Anda di halaman 1dari 62

DANIELSI

HOMBING
YASUO THUANG
RI
VALDIANJARSAPUTRA
PUISI PEMBEBASAN 2

Daniel Sihombing
Yasuo T. Huang
Rivaldi Anjar Saputra
Puisi Pembebasan 2
Daniel Sihombing
Yasuo T. Huang
Rivaldi Anjar Saputra
---------
Judul Buku: Puisi Pembebasan 2
Editor: Daniel Sihombing, Yasuo T. Huang, Rivaldi Anjar
Saputra
Desain Sampul: NN, Rachel Manurung
Desain Buku: Filemon
Rilis: Juli 2020
Kata Pembaca .................................................................................... v
Eksperimen Kedua ........................................................................... x
Berpuisi Kembali............................................................................xiii
Sebuah Perjumpaan ....................................................................... xvi
Aku Ingin Mencintaimu di Antara Massa Aksi
di Tengah Kota yang Kelaparan ................................................. 1
Anak Tuhan ................................................................................... 2
Ampunan ....................................................................................... 3
Bau Kematian ................................................................................ 4
Bela Negara ................................................................................... 5
Benih ............................................................................................... 6
Berlipat Ganda .............................................................................. 7
Bingung .......................................................................................... 8
Bukan Sekadar Naik-Turun ........................................................ 9
Bumbu .......................................................................................... 10
Dibungkam Pasar ....................................................................... 11
Di Persimpangan ........................................................................ 12
Fatamorgana Urban ................................................................... 13
Ingat Paris .................................................................................... 14
Jamban ......................................................................................... 15
Kapital .......................................................................................... 16
Kayak Kenal? .............................................................................. 17
Keluaran....................................................................................... 18
Kembang-kembang Hilang Berganti ....................................... 19
Kitab-kitab ................................................................................... 20
Laku Penulis ................................................................................ 21
L E L A H ..................................................................................... 22
Lirih .............................................................................................. 23
Manifesto ..................................................................................... 24
Menulis Puisi............................................................................... 25
Neraka .......................................................................................... 26
Palu ............................................................................................... 27
Pemilu Melulu ............................................................................ 28
Penjuru Mata Angin ................................................................... 30
Porak ............................................................................................ 31
Rindu di Hujan Sore................................................................... 32
Sabat ............................................................................................. 33
Sabtu Sunyi.................................................................................. 34
Semalam Aku Mampir Membuka Cinta ................................. 35
Sikat Oligarki .............................................................................. 36
Tipu Daya .................................................................................... 37
Tuhan Turun ke Bumi................................................................ 38
Tukang Gali Kubur Kata ........................................................... 39
Utopia ........................................................................................... 40
Wajah Baru .................................................................................. 41
Tentang Penulis............................................................................... 42
“Terkadang puisi mampu menjadi suplemen dalam
merawat vitalitas perjuangan. Eksperimentasi Daniel
dan Yasuo sedang mengambil peran itu. Layak dibaca
untuk menjaga keberanian yang bisa hilang kapan saja.
Sebagai buruh pendidikan, saya suka puisi ‘Industri
Akademi’.”
—Dodi Faedlulloh (Dosen Unila)

“Dengan filsafat, pikiranmu akan tajam. Dengan sastra,


perasaanmu akan halus. Dengan membaca kumpulan
puisi ini, kamu menjadi utuh, terbangun dan bergerak.
Sebagai orang awam, aku menyukai puisi ‘Kehendak
Tuhan’.”
—Jeffry Dwi Kurniawan (Alumnus Pascasarjana
UNS)

“Antologi puisi beribu isi


Menggemakan evaluasi
Dari sang penghasil nasi
Sampai politisi berdasi

Terukir cinta Allah dalam tinta


Mencurahkan air mata
Dari ananta, sampai yang tak
bisa berkata.”
—Ricky Atmoko (Mahasiswa SAAT)

1 Pembaca Puisi Pembebasan, Volume I.


v
“Puisi mempunyai kekuatan untuk merekam
pengalaman, baik ratapan, kegelisahan, kengerian,
kesedihan, perjuangan dan pengharapan. Maka tidak
berlebihan menulis atau membaca puisi dapat mengasah
empati kita terhadap sesama dan ciptaan. Melalui buku
ini Daniel dan Yasuo menjadi penyambung lidah dari
suara-suara riak yang agaknya tak pernah tersampaikan.
Puisi-puisi di buku ini seakan-akan mendesak kita
mengambil sebuah posisi terhadap realitas yang terjadi.”
—Adi Nugroho (Admin Theovlogy, Founder
Mennolab)

“Ini sebuah karya yang luar biasa, perpaduan antara


sastra dengan ilmu teologi yang menyuarakan
penderitaan dan penindasan yang kerap dialami oleh
kaum marjinal. Ditulis dengan kata-kata indah namun
mudah dipahami oleh massa luas. Ketika kita jenuh
dengan kebanyakan pemuka agama yang hanya bicara
tentang akhirat dan menutup mata dengan masalah-
masalah di dunia, kedua teolog kita ini berani berbeda,
mereka melakukan yang sebaliknya dengan
menghadirkan karya berisi tentang ketidakadilan dan
penindasan yang terjadi di dunia.”
—Novri Oov Auliansyah (Ketua Partai Rakyat
Pekerja, Koordinator Konfederasi Serikat
Nasional)

vi
“Puisi Pembebasan DS dan YH mampu menjadi
jembatan antara kesadaran ber-Tuhan dan menjadi
manusia utuh yang hidup di dunia penuh ketidakadilan
serta eksploitasi. Dari situ semakin jelas bahwa puisi
selalu berhasil menjelmakan perenungan paling dalam.”
—Rivaldi Anjar (Penyair Malang, Anggota Kristen
Hijau)

“Puisi-puisi yang sangat mudah diingat, dipahami, dan


menusuk jantung dan hati. Puisi yang terlalu jujur dan
kritis […] Setelah baca, yang ada di beta punya benak
hanya ini, ‘Kalau nanti beta jadi Pendeta, beta akan
seperti apa? Gereja sekarang sudah sampai mana
menyuarakan suara kenabiannya?”
—Kurniati Ludji (Mahasiswa FTh-UKAW)

“Untuk pertama kalinya saya membaca jenis puisi yang


berisi tentang perjuangan untuk keadilan yang ditulis
oleh teolog. Kumpulan puisi ini memberikan saya
inspirasi sekaligus kritik. Bukankah Allah mencintai
keadilan?”
—Minamangma (Mahasiswa FTh-UKAW)

vii
“Terima kasih untuk suara kenabian yang terlalu indah
ini. Sederhana tapi menyentak. Beta bukan orang yang
puitis dan kadang sonde terlalu paham makna tersirat
dalam puisi karena terlalu dalam, tapi baca kumpulan
puisi ini beta bisa paham dan menggugah beta untuk
menyadari apa yang mungkin beta belum lihat atau
sudah lihat tapi anggap sepele selama ini.”
—Mega Kristin Haba (Mahasiswa FTh-UKAW)

“Kumpulan puisi berjudul ‘Puisi Pembebasan’ karya


Daniel Sihombing (DS) dan Yasuo T Huang (YH) harus
diberikan apresiasi mengingat semakin sedikitnya
penulisan puisi-puisi yang bersifat kritis yang ditulis dan
diterbitkan oleh teman-teman dengan latar belakang
teologi.”
—Pdt. Victor Hamel (Gembala Presbyterian
Church, Maryland, Doktor Ilmu Politik)

“Untuk pertama kalinya saya membaca puisi yang tidak


hanya membuat saya terkagum melainkan juga terdiam,
merenung, bahkan tertegur oleh pesan yang terdapat di
dalamnya. Sebuah buku kumpulan puisi yang ditulis
dengan pengalaman, perenungan, dan pemikiran yang
sangat kuat.”
—Isaac Imanuel Koroh (Ordinand di Anglican
Church)

viii
“Kumpulan puisi ini mengingatkan saya tentang bahaya
zona nyaman dalam berteologi, sekaligus mendorong
saya untuk menceburkan diri ke zona berantakan itu.
Puisi-puisi ini sangat menggetarkan dan menginspirasi
bagi saya yang sedang mendalami panggilan Yesus
kepada keempat nelayan untuk menjadi penjala manusia
di tengah-tengah sistem ekonomi eksploitatif kekaisaran
Romawi yang menyengsarakan para nelayan di ‘laut’
Galilea.”
—Elia Maggang (Mahasiswa PhD, University of
Manchester)

“Pemberontakan puitik dari dalam gereja-gereja sedang


muncul. Melalui goretan-goretan kata Daniel Sihombing
dan Yasuo T. Huang. Dari pemberontakan puitik,
akankah lahir pemberontakan para cendekia teologi
menghadapi keresahan kaum terpinggirkan hari ini?
Bacalah, lalu jawablah!”
—Gus Fayyadl (Pegiat Islam Progresif)

“Cuplikan frasa dalam Puisi Pembebasan bukan hanya


menghadirkan lensa akan siksa dalam kuasa, namun
juga menggugah rasa untuk berkarsa.”
—Hansel Augustan (Mahasiswa SAAT)

ix
Daniel Sihombing

Di luar dugaan saya dan Yasuo, Puisi Pembebasan yang


kami rilis pada bulan Mei lalu ternyata mendapat
sambutan hangat dari berbagai pihak. Selain dibaca oleh
orang-orang yang sebelumnya sudah kami kenal, buku
elektronik tersebut juga menghubungkan kami dengan
orang-orang yang sebelumnya ‘asing’.
Respons yang melampaui ekspektasi awal ini
secara bersamaan membesarkan hati sekaligus
menambah dorongan perbaikan. Seperti saya singgung
dalam pengantar Puisi Pembebasan, saya sendiri masih
mencari-cari bentuk yang pas dalam hal penulisan puisi.
Ada perasaan belum puas atas puisi-puisi yang sudah
dituliskan dan juga pengakuan bahwa diri ini masih
dalam tahap pembelajaran awal.
Usai rilis volume pertama tersebut, saya sendiri
berusaha menambah referensi puisi dengan membaca
karya-karya beberapa penyair seperti Wiji Thukul,
Bertolt Brecht, Nicanor Parra, Pablo Neruda, William
Morris, Ernesto Cardenal, Xu Lizhi, Roberto Bolaño, dan
lain-lain. Di satu sisi pembacaan ini menyadarkan saya
akan betapa amatirnya puisi-puisi yang saya buat
sebelumnya. Namun di sisi lain, ia sekaligus membuka
wawasan tentang betapa canggih dan tajamnya puisi bisa
digubah untuk memengaruhi kesadaran.

x
Diskusi tentang teori-teori kritik sastra dari tradisi
politik progresif bersama Yasuo dalam beberapa bulan
terakhir juga menajamkan perspektif saya tentang puisi.
Perdebatan-perdebatan tentang realisme dan karya seni,
strategi kritik, serta posisi-posisi yang direpresentasikan
dalam sejarah oleh Proletkult, Lekra, Georg Lukács,
Bertolt Brecht, Fredric Jameson, Pierre Macherey, Lucien
Goldmann, Walter Benjamin, dan lain-lain, memperkaya
pandangan saya tentang bidang ini dan menambah
inspirasi.
Hal-hal inilah yang antara lain menguatkan niat
untuk meluncurkan Puisi Pembebasan 2. Dengan bekal
tambahan referensi dari karya-karya klasik maupun teori
kritik, eksperimen kedua siap dijalankan. Tentu dengan
diiringi kesadaran bahwa tidak serta-merta tambahan
bekal ini membuat puisi-puisi kami otomatis bakal lebih
bermutu. Tidak ada pretensi kepakaran dalam Puisi
Pembebasan 2, karena sekali lagi, karya ini adalah bentuk
eksperimen.
Dalam volume kedua ini, kami berdua melibatkan
kawan yang juga menjadi bagian dari jaringan Kristen
Hijau, Rivaldi Anjar Saputra. Valdi, demikian ia biasa
dipanggil, pada saat pengantar ini ditulis, baru saja
diterima di program pascasarjana Fakultas Teologi
Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.
Dibandingkan kami berdua, yang bersangkutan ini bisa
dibilang lebih ‘beraura penyair’. Puisi-puisinya beberapa
kali ia bacakan dalam acara-acara demonstrasi di Malang
dan juga panggung-panggung seni. Beberapa tahun yang
lalu ia juga telah menerbitkan buku kumpulan puisinya,
Serpihan Kata yang Berserakan. Sebagai bentuk

xi
penghormatan untuknya, puisi-puisinya kami muat
lebih banyak daripada puisi kami berdua.
Seperti halnya Puisi Pembebasan volume pertama,
penulisan Puisi Pembebasan 2 juga saya anggap sebagai
bagian dari kegiatan berteologi. Ia merupakan ekspresi
kegelisahan, kemarahan, keputusasaan, hingga
perjuangan dan pengharapan; postur-postur yang dalam
Alkitab secara jelas tergambar sebagai bagian dari
dinamika kehidupan seseorang yang bergumul dalam
iman kepada Allah di tengah-tengah gejolak dunia di
sekitarnya.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih
kepada para pembaca yang telah menyediakan waktu
untuk membaca puisi-puisi sederhana ini,
menyampaikan apresiasi, kritik membangun, atau
bahkan turut menyebarluaskannya. Terima kasih juga
untuk Rachel Manurung, kawan Kristen Hijau lainnya
yang berkenan membantu desain sampul edisi kali ini,
serta Filemon yang menolong dalam desain buku.
Saya tutup pengantar ini dengan mengutip
penggalan puisi karangan Bertolt Brecht yang saya
terjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia:

Maka, anakku, merapatlah ke kaummu


Sehingga kekuatanmu, seperti debu, akan menyebar ke
segala penjuru.
Kau, anakku, dan aku dan semua orang dari kaum kita
Harus berdiri tegak hingga lenyap
Dua kelas tak sejajar yang memisahkan seluruh umat
manusia.2

2Bertolt Brecht, Bertolt Brecht: Plays, Poetry and Prose (eds. John
Willett and Ralph Manheim; London: Eyre Methuen, 1976), 191.
xii
Yasuo T. Huang

Sejak Puisi Pembebasan dirilis pada bulan Mei lalu, Daniel


dan saya menggali literatur dan banyak berdiskusi
terkait tentang kebudayaan dan kesenian demi mencapai
pemahaman yang lebih maju lagi. Nama-nama penyair
yang baru saya ketahui terus bermunculan dan
membuat saya semakin kagum dengan kerja
kesusastraan yang satu ini. Dari sanalah saya semakin
meyakini bahwa puisi tidak hanya bisa memantulkan
realita dunia, tetapi juga menjadi bagian dari partisipasi
dalam upaya mentransformasikan kenyataan tersebut. Ia
berpotensi untuk menjadi barisan kata-kata yang
memiliki daya teramat kuat untuk membentuk
kesadaran dan mengoyak-ngoyak hati pembacanya.
Dalam artikel di IndoProgress yang terbit Juni
lalu, saya mengusulkan bahwa gereja perlu
berpartisipasi dalam membangun kerja-kerja
kebudayaan progresif, salah satunya adalah lewat
kegiatan berpuisi.3 Sebabnya, kegiatan karitatif seperti
bakti sosial yang sering dikerjakan gereja bisa dibilang
tak akan sanggup menghentikan laju reproduksi
ketimpangan sosial yang berakar pada modus produksi

3Yasuo T. Huang, “Gereja dan Kerja-kerja Kebudayaan Progresif,”


https://indoprogress.com/2020/06/gereja-dan-kerja-kerja-
kebudayaan-progresif/.
xiii
kapitalisme. Untuk itu, barangkali kita bisa mencoba
untuk berpuisi, berpuisi, dan berpuisi. Tentu puisi tidak
serta-merta mengubah tatanan masyarakat dalam
sekejap mata. Namun setidaknya puisi dapat melakukan
intervensi ideologis dalam benak para pembacanya
untuk menyadari betapa pentingnya membebaskan diri
dari belenggu kapitalisme.
Itulah alasan bagi saya secara pribadi untuk
membuat puisi kembali. Meminjam istilah Daniel, yakni
‘eksperimen’, saya kira puisi-puisi dalam buku ini adalah
manifestasi percobaan demi percobaan yang kiranya
dapat menajamkan kemampuan kami berpuisi. Lebih
jauh lagi, bukan untuk diri sendiri kami berpuisi, tetapi
sebagai salah satu usaha sederhana dalam membentuk
kesadaran kritis dan progresif.
Dalam Puisi Pembebasan 2, kami mengajak Rivaldi
Anjar Saputra yang juga anggota Kristen Hijau untuk
berpartisipasi dalam pembuatan antologi puisi ini.
Berhubung ia terlebih dahulu berkecimpung dalam
dunia puisi ketimbang Daniel dan saya, tentulah ia lebih
lihai dalam merangkai kata-kata yang bertenaga. Terima
kasih untuk Rivaldi yang berkenan untuk bergabung
dalam proyek Puisi Pembebasan 2.
Terima kasih juga kepada para pembaca yang
sudah menyambut Puisi Pembebasan sebelumnya. Seperti
dikatakan oleh Daniel, kami sungguh tidak menduga
bahwa antologi puisi kami mendapatkan respons yang
melampaui ekspektasi. Itulah salah satu alasan yang
mendorong Daniel dan saya untuk kembali membuat,
mengumpulkan, dan mengedarkan kumpulan puisi
kepada khalayak luas.

xiv
Akhir kata, terima kasih untuk Anda yang
berkenan membaca Puisi Pembebasan 2. Nikmatilah puisi-
puisi dari kami. Moga-moga puisi-puisi sederhana ini
dapat menginspirasi dan mengganggu kenyamanan
Anda.

xv
Rivaldi Anjar Saputra

Puisi pembebasan DS dan YH mampu


menjadi jembatan antara kesadaran ber-Tuhan
dan menjadi manusia utuh yang hidup di
dunia penuh ketidakadilan serta eksploitasi.
Dari situ semakin jelas bahwa puisi selalu
berhasil menjelmakan perenungan paling
dalam.

Kutipan diatas merupakan tanggapan saya setelah


berkenalan dengan Puisi Pembebasan, karya Daniel
Sihombing dan Yasuo T. Huang. Puisi Pembebasan
mampu mengusik keimanan saya di mana sebagai
seseorang yang menganut dan menjalani tradisi Kristen,
seringkali saya hanya berkutat pada kehidupan
personal, bergereja (bersekutu) dan ber-Tuhan. Hanya
sebatas itu. Puisi Pembebasan mampu menjadi alarm
pengingat bahwa ada banyak hal yang terjadi di tatanan
sosial tempat manusia hidup. Mulai dari zaman nabi-
nabi hingga zaman modern seperti sekarang, banyak
pula yang berubah dan berganti seiring berjalannya
waktu. Namun di tengah gerak perubahan tersebut,
penindasan dan eksploitasi juga pada saat yang sama
terus menemukan jalan untuk melegalkan dirinya.

xvi
Perjumpaan dengan Daniel Sihombing bermula
ketika penulis bergabung dalam jaringan Kristen Hijau
dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan turun ke jalan
hingga diskusi-diskusi yang diadakan dengan beberapa
kawan. Aktivitas-aktivitas inilah yang membuat penulis
semakin sadar mengenai kondisi masyarakat dan kelas
sosial. Sementara dengan Yasuo T. Huang, penulis belum
pernah bertemu secara langsung, namun penulis
membaca beberapa karyanya melalui media sosial dan
terkagum atas kejelian dan keberaniannya
mengungkapkan kegelisahan tentang kondisi sosial
masyarakat.
Beberapa kisah di Alkitab juga berbicara tentang
pembebasan umat dari kezaliman rezim. Namun
sayangnya, sejauh penulis bergereja, sangat jarang teks-
teks pembebasan ini dibicarakan. Ini mencakup kisah-
kisah seperti Yesus yang turun langsung ke bumi untuk
melepas manusia dari belenggu dosa hingga
mengupayakan perombakan tatanan pemerintahan dan
masyarakat pada waktu itu. Juga kisah Musa yang
melepaskan bangsa Israel dari perbudakan bangsa Mesir.
Penekanan bahwa ada kekuasaan lalim yang
menciptakan perbudakan dan penindasan harus
diruntuhkan hampir tak terdengar.
Dari perkenalan dan perjumpaan tersebut,
muncul sebuah keyakinan bahwa kekuasaan yang lalim
dapat dilawan, salah satunya dengan menggunakan
buku sebagai senjata dan kata sebagai peluru. Terbukti
dalam sejarah bahwa kuasa yang lalim bergidik dengan
kekuatan aksara. Ini dapat dilihat dari bagaimana
berbagai rezim dan pemerintahan menghancurkan buku-

xvii
buku dan membungkam suara beberapa penulis dengan
jeruji besi. Tak jarang nyawa juga menjadi pertaruhan.
Penulis sendiri mulai menempuh perjalanan
menggubah puisi sejak lima tahun lalu. Puisi-puisi
tersebut penulis temukan di bawah meja, di bibir cangkir,
hingga dalam setiap tetes keringat pekerja di jalanan.
Tentu saja waktu yang singkat itu tak mungkin membuat
penulis dapat menuliskan puisi yang sempurna. Namun
penulis percaya bahwa ketika puisi dilahirkan, ia akan
tumbuh dan menemukan jiwanya di hati pembaca.
Kutipan dari Bertolt Brecht bahwa “seni bukanlah
cermin untuk merefleksikan kenyataan, melainkan palu
untuk membentuknya”, yang penulis dapatkan dari
artikel Daniel Sihombing di IndoProgress baru-baru ini,4
membuat penulis semakin yakin bahwa puisi-puisi yang
lahir akan mampu menjadi penggerak. Bagi saya, Puisi
Pembebasan 2 adalah upaya untuk menghancurkan
ketidakadilan dan melelehkan ketidakpedulian. Seperti
yang Franz Kafka pernah katakan:

Sebuah buku semestinya menjadi kapak bagi


laut beku.

4Daniel Sihombing, “Bertolt Brecht dan Keluhan Profetik”,


https://indoprogress.com/2020/07/bertolt-brecht-dan-keluhan-
profetik/.
xviii
aku ingin mencintaimu di antara massa aksi di tengah kota
yang kelaparan
aku ingin mencintaimu serupa nadi di setiap lengan yang
berjuang di antara kerumunan
aku ingin mencintaimu dengan harapan-harapan

hingga kegelapan melingkupi penguasa dan nyala terbit dari


segala arah yang kita usahakan sekalipun hanya dengan
satu mata dan kata-kata

agar kelak kita mampu lahir semakin banyak


merampas hak
lalu anak cucu kita bisa mencintai sepuasnya tanpa berdesakan

RAS

1
aku ingin hidup suci
tiap hari bangun pagi
haus siraman rohani

tekadku hidup saleh


jauhi kelakuan nyeleneh
tutur lembut tanpa iri-dengki

aku mau hidupku diberkati


punya banyak budak belian
tiap malam memuji Tuhan
pendeta bilang jiwaku diselamatkan

seperti pionir tanah kemerdekaan


jadi tuan
dan anak Tuhan

DS

2
fajar serupa hembusan angin
membawa kabar ke seluruh penjuru bumi
bahwa hari ini adalah hari kemenangan
bagi yang bertempur melawan pandemi
bagi yang bertempur melawan iri, dengki, benci
semuanya mengampuni meskipun tak saling menyakiti

penguasa minta ampunan pada yang tertindas


penggusur minta ampunan pada segala yang hidup dari tanah
pada hewan dan tumbuhan
tuhan-tuhan palsu mengakui kesalahannya
telah membuat banyak umat terluka

namun,
jika ampunan serupa tanah leluhur
kau tak akan menemukannya jika menggusur

RAS

3
hai kelas pekerja!
jadilah seperti bunga kamboja
meski berguguran, tak sirna indahnya
mengingatkan kematian
pada mereka yang menghisapmu

YH

4
kudengar tangisan tetangga
karena kabar duka
tentang si bungsu
mati bela negara

sayang, ini bukan Vietnam


bukan pula Haiti
atau Teluk Babi

sayang, ini kisah lama


perang penguasa
makan nyawa pekerja

DS

5
di kelopak matamu
kulihat dunia baru
tersembunyi di balik lipatan
yang tertanam bak
benih Kerajaan Allah
dan menunggu
kaum buruh bersatu padu
agar tanganku bisa membelaimu
tanpa harus menyeberangi
jurang yang memisahkan
kau dan aku

DS

6
Mengenang Wiji Thukul

malam ini kurajut kata-kata


harap suaranya terus bergema
kusulam di kertas putih
sumbangkan untuk dunia pedih

jangan binasa kata-kata


sini kutiupkan nyawa!
biar robek mimpi penguasa
bongkar habis kebohongannya

jangan berhenti kata-kata


jadilah peluru
melesat ke penghulu
sampai penindasan jadi debu

jangan tidur kata-kata


hangatkan tulang-tulang kami
peluk erat di malam yang dingin
buat asa merekah di sanubari

jangan menyerah kata-kata


karena anak-anakmu akan berlipat ganda
berkembang biak dan terus berlipat ganda
banjiri kemarau panjang kaum buruh sedunia

DS

7
buruh mimbar berkoar-koar
tentang cinta dan kasih Tuhan
bukan. bukan itu
tapi keberadaan dirinya
ia bingung, mau bagaimana lagi?
mungkin Tuhan juga bingung
diri-Nya diperdagangkan

YH

8
Kristus naik, Roh Kudus turun
beserta kekuatan
guna menghadapi
Suharto turun, oligarki naik

YH

9
siapa yang bangun Piramida
Firaun, atau budak-budaknya?

sejarah agungkan orang-orang ‘besar’


tak terbilang ongkos kejayaannya

kuarahkan pandangan ke pusat-pusat kota


lihat pesta demi pesta
demi pesta
sembari bertanya-tanya
siapa bereskan sampahnya

sembari bertanya-tanya

siapa masak, sapu, cuci


agar tuan-nyonya bebas rekreasi

siapa mau tahu buruh petani


kalau hidup serasa diberkati

siapa mau tahu buruh petani


kalau eksploitasi dibumbui kata-kata rohani5

DS

5
Adaptasi dari “Fragen eines Lesenden Arbeiters” karya Bertolt Brecht.
10
baca buku hingga rambut kusut masai
dipenuhi uban pula
sanggup jadi landasan pacu
riset ini-itu hingga wajah berkeriput
tak terawat bak selebritas
yang mulus hingga lalat terpeleset
berjuang keras kembangkan ilmu
supaya lebih maju

tak berguna ditelan yang beringas


tak berdaya digilas kebutuhan pasar
seperti buldoser menggusur rumah
menghabisi ruang hidup dan cinta

YH

11
di persimpangan antara aku harus turun ke jalan dan kau yang
nyaman di bangku perkuliahan
ada aku yang harus membela kawananku atau kau yang
mempertaruhkan nyawa untuk kedaulatan

ada tersirat bahwa perjuangan akan bertempuk dengan


kepatuhan pada perintah daripada hati nurani
serupa harapan seorang petani yang banyak menanam padi
namun menuai banyak penggusuran
serupa harapan pembela hak asasi entah bagaimana
sejahteranya, yang tak minta gaji tinggi
serupa harapan pekerja yang tak memiliki banyak waktu untuk
bercinta daripada bekerja demi membayar pajak tinggi lalu
membeli makan dan mobil pejabat
atau serupa mahasiswa yang sekolah tinggi-tinggi namun mati
di tangan besi

di antara kuatnya harapan dan ratapan


tatap kita berakhir di persimpangan
antara melawan atau membela keutuhan

di antara tabahnya cinta dan resah


tatap kita berhenti di persimpangan
antara kematian atau kesunyian

-Teruntuk kawan-kawan demonstran-

RAS

12
di kiri gedung
di kanan gedung
di muka gedung
di belakang gedung
gedung semua!
membuat setiap orang terkesima
termakan halusinasi

jauh sebelumnya
gedung-gedung
berdesak-desakan merampas tanah
gedung-gedung
mengikis hutan-hutan lebat
berganti
hamparan gedung tak habis-habis
gedung-gedung
berdesak-desakan mencakar langit
gedung-gedung
terus membuatmu
sibuk tak berujung

hingga lupa embun pagi

YH

13
hari-hari itu rerumputan bergoyang-goyang
hari-hari itu angin berembus sejuk
hari-hari itu burung-burung berkicauan dengan senangnya
hari-hari itu anak-anak manusia bersorak-sorak

terang fajar tak bersinar abadi


kegelapan berharap-harap gilirannya
pada hari itu barikade dirobek-robek
ribuan mayat bergelimpangan
menandai 72 hari pekerja pernah memerintah dirinya sendiri!

YH

14
mimpi buruk aku semalam
sampah dan berak penuhi muka!
buru-buru aku bangun
menatap cermin
lalu terbayang
nasib rakyat ‘dunia ketiga’

DS

15
waktu aku lapar
kau beri aku makanan

waktu aku haus


kau beri aku minuman

makan tak kenyang


minum tak lega

ususku keroncongan
leherku kekeringan

kupanggil kaum berdasi


ayo gelontorkan investasi!
biar polisi amankan eksploitasi

tak lupa dekati jubah suci


dukung panggilan tenangkan hati

makananku lahan rampasan


minumanku keringat buruh

sogok mulutku dengan makanan


perutku tak tahan lapar!

cekoki aku minuman


kerongkonganku haus penghisapan!

DS

16
Indonesia yang kukenal
tergila-gila investasi
memuaskan dahaga akumulasi
rupa-rupanya pekerja tak bisa mati

YH

17
berduyun-duyun kita rintis perkumpulan
di mana upah murah
resiko melimpah
dan fisik melemah
jadi cerita yang mempersatukan
dan sadarkan
kau dan aku ‘tuk
bongkar kepalsuan
serta asah tajam keberanian
hingga pada saatnya nanti
kita teriakkan di depan kawan-kawan
gema kisah yang diulang-ulang
dan diulang-ulang
tanpa kesadaran tentang
bahaya ledakan

ayo, seberangi lautan


Firaun kejar di belakang!

DS

18
kembang-kembang melayu
kembang-kembang berjatuhan
kembang-kembang berserakan
karena pekerja rela dikibuli mamon
bisa berlipat ganda,
bikin enak pula
segelintir orang maksudnya

kembang-kembang bertumbuhan
kembang-kembang berseri-seri
kembang-kembang bermekaran
karena langkah kaki pekerja berderap-derap
membebaskan diri dari mamon,
menumbangkan mamon,
ganti cinta dan kehidupan

kembang-kembang juga dikejar-kejar rindu


kapan bersemi di musim gugur

YH

19
kitab yang kau tulis menciptakan
pekerja kelelahan yang menyiapkan meja makanmu
air mata petani kopi yang tersaji di cangkir keramikmu
keringat buruh yang tertuang di gelas-gelas bir dinginmu
cemas rakyat yang tak tau masak apa untuk sehari
tertelungkup di balik tudung sajimu

mereka akan tumbuh di jalan-jalan


merekah lebat lalu meledak-kan serpihan yang
menjalar ke seluruh ruang-ruang kuasamu
melilit erat nadi di lenganmu hingga putus
merobohkan pilar-pilar kokoh yang kau bangun
lalu digdayamu runtuh
kembali ke tanah
membentuk tunas
menciptakan akar
pepohonan
penuh buah
semakin luas
semakin luas

-Tolak Omnibus Law-

RAS

20
menari dalam kegelapan
menyanyi dalam kebisuan
mendengar dalam kebisingan
melihat dalam kebutaan
berjalan melawan ketimpangan
moga-moga itulah laku penulis dalam dunia eksploitatif nan
subtil ini

YH

21
aku
lelah
berbohong
menulis
melukis
menyanyi
karya
indah
tentang
negeri
yang
tak
lagi
indah
karena
kamu
yang
serakah

RAS

22
pernah satu hari
ketika hujan deras
bukan derainya yang pecah
tapi lirih tangis rakyat yang ditindas
juga tangis pencipta melihat ciptaan tersiksa
pecah begitu
lirih
lirih

RAS

23
seiris Kristen
seiris Sosialis
setetes Tionghoa
sepenuhnya Indonesia
seutuhnya untuk pembebasan kelas pekerja!

YH

24
ketika banyak orang pandai berbicara,
mengapa menulis?
ketika banyak orang terlihat pandai di kolom komentar,
mengapa menulis?
ketika banyak orang tidak menulis,
mengapa menulis?
ketika banyak orang enggan membaca,
mengapa menulis?

rupa-rupanya ia berbahaya
ia adalah barisan kata-kata
yang berderap untuk mengukuhkan struktur lama:
nilai lebih wajar adanya
atau
menggedor lantas membangun yang baru:
tidak ada lagi kelas antara aku dan kamu; kami dan mereka
tetapi kita
yang menyongsong hari depan berhias kebebasan

dan seorang kawanku di seberang sana bertanya:


"apa yang kau lakukan?"

"berpuisi"

YH

25
tiap Minggu didengarnya
perapian menyala-nyala
serta
nasib ngeri para pendosa

hingga ia bekerja
dan rasakan panasnya
neraka dunia

DS

26
Untuk Brecht

kulayangkan pandangku
ke atas meja
temukan secarik kertas
undang rasa tumpah
lewat tinta
bangkitkanku dari kuburan
dan berjalan ke gudang
mengambil palu
lalu membentuk puisi

DS

27
di istana ini
banyak basa-basi
sebentar bicara begini
nanti tak ada bukti

apalagi kepalanya
bikin program wawacita
reforma agraria
tapi terus bikin jalan panjang
bikin bendungan

katanya peduli
tapi hak asasi
digagahi
dilangkahi
dicuai
dicueki
dasar tirani

kala sedang ramai coblosan


kami dicari
diberi ini itu
dielu-elu
agar mau datang ke TPU
masuk bilik seng memegang paku
berharap penuh

28
nanti siapa memilih siapa
nanti siapa memilih siapa
jalan kaki ke tempat bilik seng itu jauh
sedangkan aku dan kawanku tak punya banyak waktu
harus cari sejahtera di tanah sendiri

biarkan mereka sudah

barista menanam padi


pak tani menyeduh kopi
peternak bikin diskusi
pemuka agama memerah susu sapi
akademisi menanak nasi
emak-emak menulis narasi

jangan diusik

biarkan mereka yang punya waktu


datang ke TPU
selfie dengan kelingking penuh mangsi
lalu mencoblos diri sendiri

17 april nanti jangan lupa bikin puisi

RAS

29
dari utara aku mendengar bahwa pemerintah lalim
dari barat laut aku melihat bahwa permukaan air makin
meninggi
dari barat ada gema bahwa hutan dan pepohonan rusak
dari barat daya sang adidaya menghajar semua hingga porak
dari selatan terdengar kabar bahwa manusia saling menyakiti
dari tenggara kawanan beruang dan harimau turun gunung
mencari perlindungan
dari timur terdengar bahwa rakyat ditindas hingga matahari
ketakutan dan enggan terbit
dari timur laut buih lautan menjadi lengket dan beracun

lalu aku harus kemana


selain menengadah
memejamkan mata

RAS

30
di batang hari yang terik dan gersang
aku ingin berdiam diri di bawah rimbun rambutmu
yang sepoinya menghardik pelan lelah-lelahku

kita akan bertatapan dalam-dalam


yang relungnya berubah menjadi jurang
lalu merenggut ketimpangan

diam-diam kita akan berciuman panjang


yang jilatnya berubah menjadi api
lalu membakar semua mimpi buruk

berpelukan erat sangat lama


hingga sesaknya berubah menjadi kata lalu
memorak-poranda kuasa yang serakah

RAS

31
hujan sore ini begitu derasnya
akar-akar tak lagi kering
makhluk-makhluk dunia bawah geliat-geliut keenakan
sementara lambat-lambat juga cepat-cepat
guyuran air merasuki atap-atap berpenghuni
bingung menampung juga menambal
hujan sore ini begitu derasnya

hujan sore ini begitu derasnya


tapi tak sederas rinduku
akan peluk dan cinta di dunia baru
menyeruak keluar dari puing-puing dunia lama!
ketika peluk dan cinta tak perlu bayar
ketika peluk dan cinta bukan demi menguasai
kekosongan sementara
dan besok kembali hampa

hujan sore ini begitu derasnya


semakin deras

YH

32
dentang lonceng hari sabat
menandakan segala sesuatu harus istirahat
celakanya
aku harus tetap giat

siut diujung lilin harus menyala di minggu pagi


harusnya umat bersujud merendahkan diri
sialnya
aku harus tetap produksi … produksi … produksi …

RAS

33
kupunya cerita tentang
negeri sejuta air mata
di mana petani digusur
buruh digebuk dan
mahasiswa disuruh tunduk
pada penguasa yang
aparatnya gencar menangkap
dan perintahnya kerja, kerja, kerja
agar pengusaha maju sendiri
dan industri penenang laris bak kacang
padamkan api perlawanan
dari korban penindasan
yang pelan-pelan sadar
akan pembodohan
dan rekayasa ketaatan
serta sejarah panjang
yang dikubur dalam-dalam

ini sudah malam


dan ceritaku memang suram
tapi aku mau bersaksi
tentang kebangkitan
yang akan datang

DS

34
semalam aku mampir membuka doa
mengucap namamu dan negaramu
lalu menutup doaku
membuka mata
hanya ada cinta di matamu

RAS

35
tidurlah, nak, hari sudah malam
besok kita bangun pagi diperas lagi

tidur, jangan begadang lagi


ingat ini masa pandemi

mimpi indah, nak


nikmati kemewahan imajinasi

jangan lupa gosok gigi


bayangkan sikat habis oligarki

DS

36
matamu adalah sumber mata air
alis yang mengelilinginya adalah padang ilalang subur
seluruh wajahmu serupa Taman Eden
perlahan ditanam semen ilalang sekeliling matamu kering
pohon-pohon yang berbuah lebat tumbang jadi bangunan
jadi bunga plastik jadi lampu taman
itu semua berawal dari iming-iming untuk hidup lebih
sejahtera

ternyata yang berbahaya bukan ular


tapi tipu daya

RAS

37
Tuhan turun ke bumi
jadi petani kopi di pegunungan
tapi hasil panen rusak
karena sumber mata air tak lancar
akibat pembangunan
tapi tetap dimarahi manusia

Tuhan turun gunung


pindah ke kota
jadi penyeduh kopi
tapi kopinya kurang enak
lalu dimarahi manusia
karena kiriman kopi yang enak telat datang

Tuhan menepi dari kota


menjadi nelayan
tapi sepanjang hari melaut
hanya sampah yang nyangkut
lalu dimarahi manusia
kar’na hasil tangkapan yang jelek

Tuhan bingung
Tuhan kembali ke surga

RAS

38
aku tak menciptakan kata-kata
aku hanyalah penyusun dan penggali
kata-kata yang dibiarkan membusuk
terkubur bersama para korban
rezim yang membangun kekuasaan
di atas lautan darah
banjir air mata
dan kepungan pengkhianatan

YH

39
malam itu aku bermimpi
anak cucu kita tak lagi bangun pagi
siang malam berpuisi
mainkan musik di sela-sela diskusi

malam itu aku bermimpi


anak-anak muda memadu kasih
orang tua berciuman mesra
hari-hari penuh mawar cinta

malam itu aku bermimpi


kau dan aku biarkan robot bekerja
kita baca buku dan olahraga

mimpiku mimpi revolusi


hai, kamu yang dieksploitasi
mengapa miskin imajinasi?

DS

40
22 tahun lampau kekuasaan runtuh
lalu kuasa baru mekar, dan eksploitasi masih tumbuh subur
aku kira apa yang telah runtuh
telah membusuk
tak akan bangkit seperti mayat hidup
ternyata penindasan selalu menemukan wajah baru

RAS

41
Daniel Sihombing adalah mahasiswa doktoral di
Protestant Theological University, Netherlands. Selain
mengajar di gereja, ia terlibat sebagai anggota Kristen
Hijau, tim editor IndoProgress, dan sebuah partai sosialis
lokal.

Yasuo T. Huang lahir pada 1997. Baru-baru ini novel


debutnya berjudul Gaduh dalam Nyenyat telah diterbitkan
oleh Orbit Indonesia.

Rivaldi Anjar Saputra lahir di Kebonagung pada tanggal


6 Januari 1995. Mencintai puisi sejak 2015 dan telah
menerbitkan dua buku. Buku pertama tahun 2018 berjudul
“Antologi Kebonagung Jilid I” yang ditulis bersama 18
penulis lain. Buku keduanya, yaitu Kumpulan Puisi
“Serpihan Kata yang Berserakan” (2019), diterbitkan
penerbit Kuncup, Pelangi Sastra Malang. Pernah menulis
di “Suluk”, Majalah Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur.
Ia merupakan inisiator “NUKILAN!”, sebuah klub sastra
dan puisi bersama kawan-kawan dari Semeru Art Gallery,
dan anggota Kristen Hijau. Aktivitas seninya juga
mencakup kegiatan membaca puisi di gedung-gedung
kesenian hingga jalanan. Tahun 2020 ini adalah tahun
pertamanya menempuh Pendidikan di Program
Pascasarjana Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta
Wacana Yogyakarta. IG: @rivaldianjar.

42

Anda mungkin juga menyukai