(ID) WHEN BREATH BECOMES AIR (Paul Kalanithi (Kalanithi, Paul) )
(ID) WHEN BREATH BECOMES AIR (Paul Kalanithi (Kalanithi, Paul) )
buku ini sebagian datang dari fakta nyata bahwa penulisnya adalah seorang polimatik. Sedang
sebagian lainnya datang dari caranya bercerita tentang apa yang terjadi padanya—dengan penuh
semangat, bekerja dan berjuang, menolak kemudahan, menanti untuk hidup, dan belajar untuk
mati—dengan begitu baik. Tak satu pun di antaranya yang cengeng. Tak ada yang dilebih-lebihkan.
Seperti tulisannya kepada seorang teman, ‘Ini cukup tragis dan cukup bisa dibayangkan.’ Serta
cukup penting untuk bisa dilewatkan begitu saja.”
“Memoar Paul Kalanithi, When Breath Becomes Air, yang ditulis saat ia menghadapi diagnosis
kanker mematikan, benar-benar menyentuh. Namun, buku ini merupakan investasi emosional
yang tak sia-sia: memoar yang mendalam dan menggugah tentang keluarga, kedokteran, dan
sastra. Secara tak terduga buku ini sangat inspiratif meski berlatar menyedihkan.”
— e Washington Post
“Memoar anumerta Paul Kalanithi, When Breath Becomes Air, memiliki daya tarik dan kebijakan
tragedi kuno Yunani ... [Kalanithi] menyampaikan kisahnya dalam sebuah prosa lugas yang indah.
Buku ini penuh dengan re eksi sarat makna sekaligus sangat pedih mengenai kematian, yang lahir
dari seorang dokter terlatih yang familier dengan apa yang ada di depan sana .... Narasinya begitu
meyakinkan dan kuat hingga Anda akan berharap dia bisa selamat dari kematiannya dan
— e Boston Globe
“Memilukan sekaligus spektakuler ... [Kalanithi] begitu menyenangkan, dekat, dan rendah hati
sehingga Anda akan tersedot ke dalam dunianya dan lupa ke mana kisah ini menuju.”
—USA Today
“Pendekatan [Kalanithi] yang tidak sentimental itulah yang membuat When Breath Becomes Air
sangat orisinal—sekaligus memilukan .... Satu-satunya kelemahan buku ini, sebagaimana hidup
—Cheryl Strayed
“Memesona, memilukan, dan sangat indah. Memoar Dr. Kalanithi yang terlalu muda ini
merupakan sebuah bukti bahwa mereka yang sekaratlah yang paling bisa mengajari kita tentang
kehidupan.”
—Atul Gawande
“Berkat When Breath Becomes Air, kita yang belum pernah bertemu langsung dengan Paul Kalanithi
akan berduka atas kematiannya, sekaligus mengambil pelajaran dari hidupnya. Buku ini merupakan
salah satu dari sedikit buku yang saya anggap sebagai sebuah berkah—Saya akan
merekomendasikannya kepada semua orang, siapa saja.”
—Ann Patchett
“Inspiratif ... perjuangan Kalanithi untuk mende nisikan peran gandanya sebagai dokter dan
pasien, serta pendapatnya dalam topik mengenai apa makna kehidupan dan bagaimana seseorang
menentukan apa yang paling penting saat hanya ada sedikit waktu .... Memoar yang sangat
menggugah ini mengungkapkan betapa banyak hal yang bisa diraih dengan pengabdian dan rasa
syukur, saat kehidupan dijalani dengan keberanian dan ketabahan.”
—Publishers Weekly
“Sebuah perenungan mengenai kematian yang menggugah dari seorang penulis berbakat dengan
dua sudut pandang dari seorang dokter dan pasien yang menjelaskan satu hal ... menulis bukanlah
bedah otak. Namun, jarang sekali ada seseorang yang begitu baik dalam menulis sekaligus sangat
terampil sebagai seorang dokter bedah saraf.”
—Kirkus Reviews (resensi berbintang)
“Memoar yang mengggugah dan menghunjam. Perenungan yang begitu mengesankan dan
menyentuh mengenai pilihan-pilihan yang membuat hidup layak dijalani, bahkan saat kematian di
depan mata. Buku ini akan mendorong pembacanya merenungi nilai dan kematian mereka sendiri.”
—Booklist
“Dr. Kalanithi menggambarkan dengan begitu jelas sekaligus sederhana, secara mendalam tanpa
sedikit pun rasa iba kepada diri sendiri. Perjalanannya dari seorang mahasiswa kedokteran yang
lugu, menjadi seorang ahli bedah saraf yang objektif dan tangguh, hingga kemudian menjadi
seorang pasien tak berdaya yang sekarat karena kanker. Tiap dokter harus membaca buku ini—
yang ditulis oleh sejawatnya sendiri, untuk bisa memahami dan mengatasi penghalang yang kita
bangun antara kita dan pasien begitu lulus dari sekolah kedokteran.”
—Henry Marsh, penulis Do No Harm: Stories of Life, Death, and Brain Surgery
“Sebuah buku mengagumkan, yang sarat dengan kehidupan, digerakkan oleh kekaguman dan
pertanyaan bagaimana seharusnya kita hidup. Paul Kalanithi hidup dan meninggal dalam
pencarian akan kesempurnaan, dan dengan testimoninya ini, ia mendapatkannya.”
“Buku yang hebat selalu mengajak pembacanya berbicara kepada diri sendiri. Kalanithi
mengajarkan kita bahwa hidup tak cukup dijalankan dengan satu skenario saja—terutama untuk
membahagiakan orang-orang yang kita sayangi.”
When Breath Becomes Air/Paul Kalanithi; penerjemah: Ingrid Dwijani & Yusa Tripeni;
penyunting, Ika Yuliana Kurniasih.—Yogyakarta: Bentang, 2016.
Fax.: +62-21-7864272
email: mizandigitalpublishing@mizan.com
T
erpikir olehku, selagi aku menuliskannya, bahwa kata pengantar
buku ini mungkin lebih tepat jika dianggap sebagai kata penutup.
Karena, ketika menyangkut Paul Kalanithi, semua pemahaman
tentang waktu berubah total. Mula-mula—atau mungkin pada akhirnya—
aku mengenal Paul hanya setelah kematiannya. (Bersabarlah dahulu.) Aku
mengenalnya paling akrab ketika dia sudah tiada.
Aku berjumpa dengannya pada suatu siang yang mengesankan di
Stanford awal Februari 2014. Dia baru saja menerbitkan artikel berjudul
“Seberapa Banyak Waktuku yang Tersisa?” di e New York Times, sebuah
esai yang kemudian mendatangkan respons luar biasa, curahan hati dari
para pembaca. Pada hari-hari berikutnya artikel itu meluas berlipat ganda.
(Aku dokter spesialis penyakit menular, jadi maaf kalau aku tidak
menggunakan kata “mewabah” sebagai kiasan.) Setelah itu, Paul
mengatakan ingin menemuiku untuk mengobrol dan meminta saran
mengenai agen sastra, penyunting, proses penerbitan—dia ingin menulis
buku, yaitu buku ini, yang kini sedang Anda pegang. Aku ingat matahari
menerobos masuk dari balik pohon magnolia di luar kantorku dan
menerangi adegan ini: Paul duduk di hadapanku, sepasang tangan
indahnya sama sekali tidak bergerak, jenggot nabinya lebat, mata gelapnya
mengamatiku. Dalam ingatanku, pemandangan itu punya kualitas seperti
lukisan Vermeer, dengan ketajaman camera obscura. Aku ingat berpikir,
Kau harus mengingat momen ini, karena gambaran yang jatuh ke retinaku
sangatlah berharga. Juga karena, dalam konteks diagnosis Paul, aku tidak
hanya menyadari mortalitasnya, tetapi juga mortalitasku sendiri.
Siang itu kami bicara banyak hal. Paul adalah kepala dokter residen
bedah saraf. Kami mungkin pernah bersilang jalan pada suatu waktu,
tetapi tidak ingat apakah kami pernah menangani pasien yang sama. Dia
mengatakan bahwa dia mengambil Jurusan Bahasa Inggris dan Biologi
ketika kuliah sarjana di Stanford, lalu tetap menekuninya untuk meraih
gelar master dalam Sastra Inggris. Kami membicarakan kecintaan seumur
hidupnya pada menulis dan membaca. Terpikir olehku bahwa dia bisa
dengan mudah menjadi dosen Bahasa Inggris—dan memang, tampaknya
dia pernah menempuh jalur itu pada suatu waktu dalam hidupnya.
Namun, kemudian, persis seperti yang terjadi kepada Rasul Paulus dalam
perjalanannya menuju Damaskus, dia merasa terpanggil. Dia akhirnya
menjadi dokter, tetapi selalu bermimpi untuk kembali ke dunia
kesusastraan dalam bentuk tertentu. Sebuah buku, mungkin. Suatu hari
nanti. Dia mengira dirinya punya waktu, jadi kenapa tidak? Namun, kini
justru waktulah yang hanya sedikit sekali dimilikinya.
Aku ingat senyuman Paul yang lembut dan masam, ada sedikit
kenakalan di sana, walaupun wajahnya tampak kurus dan lelah. Dia telah
mengalami cobaan berat sehubungan dengan kankernya, tetapi terapi
biologis baru telah menghasilkan respons yang baik, memungkinkannya
untuk sedikit memandang ke depan. Katanya, pada saat kuliah kedokteran
dia berasumsi hendak menjadi psikiater, tetapi kemudian malah jatuh
cinta pada bedah saraf.
Ini bukan sekadar jatuh cinta pada segala
kerumitan otak, bukan sekadar kepuasan melatih
sepasang tangannya untuk meraih kesuksesan-
kesuksesan menakjubkan—ini adalah cinta dan
empati terhadap orang-orang yang menderita,
terhadap apa yang mereka tanggung, dan apa
yang bisa dia lakukan untuk membantu mereka.
Kurasa Paul tidak bercerita sebanyak ini karena aku lebih banyak
mendengar mengenainya dari mahasiswa-mahasiswaku yang menjadi
asistennya: Paul sangat meyakini dimensi moral dalam pekerjaannya. Lalu,
kami membicarakan kematiannya yang menjelang.
Setelah pertemuan itu, kami terus berhubungan lewat surel, tetapi tak
pernah berjumpa kembali. Bukan hanya karena aku menghilang ke dalam
duniaku sendiri yang dipenuhi tenggat waktu dan tanggung jawab,
melainkan aku juga sangat paham bahwa aku harus menghormati waktu
yang dimilikinya. Biar Paul yang memutuskan kalau dia ingin menemuiku.
Kurasa dia tak perlu terbebani kewajiban membina pertemanan baru.
Akan tetapi, aku sering merenungkan Paul dan istrinya. Aku ingin
bertanya apakah dia menulis. Sempatkah dia? Selama bertahun-tahun,
sebagai dokter yang sibuk, aku selalu berjuang mencari waktu untuk
menulis. Aku ingin memberitahunya bahwa seorang penulis terkenal, yang
bersimpati terhadap masalah abadi ini, pernah berkata kepadaku,
“Seandainya aku dokter bedah saraf dan mengatakan harus meninggalkan
tamu-tamuku untuk melakukan kraniotomi darurat, tak seorang pun akan
berkomentar. Namun, seandainya aku mengatakan harus meninggalkan
tamu-tamuku di ruang duduk dan pergi ke lantai atas untuk menulis .…”
Aku bertanya-tanya apakah Paul akan menganggap hal ini menggelikan.
Lagi pula, dia memang bisa mengatakan hendak melakukan kraniotomi!
Ini masuk akal! Namun, kemudian dia bisa pergi untuk menulis.
Selagi menulis buku ini, Paul menerbitkan esai singkat yang luar biasa di
Stanford Medicine, dalam edisi yang membahas gagasan mengenai waktu.
Esaiku juga dimuat dalam edisi yang sama. Artikelku berdampingan
dengan artikelnya walaupun sumbangan tulisannya baru kuketahui ketika
majalah itu sudah berada di tanganku. Ketika membaca kata-kata Paul,
sekilas bisa kulihat lebih dalam lagi sesuatu yang diisyaratkan dalam
esainya di e New York Times: tulisan Paul benar-benar menakjubkan. Dia
bisa menulis mengenai apa saja, dan tulisannya akan sama hebatnya.
Namun, dia tidak menulis mengenai apa saja—dia menulis tentang waktu
dan apa arti waktu baginya sekarang, sehubungan dengan penyakitnya.
Dan, ini membuat segalanya begitu mengharukan.
Akan tetapi, aku harus kembali pada hal yang satu ini: prosa Paul tak
terlupakan. Dia memintal emas dengan penanya.
Aku membaca tulisan Paul berulang-ulang, berusaha memahami apa
yang dikemukakannya. Pertama, tulisan Paul bagai musik. Tulisannya
bergema layaknya puisi Galway Kinnell, nyaris seperti puisi prosa.
(“Jika kebetulan pada suatu hari / kau
mendapati dirimu bersama seseorang yang kau
cintai / di sebuah kafe di salah satu ujung /
Pont Mirabeau, di bar bermeja kayu kemerahan /
dengan anggur dalam gelas-gelas tegak terbuka
.…” Itulah larik Kinnell, dari puisi yang pernah
kudengar dibacakannya di sebuah toko buku di
Iowa City tanpa pernah menunduk membaca dari
kertasnya.)
Akan tetapi, tulisan Paul juga memiliki cita rasa lain, sesuatu dari tanah
kuno, dari masa sebelum bar-bar bermeja kayu kemerahan ada. Akhirnya,
terpikirkan olehku beberapa hari kemudian ketika aku kembali membaca
esainya: tulisan Paul mengingatkanku pada tulisan omas Browne.
Browne menulis Religio Medici dalam bentuk prosa pada 1642, lengkap
dengan semua ejaan dan penuturan kunonya. Semasa menjadi dokter
muda, aku terobsesi dengan buku itu, terus membacanya seperti petani
yang berupaya mengeringkan rawa walaupun ayahnya telah gagal
melakukannya. Itu tugas yang sia-sia, tetapi aku ingin sekali memahami
rahasia-rahasia buku itu, yang kulemparkan dengan frustrasi, lalu
kupungut kembali, tidak yakin buku itu punya sesuatu untukku. Namun,
ketika menyuarakan kata-katanya, aku merasa buku itu punya sesuatu
untukku. Aku merasa tidak memiliki reseptor kritis yang diperlukan agar
huruf-huruf itu menyanyi dan menyampaikan makna mereka. Buku itu
tetap kabur, tak peduli seberapa keras aku berusaha memahaminya.
Anda mungkin bertanya mengapa. Mengapa aku terus berupaya? Siapa
yang peduli terhadap Religio Medici?
Well, pahlawanku, William Osler, peduli, dan itulah sebabnya. Osler
adalah Bapak Kedokteran Modern, lelaki yang wafat pada 1919. Dia
menyukai buku itu. Dia menyimpannya di nakas. Dia minta dikuburkan
bersama buku Religio Medici. Sekeras apa pun aku berusaha, aku sama
sekali tidak memahami apa yang dilihat Osler dari buku itu.
Setelah banyak upaya—dan setelah beberapa dekade berlalu—akhirnya
buku itu mengungkapkan dirinya kepadaku. (Aku terbantu karena edisi
yang lebih baru menggunakan ejaan modern.) Ternyata triknya adalah
dengan membaca keras-keras agar iramanya tak terlewatkan: “Kita
membawa ketakjuban itu, kita mencari di luar diri kita: Ada seluruh Afrika
dan keajaibannya dalam diri kita; kita adalah secuil alam yang pemberani
dan berjiwa petualang; dan orang yang mengamati, dengan bijak akan
mempelajarinya secara ringkas, padahal yang lainnya bersusah payah
menghadapinya dalam bentuk potongan terpisah dan buku tebal.”
Ketika Anda tiba di paragraf terakhir buku Paul, bacalah keras-keras dan
Anda akan mendengar kalimat panjang yang sama, irama yang menurut
Anda selaras dengan ketukan kaki .… Namun, sama seperti ketika
menghadapi karya Browne, Anda hanya akan tersesat. Terpikir olehku
bahwa Paul adalah kebangkitan-kembali Browne. (Atau, mengingat bahwa
beranjaknya waktu hanyalah ilusi kita, mungkin malah Browne yang
merupakan kebangkitan-kembali Kalanithi. Ya, ini sangat
membingungkan.)
Lalu, Paul berpulang. Aku menghadiri upacara pemakamannya di gereja
Stanford, ruangan indah yang sering kukunjungi ketika sedang sepi, untuk
duduk dan mengagumi cahayanya, keheningannya, dan di sanalah aku
selalu mendapatkan penyegaran. Gereja itu dipenuhi orang yang
mengikuti kebaktian. Aku duduk agak jauh di samping, mendengarkan
serangkaian cerita haru dan terkadang heboh dari teman-teman terdekat
Paul, pendetanya, dan saudara laki-lakinya.
Ya, Paul sudah tiada, tetapi anehnya aku merasa mulai mengenalnya,
melebihi saat kunjungannya ke kantorku, melebihi beberapa esai yang
ditulisnya. Dia menjelma dalam kisah-kisah yang diungkapkan di Gereja
Memorial Stanford. Kubah katedral yang menjulang menjadi ruangan yang
pas untuk mengenang lelaki yang kini tubuhnya terkubur di dalam tanah,
tetapi yang tetap saja terasa begitu hidup. Dia menjelma dalam bentuk istri
dan bayi perempuan tercintanya, orangtua dan saudara-saudara
kandungnya yang berduka; dia menjelma di wajah begitu banyak teman,
kolega, dan mantan pasien yang menyesaki tempat itu; lalu dia ada di
perjamuan, di luar ruangan dilatari begitu banyak orang yang berkumpul.
Aku melihat wajah-wajah yang tampak tenang, tersenyum, seakan-akan
mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang teramat sangat indah di
dalam gereja. Mungkin ekspresi wajahku juga seperti itu: kami
menemukan makna dalam ritual kebaktian, dalam ritual pengucapan
eulogi, dalam air mata yang menetes bersama-sama. Ada makna lebih
lanjut yang muncul saat perjamuan, tempat kami memuaskan dahaga,
memberi makan tubuh kami, dan bercakap dengan orang-orang asing yang
terhubung secara akrab dengan kami lewat Paul.
Akan tetapi, ketika menerima halaman-halaman yang kini Anda pegang,
dua bulan setelah kematian Paul, barulah aku merasa bahwa pada akhirnya
aku mengenalnya, mengenalnya lebih baik daripada sekadar teman.
Setelah membaca buku yang hendak Anda baca ini, kuakui aku merasa
tidak layak: ada kejujuran dan kebenaran dalam tulisan itu yang
membuatku terpana.
Bersiaplah. Duduklah. Lihatlah seperti apa
keberanian itu. Lihatlah betapa beraninya
mengungkapkan diri dengan cara seperti itu.
Akan tetapi, yang paling penting, lihatlah seperti apa hidup yang terus
berlanjut itu, yang secara luar biasa memengaruhi kehidupan orang lain
setelah Anda tiada, lewat kata-kata Anda. Di dunia dengan komunikasi
yang tidak sinkron, ketika kita sering kali begitu asyik di depan layar,
dengan pandangan terpaku pada benda persegi empat yang mendengung
di tangan kita, dan perhatian kita dikuasai oleh sesuatu yang fana,
berhentilah dan resapi dialog dengan kolega mudaku yang sudah tiada ini,
yang kini kekal dan tetap hidup dalam ingatan. Dengarkanlah Paul. Dalam
keheningan di antara kata-katanya, dengarkanlah respons apa yang
hendak Anda sampaikan kepadanya. Itulah pesannya. Aku telah
menerimanya. Kuharap Anda merasakannya juga. Ini karunia. Aku tak
akan menghalangi Anda mengenal Paul.
Prolog
S
epintas kulihat gambar-gambar pemindaian CT, diagnosisnya
sudah jelas: paru-paru dipenuhi tumor yang tak terhitung
banyaknya, tulang belakang berubah bentuk, satu lobus hati rusak.
Itu adalah kanker yang telah menyebar luas. Aku adalah dokter residen
bedah saraf yang sedang menjalani tahun terakhir pelatihan. Selama enam
tahun terakhir, aku telah meneliti banyak sekali gambar pemindaian
semacam itu, berharap menemukan prosedur tertentu yang mungkin
bermanfaat bagi pasien. Namun, ini berbeda: ini gambar pemindaian
tubuhku sendiri.
Aku tidak sedang berada di ruang radiologi, berseragam operasi dan
berjubah putih. Aku mengenakan jubah pasien, terhubung dengan tiang
infus, menggunakan komputer yang ditinggalkan perawat di kamar rumah
sakitku bersama istriku yang seorang internis, Lucy, di sampingku.
Kembali kuteliti setiap urutannya: gambar paru-paru, gambar tulang,
gambar hati, berpindah dari atas ke bawah, lalu dari kiri ke kanan,
kemudian dari depan ke belakang, persis seperti pelatihan yang kudapat,
seakan-akan aku bisa menemukan sesuatu yang bisa mengubah
diagnosisnya.
Kami sama-sama berbaring di ranjang rumah sakit.
Lucy berkata, dengan lirih, seakan-akan sedang membaca dari skrip,
“Menurutmu, ada kemungkinan sesuatu yang lain?”
“Tidak,” jawabku.
Kami berpelukan erat seperti sepasang kekasih muda. Setahun yang lalu
kami berdua sudah curiga, tetapi menolak untuk percaya, atau bahkan
membahas, bahwa kanker sedang berkembang dalam tubuhku.
Sekitar enam bulan sebelumnya, bobotku mulai merosot dan aku
menderita sakit punggung parah. Ketika berpakaian pada pagi hari, ikat
pinggangku bergeser satu lubang, lalu dua lubang lebih ketat. Aku
menemui dokter umum langgananku, mantan teman kuliah di Stanford.
Saudara laki-lakinya meninggal tiba-tiba semasa menjadi dokter residen
bedah saraf setelah mengabaikan tanda-tanda infeksi ganas, jadi dia
mengawasi kesehatanku layaknya seorang ibu. Namun, setibanya di sana,
aku mendapati dokter yang berbeda di kantornya—ternyata mantan
teman kuliahku itu sedang cuti hamil.
Dengan mengenakan jubah biru tipis di atas ranjang periksa yang
dingin, kujelaskan gejala-gejala penyakitku kepada dokter perempuan itu.
“Tentu saja,” kataku, lalu melanjutkan, “seandainya ini pertanyaan ujian
kompetensi—lelaki berusia 35 tahun dengan penurunan bobot tak
terjelaskan dan permulaan sakit punggung—jawabannya pasti (C) kanker.
Namun, mungkin aku hanya bekerja terlalu keras. Entahlah. Aku ingin
menjalani MRI untuk memastikan.”
“Kurasa kita harus melakukan röntgen dahulu,” katanya. MRI untuk
sakit punggung biayanya mahal dan, belakangan ini, pencitraan yang tidak
perlu telah menjadi fokus nasional untuk mengusahakan penghematan
biaya. Namun, nilai gambar pemindaian juga bergantung pada apa yang
dicari: röntgen bisa dibilang tidak berguna untuk mendeteksi kanker.
Tetap saja, bagi banyak dokter, memerintahkan MRI pada tahap awal
seperti ini adalah bentuk pembelotan. Dia melanjutkan, “Gambar röntgen
tidak benar-benar peka, tetapi masuk akal jika kita memulainya dari sana.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita melakukan röntgen eksi-ekstensi
saja—mungkin diagnosis yang lebih realistis adalah spondilolistesis
ismik?”
Lewat pantulan cermin dinding, aku bisa melihat dokter itu mencarinya
di Google.
“Itu pars fracture yang menyerang hingga 5% orang dan sering menjadi
penyebab sakit punggung pada mereka yang masih muda.”
“Oke, kalau begitu, akan kuperintahkan röntgen eksi-ekstensi.”
“Terima kasih,” kataku.
Mengapa aku begitu berwibawa ketika mengenakan jubah dokter bedah,
tetapi begitu penurut ketika berjubah pasien? Sebenarnya aku tahu lebih
banyak mengenai nyeri punggung daripada dokter itu—setengah
pelatihanku sebagai dokter bedah saraf berhubungan dengan gangguan
tulang punggung. Namun, mungkin spondi lebih besar kemungkinannya.
Persentase penyakit itu memang cukup besar pada orang dewasa muda—
dan kanker tulang belakang di usia 30-an tahun? Kemungkinannya tak
akan melebihi satu di antara sepuluh ribu. Seandainya pun kanker tulang
belakang seratus kali lipat lebih lazim daripada itu, penyakit tersebut
masih kalah lazim jika dibandingkan spondi. Mungkin aku hanya panik.
Hasil röntgennya tampak baik-baik saja. Kami menyimpulkan gejala-
gejala penyakitku sebagai akibat kerja keras dan tubuh yang menua. Kami
menjadwalkan janji temu lanjutan, lalu aku kembali bekerja untuk
menyelesaikan kasus terakhirku pada hari itu. Penurunan bobotku
melambat dan nyeri punggungnya menjadi tertahankan. Dosis ibuprofen
yang sewajarnya mampu membuatku bertahan sepanjang hari. Lagi pula,
tak banyak lagi hari kerja melelahkan selama empat belas jam yang harus
kujalani. Perjalananku dari mahasiswa kedokteran menjadi dosen bedah
saraf sudah hampir selesai: setelah menjalani sepuluh tahun pelatihan
tanpa kenal lelah, aku bertekad untuk bertahan selama lima belas bulan
lagi hingga pelatihanku berakhir. Aku telah mendapatkan penghormatan
dari para seniorku, meraih penghargaan nasional yang prestisius, dan
sedang mempertimbangkan tawaran kerja dari beberapa universitas
terkemuka. Ketua program studiku di Stanford baru-baru ini mengajakku
bercakap-cakap, kemudian berkata, “Paul, kurasa kau akan menjadi
kandidat nomor satu saat melamar pekerjaan apa pun. Asal tahu saja,
kami hendak mulai mencari seseorang sepertimu di fakultas. Aku tidak
menjanjikan apa-apa, tentu saja, tetapi itu sesuatu yang harus kau
pertimbangkan.”
Pada usia 36 tahun, aku telah mencapai puncak gunung; aku bisa
melihat Tanah yang Dijanjikan, dari Gilead sampai Jerikho hingga Laut
Mediterania. Aku bisa melihat kapal katamaran cantik di laut yang akan
kugunakan bersama Lucy dan anak-anak kami nanti pada akhir pekan.
Aku bisa melihat ketegangan di punggungku terurai selagi jadwal kerjaku
berkurang dan kehidupan menjadi lebih mudah dikelola. Aku bisa melihat
diriku pada akhirnya menjadi suami yang telah kujanjikan.
Lalu, beberapa minggu kemudian, aku mulai mengalami serangan-
serangan nyeri dada yang parah. Apakah aku menabrak sesuatu di tempat
kerja? Tulang rusukku, entah bagaimana, retak? Terkadang, pada malam
hari, aku terbangun di atas seprai basah dengan keringat bercucuran.
Bobotku mulai anjlok lagi, kini semakin cepat, dari 80 menjadi 65
kilogram. Aku menderita batuk berkepanjangan. Hanya tersisa sedikit
keraguan. Pada suatu Sabtu siang aku dan Lucy berbaring di bawah
matahari di Taman Dolores di San Francisco, menunggu saudara
perempuan Lucy. Sekilas Lucy melirik layar ponselku yang menayangkan
hasil-hasil pencarian basis data medis: “frekuensi kanker pada usia 30
hingga 40 tahun.”
“Apa?” katanya. “Aku tidak tahu kau benar-benar mengkhawatirkan
persoalan ini.”
Aku tidak menjawab. Aku tak tahu harus berkata apa.
“Kau mau menceritakannya kepadaku?” tanyanya.
Lucy marah karena dia juga mengkhawatirkan hal yang sama. Dia marah
karena aku tidak membicarakan hal itu dengannya. Dia marah karena aku
menjanjikan sebuah kehidupan, tetapi memberinya kehidupan lain.
“Tolong coba katakan kenapa kau tidak menceritakannya kepadaku?”
tanyanya.
Aku mematikan ponsel. “Ayo kita cari es krim,” kataku.
A
ku tahu pasti bahwa aku tak akan pernah menjadi dokter. Aku
berbaring di bawah matahari, bersantai di plato gurun persis di
atas rumah kami. Pamanku, seorang dokter, seperti profesi
banyak kerabatku yang lain, sebelumnya bertanya kepadaku apa yang
kurencanakan untuk karierku, kini setelah aku hendak kuliah, dan
pertanyaan itu nyaris tak berkesan. Seandainya dipaksa menjawab, kurasa
aku akan mengatakan bahwa aku ingin menjadi penulis. Namun,
sejujurnya, pikiran mengenai karier pada saat itu tampak absurd.
Beberapa minggu lagi aku akan meninggalkan kota kecil Arizona ini dan,
alih-alih merasa seperti orang yang sedang bersiap mendaki tangga karier,
aku lebih merasa seperti elektron berdengung yang hendak mencapai
kecepatan untuk terlepas, terlempar ke jagat raya yang asing dan
berkilauan.
Aku berbaring di sana, di tanah, bermandikan cahaya matahari dan
kenangan, merasakan ukuran kota ini yang menciut; kota berpenduduk 15
ribu orang, berjarak 1.000 kilometer dari asrama kampus baruku di
Stanford beserta semua janjinya.
Aku mengenal kedokteran hanya melalui ketidakhadirannya—secara
spesi k, ketidakhadiran seorang ayah ketika aku tumbuh besar, seseorang
yang pergi bekerja sebelum fajar dan pulang dalam kegelapan untuk
menyantap sepiring hidangan makan malam yang dipanaskan kembali.
Ketika aku berusia 10 tahun, ayahku memindahkan kami—tiga bocah
laki-laki berusia 14, 10, dan 8 tahun—dari Bronxville, New York, daerah
pinggiran kota yang padat dan makmur persis di utara Manhattan, ke
Kingman, Arizona, lembah gurun yang dikelilingi dua rangkaian
pegunungan, yang dikenal dunia luar terutama sebagai tempat untuk
mengisi bensin dalam perjalanan menuju tempat lain.
Ayahku terpikat oleh mataharinya, oleh biaya hidupnya—bagaimana
lagi dia bisa membiayai ketiga putranya untuk kuliah di universitas yang
diinginkannya?—dan oleh peluang membuka praktik kardiologi
regionalnya sendiri. Dedikasinya yang tak kenal lelah terhadap para pasien
membuat ayahku diterima sebagai anggota komunitas yang dihormati tak
lama setelah menetap di sana. Ketika kami benar-benar bertemu
dengannya, larut malam atau saat akhir pekan, dia menunjukkan
campuran antara kasih sayang manis dan perintah galak, peluk cium
bercampur pernyataan keras, “Mudah sekali menjadi yang nomor satu:
temukan orang yang nomor satu, lalu raih satu angka lebih tinggi daripada
nilainya.” Dia telah mencapai semacam kompromi dalam pikirannya
bahwa peran sebagai ayah bisa disaring; luapan-luapan berintensitas
tinggi yang singkat dan padat (tetapi jujur) bisa disamakan dengan … apa
pun yang dilakukan oleh ayah-ayah lain. Yang kupahami hanyalah, jika itu
yang harus dibayar untuk menjadi dokter, harganya terlalu mahal.
Dari plato gurun itu, aku bisa melihat rumah kami, persis di luar garis
batas kota, di kaki Pegunungan Cerbat, di antara gurun batu merah yang
ditumbuhi semak mesquite, tumbleweeds, dan kaktus berbentuk pedal di
sana sini. Di luar sini angin berdebu mendadak berpusar-pusar ke atas,
mengaburkan penglihatan, lalu menghilang. Kekosongan membentang,
lalu menghilang di kejauhan. Kedua anjing kami, Max dan Nip, tak pernah
jemu dengan kebebasan seperti ini. Setiap hari mereka pergi menjelajah
dan membawa pulang semacam harta karun gurun: kaki kijang, cabikan-
cabikan daging kelinci untuk disantap belakangan, tengkorak kuda yang
memutih dikelantang matahari, tulang rahang coyote.
Aku dan teman-temanku juga mencintai kebebasan itu dan kami
menghabiskan sesiangan dengan menjelajah, berjalan-jalan, mencari
tulang dan sungai gurun yang langka. Setelah menghabiskan tahun-tahun
awalku di pinggiran kota yang tak begitu rimbun di Timur Laut, dengan
toko permen dan jalanan utama yang didereti pepohonan, aku
menganggap gurun liar yang berangin ini sangat asing dan memikat.
Dalam perjalanan seorang diri pertamaku sebagai bocah berusia 10
tahun, aku menemukan jeruji penutup saluran irigasi yang sudah usang.
Aku membukanya paksa dengan jemariku, mengangkatnya, dan di sana,
beberapa inci dari wajahku, tampak tiga jaring putih yang bagaikan sutra.
Pada masing-masing jaring terdapat tubuh bulat hitam mengilat, berhias
gambar jam pasir merah darah mengerikan, berjalan dengan kaki-kaki
kurus mereka yang panjang. Di dekat setiap laba-laba itu, terdapat sebuah
kantong pucat berdenyut-denyut, dipenuhi janin laba-laba black widow
yang tak terhitung banyaknya.
Kengerian membuatku menjatuhkan kembali jeruji itu. Aku
terjengkang. Kengerian itu bersumber dari berbagai macam “fakta desa”
(Tak ada yang lebih mematikan dibandingkan gigitan laba-laba black widow)
dan postur ganjil, kilau hitam, serta gambar jam pasir merah yang ada di
tubuh laba-laba itu. Setelah peristiwa itu, aku dihantui mimpi buruk
selama bertahun-tahun.
Gurun menawarkan berbagai kengerian: tarantula, laba-laba serigala,
laba-laba biola, kalajengking kulit kayu, kalajengking cambuk, kelabang,
ular punggung-berlian, ular derik sidewinder, ular derik Mojave. Pada
akhirnya kami mengenal, bahkan merasa nyaman, dengan makhluk-
makhluk ini. Sekadar iseng, ketika aku dan teman-temanku menemukan
sarang laba-laba serigala, kami akan menjatuhkan seekor semut ke tepi
jaring dan menyaksikan ketika upaya semut itu untuk meloloskan diri dari
belitan menciptakan riak-riak yang menjalari benang-benang sutra itu,
menuju lubang hitam yang ada di pusatnya. Kami menantikan momen
fatal ketika laba-laba menyeruak dari lubang jaringnya dan menyambar
semut sial itu dengan rahang bawahnya. Fakta desa adalah istilah yang
kupakai untuk menggantikan legenda kota. Ketika kali pertama
mengenalnya, fakta desa memberikan kekuatan dongeng pada makhluk-
makhluk gurun dan membuat, misalnya, kadal monster Gila sama
nyatanya dengan Gorgon, makhluk dalam mitologi Yunani. Hanya setelah
tinggal di gurun selama beberapa waktu, barulah kami menyadari bahwa
beberapa fakta desa, seperti misalnya keberadaan jackalope, semacam
terwelu bertanduk rusa, sengaja diciptakan untuk membingungkan orang
kota dan menghibur penduduk lokal. Aku pernah menghabiskan waktu
satu jam untuk meyakinkan sekelompok murid pertukaran pelajar dari
Berlin bahwa, ya, memang ada spesies coyote tertentu yang tinggal di
dalam kaktus dan bisa melompat sejauh 10 meter untuk menyerang
mangsanya (misalnya, orang Jerman yang tidak waspada). Namun, tak
seorang pun tahu persis kebenarannya di antara pasir yang berpusar-
pusar; karena, untuk setiap fakta desa yang tampak mustahil, ada satu
fakta yang terasa mantap dan nyata. Selalu periksa sepatumu kalau-kalau
ada kalajengkingnya, misalnya, kedengaran sangat masuk akal.
Ketika berusia 16 tahun, aku diharuskan mengantar adik laki-lakiku,
Jeevan, ke sekolah dengan mobil. Pada suatu pagi, seperti biasa, aku
terlambat bangun dan, ketika Jeevan berdiri dengan tidak sabar di ruang
depan, berteriak bahwa dia tak mau dihukum lagi gara-gara
keterlambatanku, jadi tolong bergegaslah, aku cepat-cepat menuruni
tangga, membuka pintu depan … dan nyaris menginjak ular derik
sepanjang 2 meter yang sedang terlelap. Ada fakta desa lain yang
menyebutkan bahwa kalau kita membunuh ular derik di ambang pintu
rumah kita, pasangan dan anak-anaknya akan datang untuk bersarang
secara permanen di sana, seperti ibu monster Grendel yang berniat
membalas dendam. Jadi, aku dan Jeevan melakukan undian: yang
beruntung harus mengambil sekop, yang tidak beruntung harus
mengambil sarung bantal dan sarung tangan tebal untuk berkebun. Dan,
setelah melakukan serangkaian gerakan serius sekaligus menggelikan,
kami berhasil memasukkan ular itu ke sarung bantal. Lalu, bagaikan
pelempar martil Olimpiade, kulemparkan semuanya ke gurun, kemudian
berencana untuk mengambil sarung bantalnya belakangan siang nanti
agar tidak terlibat masalah dengan ibu kami.
K ini mendadak aku tahu apa yang kuinginkan. Aku ingin para
pembimbing menumpuk kayu bakar … dan membiarkan abuku
berjatuhan, kemudian berbaur dengan pasir. Tulang-tulangku hilang di
antara kayu apung, gigi-gigiku lenyap di antara pasir .… Aku tidak
memercayai kebijakan anak kecil, juga kebijakan para tetua. Ada momen,
titik puncak, ketika jumlah total pengalaman yang terhimpun digerus oleh
detail-detail kehidupan. Kita tak pernah sebijak ketika hidup dalam
momen ini.
P ada tahun kedua pelatihan kaulah yang kali pertama tiba ketika
terjadi keadaan darurat. Beberapa pasien tak bisa kau selamatkan.
Yang lainnya bisa: kali pertama aku melarikan pasien koma dari UGD ke
RO, membersihkan darah dari tengkoraknya, lalu menyaksikannya
tersadar, mulai berbicara dengan keluarganya, dan mengeluhkan irisan di
kepalanya, aku terhanyut dalam kelinglungan euforia, berjalan-jalan di
sekitar rumah sakit pada pukul 2.00 dini hari hingga tak tahu di mana aku
berada. Aku memerlukan waktu 45 menit untuk menemukan jalan
kembali.
Jadwal kerjanya melelahkan. Sebagai dokter residen, kami bekerja 100
jam dalam seminggu; peraturan resmi membatasi jam kerja kami hingga
88 jam dalam seminggu, tetapi selalu ada lebih banyak pekerjaan yang
harus diselesaikan. Mataku berair, kepalaku berdenyut-denyut, aku
menenggak minuman pembangkit energi pada pukul 2.00 dini hari. Di
tempat kerja aku sanggup bertahan. Namun, begitu berjalan
meninggalkan rumah sakit, kelelahan melandaku. Aku terhuyung-huyung
melintasi lapangan parkir, sering kali tidur sejenak di mobil sebelum
menyetir selama lima belas menit untuk tidur di rumah.
Tidak semua dokter residen sanggup menghadapi tekanannya. Seorang
dokter residen benar-benar tidak sanggup menerima celaan atau tanggung
jawab. Dia dokter bedah berbakat, tetapi tak mau mengakui ketika
melakukan kesalahan. Aku duduk bersamanya pada suatu hari di ruang
istirahat dokter ketika dia memohon agar aku membantunya
menyelamatkan kariernya.
“Yang harus kau lakukan,” kataku sebelum melanjutkan, “hanyalah
memandang lurus ke mataku dan berkata, ‘Maaf. Apa yang terjadi adalah
kesalahanku dan aku tak akan membiarkannya terjadi lagi.’”
“Namun, perawatnya yang—”
“Tidak. Kau harus bisa mengatakannya dan bersungguh-sungguh
dengan perkataanmu. Cobalah lagi.”
“Tetapi—”
“Tidak. Katakanlah.”
Percakapan seperti ini berlanjut selama satu jam sebelum akhirnya aku
menyadari bahwa dia tak terselamatkan.
Tekanan membuat dokter residen lain meninggalkan gelanggang
sepenuhnya; dia memilih melakukan pekerjaan konsultasi yang tidak
terlalu berat.
Yang lainnya bahkan membayar harga lebih mahal.
Seiring dengan keahlianku yang meningkat, begitu juga tanggung
jawabku. Perlu kemampuan prognosis yang mustahil untuk belajar menilai
hidup siapa yang bisa diselamatkan, hidup siapa yang tidak bisa
diselamatkan, dan hidup siapa yang seharusnya tidak diselamatkan. Aku
melakukan kesalahan-kesalahan. Melarikan pasien ke RO untuk sebisa
mungkin menyelamatkan sebagian kecil otaknya agar jantungnya tetap
berdetak, tetapi dia tak akan pernah bisa bicara, dia makan lewat selang,
dan dia ditakdirkan menjalani eksistensi yang tak pernah diinginkannya
.… Ini kuanggap sebagai kegagalan yang lebih mengerikan daripada
kematian pasien. Eksistensi membingungkan—dengan metabolisme di
luar kesadaran—menjadi beban tak tertanggungkan yang biasanya
dilimpahkan kepada panti perawatan. Di sana keluarga yang tak bisa
mendapatkan kepastian akan semakin jarang berkunjung hingga
pneumonia atau luka baring yang fatal menyerang pasien. Beberapa pasien
bersikeras untuk tetap hidup dan merengkuh peluangnya dengan mata
terbuka. Namun, banyak yang pasrah, atau tidak sanggup, dan dokter
bedah saraf harus belajar memutuskan.
Aku memulai karier ini, antara lain, untuk
memburu kematian: untuk meraihnya, membuka
selubungnya, dan melihatnya secara langsung,
tanpa berkedip. Bedah saraf memikatku karena
menyangkut saling terjalinnya otak dan
kesadaran, dan juga saling terjalinnya kehidupan
dan kematian.
Tadinya kupikir kehidupan yang dihabiskan dalam ruang di antara
kedua hal itu tidak hanya akan memberiku panggung untuk menunjukkan
tindakan welas asih, tetapi juga akan meningkatkan keberadaanku sendiri:
pergi sejauh mungkin dari materialisme picik, dari hal-hal sepele untuk
kepentingan diri sendiri, dan berada tepat di sana, di inti
permasalahannya, putusan dan perjuangan antara hidup-dan-mati yang
sesungguhnya … pasti sejenis transenden bisa ditemukan di sana, kan?
Akan tetapi, ketika menjadi dokter residen, sesuatu yang lain perlahan-
lahan terkuak. Di tengah rentetan cedera kepala yang tak ada habisnya itu,
aku mulai curiga bahwa berada begitu dekat dengan cahaya garang
momen-momen semacam itu hanya akan membutakanku terhadap kodrat
mereka, sama seperti mencoba belajar astronomi dengan menatap
matahari secara langsung. Aku belum pernah bersama pasien-pasien dalam
momen menentukan mereka, aku hanya hadir pada momen menentukan
itu. Aku mengamati banyak penderitaan; yang lebih buruk lagi, aku
menjadi terbiasa dengannya. Ketika sedang tenggelam, bahkan di dalam
darah, seseorang akan beradaptasi, belajar mengapung, berenang, bahkan
menikmati hidup, bergaul dengan para perawat, dokter, dan orang lain
yang menggelayuti rakit yang sama, terjebak dalam gelombang pasang
yang sama.
Aku dan sesama dokter residen, Je , menangani kasus-kasus trauma
bersama-sama. Ketika dia memanggilku ke bangsal trauma karena ada
kasus cedera kepala konkuren, kami selalu kompak. Dia memeriksa bagian
perut, lalu meminta prognosisku mengenai fungsi kognitif pasien. “Well,
dia masih bisa menjadi senator,” jawabku suatu kali, “tetapi hanya di
negara bagian kecil.” Je tertawa, dan sejak saat itu, populasi negara
bagian menjadi barometer kami dalam menilai tingkat keparahan cedera
kepala. “Dia Wyoming atau California?” tanya Je , berupaya menentukan
seberapa intensif rencana perawatannya. Atau, aku berkata, “Je , aku tahu
tekanan darahnya labil, tetapi aku harus membawanya ke RO. Kalau tidak,
dia akan pindah dari Washington ke Idaho—kau bisa menstabilkannya?”
Di kafetaria pada suatu hari, ketika aku sedang menyantap makan siang
khasku—Diet Coke dan es krim lapis—penyerantaku mengumumkan
kasus trauma berat yang baru saja masuk. Aku berlari ke bangsal trauma,
menyelipkan es krim lapisku ke belakang komputer persis ketika tim
paramedis tiba, mendorong brankar, dan memberitahukan detail-
detailnya: “Lelaki 22 tahun, kecelakaan motor, 60 kilometer per jam,
kemungkinan otaknya keluar dari hidung .…”
Aku langsung bekerja, meminta nampan intubasi, memeriksa fungsi-
fungsi penting lainnya. Begitu pasien sudah diintubasi dengan aman, aku
meneliti berbagai cederanya: wajah memar, goresan aspal jalanan, pupil
membesar. Kami memompa banyak manitol untuk mengurangi
pembengkakan otak dan melarikannya ke alat pemindai: tengkorak pecah,
pendarahan berat dan tersebar. Dalam benakku, aku sudah merencanakan
irisan kulit kepala, bagaimana aku akan mengebor tulang, mengeluarkan
darahnya. Tekanan darahnya mendadak anjlok. Kami melarikannya
kembali ke bangsal trauma dan, tepat ketika seluruh tim trauma tiba,
jantungnya berhenti berdetak. Pasien langsung dirubung berbagai
aktivitas: kateter diselipkan ke dalam arteri paha, selang-selang didorong
jauh memasuki dada, obat-obatan disuntikkan ke selang infus, sementara
itu, kepalan tangan memukul-mukul jantung agar darah tetap mengalir.
Setelah tiga puluh menit, kami membiarkan pasien menyelesaikan
kematiannya. Dengan jenis cedera kepala semacam itu, kami semua
bergumam setuju bahwa kematian memang lebih baik untuknya.
Aku menyelinap keluar dari bangsal trauma, persis ketika keluarga
pasien dibawa masuk untuk melihat mayatnya. Lalu, aku ingat: Diet Coke
dan es krim lapisku … dan betapa gerahnya bangsal trauma. Salah seorang
dokter residen UGD menggantikanku, kemudian aku menyelinap masuk
kembali, bagai hantu, untuk menyelamatkan es krim lapis di depan mayat
anak laki-laki yang tak bisa kuselamatkan.
Tiga puluh menit di dalam lemari pembeku menghidupkan kembali es
krim lapisku. Lumayan enak, pikirku sambil mengorek keping-keping
cokelat dari gigi ketika keluarga itu mengucapkan salam perpisahan
terakhir mereka.
Aku bertanya-tanya apakah dalam waktu
singkatku sebagai dokter, aku mengalami lebih
banyak kemunduran daripada kemajuan moral.
Beberapa hari kemudian aku mendengar bahwa Laurie, seorang teman
dari sekolah kedokteran, tertabrak mobil. Dokter bedah saraf telah
melakukan operasi sebagai upaya untuk menyelamatkannya. Jantung
perempuan itu sempat berhenti berdetak, kemudian dipulihkan kembali,
lalu meninggal keesokan harinya. Aku tidak ingin tahu lebih banyak. Masa
ketika seseorang hanya “tewas dalam kecelakaan mobil” telah lama berlalu.
Kini kata-kata itu membuka kotak Pandora, dan dari sana muncullah
semua gambaran itu: brankar yang didorong, darah di lantai bangsal
trauma, selang yang dimasukkan lewat tenggorokan, pukulan-pukulan di
dada. Aku bisa melihat tanganku, sepasang tanganku sendiri, mencukur
kulit kepala Laurie, pisau bedah mengiris kepalanya hingga terbuka, aku
bisa mendengar kebisingan bor dan mencium bau tulang terbakar,
debunya berpusar-pusar, aku bisa melihat retakan-retakan ketika
membongkar satu bagian tengkoraknya. Rambut Laurie tercukur
setengah, kepalanya berubah bentuk. Dia sama sekali tidak menyerupai
dirinya sendiri; dia menjadi orang asing bagi keluarga dan teman-
temannya. Mungkin ada selang-selang dada, dan sebelah kakinya
dipasangi penahan .…
Aku tidak menanyakan detail-detailnya. Aku sudah mengetahui terlalu
banyak detail.
Dalam momen itu, aku teringat pada semua peristiwa yang
menunjukkan kegagalanku dalam berempati: saat-saat ketika aku
mengesampingkan kekhawatiran pasien atau mengabaikan rasa nyeri
pasien karena didesak tuntutan-tuntutan lain. Orang-orang dengan
penderitaan yang kulihat, kucatat, dan kukemas rapi dalam berbagai
diagnosis, dengan makna yang gagal kupahami—mereka semua datang
kembali, penuh dendam, marah, dan tak terhindarkan.
Aku khawatir diriku sedang berproses menjadi stereotip dokter dalam
karya Tolstoy, sibuk dengan formalisme kosong, berfokus pada prosedur
perawatan penyakit yang sudah di luar kepala—dan benar-benar
melewatkan makna kemanusiaan yang lebih besar. (“Dokter-dokter datang
menemuinya satu per satu dan, dalam konsultasi, banyak berbicara dalam
bahasa Prancis, Jerman, dan Latin, saling menyalahkan satu sama lain,
lalu meresepkan berbagai jenis obat untuk semua penyakit yang mereka
ketahui. Namun, tak ada seorang pun dari mereka yang pernah
memikirkan gagasan sederhana bahwa mereka tidak bisa mengetahui
penyakit yang diderita Natasha.”)
Seorang ibu menemuiku, baru saja didiagnosis kanker otak. Dia
kebingungan, ketakutan, dilanda ketidakpastian. Aku kelelahan, tidak bisa
berempati. Aku menjawab semua pertanyaannya dengan terburu-buru,
meyakinkannya bahwa operasi itu pasti berhasil, dan meyakinkan diriku
sendiri bahwa tidak ada cukup waktu untuk menjawab semua
pertanyaannya dengan jujur. Namun, mengapa aku tidak menyisihkan
waktu? Seorang dokter hewan pemarah menolak nasihat dan bujukan para
dokter, perawat, dan ahli terapi sik selama berminggu-minggu; akibatnya
luka punggungnya pecah, persis seperti yang telah kami peringatkan
kepadanya. Aku dipanggil keluar dari RO, kujahit luka pecah itu,
sementara dia berteriak kesakitan, dan kukatakan kepada diri sendiri
bahwa dia memang pantas menerimanya.
Tak seorang pun pantas menerimanya.
Aku hanya sedikit terhibur ketika mengetahui bahwa William Carlos
Williams dan Richard Selzer pernah mengaku melakukan hal yang lebih
buruk, dan aku bersumpah untuk berbuat lebih baik. Di antara semua
tragedi dan kegagalan itu, aku khawatir diriku tak lagi melihat betapa
pentingnya hubungan antarmanusia—bukan hubungan antara pasien dan
keluarga mereka, melainkan hubungan antara dokter dan pasien.
Keunggulan teknik tidaklah cukup. Sebagai dokter residen, cita-cita
tertinggiku bukanlah menyelamatkan nyawa orang-orang—toh semua
orang pada akhirnya meninggal—melainkan membimbing pasien atau
keluarganya agar bisa memahami kematian atau penyakit yang diderita.
Ketika seorang pasien datang dengan pendarahan kepala fatal, percakapan
pertama dengan dokter bedah saraf bisa memengaruhi cara keluarganya
mengingat kematian itu untuk selamanya, dari kepasrahan yang tenang
(“Mungkin ini sudah saatnya.”) hingga penyesalan terang-terangan
(“Dokter-dokter itu tidak mendengarkan! Mereka bahkan tidak berupaya
menyelamatkannya!”).
Ketika tidak bisa lagi menggunakan pisau
bedah, kata-kata menjadi satu-satunya alat yang
bisa dipakai oleh dokter bedah.
Di antara penderitaan unik yang ditimbulkan oleh kerusakan otak
parah, penderitaan sering kali lebih dirasakan oleh keluarga daripada si
pasien, dan bukan hanya dokter yang gagal melihat makna seutuhnya.
Keluarga yang berkumpul di sekeliling orang tercinta mereka—orang
tercinta mereka dengan kepala tercukur yang berisi otak babak belur—
biasanya juga gagal memahami makna seutuhnya. Mereka melihat masa
lalu, akumulasi kenangan, cinta yang serasa disegarkan kembali, dan
kesemuanya itu direpresentasikan oleh tubuh di hadapan mereka. Aku
melihat kemungkinan masa depan, mesin-mesin pernapasan yang
dihubungkan lewat lubang operasi di leher, cairan kental menetes masuk
lewat lubang di perut, kemungkinan penyembuhan parsial yang lama dan
menyakitkan—atau, kemungkinan besar, kemustahilan untuk
mengembalikan si pasien menjadi orang yang mereka ingat.
Dalam momen-momen ini, aku tidak bertindak seperti yang sering kali
kulakukan, yaitu sebagai musuh kematian, tetapi sebagai duta besarnya.
Aku harus membantu keluarga itu memahami bahwa orang yang mereka
kenal—manusia utuh yang independen dan penuh semangat itu—kini
hanya hidup pada masa lalu dan aku memerlukan masukan dari mereka
untuk memahami masa depan macam apa yang diinginkan pasien:
kematian yang nyaman atau terikat di antara kantong-kantong cairan
yang masuk dan keluar dari tubuh, bertahan walaupun tak mampu
berjuang.
Seandainya aku lebih religius sewaktu masih muda, mungkin aku telah
menjadi pendeta karena peran sebagai pendetalah yang kucari.
1
Program Pemerintah Amerika Serikat yang memungkinkan para siswa SMA mengambil dan
menyelesaikan beberapa mata kuliah tahun pertama. Siswa yang lulus di kelas ini dak perlu
mengambil kelas yang sama di ngkat perguruan nggi.—peny.
Seandainya aku penulis buku, aku akan menyusun daftar, disertai komentar, mengenai
berbagai kematian manusia: dia yang seharusnya mengajari manusia untuk mati, pada
saat bersamaan akan mengajari mereka untuk hidup.
—Michel de Montaigne,
K
etika berbaring di sebelah Lucy di ranjang rumah sakit, kami
berdua menangis. Gambar-gambar pemindaian CT masih
berpendar di layar komputer, identitas sebagai dokter—
identitasku—tak lagi penting. Dengan kanker yang menyerang berbagai
sistem organ, diagnosisnya sudah jelas. Ruangan itu hening. Lucy
mengatakan dia mencintaiku. “Aku tidak mau mati,” kataku. Aku
menyuruhnya untuk menikah lagi karena aku tak sanggup membayangkan
dia hidup seorang diri. Kukatakan kepadanya bahwa kami harus langsung
menegosiasikan kembali pinjaman kami. Kami mulai menelepon anggota-
anggota keluarga. Lalu, Victoria memasuki kamar, kemudian kami
membahas hasil pemindaian itu dan kemungkinan pengobatan
mendatang. Ketika dia membahas persiapan untuk kembali menjadi
dokter residen, aku menghentikannya.
“Victoria,” kataku, lalu melanjutkan, “aku tak akan pernah kembali ke
rumah sakit ini sebagai dokter. Benar, kan?”
Satu bab kehidupanku tampaknya telah berakhir; mungkin seluruh buku
sedang menutup. Alih-alih menjadi sosok pendeta yang membantu
transisi kehidupan, aku mendapati diriku sebagai domba yang hilang dan
kebingungan.
Sakit parah tidak mengubah kehidupan, tetapi
menghancurkan kehidupan.
Itu tidak begitu terasa seperti pencerahan—cahaya menyilaukan yang
menyoroti Apa yang Benar-Benar Bermakna—tetapi lebih terasa seperti
seseorang baru saja mengebom jalan yang ada di depanku. Kini aku harus
berjalan memutar.
Adik laki-lakiku, Jeevan, tiba di sisi ranjangku. “Kau telah meraih begitu
banyak kesuksesan,” katanya. “Kau tahu itu, kan?”
Aku mendesah. Dia bermaksud baik, tetapi kata-kata itu terdengar
hampa. Kehidupanku telah membangun potensi, potensi yang kini tak
akan terwujud. Aku berencana untuk berbuat begitu banyak dan kini aku
sudah nyaris mewujudkannya. Aku dilemahkan secara sik, masa depan
yang kubayangkan dan identitas pribadiku runtuh, dan aku menghadapi
dilema eksistensial yang sama seperti yang dihadapi pasien-pasienku.
Diagnosis kanker paru-paru itu telah dikon rmasi. Masa depan yang
kurencanakan dengan cermat dan kuraih dengan susah payah tak lagi ada.
Kematian, yang begitu familier dalam pekerjaanku, kini mengunjungiku
secara pribadi. Di sinilah kami berada, akhirnya saling berhadapan, tetapi
tampaknya tak ada satu pun mengenai kematian yang bisa dikenali. Ketika
berdiri di persimpangan jalan, di tempat aku seharusnya bisa melihat dan
mengikuti jejak kaki pasien tak terhitung banyaknya yang telah kutangani
selama bertahun-tahun, aku malah melihat gurun putih berkilau, kosong
dan garang, seakan-akan badai pasir telah menghapus semua jejak yang
kukenal.
Matahari terbenam. Aku diizinkan pulang keesokan paginya. Janji temu
onkologi ditetapkan minggu ini, tetapi perawat mengatakan dokter
onkologiku akan mampir malam itu sebelum dia pergi menjemput anak-
anaknya. Nama dokter itu Emma Hayward dan dia ingin berkenalan
sebelum kunjungan periksa awal. Aku sedikit mengenal Emma—aku
pernah merawat beberapa pasiennya—tetapi kami tak pernah mengobrol
melebihi basa-basi profesional. Orangtua dan kedua saudara laki-lakiku
tersebar di dalam kamar, tidak banyak berkata-kata, sementara Lucy
duduk di samping ranjang sambil menggenggam tanganku. Pintu terbuka
dan Emma berjalan masuk. Jubah putihnya menunjukkan kekusutan hari
yang panjang, tetapi senyumnya tampak segar. Dia diikuti oleh sesama
dokter dan seorang dokter residen. Emma hanya beberapa tahun lebih tua
daripadaku, rambutnya panjang dan gelap, tetapi sebagaimana yang
umum terjadi pada semua orang yang menghabiskan waktu bersama
kematian, rambut itu dijalari warna kelabu. Dia menarik kursi.
“Hai, namaku Emma,” katanya. “Maaf kalau kunjungan hari ini begitu
singkat, tetapi aku ingin mampir dan memperkenalkan diri.”
Kami berjabat tangan, lenganku terbelit selang infus.
“Terima kasih sudah mampir,” kataku. “Aku tahu kau harus menjemput
anak-anakmu. Ini keluargaku.” Emma mengangguk kepada Lucy,
orangtuaku, dan kedua saudara laki-lakiku.
“Aku ikut prihatin atas apa yang menimpamu,” katanya. “Menimpa
kalian semua. Akan ada banyak waktu untuk membicarakannya dalam
beberapa hari ini. Aku sudah meminta lab untuk mulai melakukan
beberapa tes pada sampel tumormu yang akan membantu mengarahkan
terapinya. Pengobatannya bisa kemoterapi atau bukan, tergantung dari
hasil tes-tes itu.”
Delapan belas bulan sebelumnya, aku masuk rumah sakit karena usus
buntu. Di sana aku tidak diperlakukan seperti pasien, tetapi seperti
kolega, nyaris seperti konsultan untuk kasusku sendiri. Kini aku
mengharapkan hal yang sama. “Aku tahu, sekarang bukan saatnya,”
kataku, lalu melanjutkan, “tetapi aku ingin bicara mengenai kurva
kelangsungan hidup Kaplan-Meier.”
“Tidak,” jawab Emma. “Sama sekali tidak.”
Muncul keheningan singkat. Betapa lancangnya dia, pikirku. Ini cara
dokter—dokter sepertiku—untuk memahami prognosisnya. Aku berhak tahu.
“Kita bisa bicara mengenai terapi belakangan,” kata Emma. “Kita juga
bisa bicara mengenai kau kembali bekerja kalau itu yang ingin kau
lakukan. Kombinasi kemoterapi tradisional—cisplatin, pemetrexed,
mungkin dengan Avastin juga—berisiko tinggi mengakibatkan neuropati
perifer, jadi kami mungkin akan mengganti cisplatin dengan carboplatin
yang bisa lebih melindungi sarafmu karena kau dokter bedah.”
Kembali bekerja? Dia bicara apa? Apakah dia berkhayal? Atau, aku salah
total mengenai prognosisku? Dan, bagaimana kami bisa bicara mengenai semua
ini tanpa perkiraan kelangsungan hidup yang realistis? Tanah, yang telah
bergolak dan berguncang selama beberapa hari terakhir ini kembali
bergoyang-goyang.
“Kita bisa membahas detail-detailnya belakangan,” lanjut Emma,
“karena aku tahu, banyak sekali yang harus dipahami. Yang paling utama,
aku hanya ingin bertemu dengan kalian semua sebelum janji temu kita
pada Kamis. Adakah sesuatu yang bisa kulakukan atau kujawab—selain
tentang kurva kelangsungan hidup—hari ini?”
“Tidak,” jawabku, benakku masih terguncang. “Terima kasih banyak
sudah mampir. Aku sungguh menghargainya.”
“Ini kartu namaku,” katanya, lalu melanjutkan, “dan ada nomor telepon
kliniknya. Silakan menelepon kalau ada yang ingin ditanyakan sebelum
kita bertemu dua hari lagi.”
Keluarga dan teman-temanku segera menghubungi jejaring kolega
kedokteran kami untuk mencari dokter onkologi kanker paru-paru terbaik
di seluruh negeri. Ada pusat perawatan kanker yang besar di Houston dan
New York; di situkah aku harus dirawat? Persiapan pindah atau pindah
tempat sementara atau apa pun itu bisa diurus belakangan.
Jawaban-jawaban muncul dengan cepat dan lebih kurang dengan suara
bulat: Emma bukan hanya salah seorang dokter terbaik—dokter onkologi
terkenal di dunia yang bekerja sebagai pakar kanker paru-paru di salah
satu dewan penasihat kanker nasional besar—melainkan juga dikenal
penuh kasih, seseorang yang tahu kapan harus mendorong dan kapan
harus mencegah. Sekilas kurenungkan rangkaian peristiwa yang
membuatku menapaki dunia, penempatanku sebagai dokter residen
ditentukan oleh proses pencocokan terkomputerisasi, dan akhirnya aku
ditugaskan di sini, mendapat diagnosis ganjil, kemudian ditangani oleh
salah seorang dokter terbaik di bidangnya.
Setelah menghabiskan sebagian besar minggu itu di ranjang, dengan
kanker yang semakin berkembang, aku menjadi jauh lebih lemah.
Tubuhku, dan identitas yang melekatinya, telah berubah secara radikal.
Naik turun ranjang untuk pergi ke kamar mandi tak lagi menjadi program
motor subkortikal otomatis; kegiatan itu memerlukan upaya dan
perencanaan. Para ahli terapi sik memberikan daftar barang yang
memudahkan perpindahanku ke rumah: tongkat, kursi toilet yang
dimodi kasi, dan balok-balok busa untuk menyokong kakiku selama
beristirahat. Ketika terpincang-pincang meninggalkan rumah sakit, aku
bertanya-tanya betapa, baru enam hari yang lalu, aku menghabiskan
waktu hampir 36 jam penuh di ruang operasi. Apakah aku telah menjadi
sebegitu sakitnya dalam waktu seminggu? Ya, sebagian. Namun, aku juga
memanfaatkan sejumlah trik dan bantuan dari sesama dokter bedah
untuk melalui 36 jam itu—dan, walaupun demikian, aku menderita rasa
nyeri yang luar biasa.
Apakah penegasan atas ketakutanku—dalam bentuk hasil-hasil lab dan
pemindaian CT yang tidak hanya menunjukkan kanker, tetapi juga tubuh
yang kepayahan dan mendekati kematian—telah melepaskanku dari
kewajiban untuk melayani, dari tugasku terhadap pasien, terhadap bedah
saraf, terhadap pencarian akan kebaikan? Ya, pikirku, dan di situlah
paradoksnya: sama seperti pelari yang melintasi garis nis hanya untuk
merobohkan diri, tanpa tugas menangani orang sakit yang mendorongku
untuk maju, aku menjadi orang cacat.
Biasanya, ketika mendapat pasien dengan kondisi ganjil, aku
berkonsultasi dengan dokter spesialis yang berhubungan dan
menghabiskan waktu untuk membaca mengenai kondisi itu. Ini
tampaknya tak berbeda, tetapi ketika aku mulai membaca mengenai
kemoterapi yang melibatkan berbagai macam zat, juga serangkaian
pengobatan baru dan lebih modern yang menyasar mutasi-mutasi spesi k,
jumlah pertanyaan yang kumiliki sama sekali menghalangi adanya studi
terarah yang berguna. (Mengutip Alexander Pope: “Sedikit belajar itu
berbahaya; / Minumlah banyak-banyak atau jangan cicipi mata air Pierian.”)
Tanpa pengalaman medis yang tepat, aku tidak bisa menempatkan diri di
dunia informasi yang baru ini, tidak bisa menemukan tempatku di kurva
Kaplan-Meier. Aku menanti kunjungan klinikku dengan penuh harap.
Akan tetapi, aku lebih sering beristirahat.
Aku duduk, menatap fotoku dan Lucy semasa masih kuliah kedokteran,
berdansa dan tertawa; ini sangat menyedihkan, mereka berdua
merencanakan kehidupan bersama-sama, tanpa menyadari, tanpa pernah
mencurigai, kerapuhan mereka sendiri. Temanku, Laurie, sudah
bertunangan ketika tewas dalam kecelakaan mobil—apakah ini lebih
kejam?
Keluargaku terlibat dalam berbagai kegiatan untuk mengubah
kehidupanku dari seorang dokter menjadi pasien. Kami membuka akun di
apotek yang melayani pembelian obat lewat surel, memesan pagar ranjang,
dan membeli kasur ergonomis untuk membantu meredakan nyeri
punggungku yang menyiksa. Rencana keuangan kami, yang beberapa hari
sebelumnya didasarkan peningkatan pendapatanku sebanyak enam kali
lipat tahun depan, kini tampak genting, dan berbagai instrumen keuangan
baru tampaknya diperlukan untuk melindungi Lucy. Ayahku menyatakan
bahwa semua perubahan ini berarti kepasrahan terhadap penyakit itu: aku
harus mengalahkan penyakit ini, entah bagaimana aku harus sembuh.
Seberapa sering aku mendengar anggota keluarga pasien membuat
pernyataan serupa? Saat itu aku tak pernah tahu apa yang harus
kukatakan kepada mereka, dan kini aku tak tahu apa yang harus
kukatakan kepada ayahku.
Apa cerita alternatifnya?
P ada suatu pagi pada musim semi yang sejernih kristal, pada minggu
ketiga puasa pra-Paskah, aku dan Lucy pergi ke gereja bersama
orangtuaku yang terbang dari Arizona untuk kunjungan akhir pekan.
Kami duduk bersama-sama di bangku kayu panjang. Ibuku membuka
percakapan dengan keluarga yang duduk di samping kami, pertama-tama
memberikan pujian kepada si ibu atas mata bayi perempuannya, lalu
dengan cepat beralih ke masalah-masalah yang lebih penting. Keahlian
ibuku sebagai pendengar, orang yang bisa dipercaya, dan penghubung
tampak benar-benar nyata. Saat pembacaan Alkitab oleh pendeta,
mendadak aku mendapati diriku tergelak. Pembacaan itu menceritakan
Yesus yang frustrasi karena bahasa kiasannya ditafsirkan secara har ah
oleh para pengikut-Nya.
Jawab Yesus kepadanya, “Barang siapa minum air ini, ia akan haus lagi;
tetapi barang siapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak
akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya, air yang akan Kuberikan
kepadanya akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus
memancar sampai pada hidup yang kekal.” Kata perempuan itu kepada-
Nya, “Tuhan, berikanlah aku air itu supaya aku tidak haus dan tidak
usah datang lagi ke sini untuk menimba air.”
…. Sementara itu, murid-murid-Nya mengajak-Nya, “Rabi, makanlah.”
Namun, Ia berkata kepada mereka, “Pada-Ku ada makanan yang tidak
kamu kenal.” Maka, murid-murid itu berkata satu sama lain, “Adakah
yang bisa membawa sesuatu kepada-Nya untuk dimakan?”
Kutipan-kutipan seperti inilah—yang jelas mengejek pembacaan Alkitab
secara har ah—yang berhasil membawaku kembali pada Kekristenan
setelah waktu yang lama, sehabis lulus kuliah, ketika gagasanku mengenai
Tuhan dan Yesus telah menjadi—jika dikatakan secara halus—rapuh.
Selama persinggahanku di ateisme yang kaku, persenjataan utama dalam
menentang Kekristenan adalah kegagalannya dalam hal landasan empiris.
Penalaran tercerahkan jelas menawarkan alam semesta yang lebih
koheren. Pisau tajam Occam2 pasti membebaskan orang beriman dari
keimanan yang membabi buta. Tak ada bukti keberadaan Tuhan; oleh
karena itu, tidaklah beralasan untuk memercayai Tuhan.
Walaupun dibesarkan dalam keluarga Kristen taat, dengan doa dan
pembacaan Alkitab menjadi ritual setiap malam, aku, seperti tipikal orang
yang melandaskan segalanya pada hal ilmiah, akhirnya memercayai
kemungkinan konsepsi realitas secara material, pandangan yang sangat
ilmiah terhadap dunia yang akan memberikan meta sika lengkap, tanpa
konsep-konsep yang sudah ketinggalan zaman seperti jiwa, Tuhan, dan
kaum lelaki berjenggot putih dan berjubah. Aku menghabiskan banyak
waktu saat berusia 20-an tahun dengan berusaha membangun kerangka
bagi upaya semacam itu. Namun, pada akhirnya, masalahnya menjadi
nyata: menjadikan sains sebagai penentu meta sika bukan hanya berarti
mengusir Tuhan dari dunia, melainkan juga meniadakan cinta, kebencian,
dan—mempertimbangkan dunia yang jelas bukan dunia tempat tinggal
kita. Ini bukan berarti bahwa kalau kau memercayai makna, kau pasti
memercayai Tuhan. Namun, ini menyatakan bahwa kalau kau percaya
sains tidak memberikan dasar bagi Tuhan, kau nyaris diwajibkan untuk
menyimpulkan bahwa sains tidak memberikan dasar bagi makna. Oleh
karena itu, kehidupan itu sendiri tidak bermakna. Dengan kata lain,
pernyataan-pernyataan eksistensial tidak punya bobot; semua
pengetahuan yang ada adalah pengetahuan ilmiah.
Akan tetapi, yang menjadi paradoks adalah karena metodologi ilmiah
merupakan produk buatan manusia, hal itu tidak bisa digunakan untuk
mencapai semacam kebenaran permanen. Kita membangun teori-teori
ilmiah untuk mengatur dan memanipulasi dunia, untuk memecah
fenomena menjadi unit-unit yang bisa dikelola. Sains didasarkan
kemampuan mereproduksi dan objektivitas buatan. Walaupun bisa
dengan kuatnya menciptakan kemampuan untuk menghasilkan
pernyataan-pernyataan mengenai materi dan energi, itu juga membuat
pengetahuan ilmiah tidak bisa diterapkan pada hakikat viseral dan
eksistensial kehidupan manusia, yang bersifat unik, subjektif, dan tidak
bisa diprediksi. Sains mungkin menyediakan cara paling berguna untuk
menyusun data empiris yang bisa direproduksi, tetapi kekuatannya untuk
melakukan hal itu didasarkan ketidakmampuannya memahami aspek-
aspek terpenting kehidupan manusia: harapan, ketakutan, cinta,
kebencian, keindahan, kecemburuan, kehormatan, kelemahan,
perjuangan, penderitaan, dan kebajikan.
Di antara gairah-gairah inti dan teori ilmiah ini, akan selalu ada celah.
Tidak ada sistem pikiran yang bisa menampung keutuhan pengalaman
manusia. Ranah meta sika tetap menjadi area yang berkaitan dengan
wahyu (bagaimanapun, inilah yang dibantah Occam, alih-alih ateisme).
Dan, ateisme hanya bisa dibenarkan dengan dasar-dasar ini. Maka, ateis
prototipikal adalah jenis yang dianut tokoh komandan dalam novel e
Power and the Glory karya Graham Greene, yang ateismenya berasal dari
wahyu ketidakhadiran Tuhan. Satu-satunya ateisme sejati pasti didasarkan
visi penciptaan dunia. Kutipan favorit banyak orang ateis yang berasal dari
Jacques Monod, ahli biologi Prancis pemenang Hadiah Nobel,
mengingkari aspek pewahyuan ini: “Perjanjian kuno hancur berkeping-
keping; pada akhirnya manusia tahu bahwa dia sendirian dalam keluasan
jagat raya yang tak berperasaan, dan dia hanya muncul dari sana karena
kebetulan.”
Akan tetapi, aku kembali pada nilai-nilai utama Kekristenan—
pengorbanan, penebusan, pengampunan—karena aku menganggap semua
itu sangat memikat. Ada ketegangan dalam Kitab Suci antara keadilan dan
belas kasih, antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dan, Perjanjian
Baru mengatakan bahwa kau tidak bisa menjadi cukup baik: kebaikanlah
yang utama, tetapi kau tak akan pernah bisa mewujudkannya. Pesan
utama Yesus, menurutku, adalah belas kasih yang selalu mengungguli
keadilan.
Tidak hanya itu, tetapi mungkin pesan dasar dari dosa-asal bukanlah
“Harap merasa bersalah sepanjang waktu.” Mungkin pesan dasar itu lebih
seperti ini: “Kita semua punya gagasan mengenai apa artinya menjadi
orang baik, tetapi kita tidak bisa mewujudkannya sepanjang waktu.”
Bagaimanapun, mungkin itulah pesan yang ada dalam Perjanjian Baru.
Seandainyapun kau punya gagasan yang terde nisi dengan baik seperti
Kitab Imamat, kau tidak bisa hidup dengan cara seperti itu. Itu tidak
hanya mustahil, tetapi juga gila.
Tentu saja tak ada sesuatu pun yang bisa kukatakan secara pasti
mengenai Tuhan, tetapi realitas dasar kehidupan manusia sangat
menentang determinisme yang membabi buta. Selain itu, tak seorang pun,
termasuk diriku sendiri, meyakini kewenangan dengan wahyu epistemik
apa pun. Kita semua adalah orang-orang yang bisa berpikir—wahyu
tidaklah cukup. Seandainyapun Tuhan berbicara kepada kita, kita akan
mengabaikannya dan menganggapnya sebagai khayalan.
Jadi, aku bertanya-tanya, apa yang harus dilakukan oleh calon ahli
meta sika?
Menyerah?
Nyaris.
Berjuang menuju Kebenaran dengan huruf K besar, tetapi sekaligus
memahami kemustahilan tugas itu—atau memahami bahwa, jika jawaban
benarnya dimungkinkan, veri kasinya jelas mustahil.
Pada akhirnya, tak bisa disangsikan bahwa masing-masing dari kita
hanya bisa melihat sebagian dari gambarannya. Dokter melihat sebagian,
pasien melihat sebagian yang lain, insinyur melihat bagian ketiga, ahli
ekonomi melihat yang keempat, penyelam pencari mutiara melihat yang
kelima, pecandu alkohol melihat yang keenam, tukang televisi kabel
melihat yang ketujuh, penggembala domba melihat yang kedelapan,
pengemis India melihat yang kesembilan, pendeta melihat yang
kesepuluh.
Pengetahuan manusia tak pernah terkandung dalam diri satu orang.
Pengetahuan itu berkembang dari hubungan-hubungan yang kita ciptakan
satu sama lain dan dengan dunia, tetapi tetap saja pengetahuan itu tak
pernah lengkap. Dan, Kebenaran berada di suatu tempat di atas
kesemuanya itu, tempat yang, pada akhir pembacaan Minggu, penabur
dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab, dalam hal ini benarlah
peribahasa “Seseorang menabur dan yang lain menuai.” Aku mengutusmu
untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha
dan kamu datang memetik hasil usaha mereka.
A ku melompat turun dari alat pemindai CT, tujuh bulan semenjak aku
kembali melakukan pembedahan. Ini akan menjadi pemindaian
terakhirku sebelum menyelesaikan pelatihan sebagai dokter residen,
sebelum menjadi seorang ayah, sebelum masa depanku menjadi nyata.
“Mau lihat gambarnya, Dok?” tanya teknisinya.
“Tidak sekarang,” kataku. “Aku punya banyak pekerjaan hari ini.”
Saat itu sudah pukul 6.00 sore. Aku harus pergi menemui pasien-pasien,
mengatur jadwal RO besok, mengulas gambar-gambar negatif,
mendiktekan catatan-catatan klinikku, memeriksa pasien-pasien pasca-
operasiku, dan masih banyak lagi. Sekitar pukul 8.00 malam, aku duduk di
kantor bedah saraf, di sebelah ruang untuk melihat hasil radiologi. Aku
menyalakan lampu, melihat hasil pemindaian pasien-pasien yang akan
kutemui besok—dua kasus tulang punggung sederhana—dan, akhirnya,
aku mengetikkan namaku sendiri. Aku melihat gambar-gambar itu sekilas,
seakan-akan itu buku bergambar untuk anak-anak, lalu membandingkan
hasil pemindaian baru itu dengan hasil pemindaian terakhir. Segalanya
tampak sama, tumor-tumor lama itu tetap sama persis … kecuali, tunggu.
Kuputar kembali gambar-gambarnya. Kulihat kembali.
Itu dia. Sebuah tumor baru, besar, memenuhi lobus tengah bagian
kanan. Anehnya, tumor itu tampak seperti bulan purnama yang nyaris
menutupi cakrawala. Kulihat kembali gambar-gambar lama, dan aku bisa
melihat jejak paling tersamar dari tumor itu, pertanda mengerikan yang
kini muncul sepenuhnya.
Aku tidak marah atau takut. Memang begitulah adanya. Itu fakta
mengenai dunia, sama seperti jarak antara matahari dan Bumi. Aku
menyetir pulang, kemudian memberi tahu Lucy. Saat itu Kamis malam
dan kami tidak akan menemui Emma lagi hingga Senin, tetapi aku dan
Lucy duduk di ruang keluarga menghadap laptop dan memetakan langkah-
langkah kami berikutnya: biopsi, tes, kemoterapi. Kali ini pengobatannya
akan lebih berat untuk ditanggungkan, kemungkinan umur panjang
menjadi lebih jauh. Mengutip Eliot sekali lagi: “Tapi, kudengar di
punggungku dalam embusan angin dingin / derak tulang-tulang dan gelak
tawa yang melebar dari telinga ke telinga.” Bedah saraf akan mustahil
kulakukan untuk beberapa minggu, mungkin beberapa bulan, mungkin
selamanya. Namun, kami memutuskan bahwa semuanya itu bisa
menunggu untuk menjadi nyata hingga Senin. Hari itu Kamis, dan aku
sudah menyusun tugas-tugas RO besok; aku berencana menjalani satu
hari terakhir sebagai dokter residen.
Ketika melangkah keluar dari mobilku setibanya di rumah sakit pada
pukul 5.20 keesokan paginya, aku menghela napas panjang, mencium bau
eukaliptus dan … apakah itu bau pinus? Aku tak pernah memperhatikan
sebelumnya. Aku menemui tim dokter residen yang sedang berkumpul
untuk tugas keliling pagi. Kami mengulas kejadian-kejadian semalam,
pasien-pasien baru, pemindaian-pemindaian baru, lalu pergi menemui
pasien-pasien kami sebelum M&M atau konferensi morbiditas dan
mortalitas, pertemuan rutin para dokter bedah saraf untuk mengulas
kesalahan-kesalahan yang terjadi dan kasus-kasus yang berakhir buruk.
Setelah itu, aku menghabiskan waktu beberapa menit lagi bersama
seorang pasien, Mr. H. Dia terserang sindrom langka, yaitu sindrom
Gerstmann. Setelah aku mengangkat tumor otaknya, dia mulai
menunjukkan beberapa kemunduran yang spesi k: ketidakmampuan
untuk menulis, menyebut nama jemari tangan, melakukan aritmetika,
membedakan kiri dan kanan. Sebelumnya aku hanya pernah melihat
sindrom ini sekali saat masih menjadi mahasiswa kedokteran delapan
tahun yang lalu pada salah seorang pasien pertama yang kuikuti
perkembangannya di layanan bedah saraf. Sama seperti pasien itu, Mr. R
merasa gembira—aku bertanya-tanya apakah itu bagian dari sindrom yang
belum pernah dijelaskan siapa pun sebelumnya. Namun, Mr. R semakin
membaik: kemampuan bicaranya sudah hampir kembali normal dan
aritmetikanya hanya sedikit melenceng. Kemungkinan besar dia akan
pulih sepenuhnya.
Pagi berlalu, dan aku mencuci tangan untuk menangani kasus
terakhirku. Mendadak momen itu terasa luar biasa. Kali terakhir aku
mencuci tangan dan lengan? Mungkin begitu. Aku mengamati buih
menetes dari lenganku, lalu masuk ke saluran pembuangan. Aku
memasuki RO dengan berseragam operasi, lalu menutupi pasien,
memastikan ujung-ujung penutupnya runcing dan rapi. Aku ingin kasus
ini berjalan sempurna. Aku membuka kulit punggung bawahnya. Dia
adalah lelaki tua yang tulang punggungnya mengalami degenerasi,
menjepit akar-akar sarafnya dan menimbulkan rasa nyeri parah. Aku
menyingkirkan lemak hingga fasianya terlihat dan aku bisa merasakan
ujung-ujung tulang punggungnya. Aku membuka fasia dan mengiris otot
dengan lancarnya hingga hanya tulang punggung lebar berkilau yang
terlihat lewat luka itu, bersih dan tanpa darah. Dokter penanggung jawab
pasien berjalan masuk ketika aku mulai mengeluarkan lamina, dinding
belakang tulang punggung yang pertumbuhannya berlebih, bersama-sama
dengan ligamen-ligamen di bawahnya, menjepit saraf.
“Kelihatannya bagus,” kata dokter itu. “Kalau kau mau menghadiri
konferensi hari ini, aku bisa meminta sesama dokter residen untuk
menggantikanmu dan menyelesaikannya.”
Punggungku mulai terasa nyeri. Mengapa aku tidak menelan dosis
ekstra NSAID sebelumnya? Namun, kasus ini seharusnya bisa diselesaikan
dengan cepat. Aku sudah hampir selesai.
“Tidak,” kataku. “Aku ingin menyelesaikan kasus ini.”
Dokter itu mencuci tangan dan lengan, dan bersama-sama kami
menyelesaikan pengangkatan tulang itu. Dia mulai memunguti ligamen.
Di bawah ligamen-ligamen itu terdapat dura yang berisi cairan tulang
punggung dan akar-akar saraf. Kesalahan paling umum pada tahap ini
adalah merobek dura. Aku bekerja di sisi seberang. Dari sudut mata,
kulihat kilau biru di dekat instrumen dokter itu—duranya mulai terlihat.
“Awas!” kataku, persis ketika ujung instrumen dokter itu menusuk dura.
Cairan tulang punggung jernih mulai memenuhi luka itu. Sudah lebih dari
satu tahun aku tidak pernah mengalami kebocoran dalam salah satu
kasusku. Memperbaikinya akan memerlukan waktu satu jam lagi.
“Siapkan mikro,” kataku. “Terjadi kebocoran.”
Ketika kami selesai memperbaiki dan mengangkat jaringan lunak yang
menjepit itu, bahuku serasa terbakar. Dokter itu melepas seragam operasi,
meminta maaf, mengucapkan terima kasih, dan meninggalkanku untuk
menutup luka. Lapisan-lapisan menyatu dengan baik. Aku mulai menjahit
kulit menggunakan jahitan benang nilon. Kebanyakan dokter bedah
menggunakan staples, tetapi aku yakin tingkat infeksi nilon lebih rendah
dan kami akan menyelesaikan kasus ini, kasus penghabisan ini, dengan
caraku. Kulit itu tersambung dengan sempurna, tanpa ketegangan,
seakan-akan tak pernah ada pembedahan sama sekali.
Bagus. Satu hal yang bagus.
Ketika kami membuka penutup pasien, perawat ruang operasi, yang
belum pernah bekerja bersamaku, berkata, “Anda bertugas akhir pekan
ini, Dok?”
“Tidak.” Dan, mungkin tak pernah lagi.
“Ada kasus lagi hari ini?”
“Tidak.” Dan, mungkin tak pernah lagi.
“Sialan, well, kurasa ini berarti akhir yang bahagia! Pekerjaan selesai.
Aku suka akhir yang bahagia, Anda juga, kan, Dok?”
“Ya. Ya, aku suka akhir yang bahagia.”
Aku duduk di samping komputer untuk memasukkan perintah-perintah,
sedangkan para perawat melakukan pembersihan dan dokter-dokter
anestesi mulai membangunkan pasien. Aku selalu mengancam dengan
setengah bergurau bahwa, ketika aku yang memimpin operasi, kami hanya
akan mendengarkan bossa nova untuk diputar di RO, alih-alih musik pop
berenergi tinggi yang disukai semua orang. Aku memasang Getz/Gilberto
di radio dan suara lembut saksofon yang nyaring memenuhi ruangan.
Tak lama kemudian, aku meninggalkan RO, lalu mengemasi barang-
barangku yang telah berakumulasi selama tujuh tahun aku bekerja—
beberapa set pakaian ekstra untuk menginap ketika aku tidak pulang,
sikat gigi, sabun, pengisi baterai ponsel, makanan ringan, alat peraga
tengkorak, koleksi buku bedah saraf, dan lain-lain. Setelah berpikir ulang,
kutinggalkan buku-bukuku. Mereka akan lebih berguna di sini.
Dalam perjalanan menuju lapangan parkir, sesama dokter residen
menghampiriku untuk menanyakan sesuatu kepadaku, tetapi
penyerantanya berbunyi. Dia memandang penyeranta itu, melambaikan
tangan, berbalik, lalu berlari kembali ke rumah sakit—“Sampai jumpa!”
teriaknya sambil menoleh ke belakang. Air mata menggenang ketika aku
duduk di mobil, menyalakan mesin, dan perlahan-lahan menjalankan
mobil menuju jalanan. Aku menyetir pulang, berjalan masuk lewat pintu
depan, menggantungkan jubah putihku, dan melepas tanda pengenalku.
Kukeluarkan baterai dari penyerantaku. Kulepas seragam operasiku, lalu
aku mandi untuk waktu yang lama.
Larut malam itu aku menelepon Victoria dan memberitahunya bahwa
aku tak akan masuk Senin depan, mungkin tak akan pernah masuk lagi,
dan tidak akan menetapkan jadwal RO.
“Kau tahu, berkali-kali aku mendapat mimpi buruk bahwa hari ini akan
tiba,” katanya. “Aku tak tahu bagaimana kau bisa bertahan sebegitu
lamanya.”
K emoterapi dimulai Senin. Aku, Lucy, dan ibuku pergi ke pusat infus
bersama-sama. Aku mendapat infus, duduk di kursi nyaman, dan
menunggu. Campuran obat itu perlu waktu empat setengah jam untuk
menyebar di dalam tubuh. Aku melewatkan waktu dengan tidur,
membaca, dan terkadang menatap kosong, ditemani Lucy dan ibuku di
sampingku, sesekali mengusik keheningan dengan obrolan ringan. Para
penghuni ruangan lainnya berada dalam berbagai tahap kesehatan—
beberapa botak, beberapa dengan rambut tertata apik, beberapa lisut,
beberapa lincah, beberapa acak-acakan, beberapa tampak rapi. Semuanya
berbaring diam, dengan selang infus meneteskan racun ke dalam lengan-
lengan yang terentang. Aku harus kembali untuk mendapat perawatan tiga
minggu sekali.
Aku mulai merasakan efek-efek kemoterapi keesokan harinya, yaitu
kepenatan dan kelelahan yang luar biasa. Kegiatan makan, yang
normalnya adalah sumber kenikmatan luar biasa, menjadi bagaikan
meminum air laut. Semua kenikmatanku mendadak terasa asin. Untuk
sarapan, Lucy membuatkanku roti bagel dengan keju krim; rasanya seperti
menjilat garam. Aku menyingkirkannya. Membaca menjadi melelahkan.
Aku telah setuju untuk menulis beberapa bab mengenai potensi terapeutik
risetku bersama V untuk dua buku teks bedah saraf penting. Itu juga
kusingkirkan. Hari-hari berlalu, televisi dan pemaksaan makan menjadi
penanda waktu. Sebuah pola berkembang setelah berminggu-minggu:
kelesuan itu perlahan-lahan mereda, kenormalan datang kembali tepat
pada waktunya untuk pengobatan berikutnya.
Siklus itu berlanjut; aku beringsut masuk dan keluar dari rumah sakit
dengan komplikasi minor, tetapi cukup besar untuk menghalangiku
kembali bekerja. Jurusan bedah saraf memutuskan bahwa aku telah
memenuhi semua kriteria lokal dan nasional untuk lulus; upacara wisuda
akan diadakan Sabtu depan, sekitar dua minggu sebelum Lucy dijadwalkan
melahirkan.
Hari itu tiba. Ketika aku berdiri di kamar kami, berpakaian untuk
upacara wisuda—puncak dari pelatihan sebagai dokter residen selama
tujuh tahun—rasa mual hebat menyerangku. Ini tidak seperti rasa mual
kemoterapi biasa yang melanda seperti gelombang dan, sama seperti
gelombang, bisa ditunggangi. Aku mulai memuntahkan cairan empedu
hijau secara tak terkendali, rasanya yang seperti kapur membedakannya
dari asam lambung. Cairan ini berasal jauh dari dalam ususku.
Bagaimanapun, aku tidak akan menghadiri upacara wisuda.
Aku perlu cairan infus untuk menghindari dehidrasi, jadi Lucy
mengantarkanku dengan mobil ke UGD, dan rehidrasi dimulai. Muntah
berganti dengan diare. Aku dan dokter residen, Brad, mengobrol akrab,
kemudian aku menyampaikan sejarah medisku, menjelaskan semua
pengobatanku, dan akhirnya kami membahas kemajuan dalam terapi
molekuler, terutama obat yang kukonsumsi, Tarceva. Rencana medisnya
sederhana: terus menghidrasiku dengan cairan infus hingga aku bisa
minum cukup banyak lewat mulut. Malam itu aku didaftarkan untuk
menjalani rawat inap di rumah sakit. Namun, ketika perawat meninjau
daftar obatku, aku menyadari bahwa Tarceva tidak termasuk di dalamnya.
Aku memintanya untuk menelepon dokter residen untuk membetulkan
kesilapan itu. Hal-hal seperti ini kadang terjadi. Bagaimanapun, aku
mengonsumsi selusin obat. Memantaunya tidaklah mudah.
Sudah jauh lewat tengah malam ketika Brad muncul.
“Kudengar kau punya pertanyaan mengenai obat-obatmu?” tanyanya.
“Ya,” jawabku. “Tarceva tidak dipesan. Bisa tolong dipesankan?”
“Aku memutuskan untuk menghentikan obat itu.”
“Mengapa?”
“Kadar enzim hatimu terlalu tinggi untuk menerima obat itu.”
Aku kebingungan. Kadar enzim hatiku memang sudah tinggi selama
berbulan-bulan; kalau ini dianggap masalah, mengapa tidak kami bahas
sebelumnya? Bagaimanapun, ini jelas keliru. “Emma—dokter onkologiku,
bosmu—sudah melihat angka-angka ini dan dia ingin aku tetap
mengonsumsi obat itu.”
Secara rutin dokter residen harus membuat putusan medis tanpa
masukan dari dokter penanggung jawab pasien. Namun, kini setelah
mengetahui pendapat Emma, jelas dia akan menyerah.
“Namun, itu bisa menimbulkan masalah pencernaan.”
Kebingunganku semakin mendalam. Menyebutkan perintah dokter
penanggung jawab pasien biasanya akan mengakhiri diskusi. “Aku sudah
mengonsumsinya selama setahun tanpa ada masalah apa pun,” kataku.
“Menurutmu, Tarceva yang tiba-tiba mengakibatkan semua ini, alih-alih
kemoterapinya?”
“Mungkin, ya.”
Kebingungan berubah menjadi kemarahan. Seorang anak yang baru dua
tahun lulus dari sekolah kedokteran, yang tidak lebih tua daripada dokter-
dokter residen juniorku, benar-benar berbantahan denganku? Lain
persoalan jika pendapatnya benar, tetapi dia mengatakan hal yang tidak
masuk akal. “Ehm, bukankah tadi siang kukatakan bahwa, tanpa pil itu,
metastasis tulangku akan menjadi aktif dan menimbulkan rasa nyeri yang
luar biasa? Aku tidak bermaksud kedengaran dramatis. Aku pernah
mengalami patah tulang gara-gara bertinju, tetapi ini jauh lebih
menyakitkan. Seperti rasa nyeri yang nilainya sepuluh dari sepuluh. Nyeri
yang seperti Sebentar-Lagi-Aku-Akan-Benar-Benar-Berteriak-Kesakitan.”
“Well, mengingat waktu-paruh obatnya, itu mungkin tidak akan terjadi
dalam satu atau beberapa hari lagi.”
Bisa kulihat bahwa aku bukanlah pasien, melainkan masalah di mata
Brad: kotak yang harus dicentang.
“Dengar,” lanjutnya, “kalau kau bukan dirimu, kita bahkan tidak akan
bercakap-cakap seperti ini. Akan kuhentikan saja Tarceva-nya untuk
membuktikan bahwa obat itu mengakibatkan semua rasa nyeri ini.”
Apa yang terjadi pada obrolan akrab kami siang tadi? Kuingat kembali
masa-masa sekolah kedokteran ketika seorang pasien mengatakan dia
selalu pergi ke dokter dengan mengenakan kaus kaki termahalnya
sehingga ketika dia mengenakan jubah pasien dan tak bersepatu, dokter
akan melihat kaus kaki itu dan tahu bahwa dia orang penting yang harus
diperlakukan dengan hormat. (Ah, itulah masalahnya—aku mengenakan
kaus kaki keluaran rumah sakit yang telah bertahun-tahun kucuri!)
“Bagaimanapun, Tarceva adalah obat khusus sehingga perlu tanda
tangan sesama dokter residen atau dokter penanggung jawab pasien untuk
meresepkannya. Kau benar-benar ingin aku membangunkan seseorang
untuk menandatanganinya? Tidak bisakah ini menunggu hingga besok
pagi?”
Dan, begitulah.
Memenuhi kewajibannya terhadapku berarti mengimbuhkan satu hal
lagi pada daftar pekerjaannya: menelepon bosnya dengan rasa malu untuk
mengungkapkan kesalahannya. Dia mendapat giliran kerja malam.
Peraturan pendidikan pelatihan dokter residen telah memaksa sebagian
besar program untuk menerapkan giliran kerja. Dan, bersama-sama
dengan giliran kerja, muncullah semacam kelicikan, pemangkasan
tanggung jawab secara halus. Jika dia bisa menangguhkannya saja selama
beberapa jam lagi, aku akan menjadi masalah orang lain.
“Biasanya aku mengonsumsinya pukul 5.00 pagi,” kataku. “Dan, kita
sama-sama tahu bahwa ‘menunggu hingga pagi’ berarti membiarkan
seseorang menanganinya setelah tugas keliling pagi, jadi lebih cenderung
siang hari, bukan?”
“Oke, baiklah,” katanya, lalu dia meninggalkan ruangan.
Ketika pagi tiba, aku tahu bahwa dia belum memesan obat itu.
Emma mampir untuk menyapa dan mengatakan akan membereskan
pemesanan Tarceva. Dia mendoakan kesembuhan kilatku dan meminta
maaf karena akan ke luar kota selama seminggu. Sepanjang hari kondisiku
semakin menurun, diareku memburuk dengan cepat. Aku dehidrasi, tetapi
tidak cukup cepat. Ginjalku mulai mengalami kegagalan. Mulutku menjadi
begitu kering sehingga aku tidak bisa bicara atau menelan. Saat
pengecekan lab berikutnya, kadar sodium serumku telah mencapai tingkat
yang nyaris fatal. Aku dipindahkan ke ICU. Sebagian langit-langit lunak
dan tekakku mati akibat dehidrasi dan terkelupas dari mulut. Aku
kesakitan, melayang melewati berbagai tingkat kesadaran, sementara
sekumpulan dokter spesialis didatangkan serentak untuk menolong:
dokter ICU, dokter ginjal, dokter saluran pencernaan, dokter endokrin,
dokter spesialis penyakit menular, dokter bedah saraf, dokter onkologi
umum, dokter onkologi toraks, dokter THT. Lucy, yang sedang hamil 38
minggu, menemaniku pada siang hari dan diam-diam pindah ke ruang
panggil lamaku, yang berjarak beberapa langkah dari ICU sehingga bisa
mengecekku pada malam hari. Dia dan ayahku juga ikut menyuarakan
pendapat mereka.
Ketika pikiranku sedang jernih, aku sangat menyadari bahwa, dengan
suara sebanyak ini, akan terjadi keriuhan. Dalam dunia kedokteran, situasi
ini dikenal sebagai masalah WICOS: Who is the Captain of the Ship (Siapa
Kapten Kapalnya)? Dokter ginjal tidak setuju dengan dokter ICU, yang
tidak setuju dengan dokter endokrin, yang tidak setuju dengan dokter
onkologi, yang tidak setuju dengan dokter saluran pencernaan. Aku
merasakan beban tanggung jawab perawatanku: selama periode-periode
kesadaran singkat, aku mengetikkan detail-detail penyakitku saat ini
secara berurutan dan, dengan bantuan Lucy, berupaya menyatukan semua
dokter agar meluruskan seluruh fakta dan interpretasi mereka.
Belakangan, dalam keadaan setengah tertidur, samar-samar aku bisa
mendengar Lucy dan ayahku mendiskusikan kondisiku dengan setiap tim
dokter. Kami curiga bahwa rencana utama mereka hanyalah merawatku
dengan berbagai cairan hingga semua efek kemoterapinya hilang. Namun,
setiap kelompok dokter spesialis harus terbuka terhadap kemungkinan
yang lebih esoteris dan merekomendasikan semua tes dan perawatannya
walaupun beberapa di antaranya tampak tidak perlu dan keliru. Sampel-
sampel diambil, pemindaian-pemindaian diperintahkan, obat-obat
diresepkan; aku mulai kehilangan jejak waktu dan peristiwa. Aku meminta
agar semua rencana ini dijelaskan kepadaku, tetapi kalimat-kalimat
meluncur cepat, suara-suara menjadi teredam dan tak terdengar, dan
kegelapan turun di tengah kata-kata dokter selagi keadaanku berganti-
ganti antara tersadar dan tidak. Aku ingin sekali Emma berada di sana,
memimpin perawatanku.
Mendadak dia muncul.
“Kau sudah kembali?” tanyaku.
“Sudah lebih dari seminggu kau dirawat di ICU,” katanya. “Namun,
jangan khawatir. Kau semakin membaik. Sebagian besar hasil labmu sudah
normal. Kau akan segera keluar dari sini.” Ternyata dia telah berhubungan
dengan dokter-dokterku lewat surel.
“Kau ingat ketika kau menawarkan diri untuk menjadi dokterku dan aku
bisa menjadi pasien saja?” tanyaku. “Kurasa itu mungkin ide yang baik.
Aku sudah membaca sains dan literatur dalam upaya mencari perspektif
yang tepat, tetapi belum menemukannya.”
“Aku tidak yakin itu sesuatu yang bisa ditemukan dengan membaca,”
jawabnya.
Kini Emma-lah yang menjadi kapten kapalnya, yang memberikan
perasaan tenang dalam kekacauan perawatan rumah sakit ini. T.S. Eliot
muncul dalam benakku:
Damyata: Kapal menyambut
Riang, tangan yang mengakrabi layar dan dayung
Lautan tenang, hatimu pasti menyambut
Riang, ketika diundang, berdegup-degup patuh
Terhadap tangan-tangan pengendali
Aku bersandar ke ranjang rumah sakit dan memejamkan mata. Ketika
kegelapan yang menyertai ketidaksadaran kembali turun, akhirnya aku
tenang.
D alam perjalanan pulang dari janji temu dengan Emma, ibu Lucy
menelepon untuk mengabarkan bahwa mereka sedang menuju
rumah sakit. Lucy hendak melahirkan. (“Pastikan kau meminta epidural
sejak awal,” kataku kepadanya. Dia sudah cukup menderita.) Aku kembali
ke rumah sakit, duduk di kursi roda yang didorong ayahku. Aku berbaring
di sebuah dipan di kamar persalinan, selimut-selimut dan kantong-
kantong pemanas menjaga agar tubuh kerempengku tidak menggigil.
Selama dua jam berikutnya, aku menyaksikan Lucy dan perawat menjalani
ritual persalinan. Ketika kontraksi semakin cepat, perawat menghitung
pengejanannya: “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan,
sembilan, sepuluh!”
Lucy berpaling kepadaku sambil tersenyum. “Rasanya aku seperti
sedang berolahraga!” katanya.
Aku berbaring di dipan dan membalas senyumnya, menyaksikan
perutnya yang menjulang. Akan ada begitu banyak ketidakhadiran dalam
hidup Lucy dan putriku—kalau ini adalah kehadiran maksimalku, apa
boleh buat.
Kira-kira selepas tengah malam, perawat membangunkanku. “Sebentar
lagi,” bisiknya. Dia membuka selimutku, kemudian membantuku duduk di
kursi di samping Lucy. Dokter kandungan sudah berada di kamar, usianya
tidak lebih tua daripadaku. Perempuan itu mendongak memandangku
ketika kepala bayinya muncul. “Bisa kukatakan satu hal: rambut putrimu
persis seperti rambutmu,” katanya. “Dan lebat.” Aku mengangguk,
menggenggam tangan Lucy sepanjang momen-momen terakhir
persalinannya. Lalu, dengan satu pengejanan terakhir, pada 4 Juli pukul
2.11 dini hari, muncullah dia. Elizabeth Acadia—Cady; kami sudah
memilih namanya berbulan-bulan silam.
“Bisakah kami meletakkannya di kulitmu, Papa?” tanya perawat
kepadaku.
“Tidak, aku terlalu d-d-dingin,” kataku dengan gigi bergemeletuk.
“Namun, aku ingin menggendongnya.”
Mereka membungkus Cady dengan selimut dan menyerahkannya
kepadaku. Ketika merasakan bobotnya di satu lengan sembari
menggenggam tangan Lucy dengan tanganku yang satu lagi, peluang-
peluang kehidupan muncul di hadapan kami. Sel-sel kanker di dalam
tubuhku masih akan tetap sekarat atau akan mulai berkembang kembali.
Ketika memandang bentangan di depan mata,
aku tidak melihat gurun kosong, tetapi sesuatu
yang lebih sederhana: kertas kosong tempatku
melanjutkan hidup.
2
Pisau tajam Occam adalah prinsip metodologi dari lsuf William Occam (1280–1347) yang berbunyi
En a non sunt mul plicanda praeter necessitatem atau ‘En tas dak perlu dilipatgandakan
melebihi keperluan’. In nya, dalam menyampaikan suatu kebenaran, teori yang paling sedikit
atau sederhana penjelasannya adalah yang terbaik.—penerj.
Epilog
Lucy Kalanithi
—Emily Dickinson
P
aul wafat pada Senin, 9 Maret 2015, dikelilingi keluarganya, di
ranjang rumah sakit yang kira-kira berjarak 200 meter dari
bangsal persalinan dan kelahiran, tempat putri kami, Cady,
memasuki dunia delapan bulan sebelumnya. Di antara kelahiran Cady dan
kematian Paul, jika kau melihat kami menyesap iga di restoran barbeku
lokal dan tersenyum saat berbagi bir, dengan bayi berambut hitam berbulu
mata panjang terlelap di kereta dorong di samping kami, kau tak akan
pernah menebak bahwa Paul punya kemungkinan hidup kurang dari
setahun lagi, atau bahwa kami memahami hal itu.
Kira-kira pada saat Natal pertama Cady, ketika dia berusia 5 bulan,
kanker Paul mulai melawan obat-obat lini ketiga yang direkomendasikan
setelah Tarceva, kemudian kemoterapinya berhenti bekerja. Cady
mencicipi makanan padat pertamanya pada masa liburan itu, mengenakan
piama bergaris-garis merah putih, mengunyah ubi tumbuk ketika seluruh
keluarga berkumpul di rumah masa kecil Paul di Kingman, Arizona, rumah
yang diterangi lilin-lilin dan obrolan.
Kekuatan Paul menurun selama bulan-bulan berikutnya, tetapi kami
terus mengalami momen-momen membahagiakan, bahkan di tengah
penderitaan kami. Kami mengadakan pesta-pesta makan malam yang
menyenangkan, saling berpelukan pada malam hari, dan merasa senang
melihat mata cemerlang dan pembawaan tenang putri kami. Dan, tentu
saja, Paul menulis, bersandar di kursi berlengan, berbalut selimut bulu
hangat. Pada bulan-bulan terakhirnya dia mati-matian berfokus
menyelesaikan buku ini.
Ketika musim dingin berubah menjadi musim semi, bunga-bunga saucer
magnolia di lingkungan rumah kami bermekaran, besar-besar dan merah
jambu, tetapi kesehatan Paul merosot dengan begitu cepat. Pada
penghujung Februari dia perlu oksigen tambahan agar bisa bernapas
dengan nyaman. Aku membuang makan siangnya yang tak tersentuh ke
keranjang sampah, di atas sarapannya yang juga tak tersentuh, dan
beberapa jam kemudian aku menambahkan makan malam yang tak
tersentuh pada tumpukan itu. Dahulu dia menyukai roti lapis buatanku
untuk sarapan—telur, sosis, dan keju di atas roti bulat—tetapi karena
nafsu makannya menurun, kami menggantinya dengan telur dan roti
bakar, lalu telur saja hingga makanan itu pun menjadi tak tertahankan.
Bahkan, smoothie favoritnya, gelas-gelas yang kutuangi kalori terus-
menerus, tidak mengundang selera.
Waktu tidur merayap semakin awal, suara Paul terkadang tidak jelas,
dan rasa mualnya tak kunjung mereda. Pemindaian CT dan MRI otak
menegaskan kanker yang memburuk di paru-paru Paul dan tumor-tumor
baru yang mendarat di otaknya, termasuk karsinomatosis leptomeningeal,
serangan langka dan mematikan yang mendatangkan prognosis beberapa
bulan saja dan bayang-bayang penurunan fungsi saraf yang cepat. Kabar
itu membuat Paul amat terpukul. Dia sedikit bicara. Namun, sebagai
dokter bedah saraf, dia tahu apa yang membentang di hadapannya.
Walaupun Paul menerima harapan hidupnya yang terbatas, penurunan
fungsi saraf adalah kejutan baru, prospek kehilangan makna dan
kemampuan bertindak sangatlah menyakitkan baginya. Kami mengatur
strategi dengan dokter onkologi Paul mengenai prioritas utamanya:
mempertahankan ketajaman pikirannya selama mungkin. Kami mengatur
pendaftaran untuk percobaan klinis, konsultasi dengan dokter spesialis
onkologi-saraf, dan kunjungan menemui tim perawatan paliatif untuk
membahas pilihan rumah perawatan, semuanya demi memaksimalkan
kualitas waktu Paul yang tersisa. Hatiku hancur walaupun aku terus
menguatkan diri, membayangkan penderitaannya, merasa khawatir dia
hanya punya sisa waktu beberapa minggu—seandainya pun ada. Aku
membayangkan upacara pemakamannya ketika kami saling berpegangan
tangan. Aku tak tahu kalau Paul akan tiada dalam hitungan hari.
Kami menghabiskan Sabtu terakhir Paul bersama keluarga dalam
kenyamanan ruang duduk rumah kami, Paul menggendong Cady di kursi
berlengan; ayahnya di kursi goyangku; aku dan ibunya di sofa di dekat situ.
Paul menyanyi untuk Cady dan melambung-lambungkannya dengan
lembut di pangkuan. Cady menyeringai lebar, tidak menyadari keberadaan
selang yang mengantarkan oksigen ke hidung Paul. Dunia Paul menjadi
semakin kecil; aku menolak kunjungan tamu-tamu nonkeluarga, Paul
berkata kepadaku, “Aku ingin semua orang tahu bahwa, walaupun aku
tidak menemui mereka, aku mencintai mereka. Aku menghargai
persahabatan mereka, dan segelas wiski Ardbeg lagi tak akan mengubah
hal itu.” Dia tidak menulis apa pun pada hari itu. Manuskrip untuk buku
ini baru selesai sebagian, dan kini Paul tahu bahwa kemungkinan besar dia
tidak akan bisa menyelesaikannya—mustahil dia punya stamina,
kejernihan pikiran, dan waktu untuk menulis.
Untuk menyiapkan percobaan klinis, Paul harus berhenti mengonsumsi
pil terapi-target harian yang tidak memadai untuk mengendalikan
kankernya. Ada risiko kankernya akan berkembang pesat atau “merebak”
setelah dia menghentikan obatnya. Oleh karena itu, dokter onkologi Paul
menginstruksikanku untuk merekam Paul setiap hari ketika dia
melakukan tugas yang sama untuk mencatat kemunduran bicara atau
geraknya. “April adalah bulan terkejam,” Paul membaca keras-keras di
ruang duduk pada Sabtu itu ketika aku merekamnya. Dia memilih e
Waste Land karya T.S. Eliot sebagai skrip. “Membaurkan kenangan dan
hasrat, menggerakkan / Akar-akar kusam dengan hujan musim semi.”
Keluarga tergelak ketika, walaupun itu bukan bagian dari tugasnya, Paul
menelungkupkan buku itu di pangkuan dan bersikeras mendeklamasikan
puisi itu berdasarkan ingatan.
“Dasar Paul!” kata ibunya sambil tersenyum.
Keesokan harinya, Minggu, kami mengharapkan berlanjutnya akhir
pekan yang tenang itu. Jika Paul merasa cukup sehat, kami akan pergi ke
gereja, lalu mengajak Cady dan sepupunya bermain ayunan bayi di taman
di atas bukit. Kami terus mengikuti kabar menyakitkan terbaru, berbagi
kesedihan, menikmati waktu kami bersama.
Akan tetapi, waktu memelesat.
Pada Minggu pagi-pagi sekali, aku membelai kening Paul dan
mendapatinya demam tinggi, 40 °Celcius, walaupun dia tampak relatif
nyaman dan bebas dari gejala-gejala baru lainnya. Kami masuk keluar
ruangan UGD dalam waktu beberapa jam, ayah Paul dan Suman ikut
bersama kami, dan kami pulang menemui semua anggota keluarga lainnya
setelah memulai pengobatan antibiotik, kalau-kalau itu pneumonia
(gambar röntgen dada Paul dipadati tumor dan ini bisa mengaburkan
infeksi). Namun, apakah ini malah kanker yang berkembang cepat?
Siangnya Paul tidur dengan nyaman, tetapi dia sakit parah. Aku mulai
menangis ketika melihatnya tidur, lalu beranjak ke ruang duduk, yang
menjadi tempat air mata ayahnya bergabung dengan air mataku. Aku
sudah merindukan Paul.
Minggu malam kondisi Paul mendadak memburuk. Dia duduk di pinggir
ranjang kami, berjuang untuk bernapas—perubahan yang mengejutkan.
Aku memanggil ambulans. Ketika kami kembali memasuki ruang UGD,
kali ini dengan Paul berada di atas brankar, sedangkan orangtuanya berada
tepat di belakang kami, dia berpaling ke arahku dan berbisik, “Mungkin
beginilah akhirnya.”
“Aku di sini bersamamu,” kataku.
Staf rumah sakit menyapa Paul dengan hangat seperti biasa. Namun,
mereka bergerak cepat begitu melihat kondisinya. Setelah pengetesan
awal, mereka memasang masker di atas hidung dan mulut Paul untuk
membantunya bernapas lewat BiPAP, sistem penyokong pernapasan yang
memasok aliran udara kuat secara mekanis setiap kali dia menghela napas,
membantu melakukan sebagian besar pekerjaan bernapas untuknya.
Walaupun membantu mekanisme pernapasan, BiPAP bisa menyulitkan
pasien—berisik dan bertenaga, membuka bibir seiring setiap napas
seperti bibir anjing yang kepalanya terjulur keluar dari jendela mobil. Aku
berdiri di dekatnya, membungkuk di atas brankar, tanganku dalam
genggaman Paul ketika suara whuuush, whuuush teratur dari mesin BiPAP
mulai terdengar.
Kadar karbondioksida dalam darah Paul sangat tinggi, menunjukkan
bahwa pekerjaan bernapas itu membuatnya kewalahan. Tes-tes darah
menyatakan bahwa sebagian dari karbondioksida yang berlebih telah
berakumulasi selama berhari-hari hingga berminggu-minggu ketika
penyakit dan kelemahan paru-paru Paul semakin parah. Karena otaknya
telah menyesuaikan diri secara perlahan-lahan terhadap kadar
karbondioksida yang lebih tinggi daripada normal, Paul tetap tersadar. Dia
mengamati. Sebagai dokter, dia memahami hasil-hasil tes yang
mengerikan itu. Aku juga paham.
Aku berjalan di belakangnya ketika dia didorong ke ruang ICU, tempat
begitu banyak pasien Paul sendiri pernah berjuang sebelum atau setelah
pembedahan saraf, ditemani keluarga yang berkumpul di kursi-kursi vinil
di samping ranjang mereka. “Akankah aku perlu diintubasi?” tanyanya
kepadaku di antara napas-napas BiPAP ketika kami tiba. “Haruskah aku
diintubasi?”
Sepanjang malam Paul mendiskusikan pertanyaan itu dalam
serangkaian percakapan dengan dokter-dokter, keluarga, kemudian
denganku saja. Sekitar tengah malam dokter penanggung jawab ICU, yang
sudah lama menjadi mentor Paul, datang untuk membahas opsi-opsi
pengobatan dengan keluarga. BiPAP adalah solusi sementara, katanya.
Satu-satunya intervensi yang tersisa adalah dengan mengintubasi Paul—
memasang ventilator. Itukah yang diinginkannya?
Pertanyaan pentingnya dengan cepat muncul: Bisakah kegagalan
bernapas mendadak dipulihkan?
Yang menjadi kekhawatiran adalah apakah Paul akan tetap terlalu lemah
untuk lepas dari ventilator—akankah dia kehilangan kesadaran, lalu
mengalami kegagalan organ, mula-mula pikiran, lalu tubuhnya menyelinap
pergi? Sebagai dokter, kami pernah menyaksikan skenario menyakitkan
ini. Paul menjelajahi alternatifnya: alih-alih intubasi, dia bisa memilih
“perawatan paliatif” walaupun kematian akan datang lebih cepat dan lebih
pasti. “Seandainyapun aku berhasil melewati ini,” katanya, mengingat
kanker di otaknya, “aku tidak yakin aku melihat masa depan dengan sisa
waktu yang bermakna.” Ibunya menyela dengan putus asa. “Jangan
diputuskan malam ini, Pubby,” katanya. “Marilah kita semua beristirahat.”
Setelah memastikan agar statusnya “jangan diresusitasi”, Paul setuju.
Perawat-perawat yang bersimpati membawakannya beberapa selimut
tambahan. Aku mematikan lampu-lampu neon.
Paul berhasil terlelap hingga matahari terbit, ayahnya duduk berjaga,
sementara aku tidur sejenak di kamar yang bersebelahan, berharap bisa
mempertahankan kekuatan mental karena tahu bahwa esok mungkin
menjadi hari terberat dalam hidupku. Aku memasuki kamar Paul lagi pada
pukul 6.00 pagi, lampu-lampu masih redup, monitor-monitor ICU
berdenting tanpa henti. Paul membuka mata. Kami bicara lagi mengenai
“perawatan paliatif”—menghindari upaya-upaya agresif untuk mencegah
kemerosotannya—dan dia bertanya-tanya dengan suara keras apakah dia
bisa pulang. Keadaan Paul begitu parah sehingga aku khawatir dia akan
menderita dan meninggal dalam perjalanan. Bagaimanapun, kukatakan
bahwa aku akan berupaya sebisa mungkin untuk membawanya pulang,
jika itu yang terpenting baginya. Aku mengangguk, ya, perawatan paliatif
mungkin menjadi arah yang kami tuju. Atau, adakah semacam cara untuk
menghadirkan suasana rumah di sini? Di antara embusan-embusan BiPAP,
Paul menjawab, “Cady”.
Cady tiba tak lama kemudian—teman kami, Victoria, menjemputnya
dari rumah—dan dia mulai terjaga dengan polos dan ceria di lengkungan
lengan kanan Paul, menarik-narik kaus kaki mungilnya, memukul-mukul
selimut rumah sakit, tersenyum dan berdekut, tak terganggu oleh mesin
BiPAP yang terus-menerus bekerja untuk menjaga agar Paul tetap hidup.
Tim medis datang dalam tugas keliling mereka dan mendiskusikan
kasus Paul di depan kamar. Aku dan keluarga Paul bergabung bersama
mereka. Kegagalan pernapasan akut Paul kemungkinan berarti
perkembangan pesat kanker. Kadar karbondioksidanya masih terus
meningkat—indikasi kuat untuk melakukan intubasi. Keluarga terbelah:
dokter onkologi Paul sudah menelepon, berharap masalah akut itu bisa
diselesaikan, tetapi dokter-dokter yang hadir tidak begitu optimis. Aku
meminta mereka untuk menimbang peluang memulihkan kemerosotan
mendadak Paul dengan seyakin mungkin.
“Dia tidak ingin doa Salam Maria,” kataku. “Jika tidak punya peluang
untuk hidup dengan waktu yang bermakna, dia ingin melepas masker dan
menggendong Cady.”
Aku kembali ke sisi ranjang Paul. Dia memandangku, mata gelapnya
tampak waspada di atas masker BiPAP, dan dia berkata dengan jelas,
dengan suara lembut, tetapi mantap, “Aku siap.”
Artinya, dia siap melepas alat bantu pernapasan untuk mulai mendapat
mor n, untuk menjelang kematian.
Keluarga berkumpul bersama-sama. Selama menit-menit berharga
setelah putusan Paul, kami semua mengungkapkan cinta dan
penghormatan kami. Air mata berkilau di mata Paul. Dia berterima kasih
kepada orangtuanya. Dia meminta kami untuk memastikan agar
manuskripnya diterbitkan dalam bentuk tertentu. Dia mengatakan
kepadaku untuk kali terakhir bahwa dia mencintaiku. Dokter penanggung
jawab pasien melangkah masuk dengan kata-kata yang menguatkan, “Paul,
setelah kau tiada, keluargamu akan runtuh, tetapi mereka akan bersatu
kembali karena teladan keberanian yang kau berikan.” Mata Jeevan
tertuju kepada Paul ketika Suman berkata, “Pergilah dalam damai,
saudaraku.” Dengan hati yang remuk redam, aku naik ke ranjang terakhir
yang akan kami tempati bersama.
Aku teringat pada ranjang-ranjang lain yang kami tempati bersama.
Delapan tahun silam sebagai mahasiswa kedokteran, kami juga tidur
dengan nyaman di ranjang kecil di samping ranjang kakekku yang
terbaring sekarat di rumah, setelah memangkas bulan madu kami untuk
membantu melakukan tugas-tugas perawatan. Kami bangun setiap
beberapa jam sekali untuk memberikan obat kepada kakekku. Cintaku
kepada Paul semakin mendalam ketika aku menyaksikannya membungkuk
dan mendengarkan bisik-bisik permintaan kakekku dengan saksama.
Kami tak pernah membayangkan adegan ini, ranjang kematian Paul
sendiri, begitu dekat pada masa depan kami.
Dua puluh dua bulan yang lalu, kami menangis di sebuah ranjang di
lantai berbeda, di rumah sakit ini, ketika kami mengetahui diagnosis
kanker Paul. Delapan bulan yang lalu, kami bersama-sama di sini, di
ranjang rumah sakitku, sehari setelah Cady lahir, sama-sama terlelap,
tidur panjang nyaman pertama yang kurasakan semenjak kelahiran Cady,
dengan berpelukan. Aku teringat ranjang nyaman kami yang kosong di
rumah, aku ingat jatuh cinta di New Haven dua belas tahun silam,
langsung dikejutkan oleh betapa pasnya tubuh dan tungkai-tungkai kami
bersama-sama, dan teringat betapa semenjak itu kami merasakan tidur
terbaik ketika saling berpelukan. Aku berharap sepenuh hati agar kini Paul
merasakan kenyamanan dan ketenangan yang sama.
Satu jam kemudian, masker dan monitor-monitor dilepaskan, dan
mor n mengalir lewat infus Paul. Dia bernapas teratur, tetapi pendek-
pendek, dan tampak nyaman. Bagaimanapun, aku bertanya apakah dia
perlu lebih banyak mor n, dan dia mengiyakan dengan mata terpejam.
Ibunya duduk di dekat situ; tangan ayahnya berada di puncak kepalanya.
Akhirnya, dia menyelinap ke dalam ketidaksadaran.
Selama lebih dari sembilan jam, keluarga Paul—aku, orangtuanya, kedua
saudara laki-lakinya, ipar perempuannya, putrinya—duduk berjaga ketika
Paul, yang tak sadarkan diri, kini menghela napas secara tidak teratur dan
terputus-putus, dengan mata terpejam dan wajah tanpa beban. Jemari
panjangnya berada dalam genggaman lembutku. Orangtua Paul
menggendong Cady, lalu meletakkannya kembali ke ranjang agar dia bisa
berbaring nyaman, minum susu, kemudian tidur. Ruangan itu, yang sarat
oleh cinta, mencerminkan banyak hari libur dan akhir pekan yang kami
habiskan bersama-sama selama bertahun-tahun.
Aku membelai rambut Paul, berbisik, “Kaulah Paladin yang
pemberani”—nama panggilanku untuknya. Dan, dengan suara lembut,
kunyanyikan lagu favorit yang kami ciptakan berbulan-bulan lalu, yang
pesan intinya adalah “Terima kasih karena mencintaiku.” Seorang paman
dan sepupu dekat tiba, lalu pendeta kami muncul. Keluarga berbagi
anekdot dan gurauan dengan penuh cinta; lalu kami semua bergiliran
menangis, mengamati wajah Paul dan wajah satu sama lain dengan
khawatir, terhanyut dalam waktu yang berharga dan menyakitkan ini,
jam-jam terakhir yang akan kami lewatkan bersama-sama.
Sorot hangat cahaya malam mulai menerobos jendela kamar yang
menghadap barat laut ketika napas Paul menjadi semakin pelan. Cady
menggosok-gosok mata dengan kepalan tangannya yang gemuk ketika
waktu tidurnya mendekat, dan seorang teman keluarga datang untuk
membawanya pulang. Aku merapatkan pipi Cady ke pipi Paul, berkas-
berkas rambut gelap mereka yang serupa sama-sama berantakan, wajah
Paul tampak damai, wajah Cady kebingungan, tetapi tenang, bayi tercinta
Paul tak pernah menduga bahwa ini adalah momen perpisahan. Dengan
lembut aku menyanyikan lagu ninabobo untuk Cady, untuk mereka
berdua, lalu aku melepaskan Cady.
Selagi kamar berubah gelap, sebuah lampu dinding rendah berkilau
hangat, napas Paul menjadi terputus-putus dan tak beraturan. Tubuhnya
tetap tampak nyaman, tungkai-tungkainya relaks. Tepat sebelum pukul
21.00, bibir Paul membuka dan matanya terpejam. Paul menghela,
kemudian mengembuskan satu napas panjang terakhir.
W hen Breath Becomes Air bisa dibilang belum selesai, terhambat oleh
kemerosotan cepat Paul, tetapi itulah komponen penting
kejujurannya, realitas yang dihadapi Paul. Sepanjang tahun terakhir
kehidupannya, Paul menulis tanpa henti, disulut oleh tekad, dimotivasi
oleh jam yang berdetak. Dia memulai dengan luapan-luapan semangat
pada tengah malam ketika dia masih menjadi kepala dokter residen bedah
saraf, mengetik pelan di laptopnya sambil berbaring di sampingku di
ranjang; lalu menghabiskan siang di kursi malasnya, menyusun paragraf-
paragraf di ruang tunggu dokter onkologinya, menerima telepon dari
editornya ketika kemoterapi menetes ke dalam pembuluh-pembuluh
darahnya, membawa laptop peraknya ke mana pun dia pergi. Ketika ujung
jemari tangannya retak-retak menyakitkan gara-gara kemoterapi, kami
membeli sarung tangan tanpa jahitan dan bergaris perak yang
memungkinkan pemakainya menggunakan trackpad dan papan ketik.
Strategi mempertahankan fokus mental yang diperlukan untuk menulis,
walaupun mengalami kelelahan luar biasa gara-gara kanker progresif,
menjadi fokus janji-janji temu perawatan paliatifnya. Paul bertekad untuk
terus menulis.
Buku ini menyiratkan kegentingan berpacu melawan waktu ketika perlu
mengatakan hal-hal penting.
Paul menghadapi kematian—menelitinya,
bergulat dengannya, dan pasrah menerimanya—
sebagai dokter dan pasien. Dia ingin membantu
orang-orang memahami kematian dan menghadapi
mortalitas mereka.
Menghadapi kematian pada usia 40 tahun tidaklah sesuatu yang lazim
untuk saat ini, tetapi kematian adalah sesuatu yang lazim. “Masalahnya,
kanker paru-paru itu tidak eksotis,” tulis Paul dalam sebuah surel untuk
teman terdekatnya, Robin. “Penyakit itu cukup tragis dan cukup bisa
dibayangkan. [Pembaca] bisa mengenakan sepatu ini, berjalan-jalan
sebentar, lalu berkata, ‘Jadi, seperti ini kelihatannya dari sini … cepat atau
lambat aku akan kembali kemari dengan mengenakan sepatuku sendiri.’
Kurasa itulah tujuanku. Bukan untuk menunjukkan kehebohan kematian,
dan bukan nasihat untuk mengumpulkan kuncup-kuncup mawar,
melainkan: Inilah yang ada di ujung jalan.” Tentu saja Paul tidak hanya
menjelaskan medannya. Dia juga melintasinya dengan berani.
Putusan Paul untuk tidak mengalihkan pandangan dari kematian
melambangkan keteguhan yang tidak begitu dihargai dalam budaya yang
cenderung menghindari kematian. Kekuatan Paul bukan hanya
dide nisikan oleh ambisi dan upaya, melainkan juga oleh kelembutan yang
berlawanan dengan kegetiran. Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya
dengan menggumuli pertanyaan mengenai cara menjalani hidup yang
bermakna, dan buku ini menjelajahi wilayah penting itu. “Peramal selalu
menjadi pengungkap,” tulis Emerson. “Entah bagaimana, mimpinya
dikisahkan; entah bagaimana, dia mengumumkannya dengan
kegembiraan mendalam.” Menulis buku ini memberikan peluang bagi
peramal yang pemberani ini untuk menjadi pengungkap, untuk mengajari
kita cara menghadapi kematian dengan penuh integritas.
Sebagian besar keluarga dan teman kami tidak menyadari, hingga
diterbitkannya buku ini, masalah pernikahan yang dihadapi olehku dan
Paul menjelang akhir pelatihannya sebagai dokter residen. Namun, aku
senang Paul menuliskannya. Ini bagian dari kejujuran kami, de nisi-ulang
yang lain, sepenggal perjuangan dan penebusan serta makna dari
kehidupanku dan Paul. Diagnosis kankernya seperti alat pemecah kacang,
membawa kami kembali pada daging lembut dan bergizi dalam
pernikahan kami.
Kami saling menguatkan demi kelangsungan hidup sik Paul dan
kelangsungan hidup emosi kami; cinta kami ditelanjangi. Masing-masing
dari kami bergurau dengan teman-teman dekat bahwa rahasia
menyelamatkan hubungan adalah salah seorangnya menderita penyakit
mematikan. Namun, sebaliknya, kami tahu bahwa satu trik untuk
mengatasi penyakit mematikan adalah dengan jatuh cinta secara
mendalam—menjadi rapuh, baik, murah hati, penuh syukur. Beberapa
bulan setelah diagnosis Paul, kami menyanyikan himne “ e Servant
Song” sambil berdiri berdampingan di bangku gereja, dan syair lagu itu
bergetar oleh makna ketika kami menghadapi ketidakpastian dan
penderitaan bersama-sama: “Aku ikut merasakan kegembiraan dan
penderitaanmu / Hingga kita menyelesaikan perjalanan ini.”
Begitu didiagnosis, Paul memintaku untuk menikah kembali
sepeninggal dirinya. Ini mencontohkan cara Paul bekerja keras
mengamankan masa depanku selama menjalani penyakitnya. Dia
berkomitmen dengan gigih untuk memastikan yang terbaik bagiku, dalam
hal keuangan kami, karierku, dan makna menjadi seorang ibu. Pada saat
bersamaan, aku bekerja keras untuk mengamankan masa kini Paul,
menjadikan waktunya yang tersisa sebaik mungkin, mengikuti dan
mengelola setiap gejala penyakit dan aspek perawatan medisnya—inilah
peran dokter yang terpenting dalam hidupku—sementara mendukung
ambisinya, mendengarkan bisik-bisik ketakutannya ketika kami
berpelukan dalam keamanan kamar tidur kami yang gelap, menyaksikan,
mengakui, pasrah, menghibur. Kami tak terpisahkan, sama seperti ketika
menjadi mahasiswa kedokteran, ketika kami bergandengan tangan selama
mengikuti kuliah.
Kini kami bergandengan tangan di dalam saku mantel Paul selama
berjalan-jalan di luar setelah kemoterapi, Paul mengenakan mantel dan
topi musim dingin walaupun cuaca telah berubah hangat. Dia tahu bahwa
dia tak akan pernah sendirian, tak akan pernah menderita secara tak
perlu. Di rumah, di ranjang, beberapa minggu sebelum kematiannya, aku
bertanya kepadanya, “Bisakah kau bernapas dengan baik kalau kepalaku
ada di atas dadamu seperti ini?” Jawabannya, “Inilah satu-satunya cara
bernapas yang kuketahui.” Salah satu berkah terbesar yang pernah
kudapat adalah betapa aku dan Paul telah membentuk bagian paling
bermakna dari kehidupan kami masing-masing.
Kami berdua mendapat kekuatan dari keluarga Paul yang menyokong
kami ketika menghadapi penyakit Paul dan mendukung kami ketika
membawa anak kami ke dalam keluarga. Walaupun sangat berduka
menghadapi penyakit putranya, orangtua Paul tetap menjadi sumber
kenyamanan dan keamanan yang tak tergoyahkan. Mereka menyewa
apartemen di dekat kami, sering berkunjung, ayah Paul menggosok-gosok
kaki Paul, ibu Paul membuatkannya dosa India dengan saus kelapa. Paul,
Jeevan, dan Suman duduk di sofa, kaki Paul disangga untuk meredakan
nyeri punggungnya, dan mereka membahas “sintaksis” permainan sepak
bola. Aku dan istri Jeevan, Emily, tertawa di dekat situ, sementara Cady
dan sepupu-sepupunya, Eve dan James, terlelap. Pada siang-siang seperti
itu ruang duduk rumah kami terasa seperti desa kecil yang aman.
Belakangan, di ruangan yang sama itu, Paul menggendong Cady di kursi
menulisnya, membacakan karya Robert Frost, T.S. Eliot, dan Wittgenstein
keras-keras, sementara aku memotretnya. Momen-momen sederhana
semacam itu dipenuhi keanggunan dan keindahan, dan bahkan
keberuntungan, kalau konsep semacam itu bisa dibilang ada. Namun,
kami memang merasa beruntung, merasa bersyukur—karena keluarga,
karena komunitas, karena peluang, karena putri kami, karena kami telah
bangkit untuk saling bertemu pada saat kepercayaan dan penerimaan
mutlak diperlukan. Walaupun beberapa tahun terakhir ini sulit dan
menyakitkan—terkadang nyaris mustahil—itu juga tahun-tahun paling
indah dan luar biasa dalam hidupku, menuntut tindakan harian untuk
mempertahankan keseimbangan antara kehidupan dan kematian,
kegembiraan dan kepedihan, serta menjelajahi kedalaman baru rasa cinta
dan rasa syukur.
Dengan mengandalkan kekuatan dirinya sendiri dan dukungan keluarga
serta komunitas, Paul menghadapi setiap tahap penyakitnya dengan
elegan—bukan dengan keberanian atau keyakinan keliru bahwa dia akan
“mengatasi” atau “mengalahkan” kanker, melainkan dengan kejujuran
yang memungkinkannya untuk berduka atas hilangnya masa depan yang
telah direncanakan, kemudian mulai menempa masa depan baru. Paul
menangis pada hari dia didiagnosis. Dia menangis ketika melihat gambar
yang kami letakkan di cermin kamar mandi, yang bertuliskan, “Aku ingin
menghabiskan seluruh hariku di sini bersamamu.” Dia menangis pada hari
terakhirnya di ruang operasi. Dia membiarkan dirinya terbuka dan rentan,
membiarkan dirinya dihibur. Bahkan, ketika menderita penyakit
mematikan, Paul tetap hidup sepenuhnya; walaupun mengalami
keruntuhan sik, dia tetap bersemangat, terbuka, penuh harapan, bukan
terhadap pengobatan yang mustahil, melainkan terhadap hari-hari yang
dipenuhi tujuan dan makna.
Suara Paul dalam When Breath Becomes Air sangatlah kuat dan berbeda,
tetapi juga sedikit terasing. Yang paralel dengan kisah ini adalah cinta,
kehangatan, kelapangan, dan persetujuan radikal yang mengelilinginya.
Kita semua menghuni jati diri yang berbeda dalam ruang dan waktu. Di
sini Paul berperan sebagai dokter, sebagai pasien, dan berada dalam
hubungan dokter-pasien. Dia menulis dengan suara jernih, suara
seseorang yang waktunya terbatas, pejuang tak kenal lelah, walaupun ada
banyak jati diri yang lainnya juga. Yang tak tertangkap sepenuhnya di
halaman-halaman ini adalah rasa humor Paul—dia sangat jenaka—atau
juga kemanisan dan kelembutannya, nilai yang diberikannya pada
hubungan dengan teman-teman dan keluarga. Namun, inilah buku yang
ditulisnya; inilah suaranya selama masa itu; inilah pesannya selama masa
itu; inilah yang ditulisnya ketika dia merasa perlu menuliskannya.
Sesungguhnya versi Paul yang paling kurindukan, bahkan melebihi versi
gagah memesona yang membuatku jatuh cinta untuk kali pertama, adalah
sosok lelaki rupawan dan terfokus seperti pada tahun terakhirnya, Paul
yang menulis buku ini—yang ringkih, tetapi tak pernah lemah.
Paul merasa bangga terhadap buku ini, yang merupakan puncak dari
cintanya terhadap kesusastraan—dia pernah berkata bahwa menurutnya
puisi lebih menghibur daripada Kitab Suci—dan puncak dari
kemampuannya untuk menempa, dari hidupnya, kisah hebat dan
meyakinkan mengenai hidup bersama kematian. Ketika Paul mengirim
surel untuk sahabat terdekatnya pada Mei 2013 untuk memberitahunya
bahwa dia menderita kanker mematikan, dia menulis, “Kabar baiknya
adalah aku sudah hidup lebih lama daripada dua Brontë, Keats, dan
Stephen Crane. Kabar buruknya adalah aku belum menulis apa pun.”
Perjalanannya setelah itu adalah sebuah transformasi—dari pekerjaan
sepenuh hati menjadi pekerjaan sepenuh hati lain, dari suami menjadi
ayah, dan akhirnya, tentu saja, dari kehidupan menjadi kematian,
transformasi akhir yang menanti kita semua. Aku bangga menjadi
pasangannya sepanjang masa itu, termasuk ketika dia menulis buku ini,
kegiatan yang memungkinkannya untuk hidup dengan harapan, dengan
alkimia lembut berupa semangat dan peluang yang dikisahkannya dengan
sangat mengesankan hingga saat penghabisan.
PAUL KALANITHI adalah dokter bedah saraf dan penulis. Dia dibesarkan
di Kingman, Arizona, dan lulus dari Universitas Stanford dengan gelar
sarjana dan master dalam Sastra Inggris dan sarjana dalam Biologi
Manusia. Dia meraih gelar master dalam Sejarah dan Filsafat Sains dan
kedokteran dari Universitas Cambridge serta lulus cum laude dari Sekolah
Kedokteran Yale, tempatnya dilantik menjadi anggota kehormatan
perhimpunan kedokteran nasional Alpha Omega Alpha. Dia kembali ke
Stanford untuk menyelesaikan pelatihannya sebagai dokter residen dalam
bedah saraf dan beasiswa pascadoktoral dalam ilmu saraf, serta menerima
penghargaan tertinggi dari American Academy of Neurological Surgery
untuk riset. Dia wafat pada Maret 2015. Dia meninggalkan keluarga besar
tercintanya, termasuk istrinya, Lucy, dan putrinya, Elizabeth Acadia.