DISUSUN :
2019/2020
Kata Pengantar
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa
selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Daftar Isi
Kata Pengantar...................................................................................................................2
BAB I...................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..............................................................................................................4
Latar Belakang............................................................................................................4
Rumusan Masalah......................................................................................................6
Tujuan Penulisan........................................................................................................6
BAB II..................................................................................................................................7
PEMBAHASAN................................................................................................................7
Tauhid Asma wa sifat................................................................................................7
Manhaj Salafus Sholeh dalam masalah Tauhid Asma’ wa sifat...............................8
kaidah – kaidah penting dalam memahami Tauhid Asma’ wa sifat.......................10
Larangan – larangan dalam menetapkan Tauhid Asma’ wa sifat...........................18
BAB III...............................................................................................................................22
PENUTUP......................................................................................................................22
Kesimpulan...............................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kata akhlak sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari dan
sebagai muslim kita mengetahui bahwa akhlak adalah salah satu hal yang
harus diperhatikan terutama dalam kehidupan bermasyarakat. Seorang
muslim senantiasa dianjurkan untuk memiliki akhlak yang baik dan menjauhi
akhlak yang buruk. Sedemikian pentingnya akhlak dalam islam disebutkan
juga dalam hadits bahwa Rasulullah diutus kepada kaumnya dan seluruh
umat didunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia dimana saat itu
akhlak masyarakat terutama masyarakat jahiliyah masih jauh dari perilaku
akhlak yang terpuji.
Dengan adab dan akhlak mulia pulalah kelak pada hari kiamat
timbangan kebaikan seseorang bisa lebih berat daripada timbangan
kejelekannya sebagaimana sabda Nabi, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih
berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlak
yang mulia” (HR. Tirmidzi, shahih)
Dengan demikian, jika seseorang ingin mempelajari adab dan akhlak mulia
maka tiada lain sumbernya adalah Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Adab dan Akhlak?
2. Apa perbedaan antara Akhlak dan Adab?
3. Apa kedudukan adab?
4. Apa saja Adab kepada Allah dan Rasul?
Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan Apa itu Adab dan Akhlak.
2. Menjelaskan perbedaan Adab dan Akhlak
3. Menjelaskan kedudukan Adab
4. Menjelaskan Adab kepada Allah dan Rasul
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Adab dan Akhlak
َم ْسئُواًل
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. [Al-Isrâ’/17: 36]
Oleh karena itu, kita wajib beradab dalam masalah ini dan mencukupkan
diri dengan mengenal Nama dan Sifat Allâh lewat wahyu-Nya.
Imam Ahmad Berkata “Allah tidak disifati dengansesuatu yang lebih
banyak dari apa yang dia sifatkan untuk diri-Nya” Beliau juga berkata “ini
adalah sifat – sifat Allah yang Dia sifatkan bagi Diri-Nya dan kita tidak
menolaknya” (Al-Masa’il War Rasa’il al-Marwiyyah ‘an al-imam Ahmad,
1/276)
Imam Makhul Ad-Damasyqi dan Iman Az-Zuhri pernah ditanya tentang
penjelasan hadits dalam persoalan sifat kemudian keduanya menjawab
“perkara sifat sebagaimana yang disampaikan dalam hadits”
Ali Bin Al-Madini berkata “tidak ditanyakan mengapa dan kenapa, tetapi
yang ada adalah pembenaran dan iman kepadanya, meskipun ia tidak tahu
tafsir haditsnya hendaklah ia beriman dan tunduk” (Al-Lalika’I, 2/165)
Imam Abu Sufyan Ats-Tsauri berkata “Allah sebagaimana disampaikan
dalam nash, kita menetapkannya dan membicarakannya tanpa bertanya
bagaimana” (Ibthal At-Ta’wilat, hlm 47)
Imam Ibnu Mubarak berkata “engkau lalui sebagaimana ia datang tanpa
bertanya bagaimana” (Ibthal at-Ta’wilat, hlm 53)
Imam Hamad bin Salamah berkata “siapa yang engkau lihat mengingkari
hadits - hadits (tentang sifat – sifat Allah) ini maka curigailah agamanya”
Imam Yazid bin Harus berkata “siapa yang mendustakan hadits – hadits
tentang sifat – sifat Allah maka dia berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas
diri darinya”(Ibthal at-Ta’wilat, hlm 55)
Para ulama salaf menyifati Allah dengan apa yang Allah sifatkan untuk
Diri-Nya dan dengan apa yang disifatkan oleh Rasul-Nya tanpa Tahrif dan
Ta’til, takyif dan Tamtsil
ش َما ظَ َهَر ِمْن َها َو َما بَطَ َن َواإلمْثَ َوالَْب ْغ َي بِغَرْيِ احْلَ ِّق ِ
َ قُ ْل إِمَّنَا َحَّر َم َريِّبَ الْ َف َواح
)٣٣( َوأَ ْن تُ ْش ِر ُكوا بِاللَّ ِه َما مَلْ يَُنِّز ْل بِِه ُس ْلطَانًا َوأَ ْن َت ُقولُوا َعلَى اللَّ ِه َما ال َت ْعلَ ُمو َن
“Katakanlah: ‘Rabbku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengatakan tentang Allah
apa yang tidak kamu ketahui” (Al A’raf: 33)
Sebagai contoh, firman Allah ta’ala,
ِ ِ
ُف يَ َشاء
َ بَ ْل يَ َداهُ َمْب ُسوطَتَان يُْنف ُق َكْي
“(Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbentang. Dia
menafkahkan sebagaimana dia kehendaki” ( QS. Al Ma’idah)
‘Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Yunus: 107)
“Dan Tuhanmulah yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat.” (QS Al Kahfi: 58)
Ayat kedua menunjukkan bahwa Ar Rahiim adalah dzat yang mempunyai sifat rahmat.
Salah jika ada yang memahami bahwa asma’ Allah hanya sekedar nama dan tidak
mengandung sifat, sebagaimana pemahaman orang mu’tazilah.
Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut yaitu sam’ (mendengar)
Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut yaitu hayat (hidup)
Keempat, dalalah (petunjuk hukum) asma’ atas dzat dan sifat-Nya bisa dengan tiga: (1)
muthaabaqah (meliputi seluruh maknanya), (2) tadhammun (sebagian makna
terkandung), (3) iltizam (konsekuensi). Misal Al Khaliq (Maha Pencipta), menunjukkan
atas dzat Allah dan atas sifat al khalq (menciptakan) secara muthaabaqah. Juga
menunjukkan atas dzat pencipta sendirinya dan sifat al khalq sendirinya secara
tadhammun. Menunjukkan juga atas sifat ‘ilm (berilmu) dan qudrah (memiliki
kemampuan) secara iltizam (konsekuensi) karena tidak mungkin bisa menciptakan kalau
tidak memiliki ilmu dan kemampuan.
Ketujuh, ilhad dalam asma’ Allah maksudnya menyimpang dari yang diwajibkan atasnya.
Allah berfirman,
َ ُُون فِي أَسْ َمآ ِئ ِه َسيُجْ َز ْو َن َما َكا ُنو ْا َيعْ َمل
ون َ ِين ي ُْل ِحد
َ َو َذرُو ْا الَّذ
(2). Menyerupakan sifat yang terkadung dalam nama tersebut seperti sifat makhluq. Ini
yang dilakukan ahlut tasybih.
(3). Menamai Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak namai diri-Nya dengan hal
itu. Contohnya seperti orang nashrani yang menamakan Allah dengan Al Ab (Tuhan
Bapak).
(4). Mengambil dari nama Allah untuk nama berhala. Seperti orang musyrikin yang
menamai berhala mereka dengan Al Uzza yang diambil dari nama Al Aziz.
Kedua, bab sifat lebih luas dari asma’. Jumlah sifat Allah lebih banyak dari asma’ karena
setiap asma’ mengandung sifat dan sifat Allah juga berkaitan dengan af’al (perbuatan)
dan aqwal (perkataan)-Nya yang jumlahnya tidak terbatas.
Ketiga, sifat Allah ada dua jenis: tsubutiyah dan salbiyah. Sifat tsubutiyah adalah sifat
yang Allah atau Rasul-Nya tetapkan ada pada diri-Nya seperti al hayah (hidup), al ‘ilm
(ilmu) dan lainnya. Adapun sifat salbiyah adalah sifat yang dinafikan seperti al maut
(mati), adz dzulm (dzolim) dan lainnya.
“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati.” (QS Al Furqan:
58)
Keempat, sifat tsubutiyah adalah sifat pujian dan kesempurnaan. Semakin banyak sifat
kesempurnaan dan macamnya maka menunjukkan sempurnanya yang disifati (yaitu
Allah). Sifat tsubutiyah yang Allah kabarkan lebih banyak dari sifat salbiyah.
Kelima,sifat tsubutiyah ada dua: dzatiyah dan fi’liyah. Sifat dzatiyah adalah sifat yang
selalu dan terus menerus melekat ada pada Allah seperti al ‘ilm (ilmu), al qudrah
(mampu), al uluw (tinggi) dan lainnya. Sifat fi’liyah adalah sifat yang berkaitan dengan
kehendakNya, jika mau maka Dia akan melakukannya, jika tidak mau maka tidak seperti
beristiwa’ diatas Arsy, turun ke langit dunia dan lainnya.
Keenam, dalam menetapkan sifat tidak boleh melakukan tamtsil (menyamakan dengan
makhluq) dan takyif (membagaimanakan). Allah berfirman,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Melihat.” (QS Asy Syuura: 11)
Ketujuh, masalah sifat Allah adalah tauqifiyah (sesuai dalil), tidak boleh berlandaskan
akal semata. Dalalah (petunjuk) Al Qur’an dan Sunnah dalam menetapkan sifat Allah ada
tiga:
(1). Dengan jelas menyebut sifat tersebut seperti al izzah (mulia), al quwwah (kuat), al
wajh (memiliki wajah) dan lainnya.
(2). Terkandung dalam asma’ Allah, seperti Al Ghafuur (Maha Pengampun) mengandung
sifat al maghfirah (mengampuni), As Sami’ (Maha Mendengar) mengandung sifat as sam’
(mendengar) dan lainnya.
(3). Penjelasan perbuatan atau sifat yang menunjukkan atasnya sepert beristiwa’ diatas
Arsy, turun ke langit dunia dan lainnya.
Kaidah dalam dalil-dalil asma’ dan sifat:
1. Asma dan sifat Allah tidak ditetapkan kecuali dengan dalil Al Qur’an dan
As Sunnah.
ق ِّم ْنهُ ْم يَ ْس َمعُونَ َكالَ َم هّللا ِ ثُ َّم يُ َح ِّرفُونَهُ ِمن بَ ْع ِد َما َعقَلُوهُ َوهُ ْم ْ أَفَت
ْ َُط َمعُونَ أَن ي ُْؤ ِمن
ٌ وا لَ ُك ْم َوقَ ْد َكانَ فَ ِري
َيَ ْعلَ ُمون
3. Dzohir dari nash tentang sifat adalah ma’lum (diketahui) oleh kita dari
sisi makna dan majhul (tidak diketahui) dari sisi kaifiyah (bagaimana-
nya). Hal ini karena Al Qur’an dan As Sunnah dalam bahasa Arab yang
mana maknanya diketahui. Adapun dari sisi kaifiyah atau hakekat
bagaimananya maka tidak diketahui karena itu diluar akal manusia.
Misal Allah memiliki sifat al wajh, diketahui maknanya (yaitu Allah
memiliki wajah) tetapi hakekat bagaimana kita tidak mengetahui.
4. Dzohir dari nash adalah yang paling cepat muncul dalam pikiran dari
makna-makna yang ada. Hal ini tergantung konteks dari kalimat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Kita dapat mengetahui Apa itu kaidah Asma.
2. Kita dapat mengetahui apa itu kaidah sifat.
3. Kita dapat mengetahui Apa saja kaidah – kaidah penting dalam asma wa
sifat
DAFTAR PUSTAKA
https://muslimah.or.id/2609-kaidah-kaidah-penting-untuk-memahami-asma-dan-
sifat-allah.html
https://muslimafiyah.com/coretan-ringan-tentang-kaidah-kaidah-memahami-
asma%E2%80%99-dan-sifat-allah.html
https://ukhuwahislamiah.com/kaidah-dalam-memahami-nama-nama-dan-
sifat-allah/