Anda di halaman 1dari 91

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Pencegahan Jatuh dan Cedera

1. Pengertian Jatuh dan Kaitannya dengan Cedera

Jatuh merupakan 90% jenis kecelakaan yang di laporkan dari seluruh

kecelakaan yang terjadi di rumah sakit. Resiko jatuh lebih besar di alami

oleh klien lansia. Selain usia, riwayat jatuh terdahulu, masalah pada sikap

berjalan dan mobilisas, hipotensi postural, perubahan sensorik, disfungsi

saluran dan kandung kemih dan beberapa kategori diagnosa medis tertentu

seperti kanker, penyakit kardiovaskular, neurologi dan serebrovaskuler

dapat meningkatkan resiko ini.

2. Jatuh dan Cedera Sebagai Kesalahan Medis

Jatuh sangat berkaitan dengan kesalahan medis. Kegagalan tindakan

yang direncanakan yaitu kesalahan pelaksanaan atau penggunaan rencana

yang salah untuk mencapai tujuan, kesalahan penatalaksanaan merupakan

kegagalan dalam melakukan tindakan yang telah direncanakan seperti

penempatan bel yang jauh dari jangkauan pasien.

Dalam lembaga pelayanan kesehatan kecelakaan terbagi atas:

a. Kecelakaan yang disebabkan oleh klien

Adalah selain jatuh dimana klien menjadi faktor penyebab utama.

Contoh kecelakaan yang disebabkan oleh klien yaitu jatuh ketika


5

mengendarai sepeda motor sehingga mengakibatkan cedera pada

dirinya.

b. Kecelakaan yang disebabkan oleh prosedur

Kecelakaan yang terjadi selama terapi. Hal ini meliputi kesalahan

pemberian medikasi dan cairan, dan kecelakaan karena cara

melaksanakan prosedur yang tidak tepat.

Perawat dapat mencegah terjadinya kecelakaan yang disebabkan

prosedur. Contohnya dengan mengikuti prosedur pemberian obat

secara tepat akan mencegah terjadinya kesalahan obat. Pemberian

cairan intravena yang tepat akan mencegah terjadinya kelebihan dan

defisit cairan. Potensi terjadinya infeksi akan berkurang bila teknik

aseptik digunakan saat mengganti balutan steril.

c. Kecelakaan yang disebabkan oleh peralatan

Ini dikarenakan alat yang digunakan tidak berfungsi, rusak, salah

digunakan, atau disebabkan karena bahaya akibat listrik. Untuk

menghindari cedera, perawat tidak boleh menjalankan peralatan

monitor atau terapi tanpa petunjuk.

Dari hasil laporan kecelakaan pada pelayanan keperawatan akut yang

digunakan oleh American Nurses Association-National Database of

Nursing Quality Indicators (ANA-NDNQI), cedera yang diakibat oleh

jatuh dapat dikategorikan sebagai berikut :

a. None: tidak adanya cedera sekunder akibat jatuh

b. Minor: mengindikasikan cedera tersebut memerlukan intervensi

sederhana
6

c. Moderator: menunjukkan luka yang membutuhkan jahitan atau

pembalutan

d. Major: cedera yang memerlukan operasi dan pemeriksaan lebih lanjut

(misalnya, untuk cedera neurologis)

e. Dead: mengacu pada hasil cedera berkelanjutan akibat jatuh.

Kemampuan individu untuk melindungi dirinya sendiri dari cedera

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

a. Tahap Perkembangan

1) Bayi, toddler, dan prasekolah

Cedera merupakan penyebab terbesar kematian anak-anak yang

berusia lebih dari 1 tahun. Sifat cedera yang dialami berhubungan

erat dengan perilaku pertumbuhan dan perkembangan normal.

Misalnya keracunan. Jadi pencegahan kecelakaan memerlukan

pendidikan kesehatan untuk para orang tua dan penghilangan

bahaya sebisa mungkin.

2) Anak usia sekolah

Saat seorang anak masuk sekolah: lingkungannya meluas

sampai ke lingkungan sekolah, perjalanan pergi dan pulang dari

sekolah, dan aktifitas setelah pulang sekolah. Melalui orang tua,

guru, perawat harus memberikan intruksi pada anak untuk

mengikuti kegiatan sekolah atau bermain dengan cara yang aman.

Karena pada usia tersebut anak lebih sering berpartisipasi

dalam kegiatan yang ada di lingkungannya, maka mereka lebih

berisiko cedera yang disebabkan oleh orang asing. Maka dari itu
7

anak harus diperingati berulang kali untuk tidak menerima permen,

makanan, hadiah dari orang asing.

3) Remaja

Ketika anak memasuki usia remaja, mereka mempunyai

kemandirian yang lebih besar dan mulai mengembangan identitas

dan nilai yang mereka miliki. Remaja secara emosional mulai

terpisah dari keluarganya, dan temen sekelompok yang sebaya

mulai memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap dirinya.

Ketika terjadi pertentangan indentitas menyebabkan remaja

merasa malu, takut, dan cemas sehingga merasa dirinya tidak

berfungsi di lingkungan keluarga maka dia akan mengalihkan rasa

stresnya ke obat-obatan ataupun mengkonsumsi alkohol yang dapat

menyebabkan kecelakaan ketika mengendarai sepeda motor dan

cedera yang akan ditimbulkan bisa saja kematian.

4) Orang dewasa

Ancaman terhadap keamanan orang dewasa biasanya

berhubungan dengan kebiasaan gaya hidup. Contohnya: klien yang

mengkonsumsi alkohol secara berlebihan akan mengakibatkan

kecelakaan kendaraan bermotor.

5) Lansia

Perubahan fisiologis yang terjadi selama proses penuaan

meningkatkan risiko klien untuk jatuh. Klien lansia mengalami

kemungkinan jatuh itu lebih besar, yang paling sering terjadi saat

pindah dari tempat tidur, bangku, dan toilet dikarenakan adanya


8

perubahan muskuloskeletal yaitu kekuatan dan fungsi otot

menurun, sendi menjadi kurang dapat digerakkan, postur berubah,

dan rentang gerakan terbatas.

b. Gaya Hidup

Gaya hidup meningkatkan resiko keamanan. Orang yang beresiko

cedera lebih besar adalah mereka yang mengemudi atau menjalankan

mesin saat berada di bawah pengaruh substansi kimia.

c. Mobilisasi

Perubahan mobilisasi akibat kelemahan, kelumpuhan, dan

koordinasi atau keseimbangan yang buruk merupakan faktor utama

yang menyebabkan klien jatuh.

d. Kerusakan Sensorik

Klien yang mengalami gangguan visual, pendengaran atau

komunikasi lebih beresiko cedera di komunitas. Klien seperti ini tidak

mampu merasakan bahaya yang mungkin terjadi dan tidak mampu

mengungkapkan kebutuhan mereka untuk mendapatkan bantuan.

e. Kesadaran Kognitif

Merupakan kemampuan untuk merasakan stimulus lingkungan dan

reaksi tubuh serta untuk berespon secara tepat lewat proses pikir dan

tindakan. Klien yang mengalami gangguan kesadaran meliputi

individu yang kurang tidur, individu yang tidak tahu di mana mereka

berada atau apa yang harus mereka lakukan untuk menolong diri

sendiri. dan individu yang mengalami hambatan penilaian akibat

proses penyakit atau pengobatan, seperti narkotika, obat penenang.


9

f. Status Emosi

Status emosi yang ekstrem dapat mengganggu kemampuan untuk

merasakan bahaya yang terdapat dalam lingkungan. Situasi yang

penuh tekanan dapat menurunkan tingkat konsentrasi individu,

menyebabkan kesalahan penilaian, dan penurunan kesadaran terhadap

stimulus eksternal. Individu yang mengalami depresi dapat berpikir

dan bereaksi terhadap stimulus lingkungan lebih lambat daripada

biasanya.

g. Kemampuan Komunikasi

Individu yang mengalami hambatan kemampuan untuk menerima

dan menyampaikan informasi termasuk klien afasia. Individu dengan

hambatan bahasa, dan mereka yang tidak dapat membaca juga beresiko

terhadap cedera. Contoh individu yang tidak dapat menerjemahkan

tanda “dilarang merokok” oksigen sedang digunakan dapat

menyebabkan ledakan atau pun kebakaran.

h. Kesadaran Terhadap Keamanan

Beberapa klien tidak menyadari tindakan pencegahan untuk

keamanan, misalnya menyimpan obat-obatan jauh dari jangkauan

anak-anak atau membaca tanggal kadaluarsa pada bahan makanan.

Pengkajian keperawatan lengkap yang mencakup inspeksi rumah harus

dapat membantu perawat mengidentifikasi tingkat pengetahuan klien

tentang keamanan rumah sehingga berbagai kekurangan yang ada

dapat diperbaiki dalam rencana keperawatan individu.


10

i. Faktor Lingkungan

Keamanan area luar rumah, seperti kolam renang, harus terjaga dan

terpelihara. Pencahayaan yang adekuat, baik di dalam maupun di luar,

meminimalkan kemungkinan terjadi kecelakaan.

Wilkinson (2000) dalam Kozier mendeskripsikan cedera secara lebih

spesifik yang terdiri dari 7 subkategoris, yaitu :

a. Resiko Keracunan

Resiko terpajan secara tidak sengaja dengan atau menelan, obat-

obatan atau zat berbahaya lain dalam dosis yang cukup untuk

menyebabkan keracunan.

b. Resiko Sufokasi

Keadaan kurang oksigen akibat nafas yang terputus. Salah satu

penyebabnya seperti tercekik seperti makanan atau benda asing yang

tersangkut ditenggorokan. Penyebab lain adalah tenggelam, menghirup

gas/ asap, apabila tidak segera menerima tindakan terhadap sufokasi,

nafas yang terputus-putus menyebabkan henti nafas dan henti jantung

serta kematian.

c. Resiko Trauma

Resiko cedera jaringan secara tidak sengaja (misalnya, luka bakar,

atau fraktur).

d. Respon Alergi Terhadap Lateks

Respon alergi terhadap produk lateks alami.

e. Resiko Respon Alergi Terhadap Lateks

Beresiko mengalami respon alergi terhadap produk lateks alami


11

f. Resiko Aspirasi

Resiko masuknya sekresi dari saluran cerna, sekresi orofaring,

benda padat, atau cairan dalam saluran trakeobronkial.

g. Resiko Sidrom Disuse

Beresiko mengalami deterriorasi sistem tubuh akibat inaktivitas

muskuloskeletal yang diharuskan atau yang tidak dapat dihindari.

Pencegahan jatuh dan cedera merupakan fokus utama bagi institusi

pelayanan kesehatan baik perawatan akut maupun jangka panjang. Dalam

upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan ini. Maka pelaporan terkait

dengan kondisi pasien harus lebih ditingkatkan untuk mengurangi potensi

jatuh dan cedera terutama pada pasien yang sangat rentan.

Instrumen untuk mengidentifikasi pasien yang beresiko tinggi untuk

jatuh dalam perawatan akut telah dikembangkan oleh beberapa ahli

(Currie, Melino, Cimino et al,2004; Hendrich, Bender, Nyius, 2003;

Morse,1997; Oliver, Daly, Martin et al, 2004) terdapat empat instrumen

penilaian risiko yang umum digunakan yaitu STRATIFY, Downton,

Tullmanore, dan Tinneti.

a. Instrumen STRATIFY

When transferring from a bed to chair

Answer Score

Unable 0

Needs major help 1

Needs minor help 2


12

Independent 3

Chosse one of the following options which best describes the

resident’s level of mobility

Answer Score

Immobile 0

Independent with the aid of a wheelchair 1

Uses walking aid 2

Walks with the aid of one person 3

Independent 4

And answer the next question

1) Is the combined transfer and mobility score 3 or 4?

Answer Score

Yes 1

No 0

2) Has the resident had any falls in the last 3 months?

Answer Score

Yes 1

No 0
13

3) Is the resident visually impaired to the extent that everyday

function is affected?

Answer Score

Yes 1

No 0

4) Is the resident agitated?

Answer Score

Yes 1

No 0

5) Do you think the resident is in need of especially frequent

toileting?

Answer Score

Yes 1

No 0

Total of questions 1-5

0 = low risk 1= moderate risk 2 or above = high risk

3. Pencegahan Jatuh dan Cedera

Jatuh merupakan suatu yang umum terjadi pada lansia, orang sakit,

atau orang cedera yang sedang lemah. Untuk mencegah dan mengurangi
14

resiko jatuh dan cedera di rumah sakit, maka perawat bisa memaksimalkan

penggunaan pagar tempat tidur dan restrain.

a. Pagar Tempat Tidur (Side Bed Rails)

Sisi pembatas tempat tidur juga mencegah klien yang tidak sadar

jatuh dari tempat tidur atau dari brankar. Biarkan pagar tetap naik bila

klien klien ditinggal sendiri. Jika menggunakan sisi pembatas, maka

tempat tidur diatur pada posisi yang serendah mungkin dan rodanya

terkunci ketika tidak sedang melakukan tindakan sehingga klien dapat

ke tempat tidur atau meninggalkan tempat tidur dengan mudah.

Walaupun sepertinya menaikkan pagar tempat tidur merupakan

cara yang efektif untuk mencegah jatuh, namun penilitian

menunjukkan bahwa orang yang mengalami gangguan memori,

diorientasi, perubahan kemampuan bergerak, nokturia, dan gangguan

tidur lainnya rentan terjebak di pagar tempat tidur dan sebenarnya

lebih mungkin terjatuh saat berusaha meninggalkan tempat tidur

dengan pagar yang dinaikkan. (Capezuti et al, 1999 dalam Berman, A.,

Kozier, B., Snyder, S., Erb, G., 2009).

Gambar 1.1. Tempat Tidur Pasien Anak/ Bayi


15

Gambar 1.2. Tempat Tidur Pasien Dewasa dengan Pembatasnya

b. Restrain

Restrain merupakan alat pelindung yang digunakan untuk

membatasi aktifitas fisik klien atau aktifitas bagian tubuh klien.

Restrain dapat diklasifikasikan menjadi restrain fisik dan restrain

kimia.

Restrain fisik adalah metode manual atau peralatan mekanik yang

diikatkan ke tubuh klien sehingga klien tidak dapat berpindah dengan

mudah dan membatasi kebebasannya untuk bergerak dan menyentuh

tubuh seseorang. Alat restrain ini tidak dapat dilepaskan dengan mudah

dan alat ini membatasi gerakan klien.

Restrain kimia adalah obat seperti: sediaan neuroleptik, ansiolitik,

sedatif, dan psikotropik yang digunakan untuk mengontrol perilaku

sosial yang mengganggu. Tujuan restrain ini adalah mencegah agar

klien tidak melukai dirinya sendiri atau orang lain.


16

Sebelum memilih restrain, perawat harus memahami tujuan

penggunaan restrain dengan jelas dan melakukan pemasangan restrain

berdasarkan lima kriteia berikut, yaitu:

1) Restrain membatasi gerakan klien seminimal mungkin. Jika klien

perlu restrain hanya untuk satu tangannya saja, jangan lakukan

restrain pada seluruh tubuhnya.

2) Usahakan agar restrain tersebut tidak terlihat oleh orang lain. Klien

maupun para penjenguk seringkali merasa malu karena tindakan

restrain, walaupun mereka telah mengerti alasan dilakukannya

tindakan tersebut. Semakin restrain tidak terlihat, klien dan orang

lain akan semakin nyaman.

3) Hendaknya restrain tidak mengganggu terapi/ pengobatan klien

atau memperberat masalah kesehatan yang sedang dialaminya. Jika

klien mempunyai sirkulasi darah yang buruk ke tangan, lakukanlah

restrain yang tidak akan memperparah masalah sirkulasi darah

tersebut.

4) Restrain mudah diganti. Restrain perlu diganti sesering mungkin,

terutama jika telah kotor. Pilih restrain yang dapat diganti dengan

seminimal mungkin kepada klien.

5) Restrain hendaknya aman bagi klien tertentu. Pilih restrain yang

tidak menyebabkan klien terluka karenanya. Contohnya, jika

pergelangan tangan klien terikat pada rangka tempat tidur, klien

dapat mengalami cedera ketika mencoba meninggalkan tempat


17

tidur dengan menaiki pagarnya. Restrain jaket akan mengendalikan

klien secara lebih aman.

Ada beberapa jenis restrain, restrain yang paling banyak digunakan

adalah:

1) Restrain Jaket (Restrain Rompi)

Yaitu pakaian yang menyilang atau menutupi punggung klien.

Gambar 1.3. Restrain Jaket

2) Restrain Sabuk (Ikat Pinggang Restrain)

Yaitu alat yang mengamankan klien di atas brankar/ tempat tidur.

Gambar 1.4. Restrain Sabuk


18

3) Restrain Sarung Tangan

Yaitu sarung tangan pengikat tanpa jari-jari.

Gambar 1.5. Restrain Sarung Tangan

4) Restrain Ekstremitas (Pergelangan Tangan dan Pergelangan

Kaki)

Yaitu alat yang dirancang untuk membatasi mobilisasi salah satu

atau seluruh ekstremitas.

Gambar 1.6. Restrain Pergelangan Tangan


19

Gambar 1.7. Restrain Pergelangan Kaki

5) Restrain Siku

Yaitu kain berpetak yang didalamnya terdapat potongan bahan

keras sehingga sendi siku tetap kaku.

Gambar 1.8. Restrain Siku

6) Restrain Mumi

Yaitu selimut atau selembar kain dibentangkan di tempat tidur atau

tempat tidur bayi dimana salah satu sudutnya ditekuk ke bagian

dalam. Anak diletakkan di atas selimut dengan bahu pada posisi

yang berlawanan dengan sudut. Tangan kanan anak dilekukkan ke

bawah terhadap tubuh, bagian kanan selimut ditarik kuat melewati


20

bahu kanan dan dada, dan sudut kain dimasuk ke bawah tubuh

bagian kiri. Tangan kiri diluruskan pada samping kiri tubuh, dan

bagian kiri selimut ditarik melewati bahu dan dada lalu

dimasukkan ke tubuh bagian kanan bawah. Sudut bagian bawah

selimut dilipat dan diselipkan atau dikencangkan dengan aman

menggunakan jepitan.

Gambar 1.9. Restrain Mumi

7) Kursi “Geriatri” dan Kursi Roda

Digunakan untuk membatasi aktifitas klien juga dapat dianggap

sebagai restrain.

Gambar 1.10. Kursi “Geriatri”


21

Gambar 1.11. Kursi Roda

4. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Resiko Jatuh dan Cedera

a. Pengkajian

Pengkajian terhadap klien yang beresiko terhadap kecelakaan dan

cedera meliputi:

1) Menentukan indikator penting dalam riwayat keperawatan dan

pemeriksaan fisik

a) Riwayat Keperawatan

Jenis dasar resiko terhadap keamanan klien di dalam

lingkungan pelayanan kesehatan adalah jatuh, kecelakaan yang

disebabkan klien, kecelakaan yang disebabkan prosedur dan

kecelakaan yang disebabkan penggunaan alat.

b) Pengkajian Fisik

(1) Perubahan muskuloskeletan:

(a) Kekuatan dan fungsi otot menurun

(b) Sendi menjadi kurang dapat digerakkan

(c) Postur berubah, umumnya menjadi kifosis


22

(d) Rentang gerakan terbatas

(2) Perubahan sistem saraf:

(a) Seluruh reflek volunter menjadi lebih lambat

(b) Penurunan kemampuan berespon terhadap stimulus

dalam jumlah yang banyak

(c) Panca indra menjadi kurang efesien

(3) Perubahan sensorik

(a) Penglihatan perifer dan akomodasi lensa menurun

(b) Lensa berubah menjadi opasitas

(c) Ambang stimulus terhadap cahaya dan nyeri meningkat

(d) Gangguan pandengaran karena nada frekuensi tinggi

kurang dapat dipersepsi

(4) Genitauria

(a) Peningkatan nokturia

(b) Peningkatan terjadinya inkontinensia

2) Menggunakan instrument pengkajian resiko yang dikembangkan

secara khusus

Table 4a.1. Faktor Resiko Cedera

Faktor Resiko Tindakan Pencegahan

Penglihatan buruk – Pastikan bahwa kacamata klien

berfungsi dengan baik

– Pastikan pencahayaan tepat

– Tandai jalan ke arah pintu dan tepi anak


23

tangga jika perlu

– Pertahankan keteraturan lingkungan

Disfungsi kognitif – Buat batasan aktifitas yang aman

(bingung, – Singkirkan benda yang membahayakan

disorientasi,

gangguan daya ingat

atau hambatan

pembuatan

keputusan)

Ganguan gaya – Gunakan sandal atau sepatu yang pas

berjalan atau dikaki dengan sol antiselip

keseimbangan atau – Gunakan alat bantu ambulasi jika perlu

kesulitan berjalan (tongkat, kruk, walker, rungkup/

karena disfungsi penompang kursi roda)

ekstermitas bawah – Dorong olahraga dan aktifitas sesuai

(mis: arthritis) toleransi untuk mempertahankan

kekuatan otot, fleksibilitas sendi dan

keseimbangan

– Pastikan kerapian lingkungan dengan

karpet yang terpasang baik

Kesulitan untuk – Dorong klien untuk meminta bantuan

berdiri dan duduk di – Pertahankan posisi tempat tidur dalam

kursi atau bangkit


24

dari dan ke tempat posisi yang rendah

tidur – Lengkapi dinding kamar mandi dengan

susur tangan

– Naikkan dudukan toilet

Hipotensi ortostatik – Minta klien untuk berdiri secara

perlahan dari posisi berbaring ke posisi

duduk, kemudian ke posisi berdiri,

diam di tempat selama beberapa detik

sebelum mulai berjalan

Sering berkemih atau – Sediakan kursi buang air di tempat

menggunakan tidur

diuretic – Bantu pasien berkemih secara teratur

dan terjadwal

Kelemahan akibat – Dorong klien untuk meminta bantuan

proses penyakit atau – Pantau toleransi aktifitas klien

terapi

Regimen pengobatan – Naikkan pagar tidur

saat ini yang meliputi – Pertahankan pagar tempat tidur tetap

penggunaan sedatif, terpasang walaupun posisi tempat tidur

hipnotik, obat rendah

penenang, narkotik, – Pantau orientasi dan status

analgesik dan diuretik kewaspadaan

– Diskusikan bagaimana alc\kohol dapat


25

menyebabkan cedera jatuh

– Dorong peninjauan terhadap semua

obat resep setiap tahun atau lebih sering

3) Mengevaluasi lingkungan rumah klien

Bahaya dalam rumah merupakan penyebab utama jatuh,

kebakaran, keracunan, sufokasi dan kecelakaan lain misalnya

akibat penggunaan peralatan dan perlengkapan rumah tangga serta

alat masak yang tidak tepat.

a) Eksterior rumah

(1) Apakah trotoar tidak rata?

(2) Apakah anak tangga dalam kondisi baik?

(3) Apakah pencahayaannya adekuat?

(4) Apakah anak tangga mempunyai pegangan tangan dipinggir

tangganya?

b) Interior rumah

(1) Apakah ada lampu yang dinyalakan pada malam hari?

(2) Apakah lantai tidak licin?

(3) Apakah funitur cukup kuat untuk diduduki?

c) Dapur

(1) Apakah tersedia fasilitas untuk mencuci tangan?

(2) Adakah tempat yang bersih untuk menyimpan makanan?

(3) Apakah cairan pembersih yang tersimpan tidak terjangkau

oleh anak?
26

d) Kamar tidur

(1) Apakah ketinggian tempat tidur dapat dijangkau dengan

mudah?

(2) Apakah cahaya untuk siang hari dan malam hari sudah

adekuat?

e) Bahaya akibat listrik dan kebakaran

(1) Apakah kabel listrik berada dalam kondisi yang baik?

(2) Apakah alat-alat listrik berada jauh dari tempat cuci, bak

atau pancuran?

(3) Apakah bahan-bahan hasil pembakaran telah di buang

dengan tepat?

b. Diagnosa Keperawatan

1) Diagnosa 1:

Resiko jatuh dan cedera berhubungan dengan kurangnya

kewaspadaan bahaya lingkungan

2) Diagnosa 2:

Resiko jatuh dan cedera berhubungan dengan kurang kewaspadaan

terhadap bahaya lingkungan sekunder akibat usia yang matur

c. Intervensi Keperawatan

1) Diagnosa 1:

a) Kurangi atau hilangkan situasi yang membahayakan

b) Identifikasi situasi yang dapat menyebabkan kecelakaan


27

2) Diagnosa 2:

a) Lindungi bayi atau anak dari cedera rumah sakit dengan

mengontrol bahaya yang berkaitan dengan usia

d. Implementasi Sesuai Tumbang

1) Bayi, Toddler, dan Prasekolah

a) Memberikan pendidikan kesehatan untuk para orang tua

b) Menghilangkan bahaya sebisa mungkin

2) Anak usia sekolah

a) Mengintruksikan pada anak untuk mengikuti kegiatan sekolah

atau bermain dengan cara yang aman

b) Mengingatkan anak untuk tidak menerima permen, makanan,

hadiah, atau naik kendaraan bersama dengan orang asing

c) Menjelaskan pada anak apa yang harus dilakukan bila didekati

oleh orang asing

d) Perawat berkolaborasi dengan pihak sekolah atau lingkungan

rumah untuk melindungi anak-anak

e) Menganjurkan kiat-kiat yang aman dengan cara mengharuskan

anak-anak menggunakan alat pelindung saat olahraga

f) Mengajari peraturan di jalan raya dan memperingati untuk

tidak melakukan gaya atau aktifitas yang berbahaya saat

mengendarai sepeda

3) Remaja
28

a) Menganjurkan remaja untuk mendaftar pada kursus

mengemudi mobil

b) Memberikan informasi tentang penggunaan alkohol dan obat-

obatan

c) Memberikan pendidikan seks, tekankan praktek seks yang

aman

4) Orang dewasa

a) Memberikan rujukan kepada pasien untuk mengikuti kursus

manajemen stres dan berikan petunjuk perubahan gaya hidup

5) Lansia

a) Membantu pasien menilai bahaya yang ada di rumah

b) Menganjurkan pasien untuk memeriksakan penglihatan dan

pendengaran secara teratur

c) Menganjurkan pasien untuk mendaftarkan diri pada kursus

olahraga dan menjaga diri tetap aktif

e. Evaluasi

1) Diagnosa 1:

S : “Ayah saya bisa jatuh kalau tempat tidur rusak”

O : Kurang waspada terhadap bahaya lingkungan

A : Resiko jatuh dikarenakan kurang waspada terhadap

bahaya lingkungan

P : - Kurangi atau hilangkan situasi yang membahayakan

- Identifikasi situasi yang dapat menyebabkan kecelakaan


29

2) Diagnosa 2:

S : “Anak saya akan jatuh karena lasak”

O : Kurang waspada akibat usia yang matur

A : Kurang waspada dikarenakan usia yang matur

P : - Lindungi bayi atau anak dari cedera rumah sakit dengan

mengontrol bahaya yang berkaitan dengan usia

B. Konsep Kebutuhan Kenyamanan

Setiap individu pernah merasakan nyeri dalam tingkatan tertentu. Nyeri

merupakan alasan yang paling umum orang mencari perawatan kesehatan.

Walaupun merupakan salah satu dari gejala yang paling sering terjadi di

bidang medis, nyeri merupakan salah satu yang paling sedikit di pahami.

1. Pengertian Nyeri

Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal

yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Stimulus nyeri dapat berupa

stimulus yang bersifat fisik maupun mental, sedangkan kerusakan dapat

terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego seorang individu (Potter

& Perry,2002).

Menurut McCaffery, (1980): “Nyeri adalah segala sesuatu yang

dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja

seseorang mengatakan bahwa ia merasa nyeri”. Sedangkan menurut

Clancy & McVicar, (1992): “Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa

terjadi kerusakan jaringan, yang harus menjadi pertimbangan utama

keperawatan saat mengkaji nyeri.


30

Dari ketiga pengertian nyeri diatas dapat diambil kesimpulan bahwa

nyeri adalah suatu kondisi yang ditandai dengan pengalaman sensori dan

emosional yang tidak menyenangkan, dikarenakan oleh kerusakan jaringan

aktual atau potensial. Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang

bertujuan untuk melindungi diri. Apabila seseorang merasakan nyeri,

maka perilakunya akan berubah. Misalnya, seseorang yang kakinya terkilir

menghindari aktifitas mengangkat barang yang memberi beban penuh

pada kakinya untuk mencegah cedera lebih lanjut. Sedangkan seseorang

yang mengalami nyeri pada saat sakit gigi, memilih untuk menghindari

makan atau berbicara dengan orang lain.

2. Jenis Nyeri

Berdasarkan durasinya, nyeri dapat diklasifikasikan sebagai nyeri akut

dan kronik.

a. Nyeri Akut

Nyeri akut adalah nyeri yang mereda setelah intervensi atau

penyembuhan. Nyeri akut biasa awitannya tiba-tiba dan umumnya

berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa

kerusakan atau cedera telah terjadi. Jika kerusakan tidak lama terjadi

dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan

dengan terjadinya penyembuhan. Nyeri ini umumnya terjadi kurang

dari 6 bulan dan biasanya kurang dari 1 bulan.

Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh

secara spontan atau dapat memerlukan pengobatan, misalnya jari yang


31

tertusuk biasanya sembuh dengan cepat, dengan nyeri yang hilang

dengan cepat barangkali dalam beberapa detik atau beberapa menit.

b. Nyeri Kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap

sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu

penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan

dengan penyebab atau cedera spesifik.

Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan

biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (McCaffery,1986). Nyeri

kronik disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol atau gangguan

progresif lain yang disebut nyeri yang membandel atau nyeri maligna.

Nyeri ini dapat berlangsung terus sampai kematian.

Individu yang mengalami nyri kronik seringkali tidak

memperlihatkan gejala yang berlebihan dan tidak beradaptasi dengan

nyeri, tetapi tampaknya lebih menderita seiring dengan perjalanan

waktu karena kelelahan mental dan fisik. Pada individu yang

mengalami nyeri kronik timbul suatu perasaan tidak aman kerena ia

tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari. Gejala

nyeri kronik meliputi keletihan, insomnia, anoreksia, penurunan berat

badan, depresi, putus asa, dan kemarahan.

Berdasarkan sumber dan lokasinya, nyeri dapat diklafikasikan

menjadi:

a. Nyeri Somatik Superficial


32

Nyeri somatik superficial yaitu nyeri yang terjadi akibat adanya

stimulus mekanik, kimiawi, termis, elektrik, iskemik maupun infark 

terhadap nosiseptor atau reseptor nyeriperifer. Nosiseptor merupakan

elemen sensoris yang berfungsi untuk mengirimkan sinyal ke susunan

saraf pusat (SSP). Kulit memiliki banyak saraf sensorik sehingga

kerusakan di kulit menimbulkan sensasi yang lokasinya lebih akurat

dan presisi yang lebih luas di bandingkan di bagian tubuh lain. Daerah

nyeri mungkin terbatas disepanjang suatu dermatom (segmen kulit)

tertentu yang dipersarafi oleh satu akar dorsal (sensorik). Apabila

hanya kulit yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai menyengat,

tajam, mengiris, atau seperti terbakar. Akan tetapi bila pembuluh darah

ikut berperan menimbulkan nyeri, sifat nyeri menjadi berdenyut.

Gambar 2.1. Contoh Luka Nyeri pada Bagian Somatik

b. Nyeri Somatik Dalam

Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot,

tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur-struktur ini


33

memiliki lebih sedikit reseptor sehingga lokasi nyeri sering tidak jelas.

Nyeri dirasakan lebih difus daripada nyeri kulit dan cenderung

menyebar ke daerah sekitarnya. Nyeri dari berbagai struktur dalam

berbeda.

1) Nyeri akibat suatu cedera akut pada sendi memiliki lokasi yang

jelas biasanya dirasakan sebagai rasa tertusuk, terbakar atau

berdenyut.

2) Pada peradangan kronik sendi (artritis), yang dirasakan adalah

nyeri pegal-tumpul yang disertai seperti tertusuk apabila sendi

bergerak.

3) Nyeri tulang berasal dari stimulus reseptor nyeri di periosteum dan

lokasinya relatif kurang jelas, nyeri ini sering dirasakan sebagai

rasa pegal-tumpul atau linu.

4) Nyeri otot rangka juga memiliki lokasi yang kurang jelas dan

dirasakan sebagai rasa pegal-tumpul atau kram.

c. Nyeri Visera

Nyeri Visera adalah nyeri berasal dari organ dalam, biasanya

akibat distensi organ berongga, misal usus, kandung empedu,

pankreas, dan jantung. Nyeri visera sering kali diikuti referred pain

dan sensasi otonom (mual, muntah). Reseptor nyeri visera lebih jarang

dibandingkan dengan reseptor nyeri somatik dan terletak di dinding

otot polos organ-organ berongga.

Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri visera adalah

peregangan atau distensi abnormal dinding atau kapsul organ, iskemia,


34

dan peradangan. Usus adalah sumber dari nyeri kram atau intermiten

yang dikenal sebagai kolik saat mengalami iritasi oleh zat-zat kimia

yang dihasilkan oleh peradangan atau apabila teregang.

d. Nyeri Alih

Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri yang berasal dari salah satu

daerah di tubuh tetapi dirasakan terletak di daerah lain. Nyeri ini

berasal dari suatu organ visera yang kemudian dialihkan kesuatu

daerah di permukaan tubuh atau di tempat lainnya yang tidak tepat

dengan lokasi nyeri.

Saat ini penjelasan yang paling luas diterima tentang nyeri alih

adalah teori konvergensi-proyeksi (Fields, Martin 2001). Menurut teori

ini, dua tipe aferen yang masuk ke segmen spinal (satu dari kulit dan

satu dari struktur otot dalam atau visera) berkonvergensi ke sel-sel

proyeksi sensorik yang sama (misalnya, sel proyeksi spinotalamikus).

Karena tidak memiliki cara untuk mengenai sumber asupan sebenarnya

otak secara salah “memproyeksikan” sensasi nyeri ke daerah somatik

(dermatom).
35

Gambar 2.2. Teori Konvergensi-Proyeksi Nyeri Alih

Contohnya iskemia miokardium menyebabkan pasien merasa nyeri

hebat di bagian tengah sternum yang sering menyebar ke sisi medial

lengan kiri, pangkal leher, dan bahkan rahang. Nyeri diperkirakan

disebabkan oleh penimbunan metabolik dan difesiensi oksigen yang

merangsang ujung-ujung saraf sensorik di miokardium. Serat-serat

saraf aferen naik ke SSP melalui cabang-cabang kardiak trunkus

simpatikus dan masuk ke medula spinalis melalui akar dorsal lima

saraf torakalis paling atas (T1-T5).

Gambar 2.3. Lokasi Nyeri Alih dari Organ Visera

e. Nyeri Neuropati

Nyeri Neuropati adalah nyeri yang timbul akibat iritasi atau trauma

pada saraf, seringkali persisten, walaupun penyebabnya sudah tidak

ada, nyeri dirasa seperti terbakar, tersengat listrik, alodinia, disestesi.


36

Sakit kepala dan saraf terjepit dapat merupakan contoh dari nyeri

neuropatik. Nyeri neuropatik biasanya terjadi setelah kerusakan

jaringan saraf (Bull Eleanor & achar graham, 2007).

Nyeri neuropati merupakan keadaan kompleks nyeri kronis yang

biasanya disertai dengan cedera jaringan. Dengan nyeri neuropatik,

serat-serat saraf sendiri mungkin rusak, disfungsional atau cedera.

Serat saraf yang rusak ini mengirim sinyal yang salah ke pusat-pusat

rasa sakit. Dampak dari cedera serabut saraf meliputi perubahan dalam

fungsi saraf, baik di tempat cedera maupun di daerah sekitar cedera.

Akibatnya, seseorang bisa merasa tidak nyaman dengan gejala yang

digambarkan sebagai kesemutan atau seperti di tusuk paku dan jarum

atau gejala nyeri lebih seperti terbakar.

3. Sifat Nyeri

Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal

yang disebabkan oleh stimulus tertentu yang bersifat subjektif, sangat

individual, dan tidak dapat diukur secara objektif, seperti dengan

menggunakan sinar-X atau pemeriksaan darah (Potter & Perry, 2005, p.

1502-1503). Menurut Mahon (1994) dalam Potter dan Perry (2005, p.

1502), empat atribut pasti untuk pengalaman nyeri, yaitu nyeri bersifat

individu, tidak menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang

mendominasi, dan bersifat tidak berkesudahan.

Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk

melindungi diri (protektif). Misalnya, seseorang yang kakinya terkilir akan


37

menghindari aktifitas mengangkat barang yang memberi beban penuh

pada kakinya untuk mencegah cedera lebih lanjut (Potter dan Perry, 2005,

p. 1503). Tidak seperti modalitas somatosensorik lain, nyeri disertai oleh

respon perilaku termotivasi (misalnya penarikan atau pertahanan) serta

reaksi emosi (misalnya menangis atau ketakutan) (Sherwood, 2001, p.

156). Nyeri mengarah pada penyebab ketidakmampuan dan merupakan

suatu gejala yang umum terjadi pada orang yang mengidap suatu penyakit

yang menyebabkan timbul kekhawatiran akan nyeri pada pasien yang

didiagnosis suatu penyakit (Potter dan Perry, 2005, p. 1503).

Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan jaringan

yang harus menjadi pertimbangan utama keperawatan saat mengkaji nyeri

(Clacy dan McVicar, 1992 dalam Potter dan Perry, 2005, p. 1503).

Perawat harus mengantisipasi sumber-sumber nyeri yang mungkin pasien

miliki dan upayakan belajar untuk memantau perubahan fisiologis dengan

cermat, seperti perubahan tanda-tanda vital (Potter dan Perry, 2005, p.

1503).
38

4. Neurofisiologi Nyeri

a. Proses Fisiologi Nyeri

Menurut Price dan Wilson (2005, p. 1064), antara stimulus cedera

jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses

tersendiri, yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.

1) Transduksi nyeri, adalah proses rangsangan yang mengganggu

sehingga menimbulkan aktifitas listrik di reseptor nyeri.

2) Transmisi nyeri, melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari

tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di

medula spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik

dari medula spinalis ke otak.

3) Modulasi nyeri, melibatkan aktifitas saraf melalui jalur-jalur saraf

desenden dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri

setinggi medula spinalis dan juga melibatkan faktor-faktor kimiawi

yang menimbulkan atau meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri

aferen primer.

4) Persepsi nyeri, adalah pengalaman subjektivitas nyeri yang

dihasilkan oleh aktifitas transmisi nyeri oleh saraf.


39

Gambar 2.4. Proses Fisiologi Nyeri

b. Modifikasi Masukan Nyeri

Woolf dan Salter (2000) dalam Price dan Wilson (2005, p. 1065)

mengidentifikasi ada tiga tingkatan tempat informasi saraf yang dapat

dimodifikasi sebagai respons terhadap nyeri kronik, yaitu luas dan

durasi respon terhadap stimulus di sumbernya dapat dimodifikasi,

perubahan kimiawi dapat terjadi di dalam setiap neuron atau bahkan

dapat menyebabkan perubahan pada karakteristik anatomi neuron-

neuron ini atau sepanjang jalur penghantar nyeri, dan pemanjangan

stimulus dapat menyebabkan modulasi neurotransmitter yang

mengendalikan arus informasi dari neuron ke reseptor-reseptornya.


40

c. Resepsi

Semua kerusakan selular yang disebabkan oleh stimulus termal,

mekanik, kimiawi, atau stimulus listrik menyebabkan pelepasan

substansi yang menghasilkan nyeri. Berikut perubahan fisik yang

disebabkan oleh stimulus yang menghasilkan nyeri menurut Potter dan

Perry (2005, p. 1505).

Tabel perubahan fisik yang disebabkan stimulus nyeri

Tipe Stimulus Proses Patofisilogi


Sumber

Mekanik Gangguan dalam Distensi edema pada jaringan

cairan tubuh tubuh

Distensi duktus Regangan duktus lumen

sempit (misal saluran batu

ginjal melalui ureter)

Lesi yang mengisi Iritasi saraf perifer oleh

ruangan (tumor) pertumbuhan lesi di dalam

ruangan lesi

Kimia Perforasi organ Iritasi kimia oleh sekresi

visceral pada ujung-ujung saraf yang

sensitif (misal ruptur

apendiks, ulkus di

duodenum)

Termal Terbakar akibat Inflamasi atau hilangnya

panas atau dingin lapisan superfisial atau

yang ekstrem epidermis, yang


41

menyebabkan peningkatan

sensitifitas ujung-ujung saraf

Listrik Terbakar Lapisan kulit terbakar

disertai cedera jaringan

subkutan dan cedera jaringan

otot, menyebabkan cedera

pada ujung-ujung saraf

Nosiseptor adalah saraf aferen primer untuk menerima dan

menyalurkan rangsangan nyeri. Nosiseptor terletak di jaringan

subkutis, otot rangka, dan sendi (Price dan Wilson, 2005, p. 1065).

Menurut Sherwood (2001, p. 156), ada tiga kategori reseptor nyeri,

yaitu:

1) Nosiseptor mekanis, berespon terhadap kerusakan mekanis,

misalnya tusukan, benturan, atau cubitan.

2) Nosiseptor termal, berespon terhadap suhu yang berlebihan

terutama panas.

3) Nosiseptor polimodal, berespon setara terhadap semua jenis

rangsangan yang merusak.

Saraf perifer terdiri dari akson tiga tipe neuron yang berlainan,

yaitu neuron aferen atau sensorik primer, neuron motorik, dan neuron

pascaganglion simpatis. Serat pascaganglion simpatis dan motorik


42

adalah serat eferen (membawa impuls dari medula spinalis ke jaringan

dan organ efektor) (Price dan Wilson, 2005, p. 1065).

Serat-serat aferen primer diklasifikasikan berdasarkan ukuran,

derajat mielinisasi, dan kecepatan hantaran. Serat aferen A-alfa (A-α)

dan A-beta (A-β) berukuran paling besar dan bermielin serta memiliki

kecepatan hantaran tertinggi. Serat-serat ini berespon terhadap

sentuhan, tekanan, dan sensasi kinestetik. Namun, serat-serat ini tidak

berespon terhadap rangsangan yang mengganggu sehingga tidak dapat

diklasifikasikan sebagai nosiseptor. Sebaliknya, serat aferen A-delta

(A-δ) yang bergaris tengah kecil dan sedikit bermielin dan serat aferen

C yang tidak bermielin berespons secara maksimal ketika mendapat

rangsangan nyeri yang mengganggu sehingga diklasifikasikan sebagai

nosiseptor (Price dan Wilson, 2005, p. 1065-1066).

Gambar 2.5. Neurofisiologi Nyeri

Tidak semua jaringan terdiri dari reseptor yang mentransmisikan

nyeri (misalnya otak dan alveoli). Distribusi reseptor nyeri di setiap


43

bagian tubuh bervariasi karena bentuk dan ukuran tubuh yang

bervariasi. Setiap individu memiliki kapasitas produksi substansi

penghasil nyeri yang berbeda-beda yang dikendalikan oleh gen

individu tersebut (Potter dan Perry, 2005, p. 1504).

Resepsi nyeri membutuhkan sistem saraf perifer dan medula

spinalis yang utuh. Faktor-faktor umum yang mengganggu resepsi

nyeri normal meliputi trauma, obat-obatan, pertumbuhan tumor, dan

gangguan metabolik (Potter dan Perry, 2005, p. 1505).

d. Jalur Nyeri di Sistem Saraf Pusat

1) Jalur Asendens

Serat saraf C dan A-δ aferen yang menyalurkan impuls nyeri

masuk ke medula spinalis di akar saraf dorsal. Serat-serat memisah

sewaktu masuk ke korda dan kemudian menyatu kembali di kornu

dorsalis (posterior) medula spinalis. Daerah ini menerima,

menyalurkan, dan memproses impuls sensorik. Kornu dorsalis

medula spinalis dibagi menjadi lapisan-lapisan sel yang disebut

lamina. Substansia gelatinosa (lamina II dan III) sangat berperan

dalam transmisi dan modulasi nyeri (Price dan Wilson, 2005, p.

1067).

Kemudian, impuls nyeri dikirim ke neuron-neuron yang

menyalurkan informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di

komisura anterior dan kemudian menyatu di traktus spinotalamikus

anterolateralis, yang naik ke thalamus dan struktur otak lainnya.


44

Dengan demikian, transmisi impuls nyeri di medula spinalis

bersifat kontralateral terhadap sisi tubuh tempat impuls tersebut

berasal (Price dan Wilson, 2005, p. 1067).

Ada dua jalur spinotalamikus sejajar yang menyalurkan

impuls-impuls ini ke otak menurut Price dan Wilson (2005, p.

1067), yaitu:

a) Traktus neospinotalamikus, adalah suatu sistem langsung yang

membawa informasi diskriminatif mengenai nyeri cepat atau

akut dari nosiseptor A-δ ke thalamus. Sebuah neuron di

thalamus kemudian memproyeksikan akson-aksonnya melalui

bagian posterior kapsula interna untuk membawa impuls nyeri

ke korteks somatosensorik primer girus pascasentralis.

b) Traktus paleospinotalamikus, adalah suatu jalur multisinaps

difus yang membawa impuls mengenai nyeri lambat atau

kronik dari nosiseptor C ke formasio retikularis batang otak

sebelum ke nucleus parafasikularis dan nucleus intralaminar

lain di thalamus, hipotalamus, nukleus sistem limbik, dan

korteks otak depan.

2) Jalur Desendens

Jalur-jalur desendens serat eferen yang berjalan dari korteks

serebrum ke bawah ke medula spinalis dapat menghambat atau

memodifikasi rangsangan nyeri yang datang melalui suatu


45

mekanisme umpan-balik yang melibatkan substansia gelatinosa

dan lapisan lain kornu dorsalis (Price dan Wilson, 2005, p. 1068).

Zat-zat kimia (neuroregulator) juga mempengaruhi masukan

sensorik ke medula spinalis. Neuroregulator ini dikenal sebagai

neurotransmitter atau neuromodulator. Neurotransmitter adalah

neurokimia yang menghambat atau merangsang aktifitas di

membran pascasinaps. Zat P, suatu neuropeptida, adalah

neurotransmitter spesifik nyeri yang terdapat di antara kornu

dorsalis medula spinalis. Neurotransmitter sistem saraf pusat antara

lain adalah asetilkolin, norepinefrin, epinefrin, dopamine, dan

serotonin (Price dan Wilson, 2005, p. 1068).

Neurotransmitter, seperti substansi P mengirim impuls listrik

melewati celah sinaps diantara dua serabut saraf yaitu serabut

eksitator dan inhibitor. Neuromodulator memodifikasi aktifitas

neuron dan menyesuaikan atau memvariasikan transmisi stimulus

nyeri tanpa secara langsung mentransfer tanda saraf melalui sebuah

sinaps (Potter dan Perry, 2005, p. 1505).

Menurut Potter dan Perry (2005, p. 1507), pengelompokkan

neuroregulator adalah sebagai berikut.

a) Neurotransmitter

(1) Substansi P

(a) Terdapat di neuron di kornu dorsalis (peptid eksitator)

(b) Dibutuhkan untuk mentransmisi impuls nyeri dari

perifer ke pusat otak yang lebih tinggi


46

(c) Menyebabkan vasodilatasi dan edema

(2) Serotonin

Dilepas dari batang otak dan kornu dorsalis untuk

menghambat transmisi nyeri.

(3) Prostaglandin

(a) Dihasilkan dari pemecahan fosfolipid dalam membran

sel

(b) Diyakini meningkatkan sensitivitas nyeri

b) Neuromodulator

(1) Endorfin dan dinorfin

(a) Merupakan suplai alamiah tubuh yang berupa substansi

seperti morfin

(b) Diaktifkan oleh stres dan nyeri

(c) Dilokalisasi di dalam otak, medulla spinalis, dan

saluran pencernaan

(d) Memberikan efek analgesia apabila agens ini menyatu

dengan reseptor opiat di otak

(e) Terdapat dalam kadar yang lebih tinggi pada individu

yang tidak terlalu merasa nyeri dibandingkan yang lain

dengan cedera yang sama

(2) Bradikinin

(a) Dilepas dari plasma yang keluar dari pembuluh darah di

jaringan sekitar pada lokasi cedera jaringan


47

(b) Terikat pada reseptor pada saraf perifer, meningkatkan

stimulus nyeri

(c) Terikat pada sel-sel yang menyebabkan reaksi rantai

yang menghasilkan prostaglandin

Gambar 2.6. Jalur Asendens dan Desendens Impuls Nyeri

5. Teori Pengontrolan Nyeri (The Gate Control Theory)

Riset-riset terakhir mengenai nyeri telah membuktikan bahwa tidak

ada satu teori yang dapat menjelaskan secara lengkap bagaimana nyeri

disalurkan atau dirasakan dan bahwa tidak ada yang mencerminkan

kompleksitas jalur-jalur neuroantomik transmisi dan modulasi nyeri.

Untuk mengompensasi kekurangan teori spesifisitas dan teori pola,

Melzack dan Wall menciptakan teori pengendalian gerbang pada tahun

1965. Walaupun sebagian dari asumsi awalnya telah ditinggalkan, teori ini

merupakan model yang paling menyeluruh dan praktis untuk

mengkonseptualisasikan nyeri. Penemuan opioid endogen pada tahun


48

1970-an menambah dimensi lain untuk memahami modulasi nyeri, tetapi

sampai saat ini belum ada teori tunggal yang mengintergrasikan semuanya.

Teori kontrol gerbang nyeri berusaha menjelaskan variasi persepsi

nyeri terhadap stimulasi yang identik. Melzack dan Wall

mengombinasikan fakta-fakta yang ada dari literatur klinis dan dari

neurofisiologi untuk menompang teori mereka dan menggunakan suatu

model skematik untuk menggambarkan gagasan mereka. Teori ini telah

menjadi fokus penelitian internsif selama lebih dari 30 tahun, dan model

tersebut telah dimodifikasi dan diperbarui.

Prinsip dasar pada teori kontrol gerbang adalah sebagai berikut

(Melzack, Wall, 1996; Wall, Melzack, 2000):

a. Baik serat sensorik bermielin besar (L) yang membawa informasi

mengenai rasa raba dan proprio sepsi dari perifer (serat A-a dan A-β)

maupun serat kecil (S) yang membawa informasi mengenai nyeri

(serat A-δ dan C) menyatu di kornu dorsalis medula spinalis.

b. Transmisi impuls saraf dari serat-serat aferen ke sel-sel transmisi (T)

medula spinalis di kornu dorsalis dimodifikasi oleh suatu mekanisme

gerbang di sel-sel subtansia gelatinosa. Apabila gerbang tertutup,

impuls nyeri tidak dapat diteruskan. Apabila gerbang terbuka atau

sedikit terbuka, impusl nyeri merangsang sel T di kornu dorsalis dan

kemudian naik melalui medula spinalis ke otak, tempat impuls tersebut

dirasakan sebagai nyeri.

c. Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi oleh jumlah relatif aktivitas di

serat aferen primer berdiameter besar (L) dan berdiameter kecil (S).
49

Aktifitas diserat besar cenderung mempermudah transmisi nyeri

(menutup gerbang). Aferen berdiameter besar merangsang neuron-

neuron subtansia gelatinosa inhibitorik sehingga input ke sel T

berkurang sehingga nyeri terhambat. Sebaliknya, aktivitas di serat

berdiameter kecil menghambat sel-sel substansia gelatinosa inhibitorik

sehingga terjadi peningkatan trans misi dari aferen primer ke sel T dan

karenannya meningkatkan intensitas nyeri. Inhibisi dan fasilitasi

diperkirakan dilakukan oleh mekanisme prasinaps dam pascasinaps.

d. Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi oleh impuls saraf yang turun

dari otak. Aspek mekanisme ini didasarkan oleh banyaknya faktor

psikologi yang di ketahui mempengaruhi nyeri dan pada fakta bahwa

kornu dorsalin medula spinalis di pengaruhi oleh beberapa jalur yang

turun dari otak. Berbagai sistem modulasi-nyeri desendens yang

melibatkan nukleus-nukleus batang otak dan neuron serotonergik dan

noradrenergik yang proyeksi ke substansia gelatinosa di kornu dorsalin

ini sudah dibahas di atas.

e. Apabila keluaran dari sel-sel T medula spinalis melebihi suatu ambang

kritis, terjadi pengaktifan “sistem aksi” untuk perasaan dan respon

nyeri. Apabila pengaktifan ini terjadi, input sensorik akan disaring dan

aktivitas sensorik dan afektif yang berkelanjutan terjadi di tingkat SSP;

sebagai contoh, terjadi interaksi antara sistem pengendalian gerbang

dan sistem aksi, atau otak dapat menyetel gerbang kembali sewaktu

otak menganalisis dan bekerja bedasarkan imput sensorik yang

diterimanya.
50

Gambar 2.7. The Gate Control Theory

Secara singkat, penyetelan gerbang, dan karenanya seberapa

mudah informasi yang menimbulkan nyeri melewati gerbang,

bergantung pada keseimbangan aktifitas di serat berdiameter besar dan

kecil dan diserat yang turun dari pusat-pusat yang lebih tinggi.

Teori pengendalian gerbang untuk nyeri menjelaskan mengapa

pengosokan atau pemijatan suatu bagian yang nyeri setelah suatu

cedera dapat menghilangkan nyeri, kerana aktifitas di serat-serat besar

dirangsang oleh tindakan ini, sehingga untuk gerbang aktifitas serat

berdiameter kecil (nyeri) tertutup. Pemakaian stimulasi saraf dengan

listrik transkutis (TENS atau TNS) atau pemijatan untuk

menghilangkan nyeri adalah salah satu contoh aplikasi klinis teori ini.
51

Tetapi TENS dilaporkan efektif untuk mengurangi dan menurunkan

pemakaian analgensik pada nyeri neuropatik diabetes (Alvaro et al.,

1999), pascahemoroidektomi (Chiu et al., 1999), pascabedah

ginekologik (Hamza et al., 1999), dan saat persalinan (van der Spank

et al., 2000).

6. Persepsi Nyeri

Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Stimulus

nyeri ditransmisikan naik ke medulla spinalis ke thalamus dan otak tengah.

Dari thalamus, ditransmisikan pesan nyeri ke berbagai area otak, termasuk

korteks sensori dan korteks asosiasi (kedua lobus parietalis), lobus

frontalis dan sistem limbik (Paice,1991 dalam Potter & Perry, 2005).

Ada sel-sel di dalam sitem limbik yang diyakini mengontrol emosi,

khususnya untuk ansieatas. Dengan demikian, sistem limbik berperan aktif

dalam memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi saraf

berakhir didalam pusat otak yang lebih tinggi, maka individu akan

mempersepsikan sensasi nyeri (Potter & Perry, 2005).

Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri.

Bagaimana pun tidak ada satu teoripun yang menjelaskan secara sempurna

bagaimana nyeri ditransmisikan atau diserap, tidak juga menjelaskan

kompleksitas dari jaras yang mempengaruhi transmisi impuls nyeri,

sensasi nyeri dan perbedaan individual dalam sensasi nyeri.

Penatalaksanaan efektif nyeri pasien membutuhkan pemahaman tentang

persepsi nyeri, juga disebut nosisepsi (Brunner & Suddarth, 2001).


52

Pada saat individu sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang

kompleks. Faktor-faktor psikologis dan kognitif berinteraksi dengan

faktor-faktor neurofisiologis dalam mempersepsikan nyeri (Potter & Perry,

2005). Meinhart & McCaferry (1983) menjelaskan ada tiga sistem

interaksi persepsi nyeri sebagai Sensori-Diskriminatif, Motivasi-Avektif,

dan Kognitif-evaluatif. Persepsi menyadarkan individu dan mengartikan

nyeri itu sehingga individu dapat bereaksi (Potter & Perry, 2005).

Sistem Interaksi Persepsi Nyeri (Potter & Perry, 2005):

a. Sensori-Diskriminatif

1) Transmisi nyeri terjadi antara talamus dan korteks sensori

2) Seorang individu mempersepsikan lokasi, keparahan, dan karakter

nyeri

3) Faktor-faktor yang menurunkan tingkat kesadaran (misal:

analgesik, anestetik, penyakit serebral) menurunkan persepsi nyeri.

4) Faktor-faktor yang meningkatkan kesadaran terhadap stimulus

(misal: ansietas, gangguan tidur) dapat meningfkatkan persepsi

nyeri

b. Motivasi-Avektif

1) Interaksi antara pembentukan sistem retikular dan sistem limbik

menghasilkan persepsi nyeri

2) Pembentukan retikular menghasilkan respon pertahanan,

menyebabkan individu menginterupsi atau menghindari stimulus

nyeri
53

3) Sistem limbik mengontrol respon emosi dan kemampuan yaitu

koping nyeri.

c. Kognitif-E valuatif

1) Pusat kortikal yang lebih tinggi di otak mempengaruhi persepsi

nyeri

2) Kebudayaan, pengalaman dengan nyeri, dan emosi mempengaruhi

evaluasi terhadap pengalamn nyeri

3) Sistem ini membantu seseorang untuk menginterpretasikan

intensitas dan kualitas nyeri sehingga dapat melakukan suatu

tindakan.

7. Reaksi Nyeri

Reaksi terhadap nyeri merupakan respons fisiologis dan perilaku yang

terjadi setelah mempersepsikan nyeri (Potter & Perry, 2005).

a. Respon Fisiologis

Pada saat impuls naik ke medulla spinalis menuju batang otak dan

thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari

respon stres. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri

yang superficial menimbulkan reaksi “flight-atau-fight”, yang

merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulus pada cabang simpatis

pada sistem saraf otonom menghasilkan respon fisiologis.

Apabila nyeri berlangsung terus menerus, berat atau dalam dan

secara tipikal melibatkan organ-organ visceral (seperti nyeri pada

infark miokard, kolik akibat kandung empedu atau batu ginjal), sistem

saraf parasimpatis menghasilkan suatu aksi. Respon fisiologis terhadap


54

nyeri dapat sangat membahayakan individu. Kecuali pada kasus-kasus

nyeri traumatik yang berat, yang menyebabkan individu mengalami

syok, kebanyakan individu mencapai tingkat tingkat adaptasi, yaitu

tanda-tanda fisik kembali normal. Dengan demikian pasien yang

mengalami nyeri tidak akan selalu memperlihatkan tanda-tanda fisik

(Potter & Perry,2005).

Tabel Reaksi Fisiologis Terhadap Nyeri

Respon Penyebab/Efek

Stimulus Simpatik (Nyeri ringan – moderat & superficial)

a. Dilatasi saluran bronkiolus Menyebabkan peningkatan asupan

dan peningkatan frekuensi oksigen

pernapasan.

b. Peningkatan frekuensi Menyebabkan peningkatan

denyut jantung. transport oksigen

c. Vasokontriksi perifer Meningkatkan tekanan darah

(pucat, peningkatan tekanan disertai suplai darah dari perifer

darah) dan visera ke otot-otot skelet dan

otak

d. Peningkatan kadar glukosa Menghasilkan energi tambahan

darah.

e. Diaphoresis Mengontrol temperatur tubuh

selama stres

f. Peningkatan ketegangan Mempersiapkan otot untuk

otot melakukan aksi


55

g. Dilatasi pupil Menggunakan penglihatan yang

lebih baik

h. Penurunan motilitas saluran Membebaskan energy untuk

cerna melakukan aktifitas dengan lebih

cepat.

Stimulus Parasimpatis (nyeri berat dan dalam)

a. Pucat Menyebabkan suplai darah

berpindah dari perifer

b. Ketegangan otot Akibat keletihan

c. Penurunan denyut jantung Akibat stimulasi vagal

dan tekanan darah

d. Pernapasan yang cepat dan Menyebabkan pertahanan tubuh

tidak teratur gagal akibat stress nyeri yang

terlalu lama

e. Mual dan muntah Mengembalikan fungsi saluran

cerna

f. Kelemahan atau kelelahan Akibat pengeluaran energi fisik

b. Respon perilaku

Pada saat nyeri dirasakan, pada saat itu juga dimulai suatu siklus

yang apabila tidak di obati atau tidak dilakukan upaya untuk

menghilangkannya, dapat mengubah kualitas kehidupan individu

secara bermakna. Mahon (1994) dalam Potter & Perry, 2005 mencatat
56

bahwa nyeri dapat memiliki sifat yang mendominasi, yang

mengganggu kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan

merawat diri sendiri. Komponen reaksi nyeri membantu dalam

menjelaskan mengapa penatalaksanaan nyeri dapat merupakan suatu

tantangan (Potter & Perry, 2005).

Meinhart dan McCaffery (1983) mendeskripsikan tiga fase

pengalaman nyeri, yaitu:

1) Fase Antisipasi

Fase ini terjadi sebelum mempersepsikan nyeri. Seorang

individu mengetahui nyeri akan terjadi. Fase antisipasi mungkin

bukan fase yang paling tepat/ penting, karena fase tersebut dapat

mempengaruhi dua fase yang lain.

2) Fase Sensasi

Fase ini nyeri terjadi. Ketika merasakan nyeri individu bereaksi

terhadap nyeri dengan cara yang berbeda-beda. Toleransi individu

terhadap nyeri merupakan titik yaitu terdapat suatu ketidakinginan

untuk menerima nyeri dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi

dan durasi yang lama. Toleransi bergantung pada sikap, motivasi,

dan nilai yang diyakini seseorang.

3) Fase Akibat (aftermath)

Nyeri terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti. Bahkan

walaupun sumber nyeri dikontrol, seorang pasien mungkin masih

memerlukan perhatian perawat. Nyeri merupakan suatu krisis.


57

Setelah mengalami nyeri, pasien mungkin memperlihatkan gejala-

gejala fisik, seperti menggigil, mual, muntah, marah, atau depresi.

8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri

(Potter & Perry, 2005, p. 1511) mengatakan faktor-faktor yang

mempengaruhi nyeri adalah sebagai berikut:

a. Usia

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,

khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang

ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana

anak-anak dan lansia bereaksi tehadap nyeri. Anak-anak yang masih

kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri dan prosedur yang

dilakukan perawat yang menyebabkan nyeri. Anak-anak kecil yang

belum dapat mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan untuk

mengungkapkan secara verbal dan megekspresikan nyeri kepada orang

tua atau petugas kesehatan.

Secara kognitif, anak-anak toddler dan prasekolah tidak mampu

mengingat penjelasan tentang nyeri atau mengasosiasikan nyeri

sebagai pengalaman yang dapat terjadi di berbagai situasi. Dengan

memikirkan pertimbangan perkembangan ini, perawat harus

mengadaptasi pendekatan yang dilakukan dalam upaya untuk mencari

cara mengkaji nyeri yang dirasakan anak-anak (termasuk apa yang

akan ditanyakan dan perilaku yang akan diobservasi) dan bagaimana


58

mempersiapkan seorang anak untuk prosedur medis yang

menyakitkan.

Nyeri bukan merupakan bagian dari proses penuaan yang tidak

dapat dihindari. Pada lansia yang mengalami nyeri, perlu dilakukan

pengkajian, diagnosis, dan penatalaksanaan secara agresif. Namun,

individu yang berusia lanjut memiliki resiko tinggi mengalami situasi-

situasi yang membuat mereka merasakan nyeri. Karena lansia telah

hidup lebih lama, mereka kemungkinan lebih tinggi utnuk mengalami

kondisi patologis yang menyertai nyeri. Sekali klien yang berusia

lanjut menderita nyeri, maka ia dapat mengalami gangguan status

fungsi yang serius. Mobilisasi, aktivitas perawatan diri, sosialisasi di

lingkungan luar rumah, dan toleransi aktivitas dapat mengalami

penurunan.

Kemampuan klien untuk menginterpretasi nyeri dapat mengalami

komplikasi dengan keberadaan berbagai penyakit disertai gejala

samar-samar yang mungkin mengenai bagian tubuh yang sama.

Apabila klien lansia ini memiliki sumber nyeri lebih dari satu, maka

perawat harus mengumpulkan pengkajian yang rinci. Manifestasi

berbagai penyakit dapat menimbulkan kondisi-kondisi nyeri yang tidak

khas. Namun ketika lansia mengalami bingung, maka ia akan

mengalami kesulitan untuk mengingat pengalaman nyeri dan memberi

penjelasan yang rinci.

(Kozier, 2010, p. 694) mengatakan usia dan tahap perkembangan

seorang klien adalah variabel penting yang akan memengaruhi reaksi


59

dan ekspresi terhadap nyeri. Bidang penatalaksanaan nyeri untuk bayi

dan anak-anak telah berkembang secara bermakna. Kini telah diakui

bahwa elemen anatomi, fisiologi, dan biokimia yang dibutuhkan untuk

transmisi nyeri terdapat pada bayi baru lahir, tanpa memperhatikan

usia gestasinya. Lansia merupakan sebagian besar individu yang

berada pasa sistem perawatan kesehatan. Prevalensi nyeri pada

populasi lansia secara umum lebih tinggi akibat kondisi penyakit yang

akut dan kronik. Ambang batas nyeri tampak tidak berubah dengan

pertambahan usia, walaupun efek analgesik dapat meningkat karena

perubahan fisiologis terkait dengan metabolisme dan eksresi obat.

b. Jenis Kelamin

Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna

dalam berespon terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis kelamin

saja yang menjadi faktor dalam pengekspresian nyeri. Beberapa

kebudayaaan yang mempengaruhi jenis kelamin (misalnya

menganggap bahwa seorang laki-laki harus berani dan tidak boleh

menangis, sedangkan perempuan boleh menangis dalam situasi yang

sama). Toleransi nyeri sejak lama telah menjadi subjek penelitian yang

melibatkan pria dan wanita. Akan tetapi, toleransi terhadap nyeri

dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik

pada setiap individu.


60

c. Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu

mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa

yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana

bereaksi terhadap nyeri. Petugas kesehatan seringkali berasumsi bahwa

cara yang mereka lakukan dan yang mereka yakini adalah sama

dengan cara dan keyakinan orang lain. Dengan demikian mereka

mencoba mengira bagaimana klien akan berespon terhadap nyeri.

Misalnya, apabila perawat yakin bahwa menangis dan merintih

mengindikasikan suatu ketidakmampuan untuk mentoleransi nyeri,

akibatnya pemberian terapi mungkin tidak cocok untuk klien

berkebangsaan meksiko-amerika. Suatu pemahaman tentang nyeri dari

segi makna budaya akan membantu perawat dalam merancang asuhan

keperawatan yang relevan untuk klien yang mengalami nyeri.

Cara individu untuk mengekspresikan nyeri merupakan sifat

kebudayaan yang lain. Beberapa kebudayaan yakin bahwa

memperlihatkan nyeri adalah suatu yang alamiah. Kebudayaan yang

lain cenderung untuk melatih prilaku yang tertutup (introvert). Dengan

demikian hal ini dapat mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiat

endogen dan terjadilah persepsi nyeri.

(Kozier, 2010, p. 694) mengatakan latar belakang etnik dan

warisan budaya telah lama dikenal sebagai faktor-faktor yang

mempengaruhi seseorang terhadap nyeri dan ekspresi nyeri tersebut.


61

Perilaku yang berhubungan dengan nyeri adalah sebuah bagian dari

proses sosialisasi. Misalnya, individu dalam sebuah budaya mungkin

belajar untuk ekspresif terhadap nyeri, sementara individu dari budaya

lain mungkin belajar untuk menyimpan perasaan nyerinya tersebut dan

tidak mengganggu orang lain.

Walaupun tampaknya variasi ambang batas nyeri kecil. Latar

belakang budaya dapat mempengaruhi tingkat nyeri yang ingin

ditoleransi oleh seorang individu. Perawat harus menyadari mereka

memiliki sikap dan pengharapan pribadi mengenai nyeri. Perawat

berharap individu bersikap objektif terhadap rasa nyeri dan mampu

memberikan gambaran mendetil mengenai nyeri, terkadang perawat

dapat menyangkal atau merendahkan nyeri yang mereka pantau pada

orang lain karena mereka memiliki persepsi dan penilaian tersendiri.

Oleh karena itu, mengidentifikasi sikap pribadi anda mengenai nyeri

dan menciptakan hubungan perawat-klien yang efektif adalah sangat

penting dalam menyediakan perawatan yang kompeten secara budaya

untuk klien yang mengalami nyeri.

d. Makna Nyeri

Makna nyeri yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi

pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal

ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu

tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang

berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu


62

kehilangan, hukuman, dan tantangan. Misalnya, seorang wanita yang

sedang bersalin akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda

dengan seorang wanita yang mengalami nyeri akibat cedera karena

pukulan pasangan. Derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien

berhubungan dengan makna nyeri.

(Kozier, 2010, p. 694) mengatakan beberapa klien dapat lebih

mudah menerima nyeri dibandingkan klien lain, bergantung pada

keadaan dan interpretasi klien mengenai makna nyeri tersebut. Seorang

klien yang menghubungkan rasa nyeri dengan hasil akhir yang positif

dapat menahan nyeri dengan sangat baik. Misalnya seorang wanita

yang melahirkan anak atau seorang atlit yang menjalani bedah lutut

untuk memperpanjang kariernya dapat menoleransi rasa nyeri dengan

lebih baik karena manfaat yang dikaitkan dengan nyeri tersebut. Klien

ini dapat memandang nyeri sebagai sebuah ketidaknyamanan

sementara dan bukan ancaman atau gangguan terhadap kehidupan

sehari-hari.

Sebaliknya, klien yang nyeri kroniknya tidak hilang dapat merasa

lebih menderita, mereka dapat berespon dengan putus asa, ansietas,

dan depresi karena mereka tidak dapat menghubungkan makna nyeri.

Dalam situasi ini nyeri mungkin dilihat sebagai sebuah ancaman bagi

citra tubuh atau gaya hidup dan sebagai sebuah tanda kemungkinan

menjelang kematian.

e. Perhatian
63

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatianya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan

dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan atau

distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Konsep ini

merupakan salah satu konsep yang perawat terapkan di berbagai terapi

untuk menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, tekhnik imajinasi

terbimbing (guide imagery), dan masase. Dengan memfokuskan

perhatian dan konsenterasi klien pada stimulus yang lain, maka

perawat menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer. Biasanya,

hal ini menyebabakan toleransi nyeri individu meningkat, khususnya

pada nyeri yang berlangsung hanya pada waktu distraksi.

f. Ansietas

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas

seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat

menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom adalah

sama dalam nyeri dan ansietas. Sulit untuk memisahkan dua sensasi.

Individu yang sehat secara emosional, biasanya lebih mampu

mentoleransi nyeri sedang hingga berat daripada individu yang

memiliki status emosional kurang stabil. Klien yang mengalami cedera

taua menderita penyakit kritis, seringkali mengalami kesulitan

mengontrol lingkungan dan perawatan diri dapat menimbulkan tingkat

ansietas yang tinggi. Apabila rasa cemas tidak mendapat perhatian


64

dalam suatu lingkungan berteknologi tinggi, misalnya di unit

perawatan intensif (UPI). Maka rasa cemas tersebut dapat

menimbulkan suatu masalah penatalaksanaan nyeri yang serius. Nyeri

yang tidak kunjung hilang seringkali menyebabkan psikosis dan

ganggguan kepribadian.

(Kozier, 2010, p. 694) mengatakan ansietas sering kali menyertai

nyeri. Ancaman dari sesuatu yang tidak diketahui dan

ketidakmampuan mengontrol nyeri atau peristiwa yang menyertai

nyeri seringkali memperburuk persepsi nyeri. Keletihan juga

mengurangi kemapuan koping sesorang sehingga meningkatkan

persepsi nyeri. Apabila nyeri mengganggu tidur, keletihan, dan

ketegangan otot seringkali terjadi sehingga meningkatkan nyeri,

sehingga tebentuk siklus letih-nyeri-letih. Individu yang mengalami

nyeri yang percaya bahwa mereka dapat mengontrol nyeri akan

mengalami penurunan rasa takut dan ansietas, yang akan menurunkan

persepsi nyeri mereka. Persepsi berupa tidak dapat mengontrol nyeri

atau merasa tidak dapat berdaya cenderung meningkatkan persepsi

nyeri. Klien yang mampu mengekspresikan nyeri kepada seorang

pendengar yang perhatian dan berpartisipasi dalam membuat

keputusan penatalaksanaan nyeri dapat meningkatkan sensasi kontrol

dan menurunkan persepsi nyeri.

g. Keletihan
65

Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan

menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan

kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap

individu yang menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila

keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri akan terasa lebih

berat lagi. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu

mengalami suatu periode tidur yang lelap dibanding pada akhir hari

yang melelahkan.

h. Pengalaman Sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri

sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan

menerima nyeri dengan lebih baik pada masa yang akan datang.

Apabila individu sejak lama sering mengalami episode nyeri tanpa

pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka ansietas bahkan

rasa takut dapat muncul. Sebaliknya apabila individu mengalami nyeri

dengan jenis yang sama berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut

berhasil dihilangkan akan lebih mudah individu tersebut untuk

menyesuaikan diri dengan nyeri yang terjadi. Akibatnya, klien akan

lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk

menghilangkan nyeri.

Apabila seorang klien tidak pernah mengalami nyeri, maka

persepsi pertama nyeri dapat mengganggu koping terhdap nyeri.

Misalnya, setelah bedah abdomen adalah hal umum bagi klien untuk
66

mengalami nyeri insisi yang berat selama beberap hari. Apabila klien

tidak menyadari hal ini, ia akan memandang awitan nyeri sebagai

komplikasi yang serius kemudian klien tersebut berbaring di tempat

tiur dan bernapas dengan dangkal karena ia merasa takut akan terjadi

sesuatu yang tidak baik, padahal sebenarnya klien dapat berpartisipasi

aktif dalam latihan pernapasan pasca operasi. Perawat harus

melakukan upaya untuk mempersiapkan klien dengan menerangkan

secara jelas tentang nyeri yang akan di alami dan metode yang

mengurangi nyeri tersebut.

(Kozier, 2010, p. 694) mengatakan pengalaman nyeri di masa lalu

dapat mengubah sensitivitas klien terhadap nyeri. Individu yang

mengalami nyeri, secara pribadi atau yang melihat penderitaan orang

terdekat, sering kali lebih terancam oleh kemungkinan nyeri

dibandingkan individu yang tidak memiliki pengalaman nyeri. Selain

itu berhasil atau tidak berhasilnya upaya pereda nyeri mempengaruhi

harapan sesorang mengenai pereda nyeri. Misalnya sesorang yang

telah mencoba beberapa tindakan pereda nyeri namun tidak puas ini

terutama terjadi pada klien yang tidak dapat mengekspresikan diri

mereka.

i. Gaya Koping

Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat

anda merasa kesepian. Apabila klien mengalami nyeri, klien merasa

tidak berdaya dengan rasa kesepian itu. Hal yang sering terjdi adalah
67

klien merasa kehilangan kontrol terhadap lingkungan atau kehilangan

kontrol terhadap hasil akhir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Dengan demikian gaya koping mempengaruhi kemamuan individu

tersebut untuk mengatasi nyeri.

Individu yang memiliki fokus kendali internal mempersepsikan diri

mereka sebagai individu yang dpat mengendalikan lingkungan mereka

dan hasil akhir suatu peristiwa seperti nyeri. Sebaliknya. Individu,

yang memilki fokus kendali eksternal mempersepsikan faktor-faktor

lain di dalam lingkungan mereka, seperti perawat, sebagai individu

yang bertanggung jawab terhadap hasil akhir suatu peristiwa.

Nyeri dapat menyebabkan keidakmampuan, baik sebagian maupun

keseluruhan/total. Klien seringkali menemukan berbagai cara untuk

mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri.

Penting untuk memahami sumber-sumber koping klien selama ia

mengalami nyeri. Sumber-sumber seperti berkomunikasi dengan

keluarga pendukung, melakukan latihan, atau menyanyi dapat

digunakan dalam rencana asuhan keperawatan dalam upaya

mendukung klien dan mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu.

(Kozier, 2010, p. 694) mengatakan lingkungan yang tidak dikenal

seperti rumah sakit, dengan kebisingan, cahayanya, dan aktifitasnya,

dapat menambah rasa nyeri. Selain itu, kesepian yang tidak memiliki

jaringan pendukung dapat mempersepsikan nyeri sebagai sesuatu yang

berat, sementara orang yang memiliki orang pendukung disekitarnya

dapat mempersepsikan nyeri sebagai sesuatu yang lebih ringan.


68

Beberapa orang memilih untuk menarik diri jika mereka sedang

merasa nyeri, sementara orang lain lebih memilih untuk mengalihkan

rasa nyeri kepada orang-orang dan aktivitas di sekitar mereka. Pemberi

perawatan keluarga dapat menjadi seorang pendukung yang bermakna

bagi seorang yang sedang mengalami nyeri. Dengan makin banyaknya

derajat dan jalan perawatan di rumah, keluarga mengemban tanggung

jawab yang lebih besar untuk menatalaksanakan nyeri. Penyuluhan

yang terkait dengan pengkajian dan penatalaksanaan nyeri dapat secara

positif memengaruhi persepsi kualitas hidup bagi klien dan pemberi

perawatannya. Harapan orang terdekat dapat mempengaruhi persepsi

seorang dan responnya terhadap nyeri.

j. Dukungan Keluarga dan Sosial

Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri ialah

kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka

terhadap klien. Individu dari kelompok sosiobudaya berbeda akan

memiliki harapan yang berbeda tentang orang tempat mereka

menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri. Individu yang

mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau

teman terdekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau

perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang

yang dicintai klien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan.


69

Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri

membuat klien semakin tertekan. Kehadiran orang tua sangat penting

bagi anak-anak yang sedang mangalami nyeri.

9. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Masalah Nyeri

a. Pengkajian

Pengkajian nyeri yang faktual dan akurat dibutuhkan untuk

menetapkan data dasar, untuk menegakkan diagnosa keperawatan yang

tepat, untuk menyeleksi terapi yang cocok dan untuk mengevaluasi

respon klien pengkajian nyeri bagi klien adalah bahwa nyeri

diidentifikasi, terhadap terapi. Walaupun pengkajian nyeri merupakan

aktifitas yang paling umum dilakukan perawat, pengkajian nyeri

merupakan salah satu yang paling sulit dilakukan. Perawat harus

menggali pengalaman nyeri dari sudut pandang klien.

1) Ekspresikan Nyeri Klien

Banyak klien tidak melaporkan atau mendiskusikan rasa

ketidaknyamanan. Pengkajian nyeri lebih sulit karena banyak

perawat yakin bahwa klien akan melaporkan keluhan nyeri, ketika

mengalami. Klien pertama-tama harus mempersepsikan suatu

kebutuhan untuk melaporkan nyeri dan mempercayai perawat dan

kemudian mempersepsikan kesediaan perawat untuk membantu

sebelum klien dapat mendiskusikan nyeri secara terbuka. Apabila

klien merasa bahwa perawat meragukan bahwa ia merasakan nyeri,


70

maka klien akan mengungkapkan sedikit informasi tentang apa

yang dirasakan.

Perawat harus mengembangkan hubungan terapeutik yang

positif dan memberi waktu kepada klien untuk mendiskusikan

nyeri. Memberi posisi yang nyaman pada klien sebelum perawat

bertanya dapat membantu klien merasakan bahwa perawat peduli

akan dirinya. Perawat harus mempelajari cara verbal dan nonverbal

klien dalam mengkomunikasikan rasa ketidaknyamanan. (Whaley

dan Wong,1992)

2) Klasifikasi Pengalaman Nyeri

Fase tersebut adalah antisipatori, sensasi, akibat mempengaruhi

bukan saja gejala yang klien alami, tetapi juga jenis terapi yang

memiliki kemungkinan paling besar untuk mengatasi nyeri. Klien

yang berada dalam fase antisipatori termasuk klien yag

dijadwalkan untuk menjalani prosedur diagnostik invasif atau

prosedur terapeutik atau pembedahan dan klien yang memilki

riwayat kekambuhan nyeri seperti nyeri angina akibat iskemia

miokard. Klien ini dapat merasa cemas atau takut atau mereka

mungkin mengajukan pertanyaan tentang nyeri yang akan

dirasakannya lagi. Penelitian menunjukan bahwa membantu klien

untuk mengembangkan koping psikologis, memberi informasi

sensori, dan member informasi tentang prosedur membuat klien

lebih sedikit mengalami komplikasi yang melaporkan nyeri


71

berkurang dan menggunakan sedikit analgesia. (Fortin dan

Kirouac, 1976, Van Aernam dan lindeman, 1971, AHCPR,1992).

3) Karakteristik Nyeri

Laporan tunggal klien tentang nyeri yang dirasakan merupakan

indikator tunggal yang paling dapat dipercaya tentang keberadaan

dan intensitas nyeri dan apapun yang berhubungan dengan

ketidaknyamanan (NIH, 1986). Nyeri bersifat individualistik.

Pengkajian karekteristik umum nyeri membantu perawat dalam

membentuk pengertian pola nyeri dan tipe terapi yang digunakan

untuk mengatasi nyeri.

a) Awitan dan Durasi

Perawat mengajukan pertanyaan untuk menentukan awitan,

durasi, dan rangkaian nyeri. Kapan nyeri mulai dirasakan?

Sudah berapa lama nyeri dirasakan? Apakah nyeri yang dirasa

terjadi pada waktu yang sama setiap hari? Seberapa sering

nyeri kembali kambuh.

b) Lokasi

Untuk mengkaji lokasi nyeri, perawat meminta klien untuk

menunjukkan semua daerah yang dirasa tidak nyaman. Untuk

melokalisasi nyeri dengan lebih spesifik, perawat kemudian

meminta klien melacak daerah nyeri dari titik yang paling

nyeri. Hal ini sulit dilakukan apabila nyeri bersifat difus,

meliputi beberapa tempat, atau melibatkan segmen terbesar

tubuh.
72

c) Keparahan

Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri

sebagai yang ringan, sedang, atau parah. skala deskriptif

merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih

objektif. Pendeskripsi verbal merupakan sebuah garis yang

terdiri dari tiga sampai lima kata. Pendeskripsi yang tersusun

dengan jarak yang sama di sepanjang garis.

d) Kualitas

Dalam penggunaan yang umum, kata-kata yang seorang

klien pilih untuk mendeskripsikan nyeri dapat diterapkan pada

suatu hal dengan jumlah berapapun.

e) Pola nyeri

Faktor-faktor ini membantu perawat mengkaji peristiwa

atau kondisi spesifik yang mempresipitasi atau memperburuk

nyeri. Perawat juga meminta klien mendemontrasikan aktifitas

yang menimbulkan.

f) Tindakan untuk menghilangkan nyeri

Akan sangat bermanfaat apabila klien mempunyai cara

yang efektif untuk menghilangkan nyeri, seperti mengubah

posisi, melakukan tindakan ritual, meditasi atau mengompres

bagian yang nyeri dengan kompres dingin atau hangat. Klien

merasa nyaman apabila ia mengetahui bahwa perawat bersedia

membantu menghilangkan nyeri.

g) Gejala Penyerta
73

Gejala yang seringkali menyertai nyeri, beberapa jenis

nyeri muncul dengan disertai gejala yang dapat diprediksi.

nyeri rektum yang berat, seringkali menyebabkan kostipasi.

Nyeri akibat peradangan kandung empedu atau akibat batu

ginjal seringkali menyebabkan mual dan muntah. Gejala

penyerta memerlukan prioritas penanganan yang sama penting

dengan nyeri itu sendiri.

4) Efek Nyeri pada Klien

a) Tanda dan gejala fisik

b) Efek perilaku

(1) Vokalisasi

(a) Mengaduh

(b) Menangis

(c) Sesak napas

(d) Mendengkur

(2) Ekspresi klien

(a) Meringis

(b) Menggeletukkan gigi

(c) Mengernyitkan dahi

(d) Menutup mata atau mulut dengan rapat atau membuka

mulut dengan lebar

(e) Menggigit bibir

(3) Gerakan tubuh


74

(a) Gelisah

(b) Imobilisasi

(c) Ketegangan otot

(d) Peningkatan gerakan jari dan tangan

(e) Aktifitas melangkah yang tunggal ketika berlari atau

berjalan

(f) Gerakan melindungi bagian tubuh

(4) Interaksi Sosial

(a) Menghindari percakapan

(b) Fokus hanya pada aktifitas untuk menghilangkan nyeri

(c) Menghindari kontak sosial

(d) Penurunan rentang perhatian

c) Pengaruh pada aktifitas sehari-hari

Klien yang mengalami nyeri setiap hari kurang mampu

berpatisipasi dalam aktivitas rutin nyeri mengganggu

kemampuan untuk mempertahakan hubungan seksual normal.

Kondisi ini seperti arthritis, penyakit panggul degeneratif, dan

nyeri punggung kronik membuat individu sulit untuk

mengambil posisi tubuh yang biasa dilakukan saat

berhubungan seksual.

5) Status Neurologis

Fungsi neurologis klien lebih mudah mempengaruhi

pengalaman nyeri. Setiap faktor yang mengganggu atau

mempengaruhi resepsi atau persepsi nyeri yang normal


75

mempengaruhi kesadaran dan respon klien terhadap nyeri.

Misalnya, seorang klien yang mengalami cedera medula spinalis,

neuropati perifer, sebagaimana yang terjadi pada kasus diabetes

melitus atau penyakit neurologis seperti sklerosis multipel,

kemungkinan kurang merasakan nyeri dari pada klien yang

mempinyai fungsi neurologis normal. Beberapa terapi

mempengaruhi persepsi dan respon nyeri. Analgesik, sedatif, dan

anestetik mendepresi fungsi sistem saraf pusat. Penting bagi

perawat untuk melakukan pengkajian neurologis pada klien yang

beresiko tidak sensitif terhadap nyeri. Klien ini lebih mudah

terkena cedera dan dengan demikian membutuhkan asuhan

keperawatan preventif.

b. Diagnosa Keperawatan

1) Ansietas yang berhubungan dengan nyeri yang tidak hilang

2) Nyeri yang berhubungan dengan cedera fisik atau trauma,

penurunan suplai darah ke jaringan dan atau proses melahirkan

normal

3) Nyeri kronik yang berhubungan dengan jaringan parut, kontrol

nyeri yang tidak adekuat

4) Ketidakberdayaan yang berhubungan dengan nyeri maligna kronik

5) Ketidakefektifkan koping individu yang berhubungan dengan nyeri

kronik
76

6) Hambatan mobilisasi fisik yang berhubungan dengan nyeri

muskuluskeletal nyeri insisi

7) Resiko cedera yang berhubungan dengan penurunan persepsi nyeri

8) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan nyeri

muskuluskeletal

9) Disfungsi seksual yang berhubungan dengan nyeri arthritis panggul

10) Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan nyeri punggug

bagian bawah

c. Intervensi Keperawatan

1) Berikan perawatan fisik pada pasien

2) Mengidentifikasi tujuan untuk penatalaksanaan nyeri

3) Berikan terapi yang dapat menghilangkan nyeri pada jaringan perut

4) Berikan pereda nyeri yang optimal bersama analgesik yang

diresepkan

5) Kaji respon klien terhadap obat pereda nyeri

6) Dorong klien untuk mendiskusi nyeri yang dialami

7) Kolaborasi bersama klien untuk menentukan metode mana yang

dapat digunakan untuk mengurangi intesitas nyeri

8) Berikan penyuluhan kesehatan sesuai indikasi

d. Implementasi Keperawatan

Sifat nyeri dan sejauh mana nyeri tersebut mempengaruhi

kesejahteraan individu menentukan pilihan terapi penanganan nyeri.


77

Terapi nyeri membutuhkan pendekatan yang individual, yang mungkin

lebih dibandingkan dengan masalah klien yang lain. Klien dan perawat

harus menjadi rekan kerja dalam melakukan upaya mengontrol nyeri.

Tanpa memperhatikan jenis terapi yang digunakan, kemampuan

perawat untuk menunjukkan kepedulian kepada klien untuk

menunjukkan kepedulian mereka. Kolcaba (1992) menekankan

pentingnya mengenal mengenal sifat rasa nyaman secara holistik. Rasa

nyaman mencakup segi fisik dan mental, sehingga tanggung jawab

perawat tidak berakhir dengan perawatan fisik. Kompetensi perawat

dalam mengembangkan hubungan interpersonal dengan klien berpusat

pada kemampuan perawat membina dan mempertahankan hubungan

peduli yang meyakini bahwa klien berharga. Seorang perawat yang

terampil dengan cepat mengomunikasikan rasa hormatnya pada klien,

meningkatkan harga diri memperoleh rasa percaya klien. Hal ini

membuat klien merasa nyaman dan aman.

1) Terapi Nyeri Farmakologis

Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk

mengatasi nyeri. Walaupun analgesik dapat menghilangkan nyeri

dengan efektif. Perawat dan dokter masih cenderung tidak

melakukan upaya analgesik dalam penanganan nyeri karena

informasi obat yang tidak benar, karena adanya kekhawatiran klien

akan mengalami ketagihan obat, cemas akan melakukan kesalahan

dalam menggunakan analgesik narkotik, dan pemberian obat yang


78

diresepkan. Perawat harus mengetahui obat-obatan yang tersedia

untuk menghilangkan nyeri dan efek-efek farmakologi obat-

obatan.

Ada 3 jenis analgesik, yaitu:

a) Non Narkotik dan Obat Anti Inflamasi Non Steroid

(NSAID)

Umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang,

seperti nyeri yang terkait dengan arthritis rheumatoid, prosedur

pengobatan gigi dan prosedur bedah minor, episiotomy, dan

masalah pada punggung bagian bawah. Satu pengecualian yaitu

ketorolak, merupakan agens analgesik pertama yang dapat

diinjeksikan yang kemanjurannya dapat dibandingkan dengan

morfin. Terapi pada nyeri paskaoperasi ringan sampai sedang

harus dimulai dengan menggunakan NSAID, kecuali

kontraindikasi. Walaupun mekanisme kerja pasti NSAID,

kecuali kontraindikasi. Walaupun mekanisme kerja pasti

NSAID tidak diketahui, NSAID diyakini bekerja menghambat

sintesis prostaglandin dan menghambat respons selular selama

inflamasi. Kebanyakan NSAID bekerja pada reseptor saraf

perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri.

Tidak seperti opiate, NSAID tidak menyebabkan sedasi atau

depresi pernapasan juga tidak mengganggu fugsi berkemih atau

defekasi.

b) Analgesik Narkotik atau Opiat


79

Analgesik narkotik atau opiat umumnya diresepkan untuk

nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri pascaopersi dan

nyeri maligna. Ini bekerja pada sistem saraf pusat untuk

menghasilkan kombinasi efek yang mendepresi dan

menstimulasi. Analgesik narkotik, apabila diberikan secara oral

atau injeksi, bekerja pada pusat otak yang lebih tinggi dan

medulla spinalis melalui ikatan denga reseptor opiat untuk

memodifikasi persepsi nyeri dan reaksi terhadap nyeri.

c) Obat Tambahan (Adjuvan) atau Koanalgesik

Adjuvant seperti sedatif, anti cemas dan relaksasi otot

meningkatkan kontrol nyeri atau menghilangkan gejala lain

terkait dengan nyeri seperti depresi dan mual. Agens tersebut

diberikan dalam bentuk tunggal atau disertai analgesik. Sedatif

seringkali diresepkan untuk penderita nyeri kronik. Obat-

obatan ini dapat menimbulkan rasa kantuk dan kerusakan

koordinasi, keputusan dan kewaspadaan mental.

Penyalahgunaan sedatif dan agens anticemas merupakan

masalah kesehatan yang serius yang menyebabkan gangguan

perilaku.

Jenis Terapi Farmakologis untuk Nyeri


80

No Kategori Obat Indikasi


I Analgesik Non Narkotik
Asetaminonen (Tylelon) Nyeri pasca operasi ringan
Asam asentilsalisilat Demam
II NSAID
Ibuprofen (motrin, nuprin) Dismenore
Naproksen (Naprosyn) Nyeri kepala vaskular
Indometasin (indocin) Artritis neuromaatoid
Tolmetin (Tolectin) Cedera atletik jaringan lunak
Piroksisam (Feldene) Gout
Ketorolak (Toradol) Nyeri pasca operasi, nyeri
traumatik berat
III Analgesik Narkotik
Meperidin (Demerol)
Metilmorfin (Kodein)
Morfin sulfat Nyeri kanker (Kecuali
Fentanil (Stadol) Meperidin) dan nyeri infark
Butafanol (Stadol) miokard
Hidromorfon HCL
(Dilaudid)
IV Adjuvant
Amitriptilin (Elavil) Cemas
Hidroksin (vistaril) Depresi
Klorpromazin (Thorozine) Mual
Diazepam (Valium) Muntah
81

2) Terapi Nyeri Nonfarmakologis

a) Sentuhan Terapeutik

Teknik ini dikembangkan oleh Kunz dan Krieger dimana

sentuhan teraupetik ini sebagian berasal dari praktik kuno

“meletakkan tangan” (Mackey, 1995 dalam Potter & Perry,

2005). Teori ini mengatakan bahwa individu yang sehat

mempunyai keseimbangan energi (ekuilibrium) antara tubuh

dengan lingkungan luar. Orang sakit berarti ada

ketidakseimbangan energi, dengan memberikan sentuhan pada

klien, diharapkan ada transfer energi ke klien. Sentuhan

terapeutik meliputi penggunaan tangan untuk secara sadar

melakukan pertukaran energi. Terdapat 4 langkah dasar untuk


82

melakukan teknik ini, yaitu pemusatan, pengkajian, terapi, dan

evaluasi. Setiap tahap umumnya melaju dengan langkah

berikutnya dan proses secara keseluruhan berlangsung sekitar

25 menit (Potter & Perry, 2005).

Teknik ini dimulai dengan perawat berpusat atau bergerak

masuk ke tahap meditasi. Untuk menguasai sebagian teknik ini

membutuhkan waktu, namun sekali saja terjadi, maka perawat

dapat memfokuskan perhatian setelah bernapas dalam 3 sampai

4 kali. Dengan tujuan membantu dan dengan perhatian perawat

yang terfokus pada klien, perawat memulai proses pengkajian.

Proses pengkajian ini dilakukan dengan menggerakkan kedua

tangan secara simetris mengelilingi klien 5 sampai 15 cm dari

tubuh untuk membuat lapangan energi berinteraksi. Perawat

yang berpengalaman dapat merasakan perbedaan aliran energi

saat tangannya bergerak di sekujur tubuhnya (Mackey, 1995

dalam Potter & Perry, 2005). Perawat mencatat sensasi dan

variasi suhu, tekanan, rasa kesemutan, atau pulsasi.

Setelah menemukan zona keseimbangan, maka perawat

mulai terapi untuk mengembalikan keseimbangan ke lapangan

energi klien. Tahap pemindahan ini dapat dilakukan dalam

kesunyian atau dengan perubahan ekspresi verbal. Perawat

menghangatkan daerah yang dingin dan meneruskan energi ke

daerah yang kosong atau mengalami defisit menggunakan

visualisasi dan gerakan tangan. Setelah melakukan terapi,


83

perawat mengevaluasi lapangan energi untuk mencapai

keseimbangan. Penelitian telah menunjukkan sifat analgesik

pada sentuhan terapeutik yaitu menciptakan respon relaksasi

yang umum.

Gambar 2.8. Sentuhan Terapeutik

b) Akupresur

Berdasarkan teori obat Asia, yang mengatakan bahwa suatu

kekuatan kehidupan, dalam bentuk energi, bersirkulasi di

seluruh tubuh dalam siklus yang didefinisikan dengan benar,

akupresur memungkinkan alur energi yang terkongesti untuk

meningkatkan kondisi yang lebih sehat. Perawat ahli terapi

mempelajari alur energi atau meridian tubuh dan memberi

tekanan pada titik-titik tertentu di sepanjang alur. Misalnya,


84

apabila klien mengalami nyeri kepala, tekanan yang pada titik

Hoku akan menghilangkan rasa tidak nyaman.

Ketika titik tekanan disentuh, maka perawat mulai merasa

sensasi ringan atau denyutan di bawah jari-jari. Mula-mula nadi

di beberapa titik akan terasa berbeda, tetapi karena terus-

menerus dipegang, nadi tersebut kemudian menjadi seimbang.

Setelah titik-titik tersebut seimbang, perawat menggerakkan

jari-jari dengan lembut. Banyak cara akupresur yang mudah

dan sederhana yang dapat diajarkan kepada klien dalam upaya

mencegah nyeri primer. Sesi akupresur yang lengkap memakan

waktu sekitar satu jam.

Gambar 2.9. Teknik Refleksi


85

Gambar 2.10. Teknik Meridian

c) Relaksasi dan Teknik Imajinasi

Klien dapat mengubah persepsi kognitif dan motivasi-

afektif dengan melakukan relaksasi dan teknik imajinasi.

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari

ketegangan dan stress. Teknik relaksasi memberikan individu

kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress

fisik dan emosi pada nyeri. Teknik relaksasi dapat digunakan,

saat individu dalam kondisi sehat atau sakit.

Teknik relaksasi tersebut merupakan upaya pencegahan

untuk membantu tubuh segar kembali dan beregenerasi setiap

hari dan merupakan alternatif terhadap alkohol, merokok, atau

makan berlebihan (Edelman dan Mandle, 1994 dalam Potter &

Perry, 2005). Klien yang menggunakan teknik relaksasi dengan

berhasil mengalami beberapa perubahan fisiologis dan


86

perilaku. Teknik relaksasi meliputi meditasi, yoga, zen, teknik

imajinasi, dan latihan relaksasi progresif.

Efek relaksasi bagi tubuh, antara lain:

(1) Penurunan nadi, tekanan darah, dan pernapasan

(2) Penurunan ketegangan otot

(3) Penurunan kecepatan metabolisme

(4) Peningkatan kesadaran global

(5) Kurang perhatian terhadap stimulus lingkungan

(6) Tidak ada perubahan posisi yang volunteer

(7) Perasaan damai dan sejahtera

(8) Periode kewaspadaan yang santai dan terjaga

Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi

seseorang dalam suatu cara yang dirangsang secara khusus

untuk mencapai efek positif tertentu (Brunner & Suddarth,

2001). Hal ini dapat dilakukan dengan meminta klien

berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan,

tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan yang tenang

serta konsentrasi dari klien. Apabila klien mengalami

kegelisahan, tindakan harus dihentikan. Tindakan ini dilakukan

pada saat klien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri akut

(Potter & Perry, 2005).

Apabila klien merasa terganggu atau menjadi tidak nyaman,

perawat akan menghentikan latihan tersebut. Apabila klien

tampak mengalami kesulitan dan mengalami relaksasi hanya


87

pada sebagian tubuh, maka perawat memperlambat kemajuan

latihan dan berkonsentrasi pada bagian tubuh yang tegang.

Klien juga harus mengetahui sejak awal bahwa latihan ini dapat

dihentikan setiap waktu. Dengan melakukan latihan, klien

dapat dengan segera melakukan latihan relaksasi dengan

mandiri.

d) Bimbingan Antisipasi

Memodifikasi secara langsung cemas yang berhubungan

dengan nyeri, menghilangkan nyeri, dan menambah efek

tindakan untuk menghilangkan nyeri yang lain. Cemas yang

sedang akan bermanfaat jika klien mengantisipasi pengalaman

nyeri. Klien harus diberi penjelasan terinci tentang semua

prosedur medis dan rasa nyaman pascaoperasi yang akan

dialami sehingga klien dapat mempelajari apa yang dirasakan

selama prosedur atau peristiwa yang menyakitkan.

Pengetahuan tentang nyeri membantu klien mengontrol rasa

cemas dan secara kognitif memperoleh penanganan nyeri

dalam tingkatan tertentu. Contoh bimbingan antisipasi adalah

penyuluhan praoperasi.

Perawat memberi informasi kepada klien dan mencegah

salah interpretasi tentang peristiwa nyeri dan meningkatkan

pemahaman tentang apa yang klien harapkan. Informasi yang

diberikan kepada klien termasuk penjelasan hal-hal berikut:


88

(1) Kejadian, awitan, dan durasi nyeri yang akan di alami

(2) Kualitas, keparahan, dan lokasi nyeri

(3) Informasi tentang cara keamanan klien telah dipastikan

(4) Penyebab nyeri

(5) Metode mengatasi nyeri yang digunakan perawat dank lien

(6) Harapan klien selama menjalani suatu prosedur

Perawat tidak dapat mengatakan kepada klien bahwa klien

tidak akan merasakan nyeri. Bimbingan antisipasi memberikan

penjelasan yang jujur tentang pengalaman nyeri. Perawat juga

memberi instruksi tentang teknik menghilangkan nyeri

sehingga klien siap untuk mengatasi rasa tidak nyaman yang

akan ia alami. Pada klien yang mengalami kecemasan tungkat

tinggi, pemberian informasi yang terlalu banyak akan

memperburuk nyeri.

e) Distraksi

Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien

pada sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi suatu strategi

yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang

bertanggung jawab terhadap teknik kognitif efektif lainnya

(Arntz dkk, 1991; Devine dkk, 1990 dalam Brunner &

Suddarth, 2001). Teknik ini efektif untuk nyeri ringan sampai

sedang.
89

Sistem aktivasi retikular menghambat stimulus yang

menyakitkan jika seseorang menerima masukan sensori yang

cukup dan berlebihan. Stimulus yang menyenangkan

menyebabkan pelepasan endorfin. Distraksi mengalihkan

perhatian klien ke hal yang lain dan dengan demikian

menurunkan kewaspadaam terhadap nyeri bahkan

meningkatkan toleransi terhadap nyeri.

Perawat mengkaji aktifitas-aktifitas yang dinikmati klien

sehingga dapat dimanfaatkan sebagai distraksi. Aktifitas

tersebut dapat meliputi kegiatan menyanyi, berdoa,

menceritakan foto atau gambar dengan suara keras,

mendengarkan musik, dan bermain. Sebagian besar distraksi

dapat digunakan di rumah sakit, di rumah, atau pada fasilitas

perawatan jangka panjang.

Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan monoton

sampai menggunakan aktivitas fisik dan mental yang sangat

kompleks. Teknik distraksi lain yang bisa dilakukan antara lain,

distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi

audio (mendengar musik), distraksi sentuhan (masase,

memegang mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle,

main catur) (Potter & Perry, 2005).

Salah satu distraksi yang efektif adalah musik, yang dapat

menurunkan nyeri fisiologis, stress, dan kecemasan dengan

mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri. Musik terbukti


90

menunjukkan efek yaitu menurunkan frekuensi denyut jantung,

mengurangi kecemasan dan depresi, menghilangkan nyeri,

menurunkan tekanan darah, dan mengubah persepsi waktun

(Guzetta, 1989 dalam Potter & Perry, 2005)

f) Biofeedback

Biofeedback merupakan terapi perilaku yang dilakukan

dengan memberikan individu informasi tentang respon

fisiologis (mis. tekanan darah atau ketegangan) dan cara untuk

melatih kontrol volunter terhadap respon tersebut (NIH, 1986

dalam Potter & Perry, 2005). Terapi ini digunakan untuk

menghasilkan relaksasi dalam dan sangat efektif untuk

mengatasi ketegangan otot dan nyeri kepala migren. Ketika

nyeri kepala ditangani, elektroda dipasang secara eksternal di

atas setiap pelipis. Elektroda mengukur ketegangan kulit dalam

mikrovolt. Mesin poligraf terlihat mencatat tingkat ketegangan

klien sehingga klien dapat melihat hasilnya. Klien belajar

mencapai relaksasi yang optimal dengan menggunakan umpan

balik dari poligraf, sementara ia menurunkan tingkat

ketegangan yang aktual yang sedang dialami. Untuk

mempelajari terapi itu, dibutuhkan waktu beberapa minggu.

Biofeedback dapat menghentikan nyeri kepala dan mengurangi

resiko nyeri kepala terjadi di waktu yang akan datang.


91

Gambar 2.11. EMG (Elektromyography)

Gambar 2.12. Biofeedback

g) Hipnosis Diri

Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui

pengaruh sugesti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistik,

hipnosis diri menggunakan sugesti diri dan kesan tentang

perasaan yang rileks dan damai. Individu memasuki keadaan

rileks dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian


92

kondisi-kondisi yang menghasilkan respon tertentu bagi

mereka (Edelman dan Mandel, 1994 dalam Potter & Perry,

2005). Hipnosis diri sama seperti dengan melamun. Kosentrasi

yang intensif mengurangi ketakutan dan stress karena individu

berkonsentrasi hanya pada satu pikiran.

h) Mengurangi Persepsi Diri

Salah satu cara sederhana untuk meningkatkan rasa nyaman

ialah membuang atau mencegah stimulus nyeri. Hal ini

terutama penting bagi klien yang imobilisasi atau tidak mampu

merasakan sensasi ketidaknyamanan. Nyeri juga dapat dicegah

dengan mengantisipasi kejadian yang menyakitkan. Misalnya,

seorang klien yang dibiarkan mengalami konstipasi akan

menderita distensi dan kram abdomen.

Perawat secara aktif melakukan intervensi untuk

memastikan bahwa proses eliminasi pada klien harus

berlangsung secara normal. Sebelum melakukan prosedur,

perawat mempertimbangkan kondisi klien, aspek prosedur

yang menyebabkan klien merasa tidak nyaman, dan teknik

menghindari klien merasakan nyeri. Misalnya, klien yang

mengalami nyeri berat karena arthritis lutut, perawat

mengetahui bahwa fleksi yang ekstrem pada lututnya akan

menyebabkan nyeri. Sebelum klien berjalan ke kamar mandi,

perawat terlebih dahulu memastikan adanya tempat duduk


93

toilet yang tinggi. Klien kemudian dapat dibantu duduk dan

bangkit dengan rasa tidak nyaman yang minimal. Upaya ini

hanya membutuhkan suatu pertimbangan sederhana tentang

rasa tidak nyaman yang klien alami dan sedikit waktu ekstra

dalam upaya menghindari situasi yang menyebabkan nyeri.

i) Stimulasi Kutaneus

Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan

untuk menghilangkan nyeri. Masase, mandi air hangat,

kompres menggunakan kantong es, dan stimulasi saraf elektrik

transkutan (TENS) merupakan langkah-langkah sederhana

dalam upaya menurunkan persepsi nyeri.

Penggunaan stimulasi kutaneus yang benar dapat

mengurangi persepsi nyeri dan membantu mengurangi

ketegangan otot. Meek (1993 dalam Potter & Perry, 2005)

mengatakan bahwa sentuhan dan masase merupakan teknik

integrasi sensori yang mempengaruhi aktivitas sistem saraf

otonom. Apabila individu mempersepsikan sentuhan sebagai

stimulus untuk rileks, kemudian akan muncul respon relaksasi.

Tindakan masase punggung dengan usapan perlahan pada klien

dengan nyeri kanker terbukti menurunkan intensitas nyeri

(Usman, 2005).

Selain itu, stimulasi kutaneus dapat digunakan dengan cara

pemberian kompres dingin, kompres hangat, balsam analgesik


94

dan stimulasi kontralateral (Muttaqin, 2008). Pemberian

kompres hangat dan dingin lokal bersifat terapeutik. Area

pemberian kompres hangat dan dingin bisa menyebabkan

respon sistemik dan respon lokal (Istichomah, 2007).

Kompres panas adalah memberikan rasa hangat pada

daerah tertentu dengan menggunakan cairan atau alat yang

menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang memerlukan.

Tindakan ini selain untuk melancarkan sirkulasi darah juga

untuk menghilangkan rasa sakit, merangsang peristaltik usus,

pengeluaran getah radang menjadi lancar, serta memberikan

ketenangan dan kesenangan pada klien. Pemberian kompres

dilakukan pada radang persendian, kekejangan otot, perut

kembung, dan kedinginan (Istichomah, 2007).

Kompres dingin adalah memberi rasa dingin pada daerah

setempat dengan menggunakan kain yang dicelupkan pada air

biasa atau air es sehingga memberi efek rasa dingin pada

daerah tersebut. Tujuan diberikan kompres dingin adalah

menghilangkan rasa nyeri akibat edema atau trauma, mencegah

kongesti kepala, memperlambat denyutan jantung,

mempersempit pembuluh darah dan mengurangi arus darah

lokal. Tempat yang diberikan kompres dingin tergantung

lokasinya. Selama pemberian kompres, kulit klien diperiksa

setelah 5 menit pemberian, jika dapat ditoleransi oleh kulit

diberikan selama 20 menit (Potter & Perry, 2005).

Anda mungkin juga menyukai