Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan
baik, serta tepat pada waktunya. Dalam Penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Oni Lisawati,S.E,Ak,S.Pd,M.Pd,M.Si selaku tutot
mata kuliah Pendidikan IPS di SD, serta kerabat penulis yang telah membantu dan
memberi dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dalam
makalah ini kami akan membahas mengenai Nilai dan sikap yang terkandung dalam
kurikulum IPS SD 2006. Makalah ini dibuat berdasarkan materi-materi yang di peroleh
dari buku maupun internet. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang
mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami harap kepada pembaca untuk dapat
memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari
pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Penulis
i
Daftar isi
Bab I Pendahuluan..................................................................... 1
Tujuan ..........................................................1.3
Nila........... .....................................................................2.1
Sikap................. ............................................................2.2
Keterammpilan Intelektual............................................3
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.2 Untuk mengetahui Nilai dan sikap yang terkandung dalam kurikulum IPS SD
2006
1.3.3 Untuk mengetahui keterampilan Intelektual maupun kemampuan analisis,
personal dan sosial yang terdapat dalam kurikulum IPS SD 2006
BAB II
Tinjauan Pustaka
Nilai yang dimiliki seseorang dapat mengekspresikan mana yang Iebih disukai mana yang
tidak, Mana yang baik dan mana yang tidak sehingga dapat membentuk sebuah sikap.
Nilai merupakan determinan bagi pembentukan sikap. Nilai juga dirumuskan secara
beragam, dengan landasan berbeda-beda serta tujuan dan disiplin yang berbeda pula. Nilai
merupakan konsep dalam ekonomi, filosifi, pendidikan dan bimbingan juga di dalam
sosiologi dan geografi serta sejarah, yang sering terjadi ialah satu sikap disebabakan oleh
banyak nilai. Bagaimanakah kaitan sikap dengan kognitif, afektif dan kecenderungan
bertindak? Seperti sudah dikemukakan di atas bahwa di dalam sikap telah terkandung
aspek-aspek kognitif, afektif dan kecenderungan bertindak. Dapat disimpulkan bahwa
terdapat kaitan yang erat antara nilai dengan aspek-aspek kognitrj aspek afektif dan
kecenderungan bertindak. Dari kajian para ahli dapat ditegaskan bahwa: Ada hubungan
timbal-balik antar nilai dengan kognitif. Ada hubungan timbal balik antara afektif dengan
kognitif. Nilai mempengaruhi kesiapan seseorang yang pada akhirnya akan menunJ
kepada terwujudnya perilaku yang sesuai dengan tingkat pemahaman dan penghayatan
terhadap “belief (keyakinannya). Aspek nilai dan sikap dari bahan pelajaran yang
diberikan guru sangat ditentukan oleh isi materi sebagai hasil pengembangan kurikulum
dari topik-topik/sub topik-topik yang mengacu kepada tuntutan kurikulum. Oleh sebar itu
ungkapah nilai dan sikap dari topik-topik/sub topik tertentu yang disampaikan guru yang
satu mungkin berbeda dari guru lainnya. Hal ini membutuhkan kreatifitas guru yang
bersangkutan. Uraian nilai dan sikap yang mengacu kepada tuntutan kurikulum berikut ini
hanya disinggung secara garis besar (Massofa:2009).
3.2 Nilai dan sikap yang terkandung dalam kurikulum IPS SD 2006
Gross (1978:25) menjelaskan, bahwa satu hal yang sangat penting yang harus
dipertimbangkan dalam pendidikan IPS adalah segala tingkatan dan jenjang pendidikan
adalaha pendidikan nilai atau pendidikan moral. Pandangan – pandangan tentang nilai dan
pendidikan nilai diatas perlu kita pertimbangkan dalam aktivitas belajar siswa dalam
kaitannya dengan pendidikan IPS. Para siswa diharapkan mampu memilih mana nilai
positif mana nilai negatif, bahkan di kemudian hari mereka dapat berkontribusi untuk
perbaikan kehidupan masyarakat itu sendiri sesuai dengan tatanan sistem nilai budaya
bangsanya.
Bagaimanakah langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam mengembangkan
kemampuan siswa untuk mengklasifikasi nilai-nilai itu? Tentu banyak alternatif yang
dapat dilakukan. Salah satu diantaranya adalah apa yang dikemukakan oleh Ocha dan
Jhonson. Menurut pendapatnya, belajar nilai itu dapat dilakukan baik di dalam maupun di
luar kelas. Cara yang efektif adalah melalui “action learning model”, dengan menekankan
pengajaran skill agar dapat berpartisipasi di dalam masyarakat. Yang penting bahwa siswa
yang masih sangat remaja didorong untuk dapat berperilaku sesuai dengan nilai yang
dihayatinya. Proses belajar model ini berjalan sirkuler, tidak linear, artinya seseorag dapat
saja menempati tahapan tertentu, tetapi di dalam lingkaran penahapan yang berulang.
Bagaimana tumbuhnya kesadaran nilai itu?
Untuk menjawab pertanyaan itu marilah kita ikuti penjelasan dari Kohlberg secara
singkat sebagai berikut :
1) Tingkat prekonvensional
a. Tahap 1 : tahap kepatuhan bukan atas dasar hormat kepada peratuarn normal yang
mendasarinya melainkan karena takut hukuman
b. Tahap 2 : pada tahap ini penalaran anak beranggapan bahwa tindakan yang benar
adalah tindakan yang memenuhi kebutuhan sendiri, yaitu “jika anda baik kepadaku, maka
aku juga baik kepadamu”.
2) Tingkat konvensional
a. Tahap 3 : pada tahap ini penalaran anak beranggapan bahwa tingkah laku yang baik
adalah yang menyenangkan atau membantu orang-orang lain dan mendapat persetujuan
dari mereka agar menjadi “anak yang manis”
b. Tahap 4: tahap orientasi hukum dan ketertiban. Bertindak moral berdasarkan rasa
hormat kepada pemegang otoritas (pemerintah, atasan, penguasa) serta peraturan-peraturan
yang sudah pasti, dan berusaha memelihara ketertiban masyarakat.
3) Tingkat pasca konvensional, otonomi berprinsip.
a. Tahap 5 : tahap orientasi kontak sosial yang berdasarkan hukum. Telah tumbuh
pandangan rasional, legalistik serta menghargai kemaslahatan untuk kepentingan umum.
b. Tahap 6 : tahap orientasi etika universal. Berbuat baik karena mengikuti suara hati
nurani sesuai dengan prinsip – prinsip etika yang dilihatnya. Berdasarkan pertimbangan
logis, universaltas dan konsistensi.
Guru tentu harus mengambil posisi, tapi bukan posisi dibelakang layar. Guru yang
bersikap seperti itu berdiri dibelakang layar adalah tidak “fair”. Tidak terbuka. Ia
mengambil strategi menghindar dari persoalan jika masalah nilai muncul ke permukaan,
(Banks:409) menyebutkan dengan Evasion Strategy.
Disamping sikap menghindar tersebut tadi ada juga sikap guru yang cenderung senang
melakukan indotrinasi nilai kepada siswanya. Guru seperti ini, mengajarkan nilai kepada
siswanya dengan anggapan bahwa yang dianggap benar adalah apa yang disepakati orang
dewasa.
Kedua sikap diatas kiranya perlu mendapat perbaikan siswa memiliki kepedulian
dengan pengembangan nilai. Untuk itu tidak boleh menghindar atau bertindak otoriter.
Menurut Notonagoro (Darmodiharjo, 1979 : 55:56) nilai terbagi atas 3 bagian sebagai
berikut:
a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia
b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan
c. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia
Nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas 4 macam sebagai berikut
a) Nilai kebenaran/kenyataan yang bersumber pada unsur akal manusia (rasio, budi,
cipta)
b) Nilai keindahan yang bersumber pada unsur-unsur rasa manusia, estetis.
c) Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak/kemauan
manusia (karsa, etik)
d) Nilai religius, yang merupakan nilai Ketuhanan, kerohanian yang tertinggi dan
mutlak. Nilai religius ini bersumber pada keyakinan manusia.
Ada beberapa teori tentang pembentukan sikap yang perlu diketahui guru.
Pertama, dikenal dengan nama Theoretic of learning, teori ini berkenaan dengan proses
conditioning, dimana terdapat pertalian antara Stimulus (S) dengan respon (R). Teori ini
dirintis oleh Thorndike, Skinner dan Crowder. Menurut teori ini proses belajar sangat
penting artinya dalam pembentukan sikap. Dikatakannya, sikap positif terhadap objek akan
tumbuh jika dalam interaksi belajar itu diikuti oleh suatu “event” yang menyenangkan
(reward). Sebaliknya jika event itu tidak menyenangkan diperkirakan akan timbul sikap
negatif terhadap objek yang dihadapinya. Response yang penting dalam menghadapi objek
ialah responses evaluative. Secara sederhana proses terbentuknya sikap adalah sebagai
berikut:
a. Mula-mula diperoleh belief (kepercayaan) tentang objek, artinya diperoleh hubungan
antara objek dengan atribut-atributnya lainnya.
b. Berkenaan dengan atribut tumbuhlah response evaluatif mengenai objek
c. Melalui conditioning, response evaluative ini dikaitkan dengan objek
d. Response evaluative ini berakumulasi maka jika kemudian objek itu muncul lagi
tumbuhlah sikap terhadap objek secara menyeluruh. Untuk itu memperkokoh sikap yang
positif besar sekali peranan reinforcement.
Kedua, disebut Modeling Theoretic teori ini dikembangkan oleh Bandura. Sikap
tumbuh dengan cara dipelajari langsung dengan mengamati kegiatan perilaku orang yang
dijadikan model atau contoh.
Ketiga, disebut Balance Of Theoretic (teori keseimbangan), dikembangkan oleh
Heider. Menurut teori ini perolehan informasi yang mampu memperluas wawasan dan
mendukung persoalan pada proporsi yang tepat sangat penting dalam rangka mencapai
keseimbangan.
Dari ketiga teori diatas dapat disimpulkan bahwa sikap dapat dibentuk dengan 2 cara
utama sebagai berikut:
a. Melalui proses belajar (mendapatkan informasi yang benar)
b. Melalui keteladanan dari orang-orang yang dijadikan contoh
3.3 Keterampilan Intelektual maupun kemampuan analisis, personal dan sosial yang
terdapat dalam kurikulum IPS SD 2006
Pengalaman berharga yang diperoleh siswa itu akan memberikan manfaat, misalnya
berikut ini.
a. Siswa dapat memperdalam pemahaman dan pengertian materi pelajaran juga mampu
mengembangkan sikap dan keterampilannya.
b. Mendorong siswa berpikir kritis dan realistis
c. Pengalaman menghadapkan siswa kepada keadaan yang sebenarnya.
d. Pengalaman itu akan berakumulasi agar diperoleh pengalaman yang lebih mendalam
lagi.
Dalam hal ini guru harus mengupayakan agar
a. Pengalaman itu sesuai dengan tingkat kemampuan siswa
b. Pengalaman itu beragam, tidak menjemukan
keterampilan itu terdiri atas 3 bagian berikut ini
a. Keterampilan intelektual/kemampuan analisis, keterampilan berpikir yaitu sejumlah
proses melukiskan, menganalisis informasi, konseptualisasi dan membuat keputusan
b. Keterampilan personal
c. Keterampilan sosial yaitu kemampuan untuk berosialisasi dengan lingkungan sosial.