Anda di halaman 1dari 19

SAJAK NYANYIAN ANGSA KARYA WS.

RENDRA:
ANALISIS ANTROPOLOGI SASTRA
Adhitya Tri Hari Pamuji
Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra Universitas Udayana
Abstrak

The poem Song of the Swan by WAS Rendra is a narrative poem that was created when he
was in the United
States. The poem that is set in Jakarta city, was created by WAS Rendra based on the news that he
read in
the mass media or newspapers. This poem belongs to the one which is quite rich with social criticism
with a
simple but precise diction to express a criticism. Many things can be explored in this poem, in addition
to the
social criticism contained in it. In this opportunity an attempt is made to discuss this poem through
Literary
Anthropological approach. This approach is relatively new in the analysis of literary works. Through the
anthropological approach, Maria Zaitun is pictured as an individual who reflects a culture, such as
upper-class
culture (the doctor) and the culture of the church (Pastor). Both of these cultures contribute to color
the cultural
development of Indonesian society in general.

Keywords: poetry, narrative, literary anthropology,

1. Pendahuluan

Pembicaraan karya sastra dari sudut antropologi sastra merupakan


hal yang
baru dalam penelitian karya sastra. Pendekatan antropologi terhadap
sebuah karya
sastra sebenarnya sudah pernah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh
Claude Levi-
Strauss (1963:2006). Tokoh ini pada awalnya banyak membaca buku-buku
filsafat.
Ia tertarik pada ilmu Antropologi setelah membaca buku Primitive Society
karya
Robert Lowie (Ahimsa Putra, 1977:xii). Ia melakukan penelitian secara
struktural
terhadap mitos dengan teori oposisi binernya. Sebanarnya, hal yang sama
bisa juga
diterapkan pada karya-karya sastra moderen, seperti: prosa, puisi, atau
drama. Akan
tetapi, khusus penelitian tentang antropologi sastra adalah suatu penelitian
yang
belum berkembang, khususnya di Indonesia.

Penelitian antropologi sastra sangat memungkinkan untuk dilakukan.


Hal ini
mengingat sebuah karya sastra tidak hanya mengandung unsur yang
bersifat naratif
dengan segala pirantinya, tetapi juga mengandung hal-hal yang bersifat
sosiologis,
psikis, historis, maupun antropologis. Hipotesa ini diperkuat oleh
argumentasi bahwa
karya sastra sifatnya terbuka. Artinya, seorang pengarang memiliki
kebebasan yang
luas untuk mengekspresikan segala aspek kehidupannya atau kehidupan
masyarakat
di sekitarnya melalui media bahasa. Oleh karena itu, sebuah karya sastra
bisa dibahas
atau diteliti melalui berbagai pendekatan yang berkaitan dengan segala hal
yang
menyangkut kehidupan mamusia atau masyarakat.

Lahirnya pendekatan antropologi sastra didasarkan atas kenyataan


bahwa: (a)
baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai objek yang
penting;
(b) baik sastra maupun antropologi mempermasalahkan relevansi manusia
dengan
budaya, dan (c) baik antropologi maupun sastra sama-sama
mempermasalahkan
tradisi lisan atau sastra lisan, seperti: mitos, dongeng, dan legenda menjadi
objek
penelitiannya (Kutha Ratna, 2004:352). Tradisi lisan yang merupakan hasil
budaya
dan berkembang dalam suatu masyarakat, bisa diteliti melalui pendekatan
sastra
maupun pendekatan antropologis.
Seperti telah diketahui, bahwa pendekatan antropologi sastra dalam
penelitian
sastra adalah suatu hal yang baru. Oleh karena itu, masih sedikit sekali
ditemui
teori-teori tentang antropologi sastra tersebut. Hal ini mungkin disebabkan
oleh
dominasi pendekatan sosiologi sastra karena menganggap bahwa hal-hal
yang
bersifat antropologis dalam sebuah karya sastra merupakan wilayah kajian
sosiologi
sastra. Oleh karena sedikit sekali buku yang ditemukan yang membicarakan
tentang
antropologi sastra, maka dalam analisis antropologi sastra dalam tulisan ini
hanya
mengacu pada pandangan-pandangan Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna,S.U
saja
yang dipakai pijakan. Pandangan-pandangannya tersebut ada dalam
bukunya
berjudul Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (2004).

Antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam


masyarakat (Kutha Ratna, 2004: 63). Manusia dalam konteks ini tentu saja
manusia
sebagai individu yang membentuk suatu kebudayaan, bukan manusia
sebagai mahluk
sosial dalam masyarakat yang nantinya melahirkan pendekatan sosisologi
sastra.
Antropologi sastra memberi perhatian pada manusia sebagai agen kultural,
sistem
kekerabatan, sistem mitos, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Artinya,
antropologi
sastra menganalisis sebuah karya sastra dengan memperhatikan teori dan
datadata
yang bersifat antropologis yang ada di dalamnya ( Kutha Ratna, 2004:353--
357). Dalam konteks yang lebih opersional, dapat disimpulkan bahwa
penelitian
antropologi sastra terhadap sebuah karya sastra adalah berusaha melihat
perjalanan
atau sikap individu tokoh cerita yang mewarnai dan pengungkap budaya
masyarakat
tertentu yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri.

Dalam tulisan ini, dibahas sebuah sajak berjudul Nyanyian Angsa


karya
WS. Rendra yang termuat dalam kumpulan puisinya yang berjudul Blues
Untuk
Bonnie (1981:32--40). Sajak ini merupakan salah satu sajak yang berwacana
tentang
kritik sosial terhadap kehidupan masyarakat sebagaimana halnya sajak-
sajaknya
yang lain.
2. Pembahasan

Sebelum membahas sajak tersebut melalui pendekatan antropologi


sastra,
maka terlebih dahulu ditampilkan kembali sajak tersebut secara utuh
berikut ini.

NYANYIAN ANGSA
Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya
Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan padaku kamu berhutang.
Ini biaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu mesti pergi.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).
Jam dua belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak ada mega.
Maria Zaitun keluar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter.
Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung
mereka.
Ia meledak marah
tapi buru-buru jururawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
Maria Zaitun,
utangmu sudah banyak padaku, kata dokter.
Ya, jawabnya.
Sekarang uangmu berapa?
Tak ada.
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
Cukup, kata dokter.
Dan ia tak jadi meriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
Kasih ia injeksi vitamin C,
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.
Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri?
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka).
Jam satu siang.
Matahari masih di puncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karena kawatir akan pencuri.
Ia menuju pastori dan menekan bel pintu.
Koster keluar dan berkata:
Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.
Maaf. Saya sakit. Ini perlu.
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan cerutu, lalu bertanya:
Kamu perlu apa?
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
Mau mengaku dosa.
Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdoa.
Saya mau mati.
Kamu sakit?
Ya. Saya kena rajasinga.
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
Apa kamu mm-Kupu-kupu malam?
Saya pelacur. Ya.
Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!
Ya.
Santo Petrus!
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
Kamu telah tergoda dosa.
Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.
Kamu telah terbujuk setan.
Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.
Santo Petrus!
Santo Petrus! Peter, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menudingMaria Zaitun.
Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu dan berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga).
Jam tiga siang.
Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyebrang jalan
ia kepleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
tapi darah keluar dari borok di klangkangannya
dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan ke belakang satu restoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
dengan daun pisang.
Lalu berjalan menuju ke luar kota.
(Malaekat penjaga firdaus
Wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan).
Jam empat siang.
Seperti siput iaberjalan.
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
belum lagi dimakan
Keringatnya bercucuran.
Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai di luar kota.
Jalan tak lagi beraspal
tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
dan pelan berkata: Bedebah.
Sesudah berjalan satu kilo lagi
ia tinggalkan jalan raya
dan berbelok masuk sawah
berjalan di pematang.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya tampan dandengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkangku.
Dengarkan, Yang Mulia
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).
Jam enam sore.
Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Hari pun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.
(Malaekat penjaga firdaus
tak kaurasakan bahwa senja telah tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaekat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala).
Jam tujuh. Dan malam tiba.
Serangga bersuiran.
Air kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali
nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita
tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu.
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala).
Waktu.
Bulan.
Pohonan.
Kali.
Borok.
Sipilis.
Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan.
Seorang lelaki datang di seberang kali.
Ia berseru: Maria Zaitun, engkaukah itu?
Ya, jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok rupanya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
Jadi kita ketemu disini,kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samodra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
ia berkata kasmaran:
Semula kusangka hanya impian
bahwa lelaki tampan seperti kau
bakal lewat dalam hidupku.
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
Siapakah namamu? Maria Zaitun bertanya.
Mempelai,jawabnya.
Lihatlah. Engkau melucu.
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
Aku tahu siapa kamu.
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: Betul. Ya.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya).

Bila dilihat dari sudut antropologis, maka tampak bahwa sajak SW.
Rendra di
atas mengandung nuansa antropologis. Hal ini tergambar dari perjalan
kehidupan
tokoh Maria Zaitun sebagai seorang pelacur yang sudah tidak menarik lagi
(tua).
Sebagai seorang individu yang sedang mencari jatidiri sebagai makhluk
Tuhan,
ditugasi oleh penyair untuk mengeksplorasi aneka budaya kehidupan
manusia yang
senantiasa bersifat kontradiktif. Dalam sajak itu tersirat bermacam
pertanyaan
yang bersifat filosofis tentang apa dan bagaimana sesungguhnya hidup itu,
sampai
akhirnya ditemukan oleh seorang Maria Zaitun. Untuk lebih jelasnya,
dibahas sajak
tersebut melalui pendekatan antropologi sastra secara holistik.

Dilihat dari judul puisi, yaitu Nyanyian Angsa, maka hewan angsa
adalah
hewan yang berwarna putih (suci). Hewan ini adalah hewan yang bijaksana
karena ia
bisa hidup di tiga tempat, yaitu di darat, di air dan di udara serta bisa
secara tepat dapat
membedakan apa yang bisa atau tidak bisa dimakan sesuatu khususnya
yang ada di
dalam air. Dalam kepercayaan agama Hindu hewan ini sangat disucikan,
bahkan
menjadin kendaraan Dewi Saraswati sebagai dewa ilmu pengetahuan.
Nyanyian
Angsa dapat ditafsirkan sebagai pujian kepada yang maha suci dan
bijaksana, yaitu
Tuhan (dalam keyakinan agama Kristen sebagai Yesus dan Roh Kudus).

Maria Zaitun sebagai tokoh sentral dalam sajak WS. Rendra secara
antropologis
atau manusia individu, maka kecantikan pada waktu muda pada suatu saat
akan
hilang dan menjadi manusia yang lemah, tidak menarik, tidak berguna,
serta akan
menjadi beban bagi orang lain. Pada saat itu sebagai manusia, barulah
menyadari
betapa manusia yang pada mulanya menjadi pewarna perjalanan suatu
budaya bangsa
akhirnya menjadi korban suatu budaya. Ketika manusia (Maria Zaitun)
seperti itu,
maka mau atau tidak mau akan disisihkan dari kelompok buadayanya yaitu
budaya
pelacuran. Hal itu tampak pada kutipan sajak berikut.

Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya


Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan padaku kamu berhutang.
Ini biaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu mesti pergi.(halaman: 32).

Sebagai makhluk budaya, maka Maria Zaitun (simbol masyarakat


miskin)
sesungguhnya ingin menjadi seperti manusia yang lain pada umumnya,
yaitu bekerja
di tempat yang layak dengan kehidupan keluarga yang bahagia. Tetapi
karena miskin
dan sulit mencari kerja yang layak, terpaksa ia menjadi pelacur. Pengakuan
Maria
Zaitun tersebut tampakpada kutipan berikut.

Lalu pastor kembali bersuara:


Kamu telah tergoda dosa.
Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.
Kamu telah terbujuk setan.
Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.(halaman: 35)

Walaupun demikian, sesungguhnya Maria Zaitun masih ingin


beriteraksi
dengan budaya di sekitarnya yaitu di luar budaya pelacuran. Oleh karena ia
sedang
sakit, maka ia ingin sembuh dan berobat ke dokter (sebagai simbol
masyarakat kelas
atas) dengan harapan dokter bisa menyembuhkannya.
Dan ia tak jadi meriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
Kasih ia injeksi vitamin C,
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.
Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri? (halaman: 33)

Dalam budaya masyarakat berkembang, seperti Indonesia keadaan


seperti
tergambar di atas merupakan suatu hal yang sering terjadi dalam
masyarakat. Kelas
sosial dari masyarakat bawah memiliki jurang pemisah yang sangat dalam
dengan
kelas sosial masyarakat atas (kapitalis).

Mengalami perlakuan seperti itu, maka dalam perjalanan hidup tokoh


Maria Zaitun mencari kelompok budaya lain yang dianggap dapat
memahami
kehidupannya. Budaya lain tersebut adalah budaya religius (Gereja). Maria
Zaitun
sebagai seorang Kristiani ingin melakukan pengakuan dosa di hadapan
Gereja
dan Pastor. Ia menyadari atas dosa-dosa yang telah dilakukannya.
Harapannya,
komunitas Gereja mau menerima pengakuan dosanya di hadapan Yesus,
seperti
halnya Yesus penuh dengan cinta kasih dan maaf kepada umatnya. Untuk
itu,
ia pergi ke sebuah Gereja dan menghadap Pastor. Dalam komunitas gereja
yang
dituju oleh Maria Zaitun tergambar budaya pastori sebagai kelas sosial
yang sangat
tinggi di mata Maria Zaitun bagaikan jarak antara bumi dan langit. Di
dalamnya
ada budaya barat (Pastor) yang berhadapan dengan budaya masyarakat
timur yang
termarginalkan.

Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.


Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan cerutu, lalu bertanya:
Kamu perlu apa?
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
Mau mengaku dosa.
Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdoa.
Saya mau mati.
Kamu sakit?
Ya. Saya kena rajasinga.
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
Apa kamu mm-Kupu-kupu malam?
Saya pelacur. Ya.(halaman: 34)

Sebagai manusia yang dianggap kotor, tetapi Maria Zaitun masih


manusia
yang beragama tentu saja ia rindu akan Tuhannya (Yesus) atau seseorang
(Pastor
misalnya) yang memahami kehidupannya. Akan tetapi, justru Pastor
menolaknya
dan menganggap Maria Zaitun gila, bahkan mengusirnya dari Gereja. Ini
adalah
budaya gereja yang tidak lazim. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.

Saya perlu Tuhan atau apa saja


untuk menemani saya.
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menudingMaria Zaitun.
Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.(halaman: 35)

Perjalanan Maria Zaitun dalam pencarian jati diri, akhirnya sampai


pada sebuah
sungai (kali). Dalam kelelahan setelah mengalami penolakan demi
penolakan, Maria
Zaitun beristirahat di pinggir kali. Dalam suasana sore hari yang indah dan
sejuk di
pinggir sebuah kali (yang memiliki suasana berbeda dengan keadaan
sebelumnya
yang sangat panas), Maria Zaitun sebagai manusia individu yang unik dan
khas
menikmati betapa segar dan indahnya saat itu. Ia minum air kali lalu
membasuh
kaki, tangan, dan mukanya pada air kali yang mengalir sebagai simbol
keiinginan
membersihkan diri dari segala dosa.

Jam enam sore.


Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Hari pun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.(halaman: 37)

Dalam suasana seperti itu, Maria Zaitun teringat pada masa-masa


lalunya yang
indah bersama keluarga, teman-teman, dan pacarnya. Ia melakukan
perenungan
tentang perjalanan hidupnya. Inilah yang merupakan puncak-puncak
pencarian jati
diri seorang Maria Zaitun yang telah kalah melawan kekuatan alam dan
takdir.

Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali


nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita
tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu. (halaman: 38)
Ketika Maria Zaitun sedang melakukan perenungan seperti itu, tiba-
tiba
datang seorang lelaki tampan menemuinya. Lelaki itu mencumbu Maria
Zaitun,
bahkan sampai membuka kutang yang dipakai oleh Maria Zaitun sebagai
simbolik
melepas dan membuang segala dosa yang pernah diperbuatnya. Maria
Zaitun tidak
berdaya dan menikmati suasana seperti itu.

Seorang lelaki datang di seberang kali.


Ia berseru: Maria Zaitun, engkaukah itu?
Ya, jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok rupanya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
Jadi kita ketemu disini,kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samodra yang belum pernah dikenalnya.(halaman: 39)

Ternyata lelaki yang mendatangi dan mencumbu Maria Zaitun adalah


juru
selamat, yaitu Yesus Kristus. Yesus telah mengangkat Maria Zaitun dari
kegelapan.
Maria Zaitun telah bangkit, seperti halnya kebangkitan Yesus. Tafsiran
bahwa
yang mendatangi Maria Zaitun di pinggir kali adalah Yesus Kristus adalah
ketika
ia mencium seluruh tubuh lelaki yang mendatanginya dan ditemukan bekas
luka
di lambung kiri, di dua tapak tangan, di dua tapak kaki pada lelaki itu.
Semua itu
adalah luka-luka yang dialami Yesus Kristus ketika digantung di kayu Salib
sebagai
penebusan dosa umatnya.

Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.


Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
Aku tahu siapa kamu.
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: Betul. Ya.(halaman: 40)

Akhirnya, Maria Zaitun telah dibebaskan dari segala dosa oleh juru
selamat
Yesus Kristus, bahkan ia memasuki taman firdaus (taman sorga) sambil
memakan
buah apel (simbol kebahagiaan) sepuasnya.

(Malaekat penjaga firdaus


wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak brani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya). (halaman: 40).

Keadaan di atas menggambarkan secara implisit, bahwa WS. Rendra


sesungguhnya sedang melakukan kritik sosial. Bagi kelompok budaya
tertentu,
seperti dokter dan komunitas gereja (yang merupakan simbol kelompok
budaya
terhormat) tidak mau menerima kehadiran Maria Zaitun yang miskin,
lemah, dan
penuh dosa. Akan tetapi, justru Yesus Kristuslah yang mau menerima
dengan penuh
maaf dan kasih dan mengangkatnya kekerajaan firdaus (sorga). Mengapa
antara
manusia tidak mau saling menolong dan memaafkan, padahal Yesus Kristus
sendiri
selalu mau memaafkan betapapun besar dosa umatnya, bahkan
mengangkatnya ke
kerajaan firdaus.

3. Simpulan

Dari pembahasan di atas tampak, bahwa sajak Nyanyian Angsa


karya WS.
Rendra adalah sajak yang berisi kritik sosial bagi kelompok budaya
masyarakat
tertentu. Secara Antropologis, tokoh Maria Zaitun sebagai individu
pengungkap
suatu budaya, seperti budaya masyarakat kelas atas (dokter) dan budaya
gereja
(Pastor) ikut memberi warna perjalanan budaya masyarakat (Indonesia)
pada
umumnya.

Dalam perjalanan pencarian jatidiri seorang Maria Zaitun dengan


terseokseok
akhirnya sampai kepada pengampunan abadi, yaitu pengampunan dan cinta
kasih Yesus Kristus sehingga ia diangkat ke kerajaan Yesus, yaitu taman
firdaus
(sorga). Perjalanan Maria Zaitun sampai menemukan jati dirinya, yaitu
Yesus
Kristus melewati tiga peristiwa besar, yaitu (a) peristiwa minta
menyembuhan pada
dokter; (b) peristiwa pengakuan dosa di Gereja; dan (c) peristiwa
pertemuannya
dengan lelaki di pinggir kali yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus. Bila
dikaitkan
dengan judul sajak, yaitu Nyanyian Angsa, maka hewan Angsa seperti
dijelaskan
di awal pembahasan yaitu hewan yang bijaksana dan bisa hidup di tiga
tempat, yakni
di udara, di darat, dan di air. Sifat Angsa ini memiliki makna yang sejajar
dengan
tiga peristiwa besar yang dialami oleh Maria Zaitun dalam pencarian jati
diri dan
membentuk suatu nyanyian yang merdu.

Daftar Pustaka

Ahimsa Putra, Heddy Shri. 1997. Claude Levi-Strauss Butir-butir Pemikiran


Antropologi.Dalam Levi-Strauss Empu Antropologi Struktural karya
Octavio Paz. Yogyakarta: Lkis.
Kutha Ratna, I Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Levi-Strauss, Claude. 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Books
Inc.
Rendra, WS. 1981. Blues untuk Bonnie. Jakarta: Pustaka Jaya.

Anda mungkin juga menyukai