Anda di halaman 1dari 4

Kitab tentang Takut

Dalam bab ini akan diterangkan hakikat takut dan menerangkan tingkatan-tingkatan
takut dan menerangkan berbagai macam ketakutan dan menjelaskan keutamaan takut,
juga penjelasan pengutamaan atas takut dan harap, dan menerangkan tentang obat
takut dan penjelasan ma�na khusnul khatimah, dan penjelasan mengenai keadaan orang-
orang yang takut dari para Nabi SAW dan orang-orang shaleh rahmatuLlaahi �alaihim.
Maka kita minta kepada Allah sebaik-baik pertolongan.

HAKIKAT TAKUT

Ketahuilah sesungguhnya takut adalah ibarat dari kepiluan hati dan kebakaran hati
disebabkan oleh akan terjadinya sesuatu yang tidak disenangi pada masa yang akan
datang. Dan telah jelas yang demikian pada penjelasan hakikat raja� .

Barang siapa yang hatinya jinak kepada Allah dan hatinya memiliki kebenaran maka
jadilah ia anak zamannya yang menyaksikan ke elokan al-Haq secara terus menerus,
maka tiadalah ia akan menoleh kepada masa yang akan datang. Maka tidak terdapat
dalam dirinya suatu perasaan takut maupun harap, akan tetapi jadilah keadaannya di
atas khauf / takut dan raja�. Karena sesungguhnya keduanya (khuf dan raja�) adalah
kekang yang mencegah diri dari keluar kepada ketetapan keadaannya.

Karena itu al-Washithy telah memberikan isyarah dengan perkataan beliau, �Al-Khaufu
(takut) adalah hijab antara Allah dan hambanya�.

Dan juga telah berkata, �Apabila hakikat telah nampak ke dalam rahasia / sirr ,
maka hilanglah di keutamaan khauf dan raja� dalamnya.

Disimpulkan pula bahwa orang yang mencintai (Al-Muhib), ketika ia melihat yang
dicintai namun ia disibukkan dengan ketakutan akan perpisahan, maka yang demikian
ini adalah mengurangi kadar penyaksian kepada Yang dicintai. Dan sesungguhnya
selalu memandang Yang dicintai adalah puncak dari segala maqam.

Akan tetapi saat ini kita akan memperbincangkan tentang permulaan maqamat, maka
kami katakan :

Keadaan takut itu juga tersusun atas ilmu, hal, dan amal.

Adapun ilmu adalah pengetahuan tentang sebab-sebab yang membawa kepada sesuatu yang
tidak disukai.

Dan yang demikian itu seperti orang yang berbuat aniaya terhadap raja kemudian ia
jatuh ke tangan raja, maka takutlah ia akan terbunuh oleh raja itu umpamanya. Dan
memungkinkan pula pemaafan dan pelepasan dari raja. Akan tetapi kepedihan hatinya
dikarenakan takut tergantung dari kekuatan pengetahuannya tentang sebab-sebab yang
membawa kepada pembunuhannya, dan itu adalah kekejian penganiayaan terhadap
dirinya. Dan keadaan raja itu dengki, marah dan pembalas dendam. Dan keadaan
dirinya dikelilingi oleh orang yang selalu membangkitkan kepada pembalasan dendam,
kosong dari orang-orang yang memberi bantuan kepadanya. Dan orang yang sedemikian
takut ini adalah kosong / jauh dari segala sesuatu yang menghantarkannya kepada
jalan kebaikan, yang menghapuskan bekas penganiayaan dari hadapan raja.

Oleh karena itu mengetahui dengan jelasnya sebab-sebab, akan mengakibatkan kuatnya
ketakutan dan kesangatannya kepedihan hati. Demikian pula karena lemahnya sebab
maka menjadi lepah pula rasa ketakutannya. Maka jadilah kertakutan itu tidak karena
penganiayaan yang dilakukan oleh orang yang takut, akan tetapi ketakukan itu lebih
disebabkan oleh sifat orang yang ditakutinya. Seperti orang yang jatuh pada
cengkeraman binatang buas, sesungguhnya ia takut kepadanya karena sifat binatang
buas tersebut yaitu loba dan ganasnya kepada mangsanya walaupun mangsanya itu
dengan pilihannya.

Terkadang juga rasa takut itu dikarenakan sifat atau tabi�at dari yang ditakuti.
Seperti orang yang jatuh ke dalam aliran banjir atau berdekatan dengan sesuatu yang
membakar. Maka sesungguhnya air itu ditakuti karena dapat menyebabkan membawa
kepada mengalir dan tenggelam. Demikian pula pada api yang dapat menyebabkan
terbakar.

Oleh karena itu pengetahuan tentang sebab-sebab yang tidak disukai itu menjadi
sebab yang membangkitkan, menggerakkan kepada terbakarnya dan pedihnya hati. Dan
kebakaran/ kepedihan inilah yang dinamakan Al-Khaufu (takut).

Maka demikianlah ketakutan kepada Allah Ta�ala sesekali disebabkan karena ma�rifat
kepadaNya dan ma�rifat kepada sidat-sifatNya. Dan sesungguhnya jika Allah
membinasakan seluruh alam niscaya Ia tiada peduli dan tiada pula pencegah yang
menghalangiNya. Dan sesekali ketakutan hamba itu disebabkan oleh banyaknya
pelanggaran yang dilakukan hamba itu dari beberapa perbuatan ma�siyat. Dan sesekali
ketakutan hamba disebabkan oleh keduanya (ma�rifat dan adanya pelanggaran). Dan
menurut pengetahuannya pula tentang kejelekan dirinya disamping ma�rifatnya kepada
kebesaran Allah Ta�ala dan tidak memerlukannya Allah kepadanya, dan sesungguhnya
Allah tidak akan di Tanya tentang apa yang Ia kerjakan sebaliknya merekalah yang
ditanya, maka menjadi semakin kuatlah rasa takut itu.

Oleh karena itu manusia yang paling takut kepada Tuhannya,mereka itulah orang yang
paling mengerti kepada dirinya sendiri dan kepada Tuhannya.

Dan karena itulah Nabi SAW bersabda, �Anaa akhwafukum liLlaah� yang artinya,
�Sesungguhnya Aku adalah yang paling takut kepada Allah diantara kamu semua�.

Demikian pula Allah Ta�ala berfirman, �Innamaa yakhsyaLlaaha min �ibaadihil


�ulamaa�� yang artinya, �sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara
hambaNya adalah �Ulama���.

Kemudian apabila ma�rifat telah semakin sempurna, niscaya menyebabkan besarnya rasa
takut dan terbakarnya hati, kemudian melimpahlah bekas keterbakarannya hati kepada
badan dan anggota badan dan kepada sifat-sifatnya

Adapun bekasnya pada badan seperti kurus, dan pucat, dan pingsan, dan menjerit, dan
menangis. Dan terkadang terhisap akan rasa kepahitan yang membawa kepada kematian,
atau ketakutan tersebut naik ke otak sehingga merusakkan akal, atau ketakutan
tersebut menguat sehingga menyebabkan putus asa.

Adapun pada anggota badan, maka dengan mencegah diri dari perbuatan maksiyat dan
mengekangnya dengan ta�at untuk mendapatkan bagian dari pada yang telah lewat dan
untuk mempersiapkan diri bagi masa yang akan datang (akhirat).

Karena itu dikatakan, bukanlah orang yang takut adalah mereka yang menangis dan
menyeka air matanya akan tetapi mereka adalah orang yang takut akan dibalas dari
perbuatannya. Telah berkata Abul Qasim Al-Hakim, �Orang yang takut terhadap sesuatu
maka ia akan lari darinya, dan orang yang takut kepada Allah maka ia akan lari
mendekati-Nya.�

Ditanyakan kepada Dzunun, �Kapan seseorang dikatakan takut ?�

Dzunun menjawab, �Apabila ia menempatkan dirinya seperti orang yang sakit, yang
sangat berhati-hati agar sakitnya tidak berkepanjangan�.

Adapun pada sifat, maka dengan mengekang syahwat, dan mengeruhkan segala
kesenangan. Maka jadilah perbuatan maksiyat yang semula disukai itu menjadi sesuatu
yang dibenci. Sebagaimana madu dibenci oleh orang yang menginginkannya apabila ia
mengetahui kalau di dalamnya terdapat racun. Maka terbakarlah (hancurlah) syahwat
disebabkan takut. Dan menjadi beradablah perbuatan badan (untuk menjaga diri). Dan
menjadi layulah hati dan khusyu, dan merendahkan diri dan menjadi tenang. Dan
berpisahlah darinya sifat kesombongan, busuk hati dan hasud . bahkan jadilah ia
yang melengkapi kesusahan dikarenakan takutnya dan pandangannya akan akibat yang
akan diterimanya. Maka tidaklah ia mengosongkan waktunya bagi yang lain, dan
tiadalah baginya kesibukan selain muraqabah, dan muhasabah (menghitung amal
perbuatan dirinya), mujahadah/ bersungguh-sungguh, kikir dengan nafas dan
perhatian, penyiksaan diri dengan segala gurisan dan langkah serta perkataan. Dan
jadilah kondisi dirinya seperti orang yang jatuh dalam terkaman binatang buas, yang
membawa bahaya. Ia tidak mengetahui jika binatang tersebut akan lengah darinya lalu
melepasnya, ataukah binatang tersebut akan menyerangnya, maka binasalah ia. Maka
jadilah keadaan lahir dan bathinnya sibuk terhadap apa yang ia takuti, dan tidak
ada peluang bagi yang selain ditakuti.

Demikian inilah keadaan orang yang bersangatan rasa takutnya dan menguatnya rasa
takut padanya. Dan demikian inilah keadaan para sahabat dan tabi�in. Dan kuatnya
muraqabah (mengintai) dan muhasabah dan mujahadah sangat tergantung dari kuatnya
rasa takut / khauf yang membawa rasa sakit di dalam hati dan terbakarnya hati. Dan
kuatnya khauf / takut bergantung dari kuatnya ma�rifah / pengetahuan tentang
keagungan Ilahi dan sifatNya dan af�al-Nya, dan pengetahuan tentang keburukan
dirinya dan pengetahuan tentang apa yang ada di depan dirinya dirinya yaitu
beberapa bahaya dan huru hara (hari akhir).

Dan serendah-rendah derajad khauf jika dilihat dari apa yang tampak pada bekas-
bekas dhahiriyah di dalam amal adalah apabila dapat mencegah dari perbuatan yang
dilarang. Dan dinamakanlah keberhasilan pencegahan dari perbuatan yang di larang
dengan istilah wara�. Dan apabila semakin bertambah kekuatannya dalam mencegah diri
dari jalan yang diyakini sebagai perbuatan haram, maka bagaimana pula terhadap
sesuatu yang tidak diyakini pengharamannya. Maka yang demikian ini dinamakan taqwa.
Karena pada dasarnya taqwa adalah meninggalkan apa yang diragukan kepada sesuatu
yang tidak diragukan. Bahkan terkadang membawa kepada meninggalkan sesuatu yang
tidak berbahaya dikarenakan khawatir di dalamnya terdapat bahaya. Dan inilah yang
dinamakan As-Shidq / kebenaran di dalam taqwa. Dan apabila as-shidq bercampur
dengan kesemataan / melulu dalam mengabdi (kepada Allah), maka pastilah ia tidak
akan membangun sesuatu yang tidak akan ditempatinya (yaitu kemewahan dunia) dan
tidak akan mengumpulkan sesuatu yang tidak ia makan dan ia tidak akan berpaling
kepada dunia karena ia mengatahui bahwa dunia akan berpisah darinya, dan tidak pula
ia menyerahkan kepada selain Allah dalam setiap nafas dari nafas-nafasnya. Maka
inilah shidq / kebenaran, dan pantaslah bagi orang yang memiliki sifat ini
dinamakan Ash-Shidq. Dan masuk dalam kebenaran itu taqwa. Dan masuk di dalam taqwa
itu wara�. Dan masuk dalam wara� itu menjaga diri. Karena sesungguhnya menjaga diri
/ �iffah adalah ibarat dari mencegah segala sesuatu yang bersesuaian dengan nafsu
syahwat.
Dengan demikian, khauf/takut akan berbekas pada anggota badan dengan pencegahan dan
penampilan. Dan terus meningkat dengan pencegahan menjadi istilah �iffah yaitu
mencegah diri dari menuruti keinginan syahwat. Dan yang lebih tinggi dari ini
adalah wara�, karena sesungguhnya wara�itu lebih umum yaitu mencegah segala sesuatu
yang dilarang. Dan yang lebih tinggi dari wara� adalah taqwa karena ia adalah
istilah sebagai suatu pencegahan diri dari segala yang dilarang, dan yang syubhat
bersama-sama. Dan dibelakang taqwa terdapat istilah Shidq dan muqarrab (orang-orang
yang dekat dengan Allah) dan berlakulah tingkat yang akhir dibanding derajad
sebelumnya sebagaimana berlakunya yang lebih khusus dibanding yang lebih umum. Oleh
karena itu apabila anda menyebutkan yang lebih khusus maka sesungguhnya anda telah
menyebutkan semuanya, sebagaimana ketika anda mengatakan manusia adakalanya ia
bangsa arab dan mungkin juga orang ajam /non arab. Dan jika menyebutkan arab
adakalanya ia Quraisy atau yang lainnya. Dan Quraisy ada kalanya Hasyimy atau yang
lainnya. Dan Hasyimy ada kalanya �Alawy atau yang lainnya. Dan �Alawy ada kalanya
Hasany atau Husainy. Maka jika anda menyebutkan bahwa ia Hasany misalnya, maka
sesungguhnya anda telah mensifatinya dengan keseluruhan. Dan jika anda mensifatinya
dengan Alawy maka anda sesungguhnya anda mensifatinya dengan yang di atasnya dari
apa yang lebih umum lagi. Maka demikian pula jika anda menyebutkan istilah shidq
maka sesungguhnya anda telah mengatakan orang itu taqwa, wara�, dan ��iffah. Maka
tidak selayaknya anda beranggapan bahwa banyaknya nama/istilah itu menunjukkan
makna yang banyak yang berlainan lalu bercampur aduk kepada anda, seperti bercampur
aduknya pada orang yang mencari arti dari kata-kata dan tidak mengikutkannya kata-
kata itu dengan arti. Inilah isyarah pada berkumpulnya beberapa makna khauf dan apa
yang meliputinya dari segi ketinggian seperti ma�rifat yang mewajibkannya, dan dari
segi kebawahan seperti amal yang keluar darinya sebagai cegahan dan
penampilan.............

Anda mungkin juga menyukai