Anda di halaman 1dari 7

Nama : Wari Anindya Palastri

NIM : 044570383
Jurusan : S1 Manajemen

Kerjakanlah soal-soal berikut ini dengan baik.

1.Jelaskanlah perkembangan (peningkatan) bahasa Indonesia berdasarkan hasil


kongres VII s.d. XI dengan menggunakan peta konsep (mind mapping).
2.Masih perlukah bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia saat ini? Penjelasan
Anda harus disertai dengan alasan yang logis dan disertai contoh!

Jawaban :

Menurut saya, bangsa Indonesia masih sangat memerlukan bahasa Indonesia,


karena bahasa Indonesia merupakan ciri khas dari bangsa Indonesia. Tidak hanya
itu, bahasa Indonesia juga berperan penting untuk menjadi bahasa yang
menghubungkan keanekaragaman bahasa dan budaya yang ada di Indonesia.
Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki banyak bahasa
daerah, bahkan di setiap daerah memiliki bahasanya masing-masing. Fungsi bahasa
Indonesia disini sebagai alat untuk berkomunikasi apabila kita berkunjung ke suatu
tempat atau daerah tetapi kita tidak bisa berbicara bahasa daerah tersebut, maka
bahasa Indonesia-lah yang menjadi jembatan untuk berkomunikasi.

Contohnya adalah ketika ada seorang pria dari Bandung berkunjung ke Jogja untuk
kepentingan pekerjaannya sebagai jurnalis. Kendala utamanya adalah ia tidak bisa
berbahasa Jawa, maka ia berinisiatif menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana
komunikasi dengan warga sekitar. Ia mewawancarai narasumber menggunakan
bahasa Indonesia agar ia mendapatkan informasi yang ia cari. Dengan begitu warga
sekitar pun paham bahwa ketika seseorang dari luar daerah mereka menggunakan
bahasa Indonesia untuk berkomunikasi, itu menjelaskan bahwa orang tersebut tidak
menguasai bahasa daerah mereka. Bahasa Indonesia juga sangat berperan penting di
dunia jurnalis, agar berita atau artikel yang mereka kerjakan dapat dibaca oleh
seluruh pembaca di Indonesia, maka harus disajikan menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar, karena apabila disajikan dalam bahasa Jawa, yang
memahami isi berita atau artikel tersebut hanyalah orang Jawa saja.

3.Bacalah artikel berikut dengan menerapkan teknik SQ3R!

Sisi Positif Parenting Budaya Jepang

Oleh: Buyung Okita

Parenting menjadi isu yang hangat dewasa ini. Semakin tinggi kesadaran masyarakat
untuk lebih mempelajari bagaimana ilmu-ilmu parenting agar dapat
diimplementasikan bagi putra-putrinya, atau sebagai bekal untuk membina rumah
tangga di kemudian hari.

Secara sederhana terdapat 4 jenis gaya parenting, yaitu gaya asuh otoriter, berwibawa,
permisif, dan terlalu protektif. berikut adalah sedikit penjelasan mengenai keempat
gaya asuh tersebut. 

Secara sederhana gaya asuh otoriter adalah gaya asuh di mana orangtua memaksakan
kehendaknya tanpa begitu memperhatikan atau mempedulikan bagaimana perspektif
sang anak.

Gaya asuh orangtua berwibawa adalah gaya asuh di mana orangtua menjadi panutan
yang teladan, memberikan batasan yang cermat untuk putra-putrinya, dan
memberikan pujian untuk upaya yang telah putra-putrinya lakukan.
Gaya asuh permisif adalah gaya asuh di mana orangtua tidak memberikan batasan
kepada anak-anaknya, semisal tidak memberikan garis yang jelas apa yang boleh
dilakukan atau tidak. Memercayakan putra-putrinya untuk melakukan apa yang ia
inginkan, cenderung tidak mengintervensi kecuali untuk hal yang bersifat sangat
serius.

Gaya asuh overprotektif adalah gaya asuh di mana orangtua sangat melindungi putra-
putrinya dari segala hal buruk, rasa sakit, pengalaman yang buruk, dan lain-lain.
Karena itu banyak membatasi putra-putrinya di berbagai aspek.

Pernahkah Anda melihat di media seperti film atau kartun digambarkan bahwa anak-
anak di Jepang merupakan anak yang patuh? Walaupun di balik itu terdapat unsur
kompetitif yang muncul karena adanya harapan orangtua agar putra-putrinya dapat
lulus masuk ke sekolah atau kampus yang bergengsi. 

Tentunya unsur kompetitif di satu sisi merupakan hal yang positif, tetapi karena
tingkat kompetitif yang tinggi dari harapan orangtua membuat putra-putri merasa
tertekan. Bagaimanakah stereotip mengasuh ala orangtua di Jepang yang dapat kita
lihat sebagai hal yang positif?

1. Hubungan antara orangtua dan anak yang sangat dekat

Ibu dan anak memiliki hubungan yang sangat dekat. Setidaknya sampai usia 5 tahun
anak tidur bersama orangtuanya. Ibu juga selalu menemani di manapun anaknya
berada. 

Tidak jarang dapat dilihat bahwa ibu menggendong anaknya sambil melakukan
kegiatan rumah seperti menyapu, memasak, berbelanja, dan lain-lain. Bahkan hampir
setiap perempuan yang telah melahirkan dan menjadi ibu rela untuk berhenti bekerja
dan fokus untuk mendidik anaknya di rumah. 

Pada usia antara 0-5 tahun, anak diperbolehkan melakukan apa saja. Mungkin budaya
ini sedikit berbeda dengan negara lain. Yang dimaksud diperbolehkan melakukan apa
saja adalah membiarkan anak berksplorasi dengan kegiatan yang ia lakukan.

Namun orangtua tetap menstimulus dengan hal yang positif dan menjadi role
model yang baik. Filosofi ini menunjukan, dengan anak dibiarkan aktif menandakan
bahwa sang anak tumbuh sehat.

Pada usia 0-5 tahun, anak juga diajak untuk bersosialisasi dengan keluarga dan
kerabat sehingga dapat lebih mengenal saudara dan sosial. Orangtua di Jepang juga
beranggapan bahwa sebisa mungkin menemani putra-putrinya sehingga anak
merasakan kasih sayang orangtuanya. 

2. Orang tua adalah cerminan anak

Studi di Amerika dan Jepang pernah dilakukan untuk mengetahui bagaimana orangtua
mengasuh anaknya. Orangtua di Amerika cenderung bersifat netral dan menunjukan
anak cara untuk membuat suatu piramida, sesudah itu membiarkan anaknya untuk
membuat piramida dengan apa yang telah diajarkan atau dengan caranya sendiri. 
Sedangkan orangtua Jepang cenderung mentransmisikan apa yang ia lakukan kepada
anaknya, sehingga orang tua sepenuhnya menjadi role model bagi anaknya.

Setelah fase usia 5 tahun di mana anak boleh bereksplorasi melakukan sesuatu, lalu
usia 5-15 tahun anak mulai diajari untuk melakukan kegiatan seperti membersihkan
rumah, belajar untuk disiplin, dan melakukan apa yang dilakukan oleh orangtua. 

Fase ini mengajari anak-anak untuk dapat berkontribusi melakukan cara-cara yang
telah dilakukan secara turun temurun. Fase ini orangtua memberikan batasan yang
jelas mengenai hak dan kewajiban, apa yang boleh dilakukan atau tidak. 

Oleh karena itu kegiatan pendidikan moral di sekolah juga mulai diajarkan tidak


hanya sebagai mata pelajaran dan diselipkan di mata pelajaran lain, tetapi juga anak
diberikan ruang untuk melakukan kegiatan sosial seperti saling melayani, kegiatan
makan siang di sekolah, dan kegiatan lain yang juga kerap dilakukan di sekolah-
sekolah Indonesia.

Kegiatan sekolah dan rumah yang bersifat rutin, meskipun terkesan monoton
merupakan cara Jepang untuk menbuat anak-anak belajar untuk disiplin.

3. Orangtua dan anak adalah setara

Setelah anak berusia 15 tahun, orang tua mulai memberikan ruang untuk anak dapat
lebih mandiri dengan mengurangi batasan yang diterapkan pada fase sebelumnya.

Hubungan tidak hanya sebagai orangtua dan anak, tetapi juga sebagai teman dan
setara. Anak didukung untuk menjadi pribadi yang mandiri, dapat berpikir dan
menentukan pilihan dan lebih bersifat demokratis.

Fase ini untuk mempersiapkan anak melakukan kegiatan keterampilan bagi dirinya
sendiri dan keluarga serta belajar bertingkah laku yang baik dan sopan (menurut adat
Jepang). Anak diajarkan untuk mulai independen dan dipersiapkan untuk dapat siap
menjadi orang dewasa. 

Setelah usia 20 tahun anak dianggap resmi menjadi dewasa dengan biasanya diadakan
upacara hari kedewasaan yang diselenggarakan di distrik/kota setempat yang diikuti
oleh pemuda berusia 20 tahun. 

4. Memperhatikan tentang perasaan dan emosi

Selain mengajari dan mempersiapkan anak untuk dapat hidup di komunitas sosial
masyarakat yang lebih luas, anak juga diberikan semangat untuk dapat memahami dan
menghormati perasaanya sendiri.

Orangtua mengajarkan anaknya untuk melakukan hal yang tidak mempermalukannya.


Contohnya tidak menegur anaknya atau menasehati anaknya di muka umum ketika
melakukan hal yang dirasa kurang pantas.
Orangtua memilih menunggu situasi dan tempat yang lebih privasi untuk
menasehatinya. Anak diajarkan untuk dapat memiliki sikap empati dan saling
menghormati orang lain.

Orangtua di Jepang tidak menganggap gaya asuh mereka menjadi gaya asuh yang
terbaik. Begitu pula dewasa ini nilai budaya barat pun menginsipirasi cara orangtua di
Jepang mendidik anaknya. Namun meskipun terjadi pergeseran dan perubahan, gaya
asuh orangtua di Jepang yang menyayangi putra-putrinya tidak berubah.

Setelah membaca sedikit stereotip gaya asuh orangtua di Jepang, dapat dipahami
bahwa gaya asuhnya merupakan perpaduan antara sedikit gaya permisif,
gaya authoritative (berwibawa).

Sumber: https://www.kompasiana.com/buyungokita/
%205f22b2a4d541df59d84bebe2/sisi-positif-parenting-budaya-jepang?
page=all#section2

Jawablah pertanyaan berikut ini berdasarkan artikel di atas.

1. Berdasarkan hasil survey (meninjau) Anda, topik/subtopik apa saja yang


menurut Anda penting?

Jawaban :

Judul Sisi Positif Parenting Budaya Jepang


https://www.kompasiana.com/buyungokita/%205f22b2a4d541df59d84bebe2/sisi-
Sumber
positif-parenting-budaya-jepang?page=all#section2
Parenting menjadi isu hangat dewasa ini. Semakin tinggi kesadaran masyarakat
untuk lebih mempelajari bagaimana ilmu-ilmu parenting agar dapat
Bagian Pembuka diimplementasikan bagi putra-putrinya, atau sebagai bekal untuk membina rumah
tangga di masa depan. Terdapat 4 jenis gaya parenting yaitu gaya asuh otoriter,
berwibawa, permisif, dan terlalu protektif.
Hubungan antara orang tua dan anak yang sangat dekat, Orang tua adalah
Sub Judul cerminan anak, Orang tua dan anak adalah setara, Memperhatikan tentang
perasaan dan emosi.
Setelah membaca sedikit stereotip gaya asuh orang tua di Jepang, dapat dipahami
Bagian Penutup bahwa gaya asuhnya merupakan perpaduan antara sedikit gaya permisif, dan
gaya authoritative (berwibawa).
Penulis Buyung Okita
Tahun Terbit 2022

2. Tuliskan daftar pertanyaan (question) berkaitan dengan informasi yang


Anda perlukan pada bacaan tersebut!

Jawaban :

a. Apa saja jenis-jenis gaya parenting?


b. Apa saja fase gaya asuh Jepang?
c. Gaya asuh jenis apa yang diterapkan di Jepang?

3. Berdasarkan hasil membaca (read) Anda, Informasi apa yang Anda


peroleh dari bacaan tersebut?

Jawaban :

a. Jenis-jenis gaya parenting ada 4, yaitu gaya asuh otoriter, gaya asuh
berwibawa, gaya asuh permisif, dan gaya asuh terlalu protektif.
b. Fase gaya asuh orang tua di Jepang yaitu,
 Fase Balita (0-5 Tahun), anak diajak untuk bersosialisasi dengan
keluarga dan kerabat sehingga dapat lebih mengenal saudara dan
mudah bersosialisasi. Orang tua juga beranggapan bahwa sebisa
mungkin menemani putra-putrinya sehingga anak bisa merasakan kasih
sayang orangtuanya. 
 Fase Anak-Anak (5-15 Tahun), fase ini mengajari anak-anak untuk
dapat berkontribusi melakukan cara-cara yang telah dilakukan secara
turun-temurun. Pada fase ini orangtua memberikan batasan yang jelas
mengenai hak dan kewajiban anak, apa yang boleh dilakukan dan apa
yang tidak boleh dilakukan.
 Fase Remaja (15-20 Tahun), fase ini mempersiapkan anak-anak untuk
melakukan kegiatan keterampilan bagi dirinya sendiri dan keluarga,
serta bertingkah laku yang baik dan sopan (menurut adat Jepang). Anak
mulai diajarkan independent (mandiri) dan dipersiapkan untuk siap
menjadi orang dewasa.
c. Jenis gaya asuh orang tua di Jepang merupakan perpaduan antara sedikit
gaya asuh permisif dan gaya asuh authoritative (berwibawa).

4. Ceritakan/jelaskan (recite) pengalaman membaca Anda berkaitan dengan


bacaan/wacana tersebut!

Jawaban :

a. Jenis gaya asuh orang tua pada umumnya ada 4, yaitu:


1. Otoriter, orang tua memaksakan kehendaknya tanpa begitu
memperhatikan perspektif anak.
2. Berwibawa, orang tua menjadi panutan teladan bagi anak.
3. Permisif, orang tua tidak memberikan batasan pada anak.
4. Protektif, orang tua banyak memberikan batasan kepada anak.

b. Fase gaya asuh orang tua di Jepang :


1. Fase balita (0-5 tahun), fase ini hubungan anak dan orang tua sangat
dekat, sebisa mungkin orang tua menemani anak. Anak dibebaskan
bereksplorasi pada fase ini
2. Fase anak-anak (5-15 tahun), pada fase ini anak mulai diajak dan
diajarkan kedisiplinan dan mulai memberikan batasan-batasan.
3. Fase remaja (15-20 tahun), pada fase ini anak dipersiapkan untuk
menjadi dewasa. Orang tua memberikan ruang untuk anak menjadi
lebih mandiri, sehingga hubungan orang tua dan anak tidak hanya
sebatas orang tua tetapi juga menjadi teman.
c. Kesimpulan dari gaya asuh orang Jepang adalah perpaduan antara gaya
permisif dan gaya berwibawa, dimana anak diberikan kebebasan namun
peran orang tua tetap menjadi panutan bagi anak-anaknya.

5. Berdasarkan langkah akhir dari SQ3R (review), apakah informasi yang


Anda perlukan sesuai daftar pertanyaan sudah cukup?

Jawaban :

a. Apa saja jenis-jenis gaya parenting?


Ada 4 jenis parenting, yaitu otoriter, berwibawa, permisif, dan protektif.

b. Apa saja fase gaya asuh Jepang?


Di Jepang gaya asuh orang tua diterapkan pada beberapa fase, fase
pertama adalah fase balita (0-5 tahun), fase kedua adalah fase anak-anak
(5-15 tahun) dan fase yang ketiga adalah fase remaja (15-20 tahun).

c. Gaya asuh jenis apa yang diterapkan di Jepang?


Pada masing-masing fase, gaya asuh orang tua di Jepang berkembang dari
gaya permisif perlahan-lahan menjadi gaya berwibawa. Pada fase balita
dibiarkan bebas untuk bereksplorasi, lalu pada fase anak-anak mulai
diajarkan kedisiplinan hingga pada fase remaja, orang tua mempersiapkan
anak-anaknya untuk mandiri agar menjadi dewasa. Meskipun terjadi
pergeseran dan perubhan nilai budaya barat yang menginspirasi, namun
gaya asuh orang tua di Jepang dalam menyayangi anak-anaknya tidak
berubah.

Kesimpulan : Artikel ini sangat bermanfaat dan isi artikel ini sangat jelas,
sehingga musah dipahami oleh pembaca. Gaya asuh di Jepang menggunakan
gaya permisif dan perlahan menjadi gaya berwibawa. Gaya asuh di Jepang
tidak berubah walaupun terjadi pergeseran dan perubahan nilai budaya barat.

Anda mungkin juga menyukai