Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ULUMUL HADITS
”Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama”
Dosen Pengampu : Miftahul Huda, S.Pd.I., M.Ag

Kelompok 2 :
Yusuf Cahya Irawan 210415050
Tarisa Aidil Alzahra 210415014

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PRODI EKONOMI SYARIAH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas taufik dan rahmat-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah tentang Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama. Shalawat dan
salam senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita yaitu, Nabi Muhammad Saw kepada
keluarga, sahabat serta kepada seluruh umatnya. Serta semoga kita termasuk kedalam golongan
yang mendapatkan syafa’atnya di surganya Allah SWT.
Dalam kesempatan kali ini, kami ucapkan terimakasih kepada semua yang telah
berkenaan untuk membaca makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang telah kami susun
dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan, wawasan serta pengalaman bagi para pembaca.
Sehingga makalah ini dapat diperbaiki oleh kami agar lebih baik lagi.
Kami menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya tidak seberapa serta
masih perlu belajar lagi dalam penuisan makalah yang sempurna. Oleh karena itu, kami
membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca dengan tujuan agar dapat meningkatkan
kualitas dan berguna dimasa yang akan datang.
Besar harapan, mudah-mudahan makalah yang kami buat dengan sangat sederhana ini
dapat bermanfaat bagi semua orang.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Bandung, 30 Oktober 2021

Kelompok 2
DAFTAR ISI

JUDUL…………………………………………………………………………….
KATA PENGANTAR……………………………………………………………..
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………..
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN
A. Hadits sebagai sumber ajaran agama…………………………………….
B. Dalil-Dalil Kehujahan Hadits…….……………………………………...
C. Fungsi-fungsi dari Hadist ……………...…………………………………
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Menurut bahasa ( lughat ) , hadits dapat berarti baru, dekat (qarib) dan cerita
(khabar). Sedangkan menurut istilah ahli hadits ialah “ segala ucapan Nabi, segala
perbuatan beliau dan segala keadaan beliau “. Akan tetapi para ulama Ushul Hadits,
membatasi pengertian hadits hanya pada “ Segala perkataan, segala perbuatan dan
segala taqrir Nabi Muhammad SAW, yang bersangkut paut dengan hukum “.
Beranjak dari pengeretian-pengertian diatas, menarik dibicarakan tentang
kedudukan hadits dalam islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an
merupakan sumber hukum utama atau primer dalam islam. Akan tetapi dalam
realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an
membicarakannya, atau al-qu’an membicarakan secara global saja atau bahkan
tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-qur’an. Nah jalan keluar untuk memperjelas
dan merinci keuniversalan Al-qur’an tersebut, maka diperlukan Hadits atau Sunnah.
Disinilah peran dan kedudukan hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an
atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder atau kedua setelah AL-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Hadits Sebagai Ajaran Agama?
2. Bagaimana Dalil-dalil Kehujahan Hadits ?
3. Apa Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui mengapa hadits itu sebagai ajaran agama.
2. Untuk mengetahui mengapa hadits itu sebagai ajaran agama.
3. Untuk mengetahui fungsi-fungsi dari hadits terhadap Al-Quran.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama


Hadits dalam islam memiliki kedudukan yang sangat urgen. Dimana hadits merupakan
salah satu sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Al-Quran akan sulit dipahami tanpa
invervensi hadits. Memakai Al-Quran tanpa mengambil hadits sebagai landasan hukum
dan pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin, karena Al-Quran akan sulit
dipahami tanpa menggunakan hadits.Kaitannya dengan kedudukan hadits di samping
Al-qur’an sebagai sumber ajaran isalm, maka Al-Quran merupakan sumber pertama,
sedangkan hadits merupakan sumber kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara Al-Quran
dan hadits karena keduanya adalah wahyu hanya saja Al-Quran merupakan wahyu
matlu ( wahyu yang dibacakan oleh Allah SWT, baik redaksi maupun maknanya,
kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa arab ) dan hadits wahyu
ghoiru matlu ( wahyu yang tidak dibacakan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad
SAW secara langsung, melainkan maknanya dari Allah dan lafalnya dari Nabi
Muhammad SAW. Ditinjau dari segi kekuatan didalam penentuan hukum, otoritas Al-
Quran lebih tinggi satu tingkat daripada otoritas hadits, karena Al-Quran mempuyai
kualitas qath’i baik secara global maupun terperinci. Sedangkan Hadits berkualitas
qath’i secara global dan tidak secara terperinci. Disisi lain karena Nabi Muhammad
SAW, sebagai manusia yang tunduk di bawah perintah dan hukum-hukum Al-Quran,
Nabi Muhammad SAW tidak lebih hanya penyampai Al-Quran kepada manusia.
Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi
pedoman bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum ( senantiasa mendapat petunjuk
Allah SWT ). Dengan demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah petunjuk yang
juga berasal dari Allah. Al-Quran merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat
jadi, yang isi maupun redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul
adalah petunjuk dari Allah yang di ilhamkan kepada beliau, kemudian beliau
menyampaikannya kepada umat dengan cara beliau sendiri.
B. Dalil – Dalil Kehujahan Hadis
Yang dimaksud dengan kehujjahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang
wajib dijadikan hujah atau dasar hukum. Karena kedudukan Hadits sebagai bayan atau
penjelas ayat-ayat Al-Qur'an yang masih bersifat umum atau global.
Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas kehujahan sunnah dijadikan sebagai sumber
hukum islam, yaitu sebagai berikut:
1. Dalil Al-Quran
Banyak sekali ayat-ayat Alquran yang memerintahkan patuh kepada Rasul dan
mengikuti sunnahnya. Perintah patuh kepada Rasul berarti perintah mengikuti sunnah
sebagai hujah atau dasar hukum, antara lain sebagai berikut:
1. Konsekuensi iman kepada Allah adalah taat kepadanya-Nya, sebagaimana
firman Allah dalam Surah Ali-Imran (3):179
ِ ‫علَى ْالغَ ْي‬
‫ب‬ َ ‫ُط ِل َعكُ ْم‬ْ ‫ّٰللا ِلي‬
ُ ‫ب ۗ َو َما َكانَ ه‬ ِ ‫ط ِي‬ َّ ‫ع َل ْي ِه َحتهى يَمِ يْزَ ْال َخ ِبيْثَ مِنَ ال‬ َ ‫ع ٰلى َما ٓ اَ ْنت ُ ْم‬ َ َ‫ّٰللا ِل َي َذ َر ْال ُمؤْ مِ ِنيْن‬
ُ ‫َما كَانَ ه‬
‫سل ِٖه ۚ َوا ِْن تُؤْ مِ ن ُْوا َوتَتَّقُ ْوا فَلَكُ ْم اَجْ ٌر عَظِ ْي ٌم‬ ِ ‫سل ِٖه َم ْن يَّش َۤا ُء ۖ ف َٰامِ ن ُْوا بِ ه‬
ُ ‫اّٰلل َو ُر‬ ْ ‫ي‬
ُ ‫مِن ُّر‬ َ ‫َو ٰل ِكنَّ ه‬
ْ ِ‫ّٰللا يَجْ تَب‬
Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman sebagaimana dalam
keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia membedakan yang buruk dari yang
baik. Allah tidak akan memperlihatkan kepadamu hal-hal yang gaib, tetapi Allah
memilih siapa yang Dia kehendaki di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu,
berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Jika kamu beriman dan bertakwa,
maka kamu akan mendapat pahala yang besar

Beriman kepada Rasul berarti taat kepada apa yang disampaikan kepada umatnya,
baik Alquran maupun hadis yang dibawanya.

2. Perintah beriman kepada Rasul dibarengkan dengan beriman kepada Allah,


Sebagaimana dalam Surah An-Nisa (4):136

ْ‫مِن قَ ْب ُل ۗ َو َم ْن يَّ ْكفُر‬


ْ ‫ِي اَ ْنزَ َل‬ ِ ‫ع ٰلى َرس ُْول ِٖه َو ْال ِك ٰت‬
ْٓ ‫ب الَّذ‬ ِ ‫اّٰلل َو َرس ُْول ِٖه َو ْال ِك ٰت‬
ْ ‫ب الَّذ‬
َ ‫ِي ن ََّز َل‬ ِ ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمن ُْٓوا ٰامِ ن ُْوا بِ ه‬
ۤ
‫ض ٰل ًل ۢ َب ِع ْيدًا‬ َ ْ‫اْلخِ ِر فَقَد‬
َ ‫ض َّل‬ ُ ‫اّٰلل َو َم ٰل ِٕى َكت ِٖه َوكُت ُ ِب ٖه َو ُر‬
ٰ ْ ‫سل ِٖه َو ْال َي ْو ِم‬ ِ ‫ِب ه‬

Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Rasul-
Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian,
maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.
3. Kewajiban taat kepada Rasul karena menyambut perintah Allah, sebagaimana
dalam Surah An-Nisa (4) : 64
ِ ‫طاعَ بِ ِاذْ ِن ه‬
ۗ ‫ّٰللا‬ ْ ‫َو َما ٓ اَرْ َس ْلنَا‬
َ ُ‫مِن َّرس ُْول ا َِّْل ِلي‬

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati

4. Perintah taat kepada Rasul bersama perintah taat kepada Allah, sebagaimana
dalam Surah Ali-Imran (3) :32

َ‫ّٰللا َْل يُحِ بُّ ْال ٰكف ِِريْن‬


َ ‫الرس ُْو َل ۚ فَا ِْن ت ََولَّ ْوا فَاِنَّ ه‬ َ ‫قُلْ اَطِ ْي ُعوا ه‬
َّ ‫ّٰللا َو‬

Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling,


ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.

5. Perintah taat kepada Rasul secara khusus, sebagaiman dalam Surah Al-Hasyr
(59):7

ِ ‫ّٰللا َش ِد ْيدُ ْال ِعقَا‬


‫ب‬ َ ‫ع ْنهُ فَا ْنتَ ُه ْو ۚا َواتَّقُوا ه‬
َ ‫ّٰللا ۗاِنَّ ه‬ َّ ‫َو َما ٓ ٰا ٰتىكُ ُم‬
َ ‫الرس ُْو ُل فَ ُخذُ ْوهُ َو َما نَهٰ ىكُ ْم‬

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.

Beberapa ayat diatas secara gamblang memerintahkan taat kepada Allah dan
mengikuti Rasulullah, manusia tidak mungkin bisa mengikuti jejak Rasul tanpa
mengetahui sunnahnya. Diantara ayat tersebut menjelaskan perintah iman dan taat
kepada Rasul setelah perintah taat kepada Allah, menunjukkan bahwa taat kepada Allah
berarti melaksanakan perintah-perintah Alquran dan menjauhkan larangan-Nya.
Sedangkan taat kepada Rasulullah berarti taat kepada perintah dan menjauhkan
larangannya yang disebutkan dalam sunnah dan Alquran. Perintah kembali kepada
Allah berarti kembali kepada Alquran, sedang kembali kepada Rasul berarti kembali
kepada sunnah, baik ketika masih hidup maupun setelah wafatnya. Lebih terpereinci
Al-Qurthubi menjelaskan bahwa kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan bertanya
pada masa hidupnya dan mempelajari sunnah setelah wafatnya. Demikian juga
pendapat Mujahid, Al’Amasy, dan Qatadah.
2. Dalil Hadist
Hadis yang dijadikan dalil kehujahan sunnah juga banyak sekali, diantaranya
sebagaimana sabda Nabi Saw

Hadis diatas menjelaskan bahwa seseorang tidak akan sesat selamanya apabila
hidupnya berpegang teguh atau berpedoman pada Alquran dan sunnah. Orang yang
tidak berperang teguh pada keduanya atau tidak mengikuti sunnah berarti sesat. Nabi
tidak pernah memerintahkan, kecuali dengan diperintah Allah dan siapa yang taat
kepada Nabi berarti ia taat kepada Dzat yang memerintahkan kepadanya untuk
melaksanakan perintah itu.
Kehujahan sunnah sebagai konsekuensi ke-ma’shum-an (terpelihara ) Nabi Saw
dan sifat bohong dari segala apa yang beliau sampaikan, baik berupa perkataan,
perbuatan dan ketetapannya. Kebenaran Alquran sebagai mukjizat disampaikan oleh
sunnah. Demikian juga kebenaran pemahaman Alquran juga dijelaskan oleh sunnah
dalam praktik hidup beliau. Oleh karena itu, jika sunnah tidak dapat dijadikan hujah,
Alquran yang sebagai efek produknya akan dipertanyakan kehujahannya.

3. Ijma’Para Ulama
Para ulama telah sepakat ( konsesus ) bahwa sunnah sebagai salah satu hujah dalam
hukum islam setelah Alquran. Asy-Syafi’I (w. 204 H ) mengatakan : Aku tidak
mendengar seseorang yang dinilai manusia atau oleh diri sendiri sebagai orang alim
yang menyalahi kewajiban Allah Swt untuk mengikuti Rasulullah SAW dan berserah
diri atas keputusannya. Allah tidak menjadikan orang setelahnya, kecuali agar
mengikutinya. Tidak ada perkataan dalam segala kondisi, kecuali berdasarkan Kitab
Allah atau sunnah Rasul-Nya. Dasar lain selain dua dasar tersebut harus mengikutinya.
Sesunguhnnya Allah telah memfardhukan kita, orang-orang sebelum dan sudah kita
dalam menerima khabar dari Rasulullah SAW. Tidak ada seorang pun yang berbeda
bahwa yang fardhu dan yang wajib adalah menerima khabar dari Rasulullah SAW.
Demikian juga ulama lain, seperti As-Suyuthi ( w. 911 H ) berpendapat bahwa
orang yang mengingkari kehujahan hadits Nabi, baik perkataan dan perbuatannya yang
memenuhi syarat-syarat yang ejlas dalam ilmu Ushul adalah kafir, keluar dari islam dan
digiring bersama orang Yahudi dan Nashrani, atau bersama orang yang dikehendaki
Allah dari kelompok orang-orang kafir. As-Syaukani ( w. 1250 ) juga mempertegas
bahwa para ulama sepakat atas kehujahan sunnah secara mandiri sebagai sumber
hukum islam seperti Alquran dalam menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang
haram. Kehujahan dan kemandiriannya sebagai sumber hukum islam merupakan
keharusan ( dharuri ) dalam beragama. Orang yang menyalahinya tidak ada bagian
dalam bragama islam ? Para ulama dahulu dan sekarang sepakat bahwa sunnah menjadi
dasar kedua setelah Alquran. Fuqaha sahabat selalu berferensi pada sunnah dalam
menjelaskan Alquran dan dalam ber-istinbath hukum yang tidak didapati dalam
Alquran.
Dari berbagai pendapat di atas, kiranya dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut :
a. Para ulama sepakat bahwa sunnah sebagai hujah, semua umat islam menerima dan
mengikutinya, kecuali sekelompok minoritas orang.
b. Kehujahan sunnah adakalanya sebagai mubayyin ( penjelas ) terhadap Alquran, atau
berdiri sendiri sebagai hujah untuk menambah hukum-hukum yang belum
diterangkan oleh Alquran
c. Kehujahan sunnah berdasarkan dalil-dalil yang qath’i ( pasti ), baik dari ayat-ayat
Alquran atau hadits Nabi dan atau rasio yang sehat maka bagi yang menolaknya
dihukumi murtad.
d. Sunnah yang dijadikan hujah tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan
shahih, baik mutawatir atau ahad.

C. Fungsi-Fungsi Hadist Terhadap Al-Quran


Fungsi hadis yaitu untuk menjelaskan lebih rinci apa yang tidak dijelaskan dalam Al-
Qur'an. Dengan kata lain, hadis memiliki fungsi utama sebagai menegaskan,
memperjelas, dan menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada diAl-Qur'an,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S An-Nahl (16): 44:
‫ت ِبا‬ ُّ ۗۗ َ‫الذ ْك َر اِلَيْكَ ْنزَ ْلن َۤا َوا‬
ِ ‫لزب ُِر َوا ْل َب ِي ٰن‬ ِ َ‫َيتَفَ َّك ُر ْونَ َولَ َعلَّ ُه ْم اِلَ ْي ِه ْم ن ُِز َل َما ِس لِلنَّا ِلت ُ َب ِين‬
"(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-
kitab. Dan Kami turunkan Ad-Zikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan
kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka
memikirkan."
Penjelasan itu kemudian oleh para ulama di perinci ke berbagai bentuk penjelasan.
Secara garis besar ada empat fungsi penjelasan hadist, yaitu :

1. Bayan At-Tafsir
Bayan At-Tafsir yaitu untuk memberikan rincian atau tafsiran terhadap
ayat-ayat al-Quran yang masih mujmal atau umum.. Ada 3 macam
penjelasan yang diberikan, yaitu :
a. Tafshir Al-Mujnal
Hadist memberikan penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Al-
Quran yang bersifat global, baik menyangkut masalah ibadah maupun
hukum. Misalkan perintah sholat pada beberapa ayat Al-Quran yang
hanya menerangkan secara global, yaitu dirikanlah sholat. Tanpa
disertai petunjuk bagaimana melaksanakannya, berapa kali dalam
semalam, berapa rakaat, kapan waktunya, rukun-rukunnya dan
sebagainya.
b. Takhshis Al-‘amm
Hadist mengkhususkan ayat-ayat Al-Quran yang umum, sebagian ulama
menyebutnya bayan takhshish. misalnya ayat-ayat tentang waris dalam
Q.S An-Nisa (4): 11:
‫ص ْي ُك ُم‬
ِ ‫ّٰللا ي ُْو‬
ُ‫ي ه‬ ْ ۤ ِ‫ۚۗ ْنثَيَي ِْن ْاْلُ َح ِظ مِ ثْ ُل لِلذَّك َِر ِدكُ ْم اَ ْو َْل ف‬
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian
warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan.

kandungan ayat tersebut menjelaskan pembagian harta warisan terhadap


ahli waris. baik anak laki-laki, anak perempuan, satu, dan atau banyak,
Orang Tua (Bapak dan Ibu) jika ada anak atau tidak ada anak, jika tidak
ada saudara atau tidak ada, dan seterusnya. Ayat harta warisan ini
bersifat umum, kemudian dikhususkan (takhsish) dengan hadist Nabi
yang melarang mewarisi harta peninggalan para Nabi, berlainan agama,
dan pembunuh. seperti sabda Nabi ‫ ﷺ‬:
ُ‫ث ْاْل َ ْنبِيَاءِ َمعَاث َِر نَحْن‬
ُ ‫صدَقَةٌ َمات ََر ْكنَاهُ َْلن ُْو َر‬
َ
“kami, kelompok para nabi, tidak meninggalkan harta waris. Apa yang
kami tinggalkan sebagai sedekah”

Dan sabda Nabi ‫ ﷺ‬:


ُ ‫القَاتِ ُل َْليَ ِر‬
‫ث‬
Pembunuh tidak dapat mewarisi (harta pusaka). (H.R. At-Tirmidzi)

c. Taqyid Al-Muthlaq
Hadist membatasi kemutlakan ayat-ayat Al-Quran. Artinya, Al-Quran
keterangannya secara mutlak, kemudian dibatasi dengan hadist yang
Misalnya firman Allah Q.S Al-Maidah (5): 38:
ِ ‫َّارقَةُ َوالس‬
ُ‫َّارق‬ َ ‫أَ ْي ِد َي ُه َما فَا ْق‬
ِ ‫ط ُعواْ َوالس‬
Pencuri lelaki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-tangan
mereka

Pemotongan tangan pencuri dalam ayat tersebut secara mutlak nama


tangan, tanpa dijelaskan batas tangan yang harus di potong apakah dari
pundak, bahu, sikut dan pergelangan tangan. Kata tangan itu mutlaq,
meliputi hasta dari bahu, pundak lengan, dan sampai telapak tangan..
Kemudian pembatasan itu baru dijelaskan dengan hadist, ketika ada
seorang pencuri datang ke hadapan Nabi dan di putuskanlah hukuman
dengan pemotongan tangan, maka di potong pada pergelangan
tangannya.

2. Bayan At-Taqrir
Bayan At-Taqrir memposisikan hadist sebagai penguat (taqrir) atau
memperkuat keterangan dalam Al-Quran (ta’kid). Sebagian ulama
menyebut bayan ta’kid atau bayan taqrir. Artinya adalah menetapkan dan
memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-Quran.
Hadist riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, yang artinya :
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda : “Tidak diterima shalat seseorang yang berhadas
sebelum ia berwudhu.”
Hadist ini mentakrir ayat al-Quran Surah Al-Maidah ayat 6 mengenai
keharusan berwudhu ketika seseorang akan mendirikan sholat. Yang
artinya:
“Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan
tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu
sampai ke kedua mata kaki.”

3. Bayan An-Nasakh
Bayan An-Nasakh yaitu menghapus (nasakh) hukum yang telah diterangkan
dalam Al-Quran. Misalnya kewajiban wasiat yang diterangkan dalam Q.S
Al-Baqarah (2): 180:
َ ‫علَ ْيكُ ْم كُت‬
‫ِب‬ َ ‫صيَّةُ ْٱل َو ۚۗ َخي ًْرا ت ََركَ ا ِْن ْال َم ْوتُ اَ َحدَكُ ُم َح‬
َ ‫ض َر اِذَا‬ ِ ‫ْل َوا ِلدَي ِْن ل ِْل َوا‬
َ ْ َ‫ۚۗ ْل َم ْع ُر ْوفِ ِبا ْق َر ِبيْن‬
َ َ‫ْال ُمتَّ ِقيْن‬
‫علَى َح ًّقا‬
Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di
antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang
tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi
orang-orang yang bertakwa.
Ayat di atas di nasakh dengan hadis Nabi :
َّ‫ّللا ِإن‬ ‫ثَّ هو ِصيةهَّ هو هَّل حهقهَُّ حهقَّ ذِي كُلَّ أهع ه‬
َّ‫طى قهدَّ ه‬ ِ ‫ل هِو ِار‬
Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap yang mempunyai
hak dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris”.(H.R An-Nasa’i)

4. Bayan Tasyri
Bayan tasyri’ merupakan penjelasan Hadis yang berupa mewujudkan,
mengadakan, atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara yang
tidak didapati nashnya dalam al-Quran. Rasul SAW dalam hal ini, berusaha
menunjukan suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang
muncul pada saat itu, dengan sabdanya sendiri. Contohnya yaitu Hadis
tentang zakat fitrah, yang artinya :

“Bahwasannya Rasul ‫ ﷺ‬telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam


pada bulan ramadan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap
orang, baik merdeka, atau hamba, laki-laki atau perempuan”
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
A. Hadist sebagai sumber ajaran agama merupakan peran yang sangat penting. Karena
hadist ini untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara
yang tidak dibicarakan secara rinci atau, sama sekali tidak dibicarakan di dalam al
qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila hadits tidak berfungsi sebagai
sumber hukum, maka kaum muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam
berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain
sebagainya. Oleh karena itu hadist sebagai ajaran agama merupakan kedudukan
yang sangat penting bagi kita untuk menjalankan ibadah-ibadah dengan ketentuan
umum dari al-quran dan penjelasannya dari hadist.
B. Kehujjahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang wajib dijadikan
hujah atau dasar hukum. Karena kedudukan Hadits sebagai bayan atau
penjelas ayat-ayat Al-Qur'an yang masih bersifat umum atau global.
Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas kehujahan sunnah dijadikan sebagai
sumber hukum islam, yaitu Dalil Alquran, Dalil Hadits, dan Ijma’Para Ulama.
C. Fungsi hadis yaitu untuk menjelaskan lebih rinci apa yang tidak dijelaskan dalam
al-qur'an. Dengan kata lain, hadis memiliki fungsi utama sebagai menegaskan,
memperjelas, dan menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada dial-qur'an,
fungsi-fungsi hadist terhadap al-quran itu ada 4 yaitu bayan at-tafsir, bayan at-taqrir,
bayan an-naskhi, dan bayan at-tasyri.
DAFTAR PUSTAKA

Asep Herdi, 2014, Memahami Ilmu Hadits, Bandung, Tafakur

Dr.H. Abdul Majid Khon, M.Ag. 2012. Ulumul Hadist. Jakarta. Amzah

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://media.neliti.com/media/
publications/339851-the-role-of-hadis-as-religion-doctrine-r-
65775209.pdf&ved=2ahUKEwiXj8nV8PPzAhWTX3wKHaMVD04QFnoECAwQAQ&usg=A
OvVaw1H8q_TeItGupqNwzicA1cs

https://books.google.co.id/books?id=tK_xDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=ulumul+ha
dits&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjO9bnmsfLzAhWtuksFHTcsDUgQ6wF6BAgJEAU#v=on
epage&q=ulumul%20hadits&f=true
https://rarasmoro.wordpress.com/2016/04/07/makalah-hadis/

https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/1952/pengertian-kedudukan-dan-fungsi-hadits.html

https://quran-id.com

Anda mungkin juga menyukai