Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PAI

MEMAHAMI PENGERTIAN ADAB DAN AKHLAK

DOSEN PEMBIMBING : Ustadz Faharuddin

DISUSUN :

RISFATUR RAHMAN SUTEJO

MUHAMMAD VIGHIL ZHUHRIANSYAH

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

2019/2020
Kata Pengantar

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa
selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Daftar Isi
Kata Pengantar...................................................................................................................2
BAB I...................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..............................................................................................................4
Latar Belakang............................................................................................................4
Rumusan Masalah......................................................................................................6
Tujuan Penulisan........................................................................................................6
BAB II..................................................................................................................................7
PEMBAHASAN................................................................................................................7
Tauhid Asma wa sifat................................................................................................7
Manhaj Salafus Sholeh dalam masalah Tauhid Asma’ wa sifat...............................8
kaidah – kaidah penting dalam memahami Tauhid Asma’ wa sifat.......................10
Larangan – larangan dalam menetapkan Tauhid Asma’ wa sifat...........................18
BAB III...............................................................................................................................22
PENUTUP......................................................................................................................22
Kesimpulan...............................................................................................................22

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kata akhlak sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari dan
sebagai muslim kita mengetahui bahwa akhlak adalah salah satu hal yang
harus diperhatikan terutama dalam kehidupan bermasyarakat. Seorang
muslim senantiasa dianjurkan untuk memiliki akhlak yang baik dan menjauhi
akhlak yang buruk. Sedemikian pentingnya akhlak dalam islam disebutkan
juga dalam hadits bahwa Rasulullah diutus kepada kaumnya dan seluruh
umat didunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia dimana saat itu
akhlak masyarakat terutama masyarakat jahiliyah masih jauh dari perilaku
akhlak yang terpuji.

Islam meninggikan dan mengutamakan orang-orang yang mau


menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia. Dalam sebuah
hadits,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sebaik-baik kalian
adalah yang paling mulia akhlaknya” (HR Bukhari dan Muslim)

Dan beliau juga bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku cintai di


antara kalian dan yang paling dekat tempattinggalnyadenganku pada hari
kiamat adalah yang paling mulia akhlaknya” (HR. Tirmidzi, shahih)

Dengan adab dan akhlak mulia pulalah kelak pada hari kiamat
timbangan kebaikan seseorang bisa lebih berat daripada timbangan
kejelekannya sebagaimana sabda Nabi, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih
berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlak
yang mulia” (HR. Tirmidzi, shahih)

Jikalah seseorang mau mempelajari bagaimana adab dan akhlak yang


melekat pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tentu itu
lebih dari cukup baginya. Tidaklah perlu lagi seseorang mempelajari berbagai
ilmu etika yang bersumber dari negara barat atau kebudayaan mana pun.
Segala adab dan akhlak yang mulia tersebut sudah beliau contohkan dan
praktikkan dalam kehidupan beliau. Sebagaimana Allah berfirman (yang
artinya),
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (QS. Al Ahzab: 21). Dan firman-Nya
(yang artinya), “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung” (QS. Al Qalam: 4)
Bahkan mencontohkan dan mempraktikkan adab dan akhlak mulia adalah
salah satu tugas utama yang beliau emban sebagai seorang rasul,
sebagaimana beliau bersabda,
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR
Bukhari dalam Al Adabul Mufrad)

Dengan demikian, jika seseorang ingin mempelajari adab dan akhlak mulia
maka tiada lain sumbernya adalah Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rumusan Masalah
1. Apa itu Adab dan Akhlak?
2. Apa perbedaan antara Akhlak dan Adab?
3. Apa kedudukan adab?
4. Apa saja Adab kepada Allah dan Rasul?

Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan Apa itu Adab dan Akhlak.
2. Menjelaskan perbedaan Adab dan Akhlak
3. Menjelaskan kedudukan Adab
4. Menjelaskan Adab kepada Allah dan Rasul
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Adab dan Akhlak

Manhaj Salafus Sholeh dalam masalah Tauhid Asma’ wa sifat

Pembicaraan tentang Nama-nama Allâh Azza wa Jalla dan Sifat-sifat-Nya


adalah satu bagian dari pembicaraan tentang Dzat Allâh Azza wa Jalla dan ini
termasuk perkara ghaib. Oleh karena itu, manusia tidak mungkin
mengetahuinya secara rinci kecuali dengan wahyu. Karena kemampuan akal
manusia tidak akan bisa mengetahui segala hal tentang Allâh Azza wa Jalla ,
sebagaimana firman-Nya:
ِِِ
‫ع ْلما‬ ِ ِِ
ً ‫َي ْعلَ ُم َما َبنْي َ أَيْديه ْم َو َما َخ ْل َف ُه ْم َواَل حُي يطُو َن به‬
“Dia (Allâh) mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada
di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.”
[Thaha/20: 110]
Jadi, pembicaraan tentang Nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan
Sifat-sifat-Nya adalah adalah tauqifiyyah, artinya: terbatas hanya pada
keterangan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak ditambah, tidak
dikurangi. Karena kalau kita menambahi, berarti kita telah berbicara tanpa
ilmu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

َ ِ‫صَر َوالْ ُف َؤ َاد ُك ُّل أُوٰلَئ‬


ُ‫ك َكا َن َعْنه‬ َّ ‫ك بِِه ِع ْل ٌم ۚ إِ َّن‬
َ َ‫الس ْم َع َوالْب‬ َ َ‫س ل‬
َ ‫ف َما لَْي‬
ُ ‫َواَل َت ْق‬

‫َم ْسئُواًل‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. [Al-Isrâ’/17: 36]

Dan jika kita mengurangi, berarti kita menyembunyikan atau mengingkari


Nama yang telah Allâh Azza wa Jalla beritakan kepada kita, dan itu
merupakan kejahatan terhadap hak Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla
berfirman:

ِ ‫ات َواهْلَُد ٰى ِم ْن َب ْع ِد َما َبَّينَّاهُ لِلن‬


‫َّاس يِف‬ ِ َ‫إِ َّن الَّ ِذين يكْتُمو َن ما أَْنزلْنَا ِمن الْبِّين‬
َ َ َ َ ُ ََ
‫ك َي ْل َعُن ُه ُم اللَّهُ َو َي ْل َعُن ُه ُم الاَّل ِعنُو َن‬
َ ِ‫اب ۙ أُوٰلَئ‬
ِ َ‫الْ ِكت‬

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami


turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dila’nati
Allâh dan dila’nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela’nati.” [Al-
Baqarah/2:159]

Oleh karena itu, kita wajib beradab dalam masalah ini dan mencukupkan
diri dengan mengenal Nama dan Sifat Allâh lewat wahyu-Nya.
Imam Ahmad Berkata “Allah tidak disifati dengansesuatu yang lebih
banyak dari apa yang dia sifatkan untuk diri-Nya” Beliau juga berkata “ini
adalah sifat – sifat Allah yang Dia sifatkan bagi Diri-Nya dan kita tidak
menolaknya” (Al-Masa’il War Rasa’il al-Marwiyyah ‘an al-imam Ahmad,
1/276)
Imam Makhul Ad-Damasyqi dan Iman Az-Zuhri pernah ditanya tentang
penjelasan hadits dalam persoalan sifat kemudian keduanya menjawab
“perkara sifat sebagaimana yang disampaikan dalam hadits”
Ali Bin Al-Madini berkata “tidak ditanyakan mengapa dan kenapa, tetapi
yang ada adalah pembenaran dan iman kepadanya, meskipun ia tidak tahu
tafsir haditsnya hendaklah ia beriman dan tunduk” (Al-Lalika’I, 2/165)
Imam Abu Sufyan Ats-Tsauri berkata “Allah sebagaimana disampaikan
dalam nash, kita menetapkannya dan membicarakannya tanpa bertanya
bagaimana” (Ibthal At-Ta’wilat, hlm 47)
Imam Ibnu Mubarak berkata “engkau lalui sebagaimana ia datang tanpa
bertanya bagaimana” (Ibthal at-Ta’wilat, hlm 53)
Imam Hamad bin Salamah berkata “siapa yang engkau lihat mengingkari
hadits - hadits (tentang sifat – sifat Allah) ini maka curigailah agamanya”
Imam Yazid bin Harus berkata “siapa yang mendustakan hadits – hadits
tentang sifat – sifat Allah maka dia berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas
diri darinya”(Ibthal at-Ta’wilat, hlm 55)
Para ulama salaf menyifati Allah dengan apa yang Allah sifatkan untuk
Diri-Nya dan dengan apa yang disifatkan oleh Rasul-Nya tanpa Tahrif dan
Ta’til, takyif dan Tamtsil

kaidah – kaidah penting dalam memahami Tauhid Asma’ wa sifat


Kewajiban kita terhadap nash-nash Al Quran dan As Sunnah yang
membahas tentang asma dan sifat Allah.
Dalam memahami nash-nash Al Quran dan As Sunnah kita wajib
untuk menetapkan maknanya apa adanya, berdasar dzahir nash dan
tidak memalingkannya ke makna lain. Karena Allah menurunkan Al
Quran dengan bahasa Arab, yang bahasa tersebut sudah jelas.
Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga berbicara dengan
bahasa Arab, sehingga wajib bagi kita menetapkan makna kalam Allah
dan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan apa
yang ditunjukkan secara makna bahasa tersebut. Merubahnya dari
makna dzahir merupakan perbuatan terlarang, karena ini termasuk
berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu. Allah berfirman,

‫ش َما ظَ َهَر ِمْن َها َو َما بَطَ َن َواإلمْثَ َوالَْب ْغ َي بِغَرْيِ احْلَ ِّق‬ ِ
َ ‫قُ ْل إِمَّنَا َحَّر َم َريِّبَ الْ َف َواح‬
)٣٣( ‫َوأَ ْن تُ ْش ِر ُكوا بِاللَّ ِه َما مَلْ يَُنِّز ْل بِِه ُس ْلطَانًا َوأَ ْن َت ُقولُوا َعلَى اللَّ ِه َما ال َت ْعلَ ُمو َن‬
“Katakanlah: ‘Rabbku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengatakan tentang Allah
apa yang tidak kamu ketahui” (Al A’raf: 33)
Sebagai contoh, firman Allah ta’ala,
ِ ِ
ُ‫ف يَ َشاء‬
َ ‫بَ ْل يَ َداهُ َمْب ُسوطَتَان يُْنف ُق َكْي‬
“(Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbentang. Dia
menafkahkan sebagaimana dia kehendaki” ( QS. Al Ma’idah)

Secara dzahir, ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai


dua tangan yang hakiki. Maka wajib menetapkan dua tangan Allah
tersebut. Jika ada orang yang mengatakan kedua tangan tersebut
maksudnya kekuatan, maka kita katakan : ini termasuk memalingkan
makna Al Quran dari dzahirnya. Kita tidak boleh bekata demikian
karena ini berati kita berkomentar tentang Allah tanpa dasar ilmu.

A. Kaidah dalam Asma Allah


Pertama, seluruh asma’ Allah adalah husna (paling baik). Allah berfirman,

‫َوهّلِل ِ األَسْ َماء ْالحُسْ َنى‬

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna.” (QS Al A’raf: 180)


Kedua, asma’ Allah adalah ‘alam (nama) dan shifat (sifat). Misal Ar Rahiim (Maha
Penyayang) adalah nama Allah dan sekaligus mengandung sifat Allah yaitu rahmat
(penyayang). Allah berfirman,

‫َوه َُو ْال َغفُو ُر الرَّ حِي ُم‬

‘Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Yunus: 107)

‫ك ْال َغفُو ُر ُذو الرَّ حْ َم ِة‬


َ ‫َو َر ُّب‬

“Dan Tuhanmulah yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat.” (QS Al Kahfi: 58)

Ayat kedua menunjukkan bahwa Ar Rahiim adalah dzat yang mempunyai sifat rahmat.
Salah jika ada yang memahami bahwa asma’ Allah hanya sekedar nama dan tidak
mengandung sifat, sebagaimana pemahaman orang mu’tazilah.

Ketiga,asma’ Allah jika bentuknya muta’adi (membutuhkan objek) maka mengandung


(1) nama, (2) sifat dan (3) hukum dan konsekuensinya. Jika selain muta’adi maka
mengandung (1) nama dan (2) sifat.

Contoh asma yang muta’adi adalah: As Sami’ (Maha Mendengar)

Wajib menetapkan As Sami’ sebagai nama yang menunjukkan dzat Allah

Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut yaitu sam’ (mendengar)

Menetapkan hukum dan konsekuensinya yaitu bahwasanya Allah mendengar sesuatu


yang lirih maupun yang keras

Contoh asma yang bukan muta’adi adalah: Al Hayyu (Maha Hidup)

Wajib menetapkan Al Hayyu sebagai nama yang menunjukkan dzat Allah

Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut yaitu hayat (hidup)

Keempat, dalalah (petunjuk hukum) asma’ atas dzat dan sifat-Nya bisa dengan tiga: (1)
muthaabaqah (meliputi seluruh maknanya), (2) tadhammun (sebagian makna
terkandung), (3) iltizam (konsekuensi). Misal Al Khaliq (Maha Pencipta), menunjukkan
atas dzat Allah dan atas sifat al khalq (menciptakan) secara muthaabaqah. Juga
menunjukkan atas dzat pencipta sendirinya dan sifat al khalq sendirinya secara
tadhammun. Menunjukkan juga atas sifat ‘ilm (berilmu) dan qudrah (memiliki
kemampuan) secara iltizam (konsekuensi) karena tidak mungkin bisa menciptakan kalau
tidak memiliki ilmu dan kemampuan.

Kelima,asma’ Allah adalah tauqifiyah, tidak ditetapkan berdasar akal. Wajib


menetapkannya sebagaimana datang dalam Al Qur’an dan As Sunnah, tidak boleh
dikurangi atau ditambah. Akal tidak akan mampu mencapai apa nama-nama yang layak
bagi Allah ta’ala. Maka wajib berhenti sesuai dengan dalil-dalil syar’i.
Keenam, asma’ Allah tidak terbatas jumlah tertentu. Hal ini berdasarkan hadits yang
masyhur, Rasulullah berdo’a “Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-
Mu, yang Engkau namai sendiri untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu,
atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau
rahasiakan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu” (HR Ahmad, Ibnu Hibban dan
Hakim. Shahih). Adapun berkaitan dengan hadits, “Sesungguhnya bagi Allah ada
sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barang siapa menjaganya akan
masuk syurga” (HR Bukhari). Hadits ini bukan pembatasan bahwa nama Allah hanya
sembilan puluh sembilan (99), tetapi makna hadits ini adalah: Diantara nama Allah ada
99 nama yang jika kita menjaganya kita akan masuk syurga.

Ketujuh, ilhad dalam asma’ Allah maksudnya menyimpang dari yang diwajibkan atasnya.
Allah berfirman,

َ ُ‫ُون فِي أَسْ َمآ ِئ ِه َسيُجْ َز ْو َن َما َكا ُنو ْا َيعْ َمل‬
‫ون‬ َ ‫ِين ي ُْل ِحد‬
َ ‫َو َذرُو ْا الَّذ‬

“Tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-


nama-Nya . Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS Al A’raf: 180)

Ilhad dalam asma’ bentuknya ada beberapa macam:

(1). Mengingkarinya atau mengingkari sifat yang terkadung di dalamnya sebagaiaman


orang-orang Jahmiyah.

(2). Menyerupakan sifat yang terkadung dalam nama tersebut seperti sifat makhluq. Ini
yang dilakukan ahlut tasybih.

(3). Menamai Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak namai diri-Nya dengan hal
itu. Contohnya seperti orang nashrani yang menamakan Allah dengan Al Ab (Tuhan
Bapak).

(4). Mengambil dari nama Allah untuk nama berhala. Seperti orang musyrikin yang
menamai berhala mereka dengan Al Uzza yang diambil dari nama Al Aziz.

B. Kaidah dalam memahami sifat Allah


Pertama, seluruh sifat Allah adalah sempurna dan tidak ada kekurangan sedikitpun.
Contoh sifat Allah adalah Al Hayah (hidup), Al ‘Ilm (berilmu), As Sam’ (mendengar) dan
lainnya. Sifat yang tidak ada kesempurnaan sedikitpun maka tidak boleh dinisbatkan
kepada Allah seperti: Al Maut (kematian), Al Jahl (bodoh) dan lainnya. Sifat yang
mengandung sisi kesempurnaan dan sisi kekurangan maka tidak boleh dinisbatkan
secara mutlak atau ditolak secara mutlak. Harus dirinci, ditetapkan sisi kesempurnaan
saja. Contohnya Al Makr (tipu daya), termasuk sifat kesempurnaan jika dihadapkan
kepada yang melakukan hal yang semisal. Karena hal ini menunjukkan kemampuan
untuk membalas yang melakukan makar. Allah berfirman,

َ ‫ُون َو َي ْم ُك ُر هّللا ُ َوهّللا ُ َخ ْي ُر ْال َماك ِِر‬


‫ين‬ َ ‫َو َي ْم ُكر‬
“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-
baik Pembalas tipu daya.” (QS Al Anfaal: 30)

Kedua, bab sifat lebih luas dari asma’. Jumlah sifat Allah lebih banyak dari asma’ karena
setiap asma’ mengandung sifat dan sifat Allah juga berkaitan dengan af’al (perbuatan)
dan aqwal (perkataan)-Nya yang jumlahnya tidak terbatas.

Ketiga, sifat Allah ada dua jenis: tsubutiyah dan salbiyah. Sifat tsubutiyah adalah sifat
yang Allah atau Rasul-Nya tetapkan ada pada diri-Nya seperti al hayah (hidup), al ‘ilm
(ilmu) dan lainnya. Adapun sifat salbiyah adalah sifat yang dinafikan seperti al maut
(mati), adz dzulm (dzolim) dan lainnya.

ُ ‫َو َت َو َّك ْل َعلَى ْال َحيِّ الَّذِي اَل َيم‬


‫ُوت‬

“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati.” (QS Al Furqan:
58)

Keempat, sifat tsubutiyah adalah sifat pujian dan kesempurnaan. Semakin banyak sifat
kesempurnaan dan macamnya maka menunjukkan sempurnanya yang disifati (yaitu
Allah). Sifat tsubutiyah yang Allah kabarkan lebih banyak dari sifat salbiyah.

Kelima,sifat tsubutiyah ada dua: dzatiyah dan fi’liyah. Sifat dzatiyah adalah sifat yang
selalu dan terus menerus melekat ada pada Allah seperti al ‘ilm (ilmu), al qudrah
(mampu), al uluw (tinggi) dan lainnya. Sifat fi’liyah adalah sifat yang berkaitan dengan
kehendakNya, jika mau maka Dia akan melakukannya, jika tidak mau maka tidak seperti
beristiwa’ diatas Arsy, turun ke langit dunia dan lainnya.

Keenam, dalam menetapkan sifat tidak boleh melakukan tamtsil (menyamakan dengan
makhluq) dan takyif (membagaimanakan). Allah berfirman,

‫ْس َكم ِْثلِ ِه َشيْ ٌء َوه َُو ال َّسمِي ُع البَصِ ي ُر‬


َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Melihat.” (QS Asy Syuura: 11)

Ketujuh, masalah sifat Allah adalah tauqifiyah (sesuai dalil), tidak boleh berlandaskan
akal semata. Dalalah (petunjuk) Al Qur’an dan Sunnah dalam menetapkan sifat Allah ada
tiga:

(1). Dengan jelas menyebut sifat tersebut seperti al izzah (mulia), al quwwah (kuat), al
wajh (memiliki wajah) dan lainnya.

(2). Terkandung dalam asma’ Allah, seperti Al Ghafuur (Maha Pengampun) mengandung
sifat al maghfirah (mengampuni), As Sami’ (Maha Mendengar) mengandung sifat as sam’
(mendengar) dan lainnya.

(3). Penjelasan perbuatan atau sifat yang menunjukkan atasnya sepert beristiwa’ diatas
Arsy, turun ke langit dunia dan lainnya.
Kaidah dalam dalil-dalil asma’ dan sifat:
1. Asma dan sifat Allah tidak ditetapkan kecuali dengan dalil Al Qur’an dan
As Sunnah.

2. Diwajibkan dalam memahami dalil-dalil al Qur’an dan As Sunnah untuk


sesuai dengan dzohirnya, tidak boleh tahrif (menyelewengkan makna).
Terkhusus lagi dalam masalah sifat Allah yang termasuk masalah ghaib,
tidak ada tempat untuk akal di dalamnya. Allah mencela orang Yahudi
yang suka mentahrif (memalingkan) kalamullah. Allah berfirman,

‫ق ِّم ْنهُ ْم يَ ْس َمعُونَ َكالَ َم هّللا ِ ثُ َّم يُ َح ِّرفُونَهُ ِمن بَ ْع ِد َما َعقَلُوهُ َوهُ ْم‬ ْ ‫أَفَت‬
ْ ُ‫َط َمعُونَ أَن ي ُْؤ ِمن‬
ٌ ‫وا لَ ُك ْم َوقَ ْد َكانَ فَ ِري‬
َ‫يَ ْعلَ ُمون‬

“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu,


padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka
memalingkannya setelah mereka memahaminya, sedang mereka
mengetahui?” (QS Al Baqarah: 75)

3. Dzohir dari nash tentang sifat adalah ma’lum (diketahui) oleh kita dari
sisi makna dan majhul (tidak diketahui) dari sisi kaifiyah (bagaimana-
nya). Hal ini karena Al Qur’an dan As Sunnah dalam bahasa Arab yang
mana maknanya diketahui. Adapun dari sisi kaifiyah atau hakekat
bagaimananya maka tidak diketahui karena itu diluar akal manusia.
Misal Allah memiliki sifat al wajh, diketahui maknanya (yaitu Allah
memiliki wajah) tetapi hakekat bagaimana kita tidak mengetahui.

4. Dzohir dari nash adalah yang paling cepat muncul dalam pikiran dari
makna-makna yang ada. Hal ini tergantung konteks dari kalimat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Kita dapat mengetahui Apa itu kaidah Asma.
2. Kita dapat mengetahui apa itu kaidah sifat.
3. Kita dapat mengetahui Apa saja kaidah – kaidah penting dalam asma wa
sifat
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Hadits

Al-Masa’il War Rasa’il al-Marwiyyah ‘an al-imam Ahmad

https://muslimah.or.id/2609-kaidah-kaidah-penting-untuk-memahami-asma-dan-
sifat-allah.html

https://muslimafiyah.com/coretan-ringan-tentang-kaidah-kaidah-memahami-
asma%E2%80%99-dan-sifat-allah.html

https://ukhuwahislamiah.com/kaidah-dalam-memahami-nama-nama-dan-
sifat-allah/

Anda mungkin juga menyukai