Anda di halaman 1dari 6

Opened: 

Monday, 17 October 2022, 12:00 AM


Due: Monday, 31 October 2022, 3:00 PM
Kerjakanlah soal-soal berikut ini dengan baik.
1. Jelaskanlah perkembangan (peningkatan) bahasa
Indonesia berdasarkan hasil kongres VII s.d. XI dengan
menggunakan peta konsep (mind mapping).
2. Masih perlukah bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia
saat ini? Penjelasan Anda harus disertai dengan alasan
yang logis dan disertai contoh.
3. Bacalah artikel berikut dengan menerapkan teknik
SQ3R!
Sisi Positif Parenting Budaya Jepang
Oleh: Buyung Okita 
Parenting menjadi isu yang hangat dewasa ini. Semakin tinggi
kesadaran masyarakat untuk lebih mempelajari bagaimana
ilmu-ilmu parenting agar dapat diimplementasikan bagi putra-
putrinya, atau sebagai bekal untuk membina rumah tangga di
kemudian hari.
Secara sederhana terdapat 4 jenis gaya parenting, yaitu gaya
asuh otoriter, berwibawa, permisif, dan terlalu protektif.
berikut adalah sedikit penjelasan mengenai keempat gaya
asuh tersebut. 
Secara sederhana gaya asuh otoriter adalah gaya asuh di mana
orangtua memaksakan kehendaknya tanpa begitu
memperhatikan atau mempedulikan bagaimana perspektif
sang anak.
Gaya asuh orangtua berwibawa adalah gaya asuh di mana
orangtua menjadi panutan yang teladan, memberikan batasan
yang cermat untuk putra-putrinya, dan memberikan pujian
untuk upaya yang telah putra-putrinya lakukan.
Gaya asuh permisif adalah gaya asuh di mana orangtua tidak
memberikan batasan kepada anak-anaknya, semisal tidak
memberikan garis yang jelas apa yang boleh dilakukan atau
tidak. Memercayakan putra-putrinya untuk melakukan apa
yang ia inginkan, cenderung tidak mengintervensi kecuali
untuk hal yang bersifat sangat serius.
Gaya asuh overprotektif adalah gaya asuh di mana orangtua
sangat melindungi putra-putrinya dari segala hal buruk, rasa
sakit, pengalaman yang buruk, dan lain-lain. Karena itu
banyak membatasi putra-putrinya di berbagai aspek.
Pernahkah Anda melihat di media seperti film atau kartun
digambarkan bahwa anak-anak di Jepang merupakan anak
yang patuh? Walaupun di balik itu terdapat unsur kompetitif
yang muncul karena adanya harapan orangtua agar putra-
putrinya dapat lulus masuk ke sekolah atau kampus yang
bergengsi. 
Tentunya unsur kompetitif di satu sisi merupakan hal yang
positif, tetapi karena tingkat kompetitif yang tinggi dari
harapan orangtua membuat putra-putri merasa tertekan.
Bagaimanakah stereotip mengasuh ala orangtua di Jepang
yang dapat kita lihat sebagai hal yang positif?
1. Hubungan antara orangtua dan anak yang sangat dekat
Ibu dan anak memiliki hubungan yang sangat dekat.
Setidaknya sampai usia 5 tahun anak tidur bersama
orangtuanya. Ibu juga selalu menemani di manapun anaknya
berada. 
Tidak jarang dapat dilihat bahwa ibu menggendong anaknya
sambil melakukan kegiatan rumah seperti menyapu,
memasak, berbelanja, dan lain-lain. Bahkan hampir setiap
perempuan yang telah melahirkan dan menjadi ibu rela untuk
berhenti bekerja dan fokus untuk mendidik anaknya di
rumah. 
Pada usia antara 0-5 tahun, anak diperbolehkan melakukan
apa saja. Mungkin budaya ini sedikit berbeda dengan negara
lain. Yang dimaksud diperbolehkan melakukan apa saja
adalah membiarkan anak berksplorasi dengan kegiatan yang
ia lakukan.
Namun orangtua tetap menstimulus dengan hal yang positif
dan menjadi role model yang baik. Filosofi ini menunjukan,
dengan anak dibiarkan aktif menandakan bahwa sang anak
tumbuh sehat.
Pada usia 0-5 tahun, anak juga diajak untuk bersosialisasi
dengan keluarga dan kerabat sehingga dapat lebih mengenal
saudara dan sosial. Orangtua di Jepang juga beranggapan
bahwa sebisa mungkin menemani putra-putrinya sehingga
anak merasakan kasih sayang orangtuanya. 
2. Orang tua adalah cerminan anak
Studi di Amerika dan Jepang pernah dilakukan untuk
mengetahui bagaimana orangtua mengasuh anaknya.
Orangtua di Amerika cenderung bersifat netral dan
menunjukan anak cara untuk membuat suatu piramida,
sesudah itu membiarkan anaknya untuk membuat piramida
dengan apa yang telah diajarkan atau dengan caranya sendiri. 
Sedangkan orangtua Jepang cenderung mentransmisikan apa
yang ia lakukan kepada anaknya, sehingga orang tua
sepenuhnya menjadi role model bagi anaknya.
Setelah fase usia 5 tahun di mana anak boleh bereksplorasi
melakukan sesuatu, lalu usia 5-15 tahun anak mulai diajari
untuk melakukan kegiatan seperti membersihkan rumah,
belajar untuk disiplin, dan melakukan apa yang dilakukan
oleh orangtua. 
Fase ini mengajari anak-anak untuk dapat berkontribusi
melakukan cara-cara yang telah dilakukan secara turun
temurun. Fase ini orangtua memberikan batasan yang jelas
mengenai hak dan kewajiban, apa yang boleh dilakukan atau
tidak. 
Oleh karena itu kegiatan pendidikan moral di sekolah juga
mulai diajarkan tidak hanya sebagai mata pelajaran dan
diselipkan di mata pelajaran lain, tetapi juga anak diberikan
ruang untuk melakukan kegiatan sosial seperti saling
melayani, kegiatan makan siang di sekolah, dan kegiatan lain
yang juga kerap dilakukan di sekolah-sekolah Indonesia.
Kegiatan sekolah dan rumah yang bersifat rutin, meskipun
terkesan monoton merupakan cara Jepang untuk menbuat
anak-anak belajar untuk disiplin.
3. Orangtua dan anak adalah setara
Setelah anak berusia 15 tahun, orang tua mulai memberikan
ruang untuk anak dapat lebih mandiri dengan mengurangi
batasan yang diterapkan pada fase sebelumnya.
Hubungan tidak hanya sebagai orangtua dan anak, tetapi juga
sebagai teman dan setara. Anak didukung untuk menjadi
pribadi yang mandiri, dapat berpikir dan menentukan pilihan
dan lebih bersifat demokratis.
Fase ini untuk mempersiapkan anak melakukan kegiatan
keterampilan bagi dirinya sendiri dan keluarga serta belajar
bertingkah laku yang baik dan sopan (menurut adat Jepang).
Anak diajarkan untuk mulai independen dan dipersiapkan
untuk dapat siap menjadi orang dewasa. 
Setelah usia 20 tahun anak dianggap resmi menjadi dewasa
dengan biasanya diadakan upacara hari kedewasaan yang
diselenggarakan di distrik/kota setempat yang diikuti oleh
pemuda berusia 20 tahun. 
4. Memperhatikan tentang perasaan dan emosi
Selain mengajari dan mempersiapkan anak untuk dapat hidup
di komunitas sosial masyarakat yang lebih luas, anak juga
diberikan semangat untuk dapat memahami dan menghormati
perasaanya sendiri.
Orangtua mengajarkan anaknya untuk melakukan hal yang
tidak mempermalukannya. Contohnya tidak menegur anaknya
atau menasehati anaknya di muka umum ketika melakukan
hal yang dirasa kurang pantas.
Orangtua memilih menunggu situasi dan tempat yang lebih
privasi untuk menasehatinya. Anak diajarkan untuk dapat
memiliki sikap empati dan saling menghormati orang lain.
Orangtua di Jepang tidak menggangap gaya asuh mereka
menjadi gaya asuh yang terbaik. Begitu pula dewasa ini nilai
budaya barat pun menginsipirasi cara orangtua di Jepang
mendidik anaknya. Namun meskipun terjadi pergeseran dan
perubahan, gaya asuh orangtua di Jepang yang menyayangi
putra-putrinya tidak berubah.
Setelah membaca sedikit stereotip gaya asuh orangtua di
Jepang, dapat dipahami bahwa gaya asuhnya merupakan
perpaduan antara sedikit gaya permisif,
gaya authoritative (berwibawa).
Sumber: https://www.kompasiana.com/buyungokita/
%205f22b2a4d541df59d84bebe2/sisi-positif-parenting-
budaya-jepang?page=all#section2
Jawablah pertanyaan berikut ini berdasarkan artikel di atas.
1. Berdasarkan hasil survey (meninjau) Anda,
topik/subtopik apa saja yang menurut Anda penting?
2. Tuliskan daftar pertanyaan (question) berkaitan dengan
informasi yang Anda perlukan pada bacaan tersebut.
3. Berdasarkan hasil membaca (read) Anda, Informasi apa
yang Andaperoleh dari bacaan tersebut.
4. Ceritakan/jelaskan (recite) pengalaman membaca Anda
berkaitan dengan bacaan/wacana tersebut.
5. Berdasarkan langkah akhir dari SQ3R (review), apakah
informasi yang Anda perlukan sesuai daftar pertanyaan
sudah cukup?
Susunlah tugas saudara dengan mengacu pada modul MKWU
4108 bahasa Indonesia pada halaman 3.25 s.d. 3.30

Anda mungkin juga menyukai