Anda di halaman 1dari 5

KUE KALENG

Karya: Adya Pramudita

Anak itu datang lagi. Anak bermata sipit dan senyum manis. Selintas anak itu
mengingatkanku pada aktor Boboho ketika kecil, tentu dengan tubuh yang lebih ramping dan
mungil. "Bu Gulu, main lagi, yuk!" Ia menyalamiku. Pengucapan huruf R dia memang belum
sempurna.

"Rudi jangan begitu. Bu Guru sibuk. Ayo sini, temani Teteh." Hesti kakaknya menarik lengan
Rudi.

"Enggak apa-apa, Hesti. Biarkan dia bermain bersamaku, selagi kamu bekerja," ucapku.
Wajah Rudi langsung berbinar dan melepaskan genggaman tangan kakaknya, ia segera berlari ke
arahku.

"Hapunten (Mohon maaf), Bu. Rudi culangung (Tidak sopan)."

"Santai aja, udah sana. Kamu udah ditunggu Bu Ulis."

Hesti pun mundur perlahan, lantas hilang memasuki rumah yang berada tepat di sebelah
rumah yang aku tempati. Rudi langsung mengambil kotak lego di sudut ruang tengah rumahku.
Lego milikku pribadi yang sengaja aku bawa dari kota untuk mainan dan sarana belajar anak-
anak kelas 1 SD.

Sekolah dusun tempat aku mengajar amatlah sederhana dengan fasilitas yang jauh dari layak.
Buku-buku bacaan pun sudah usang, robek, dan sebagian hampir tanpa jilid. Kata kepala
sekolah, buku bacaan anak-anak terakhir kali datang dari pusat ketika BJ Habibie baru menjabat
menjadi presiden. Kurang lebih 8 tahun yang lalu. Ketika pertama kali ditugaskan di desa
terpencil ini, nun jauh di selatan kabupaten Sukabumi. Aku mengirim email ke teman setelah
mengetahui kondisi buku bacaan di sini, agar mereka bisa menyumbang buku. Hasilnya cukup
menggembirakan, kakakku membawakan 3 kardus buku sumbangan yang teman-temanku
kirimkan ke alamat orang tuaku di kota.

Namun, untuk mainan edukatif aku masih belum mendapatkan sumbangan hingga harus
mengeluarkan dari saku pribadi. Maka, aku menjaga mainan itu dengan membawanya pulang
setiap hari. Khawatir banyak yang hilang. Mainan itu yang sering dimainkan Rudi ketika dia
menunggu Hesti bekerja.

"Bu Gulu, aku buat telowongan. Nanti mobilnya masuk sini."

"Oh ya? Bagus banget. Siapa sopirnya?"

"Aku."

"Rudi mau ke mana?"


"Mau mengantal Bu Gulu pelgi ke sekolah bial Ibu nggak capek," katanya lugu tanpa melihat
ke arahku. Aku langsung meletakkan buku yang aku baca di pangkuan, menatap Rudi lekat-
lekat. Ada rasa beku di jantungku. Anak 5 tahun yang ditinggalkan ibunya menjadi TKW dan tak
pernah tahu siapa ayah kandungnya itu sudah memiliki rasa empati yang baik. Tanpa stimulus
pendidikan dini yang memadai, ia sudah berkembang sebaik ini. "Terima kasih, Rudi...," ucapku
lirih.

Hesti dan Rudi adalah kakak beradik. Ibu mereka semula menjadi TKW di Hongkong, 5
tahun lalu pulang dengan perut membuncit tanpa pernah mengatakan siapa ayah bayi yang
dikandungnya. Setelah ibu mereka melahirkan Rudi, ayah Hesti pergi tanpa pernah kembali.
Desas-desus mengatakan ayah Hesti yang semula seorang nelayan pergi menjadi buruh
bangunan di kota, membawa hati yang remuk redam karena pengkhianatan istrinya.

Ketika Rudi berusia tiga tahun ibu kedua anak itu pergi lagi untuk menjadi TKW, tak jelas di
mana. Hanya sempat satu kali berkirim surat menyampaikan ia hendak pergi ke Jeddah, Arabia.
Hampir satu tahun tak ada kiriman uang untuk dua bersaudara yang tinggal bersama nenek dan
bibi mereka, yang kondisi keuangannya juga jauh dari cukup. Lulus Sekolah Dasar Hesti tak
mungkin melanjutkan ke SMP yang berjarak belasan kilometer dari kampung ini. Maka, sambil
mengasuh Rudi dan merawat neneknya yang sudah renta Hesti menjadi buruh cuci dan setrika di
beberapa rumah termasuk rumahku dengan cucian yang tidak seberapa banyak.

"Meski Emak tidak mengirim uang, Bapak juga enggak tahu ada di mana. Kami tidak pernah
enggak makan," ucap Hesti suatu kali, ia amat yakin pada dirinya sendiri bahwa mereka pasti
bisa bertahan.

Keberadaan kedua bersaudara itu seringkali membuat diriku malu. Aku yang seringkali
mengeluh karena ditempatkan di daerah yang sangat terpencil jauh dari peradaban. Tanpa sinyal
ponsel dan internet yang bisa digunakan, tanpa tempat makan yang enak dan nyaman untuk
dijadikan tempat nongkrong. Sampai sebulan lalu aku masih suka merutuk karena dahulu ibu
begitu memaksa agar aku ikut seleksi pegawai negeri, padahal sebelumnya aku sudah memiliki
pekerjaan yang mengasyikan di sebuah stasiun radio di ibukota.

Aku menyesali segala kondisi yang terjadi padaku. Tanpa pernah melihat dari sudut pandang
berbeda. Tanpa pernah bersyukur, aku nyaris lupa bagaimana cara bersyukur. Kedua anak itu
mengingatkanku.

"Kue kaleeeng!" pekik Rudi, menunjuk tumpukan kaleng di atas meja makan yang baru tiba
kemarin. Semuanya adalah makanan yang dikirimkan ibu untukku. Ibu memang terbiasa seperti
itu, ketika aku tinggal di Jakarta pun dia kerap mengirimiku makanan kering yang la masak
sendiri.
"Itu kue kaleng, Bu?" tanyanya malu-malu, seperti merasa bersalah karena teriakannya yang
sempat mengejutkanku. Aku mengangguk dan mengambil empat kaleng tersebut ke hadapannya.
"Rudi mau? Yuk... kita buka."

Rudi langsung meletakkan mainannya dan duduk bersila di hadapan kaleng-kaleng yang baru
akan aku buka. Tapi wajahnya langsung kecewa ketika melihat isi kaleng- kaleng tersebut.

"Palsu, ini kue kaleng palsu. "

Aku langsung memberikan Rudi rempeyek udang dari dalam kaleng berwarna biru. "Enak
kok, ayo coba." Rudi mengambilnya setengah hati. Wajahnya semakin berkabut.

"Yang ini isi rempeyek, yang lebih kecil ini isi abon sapi." Aku menunjukkan dua kaleng
bertuliskan Monde yang berbeda ukuran. "Ini kerupuk udang, ini keripik singkong." Aku
menepuk kaleng bermerek Khong Guan.

Rudi menggeleng. "Duluuu, setiap lebalan Emak beliin kue kaleng. Lasanya enaaaak banget."
Matanya memejam, membayangkan rasa nikmat yang pernah ia rasakan. Barangkali bersamaan
dengan kerinduan Rudi pada ibunya.

"Baiklah. Lebaran ini aku yang akan memeberimu hadiah kue kaleng untukmu," kataku
menghiburnya. Rudi seketika melonjak gembira, mata sipitnya membesar berbinar-binar.

Ketika Hesti menjemputnya, Rudi langsung bercerita. "Teteh, Bu Gulu itu punya kue kaleng
banyaak banget tapi isinya palsu," bisik Rudi di samping Hesti yang tengah menyetrika bajuku.
"Ssssttt " Hesti meminta dia diam.

"Teteh, nanti kalau Teteh punya uang kita beli kue kaleng ya?" Rudi masih belum berhenti.

"Uangnya tak akan cukup, untuk kita makan aja kurang. Semua uang yang Teteh dapatkan
harus dikasihkan ke Bi Elih," jawab Hesti dengan bisikan yang mulai geram.

"Teteh, aku mau kue kaleng!!!" rengeknya.

"Beli wafer aja, ya. Ini Teteh punya uang dua ribu." Hesti mengeluarkan dari saku roknya.
Namun, Rudi menggeleng, wajahnya memberengut.

"Kue kaleng. ," ucapnya lagi.

Aku merasa iba mendengar percakapan dua anak itu. Keesokan harinya aku berjalan agak
jauh demi warung yang lebih besar dari warung di dekat rumah kontrakanku. Namun, kue kaleng
sekelas Monde dan Khong Guan tak dijual di sana. Akhirnya aku hanya membeli astor yang
dikemas dalam kaleng plastik bening. Sayangnya, Rudi masih menolak.

"Bu Guru sudah begitu baik pada kami. Mohon jangan manjakan Rudi. Nanti juga dia akan
lupa dengan kue kaleng. Dia memang sering begitu. Kalau kangen Emak, dia pasti minta kue
kaleng, "Hesti protes kepadaku ketika tahu aku berlelah-lelahan demi mencari kue kaleng buat
Rudi meski tak berhasil.

Aku memahami rasa keberatan Hesti, karena ia harus mendidik adiknya agar tangguh dan
tidak manja. Jika aku meluluskan semua keinginan Rudi, kelak Hesti sendiri yang akan
kerepotan.

Memasuki bulan Ramadhan Hesti berhenti menjadi tukang setrika dan cuci baju, karena
bekerja di kecamatan membantu di toko ikan asin. Pada awalnya Rudi sering datang sendiri main
ke rumahku, namun setelah Ramadhan minggu kedua dia tak datang lagi. Sesaat aku melupakan
tentang Rudi, Hesti dan kue kaleng karena kesibukan mengajar menjelang libur Idul Fitri.
Banyak rencana yang harus aku siapkan, beberapa malam aku menyusun soal untuk PR murid-
muridku selama liburan.

Ketika kakakku datang menjemputku untuk pulang, karena liburan Idul Fitri sudah tiba, Bu
Ulis pemilik rumah yang aku tempati mengatakan kalau Rudi sakit. Aku segera pergi ke
rumahnya.

"Rudi panas terus udah enam hari, sekarang ini lagi di bawa Hesti ke puskesmas," kata Bi
Elih, bibinya Hesti dan Rudi. "Anak itu sudah berhari-hari mengigau minta kue kaleng."

Seakan ada dentuman keras di dadaku mendengar kalimat terakhir itu. Betapa memakan kue
kaleng bukan hanya keinginan selewat, barangkali dalam rasa manis dan gurih kue yang ia
makan, Rudi dapat menemukan kasih sayang ibunya. Aku dan kakakku bergegas menyusul ke
puskesmas, namun sesampainya di sana, puskesmas nan sederhana itu telah tutup. Ketika
kembali ke rumah Hesti ternyata mereka belum juga pulang. Saat itu telah jam 2 siang, kami
susuri jalan kampung dengan udara pesisir yang terik dan terasa memanggang ubun-ubun kepala.

Selepas asar, aku melihat seorang anak perempuan berjalan kepayahan menggendong anak
laki-laki yang sudah terkulai di bahunya. Tak terasa air mataku mengalir tanpa bisa ditahan. Aku
langsung menyuruh Hesti masuk mobil, dan memberinya sebotol air mineral.

"Saya masih saum, Bu."

Oh Tuhan, betapa sholehah anak ini, liputi dia dengan kebahagiaan kelak, pintaku saat itu.
Lantas ia memberi Rudi minum sedikit demi sedikit, menyobekkan roti yang terlihat keras dan
kasar. Rudi mengunyahnya dengan sisa-sisa tenaga, sesekali matanya terpicing memberi isyarat
bahwa ia merespons setiap perkataanku.

"Puskesmasnya tadi keburu tutup, tak ada yang mengobati Rudi di sana. Ada orang
menunjukkan saya ke mantri desa, saya pergi ke sana. Alhamdulillah... dapat obat." Hesti
tersenyum dengan raut wajah yang lelah.

"Hesti, ikut saya aja ya. Kita obati Rudi di kota!" ajakku.
Hesti menggeleng. "Tidak usah Bu, Rudi akan baik-baik aja. Pak Mantri bilang Rudi enggak
apa-apa."

"Tapi kan demamnya udah lebih dari seminggu," desakku.

"Kami akan baik-baik saja, Bu, terima kasih." Hesti tetap menolak dengan santun.

Aku meninggalkan mereka dengan terpaksa setelah mengantarkan ke rumahnya. Kakakku


mengajakku cepat pulang karena hari sudah menjelang gelap, perjalanan 3,5 jam menuju
rumahku harus dilakukan dengan segera.

Beberapa hari setelah lebaran, ada sms yang mengatakan dari Hesti. Ia menyampaikan bahwa
Rudi sudah sembuh. Aku membalasnya dengan ucapan syukur dan janji akan membelikannya
kue kaleng dengan segala merek. Hesti menjawab dengan kalimat terima kasih yang berkali-kali.
Aku tidak bisa segera pulang ketika hari masuk sekolah tiba, karena ibu memintaku membantu
adik sepupuku yang akan melangsungkan pernikahan. Aku mengajukan cuti dadakan melalui
telepon pada kepala sekolah yang dikabulkan tanpa prosedur berbelit. Jadilah jadwal pulangku
mundur dua minggu dari rencana.

Rumah Hesti sepi ketika aku mengunjunginya dengan membawa dua kantong berisi 4 kue
kaleng segala merek. Hanya ada neneknya yang sudah seringkali lupa ingatan di beranda.
"Mereka semua pergi, dibawa ke kalimantan," ucapnya singkat. Aku harus menunggu bibinya
Hesti yang pasti bisa menjelaskan apa yang terjadi. Empat hari dari Hesti mengirim SMS itu
adalah hari kepergian mereka. Ibunya menjemput dan membawa dua kakak beradik itu ke
Kalimantan. Kabarnya, ibunya pulang mengurus surat cerai dan akan menikah lagi di sana. Ada
yang bilang juga karena ibunya sudah bekerja di ibukota Seingatku Hesti pernah mengatakan
ibunya pergi ke Jeddah. Entah, mana yang benar. Yang pasti Rudi tidak pernah mendapatkan
hadiah kue kaleng yang kubawa.

Lebaran berikutnya, tak ada keluarga Rudi yang mendapatkan kabar tentang mereka. Nomor
ponsel yang sempat masuk dulu ke ponselku sudah tak aktif. Demikian juga dengan lebaran
ketiga aku tinggal di kampung itu, tak ada sepenggal pun kabar, padahal aku amat merindukan
dua kakak beradik yang selalu membukakan makna hidup yang baru bagiku.

Hingga kepindahanku ke kota Bandung, karena pernikahanku pada tahun 2008 masih belum
ada kabar tentang Rudi dan Hesti. Pada setiap Ramadhan ketika aku melihat tumpukan kue
kaleng di mal-mal aku terkenang akan Rudi, dan kecintaannya pada kue kaleng. Satu hal yang
kuyakini, di tempat yang tak aku tahu. Rudi sudah dapat memakan kue kaleng yang manis dan
gurih dalam indra perasanya. Kalaupun tidak, la bisa merasakan kelezatan kasih sayang ibunya
kapan pun ia mau.

Anda mungkin juga menyukai