Anda di halaman 1dari 7

Hamba yang diberi ilmu dan harta, dia bertaqwa , menyambung silaturahmi, mengetahui hak

Allah. Ia memiliki kedudukan paling baik

… ِ‫ص ُل فِ ْي ِه َر ِحـ َمهُ َويَ ْعلَ ُم ِهلل‬ ِ َ‫ َع ْب ٍد َرزَ قَهُ هللاُ َمااًل َو ِع ْل ًما فَه َُو يَتَّقِي فِ ْي ِه َربَّهُ َوي‬:‫ِإنَّ َما ال ُّد ْنيَا َأِلرْ بَ َع ِة نَفَ ٍر‬
ْ‫ لَو‬:‫ق النِّـيَّـ ِة يَقُوْ ُل‬
ُ ‫صا ِد‬َ ‫ َو َع ْب ٍد َر َزقَهُ هللاُ ِع ْل ًما َولَـ ْم يَرْ ُز ْقهُ َمااًل فَهُ َو‬،‫َاز ِل‬ ِ ‫ض ِل ْالـ َمن‬ َ ‫فِ ْي ِه َحقًّا فَهَ َذا بَِأ ْف‬
‫ َو َع ْب ٍد َر َزقَهُ هللاُ َماالً َولَـ ْم يَرْ ُز ْقهُ ِع ْل ًمـا‬،‫ت بِ َع َم ِل فُالَ ٍن فَه َُو بِنِيَّتِ ِه فََأجْ ُرهُـ َما َس َوا ٌء‬ ُ ‫ـي َمااًل لَ َع ِم ْل‬ ْ ِ‫َأ َّن ل‬
‫ث‬ِ َ‫ص ُل فِ ْي ِه َر ِحـ َمهُ َواَل يَ ْعلَ ُم ِهللِ فِ ْي ِه َحقًّا فَهَ َذا بَِأ ْخب‬
ِ َ‫فَهُ َو يَ ْخبِطُ فِي َمالِ ِه بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم اَل يَتَّقِي فِ ْي ِه َربَّهُ َواَل ي‬
ُ ‫ـي َمااًل لَ َع ِم ْل‬
‫ت فِ ْي ِه بِ َع َم ِل فُالَ ٍن فَهُ َو‬ ْ ِ‫ لَوْ َأ َّن ل‬:‫َاز ِل َو َع ْب ٍد لَـ ْم يَرْ ُز ْقهُ هللاُ َمااًل َواَل ِع ْل ًمـا فَه َُو يَقُو ُل‬ ِ ‫ْالـ َمن‬
‫بِنِيَّتِ ِه فَ ِو ْز ُرهُـ َما َس َوا ٌء‬.
“…..Sesungguhnya dunia diberikan untuk empat orang: (1) seorang
hamba yang Allah berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertaqwa
kepada Allah dalam hartanya, dengannya ia menyambung silaturahmi,
dan mengetahui hak Allah di dalamnya. Orang tersebut kedudukannya
paling baik (di sisi Allah). (2) Seorang hamba yang Allah berikan ilmu
namun tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata,
‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa
yang dikerjakan Si Fulan.’ Ia dengan niatnya itu, maka pahala
keduanya sama. (3) Seorang hamba yang Allah berikan harta namun
tidak diberikan ilmu. Lalu ia tidak dapat mengatur hartanya, tidak
bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, tidak menyambung
silaturahmi dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di dalamnya.
Kedudukan orang tersebut adalah yang paling jelek (di sisi Allah). Dan
(4) seorang hamba yang tidak Allah berikan harta tidak juga ilmu, ia
berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti
apa yang dikerjakan Si Fulan.’ Ia berniat seperti itu dan keduanya sama
dalam mendapatkan dosa.” [Ahmad (IV/230-231), at-Tirmidzi (no.
2325), dan Ibnu Majah (no. 4228)]
Jangan Dikira Tidak Tahu Islam Itu Bebas dari Tuntutan
Oleh:

Hartono Ahmad Jaiz


 
PAK POLISI atau pun Bu polisi kalau beragama Islam wajib belajar Islam
sungguh-sungguh. Begitu pula siapapun dan apapun jabatannya dan
pekerjaannya yang mereka itu beragama Islam maka wajib belajar
agamanya yaitu Islam dengan sungguh-sungguh. Karena di akhirat, salah
satu yang jadi pertanyaan bagi setiap manusia adalah mengenai ilmunya
(tentang Islam) sudah digunakan untuk apa.
Bila seseorang tidak mengerti Islam, dan tidak mengertinya itu karena
cuek, tidak mau belajar, tidak menggunakan umurnya dan jiwa raganya
untuk mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh, maka harus ada
alasannya, kenapa tidak mempelajari Islam itu.
Jadi orang yang tidak tahu mengenai Islam itu sudah harus
mempertanggung jawabkan ketidak tahuannya. Kalau alasannya memang
benar terhalang (dari kemungkinan bisa mengerti Islam), misal karena
budeg/ tuli dan sebagainya hingga tidak bisa faham mengenai Islam, maka
insya Allah dimaafkan. Tetapi kalau segar bugar, bahkan sehat wal afiat
dan pandai pikirannya alias normal wajar waras, namun tidak mengerti
tentang Islam padahal berkesempatan untuk belajar, maka berat untuk
mendapatkan uzur atas ketidak fahamannya mengenai Islam.
Kerena dalam Islam, hukum menuntut ilmu agama adalah wajib atas setiap
muslim (fardhu ‘ain) sehingga berdosalah setiap orang yang
meninggalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
‫يض ٌة َعلَى ُك ِّل مُسْ ل ٍِم‬
َ ‫َطلَبُ ْالع ِْل ِم َف ِر‬
”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah.
Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu
Majah no. 224)
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas
menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim,
bukan bagi sebagian orang muslim saja. Lalu, “ilmu” apakah yang
dimaksud dalam hadits ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika
Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah,
maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk kata
“ilmu” yang terdapat dalam hadits di atas.
Sebagai contoh, berkaitan dengan firman Allah Ta’ala,
‫َوقُ ْل َربِّ ِز ْدنِي عِ ْلمًا‬
“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“. (QS.
Thaaha [20] : 114)
Maka Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,
( ‫ َربّ ِز ْدنِي عِ ْلمًا‬: ‫) َو َق ْوله َع َّز َو َج َّل‬  ‫صلَّى هَّللا‬ َ ‫َواضِ ح ال َّداَل لَة فِي َفضْ ل ْالع ِْلم ؛ َأِلنَّ هَّللا َت َعالَى لَ ْم َيْأمُر َن ِبيّه‬
‫ ِب ْالع ِْل ِم ْالع ِْلم ال َّشرْ عِ يّ الَّذِي ُيفِيد َمعْ ِر َفة َما َي ِجب‬o‫ َو ْالم َُراد‬، ‫ مِنْ َشيْ ء ِإاَّل مِنْ ْالع ِْلم‬o‫ب ااِل ْز ِد َياد‬
ِ َ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِب َطل‬
ْ‫ َو َت ْن ِزيهه َعن‬، ‫ َو َما َي ِجب لَ ُه مِنْ ْالقِ َيام ِبَأم ِْر ِه‬، ‫ َو ْالع ِْلم ِباَهَّلل ِ َوصِ َفاته‬، ‫َعلَى ْال ُم َكلَّف مِنْ َأمْر عِ َبادَاته َوم َُعا َماَل ته‬
‫ال َّن َقاِئض‬
“Firman Allah Ta’ala (yang artinya),’Wahai Rabb-ku, tambahkanlah
kepadaku ilmu’ mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu.
Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali
(tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah
ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui
kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu
tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan
dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai
kekurangan”. (Fathul Baari, 1/92)
Dari penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah di atas, jelaslah bawa ketika
hanya disebutkan kata “ilmu” saja, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i.
Oleh karena itu, merupakan sebuah kesalahan sebagian orang yang
membawakan dalil-dalil tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu
dari Al Qur’an dan As-Sunnah, namun yang mereka maksud adalah untuk
memotivasi belajar ilmu duniawi. Meskipun demikian, bukan berarti kita
mengingkari manfaat belajar ilmu duniawi. Karena hukum mempelajari ilmu
duniawi itu tergantung pada tujuannya. Apabila digunakan dalam kebaikan,
maka baik. Dan apabila digunakan dalam kejelekan, maka jelek.
(Lihat Kitaabul ‘Ilmi, hal. 14) sebagaimana dikutip Muhammad Saifudin
Hakim dalam artikelnya berjudul  Setiap Muslim Wajib Mempelajari Agama,
https://muslim.or.id.

Semoga hal ini jadi peringatan bagi kita semua.


Baru tentang tidak tahu mengenai Islam saja sudah harus dipertanggung
jawabkan. apalagi ketika dengan tidak tahunya atau (apalagi) dengan
tahunya mengenai Islam itu justru untuk menghalangiIslam, memfitnah
Islam, memudarkan Islam, memojokkan Islam dan sebagainya; maka
tanggung jawabnya tentu lebih berat lagi. Sedangkan keuntungan dari
memojokkan Islam dan sebagainya itu (kalau memang ada keuntungannya
di dunia, misalnya) tentu sudah tiada lagi dan tiada guna lagi di akherat
kelak. Hingga sama sekali tidak bisa untuk menebus dalam
mempertanggung jawabkan permusuhannya terhadap Islam itu.
Lebih parah lagi ketika sampai terhitung sebagai orang munafik, maka
sangat celaka. Diantara tandanya yang jelas, telah Allah Ta’ala tegaskan:
{‫ص ُدو ًدا‬ َ ‫ون َع ْن‬
ُ ‫ك‬ َ ‫ص ُّد‬
ُ ‫ِين َي‬ َ ‫ُول َرَأي‬
َ ‫ْت ْال ُم َنافِق‬ oِ ‫}وِإ َذا قِي َل لَ ُه ْم َت َعالَ ْوا ِإلَى َما َأ ْن َز َل هَّللا ُ َوِإلَى الرَّ س‬
َ [61 :‫]النساء‬
61. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada
hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu
lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya
dari (mendekati) kamu
[An Nisa"61]
Orang-orang munafik semacam itu, bila sampai akhir hayatnya tidak
beraubat, maka ancamannya adalah siksa neraka, dan tempat orang
munafik itu di kerak neraka.
َ ‫ِين َتابُوا َوَأصْ لَحُوا َواعْ َت‬ َ ‫) ِإاَّل الَّذ‬145( ‫ار َولَنْ َت ِج َد لَ ُه ْم َنصِ يرً ا‬ ‫َأْل‬ َ ‫ِإنَّ ْال ُم َنا ِفق‬
 { o‫صمُوا‬ ِ ‫ِين فِي الدَّرْ كِ ا سْ َف ِل م َِن ال َّن‬
‫ِين َأجْ رً ا عَظِ يمًا‬
َ ‫ت هَّللا ُ ْالمُْؤ ِمن‬
ِ ‫ف يُْؤ‬َ ‫ِين َو َس ْو‬َ ‫ِئك َم َع ْالمُْؤ ِمن‬ ‫ُأ‬
َ َ‫}باهَّلل ِ َوَأ ْخلَصُوا دِي َن ُه ْم هَّلِل ِ َف ول‬
ِ [146 ،145 :‫]النساء‬
145. Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan
yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat
seorang penolongpun bagi mereka
146. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan
berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan)
agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama
orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-
orang yang beriman pahala yang besar
[An Nisa",145-146]
Betapa ruginya, bila tidak memiliki ilmu (agama Islam), atau lebih buruk lagi
menyikapi Islam dengan buruk. Maka sebaiknya, siapapun hendaknya
menyiapkan diri untuk memiliki bekal dalam menghadapi pertanggung-
jawaban di akherat kelak, yaitu amal-amal (perbuatan) baik yang sesuai
dengan petunjuk dalam Islam dan ikhlasuntuk Allah Ta’ala. Dan kalau
sudah terlanjur berbuat jahat dan dosa, maka hendaknya bertobat dengan
sebenar-benar tobat, yang sebutannya taubatan nashuha, taubat yang
benar-benar murni. Agar tidak sangat menyesal di akherat kelak.
Pertanggung-jawaban itu di antaranya yang menyangkut ilmu Islam
tersebut ada dalam hadits:
Dari Abu Barzah Al-Aslami, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫الَ َت ُزو ُل َق َد َما َع ْب ٍد َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة َح َّتى يُسْ َأ َل َعنْ ُعم ِْر ِه فِي َما َأ ْف َناهُ َو َعنْ عِ ْل ِم ِه فِي َما َف َع َل َو َعنْ َمالِ ِه مِنْ َأي َْن ا ْك َت َس َب ُه‬
ُ‫َوفِي َما َأ ْن َف َق ُه َو َعنْ ِجسْ ِم ِه فِي َما َأ ْبالَه‬
“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia
ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di
manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia
infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi
no. 2417, dari Abi Barzah Al Aslami. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih).
Sekali lagi, yang dimaksud ilmu adalah ilmu agama Allah (Syari’at Islam).
Perlu ditekankan lagi, dalam Islam setiap menyebut lafal ilmu maka yang
dimaksud adalah ilmu syari’at (agama) dari Allah Ta’ala yang diberikan
kepada para Nabi. Hal itu telah jelas dalam hadits.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ دِي َنارً ا َواَل دِرْ َهمًا ِإ َّن َما َورَّ ُثوا ْالع ِْل َم َف َمنْ َأ َخ َذ ِب ِه َأ َخ َذ ِب َح ٍّظ َواف ٍِر‬o‫ِإنَّ اَأْل ْن ِب َيا َء لَ ْم ي َُورِّ ُثوا‬
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan
dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka
barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian
yang banyak.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Begitulah warisan para nabi. Warisan mereka bukanlah harta dunia yang
seringkali banyak diperebutkan orang, akan tetapi warisan mereka adalah
ilmu. Dan yang perlu diketahui bahwa ilmu yang diwariskan para nabi
hanyalah ilmu tentang syari’at Allah ‘Azza wa Jalla, dan bukan yang
lainnya. (lihat mulimah.or.id, Mari Menggali Warisan Nabi, By Ummu Sa'id
January 21, 2013)
Itulah ilmu (agama dari Allah Ta’ala) yang para penuntutnya (ketika
mempelajarinya) dihitung sebagai jihad, dan ketika diamalkan dengan
ikhlas untuk Allah Ta’ala maka akan menyelamatkan dari ancaman neraka
di akherat kelak. Sehingga, Allah telah menjanjikan diangkatnya derajat
bagi orang yang berilmu (agama Allah) dan beriman.
َ ُ‫ت َوهَّللا ُ ِب َما َتعْ َمل‬
{‫ون َخ ِبي ٌر‬ َ ‫ِين ُأو ُتوا ْالع ِْل َم‬
ٍ ‫دَر َجا‬ َ ‫[ } َيرْ َف ِع هَّللا ُ الَّذ‬11 :‫]المجادلة‬
َ ‫ِين آ َم ُنوا ِم ْن ُك ْم َوالَّذ‬
"...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." [Al Mujadilah11]
Dalam hadits, orang yang bahagia adalah yang memiliki ilmu (agama dari
Allah Ta’ala), dan yang paling celaka adalah yang tidak memiliki ilmu
(agama dari Allah Ta’ala).
Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Shahabat Abu
Kabasyah al-Anmari (wafat th. 13 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
… ‫هلل فِ ْي ِه َح ًّقا‬ ِ ِ ‫ َع ْب ٍد َر َز َق ُه هللاُ َمااًل َوعِ ْلمًا َفه َُو َي َّتقِي فِ ْي ِه َر َّب ُه َويَصِ ُل فِ ْي ِه َرحِـ َم ُه َو َيعْ لَ ُم‬:‫ِإ َّن َما ال ُّد ْن َيا َأِلرْ َب َع ِة َن َف ٍر‬
ُ ‫ لَ ْو َأنَّ لِـيْ َمااًل لَ َعم ِْل‬:ُ‫ِق ال ِّنـيَّـ ِة َيقُ ْول‬
‫ت‬ oُ ‫صاد‬َ ‫ َو َع ْب ٍد َر َز َق ُه هللاُ عِ ْلمًا َولَـ ْم َيرْ ُز ْق ُه َمااًل َفه َُو‬،‫از ِل‬ ِ ‫ض ِل ْالـ َم َن‬ َ ‫َف َه َذا ِبَأ ْف‬
‫ط فِي َمالِ ِه ِب َغي ِْر عِ ْل ٍم اَل‬ ُ ‫ َو َع ْب ٍد َر َز َق ُه هللاُ َماالً َولَـ ْم َيرْ ُز ْق ُه عِ ْلمًـا َفه َُو َي ْخ ِب‬،ٌ‫ َس َواء‬o‫ِب َع َم ِل فُالَ ٍن َفه َُو ِب ِن َّي ِت ِه َفَأجْ ُرهُـ َما‬
‫از ِل َو َع ْب ٍد لَـ ْم َيرْ ُز ْق ُه هللاُ َمااًل َواَل‬ ِ ‫ث ْالـ َم َن‬ ِ ‫هلل فِ ْي ِه َح ًّقا َف َه َذا ِبَأ ْخ َب‬
ِ ِ ‫َي َّتقِي فِ ْي ِه َر َّب ُه َواَل يَصِ ُل فِ ْي ِه َرحِـ َم ُه َواَل َيعْ لَ ُم‬
‫ َس َوا ٌء‬o‫ت فِ ْي ِه ِب َع َم ِل فُالَ ٍن َفه َُو ِب ِن َّي ِت ِه َف ِو ْز ُرهُـ َما‬ ُ ‫ لَ ْو َأنَّ لِـيْ َمااًل لَ َعم ِْل‬:ُ‫عِ ْلمًـا َفه َُو َيقُول‬.
“…Sesungguhnya dunia diberikan untuk empat orang:
(1) seorang hamba yang Allah berikan ilmu dan harta, kemudian dia
bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, dengannya ia menyambung
silaturahmi, dan mengetahui hak Allah di dalamnya. Orang tersebut
kedudukannya paling baik (di sisi Allah).
(2) Seorang hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak diberikan harta,
dengan niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku
pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia dengan niatnya
itu, maka pahala keduanya sama.
(3) Seorang hamba yang Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu.
Lalu ia tidak dapat mengatur hartanya, tidak bertaqwa kepada Allah dalam
hartanya, tidak menyambung silaturahmi dengannya, dan tidak mengetahui
hak Allah di dalamnya. Kedudukan orang tersebut adalah yang paling jelek
(di sisi Allah).
Dan (4) seorang hamba yang tidak Allah berikan harta tidak juga ilmu, ia
berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti
apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia berniat seperti itu dan keduanya sama
dalam mendapatkan dosa.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/230-231), at-Tirmidzi
(no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189), al-Baghawi dalam
Syarhus Sunnah (XIV/289), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir
(XXII/345-346, no. 868-870), dari Shahabat Abu Kabsyah al-Anmari
radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (II/270, no. 1894)]/
lihat buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”,
Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO
BOX 264 – Bogor.

1. Orang yang memiliki ilmu (agama Islam) ketika berharta dan bertaqwa,
maka mampu mengetahui dan melaksanakan hak-hak Allah dan hak-
hak manusia, maka dibalas oleh Allah Ta’ala dengan kedudukan paling
baik di sisi-Nya.
2. Orang memiliki ilmu (agama Islam) tapi tidak punya harta, namun tetap
bertaqwa dan mengetahui serta melaksanakan hak-hak Allahdan hak-
hak manusia semampunya, dan berniat bila punya harta maka akan
berbuat seperti orang yang berilmu (agama Allah) dan berharta serta
bertaqwa tersebut; maka pahalanya dan kedudukannya sama dengan
orang yang berilmu (agama Islam) dan berharta lagi bertaqwa dengan
menjalankan hak-hak Allah dan hak-hak manusia tersebut.
3. Sebaliknya, orang yang tidak berilmu (agama Islam) tapi berharta, maka
tidak mengetahui cara mengatur hartanya (secara agama Islam), tidak
bertaqwa, tidak tahu hak-hak Allah dan hak-hak manusia, serta
(otomatis) tidak menjalankan apa yang menjadi hak-hak itu, maka
kedudukannya paling jelek (di sisi Allah).
4. Demikian pula orang tidak berilmu (agama Islam) juga tidak berharta,  ia
berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti
apa yang dikerjakan si fulan’ (yang punya harta tapi tak berilmu agama
Islam, tidak bertaqwa tersebut). Ia berniat seperti itu dan keduanya
sama dalam mendapatkan dosa.

Betapa beruntungnya orang yang berilmu (agama Islam) dan menjalankan


ilmunya itu dengan ikhlas untuk Allah Ta’ala, hingga kedudukannya mulia
di sisi Allah Ta’ala.
Sebaliknya, betapa ruginya orang yang tidak berilmu (agama Islam) hingga
jauh dari penghambaan kepada Allah secara benar, akibatnya sangat jelek
kedudukannya di akherat kelak. Na’udzubillahi min dzalik (kami berlindung
kepada Allah dari hal yang demikian). *
 
 

Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!

Anda mungkin juga menyukai