Anda di halaman 1dari 4

BAHASA INDONESIA

( tugas 1 )

Kerjakanlah soal-soal berikut ini dengan baik.

1. Jelaskanlah perkembangan (peningkatan) bahasa Indonesia berdasarkan hasil kongres


VII s.d. XI dengan menggunakan peta konsep (mind mapping).
2. Masih perlukah bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia saat ini? Penjelasan Anda
harus disertai dengan alasan yang logis dan disertai contoh.
3. Bacalah artikel berikut dengan menerapkan teknik SQ3R!

Sisi Positif Parenting Budaya Jepang

Oleh: Buyung Okita

Parenting menjadi isu yang hangat dewasa ini. Semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk
lebih mempelajari bagaimana ilmu-ilmu parenting agar dapat diimplementasikan bagi putra-
putrinya, atau sebagai bekal untuk membina rumah tangga di kemudian hari.

Secara sederhana terdapat 4 jenis gaya parenting, yaitu gaya asuh otoriter, berwibawa,
permisif, dan terlalu protektif. berikut adalah sedikit penjelasan mengenai keempat gaya asuh
tersebut. 

Secara sederhana gaya asuh otoriter adalah gaya asuh di mana orangtua memaksakan
kehendaknya tanpa begitu memperhatikan atau mempedulikan bagaimana perspektif sang
anak.

Gaya asuh orangtua berwibawa adalah gaya asuh di mana orangtua menjadi panutan yang
teladan, memberikan batasan yang cermat untuk putra-putrinya, dan memberikan pujian
untuk upaya yang telah putra-putrinya lakukan.

Gaya asuh permisif adalah gaya asuh di mana orangtua tidak memberikan batasan kepada
anak-anaknya, semisal tidak memberikan garis yang jelas apa yang boleh dilakukan atau
tidak. Memercayakan putra-putrinya untuk melakukan apa yang ia inginkan, cenderung tidak
mengintervensi kecuali untuk hal yang bersifat sangat serius.

Gaya asuh overprotektif adalah gaya asuh di mana orangtua sangat melindungi putra-putrinya
dari segala hal buruk, rasa sakit, pengalaman yang buruk, dan lain-lain. Karena itu banyak
membatasi putra-putrinya di berbagai aspek.

Pernahkah Anda melihat di media seperti film atau kartun digambarkan bahwa anak-anak
di Jepang merupakan anak yang patuh? Walaupun di balik itu terdapat unsur kompetitif yang
muncul karena adanya harapan orangtua agar putra-putrinya dapat lulus masuk
ke sekolah atau kampus yang bergengsi. 

Tentunya unsur kompetitif di satu sisi merupakan hal yang positif, tetapi karena tingkat
kompetitif yang tinggi dari harapan orangtua membuat putra-putri merasa tertekan.
Bagaimanakah stereotip mengasuh ala orangtua di Jepang yang dapat kita lihat sebagai hal
yang positif?
1. Hubungan antara orangtua dan anak yang sangat dekat

Ibu dan anak memiliki hubungan yang sangat dekat. Setidaknya sampai usia 5 tahun anak
tidur bersama orangtuanya. Ibu juga selalu menemani di manapun anaknya berada. 

Tidak jarang dapat dilihat bahwa ibu menggendong anaknya sambil melakukan kegiatan
rumah seperti menyapu, memasak, berbelanja, dan lain-lain. Bahkan hampir setiap
perempuan yang telah melahirkan dan menjadi ibu rela untuk berhenti bekerja dan fokus
untuk mendidik anaknya di rumah. 

Pada usia antara 0-5 tahun, anak diperbolehkan melakukan apa saja. Mungkin budaya ini
sedikit berbeda dengan negara lain. Yang dimaksud diperbolehkan melakukan apa saja adalah
membiarkan anak berksplorasi dengan kegiatan yang ia lakukan.

Namun orangtua tetap menstimulus dengan hal yang positif dan menjadi role model yang
baik. Filosofi ini menunjukan, dengan anak dibiarkan aktif menandakan bahwa sang anak
tumbuh sehat.

Pada usia 0-5 tahun, anak juga diajak untuk bersosialisasi dengan keluarga dan kerabat
sehingga dapat lebih mengenal saudara dan sosial. Orangtua di Jepang juga beranggapan
bahwa sebisa mungkin menemani putra-putrinya sehingga anak merasakan kasih sayang
orangtuanya. 

2. Orang tua adalah cerminan anak

Studi di Amerika dan Jepang pernah dilakukan untuk mengetahui bagaimana orangtua
mengasuh anaknya. Orangtua di Amerika cenderung bersifat netral dan menunjukan anak
cara untuk membuat suatu piramida, sesudah itu membiarkan anaknya untuk membuat
piramida dengan apa yang telah diajarkan atau dengan caranya sendiri. 

Sedangkan orangtua Jepang cenderung mentransmisikan apa yang ia lakukan kepada


anaknya, sehingga orang tua sepenuhnya menjadi role model bagi anaknya.

Setelah fase usia 5 tahun di mana anak boleh bereksplorasi melakukan sesuatu, lalu usia 5-15
tahun anak mulai diajari untuk melakukan kegiatan seperti membersihkan rumah, belajar
untuk disiplin, dan melakukan apa yang dilakukan oleh orangtua. 

Fase ini mengajari anak-anak untuk dapat berkontribusi melakukan cara-cara yang telah
dilakukan secara turun temurun. Fase ini orangtua memberikan batasan yang jelas mengenai
hak dan kewajiban, apa yang boleh dilakukan atau tidak. 

Oleh karena itu kegiatan pendidikan moral di sekolah juga mulai diajarkan tidak hanya
sebagai mata pelajaran dan diselipkan di mata pelajaran lain, tetapi juga anak diberikan ruang
untuk melakukan kegiatan sosial seperti saling melayani, kegiatan makan siang di sekolah,
dan kegiatan lain yang juga kerap dilakukan di sekolah-sekolah Indonesia.

Kegiatan sekolah dan rumah yang bersifat rutin, meskipun terkesan monoton merupakan cara
Jepang untuk menbuat anak-anak belajar untuk disiplin.

3. Orangtua dan anak adalah setara


Setelah anak berusia 15 tahun, orang tua mulai memberikan ruang untuk anak dapat lebih
mandiri dengan mengurangi batasan yang diterapkan pada fase sebelumnya.

Hubungan tidak hanya sebagai orangtua dan anak, tetapi juga sebagai teman dan setara. Anak
didukung untuk menjadi pribadi yang mandiri, dapat berpikir dan menentukan pilihan dan
lebih bersifat demokratis.

Fase ini untuk mempersiapkan anak melakukan kegiatan keterampilan bagi dirinya sendiri
dan keluarga serta belajar bertingkah laku yang baik dan sopan (menurut adat Jepang). Anak
diajarkan untuk mulai independen dan dipersiapkan untuk dapat siap menjadi orang dewasa. 

Setelah usia 20 tahun anak dianggap resmi menjadi dewasa dengan biasanya diadakan
upacara hari kedewasaan yang diselenggarakan di distrik/kota setempat yang diikuti oleh
pemuda berusia 20 tahun. 

4. Memperhatikan tentang perasaan dan emosi

Selain mengajari dan mempersiapkan anak untuk dapat hidup di komunitas sosial masyarakat
yang lebih luas, anak juga diberikan semangat untuk dapat memahami dan menghormati
perasaanya sendiri.

Orangtua mengajarkan anaknya untuk melakukan hal yang tidak mempermalukannya.


Contohnya tidak menegur anaknya atau menasehati anaknya di muka umum ketika
melakukan hal yang dirasa kurang pantas.

Orangtua memilih menunggu situasi dan tempat yang lebih privasi untuk menasehatinya.
Anak diajarkan untuk dapat memiliki sikap empati dan saling menghormati orang lain.

Orangtua di Jepang tidak menggangap gaya asuh mereka menjadi gaya asuh yang terbaik.
Begitu pula dewasa ini nilai budaya barat pun menginsipirasi cara orangtua di Jepang
mendidik anaknya. Namun meskipun terjadi pergeseran dan perubahan, gaya asuh orangtua
di Jepang yang menyayangi putra-putrinya tidak berubah.

Setelah membaca sedikit stereotip gaya asuh orangtua di Jepang, dapat dipahami bahwa gaya
asuhnya merupakan perpaduan antara sedikit gaya permisif, gaya authoritative (berwibawa).

Sumber: https://www.kompasiana.com/buyungokita/%205f22b2a4d541df59d84bebe2/sisi-
positif-parenting-budaya-jepang?page=all#section2

Jawablah pertanyaan berikut ini berdasarkan artikel di atas.

1. Berdasarkan hasil survey (meninjau) Anda, topik/subtopik apa saja yang menurut


Anda penting?
2. Tuliskan daftar pertanyaan (question) berkaitan dengan informasi yang Anda perlukan
pada bacaan tersebut.
3. Berdasarkan hasil membaca (read) Anda, Informasi apa yang Andaperoleh dari
bacaan tersebut.
4. Ceritakan/jelaskan (recite) pengalaman membaca Anda berkaitan dengan
bacaan/wacana tersebut.
5. Berdasarkan langkah akhir dari SQ3R (review), apakah informasi yang Anda perlukan
sesuai daftar pertanyaan sudah cukup?

Jawaban :

Anda mungkin juga menyukai