Anda di halaman 1dari 4

Kisah Abu Hanifah Kecil dan Ulama Sombong

loading...
Ada satu kisah menarik disampaikan Habib Quraisy Baharun (pimpinan Ponpes As-Shidqu Kuningan) yang mengingatkan
kita betapa kesombongan sangat dibenci Allah Ta'ala. Kisah ini dinukil dari Kitab Fathul Majid karya Syeikh Muhammad
Nawawi bin Umar Al-Jawi As-Syafi'i.

Dikisahkan, saat Imam Abu Hanifah berusia 7 tahun, ada seorang ulama berilmu luas dan tiada bandingannya bernama
Dahriyah. Seluruh ulama pada masa itu tidak ada yang mampu menandinginya saat berdebat, terutama dalam hal Tauhid.

Maka muncullah sifat kesombongannya, bahkan ia berani mengatakan bahwa Allah itu tidak ada. Pada suatu pagi para ulama
dikumpulkan di sebuah majelis milik Syeikh Himad (guru Imam Abu Hanifah). Hari itu Abu Hanifah kecil ikut hadir dalam
perkumpulan majelis itu.

Dahriyah pun naik ke mimbar lalu berkata dengan sombong dan congkaknya: "Siapakah di antara kalian hai para ulama yang
akan sanggup menjawab pertanyaanku?"

Sejenak suasana hening, para ulama semua diam, namun tiba-tiba berdirilah Abu Hanifah kecil dan berkata: "Omongan apa
ini? Maka barang siapa tahu pasti ia akan menjawab pertanyaanmu."

"Siapa kamu hai anak ingusan, berani kamu bicara denganku. Tidakkah kamu tahu, bahwa banyak yang berumur tua,
bersorban besar, para pejabat, dan para pemilik jubah kebesaran, mereka semua kalah dan diam dari pertanyaanku, kamu
masih ingusan dan kecil berani menantangku," kata Dahriyah.

Abu Hanifah menjawab: "Allah tidak menyimpan kemuliaan dan keagungan kepada pemilik sorban yang besar dan para
pejabat dan para pembesar, tetapi kemuliaan hanya diberikan kepada al-Ulama."

"Apakah kamu akan menjawab pertanyanku?" tanya Dahriyah.

"Ya, aku akan menjawab pertanyaanmu dengan taufiq Allah," kata Abu Hanifah kecil.

Dahriyah bertanya: "Apakah Allah itu ada?". Lalu Abu Hanifah menjawab: "Ya, ada,"

"Dimana Dia?" tanya Dahriyah. Kemudian Abu Hanifah menjawab: "DIA, tiada tempat bagi-Nya."

Dahriyah bertanya lagi: "Bagaimana bisa disebut ada bila DIA tak punya tempat?"

"Dalilnya ada di badan kamu, yaitu Ruh. Saya tanya, kalau kamu yakin Ruh itu ada, maka di mana tempatnya? Di kepalamu, di
perutmu atau di kakimu?" kata Abu Hanifah kecil.

Mendengar jawaban itu, ulama sombong bernama Dahriyah terdiam seribu bahasa dengan wajah malu.

Lalu Abu Hanifah meminta air susu pada gurunya, Syeikh Himad, lalu bertanya kepada Dahriyah: "Apakah kamu yakin di
dalam susu ini ada manis?"

"Ya saya yakin di susu itu ada manis," jawab Dahriyah.

Abu Hanifah kecil berkata: "Kalau kamu yakin ada manisnya, saya tanya apakah manisnya ada di bawah, atau di tengah, atau
di atas?"

Lagi-lagi Dahriyah terdiam mendengar jawaban Abu Hanifah itu dengan rasa malu. Kemudian Abu Hanifah menjelaskan:
"Seperti Ruh atau manis yang tidak memiliki tempat, maka seperti itu pula tidak akan ditemukan bagi Allah tempat di Alam ini
baik di 'Arsy atau dunia ini.

Dahriyah bertanya lagi: "Sebelum Allah itu apa dan setelah Allah itu apa?"

Abu Hanifah menjawab: "Tidak ada apa-apa sebelum Allah dan sesudahnya tidak ada apa-apa".

"Bagaimana bisa dijelaskan bila sebelum dan sesudahnya tak ada apa-apa?" tanya Dahriyah penasaran.

"Dalilnya ada di jari tangan kamu, apakah sebelum jempol dan apakah setelah kelingking? Dan apakah kamu bisa
menerangkan jempol duluan atau kelingking duluan? Demikianlah sifat Allah. Ada sebelum semuanya ada dan tetap ada bila
semua tiada. Itulah makna kalimat Ada bagi Hak Allah," jelas Abu Hanifah kecil.

Lagi-lagi Dahriyah dipermalukan, lalu ia berkata: "Satu lagi pertanyaanku, apa perbuatan Allah sekarang?"

Abu Hanifah menjawab: "Kamu telah membalikkan fakta, seharusnya yang bertanya itu di bawah mimbar dan yang ditanya di
atas mimbar."

Akhirnya Dahriyah pun turun dari mimbar dan Abu Hanifah naik ke atas mimbar. "Apa perbuatan Allah sekarang?" kata
Dahriyah mengulangi pertanyaannya.

"Perbuatan Allah sekarang adalah menjatuhkan orang yang tersesat seperti kamu ke bawah jurang neraka dan menaikkan
yang benar seperti aku ke atas mimbar keagungan," kata Abu Hanifah kecil dengan bijak.

Demikian kisah Abu Hanifah kecil dengan seorang ulama sombong yang sarat hikmah. Maha Suci Allah yang telah
menyelamatkan keyakinan Islam melalui lisan anak kecil bernama Abu Hanifah yang kini menjadi salah satu imam madzhab
dalam sejarah Islam. Semoga kita dijauhkan dari sifat-sifat tinggi hati, angkuh, merendahkan orang lain, buruk sangka,
takabbur, zalim, sombong.

Untuk diketahui, Abu Hanifah (80-150 H) lahir dari keluarga pedagang. Ayahnya bernama Tsabit, pedagang sutra yang masuk
Islam masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Abu Hanifah hidup dalam dua kekuasaan dinasti Islam terbesar, Umawiyah dan
Abasiyah. Abu Hanifah wafat pada tahun 150 Hijriyah. Pada tahun itu pula Muhammad bin Idris al-Syafi'i (pendiri Mazhab
Syafi'i) lahir di Gaza, Palestina.

Ibnu Taimiyyah Tujuh Kali Dipenjara: Ideologi yang Tak Pernah Terbui
(an-najah.net) – Orang yang dipenjara tidak selalu identik dengan pelaku kejahatan dan dosa. Yusuf as, misalnya, merupakan
sosok yang diabadikan oleh Allah di Al-Qur’an, sebagai insan mulia, namun dipenjara bukan karena kesalahan yang
diperbuatnya. Tidak bermaksud menyamakan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga harus menerima ujian di penjara selama
tujuh kali, dengan total waktu mencapai lima tahun.
Ia dipenjara karena tuduhan palsu yang dibuat-buat karena kedengkian, fitnah, dan kebencian tanpa alasan. Namun,
pengalamannya ini telah mewariskan banyak keajaiban. Dengan itu ia justru meninggalkan banyak pengaruh dan tulis yang
mengabadikan namanya..
Berikut ini kronologi Ibnu Taimiyyah di penjara:
Penjara Pertama
Di Damaskus pada 693 H, ia hanya sebentar di penjara, namun dampak dan hasilnya cukup besar. Kejadiannya berawal dari
seorang Nasrani bernama Assaf yang disaksikan oleh kaum muslimin, menghina Nabi saw. Ketika berita ini sampai kepada
Ibnu Taimiyyah, ia pun segera menemui Zainuddin Al-Fariqi, guru di Darul Hadits pada masanya. Keduanya akhirnya sepakat
untuk mengangkat persoalan itu kepada pejabat pemerintah di Damaskus, Izzuddin Ubaik.
Assaf akhirnya didatangkan bersama kuasa hukumnya sekaligus yang menyewa dirinya untuk menghina Nabi saw. Namun,
karena kalah dalam persidangan, Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Zainuddin justru mendapatkan hukuman. Keduanya dilempari
dengan batu. Penguasa setempat juga ikut melempari keduanya di hadapan Assaf. Kemudian, ia memanggil keduanya dan
meminta kerelaan atas perbuatannya.
Assaf yang beragama Nasrani itu mengaku-aku telah masuk Islam. Namun, dalam perjalanannya ke Hijaz, ia dibunuh oleh
keponakannya sendiri. Ini mungkin pembalasan dari Allah atas kezalimannya terhadap dua orang saleh tersebut.
Dalam peristiwa ini, Ibnu Taimiyyah menulis sebuah buku yang terkenal dengan judul: Ash-Sharimul Maslul ala Syatimir Rasul
(Pedang Terhunus atas Penghina Rasul saw).  Kitab ini menjadi rujukan setiap umat ini mendapati orang yang menghina
para nabi dan utusan Allah.
Penjara Kedua
Kali ini ia dipenjara di Kairo, selama satu tahun setengah, mulai Jumat 26 Ramadhan 705 H sampai Jumat 23 Rabiul Awwal
707. Pada awalnya ia di tempatkan di Penjara Burj, dan kemudian ditransfer ke Penjara Qal’atul Jabal.
Di penjara ini ia tidak sendirian, tetapi bersama dengan Abdullah, Abdurrahman, dan muridnya Ibrahim Al-Ghayani. Mereka
bertiga ini memang selalu bersama Ibnu Taimiyyah  dalam perjalanannya ke Kairo.
Penyebabnya, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah pada rangkuman peristiwa Tahun 705,
adalah persoalan tauhid asma’ wa sifat, yaitu tentang Arsy, Kalam, dan Nuzul (turunnya Allah).
Ibnu Taimiyyah menunjukkan sikap heroik dan kejujuran dalam memenang keyakinan tentang Allah yang mengisi jiwa dengan
iman dan kesungguhan untuk beramal.
Ketika ia dikeluarkan dari penjara, saudaranya Abdullah, yang dihormati manusia ketika itu menyebut orang-orang yang
memenjarakannya sebagai orang yang zalim dan suka permusuhan. Namun, Ibnu Taimiyyah tidak menyukai itu dan
mengatakan kepadanya, “Katakanlah: Ya Allah, berilah mereka cahaya yang menuntun ke jalan kebenaran.”
Penjara ketiga
Di Mesir, selama dua pekan, mulai 3/10/707 sampai 18/10/707 H.
Penyebabnya karena ia menulis sebuah buku tentang istighatsah yang dikenal dengan bantahan atas pemikiran para pengikut
Abu Bakar Al-Arabi, tokoh sufi.
Penjara keempat
Di Mesir juga, di Ruang Demarkasi, selama dua bulan atau lebih, mulai Syawal  707 sampai awal 708 H.
Penyebabnya karena provokasi yang dikendalikan oleh kelompok sufi mistis Al-Hululi, yang mengambil keuntungan dari
kedekatan mereka dengan penguasa setempat waktu itu.
Penjara kelima
Di Alexandria pada 1/3/709 sampai 8/10/709 H, yakni selama tujuh bulan. Ia dipenjara karena makar dari para pendukung
tokoh sufi yang dikuatkan oleh penguasa ketika itu.
Mereka bertekad untuk membuang Ibnu Taimiyyah ke Siprus, dan mengancam akan dibunuh. Ketika ancaman itu disampaikan
kepadanya, ia  menjawab dengan ungkapan yang mengesankan, “Kalau aku dibunuh, itu adalah kesyahidan bagiku. Bila
aku diusir, itu  adalah hijrah bagiku. Kalau aku dibuang ke Siprus, lalu aku menyeru penduduknya kepada Allah, mereka akan
menyambut seruanku. Kalau mereka memenjarakan diriku, maka itu adalah tempat ibadah bagiku, aku ini bagaikan domba
yang bagaimana pun berguling, ia akan berguling di bulunya yang tebal.”
Mereka pun putus asa dan meninggalkan Ibnu Taimiyyah.
Allah telah berjanji untuk membela orang beriman. Hanya beberapa bulan di penjara, Raja Nasir Muhammad bin Qalawun
berkuasa menggantikan si pengkhianat, Jaishankar. Qalawun membebaskan Ibnu Taimiyyah memanggilnya agar pindak ke
Kairo. Ia pun mendapatkan kehormatan dan kemuliaan di sisi Raja. Raja meminta fatwa kepadanya agar para ulama yang
berpihak kepada Jaishankar dibunuh saja.
Namun, Ibnu Taimiyyah tahu keinginan Raja bahwa ia hanya ingin terbebas dari gangguan mereka dan balas dendam atas
dirinya. Ia pun berkata, “Mereka adalah orang-orang mulia di kerajaanmu. Kalau engkau membunuh mereka, engkau tidak
akan mendapatkan pengganti.”
Setelah tinggal di Kairo, masyarakat dari banyak lapisan selalu meminta fatwa kepadanya agar orang-orang yang
memusuhinya diperangi. Namun, ia menjawab, “Saya telah memaafkan siapa pun yang menyakitiku. Adapun orang yang
menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allahlah yang akan membalasnya.”
Ia kemudian kembali ke Damaskus, didampingi oleh Sultan untuk memerangi bangsa Tatar pada 8/10/719 H. Tujuh tahun
lamanya ia meninggalkan Damaskus karena dipenjara empat kali selama dua setengah tahun.
Penjara keenam
Kali ini bada di Damaskus selama hampir enam bulan, mulai Kamis 12/7/720 sampai Senin 10/1/721 H. Penyebabnya adalah
persoalan sumpah perceraian.
Di penjara ini ia menulis banyak makalah dan buku, di antaranya adalah bantahan terhadap persoalan sumpah dalam
perceraian itu sendiri.
Penjara ketujuh
Di Damaskus selama dua tahun tiga setengah bulan, mulai dari Senin 6/8/726 sampai Senin malam 20/11/728 H. Di penjara
inilah ia wafat dan jenazahnya dikeluarkan menuju pemakamannya. Penyebabnya adalah persoalan ziarah ke tempat-tempat
suci.
Dalam persoalan ziarah ini, Syaikhul Islam menyampaikan dua pendapat, yaitu pendapat Imam Malik yang melarang ziarah
kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Aqsha. Kedua adalah pendapat sebagian penganut mazhab
Syafi’i dan Hambali yang membolehkan hal itu. Sebenarnya, tidak ada alasan lain untuk memusuhi Ibnu Taimiyyah selain
karena hawa nafsu, fanatisme dan taklid buta. Semoga Allah memberikan tempat yang baik bagi Ibnu Taimiyyah atas
keteguhannya meski dicela. [is].
Kisah Ibnu Taimiyah Dan Pencaci Nabi
Tepatnya di tahun 693H, waktu itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berusia 32 tahun. Terjadi kisah ‘Assaf seorang Nashrani.
Al Imam Ibnu Katsir bercerita:
“‘Assaf ini seorang penduduk Suwaida. Banyak orang yang menyaksikan ia mencaci Nabi shallalllahu’alaihi wasallam. Lalu
si ‘Assaf minta perlindungan kepada Ibnu Ahmad bin Haji, pimpinan kabilah Alu Ali. Maka Syaikh Taqiyyuddin Ibnu
Taimiyah bertemu dengan Syaikh Zainuddin Al Fariqi pimpinan Darul Hadits. Keduanya masuk kepada Al Amir ‘Izzuddin
Aibak Al Hamawi, wakil Sulthon”.،
“Keduanya berbicara kepadanya mengenai si Assaf, Nashrani yang mencaci Nabi. Izzuddin pun menyambut baik keduanya
dan akan menghadirkan orang Nashrani ini. Keduanya pun keluar bersama jumlah banyak dari manusia. Lalu orang-orang
melihat ‘Assaf datang bersama arab badui. Orang-orang pun mencaci makinya. Maka orang arab badui ini berkata: “Si
‘Assaf ini lebih baik dari kalian!“. Maka orang-orang pun melemparinya dengan batu dan mengenai si Assaf dan terjadi
keributan yang kuat”.
“Mendengar keributan itu marahlah sang wakil Sulthon (Al Amir Izzuddin Aibak). Dan meminta Ibnu Taimiyah dan Al Fariqi
untuk hadir lalu keduanya dipukuli dan dipenjara di Madrosah Adzrowiyah“.
“Amir Izzuddin juga mendatangkan Assaf si Nasrani. Lalu Amir Izzuddin meminta Assaf masuk Islam dan membuat sidang
khusus karena sebabnya. Dari majelis itu tampaklah permusuhan antara peserta sidang dengan si Assaf. Namun
tertahanlah darah si Assaf (ia bebas).
“Kemudian dipanggillah ibnu Taimiyah dan Al Fariqi dan dimintai keridloannya lalu keduanya dilepaskan”
(Lihat Al Bidayah wan Nihayah 17/665-666 karya Ibnu Katsir, dan kitab Al Muqtafa ‘alar Roudhotain 2/363 karya Al Barzali).
Kisah ini memberikan beberapa pelajaran:
1. Mengingkari penista agama dengan cara melaporkannya kepada penguasa. Bukan dengan main hakim sendiri.
2. Para ulama hendaknya yang langsung berbicara kepada penguasa, karena merekalah yang mampu
menyampaikan dengan hujjah dan akhlak. Sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dan Al Fariqi yang
langsung berbicara dengan wakil sulthan, Izzudin Al Hamawi. Ini sesuai dengan perintah Nabi untuk
menyampaikan nasehat secara rahasia.
3. Dalam kisah tersebut, tidak disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah dan Al Fariqi lah yang mengerahkan massa. Namun
keduanya pergi diikuti banyak orang yang juga sama sama ingin mengadukan si pencela Nabi kepada penguasa.
4. Sikap arogan dan kekerasan bukanlah solusi memecahkan permasalahan. Bahkan seringkali menimbulkan
mudharat yang lebih besar, bahkan malah Ibnu Taimiyah dan Al Fariqi yang dipukuli.
5. Para ulama hendaknya tidak memanas-manasi manusia dengan provokasi. Lihatlah bagaimana sikap Ibnu
Taimiyah dan Al Fariqi dipukuli, mereka sama sekali tidak memprovokasi massa dan memilih bersabar.
Coba renungkan, bagaimana bila para pendemo yang berdalil dengan kisah Ibnu Taimiyah ini ditangkapi oleh
pemerintah dan dipukuli, akankah mereka bersikap seperti Ibnu Taimiyah dan Al Fariqi?
6. Keluarnya orang orang awam untuk berdemo seringkali menimbulkan keributan dan mudah terpancing emosi.
Lihatlah ketika orang orang itu dipanas panasi oleh arab badui bahwa “si Assaf lebih baik dari kalian!“. Mereka
langsung melempari dengan batu sehingga terjadi keributan. Ini menunjukkan perbuatan mereka malah
menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
7. Kisah para ulama bukanlah dalil, karena dalil adalah Al Qur’an, hadits dan ijma. Ulama adalah manusia biasa
yang bisa jatuh kepada kesalahan
Penulis: Ust. Badrusalam Lc. (dengan suntingan redaksi pada matan kisah)

Kisah Syaikh Al Utsaimin dan menantunya (kisah PUTRI SYAIH DI LAMAR )

Setiap orang tentu menginginkan bisa berdekatan dengan seorang ulama. Terlebih lagi jika ulama tersebut memiliki nama
besar dan ilmu agama yang mumpuni. Terkadang untuk memperoleh keberkahan ilmu, sebagian orang seringkali menemani
ulama tersebut kemana pun ia pergi. Sebagian lagi ingin menjadikan dirinya bagian dari keluarga ulama tersebut, seperti
menikahi anak perempuannya.
Hal itu pula yang dilakukan oleh seorang mahasiswa bernama Khalid yang berani mendatangi seorang ulama besar Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin setelah mengisi kajian di Al Qashim.

Memang Syaikh Utsaimin selalu pulang berjalan kaki dari kajian tersebut ke rumahnya dikarenakan letaknya yang cukup dekat.

Maka dengan keberanian tinggi sang pemuda bertanya, “Maaf Syaikh, apakah anda mempunyai anak perempuan?”

Sontak mimik wajah Syaikh Al Utsaimin berubah dan berbalik tanya, “Ada apa akhi?”
Pemuda yang nekat itu kemudian menjawab,
“Kalau ada, saya berniat meminangnya, bolehkah saya meminangnya?”

Tak ada kata atau pertanyaan yang diucapkan oleh Syaikh Al Utsaimin kecuali hanya berkata,
“Tunggulah kabar dariku, Insya Allah akan aku telepon?”
Hari demi hari pemuda itu selalu menunggu kabar dari Syaikh Al Utsaimin. Setelah sepekan terbesit dalam hatinya apakah
Syaikh tersebut telah melupakan niat baiknya? Apakah ia harus diingatkan kembali?
Akhirnya setelah satu bulan, sebuah telepon tertuju pada asrama tempat pemuda tersebut tinggal. Akan tetapi sang pemuda
sedang berkuliah sehingga hanya diterima oleh pihak asrama.

Maka ketika pemuda bernama Khalid ini selesai dari kuliahnya, pihak asrama menyampaikan bahwa Syaikh Al Utsaimin
mencari dirinya.

“Mengapa Syaikh mencari diriku?” tanyanya yang telah pesimis dan telah berusaha melupakan permintaannya.

Pemuda itu pun akhirnya menelepon balik dan ia bertanya kepada Syaikh Al Utsaimin, “Maaf, ada apa Syaikh?”

“Saya ingin membicarakan kelanjutan percakapan kita waktu itu?” ungkap Syaikh
“Pembicaraan yang mana, Syaikh?”

“Pembicaraan ketika kamu menyusul saya di jalan.

Akhi, silakan kamu lanjutkan prosesnya.”

Jawaban Syaikh Al Utsaimin membuat si pemuda terkejut bukan kepalang. Ternyata Syaikh tidak melupakan permintaannya
dan dengan terbata-bata pemuda itu pun menjawab,

“Baiklah Syaikh, saya akan mengabari kedua orang tua saya dahulu untuk kelanjutannya.”
“Silakan akhi, saya tunggu kedatangan kalian.” Pungkas Syaikh Al Utsaimin

Ternyata alasan hampir satu bulan penuh Syaikh Al Utsaimin tidak kunjung memberikan jawaban adalah dikarenakan ia
menyelidiki langsung mengenai pemuda itu. Hal ini pula yang hendaknya dicontoh oleh para orang tua atau wali anak
perempuan yang dilamar oleh seorang pemuda.

Syaikh Al Utsaimin menyelidiki mulai dari pergulannya, bagaimana sang pemuda di mata teman-temannya, para gurunya,
keseriusan dalam belajar, latar belakang keluarganya hingga prestasinya di perkuliahan. Sebuah sikap yang seringkali bertolak
belakang dengan orang tua saat ini yang langsung menanyakan kepada si pemuda saat itu juga dan lebih banyak berkaitan
dengan materi semata.

Syaikh Al Utsaimin lebih melihat watak dan kepribadian si pemuda lewat orang yang ada di dekatnya dan beliau pun bisa
memutuskan apakah si pemuda merupakan calon yang terbaik setelah bermusyawarah dengan pihak keluarga lainnya.

Simak Kisah IMAM TIRMIDZI yang Menangis Sampai BUTA karena ini... - Ustadz Adi Hidayat LC MA

Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa as-Sulami at-Tirmidzi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Tirmidzi adalah
salah satu Imam Ahli Hadits terkenal yang memiliki kitab hadis yang monumental yaitu Kitab “Al-Jami’” atau Sunan at-Tirmidzi.
Beliau memiliki Kunyah Abu ‘Isa, sedangkan nasabnya As Sulami dan At Tirmidzi. As Sulami; yaitu nisbah kepada satu kabilah
yang yang di jadikan sebagai afiliasi beliau, dan nisbah ini merupakan nisbah kearaban. Sedangkan At Tirmidzi; nisbah kepada
negri tempat beliau di lahirkan (Tirmidz), yaitu satu kota yang terletak di arah selatan dari sungai Jaihun, bagian selatan Iran.
Kelahiran
Para pakar sejarah tidak menyebutkan tahun kelahiran beliau secara pasti, akan tetapi sebagian yang lain memperkirakan
bahwa kelahiran beliau pada tahun 209 hijriah. Sedang Adz Dzahabi berpendapat dalam kisaran tahun 210 hijriah.
Beliau tumbuh di daerah Tirmidz, mendengar ilmu di daerah ini sebelum memulai rihlah ilmiah beliau. Dan beliau pernah
menceritakan bahwa kakeknya adalah orang marwa, kemudian berpindah dari Marwa menuju ke tirmidz, dengan ini
menunjukkan bahwa beliau lahir di Tirmidzi.
Para ulama berbeda pendapat akan kebutaan yang beliau alami pada waktu itu. Ada yang mengatakan bahwa beliau
mengalami kebutaan sejak beliau lahir. Akan tetapi yang benar adalah beliau mengalami kebutaan pada masa tua beliau, yaitu
masa setelah beliau banyak melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu.
Menuntut ilmu
Imam Tirmidzi memulai jihadnya dengan belajar agama sejak beliau masih muda. Beliau mengambil ilmu dari para syekh yang
ada di negara beliau. Kemudian beliau memulai melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu ke berbagai negara yang ada di
muka bumi ini. Yang mana perjalanan beliau itu hanya ditujukan untuk menimba ilmu agama. Beberapa daerah yang pernah
beliau datangi pada saat itu adalah Khurasan, Madinah, Mekkah, Bashrah, Kufah, Wasith, Baghdad, Ar Ray.
Beliau memulai rihlah pada tahun 234 hijriah. Imam At Tirmidzi keluar dari negrinya menuju ke Khurasan, Iraq dan Haramain
dalam rangka menuntut ilmu. Di sana beliau mendengar ilmu dari kalangan ulama yang beliau temui, sehingga dapat
mengumpulkan hadits dan memahaminya. Akan tetapi sangat di sayangkan beliau tidak masuk ke daerah Syam dan Mesir,
sehingga hadits-hadits yang beliau riwayatkan dari ulama kalangan Syam dan Mesir harus melalui perantara, kalau sekiranya
beliau mengadakan perjalanan ke Syam dan Mesir, niscaya beliau akan mendengar langsung dari ulama-ulama tersebut,
seperti Hisyam bin ‘Ammar dan semisalnya.
Para pakar sejarah berbeda pendapat tentang masuknya imam At Tirmidzi ke daerah Baghdad, sehingga mereka berkata;
“kalau sekiranya dia masuk ke Baghdad, niscaya dia akan mendengar dari Ahmad bin Hanbal. Al Khathib tidak menyebutkan
at Timidzi (masuk ke Baghdad) di dalam tarikhnya, sedangkan Ibnu Nuqthah dan yang lainnya menyebutkan bahwa beliau
masuk ke Baghdad. Ibnu Nuqthah menyebutkan bahwasanya beliau pernah mendengar di Baghdad dari beberapa ulama,
diantaranya adalah; Al Hasan bin AshShabbah, Ahmad bin Mani’ dan Muhammad bin Ishaq Ash shaghani.
Dengan ini bisa di prediksi bahwa beliau masuk ke Baghdad setelah meninggalnya Imam Ahmad bin Hanbal, dan ulama-ulama
yang di sebutkan oleh Ibnu Nuqthah meninggal setelah imam Ahmad. Sedangkan pendapat Al Khathib yang tidak
menyebutkannya, itu tidak berarti bahwa beliau tidak pernah memasuki kota Baghdad sama sekali, sebab banyak sekali dari
kalangan ulama yang tidak di sebutkan Al Khathib di dalam tarikhnya, padahal mereka memasuki Baghdad.
Setelah pengembaraannya, imam At Tirmidzi kembali ke negrinya, kemudian beliau masuk Bukhara dan Naisapur, dan beliau
tinggal di Bukhara beberapa saat.

Anda mungkin juga menyukai