Anda di halaman 1dari 32

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

DINAS KESEHATAN
UPT RSUD LANTO DG. PASEWANG
Jl. Ishak Iskandar, Kel. Empoang Selatan, Kec. Binamu, Kab. Jeneponto, Telp.(0419)21004-21118
Email: rsudjeneponto@gmail.com

KEPUTUSAN DIREKTUR
UPT RSUD LANTO DG. PASEWANG
NOMOR : / /RSUD-LDP/JP/VII/2022

TENTANG

PANDUAN PELAYANAN DAN ASUHAN PASIEN


DI UPT RSUD LANTO DG. PASEWANG

DIREKTUR UPT RSUD LANTO DG. PASEWANG,

Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan dan


asuhan pasien di rumah sakit, maka dipandang perlu
menetapkan Panduan dalam Pelayanan dan Asuhan
Pasien di UPT RSUD Lanto Dg. Pasewang;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, perlu ditetapkan dengan
Keputusan Direktur.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1822);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
4. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan (Lembaran Negara Repubik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 307, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5612);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang
Pelayanan Darah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5197);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6659);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017
tentang Keselamatan Pasien (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 308);
8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129 Tahun 2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
9. Peraturan Daerah Kabupaten Jeneponto Nomor 14
Tahun 2021 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2022 (Lembaran Daerah
Kabupaten Jeneponto Tahun 2021 Nomor 319);
10 Peraturan Bupati Jeneponto Nomor 81 Tahun 2021
. tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2022 (Berita Daerah Kabupaten
Jeneponto Tahun 2021 Nomor 81) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Bupati
Jeneponto Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Bupati Nomor 81 Tahun 2021
tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2022 (Berita Daerah Kabupaten
Jeneponto Tahun 2022 Nomor 15);
11 Peraturan Bupati Jeneponto Nomor 9 Tahun 2021
. tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Unit Pelaksana Teknis Rumah Sakit Umum Daerah
Lanto Dg. Pasewang pada Dinas Kesehatan;
12 Keputusan Bupati Jeneponto Nomor 440/175/2021
. tentang Penetapan Status Badan Layanan Umum
Daerah Unit Pelaksana Teknis Rumah Sakit Umum
Daerah Lanto Dg. Pasewang.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU : Panduan Pelayanan dan Asuhan Pasien di UPT RSUD Lanto
Dg. Pasewang sebagaimana terlampir dalam Lampiran
Keputusan ini;
KEDUA : Segala biaya yang berkaitan dengan Surat Keputusan ini
dibebankan kepada Dana Alokasi Umum (DAU)-APBD Tahun
2022 atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat;
KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan
ketentuan apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan
akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jeneponto
pada tanggal 14 Juli 2022

DIREKTUR,

BUSTAMIN
Pangkat Pembina Utama Muda
NIP. 19691028 200212 1 010

Tembusan :
1. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto;
2. Kepala Bidang Keperawatan UPT RSUD Lanto Dg. Pasewang;
3. Kepala Bidang Pelayanan UPT RSUD Lanto Dg. Pasewang;
4. Masing-masing Kepala Instalasi, Ruangan, dan Unit
UPT RSUD Lanto Dg. Pasewang.
LAMPIRAN
KEPUTUSAN DIREKTUR UPT RSUD LANTO
DG. PASEWANG
NOMOR / /RSUD-LDP/JP/VII/2022
TENTANG
PANDUAN PELAYANAN DAN ASUHAN
PASIEN DI UPT RSUD LANTO DG.
PASEWANG

PANDUAN PELAYANAN DAN ASUHAN PASIEN


DI UPT RSUD LANTO DG. PASEWANG KAB. JENEPONTO

A. PEMBERIAN PELAYANAN YANG SERAGAM


A.1 DEFINISI
Asuhan pasien yang seragam adalah asuhan yang menghormati
dan responsif terhadap pilihan, kebutuhan dan nilai-nilai pribadi
pasien, serta memastikan bahwa nilai-nilai pasien menjadi panduan
bagi semua keputusan klinis yang memadai, tidak bergantung atas
kemampuan pasien untuk membayar atau sumber pembiayaan.
Pelayanan pasien merupakan proses kegiatan pemberian asuhan yang
diberikan kepada pasien yang dilakukan oleh Profesi Pemberi Asuhan,
setiap pemberi asuhan kepada pasien memperlakukan semua
pasiennya sama dan seragam tidak membeda-bedakan atas dasar
identitas sosial, budaya, agama, ras, dan sebagainya. Pelayanan pasien
yang seragam berlaku pada semua Instalasi dan Unit pemberi
pelayanan kepada pasien.
A.2 RUANG LINGKUP
Ruang Lingkup dalam Pemberian Pelayanan yang seragam, meliputi:
1. Pasien penerima asuhan
2. Pelaksana asuhan pelayanan di unit dan instalasi
3. Pemberi Asuhan Pelayanan
4. Tarif Pelayanan
A.3 TATA LAKSANA
1. Rumah Sakit Umum Daerah Lanto Dg. Pasewang Kab. Jeneponto
dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan menerapkan prinsip
nondiskriminatif yaitu pelayanan yang seragam tanpa membedakan
status sosio-ekonomi, budaya, agama dan waktu pelayanan
2. Asuhan pasien dan pengobatan diberikan oleh praktisi yang
kompeten dan memadai, tidak tergantung waktu tertentu
3. Penentuan alokasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pasien
didasarkan atas ketepatan mengenali kondisi pasien.
4. Tingkat asuhan yang diberikan kepada pasien, sama di seluruh
rumah sakit
5. Pasien dengan kebutuhan asuhan keperawatan yang sama menerima
asuhan keperawatan yang setingkat di seluruh rumah sakit.
Pelayanan seragam terdiri dari :
a. Asuhan Pasien meliputi Pelayanan Kedokteran dan Keperawatan
yang diberikan mengacu pada Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) SPM dan SPO sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku.
b. Pelayanan kasus emergency diidentifikasi, dan dilakukan oleh
tenaga medis yang kompeten di Instalasi Gawat Darurat
c. Asuhan pasien diberikan dengan mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan asuhan
1) Proses asuhan pasien bersifat dinamis dan melibatkan banyak
praktisi pelayanan kesehatan dan dapat melibatkan berbagai
unit kerja dan pelayanan.
2) Asuhan kepada pasien direncanakan dan ditulis di rekam
medis.
3) Asuhan untuk setiap pasien direncanakan oleh dokter
penanggung jawab pelayanan (DPJP), perawat dan pemberi
pelayanan kesehatan lain dalam waktu 24 jam sesudah pasien
masuk rawat inap
4) Rencana asuhan pasien harus bersifat individu dan
berdasarkan data asesmen awal pasien.
5) Rencana asuhan dicatat dalam rekam medis dalam bentuk
kemajuan terukur pencapaian sasaran.
6) Kemajuan yang diantisipasi dicatat atau direvisi sesuai
kebutuhan, berdasarkan hasil asesmen ulang atas pasien oleh
praktisi pelayanan kesehatan.
7) Rencana asuhan untuk tiap pasien di review dan diverifikasi
oleh DPJP dengan mencatat kemajuannya.
8) Asuhan yang diberikan kepada setiap pasien dicatat dalam
rekam medis pasien oleh pemberi pelayanan.
d. Mereka yang diijinkan memberikan perintah/order menuliskan
perintah ini dalam rekam medis pasien di lokasi yang seragam
1) Perintah harus tertulis bila diperlukan (untuk pemeriksaan
laboratorium, pemberian obat, pelayanan keperawatan dan
terapi nutrisi) dan mengikuti pedoman rekam medis rumah
sakit.
2) Permintaan pemeriksaan diagnostik imaging dan laboratorium
klinis harus disertai indikasi klinis/rasional apabila
memerlukan ekspertise.
3) Hanya mereka yang diijinkan boleh menuliskan perintah,
sesuai dengan pedoman rekam medis rumah sakit.
4) Perintah berada di lokasi tertentu yang seragam di rekam
medis pasien
5) Tindakan diagnostik dan tindakan lain yang dilakukan dan
hasilnya dicatat dalam rekam medis pasien
6) Pasien dan keluarga diberi tahu tentang hasil asuhan dan
pengobatan termasuk kejadian yang tidak diharapkan.
e. Penanganan dan pemberian darah dan produk darah di UPT RSUD
Lanto Dg. Pasewang
1) Setiap penggunaan dan pemberian darah dan atau produk darah
harus berdasarkan atas permintaan dokter
2) Pemberian darah dan atau produk darah harus selalu
memperhatikan keselamatan pasien.
3) Darah dan atau produk darah yang diberikan kepada pasien
harus dijamin bebas dari bibit penyakit yang dapat menimbulkan
penyakit yang dapat ditularkan melalui transfusi darah dan atau
dari produk darah.
4) Setiap darah dan atau produk darah yang akan digunakan harus
selalu dilakukan skrining ulang di Rumah Sakit Umum Daerah
Lanto Dg. Pasewang Kab. Jeneponto terhadap darah dan atau
produk darah dari PMI meliputi pemeriksaan HbsAg, anti HCV
dan anti HIV.
5) Jika pasien atau keluarga menolak untuk dilakukan skrining
ulang di Rumah Sakit Umum Daerah Lanto Dg. Pasewang Kab.
Jeneponto terhadap darah dan atau produk darah dari PMI, maka
pasien dan keluarga harus menandatangani formulir penolakan
pemeriksaan skrining ulang.
6) Sebelum melakukan pemberian darah dan atau produk darah
(transfusi) pasien harus melakukan serangkaian pemeriksaan
kelayakan.
7) Pada pelaksanaan pemberian darah dan atau produk darah harus
dilakukan secara aman dan meminimalkan risiko transfusi
8) Pemberian darah dan atau produk harus dicatat di dalam rekam
medis
Adapun Prosedur Pelayanan dan Asuhan Pasien, Meliputi
1. Semua pasien yang akan berobat atau periksa di RSUD Lanto Dg.
Pasewang harus mendaftar di administrasi atau di tempat
pendaftaran pasien dan terintegrasi
2. Setiap pasien yang Masuk Rumah Sakit (MRS) atau yang
membutuhkan pelayanan rawat inap harus mendaftar di Tempat
Pendaftaran Pasien Rawat Inap (TPPRI) dan petugas TPPRI
mengentry data pasien sesuai prosedur
3. Setiap pasien baru akan dilakukan pengumpulan informasi oleh
Pemberi Asuhan (dokter / perawat / Bidan / Petugas Kesehatan
lain) yaitu dengan anamnese, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang dan sebagainya.
4. Pemberi Asuhan akan melakukan analisis informasi dan
selanjutnya menyusun rencana pelayanan untuk memenuhi
kebutuhan pasien secara terintegrasi.
5. Setiap pasien yang dirawat berhak mendapatkan asuhan
pelayanan sesuai dengan standar pelayanan
6. Asuhan untuk setiap pasien direncanakan oleh Dokter
Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP), perawat dan pemberi
pelayanan kesehatan lain dalam waktu 24 jam sesudah pasien
masuk rawat inap (MRS) didokumentasikan dalam format yang
sudah disediakan.
7. Pemeriksaan pasien rawat inap oleh dokter (visite) dilaksanakan
mulai jam 08.00 – 14.00 WITA
8. Pada kondisi emergency, dimana pasien memerlukan
pemeriksaan segera maka visiste dokter bisa dilakukan di luar
jam yang tersebut di atas.
9. Rencana asuhan pasien harus individual dan berdasarkan data
assesmen awal pasien
10. Setiap pasien tanpa terkecuali berhak mendapatkan asuhan
medis, asuhan keperawatan dan asuhan gizi sesuai prosedur
11. Rencana asuhan pasien dicatat dalam rekam medis pasien dalam
CPPT (Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi) dalam bentuk
kemajuan terukur oleh pemberi pelayanan sesuai format SOAP
(Subyektif, Obyektif, Assesment dan Planning)
12. Setiap pemberian asuhan oleh PPA (Profesi Pemberi Asuhan)
harus tertulis atau ada validasi dalam rekam medis jika perintah
diberikan melalui telepon.
13. Jika DPJP tidak ada di tempat / berhalangan maka wewenangnya
bisa didelegasikan ke dokter jaga
14. Semua permintaan pemeriksaan diagnostik imaging (Radiologi)
dan pemeriksaan Laboratorium Klinik harus tertulis dalam
formulir yang sudah ada termasuk indikasi klinisnya oleh dokter
15. Semua tindakan yang sudah dilakukan kepada pasien harus
tercatat dalam rekam medis pasien
16. Setiap pasien dan keluarga berhak mendapatkan informasi
tentang hasil asuhan dan pengobatan baik yang diharapkan
maupun yang tidak diharapkan.

B. PELAYANAN PASIEN RISIKO TINGGI DAN PENYEDIAAN PELAYANAN


RISIKO TINGGI
B.1 DEFENISI
Rumah sakit memberi pelayanan bagi berbagai variasi pasien
dengan berbagai variasi kebutuhan pelayanan kesehatan. Beberapa
pasien yang digolongkan risiko-tinggi karena umur, kondisi, atau
kebutuhan yang bersifat kritis. Anak dan lanjut usia umumnya di
masukkan dalam kelompok ini karena mereka sering tidak dapat
menyampaikan pendapatnya, tidak mengerti proses asuhan dan tidak
dapat ikut memberi keputusan tentang asuhannya. Demikian pula,
pasien yang ketakutan, bingung atau koma tidak mampu memahami
proses asuhan bila asuhan harus diberikan secara cepat dan efisien.
Rumah sakit juga menyediakan berbagai variasi pelayanan,
sebagian termasuk yang berisiko tinggi karena memerlukan peralatan
yang kompleks, yang diperlukan untuk pengobatan penyakit yang
mengancam jiwa (pasien dialisis), sifat pengobatan (penggunaan darah
dan komponen darah), potensi yang membahayakan pasien atau efek
toksik dari obat berisiko tinggi.
Kebijakan dan prosedur merupakan alat yang sangat penting bagi
staf untuk memahami pasien tersebut dan pelayanannya dan memberi
respon yang cermat, kompeten dan dengan cara yang seragam.
Pimpinan bertanggung jawab untuk :
1. Mengidentifikasi pasien dan pelayanan yang dianggap berisiko
tinggi di rumah sakit
2. Menggunakan proses kerjasama (kolaborasi) untuk
mengembangkan kebijakan dan prosedur yang sesuai
3. Melaksanakan pelatihan staf dalam mengimplementasikan
kebijakan dan prosedur.
Rumah sakit dapat pula melakukan identifikasi risiko sampingan
sebagai akibat darisuatu prosedur atau rencana asuhan (contoh,
perlunya pencegahan trombosis vena dalam, ulkus dekubitus dan
jatuh). Bila ada risiko tersebut , maka dapat dicegah dengan cara
melakukan pelatihan staf dan mengembangkan kebijakan dan
prosedur yang sesuai.
B.2 RUANG LINGKUP
Yang termasuk pasien risiko tinggi dan pelayanan risiko tinggi :
1. Pasien gawat darurat
2. Pelayanan resusitasi yang seragam diseluruh unit rumah sakit
3. Pasien yang menggunakan alat bantu hidup dasar atau koma
4. Pasien dengan penyakit menular dan mereka yang daya tahan
tubuhnya turun
5. Penggunaan alat pengekang (restraint) dan pasien yang diberi
penghalang
6. Pasien lanjut usia, mereka yang cacat, anak-anak dan populasi yang
berisiko disiksa.
B.3 TATA LAKSANA
Kasus Emergency
a. Identifikasi pasien kasus emergency atau berisiko tinggi terjadinya
kasus emergency dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten.
b. Tenaga medis yang bertugas di tempat dengan risiko terjadinya
kasus emergency tinggi agar dilakukan pelatihan.
1. Pemberian pelayanan resusitasi
a. Resusitasi dapat dilakukan di seluruh unit Rumah Sakit
b. Karyawan yang bertugas di semua unit rumah sakit agar
dilatih untuk dapat melakukan resusitasi dasar.
c. Resusitasi lanjut dilakukan oleh tim yang terlatih dengan
nama “Blue Team” dengan membawa alat-alat dan obat
resusitasi yang diperlukan.
2. Asuhan pasien yang menggunakan peralatan bantuan hidup
dasar atau yang koma
a. Identifikasi kebutuhan pasien dengan peralatan bantuan
hidup dasar atau yang koma dilakukan oleh tenaga medis
yang kompeten
b. Bila rumah sakit tidak mampu melakukan asuhan pasien
agar diberitahukan kepada keluarga pasien dan dirujuk ke
tempat yang mampu melakukan asuhan pasien tersebut.
3. Asuhan pasien dengan penyakit menular dan mereka yang
daya tahannya diturunkan
a. Identifikasi kebutuhan asuhan pasien dan risiko
penularan akibat dari penyakit atau akibat obat-obatan
yang diberikan.
b. Bila fasilitas tidak memungkinkan untuk melakukan
asuhan pasien tersebut agar diberitahukan kepada pasien
dan keluarga untuk dirujuk ke tempat dengan fasilitas
yang sesuai kebutuhan.
4. Mengarahkan penggunaan alat penghalang (restraint) dan
asuhan pasien yang diberi penghalang
a. Identifikasi penggunaan alat penghalang dilakukan pada
pasien yang tidak mengerti asuhan yang diberikan, seperti
pasien anak dan geriatri, pasien gelisah dan kesadaran
menurun.
b. Asuhan diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien.
5. Asuhan pasien usia lanjut, mereka yang cacat, anak-anak dan
populasi yang berisiko disiksa.
a. Identifikasi pasien dengan risiko disiksa, seperti pasien
usia lanjut, cacat tubuh, cacat mental dan anak-anak
b. Pelayanan pasien usia lanjut melibatkan multidisiplin ilmu
dan tersedia dalam suatu tim asuhan.

C. PEMBERIAN MAKANAN DAN TERAPI NUTRISI


C.1 DEFENISI
Dalam melaksanakan pelayanan gizi di rumah sakit diperlukan
sumber daya manusia yang kompoten, sarana dan prasarana yang
memadai, agar pelayanan gizi yang dilaksanakan memenuhi standar
yang telah ditetapkan. Pelayanan gizi merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan di rumah sakit, yang saling menunjang dan tidak
dipisahkan dengan pelayanan. Kesehatan dan gizi merupakan faktor
penting karena secara langsung berpengaruh terhadap kualitas SDM
di suatu negara, yang digambarkan melalui pertumbuhan ekonomi,
umur harapan hidup dan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang
tinggi hanya dapat dicapai oleh orang yang sehat dan berstatus gizi
baik.
Masalah gizi klinis adalah masalah gizi yang ditinjau secara
individual mengenai apa yang terjadi dalam tubuh seseorang, yang
seharusnya ditanggulangi secara individu. Demikian pula masalah gizi
pada berbagai keadaan sakit yang secara langsung ataupun tidak
langsung mempengaruhi proses penyembuhan, harus diperhatikan
secara individual. Adanya kecendrungan peningkatan kasus penyakit
yang terkait dengan nutrition related disease pada semua kelompok
rentan dari ibu hamil, bayi, anak, remaja, dewasa dan usia lanjut,
semakin dirasakan perlunya penanganan khusus. Semua ini
memerlukan pelayanan gizi yang bermutu untuk mempertahankan
status gizi yang optimal, sehingga tidak terjadi kurang gizi dan untuk
mempercepat penyembuhan.
Resiko kurang gizi akan muncul secara klinis pada orang sakit,
terutama pada penderita anoreksia, kondisi mulut/gigi geligi buruk
serta kesulitan menelan, penyakit saluran cerna disertai mual,
muntah dan diare, infeksi berat, usila tidak sadar dalam waktu lama,
kegagalan fungsi saluran cerna dan pasien yang mendapat
kemoterapi. Fungsi organ yang terganggu akan lebih terganggu lagi
dengan adanya penyakit dan kekurangan gizi. Disamping itu masalah
gizi lebih dan obesitas yang erat hubungannya dengan penyakit
degeneratif, seperti diabetes melitus, penyakit jantung koroner dan
darah tinggi, penyakit kanker, memerlukan terapi gizi medis untuk
penyembuhan.
Pelayanan gizi di rumah sakit merupakan hak setiap orang,
memerlukan adanya sebuah pedoman agar diperoleh hasil pelayanan
yang bermutu. Pelayanan gizi yang bermutu di rumah sakit akan
membantu mempercepat proses penyembuhan pasien, yang berarti
pula memperpendek lama hari rawat sehingga dapat menghemat biaya
pengobatan. Keuntungan lain jika pasien cepat sembuh adalah mereka
dapat segera kembali mencari nafkah untuk diri dan keluarganya.
Sehingga pelayanan gizi yang disesuaikan keadaan pasien dan
berdasarkan keadaan klinis, status gizi, dan status metabolisme
tubuhnya. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses
penyembuhan penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat
berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien. Sering terjadi kondisi
klien/ pasien semakin buruk karena tidak di perhatikan keadaan gizi.
Terapi gizi menjadi salah satu faktor penunjang utama
penyembuhan tentunya harus diperhatikan agar pemberian tidak
tidak melebihi kemampuan organ tubuh untuk melaksanakan fungsi
metabolisme. Terapi gizi harus selalu disesuaikan seiring dengan
perubahan fungsi organ selama proses penyembuhan. Dengan kata
lain, pemberian diet pasien harus dievaluasi dan diperbaiki sesuai
dengan perubahan keadaan klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium, baik pasien rawat inap maupun rawat jalan. Upaya
peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat baik di dalam
maupun di luar rumah sakit, merupakan tugas dan tanggung- jawab
tenaga kesehatan, terutama tenaga yang bergerak di bidang gizi.
C.2 RUANG LINGKUP
Ruang lingkup kegiatan pokok pelayanan gizi di rumah sakit
terdiri dari :
1. Asuhan Gizi Pasien Rawat Jalan
2. Asuhan Gizi Pasien Rawat Inap
3. Penyelenggaraan Makanan
C.3 TATALAKSANA
1. Produksi dan Distribusi Makanan
a. Pengertian
Penyelenggaraan makanan rumah sakit adalah serangkaian
kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan
pendistribusian makanan kepada konsumen, dalam rangka
pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian
diet yang tepat. Dalam hal ini termasuk kegiatan pencatatan,
pelaporan dan evaluasi.
b. Tujuan
Penyelenggaraan makanan di rumah sakit dilaksanakan
dengan tujuan untuk menyediakan makanan yang berkualitas
baik dan jumlah yang sesuai kebutuhan serta pelayanan yang
layak dan memadai bagi klien atau konsumen yang
membutuhkannya.
c. Bentuk Penyelenggaraan Makanan
Kegiatan penyelenggaraan makanan merupakan bagian
dari kegiatan instalasi gizi, atau unit pelayanan gizi di rumah
sakit. Sistem penyelenggaraan makanan yang dilakukan oleh
Rumah Sakit Umum Lanto Dg. Pasewang adalah sistem
swakelola, yaitu mulai instalasi bertanggung jawab untuk
melaksanakan semua kegiatan penyelenggaraan makanan,
mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
d. Mekanisme Kerja Penyelenggaraan Makanan
Mekanisme Kerja Penyelenggaraan Makanan meliputi :
1) Perencanaan Menu
Perencanaan Menu adalah suatu kegiatan penyusunan
menu yang akan diolah untuk memenuhi selera konsumen/
pasien, dan kebutuhan zat gizi yang memenuhi prinsip gizi
seimbang.
Tujuannya adalah tersedianya siklus menu sesuai
klasifikasi pelayanan yang ada di rumah sakit , misalnya
siklus menu 10 hari
2) Pemesanan dan Pembelian Bahan Makanan
Pemesanan adalah penyusunan permintaan (order)
bahan makanan berdasarkan menu atau pedoman menu
dan rata- rata jumlah konsumen atau pasien yang dilayani.
Tujuannya adalah agar tersedianya daftar pesanan
bahan makanan sesuai standart atau spesifikasi yang
ditetapkan.
Adapun persyaratan pemesanan dan pembelian bahan
makanan adalah sebagai berikut :
a) Adanya kebijakan rumah sakit tentang pengadaan bahan
makanan
b) Adanya surat perjanjian dengan bagian logistik rekanan
c) Adanya spesifikasi bahan makanan
d) Adanya daftar pesanan bahan makanan
e) Tersedianya dana
Sehingga untuk melakukan pemesanan bahan
makanan harus mempunyai langkah- langkah sebagai
berikut :
a) Bagian gizi membuat rekapitulasi kebutuhan bahan
makanan untuk besok hari dengan cara : standar porsi x
jumlah pasien.
b) Hasil perhitungan diserahkan ke bagian gudang logistik
c) Bagian penyimpanan hanya menyimpan makanan untuk
kebutuhan sarapan esok harinya karena setiap hari
kebutuhan dapur di penuhi.
d) Bagian pengolahan mengambil bahan makanan yang
dipesan (order)
2. Penerimaan, Penyimpanan dan Penyaluran Bahan Makanan
a. Penerimaan Bahan Makanan
Penerimaan Bahan Makanan adalah suatu kegiatan yang
meliputi pemeriksaan / penelitian , pencatatan dan pelaporan
tentang macam, kualitas dan kuantitas bahan makanan yang
diterima sesuai dengan pesanan serta spesifikasi yang telah
ditetapkan.
Tujuannya adalah tersedianya bahan makanan yang siap
untuk diolah. Peryaratannya adalah :
1) Tersedianya rincian pesanan bahan makanan harian
berupa macam dan jumlah bahan makanan yang akan
diterima.
2) Tersedianya spesifikasi bahan makanan yang telah
ditetapkan
Langkah- langkah Penerimaan Bahan Makanan :
1) Setelah bahan makanan diambil dari gudang logistik
kemudian diperiksa satu persatu, untuk mengetahui ada
barang yang ada, kurang atau berlebih.
2) Kemudian bahan makanan disimpan di gudang
penyimpanan kecil sesuai jenis-jenis barang.
3) Esok harinya masing-masing bagian pengolahan mengambil
bahan makanan sesuai dengan kebutuhannya.
b. Penyimpanan Bahan Makanan
Penyimpanan bahan makanan adalah suatu tata cara menata ,
menyimpan, memelihara keamanan bahan makanan kering
dan basah baik kualitas maupun kuantitas di gudang bahan
makanan kering dan basah serta pencatatan dan
pelaporannya. Tujuannya agar tersedianya bahan makanan
siap pakai dengan kualitas dan kuantitas yang tepat sesuai
dengan perencanaan. Untuk memenuhi hal ini maka harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Adanya sistem penyimpanan barang
2) Tersedianya fasilitas ruang penyimpanan bahan makanan
sesuai persyaratan.
3) Tersedianya kartu stok/buku catatan keluar masuk bahan
makanan.
c. Penyaluran Bahan Makanan
Penyaluran Bahan Makanan adalah tata cara mendistribusikan
bahan makanan berdasarkan permintaan harian. Tujuannya
agar tersedianya bahan makanan siap pakai dengan kualitas
dan kuantitas yang sesuai dengan pesanan. Sehingga harus
mempunyai persyaratan sebagai berikut :
1) Adanya bon permintaan bahan makanan
2) Tersedianya kartu stok/ buku catatan keluar masuk
makanan
3. Persiapan Bahan Makanan
Persiapan bahan makanan adalah serangkaian kegiatan dalam
penanganan bahan makanan, yaitu meliputi berbagai proses antara
lain membersihkan, memotong, mengupas, mengupas, mengocok,
merendam. Tujuannya adalah mempersiapkan bahan-bahan
makanan, serta bumbu-bumbu sebelum dilakukan kegiatan
pemasakan. Sehingga untuk melakukan persiapan bahan makanan
harus mempunyai persyaratan sebagai berikut :
a. Tersedianya bahan makanan yang akan dipersiapkan
b. Tersedianya peralatan persiapan
c. Tersedianya protap persiapan
d. Tersedianya aturan proses – proses persiapan
1) Pengolahan Bahan Makanan
Pengolahan bahan makanan merupakan suatu
kegiatan mengubah (memasak) bahan makanan mentah
menjadi makanan yang siap dimakan, berkualitas, dan aman
untuk dikonsumsi. Tujuannya pengolahan bahan makanan
adalah :
a) Mengurangi resiko kehilangan zat- zat gizi bahan
makanan.
b) Meningkatkan nilai cerna
c) Meningkatkan dan mempertahankan warna, rasa
keempukan dan penampilan makanan.
d) Bebas dari organisme dan zat yang berbahaya untuk
tubuh.
Untuk dapat memenuhi hal tersebut, maka harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a) Tersedianya siklus menu.
b) Tersedianya bahan makanan yang akan diolah.
c) Tersedianya peralatan pengolahan bahan makanan
d) Tersedianya aturan penilaian.
e) Tersedianya prosedur tetap pengolahan.
2) Pendistribusian Makanan
Pendistribusian Makanan adalah serangkaian kegiatan
penyaluran makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis
makanan konsumen yang dilayani (makanan biasa maupun
makanan khusus), Tujuannya agar konsumen mendapat
makanan sesuai diet dan ketentuan yang berlaku. Agar
pendistribusian makanan dapat berjalan dengan baik harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a) Tersedianya standar pemberian makanan rumah sakit
menyangkut standar penyediaan energi dan zat gizi
lainnya serta dietetika.
b) Tersedianya standar porsi yang ditetapkan rumah sakit
c) Adanya peraturan pengambilan makanan
d) Adanya bon permintaan makanan.
e) Tersedianya makanan sesuai ketentuan diet pasien/
kebutuhan konsumen.
f) Tersedianya peralatan makanan
g) Tersedianya sarana pendistribusian makanan
h) Tersedianya tenaga pramusaji.
i) Adanya jadwal pendistribusian makanan di dapur utama.
Adapun sistem penyaluran makanan di Rumah Sakit
Umum Lanto Dg. Pasewang adalah sietem sentralisasi
maksudnya adalah makanan pasien dibagikan dan disajikan
dalam alat makan di tempat pengolahan.
4. ASUHAN GIZI PASIEN RAWAT JALAN DAN RUANG RAWAT INAP
Pada pelayanan gizi rumah sakit, asuhan gizi dapat
dilaksanakan kepada pasien rawat jalan dan rawat inap.
a. Asuhan Gizi Pasien Rawat Jalan
Pengertian asuhan gizi rawat jalan adalah keriatan
pelayanan gizi yang berkesinambungan dimulai dari
perencanaan diet, pelaksanaan konseling diet hingga evaluasi
rencana diet kepada klien/ pasien rawat jalan. Tujuannya
adalah memberikan pelayanan gizi kepada pasien/ klien rawat
jalan agar memperoleh asupan makanan yang sesuai dengan
kondisi kesehatannya. Pelayanan gizi pasien rawat jalan
merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi :
1) Pasien datang sendiri atau dikonsulkan oleh dokter spesialis
lain
2) Pasien diterima dan dilakukan pengkajian gizi oleh
dietisien, dan dilakukan pemeriksaan, diagnosis gizi medik,
dan formulasi diet oleh Dokter Spesialis Gizi Klinik
3) Apabila diperlukan pemeriksaan tambahan, akan dilakukan
pemeriksaan tambahan yang terkait dengan penyakit sistem
organ yang diderita pasien.
4) Setelah semua hasil pemeriksaan sesuai dengan indikasi
lengkap, Dokter Spesialis Gizi Klinik menetapkan
kesimpulan diagnosis gizi, dan merumuskan formulasi
intervensi nutrisi.
5) Apabila diperlukan terapi suportif (suplementasi), Dokter
Spesialis Gizi Klinik menuliskan resep sesuai formularium
pelayanan gizi rumah sakit.
6) Formulasi diet dijabarkan dalam bentuk menu dan
disampaikan kepada pasien oleh dietisien.
b. Asuhan Gizi Rawat Inap
Pengertian asuhan gizi rawat inap adalah serangkaian
proses kegiatan pelayanan gizi yang berkesinambungan dimulai
dari perencanaan diet hingga evaluasi rencana diet pasien di
ruang rawat inap.
Tujuannya adalah memberikan pelayanan kepada pasien
rawat inap agar memperoleh gizi yang sesuai dengan kondisi
penyakit, dalam upaya mempercepat proses penyembuhan.
Pelayanan gizi pasien rawat inap merupakan serangkaian
kegiatan selama perawatan yang meliputi :
a. Pengkajian status gizi.
b. Penentuan kebutuhan gizi sesuai dengan status gizi dan
penyakit.
c. Penentuan macam atau jenis diet, sesuai dengan penyakit
dan cara pemberian makanan
d. Konseling dan penyuluhan gizi.
e. Pemantauan evaluasi dan tindak lanjut pelayanan gizi.

D. PENGELOLAAN NYERI
D.1 DEFINISI
1. Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri
adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan
akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, yang
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan jaringan.
2. Menurut Engel (1970) nyeri dinyatakan sebagai suatu dasar sensasi
ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh dan
dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh
persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi luka.
3. Nyeri juga diartikan sebagai yang dikatakan oleh orang yang
mengalami nyeri dan bila yang mengalaminya mengatakan bahwa
rasa itu ada. Definisi ini tidak berarti bahwa anak harus
mengatakan nyeri bila sakit.
4. Nyeri juga dapat diekspresikan melalui tangisan, pengutaraan, atau
isyarat perilaku (Betz, Sowden).
5. Secara umum nyeri didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak
nyaman, baik ringan, maupun berat, yang seringkali mempengaruhi
seseorang dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari.
Penatalaksanaan nyeri yang ideal adalah bila setiap pasien yang
mengeluh nyeri mendapatkan penanganan yang sesuai dengan
masalah yang mendasari timbulnya rasa nyeri yang dialaminya.
Karena nyeri merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien
kanker atau pasien dengan keluhan di payudara maka
penatalaksanaan untuk keluhan nyeri ini perlu mendapat perhatian
khusus.
D.2 RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pelayanan nyeri yaitu
1. semua pasien dengan kondisi nyeri yang membutuhkan pelayanan
manajemen nyeri.
2. pengobatan nyeri.
3. observasi nyeri.
D.3 TATALAKSANA
Saat pasien datang pertama kali ke Rumah Sakit Umum Daerah
Lanto Dg. Pasewang, dilakukan skrining oleh perawat triage. Skrining
dilakukan dengan melakukan anamnesa dan pengisian form nyeri dan
anamnesa, hasil skor nyeri yang ada kemudian ditentukan apakah
pasien memerlukan penanganan segera atau dapat diperlakukan
sebagai pasien rawat jalan biasa.
Penentuan nyeri dilakukan berdasarkan urutan :
1. Penentuan ada tidaknya nyeri (skrining nyeri)
Dalam melakukan pengkajian terhadap nyeri, petugas skrining
harus mempercayai ketika pasien melaporkan adanya nyeri,
walaupun dalam observasi tidak menemukan cedera atau luka.
2. Pengkajian dan penatalaksanaan nyeri
Pengkajian dan penatalaksanaan nyeri berdasarkan metode PQRST
(Provocate, Quality, Region, Severe, Time). Namun dalam
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan keadaan pasien pada
saat pertama datang (skala prioritas)
a. Penentuan tingkat keparahan (S : Severe) dan kualitas nyeri (Q :
Quality)
Tingkat keparahan pasien tentang nyeri merupakan
karakteristik yang paling subyektif. Pada pengkajian ini, bila
memungkinkan pasien diminta untuk menggambarkan nyeri
yang ia rasakan sebagai nyeri ringan, nyeri sedang atau nyeri
berat. Sedangkan kualitas nyeri merupakan sesuatu yang
subyektif yang diungkapkan oleh pasien seperti nyeri terasa
tajam, tumpul, berdenyut, berpindah-pindah, seperti tertindih,
perih atau tertusuk.
Mengingat tingkat pemahaman pasien yang berbeda dan
keadaan nyeri yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang
terhadap situasi di sekelilingnya, penentuan tingkat keparahan
nyeri dilakukan dengan metode, yaitu :
1) Metode pertama
 Penentuan tingkat keparahan nyeri yang digunakan pada
kontak pertama dengan pasien adalah dengan Skala
Numerik (Numerical Rating Scale, NRS) digunakan sebagai
pengganti alat pendeskripsi kata. Skala ini efektif untuk
mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi
terapeutik. Dalam hal ini pasien menilai nyeri dengan skala
0 sampai 10, angka 0 diartikan kondisi tidak nyeri dan
angka 10 mengindikasikan nyeri paling berat yang
dirasakan.
 Bila dengan metode NRS pasien masih belum dapat
menentukan intensitas nyerinya, dapat digunakan metode
pengukuran dengan Skala Deskriptif Verbal (Verbal
Descriptor Scale, VDS) yang merupakan salah satu alat ukur
tingkat keparahan yang lebih bersifat objektif. Skala ini
merupakan sebuah garis yang terdiri beberpa kalimat
pendeskripsi yang tersusun dalam jarak yang sama
sepanjang garis. Kalimat pendeskripsi ini diranking dari
tidak ada nyeri sampai nyeri yang paling hebat. Perawat
menunjukkan skala tersebut pada pasien dan meminta
untuk menunjukkan intensitas nyeri terbaru yang
dirasakan.

Gbr. 1. Numeric Rating Scale


2) Metode kedua
Bila metode pertama (NRS dan VDS) masih tidak dapat
dipahami oleh pasien maka dapat dilakukan penentuan
tingkat keparahan nyeri dengan metode kedua yaitu Skala
Analog Visual (Visual Analog Scale, VAS) yang mewakili
intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala analog visual
merupakan pengukur keparahan nyeri yang lebih sensitif
karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada
rangkaian daripada dipaksa memilih satu kata atau satu
angka (McGuire, 1984).
3) Metode ketiga
Metode ini digunakan untuk mengukur skala intensitas nyeri
pada anak-anak atau orang dewasa yang tingkat
pemahamannya sangat sulit. Metode ini adalah skala nyeri
yang menggunakan gambar ekspresi wajah dan
dikembangkan oleh Wong dan Baker.

Gbr. 2.Wong Baker FacesPain Scale


b. Bersamaan dengan penanganan pertama dilakukan penentuan
Faktor Pencetus (P : Provocate) dan Lokasi nyeri (R : Region)
 Perawat perlu mengkaji tentang penyebab atau stimulus –
stimulus yang menyebabkan nyeri pada pasien, dalam hal ini
termasuk observasi bagian-bagian tubuh yang mengalami
cedera, pasca pembedahan atau lokasi kanker apabila
diketahui pasien memiliki riwayat penyakit kanker. Untuk
mengkaji lokasi nyeri maka perawat meminta pasien untuk
menunjukkan semua bagian atau daerah yang dirasakan
tidak nyaman oleh klien.
 Bila nyeri terjadi pada lokasi pasca pembedahan maka
dilakukan pemeriksaan pada status lokalis luka operasi untuk
mengetahui apakah nyeri berasal dari luka operasi saja atau
terdapat hematom akibat perdarahan dalam luka yang
mengakibatkan pembengkakan hebat. Adanya perdarahan
dari luka operasi yang mengakibatkan pembengkakan hebat
memerlukan penanganan segera di kamar operasi untuk
evakuasi hematom dan mencari sumber perdarahan.
 Sedangkan pada nyeri payudara, pemberian edukasi dan
menentukan ada tidaknya kelainan yang menyebabkan nyeri
merupakan faktor yang penting, agar pasien tidak panik –
khususnya apabila nyeri bukan disebabkan karena adanya
kanker payudara.
c. Menentukan Durasi Nyeri (T : Time)
Perawat juga perlu menanyakan pada pasien lama nyeri yang
dirasakan untuk menentukan awal nyeri, durasi dan rangkaian
nyeri, yang bermanfaat untuk menentukan dosis terapi dan
edukasi kepada pasien dan keluarga dalam menanggulanginya.
Adapun prosedur penting yang dilakukan dalam pengkajian
nyeri yaitu:
1. dokter dan perawat mealkukan asesmen awal tehadap nyeri
pada pasien
2. penilaian rasa sakit dilakukan dengan menggunakan
pengkajian yang sesuai degan masing-masing pasien
misalnya wong baker FACES pain scale untuk pasien dewasa
dan anak usia < 3 tahun yang tidak dapat menggambarkan
intensitas nyerinya dengan angka.

3. Asesmen ulang nyeri dapat dilakukan setiap shift mengikuti


pengukuran tanda-tanda vital,satu jam setelah tatalaksana
nyeri
4. Untuk pasien yang mengalami nyeri kardiak lakukan
asesmen ulang setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau
obat-obatan inravena
5. Pada nyeri akut/kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30
menit-1 jam setelah pemberian obat anti nyeri.
6. Hasil asesmen nyeri di dokumentasikan dalam rekam medis
pada form catatan terintegrasi,
7. Hasil asesmen nyeri diinformasikan kepada pasien/keluarga
dan didokumentaasikan didalam rekam medis.
3. Penatalaksanaan Nyeri
a. Setelah ditentukan ada tidaknya nyeri dan tingkat
keparahannya, maka segera dilakukan penanganan untuk
menanggulangi masalah nyeri. Penanganan nyeri berdasarkan
asal nyeri adalah yang paling utama, namun memerlukan
waktu yang lebih lama untuk dapat menentukannya.
Menentukan asal nyeri dilakukan setelah rasa nyeri yang
onsetnya akut ditangani terlebih dahulu.
b. Pada kasus-kasus nyeri yang tidak spesifik pemberian
analgetik ringan dan menenangkan pasien dan keluarga adalah
langkah pertama yang harus dilakukan
c. Pada nyeri kronis yang bukan disebabkan oleh kanker, pasien
umumnya telah dapat mengatasi rasa nyerinya untuk
sementara, sehingga dapat diperlakukan sebagai pasien rawat
jalan.
d. Penatalaksanaan nyeri berpedoman pada Step-Ladder WHO

Gbr. 3. WHO Pain Step Holder

*Keterangan:
 patch fentanyl tidak boleh digunakan untuk nyeri akut karena tidak
sesuai indikasi dan onset kerjanya lama.
 Untuk nyeri kronik: pertimbangkan pemberian terapi analgesik adjuvant
(misalnya amitriptilin, gabapentin).
*Istilah:
 NSAID: non-steroidal anti-inflammatory drug
 S/R: slow release
 PRN: when required
Bila skor nyeri yang didapatkan adalah :

1) 1 – 4 = Nyeri Ringan / Mild


Dapat dilakukan terapi tahap 1 secara rawat jalan yaitu dengan :
 Terapi non farmakologis dengan memperbaiki posisi pasien
senyaman mungkin, mengajari pasien untuk melakukan teknik
relaksasi (teknik nafas dalam), mengarahkan pasien untuk
melakukan teknik distraksi (pengalihan perhatian) atau
komunikasi terapeutik untuk memberikan ketenangan dan
kenyamanan. Upaya ini di evaluasi segera dan bila belum berhasil
mengurangi rasa nyeri setelah evaluasi selama 5 sampai 10 menit
maka dapat dilanjutkan dengan :
 Terapi farmakologi
Yaitu dengan pemberian analgetik ringan (paracetamol 500 mg,
analsik) atau NSAID (Feldene) atau Cox-2 inhibitors (celebrex)
Bila nyeri berkurang dan dapat dikontrol maka dilakukan follow
up sambil
dicari penyebab/pemicu nyeri, namun bila nyeri tidak dapat
dikontrol setelah evaluasi selama 30 – 60 menit dan mengatasi
faktor penyebab/pemicu maka dilakukan penanganan sesuai
dengan golongan nyeri sedang (moderate)
2) 5 – 6 = Nyeri Sedang/Intermediate
Diberikan terapi tahap 2 yaitu terapi farmakologi dengan pemberian
tramadol atau codeine atau dihydrocodeine ± non opioid.
Bila nyeri berkurang dan dapat dikontrol dilakukan follow up sambil
mengkaji penyebab dan pemicu nyeri, namun bila nyeri tidak dapat
dikontrol setelah evaluasi selama 30 – 60 menit dan mengatasi faktor
penyebab/pemicu, maka dilakukan penanganan nyeri untuk
golongan nyeri berat (severe)
3) 7 – 10 = Nyeri Berat/Severe
Diberikan terapi tahap 3 yaitu terapi farmakologis dengan pemberian :
Morphine atau oxycodone atau fentanyl ± non opioids (Duragesic).
Bila nyeri berkurang dan dapat dikontrol maka dilakukan follow up
sambil mengkaji penyebab/pemicu nyeri dan terapi dapat
dilanjutkan, namun bila nyeri tidak dapat dikontrol setelah evaluasi
selama lebih dari 12 jam dan mengatasi faktor penyebab/pemicu
maka pasien harus dirujuk kepada tim paliative, PCA pump,
Neurolytic block therapy ataupun spinal stimulator.
e. Manajemen Nyeri Akut
1) Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu
2) Lakukan asesmen nyeri: mulai dari anamnesis hingga
pemeriksaan penunjang.
3) Tentukan mekanisme nyeri:
a) Nyeri somatik:
 Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang
menyebabkan pelepasan zat kima dari sel yang cedera dan
memediasi inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor kulit.
 Karakteristik: onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan
nyeri bersifat tajam, menusuk, atau seperti ditikam.
 Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.
b) Nyeri visceral:
 Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic,
sehingga jika terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang
kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti
ditekan benda berat.
 Penyebab: iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan
ligament, spasme otot polos, distensi organ berongga /
lumen.
 Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual,
muntah, hipotensi, bradikardia, berkeringat.
c) Nyeri neuropatik:
 Berasal dari cedera jaringan saraf
 Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan,
alodinia (nyeri saat disentuh), hiperalgesia.
 Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari
tempat cedera (sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri
dialami pada tempat cederanya)
 Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple
sclerosis, herniasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani
kemoterapi / radioterapi.
f. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya
1) Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO
a) OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk
nyeri sedang-berat.
b) Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1
dan 2) dnegan pemberian intermiten (pro re nata-prn) opioid
kuat yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien
c) Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang-
berat, dapat ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan
opioid kuat dan prn analgesik dalam kurun waktu 24 jam
setelah langkah 1).
d) Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang
sering digunakan adalah morfin, kodein
e) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat
diberikan opioid ringan.
f) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan
pengurangan dosis secara bertahap
 Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
 Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic,
kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol.
 Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin
 Topical: lidokain patch, EMLA
 Subkutan: opioid, anestesi lokal
g. Berikut adalah algoritma pemberian opioid intermiten (prn)
intravena untuk nyeri akut, dengan syarat:
 Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat instruksi
 Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin di ruang
rawat inap biasa.
 Efek puncak dari dosis intravena dapat terjadi selama 15 menit
sehingga semua pasien harus diobservasi dengan ketat selama
fase ini.
h. Manajemen Nyeri Pada Pediatrik
1) Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah: sakit
kepala kronik, trauma, sakit perut dan faktor psikologi
2) Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respons yang
berbeda terhadap kerusakan jaringan yang sama atau
sederajat.
3) Neonates lebih sensitif terhadap stimulus nyeri
4) Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada
pediatrik:

Algoritma Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik


1. Asesmen nyeri pada anak
 Nilai karakteristik nyeri
 Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai
 Evaluasi kemungkinan adanya keterlibatan mekanisme nosiseptif dan
neuropatik
 Kajilah faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak

2. Diagnosis penyebab primer dan sekunder


 Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saat ini
 Kumpulkan gejala-gejala fisik yang ada
 Pikirkan faktor emosional, kognitif, dan perilaku

3. Pilih terapi yang sesuai


Obat Non-obat
 Analgesik  Kognitif
 Analgesik adjuvant  Fisik
 anestesi  perilaku

4. Implementasi rencana manajemen nyeri


 Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang mempengaruhi nyeri kepada orang tua (dan anak)
 Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi
 Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
 Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri
 Revisi rencana jika diperlukan

5) Pemberian analgesik:
a) ‘By the ladder’: pemberian analgesik secara bertahap sesuai
dengan level nyeri anak (ringan, sedang, berat).
 Awalnya, berikan analgesik ringan-sedang (level 1).
 Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1,
naiklah ke level 2 (pemberian analgesik yang lebih
poten).
 Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian
parasetamol tetap diaplikasikan sebagai analgesik
adjuvant.
 Analgesik adjuvant
 Merupakan obat yang memiliki indikasi primer
bukan untuk nyeri tetapi dapat berefek analgesik
dalam kondisi tertentu.
 Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan
analgesik adjuvant sebagai level 1.
 Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif
untuk mengatasi nyeri neuropatik.
 Kategori:
o Analgesik multi-tujuan: antidepressant, agonis
adrenergic alfa-2, kortikosteroid, anestesi topical.
o Analgesik untuk nyeri neuropatik: antidepressant,
antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal
o Analgesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksan otot,
benzodiazepine, inhibitor osteoklas, radiofarmaka.
b) ‘By the clock’: mengacu pada waktu pemberian analgesik.
 Pemberian haruslah teratur, misalnya: setiap 4-6 jam
(disesuaikan dengan masa kerja obat dan derajat
keparahan nyeri pasien), tidak boleh prn (jika perlu)
kecuali episode nyeri pasien benar-benar intermiten dan
tidak dapat diprediksi.
c) ‘By the child’: mengacu pada pemberian analgesik yang
sesuai dengan kondisi masing-masing individu.
 Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur
 Sesuaikan dosis analgesik jika perlu
d) ‘By the mouth’: mengacu pada jalur pemberian oral.
 Obat harus diberikan melalui jalur yang paling
sederhana, tidak invasive, dan efektif; biasanya per
oral.
 Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien
dapat menyangkal bahwa mereka mengalami nyeri
atau tidak memerlukan pengobatan.
 Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan
langsung, pemberian parenteral terkadang merupakan
jalur yang paling efisien.
 Opioid kurang poten jika diberikan per oral.
 Sebisa mungkin jangan memberikan obat via
intramuscular karena nyeri dan absorbsi obat tidak
dapat diandalkan.
 Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih
dibandingkan IM, IV, dan subkutan intermiten, yaitu:
tidaknyeri, mencegah terjadinya
penundaan/keterlambatan pemberian obat,
memberikan control nyeri yang kontinu pada anak.
 Indikasi: pasien nyeri di mana pemberian per oral
dan opioid parenteral intermiten tidak memberikan
hasil yang memuaskan, adanya muntah hebat
(tidak dapat memberikan obat per oral)
e) Analgesik dan anestesi regional: epidural atau spinal
 Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker
stadium lanjut yang sulit diatasi dengan terapi
konservatif.
 Harus dipantau dengan baik
 Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan
segera obat-obatan dan peralatan resusitasi, dan
pencatatan akurat mengenai tanda vital / skor nyeri.
f) Berikut adalah tabel obat-obatan non-opioid yang sering
digunakan untuk anak:
Obat-obatan non-opioid
Obat Dosis Keterangan
Parasetamol 10-15mg/kgBB Efek antiinflamasi kecil, efek
oral, setiap 4-6 gastrointestinal dan hematologi
jam minimal
Ibuprofen 5-10mg/kgBB oral, Efek antiinflamasi. Hati-hati
setiap 6-8 jam pada pasien dengan gangguan
hepar/renal, riwayat
perdarahan gastrointestinal
atau hipertensi.
Naproksen 10-20mg/kgBB/ Efek antiinflamasi. Hati-hati
hari oral, terbagi pada pasien dengan disfungsi
dalam 2 dosis renal. Dosis maksimal 1g/hari.
Diklofenak 1mg/kgBB oral, Efek antiinflamasi. Efek
setiap 8-12 jam samping sama dengan
ibuprofen dan naproksen. Dosis
maksimal 50mg/kali.

g) Panduan penggunaan opioid pada anak:


 Pilih rute yang paling sesuai. Untuk pemberian jangka
panjang, pilihlah jalur oral.
 Pada penggunaan infus kontinu IV, sediakan obat opioid
kerja singkat dengan dosis 50%-200% dari dosis infus
perjam kontinu prn.
 Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24
jam, naikkan dosis infus IV per-jam kontinu sejumlah:
total dosis opioid prn yang diberikan dalam 24 jam dibagi
24. Alternatif lainnya adalah dengan menaikkan
kecepatan infus sebesar 50%.
 Pilih opioid yang sesuai dan dosisnya.
 Jika efek analgesik tidak adekuat dan tidak ada
toksisitas , tingkatkan dosis sebesar 50%.
 Saat tapering-off atau penghentian obat: pada semua
pasien yang menerima opioid >1 minggu, harus
dilakukan tapering-off (untuk menghindari gejala
withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari, lalu
kurangi sebesar 25% setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen
dengan dosis morfin oral (0,6 mg/kgBB/hari), opioid
dapat dihentikan.
 Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama
karena dapat terakumulasi dan menimbulkan mioklonus,
hiperrefleks, dan kejang.
h) Terapi alternatif / tambahan:
 Konseling
 Manipulasi chiropractic
 Herbal

6) Terapi non-obat
a) Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaat
dan memiliki efek yang besar dalam manajemen nyeri
non-obat untuk anak
b) Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke
hal lain seperti music, cahaya, warna, mainan, permen,
computer, permainan, film, dan sebagainya.
c) Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku
yang dapat meningkatkan nyeri dan meningkatkan
perilaku yang dapat menurunkan nyeri.
d) Terapi relaksasi: dapat berupa mengepalkan dan
mengendurkan jari tangan, menggerakkan kaki sesuai
irama, menarik napas dalam
Terapi non-obat
Kognitif Perilaku Fisik
 Informasi  Latihan  Pijat
 Pilihan dan  Terapi relaksasi  Fisioterapi
control  Umpan balik positif  Stimulasi termal
 Distraksi dan  Modifikasi gaya  Stimulasi
atensi hidup / perilaku sensorik
 Hypnosis  Akupuntur
 Psikoterapi  TENS
(transcutaneous
electrical nerve
stimulation)

i. Manajemen Nyeri Pada Kelompok Usia Lanjut (Geriatri)


1) Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang – orang
yang berusia ≥ 65 tahun.
2) Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga
dua kali lipatnya dibandingkan dewasa muda.
3) Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia
adalah artritis, kanker, neuralgia trigeminal, neuralgia
pasca-herpetik, reumatika polimialgia, dan penyakit
degenerative.
4) Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama /
penyangga tubuh, punggung, tungkai bawah, dan kaki.
5) Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk
adalah:
a) Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai
manajemen nyeri pada geriatric.
b) Asesmen nyeri yang tidak adekuat
c) Keengganan dokter untuk meresepkan opioid
6) Asesmen nyeri pada geriatric yang valid, reliabel, dan
dapat diaplikasikan menggunakan Functional Pain
Scaleseperti di bawah ini:
Fun
ctiona Skala Keterangan
l Pain nyeri
Scale 0 Tidak nyeri
*Skor 1 Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas edikit terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi (tetapi masih dapat
menggunakan telepon, menonton TV, atau membaca)
4 Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan
telepon, menonton TV, atau membaca)
5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara
karena nyeri)
normal / yang diinginkan : 0-2
7) Intervensi non-farmakologi
a) Terapi termal: pemberian pendinginan atau
pemanasan di area nosiseptif untuk menginduksi
pelepasan opioid endogen.
b) Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan,
dan akupuntur
c) Blok saraf dan radiasi area tumor
d) Intervensi medis pelengkap / tambahan atau
alternatif: terapi relaksasi, umpan balik positif,
hypnosis.
e) Fisioterapi dan terapi okupasi.
8) Intervensi farmakologi (tekankan pada keamanan pasien)
a) Non-opioid: OAINS, parasetamol, COX-2 inhibitor,
antidepressant trisiklik, amitriptilin, ansiolitik.
b) Opioid:
 Risiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri
akut (jangka pendek).
 Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking
agent untuk mencegah konstipasi (preparat senna,
sorbitol).
 Berikan opioid jangka pendek
 Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesik
yang lebih baik daripada pemberian intermiten.
 Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan
perlahan.
 Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat
menaikkan opioid sebesar 50-100% dari dosis
semula.
c) Analgesik adjuvant
 OAINS dan amfetamin: meningkatkan toleransi
opioid dan resolusi nyeri
 Nortriptilin, klonazepam, karbamazepin, fenitoin,
gabapentin, tramadol, mexiletine: efektif untuk
nyeri neuropatik
 Antikonvulsan: untuk neuralgia trigeminal.
 Gabapentin: neuralgia pasca-herpetik 1-3 x 100
mg sehari dan dapat ditingkatkan menjadi 300
mg/hari
9) Risiko efek samping OAINS meningkat pada lansia.
Insidens perdarahan gastrointestinal meningkat hampir
dua kali lipat pada pasien > 65 tahun.
10) Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan,
termasuk absorbsi, distribusi, metabolisme, dan
eliminasi.
11) Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan
dosis analgesik. Absorbs sering tidak teratur karena
adanya penundaan waktu transit atau sindrom
malabsorbsi.
12) Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.
13) Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu
paruh yang lebih singkat.
14) Lakukan monitor ketat jika mengubah atau
meningkatkan dosis pengobatan.
15) Efek samping penggunaan opioid yang paling sering
dialami: konstipasi.
16) Penyebab tersering timbulnya efek samping obat:
polifarmasi (misalnya pasien mengkonsumsi analgesik,
antidepressant, dan sedasi secara rutin harian.)
17) Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis
rendah, lalu naikkan perlahan hingga tercapai dosis
yang diinginkan.
18) Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat
mengakibatkan:
a) Penurunan / keterbatasan mobilitas. Pada
akhirnya dapat mengarah ke depresi karena pasien
frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan
menurunnya kemampuan fungsional.
b) Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur,
bahkan dapat menurunkan imunitas tubuh
c) Control nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi
penyebab munculnya agitasi dan gelisah.
d) Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan
yang lebih banyak. Polifarmasi dapat meningkatkan
risiko jatuh dan delirium.
19) Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan
(dihindari) pada lansia:
a) OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh
yang panjang dan efek samping gastrointestinal
lebih besar)
b) Opioid: pentazocine, butorphanol (merupakan
campuran antagonis dan agonis, cenderung
memproduksi efek psikotomimetik pada lansia);
metadon, levorphanol (waktu paruh panjang)
c) Propoxyphene: neurotoksik
d) Antidepresan: tertiary amine tricyclics (efek
samping antikolinergik)
20) Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnya
harus diberikan kombinasi preparat senna dan obat
pelunak feses (bulking agents).
21) Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO
(sama dengan manajemen pada nyeri akut).
a) Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opioid
b) Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan
dnegan OAINS dan analgesik adjuvant
c) Nyeri berat: opioid poten
22) Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini
adalah penyesuaian dosis dan hati-hati dalam
memberikan obat kombinasi
Adapun tatalaksana penanganan nyeri secara umum,
yaitu :
1. Informasikan kepada pasien penyebab nyeri yang
dialaminya
2. Batasi lingkungan pasien dan minta keluarga untuk
memberi dukungan dengan menemani pasien serta
melakukan upaya untuk menangani nyeri dengan
terapi non farmakologi.
3. Berikan terapi berdasarkan :
a. Skor nyeri (1 – 4 = Nyeri Ringan / Mild)
1) Terapi Non Farmakologi
a) Memperbaiki posisi pasien senyaman
mungkin
b) Mengajari pasien untuk melakukan teknik
relaksasi (teknik nafas dalam)
c) Mengarahkan pasien untuk melakukan
teknik distraksi (pengalihan perhatian)
d) Komunikasi terapeutik untuk memberikan
ketenangan dan kenyamanan
e) Evaluasi selama 5 sampai 10 menit
2) Terapi Farmakologi
a) Pemberian analgetik ringan (paracetamol 500
mg, analsik) atau NSAID (Feldene) atau Cox-2
inhibitors (celebrex)
b) Evaluasi selama 30 – 60 menit
b. Skor nyeri (5 – 6 = Nyeri Sedang / Intermediate)
1) Terapi Farmakologi
a) Pemberian tramadol atau codeine atau
dihydrocodeine ± non opioid
b) Evaluasi selama 30 – 60 menit Skor nyeri (7 –
10 = Nyeri Berat/Severe )
2) Terapi Farmakologi
a) Pemberian Morphine atau oxycodone atau
fentanyl ± non opioids (Duragesic)
b) Evaluasi selama lebih dari 12 jam, bila nyeri
tidak dapat dikontrol harus dirujuk kepada
tim paliative, PCA pump, Neurolytic block
therapy ataupun spinal stimulator.

E. PELAYANAN MENJELANG AKHIR HAYAT


E.1 DEFENISI
Pasien tahap terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang
mengalami penyakit/sakit yang tidak mempunyai harapan untuk
sembuh yang diakibatkan kegagalan organ atau multiorgan, sehingga
sangat dekat proses kematian. Respon pasien tahap terminal sangat
individual tergantung kondisi fisik, psikologis, sosial yang dialami,
sehingga dampak yang ditimbulkan pada tiap individu juga berbeda.
Hal ini mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang ditunjukkan oleh
pasien terminal.
Menurut dadang Hawari “orang yang mengalami penyakit terminal
dan menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit
kejiwaan, krisis spiritual dan krisis kerohaniaan sehingga pembinaan
kerohanian saat pasien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian
khusus”.
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan seseorang dalam
kondisi terminal/mengancam hidup, antara lain :
1. Penyakit kronis seperti TBC, pneumonia, edema pulmonal, sirosis
hepatis, penyakit ginjal kronis, gagal ginjal dan hipertensi.
2. Kondisi keganasan seperti ca otak, ca paru, ca pankreas, ca liver,
leukemia.
3. Kelainan syaraf seperti paralisa, stroke, hidrocephalus, dll
4. Keracunan, seperti keracunan obat, makanan dan zat kimia.
5. Kecelakaan/trauma, seperti trauma kapitis, trauma organ vital
(paru-paru, jantung dan ginjal), dll
Doks (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang
mengancam hidup dalam 4 fase :
1. Fase prediagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala atau
faktor risiko penyakit.
2. Fase akut : berpusat pada kondisi krisis, pasien dihadapkan
pada serangkaian keputusan, termasuk kondisi medis,
interpersonal, maupun psikologis.
3. Fase kronis : pasien bertempur dengan penyakit dan
pengobatannya.
4. Fase terminal : dalam kondisi ini kematian bukan lagi hanya
kemungkinan, tetapi pasti terjadi.
Pasien dalam kondisi terminal akan mengalami berbagai
masalah baik fisik, psikologi maupun sosial-spiritual. Gambaran
problem yang dihadapi pada kondisi terminal antara lain :
1. Problem oksigenasi : respirasi irregular, cepat atau lambat,
pernafasan ceyne stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan
mental ; agitasi-gelisah, tekanan darah menurun, hipoksia,
akumulasi sekret, nadi irregular.
2. Problem eliminasi : konstipasi, medikasi atau imobilitas
memperlambat peristaltik, kurang diet serat dan asupan
makanan juga mempengaruhi konstipasi, inkontinensia fekal
bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit
(mis : ca colon) retensi urine, inkontinensia urine terjadi akibat
penurunan kesadaran, kondisi penyakit, misalnya trauma
medulla spinalis, oligouri terjadi seiring penurunan intake
cairan atau kondisi penyakit mis, gagal ginjal.
3. Problem nutrisi dan cairan : asupan makanan dan cairan
menurun, peristaltik menurun, distensi abdomen, kehilangan
BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kering dan
membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena
asupan cairan menurun.
4. Problem suhu : ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus
memakai selimut.
5. Problem sensori : penglihatan mrnjadi kabur, refleks berkedip
hilang saat mendekati kematian, menyebabkan kekeringan
pada kornea, pendengaran menurun, kemampuan
berkonsentrasi menjadi menurun dan sensasi menurun
6. Problem nyeri : ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri
dilakukan secara intravena, pasien harus selalu didampingi
untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan
kenyamanan.
7. Problem kulit dan mobilitas : seringkali tirah baring lama
menimbulkan masalah pada kulit sehingga pasien terminal
memerlukan perubahan posisi yang sering.
8. Masalah psikologis pasien terminal dan orang terdekat
biasanya mengalami banyak respon emosi, perasaan marah
dan putus asa seringkali ditunjukkan. Problem psikologis lain
yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan,
hilang kontrol diri. Tidak mampu lagi produktif dalam hidup.
Kehilangan harga diri dan harapan. Kesenjangan
komunikasi/barier komunikasi.
Dr. Elisabeth Kubler – Ross telah mengidentifikasi lima tahap
berduka yang dapat terjadi pada pasien menjelang ajal
1. Denial (pengingkaran)
Pada tahap ini individu menyangkal dan bertindak seperti
tidak terjadi sesuatu, dia mengingkari bahwa dirinya dalam
kondisi terminal. Pernyataan seperti ‘tidak mungkin hal ini
terjadi pada saya, saya tidak akan mati karena kondisi
umum dilontarkan pasien.
2. Anger (Marah)
Individu melawan kondisi terminalnya, dia dapat bertindak
pada seseorang atau lingkungan disekitarnya. Tindakan
tidak mau minum obat, menolak tindakan medis, tidak ingin
makan, adalah respon yang mungkin ditunjukkan pasien
dalam kondisi terminal.
3. Bergaining (tawar – menawar)
Merupakan tahapan proses berduka dimana pasien
mencoba menawar waktu untuk hidup dengan cara yang
halus atau jelas untuk mencegah kematian. Seperti Tuhan
beri saya kesembuhan, jangan cabut nyawaku, saya akan
berbuat baik mengikuti program pengobatan.
4. Depression (Depresi)
Ketika ajal semakin dekat atau kondisi semakin
memburuk pasien merasa terlalu sangat kesepian dan
menarik diri. Komunikasi terjadi kesenjangan, pasien banyak
berdiam diri dan menyendiri.
5. Acceptance (penerimaan)
Reaksi fisiologis semakin memburuk, pasien mulai
menyerah dan pasrah pada keadaan dan putus asa.
Dari tahap-tahap tersebut rumah sakit memberikan
pelayanan yang optimal sesuai kebutuhan asupan pasien
dengan melibatkan peran pihak keluarga pasien menjelang
akhir kehidupannya. Peran perawat dalam setiap tahap ini
sangatlah penting dengan mengamati perilaku dan
memberikan dukungan yang empati.
B.2 RUANG LINGKUP
Pelayanan pasien tahap terminal ini berlaku untuk semua staf dan
unit-unit pelayanan di RSUD Lanto Dg. Pasewang, terutama di ICU
dan ruang perawatan. Ketepatan pemberian pelayanan harus dimulai
pada saat kontak pertama dengan pasien, saat dokter telah
mengidentifikasi pasien tahap terminal dari segi medis dan perawat
mengidentifikasi gejala tahap terminal. Hal ini merupakan tanggung
jawab semua staf rumah sakit baik klinisi maupun admisi.
Rumah sakit melatih staf untuk menyadari kebutuhan unik pasien
pada akhir kehidupannya yaitu meliputi pengobatan terhadap gejala
primer dan sekunder, manajemen nyeri, respon terhadap aspek
psikologsi, sosial, emosional, agama dan budaya pasien dan
keluarganya serta keterlibatannya dalam keputusan pelayanan
E.3 TATA LAKSANA
Pelayanan pasien tahap terminal merupakan hal berbeda dengan
pelayanan pasien pada umumnya, baik dari segi tatalaksana
pengobatan maupun asuhan yang diberikan. Pengobatan yang
diberikan tidak dapat menghilangkan penyebab, namun hanya
memberikan rasa nyaman, atau terapi paliatif agar pasien dengan
kondisi terminal lebih nyaman, gejala-gejala yang dirasakan lebih
minimal, sehingga siap untuk menghadapi tahap akhir kehidupannya.
Asuhan yang diberikan perawat bersifat khusus karena pasien
tahap terminal memiliki kebutuhan yang khusus pula, yang mana
kerjasama dan dukungan dari keluarga turut mempengaruhi
keberhasilan pelayanan. Banyak faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pelayanan pasien tahap terminal, untuk itu pengkajian
sesaat pasien datang sangatlah penting, dengan menggali informasi
klinik yang lengkap, meliputi :
1. Anamnesis dan alloanamnesis yang lengkap. Informasi yang digali
adalah keluhan kesehatan sekarang, dahulu dan riwayat penyakit
yang ada pada keluarga terdekat yang serumah denga pasien.
2. Pemeriksaan fisik secara lengkap dari kepala sampai kaki untuk
mengidentifikasi kelainan-kelainan yang ada, terutama pada
organ-organ vital, yang jika tidak segera akan berakibat fatal.
3. Pemeriksaan penunjang sesuai indikasi yang diperoleh dari hasil
anamnesa dan pemeriksaan fisik lengkap.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penunjang yang
dilakukan diharapkan dokter dan perawat mampu mengidentifikasi
masalah-masalah kesehatan yang ada dan direncanakan asuhan
yang tepat, sesuai dengan kebutuhan pasien.
1. Faktor-faktor yang Memengaruhi
Ada beberapa faktor yang harus dikaji oleh dokter dan perawat
untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu pada pasien
dengan kondisi terminal, yaitu :
a. Faktor Fisik
Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain perubahan pada
penglihatan, pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, tanda-
tanda vital, mobilisasi, nyeri. Di ruang perawatan, staf harus
mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi pada pasien.
Pasien mungkin mengalami berbagai gejala selama berbulan-
bulan sebelum terjadi kematian. Perawat harus respek terhadap
perubahan fisik yang terjadi pada pasien terminal karena hal
tersebut menimbulkan ketidak nyamanan dan penurunan
kemampuan pasien daam pemeliharaan diri.
b. Faktor Psikologis
Perubahan psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi
terminal. Perawat harus peka dan mengenali kecemasan yang
terjadi pada pasien terminal, harus bisa mengenali ekspresi
wajah yang ditunjukkan apakah sedih, depresi, atau marah.
Problem psikologis lainnya muncul pada pasien terminal antara
lain ketrgantungan, ajal yang terjadi pada pasien terminal
c. Faktor Sosial
Perawat harus mengkaji bagaiman interaksi pasien selama
kondisi terminal , karena pada kondisi ini pasien cenderung
menarik diri, mudah tersinggung, tidak ingin berkomunikasi,
dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya. Ketidak
yakinan dan keputusan sering membawa pada perilaku isolasi.
Perawat harus bisa mengenali tanda pasien mengisolasi diri,
sehingga dapat memberikan dukungan sosial bisa dari teman
dekat, kerabat/keluarga terdekat untuk selalu menemani
pasien.
d. Faktor Spiritual
Sejalan denga memburuknya kondisi pasien perawat membuat
diagnosa yang relevan denga kebutuhan dasar seperti
perubahan rasa nyaman, perubahan eliminasi, pernafasan tidak
efektif, perubahan sensoris dan sepertinya berbagai kondisi
tersebut bisa dituangkan dalam bentuk diagnosa aktual dan
potensial. Karena sifat dan tingkat keparahan kondisi terminal,
data pengkajian fisik harus dikumpulkan dengan sering dan
dapat digunakan untuk memvalidasi diagnosa.
2. Tanda dan Gejala
Berikut beberapa gejala yang dialami pasien tahap terminal
disertai cara memberikan kenyamanan sebagai suatu rangkaian
pelayanan pada pasien dengan kondisi terminal.

Gejala Cara memberikan kenyamanan


Penurunan Keadaan awal yang harus diwaspadai
kesadaran (ngantuk) dan segera menghubungi dokter untuk
menanyakan instruksi
Menjadi tidak Banyak pasien masih bisa mendengar
responsif setelah mereka tidak lagi dapat
berbicara sehingga perawat harus
berbicara seolah-olah pasien dapat
mendengar
Kebingungan tentang Berbicaralah dengan tenang untuk
waktu, tempat dan membantu mengembalikan orientasi
orang terkasih pasien. Perlahan mengingatkan pasien
tentang tanggal, waktu dan orang yang
bersama mereka.
Hilangnya nafsu Biarkan pasien memilih apakah dan
makan, penurunan kapan harus makan atau minum.
kebutuhan pangan Sediakan es, air atau jus dapat
dan cairan menyegarkan jika pasien masih bisa
menelan. Jaga mulut pasien agar tetap
lembab dengan produk, seperti swab
gliserin atau lip balm.
Kehilangan kontrol Jaga agar pasien bersih, kering dan
kandung kemih atau senyaman mungkin . pasien dapat
usus menggunakan kateter atau popok
Akral dingin Hangatkan pasien dengan
menggunakan selimut , tapi hindari
selimut listrik atau alat
Gejala Cara memberikan kenyamanan
pemanas yang dapat menyebabkan luka
bakar.
Rasa nyeri Identifikasi nyeri dan tentukan derajat
meningkat atau nyerinya. Segera hubungi dokter yang
tidak berkurang merawat untuk segera memberi
dengan pemberian instruksi untuk mengurangi rasa nyeri
terapi sebelumnya
Nafas sesak tidak Pernafasan mungkin lebih mudah jika
teratur, dangkal atau tubuh pasien dibaringkan ke samping
bising nafas dan bantal diletakkan dibawah kepala
dan dibelakang punggung.
Beberapa perubahan fisik saat kematian telah mendekat :
1. Pasien kurang responsif
2. Fungsi tubuh melambat
3. Pasien berkemih dan defekasi secara tidak sengaja
4. Rahang cenderung jatuh
5. Pernafasan tidak teratur dan dangkal
6. Sirkulasi melambat dan ekstremitas dingin, nadi cepat dan
melemah
7. Kulit pucat
8. Mata membelalak dan tidak ada respon terhadap cahaya
Pada saat-saat seperti ini, berikan kesempatan pada pasien dan
keluarga untuk mengungkapkan perasaan, didiskusikan kehilangan
secara terbuka, dan gali makna pribadi dari kehilangan. Jelaskan
bahwa berduka adalah reaksi yang umum dan sehat, pengetahuan
bahwa tidak ada lagi pengobatan yang dibutuhkan dan bahwa
kematian sedang menanti dapat menyebabkan , menimbulkan
perasaan lainnya. Diskusi terbuka dan jujur dapa membantu pasien
dan anggota keluarga menerima dan mengatasi situasi dan respon
mereka terhadap situasi tersebut.
Pasien stadium terminal memerlukan perawatan yang lebih
khusus, karena banyaknya keluhan yang dia rasakan. Keluarga
umumnya memasrahkan perawatan dan pengobatannya di rumah
sakit, karena dianggap memang tenaga ahlinya ada disitu, dan
keluarga tidak mengetahui bagaimana merawat penderita. Namun
harus diketahui, pengobatan paliatif tidak ada batas waktu sampai
kapan harus dirawat di rumah sakit, karena hanya mengobati gejala
penyakit saja sampai menunggu panggilan Allah. Jangka waktu
perawatan bisa sangat lama, dan tentunya memerlukan biaya sangat
besar baik untuk ongkos penginapan, obat-obatan, tenaga medis dan
paramedis. Selain itu keluarga juga akan sangat repot, karena harus
menunggu siang maupun malam, sehingga harus meninggalkan
rumah, keluarga dan pekerjaan, mengeluarkan biaya tidak sedikit
untuk transport dan lain-lain.
Memang benar, untuk mengatasi keluhan-keluhan fisik yang
dirasakan penderita seperti rasa nyeri, mual-mual, perdarahan, borok,
sakit kepala dan lain-lain memerlukan tenaga dokter dan paramedis.
Namun keluhan lain seperti rasa sepi, rasa kesendirian, putus asa,
rasa takut, cemas, was-was, rasa ingin dicintai, rasa ingin disayangi,
rasa aman, kebutuhan spiritual, support mental, support sosial,
sangat memerlukan dukungan dari keluarga dan lingkungan
sekitarnya yang denga tulus hati mau mendengar, memberikan uluran
kasih sayang dan perhatian yang sangat diperlukan penderita
mendekati saat-saat terakhirnya.
Perawatan paliatif bukan hanya dapat dilakukan di rumah sakit,
tapi di rumah penderita itu sendiri. Perawatan di rumah penderita
sendiri itu disebut juga Home Care. Home care dapat dilaksanakan
dengan standar pengobatan seperti di rumah sakit. Untuk dapat
melaksanakan perawatan di rumah ini, perlu kerjasama dari berbagai
pihak yang akan berfungsi sebagai Tim Perawatan Paliatif Rumah,
yaitu dapat dokter di wilayah setempat, bisa dokter puskesmas atau
dokter keluarga. PKK setempat dan relawan yang ingin membantu dan
dibekali pelatihan tertentu sesuai bidang minat yang sesuai baik
bidang perawatan, dukungan spiritual dan moril.
Adapun prosedur pelaksanaan pelayanan menjelang akhir hayat,
meliputi pengakajian awal pasien dan pengkajian ulang pasien :
a. DPJP melakukan asesmen Awal sesuai kondisi pada pasien tahap
terminal antara lain :
1) Kehilangan tonus otot yang ditandai dengan :
a) Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun
b) Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan kehilangan
reflek menelan
c) Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal ditandai :
mual, muntah, perut kembung, obstipasi
d) Penurunan kontrol spinkter urinari dan rektal
e) Gerakan tubuh yang terbatas
2) Kelambatan dalam sirkulasi yang ditandai dengan :
a) Kemunduran dalam sensasi
b) Cyanosis pada daerah ekstremitas
c) Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian
tangan, telinga dan hidung.
3) Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital :
a) Nadi lambat dan lemah
b) Tekanan darah turun
c) Pernafasan cepat, dangkal dan tidak teratur
4) Gangguan sensori :
a) Penglihatan kabur
b) Gangguan penciuman dan perabaan
b. Tanda-tanda klinis saat meninggal :
1) Pupil mata melebar
2) Tidak mampu untuk bergerak
3) Kehilangan reflek
4) Nadi cepat dan kecil
5) Pernafasan chyene-stoke dan ngorok
6) Tekanan darah sangat rendah
7) Mata tertutup atau agak terbuka

DIREKTUR,

BUSTAMIN

Anda mungkin juga menyukai