UPBJJ : Yogyakarta
Secara sederhana gaya asuh otoriter adalah gaya asuh di mana orangtua memaksakan
kehendaknya tanpa begitu memperhatikan atau mempedulikan bagaimana perspektif
sang anak.
Gaya asuh orangtua berwibawa adalah gaya asuh di mana orangtua menjadi panutan
yang teladan, memberikan batasan yang cermat untuk putra -putrinya, dan
memberikan pujian untuk upaya yang telah putra-putrinya lakukan.
Gaya asuh permisif adalah gaya asuh di mana orangtua tidak memberikan batasan
kepada anak-anaknya, semisal tidak memberikan garis yang jelas apa yang boleh
dilakukan atau tidak. Memercayakan putra -putrinya untuk melakukan apa yang ia
inginkan, cenderung tidak mengintervensi kecuali untuk hal yang bersifat sangat
serius.
Gaya asuh overprotektif adalah gaya asuh di mana orangtua sangat melindungi putra -
putrinya dari segala hal buruk, rasa sakit, pengalaman yang buruk, dan lain -lain.
Karena itu banyak membatasi putra-putrinya di berbagai aspek.
Pernahkah Anda melihat di media seperti film atau kartun digambarkan bahwa anak -
anak di Jepang merupakan anak yang patuh? Walaupun di balik itu terdapat unsur
kompetitif yang muncul karena adanya harapan orangtua agar putra -putrinya dapat
lulus masuk ke sekolah atau kampus yang bergengsi.
Tentunya unsur kompetitif di satu sisi merupakan hal yang positif, tetapi karena
tingkat kompetitif yang tinggi dari harapan orangtua membuat putra -putri merasa
tertekan. Bagaimanakah stereotip mengasuh ala orangtua di Jepang yan g dapat kita
lihat sebagai hal yang positif?
1. Hubungan antara orangtua dan anak yang sangat dekat
Ibu dan anak memiliki hubungan yang sangat dekat. Setidaknya sampai usia 5 tahun
anak tidur bersama orangtuanya. Ibu juga selalu menemani di manapun anaknya
berada.
Tidak jarang dapat dilihat bahwa ibu menggendong anaknya sambil melakukan
kegiatan rumah seperti menyapu, memasak, berbelanja, dan lain-lain. Bahkan hampir
setiap perempuan yang telah melahirkan dan menjadi ibu rela untuk berhenti bekerja
dan fokus untuk mendidik anaknya di rumah.
Pada usia antara 0-5 tahun, anak diperbolehkan melakukan apa saja. Mungkin budaya
ini sedikit berbeda dengan negara lain. Yang dimaksud diperbolehkan melakukan apa
saja adalah membiarkan anak berksplorasi dengan kegiatan yang ia lakukan.
Namun orangtua tetap menstimulus dengan hal yang positif dan menjadi role model
yang baik. Filosofi ini menunjukan, dengan anak dibiarkan aktif menandaka n bahwa
sang anak tumbuh sehat.
Pada usia 0-5 tahun, anak juga diajak untuk bersosialisasi dengan keluarga dan kerabat
sehingga dapat lebih mengenal saudara dan sosial. Orangtua di Jep ang juga
beranggapan bahwa sebisa mungkin menemani putra -putrinya sehingga anak
merasakan kasih sayang orangtuanya.
2. Orang tua adalah cerminan anak
Studi di Amerika dan Jepang pernah dilakukan untuk mengetahui bagaimana orangtua
mengasuh anaknya. Orangtua di Amerika cenderung bersifat netral dan menunjukan
anak cara untuk membuat suatu piramida, sesudah itu membiarkan anaknya untuk
membuat piramida dengan apa yang telah diajarkan atau dengan caranya sendiri.
Sedangkan orangtua Jepang cenderung mentransmisikan apa yang ia lakukan kepada
anaknya, sehingga orang tua sepenuhnya menjadi role model bagi ana knya.
Setelah fase usia 5 tahun di mana anak boleh bereksplorasi melakukan sesuatu, lalu
usia 5-15 tahun anak mulai diajari untuk melakukan kegiatan seperti membersihkan
rumah, belajar untuk disiplin, dan melakukan apa yang dilakukan oleh orangtua.
Fase ini mengajari anak-anak untuk dapat berkontribusi melakukan cara-cara yang
telah dilakukan secara turun temurun. Fase ini orangtua memberikan batasan yang
jelas mengenai hak dan kewajiban, apa yang boleh dilakukan atau tidak.
Oleh karena itu kegiatan pendidikan moral di sekolah juga mulai diajarkan tidak hanya
sebagai mata pelajaran dan diselipkan di mata pelajaran lain, tetapi juga anak
diberikan ruang untuk melakukan kegiatan sosial seperti saling melayani, kegiatan
makan siang di sekolah, dan kegiatan lain yang juga kerap dilakuka n di sekolah-sekolah
Indonesia.
Kegiatan sekolah dan rumah yang bersifat rutin, meskipun terkesan monoton
merupakan cara Jepang untuk menbuat anak-anak belajar untuk disiplin.
3. Orangtua dan anak adalah setara
Setelah anak berusia 15 tahun, orang tua mulai memberikan ruang untuk anak dapat
lebih mandiri dengan mengurangi batasan yang diterapkan pada fase sebelumnya.
Hubungan tidak hanya sebagai orangtua dan anak, tetapi juga sebagai teman dan
setara. Anak didukung untuk menjadi pribadi yang mandiri, dapat berpikir dan
menentukan pilihan dan lebih bersifat demokratis.
Fase ini untuk mempersiapkan anak melakukan kegiatan keterampilan bagi dirinya
sendiri dan keluarga serta belajar bertingkah laku yang baik dan sopan (menurut adat
Jepang). Anak diajarkan untuk mulai independen dan dipersiapkan untuk da pat siap
menjadi orang dewasa.
Setelah usia 20 tahun anak dianggap resmi menjadi dewa sa dengan biasanya diadakan
upacara hari kedewasaan yang diselenggarakan di distrik/kota setempat yang diikuti
oleh pemuda berusia 20 tahun.
4. Memperhatikan tentang perasaan dan emosi
Selain mengajari dan mempersiapkan anak untuk dapat hidup di komunitas sosial
masyarakat yang lebih luas, anak juga diberikan semangat untuk dapat memahami dan
menghormati perasaanya sendiri.
Orangtua mengajarkan anaknya untuk melakukan hal yang tidak mempermalukannya.
Contohnya tidak menegur anaknya atau menasehati anaknya di muka umum ketika
melakukan hal yang dirasa kurang pantas.
Orangtua memilih menunggu situasi dan tempat yang lebih privasi untuk
menasehatinya. Anak diajarkan untuk dapat memiliki sikap empati dan saling
menghormati orang lain.
Orangtua di Jepang tidak menggangap gaya asuh mereka menjadi gaya asuh yang
terbaik. Begitu pula dewasa ini nilai budaya barat pun menginsipirasi cara orangtua di
Jepang mendidik anaknya. Namun meskipun terjadi pergeseran dan perubahan, gaya
asuh orangtua di Jepang yang menyayangi putra-putrinya tidak berubah.
Setelah membaca sedikit stereotip gaya asuh orangtua di Jepang, dapat dipahami
bahwa gaya asuhnya merupakan perpaduan antara sedikit gaya permisif, gaya
authoritative (berwibawa).
Sumber:
https://www.kompasiana.com/buyungokita/%205f22b2a4d541df59d84bebe2/sisi-
positif-parenting-budaya-jepang?page=all#section2
Jawab :
Memperkukuh kedudukan
bahasa di era globalisasi
Bahasa Indonesia bagi Penutur
Asing (BIPA)
Membentuk organisasi profesi
Jawab :
Menurut saya masih perlu karena Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional
negara Indonesia. Hampir di semua daerah dan daerah pelosok Indonesia
menggunakan bahasa ini sebagai bahasa nasional. Jadi, sebagai warga negara
yang bijak , kita harus bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Bahasa adalah suatu sistem komunikasi dengan perantara bahasa itu sendiri,
yang tujuannya adalah informasi dapat saling memahami satu sama lain.
Karena bahasa Indonesia mampu menjadi pemersatu, terutama komunikasi
ratusan suku yang berbeda di Indonesia.
Contohnya : Pada saat seseorang dari desa ingin bekerja di kota, kemudian di
sana bertemulah dengan orang-orang yang berbeda suku, berbeda daerah,
maka dari situlah terjalin komunikasi menggunakan Bahasa Indonesia.
Menggunakan Bahasa Indonesia akan mempermudah berinteraksi antar
sesama.
2. Question (bertanya)
a. Apa saja jenis-jenis dalam gaya parenting?
b. Apa perbedaan cara asuh orang tua Amerika dan Jepang?
c. Bagaimana orang tua memberikan semangat anak untuk dapat
memahami dan menghormati perasaanya sendiri?
3. Read (membaca)
a. Terdapat 4 jenis gaya parenting, yaitu gaya asuh otoriter, berwibawa,
permisif, dan terlalu protektif.
b. Orangtua di Amerika cenderung bersifat netral dan menunjukan anak
cara untuk membuat suatu piramida.
Sedangkan orangtua Jepang cenderung mentransmisikan apa yang ia
lakukan kepada anaknya.
c. Orangtua mengajarkan anaknya untuk melakukan hal y ang tidak
mempermalukannya. Contohnya tidak menegur anaknya atau
menasehati anaknya di muka umum ketika melakukan hal yang dirasa
kurang pantas.
Orangtua memilih menunggu situasi dan tempat yang lebih privasi
untuk menasehatinya. Anak diajarkan untuk dapat memiliki sikap
empati dan saling menghormati orang lain.
5. Review (Mengulangi)
Terdapat 4 jenis gaya parenting, yaitu gaya asuh otoriter, berwibawa,
permisif, dan terlalu protektif.
1. Hubungan antara orangtua dan anak yang sangat dekat
Ibu dan anak memiliki hubungan yang sangat dekat. Setidaknya sampai
usia 5 tahun anak tidur bersama orangtuanya. Ibu juga selalu menemani
di manapun anaknya berada.
2. Orang tua adalah cerminan anak
Studi di Amerika dan Jepang pernah dilakukan untuk mengetahui
bagaimana orangtua mengasuh anaknya. Orangtua di Amerika cenderung
bersifat netral dan menunjukan anak cara untuk membuat suatu
piramida, sesudah itu membiarkan anaknya untuk membuat piramida
dengan apa yang telah diajarkan atau dengan caranya sendiri.
3. Orangtua dan anak adalah setara
Setelah anak berusia 15 tahun, orang tua mulai memberikan ruang untuk
anak dapat lebih mandiri dengan mengurangi batasan yang d iterapkan
pada fase sebelumnya.
4. Memperhatikan tentang perasaan dan emosi
Selain mengajari dan mempersiapkan anak untuk dapat hidup di
komunitas sosial masyarakat yang lebih luas, anak juga diberikan
semangat untuk dapat memahami dan menghormati perasaanya sendiri.
Setelah membaca sedikit stereotip gaya asuh orangtua di Jepang, dapat
dipahami bahwa gaya asuhnya merupakan perpaduan antara sedikit gaya
permisif, gaya authoritative (berwibawa).