SKRIPSI
ANNISA FATIMAH
0606068871
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains
ANNISA FATIMAH
0606068871
NPM : 0606068871
Tanda Tangan :…
Tanggal : ...
ii
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : .....
Tanggal : .....
iii
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang, yang telah memberi limpahan nikmat yang tak ternilai
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat, serta umatnya yang setia
hingga akhir zaman, dan semoga kita tergolong orang yang mendapat
syafaatnya.
Penulisan skripsi yang berjudul Studi Pengembangan Immunosensor
Nanopartikel Emas (Interaksi Nanopartikel dengan Protein) dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains Departemen
Kimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit
bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Ibu Dr. Ivandini Tribidasari A, selaku dosen pembimbing, dengan segenap
keikhlasan dan kesabarannya telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,
(2) Ibu Dra. Sri Handayani, M. Biomed, selaku dosen pembimbing, dengan
sabar dan ikhlas meluangkan waktu di tengah kesibukan untuk memberi
saran dan masukan yang sangat berharga bagi penulis,
(3) Bapak Dr. Ridla Bakri, M.Phil. selaku ketua Departemen Kimia FMIPA
Universitas Indonesia,
(4) Bapak Asep Saefumillah S.Si., M.Si., Ph.D selaku pembimbing akademis
yang telah sabar membimbing penulis selama menuntut ilmu di Departemen
Kimia FMIPA Universitas Indonesia,
(5) Ibu Dra. Tresye Utari selaku koordinator penelitian Departemen Kimia
FMIPA UI,
iv
Penulis
2010
v
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Dibuat di : …………………….
Pada tanggal : …………………….
Yang menyatakan
( …………………………………. )
vi
vii
Universitas Indonesia
viii
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
4. PEMBAHASAN .................................................................................... 20
4.1 Nanopartikel Emas (Nanogold) ……………………………….. 20
4.1.1 Pembuatan nanopartikel emas ………………………..… 20
4.1.2 Karakterisasi koloid nanopartikel emas ………………… 23
4.1.2.1 Karakterisasi dengan spektrofotometer
UV-Visible …………………………………… 23
4.1.2.2 Karakterisasi dengan Transmission Electron
Microscopy (TEM) …………………………… 24
4.2 Nanokapsul …………………………………………………….. 25
4.2.1 Pembuatan nanokapsul ...................................................... 25
4.2.2 Karakterisasi nanokapsul ………………………………... 29
4.2.2.1 Karakterisasi dengan spektrofotometer
UV-Visible …………………………………….. 29
4.2.2.2 Karakterisasi dengan Transmission Electron
Microscopy (TEM) ……………………………. 30
4.3 Penentuan kurva kalibrasi linier ……………………………….. 31
4.4 Proses immunoassay insulin secara elektrokimia ……………… 35
4.5 Karakterisasi Au (III) secara Elektrokimia dengan ASV ……… 37
4.6 Interaksi antara Nanopartikel Emas dengan Protein …………… 41
Universitas Indonesia
xi
Universitas Indonesia
Tabel 4.1 Tabel respon arus Au (III) pada berbagai konsentrasi ……….. 34
Tabel 4.2 Tabel respon arus Au (III) pada berbagai konsentrasi insulin
dengan pemecahan inti …………………………………….… 40
DAFTAR LAMPIRAN
xii
Universitas Indonesia
PENDAHULUAN
1
Universitas Indonesia
Unversitas Indonesia
Unversitas Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nanopartikel
Nanopartikel merupakan suatu material yang ukurannya berkisar antara
1-100 nm dan dapat berupa nonkristal, kristal teraggregasi, atau kristal tunggal.
Karakter nanopartikel meliputi sifat elektronik, optik, dan katalitik yang unik,
yang berhubungan dengan metode bagaimana mempersiapkan nanopartikel untuk
mengontrol bentuk dan ukuran nanopartikel serta fungsinya. Sifat fisik dan kimia
yang unik dari material nanostruktur memberikan prospek yang sangat baik untuk
peristiwa interfacing biological recognition dengan transduksi sinyal elektronik
dan untuk merancang perangkat bioelektronik dengan fungsi tertentu. Bentuk
nanopartikel bervariasi dari bentuk bulatan, berlapis-lapis, kristal, hingga tabung.
Nanopartikel dapat dibuat dengan berbagai cara di antaranya wet chemical
proces, proses mekanik, form-in-place process, dan gas-phase synthesis. Wet
chemical process yaitu proses seperti sintesis koloid (sol-gel) dan metode
hidrotermal. Pada prinsipnya proses ini mencampur ion-ion dengan jumlah
tertentu dengan mengontrol suhu dan tekanan untuk membentuk material yang
tidak larut dalam larutannya dan endapan diperoleh setelah dilakukan penyaringan
atau spray drying. Pada mechanical process, material ditumbuk secara mekanik
untuk mendapatkan partikel yang lebih halus. Form-in-place process spesifik
untuk membuat nanopartikel yang berlapis. Gas-phase synthesis biasa digunakan
untuk mengontrol perkembangan carbon nanotube dengan proses catalytic
cracking.
4
Universitas Indonesia
[Sumber : http://www.bnl.gov/]
Gambar 2.1 Nanopartikel Emas yang Dikarakterisasi dengan TEM
Universitas Indonesia
[Sumber : http://www.webexhibits.org/causesofcolor/9.html]
Universitas Indonesia
a b c
Keterangan : a = struktur polidialildimetil ammonium klorida (PDDA)
b = struktur polistiren sulfonat (PSS)
c = asam amino sebagai zwitter ion
[Sumber : http://www.chemistry.iitd.ac.in/chemcos/issue-V/SV_surfaces.html]
Universitas Indonesia
[Sumber : Frank N, C., Valtencir , Z., Osvaldo, N., Oliveira Jr., dan Francisco, C.N. (2006).
Electrochemistry of Layer-by-Layer Films: a review. Brazil: Universidade de São Paulo.]
Universitas Indonesia
elektron menjadi sinar yang sangat tipis. Berkas elektron kemudian akan melewati
spesimen yang diamati bergantung pada kerapatan materinya, beberapa elektron
tersebar dan menghilang dari beam. Kemudian elektron dikumpulkan menuju
layar fluorescent yang menimbulkan citra bayangan dari specimen. Citra
bayangan bagian yang berbeda ditampilkan dalam kegelapan yang bervariasi
menurut kepadatannya. Skema alat dan prinsip kerja TEM dapat dilihat pada
Gambar 2.5.
a b
2.5 Immunsensor
Biosensor adalah peralatan analitik yang merupakan penggabungan antara
komponen biologi (enzim) dan transduser untuk mendeteksi suatu senyawa target.
Enzim yang digunakan adalah yang dapat bereaksi secara selektif dengan substrat
(Guilbault et al., 2004). Biosensor memiliki sensivitas dan selektivitas yang
tinggi, kecepatan respon, biaya yang rendah serta pengoperasiannya yang mudah.
Oleh karena itu, biosensor menjadi suatu peralatan penting untuk mendeteksi
komponen kimia dan biologi pada obat-obatan, makanan, dan pemantauan
lingkungan.
Universitas Indonesia
[Sumber : http://www.karstenfaehnrich.de/Biosensors/biosensors.htm]
Gambar 2.6 Skema Prinsip Kerja Biosensor
Universitas Indonesia
transduser menjadi sinyal yang dapat diukur. Desain dan persiapan antarmuka
antara biokomponen dan material detector yang optimum adalah kunci penting
pengembangan sensor. Gambar 2.8. merupakan skema pelekatan antibodi dengan
antigen.
[Sumber : Mun'delanji, V., Kagan, K., dan Eiichi, T. An Overview of Label-free Electrochemical
Protein Sensors. (2007). Jepang : Osaka University]
Universitas Indonesia
pada elektroda kerja. Elektroda pembanding memiliki syarat antara lain harga
potensial setengah sel yang diketahui, konstan, dan tidak peka terhadap komposisi
larutan yang sedang diamati. Contoh elektroda pembanding antara lain elektroda
kalomel dan Ag/AgCl. Elektroda Ag/AgCl ini dapat dibuat dengan mudah
melalui elektrolisis larutan klorida menggunakan anoda perak, sehingga
membentuk lapisan elektrolit AgCl pada permukaan kawat perak.
Elektroda pendukung adalah elektroda yang berperan sebagai sumber atau
tempat masuknya elektron, sehingga arus dapat dilewatkan melalui sel. Elektroda
pendukung yang biasa digunakan adalah platina (Pt) yang dapat berupa kawat
lurus, kawat spiral, atau cakram (disk). Zat lain yang bersifat inert seperti karbon
grafit pun dapat juga digunakan sebagai elektroda pendukung.
Dalam sel elektrokimia digunakan larutan elektrolit yag berfungsi sebagai
medium penghantar. Dengan adanya larutan elektrolit, transfer muatan terjadi
melalui pergerakan ion-ion elektrolit tersebut. Syarat larutan elektrolit yang
digunakan harus dapat menghantarkan arus listrik dan tidak mengganggu reaksi
kimia yang terjadi. Elektrolit dapat berupa larutan, garam, atau padatan konduktor
seperti natrium-β-alumina yang memiliki ion natrium yang dapat bergerak. Untuk
menambah konduktivitas elektrolit, kadang perlu ditambahkan suatu elektrolit
pendukung seperti larutan garam anorganik, asam, atau basa.
Dalam metode ASV terdapat dua tahapan reaksi yang terjadi pada
permukaan elektroda. Tahapan tersebut antara lain tahap deposisi dan tahap
penglepasan (stripping). Tahap pertama yaitu tahap pre-konsentrasi atau tahap
deposisi analit pada permukaan elektroda melalui reaksi reduksi. Dalam tahap ini
elektroda diatur pada potensial tetap dan ion logam dalam larutan dibiarkan
terdeposisi (tereduksi di pemukaan elektroda). Dalam tahap ini analit yang telah
dideposisikan di permukaan elektroda, yang berupa ion logam, dioksidasi kembali
dengan memberikan potensial yang lebih positif sehingga arus anodik atau arus
oksidasi dapat diukur. Pada proses ini, arus anodik yang terukur akan
menghasilkan bentuk puncak (voltammogram) pada analyzer (kurva voltase dan
arus) yang digunakan untuk analisis kuantitatif dan kualitatif untuk ion logam.
Proses ASV diilustrasikan pada Gambar 2.9.
Universitas Indonesia
[Sumber : http://web.nmsu.edu/~snsm/classes/chem435/Lab13/intro.html]
Universitas Indonesia
METODE PENELITIAN
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa padatan dan larutan.
Bahan padatan, antara lain : HAuCl 4 .xH 2 O (Aldrich), Polistiren-sulfonat (PSS),
natrium sitrat, NaBH 4, NaCl, KCl, KCN, agar-agar, Bovine Serum Albumin
(BSA), Anti-insulin, dan insulin. Sedangkan bahan berupa larutan, antara lain :
polidialildimetilamonium klorida (PDDA), HCl, dan n-propanol.
14
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3.2.5 Immunoassay
Beberapa tabung mikroplat Nunc Mxisorp 96 dilapisi dengan 100 µL
anti-insulin (0,1 µg/mL) dalam PBS 7,4 kemudian diinkubasi pada 4oC selama 1
malam. Sesudah proses inkubasi, plat dicuci dengan larutan 0,1% (w/v) BSA
dalam 0,1 M PBS, diikuti dengan blocking dengan 1% BSA dalam 0,5 M PBS
pada 37oC selama 1 jam. Sesudah pencucian insulin, dengan konsentrasi 0,01-0,05
µg/mL, sebanyak 100 µL dimasukkan ke 5 tabung berbeda dan diinkubasi pada
37oC selama 80 detik. Suspensi encer nanokapsul sebanyak 100 µL, yang telah
dilabel dengan anti-insulin, kemudian dimasukkan ke 5 tabung yang telah berisi
insulin terimobilisasi. Setelah itu, dilakukan inkubasi pada 37oC selama 20 menit.
Nanokapsul yang tidak berikatan dihilangkan dengan pencucian.
3.2.7 Karakterisasi
3.2.7.1 Karakterisasi Nanopartikel Emas
Nanopartikel emas yang telah terbentuk dikarakterisasi dengan instrumen
TEM untuk mengetahui morfologinya. Dilakukan juga karakterisasi dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 300-800 nm untuk mengetahui
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
20
Universitas Indonesia
[Sumber: Larasati, C.N. (2009). Studi Sintesis Nanokapsul dengan Teknik Pelapisan Bertahap
(Layer-By-Layer) Untuk Pengembangan Immunosensor. Depok: Departemen Kimia UI]
Universitas Indonesia
A B
a b
Universitas Indonesia
0.9
0.8
0.7
0.6
hari ke-1
0.5
hari ke-2
anbsorbansi
0.4
0.3 hari ke-3
0.2 hari ke-4
0.1
hari ke-5
0
200 300 400 500 600 700 800 900
panjang gelombang
Universitas Indonesia
0.85
0.8
0.75
Absorbansi
0.7
0.65
0.6
0.55
0.5
0 1 2 3 4 5 6
hari ke-
Universitas Indonesia
a b
Gambar 4.5 di atas merupakan hasil foto TEM dengan perbesaran yang
berbeda. Skala pada gambar menunjukkan bahwa diameter nanopartikel emas
yang telah disintesis memiliki ukuran yang beragam dan kurang dari 20 nm.
Nanopartikel yang diperoleh membentuk kluster-kluster yang tersebar. Kluster
nanopartikel emas terbentuk akibat aggregasi nanopartikel yang terkait dengan
kestabilan nanopartikel. Dalam hal ini, pemilihan zat penstabil dan kondisi pada
saat sintesis seperti kecepatan, lama pengadukan, serta suhu sangat mempengaruhi
kestabilan nanopartikel.
4.2 Nanokapsul
4.2.1 Pembuatan nanokapsul
Nanokapsul dibuat dengan metode pelapisan bertahap atau dikenal dengan
Layer by Layer (LBL). Nanokapsul dibuat dengan cara melapisi nanopartikel emas
dengan PDDA [poli(diallildimetil ammonium klorida)] sebagai polielektrolit
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Sitrat (muatan - )
PDDA (muatan +)
PSS (muatan - )
[Sumber : Bassi, Amarjeet S. dan Knopf, George K. (2010). Smart Biosensor Technology. CRC
Press: Taylor and Francis Group]
Gambar 4.6 Iustrasi Interaksi Elektrostatik Antar Lapisan Polielektrolit
Untuk memperoleh gaya elektrostatik yang besar, maka jarak antara kedua
muatan harus diperkecil. Teknik sentrifugasi merupakan salah satu cara untuk
memperkecil jarak muatan akibat adanya gaya sentrifugal. Interaksi yang kuat
diperlukan untuk memperoleh lapisan yang rapat. Apabila lapisan yang terbentuk
kurang rapat, maka ada kemungkinan nanopartikel emas yang berperan sebagai
template akan terlepas dari lapisan sehingga struktur nanokapsul berubah. Oleh
karena itu, diperlukan sentrifugasi yang dilakukan secara berulang agar diperoleh
nanokapsul dengan template nanopartikel emas yang diharapkan.
a b
Universitas Indonesia
[Sumber : Larasati, C.N. (2009). Studi Sintesa Nanokapsul Dengan Teknik Pelapisan Bertahap
(Layer-By-Layer) Untuk Pengembangan Immunosensor. Depok: Universitas Indonesia]
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
0.8 nano Au
layer 1
absorbansi
0.6
layer 2
0.4 layer 3
0.2 layer 4
0
200 400 600 800
panjang gelombang
Universitas Indonesia
a b
Universitas Indonesia
dengan waktu deposisi 300 detik, potensial deposisi -600 mV, dan scan rate 250
mV/s.
Waktu deposisi adalah waktu yang dibutuhkan untuk mereduksi Au (III)
menjadi Au pada permukaan elektroda. Pada penelitian ini, digunakan konsentrasi
Au (III) yang sangat rendah. Oleh karena itu, waktu deposisi yang diperlukan
untuk mendeteksi Au (III) tersebut cukup lama yakni 300 detik. Hal ini
dimaksudkan agar ion emas dalam larutan dapat tereduksi sempurna menjadi
atom emas netral pada permukaan elektroda, sehingga pada saat proses stripping
terjadi, besar arus anodik yang terukur sebanding dengan konsentrasi Au (III)
yang terdapat di dalam larutan. Pada pendeteksian Au (III) pada konsentrasi
tinggi, waktu deposisi yang digunakan relatif singkat untuk mencegah penjenuhan
pada permukaan elektroda. Pada penelitian sebelumnya, telah diperoleh waktu
deposisi optimum pada deteksi Au(III) adalah 300 detik. Pada waktu deposisi 300
detik seluruh Au (III) yang berada di dalam larutan telah tereduksi sempurna.
Potensial deposisi adalah besar potensial yang dibutuhkan untuk
mereduksi Au (III) yang terdapat di dalam larutan menjadi atom Au netral pada
permukaan elektroda. Semakin besar potensial deposisi yang diberikan,
kemampuan untuk mereduksi Au (III) yang berada di dalam larutan menjadi Au
juga semakin besar. Oleh karena itu, semakin banyak ion Au (III) yang terdeposisi
di permukaan elektroda, maka atom Au yang akan dioksidasi pada tahap stripping
juga semakin banyak sehingga arus yang dihasilkan juga besar. Pada penelitian
terdahulu, telah diperoleh potensial deposisi optimum pada deteksi Au (III) adalah
-600 mV. Pada potensial deposisi -600mV inilah potensial deposisi dengan Au
(III) paling banyak terdeposisi.
Scan rate (kecepatan scan) pada pengukuran ASV mempengaruhi
ketebalan lapisan difusi. Semakin besar scan rate yang digunakan, arus yang
dihasilkan akan semakin besar karena scan rate yang besar akan membuat transfer
elektron lebih mudah terjadi akibatnya arus yang dihasilkan menjadi semakin
besar. Apabila digunakan scan rate yang kecil, transfer elektron ke permukaan
elektroda akan menjadi terhambat sehingga arus yang dihasilkan menjadi kecil.
Proses oksidasi dapat berlangsung dengan baik dengan menggunakan scan
rate yang rendah. Dengan scan rate yang rendah, analit (Au) dapat berada di
Universitas Indonesia
permukaan elektroda dalam waktu yang cukup lama sehingga dapat teroksidasi
dengan baik. Sebaliknya, penggunaan scan rate yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan reaksi oksidasi dari analit menjadi tidak sempurna. Hal ini terjadi
karena waktu kontak analit dengan elektroda terlalu cepat. Akan tetapi, jika scan
rate yang digunakan terlalu rendah, maka akan berdampak kurang baik untuk
proses oksidasi. Hal ini disebabkan scan rate yang terlalu rendah dapat memicu
terjadinya reaksi lain pada system, sehingga dapat mengganggu sinyal yang
dihasilkan. Scan rate optimum untuk deteksi Au (III) telah diperoleh pada
penelitian terdahulu yaitu 250 mV/s.
Elektroda pembanding yang digunakan pada penelitian ini adalah
elektroda elektroda perak. Elektroda tersebut mengandung larutan KCl yang
dijenuhkan dengan AgCl dan reaksi setengah selnya adalah :
AgCl + e- Ag+ + Cl-
Dari Gambar 4.11 dapat disimpulkan bahwa arus mengalami peningkatan
seiring dengan bertambahnya konsentrasi Au (III). Hal ini berkaitan dengan
kuantitas ion logam Au (III) yang terukur. Semakin besar konsentrasi larutan Au
(III), maka semakin banyak ion Au (III) yang akan mengalami deposisi dan proses
stripping pada permukaan elektroda, sehingga arus yang terukur semakin besar.
Universitas Indonesia
0.00009 Background
0.00008 Au 2x10^-5
0.00007 Au 4x10^-5
0.00006
Ampere Au 6x10^-5
0.00005
Au 8x10^-5
0.00004
Au 10x10^-5
0.00003
0.00002
0.00001
0
0 0.5 1 1.5
Potensial (V) vs Ag/AgCl
Konsentrasi Au
Arus 1 Arus 2 Arus 3 Arus rata-rata
(µM)
40 0,16 0,13 0,19 0,16
60 0,29 0,29 0,24 0,27
80 0,43 0,42 0,47 0,44
100 0,69 0,68 0,65 0,67
0.80
0.70 y = 0.008x - 0.211
0.60 R² = 0.976
0.50
I (µA)
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
0 20 40 60 80 100 120
Konsentrasi (µM)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
(a)
(b)
Universitas Indonesia
[Sumber : Larasati, C.N. (2009). Studi Sintesis Nanokapsul Dengan Teknik Pelapisan Bertahap
(Layer-By-Layer) Untuk Pengembangan Immunosensor. Depok: Universitas Indonesia]
Universitas Indonesia
6.00E-08
4.00E-08
insulin 0,01
2.00E-08
Arus (A)
insulin 0,02
insulin 0,03
0.00E+00
insulin 0,04
0 0.5 1 1.5 2
insulin 0,05
-2.00E-08
-4.00E-08
Potensial (V) vs Ag/AgCl
Pada Gambar 4.15 dapat dilihat bahwa respon besarnya arus berbanding
terbalik dengan konsentrasi insulin yang digunakan. Semakin besar konsentrasi
insulin yang digunakan, arus yang dihasilkan semakin kecil. Hal ini terjadi karena
semakin besar konsentrasi insulin, maka insulin yang menyelubungi nanokapsul
semakin banyak sehingga arus yang dihasilkan dari proses deposisi dan stripping
semakin kecil akibat Au yang akan diukur terhalang oleh insulin.
Dari hasil pengukuran, tampak puncak yang dapat menggambarkan
konsentrasi Au (III) yang dihasilkan. Puncak yang diperoleh merupakan arus
maksimum yang terbaca. Dari nilai arus ini, konsentrasi Au (III) dapat diperoleh
dengan memasukkan nilai arus ke persamaan kurva kalibrasii linear Au (III)
y=0,0086x – 0,2119 dengan y merupakan fungsi arus, dan x merupakan fungsi
konsentrasi. Akan tetapi, dari voltammogram dapat dilihat bahwa puncak hanya
tampak pada konsentrasi insulin 0,01 µM dan 0,02 µM berturut-turut sebesar
0,0269 µA dan 0,0275 µA. Dari data arus tersebut, konsentrasi Au (III) yang
terukur berturut-turut sebesar 29,74 µM dan 29,81 µM. Nilai konsentrasi
Universitas Indonesia
berbanding lurus sehingga semakin kecil arus maka konsentrasi Au yang terukur
semakin kecil pula.
Pada tabung kedua, nanokapsul didiamkan selama satu malam dalam
larutan KCN 0,0072 M, yang bertujuan menghancurkan inti (nanopartikel emas)
yang ada dalam polielektrolit multilayer. Ion sianida akan mengakibatkan solvasi
pada nanopartikel emas yang terperangkap di dalam lapisan dengan membentuk
ion kompleks Au-sianida yang dapat larut. Dengan terbentuknya ion kompleks
Au-sianida, nanopartikel Au dapat keluar dari lapisan polielektrolit (Gambar
4.16). Reaksi yang terjadi antara nanopartikel emas dengan ion sianida adalah
sebagai berikut:
Au(s) + 4 CN− ⇄ [Au(CN) 4 ]− + e−
[Sumber : Lumita. (2009). Sintesa Nanokapsul dengan Teknik Pelapisan Bertahap (layer-by-layer)
untuk Pengembangan Immunosensor. Depok: Universitas Indonesia]
Gambar 4.16 Skema Core Dissolution Nanokapsul
Universitas Indonesia
deposisi 300 detik, dan scan rete 250 mV/s. Ion Au (I) dibiarkan terdeposisi di
permukaan elektroda, dilanjutkan ke tahap tahap pelepasan (stripping) yaitu
tahapan pada saat Au yang telah terdeposisi pada elektroda, dioksidasi kembali
dengan memberikan potensial yang lebih positif sehingga arus anodik (arus
oksidasi) dapat diukur.
0.18
0.16
0.14
0.12
Arus (mA)
0.00
0.00 0.50 1.00 1.50
potensial (V) vs Ag/AgCl
Tabel 4.2 Tabel Respon Arus Au (III) pada Berbagai Konsentrasi Insulin
dengan Pemecahan Inti
Universitas Indonesia
Dari Tabel 4.2 besarnya konsentrasi insulin berbanding lurus dengan arus
yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena semakin besar konsentrasi insulin, maka
semakin banyak nanopartikel emas yang dapat mengalami proses
immunorecognition. Puncak yang dihasilkan pada proses immunoassay dengan
pemecahan inti lebih tajam dibandingkan immunoassay tanpa pemecahan inti. Hal
ini terjadi karena dengan pemecahan inti, Au tidak lagi terperangkap dalam
nanokapsul sehingga Au yang terukur lebih banyak. Besarnya arus sebanding
dengan konsentrasi. Konsentrasi Au hasil immunoassay dengan pemecahan inti
lebih besar dibandingkan immunoassay tanpa pemecahan inti.
Universitas Indonesia
0.9
0.8
Absorbansi 0.7
0.6
Au
0.5
0.4 Au/antiinsulin
0.3
0.2 Au/Antiinsulin/insulin
0.1
0
200 400 600 800
panjang gelombang
Nanopartikel emas dapat berikatan dengan protein, dalam hal ini anti-
insulin dan insulin, sebagai lapisan terluar melalui adsorpsi elektrostatik. Protein
dapat melekat pada nanokapsul akibat interaksi spesifik. Interaksi yang mungkin
terjadi antara nanokapsul dan protein antara lain ikatan hidrogen, gaya
elektrostatis, ikatan disulfida, dan ikatan dengan gugus tiol.
Ikatan hidrogen merupakan gaya tarik menarik antara hidrogen yang
terikat secara kovalen dengan atom yang bersifat elektronegatif dari satu molekul
dengan atom elektronegatif lainnya. Kekuatan ikatan hidrogen ini dipengaruhi
oleh perbedaan elektronegativitas antara atom-atom dalam molekul tersebut.
Semakin besar perbedaannya, semakin besar ikatan hidrogen yang terbentuk.
Ikatan hidrogen dapat terjadi pada nanopartikel dan protein akibat adanya ikatan
antara atom H dengan N dan H dengan O.
Ikatan disulfida dan ikatan dengan gugus tiol (–SH) dapat terjadi antara
nanokapsul dengan protein karena pada nanokapsul, digunakan polielektrolit
anionik yaitu polystyrene sulfonat (PSS) yang mengandung unsur S.
Universitas Indonesia
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
44
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Pelabelan nanokapsul
dengan anti insulin
Karakterisasi dengan
Proses bioassay nanokapsul
metode ASV
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Konsentrasi Au
(µM) Arus 1 Arus 2 Arus 3 Arus rata-rata
PDDA PSS
[Sumber : http://www.chemistry.iitd.ac.in/chemcos/issue-V/SV_surfaces.html]
Universitas Indonesia
[Sumber: http://www.bio.davidson.edu/Courses/Molbio/MolStudents/
spring2003/Williford/assignment2_home.htm]
Struktur Insulin
Universitas Indonesia