Anda di halaman 1dari 7

KASTA DAN WARNA: SEBUAH KRITIK DALAM MASYARAKAT

EGALITER

Oleh:

Ni Nengah Sudarsini
Anggota Vivekananda Yoga Sanstha

ABSTRACT:
The caste system is one of the foundations of the emergence of social problems in society. Indeed
caste is one of the tactics of colonists in the Dutch colonial period that tried to influence and divide
the unity and unity of Balinese society, making it easy to conquer. Actually known as Catur Warna,
the goal is not to distinguish one group from another vertically, but because of the procession and
ability of each individual. Here it is clear that warna is the name for people who master a particular
field. If the society is not organized by warna, then there will be problems arising in social life. From
this concept it is important to emphasize that everyone has the right to increase his or her dignity
to be superior to others. All of warna have the opportunity to develop goodness for the sake of lofty
ideals, this is the real principle of equality or egalitarianism. In a spiritual perspective, the real hu-
man existence is the identification or recognition of the self with the atma that in Hinduism involves
the principle of yoga that God is in every human being, therefore, the principle of Godhead in every
being is the same. This means that God is in all beings so that there is unity in all of His creations.
Keywords: caste, varna, egalitarian society

I. PENDAHULUAN warna, sehingga tidak mengherankan jika sampai


Sebagian ajaran dan konsep-konsep saat ini bahkan masa yang akan datang, kasta tetap
dasar dalam kitab suci Weda menggambarkan memiliki porsi tersendiri dalam membedakan
kesetaraan dalam hubungannya dengan sesama derajat seseorang.
manusia, namun di satu sisi ego yang meliputi Kondisi ini menggambarkan bahwa Hindu
individu seringkali memunculkan penafsiran belum mampu sepenuhnya mewujudkan sikap
yang keliru. Prestise dan kepentingan pribadi egaliter yang telah tertuang dalam kitab suci Veda.
menyebabkan munculnya keinginan untuk Pemahaman tentang kasta yang keliru memperbesar
dihargai dan dihormati sebagai yang paling ketidakharmonisan dalam hubungan menyama
tinggi derajatnya. Pandangan Hindu sebagai braya. Kasta merupakan salah satu penentangan
agama yang egaliter tenggelam dalam euforia dari prinsip humanisme, bahkan Wiana (1993: 18)
kasta yang selama ini selalu dipandang sebagai menyebutnya sebagai produk sosial historis dan
tradisi bagi masyarakat. Kasta menjadi salah satu stratifikasi masyarakat khususnya yang terjadi
topik yang akan terus menggema seiring dengan lebih dahulu di India pada zaman lampau yang
perbandingan akan status sosial yang disandang membeda-bedakan harkat dan martabat manusia
berdasarkan kelahiran. Pelabelan kasta yang berdasarkan keturunan. India yang menjadi asal
disalahgunakan oleh orang-orang jaman dahulu munculnya agama Hindu juga telah lebih dahulu
membentuk sebuah tradisi yang harus dijalankan mengalami tantangan cukup berat dengan sistem
oleh keturunannya. Sifat dan karakter umat kasta yang membentuk masyarakat menjadi
Hindu yang selalu memegang teguh sesuatu yang terhirarkis dan jauh dari kesan egaliter. Implikasi
dianggap sebagai tradisi warisan leluhur semakin yang terjadi tidak serta merta mengembalikan
memperkuat posisi kasta dan mengaburkan istilah kesadaran, karena sistem kasta dianggap sebagai

80
upaya untuk mempertahankan kemurnian inilah yang seharusnya diturunkan kepada anak
persaudaraan bahkan menjadi keuntungan atas cucunya karena sesuai dengan ajaran dalam Veda.
sekelompok orang. Penggambaran keempat warna ini bahkan telah
Umat Hindu khususnya di Bali, sampai saat ada pada zaman Veda, Brahmana dan Upanisad
ini masih tetap memberlakukan sistem kasta yang namun menjadi bias seiring perkembangan jaman
sebenarnya merupakan salah satu dasar munculnya ketika sekelompok kepentingan tersebut masuk di
permasalahan sosial di masyarakat. Sesungguhnya dalamnya.
kasta merupakan salah satu taktik dari penjajah Apabila melihat dari dua sudut pandang,
pada masa kolonial Belanda yang mencoba untuk perbedaan tinggi dan rendah berdasarkan keturunan
mempengaruhi dan memecah belah persatuan dan sesungguhnya dikatakan sebagai hal yang wajar
kesatuan masyarakat Bali, sehingga mudah untuk jika dilihat dari segi fisik atau material. Konsep
ditaklukan. Baher (2012) menyebutnya sebagai putih ada karena hitam, suatu benda dikatakan
politik divide et impera (politik adu domba). tinggi ketika berhadapan dengan yang pendek.
Hampir di semua daerah di Bali pernah merasakan Konsep maya ini memang berjalan sedemikian,
panasnya konflik kasta tersebut bahkan bernuansa namun tidak hanya fisik, yang lebih penting
kekerasan dan pengrusakan. Mulai dari Konflik adalah seseorang mampu melihat esensi dari
Kasta di Sesetan Denpasar (1980), Konflik Kasta kedua aspek tersebut. Manusia satu dengan yang
di Selemadeg Tabanan (2005), Konflik Kasta lainnya terlahir sama dari atman yang merupakan
di Desa Tampak Siring Gianyar (2006), Konflik ciptaan Tuhan. Tidak ada yang membedakan
Kasta di Desa Manggis Karangasem (2006) atman yang satu dengan yang lainnya, perbedaan
dan Konflik Kasta di Desa Tusan Klungkung hanya muncul dari karma yang dijalani masing-
(2007). Selain itu, kasus yang seringkali dijumpai maisng individu. Jadi, semua hanya masalah
dalam masyarakat adalah perkawinan luar sudut pandang serta seberapa besar ego dalam diri
kasta, walaupun saat ini sedikitnya sudah mulai manusia mempengaruhi akal pikirnya. Kesetaraan
diterima oleh masyarakat. Contoh paling nyata akan muncul apabila manusia menganggap
pernah dituliskan oleh sastrawan asal Bali, Oka dirinya sama dengan yang lain terlepas dari label
Rusmini dalam Tarian Bumi karya, yaitu cerita simbolik pada namanya. Perkembangan dan
perkawinan Ida Ayu Telaga dengan lelaki yang kemajuan pendidikan diharapkan dapat mengubah
dianggap berasal dari kalangan sudra, yaitu Wayan pandangan dan akal pikir manusia, sehingga
Sasmitha. Pihak lelaki ditentang oleh keluarga dalam tataran tersebut mereka mampu secara kritis
griya, sehingga Telaga harus menjalani upacara memahami kekeliruan yang selama ini berakar
patiwangi dan harus keluar dari griya. Kisah ini dan mendarah daging dalam diri masing-maisng
memperlihatkan bagaimana kesadaran tentang individu. Ketika tataran kesadaran ini menguat
kasta itu masih kental (Wasono, 2011: 202-203). dan mencapai tingkat yang lebih tinggi, maka
Beberapa akademisi serta tokoh adat apapun yang terlihat memiliki kedudukan yang
memberikan pandangan tentang tingkatan sama secara horizontal, tanpa adanya pengkotak-
tersebut yang bukan dipandang berdasarkan kotakan secara vertikal.
kelahiran, namun profesi dan kemampuan.
Hal ini merupakan sebuah prestasi atau II. PEMBAHASAN
pencapaian leluhur di jaman dahulu, dimana 2.1 Catur Warna dalam Kitab Suci Hindu
yang berkedudukan sebagai pendeta merupakan Kaitannya dengan Egalitarianisme
golongan Brahmana, sedangkan para Raja atau Konsep catur warna yang disusun oleh
yang duduk di tampuk pemerintahan dianggap Para Maharsi melalui wahyu dari Tuhan yang
sebagai ksatrya, begitupula dengan waisya dan dituangkan dalam kitab suci Veda. Catur warna
sudra yang memiliki tugas sebagai pedagang dan menjadi konsep dalam agama Hindu tujuannya
pelayan dari ketiga jabatan di atas. Sistem warna bukan untuk membedakan golongan yang satu

81
dengan yang lain secara vertikal, melainkan Jadi, konsep catur warna telah ada dalam
munculnya istilah warna disebabkan oleh kitab suci Veda dan memiliki kedudukan serta
prosesi dan kemampuan setiap individu. Tuhan posisi yang kuat sebagai penghargaan atas
menyebutnya Brahmana karena ia adalah yang pencapaian dalam bidang yang ada di dalamnya
terpelajar, ksatrya mempunyai kemampuan dan yang lebih penting tujuan terlahir menjadi
pemimpin, vaisya bergelut dibidang ekonomi manusia untuk meresapi sifat-sifat Ilahi sehingga
dan sudra pelayan dari ketiga warna yang telah catur warna pun harus ditanggalkan sebagai
disebutkan sebelumnya. Disini jelas bahwa warna manusia ideal untuk menyatu dengan Tuhan. Maka
adalah sebutan bagi orang yang menguasai bidang jelas bahwa dalam Hindu tidak mengenal kasta
tertentu. Jika tidak disusun golongan masyarakat melainkan warna sebagai tahapan pembebasan.
berdasarkan warna maka akan ada pembiasan Jika ditelusuri kasta dan warna memiliki
makna dalam kehidupan sosial. Dari konsep ini pengertian yang sangat berbeda. Dr W. Durant
penting dipertegas bahwa setiap orang berhak dalam Sudharta (2003: 204) menyebutkan bahwa
meningkatkan harkat dan martabatnya untuk kasta tidak berasal dari bahasa Sansekerta tetapi
menjadi lebih unggul dari yang lainnya, maka semua dari bahasa portugis ‘casta’ yang diambil dari
warna berkesempatan mengembangkan kebaikan bahasa latin castus yang berarti suci atau dengan
demi cita-cita luhur. Inilah prinsip kesetaraan yang istilah yang sama menyebutkan sebagai tingkatan-
sesungguhnya yaitu setiap orang berhak untuk tingkatan. Kasta bersifat vertikal yang menilai
berjuang meraih cita-citanya. Apabila prinsip posisi tinggi dan rendah, sedangkan catur warna
egalitarian diartikan sebagai semua warna yang bersifat horizontal dengan derajat sama, bahkan
sama kedudukannya dalam status sosial itu berarti menurut Bhisama PHDI, Catur warna adalah
ada kekeliruan dalam memahami egalitarianisme, ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan
karena jika demikian akan mematikan motivasi kewajiban masyarakat atas ‘guna’ dan ‘karma’
setiap individu untuk meningkatkan harkat dan dan tidak terkait dengan kasta atau wangsa.
martabatnya. Maka egalitarianisme dalam catur Beberapa naskah Hindu lainnya yang
warna harus dipahami dari perspektif hak setiap menyebutkan tentang warna, terdapat dalam Reg
warna yang memiliki kesempatan yang sama, Weda (X.90.12), Yajurveda (XXV.2), Yajurveda
bahkan Sri Krishna bersabda dalam Bhagavad (XXX.5), Yajurveda (XXX.11), Yajurveda
Gita IV.13, menyebutkan bahwa seharusnya cita- (XVIII.48), Yajur Weda (XVIII. 38), Yajur Weda
cita luhur pencari kebenaran adalah melampaui (XXXI.II), Bhagavadgita (XVIII.41), Manawa
catur warna sebagaimana yang diungkapkan Dharmasastra (X.4), Sarasamuscaya sloka 55,
dalam sloka di bawah ini : Sarasamuccaya sloka 58, Sarasamuccaya sloka
57, Sarasamuccaya sloka 59 dan Sarasamuccaya
catur-varnyam maya srstamguna-karma- sloka 60. Bahkan kitab seperti itihasa juga
vibhagasah mencantumkan catur warna, salah satunya dalam
tasya kartaram api mamviddhy akartaram Mahabharata (XII.CCCXII,108) yang menyatakan
avyayam bahwa ke-Dvijati-an seseorang tidak ditentukan
Terjemahannya : oleh ke-wangsa-annya (nayonih), namun yang
menentukan adalah perbuatannya yang luhur dan
Menurut tiga sifat alam dan pekerjaan yang pekerjaanya yang memberi bimbingan rohani
ada hubungannya dengan sifat-sifat itu, kepada masyarakat. Dari berbagai sloka tersebut,
empat bagian masyarakat diciptakan oleh- salah satu yang semakin mempertegas kedudukan
Ku. Walaupun akulah yang menciptakan warna di masyarakat diungkapkan dalam untaian
sistem ini. Hendaknya engkau mengetahui Yajur Veda berikut :
bahwa aku tetap sebagai yang tidak Brahmane Brahmanam, Kshtariya
berbuat karena aku tidak dapat diubah Rajanyam,
(Bhaktivedanta, 2006:234) Marudbhyo Vaishyam, Tapase Sudram
(Yajur Veda, XXX.5)

82
Terjemahannya : tentang Filsaat Advaita yang menerangkan
Tuhan telah menciptakan Brahmana untuk bahwa semua ini adalah mayaya/mithya, hanya
pengetahuan, Ksatria untuk perlindungan, Brahman-lah yang ada. Lalu siapa kau yang telah
Vaishya untuk perdagangan dan Sudra menyuruh atma-ku untuk pergi, yg sebenarnya
untuk pekerjaan jasmani adalah Brahman atau badanku yg sebenarnya
Konsep ini menjelaskan secara tegas konsep adalah maya?”. Sang Acarya terkejut dan segera
catur warna yang berdasarkan atas profesi atau bersujud di depan chandala yang kemudian
kemampuan, namun pertanyaan lain muncul disebut sebagai guru. Acarya tersebut tidak lain
yang justru menyamakan warna dengan kasta. adalah Sankaracharya, seorang guru besar yang
Seseorang memandang bahwa pembagian dari dihormati, sedangkan chandala jika diterjemahkan
segi profesi diangap tidak jauh berbeda dengan merupakan arti dari sesuatu yang hina atau rendah.
sistem kasta, yaitu sama-sama mengklasifikasikan Catur warna tidak akan mendapat ruang cukup
seseorang dalam kelompok yang berbeda. luas dalam masyarakat apabila di hati mereka
Sekali lagi, pengklasifikasian dalam catur warna masih memandang rendah orang lain, terlebih
sesungguhnya bukan bertujuan untuk membentuk karena gelar nama yang dimiliki.
masyarakat terkotak-kotakan secara vertikal,
namun menjelaskan bahwa setiap manusia 2.2 Prinsip-Prinsip Kesetaraan dalam Hindu
memiliki kemampuan yang berbeda, memiliki a. Ideologi Tat Twam Asi dan Vasudaiva
sifat, karakter dan potensi yang beda satu dengan Kutumbhakam
yang lain, namun dalam koridor yang sama secara Dua konsep dasar ini sudah menjadi
horizontal yaitu manusia sebagai ciptaan Tuhan. wacana umum dalam masyarakat. Dilihat dari
Seseorang yang berprofesi sebagai guru pengertiannya, Tat Twam Asi mengajarkan sebuah
yang dalam kasta dikatakan sebagai golongan pandangan bahwa setiap manusia sama, berasal dari
sudra, namun dalam arti yang sesungguhnya pencipta yang sama dan memiliki atman yang sama
merupakan Brahmana (dalam warna). Kecerdasan pula. Setia (1993: 58-59) mengungkapkan bahwa
dan kemampuan yang dimiliki seseorang tidak dalam Tat Twam Asi terkandung nilai solidaritas
terpengaruh oleh ikatan nama yang melekat pada yang tinggi serta toleransi yang menimbulkan rasa
dirinya. Ketika tokoh agama muncul di tengah persaudaraan dan kerukunan hidup antar sesama
masyarakat, rasa hormat yang dalam ditunjukkan manusia serta mewarnai tata susila masyarakat
karena jasa dan pengetahuannya, terlepas dari label Bali, seperti: Tresna Asih, Anresangsia, Catur
simbolik yang dimiliki. Pendidikan yang semakin Paramitha, Tri Kaya Parisudha dan Yadnya.
maju, sedikit demi sedikit merubah pandangan Suacana dalam tulisannya berjudul Nilai-nilai
umat akan sistem warna, walaupun belum dan Parameter Demokrasi, mengutarakan bahwa
menyentuh total masyarakat secara keseluruhan. hakikat Tat Twam Asi pada akhirnya bermuara
Salah satu cerita tentang Sankaracharya dan dari kasih sayang yang diaktualisasikan ke
Chandala menjadi contoh penyadaran akan HAM, dalam bentuk sikap egaliter, yaitu memandang
kesetaraan dan humanisme yang saat ini menjadi segala makhluk adalah sama. Sikap egaliter ini
salah satu wacana nasional. pula dalam konteks kehidupan bermasyarakat,
Ananda dalam tulisannya berkenaan berbangsa dan bernegara dirumuskan dan dikemas
dengan egalitarian menceritakan sebuah kisah ke dalam konsep “musyawarah-mufakat” sebagai
seorang Acharya yang sedang berjalan-jalan inti dari Demokrasi Pancasila.
dengan muridnya. Suatu ketika, Beliau bertemu Makna yang serupa juga dinyatakan
dengan seorang chandala. Murid tersebut dalam konsep Vasudaiva Kutumbhakam. Dari
segera mencegah agar sang guru tidak melihat segi fisik, sosial, materi serta jalan kehidupan
si chandala. Pengusiran yang dilakukan murid- berbeda antara manusia yang satu dengan lainnya.
muridnya membuat chandala merasa kecewa dan Namun, jika kembali pada esensinya sebagai
berkata, “Hei orang bijak, Anda mengajarkan manusia, segala perbedaan itu tidak menjadi
ukuran. Suwantana (2011: 6) menambahkan

83
bahwa Vedanta menyatakan tidak ada perbedaan Rg Veda (V.60.5), Rg Veda (VIII.93.13), Rg Veda
kasta, karena semua sama. Hal ini dipertegas (X.93.9), Rg Veda (X.191.2-4), Atharva Veda
oleh Sankaracharya bahwa ‘tidak ada’ perbedaan (III.30.1-7), Atharva Veda (VI.64.1-3), Atharva
antara orang hebat seperti Vamadeva dan orang Veda (73.1-3), Atharva Veda (VI.74.1-3), Atharva
loyo di jaman sekarang ini, sepanjang kapasitas Veda (VII.54.1-2), Atharva Veda (VII.52), Yajur
inheren yang ada pada diri setiap manusia (atman), Veda (19.46), Yajur Veda (26.02), Yajur Veda
realisasi diri sebagai concern. Berbagai perbedaan (36.18).
yang muncul adalah sebuah keharusan, seperti
yang telah diungkapkan pada pembahasan catur 2.3 Nilai-Nilai Egalitarianisme Hindu dalam
warna sebelumnya bahwa hitam dan putih atau Kehidupan Sosial
kaya dan miskin adalah hal yang wajar terjadi, Hindu sebagai agama yang mengedepankan
namun persamaan yang dimaksud dalam Vedanta etika keselarasan egalitarianisme dalam kehidupan
adalah akal pikir. Seseorang yang berpikir bahwa bukan lagi menjadi hal baru. Sejak jaman Veda,
semua makhluk sama secara esensi, maka ia egalitarianisme telah dituliskan dalam teks-
dapat menghormati yang lain. Egalitarianisme teks Veda. Prinsip egaliter dalam kehidupan
yang selama ini dirasakan sulit untuk diwujudkan benar-benar diaplikasikan dalam berbagai
dalam masyarakat menjadi sesuatu yang mungkin situasi sosial, baik di dunia seni, politik dan
apabila pandangan Tat Twam Asi dan Vasudaiva keagamaan. Hal-hal yang patut dihindari adalah
Kutumbhakam menyerap dalam akal pikirnya. jika terjadi kepentingan politik kekuasaan yang
menyebabkan agama terjebak dalam arus besar
b. Kitab Purusha Sukta dan Kitab Sruti
politik sehingga akibatnya umat akan mengalami
tentang Egaliter
kebingungan. Agama akan terseret dalam ranah
Pada buku Vedic Equality And Hinduism praktis-pragmatis dan melupakan dimensi
dalam Ananda dikatakan bahwa bahwa mantra- universalitas, netralitas dan egalitarianitas. Pada
mantra Veda sebagai wahyu Tuhan (Sruti) secara akhirnya, fenomena luruhnya spirit universalitas
normatif mengandung konsep-konsep yang sangat dan egalitarianisme akan terlihat dalam perilaku
egaliter, tetapi dipersepsikan sesuai konteks kehidupan beragama dikarenakan pengaruh-
historisnya, seperti berbagai tafsir terhadap pengaruh yang menyesatkan dari kepentingan
Purusha Sukta (X.90.11&12) salah satunya yaitu pada bidang tertentu. Dalam hal ini, prinsip
‘jika sebuah masyarakat ingin bangkit seperti kesamaan dan kesejajaran akan terganggu, strata
halnya Virat Purusha jika kecerdasannya (kaum sosial-politik menjadi luruh tergantikan oleh
Brahmana), pemerintahannya (Kaum Ksatrya), prinsip eksklusifitas yang meninggikan status
pengusaha (Vaisya) dan para profesionalisme pribadi atau komunitas.
bekerjasama dengan baik secara harmonis, Ajaran universal Hindu adalah
seperti halnya mulut, tangan, kaki pada seseorang mendudukkan manusia pada posisi yang sejajar
yang sehat’. Purusha Sukta seperti pada sloka atau egaliter. Sebagaimana pelaksanaan ajaran tat
di atas menekankan kesetaraan total, persatuan tvam asi atau vasudaiva kutumbhakam sebagai
yang sempurna dan saling melengkapi di antara prinsip utama dalam membangun persaudaraan
keempat kelas (Brahmana, Ksatrya, Waisya dan umat manusia yang bermakna tidak membedakan
Sudra) untuk menciptakan masyarakat yang status sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah,
kuat. Begitupula dalam Rg. Veda (V.60.5) yang bahwasannya semua manusia adalah anak-anak
menyatakan bahwa tidak ada seseorang yang lebih Tuhan yang memiliki kedudukan yang sama.
tinggi (ajyestasa) atau lebih rendah (akanishtasa), Dilihat dari dimensi ritual-keagamaan dan
semua bersaudara (ete bhrataraha). Semua harus dimensi sosial-kemasyarakatan, ajaran Hindu di
berjuang untuk kepentingan bersama dan maju Bali merupakan simbol egalitarianisme, lambang
bersama-sama (sowbhagaya sam va vriduhu) persaudaraan, kesatuan dan persamaan manusia.
(Gupta,2006:248). Terdapat pula sloka lainnya Para umat dalam melaksanakan fungsi sosial telah
yang membahas tentang kesetaraan dan kesatuan: melupakan dan menanggalkan egosentris seperti

84
pangkat, gelar, kedudukan, status sosial, kekayaan, mengantarkan pada pencapaian pembebasan diri
jenis kelamin, ras, etnis dan kebangsaan. Inilah dari belenggu perbedaan persepsi sebagaimana
fakta yang terjadi, melalui kokohnya bingkai yang tersirat dalam sloka kitab Bhagawadgita
organisasi tradisional atau banjar di Bali, mereka berikut:
bersama-sama mewujudkan cita-cita bersama
Sattwam sukhe sanjayati, rajah karmani
dalam mempertahankan adat tradisi dan budaya.
bhãrata,
Egalitarianisme dalam Hindu akan membangun
implikasi kehidupan sosial yang kuat dan hangat. jnãnam ãvrtya tu tamah, pramãde sanjayaty
Kesetaraan sosial dalam kehidupan mampu uta” (Bhagawadgita, XIV. 9)
menggempur pergolakan sosial dan degradasi yang Terjemahannya:
timbul. Egaliterianisme mengajarkan kesetaraan Wahai putra Bharata, sifat kebaikan
sosial dan penghapusan stratifikasi derajat sosial. mengikat seseorang pada kebahagiaan,
nafsu mengikat dirinya pada kegiatan yang
2.4 Egalitarianisme Menyentuh Dimensi dimaksudkan untuk membuahkan hasil
Spiritual Hindu atau pahala, dan kebodohan yang menutupi
Keberadaan manusia yang sesungguhnya pengetahuannya mengikat dirinya pada
adalah identifikasi atau pengenalan diri dengan kegilaan (Bhaktivedanta, 2006: 686).
atma yang dalam ajaran Hindu meliputi prinsip yoga Usaha yang harus dilakukan oleh
yaitu Tuhan berada dalam diri setiap manusia, oleh setiap manusia di dalam kehidupan ini adalah
sebab itu, prinsip ke-Tuhan-an pada setiap mahluk membebaskan diri dari pengaruh Tri Guna (tiga
adalah sama. Hal ini berarti bahwa Tuhan ada di sifat). Pembebasan ini diawali dengan terlebih
dalam semua mahluk sehingga terdapat kesatuan dahulu mengatasi kedua guna (sifat) yang lebih
dalam semua ciptaan-Nya. Ajaran ini juga sangat rendah yaitu rajas dan tamas, karena sebelum
meyakinkan bahwa egalitarianisme tidak terbatas kedua guna (sifat) itu ditaklukan, sulit untuk meraih
hanya pada kesetaraan sosial melainkan dimensi sattwam yaitu guna (sifat) yang mengantarkan
spiritual Hindu yang sangat menjunjung nilai- pencerahan, namun meskipun demikian sattwa
nilai tersebut, namun di satu sisi akibat selubung guna harus tetap menjadi alat karena sifatnya
ego, setiap manusia mengidentifikasi prinsip juga dapat mengikat. Konsep ajaran Hindu
ke-Tuhan-an yang berbeda-beda. Perbedaan ini menguraikan bagi seseorang yang telah terbebas
sangat bervariasi tergantung dari kadar ke-ego- dari ikatan ketiga guna akan mencapai pembebasan
an yang menyelubunginya. Semakin tinggi ego, yang kekal abadi yang disebut Nirguna yaitu tanpa
maka akan semakin rendah dan terbatas dalam guna (sifat). Sementara dalam istilah yoga disebut
mengidentifikasikan prinsip-prinsip ke-Tuhan- kaivalya. Pada istilah Vedanta, keadaan ini disebut
an dalam dirinya. Ego sebagai pembatas yang nirguna (sifat) Brahman (Tuhan tanpa wujud)
mengkotak-kotakan manusia dalam kehidupan. dan saguna Brahman (Tuhan yang diwujudkan).
Ego sangat identik dengan kecerdasan intelektual, Tuhan dalam keadaan tanpa sifat (Nirguna)
saat intelek berkembang dalam diri seseorang, atau Sunya) adalah istilah yang dipergunakan
terkadang digunakan untuk menghegemoni untuk memahami hakikat Tuhan dalam keadaan
orang lain atau membuat persepsi-persepsi untuk hukumnya semula. Ilmu filsafat menyatakan ini
menguasai orang lain. Tindakan ini telah dilakukan sebagai keadaan Transendental, sesuatu diluar
dan terjadi di segala bidang kehidupan manusia, dari lingkaran kemampuan pikiran manusia.
termasuk bidang keagamaan yang sering kali Jika sang jiwa bangkit tidak ada lagi sekat-sekat
disalahgunakan untuk menghegemoni orang lain perbedaan yang ada adalah kemanggulan dalam
sehingga munculah anggapan non egalitarianisme. setiap mahluk, seseorang tidak lagi berpihak pada
Bagi orang-orang yang telah diberkahi kebaikan atau pun keburukan melainkan dibalik
kesadaran atman akan selalu mengupayakan sifat- dualitas ada kebahagian sejati atau anandam.
sifat murni melihat semua sama karena sifat murni Keadaan ini diuraikan dalam Bhagawadgita pada

85
sloka berikut: harus dibangun melalui akal pikir. Seseorang
Brahmabhûtah prasannãtmã, na sochati yang berpikir bahwa semua makhluk sama secara
na kãnkshati, esensi, maka ia dapat menghormati yang lain.
Egalitarianisme yang selama ini dirasakan sulit
samah sarveshu bhûteshu, madbhaktim untuk diwujudkan dalam masyarakat menjadi
labhate param (Bhagawadgita, XVIII. 54) sesuatu yang mungkin apabila pandangan Tat
Terjemahannya: Twam Asi dan Vasudaiva Kutumbhakam menyerap
Orang yang mantap secara rohani dalam akal pikir. Membangun kesadaran seseorang
seperti itu, segera menginsafi Brahman yang egaliter adalah menginsafi semua perbedaan
yang paling utama dan menjadi riang yang nampak karena ilusi dari perbedaan yang
sepenuhnya. Ia tidak pernah menyesal atau ada baginya adalah penyatuan dan kesatuan tanpa
ingin mendapatkan sesuatu. Ia bersikap sekat-sekat apapun serta memiliki sifat cinta kasih
yang sama terhadap sesuatu mahluk hidup. kepada semua makhluk di dunia ini.
Dalam keadaan itulah ia mencapai bhakti
yang murni kepada-Ku (Bhaktivedanta, DAFTAR PUSTAKA
2006:829). Anandamitra, Avadhutika. 2002. Yoga Untuk
Sloka tersebut menguraikan bahwa Kesehatan. Jakarta: Ananda Marga
kesadaran seseorang yang egaliter adalah Publication
menginsafi semua perbedaan yang nampak karena Ananda, I Nyoman. Egalitarianisme dalam
ilusi dari perbedaan yang ada baginya adalah Hindu. Dalam: http://download.portalgaruda.
penyatuan dan kesatuan tanpa sekat-sekat apapun
org/article.php?article=117615&val=5418.
serta memiliki sifat cinta kasih kepada semua
Diakses: 27-02-2018
makhluk di dunia ini. Dikatakan pula bahwa
pada umumnya orang-orang yang demikian itu Baher, Dimas. 2012. Pelapisan Sosial Persamaan
memiliki sifat-sifat kreatif, berani, sederhana, Derajat. Dalam http://dimasbaher.
rendah hati, tidak banyak keinginan, terbebas wordpress.com/2012/11/12/pelapisan-sosial-
dari rasa takut dan kekhawatiran. Mereka juga persamaan-derajat/. Diakses: 25-02-2018
ahli dalam menganalisa, dapat membedakan Bhaktivedanta, Sri Prabhupada, 2006. Bhagawad-
dengan tepat sehingga selalu tepat pula dalam
gita Menurut Aslinya. Denpasar:Yayasan
menetapkan pilihannya, renungan-renungannya
Hare Krishna
mendalam sehingga melupakan dirinya sendiri.
Hidupnya spontan dan sederhana seperti anak Gupta, O.P. 2006. Vedic Equality and Hinduism.
kecil yang berjiwa bersih. Maslow dalam Delhi: New Age Books
Anandamitra, (2002: 23) menemukan bahwa Rahardjo, M. 1999. Masyarakat Madani: Agama,
kebanyakan individu-individu yang luar biasa Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial.
ini sangat tercurah perhatiannya pada masalah
Jakarta: LP3ES
yang ditangani dan mengabdikan keyakinan jiwa
raganya kepada kewajiban ideal, terjun ke dalam Setia, Putu. 1993. Suara Kaum Muda Hindu.
suatu misi yang menurut keyakinannya adalah Jakarta: Yayasan Dharma Nusantara FCHI
orang yang terpilih untuk melaksanakannya. Tim Penyusun. 2002. Bhisama Sabha Pandita
Dengan kegiatan yang dilakukan itu, mereka PHDI Pusat Tentang Pengamalan Catur
merasa sudah mempersembahkan dirinya Warna. Denpasar
III. PENUTUP Wasono, Sunu. 2011. Kasta dan Pariwisata: Dua
Berbagai perbedaan yang muncul adalah Persoalan di Balik Pesona Bali. Pada Jurnal
sebuah keharusan, seperti yang telah diungkapkan UNEJ Volume 1 dalam http://jurnal.unej.
pada pembahasan catur warna. Perbedaan adalah ac.id. Diakses: 25-02-2018
hal yang wajar terjadi, namun persamaan yang Wiana, Kt dan Raka Santeri, 1993. Kasta dalam

86

Anda mungkin juga menyukai