Akankah punya bayi mengganggu waktu yang kita miliki bersama?”
tanyanya. “Bukankah mengucapkan selamat tinggal kepada anakmu akan
membuat kematianmu lebih menyakitkan?”
“Bukankah akan luar biasa jika itu terjadi?” tanyaku. Aku dan Lucy
sama-sama merasa bahwa hidup bukanlah untuk menghindari
penderitaan.
Bertahun-tahun silam terpikir olehku bahwa Darwin dan Nietzsche
menyepakati satu hal: karakteristik yang mende nisikan organisme
adalah perjuangan. Menjelaskan hidup dengan cara lain adalah seperti
melukis harimau tanpa belang-belang. Setelah bertahun-tahun hidup
bersama kematian, kupahami bahwa kematian termudah tidak selalu
berarti kematian terbaik. Kami membicarakan hal itu. Keluarga kami
memberikan restu mereka. Kami memutuskan untuk punya anak. Alih-
alih mati, kami akan terus hidup.
Karena obat-obatan yang kuminum, reproduksi dengan bantuan
tampaknya menjadi satu-satunya cara. Jadi, kami mengunjungi dokter
spesialis di klinik endokrinologi reproduktif di Palo Alto. Dokter
perempuan itu bertindak e sien dan profesional, tetapi pengalamannya
yang masih kurang dalam menangani pasien berpenyakit mematikan, alih-
alih pasien yang tidak subur, tampak begitu kentara. Dia terus bicara
dengan mata tertuju pada catatannya.
“Sudah berapa lama kalian berusaha?”
“Well, kami belum berusaha.”
“Oh, benar. Tentu saja.”
Akhirnya, dia bertanya, “Mengingat, eh, situasi kalian, kurasa kau ingin
segera hamil?”
“Ya,” jawab Lucy. “Kami ingin langsung memulai.”
“Kalau begitu, kusarankan agar kalian memulai dengan fertilisasi in
vitro, bayi tabung,” katanya.
Ketika kusebutkan bahwa kami lebih suka meminimalkan jumlah
embrio yang tercipta dan dihancurkan, dia tampak sedikit kebingungan.
Sebagian besar orang yang datang ke sana sangat mementingkan diri
sendiri. Namun, aku bertekad menghindari situasi bahwa, setelah aku
tiada, Lucy bertanggung jawab atas setengah lusin embrio—sisa-sisa
terakhir genom kami bersama, kehadiran terakhirku di bumi ini—yang
tersimpan di lemari pembeku di suatu tempat, terlalu menyakitkan untuk
dihancurkan, mustahil untuk dijadikan manusia seutuhnya: artefak
teknologi yang tak seorang pun tahu harus diapakan. Namun, setelah
beberapa kali percobaan inseminasi intrauterin, tampak jelas bahwa kami
memerlukan tingkat teknologi yang lebih tinggi: kami perlu menciptakan
setidaknya beberapa embrio in vitro dan menanamkan yang paling sehat.
Yang lainnya akan dimusnahkan. Bahkan, untuk memiliki anak dalam
kehidupan baru ini pun, kematian memainkan peranannya.

E nam minggu setelah memulai pengobatan, aku dijadwalkan menjalani


pemindaian CT pertamaku untuk menilai kemanjuran Tarceva. Ketika
aku melompat turun dari mesin pemindai, teknisi CT memandangku.
“Well, Dok,” katanya, “seharusnya aku tidak mengatakan ini, tetapi ada
komputer di belakang sana kalau Anda ingin melihat hasilnya.” Aku
membuka gambar-gambarnya, lalu mengetikkan namaku sendiri.
Jerawat adalah tanda yang meyakinkan. Kekuatanku juga telah
bertambah walaupun aku masih dibatasi nyeri punggung dan keletihan.
Ketika duduk di sana, aku mengingat-ingat apa yang dikatakan Emma:
bahkan sejumlah kecil pertumbuhan tumor pun, selama jumlahnya kecil,
bisa dianggap kesuksesan. (Tentu saja ayahku memprediksi bahwa semua
kankernya akan lenyap. “Gambar pemindaianmu akan bersih, Pubby!”
katanya, menggunakan nama panggilanku dalam keluarga.) Kuulangi
sendiri bahwa pertumbuhan kecil pun adalah kabar baik. Kuhela napas
panjang, lalu aku mengeklik komputer. Gambar-gambar itu muncul di
layar. Paru-paruku, yang sebelumnya dibintik-bintiki tumor yang tak
terhitung banyaknya, tampak bersih, kecuali sebuah nodul 1 sentimeter di
lobus kanan atas. Aku bisa melihat tulang punggungku mulai pulih. Terjadi
pengurangan beban tumor yang jelas dan dramatis.
Kelegaan menguasaiku.
Kankerku stabil.
Ketika kami bertemu Emma keesokan harinya, dia masih menolak
membicarakan prognosis, tetapi berkata, “Kau cukup sehat, jadi mulai
sekarang kita bisa bertemu enam minggu sekali. Pada pertemuan
berikutnya kita bisa mulai membicarakan akan seperti apa hidupmu.” Aku
bisa merasakan kekacauan berbulan-bulan ini menyurut, merasakan
adanya tatanan baru yang mulai terbentuk. Pemahaman akan singkatnya
masa depan mulai mengendur.
Pertemuan lokal mantan lulusan bedah saraf Stanford berlangsung pada
akhir pekan itu dan aku menantikan peluang untuk terhubung kembali
dengan jati diriku yang dahulu. Walaupun begitu, berada di sana hanya
mempertajam kontras yang ganjil mengenai seperti apa kehidupanku
sekarang. Aku dikelilingi kesuksesan, peluang, dan ambisi, dikelilingi
teman-teman sebaya dan para senior, kehidupan mereka berjalan di atas
lintasan yang tak lagi sama dengan lintasanku, tubuh mereka masih
sanggup berdiri untuk melakukan pembedahan melelahkan selama
delapan jam. Aku merasa terperangkap dalam lagu sendu: Victoria sedang
membuka hadiahnya yang menggembirakan—beasiswa, tawaran kerja,
publikasi—yang seharusnya juga menjadi milikku. Teman-teman seniorku
menjalani masa depan yang tak lagi menjadi masa depanku: penghargaan
awal karier, promosi, rumah baru.
Tak seorang pun menanyakan rencanaku, dan ini melegakan karena aku
tak punya rencana. Walaupun kini aku bisa berjalan tanpa tongkat,
ketidakpastian mengenai kelumpuhan tetap ada: Siapakah aku nanti, ke
depannya, dan untuk berapa lama? Orang cacat, ilmuwan, guru? Ahli
bioetika? Dokter bedah saraf lagi, seperti yang disiratkan Emma? Ayah
rumah tangga? Penulis? Aku bisa, atau harus, menjadi siapa? Sebagai
dokter, aku memahami apa yang dihadapi para pasien penderita penyakit
yang mengubah kehidupan—dan momen-momen inilah tepatnya yang
dahulu ingin kujelajahi bersama mereka. Maka, bukankah penyakit
mematikan seharusnya menjadi hadiah sempurna bagi pemuda yang ingin
memahami kematian?
Cara apakah yang lebih baik untuk memahami kematian selain
menjalaninya sendiri? Namun, dahulu aku tak tahu seberapa beratnya ini
semua, seberapa banyak medan yang harus kujelajahi, kupetakan, dan
kutinggali. Aku selalu berpikir pekerjaan dokter bisa dibilang mirip
dengan menghubungkan dua potongan rel kereta api sehingga
memungkinkan pasien menempuh perjalanan yang lancar. Aku tidak
menduga prospek menghadapi mortalitasku sendiri bisa begitu
menyesatkan, bisa begitu membingungkan. Aku ingat diriku sendiri yang
masih muda, yang mungkin ingin “menempa kesadaran sebagai umat
manusia yang belum tercipta di bengkel jiwaku”; ketika melongok jiwaku
sendiri, kudapati bahwa perkakasnya terlalu rapuh, apinya terlalu lemah,
bahkan untuk menempa kesadaranku sendiri.
Karena tersesat di gurun kosong mortalitasku sendiri dan tidak
menemukan pijakan dalam ranah studi ilmiah, jalur molekuler
intraseluler, dan lengkungan tanpa akhir statistik kelangsungan hidup,
aku mulai membaca kesusastraan lagi: Cancer Ward karya Solzhenitsyn,
e Unfortunates karya B.S. Johnson, Ivan Ilyich karya Tolstoy, Mind and
Cosmos karya Nagel, karya Woolf, Kafka, Montaigne, Frost, Greville,
memoar pasien-pasien kanker—apa saja dan karya siapa saja yang pernah
menulis tentang mortalitas.
Aku mencari kosakata yang bisa membantuku memahami kematian,
mencari cara untuk mulai mende nisikan diriku sendiri dan kembali
beringsut maju. Keuntungan pengalaman langsung telah menuntunku
menjauhi karya sastra dan karya akademik, tetapi kini aku merasa bahwa,
untuk memahami pengalaman langsungku sendiri, aku harus
menerjemahkannya kembali ke dalam bahasa. Hemingway menjelaskan
proses yang dilaluinya dengan penjelasan serupa: memperoleh
pengalaman yang kaya, lalu mundur untuk merenung dan menulis
mengenainya. Aku perlu kata-kata untuk beranjak maju.
Maka, kesusastraanlah yang membawaku kembali pada kehidupan
selama periode ini. Ketidakpastian monolitik masa depanku begitu
memekakkan; ke mana pun aku berpaling, bayang-bayang kematian
mengaburkan makna tindakanku. Aku ingat momen ketika
ketidaknyamanan yang menguasaiku lenyap, ketika laut ketidakpastian
yang seakan-akan tak terseberangi itu tersibak. Aku terbangun dengan
kesakitan, kembali menghadapi hari—tak ada kegiatan setelah sarapan
yang tampaknya masuk akal. Aku tak sanggup lagi, pikirku, dan langsung
terdengar sahutan, yang melengkapi tujuh kata dari Samuel Beckett, kata-
kata yang kupelajari dahulu sekali semasa masih kuliah: Aku pasti sanggup.
Aku turun dari ranjang, maju satu langkah, mengulangi frasa itu terus-
menerus, “Aku tak sanggup lagi. Aku pasti sanggup.”
Pagi itu aku membuat putusan: aku akan mendorong diriku sendiri
untuk kembali ke RO. Mengapa? Karena aku bisa. Karena itulah diriku.
Karena aku harus belajar untuk hidup dengan cara berbeda, melihat
kematian sebagai tamu pengembara yang mengancam, tetapi tahu bahwa,
walaupun sedang sekarat, aku masih hidup hingga benar-benar mati.

S elama enam minggu berikutnya, aku mengubah program terapi


sikku. Sekarang aku berfokus pada pembangunan kekuatan secara
spesi k untuk melakukan operasi: berdiri berjam-jam, manipulasi-mikro
benda-benda kecil, memutar pergelangan tangan untuk meletakkan pedicle
screw.
Pemindaian CT lain menyusul setelahnya. Tumornya telah sedikit
menciut lagi. Ketika membahas gambar-gambar itu bersamaku, Emma
berkata, “Aku tak tahu seberapa lama waktu yang kau miliki, tetapi aku
akan berkata begini: pasien yang hari ini kutemui sebelum dirimu telah
mengonsumsi Tarceva selama tujuh tahun tanpa masalah. Masih banyak
yang harus kau lakukan sebelum kita merasa nyaman dengan kankermu.
Namun, ketika melihatmu, membayangkan kau hidup sepuluh tahun lagi
bukanlah khayalan gila. Mungkin kau tak akan hidup selama itu, tetapi
tidaklah gila membayangkannya.”
Inilah prognosisnya—tidak, bukan prognosis, melainkan pembenaran.
Pembenaran atas putusanku untuk kembali menekuni bedah saraf, untuk
kembali pada kehidupan. Sebagian dari diriku merasa senang dengan
prospek sepuluh tahun. Bagian lain dari diriku berharap Emma berkata,
“Kembali menjadi dokter bedah saraf adalah sesuatu yang gila untukmu—
pilihlah sesuatu yang lebih mudah.” Aku terkejut ketika menyadari bahwa,
mengingat segalanya, ada satu area yang meringankan selama beberapa
bulan terakhir ini: tak perlu menanggung beban tanggung jawab berat
yang dituntut bedah saraf—dan sebagian dari diriku ingin dibebaskan
sehingga tidak harus memikul kuk itu lagi. Bedah saraf benar-benar kerja
keras, dan tak seorang pun akan menyalahkanku kalau aku memutuskan
untuk tidak kembali ke dunia itu. (Orang sering bertanya apakah itu
panggilan hati, dan jawabanku selalu “ya”. Kau tidak bisa melihat bedah
saraf sebagai pekerjaan karena kalau itu pekerjaan, itu adalah salah satu
pekerjaan terburuk yang ada.)
Beberapa dosenku secara aktif menentang gagasan itu: “Bukankah kau
sebaiknya menghabiskan waktu bersama keluargamu?” (Bukankah kau
sebaiknya begitu? pikirku. Aku membuat putusan untuk melakukan
pekerjaan ini karena, bagiku, pekerjaan ini adalah sesuatu yang sakral.)
Aku dan Lucy baru saja mencapai puncak bukit, gedung-gedung mencolok
di Silicon Valley—yang diberi nama setiap transformasi biomedis dan
teknologi generasi mutakhir—menghampar di bawah kami. Namun,
akhirnya rasa gatal untuk memegang bor bedah lagi menjadi terlalu
memikat. Tugas moral punya beban, segala yang berbeban punya gravitasi
sehingga tugas memikul tanggung jawab moral menarikku kembali ke
ruang operasi. Lucy mendukungku sepenuhnya.
Aku menelepon direktur program untuk memberitahunya bahwa aku
siap untuk kembali. Dia kegirangan. Aku dan Victoria berdiskusi mengenai
cara terbaik untuk memasukkanku kembali dan membuatku bekerja
kembali dengan cepat. Aku meminta sesama dokter residen untuk hadir
mendukungku sepanjang waktu, kalau-kalau ada sesuatu yang keliru.
Selanjutnya, aku hanya akan menangani satu kasus per hari. Aku tidak
akan menangani pasien di luar RO atau bertugas jaga. Kami akan bekerja
secara konservatif. Jadwal ruang RO keluar dan aku ditugaskan
menangani lobektomi temporal, salah satu operasi favoritku. Pada
umumnya epilepsi disebabkan oleh kegagalan hipokampus yang terletak
jauh di lobus temporal. Mengambil hipokampus bisa menyembuhkan
epilepsi, tetapi operasinya rumit karena memerlukan pengirisan lembut
hipokampus dari pia, penutup otak transparan lembut yang berada persis
di dekat batang otak.
Aku menghabiskan malam sebelumnya dengan mempelajari buku-buku
teks pembedahan, mengulas anatomi dan langkah-langkah operasinya.
Aku tidur dengan gelisah, melihat sudut kemiringan kepala, gergaji
mengiris tengkorak, bagaimana cahaya memantul dari pia setelah lobus
temporal diangkat. Aku turun dari ranjang kemudian mengenakan kemeja
dan dasi. (Aku telah mengembalikan semua seragam operasiku berbulan-
bulan silam karena berasumsi tidak akan pernah mengenakannya lagi.)
Aku tiba di rumah sakit dan berganti seragam operasi biru yang tak asing
lagi itu untuk kali pertama setelah delapan belas minggu. Aku mengobrol
dengan pasien untuk memastikan tidak ada pertanyaan pada menit
terakhir, lalu memulai proses penyiapan RO.
Pasien diintubasi, aku dan dokter penanggung jawab pasien mencuci
lengan dan tangan, kemudian siap memulai. Aku mengambil pisau bedah
dan mengiris kulit persis di atas telinga, bergerak perlahan-lahan,
berupaya memastikan aku tidak melupakan apa pun dan membuat
kesalahan. Dengan menggunakan elektrokauter, aku memperdalam irisan
itu hingga ke tulang, lalu membuka lembaran kulit dengan kaitan.
Segalanya terasa tidak asing lagi, ingatan otot mulai bekerja. Aku
mengambil bor dan membuat tiga lubang di tengkorak. Dokter
penanggung jawab pasien menyemprotkan air untuk menjaga agar bornya
tetap dingin selama aku bekerja. Aku beralih menggunakan kraniotome,
mata bor untuk irisan menyamping, dan menghubungkan ketiga lubang
itu, kemudian melepaskan sepotong besar tulang. Dengan bunyi berderak,
kuangkat tulang itu. Tampaklah dura, lapisan terluar pembungkus otak,
yang berwarna keperakan.
Untunglah aku tidak merusaknya dengan bor, kesalahan yang umumnya
dilakukan pemula. Aku menggunakan pisau tajam untuk membuka dura
tanpa mencederai otak. Sukses lagi. Aku mulai rileks. Kutempelkan
kembali dura itu dengan jahitan-jahitan kecil agar tidak menghalangi
pembedahan utama. Otak berdenyut-denyut pelan dan berkilauan. Vena-
vena Sylvia besar menjalari puncak lobus temporal, tak terusik. Lipatan-
lipatan otak berwarna krem yang tak asing lagi itu seakan-akan
memanggil.
Mendadak tepi-tepi penglihatanku meredup. Kuletakkan alat-alatku dan
aku mundur dari meja. Kegelapan semakin menyelubungi ketika aku
dilanda perasaan melayang.
“Maaf, Pak,” kataku kepada dokter penanggung jawab pasien, “aku
merasa sedikit pening. Kurasa aku harus berbaring. Jack, dokter residen
juniorku, akan menyelesaikan kasus ini.”
Jack tiba dengan cepat, kemudian aku berpamitan. Aku menyesap jus
jeruk di ruang istirahat sambil berbaring di sofa. Setelah dua puluh menit,
aku mulai merasa lebih baik. “Sinkop neurokardiogenik,” bisikku kepada
diri sendiri. Sistem saraf otonom menutup jantung untuk sesaat, atau
yang lebih umum dikenal dengan masalah nyali. Problem dokter pemula.
Bukan ini yang kubayangkan ketika kembali ke RO. Aku beranjak ke ruang
loker, melemparkan seragam operasi kotorku ke keranjang cucian, lalu
mengenakan pakaian biasa. Dalam perjalanan keluar, aku meraih
setumpuk seragam operasi yang bersih. Besok, kataku kepada diri sendiri,
akan menjadi hari yang lebih baik.
Dan, memang begitu. Setiap hari, setiap kasus terasa tidak asing lagi,
tetapi kemajuanku sedikit lebih lambat. Pada hari ketiga, aku hendak
mengangkat cakram rusak dari tulang belakang pasien. Aku menatap
cakram membengkak itu, tidak ingat langkah persisku. Orang yang
mengawasiku menyarankan agar aku mengambilnya sedikit demi sedikit
dengan tang.
“Ya, aku tahu, itulah yang biasanya dilakukan,” gumamku, “tetapi ada
cara lain .…”
Aku mengambil cakram itu sedikit demi sedikit selama dua puluh menit,
otakku mencari cara lebih elegan yang pernah kupelajari untuk
melakukannya. Ketika tiba di tingkat tulang belakang berikutnya, ingatan
itu muncul dalam sekejap.
“Instrumen Cobb!” teriakku. “Martil. Instrumen Kerrison.”
Aku mengangkat seluruh cakram itu dalam waktu tiga puluh detik.
“Inilah caraku melakukannya,” kataku.
Selama beberapa minggu berikutnya, kekuatanku berangsur meningkat,
begitu juga kelancaran dan teknikku. Tanganku mempelajari kembali cara
memanipulasi pembuluh-pembuluh darah berukuran submilimeter tanpa
mencederainya, jemari tanganku melakukan trik-trik lama yang pernah
mereka kenal. Setelah satu bulan, aku hampir bisa melakukan operasi
sepenuhnya.
Aku membatasi diri dengan operasi saja, meninggalkan tugas
administrasi, perawatan pasien, serta tugas jaga malam dan akhir pekan
kepada Victoria dan dokter-dokter residen senior lainnya. Lagi pula, aku
sudah menguasai semua keahlian itu, dan hanya perlu mempelajari
nuansa-nuansa operasi rumit agar merasa lengkap. Aku mengakhiri hari-
hariku dengan keletihan luar biasa, otot-otot serasa terbakar, perlahan-
lahan menunjukkan kemajuanku. Namun, sesungguhnya aku tidak
menikmatinya. Kegembiraan mendalam yang pernah kurasakan ketika
melakukan operasi telah hilang, digantikan oleh fokus baja untuk
mengatasi rasa mual, rasa nyeri, dan rasa lelah.
Setiap malam, setibanya di rumah, aku menelan segenggam pil
penghilang nyeri, lalu merangkak ke atas ranjang, di sebelah Lucy yang
juga sudah kembali ke jadwal kerja penuhnya. Kini kehamilannya
menginjak trimester pertama. Bayinya dijadwalkan lahir pada Juni ketika
aku sudah menyelesaikan pelatihan sebagai dokter residen. Kami punya
foto anak kami masih berbentuk blastosista yang diambil persis sebelum
implantasi. (“Dia punya membran selmu,” kataku kepada Lucy.) Namun,
aku bertekad mengembalikan kehidupanku ke lintasan semula.
Pemindaian setelah enam bulan diagnosis berlalu kembali menunjukkan
hasil yang stabil sehingga aku kembali mencari pekerjaan. Dengan kanker
terkendali, aku mungkin punya waktu beberapa tahun. Tampaknya karier
yang telah kuperjuangkan selama bertahun-tahun, yang sempat
menghilang di tengah penyakit, kini kembali berada dalam jangkauan. Aku
nyaris bisa mendengar trompet-trompet membunyikan lagu kemenangan.

S aat kunjunganku berikutnya menemui Emma, kami bicara mengenai


kehidupan dan ke mana kehidupan itu membawaku. Aku ingat Henry
Adams berupaya membandingkan kekuatan ilmiah mesin pembakaran
dengan kekuatan eksistensial Perawan Maria. Kini pertanyaan-pertanyaan
ilmiahnya sudah terjawab, memungkinkan pertanyaan-pertanyaan
eksistensial untuk muncul sepenuhnya, tetapi keduanya berada dalam
lingkup kedokteran. Baru-baru ini aku tahu bahwa posisi ilmuwan dan
dokter bedah di Stanford—pekerjaan yang seharusnya jatuh ke tanganku
—telah terisi ketika aku sedang sakit. Aku terpukul dan menceritakan hal
itu kepada Emma.
“Well,” katanya, “posisi dosen dan dokter ini bisa sangat berat. Namun,
kau sudah tahu itu. Maaf.”
“Ya, kurasa jenis sains yang menggairahkanku adalah proyek-proyek dua
puluh tahun. Tanpa kerangka waktu semacam itu, aku tidak yakin apakah
aku tertarik menjadi ilmuwan.” Aku berupaya menghibur diri. “Tak banyak
yang bisa dilakukan dalam waktu beberapa tahun.”
“Benar. Namun, kau harus ingat, keadaanmu saat ini sudah bagus. Kau
kembali bekerja. Kau akan punya anak. Kau sedang mencari nilai-nilaimu
dan itu tidak mudah.”
Belakangan pada hari itu salah seorang dosen muda, mantan dokter
residen dan teman dekat, menghentikanku di lorong.
“Hai,” kata perempuan itu. “Ada banyak diskusi dalam rapat-rapat
fakultas mengenai apa yang harus dilakukan terhadapmu.”
“Apa yang harus dilakukan terhadapku?”
“Kurasa beberapa dosen mengkhawatirkan kelulusanmu.”
Kelulusan dari pelatihan sebagai dokter residen memerlukan dua hal:
memenuhi serangkaian persyaratan lokal dan nasional, yang sudah
kulakukan, serta persetujuan fakultas.
“Apa?” kataku. “Aku tidak bermaksud menyombong, tetapi aku dokter
bedah yang bagus, sama bagusnya dengan—”
“Aku tahu. Kurasa mereka mungkin hanya ingin melihatmu mengambil
tanggung jawab penuh sebagai kepala dokter residen. Ini karena mereka
menyukaimu. Sungguh.”
Kusadari bahwa itu benar: selama beberapa bulan terakhir, aku hanya
bertindak sebagai teknisi bedah. Aku menggunakan kanker sebagai alasan
untuk tidak mengambil tanggung jawab penuh atas pasien-pasienku.
Sebaliknya, itu alasan yang bagus, sungguh. Namun, kini aku mulai masuk
lebih awal, bekerja lebih lama, kembali merawat pasien-pasien
sepenuhnya, mengimbuhkan empat jam lagi pada pekerjaan dua belas jam
sehari. Ini berarti kembali menempatkan para pasien di pusat otakku
sepanjang waktu.
Selama dua hari pertama, kupikir aku akan menyerah, berjuang keras
mengatasi gelombang rasa mual, rasa nyeri, dan rasa lelah, beristirahat di
ranjang tak terpakai saat ada momen-momen sepi untuk tidur. Namun,
pada hari ketiga aku mulai menikmatinya kembali walaupun tubuhku
serasa hancur. Berhubungan lagi dengan pasien kembali mendatangkan
makna pekerjaan ini. Aku menelan obat anti peradangan nonsteroid
(NSAID) dan antimual di antara kasus-kasus dan persis sebelum tugas
berkeliling. Aku menderita, tetapi aku kembali sepenuhnya.
Alih-alih mencari ranjang tak terpakai, aku mulai beristirahat di sofa
dokter residen junior, mengawasi mereka merawat pasienku, menguliahi
mereka sambil melawan gelombang kejang punggung. Semakin tubuhku
tersiksa, semakin aku merasa puas karena telah menyelesaikan pekerjaan.
Pada akhir minggu pertama aku tidur selama empat puluh jam penuh.
Akan tetapi, aku mengemban tanggung jawab.
“Hai, Bos,” kataku, “aku baru saja meninjau kasus-kasus untuk besok
dan aku tahu kasus pertama dijadwalkan untuk interhemisfer, tetapi
kurasa akan jauh lebih aman dan mudah kalau kita melakukan parietal
transkortikal.”
“Benarkah?” kata dokter penanggung jawab pasien. “Biar kulihat
gambar-gambar negatifnya .… Kau tahu? Kau benar. Bisakah kau
mengubah penjadwalannya?”
Hari berikutnya: “Hai, Pak, ini Paul. Aku baru saja melihat Mr. F dan
keluarganya di ICU—kurasa besok kita perlu membawanya untuk ACDF.
Boleh kujadwalkan? Kapan kau luang?”
Dan, aku kembali bekerja dengan kecepatan maksimum di RO.
“Perawat, bisa menghubungi penyeranta dr. S? Kasus ini pasti sudah
beres sebelum dia tiba di sini.”
“Aku sudah menghubunginya lewat telepon. Katanya, mustahil kau sudah
selesai.”
Dokter penanggung jawab pasien berlari masuk, tersengal-sengal,
mencuci lengan dan tangan, lalu mengintip lewat mikroskop.
“Aku mengambil sudut yang sedikit tajam untuk menghindari sinusnya,”
kataku, “tetapi seluruh tumornya sudah diangkat.”
“Kau menghindari sinusnya?”
“Ya, Pak.”
“Kau mengeluarkan tumornya secara utuh?”
“Ya, Pak, ada di meja agar kau bisa melihatnya.”
“Kelihatannya bagus. Benar-benar bagus. Kapan kau menjadi begitu
cepat? Maaf aku tidak kemari lebih cepat.”
“Tak masalah.”
Hal yang rumit dari penyakit adalah,
sementara kau mengalaminya, nilai-nilai yang
kau anut terus-menerus berubah. Kau berupaya
mencari tahu apa yang penting bagimu, kemudian
kau akan terus mencari tahu.
Rasanya seakan-akan seseorang telah mengambil kartu kreditku dan
aku harus belajar menyusun anggaran. Kau mungkin memutuskan untuk
menghabiskan waktu dengan bekerja sebagai dokter bedah saraf, tetapi
dua bulan kemudian perasaanmu mungkin berbeda. Dua bulan setelah itu
kau mungkin ingin belajar bermain saksofon atau membaktikan dirimu
untuk gereja.
Kematian mungkin peristiwa satu kali saja,
tetapi hidup dengan penyakit mematikan adalah
sebuah proses.
Terpikir olehku bahwa aku telah melintasi lima tahap kedukaan yang
klise—“Penyangkalan Kemarahan Tawar-menawar Depresi
Kepasrahan”—tetapi aku melakukannya dari belakang ke depan. Ketika
didiagnosis, aku merasa siap untuk mati. Aku bahkan merasa baik-baik
saja. Aku pasrah. Aku siap. Lalu, aku jatuh ke dalam lubang depresi ketika
menjadi jelas bahwa aku ternyata tidak akan segera mati, dan ini tentu
saja kabar baik, tetapi sekaligus membingungkan dan anehnya
melemahkan. Kecepatan sains kanker dan hakikat statistik menunjukkan
bahwa aku mungkin hidup dua belas bulan lagi atau 120 bulan lagi.
Penyakit berat seharusnya memperjelas kehidupan.
Akan tetapi, aku tahu aku akan mati—padahal sebelumnya pun hal itu
sudah kuketahui. Status pengetahuanku tetap sama, tetapi kemampuanku
membuat rencana makan siang telah kacau balau. Jalan ke depan akan
tampak jelas seandainya saja aku tahu berapa bulan atau tahun yang
tersisa bagiku. Katakan saja tiga bulan maka aku akan menghabiskan
waktu bersama keluarga. Katakan saja setahun maka aku akan menulis
buku. Beri aku sepuluh tahun maka aku akan kembali menangani
penyakit. Kenyataan bahwa kau menjalani hidup hari demi hari tidaklah
membantu: Apa yang harus kulakukan dengan hari itu?
Lalu, pada suatu titik, aku mulai melakukan sedikit tawar-menawar—
atau tidak begitu bisa dibilang tawar-menawar. Lebih tepatnya: “Tuhan,
aku sudah membaca Kitab Ayub dan aku tidak memahaminya, tetapi jika
ini ujian iman, kini Kau pasti menyadari bahwa imanku cukup lemah, dan
mungkin menghilangkan saus moster berempah dari roti lapis pastrami
juga merupakan ujian iman? Kau tahulah, Kau tidak perlu bersikap
ekstrem terhadapku .…” Lalu, setelah tawar-menawar, muncullah
kemarahan: “Aku bekerja seumur hidup untuk tiba di titik ini, lalu Kau
memberiku kanker?”
Kini, akhirnya, mungkin aku telah tiba pada tahap penyangkalan.
Mungkin penyangkalan total. Mungkin, tanpa adanya kepastian, kita lebih
baik berasumsi saja bahwa kita akan hidup untuk waktu yang lama.
Mungkin itulah satu-satunya cara untuk maju.

A ku melakukan operasi hingga larut malam atau hingga subuh,


bertekad untuk lulus. Sudah sembilan bulan berlalu sejak aku
mendapat diagnosis. Tubuhku remuk redam. Aku terlalu lelah untuk
makan ketika tiba di rumah. Perlahan-lahan kutingkatkan dosis Tylenol,
NSAID, dan antimualnya. Aku diserang batuk berkepanjangan, mungkin
disebabkan oleh jaringan parut yang muncul karena tumor mati di paru-
paruku. Aku hanya perlu mempertahankan kecepatan gila-gilaan ini selama
beberapa bulan lagi, pikirku, lalu aku akan lulus dari program dokter
residen dan menjalani peran yang secara komparatif lebih tenang sebagai
dosen.
Pada Februari aku terbang ke Wisconsin untuk wawancara pekerjaan.
Mereka menawarkan segala yang kuinginkan: jutaan dolar untuk memulai
lab ilmu pengetahuan saraf, jabatan kepala untuk layanan klinikku sendiri,
eksibilitas—jika diperlukan demi kesehatanku, kedudukan sebagai dosen
tetap, opsi-opsi pekerjaan yang menarik bagi Lucy, gaji tinggi,
pemandangan indah, kota yang tenang, dan bos yang sempurna. “Aku
memahami kondisi kesehatanmu dan kau mungkin punya hubungan kuat
dengan dokter onkologimu,” kata ketua jurusan kepadaku. “Jadi, kalau kau
ingin tetap dirawat di sana, kami bisa menerbangkanmu bolak-balik—
walaupun kami punya pusat perawatan kanker terbaik di sini, kalau kau
ingin mencobanya. Adakah hal lain yang bisa kulakukan untuk membuat
tawaran pekerjaan ini lebih menarik?”
Aku teringat pada apa yang dikatakan Emma kepadaku. Aku telah
menjadi dokter bedah, sesuatu yang dahulu mustahil untuk kupercayai.
Itu perubahan yang mengandung kekuatan mahadahsyat. Emma selalu
mempertahankan bagian identitasku yang satu ini dalam pikirannya,
bahkan ketika aku tidak sanggup melakukannya. Dia telah melakukan apa
yang dahulu menjadi tantanganku sendiri sebagai dokter: menerima
tanggung jawab mortal terhadap jiwaku dan mengembalikanku ke titik
yang memungkinkanku untuk kembali menjadi diriku sendiri. Aku telah
mencapai tingkatan dokter magang bedah saraf, bertekad untuk tidak
hanya menjadi dokter bedah saraf, tetapi juga ilmuwan bedah saraf. Setiap
dokter magang ingin meraih tujuan ini; nyaris tak seorang pun berhasil.
Malam itu ketua jurusan mengantarku kembali ke hotel setelah makan
malam. Dia menepi, kemudian menghentikan mobil. “Akan kutunjukkan
sesuatu kepadamu,” katanya. Kami keluar dan berdiri di depan rumah
sakit, memandang danau beku yang ujung jauhnya berpendar oleh bintik-
bintik cahaya yang merembes keluar dari gedung-gedung fakultas. “Pada
musim panas kau bisa berenang atau berlayar ke tempat kerja. Pada
musim dingin kau bisa berski atau berseluncur di atasnya.”
Itu seperti khayalan. Dan, pada momen itu, terpikir olehku: itu memang
khayalan. Kami tak akan pernah bisa pindah ke Wisconsin. Bagaimana
kalau aku mengalami kekambuhan serius dalam waktu dua tahun? Lucy
akan terisolasi, jauh dari teman-teman dan keluarganya, sendirian,
merawat suaminya yang sekarat dan bayi yang baru lahir. Walaupun aku
berupaya mati-matian untuk menyangkalnya, kusadari bahwa kanker
telah mengubah perhitunganku.
Selama beberapa bulan terakhir, aku telah berjuang mati-matian untuk
mengembalikan hidupku ke lintasan yang kulalui sebelum didiagnosis
kanker, berupaya menyangkal kanker sebagai salah satu perolehan dalam
hidupku. Walaupun kini aku ingin sekali merasa menang, kurasakan
cakar-cakar kanker menahanku. Kutukan kanker menciptakan eksistensi
yang ganjil dan tegang, menantangku untuk tidak buta terhadap, atau
terikat oleh, kematian yang menjelang. Walaupun kankerku menunjukkan
tanda-tanda kemunduran, penyakit itu telah menciptakan bayang-bayang
panjang.
Ketika kali pertama kehilangan kesempatan menjadi dosen di Stanford,
aku menghibur diri dengan gagasan bahwa menjalankan lab hanya masuk
akal dilakukan dengan skala waktu dua puluh tahun. Kini kulihat bahwa
ini sesungguhnya benar. Freud memulai karier dengan menjadi ilmuwan
saraf yang sukses. Ketika menyadari bahwa ilmu pengetahuan saraf
memerlukan waktu setidaknya seabad untuk memenuhi ambisi sejatinya
memahami pikiran, dia menyingkirkan mikroskopnya. Kurasa aku
merasakan sesuatu yang serupa. Mengubah bedah saraf lewat riset adalah
pertaruhan yang peluang berhasilnya menjadi terlalu lama gara-gara
diagnosisku; lab bukanlah tempat aku ingin mencemplungkan sisa koinku.
Aku bisa mendengar suara Emma lagi: Kau harus mencari tahu apa yang
paling penting bagimu.
Kalau aku tak lagi ingin terbang di lintasan tertinggi sebagai dokter
bedah saraf dan ilmuwan saraf, apa yang kuinginkan?
Menjadi ayah?
Menjadi dokter bedah saraf?
Mengajar?
Aku tak tahu. Namun, walaupun tidak tahu apa yang kuinginkan, aku
telah mempelajari sesuatu, sesuatu yang tidak bisa ditemukan dalam
Hippocrates, Maimonides, atau Osler.
Tugas dokter bukanlah menghindarkan kematian
atau mengembalikan pasien pada kehidupan lama
mereka, melainkan merengkuh pasien dan
keluarganya yang mengalami kehancuran hidup,
kemudian berupaya hingga mereka bisa kembali
berdiri tegak dan menghadapi, serta memahami,
eksistensi mereka sendiri.
Kini keangkuhanku sendiri sebagai dokter bedah tampak begitu jelas di
hadapanku: walaupun aku ingin sekali berfokus pada tanggung jawab dan
kekuasaanku atas kehidupan pasien, itu hanya tanggung jawab sementara,
kekuasaan sesaat. Begitu krisis parah terselesaikan, pasien akan
terbangun, dilepaskan intubasinya, lalu diizinkan pulang. Pasien dan
keluarganya melanjutkan kehidupan—dan segalanya tak akan pernah
sama lagi. Kata-kata seorang dokter bisa meringankan pikiran mereka,
sama seperti pisau dokter bedah saraf bisa meringankan penyakit otak.
Namun, ketidakpastian dan morbiditas mereka, tak peduli dalam ranah
sik atau emosional, tetap harus digumuli.
Emma belum mengembalikan identitas lamaku. Dia melindungi
kemampuanku agar bisa menempa identitas baru. Akhirnya, aku tahu
bahwa itulah yang harus kulakukan.

P ada suatu pagi pada musim semi yang sejernih kristal, pada minggu
ketiga puasa pra-Paskah, aku dan Lucy pergi ke gereja bersama
orangtuaku yang terbang dari Arizona untuk kunjungan akhir pekan.
Kami duduk bersama-sama di bangku kayu panjang. Ibuku membuka
percakapan dengan keluarga yang duduk di samping kami, pertama-tama
memberikan pujian kepada si ibu atas mata bayi perempuannya, lalu
dengan cepat beralih ke masalah-masalah yang lebih penting. Keahlian
ibuku sebagai pendengar, orang yang bisa dipercaya, dan penghubung
tampak benar-benar nyata. Saat pembacaan Alkitab oleh pendeta,
mendadak aku mendapati diriku tergelak. Pembacaan itu menceritakan
Yesus yang frustrasi karena bahasa kiasannya ditafsirkan secara har ah
oleh para pengikut-Nya.
Jawab Yesus kepadanya, “Barang siapa minum air ini, ia akan haus lagi;
tetapi barang siapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak
akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya, air yang akan Kuberikan
kepadanya akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus
memancar sampai pada hidup yang kekal.” Kata perempuan itu kepada-
Nya, “Tuhan, berikanlah aku air itu supaya aku tidak haus dan tidak
usah datang lagi ke sini untuk menimba air.”
…. Sementara itu, murid-murid-Nya mengajak-Nya, “Rabi, makanlah.”
Namun, Ia berkata kepada mereka, “Pada-Ku ada makanan yang tidak
kamu kenal.” Maka, murid-murid itu berkata satu sama lain, “Adakah
yang bisa membawa sesuatu kepada-Nya untuk dimakan?”
Kutipan-kutipan seperti inilah—yang jelas mengejek pembacaan Alkitab
secara har ah—yang berhasil membawaku kembali pada Kekristenan
setelah waktu yang lama, sehabis lulus kuliah, ketika gagasanku mengenai
Tuhan dan Yesus telah menjadi—jika dikatakan secara halus—rapuh.
Selama persinggahanku di ateisme yang kaku, persenjataan utama dalam
menentang Kekristenan adalah kegagalannya dalam hal landasan empiris.
Penalaran tercerahkan jelas menawarkan alam semesta yang lebih
koheren. Pisau tajam Occam2 pasti membebaskan orang beriman dari
keimanan yang membabi buta. Tak ada bukti keberadaan Tuhan; oleh
karena itu, tidaklah beralasan untuk memercayai Tuhan.
Walaupun dibesarkan dalam keluarga Kristen taat, dengan doa dan
pembacaan Alkitab menjadi ritual setiap malam, aku, seperti tipikal orang
yang melandaskan segalanya pada hal ilmiah, akhirnya memercayai
kemungkinan konsepsi realitas secara material, pandangan yang sangat
ilmiah terhadap dunia yang akan memberikan meta sika lengkap, tanpa
konsep-konsep yang sudah ketinggalan zaman seperti jiwa, Tuhan, dan
kaum lelaki berjenggot putih dan berjubah. Aku menghabiskan banyak
waktu saat berusia 20-an tahun dengan berusaha membangun kerangka
bagi upaya semacam itu. Namun, pada akhirnya, masalahnya menjadi
nyata: menjadikan sains sebagai penentu meta sika bukan hanya berarti
mengusir Tuhan dari dunia, melainkan juga meniadakan cinta, kebencian,
dan—mempertimbangkan dunia yang jelas bukan dunia tempat tinggal
kita. Ini bukan berarti bahwa kalau kau memercayai makna, kau pasti
memercayai Tuhan. Namun, ini menyatakan bahwa kalau kau percaya
sains tidak memberikan dasar bagi Tuhan, kau nyaris diwajibkan untuk
menyimpulkan bahwa sains tidak memberikan dasar bagi makna. Oleh
karena itu, kehidupan itu sendiri tidak bermakna. Dengan kata lain,
pernyataan-pernyataan eksistensial tidak punya bobot; semua
pengetahuan yang ada adalah pengetahuan ilmiah.
Akan tetapi, yang menjadi paradoks adalah karena metodologi ilmiah
merupakan produk buatan manusia, hal itu tidak bisa digunakan untuk
mencapai semacam kebenaran permanen. Kita membangun teori-teori
ilmiah untuk mengatur dan memanipulasi dunia, untuk memecah
fenomena menjadi unit-unit yang bisa dikelola. Sains didasarkan
kemampuan mereproduksi dan objektivitas buatan. Walaupun bisa
dengan kuatnya menciptakan kemampuan untuk menghasilkan
pernyataan-pernyataan mengenai materi dan energi, itu juga membuat
pengetahuan ilmiah tidak bisa diterapkan pada hakikat viseral dan
eksistensial kehidupan manusia, yang bersifat unik, subjektif, dan tidak
bisa diprediksi. Sains mungkin menyediakan cara paling berguna untuk
menyusun data empiris yang bisa direproduksi, tetapi kekuatannya untuk
melakukan hal itu didasarkan ketidakmampuannya memahami aspek-
aspek terpenting kehidupan manusia: harapan, ketakutan, cinta,
kebencian, keindahan, kecemburuan, kehormatan, kelemahan,
perjuangan, penderitaan, dan kebajikan.
Di antara gairah-gairah inti dan teori ilmiah ini, akan selalu ada celah.
Tidak ada sistem pikiran yang bisa menampung keutuhan pengalaman
manusia. Ranah meta sika tetap menjadi area yang berkaitan dengan
wahyu (bagaimanapun, inilah yang dibantah Occam, alih-alih ateisme).
Dan, ateisme hanya bisa dibenarkan dengan dasar-dasar ini. Maka, ateis
prototipikal adalah jenis yang dianut tokoh komandan dalam novel e
Power and the Glory karya Graham Greene, yang ateismenya berasal dari
wahyu ketidakhadiran Tuhan. Satu-satunya ateisme sejati pasti didasarkan
visi penciptaan dunia. Kutipan favorit banyak orang ateis yang berasal dari
Jacques Monod, ahli biologi Prancis pemenang Hadiah Nobel,
mengingkari aspek pewahyuan ini: “Perjanjian kuno hancur berkeping-
keping; pada akhirnya manusia tahu bahwa dia sendirian dalam keluasan
jagat raya yang tak berperasaan, dan dia hanya muncul dari sana karena
kebetulan.”
Akan tetapi, aku kembali pada nilai-nilai utama Kekristenan—
pengorbanan, penebusan, pengampunan—karena aku menganggap semua
itu sangat memikat. Ada ketegangan dalam Kitab Suci antara keadilan dan
belas kasih, antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dan, Perjanjian
Baru mengatakan bahwa kau tidak bisa menjadi cukup baik: kebaikanlah
yang utama, tetapi kau tak akan pernah bisa mewujudkannya. Pesan
utama Yesus, menurutku, adalah belas kasih yang selalu mengungguli
keadilan.
Tidak hanya itu, tetapi mungkin pesan dasar dari dosa-asal bukanlah
“Harap merasa bersalah sepanjang waktu.” Mungkin pesan dasar itu lebih
seperti ini: “Kita semua punya gagasan mengenai apa artinya menjadi
orang baik, tetapi kita tidak bisa mewujudkannya sepanjang waktu.”
Bagaimanapun, mungkin itulah pesan yang ada dalam Perjanjian Baru.
Seandainyapun kau punya gagasan yang terde nisi dengan baik seperti
Kitab Imamat, kau tidak bisa hidup dengan cara seperti itu. Itu tidak
hanya mustahil, tetapi juga gila.
Tentu saja tak ada sesuatu pun yang bisa kukatakan secara pasti
mengenai Tuhan, tetapi realitas dasar kehidupan manusia sangat
menentang determinisme yang membabi buta. Selain itu, tak seorang pun,
termasuk diriku sendiri, meyakini kewenangan dengan wahyu epistemik
apa pun. Kita semua adalah orang-orang yang bisa berpikir—wahyu
tidaklah cukup. Seandainyapun Tuhan berbicara kepada kita, kita akan
mengabaikannya dan menganggapnya sebagai khayalan.
Jadi, aku bertanya-tanya, apa yang harus dilakukan oleh calon ahli
meta sika?
Menyerah?
Nyaris.
Berjuang menuju Kebenaran dengan huruf K besar, tetapi sekaligus
memahami kemustahilan tugas itu—atau memahami bahwa, jika jawaban
benarnya dimungkinkan, veri kasinya jelas mustahil.
Pada akhirnya, tak bisa disangsikan bahwa masing-masing dari kita
hanya bisa melihat sebagian dari gambarannya. Dokter melihat sebagian,
pasien melihat sebagian yang lain, insinyur melihat bagian ketiga, ahli
ekonomi melihat yang keempat, penyelam pencari mutiara melihat yang
kelima, pecandu alkohol melihat yang keenam, tukang televisi kabel
melihat yang ketujuh, penggembala domba melihat yang kedelapan,
pengemis India melihat yang kesembilan, pendeta melihat yang
kesepuluh.
Pengetahuan manusia tak pernah terkandung dalam diri satu orang.
Pengetahuan itu berkembang dari hubungan-hubungan yang kita ciptakan
satu sama lain dan dengan dunia, tetapi tetap saja pengetahuan itu tak
pernah lengkap. Dan, Kebenaran berada di suatu tempat di atas
kesemuanya itu, tempat yang, pada akhir pembacaan Minggu, penabur
dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab, dalam hal ini benarlah
peribahasa “Seseorang menabur dan yang lain menuai.” Aku mengutusmu
untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha
dan kamu datang memetik hasil usaha mereka.

A ku melompat turun dari alat pemindai CT, tujuh bulan semenjak aku
kembali melakukan pembedahan. Ini akan menjadi pemindaian
terakhirku sebelum menyelesaikan pelatihan sebagai dokter residen,
sebelum menjadi seorang ayah, sebelum masa depanku menjadi nyata.
“Mau lihat gambarnya, Dok?” tanya teknisinya.
“Tidak sekarang,” kataku. “Aku punya banyak pekerjaan hari ini.”
Saat itu sudah pukul 6.00 sore. Aku harus pergi menemui pasien-pasien,
mengatur jadwal RO besok, mengulas gambar-gambar negatif,
mendiktekan catatan-catatan klinikku, memeriksa pasien-pasien pasca-
operasiku, dan masih banyak lagi. Sekitar pukul 8.00 malam, aku duduk di
kantor bedah saraf, di sebelah ruang untuk melihat hasil radiologi. Aku
menyalakan lampu, melihat hasil pemindaian pasien-pasien yang akan
kutemui besok—dua kasus tulang punggung sederhana—dan, akhirnya,
aku mengetikkan namaku sendiri. Aku melihat gambar-gambar itu sekilas,
seakan-akan itu buku bergambar untuk anak-anak, lalu membandingkan
hasil pemindaian baru itu dengan hasil pemindaian terakhir. Segalanya
tampak sama, tumor-tumor lama itu tetap sama persis … kecuali, tunggu.
Kuputar kembali gambar-gambarnya. Kulihat kembali.
Itu dia. Sebuah tumor baru, besar, memenuhi lobus tengah bagian
kanan. Anehnya, tumor itu tampak seperti bulan purnama yang nyaris
menutupi cakrawala. Kulihat kembali gambar-gambar lama, dan aku bisa
melihat jejak paling tersamar dari tumor itu, pertanda mengerikan yang
kini muncul sepenuhnya.
Aku tidak marah atau takut. Memang begitulah adanya. Itu fakta
mengenai dunia, sama seperti jarak antara matahari dan Bumi. Aku
menyetir pulang, kemudian memberi tahu Lucy. Saat itu Kamis malam
dan kami tidak akan menemui Emma lagi hingga Senin, tetapi aku dan
Lucy duduk di ruang keluarga menghadap laptop dan memetakan langkah-
langkah kami berikutnya: biopsi, tes, kemoterapi. Kali ini pengobatannya
akan lebih berat untuk ditanggungkan, kemungkinan umur panjang
menjadi lebih jauh. Mengutip Eliot sekali lagi: “Tapi, kudengar di
punggungku dalam embusan angin dingin / derak tulang-tulang dan gelak
tawa yang melebar dari telinga ke telinga.” Bedah saraf akan mustahil
kulakukan untuk beberapa minggu, mungkin beberapa bulan, mungkin
selamanya. Namun, kami memutuskan bahwa semuanya itu bisa
menunggu untuk menjadi nyata hingga Senin. Hari itu Kamis, dan aku
sudah menyusun tugas-tugas RO besok; aku berencana menjalani satu
hari terakhir sebagai dokter residen.
Ketika melangkah keluar dari mobilku setibanya di rumah sakit pada
pukul 5.20 keesokan paginya, aku menghela napas panjang, mencium bau
eukaliptus dan … apakah itu bau pinus? Aku tak pernah memperhatikan
sebelumnya. Aku menemui tim dokter residen yang sedang berkumpul
untuk tugas keliling pagi. Kami mengulas kejadian-kejadian semalam,
pasien-pasien baru, pemindaian-pemindaian baru, lalu pergi menemui
pasien-pasien kami sebelum M&M atau konferensi morbiditas dan
mortalitas, pertemuan rutin para dokter bedah saraf untuk mengulas
kesalahan-kesalahan yang terjadi dan kasus-kasus yang berakhir buruk.
Setelah itu, aku menghabiskan waktu beberapa menit lagi bersama
seorang pasien, Mr. H. Dia terserang sindrom langka, yaitu sindrom
Gerstmann. Setelah aku mengangkat tumor otaknya, dia mulai
menunjukkan beberapa kemunduran yang spesi k: ketidakmampuan
untuk menulis, menyebut nama jemari tangan, melakukan aritmetika,
membedakan kiri dan kanan. Sebelumnya aku hanya pernah melihat
sindrom ini sekali saat masih menjadi mahasiswa kedokteran delapan
tahun yang lalu pada salah seorang pasien pertama yang kuikuti
perkembangannya di layanan bedah saraf. Sama seperti pasien itu, Mr. R
merasa gembira—aku bertanya-tanya apakah itu bagian dari sindrom yang
belum pernah dijelaskan siapa pun sebelumnya. Namun, Mr. R semakin
membaik: kemampuan bicaranya sudah hampir kembali normal dan
aritmetikanya hanya sedikit melenceng. Kemungkinan besar dia akan
pulih sepenuhnya.
Pagi berlalu, dan aku mencuci tangan untuk menangani kasus
terakhirku. Mendadak momen itu terasa luar biasa. Kali terakhir aku
mencuci tangan dan lengan? Mungkin begitu. Aku mengamati buih
menetes dari lenganku, lalu masuk ke saluran pembuangan. Aku
memasuki RO dengan berseragam operasi, lalu menutupi pasien,
memastikan ujung-ujung penutupnya runcing dan rapi. Aku ingin kasus
ini berjalan sempurna. Aku membuka kulit punggung bawahnya. Dia
adalah lelaki tua yang tulang punggungnya mengalami degenerasi,
menjepit akar-akar sarafnya dan menimbulkan rasa nyeri parah. Aku
menyingkirkan lemak hingga fasianya terlihat dan aku bisa merasakan
ujung-ujung tulang punggungnya. Aku membuka fasia dan mengiris otot
dengan lancarnya hingga hanya tulang punggung lebar berkilau yang
terlihat lewat luka itu, bersih dan tanpa darah. Dokter penanggung jawab
pasien berjalan masuk ketika aku mulai mengeluarkan lamina, dinding
belakang tulang punggung yang pertumbuhannya berlebih, bersama-sama
dengan ligamen-ligamen di bawahnya, menjepit saraf.
“Kelihatannya bagus,” kata dokter itu. “Kalau kau mau menghadiri
konferensi hari ini, aku bisa meminta sesama dokter residen untuk
menggantikanmu dan menyelesaikannya.”
Punggungku mulai terasa nyeri. Mengapa aku tidak menelan dosis
ekstra NSAID sebelumnya? Namun, kasus ini seharusnya bisa diselesaikan
dengan cepat. Aku sudah hampir selesai.
“Tidak,” kataku. “Aku ingin menyelesaikan kasus ini.”
Dokter itu mencuci tangan dan lengan, dan bersama-sama kami
menyelesaikan pengangkatan tulang itu. Dia mulai memunguti ligamen.
Di bawah ligamen-ligamen itu terdapat dura yang berisi cairan tulang
punggung dan akar-akar saraf. Kesalahan paling umum pada tahap ini
adalah merobek dura. Aku bekerja di sisi seberang. Dari sudut mata,
kulihat kilau biru di dekat instrumen dokter itu—duranya mulai terlihat.
“Awas!” kataku, persis ketika ujung instrumen dokter itu menusuk dura.
Cairan tulang punggung jernih mulai memenuhi luka itu. Sudah lebih dari
satu tahun aku tidak pernah mengalami kebocoran dalam salah satu
kasusku. Memperbaikinya akan memerlukan waktu satu jam lagi.
“Siapkan mikro,” kataku. “Terjadi kebocoran.”
Ketika kami selesai memperbaiki dan mengangkat jaringan lunak yang
menjepit itu, bahuku serasa terbakar. Dokter itu melepas seragam operasi,
meminta maaf, mengucapkan terima kasih, dan meninggalkanku untuk
menutup luka. Lapisan-lapisan menyatu dengan baik. Aku mulai menjahit
kulit menggunakan jahitan benang nilon. Kebanyakan dokter bedah
menggunakan staples, tetapi aku yakin tingkat infeksi nilon lebih rendah
dan kami akan menyelesaikan kasus ini, kasus penghabisan ini, dengan
caraku. Kulit itu tersambung dengan sempurna, tanpa ketegangan,
seakan-akan tak pernah ada pembedahan sama sekali.
Bagus. Satu hal yang bagus.
Ketika kami membuka penutup pasien, perawat ruang operasi, yang
belum pernah bekerja bersamaku, berkata, “Anda bertugas akhir pekan
ini, Dok?”
“Tidak.” Dan, mungkin tak pernah lagi.
“Ada kasus lagi hari ini?”
“Tidak.” Dan, mungkin tak pernah lagi.
“Sialan, well, kurasa ini berarti akhir yang bahagia! Pekerjaan selesai.
Aku suka akhir yang bahagia, Anda juga, kan, Dok?”
“Ya. Ya, aku suka akhir yang bahagia.”
Aku duduk di samping komputer untuk memasukkan perintah-perintah,
sedangkan para perawat melakukan pembersihan dan dokter-dokter
anestesi mulai membangunkan pasien. Aku selalu mengancam dengan
setengah bergurau bahwa, ketika aku yang memimpin operasi, kami hanya
akan mendengarkan bossa nova untuk diputar di RO, alih-alih musik pop
berenergi tinggi yang disukai semua orang. Aku memasang Getz/Gilberto
di radio dan suara lembut saksofon yang nyaring memenuhi ruangan.
Tak lama kemudian, aku meninggalkan RO, lalu mengemasi barang-
barangku yang telah berakumulasi selama tujuh tahun aku bekerja—
beberapa set pakaian ekstra untuk menginap ketika aku tidak pulang,
sikat gigi, sabun, pengisi baterai ponsel, makanan ringan, alat peraga
tengkorak, koleksi buku bedah saraf, dan lain-lain. Setelah berpikir ulang,
kutinggalkan buku-bukuku. Mereka akan lebih berguna di sini.
Dalam perjalanan menuju lapangan parkir, sesama dokter residen
menghampiriku untuk menanyakan sesuatu kepadaku, tetapi
penyerantanya berbunyi. Dia memandang penyeranta itu, melambaikan
tangan, berbalik, lalu berlari kembali ke rumah sakit—“Sampai jumpa!”
teriaknya sambil menoleh ke belakang. Air mata menggenang ketika aku
duduk di mobil, menyalakan mesin, dan perlahan-lahan menjalankan
mobil menuju jalanan. Aku menyetir pulang, berjalan masuk lewat pintu
depan, menggantungkan jubah putihku, dan melepas tanda pengenalku.
Kukeluarkan baterai dari penyerantaku. Kulepas seragam operasiku, lalu
aku mandi untuk waktu yang lama.
Larut malam itu aku menelepon Victoria dan memberitahunya bahwa
aku tak akan masuk Senin depan, mungkin tak akan pernah masuk lagi,
dan tidak akan menetapkan jadwal RO.
“Kau tahu, berkali-kali aku mendapat mimpi buruk bahwa hari ini akan
tiba,” katanya. “Aku tak tahu bagaimana kau bisa bertahan sebegitu
lamanya.”

A ku dan Lucy menemui Emma pada Senin. Dia menegaskan rencana


yang kami bayangkan: biopsi bronkoskopis, mencari mutasi-mutasi
yang bisa dijadikan sasaran, dan kalau tak ada mutasi baru yang
ditemukan, pilihannya adalah kemoterapi. Namun, alasan sesungguhnya
aku berada di sana adalah untuk mendapatkan bimbingannya. Kukatakan
aku cuti dari bedah saraf.
“Oke,” kata Emma. “Tidak apa-apa. Kau bisa berhenti dari bedah saraf
kalau, katakanlah, kau ingin berfokus pada sesuatu yang lebih penting
bagimu. Namun, bukan karena kau sakit. Kau tidak lebih parah daripada
seminggu yang lalu. Ini hanyalah lubang di jalanan, tetapi kau bisa tetap
mempertahankan lintasanmu saat ini. Bedah saraf penting bagimu.”
Sekali lagi aku telah melintasi garis dari dokter menjadi pasien, dari
pelaku menjadi penerima perlakuan, dari subjek menjadi objek langsung.
Kehidupanku sebelum sakit bisa dipahami sebagai jumlah linier pilihanku.
Seperti sebagian besar narasi modern, takdir seorang tokoh bergantung
pada tindakan manusia, yaitu tindakannya dan tindakan orang-orang lain.
Gloucester dalam King Lear mungkin mengeluhkan takdir manusia yang
seperti “lalat bagi anak-anak nakal”, tetapi kepongahan Lear-lah yang
menggerakkan lengkungan dramatis pertunjukan itu. Sejak Abad
Pencerahan dan seterusnya, individu menempati panggung utama.
Namun, kini aku hidup di dunia berbeda, dunia yang lebih kuno, tempat
tindakan manusia tidak berarti jika dibandingkan kekuatan manusia
super, dunia yang lebih mirip tragedi Yunani daripada drama Shakespeare.
Upaya sebanyak apa pun tidak bisa membantu Oedipus dan orangtuanya
untuk lolos dari takdir mereka; satu-satunya akses terhadap kekuatan-
kekuatan yang mengendalikan hidup mereka adalah lewat peramal dan
ahli nujum, yaitu orang-orang yang diberkahi penglihatan ilahiah. Aku
tidak datang untuk mendapatkan rencana pengobatan—aku sudah
membaca cukup banyak materi sehingga mengetahui prosedur-prosedur
medis selanjutnya—tetapi untuk memperoleh penghiburan berupa
kebijakan peramal.
“Ini bukan akhirnya,” kata Emma, kalimat yang pasti telah diucapkannya
ribuan kali—lagi pula, bukankah aku menggunakan kata-kata serupa
terhadap pasien-pasienku sendiri?—kepada pasien-pasien yang mencari
jawaban mustahil. “Atau, bahkan permulaan dari akhir. Ini hanya akhir
dari permulaan.”
Dan, aku merasa lebih baik.
Seminggu setelah biopsi, Alexis, praktisi perawat, menelepon. Tidak ada
mutasi-mutasi baru yang bisa dijadikan sasaran, jadi kemoterapi adalah
satu-satunya pilihan. Sesi pertamanya akan dijadwalkan untuk Senin
depan. Aku menanyakan zat-zat kimia spesi knya dan diminta untuk
bicara dengan Emma. Dia sedang dalam perjalanan ke Danau Tahoe
bersama anak-anaknya, tetapi akan meneleponku pada akhir pekan.
Keesokan harinya, Sabtu, Emma menelepon. Aku menanyakan
pendapatnya mengenai zat-zat kimia untuk kemoterapi.
“Well,” jawabnya. “Kau memikirkan sesuatu yang spesi k?”
“Kurasa pertanyaan utamanya adalah apakah Avastin disertakan,”
jawabku. “Aku tahu studi terbaru menyatakan bahwa Avastin tidak ada
manfaatnya dan efek sampingnya parah, dan beberapa pusat kanker mulai
meninggalkannya. Dalam benakku, itu hanya satu studi di antara banyak
data sebelumnya yang mendukung penggunaan Avastin, jadi aku
cenderung menyertakannya. Kita bisa menghentikannya kalau aku
bereaksi buruk terhadapnya. Jika itu tampak masuk akal bagimu.”
“Ya, kedengarannya itu langkah yang masuk akal. Perusahaan asuransi
juga membuat Avastin sulit untuk ditambahkan belakangan, jadi itu
alasan lain untuk menggunakannya sejak awal.”
“Terima kasih telah menelepon. Silakan menikmati danaunya lagi.”
“Oke. Namun, ada satu hal.” Emma terdiam. “Aku senang sekali kita
membuat rencana medismu bersama-sama; jelas kau dokter, kau tahu apa
yang kau bicarakan, dan ini hidupmu. Namun, kalau kau ingin agar aku
saja yang menjadi dokternya, dengan senang hati itu akan kulakukan juga.”
Aku belum pernah berpikir bahwa aku bisa melepaskan diri dari
tanggung jawab terhadap pengobatan medisku sendiri. Aku hanya
berasumsi bahwa semua pasien menjadi ahli dalam penyakit mereka
sendiri. Aku ingat betapa, semasa menjadi mahasiswa kedokteran yang
masih hijau dan belum tahu apa-apa, akhirnya aku sering meminta pasien
menjelaskan penyakit dan pengobatan mereka kepadaku, menjelaskan
jemari kaki biru dan pil merah jambu mereka. Namun, sebagai dokter, aku
tak pernah mengharapkan pasien membuat putusan sendiri; aku
bertanggung jawab atas pasien. Dan, kusadari bahwa kini aku berupaya
melakukan hal yang sama, diriku sebagai dokter tetap bertanggung jawab
atas diriku sebagai pasien. Mungkin aku telah dikutuk oleh dewa Yunani,
tetapi bagiku melepaskan kendali seakan-akan tidak bertanggung jawab,
dan justru tampak mustahil.

K emoterapi dimulai Senin. Aku, Lucy, dan ibuku pergi ke pusat infus
bersama-sama. Aku mendapat infus, duduk di kursi nyaman, dan
menunggu. Campuran obat itu perlu waktu empat setengah jam untuk
menyebar di dalam tubuh. Aku melewatkan waktu dengan tidur,
membaca, dan terkadang menatap kosong, ditemani Lucy dan ibuku di
sampingku, sesekali mengusik keheningan dengan obrolan ringan. Para
penghuni ruangan lainnya berada dalam berbagai tahap kesehatan—
beberapa botak, beberapa dengan rambut tertata apik, beberapa lisut,
beberapa lincah, beberapa acak-acakan, beberapa tampak rapi. Semuanya
berbaring diam, dengan selang infus meneteskan racun ke dalam lengan-
lengan yang terentang. Aku harus kembali untuk mendapat perawatan tiga
minggu sekali.
Aku mulai merasakan efek-efek kemoterapi keesokan harinya, yaitu
kepenatan dan kelelahan yang luar biasa. Kegiatan makan, yang
normalnya adalah sumber kenikmatan luar biasa, menjadi bagaikan
meminum air laut. Semua kenikmatanku mendadak terasa asin. Untuk
sarapan, Lucy membuatkanku roti bagel dengan keju krim; rasanya seperti
menjilat garam. Aku menyingkirkannya. Membaca menjadi melelahkan.
Aku telah setuju untuk menulis beberapa bab mengenai potensi terapeutik
risetku bersama V untuk dua buku teks bedah saraf penting. Itu juga
kusingkirkan. Hari-hari berlalu, televisi dan pemaksaan makan menjadi
penanda waktu. Sebuah pola berkembang setelah berminggu-minggu:
kelesuan itu perlahan-lahan mereda, kenormalan datang kembali tepat
pada waktunya untuk pengobatan berikutnya.
Siklus itu berlanjut; aku beringsut masuk dan keluar dari rumah sakit
dengan komplikasi minor, tetapi cukup besar untuk menghalangiku
kembali bekerja. Jurusan bedah saraf memutuskan bahwa aku telah
memenuhi semua kriteria lokal dan nasional untuk lulus; upacara wisuda
akan diadakan Sabtu depan, sekitar dua minggu sebelum Lucy dijadwalkan
melahirkan.
Hari itu tiba. Ketika aku berdiri di kamar kami, berpakaian untuk
upacara wisuda—puncak dari pelatihan sebagai dokter residen selama
tujuh tahun—rasa mual hebat menyerangku. Ini tidak seperti rasa mual
kemoterapi biasa yang melanda seperti gelombang dan, sama seperti
gelombang, bisa ditunggangi. Aku mulai memuntahkan cairan empedu
hijau secara tak terkendali, rasanya yang seperti kapur membedakannya
dari asam lambung. Cairan ini berasal jauh dari dalam ususku.
Bagaimanapun, aku tidak akan menghadiri upacara wisuda.
Aku perlu cairan infus untuk menghindari dehidrasi, jadi Lucy
mengantarkanku dengan mobil ke UGD, dan rehidrasi dimulai. Muntah
berganti dengan diare. Aku dan dokter residen, Brad, mengobrol akrab,
kemudian aku menyampaikan sejarah medisku, menjelaskan semua
pengobatanku, dan akhirnya kami membahas kemajuan dalam terapi
molekuler, terutama obat yang kukonsumsi, Tarceva. Rencana medisnya
sederhana: terus menghidrasiku dengan cairan infus hingga aku bisa
minum cukup banyak lewat mulut. Malam itu aku didaftarkan untuk
menjalani rawat inap di rumah sakit. Namun, ketika perawat meninjau
daftar obatku, aku menyadari bahwa Tarceva tidak termasuk di dalamnya.
Aku memintanya untuk menelepon dokter residen untuk membetulkan
kesilapan itu. Hal-hal seperti ini kadang terjadi. Bagaimanapun, aku
mengonsumsi selusin obat. Memantaunya tidaklah mudah.
Sudah jauh lewat tengah malam ketika Brad muncul.
“Kudengar kau punya pertanyaan mengenai obat-obatmu?” tanyanya.
“Ya,” jawabku. “Tarceva tidak dipesan. Bisa tolong dipesankan?”
“Aku memutuskan untuk menghentikan obat itu.”
“Mengapa?”
“Kadar enzim hatimu terlalu tinggi untuk menerima obat itu.”
Aku kebingungan. Kadar enzim hatiku memang sudah tinggi selama
berbulan-bulan; kalau ini dianggap masalah, mengapa tidak kami bahas
sebelumnya? Bagaimanapun, ini jelas keliru. “Emma—dokter onkologiku,
bosmu—sudah melihat angka-angka ini dan dia ingin aku tetap
mengonsumsi obat itu.”
Secara rutin dokter residen harus membuat putusan medis tanpa
masukan dari dokter penanggung jawab pasien. Namun, kini setelah
mengetahui pendapat Emma, jelas dia akan menyerah.
“Namun, itu bisa menimbulkan masalah pencernaan.”
Kebingunganku semakin mendalam. Menyebutkan perintah dokter
penanggung jawab pasien biasanya akan mengakhiri diskusi. “Aku sudah
mengonsumsinya selama setahun tanpa ada masalah apa pun,” kataku.
“Menurutmu, Tarceva yang tiba-tiba mengakibatkan semua ini, alih-alih
kemoterapinya?”
“Mungkin, ya.”
Kebingungan berubah menjadi kemarahan. Seorang anak yang baru dua
tahun lulus dari sekolah kedokteran, yang tidak lebih tua daripada dokter-
dokter residen juniorku, benar-benar berbantahan denganku? Lain
persoalan jika pendapatnya benar, tetapi dia mengatakan hal yang tidak
masuk akal. “Ehm, bukankah tadi siang kukatakan bahwa, tanpa pil itu,
metastasis tulangku akan menjadi aktif dan menimbulkan rasa nyeri yang
luar biasa? Aku tidak bermaksud kedengaran dramatis. Aku pernah
mengalami patah tulang gara-gara bertinju, tetapi ini jauh lebih
menyakitkan. Seperti rasa nyeri yang nilainya sepuluh dari sepuluh. Nyeri
yang seperti Sebentar-Lagi-Aku-Akan-Benar-Benar-Berteriak-Kesakitan.”
“Well, mengingat waktu-paruh obatnya, itu mungkin tidak akan terjadi
dalam satu atau beberapa hari lagi.”
Bisa kulihat bahwa aku bukanlah pasien, melainkan masalah di mata
Brad: kotak yang harus dicentang.
“Dengar,” lanjutnya, “kalau kau bukan dirimu, kita bahkan tidak akan
bercakap-cakap seperti ini. Akan kuhentikan saja Tarceva-nya untuk
membuktikan bahwa obat itu mengakibatkan semua rasa nyeri ini.”
Apa yang terjadi pada obrolan akrab kami siang tadi? Kuingat kembali
masa-masa sekolah kedokteran ketika seorang pasien mengatakan dia
selalu pergi ke dokter dengan mengenakan kaus kaki termahalnya
sehingga ketika dia mengenakan jubah pasien dan tak bersepatu, dokter
akan melihat kaus kaki itu dan tahu bahwa dia orang penting yang harus
diperlakukan dengan hormat. (Ah, itulah masalahnya—aku mengenakan
kaus kaki keluaran rumah sakit yang telah bertahun-tahun kucuri!)
“Bagaimanapun, Tarceva adalah obat khusus sehingga perlu tanda
tangan sesama dokter residen atau dokter penanggung jawab pasien untuk
meresepkannya. Kau benar-benar ingin aku membangunkan seseorang
untuk menandatanganinya? Tidak bisakah ini menunggu hingga besok
pagi?”
Dan, begitulah.
Memenuhi kewajibannya terhadapku berarti mengimbuhkan satu hal
lagi pada daftar pekerjaannya: menelepon bosnya dengan rasa malu untuk
mengungkapkan kesalahannya. Dia mendapat giliran kerja malam.
Peraturan pendidikan pelatihan dokter residen telah memaksa sebagian
besar program untuk menerapkan giliran kerja. Dan, bersama-sama
dengan giliran kerja, muncullah semacam kelicikan, pemangkasan
tanggung jawab secara halus. Jika dia bisa menangguhkannya saja selama
beberapa jam lagi, aku akan menjadi masalah orang lain.
“Biasanya aku mengonsumsinya pukul 5.00 pagi,” kataku. “Dan, kita
sama-sama tahu bahwa ‘menunggu hingga pagi’ berarti membiarkan
seseorang menanganinya setelah tugas keliling pagi, jadi lebih cenderung
siang hari, bukan?”
“Oke, baiklah,” katanya, lalu dia meninggalkan ruangan.
Ketika pagi tiba, aku tahu bahwa dia belum memesan obat itu.
Emma mampir untuk menyapa dan mengatakan akan membereskan
pemesanan Tarceva. Dia mendoakan kesembuhan kilatku dan meminta
maaf karena akan ke luar kota selama seminggu. Sepanjang hari kondisiku
semakin menurun, diareku memburuk dengan cepat. Aku dehidrasi, tetapi
tidak cukup cepat. Ginjalku mulai mengalami kegagalan. Mulutku menjadi
begitu kering sehingga aku tidak bisa bicara atau menelan. Saat
pengecekan lab berikutnya, kadar sodium serumku telah mencapai tingkat
yang nyaris fatal. Aku dipindahkan ke ICU. Sebagian langit-langit lunak
dan tekakku mati akibat dehidrasi dan terkelupas dari mulut. Aku
kesakitan, melayang melewati berbagai tingkat kesadaran, sementara
sekumpulan dokter spesialis didatangkan serentak untuk menolong:
dokter ICU, dokter ginjal, dokter saluran pencernaan, dokter endokrin,
dokter spesialis penyakit menular, dokter bedah saraf, dokter onkologi
umum, dokter onkologi toraks, dokter THT. Lucy, yang sedang hamil 38
minggu, menemaniku pada siang hari dan diam-diam pindah ke ruang
panggil lamaku, yang berjarak beberapa langkah dari ICU sehingga bisa
mengecekku pada malam hari. Dia dan ayahku juga ikut menyuarakan
pendapat mereka.
Ketika pikiranku sedang jernih, aku sangat menyadari bahwa, dengan
suara sebanyak ini, akan terjadi keriuhan. Dalam dunia kedokteran, situasi
ini dikenal sebagai masalah WICOS: Who is the Captain of the Ship (Siapa
Kapten Kapalnya)? Dokter ginjal tidak setuju dengan dokter ICU, yang
tidak setuju dengan dokter endokrin, yang tidak setuju dengan dokter
onkologi, yang tidak setuju dengan dokter saluran pencernaan. Aku
merasakan beban tanggung jawab perawatanku: selama periode-periode
kesadaran singkat, aku mengetikkan detail-detail penyakitku saat ini
secara berurutan dan, dengan bantuan Lucy, berupaya menyatukan semua
dokter agar meluruskan seluruh fakta dan interpretasi mereka.
Belakangan, dalam keadaan setengah tertidur, samar-samar aku bisa
mendengar Lucy dan ayahku mendiskusikan kondisiku dengan setiap tim
dokter. Kami curiga bahwa rencana utama mereka hanyalah merawatku
dengan berbagai cairan hingga semua efek kemoterapinya hilang. Namun,
setiap kelompok dokter spesialis harus terbuka terhadap kemungkinan
yang lebih esoteris dan merekomendasikan semua tes dan perawatannya
walaupun beberapa di antaranya tampak tidak perlu dan keliru. Sampel-
sampel diambil, pemindaian-pemindaian diperintahkan, obat-obat
diresepkan; aku mulai kehilangan jejak waktu dan peristiwa. Aku meminta
agar semua rencana ini dijelaskan kepadaku, tetapi kalimat-kalimat
meluncur cepat, suara-suara menjadi teredam dan tak terdengar, dan
kegelapan turun di tengah kata-kata dokter selagi keadaanku berganti-
ganti antara tersadar dan tidak. Aku ingin sekali Emma berada di sana,
memimpin perawatanku.
Mendadak dia muncul.
“Kau sudah kembali?” tanyaku.
“Sudah lebih dari seminggu kau dirawat di ICU,” katanya. “Namun,
jangan khawatir. Kau semakin membaik. Sebagian besar hasil labmu sudah
normal. Kau akan segera keluar dari sini.” Ternyata dia telah berhubungan
dengan dokter-dokterku lewat surel.
“Kau ingat ketika kau menawarkan diri untuk menjadi dokterku dan aku
bisa menjadi pasien saja?” tanyaku. “Kurasa itu mungkin ide yang baik.
Aku sudah membaca sains dan literatur dalam upaya mencari perspektif
yang tepat, tetapi belum menemukannya.”
“Aku tidak yakin itu sesuatu yang bisa ditemukan dengan membaca,”
jawabnya.
Kini Emma-lah yang menjadi kapten kapalnya, yang memberikan
perasaan tenang dalam kekacauan perawatan rumah sakit ini. T.S. Eliot
muncul dalam benakku:
Damyata: Kapal menyambut
Riang, tangan yang mengakrabi layar dan dayung
Lautan tenang, hatimu pasti menyambut
Riang, ketika diundang, berdegup-degup patuh
Terhadap tangan-tangan pengendali
Aku bersandar ke ranjang rumah sakit dan memejamkan mata. Ketika
kegelapan yang menyertai ketidaksadaran kembali turun, akhirnya aku
tenang.

J adwal melahirkan Lucy datang dan pergi tanpa persalinan, dan


akhirnya aku dijadwalkan keluar dari rumah sakit. Aku telah
kehilangan bobot lebih dari 18 kilogram semenjak didiagnosis dan
kehilangan 7 kilogram selama seminggu terakhir. Aku berbobot sama
seperti ketika aku masih kelas delapan walaupun rambutku telah jauh
menipis semenjak itu, terutama dalam sebulan terakhir. Aku terbangun
kembali, menyadari dunia, tetapi dalam keadaan lisut. Aku bisa melihat
tulang-tulangku di balik kulit, seperti gambar röntgen yang hidup. Di
rumah menegakkan kepala saja melelahkan. Mengangkat segelas air
memerlukan dua tangan. Membaca tak perlu dipertanyakan lagi.
Kedua pasang orangtua kami berdua datang untuk membantu. Dua hari
setelah aku keluar dari rumah sakit, Lucy mengalami kontraksi
pertamanya. Dia tetap di rumah, sementara ibuku mengantarkanku
dengan mobil untuk janji temu lanjutan dengan Emma.
“Frustrasi?” tanya Emma.
“Tidak.”
“Seharusnya kau frustrasi. Ini akan menjadi pemulihan yang panjang.”
“Well, ya, oke. Aku frustrasi melihat gambaran besarnya. Namun, dalam
menjalani hari demi hari, aku siap untuk kembali mengikuti terapi sik
dan memulai pemulihan. Aku pernah melakukannya, jadi seharusnya ini
tidak asing lagi, bukan?”
“Kau sudah melihat hasil pemindaian terakhirmu?” tanya Emma.
“Tidak, aku bisa dibilang sudah berhenti melihatnya.”
“Kelihatannya bagus,” katanya. “Penyakitnya tampak stabil, bahkan
mungkin sedikit menciut.”
Kami membicarakan sebagian persiapan mendatang; kemoterapi akan
ditangguhkan hingga tubuhku sudah lebih kuat. Percobaan-percobaan
eksperimental juga tidak akan mau menerimaku dalam keadaanku saat
ini. Pengobatan bukanlah pilihan—hingga aku memulihkan sebagian
kekuatan tubuhku. Kusandarkan kepala ke dinding untuk menyokong
otot-otot leherku yang kendur. Pikiranku berkabut. Aku ingin peramal itu
kembali meramal, menghimpun rahasia dari burung-burung atau skema-
skema bintang, dari gen-gen mutan atau gra k-gra k Kaplan-Meier.
“Emma,” tanyaku, “apa langkah berikutnya?’
“Menjadi lebih kuat. Itu saja.”
“Namun, ketika kankernya kambuh … maksudku, kemungkinannya .…”
Aku terdiam. Terapi lini pertama (Tarceva) telah gagal. Terapi lini kedua
(kemoterapi) nyaris membunuhku. Terapi lini ketiga, seandainya aku bisa
tiba di sana, memberikan beberapa janji. Di luar itu terbentang luas area
pengobatan eksperimental yang tak dikenal. Frasa-frasa penuh keraguan
meluncur dari bibirku. “Maksudku, kembali ke RO, atau berjalan, atau
bahkan—”
“Kau punya sisa waktu lima tahun lagi,” katanya.
Emma mengucapkannya tanpa nada berwibawa seorang peramal, tanpa
keyakinan seseorang yang benar-benar percaya. Dia malah
mengucapkannya seperti permohonan. Seperti pasien yang hanya bisa
bicara angka-angka. Seakan-akan, alih-alih bicara, dia mengucapkan
permohonan, sebagai manusia biasa, pada kekuatan dan takdir apa pun
yang benar-benar mengendalikan hal-hal semacam ini. Di sanalah kami
berada, seorang dokter dan pasiennya, dalam hubungan yang terkadang
mengandung aura berwibawa, dan terkadang, seperti pada saat ini, hanya
sebagai dua orang yang meringkuk bersama-sama ketika salah seorang
dari mereka menghadapi jurang.
Ternyata dokter juga memerlukan harapan.

D alam perjalanan pulang dari janji temu dengan Emma, ibu Lucy
menelepon untuk mengabarkan bahwa mereka sedang menuju
rumah sakit. Lucy hendak melahirkan. (“Pastikan kau meminta epidural
sejak awal,” kataku kepadanya. Dia sudah cukup menderita.) Aku kembali
ke rumah sakit, duduk di kursi roda yang didorong ayahku. Aku berbaring
di sebuah dipan di kamar persalinan, selimut-selimut dan kantong-
kantong pemanas menjaga agar tubuh kerempengku tidak menggigil.
Selama dua jam berikutnya, aku menyaksikan Lucy dan perawat menjalani
ritual persalinan. Ketika kontraksi semakin cepat, perawat menghitung
pengejanannya: “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan,
sembilan, sepuluh!”
Lucy berpaling kepadaku sambil tersenyum. “Rasanya aku seperti
sedang berolahraga!” katanya.
Aku berbaring di dipan dan membalas senyumnya, menyaksikan
perutnya yang menjulang. Akan ada begitu banyak ketidakhadiran dalam
hidup Lucy dan putriku—kalau ini adalah kehadiran maksimalku, apa
boleh buat.
Kira-kira selepas tengah malam, perawat membangunkanku. “Sebentar
lagi,” bisiknya. Dia membuka selimutku, kemudian membantuku duduk di
kursi di samping Lucy. Dokter kandungan sudah berada di kamar, usianya
tidak lebih tua daripadaku. Perempuan itu mendongak memandangku
ketika kepala bayinya muncul. “Bisa kukatakan satu hal: rambut putrimu
persis seperti rambutmu,” katanya. “Dan lebat.” Aku mengangguk,
menggenggam tangan Lucy sepanjang momen-momen terakhir
persalinannya. Lalu, dengan satu pengejanan terakhir, pada 4 Juli pukul
2.11 dini hari, muncullah dia. Elizabeth Acadia—Cady; kami sudah
memilih namanya berbulan-bulan silam.
“Bisakah kami meletakkannya di kulitmu, Papa?” tanya perawat
kepadaku.
“Tidak, aku terlalu d-d-dingin,” kataku dengan gigi bergemeletuk.
“Namun, aku ingin menggendongnya.”
Mereka membungkus Cady dengan selimut dan menyerahkannya
kepadaku. Ketika merasakan bobotnya di satu lengan sembari
menggenggam tangan Lucy dengan tanganku yang satu lagi, peluang-
peluang kehidupan muncul di hadapan kami. Sel-sel kanker di dalam
tubuhku masih akan tetap sekarat atau akan mulai berkembang kembali.
Ketika memandang bentangan di depan mata,
aku tidak melihat gurun kosong, tetapi sesuatu
yang lebih sederhana: kertas kosong tempatku
melanjutkan hidup.

A kan tetapi, muncul kedinamisan di dalam rumah kami.


Hari demi hari, minggu demi minggu, Cady berkembang: genggaman
pertama, senyuman pertama, tawa pertama. Dokter anak secara teratur
mencatat pertumbuhannya ke dalam bagan-bagan, mencentang tanda-
tanda yang menunjukkan kemajuannya seiring berjalannya waktu. Aura
kebaruan yang cerah menyelubunginya. Ketika dia duduk di pangkuanku
sambil tersenyum, terpesona oleh nyanyian sumbangku, cahaya berpijar
menerangi ruangan.
Bagiku, kini waktu seakan-akan bermata dua: setiap hari membawaku
lebih jauh dari parahnya kekambuhan penyakitku yang terakhir, tetapi
membawaku lebih dekat dengan kekambuhan berikutnya—dan pada
akhirnya dengan kematian. Mungkin kematian datang lebih lama daripada
yang kuperkirakan, tetapi jelas lebih cepat daripada yang kuinginkan.
Kubayangkan ada dua respons terhadap pemahaman itu. Mungkin yang
paling nyata adalah insting untuk melakukan banyak kegiatan: “menjalani
hidup sepenuhnya”, bepergian, makan, meraih berbagai ambisi yang
terabaikan. Namun, sebagian dari kekejian kanker bukan hanya karena
penyakit ini membatasi waktumu; kanker juga membatasi energimu,
sangat mengurangi jumlah energi yang bisa kau jejalkan dalam satu hari.
Kini yang berpacu adalah kelinci yang kelelahan. Dan, seandainyapun
punya energi, aku lebih menyukai pendekatan yang digunakan kura-kura.
Aku berjalan, aku merenung. Terkadang aku hanya bertahan.
Jika waktu mulur ketika seseorang bergerak dengan kecepatan tinggi,
apakah waktu mengerut ketika seseorang nyaris tak bergerak? Pasti
begitu: hari-hari menjadi semakin singkat.
Dengan hanya sedikit perbedaan antara satu hari dan hari berikutnya,
waktu mulai terasa statis. Dalam bahasa Inggris, kata waktu digunakan
dengan cara berbeda-beda: “Waktu menunjukkan pukul 2.45” versus “Aku
mengalami waktu yang sulit.” Belakangan ini, alih-alih seperti jam yang
berdetak, waktu lebih terasa seperti sebuah status keberadaan. Kelesuan
muncul. Ada rasa keterbukaan. Sebagai dokter bedah yang berfokus pada
pasien di RO, aku mungkin menganggap posisi jarum-jarum jam itu acak,
tetapi aku tak pernah menganggapnya tidak bermakna. Kini waktu
seharian tidak ada artinya, hari-hari dalam seminggu nyaris tidak lebih
berarti. Pelatihan medis sangat berorientasi pada masa depan, semuanya
menyangkut kegembiraan yang tertunda; kau selalu memikirkan apa yang
hendak kau lakukan lima tahun dari sekarang. Namun, kini aku tak tahu
apa yang hendak kulakukan lima tahun dari sekarang. Mungkin aku sudah
mati. Mungkin belum. Mungkin aku sehat. Mungkin aku menulis. Aku tak
tahu. Jadi, tidaklah begitu berguna menghabiskan waktu untuk
memikirkan masa depan—yaitu masa setelah makan siang.
Konjugasi kata kerja juga telah menjadi membingungkan. Mana yang
benar: “Aku dokter bedah saraf”, “Dahulu aku dokter bedah saraf”, atau
“Aku pernah menjadi dokter bedah saraf dan akan kembali menjadi dokter
bedah saraf”? Graham Greene pernah berkata bahwa kehidupan dijalani
selama dua puluh tahun pertama, sedangkan sisanya hanyalah re eksi.
Jadi, bentuk waktu manakah yang kini kujalani? Apakah aku telah beralih
dari bentuk waktu sekarang ke bentuk waktu lampau? Bentuk waktu masa
depan tampak kosong dan, ketika diucapkan oleh orang lain, terasa
menjengkelkan. Beberapa bulan lalu aku merayakan reuni universitas yang
kelima belas di Stanford dan berdiri di alun-alun, menenggak wiski,
sementara matahari merah jambu tenggelam di cakrawala. Ketika teman-
teman lama meneriakkan janji perpisahan—“Sampai bertemu lagi di
perayaan ke-25!”—tampaknya kasar kalau aku meresponsnya dengan
berkata, “Well … mungkin tidak.”
Semua orang menyerah pada kefanaan. Kurasa bukan aku satu-satunya
orang yang mencapai keadaan waktu lampau ini. Sebagian besar ambisi
entah yang sudah tercapai atau ditinggalkan; yang mana pun itu,
semuanya berada pada masa lalu. Masa depan, alih-alih seperti tangga
menuju tujuan hidup, berubah datar menjadi masa kini yang abadi. Uang,
status, semua kesia-siaan yang dijelaskan oleh pengkhotbah dalam Kitab
Pengkhotbah itu, nyaris tak menarik lagi: benar-benar seperti mengejar
angin.
Walaupun begitu, ada satu hal yang masa depannya tidak bisa dirampas:
putri kami, Cady. Kuharap aku bisa hidup cukup lama sehingga dia punya
kenangan tentang aku. Kata-kata punya umur panjang yang tidak
kumiliki. Tadinya aku berpikir untuk meninggalkan serangkaian surat
untuk Cady—tetapi apa yang akan kutulis dalam surat-surat itu? Aku
tidak tahu akan seperti apa gadis ini ketika berusia 15 tahun; aku bahkan
tidak tahu apakah dia mau menggunakan nama panggilan yang kami
berikan kepadanya. Mungkin hanya satu hal yang harus dikatakan kepada
anak ini, sepenuhnya menggunakan bentuk waktu masa depan, yang
bertumpang-tindih sejenak denganku, yang hidupnya—dengan
mengecualikan kemustahilan—sepenuhnya menggunakan bentuk waktu
masa lampau.
Pesannya sederhana.
Saat kau tiba pada salah satu dari banyak momen dalam kehidupan
ketika kau harus menceritakan dirimu sendiri, memberikan catatan
mengenai seperti apa kau dahulu, apa yang telah kau lakukan, dan apa
makna dirimu bagi dunia, kuharap kau tidak lupa bahwa kau telah
memenuhi hari-hari seseorang yang sekarat dengan kegembiraan luar
biasa, kegembiraan yang tidak kukenal pada tahun-tahun sebelumnya,
kegembiraan yang tidak bernafsu untuk meraih lebih banyak dan lebih
banyak lagi, tetapi kegembiraan yang tenang dan puas. Saat ini, sekarang
ini, itu hal yang sangat luar biasa.

2
Pisau tajam Occam adalah prinsip metodologi dari lsuf William Occam (1280–1347) yang berbunyi
En a non sunt mul plicanda praeter necessitatem atau ‘En tas dak perlu dilipatgandakan
melebihi keperluan’. In nya, dalam menyampaikan suatu kebenaran, teori yang paling sedikit
atau sederhana penjelasannya adalah yang terbaik.—penerj.
Epilog
Lucy Kalanithi

Kau tinggali aku, Sayang, dua warisan,—


Warisan cinta
Bapa Surgawi pasti senang,
Jika menerimanya;
Kau tinggali aku batas-batas nyeri
Seluas lautan,
Di antara keabadian dan waktu,
Kesadaranmu dan diriku.

—Emily Dickinson

P
aul wafat pada Senin, 9 Maret 2015, dikelilingi keluarganya, di
ranjang rumah sakit yang kira-kira berjarak 200 meter dari
bangsal persalinan dan kelahiran, tempat putri kami, Cady,
memasuki dunia delapan bulan sebelumnya. Di antara kelahiran Cady dan
kematian Paul, jika kau melihat kami menyesap iga di restoran barbeku
lokal dan tersenyum saat berbagi bir, dengan bayi berambut hitam berbulu
mata panjang terlelap di kereta dorong di samping kami, kau tak akan
pernah menebak bahwa Paul punya kemungkinan hidup kurang dari
setahun lagi, atau bahwa kami memahami hal itu.
Kira-kira pada saat Natal pertama Cady, ketika dia berusia 5 bulan,
kanker Paul mulai melawan obat-obat lini ketiga yang direkomendasikan
setelah Tarceva, kemudian kemoterapinya berhenti bekerja. Cady
mencicipi makanan padat pertamanya pada masa liburan itu, mengenakan
piama bergaris-garis merah putih, mengunyah ubi tumbuk ketika seluruh
keluarga berkumpul di rumah masa kecil Paul di Kingman, Arizona, rumah
yang diterangi lilin-lilin dan obrolan.
Kekuatan Paul menurun selama bulan-bulan berikutnya, tetapi kami
terus mengalami momen-momen membahagiakan, bahkan di tengah
penderitaan kami. Kami mengadakan pesta-pesta makan malam yang
menyenangkan, saling berpelukan pada malam hari, dan merasa senang
melihat mata cemerlang dan pembawaan tenang putri kami. Dan, tentu
saja, Paul menulis, bersandar di kursi berlengan, berbalut selimut bulu
hangat. Pada bulan-bulan terakhirnya dia mati-matian berfokus
menyelesaikan buku ini.
Ketika musim dingin berubah menjadi musim semi, bunga-bunga saucer
magnolia di lingkungan rumah kami bermekaran, besar-besar dan merah
jambu, tetapi kesehatan Paul merosot dengan begitu cepat. Pada
penghujung Februari dia perlu oksigen tambahan agar bisa bernapas
dengan nyaman. Aku membuang makan siangnya yang tak tersentuh ke
keranjang sampah, di atas sarapannya yang juga tak tersentuh, dan
beberapa jam kemudian aku menambahkan makan malam yang tak
tersentuh pada tumpukan itu. Dahulu dia menyukai roti lapis buatanku
untuk sarapan—telur, sosis, dan keju di atas roti bulat—tetapi karena
nafsu makannya menurun, kami menggantinya dengan telur dan roti
bakar, lalu telur saja hingga makanan itu pun menjadi tak tertahankan.
Bahkan, smoothie favoritnya, gelas-gelas yang kutuangi kalori terus-
menerus, tidak mengundang selera.
Waktu tidur merayap semakin awal, suara Paul terkadang tidak jelas,
dan rasa mualnya tak kunjung mereda. Pemindaian CT dan MRI otak
menegaskan kanker yang memburuk di paru-paru Paul dan tumor-tumor
baru yang mendarat di otaknya, termasuk karsinomatosis leptomeningeal,
serangan langka dan mematikan yang mendatangkan prognosis beberapa
bulan saja dan bayang-bayang penurunan fungsi saraf yang cepat. Kabar
itu membuat Paul amat terpukul. Dia sedikit bicara. Namun, sebagai
dokter bedah saraf, dia tahu apa yang membentang di hadapannya.
Walaupun Paul menerima harapan hidupnya yang terbatas, penurunan
fungsi saraf adalah kejutan baru, prospek kehilangan makna dan
kemampuan bertindak sangatlah menyakitkan baginya. Kami mengatur
strategi dengan dokter onkologi Paul mengenai prioritas utamanya:
mempertahankan ketajaman pikirannya selama mungkin. Kami mengatur
pendaftaran untuk percobaan klinis, konsultasi dengan dokter spesialis
onkologi-saraf, dan kunjungan menemui tim perawatan paliatif untuk
membahas pilihan rumah perawatan, semuanya demi memaksimalkan
kualitas waktu Paul yang tersisa. Hatiku hancur walaupun aku terus
menguatkan diri, membayangkan penderitaannya, merasa khawatir dia
hanya punya sisa waktu beberapa minggu—seandainya pun ada. Aku
membayangkan upacara pemakamannya ketika kami saling berpegangan
tangan. Aku tak tahu kalau Paul akan tiada dalam hitungan hari.
Kami menghabiskan Sabtu terakhir Paul bersama keluarga dalam
kenyamanan ruang duduk rumah kami, Paul menggendong Cady di kursi
berlengan; ayahnya di kursi goyangku; aku dan ibunya di sofa di dekat situ.
Paul menyanyi untuk Cady dan melambung-lambungkannya dengan
lembut di pangkuan. Cady menyeringai lebar, tidak menyadari keberadaan
selang yang mengantarkan oksigen ke hidung Paul. Dunia Paul menjadi
semakin kecil; aku menolak kunjungan tamu-tamu nonkeluarga, Paul
berkata kepadaku, “Aku ingin semua orang tahu bahwa, walaupun aku
tidak menemui mereka, aku mencintai mereka. Aku menghargai
persahabatan mereka, dan segelas wiski Ardbeg lagi tak akan mengubah
hal itu.” Dia tidak menulis apa pun pada hari itu. Manuskrip untuk buku
ini baru selesai sebagian, dan kini Paul tahu bahwa kemungkinan besar dia
tidak akan bisa menyelesaikannya—mustahil dia punya stamina,
kejernihan pikiran, dan waktu untuk menulis.
Untuk menyiapkan percobaan klinis, Paul harus berhenti mengonsumsi
pil terapi-target harian yang tidak memadai untuk mengendalikan
kankernya. Ada risiko kankernya akan berkembang pesat atau “merebak”
setelah dia menghentikan obatnya. Oleh karena itu, dokter onkologi Paul
menginstruksikanku untuk merekam Paul setiap hari ketika dia
melakukan tugas yang sama untuk mencatat kemunduran bicara atau
geraknya. “April adalah bulan terkejam,” Paul membaca keras-keras di
ruang duduk pada Sabtu itu ketika aku merekamnya. Dia memilih e
Waste Land karya T.S. Eliot sebagai skrip. “Membaurkan kenangan dan
hasrat, menggerakkan / Akar-akar kusam dengan hujan musim semi.”
Keluarga tergelak ketika, walaupun itu bukan bagian dari tugasnya, Paul
menelungkupkan buku itu di pangkuan dan bersikeras mendeklamasikan
puisi itu berdasarkan ingatan.
“Dasar Paul!” kata ibunya sambil tersenyum.
Keesokan harinya, Minggu, kami mengharapkan berlanjutnya akhir
pekan yang tenang itu. Jika Paul merasa cukup sehat, kami akan pergi ke
gereja, lalu mengajak Cady dan sepupunya bermain ayunan bayi di taman
di atas bukit. Kami terus mengikuti kabar menyakitkan terbaru, berbagi
kesedihan, menikmati waktu kami bersama.
Akan tetapi, waktu memelesat.
Pada Minggu pagi-pagi sekali, aku membelai kening Paul dan
mendapatinya demam tinggi, 40 °Celcius, walaupun dia tampak relatif
nyaman dan bebas dari gejala-gejala baru lainnya. Kami masuk keluar
ruangan UGD dalam waktu beberapa jam, ayah Paul dan Suman ikut
bersama kami, dan kami pulang menemui semua anggota keluarga lainnya
setelah memulai pengobatan antibiotik, kalau-kalau itu pneumonia
(gambar röntgen dada Paul dipadati tumor dan ini bisa mengaburkan
infeksi). Namun, apakah ini malah kanker yang berkembang cepat?
Siangnya Paul tidur dengan nyaman, tetapi dia sakit parah. Aku mulai
menangis ketika melihatnya tidur, lalu beranjak ke ruang duduk, yang
menjadi tempat air mata ayahnya bergabung dengan air mataku. Aku
sudah merindukan Paul.
Minggu malam kondisi Paul mendadak memburuk. Dia duduk di pinggir
ranjang kami, berjuang untuk bernapas—perubahan yang mengejutkan.
Aku memanggil ambulans. Ketika kami kembali memasuki ruang UGD,
kali ini dengan Paul berada di atas brankar, sedangkan orangtuanya berada
tepat di belakang kami, dia berpaling ke arahku dan berbisik, “Mungkin
beginilah akhirnya.”
“Aku di sini bersamamu,” kataku.
Staf rumah sakit menyapa Paul dengan hangat seperti biasa. Namun,
mereka bergerak cepat begitu melihat kondisinya. Setelah pengetesan
awal, mereka memasang masker di atas hidung dan mulut Paul untuk
membantunya bernapas lewat BiPAP, sistem penyokong pernapasan yang
memasok aliran udara kuat secara mekanis setiap kali dia menghela napas,
membantu melakukan sebagian besar pekerjaan bernapas untuknya.
Walaupun membantu mekanisme pernapasan, BiPAP bisa menyulitkan
pasien—berisik dan bertenaga, membuka bibir seiring setiap napas
seperti bibir anjing yang kepalanya terjulur keluar dari jendela mobil. Aku
berdiri di dekatnya, membungkuk di atas brankar, tanganku dalam
genggaman Paul ketika suara whuuush, whuuush teratur dari mesin BiPAP
mulai terdengar.
Kadar karbondioksida dalam darah Paul sangat tinggi, menunjukkan
bahwa pekerjaan bernapas itu membuatnya kewalahan. Tes-tes darah
menyatakan bahwa sebagian dari karbondioksida yang berlebih telah
berakumulasi selama berhari-hari hingga berminggu-minggu ketika
penyakit dan kelemahan paru-paru Paul semakin parah. Karena otaknya
telah menyesuaikan diri secara perlahan-lahan terhadap kadar
karbondioksida yang lebih tinggi daripada normal, Paul tetap tersadar. Dia
mengamati. Sebagai dokter, dia memahami hasil-hasil tes yang
mengerikan itu. Aku juga paham.
Aku berjalan di belakangnya ketika dia didorong ke ruang ICU, tempat
begitu banyak pasien Paul sendiri pernah berjuang sebelum atau setelah
pembedahan saraf, ditemani keluarga yang berkumpul di kursi-kursi vinil
di samping ranjang mereka. “Akankah aku perlu diintubasi?” tanyanya
kepadaku di antara napas-napas BiPAP ketika kami tiba. “Haruskah aku
diintubasi?”
Sepanjang malam Paul mendiskusikan pertanyaan itu dalam
serangkaian percakapan dengan dokter-dokter, keluarga, kemudian
denganku saja. Sekitar tengah malam dokter penanggung jawab ICU, yang
sudah lama menjadi mentor Paul, datang untuk membahas opsi-opsi
pengobatan dengan keluarga. BiPAP adalah solusi sementara, katanya.
Satu-satunya intervensi yang tersisa adalah dengan mengintubasi Paul—
memasang ventilator. Itukah yang diinginkannya?
Pertanyaan pentingnya dengan cepat muncul: Bisakah kegagalan
bernapas mendadak dipulihkan?
Yang menjadi kekhawatiran adalah apakah Paul akan tetap terlalu lemah
untuk lepas dari ventilator—akankah dia kehilangan kesadaran, lalu
mengalami kegagalan organ, mula-mula pikiran, lalu tubuhnya menyelinap
pergi? Sebagai dokter, kami pernah menyaksikan skenario menyakitkan
ini. Paul menjelajahi alternatifnya: alih-alih intubasi, dia bisa memilih
“perawatan paliatif” walaupun kematian akan datang lebih cepat dan lebih
pasti. “Seandainyapun aku berhasil melewati ini,” katanya, mengingat
kanker di otaknya, “aku tidak yakin aku melihat masa depan dengan sisa
waktu yang bermakna.” Ibunya menyela dengan putus asa. “Jangan
diputuskan malam ini, Pubby,” katanya. “Marilah kita semua beristirahat.”
Setelah memastikan agar statusnya “jangan diresusitasi”, Paul setuju.
Perawat-perawat yang bersimpati membawakannya beberapa selimut
tambahan. Aku mematikan lampu-lampu neon.
Paul berhasil terlelap hingga matahari terbit, ayahnya duduk berjaga,
sementara aku tidur sejenak di kamar yang bersebelahan, berharap bisa
mempertahankan kekuatan mental karena tahu bahwa esok mungkin
menjadi hari terberat dalam hidupku. Aku memasuki kamar Paul lagi pada
pukul 6.00 pagi, lampu-lampu masih redup, monitor-monitor ICU
berdenting tanpa henti. Paul membuka mata. Kami bicara lagi mengenai
“perawatan paliatif”—menghindari upaya-upaya agresif untuk mencegah
kemerosotannya—dan dia bertanya-tanya dengan suara keras apakah dia
bisa pulang. Keadaan Paul begitu parah sehingga aku khawatir dia akan
menderita dan meninggal dalam perjalanan. Bagaimanapun, kukatakan
bahwa aku akan berupaya sebisa mungkin untuk membawanya pulang,
jika itu yang terpenting baginya. Aku mengangguk, ya, perawatan paliatif
mungkin menjadi arah yang kami tuju. Atau, adakah semacam cara untuk
menghadirkan suasana rumah di sini? Di antara embusan-embusan BiPAP,
Paul menjawab, “Cady”.
Cady tiba tak lama kemudian—teman kami, Victoria, menjemputnya
dari rumah—dan dia mulai terjaga dengan polos dan ceria di lengkungan
lengan kanan Paul, menarik-narik kaus kaki mungilnya, memukul-mukul
selimut rumah sakit, tersenyum dan berdekut, tak terganggu oleh mesin
BiPAP yang terus-menerus bekerja untuk menjaga agar Paul tetap hidup.
Tim medis datang dalam tugas keliling mereka dan mendiskusikan
kasus Paul di depan kamar. Aku dan keluarga Paul bergabung bersama
mereka. Kegagalan pernapasan akut Paul kemungkinan berarti
perkembangan pesat kanker. Kadar karbondioksidanya masih terus
meningkat—indikasi kuat untuk melakukan intubasi. Keluarga terbelah:
dokter onkologi Paul sudah menelepon, berharap masalah akut itu bisa
diselesaikan, tetapi dokter-dokter yang hadir tidak begitu optimis. Aku
meminta mereka untuk menimbang peluang memulihkan kemerosotan
mendadak Paul dengan seyakin mungkin.
“Dia tidak ingin doa Salam Maria,” kataku. “Jika tidak punya peluang
untuk hidup dengan waktu yang bermakna, dia ingin melepas masker dan
menggendong Cady.”
Aku kembali ke sisi ranjang Paul. Dia memandangku, mata gelapnya
tampak waspada di atas masker BiPAP, dan dia berkata dengan jelas,
dengan suara lembut, tetapi mantap, “Aku siap.”
Artinya, dia siap melepas alat bantu pernapasan untuk mulai mendapat
mor n, untuk menjelang kematian.
Keluarga berkumpul bersama-sama. Selama menit-menit berharga
setelah putusan Paul, kami semua mengungkapkan cinta dan
penghormatan kami. Air mata berkilau di mata Paul. Dia berterima kasih
kepada orangtuanya. Dia meminta kami untuk memastikan agar
manuskripnya diterbitkan dalam bentuk tertentu. Dia mengatakan
kepadaku untuk kali terakhir bahwa dia mencintaiku. Dokter penanggung
jawab pasien melangkah masuk dengan kata-kata yang menguatkan, “Paul,
setelah kau tiada, keluargamu akan runtuh, tetapi mereka akan bersatu
kembali karena teladan keberanian yang kau berikan.” Mata Jeevan
tertuju kepada Paul ketika Suman berkata, “Pergilah dalam damai,
saudaraku.” Dengan hati yang remuk redam, aku naik ke ranjang terakhir
yang akan kami tempati bersama.
Aku teringat pada ranjang-ranjang lain yang kami tempati bersama.
Delapan tahun silam sebagai mahasiswa kedokteran, kami juga tidur
dengan nyaman di ranjang kecil di samping ranjang kakekku yang
terbaring sekarat di rumah, setelah memangkas bulan madu kami untuk
membantu melakukan tugas-tugas perawatan. Kami bangun setiap
beberapa jam sekali untuk memberikan obat kepada kakekku. Cintaku
kepada Paul semakin mendalam ketika aku menyaksikannya membungkuk
dan mendengarkan bisik-bisik permintaan kakekku dengan saksama.
Kami tak pernah membayangkan adegan ini, ranjang kematian Paul
sendiri, begitu dekat pada masa depan kami.
Dua puluh dua bulan yang lalu, kami menangis di sebuah ranjang di
lantai berbeda, di rumah sakit ini, ketika kami mengetahui diagnosis
kanker Paul. Delapan bulan yang lalu, kami bersama-sama di sini, di
ranjang rumah sakitku, sehari setelah Cady lahir, sama-sama terlelap,
tidur panjang nyaman pertama yang kurasakan semenjak kelahiran Cady,
dengan berpelukan. Aku teringat ranjang nyaman kami yang kosong di
rumah, aku ingat jatuh cinta di New Haven dua belas tahun silam,
langsung dikejutkan oleh betapa pasnya tubuh dan tungkai-tungkai kami
bersama-sama, dan teringat betapa semenjak itu kami merasakan tidur
terbaik ketika saling berpelukan. Aku berharap sepenuh hati agar kini Paul
merasakan kenyamanan dan ketenangan yang sama.
Satu jam kemudian, masker dan monitor-monitor dilepaskan, dan
mor n mengalir lewat infus Paul. Dia bernapas teratur, tetapi pendek-
pendek, dan tampak nyaman. Bagaimanapun, aku bertanya apakah dia
perlu lebih banyak mor n, dan dia mengiyakan dengan mata terpejam.
Ibunya duduk di dekat situ; tangan ayahnya berada di puncak kepalanya.
Akhirnya, dia menyelinap ke dalam ketidaksadaran.
Selama lebih dari sembilan jam, keluarga Paul—aku, orangtuanya, kedua
saudara laki-lakinya, ipar perempuannya, putrinya—duduk berjaga ketika
Paul, yang tak sadarkan diri, kini menghela napas secara tidak teratur dan
terputus-putus, dengan mata terpejam dan wajah tanpa beban. Jemari
panjangnya berada dalam genggaman lembutku. Orangtua Paul
menggendong Cady, lalu meletakkannya kembali ke ranjang agar dia bisa
berbaring nyaman, minum susu, kemudian tidur. Ruangan itu, yang sarat
oleh cinta, mencerminkan banyak hari libur dan akhir pekan yang kami
habiskan bersama-sama selama bertahun-tahun.
Aku membelai rambut Paul, berbisik, “Kaulah Paladin yang
pemberani”—nama panggilanku untuknya. Dan, dengan suara lembut,
kunyanyikan lagu favorit yang kami ciptakan berbulan-bulan lalu, yang
pesan intinya adalah “Terima kasih karena mencintaiku.” Seorang paman
dan sepupu dekat tiba, lalu pendeta kami muncul. Keluarga berbagi
anekdot dan gurauan dengan penuh cinta; lalu kami semua bergiliran
menangis, mengamati wajah Paul dan wajah satu sama lain dengan
khawatir, terhanyut dalam waktu yang berharga dan menyakitkan ini,
jam-jam terakhir yang akan kami lewatkan bersama-sama.
Sorot hangat cahaya malam mulai menerobos jendela kamar yang
menghadap barat laut ketika napas Paul menjadi semakin pelan. Cady
menggosok-gosok mata dengan kepalan tangannya yang gemuk ketika
waktu tidurnya mendekat, dan seorang teman keluarga datang untuk
membawanya pulang. Aku merapatkan pipi Cady ke pipi Paul, berkas-
berkas rambut gelap mereka yang serupa sama-sama berantakan, wajah
Paul tampak damai, wajah Cady kebingungan, tetapi tenang, bayi tercinta
Paul tak pernah menduga bahwa ini adalah momen perpisahan. Dengan
lembut aku menyanyikan lagu ninabobo untuk Cady, untuk mereka
berdua, lalu aku melepaskan Cady.
Selagi kamar berubah gelap, sebuah lampu dinding rendah berkilau
hangat, napas Paul menjadi terputus-putus dan tak beraturan. Tubuhnya
tetap tampak nyaman, tungkai-tungkainya relaks. Tepat sebelum pukul
21.00, bibir Paul membuka dan matanya terpejam. Paul menghela,
kemudian mengembuskan satu napas panjang terakhir.

W hen Breath Becomes Air bisa dibilang belum selesai, terhambat oleh
kemerosotan cepat Paul, tetapi itulah komponen penting
kejujurannya, realitas yang dihadapi Paul. Sepanjang tahun terakhir
kehidupannya, Paul menulis tanpa henti, disulut oleh tekad, dimotivasi
oleh jam yang berdetak. Dia memulai dengan luapan-luapan semangat
pada tengah malam ketika dia masih menjadi kepala dokter residen bedah
saraf, mengetik pelan di laptopnya sambil berbaring di sampingku di
ranjang; lalu menghabiskan siang di kursi malasnya, menyusun paragraf-
paragraf di ruang tunggu dokter onkologinya, menerima telepon dari
editornya ketika kemoterapi menetes ke dalam pembuluh-pembuluh
darahnya, membawa laptop peraknya ke mana pun dia pergi. Ketika ujung
jemari tangannya retak-retak menyakitkan gara-gara kemoterapi, kami
membeli sarung tangan tanpa jahitan dan bergaris perak yang
memungkinkan pemakainya menggunakan trackpad dan papan ketik.
Strategi mempertahankan fokus mental yang diperlukan untuk menulis,
walaupun mengalami kelelahan luar biasa gara-gara kanker progresif,
menjadi fokus janji-janji temu perawatan paliatifnya. Paul bertekad untuk
terus menulis.
Buku ini menyiratkan kegentingan berpacu melawan waktu ketika perlu
mengatakan hal-hal penting.
Paul menghadapi kematian—menelitinya,
bergulat dengannya, dan pasrah menerimanya—
sebagai dokter dan pasien. Dia ingin membantu
orang-orang memahami kematian dan menghadapi
mortalitas mereka.
Menghadapi kematian pada usia 40 tahun tidaklah sesuatu yang lazim
untuk saat ini, tetapi kematian adalah sesuatu yang lazim. “Masalahnya,
kanker paru-paru itu tidak eksotis,” tulis Paul dalam sebuah surel untuk
teman terdekatnya, Robin. “Penyakit itu cukup tragis dan cukup bisa
dibayangkan. [Pembaca] bisa mengenakan sepatu ini, berjalan-jalan
sebentar, lalu berkata, ‘Jadi, seperti ini kelihatannya dari sini … cepat atau
lambat aku akan kembali kemari dengan mengenakan sepatuku sendiri.’
Kurasa itulah tujuanku. Bukan untuk menunjukkan kehebohan kematian,
dan bukan nasihat untuk mengumpulkan kuncup-kuncup mawar,
melainkan: Inilah yang ada di ujung jalan.” Tentu saja Paul tidak hanya
menjelaskan medannya. Dia juga melintasinya dengan berani.
Putusan Paul untuk tidak mengalihkan pandangan dari kematian
melambangkan keteguhan yang tidak begitu dihargai dalam budaya yang
cenderung menghindari kematian. Kekuatan Paul bukan hanya
dide nisikan oleh ambisi dan upaya, melainkan juga oleh kelembutan yang
berlawanan dengan kegetiran. Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya
dengan menggumuli pertanyaan mengenai cara menjalani hidup yang
bermakna, dan buku ini menjelajahi wilayah penting itu. “Peramal selalu
menjadi pengungkap,” tulis Emerson. “Entah bagaimana, mimpinya
dikisahkan; entah bagaimana, dia mengumumkannya dengan
kegembiraan mendalam.” Menulis buku ini memberikan peluang bagi
peramal yang pemberani ini untuk menjadi pengungkap, untuk mengajari
kita cara menghadapi kematian dengan penuh integritas.
Sebagian besar keluarga dan teman kami tidak menyadari, hingga
diterbitkannya buku ini, masalah pernikahan yang dihadapi olehku dan
Paul menjelang akhir pelatihannya sebagai dokter residen. Namun, aku
senang Paul menuliskannya. Ini bagian dari kejujuran kami, de nisi-ulang
yang lain, sepenggal perjuangan dan penebusan serta makna dari
kehidupanku dan Paul. Diagnosis kankernya seperti alat pemecah kacang,
membawa kami kembali pada daging lembut dan bergizi dalam
pernikahan kami.
Kami saling menguatkan demi kelangsungan hidup sik Paul dan
kelangsungan hidup emosi kami; cinta kami ditelanjangi. Masing-masing
dari kami bergurau dengan teman-teman dekat bahwa rahasia
menyelamatkan hubungan adalah salah seorangnya menderita penyakit
mematikan. Namun, sebaliknya, kami tahu bahwa satu trik untuk
mengatasi penyakit mematikan adalah dengan jatuh cinta secara
mendalam—menjadi rapuh, baik, murah hati, penuh syukur. Beberapa
bulan setelah diagnosis Paul, kami menyanyikan himne “ e Servant
Song” sambil berdiri berdampingan di bangku gereja, dan syair lagu itu
bergetar oleh makna ketika kami menghadapi ketidakpastian dan
penderitaan bersama-sama: “Aku ikut merasakan kegembiraan dan
penderitaanmu / Hingga kita menyelesaikan perjalanan ini.”
Begitu didiagnosis, Paul memintaku untuk menikah kembali
sepeninggal dirinya. Ini mencontohkan cara Paul bekerja keras
mengamankan masa depanku selama menjalani penyakitnya. Dia
berkomitmen dengan gigih untuk memastikan yang terbaik bagiku, dalam
hal keuangan kami, karierku, dan makna menjadi seorang ibu. Pada saat
bersamaan, aku bekerja keras untuk mengamankan masa kini Paul,
menjadikan waktunya yang tersisa sebaik mungkin, mengikuti dan
mengelola setiap gejala penyakit dan aspek perawatan medisnya—inilah
peran dokter yang terpenting dalam hidupku—sementara mendukung
ambisinya, mendengarkan bisik-bisik ketakutannya ketika kami
berpelukan dalam keamanan kamar tidur kami yang gelap, menyaksikan,
mengakui, pasrah, menghibur. Kami tak terpisahkan, sama seperti ketika
menjadi mahasiswa kedokteran, ketika kami bergandengan tangan selama
mengikuti kuliah.
Kini kami bergandengan tangan di dalam saku mantel Paul selama
berjalan-jalan di luar setelah kemoterapi, Paul mengenakan mantel dan
topi musim dingin walaupun cuaca telah berubah hangat. Dia tahu bahwa
dia tak akan pernah sendirian, tak akan pernah menderita secara tak
perlu. Di rumah, di ranjang, beberapa minggu sebelum kematiannya, aku
bertanya kepadanya, “Bisakah kau bernapas dengan baik kalau kepalaku
ada di atas dadamu seperti ini?” Jawabannya, “Inilah satu-satunya cara
bernapas yang kuketahui.” Salah satu berkah terbesar yang pernah
kudapat adalah betapa aku dan Paul telah membentuk bagian paling
bermakna dari kehidupan kami masing-masing.
Kami berdua mendapat kekuatan dari keluarga Paul yang menyokong
kami ketika menghadapi penyakit Paul dan mendukung kami ketika
membawa anak kami ke dalam keluarga. Walaupun sangat berduka
menghadapi penyakit putranya, orangtua Paul tetap menjadi sumber
kenyamanan dan keamanan yang tak tergoyahkan. Mereka menyewa
apartemen di dekat kami, sering berkunjung, ayah Paul menggosok-gosok
kaki Paul, ibu Paul membuatkannya dosa India dengan saus kelapa. Paul,
Jeevan, dan Suman duduk di sofa, kaki Paul disangga untuk meredakan
nyeri punggungnya, dan mereka membahas “sintaksis” permainan sepak
bola. Aku dan istri Jeevan, Emily, tertawa di dekat situ, sementara Cady
dan sepupu-sepupunya, Eve dan James, terlelap. Pada siang-siang seperti
itu ruang duduk rumah kami terasa seperti desa kecil yang aman.
Belakangan, di ruangan yang sama itu, Paul menggendong Cady di kursi
menulisnya, membacakan karya Robert Frost, T.S. Eliot, dan Wittgenstein
keras-keras, sementara aku memotretnya. Momen-momen sederhana
semacam itu dipenuhi keanggunan dan keindahan, dan bahkan
keberuntungan, kalau konsep semacam itu bisa dibilang ada. Namun,
kami memang merasa beruntung, merasa bersyukur—karena keluarga,
karena komunitas, karena peluang, karena putri kami, karena kami telah
bangkit untuk saling bertemu pada saat kepercayaan dan penerimaan
mutlak diperlukan. Walaupun beberapa tahun terakhir ini sulit dan
menyakitkan—terkadang nyaris mustahil—itu juga tahun-tahun paling
indah dan luar biasa dalam hidupku, menuntut tindakan harian untuk
mempertahankan keseimbangan antara kehidupan dan kematian,
kegembiraan dan kepedihan, serta menjelajahi kedalaman baru rasa cinta
dan rasa syukur.
Dengan mengandalkan kekuatan dirinya sendiri dan dukungan keluarga
serta komunitas, Paul menghadapi setiap tahap penyakitnya dengan
elegan—bukan dengan keberanian atau keyakinan keliru bahwa dia akan
“mengatasi” atau “mengalahkan” kanker, melainkan dengan kejujuran
yang memungkinkannya untuk berduka atas hilangnya masa depan yang
telah direncanakan, kemudian mulai menempa masa depan baru. Paul
menangis pada hari dia didiagnosis. Dia menangis ketika melihat gambar
yang kami letakkan di cermin kamar mandi, yang bertuliskan, “Aku ingin
menghabiskan seluruh hariku di sini bersamamu.” Dia menangis pada hari
terakhirnya di ruang operasi. Dia membiarkan dirinya terbuka dan rentan,
membiarkan dirinya dihibur. Bahkan, ketika menderita penyakit
mematikan, Paul tetap hidup sepenuhnya; walaupun mengalami
keruntuhan sik, dia tetap bersemangat, terbuka, penuh harapan, bukan
terhadap pengobatan yang mustahil, melainkan terhadap hari-hari yang
dipenuhi tujuan dan makna.
Suara Paul dalam When Breath Becomes Air sangatlah kuat dan berbeda,
tetapi juga sedikit terasing. Yang paralel dengan kisah ini adalah cinta,
kehangatan, kelapangan, dan persetujuan radikal yang mengelilinginya.
Kita semua menghuni jati diri yang berbeda dalam ruang dan waktu. Di
sini Paul berperan sebagai dokter, sebagai pasien, dan berada dalam
hubungan dokter-pasien. Dia menulis dengan suara jernih, suara
seseorang yang waktunya terbatas, pejuang tak kenal lelah, walaupun ada
banyak jati diri yang lainnya juga. Yang tak tertangkap sepenuhnya di
halaman-halaman ini adalah rasa humor Paul—dia sangat jenaka—atau
juga kemanisan dan kelembutannya, nilai yang diberikannya pada
hubungan dengan teman-teman dan keluarga. Namun, inilah buku yang
ditulisnya; inilah suaranya selama masa itu; inilah pesannya selama masa
itu; inilah yang ditulisnya ketika dia merasa perlu menuliskannya.
Sesungguhnya versi Paul yang paling kurindukan, bahkan melebihi versi
gagah memesona yang membuatku jatuh cinta untuk kali pertama, adalah
sosok lelaki rupawan dan terfokus seperti pada tahun terakhirnya, Paul
yang menulis buku ini—yang ringkih, tetapi tak pernah lemah.
Paul merasa bangga terhadap buku ini, yang merupakan puncak dari
cintanya terhadap kesusastraan—dia pernah berkata bahwa menurutnya
puisi lebih menghibur daripada Kitab Suci—dan puncak dari
kemampuannya untuk menempa, dari hidupnya, kisah hebat dan
meyakinkan mengenai hidup bersama kematian. Ketika Paul mengirim
surel untuk sahabat terdekatnya pada Mei 2013 untuk memberitahunya
bahwa dia menderita kanker mematikan, dia menulis, “Kabar baiknya
adalah aku sudah hidup lebih lama daripada dua Brontë, Keats, dan
Stephen Crane. Kabar buruknya adalah aku belum menulis apa pun.”
Perjalanannya setelah itu adalah sebuah transformasi—dari pekerjaan
sepenuh hati menjadi pekerjaan sepenuh hati lain, dari suami menjadi
ayah, dan akhirnya, tentu saja, dari kehidupan menjadi kematian,
transformasi akhir yang menanti kita semua. Aku bangga menjadi
pasangannya sepanjang masa itu, termasuk ketika dia menulis buku ini,
kegiatan yang memungkinkannya untuk hidup dengan harapan, dengan
alkimia lembut berupa semangat dan peluang yang dikisahkannya dengan
sangat mengesankan hingga saat penghabisan.

P aul dimakamkan dalam peti mati kayu dedalu di pinggir sebuah


lapangan di Pegunungan Santa Cruz, menghadap Samudra Pasi k dan
garis pantai yang dipenuhi kenangan—pendakian santai, pesta hidangan
laut, koktail ulang tahun. Dua bulan sebelumnya, pada akhir pekan yang
hangat pada Januari, kami mencelupkan kaki gemuk Cady ke dalam air
asin di pantai di bawahnya. Paul tidak terikat pada takdir tubuhnya setelah
dia tiada, dan dia membiarkan kami membuat putusan untuk
mewakilinya. Aku yakin kami memutuskan dengan baik. Makam Paul
menghadap barat, dengan bentangan 8 kilometer puncak pegunungan
hijau menuju lautan. Di sekelilingnya terdapat perbukitan yang dihampari
rumput liar, pohon cemara, dan tanaman euphorbia kuning. Selagi duduk,
kau akan mendengar angin, burung-burung berkicau, dan gemeresik tupai
tanah. Paul tiba di sini atas kehendaknya sendiri, dan lokasi makamnya
terasa dipenuhi ketangguhan dan kehormatan, tempat yang layak baginya
—tempat yang layak bagi kita semua. Aku teringat satu kalimat dari
pemberkatan yang disukai kakekku: “Kita akan bangkit di luar kesadaran,
dan mencapai puncak perbukitan abadi, tempat yang berangin sejuk dan
berpemandangan menakjubkan.”
Akan tetapi, ini tak selalu menjadi tempat yang mudah untuk
dikunjungi. Cuacanya tidak bisa diprediksi. Karena Paul dimakamkan di
sisi pegunungan yang berangin, aku pernah mengunjungi makamnya pada
tengah terik matahari, kabut yang menyelimuti, dan hujan yang dingin
menusuk. Tempat itu bisa tidak nyaman, tetapi bisa juga terasa damai,
tempat umum, tetapi sepi—seperti kematian, seperti kedukaan—tetapi
ada keindahan dalam semua itu, dan kurasa ini baik dan benar.
Aku sering mengunjungi makam Paul, membawa sebotol kecil Madeira,
anggur yang berasal dari tempat bulan madu kami. Setiap berkunjung,
kutuang sebagian anggur ke rumput untuk Paul. Ketika orangtua dan
semua saudara laki-laki Paul ikut bersamaku, kami mengobrol, sementara
aku membelai rumput seakan-akan itu rambut Paul. Cady mengunjungi
makam Paul sebelum tidur siang, berbaring di atas selimut, menyaksikan
awan berarak-arak di atas kepalanya, dan meraih bunga-bunga yang kami
letakkan. Pada malam sebelum upacara pemakaman Paul, aku dan semua
saudara kandung kami berkumpul bersama dua puluh teman terlama dan
terdekat Paul, dan sekilas aku bertanya-tanya apakah rumputnya akan
rusak karena kami menuanginya dengan begitu banyak wiski.
Aku sering kembali ke makam itu setelah meninggalkan bunga-bunga—
tulip, lili, anyelir—dan mendapati mahkota bunga-bunga itu disantap
rusa. Ini pemanfaatan yang baik untuk bunga-bunga itu dan Paul pasti
suka. Tanahnya dengan cepat digemburkan oleh cacing-cacing, proses-
proses alam terus berlanjut, mengingatkanku pada apa yang dilihat Paul
dan apa yang kini kusimpan jauh di dalam tulang-tulangku juga: tak
terpisahkannya kehidupan dan kematian, dan kemampuan untuk
menghadapinya, untuk menemukan makna dalam peristiwa ini karena
telah mengalami peristiwa ini. Apa yang menimpa Paul memang tragis,
tetapi dia bukan tragedi.
Kupikir aku hanya akan merasa hampa dan patah hati setelah kematian
Paul. Tak pernah terbayangkan olehku bahwa aku bisa mencintai
seseorang dengan cara yang sama setelah dia tiada, bahwa aku akan terus
merasakan cinta dan syukur semacam itu seiring kesedihan yang luar
biasa, kedukaan yang begitu berat sehingga terkadang aku menggigil dan
merintih menanggung bebannya. Paul sudah tiada, dan aku sangat
merindukannya hampir setiap saat. Namun, entah bagaimana, aku merasa
masih menjadi bagian dari kehidupan yang kami ciptakan bersama.
“Kedukaan bukanlah pemangkasan cinta dalam pernikahan,” tulis C.S.
Lewis, “melainkan salah satu fase regulernya—seperti bulan madu. Yang
kita inginkan adalah menjalani pernikahan dengan baik dan setia
melewati fase itu juga.” Mengasuh putri kami, memelihara hubungan
dengan keluarga, menerbitkan buku ini, memburu pekerjaan yang
bermakna, mengunjungi makam Paul, berduka dan menghormatinya, dan
bertahan … cintaku berlanjut—terus hidup—dengan cara yang tak pernah
kuduga.
Ketika melihat rumah sakit tempat Paul hidup dan meninggal sebagai
dokter dan pasien, kupahami bahwa, seandainya Paul masih hidup, dia
akan memberikan sumbangan besar sebagai dokter bedah saraf dan
ilmuwan saraf. Dia akan membantu pasien yang tak terhitung banyaknya
dan keluarga mereka dalam melewati beberapa momen paling menantang
dalam hidup mereka, tugas yang sedari awal memikat Paul untuk
menggeluti bedah saraf. Paul adalah, dan akan terus menjadi, orang baik
dan pemikir serius. Namun, buku ini adalah cara baru baginya untuk
membantu orang lain, sumbangan yang hanya bisa diberikan olehnya. Ini
tidak membuat kematiannya, dan rasa kehilangan kami, menjadi tidak
begitu menyakitkan.
Akan tetapi, Paul menemukan makna dalam perjuangan. Di halaman
114 buku ini, dia menulis, “Kau tak akan pernah bisa mencapai
kesempurnaan, tetapi kau bisa memercayai asimtot ke arah yang kau
perjuangkan tanpa kenal lelah.” Itu pekerjaan yang berat dan
menyakitkan, tetapi Paul tak pernah bimbang. Inilah kehidupan yang
diberikan kepadanya, dan inilah yang Paul lakukan terhadap kehidupan
itu. When Breath Becomes Air adalah buku yang lengkap, sebagaimana
adanya.
Dua hari setelah Paul tiada, aku menulis buku harian untuk Cady:
“Ketika seseorang meninggal, orang cenderung mengucapkan hal-hal
hebat mengenainya. Ketahuilah bahwa semua hal menakjubkan yang kini
dikatakan orang-orang mengenai ayahmu adalah benar. Dia benar-benar
sehebat itu dan seberani itu.” Ketika merenungkan tujuan hidup Paul, aku
sering teringat pada lirik dari himne yang berasal dari “Pilgrim’s Progress”:
“Siapa yang hendak melihat keberanian sejati, / Biarlah dia datang kemari
.… / Angan-angan melayang pergi, / Dia tak akan gentar dengan perkataan
orang, / Dia akan bekerja siang malam / Untuk menjadi peziarah.” Putusan
Paul untuk menatap langsung kematian bukan hanya menjadi bukti
mengenai siapa dirinya pada jam-jam terakhir kehidupannya, melainkan
juga bukti mengenai siapa dirinya selama ini. Hampir sepanjang hidupnya
Paul bertanya-tanya mengenai kematian—dan apakah dia bisa
menghadapinya dengan penuh integritas. Pada akhirnya, jawabannya
adalah “ya”.
Akulah istri dan saksinya.
Ucapan Terima Kasih

TERIMA KASIH kepada Dorian Karchmar, agen Paul di William Morris


Endeavor, yang dengan dukungan dan bimbingannya telah meyakinkan
Paul bahwa dia bisa menulis sebuah buku penting. Dan, kepada Andy
Ward, editor Paul di Random House, yang kegigihan, kebijaksanaan, dan
talenta editorialnya membuat Paul bersemangat untuk bekerja
bersamanya, dan yang rasa humor dan kasihnya membuat Paul ingin
berteman dengannya. Ketika Paul meminta keluarganya—secara har ah
merupakan keinginan terakhirnya—untuk mengantarkan buku ini agar
diterbitkan setelah kematiannya, aku bisa berjanji kepadanya bahwa kami
akan mewujudkan keinginannya karena keyakinan kami semua terhadap
Dorian dan Andy. Pada saat itu, manuskripnya hanya berupa arsip terbuka
di komputer Paul, tetapi berkat talenta dan dedikasi mereka, aku yakin
Paul wafat dengan pemahaman bahwa kata-kata ini akan menemukan
jalan mereka ke dunia, dan bahwa melalui kata-kata ini, putri kami akan
mengenalnya. Terima kasih kepada Abraham Verghese untuk kata
pengantar yang pasti akan membuat Paul senang (satu-satunya
keberatanku: sebenarnya yang dinilai dr. Verghese sebagai “jenggot nabi”
adalah “jenggot aku-tak-punya-waktu-untuk-bercukur”!). Aku berterima
kasih kepada Emily Rapp atas kesediaannya menemuiku dalam
kedukaanku dan membimbingku dalam penulisan epilog ini, serta
mengajariku, sama seperti yang dilakukan oleh Paul, mengenai seperti apa
penulis itu dan mengapa penulis menulis. Terima kasih kepada semua
orang yang telah mendukung keluarga kami, termasuk para pembaca buku
ini. Akhir kata, terima kasih kepada para advokat, dokter, dan ilmuwan
yang bekerja tanpa kenal lelah untuk mengembangkan riset dan kesadaran
terhadap kanker paru-paru, dengan tujuan mengubah kanker paru-paru
tahap lanjut sekalipun menjadi penyakit yang tidak mematikan.
Lucy Kalanithi
Profil Penulis

PAUL KALANITHI adalah dokter bedah saraf dan penulis. Dia dibesarkan
di Kingman, Arizona, dan lulus dari Universitas Stanford dengan gelar
sarjana dan master dalam Sastra Inggris dan sarjana dalam Biologi
Manusia. Dia meraih gelar master dalam Sejarah dan Filsafat Sains dan
kedokteran dari Universitas Cambridge serta lulus cum laude dari Sekolah
Kedokteran Yale, tempatnya dilantik menjadi anggota kehormatan
perhimpunan kedokteran nasional Alpha Omega Alpha. Dia kembali ke
Stanford untuk menyelesaikan pelatihannya sebagai dokter residen dalam
bedah saraf dan beasiswa pascadoktoral dalam ilmu saraf, serta menerima
penghargaan tertinggi dari American Academy of Neurological Surgery
untuk riset. Dia wafat pada Maret 2015. Dia meninggalkan keluarga besar
tercintanya, termasuk istrinya, Lucy, dan putrinya, Elizabeth Acadia.

Anda mungkin juga menyukai