Anda di halaman 1dari 26

PRE PLANNING TAK

Terapi Bermain Mewarnai Untuk Mengurangi Dampak Hospitalisasi


Pada Anak Pra Usia Sekolah Di Ruang Rawat Inap Lavender
RS.EMC SENTUL BOGOR

OLEH :
KELOMPOK V

Nalbin Simbolon
Nahdah Dyah Nadilla
Yuli Fitria Subastiana
Yunikah

PROGRAM STUDI PROFESI NERS STIKeS PERTAMEDIKA


2022/2023
A.Latar belakang

Hospitalisasi selama kanak-kanak adalah pengalaman yang memiliki efek


yang lama, kira-kira satu dari tiga anak pernah mengalami hospitalisasi (Foster and
Humsberger, 1998). Hospitalisasi menjadi stresor terbesar bagi anak dan keluarganya
yang menimbulkan ketidaknyamanan, jika koping yang biasa digunakan tidak mampu
mengatasi atau mengedalikan akan berkembang menjadi krisis. Tetapi besarnya efek
tergantung pada masing-masing anak dalam mempersepsikannya.
Hospitalisasi adalah kebutuhan klien untuk dirawat karena adanya perubahan
atau gangguan fisik, psikis, sosial dan adaptasi terhadap lingkungan. Hospitalisasi
terjadi apabila dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak mengalami suatu
gangguan fisik maupun mentalnya yang memungkinkan anak untuk mendapatkan
perawatan di rumah sakit.
Hospitalisasi dapat merupakan satu penyebab stres bagi anak dan keluarganya.
Tetapi tingkat stresor terhadap panyakit dan hospitalisasi tersebut berbeda menurut
anak secara individu. Mungkin seorang anak menganggap hal itu sebagai hal yang
biasa tetapi mungkin yang lainnya menganggap hal tersebut sebagai suatu stresor.
Upaya yang dilakukan adalah meminimalkan stress sebagai pengaruh negatif dari
hospitalisasi yaitu melakukan kegiatan “Terapi Bermain”. Bermain dipercaya mampu
menurunkan stress pada anak akibat lingkungan yang baru dan tindakan invasif
selama proses perawatan di rumah sakit.
Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Aktivitas bermain selalu dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjuk kepada
kegiatan bermain. Bermain dan anak sangat erat kaitannya hubungannya. Menurut
Catron dan Allen dalam bukunya Early Childhood Curriculum A Creative-Play
Model (1999) mengatakan bahwa bermain merupakan wahana yang memungkinkan
anak-anak berkembang optimal. Bermain secara langsung mempengaruhi seluruh
wilayah dan aspek perkembangan anak. Kegiatan bermain memungkinkan anak
belajar tentang diri mereka sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Dalam kegiatan
bermain, anak bebas untuk berimajinasi, bereksplorasi, dan menciptakan sesuatu.
Mewarnai gambar merupakan terapi permainan yang kreatif untuk mengurangi
stress dan kecemasan serta meningkatkan komunikasi pada anak. Menggambar atau
mewarnai bila sebagai suatu permainan yang “nondirective” memberikan kesempatan
anak untuk bebas berekspresi dan sangat “theurapeutic”(sebagai permainan
penyembuh/ “theurapeutic play”) (Whaley, 1991). Mengekpresikan perasaan dengan
menggambar/ mewarnai gambar, berarti memberikan pada anak suatu cara untuk
berkomunikasi, tanpa menggunakan kata (Veltman, 2000).
Salah satu manfaat bermain bagi anak adalah untuk meningkatkan daya
kreativitas dan membebaskan anak dari stres. Kreativitas anak akan berkembang
melalui permainan. Ide-ide yang orisinil akan keluar dari pikiran mereka. Bermain
juga dapat membantu anak untuk lepas dari stres kehidupan sehari-hari. Stres pada
anak dapat disebabkan oleh rutinitas harian selama hospitalisasi yang membosankan.
A.Tujuan
1. Tujuan Umum:
 Setelah dilakukan terapi bermain mewarnai, diharapkan tingkat kecemasan
anak berkurang, anak dapat beradaptasi efektif terhadap stress karena penyakit
dan dirawat dirumah sakit.
2. Tujuan Khusus:
a. Anak dapat melakukan interaksi dan bersosialisasi dengan dengan teman
sesamanya
b.   Menurunkan perasaan hospitalisasi.
c. Dapat beradaptasi dengan efektif terhadap stress karena penyakit dan dirawat
d. Meningkatkan latihan konsentrasi
e.   Mengurangi rasa takut dengan tenaga kesehatan.

SAB
TERAPI BERMAIN MEWARNAI

Pokok Bahasan        : Terapi Bermain Pada Anak Di Rumah Sakit


Sub Pokok Bahasan : Terapi Barmain Anak Usia Prasekolah
Tujuan                       : Mengurangi Kecemasan pada Anak
Tanggal : 
Durasi               : 30 Menit
Tempat Bermain       : Ruangan Rawat Inap Anak Lavender
Peserta                       : Untuk kegiatan ini peserta yang dipilih adalah pasien di Ruang Rawat
Inap Lavender
1. Orang tua yang memiliki anak usia prasekolah (usia 3 sampai 6 tahun) yang menjalani
proses hospitalisasi di RS.EMC.SENTUL BOGOR
2. Anak yang didampingi orang tuanya.
3. Anak dengan tingkat kesadaran compos mentis dan kooperatif.
4. Tidak mengalami gangguan sensoris – motorik.
5. Anak dengan kondisi tidak gawat.
Sarana dan Media
1. Sarana:
a. Ruangan rawat inap anak..
2. Media:
a. Kertas berisi gambar-gambar yang belum diwarnai.
b. Pensil warna (spidol, krayon)
c. Laptop (untuk musik)
d. Hadiah
Pengorganisasian
Leader            : Nalbin Simbolon
Co Leader      : Nahdah
Observer       : Yunikah
Fasilitator : Yuli

Pembagian tugas sebagai berikut:


a. Leader, tugasnya:
1. Membuka acara permainan
2. Mengatur jalannya permainan mulai dari pembukaan sampai selesai.
3. Mengarahkan permainan.
4. Memandu proses permainan.
b. Co Leader, tugasnya :
1. Membantu leader mengatur jalannya permainan
2. Membantu memberi motivasi pada peserta bersama dengan leader
3. Bersama dengan leader memandu dan mengarahkan proses bermain
c. Fasilitator, tugasnya:
1. Membimbing anak bermain.
2. Memberi motivasi dan semangat kepada anak dalam mewarnai
3. Memperhatikan respon anak saat bermain.
4. Mengajak anak untuk bersosialisasi dengan perawat dan keluarganya.
d. Observer, tugasnya:
1. Mengawasi jalannya permainan.
2. Mencatat proses kegiatan dari awal hingga akhir permainan.
3. Mencatat situasi penghambat dan pendukung proses bermain.
4. Menyusun laporan dan menilai hasil permainan
e. Setting Tempat

Keterangan :
: Leader : Orang Tua

: Fasilitator : Observer

: Anak : Dokumentaror

: Co. Leader

Rancangan Bermain :
Permainan yang kita lakukan adalah menwarnai. Setiap anak diberikan buku gambar berpola
dan krayon atau spidol masing-masing satu. Kemudian leader memimpin jalannya
permaianan dengan mengintruksikan kepada anak-anak untuk menggambar sesuai dengan
apa yang diinginkan. Co leader, fasilitator, observer melakukan tugas masing-masing.
Kegiatan Terapi Bermain
Permainan mewarnai dilakukan dalam waktu kurang lebih 30 menit dengan susunan acara
sebagai berikut:
Waktu Kegiatan perawat Kegiatan peserta
5 Menit 1.      Mengucapkan salam 1.      Membalas salam
Pembukaan 2.      Memperkenalkan diri 2.      Mendengarkan penjelasan
Memperkenalkan Pembimbing 3.      Mendengarkan penjelasan
3.      Menjelaskan tujuan dan peraturan 4.      Mendengarkan penjelasan
(perkenalan) kegiatan
4.      Menjelaskan media yang akan
dijadikan media permainan
1.      Mengumpulkan klien yang telah 1.      Ikut berkumpul
diseleksi
2.      Meminta kepada setiap anak untuk 2.      Memperkenalkan diri dan
menyebutkan namanya masing-masing bersalaman dengan peserta
dan bersalaman dengan semua peserta yang lainnya
yang lain
20 Menit 3.      Menjelaskan kembali tentang
Permainan permainan beserta alat-alatnya 3.      Mendengarkan penjelasan
4.      Meminta anak-anak untuk bersiap-
siap memulai mengambil kertas 4.      Mulai bersiap-siap untuk
bergambar dan mewarnai dengan memulai mewarnai gambar
kreasi masing-masing

5 Menit 1.      Memberikan kesimpulan permainan 1.      Mendengarkan


Penutup 2.      Mengucapkan salam penutup 2.      Menjawab salam penutup
(Terminasi )

Evaluasi
1. Evaluasi Struktur
a. Sarana disiapkan pagi hari sebelum acara dimulai
b. Media dipersiapkan 1 hari sebelum pelaksanaan kegiatan
c. Struktur peran telah ditentukan 1 hari sebelum pelaksanaan
d. Kontrak dengan keluarga pasien/anak yang akan diberi terapi bermain dilakukan 1
hari sebelum dan pagi hari sebelum kegiatan dilaksanakan.
2. Evaluasi Proses
a. Leader dibentu co leader memandu terapi bermain dari awal hingga akhir kegiatan
b. Respon anak baik selama proses bermain berlangsung
c. Anak tampak aktif selama proses bermain berlangsung
d. Anak mau dan dapat mewarnai gambar dengan baik didampingi oleh fasilitator
e. Keluarga ikut membantu anak selama pelaksanaan proses bermain
f. Kegiatan berjalan dengan lancar dan tujuan mahasiwa tercapai dengan baik
g. Masing-masing mahasiswa bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing
3. Evaluasi Hasil
a. Kegiatan bermain dimulai tepat pada waktu yang telah ditentukan
b. Anak dapat melakukan pemilihan warna sesuai dengan yang disukainya
c. Anak mengikuti proses bermain dari awal hingga akhir

LAMPIRAN MATERI

1. Anak Usia Pra Sekolah


Anak prasekolah merupakan anak yang memasuki periode usia antara 3 sampai 6
tahun (Wong, 2000 dalam Supartini). Pada usia prasekolah kemampuan sosial anak
mulai berkembang, persiapan diri untuk memasuki dunia sekolah dan perkembangan
konsep diri telah dimulai pada periode ini. Perkembangan fisik lebih lambat dan relatif
menetap. Keterampilan motorik seperti berjalan, berlari, melompat menjadi semakin
luwes, tetapi otot dan tulang belum begitu sempurna (Supartini, 2014).
Pada masa ini, inisiatif anak mulai berkembang dan anak ingin mengetahui lebih
banyak lagi mengenai hal – hal disekitarnya. Anak mulai berfantasi dan mempelajari
model keluarga atau bermain peran, seperti peran guru, ibu dan lain –lain. Dengan
demikian, isi bermain anak lebih banyak menggunakan simbol simbol dalam permainan
atau yang sering disebut dengan permainan peran (dramatic role play). Permainan yang
meningkatkan keterampilan (skill play) juga masih berkembang pada masa ini
(Ambarwati, 2012)
2. Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Prasekolah
Pertumbuhan dan Perkembangan Biologis Anak usia prasekolah yang sehat adalah
yang periang, cekatan serta memiliki sikap tubuh yang baik. Pertambahan tinggi rata-rata
adalah 6,25 sampai 7,5 cm per tahun dan tinggi rata-rata anak usia 4 tahun adalah 101,25
cm. Pertambahan berat badan rata-rata adalah 2,3 kg per tahun dan barat badan ratarata
anak usia 4 tahun adalah 16,8 kg (Muscari, 2005).
a. Perkembangan fisik atau biologis
Perkembangan fisik atau biologis anak usia prasekolah lebih lambat dan
relatif menetap. Pertumbuhan tinggi dan berat badan melambat tetapi pasti
dibanding dengan masa sebelumnya. Sistem tubuh harusnya sudah matang dan
sudah terlatih dengan toileting. Keterampilan motorik, seperti berjalan, berlari,
melompat menjadi lebih luwes, tetapi otot dan tulang belum begitu sempurna
(Supartini, 2014).
b. Perkembangan psikososial
Perkembangan Psikososial Menurut teori perkembangan yang Erikson, masa
prasekolah antara usia 3 sampai 6 tahun merupakan periode perkembangan
psikososial sebagai periode inisiatif versus rasa bersalah, yaitu anak
mengembangkan keinginan dengan cara eksplorasi terhadap apa yang ada di
sekelilingnya. Hasil akhir yang diperoleh adalah kemampuan untuk menghasilkan
sesuatu sebagai prestasinya. Perasaan bersalah akan muncul pada anak apabila anak
tidak mampu berprestasi sehingga merasa tidak puas atas perkembangan yang tidak
tercapai (Supartini, 2014). Anak usia prasekolah adalah pelajar yang energik,
antusias, dan pengganggu dengan imajinasi yang aktif. Anak menggali dunia fisik
dengan semua indra dan kekuatanya. Pada usia prasekolah anak mengembangkan
perasaan bersalah ketika orang tua membuat anak merasa bahwa imajinasi dan
aktifitasnya tidak dapat diterima. Kecemasan dan katakutan terjadi ketika pemikiran
dan aktifitas anak tidak sesuai dengan harapan orang tua (Muscari, 2005).
c. Perkembangan Kognitif
Teori kognitif lebih menekankan pada bagaiman individu belajar berfikir dan
memahami dunianya (Potter& Perry 2009).
Perkembangan kognitif yang dideskripsikan oleh Piaget pada anak usia
prasekolah (3 sampai 6 tahun) berada pada fase peralihan antara prakonseptual dan
intuitif. (Muscari, 2005).
Menurut Sacharin (1996), anak usia 5 hingga 6 tahun mulai mengetahui
banyak huruf-huruf dari alphabet, mengetahui lagu kanak-kanak dan dapat
menghitung sampai sepuluh. Anak juga mulai dapat diberi pengertian,
bermainsecara konstruktif dan imitatif serta menggambar gambar-gambar yang
dapat dikenal.
d. Perkembangan Moral
Menurut Piaget dalam Sacharin (1996), yang menyelidiki penggunaan
aturan-aturan oleh anak-anak dan pandangan mereka mengenai keadilan,dinyatakan
bahwa anak-anak dibawah usia 6 tahun memperlihatkan sedikit kesadaran akan
suatu aturan. Bahkan aturan yang mereka terima tampaknya tidak membatasi
perilaku mereka dalam cara apapun.
Menurut (Kohlberg 1981 dalam Potter & Perry), anak usia prasekolah berada
pada tahap prakonvensional dalam perkembangan moral, yang terjadi hingga usia 10
tahun. Pada tahap ini, perasaan bersalah muncul, dan penekananya adalah pada
pengendalian eksternal. Standar moral anak adalah apa yang ada pada orang lain,
dan anak mengamati mereka untuk menghindari hukuman atau mendapatkan
penghargaan (Muscari, 2005).

e. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi dengan
lingkungan. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan menerima
(Supartini, 2014)
Salah satu bentuk sosialisasi anak usia prasekolah dalam kehidupan
seharihari adalah bermain bersosialisasi dengan keadaan bersama atau dekat dengan
anak-anak lain. Selama masa ini anak cenderung bercakap-cakap dengan dirinya
sendiri membeberkan individu, dan dunia berpusat dalam kehidupan dirinya
(Shacarin, 1996).
Pada masa usia prasekolah ini aktifitas anak yang meningkatt menyebabkan
anak sering kelelahan sehingga menyebabkan anak rentan terserang penyakit akibat
daya tahan tubuh yang lemah pula, sehingga anak diharuskan untuk menjalani
hospitalisasi.
3. Konsep Hospitalisasi
Hospitalisasi diartikan sebagai akibat adanya beberapa perubahan psikis yang dapat
dijadikan sebab seseorang dirawat di sebuah institusi seperti rumah sakit (Stevens, 1999;
dalam Mariyam dan Kurniawan, 2008). Hospitalisasi merupakan suatu proses yang
menjadi alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah
sakit, menjalani terapi pengobatan dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke
rumah (Supartini, 2014). Anak yang baru pertama kali dirawat di rumah sakit
menunjukan perilaku kecemasan. Selain pada anak, orang tua yang kurang mendapat
dukungan emosi dan sosial dari keluarga, kerabat, bahkan petugas kesehatan anak
menunjukan perasaan cemasnya pula (Tiedeman, 1997, dalam Supartini, 2014).
Hospitalisasi merupakan pengalaman penuh stres bagi anak maupun keluarga.
Stressor utama yang dialami dapat berupa perpisahan dengan keluarga, kehilangan
kendali, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri (Ambarwati, 2012)
a. Stresor dan Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan
dirawat di rumah sakit. Keadaaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi
dengan lingkungan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor
stresor bagi anak baik terhadap anak maupun orang tua dan keluarga. Adapun
stresor utama dari hospitalisasi dan reaksi anak prasekolah menurut Wong (2009)
adalah sebagai berikut:

a. Cemas akibat perpisahan


Kecemasan pada anak akibat perpisahan dengan orang tua atau orang yang
menyayangi merupakan sebuah mekanisme pertahanan dan kerakteristik normal
dalam perkembangan anak (Mendez et al., 2008, dalam Ramdaniati, 2011). Jika
perpisahan itu dapat dihindari, maka anak-anak akan memiliki kemampuan yang
besar untuk menghadapi stress lainya. Perilaku utama yang ditampilkan anak
sebagai respon dari kecemasan akibat perpisahan ini terdiriatas tiga fese (Wong,
2009), yaitu:
1. Fase protes (protest)
Pada fase protes anak-anak bereaksi secara agresif terhadap perpisahan
dengan orang tua. Anak menangis dan berteriak memanggil orang tuanya,
menolak perhatian dari orang lain, dan sulit dikendalikan. perilaku yang
dapat diamati pada anak usia prasekolah antaralain menyerang orang asing
secara verbal, misal dengan kata “pergi”, menyerang orang asing secara fisik,
misalnya memukul atau mencubit, mencoba kabur, mencoba menahan orang
tua secara fisik agar tetap menemaninya. Perilaku tersebut dapat berlangsung
dari beberapa jam hingga beberapa hari. Protes dengan menangis dapat terus
berlangsung dan hanya berhenti jika lelah. Pendekatan orang asing dapat
mencetuskan peningkatan stres.
2. Fase putus asa
Pada fase putus asa, tangisan berhenti dan mulai muncul depresi. Anak
kurang aktif, tidak tertarik untuk bermain atau terhadap makanan dan
menarik diri dari orang lain. Perilaku yang dapat diobservasi adalah tidak
aktif, menarik diri dari orang lain, depresi, sedih, tidak tertarik terhadap
lingkungan, tidak komunikatif, mundur ke perilaku awal seperti menghisap
ibu jari atau mengompol. Lama perilaku tersebut berlangsung bervariasi.
Kondisi fisik anak dapat memburuk karena menolak untuk makan, minum
atau bergerak.
3. Fase pelepasan
Anak menjadi lebih tertarik pada lingkungan sekitar, bermain dengan
orang lain dan tampak membentuk hubungan baru. Perilaku yang dapat
diobservasi adalah menunjukan peningkatan minat terhadap lingkungan
sekitar, berinteraksi dengan orang asing atau pemberi asuhan yang
dikenalnya, membentuk hubungan baru namun dangkal, tampak bahagia.
Biasanya terjadi setelah perpisahan yang terlalu lama dengan orang tua. Hal
tersebut merupakan upaya anak untuk melepaskan diri dari perasaan yang
kuat terhadap keinginan akan keberadaan orang tuanya. Perawatan di rumah
sakit memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan yang dirasakan aman,
penuh kasih sayang dan menyenangkan, yaitu lingkungan rumah, permainan
dan teman sepermainan (Supartini, 2014).
Kebutuhan akan keamanan dan bimbingan dari orang tua pun akan
mengalami peningkatan (Apriliawati, 2011). Pada anak usia prasekolah, anak
akan cenderung lebih aman secara interpersonal daripada anak usia 1 sampai
3 tahun, maka anak dapat mentoleransi perpisahan singkat dengan orang tua
anak dan dapat lebih cenderung membangun rasa percaya pada orang dewasa
lain yang bermakna untuknya. Anak usia prasekolah memperlihatkan
kecemasan akibat perpisahan melalui penolakan makan, sulit untuk tidur,
bertanya terus menerus tentang keberadaan orangtuanya atau menarik diri
dari orang lain (Wong, 2009).
4. Kehilangan kendali
Kehilangan kendali yang dirasakan anak saat di rawat dirumah sakit
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah stres anak.
kurangnya kendali akan meningkatkan persepsi ancaman dan dapat
mempengaruhi keterampilan koping anak-anak (Hockenbery & Wilson,
2009; dalam Apriliawati, 2011).
Kontrol diri pada anak bersifat menetap karena anak berada di luar
lingkungan normalnya. Kehilangan kontrol dapat menyebabkan perasaan
tidak berdaya sehingga dapat memperdalam kecemasan dan ketakutan
(Monaco, 1995, dalam Ramdaniati, 2011). Anak akan kehilangan kebebasan
dalam mengembangkan otonominya akibat sakit dan dirawat di rumah sakit.
Anak akan bereaksi agresif dengan marah dan berontak akibat
ketergantungan yang dialaminya (Supartini, 2014).
Anak usia prasekolah sering terjadi kehilangan kontrol yang disebabkan
oleh pembatasan fisik, perubahan rutinitas dan ketergantungan yang harus
anak patuhi. Pemikiran magis anak usia prasekolah membatasi kemampuan
anak untuk memahami berbagai peristiwa, karena anak memandang semua
pengalaman dari sudut pandang anak itu sendiri. Salah satu ciri-ciri khayalan
yang sering dimiliki anak prasekolah untuk menjelaskan alasan sakit atau
hospitalisasi adalah peristiwa tersebut adalah hukuman bagi kesalahan baik
yang nyata maupun khayalan. Respon kehilangan kontrol pada usia ini
berupa perasaan malu, takut dan rasa bersalah (Wong, 2009).
5. Cidera tubuh dan adanya nyeri
Nyeri dan ketidaknyamanan secar fisik yang dialami anak saat
hospitalisasi merupakan salah satu kondisi yang mungkin akan dihadap
selain perpisahan dengan rutinitas dan orang tua, lingkungan yang asing,
serta kehilangan kontrol (Pilliteri, 2009 dalam Ramdaniati, 2011). Konsep
nyeri dan penyakit yang dimiliki oleh seorang anak akan berbeda bergantung
dari tingkat perkembangannya begitu pula dengan respon teradap nyeri.
Perkembangan kognitif anak menentukan pola pikir dan konsep terhadap
sakit dan rasa nyeri. Pemahaman anak terhadap penyakit dan nyeri muncul
pada usia prasekolah. Pada usia ini anak berada pada fase praoperasional
dalam kemampuan kognitifnya. Anak prasekolah sulit membedakan antara
diri anak sendiri dan dunia luar. Pemikiran anak tentang penyakit difokuskan
pada kejadian eksternal yang dirasakan dan hubungan sebab akibat dibuat
berdasarkan kedekatan antara dua kejadian. Misalnya anak sakit perut akibat
sebelum makan tidak cuci tangan. Pemahaman anak terhadap nyeri
dihubungkan sebagai sebuah hukuman atas kesalahan yang dilakukan.
Reaksi-reaksi tersebut dipengaruhi oleh usia perkembangan anak pengalaman
dirawat sebelumnya, mekanisme koping anak dan sistem pendukung yang
ada (Wong, 2009).
a. Usia perkembangan anak Reaksi anak terhadap sakit berbeda-beda
sesuai tingkat perkembangan anak. Semakin muda usia anak, maka akan
semakin sulit bagi anak untuk menyesuaikan diri dengan pengalaman
dirawat di rumah sakit.
b. Pengalaman dirawat di rumah sakit sebelumnya Anak yang baru pertama
kali mengalami perawatan di rumah sakit, dan kurangnya dukungan dari
keluarga bahkan petugas kesehatan akan menimbulkan kecemasan.
Pengalaman yang tidak menyenangkan anak akan menyebabkan anak
takut dan trauma (Supartini, 2014). Pengalaman hospitalisasi yang lalu
selalu menimbulkan dampak bagi pasien terutama anak-anak. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa distres emosional pada anak-anak sering
muncul selama menjalani hospitalisasi atau setelahnya.
c. Mekanisme koping
Pemahaman anak-anak dan mekanisme koping yang digunakan
pada saat hospitalisasi dipengaruhi oleh stresor individu pada tiap fase
perkembangan. Stresor yang utama adalah perpisahan, kehilangan
kontrol, bagian tubuh yang cedera, dan perilaku anak. Setiap anak
mempunyai reaksi mekanisme koping berbeda dalam menjalani
hospitalisasi (Supartini, 2014). Mekanisme koping utama anak
prasekolah adalah regresi. Anak prasekolah akan bereaksi terhadap
perpisahan dengan regresi dan menolak untuk bekerja sama (Muscari,
2005)
b. Upaya meminimalkan stressor atau penyebab hospitalisasi
Upaya meminimalkan stressor dapat dilakukan dengan mencegah atau
mengurangi dampak perpisahan, mencegah perasaan kehilangan kontrol, dan
mengurangi atau meminimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh dan rasa nyeri
(Supartini, 2014).
Untuk mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan dapat dilakukan
dengan cara :
a. Melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan cara
memperbolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam (rooming
in)
b. Beri kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan maksud
mempertahankan kontak antara mereka.
c. Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi rawat seperti
dirumah, diantaranya membuat dekorasi ruangan bernuansa anak.
d. Mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah diantaranya dengan
memfasilitasi pertemuan dengan guru, teman sekolah dan membantunya
melakukan surat menyurat dengan siapa saja yang anak inginkan.
Untuk mencegah perasaan kehilangan kontrol dapat dilakukan dengan cara :
a. Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif terhadap petugas
kesehatan
b. Buat jadwal untuk prosedur terapi, latihan, bermain dan aktivitas lain dalam
perawatan untuk menghadapi perubahan kebiasaan/kegiatan sehari – hari.
c. Fokuskan intervensi keperawatan pada upaya untuk mengurangi
ketergantungan dengan cara memberi kesempatan pada anak mengambil
keputusan dan melibatkan orang tua dalam perencanaan kegiatan asuhan
keperawatan.
Untuk meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri dapat
dilakukan dengan cara :
a. Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang
menimbulkan rasa nyeri, yaitu dengan menjelaskan apa yang akan dilakukan
dan memberikan dukungan psikologis pada orang tua
b. Lakukan permainan terlebih dahulu ebelum melakukan persiapan fisik anak,
misalnya dengan bercerita, menggambar, menonton video kaset dengan cerita
yang berkaitan dengan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan pada
anak
c. Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua pada saat anak dilakukan
tindakan atau prosedur yang menimbulkan rasa nyeri apabila mereka tidak
dapat menahan diri, bahkan menangis bila melihatnya.
d. Tunjukan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa
takut akibat prosedur yang menyakitkan.
e. Pada tindakan pembedahan elektif, lakukan persiapan khusus jauh hari
sebelumnya apabila memungkinkan.
4. Dampak Hospitalisasi
Hospitalisasi bagi anak tidak hanya akan berdampak pada anak tersebut, tetapi
kepada orang tua serta saudara-saudaranya. Berikut ini adalah dampak hospitalisasi
terhadap anak dan orang tua yaitu:
a. Anak
Perubahan perilaku merupakan salah satu dampak hospitalisasi pada anak.
Anak bereaksi terhadap stres pada saat sebelum, selama dan setelah proses
hospitalisasi. Perubahan perilaku yang dapat diamati pada anak setelah pulang dari
rumah sakit adalah merasa kesepian,tidak mau lepas dari orang tua, menuntut
perhatian dari orang tua dan takut perpisahan (Supartini, 2014). Dampak negatif
hospitalisasi juga berhubungan dengan lamanya rawat inap, tindakan invasif yang
dilakukan serta kecemasan orang tua. Respon yang biasa muncul pada anak akibat
hospitalisasi antaralain regresi, cemas karena perpisahan, apatis, takut, dan gangguan
tidur terutama terjadi pada anak yang berusia kurang dari 7 tahun (Melnyk, 2000,
dalam Ramdaniati, 2011).

b. Orang tua
Perawatan anak di rumah sakit tidak hanya menimbulkan masalah bagi anak,
namun juga bagi orang tua. Berbagai macam perasaan muncul pada orang tua yaitu
takut, rasa bersalah, stres dan cemas (Hallstrom dan Elander, 1997; Callery, 1997
dalam Supartini 2014). Perasaan orang tua tidak boleh diabaikan karena apabila
orang tua stres, hal ini akan membuat ia tidak dapat merawat anaknya dengan baik
dan akan menyebabkan anak akan menjadi semakin stres. Takut, cemas dan frustasi
merupakan perasaan yang banyak diungkapkan oleh orang tua. Takut dan cemas
dapat berkaitan dengan keseriusan penyakit dan prosedur medis yang dilakukan.
Sering kali kecemasan yang paling besar berkaitan dengan trauma dan nyeri yang
terjadi pada anak. Perasaan frustasi sering berhubungan dengan prosedur dan
pengobatan, ketidaktahuan tentang peraturan rumah sakit, rasa tidak diterima oleh
petugas, prognosis yang tidak jelas, atau takut mengajukan pertanyaan (Wong,
2009).
Dampak lain hospitalisasi pada anak dipengaruhi oleh tingkat perkembangan
usia, pengalaman sebelumnya, support system dalam keluarga keterampilan koping
dan berat ringannya penyakit. Dampak yang umumnya terjadi saat hospitalisasi
(Marrasaoly, 2009 Skripsi) adalah Takut, seperti unfamiliarity, lingkungan rumah
sakit yang menakutkan rutinitas rumah sakit, prosedur yang menyakitkan, takut akan
kematian, yang kedua isolasi, merupakan hal yang menyusahkan bagi semua anak
terutama berpengaruh pada anak dibawah usia 12 tahun. Pengunjung, perawat dan
dokter yang memakai pakaian khusus ( Masker, pakaian isolasi, sarung tangan
penutup kepala ) dan keluarga yang tidak dapat bebas berkunjung dan yang ketiga
Privasi yang terhambat seperti rasa malu dan tidak bebas bermain.
5. Konsep Bermain
a. Defenisi bermain
Bermain merupakan suatu aktifitas diamana anak dapat melakukan atau
memperaktikkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi
kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berprilaku dewasa. Bermain
merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh
kesenangan/kepuasan. Bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual,
emosional, dan sosial dan beramin merupakan media yang baik untuk belajar karena
dengan bermain, anak – anak akan berkata – kata (berkomunikasi), belajar
menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukanya dan
mengenal waktu, jarak, serta suara (Wong, 2000 Dalam Supartini 2014)
Bermain adalah kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak
sehari – hari karena bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, yang dapat
menurunkan stres anak, media yang baik bagi anak untuk belajar berkomunikasi
dengan lingkungannya, menyesuaikan diri terhadap lingkungan, belajar mengenal
dunia sekitar kehidupannya dan penting untuk meningkatkan kesejahteraan mental
serta sosial anak
b. Kategori Bermain
Dua kategori bermain (Dian A, 2011) adalah sebagai berikut:
a. Bermain Bebas
Bermain bebas artinya anak bermain tanpa aturan dan tuntuna. Anak bisa
mempertahankan minatnya dan mengembangkan sendiri kegiatannya.
b. Bermain Terstruktur
Bermain terstruktur direncanakan dan dipandu oleh orang dewasa. Kategori
bermain ini membatasi dan meminimalkan daya cipta anak.
Kedua kategori bermain ini sama pentingnya dan bila dilakukan secara
seimbang akan memberikan kontribusi untuk mencerdaskan anak.
c. Variasi dan Keseimbangan dalam Aktivitas Bermain
Menurut Dian A, 2011 variasi dan keseimbangan dalam aktivitas bermain
adalah sebagai berikut :
a. Bermain aktif
1) Bermain mengamati / menyelidiki (exploratory play).
Perhatian pertama anak pada alat bermain adalah memeriksa alat
permainan tersebut. Anak memperhatikan alat permainan, mengocok –
ngocok apakah ada bunyi, mencium, meraba, menekan, dan kadang –
kadang berusaha membongkar.
2) Bermain kontruktif (contruction play)
Pada anak umur 3 tahun, misalnya menyusun balok menjadi rumah –
rumahan.
3) Bermain drama
Misalnya bermain sandiwara boneka dan dokter – dokteran dengan
temannya
4) Bermain bola, tali dan sebagainya
b. Bermain Pasif
Dalam hal ini anak berperan pasif, antara lain dengan melihat dan
mendengarkan. Bermain pasif ini adalah ideal apabila anak sudah lelah
bermain dan membutuhkan sesuatu untuk mengatasi kebosanan dan
keletihannya. Contoh bermain pasif sebagai berikut, (Dian A, 2011) :
1. Melihat gambar – gambar di buku / majalah
2. Mendengarkan cerita / musik
3. Menonton televisi, dll
d. Hal – Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Aktivitas Bermain
Adapun Hal – Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Aktivitas Bermain menurut
Dian A, 2011 adalah :
a. Energi ekstra / tambahan
Bermain memerlukan energi tambahan, anak sakit kecil keinginannya untuk
bermain.
b. Waktu
Anak harus mempunyai cukup waktu untuk bermain
c. Alat permainan
Untuk bermain diperlukan alat permainan yang sesuai dengan umur dan taraf
perkembangan
d. Ruang untuk bermain
Ruang tidak usah terlalu besar, anak juga bisa bermain dihalaman atau diatas
tempat tidur
e. Pengetahuan cara bermain
Anak belajar bermain melalui mencoba – coba sendiri, meniru temannya, atau
diberi tahu caranya.
f. Teman bermain
Anak harus yakin bahwa ia mempunyai teman bermain.
g. Reward
Berikan seemangat / pujian dan hadiah pada nak apabila berhasil melakukan
sebuah permainan.
e. Faktor – Faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain
Ada lima faktor yang mempengaruhi aktifitas bermain pada anak (Supartini, 2014),
yaitu :
a. Tahap perkembangan anak
Aktivitas bermain yang tepat dilakukan anak, yaitu sesuai dengan tahapan
pertumbuhan dan perkembangan anak. Tentunya permainan anak usia bayi tidak
lagi efektif untuk pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah. Demikian
juga sebaliknya karena pada dasarnya permainan adalah alat stimulasi
pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan demikian, orang tua dan perawat
harus mengetahui dan memberikan jenis permainan yang tepat untuk setiap
tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak.
b. Status kesehatan anak
Untuk melakukan aktivitas bermain diperlukan energi. Walaupun
demikian, bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat sedang sakit.
Kebutuhan bermain pada anak halnya dengan kebutuhan bekerja pada orang
dewasa. Yang penting pada saat kondisi anak sedang menurun atau anka terkena
sakit, bahkan dirawat dirumah sakit, orang tua dan perawat harus jeli
memilihkan permainan yang dapat dilakukan anak sesuai dengan prinsip
bermain pada anak yang sedang dirawat di rumah sakit.
c. Jenis kelamin anak
Dalam melaksanakan aktivitas bermain tidak membedakan jenis kelamin
laki – laki atau perempuan. Semua alat permainan dapat digunakan oleh anak
laki – laki ataupun anak perempuan untuk mengembangkan daya pikir,
imajinasi, kreativitas, dan keemampuan sosial anak. Akan tetapi ada pendapat
lain yang meyakini bahwa permainan adalah salah satu untuk membantu anak
mengenal identitas diri sehingga sebagian alat permainan anak perempuan tidak
dianjurkan untuk digunakan oleh anak laki-laki.Lingkungan yang mendukung
d. Terselenggaranya aktivitas bermain yang baik untuk perkembangan anak salah
satunya dipengaruhi oleh nilai moral, budaya dan lingkungan fisik rumah.
Lingkungan rumah yang cukup luas untuk bermain memungkinkan anak
mempunyai cukup ruang gerak untuk bermain, berjalan, mondar-mandir, berlari,
melompat, dan bermain dengan teman sekelompoknya.
e. Alat dan jenis permainan yang cocok
Orang tua harus bijaksana dalam memberikan alat permainan untuk anak.
Pilih yang sesuai dengan tahapan tumbuh – kembang anak. Label yang tertera
pada mainan harus dibaca terlebih dahulu sebelum membelinya, apakah mainan
tersebut sesuai dengan usia anak. Alat permainan tidak selalu harus yang dibeli
di took atau mainan jadi, tetapi lebih diutamakan yang dapat menstimulasi
imajinasi dan kreativitas anak, bahkan sering kali disekitar kehidupan anak ,
akan lebih merangsang anak untuk kreatif. Alat permainan yang harus didorong,
ditarik, dan dimanipulasi, akan mengajarkan anak untuk dapat mengembangkan
kemampuan koordinasi alat gerak. Permainan membantu anak untuk
meningkatkan kemampuan dalam mengenal norma dan aturan serta interkasi
social dengan orang lain.
f. Bermain Untuk Anak Yang Dirawat Di Rumah Sakit
Perawatan anak dirumah sakit merupakan pengalaman yang penuh dengan
stress, baik bagi anak maupun orang tua. Beberapa bukti ilmiah, menunjukkan
bahwa lingkungan rumah sakit itu sendiri merupakan penyebab stress bagi anak
dan orang tuanya, baik lingkungan fisik rumah sakit seperti bangunan/ruang rawat,
alat-alat, bau yang khas, pakaian putih petugas kesehatan maupun lingkungan
social, seperti sesama pasien anak, ataupun interaksi dan sikap petugas kesehatan
itu sendiri. Perasaan, seperti takut, cemas, tegang, nyeri dan perasaan yang tidak
menyenangkan lainnya, sering kali dialami anak.
Hal tersebut terutama terjadi pada anak yang belum mampu mengekspresikan
secara verbal. Untuk itu, anak memerlukan media yang dapat mengekspresikan
perasaan tersebut dan mampu bekerja sama dengan petugas kesehatan selama
dalam perawatan.media yang paling efektif adalah melalui kegiatan permainan.
Permainan yang teraupetik didasari oleh pandangan bahwa bermain bagi anak
merupakan aktivitas yang sehat dan diperlukan untuk kelangsungan tumbuh
kembang anak dan memungkinkan untuk dapat menggali dan mengekspresikan
perasaan dan pikiran anak, mengalihkan parasaan nyeri, dan relaksasi. Dengan
demikian, kegiatan bermain harus menjadi bagian integral dan pelayanan kesehatan
anak dirumah sakit (Brennan, 1994).
Aktivitas bermain yang dilakukan perawat pada anak di rumah sakit akan
memberikan keuntungan sebagai berikut :
1. Meningkatkan hubungan antara klien ( anak keluarga ) dan perawat karena
dengan melaksanakan kegiatan bermain, perawat mempunyai kesempatan
untuk membina hubungan yang baik dan menyenangkan dengan anak dan
keluarganya. Bermain merupakan alat komunikasi yang efektif antara
perawat dan klien.
2. Perawatan dirumah sakit akan membatasi kemampuan anak untuk mandiri.
Aktivitas bermain yang terprogram akan memulihkan perasaan mandiri pada
anak.
3. Permainan pada anak dirumah sakit tidak hanya akan memberikan rasa
senang pada anak, tetapi juga akan membantu anak mengekspresikan
perasaan dan pikiran cemas, takut, sedih, tegang, dan nyeri. Pada beberapa
anak yang belum dapat mengekspresikan perasaan dan pikiran secara verbal
dan/ atau pada anak yang kurang dapat mengekspresikannya, permainan
menggambar, mewarnai, atau melukis akan membantunya mengekspresikan
perasaan tersebut.
4. Permainan yang teraupetik akan dapat meningkatkan kemampuan anak untuk
mempunyai tingkah laku yang positif.
5. Permainan yang memberikan kesempatan pada beberapa anak untuk
berkompetisi secara sehat, akan dapat menurunkan ketegangan pada anak dan
keluarganya ( Supartini, 2014).
g. Fungsi Bermain Di RS
Menurut Dian A, 2011 adapun fungsi bermain di RS adalah sebagai berikut :
1. Memfalisitasi anak untuk beradaptasi dengan lingkungan yang asing
2. Memberi kesempatan untuk membuat keputusan dan kontrol
3. Membantu mengurangi stress terhadap perpisahan
4. Memberi kesempatan untuk mempelajari tentang bagian – bagian tubuh,
fungsinya dan penyakit
5. Memperbaiki konsep – konsep yang salah tentang penggunaan dan tujuan
peralatan serta prosedur medis
6. Memberi peralihan (distraksi) dan reklasi
7. Membantu anak untuk merasa lebih aman dalam lingkungan yang asing
8. Memberi cara untuk mengurangi tekanan dan untuk mengeksplorasi perasaan
9. Menganjurkan untuk berinteraksi dan mengembangkan sikap – sikap yang
positif terhadap orang lain
10. Memberi cara untuk mengekspresikan ide kreatif dan minat
11. Memberi cara untuk mencapai tujuan teraupetik
Menurut (Supartini, 2014), terapi bermain yang dilaksanakan di rumah sakit
tetap harus harus memperhatikan kondisi kesehatan anak. Ada pun beberapa
prinsip permainan pada anak dirumah sakit yaitu :
a. Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang sedang
dijalankan pada anak. Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan
yang dapat dilakukan ditempat tidur, dan anak tidak boleh diajaka bermain
dengan kelompoknya ditempat bermain khusus yang ada di ruangan rawat.
Misalnya, sambil tiduran anak dapat dibacakan buku cerita atau diberikan
buku komik anak-anak, mobil-mobilan yang tidak pakai remote control, robot-
robotan, dan permainan lain yang dapat dimainkan anak dan orang tuanya
sambil tiduran.
b. Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat dan sederhana.
Pilih jenis permainan yang tidak melelahkan anak, menggunakan alat
permainan yang ada pada anak dan/atau yang tersedia diruangan. Kalaupun
akan membuat suatu alat permainan, pilih yang sederhana, supaya tidak
melelahkan anak (misalnya, menggambar / mewarnai, bermain boneka dan
membaca buku cerita ).
c. Kelompok umur yang sama. Apabila dilakukan khusus dikamar bermain
secara berkelompok, permainan harus dilakukan pada kelompok umur yang
sama. Misalnya, permainan mewarnai pada kelompok usia prasekolah.
d. Permainan harus mempertimbangkan keamanan anak. Pilih alat permainan
yang aman untuk anak, tidak tajam, tidak merangsang anak untuk berlari – lari
dan begerak secara berlebihan.
e. Melibatkan orang tua. Satu hal yang harus diingat bahwa orang tua
mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulasi tumbuh
kembang pada anak walaupun sedang di rawat di rumah sakit,termasuk dalam
aktivitas bermain anaknya. Perawat hanya bertindak sebagai fasilitator
sehingga apabila permainan diinisiasi oleh perawat, orang tua harus terlibat
secara aktif dan mendampingi anak dari awal permainan sampai mengevaluasi
permainan anak bersama dengan perawat dan orang tua anak lainnya.

6. Terapi Bermain Mewarnai


Menurut Hidayah, 2011 :
a. Defenisi
Menggambar dan mewarnai adalah kegiatan yang menyenangkan bagi anak-
anak. Lewat menggambar, mereka bisa menuangkan beragam imajinasi yang ada di
kepala mereka. Gambar-gambar yang mereka hasilkan juga dapat menunjukkan
tingkat kreativitas dan suasana hati masing-masing anak.
Kebanyakan dari Orang tua yang peduli dengan perkembangan kreativitas
putra-putrinya biasanya akan mengikutsertakan anak-anak mereka untuk kursus
menggambar atau kursus melukis sejak dini, karena semakin muda usia anak,
semakin mudah diarahkan potensi dan bakatnya. Selain itu, aktivitas mewarnai juga
sudah menjadi bagian dari kehidupan si kecil, bukan hanya sebagai kegiatan untuk
mengisi waktu kosong anak, tapi juga sebagai aktualisasi diri anak dalam bidang
seni. Terlepas dari itu semua, perlu diketahui bahwa aktifitas mengambar dan
mewarnai memiliki banyak manfaat bagi si kecil, diantaranya:
Sebagai Media Berekspresi, Seperti halnya orang dewasa, aktifitas mewarnai
terutama mewarnai bidang kosong merupakan cara bagi si kecil untuk
mengungkapkan perasaaan dirinya. Melalui gambar yang dibuatnya dapat terlihat
apa yang sedang dirasakannya, apakah itu perasaan gembira atau perasaan sedih.
Membantu Mengenal Perbedaan Warna, Membiasakan si kecil untuk
melakukan aktifitas mewarnai baik dengan krayon, pensil warna maupun spidol
warna sejak dini dapat membantu mereka mengenal warna, sehingga mereka dapat
membedakan antara warna yang satu dengan warna lainnya. Hal ini juga dapat
mempermudah mereka dalam mencampur dan memadukan warna. Kemampuan
inilah yang akan membantu si kecil dalam berkreasi seiring dengan perkembangan
usia mereka.
Warna Merupakan Media Terapi, Warna merupakan sebuah media terapi bagi
banyak orang, bahkan warna kerapkali digunakan sebagai bahasa global untuk
membaca emosi seseorang. Seorang anak yang mewarnai matahari dengan warna-
warna gelap seperti hitam atau abu-abu bisa jadi menandakan kemarahan mereka
saat itu. Selain itu cara si kecil menorehkan warna juga dapat mengekspresikan sifat
dasar mereka, sebagai contoh, jika si kecil mewarnai dengan cara menorehkan garis-
garis teratur pada gambar menunjukan bahwa si kecil memeiliki kecenderungan
gaya hidup teratur. Terlepas dari itu warna sendiri menjadi alat terapi untuk
meringankan stres pada si kecil setelah lelah seharian beraktifitas.
Melatih si kecil Menggenggam pensil, Bagi sebagaian anak, krayon adalah
benda pertama yang digenggamnya sebelum mereka menggenggam pensil. Saat
mewarnai dengan krayon itulah pertama kali si kecil belajar menggengam dan
mengontrol pensil di tangannya. Kemampuan tersebut yang nantinya akan
membantunya dalam menulis saat si kecil menempuh pendidikan di sekolah.
Melatih Kemampuan Koordinasi, Kemampuan berkoordinasi merupakan
manfaat lain yang bisa diperoleh dari aktifitas mewarnai. Dalam mewarnai
diperlukan koordinasi yang bagus antara mata dan tangan, mulai dari bagaimana
cara yang tepat menggenggam krayon, hingga memilih warna dan menajamkan
krayon. Kemampuan dasar berkordinasi inilah yang dapat mengembangkan
kemampuan dasar si kecil hingga mereka besar nanti.
Mengembangkan Kemampuan Motorik, Aktifitas mewarnai merupakan
aktifitas yang dapat membantu meningkatkan kinerja otot tangan sekaligus
mengembangkan kemampuan motorik anak. Kemampuan tersebut sangat penting
dalam perkembangan aktifitasnya kelak, seperti dalam mengetik, mengangkat benda
dan aktifitas lainnya dimana dibutuhkan kinerja otot lengan dan tangan dalam
prosesnya.
Mewarnai Meningkatkan Konsentrasi, Aktifitas mewarnai dapat melatih
konsentrasi si kecil untuk tetap fokus pada pekerjaan yang dilakukannya meskipun
banyak aktifitas lain yang terjadi di sekelilingnya. Seorang anak yang sedang
menyelesaikan tugas mewarnai akan fokus pada lembar gambar yang sedang
diwarnainya, sehingga sekalipun pun di sekelilingnya ribut dengan aktifitas anak-
anak lain, ia akan tetap fokus menyelesaikan tugas mewarnainya. Kemampuan
berkonsentrasi inilah yang kelak berguna bagi si kecil dalam menyelesaikan soal
matematika atau pelajaran lainnya yang membutuhkan konsentrasi tinggi.
Mewarnai Melatih Si Kecil Mengenal Garis Batas Bidang, Mengenal batas
bidang gambar merupakan manfaat lain dari aktifitas mewarnai. Di masa awal si
kecil memulai aktifitas mewarnai, mereka tidak akan peduli dengan garis batas
gambar di hadapannya, hal tersebut wajar-wajar saja, biarkan si kecil merasa
nyaman dan exited terlebih dahulu dengan aktifitas mewarnainya. Seiring dengan
berjalannya waktu dan bertambahnya usia si kecil, mereka akan mulai menghargai
dan memperhatikan garis-garis batas tersebut, dan berusaha untuk mewarnai gambar
di hadapannya tanpa keluar garis. Membiasakan anak belajar mewarnai sejak kecil
akan melatihnya lebih peka terhadap batasan garis sejak dini. Kemampuan inilah
yang menjadi bekal mereka saat mereka mulai belajar menulis di buku tulis bergaris.
7. Mewarnai Sebagai Terapi
Mewarnai buku gambar adalah terapi permainan melalui buku gambar untuk
mengembangkan kreativitas pada anak untuk mengurangi stress dan kecemasan serta
meningkatkan komunikasi pada anak (Supartini, 2014).
Anak-anak pada usia prasekolah dapat memainkan sesuatu dengan tangannya
serta senang bermain dengan warna, oleh karena itu bermain dengan mewarnai gambar
menjadi alernatif untuk mengembangkan kreatifias anak dan dapat menurunkan tingkat
kecemasan pada anak selama dirawat. Mewarnai gambar dapat menjadi salah satu
media bagi perawat untuk mampu mengenali tingkat perkembangan anak. Dinamika
secara psikologis menggambarkan bahwa selama anak bermain dengan sesuatu yang
menggunakan alat mewarnai seperti crayon atau pensil warna akan membantu anak
untuk menggunakan tangannya secara aktif sehingga merangsang motorik halusnya.
Oleh karena sangat pentingnya kegiatan bermain terhadap tumbuh kembang anak dan
untuk mengurangi kecemasan akibat hospitalisai, maka akan dilaksanakan terapi
bermain pada anak usia prasekolah dengan cara mewarnai gambar.
a. Manfaat mewarnai gambar sebagai berikut :
1. Mewarnai melatih kemampuan koordinasi,
2. Mewarnai membantu kemampuan motorik,
3. Mewarnai meningkatkan konsentrasi,
4. Mewarnai dapat melatih anak mengenal garis bidang,
5. Mewarnai melatih anak membuat target dan warna sebagai media komunikasi
b. Aturan Bermain Mewarnai Buku Gambar
1. Anak diberikan buku mewarnai dan pensil warna.
2. Anak diperkenalkan dan ditanya gambar – gambar apa saja yang ada dalam
buku gambar.
3. Anak diminta menyebutkan dan mengenali bagian – bagian gambar.
4. Anak diminta mewarnai gambar dalam buku tersebut dengan menggunakan
pensil warna
5. Anak harus menyelesaikan tindakan mewarnai dan lengkap (Faris, 2009).

8. Manfaat Terapi Bermain Mewarnai di Rumah Sakit


a. Menggambar atau mewarnai merupakan salah satu permainan yang memberikan
kesempatan anak untuk bebas berekspresi dan sangat terapeutik (sebagai permainan
penyembuh). Permainan mewarnai gambar adalah satu dari aspek yang paling
penting dalam kehidupan seorang anak, dan merupakan salah satu cara yang paling
efektif untuk menghadapi dan mengatasi stress.
b. Menggambar atau mewarnai adalah sebagai suatu permainan yang ”nondirective”
memberikan kesempatan anak untuk bebas berekspresi dan sangat “therapeutic”.
Mengekspresi “feeling”nya dengan menggambar atau mewarnai gambar, berarti
memberikan pada anak suatu cara untuk berkomunikasi, tanpa menggunakan kata
(Siti Aizah, 2014).
c. Melalui aktifitas mewarnai gambar, emosi dan perasaan yang ada didalam diri bisa
dikeluarkan, sehingga dapat menciptakan koping yang positif. Koping positif ini
ditandai dengan perilaku dan emosi yang positif. Keadaan tersebut akan membantu
dalam mengurangi stress yang dialami anak (Hidayah, 2011).
d. Dengan mewarnai gambar pula anak dapat berkomunikasi dengan orang lain
terutama perawat sehingga stres anak menjadi berkurang karena anak tidak lagi
beranggapan bahwa perawat tidak selalu menyakitinya akan tetapi bisa juga bermain
dengannya.

DAFTAR PUSTAKA

Erlita., 2006, Pengaruh Permainan Pada Perkembangan Anak. Terdapat


Padahttp://info.balitacerdas.com. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015
Foster and Humsberger., 1998, Family Centered Nursing Care of Children. WB sauders
Company, Philadelpia USA.
Hurlock, E B., 2005, Perkembangan Anak Jilid I., Erlangga : Jakarta.
Kliegman, Robert M., 2000, Ilmu Keshatan Anak Nelson Vol 3, Editor Bahasa Indonesia: A.
Samik Wahab-Ed.15 EGC : Jakarta
Markum, dkk., 2004, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak., IDI : Jakarta
Soetjiningsih, 2006, Tumbuh Kembang Anak, EGC: Jakarta
Wong, Donna L. ,2003, Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi-4., EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai