Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

MASALAH PENGANGGURAN DAN MASALAH


KEMISKINAN
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Zakat dan Wakaf

Dosen Pengampu : Abdul Latif

Disusun Oleh :

Abd Mu’ed Effendy 204105020039

Eva 204105020041

Nadia Rachmani Putri 204105020056

Kafila Az-Zahra 204105020061

PRODI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER

2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dan atas segala rahmat dan karuniaNya
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Dalam makalah
ini penulis akan membahas tentang “Masalah Pengangguran dan Masalah Kemiskinan”. Tak
lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua yang selalu memberi doa dan dukungan,

2. Bapak Abdul Latif selaku dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Zakat dan Wakaf

3. Dan tak lupa teman yang ikut membantu terselesainya makalah ini.

Selain hal tersebut, penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam
pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, penulis mohon kritik dan saran yang dapat
membangun sebagai acuan untuk lebih baik di masa yang akan datang. Demikian yang dapat
penulis sampaikan, akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Jember, 22 September 2022

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan......................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................3
1. Masalah Pengangguran.............................................................................................................3
A. Tinjauan Islam atas Pengangguran Jabariah (Keterbatasan)..................................................6
B. Tinjauan Islam atas Pengangguran Khiyariah.........................................................................6
2. Masalah Kemiskinan..................................................................................................................8
C. Pandangan Islam Terhadap Manusia.....................................................................................9
D. Pandangan Islam Terhadap Kemiskinan..............................................................................11
BAB III..................................................................................................................................................16
PENUTUP.............................................................................................................................................16
A. Kesimpulan.................................................................................................................................16
B. Saran...........................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam telah memproklamirkan dengan tegas baik di al-Quran maupun hadits yang
menganjurkan manusia untuk bekerja keras dan cerdas. Bahkan Islam menilai bekerja
merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah, sehingga bekerja dinilai sebagai
bentuk ibadah, karena dengan bekerja berarti seseorang telah mempotensikan sumber daya
alam yang telah disediakan oleh Allah. Sebaliknya, menganggur berarti menyia-nyiakan
amanah Allah. Pengangguran berpotensi menimbulkan berbagai masalah di masyarakat baik
di bidang ekonomi, sosial-politik, budaya bahkan agama, seperti timbulnya kerawanan sosial,
gejolak sosial dan politik, tindak kriminal dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga
merupakan pemborosan yang luar biasa. Menurut Sadono Sukirno, efek buruk dari
pengangguran adalah mengurangi pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi
tingkat kemakmuran yang telah dicapai seseorang. Semakin turunya kesejahteraan
masyarakat karena menganggur tentunya akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam
kemiskinan karena tidak memilki pendapatan. Apabila pengangguran di suatu negara sangat
buruk, kekacauan politik dan sosial selalu berlaku dan menimbulkan efek yang buruk bagi
kepada kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi dalam jangka panjang.
Al-Qur’an berbicara tentang kemiskinan jauh berabad-abad silam sebagai bagian dari
misi revolusi masyarakat Arab yang terjebak dalam jurang ketimpangan antara yang kaya
dengan yang miskin. Kemiskinan dianggap sebagai petaka, sehingga bagi mereka yang
berada dalam garis kemiskinan hanya dijadikan sebagai masyarakat yang marginal dan pantas
dijadikan sebagai ‘budak’ belaka. Bahkan di antara mereka ada yang rela mengubur buah
hatinya karena takut menjadi miskin. Maka dari itu makalah ini ditulis untuk membahas
mengenai masalah pengangguran dan masalah kemiskinan menurut pandangan islam.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tinjauan islam atas pengangguran Jabariyah (keterpaksaan)?

2. Bagaimana tinjauan islam atas pengangguran khiriyah?

3. Jelaskan pandangan islam terhadap manusia!

4. Jelaskan pandangan islam terhadap kemiskinan!

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui dan memahami tinjauan islam atas pengangguran Jabariah


(keterpaksaan).

2. Untuk mengetahui dan memahami tinjauan islam atas pengangguran khiriyah.

3. Untuk menetahui dan memahami pandangan islam terhadap manusia.

4. Untuk mengetahui dan memahami pandangan islam terhadap kemiskinan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Masalah Pengangguran

Kata pengangguran dalam bahasa inggris unemployment, dan farãgh dalam bahasa
Arab. 1
Pengangguran adalah suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam
angkatan kerja tertentu dan ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum memperolehnya.2
Keadaan tidak bekerja tersebut dengan berbagai alasan, seseorang yang menganggur karena
sedang dalam proses peralihan dari satu pekerjaaan ke pekerjaan lainnya. Selama seseorang
menganggur itulah disebut penganggur friksional (frictional unemployment). Sedangkan
versi Badan Pusat Statistik (BPS) dalam indikator ketenagakerjaan, pengangguran merupakan
penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan
suatu usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja
tetapi belum mulai bekerja.3
Pengangguran adalah suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam
angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Seseorang
yang tidak bekerja, tetapi tidak secara aktif mencari pekerjaan tidak tergolong sebagai
penganggur. Pengangguran dapat terjadi disebabkan oleh tidakseimbangan pada pasar tenaga
kerja. Hal ini menunjukkan jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebihi jumlah tenaga
kerja yang diminta (Mankiw, 2013).
Islam sangat melarang untuk menganggur dan sangat meganjurkan untuk berkerja
baik untuk kebajikan kita sendiri di dunia maupun akhirat dalam waktu yang sama. Larangan
untuk menganggur karena hal ini dapat menyebabkan manusia berada pada zona kemiskinan
sedangkan kemiskinan akan mendekatkan pada kekufuran. Perintah untuk bekerja banyak
terdapat dalam al-Quran ataupun hadist, salah satunya terdapat pada QS.At-Taubah:105

1
Seperti dalam hadis disebutkan ‫ ”شغلك قبل وفراغك‬dan pergunakan waktu luangmu sebelum datang waktu
sibukmu”.
2
Sadono Sukirno, Makro Ekonomi Modern Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 8. Lihat juga, Cris Manning dan Tadjudin Noer Efendi, Urbanisasi,
Pengangguran, dan Sektor Informasi di Kota, Cet. III (Jakarta: Yayasan Obor Indonnesia, 2003), 60.
3
SIRUSA BPS, http://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=44, diakses pada tanggal 15 September
2018

3
Artinya :
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan.”

 Penyebab Pengangguran
1) Besarnya angkatan kerja yang tidak seimbang dengan kesempatan kerja
2) Masyarakat atau warga negara tidak memiliki keterampilan tinggi serta tingkat
pendidikan yang rendah
3) Adanya kemajuan teknologi yang menggantikan manusia
4) Tenaga kerja yang ada di daerah dengan di kota tidak dimanfaatkan dengan seimbang.
5) Harapan terlalu tinggi untuk tenaga kerja
6) PHK
7) Persaingan pasar global

 Dampak dari Pengangguran


1) Berpotensi membuat keuangan negara membengkak
2) Meningkatkan angka kriminalitas
3) Dapat memunculkan konflik warga negara dengan pemerintah
4) Dapat menyebabkan kesenjangan kesempatan bekerja dan kesenjangan sosial
5) Dapat menyebabkan seseorang kehilangan keahlian atau keterampilan
6) Menyebabkan kondisi politik di suatu negara tidak stabil
7) Meningkatkan angka kemiskinan

 Solusi Alternatif terhadap Pengangguran Perspektif Islam


Dalam sistem Islam, negara berkewajiban memberikan pekerjaan kepada
mereka yang membutuhkan sebagai realisasi politik ekonomi Islam, karena penguasa

4
akan dimintai pertanggung jawabannya terhadap rakyat yang dipimpinnya. 4Oleh
karena itu, solusi yang dapat diberikan yaitu Mekanisme yang dilakukan oleh
pemerintah dalam mengatasi pengangguran dan menciptakan lapangan pekerjaan secara
garis besar dilakukan dengan dua mekanisme, yaitu: mekanisme individu dan sosial
ekonomi :
1) Mekanisme Individu
Dalam mekanisme ini penguasa secara langsung memberikan pemahaman kepada
individu, terutama melalui sistem pendidikan, tentang wajibnya bekerja dan kedudukan
orang-orang yang bekerja di hadapan Allah serta memberikan skill dan modal bagi
mereka yang membutuhkan. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa penguasa (waliy al-
amri) wajib memberikan dan menyediakan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari
kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan tanggung
jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat.
2) Mekanisme Sosial Ekonomi
Mekanisme ini dilakukan oleh penguasa melalui sistem dan kebijakan, baik kebijakan
di bidang ekonomi maupun bidang sosial yang terkait dengan masalah pengangguran.
Dalam bidang ekonomi kebijakan yang dilakukan penguasa adalah meningkatkan dan
mendatangkan investasi yang halal untuk dikembangkan di sektor real, baik di bidang
pertanian dan kehutanan, kelautan, dan tambang maupun meningkatkan volume
perdagangan. Sebaliknya, negara tidak mentoleransi sedikitpun berkembangnya sektor
non-real. Sebab, di samping diharamkan, sektor non-real dalam Islam juga
menyebabkan beredarnya uang hanya di antara orang kaya saja serta tidak berhubungan
dengan penyediaan lapangan kerja, bahkan sebaliknya, sangat menyebabkan
perekonomian menjadi labil. Dalam iklim Investasi dan usaha, penguasa akan
menciptakan iklim yang menstimulus untuk membuka usaha melalui birokrasi yang
sederhana dan penghapusan pajak serta melindungi industri dari persaingan yang tidak
sehat.
Adapun dalam kebijakan sosial yang berhubungan dengan pengangguran,
penguasa tidak mewajibkan wanita untuk bekerja, apalagi dalam Islam, fungsi utama
wanita adalah sebagai ibu dan manajer rumah tangga (ummu wa rabbah al-bayt).
Kondisi ini akan menghilangkan persaingan antara tenaga kerja wanita dan laki-laki.
Dengan kebijakan ini wanita kembali pada pekerjaan utamanya, bukan menjadi

4
Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Mesir: al-Khairiyah, 1319 H), 6605.

5
pengangguran, sementara lapangan pekerjaan sebagian besar akan diisi oleh laki-laki,
kecuali sektor pekerjaan yang memang harus diisi oleh wanita.

A. Tinjauan Islam atas Pengangguran Jabariah (Keterbatasan)


Menurut Qaradhawi (2005:6-8) pengangguran dapat di bagi menjadi dua, yaitu
pengangguran jabariyah (karena terpaksa) dan pengangguran khiyariyah (karena pilihan).5
Pengangguran Jabariyah (karena suatu keterpaksaan)
Adalah pengangguran dimana seorang tidak mempunyai hak sedikitpun memilih
status ini dan terpaksa menerimanya. Pengangguran seperti ini umumnya terjadi karena
seseorang yang tidak mempunyai keterampilan sedikitpun, yang sebenarnya bisa digali dan di
pelajari sejak kecil. Atau dia mempunyai keterampilan tetapi itu semua tidak berguna kerena
berubahnya lingkungan dan zaman. Atau dia sudah mempunyai keterampilan akan tetapi dia
tidak dapat memanfaatkan karena kurangnya alat atau modal yang di butuhkan.
Contoh ada seseorang yang ahli dalam bertani, tetapi dia tidak mempunyai alat untuk
membajak ataupun sepetak lahan untuk dia garap.

B. Tinjauan Islam atas Pengangguran Khiyariah


Seseorang yang memilih untuk menganggur padahal dia pada dasarnya adalah orang
yang mampu untuk bekerja, namun pada kenyataanya dia memilih untuk berpangku tangan
dan bermalas-malasan hingga menjadi beban bagi orang lain. Dia memilih hancur dengan
potensi yang dimilki dibandingkan menggunakannya untuk bekerja . Dia tidak pernah
mengusahakan suatu pekerjaan dan mempunyai pribadi yang lemah hingga menjadi “ sampah
masyarakat”. Islam sangat memerangi orang-orang seperti ini, walaupun dari mereka ada
yang mengatakan bahwa mereka meninggalkan pekerjaan dunia untuk menkonsentrasikan
diri untuk beribadah kepada Allah.
Adanya pembagian kedua kelompok ini mempunyai kaitan erat dengan solusi yang
menurut islam untuk mengatasi suatu pengangguran. Kelompok pengangguran jabariyah
perlu mendapatkan perhatian dari pemeintah agar mereka dapat bekerja. Sebaliknya, Islam
tidak mengalokasikan dana dan bantuan untuk pengangguran khiyariyah karena pada
prinsipnya mereka memang tidak memerlukan bantuan karena pada dasarnya mereka mampu

5
Yusuf al-Qardawi, Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, Terj. Sari Narulita (Jakarta: Zikrul
Hakim, 2005), 6-18.

6
untuk bekerja hanya saja mereka malas untuk memanfaatkan potensinya dan lebih memilih
menjadi beban bagi orang lain.

 Pembolehan orang yang memfokuskan diri dalam keilmuan untuk menerima


zakat

Perlu diketahui bahwa para ulama sepakat bolehnya zakat disalurkan untuk
penuntut ilmu. Demikian ditegaskan oleh ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah,
juga dipahami dari madzhab Malikiyah. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyah
berpendapat bolehnya penuntut ilmu (agama) mengambil zakat walau ia mampu
(kaya) yaitu jika ia menghabiskan waktunya untuk belajar dan mengambil manfaat
dari belajar sehingga ia tidak mampu mengais rizki dengan bekerja.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Seandainya seseorang mampu dan


layak bekerja namun ia tersibukkan dengan belajar ilmu syar’i dan jika ia mengambil
jalan untuk bekerja, maka terputuslah ia meraih ilmu, kondisi ini membuatnya berhak
mendapat zakat. Karena menuntut ilmu (agama) dihukumi fardhu kifayah (yaitu
sebagian orang di antara kaum muslimin harus melakukannya, pen).”
Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya mengenai seorang penuntut ilmu yang
tidak mampu membeli berbagai kita yang ia butuhkan. Beliau menjawab, “Boleh
baginya mengambil dari zakat sesuai yang ia butuhkan untuk memperoleh kitab ilmu
di mana kitab tersebut bermanfaat untuk agama dan dunianya.”
Al Buhuti rahimahullah berkata, “Penuntut ilmu tidaklah di luar dari 8 ashnaf
(golongan) yang berhak menerima zakat. Kebutuhan penuntut ilmu akan buku ibarat
seperti nafkah hidup untuknya. Dan para ulama fikih mengkhususkan bolehnya
penyaluran zakat untuk penuntut ilmu agama saja.”
Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa boleh memindahkan zakat dari suatu
negeri ke negeri lain dengan alasan disalurkan untuk penuntut ilmu. (Disarikan dari
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 336-337).
Ada 8 ashnaf (golongan) penerima zakat sebagaimana yang disebutkan dalam
ayat,

ِ ‫ب َو ْالغ‬
ِ ‫بِي ِل هَّللا‬Y ‫َار ِمينَ َوفِي َس‬ ِ ‫ات لِ ْلفُقَ َرا ِء َو ْال َم َسا ِكي ِن َو ْال َعا ِملِينَ َعلَ ْيهَا َو ْال ُمَؤ لَّفَ ِة قُلُوبُهُ ْم َوفِي ال ِّرقَا‬ َّ ‫ِإنَّ َما ال‬
ُ َ‫ص َدق‬
‫ضةً ِمنَ هَّللا ِ َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َح ِكي ٌم‬
َ ‫يل فَ ِري‬
ِ ِ‫َوا ْب ِن ال َّسب‬
7
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2]
orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk
(memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan
[8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At
Taubah: 60). Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama” yang memberi makna
hashr (pembatasan). Ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan
golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.6

Syaikh Ibnu Utsaimin menerangkan, yang dimaksud “fii sabilillah” adalah


jihad untuk meninggikan kalimat Allah itu mulia. Para mujahid diberikan zakat untuk
maksud ini sebagai nafkah dan untuk pembelian persenjataan bagi mereka. Para
ulama mengatakan bahwa termasuk “fii sabilillah” adalah seseorang yang
menghabiskan waktunya untuk belajar agama, ia bisa mendapatkan zakat untuk
memenuhi kebutuhannya berupa nafkah, pakaian, makanan, minuman, tempat tinggal,
dan kitab ilmu. Karena sekali lagi, menuntut ilmu syar’i adalah bagian dari jihad di
jalan Allah (fii sabilillah). Imam Ahmad berkata,

‫العلم ال يعدله شيء لمن صحّت نيّته‬

“Tidak ada sesuatu yang dapat menandingi ilmu jika benar niatnya.”

Ilmu adalah pokok setiap syari’at. Tidak ada syari’at kecuali dengan ilmu.
Allah menurunkan kitab dengan tujuan untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah
manusia. Dengan ini maka bisa dipelajari berbagai hukum syar’i, juga bisa diketahui
akidah, perkataan dan perbuatan.
Adapun jihad di jalan Allah tentu termasuk sebaik-baik amalan, bahkan jihad
adalah puncak ajaran Islam. Tidak ragu lagi, jihad adalah amalan sangat utama. Akan
tetapi, ilmu syar’i juga punya andil besar dalam Islam dan mempelajarinya termasuk

6
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 312.

8
jihad fii sabilillah tanpa ragu lagi. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 337/338)

2. Masalah Kemiskinan

Kemiskinan merupakan suatu keadaan manusia yang tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya.; seperti makanan, pakaian tempat berlindung, dan lain-lain. Terutama di
negara kita tercinta ini. Sebagaimana yang kita ketahui di negara kita ini banya sekali
masyarakat miskin, baik di kepedesaan ataupun perkotaan sering kali kita melihat orang-
orang yang kesehariannya dia bekerja hanya untuk makan dan lain-lain, harus bekerja
terlebih dahulu.
Penyebab utama kemiskinan di Indonesia adalah karena adanya kebijakan ekonomi
dan politik yang kurang menguntungkan keluarga miskin, sehingga keluarga miskin tidak
memiliki akses yang memadai ke sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan
hidup mereka secara layak.
Ada beberapa faktor penyebab kemiskinan salah satunya adalah Kemiskinan absolut:
bila pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup minimum atau kebutuhan dasar termasuk kesehatan dan pendidikan yang
diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Dan juga Kemiskinan kultural yang mengacu pada
persoalan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya,
seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif
meskipun ada bantuan dari pihak lain.7

C. Pandangan Islam Terhadap Manusia


Manusia merupakan mahluk Allah yang paling tinggi derajatnya dari pada mahluk
lain. Sebagai mana di dalam al Quran, Allah SWT menggunakan beberapa istilah yang
menjelaskan tentang konsep manusia, bahkan istilah-istilah itu disebutkan lebih dari satu
kali. Istilah-istilah manusia dalam al Quran memiliki arti yang berbeda-beda. Sebagaimana
“manusia” dalm al-qur’an di jelaskan:

Dalam Konsep Al-Basyar menjelaskan Kata 'basyar' disebutkansebanyak 36 kali dalam


bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk 'mutsanna' atau 'jama'. Secara etimologi al-

7
Jurnal Mimbar kesejahteraan Sosial Edisi I, November 2018, hal 4.

9
Basyar merupakan bentuk jamak dari kata al Basyaraat yang berarti kulit kepala, wajah
dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut.

Al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologi serta


memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti membutuhkan makan, minum, perlu
hiburan, hubungan seks, dan lain sebagainya.

Sebagai makhluk yang bersifat fisik, manusia tidak jauh berbeda dengan biologis
lainnya. Kehidupan manusia terikat dengan kaidah prinsip kehidupan biologis sebagaimana
di tegaskan oleh firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat al-Mu’minun (23): 33-34).
Yang artinya: (Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, Dia Makan dari apa
yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum. “Dan sesunggunya jika
kamu sekalian mentaati manusia yang seperti kamu, niscaya bila demikian, kamu benar-
benar (menjadi) orang-orang yang merugi”.(QS.Al-Mu’minun (23): 33-34).8

Di perjelas dengan firman allah (QS. Surat Ar-Rum (30): 20)“dan di antara tanda-
tanda kekuasaan-nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu
(menjadi) manusia yang berkembang biak.

Dalam firman lain allah berfirman (QS. Ali Imran (3): 47)

Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, Padahal aku
belum pernah disentuh oleh seorang lakilakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan
Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. apabila Allah
berkehendak menetapkan sesuatu, Maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah",
lalu jadilah Dia.(QS. Ali Imran (3): 47).

Dalam ayat-ayat di atas, jelas bahwa penggunaan kata basyar difokuskan untuk
makhluk fisikal-biologis, seperti terlihat penyebutannya dalam kaitan makan, minum,
menyentuh (melakukan hubungan dengan lawan jenis), dalam rangka mencari tempat baru,
mencari makan dan perjodohan. Dalam ilmu Antropologi penyebaran manusia di bumi
disebut nomaden, bertujuan untuk mencari makan dan perjodohan.9

8
Ramayulis, ilmu pendidikan islam, Jakarta: Kalam Mulia, dalam journal of Educational Studies Vol 2, No 2, juli –Desember 2017, hal 131.

9
Rif’at Syauqi Nabawi, Kepribadian Qur’ani, (jakarta: Amzah,2014). dalam journal of Educational Studies Vol 2, No 2, juli –Desember 2017,
hal 131.

10
D. Pandangan Islam Terhadap Kemiskinan
Kemiskinan adalah masalah global dan fenomena yang harus diselesaikan di negara-
negara berkembang termasuk negara-negara Muslim. Islam memandang kemiskinan
berdasarkan norma dan nilai ideologisnya. Sebagaimana disebut oleh Sadeq (1997), dua
tingkat kemiskinan telah tersirat dalam sumber-sumber Islam.

Pertama, kemiskinan kronis atau biasa disebut ‘hardcore poverty’ sebagaimana


tersirat dalam konsep ‘faqir‘ dan ‘miskin’ dalam terminologi Islam. Kedua, kemiskinan yang
rendah, yang dapat disebut ‘general poverty’, sebagaimana tercermin dalam nisab zakat.
Kemiskinan kronis ini mengacu pada konsep miskin dan faqir. meskipun beberapa
cendekiawan yurisprudensi Islam berbeda antara dua konsep (miskin dan faqir), kedua
konsep tersebut sama-sama merujuk pada kemiskinan. Faqir mengacu pada seseorang yang
tidak memiliki properti atau tidak memiliki penghasilan yang cukup dalam memenuhi
keperluan dasar seperti makanan, pakaian, akomodasi, dan kebutuhan lainnya, untuk dirinya
sendiri dan tanggungannya, dan miskin mengacu pada yang serupa, tetapi kondisinya sedikit
lebih baik (Sadeq, 1997). Kedua konsep merujuk pada kondisi ekonomi yang membuat
seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar.

Islam memandang bahwa akar masalah kemiskinan timbul karena berbagai sebab
struktural yaitu :
1) Kemiskinan timbul karena kejahatan manusia terhadap alam sehingga manusia
itu sendiri yang kemudian merasakan dampak-nya.
2) kemiskinan timbul karena ketidakpedulian dan kebakhilan kelompok kaya
sehingga si miskin tidak mampu keluar dari lingkaran kemiskinan.
3) kemiskinan timbul karena sebagian manusia bersikap dzalim, eksploitatif, dan
menindas kepada sebagian manusia yang lain, seperti memakan harta orang lain
dengan jalan yang batil memakan harta anak yatim dan memakan harta riba.
4) kemiskinan timbul karena konsentrasi kekuatan politik, birokrasi, dan ekonomi
di satu tangan. Hal ini tergambar dalam kisah Fir’aun, Haman, dan Qarun yang
bersekutu dalam menindas rakyat Mesir di masa hidup Nabi Musa.
5) Kemiskinan timbul karena gejolak eksternal seperti bencana alam atau
peperangan sehingga negeri yang semula kaya berubah menjadi miskin.
Jadi disini islam dalam pengentasan kemiskinan memiliki berbagai prinsip-prinsip terkait
kebijakan publik yang dapat dijadikan panduan bagi program pengentasan kemiskinan dan
sekaligus penciptaan lapangan kerja.

11
Pertama, Islam mendorong pertumbuhan ekonomi yang memberi manfaat luas bagi
masyarakat (pro-poor growth). Islam mencapai pro-poor growth melalui dua jalur utama:
pelarangan riba dan mendorong kegiatan sektor riil. Pelarangan riba secara efektif akan
mengendalikan inflasi sehingga daya beli masyarakat terjaga dan stabilitas perekonomian
tercipta.
Kedua, Islam mendorong penciptaan anggaran negara yang memihak kepada
kepentingan rakyat banyak (pro-poor budgeting). Dalam sejarah Islam, terdapat tiga prinsip
utama dalam mencapai pro-poor budgeting yaitu: disiplin fiskal yang ketat, tata kelola
pemerintahan yang baik, dan penggunaan anggaran negara sepenuhnya untuk kepentingan
publik.
Ketiga, Islam mendorong pembangunan infrastruktur yang memberi manfaat luas bagi
masyarakat (pro-poor infrastructure). Islam mendorong pembangunan infrastruktur yang
memiliki dampak eksternalitas positif dalam rangka meningkatkan kapasitas dan efisiensi
perekonomian. Nabi Muhammad SAW membagikan tanah di Madinah kepada masyarakat
untuk membangun perumahan, mendirikan pemandian umum d sudut kota, membangun
pasar, memperluas jaringan jalan, dan memperhatikan jasa pos.
Keempat, Islam mendorong penyediaan pelayanan publik dasar yang berpihak pada
masyarakat luas (pro-poor public services). Terdapat tiga bidang pelayanan publik yang
mendapat perhatian Islam secara serius: birokrasi, pendidikan, dan kesehatan. Di dalam
Islam, birokrasi adalah amanah untuk melayani publik, bukan untuk kepentingan diri sendiri
atau golongan. Khalifah Usman tidak mengambil gaji dari kantor-nya.
Kelima, Islam mendorong kebijakan pemerataan dan distribusi pendapatan yang
memihak rakyat miskin (pro-poor income distribution). Terdapat tiga instrument utama
dalam Islam terkait distribusi pendapatan yaitu aturan kepemilikan tanah, penerapan zakat,
serta menganjurkan qardul hasan, infak, dan wakaf. Islam mengatur bagi setiap orang yang
menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi milik-nya. Dan bagi siapa saja yang
menelantarkan tanahnya, maka negara berhak mengambilnya untuk kemudian memberikan
kepada orang lain yang siap mengolah-nya. Dengan penerapan zakat, maka tidak akan ada
konsentrasi harta pada sekelompok masyarakat. Zakat juga memastikan bahwa setiap orang
akan mendapat jaminan hidup minimum sehingga memiliki peluang untuk keluar dari
kemiskinan. Lebih jauh lagi, untuk memastikan bahwa harta tidak hanya beredar di kalangan
orang kaya saja, Islam juga sangat mendorong orang kaya untuk memberikan qard, infak, dan
wakaf.
 Maksud dan tujuan islam dalam pengentasan kemiskinan

12
Islam dengan segala ajaran luhur yang terkandung didalamnya memiliki proyeksi
yang jauh ke depan yang bertujuan untuk memelihara kepentingan dan kemaslahatan umat
manusia. Dalam Islam kita mengenal zakat (baik fitrah maupuu mâl). Sebagai salah satu dari
rukun Islam yang lima zakat fitrah ternyata mampu memberikan solusi nyata (konkrit) dalam
mengatasi kemiskinan umat. Betapa tidak, setiap orang yang memiliki harta yang telah
mencapai nisab (batas minimal harta) dan haulnya (batas minimal waktu) diwajibkan untuk
mengeluarkan zakatnya dengan persentase yang telah diatur dalam syariat. Zakat itu nantinya
akan didistribusikan kepada orang-orang fakir lagi miskin dan tujuh golongan lainnya
sebagaimana termaktub dalam Alquran (QS. at-Taubah [9]: 61). Dengan demikian tidak akan
ada lagi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Tidak ada lagi sikap saling
mencurigai dan mengintimidasi. Karena si kaya memilki kepedulian terhadap nasib orang
miskin dan si miskin pun merasa diayomi dengan santunan yang diberikan oleh kaum elit
(aghniyâ’) itu. Inilah yang kemudian kita sebut sebagai inti ajaran Islam yang begitu
memperhatikan perikemanusian.
Ibadah lain yang juga kita kenal dan selalu kita kerjakan secara rutin, lima waktu
dalam sehari semalam adalah shalat. Shalat adalah ibadah yang dilakukan untuk melakukan
kontak langsung dengan sang khâlik, Allah SWT. Dimana setiap muslim diwajibkan untuk
menjalankannya tanpa pengecualian. Dari ibadah shalat tersebut sejatinya memiliki nilai
psikologis yang tinggi dan sarat makna. Dalam shalat berjamaah, ritual ini akan dipimpin
oleh seorang pemandu yang disebut imâm dan dibelakangnya terdapat jamaah yang disebut
makmûm. Formulasi ini menggambarkan kepada kita bahwa hidup yang teratur dan nyaman
itu haruslah dibawahi oleh seorang pemimpin yang memiliki kredibilitas tinggi dan
berwibawa. Di samping rakyat yang patuh dan taat kepada pemimpinnya selama pemimpin
itu berada pada koridor (aturan) yang benar. Manakala pemimpin itu melakukan kesalahan
maka rakyat sepatutnya menegur dengan teguran yang sopan dan tidak anarkis. Hal ini karena
kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin tidak selamanya disebabkan faktor kesengajaan,
bisa saja karena kelalaian atau lupa. Lebih jauh dari itu, seorang pemimpin pun harus merasa
senang jika kesalahannya diingatkan oleh rakyat dan bersedia untuk mundur dari jabatannya
jika ternyata dia terbukti tidak lagi mampu memimpin rakyatnya.
Selanjutnya adalah puasa (ash-shiyâm), ibadah tahunan yang dilakukan secara rutin
oleh umat Islam setiap bulan Ramadhan. Sebagai sebuah ibadah yang wajib dilaksanakan
oleh setiap muslim yang sudah mencapai usia bâligh (dewasa). Puasa didefinisikan sebagai
usaha untuk menahan diri dari makan, minun, senggama dan segala yang membatalkan puasa
sejak terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari, tentu memiliki nilai dan makna filosofis

13
yang tinggi. Selain berfungsi untuk menjaga kesehatan puasa juga berguna sebagai media
bagi kaum muslim untuk merasakan (feeling) kondisi yang dialami oleh kaum lemah lagi
tidak mampu. Biasanya, setiap hari mereka menyantap makanan tanpa batasan waktu namun
ketika menjalankan ibadah puasa, waktu makan menjadi terbatasi. Hal ini dimaksudkan
sebagai bentuk solidaritas umat Islam terhadap kaum lemah (dhu’afâ’) dan orang-orang
miskin (masâkîn). Dan jauh dari itu sebetulnya puasa menyimpan hikmah yang luar biasa
yaitu menumbuhkan sikap kepedulian setiap muslim terhadap saudaranya sesama muslim
yang tidak mampu. Sikap itu ditunjukkan dengan kesediannya untuk memberikan sebagian
rizki yang didapatkan kepada mereka. Sehingga akan semakin mendekatkan mereka kepada
kaum lemah dari segi emosional dan tentu demi memperoleh keridhaan Allah SWT.Ibadah
puasa di atas lagi-lagi berfungsi sebagai sarana untuk mengentaskan kemiskinan bangsa
dalam sekala dan jumlah yang besar. Rasa lapar dan haus yang dirasakan oleh orang-orang
yang berpuasa (shâimûn) akan mendorong mereka untuk berempati terhadap saudaranya yang
kurang mampu lagi membutuhkan bantuan, pertolongan, dan santunan. Sehingga tidak lagi
kita temui orang-orang yang terpaksa meminta-minta di jalanan. Tidak akan kita jumpai
orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan yang mengenaskan dan memprihatinkan.
Semua rakyat akan hidup sejahtera, merasakan nikmat tuhan yang tiada pernah putus dan
henti. Di samping itu bantuan yang diberikan tidak selamanya berupa hal-hal yang sifatnya
sementara (materi) tetapi juga bisa berupa pemberian lapangan pekerjaan. Dengan demikian,
para pengangguran akan mendapatkan pekerjaan dan tentu akan mereduksi kemiskinan itu
sendiri. Bantuan juga dapat berupa pemberian modal usaha agar mereka juga bisa meyedot
saudara mereka untuk bekerja pada unit usaha yang mereka ciptakan dari modal usaha yang
didapat. Tentu, hal ini akan lebih efektif dan efisien demi memberantas kemiskinan di bumi
pertiwi tercinta ini.
Dan yang terakhir yang juga terbukti ampuh untuk mengentaskan kemiskinan adalah
ibadah haji (al-hajj). Haji adalah rukun Islam yang kelima yang wajib dijalankan bagi
mereka yang sudah mampu. Mampu dalam arti kecukupan biaya untuk melakukan perjalanan
ke sana, ada biaya untuk keluarga yang ditinggalkan dan sehat jasmani maupun rohani
tentunya serta adanya mahram (pendamping) bagi perempuan. Ibadah haji banyak
memberikan inspirasi umat Islam untuk melakukan bisnis dan mengilhami manusia untuk
menciptakan alat transportasi modern. Betapa tidak, ketika musim haji tiba para penjahit
tentu akan kebanjiran pesanan untuk membuat pakaian ihram yang berdampak pada
melonjaknya omzet (pendapatan). Kelompok tertentu mengadakan bimbingan haji plus demi
kelancaran pelaksaan ibadah haji di Makkah al-Mukarramah nantinya bagi para calon jamaah

14
haji. Tentu bimbingan haji ini tidak gratis tetapi juga menghasilkan rezeki yang tidak kecil.
Bimbingan ini juga tentu akan melibatkan banyak orang dari kalangan akademis (‘ulamâ’)
yang juga akan membantu dan memberikan peluang bagi mereka untuk mengais rezeki yang
halal lagi baik. Di sisi lain, jarak yang jauh antara Indonesia dan Makkah membuat manusia
berfikir untuk menciptakan alat transportasi baru. Dengan demikian mereka juga akan
mendapatkan keuntungan jika proyek mereka itu berhasil dan lebih jauh dari itu kenyamanan
pelaksaan ibadah haji akan dirasakan dengan adanya pesawat-pesawat baru.

15
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari makalah di atas dapat kita simpulkan bahwa, Pengangguran adalah suatu
keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan
pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Seseorang yang tidak bekerja, tetapi tidak
secara aktif mencari pekerjaan tidak tergolong sebagai penganggur. Pengangguran dapat
terjadi disebabkan oleh tidakseimbangan pada pasar tenaga kerja. Hal ini menunjukkan
jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebihi jumlah tenaga kerja yang diminta (Mankiw,
2013). Menurut Qaradhawi (2005:6-8) pengangguran dapat di bagi menjadi dua, yaitu
pengangguran jabariyah (karena terpaksa) dan pengangguran khiyariyah (karena pilihan).
Kemiskinan adalah masalah global dan fenomena yang harus diselesaikan di negara-negara
berkembang termasuk negara-negara Muslim. Islam memandang kemiskinan berdasarkan
norma dan nilai ideologisnya. Sebagaimana disebut oleh Sadeq (1997), dua tingkat
kemiskinan telah tersirat dalam sumber-sumber Islam. Pertama, kemiskinan kronis atau biasa
disebut ‘hardcore poverty’ sebagaimana tersirat dalam konsep ‘faqir‘ dan ‘miskin’ dalam
terminologi Islam. Kedua, kemiskinan yang rendah, yang dapat disebut ‘general poverty’,
sebagaimana tercermin dalam nisab zakat.

B. Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber
yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan. Untuk saran bisa berisi
kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari
bahasan makalah yang telah di jelaskan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Karim, Adiwarman Azwar. 2007. Ekonomi Makro Islam edisi ketiga. Depok: PT


RajaGrafindo Persada.

Jurnal Mimbar Kesejahteraan Sosial, Edisi I, November 2018.

Andi Muhammad Arif Haris Alumni Postgraduate Specialist 1 STKS Social Work Bandung

Jurnal educative: Journal of Educational Studies Vol 2, No 2, juli – Desember 2017.

Mustaq, Ahmad. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.

Sudrajat. Kiat Mengentaskan Pengangguran Melalui Wirausaha. Jakarta: Bumi Aksara, 1999.

Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Ekonomi, edisi ke 3. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004.

Samsul Zakaria , Santri Ponpes Ashhabul Kahfi UII dan Mahasiswa Prodi Syarî’ah FIAI UII
2009.

17

Anda mungkin juga menyukai