Anda di halaman 1dari 6

Eksistensi Sistem Kasta di Bali WARISAN VS DINAMIKA RESPONSIF Jika saja boleh memilih, lebih baik aku tetap

menjadi orang sudra, sambil menyeka air mata, Jero Sekar menyingkir dari Bale Delod. Sejak Ia menikah dengan Ida Bagus Sidemen, banyak keistimewaan yang ia dapatkan. Kecuali hari ini. Saat Ia tidak diperkenankan menyumbah jenazah ibunya sendiri. Ilustrasi di atas hanyalah sebagian kecil dari potret yang terjadi dalam kehidupan nyata. Sistem kasta mengkristal dalam kehidupan masyarakat Bali. Sistem ini beranjak dari ajaran Agama Hindu yaitu Catur Warna. Awalnya kasta merupakan sistem kemasyarakatan yang ditujukan untuk menciptakan manajemen pemerintahan yang teratur, khususnya melalui pembagian tugas menurut profesi atau keahlian. Seiring waktu, kasta kerap kali dikaitkan sebagai warisan yang diturunkan secara statis melalui garis keturunan. Padahal keahlian orang tua belum tentu sama dengan keahlian putra-putrinya. Sistem kasta seharusnya dipandang sebagai sistem yang dinamis dan responsif, bukan sebagai warisan yang secara garis kelahiran bisa dipindahtangankan. Kasta telah mengalami transformasi nilai-nilai sosial (Sukardika, 2004). Hal tersebut membuat kasta harus disesuaikan dengan perkembangan era globalisasi, salah satunya konsolidasi segenap aspek seperti landasan spiritual (agama), landasan idiil (Pancasila), landasan (undang-undang), dan landasan riill (kondisi di lapangan). Landasan spiritual merupakan landasan yang berakar pada ajaran ketuhanan (baik dan buruk atau benar dan salah) yang dijadikan pedoman dalam hidup seharihari. Secara khusus, tidak ada referensi yang mengatakan bahwa sistem kasta merupakan bagian dari pedoman hidup. Kata kasta sendiri tidak berasal dari bahasa Bali ataupun bahasa Sansekerta, melainkan dari bahasa Portugis yaitu caste yang berarti pemisah, tembok, atau batas (Ensiklopedia Americana, 2002). Khusus di Bali, sistem kasta sudah sangat melekat pada kehidupan masyarakat. Selain itu sistem ini telah mengakar pada tradisi feodalisme yang diwariskan. Sistem kasta merupakan kesalahan konsep dari ajaran Catur Warna. Bhagavad Gita 4.13. Sri Krishna bersabda bahwa: Dalam operasional

catur-varnyam maya srstam guna-karma-vibhagasah tasya kartaram api mam viddhy akartaram avyayam Artinya, Catur varna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja, tetapi ketahuilah bahwa walaupun Aku penciptanya, Aku tak berbuat dan merubah diri-Ku. Arti sloka tersebut jelas menggambarkan bahwa agama memberikan koridor pengelompokan untuk pembagian tugas berdasarkan keahlian atau profesi. Bukanlah suatu stratifikasi sosial yang dijabarkan secara vertikal. Dengan ketidaksesuaian tersebut, jelas sistem kasta harus dihapuskan karena pada kenyataannya sistem ini hanya berkedok pada tradisi yang lahir dari ajaran agama, dan bukan ajaran agama itu sendiri. Aspek kedua adalah landasan idil (Pancasila). Sistem kasta tidak sesuai dengan sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Perbedaan strata sosial berdampak pada perbedaan hak dan kewajiban masing-masing golongan (Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra). Sejauh ini golongan Tri Wangsa (Brahmana, Ksatria, dan Waisya) yang dianggap memiliki status sosial lebih tinggi, mendapatkan hak yang lebih besar daripada kewajiban yang harus mereka penuhi. Berbeda dengan golongan Sudra yang biasanya mendapatkan kewajiban yang lebih besar daripada hak yang mereka dapatkan. Dilihat dari keseimbangan hak dan kewajiban yang harus mereka penuhi,terlihat banyak ketimpangan yang disebabkan oleh sistem kasta itu sendiri. Keadilan dalam hak dan keseimbangan antar golongan pun tidak dapat tercapai dengan baik dan maksimal. Landasan operasional (Undang-Undang Dasar 1945) merupakan landasan ketiga yang patut diperhitungkan. Landasan ini sangat tegas melindungi adanya perlakuan diskrimainatif yang terjadi pada penerapan sistem kasta di Bali. Misalnya diskriminasi pada pernikahan beda kasta di Bali, prosesi adat kembar buncing, dan etika andrawina di Bali. Pernikahan beda kasta di Bali kerap kali berujung pada pergeseran hak dan kewajiban antara golongan tinggi dan golongan rendah. Pria dari golongan tinggi jika menikah dengan wanita dari golongan rendah, maka wanita tersebut akan dianggap naik status sosialnya. Banyak hal yang didapatkan wanita dari golongan rendah ini, seperti perubahan nama, perlakuan khusus dan hal-

hal spesial lainnya. Akan tetapi ada sesuatu yang harus mereka bayar mahal karena kenaikan status sosial mereka. Salah satu di antaranya adalah pada saat orang tua si wanita meninggal, ia dilarang untuk menyumbah jenazah orang tuanya. Dalam pandangan Hindu, menyumbah adalah prosesi penghormatan yang paling penting sebelum jenazah di bakar (Ngaben). Di lain pihak, jika wanita dari golongan tinggi menikah dengan pria dari golongan rendah, maka si wanita harus melepaskan kasta atau status sosial yang dimiliki sebelumnya, hal ini biasa disebut nyerod. Pernikahannya pun tidak bisa berlangsung seperti pernikahan normal, karena harus melakukan tradisi kawin lari. Konsekuensi terberat adalah ketika pihak keluarga wanita tidak mengakui pernikahan tersebut dan mengasingkan pihak wanitan beberapa tahun karena dianggap menurunkan strata keluarga. Hal senada juga terjadi ketika kembar buncing dari golongan Sudra harus diasingkan ke kuburan sedangkan kembar buncing dari golongan Tri Wangsa kelahirannya dirayakan secara meriah. Contoh diskriminasi yang paling sering terjadi adalah ketika proses andrawina. Jamuan makan bersama antara golongan Tri Wangsa dengan golongan Sudra akan jelas terlihat saat kesempatan untuk menyantap makanan disilakan dari strata yang paling tinggi. Ketiga contoh ini jelas bertentangan dengan landasan operasional di Negara Indonesia. Berikut ini beberapa pasal yang mendukung penghapusan sistem kasta di Bali, pasal 28 I ayat (1): Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak azasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. pasal 28 I ayat (2): Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Kedua pasal tersebut relevan sebagai referensi autentik untuk menghapuskan diskriminasi akibat penerapan sistem kasta di Bali. Aspek keempat adalah landasan riil (kondisi di lapangan). Sistem pengelompokan masyarakat berdasarkan kasta pada abad ke-16 ditujukan untuk mengatur jalannya pemerintahan melalui pembagian profesi atau keahlian. Sistem ini mengkristal sebagai sebuah atribut 3 yang merepresentasikan tingkat

kesejahteraan masyarakat. Golongan Tri Wangsa (Brahmana, Ksatria, dan Waisya) cenderung memiliki kondisi perekonomian yang lebih baik dibandingkan golongan Sudra. Hal itu membuat Tri Wangsa lengkap dengan tiga kekuatannya pada era tersebut: power (pengaruh), position (jabatan), dan wealth (kesejahteraan). Namun pada era pembangunan ini, tiga kekuatan tersebut tidak terpusat pada golongan Tri Wangsa saja. Strata sosial berdasarkan kasta tidak lagi banyak berpengaruh. Siapa saja bisa berpengaruh asalkan memiliki power (pengaruh), position (jabatan), dan wealth (kesejahteraan). Tidak peduli dia golongan Brahmana, Ksatria, Waisya, ataupun Sudra. Masyarakat membutuhkan figure yang memiliki kekuatan tersebut, dan bukan semata-mata karena kekuasaan yang diwariskan. Hal tersebut didukung oleh kenyataan bahwa banyak golongan Tri Wangsa yang hanya mengandalkan warisan nama (gelar) tanpa memiliki kekuasaan, pengaruh, jabatan, ataupun kondisi perekonomian yang mapan. Hal inilah yang membuat eksistensi kasta sudah tidak relevan pada zaman ini. Keempat landasan tersebut harus ditindaklanjuti dengan sebuah tindakan nyata menuju perubahan yang mengantarkan kemurnian nilai-nilai yang terkandung pada landasan tersebut. Tindakan yang pertama yaitu mengubah mindset yang berkembang di masyarakat bahwa sistem kasta adalah sebuah warisan. Hal ini harus segera diluruskan dengan menanamkan pengertian bahwa sistem kasta adalah dinamika yang responsif dan bertumpu pada klasifikasi fungsionaris. Hal kedua yang bisa dilakukan adalah memperbaiki mental masyarakat secara psikologis. Masyarakat golongan rendah terbelenggu oleh doktrin bertahun-tahun bahwa diskriminasi yang diterimanya adalah suatu kepantasan atau hal yang wajar. Masyarakat mempercayai bahwa golongan tinggi harus dihormati dan berhak atas keistimewaan yang berlaku sebagai konsekuensi dari atribut sosial yang dimilikinya. Solusi ketiga yang menjadi titik tolak dari perubahan ini adalah sikap. Bagaimana golongan Tri Wangsa bersikap terhadap golongan Sudra dalam tataran norma, agama, dan nilai-nilai yang bijak. Serta bagaimana golongan Sudra memperjuangkan dirinya sebagai manusia yang memiliki persamaan hak dan kewajiban di mata agama dan hukum. Hal ini harus dimulai dari kualitas hati yang baik. Sejauh mana manusia mampu mengetuk hatinya dari dalam, seperti sebuah ungkapan dari Mario Teguh:

Kualitas sikap ditentukan oleh kualitas pikiran, dan kualitas pikiran ditentukan oleh kualitas hati. Sebuah tindakan akan lebih bermakna bila disadari alasannya. Ada banyak alasan mengapa beberapa tradisi harus dipertahankan demi keajegan Bali. Namun tradisi-tradisi tersebut harus dipilah dan dipilih untuk mengetahui sisi positif dan negatifnya. Dengan mengetahui banyaknya sisi positif dibandingkan sisi negatif dari suatu tradisi, maka dengan tegas tradisi tersebut bisa digolongkan sebagai tradisi yang patut dipertahankan. Dalam hal ini tradisi kasta di Bali memiliki sisi positif dalam menumbuhkan keanekaragaman budaya lokal yang dilahirkan dari strata-strata yang berbeda (busana, bahasa, prosesi adat, rumah). Sedangkan sisi negatif yang dimunculkan lebih banyak bertentangan dengan landasan spiritual, landasan idiil, landasan operasional, dan landasan riil. Hal inilah yang mengantarkan pada kesimpulan bahwa sistem kasta di Bali harus dihapuskan secara bertahap melalui tiga perubahan mendasar: perubahan pemikiran, perubahan mental, dan perubahan sikap.

DAFTAR PUSTAKA Ensiklopedia Americana. 2002. Journal Volume 5. 5

Sukardika, Ketut. 2002. Menata Bali ke Depan. Denpasar: CV Bali Media Adhikarsa Anonim.2008.UUD 1945. Yogyakarta: Indonesiatera

Anda mungkin juga menyukai