Anda di halaman 1dari 14

Vol. 2(4) November 2018, pp.

841-854
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 2597-6893 (online)

DISPARITAS PUTUSAN PIDANA TAMBAHAN TERHADAP PERAMPASAN


BARANG BUKTI MILIK PIHAK KETIGA DALAM TINDAK PIDANA
KEHUTANAN

THE DISPARITIES OF CRIMINAL ADDITIONAL IMPOSITION ON THE SEIZURE


OF THIRD PARTIES’ EVIDENCES IN FOREST CRIME
Cut Anggiya Fitri
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111

Mohd. Din
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111

Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya disparitas putusan pidana tambahan
terhadap perampasan barang bukti milik pihak ketiga dalam tindak pidana kehutanan, serta untuk mengetahui
pertimbangan hakim mengembalikan dan merampas barang bukti milik pihak ketiga dalam tindak pidana
kehutanan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yang menggunakan data
sekunder sebagai sumber utama, yaitu mengacu pada putusan pengadilan, buku-buku, dan peraturan perundang-
undangan, serta dilengkapi dengan data primer yaitu wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
disparitas putusan pidana tambahan terhadap perampasan barang bukti milik pihak ketiga terjadi karena
substansi Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak jelas atau tegas,
adanya perbedaan penafsiran hakim terhadap bunyi Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, adanya kebebasan hakim berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan persepsi hakim
tentang keadilan yang berbeda. Hakim mengembalikan barang bukti milik pihak ketiga karena pihak ketiga
tidak mempunyai hubungan sebab akibat dengan tindak pidana, dan hakim merampas barang bukti milik pihak
ketiga karena hakim memandang ketentuan Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan bersifat imperatif (harus dilaksanakan). Disarankan agar pembuat kebijakan hendaknya mempertegas
substansi Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan agar tidak menimbulkan
perbedaan penafsiran hakim terhadap bunyi pasal tersebut.
Kata Kunci: Disparitas, putusan, pidana, perampasan.

Abstract - This research aims to know the cause of the disparity of additional criminal decisions on the seizure
of evidence belonging to third party in forestry crime, and to know the judges’ consideration upon the returning
and the seizing of third parties’ evidences in the forest crime. The research employed normative legal research,
which uses secondary data as the main source, which referred to court decision, books, and legislation, and
used interview as primary data. The results showed that the disparity of additional criminal judgments on the
seizure of evidence belonging to a third party occurred due to the substance of Article 78 paragraph (15) of Law
no. 41 of 1999 on Forestry is unclear or indecisive, there is a difference of judges' interpretation of the sound of
Article 78 paragraph (15) of Law no. 41 of 1999 on Forestry, the existence of freedom of judges based on laws
and regulations, and judges' perceptions of different justice. The judge returns the third party's evidence
because the third party has no cause-and-effect relationship with the crime, and the judge seizes the third
party's evidence because the judge regards the provisions of Article 78 paragraph (15) of Law no. 41 of 1999 on
Forestry to be imperative (must be implemented). It is suggested that policymakers should reinforce the
substance of Article 78 paragraph (15) of Law no. 41 of 1999 on Forestryas an effortto avoid bias in judges'
interpretation of the article.
Keywords: Disparity, imposition, criminal, seizure.

PENDAHULUAN
Putusan pidana yang diberikan oleh hakim haruslah mencerminkan tercapainya tujuan
hukum, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Sebelum adanya suatu putusan
pidana, hakim menempuh proses mengadili, mulai dari memeriksa perkara sampai dengan
memberikan putusan yang mengikat pihak-pihak terkait. Hakim dalam menjatuhkan putusan

841
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 2, No.4 November 2018 842
Cut Anggiya Fitri, Mohd. Din

harus dapat mempertimbangkan fakta dalam persidangan dan fakta diluar persidangan agar
tujuan hukum dapat dipenuhi.
Pidana dibebankan kepada pihak yang melakukan tindak pidana sekaligus dapat
bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya. Terdakwa yang terbukti
melakukan tindak pidana akan dikenai pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 KUHP
yang mengelompokkan jenis pidana ke dalam pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana
pokok terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana
tutupan, sedangkan pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Perampasan barang-barang tertentu merupakan penyimpanan secara paksa barang
yang merupakan hasil dari tindak pidana atau barang yang digunakan untuk melakukan
tindak pidana. Ketentuan Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menyatakan semua hasil hutan yang merupakan hasil kejahatan dan pelanggaran
dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang digunakan untuk melakukan kejahatan atau
pelanggaran dirampas untuk negara. Selanjutnya, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penanganan
Perkara Tindak Pidana Kehutanan yang menegaskan semua hasil hutan dari hasil kejahatan
dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk
melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dirampas untuk negara. Berdasarkan ketentuan tersebut,
perampasan dilakukan terhadap semua barang tanpa menggolongkan barang tersebut milik
pelaku tindak pidana atau milik pihak ketiga. Alat angkut milik pihak ketiga yang tidak
berhubungan sebab akibat dengan tindak pidana (causaal verband) tetap dirampas untuk
negara. Pihak ketiga yang tidak berhubungan sebab akibat dengan tindak pidana (causaal
verband) adalah pihak yang tidak tahu barang miliknya digunakan untuk menjalankan tindak
pidana, misalnya truk yang digunakan disewa atau dipinjam oleh terdakwa dari pihak ketiga.
Meskipun Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk
Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan menyatakan perampasan bersifat imperatif,
terdapat putusan yang mengembalikan alat angkut milik pihak ketiga, padahal pasal yang
diancamkan dalam tindak pidana kehutanan yang bersangkutan memiliki karakteristik yang
sama. Adanya perbedaan penjatuhan pidana terhadap perkara-perkara yang memiliki
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 2, No.4 November 2018 843
Cut Anggiya Fitri, Mohd. Din

karakteristik sama dinamakan disparitas pidana.1 Karakteristik yang sama dari suatu perkara
dapat dilihat dari keseriusan suatu tindak pidana. Keseriusan itu mengacu pada pasal yang
diancamkan terhadap perkara yang bersangkutan.

Tabel. 1
Putusan kasasi dengan perkara yang memiliki keseriusan sama dan ancaman pidana
tambahan yang berbeda
Ancaman Pidana
No. Nomor Perkara Pasal yang Diancam
Tambahan
1887 Pasal 88 ayat (1) huruf a jo Pasal Alat angkut dikembalikan
1.
K/Pid.Sus/2015 16 UU PPPH
2317 Pasal 83 ayat (1) huruf b UU Alat angkut dirampas
2. K/Pid.Sus/2015 PPPH jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP
2947 Pasal 88 ayat (1) huruf a jo Pasal Alat angkut dikembalikan
3. K/Pid.Sus/2015 16 UU PPPH jo Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP
2963 Pasal 88 ayat (1) huruf b jo Pasal Alat angkut dirampas
4. K/Pid.Sus/2015 16 UU PPPH jo Pasal 55 Ayat
(1) Ke-1 KUHP
1737 Pasal 83 ayat (1) huruf b jo Pasal Alat angkut dirampas
5. K/Pid.Sus/2016 12 huruf e UU PPPH jo Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP
Sumber: Situs resmi Mahkamah Agung/www.mahkamahagung.go.id, November 2017

Tabel diatas menunjukkan tindak pidana dalam putusan perkara tindak pidana
kehutanan mengancam terdakwa dengan Pasal 83 ayat (1) dan Pasal 88 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Bunyi kedua pasal tersebut memiliki ancaman pidana yang sama, yaitu orang perseorangan
yang dengan sengaja melakukan tindak pidana sebagaimana diancam dalam Pasal 83 ayat (1)
dan Pasal 88 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, yang menjadi permasalahan
dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: (1) Mengapa terjadi disparitas putusan pidana
tambahan terhadap perampasan barang bukti milik pihak ketiga dalam tindak pidana

1
Tama S. Langkun, (et.al), “Studi Atas Disparitas Putusan Pemidanaan Perkara Tindak Pidana Korupsi”,
Laporan Penelitian, Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014, hlm. 9.
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 2, No.4 November 2018 844
Cut Anggiya Fitri, Mohd. Din

kehutanan? (2) Apa yang menjadi pertimbangan hakim mengembalikan barang bukti milik
pihak ketiga dalam tindak pidana kehutanan dan apa yang menjadi pertimbangan hakim
merampas barang bukti milik pihak ketiga dalam tindak pidana kehutanan?

METODE PENELITIAN
Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang
mengacu pada data sekunder sebagai bahan utama. Pada penelitian hukum normatif, bahan
pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder.2
Penelitian juga didukung oleh data primer, yaitu dengan melakukan wawancara mendalam
dengan hakim yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dan persepsi dari hakim
mengenai permasalahan disparitas putusan pidana tambahan terhadap perampasan barang
bukti milik pihak ketiga dalam tindak pidana kehutanan. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kasus, yang dilakukan dengan menelaah ratio decidenci suatu kasus, yaitu alasan-
alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. 3 Data yang
diperoleh dari kepustakaan dan lapangan disajikan dengan menggunakan analisis kualititatif,
yaitu berupa penjelasan-penjelasan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Sanksi pidana dalam undang-undang Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dirumuskan secara kumulatif, bersifat imperatif kaku, yakni pidana pokok berupa
pidana penjara dan pidana denda yang cukup besar, serta pidana tambahan berupa hasil
kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan
untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran dirampas untuk negara.4 Perampasan
barang bukti milik pihak ketiga merupakan implementasi dari Pasal 78 ayat (15) Undang-
Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, namun pengembalian barang bukti milik
pihak ketiga didasarkan pada keadilan yang harus diperoleh pihak ketiga. Keadilan
merupakan sesuatu yang abstrak, namun tidak bisa diingkari bahwa semua orang

2
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:
Rajawali Pers, 2015, hlm. 24.
3
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 119.
4
Lainul Ikhsan, (et.al), “Kebijakan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging
di Provinsi Jambi (Analisis Pasal 50 dan Pasal 78 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan”,
Volume 8 Nomor 1, Jurnal Hukum, 2016, hlm. 109.
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 2, No.4 November 2018 845
Cut Anggiya Fitri, Mohd. Din

mendambakan keadilan.5 Apabila barang milik pihak ketiga tersebut dirampas akan
bertentangan dengan rasa keadilan pihak ketiga.

1. Penyebab Terjadinya Disparitas Putusan Pidana Tambahan terhadap Perampasan


Barang Bukti Milik Pihak Ketiga dalam Tindak Pidana Kehutanan
Disparitas dalam putusan perkara tindak pidana kehutanan yang diteliti didasarkan
pada hubungan sebab akibat pihak ketiga dengan tindak pidana kehutanan yang
bersangkutan. Pihak ketiga yang tidak mengetahui alat angkutnya digunakan untuk
melakukan tindak pidana, terhadap alat angkutnya tersebut ada yang dirampas untuk negara
dan ada yang dikembalikan kepada pemiliknya. Jika alat angkut milik pihak ketiga dalam
kondisi demikian ada yang dirampas dan ada yang dikembalikan, hal tersebut akan
menimbulkan ketidakadilan bagi pihak ketiga yang alat angkutnya dirampas. Selanjutnya,
untuk mengetahui penyebab terjadinya perbedaan putusan pidana tambahan dalam perkara
tindak pidana kehutanan ini akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Substansi Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
tidak jelas atau tegas.
Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak
mengatur lebih lanjut mengenai pemilik alat angkut dalam tindak pidana kehutanan, yang
berarti tidak ada pembedaan terhadap alat angkut yang dirampas. Semua alat angkut yang
terbukti sebagai hasil dari tindak pidana kehutanan atau digunakan untuk melakukan tindak
pidana kehutanan milik pelaku atau milik pihak ketiga tetap dirampas untuk negara. Frasa
“dirampas” dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mewajibkan
semua barang bukti dalam tindak pidana kehutanan dirampas untuk negara, undang-undang
tidak melihat kepada siapa pemilik barang bukti tersebut, bagaimana tindak pidana dilakukan,
apa faktor penyebab dilakukannya tindak pidana itu serta tidak melihat fungsi sentral barang
bukti sebagai alat utama pemenuhan hajat hidup pemiliknya.6 Ketentuan perampasan barang
bukti milik pihak ketiga tidak sejalan dengan substansi Pasal 39 ayat (1) KUHP yang
menyatakan barang yang boleh dirampas adalah barang milik pelaku tindak pidana.
Pertentangan antara ketentuan umum dalam Pasal 39 ayat (1) KUHP dan ketentuan khusus
dalam Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

5
Bahder Johan Nasution, “Kajian Filosofis Tentang Hukum Dan Keadilan Dari Pemikiran Klasik
Sampai Pemikiran Modern”, Volume 3 Nomor 2, Jurnal Hukum, 2014, hlm. 4.
6
Nasri, “Pengembalian Barang Bukti Berupa Alat Angkut kepada Pemiliknya dalam Tindak Pidana
Kehutanan”, Tesis, Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala, 2011, hlm. 5.
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 2, No.4 November 2018 846
Cut Anggiya Fitri, Mohd. Din

mengakibatkan hakim harus benar-benar mempertimbangkan ketentuan yang harus


diterapkan agar tidak melukai rasa keadilan pihak-pihak yang terkait dalam perkara yang
bersangkutan.
b. Adanya perbedaan penafsiran hakim terhadap bunyi Pasal 78 ayat (15) Undang-
Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Penafsiran dilakukan apabila suatu peraturan perundang-undangngan terdapat
kekaburan norma (vage normen), makna ganda, atau konflik norma (antinomi normen).7
Perbedaan penafsiran hakim terhadap Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan merupakan akibat dari tidak tegasnya bunyi pasal tersebut. Hakim
menafsirkan Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menggunakan metode penafsiran sistematis, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan
mengaitkan peraturan perundang-undangan yang satu dengan jenis peraturan perundang-
undangan yang lain.
Hakim yang menafsirkan Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dengan menggunakan Pasal 16 dan Penjelasannya menghasilkan putusan
perampasan barang bukti milik pihak ketiga. Pasal 16 mengemukakan bahwa setiap orang
yang melakukan pengangkutan kayu hasil hutan wajib memiliki surat keterangan sahnya hasil
hutan. Kemudian, Pasal 16 dalam penjelasannya menyatakan jika hasil hutan tidak memiliki
surat keterangan sahnya hasil hutan, alat angkut, baik darat maupun perairan yang digunakan
untuk mengangkut hasil hutan dirampas untuk negara, hal itu dimaksudkan agar pemilik jasa
angkutan atau pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang diangkut.
Kata “wajib” dalam Pasal 16 berarti surat keterangan sahnya hasil hutan harus dimiliki oleh
pengangkut kayu. Jika surat tersebut tidak dimiliki, akibatnya akan dijatuhi pidana
perampasan sebagaimana dimaksud Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan. Hakim yang menafsirkan ketentuan Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menggunakan Pasal 39 ayat (1) KUHP menghasilkan
putusan pengembalian terhadap barang bukti milik pihak ketiga, karena pasal tersebut
menyatakan barang yang dapat dirampas hanya barang milik pelaku tindak pidana, sedangkan
barang milik pihak lain tidak dapat dirampas.

7
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika,
2014, hlm 12.
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 2, No.4 November 2018 847
Cut Anggiya Fitri, Mohd. Din

c. Adanya kebebasan hakim berdasarkan peraturan perundangan-undangan.


Kebebasan hakim merupakan amanat yang diberikan Undang-Undang Dasar Negara
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Ruang kebebasan hakim yang diberikan oleh negara meliputi
kebebasan mengadili, kebebasan dari campur tangan pihak luar, kebebasan berekspresi dalam
rangka pengembangan hukum praktis, kebebasan menggali nilai-nilai hukum sesuai rasa
keadilan masyarakat, termasuk kebebasan menyimpangi ketentuan hukum tertulis jika dinilai
tidak lagi sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.8 Hakim dalam putusan perkara tindak
pidana kehutanan menggunakan kebebasannya untuk menyimpangi ketentuan Pasal 78 ayat
(15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, karena hakim memandang jika
melakukan perampasan barang bukti milik pihak ketiga, unsur keadilan akan terabaikan.
Kebebasan hakim dalam menyimpangi ketentuan suatu pasal dikenal juga dengan
istilah diskresi. Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Totok Yanuarto menyatakan bahwa
terdakwa dalam tindak pidana kehutanan selain dihukum dengan pidana pokok, juga dijatuhi
dengan pidana tambahan, mengenai barang bukti hakim mempertimbangkan barang bukti
tersebut layak dirampas atau tidak, kalau barang bukti milik pihak ketiga itu dirampas
dipandang tidak adil, pandangan hakim yang demikian merupakan bentuk dari diskresi
hakim, diskresi untuk rasa keadilan diperbolehkan.9
d. Persepsi hakim tentang keadilan yang berbeda.
Keadilan pada dasarnya merupakan suatu konsep yang relatif, adil menurut yang satu
belum tentu adil bagi yang lainnya.10 Adanya kebebasan hakim mengakibatkan pandangan
hakim mengenai keadilan berbeda-beda sehingga perkara yang sama memiliki pidana
berbeda. Penjatuhan pidana perampasan dalam keadaan pihak ketiga tidak tahu mengenai
tindak pidana yang dilakukan pelaku adalah karena pandangan bahwa pidana perampasan
yang diancam dalam Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan sudah memenuhi rasa keadilan, karena pada dasarnya hukum yang dibuat itu
adalah cerminan dari keadilan. Disamping itu, pidana perampasan tidak dijatuhkan karena
pihak ketiga terbukti tidak memiliki kesalahan dengan terwujudnya tindak pidana. Pihak
ketiga tidak mengetahui alat angkut miliknya digunakan oleh pelaku tindak pidana dan tidak

8
Syarif Mapiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta: Prenadamedia Group, 2017,
hlm. 3.
9
Totok Yanuarto, Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Wawancara, 27 Maret 2018, Pukul 09.30
WIB.
10
M. Agus Santoso, Hukum, Moral, dan Keadilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm.
85.
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 2, No.4 November 2018 848
Cut Anggiya Fitri, Mohd. Din

menyuruh pelaku untuk melakukan tindak pidana, sehingga hakim memandang adil untuk
mengembalikan alat angkut milik pihak ketiga tersebut.

2. Pertimbangan Hakim Mengembalikan dan Merampas Barang Bukti Milik Pihak


Ketiga dalam Tindak Pidana Kehutanan
Pertimbangan hakim bersifat yuridis dan non-yuridis, pertimbangan yuridis adalah
pertimbangan yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap didalam persidangan
dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan,
sedangkan pertimbangan non-yuridis terdiri dari latar belakang terdakwa, akibat perbuatan
terdakwa, kondisi terdakwa, kondisi sosial ekonomi terdakwa, dan faktor agama terdakwa.11
Jika ditinjau dalam konteks pihak ketiga, yang harus ada dalam pertimbangan hakim adalah
kejelasan hubungan pihak ketiga dan terdakwa serta hakim harus menegaskan pihak ketiga
terlibat atau tidak dengan tindak pidana kehutanan yang bersangkutan.

Tabel. 2
Hubungan pihak ketiga dengan terdakwa

No. Nomor Putusan Hubungan Pihak Ketiga dengan Terdakwa


1. 1887 K/Pid.Sus/2015 Terdakwa merupakan penyewa
2. 2317K/Pid.Sus/2015 Terdakwa merupakan peminjam
3. 2947K/Pid.Sus/2015 Hubungan kerja, pihak ketiga merupakan majikan
4. 2963 K/Pid.Sus/2015 Hubungan kerja, pihak ketiga merupakan majikan
5. 1737 K/Pid.Sus/2016 Hubungan kerja, pihak ketiga merupakan majikan
Sumber: Situs resmi Mahkamah Agung/www.mahkamahagung.go.id, November 2017

Tabel tersebut menunjukkan hubungan pihak ketiga dengan terdakwa dalam perkara
tindak pidana kehutanan yang diteliti berbeda-beda, yang kemudian menjadi tugas hakim
untuk merumuskan dan menjelaskan dalam pertimbangannya pihak ketiga terlibat dalam
tindak pidana tersebut atau tidak, misalnya pihak ketiga memberikan alat angkutnya agar
terdakwa melakukan tindak pidana kehutanan. Berdasarkan lima putusan tingkat kasasi yang
diteliti, pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan sehingga menimbulkan perbedaan
penjatuhan pidana terhadap barang bukti milik pihak ketiga akan dijelaskan sebagai berikut:

11
Nurhafifah dan Rahmiati, “Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terkait Hal yang
Memberatkan dan Meringankan Putusan”, No. 66, Jurnal Ilmu Hukum, 2015, hlm. 347-354.
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 2, No.4 November 2018 849
Cut Anggiya Fitri, Mohd. Din

a. Pertimbangan hakim mengembalikan barang bukti milik pihak ketiga dalam tindak
pidana kehutanan.
Tujuan hukum memiliki substansi berbeda-beda, sehingga antara kepastian hukum,
kemanfaatan, dan keadilan dapat saling berlawanan. Apabila antara tujuan hukum saling
bertentangan, hakim mempertimbangakan tujuan hukum yang harus diterapkan secara
kasuistis atau berdasarkan kasus yang dihadapi.
Putusan Nomor 1887 K/Pid.Sus/2015 menyatakan bahwa barang bukti berupa 1 (satu)
unit kendaraan roda empat jenis truk Nomor Polisi DK 9532 KM dikembalikan kepada
pemiliknya, yaitu Ni Wayan Suryati. Pertimbangan hakim mengembalikan barang bukti milik
pihak ketiga adalah truk yang digunakan untuk mengangkut kayu tanpa adanya dokumen
yang sah disewa oleh terdakwa dari Ni Wayan Suryati dengan perjanjian sewa selama 1 tahun
dengan harga sewa Rp 7.700.000,00 (tujuh juta tujuh ratus ribu rupiah) setiap satu bulan.12 Ni
Wayan Suryati yang menyewakan truknya dan menerima pembayaran dari terdakwa, tidak
mengetahui bahwa terdakwa akan melakukan tindak pidana kehutanan dengan menggunakan
truk miliknya.
Putusan Nomor 2947 K/Pid.Sus/2015 menyatakan bahwa barang bukti berupa 1 (satu)
unit mobil jenis dump truck merek Mitsubishi tipe Colt Diesel FE 74 HDV warna kuning
Nomor Polisi DD 9871 XV dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu Suleman. Pertimbangan
hakim mengembalikan truk milik pihak ketiga karena truk yang digunakan oleh terdakwa
merupakan milik Suleman yang tidak mengetahui truk miliknya digunakan untuk
mengangkut kayu karena truk tersebut hanya diperuntukkan untuk mengangkut timbunan dan
barang-barang kios, dan truk tersebut masih dalam proses kredit atau belum lunas.13
Berdasarkan kedua putusan tersebut, yang menjadi pertimbangan hakim memutuskan
demikian adalah karena alat angkut berupa truk yang digunakan oleh terdakwa untuk
melakukan tindak pidana kehutanan merupakan milik pihak ketiga yang tidak berhubungan
sebab akibat dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, dalam artian pihak ketiga
tersebut tidak mengetahui truk miliknya akan dipakai untuk menjalankan suatu tindak pidana.
Ada atau tidaknya hubungan pihak ketiga dengan suatu tindak pidana harus benar-
benar diperhatikan oleh hakim agar tidak menimbulkan pertimbangan yang keliru dan
melahirkan putusan yang tidak memenuhi rasa keadilan. Hakim Pengadilan Tinggi Banda
Aceh, Maratua Rambe menjelaskan bahwa harus diteliti terlebih dulu pihak yang memiliki

12
Putusan Nomor 1887 K/Pid.Sus/2015.
13
Putusan Nomor 2947 K/Pid.Sus/2015.
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 2, No.4 November 2018 850
Cut Anggiya Fitri, Mohd. Din

barang atau pihak ketiga tersangkut atau tidak dengan tindak pidana dalam artian pihak ketiga
itu tahu atau memberi izin alat angkutnya digunakan untuk mengangkut kayu, kalau itu
memang terbukti maka barang bukti milik pihak ketiga itu dirampas tetapi jika pemilik alat
angkut itu tidak mengetahui alat angkutnya digunakan untuk mengangkut kayu, hal itu
menjadi pertimbangan hakim untuk dikembalikan.14
Putusan Nomor 1887 K/Pid.Sus/2015 dan Putusan Nomor 2947 K/Pid.Sus/2015 yang
mengembalikan barang bukti milik pihak ketiga sudah tepat, mengingat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan kebebasan bagi hakim untuk menerapkan
undang-undang sesuai dengan rasa keadilan. Meskipun ketentuan hukum tertulis dalam Pasal
78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak diterapkan, demi
rasa keadilan pihak ketiga hal tersebut diperbolehkan.
b. Pertimbangan hakim merampas barang bukti milik pihak ketiga dalam tindak
pidana kehutanan.
Putusan Nomor 2317 K/Pid.Sus/2015 menyatakan bahwa 1 (satu) unit mobil truk
merek Mitsubishi Canter warna kuning kas merah Plat Nomor DN 8614 VD dirampas untuk
negara. Truk yang dirampas bukan milik pelaku tindak pidana, namun milik Rustamin.
Terdakwa disuruh oleh pemilik kayu untuk mengangkut kayu tanpa dokumen pengangkutan
kayu yang sah, dan pemilik kayu meminjam truk milik Rustamin untuk digunakan oleh
terdakwa. Pertimbangan hakim merampas barang bukti milik pihak ketiga adalah karena
adanya ketentuan Pasal 16 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan dan penjelasannya yang dipandang oleh hakim bersifat
imperatif, penjelasan Pasal 16 menyatakan bahwa alat angkut yang dipergunakan untuk
mengangkut hasil hutan dirampas untuk negara dimaksudkan agar pemilik jasa angkutan atau
pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang diangkut.15
Putusan Nomor 2963 K/Pid.Sus/2015 menyatakan bahwa 1 (satu) unit mobil dump
truck Mitsubisi FE 74 HDV warna kuning Nomor Polisi S 8786 UX dirampas untuk negara.
Truk yang dirampas bukan milik pelaku tindak pidana, namun milik Hadijah. Terdakwa
merupakan supir yang menerima perintah dari Hadijah dalam hal jika ada orang yang
meminta untuk mengangkut timbunan atau barang-barang kios. Ketika terdakwa mengangkut

14
Maratua Rambe, Hakim Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Wawancara, 05 Maret 2018, Pukul 10.00
WIB.
15
Putusan Nomor 2317 K/Pid.Sus/2015.
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 2, No.4 November 2018 851
Cut Anggiya Fitri, Mohd. Din

kayu tanpa adanya dokumen yang sah, Hadijah tidak mengetahuinya karena Hadijah tidak
pernah memberikan perintah mengenai hal tersebut. Selain itu, truk tersebut masih dalam
proses kredit. Pertimbangan hakim merampas barang bukti milik pihak ketiga adalah karena
hakim mendasarkan pada ketentuan Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 01 Tahun 2008 tentang
Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan, yang mewajibkan perampasan
barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.16 Oleh karena hakim
berpandangan ketentuan ini bersifat imperatif, truk milik pihak ketiga yang tidak mengetahui
truknya tersebut digunakan untuk melakukan tindak pidana tetap dijatuhi pidana perampasan.
Putusan Nomor 1737 K/Pid.Sus/2016 menyatakan bahwa 1 (satu) unit truk merek
Mitsubishi tipe FE Super HD warna kuning Nomor Polisi DA 1428 BE dirampas untuk
negara. Truk yang dirampas bukan milik pelaku tindak pidana, namun milik Yusran.
Pertimbangan hakim merampas barang bukti milik pihak ketiga adalah karena adanya
ketentuan Pasal 16 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan dan penjelasannya yang dipandang bersifat imperatif. 17
Perampasan barang bukti milik pihak ketiga berkaitan dengan doktrin
pertanggungjawaban pidana vicarious liability, yang menyatakan seseorang diberi
pertanggungjawaban pidana meskipun orang tersebut tidak melakukan suatu tindak pidana.
Dalam konteks ini, pihak ketiga tidak melakukan tindak pidana atau terlibat dalam tindak
pidana itu, namun terhadap barang miliknya tetap dijatuhi pidana perampasan. Vicarious
liability merupakan penyimpangan terhadap asas kesalahan, yaitu ajaran ini lebih
menitikberatkan pada actus reus (perbuatan yang dilarang) tanpa mempertimbangkan adanya
mens rea (kesalahan).18
Putusan Nomor 2317 K/Pid.Sus/2015 dan Putusan Nomor 1737 K/Pid.Sus/2016 yang
merampas barang bukti milik pihak ketiga sudah tepat, karena pihak ketiga yang
berhubungan sebab akibat dengan tindak pidana berarti ada unsur kesalahan dalam perbuatan
yang dilakukan oleh pihak ketiga. Akan tetapi, jika konsep causaal verband itu dihubungkan
dengan Putusan Nomor 2963 K/Pid.Sus/2015, akan ditemui ketidakadilan terhadap
perampasan barang bukti milik pihak ketiga. Putusan Nomor 2963 K/Pid.Sus/2015

16
Putusan Nomor 2963 K/Pid.Sus/2015.
17
Putusan Nomor 1737 K/Pid.Sus/2016.
18
Ramsi Meifati Barus, (et.al), “Pertanggungjawaban Pidana Illegal Logging (Pembalakan Liar) Sebagai
Kejahatan Kehutanan Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-
Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan” , Volume 3 Nomor 2,
Usu Law Journal, 2015, hlm 111.
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 2, No.4 November 2018 852
Cut Anggiya Fitri, Mohd. Din

menyatakan truk milik Hadijah dirampas untuk negara meskipun Hadijah tidak tahu truk
miliknya dilakukan untuk menjalankan tindak pidana. Hadijah tidak mengetahui tentang
pengangkutan kayu, karena Hadijah biasanya memberikan perintah kepada terdakwa untuk
mengangkut timbunan atau barang-barang kios. Perampasan truk milik pihak ketiga ini
bertentangan dengan prinsip pemidanaan.
Pihak ketiga dalam perkara ini tidak mengetahui dan tidak menyuruh pelaku untuk
melakukan pengangkutan kayu tanpa menggunakan dokumen yang sah, berarti pihak ketiga
tidak secara sengaja atau karena kealpaannya memberikan truknya digunakan oleh terdakwa.
Hal ini berarti tidak ada unsur kesalahan yang terdapat dalam perbuatan pihak ketiga,
sehingga terhadap barang miliknya tidak dapat dikenai perampasan.
Meskipun bunyi suatu pasal bersifat imperatif, hakim hendaknya benar-benar
memperhatikan akibat dari penerapan pasal tersebut, tercermin rasa keadilan atau hanya
mewujudkan kepastian hukum. Maratua Rambe menyatakan bahwa jika pihak ketiga tidak
mengetahui pelaku menggunakan mobilnya untuk melakukan kejahatan dan ternyata dalam
putusan hakim diputuskan barang pihak ketiga itu dirampas, hal itu bisa merugikan pihak
ketiga sebagai pemilik barang.19
Suatu putusan hendaknya dapat menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang,
mendidik, dan memberikan keadilan baik kepada pelaku maupun oleh korban atau
masyarakat, serta pihak yang terkait.20 Hakim diemban amanah agar peraturan perundang-
undangan diterapkan secara benar dan adil serta apabila penerapan peraturan perundang-
undangan menimbulkan ketidakadilan, hakim wajib berpihak pada keadilan.21 Jika barang
bukti milik pihak ketiga ada yang dirampas dan dikembalikan, hal tersebut akan
menimbulkan perbandingan terhadap hukuman berbeda, kemudian pihak ketiga merasa jadi
korban sehingga tidak lagi mempercayai lembaga peradilan.

19
Maratua Rambe, Hakim Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Wawancara, 05 Maret 2018, Pukul 10.00
WIB
20
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, hlm.
59.
21
Ahmad Rifai, Op.cit, hlm. 4.
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 2, No.4 November 2018 853
Cut Anggiya Fitri, Mohd. Din

KESIMPULAN
Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberi
aturan khusus, yaitu barang bukti milik pelaku tindak pidana atau pihak ketiga yang
merupakan hasil dari tindak pidana atau yang digunakan untuk melakukan tindak pidana
dirampas untuk negara. Adanya Pasal 16 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Penjelasannya juga menegaskan
perampasan dimaksudkan agar pemilik jasa angkut ikut bertanggungjawab atas keabsahan
hasil hutan. Dengan demikian, hakim dalam menjatuhkan putusan tidak boleh mengabaikan
unsur keadilan yang dalam perkara ini berkaitan dengan pihak ketiga. Hakim harus dapat
melihat keterlibatan pihak ketiga dengan tindak pidana. Jika pihak ketiga tidak terlibat atau
dalam artian pihak ketiga tidak mengetahui barang miliknya digunakan untuk melakukan
tindak pidana, terhadap barang milik pihak ketiga tidak dapat dikenai pidana perampasan
karena hal itu akan melukai rasa keadilan pihak ketiga. Untuk itu, disarankan kepada
pembuat kebijakan hendaknya mempertegas dan memperjelas substansi Pasal 78 ayat (15)
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, agar tidak menimbulkan perbedaan
penafsiran hakim terhadap bunyi pasal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Agus Santoso, M. Hukum, Moral, dan Keadilan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2012.

Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta:
Sinar Grafika. 2014.

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2005.

Sholehuddin, M. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


2003.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: Rajawali Pers. 2015.

Syarif Mapiasse. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim. Jakarta: Prenadamedia


Group. 2017.

2. Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.


JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 2, No.4 November 2018 854
Cut Anggiya Fitri, Mohd. Din

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan


Hutan.

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara
Tindak Pidana Kehutanan.

3. Skripsi, Laporan Penelitian, dan Jurnal


Bahder Johan Nasution, “Kajian Filosofis Tentang Hukum Dan Keadilan Dari Pemikiran
Klasik Sampai Pemikiran Modern”, Jurnal Hukum, 2014.

Lainul Ikhsan, (et.al), “Kebijakan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Tindak Pidana
Illegal Logging di Provinsi Jambi (Analisis Pasal 50 dan Pasal 78 Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan”, Jurnal Hukum, 2016.

Nasri, “Pengembalian Barang Bukti Berupa Alat Angkut kepada Pemiliknya dalam Tindak
Pidana Kehutanan”, Tesis, Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala, 2011.

Nurhafifah dan Rahmiati, “Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terkait Hal yang
Memberatkan dan Meringankan Putusan”, Jurnal Ilmu Hukum, 2015.

Ramsi Meifati Barus (et.al), “Pertanggungjawaban Pidana Illegal Logging (Pembalakan Liar)
Sebagai Kejahatan Kehutanan Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan
Dan Pemberantasan Perusakan Hutan”, Usu Law Journal, 2015.

Tama S. Langkun, (et.al), “Studi Atas Disparitas Putusan Pemidanaan Perkara Tindak Pidana
Korupsi”, Laporan Penelitian, Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014.

4. Putusan
Putusan Kasasi Nomor 1887 K/Pid.Sus/2015.

Putusan Kasasi Nomor 2317 K/Pid.Sus/2015.

Putusan Kasasi Nomor 2947 K/Pid.Sus/2015.

Putusan Kasasi Nomor 2963 K/Pid.Sus/2015.

Putusan Kasasi Nomor 1737 K/Pid.Sus/2016.

Anda mungkin juga menyukai