FILSAFAT PENDIDIKAN
Dosen Pengampu :
Yanti Yandri Kusuma, S.Pd.I, M.H
2022
3
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang mana telah
memberikan beribu nikmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan buku ini
tepat pada waktunya. Buku ini berhasil tersusun atas kerjasama didalam kelompok yang
sangat baik, serta atas bantuan dari pihak – pihak tertentu yang senantiasa membantu kami.
Buku ini kami buat semata untuk memberikan wawasan kepada para pembaca tentang Teori
Teori Filsafat Pendidikan.
Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Yanti Yandri Kusuma M,Pd di
bidang studi Filsafat Pendidikan yang telah memberikan arahan kepada kami sehingga buku
ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Kami ucapkan pula terima
kasih kepada teman – teman yang sudah ikut serta berpartisipasi meluangkan waktunya
untuk saling membantu kami dalam penyelesaian ini. Dan ucapan terima kasih kami untuk
semua yang tak bisa kami sebutkan satu per satu namanya.
Penyusun menyadari jika masih terdapat kekurangan ataupun suatu kesalahan dalam
penyusunan buku ini sehingga penyusun mengharapkan kritik ataupunsaran yang bersifat
positif untuk perbaikan di masa yang akan datang dari seluruh pembaca.
Akhir kata, penyusun berharap semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca dan para mahasiswa / mahasiswi Fakultas Keguruan Dan Ilmu
Pendidikan Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai.
Bangkinang, 03 Juli
2022
4
TIM PENYUSUN
O
Annisa Elviani 2186206018
le Annisa Fitri 2186206019
h Dian Nurmalasari 2186206050
SEMESTER II
KELAS D
DAFTAR
TAHUN AJARAN 2O22
DAFTAR ISI
JUDUL.....................................................................................................................................2
KATA PENGANTAR............................................................................................................3
TIM PENYUSUN...................................................................................................................4
DAFTAR ISI...........................................................................................................................5
BAB 1 RUANG LINGKUP FILSAFAT...............................................................................8
A. Pengertian Ruang Lingkup Filsafat..............................................................................9
B. Persamaan Dan Perbedaan Filsafat Dan Ilmu............................................................10
C. Komponen Filsafat Ilmu.............................................................................................11
D. Objek Filsafat Ilmu.....................................................................................................13
E. Metode Dalam Filsafat...............................................................................................18
BAB II HAKIKAT MANUSIA...........................................................................................19
A. Pengertian Hakikat Manusia......................................................................................20
B. Hakikat Manusia Menurut Para Ahli .........................................................................22
C. Aspek-Aspek Hakikat Manusia..................................................................................23
6
....................................................................................................................................87
A. Pengertian Pengembangan Sumber Daya Alam.........................................................88
B. Hubungan Filsafat Pendidikan Dengan Sumber Daya Alam......................................91
C. Teori-Teori Perkembangan.........................................................................................92
BAB IX PENDIDIKAN FORMAL, INFORMAL, DAN NONFORMAL
..................................................................................................................................100
A. Pengertian Pendidikan...............................................................................................101
B. Masalah-Masalah Yang Mempengaruhin Lingkungan Pendidikan
...................................................................................................................................107
C. Pengarh Lingkungan Formal, Informal Dan Nonformal...........................................108
D. Output Dari Sasaran Pendidikan Nonformal Dan Informal .....................................109
E. Perbedaan Pendidikan jalur sekolah (Formal) dan jalur luar sekolah (non formal dan
informal)....................................................................................................................110
BAB X ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN................................................112
A. Aliran Progressivisme...............................................................................................113
B. Sifat-Sifat Aliran Progressivisme..............................................................................114
C. Perkembangan Aliran Progressivisme.......................................................................115
D. Keyakinan-Keyakinan Progressivisme Tentang Pendidikan
...................................................................................................................................115
E. Aliran Esensialisme...................................................................................................116
F. Aliran Prennialisme...................................................................................................117
G. Prinsip-Prinsip Pendidikan Prennialisme..................................................................118
H. Aliran Rekontruksionalisme......................................................................................119
I. Aliran Eksistensialisme.............................................................................................120
J. Aliran Idealisme........................................................................................................121
K. Aliran Rasionalisme..................................................................................................124
L. Aliran Naturalisme....................................................................................................125
M. Aliran Pragmatisme...................................................................................................126
BAB XI HUBUNGAN SEKOLAH DAN MASYARAKAT............................................127
A. Pentingnya Hubungan Sekolah Dan Masyarakat......................................................128
B. Jenis-Jenis Hubungan Sekolah Dan Masyarakat.......................................................129
C. Tujuan Hubungan Sekolah Dan Masyarakat.............................................................129
D. Konsep Dasar Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat............................................129
E. Prinsip-Prinsip Dan Metode Dalam Membina Hubungan Sekolah Dan Masyarakat
...................................................................................................................................130
8
BAB I
f
ilsafat ilmu dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan, antara
satu ahli filsafat dan yang lainnya selalu berbeda pendapat dan hampir
sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri. Oleh karena itu
9
pengertian filsafat ilmu dapat ditinjau dari dua segi yakni secara etimologi dan
terminologi. Akan tetapi sebelum membahas masalah pengertian filsafat ilmu
akan lebih baiknya kita mengetahui apa itu pengertian dari filsafat dan ilmu.
BAB 1
RUANG LINGKUP FILSAFAT
yang sebenarnya. Ibnu Rusyd mengartikan filsafat sebagai ilmu yang perlu dikaji oleh
manusia karena dia dikaruniai akal. Immanuel Kant mengartikan filsafat sebagai ilmu
yang menjadi pokok pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya mencakup
masalah epistimologi yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.
Aristoteles mengartikan filsafat sebagai ilmu yang meliputi kebenaran yang
terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik,
dan estetika. Adapun Ali Mudhofir mengartikan filsafat sebagai suatu sikap terhadap
kehidupan dan alam semesta, sebagai suatu metode, sebagai kelompok persoalan, sebagai
analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna, dan sebagai usaha untuk memperoleh
pandangan yang menyeluruh.
Filsafat merupakan induk dari segala ilmu yang mencakup ilmu-ilmu khusus. dalam
perkembangannya ilmu-ilmu khusus itu memisahkan diri dari induknya yakni filsafat.
Dalam sejarah ilmu, ilmu khusus yang pertama kali memisahkan diri dari filsafat
adalah matematika yaitu pada zaman Renaissance (abad XVI.M) yang kemudian diikuti
oleh ilmu-ilmu lainnya.
Filsafat sebagai induk ilmu-ilmu lainnya masih terasa pengaruhnya. Setelahilmu
filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu lainnya, ternyata filsafat tidak mati tetapi hidup
dengan corak tersendiri yakni sebagai ilmu yang memecahkan masalah yang tidak
terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus.
Ruang lingkup fisafat adalah segala sesuatu lapangan pemikiran manusia yang amat
luas (komprehensif) . Segala sesuatu yang mungkin ada dan benar-benar ada (nyata), baik
11
material konkriet maupun material abstrak (tidak terlihat), jadi obyek filsafat itu
tidak terbatas.
Adapun menurut pendapat para ahli tentang ruang lingkup filsafat :
1. Tentang hal mengerti, syarat -syaratnya dan metode-metodenya
2. Tentang ada dan tidak ada.
3. Tentang alam,dunia dan seisinya.
4. Menentukan apa yang baik dan apa yang buruk.
5. Hakikat manusia dan hubungannya dengan sesame makhluk lainnya.
6. Tuhan tidak dikecualikan.
2. Epistemologi
Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengendalaian-pengendalian, dan dasar-
dasarnya serta pengertian mengenai pengetahuan yang dimiliki, mula-mula manusia
percaya bahwa dengan kekuatan pengenalanya ia dapat mencapai realitas sebagaimana
adanya. Mereka mengandaliakan begitu saja bahwa pengetahuan mengenai kodrat itu
mungkin, meskipun beberapa di antara mereka menyarankan bahwa pengetahuan
mengenai struktur kenyataan dapat lebih dimunculkan dari sumber-sumber tertentu
ketimbang sumber-sumber lainya. Pengertian yang diperoleh oleh manusia melalui
akal, indra, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di
antaranya adalah:
a. Metode Induktif
Induktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil
observasi yang disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum.
b. Metode Deduktif
Deduktif ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah
lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.hal yang harus ada dalam
metode deduktif adalah adanya perbandingan logis antara kesimpulan itu
sendiri.penyelidikan bentuk logis itu bertujuan apakah teori tersebut mempunyai
sifat empiris atau ilmiah.
c. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh Agus Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari
apa yang telah diketahui, faktual dan positif. Ia menyampaikan segala uraian atau
persoalan di luar yang ada sebagai fakta.apa yang diketahui secara positif adalah
segala yang tampak dari segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang
filsafat dan ilmu dibatasi kepada bidang gejala saja.
d. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk
memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun berbeda-beda yang
harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut intuisi.
e. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk
mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato
mengartikannya sebagai diskusi logika. Kini dialektika berarti tahapan logika yang
14
di sorot oleh suatu disiplin ilmu yang mencakup apa saja baik hal-hal yang konkrit
ataupun yang abstrak.
Menurut Dardiri bahwa objek material adalah segala sesuatu yang ada, baik
yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan.
Segala sesuatu yang ada itu di bagi dua, yaitu :
a. Ada yang bersifat umum, yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal yang ada
pada umumnya.
b. Ada yang bersifat khusus yang terbagi dua yaitu ada secara mutlak dan tidak
mutlak yang terdiri dari manusia dan alam.
2. Objek Formal Filsafat Ilmu
Objek formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek
materialnya. Setiap ilmu pasti berbeda dalam objek formalnya. Objek formal
filsafat ilmu adalah hakikat ilmu pengetahuan yang artinya filsafat ilmu lebih
menaruh perhatiannya terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan. Seperti apa
hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa
fungsi ilmu itu bagi manusia. Problem inilah yang di bicarakan dalam landasan
pengembangan ilmu pengetahuan yakni landasan ontologis, epistemologis dan
aksiologis.
3. Tujuan Filsafat Ilmu
Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai
semakin menajamnya spesialisasi ilmu maka filsafat ilmu sangat diperlukan. Sebab
dengan mempelajari filsafat ilmu, kita akan menyadari keterbatasan diri dan tidak
terperangkap ke dalam sikap oragansi intelektual. Hal yang lebih diperlukan adalah
sikap keterbukaan kita, sehingga mereka dapat saling menyapa dan mengarahkan
seluruh potensi keilmuan yang dimilikinya untuk kepentingan bersama.
Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat ilmu yang
mengandung manfaat sebagai berikut :
a. Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang
menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah.
b. Filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan
metode keilmuan. Sebab kecenderungan kita menerapkan suatu metode ilmiah
tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap yang
diperlukan disini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai dengan
struktur ilmu pengetahuan bukan sebaliknya.
16
sebetulnya kurang tepat hingga tidak benar, namun sudah diterima apa
adanya oleh masyarakat.
2) Pengetahuan ilmu;
Pengetahuan ilmu adalah ilmu sebagai terjemahan dari science yang
pada prinsipnya adalah usaha untuk mengorganisasikan,
mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari
pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari atau dugaan lain
yang belum dibuktikan. Hal itu dilakukan untuk kemudian dilanjutkan
dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti menggunakan berbagai
metode. Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara objektif
(objective thinking), tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna
terhadap dunia faktual. Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu,
diperolehnya melalui observasi, eksperimen, dan klasifikasi. Analisis ilmu
itu objektif dan menyampingkan unsur pribadi atau subjektif, pemikiran
logika diutamakan, netral dan menjunjung fakta.
3) Pengetahuan filsafat;
Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh dari
pemikiran yang kontemplatif dan spekulatif. Dalam konteks ini,
pengetahuan filsafat menekankan pada universalitas kedalaman kajian
mengenai Ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang mengerucut,
sementara filsafat membahas hal yang lebih luas namun tetap mendalam.
Filsafat biasanya memberikan pengetahuan reflektif dan kritis sehingga ilmu
yang tadinya kaku dan cenderung tertutup dilonggarkan kembali untuk
menerima perubahan yang dianggap lebih positif.
4) Pengetahuan agama;
Merupakan pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para
utusan-nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak, absolut dan wajib diyakini
oleh para penganutnya tanpa bukti empiris sekalipun.
Ada lima ciri utama hingga upaya itu dapat dikatakan filsafat, yaitu:
a) argumentasi
menandakan bahwa filsafat memiliki ciri kegiatan berupaya
pembicaraan yang mengandalkan pada pemikiran, rasio, tanpa
verifikasi uji empiris.
b) Sistematis
18
BAB II
Hakikat Manusia
M anusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan akal dan pikiran.
Manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki derajat
paling tinggi di antara citaannya yang lain. Hal yang paling penting dalam
membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa manusia dilengkapi dengan
akal, pikiran, perasaan, dan keyakinan untuk mempertinggi kualitas hidupnya di dunia.
P endidikan adalah proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan. Jadi
dalam hal ini pendidikan adalah proses atau perbuatan mendidik. Pendapat lain
mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh
orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan
agar anak cukup cakap dalam melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan
orang lain. Jadi karena manusia diciptakan oleh Tuhan dengan berbekal akal dan pikiran
maka manusia membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan kehidupannya demi
memuaskan rasa keingintahuannya.
BAB II
HAKIKAT MANUSIA
4. konsep yang mendasar tentang manusia dan makna eksistensi manusia di dunia.
Pengertian hakikat manusia berkenaan dengan “prinsip adanya” (principe de’etre)
manusia.
Dengan kata lain, pengertian hakikat manusia adalah seperangkat gagasan
tentang “sesuatu yang olehnya” manusia memiliki karakteristik khas yang memiliki
sesuatu martabat khusus” (Louis Leahy, 1985).
suatu Creative Cause atau Personality yang kita sebut sebagai Tuhan YME (J.
Donal Butler, 1968).
manusia untuk bersujud dan berserah diri kepada penciptanya. Selain itu,
menyadari akan maha kasih sayangnya Sang Pencipta maka kepada-Nya manusia
berharap dan berdoa. Dengan demikian, di balik adanya rasa cemas dan takut itu
muncul pula adanya harapan yang mengimplikasikan kesiapan untuk mengambil
tindakan dalam hidupnya. Adapun hal tersebut dapat menimbulkan kejelasan akan
tujuan hidupnya, menimbulkan sikap positif dan familiaritas akan masa depannya,
menimbulkan rasa dekat dengan penciptanya.
2. Manusia sebagai Kesatuan Badan–Roh
Para filsuf berpendapat yang berkenaan dengan struktur metafisik
manusia. Terdapat empat paham mengenai jawaban atas permasalahan tersebut,
yaitu Materialisme, Idealisme, Dualisme, dan paham yang mengatakan bahwa
manusia adalah kesatuan badan-roh. Materialisme.
Gagasan para penganut Materialisme, seperti Julien de La Mettrie dan
Ludwig Feuerbach bertolak dari realita sebagaimana dapat diketahui melalui
pengalaman diri atau observasi. Oleh karena itu, alam semesta atau realitas ini tiada
lain adalah serba materi,serba zat, atau benda. Manusia merupakan bagian dari
alam semesta sehingga manusia tidak berbeda dari alam itu sendiri. Sebagai bagian
dari alam semesta, manusia tunduk pada hukum alam, hukum kualitas, hukum
sebab-akibat atau stimulus-respon.
Manusia dipandang sebagai hasil puncak mata rantai evolusi alam semesta
sehingga mekanisme tingkah lakunya (stimulus-respon) semakin efektif. Yang
esensial dari manusia adalah badannya, bukan jiwa atau rohnya. Manusia adalah
apa yang nampak dalam wujudnya, terdiri atas zat (daging, tulang, dan urat syaraf).
Segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah pada manusia dipandang
hanya sebagai resonansi saja dari berfungsinya badan atau organ tubuh. Pandangan
hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme
(J.D. Butler, 1968). Idealisme. Bertolak belakang dengan pandangan materialisme,
penganut Idealisme menganggap bahwa esensi diri manusia adalah jiwanya atau
spiritnya atau rohaninya, hal ini sebagaimana dianut oleh Plato. Sekalipun Plato
tidak begitu saja mengingkari aspek badan, namun menurut dia, jiwa mempunyai
kedudukan lebih tinggi daripada badan. Dalam Plato hubungannya dengan badan,
jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan karena
itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Jiwa adalah asas primer yang
menggerakkan semua aktivitas manusia, badan tanpa jiwa tiada memiliki daya.
27
Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai
Spiritualisme (J.D.Butler, 1968).
Dualisme. Dalam uraian terdahulu tampak adanya dua pandangan yang
bertolak belakang. Pandangan pihak pertama bersifat monis–materialis, sedangkan
pandangan pihak kedua bersifat monis– spiritualis. C.A. Van Peursen (1982)
mengemukakan paham lain yang secara tegas bersifat dualistik, yakni pandangan
dari Rene Descartes. Menurut Descartes, esensi diri manusia terdiri atas dua
substansi, yaitu badan dan jiwa. Oleh karena manusia terdiri atas dua substansi
yang berbeda (badan dan jiwa) maka antara keduanya tidak terdapat hubungan
saling mempengaruhi (S.E. Frost Jr., 1957), namun demikian setiap peristiwa
kejiwaan selalu paralel dengan peristiwa badaniah atau sebaliknya. Contohnya, jika
jiwa sedih maka secara paralel badanpun tampak murung atau menangis.
Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Paralelisme
(J.D. Butler, 1968).
Sebagai kesatuan badani-rohani, manusia hidup dalam ruang dan waktu,
sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu,
serta mempunyai tujuan. Selain itu,manusia mempunyai potensi untuk beriman dan
bertakwa kepada Tuhan YME dan potensi untuk berbuat baik, potensi untuk
mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa),
dan memiliki potensi untuk berkarya. Adapun dalam eksistensinya manusia
memiliki aspek individualitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan, dan
keberagaman. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau berkomunikasi,
memiliki historisitas, dan dinamika.
3. Manusia sebagai Makhluk Individu
Sebagaimana Anda alami bahwa manusia menyadari keberadaan dirinya
sendiri. Kesadaran manusia akan dirinya sendiri merupakan perwujudan
individualitas manusia. Manusia sebagai individu atau sebagai pribadi merupakan
kenyataan yang paling riil dalam kesadaran manusia. Sebagai individu, manusia
adalah satu kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki Rene Descrates perbedaan
dengan manusia yang lainnya sehingga bersifat unik dan merupakan subjek yang
otonom.
Sebagai individu, manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara
aspek badani dan rohaninya. Setiap manusia mempunyai perbedaan sehingga
bersifat unik. Perbedaan ini baik berkenaan dengan postur tubuhnya, kemampuan
berpikirnya, minat dan bakatnya, dunianya, serta cita-citanya. Pernahkah Anda
28
menemukan anak kembar siam? Manusia kembar siam sekalipun, tak pernah
memiliki kesamaan dalam keseluruhannya. Setiap manusia mempunyai dunianya
sendiri, tujuan hidupnya sendiri.
Masing-masing secara sadar berupaya menunjukkan eksistensinya,
ingin menjadi dirinya sendiri atau bebas bercita-cita untuk menjadi seseorang
tertentu, dan masing-masing mampu menyatakan "inilah aku" di tengah-tengah
segala yang ada. Setiap manusia mampu menempati posisi, berhadapan,
menghadapi, memasuki, memikirkan, bebas mengambil sikap, dan bebas
mengambil tindakan atas tanggung jawabnya sendiri (otonom). Oleh karena itu,
manusia adalah subjek dan tidak boleh dipandang sebagai objek. Berkenaan dengan
hal ini, Theo Huijbers menyatakan bahwa "manusia mempunyai kesendirian yang
ditunjukkan dengan kata pribadi" (Soerjanto P. dan K. Bertens, 1983); adapun Iqbal
menyatakannya dengan istilah individualitas atau khudi (K.G. Syaiyidain, 1954).
4. Manusia sebagai Makhluk Sosial
Dalam hidup bersama dengan sesamanya (bermasyarakat) setiap individu
menempati kedudukan (status) tertentu. Di samping itu, setiap individu mempunyai
dunia dan tujuan hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai dunia bersama
dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Selain adanya kesadaran diri,
terdapat pula kesadaran sosial pada manusia. Melalui hidup dengan sesamanyalah
manusia akan dapat mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan ini,
Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat
(Ernst Cassirer, 1987).
Terdapat hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan
masyarakatnya. Ernst Cassirer menyatakan: manusia takkan menemukan diri,
manusia takkan menyadari individualitasnya, kecuali melalui perantaraan pergaulan
sosial. Adapun Theo Huijbers mengemukakan bahwa dunia hidupku Kembar siam
dipengaruhi oleh orang lain sedemikian rupa sehingga demikian mendapat arti
sebenarnya dari aku bersama orang lain itu (Soerjanto P. dan K. Bertens, 1983).
Sebaliknya, terdapat pula pengaruh dari individu terhadap masyarakatnya.
Masyarakat terbentuk dari individu-individu, maju mundurnya suatu masyarakat
akan ditentukan oleh individu-individu yang membangunnya.
Oleh karena setiap manusia adalah pribadi (individu) dan adanya hubungan
pengaruh timbal balik antara individu dengan sesamanya maka idealnya situasi
hubungan antara individu dengan sesamanya itu tidak merupakan hubungan antara
subjek dengan objek, melainkan subjek dengan subjek. Martin Burber menyebut
29
situasi hubungan yang terakhir itu sebagai hubungan I-Thou (Maurice S. Friedman,
1954). Berdasarkan hal itu dan karena terdapat hubungan timbal-balik antara
individu dengan sesamanya dalam rangka mengukuhkan eksistensinya masing-
masing maka hendaknya terdapat keseimbangan antara individualitas dan sosialitas
pada setiap manusia.
5. Manusia sebagai Makhluk Berbudaya
Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan kebudayaan, hidup
berbudaya, dan membudaya. Kebudayaan bertautan dengan kehidupan manusia
sepenuhnya, kebudayaan menyangkut sesuatu yang nampak dalam bidang
eksistensi setiap manusia. Manusia tidak terlepas dari kebudayaan, bahkan manusia
itu baru menjadi manusia karena bersama kebudayaannya (C. A. Van Peursen,
1957). Sejalan dengan ini, Ernst Cassirer menegaskan bahwa "manusia tidak
menjadi manusia karena sebuah faktor di dalam dirinya, seperti misalnya naluri
atau akal budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaannya,
kebudayaannya.
Demikianlah kebudayaan termasuk hakikat manusia" (C.A. Van Peursen,
1988). Sebagaimana dinyatakan di atas, kebudayaan memiliki fungsi positif bagi
kemungkinan eksistensi manusia, namun demikian apabila manusia kurang
bijaksana dalam mengembangkannya, kebudayaanpun dapat menimbulkan
kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi manusia. Contoh: dalam
perkembangan kebudayaan yang begitu cepat, sejak abad yang lalu kebudayaan
disinyalir telah menimbulkan krisis antropologis. Martin Buber, antara lain Sekolah
merupakan salah satu bentuk interaksi social mengemukakan keterhukuman
manusia oleh karyanya sendiri. Manusia menciptakan mesin untuk melayani
dirinya, tetapi akhirnya manusia menjadi pelayan mesin. Demikian pula dalam
bidang ekonomi, semula manusia berproduksi untuk memenuhi kebutuhannya,
tetapi akhirnya manusia tenggelam dan dikuasai produksi (Ronald Gregor Smith,
1959). Kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Kodrat dinamika pada
diri manusia mengimplikasikan adanya perubahan dan pembaharuan kebudayaan.
Hal ini tentu saja didukung pula oleh pengaruh kebudayaan masyarakat
atau bangsa lain terhadap kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Selain itu,
mengingat adanya dampak positif dan negatif dari kebudayaan terhadap manusia,
masyarakat kadang-kadang terombang-ambing di antara dua relasi kecenderungan.
Di satu pihak ada yang mau melestarikan bentuk-bentuk lama (tradisi), sedangkan
yang lain terdorong untuk menciptakanhal-hal baru (inovasi). Ada pergolakan yang
30
tak kunjung reda antara tradisi dan inovasi. Hal ini meliputi semua kehidupan
budaya (Ernst Cassirer, 1987).
6. Manusia sebagai Makhluk Susila
Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilaan karena pada
manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical
imperative). Contoh:jika kita meminjam barang milik orang lain maka ada perintah
yang mewajibkan untuk mengembalikan barang pinjaman tersebut. (S.E. Frost Jr.,
1957; P.A. Van Der Weij, 1988). Sehubungan hal itu, dapatlah dipahami jika
Henderson (1959) menyatakan: "Man is creature who makes moral distinctions.
Only human beings question whether an act is morally right
or wrong". Sebagai makhluk yang otonom atau memiliki kebebasan, manusia selalu
dihadapkan pada suatu alternatif tindakan yang harus dipilihnya. Hal ini
sebagaimana dikemukakan Soren Aabye Kierkegaard: "Yes, I perceive perfectly
that there are two possibilities, one can do either this or that" (Fuad Hasan, 1973).
Adapun kebebasan berbuat ini juga selalu berhubungan dengan norma-norma moral
dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya. Oleh karena manusia mempunyai
kebebasan memilih dan menentukan perbuatannya secara otonom maka selalu ada
penilaian moral atau tuntutan pertanggung jawaban atas perbuatannya.
dapat menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya, bukan saja
dalam kaitannya dengan ruang melainkan juga dengan waktu. Kemampuan
menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi.
Justru karena manusia memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka padar terdapat
unsur kebebasan. Jika seandainya pada diri 88/284 tidak terdapat kebebasan, maka
manusia itu tidak lebih hanya sekedar "esensi" belaka, artinya ada hanya sekedar
"ber-ada" dan tidak pernah "meng-ada" atau "ber-eksistensi." Kemampuan
bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar belajar dari
pengalamannya, belajar mengantisipasi sesuatu keadaan dan peristiwa, belajar
melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi
kreatif sejak dari masa kanak-kanak.
3. Kata Hati
(Conscience of Man) Kata hati (conscience of man) juga sering disebut
dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainya.
Conscience ialah "pengertian yang ikut serta" atau "pengertian yang mengikuti
perbuatan." Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan,
sedang, dan telah dibuatnya, bahkan mengerti juga akibatnya bagi manusia sebagai
manusia. Sebutan "pelita hati" menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan
pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik buruknya perbuatannya
sebagai manusia.
Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil
keputusan tentang baik dan buruk, dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam.
Sering dalam mengambil keputusan orang mengalami kesulitan. terutama jika harus
mengambil keputusan antara yang baik dengan yang buruk karena orang dihadapkan
kepada sejumlah pilihan. Untuk dapat memilih alternatif yang terbaik harus
berhadapan dengan kriteria serta kemampuan analisis perlu didukung oleh
kecerdasan akal budi. Orang yang memiliki.
4. Moral
Moral sering juga disebut etika artinya perbuatan. Di sini tampak bahwa masih
ada jarak antara kata hati dengan moral. Artinya seseorang yang telah memiliki kata
hati yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari kata hatinya
itu. Untuk menjembatani jarak yang mengantarai keduanya masih ada aspek yang
diperlukan yaitu kemauan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang
sinkron dengan kata hati yang 10 tajam yaitu yang benar benar baik bagi manusia
sebagai manusia merupakan moral yang baik (tinggi), dan sebaliknya. Seseorang
32
dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan nilai-nilai yang tinggi,
serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang tinggi tersebut.
Moral biasanya dibedakan dari etiket. Jika moral menunjuk kepada perbuatan
yang baik ataukah yang salah, yang berperikemanusiaan atau yang jahat, maka etiket
hanya berhubungan dengan soal sopan santun. Pendidikan bermaksud menumbuh
kembangkan etiket (kesopansantunan) dan etika (kemauan bertindak) yang baik dan
harus ada pada peserta didik.
5. Kemampuan Bertanggungjawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut
jawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggungjawab. Ada tanggung
jawab kepada diri sendiri, masyarakat, dan kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada
diri sendiri berarti menanggung tuntunan kata hati, misalnya dalam bentuk
penyesalan yang mendalam. Bertanggungjawab kepada masyarakat berarti
menanggung tuntunan norma-norma sosial yang berupa sanksi-sanksi sosial, seperti
cemoohan masyarakat, hukuman penjara, dan lain-lain.
Bertanggungjawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntunan norma-norma
agama, seperti perasaan berdosa, dan terkutuk Hubungan antara kata hati, moral, dan
tanggung jawab. Kata hati memberi pedoman, moral melakukan, dan tanggung
jawab merupakan kesediaan menerima konsekuensi dari perbuatan. Dengan
demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan
bahwa suatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya
karena itu perbuatan tersebut dilakukan sehingga sanksi apapun yang dituntutkan
(olch kata hati, masyarakat, dan norma-norma agama) diterima dengan penuh
kesadarandan kerelaan.
6. Rasa Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat olehsesuatu), tetapi sesuai
dengan tuntunan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang
kelihatannya saling bertentangan yaitu "rasa bebas" dan "sesuai dengan tuntunan
kodrat manusia yang berarti ada ikatan. Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya
memang berlangsung dalam keterikatan.
Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntunan kodrat
manusia. Orang hanya mungkin merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-
ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiwai segenap perbuatannya.
Dengan kata lain, ikatan luar (yang membelenggu) telah berubah dengan ikatan
33
1. Animal educable. Artinya, pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang dapat
dididik
2. Animal educandum, yang artinya manusia pada hakikatnya adalah manusia yang
harus dididik.
3. Homo educandus, bahwa manusia merupakan makhluk yang bukan hanya harus dan
dapat dididik tetapi juga harus dan dapat dididik.
6. Rasa kebebasan: bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat
manusia
7. Kewajiban dan hak: Disiplin rasional, jika melanggar menimbulkan rasa salah
8. Disiplin sosial, jika melanggar menimbulkan rasa malu
9. Disiplin agama, jika melanggar menimbulkan rasa berdosa
Kemampuan menghayati kebahagiaan
38
BAB III
Definisi, Tujuan, dan Fungsi
Pendidikan
P
endidikan merupakan salah satu hal terpenting dalam kehidupan
sesorang. Pendidikan lah yang menentukan dan menuntun masa depan
dan arah hidup seseorang. Walaupun tidak semua orang berpendapat
seperti itu, namun pendidikan tetaplah menjadi kebutuhan manusia nomor wahid.
Bakat dan keahlian seseorang akan terbentuk dan terasah melalui pendidikan.
Pendidikan juga umumnya dijadikan tolak ukur kualitas setiap orang.
BAB III
1. Ahmad D. Rimba, pendidikan ialah bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh
pendidik kepada peserta didik dengan tujuan membentuk kepribadian yang utama
secara jasmani dan rohani.
2. Martinus Jan Langeveld, pendidikan ialah upaya untuk membantu peserta didik
agar mereka mampu mengerjakan tugas kehidupan secara mandiri dan bertanggung
jawab secara oral dan susila. Dalam hal ini, pendidikan juga diartikan sebagai
upaya untuk membangun anak agar lebih dewasa.
3. Carter V. Good, pendidikan ialah sebuah upaya untuk mengembangkan kecakapan
individu, baik secara sikap maupun prilaku dalam bermasyarakat. Dengan kata lain,
pendidikan adalah proses sosial di mana lingkungan yang teroganisir seperti
sekolah dan rumah, mampu mempengaruhi seseorang untuk mengembangkan
kecakapan sikap dan prilaku dalam diri sendiri dan bermasyarakat.
4. H. H. Horne, pendidikan ialah sebuah alat di mana komunitas sosial mampu
melanjutkan keberadaan dalam mempengaruhi diri sendiri dan mempertahankan
idealisme.
5. Stella Van Petten Henderson, pendidikan ialah sebuah kombinasi antara
pertumbuhan dan pengembangan diri serta warisan sosial.
40
Pendidikan juga bisa dijalani melalui 2 hal yakni pendidikan formal dan non formal.
1. Pendidikan formal ialah pendidikan yang bisa didapat dengan mengikuti kegiatan
atau program pendidikan yang terstruktur serta terencana oleh badan pemerintahan
misalnya melalui sekolah ataupun universitas
2. Pendidikan non formal ialah pendidikan yang bisa didapat melalui aktivitas
kehidupan sehari-hari yang tak terikat oleh lembaga bentukan pemerintahan,
misalnya belajar melalui pengalaman, belajar sendiri melalui buku bacaan serta
belajar melalui pengalaman orang lain.
B. TUJUAN PENDIDIKAN
Tujuan utama yang harus menjadi orientasi dalam pendidikan salah satunya adalah
mengembangkan potensi dan mencerdaskan manusia menjadi semakin lebih baik.
Tujuan pendidikan ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 yang
berbunyi, sebagai berikut:
Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Di dalam UU. No. 20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional pasal 3
disebutkan tentang tujuan pendidikan yakni mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang
demokratis juga bertanggung jawab.
Sebagai undang-undang yang disahkan oleh negara yang baru merdeka, UU No.
4 Tahun 1950 memiliki tujuan untuk mengubah dari sistem pendidikan kolonial
menjadi sistem pendidikan yang lebih memperhatikan rakyat yang baru saja merdeka.
Semangat memerdekaan rakyat Indonesia merupakan tujuan utama dari Undang-
Undang ini. Hal itu dapat dilihat pada pasal 3 dan pasal 4 berikut ini:
1. Pasal 3
41
dengan catatan tujuan yang ingin dicapai sudah dibuat lebih jelas atau eksplisit,
bersifat konkret, dan juga mencakup ruang lingkup kandungan yang terbatas.
Tujuan umum pendidikan harus dihadirkan dengan lebih diperinci. Hal ini
memiliki maksud agar tujuan pendidikan lebih bersifat khusus dan terbatas. Dengan
begitu, proses untuk merealisasikan tujuan pendidikan dapat terlaksana dengan lebih
mudah, terkhusus dalam praktiknya.
6. Ahmadi
Selanjutnya, tujuan pendidikan menurut Ahmadi terungkap pada karyanya yang
berjudul “Ilmu Pendidikan”. Ahmadi berpendapat bahwa tujuan pendidikan menurut
pandangan agama Islam adalah untuk melahirkan generasi bangsa yang memiliki
kecerdasan, kepatuhan, kesehatan, dan ketaatan kepada Allah SWT dan menjauhi
larangan-Nya.
7. Suardi
Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi”, Suardi
berpendapat bahwa tujuan pendidikan merupakan suatu hasil dari refleksi yang akan
didapatkan sebagai hasil dari proses pemberian atau penyampaian pendidikan kepada
pelajar atau peserta didik yang sudah selesai dilaksanakan.
Adapun proses untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut disebut sebagai proses
belajar dan proses mengajar. Proses belajar mengajar ini juga termasuk dalam kegiatan
memberikan stimulus berupa ilmu yang disampaikan dari guru atau pengajar kepada
peserta didik atau pelajar.
Proses mencapai tujuan pendidikan juga termasuk membiarkan peserta didik
untuk mengerjakan beberapa latihan soal dan beragam aktivitas bermanfaat yang
dilakukan selama proses belajar mengajar. Semua proses tersebut dilakukan agar
peserta didik mencapai tujuan pendidikannya sekaligus bergerak menuju arah dan
tujuan pendidikan secara total.
D. FUNGSI PENDIDIKAN
Menurut pendapat Horton dan Hunt, lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi
yang nyata (manifest) yakni sebagai berikut:
1. Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah.
2. Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan
masyarakat.
3. Melestarikan kebudayaan.
44
Menurut David Popenoe, ada empat macam fungsi pendidikan yakni sebagai berikut:
1. Transmisi (pemindahan) kebudayaan.
2. Memilih dan mengajarkan peranan sosial.
3. Menjamin integrasi sosial.
4. Sekolah mengajarkan corak kepribadian.
5. Sumber inovasi sosial.
45
BAB IV
PENGERTIAN, KEGUNAAN
DAN RUANG LINGKUP
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
F
filsafat pendidikan Islam merupakansuatu kajian secara filosofis mengenai
berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatanpendidikan yang didasarkan pada
al-Qur’an dan al-Hadits sebagi sumber primer dan pendapatpara ahli, khususnya
para filosof muslim, sebagai sumber sekunder. Secara singkat dapatdikatakan
filsafat pendidikan Islam adalah filsafat pendidikan Islam yang didasarkan
padaajaran Islam atau filsafat yang dijiwai oleh Islam.
Setiap ilmu sudah pasti memiliki fungsi dan kegunaan, termasuk juga filsafat pendidikan
Maka sesungguhnya
Bersama kesulitan
Ada kemudahan
QS. Al Insyirah
46
BAB IV
PENGERTIAN,KEGUNAAN,DAN RUANG LINGKUP
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Filsafat Pendidikan Para ahli telah menyoroti dunia pendidikan yang berkembang
saat ini, baik dalam pendidikan Islam pada khususnya, maupun pendidikan pada umumnya.
48
Menurut mereka pelaksanaan pendidikan tersebut kurang bertolak dari atau belum
dibangun oleh landasan filosofis yang kokoh, sehingga berimplikasi pada kekaburan dan
ketidakjelasan arah dan jalannya pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Pelaksanaan
pendidikan agama Islam selama ini berjalan melalui cara didaktis metodis seperti halnya
pengajaran, dan lebih didasarkan pedagogis umum yang berasal dari sifat pendidikan Model
Barat sehingga lebih menekankan pada “transmisi pengetahuan”.
Untuk menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu rumusan filsafat
pendidikan Islam yang kokoh Fondasi filosofis yang mendasari sistem pendidikan Islam
selama ini masih rapuh, terutama tampak pada adanya bentuk dualisme dikotomis antara apa
yang dikategorikan ilmu-ilmu agama yang menduduki fardu ‘ain dan ilmu-ilmu sekular yang
paling tinggi berada pada posisi fardu kifayah. Yang sering kali terbaik dan bahkan
terapkan. Di samping itu, kegiatan pendidikan Islam seharusnya berorientasi ke langit
(orientasi transendental).
Tampaknya belum tercermin secara tajam dan jelas dalam rumusan filsafat
pendidikan Islam, dan bahkan belum dimilikinya. Karena itu, penyusunan suatu filsafat
pendidikan Islam merupakan tugas strategis dalam usaha pembaruan pendidikan Islam. Ilmu
pendidikan di Indonesia dewasa ini tampaknya mulai kehilangan jati diri, yang antara lain
disebabkan karena penelitianpenelitian lebih koheren dalam persoalan-persoalan praktis
operasional dan formal yang terdapat di sekolah. Sedangkan pemikiran ilmu pendidikan
yang lebih bersifat kondisional termasuk di dalamnya filsafat pendidikan mengalami
stagnasi. Demikian pula riset-riset di dalamnya.
2. Epistimologi
Epistimologi adalah cabang filsafat yang membahas masalah yang berhubungan
denganpengetahuan.
49
3. Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang esensi nilai.
Dimensi mikro Pokok-pokok pembahasan filsfat pendidikan Islam yang berdimensi
mikro adalah yangmenyangkut proses pendidikan yang meliputi 5 faktor, yaitu
a. Tujuan pendidikan
b. Pendidik
c. Peserta didik
d. Alat-alat pendidikan
e. Lingkungan pendidikan
Muzayyin Arifin mengatakan bahwa dengan belajar filsafat pendidikan Islam berarti
memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik, logis dan menyeluruh tentang
pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan tentang agama Islam tetapi
juga menuntut untuk mempelajari ilmu lain yang relevan.
Ruang lingkup filsafat pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang ada dalam kegiatan
pendidikan, misalnya, masalah tujuan pendidikan, guru, metode, kurikulum dan lingkungan.
Selanjutnya, ruang lingkup filsafat pendidikan Islam bukan hanya mengenai hal teknis
operasional pendidikan, tetapi juga semua hal yang mendasari serta mewarnai corak sistem
pemikiran yang disebut filsafat itu.
Oleh karena itu, secara umum filsafat pendidikan Islam merupakan pemikiran yang serba
mendalam, mendasar, sistematis, terpadu, logis, menyeluruh dan universal mengenai konsep
tersebut mulai dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, guru, metode, lingkungan dan
seterusnya
Filsafat pendidikan Islam mengkaji hal sebagai berikut:
a) Pandangan agama Islam mengenai realitas
b) Pandangan agama Islam mengenai pengetahuan
c) Pandangan agama Islam mengenai nilai
d) Pandangan agama Islam mengenai tujuan pendidikan
e) Cara pencapaian tujuan pendidikan, yang juga akan menyangkut isi pendidikan dan
proses dalam pendidikan
berfilsafat harus berpikir obyektif atas hal-hal yang obyektif, bukan menghayal.
Dari situlah para ahli dibidang tersebut telah banyak meneliti secara teoritis mengenai
kegunaan Filsafat Pendidikan Islam. Umar Muhammad Al-Tomi Al-Saidany misalnya
mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari Filsafat Pendidikan Islam tersebut
sebagai berikut:
1. Filsafat pendidikan itu dapat menolong para perancang pendidikan dan orang-orang
yang melaksanakannya dalam suatu Negara untuk membentuk pemikiran sehat
terhadap proses pendidikan. Disamping itu dia dapat menolong terhadap tujuan-
tujuan dan fungsi-fungsinya serta meningkatkan mutu penyelesaian masalah
pendidikan dan peningkatan tindakan dan keputusan termasuk rancangan-rancangan
pendidikan mereka. Selain itu ia juga berguna untuk memperbaikia peningkatan
pelaksanaan pendidikan serta faedah dan cara mereka mengajar yang mencangkup
penilaian, pembimbingan dan penyuluhan.
2. Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan
dalam arti yang menyeluruh. Penilaian pendidikan itu dianggap persoalan yang perlu
bagi setiap pengajaran yang baik. Dalam pengertian yang terbaru penilaian
pendidikan meliputi segala usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh sekolah, institusi
pendidikan secara umum untuk mendidik angkatan baru dan warga Negara dan
segala yang berkaitan dengan filsafat.
3. Filsafat pendidikan akan menolong dalam memberikan pendalaman pemikiran bagi
faktor-faktor spiritual, kebudayaan, social, ekonomi, dan politik dinegara kita.
3. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat
mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia
mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi
kerohanian dan keagamaan.
4. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan
Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata,
tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum,
dan aktivitasnya..
Al-Syaibany khusus menjelaskan bahwa mempelajari filsafat pandidikan Islam:
a. Filsafat pendidikan Islam dapat membantu para perencana dan para pelaksana
pendidikan untuk membentuk suatu pemikiran yang sehat tentang pendidikan.
b. Filsafat pendidikan Islam merupakan asas bagi upaya menentukan berbagai
kebijakan pendidikan.
c. Filsafat pendidikan dapat dijadikan asas bagi upaya menilai keberhasilan
pendidikan.
d. Filsafat pendidikan dapat dijadikan sandaran intelektual bagi mereka yang
berkecimpung dalam dunia praksis pendidikan. Sandaran ini digunakan sebagai
bimbingan ditengah-tengah maraknya berbagai aliran atau system pendidikan
yang ada.
e. Filsafat pendidikan Islam dapat dijadikan dasar bagi upaya pemberian pemikiran
pendidikan dalam hubungannya dengan masalah spiritual, kebudayaan, social,
ekonomi, dan politik.
Berdasar pada kutipan diatas timbul kesan bahwa kegunaan dan fungsi filsafat
pendidikan Islam ternyata sangat strategis dia seolah-olah menjadi acuan dalam
memecahkan permasalahan dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karena yang
diselesaikan filsafat pendidikan Islam itu adalah bidang filosofinya yang menjadi
akar dari setiap permasalahan kependidikan. Dalam berpedoman pada filsafat
pendidikan setiap masalah pendidikan akan dapat dipecahkan secara komprehensif
integrated, dan tidak parsial, tambal sulam atau sepotong-sepotong. Melihat
demikian besar jasa yang dimainkan oleh filsafat,tidak mengherankan jika Al-
Saibany lebih lanjut mengatakan seharusnya filsafat pendidikan, amaliah pendidikan,
dan pengajaran mendapat penghargaan dan penghormatan dari pihak-pihak pelajar,
para guru, dan orang-orang yang berkiprah dalam bidang pendidikan. Dengan
penghargaan dalam arti memanfaatkan jasa filsafat pendidikan sebaik-baiknya,
52
mereka akan memiliki sandaran dan rujukan intelektual yang berguna untuk
membela tindakan-tindakannya dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Namun demikian, uraian tentang fungsi filsafat pendidikan Islam tersebut member
kesan terlalu umum dan abstrak.
Fungsi filsafat pendidikan lebih konkrit lagi dijelaskan oleh Ahmad D.
Marimba. Menurutnya bahwa filsafat pendidikan dapat menjadi pegangan
pelaksanaan pendidikan yang menghasilkan generasi-generasi baru yang
berkepribadian Muslim. Generasi-generasi baru ini selanjutnya akan
mengembangkan usaha-usaha pendidikan dan mungkin mengadakan penyempurnaan
atau penyusunan kembali filsafat yang mendasari usaha-usaha pendidikan itu
sehingga membawa hasil yang lebih besar. Pendapat yang terakhir ini memberi
petunjuk bahwa filsafat pendidikan Islam selain menjadi acuan bagi pendidikan
dalam menghasilkan generasi yang Islami, dihasrapkan juga dapat mendukung
pengembangan konsep filsafat pendidikan Islam itu sendiri. Dengan demikian
pendapat yang terakhir ini Nampak lebih mengorientasikan filsafat pendidikan pada
upaya mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Hal ini tidak terlalu salah,
mengingat bahwa dari seluruh kegiatan dan aspek pendidikan yang ada, pada
akhirnya memang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Jadi
seseorang boleh saja mengorbankan atau merubah cara, tetapi tidak boleh begitu saja
merubah atau mengorbankan tujuan pendidikan.
Selanjutnya Muzayyin Arifin yang pendapatnya banyak dikutip dalam pembahasan
bab ini mengatakan, bila dilihat dari fungsinya, maka filsafat pendidikan Islam
merupan pemikiran mendasar yang melandasi dan mengarahkan proses pelaksanaan
pendidikan Islam.
Oleh karena itu filsafat itu juga memberikan gambaran tentang sampai dimana
proses tersebut dapat direncanakan dan dalam ruang lingkup serta dimensi
bagaimana proses tersebut dilaksanakan selain itu dia juga mengatakan bahwa
filsafat pendidikan Islam juga bertugas melakukan kritik-kritik tentang metode-
metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam itu serta sekaligus
memberikan pengarahan mendasar tentang bagaimana metode tersebut harus didaya
gunakan atau diciptakan agar efektif untuk mencapai tujuan.
Dari uarainya ini Muzayyain Arifin menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan
Islam itu seharusnya bertugas dalam tiga (3) dimensi yakni:
53
BAB V
KOMPONEN – KOMPONEN
PENDIDIKAN
P
endidikan adalah hal yang paling penting dalam kehidupan bangsa
dan negara, karena dengan adanya pendidikan masyarakat bisa
belajar dan memahami ilmu pengetahuan baik teoritis maupun
praktis. Pendidikan juga merupakan jembatan untuk tercapainya tujuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang
Dasar 1945 yaitu “ mencerdaskan kehidupan bangsa“. Pendidikan adalah
sebuah sistem, sehingga sistem pendidikan itu tidak dapat berdiri sendiri tanpa
adanya komponen-komponen atau unsur-unsur pembentuk pendidikan itu
sendiri. Adapun komponen-komponen pendidikan diantaranya peserta didik,
pendidik, lingkungan pendidikan dan alat pendidikan.
55
BAB V
KOMPONEN – KOMPONEN PENDIDIKAN
A. KOMPONEN PENDIDIKAN
Pendidikan adalah hal yang paling penting dalam kehidupan bangsa dan negara,
karena dengan adanya pendidikan masyarakat bisa belajar dan memahami ilmu
pengetahuan baik teoritis maupun praktis. Pendidikan juga merupakan jembatan untuk
tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertuang dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yaitu “ mencerdaskan kehidupan bangsa“.
Pendidikan adalah sebuah sistem, sehingga sistem pendidikan itu tidak dapat berdiri
sendiri tanpa adanya komponen-komponen atau unsur-unsur pembentuk pendidikan itu
sendiri. Adapun komponen-komponen pendidikan diantaranya peserta didik, pendidik,
lingkungan pendidikan dan alat pendidikan.
1. Pendidik
Pendidik dalam pedagogis mempunyai dua arti. Yang pertama secara adi
kodrati, pendidik adalah orang tua peserta didik masing-masing. Orang tua yang
berperan sebagai pendidik akan berperan sebaik mungkin dengan segala
keterbatasannya untuk mengarahkan anaknya. Yang kedua pendidik sebagai
seseorang yang memberi pendidikan kepada peserta didik di lembaga pendidikan
formal atau kita sering menyebutnya guru. Orang yang bisa menjadi pendidik adalah
orang dewasa. Orang dewasa dianggap bisa menjadi pendidik kepada orang yang
56
lebih muda umurnya, karena pemikiran orang dewasa biasanya lebih luas, sehingga
memungkinkan untuk membimbing orang yang dibawah umurnya dan mampu
membawa peserta didik ke arah kedewasaan. Orang tua adalah orang pertama yang
telah mendidik dan mengajar kita sejak kita dilahirkan. Orang tua selalu mendidik
anaknya semaksimal mungkin untuk membuat anaknya menjadi orang yang pandai
dan cerdas. Selain orang tua pendidik juga dapat berasal dari masyarakat yaitu dalam
pendidikan nonformal, misalnya kursus.
Seorang pendidik harus mempunyai sifat-sifat, watak dan perilaku dibawah ini :
a. Adil
Sebagai seorang guru sebaiknya harus berusaha bersikap adil terhadap peserta
didiknya. Tidak membedakan anak saudara, anak yang cantik, anak pejabat atau
anak kesayangan tetap saja semua anak harus mendapat bimbingan dan
pengajaran yang sama dari gurunya.
b. Percaya dan menyukai anak didiknya
Seorang guru harus berprasangka baik terhadap anak didiknya dan percaya
bahwa anak didiknya memiliki kemauan dan kemampuan. Seorang ahli (Jan
Lighthart) pernah berkata “ semua pendidikan haruslah didasatkan pada
keyakinan bahwa anak itu mempunyai kata hati. Jika keyakinan itu tidak ada, tak
perlulah orang mendidik. Orang lemah dapat dijadikan kuat, orang bodoh dapat
dijadikan pandai, tetapi orang yang tidak punya kata hati tak mungkin
diperbaiki.
c. Sabar dan rela berkorban
Setiap pekerjaan pasti ada cobaan didalamnya terutama bagi pendidik. Seorang
pendidik harus sabar dalam menghadapi siswanya.
d. Meiliki kewibawaan (gezag)
Kewibawaan merupakan suatu pancaran batin yang dapat menimbulkan kepada
pihak lain untuk mengakui, menerima dengan penuh pengertian atas suatu
kekuasaan. Tanpa adanya gezag tidak mungkin sebuah pendidikan masuk ke
dalam hati peserta didik, mereka akan menuruti perintah hanya karena takut,
bukan karena kesadaran dari dalam dirinya.
Menurut M. J. Langeveld ada 3 sendi kewibawaan yang harus dibina yaitu :
kepercayaan, kasih saying dan kemampuan.
e. Penggembira
Seorang pendidik yang baik adalah yang bisa memberi kesempatan tertawa
kepada anak didiknya. Sifat humor sebaiknya dimiliki oleh seorang pandidik
57
agar peserta didiknya tidak jenuh dan lelah. Humor juga berfungsi untuk
mendekatkan guru dengan muridnya.
f. Bersikap baik kepada orang lain
Seorang akan diterima dan dipercaya sebagai pendidik jika perilaku terhadap
masyarakat baik.
g. Menguasai mata pelajaran dan berpengetahuan luas
Guru harus selalu menambah pengetahuannya karena mengajar tidak dapat lepas
dari belajar. Pengetahuan guru harus selalu bertambah seiring berkembangnya
zaman, karena hal ini sangat diperlukan oleh murid-murid.
h. Sifat-sifat diatas sebaiknya dimiliki oleh seorang pendidik, karena pendidik
adalah contoh bagi murid-muridnya yang kemudian dapat diajarkan dan
ditanamkan kepada mereka. Pendidikan sangat bergantung kepada pendidiknya,
karena semakin tinggi kualitas pendidik semakin tinggi pula kualitas pendidikan.
2. Peserta didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis
pendidikan tertentu. Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan
modern cenderung berpendapat demikian karena sebjek didik bersifat tidak
pandang usia.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik adalah :
a. Individu (manusia seutuhnya) yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas,
sehingga merupakan insan yang unik. Individu disini diatrtikan sebagai orang
yang tidak bergantung pada orang lain dan menentukan diri sendiri, tidak
dipaksa orang lain serta mempunyai sifat dan keinginan sendiri. Dalam hal ini
pendidik tetap memegang peranan, tidak selalu membenarkan tindakan peserta
didik, melainkan tetap membantu, memberi pertolongan melayani sesuai
eksistensinya agar menuju perkembangan yang dewasa sesuai dengan norma
yang berlaku.
b. Individu yang sedang berkembang
Berkembang disini dimaksudkan sebagai perubahan yang terjadi dalam diri
peserta didik secara wajar, baik ditujukan kepada diri sendiri maupun ke arah
penyesuaian dengan lingkungan.Manusia berkembang melalui suatu rangkaian
yang bertingkat-tingkat. Tiap fase berbeda dengan fase lainnya. Perbedaan ini
meliputi perbedaan minat, kebutuhan, kegemaran, emosi intelegensi dan
sebagainya. Perbedaan tersebut harus diketahui oleh pendidik pada masing-
58
masing tingkat perkembangan. Atas dasar itu pendidikan dapat mengatur kondisi
dan strategi yang relevan dengan kebututhan peserta didik.
c. Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi
Dalam perkembangannya , peserta didik membutuhkan bantuan dan bimbingan.
Bayi yang baru lahir secara badani dan hayati tidak bisa terlepas dari ibunya.
Seharusnya setelah dewasa ia sudah bisa hidup sendiri, tetapi kenyataannya
untuk kebutuhan perkembangan hidupnya ia masih membutuhkan bimbingan
orang lain. Disinilah fungsi pendidik harus diaktualisasikan.
d. Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri
Dalam perkembangannya peserta didik mempunyai kemampuan berkembang ke
arah kedewasaan. Karena itu peserta didik membutuhkan sebuah pendidikan
agar mereka memperoleh kebebasan untuk memerdekakan diri dan mampu
menjadi manusia mandiri.
3. Lingkungan pendidikan
Manusia dapat mengembangkan kemampuan melalui sebuah pengalaman.
Pengalaman itu terjadi karena interaksi manusia dengan lingkungannya, naik
lingkungan fisik maupun lingkungan social manusia secara efisien dan efektif.
Lingkungan tempat berlangsungnya pendidikan disebut dengan lingkungan
pendidikan. Ada tiga lingkungan utama pendidikan, yaitu keluarga sekolah dan
masyarakat (Umar Tirtaharja et. Al.,1990:39-40).
Sepanjang hidupnya manusia akan selalu menerima pengaruh dari tiga
lingkungan pendidikan yang utama, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, dan
ketiganya disebut tripusat pendidikan.
a. Keluarga
Keluarga merupakan kelompok primer yang sedikit anggotanya karena
hubungan sedarah. Keluarga itu dapat terdiri dari keluarga inti (nucleus family)
yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Kemudian ada juga keluarga yang terdiri
dari ayah ibu, anak, kakek, nenek, paman dll. Meskipun ibu adalah anggota
keluarga yang paling berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, namun pada
akhirnya semua anggota keluarga dan situasi keluarga ikut berpengaruh dalam
pendidikan anak. Keluarga berperan baik pada aspek pembudayaan maupun
penguasaan pengetahuan dan keterampilan. Namun karena meningkatnya
kebutuhan aspirasi anak, umumnya keluarga tidak mampu memenuhinya.
Sehingga tujuan pendidikan itu sebagian dapat dicapai melalui jalur pendidikan
sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah yang dianggap semakin penting.
59
4. Masyarakat
61
7) Hukuman
Hukuman adalah alat pendidikan yang tidak menyenangkan berupa
penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh pendidik
kepada peserta didik setelah terjadinya suatu pelanggaran, kejahatan atau
kesalahan.
65
BAB VI
EPISTEMOLOGI DAN
PENDIDIKAN
E
pistemologi dalam dunia pendidikan bertugas melakukan usaha untuk
menetapkan sebuah kebenaran yang berasal dari sebuah isi pemikiran
dan divalidasi oleh metode ilmiah. Itulah mengapa epistemologi dalam
dunia pendidikan juga berperan penting sebagai sarana untuk mengetahui
berbagai variasi kebenaran pengetahuan
67
BAB VI
EPISTEMOLOGI DAN PENDIDIKAN
A. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Epistemologi dari bahasa yunani episteme (pengetahuan) dan Logos (ilmu) adalah
cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Topik
ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang
Filsafat,1 misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya,
macamnya, serta hubungan dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi atau teori pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan
tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indra dengan berbagai metode,
68
C. LANDASAN EPISTEMOLOGI
Landasan epistemology ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu
dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan
pengetahuan yang di dapatkan lewat metode ilmiah.Tidak semua pengetahuan disebut
ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa
disebut ilmu yakni tercantum dalam metode ilmiah.
ini baginya adalah cara yang relevan untuk menanamkan pengetahuan dan nilai dari
subjek didik. Baginya, hal ini sejalan dengan watak manusia dalam memperoleh
pengetahuan yang memang bersentuhan dengan sendi-sendi dunia yang secara nyata
berhubungan satu sama lainnya. Realisme percaya, bahwa manusia mengenal dunia
dari bagian-bagiannya yang bersifat materi dan teridentifikasi dalam kategori-kategori
yang terukur dan nyata.
3. Epistemologi Pragmatisme
Menurut kaum pragmatisme tidaklah dikatakan pengetahuan, jika tidak
membawa pada perubahan bagi kehidupan manusia. Jadi nilai pengetahuan dilihat dari
kadar instrumentalianya yang akan membawa pada akibat-akibat, baik yang, setelah
atau yang akan dihasilkan oleh ide pikiran dalam dunia pengalaman nyata. Menurut
kaum pragmatisme, guru harus mengonstruksi situasi belajar dengan menempatkan
problem tertentu yang pemecahannya akan membawa siswa pada pemahaman yang
lebih baik akan lingkungan sosial dan fisik mereka. Konsekuensinya, menggantikan
struktur tradisional tentang subjek materi baik guru maupun kelas harus meramalkan
apakah pengetahuan itu memberikan manfaat dalam pemecahan problem tertentu yang
sedang mereka diskusikan, seperti transportasi sepanjang sejarah, persoalan-persoalan
seksual saat ini ataupun persoalan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini.
Sehingga menjadikan ini lebih bermakna bagi subjek didik dan akan semakin
mudah dikuasai ketika mereka dapat memanfaatkannya sebagai alat yang dapat
memuaskan kebutuhan dan kepentingan mereka dalam menghadapi realitas. Menurut
kaum pragmatis, seorang anak selalu belajar secara alamiah karena memang ia adalah
makhluk yang secara natural selalu ingin tahu tentang sesuatu. Ia senantiasa akan
mempelajari apapun yang ia rasakan ataupun yang ia pikirkan. Oleh karena itu guru
harus menghidupkan spiritinquiry ini agar tampil dalam realitas pembelajaran.
Mengajar subjek didik dari subjek materi telah jelas baginya merupakan suatu
kebutuhan nyata bagi subjek didik dalam melaksanakan kegiatan belajar. Tugas
penting guru adalah menolong dan membimbing subjek didiknya agar mampu
mempelajari apa yang ia rasakan dan yang merangsang jiwa ingin tahunya yang selalu
tumbuh. Kaum pragmatisme juga meyakini bahwa subjek didik harus belajar dari
keingintahuan, sementara guru mesti merangsang keingintahuan itu tampil dalam
proses inquiry.
4. Epistemologi Eksistensialisme
Epistemologi Eksistensialisme adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam
kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus
72
dilakukan oleh setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual
melainkan soal komitmen total seluruh pribasi individu. Berangkat dari kebebasan
sebagai corak bereksistensi, demikian tidak menempatkan individu ke dalam realitas
yang abstrak tetapi individu dilihat sebagai satu pribadi yang sungguh hadir dan
konkrit. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan, hanya yang konkrit yang dapat
mengambil keputusan atas diriku bukan orang lain. Orang lain tidak berhak untuk
menentukan pilihan dalam mengambil suatu keputusan atas apa yang dilakukan.
Barang siapa yang tidak berani mengambil keputusan, maka ia tidak bereksistensi
dalam arti yang sebenarnya. Hanya orang yang berani mengambil keputusan yang
dapat bereksistensi dengan mengambil keputusan atas pilihanya sendiri, maka dia akan
menentukan kemana arah hidupnya.
E. PENGETAHUAN
Pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan apabila
seseorang mengenal tentang sesuatu.Suatu hal yang menjadi pengetahuannya adalah
selalu terdiri dari unsur yang mengetahui dan yang diketahui serta kesadaran mengenai
hal yang ingin diketahuinya.Dalam pengetahuan harus ada subjek (kesadaran untuk
mengetahui sesuatu) dan objek (sesuatu yang dihadapi sebagai hal yang ingin
diketahui).Pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala
perbuatan manusia untuk memahami suatu objek yang dihadapinya.
Terjadinya pengetahuan dapat bersifat apriori dan aposteriori. Apriori yaitu
pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman
indera maupun pengalaman batin. Aposteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena
adanya pengalaman.
Sumber-sumber pengetahuan:
1. Pengalaman indera (sense experience)
Aliran ini disebut empirisme. Menurut aliran ini manusia memperoleh
pengetahuan melalui pengalaman (empereikos = pengalaman). Dalam hal ini harus
ada 3 hal, yaitu yang mengetahui (subjek), yang diketahui (obek) dan cara
mengetahui (pengalaman). Tokoh yang terkenal adalah John Locke, George
Barkeley dan David Hume.
2. Nalar (reason)
Aliran ini disebut rasionalisme.Aliran ini menyatakan bahwa akal (reason)
merupakan dasar kepastian dan kebenaran pengetahuan walaupun belum didukung
73
F. PENGERTIAN PENDIDIKAN
Pendidikan dalam bahasa Yunani berasal dari kata padegogik yaitu ilmu menuntun
anak.Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan
menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di
dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan
educare, yakni : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan atau
potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan –
Red), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan
watak, mengubah kepribadian sang anak. Hubungan Epistemologi Dengan Filsafat
Yang Lain.
filsafat bahasa, filsafat pemikiran, filsafat sains dan lain-lain lagi. Setiap cabang ilmu
tersebut membincangkan perkara-perkara atau isunya yang tersendiri; misalnya
metafisik yang membahas tentang tabiat kewujudan, kebenaran dan pengetahuan
(hakikat Tuhan); etika yang membahas prinsip-prinsip akhlak atau moral dan nilai-nilai
akhlak yang menjadi pegangan seseorang individu atau suatu kelompok agar hidup
dalam keadaan nyaman dan baik; dan estetika iaitu satu disiplin ilmu yang mengkaji
konsep yang berkaitan dengan keindahan, cita rasa dan seumpamanya.
Setiap disiplin coba untuk mencapai kefahaman yang sistematis terhadap isu-isu
yang muncul secara terperinci dan mendalam. Hal ini penting dalam hubungan untuk
membentuk teori-teori dasar atau prinsip secara luas, konsisten dan mempertahankan
disiplin tersebut secara rasional. Dari segi praktiknya, setiap teori coba meneliti secara
kompleks tuduhan tuduhan yang muncul dalam berbagai isu-isu yang ada.
Epistemologi sebagai salah satu cabang utama filsafat memainkan peran utama
dalam hubungannya dengan disiplin-disiplin filsafat yang lain. Meskipun materi yang
dibahas dalam sesuatu cabang filsafat itu berbeda antara satu dengan yang lain sering
menjadi bahan kajian ahli filsafat, namun semuanyaberdasarkan kepada dasar dan asas
yang sama yaitu coba untuk mencapai hakikat kebenaran dengan jalan keyakinan
sebagai objektif akhir kajian. Ia merupakan aspek utama yang dibahas dalam disiplin
epistemologi yang menjadi dasar kepada cabang cabang filsafat lainnya.
Jika suatu klaim yang dibuat, ia memerlukan kepada bukti yang kuat agar mencapai
kepada tahap kebenaran dan keyakinan. Namun begitu, untuk mencapai semua ini
berbagaipertanyaan berikut akan muncul yaitu bagaimanakah kita boleh menyatakan
sesuatu perkara itu benar? Apakah bukti-bukti yang mendukung atau menentang suatu
dalil? Dan bolehkah klaim tersebut itu dibuktikan? Oleh karena itu, hampir
seluruhpertanyaan tersebut memerlukan kepada pertimbangan epistemologi dalam
menyelesaikan masalah ini sebagaimana yang akan dijelaskan dalam topik berikutnya.
segala-galanya. Guru yang paling pandai dan gudang ilmu. Siswa adalah penerima.
Cara model sekarang, banyak diantaranya mengembangkan metode active learning
untuk memacu kreativitas dan daya inisiatif siswa. Guru hanya sebagai fasiltator saja.
Guru mengarahkan siswa. Siswa dapat memperolehnya melalui diskusi, problem based
learning (PBL), pergi ke perpustakaan, belajar dengan e-learning (internet), membaca
dan sebagainya. Cara-cara seperti ini akan memacu potensi siswa daripada siswa
diperlakukan hanya sebagai objek yag pasif saja.
Bagaimana cara menyampaikannya? Pertanyaan ini terkait dengan kompetensi
guru serta metode atau gaya pengajaran yang mereka terapkan. Sebenarnya jaman
sekarang ini model ceramah yang bersifat pasif sudahbukan jamannya lagi. Akan tetapi
dibeberapa sekolah atau bahkan Pergurun Tinggi sendiri masih memberlakukan sistem
pengajaran seperti ini. Cara penyampaian yang cukup mempengaruhi motivasi siswa
dalam belajar adalahsalah satu contohnya SD Kreatif. SD ini memberikan pengajaran
yang unik. Kadang guru memberikan pendidikan dengan outbound, dengan bentuk
dongeng atau cerita, atau dengan memberikan pesan moral dan mengajak untuk berpikir
rasional (rasional thinking).
Dari dua persoalan diatas yang menjadi titik sentral dalam upaya memahami
pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa
diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan
memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna mengungkap substansi
persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal ini berfungsi mempermudah dan
memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu
menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa
memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut,
dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip
belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengatasi hambatan belajar dan sebagainya.
Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi
pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang dibahas dan substansi konsep itu
biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).Demikian pula, pengertian
epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap substansinya,
sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang terkait dengan epistemologi itu.
Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan
pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
Dan berikut adalah pendapat menurut beberapa Aliran filsafat mengenai epistemology:
1. Epistemology Idealisme
76
BAB VII
NILAI DAN PENDIDIKAN
78
N
ilai-nilai pendidikan karakter bagi siswa Sekolah dasar dan menengah
yaitu: Religius, jujur, toleransi, disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri,
Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah
Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, Gemar
Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial.
BAB VII
NILAI DAN PENDIDIKAN
A. PENGERTIAN NILAI
79
Kata “nilai” merupakan terjemahan dari kata “value” dalam bahasa Inggris dan
berasal dari bahasa Latin “valere” atau bahasa Prancis Kuno “valoir” yang dalam makna
denotatif berarti harga. Namun, ketika kata tersebut sudah dihubungkan dengan suatu
obyek atau dipersepsi dari suatu sudut pandang tertentu, maka harga yang terkandung di
dalamnya memiliki tafsiran bermacam- macam. Dalam Ensiklopedia Indonesia
dinyatakan bahwa pembicaraan tentang nilai dalam filsafat sering dihubungkan dengan
kebaikan. “Value” berasal dari kata “valere” yang berarti bernilai atau berharga, yaitu
kualitas sesuatu yang membuatnya didambakan atau diidamkan orang. Dengan
ungkapan lain apabila sesuatu itu dipandang baik, dirasakan bermanfaat untuk dimiliki,
bermanfaat untuk dikerjakan atau bermanfaat untuk dicapai seseorang, maka akan
menjadi idaman orang. Jadi sesuatu itu bernilai. Biasanya nilai berada dalam bidang
etika atau estetika. Fungsi pendidikan nilai adalah membantu peserta didik untuk
mengenali nilai-nilai dan menempatkan secara integral dalam konteks keseluruhan
hidupnya. Pendidikan nilai juga berfungsi untuk membantu peserta didik memahami,
mengapresiasikan, membuat keputusan yang tepat dalam berbagai masalah pribadi,
keluarga, masyarakat dan negara yang diharapkan dapat mengeliminir sikap arogansi
yang kerap kali terjadi. Dengan kata lain pendidikan nilai itu adalah pemanusiaan
manusia. Manusia hanya menjadi manusia bila ia berbudi luhur, berkehendak baik serta
mampu mengaktualisasikan diri dan mengembangkan budi, dan kehendaknya secara
jujur, baik di keluarga, masyarakat, negara dan lingkungan di mana ia berada.
Secara terminologi, definisi nilai sering dirumuskan dalam konsep yang
berbeda-beda. Berikut ini dikemukakan empat definisi nilai yang masing-masing
memiliki tekanan yang berbeda. Pertama, Rohmat Mulyana mengutip beberapa ahli
menyatakan, pertama menurut Gordon Allport, “Nilai adalah keyakinan yang membuat
seseorang bertindak atas dasar pilihannya”. Kedua, menurut Kuperman, “Nilai adalah
patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara
ciri-ciri tindakan alternatif’’. Ketiga, menurut Hans Jonas, ia mendeskripsikan definisi
nilai sebagai berikut. Nilai adalah alamat sebuah kata ‘ya’ (value is address of a yes),
atau jika diterjemahkan secara kontekstual, nilai adalah sesuatu yang ditunjukkan
dengan kata ‘ya’. Kata ‘ya’ dapat mencakup nilai keyakinan individu secara psikologis
maupun nilai patokan normatif secara sosiologis, demikian pula kata ‘alamat’ dapat
mewakili arah tindakan yang ditentukan oleh keyakinan individu maupun norma
sosial.Keempat, menurut Kluckhohn, “Nilai didefinisikan sebagai konsepsi (tersirat atau
tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang
diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir
80
tindakan”. Berdasarkan empat definisi tersebut, dapat ditarik suatu definisi baru yaitu
nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan.
Pepper (dalam Soelaeman, 2005:35) mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu
tentang yang baik atau yang buruk. Sejalan dengan pengertian tersebut, Soelaeman
(2005) juga menambahkan bahwa nilai adalah sesuatu yang dipentingkan manusia
sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk, sebagai
abstraksi, pandangan atau maksud dari berbagai pengalaman dalam seleksi perilaku
yang ketat.
Darmodiharjo (dalam Setiadi, 2006:117) mengungkapkan nilai merupakan sesuatu
yang berguna bagi manusia baik jasmani maupun rohani. Sedangkan Soekanto
(1983:161) menyatakan, nilai-nilai merupakan abstraksi dari pengalaman-pengalaman
pribadi seseorang dengan sesamanya. Nilai merupakan petunjuk-petunjuk umum yang
telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, nilai dapat dikatkan sebagai sesuatu yang berharga, bermutu,
menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu
berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Persahabatan sebagai nilai (positif/baik)
tidak akan berubah esensinya manakala ada pengkhianatan antara dua yang bersahabat.
Artinya nilai adalah suatu ketetapan yang ada bagaimanapun keadaan di sekitarnya
berlangsung.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas pengertian nilai dapat disimpulkan sebagai
sesuatu yang positif dan bermanfaat dalam kehidupan manusia dan harus dimiliki setiap
manusia untuk dipandang dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai di sini dalam konteks
etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), estetika (indah dan jelek). Betapa
luasnya implikasi konsep nilai ketika dihubungkan dengan konsep lainnya, ataupun
dikaitkan dengan sebuah statement. Konsep nilai ketika dihubungkan dengan logika
menjadi benar-salah, ketika dihubungkan dengan estetika menjadi indah-jelek dan
ketika dihubungkan dengan etika menjadi baik-buruk. Akan tetapi yang pasti bahwa
nilai itu menyatakan sebuah kualitas. Bahkan dikatakan bahwa nilai adalah kualitas
empiris yang tidak bisa didefinisikan. Hanya saja, sebagaimana dikatakan Lois Katsoff,
kenyataan bahwa nilai tidak dapat didefenisikan tidak berarti nilai tidak bisa dipahami.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai itu dikelompokkan menjadi
tiga kelompok yaitu:
1. Nilai yang berkenaan dengan kebenaran atau yang terkait dengan nilai benar-salah
yang dibahas oleh logika.
81
2. Nilai yang berkenaan dengan kebaikan atau yang terkait dengan nilai baik-buruk
yang dibahas oleh moral.
3. Nilai yang berkenaan dengan keindahan atau yang terkait dengan nilai indah-jelek
yang dibahas oleh estetika.
Muhmidayeli mendefenisikan nilai adalah gambaran tentang sesuatu yang indah
menarik yang mempesona, menakjubkan, yang membuat kita bahagia, senang dan
merupakan sesuatu yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang memilikinya.
Nilai dapat juga diartikan dalam makna benar-salah, baik-buruk, manfaat atau berguna,
indah dan jelek.
Nilai secara umum, sebagaimana yang didefinisikan oleh Hamka dengan standard
atau ukuran (norma) yang digunakan untuk mengukur segala sesuatu. Defenisi lain,
Kuppermen mendefenisikan nilai dalam Perspektif sosiologis sebagai patokan normatif
yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan
alternatif.
Dalam perspektif filosofis dapat dipahami pejelasan dari Prof. Amril Mansur. MA,
sebagai guru besar di UIN Suska Riau, mendefenisikan nilai adalah sesuatu yang
diharapkan, dinginkan dan memiliki harga bagi kehidupan, membawa pada pemahaman
akan kualitas dari sesuatu apakah itu perbuatan atau perilaku, sikap atau benda-benda
yang dinilai. Oleh karena itu kajian dalam filsafat moral arahnya tidak sebatas
mengevaluasi keputusan-keputusan moral, bagaimana orang benar-benar perilaku nilai,
media sebagai alat guna terwujudnya perilaku yang memiliki nilai dan tujuan-tujuan
hidup yang bermuatan nilai tetapi juga mampu melakukan evaluasi terhadap itu semua.
Douglas Graham, melihat ada empat faktor yang merupakan kepatuhan
seseorang terhadap nilai tertentu yaitu:
a. rmativist.
Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum. Selanjutnya dikatakan
bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu; a) Kepatuhan pada nilai
atau norma itu sendiri, b) Kepatuhan pada proses tanpa mempedulikan normanya
sendiri, dan c) Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari
peraturan itu sendiri.
b. Integralist
Yaitu kapatuhan yang didasarkan kepada kesadaran dengan pertimbangan-
pertimbangan yang rasional.
c. Fenomenalist
Yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa basi.
82
d. Hedonist
Yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri
Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individu tentu saja
yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist. Sebab kepatuhan
semacam itu adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa
mempedulikan apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Dalam hal ini, ada beberapa cara memperoleh nilai yang akan dipaparkan
oleh penulis sebagai berikut:
1) Pencarian kebenaran dan keutamaan melalui filsafat,yakni melalui cara
berpikir kontemplatif (paradigm logis-abstrak). Melalui filsafat seseorang
bisa menemukan makna dari sesuatu yang abstrak atau makna yang ada
“dibelakang” objek yang konkret. Filsafat mengoptimalkan fungsi nalar
untuk menemukan makna yang tidak terjelaskan oleh ilmu pengetahuan.
Makna itu dapat menjadi rujukan (nilai) seseorang jika benar-benar
diyakininya atau dirumuskan ke dalam klausal-klausal normatif.
2) Nilai diperoleh melalui paradigma berpikir logis-empiris. Paradigma ini
merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang selalu memerlukan bukti-bukti
yang nyata dalam menguji kebenaran dan keutamaan sesuatu. Nilai yang
diperoleh melalui jalan ini banyak mengungkapkan kebenaran teoretik karena
ditempuh melalui cara berpikir ilmiah. Nilai-nilai keutamaan ini banyak kita
temukan dalam cabang disiplin ilmu agama, ilmu social, dan humaniora.[10]
3) Nilai diperoleh melalui hati dan fungsi rasa, cara ini tidak lagi menyertakan
pertimbangan logis (filsafat) atau logis –empiris (ilmu pengetahuan). Karena
nilai atau pengetahuan dengan cara ini masuk melalui “pintu” intuisidan
bersarang dalam keyakinan hati. Nilai-nilai yang berkaitan dengan hal-hal
ghaib yang tidak dapat terjangkau melalui cara berpikir kontemplatif (filsafat)
dan cara berpikir ilmiah dapat diketahui melalui ketajaman mata hati. Model
perolehan nilai ini dilakukan dengan cara pengembangan bathin pada wilayah
supra-logis. Sifat pengetahuan nilai pada wilayah ini tidak memenuhi
kecukupan pengetahuan (sufficient-rationalis) untuk dipahami secara filosofis
maupun ilmiah. Keberadaannya hanya dapat diterima oleh rasa. Pengakuan
kebenaran hanya bisa diberikan oleh orang yang pernah mengalami fenomena
keagamaan serupa.
Pada sub bab diatas sudah dijelaskan defenisi nilai, yaitu suatu konsep yang
berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam
83
dunia yang empiris dan mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh
karena itu nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukam atau
kriteria seseorang tentang baik-tidak baik dan sebagainya.Pendidikan nilai adalah
penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Mardiatmaja
mengemukakan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar
menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral
dalam keseluruhan hidupnya. Dengan demikian pendidikan nilai tidak hanya
merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran,
tetapi mencakup pula keseluruhan proses pendidikan. Konsep utama pendidikan
nilai adalah bagaimana orang dapat hidup dengan nilai-nilai kebaikan dan
kebajikan dengan pengakuan yang sadar baik secara kognitif, emosional dan
perilaku.
Pendidikan nilai merupakan usaha khusus, tetapi juga tetapi juga dapat
disebut sebagai dimensi dalam keseluruhan usaha pendidikan. Pendidikan
semacam ini semakin penting karena kesadaran nilai oleh masyarakat semakin
tinggi. Ada tiga hal yang menjadi sasaran pendidikan nilai, yaitu:
1. Membantu peserta didik untuk menyadari makna nilai dalam hidup manusia.
2. Membantu pendalaman dan pengembangan pemahaman serta pengalaman
nilai.
3. Membantu peserta didik untuk mengambil sikap terhdap aneka nilai dalam
perjumpaan dengan sesame, agar dapat mengarahkan hidupnya bersama
orang lain secara bertanggung jawab .
Uraian diatas memberikan pemahaman bahwa pentingnya pendidikan nilai,
jika dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari (dimanapun, kapanpun dan kepada
siapapun). Nilai tidaklah datang secara otomatis kepada diri manusia, akan tetapi
nilai itu dapat diraih melalui dengan pendidikan. Begitu juga, jika dikaitkan
dengan pendidikan karakter haruslah dilakukan melalaui pendidikan nilai atau
kebajikan yang menjadi dasar karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut
suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Tegasnya, Pendidikan nilai ini
merupakan proses yang diberikan kepada peserta didik yang materinya tentang
nilai, aturan-aturan yabg disepakati dalam masyarakat tertentu sebagai sesuatu
nilai. Selanjutnya, setelah memiliki ilmu yang matang tentang nilai dan siap
mengembangkannya dibawah prinsip-prinsip nilai atau aturan tersebut dalam
kehidupan mereka.
84
B. PENGERTIAN PENDIDIKAN
Pendidikan secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “Paedogogike”, yang
terdiri atas kata “Pais” yang berarti Anak” dan kata “Ago” yang berarti “Aku
membimbing”. paedogogike berarti aku membimbing anak Hadi (dalam Amalia, 2010).
Purwanto (dalam Amalia, 2010) juga menyatakan bahwa pendidikan berarti segala usaha
orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan
jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Hakikat pendidikan bertujuan untuk
mendewasakan anak didik, maka seorang pendidik haruslah orang yang dewasa, karena
tidak mungkin dapat mendewasakan anak didik jika pendidiknya sendiri belum dewasa.
Adler (dalam Amalia, 2010) mengartikan pendidikan sebagai proses dimana seluruh
kemampuan manusia dipengaruhi oleh pembiasaan yang baik untuk untuk membantu
orang lain dan dirinya sendiri mencapai kebiasaan yang baik. Berdasarkan dari beberapa
pendapat di atas dapat dirumuskan bahwa nilai pendidikan merupakan batasan segala
sesuatu yang mendidik ke arah kedewasaan, bersifat baik maupun buruk sehingga
berguna bagi kehidupannya yang diperoleh melalui proses pendidikan. Proses pendidikan
bukan berarti hanya dapat dilakukan dalam satu tempat dan suatu waktu. Dihubungkan
dengan eksistensi dan kehidupan manusia, nilai-nilai pendidikan diarahkan pada
pembentukan pribadi manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius, dan berbudaya.
Pendidikan mempunyai beberapa pengertian sesuai dengan sudut pandang
seseorang, sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia No 20
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Bab I pasal I dinyatakan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menwujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.
Disisi lain, Ki Hadjar Dewantara mendefenisikan pendidikan sebagaimana yang
dikutip oleh Abu Ahmadi dan Nur Ukhbiyati adalah sebagai tuntutan segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak agar mereka kelak menjadi manusia dan anggota masyarakat
yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.Selain
pendapat diatas, Ali Syariati mendefenisikan masyarakat sebagai kumpulan orang yang
semua individunya sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing membentu agar
bergerak ke arah tujuan yang diharapkan atas dasar kepemimpinan yang sama.
85
Nilai pendidikan sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang
lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara
mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk
dalam nilai sosial. Dalam masyarakatIndonesiayang sangat beraneka ragam
coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga
keseimbangan masyarakat. Sejalan dengan tersebut nilai sosial dapat diartikan
sebagai landasan bagi masyarakat untuk merumuskan apa yang benar dan penting,
memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk mendorong dan
mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang berlaku.
Uzey (2009) juga berpendapat bahwa nilai pendidikan sosial mengacu pada
pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk mengambil keputusan
apakah sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran, keindahan, dan nilai
ketuhanan. Jadi nilai pendidikan sosial dapat disimpulkan sebagai kumpulan sikap
dan perasaan yang diwujudkan melalui perilaku yang mempengaruhi perilaku
seseorang yang memiliki nilai tersebut. Nilai pendidikan sosial juga merupakan
sikap-sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat dan merupakan
dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting.
4. Nilai Pendidikan Budaya
Nilai-nilai budaya menurut merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga
oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum tentu dipandang baik
pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi
dan memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaannya. Nilai
budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar dalam
alam pikiran masyarakat, dan sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu
singkat. (Rosyadi, dalam Amalia, 2010).
Uzey (2009) berpendapat mengenai pemahaman tentang nilai budaya dalam
kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu
akan bersifat intersubyektif karena ditumbuh-kembangkan secara individual, namun
dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat hingga menjadi
latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan.
Sistem nilai budaya merupakan inti kebudayaan, sebagai intinya ia akan
mempengaruhi dan menata elemen-elemen yang berada pada struktur permukaan
dari kehidupan manusia yang meliputi perilaku sebagai kesatuan gejala dan benda-
benda sebagai kesatuan material. Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi
yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal
89
yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sisitem nilai
budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sistem nilai pendidikan
budaya merupakan nilai yang menempati posisi sentral dan penting dalam kerangka
suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak dan hanya dapat diungkapkan atau
dinyatakan melalui pengamatan pada gejala-gejala yang lebih nyata seperti tingkah
laku dan benda-benda material sebagai hasil dari penuangan konsep-konsep nilai
melalui tindakan berpola.
90
BAB VIII
TEORI – TEORI
PENGEMBANGAN SUMBER
DAYA MANUSIA
U
ntuk mendapatkan sumber daya manusia yang
berkualitas tinggi, ada suatu jalan pemecahan yang harus
ditempuh, yakni melalui pendidikan dan pelatihan.
Pendidikan dan pelatihanlah yang akan meningkatkan kemauan,
kemampuan, dan kesempatan bagi seseorang untuk berperan dalam
kehidupannya, secara individu maupun masyarakat .
BAB VIII
Dalam peradaban manusia modern dikenal adanya tiga macam sumber daya, yaitu
sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya teknologi. Dari kesemua sumber
tersebut sangat besar pengarunya dalam kehidupan, apalagi yang berkaitan dengan
sumber daya manusia. Karena begitu pentingnya sumber daya manusia, maka sudah
seharusnya kita untuk mengetahui bagaimana pengembangannya, terutama pembahasan
disini adalah pengembangan sumber daya manusia dalam teori-teori aliran filsafat.
Pengembangan sumber daya manusia berkaitan erat dengan kuantitas dan kualitas
pengetahuan yang dimiliki. Keadaan ini menjadi sangat penting karena dari
pengetahuanlah manusia mempunyai dasar untuk bertindak, dan dari pengetahuanlah
manusia bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Pengembangan sumber daya manusia
terkadang terhambat oleh pemikiran epistimologi tertentu yang sering dikaitkan dengan
pemahaman ajaran agama yang dikotomistik. Orang bisa menjadi meningkat pengetahuan
dengan cara memisahkan ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu pengetahuan alam (sains).
Agama tidak memiliki otoritas dalam sains. Akibatnya pengembangan SDM menjadi
bernuansa sekuler. SDM timpang dalam penguasaan pengetahuan dengan lepasnya aspek
keagamaan.
93
kepercayaan diri yang kuat, sehingga ada gairah untuk mewujudkan suatu
tujuan (peningkatan produktivitas dan kemampuan diri).
Sejalan dengan tujuan yang sangat mulia tersebut, maka disusunlah sistem
pendidikan yang ideal dan sejalan dengan tujuan pendidikan dan pengembangan sumber
daya manusia sebagai pendukung utama lahirnya nilai-nilai budaya dan sosial untuk
meningkatkan kemajuan peradaban yang dimilikinya. Agar tetap terjaga dengan baik
sistem pendidikan tersebut tentu diperlukan landasan filosofis pendidikan.
Sedangkan tujuan pendidikan nasional indonesia adalah membentuk manusia-
manusia yang berkepribadian uhur, jujur, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif,
terampil, disiplin, beretos kerja, professional, bertanggung jawab, produktif, serta sehat
jasmani dan rohani. Sedangkan tujuan pendidikan secara individu adalah diharapkan
peserta didik dapat memiliki kepribadian yang tergambar dalam tujuan pendidikan
nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Karakteristik ini sekaligus merupakan
aspek yang menjadi muatan alamiyah pengembangan kualitas sumber daya manusia
disegala bidang yang berlandaskan pada falsafah pedidikan yang dibangun dari filsafat
dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
konsep manusia yang mempunyai daya fikir yang disebut akal (rasio) dan daya rasa
yang disebut kalbu (intuisi). Akal dikembangkan melalui pendidikan sains dan daya
rasa melalui pendidikan agama. Idealnya dalam sistem pendidikan Islam, pendidikan
agama mempunyai posisi yang sama pentingnya dengan pendidikan sains.
Keduanya, secara filosofis merupakan bagian yang esensial dan integral dari
sistem pendidikan Islam. Pendidikan adalah pengubahan sikap anak didik.
Pendidikan sikap anak didik pada dasarnya adalah pendidikan pendidikan nilai.
Sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Sikap senang atau benci, simpati
atau antipati seseorang terhadap objek yang dihadapinya, akan sangat dipengaruhi
oleh tingkat pemahamannya (aspek kognitif) terhadap objek tersebut. Justru itu,
tingkat penalaran (kognitif) terhadap sesuatu objek dan kemampuan untuk bertindak
terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap objek yang
bersangkutan, misalnya, seseorang dapat memberikan eksplanasi (penjelasan) dari
berbagai sudut bahwa mengkonsumsi narkoba dan melakukan tindak korupsi itu
tidak baik dan dilarang oleh norma apapun (aspek kognitif). Berdasarkan
pengetahuannya itu, ia tidak suka melakukannya (aspek afektif). Akan tetapi, sikap
negative terhadap perbuatan mengkomsumsi narkoba dan melakukan tindak korupsi,
baru dapat dilihat dari tindakan nyata bahwa walaupun ada kesempatan untuk
melakukan hal tersebut, ia tidak akan melakukannya. Dan penilaian terhadap sikap
negatif terhadap sikap itu lebih meyakinkan bahwa perbuatan jahat itu memang tidak
pernah ia lakukan, walaupun banyak kesempatan untuk melakukan itu.
6. Teori Realisme
Pada hakikatnya kelahiran realism sebagai suatu aliran dalam filsafat merupakan
sintesis antara filsafat idealism Immanuel Kant di satu sisi, dan empirisme John Lock
di sisi lainnya. Realisme ini kadang kala disebut juga neo realism. John Lock
memandang bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat metafisik dan universal. Ia
berkeyakinan ahwa sesuatu dikatakan benar jika didasarkan pada pengalaman-
pengalaman indrawi. John Lock menyangkal kebenaran akal, sedangkan menurut
idealism Immanuel Kant, realism termasuk salah satu aliran klasik yang selalu
disandarkan pada nama besar Aristoteles yang memandang dunia dalam terma
material. Segala sesuatu yang ada di hadapan kita adalah suatu riil yang terpisah dari
pikiran manusia, namun ia dapat memunculkan pikiran dengan melalui upaya
selektif terhadap berbagai pengalaman dan melalui pendayaan fungsi akal. Jadi,
realitas yang ada adalah dalam wujud natural, sehingga dapat dikatakan bahwa
segala sesuatu dapat digerakkan dari alam.
100
Tokoh aliran pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh pragmatism barat
yaitu John Dewey. Bila filsafat pendidikan islam berkiblat pada pandangan
pragmatism John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala
sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang diluar jangkauan panca indera.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun diatas, maka ide pokok pemikiran aliran
pragmatism antara lain:
a. Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses belajar
b. Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan, dan
c. Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.
8. Teori Menurut Islam
Strategi pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW meliputi:
a. Merencanakan dan menarik sumber daya manusia yang berkualitas,
b. Mengembangan sumber daya manusia agar berkualitas,
c. Menilai kinerja sumber daya manusia,
d. Memberikan motivasi,
e. Memelihara sumber daya yang berkualitas.
Sejalan dengan langkah yang diambil Nabi Muhammad tersebut, Mujami
Qomar mengungkapkan bahwa manajemen sumber daya manusia mencakup
tujuh komponen, yaitu:
1) Perencanaan pegawai,
2) Pengadaan pegawai,
3) Pembinaan dan pengembangan pegawai,
4) Promosi dan mutasi,
5) Pemberhentiaan pegawai,
6) Kompensasi.
7) Penilaian pegawai.
Dalam upaya membangun sumber daya manusia yang Qur’aini dan unggul,
diperlukan adanya aktulisasi nilai-nilai Al-Qur’an, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Said Agil Husin al-Munawar bahwa secara normative, proses
aktulisasi nilai-nilai Al-Qur’an dalam pendidikan meliputi tiga dimensi atau aspek
kehidupan yang harus dibina dan aspek kehidupan yang harus dikembangkan oleh
pendidikan, yaitu:
a. Dimensi Spiritual, yakni iman, takwa, dan akhlak yang mulia.
102
BAB IX
PENDIDIKAN FORMAL,
INFORMAL, DAN NONFORMAL
P
endidikan ialah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang
dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan
rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat”.
104
BAB IX
A. PENGERTIAN PENDIDIKAN
Pendidikan adalah usaha manusia dalam meningkatkan pengetahuan tentang
alam sekitarnya. Pendidikan diawali dengan proses belajar untuk mengetahui suatu hal
kemudian mengolah informasi tersebut untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-
hari. Pendidikan memegang peranan penting, menurut baharuddin salam (2002:14)
mengemukakan bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan
utama secara wajar melalui media permainan.
Peranan lingkungan sangat berpengaruh terhadap kemajuan dan prestasi
pendidikan. Hal ini dikarenakan setiap individu yang terlibat dalam proses pendidikan
saling berinteraksi menjadi satu kesatuan dengan lingkungannya. Lingkungan
pendidikan sendiri dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu :
1. Pendidikan Formal
105
2. Pendidikan Informal
3. Pendidikan Non Formal
Pendidikan Informal, Formal, dan Nonformal 1) Lingkungan In Formal
(Keluarga) Lingkungan nonforml (keluarga) Adalah lingkungan atau tempat
berkumpulnya individu satu dengan individu lainnya dalam satu keluarga. Keluarga
merupakan pengelompokan primer yang terdiri dari sejumlah kecil orang karena
hubungan semenda dan sedarah.2) (Sekolah) Lingkungan formal (sekolah) Adalah
lingkungan tempat berkumpulnya individu satu dengan individu lain di sebuah tempat
belajar/sekolah.3)Lingkungan nonformal (masyarakat) Adalah lingkungan atau tempat
berkumpulnya individu satu dengan individu lainnya dalam satu lingkungan, baik dalam
lingkungan desa satu ataupun dengan desa lainnya.
Pendidikan dalam lingkungan keluarga memiliki peranan penting terhadap
perkembangan anak. Orang tua bertanggung jawab terhadap semua peningkatan dan
kemajuan pendidikan anak-anaknya. Begitu juga dengan lingkungan sekolah, disana
para guru bertanggung jawab terhadap kemajuan prestasi anak didiknya. Selain
lingkungan keluarga dan sekolah, lingkungan masyarakat juga sangat berperan penting
dalam peningkatan prestasi anak didik yaitu dengan peran sertanya dalam pendidikan
luar sekolah.
Pendidikan merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap individu, baik
anak-anak, dewasa maupun orang tua. Ada istilah mengatakan “tidak ada kata terlambat
untuk belajar”. Betapa penting dan perlunya pendidikan itu bagi anak-anak. Dan
jelaslah pula mengapa anak-anak itu harus mendapat pendidikan. “Pendidikan ialah
segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan”.
“Pendidikan ialah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada
anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri
dan bagi masyarakat”.
1. Lingkungan Pendidikan Formal
a. Pengertian Lingkungan Pendidikan Formal
Lingkungan pendidikan formal menurut Dinn Wahyudin (2007 : 3.9)
adalah suatu satuan (unit) sosial atau lembaga sosial yang secara sengaja
dibangun dengan kekhususan tugasnya untuk melaksanakan proses pendidikan.
Dalam Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Bab I
Pasal 11 dijelaskan bahwasannya pendidikan formal adalah jalur pendidikan
106
yang terstuktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.
Secara umum, pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis,
berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan
perguruan tinggi dan yang setaraf denganya termasuk ke dalamnya ialah
kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan
latihan profesional, yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus. Dan
pendidikan formal juga merupakan lembaga pendidikan yang ditempuh melalui
jalur institusi yang sudah ditentuhkan dan ditetapkan,serta diatur oleh
sekelompok orang yang berwenang yang dalam hal ini pemerintah atau sebuah
yayasan.
Sedangkan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan formal antara
lain:
1) Taman Kanak-kanak (TK)
2) Raudatul Athfal (RA)
3) Sekolah Dasar (SD)
4) Madrasah Ibtidaiyah (MI)
5) Sekolah Menengah Pertama (SMP)
6) Madrasah Tsanawiyah (MTs)
7) Sekolah Menengah Atas (SMA)
8) Madrasah Aliyah (MA)
9) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Dan Perguruan Tinggi, meliputi; Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi,
Institut, dan Universitas.
lingkungan masyarakat. Pelajaran di sekolah baik yang pelajaran teori maupun praktek
akan sangat bermanfaat bagi perkembangan individu di dalam lingkungan non formal
dan informal.
Dalam pergaulannya di masyarakat, individu harus mempunyai etika dan sopan
santun. Untuk mendapatkan pembelajaran sopan santun dan etika ini dimulai dari
pendidikan nonformal dalam keluarga. Di dalam keluarga individu dididik untuk
menjadi seorang anak yang baik, yang tahu sopan santun dan etika serta mempunyai
moral sifat yang terpuji. Selain dari keluarga pendidikan etika dan moral ini diperoleh
juga dari pendidikan formal di sekolah dan pendidikan informal di masyarakat.[4]
Ketiga lingkungan pendidikan baik Formal, Non Formal dan Informal sangat
berpengaruh besar terhadap perkembangan dan keberhasilan pendidikan seorang
individu. Dari mulai lahir seorang anak akan didik dalam lingkungan keluarga (non
formal) dari yang tidak mengerti menjadi mengerti dan seterusnya hingga mereka dapat
mengerti benar tentang bagaimana cara hidup yang baik, berprilaku dan bersopan
santun. Selanjutnya seorang individu akan memasuki pendidikan Formal setelah
mengalami penggembelengan dalam lingkungan pendidikan keluarga.
Dalam lingkungan pendidikan formal ini seorang individu akan diajarkan
banyak sekali pengetahuan yang belum pernah ia miliki, dari pengetahuan pribadi,
sosial, keagamaan sampai ke pengetahuan yang berasal dari luar kebudayaannya. Di sini
seorang individu akan mendapat pengakuan dan legalitas dengan didapatkannya surat
tanda tamat belajar setelah ia berhasil melewati proses pembelajaran dengan kurun
waktu tertentu. Lingkungan pendidikan yang ketiga yang tidak kalah penting dan
menjadi penentu berhasil tidaknya pendidikan pada lingkungan pendidikan non formal
dan formal adalah pendidikan informal (pendidikan masyarakat).
Di sini mereka akan bergaul langsung dengan masyarakat yang mempunyai beraneka
ragam sifat dan kepribadian. Mereka dituntut untuk bisa mengaplikasikan hasil dari
pendidikan keluarga dan sekolah. Di dalam lingkungan pendidikan informal seorang
individu akan diberikan pembelajaran mengenai bagaimana menentukan sikap,
bermusyawarah dan sebagainya.
Dari uraian di atas jelas pembelajaran yang didapatkan dari seorang individu
tidak hanya berasal dari satu lingkungan pendidikan saja, melainkan dari ketiga
lingkungan pendidikan sehingga antara yang satu dengan yang lain saling
menyempurnakan dan akhirnya akan menghasilkan didikan yang ideal atau dalam
istilah lain akan dihasilkan seorang insan kamil (manusia yang sempurna yang berguna
bagi bangsa dan agama).
113
BAB X
ALIRAN ALIRAN FILSAFAT
PENDIDIKAN
116
F
ilsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang
masanya dalam suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan
pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya.
Demikian juga pada filsafat pendidikan. Ada beberapa aliran filsafat yang
digunakan dalam dunia pendidikan.
BAB X
ALIRAN ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
utamanya. Demikian juga pada filsafat pendidikan. Ada beberapa aliran filsafat yang
digunakan dalam dunia pendidikan.
Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat yang berarti
bahwafilsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan &ara kerja filsafat dan akanmenggun
akan hasil-hasil kajian dari filsafat yaitu berupa hasil pemikiran manusiatentang realitas
pengetahuan dan nilai khususnya yang berkaitan dengan
praktek pelaksanaan pendidikan. alam filsafat pendidikan terdapat berbagai aliransesuai
dengan aliran yang terdapat dalam filsafat. Tinjauan filsafat dapat berwujud.
sebagai upaya penemuan kongruensi antara aliran-aliran filsafat pendidikan
dengan filsafat pancasila. Berikut ini akan diuaraikan berbagai aliran filsafat pendidikan ya
ng menjelaskan tentang pengkajian terhadap fenomena atau gejala dan eksistensi
manusia dalam pengembangan hidup dan kehidupannya dalam alam dan lingkungannya.
A. ALIRAN PROGRESSIVISME
Aliran Progressivisme adalah suatu aliran yang sangat berpengaruh di abad ke-20 ini.
Pengaruh ini sangat terasa sekalli khususnya di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan
dalam dunia pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran Progressivisme ini.
Biasanya aliran ini dihubungkan dengan pandangan hidup liberal –“The liberal road to
culture”. Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas
progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi
semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan
bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan
dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia.
Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas
eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan
dinamakan environmentalisme, Karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu
memengaruhi pembinaan kepribadiaan (Muhammad Noor Syam, 1987: 228-229)
Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan
saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak
didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna
mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat
oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain (Ali, 1990: 146). Oleh karena itu, filsafat
progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.
118
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya
berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat.
Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan pelestarian karakteristik atau kekhasan
lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat
melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat
memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau
kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan
dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991:
24).
E. ALIRAN ESENSIALISME
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai
kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.Esensialisme muncul
pada zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme. Dasar
pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus
120
berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu
dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, pada tarap permulaan seseorang
belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif.
Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala
pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsure apriori, yang tidak
didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah
mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan waktu sudah ada pada
budi manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi, apriori yang terarah
bukanlah budi pada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi
membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan pikir
tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai substansi spiritual yang membina dan
menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna, 1983: 120-121).
Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan filosof, menerangkan tentang hakikat
sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rohani yang pasif, hal
ini berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja Yng telah ditentukan dan
diatur oleh alam social. Jadi, belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-
sungguh nilai-nilai social angkatan baru yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan
diteruskan pada angkatan berikutnya.
Selain itu juga di warnai dengan pandangan-pandangan dari paham penganut aliran
idealisme dan realisme. Imam Bernadib (1981), menyebutkan beberapa tokoh utama yang
berperan dalam penyebaran aliran esensialisme, yaitu:
1. Desiderius Erasmus, humananis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan
permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup
yang berpijak pada dunia lain.
2. Johann Amos Comenius yang hidup diseputar tahun 1592-1670, adalah seorang yang
memiliki pandangan realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan
mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena pada
hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.
3. Johann Friederich Herbert yang hidup pada tahun 1776-1841, sebagais alah seorang
murid Immanuel Kant yang berpendapat dengan kritis, herbert berpendapat bahwa
tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang
Mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan dan inilah yang
121
disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert sebagai ‘pengajaran yang
mendidik’.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan
hakikat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang
mampu menggerakan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme
merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan,
kebenaran dan kegunaan. Dalam sejarah perkembangannya,kurikulum esensialisme
menerapkan berbagai pola idealisme dan realisme.
Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme objektif. Realisme
objektif mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam dan tempat manusia di
dalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat dari fisika
dan ilmu ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisika dapat
dipahami berdasarkan tata nilai yang khusus.
F. ALIRAN PERENNIALISME
Perennialisme diambil dari kata perennial, yang artinya kekal dan abadi, dari makna
yang terkandung dalam kata itu’ aliran Perennialisme mengandung kepercayaan filsafat
yang berpegang teguh pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan sekarang kepada masa lampau. Perenialisme memberikan
sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan
zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Dari pendapat ini diketahui bahwa
perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi seorang
untuk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari
dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat,
khususnya filsafat pendidikan.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi, karena
dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi, dengan
berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai
prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan
kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu
mengenal dan memahami factor-faktor dan problema yang perlu diselesaikan dan
berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya.
122
H. ALIRAN REKONTRUKSIONALISME
123
I. ALIRAN EKSISTENSIALISME
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger
(1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya
berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938).
124
Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan Nietzche. Kiergaard
Filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah
aku menjadi seorang individu)”.
Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan
individualitasnya). Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia
(aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan
komitmen pribadi dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan
filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia
unggul”. Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensi
dan pengalaman manusia dengan metedologi fenomenologi, atau cara manusia berada.
Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat
materialisme bahwa manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia
adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi Subjek. Pandangan manusia menurut idealisme
adalah manusia hanya sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran.
Eksistensialisme berkayakinan bahwa paparan manusia harus berpangkalkan eksistensi,
sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang kongkrit.
Eksistensialisme bisa dialamatkan sebagai saanlah satu reaksi dari sebagian terbesar
reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua.
Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat
yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup
asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian Eksistensialisme adalah suatu
penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah.
Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional. Dengan demikian aliran
ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan siuasi sejarah
yang dialami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif.
Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari
dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Atas dasar pandangan itu, sikap dikalangan kaum Eksistensialisme atau penganut
aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk
freedom to, adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan
perbuatannya.Pandangannya tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve
Morries dalam Existentialism dan Education, bahwa ” Eksistensialisme tidak
125
menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk” oleh sebab itu
Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk –bentuk pendidikan sebagaimana yang
ada sekarang.
J. ALIRAN IDEALISME
Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates. Aliran
idealisme merupakan su atu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya,
cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara
gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera.
Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran
ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu
tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak
dikategorikan idea.
Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli
hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme adalah
gambaran dari dunia idea, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud
dengan idea adalah hakikat murni dan asli. Keberadaannya sangat absolut dan
kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh material. Pada
kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia yang tidak berbentuk demikian jiwa
bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang dikatakan dunia idea.
Plato yang memiliki filsafat beraliran idealisme yang realistis mengemukakan
bahwa jalan untuk membentuk masyarakat menjadi stabil adalah menentukan
kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan setiap kelas menurut kapasitas masin-
masing dalam masyarakat sebagai keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan
kebijaksanaan yang cukup dapat menduduki posisi yang tinggi, selanjutnya berurutan ke
bawah. Misalnya, dari atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai
kepada pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang
telah bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan sifat
superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan cara hidup
menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang terkenal dengan istilah ide,
Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi
adalah kebaikan. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi
pengalaman. Siapa saja yang telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti,
126
Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma
lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia.
Roh itu pada dasarnya dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau
materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha
menerangkan secara alami pikiran yang keadaannya secara metafisis yang baru berupa
gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang
mutlak dan murni pada kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi individu
dengan individu lainnya.
Oleh karena itu, adanya hubungan rohani yang akhirnya membentuk
kebudayaan dan peradaban baru (Bakry, 1992:56). Maka apabila kita menganalisa
pelbagai macam pendapat tentang isi aliran idealisme, yang pada dasarnya
membicarakan tentang alam pikiran rohani yang berupa angan-angan untuk
127
K. ALIRAN RASIONALISME
Aliran ini berpendapat bahwa semua pengetahuan bersumber pada pikiran atau
rasio. Tokohnya antara lain Rene Descartes (1959-1650). Ahli filsafat yang mengatakan
pengetahuan yang benar bersumber dari rasio, karena rasio adalah realitas
sesungguhnya. Hal ini yang termuat dalam bukunya yang terkenal adalah Discourse on
method yang memberi petunjuk mencari kebenaran antara lain memuat:
1. Arahan atau petunjuk untuk berpikir sebagai berikut:
a. Jangan mengakui sesuatu sebagai benar sebelum jelas buktinya. Kita harus
meraguragukan sesuatu, kecuali kalau sesuatu tersebut tidak mungkin diragukan.
Cara berpikir seperti ini disebutkan dengan metode keragu-raguan universal.
b. Bagilah setiap permasalahan menjadi beberapa bagian yang mungkin c)
Susunlah satu pemikiran mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks d)
Buatlah perincian (anumerasi) yang lengkap dan tinjaulah sekompherensif
mungkin sehingga tidak ada hal penting yang terlewatkan.
e. Berpikir yang bertitik tolak dari keberadaan diri ini akan sampai pada pembuktian
adanya Tuhan.
L. ALIRAN NATURALISME
Aliran Naturalisme adalah mazhab filsafat paling tua dalam sejah pemikiran di
Eropa. Tampaknya aliran ini dirintis oleh Thales dan kawan-kawan. Thales termasuk
tokoh yang berani berpikir rasional, melepaskan diri dari takhyul. Dari pengamatan
dunia di awal abad keenam sekitar perairan dan pentingnya air bagi kehidupan beliau
berkesimpulan bahwa hakekat segala sesuatu tidak tersembunyi melainkan melekat
pada dunia kenyataan, yaitu pastilah air.
Aliran ini dipelopori oleh Leukipos dan Demokritos (awal abad ke-5/ sezaman
dengan Socrates) yang berkesimpulan bahwa kenyataan alam semesta terbuat dari dua
unsur, yaitu ruang kosong dan atom-atom yang bergerak. Keduanya bersama Epikurus
(hidup 11/2 abad kemudian) dan Lukretius (pada abad ke-1 SM) dipandang sebagai
perintis dan ahli-ahli filsafat alam (natural philosophy) di zaman Yunani kuno.
Aliran ini menjadi pudar pengaruhnya selama masa kejayaan Plato dan Aristoteles
disusul semaraknya pengaruh agama Nasrani dan dunia Islam yang lebih kondusif
terhadap pemikiran Aristoteles. (Sampai sekarang juga tak cukup akurat kita dalam
berpikir untuk menerangkan terbitnya kesadaran idealis, moralitas dan nilai-nilai
spritual atas dasar zat (materi) yang bergerak Jadi pandangan
filsafat materialisme kurang memadai untuk melandasi pendidikan sekalipun dalam
bentuk ”behaviorisme” cukup relevan untuk menerangkan gejala proses
belajar/perubahan perilaku).
130
M. ALIRAN PRAGMATISME
Pragmatisme adalah aliran yang menjadi besar pengaruhnya khususnya di USA
dengan ahli-ahlinya berasal dari sana dan pada abad ke-20 sampai menyaingi idealisme
dan realisme. Sesungguhnya landasan berpikir pragmatik dirintis sejak zaman pra-
Socrates di Yunani oleh Herakleitos, dan Protagoras (sejaman dengan Socrates).
Kebiasaan rata-rata warga USA yang kurang bersimpati pada teori yang murni
membawa tokoh realisme abad ke-19 seperti Charles Peirce dan William James
cenderung menyelidiki terjadinya proses pengetahuan dan bagaimana hubungan antara
teori dan praktek (tindakan/action).
Menurut pragmatisme manusia mampu mencapai bentuk ide (pikiran) yang jelas
dan efektif khususnya apabila akibat-akibat dari penggunaan statu ide itu langsung
dialami ketika terdapat desempatan untuk mencobakan baik tidaknya ide itu di dalam
praktek keseharian. Justru uji kebenaran dari suatu ide terletak pada kegunaan langsung
dalam pratek (The truth is in the making) dan tidak pada teori secara spekulatif.
John Dewey di awal abad 20 berhasil merumuskan proses berpikir secara praktis
(berciri reflektif) dengan mengidentifikasi lima tahapannya, sampai menghasilkan karya
klasiknya Democracy and Education (1916) dan mempromosikan aliran pragmatismo
sebagai filsafat hidup yang tidak intelektualistik sifatnya. Dengan menjadikan
pragmatisme sebagai filsafat hidup, tujuan pendidikan ialah agar terwujud pertumbuhan
dan perkembangan pada semua orang, khususnya dengan jalan belajar melalui
pengalaman keseharian memecahkan masalah.
Dalam bidang pendidikan, aliran pragmatisme terfokus pada penerapan metode berpikir
reflektif secara mendasar ke dalam kurikulum dan metode mengajar. Seorang guru dari
mazhab pragmatik akan menyajikan bahan ajar pelajaran sejarah khususnya sebagai
rekaman ragam pengalaman manusia dalam mengukur dan mempertimbangkan
pengetahuan dan nilai berdasarkan pemahaman tentang kenyataan yang aktual (bukan
kenyataan sejati yang tak terjangkau akal.
131
BAB XI
HUBUNGAN SEKOLAH DAN
MASYARAKAT
K
egiatan Berhubungan dengan masyarakat atau sering di sebut
Humas, pada hakikatnya adalah suatu kegiatan yang pasti
dilakukan setiap lembaga, baik lembaga kedinasan, lembaga
swasta, lembaga sosial, maupun lembaga ekonomi komersial. Hal itu terjadi
karena dalam kehidupan ini manusia selain makhluk individu juga sebagai
makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat. Jadi, dimana pun manusia
berada , ia selalu berhubungan dengan masyarakat., baik masyarakat sekitar
maupun masyarakat luas. Hubungan dengan masyarakat dilakukan dengan
tujuan memperoleh keuntungan dan kemudahan bagi kedua pihak. Oleh
karena itu, apabila kegiatan humas dilaksanakan dengan baik, pasti
menghasilkan suatu kerja sama (Partnership) yang baik bagi keduannya .
BAB XI
HUBUNGAN SEKOLAH DAN MASYARAKAT
karena itu segala bentuk dan tujuan sekolah kesemuanya harus diarahkan kepada
pembentukan corak pribadi dan kemampuan warga masyarakat sebagaimana
menjadi target atau sasaran pendidikan di masyarakat yang bersangkutan.
2. Orang tua Murid
Hubungan sekolah dengan orang tua murid hendaknya dibawa ke dalam
hubungan yang konstruktif dengan program di sekolah. Orang tua tidak dapat
terlepas sama sekali dari hubungannya dengan sekolah. Oleh karena itu hubungan
antara keduanya hendaklah dibimbing lebih simpatik, dan ini adalah merupakan
tugas kepala sekolah.
3. Murid dan Guru
Murid merupakan unsur sekolah yang sangat penting, begitu juga guru. Tanpa
adanya murid, sekolah tidak akan ada. Dia berasal dari lingkungan masyarakat
yaitu keluarga yang memperoleh ilmu pengetahuan, dan pendidikan dari
persekolahan dengan perantaraan guru.
tahunan itu. Isi laporan tahunan tersebut antara lain mencakup kegiatan yang telah
dilakukan, kurikulum, personalia, anggaran dan situasi dan kondisi murid.
12. Pemberdayaan Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Seperti telah diuraikan pada fungsi masyarakat terhadap sekolah, maka berikut
ini akan memperjelas pemahaman tentang sumber-sumber yang dapat digali dari
pihak masyarakat, antara lain:
a. Sumber Manusiawi
Orang-orang terkemuka/berpengaruh, cendikiawan, para ahli dengan
keterampilan tertentu, orang dermawan dan sosiawan, dan sebaginya yang
dapat memberikan bantuan/partisipasinya dalam proses pendidikan di
sekolah.
b. Sumber Sosial
Berupa kelompok, organisasi, baik formal maupun informal dengan
berbagai norma, peraturan kebiasaan-kebiasaan yang turut mempengaruhi
proses pendidikan di sekolah.
c. Sumber Kebudayaan dan Agama
Dengan berbagai nilai hidup dan kehidupan, tradisi, ajaran, serta
kebudayaan dan kesenian yang turut membina dan memperkaya pendidikan
di sekolah.
d. Sumber Lingkungan Fisik
Keadaan alam dengan segala kekayaannya yang dapat dimanfaatkan dalam
pendidikan di sekolah.
e. Sumber Materi Keuangan
Yang datangnya secara formal dari pemerintah dan secara informal dari
pihak- pihak lain dalam masyarakat.
Hal-hal yang perlu diteliti untuk diketahui, ialah yang secara langsung atau tidak
langsung dapat dimanfaatkan oleh sekolah untuk membina hubungan sekolah dengan
masyarakat, yaitu:
a. Karakteristik populasi: jumlah, kelamin, distribusi umur, jumlah dan batas-batas
umur-sekolah, pekerjaan, dan sebagainya.
b. Ekonomi: income, sumber-sumber penghasilan distribusi kekayaan,
jumlah/presentase penganggur/yang bekerja, dan sebagainya.
c. Organisasi-organisasi: formal, informal, organisasi sosial, organisasi keagamaan,
dan hubungan antara organisasi-organisasi.
d. Saluran-saluran komunikasi: saluran vertikal, horizontal baik formal maupun
informal.
e. Kepemimpinan yang memegang peranan dalam masyarakat: formal, informal,
perorangan atau lembaga.
f. Kegiatan-kegiatan masyarakat: terutama dalam bidang pendidikan.
g. Tenaga Kependidikan di masyarakat.
h. Untuk memperoleh informasi yang diperlukan dari sumber-sumber informasi di
atas dapat dilakukan dengan cara: interview, mengadakan angket/questionaire,
mempelajari dokumen/catatan, dan membentuk advisory commitees (Panitia
Penasehat) yang terdiri dari orang-orang di luar pendidikan.
Data hasil survey itu, setelah disusun dan dianalisa, akan cukup memberikan
keterangan mengenai masyarakat, sehingga lebih mudah untuk dihubungi dan
diajak berpartisipasi dalam usaha-usaha pendidikan di seklah yang dirasakan
semakin penting dalam membantu kemajuan dunia pendidikan modern dewasa ini.
142
BAB XII
FILSAFAT PENDIDIKAN
SEKOLAH DASAR
DAN PEMBANGUNAN
G
uru sekolah dasar sebagai operator pendidikan, memiliki tanggung
jawab dan peran yang besar dalam menentukan keberhasilan anak
untuk mendayagunakan semuapotensi yang dimilikinya dan menjadi
manusia yang seutuhnya. Di sinilah anak memperoleh berbagai bimbingan,
pengajaran dan latihan dasar untuk terus dikembangkan setelahnya.
Bagaimanapun, mendidik anak yang masih berada ditingkatan sekolah dasar
berbeda dengan mendidik anak yang sudah mencapai tingkatandi atasnya,
sehingga memberikan tantangan tersendiri bagi guru dalam menghadapianak-
anak didiknya.
143
BAB XII
FILSAFAT PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR
DAN PEMBANGUNAN
mendidik anak yang sudah mencapai tingkatandi atasnya, sehingga memberikan tantangan
tersendiri bagi guru dalam menghadapianak-anak didiknya.
Pada hakikatnya filsafat mengajarkan setiap orang untuk berpikir kritis dan
mendalam tentang sesuatu. Hasil dari pemikiran dan pemahaman tentang sesuatu
tersebut akan mengarahkan kepada pelakuknya untuk berperilaku dan bersikap sesuai
dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Menurut Mustadi (2015) Guru sebagai
pendidik harus menyediakan kegiatan yang relevan dan konteks yang sangat bermakna
bagi peserta didik.
Landasan filosofis pendidikan merupakan cabang dari filsafat yang mengkaji
tentang apa, bagaimana, dan mengapa pendidikan.
Seorang guru yang mempelajari dan memahami landasan filosofis pendidikan akan
melakukan berbagai upaya untuk keberhasilan proses pembelajaran yang ia lakukan.
Seorang guru yang memahami filosofis pendidikan akan memahami tujuan ia mendidik.
Sehingga, dengan seksama ia akan memikirkan bagaimana siswanya belajar, apa yang
harus dipelajari siswanya, bagaimana siswanya bisa terlibat secara aktif dalam proses
pembelajaran, bagaimana hasil belajar siswa bisa membangun sikap mereka, dan
sebagainya.
Menurut Sadulloh (2003) tujuan pendidikan merupakan gambaran dari filsafat atau
pandangan hidup manusia, baik secara perseorangan maupun kelompok. Tujuan
pendidikan itu sendiri menyangkut sistem nilai dan norma-norma dalam suatu konteks
kebudayaan, baik dalam mitos, kepercayaan dan religi, filsafat, idiologi, dan sebagainya.
Thelma Roberson (2000) menyatakan bahwa filosofis pendidikan bukan
mengarahkan kepada apa yang harus diakukan guru di kelas untuk pembelajaran, akan
tetapi lebih kepada mengapa mereka harus melakukannya dan bagaimana mereka
melakukannya. Sebagai contoh, seorang guru akan menerapkan teknik kooperatif dalam
pembelajaran. Lalu pertanyaan yang akan muncul melalui kajian filsafat, mengapa harus
menggunakan teknik kooperatif? Robertson pun menambahkan jika filosofis pendidikan
adalah apa yang kamu percayai tentang pendidikan dan cara bagaimana siswa belajar.
Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan isi
kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara pelaksanaannya hanya
apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan yang kokoh. Sebab itu,
146
1) Apakah alam semesta ini terjadi dengan sendirinya atau ada yang
menciptakannya?
2) Apakah alam semesta memiliki bentuk rasional? Apakah alam semesta
memiliki makna?
3) Apakah semua perilaku organisme, termasuk manusia telah ditentukan
(deterministik) atau memiliki kebebasan (indeterministik)?
4) Apakah yang dinamakan jiwa itu merupakan kenyataan dalam dirinya atau
hanyalah suatu bentuk materi dalam gerak?
5) Siapakah manusia? Darimana asalnya? Apa yang diharapkan dalam hidup
ini? Apa yang dituju manusia?
148
kenyataannya, setiap posisi yang berkenaan dengan apa yang harus diajarkan di sekolah
dibelakangnya memiliki suatu pandangan realitas tertentu, sejumlah respons tertentu
pada pertanyaan- pertanyaan metafisika.
Kemampuan memahami konsep-konsep pendidikan memberikan andil dalam
meningkatkan mutu/kualitas lulusan. Oleh karena itu, mutu hasil pendidikan erat
kaitannya dengan kualitas guru yang merupakan hasil lulusan dari LPTK. Mata rantai
tugas dan tangung jawab bersama antara instansi penghasil tenaga kependidikan atau
guru, khususnya UPI sebagai salah satu LPTK, memiliki kewajiban untuk terus
membina, mengembangkan, dan menginovasi sistem pendidikan tenaga kependidikan
yang akan disumbangkan kepada masyarakat.
Implikasi dari landasan aksiologis terhadap pendidikan, memberi wawasan
kepada pendidik/guru untuk dapat secara kreatif mencari makna dan nilai manfaat dari
ilmu, serta metode dan strategi belajar yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan
pembelajaran yang mendidik. Berkaitan dengan argument tersebut, Ilmu pendidikan
mempunyai nilai aksiologis bukan hanya pada tataran hasil pendidikan, tetapi tujuan
maupun prosesnya telah menggambarkan nilai-nilai yang akan dicapai, nilai-nilai
proses yang dilaluinya, serta hasil yang diharapkan.
Adapun cabang dari aksiolgi yang dikenal sebagai estetika berhubungan dengan
nilai-nilai yang berkaitan dengan keindahan dan seni. Sekalipun kita berharap bahwa
para guru musik, seni, drama, sastra, dan guru menulis secara teratur meminta para
siswa membuat penilaian- penilaian mengenai kualitas karya seni, kita dapat dengan
mudah mengabaikan peran yang harus dimainkan estetika di semua bidang kurikulum.
Harry Hroudy (Parkay, 1998) seorang filosof pendidikan yang terkenal, mengatakan
bahwa seni itu penting, tidak "semata-mata indah". Melalui peningkatan persepsi-
persepsi estetis para siswa dapat menentukan peningkatan makna dalam semua aspek
kehidupan. Estetika juga membantu guru meningkalkan keterkaitannya.
Pengajaran, karena dapat dipandang sebagai suatu bentuk ekspresi artistik, dapat
dinilai menurut standar-standar artistik dari keindahan dan kualitas (Parkay, 1984).
Berkenaan dengan ini, guru adalah seorang seniman dan secara terus mcnerus berusaha
meningkatkan kualitas kcrjanya.
Pengetahuan tentang etika dapat membantu guru memecahkan banyak dilema
yang muncul di kelas. Seringkali, para guru harus mengambil tindakan dalam situasi-
situasi di mana mereka tidak mampu mengumpulkan semua fakta relevan dan dimana
tidak ada arah tindakan yang tunggal yang secara total benar atau salah. Misalnya,
150
seorang siswa pada hasil pekerjaan sebelumnya berada di atas rata-rata, menjiplak suatu
tugas makalah.
Haruskah guru membatalkan siswa tersbut untuk mata pelajaran itu jika contoh
dari hukuman yang cepat dan tegas kemungkinan akan mencegah para siswa lain
melakukan penjiplakan/plagiatisme? Atau haruskah guru yang mengikuti dugaan
mengenai apa yang akan terjadi pada minal jangka panjang siswa, menyuruh siswa itu
mengerjakan kembali makalah itu dan mengambil risiko kemungkinan para siswa lain
melakukan gagasan yang salah tersebut sehingga plagiatisme tidak memiliki
konsekuensi negatif? Dilema etis lainnya:
Apakah seorang guru matematika dibenarkan dengan memisahkan dua gadis yang
mengganggu dan menempatkan salah seorangnya di suatu kelompok matematika
dibawah tingkatan kemampuannya dalam upaya meningkatkan prestasi kelas
keseluruhan.
Implikasi dari pembahasan metafisika, epistemologis dan aksiologis adalah
diperolehnya informasi tentang hakikat manusia (subyek didik), peranan perumusan
tujuan pendidikan, hakikat isi program pendidikan yang selayaknya diberikan kepada
anak didik, dan nilai-nilai yang akan dicapai sebagai hasil pendidikan yang diinginkan.
a. Kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis dukungan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
b. Hubungan kausalitas antara pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat
dan solid.
c. Pendidikan menjadi penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang
mendorong proses transformasi struktural berjangka panjang.
b. pendidikan dasar
c. pendidikan keaksaraan
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abd. Malik. 2009. Pendidikan Agama Islam. Makassar : Tim Dosen Penididika
n Agama Islam Universitas Negeri Makassar.
156