Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HADIS TENTANG BURUH DALAM ISLAM

Dosen Pengampu: Ibu Rizqa Amelia, M.Ag.

Disusun Kelompok 2:
Anggia Nurulita (0501202121) Adelia Fitra Gustari (0501202156)
Novita Hannum H (0501202128) Syarah Nurul F. H (0501202153)
Fika Nurtivanny (0501202127) Berlian Puspita N (0501202122)
Dwi Nur Annisa (0501202160) Rohaya (0501202158)

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah atas ridho dan pertolongan Allah atas segala kenikmatan yang diberikan
kepada kita semua, terutama untuk nikmatnya terbesar yaitu nikmat iman dan islam.
Tak lupa shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW. Semoga kelak kita mendapatkan syafa’atnya di hari kiamat.

Syukur alhamdulillah kami haturkan karena masih diberi kesempatan untuk dapat
mengerjakan dan menyelesaikan tugas kami. Selanjutnya, dalam tugas ini kami akan
menjelaskan tentang “Buruh dalam Perspektif Islam”. Dengan penjelasan singkat yang
mungkin masih banyak kekurangannya mengenai pembahasan dalam tugas ini, maka
kami harap kepada dosen pengampu agar dapat menambahi segala kekurangan,
sehingga mempermudah kita untuk memahami serta mempelajarinya.

Kami meyakini bahwa dalam tugas ini masih terdapat banyak kekurangan dan banyak
hal yang harus diperbaiki. Maka dari itu, kami mengharapkan adanya saran dan kritik
yang bersifat membangun agar dapat menjadi bahan evaluasi kami dalam menyusun
tugas, sehingga di kemudian hari dapat tercipta tugas yang lebih baik lagi.

Medan, 28 Maret 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................3
BAB I..............................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................4

B. Rumusan Masalah:.................................................................................4

C. Tujuan Permasalahan:...........................................................................5

BAB II.............................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................6
A. Pengertian Buruh....................................................................................6

A. Buruh dalam Perspektif Islam...............................................................6

B. Perintah Memperlakukan Buruh dengan Baik...................................8

C. Pemberian Beban Kerja Tidak Boleh Melebihi Kemampuan............9

D. Upah yang Layak dan Tepat Waktu.....................................................10

E. Kewajiban Buruh Terhadap Majikan..................................................12

BAB III............................................................................................................................14
PENUTUP.......................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu permasalahan fundamental dalam sebuah negara adalah masalah
buruh mulai dari tindakan sewenang-wenang pengusaha, pemberian upah yang tidak
layak, PHK sepihak dan lain sebagainya. Buruh menjadi objek pembahasan penting
dalam disiplin ilmu ekonomi, terutama dari aliran Kapitalisme, Sosialisme maupun
Islam. Dalam ilmu ekonomi, buruh dianggap sebagai sumber daya yang dimiliki
manusia yang digunakan dalam proses produksi, sehingga buruh adalah input atau
faktor pengeluaran atau biaya produksi. Sementara dalam Islam, faktor buruh tidak
harus dianggap sebagai biaya produksi atau faktor pengeluaran, karena hal itu akan
merendahkan derajat manusia sebagai wakil Allah di atas bumi. Seorang buruh yang
menjual tenaganya untuk mendapatkan imbalan upah, sejatinya dia menjual sebagaian
dari apa yang dimilikinya, dan bukan menjual dirinya. Maka tidak semestinya buruh
dianggap sebagai faktor produksi atau biaya pengeluaran.
Berangkat dari permasalahan di atas, maka makalah berikut ini akan membahas
tentang konsep buruh dalam perspektif Islam. Sebagai ajaran komprehensif dan
universal, agama Islam mengatur berbagai berbagai komponen dalam kehidupan
manusia termasuk dalam bidang perburuhan. Dengan tujuan, agar pengetahuan tentang
buruh dalam Islam tersebut, dapat terimplementasi dengan baik dalam kehidupan
sehari-hari dan memberikan solusi atas berbagai permasalahan-permasalahan
fundamental relasi buruh dan majikan dalam kehidupan kontemporer.
B. Rumusan Masalah:
1. Mengetahui pengertian buruh
2. Perspektif buruh dalam pandangan Islam
3. Memperlakukan buruh dengan baik
4. Pemberian kerja bagi buruh
5. Upah yang layak dan tepat waktu
6. Kewajiban buruh terhadap majikan
C. Tujuan Permasalahan:
1. Apa itu pengertian buruh?
2. Bagaimana perspektif buruh dalam pandangan Islam?
3. Bagaimana cara memperlakukan buruh dengan baik?
4. Bagaimana pemberian kerja bagi buruh?
5. Bagaimana upah yang layak dan tepat waktu?
6. Apa saja kewajiban buruh terhadap majikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Buruh
Buruh dalam kajian ekonomi islam sering dianggap sebagai kaum yang lemah.
Hal ini dikarenakan posisi buruh sangat lemah secara ekonomi, di mana kehidupannya
sangat tergantung pada majikan (pemilik modal ) yang bisa saja memecat atau
melakukan pemutusan hubungan kerja karena alasan tidak mampu membayar upah
minimum yang ditetapkan pemerintah, bangkrut, maupun alasan lainnya. Disamping
itu, buru sering tidak memperoleh perlindungan dari negara atas ketidakadilan para
pemilik modal/perusahaan. Bahkan pemerintah mebuat regulasi yang kurang berpihak
kepada buruh dan menguntungkan bagi perusahaan.1
Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, buruh dapat diartikan dengan
seseorang yang bekerja untuk orang lain yang mempunyai suatu usaha kemudian
mendapatkan upah atau imbalan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Upah
biasanya diberikan secara harian maupun bulanan tergantung dari hasil kesepakatan
yang telah disetujui. Buruh terdiri dari berbagai macam, yaitu: Buruh harian, Buruh
kasar, Buruh musiman, Buruh pabrik, Buruh tambang, Buruh tani, Buruh terampil,
Buruh terlatih.2 Batasan istilah buruh/pekerja diatur secara jelas dalam UU Nomor 13
Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 Tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi:
“Pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain”.3
Jadi dari berbagai pengertian di atas dapat dipahami bahwa buruh merupakan
orang yang bekerja dan mendapatkan upah (gaji) atau imbalan sesuai dengan
kesepakatan sebelumnya, baik secara harian, mingguan maupun bulanan, beserta
kompensasi-kompensasi lainnya yang melekat padanya.
A. Buruh dalam Perspektif Islam
Islam sebagai agama rahmatan lil alamien, sangat memperhatikan buruh. Dalam
lintasan sejarah, Islam datang pada suatu zaman yang penuh dengan kezaliman,
1
Isnain Harahap dkk, Hadis-HadisEkonomi (Jakarta:Prenada Media
Group),2019,hlm.72.
2
Abha, Muhammad Makmum 2013, Teologi Upah dan Kesejahteraan Buruh dalam
Perspektif Hadis, Jurnal Syariah, FVol. II, NO II, Oktober 2013
3
Riyadi, Fuad, 2015 “Sistem dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam,
Iqstishadia,Vol.8, No,1, Maret 2015, Hlm. 161.
penindasan, ketidakadilan, dan ketmpangan ekonomi, sehingga masyarakat di
golongkan ke dalam kelompok-kelompok kecil berbasis suku dan kabilah. Struktur
sosial seperti inilah yang kemudian memunculkan stratifikasi sosial yang sangat kuat.4
Sistem ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sebuah ethical
economy. Sangat berbeda dengan sistem lain, baik kapitalisme maupun sosialisme.
Kapitalisme melihat buruh hanyalah pekerja dan si majikan adalah pemberi kerja, status
di antara keduanya secara otomatis menimbulkan adanya tingkatan kelas secara ke atas
dan ke bawah, atau yang biasa disebut dengan stratifikasi sosial. Hal ini menimbulkan
perbedaan distribusi wewenang antara majikan dan buruh serta munculnya perbedaan
berdasarkan posisi, status dan kelebihan yang dimiliki. Sedangkan dalam konteks upah
terhadap buruh Kapitalisme melihat bahwa pemberian upah oleh kapitalis hanya
sekedar pengganti biaya atas apa yang telah dikerjakan, atau hanya sekedar untuk
melanjutkan hidup serta besaran upah disesuaikan dengan standar hidup minimum di
daerah tempat si buruh bekerja. 5
Sedangkan dalam pandangan Sosialisme buruh merupakan pihak yang sangat
tereksploitasi oleh sistem kapitalisme. Untuk itu, perlu dihilangkannya kepemilikan
individu atas alat-alat produksi dan meminta peran pemerintah sebagai pelaksana
perekonomian. Adapun Islam melihat buruh merupakan makhluk Allah SWT yang
sama dengan manusia lainnya. Maka Islam tidak pernah menganjurkan memusuhi
kekayaan dan orang-orang kaya sabagaimana dalam faham Sosialisme. Tidak juga
membebaskan sebebas-bebasnya individu sebagaimana dalam faham Kapitalisme.
Bahkan Islam sendiri menganjurkan agar setiap orang menjadi kaya sebagai bagian dari
kebahagiaan yang harus dicapainya di dunia. Ekonomi Islam memilih jalan keadilan
dalam mencapai kesejahteraan sosial. Bahwa kesejahteraan sosial yang tercapai
haruslah dibangun di atas landasan keadilan. 6

Berikut ini adalah konsep buruh dalam perspektif Islam, akan diuraikan sebagai
dibawah ini:

4
Harahap, Isnaini,dkk, 2015. Hadis-Hadis Ekonomi, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, Hlm. 71.
5
Riyadi, Fuad, 2015 “Sistem dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam,
Iqstishadia,Vol.8, No,1, Maret 2015, Hlm. 164.
6
Riyadi, Fuad, 2015 “Sistem dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam,
Iqstishadia,Vol.8, No,1, Maret 2015, Hlm. 168.
1. Buruh adalah Saudara
Buruh sebagai manusia memiliki kehormatan asasi yang langsung diberikan
oleh Allah. Jika buruh dianggap sebagai alat produksi sebagaimana yang terjadi dalam
sistem ekonomi kapitalis maka dalam hal ini kehormatan manusia sudah disamakan
dengan mesin-mesin produksi lainnya yang akan berimbas pada pengerukan
keuntungan sebesar-besarnya oleh sebuah perusahaan dengan tanpa memperhatikan
manusia buruh tersebut karena mereka dalam hal ini sudah dianggap sebagai alat
produksi. Untuk itu, Islam menolak dengan tegas konsep tersebut, dan Islam
membangun struktur sosial di mana setiap individu di satukan oleh hubungan
persaudaran dan rasa sayang sebagaimana satu keluarga yang diciptakan oleh Allah dari
sepasang manusia.
Persaudaraan ini bersifat universal, tidak terikat ruang dan batas-batas geografis
tertentu serta mencakup semua umat manusia bukan hanya keluarga, suku, atau ras
tertentu (QS. al- A’raf [7] : 158)7.
Hadits dari Al Ma'rur bin Suwaid dia berkata;
‫ال ِإنَّهُ َكانَ بَ ْينِي‬ َ َ‫َت حُ لَّةً فَق‬ ْ ‫َم َررْ نَا بَِأبِي َذ ٍّر بِال َّربَ َذ ِة َو َعلَ ْي ِه بُرْ ٌد َو َعلَى غُاَل ِم ِه ِم ْثلُهُ فَقُ ْلنَا يَا َأبَا َذرٍّ لَوْ َج َمعْتَ بَ ْينَهُ َما َكان‬
ُ ِ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَلَق‬
َّ ِ‫يت النَّب‬
‫ي‬ َ ‫َت ُأ ُّمهُ َأ ْع َج ِميَّةً فَ َعيَّرْ تُهُ بُِأ ِّم ِه فَ َش َكانِي ِإلَى النَّبِ ِّي‬
ْ ‫َوبَ ْينَ َرج ٍُل ِم ْن ِإ ْخ َوانِي كَاَل ٌم َو َكان‬
‫ال يَا َأبَا‬ ‫ُأ‬
َ َ‫ال َسبُّوا َأبَاهُ َو َّمهُ ق‬ َ ‫ُول هَّللا ِ َم ْن َسبَّ ال ِّر َج‬
َ ‫ت يَا َرس‬ ُ ‫ك َجا ِهلِيَّةٌ قُ ْل‬ َ ‫ك ا ْم ُرٌؤ فِي‬ َ َّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل يَا َأبَا َذ ٍّر ِإن‬
َ
ْ ْ ‫َأ‬ ُ ُ ‫ْأ‬ ْ ‫َأ‬ ُ ‫َأ‬ ‫هَّللا‬ ُ ْ
‫ك ا ْم ُرٌؤ فِيكَ َجا ِهلِيَّة هُ ْم ِإخ َوانُك ْم َج َعلَهُ ْم ُ تَحْ تَ ْي ِديك ْم فَ ط ِع ُموهُ ْم ِم َّما تَ كلونَ َو لبِسُوهُ ْم ِم َّما تَلبَسُونَ َواَل‬ ٌ َّ
َ ‫َذ ٍّر ِإن‬
ُ‫تُ َكلِّفُوهُ ْم َما يَ ْغلِبُهُ ْم فَِإ ْن َكلَّ ْفتُ ُموهُ ْم فََأ ِعينُوه ْم‬
"Kami pernah melewati Abu Dzar di Rabdzah, saat itu dia mengenakan kain burdah,
sebagaimana dia, budaknya juga mengenakan pakaian yang sama.
Kami lalu bertanya,
"Wahai Abu Dzar, sekiranya kamu menggabungkan dua kain burdah itu, tentu akan
menjadi pakaian yang lengkap."
Kemudian dia berkata,
"Dahulu aku pernah adu mulut dengan saudaraku seiman, ibunya adalah orang 'Ajam
(non Arab), lalu aku mengejek ibunya hingga ia pun mengadu kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam.
Ketika aku berjumpa dengan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Wahai Abu Dzar, sungguh dalam dirimu masih terdapat sifat jahiliyah."
Maka aku membantah,

7
Harahap, Isnaini,dkk, 2015. Hadis-Hadis Ekonomi, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, Hlm. 72.
"Wahai Rasulullah, barangsiapa mencela laki-laki, maka mereka (para lelaki itu) akan
mencela bapak dan ibunya."
Beliau bersabda lagi:
"Wahai Abu Dzar, sungguh dalam dirimu masih terdapat sifat Jahiliyah, mereka semua
adalah saudara-saudaramu yang dijadikan Allah tunduk di bawah kekuasaanmu. Oleh
karena itu, berilah mereka makan sebagaimana yang kamu makan, berilah mereka
pakaian sebagaimana pakaian yang kamu kenakan, dan janganlah kamu membebani
mereka di luar kemampuannya. Jika kamu memberikan beban kepada mereka, maka
bantulah mereka." [HR. Bukhari dan Muslim no.3139]
Islam meletakkan dasar-dasar hubungan antara majikan dan buruh. Buruh dan
Majikan berada dalam level “kemanusiaan” yang sama dalam Islam. Tidak ada yang
berada di tempat lebih tinggi, meskipun dalam struktur perusahaan jelas-jelas ada
kelompok pemilik modal, pemilik saham, pekerja dan lain sebagainya. Maka hubungan
majikan dan buruh adalah hubungan kekeluargaan, kemitraan dan simbiosis
mutualisme. Maka dari itu, tidak boleh satu pihak mendzalimi dan merasa didzalimi
oleh pihak lainnya. Keduanya saling membutuhkan dan diantaranya harus tercipta
saling menguntungkan. Apalagi manusia dalam masyarakat disatukan bukan untuk
saling memenuhi kebutuhan satu sama lain, yang berarti mementingkan dirinya sendiri,
melainkan untuk saling memelihara satu sama lain dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan seluruhnya.

B. Perintah Memperlakukan Buruh dengan Baik dan Larangan


Memperlakukan Buruh Dengan Kasar
Tidak bisa dipungkiri bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan
masing-masing individu. Sehingga dalam persoalan pekerjaan juga tidak bisa
dibenarkan jika seorang majikan menjadikan buruh atau pegawainya sebagai manusia
yang kurang terhormat. Islam sangat concern terhadap buruh. Buruh mendapat tempat
yang sangat tinggi sebagai seorang pekerja sebagaimana seorang majikan juga bekerja
dengan mempekerjakannya (Abha, 2013: 22). Maka, Islam mewajibkan untuk
menciptakan suasana kekuargaan antara majikan dan buruh seperti firman Allah SWT :
۟ ُ‫ُوا بَ ْينَ َأخَ َو ْي ُك ْم ۚ َوٱتَّق‬
َ‫وا ٱهَّلل َ لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُمون‬ ۟ ‫نَّما ْٱل ُمْؤ ِمنُونَ ْخ َوةٌ فََأصْ لِح‬
‫ِإ‬ َ ‫ِإ‬
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat [49]: 10).

Islam mengajarkan setiap majikan untuk membuang sifat keras hati dan kejam
kepada buruh. Dalam hadis qudsi dari Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad SAW
meriwayatkan:
‫ ٌل‬ž‫ر ُج‬: َ ُ‫ ْمتُه‬ž‫خَص‬
َ ْ ‫ت َخ‬
ُ‫ َمه‬ž‫ص‬ ُ ‫ ِة َو َم ْن ُك ْن‬ž‫وْ َم ْالقِيَا َم‬žžَ‫ث اَنَا َخصْ ُمهُ ْم ي‬
ٌ ‫ثَاَل‬: ‫ قَا َل هَّللا ُ تَ َعالَى‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫قَا َل‬
ِ ‫ َو َر ُج ٌل ا ْستَْأ َج َرَأ ِج ْيرًا فَا ْستَوْ فَى ِم ْنهُ َولَ ْم يُع‬,ُ‫ َو ُر ُج ٌل بَا َع ُح ًّراثُ َّم َك َل ثَ َمنَه‬,‫َأ ْعطَى بِى ثُ َّم َع َد َر‬.
ُ‫ْط ِه َأجْ َره‬

Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, “Allah SWT berfirman, “Ada tiga perkara yang Aku
menjadi musuh mereka di hari kiamat. Dan barangsiapa yang Aku menjadi musuhnya,
maka Aku patahkan dia. Mereka itu ialah orang yang bersumpah dengan nama-Ku
kemudian dia ingkar sumpahnya, dan orang yang menjual manusia merdeka kemudian
dia memakan uangnya, dan orang yang mempekerjakan buruh kemudian dia menuntut
kerja penuh tapi tidak memberikan upah pada buruh itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Tujuan akhir kehidupan manusia dalam Islam yaitu mencapai falah
(kemenangan) dan sa’adah (kebahagiaan) di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, baik
majikan maupun buruh harus senantiasa bertakwa kepada Allah. Perasaan takwa
merupakan tali pengikat antara kedua belah pihak yang akan melahirkan sifat belas
kasihan, adil, jujur, dan amanah.8
Persoalan buruh mendapatkan perhatian yang sangat tinggi dari Nabi
Muhammad SAW. Pengalaman Nabi Muhammad SAW tatkala menjadi seorang
pekerja bagi Siti Khadijah menjadi inspirasi bagi semua ajaran tentang bagaimana
perlindungan terhadap kaum pekerja. Pada banyak kesempatan, Nabi Muhammad SAW
memarahi sahabatnya yang berlaku kasar kepada pembantunya. Rasulullah SAW tidak
pernah berlaku kasar terhadap pembantunya, misalnya dengan memukul. Abi Abdillah
mengungkapkan hal ini dalam Sunan Ibn Majah, dengan mengukip perkataan dari
Aisyah :
‫ب بِيَ ِد ِه َش ْيًئا‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم خَ ا ِد ًما لَهُ َواَل ا ْم َرَأةً َواَل‬
َ ‫ض َر‬ َ ِ ‫ب َرسُو ُل هَّللا‬
َ ‫ض َر‬
َ ‫َما‬

8
Harahap,Isnaini,dkk, 2015. Hadis-Hadis Ekonomi, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, Hlm. 77.
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah memukul seorang budak,
atau perempuan, atau sesuatu pun dengan tangannya sama sekali." [HR. Muslim dan
Ibnu Majah]

Dalam Hadits lain;


ِ ‫و ُل هَّللا‬ž‫هُ َر ُس‬ž‫ َمتَ َع ْن‬ž‫ص‬ َ َ‫ ا ِد ِم ف‬žَ‫و ع َْن ْالخ‬žžُ‫و َل هَّللا ِ َك ْم َأ ْعف‬ž‫ا َر ُس‬žžَ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل ي‬
َ ‫َجا َء َر ُج ٌل ِإلَى النَّبِ ِّي‬
ً‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ثُ َّم قَا َل يَا َرسُو َل هَّللا ِ َك ْم َأ ْعفُو ع َْن ْالخَا ِد ِم فَقَا َل ُك َّل يَوْ ٍم َس ْب ِعينَ َم َّرة‬
َ
Seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata,
"Wahai Rasulullah, berapa kalikah aku harus memaafkan pembantu?"
Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terdiam.
Kemudian dia bertanya,
"Wahai Rasulullah, berapa kalikah aku harus memaafkan pembantu?"
Nabi menjawab:
"Kamu memaafkan sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari."
[HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad]

Budak merupakan kedudukan yang paling rendah bagi manusia, dan lebih
rendah dari buruh atau pembantu rumah tangga. Hal ini dikarenakan seseorang hamba
sahaya tidak hanya harus bekerja bagi tuannya tetapi juga ia tidak memiliki hartanya
dan bahkan kebebasan bagi dirinya sendiri, serta senantiasa harus mengabdi pada
tuannya.
Ketika Al-Qur'an dan hadis membincangkan perbudakan, bukan berarti Al-
Qur'an menyukai perbudakan, karena sebagai sanksi hukum dalam Al-Qur;an dan hadis
selalu mensyaratkan pembebasan budak sebagai pemenuhannya, yang sekemuanya ini
menunjukkan upaya penghapusan perbudakan secara perlahan. Nabi SAW senantiasa
memuliakan buruh dengan pemuliaan yang tidak terbayangkan dapat dilakukan dalam
suatu peradaban yang sangat kejam menindas budak.
Abi Husain dalam Sahih Muslim menyebutkan, bahwa Rasulullah SAW juga
memperingatkan Abu Mas'ud yang berlaku kasar kepada budaknya sebagaimana
disebutkan dalam hadis :
"Dari Abu Mas'ud, bahwa ia pernah memukul budak miliknya, kemudian
budaknya mengatakan, 'Aku berlindung kepada Allah.' Perawi berkata, 'Kemudian dia
memukulnya lagi,' lalu budaknya mengatakan, 'Aku berlindung kepada Rasulullah
SAW.' Kemudian Abu Mas'ud meninggalkannya. Rasulullah SAW kemudian bersabda,
"Demi Allah, sungguh Allah lebih berkuasa atas dirimu daripada kuasa atas dia.' Perawi
berkata, 'Kemudian ia memerdekakannya.'"
Peringatan terhadap ketidakadilan dan eksploitasi didesain untuk melindungi
hak setiap individu dalam masyarakat. Islam mengajarkan setiap majikan untuk
membuang sifat keras hati dan bersifat kejam terhadap buruh. Tujuan akhir kehidupan
manusia dalam Islam yaitu mencapai falah (kemenangan) dan sa'adah (kebahagiaan) di
dunia dan akhirat. Oleh karenanya, baik majikan maupun pekerja harus senantiasa
bertakwa kepada Allah. Perasaan takwa merupakan tali pengikat antara kedua pihak
yang akan melahirkan sifat belas kasihan, adil, jujur dan amanah.

Abu Hurairah radhiallahu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


َ žَ‫ فَت‬: ْ‫ل‬žžُ‫ َو ْليَق‬،‫ َع ْب ِدي َوَأ َمتِي‬:‫ َوالَ يَقُلْ َأ َح ُد ُك ْم‬،‫ي‬
‫اي‬ž َ َ‫ َسيِّ ِدي َو َموْ ال‬: ْ‫ َو ْليَقُل‬، َ‫ك َوضِّْئ َربَّك‬ ْ ‫ َأ‬:‫الَ يَقُلْ َأ َح ُد ُك ْم‬
َ َّ‫ط ِع ْم َرب‬
‫َوفَتَاتِي َو ُغالَ ِمي‬
“Janganlah seorang dari kalian berkata (ketika memerintahkan budaknya dengan
kalimat):
‘Hidangkanlah makanan untuk rabb kamu, berilah minuman untuk rabbmu’,
Akan tapi hendaklah dia berkata (dengan kalimat):
‘sayyidku dan maulaku (pemeliharaku)’.
Dan janganlah seorang dari kalian mengatakan:
‘Abdi (hamba sahaya laki-lakiku), dan Amati (hamba sahaya perempuanku)’,
Akan tapi Katakanlah:
‘fataya (pemudaku), Fatatiy (pemudiku) dan ghulami (budakku)’.”
[HR. Bukhari dan Muslim]

C. Pemberian Beban Kerja Tidak Boleh Melebihi Kemampuan

Islam mengharuskan manusia untuk bekerja (QS. At-Taubah [9]: 105, Al-
An’am [6]: 135, Hud [11]: 36, 121, dan Az-Zumar [39]: 39), dengan tujuan untuk
mendapatkan upah (Qs. At-Thalaq [65]: 6, Az-Zukhruf [43]: 32). Di samping itu,
sebagai makhluk sosial, di tuntut untuk selalu bekerja dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, disamping untuk mengelola sumber daya alam serta mengelolanya
dengan baik dalam rangka mengimplementasikan tugas khalifah di satu sisi dan
abdullah di sisi lainnya.9 Bekerja juga merupakan perwujudan diri manusia, melalui
kerja manusia merealisasikan dirinya sebagai manusia dan sekaligus membangun hidup
dan lingkungannya yang lebih manusiawi, melalui kerja manusia menjadi manusia,
melalui kerja manusia menemukan hidupnya sendiri sebagai manusia yang mandiri.
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda:
ُ ‫ك طَ َعا ُمهُ َو ِكس َْوتُهُ َوالَ يُ َكلَّفُ ِمنَ ْال َع َم ِل ِإالَّ َما يُ ِط ْي‬
‫ق‬ ِ ‫لِ ْل َم ْملُو‬
“Seorang budak itu berhak mendapatkan makan dan sandang (dari tuannya)
dan janganlah dia dibebani atas suatu pekerjaan melainkan sesuai dengan
kemampuannya.” [HR. Muslim no.3141]
Salah satu ajaran Islam mengenai buruh adalah pemberian beban kerja tidak
melebihi kemampuan buruh. Al-Qur’an melalui kisah nabi Musa,as. Yang bekerja di
rumah nabi Syuaib,a.s. QS.Al- Qashash [28]: 27) menunjukkan dalam pemberian kerja
majikan tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan, keadilan, dan
kesamaan. Islam juga memberikan aturan yang jelas dalam hal transaksi kontrak kerja,
dimana Islam memberikan hukum-hukum yang harus diperhatikan majian untuk
memberikan perlindungan terhadap buruh.
Perlindungan tersebut menyangkut; (1) Perlindungan terhadap pekerja dan
waktu istirahat yang layak (HR. al-Baihaqy); (2) Jaminan penghidupan bagi pekerja
(HR. al-Nasai); (3) Menyegerakan membayar gaji (upah) (HR. Abu Dawud). Maka,
termasuk kedzaliman pengusaha terhadap pekerja adalah tindakan mereka yang tidak
membayar upah pekerja dengan baik, memaksa pekerja bekerja diluar kontrak kerja
yang disepakati, melakukan pemutusan hubungan kerja secara semena-mena termasuk
tidak memberikan hak-hak pekerja seperti hak untuk dapat menjalankan kewajiban
ibadah, hak untuk istirahat jika dia sakit, dan lain sebagainya. 10

9
Assagaf,Yunus, 2005. Ketatanegaraan dalam Konsepsi Syariat Islam”, Al-Syir’ah
Vol.3, No. 1, 2005.
10
Satjipto, Hadi, 2003, “Solusi Islam terhadap Masalah Ketenagakerjaan”, Mimbar:
Jurnal Sosial dan Pembangunan, Vol.19, No.4 tahun 2003.
Bahkan al-Qur’an surah Al-An’am [6]: 145 mengumpamakan majikan yang
memperkerjakan buruh diluar kemampuannya seperti memeras keringatnya,
menjadikanmnya sebagai mesin penggerak yang menghasilkan produk perusahaan
sebagai memakan darah yang mengalir.

D. Upah yang Layak dan Tepat Waktu


Dalam teori ekonomi, upah secara umum dimaknai sebagai harga yang
dibayarkan kepada pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan seperti faktor
produksi lainnya. Dalam konteks kekinian pengupahan konvensional pada dasarnya
dibedakan menjadi dua teori ekstrim, yaitu (1) berdasarkan ajaran Karl Marx mengenai
teori nilai dan pertentangan kelas, dan (2) berdasarkan pada pertambahan produksi
marginal berdasarkan asumsi perekonomian bebas. Sistem pengupahan pertama pada
umumnya dilaksanakan di negara penganut paham sosialis, sedangkan sistem
pengupahan kedua banyak dipakai di negara berpaham kapitalis. 11
Upah dalam Islam sering disebut dengan istilah ja’za (balasan atau pahala)
sebagaimana sering dijumpai dalam firman Allah diantaranya surah An-Nahl [16]: 97.
Kata “walanajziyanahum” pada ayat tersebut memberikan pengertian bahwa bagi
mereka yang bekerja akan mendapatkan imbalan baik di dunia (materi) maupun di
akhirat (pahala). Ini menegaskan bahwa Allah akan memberikan balasan atau imbalan
bagi mereka baik laki-laki maupun perempuan yang beramal saleh dengan imbalan di
dunia dan di akhirat. 12

Dari Abdullah bin Umar ia berkata, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
َّ ‫َأ ْعطُوا اَأْل ِجي َر َأجْ َرهُ قَ ْب َل َأ ْن يَ ِج‬
)‫ (رواه إبن ماجة والطبراني‬.ُ‫ف َع َرقُه‬
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” [HR Ibnu Majah dan
at-Thabrani]

11
Syakur, Ahmad,2015 “ Standar Pengupahan dalam Ekonomi Islam: Studi Kritis
atas pemikiran Hizbut Thahrir”, Universum, Vol.9,No. 1 Januari 2015.
12
Waliam, Armansyah, 2017 “Upah Berkeadilan Ditinjau dari Perspektif Islam”,
Bisnis, Vol.8,NO.1, Maret 2015.
Islam memandang bahwa upah tidak sebatas imbalan yang diberikan kepada
buruh, melainkan terdapat nilai-nilai moralitas yang merujuk pada konsep kemanusiaan.
Majikan dalam menetapkan upah tidak melakukan kezaliman terhadap buruh ataupun
dizalimi oleh buruh (QS. al-Baqarah [2]: 279). Dengan kata lain, majikan tidak
dibenarkan mengeksploitasi buruh dan buruh tidak boleh mengeksploitasi majikannya
(Harahap, dkk, 2015: 82). Oleh karena itu, agar tidak terjadi diskriminasi terhadap
buruh, Islam mengatur masalah perburuah tersebut dalam sebuah hukum-hukum
kontrak kerja (ijarah). Dalam transaksi ijarah terdapat dua pihak yang terlibat yakni
pihak yang memberikan jasa dan mendapatkan upah atas jasa yang diberikan yang
disebut dengan pekerja (ajir) dan pihak penerima jasa atau pemberi pekerjaan yakni
pihak yang memberikan upah yang disebut dengan pengusaha/majikan (musta’jir)
Islam menganjurkan agar setiap terjadinya akad (kontrak kerja) harus dilakukan
pencatatan, baik terkait dengan waktu, bentuk pekerjaan, jumlah upah yang akan
diterima dan sebagainya sehingga akan terhindar dari perselisihan yang kemungkinan
terjadi dikemudian hari. Upah dalam Islam dibangun atas dasar konsep keadilan atau
prinsip kebersamaan untuk semua, sehingga semua pihak memperoleh bagian yang sah
dari produk bersamanya tanpa adanya sikap zalim terhadap yang lain. Penetapan upah
sesuai dengan kualitas kerja adalah berdasarkan kepada prinsip bahwa manusia
diciptakan dengan kemampuan dan keahlian yang berbeda-beda.
Allah SWT berfirman :
‫واَل تَتَمنَّوْ ا ما فَ َّ هّٰللا‬
َ‫ ْبن‬ž‫يْبٌ ِّم َّما ا ْكت ََس‬ž‫َص‬ِ ‫ ۤا ِء ن‬ž‫بُوْ ا ۗ َولِلنِّ َس‬ž‫يْبٌ ِّم َّما ا ْكت ََس‬ž‫َص‬
ِ ‫ ا ِل ن‬ž‫ْض ۗ لِل ِّر َج‬ ٰ
ٍ ‫ض ُك ْم عَلى بَع‬
َ ‫ض َل ُ بِ ٖه بَ ْع‬ َ َ َ
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫ۗ َو ْسـَٔلُوا َ ِم ْن فَضْ لِ ٖه ۗ اِ َّن َ َكانَ بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِ ْي ًما‬
“ Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada
sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa
yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka
usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa [4]: 6, 32).
Maka secara teori upah yang adil adalah upah yang sepadan dengan pekerjaan yang
dilakukannya, dengan tetap mempertimbangkan situasi dan faktor-faktor yang terkait
lainnya, tanpa perlakuan zalim baik kepada pekerja maupun kepada majikan.
Untuk itu, anjuran Islam bahwa sebelum seorang ajir memulai pekerjaan
diharuskan sudah terjadi kesepakatan tentang upah yang akan diterimanya, baik terkait
dengan besaran, waktu dan tempat penyerahannya. Besaran upah yang telah dinyatakan
dalam transaksi tersebut dikenal dengan ajru al-musamma (upah sepadan) yang
ditetapkan atas dasar kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak. Dengan telah
disetujuinya upah dalam perkara lainnya dalam akad, maka secara syar’i seorang
pekerja terikat dengan akad tersebut, sehingga tidak diperbolehkan menuntut untuk
mendapatkan kenaikan upah atau hal-hal lain yang menyalahi kontrak kerja (akad).
Selain itu, kadar upah buruh dianggap adil apabila sesuai dengan kualitas dan
kuantitas bidang kerja dan sudah semestinya upah bisa mencukupi tahap minimum
keperluan asas setiap manusia di suatu daerah tertentu. Hal tersebut paralel dengan
Firman Allah yang mengatakan: “Dan bagi masing-masing mereka memperoleh
derajat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan (Q.S Al-Ahqaf [46]: 9).
Sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad SAW : “Anas berkata bahwa Nabi
Muhammad SAW. pernah melakukan bekam dan tidak sekali-kali beliau mendzalimi
seseorang atas upahnya (H.R. al-Bukhari).
Selanjutnya, seorang buruh harus mendapatkan gaji setelah selesai pekerjaan.
Dengan kata lain, pembayaran gaji harus dilakukan tepat waktu. Imam Abdurrahman
Al-Munawi pernah mengatakan bahwa tidak diperbolehkan seseorang menunda
pemberian gaji tepat waktu dengan tanpa alasan. Sebagaimana dinyatakan Rasulullah
SAW bersabda “ berikanah upah sebelum keringat si pekerja kering”
Begitu juga dalam kenaikan upah dimana upah bisa meningkat (naik) dengan
bertambahnya umur pekerja dan meningkatnya pengalaman, juga ketika harga barang
di pasaran melonjak, dan perusahaan mendapatkan laba yang meningkat. 13

E. Kewajiban Buruh Terhadap Majikan


ِ ‫و َل هَّللا‬ž‫ا َأ َّن َر ُس‬žž‫ َي هَّللا ُ َع ْنهُ َم‬ž‫ض‬ِ ‫ك ع َْن نَافِ ٍع ع َْن ا ْب ِن ُع َم َر َر‬ ٍ ِ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ َم ْسلَ َمةَ ع َْن َمال‬
‫َص َح َسيِّ َدهُ َوَأحْ سَنَ ِعبَا َدةَ َربِّ ِه َكانَ لَهُ َأجْ ُرهُ َم َّرتَ ْي ِن‬
َ ‫ال ْال َع ْب ُد ِإ َذا ن‬
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah dari Malik
dari Nafi' dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang hamba jika setia

13
Rahmi,Aini, 2014“ Tanggung Jawab Perusahaandan Karyawan dalam Islam,”
Al- Maslahah: Jurnal Ilmu Syariah, Vol.9, No.2, 2014.
kepada tuannya dan beribadah dengan baik kepada Tuhannya maka
baginya mendapat dua pahala".
Sebagai wujud komitmen Islam terhadap keadilan, maka Islam juga melindungi
majikan dengan memberikan kewajiban moral kepada para pekerja atau buruh. Nabi
Muhammad SAW: “Tidak masuk Surga orang pelit, penipu, pengkhianat, dan orang
yang jelek pelayananannya terhadap majikan. Sedangkan orang yang pertama kali
mengetuk pintu Surga adalah para buruh yang baik terhadap sesamanya, taat kepada
Allah, dan kepada majikannya.” (HR. Ahmad).
Menurut Baqir Sharief Qorashi (2007: 10) dalam konteks ini Islam kewajiban
kepada setiap buruh terhadap majikan antara lain :
1. Bertanggung jawab terhadap upah yang diminta sesuai dengan pekerjaan dan
kemampuannya. Dalam hal besar kecilnya upah, Islam mengakui kemungkinan
terjadinya dikarenakan beberapa sebab; perbedaan jenis pekerjaan, perbedaan
kemampuan, keahlian, dan pendidikan. Pengakuan perbedaan ini didasarkan pada
firman Allah Swt, yang artinya “ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian
yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian
yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
(QS.Al--Zukhruf [43]: 32).
2. Kesungguhan melaksanakan pekerjaanya, berdasarkan kontrak kerja.
3. Melaksanakan perintah majikan sesuai dengan pekerjaan yang telah disepakti.
Apabila majikan melakukan penyimpangan terhadap kesepakatan kontrak kerja
buruh tidak wajib mengikutinya dan;
4. Menjaga dan memelihara perlengkapan dan peralatan-peralatan dan rahasia
majikan (perusahaan).
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Islam sebagai agama


rahmatan lil alamien, sangat memperhatikan buruh. Islam melihat buruh merupakan
makhluk Allah SWT yang sama dengan manusia lainnya. Maka Islam tidak pernah
menganjurkan memusuhi kekayaan dan orang-orang kaya sabagaimana dalam faham
Sosialisme. Tidak juga membebaskan sebebas-bebasnya individu sebagaimana dalam
faham Kapitalisme. Untuk itu, Islam memandang buruh adalah Saudara yang harus
diperlakukan sebaik mungkin oleh majikan. Kemudian memerintahkan setiap majikan
untuk memperlakukan buruh dengan baik, dalam bentuk menghormati dan menjaga
serta bersikap ramah dan menjaga dari memperlakukan buruh secara tidak terhormat.
Islam juga mengharuskan majikan untuk memberikan beban kerja yang tidak
melebihi batas kemampuan buruh. Hal ini dilukiskan dalam Al-Qur’an melalui kisah
Nabi Musa a.s, yang bekerja di rumah Nabi Syuaib,a.s. (QS.Al-Qashash [28]: 27), serta
memberikan upah yang layak dan tepat waktu kepada buruh. Sedangkan kewajiban
moral seorang buruh terhadap majikan Islam memberikan tuntunan agar setiap buruh
menghormati majikan dengan cara melaksanakan segala kewajiban yang telah terikat
dengan majikannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abha, Muhammad Makmum 2013, Teologi Upah dan Kesejahteraan Buruh dalam
Perspektif Hadis, Jurnal Syariah, FVol. II, NO II, Oktober 2013

Riyadi, Fuad, 2015 “Sistem dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam,


Iqstishadia,Vol.8, No,1, Maret 2015, Hlm. 161.

Harahap, Isnaini,dkk, 2015. Hadis-Hadis Ekonomi, Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, Hlm. 71.

Assagaf,Yunus, 2005. Ketatanegaraan dalam Konsepsi Syariat Islam”, Al-Syir’ah


Vol.3, No. 1, 2005.

Satjipto, Hadi, 2003, “Solusi Islam terhadap Masalah Ketenagakerjaan”, Mimbar: Jurnal
Sosial dan Pembangunan, Vol.19, No.4 tahun 2003.

Syakur, Ahmad,2015 “ Standar Pengupahan dalam Ekonomi Islam: Studi Kritis atas
pemikiran Hizbut Thahrir”, Universum, Vol.9,No. 1 Januari 2015.

Waliam, Armansyah, 2017 “Upah Berkeadilan Ditinjau dari Perspektif Islam”, Bisnis,
Vol.8,NO.1, Maret 2015.

Rahmi,Aini, 2014“ Tanggung Jawab Perusahaandan Karyawan dalam Islam,” Al-


Maslahah: Jurnal Ilmu Syariah, Vol.9, No.2, 2014.

Anda mungkin juga menyukai