Anda di halaman 1dari 488

 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

Setelah bertahun-tahun mendekam di penjara bawah tanah Kerajaan


Selencia, Verity akhirnya diberikan kesempatan bebas dengan syarat harus
berpura-pura menjadi Putri Clementine Selencia, pengantin Raja Alastair
Austmarr yang tidak pernah terlihat sebelumnya.
 

Berbekal sebilah belati dan misi membunuh Raja Alastair, Verity pun pergi
menuju Austmarr untuk menikahi sang Raja yang terkenal tak punya hati.
Namun, semua di luar dugaan. Di tengah kekalutan, Verity perlahan
mengungkap sesuatu yang telah terkubur sekian tahun, termasuk siapa jati
dirinya.
 

Dapatkah Verity meraih kebebasan dan mengungkap siapa ia sebenarnya?


 
 

 
Inkarnate Map and Family Tree
 

Map of Inkarnate - The Five Kingdom


 

House of Austmarr
 
House of Selencia
 

House of Colthas
 
 

House of Raria
 

House of Thaurin
 
House of Dragør

Status: Destroyed

Prolog
 

Dia Harus Membunuh sang raja sekarang. Verity menelan ludah dengan
susah payah, tangannya gemetar ketika mengambil belati bertatah permata
yang diberikan Ratu Amaranta. Ia akan membunuh Raja Alastair dan meraih
kebebasan. Ratu Amaranta tidak bisa lagi mengikat dan memaksanya
menjadi budak di Kerajaan Selencia. Verity bahkan tidak peduli siapa yang
akan memimpin Austmarr bila sang raja mati di tangannya. Ia tidak peduli
bila lima kerajaan akan beradu memperebutkan Kerajaan Austmarr yang
selama ini menjadi pemimpin utama.
 

Verity menggenggam belati lebih erat, ia hanya perlu menusuk jantung raja
yang tengah terlelap. Kebebasannya sudah depan mata. Verity menarik
napas dalam-dalam, memejamkan mata, lalu menancapkan belati di dada
raja.
 

"Bukan begitu caramu memegang belatinya, Ratuku." Mata Verity


membelalak kaget melihat sang raja sudah memegang tangannya yang
gemetaran.
 

"Begini caranya." Raja Alastair menekan tangan Verity, menancapkan belati


semakin dalam ke dadanya. "Kau bukan pembunuh handal seperti yang
mereka kirimkan sebelumsebelumnya."
 

Verity melepaskan genggaman dari belati secara tiba-tiba. la harus lari


secepat mungkin sebelum Raja Alastair menyadari siapa ia sebenarnya.
Sayangnya ia memang bukan pembunuh andal, hanya seorang budak yang
diperintah Ratu Amaranta untuk menyamar menjadi putri dan membunuh
pemimpin Kerajaan Austmarr. Raja Alastair lebih gesit. Ia meraih pinggang
Verity dan membantingnya ke kasur. Belati yang tadinya menancap di dada,
kini berada di leher Verity.
 

"Siapa kau?" Mata Verity melebar ketakutan melihat noda darah yang
menyebar di pakaian Raja Alastair. Bagaimana mungkin sang raja tidak
mati? Verity yakin sudah menancapkan belati cukup dalam, bahkan sang
raja sendiri membantu dengan menancapkan belati lebih dalam lagi.
 

"Apa Ratu Amaranta mengirimmu?" Raja Alastair menyelidik.


 

Verity mengatupkan bibir, tidak peduli apa yang akan terjadi berikutnya.
Pria yang baru ia nikahi ini akan memberi hukuman mati karena melakukan
percobaan pembunuhan, ditambah Ratu Amaranta akan membunuhnya
karena gagal melaksanakan tugas.
 

"Kenapa kau tiba-tiba menjadi bisu, Clementine? Apakah itu benar-benar


namamu? Siapa namamu yang sebenarnya?"
 

 
 

 
 

I
THE QUEEN
 

Verity Menatap Jeruji besi, menunggu seseorang datang membawakan


makanan. Sudah tiga hari terakhir ia tidak diberi makan sedikit pun. Demi
mengurangi rasa lapar, ia meminum air hujan yang berhasil masuk melalui
celah jendela.
 

Ratu Amaranta selalu mempunyai cara dalam menghukum. Membiarkan


kelaparan hingga di ambang kematian bukan lagi hal baru bagi Verity. Ratu
Amaranta mungkin suka menyiksa, tapi wanita itu mempunyai satu prinsip
yang tidak pernah dilanggar, yakni selalu memastikan kalau Verity tidak
akan memiliki bekas luka dari setiap hukuman. Bukan karena siksaannya
tidak seberapa, melainkan selalu ada tabib yang mengobati Verity. Verity
tidak tahu alasan jelas di baliknya, satu-satunya yang terpikir hanyalah
karena Ratu Amaranta tidak ingin terlihat seperti ratu sadis nan keji dari
Selencia.
 
Verity bukan satu-satunya penghuni di penjara bawah tanah kerajaan
Selencia, tapi ialah yang bertahan hingga satu dekade lamanya. Ratu
Amaranta memberikan sebuah perlakuan spesial yang lebih mirip siksaan.
Ratu Amaranta mengajarinya membaca dan menulis lewat utusan setiap
hari, juga siksaan di saat bersamaan. Verity ingat pertama kali masuk ke
kerajaan saat baru berusia delapan tahun. la bersembunyi di salah satu
kereta yang membawa makanan, hendak mencuri satu atau dua potong roti
untuk dirinya yang kelaparan.
 

Namun, malang baginya. Tidak ada satu pun pencuri yang selamat dari sang
ratu. Verity menerima lima cambukan sebelum Ratu Amaranta datang dan
menghentikan hukuman. Untuk sesaat Verity mengira kalau wanita cantik
itu akan menyelamatkannya, ternyata Ratu Amaranta mengurungnya di
penjara bawah tanah.
 

Verity menghentikan lamunan ketika mendengar deritan pintu besi. Seorang


sipir penjara menatapnya bosan.
 

"Di mana makananku?" Tidak ada satu pun makanan yang dibawa si sipir.
 

"Ratu Amaranta memanggilmu, Tikus Kecil." Sipir itu menarik tangan Verity
dan memaksanya berjalan cepat ke tempat di mana sekelompok pelayan
wanita menunggu. "Kuharap kali ini Ratu Amaranta benar-benar
membunuhmu." Ia mendecih kesal dan berlalu pergi.
 

"Kau harus mandi." Maisie, ketua pelayansekaliguswanita tertua di


kelompok, menatap jijik Verity.
 

Verity menghidu aroma tubuhnya. la memang tidak pernah mandi kecuali


saat Ratu Amaranta memanggil. Bila saat itu tiba, maka ia harus dimandikan
dengan bersih bahkan mengenakan pakaian terbaik seperti gaun biru tua
yang dikenakan, yang kini sudah kehilangan warna.
 
"Ratu Amaranta sudah menunggumu di ruang makan."
 

Verity berjalan tidak nyaman akibat sepatu yang dikenakan. Rambutnya


dicuci bersih sampai tidak lagi berbau seperti kotoran kuda, kemudian
dipotong lebih pendek oleh Maisie. Salah satu pelayan lain berusaha
menjalin rambut hitam Verity agar terlihat lebih rapi.
 

Verity mendekati Ratu Amaranta yang duduk di kursi paling ujung meja
makan. Wanita itu tidak mendongakkan kepala atau berusaha menatap
ketika seseorang mengumumkan kedatangan Verity. Verity memperhatikan
setiap tingkah Ratu Amaranta yang tengah menikmati kue dengan anggun,
membuat perutnya semakin terasa nyeri karena menahan lapar.
 

"Rat," Ratu Amaranta mendesis ketika Verity mendekat dan berhenti di


kursi sebelah kanannya, menunggu dipersilakan duduk.
 

"Silakan," Verity akhirnya menarik kursi, lalu duduk.


 

Salah satu peraturan kerajaan adalah dilarang keras menatap anggota


kerajaan, tetapi ini bukan lagi hal yang ditakutkan Verity. Ketika Ratu
Amaranta mempersilakan duduk, Verity segera ambil kesempatan untuk
melihat sang ratu dari dekat. Wajah Ratu Amaranta tidak berubah sedetik
pun sejak sepuluh tahun lalu, ia masih cantik dengan aura aristokrat nan
anggun. Mahkota emas berhias berlian dan rubi duduk manis di kepala,
sementara rambut keemasan miliknya dikepang dengan jalinan rumit.
 

"Lancang!" Sang Ratu menampar pipi Verity ketika keduanya bertatapan.


Ratu Amaranta memiliki semua karakteristik warga Selencia: rambut pirang
keemasan, kulit seputih salju, juga tubuh ramping. Semuanya, kecuali mata
sang ratu yang tidak berwarna biru seperti warga Selencia lainnya, ia
memiliki mata ungu violet seperti Verity.
 
"Maafkan Hamba, Yang Mulia." Verity menyebutkannya dengan nada
mencemooh, mencobaperuntungan. Bila ia beruntung, Ratu Amaranta
mungkin akan membunuhnya saat itu juga.
 

"Beraninya kau menatapku! Seorang narapidana sepertimu!" Ratu


Amaranta berusaha kembali tenang dengan mengatur napas. la meraih
dagu Verity, lalu menatap jeli setiap inci wajah gadis di depannya. Kali ini
Verity menghindari tatapan Ratu Amaranta.
 

"Sudah berapa lama kau berada di bawah perlindunganku?" Mungkin lebih


tepatnya, di bawah tiranimu. Verity berbicara dalam hati, lalu menyuarkan
dengan tenang. "Sepuluh tahun, Yang Mulia."
 

"Berapa umurmu sekarang?" Ratu Amaranta kembali bertanya sembari


melepaskan cengkraman dari dagu Verity. la kemudian terlihat berpikir.
 

"Delapan belas tahun, Yang Mulia."


 

Seorang pelayan datang menghampiri dan meletakkan secangkir teh di


hadapan Verity.
 

"Bagus. Sekarang minum ini!" Verity menatap cairan cokelat pekat di


hadapan, Ratu Amaranta menyuruhnya minum teh tersebut, dan meskipun
perutnya berteriak nyeri minta diisi, sebuah perasaan tak enak melingkupi
hati. Ini bukan kali pertama Ratu Amaranta memberikan racun berdosis
kecil yang membuatnya sangat tersiksa hingga memohon untuk mati saat
itu juga. Sayangnya, penyiksaan seperti inilah yang paling disukai sang ratu.
 

"Minum sekarang!"
 

Verity mengambil cangkir, lalu menyesap teh sedikit. Rasa lega memenuhi
hati, tetapi segera hilang tergantikan sesal. Rasa panas seumpama api mulai
membakar tenggorokan. Ratu Amaranta lagi-lagi meracuninya. Kali ini Verity
memilih diam dan tidak mengucap sepatah kata pun, apalagi memohon
kepada sang ratu untuk membunuhnya. Racun itu menyiksa, membuat
paru-parunya panas membara seperti akan meledak. Verity terbatuk,
segumpal darah keluar dari mulutnya. Sebelum kesadaran benar-benar
hilang, Verity melihat senyuman sinis terpasang di bibir sang ratu.
 

"Kau benar-benar naif, Tikus Kecil.


 

"Tuan Putri!"
 

Verity bangun dengan kepala yang berdentum hebat. Perutnya terasa perih
dan mual luar biasa, matanya berkunangkunang ketika berusaha
menyesuaikan cahaya yang masuk. Cahaya. Verity diam sejenak. Ratu
Amaranta tidak mengembalikannya ke penjara bawah tanah yang selalu
minim cahaya.
 

"Tuan Putri! Apa Anda baik-baik saja?"


 

Rasa mual itu kembali. Verity memiringkan tubuh, lalu memuntahkan cairan
bening ke wadah yang disediakan seseorang.
 

"Dia membutuhkan istirahat." Verity mendongakkan kepala, melihat


sesosok tabib mendekat dan menempelkan tangannya ke dahi Verity. "Ia
hanya membutuhkan makanan yang lebih bernutrisi untuk mengembalikan
kesehatannya."
 

"Baiklah, Tabib." Punggung Verity menegak ketika mendengar suara kepala


pelayan wanita, Maisie.
 

Wanita itu berjalan mendekati Verity setelah tabib pergi meninggalkan


ruangan, lantas berdeham keras. "Tuan Putri Clementine membutuhkan
istirahat, pergilah kalian!"
 

Para pelayan yang tadinya berkerumun di sekitar Verity segera mengangguk


dan pergi.
 

"Apa yang terjadi?" Verity mendesis marah kepada Maisie.


 

"Tutup mulutmu, Tikus Kecil!" Maisie menampar keras pipi Verity. "Diamlah!
Sebelum Ratu Amaranta menyelipkan racun lagi di minumanmu. Kali ini aku
sendiri yang akan memastikan kalau kau tidak akan selamat. Siksaanmu
akan begitu panjang dan lama!"
 

Verity menatap Maisie nyalang. "Bagaimana bisa aku berakhir sebagai Putri
Clementine di sini!" Verity tidak pernah bertemu Clementine dan tidak ada
seorang pun yang tahu bagaimana rupa putri satu-satunya Ratu Amaranta
sekaligus penerus kerajaan Selencia.
 

"Dengar kata-kataku, Rats. Kau akan berperan sebagai Putri Clementine-"


 

"Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menjadi seorang putri!" Verity
memekik frustrasi. Sepuluh tahun hidupnya dihabiskan dalam penjara
bawah tanah kerajaan Selencia. Ia tidak bisa membaca dan menulis bila
bukan karena Ratu Amaranta yang berbaik hati mengirimkan seseorang
untuk mengajarinya. la bahkan masih tidak tahu cara berjalan mengenakan
sepatu yang benar. Ia bukan Putri Clementine!
 

Rahang Maisie mengeras, tangannya mengepal bulat, menahan diri untuk


tidak menampar Verity sekali lagi. "Berarti kau harus belajar."
 

Verity berusaha mencerna perkataan Maisie. Pelayan tua yang congkak,


sombong, dan suka menyiksanya hingga di ambang kematian tentu saja atas
perintah Ratu Amaranta.
 

"Kenapa?"
 

"Apakah aku harus menjelaskan semuanya kepadamu?" Maisie memekik


kesal. "Matthias akan datang dan mengajarimu seperti biasa."
 

Wajah Verity semakin memucat mendengar nama Matthias, pria tua itulah
yang dikirimkan Ratu Amaranta untuk mengajari membaca dan menulis.
Verity melihat telapak tangannya, sebuah garis panjang tipis nyaris tak
terlihat merupakan bekas luka yang diberikan Matthias.
 

Satu-satunya bekas luka akibat Matthias menghukum dengan menjadikan


darahnya sebagai tinta karena tidak juga bisa menulis.
 

Maisie tersenyum semakin lebar ketika melihat wajah pucat Verity.


"Seharusnya Ratu Amaranta tidak memberimu makanan, kau tidak layak
untuk itu. Tapi karena ia memerintahkanku, kau bisa mengambilnya sendiri
di sana." Dagu lancipnya mengarah ke baki berisi aneka makanan di sudut
ruangan.
 

Mata Verity menatap baki di sudut ruangan. Apakah Ratu Amaranta


memberikan racun lain kepadanya? Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Memakannya atau tidak? Rasa perih serta suara perut yang menjera
membuatnya melupakan kekhawatiran. Ratu Amaranta tidak mungkin
membuatnya menyamar menjadi Putri Clementine jika tanpa alasan, juga
dia tidak mungkin meracuninya sekarang. Dengan tekad bulat, Verity
menggeser tubuhnya agar berpindah dari kasur. Anehnya, seberapa keras
pun berusaha, ia tidak dapat menggerakkan kaki.
 

"Apa yang terjadi pada kakiku?" Verity menatap Maisie yang tersenyum
angkuh.
 
"Racun itu membuatmu lumpuh. Sayangnya, kakimu akan kembali seperti
semula besok." Maisie melemparkan senyuman sinis sebelum pergi
meninggalkan Verity sendiri di kamar besar dengan ornamen indah.
 

Verity berusaha menggeser badannya lagi, hingga akhirnya ia terjatuh


menimpa karpet tebal di sekitar kasur. Dengan menggunakan kedua
tangannya, Verity merangkak ke sudut ruangan tempat baki berisi makanan
diletakkan. Ia menarik napas gusar, kedua kakinya lumpuh dan baki itu di
meja yang cukup tinggi. Ia akhirnya menarik baki hingga jatuh, pecahan kaca
dan tumpahan makanan mengotori lantai. Verity mengambil daging dan roti
yang berserak, lalu segera menyantapnya.
 

"Kau benar-benar seperti tikus kecil." Suara Matthias membuat gerakan


Verity berhenti. Ia memang terlihat seperti hewan pengerat karena
memakan makanan yang sudah terjatuh ke lantai menggunakan kedua
tangan.
 

Verity mengetatkan rahang, kedua tangannya menggenggam roti dan


daging semakin erat. Ia berusaha mengabaikan Matthias dan menghabiskan
makanan dengan cepat.
 

"Ckck, Ratu Amaranta terlalu baik kepadamu." Matthias duduk di kursi dan
membiarkan Verity menghabiskan makanannya. "Aku tidak tahu kenapa ia
memilihmu menjadi pengantin Raja Alastair."
 

"Apa?" Verity berusaha mencerna perkataan Matthias. "Apa maksudmu?"


 

"Kau menggantikan Putri Clementine." Verity mengerti bagian itu, mengerti


kalau sekarang ia tengah menyamar menjadi Putri Clementine. Namun, ia
tidak paham kenapa harus menjadi pengantin Raja Alastair.
 

Melihat wajah bingung Verity, Matthias melanjutkan perkataannya. "Apa


kau tidak tahu kalau kau akan menggantikan Putri Clementine untuk pergi
ke Austmarr?"
 

"Austmarr?" Ada lima kerajaan dan Verity tidak tahu empat lainnya. Ia
selama ini tinggal di penjara bawah tanah tanpa pernah menyentuh dunia
luar.
 

"Kau memang bodoh. Naif dan bodoh, seperti yang mereka katakan!"
Matthias menatap jijik. Baju indah yang dikenakan Verity telah dikotori sisa-
sisa makanan, begitu juga tangan dan mulutnya.
 

"Mungkin ini akan menjadi pelajaran pertamamu, Tikus Kecil. Ada lima
kerajaan: Raria yang dipimpin Ratu Rania,
 

Thaurin yang dipimpin Raja Arthur, Colthas yang dipimpin Raja


 

Zacharias, Selencia yang dipimpin Ratu Amaranta, dan yang terakhir


Austmarr, dipimpin oleh Raja Alastair." Ini pertama kalinya Verity
mendengar nama-nama para pemimpin lima kerajaan, sebuah pengetahuan
umum bagi warga biasa, tetapi tidak untuk Verity yang tinggal dalam
penjara selama sepuluh tahun terakhir.
 

"Seperti apa Austmarr?" Seperti apa tempat yang akan ia datangi nanti?
 

"Austmarr? Tempat sekumpulan orang barbar. Tidak seperti Selencia atau


Thaurin tentu saja." Mendengar nama kagum Matthias pada Selencia dan
Thaurin, Verity bisa menduga kalau kedua negara ini memiliki hubungan
yang cukupdekat. "Kau harus berperan dengan baik sebagai Putri
Clementine. Kalau tidak, raja dari sekumpulan orang barbar itu akan
langsung membunuhmu. Dia tidak seperti Ratu Amaranta yang terus
memberikanmu kesempatan untuk hidup." "Apa kau pernah bertemu Putri
Clementine?"
 
Mata Matthias menajam mendengar perkataan Verity. "Tidak, tapi dari
rumor yang kudengar, dia sangat pintar dan cantik, bahkan melebihi ibunya
sendiri." Ratu Amaranta sangat cantik, ia pasti sangat menyayangi Putri
Clementine hingga tidak ingin putrinya itu dikirim ke Austmarr menjadi
pengantin orang barbar seperti Raja Alastair.
 

"Kau tidak bisa mengacaukan ini, Tikus Kecil. Selencia dan Austmarr bisa
perang bila kau mengacaukannya. Kau harus berperan sebagai Putri
Clementine dengan baik. Ada alasan kenapa Raja Alastair menjadi
pemimpin lima kerajaan sekaligus Kerajaan Austmarr selama dua puluh
tahun terakhir. Bukan hanya Selencia dan Austmarr, lima kerajaan bisa
berusaha membunuhmu bila kau gagal."
 

 
 

ii
THE FIVE KINGDOMS
 

VERITY TERSENTAK TIBA-TIBA ketika merasakan sengatan menyakitkan di


punggungnya yang berasal dari tongkat panjang Matthias. Sudah nyaris
sebulan ia harus berpura-pura menjadi Putri Clementine, belajar
menggunakan perlengkapan makan, mengenakan sepatu, bahkan politik
kelima kerajaan. Matthias menatapnya berang ketika menyadari Verity
tertidur di salah satu kelasnya.
 

"Bangun! Kau sudah harus bisa menghapal setiap nama kerajaan dan
pemimpinnya!" Matthias memukul-mukul tongkat kayu di telapak
tangannya. "Aku bisa saja menghajarmu habishabisan bila bukan karena
Ratu Amaranta ingin melihat hasil belajarmu selama sebulan terakhir. Kau
akan bertemu Raja Arthur sore nanti. Tidak sepertimu dan aku, Raja Arthur
pernah bertemu dengan Putri Clementine sebelumnya. Ratu Amaranta
pernah menitipkan Putri Clementine saat tuan putri masih kecil, hubungan
baik keduanya masih terjaga sampai sekarang,"
 

Verity menegakkan badan dan menatap lurus ke arah Matthias. Seperti apa
Putri Clementine yang sebenarnya? Kenapa ia tidak pernah bertemu putri
itu selama sebulan terakhir di istana?
 

"Ini peta Inkarnate, kelima kerajaan."


 

"Letak Kerajaan Austmarr yang strategis membuatnya menjadi pemimpin


lima kerajaan." Matthias mengetukngetukkan tongkat kayunya ke map tua
yang terlihat begitu aneh. Verity menatap map itu kagum. Siapakah yang
pernah menjelajahi Inkarnate hingga tahu seluruh letak kerajaan dengan
tepat.
 
"Apa itu?" Verity menunjuk pulau terpencil yang terletak di selatan lima
kerajaan.
 

'Kuil Merayang sudah lama ditinggalkan oleh lima kerajaan. Kuil itu masih
ada tentu saja, dijaga oleh sekelompok pendeta yang tidak peduli dengan
keadaan politik lima kerajaan.
 

Pulau Mera merupakan satu-satunya daerah netral yang tidak berada di


antara lima kerajaan." Verity menatap gambar-gambar itu dengan takjub
"Bagaimana dengan yang di sana?" Verity menunjuk salah satu reruntuhan
bangunan dengan gambar naga di atasnya.
 

"Dragor, sisa reruntuhan kerajaan keenam yang katanya dihancurkan oleh


naga." Matthias tersenyum sinis melihat raut wajah kagum yang begitu jelas
di wajah Verity. "Naga itu tidak ada tentu saja, itu semua hanya rumor.
Begitu juga rumor yang mengatakan kalau hanya keturunan langsung
Kerajaan Colthas lah yang bisa mengendalikan naga."
 

"Mengendalikan naga?" Verity memperhatikan peta itu baik-baik. "Tapi


Colthas berada di ujung kiri, sementara Dragor berada di ujung sana. Apa
untungnya bagi Colthas untuk menghancurkan Dragor?"
 

"Seperti yang kukatakan, Tikus Kecil. Semua itu hanya rumor. Tidak ada
gunanya kau mempelajari sebuah dongeng seperti naga atau
memperdulikan Dragor yang sudah punah."
 

Matthias kembali mengetuk-ngetukkan tongkat kayunya, tetapi Verity masih


menatap kagum kelima kerajaan itu.
 

'Selencia menjadi lebih luas berkat kehancuran Dragor. Sayangnya, Selencia


tetap tidak bisa menjadi pemimpin kelima kerajaan karena lokasinya yang
kurang strategis." Matthias terus melanjutkan penjelasan, sementara Verity
kembali melamun. Ia tidak tahu kenapa harus mempelajari ini semua bila
nanti hanya dijadikan tumbal menggantikan Putri Clementine.
 

Verity menumpukan kedua tangannya di dada dan menatap Matthias yang


terus membicarakan Selencia dan Thaurin dengan nada kagum, sementara
Verity terjebak dalam rasa bosan. Apabila ia masih hidup setelah
meninggalkan Austmarr, ia ingin menjelajahi setiap negara, lalu menemukan
hal baru. Siapa tahu naga bukan rumor seperti yang Matthias katakan.
 

Verity merapikan baju dan rambut berulang kali. Rambut hitamnya terlihat
kontras dengan gaun ungu pucat yang dikenakan. Maisie mendesis marah
kepadanya agar tetap berjalan anggun dan sopan meski kakinya sakit akibat
mengenakan sepatu yang terlalu sempit.
 

"Tidak ada yang peduli dengan kakimu, Tikus Kecil. Raja Arthur dari Thaurin
akan menemuimu! Ini merupakan sebuah kehormatan besar untukmu."
Maisie menyeret Varety menjauh dari para pengawal dan melontarkan
serentetan makian kepadanya. "Seandainya saja rambutmu pirang seperti
warga Selencia lainnya, mungkin ia tidak akan terlalu mencurigaimu.
 

Rambutmu yang hitam membuatmu seperti bangsa lain! Warga Thaurin dan
Selencia tidak memiliki rambut hitam sepertimu."
 

Verity menarik napas gugup, ia tidak bisa melakukan apa pun kepada
rambutnya bukan? Dia bukan penyihir yang bisa mengubah warna rambut
sesuka hati.
 

"Jangan kacaukan ini!"


 

"Tidak akan!" ucap Verity lancang.


 
Maisieberusaha menahan tangannya untuk tidak menampar wajah Verity.
Pelayan tua itu mendorong Verity kembali ke depan pintu agar seseorang
dapat mengumumkan kedatangannya.
 

"Putri Clementine dari Selencia datang!" Dua orang pengawal membukakan


pintu besar dan tinggi dengan ornamen rumit untuk Verity.
 

Verity melangkah dengan hati-hati mendekati dua buah kursi kerajaan tinggi
berwarna emas. Tiga undakan tangga dan sebuah karpet merah panjang
menuju kursi telah ia lewati tanpa terjatuh atau tersandung.
 

"Clementine." Ratu Amaranta tersenyum tulus untuk pertama kali dalam


sepuluh tahun. Verity terpana sejenak, tidak menyangka sang ratu akan
benar-benar tersenyum kepadanya. Sebuah senyuman yang tidak sinis atau
mengejek seperti biasa. Namun, tentu saja karena saat itu ia tengah
berperan sebagai Clementine, penerus takhta Kerajaan Selencia.
 

"Hormat saya untuk Paduka Raja Arthur dari Thaurin dan Ratu Amaranta
dari Selencia." Verity menundukkan kepala, berusaha keras untuk tidak
kembali menatap wajah sang ratu.
 

"Jadi ini Clementine?" Verity menundukkan kepala dalamdalam meski rasa


penasaran menggerogoti hatinya. Suara Raja Arthur terdengar ringan, tidak
berat seperti yang ia bayangkan.
 

"Dulu dia teman main Alexander bukan?"


 

Verity berusaha mengingat-ingat perkataan Matthias tentang Kerajaan


Thaurin, tetapi tidak ada satu pun yang menyangkut di otaknya. Nama
Alexander terdengar familier sekaligus ganjil baginya. Siapa Alexander?
 
"Alexander pasti begitu kecewa ketika tunangannya berakhir menjadi
pengantin Raja Alastair." Verity tersentak kaget. Siapa Alexander? la
berusaha mengingat-ingat kembali. "Angkat kepalamu, Clementine!"
 

Verity mengangkat kepala, matanya melebar melihat penampilan raja dari


Thaurin ini. Raja Arthur terlihat muda meski ia yakin umurnya mungkin
sudah akhir empat puluhan. Rambutnya pirang, tetapi lebih terang daripada
rambut Ratu Amaranta, kulitnya putih pucat seperti kertas, serta ia memiliki
ujung telinga yang sedikit lancip seperti kaum elf.
 

"Kau terlihat kaget melihatku, Tuan Putri."


 

"Sa-saya.... "Tatapan mata Ratu Amaranta yang tajam membuat Verity


kembali membungkam mulut.
 

"Thaurin disebut sebagai kaum elf. Ini bukan rumor karena konon katanya
kami memang keturunan para elf yang bercampur dengan manusia." Raja
Arthur tertawa kecil. "Sama seperti Colthas yang merupakan keturunan
sang naga, atau Raria yang memiliki darah para pelaut. Tapi aku masih
manusia tentu saja."
 

"Maafkan kelancangan putri saya, Yang Mulia. Clementine tidak pernah


menginjakkan kakinya keluar dari kerajaan, ia masih terlalu naif dan bodoh
untuk mengetahui setiap isi lima kerajaan." Ratu Amaranta sedikit
menundukkan kepalanya kepada Raja Arthur.
 

Verity memperhatikan interaksi keduanya. Raja Arthur terlihat baik, sebuah


kesan pertama terbentuk di benak Verity. Namun, setelah tinggal selama
sepuluh tahun di penjara, Verity tahu ada banyak kebusukan yang tersimpan
dalam wajah rupawan para pemimpin kerajaan ini.
 

"Clementine .... " Verity melihat Raja Arthur dengan tatapan waspada. "Apa
kau bisa melakukannya?"
 

"Melakukan apa, Yang Mulia?" Sebuah senyuman terbentuk di wajah Raja


Arthur.
 

"Membunuh Raja Alastair." Mata Verity terbelalak kaget, ia tidak pernah


membunuh seseorang sebelumnya. Apa maksud perkataan Raja Arthur? "Ini
demi kebebasanmu bukan? Ratu Amaranta sudah menjelaskan semuanya.
Aku tahu kalau kau hanya seorang penipu yang berperan sebagai Putri
Clementine."
 

Tangan Verity gemetar, entah karena marah atau takut. "Aku tak tahu apa
yang Anda bicarakan, Yang Mulia."
 

"Hahahaha, kau pintar sekali memilih seseorang, Ratu." Raja Arthur tertawa
keras, sementara Ratu Amaranta memiliki ekspresi yang sulit untuk Verity
baca. "Kau hanya perlu membunuh Alastair. Maka kebebasan akan menjadi
milikmu."
 

Verity mengetatkan rahangnya, kedua tangannya mengepal marah. Para


pemimpin kerajaan ini ternyata hanyalah orangorang pengecut yang
bersembunyi di balik seorang budak sepertinya. "Bagaimana bila nanti sang
raja mati?"
 

"Kau akan bebas. Kau bisa menjadi ratu di Austmarr tentu saja."
 

Verity tidak peduli dengan Austmarr, tapi kata 'bebas' membuatnya tertarik.
 

"Apa jaminannya?" Raja Arthur melemparkan sesuatu yang jatuh tepat di


hadapan Verity. Verity memungutnya dan melihat sebuah benda
menyerupai sisik kehitaman yang lebih keras daripada baja. "Apa ini?"
 

"Jaminanmu. Sisik sang naga yang kini berada di Dragor."


 

"Dragor?" Verity tidak percaya kalau Dragor dan naga itu benar benar nyata.
"Apa ini ada hubungannya dengan kehancuran kerajaan keenam?"
 

"Colthas mungkin bisa mengendalikan sang naga. Tapi bukan dia yang
menghancurkan Dragor." Ratu Amaranta menatap Verity, mata violetnya
terlihat berkilat licik. "Selencia lah yang menghancurkan Dragor."
 

"Kenapa?"
 

Ratu Amaranta menyunggingkan senyum sinis. "Karena begitulah caranya


bertahan hidup, menghancurkan atau dihancurkan.?
 

Verity menimbang-nimbang sisik sang naga yang berada di tangannya.


Selencia dan Thaurin bekerja sama untuk menghancurkan Dragor dan
sekarang kembali bersekutu untuk menghancurkan Austmarr. Apakah dia
bisa benar-benar bebas setelah membunuh Raja Alastair? Seperti apakah
Austmarr? Raja Alastair sudah berkuasa di sana selama dua puluh tahun.
Pria itu pasti sudah cukup tua dan berpengalaman karena dialah pemimpin
lima kerajaan.
 

Verity mendesah keras, dia harus menikah dengan pria yang mungkin
usianya lebih tua dari Ratu Amaranta atau Raja Arthur. Sepanjang hidup, ia
selalu merasa sial, tetapi tidak lebih sial dari ini. Sekarang ia terjebak dalam
politik lima kerajaan dan diperintahkan untuk membunuh sang pemimpin.
Ia sungguhsungguh ingin bebas! Tapi sepadankah kebebasannya dengan
membunuh seseorang? Verity menatap langit-langit kamar berhias lukisan-
lukisan indah. Keindahan yang hanya berlangsung sementara karena ia bisa
saja mati kalau gagal menjalankan perintah Ratu Amaranta.
 

Suara ketukan membuat lamunan Verity berhenti. Gadis itu mencari-cari


sesuatu untuk menutupi gaun tidur yang dikenakan sekaligus pelindung diri.
 
"Masuk!" Verity mengambil sehelai jubah lalu mengenakannya dengan
terburu-buru. Ia menarik napas lega ketika melihat beberapa pelayan
wanita masuk.
 

"Ratu Amaranta memerintahkan agar kami segera bersiap, Yang Mulia."


Seorang pelayan maju dan memberikan penghormatan kepada Verity,
membuat gadis itu gelisah karena tak mengerti.
 

"Bersiap untuk apa di tengah malam seperti ini?"


 

"Yang Mulia harus segera berangkat menuju Austmarr malam ini." Beberapa
pelayan maju mendekati lemari dan mengambil gaun-gaun milik Verity,
kemudian memasukkannya ke peti-peti berhias emas dengan terburu.
 

"Ke Austmarr? Malam ini?" Verity menggigit bibirnya gelisah. "Berapa lama
waktu yang dibutuhkan untuk tiba di Austmarr?"
 

"Dua hari perjalanan, Yang Mulia. Austmarr terletak tepat di tengah


Inkarnate. Kita harus melewati Hutan Pinus untuk tiba di sana."
 

"Hutan Pinus?" Verity tidak pernah menginjakkan kakinya di luar istana. Dari
balik jendela kamar, ia bisa melihat daundaun pepohonan yang indah saat
terang, tetapi menyeramkan saat gelap.
 

"Melewati Hutan Pinus adalah jalur tercepat, Yang Mulia. Melewati jalan
biasa akan menimbulkan banyak kecurigaan. Ada beberapa perampok yang
menunggu sepanjang jalan menuju Austmarr." Verity pernah menemui
beberapa perampok di dalam penjara dan seperti yang para pelayannya
katakan, para perampok itu memang menyeramkan. Sebagian besar dari
mereka berakhir di tangan algojo karena tidak ada seorang pun yang layak
dihukum gantung atau racun.
 
"Apa kau yakin berangkat malam ini akan aman?"
 

"Sangat aman. Yang Mulia Ratu Amaranta juga menyiapkan lima puluh
pengawal untuk menemani perjalanan Anda." Lima puluh pengawal
mengantarnya menuju pintu kematian. Verity tidak pernah takut mati
sebelumnya, tapi kali ini, ketika kebebasan di penghujung mata, ia tidak
ingin mati sia-sia.
 

"Baiklah kalau begitu." Verity berusaha menguatkan tekadnya. Dia akan


bebas. Sebentar lagi dia akan bebas.
 

Seorang pelayan memakaikannya gaunbaru yang lebih tertutup, juga


merapikan rambut hitamnya yang berantakan. "Sebelum Anda berangkat ke
Austmarr, Ratu Amaranta ingin mengucapkan salam perpisahan untuk
Anda."
 

Jantung Verity berdegup cepat, ia tidak pernah keluar di tengah malam


seperti ini. Kerajaan Selencia terlihat seperti tengah tertidur dengan
kurangnya cahaya bahkan penjaga di sepanjang lorong. Ratu Amaranta
menunggunya di ruang singgasana. Verity tidak tahu apakah kali ini Raja
Arthur turut mengucapkan salam perpisahan kepadanya atau tidak.
 

Verity masuk ruang singgasana dan melihat Ratu Amaranta sudah duduk di
sana. Wajahnya terlihat tenang, berbanding terbalik dengan Verity yang
terlihat gelisah dan panik.
 

"Verity." Verity mendongakkan kepala dan menatap wajah Ratu Amaranta.


Untuk pertama kali, ia mendengar ratu dari Selencia ini memanggil
namanya bukan Tikus Kecil seperti biasa.
 

"Yang Mulia." Verity membungkukkan badan, memberikan penghormatan


kepada sang ratu.
 
"Aku memberimu kesempatan untuk meraih kebebasanmu." Ratu Amaranta
menghentikan ucapannya sejenak, ia melihat Verity yang masih
membungkukkan badan. "Sebagai gantinya, kuminta kau untuk membunuh
Raja Alastair, pemimpin Kerajaan Austmarr sekaligus lima kerajaan.
Kuberikan kau sebuah hadiah.?
 

Verity berjengit ketika mendengar kata hadiah. "Terima kasih, Yang Mulia."
 

"Hadiah ini gunakanlah untuk membunuh Raja Alastair bila saatnya tepat."
Sang ratu memanggil Verity dengan gerakan tangan. Ragu-ragu Verity
mendekat. Sesampainya di hadapan sang ratu, Verity kembali membungkuk.
"Sebuah belati berhiaskan permata. Bunuhlah Raja Alastair menggunakan
ini."
 

Verity menerima belati pemberian Ratu Amaranta. Belati itu terasaberat


karena permata yang menghiasinya. "Terima kasih, Yang Mulia." la
mengucapkannya sekali lagi, lalu berniat undur diri. "Tiga hari." Punggung
Verity menegak mendengar perkataan Ratu Amaranta. Apakah ia harus
membunuh Raja Alastair dalam waktu tiga hari lagi? Yang benar saja, Verity
tidak pernah membunuh seseorang sebelumnya!
 

"Tiga hari lagi waktu pernikahanmu." Verity terdiam. Sesaat ia lupa kalau ia
tengah menyamar menjadi Putri Clementine. Misinya bukan hanya
membunuh sang raja, tetapi menjadi pengantin raja. "Buatlah Alastair
percaya kepadamu, lalu tusuk jantungnya!? Jantung Verity berdegup
semakin kencang. Ia harus membunuh, ia hanya perlu menusuk jantung
sang raja dengan belati yang Ratu Amaranta berikan, maka ia dapat meraih
kebebasan. Seandainya, seandainya saja Verity tahu kalau membunuh sang
raja tidak akan semudah itu.
 

 
 

 
III
THE BANDITS
 

Verity mengeluarkan kepalanya dari jendela kecil kereta yang ia naiki. Dunia
luar terlihat begitu asing baginya, Verity mengeluarkan tangannya dan
merasakan hembusan angin juga udara yang lembap. Penjaranya di Selencia
tidak bisa menampilkan pemandangan seperti ini. Selama sepuluh tahun,
Verity hanya pernah melihat lumpur atau kotoran dari lubang kecil yang
juga berfungsi sebagai sirkulasi udara. Bila Ratu Amaranta memanggilnya,
maka ia beruntung dapat masuk ke dalam kerajaan dan melihat istana
Selencia yang luas.
 

"Yang Mulia! Jangan mengeluarkan tangan anda seperti itu." Seorang


pelayan yang duduk di sebelahnya langsung menegurnya. "Kita tidak akan
berhenti sepanjang menuju Austmarr. Tempat ini berbahaya, banyak
perampok yang berkeliaran." Verity mengikuti saran pelayannya lalu
kembali duduk tenang hingga rasa bosan menghampirinya.
 

"Siapa namamu?" Verity menatap pelayan yang menegurnya tadi.


 

Pelayan itu nampak tersentak kaget. "Na-nama saya, Yang Mulia?" Pelayan
itu terlihat masih muda, tidak seperti Maisie. Usianya mungkin lebih tua
beberapa tahun daripada Verity, rambut pirangnya dicepol dengan kuat dan
rapi, pakaiannya licin, dan meski nampaknya ia telah lelah juga mengantuk,
pelayan itu juga terlihat waspada.
 

"Ya. Namamu." Verity menunggu dengan rasa antisipasi yang besar. Ia tidak
pernah punya teman sebelumnya. Lagipula selain Maisie dan Matthias,
pelayan-pelayan lain tidak diperbolehkan untuk berbicara dengannya.
 
"Nama saya Jenny." Jenny, namanya terdengar biasa saja seperti
penampilannya. Jenny terlihat seperti rakyat Selencia lainnya, rambut
pirang, mata biru, dan kulit yang pucat. Dari seluruh rakyat Selencia yang
pernah ia temui, Ratu Amaranta lah yang terlihat paling berbeda. Mata
violetnya atau ekspresi wajahnya yang angkuh membuatnya mudah
dibedakan.
 

Verity kembali terdiam hingga rasa kantuk kembali menyergapnya meski


bulan telah terbenam dan digantikan oleh matahari yang terbit dari arah
timur. Suara derap langkah kaki para pengawal juga kuda-kuda yang
membawa keretanya membuat Verity gelisah dan tidak bisa tidur.
 

"Apakah anda lapar, Yang Mulia?" Jenny menyodorkan sebuah roti yang
dibungkus dengan kain kepadanya. Verity memandang roti gandum yang
telah sedikit mendingin itu. Putri Clementine selalu mendapatkan makanan
yang terbaik, tidak seperti Verity yang harus menunggu makanannya
bahkan hingga seminggu lamanya. Terkadang ia hanya mendapatkan sup
sayur encer atau roti gandum setengah busuk yang telah mengeras seperti
batu. "Maafkan saya, Yang Mulia! Saya akan meminta para pengawal
berhenti, mungkin mereka bisa menangkap rusa atau kelinci dan
memasaknya untuk makanan anda." Bila saja Jenny bisa berlutut di dalam
kereta kecil ini pasti ia akan segera melakukannya ketika melihat Verity tak
kunjung mengambil roti gandum yang berada di tangannya.
 

"Eh, ini... Tidak apa-apa." Verity berkata canggung ketika mengambil roti
gandum itu sementara Jenny sendiri sudah terlihat nyaris menangis karena
mengira dirinya telah melakukan kesalahan besar.
 

"Sa-saya akan meminta para pengawal untuk berhenti." Verity tak sempat
mengatakan apapun ketika Jenny melongokkan kepalanya dan berteriak
kepada kusir yang duduk di depan kereta untuk menghentikan keretanya.
Derap langkah para pengawal dan kuda-kuda berhenti saat itu. "Yang Mulia
Putri Clementine ingin beristirahat sebentar selama satu jam. Para
pengawal bisa mengistirahatkan kuda-kudanya dan juga mencari rusa atau
kelinci untuk Tuan Putri."
 

Mulut Verity setengah ternganga mendengar perintah Jenny kepada para


pengawal lain. "Apa yang kau lakukan? Kita harus segera tiba ke Austmarr."
 

"Yang Mulia..." lagi-lagi Jenny terlihat nyaris menangis.


 

Verity melongokkan kepalanya keluar jendela dan melihat para pengawal


yang tengah beristirahat. Mungkin ada baiknya mereka berhenti selama
sejam di sini. Saat matahari pagi menyambut dan tidak ada satu pun
ancaman yang dapat menghampiri mereka. Verity menghembuskan nafas
panjang lalu berkata, "Baiklah-baiklah. Kita bisa beristirahat di sini selama
satu jam."
 
 

Wajah sedih Jenny perlahan-lahan surut tergantikan raut rona bahagia dan
lega. "Saya akan menyiapkan perlengkapan memasak untuk rusa atau
kelinci yang para pengawal dapatkan untuk anda." Jenny meloncat turun
dari atas kereta, meninggalkan Verity sendirian di atasnya.
 

Verity termenung beberapa saat sebelum memutuskan untuk ikut turun.


Dia tidak pernah melihat hutan pinus sebelumnya dan ini adalah
kesempatan yang tepat sebelum ia datang ke Austmarr dan terjebak lagi di
dalamnya. Verity mengenakan jubahnya dengan menggunakan tudungnya,
Verity menutupi rambut hitamnya hingga ia tidak terlihat terlalu berbeda
dari para pengawal atau pelayan yang ia bawa dari Selencia. Tidak ada yang
berbeda tentu saja, selain pakaiannya yang menunjukkan kalau ia anggota
kerajaan atau mata violetnya yang tentu saja hanya bisa dilihat dari dekat.
Dengan hati-hati Verity turun dari atas kereta dan melihat para pengawal
juga para pelayan yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
"Anda mau ke mana, Yang Mulia?" Kusir yang masih duduk di atas kereta
bertanya kepadanya ketika kaki Verity menjejakkan tanah yang basah dan
lembap.
 

"Aku ingin melihat-lihat." Verity bergumam pelan.


 

"Aku tidak pernah keluar dari istana sebelumnya." Verity tidak tengah
berbohong, ia memang tidak pernah menjejakkan kakinya keluar dari
Selencia apalagi istana selama sepuluh tahun terakhir. Verity bahkan telah
lupa bagaimana kehidupannya sebelum masuk ke dalam penjara. Terkadang
Verity membayangkan seperti apa kedua orang tuanya, kenapa mereka
memberinya nama Verity yang memiliki arti kebenaran, apa yang mereka
pikirkan ketika Verity menghilang.
 

Si kusir yang terlihat iba dengan Verity memberikan sebuah senyuman sedih
kepadanya, "Anda bisa melihat-lihat, Yang Mulia. Tapi jangan jauh-jauh dari
sini."
 

Verity hanya mengangguk kepada pria tua itu merasa dirinya tidak perlu
membalas kata-kata si kusir kepadanya. Langkah kakinya terasa cepat dan
ringan ketika ia melihat-lihat ke sekelilingnya. Verity bahkan menyentuh
pohon pinus dan merasakan batangnya yang kasar, ia menatap takjub ke
arah pohon itu lalu berjalan memutarinya. Sekilas, pohon pinus itu terlihat
sama dengan yang lainnya, namun ketika telapak tangan Verity merasakan
batangnya yang kasar, mereka semua berbeda. Verity mendongakkan
kepalanya dan melihat cahaya matahari yang perlahan menyusup masuk
melewati celah-celah dedaunan. Dunia ternyata lebih luas dari yang Verity
bayangkan. Tanpa Verity sadari ia telah berjalan begitu jauh ke dalam hutan,
bahkan ia mendapati sebuah anak-anak sungai yang sepertinya mengarah
langsung ke sungai besar. Verity melepaskan sepatunya yang kesempitan
lalu mencelupkannya ke air sungai yang dingin akibat es di musim salju yang
telah mencair. Rasa dinginnya membuat lecet juga rasa perih di kakinya
berkurang.
 

"Liat apa yang aku temukan di sini." Verity tersentak kaget, ia nyaris jatuh
bila bukan karena dua buah tangan kekar yang menahan lengannya dan
memutar badannya hingga punggung Verity menempel dengan dada pria
itu.
 

"Siapa kau?! Lepaskan aku sekarang juga!" pikiran pertama yang terlintas di
benak Verity adalah perampok. Pria ini tentu seorang perampok seperti
yang pelayannya katakan kepadanya. Harusnya ia tidak terlena dengan
keindahan alam bebas seperti ini.
 

"Diamlah!" Pria itu menggeram marah ketika Verity memberontak. Tangan


Verity baru saja hendak meraih belati pemberian Ratu Amaranta yang ia
sembunyikan di pahanya ketika ia mendengar suara-suara yang memanggil
namanya, atau lebih tepatnya mereka tengah memanggil Putri Clementine.
"Jadi kau adalah Putri Clementine, huh? Pengantin sang raja?" Pria itu
membalik badannya hingga kedua wajah mereka saling bertatap-tatapan.
 

Verity membelalakkan matanya melihat pria yang berada di hadapannya.


Pria itu tidak memiliki wajah khas perampok yang berada di dalam penjara
Selencia atau berusia lebih tua dari yang Verity bayangkan, usianya mungkin
hanya lebih tua beberapa tahun dari Verity. Matanya berwarna coklat
seperti madu dengan rambut yang juga coklat gelap. Verity menyadari kalau
pria ini adalah orang asing, dia tidak berasal dari Selencia atau Thaurin. Ini
artinya sebentar lagi Verity tiba di Austmarr. "Lepaskan aku!" Verity
menggunakan nada suaranya yang paling dingin dan angkuh meski masih
terdengar nada gemetar di dalamnya.
 

Pria itu melepaskan lengan Verity lalu membuka tudung yang


menyembunyikan rambut hitam Verity. "Rambutmu hitam." Verity
terbelalak kaget. Ia buru-buru menutup kembali rambutnya. "Dan matamu
violet. Kau tidak berasal dari Selencia." Pria itu mengernyitkan dahinya
bingung.
 

"Putri Clementine! Yang Mulia!" Suara Jenny dan juga para pengawalnya
semakin mendekat. Verity hendak meneriakkan sesuatu ketika pria itu
membungkam mulutnya secara tiba-tiba.
 

"Tybalt!" Verity mungkin mengira dirinya tengah berhalusinasi karena


kurang tidur, tapi ia benar-benar yakin kalau pria yang baru saja datang itu
turun dari atas pohon. "Apa yang kau lakukan?! Cepat lepaskan dia!"
 

"Sebentar Barney." Tybalt melihatnya sekali lagi, memperhatikannya dengan


lebih terperinci.
 

"Tybalt!" Barney mendesis marah ketika mendengar suara-suara yang


semakin mendekat.
 

"Baiklah-baiklah!" Tybalt melepaskan cengkraman tangannya. Verity


menatap pria itu dengan waspada. "Sampai jumpa lagi, Yang Mulia." ucap
Tybalt dengan nada mencemooh lalu berlari mengikuti Barney yang sudah
lari lebih dahulu.
 

"Aku di sini! Jenny! Aku di sini!" Verity berteriak sekencang mungkin.


 

"Yang Mulia?" Jenny berlari ke arahnya di ikuti oleh beberapa orang


pengawal yang terlihat sama khawatirnya. "Apa anda baik-baik saja?"
"A-aku... Aku tersesat." Verity memutuskan untuk tidak mengatakan apapun
tentang pertemuannya dengan para perampok.
 

"Aku begitu khawatir, Yang Mulia! Kita harus segera melanjutkan


perjalanan. Austmarr sudah dekat dan para perampok bisa datang bila kita
sampai kemalaman di hutan pinus." Verity hanya mengangguk dan
mengikuti langkah kaki Jenny kembali ke dalam kereta.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Beberapa kali kepala Verity terantuk oleh dinding kayu kereta yang keras.
Siang telah berganti malam, sebentar lagi mereka tiba di Austmarr. Salah
seorang pengawal berhasil menangkap seekor kelinci hutan saat mereka
istirahat tadi, para pelayan memasaknya dengan bumbu seadanya yang
mereka temukan di dalam hutan dan memberikannya kepada Verity
sementara para pelayan dan lima puluh pengawal yang mengiringi
perjalanannya hanya berbagi bekal berupa roti yang mereka bawa dari
Selencia. Verity tidak keberatan memakan roti dingin yang nyaris keras
bersama dengan para pelayannya tapi Jenny bersikeras kalau seorang putri
sepertinya tidak pantas memakan makanan yang merakyat. Kini setelah
menghabiskan setengah ekor kelinci, perutnya terasa sangat penuh. Verity
yakin bila dirinya saat ini masih tinggal di dalam penjara, dia mampu
bertahan selama seminggu.
 

"Yang Mulia, lihat! Gerbang pintu Austmarr!" mendengar suara Jenny yang
berkata dengan nada riang membuat Verity tidak jadi tertidur dan memilih
untuk melihat kerajaan terbesar di Inkarnate. Austmarr memang lebih besar
daripada Selencia. Jauh sebelum pintu gerbang sudah ada berhektar-hektar
perkebunan yang luas, para petani dan pekebun berhenti untuk melihat
iring-iringan kereta yang membawa Verity. Setelah itu mereka melewati
pintu gerbang yang dijaga beberapa orang pengawal, tatapan mereka yang
tajam membuat Verity kembali menyembunyikan wajahnya di balik
tudungnya yang gelap. Orang-orang di Austmarr terlihat begitu penasaran,
beberapa kali anak-anak kecil berusaha mengintip ke jendela kereta yang
Verity naiki. Untung saja orang-orang yang menonton iringan mereka
semakin berkurang ketika mereka melewati perumahan elite yang dihuni
para bangsawan. Berbeda dengan rakyat jelata yang berlomba-lomba keluar
dari rumah mereka dan berkerumun di jalanan, para bangsawan
menyambut kedatangan Verity dengan dingin. Tak ada seorang pun yang
keluar, jalanan sunyi senyap meski beberapa kali Verity mendapati orang-
orang yang mengintip kedatangannya dari balik jendela yang tertutup
gorden tebal nan gelap. Setelah melewati rumah para bangsawan, masih
ada jalan panjang sebelum mereka tiba ke pintu gerbang istana.
 

 
 

 
 

 
 

 
 

Tidak seperti Istana Selencia yang terang benderang, Austmarr memiliki


aura gelap yang melingkupinya. Seperti sihir yang berusaha menghancurkan
siapapun yang memiliki niat jahat kepada pemilik istana. Verity mengelus
dadanya berulang kali ketika mereka melewati gerbang istana, perasaannya
tidak enak dan diliputi perasaan mencekam yang terasa seperti menyobek
dadanya. Ia melihat ke sisi kanannya dan mendapati Jenny juga melakukan
hal yang sama sepertinya. "Aku tidak suka ini."
 

Jenny berusaha tersenyum kepadanya namun ia juga meringis seolah


menahan rasa sakit. "Austmarr memiliki aura yang mencekam." Mungkin
benar kata Matthias, hanya orang-orang barbar lah yang bisa bertahan di
tempat seperti ini.
 

Kereta yang Verity naiki berjalan semakin lambat ketika menuju ke Istana
Austmarr hingga akhirnnya berhenti di pintu utama yang terlihat begitu
besar. Seseorang telah menunggu di sana, pakaiannya yang mewah atau
penampilannya yang terlihat begitu bersahaja membuat Verity yakin kalau
pria tua itu merupakan salah satu pelayan setia Raja Alastair.
 

"Yang Mulia Putri Clementine," Pria itu membantu Verity turun dari atas
kereta lalu memberikan sebuah kecupan di punggung tangan Verity.
"Perkenalkan nama saya Richard Blaxton, salah satu penasehat Yang Mulia
Raja Alastair."
 

Verity terdiam sesaat karena gugup lalu ia terburu-buru mengatakan.


"Nama saya..."
 

"Putri Clementine Selencia." Richard Blaxton tersenyum kecil kepadanya.


Setiap anggota kerajaan memang tidak memiliki nama belakang karena
mereka percaya kalau keturunan langsung anggota kerajaan juga
merupakan penemu atau pendiri kerajaan itu sendiri. "Anda terlihat begitu
pucat, apakah perjalanan anda baik-baik saja?" Richard Blaxton
menawarkan lengannya kepada Verity, membuat Verity mau tak mau
menyelipkan tangannya di lengan pria itu lalu berjalan berdampingan masuk
ke dalam istana Austmarr yang megah.
 

"Melelahkan. Saya tak pernah keluar dari Selencia sebelumnya, melihat


dunia luar benar-benar menakjubkan bagi saya." Verity tersenyum kecil
mengingat pemandangan hutan pinus yang membuatnya takjub, namun
dahinya berkerut sedikit ketika mengingat Tybalt si perampok.
 

"Ah, saya mengerti." Richard mengangguk sopan. "Saya mengira perjalanan


anda mungkin sedikit terganggu ketika melewati gerbang istana Austmarr."
Verity menatap Richard dan memperhatikan ekspresi pria itu, apakah ada
sesuatu di gerbang istana Austmarr? "Tapi jangan khawatir. Melihat anda
baik-baik saja sesampainya di sini, saya yakin kalau anda masih bisa berjalan
di pernikahan anda besok."
 

"Besok?" Besok. Verity menahan nafasnya, jantungnya berdegup kencang.


Entah kenapa hari berlalu begitu cepat. Ia berhenti sesaat hingga membuat
Richard Blaxton ikut berhenti.
 

"Ada apa, Yang Mulia?"


 

"Apakah... Apakah saya tidak perlu menemui Yang Mulia Raja Alastair
malam ini?" Verity mencengkram gaunnya. Tajamnya belati yang terikat
kuat di pahanya begitu terasa. Bila ia bisa membunuh Raja Alastair saat ini
juga maka ia tidak perlu menikah dengannya besok.
 

Mendengar pertanyaan Verity, Richard tertawa kecil. "Tidak perlu, Yang


Mulia. Anda bisa bertemu Raja Alastair besok saat pernikahan kalian.
Lagipula semua kerajaan juga mengirimkan perwakilan mereka besok. Ratu
Amaranta tak bisa hadir, begitu pula Raja Arthur. Keduanya mengirimkan
ucapan selamat untuk Raja Alastair melalui Alexander, penerus kerajaan
Thaurin, yang baru saja tiba sore tadi." Tentu saja keduanya tak bisa datang,
Verity bergumam di dalam hati. Keduanya mungkin tengah menunggu kabar
darinya ketika ia berhasil membunuh Raja Alastair. "Ratu Rania dan Raja
Zacharias akan datang secara langsung menghadiri pernikahan anda
besok... Ini merupakan pertemuan terbesar kelima kerajaan setelah sekian
tahun lamanya..." Richard Blaxton tiba-tiba berhenti berbicara, matanya
menatap lurus ke depan tepat ke arah anak tangga tertinggi. "Pangeran
Alexander." Richard Blaxton menundukkan kepalanya, memberikan hormat
kepada seorang pria muda yang berdiri di undakan teratas tangga.
 

"Clementine, apakah itu kau?" Alexander Thaurin! Teman sepermainan


Putri Clementine saat kecil dulu, dia juga merupakan tunangan Tuan Putri
Clementine yang asli sebelum Verity mengambil alih peran Putri Clementine
dan berpura-pura menjadi pengantin Raja Alastair. Berbeda dengan yang
lain, ia pasti sangat mengenal Putri Clementine karena dia pernah bertemu
langsung dengan putri misterius itu. "Clementine?" Alexander bertanya
kembali ketika Verity tidak kunjung mengucapkan apapun. Ia terlalu terpana
menyadari kalau penyamarannya sebentar lagi terbongkar dengan
kehadiran Pangeran Alexander.
 

IV
The King
 

"Clementine?" genggaman tangan Verity di lengan Richard Blaxton semakin


erat. Seolah menyadari ketidaknyamanan Verity, Richard berdehem keras
membuat Alexander yang tadinya memusatkan seluruh perhatiannya
kepada Verity kini terarah kepada Richard.
 

"Saya mengira Yang Mulia Tuan Putri Clementine sedang sangat lelah,
Pangeran Alexander. Anda bisa menemuinya besok di acara pernikahan."
Verity bersyukur di dalam hati ketika Alexander tidak memaksa Richard
untuk berbicara dengannya. "Selamat malam Yang Mulia."
 

"Selamat malam." Alexander membalas salam Richard, matanya masih


terarah lurus ke Verity yang bersembunyi di balik jubah dan tudung yang ia
kenakan. Mata Verity terus menunduk ke bawah, tak berani menatap
Alexander karena takut penyamarannya akan terbongkar saat itu juga.
 

Richard Blaxton membawanya ke sayap kanan istana yang merupakan


tempat tamu-tamu penting kerajaan juga kamar tidur utama yang ditempati
Raja Alastair. "Anda bisa menginap di kamar ini, Yang Mulia." Richard
Blaxton membuka sebuah pintu menuju tempat yang akan menjadi
kamarnya untuk malam ini. Sebuah kasur besar diletakkan di sudut kamar
dengan tiang-tiang penyangga dan kelambu berwarna merah marun, selain
kasur itu masih ada cermin yang lebih tinggi daripada badannya juga lemari
kecil dan sebuah sofa berukuran sedang yang diletakkan di tepi kasur.
Kamar ini sebenarnya luas sekali, namun karena ukuran kasur yang begitu
besar, ukuran kamar ini menjadi tak seberapa.
 

"Terima kasih." Verity bergumam pelan. Ia tidak sabar ingin segera tidur di
atas sebuah kasur yang nyaman. Selama dua hari perjalanan dari Selencia
menuju Austmarr, Verity memang tidur di atas kereta kecil yang ia naiki
bersama Jenny. Kereta itu memang tidak nyaman karena membuat
kepalanya terantuk berkali-kali di pintu kereta. Tapi seperti yang sepuluh
tahun ini Verity jalani, ia selalu berusaha mencari kenyamanan di balik
setiap hal yang ia lalui. Verity pernah tidur berdiri ketika bilik penjaranya
saat itu kemasukan air hingga kebanjiran, bahkan setelah air surut Verity
masih harus tidur setengah berjongkok karena banyaknya kecoak yang
masuk ke dalam penjaranya.
 

Terkadang Verity bertanya-tanya apakah hukumannya mengambil sepotong


roti dari kereta yang membawa makanan untuk kerajaan benar-benar
sepadan dengan apa yang ia alami. Berkali-kali Verity memohon kepada
Ratu Amaranta untuk membunuhnya saat itu juga, setiap kali sang ratu
memintanya meminum seteguk racun Verity akan meracau tak jelas bahkan
nyaris membunuh dirinya sendiri.
 

Verity menarik nafas gusar, ia duduk di atas sofa bundar yang terletak di
tengah-tengah kamarnya, berhadapan langsung dengan cermin besar di
sudut ruangan. Verity melepaskan kepangan rambut hitamnya hingga jatuh
tergurai, ia merapikannya dengan tangan, melihat ujung-ujungnya yang
terpotong rapi tidak mati atau kering saat ia tinggal di penjara. Rasa lelah
menjeranya namun ia tidak ingin naik ke atas kasur sebelum membasuh
dirinya terlebih dahulu. Kemewahan mandi memang tidak pernah
dirasakannya selama di penjara, tapi bukan berarti Verity tidak menikmati
air yang membasahi tubuhnya, membasuh kotoran-kotoran yang menempel
di kulitnya.
 

Tidak pernah keluar dari bawah tanah membuat kulit Verity terlihat pucat,
namun setelah berjalan-jalan di hutan pinus dan merasakan matahari tepat
di wajahnya, kulit Verity menjadi lebih merona dan bercahaya. Ia tidak sabar
segera kembali menjelajahi alam bebas setelah ia menerima kebebasannya
nanti. Mungkin ia bisa hidup di tengah-tengah rakyat biasa, di rumah-rumah
sederhana, tidak seperti penjara yang dingin ini.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Richard Blaxton melewati kamar Putri Clementine setelah Tuan Putri itu
masuk ke dalam dan di pastikan dalam keadaan aman di dalam sana.
Sesekali kepalanya mengangguk kepada para penjaga yang bersembunyi di
balik bayangan gelap, sama sekali tak terlihat karena pakaian mereka juga
sama gelapnya. Langkah kakinya terhenti di hadapan pintu kayu besar
dengan ketukan besi berbentuk kepala singa. Baru sekali Richard mengetuk
pintu itu ketika ia dengar suara samar yang berasal dari dalam kamar.
 

"Masuk." perintah suara itu singkat membuat Richard dengan sigap segera
masuk ke dalam kamar. Ia tidak ingin terlalu lama di sini dan mengurangi
waktu istirahat sang raja.
 

"Yang Mulia Raja Alastair..."


 

"Kau tidak perlu berbasa-basi, Richard." Raja Alastair tengah duduk di atas
kursi kayu besar dengan dudukan empuk berwarna merah marun, warna
khas Kerajaan Austmarr. Seperti Raria yang memiliki warna biru, Colthas
warna abu-abu, Thaurin warna hijau dan Selencia yang berwarna ungu.
Keunikan mereka terlihat jelas di balik pakaian kerajaan juga bendera tiap
kerajaan. "Ada apa?" Alastair tengah mengasah pedangnya. Sebuah pedang
panjang pemberian raja terdahulu yang memiliki keunikan di gagang
pedangnya. Sebuah singa lagi-lagi menghiasi pedang itu.
 

"Saya sudah mengantar Yang Mulia Putri Clementine hingga tiba di


kamarnya, Yang Mulia." Raja Alastair tidak membalas perkataan Richard,
pria itu terlalu terpaku pada pedangnya, mengasahnya hingga lebih tajam
dari apapun, bahkan pisau seorang ahli bedah sekalipun. "Apakah anda
tidak ingin beristirahat? Pernikahan anda besok akan dimulai pagi-pagi
sekali..."
 

"Bagaimana putri itu? Apakah dia seperti yang mereka bicarakan?" Tidak
pernah ada seorang pun yang pernah melihat Putri Clementine sebelumnya,
bahkan orang-orang Selencia sekalipun. Kehadiran putri itu seperti rumor
sebelumnya, hingga ada dua berita yang membuat orang-orang sedikit
yakin dengan keberadaannya. Satu, saat Putri Clementine menjadi tunangan
Pangeran Alexander dan yang kedua, saat Putri Clementine akhirnya muncul
menjadi pengantin Raja Alastair. Nyaris menjadi pasangan dua penerus
langsung kerajaan membuat orang-orang semakin bertanya-tanya seperti
apakah rupa sang putri yang misterius.
 

"Putri Clementine benar-benar terlihat seperti tidak pernah keluar dari


kerajaan Selencia sebelumnya. Kulitnya pucat, namun rambutnya hitam
legam dan warna matanya serupa dengan violet. Sang putri berusaha
menutupi wajahnya dengan tudung dan jubah yang ia kenakan. Dia tidak
terlihat seperti berasal dari Selencia." Richard menjelaskan dengan hati-hati
kepada Raja Alastair sementara sang raja mendengarkan dengan seksama.
 

"Dia benar-benar mirip ibunya." gumam sang raja. Tangannya kembali


mengasah pedangnya lalu mencermati mata pedangnya di perapian yang
menyala.
 

"Putri Clementine sempat bertemu dengan Pangeran Alexander tadi. Ia


benar-benar terlihat sangat gugup. Apa anda yakin kalau dia Putri
Clementine? Rambutnya hitam, matanya violet. Dia tidak seperti warga
Selencia atau Ratu Amaranta." Richard Blaxton berusaha menjelaskan. Sikap
Putri Clementine sangat mencurigakan baginya. Wanita itu terus menunduk,
seolah-olah takut siapa pun melihat wajahnya.
 

"Dia bertemu Alexander?"


 

"Ya." Dari sekian banyak kata yang Richard jelaskan kepadanya sepertinya
hanya beberapa saja yang rajanya dengar. Alastair kembali terlihat tidak
peduli.
 

"Bagaimana ekspresinya?"
 

"Putri Clementine terlihat gugup, Yang Mulia..."


 

"Bukan. Bukan Putri Clementine." Alastair memotong perkataan Richard,


membuat penasehatnya itu menarik nafas dalam-dalam. "Bagaimana
ekspresi Alexander?"
 

"Eh, Pangeran Alexander?" Richard tidak terlalu memperhatikan ekspresi


Pangeran Alexander karena pria itu terlalu fokus dengan genggaman tangan
Clementine yang terasa gemetar, tanda wanita itu sedang sangat gugup.
"Dia terlihat baik-baik saja, Yang Mulia." Richard benar-benar tidak mengerti
maksud pertanyaan Raja Alastair.
 

"Apakah dia mengenali putri dari Selencia?"


 

"Putri Clementine maksud anda? Sepertinya mereka mengenal satu sama


lain. Keduanya merupakan teman sedari kecil. Bahkan Raja Arthur dan Ratu
Amaranta sempat memasangkan keduanya sebelum anda menawarkan
jalan keluar damai untuk mencegah perpecahan lima kerajaan." Alastair
bangkit dari kursinya, ia menaruh pedangnya di atas meja.
 

"Sebuah koalisi damai yang dibentuk untuk mencegah perpecahan. Itu


bukan ideku, Richard. Tapi idemu." Richard Blaxton memang termasuk salah
satu penasehat Austmarr yang paling dipercaya oleh Raja Alastair. Bahkan
masukannya kali ini juga diterima oleh sang raja.
 

Di antara lima kerajaan, yang memiliki penerus yang cukup dewasa untuk
dinikahi Raja Alastair hanya Putri Clementine dari Selencia. Raja Zacharias
belum memiliki penerus, sepasang anak kembar Ratu Rania baru berusia
lima tahun, Raja Arthur hanya memiliki penerus laki-laki, yang tersisa hanya
Putri Clementine. Hubungan Austmarr dan Selencia yang tidak berjalan baik
juga diharapkan dapat berubah setelah pernikahan keduanya.3
 

"Ini untuk mencegah perang."


 

"Bagimu mungkin ini adalah sebentuk koalisi, Richard. Tapi aku melihat ini
sebagai kesempatan. Ratu Amaranta tidak bisa menolak niat baik Austmarr
untuk menjadikan putrinya ratu dari kerajaan ini. Austmarr adalah kerajaan
terbesar di Inkarnate, menolak niat baikku akan mencoreng nama baiknya.
Ratu Amaranta tidak akan bisa melakukan apapun karena putrinya berada
disini, menjadi tameng pelindung sekaligus tahanan Kerajaan Austmarr."
Richard Blaxton mengakui kehebatan sang raja meski umur Raja Alastair
sendiri belum menginjak tiga puluh tahun. Pria itu dinobatkan menjadi raja
semenjak kedua orang tuanya meninggal di saat perang yang
menghancurkan Dragør. Perang itu menghancurkan siapa saja, termasuk
jiwa anak usia sepuluh tahun yang dipaksa maju menjadi raja dan
membunuh siapapun yang berusaha menghancurkan kerajaannya.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity tak bisa memejamkan matanya dan tertidur. Jantungnya berdegup


kencang karena takut juga karena adrenalin yang memompa darahnya. Ia
mengenggam erat belati bertatahkan berlian dan aneka permata yang Ratu
Amaranta berikan kepadanya. Apa istimewanya belati ini sampai ia harus
membunuh sang raja menggunakan belati ini?
 

Verity turun dari atas kasurnya dan menatap hutan pinus dari jendela
kamarnya. Dia ingin melihat matahari dan berada di bawahnya seperti tadi.
Sedikit lagi, sedikit lagi Verity dapat meraih kebebasannya. Verity tersenyum
kecil membayangkan apa saja yang bisa ia lakukan nanti. Mungkin ia bisa
belajar memasak, Verity harus berkerja nanti setelah keluar dari sini. Ia rela
melakukan pekerjaan apapun sepanjang ia dibebaskan untuk melihat dunia
luar. Dia bahkan rela membunuh sang raja demi meraih kebebasannya.
 

Verity termenung sesaat, apakah membunuh seseorang benar-benar


sepadan dengan kebebasannya? Ratu Amaranta tidak memberikan jaminan
apa-apa kepadanya. Sementara Raja Arthur hanya memberikannya sekeping
sisik sang naga yang tidak berarti apa-apa untuknya. Verity berdiri di tepi
jendela dan menatap hutan pinus itu hingga puas lalu kembali naik ke atas
kasur. Setelah sekian jam Verity akhirnya jatuh tertidur karena rasa lelah
yang menjeratnya.
 

***
 

"Yang Mulia?" Verity mengerjapkan matanya beberapa kali ketika tubuhnya


digoyangkan dengan lembut agar dia terbangun. "Yang Mulia?" Suara itu
memanggilnya kembali, memaksa Verity mengumpulkan kesadarannya
hingga akhirnya benar-benar terbangun. Cahaya matahari masuk melewati
jendela kecil di kamarnya, membuat kamarnya terlihat lebih luas dan
terang.
"Jenny?" Verity mendapati pelayan pribadinya itu tengah bersiap, menaruh
gaun panjang berwarna putih dengan aksen merah dan emas di atas
kasurnya.
 

"Anda harus segera bersiap. Pernikahan anda sebentar lagi." Verity


menggosok pelupuk matanya. Ia mengangguk ketika Jenny membantunya
melepaskan gaun tidur yang ia kenakan. "Saya akan membantu anda mandi,
Yang Mulia. Saya juga sudah menyiapkan air hangat untuk anda."
 

Verity masuk ke dalam kamar mandi luas dengan bak berukuran sedang
berhiaskan ukiran singa. Aroma bunga mawar yang semerbak memenuhi
indra penciumannya. Verity masuk ke dalam bak, membiarkan tubuhnya
relaks di dalam air hangat sementara Jenny membersihkan rambutnya
dengan wewangian khusus.
 

"Apakah anda pernah bertemu Yang Mulia Raja Alastair sebelumnya, Tuan
Putri?" Jenny memulai pembicaraan sembari membersihkan badannya.
 

"Tidak." Mendengar jawaban Verity, Jenny terkikik kecil membuat Verity


kebingungan. "Ada apa memangnya?"
 

"Apakah anda bisa menikahi orang yang tidak pernah anda temui
sebelumnya?" Verity tahu pernikahannya ini seperti judi. Raja Alastair
memerintah sejak dua puluh tahun lalu, pria itu sudah cukup tua pastinya.
Matthias selalu mengatakan kalau orang-orang Austmarr adalah orang
barbar. Richard Blaxton terlihat cukup baik dan bersahaja, namun ia tidak
tahu dengan Raja Alastair. Apakah pria itu seperti yang mereka bicarakan
atau tidak. "Saya tidak bisa membayangkan bila harus menikah dengan
orang yang tidak pernah saya temui."
 

"Apakah kau sudah menikah?"


 

"Sudah, Yang Mulia." jawaban Jenny membuat Verity kaget. Jenny terlihat
cukup muda, hanya lebih tua beberapa tahun darinya.
 

"Sungguh? Berapa umurmu sebenarnya?"


 

"Umur saya sudah dua puluh lima tahun, Yang Mulia. Saya menikah saat
umur saya dua puluh tahun." umur Jenny hanya lebih tua dua tahun darinya
saat menikah dulu. Verity menghela nafas panjang, tangannya
mengumpulkan busa-busa sabun lalu mengusapnya ke tubuhnya. "Yang
paling harus anda siapkan adalah malam pertama."7
 

"Malam pertama?" kedua alis Verity nyaris menyatu ketika mendengar


istilah aneh itu. Matthias tidak pernah mengajarkannya hal-hal seperti ini
sebelumnya. Matthias hanya mengajarkannya tentang politik, sejarah, juga
beberapa hal yang penting diketahui tentang Putri Clementine. Tidak
banyak berita yang beredar tentang putri misterius itu. Matthias
menekankan kepadanya beberapa kali tentang Pangeran Alexander karena
hanya pangeran dari Thaurin itu yang mengenal langsung Putri Clementine.
 

"Malam pertama. Anda harus melakukannya untuk mendapatkan


keturunan." Jenny menatap wajah polos Verity dan menyadari kalau gadis
itu benar-benar tidak mengerti. "Apakah pengasuh anda tidak pernah
mengajarkan anda tentang itu?" Verity tidak punya pengasuh. Ia besar dan
hidup di dalam penjara. Kemampuannya membaca, menulis dan berbagai
hal politik ia ketahui dari Matthias. Matthias adalah guru, bukan pengasuh.
 

"Tidak. Kurasa ibuku benar-benar ingin menjagaku dari dunia luar." Verity
meringis ketika menyebut Ratu Amaranta sebagai ibunya. Wanita yang
sudah menyiksanya berkali-kali itu tidak bisa disebut sebagai ibu.
 
"Suami anda nanti adalah seorang raja. Memiliki keturunan adalah hal
wajib, Yang Mulia. Anda membutuhkan penerus kerajaan Austmarr juga
Selencia." Verity menggosok kulitnya lebih keras dengan jari-jarinya yang
mulai mengeriput. Air yang tadinya hangat perlahan mendingin tanda ia
sudah terlalu lama berada di dalam sana.
 

"Apakah kau punya anak Jenny?"


 

"Aku punya seorang anak laki-laki, dia masih berusia tiga tahun. Bayi kecilku
yang kurindukan. Aku akan segera kembali ke Selencia setelah pernikahan
anda." Jenny membantunya berdiri dan memberikan sebuah handuk besar
yang lembut untuk menutupi tubuhnya.
 

"Kau akan kembali?" Verity membelalakkan matanya lalu mengangguk


mengerti. Tentu saja pelayan-pelayan yang ia bawa dari Selencia tidak akan
menetap di sini.
 

"Ya, Yang Mulia. Begitu juga lima puluh pengawal dan pelayan anda yang
lain." Verity mengangguk sedih mendengarkan perkataan Jenny. Sesaat ia
mengira kalau ia bisa menemukan teman di dalam diri Jenny, namun setelah
mendengarkannya Verity tahu kalau memiliki teman mustahil baginya.
Mungkin nanti, ia bisa memiliki teman nanti setelah membunuh sang raja.
 

"Seperti apa malam pertama itu, Jenny?" Verity benar-benar takut


membayangkan ia harus melakukan sesuatu untuk seseorang yang tidak ia
kenal sama sekali.
 

"Awalnya mungkin akan sedikit sakit, tapi selanjutnya akan baik-baik saja
bila suami anda sedikit bersabar." Jenny menjelaskan dengan sabar sembari
membantu Verity mengenakan korset yang sebenarnya tidak akan
menambah bentuk apapun di tubuh Verity yang kurus. Verity
menggertakkan giginya dan menahan rasa tak nyaman ketika Jenny
memasang korsetnya terlalu erat, memaksa tubuhnya untuk memiliki
bentuk ideal seperti wanita-wanita lain. "Bagaimana Yang Mulia?"
 

"Terlalu ketat." Verity mengerutkan keningnya tak nyaman.


 

"Sebentar." Jenny melonggarkan korsetnya sedikit, Verity mengangguk


ketika ia merasakan setidaknya dirinya bisa sedikit bernafas. "Anda terlihat
pucat."
 

Verity memang memiliki kulit pucat dan korset yang terlalu erat juga tidak
membantunya sama sekali. "Aku rasa aku tidak bisa melakukan malam
pertama." Verity tidak akan melakukan malam pertama karena dua hal,
selain karena ia terlalu takut dengan pria yang akan menjadi suaminya
nanti, ia juga akan membunuh pria itu.
 

"Anda bisa memberikannya ini." Jenny mengeluarkan sebuah bungkusan


kecil dari saku gaun yang ia kenakan.
 

"Apa ini?" Verity menerima bungkusan itu lalu melihatnya. Aromanya


seperti teh, Verity berharap kalau ini bukan racun seperti yang Ratu
Amaranta pernah berikan kepadanya.
 

"Obat tidur, Yang Mulia. Anda bisa memberikannya kepada Raja Alastair bila
anda memang benar-benar tidak siap. Tenang saja, ini sangat aman. Anda
tidak perlu khawatir." Verity menyimpan kembali obat tidur itu di salah satu
laci meja kamarnya. "Sekarang anda hanya perlu mengenakan ini." Jenny
membawa gaun pernikahannya yang berwarna putih dengan aksen emas
dan merah. Verity melihat gaun itu lalu menarik nafas panjang dengan
tekad bulat yang tergambar jelas di wajahnya, ia harus membunuh sang raja
malam ini.
 
 
V
THE BRIDE
 

Verity meremas gaun pengantinnya gelisah, tangannya tanpa sengaja


menyentuh ujung belati pemberian Ratu Amaranta yang ia selipkan di balik
gaunnya. Verity melihat ujung jarinya yang berdarah karena sentuhan ujung
belati itu. Belati itu sangat tajam, untung saja selama ini Verity selalu
berhati-hati dan menyelipkan belatinya agar tak terlihat oleh siapapun atau
melukai dirinya sendiri. Verity menarik nafas dalam-dalam dan menunggu di
ruang pengantin yang telah di sediakan. Bisa jadi ini merupakan kesempatan
pertama dan terakhirnya untuk membunuh Raja Alastair. Orang-orang akan
melihat wajahnya setelah ini dan menyadari kalau ia bukan Putri
Clementine yang sesungguhnya.
 

"Putri Clementine?" Verity berjengit kaget ketika melihat Jenny masuk ke


dalam ruang tunggunya. "Apakah anda siap?"
 

"Aku sangat gugup." jawab Verity jujur. Ia merapikan gaunnya yang sedikit
kusut akibat remasannya tadi lalu berusaha berdiri dengan hati-hati.
Sementara Jenny memberikan sebuah buket aneka bunga ke tangannya.
 

"Yang Mulia?" Richard Blaxton masuk ke dalam ruangannya. Pria tua itu
mengenakan pakaian formal khas kerajaan dengan aksen merah dan emas
seperti gaunnya. "Saya akan menemani anda menuju ke altar."
 

"Altar?" Verity menelan ludahnya susah payah dan melihat senyum kecil
terbentuk di wajah Richard Blaxton.
 

"Ratu Amaranta tak hadir di pernikahan anda. Raja Matthew, ayah anda,
sudah meninggal sejak perang yang juga membunuh kedua orang tua Raja
Alastair. Karena saya merupakan salah satu penasehat terdekat sekaligus
tertua di Austmarr, Raja Alastair meminta kepada saya untuk menemani
anda berjalan di altar." bila Verity masih memiliki kesempatan untuk
bertemu Matthias atau bahkan memutar waktu kembali saat ia belajar dulu,
ia ingin menanyakan banyak hal kepada Matthias. Matthias selalu
menceritakan kejayaan Selencia namun menghindari topik-topik yang
berhubungan dengan perang yang terjadi nyaris dua dekade lalu atau
perang dingin yang kini terjadi di antara lima kerajaan.
 

Verity berjalan mendekati Richard dengan ragu-ragu lalu menyelipkan


tangannya di lekukan lengan pria itu. "Terima kasih sudah menemaniku
sejauh ini, Richard." ucap Verity tulus. Meski ia bukan Putri Clementine,
pernikahan tetaplah pernikahan dan bisa jadi ini juga merupakan
pernikahan terakhir Verity sebelum ia di hukum mati nanti. Verity berusaha
menahan perasaan asing yang ia rasakan ketika keduanya berjalan
beriringan menuju ruang singsana yang juga merupakan tempat
pernikahannya.
 

"Aku yakin kau akan baik-baik saja, Yang Mulia. Anda bisa menjadi ratu yang
baik untuk Raja Alastair. Anda sudah dipersiapkan untuk ini sejak dulu."
Verity tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Dia
bukan Putri Clementine, dia tidak pernah dipersiapkan untuk menjadi
seorang ratu. Seolah menyadari kegugupan Verity, Richard menepuk tangan
Verity lembut. "Angkat kepalamu dan tatap lurus. Tersenyumlah, Yang
Mulia." Verity mengikuti saran Richard Blaxton dan mengangkat kepalanya
serta memberikan sebuah senyuman tipis ketika keduanya masuk ke dalam
ruang singgasana. Ruang terbesar sekaligus tempat pernikahannya ini.
 

Alunan nada lembut yang keluar dari mulut paduan suara mengiringi
langkah Verity yang entah kenapa semakin melambat ketika ia mendekati
altar tempat pendeta dan Raja Alastair berada. Verity melihat punggung
Raja Alastair lalu berusaha menenangkan degup jantungnya. Dia harus mati
malam ini.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Alastair menyadari kehadiran Clementine yang berdiri tepat di sebelahnya


saat iringan nada paduan suara berhenti. Tinggi wanita itu mungkin hanya
sedikit lebih tinggi daripada bahunya, cukup tinggi untuk ukuran para
wanita Selencia yang terkenal mungil, meski tidak sependek wanita dari
Thaurin. Alastair memiringkan wajahnya sedikit dan melihat puncak kepala
wanita itu. Rambutnya memang hitam seperti yang dikatakan Richard
Blaxton. Alastair mengarahkan perhatiannya kembali ke pendeta ketika pria
itu berdehem, bersiap mengucapkan janji yang mengikat keduanya hingga
mati.
 

"... Apakah anda, Yang Mulia Raja Alastair Leonel Austmarr, bersedia untuk
mencintainya, menghiburnya dan melindunginya, dalam sakit maupun
sehat, dalam suka maupun duka..." Alastair tak memperdulikan satu pun
kata pendeta itu hingga semuanya diam dan senyap seolah menunggu
jawabannya.
 

"Saya bersedia." ucap Alastair singkat. Dia harus segera pergi mengurus
perbatasan yang semakin meresahkan dengan keberadaan orang-orang
asing yang tidak berasal dari Austmarr, seharusnya urusan itu telah selesai
dari kemarin namun persiapan pernikahannya membuatnya terpaksa
menunda semua pekerjaannya.
 

"Saya bersedia." Alastair melirik kembali Clementine ketika wanita itu juga
menunggu cukup lama untuk menjawab pertanyaan sang pendeta.
Suaranya terdengar bergetar dan ragu-ragu, mungkin sama sepertinya,
Clementine juga tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi ini adalah jalan
terbaik untuk menghindari perang lagi. Ratu Amaranta tak bisa
menyerangnya di sini bila putrinya juga berada di sini. Wanita itu licik,
harusnya Alastair menyingkirkannya dari dulu saat ia memiliki kesempatan.
Namun kehilangan seorang pemimpin kerajaan tanpa penerus bisa memiliki
resiko tinggi. Perang saudara bahkan hingga perang antar lima kerajaan
untuk memperebutkan kekuasaan bisa saja terjadi.
 
"Anda bisa memasangkan cincinnya sekarang, Yang Mulia." Untuk pertama
kalinya keduanya berdiri saling berhadap-hadapan. Alastair memanggil
Richard Blaxton yang membawa cincin berlian untuk Putri Clementine. Pria
tua itu mendekat sembari membawa bantal kecil berwarna merah tempat
cincin itu diletakkan. Alastair meraih tangan Clementine lalu menyadari
kalau ujung jari wanita itu terluka. Apakah ada benda tajam yang ia sentuh
sebelum kemari? Alastair mengabaikannya dan memasangkan cincin berlian
itu di jari manis wanita itu.
 

Clementine nampak kebingungan karena ia tidak menyiapkan apapun untuk


Raja Alastair. "Kau tidak perlu menyiapkan apapun." ucap Alastair singkat.
Mata violet Clementine tanpa sengaja menatap langsung mata cokelat
Alastair. Wanita itu nampak kaget karena ia mau berbicara dengannya.
Alastair mendengus kecil, tak menyangka wanita itu akan terlihat sangat
kaget dan gugup. "Laki-laki di Austmarr tak memakai cincin." Clementine
meneguk ludahnya lalu mengangguk.
 

"Dengan ini saya sahkan keduanya sebagai suami istri." Sang pendeta
mengakhiri rangkaian upacara pernikahan sementara para tamu menepuk
tangan. Alastair melihat Clementine sekali lagi, Clementine memang tak
terlihat seperti Ratu Amaranta. Entah ini merupakan petaka atau
keberuntungan baginya. Alastair memilih untuk tidak mengambil pusing dan
mendekati pengantinnya, wanita yang ia baru saja nikahi beberapa saat lalu.
Clementine terlihat begitu kaget dan ketakutan ketika Alastair mendekat,
meraih dagunya lalu menghadiahinya sebuah ciuman tepat di bibirnya di
hadapan seluruh tamu undangan kerajaan.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Kedua kaki Verity lemas, tangannya bergetar hebat ketika sang raja tiba-tiba
mendekatinya. Sesaat ia mengira kalau sang raja mungkin menyadari siapa
dirinya dan hendak mencekiknya saat itu juga. Verity telah siap untuk mati
saat itu juga, sayangnya ia tidak siap untuk menerima ciuman dari sang raja
di bibirnya. Bila berciuman saja bisa membuatnya nyaris pingsan karena
ketakutan, bagaimana nanti kalau ia harus melakukan tugas utamanya
sebagai seorang ratu? Memberikan penerus bagi Kerajaan Austmarr.
 

Suara tepukan juga siulan atau tawa membahana yang tadinya memenuhi
ruangan kembali senyap. Ketika Richard Blaxton kembali datang ke hadapan
Raja Alastair dan membawa sebuah pedang panjang dengan hiasan
berbentuk kepala singa di gagangnya.
 

"Berlutut." Verity mengikuti perintah Raja Alastair dengan ragu-ragu.


Apakah setelah menciumnya sang raja akan memenggal kepalanya dengan
pedang itu? Tatapan Verity terus menunduk ke bawah ketika sang raja
mendekatkan pedangnya ke bahu kanan, kemudian kiri lalu atas kepala
Verity. Richard lalu kembali mendekat, kali ini Alastair meletakkan kembali
pedangnya lalu mengambil sebuah mahkota berwarna emas dengan hiasan
batu rubi lalu meletakkannya di atas kepala Verity. "Dengan ini kusahkan
kau sebagai Ratu dari Kerajaan Austmarr." Suara tepukan kembali terdengar
sementara Verity yang rasanya nyaris mati karena ketakutan dibantu berdiri
oleh Jenny dan seorang pelayan wanita dari Selencia.
 

Alastair menyerahkan pedangnya kembali ke Richard Blaxton, menatap


Verity sesaat lalu meninggalkan ruang singgasana itu. Verity terpaku diam
ketika melihat Alastair berjalan cepat meninggalkannya juga hiruk pikuk
para tamu undangan yang menyelamatinya satu per satu.
 

"Mohon maafkan Raja Alastair, Yang Mulia. Ada rapat penting yang harus
Raja datangi bersama beberapa menteri." Verity mengangguk mengerti
ketika ia juga melihat beberapa pria mengikuti Raja Alastair dan
meninggalkan ruangan.
 

"Selamat untuk pernikahanmu, Clementine." Verity menatap wanita yang


berada di hadapannya. Kulitnya kecokelatan, rambutnya yang berwarna
hitam dihiasi mahkota kecil berwarna perak yang dihiasi batu safir, matanya
yang berwarna cokelat terlihat berkilauan jenaka ketika melihatnya. Ratu
Rania dari Raria tidak terlihat seperti yang ia bayangkan. "Bocah kecil ini
terus mengangguku, aku membawanya keluar agar tidak menganggu
pernikahan kalian." Tatapan mata Verity teralih ke anak laki-laki berusia lima
tahun yang berada digendongan Ratu Rania, terlihat kesal dan segera ingin
kabur secepatnya.
 

"Apa yang kau bicarakan, sayang? Orion adalah bocah paling baik yang
pernah ku temui." Suami Ratu Rania memiliki perawakan badan yang besar,
separuh wajahnya tertutupi janggut tebal yang dimaini oleh seorang anak
perempuan yang juga berada digendongannya. "Namaku Kilorn. Kau tidak
perlu menambahkan embel-embel raja didepan namaku. Wanita ini adalah
pemimpinnya."
 

"Jenderal Kilorn." Ratu Rania menegurnya.


 

"Ratu Rania." Kilorn membalas tegurannya dengan candaan. "Senang


bertemu denganmu, Yang Mulia."
 

"Eh, kalian tidak perlu memanggilku dengan embel-embel apapun." Verity


merasa tidak nyaman ketika dua orang dengan pangkat tertinggi di Raria
memanggilnya dengan begitu sopan ketika ia sebenarnya hanya seorang
penipu. "Cukup Ve.. Clementine. Cukup Clementine."
 

"Jadi cukup Clementine, kemanakah suamimu?" Verity memutar badannya


dan melihat pria lain yang mungkin seumuran Raja Alastair. "Zacharias at
your service, Ma'am." Raja Zacharias dari Colthas tertawa kecil melihat
mata Verity yang terbelalak kaget melihatnya. "Kau tidak mirip sekaligus
mirip ibumu pada waktu yang bersamaan." Raja Zacharias menatapnya
dengan tatapan menilai.
 

"Kurasa Zachary benar. Kau tidak seperti berasal dari Selencia, tapi kau jelas
anak Ratu Amaranta." Jenderal Kilorn juga ikut memperhatikannya. "Ini
pertama kalinya aku melihat Putri Clementine yang misterius secara
langsung. Kau tidak seperti yang ku bayangkan."
 

"Eh, kalian juga... Tidak seperti yang ku bayangkan." Clementine


mengatakannya dengan nada gugup yang begitu jelas.
 

"Jadi apa yang kau bayangkan, Clementine?" Raja Zacharias bertanya


kepadanya. Mata hitam pria itu membuatnya merasa sedikit aneh, seperti
Raja Zacharias tahu rahasia yang ia sembunyikan namun pada saat yang
bersamaan memutuskan untuk tidak mengatakan apapun.
 

"Sejujurnya, saya membayangkan anda lebih tua, Yang Mulia." Zacharias


tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Verity.
 

"Aku bertaruh kalau kau juga tengah mengira akan menikah dengan pria tua
hari ini." Verity tak menjawab perkataan Zacharias dan membuat pria itu
tertawa semakin keras. "Mungkin kau mengira kalau aku adalah Raja
Zacharias ke II, yang merupakan ayahku."
 

"Mungkin." Ratu Rania tersenyum mendengar perkataan Verity yang


dipenuhi keragu-raguan.
 

"Kau terlihat gugup, Clementine. Kau sudah disiapkan untuk ini sejak kecil,
kau akan tahu apa yang akan kau lakukan nanti bila saatnya tiba." Ratu
Rania memberikan nasehat kepada Verity. Orion, anak laki-laki yang berada
digendongan Ratu Rania kembali merengek. "Sebentar sebentar. Aku harus
menenangkannya dulu." Verity tersenyum kecil dan mempersilahkan
keluarga itu pergi dari hadapannya sementara ia berdiri gugup di sebelah
Raja Zacharias.
 

Karena merasa tak nyaman, Verity membalik badannya lalu menatap Raja
Zacharias. "Bagaimana hubungan Colthas dengan Austmarr, Yang Mulia?"
 

"Apakah kau sedang berusaha membicarakan politik, Clementine? Jangan


memanggilku dengan panggilan itu. Kau bisa memanggilku Zachary, umurku
tidak beda jauh dengan suamimu. Meski aku baru menjadi raja selama dua
tahun dan Alastair telah menjadi raja selama dua puluh tahun."
 

"Berapa umur anda, Yang Mulia?" Raja Alastair terlihat muda. Benar-benar
tidak seperti yang Verity bayangkan. Saat ia bersiap bertemu dengan pria
tua gendut berkepala botak, Verity malah bertemu seorang pria muda
dengan badan tinggi tegap, tatapan sinis yang sesekali Alastair lemparkan
kepadanya membuat Verity menyadari kalau Alastair mungkin mulai
menyadari sikapnya yang ganjal.
 

"Dua puluh sembilan tahun." Zacharias menjawab pertanyaan Verity ringan.


"Kau sendiri?"
 

"Delapan belas, Yang Mulia." sahut Verity tenang.


 

"Kapan ulang tahunmu?" Verity terdiam mendengar pertanyaan Zacharias.


Dia tidak tahu kapan ulang tahunnya sendiri, selama ini ia menghitung
jumlah umurnya dari berapa lama ia berada di dalam penjara ditambah
usianya sebelum ia masuk ke dalam penjara. Sepuluh tahun telah berlalu
dan Verity tidak ingat lagi kapan ia berulang tahun. Dia bahkan melupakan
semua yang terjadi sebelum ia masuk ke dalam penjara. "Clementine?"
 

"Ehm... Ulang tahun saya berada di awal musim dingin, Yang Mulia." Verity
berdehem sebentar. Ia tidak ingat ulang tahunnya sendiri tapi ia ingat ulang
tahun Putri Clementine. "Kenapa anda mengatakan kalau saya mirip dengan
Ratu Amaranta?"
 

"Kau memanggil ibumu sendiri dengan panggilan ratu?" Zacharias


menatapnya dengan tatapan menyelidik.
 

"Dia tetap seorang ratu walaupun dia juga merupakan ibu saya." jawaban
diplomatis Verity sepertinya memuaskan Zacharias hingga pria itu tidak lagi
terlihat curiga kepadanya.
 

"Kau berbeda dari rakyat Selencia. Tidak ada orang yang mengira kalau Putri
Clementine memiliki rambut hitam atau badan yang lebih tinggi dari rakyat
Selencia lainnya." Mata hitam Zacharias menatap langsung ke mata violet
Verity. "Tapi hanya keturunan langsung Raja atau Ratu Selencia lah yang
memiliki mata violet, Clementine. Tidak ada yang meragukanmu sebagai
Putri Clementine karena kau memiliki mata violet."
 

Jantung Verity berdetak begitu cepat. Mata hitam Raja Zacharias dari
Colthas bertemu dengan mata violetnya seperti mengetahui sesuatu yang ia
sembunyikan, Verity menelan ludahnya susah payah dan berjalan mundur
menjauhi Zacharias tanpa ia sadari. "Clementine?"
 

"Alexander?" Verity menatap Alexander Thaurin dengan mata terbelalak. Ia


nyaris lupa kalau Alexander tentu akan menghadiri pernikahannya pagi ini.
Sial, sekarang ia merasa terjebak dan jatuh semakin dalam ke lilitan polemik
lima kerajaan. Perkataan Zacharias membuatnya bertanya-tanya, siapakah
dia sebenarnya? Dan kebetulan saja, orang yang mengenal Putri Clementine
secara langsung kini berada di hadapannya.
 

 
 

VI
The Dance
 

"Clementine?" Pangeran Alexander Thaurin menatap kedua mata violet


Verity. Tanpa Verity sadari ia membuka mulutnya sesaat lalu
mengatupkannya kembali. "Clementine?" Alexander Thaurin terdengar
ragu-ragu sejenak lalu memicingkan matanya dan menatap Verity lekat-
lekat.
 

Verity menatap kedua mata hijau Alexander lekat, berharap kalau Alexander
bisa memberikannya sebuah petunjuk tentang keberadaan Putri
Clementine. "Pangeran Alexander, bagaimana kabar anda?" suara Verity
terdengar seperti cicitan tikus, terlalu kecil dan gugup.
 

"Kau berubah banyak semenjak aku terakhir kali melihatmu." Verity


mengerutkan dahinya lalu mengembuskan nafas panjang yang telah ia
tahan daritadi tanpa ia sadari. "Tapi rambut hitam dan mata violetmu masih
sama."
 

Verity mengerjapkan matanya beberapa saat lalu menunduk sembari


memperhatikan tangannya yang meremas buket bunga itu dengan gelisah.
"Benarkah, Yang Mulia?" Siapakah dia sebenarnya? Ini benar-benar di luar
perkiraan Verity. Putri Clementine tidak berambut pirang atau mirip dengan
Ratu Amaranta.
 

Alexander Thaurin menyunggingkan senyum tipis. "Aku yakin kau


melupakanku. Terakhir kita bertemu sepuluh tahun lalu."
 

Raja Zacharias yang daritadi memperhatikan interaksi keduanya


melontarkan senyuman separuh mengejek untuk Alexander. "Sebaiknya kau
tidak berusaha dekat-dekat lagi dengan Clementine, Alexander. Dia sudah
menikah sekarang."
 

"Ah, kau benar Zachary." Alexander Thaurin jelas lebih muda daripada Raja
Zacharias, tapi ia tidak berusaha menutupi rasa tidak sukanya kepada raja
dari Colthas ini. "Kuharap suamimu memperlakukanmu dengan baik,
Clement."
 

"Terima kasih, Yang Mulia." Verity menunduk semakin dalam. Dia jelas-jelas
bukan Putri Clementine, kenapa Alexander memperlakukannya seperti ialah
sang putri yang sebenarnya? Apa ini merupakan salah satu perintah Raja
Arthur? Apakah Raja Arthur memintanya untuk memperhatikan Verity dari
kejauhan dan memastikan penyamaran Verity tak terbongkar? Verity
memutuskan kalau opsi terakhir adalah yang paling masuk akal. Dia bukan
Putri Clementine. Pangeran Alexander bersikap seperti ini agar Verity tidak
lupa dengan misinya yang sebenarnya.
 

"Cukup panggil aku Alexander, Clement. Aku yakin kita akan sering bertemu
nanti." Verity bisa merasakan kemiripan Raja Arthur dan Pangeran
Alexander. Seperti kesan pertama Verity kepada Raja Arthur, ia yakin
Pangeran Alexander juga menyembunyikan sesuatu di balik topeng wajah
baik miliknya.
 

"Kau orang yang menarik, Clementine. Kau benar-benar tidak seperti yang
ku perkirakan." Perkataan Raja Zacharias mengusiknya namun Verity
memutuskan untuk diam. Mata hitam Raja Zacharias mengatakannya
dengan jelas, pria itu tidak memercayainya. Untuk saat ini Verity aman,
mata violet dan konfirmasi tak langsung dari Pangeran Alexander telah
menyelamatkannya. Bila untuk meyakinkan raja dari Colthas saja sesulit ini,
Verity tidak yakin ia bisa meyakinkan Raja Alastair.
 

***
 

Jenny merapikan kembali rambutnya dan membantu Verity mengganti gaun


pengantinnya dengan gaun lain yang lebih nyaman. Verity tidak bertemu
dengan Raja Alastair lagi sejak tadi pagi. Richard Blaxton sudah menjelaskan
kalau sang raja akan sibuk dengan rapatnya dan kemungkinan besar baru
bisa bertemu lagi dengannya saat makan malam dan pesta dansa yang
diadakan untuk menyambut kedatangannya.
 

"Yang Mulia?" Jenny membantunya mengikat tali korsetnya menjadi lebih


ketat. Verity menarik nafas dalam-dalam lalu mengangkat tangannya saat ia
merasa korsetnya sudah cukup ketat.
 
"Cukup." Verity mengangkat tangannya.
 

"Apakah ada hal lain yang bisa ku bantu, Yang Mulia?" Verity menatap mata
biru Jenny lalu mengembuskan nafas gusar. Kemungkinan besar Jenny akan
kembali ke Selencia besok atau lusa. Ia akan ditinggal sendirian di istana
asing ini. Verity benar-benar merasa kalau ia baru saja masuk ke dalam
penjara baru. Kali ini penjaranya lebih mewah dan lebih besar tentu saja.
 

"Tidak ada. Bisakah kau meninggalkanku sendiri?" Jenny mengangguk dan


meninggalkan Verity sendirian.
 

Verity melihat belati bertatahkan permata yang berhasil ia sembunyikan di


selipan roknya selama ini. Bahkan Jenny yang membantunya mengenakan
pakaian tidak pernah melihat belati itu. Verity lalu menatap cermin dan
melihat mahkota emas bertatahkan rubi yang menghias kepalanya. Dia
bukan Putri Clementine, sekali lagi Verity berusaha meyakinkan dirinya. Dia
akan membunuh sang raja malam ini. Kantung berisi obat tidur yang
diberikan Jenny juga berada di tangannya. Ia akan membuat sang raja
meminum obat ini lalu menusuk jantungnya saat pria itu tidur.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity tidak berhasil menaruh obat tidur itu ke dalam makanan sang raja.
Acara makan malam juga dihadiri oleh semua tamu undangan juga menteri
dan penasehat kerajaan Austmarr. Raja Alastair duduk di kursi paling ujung
sementara Verity duduk di sisi kanannya. Kursi-kursi di isi dengan tingkatan
dan jabatan masing-masing sehingga Verity merasa cukup beruntung bisa
duduk di sebelah Ratu Rania. Raja Zacharias duduk di sisi kiri Raja Alastair
lalu diikuti dengan Pangeran Alexander dan Jenderal Kilorn, suami Ratu
Rania. Anak-anak Ratu Rania, Orion dan Cassiopeia duduk di sebelah Ratu
Rania. Sayangnya karena Orion dan Cassiopeia merengek terus ingin
berdekatan dengan ibu merek, Ratu Rania terpaksa pindah dari sisi Verity
dan duduk di tengah-tengah keduanya. Membuat Verity duduk di sebelah
Orion tanpa pilihan.
 

"Maaf kau harus berada di dekat Orion, Clementine." ucap Ratu Rania
dengan nada penuh perminta maafan saat ia mendudukkan Orion ke
kursinya dan pindah ke sebelah Cassiopeia.
 

"Eh, tidak masalah." ucap Verity canggung. Raja Alastair tidak berkomentar
banyak saat makan, pria itu lebih memilih memakan makanannya dengan
cepat hingga tandas. Sementara Verity sendiri memainkan supnya dengan
gelisah.
 

"Apakah makanannya tidak enak?"


 

"Huh?" Verity mengangkat kepalanya dan menyadari kalau yang


mengajaknya berbicara adalah Alexander. Verity meneguk ludahnya lalu
menyendokkan sup ke mulutnya dan menelannya cepat. "Ini enak sekali." Ia
tidak boleh bersikap mencurigakan dan membuat dirinya segera ketahuan.
Verity menyendokkan supnya lalu menelannya hingga habis. Perutnya yang
memang terbiasa tak terisi makanan terasa langsung penuh begitu ia
menghabiskan supnya.
 

Seorang pelayan membawa mangkuknya yang kosong lalu mengganti


makanan pembuka dengan hidangan utama, sepotong steak dengan
kentang tumbuk dan sayuran. Verity menatap makanannya dengan wajah
nelangsa. Saat ia membutuhkan makanan, Ratu Amaranta tak pernah
memberinya makan dan sekarang saat ia merasa kenyang, makanan terus
disajikan ke hadapannya.
 

"Mommy! Mommy! Please, potongkan steaknya." Orion memanggil sang


ibu yang sibuk menyuapi Cassiopeia.
 

"Ehmm... Biarkan aku akan membantumu." Verity nyaris tidak percaya


dirinya sendiri menawarkan untuk membantu Orion memotong steaknya.
 
"Terima kasih, Clementine." Ratu Rania tersenyum dengan wajah berterima
kasih lalu kembali menyuapi Cassiopeia.
 

Verity membantu Orion memotong steaknya dan berusaha menyibukkan


dirinya sendiri agar tidak perlu memakan steak yang berada di hadapannya
karena perutnya benar-benar terasa sangat penuh. "Terima kasih!" ucap
Orion girang lalu menyuapkan steak yang sudah terpotong ke dalam
mulutnya.
 

"Siapa namamu?" tanya Verity penasaran kepada pangeran kecil itu. Orion
mirip dengan ibunya. Kulit gelap dan mata kecoklatan yang berkelip jenaka
dan penuh rasa penasaran.
 

"Orion."
 

"Namamu seperti nama bintang." gumam Verity pelan.


 

"Hm. Cassiopeia juga merupakan nama bintang." Cassiopeia dan Orion,


Ratu Rania memilih nama bintang untuk anak-anaknya.
 

"Kau tahu kalau nama mereka adalah nama bintang?" Jenderal Kilorn
bertanya kepadanya.
 

"Aku pernah membacanya di buku." Malam-malamnya di penjara Selencia


selalu di temani dengan kegelapan, namun dari jendelanya yang kecil Verity
bisa melihat bintang-bintang bertebaran. Salah satunya adalah Cassiopeia,
bintang yang menunjukkan arah utara. Sebulan terakhir yang Verity
habiskan di Selencia, ia gunakan untuk membaca buku sebanyak mungkin.
Politik mungkin membuatnya bosan tapi bintang-bintang itu tidak
membuatnya bosan sama sekali.
 
"Raria adalah tempat para pelaut. Kami selalu menggunakan bintang
sebagai petunjuk arah."
 

"Colthas tidak punya kepercayaan seperti itu." Zacharias mencibir Jenderal


Kilorn lalu menghabiskan makanannya. "Kulihat kau terlalu sibuk dengan
Orion hingga tidak menyentuh makananmu sama sekali, Clement." Verity
ingin segera menenggelamkan dirinya ke laut ketika seluruh perhatian
menuju ke arahnya. "Kau bisa menjadi calon ibu yang baik, benar begitu
Alastair?"
 

Raja Alastair menyinggungkan senyuman tipis yang tidak sampai ke matanya


lalu menatap Verity. "Sebaiknya kau menghabiskan makananmu." ucap
Alastair dengan nada tak terbantahkan. Verity menunduk dan menatap
makanannya lalu memotongnya kecil-kecil dan menyantapnya perlahan
berusaha untuk tidak menarik perhatian siapapun lagi.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Alastair mengenggam tangan Clementine dan menyadari kalau wanita itu


gemetar entah karena takut atau gelisah. Sikapnya terlalu ganjil untuk
seorang putri. Berbeda dengan putri para bangsawan yang pernah
bersamanya sebelumnya, Clementine tidak suka dengan perhatian yang
diberikan oleh siapapun kepadanya. Alastair menuntun Clementine hingga
ke tengah-tengah ruangan dan mendekatkan badan wanita itu serta
menuntunnya untuk memulai dansa pertama. Baru beberapa langkah di
mulai, Clementine sudah menginjak kakinya.
 

"Maafkan saya, Yang Mulia!" bisik Clementine ketika wanita itu tidak
sengaja menginjak kakinya. Tidak sampai semenit kemudian, Clementine
kembali menginjak kakinya. Alastair mengembuskan nafas kesal lalu
menunduk dan melihat Clementine yang nyaris menangis. "Maafkan saya."
 

"Apakah kau tidak pernah berdansa sebelumnya?"


 

"Tidak, Yang Mulia." Clementine mengerjapkan mata violetnya beberapa


kali lalu menjawab pertanyaan Alastair dengan getar di suaranya. Alastair
tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi, pria itu membiarkan Clementine
terus menginjak kakinya lalu mengembuskan nafas gusar. "Ma..."
 

"Cukup." Alastair memotong perkataan Clementine. Entah sudah keberapa


kalinya wanita itu meminta maaf kepadanya. Tak tahan dengan kecerobahan
wanita itu, Alastair meninggalkan Clementine sendirian di tengah-tengah
ruangan, hingga membuat beberapa orang berbisik melihat wanita yang
baru dinikahi sang raja beberapa saat lalu itu kini ditinggalkan begitu saja.
 

***
 

Verity berusaha menahan rasa malu teramat sangat ketika sang raja
meninggalkannya begitu saja di tengah-tengah ruangan. Seharusnya ia
belajar lebih giat lagi saat berada di Selencia. Dia tidak akan membuat
dirinya atau sang raja malu karena hal seperti ini. Verity mengepalkan
tangannya lalu meninggalkan ruangan dansa yang di penuhi orang-orang
itu.
 

Entah sudah berapa lama Verity berjalan menjauh dari ruangan itu hingga ia
tiba di taman. Austmarr memang tidak memiliki pemandangan seindah di
Selencia, tapi istananya memiliki koleksi tanaman yang tidak berbeda
dengan Selencia. Bahkan ada beberapa bunga yang tidak pernah Verity lihat
sebelumnya. Verity menunduk dan memperhatikan tanaman-tanaman itu
satu per satu. Verity tahu beberapa bunga yang pernah ia lihat sebelumnya
seperti mawar dan lavender. Verity menikmati kesendiriannya, kesendirian
yang selama sepuluh tahun ini di bencinya kini menjadi temannya. Verity
mencabut sebuah bunga berwarna putih dengan semburat pink di setiap
kelopaknya lalu menyentuh permukaannya yang halus. Verity membuka
telapak tangannya dan menyadari kelopak bunga itu jatuh berguguran
karena sentuhan tangannya.
 
Bekas luka panjang di telapak tangannya yang berwarna keputihan terlihat
begitu jelas di bawah sinar rembulan. Verity ingat saat Matthias
menyuruhnya menulis menggunakan darah karena ia terlalu bodoh dan
buta huruf. Sekarang kebodohannya lagi membuatnya berada di posisi
seperti ini. Ia hanya bisa mempermalukan dirinya sendiri dan Raja Alastair.
 

"Peony." Verity tersentak kaget dan segera bangkit berdiri ketika melihat
Pangeran Alexander Thaurin menyandarkan badannya ke pilar-pilar tinggi
yang memisahkan istana dan taman. "Bunga yang kau pegang itu. Namanya
Peony."
 

"Yang Mulia, anda tidak kembali ke ballroom?"


 

"Untuk apa? Kau dan Raja Alastair menghilang begitu saja." Verity
menundukkan kepalanya dan mengangguk mengerti sembari
memperhatikan bunga yang berada di tangannya. "Kau harus berhasil
membunuh sang raja, Clement."
 

Mata Verity membulat ketika mendengar perkataan Alexander. Tentu saja


pria itu tahu! Seperti dugaannya, Raja Arthur dan Ratu Amaranta mengirim
Pangeran Alexander untuk memastikan kalau ia bisa berhasil membunuh
sang raja. "Aku tidak tahu apa yang anda bicarakan, Yang Mulia." ucap
Verity gugup.
 

"Kau tahu apa yang aku bicarakan, Clementine." Alexander Thaurin


membalik badannya lalu kembali meninggalkan Verity sendirian di taman.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair masuk ke dalam kamar yang akan mereka bagi bersama malam
ini tepat saat Verity baru saja menyembunyikan belati itu ke dalam laci.
Verity tersentak kaget melihat sang raja masuk dan langsung membuka
pakaiannya.
 

"Yang Mulia!" Dia tidak harus melakukannya malam ini bukan? Verity benar-
benar ketakutan karena harus berbagi kamar dengan sang raja yang tidak ia
kenal sama sekali. Bahkan percakapan mereka pun bisa dihitung dengan
jari, tidak seperti Raja Zacharias atau Pangeran Alexander yang juga baru ia
temui hari ini.
 

Raja Alastair hanya membuka pakaiannya lalu menggantinya dengan


pakaian lain yang lebih nyaman untuk tidur lalu tersenyum mencemooh
kepada Verity yang sudah gemetaran karena ketakutan. "Ada apa
denganmu?"
 

"Kita... Kita..." Verity tidak dapat menemukan kata yang tepat. Wajahnya
sudah memerah seperti kepiting rebus.
 

"Kita apa?" Raja Alastair menatap kedua mata violet Verity dan
menunggunya mengatakan sesuatu.
 

Verity menelan ludahnya susah payah dan berusaha menemukan kata yang
tepat, tapi pikirannya teralih ketika melihat wajah Raja Alastair. Seharian ini
Verity terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri dan terlalu gugup untuk
menatap langsung mata kecoklatan sang raja. Raja Alastair benar-benar
tidak seperti yang ada di dalam bayangannya. Sikap sang raja juga berubah-
ubah dan sangat membingungkan. Terkadang pria itu terlalu tegas
kepadanya atau bahkan cukup baik kepada Verity dengan menjelaskan
beberapa hal yang berbeda dengan Selencia.
 

"Kita apa?" Alastair bertanya kembali.


 

"Kita tidak harus melakukannya sekarang bukan?"


 

Alastair tersenyum mengejek kepada Verity. "Tidak. Aku ingin istirahat."


ucap sang raja acuh tak acuh lalu membaringkan badannya ke atas kasur.
Verity menatap sang raja ragu-ragu. Tidak masuk akal baginya sang raja
akan tidur begitu saja. "Aku sudah tidak tidur selama tiga hari. Jadi kuharap
kau tidak berisik dan membiarkanku tidur, Clementine."
 

Verity tidak mengatakan apapun dan menunggu hingga ia benar-benar


yakin sang raja telah jatuh tertidur. Dia harus membunuh sang raja
sekarang. Saat raja itu tengah terlelap dan tidak menyadari keadaan
sekitarnya. Verity menelan ludahnya dengan susah payah, tangannya
gemetaran ketika mengambil belati bertatahkan permata yang diberikan
Ratu Amaranta kepadanya. Dia akan membunuh Raja Alastair dan meraih
kebebasannya. Ratu Amaranta tidak bisa lagi mengikatnya dan memaksanya
menjadi budak di Kerajaan Selencia. Verity bahkan tidak peduli siapa yang
akan memimpin Austmarr bila sang raja mati di tangannya. Ia tidak peduli
bila lima kerajaan akan beradu memperebutkan Kerajaan Austmarr yang
selama ini menjadi pemimpin lima kerajaan.
 

Verity melepaskan genggaman tangannya dari belati itu secara tiba-tiba. Dia
harus lari secepat mungkin sebelum Raja Alastair menyadari siapa dia
sebenarnya. Sayangnya Verity memang bukan pembunuh yang handal, dia
hanya seorang budak yang diperintah Ratu Amaranta untuk menyamar
menjadi sang putri dan membunuh pemimpin Kerajaan Austmarr ini. Raja
Alastair lebih gesit darinya, sang raja meraih pinggangnya dan
membantingnya ke atas kasur. Belati yang tadinya menancap di dada pria itu
kini berada di lehernya.
 

"Siapa kau?" Mata Verity melebar ketakutan melihat noda darah yang
menyebar di pakaian yang sang raja kenakan. Bagaimana mungkin sang raja
tidak mati saat itu juga? Verity yakin ia sudah menancapkan belatinya cukup
dalam, bahkan sang raja sendiri membantunya dengan menancapkan belati
itu lebih dalam lagi. "Apa Ratu Amaranta mengirimmu?" Raja Alastair
seperti tengah menilai ekspresinya. Verity mengatupkan bibirnya, tidak
peduli apa yang akan terjadi berikutnya. Pria yang baru ia nikahi beberapa
saat lalu ini akan memberikan hukuman mati karena melakukan percobaan
pembunuhan, begitu juga Ratu Amaranta akan tetap membunuhnya karena
gagal membunuh sang raja. "Kenapa kau tiba-tiba menjadi bisu,
Clementine? Apakah itu benar-benar namamu? Siapa namamu yang
sebenarnya?"
 
 

VII
THE DAGGER
 

Raja Alastair Duduk di singgasananya, memperhatikan belati bertatahkan


permata dengan tatapan nyalang. Ia benarbenar tidak habis pikir bagaimana
wanita itu bisa membawa belati ke hadapannya, bahkan nyaris membunuh
bila ia tidak memiliki insting tajam. Clementine memang bersikap aneh
semenjak mereka bertemu pertama kali. Wanita itu tidak seperti
bangsawan apalagi seorang putri dari kerajaan sebesar Selencia.
Gerakannya terlalu ceroboh, ia juga tidak terbiasa berada di antara orang-
orang dan cenderung gugup bila diajak berbicara. Sayangnya karena sikap
aneh wanita itulah, Raja Alastair tidak mencurigainya sama sekali.
 

"Yang Mulia!" Richard Blaxton tergopoh-gopoh menghampiri, lalu


menunduk di hadapan sang raja. "Ada apa Anda memanggilku tengah
malam seperti ini?" Biasanya ia tidak pernah dipanggil selarut ini, selain
karena keadaan genting yang membutuhkan penanganan sesegera mungkin
tentu saja. la mengelap keringat yang bercucuran dari dahi karena ia
berlarilari dari sayap kiri istana, tempat tinggalnya juga beberapa menteri
kepercayaan sang raja menuju sayap kanan, tempat tinggal sang raja dan
tamu-tamu dari lima kerajaan.
 

"Bawa belati ini dan cepat cari tahu darimana benda itu berasal!" Raja
Alastair menunjuk belati bertatahkan permata yang ditusukkan Clementine
ke dadanya.
 
"Yang Mulia, Anda terluka!" Richard Blaxton membelalakkan mata kaget
melihat belati juga pakaian sang raja yang berlumur darah.
 

"Aku tidak apa-apa." Raja Alastair mengibaskan tangannya kesal. la benar-


benar tidak menyangka bisa terluka karena wanita itu.
 

"Apa yang terjadi, Yang Mulia? Bagaimana Anda bisa terluka?"


 

Raja Alastair menggertakkan giginya geram. "Semua ini karena wanita itu."
 

"Apakah yang Anda maksud adalah Yang Mulia Putri Clementine?" tanya
Richard Blaxton dengan hati-hati. Sang raja sudah pasti sangat marah saat
ini, bahkan di medan perang pun Raja Alastair tidak pernah terluka parah.
Sekarang karena wanita itu, sang raja sampai harus menahan dadanya yang
terluka cukup dalam.
 

"Apa yang terjadi pada Putri Clementine sekarang?"


 

"Aku mengikatnya." Raja Alastair menjawab acuh tak acuh. Rasa kesal dan
marah masih bercokol begitu dalam di hatinya. Bukan hanya karena wanita
itu berani melukainya, tetapi juga karena wanita itu tidak mau
mengucapkan sepatah kata pun.
 

"Apa yang akan Anda lakukan kepada Putri Clementine? Apakah Anda akan
memasukkannya ke penjara?" Richard Blaxtonberanibertaruh kalau rajanya
sangat ingin memberikan hukuman terberat untuk sang putri saat ini juga.
 

"Sampaikan berita kepada Ratu Amaranta kalau aku berterima kasih atas
hadiahnya."
 

"Apa?" Richard Blaxton mengerutkan kening tidak mengerti dengan jalan


pikiran sang raja yang tidak terduga.
 

"Aku yakin dialah yang memerintahkan wanita itu." Raja Alastair


mengepalkan tangannya. Kedua mata coklatnya menatap Richard Blaxton
tajam, tak suka ketika perintahnya dipertanyakan.
 

"Bagaimana dengan Putri Clementine?" Richard Blaxton benar benar


penasaran apa yang sang raja akan lakukan. Mata violet sang putri
membuatnya yakin kalau wanita itu keturunan langsung Kerajaan Selencia.
 

"Aku punya harga diri yang harus kujaga, Richard. Aku tidak mungkin
mengabarkan ke seluruh dunia kalau diriku terluka karena wanita itu."
Harga diri Raja Alastair benar-benar terkoyak sekarang. Mungkin beberapa
orang akan mengira kalau Putri Clementine melukainya karena ia melakukan
sesuatu kepada wanita itu. Lagi pula reputasinya sebagai pria kejam tak
berbelas kasihan telah tersebar ke mana-mana, berbeda dengan Putri
Clementine yang misterius dan nyaris tak memiliki rumor apa pun.
 

"Segera cari tahu siapa wanita itu sebenarnya. Aku ingin tahu apakah dia
benar-benar Clementine. Bila dia bukan Clementine, aku ingin tahu
siapakah dia sebenarnya dan dimana Clementine yang asli berada." Raja
Alastair akan segera kembali dan memaksa wanita itu berbicara.
 

Verity menggeram kesal ketika ia tidak bisa menggerakkan tangan yang


terikat di atas kepala sama sekali. "Sial. Sial. Sial."
 

la hanya ingin kebebasan, dan untuk kebebasan itu, Ratu Amaranta


meminta bayaran yang cukup mahal. Apakah ia harus memberitahu Raja
Alastair kalau Ratu Amaranta-lah yang memberinya perintah untuk
membunuh sang raja? Mungkin ia bisa meminta pengampunan dan
dibebaskan oleh Raja Austmarr itu.
 

Verity mendengkus dalam hati ketika pikiran itu sempat tercetuskan. Raja
Alastair tidak akan membebaskannya setelah ini, ia yakin kalau sang raja
akan memberikan hukuman mati karena telah berani bertindak sadis. Verity
melihat jendela besar di kamar sang raja yang menghadap ke taman.
Pemandangan berbeda dengan kamar yang ia tempati sebelumnya, tetapi
sama berartinya. Kebebasannya hanya terpisahkan sebuah kaca tipis. Ia tak
bisa menahan air mata yang jatuh, ia benar-benar sudah lelah. Lebih baik
mati daripada harus masuk ke penjara lagi.
 

Entah berapa lama Verity menatap taman kerajaan hingga ia tertidur dalam
keadaan tangan masih terikat di tiang kasur. la terbiasa tidur dengan kondisi
apa pun di Selencia, jadi tak masalah meski saat terbangun nanti tangannya
akan kram dan pegal karena dipaksa berada di posisi sama selama berjam-
jam. Verity mengerjapkan matanya beberapa kali dan menyadari bulan
sudah digantikan matahari, menyakiti matanya yang tidak terlalu terbiasa
dengan cahaya terang.
 

"Kau sudah bangun?" Verity memutar kepala dan melihat Raja Alastair yang
berdiri di tengah ruangan dengan tatapan marah. Ia mengatupkan bibir dan
lagi-lagi menggeram kesal ketika menyadari tangannya masih terikat.
 

"Aku akan melepaskan ikatan tanganmu bila kau mau." Raja Alastair
menyunggingkan senyuman mengejek.
 

"Tolong lepaskan ikatan tangan saya, Yang Mulia." Verity menelanrasa malu
juga marahnya bulat-bulat. Rasa marah itu tidak ditujukan untuk sang raja
tentu saja, tetapi kepada diri sendiri yang mau menerima tawaran Ratu
Amaranta demi sebuah kebebasan.
 

Raja Alastair tidak mengatakan apa pun ketika melepaskan ikatan di kedua
tangan Verity dan membantu wanita itu duduk. Verity menatap jendela
besar sekali lagi dengan muram, lalu memijit tangannya yang pegal.
 

"Sekarang katakan kepadaku, Clementine .... Atau kalau namamu benar-


benar Clementine. Siapakah kau sebenarnya?"
 

"Aku tidak tahu." Verity menggumamkan jawabannya. Untuk apa sang raja
bertanya lagi saat ia saja tidak tahu siapa dirinya sebenarnya. Baru dua hari
berada di Austmarr, tetapi ia menyadari banyak hal yang luput dari
kehidupannya selama ini. Siapakah ia sebenarnya sebelum masuk penjara
Selencia.
 

Raja Alastair terlihat tidak puas dengan jawaban Verity. la mendekat, lalu
mengentakkan kepala Verity agar tatapan keduanya bertemu. Mata violet
Verity menatap pasrah sang raja. Benar-benar pasrah, tidak peduli apakah ia
akan mati sebentar lagi atau tidak.
 

"Siapa kau sebenarnya?"


 

"Kenapa Anda tidak bertanya ke ibuku, Yang Mulia?" Verity tersenyum


mencemooh. Selama ini ia bersikap hati-hati karena takut sikapnya akan
membuat bocor, tetapi sekarang setelah sang raja tahu segalanya, ia tidak
perlu lagi bersikap hati-hati.
 

"Kau benar-benar wanita licik." Raja Alastair menatap wajah polos Verity
dengan tawa miris. Sikap ceroboh dan gugup wanita itu kemarin benar-
benar membuatnya tidak curiga sama sekali. Namun, sekarang ia bisa
melihat sifat asli wanita itu.
 

"Apa yang Amaranta berikan kepadamu hingga kau mau mempertaruhkan


nyawamu sendiri datang kemari, Clementine?"
 

Verity mengernyitkan kening mendengar sang raja masih memanggilnya


Clementine, tetapi memilih acuh tak acuh, tidak mengiyakan atau berusaha
memperbaiki kesalahan sang raja. "Kebebasan." Jawaban singkatnya
membuat Raja Alastair menyeringai lebar.
 
"Jadi siapa kau sebenarnya?" Raja Alastair tidak bisa menemukan ketakutan
seperti kemarin-kemarin di mata violet Verity yang kosong tanpa ekspresi.
 

Tidak ada usaha untuk melawan, hanya ada kepasrahan karena Verity tetap
membiarkan Raja Alastair mencengkram rambut dan memaksa kepalanya
mendongak agar tatapan mereka bertemu. Ia tersenyum kecil.
 

"Aku sudah menjawabnya, Yang Mulia. Aku tidak tahu."


 

"Kau menginginkan kebebasan bukan?" Raja Alastair dapat melihat


sekelibat cahaya penuh harap dari mata violet Verity. Sedikit rasa senang
menyelinap di hatinya karena dapat menemukan titik celah kelemahan
wanita itu. "Aku tidak bisa menjanjikanmu kebebasan, Clementine."
 

"Apakah Anda akan memasukkanku ke penjara, Yang Mulia?" Rasa sedih


dalam suara Verity tidak bisa disembunyikan sama sekali. "Atau Anda akan
membunuhku?" Sekali lagi ia mengejutkan sang raja karena suaranya
menggetarkan harap.
 

"Kau ingin mati rupanya." Gumaman Raja Alastair tidak luput dari
pendengaran Verity. Verity sudah siap untuk segala kemungkinan, termasuk
mati. Setidaknya kali ini ia tidak perlu bertahan di penjara. "Tapi aku tidak
bisa mengabulkan keinginanmu yang ini, Clementine. Aku tidak bisa
membuat orang-orang berpikir kalau aku telah membunuh pengantin yang
baru kunikahi sehari yang lalu bukan?"
 

Verity meneguk ludahnya, lalu mengangguk. "Apa yang ingin Anda lakukan
kepada saya, Yang Mulia?"
 

"Aku bisa menduga kalau Amarantalah yang mengirimmu ke sini untuk


membunuhku." Raja Alastair tampak berpikir sejenak sebelum menyeringai
lebar. "Bagaimana kalau kita membuat Amaranta semakin terjebak dalam
permainannya sendiri?"
 

"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" Verity tertegun ketika mendengar kata
'kita' dari mulut Alastair. la hanya ingin bebas dan tidak terikat lagi dengan
semua politik juga intrik kerajaan.
 

Namun, sepertinya sang raja memiliki kehendak lain.


 

"Kau dikirim ke sini bukan tanpa alasan, Clementine." Raja Alastair menatap
mata violet Verity lekat-lekat. Bila kecurigaannya terbukti benar, siapakah
wanita ini sebenarnya? Di manakah Clementine yang asli berada?
 

"Aku akan membuat Amaranta menyesal karena telah mengirimmu ke sini.?


 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity menatap makanan di hadapannya dengan tatapan tak percaya. Raja


Alastair tidak membawa ke penjara atau terus mengikatnya, sang raja malah
membiarkannya makan bersama tamu kerajaan. Ia mengatupkan bibir
ketika melihat tatapan tajam sang raja yang seolah memerintahnya untuk
tetap diam.
 

"Bagaimana tidurmu, Clementine?" Ratu Rania yang duduk di antara anak-


anaknya tersenyum tulus, membuat debaran jantung Verity berkurang
sedikit.
 

"Aku mendapatkan tidur yang cukup, Yang Mulia. Selencia cukup berbeda
dari Austmarr, namun kurasa aku akan cepat mudah beradaptasi di sini."
Verity balas tersenyum. Ratu Rania tertawa kecil mendengarnya.
 

"Kaumendapatkan tidur yang cukup?" Kali ini tidak hanya Ratu Rania, Raja
Zacharias juga tertawa mencemooh. "Apa ini artinya kita tidak akan
mendapatkan kabar bahagia dalam waktu dekat?"
 

"Kurasa urusan ranjangku bukan urusanmu, Zachary." Ucapan Raja Alastair


membungkam mulut Raja Zacharias.
 

Verity menunduk, wajahnya memerah seperti kepiting rebus, sementara


matanya diam-diam melirik Raja Alastair yang seperti balik
memperhatikannya, juga Pangeran Alexander. Verity berusaha makan
dengan tenang. Kali ini ia mengambil porsi lebih banyak daripada
sebelumnya. Tidak ada yang bisa menjamin sang raja akan terus
membiarkannya berkeliaran bebas, mungkin ia akan segera kembali ke
penjara Selencia, atau Raja Alastair akan memasukkannya ke penjara
Austmarr. Masuk penjara berarti tidak ada makanan. Sepuluh tahun berada
di penjara Selencia, mengajarkannya banyak hal.
 

"Ada apa denganmu, Alexander?" tanya Raja Zacharias yang kali ini
menatap tajam Pangeran Alexander. "Kau lebih diam daripada biasanya."
 

"Aku memang selalu seperti ini. Jangan memancingku, Zachary.?


 

Verity menatap Pangeran Alexander dan teringat perkataan pria itu kemarin
malam di taman. Kegagalan membunuh Raja Alastair mungkin akan
membawa petaka baginya. Tangan Pangeran Alexander menggenggam erat
pisau dan garpu. Bahkan Verity sendiri yang cenderung tidak peka, bisa
menyadari kalau saat ini Pangeran Alexander sedang memendam amarah.
 

Tingkah Pangeran Alexander juga tidak luput dari pengamatan Raja Alastair,
tetapi ia memilih diam dan tidak mengungkit. Saat ini pikirannya dipenuhi
wanita di sebelah kanannya. Ia masih mencari tahu dari mana wanita itu
mendapatkan belati khusus untuk membunuhnya. Untung saja putri dari
Selencia benar-benar bukan pembunuh andal, belati itu bisa saja melukai
lebih parah bila tahu cara menggunakannya.
 
Seorang pelayan mengambil piring makanan pembuka di hadapan Verity
yang telah kosong karena isinya telah habis berpindah ke perut Verity. Si
pelayan lalu mengganti dengan makanan utama, sebuah piring yang lebih
besar berisi bacon, egg benedict dengan saus hollandaise, dan buah-
buahan. Verity melihat beberapa anggota kerajaan lain mendapatkan menu
berbeda, seperti anak-anak Ratu Rania yang memakan cheese blintz
casserole dengan saus blueberry. Meski telah kenyang, ia meyakinkan diri
kalau bisa jadi ini makanan lezat terakhir yang didapatkan. la pun
memotong egg benedict, memberikan lebih banyak saus hollandaise,
kemudian melahapnya. Rasa manis gurih telur itu menyatu dengan
sempurna. Verity mengambil potongan telur lain dan memakannya cepat.
Namun, pada suapan kedua, ia merasakan panas membara seumpama api
yang membakar tenggorokannya. Ia terbatuk beberapa kali, berusaha
meredakan panas yang menggerogoti tenggorokan hingga perut. Meneguk
air, tetapi rasa panas itu tidak berkurang.
 

"Ada apa denganmu?" Raja Alastair menatap Verity dengan tatapan tajam
dan juga cemas di saat bersamaan.
 

Verity terbatuk lebih keras. Segumpal darah keluar dari mulutnya. Racun.
Racun sama seperti yang pernah Ratu Amaranta berikan. Tangan Verity
gemetaran ketika menyadari Ratu Amaranta bisa memiliki kuasa sebesar ini,
bahkan berani meracuninya di hadapan sang raja. Jantungnya memompa
lebih cepat, darah yang ia muntahkan semakin banyak. Matanya berkabut
dengan tangan mencengkram pinggir meja berusaha menahan diri agar
tidak jatuh. Dada terasa sesak juga napas semakin sulit.
 

"Clementine!" Di ambang batas kesadaraan, Verity menyadari Raja Alastair


menahan tubuhnya yang oleng, lalu segera membaringkan di lantai marmer
ruang makan. "Cepat panggil tabib!" Kepala Verity terasa sakit dengan
tatapan berkunang-kunang, tetapi ia bisa melihat Raja Alastair yang
berteriak sebelum tatapannya menggelap dan memanggilnya ke dalam tidur
panjang tanpa mimpi.
 
VIII
THE HEMLOCK
 

Alastair Membaringkan Tubuh Verity di lantai marmer. la memperhatikan


seluruh sisi tubuh istrinya dan melihat tangan dengan kuku yang membiru,
masih gemetar meskipun wanita itu sudah tidak sadarkan diri.
 

"Alexander!" Saat mendengar Jenderal Kilorn memanggil Pangeran


Alexander, tatapan mata Raja Alastair melihat langsung ke mata hijau
pangeran dari Thaurin itu. Sama seperti yang lain, ia berdiri di dekat Verity
yang masih dalam keadaan kritis
 

Ratu Rania menutup mata anak-anaknya, lalu memaksa mereka


membalikkan badan untuk tidak melihat keadaan mengerikan Verity saat
ini. Sementara Raja Zacharias Colthas seperti tengah menilai keadaan. Satu-
satunya yang terlihat paling tenang hanyalah Jenderal Kilorn dan pria itu
baru saja menyebutkan nama Pangeran Alexander.
 

"Kau memiliki keahlian untuk menyembuhkan seseorang.


 

Jendral Kilorn melanjutkan kalimatnya. "Menyingkir!" Ucapan singkat


Pangeran Alexander membuat Raja Alastair kesal. "Aku bisa
menyembuhkannya.
 

Kalau kau membiarkannya seperti itu, dia bisa mati kapan saja."
 

"Kalaukau tidak bisa membuktikan perkataanmu, kau yang mati, Alexander."


Ancaman Alastair tidak membuat pangeran mudaitukesal, iamalah duduk di
sebelah Verity. Dengan tenang mengangkat kepala wanita itu, kemudian
membuka mulutnya.
 

"Apa yang kau lakukan?"


 

"Mengeluarkan racunnya. Aku tidak ingin Thaurin dan Austmarr berperang


karena hal sepele seperti ini." Pangeran Alexander memasukkan kedua
jarinya ke mulut Verity, membuat wanita itu memuntahkan darah lebih
banyak.
 

"Racunnya lebih banyak daripada yang kuduga." la bergumam. sembari


memiringkan badan Verity. "Menyingkirlah kalian! Dia membutuhkan
oksigen yang cukup. Racun hemlock akanmembuatnya kejang-kejang dan
kesulitan bernapas."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair menggumamkan serangkaian umpatan kasar dalam bahasa


asing. Raja Zacharias tampak memperhatikan apa yang Pangeran Alexander
lakukan kepada Verity, sementara Ratu Rania masih berusaha menenangkan
kedua anaknya yang menangis keras melihat adegan berdarah tadi.
 

"Apa kau bisa mengeluarkan racunnya?" Jenderal Kilorn bertanya dengan


raut wajah khawatir. Kejadiannya benar-benar cepat, Verity baru saja
memasukkan suapan kedua ketika tibatiba saja ia bersikap aneh dan
memuntahkan darah.
 

"Aku harus memompa perutnya." Pangeran Alexander melipat lengan baju


yang ia kenakan, lalu menekan perut Verity beberapa kali hingga wanita itu
muntah kembali. la memeriksa denyutnadi dan napas Verity. "Sial!"
 

"Ada apa?" Raja Alastair kembali mendekat dan melihat Pangeran


Alexander kini menekan dada Verity, lebih tepatnya mencari detak jantung
wanita itu.
 
"Dia tidak bernapas." Pangeran Alexander kembali membuka mulut Verity,
kemudian memberikan napas buatan.
 

Raja Alastair menatap tanpa sepatah kata. Keracunan hemlock bisa sangat
berbahaya, seharusnya Pangeran Alexander tidak memberikan napas
buatan karena berbahaya bila masih ada racun yang tersisa. Siapakah
wanita itu sebenarnya? Bila ia bukan Clementine, untuk apa Pangeran
Alexander berusaha keras menolong?
 

Suara tarikan napas keras Verity membuat Pangeran Alexander


menghentikan bantuan pernapasan, dengan sigap ia kembali mengecek
denyut nadi, dan terlihat sedikit lega. Ia pun mengangkat badan Verity yang
masih lemah.
 

"Mau kau bawa ke mana Clementine?" Raja Alastair menahan lengan


Pangeran Alexander, tatapannya menajam. Sikap Pangeran. Alexander
membuatnya sempat curiga dan mengira kalau pria itulah yang meracuni
Clementine, tetapi perlahan berubah setelah sikap heroik sang pangeran
tadi. Seumur hidup, Clementine Selencia hanya punya dua berita: saat
menjadi tunangan Pangeran Alexander dan saat menikah dengannya. Kalau
mereka memang cukup dekat, Pangeran Alexander tidak mungkin berbuat
demikian.
 

"Dia membutuhkan oksigen, Yang Mulia." Pangeran Alexander menekankan


kata terakhir dengan nada gusar.la segera berjalan ke tepi jendela besar
yang pencahayaanny? paling bagus, lalu membaringkan tubuh Verity
didepannya, Udara sejuk pagi hari menyapa, Verity terlihat lebih tenang
tangannya berhenti gemetaran meski masih belum sadarkan diri.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Yang Mulia Pangeran Alexander benar, Ratu Clementine terkenaracun


hemlock." Seorang tabib tua memeriksa denyut nadidan napas Verity, lalu
mengangguk takjub kepada Pangeran Alexander yang masih berada di sisi
pasiennya.
 

Tubuh Verity sudah dipindahkan ke kamar utama. Ia masih mengenakan


gaun yang berlumur darah, wajahnya juga masih terlihat sangat pucat.
"Ratu Clementine benar-benar beruntung karena ada Pangeran
 

Alexander yang bisa memberikan pertolongan pertama kepadanya."


 

"Apa kau yakin dia akan baik-baik saja?" Raja Alastair tidak bisa percaya
begitu saja kepada Pangeran Alexander. Diam-diam ia sudah
memerintahkan Richard Blaxton untuk memeriksa seluruh kamar, bahkan
kamar para tamu kerajaan. Hemlock terlarang di Austmarr, kalau
Clementine bisa sampai keracunan hemlock, maka ada seseorang yang
membawa tanaman beracun itu masuk ke kerajaannya.
 

"Saya butuh berbicara berdua dengan Anda, Yang Mulia." Bisikan tabib tua
itu tidak luput dari pendengaran Pangeran Alexander.
 

"Kau tidak perlu mengusirku, aku akan pergi sendiri," cetus Pangeran
Alexander yang langsung meninggalkan kamar. "Apa yang ingin kau
sampaikan?" Raja Alastair kembali fokus ketabib.
 

"Ratu Clementine bisa saja mati kalau tidak ada Pangeran Alexander," jawab
sang tabib dengan hati-hati.
 

"Aku tahu. Kau tidak perlu mengingatkanku berkali-kali," kata Raja Alastair.
 

"Tapi Pangeran Alexander bukan satu-satunya alasan kenapa Yang Mulia


Ratu masih hidup." Tabib tua ini merupakan tabib yang paling berbakat di
Austmarr. Oleh karena kemampuannya inilah ia mampu menjadi tabib
kerajaan dan merawat langsung orang dengan jabatan tertinggi di kerajaan.
 

"Apa maksudmu?" Raja Alastair menatap tajam hingga sang tabib


menundukkan kepala. Ia tidak ingin dianggap menjadi sumber konspirasi
pembunuhan berencana sang ratu. Berita pernikahan mereka baru saja
disebar tadi pagi, tetapi disaat bersamaan, Ratu Clementine tengah
berjuang untuk nyawanya.
 

"Saya menduga kalau Yang Mulia Ratu Clementine sering mendapatkan


racun yang sama dalam dosis kecil." Kening Raja Alastair berkerut dalam
mendengarnya. Apakah ini alasan Ratu Amaranta menyembunyikan
Clementine? Karenabanyakorang yang mencoba membunuh penerus satu-
satunya Kerajaan Selencia?
 

"Bila Ratu Clementine tidak memiliki kekebalan terhadap racun hemlock, ia


akan langsung mengalami kejang setelah menelan suapan pertama."
 

"Apakah ia hanya kebal kepada racun hemlock?" Raja Alastair kembali


bertanya. Semuanya semakin buram sekarang. Kalau wanita itu benar-benar
Clementine, kenapa berusaha membunuhnya kemarin?
 

"Saya tidak tahu, Yang Mulia. Dibutuhkan tes lain untuk melihat apakah ia
juga pernah menerima jenis racun lain." Raja Alastair mengangguk. Ia tidak
membutuhkan tes lain, fakta kalau Clementine sering mendapat racun sama
dalam dosiskecil saja sudah cukup mengejutkan.
 

"Bagaimana dengan luka Anda, Yang Mulia?" Dua kejadian yang nyaris
membunuh dua orang dengan jabatan tertinggi di Austmarr disaat
bersamaan, benar-benar bukan kebetulan. Pasti adadalangdi balik semua
ini. Kalau Ratu Amaranta pelakunya, kenapaia berusaha membunuh
putrinya sendiri?
 

"Aku baik-baik saja."


 
"Luka Anda cukup dalam, Yang Mulia. Letaknya cukup dekat dengan organ
vital Anda." Tabib kerajaan inilah yang semalam merawat luka Raja Alastair
setelah Richard Blaxton berusaha keras meyakinkanya agar menerima
perawatan tabib.
 

Luka tusuk sang raja memang cukup dekat dengan organ vital, tetapi itu
bukan luka pertamanya. Sudah banyak luka perang yang menghiasi
tubuhnya, beberapa memang cukup berbahaya hingga nyaris merenggut
nyawa. Raja Alastaira harus mengakui kalau tusukan Clementine termasuk
luka yang cukup parah. Bukan karena serangan Clementine, tetapi belati itu.
Entah apa yang ada di dalamnya hingga sampai sekarang lukanya masih
terasa perih dan menyakitkan.
 

"Bila lukanya masih terasa perih, Anda bisa memberikan salep untuk
menutup lukanya."
 

"Baiklah. Kau bisa kembali sekarang." Raja Alastair benarbenar lelah saat ini.
Ia tidak berbohong saat mengatakan belum tidur sejak tiga hari lalu.
 

Keberadaan perampok yang meresahkan di perbatasan Austmarr dan Hutan


Pinus, beberapa masalah dalam negeri, juga pernikahannya yang kacau
semakin menambah daftar panjang kenapa ia belum bisa tidur hingga detik
ini.
 

Raja Alastair menggerakkan leher kakunya, lalu melihat Verity yang


terbaring di kasur. Pakaian Verity yang berlumur darahsedikitmenganggu.
Raja Alastair pun memutuskan untuk membuka pakaian Verity dan
menggantinya sendiri karena tidak ingin memanggil pelayan pribadi sang
istri yang mungkin bersama pelayan pelayan lain, tengah diperiksa langsung
oleh Richard.
 

Beberapa saat Raja Alastair terdiam. Melepaskan korset memang mudah, ia


hanya perlu menarik tali dan membiarkannya terlepas sendiri. Namun,
memasangkannya kembali tidaklah mudah, apalagi dalam keadaan
berbaring. Raja Alastair mengembuskan napas gusar, mulai melepaskan
seluruh pakaian Verity, dan memakaikan atasan piama yang cukup longgar.
Ia tidak tahu apakah istrinya akan marah atau tidak setelah ia melihat
wanita itu tanpa seutas benang pun. la lebih memilih acuh tak acuh, toh
Clementine merupakan istri sahnya.
 

Kini sang istri sudah terlihat jauh lebih bersih, hanya tersisa sedikit noda di
tangan pucatnya. Mungkin itu efek karena tadi berusaha menahan
muntahan. Raja Alastair mengambil lap basah, lalu membersihkan tangan
pucat Verity hingga darah yang lengket itu tersingkirkan. Setelah bersih,
Raja Alastair melihat ujung-ujung kuku Verity yang membiru, ia lalu
membalikkan telapak tangan Verity, dan menyadari ada bekas luka. Luka
tersembunyi cukup baik karena ada di telapak tangan. Daftar pertanyaan
Raja Alastaira pun semakin banyak.
 

"Aku dengar ada serangan di dalam istana." Seorang pria mengunyah


dendeng kelinci buruannya. Semenjak kedatangan Putri Clementine dari
Selencia, penjagaan diperketat, bahkan ia bisa menemukan beberapa
tentara yang menyisir daerah-daerah di Hutan Pinus, tempat kelompoknya
biasa bersembunyi. Sekarang mereka hidup lebih nomaden, terus
berpindah-pindah hingga benar-benar aman dari pengamatan para tentara.
 

"Aku sudah bosan makan daging kelinci kering, Barney." Barney,pria yang
tengah mengunyah itu terbahak, lalu menyingkirkandaging kelinci dari
hadapan Tybalt.
 

"Siapayang mereka serang?" Tybalt mengambil sebotol minumanberisirum


yangiacuridari salah satu pasar desa kecil di pinggir Austmarr. Tidak ada
yang menyadari aksinya itu karenatangannyacukup lincah dan cepat.
 

"Yang Mulia Ratu," ucap Barney singkat.


 
"Aku selalu heran dari mana kau bisa mendapatkan info sepertiini, Barney."
Tybalt menyikut Barney, membuat pria yang lebihtua setahun darinya itu
mengeluh kesakitan.
 

"Jadi apa yang terjadi pada Clementine?" Tybalt mengatakannya sambil lalu.
Namun, ia masih teringat wanita yang ditemui beberapa hari lalu.
 

Wajah misterius Clementine dari Selencia akhirnya terungkap. Tidak seperti


yang orang-orang katakan, rambutnya tidak pirang seperti ibunya,
melainkan hitam legam nyaris menyaru dengan malam. Mata violetnya yang
khas menjadi bukti kalau ia merupakan keturunan Ratu Amaranta. Tybalt
mendengkus dalam hati, sayang sekali wanita naif itu merupakan putri dari
seorang ratu yang kejam dan licik seperti Amaranta.
 

"Seseorang meracuninya. Di meja makan tepat di hadapan sang raja!" ujar


Barney takjub. "Siapa pun yang berusaha membunuh Yang Mulia Ratu, dia
benar-benar mencari mati! Dia mungkin akan diberikan hukuman terberat
oleh Selencia dan Austmarr." Ia kembali mengunyah dendeng kelinci.
 

Beberapa hari ini mereka sulit mendapatkan makanan karena penjagaan


yang semakin diperketat. Jangankan merampok beberapa bangsawan kaya,
mereka saja tidak bisa memanah untuk memburu hewan tanpa ketahuan.
 

"Bagaimana keadaannya sekarang? Tybalt melihat sekeliling, beberapa


anggota kelompok sudah tertidur, hingga menyisakan mereka berdua yang
kebagian tugas jaga malam. "Dia selamat." Barney mengambil botol rum
dari tangan Tybalt dan menegaknya.
 

Untung saja sekarang bukan musim dingin karena mereka juga tidak bisa
menyalakan api unggun. Mereka hanya bisa mengandalkan sinar bulan di
kala malam serta alkoholyang membuat tubuh sedikit menghangat.
 

"Pangeran Alexander dari Thaurin menyelamatkannya."


 

"Alexander Thaurin ... Tybalt bergumam lirih. Ia pernah bertemu dengan


Panggeran Alexander Thaurin. Bertahun-tahun yang lalu, ia melihat sang
pangeran dari kejauhan. Mata hijau dan rambut pirangnya sangat kontras
dari para penjaga berzirah. "Bagaimana ia bisa menyelamatkannya?"
 

"Apa kau tidak tahu? Thaurin terkenal dengan kemampuan menyembuhkan


mereka! Pangeran Alexander mungkin tidak bisa menggunakan pedang
sehebat Raja Alastair, tapi dia seorang penyembuh. Benar-benar berbanding
terbalik. Yang satu menghancurkan, yang satu menyembuhkan. Sayang
sekali Tuan Putri cantik itu harus menjadi anak Ratu Amaranta dan istri Raja
Alastair. Dia terlihat seperti wanita yang naif, terlalu lama dikurung di dalam
menaranya mungkin."
 

"Sayang sekali," gumam Tybalt. Clementine memiliki tampilan unik yang


kontras, tetapi bagaimanapunjuga,ia merupakan putri dari Selencia. Ia
sudah bersumpah di dalam hati akan membunuh Ratu Amaranta dan semua
orang yang berharga baginya. Sebab ratu itulah yang menghancurkan
kerajaannya.
 

Fakta kalau Clementine merupakan istri sah Raja Alastair


jugatidakmembuatnya senang. Raja Alastair hanya duduk diam
melihatkerajaannya hancur dulu. Seharusnya raja itu bisa melakukan
sesuatu, sayangnya Raja Alastair masih berusia sepuluhsaat naik takhta. la
hanya memerintahkan semua tentara mundur dan kembali ke Austmarr,
memberikan kesempatan bagi Selencia untuk menghancurkan Dragor
hingga habis tak tersisa. Kini yang tersisa hanya sebagian kecil dari
penduduk Kerajaan Dragor, bahkan beberapa di antaranya lahir di tengah
hutan dengan cap seorang bandit di kepala umum. Dragor lebih berharga
daripada itu dan Tybalt bersumpah untuk mengembalikan kejayaan
kerajaannya yang direnggut oleh Selencia.
 

 
 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

IX
THE TRAITOR
Pangeran Alexander Thaurin memegang tangannya yang gemetaran akibat
terkena racun hemlock saat tadi memasukkan jarinya ke mulut Verity.
Tingkahnya yang sedikit aneh, tidak luput dari pengamatan Raja Zacharias
Colthas yang diam memperhatikan situasi sekitar.
 

"Aksi heroikmu itu membuatku semakin curiga kepadamu, Alexander." Nada


sinis keluar dari mulut Raja Zacharias, membuat wajah Pangeran Alexander
berkerut tak senang.
 

"Aku tidak peduli apa katamu, Zachary." Pangeran Alexander


menyembunyikan tangannya dari tatapan Raja Zacharias. Namun, lagi-lagi
tatapan Raja Zacharias yang tajam, segera menangkap gerakan tersebut.
"Kau terkena racun hemlock." Raja Zacharias Colthas mengangkat alisnya
terlihat sedikit terkesan dengan sikap Pangeran Alexander.
 

"Mengorbankan dirimu sejauh ini agar tidak dicurigai, hm?"


 

"Aku bisa saja mati demi wanita itu. Untuk apaaku melakukan sejauh ini bila
aku ingin dia mati, Zachary? Pangeran Alexander mendengus keras.
 

"Jadi apa alasanmu menolong wanita itu, Alexander? Apa karenadiamantan


tunanganmu? Bukankah hubungan kalian tidak sedekat itu?" Pertanyaan
beruntut Raja Zacharias diabaikan oleh Pangeran Alexander. Pria itu lebih
memilih untuk diam dan menatap lurus ke taman istana Austmarr yang
memamerkan aneka tanaman hias.
 

"Kapan dia akan bangun?" "Tiga hari lagi." Pangeran Alexander menjawab
pertanyaan terakhir Raja Zacharias singkat.
 

"Apa yang akan terjadi padanya?"


 

"Tabib harus memperhatikan keadaannya tiga hari terakhir. Dia bisa saja
terkena serangan jantung tiba-tiba. Racun hemlock melumpuhkan otot-otot
di tubuh dan bisa saja membunuh. Clement beruntung karena ia tidak
terkena serangan jantung saat itu juga," ucap Pangeran Alexander muram.
 

'Kenapa kau menolongnya?" Raja Zacharias mengulang pertanyaan yang


paling mengusik hatinya.
 

Pangeran Alexander tetap diam, membuat Raja Zacharias mendesah


frustrasi, lalu mendengkus kesal. "Dia wanita Alastair sekarang. Apa pun
alasan yang membuatmu menolongnya, kuharap kau tidak melakukannya
karena dia pernah ditunangkan denganmu dulu."
 

"Aku tahu."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 
Richard Blaxton menatap penasaran sang raja yang duduk di hadapannya.
Nyaris dua puluh tahun menemani, ia tidak pernah benar benar bisa
menduga isi pikiran sang raja. Bahkan saat menemani raja kecil itu dulu,
Raja Alastair memiliki pemikiran yang berbeda dengan anak-anak
seumurannya.
 

Kehilangan kedua orang tua di usia belia memaksa Raja Alastair lebih cepat
dewasa, ditambah perang yang berkecamuk juga keadaan kerajaan kacau
balau, membuatnyaharus mengedepankan kerajaan dibanding diri sendiri.
Bahkan hingga detik ini, Raja Alastair selalu mementingkan kedamaian lima
kerajaan. Bila ia mau, ia bisa saja memilih salah satu perempuan yang
menarik hati, tetapi memilih mengalah dan menerima saran Richard Blaxton
untuk menikahi putri dari wanita yang ia benci hanya demi menjamin
kedamaian lima kerajaan.
 

"Yang Mulia ...." Richard Blaxton menegur Raja Alastair yang sepertinya
terlalu larut dalam pikirannya sendiri.
 

"Apa yang kau temukan?" Kedua mata coklat Raja Alastair menatap tajam
Richard Blaxton. Membuat pria tua itu tanpa sadar bergidik ngeri karena
tatapan raja seolah menembus jantungnya.
 

'Saya menemukan ini di salah satu pelayan yang dibawa oleh Yang Mulia
Ratu Clementine." Richard Blaxton mengeluarkan dua buah kantung
menyerupai kantung teh yang dibungkus sapu tangan dari saku celananya.
 

"Siapa?"
 

"Namanya Jenny. Dia pelayan pribadi Ratu Clementine. Saya juga


menemukan satu kantung serupa di kamar yang ditempati Ratu Clementine
sebelumnya." Richard Blaxton mengeluarkan satu kantung lagi, tetapi kali
ini tidak dibungkus sapu tangan.
 
"Apa itu?" Raja Alastair memajukan badannya, terlihat tertarik dengan
kantung-kantung yang ditemukan Richard Blaxton.
 

"Jenny membawa dua kantung, satu berisi obat tidur dan yang lainnya berisi
hemlock. Ratu Clementine membawa obat tidur yang sama." Raja Alastair
tampak berpikir sejenak melihat dua barang temuan Richard Blaxton. Ada
kemungkinan Clementine berencana menyusupkan obat tidur ke
makanannya, lalumembunuhnya dengan belati itu.
 

"Di mana pelayan itu sekarang?"


 

"Ada di penjara bawah tanah, Yang Mulia. Dia akan mendapatkan hukuman
mati karena berusaha membunuh anggotakerajaan." Buktinya sudah di
depan mata. Tidak ada alasanbagi wanita itu untuk menghindari hukuman
mati.
 

"Apadia mengatakan alasan kenapadia meracuni Clementine?"


 

"Tidak, Yang Mulia. Ia menolak berbicara meski sudah menerima cambukan


berulang kali." Kesetiaan wanita itu terletak pada Ratu Amaranta, tapi
apakah Ratu Amaranta yang menyuruh pelayan itu membunuh Clementine?
Putrinya sendiri?
 

"Baiklah. Apa Ratu Amaranta sudah tahu keadaan putrinya?"


 

"Ratu Amaranta menyerahkan semuanya kepada Pangeran Alexander selaku


perwakilan Thaurin dan Selencia."
 

"Alexander?" Wajah Raja Alastair berubah muram. Sama seperti setiap


anggota kerajaan, mereka tidak bisa menampilkan berbagai ekspresi yang
bisa menimbulkan asumsi beragam di berbagai kalangan. la tersenyum saat
orang-orang tersenyum dan sedih atau prihatin saat orang-orang lain juga
mengeluarkan ekspresi sama. Tidak ada yang tahu apa isi hati mereka
sebenarnya. Bahkan Ratu Rania yang terlihat paling optimis juga terbuka di
antara pemimpin lima kerajaan, menyembunyikan berbagai hal di hatinya.
 

"Saya yakin Ratu Amaranta tahu kalau Pangeran Alexander memiliki


kemampuan yang tepat untuk menyembuhkan Ratu Clementine. Dia
menyerahkan semuanya kepada Pangeran Alexander Ucapan Richard
Blaxton tidak membuat Raja Alastair tenang. Sikap Pangeran Alexander pagi
tadi mencurigakan, meskipunja orang pertama yang menolong Verity.
Sikapnyamasihpatut dicurigai.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity masih tidak sadarkan diri meskipun sudah nyaris dua hari berlalu.
Setidaknya ia masih bernapas dan tidak mengalami serangan jantung.
 

"Kau tidak bisa menutup kelambunya seperti ini." Ucapan pertama


Pangeran Alexander ketikamasuk kamar yang ditempati Verity membuat
Raja Alastair kesal. Hubungan bilateral Thaurin dan Austmarr tidak begitu
bagus karena Thaurin merupakan sekutu Selencia. Namun, sama seperti
Selencia, keduanya berusaha menjaga jarak tanpa melibatkan pertikaian tak
penting.
 

"Clement membutuhkan banyak oksigen. Kau ingin dia matikarena tidak


bisa bernafas?"
 

Pangeran Alexander membuka kelambu tebal merah marun yang menutupi


seluruh kasur, membiarkan udara segar masuk kamar lewat jendela.
 

"Ratu Amaranta menyerahkan semuanya kepadamu, tapi bukan berarti aku


memiliki pemikiran yang sama," sinis Raja Alastair.
 
Pangeran Alexander tidak membalas, ia memperhatikan Verity yang tengah
tertidur di kasur. Kulit pucat dengan ujung ujung kuku yang membiru sudah
mulai pudar. Sehelai selimut tebal diletakkan dengan rapi menutupi Verity
hingga ke dada.
 

Pangeran Alexander meraih tangan Verity, lalu memperhatikannya.


"Mungkin dia akan lumpuh selama beberapa hari."
 

"Kapan dia akan bangun?


 

"Dia bisa bangun kapan saja. Kita hanya perlu memperhatikan kondisinya."
Pangeran Alexander tersenyum miris melihat pakaian yang Verity kenakan.
Sehelai pakaian terlalu besar, mungkin milik Raja Alastair. Wanita itu
harusnya membunuh Alastair, bukan membuat dirinya nyaris terbunuh.
 

"Apa kau menemukan pelakunya?"


 

"Pelayan pribadi Clementine sendiri." Raja Alastair mengeluarkan dua buah


kantung yang diberikan Richard Blaxton, lalu memberikannya kepada
Pangeran Alexander.
 

"Hemlock dan obat tidur," gumam Pangeran Alexander ketika mencium


aroma dua kantung itu.
 

"Obat tidur itu berasal dari kamar Clementine."


 

Pangeran Alexander menatap Verity, lalu tersenyum miris.


 

"Sekarang dia sudah tertidur tanpa membutuhkan obat itu lagi."


 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 
"Tetaplah jalan ke depan. Ibu akan menemuimu di sana."
 

"Ibu?" Wanita yang menyebut dirinya ibu itu berjongkok di hadapan Verity,
menyejajarkkan wajah, lalu memegang kedua pipi Verity.
 

"Jalan ke depan. Jangan berbalik ke belakang!"


 

"Bagaimana dengan Ibu?"


 

"Ibu akan menyusulmu. Ingat, jangan berbalik ke belakang."> Wanita itu


membungkus Verity dengan mantel yang ia kenakan, menyembunyikan
nyaris seluruh tubuh gadis kecil itu.
 

"Ibu mencintaimu."
 

Verity tersentak bangun. Paru-parunya memompa udara dengan cepat


hingga terasa sangat menyakitkan. Tangannya gemetaran, tidak, seluruh
tubuhnya gemetaran, tetapi ia tidak bisa melakukan apa pun. Kakinya
lumpuh, begitu juga tangan, dan seluruh anggota tubuh. Hanya tersisa
matanya yang mampu mengerjap cepat, sementara air mata menetes
membasahi pipinya.
 

"Clementine?" Bayangan besar tiba-tiba menghampiri, membuatnya refleks


kembali memejamkan mata. "Kau bangun." Tangan besarnya menggenggam
tangan Verity yang dingin. Clementine? Siapa Clementine? Verity
mengerutkan keningnya, lalu mengerjapkan mata beberapa kali dan
menatap lebih lekat wajah sosok yang berada di dekatnya itu. "Alexander?"
 

Pangeran Alexander mengangguk, lalu mendekatkan botol kecil ke mulut


Verity, dan membantu minum dengan mengangkat kepala wanita itu sedikit.
Verity memberontak beberapa saat hingga Pangeran Alexander terpaksa
menutup hidungnya, membuatnya tak bisa bernapas dan terpaksa
membuka mulut.
 

"Tenanglah ini bukan racun. Aku tidak mungkin menarikmu dari kematian
bila aku ingin membunuhmu."
 

Rasa pahit obat yang diberikan Pangeran Alexander membuat Verity


terbatuk keras. Paru-parunya kembali terasa menyakitkan. Pangeran
Alexander membawa segelas air dengan campuran madu yang segera
diminumnya hingga habis tak tersisa.
 

"Apa yang terjadi?"


 

"Kau tertidur selama tiga hari akibat hemlock yang ditaruh di dalam
makananmu." Pangeran Alexander menjelaskan dengan singkat.
 

Verityterdiam, ini sudah pasti akibat Ratu Amaranta. Wanita itu tahu kabar
kegagalannya hingga ia harus mati saat itu juga. Verity berusaha duduk,
tetapi tangannya masih gemetaran seperti jelly dan lemas.
 

"Tanganku juga lumpuh," ucap Verity panik. Dulu hanya kakinya yang
lumpuh dan masih bisa menggerakkan badan dengan menyeretnya
menggunakan tangan. Sekarang nyaris semua anggota badannya lumpuh
dan ia benar-benar ketakutan. Bagaimana kalau ia lumpuh selamanya?
 

"Tenang saja. Obat yang tadi kuberikan akan membuatmu sehat kembali."
Pangeran Alexander menatap teliti Verity.
 

"Apa yang kau lakukan di sini?" Verity melihat sekeliling dan menyadari
kalau ini kamar yang ia tempati bersama Raja Alastair setelah pernikahan
mereka. Kenapa Pangeran Alexander bisa masuk kamar?
 
"Aku mengawasimu selama tiga hari terakhir," jawab Pangeran Alexander
singkat. "Alastair tidak bisa mengatakan. apa pun karena Ratu Amaranta
menyerahkan segala urusan tentangmu kepadaku." Verity mengerutkan
kening, diam-diam menarik napas lega. Di Austmarr hanya Pangeran
Alexander yang tahu tujuan sebenarnya ia berada di sini. Setidaknya ia tidak
perlu bersikap berpura-pura di hadapan Alexander ketika pria itu tahu ia
harus membunuh Raja Alastair.
 

"Di mana yang lainnya?"


 

Pangeran Alexander tersenyum miris kepada Verity,laly mengangguk


singkat. "Aku akan memanggil yang lain."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair, Ratu Rania, Jenderal Kilorn, Richard Blaxton bahkan Raja
Zacharias Colthas kini berada di hadapan Verity. Semuanya terlihat terkesan
dengan perkembangan Verity.
 

"Kau mungkin orang pertama yang selamat dari racun hemlock." Raja
Zacharias Colthas lagi-lagi terlihat acuh tak acuh dengan keselamatan Verity.
Namun, tentu saja di dalam hati sangat terkesan. "Kita perlu mengucapkan
selamat Pangeran Alexander yang berhasil membawamu dari kematian." la
menepuk pundak Pangeran Alexander, membuat pria itu menggeram tidak
suka.
 

"Kau membuatku khawatir, Clementine." Ratu Rania duduk di sebelah


Verity, lalu memegang tangan Verity. "Kejadiannya begitu cepat. Aku yang
berada di sebelahmu saja tidak bisa membantu."
 

"Maafkan saya, Yang Mulia." Verity tersenyum tipis Dibanding yang lain,
Ratu Rania merupakan bentuk ideal kepala kerajaan yang ia bayangkan
selama ini. Tidak seperti Ratu Amaranta, Raja Arthur, Raja Zacharias, atau
bahkan suaminy sendiri, Raja Alastair.
 

Mereka semua cenderung dingin dar menjaga jarak, sedangkan Ratu Rania
tidak segan merangkulny dalam sebuah pelukan hangat. "Kuharap aku tidak
menaku Pangeran Orion dan Putri Cassiopeia."
 

"Mereka baik-baik saja." Ratu Rania tersenyum tipis.


 

Verity terdiam sesaat sebelum menatap Raja Alastair yang berdiri di pojok
ruangan, terlihat terasing di kamarnya sendiri. "Jadi siapa pelakunya?"
 

"Pelayan pribadimu." Raja Alastair menjawab dengan ejekan yang mungkin


hanya disadari oleh Verity.
 

"Apamaksud Anda, Yang Mulia?" Berarti ini memang ulah Ratu Amaranta,
bisik Verity di dalam hati geram. Wanita licik itu benar benar ingin
membunuhnya setelah ia gagal menjalankan tugas.
 

"Kau mengenal Jenny bukan? Dia pelayan pribadi yang kau bawa dari
Selencia." Wajah Verity memucat. la kini benar-benar tidak tahu lagi siapa
kawan dan siapa lawan.
 

"Sepertinya Clementine membutuhkan waktu istirahat. Bisakah kalian


meninggalkan kami?" Nada perintah Raja Alastair terdengar kental. Bahkan
Ratu Rania dan Raja Zacharias yangbisadikatakan setara dengannya,
mendengarkan perintah tanpa banyak kata. Pangeran Alexander terlihat
sedikit enggan, tetapi akhirnya ikut keluar.
 

"Jenny tidak mungkin melakukan itu," bisik Verity tidak percaya.


 
"Berapa lama kau mengenalnya, Clementine?" Raja Alastair menekan nama
palsunya geram. "Aku tidak mentolerir pembangkang di kerajaanku,
Clementine. Kau beruntung karena kau bangun sebelum ia mendapatkan
hukumannya." "Apa maksud Anda?" Mata Verity melebar.
 

"Kau bisa melihat ia menerima hukuman gantungnya besok."


 

"Kau memberinya hukuman mati? Verity teringat pembicaraan singkatnya


dengan Jenny di kereta dalam perjalanan menuju Austmarr. Betapa tidak
sabarnya wanita itu ingin segera kembali ke Selencia karena anaknya telah
menunggu. Ratu Amaranta sangatkejam,iatelahmemisahkan ibu dari
anaknya, dan sekarang anak Jenny tidak akan pernah bisa menemui sang
ibu lagi. "Kau tidak bisa."
 

"Kenapa tidak?" Raja Alastair menatap tajam. "Apa karena ia kaki


tanganmu, Clementine? Apa karena racun itu seharusnya diberikan
kepadaku?"
 

Lidah Verity terasa kelu, ia tidak bisa mengatakan apa pun. "Kumohon
jangan berikan hukuman mati kepadanya."
 

"Apa aku harus memasukkannya ke penjara seumur hidup?" Verity


menggelengkan kepalanya. Masuk penjara juga bukan pilihan yang baik. la
pernah merasakan dan ia tahu, lebih baik mati daripada berada di penjara
seumur hidup.
 

"Aku memberikanmu pilihan, Clementine. Karena kaulah korbannya, kau


tentukan hukuman apa yang pantas untuknya."
 

Obat yang diberikan Pangeran Alexander memang sangat mujarab untuk


mengembalikan tubuh ke kondisi semula. Verity mulai bisa menggerakkan
tangan, lalu perlahan-lahan bisa kembali duduk. Wajahnya kaku di hadapan
Raja Alastair, tetapi kembali tersenyum kecil di hadapan Ratu Rania. la
masih belum bisa menentukan hukuman apa yang pantas diberikan kepada
Jenny. Raja Alastair telah menyiapkan tiang gantung, algojo, bahkan aneka
perangkap yang siap membunuh seseorang.
 

"Apa kau sudah menentukan hukumannya, Ratuku?" Pertanyaan bernada


mencemooh keluar dari mulut Raja Alastair, membuat Verity mengerut
tidak senang. Tangan sang raja diletakkan di pinggangnya dengan kasual,
membuat ia risi. Bagi orang lain, mungkin raja terlihat sangat peduli
terhadap ratunya, tetapi bagi Verity, itu membuktikan kalau Raja Alastair
memastikannya agar tidak lari.
 

"Aku penasaran seperti apa pernikahan kalian nanti." Raja Zacharias Colthas
menatap keduanya, kemudian menyeringai lebar. "Bila pada awal
pernikahan kalian saja sudah banyak masalah seperti ini, aku tidak tahu
bagaimana nanti."
 

"Aku juga tidak sabar melihat perkembangan pernikahanku nanti." Verity


melirik Raja Alastair dengan tatapan horor. Sementara pria itu tidak peduli
pandangan orang-orang terhadapnya.
 

"Kudengar Clementine yang akan menentukan hukuman untuk orang yang


telah meracuninya?"
 

"Kurasa itu keputusan yang adil. Bagaimana pun juga, dialah yang nyaris
mati karena ulah wanita itu." Jenderal Kilorn ikut dalam pembicaraan
ketiganya.
 

Sudah nyaris tengah hari dan Jenny telah dibawa ke tengah tengah lapangan
besar serupa colosseum dengan undakanundakan tinggi tempat para
penonton, juga sebuah panggung besar untuk tempat duduk anggota
kerajaan.
 
Verity terdiam, keningnya berkerut dalam seperti tengah memikirkan
sesuatu, la ingin kematian Jenny terasa cepat dan jauh dari kata
menyakitkan.
 

"Aku ingin dia diracun," gumamnya, membuat tiga pria yang berada di
sisinya, menatap kaget seperti ia baru saja menumbuhkan kepala baru.
 

"Kau tahu, kan kalau hukuman racun hanya diberikan kepada orang-orang
kasta tertinggi yang berkhianat?" Raja Zacharias Colthas tidak bisa
menyembunyikan nada heran dari mulutnya.
 

Verity tidak tahu peraturan semacam itu sebelumnya, jadi untuk menutupi
kegugupannya ia berdeham keras. "Ia meracuniku, jadi kurasa hanya itu cara
yangsetimpaluntuk membalas perbuatannya."
 

"Lakukan seperti yang ia katakan." Raja Alastair memerintahkan salah satu


algojo untuk menyiapkan racunyang akan diminumkan kepada Jenny nanti.
 

"Tunggu!" Verity mengucapkannya terburu-buru. "Berikan ia hemlock."


 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity menatap Jenny kasihan. Wanita itu duduk di tengahtengah lapangan


dengan tatapan kebingungan. Luka di punggungnya terlihat begitu jelas
karena pakaiannya terkoyak setelah menerima entah berapa puluh
cambukan di dalam penjara. Mata birunya terlihat sembap, sementara
rambut pirangnya berantakan.
 

"Apa kau tidak ingin mengubah keinginanmu?" Raja Alastair yang berada di
sebelah Verity berbisik.
 
Verity menggelengkan kepalanya tegas. Jenny hanya salah satu pion Ratu
Amaranta. Wanita itu tidak bersalah.
 

"Baiklah." Raja Alastair berdiri dari singgasananya dan menghadap langsung


ke seluruh arena lapangan, berbicara lantang membahas sedikit hal.
 

Pangeran Alexander melirik Verity sekilas, kemudian kembali ke lapangan.


Ini pertama kalinya ia melihat hukuman mati di Austmarr. Para raja ataupun
ratu dari kerajaan lain biasanya tidak perlu melihat pemandangan ini
sebelumnya.
 

"Jenny dari Selencia akan menerima hukuman mati karena telah melakukan
percobaan pembunuhan kepada ratuku! la harusnya menerima hukuman
gantung atau penggal, namun karena kebaikan hati ratuku, ia menerima
hukuman racun." Raja Alastair terdiam sesaat. la menatap langsung bola
mata biru Jenny, lalu berdecak tidak senang. Hukuman racun hanya
diberikan kepada kasta tertinggi, bukan seorang pelayan. "Berikan
racunnya!"
 

"Hukuman ini terlalu ringan untuk pengkhianat sepertinya!" Verity


mendengar teriakan-teriakan tidak setuju dari orang-orang Austmarr.
Mereka memang barbar seperti yangdikatakan Matthias. Verity refleks
mencengkram kedua pinggiran kursi yang ia duduki dengan cemas.
 

Seorang algojo berjalan mendekati Jenny yang bersimpuh di tanah dengan


kedua tangan dan kaki terikat erat. Sebuah mangkuk berisi racun hemlock
yang kental diminumkan ke mulutnya. Jenny meronta ronta, algojo itu
memaksanya menghabiskan setiap tetes hingga tak bersisa. Jenny
megapmegap sesaat sebelum akhirnya memuntahkan banyak darah. Tiba-
tiba semuanya berhenti, Jenny tidak lagi meronta ronta atau mengeluarkan
suara ketika tak bisa bernapas. Wanita itu jatuh dengan posisi badan miring,
mata birunya yang meredup seperti menatap langsung ke mata violet Verity.
 
Saat wanita itu mati, satu per satu anggota kerajaan yang menonton proses
hukuman turun dari singgasananya dan kembali ke istana. Begitu juga
orang-orang Austmarr yang tadi berseru protes. Hujan deras tiba-tiba turun,
sementara Verity masih di tempatnya, terlalu syok melihat jasad Jenny yang
masih tergeletak di tanah.
 

"Inilah hukuman untuk para pengkhianat, Clementine." Verity


mendongakkan kepala dan melihat Raja Alastair yang ternyata
menunggunya. Ia lalu melihat hujan yang tak lain adalah pengalaman
pertamanya. Hujan itu membantu mengaburkan air mata kesedihan di
matanya.
 

 
 

 
 

 
 

X
THE DEATH
 

JENNY TELAH MATI. Verity mengulanginya di dalam hati ketika menghampiri


tubuh wanita itu. Hujan deras membasahi hingga pakaiannya menempel
begitu erat bagaikan kulit kedua.
 

"Maafkan aku." Verity menutup kedua mata Jenny yang terbuka lebar, lalu
memperbaiki posisi tubuhnya. Melepas seluruh ikatan-ikatan pada kedua
tangan dan kaki dan memosisikan tangan Jenny telungkup di dada.
 
"Seharusnya aku yang mati, bukan kau." Verity berbisik di telinga Jenny. Ia
berharap setidaknya Jenny akan mendapatkan pemakaman yang layak,
tidak ditinggalkan begitu saja, menjadi santapan gagak. Verity menoleh dan
melihat Raja Alastair yang masih berdiri di sebelah singgasananya, meneliti
sikap anehnya hanya untuk seorang pelayan.
 

"Dia hanya pelayan." Raja Alastair masih tak mengerti kenapa Verity begitu
terpengaruh oleh kematian seorang pelayan yang telah berusaha
membunuhnya. Ia seorang ratu dan kerajaan terbesar di Inkarnate, bukan
pelayan seperti wanita itu. Tatapan Verity menajam mendengar perkataan
Raja Alastair, senyumnya sedingin es. "Dia juga manusia. Dia seorang ibu
untuk anak-anaknya, seorang istri untuk suaminya. Dia juga seorang anak
perempuan untuk kedua orang tuanya, seorang saudara perempuan untuk
saudara-saudaranya. Dia lebih dari seorang pelayan." Ia tak bisa lupa kalau
dirinya hanyalah seorang budak rendahan sebelum masuk ke Austmarr. Apa
yang akan Raja Alastair lakukan bila pria itu tahu kalau ia hanyalah seorang
budak yang bahkan posisinya jauh di bawah pelayan?
 

"Kematian tidak bisa dihindari, Clementine. Kau harus sadar kalau kau tidak
bisa bersikap baik kepada semua orang. Akan banyak orang yang datang
berusaha membunuhmu, bahkan seorang pelayan terdekatmu. Atau ratumu
sendiri." Ucapan Raja Alastair secara langsung menyinggung Verity,
membuat senyuman dinginnya hilang tak berbekas. "Kau harus ingat kalau
aku juga seorang manusia. Aku seorang raja, kematianku akan
mempengaruhi kehidupan ratusan ribu rakyat yang bergantung kepadaku."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Pangeran Alexander melihat Verity yang berdiri di tepi jendela mosaik besar
dengan tatapan kosong. Wanita itu masih mengenakan pakaian sama sejak
pagi tadi. Rambut hitamnya yang basah membuat pakaiannya semakin
lembap.
 
"Kau akan sakit lagi." Pangeran Alexander bergumam ketika menghampiri
ratu Austmarr itu.
 

Verity menarik napas panjang, lalu membalik badannya, dan melihat


Pangeran Alexander. "Terima kasih untuk rasa khawatir yang Anda berikan,
Yang Mulia."
 

"Kau bisa memanggilku Alex." Pangeran Alexander menyadari betapa


merasa bersalahnya Verity karena pelayan itu terbunuh olehnya. "Apa kau
masih memikirkan pelayan itu?"
 

"Pelayan itu punya nama!" Tanpa Verity sadari, ia mengeluarkan nada tinggi
untuk Pangeran Alexander. "Maaf, tapi aku sedang tidak ingin berbincang
denganmu, Alexander."
 

"Seharusnya kau membunuhnya saat itu juga." Verity mengerutkan kening,


lalu berbisik pelan. "Aku berusaha, dan aku menusuk jantungnya."
 

Pangeran Alexander terdiam dan memejamkan matanya sesaat. "Aku akan


memberikanmu ini." Ia mengeluarkan sebuah botol kecil dari saku jasnya.
 

"Arsenik!" Verity melihat benda itu penasaran, memutar mutar sebentar,


kemudian mengenggamnya erat. "Apa kau menyuruhku membunuh Raja
Alastair dengan ini?"
 

"Tidak!" Pangeran Alexander menggelengkan kepala. "Gunakan ini bila kau


terdesak. Lebih baik mati daripada disiksa seperti Jenny bukan? Alastair
mungkin tidak akan memberikan kebijakan berlebih kepadamu. Hukuman
mati di sini adalah hukum pancung, setelah itu mayatmu akan diikat dan
diberikan untuk santapan gagak."
 
Verity merinding ketika mendengar detail hukuman yang bisa saja dilihat
pagi ini bila ia tidak berusaha untuk meringankan hukuman Jenny. "Kau
menyuruhku bunuh diri?" Ia ingin hidup, tetapi seumur hidup di penjara
sama saja mati perlahan.
 

"Kau akan sendiri setelah ini, Clement. Aku akan kembali ke Thaurin, begitu
juga yang lainnya," kata Pangeran Alexander.
 

Selama beberapa hari ini, Verity menyadari pengaruh Ratu Rania, Pangeran
Alexander, bahkan Raja Zacharias di kehidupannya. Mereka membawa
warna berbeda dan membuatnya tidak merasa kesepian. Tidak seperti Raja
Alastair yang dingin. Percakapannya keduanya bisa dihitung jari. Satu-
satunya percakapan terpanjang hanyalah saat ia berusaha membunuh sang
raja. Jelas, itu bukan awal yang baik.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity berdiri di depan cermin besar setinggi dirinya, la tengah dirias oleh
seorang pelayan dari Austmarr, terlihat dari pakaian juga karakteristik
mereka yang berbeda jauh dari orang-orang Selencia. Pelayan itu menata
rambutnya, menempelkan mutiara mutiara kecil yang terlihat kontras
dengan rambut hitamnya.
 

"Semua akan kembali ke kerajaan mereka masing-masing." Raja Alastair


memasuki ruang rias tanpa memberikan salam atau sekadar ketukan di
pintu.
 

"Baiklah." Verity bergumam dan mengabaikan sikap Raja Alastair. Ini


kerajaannya, ia yang berkuasa. Verity tidak punya alasan untuk melarang
Raja Alastair masuk hanya karena ia sedang berhias di ruangan.
 

"Begitu juga pelayan-pelayan dan pengawal yang kau bawa dari Selencia."
Raja Alastair meneliti ekspresi Verity dari pantulan cermin. Wanita itu hanya
menghela napas panjang dan mengangguk. "Kau tidak akan protes?"
 

"Aku tidak ingin ada yang terbunuh lagi di sini." Ucapan pelan Verity
membuat Raja Alastair tersenyum samar.
 

"Keluarlah!" Alastair memerintah, membuat si pelayan terburu-buru keluar


tanpa banyak kata.
 

"Lucu mendengarmu mengatakan itu ketika beberapa hari lalu kaulah yang
berusaha membunuhku, Clementine." Raja Alastair membalik badan Verity,
memaksa wanita itu menghadap dan menatap matanya. "Apa kau tidak
ingin membuka mulut sekarang dan memberitahuku siapa kau
sebenarnya?"
 

"Seharusnya Anda membiarkan saya mati, Yang Mulia," Verity bergumam.


 

"Dan membiarkanmu mati begitu mudahnya? Membawa


 

rahasia yang kau simpan ke dalam kematian?" Verity bisa


 

melihat kepalan erat tangan Raja Alastair. "Aku tidak punya jawaban untuk
pertanyaan Anda, Yang Mulia," kata Verity lelah.
 

"Aku tidak akan membunuhmu sebelum kau menjawab pertanyaanku,


Clementine." Verity hanya bisa memberikan senyuman tipis penuh ironi. Ia
jujur atas jawabannya. Ratu Amaranta memasukkannya ke penjara tanpa
batas waktu karena ia mencuri sepotong roti. Sudah sepuluh tahun dan ia
mulai melupakan siapa dirinya.
 

"Apakah Anda akan membunuhku?" "Bila waktunya tepat, Clementine. Bila


aku sudah mendapatkan jawabannya." Perkataan dingin Raja Alastair
membuat Verity terpaku. Berada di Austmarr, berperan sebagai seorang
Ratu Clementine. Bayangannya tentang hidup di pinggir desa, tenang, tanpa
kehadiran satu pun anggota kerajaan yang mengusik, buyar dalam sekejap
mata. Yang tersisa hanyalah iron. Ia hidup berpura-pura menjadi orang lain.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Dalam sehari kita mendapatkan pesta dansa setelah melihat hukuman


mati. Apakah kita tengah merayakan kematian?" Raja Zacharias Colthas
meneguk cairan berwarna keemasan dari gelas di tangannya.
 

"Kau terlalu pesimis, Zachary." Jenderal Kilorn membuat persepsi yang


berbeda-beda terhadap setiap anggota kerajaan. Raja Zacharias Colthas
bukan yang paling baik di antara kelimanya, tetapi ia paling realistis. Tidak
seperti Raja Alastair, Raja Zacharias Colthas naik takhta setelah ayahnya
meninggal. Bukan rahasia lagi kalau pria itu benci ayahnya juga tugas yang
diberikan. Bila mau, ia bisa saja pergi meninggalkan Colthas bahkan
Inkarnate dan mencari benua-benua lain yang mungkin belum pernah
ditinggali sebelumnya. Namun, ia bukan pria pengecut.
 

"Dan kau terlalu optimis, Jenderal." Raja Zacharias Colthas membalas


perkataan Jenderal Kilorn dingin. "Ratu Clementine terlihat siap pingsan
kapan saja. Siapa yang menyuruhnya mengenakan pakaian putih seperti
itu? Dia terlihat lebih pucat daripada hantu."
 

"Aku tidak tahu kalau kau punya selera fashion yang tinggi, Zachary."
Jenderal Kilorn terbahak. "Tapi kau benar, Ratu Clementine memang terlihat
pucat. Dia sepertinya cukup terpukul dengan kematian si pelayan."
 

Raja Zacharias Colthas mendengkus kesal. "Mungkin ia terlalu lama


dikurung di menaranya. Dia terlalu naif dan polos sebagai seorang anggota
kerajaan."
 
"Bagiku malah kebalikannya. Ratu Clementine memberikan udara segar
untuk lima kerajaan. Dia seperti warna baru di Inkarnate," sanggah Jendral
Kilorn.
 

"Kita berharap saja dia tidak akan mati karena kepolosannya." Raja
Zacharias tidak peduli jika Ratu Clementine mati atau tidak, tetapi ia cukup
tertarik terhadap interaksi sang ratu dengan Pangeran Alexander dan Raja
Alastair. Wanita misterius itu mengacaukan kedamaian kecil di tengah
perang dingin Thaurin dan Austmarr.
 

"Dia dibawa kemari sebagai bentuk perjanjian kerja sama, Zachary. Dia
adalah bentuk kedamaian. Membunuhnya sama saja memecahkan perang
di lima kerajaan." Jenderal Kilorn merupakan salah seorang yang berperang
bersama raja terdahulu Raria. Kehancuran Dragør dua dekade lalu,
membuat perang berhenti karena Austmarr menarik semua tentaranya,
begitu juga Raria dan Colthas, menyisakan Dragør yang terpuruk sendirian.
"Anda akan lewat mana saat kembali ke Colthas nanti?"
 

"Hutan Pinus dipenuhi perampok, tapi aku punya tentara tentaraku."


 

"Anda akan melewati Hutan Pinus?" Jenderal Kilorn lebih memilih melewati
jalan antar desa yang cukup aman. Meski ia seorang jenderal tertinggi di
Raria dan bisa melawan para perampok dengan tangan kosong, ia tidak
ingin mengabaikan keselamatan keluarganya.
 

"Jalan antar desa sangat panjang." Memotong jalan lewat Hutan Pinus
memang bisa membuat perjalanan mereka lebih singkat daripada melewati
jalan biasa. "Apa Alastair tidak melakukan sesuatu kepada para perampok
itu?"
 

"Kudengar penjagaan di Austmarr diperketat semenjak usaha pembunuhan


Clementine. Tapi aku tidak melihat begitu banyak perubahan," kata Jendral
Kilorn.
 

"Mungkin kau harus mengasah pedangmu kembali, Jenderal. Alastair


menaruh lebih banyak tentara yang dengan para pelayan. Penjagaan
memang diperketat, tapi dia berbaur tidak ingin merubah sistemnya secara
tiba-tiba hingga membuat para tamu undangan juga anggota kerajaan
panik."
 

Jenderal Kilorn menajamkan matanya kembali dan mendapati beberapa


tentara yang bersikap kaku tengah membantu para pelayan menghidangkan
makanan. "Penjagaan di istana memang diperketat, tapi aku tidak tahu
dengan Hutan Pinus. Aku yakin Alastair tengah rapat dengan para
menterinya. Dia selalu menghindari acara semacam ini. Bahkan saat
pernikahannya pun, ia pergi setelah mengucapkan sumpahnya."
 

Verity bisa merasakan matanya mulai berkunang-kunang karena berdiri


entah berapa jam di tengah pesta, berbicara dengan para bangsawan yang
berpengaruh di kerajaan Austmarr, memberikan senyuman lebar, juga
jabatan tangan. Dari sudut mata, ia bisa melihat Raja Zacharias dan Jenderal
Kilorn tengah berbincang, tetapi tidak mendapati Pangeran Alexander atau
Ratu Raria. Keduanya mungkin tengah bersiap berhubung akan berangkat
saat malam tiba.
 

"Anda terlihat pucat, Yang Mulia." Seorang bangsawan menegur.


Bangsawan yang lain juga turut menatap khawatir.
 

"Aku akan mencari udara segar sebentar." Verity pamit, lalu berjalan keluar
dari ballroom menuju taman. Ia hanya perlu udara segar sebentar sebelum
kembali berbaur bersama para bangsawan dengan parfum menyengat
sembari meringis melihat makanan yang tak henti-hentinya datang
memenuhi perut mereka. Sampai sekarang ia masih tak terbiasa makan
lebih banyak. Raja mengira, ia tak mau makan karena takut kembali
diracuni.
 
Malam ini penjagaan di sayap kiri istana tidak seketat sebelumnya, memang
masih ada beberapa penjaga, tetapi mayoritas berjaga di ballroom istana.
Sebagian lagi bersembunyi di balik bayangan, luput dari pengamatan Verity.
 

Verity baru melihat sebagian bunga-bunga di taman. Ia melangkahkan kaki


lebih jauh hingga tiba di danau buatan dekat dinding pembatas istana yang
bersinggungan langsung dengan Hutan Pinus. Ia menyapa penjaga yang
bersembunyi di balik bayangan dan tetap berjalan hingga ke tepi danau.
 

"Wow!" Ini pertama kalinya Verity melihat danau. la berjongkok, kemudian


meraup air. Pantulan rembulan terlukis indah di permukaan danau. Ia
teringat Jenny. Bila masih ada, mungkin akan berseru menyuruhnya
menjauh dari danau karena berbahaya. Verity menunduk sedih, ia merasa
sendirian di dunia ini.
 

"Aku sudah bilang, kan kalau kita akan bertemu lagi, Yang Mulia?"
Seseorang bersuara.
 

"Tybalt!" Verity terbelalak melihat pria itu berada di dalam istana Austmarr,
lebih kaget ketika ia mendapati penjaga telah terbaring lemas di dekat
Barney. "Apa kau membunuhnya?" "Tidak." Tybalt terlihat heran dengan
pertanyaannya.
 

"Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa 'masuk?" Tembok itu
berbatasan langsung dengan Hutan Pinus, juga jurang tinggi yang
seharusnya tidak mudah dilewati penyusup.
 

Verity melangkah mundur dengan hati-hati, beberapa meter lagi akan ada
penjaga lain. Ia bisa berteriak dan mereka pasti segera datang.
 

"Selencia dan Austmarr mungkin akan membayar tinggi bila aku


mendapatkanmu sebagai tahanan." Tybalt melangkah maju tanpa ragu.
"Kuharap kau tidak berteriak, Clement! Aku tidak ingin melukaimu lebih dari
yang seharusnya."
 

Verity mengabaikan saran Tybalt dan berteriak kencang menarik perhatian


siapa pun yang berada di istana.
 

 
 

 
 

XI
THE LOST KINGDOM
 

TYBALT MENARIK VERITY dan menempelkan belati tajam yang segera


menggores leher jenjang Verity. Darah pun mengucur dari luka, mengotori
gaun putihnya. Derap langkah terdengar semakin mendekat, membuat
jantungnya berdegup kencang. Namun, ia juga bisa mendengar degup
jantung Tybalt yang tak kalah kencang. Adrenalin memacu jantung
keduanya menjadi lebih cepat.
 

"Diamlah!" Tybalt berbisik di telinga Verity dan menariknya semakin


mendekati dinding pembatas.
 

"Berhenti!" Verity membelalakkan mata ketika melihat Raja Alastair berdiri


di deretan terdepan diikuti Raja Zacharias dan Jenderal Kilorn. Beberapa
pasukan yang membawa busur dan anak panah sudah bersiap menyerang
Tybalt bila saja pria itu tidak menjadikan Verity sebagai tameng hidup.
 
"Kau benar-benar selalu memancing kematian mendekatimu, ya?" Cibiran
terdengar jelas dari Raja Zacharias yang menatap muak. Menghadapi dua
perampok yang memasuki kerajaan memang sangat mudah seandainya
Verity tidak dijadikan sandera.
 

Barney kini berada di hadapan Tybalt, memasang ancang. ancang, bersiap


menghadang siapa saja yang berusaha mendekati mereka.
 

"Diamlah, Zachary!" Raja Alastair berkata kesal. Rapat baru saja selesai
ketika teriakan Verity terdengar hingga ke ruang rapat. Bahkan tamu-tamu
di ballroom juga berlarian ke sumber suara dan mendapati sang ratu yang
baru beberapa menit lalu menemani mereka, kini menjadi sandera.
 

"Alastair, senang berjumpa denganmu." Tybalt berucap dengan nada getir


yang samar, tertutupi oleh cemoohannya. "Bagaimana rasanya melihat
ratumu berada di cengkeramanku?"
 

Raja Alastair menatap Tybalt tajam, tetapi tatapannya lebih tertuju kepada
Verity yang tampak semakin pucat. Wanita itu memang memancing
kematian di mana pun berada, bahkan tubuh Jenny belum membusuk
ketika lagi-lagi seseorang berusaha membunuhnya.
 

"Tybalt, kau akan mati! Kalau bukan sekarang, maka nanti," ancamnya.
 

Verity tersentak kaget ketika mendengar nama Tybalt keluar dari mulut Raja
Alastair. Mereka saling mengenal? Seorang raja dan bandit dari kelas
rendahan saling mengenal?
 

"Siapa kau?" Verity berucap lirih. Kepalanya pusing dan berat, aroma anyir
juga membuatnya mual. Ia belum memakan apa pun sejak kematian Jenny,
kecuali hanya menyuap sup atau meminum air. Tubuhnya terasa lebih
lemah dibanding ketika mendekam di penjara dan tidak mendapatkan jatah
makan lebih dari seminggu.
 

Tybalt mengabaikan pertanyaan Verity dan menekan belati lebih dalam lagi.
"Bagaimana kalau ratumu mati lebih dulu, Alastair?"
 

"Apa yang kau inginkan?" Raja Alastair tidak suka harus bernegosiasi
dengan musuh-musuhnya, terutama yang sudah jelas menyerang secara
langsung.
 

Tybalt mungkin salah satu dari orang-orang Dragør yang tersisa. Namun,
kerajaan itu telah lama mati, begitu juga para keturunannya. Tidak ada lagi
yang tersisa selain reruntuhan dan puing-puing kerajaan, serta sebagian
kecil rakyat mereka yang kini hidup terlunta-lunta mengharapkan belas
kasihan dari lima kerajaan. Sebagian dari mereka memilih bergabung
dengan lima kerajaan, sisanya sekumpulan orang-orang yang masih percaya
kalau suatu hari, Dragør akan bangkit dan bergabung bersama Tybalt, salah
satu bangsawan dari Dragør yang memiliki hubungan dekat dengan anggota
kerajaan terdahulu.
 

"Pasukanmu menangkap beberapa anggotaku yang berada di pasar pagi


ini." Mata Raja Alastair semakin terlihat sinis, pertanda ia telah mengetahui
siapa yang Tybalt maksud.
 

"Hukuman pencuri adalah potong tangan. Aku tidak bisa memberi


kebebasan kepada mereka, terutama setelah tahu kalau mereka bukanlah
bagian dari Austmarr." Verity memekik pelan ketika Tybalt semakin
menekan belati ke lehernya.
 

"Mereka bahkan belum berumur tiga belas tahun!" Raung Tybalt marah,
mataanya menyorot nyalang. "Pasukanmu yang menyisir Hutan Pinus
selama beberapa hari terakhir, membuat kami kesulitan mendapatkan
makanan!"
 
Mata Verity membelalak semakin lebar. Tiga belas tahun. Bocah itu mencuri
makanan di pasar karena kelaparan, mengingatkan kepada dirinya yang dulu
diberi hukuman cambuk karena mencuri. Hukuman di Austmarr rupanya
lebih berat dari Selencia, ia merasa lebih beruntung karena kedua
tangannya masih utuh hingga detik ini.
 

"Bebaskan dia!"
 

"Apa maksudmu, Clementine!" Raja Alastair menatap tajam. Ia tidak setuju


Verity membebaskan tahanan rendahan yang mencuri makanan di pasar.
 

"Bebaskan dia." Verity mengulangi, suaranya kian lirih dan kepalanya terasa
semakin berat. "Apa kau ingin aku mati sekarang?"
 

Raja Alastair mendengkus kesal. Ia lebih senang bila wanita itu diam dan
tidak ikut campur. Bukan sekali ini Dragør membuat ulah, tetapi yang paling
mencengangkan adalah keberanian Tybalt masuk istana, bahkan
menyandera istrinya. "Aku akan membebaskan bocah itu," ucapnya dengan
nada tak suka.
 

"Bawa dia kemari!" Kedua tangan Raja Alastair mengepal erat, rahangnya
mengeras menahan amarah. Bernegosiasi dengan musuh tidak harus ia
lakukan sebelumnya. Seandainya saja istrinya tidak berada dalam
cengkeraman Tybalt, maka ia akan langsung membunuh pria itu.
 

"Bawa bocah itu kemari!" Raja Alastair mengangkat tangan kanan,


memerintahkan seorang tentara berjubah merah agar segera membawa
bocah yang baru saja ditangkap ke taman.
 

Tidak lama kemudian, tentara itu kembali dengan tiga orang anak kecil. Yang
tertua, Verity bisa menebak baru berusia tiga belas tahun. Sementara dua
lainnya: seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dan mata coklat
terang, mungkin masih berusia sebelas tahun, dan bocah laki-laki yang
paling kecil, mungkin berusia sembilan tahun. Ketiganya terlihat kurus
dengan mata yang terlihat terlalu besar dibanding wajah cekungnya,
pakaian mereka kotor, lutut juga siku membiru dan lecet.
 

"Peter!" Verity bisa mendengar napas lega Tybalt. Bocah laki-laki ingin
segera kembali ke pelukan Barney dan Tybalt, tetapi ditahan tentara-tentara
Austmarr.
 

"Berikan Clementine kepadaku, maka akan kubebaskan tiga tahanan ini."


Ucapan dingin Raja Alastair membuat Verity tak senang. Mereka bahkan
terlalu kecil untuk menerima siksaan penjara. Apa yang membuat hati Raja
Alastair sedingin itu hingga tega membiarkan mereka mendekam di penjara
dan menerima hukuman kejam?
 

"Tidak! Berikan ketiganya lebih dahulu. Aku tidak bisa memastikan kalau kau
tidak akan melepaskan panah-panah itu bila aku melepaskan ratumu lebih
dulu." Nada penuh penegasan Tybalt juga tak adanya tanda-tanda pria itu
akan segera melepaskan Verity, membuat Raja Alastair kembali memberi
aba-aba kepada tentaranya agar melepaskan ketiga bocah. Mereka segera
berlari ke pelukan Barney dan sembunyi di balik punggungnya.
 

"Aku tidak ingin kau berada di Hutan Pinus! Daerah itu terlarang untukmu
mulai detik ini. Aku memberimu waktu lima menit sebelum pasukanku
mengejar setelah kau keluar dari istana ini." Raja Alastair memberikan
penawaran terakhir. Setelah ini, ia tidak ingin ada satu pun rakyat Dragør
yang tersisa di Austmarr. Sebagian Hutan Pinus memang merupakan daerah
kekuasaannya.
 

"Baiklah." Tybalt mengangguk kepada Barney dan melonggarkan tekanan


belatinya di leher Verity.
 

Barney yang terlihat tanggap segera menggendong bocah terkecil dan


memerintahkan dua lainnya untuk mengikutinya memanjat tembok
pembatas istana.
 

"Kau tahu, kan kalau lima menit yang kumaksud adalah saat mereka mulai
melewati tembok itu?" Raja Alastair mengatakannya dengan nada ejekan.
Setiap pasukan pemanah sudah bersiap menyerang bila ia memerintahkan.
 

"Aku mengerti!" Tybalt tidak akan pergi sebelum memastikan keempatnya


cukup jauh dari kejaran tentara-tentara Austmarr. Raja Alastair bisa saja
menyerang tepat saat ia membalikkan tubuh.
 

"Waktumu sebentar lagi habis." Raja Alastair memberikan penanda dengan


gerakan tangan kanan. Para tentara telah bersiap untuk menembakkan
panah mereka.
 

"Sampai jumpa lagi, Yang Mulia." Tybalt berbisik kepada Verity untuk yang
terakhir kali sebelum melepas tawanannya begitu saja, membuat Verity
terjatuh di rumput yang lembap. Tangan kanannya menahan leher yang
terluka, matanya membelalak kaget melihat Tybalt segera berlari melewati
tembok pembatas hanya beberapa detik sebelum panah-panah pasukan
Raja Alastair dilepaskan.
 

"Clementine!" Verity mendongak dan melihat Raja Alastair mengulurkan


tangan. Alih-alih menerima, ia malah menepis dan berusaha berdiri sendiri.
Baru sebentar Verity berdiri, rasa pusing kembali menyerang, membuat
tubuhnya lunglai.
 

"Kau benar-benar keras kepala." Verity mendengar ucapan terakhir Raja


Alastair sebelum kegelapan lagi-lagi menyelimutinya.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 
Barney melihat wajah pucat Tybalt. Sebuah anak panah berhasil melukai
lengannya.
 

"Apa kau baik-baik saja?" Barney menatap khawatir. Matanya awas


menatap segala sisi Hutan Pinus, siap siaga terhadap segala serangan.
 

Tybalt hanya mengangguk sekilas. Giginya menyobek sedikit pakaian yang


dikenakan. "Bawa Peter, Abby, dan Samuel kembali ke kemah! Kita harus
segera memberitahu yang lain."
 

"Mereka sudah berada di garis perbatasan Austmarr dan Dragør." Barney


telah memastikan semua anggotanya sudah bersiap dan berangkat ke
perbatasan sebelum ia pergi ke istana. Bila ia dan Tybalt mati, maka ia
hanya bisa berharap kalau mereka bisa mandiri tanpa memerlukannya.
 

Tybalt melilit luka di tangannya dengan sobekan kain, lalu menatap ketiga
bocah yang juga tak kalah pucat dengannya. "Peter, apa kau baik-baik saja?"
 

Peter, bocah tertua mengangguk lemah. "Aku minta maaf, Ty. Samuel
menginginkan sebuah manisan, dan kau tahu kami sangat kelaparan."
 

Tybalt mengangguk sedih, ia nyaris lupa kalau kondisi tubuhnya berbeda


dengan ketiga anak-anak ini. Sebagai lelaki dewasa, ia lebih mampu
memakan apa saja dalam kondisi apa pun, atau tidak makan selama
berhari-hari.
 

"Kita harus segera berangkat." Tybalt kembali bersiap. Barney mengendong


Samuel yang terisak pelan karena tak sabar ke pelukan ibunya. Abigail dan
Peter mengikuti langkah keduanya yang bergerak cepat menjauhi Hutan
Pinus.
 
"Menurutmu kenapa Ratu Clementine menyuruh Raja Alastair segera
membebaskan mereka?" Barney bertanya dengan nada penasaran.
Tindakan Ratu Clementine memang tak terduga, mereka mengira sang ratu
akan diam dan membiarkan Raja Alastair mengurus sendiri. "Tentu saja agar
ia tidak mati," jawab Tybalt singkat. Saat ini hanya itu alasan yang terlintas.
 

"Dia juga terlihat cukup peduli dengan tentara yang kubuat pingsan itu,"
imbuh Barney, "kau tidak menekan belatinya cukup dalam dan Raja Alastair
sepertinya menyadari itu. Dia bisa saja membunuhmu bila Ratu Clementine
tidak mengatakan apa pun."
 

"Diamlah, Barney!" Tybalt tak suka ketika Barney mulai mengusik isi
pikirannya. Ratu Clementine mungkin naif dan sangat berbeda dari ibunya
yang licik. Ia tidak menyangka kalau Ratu Clementine akan peduli kepada
tentara rendahan, juga para bandit sepertinya. "Dia putri Ratu Amaranta,
juga istri Raja Alastair. Kita tidak boleh lupa kalau mereka penyumbang
terbesar kehancuran Dragør."
 

"Kau benar," sahut Barney. Seandainya saja wanita itu bukan putri Ratu
Amaranta atau istri Raja Alastair, mereka mungkin masih bisa menyisakan
sedikit rasa simpati kepadanya.
 

Mereka melangkah dalam diam, bahkan lebih senyap dari suara-suara


hewan malam. Dari kejauhan, Barney melihat sebuah api unggun buatan
para lelaki Dragør kini tengah yang berkumpul dengan wajah khawatir dan
lelah.
 

"Barney! Tybalt!" Suara mereka dipenuhi rasa kelegaan yang kental, "aku
mendengar suara-suara tentara Austmarr saat berusaha masuk kembali ke
Hutan Pinus. Kukira kalian telah mati."
 

"Peter! Abigail! Samuel!" Seorang wanita paruh baya menangis


sesenggukkan ketika ketiga anaknya kembali.
 

"Mama!" Barney menurunkan Samuel dan melihat bocah itu berlari ke


pelukan ibunya.
 

"Kami mendapatkan ini saat berada di hutan," kata salah


 

seroang.
 

Seekor rusa berukuran cukup besar bisa menjadi makan malam mereka.
Barney memeluk mereka satu per satu, wajahnya terlihat lega juga bahagia
karena bisa berkumpul kembali di tanah yang mereka pernah menyebutnya
rumah.
 

"Tybalt, kau tidak ingin makan malam dulu?" Barney bertanya kepada Tybalt
yang terus melangkah menuju tepi sungai.
 

"Tidak, aku akan membersihkan lukaku lebih dulu."


 

"Hati-hatilah." Tybalt melambaikan tangan dan berjalan mendekati sungai,


lalu duduk di batu. Dari saku bajunya, ia mengeluarkan kalung dari emas
putih dengan liontin mutiara juga permata yang tadi dikenakan sang ratu. Ia
melepaskan kalung itu sesaat sebelum pergi. Bila saja ia tidak melepaskan
kalung lebih dulu, mungkin memiliki lebih banyak waktu untuk berlari dan
tidak akan terluka seperti ini. Namun, bila ia menjual kalung, mungkin
kelompoknya tidak perlu mencuri dan tidak akan kelaparan dalam jangka
waktu yang cukup lama.
 

Tybalt menimbang sesaat ketika melihat cahaya bulan menerangi kalung


mutiara Ratu Clementine. Ia memutuskan untuk menyimpannya.
 

Sampai jumpa kembali? Ia menggeleng sesaat dan tersenyum miris. Bila


saat itu tiba, mungkin Raja Alastair akan benar-benar membunuhnya.
 

 
 

XII
THE HEART
 

RAJA ALASTAIR MEMBAWA tubuh Verity menuju kamarnya, di mana para


tabib termasuk Pangeran Alexander telah menunggu. Para pengawal
membukakan pintu lebar-lebar, membuatnya lebih leluasa masuk dan
segera membaringkan tubuh Verity di kasur. Para tabib pun segera bekerja.
 

"Lukanya tidak terlalu dalam. Dia akan baik-baik saja, Yang Mulia." Tabib tua
yang pernah memeriksa Verity sebelumnya berucap yakin.
 

"Kau belum berangkat?" Raja Alastair mengalihkan tatapannya kepada


Pangeran Alexander yang berdiri di dekat Verity.
 

"Ratu Amaranta menyerahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan


Putri Clementine kepadaku. Jadi "
 

"Ratu Clementine." Raja Alastair memotong ucapan Pangeran Alexander tak


senang. "Jangan lupa kalau dia sudah menikah denganku sekarang."
 

Pangeran Alexander menatap Raja Alastair tajam dan mengabaikan


perkataan pria itu. "Apa yang terjadi pada Clement hari ini, membuktikan
kalau tidak seharusnya dia berada di sini, Yang Mulia," katanya.
 

"Aku bisa menjamin kalau itu tidak akan terjadi lagi," tukas Raja Alastair.
Kekuasaan dan keamanan kerajaan dipertaruhkan karena seorang bandit
yang berhasil masuk istana, bahkan melukai istrinya.
 

"Kau harus bersiap berperang. Tidak hanya dengan Selencia, tetapi juga
Thaurin bila hal sama terjadi untuk yang ketiga kalinya."
 

"Brengsek!" Raja Alastair berusaha menahan amarah sejak Tybalt berhasil


menjadikan istrinya sandera, dan kini amarah yang sudah tertahan di ubun-
ubun, semakin dipancing Pangeran Alexander. Bila saja mereka tidak berada
di tengah kerumunan, Raja Alastair yakin, ia akan langsung meninju wajah
pria itu.
 

"Yang Mulia." Richard Blaxton yang merasakan ketegangan memenuhi


ruangan, memperingati keduanya dengan nada tenang. "Kuharap Yang
Mulia memberikan waktu kepada Ratu Clementine untuk beristirahat.
Kejadian beberapa hari terakhir membuatnya lebih tertekan."
 

"Bagaimana keadaan Clement yang sebenarnya?" Raja Alastair menatap


tajam. Beberapa saat lalu tabib itu mengatakan kalau istrinya akan baik-baik
saja.
 

Sang tabib mengusap keringat dingin yang membasahi dahi dengan sapu
tangan, tangannya gemetaran karena gugup ditatap oleh orang terpenting
dari dua kerajaan. "Yang Mulia Ratu Clementine akan baik-baik saja. Kurasa
dia mengalami tekanan batin yang cukup hebat hingga bisa pingsan seperti
ini, Yang Mulia. Dia hanya perlu beristirahat lebih lama dan memakan
makanan yang lebih bernutrisi untuk mengembalikan stamina tubuh."
 

"Beri dia sup kaldu saat ia bangun nanti. Sejak pagi, ia tidak memakan apa
pun." Raja Alastair mengepalkan tangan mendengar perintah yang
dikeluarkan Pangeran Alexander kepada sang tabib.
 

"Kau tidak perlu khawatir dengan keadaan Clementine." Raja Alastair tidak
sabar ingin segera mengusir pria itu dari Austmarr.
 
"Ratu Amaranta-"
 

"Beritahu kepada Ratu Amaranta, saat dia memberikan Clementine


kepadaku, maka dia tidak punya hak apa-apa lagi kepada Clementine!"
potong Raja Alastair.
 

"Brengsek!" desis Pangeran Alexander.


 

"Katakan itu sekali lagi, maka aku akan membunuhmu saat ini juga! Kau
bukan apa-apa, Alexander. Kau masih berada di bawah kuasa ayahmu!" Raja
Alastair memberikan senyuman sinis. "Tidak seharusnya kau menghinaku di
kerajaanku sendiri, Alexander!"
 

"Ratu Amaranta tidak akan tinggal diam! Clementine nyaris mati dua kali
selama berada di kerajaanmu. Angka yang cukup signifikan bila dibanding
saat ia berlindung di Thaurin," sinis Pangeran Alexander.
 

"Berlindung di Thaurin?" Raja Alastair menyipitkan mata mendengar


informasi baru tentang wanita misterius yang ia nikahi.
 

"Kau tidak tahu bukan? Apa kau benar-benar mengenal istrimu sendiri,
hm?" cibir Pangeran Alexander.
 

Raja Alastair memikirkan perkataan Pangeran Alexander sejenak. Bila


wanita itu benar-benar Clementine yang asli, kenapa pria itu berusaha
membunuhnya? Pangeran Alexander terlihat cukup dekat dengan
Clementine. Tidak ada orang lain yang bisa menjadi saksi siapa wanita ini
sebenarnya karena Ratu Amaranta Clementine. benar-benar
menyembunyikan keberadaan
 

"Aku tidak peduli masa lalumu dengannya, Alexander! Aku punya seumur
hidup untuk mengenal Clement." Raja Alastair berjanji di dalam hati,
setelah istrinya bangun nanti, ia akan bertanya dan mencari tahu siapa
wanita itu sebenarnya.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Tetaplah jalan ke depan. Ibu akan menemuimu di sana." "Ibu?" Wanita


yang menyebut dirinya ibu itu berjongkok di hadapan Verity, menyejajarkan
wajah, lalu memegang pipi Verity. "Jalan ke depan. Jangan berbalik ke
belakang!"
 

"Bagaimana dengan Ibu?"


 

"Ibu akan menyusulmu. Ingat, jangan berbalik ke belakang!" Wanita itu


membungkus Verity dengan mantel yang ia kenakan, menyembunyikan
nyaris seluruh tubuh gadis kecil itu. "Ibu mencintaimu."
 

Verity berlari meninggalkan wanita itu. Matanya lurus menatap ke depan,


mengikuti saran wanita yang ia panggil ibu tadi. Mata violetnya dibasahi air
mata, rambut hitamnya tertutupi mantel tebal. Di hadapannya bukanlah
istana besar atau ruangan megah, hanya sebuah rumah sederhana di
pinggir hutan. Ia tidak tahu kenapa perampok-perampok itu datang dan
memisahkannya dari sang ibu..
 

"Ibu! Ibu!" Verity berlari entah berapa lama hingga kaki-kakinya menyerah
dan napasnya terasa berat.
 

"Ibu..." Ia menangis sesenggukan ketika terjerembab akibat tersandung


akar pohon yang mencuat dari tanah.
 

"Apa kau baik-baik saja?" Verity menatap seorang anak laki-laki di


hadapannya. "Namaku...." "
 
亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity terbangun dengan rasa pusing yang hebat. Ia menyentuh bagian


leher yang dibebat kain untuk menutupi sayatan luka dari belati Tybalt. Rasa
nyeri masih terasa, tetapi tidak terlalu. la mengerjapkan mata beberapa kali,
lalu merasakan sentuhan tangan di dahinya.
 

"Kau sudah bangun?" Pertanyaan sama seperti yang dilontarkan Raja


Alastair di dekat danau.
 

"Yang Mulia?" Verity terbelalak melihat Raja Alastair yang kini menatap
tajam. Kedua tangan pria itu menahan kepalanya agar tak menghindari
tatapan.
 

"Apa yang kau pikirkan ketika keluar dari ballroom, hah!" Wajah Verity
semakin memucat mendengar bentakan kasar Raja Alastair yang berada
tepat di hadapannya. "Apa kau benar-benar berusaha membuat dirimu
terbunuh? Aku tidak akan membiarkannya, Clement. Kau tidak akan mati
sebelum aku mendapatkan jawabanku!"
 

Verity menatap kesal. Raja Alastair bukan seorang raja seperti di dongeng-
dongeng yang pernah ia baca. Pria itu tidak ramah, cenderung dingin, dan
lebih sering mengabaikannya. Pria itu hanya datang ketika masalah
menghampiri yang selama ini selalu berhubungan dengan nyawa seseorang.
 

"Kelemahan pada kerajaanmu bukanlah kesalahanku, Yang Mulia. Aku


mengira semua daerah cukup aman untuk aku lewati karena ini adalah
kerajaanmu. Austmarr merupakan kerajaan terbesar juga pemimpin lima
kerajaan lainnya. Tidak terbayangkan di benakku kalau akan ada penyusup
masuk," katanya.
 

Andai saja Raja Alastair bisa melakukan sesuatu kepada mulut lancang
istrinya, tetapi melihat rona pucat Verity juga perkataannya, membuat rasa
marah terhadap diri sendiri menumpuk semakin tinggi. "Kenapa kau
meminta para bandit itu dilepaskan?"
 

"Mereka masih anak-anak!" Entah kekuatan dari mana hingga dengan


tangannya yang lemah, Verity mampu mendorong tubuh Raja Alastair.
 

"Kenapa kau peduli? Apa yang kau ketahui dari anak-anak seperti mereka?
Kau tidak pernah merasakan lapar hingga harus mencuri atau mengais
makanan di pasar. Ibumu selalu memberikan yang terbaik kepadamu. Kau
hanya seorang tuan putri yang terkurung di dalam sangkar emasnya
sendiri." Ucapan Raja Alastair benar-benar menohok ulu hati, membuat
mata Verity berkaca-kaca ketika ia berusaha bangkit dan menjauh.
 

"Mau ke mana kau?"


 

"Menjauh. Tidak seharusnya aku menikah dengan monster sepertimu.


Seharusnya aku berhasil membunuhmu malam itu juga." Verity keluar dari
kamar, membiarkan Raja Alastair terpaku di tengah ruangan setelah
mendengar pengakuan yang seharusnya tidak begitu mengejutkan. Ia
memang benar-benar berniat membunuh sang raja pada malam
pernikahan. Bila dulu alasannya hanyalah demi mendapat kebebasan, kini
tumbuh alasan lain. Raja Alastair tidak memiliki hati, pria itu tidak pantas
menjadi raja.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Bersembunyi di salah satu ruangan di Austmarr bukanlah pilihan baik,


apalagi semenjak percobaan pembunuhannya, membuat Verity harus
diikuti dua pengawal yang terus menjaga jarak, bahkan bersembunyi di balik
bayangan ketika merasakan Verity membutuhkan waktu sendiri.
 

"Yang Mulia! Apa yang Anda lakukan di sini? Anda tidak beristirahat?"
Kehadiran Richard Blaxton membuat Verity menarik napas lega. Pria itu
mengulurkan tangan, Verity serta merta menaruh tangan di lekukan
sikunya. Keduanya pun berjalan beriringan.
 

"Aku membutuhkan waktu sendiri." Tak terasa dua jam berlalu sejak Verity
keluar dari kamar Raja Alastair dan menangis sesenggukan di anak tangga.
 

"Kemarin terasa sangat berat bukan?" Richard Blaxton memiliki sifat


kebapakan yang membuat Verity dengan mudah menceritakan apa pun.
 

"Aku tidak tahu apa tujuanku berada di sini. Semua orang berusaha
membunuhku." Richard Blaxton tersenyum kecil. Tanpa sepengetahuan
Verity, ia juga tahu kalau wanita itu berusaha membunuh Raja Alastair.
"Jenny tidak seharusnya mati. .. "
 

"Tuhan telah menentukan garis mereka masing-masing Yang Mulia. Bila saja
raja dan ratu Austmarr terdahulu masih hidup, mungkin Raja Alastair belum
menjadi raja." Richard Blaxton berhenti di hadapan pintu besar tingginya
yang mungkin mencapai langit-langit. Kedua pengawal segera membukakan
pintu, membuat Verity takjub dengan pemandangan di hadapannya. Sebuah
perpustakaan tiga lantai terbesar yang pernah ia lihat.
 

"Semua jawabannya ada di sini."


 

"Apa maksudmu?"
 

"Anda adalah ratu Austmarr yang baru. Kuharap Anda memahami semua
yang terjadi di kerajaan ini." Perkataan Richard Blaxton terdengar masuk
akal di telinga Verity. Ia bisa mulai mencari sejarah lima kerajaan sebelum
perang besar yang menghancurkan Dragør. Pelajaran dari Matthias selalu
terdengar membosankan, tetapi perkataan Richard Blaxton membuat
semangat di matanya menyala kembali.
 
"Terima kasih, Richard. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku
lakukan tanpamu." Verity tersenyum kaku.
 

"Sama-sama, Yang Mulia." Richard Blaxton melepaskan pegangan tangan


Verity, lalu berjalan meninggalkan perpustakaan.
 

"Richard...."
 

"Ya, Yang Mulia?" Richard Blaxton membalik badannya, lalu menatap Verity
kembali.
 

"Apa kau tahu alasan Raja Alastair tega memberi hukuman berat kepada
anak-anak itu?" Verity yakin Raja Alastair masih memiliki setidaknya sedikit
rasa simpati untuk anak-anak. Namun, melihat sikapnya pagi tadi, apakah
Raja Alastair benar benar memiliki hati?
 

Richard Blaxton terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Karena Raja


Alastair tidak memiliki hati."
 

"Apa maksudmu?" Verity mengerutkan kening.


 

"Sebagai seorang raja, Raja Alastair harus bersikap adil kepada semuanya. Ia
tidak bisa bersikap simpati kepada seseorang hanya karena Anda
memintanya, Yang Mulia."
 

Perkataan Richard Blaxton masih terdengar aneh di telinga Verity. Bila


seandainya semalam ia tidak berada di cengkeraman Tybalt, ia yakin Raja
Alastair akan tetap membunuh pria itu beserta tahanan anak-anak. Tatapan
marah Raja Alastair pagi ini bukan didasari rasa khawatir, tetapi marah
karena mangsanya lepas.
 
"Beritahu kepadaku yang sebenarnya, Richard! Ada apa dengan Raja
Alastair? Raja Zacharias Colthas yang terkenal licik lebih memiliki hati
daripada Raja Alastair. Dia terlalu dingin. Apakah kau tidak menyadari
sikapnya yang selama ini mengabaikanku?"
 

"Hubungan kalian berdua tidak bisa dikatakan mudah, Yang Mulia. Raja
Alastair dan Anda memiliki hubungan platonik yang memiliki tujuan untuk
menyatukan dua kerajaan, Selencia dan Austmarr." Richard Blaxton
terdengar gugup, tidak lagi setenang sebelumnya. Verity yakin kalau pria ini
tahu sesuatu yang disembunyikan Raja Alastair.
 

"Sudah berapa lama kau mengenal Raja Alastair, Richard?"


 

"Sejak beliau menjadi raja. Saya diangkat oleh Yang Mulia Raja Alastair
karena hanya saya yang bisa dipercaya pada saat itu," jawab Richard
Blaxton.
 

Banyak orang-orang yang berusaha merebut kekuasaan Austmarr semenjak


Raja Alastair menjabat. Keberadaannya sebagai penasihat mungkin
membantu Raja Alastair dan menguatkan posisinya sebagai raja. Namun,
bukan berarti keberadaan sang raja di kursi singgasana seratus persen
mutlak karena pengaruhnya, malah sebaliknya. Richard Blaxton tidak
memiliki banyak pengaruh karena raja benar-benar memilah setiap saran
yang ia berikan. Bahkan sejak usia sepuluh tahun pun sang raja sudah
cenderung bersikap dingin dan antipati.
 

"Apakah dia benar-benar tidak memiliki hati, Richard?" ulang Verity.


 

Richard Blaxton menarik napas dalam-dalam, lalu menatap mata violet


Verity. Ia akan memberi jawaban kenapa sang raja tidak mati saat Verity
menusuk jantungnya. "Ya. Dia tidak memiliki hati."
 

"Apa?" Verity agak terbelalak.


 

"Secara harfiah, Raja Alastair tidak memiliki hati." Richard Blaxton


mengulang kalimat.
 

Raja Alastair tidak memiliki hati, itukah alasan kenapa pria itu tidak mati
saat jantungnya ditusuk?
 

XIII
THE PRINCESS
 

PANGERAN ALEXANDER MENATAP muram bulan yang tertutupi awan.


Penyerangan kepada Ratu Clementine membuat beberapa tentara Austmarr
lebih siaga. Raja Alastair memang tidak main-main ketika memutuskan
mengeluarkan tentara terbaik untuk mencari dua bandit yang berhasil
masuk istana dan menyandera sang ratu.
 

"Malam yang suram, eh?" Raja Zacharias yang sudah berada di atas kuda
hitamnya menatap rendah Pangeran Alexander. Bahkan hingga hari terakhir,
keduanya masih tidak ingin menurunkan sikap waspada terhadap pihak
masing-masing.
 

"Semoga perjalananmu menyenangkan, Zachary." Pangeran Alexander


mengelus surai kudanya dan lagi-lagi menatap la mendengar desau angin
yang menyapa dedaunan juga derap langkah para prajurit Austmarr.
"Apakah dia akan baik-baik saja?"
 

"Clementine? Kau tidak perlu khawatir. Wanita itu masih punya stok nyawa
yang mungkin masih bisa kau selamatkan lain kali," cibir Raja Zacharias.
 
Pangeran Alexander menaiki kudanya dengan sekali entakan, lantas
memegang erat tali kekang kuda. Ia tidak terima dengan perkataan sinis
Raja Zacharias yang cenderung mengejeknya.
 

"Bukan Clementine, tapi pemuda itu.Tybalt."


 

Mata hitam Raja Zacharias menatap Pangeran Alexander sekilas. "Kau


mengenalnya?"
 

"Siapa yang tidak?" gumam Pangeran Alexander pelan. Pertanyaan tersebut


lebih tertuju kepada dirinya. "Kau akan lewat mana untuk kembali ke
Colthas?"
 

"Hutan Pinus." Raja Zacharias melihat tentaranya yang hanya berjumlah


sepuluh orang, terhitung sangat sedikit untuk melindungi seorang raja.
 

"Kau tidak tahu kalau mereka sedang dikejar di Hutan Pinus?"


 

"Bukankah itu lebih baik? Tentara-tentaraku tak perlu bersusah payah


membunuh para bandit itu satu per satu." Raja Zacharias melihat kembali
para tentara yang sudah berkumpul di sekitarnya. Semuanya mengenakan
pakaian hitam dengan emblem abu-abu kecil milik tentara elite Colthas di
dada mereka. Tidak hanya pakaian, tetapi kuda-kuda juga berwarna senada.
Tentu saja keseragaman itu membuat mereka mudah bersembunyi di balik
kegelapan.
 

"Apa yang sedang kau rencanakan sebenarnya, Zachary?" selidik Pangeran


Alexander.
 

"Aku akan lewat utara. Menurutmu apa yang sedang aku rencanakan,
Alexander?" Raja Zacharias tersenyum miring, lalu menutupi wajahnya
dengan kain hitam.
 

Semua tentara mengikuti gerakan sang raja. Dengan hal itu, tidak ada yang
bisa membedakan mereka selain emblem abu abu di dada Raja Zacharias
yang lebih berkilauan.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Colthas berada di selatan Austmarr. Melewati jalur utara, berarti Raja


Zacharias tidak benar-benar menuju tempat itu. Ia tengah menuju Dragør,
kerajaan keenam yang kini telah hancur dan hanya tersisa puing-puing.
 

"Ssh!" Pria itu beberapa kali memelankan langkah kuda untuk menghindari
tentara-tentara Austmarr yang masih bersembunyi di Hutan Pinus.
 

Raja Zacharias berusaha mencari dua Dragørian yang kabur setelah berhasil
melukai Ratu Clementine. Ia yakin mereka menuju Dragør sekarang.
 

"Yang Mulia!" Salah satu tentara Colthas menunjuk anak sungai, ia


menemukan jejak-jejak kemah yang terlihat telah cukup lama ditinggalkan.
"Kelihatannya ada beberapa orang yang sempat tinggal di sini. Keadaan
kemah yang rusak mungkin karena tentara Austmarr telah melewati dan
memeriksa tempat ini."
 

"Dragør berusaha membentuk kembali kerajaan mereka rupanya." Raja


Zacharias bergumam. Kecurigaannya semakin bertambah ketika melihat
jejak air yang seperti baru saja dilewati seseorang. "Mereka tidak jauh dari
sini."
 

"Tentara Austmarr mengawasi langkah mereka, Yang Mulia. Mereka berada


di Dragør saat ini, namun masih di bawah pengawasan Raja Alastair.
Kuharap Anda berhati-hati," usul si tentara.
 
"Alastair mungkin akan curiga, namun pria itu tidak akan membunuhku
begitu saja." Raja Zacharias mengarahkan kudanya mengikuti jejak air yang
menuju Dragør. "Dragørian akan selalu kembali ke Dragør, tidak peduli
berapa lama mereka meninggalkan tempat terkutuk itu."
 

Dugaan Raja Zacharias terbukti ketika terlihat sekelompok orang tengah


berkumpul di dekat api unggun yang menyala kecil. Mereka tinggal di antara
puing-puing bangunan Dragør, tetapi masih jauh dari pusat kota tempat
kehancuran.
 

"Ya Tuhan!" Seorang wanita yang menyadari kedatangan mereka, langsung


memeluk ketiga anaknya.
 

"Tybalt!" Para pria Dragør segera berdiri dan mengeluarkan senjata yang
tidak lebih dari belati atau senjata tua usang.
 

Mereka bisa saja langsung mati bila Raja Zacharias memerintahkan tentara-
tentaranya.
 

Tentara-tentara Colthas segera turun dari kuda dan mengeluarkan pedang


masing-masing ketika melihat ancaman yang datang kepada raja mereka.
 

"Tunggu!" Raja Zacharias mengangkat tangan, membuat tentara-tentara


Colthas mundur dan kembali menyarungkan pedang mereka. "Aku hanya
ingin bertemu Tybalt."
 

"Kau ingin bertemu denganku?" Tybalt angkat suara.


 

"Tybalt." Raja Zacharias turun dari kudanya dan menyapa Tybalt sembari
membuka kain hitam yang munutup wajah.
 
"Apa yang ingin dilakukan seorang raja Colthas di tanah Dragor? Kau tidak
diterima di sini!" Tybalt membalik badan dan berjalan menuju warga Dragør
yang bersikap waspada.
 

"Tybalt Wildemarr." Tybalt menghentikan langkah, lalu melihat Raja


Zacharias. "Aku tidak salah bukan? Kau anak Jenderal Wildemarr."
 

"Apa yang kau inginkan di sini, Raja Zacharias?" Tybalt menatap curiga. "Kau
tidak mungkin mengkhianati Austmarr dengan datang kemari bukan?"
 

"Aku datang kemari karena Dragør memiliki sesuatu yang kubutuhkan." Raja
Zacharias mendekati Tybalt dan mengulurkan sesuatu ke tangan pria itu.
"Aku bisa membantumu membangun kembali Dragør."
 

"Apa yang kau butuhkan, Zachary?" Tybalt menatap benda di tangan dan
mencengkeramnya erat. Ia akan segera menuntaskan misinya untuk
membunuh Ratu Amaranta dan Raja Alastair, lalu membangun kembali
Dragør.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Apa maksudmu dia tidak punya hati, Richard?" Verity mengepalkan


tangannya erat-erat. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa hidup tanpa
hati?
 

"Hanya Raja Alastair yang benar-benar tahu, Yang Mulia." Kata-kata ambigu
Richard Blaxton membuat Verity kesal karena penasaran juga takut. Siapa
sebenarnya pria yang ia nikahi ini? "Richard, apa maksudmu membawaku ke
perpustakaan ini?"
 

"Semua jawaban ada di perpustakaan ini, Yang Mulia. Kecuali tentu saja
mengenai keberadaan hati Yang Mulia Raja Alastair. Hanya beliau yang bisa
memberikan penjelasan sebenarnya kepada Anda. Saya yakin Raja Alastair
akan segera memberitahu bila beliau sudah cukup memercayai Anda."
Richard Blaxton membungkukkan badan, memberikan sebuah
penghormatan sebelum undur diri, meninggalkan Verity di perpustakaan
bersembunyi. bersama pengawalnya yang sejak tadi.
 

Verity tahu ia tidak akan pernah mendapatkan jawaban tentang keberadaan


hati Raja Alastair. Pria itu tidak akan pernah memercayainya setelah usaha
pembunuhan yang ia lakukan. Ia berusaha membuka mata lebar-lebar dan
mengubah sudut pandangnya agar tidak berhenti pada satu fakta.
 

Verity berjalan menyusuri sudut demi sudut perpustakaan, melewati


beberapa buku sejarah yang pernah ia baca di Selencia. la menghela napas,
kemudian memeriksa buku-buku kerajaan yang mulanya terlihat
membosankan dan tidak menarik, hingga ia berhenti di buku sejarah
Kerajaan Selencia. Verity membuka buku, memeriksa beberapa halaman
terakhir, ia terpaku ketika menemukan nama Ratu Amaranta di sebelah
nama Raja Matthew. Sebuah garis menghubungkan, memperlihatkan
hubungan suami istri di antara keduanya. Verity lalu membalik halaman
sesudahnya. Ia menemukan nama Putri Clementine.
 

"Putri Clementine ...." Verity berbisik lirih dan menatap nama Putri
Clementine yang terletak setelah nama kedua orang tuanya.
 

"Putri Clementine benar-benar nyata." Ia bergumam sembari membolak-


balik halaman buku. Sayang tidak menemukan info lagi selain tanggal lahir
dan sejarah singkat kelahiran sang Tuan Putri yang bertepatan di saat
ketegangan perang keenam kerajaan memuncak dan Dragør di ujung
kehancuran.
 

Putri Clementine lebih tua setahun dari Verity. Wanita itu Ilahir saat
ayahnya, Raja Matthew dibunuh oleh salah satu tentara Dragør. Berita
kematian sang raja membuat Ratu Amaranta mengalami pendarahan hebat
dan nyaris membunuh janin yang tengah dikandung.
 

Verity membelalakkan mata membaca sederet kalimat di buku itu. Ia tidak


akan bisa menemukan info seperti ini di Selencia yang perpustakaannya
cenderung tertutup mengenai anggota kerajaan mereka. Verity tidak
menyangka Ratu Amaranta nyaris kehilangan anaknya, juga bisa mencintai
seseorang seperti Raja Matthew. Verity kembali membolak-balik halaman,
tetapi nihil. Tidak ada info lain tentang Putri Clementine atau Ratu
Amaranta. Perang besar antara enam kerajaan juga tidak dibahas lebih
lanjut.
 

Verity menarik napas bosan dan membalik setiap halaman di buku hingga
terhenti di sebuah gambar keluarga Kerajaan Selencia yang terselip. Ia
menemukan wajah muda Ratu Amaranta yang menatap sang pelukis
dengan keanggunan tak terkira. Selain Ratu Amaranta, masih ada beberapa
orang lagi yang diduga keluarga besar Kerajaan Selencia. Lukisan itu hitam
putih. Setiap orang di gambar memiliki karakteristik serupa, rambut pirang
dan mata terang.
 

Verity memperhatikan sesosok bersembunyi, wajahnya begitu mirip Ratu


Amaranta. "Kembar?" perempuan yang Ia bergumam lirih, lalu kembali ke
halaman silsilah keluarga. Sayang tidak menemukan informasi apa pun
tentang wanita misterius itu.
 

Ratu Amaranta merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya,


Pangeran Jordan, mati misterius beberapa tahun lalu. Tidak disebutkan
kalau ia memiliki saudara lain. Lalu, apa maksud gambar ini? Verity
membalik gambar dan melihat sebuah tulisan rapi dengan tinta hitam.
 

MARIELLA DRAGØR
 

"Apa yang kau lakukan di sini?" Jantung Verity nyaris copot saat sebuah
tangan besar merebut buku dari tangannya.
 
"Yang Mulia?" Verity menelan ludah ketika melihat Raja Alastair yang
menatapnya marah.
 

"Apa yang kau lakukan di sini, Clementine?" ulang Raja Alastair penuh
penekanan.
 

"Membaca." Verity menjawab singkat, tatapannya tertuju pada buku di


genggaman Raja Alastair.
 

"Tidak seharusnya kau masuk daerah ini!" Raja Alastair meletakkan buku
sejarah Kerajaan Selencia di rak, kemudian menarik tangan Verity untuk
menjauh.
 

"Apa maksud Anda, Yang Mulia? Tentu saja aku tidak dilarang membaca di
perpustakaan bukan?" Verity tidak mengerti kenapa Raja Alastair berusaha
menyembunyikan sejarah Kerajaan Selencia dari dirinya yang kini tengah
berpura pura menjadi Putri Clementine.
 

"Tempat itu terlarang untukmu." Raja Alastair tidak menjelaskan apa pun,
membuat Verity kesal dan menarik tangannya dari cengkeraman sang raja.
 

"Aku membaca buku sejarah kerajaanku sendiri, Yang Mulia. Richard


mengantarku ke sini setelah melihatku tidak melakukan apa pun di
Austmarr." Verity harus kembali ke deretan rak buku itu dan mencari tahu
siapa Mariella. Rasa penasarannya semakin membuncah semenjak
menemukan sederet fakta baru tentang Kerajaan Selencia.
 

"Apa kau benar-benar ingin tahu kenapa kau tidak boleh masuk ke sana,
Clementine? Tempat itu terlarang untukmu karena kau bukan anggota
kerajaan yang sebenarnya. Hanya raja dan ratu Austmarr yang bisa masuk
tempat itu. Kau bukan Putri Clementine, kau hanya penipu yang berusaha
membunuhku! Verity tidak menyangka Raja Alastair akan mengucapkan
kalimat sepanjang itu di hadapannya. "Berhentilah bersikap seolah-olah kau
adalah ratu di Austmarr, Clement ... atau siapa pun namamu!"
 

"Apa yang dipahami raja sepertimu? Beberapa saat lalu kau menuduhku
sebagai putri manja yang selalu dilayani, lalu sekarang kau menuduhku
sebagai penipu dan pembunuh. Apa bedanya aku denganmu, Yang Mulia?
Oh, aku tahu. Mungkin karena aku punya hati dan kau tidak!" Verity
tersentak kaget ketika sang raja tiba-tiba mencekik leher dan
mendorongnya ke rak buku terdekat. "Y-yang Mu-lia...."
 

Raja Alastair tersenyum kecil dan semakin mengetatkan cekikannya. "Aku


memang tidak punya hati, Clement. Aku bisa saja mematahkan lehermu
dengan mudah sekarang, namun aku tidak akan melakukannya. Tidak
sebelum aku mendapatkan jawaban." Raja Alastair melepaskan cekikan,
membuat Verity jatuh terduduk dan terbatuk keras.
 

"Semua jawabannya ada di sini." Suara Verity terdengar serak akibat


tenggorakannya yang terasa sakit setiap kali mengeluarkan suara.
 

"Apa maksudmu?" Raja Alastair tidak mengerti.


 

"Richard Blaxton bilang semua jawabannya ada di sini. Sama seperti Anda,
Yang Mulia. Saya hanya tengah mencari jawaban." Verity memberanikan diri
menatap Raja Alastair.
 

"Bila kau mengira semua jawabannya berada di sini, maka kau salah.
Mungkin kau akan mendapatkan sesuatu yang baru namun itu tidak akan
membantumu melangkah ke mana pun!"
 

Verity memegang lehernya yang terasa sakit. Raja Alastair mungkin tidak
berniat membunuhnya sekarang, tetapi pria itu dapat membuatnya berada
di ambang kematian.
 
亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity menimbang-nimbang sisik naga yang diberikan Raja Arthur. Apa


maksud sang raja memberikan benda yang tidak berguna sama sekali. Ia
telah gagal membunuh Raja Alastair. Sebagai imbalan, ia nyaris mati di
tangan Ratu Amaranta. Namun, setelah semua terjadi, apa yang harus ia
lakukan sekarang? Ia benar-benar sendirian, tentara juga para pelayan dari
Selencia telah kembali. Begitu pula Pangeran Alexander dan tamu kerajaan
lain.
 

Setelah Raja Alastair mencekik hingga ia nyaris pingsan, Verity kembali ke


kamar dan menunggu. Ia menyentuh dada, merasakan degup jantung yang
berdetak pelan. Ia yakin pria itu masih memiliki jantung, kalau tidak,
bagaimana bisa hidup?
 

Verity tidak bisa lagi menunggu perintah Ratu Amaranta hingga hukuman
mati untuknya tiba. Setidaknya sekarang ia bisa memulai dari petunjuk yang
diberikan Richard Blaxton. Dimulai dari Mariella Dragør, kemudian hati Raja
Alastair.

XIV
THE SONG
 

"DAISY, DAISY, WHO shall it be? Who shall it be who will marry me? Rich
man, poor man, beggarman, thief. Doctor, lawyer, merchant, chief. Tinker,
tailor, soldier, sailor." Verity menyenandungkan lagu anak-anak ketika
melihat bunga daisy yang berada di taman istana. Ia kembali teringat lagu
itu dan menyanyikannya pelan sembari menyentuh kelopak putih bunga
daisy. "Daisy, daisy, who shall it be?"
 

"Apa yang kau lakukan?" Verity tersentak kaget dan nyaris terjatuh ke
semak bunga berduri bila bukan karena Raja Alastair yang mencengkeram
lengannya.
 

"Yang Mulia." Buru-buru Verity melepaskan tangan sang raja. Ia menunduk


dan refleks berjalan menjauh ketika teringat Raja Alastair yang telah
mencekiknya. Ia masih bisa mengingat jelas kejadian itu. Karenanya, ia
berusaha menjauh dan menghindari Raja Alastair sebisa mungkin.
 

"Aku nyaris tidak pernah melihatmu sebulan terakhir ini." Verity


menghindari tatapan Raja Alastair.
 

Diam-diam ia masih mencari tahu siapa sebenarnya suaminya, dan siapakah


Mariella Dragør. Kepergian Raja Alastair ke Selencia dan Thaurin sempat
membuatnya bimbang. la bisa saja ikut pria itu ke dua kerajaan, lalu
mencari tahu langsung kebenarannya melalui Ratu Amaranta. Namun, pergi
ke sana sama saja dengan mencari mati. Semenjak kematian Jenny, belum
ada lagi orang-orang kiriman Ratu Amaranta yang berusaha membunuhnya.
Ia tahu, kenyamanan yang dirasakan saat ini cepat atau lambat akan segera
menghilang ketika kebenaran terkuak.
 

"Anda pergi ke Selencia dan Thaurin, Yang Mulia." Verity bergumam. Ia


tidak bisa bertindak sembrono lagi. Bila Raja Alastair benar-benar tidak
memiliki hati, maka tidak ada yang tahu sejauh mana pria itu dapat
menyiksanya.
 

"Kau tidak ingin bertemu ibumu sendiri, Clement?" Wajah Verity memucat
mendengar pertanyaan yang dilontarkan Raja Alastair dengan nada santai.
"Aku menemukan beberapa hal menarik saat ke Selencia. Seperti belati ini
misalnya. Belati yang kau bawa, Clement. Juga kenapa Amaranta
menyuruhmu membunuhku."
 

Raja Alastair mengeluarkan belati bertatah permata yang pernah Verity


gunakan untuk membunuhnya. Hal yang sia-sia dan menimbulkan petaka
karena memutarbalikkan keadaan. sang raja berhasil
 

"Aku tidak tahu apa-apa, Yang Mulia." Bibir Verity bergetar, lidahnya
mungkin nyaris hitam karena terlalu sering berbohong. Namun, ia benar-
benar tidak tahu kenapa Ratu Amaranta ingin menyingkirkan Raja Alastair.
Bila wanita itu ingin mengambil alih kerajaan Austmarr sebagaimana yang
telah dilakukan kepada Dragør, maka tidak masuk akal. Ratu Amaranta
sendiri pernah berkata, bila Verity bisa menetap atau pergi dari istana
setelah berhasil membunuh sang raja.
 

"Mungkin kau boleh bersikap tidak tahu seperti ini, tapi aku akan
mengungkapkan kebenarannya, Clementine. Bersiaplah ketika hari itu tiba."
Raja Alastair membalikkan badan, meninggalkan Verity di taman.
 

Hari-hari tenangnya telah usai. Sekarang Verity harus menghadapi sang raja.
Entah apa yang Ratu Amaranta katakan hingga Raja Alastair bersikap lebih
defensif.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Yang Mulia!" Richard Blaxton menaruh lembaran-lembaran kertas berisi


laporan kerajaan yang ditinggalkan Raja Alastair ketika pergi ke Selencia dan
Thaurin. "Apakah Anda berhasil menemukan sesuatu di Selencia dan
Thaurin?"
 

"Amaranta tidak mengatakan apa pun kepadaku. Wanita licik itu mengirim
utusan untuk membunuhku, namun tidak berhasil sama sekali."
 
"Apa yang akan Anda lakukan sekarang, Yang Mulia?" Richard Blaxton
menunggu. Ia melihat sang raja duduk di singgasananya dan termenung
cukup lama.
 

"Apa menurutmu Clementine benar-benar putri Ratu Amaranta?"


 

"Dia tidak seperti warga Selencia lainnya, tapi matanya violet dan bukankah
sudah jelas kalau keturunan langsung kerajaan Selencia akan memiliki
warna mata violet, Yang Mulia?" Richard Blaxton berpendapat.
 

"Apakah ada percobaan pembunuhan lain kepada Clementine selama aku


pergi?" Raja Alastair kembali memikirkan kata-kata seseorang beberapa
tahun lalu.
 

"The Queen took your heart. She ripped it out. It's kind of her thing. She
never wanted you to be able to feel again."
 

Apakah yang dimaksud adalah Ratu Amaranta atau Mariella? Dragør telah
lama hancur, tetapi hatinya masih tidak tersembuhkan.
 

"Tidak ada, Yang Mulia." Keamanan Austmarr memang ditingkatkan


semenjak dua kejadian yang nyaris membunuh Ratu Clementine.
 

"Baiklah." Raja Alastair kembali memikirkan kata-kata misterius yang


pernah diucapkan seseorang kepadanya. "Bagaimana dengan Tybalt?"
 

"Dia dan kelompoknya berada di Dragør dan belum menginjakkan kakinya


ke tanah Austmarr lagi."
 

Raja Alastair mengangguk mendengarkan laporan Richard Blaxton. Selama


ia pergi, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, selain Ratu Clementine
tentu saja.
 

"Apakah ada hal lain yang perlu saya siapkan untuk menyambut
kedatangan Anda, Yang Mulia?" tanya Richard Blaxton.
 

"Tidak ada."
 

"Bagaimana dengan Yang Mulia Ratu Clementine? Anda tidak akan


mengajaknya makan malam bersama?" Richard Blaxton kembali bertanya.
 

Raja Alastair menghela napas, ia tidak pernah merasa perlu menemui


Clementine bila bukan karena keterlibatan wanita itu dalam usaha
pembunuhnya. Mereka memiliki kamar yang berbeda, tidur di kasur
berbeda, bahkan berbicara nyaris seperlunya bila ia tidak memiliki
keinginan untuk menangkap dan mengungkap siapa wanita itu sebenarnya.
 

"Kenapa kau memberitahu kepadanya kalau aku tidak memiliki hati,


Richard?" desis Raja Alastair.
 

Richard Blaxton menatap cukup lama, lalu memilah kata kata dengan hati-
hati. "Untuk menjadi seorang raja yang arif dan bijak, Anda membutuhkan
hati, Yang Mulia. Kerajaan Anda mungkin bisa makmur, tapi Anda akan
dikenal sebagai raja yang barbar dan tidak berprikemanusiaan."
 

"Apakah itu penting?" Raja Alastair mendengkus tak suka. "Di dunia ini
hanya ada bertahan atau melawan. Lihatlah apa yang terjadi kepada kedua
orang tuaku karena mereka memilih bertahan dibanding melawan."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity membiarkan seorang pelayan perempuan memakaian gaun


berwarna biru gelap dan mengikat korsetnya erat. Rambutnya lagi-lagi
dikepang, dihias pita biru tua yang senada dengan baju.
 
"Yang Mulia." Pelayan itu mencari-cari sesuatu di laci perhiasannya, tetapi
tidak menemukan apa pun.
 

"Apa yang kau cari?" Verity menundukkan kepala dan memperhatikan


pelayan yang kini tampak panik mencari-cari sesuatu di tumpukan
perhiasannya.
 

"Kalung mutiara yang pernah Anda kenakan saat pesta perpisahan dengan
anggota kerajaan lain, Yang Mulia." Verity mengernyitkan kening sesaat
sebelum teringat ketika ia dijadikan tawanan Tybalt.
 

"Mungkin hilang di taman saat dua bandit datang menawanku," jawab


Verity acuh. Ia tidak begitu menyukai perhiasan. Jadi bila tidak
mengenakan sesuatu di leher, ia tidak akan marah atau terganggu.
 

"Baiklah, Yang Mulia." Pelayan mengangguk dan merapikan rambut Verity


sekali lagi sebelum mengantarnya ke ruang makan. "Yang Mulia Raja
Alastair telah menunggu Anda, Yang Mulia."
 

"Menungguku?" Verity mengernyitkan kening. Makan bersama Raja


Alastair bukanlah sebuah kewajiban sebelumnya, mereka makan terpisah
di ruang masing-masing. Verity cukup nyaman dengan kondisi tersebut.
Berada satu ruangan bersama Raja Alastair membuatnya gelisah, pria itu
seperti bisa melihat setiap kebohongan yang ia lontarkan dan selalu
mengancamnya.
 

Si pelayan tidak mengucapkan sepatah kata lagi dan segera membuka pintu
keluar. Sebuah meja panjang besar menyambut, membuat Verity semakin
ragu untuk melangkah. Raja Alastair telah duduk di ujung meja makan,
sementara makanannya tertata di sisi kanan raja yang berarti mau tak mau
ia harus duduk di sebelah pria itu.
 
"Clement." Raja Alastair mengangguk sekilas ketika Verity melangkah ragu
mendekati kursinya. "Duduklah!"
 

"Terima kasih, Yang Mulia." Verity pun duduk. Ia melihat sup labu berwarna
oranye kental dan mulai menyantapnya pelan.
 

"Kau selalu makan lebih sedikit daripada orang-orang normal, Clement,"


komentar Raja Alastair membuat Verity nyaris tersedak, tidak menyangka
raja akan memperhatikan porsi makannya selama ini.
 

"Apa kau tidak suka makanannya, Clementine?" Verity terdiam sesaat


sebelum menggelengkan kepalanya. "Saat aku bertanya, aku berharap kau
menjawabnya dengan mulutmu, bukan dengan gerakan."
 

Tidak, Yang Mulia. Makanan ini sangat enak." Suara Verity seperti cicitan
tikus. Saat Raja Alastair menghabiskan makanan pembuka, ia berhenti
menyendok sup yang bahkan nyaris tak tersentuh.
 

"Kau tidak menghabiskannya?"


 

Peraturan kerajaan yang pernah Matthias ajarkan menjelaskan kalau


anggota kerajaan dengan pangkat lebih rendah harus selalu mengikuti
anggota kerajaan dengan pangkat lebih tinggi. Yang artinya, bila Raja
Alastair tidak makan, maka Verity pun tidak. Bila Raja Alastair
menghabiskan makanannya lebih dulu, maka Verity harus menyelesaikan
makan meskipun belum habis.
 

"Tidak, Yang Mulia. Saya akan menerima makanan pembuka seperti Anda,"
tukas Verity.
 

Raja Alastair tidak memberi komentar lagi dan mempersilakan pelayan


untuk mengangkat sup labu mereka, lalu menggantinya dengan steak
domba saus jamur. Verity memotong steak dan menyuapkan ke mulutnya
pelan-pelan, mencecap gurih, manis, dan asin yang menyatu padu
menghasilkan sensasi lezat.
 

"Kau selalu memiliki ekspresi yang aneh ketika makan," kata Raja Alastair.
 

Lagi-lagi Verity nyaris tersedak. Ia mengambil gelas berisi air putih dan
meneguknya hingga tandas. "Apa maksud Anda Yang Mulia?"
 

"Kau memakannya seperti kau baru saja mencoba makanan itu. Apa Ratu
Amaranta tidak pernah membiarkanmu memakan makanan seperti ini
sebelumnya?"
 

Verity terdiam sesaat. Bila beruntung, ia akan mendapatkan roti hangat


seperti tahanan lain, bila tidak maka hanya mendapat roti keras yang biasa
diberikan sebagai makanan babi. Ia tidak pernah memiliki kemewahan
untuk mencicipi sepotong steak domba sebelumnya.
 

"Rasa masakannya hanya berbeda dengan Selencia." Verity bergumam.


Meski baru menghabiskan beberapa potong steak, ia merasa lebih kenyang
sekarang.
 

Lagi-lagi Raja Alastair selesai makan lebih dahulu. Verity membiarkan


piringnya diangkat pelayan dan melihat sebuah parfait yoghurt yang
diletakkan di hadapannya.
 

Kali ini ia tidak bisa menahan diri dan bertanya, "Apa ini?" "Parfait." Verity
lupa kalau saat ini ia tengah makan bersama Raja Alastair. Sehingga
pertanyaan apa pun yang ia lontarkan, akan membuat sang raja curiga.
"Kau bisa menghabiskan makanan penutupnya. Aku tidak menyukai
makanan manis.".
 
Verity membelalakkan mata dan mengangguk pelan menyadari sang raja
membiarkannya menyelesaikan makan, bahkan menunggu di meja.
 

"Terima kasih, Yang Mulia," ucap Verity. Rasa asam manis yoghurt yang
berpadu buah-buahan dalam parfait ternyata lebih ringan dari
bayangannya. Tidak seperti sup atau steak domba, ia mampu
menghabiskan parfait itu.
 

"Berapa lama kau tinggal di Thaurin?" Verity terdiam, tidak


 

mengerti dengan pertanyaan Raja Alastair yang tiba-tiba. "Apa maksud


Anda, Yang Mulia?" Verity balik bertanya.
 

"Alexander Thaurin memberitahuku kalau kau pernah berlindung di sana


selama beberapa tahun."
 

Pangeran Alexander mengatakan itu kepada Raja Alastair? Verity benar-


benar tak mengerti. Apakah Ratu Amaranta pernah mengirimkan Putri
Clementine yang asli ke Thaurin? Kalau Pangeran Alexander mengenal Putri
Clementine yang asli, tentu pria itu menyadari kalau Verity dan Clementine
adalah orang berbeda.
 

"Apakah kau melupakannya?" Raja Alastair menatap curiga.


 

"Kenapa Alexander memberitahu hal seperti itu kepada Anda, Yang


Mulia?" "Aku tidak tahu. Hubungan kalian mungkin cukup dekat
 

hingga ia merasa perlu memberitahunya kepadaku saat kau


 

pingsan setelah serangan bandit," kata Raja Alastair.


 
Kali ini Verity benar-benar terdiam. Siapakah yang Pangeran Alexander
maksud? Putri Clementine asli atau dirinya? Ia tidak ingat pernah
berlindung di Thaurin. Verity kemudian teringat lagu anak-anak yang terus
terngiang di benaknya sejak pagi tadi.
 

"Clementine? Siapakah kau sebenarnya?'


 

Verity tak mampu menjawab pertanyaan Raja Alastair karena garis antara
Putri Clementine dan dirinya semakin mengabur.
 

 
 

 
 

XV
THE OTHER SIDE
 

"YANG MULIA, ANDA masih membutuhkan sesuatu?" Richard Blaxton


bertanya yang ke sekian..
 

Raja Alastair berdiri di tepi jendela sekaligus menatap langsung


pemandangan di depannya-Ratu Clementine yang lagi-lagi duduk dan
menatap lekat bunga-bunga.
 

"Menurutmu siapakah wanita itu sebenarnya, Richard?"


 

Raja Alastair berbalik dan menatap bola mata Richard Blaxton yang
berwarna kelabu. Pria ini sudah nyaris dua dekade menemani dan
menuntunnya hingga berada di puncak takhta Kerajaan Austmarr. "Dia
berusaha membunuhku."
 

"Dia juga seorang ratu di Austmarr, Yang Mulia." Richard Blaxton menatap
Verity sejenak dan menghela napas panjang. Ia hanya berusaha membantu
wanita itu dengan memberitahukan rahasia Raja Alastair dan jalan menuju
perpustakaan. Ia tak menyangka kalau sang raja akan terus bersikap curiga.
"Apa yang Ratu Amaranta katakan kepada Anda saat di Selencia?"
 

"Aku tidak bisa memercayai wanita licik itu." Raut wajah Alastair berubah
tak senang. "Aku tak percaya harus menikah dengan anak wanita itu."
 

"Ratu Clementine sangat berbeda dengan ibunya." Tentu saja bukan fisik
mereka yang Richard Blaxton maksud. Ratu Clementine tidak bersikap
angkuh atau terlalu anggun khas aristokrat Selencia. Kebalikannya, sang
ratu terlihat begitu canggung dan hati-hati meski sekarang sedikit berubah.
Ia tidak pernah menghabiskan terlalu banyak waktu di dalam ruangan,
lebih suka berada di taman diikuti pelayan dan beberapa tentara bayangan.
 

"Apa yang membuatnya berniat membunuhku?" Kening Raja Alastair


berkerut dalam. Sikap sang ratu yang berbeda jauh dengan perkiraan
memang membuatnya lengah. Beberapa kali wanita itu terlihat seperti
ingin bersembunyi, tetapi beberapa kali juga berani menentangnya,
terutama saat melindungi orang orang yang sebenarnya tak pantas
dilindungi.
 

"Ratu Clementine terlihat begitu kesepian di sini." Richard Blaxton memilih


tak menjawab pertanyaan Raja Alastair. Pria itu malah melihat Verity yang
masih menunduk di hadapan setangkai bunga.
 

Bila Verity mampu membuat sang raja memikirkannya berulang kali dalam
sehari, maka Raja Alastair mengabulkan karena penasaran dengan sikapnya
yang misterius, bukan karena menyukai. Mungkin saja suatu hari nanti
Verity menjadi jawaban yang bisa mematahkan kutukan sang raja dan
membuat hatinya yang telah lama membeku kembali berdetak.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity mengembuskan napas panjang. Ia benar-benar bosan di istana,


menatap bunga-bunga tiap hari dan menikmati sinar matahari dari terbit
hingga nyaris terbenam. Membuat kulitnya yang tadinya sangat pucat kini
berubah kecokelatan. Bukan tidak bersyukur, hanya saja ia merasa
kehadirannya di sini tidaklah penting atau dibutuhkan. Austmarr telah
berjalan selama nyaris dua dekade di bawah pemerintahan Raja Alastair,
kerajaan masih dapat berjalan lancar tanpa seorang ratu di dalamnya.
 

Pencarian Verity tentang Mariella Dragør terhenti semenjak pintu


perpustakaan tidak lagi dibuka untuknya. Verity menatap dan berusaha
menebak nama bunga berukuran kecil dan bergerombol putih di
hadapannya.
 

"Queen anne's lace." Suara dari belakang nyaris membuat jantung Verity
copot. "Kau selalu kaget bila mendengarku. Tidak siap bila aku menikammu
tiba-tiba?"
 

Verity mengerut kening kesal mendengar selera humor sang raja yang
buruk. "Anda akan membunuhku dengan tikaman, Yang Mulia?" Ia tidak
yakin kalau Raja Alastair tengah bercanda atau mengancamnya.
 

"Mungkin. Apa yang kau lakukan di sini?" Raja Alastair yang tinggi besar,
membuat Verity terpaksa mendongak untuk melihatnya.
 

Mulanya Verity ingin mengabaikan pertanyaan Raja Alastair dan berpindah


ke sisi lain, tetapi mengingat sang raja tak suka diabaikan atau diberi
jawaban tak jelas, ia buru-buru menjawab, "Melihat bunga-bunga, Yang
Mulia."
 

"Hanya melihatnya? Kau tidak mencabutnya?" Nada datar Raja Alastair


yang cenderung tak bersahabat membuat Verity merasa canggung. Untuk
apa Raja Alastair berada di sini dan mengajaknya berbicara kalau hanya
akan mengancam atau berusaha mencari tahu hal-hal yang tak ia ketahui.
 

"Keindahan bunga akan bertahan lama kalau tak dicabut,


 

Yang Mulia," jawab Verity tenang. "Kau bisa mencabut dan


mengeringkannya, menjadikan bunga itu sebagai pembatas buku," kata
Raja Alastair.
 

"Untuk apa? Aku tak bisa masuk ke perpustakaan dan membaca buku. Aku
bisa berada di sini dan menatapnya setiap hari sembari menunggu bunga
mati perlahan." Verity melihat bunga sekali lagi, lalu berusaha mengingat
di mana ia pernah melihat bunga serupa Queen anne's lace. "Apa ini bunga
yang langka, Yang Mulia?"
 

"Tidak. Kenapa?" Raja Alastair memperhatikan gerak-gerik Verity dan


melihat Queen anne's lace yang memang serupa dengan bunga hemlock.
 

"Aku seperti pernah melihat bunga ini sebelumnya." Verity bergumam


sembari berusaha mengingat kembali. Bunga ini bukan bunga langka, ia
pernah melihat di beberapa tempat sebelumnya, entah di taman bunga
Selencia atau semak-semak Hutan Pinus.
 

"Apa yang Anda lakukan di sini, Yang Mulia?" Verity berdiri dan merapikan
gaunnya yang sedikit kotor terkena tanah.
 
"Hari ini kita akan menemui penduduk Austmarr sekaligus berbincang
dengan menteri-menteri." Raja memperhatikan Verity dan menyadari kulit
wanita itu tidak lagi sepucat saat mereka pertama bertemu. Pipinya
merona bila terkena cahaya matahari, mata violetnya semakin kontras
dengan rambut hitam dan kulit yang kecokelatan.
 

"Kita?" Verity bahkan tidak pernah melihat seperti apa Austmarr setelah
masuk istana.
 

"Ya. Ganti pakaianmu, lalu temui aku di ruang singgasana!" "Apakah kita
akan tetap berada di dalam atau keluar istana?" Verity tak bisa menahan
nada penasaran juga semangat ketika bertanya kepada Raja Alastair. Ia tak
sabar melihat seperti apa kota Austmarr. Ia hanya pernah melihat sekali
ketika matahari telah terbenam dan masyarakatnya lebih memilih berada
di dalam rumah.
 

"Tidak. Simpan harapanmu itu, Clement. Kau tidak akan keluar dari istana
ini." Wajah riang Verity seketika berubah. Ia hanya ingin bebas, sungguh.
Walaupun berada di Istana Austmarr lebih baik daripada penjara Selencia,
ia tetap merasa istana ini seperti penjara.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity memutuskan untuk mandi sebelum menemui Raja Alastair di ruang


singgasana. Pelayan membalurkan minyak lavender dan mawar ke sekujur
tubuhnya, lalu memijat pundaknya pelan. Kemewahan yang tidak pernah ia
rasakan di Selencia. Raja Alastair membiarkannya berjalan-jalan dengan
bebas di istana dan cenderung mengabaikan. Ia tahu pria itu sedang
mengumpulkan bukti-bukti untuk memasukkannya ke penjara Austmarr
atas percobaan pembunuhan. Namun, karena posisinya sebagai Putri
Clementine, Ratu Austmarr, ia tak bisa begitu saja dituduh dan dihukum.
 
Verity mempertimbangkan kembali apakah ia harus memberitahu Raja
Alastair tentang kebenarannya atau tetap diam dan berperan sebagai Putri
Clementine. Bila ia mengungkapkan, bisa saja Raja Alastair langsung
memberikan hukuman mati..
 

"Yang Mulia?" Pelayan memanggil dan memecahkan lamunannya. "Aku


akan menyiapkan pakaian untuk Anda."
 

Sebelum pergi menyiapkan pakaian, si pelayan mengulurkan handuk tebal


berwarna putih yang Verity raih dengan setengah hati.
 

Verity keluar dari kamar mandi setelah membalut tubuhnya dengan


handuk. Ia melihat para pelayan telah menyiapkan pakaian dalam dan gaun
yang terlihat lebih mewah. Perlahan ia mendekat, lalu membiarkan si
pelayan membantunya mengenakan semua lapisan pakaian, termasuk
korset yang tidak menyenangkan itu.
 

"Clementine!"
 

"Yang Mulia!" Pelayan menunduk ketika Raja Alastair lagi lagi masuk kamar
tanpa pemberitahuan.
 

"Saya akan segera membantu Yang Mulia Ratu Clementine agar-"


 

"Tidak perlu. Kau bisa meninggalkan kami berdua," potong Raja Alastair.
 

Verity tidak mengucapkan sepatah kata. Untuk yang ke sekian, Raja Alastair
pemilik kerajaan ini. Dia yang lebih berhak berada di istana, keluar masuk
ruangan atau menyuruh siapa pun untuk pergi.
 

"Yang Mulia, Anda bisa meminta. ... " Verity hanya menyayangkan perintah
Raja Alastair yang menyuruh pelayannya keluar sebelum selesai
memasangkan korset.
 

"Aku akan membantumu." Badan Verity menegang seketika, tidak


menyangka Raja Alastair akan membantunya mengencangkan ikatan korset
satu per satu.
 

Bulu kuduk Verity meremang ketika jemari Raja Alastair menyentuh kulit
punggungnya dan memasangkan ikatan korset satu per satu. Ia berusaha
keras untuk menutup mulut hingga sang raja mengencangkan ikatan
teratas.
 

"Apa sudah cukup?"


 

"Cukup." Verity menjawab singkat. "Apa yang Ada lakukan di sini, Yang
Mulia? Kukira Anda akan menunggu di ruang singgasana."
 

"Aku berencana memberikanmu ini." Raja Alastair membawa sebuah kotak


kayu dan mengeluarkan mahkota emas dengan hiasan batu rubi.
 

"Terima kasih, Yang Mulia." Verity hendak mengambil mahkota dari tangan
Raja Alastair, tetapi lagi-lagi ia tak diindahkan. Pria itu meletakkannya tepat
di kepala Verity, lalu menatap dengan reaksi tak terbaca.
 

"Ini mahkota ibuku. Berat tanggung jawab yang berada di sini, harus kau
tanggung ketika berada di ruang singgasana nanti."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair berusaha untuk tidak memedulikan Verity yang kini duduk di
sebelahnya di ruang singgasana. Satu per satu penduduk datang membawa
hadiah untuk ratu baru Austmarr yang langsung diserahkan kepada
pelayan. Menteri-menteri duduk di jejeran kursi sebelah kanan dan kiri,
melihat penduduk Austmarr yang mereka keluhkan. Verity masih terdiam,
lebih banyak yang datang, sesekali memberikan saran atas masalah
tersenyum canggung, dan mengucapkan terima kasih saat penduduk
Austmarr memuji kecantikannya atau memberikan hadiah.
 

Semuanya berjalan lancar hingga dua anak kecil, sepasang kakak beradik
laki-laki dan perempuan, berjalan cepat ke hadapan Verity, dan melewati
garis pembatas. Para pengawal segera bertindak untuk menjauhkan kedua
bocah itu.
 

"Tunggu!" Verity berseru, menghentikan tindakan para pengawal yang


seperti menjauhkan sekelompok kriminal "Mereka hanya anak-anak."
 

Kedua bocah itu terisak keras karena para pengawal yang menarik tubuh
ringkih mereka dengan kasar.
 

"Yang Mulia ...." Salah satu pengawal menatap Raja Alastair, menunggu
perintah.
 

Raja Alastair memilih diam, membiarkan Verity bertindak sendiri. Wanita


itu bangkit, lalu berjalan mendekati kedua bocah tadi. Para pengawal pun
melepaskan cengkeraman mereka dan berdiri dengan sikap tegap.
 

"Ha!" Suara Verity terdengar canggung ketika berada di hadapan kedua


bocah. Ia lalu menunduk dan menyejajarkan wajah mereka. "Namaku ...
Clementine."
 

"Yang Mulia?" Kedua bocah itu berhenti terisak dan memberikan salam
hormat untuk Verity.
 

"K-kami hanya ingin memberikan ini kepada Anda." Salah satunya


mengeluarkan sebuah rangkaian bunga berbentuk mahkota dan
memberikannya kepada Verity.
 

Refleks Verity menyentuh kepalanya, hendak melepaskan mahkota yang


tengah ia kenakan. Namun, teringat kalau it mahkot ratu sebelumnya. Ia
tidak bisa melepaskan begitu saja.
 

"Aku tidak bisa memakai mahkota ini sekarang, tapi aku bisa mengubah ini
menjadi gelang." Tangan Verity bergerak cepat menjalin kembali mahkota
bunga hingga lingkarannya lebih kecil, kemudian dikenakannya di
pergelangan tangan. "Terima kasih."
 

"Terima kasih, Yang Mulia." Kedua bocah itu tersenyum riang.


 

Verity bangkit dan mempersilakan para pengawal untuk mengantar mereka


kembali ke orang tuanya yang ternyata berdiri panik di antara penduduk
Austmarr.
 

"Sudah kuduga kau akan pergi menghampiri mereka." Ucapan Raja Alastair
membuat Verity mengerutkan kening sekilas.
 

"Apa maksud Anda, Yang Mulia?"


 

"Kau juga melakukan hal sama ketika menyelamatkan anak anak Dragør
itu." Raja Alastair melirik gelang bunga di tangan Verity dan kembali
bergumam. "Lepaskan bunga itu! Kita tidak tahu bila salah satu bunganya
mengandung racun."
 

"Mereka masih anak-anak. Demi Tuhan!" ucap Verity tak percaya dengan
sikap Raja Alastair yang terlalu berlebihan mencurigai sesuatu.
 

"Seseorang yang seharusnya kupercaya juga pernah berusaha


membunuhku. Lebih baik bersikap waspada, Clement." Perkataa dingin
sarat cemoohan Raja Alastair membuat Verity bungkam. Ia perlahan
melepaskan gelang bunga, lalu menyerahkannya kepada pelayan.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Sebulan terakhir berjalan tanpa kendala yang berarti, membuat Verity


menarik napas lega. Ia menatap pantulan wajah di cermin dan mengikuti
gerakan tangan pelayan yang tengah menyisir rambutnya.
 

"Sudah, Yang Mulia." Pelayan itu meletakkan sisir perak ke meja, lalu
menyiapkan kasur untuk Verity.
 

"Terima kasih," kata Verity.


 

Para pelayan pun undur diri sebelum ia mengunci pintu kamar. Ia tidak
tahu apa yang mereka bicarakan di belakangnya, tetapi ia bisa menduga
beberapa mungkin membicarakan hubungannya dengan sang raja yang
rumit. Verity berbaring di kasur dan memutuskan untuk tidak peduli. Ia
berusaha memejamkan mata dan mengistirahatkan tubuh serta pikirannya
yang cukup lelah hari ini.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Daisy, daisy, who shall it be? Who shall it be who will marry me? Rich
man, poor man, beggarman, thief. Doctor, lawyer, merchant, chief. Tinker,
tailor, soldier, sailor."
 

"How about a king?" Verity berbalik dan melihat sosok yang cukup familiar.
 

"Al!" Kata bocah laki-laki yang telah menyelamatkannya beberapa hari lalu
dan membalut luka di kakinya setelah jatuh akibat tersandung akar pohon.
 
"Apa kau baik-baik saja sekarang?" Alexander memeriksa kaki Verity dan
melihat telapaknya yang masih terluka karena gadis kecil itu berlari tanpa
mengenakan alas kaki.
 

"Apa ayahmu tidak marah kau berada di sini?" Verity takut dengan ayah
Alexander. Pria itu punya aura yang berbeda dan selalu menatapnya
dengan reaksi tak terbaca.
 

"Aku sudah menyelesaikan semua tugas-tugas, jadi ayahku tidak


melarangku bermain," ucap Alexander bangga. "Apa yang kau lakukan di
sini?"
 

"Aku melihat bunga daisy, Al." Verity menunjuk bunga daisy yang
berdampingan dengan bunga putih lain. "Bunga apa ini, Al?"
 

"Queen anne's lace." Alexander bergumam, melihat bunga itu sekali lagi,
lalu menghentikan tangan Verity untuk menyentuhnya. "Menjauh dari
sana!"
 

"Kenapa?" Wajah Alexander pucat ketika menyadari bunga itu adalah


hemlock, tanaman beracun yang bahkan menyentuhnya saja bisa
membuat kejang-kejang.
 

"Itu...." "
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity tersentak bangun ketika mendengar gebrakan keras dari jendela


kamarnya yang berada di lantai tiga. Bagaimana mungkin seseorang bisa
masuk dari sana?
 
"Siapa kau?" Cahaya remang-remang dari rembulan juga perapian tidak
membuat Verity dengan mudah mengenali siapa sosok yang mendobrak
masuk. Pakaian serba hitamnya, juga belati yang diacungkan, membuat
Verity sadar kalau pria ini berbahaya.
 

"Tolong!" Verity berteriak keras dan berusaha berlari menuju pintu.


 

Sayang, sosok gelap itu segera menahannya di atas kasur. Belatinya sudah
siap menghunus jantung Verity, sementara Verity memejamkan mata dan
berharap siapa pun segera datang untuk menyelamatkannya.
 

XVI
THE ENEMIES
 

VERITY MEMBERONTAK KERAS. Dengan sisa tenaga, ia menggenggam sisi


belati yang tajam, dan berusaha menjauhkan dari dadanya.
 

"Al, tolong!" Verity berteriak keras hingga tenggorokannya terasa sakit.


"Tolong!"
 

Suara gedoran pintu membuat pria yang meahan Verity mengalihkan


perhatian. Wajahnya yang tertutup kain hitam, melihat dan segers
menyadari kalau pintu itu sebentar lagi akan terbuka.
 

"Kau harus mati!" bisiknya sembari kembali menekankan belati.


Mengabaikan pintu yang mulai terbuka juga teriakan kesakitan Verity yang
masih menahan belati dengan kedua tangan.
 
"Clementine!" Raja Alastair melempar sesuatu menyerupai pisau kecil yang
mengenai sasaran, membuat Verity terbebas dari belenggu "Menjauh
darinya!"
 

"Kau harus mati!" Pria itu mengabaikan pisau yang tertancap begitu dalam
di punggungnya dan masih berusaha mendekati Verity.
 

Raja Alastair tidak mengucapkan sepatah kata lagi. Wajahnya tampak


dingin ketika menarik pedang dari pinggang, mendekati pria yang nyaris
membunuh Verity di depan matanya, lalu menusuk dadanya. Raja Alastair
menarik pedang dan kembali menusuk di tempat berbeda, meski harusnya
ia menyadari kalau pria itu sudah tak bernyawa.
 

"Yang Mulia!" Salah satu pengawal menghampiri dan menyerahkan selimut


yang Verity raih dengan tangan gemetar.
 

"Bawa dia!" Raja Alastair menjatuhkan pedangnya hingga benturan besi


menyentuh lantai terdengar begitu jelas. "Bersihkan pedangku, lalu
kembali ke barak! Aku akan menemui kalian di sana."
 

"Baik, Yang Mulia." Para pengawal segera menyeret jasad si pria keluar dari
kamar, meninggalkan Verity berdua bersama sang raja.
 

"Clementine?" Raja Alastair mendekati Verity yang masih meringkuk


ketakutan di sudut kamar. Tangan begitu juga pakaiannya berlumuran
darah. "Terima kasih." Verity bergumam dan berusaha berdiri, tetapi kedua
kakinya lemas.
 

Tanpa kata, Raja Alastair menggendong Verity dan membawa pergi


meninggalkan kamar.
 

"Kau mau membawaku ke mana?"


 

"Ke kamarku. Kamarmu tidak bisa lagi digunakan, Clement. Kita juga tidak
tahu kapan pembunuh yang berikutnya akan datang mengincarmu." Raja
Alastair mengeratkan rahangnya. Ia bisa menjamin kalau keamanan
Austmarr tidak ada celah, beberapa pengawal bahkan diletakkan di sudut
yang tak terlihat Seharusnya tidak ada seorang pun yang bisa masuk tanpa
ketahuan. Ia harus segera ke barak setelah menjamin keamanan Verity. Kali
ini ia tidak akan meninggalkan wanita itu sendirian tanpa pengawal lagi.
 

Raja Alastair melangkah dalam diam, ia tak mengucap sepatah kata lagi
ketika menyadari rasa lelah juga kaget yang melanda, membuat Verity
dengan mudah terlelap di gendongannya. Seorang pengawal dengan sigap
membukakan pintu ketika melihatnya datang. Ia lalu meletakkan Verity
perlahan di kasur dan melihat kembali luka di kedua tangan istrinya.
Lukaanya tidak parah, tetapi cukup untuk membuatnya merasakan perih
esok hari. Verity tidak mengeluhkan apa pun ketika digendong, mungkin
karena syok atau tidak ingin membuat Raja Alastair khawatir.
 

Raja Alastair menyobek kain dari selimut Verity yang telah kotor untuk
membebat luka. Ia akan ke barak sebentar, lalu kembali ke kamar sembari
membawa tabib.
 

Alastair baru saja hendak beranjak ketika tangan Verity menahannya. "Al,
kau mau ke mana?"
 

Raja Alastair mengernyitkan kening mendengar panggilan baru Verity


untuknya. Wanita itu selalu menjaga jarak, tidak pernah memanggil
namanya langsung, dan selalu menyebut 'Yang Mulia' seperti abdinya yang
lain.
 

"Ke barak, Clement." Raja Alastair melihat mata violet Verity dan
menyadari kalau wanita itu tengah mengigau. la menghela napas dan
dikeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan pekat laudanum dari nakas di
sebelah kasur. Laudanum mengandung obat tidur, juga dapat mengurangi
rasa sakit. "Minum ini, aku akan kembali nanti."
 

Verity terlihat kebingungan di batas kesadaran. "Terakhir kali kau


memberiku sesuatu di saat aku nyaris mati."
 

Raja Alastair menatap Verity lekat, lalu menyadari wanita itu tengah
mengucapkan kejujuran yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. "Apa
yang aku berikan kepadamu?"
 

"Queen's Anne Lace." Verity bergumam, matanya terlihat lelah, dan


semakin berat. Namun, ia juga tidak ingin tidur karena rasa takut masih
menghantui.
 

"Ini bukan Queen's Anne lace, Clement. Ini laudanum. Minumlah." Raja
Alastair menyuruh Verity meneguk cairan pahit laudanum, lalu menunggu
beberapa saat hingga wanita itu benar-benar terlelap.
 

Raja Alastair jelas tak pernah memberikan hemlock kepada Clementine.


Bila seseorang pernah memberikan hemlock kepada wanita itu, maka
mereka cukup dekat karena Verity mau meminumnya selama beberapa
tahun belakangan.
 

Raja Alastair mengembuskan napas gusar, ia melihat jejeran pengawal


terbaik Austamarr yang berjaga di depan pintu kamar. Kini saatnya ia ke
barak dan menemukan penyebab satu orang pembunuh berhasil masuk
istananya. Tiga kali percobaan pembunuhan kepada Verity, ia memutuskan
untuk mengambil alih tugas penjagaan ratunya dari para pengawal terbaik.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 
Suasana barak cukup berisik dengan teriakan-teriakan para jenderal juga
tentara yang kesakitan menerima hukuman berat setelah lalai dalam tugas.
Tentara Austmarr terkenal yang terbaik di Inkarnate, tetapi sekarang
dengan bukti tiga kali percobaan pembunuhan Ratu Clementine, mungkin
mereka harus mempertimbangkan kembali gelar yang dipegang selama
bertahun-tahun itu.
 

"Yang Mulia!" Jenderal Irvin, pria bertubuh tinggi besar dengan jenggot
lebat, segera memberikan salam hormat kepada Raja Alastair yang baru
masuk barak, diikuti seluruh tentara.
 

"Ada alasan yang bisa kau berikan, Jenderal?" Raja Alastair kewibawaan
dan berdiri di hadapan Jenderal Irvin. Meski Jenderal Irvin lebih tinggi
beberapa senti, tetapi aura kepemimpinannya membuat pria bertubuh
besar itu menunduk.
 

"Tidak ada, Yang Mulia." Sontak setelah Jenderal Irvin berkata demikian,
Raja Alastair menendang perutnya hingga jatuh tersungkur sembari
menahan rasa sakit.
 

"Tak berguna!" Bentakan gusar Raja Alastair membuat setiap pengawal


berdiri lebih tegak. "Bagaimana bisa kalian membiarkan seorang penjahat
yang mengincar ratuku masuk, hah!"
 

Jenderal Irvin bersusah payah bangkit, lalu berkata pelan. "Dua penjaga
Ratu Clementine ditemukan tewas dengan luka tusukan di leher mereka,
Yang Mulia. Ini adalah kejahatan yang terencana. Siapa pun pelakunya,
mereka sangat mengenal situasi Kerajaan Austmarr."
 

Raja Alastair tahu, penjahat ini sangat mengenal setiap sudut Austmarr,
sehingga mudah baginya menemukan celah. "Bagaimana dengan penjahat
itu?"
 
"Kami menemukan ini di pakaiannya." Salah seorang tentara menyerahkan
sebuah emblem abu-abu ke tangan Raja Alastair.
 

Raja Alastair menggeram marah dan meremas emblem abu abu kecil milik
tentara elite Colthas. Penjahat itu mungkin salah satu dari sepuluh tentara
yang dibawa Raja Zacharias ke kerajaannya sebulan lalu.
 

"Kirim kembali kepala tentara itu ke Colthas," ucap Raja Alastair dingin.
Hukuman pancung akan tetap dijalankan meski pria itu tidak lagi
bernyawa.
 

Raja Zacharias tidak termasuk salah satu pembelot, ia melakukan ini pasti
karena ada sesuatu yang ia ketahui tentang Clementine.
 

"Apa Anda yakin Colthaslah pelakunya? Bagaimana kalau ini adalah


jebakan, Yang Mulia?"
 

"Kalau begitu, Zachary akan tahu seseorang sedang berusaha


memfitnahnya." Raja Alastair berbalik. Ia harus menyusun strategi baru.
 

Apa yang sedang ditutupi hingga kematian mengincar Clementine?


Clementine tentu mengetahui sesuatu hingga ia dikejar-kejar oleh para
tentara bayaran.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity terbangun dengan kepala berat dan pusing, tetapi fubuhnya terasa
beratus-ratus kali lebih baik. Ia mengedarkan pandangan dan tersadar kini
berada di kamar Raja Alastair. Ingatannya terasa kabur, ia bahkan lupa
bagaimana cara sakit di tangannya sama sekali tak terasa, hanya sedikit
kebas penjahat itu masuk ke kamar dan nyaris membunuhnya. Rasa
bercampur perih.
 

"Yang Mulia." Verity melihat pelayan sudah menunggu dengan handuk dan
gaun di tangan. "Yang Mulia Raja Alastair meminta Anda untuk
menemuinya nanti."
 

Verity hanya mengangguk dan mengikuti pelayan itu ke kamar mandi


dengan bak yang telah dipenuhi air hangat juga aromaterapi lavender. Ia
melihat kedua tangannya yang sudah diperban rapi, sepertinya tabib telah
memeriksa saat ia masih tertidur.
 

Verity menikmati mandinya hingga air berubah dingin. Pelayan kemudian


membantunya mengenakan pakaian, memoles bibir dengan perona dari
jus buah beri, membuatnya lebih berwarna. Pelayan juga memberikan
sarung tangan. "Untuk menutupi perban di tangan Anda, Yang Mulia"
 

Pelayan menjawab saat melihat reaksi kebingunan Verity. Verity


mengembuskan napas panjang dan tanpa kata lagi mengenakannya. "Di
mana Raja Alastair?"
 

"Di taman, Yang Mulia. Anda akan sarapan di taman bersama Raja Alastair,"
jawab si pelayan.
 

"Sarapan di taman?" Verity mengagumi cahaya matahari juga bunga-bunga


di taman. Ia selalu bersyukur bisa melihatnya, hingga nyaris setiap hari
datang ke taman untuk berjemur atau sekadar melihat-lihat bunga yang
dirawat baik oleh para tukang kebun.
 

Setelah selesai, Verity bergegas ke taman dan melihat Raja Alastair tengah
duduk di salah satu kursi. Mata pria itu mengawasi danau buatan juga
dinding pembatas yang kini dijaga ketat para pengawal. Tingkat keamanan
Austmart ditingkatkan lagi rupanya.
 
"Yang Mulia." Verity memberikan salam hormat kepada Raja Alastair dan
menunggu dipersilakan duduk.
 

"Bagaimana keadaanmu?"
 

"Aku baik-baik saja, Yang Mulia. Terima kasih karena telah menyelamatkan
saya kemarin," ucap Verity. Ia lalu duduk di salah satu kursi dan
mengangguk kecil ketika menerima sepiring omelet dari pelayan.
 

Melihat Raja Alastair tak ikut makan, ia pun bertanya, "Anda tidak sarapan,
Yang Mulia?"
 

"Aku sudah sarapan." Jawaban singkat Raja Alastair tidak lagi membuat
Verity heran. Ia memilih mulai memotong omelet dan melahapnya.
 

"Bagaimana tanganmu?"
 

"Tidak lagi sesakit kemarin, Yang Mulia," jawab Verity.


 

"Kau punya bekas luka di tanganmu. Bekas luka apa itu, Clement?"
Pertanyaan tersebut membuat Verity terdiam sejenak. Satu-satunya luka di
tubuhnya adalah pemberian Matthias karena Ratu Amaranta lebih senang
menyiksa dengan racun.
 

"Aku terjatuh saat kecil." Sebuah kebohongan kecil keluar dengan lancar
dari mulut Verity.
 

"Aku tidak menemukan luka lain di tubuhmu selain bekas. luka itu. Apa kau
berbohong kepadaku, Clement?" Raja Alastair melihat cahaya matahari
yang menyinari Verity, membuat mata violetnya lebih terang dan unik
daripada sebelumnya.
 
Raja Alastair mungkin menganggap Ratu Amaranta dan Selencia sebagai
salah satu kerajaan terlicik sekaligus penyumbang terbesar kehancuran
kedua orang tuanya di masa lalu. Namun, ia tidak bisa memungkiri kalau
mata violet Verity adalah salah satu mata terindah yang pernah ia lihat.
Warnanya unik dan tidak pernah ia tenemui seorang pun yang memiliki
mata serupa selain Ratu Amaranta tentu saja.
 

"Aku tidak punya alasan untuk berbohong kepada Anda, Yang Mulia. Dan
apa maksud Anda ketika mengatakan tidak pernah menemukan luka lain di
tubuhku?" Mata violet Verity melebar ketika menatap Raja Alastair.
 

"Kau istriku bukan?" Raja Alastair bergumam sembari menikmati reaksi


wajah Verity, raut bingung juga tak mengerti terlihat begitu jelas. "Apa kau
punya peran penting yang membuat orang-orang ingin membunuhmu,
Clement?"
 

Verity tertawa kecil dengan nada sumbang. "Peran penting apa yang aku
miliki hingga mereka ingin membunuhku, Yang Mulia?"
 

"Kau memiliki sesuatu yang mereka inginkan mungkin, atau kau


menyembunyikan sesuatu yang tidak kuketahui?" Raja Alastair menyadari
kalau setiap ekspresi Verity sangat mudah dibaca. Ia bisa menyadari kapan
wanita itu berbohong atau mengatakan kejujuran. Ia juga semakin tahu
kalau wanita di hadapannya ini benar-benar tak tahu apa-apa.
 

"Mungkin karena aku gagal melakukan sesuatu, Yang Mulia," kata Verity.
 

"Apa maksudmu?" Raja Alastair mengerutkan kening.


 

"Dibunuh atau membunuh. Bukankah begitu hukumnya?" Mata violet


Verity menerawang ketika teringat ucapan terakhir Ratu Amaranta. Wanita
itu bahkan menyebut namanya dan tidak memanggil seperti biasa.
 
"Kau mengira mereka membunuhmu karena kau gagal membunuhku?"
tebak Raja Alastair.
 

"Ya," Verity bergumam, "tapi bukankah lebih baik aku yang mati daripada
seorang raja?" Ia berusaha bersikap lebih tenang.
 

Tiga kali percobaan pembunuhan membuatnya sadar kalau mimpinya


semakin jauh. Ia tidak akan bisa tinggal di pinggir desa, menikahi pemuda
biasa, dan hidup tenang.
 

"Kau tahu apa yang terjadi kalau kau mati, Clement?" Raja Alastair melihat
kedua bola mata Verity. "Lima kerajaan akan berperang. Apa itu yang kau
inginkan?"
 

Verity terdiam. Ia tidak tahu kalau kematiannya berdampak besar kepada


lima kerajaan. Ia hanya budak biasa yang berpura pura menjadi Putri
Clementine. Apa lima kerajaan masih akan berperang bila mereka tahu
kalau ia hanya putri palsu?
 

"Kapan aku bisa kembali ke kamarku, Yang Mulia?" Verity mengalihkan


pembicaraan. Matahari yang semakin menuju puncak, membuat kepalanya
terasa cukup panas. Ia mendorong piring omelet, tidak lagi tertarik
memakannya setelah lima suapan.
 

"Kau akan tidur denganku mulai saat ini." Raja Alastair memperhatikan
gerakan tangan Verity dan menyadari kalau wanita itu tidak pernah benar-
benar menghabiskan makanannya.
 

"Apakah tidak ada kamar lain?" Verity menggigit bibirnya gelisah. Ia


teringat tugas utama seorang ratu yang hingga detik ini belum dilaksanakan
karena hubungannya dengan Raja Alastair tak seperti pasangan lain.
Selama ini ia tenang karena raja tidak terlalu mempermasalahkannya yang
selalu menghindar, tetapi sekarang situasinya berubah, mereka akan tidur
di kasur dan kamar sama.
 

"Kau akan lebih aman di kamarku. Lagipula ada kabar lain yang akan
kusampaikan kepadamu," ujar Raja Alastair.
 

"Apa itu, Yang Mulia?"


 

"Ibumu. Ratu Amaranta akan datang menjengukmu di sini. Aku


memberinya kabar tentang percobaan pembunuhanmu yang ketiga
kalinya, dan ia memutuskan untuk datang."
 

Jantung Verity berdetak kencang. Ia tak menyangka Ratu Amaranta akan


menemuinya di Austmarr. Apakah wanita itu akan membunuhnya dengan
tangan sendiri atau memberikan perintah lain, yakni membunuh Raja
Alastair?
 

 
 

 
 

 
 

 
 

XVII
THE MOTHER
 
KEDATANGAN RATU AMARANTA jelas membuat Verity gelisah. Wanita itu
lagi-lagi duduk termangu menatap bunga di taman lewat salah satu jendela
kaca besar ruang rekreasi. Demi keselamatan, Raja Alastair melarangnya
keluar, dan ia memilih untuk patuh.
 

Verity menarik napas dalam-dalam sembari menatap penjuru ruangan


dengan bosan. Richard Blaxton menyarankannya bertemu anak-anak para
menteri atau bangsawan agar mendapatkan teman selama di istana. Ia
hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Ia tidak pernah punya teman-
apalagi-seorang wanita bangsawan sebelumnya. Dari apa yang ia tahu,
wanita bangsawan terkenal culas dan lick seperti Ratu Amaranta. Mungkin
saja salah satu dari mereka akan mencoba mencelakai karena ia menikahi
Raja Alastair Bukankah menikahi seorang keturunan raja impian semua
wanita? Banyak wanita yang mendambakan Raja Alastair
 

sementara ia hanya seorang putri palsu yang berada di istana untuk misi
membunuh raja.
 

"Yang Mulia." Richard Blaxton, pria tua itu menjadi satu satunya orang
yang masih mau mencurahkan sedikit perhatian kepada Verity daripada
Raja Alastair yang kaku dan cenderung menjaga jarak, atau para pelayan.
"Apa Anda baik-baik saja?"
 

"Kapan Ratu Amaranta akan tiba?" Verity melihat kembali spektrum


pelangi akibat cahaya matahari yang terbiaskan jendela dengan ukiran-
ukiran unik seperti mosaik.
 

Ruang rekreasi berisi banyak kegiatan-merajut, melukis, atau bermain


musik-yang seharusnya dapat mengurangi rasa bosan Verity. Namun, ia
tidak pernah diajarkan hal-hal klasik seperti itu. Ia hanya bisa menatap
bosan peralatan merajut atau melukis yang ditawarkan para pelayan.
 
"Dua hari lagi." Richard Blaxton mengulurkan tangan kepada Verity,
membuat wanita itu menyambutnya dengan senang hati. "Aku dengar Yang
Mulia Raja tidak lagi mengizinkan Anda masuk perpustakaan."
 

Verity hanya menganggu, refleks tangan kirinya menyentuh leher ketika


teringat perlakuan Raja Alastair di perpustakaan. Tindakan Raja Alastair
memang masuk akal, ia mencurigai Verity sebagai mata-mata, tetapi di saat
bersamaan harus melindungi karena statusnya sebagai ratu di Austmarr.
 

"Siapakah Mariella Dragør, Richard?" Sebuah pertanyaan lolos begitu saja.


 

Richard Blaxton menghela napas panjang dan membawa Verity melewati


lorong panjang menuju salah satu sisi istana yang sepertinya jarang
terjamah, terbukti dari lapisan tipis debu di sebagian besar pilar-pilar dan
lantai.
 

"Raja Alastair jarang melewati tempat ini," ucapnya. Hanya ada beberapa
pengawal terlihat, tidak seperti di sayap kanan istana yang nyaris setiap
sudutnya terdapat pengawal.
 

"Tempat apa ini, Richard?" Verity menatap penasaran ke arah taman yang
terlihat tak begitu terawat. Terdapat banyak tanaman liar, sebuah kolam
kecil dipenuhi bunga teratai, dan tempat mandi burung yang berwarna
kehijauan karena lumut.
 

"Ruang takhta yang lama." Richard Blaxton lalu berhenti di depan sebuah
pintu besar dan mendorongnya pelan.
 

Verity menahan napas sejenak ketika melihat lukisan lukisan keluarga


Kerajaan Austmarr. "Apa ini ...." Tatapannya terhenti di salah satu lukisan-
raja dan ratu Austmarr bersama seorang anak laki-laki kecil dengan wajah
ceria yang duduk di pangkuan ibunya.
 
"Kedua orang tua Raja Alastair, juga Raja Alastair saat ia masih kecil dulu."
Richard Blaxton tersenyum sedih melihat pemimpin Austmarr yang lama.
 

"Dia terlihat berbeda." Verity tak bisa menahan rasa penasaran ketika
melihat Raja Alastair yang jauh berbeda dari apa yang ia lihat sekarang.
 

"Seorang ratu mengutuknya agar dia tak bisa merasakan apa pun." Richard
Blaxton berjalan ke lukisan lainnya. Kali ini Ratu Austmarr duduk di
singgasana tanpa suami atau anaknya. Sebuah mahkota emas dengan
permata rubi yang pernah Verity kenakan, duduk manis di kepalanya.
 

"Apa maksudmu?" Verity melihat lukisan itu sekali lagi, berusaha meneliti
setiap sudutnya, dan menemukan beberapa karakteristik sang ratu yang
diturunkan kepada Raja Alastair.
 

"She ripped his heart out. Dia tidak mau Raja Alastair merasakan perasaan
apa pun lagi." Kening Verity berkerut bingung mendengar penjelasan
Richard Blaxton.
 

"Kenapa dia melakukannya?" "Tidak ada yang tahu, Yang Mulia. Ratu
Mariella melakukannya sebelum ada yang bisa mencegah." Jantung Verity
seolah terhenti beberapa saat.
 

"Mariella Dragør?" Verity tersedak ludahnya sendiri saat menyebut nama


Mariella Dragør.
 

"Kembaran Ratu Amaranta. Anda tak mengenalnya?" Richard Blaxton


menatap mata violet Verity yang membulat kaget.
 

"A-aku Ibuku...." Ucapan Verity terbata-bata karena terlalu gugup dan


kaget. "Ratu Amaranta tidak pernah menceritakannya kepadaku."
 
"Aku bisa menduganya." Richard Blaxton terdiam sesaat. Kali ini ia
membawa Verity ke sebuah undakan tangga pendek yang memperlihatkan
dua kursi megah merah tua yang dilapisi debu. "Tidak ada yang menduga
kalau Ratu Mariella akan melakukan itu kepada Alastair, anak sahabatnya
sendiri, dan Ratu Amaranta termasuk orang yang selalu berhasil
menyembunyikan perasaan terdalamnya, termasuk keberadaan Anda."
 

"Aku?"
 

"Bukankah Ratu Amaranta berhasil menyembunyikan Anda selama


beberapa tahun ini?" Richard Blaxton tersenyum kecil. "Tidak ada yang
menyangka kalau Putri Clementine benar-benar ada sebelum Anda datang
ke Austmarr, Yang Mulia. Dia berhasil menyembunyikan Anda dari
kembarannya sendiri."
 

"Apakah karena itu Austmarr menghancurkan Drager? Karena Ratu


Mariella mengutuk Raja Alastair?" tebak Verity.
 

"Kebalikannya." Richard menggelengkan kepala pelan. "Semua tentara


termasuk Raja Austmarr pergi membantu Dragør yang diserang Selencia
dan Thaurin. Tidak ada yang menyangka kalau akan ada serangan tiba-tiba
di Austmarr yang berhasil membunuh Yang Mulia Ratu, ibu Raja Alastair di
ruang takhta ini." Ia menatap sendu kedua kursi singgasana itu sekali lagi,
lalu menarik napas dalam.
 

"Dia mati di ruangan ini?" Verity menatap sekeliling dan menyadari debu di
ruangan lebih tebal daripada di luar. Jejak kosong di dinding membuktikan
ada beberapa lukisan yang dipindahkan ke ruangan lain, tetapi tidak
dengan lukisan keluarga Raja Alastair sendiri.
 

"Dia tengah hamil anak kedua ketika pasukan Dragør yang seharusnya
berada di Dragør menyerang tempat ini dan membunuhnya," imbuh
Richard Blaxton.
 

Verity bisa membayangkan teror yang dirasakan sang ratu ketika ia


berusaha melindungi bayi di kandungan dari para pasukan penyerang.
"Apakah kau yakin pelakunya adalah Dragør? Kenapa mereka tak
membunuh Raja Alastair?"
 

"Tidak ada yang benar-benar yakin kalau pelakunya Dragør, Yang Mulia."
Richard Blaxton bergumam. "Karena pada hari yang sama, berita
kehancuran Dragør juga terdengar. Raja Alastair naik takhta secara tiba-
tiba, menggantikan ayahnya yang mati di medan perang. Beliau lalu
memerintahkan seluruh tentara kembali ke Austmarr, sementara Dragør
perlahan runtuh karena ada serangan tiba-tiba."
 

"Serangan tiba-tiba?" Verity teringat sisik naga yang diberikan Raja Arthur.
Apakah lagi-lagi Selencia dan Thaurin yang berada di balik serangan ke
Austmarr? Apa mereka berusaha menghancurkan dua kerajaan sekaligus
dengan menaruh kecurigaan kepada Drager?
 

"Tidak ada yang tahu hingga saat ini, Yang Mulia. Serangan itu
menghancurkan Dragør hingga tak bersisa," jawab Richard Blaxton.
 

Tangan Verity mengepal dan bergetar menahan marah. Ratu Amaranta


benar-benar hebat memainkan peran untuk menghancurkan dua kerajaan
di saat bersamaan.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Rombongan Ratu Amaranta tiba lebih cepat. Tidak hanya Ratu Amaranta,
Pangeran Alexander pun ikut datang. Wajah Raja Alastair yang sedari awal
terlihat tak senang semakin muram. Dia hanya memerintahkan jamuan
makan malam sederhana untuk menyambut kedatangan dua tamu
penting, lalu pergi meninggalkan Verity di ruang kedatangan untuk
menyambut tamu.
 

"Yang Mulia." Verity memberikan salam hormat kepada Ratu Amaranta


ketika sang ratu turun dari keretanya. Ratu Amaranta membalas dengan
memberikan sebuah
 

pelukan kecil yang tak disangka Verity. "Aku merindukanmu." Ucapan Ratu
Amaranta terdengar jelas, bulu kuduk Verity meremang, teringat sang ratu
yang menyiksa juga nyaris membunuhnya beberapa kali. "Kau bisa panggil
aku ibu, Clementine."
 

"Terima kasih sudah mau datang menjengukku, Ibu." Verity bergumam. Ia


melihat Pangeran Alexander yang berdiri tak jauh dari Ratu Amaranta,
kedua mata hijaunya menatap Verity, mencipta sedikit canggung di hati
Verity.
 

"Alexander dengan senang hati bersedia menemaniku di perjalanan ini."


Ratu Amaranta memberikan senyuman kecil. Verity mampu melihat
sebuah rencana licik di dalamnya. "Bukan begitu, Alexander? Kurasa pilihan
menikahkan Clementine dan Raja Alastair bukanlah pilihan yang bijak."
 

Suara Ratu Amaranta yang terdengar ringan tanpa beban saat memasuki
ruang makan, rupanya tak membuat Pangeran Alexander ataupun Raja
Alastair merasa senang.
 

Raja Alastair telah duduk di kursi terujung. Kursi sebelah kanannya


diperuntukkan kepada Verity, sebelah kirinya untuk Ratu Amaranta.
Sementara Pangeran Alexander akan duduk di sebelah Ratu Amaranta.
Ketiganya terlihat begitu tegang dan kaku, berbeda dengan Ratu Amaranta
yang berbicara santai, tak peduli suasana di sekitarnya.
 

"Apa Anda tak peduli putri Anda nyaris mati, Yang Mulia?" sinis Raja
Alastair, membuat Ratu Amaranta menatap langsung ke matanya.
 
"Kalau aku tak peduli, aku tak akan datang ke sini, Alastair." Ratu Amaranta
memotong hidangan utama dengan tenang. "Lagi pula Clementine masih
hidup."
 

Raja Alastair semakin tak menyukai Ratu Amaranta. la yakin ratu itu berada
di balik setiap kejadian yang nyaris menghabisi nyawa Verity.
 

"Terima kasih untuk rasa peduli Anda, Yang Mulia." Verity berkata pelan,
berusaha mencairkan suasana yang terlalu kaku.
 

"Oh, tenang saja. Aku tidak menyalahkanmu." Ratu Amaranta tersenyum


tipis kepada Raja Alastair. "Tidak ada yang bisa disalahkan selain
keteledoran pasukan keamanan Austmart bukan?"
 

Sindirannya membuat Raja Alastair semakin geram. Seandainya saja raja


bisa langsung mencekik membunuhnya, mungkin akan segera dilakukan
saat itu juga.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Apa maksudmu, Amaranta?" Tidak tahan dengan semua sindiran


menohok Ratu Amaranta, Raja Alastair tidak lagi menggunakan embel-
embel gelar kerajaan yang lebih seperti formalitas untuk sang ratu.
 

"Aku tidak berencana membawa Clementine kembali ke Selencia tentu


saja," kata Ratu Amaranta.
 

Wajah Verity memucat ketika mendengar perkataan Ratu Amaranta. Bisa


saja ia mati atau kembali ke penjara bawah tanah tanpa batas waktu.
Kembali tidur di lantai tanah yang banjir bila hujan dan dipenuhi kecoak
setelah reda.
 
"Kau akan tetap bersama suamimu, Clement. Sepanjang Austmarr bisa
menjamin keselamatanmu tentu saja." Ratu Amaranta bisa rona panik
Verity dan tersenyum tipis. "Aku hanya datang untuk melihat keadaanmu,
tidak untuk memperkeruh keadaan."
 

Tawa kecil Ratu Amaranta membuat Verity menyadari ada rencana lain
yang disembunyikan sang ratu di balik wajah bersahabatnya.
 

"Apa yang kau rencanakan?" Verity langsung bertanya kepada Ratu


Amaranta ketika keduanya berbicara tanpa pengawalan. Tidak ada seorang
pun yang berada di ruang rekreasi, selain para penjaga di luar pintu tentu
saja. "Menurutmu apa, Tikus Kecil?" Ratu Amaranta menatap hina Verity.
 

"Apa kau akan membunuhku, atau membunuh Raja Alastair lagi?" Verity
bertanya frustrasi. Ia bosan menjadi pihak yang paling tidak tahu di antara
semuanya, "Apa ini ada hubungannya dengan Mariella Drager?"
menyuruhku
 

Verity memekik kecil ketika Ratu Amaranta menamparnya. Tangan


kanannya refleks menyentuh area pipi yang terasa panas.
 

"Jangan sebut namanya di hadapanku!" murka Ratu Amaranta. Matanya


menyorot nyalang, tak luput dari tatapan Verity yang kini berkaca-kaca
menahan pedih bekas tamparan.
 

"Oh, kenapa? Karena aku bisa menghancurkan seluruh rencana licikmu bila
aku mengucapkan namanya dan memberitahu mereka kalau kaulah
pelakunya?" Perkataan berani Verity berhasil menyulut emosi Ratu
Amaranta.
 

Ratu Amaranta berjalan mendekat dan menyentuh wajah Verity. "Apa kau
kira kau akan mendapatkan keuntungan dari itu? Rahasiamu akan
terbongkar! Alastair akan tetap membunuhmu. Jadi jangan bersikap sok
pintar di hadapanku, Nak!" geramnya.
 

"Dia tidak akan membunuhku bila ia tahu kaulah pelakunya." Kalimat Verity
terdengar begitu jelas di telinga Ratu Amaranta.
 

"Dia akan membunuhmu karena yang ia tahu kau adalah Putri


Clementine." Ratu Amaranta tertawa kecil mendengar kepolosan Verity
yang tak tahu sejauh mana rencananya. "Apa kau kira dia akan
mendengarmu begitu saja dan menolongmu? Apa kau tak lihat
membenciku, Verity. Namun ia tak bisa melakukan apa-apa Dia sikapnya
karena dia adalah pemimpin lima kerajaan. Menghancurkan Selencia
berarti memancing perang lagi. Berhentilah bersikap naif!"
 

"Apa yang kau inginkan? Apa kau mau aku mati atau kau mau aku
membunuh Raja Alastair lagi?" Verity menatap mata violet Ratu Amaranta
lurus. Mata yang begitu serupa dengan miliknya. Hubungan apa yang
mereka miliki sebenarnya?
 

"Oh tidak, tidak, tidak." Ratu Amaranta tertawa kecil dan


 

menepuk-nepuk pipi Verity pelan. "Aku ingin kau dan Raja Alastair tetap
hidup untuk melanjutkan rencanaku." "Apa yang kau inginkan?" tanya
Verity untuk ke sekian kali
 

karena rasa frustasi yang semakin menumpuk. Ia hanya ingin


 

kebebasan, tetapi tidak dengan cara seperti ini. "Aku menginginkan


anakmu." Ucapan Ratu Amaranta membuat wajah Verity memucat, terlihat
sangat tak mengerti dengan keinginan aneh sang ratu.
 

"Anakku?"
 

"Anakmu dan Raja Alastair tentu saja. Pewaris Kerajaan Austmarr." Semua
susunan rencana berubah, tetapi ada satu yang pasti, Ratu Amaranta masih
ingin menghancurkan Austmarr.
 

XVIII
THE TRUTH
 

"AKU TIDAK BISA melakukannya!" Verity menggelengkan kepala. Dia tidak


ingin mempertaruhkan sesuatu di hadapan Ratu Amaranta karena yakin
ada hal terselubung yang diinginkan sang ratu.
 

"Dasar tak tahu diuntung!" Ucapan Ratu Amaranta jelas tak sekeras
tamparan kedua yang mengenai pipi Verity.
 

Verity terhuyung, menahan pipinya yang semakim terasa pedih.


 

"Aku tidak memintamu, aku menyuruhmu!" tegas Ratu Amaranta.


 

"Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau ingin menghancurkan Austmarr?"


Mata keduanya bertemu. Ratu Amaranta sedikit menunduk guna
menyentuh pipi Verity dan mengelusnya dengan kelembutan yang malah
membuat Verity ketakutan.
 

"Karena dalam hidup ini, kau hanya akan dihancurkan bila kau tidak
menghancurkan lebih dulu, Tikus Kecil," desis Ratu Amaranta.
 

"Raja Alastair tidak melakukan apa pun kepadamu," cicit Verity.


 
"Belum." Ratu Amaranta menjawab singkat. "Kau tidak akan berada di sini
kalau bukan karena aku. Kau akan tetap berada di penjara Selencia, Verity.
Aku tidak peduli bagaimana caramu mempengaruhi Alastair, buat dia
menghamilimu, lalu kau akan bebas."
 

"Tidak!" Verity menjawab tegas. Dia sangat menyadari tidak akan pernah
bebas dari cengkeraman.
 

"Kau atau dia yang mati, Verity?" Ratu Amaranta menatap Verity nyalang.
Wajahnya yang cantik tidak bisa menutupi kobaran amarah.
 

"Aku tidak memberimu pilihan. Pembunuh bayaran akan tetap datang


untuk membunuhmu. Atau Alastair."
 

"Apa kau yang mengirim mereka selama ini?" Verity menatap Ratu
Amaranta tak percaya. Ada begitu banyak cara untuk membunuh Raja
Alastair, tetapi sang ratu memilih mengirimnya. "Kenapa kau tidak
membunuhnya langsung dengan tanganmu sendiri?"
 

"Apa aku harus menjawab setiap pertanyaanmu?" Ratu Amaranta balik


bertanya dengan nada sinis. "Bila kau menerima tawaranku, aku akan
membiarkanmu bebas selama beberapa bulan."
 

"Apa yang aku dapatkan dari ini?" Verity memberanikan diri menatap Ratu
Amaranta yang berdiri di dekatnya. Sekilas, mata keduanya serupa, tetapi
jelas berbeda. Mata Verity lebih pucat dan redup jika diteliti.
 

"Mungkin saja kau bisa memiliki akhir bahagiamu, Tikus Kecil."


 

Verity mengulangi kata "mungkin" di dalam hati berulang kali. Mungkin dia
akan bahagia, mungkin juga tidak Menghancurkan atau dihancurkan. Ratu
Amaranta jelas tidak memberikan pilihan kepadanya.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity berjalan lunglai. Pipinya masih memerah karena bekas tamparan


Ratu Amaranta, jelas ia tidak bisa menemui Raja Alastair dengan tampilan
acak-acakan. Tanpa disadari, ia berjalan menuju ruang singgasana yang
lama.
 

"Clementine!" Verity sontak berbalik dan melihat Pangeran Alexander yang


berjalan terburu-buru ke arahnya. "Apa kau baik-baik saja?"
 

"Aku...." Verity terdiam sesaat. Apakah ia harus tetap diam di hadapan


Pangeran Alexander atau menceritakan semuanya? "Apa kau baik-baik
 

saja?" Pangeran Alexander bertanya kembali, mata hijaunya yang


cemerlang terlihat khawatir.
 

"Aku baik-baik saja." Verity bergumam, teringat kalau Pangeran Alexander


merupakan putra Raja Arthur dan Thaurin termasuk salah satu kerajaan
yang ingin menghancurkan Austmarr.
 

"Ada apa dengan-"


 

"Aku tidak apa-apa." Verity berusaha menyembunyikan area pipi yang


memerah dengan mengumpulkan rambut hitamnya ke depan.
 

Pangeran Alexander menghela napas panjang, menahan tangan Verity, dan


memeriksa pipinya. "Akan baik-baik saja sebentar lagi."
 

"Aku tahu." Verity melepaskan tangan Pangeran Alexander, lalu kembali


berjalan menuju taman di dekat ruangan. "Aku sedang ingin sendiri,
Alexander."
 

"Kau selalu mengatakan itu bila di hadapanku sekarang." Pangeran


Alexander mengikuti Verity. "Kau dulu tidak begitu kepadaku."
 

Verity menarik napas lirih. "Kau mungkin salah, aku tidak sama dengan
orang yang kau kenal dulu."
 

"Tidak, aku tidak salah, Clement! Kau masih Clementine yang sama, yang
suka berlari tanpa mengenakan alas kaki di Istana Thaurin. Rambut
hitammu masih sama, mata violetmu juga sama." Ucapan Pangeran
Alexander membuat Verity sontak berbalik dan menatap sang pangeran tak
percaya.
 

"Apa yang kau bicarakan?"


 

"Kau pernah tinggal di Thaurin, Clement." Verity menatap mata Pangeran


Alexander, berusaha mencari secercah kebohongan, tetapi sia-sia.
 

"Aku tidak mengingatnya." Kali ini Verity menunduk, melihat kaki yang
mulai terbiasa mengenakan sepatu, dan tidak lagi kesakitan saat pertama
kali mengenakannya. Rasa sedih menjalar di hati ketika menyadari ia
melupakan sebagian besar masa kecilnya.
 

"Aku tahu." Pangeran Alexander mengambil sebuah bunga Queen's anne


lace, lalu menyerahkannya kepada Verity. "Itu juga salahku."
 

"Apa maksudmu?" Verity menerima bunga yang ragu diberikan Pangeran


Alexander.
 

"Queen's anne lace jenis lain dari Baby's breath. Hanya tanaman biasa yang
menyerupai ilalang, namun bisa mematikan kalau kau mencabut jenis yang
salah." Ada begitu banyak tanaman liar di taman itu, tetapi Pangeran
Alexander menyadari kalau tanaman-tanaman mematikan yang biasa
dipergunakan sebagai racun tidak berada di sana. "Apa yang Ratu
Amaranta sampaikan kepadamu?"
 

"Hanya agar aku menjalankan tugasku sebagai ratu di Austmarr." Verity


mencabut bunga, lalu meniupnya hingga kelopak-kelopaknya beterbangan.
"Kenapa kau berada di sini, Alexander?"
 

"Karena Ratu Amaranta menyerahkan segala urusanmu ke tanganku,"


jawab Pangeran Alexander.
 

Keduanya terdiam beberapa saat, sibuk dengan pikiran masing-masing.


Verity lagi-lagi menarik napas panjang sebelum menatap Pangeran
Alexander, bingung dengan keadaan sekitarnya. Apakah Pangeran
Alexander kawan atau lawan, apakah harus percaya kepada pria itu atau
menjauh karena ia berada di pihak Ratu Amaranta dan Raja Arthur.
 

"Apakah aku harus melakukannya?" tanya Verity tiba-tiba.


 

"Tidak." Pangeran Alexander menjawab singkat, bahkan sebelum wanita itu


memperjelas pertanyaannya.
 

"Kenapa?" Verity mengernyitkan kening dan kembali berpikir keras.


 

"Kalau kau ragu-ragu, sebaiknya kau tidak melakukannya.


 

Verity mengembuskan napas lemah. Perkataan Pangeran Alexander


mungkin ada benarnya. Seandainya ini tidak berhubungan dengan nyawa,
maka ia tidak akan melakukannya. "Aku tidak tahu." Ia bergumam.
 

Kepalanya mendongak dan melihat matahari cerah. Berbicara dengan


Pangeran Alexander membuatnya yang sedikit bisa berpikir jernih. Apa pun
yang Ratu Amaranta rencanakan, tentu membutuhkan waktu cukup lama,
dan dalam jenjang waktu itu, ia bisa memikirkan rencana lain.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity berusaha memberanikan diri kali ini. Beberapa hari terakhir ia selalu
berbagi kamar dengan Raja Alastair, meskipun ia menyadari kalau pria itu
tidur di sisinya dan bangun lebih cepat, terbukti dengan sisi kasur yang
telah berantakan.
 

Verity berulang kali menyisir rambut yang sebenarnya telah rapi. Ia


berusaha menahan kantuk dan menunggu Raja Alastair datang.
Pengalaman malam pertamanya dengan sang raja memang terasa
mengerikan, ia nyaris saja mati di tangan pria itu. Dibunuh atau
membunuh, mungkin Ratu Amaranta benar. Kali ini ia hanya memikirkan
cara menyelamatkan diri sendiri.
 

"Apa yang kau lakukan?" Verity tersentak kaget melihat Raja Alastair masuk
kamar dengan penampilan berantakan. "Kenapa kau belum tidur?"
 

Verity memainkan jemari dan melihat Raja Alastair yang seperti tak tahu
malu membuka atasan kemeja dan menggantinya dengan kemeja lain.
"Aku ...."
 

"Apa ibumu menyuruhmu melakukan sesuatu? Atau Alexander


mengatakan sesuatu kepadamu?"
 

Verity menelan ludah gugup mendengar pertanyaan telak Raja Alastair.


"Dari mana-"
 

"Dari mana aku tahu kalau kau menemui Alexander di ruang singgasana
yang lama?" potong Raja Alastair sembari berjalan mendekati Verity dan
tertawa sumbang. "Kau tahu kalau ini istanaku bukan?"
 

"A-aku...." Lidah Verity terasa kaku dan tak bisa mengucapkan sepatah kata
pun. Ia jelas tahu raja tak menyukai Thaurin maupun Selencia.
 

"Tak bisa mengatakan apa pun, Clement?" Mata Raja Alastair menyapu
tubuh Verity yang hanya terbalut gaun tidur tipis. "Apa yang kau
rencanakan sekarang?"
 

Verity refleks berjalan mundur menyadari kalau mematuhi perintah Ratu


Amaranta mungkin akan membawanya ke hal yang lebih buruk daripada
sebelumnya. "Ma-maafkan saya, Yang Mulia." Ia ingin berlari sejauh
mungkin saat itu juga.
 

"Buka bajumu!" perintah Raja Alastair.


 

Verity tersentak kaget. Mata violetnya melebar bukan hanya karena kaget,
tetapi juga marah. Di hati terdalam, ia tahu memiliki andil cukup besar
untuk membuat seorang Raja Alastair yang selalu diibaratkan sebagai
seekor singa kini terbangun. Melakukan perintah Ratu Amaranta jelas
membawa hal tidak baik untuknya.
 

"Bukankah itu yang ingin kau lakukan? Mengenakan pakaian seperti itu dan
terbangun hingga larut malam?" kata Raja Alastair.
 

"A-Anda salah...." Pipi Verity memerah menahan malu juga marah karena
harga dirinya seperti diinjak-injak.
 

"Aku salah? Coba ulangi sekali lagi, Clement. Apa ibumu menyuruhmu
menggodaku, lalu menusukku lagi saat aku tidur?" cecar Raja Alastair.
 
Verity menyadari kesalahannya ketika melihat wajah Raja Alastair yang
benar-benar marah sekarang. Raja pernah marah beberapa kali di
hadapannya, salah satunya berakhir dengannya yang nyaris pingsan karena
tercekik.
 

"Apa ini cara Selencia berkonsolidasi, hm? Apa kau juga melakukan hal
yang sama kepada Alexander, Clement? Apa karena itu Alexander selalu
mengikuti perkembanganmu meskipun kau seorang Ratu Austmarr
sekarang?" Kemarahan Raja Alastair kali ini benar-benar mengerikan, ia
bahkan tidak memberikan sedikit pun ruang kepada Verity untuk
membalas.
 

"Alexander tidak ada hubungan apa pun dengan-" Ucapan Verity terhenti
ketika tiba-tiba Raja Alastair melumat bibirnya kasar.
 

Ciuman panas Raja Alastair tidak sedingin seperti saat pernikahan mereka.
Verity juga bisa merasakan sececap anggur di ujung lidah Raja Alastair dan
menyadari kalau pria itu setengah mabuk.
 

"Yang Mulia ...." Verity berusaha mendorong dada Raja Alastair menjauh,
tetapi pria itu menahan kedua tangannya dan semakin memperdalam
ciuman. Ia juga berusaha keras untuk tidak mengucapkan sepatah kata
meski tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan.
 

"Aku akan memberikan apa yang kau inginkan, Clement." Mata cokelat
Raja Alastair menatap sesaat, lalu kembali mencium Verity.
 

Lumatan bibirnya terasa kasar ketika tidak lagi menjamah bibir Verity,
tetapi juga rahang dan leher wanita itu. Verity melenguh pelan, perasaan
bersalah bercokol di hati terdalam karena ia terlena dan membiarkan Raja
Alastair menyentuhnya saat pria itu tengah marah dan merendahkan harga
dirinya.
 
Raja Alastair menurunkan lengan gaun tidur Verity dan memperlihatkan
bahunya yang mulus tanpa luka. Raja Alastair menciumnya perlahan, lalu
menyentuh payudara Verity di balik gaun, sementara Verity memejamkan
mata menyadari kalau mungkin tidak akan ada kata kembali atau berhenti
untuk saat ini.
 

"A-aku...." Mata Verity berkaca-kaca. Cicitannya membuat Raja Alastair


melepaskan pagutan bibir dan menatapnya lekat.
 

"Bukankah ini yang kau inginkan, Clement?" Raja Alastair terus menatap
Verity. Penampilan wanita itu bahkan lebih berantakan daripada
sebelumnya, sekujur bahu juga leher jenjangnya dipenuhi jejak-jejak
keunguan bekas ciuman. Pakaiannya tersampir berantakan,
memperlihatkan bahu, bahkan nyaris payudaranya.
 

"T-tidak...." Verity berusaha mengeluarkan suara, tetapi setiap patah kata


yang keluar terdengar terbata-bata. Ia benar benar ketakutan dan nyaris
membiarkan Raja Alastair melakukannya.
 

"A-aku tahu ini tugasku T-tapi Verity memeluk dirinya, berusaha menahan
pakaian yang kini terasa terlalu tipis dan tidak menutupi tubuhnya seinci
pun.
 

"Tugas apa yang kau bicarakan?" Raja Alastair mendekat meski Verity
refleks menjauh, hingga ia pun menahan kedua bahu, dan memaksa wajah
wanita itu agar mendongak dan melihatnya.
 

"Se-sebagai ratu di Austmarr ... A-aku harus.... bisa memberikan alasan apa
pun. Ia tidak menyangka Raja Alastair akan datang dan memperlakukannya
seperti ini. la berusaha mengingat-ingat pembahasan tentang malam
pertama teringat .." Verity tidak atau hubungan suami istri, tetapi satu-
satunya yang adalah pelajaran dari Jenny.
 
Raja Alastair mengembuskan napas gusar dan melihat Verity yang gemetar
ketakutan, bahunya ringkih dan kurus, membuatnya menyadari betapa
rapuhnya wanita itu bila tidak diperlakukan dengan hati-hati. "Apa yang
kau inginkan sebenarnya, Clementine?"
 

"Aku tidak ingin berada di sini." Verity berusaha mengungkapkan isi hati
terdalam, kejujuran yang tak bisa ia pendam lagi, ia ingin bebas, ia tidak
ingin berada di istana dan terlibat semua ini.
 

Verity memberanikan diri menatap kedua mata cokelat Raja Alastair yang
kini terlihat dingin. Ia tak bisa menyalahkan pria itu bila saja tiba-tiba
mencekiknya lagi karena telah berani memancing kemarahannya.
 

"Aku tidak bisa memberikan apa yang kau inginkan, Clementine. Kau akan
tetap berada di sini sebagai Ratu Austmarr." Ucapan dingin Raja Alastair
meremukkan harapan terakhir Verity.
 

"Bagaimana kalau ...." Verity terdiam sesaat, memikirkan segala


kemungkinan yang akan terjadi, dan memutuskan untuk tetap
mengatakannya. "Bagaimana kalau aku bukan Putri Clementine yang
sebenarnya?"
 

 
 

 
 

XIX
THE COAT OF ARMS
 

"LALU SIAPA KAU sebenarnya?" Kedua tangan Raja Alastair bersedekap di


dada, terlihat begitu mengintimidasi di mata Verity.
 

"Aku bahkan tak tahu siapa aku sebenarnya." Verity menelan ludah.
Beragam pertanyaan bermunculan.
 

Rahasia yang membuatnya berada di sini. Verity menyadari sejak awal Raja
Alastair tahu ia bukan Putri Clementine. Ia juga menyadari jika seluruh
rahasia terbongkar saat ini, maka Raja Alastair tak memiliki alasan lagi
untuk mempertahankannya. Bila bukan raja yang menyingkirkan, maka
Ratu Amaranta akan dengan senang hati membunuhnya.
 

"Bagaimana kau bisa memiliki mata violet seperti Ratu Amaranta?"


Pertanyaan sulit Raja Alastair merupakan salah satu pertanyaan yang tak
diketahui jawabannya oleh Verity.
 

"Aku tidak tahu." Verity bergumam.


 

"Aku sudah bosan dengan jawaban seperti ini, Clementine." Bahkan Raja
Alastair tahu kalau wanita di hadapannya Clementine. "Mari kita coba
kembali. Siapa namamu yang sebenarnya?"
 

Verity menggigit bibir gelisah. Raja Alastair tampak beratus-ratus kali lebih
mengerikan dari yang selama ini ia lihat. "A-aku...." "
 

"Apa yang Ratu Amaranta perintahkan kepadamu?" Raja Alastair kembali


bertanya sebelum Verity menjawab pertanyaan sebelumnya.
 

"Dia...."
 

"Di mana Putri Clementine yang asli berada?"


 

Tubuh Verity menegang karena takut. Bulir-bulir keringat dingin


membasahi punggung, membuatnya benar-benar menyesal telah
mengikuti perintah Ratu Amaranta. "Aku tidak tahu," cicitnya.
 

"Bahkan Richard pun tak bisa menemukan latar belakangmu." Mata Verity
membelalak kaget, tak menyangka kalau penasihat Raja Alastair telah
berusaha mencari tahu tentangnya. "Hanya ada latar belakang Putri
Clementine."
 

"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" Verity menyadari kalau kini punggungnya
sudah nyaris menabrak dinding dan Raja Alastair masih berusaha
mendekat.
 

"Putri Clementine tinggal di Thaurin selama beberapa tahun, berlindung di


bawah pemerintahan Raja Arthur, dan berperan sebagai tunangan
Alexander." Raja Alastair mengambil sejumput rambut Verity, lalu
menyelipkan ke belakang telinga wanita itu. "Bahkan ciri-ciri Putri
Clementine pun sama denganmu, rambut hitam dan mata violet milik
anggota Kerajaan Selencia."
 

"Tidak mungkin." Verity bergumam. Pangeran Alexander mengatakan hal


sama, tetapi ia yakin kalau ia tak pernah tinggal di Thaurin. Tidak ada
memori apa pun tentang Thaurin atau Pangeran Alexander sewaktu kecil.
"Aku tidak mengingatnya."
 

"Seorang bekas pelayan istana dalam Thaurin bersumpah kalau ia pernah


melihatmu bersama Alexander." Raja Alastair memperhatikan reaksi Verity
dan menyadari kalau wanita ini benar-benar tak mengingat apa-apa. "Kau
pernah memanggilku Al sebelumnya."
 

"Al?" Verity mengerutkan kening tak mengerti. Apa hubungan panggilan Al


dengan Thaurin kali ini?
 

"Alexander pernah menyelamatkanmu beberapa kali. Kurasa itu hubungan


kalian yang tidak bisa dicampuri orang lain bukan?" Suara Raja Alastair
terdengar mencemooh.
 

"Dia hanya pernah menyelamatkanku ketika aku keracunan hemlock."


Verity berusaha mengingat-ingat seluruh memori yang tersimpan di
otaknya, tetapi tetap yakin kalau ia tidak pernah bertemu Pangeran
Alexander sebelumnya.
 

"Apa kau yakin? Lalu siapa Al, Clement? Apa itu aku atau
 

Alexander?" selidik Raja Alastair. Tak ada satu kata yang bisa Verity
ucapkan, membuat Raja Alastair semakin gusar. Pria itu melihat setiap sisi
tubuh Verity sekali lagi. Melihat bibirnya yang memerah, rambut acak-
acakan, leher, dada, dan bajunya yang tampak berantakan, lalu berucap
kasar. "Buat dirimu lebih layak lain kali, Clement."
 

Raja Alastair bisa melihat wajah kaget, takut, bercampur malu yang
teramat dari Verity. Ucapan kasar juga sikapnya telah menghancurkan
harga diri wanita itu.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair tak bisa menyembunyikan rasa gusar melihat Verity yang
selalu kebingungan dan ketakutan bila berada di hadapannya. Ia bisa saja
mencecar sejuta pertanyaan kepada wanita itu, tetapi ia yakin hanya akan
berakhir kesia-siaan. Entah apa yang Ratu Amaranta berikan hingga
berhasil menghapus sebagian besar ingatan Verity. Kedatangan Ratu
Amaranta dan Pangeran Alexander telah berhasil mengobrak-abrik
kerajaan, membuatnya ingin mengusir mereka secepat mungkin.
 
Meninggalkan Verity sebelum selesai urusan mungkin bukan pilihan yang
bijak, tetapi ia membutuhkan waktu sendiri karena beberapa alasan.
Pertama pikirannya kacau akibat kedatangan dua orang yang paling tidak
disukai, kedua karena provokasi Verity yang ujung-ujungnya dihentikan
wanita itu sendiri. Raja Alastair mengakui kalau ia meminum lebih banyak
anggur malam ini karena Ratu Amaranta dan Pangeran Alexander tentu
saja, tetapi pada akhir ia minum semakin banyak untuk menenangkan
darah yang berdesir cepat ketika mengingat setiap inci lekuk tubuh Verity,
juga meredam rasa sakit di tubuhnya.
 

"Sial!" Raja Alastair meneguk kembali anggurnya entah yang ke berapa kali.
 

"Anda membutuhkanku, Yang Mulia?" Richard Blaxton terlihat lelah, tetapi


bukan kali ini ia harus mengikuti perintah dan menemui sang raja di waktu
yang bisa dikatakan tak tepat. Ia bahkan tengah tertidur ketika salah satu
pengawal datang ke bilik dan memberitahunya untuk segera menemui raja.
 

"Kau mau ini?" Raja Alastair menawarkan segelas anggur yang diterima
Richard Blaxton dengan kening berkerut dalam dan wajah kebingungan.
 

"Apa terjadi sesuatu, Yang Mulia?" Richard Blaxton memilih untuk


menaruh kembali gelas itu dan memusatkan seluruh perhatiannya kepada
Raja Alastair. "Apakah terjadi sesuatu kepada Yang Mulia Ratu
Clementine?"
 

Raja Alastair terkekeh. "Apa kau yakin dia benar-benar Clementine,


Richard?"
 

"Menurut sumber yang kudapatkan, dia memang Putri Clementine, Yang


Mulia. Bahkan pelayan Thaurin pun tak bisa berbohong dan mengatakan
kejujuran kepadaku. Pangeran Alexander dan Ratu Clementine
menghabiskan beberapa tahun bersama-"
 
"Cukup!" Raja Alastair mengangkat tangan, memotong perkataan Richard
Blaxton. "Bagaimana dengan belati itu? Dari mana ia mendapatkannya?"
 

Richard Blaxton menghela napas. Belum ada sedikit informasi meyakinkan


mengenai belati itu. Hanya informasi simpang siur yang beredar setelah
beberapa ahli besi juga perhiasan melihat sekilas, salah satunya dari
seorang ahli besi di ujung Selencia. Batu-batu langka di belati hanya bisa
didapatkan di Dragør. Hal yang nyaris tak masuk akal karena Dragør sudah
hancur rata dengan tanah. "Dragør. Belati itu berasal dari Dragør, Yang
Mulia," kata Richard Blaxton ragu.
 

"Dragør?" Raja Alastair mengulangi. "Akan lebih baik bukan bila


Clementine tetaplah Clementine, dan tidak berasal dari Dragør?"
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity berusaha membuat dirinya tampak lebih layak seperti ucapan Raja
Alastair. Ia menurunkan rambut, berusaha menutupi jejak keunguan yang
disebabkan sang raja di sekitar dada juga leher, memoles bedak tebal-
tebal, atau mencari pakaian dengan leher tinggi. Ia menjerit frustrasi di
dalam hati ketika masih ada satu jejak keungun yang tersembunyi rapi di
belakang telinga. Para pelayan sedari tadi hanya bisa membantu
memasangkan pakaian dan memilihkan baju yang tidak membuatnya
terlihat seperti wanita murahan.
 

"Apa ini bagus?" Verity bertanya kepada salah satu pelayan yang sering
membantunya mengenakan korset. Wanita itu hanya tersenyum tipis dan
mengangguk.
 

"Kau tidak perlu khawatir." Verity tersentak kaget melihat Raja Alastair
yang masuk, masih terlihat berantakan dengan kantung mata menghitam
pertanda pria itu tidak tidur sedetik pun sejak keluar dari kamar semalam.
"Apa pun yang kau rencanakan bersama Ratu Amaranta akan membuatnya
semakin senang melihat jejak-jejak yang kutinggalkan di badanmu."
 

Para pelayan undur diri meninggalkan keduanya.


 

Wajah Verity memerah menahan malu. Harga dirinya telah diinjak-injak


para anggota kerajaan yang selalu berpikir kalau mereka punya posisi lebih
tinggi di atasnya. Ia mungkin bukan Putri Clementine asli, tetapi ia juga
wanita yang punya perasaan ingin dihargai.
 

"Bukan Ratu Amaranta yang kukhawatirkan, Yang Mulia." Verity lagi-lagi


merapikan rambutnya yang terurai.
 

"Oh, jadi kau mengkhawatirkan pendapat Alexander terhadapmu?" Raja


Alastair mendekat, menahan pekikan wanita itu dengan sebuah ciuman
dalam.
 

Verity sontak memukul dada raja karena ciuman tak terduga itu
membuatnya tak bisa bernapas. "Apa yang Anda lakukan?" Ia menyadari
Raja Alastair masih dalam pengaruh alkohol dari aroma anggur yang masih
kental.
 

Verity tak menyangka Raja Alastair menciumnya di sepagi ini setelah


kejadian semalam. Ia telah menyiapkan diri untuk menerima hukuman,
dimasukkan ke penjara atau kembali ke Selencia, tetapi tidak dengan satu
ini.
 

"Apa kau akan tetap melakukannya bila Ratu Amaranta tidak


memerintahkanmu?"
 

"Apa yang Anda bicarakan, Yang Mulia?" Verity semakim tak paham.
 
"Apa kau akan menyerahkan dirimu seutuhnya kepadaku tanpa kuminta,
Clementine?"
 

"Kenapa Anda bertanya seperti itu, Yang Mulia?"


 

Raja Alastair tersenyum kecil, nyaris seperti mengejek Verity. "Karena aku
sedang mempertimbangkan untuk menyelesaikan apa yang kau mulai
semalam, Clement."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Tybalt!" Tybalt melihat Barney yang membawa beberapa perlengkapan


baru untuk mereka.
 

"Aku berhasil mengumpulkan ini." Barney menunjuk benda-benda yang


mungkin saja masih bisa digunakan.
 

Tybalt menghela napas panjang, menunduk sekilas untuk membasuh


tangannya di air sungai, lalu membantu Barney. "Apa menurutmu aku
harus menerima tawaran Raja Colthas?"
 

"Bila yang ia katakan benar, aku yakin semuanya akan mengikuti arahanmu.
Jenderal Wildemarr telah berhasil membawa kita sejauh ini. Tapi beliau...."
Barney menarik napas panjang dan melihat Tybalt sekali lagi. "Ratu
Amaranta akan mendapatkan balasannya."
 

"Ayahku datang ke Selencia untuk meminta bantuan." Tybalt


menyingsingkan lengan bajunya. Stok makanan mereka semakin menipis,
ia bisa saja memberi kehidupan yang lebih layak untuk warga Dragør jika
mau menerima tawaran Raja Colthas. Namun, ia harus mengambil langkah
hati-hati dalam menghadapi anggota kerajaan terutama seperti Raja
Colthas yang tidak memberikan tanda setianya secara jelas. "Dia mengira
Ratu Amaranta akan memberikan sedikit bantuan karena dia kembaran
Ratu Mariella."
 

Barney menepuk-nepuk punggung Tybalt. "Apa yang Raja Zacharias


tawarkan kepadamu?"
 

"Ini." Tybalt mengeluarkan sebuah emblem kecil dengan lambang angsa


dan perisai hitam putih milik Dragør. "Dia bisa membangun kembali
Dragør."
 

Barney menatap tak percaya emblem Dragør. Emblem hanya diberikan


kepada anggota atau orang-orang penting di kerajaan. Emblem terakhir
berada di tangan Jenderal Wildemarr, ayah Tybalt, dan yang ia tahu, benda
itu ikut dihancurkan ketika Jenderal Wildemarr berada di Selencia. "Apa ini
milik ayahmu? Dari mana ia mendapatkannya?"
 

Tybalt menggelengkan kepala, lalu mengeluarkan emblem Dragør lain yang


terlihat jauh lebih tua dan usang. "Yang ini milik ayahku."
 

"Kukira emblem ini sudah hancur." Barney terbelalak menatap keduanya.


 

"Aku berhasil menyelamatkan ini." Tybalt menggenggam emblem milik


ayahnya lebih erat, teringat semua pengorbanan sang ayah juga akhir
Dragør yang mengerikan. "Aku tidak tahu dari mana Raja Colthas bisa
mendapatkan emblem yang lain."
 

"Apa yang ia katakan kepadamu?" Barney melihat emblem yang satunya,


lebih berkilauan dan jelas lebih terawat dibanding emblem milik ayah
Tybalt.
 

"Dia bilang akan membantu Dragør meraih kembali kejayaannya." Tybalt


melihat sisa-sisa reruntuhan Dragor dari sudut Hutan Cemara.
 

"Apa yang ia inginkan sebagai balasannya?" Barney bertanya terburu-buru.


Akhirnya mereka menemukan titik cerah setelah bertahun-tahun hidup
terkatung-katung di hutan, dicap sebagai bandit, dan tak diakui oleh lima
kerajaan. "Mereka berusaha mengubur keberadaan Dragør, bahkan
menghapusnya dari peta, dan nyaris menghapus nama Ratu Mariella dan
Raja Ferdinand. Mereka tak akan bisa, Tybalt."
 

"Aku juga tak bisa memercayai Raja Colthas begitu saja, Barney." Tybalt
menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sekaligus. "Emblem
ini milik anggota kerajaan Dragør yang tersisa."
 

"Tak mungkin." Barney membelalakkan mata, mulutnya menganga lebar


tak percaya. "Kukira tidak ada satu pun anggota kerajaan yang tersisa."
 

"Menurutmu begitu?" Tybalt tertawa miris, "Raja Ferdinand sudah mati


dan aku sangat yakin kalau Ratu Mariella juga sudah mati."
 

"Lalu siapa yang tersisa?"


 

"Menurut Raja Colthas, Ratu Mariella masih hidup. Emblem yang berada di
tangan Tybalt berkilauan ketika tertimpa cahaya matahari.
 

"Itu tidak mungkin bukan?" Barney tahu saat serangan datang, orang-orang
pertama yang dibunuh para tentara tentu saja keluarga kerajaan. Raja
Ferdinand adalah orang pertama yang tumbang, mati dengan puluhan
tusukan di dada karena berusaha melindungi keluarganya juga kerajaan
Dragør.
 

"Kau tak akan percaya kalimat yang ia katakan selanjutnya, Barney." Tybalt
memelankan suara, dan kembali melanjutkan, "Keturunan terakhir
Kerajaan Dragør juga masih hidup. Anak Ratu Mariella dan Raja Ferdinand."
 
 

 
 

 
 

 
 

XX
THE VENGEANCE
 

TYBALT MELIHAT SISA-SISA bangunan Kerajaan Dragør yang telah hancur.


"Perang tidak akan terelakkan kali ini."
 

"Aku yakin ini yang terbaik untuk seluruh Dragør yang tersisa." Barney ikut
melihat dari rimbun pepohonan. Ia masih kecil saat perang berkecamuk
dan menghancurkan Drager, tetapi ia tidak bisa melupakan bagaimana
serangan itu menghabisi semua anggota keluarganya. Ia sendiri selamat
karena meringkuk bersembunyi di dekat tungku. Jenderal Wildemarr
menyelamatkan setiap Dragørian yang tersisa dan membentuk kelompok
kecil, lalu mati ketika tiba di Selencia untuk meminta bantuan mereka.
 

"Memilih Colthas sebagai sekutu bukanlah cara terbaik." Tybalt bergumam,


masih teringat kalau Raja Zacharias II juga berperan dalam kehancuran
Dragør.
 

"Namun hanya ini satu-satunya cara yang kita miliki, Tybalt." Barney
menatap satu per satu Dragørian yang tersisa. Mereka hanya rakyat biasa,
tak pernah dibina sebagai tentara.
 
Kemampuan mereka terbatas, tak seperti para tentara yang dimiliki lima
kerajaan. "Perang tak akan bisa dimenangkan tanpa pengorbanan. Kau
masih ingat rasa sakit yang kau rasakan ketika tak bisa melindungi orang-
orang yang kau cintai."
 

Beberapa kali anggota kelompok mereka mati karena dibunuh atau


ditangkap dan dimasukkan ke penjara oleh Austmarr dan Selencia. Garis
perbatasan Dragør yang dipersempit karena sebagian diserahkan kepada
Austmarr dan Selencia, membuat gerak mereka terbatas. Mereka tak bisa
kembali ke Dragør karena kerajaan itu telah benar-benar luluh lantak. Tak
ada kerajaan yang mengakui dan menganggap mereka yang tersisa
hanyalah bandit jalanan. Bergabung dengan Colthas merupakan pilihan
sulit, tetapi Colthas kerajaan pertama yang menawarkan bantuan.
Sementara itu, menemukan keturunan terakhir Dragør adalah prioritas
mereka untuk saat ini.
 

"Aku berharap kita dapat menemukannya dan membangun kembali


Dragør." Tybalt melihat rombongan mereka yang mengikuti dengan
berjalan kaki melewati Raria menuju Colthas. Mereka tak bisa memotong
jalan melewati Austmarr karena para tentara Austmarr sudah dipastikan
akan membunuh mereka di tempat sesuai perintah Raja Alastair.
 

"Sekaligus menghancurkan kerajaan lain yang turut berpartisipasi untuk


menghancurkan Dragor." Tybalt mendongak ketika merasakan tetes demi
tetes air hujan turun dan perlahan membasahi wajahnya.
 

Perjalanan mereka akan lebih sulit kali ini karena harus melewati daerah
jurang terjal yang jarang dilewati. Mereka tak punya pilihan, tempat itu
satu-satunya jalan yang diyakini tak diawasi tentara Austmarr.
 

"Prepare for the war.


 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity tak habis pikir apa yang telah merasuki Raja Alastair hingga keluar
kalimat-kalimat mengejutkan dari mulutnya. Verity membuka mulut sekilas
dan dikatupkan lagi, tak benar benar tahu harus berkata apa kepada sang
raja yang berdiri dan menunggunya mengatakan sesuatu.
 

"Aku...."
 

"Yang Mulia!" Perkataan Verity terputus ketika terdengar ketukan keras


dari pintu. "Yang Mulia!" Sekali lagi terdengar. Verity yakin itu suara Richard
Blaxton karena hanya pria itulah yang berani memanggil raja dengan
tergesa.
 

"Aku akan mendengar jawabanmu nanti." Raja Alastair beranjak membuka


pintu. Benar saja, Richard Blaxton telah menunggu di depan pintu dengan
wajah panik. "Ada apa?"
 

Richard Blaxton melirik Verity sekilas sebelum berbicara kepada Raja


Alastair. "Tybalt dan Dragørian yang lain berpindah ke...."
 

Raja Alastair melirik Verity, lalu membanting pintu, membuat Verity tak
bisa lanjut mendengarkan percakapan mereka.
 

Verity menarik napas panjang dan melihat ke luar jendela. Hujan deras
membuatnya kembali merindukan taman istana yang penuh bunga. Ia
menunduk sedih teringat Jenny, hujan pertama juga terakhir yang
dirasakan tepat saat Jenny diberi hukuman mati oleh Raja Alastair. Kali ini
ia hanya bisa melihat hujan dari balik jendela, menunggu tanpa kepastian
karena ia hanyalah boneka milik Ratu Amaranta dan tidak memiliki
wewenang apa pun di istana.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 
"Siapa yang menyangka kalau hari itu akan segera tiba?" Raja Zacharias
menatap Hadrian, sang adik yang lebih muda dua tahun darinya. Sama
dengan sebagian besar lima kerajaan di Inkarnate, hanya tersisa mereka
berdua dari seluruh anggota kerajaan. Sebagian dibunuh langsung oleh
ayah mereka, Raja Zacharias II, yang tidak ingin membagi kekuasaan.
Sebagian lagi seperti ibu dan adik bungsu mereka, Soraya dan Isaiah
Colthas, mati saat perang besar berkecamuk di Inkarnate. Mereka
terbunuh saat pembunuh bayaran berhasil masuk ke istana.
 

"Harus kuakui kalau kau semakin mirip ayah, Zachary." Hadrian Colthas
melangkah tertatih, kaki sebelah kirinya buntung karena keracunan darah
dan diamputasi. Sebuah tongkat kayu cedar dengan gagang emas
berbentuk simbol Kerajaan Colthas menjadi pengganti kaki kirinya. "Culas.
Mengerikan. Aku bahkan tidak tahu siapa yang lebih mengerikan di antara
kalian sekarang, kau atau Alastair."
 

"Alastair menjadi lebih lembek sejak bertemu Clementine Selencia." Raja


Zacharias menarik napas dalam-dalam, ia masih dapat mengingat aroma
asap juga api ketika mendapati ruang takhta terbakar hebat. Selencia dan
Thaurin mungkin menyerang Dragør hingga membuat kerajaan itu nyaris
lumpuh, di saat bersamaan, Colthas dan Austmarr diserang oleh tentara-
tentara berjubah Dragør. Jumlah mereka tak banyak, tetapi efektif untuk
membunuh anggota inti keluarga kerajaan, membuat ibu dan adiknya
meninggal.
 

Raja Zacharias II menyerang Dragør atas nama balas dendam, tetapi ia tahu
ayahnya ingin membunuh para Dragorian karena mereka perlahan lebih
berkuasa daripada yang seharusnya, menggoyahkan keutuhan Inkarnate,
dan memengaruhi kekuasaannya. Bila Dragør saat itu masih utuh dan tetap
berkembang, bisa saja mereka kini telah menjadi pengganti Austmarr
memimpin lima kerajaan.
 

"Inkarnate, lima kerajaan yang dipimpin oleh satu, Austmarr." Bahkan


setelah perang besar berakhir, hubungan lima kerajaan masih belum
membaik. Semuanya berebut kekuasaan dalam sebuah perang dingin,
diam-diam menyusun strategi terbaik untuk menghancurkan satu sama
lain, seperti Colthas yang mengumpulkan Dragør untuk menjadi sekutu
mereka. "Perang telah berakhir."
 

"Perang tak pernah berakhir, My Dear Brother." Mata hitam Raja Zacharias
berkilat melihat kaki adiknya yang buntung. "Kehancuran Dragør bukanlah
akhir, namun awal dari segalanya."
 

"Apa kau yakin kalau keturunan terakhir Dragør masih hidup?" Hadrian
Colthas menumpukan beban tubuhnya ke kaki sebelah kanan yang masih
utuh, tangannya terasa lelah karena menopang dengan tongkat terus-
menerus.
 

"Mariella Dragør masih hidup, begitu pula anaknya." Ini bukan informasi
yang Raja Zacharias dapatkan setengah setengah. Sebab, tidak ada seorang
pun yang dapat menemukan jasad Ratu Mariella, bahkan di antara
tumpukan mayat-mayat para pelayannya. "Keberadaannya akan
menguatkan hubungan Colthas dan Dragør."
 

"Tapi Dragør tak bisa membawa apa pun." Hadrian melihat senyuman
misterius Raja Zacharias dan menyadari kalau kakaknya mungkin saja tahu
lebih banyak dari apa yang ia perlihatkan. "Kerajaan mereka hancur,
mereka bahkan tak bisa menyumbang tentara untuk perang."
 

"Tidak. Bila kau tak tahu siapa keturunan terakhir Dragør."


 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Pangeran Alexander melangkah memasuki sebuah kamar mewah dengan


pemandangan danau buatan juga hutan cemara yang berbatasan langsung
dengan Dragør. Ratu Amaranta berdiri di depan jendela, terlihat seperti
sudah menunggunya.
 

"Alexander?" Ratu Amaranta berbalik, melihat tubuh tinggi menjulang


Pangeran Alexander, dan mempersilakannya masuk. "Yang Mulia, sampai
sejauh mana rencanamu kali ini?"
 

Pangeran Alexander segera bertanya tanpa basa-basi.


 

"Sampai aku mendapatkan apa yang aku inginkan, Alexander." Ratu


Amaranta menunjuk Dragør yang tersembunyi di balik hutan dan kabut
tipis sisa hujan. "Dragør merupakan bagian Selencia sekarang, namun kau
tahu pasti kalau daerah itu tidak akan pernah benar-benar menjadi milikku
sebelum aku bisa mengendalikan seluruh klan Dragør yang tersisa."
 

"Dia sudah mati." Pangeran Alexander bergumam.


 

"Apa kau tahu apa yang aku dapatkan ketika tiba di Dragør?" Ratu
Amaranta mengernyitkan kening, mengingat kembali kenangan tak
menyenangkan yang membuat cuping hidungnya berkerut jijik. "Mayat.
Mayat bergelimpangan di mana-mana."
 

"Bukankah Selencia yang melakukannya?" Rahang Pangeran Alexander


berkedut tak senang. Ia tak pernah menginjakkan kaki di Dragør, tetapi ia
tahu betul kalau Selencia dan Thaurin selalu punya cara yang rapi untuk
menyingkirkan musuh-musuh mereka.
 

"Aku selalu ingin menghancurkan Mariella. Tapi masih menyisakan rakyat


mereka yang akan patuh kepadaku." Ratu Amaranta telah memikirkan
siasat perang matang-matang saat itu. la bahkan meminta suaminya, Raja
Matthew, untuk menyingkirkan seluruh anggota Kerajaan Dragør, tetapi
bukan berarti ia ingin meluluhlantakkan setiap sisi kerajaan. Selencia
terkenal menyerang dengan cara halus. Lewat jalur politik atau serangan
langsung ke inti kerajaan, tentu saja bukan pekerjaan berantakan yang
memperlihatkan siapa pelakunya secara langsung.
 

"Lalu menurutmu siapa yang membunuh setiap warga Dragør dan


menjadikan mayat-mayat mereka sebagai garis pembatas Dragør?" tanya
Pangeran Alexander.
 

"Austmarr." Ratu Amaranta menatap kedua mata hijau Pangeran


Alexander. "Alastair memerintahkan tentaranya untuk menghabisi setiap
Dragørian yang tersisa."
 

"Bukankah Raja Klaus, ayah Alastair, termasuk salah satu anggota kerajaan
yang membantu Dragør?" Pangeran Alexander tak bisa melewatkan fakta
mencengangkan kalau Raja Alastair memilih jalur yang berbeda dengan
kedua orang tuanya. Raja Alastair tidak menarik seluruh tentaranya,
melainkan memerintahkan mereka untuk membunuh seluruh warga
Dragør yang tersisa, lalu kembali. "Ratu Eleanor bersahabat dengan
Mariella Dragør."
 

"Klaus mati di medan perang Dragør." Ratu Amaranta menjawab


pertanyaan sang pangeran. "Apa kau tak mengenal Raja Alastair? Dia
mempunyai julukan raja yang bengis. Alastair tak punya hati. Di usianya
yang masih terlalu muda, ia telah menjadi raja dan memimpin lima
kerajaan. Apa yang membuatmu meragukan kalau bukan Alastair
pelakunya?"
 

"Bagaimana dengan naga itu?"


 

"Colthas juga ikut menghabiskan yang tersisa." Mata violet Ratu Amaranta
kembali menatap mata hijau Pangeran Alexander. "Apa kau benar-benar
tahu siapa musuhmu yang sebenarnya, Alexander?"
 
"Dragør telah hancur," ulang Pangeran Alexander. "Dan Austmarr akan
menjadi yang berikutnya."
 

"Kenapa kau menikahkan Clementine dan Alastair?" Pangeran Alexander


bertanya kembali. Permainan Ratu Amaranta mungkin lebih sulit dari yang
ia pikirkan, tetapi jelas ratu itu menginginkan kekuasaan yang lebih besar.
Kekuasaan yang telah dipegang oleh Austmarr selama bertahun-tahun
lamanya, kekuasaan yang nyaris diraih Dragør seandainya saja tidak
dihancurkan dua dekade lalu.
 

"Kau pikir aku akan tetap membiarkannya menikahi monster itu?" Ratu
Amaranta tertawa kecil, "Austmarr tidak akan bisa kukuasai tanpa
keturunan kerajaan langsung. Aku tidak bisa mengendalikan Alastair,
mengendalikan anak mereka." namun aku bisa
 

"Anak Alastair dan Clementine?" Pangeran Alexander bisa membaca sedikit


teka-teki Ratu Amaranta. Hanya keturunan langsunglah yang bisa
menguasai sebuah kerajaan. Dengan menjadikan anak Raja Alastair nanti
sebagai bonekanya, Ratu Amaranta bisa menjadi ratu di Austmarr secara
tak langsung.
 

"Aliansi yang paling kuat dibentuk lewat pernikahan, Alexander." Ratu


Amaranta tersenyum sinis. "Seperti Mariella dan Ferdinand Dragør."
 

"Alastair bisa saja membunuh Clementine bila ia tahu rencanamu, Yang


Mulia."
 

"Dia tak bisa membunuh Clementine." Ratu Amaranta membicarakan


Verity seperti tengah membicarakan sebuah bidak catur. "Tidak sekarang,
tidak nanti. Aku pastikan posisi Clementine telah benar-benar kuat
sebelum aku melancarkan rencanaku."
 
"Bagaimana kau bisa yakin kalau Alastair tidak memiliki rencana apa pun
untuk membunuh Clementine, Yang Mulia? Dia tidak memiliki hati," kata
Pangeran Alexander.
 

"Siapa yang tahu, Alexander? Siapa tahu kalau hatinya yang telah lama
membatu bisa berdetak kembali?" Perkataan Ratu Amaranta menyimpan
segudang pertanyaan lain yang semakin menumpuk di benak Pangeran
Alexander. Pangeran Alexander mengetatkan rahangnya tak senang.
 

"Prepare for the war, Alexander."


 

 
 

XXI
SECRET AND LIES
 

RAJA ALASTAIR MENUTUP pintu, lalu menatap Richard Blaxton tajam. "Di
mana Tybalt sekarang?"
 

"Tybalt dan pengikutnya berjalan menuju selatan. Salah satu mata-mata


yang kukirimkan untuk mengikuti gerak-gerak Tybalt, mengatakan kalau
Raja Zacharias menemui Tybalt setelah insiden yang nyaris membunuh
Ratu Clementine." Richard Blaxton mengatakannya dengan nada pelan.
"Kepala pembunuh bayaran dengan emblem Colthas telah dikirim kembali
ke Colthas, namun Raja Zacharias membantah kalau dia yang mengirim
pembunuh bayaran itu."
 
"Apa kau sudah menemukan siapa pembunuh bayaran itu sebenarnya?"
Tindakan Raja Alastair yang langsung membunuh pembunuh bayaran itu
mungkin dianggap sia-sia dan terlalu tergesa, tetapi dengan
pengalamannya menghadapi hal serupa selama bertahun-tahun, ia bisa
menyimpulkan kalau setiap pembunuh bayaran telah siap mati dan tidak
akan membocorkan rahasia siapa pengirimnya. Hal itu menjadi alasan
kenapa ia tetap mempertahankan Clementine karena ia tahu kalau wanita
sebelumnya. itu berbeda dengan pembunuh bayaran
 

Richard Blaxton menggelengkan kepala. "Dari informasi yang tersebar di


dalam istana Colthas, sepuluh prajurit khusus yang dibawa Raja Zacharias
juga ikut kembali bersamanya. Tidak ada satu pun yang kehilangan emblem
mereka." la kemudian mengeluarkan sebuah emblem dengan simbol
Kerajaan Colthas, lalu memperlihatkannya kepada Raja Alastair. "Emblem
ini bukan milik Colthas. Sangat mirip, namun ini palsu."
 

"Apa kau bermaksud mengatakan kalau ada seseorang yang berusaha


untuk mempermainkan kita semua?" Tatapan tajam Raja Alastair terlihat
menusuk.
 

Richard Blaxton meneguk ludah dan mengangguk. "Saya tidak berani


menuduh salah satu dari empat kerajaan lain di Inkarnate kalau merekalah
pelakunya, Yang Mulia." Ia lalu memberanikan diri mengucap sesuatu
kepada Raja Alastair. "Ratu Clementine mungkin benar-benar tidak tahu
apa-apa, Yang Mulia."
 

"Lalu? Apa menurutmu dia akan membunuhku begitu saja tanpa alasan?"
Raja Alastair melangkah menjauh dari depan ruangan, tidak ingin wanita
itu mencuri dengar percakapan keduanya.
 

"Mungkin ia tidak berbohong ketika mengatakan kalau ia sendiri pun tidak


tahu siapa dirinya, Yang Mulia." Richard Blaxton meyadari kalau mungkin
perkataannya terlalu rumit tetapi keberadaan Putri Clementine yang tiba-
tiba juga sangat menyulitkan. Apalagi sikap wanita itu tidak biasa dan
banyaknya pembunuh bayaran yang mengincar nyawanya. Mungkin
seseorang memang mengincar nyawanya."
 

"Apa menurutmu bukan Ratu Amaranta yang berusaha membunuhnya?"


Raja Alastair mengusap dagu pelan ketika menyadari mungkin masih
banyak poin penting yang hilang. "Kalau dia bukan Clementine, di mana
Clementine yang asli berada?"
 

"Menurut kesimpulanku dari semua perkataan Ratu Clementine, Ratu


Amaranta menawarkannya sebuah kesepakatan di mana dia akan bebas
setelah membunuh Anda, Yang Mulia." Richard Blaxton mengawasi
ekspresi Raja Alastair sejenak dan melanjutkan, "Ia lalu mengirim sebuah
racun ketika menyadari Ratu Clementine tidak membunuh Anda. Racun itu
tidak bertujuan untuk membunuh Ratu Clementine, hanya untuk
memperingatinya. Karena menurutku seperti yang tabib kerajaan katakan,
Ratu Clementine memiliki ketahanan tubuh terhadap hemlock. Bila Ratu
Amaranta benar-benar ingin membunuh Ratu Clementine, maka ia akan
memberikan jenis racun lain."
 

"Jadi menurutmu Clementine hanyalah seorang penipu?" Raja Alastair


bertanya dengan nada kesal. Ia benar-benar geram. Berani-beraninya Ratu
Amaranta mengirim seorang penipu kepadanya. "Bagaimana dengan mata
violetnya?"
 

"Saya masih mencari tahu siapa Ratu Clementine yang sebenarnya, Yang
Mulia. Mata violet Ratu Clementine yang membuatku yakin kalau dia anak
Ratu Amaranta, tapi tidak mungkin Ratu Amaranta menyakiti anaknya
seperti itu." Richard Blaxton berkata dengan hati-hati. "Apa yang akan
Anda lakukan kepada Ratu Clementine sekarang? Dia bisa menjadi ratu
yang hebat bila diarahkan dengan baik,"
 
Raja Alastair tersenyum sinis. "Apa yang membuatmu berpikir kalau
seorang penipu bisa menjadi seorang ratu, Richard?"
 

"Dia peduli kepada rakyat Austmarr, Yang Mulia. Dia bisa menjadi
pelembut untuk sisi Anda yang keras." Richard Blaxton mungkin satu-
satunya orang yang berani terang-terangan memberikan nasihat kepada
Raja Alastair semenjak sang raja naik takhta dan memimpin Austmarr
beserta empat kerajaan lain, menggantikan Raja Klaus dan Ratu Eleanor
yang telah meninggal.
 

Raja Alastair tidak langsung membalas perkataan Richard Blaxton, ia hanya


tersenyum sinis melihat pria tua yang selama ini mendampinginya. Richard
Blaxton telah menjadi penghalang untuk orang yang ingin mendekati Raja
Alastair dan menjadikan raja muda itu sebagai bonekanya. Sebagian
mungkin beranggapan kalau ia telah menjadi ayah asuh untuk sang raja,
tetapi di mata Raja Alastair yang tidak memiliki hati, ia tetaplah penasihat,
yang dapat memberikan saran-saran masuk akal demi kemajuan kerajaan.
 

"Kita lihat saja nanti Richard."


 

"Bagaimana dengan Tybalt, Yang Mulia? Apa yang harus lakukan


kepadanya? Apakah kita membunuhnya atau-"
 

"Biarkan dia masuk ke Colthas. Minta mata-matamu di dalam istana


Colthas untuk melaporkan setiap kegiatan yang mereka lakukan di sana!"
potong Raja Alastair.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity menatap Ratu Amaranta yang duduk tepat di hadapannya. Wanita


itu mengunyah makan siang dengan tenang dan elegan. Gaunnya terlihat
rapi, begitu juga rambut pirangnya.
 
"Aku akan kembali ke Selencia," katanya.
 

Raja Alastair menelan makannnya, lalu meneguk segelas air putih yang
disediakan pelayan. "Tentu saja kau harus kembali," sahutnya.
 

Ratu Amaranta tersenyum tenang, tidak terpengaruh sedikit pun dengan


sikap tidak bersahabat Raja Alastair. "Kuharap kali ini kau dapat menjaga
putriku dengan baik, Yang Mulia."
 

Raja Alastair mengetatkan rahangnya tidak senang. "Aku yang akan


membunuh mereka dengan tanganku sendiri bila itu yang kau harapkan."
 

"Tentu saja. Tentu saja." Ratu Amaranta tertawa kecil. Ia lalu melirik
Pangeran Alexander di sebelahnya dan ikut makan dengan tenang, tidak
seperti Verity yang begitu terlihat gugup. "Alexander akan tetap di sini. Dia-
"
 

"Aku menolak." Raja Alastair mengatakannya tegas bahkan sebelum Ratu


Amaranta menyelesaikan kalimatnya.
 

"Alexander dapat membantu Anda ...." ." Ratu Amaranta berusaha


beragumentasi, tetapi terdiam ketika menerima tatapan tajam Raja
Alastair.
 

"Tidak! Aku tidak mengizinkan orang asing tinggal di istanaku. Ini bukan
istanamu, Amaranta! Hanya aku yang berhak menentukan siapa yang
tinggal atau keluar dari istana ini," tegas Raja Alastair.
 

Ratu Amaranta terdiam, lalu berkata dingin. "Aku mengerti, Yang Mulia."
 

"Clementine." Verity tersentak kaget, buru-buru ia mendongak, dan


melihat Pangeran Alexander yang memanggil namanya. Pria itu terlihat
sedikit khawatir ketika menatapnya. "Apa kau baik-baik saja? Kau nyaris
tidak menyentuh makananmu."
 

"Aku baik-baik saja," sahut Verity cepat. Ia menggosok tengkuk karena


tidak nyaman dengan gaun berleher tinggi yang dikenakan.
 

"Apa kau sakit?" Pangeran Alexander terus melihat wajah pucat Verity yang
terlihat begitu gugup.
 

"Tidak. Aku baik-baik saja." Verity kembali menyahut cepat.


 

"Kenapa-"
 

"Cukup!" Raja Alastair memotong pembicaraan mereka, wajahnya berkerut


tak senang. "Dia baik-baik saja, jadi kau tak perlu khawatir. Kalau pun
terjadi sesuatu pada ratuku, maka para tabib Austmarr yang akan
mengobatinya. Aku tidak ingin ada pembicaraan apa pun lagi, kalian bisa
pulang setelah makan siang."
 

Suasana tegang dan kaku di meja makan membuat Verity menarik napas
panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Setelah ini ia harus segera
menyusun rencana yang mungkin saja dapat menyelamatkannya nanti.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Setelah perjalanan panjang dari Dragør menuju Colthas, mereka akhirnya


tiba di depan pintu gerbang Colthas. Tybalt berjalan paling depan,
memperlihatkan penanda khusus yang diberikan Raja Zacharis kepadanya.
 

"Siapa dan apa tujuan kalian?" Pengawal yang bertubuh lebih tinggi dan
besar dari Tybalt menatap selidik.
 
"Tybalt Wildemarr, beritahu Raja Zacharias Colthas kalau aku ingin
bertemu dengannya." Pengawal itu menatap Tybalt tak ramah. Matanya
terpaku pada penanda yang Tybalt bawa, lalu mengangguk ke arah
rekannya yang membukakan pintu gerbang untuk mereka.
 

"Hanya boleh satu orang yang masuk istana menemui Raja Colthas.
Pengikutmu harus menunggu di luar istana."
 

Langkah Tybalt yang besar dan lebar berjalan cepat masuk melewati
gerbang besar Kerajaan Colthas. Simbol Colthas berada di mana-mana.
Para warga Colthas memiliki ciri khas unik. Mereka semua berhenti sesaat
untuk menatap selidik Tybalt dan rombongannya.
 

"Aku ingin pengikutku juga masuk istana." Tybalt melihat sebuah bangunan
besar yang berdiri di tengah-tengah kota. Istana Colthas cukup unik
rupanya, tidak seperti Austmarr atau kerajaan lain yang selalu berada di
ujung bukit, jauh dari pemukiman.
 

"Tidak bisa!" Pengawal itu menggeram marah dan menyenggol bahu


Tybalt dengan tangannya yang besar.
 

"Woah, woah. Tenang! Apa jaminan yang bisa kau berikan kalau kami akan
baik-baik saja?" Barney maju dan menatap tajam si pengawal.
 

"Kau para bajingan-"


 

"Tybalt Wildemarr!" Salah satu pengawal khusus Raja Colthas yang


menyematkan emblem kerajaan di pakaiannya, menyapa ketika mereka
tiba di pintu gerbang istana. "Ada apa ini?"
 

"Aku ingin semua Dragør ikut masuk bersamaku." Tybalt maju dan
berbicara lurus dengan pengawal khusus Raja Colthas.
 

"Tentu saja," ucap pengawal itu tenang, lalu mempersilakan semuanya


masuk setelah menatap tajam para penjaga gerbang. "Raja Zacharias
sudah menunggumu, Tybalt. Pengikutmu akan diberi jamuan makan di
ruang makan istana selama kau berdiskusi dengan Raja Zacharias."
 

Tybalt menatap pria itu penuh selidik sebelum


mengangguk. "Baiklah."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Tybalt Wildemarr, kudengar ada beberapa masalah saat kau tiba di


Colthas." Raja Zacharias menyambut dengan senyuman lebar di ruang
singgasana.
 

Tybalt menatapnya curiga. Baru beberapa menit lalu ia mendapatkan


masalah, tetapi kabar telah sampai di telinga Raja Zacharias.
 

"Aku datang ke sini bukan tanpa alasan, Zacharias," ucap Tybalt tak senang.
"Kau memberikan sesuatu yang belum dapat dipastikan."
 

Raja Zacharias tertawa kecil. "Tentu saja semua yang kuberikan telah pasti
kebenarannya, Tybalt."
 

"Apa yang kau inginkan?" Tybalt tak ingin berbasa-basi dengan Raja
Zacharias. Semua anggota kerajaan punya maksud dan niat tersembunyi
yang tentu saja dapat menghancurkan bila ia salah mengambil langkah.
 

"Nagaku." Raja Zacharias menjawab singkat.


 
"Nagamu yang menghancurkan Dragør. Tidak ada seorang pun yang bisa
mengontrol naga selain keturunan langsung Colthas." Tybalt berkata
geram.
 

"Mungkin kau lupa kalau ayahku orang terakhir yang dapat mengontrol
Qyrsi." Raja Zacharias terdiam sesaat. "Qyrsi masih berada di Dragør,
bahkan setelah menghancurkan kota itu."
 

"Kalian menutupi apa yang terjadi di dalam Dragør, bahkan menghapus


namanya dari peta dan buku-buku sejarah kalian.
 

Aku tidak tahu apa yang kalian pikirkan pada saat mengumumkan kalau
Dragør tak pernah ada, bahkan membiarkan Selencia dan Austmarr
mengambil sebagian besar wilayahnya."
 

Semua tangisan, rintihan, teriakan minta tolong ketika para tentara


Austmarr datang menyerang, juga napas api Qyrsi naga milik Colthas yang
dikirim untuk menghancurkan Dragor-masih teringat begitu jelas di benak
Tybalt. Hanya segelintir kecil dari mereka yang selamat dan
mengingatkannya kalau Dragør masih ada.
 

"Apa kau tahu kalau Selencia yang memulai perang lebih dulu?" Raja
Zacharias bertanya tenang. Kebencian Ratu Amaranta kepada
kembarannya sendiri, Ratu Mariella yang kemudian menikah dengan Raja
Ferdinand Dragor, telah menjadi rahasia umum untuk seluruh penduduk
Inkarnate. Selencia yang menghabisi keluarga Kerajaan Dragør.
 

"Aku tahu itu. Seandainya ayahku tahu lebih cepat, maka dia tidak akan
pergi menuju Selencia untuk meminta bantuan ratu licik itu." Tybalt masih
ingat ketika ia harus menerima kenyataan kalau ayahnya dihukum gantung
oleh Selencia entah atas dasar kesalahan apa. Ia masih ingat kalimat
terakhir sang ayah sebelum mati. Jenderal Wildemarr berjanji untuk
menghancurkan Selencia dan membalaskan dendam Dragør kepada sang
ratu.
 

lima kerajaan adalah saran Raja Alastair." Raja Zacharias berjalan


"Menghapus nama Dragør dari peta ataupun buku sejarah menuruni anak
tangga yang mengantarkannya ke hadapan Tybalt.
 

"Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Zachary?" Tybalt marah.


 

"Kesetiaanmu di bawahku selama kau berusaha mendapatkan anak Ratu


Mariella dan Raja Ferdinand yang hilang setelah perang." Raja Zacharias
berkata dengan nada serius. "Emblem Dragør yang kutemukan adalah
emblem anggota kerajaan yang asli, Tybalt. Seseorang menjualnya karena
emas juga beberapa permata berharga di emblem itu, tanpa menyadari
kalau benda itu milik anggota kerajaan Dragør yang hilang."
 

"Apa emblem ini milik Ratu Mariella?" Tybalt mengeluarkan emblem


dengan simbol Kerajaan Dragør.
 

"Tidak. Ini emblem milik anak Ratu Mariella," jawab Raja Zacharias.
 

"Dari mana kau tahu?" Tybalt membalik emblem, tetapi tidak menemukan
satu pun petunjuk kalau emblem itu milik anak Ratu Mariella. "Bahkan
tidak ada satu pun yang tahu di mana Ratu Mariella berada sekarang atau
apakah anaknya masih hidup."
 

"Anak Ratu Mariella masih hidup, aku melihatnya dengan mata kepalaku
sendiri." Raja Zacharias tersenyum kecil. "Anak Ratu Mariella dititipkan
kepada pengasuhnya, seorang wanita Dragør yang mati karena pembunuh
bayaran mengincar nyawa anak Ratu Mariella."
 
"Kau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri?" Tybalt menatap Raja
Zacharias tak percaya.
 

"Setelah itu anak Ratu Mariella menghilang. Tak ada seorang pun yang
menemuinya lagi dan aku juga mengira kalau ia sudah mati." Raja Zacharias
mengabaikan pertanyaan Tybalt dan terus melanjutkan kalimatnya.
"Sampai aku melihatnya langsung."
 

"Dari mana Zachary?" kau mendapatkan semua informasi ini,


 

"Ayahku, Zacharias II adalah salah satu orang yang mengincar nyawa anak
Ratu Mariella. Dia mencari-cari anak Ratu Mariella dan aku menemukan
sedikit informasi tentangnya. Ayahku menginginkan kekayaan yang akan
dia dapatkan bila berhasil mengusai Dragør." Raja Zacharias mungkin tidak
ingin kejayaan Dragør pada saat itu karena ia masih sangat muda. "Dragør
merupakan salah satu kerajaan terkaya, mereka punya tambang permata
dan baja. Sebagian besar senjata dibuat oleh Dragør pada saat itu, dan
sekarang Austmarr menguasai tambang-tambang Dragør."
 

"Apakah kau tidak sama seperti ayahmu yang juga mencari anak Ratu
Mariella untuk mengeruk kekayaan Dragør?" selidik Tybalt.
 

"Kami punya misi yang berbeda, Tybalt. Ayahku menginginkan seluruh


kekuasaan Inkarnate, sementara aku hanya ingin mencari pelaku
sebenarnya yang telah membunuh ibu dan adikku." Ekspresi dingin Raja
Zacharias membuat Tybalt menyadari kalau sang raja mungkin benar-benar
jujur.
 

"Lalu siapa anak Ratu Mariella?"


 

"Kau juga pernah melihatnya, Tybalt. Matanya violet seperti Ratu Mariella
karena dia keturunan Selencia langsung, dan beberapa ciri khas lainnya
sama dengan Raja Ferdinand, seperti rambutnya yang hitam. Anak Ratu
Mariella adalah Putri Verity Dragør atau yang sekarang kita kenal dengan
nama Ratu Clementine Selencia."
 

Sebuah kebenaran telah terungkap dan tidak bisa lagi ditutupi.

XXI
THE FATEFUL NIGHT
 

Dragor
Great War I, Mid Fall (19 tahun yang lalu)
 

SUARA HUJAN DERAS dan angin kencang di pertengahan musim gugur


mengentak-entakkan pintu juga jendela berkaca tebal Istana Dragør. Ratu
Mariella menarik selimut tebal yang terbuat dari bulu beruang hasil buruan
suaminya, Raja Ferdinand. Mata violetnya menatap api unggun yang
bergerak gerak mengikuti embusan angin. Malam semakin larut dan Raja
Ferdinand tidak kunjung kembali, membuatnya sedikit cemas ketika
mengelus perut yang membuncit pertanda kehamilannya mulai memasuki
fase terakhir. Ia menghela napas panjang, menghitung di dalam hati
sebelum kakinya turun dari kasur, dan
 

berjalan menuju pintu tanpa alas kaki. "Yang Mulia!" Marja, pelayan
pribadinya yang telah sejak lama, memanggil. "Anda tidak boleh keluar."
 

Wanita muda itu menuntun tubuh sang ratu agar kembali masuk ruangan.
 

"Apa yang kau bicarakan?" Ratu Mariella mengernyitkan kening. Ia tidak


sempat melihat apa pun di luar ketika Marja tiba-tiba muncul dan
menuntunnya kembali masuk kamar, lalu mengunci pintu.
 

"Ada banyak tentara di luar sana, Yang Mulia. Raja Klaus bahkan datang
dari Austmarr." Pupil mata cokelat milik Marja membesar, napasnya
memburu, keringatnya bercucuran. "Anda tidak boleh keluar."
 

Ratu Mariella menggenggam tangan Marja yang dingin, lalu menatap


kedua mata wanita itu. "Apa yang Klaus lakukan di sini? Ada apa di luar
sana?" Ia berusaha bersikap tenang. Perannya sebagai ratu membuatnya
harus memikirkan strategi juga siasat di saat-saat genting.
 

"Ada banyak tentara." Marja mengulangi. Wajahnya pucat pasi, tangannya


gemetar, dan semakin dingin ketika Ratu Mariella memegangnya. "Mereka
membunuhnya."
 

"Apa yang kau bicarakan, Marja?" Ratu Mariella berusaha bersikap tenang,
tetapi pikirannya kini dipenuhi oleh sang suami. "Apa terjadi sesuatu pada
Ferdinand?"
 
"Tentara-tentara itu datang tiba-tiba. Mereka membunuh semuanya!"
Mata Marja melihat ke seluruh penjuru ruangan. Ia tiba-tiba melepaskan
genggaman tangan sang ratu dan berlari mengambil sofa, kemudian
mendorongnya ke pintu, memblokir akses masuk. "Anda harus segera
pergi, Yang Mulia."
 

"Di mana Jenderal Wildemarr?" Ratu Mariella berseru tiba tiba ketika
melihat Marja berusaha mendorong furnitur yang bahkan lebih besar dari
ukuran badannya ke depan pintu. "Di mana Ferdinand?"
 

"Aku tidak tahu. Anda harus segera pergi!" Marja mendorong furnitur
terakhir, sebuah kursi berukuran sedang, lalu meletakkan di depan pintu.
 

"Yang Mulia...." .." Marja mendekati Ratu Mariella yang masih terdiam di
tengah-tengah ruangan. Ia berlutut di hadapan sang ratu dan
menggenggam kedua tangannya. "Anda harus pergi. Masa depan Dragør
berada di tangan Anda."
 

Wajah pucat pasi Marja juga air matanya yang mulai berlinang, membuat
Ratu Mariella menarik napas panjang. Ia ikut berlutut, lalu membantu
wanita itu untuk berdiri. "Bagaimana Ferdinand?"
 

Air mata Marja terus bercucuran ketika berucap dengan kalimat putus-
putus. "Raja Ferdinand sudah mati, Yang Mulia. Mereka membunuhnya,
para tentara itu membunuhnya...."
 

Ratu Mariella memejamkan mata, berusaha menelaah segala situasi yang


ada. "Baiklah," ucapnya dengan nada getir yang tidak bisa disembunyikan.
"Kita lewat sini."
 

Ratu Mariella berjalan menuju lemari besar tempat gaun gaunnya


tersimpan, masuk, dan membuka sebuah jalan lain. Pintu keluar rahasia.
Sebelum masuk, ia berbalik dan melihat Marja. "Bagaimana dengan
Klaus?"
 

"Aku tidak tahu," jawab Marja sembari tersedu-sedu. Kerajaan yang selama
ini melindunginya, tiba-tiba saja hancur dalam semalam. Ia tersentak kaget
ketika mendengar gedoran pintu juga suara sekumpulan laki-laki yang
sepertinya tengah bersiap mendobrak pintu. "Anda harus segera pergi,
Yang Mulia!"
 

"Ikutlah denganku." Ratu Mariella mengulurkan tangan, meminta wanita


yang beberapa tahun lebih muda darinya untuk masuk lebih dulu melewati
pintu rahasia.
 

"Harus ada seseorang yang menahan para tentara itu, Yang Mulia." Marja
mengerjapkan mata. Tubuhnya masih gemetar hebat mengingat ia segera
berlari ketika melihat salah satu tentara Dragor ditusuk, kepalanya ditebas
hingga jatuh dan terguling ke dekat kakinya.
 

"Kau harus ikut denganku!" Ratu Mariella menarik tangan Marja, membuat
tubuh wanita itu secara refleks terdorong dan masuk ke jalur rahasia.
 

Ratu Mariella menutup pintu lemari tepat saat para tentara berhasil
mendobrak pintu kamar dan meneriakkan namanya berulang kali. Tentara-
tentara dengan emblem Selencia tersemat di dada mereka, tak berapa
lama, tentara Thaurin juga ikut masuk menyerbu kamar Ratu Mariella.
 

"Selencia," bisik Mariella ketika ia menutup pintu lemari, lalu ikut bersama
Marja memasuki lorong gelap menuju dunia luar.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"The king is dead. Your king is dead!"


 

Jenderal Wildemarr mengerahkan seluruh sisa-sisa tenaganya melawan


seorang tentara berjubah hitam abu-abu milik Colthas. Ia mendorong
lawan keras, lalu menusuk lehernya.
 

"Yang Mulia!" Jenderal Wildemarr bergumam gusar. Serangan itu datang


begitu tiba-tiba, hanya dalam semalam Raja Ferdinand diumumkan telah
meninggal. "Tidak mungkin. Tidak mungkin...."
 

Beberapa saat lalu ia sendiri yang menerima kedatangan Raja Klaus


bersama pasukannya. Tidak mungkin Raja Ferdinand mati begitu saja ketika
ada banyak tentara yang melindunginya di istana.
 

"Ratumu juga telah mati. Menyerahlah!" Seruan terdengar Seluruh tentara


Dragør menatap Jenderal Wildemarr, lagi. menunggu perintahnya.
 

"Segera cari warga yang masih hidup. Kumpulkan mereka, lalu pergi ke
perbatasan Selencia!" Jenderal Wildemarr memberikan perintah
terakhirnya kepada para tentara Dragør yang tersis. Ia lalu melepaskan
jubah kebangsaan dan menggantinya dengan jubah tentara Colthas yang
baru saja ia lawan.
 

Samar-samar terdengar suara Qyrsi, naga milik Colthas yang selama ini
terikat di penjara bawah tanah Colthas. Bila Qyrsi sudah keluar dari
sangkarnya, maka bisa dipastikan tidak ada lagi kesempatan bagi Dragør
untuk melawan. "Apa yang akan Anda lakukan, Jenderal?"
 

"Aku akan ke istana sebelum mereka mengambil jasad Raja Ferdinand!"


Jenderal Wildemarr mengambil pedangnya dan mengangguk kepada
seluruh tentara yang tersisa. "Tunggu aku di perbatasan."
 

Jenderal Wildemarr berlari melewati puing-puing reruntuhan bangunan.


Suara pekikan juga kepakan sayap Qyrsi membuatnya refleks mendongak
dan melihat naga itu mengembuskan napas apinya yang menghancurkan
istana.
 

"Tidak..." Jenderal Wildemarr berlari menuju istana. Namun, kini Qyrsi


tidak lagi menyerang istana, napas apinya berembus menghancurkan apa
pun di bawahnya.
 

Jenderal Wildemarr melihat anak buahnya yang baru beberapa menit lalu
ia tinggalkan. Serangan lain datang dan ia menyadari seragam tentara
Austmarr yang berwarna merah serupa darah, serta simbol singa ada di
setiap tameng yang mereka bawa. Para pemanah, pasukan berkuda, juga
para prajurit biasa membunuh warga Dragør satu per satu.
 

"Austmarr." Sang jenderal bergumam. Kakinya seperti terpaku di tempat,


tak bisa lagi bergerak menuju istana ketika melihat sekutu mereka berubah
menjadi lawan.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Yang Mulia, apa Anda baik-baik saja?" Marja membantu Ratu Mariella
keluar dari lubang yang tepat mengeluarkan mereka di sebuah bukit tepi
hutan perbatasan.
 

Perjalanan mereka sepanjang lorong rahasia dipenuhi ketidakpastian


karena kegelapan yang melingkupi. Marja hanya bisa meraba-raba dinding
dan menerka sejauh mana mereka harus berjalan sebelum menemukan
pintu keluar. Malam telah beranjak pagi, sisa-sisa hujan masih
menyelimuti.
 

Ratu Mariella menyambut uluran tangan Marja, sementara salah satu


tangannya refleks menutupi mata ketika melihat sinar matahari yang
sebentar lagi terbit. Kedua kakinya lecet dan terluka karena tidak
mengenakan alas kaki ketika kabur dari kerajaan.
 

"Marja!" panggilnya.
 

"Anda terluka, Yang Mulia!" Marja buru-buru melepaskan sepatunya, lalu


memberikan kepada Ratu Mariella. la menyalahkan diri sendiri karena tidak
memperhatikan kondisi sang ratu saat memaksa pergi dari kejaran tentara-
tentara itu.
 

"Marja..." Ratu Mariella mengabaikan Marja yang kini berjongkok berusaha


memakaikan sepatu ke kedua kakinya. "Marja, lihat di sana!"
 

Marja mendongak saat sang ratu menyentuhya pundaknya. "Oh Tuhan!"


Seluruh tubuhnya lemas melihat kerajaannya hancur.
 

Dari kejauhan ia bisa melihat bendera perang milik Colthas dan Austmarr,
satu per satu tentaranya membunuh warga Dragør yang bahkan tidak
memiliki senjata untuk bertahan atau melawan. Perang ini tidak adil, sama
sekali tidak adil. Satu per satu warga Dragør tumbang bersama rumah-
rumah mereka.
 

"Tidak!" Mata Marja melebar melihat Qyrsi, naga yang selama ini hanya
dianggap rumor. Tidak seharusnya Qyrsi keluar dan ikut memorak-
porandakan Dragør. "Austmarr Austmarr ikut menyerang Dragør." Ia
melihat salah satu tentara berjubah merah Austmarr menusuk salah satu
warga Dragør.
 

"Tidaaaaak!" Ratu Mariella jatuh terduduk ketika melihat Qyrsi


mengembuskan napas apinya ke Istana Dragør, meruntuhkan istana itu
perlahan-lahan. "Ferdinand..... Ferdinand...."
 
"Mereka bersama-sama menghancurkan Dragør." Marja bisa melihat sang
ratu menggenggam tanah begitu erat.
 

"Mereka semua akan hancur! Mereka semua...." "Yang Mulia!" Marja


menatap khawatir Ratu Mariella.
 

Ada begitu banyak kehancuran yang tercipta begitu saja. Dimulai dari
ancaman Selencia ke Dragør, lalu serangan tiba-tiba yang menghancurkan
Dragør. Perang ini tidak adil, dan dari apa yang Marja lihat selama ini,
perang selalu membawa sisi tergelap dalam diri seseorang.
 

"Aku mengutuk Raja Austmarr! Hatinya akan semakin mengeras seiring


waktu berjalan. Dia tidak akan mati bila ada senjata yang melukainya,
namun akan merasakan beribu-ribu kali rasa sakit." Mata violet Ratu
Mariella berkilat marah.
 

Ferdinand, suaminya sendiri dihancurkan sekutu mereka. Kerajaan-


kerajaan lain berbondong-bondong menghancurkan kerajaan mereka. "Aku
bersumpah demi tanah Dragør yang tidak akan pernah menerimanya!
Senjata-senjata yang berasal dari tanah Dragør akan membuatnya
merasakan kematian. Namun dia tidak akan mati, tidak sebelum hatinya
yang mengeras kembali melembut." Kedua tangan Ratu Mariella
menggenggam tanah yang masih basah karena hujan semalam. "Dia akan
merasakan ribuan kematian sebelum mati yang sebenarnya!"
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Jenderal!" Jenderal Wildemarr berjalan tertatih. Ia bahkan belum sempat


mendekati istana ketika Qyrsi menyerang menghancurkan separuh istana.
 

"Jenderal?" Anak buahnya berkumpul di satu titik perbatasan Selencia


bersama sekelompok warga Dragør yang berhasil diselamatkan. "Raja dan
ratu Dragør telah mati. Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
 

"Ayah?" Tybalt berlari menuju sang ayah, lalu memeluk tubuhnya yang
jauh lebih besar. Jenderal Wildemarr hanya bisa mengelus puncak kepala
 

anaknya sedih. "Kita akan pergi menuju Selencia."


 

"Selencia?" Anak buahnya saling bertanya.


 

Jenderal Wildemarr menatap warga Dragør satu per satu termasuk anak
buahnya yang selama ini menerima keputusannya tanpa bertanya.
Kerajaan tanpa pemimpin akan hancur. Kerajaan-kerajaan lain akan
berusaha mengklaim kekuasaan mereka, para petinggi akan berlomba-
lomba berusaha menjadi raja, tetapi tidak akan ada raja yang sebenarnya
selain keturunan langsung Dragør.
 

"Ratu Amaranta adalah saudara Ratu Mariella. Hanya ini yang bisa
kupikirkan untuk saat ini. Meminta bantuan Ratu
 

Amaranta," tutur Jenderal Wildemarr. "Apa kita semua akan ikut ke


Selencia?" Salah satu kembali bertanya. Jumlah mereka cukup banyak bila
tiba-tiba masuk ke Selencia.
 

"Tidak. Cukup lima orang saja." Jenderal Wildemarr memilih beberapa


warga Dragør juga tentaranya yang akan ikut menemani.
 

"Ayah!" Tybalt mencengkeram tangan ayahnya. Kejadian ini sudah cukup


membuatnya ketakutan, ia tidak ingin sang ayah pergi.
 

"Ayah akan kembali, Ty. Berjanjilah kalau kau akan menjadi penggantiku
selama aku pergi." Jenderal Wildemarr menunduk, menyejajarkan wajah
keduanya, lalu berdiri dan mengusap kepala Tybalt. "Ayo!"
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Ratu Amaranta menatap pria yang berlutut di hadapannya. Jenderal


Wildemarr yang terkenal sebagai salah satu jenderal terkuat di Inkarnate
kini berlutut di hadapannya, meminta bantuan karena ia adalah saudara
Ratu Mariella.
 

Ratu Amaranta tersenyum tipis, perang besar yang ia mulai membawa


petaka tidak hanya untuk Dragør, tetapi juga dirinya. Raja Matthew
Selencia mati di tanah Dragør. Begitulah perang, perang hanya akan
membawa kehancuran bagi semua orang yang terlibat di dalamnya.
Namun, sebagai seorang ratu juga
 

orang yang memulai perang ini, ia beruntung karena Dragør mendapat


kerusakan terbesar.
 

"Aku tidak menyangka kalau kau akan datang secepat ini, Jenderal." Ratu
Amaranta berhenti di hadapan Jenderal Wildemarr. "Bagaimana
saudariku?"
 

"Ratu Mariella masih belum bisa ditemukan," jawab Jenderal Wildemarr.


Senyuman di bibir Ratu Amaranta menghilang, digantikan ekspresi datar.
"Apa yang kau inginkan, Jenderal?"
 

"Perlindungan kepada rakyat Dragør, Yang Mulia." Jenderal Wildemarr


melihat ekspresi tak terbaca Ratu Amaranta dan menyadari betapa
miripnya wanita di hadapannya ini dengan Ratu Mariella.
 

"Mariella bukan lagi ratu, dia sudah mati." Ratu Amaranta berdecak tidak
puas.
 
"Aku tidak akan mengatakan kalau dia sudah mati sebelum aku melihatnya
secara langsung." Jawaban diplomatis Jenderal Wildemarr membuat Ratu
Amaranta berusaha menahan emosi.
 

"Kau meminta perlindungan kepada Selencia, tetapi tak mau mengakui


kalau Dragør telah hancur dan ratumu telah mati," ketus Ratu Amaranta.
 

Jenderal Wildemarr berusaha menerka ekspresi Ratu Amaranta dan


menyadari kejanggalan kecil yang tidak bisa wanita itu tutupi. Rasa
bencinya kepada Ratu Mariella.
 

"Ratu Mariella akan selamanya menjadi ratu ......" Kata-kata Jenderal


Wildemarr terhenti ketika mendengar tawa kecil Ratu Amaranta. "Kalian
bersama-sama menghancurkan Dragør."
 

Jenderal Wildemarr menyadari kesalahannya ketika melihat wajah Ratu


Amaranta. Sekelebat ingatannya tentang serangan di Dragør, Qyrsi yang
menghancurkan istana, juga ratus bahkan ribuan penduduk dibunuh tanpa
ampun oleh kerajaan-kerajaan lain, membuat sang jenderal sontak menarik
pedang dan mengarahkannya ke Ratu Amaranta.
 

"Hahaha. Kau kira kau bisa membunuhku semudah itu, Jenderal?" Tawa
mengejek Ratu Amaranta membuat Jenderal Wildemarr tidak segan-segan
menyerang. Akan tetapi, di saat bersamaan puluhan tentara Selencia
mengepung. "Kau bisa melukaiku, Martin. Tapi ingatlah, keluargamu juga
Dragorian yang berada di garis perbatasan akan mati di hadapanmu."
 

Jenderal Wildemarr menurunkan pedangnya.


 

"Aku akan membiarkan mereka yang berada di garis perbatasan tetap


hidup, sementara kau dan keempat Dragørian yang berada di sini, akan
menerima hukuman gantung karena berusaha mencelakai nyawaku." Ratu
Amaranta tersenyum tipis melihat seorang Jenderal Martin Wildemarr
menyerah di hadapannya.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Dragør
After The Great War I, Early Winter (19 tahun yang lalu)
 

"Yang Mulia!" membungkam siapa pun yang hendak berbicara kepadanya.


Ratu Amaranta mengangkat tangan,
 

Di hadapannya ada beberapa potongan tubuh rakyat Dragør yang disusun


membentuk pembatas. Musim dingin yang tiba lebih awal, membuat
tubuh-tubuh itu membeku sekaligus mengawetkannya. Hewan-hewan
karnivora tengah hibernasi menjadi alasan kenapa tubuh-tubuh itu tetap
utuh.
 

"Lepaskan para serigala itu!" Raja Arthur memerintahkan salah satu


tentara untuk melepaskan sekumpulan serigala yang segera berlari buas
mengejar manusia yang mungkin masih tersisa. "Amaranta!"
 

"Austmarr yang melakukannya." Salah satu jenderal yang berasal dari


Thaurin segera menyuarakan pendapatnya. "Mereka Austmarr, mereka
membunuh dengan sadis seperti ini!"
 

"Aku selalu menginginkan apa yang saudariku miliki, Arthur." Ratu


Amaranta turun dari kudanya, lalu berjalan melewati jasad-jasad itu.
Melihat wajah mereka yang membeku ketakutan selamanya.
 

"Ratu Mariella telah mati, Yang Mulia." Jenderal itu berkata kembali.
 
"Amaranta!" Raja Arthur tetap di atas kudanya. Wajahnya mengernyit jijik
melihat tubuh membeku para warga Dragør.
 

"Kita terlalu terlambat bukan?" Ratu Amaranta tersenyum sinis. "Tidak ada
yang tersisa selain segelintir kecil para Dragør yang berkumpul di garis
perbatasan, mengais-ngais belas kasihan kerajaan lain."
 

"Eleanor Austmarr dibunuh oleh Dragør saat Klaus pergi untuk membantu
Dragør."
 

"Mereka akan saling menunjuk siapa yang menyerang lebih dahulu. Dragør
atau Austmarr." Ratu Amaranta berhenti di salah satu mayat gadis kecil
yang masih utuh. "Kerajaan lain akan saling berebut siapa yang paling
berhak terhadap kekayaan Dragør."
 

"Alastair Austmarr menjadi pengganti Klaus. Zacharias terlihat berang saat


Alastair naik takhta menjadi Raja." Raja Arthur menunggu Ratu Amaranta
yang masih memerhatikan mayat si gadis kecil. "Apa rencanamu
selanjutnya, Amaranta?"
 

"Kerajaan tanpa pemimpin akan hancur seperti Drager." Mata gadis kecil
itu terbuka lebar seperti boneka kaca, seolah olah menyimpan berbagai
rahasia yang ia lihat sebelum kematian. Tangannya menggenggam erat
sesuatu yang membuat Ratu Amaranta penasaran, hingga wanita itu
membuka tangan si gadis kecil dan melihat apa yang ia sembunyikan.
"Tanpa pemimpin, Austmarr akan hancur. Mereka akan saling berebut
siapa yang akan menjadi raja. Tapi tidak akan ada raja tanpa keturunan
langsung Austmarr. Kerajaan lain pun akan saling berebut hingga tersisa
satu."
 

"Kau ingin membunuh Alastair? Bunuh dia selagi bocah itu masih baru
memimpin." Raja Arthur mendengkus tak suka ketika Ratu Amaranta
menyentuh sebuah mayat.
 

"Gadis kecil itu telah melihat neraka tepat di hadapan matanya." Ratu
Amaranta melihat sisik Qyrsi yang ia temukan di genggaman mayat tadi.
"Bersabarlah."
 

Ratu Amaranta tersenyum tipis kepada Raja Arthur, mendekati kudanya,


lalu mengelus surainya perlahan. "Alastair akan mati. Kerajaan itu akan
hancur dengan sendirinya tanpa kehadiran seorang pemimpin yang sejati."
 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

XXII
THE HOLLOWNESS OF HEART
 

"Apa Anda baik-baik saja, Yang Mulia?" Verity berbalik dan melihat Richard
Blaxton. Lagi-lagi pria tua itu hadir di saat ia bersedih.
 

"Aku bahkan tidak tahu apa tujuanku berada di sini, Richard." Verity
menghela napas panjang. Kedatangan Ratu Amaranta dan Pangeran
Alexander meninggalkan banyak pertanyaan yang bahkan ia sendiri tak bisa
menemukan jawabannya. Siapakah dia sebenarnya? Ia hanya seorang
budak biasa yang terkurung di penjara bawah tanah Selencia selama
bertahun-tahun.
 

"Kau selalu bertanya apakah aku baik-baik saja selama berada di sini."
Verity tersenyum tipis. Richard Blaxton satu satunya orang yang peduli
dengan kehadirannya di istana. "Anda adalah seorang ratu di Austmarr,
Yang Mulia Keberadaan Anda sangat penting." Senyum lembut Richard
Blaxton membuat Verity terenyuh.
 

"Ini pertama kalinya seseorang mengatakan kalau kehadiranku sangat


penting." Verity mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha menahan air
mata yang siap jatuh. "Aku menginginkan kebebasan, Richard."
 

Richard Blaxton mengambil tangan Verity dan menepuk nepuknya pelan.


"Tanggung jawab yang Anda pikul sangat berat, Yang Mulia. Tapi sebagai
seorang ratu, Anda harus mengerti kalau tanggung jawab Anda tidak
berhenti kepada diri sendiri, tetapi juga orang lain yang berada di sekitar
Anda."
 

"Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan di sini, Richard.
Cepat atau lambat akan ada seseorang lagi yang berusaha membunuhku.
Aku bahkan tidak akan bisa menikmati hidupku." Verity menghela napas
panjang.
 

"Raja Alastair membutuhkan Anda, Yang Mulia."


 

Verity tertawa miris mendengar kata-kata simpatik Richard Blaxton yang


seolah-olah hanya ingin meringankan beban hatinya. "Raja Alastair tidak
membutuhkan siapa pun di sisinya," ia bergumam, "dia tidak punya hati."
 

Richard Blaxton terdiam sesaat sebelum kembali berkata, "Aku melihat


Raja Alastair telah sedikit berubah karena kehadiran Anda, Yang Mulia." Ia
menatap kedua mata violet Verity. Melihat waktu telah mendewasakan,
membuatnya bisa merasakan setiap rasa sakit yang pernah sang ratu
rasakan. "Aku percaya kehadiran Anda telah membawa perubahan untuk
Austmarr. Raja Alastair telah hidup menyendiri terlalu lama semenjak
kedua orang tuanya meninggal. Dia lupa cara untuk peduli kepada orang
lain."
 

"Dia nyaris membunuhku." Verity berkata pelan.


 

"Raja Alastair juga menyelamatkan Anda, Yang Mulia." Richard Blaxton


kembali melihat mata Verity yang kini tengah menatap taman. "Malam ini
akan ada festival bulan di kota Austmarr. Aku akan meminta Raja Alastair
untuk mengizinkan Anda melihatnya dari dekat."
 

Verity sontak menatap Richard Blaxton dengan mata membelalak lebar.


"Benarkah?"
 

"Aku akan mengusahakannya, Yang Mulia." Richard Blaxton ikut tersenyum


ketika melihat senyuman lebar mengembang di bibir Verity. Wanita itu
terlihat sangat antusias dengan usulannya.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair menatap Richard Blaxton dingin. Verity berada di sebelah pria
itu, wajahnya tertunduk, terlihat seperti telah menyerah. "Tidak." Ia
berkata tegas.
 

"Ratu Clementine mungkin membutuhkan beberapa-"


 

"Kalau Clementine membutuhkan sesuatu, ia bisa meminta kepala pelayan


untuk mengantarkan barang-barang itu ke istana ini." Raja Alastair
memotong, menjawab tenang.
 

Usulan Richard Blaxton untuk membawa Verity dengan penyamaran ke


tengah-tengah festival bulan yang dirayakan tiap pertengahan musim semi
mungkin akan membawa petaka. Mata Verity terlalu mencolok dan bila
ada pembunuh bayaran yang berani masuk istana, maka ia tidak bisa
menjamin apa yang akan terjadi di luar dari istana.
 

"Yang Mulia, Ratu Clementine tidak pernah melihat Austmarr. Dia adalah
ratu di negeri ini, tapi bahkan rakyat Austmarr pun tidak tahu bagaimana
rupa Ratu Clementine." Richard Blaxton berusaha berargumen lagi.
 

"Pembunuh bayaran yang datang ke dalam istanaku telah menambah


daftar panjang kenapa Clementine tidak boleh keluar dari istana ini,"
tandas Raja Alastair.
 

"Yang Mulia, kami bisa membawa beberapa prajurit yang akan mengawasi
dalam kerumunan-"
 

"Tidak!" Raja Alastair menekankan kata-katanya. Membuat Richard Blaxton


diam seketika, menyadari kalau raja mungkin tidak akan pernah
membiarkan ratu keluar dari istana.
 

"Dia tidak akan keluar dari istana," tegas Raja Alastair.


 

"Tapi...." Richard berusaha sekali lagi, tetapi kembali mengatupkan bibir


ketika melihat tatapan tajam Raja Alastair.
 

"Terima kasih, Yang Mulia." Verity bergumam. Ia berbalik dan


meninggalkan ruang takhta.
 

"Terima kasih, Yang Mulia." Richard Blaxton buru-buru membungkuk


dengan hormat, lalu berjalan cepat mengikuti Verity yang sudah lebih dulu
pergi.
 

"Yang Mulia?"
 

"Terima kasih untuk kesediaanmu meminta izin kepada Raja Alastair."


Verity tersenyum sedih.
 

"Aku benar-benar minta maaf, Yang Mulia." Richard Blaxton merasa


bersalah.
 

"Tidak perlu. Aku baik-baik saja." Verity menarik napas dalam dan
melanjutkan langkahnya menuju tepi taman. "Bisakah kau memberikanku
waktu untuk sendiri?"
 

"Tentu saja, Yang Mulia." Richad Blaxton mengangguk kaku, menghentikan


langkah, membiarkan Verity menjauh.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity menatap langit yang kini berubah kelabu, tanda hujan sebentar lagi
akan turun. Seharusnya ia tidak banyak berharap ketika Richard Blaxton
menawarinya untuk pergi ke kota dan melihat festival rakyat Austmarr. Ia
tahu harapan itu akan hancur seketika bila mendengar penolakan Raja
Alastair. la bukanlah siapa-siapa di Austmarr, hanya seorang tahanan milik
raja yang tak punya hati.
 

Tetes demi tetes air hujan hanya bisa dinikmati Verity dari tempatnya
bernaung. Ia refleks mengulurkan tangan untuk merasakan air hujan ketika
seseorang menahan dan menariknya mundur.
 

"Apa yang kau lakukan di sini, Clementine?" Raja Alastair menatapnya


tajam.
 

"Aku masih berada di dalam istana bila itu yang Anda tanyakan, Yang
Mulia." Verity menjawab sinis.
 

"Apa yang kau lakukan di sini?" Raja Alastair kembali bertanya. Ia masih
menggenggam tangan Verity, tidak melonggarkan sedikit pun. "Kenapa kau
selalu berada di sini?"
 

Verity melepaskan genggaman tangan Raja Alastair, lalu kembali


mengarahkan tangannya ke air hujan. "Anda akan lebih menghargai
sesuatu yang tidak pernah Anda miliki atau rasakan sebelumnya, Yang
Mulia."
 

"Kau tidak pernah merasakan air hujan?" Raja Alastair nyaris tidak bisa
memercayai pendengarannya sendiri.
 

Verity tersenyum kecil. "Tentu saja pernah." Dari jendela kecil di


penjaranya. Jendela yang mengizinkannya melihat seberkas sinar matahari
dan menyentuh air hujan saat ia benar benar kehausan atau kelaparan
karena Ratu Amaranta tidak memberi jatah makan selama berhari-hari.
 

"Lalu apa maksudmu dengan tidak memiliki atau merasakan sesuatu,


Clementine?" selidik Raja Alastair.
 

"Anda tidak punya hati, Yang Mulia. Bagaimana mungkin Anda bisa
merasakan sesuatu?" Verity menatap Raja Alastair dengan senyuman miris
di bibirnya. "Anda hidup dengan gelimangan harta, bagaimana mungkin
Anda tidak memiliki sesuatu?"
 

"Jelaskan kepadaku apa maksud kata-katamu, Clementine." Raja Alastair


tampak menunggu.
 
Verity memejamkan mata sesaat sebelum kembali menatap kedua bola
mata Raja Alastair yang terasa kosong. "Aku hanya seorang tahanan. Di
Austmarr maupun Selencia, aku hanyalah seorang tahanan. Aku hanya
ingin merasakan kebebasan sesaat, Yang Mulia." Ia menggumamkan
kalimat terakhir.
 

"Kebebasan?" Raja Alastair mengulang kembali perkataan Verity. Teringat


saat wanita itu lebih memilih mati daripada masuk penjara.
 

"Untuk sebuah kebebasan, aku bahkan rela mempertaruhkan nyawaku."


Verity tidak menyangka dirinya masih hidup hingga detik ini setelah gagal
membunuh Raja Alastair. "Kenapa Anda tidak membunuhku saat itu juga,
Yang Mulia?"
 

"Karena kau belum memberikanku jawabannya, Clementine. Dan kau tidak


akan pernah bisa memberikan jawaban yang kuinginkan karena kau
sebenarnya tidak tahu apa-apa bukan?" Raja Alastair menatap selidik
kepada Verity.
 

Kali ini Verity mengabaikan karena tahu setiap pertanyaan yang Raja
Alastair berikan, dia tidak akan pernah bisa memberikan jawabannya.
 

"Seperti apa rakyat Austmarr?" Pertanyaan Verity yang jauh berbeda


dengan percakapan mereka sebelumnya membuat Raja Alastair
memicingkan mata curiga. "Aku hanya ingin tahu karena seperti kata Anda,
Yang Mulia, aku tidak tahu Ia melihat air hujan yang turun deras. apa-apa."
 

"Mereka rakyat yang tangguh." Raja Alastair menjawab dengan kening


berkerut dalam. "Mereka memercayai seorang bocah sepuluh tahun
memimpin Austmarr selama bertahun tahun hingga bocah itu telah
tumbuh dewasa."
 
"Mereka menaruh kepercayaan yang besar kepada Anda, Yang Mulia."
Verity teringat beberapa rakyat Austmarr yang pernah mereka temui di
ruang singgasana.
 

Mereka terdiam entah berapa lama, sibuk dengan pikiran masing-masing.


Raja Alastair yang berusaha memecahkan teka teki di sekitar Verity dan
Verity masih terdiam melihat rintik hujan yang perlahan berhenti
 

Verity menatap kedua mata Raja Alastair yang gelap, tampak dalam, dan
lebih kelam dari lautan terdalam. "Bagaimana rasanya tidak memiliki hati,
Yang Mulia? Di mana hati Anda, Yang Mulia?"
 

"Apa yang sebenarnya sedang berusaha kau lakukan, Clement?" Raja


Alastair tiba-tiba mencengkeram kedua bahu Verity, memaksa wanita itu
menghadap ke arahnya ketika ia berusaha menata mata violet Verity. "Apa
pedulimu kepada hatiku ketika ibumu sendiri juga tidak punya hati?"
 

"Is it true that you don't have a heart?" Verity menelan rasa takutnya dan
menutupi dengan rasa muak karena diperlakukan seperti boneka oleh
setiap anggota kerajaan yang telah ia temui. "Anda tidak akan mendapat
apa pun dengan menahanku di sini, Yang Mulia."
 

"Kau salah. Ratu Amaranta telah melakukan kesalahan karena menaruhmu


sebagai pion di sini." Raja Alastair menyeringai lebar, membuat Verity
merinding ketakutan. "Siapa pun kau yang sebenarnya, kau telah menjadi
pion penting Amaranta."
 

"Apa Anda ...." Verity tersentak ketika tiba-tiba Raja Alastair menarik salah
satu tangannya, lalu meletakkan di dada raja. "Kau mencari hatiku bukan?"
Raja Alastair menahan tangan
 
Verity yang dingin di dadanya, tempat di mana jantung seharusnya
berdetak dan mengalirkan darah ke seluruh tubuh.
 

"Jantung Anda tidak berdetak." Mata Verity melebar dan melihat wajah
Raja Alastair yang kini tersenyum sinis. "Apakah apakah...."
 

"I don't have a heart? Apakah kau masih berpikir kalau itu adalah kiasan
semata, Clement?" kata Raja Alastair.
 

Verity berusaha melepaskan tangannya, tetapi cengkeraman Raja Alastair


terlalu keras. Manusia yang tidak memiliki hati tidak ada bedanya dengan
monster. Verity mati-matian menahan tangis dan jeritannya.
 

"Apa kau menyadari kesalahanmu, Clement? Kau terlalu naif." Kalimat Raja
Alastair bagaikan ribuan jarum yang menyerang tepat sasaran.
 

Naif dan bodoh. Kata yang seringkali Ratu Amaranta sebutkan untuk
mengingatkan Verity kalau ia tidak ada bedanya dengan pengerat yang
selama ini menjadi teman di dalam penjara bawah tanah Selencia. "Apa
kesalahanku? Apa salahku karena berusaha bebas dari semua ikatan ini?"
bisiknya.
 

"Ikatan? Kau tidak ada bedanya dengan boneka Amaranta, Clement. Dia
memperalatmu untuk kebebasan semu yang t tidak akan pernah kau
dapatkan."
 

Verity menelan ludah mendengar penuturan Raja Alastair. Kebebasan


adalah keinginan kosong nan sia-sia. Ia hanya tahanan di mana pun berada,
Selencia maupun Austmarr.
 

"Apakah Anda tidak pernah berusaha menyembuhkan hati Anda, Yang


Mulia? Anda tidak akan pernah mengerti apa yang kurasakan karena Anda
tidak pernah memiliki hati." Verity menggigit bibir ragu. Ia memang tidak
ada bedanya dengan boneka Ratu Amaranta, tetapi perkataan raja telah
menusuk hati, mengoyak harga dirinya hingga ke titik terendah.
 

"Siapa bilang aku tidak pernah punya hati, Clement?" Raja Alastair menarik
Verity hingga menempel ke tubuhnya. Bibir Verity dibungkam dengan
sebuah ciuman dalam, sementara satu tangannya menekan leher wanita
itu, dan tangan yang lain menahan tubuh Verity agar tetap menempel
padanya.
 

"Buka mulutmu." Raja Alastair berbisik pelan, lalu mencuri sebuah ciuman
lagi ketika Verity membuka mulutnya untuk menghirup udara.
 

Verity benar-benar tak mengerti kenapa Raja Alastair memberikannya


sebuah ciuman yang lebih panas dan menuntut daripada sebelumnya.
Ketika Raja Alastair tidak lagi merasakan penolakan dari Verity, ia segera
mencumbu setiap sisi bibir, rahang, bahkan belakang telinga, memberikan
gelenyar-gelenyar aneh yang tidak pernah Verity rasakan sebelumnya.
Wanita itu memilih untuk memejamkan mata dan menajamkan indra
perasa yang lain, merasakan sentuhan kasar pipi raja karena bakal janggut
yang baru tumbuh, atau bibir lembutnya ketika menyentuh setiap sudut
kulit.
 

Verity merasakan Raja Alastair kembali menarik tangannya untuk


mengentuh dada pria itu. Ia pun ragu-ragu meletakannya, terlalu takut
dengan apa yang akan raja lakukan sewaktu-waktu.
 

"Buka matamu!" Raja Alastair bergumam kembali.


 

Verity membuka mata dan melihat mata Raja Alastair yang menggelap
karena gairah dan nafsu. Ia menggigit bibirnya yang merah dengan gelisah
karena pria itu masih menahan tangannya.
 
"Apa yang kau rasakan?" Raja Alastair mendekatkan tubuhnya lebih rapat
kepada Verity, lalu menghidu aroma bunga dari leher wanita itu. "Apa yang
kau rasakan, Clementine?"
 

Verity berusaha mencari sesuatu yang dimaksud oleh pria itu. Keningnya
berkerut tak mengerti, lalu terbelalak. Jantung Raja Alastair, jantung yang
beberapa saat lalu tidak bisa ia rasakan detakannya, kini berdetak begitu
kencang.
 

"Jantung Anda berdetak, Yang Mulia!" Verity berseru ketika pria itu
bersandar di pundaknya, menumpukan sebagian berat badan ke tubuhnya
yang ringkih.
 

"Dan rasanya menyakitkan sekali."


 
 

 
 

XXIV
THE CURE AND THE CURSE
 

RASANYA SEPERTI RIBUAN pedang menghunjam di saat bersamaan,


bahkan lebih menyakitkan daripada semua luka tikaman yang pernah Raja
Alastair terima. Kutukan Ratu Mariella seperti pedang dengan dua sisi yang
sama tajamnya. Di satu sisi, belum ada satu pun pembunuh bayaran yang
dapat membunuhnya. Kutukan Ratu Mariella membuatnya merasakan
ribuan kematian, rasa sakit bertubi-tubi yang bahkan membuatnya ingin
bunuh diri saat seorang pembunuh bayaran berhasil menusuknya untuk
pertama kali. Perlahan Raja Alastair belajar dengan mengeraskan hatinya,
maka rasa sakit itu akan berkurang. Perlahan pula ia menyadari, kalau
kutukan Ratu Mariella juga anugerah karena tidak ada seorang pun yang
dapat membunuhnya.
 

Ini bukan kali pertama Raja Alastair merasakan jantungnya berdetak saat
berada di dekat Verity. Namun, ini pertama kalinya ia merasakan jantung
yang bertalu-talu seperti hendak melesak keluar dari rongga dada. Rasanya
sangat menyakitkan.
 

Bila Verity merupakan senjata yang dikirim Ratu Amaranta untuk


membunuhnya, maka wanita licik itu telah berhasil. Raja Alastair bahkan
tak tahu apa yang harus ia lakukan kepada ratunya. Apakah harus
membunuh atau membiarkan wanita itu tetap hidup karena bisa saja
dialah kunci untuk melepaskan kutukannya.
 

"Dan rasanya menyakitkan sekali." Gumaman Raja Alastair terdengar


seperti desau angin di telinga Verity, membuat wanita itu refleks menekan
tangannya ke dada Raja Alastair seperti hendak meyakinkan kalau jantung
sang raja benar-benar berdetak.
 

"Yang Mulia?" Raja Alastair mendengar nada khawatir Verity yang


menahan berat tubuhnya.
 

"Apa Anda baik-baik saja?" Verity mengalungkan kedua tangannya ke


tubuh Raja Alastair untuk menahan beban tubuh yang semakin
ditumpukan kepadanya. "Yang Mulia? Yang Mulia!"
 

Rasa sakitnya sangat tidak tertahankan. Raja Alastair meringis pelan


merasakan setiap kali jantungnya berdetak kencang. Dia tidak menyangka
kalau efek yang ditimbulkan akan separah ini.
 
亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Richard Blaxton berlari menuju kamar Raja dan Ratu Austmarr. Raja
Alastair jatuh sakit, sangat tiba-tiba, dan tidak terduga karena sebelumnya
ia menemui pria itu yang terlihat baik-baik saja.
 

"Yang Mulia?" Richard Blaxton mengetuk pintu tidak sabaran dan melihat
sekelompok tabib kerajaan, dayang, juga sang ratu telah berada di sisi Raja
Alastair.
 

"Richard, apa yang harus kulakukan?" Verity bertanya khawatir melihat


Raja Alastair yang tiba-tiba jatuh sakit.
 

"Kalian bisa pergi sekarang." Richard Blaxton para tabib sekaligus dayang
untuk pergi. Tidak ada seorang pun menyuruh yang tahu keadaan jantung
Raja Alastair selain dia, tabib utama kerajaan, dan sekarang Verity.
 

"Apa yang terjadi, Yang Mulia?" Richard Blaxton melihat keadaan Raja
Alastair yang terbaring lemah di kasur.
 

Raja Alastair telah berhasil membangun ketahanan tubuhnya hingga


senjata Dragør pun seharusnya tidak dapat membuatnya tumbang. Tidak
ada satu pun luka di tubuhnya semakin membuat Richard Blaxton yakin, ini
bukan karena salah satu senjata Dragør.
 

"Jantungnya berdetak." Verity meremas tangannya gelisah. Sesaat ia


mengira Raja Alastair adalah seorang monster karena tidak memiliki hati,
kini di hadapannya, Raja Austmarr yang terkenal bengis dan tidak punya
hati itu tergolek lemah.
 

Richard Blaxton terbelalak. "Bagaimana bisa, Yang Mulia? Nyaris dua


dekade Raja Alastair membangun ketahanan tubuhnya, bahkan senjata
terkuat pun tidak akan membuatnya seperti ini."
 

"A-aku tidak tahu. Apakah kau tahu sesuatu yang bisa


menyembuhkannya?" Wajah kebingungan, khawatir, juga gelisah terlihat
begitu jelas di wajah Verity.
 

Kali ini Richard Blaxton tidak bisa menemukan jawaban untuk pertanyaan
Verity. Luka Raja Alastair bukanlah luka di permukaan, yang bisa mereka
sembuhkan dengan obat-obatan dari tabib.
 

"Aku akan mencari tahu, Yang Mulia," jawab Richard Blaxton.


 

"Cepatlah!"
 

Richard Blaxton mengangguk sekilas sebelum pergi meninggalkan kedua


pemimpin Kerajaan Austmarr itu.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity benar-benar cemas, Raja Alastair tiba-tiba saja menumpukan


seluruh berat badannya ke tubuhnya yang kurus. Untung saja ada
pengawal datang dan membantunya membawa tubuh raja yang lemas ke
kamar mereka. Verity tidak tahu sejauh apa rasa sakit yang raja rasakan
hingga membuatnya tergolek lemah tak berdaya seperti ini. Raja Alastair
yang beberapa saat lalu masih terlihat begitu mengerikan, seorang pria
tanpa hati yang tiba-tiba menciumnya, lalu jantungnya kembali berdetak.
 

Verity duduk di sisi Raja Alastair, ragu-ragu menyentuh kembali dada pria
itu, merasakan dentuman jantung yang anehnya kini tidak sekencang tadi
dan nyaris hilang. Ia mengerutkan kening bingung.
 
"Apa yang kau lakukan?" Verity terkesiap ketika tiba-tiba saja Raja Alastair
terbangun dan menahan tangannya agar tidak berpindah atau melakukan
apa pun.
 

"Apakah Anda baik-baik saja, Yang Mulia?" Verity kembali merasakan


detakan jantung Raja Alastair, samar, tidak sekencang sebelumnya.
"Jantung Anda masih berdetak."
 

"Seperti apa?" Raja Alastair memejamkan mata menahan rasa sakit.


 

"Samar, tidak sekencang sebelumnya." Verity bergumam ragu "Richard


akan mencari sesuatu yang dapat menyembuhkan Anda, Yang Mulia."
 

"Kenapa kau peduli?" Raja Alastair meringis pelan, lalu berusaha duduk,
menyandarkan tubuh ke tumpukan bantal yang disusun tinggi di belakang
punggungnya.
 

"Karena Anda adalah seorang raja. Kematian Anda akan mempengaruhi


kehidupan ribuan rakyat yang menggantungkan hidup mereka kepada
Anda." Verity mengulangi kata-kata Raja Alastair. Melihat banyaknya rakyat
yang tetap mematuhi perintah Raja Alastair sebagai raja muda dan tidak
berpengalaman, membuat Verity yakin, di balik topeng raja bengis
mengerikan tanpa hati, pria itu telah melakukan banyak hal untuk kerajaan
dan mempertahankan kekuasaan Austmarr sebagai pemimpin lima
kerajaan.
 

"Lucu rasanya mendengarmu mengatakannya dengan sungguh-sungguh


ketika kau pernah berusaha membunuhku Beberapa kali bahkan." Raja
Alastair tersenyum sinis.
 

Verity mengerutkan kening. "Aku tidak mengerti, Yang Mulia." Dia hanya
pernah mencoba membunuh Raja Alastair sekali.
 
"Tidak perlu. Kau tidak perlu mengerti." Verity menarik tangan dari dada
Raja Alastair, lalu menumpukannya di atas paha, terlalu gugup untuk saat
ini.
 

"Apa yang Anda lakukan, Yang Mulia?" Verity menatap tidak mengerti
ketika Raja Alastair tiba-tiba menyelipkan salah satu anak rambutnya ke
belakang telinga, lalu mendekatkan wajah, seperti hendak menciumnya
kembali.
 

"Bukankah Anda akan mati bila menciumku?" Pertanyaan polos Verity


sontak membuat Raja Alastair tertawa kecil.
 

"Aku tidak tahu. Mari kita coba saja." Kali ini Raja Alastair memagut bibir
Verity dengan gerakan yang lebih pelan seperti hendak mengetes reaksi
jantungnya.
 

Raja Alastair perlahan menahan leher Verity, menciumnya perlahan seperti


mengajari wanita itu cara berciuman sesuai yang ia inginkan. Verity
mengikuti gerakan bibir Raja Alastair ragu-ragu, takut bila ia melakukan
kesalahan.
 

Raja Alastair memperdalam ciuman ketika Verity tidak lagi menolak atau
melakukan perlawanan. Perlahan ia mengajari wanita itu untuk
memuaskan dirinya. Bahkan tanpa perintah atau arahan, Verity
memberanikan diri menyentuh dadanya, sekadar merasakan seperti
apakah detak jantungnya sekarang.
 

"Apa yang kau rasakan?" tanya Raja Alastair. "Samar." Verity bergumam.
 

Raja Alastair mengecup rahang Verity, lehernya, dan perlahan menurunkan


gaun yang ia kenakan.
 
"Yang Mulia!" Verity tersentak kaget. Entah sejak kapan ia
 

telah berada di pangkuan Raja Alastair dengan pakaian dan


 

rambut yang telah berantakan.


 

Raja Alastair tidak lagi melakukan semuanya dengan perlahan. Pria itu
memagut bibirnya, memberikannya sebuah ciuman yang panas dan dalam,
menandainya dengan jejak-jejak merah keunguan. Bahkan kini tangan Raja
Alastair telah menyentuh payudaranya dan meremas pelan. Verity
memejamkan mata, melenguh pelan ketika merasakan gelenyar gelenyar
aneh. Kali ini rasanya begitu berbeda, rasa takut itu masih ada, tetapi
tersimpan rapat-rapat, tergantikan nafsu juga gairah.
 

"Yang Mulia?" Verity membuka mata.


 

Raja Alastair melihat mata violet Verity yang kini tampak berkabut
sepertinya, pertanda keduanya merasakan hal sama. "Panggil namaku,"
bisiknya ketika lagi-lagi memberikan ciuman ciuman seringan bulu yang
membuat Verity refleks melengkungkan punggungnya, membuat keduanya
semakin berdekatan.
 

"Al-Alastair." Verity berucap ragu karena tidak pernah memanggil Raja


Alastair dengan namanya langsung.
 

"Alastair." Raja Alastair menggeram kesal, mengutuk Pangeran Alexander di


dalam hati karena sempat membuat suasana hatinya kacau mendengar
Verity mengucapkan Al. "Aku bahkan tidak tahu apakah kau adalah
penawar atau kutukan untukku, Clementine."
 

Selama nyaris dua puluh tahun menjadi raja, ia tidak pernah ragu-ragu
untuk membunuh seseorang. Di hadapannya kini, ada seorang wanita yang
bisa saja menjadi kunci untuk melepaskan kutukan atau malah
membunuhnya. Sebelum wanita itu bisa membunuh karena membuat
jantungnya menggila dengan perasaan tak menentu, maka ia harus
menghabisi lebih dulu.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Tybalt Wildemarr, anak dari Jenderal Wildemarr. Dia bukan anak raja atau
anggota keluarga kerajaan. Meskipun sekarang ia menjadi orang yang
paling dipercayai para Dragørian.
 

"Verity Dragør." Tybalt menggenggam kalung emas dengan liontin mutiara


milik Verity yang sempat ia ambil ketika menawan wanita itu. putih
 

Di dalam cengkeramannya, Verity tampak begitu rapuh juga pemberani di


saat bersamaan. Bahkan di antara ketidaktahuannya sebagai seorang Putri
Dragør, Verity masih berani memperjuangkan hak-hak warga Dragør dan
bahkan mempertaruhkan nyawanya sendiri.
 

"Tybalt, apa yang kau bicarakan dengan Raja Zacharias?" Barney datang
membawakan sebaki penuh aneka makanan.
 

Pertemuan dengan Raja Zacharias hanya sebentar, tetapi membawa


pengaruh besar. Tybalt sama sekali tidak menyesal telah datang ke Colthas
untuk mencari jawabannya. "Apakah kau percaya kalau kita pernah
bertemu dengan Putri Dragør sebelumnya?"
 

Tybalt hanya pernah melihat Raja dan Ratu Dragør beberapa kali saat
mengunjungi istana, menemani sang ayah yang merupakan seorang
Jenderal sekaligus tangan kanan raja. Tybalt mengabaikan fakta kalau Verity
adalah Putri Dragør karena ia tidak tahu kalau Ratu Mariella masih hidup,
bahkan sempat melahirkan sang putri di tengah konflik lima kerajaan juga
akhir perang besar yang menghancurkan Dragør.
 

"Siapa dia?" Bila saja Barney tidak segera meletakkan baki di meja,
mungkin saja semua makanan di atasnya akan jatuh berhamburan.
 

"Verity Dragør atau yang lebih kita kenal sebagai Clementine Selencia."
Mengucapkan nama Selencia, meninggalkan getir juga pahit di hati dan
lidah Tybalt. Selencia yang memulai perang, menghancurkan Dragør, dan
membunuh ayahnya. Entah berapa lama Verity Dragør berada di Kerajaan
Selencia, ia yakin wanita itu disiksa oleh Ratu Amaranta karena rasa benci
kepada kembarannya sendiri.
 

"Tidak mungkin! Dari mana Raja Zacharias tahu? Apa kau yakin ia tidak
berusaha mempermainkanmu, Ty?" Barney mencengkeram kerah baju
Tybalt. Menunjuk putri dari kerajaan lain sebagai putri yang sebenarnya
dari Dragør bukanlah perkara main-main, bila mereka salah, maka mereka
bisa mati percuma. Bila mereka benar, maka akan lebih buruk lagi karena
Verity Dragør telah terikat dengan Alastair Austmarr, pemimpin lima
kerajaan yang tentu saja tidak akan melepaskan Verity dengan mudah.
Bukan hanya karena Verity telah menikah dengan pria itu, tetapi Verity
adalah Putri Dragør yang seharusnya sudah lama mati.
 

"Raja Colthas sebelumnya mengumpulkan beberapa informasi yang


mengarah kepada Ratu Mariella masih hidup dan ia sempat melahirkan di
awal musim dingin setelah perang besar berakhir." Raja Zacharias II, yang
merupakan raja Colthas sebelumnya, mengumpulkan beberapa informasi
untuk mendapatkan Ratu Mariella. Beberapa hal menjadi bukti kalau Ratu
Mariella telah melahirkan seorang putri dan menghilang, begitu juga
keberadaan sang putri yang telah disangka mati, tetapi tiba-tiba muncul
kembali dengan nama lain sebagai Putri Clementine dari Selencia.
 
"Raja Zacharias II? Dia adalah orang yang serakah, Ty. Apa kau ingat Qyrsi
yang tiba-tiba menyerang kerajaan?" Barney meremas tangannya gelisah.
"Apa yang Raja Zacharias III inginkan sekarang? Imbalan apa yang dia minta
darimu?"
 

"Dia minta Qyrsi kembali ke Colthas." Naga tidak akan pernah bisa
dijinakkan. Membiarkan Qyrsi menyerang Drager dua dekade lalu adalah
kesalahan Raja Zacharias II. "Aku yakin dia menginginkan hal lain. Namun
untuk sekarang, itulah yang ia mau, Barney."
 

"Bagaimana dengan Putri Verity?"


 

"Raja Zacharias akan membantu kita untuk mendapatkannya kembali."


Verity Dragør tidak boleh bersama Alastair Austmarr, mereka berada di dua
kubu yang berseberangan.
 

"Apakah kau yakin? Austmarr masih memiliki tentara terbaik dari seluruh
lima kerajaan, Tybalt. Percobaan pembunuhan yang terjadi kepada Ratu
Clementine telah membuat kerajaan itu lebih waspada dengan keamanan
yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Kau tidak akan memiliki
kesempatan, Tybalt. Raja Alastair tidak akan melepaskan Putri Verity,
terutama bila Raja Alastair tahu dia berasal dari Dragør," kata Barney.
 

"Aku harus mencobanya, Barney. Bahkan bila itu menjadi alasan kenapa
aku mati nanti." Seperti yang Tybalt telah duga, bila suatu saat ia bertemu
kembali dengan Putri Verity, mungkin Raja Alastair akan membunuhnya.
 

Tybalt melihat kalung milik Verity, lalu menggenggamnya kuat, tersenyum


miris di dalam hati karena tanpa ia sadari, perasaannya yang cukup dalam
semenjak Ratu Clementine menyelamatkan anak-anak Dragør dari
hukuman tak berbelas kasihan Austmarr, semakin dalam ketika ia tahu
Ratu Clementine sebenarnya adalah Putri Verity Dragør
 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

XXV
FRIENDS AND FOE
 

"APA KAU INGIN melihat sejauh mana kita bisa melakukannya?"


Pertanyaan Raja Alastair membuat Verity kebingungan. "Melakukan apa,
Yang Mulia?" Verity mengernyitkan dahi tidak mengerti.
 

"Melakukan hal yang membuat jantungku berdetak kencang. Aku ingin


tahu sejauh mana kita bisa melakukannya. Raja Alastair menyurukkan
kepalanya di lekukan leher Verity, lalu gigitan-gigitan kecil, membuat Verity
mengeluarkan pekikan kecil karena kaget.
 

Suara ketukan pintu membuat Raja Alastair menghentikan kegiatannya.


Matanya menatap tajam ke pintu, lalu ke arah Verity yang masih begitu
berantakan. Bahkan gaunnya turun dan terkumpul di pinggang,
memperlihatkan kulit pucat, lekukan tubuh, juga payudaranya yang ranum.
 
"Sial!" Raja Alastair bergumam gusar. Ia menarik selimut, menutupi tubuh
Verity, dan beranjak dari kasur sesegera mungkin.
 

"Yang Mulia?" Raja Alastair bisa mendengar suara Richard Blaxton yang
mengetuk-ngetuk pintunya.
 

Raja Alastair menggumamkan serangkaian sumpah serapah. Ia melihat


Verity yang kini panik, berusaha menutupi setiap inci kulitnya, dan
menatapnya seperti kelinci yang takut dimangsa.
 

tunggu
 

"Pakai pakaianmu, aku nanti." Verity menganggukkan kepalanya takut-


takut, sementara Raja Alastair bergegas menuju pintu.
 

"Apa yang kau inginkan, Richard?"


 

Richard menarik napas lega melihat Raja Alastair. "Syukurlah Anda telah
sadar, Yang Mulia. Aku harus memberitahukan sesuatu yang penting."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair mengetuk-ngetukkan kaki tidak sabaran dan melihat Richard


Blaxton yang tampak gelisah di hadapannya. Mereka kini berada di ruang
singgasana yang tampak sepi tanpa satu pun menteri atau pelayan yang
biasanya berlalu lalang di ruangan besar itu. "Apa yang Colthas lakukan
sekarang?"
 

"Mereka bekerja Blaxton meremas tangan gelisah, sementara sang raja


mengusap sama dengan Dragør, Yang Mulia." Richard dagunya pelan.
"Jantung Anda... berdetak."
 
Richard Blaxton memberanikan diri. Apakah ini pertanda kalau Raja Alastair
bisa sembuh dari kutukannya? Atau bertambah parah karena bahkan sang
raja bisa sampai tumbang seperti tadi.
 

"Sejak kapan?" Raja Alastair menatapnya tajam. "Apa yang kau ketahui
tentang kutukan itu sebenarnya, Richard?"
 

Richard Blaxton adalah orang pertama yang memberitahu kalau Mariella


Dragør telah mengutuk hatinya agar mengeras, tak merasakan setitik
perasaan ataupun emosi yang malah kembali secara perlahan-lahan
semenjak Verity masuk ke kehidupannya.
 

"Anda tidak seharusnya merasakan apa pun," kata Richard ragu, "tapi bila
Ratu Clementine dapat membuat Anda merasakan sesuatu, bukankah itu
hal yang baik, Yang Mulia? Dia baik untuk Austmarr."
 

"Aku menikah untuk mencegah perang, Richard. Sekaligus untuk


menjadikan Clementine sebagai tawanan di Austmarr agar Selencia tidak
melakukan hal-hal bodoh yang bisa mengulangi perang lagi." Raja Alastair
menatap Richard Blaxton. Sama seperti pria itu yang begitu mengenalnya,
ia pun tahu gelagat mencurigakan Richard Blaxton. "Apakah ada yang kau
sembunyikan dariku?"
 

"Ti-tidak, Yang Mulia." Richard Blaxton mengelap peluh yang tiba-tiba


keluar di dahinya. "Maafkan saya. Saya masih menyelidikinya, tapi Colthas
mengatakan sesuatu tentang ratu Clementine." Ia menunduk dan berlutut
di hadapan Raja Alastair.
 

"Apa yang dia katakan?" Raja Zacharias tidak terlihat begitu dekat dengan
Verity selama pernikahan mereka. Dia memang selalu cenderung sinis
kepada orang-orang di sekitarnya.
 
"Saya masih menyelidikinya, Yang Mulia. Tetapi sepertinya mereka tengah
berusaha mencari-cari latar belakang Ratu Clementine seperti apa yang
tengah kita lakukan saat ini."
 

"Aku ingin kau mencari tahu siapa Clementine yang bersama Alexander
saat mereka masih kecil dulu." Alexander Thaurin mungkin bisa menjadi
petunjuk baru untuk mereka saat ini.
 

"Bagaimana dengan Ratu Clementine, Yang Mulia?" "Clementine tidak tahu


apa pun," kata Raja Alastair.
 

"Anda akan membiarkannya tetap begitu?" Richard Blaxton terlihat kaget


mendengarnya. "Tidakkah sebaiknya kita memberitahu Ratu Clementine?
Akan lebih baik bila ia membangun kepercayaan kepada Austmarr, bukan?"
 

"Clementine tidak perlu tahu apa pun, Richard. Selidiki apa pun yang
Colthas dan Dragør lakukan sekarang, lalu laporkan kepadaku sesegera
mungkin." Raja Alastair berdecak tidak puas dan kembali berkata, "Cari
tahu juga apakah Alexander memiliki hemlock."
 

"Hemlock, Yang Mulia?" Apakah Raja Alastair mencurigai Pangeran


Alexander yang memberikan hemlock kepada Ratu Clementine dulu?
 

"Aku yakin ratuku melupakan sebagian besar ingatan masa kecilnya.


Seseorang memberinya hemlock secara berkala dan menyiksanya," kata
Raja Alastair.
 

"Apa Anda yakin?" Richard Blaxton bertanya kembali.


 

Raja Alastair mendengkus tidak senang. Tidak ada satu pun jejak siksaan di
kulit Verity selain sebuah garis melintang di telapak tangannya. Wanita itu
terlalu menyimpan banyak rahasia untuk seorang penyusup yang berperan
sebagai ratunya.
 

"Jalankan perintahku, Richard! Pastikan tidak ada seorang pun yang tahu
ini."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Apa kau mengenal Ratu Mariella, Joseph?" Rania Raria melihat lautan luas
tanpa batas yang menjadi pelindung mereka dari dunia luar.
 

Bangsa Raria terkenal dengan kemampuan mereka mengarungi lautan.


Laut adalah teman sekaligus lawan, pasang surutnya telah membawa
kebahagiaan juga kesedihan. Sementara di daratan yang mereka tinggali,
ditutupi gunung gunung besar dengan jalur terjal dan bukit tinggi yang
hanya memiliki satu jalan masuk sekaligus keluar, menyebabkan orang luar
sulit masuk. Dua belas menara pengawas mengelilingi Raria, memudahkan
mereka melihat serangan dari arah mana pun. Selain itu, ada juga kapal
perang dengan berbagai kecanggihan yang tidak dimiliki kerajaan lain,
membuat Raria menjadi salah satu kerajaan yang memiliki armada laut
terkuat.
 

Joseph Kilorn, Jenderal Raria sekaligus suami Rania Raria tidak langsung
menjawab. Darat, laut, bahkan udara menyerang Dragør secara
bersamaan, menghancurkan kerajaan yang telah berjaya selama ratusan
tahun dalam semalam. "Apa yang sedang kau bicarakan, Rania?" keningnya
mengernyit tak suka. Perang besar mungkin telah lama berakhir, tetapi rasa
sakit itu masih tersisa begitu dalam.
 

"Apa menurutmu tindakan kita saat itu sudah paling tepat?" Orion dan
Cassiopeia lahir saat perang reda, dan Raja Alastair telah berhasil
meredakan memperebutkan takhta pemegang kekuasaan lima kerajaan.
"Alastair benar-benar telah menjadi raja di Inkarnate. Apa yang harus kita
lakukan?" perpecahan yang
 

"Kita telah memberikan yang terbaik untuk Raria." Jenderal Kilorn


mengecup dahi Ratu Rania yang masih terlihat gelisah "Yang terkuatlah
yang akan bertahan."
 

"Mereka telah memilih sekutu mereka, Joseph." Wajah gelisah Ratu Rania
tak juga reda, bahkan setelah apa yang dilakukan Jenderal Kilorn. "Mariella
bukanlah orang yang bisa kita pertimbangkan dengan setengah hati,
Joseph. Amaranta yang memulai perang, namun Mariella yang
memutuskan untuk mengakhirinya. Zacharias II tidak pernah berhenti
mencari Mariella hingga kematiannya, dan aku yakin yang lain juga akan
mulai mencarinya."
 

"Dia berada di tangan yang tepat sekarang, Rania. Tidak ada yang dapat
menemukannya. Apa yang membuatmu tiba tiba berpikir seperti ini,
Rania?" Jenderal Kilorn menatap istrinya.
 

"Aku merasa kalau Amaranta tengah berusaha untuk memulai perang lagi,
Joseph," ungkap Ratu Raria. "Kenapa? Apa yang membuatmu merasa
seperti itu?"
 

Kening Jenderal Kilorn berkerut samar.


 

"Lima kerajaan tidak pernah bertemu secara langsung sebelumnya, tidak


sebelum pernikahan Clementine dan Alastair. Bahkan di perang pun,
Amaranta selalu memilih untuk membunuh orang-orang penting dibanding
maju langsung ke medan perang. Kali ini Amaranta sendiri turun tangan,
pergi ke Austmarr untuk melihat keadaan putrinya itu."
 
Jenderal Kilorn terdiam sesaat, mencerna perkataan Ratu Rania, lalu
mengangguk kaku. "Apa yang bisa kulakukan untuk mengurangi rasa
gelisahmu, Yang Mulia?"
 

"Cari tahu apa yang Arthur sedang berusaha lakukan sekarang." Arthur
Thaurin, ayah dari Alexander Thaurin, sekaligus raja juga sekutu Selencia.
 

"Arthur?"
 

"Aku yakin ada sebagian hal yang Amaranta tidak beritahu kepada Arthur,
begitu pun sebaliknya. Tidak ada persekutuan yang bertahan begitu lama
tanpa balasan, Joseph." Dua dekade persekutuan mereka berjalan tanpa
kendala dan Rania dapat mencium aroma mencurigakan. Bila memang
tujuan utama Ratu Amaranta adalah menghancurkan Dragør, apa yang
Thaurin dapatkan dari serangan itu? Atau apa tujuan Ratu Amaranta
memulai perang lagi setelah sekian lama?
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Tybalt memasuki ruang kerja Zacharias III Colthas. Langkahnya sedikit


mengentak tidak sabaran, bahkan tangannya nyaris mencopot engsel pintu
yang telah karatan.
 

"Kau harus memperbaiki engsel pintu karatan ini," ucapnya ketika melihat
Raja Zacharias tengah duduk mengerjakan tumpukan kertas di tengah
ruangan.
 

"Apa yang kau inginkan?" Raja Zacharias tersenyum kecil, terlihat tidak
keberatan dengan sikap tidak sopan Tybalt.
 

"Kau bilang Ratu Clementine adalah Putri Verity bukan? Kapan kita bisa
mendapatkannya?" Pertanyaan Tybalt membuat Raja Zacharias
mengangkat kepala, mengalihkan pandangannya dari tumpukan kertas,
terlihat sangat tenang seperti telah memprediksi sikap Tybalt.
 

"Kau tahu kalau kita butuh rencana bukan?" Raja Zacharias mengetuk-
ngetukkan jemari di permukaan meja yang "Alastair mencurigai Colthas
karena salah satu pria menyamar menggunakan pakaian seragam khusus
tentaraku untuk menyakiti ratunya."
 

Tybalt melangkah cepat hingga ke hadapan Raja Zacharias, lalu


mencengkeram kerah kemeja pria itu. "Apa itu kau?" tanyanya dengan
nada tinggi.
 

Raja Zacharias hanya tersenyum kecil ketika sekelompok tentaranya segera


mengerubungi Tybalt dan menghunuskan pedang ke tenggorokan pria itu.
"Engsel pintuku mungkin rusak, tapi tentaraku selalu bersamaku, Tybalt.
Bersikap sopanlah bila berada di rumahku," katanya dengan angkuh.
 

Salah satu tentara menendang kaki Tybalt hingga pria itu jatuh berlutut,
lalu menahan bahunya.
 

"Apa itu kau?" Tybalt mengulang pertanyaan.


 

"Apa kau lupa kalau kau sendiri juga telah menyakiti putri dari kerajaanmu
sendiri?" Raja Zacharias berdiri, tampak penuh perhitungan ketika
menatap Tybalt. "Kau berada di rumahku, Tybalt. Makan makanan yang
kuberikan kepadamu, tidur di kasur yang kusediakan untukmu. Apakah
menurutmu ini tindakan yang pantas?"
 

"Dragør tidak akan pernah tunduk pada siapa pun. Apa kau lupa kalau itu
alasan kenapa Dragør tidak diterima di mana pun?" Tybalt membalas tanpa
ragu.
 
"Kau benar." Raja Zacharias terus menatap Tybalt. "Kau seperti naga yang
tidak bisa dijinakkan, Tybalt. Kau adalah aset yang berharga untuk Dragør,
juga untukku bila kau berhasil membawa Qyrsi kembali kepadaku."
 

"Putri Verity tidak boleh berada di Austmarr terlalu lama, Zacharias!"


geram Tybalt. Ada banyak hal yang bisa saja terjadi selama Verity berada di
sana.
 

"Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk itu," Raja Zacharias tertawa kecil,
"Clementine menikah dengan Alastair.
 

Aku tidak bisa tiba-tiba datang dan mengakui kalau Clementine adalah
Verity."
 

"Di mana Clementine yang asli berada?" Pertanyaan Tybalt membuat Raja
Zacharias terdiam. "Alastair menikah dengan Clementine, bukan Verity. Di
mana Clementine yang asli berada? Apa dia sudah mati?"
 

"Pertanyaanmu menjebakku sesaat, Tybalt." Raja Zacharias menarik napas


dalam, lalu menimbang sesaat. "Masih hidup." "Apa maksudmu dia masih
hidup? Di mana dia sekarang?" cecar Tybalt.
 

"Amaranta melakukan segala cara untuk melindungi Clementine. Dia tidak


mungkin melakukan banyak hal yang mempertaruhkan lima kerajaan bila
Clementine sudah mati," ujar Raja Zacharias.
 

"Tidakkah kau merasa kalau kelima kerajaan saling mencurigai satu sama
lain sekarang?" Tybalt memberontak dari belenggu tentara Colthas yang
masih mengunci kedua tangannya dan menahan bahu agar ia tetap
berlutut di hadapan Raja Zacharias. "Apa rencanamu sebenarnya,
Zacharias? Bila kau tahu Qyrsi tidak bisa dijinakkan, apa yang membuatmu
yakin kalau ia bisa kembali ke Colthas suatu hari nanti?"
 
"Kelima kerajaan saling mencurigai satu sama lain?" Raja Zacharias
terbahak-bahak. "Mereka memang tidak mempercayai satu sama lain,
Tybalt. Tidak pernah akan ada kedamaian hingga tersisa satu yang paling
kuat."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Malam semakin larut dan Verity kini duduk di tepi kasur dengan kepala
yang berat dan rasa kantuk tidak tertahankan. Raja Alastair memintanya
untuk menunggu, bukan untuk tidur.
 

Namun, Raja Alastair juga tidak kunjung kembali semenjak Richard Blaxton
mengetuk pintu kamar mereka dan membuat pria itu gusar karena merasa
terganggu.
 

Verity merasakan degup jantung yang bertalu-talu seperti hendak melesak


keluar dari rongga dadanya. Raja Alastair melakukan hal-hal yang
sebelumnya tidak pernah ia bayangkan bersama seorang pria. Jenny
mengajarinya beberapa hal, seperti kalau ia akan merasakan sakit pada
saat pertama kali. Namun, Jenny sudah mati dan ia tidak memiliki seorang
pun untuk mengajari lagi.
 

Pipinya memerah dan memanas ketika membayangkan apa yang telah


mereka lakukan. Hanya sebuah ciuman, juga sentuhan, tetapi berhasil
membuat jantungnya berdegup kencang. Lalu bagaimana dengan jantung
Raja Alastair? Pria itu merasa kesakitan saat jantungnya berdegup kencang.
Verity mengernyitkan dahi, sementara malam semakin larut, dan rasa
kantuknya kian menjadi-jadi. Ia membaringkan kepala di bantal, menguap
lebar-lebar, dan perlahan masuk ke alam mimpi, terlelap begitu nyaman.
 

"Ssh.... Verity mengerjapkan mata beberapa kali ketika merasakan lumatan


basah di mulutnya, membuatnya terbangun dari tidur yang hanya sesaat.
 

Alastair yang baru saja kembali dari rapatnya bersama Richard "Yang
Mulia?" Verity mengusap mata dan melihat Raja Blaxton.
 

"Aku menyuruhmu untuk menungguku bukan?" Verity hanya mengangguk,


masih terbuai dalam kabut mimpinya. "Apa kau ingin melihat sejauh mana
kita bisa melakukannya?"
 

"Melakukan apa?" Verity merasakan usapan tangan Raja Alastair yang lagi-
lagi menurunkan gaunnya, memperlihatkan bahunya yang dipenuhi jejak-
jejak kemerahan.
 

"Sejauh mana kau bisa membuat jantungku menggila, Clementine."


 

 
 

 
 

 
 

 
 

XXVI
THE POISON
 

PANGERAN ALEXANDER MENUNGGU dengan tenang di tengah-tengah


keheningan malam yang bahkan tanpa suara hewan sedikit pun. Ratu
Amaranta telah kembali ke Selencia, sementara ia masih berada di hutan
perbatasan Thaurin dan Austmarr. Gerisik dedaunan yang saling beradu
ketika angin berembus, membuatnya waspada.
 

"Ssh...." Pangeran Alexander mengelus surai kudanya.


 

"Pangeran Alexander?" Mata hitam pria itu membelalak kaget ketika


melihat sekumpulan tentara yang berada di sekitar Pangeran Alexander,
satu-satunya pria yang tidak mengenakan topeng atau jubah perang.
Rambut pirangnya tertata rapi, bahkan tidak terlihat berantakan ketika
tersapu angin, sementara mata hijaunya menatap dingin.
 

"Berapa lama aku harus menunggumu?" Pangeran Alexander mengibaskan


tangan kanan, menyuruh pria itu untuk maju mendekat.
 

Pria itu maju dengan langkah ragu-ragu, lalu berdiri di hadapan Pangeran
Alexander yang masih duduk di atas kudanya. "Dragør bergabung bersama
Colthas," katanya.
 

"Apakah Dragør masih layak dianggap sebagai sekutu?" Pangeran


Alexander mendengkus kesal. "Apa yang akan Zacharias dapatkan dengan
membawa Tybalt?"
 

"Mereka menginginkan Qyrsi kembali." Tangan pria itu gemetaran. Ia tidak


bisa melihat ekspresi tentara-tentara yang berada di sekitar Pangeran
Alexander karena semuanya menutupi wajah, sementara tangan kanan
siap sedia dengan pedang yang akan keluar bila ada bahaya mengancam.
 

"Tidak mungkin," Pangeran Alexander mendengkus kembali, "Qyrsi tidak


akan pernah bisa dijinakkan."
 

"Colthas percaya kalau hanya mereka yang bisa mengontrol Qyrsi, Yang
Mulia. Naga itu sudah terlalu lama di Dragør. Zacharias II tidak bisa
mengontrolnya setelah serangan membabi buta di Dragør malam itu." Pria
itu benar-benar gelisah ketika tentara-tentara Pangeran Alexander turun
dari kuda mereka dan mengelilinginya.
 

"Apalagi yang bisa kau beritahu kepadaku?" Pangeran Alexander


mengembuskan napas panjang, terlihat bosan, dan tidak tertarik untuk
melanjutkan pembicaraan.
 

"Ratu Clementine adalah Putri Verity yang hilang!" ucap pria itu cepat,
berharap bila informasi ini dapat menyelamatkannya.
 
Pangeran Alexander menatap si pria dengan rasa kecewa yang cukup
dalam. "Seorang pengkhianat.... tidak boleh tetap dibiarkan hidup!"
 

Salah satu tentara Thaurin mengeluarkan pedangnya, lalu Imenebas kepala


pria itu, membuat kepalanya terpisah dari badan, terjatuh dan terguling
beberapa kali hingga berhenti di dekat kaki kuda yang dinaiki Pangeran
Alexander.
 

"Selencia ... tidak boleh dibiarkan seperti ini terlalu lama." Pangeran
Alexander tampak bimbang sejenak.
 

Perang dingin yang telah lama berkecamuk membuat lima kerajaan tidak
bisa saling memercayai satu sama lain. Kabar Ratu Amaranta dengan
ambisinya untuk menghabisi seluruh Kerajaan Dragør dan menguasai
Inkarnate telah berembus sejak lama. Raja Alastair berperan sebagai
pemegang kekuasaan di lima kerajaan Inkarnate bukanlah sesuatu yang
pernah mereka pertimbangkan sebelumnya. Bila ini terus dibiarkan,
kekuasaan Raja Alastair akan semakin absolut, dan bila Selencia kalah
perang, maka secara tidak langsung sang raja dapat menguasai tiga
kerajaan sekaligus.
 

Pangeran Alexander melihat tangan kanannya yang kembali bergetar tak


terkontrol, ujung kukunya membiru, begitu juga sebagian tangannya yang
terlihat seperti lebam besar berwarna keunguan. Racun hemlock telah
merusak tubuhnya.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"All" Gadis kecil yang berada di hadapan Alexander tersenyum di


hadapannya.
 
"Verity?" Alexander mengembuskan napas gusar. "Aku mencarimu, jangan
menghilang lagi!" Ia menggenggam tangan Verity, lalu menariknya
menjauh dari taman istana Thaurin yang menyimpan berbagai tanaman
racun mengerikan.
 

Gadis kecil itu pernah nyaris menyentuh salah satu tanaman racun karena
mengira itu bunga Queen's anne lace yang serupa dengan hemlock.
 

"Kita akan ke mana?" Verity menggenggam tangannya erat sembari


mengikuti Alexander dengan langkah ringan, seperti kelinci yang
berjingkat-jingkat setiap kali melangkah.
 

"Ayahku memanggilmu." Alexander sebenarnya tidak suka bila ayahnya


memanggil Verity seperti ini. Dia tahu diam-diam Raja Arthur
menghubungi Ratu Amaranta dan menanyakan Verity beberapa kali
hingga membuat gadis kecil itu ketakutan. "Aku tidak mau!" Verity
menghentikan langkah, lalu bersembunyi di balik punggung Alexander.
"Aku tidak mau bertemu ayahmu."
 

"Verity, ayahku berhasil menemui ibumu." Alexander memutar badannya


dan menatap Verity. "Kau merindukan ibumu bukan?"
 

Verity mengangguk teringat pesan terakhir ibunya untuk terus berlari


hingga ia tiba di perbatasan, yang ternyata tempat perkemahan Alexander.
"Apa ibuku datang kemari?"
 

"Ya." Alexander menggenggam tangan Verity lagi dan membawanya ke


ruang singgasana.
 

Mereka melewati pilar-pilar besar yang terbuat dari marmer indah, cahaya
matahari menyusup masuk melewatinya. Alexander mengembuskan napas
panjang ketika tiba di depan pintu besar ruang singgasana.
 
"Bisakah kau menunggu di sana?" Alexander menunjuk sebuah kursi di
antara pilar yang cukup jauh dari pintu ruang singgasana. "Aku akan
mengetuk pintunya dan memberitahu ayahku."
 

"Baiklah." Verity tersenyum lebar, lalu mengikuti perintah Alexander


dengan senang hati.
 

Alexander berhenti di hadapan pintu, menunggu sesaat sebelum


mengetuknya. "Ayah!" Matanya teralihkan ketika melihat wanita yang
berada di sebelah Raja Arthur. Rambut pirang wanita itu diikat tinggi,
sebuah mahkota berhias permata duduk manis di kepalanya. Satu satunya
hal unik sekaligus ganjil darinya, adalah mata yang berwarna violet seperti
Verity.
 

"Menunduklah, Alexander! Ini Ratu Amaranta." Alexander menunduk


hormat dan kembali menatap wanita itu. "Kau telah berhasil menemukan
putri Ratu Amaranta yang hilang beberapa hari lalu."
 

Alexander menatap Ratu Amaranta curiga. Verity tidak terlihat seperti


seorang putri saat pertama kali menemuinya. Gadis kecil itu tampak
ketakutan seperti tengah dikejar segerombolan pembunuh
 

bayaran. "Verity telah menunggu Anda di luar, Yang Mulia," katanya.


"Verity?" Amaranta tersenyum samar. "Namanya Clementine."
 

"Clementine?" Alexander mengerutkan keningnya bingung.


 

"Panggil dia kemari, Alexander!" Alexander mengangguk kaku dan berjalan


keluar. Ia melihat Verity yang masih menunggu dengan tenang sesuai
perintahnya tadi.
 

"All" Verity berjingkat senang ketika melihat Alexander yang


 

memanggilnya.
 

"Ayo, ibumu ingin menemuimu." Verity berlari ke arah Alexander, lalu


menggenggam erat tangannya. "Di mana ibuku?" tanya Verity tak
sabaran.
 

Alexander menggenggam tangan Verity semakin erat ketika membawa


Verity masuk dan menemui Ratu Amaranta.
 

"Clementine." Ratu Amaranta tersenyum kepada Verity, sementara gadis


itu mengerutkan keningnya bingung. "Kemarilah!"
 

Verity bersembunyi di belakang punggung Alexander dan menggelengkan


kepalanya. "Di mana ibuku?"
 

"Verity Ibadan Verity, mengarahkan gadis kecil itu untuk kembali ke ibunya.
... ibumu duduk di sana." Alexander mendorong lembut Namun, sepertinya
Verity sama sekali tidak mengenali Ratu Amaranta.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Alexander duduk di hadapan Ratu Amaranta dan Raja Arthur, sementara


Verity telah kembali ke kamarnya dan tidur setelah menolak menemui Ratu
Amaranta.
 

"Dia tidak mengenalku," gumam Ratu Amaranta. "Aku yakin Marja yang
bersamanya selama ini, bukan Mariella."
 

"Anda bisa membiarkannya tinggal sementara di Thaurin, Yang Mulia."


Raja Arthur menawarkan.
 
"Tidak. Dia harus segera ke Selencia." Amaranta tiba-tiba menatap
Alexander, membuat remaja itu duduk lebih tegap. "Kau harus
meyakinkannya, Alexander."
 

"Dia tidak mengenal Anda, Yang Mulia," ucap Alexander ragu.


 

"Apakah kau memiliki sesuatu yang bisa menghapus ingatannya?" Ratu


Amaranta bertanya kepada Raja Arthur. "Tidak," Raja Arthur segera
menjawab, "tetapi aku mempunya sesuatu yang dapat membuatnya
memercayai setiap kata yang kita ucapkan, Yang Mulia."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Alexander melangkah ragu mendekati Verity yang kini duduk di lantai


ruang singgasana, pakaian begitu pula rambutnya acak-acakan. Jejak air
mata masih terlihat jelas di mata juga pipinya.
 

"Minum ini, Verity," katanya sembari menyodorkan botol kecil.


 

"Aku tidak mau." Verity menggelengkan kepala kuat-kuat, menolak ketika


Alexander menawarkan sebotol kecil cairan berwarna pekat yang terasa
sangat pahit.
 

"Minum ini, Verity!" Alexander menunduk di hadapan Verity, lalu melihat


ke arah ayahnya dan Ratu Amaranta yang menunggu Verity meminum
cairan itu. "Mereka akan menghukummu bila kau tidak meminumnya."
 

"Aku tidak mau!" Verity menangis ketika Alexander memajukan botol kecil
itu ke hadapannya. "Mereka akan menghukumku bila kau tidak
meminumnya."
 

Alexander berbisik pelan.


 

"Mereka akan menghukummu?" Mata violet Verity menatap


 

Alexander, sementara bocah itu mengangguk ragu.


 

Dengan berat hati, Verity menerima botol kecil itu, dan meminumnya. Efek
racun langsung terlihat, Verity menyemburkan cairan pekat kemerahan
yang bercampur dengan darahnya. Ia memukul mukul dada, lalu
menggenggam tangan Alexander. "Rasanya sakit sekali, Al."
 

Alexander bergeming ketika melihat Verity memuntahkan darah setelah


menerima racun dari tangannya. "Ayah.. . . "
 

Raja Arthur mendorong Alexander menjauh dan berdiri di hadapan Verity.


"Penawarnya berada di sini, Verity." Ia memperlihatkan botol kecil dengan
cairan bening.
 

"Rasanya sakit sekali." Verity berusaha menggapai tangan Raja Arthur.


 

"Kau datang ke Selencia dengan kereta yang membawa makanan, hendak


mencuri satu atau dua potong roti," kata Raja Arthur.
 

"Rasanya Sakit Verity meremas dadanya, terbatuk beberapa kali, dan


kembali memuntahkan darah. "Ingat perkataanku baik-baik bila kau
menginginkan penawarnya, Verity," tegas Raja Arthur. Verity melirik
Alexander dengan tatapan memohon. "Biarkan aku mati!" la bergumam
dan menggelung badannya di lantai marmer.
 

"Ulangi perkataanku, Verity!"


 

"Selen-cia. Mencuri ...." perkataan Raja Arthur. Verity patah-patah


mengulangi
 

Raja Arthur tersenyum puas, lalu menyerahkan botol kecil kepada


Alexander. "Minum ini, Verity!" Alexander segera memberikan botol kecil
itu kepada Verity.
 

"Selencia. Mencuri." Verity bergumam kembali sebelum menelan seluruh isi


botol kecil hingga tidak bersisa.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Apa kau yakin metode ini akan berhasil?" Alexander menguping


pembicaraan Ratu Amaranta dan Raja Arthur.
 

"Kita masih harus mengulanginya beberapa kali sebelum memori yang


baru benar-benar terpatri dalam ingatannya." Raja Arthur menjawab
tenang.
 

"Berapa kali lagi?"


 

"Beberapa kali sebelum kita mengantar Verity ke Selencia dengan kereta


makanan yang membawa roti. Itu akan semakin menguatkan memorinya,"
jawab Raja Arthur lagi.
 

Alexander berlari menjauh setelah merasa cukup mencuri dengar


pembicaraan ayahnya dan Ratu Amaranta. Langkahnya tanpa sengaja
berhenti di depan pintu kamar Verity.
 

"Verity?" panggilannya.
 

"Al!" Verity turun dari kasur dan menghambur ke pelukan Alexander. "Aku
bertanya-tanya di mana kau berada."
 
"Aku menunggu hingga kau terbangun." Alexander menelan ludahnya
susah payah, merasa bersalah karena nyaris membunuh gadis kecil itu.
"Apa kau baik-baik saja?"
 

"Mereka tidak menghukummu bukan?" Mata violet Verity menatap polos,


sementara rasa bersalah semakin menghunjam perasaannya.
 

"Tidak. Terima kasih." Alexander bergumam pelan. "Kau


menyelamatkanku, jadi aku juga harus menyelamatkanmu!"
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Pangeran Alexander menatap jijik tangannya sendiri. Memberikan racun


kepada seorang gadis kecil karena ia terlalu pengecut untuk melawan. Itu
bukan terakhir kalinya ia memberikan racun kepada Verity, ia memaksa
gadis kecil itu untuk meminum racun selama berada di Thaurin hingga tiba
saatnya dikirim kembali ke Selencia, tempat gadis itu berubah menjadi
Clementine dan perlahan melupakan dirinya sendiri.
 

"Yang Mulia?" Tentaranya kembali menunggu.


 

"Sejauh mana Austmarr mengetahui hal ini?" Pangeran Alexander


mengibaskan tangan kanan lalu menyembunyikannya kembali ke jubah
yang dikenakan.
 

"Penasehat Raja Alastair telah mengetahuinya." Pangeran Alexander


mengerutkan kening. "Richard Blaxton belum memberitahu apa pun
kepada Raja Alastair, dia mungkin ingin memastikan kabar yang beredar
sebelum memberitahu Raja Alastair."
 

"Karena Raja Alastair akan membunuh Clementine bila ia benar-benar Putri


Dragør." Pangeran Alexander bergumam pelan sembari tertawa miris.
"Tidak sebelum posisi Clementine sebagai Ratu Austmarr telah benar-
benar kuat. Aku tidak tahu harus berterima kasih atau mencemooh
kebijakan penasehat tua itu."
 

Pangeran Alexander melihat kepala pria yang baru saja ditebas oleh
tentaranya, pria itu salah satu petinggi Kerajaan Colthas. Ia mungkin
merasa cukup pintar karena berhasil membodohi kerajaannya sendiri,
tetapi ia tidak cukup pintar untuk membodohi Pangeran Alexander. Dragør
pergi ke Colthas adalah langkah yang cukup mengejutkan. Dibandingkan
serangan oleh tentara-tentaranya, serangan Qyrsi yang paling berdampak,
bahkan masih bisa dirasakan hingga saat ini.
 

"Mereka tengah menyusun rencana untuk mengambil Putri Verity dari sisi
Raja Alastair," ucap tentaranya lagi. Kali ini langkah Tybalt bisa diterka
dibanding sebelumnya.
 

"Verity selalu menjadi pion terkuat. Di mana pun ia berada, di Thaurin,


Selencia, atau bahkan Austmarr." Dragør, meski kerajaan itu telah hancur,
ternyata masih bisa mengancam lima kerajaan. "Terutama karena darah
Selencia dan Dragør yang berada di dalam dirinya. Dua kerajaan sekaligus.
Bila Amaranta mati, siapa pun yang bersama Verity, bisa menguasai dua
per lima kerajaan. Alastair, bajingan itu bahkan bisa menguasai lebih dari
setengah Inkarnate. Tidak bisa dibiarkan!"
 

Pangeran Alexander memejamkan mata, berpikir sejenak, lalu kembali


melihat tangannya yang perlahan menghitam. "Lima kerajaan lebih
berhati-hati sekarang."
 

"Mereka juga tengah mempertimbangkan langkah selanjutnya, Yang


Mulia."
 

"Bersiap untuk perang, itulah yang harus kita lakukan." Pangeran Alexander
memerintahkan tentara-tentaranya kembali ke Thaurin. Ia tidak seperti
Tybalt yang menyiapkan semuanya dengan terburu. Bila membiarkan
Verity berada di Austmarr adalah langkah terbaik, maka ia akan
membiarkan hingga waktu yang tepat tentu saja.
 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

XXVII
HEAVEN AND HELL
 

BAGAIMANA MUNGKIN SESEORANG bisa membuatnya merasakan semua


dalam waktu yang bersamaan? Raja Alastair merapatkan tubuh keduanya,
merasakan lekuk tubuh Verity ketika ia mencium bibirnya perlahan. Apa
yang terjadi kepada jantungnya sekarang membuatnya panik, panik karena
ia sendiri tidak bisa memprediksi apa yang harus dilakukan kepada wanita
itu.
 

"Yang Mulia ...." telinganya. Semuanya terasa buram dan begitu cepat, ia
telah Desahan Verity seperti musik di terjebak dalam hipnotis aneh yang
wanita itu lakukan.
 
Raja Alastair kembali tersadar ketika Verity menyentuh dadanya saat
pakaian mereka telah lepas entah ke mana, dan kini Verity berada di
bawahnya.
 

Raja Alastair menatap mata violet Verity, memperhatikan wajahnya yang


memerah. Ia menyurukkan kepala ke leher wanita itu, menyesap kulitnya
yang kini lebih sensitif, lalu berbisik, "Siapa kau sebenarnya?"
 

Verity berusaha menahan suara memalukan apa pun di tenggorokan,


terutama saat pria itu kembali mencium leher, kemudian turun ke pundak,
payudara, hingga perutnya. Membuatnya merasakan gelenyar aneh untuk
yang ke sekian.
 

"Yang Mulia ...." Cicitan Verity membuat Raja Alastair mengangkat kepala
dan menatap kedua bola mata violetnya. "Aku... Aku tidak tahu apa yang
harus aku lakukan."
 

Verity menggigit bibirnya gelisah. Raja Alastair satu satunya pria yang hadir
di hidupnya dan melakukan hal di luar dugaan.
 

Raja Alastair kembali menunduk, mengusap bibir Verity yang ranum. "Aku
juga tidak tahu," gumamnya.
 

"Anda Anda tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya?" Verity bertanya
ragu. Biasanya seorang raja memiliki lebih dari seorang gundik sebelum ia
menikah secara resmi.
 

"Tidak." Raja Alastair mengenal beberapa wanita bangsawan yang terang-


terangan menyodorkan diri ke hadapannya, tetapi hingga detik ia menikah
dengan Verity, ia tidak pernah merasa perlu memperlakukan para wanita
lebih dari seharusnya. Lagi pula sebagai seorang raja, ia tidak boleh
menyebarkan benihnya sembarangan. Seorang anak yang dilahirkan tanpa
ikatan, jelas akan membawa petaka.
 

"Tapi aku...." "Verity membuka mata lebar-lebar dan menyadari kalau


tubuhnya benar-benar rapat dengan Raja Alastair. Begitu banyak
pertanyaan berkecamuk di benak membuat Raja Alastair menatapnya lebih
tajam, menunggu kelanjutan perkataannya yang tergantung.
 

"Tapi apa, Clementine?" Raja Alastair bisa melihat keraguan Verity, lalu
menahan tangan wanita itu untuk merasakan detak jantungnya yang begitu
cepat. Rasanya masih menyakitkan, tetapi kini ia bisa menahannya. "Apa
yang kau rasakan?"
 

Tidak samar seperti sebelumnya, detak jantung Raja Alastair terasa begitu
kuat. "Kuat." Verity bergumam ragu. Raja Alastair menggeram pelan ketika
melihat keraguan dan ketakutan di mata Verity. "Cium aku!"
 

"Apa?" Verity membelalakkan mata.


 

"Kalau kau memang ingin melakukannya. Cium aku, Clementine." Raja


Alastair tiba-tiba membalik posisi mereka, membuat Verity pindah ke
atasnya. Ia menunggu hingga Verity menyentuh lebih dulu.
 

Verity melihat Raja Alastair, menelan ludah gelisah, lalu mengusap dada
pria itu ragu. Ia perlahan memberanikan diri untuk mencium lebih dulu,
sementara Raja Alastair diam, menunggunya melakukan sesuatu yang
diinginkan.
 

Verity mencium bibir Raja Alastair sekilas dan melihat reaksi pria itu.
Matanya mengerjap beberapa kali ketika Raja Alastair tampak seperti
menunggunya. Kali ini ia lebih memberanikan diri, mencium bibir raja lebih
lama, berusaha melumat pelan, lalu mengalihkan ciumannya ke pipi hingga
telinga pria itu. Raja Alastair mengerang pelan ketika Verity mencium
lehernya, menjilat dengan kikuk karena ia benar-benar tidak tahu apa yang
harus dilakukan selain meniru perlakuan raja terhadapnya.
 

"Apakah ...." Verity menghentikan gerakannya tiba-tiba saat Raja Alastair


mengerang pelan.
 

"Lanjutkan!" Raja Alastair memejamkan mata, merasakan tangan mungil


Verity gemetar saat menyentuh kulitnya. Bibir wanita itu hanya
memberikan ciuman seringan bulu di pundak dan dada, tetapi dapat
memberikan efek luar biasa untuknya.
 

"Ah!" Verity tersentak kaget ketika lagi-lagi Raja Alastair mengubah posisi
mereka. Pria itu kembali berada di atasnya.
 

Mata Raja Alastair menggelap. "Aku akan melakukannya." Ia tidak lagi


menahan tangan Verity. Kini tangan kanannya menangkup payudara wanita
itu, lalu menatap mata violetnya. Melihat untuk yang terakhir kali apakah
wanita itu akan mendorong atau menariknya.
 

"Aku akan melakukannya, Clementine," tegasnya.


 

Verity mengangguk pasrah, membiarkan pria itu mengambil alih semuanya.


Ia hanya bisa memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam ketika
merasakan sengatan menyakitkan di inti dirinya. Tanpa disadari, air
matanya meleleh menahan rasa sakit yang teramat sangat saat Raja
Alastair bergerak, membuat inti dirinya terasa begitu penuh dan ngilu.
 

Jenny tidak mengatakan banyak hal selain semuanya akan baik-baik saja
bila suaminya lebih bersabar, tetapi Verity tidak merasa lebih baik sedikit
pun bahkan saat Raja Alastair melepaskan penyatuan mereka dan
berbaring di sebelahnya. la memilih untuk mengumpulkan selimut,
menutupi tubuh yang telanjang, lalu bergelung sejauh mungkin dari Raja
Alastair.
 

"Ada apa?" Raja Alastair yang melihat tingkah aneh Verity segera membalik
tubuh wanita itu dan menghadapkan. ke arahnya. Ia melihat air mata yang
membasahi pipi wanita itu.
 

"Rasanya sakit." Suara Verity terdengar serak dan seperti bisikan samar.
Sekujur tubuhnya terasa sakit.
 

Raja Alastair tidak mengatakan apa pun lagi. Ia hanya menarik tubuh Verity
mendekat dan memeluknya.
 

"Yang Mulia?" ucap Verity setelah beberapa saat hening. mendongak,


melihat Raja Alastair yang telah memejamkan mata lalu berusaha
melonggarkan pelukan pria itu.
 

"Tidurlah." Raja Alastair bergumam.


 

Verity mengembuskan napas pelan, memikirkan apa yang akan terjadi


selanjutnya bila mereka telah melakukan sejauh ini. Verity mengusap air
mata yang kembali turun, ia tidak tahu kalau kebebasan butuh
pengorbanan besar. Perlahan rasa kantuk menyelimuti, kali ini ia bisa tidur
tanpa gangguan, ditemani suara degup jantung Raja Alastair yang berdetak
kencang.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Richard Blaxton berjalan hati-hati melewati genangan air dan lantai


berlumut yang licin. Ia menarik napas dalam-dalam, tak menghiraukan
aroma apek penjara bawah tanah Austmarr, lalu berhenti di depan sebuah
pintu besi tahanan nomor satu. Penjara bawah tanah Austmarr sama
seperti yang lain: lembap, berbau tak sedap, juga sunyi senyap, hingga
suara apa pun dapat terdengar begitu jelas, bergema ke seluruh penjuru
ruangan. Satu-satunya penerangan hanya berasal dari obor api yang
ditancapkan di dinding.
 

Richard Blaxton mengetuk pintu besi beberapa kali, hingga seorang sipir
penjara membuka jendela kecil berbentuk persegi panjang yang berada di
pintu. Tidak perlu waktu lama bagi sipir itu untuk membukakan pintu,
mempersilakannya masuk tanpa diikuti seorang prajurit yang berjaga.
 

aroma anyir darah yang tercium begitu jelas, tanda kalau pria itu
 

"Bagaimana keadaannya?" Richard Blaxton mengabaikan telah menerima


puluhan siksaan sebelum masuk ke ruangan.
 

"Sadar, Tuan." Richard kemudian mengusirnya dengan gerakan tangan.


Blaxton mengangguk. Ia memberikan beberapa keping koin perak kepada
sipir, kemudian mengusirnya dengan gerakan tangan.
 

Richard Blaxton hanya perlu melangkah beberapa kali untuk melihat secara
langsung wajah si pria. "Apakah itu benar?" Ia menunduk, sedikit jijik
ketika pakaian yang ia kenakan tak sengaja menyentuh luka menganga pria
itu.
 

"Aku mengatakan yang sebenarnya." Pria itu menggerak gerakkan tangan


dan kakinya yang terikat bola baja. "Mereka bilang Ratu Clementine berasal
dari Dragør. Dia adalah Putri Verity, anak Ratu Mariella dan Raja
Ferdinand."
 

Richard Blaxton mengangguk-angguk paham. Mata-mata ia kirimkan juga


mengatakan hal sama. Pria di hadapannya yang ini hanya seorang tidak
beruntung, dikorbankan tuannya setelah para prajurit mengejar mereka
ketika berusaha melewati Austmarr tanpa izin. Semenjak beberapa
kejadian menimpa Ratu Clementine, keamanan dan penjagaan di Austmarr
memang diperketat. Hukuman bunuh di tempat juga diberlakukan untuk
orang-orang yang bersikap mencurigakan. Pria ini berhasil selamat dari
maut ketika melontarkan nama Ratu Clementine di hadapan para prajurit.
 

"Siapa pria yang bersamamu?"


 

"Dia ... dia ... Pria itu menjilat bibirnya yang kering dengan gelisah. "Dia
salah satu bangsawan di Colthas."
 

Richard Blaxton berdecak tidak puas. "Siapa yang ingin kalian temui?"
 

"Tolong aku hanya mengantar tuanku. Dia ingin bertemu seseorang di


Thaurin." Pria itu terisak. Rasa sakit dari luka membuatnya tidak lagi peduli
apa yang terjadi kepada tuannya bila ia mengatakan semuanya sekarang.
 

"Thaurin?" Richard Blaxton mengembuskan napas panjang. Apakah


Pangeran Alexander juga terlibat dengan konspirasi besar ini?
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair melihat Verity yang masih tertidur, sebagian tubuhnya terlihat
saat bergerak pelan, membuat selimutnya turun. Raja Alastair
memperbaikinya, lalu melangkah keluar dari kamar. Ia tengah mengusap
rambut yang separuh basah ketika mendapati Richard Blaxton telah
menunggu di depan kamar.
 

"Apa yang kau lakukan sepagi ini di depan kamarku?" Raja Alastair
mengernyit dan segera menutup pintu kamar ketika melihat tatapan
penasaran Richard Blaxton kepadanya.
 
Richard Blaxton berdeham sekilas sebelum kembali menatap Raja Alastair
yang menunggunya berbicara. "Ada hal penting."
 

Raja Alastair mengangguk mengerti, lalu melangkah sejauh mungkin dari


kamarnya. "Kau tahu bukan, bila kau tidak boleh mengatakan apa pun di
hadapan Clementine?"
 

"Yang Mulia," Richard mengusap telapak tangannya gelisah, "aku sedang


mencari tahu apa yang Dragør dan Colthas rencanakan ketika prajurit yang
menjaga perbatasan mendapati. .. "
 

Raja Alastair mengembuskan napas gusar. "Prajurit perbatasan


menemukan kepala yang terpisah dari tubuhnya di perbatasan Austmarr
dan Thaurin," sambungnya.
 

Jenderal Irvin bahkan berani mendatanginya di subuh buta untuk


melaporkan temuan mencengangkan mereka. Apa yang Richard Blaxton
ingin katakan lebih terlambat beberapa jam dari Jenderal Irvin.
 

"A-anda sudah tahu?" Richard berdehem sekali lagi. "Saya masih


menyelidiki siapa yang mereka temui, tetapi ada rumor yang beredar di
Colthas, Yang Mulia,"
 

"Rumor?" Raja Alastair menatap lekat ketika Richard Blaxton berkali-kali


memperbaiki posisi berdirinya hanya karena terlalu gugup.
 

"Salah satu dari mereka berhasil ditangkap oleh prajurit perbatasan, Yang
Mulia. Sebuah rumor beredar kalau Ratu Clementine...." Richard menatap
Alastair takut, "Ratu Clementine sebenarnya adalah Putri Verity, anak Ratu
Mariella dan Raja Ferdinand."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Langkah sepatu bot Raja Alastair terdengar bergema ketika melewati


lorong penjara bawah tanah, sementara para sipir penjara memberikan
salam hormat kepadanya.
 

Raja Alastair tiba di salah satu penjara. "Buka pintunya!" Suaranya bahkan
terdengar lebih dingin daripada suhu penjara bawah tanah.
 

Pintu besi itu terbuka lebar, memperlihatkan seorang sipir penjara yang
gemetar ketakutan melihatnya. "Yang Mulia...
 

Raja Alastair mengabaikan sipir penjara itu, lalu melihat sesosok mayat pria
yang terikat di dinding dengan dua bola baja di kedua kakinya.
 

"Dia mati tadi pagi, Yang Mulia," kata si sipir.


 

Raja Alastair bisa mencium aroma anyir darah dan bau busuk mayat, tanda
kalau kematian pria itu mungkin lebih lama daripada laporan yang ia
terima. "Kemarilah." la tangan, memanggil si sipir untuk mendekat.
menggerakkan
 

"Yang Mulia." Sipir itu menunduk ketakutan.


 

"Sialan!" Raja Alastair meninju perut sipir itu, membuatnya jatuh terduduk
menahan sakit dan mual yang tiba-tiba menyeruak.
 

Raja Alastair bisa melihat luka menganga di mayat pria itu, juga luka-luka
baru yang mungkin diberikan si sipir atas dasar kepuasan pribadi. Lagi-lagi
ia kehilangan kunci untuk membuka tabir rahasia istrinya.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 
Verity masih terlelap di alam mimpi ketika merasakan guncangan di lengan
dan bahunya. Ia pun mengerjapkan mata beberapa kali sebelum
mendapati tubuhnya masih polos selain tertutupi selimut.
 

"Baguslah kau sudah bangun, Clementine." Verity mengerutkan kening dan


menyadari Raja Alastair tampak marah, entah untuk apa. Secara refleks ia
pun segera duduk, mengabaikan rasa sakit di selangkangan atau bagian
tubuh yang lain.
 

"Yang Mulia, kenapa Anda ...." Verity mengumpulkan selimut untuk


menutupi tubuhnya yang polos saat mata Raja Alastair menatap tubuhnya
terang-terangan.
 

"Haruskah aku memanggilmu Clementine? Atau nama aslimu?" Raja


Alastair tidak berbasa-basi lagi.
 

Wajah Verity memucat, kepalanya dipenuhi beragam tanya dalam waktu


singkat.
 

"Kau memang mencurigakan sejak pertama kali menginjakkan kakimu di


istana ini." Raja Alastair tiba-tiba naikke kasur, membuat Verity semakin
ketakutan. "Aku bahkan memperkirakan berbagai hal, Clementine. Aku
sempat mengira kalau kau sebenarnya adalah seorang penipu atau wanita
bayaran. Kau bahkan sempat menipuku dengan wajah polosmu,
Clementine." la mengusap pipi Verity lembut dengan rasa sayang yang kini
nyaris seperti cemoohan.
 

"Yang Mulia!" Verity terpekik pelan ketika Raja Alastair tiba-tiba mencekik
lehernya, membuatnya teringat kejadian di perpustakaan dulu.
 

"Apa kau sudah puas mempermainkanku, Verity?" Verity terbelalak


mendengar Raja Alastair menyebut nama aslinya. Sementara mata Raja
Alastair semakin menggelap ketika menyadari kebenaran kalau sosok di
hadapannya ini memang seorang Verity Dragør.
 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

XXVIII
THE BOND
 

PANGERAN ALEXANDER MEMBIARKAN tabib menyentuh tangannya,


membolak-balikkan beberapa kali, dan menghela napas panjang. "Anda
harus meminum obat yang saya berikan, Yang Mulia."
 

Pangeran Alexander kembali menyembunyikan tangan kanannya yang


membiru dan terus bergetar hebat sejak tadi. "Berikan saja obat yang bisa
membuatnya berhenti bergetar seperti ini," katanya.
 
Sang tabib hanya mengangguk, lalu sekumpulan obat yang bisa
mengurangi efek kejang otot hemlock. mencari-cari "Aku tidak bisa
memberikan saran apa pun kepada Anda, Yang Mulia. Anda terlalu keras
kepala."
 

Pangeran Alexander tersenyum tipis mendengar penuturan Norman, tabib


yang lebih dekat dengannya daripada Raja Arthur. "Apa yang bisa aku
lakukan untuk membalas jasamu selama ini, Norman?"
 

Norman kembali duduk di hadapan Pangeran Alexander sembari


membawa peralatan untuk menumbuk obat-obatan. "Aku hanya berharap
Anda mau meminum obat penawarnya, Yang Mulia. Keracunan hemlock
akan membawa efek yang buruk untuk kesehatan Anda ke depannya."
 

Pangeran Alexander hanya terdiam, menyadari kata-kata Norman ada


benarnya. Namun, ia masih tak berniat untuk menyentuh obat penawar
yang Norman maksud. Tangannya seperti itu adalah hukuman setimpal
karena ia telah menyuapkan racun mematikam kepada Verity selama
bertahun tahun.
 

Norman melihat ekspresi wajah Pangeran Alexander dan lagi-lagi menghela


napas panjang. "Aku tahu Anda tidak akan melakukannya."
 

"Aku yang membuatnya dan menyuapkan ke mulut gadis itu, Norman."


Selama bertahun-tahun, Pangeran Alexander yang merincikan racun untuk
Verity. Dosisnya kecil, tetapi cukup menyiksa.
 

Racun yang berada di makanan Verity saat di Austmarr merupakan salah


satu kecerobohannya karena tidak menyangka Ratu Amaranta juga berniat
memberikan peringatan untuk wanita itu. Racun itu bukan buatannya,
sehingga ia sendiri tidak tahu kandungan apa di dalamnya. Hemlock hanya
dikembangkan di Thaurin, bila Norman tidak tahu siapa yang membuat
racun itu, maka sepertinya ayahnya tahu.
 

"Apa kau yang membuatnya, Norman?" Pertanyaan Pangeran Alexander


memecah hening.
 

Norman terdiam, tangannya berhenti menumbuk obat obatan. Kedua


matanya yang tua menatap Pangeran Alexander Kebijaksanaan dan
pengalaman yang didapatkan setelah bertahun-tahun, membuatnya sadar
kalau Pangeran Alexander tidak pernah bermain-main dengan
perkataannya. "Anda tahu kalau tanganku hanya ditujukan untuk membuat
obat, Yang Mulia," jawabnya.
 

"Racun dan penawar. Selain ayahku, hanya kau membuatnya, Norman."


bisa yang
 

"Anda tahu kalau saya tidak punya alasan untuk menyakiti Putri
Clementine." Jawaban Norman merupakan bukti terakhir yang
menguatkan kalau Raja Arthur adalah perancang racun untuk Verity di
Austmarr.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair tidak bisa mengerti perasaannya yang tiba-tiba tumbuh dan
berkembang karena kedatangan Clementine, atau Verity. Ia bahkan tidak
bisa melakukan apa-apa ketika melihat mata Verity yang begitu ketakutan.
Bagaimana mungkin keadaan mereka berubah seratus delapan puluh
derajat setelah kejadian semalam?
 

Raja Alastair menarik napas gusar, lalu menarik tangannya menjauh dari
Verity. "Kenapa kau melakukannya?" Ia melihat mata violet Verity sekali
lagi dan menyadari betapa pucatnya wanita itu.
 

"Aku hanya menginginkan kebebasan," cicit Verity.


 
"Tentu saja." Raja Alastair mendengkus kesal. Entah wanita itu terlalu
cerdik atau naif, tetapi tentu saja ia tidak akan melepaskan dengan mudah.
"Mulai detik ini kau adalah tahanan di Austmarr, Verity!"
 

"Yang Mulia!"
 

Raja Alastair mengabaikan Verity dan keluar dari kamar. la tidak percaya
kepada diri sendiri yang bisa menumbuhkan perasaan begitu dalam kepada
wanita itu.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Richard Blaxton melihat Raja Alastair Austmarr. Raja muda itu tengah
menundukkan kepala, menatap berlembar-lembar laporan yang diberikan
para menteri. Ia sadar pilihannya dengan memberitahu jati diri Verity tidak
akan diterima baik oleh sang raja, tetapi ini langkah terbaik untuk
Austmarr. Bila Austmarr tertinggal dari kerajaan-kerajaan lain, maka bisa
saja kalah ketika perang tiba-tiba datang seperti dua dekade lalu.
 

"Yang Mulia, apa yang harus kita lakukan kepada Richard Blaxton terdiam
sesaat. Ia sendiri bingung, memanggil putri Kerajaan Dragør itu sebagai
Verity atau Clementine.
 

"Wanita itu?" Raja Alastair mengangkat kepala dan menatap Richard


Blaxton. Tatapannya dingin tidak terbaca seperti saat sebelum wanita itu
masuk dan mengacak-acak hatnya, membuat Richard Blaxton merasa tidak
nyaman karena kembali berhadapan dengan raja tanpa hati.
 

"Apa Anda akan-"


 

"Richard, apa kau ingat apa yang telah Mariella lakukan kepadaku?" Raja
Alastair berkata lebih dulu.
 

"Mengutuk hati dan jantung Anda, Yang Mulia." Richard Blaxton menjawab
singkat, menegakkan punggung, berusaha bersikap lebih tegap.
 

"Apa kau tahu berapa banyak pembunuh bayaran yang berhasil menusuk
jantungku, tetapi tidak berhasil membunuhku?" Kali ini Raja Alastair tidak
membiarkan Richard Blaxton menjawab. "Cukup banyak, Richard! Mereka
semua pada akhirnya mati di tanganku."
 

"Apa Anda bermaksud membunuh Ratu Clementine?" Richard Blaxton


terkesiap, "Anda tahu bukan kalau Selencia dan Thaurin berada di belakang
Ratu Clementine, mereka akan...." "
 

"Mereka tidak peduli," kata Alastair acuk tak acuh. "Aku yakin Amaranta
tidak tahu kutukanku yang sebenarnya."
 

Richard Blaxton mengangguk. Kutukan Ratu Mariella memang hanya


diketahui segelintir orang. Raja Alastair tidak mati meskipun banyak senjata
yang berhasil menusuk jantungnya, sebagai balasan ia akan tetap
merasakan ribuan kematian, terutama bila senjatanya berasal dari Dragør.
Tanah Dragør memiliki kekayaan alam terbesar juga pembuat senjata
terhebat pada masanya, bahkan hingga detik ini, sebagian besar bahan
senjata berasal dari tambang-tambang di Dragør. Ratu Amaranta mungkin
telah mendengar desas desus kalau Raja Alastair hanya bisa dibunuh oleh
senjata yang berasal dari Dragør, lalu mengirim Verity sebagai senjatanya.
 

"Apa Anda akan tetap membunuhnya? Saya yakin Ratu Clementine, Putri
Verity, atau siapa pun ia, tidak mengetahui kutukan Anda, Yang Mulia,"
Richard Blaxton berujar cepat, "Ratu Amaranta mungkin tidak akan peduli,
tapi ini akan menjadi alasan baginya untuk memulai perang kembali.
Seorang raja yang membunuh ratunya sendiri tidak pantas menjadi
pemimpin lima kerajaan." Ia telah bersiap menerima hukuman apa pun
karena telah berani bersikap kurang ajar kepada Raja Alastair.
 

"Kau terlihat cukup peduli kepada wanita itu." Kata-kata Raja Alastair
terdengar tajam, membuat Richard Blaxton menelan ludahnya susah
payah.
 

"Kesetiaanku berada di tangan Anda, Yang Mulia. Anda Itahu sendiri kalau
sayalah yang memberitahu jati diri Ratu Clementine kepada Anda." Richard
Blaxton membela diri.
 

"Lalu menurutmu apa yang harus kulakukan kepada wanita itu, Richard?"
 

"Kehadiran Putri Verity di Austmarr bisa bersifat seperti kutukan Ratu


Mariella. Bagaikan pedang bermata dua, ia bisa saja membunuh atau
bahkan menjadi penawar untuk kutukan Anda, Yang Mulia."
 

Raja Alastair mempertimbangkan perkataan Richard Blaxton dengan kening


berkerut dalam. "Dia akan tetap berada di posisinya saat ini, seorang ratu
tanpa kekuasaan. Dia akan menjadi tahanan Kerajaan Austmarr."
 

Richard Blaxton hanya mengangguk. Raja Alastair akan kembali ke rencana


awalnya, menjadikan wanita itu sebagai tameng sekaligus tahanan
kerajaan. Darah Dragør dan Selencia yang berada di dalam tubuh Verity,
membuatnya jauh lebih berharga dibanding anggota kerajaan mana pun.
Membunuh Verity hanya akan membuat Raja berhasil menguasai Dragør
saja, tetapi bila membunuh Ratu Amaranta sementara Verity tetap di
sisinya, ia dapat menguasai Dragør dan Selencia sekaligus.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity menggerakkan tubuh di kasur dengan gelisah. Ia tidak tahu apa yang
Raja Alastair rencanakan, bahkan setelah para pelayan masuk,
membantunya mandi, dan mengganti sepre yang bernoda darah, tidak ada
satu pun pengawal datang untul menyeretnya masuk penjara.
 

Verity mencoba untuk tidur, tetapi perasaan mencekam menghantui,


membuatnya terus merasa gelisah, atau ia berhasil tertidur, mimpi aneh
terus datang. Seperti ketika ia berada di tempat antah-berantah dan disiksa
terus-menerus dengan racun. Rasa lelah mendera, membuatnya kembali
tertidur, dan mengistirahatkan pikiran yang terus berkecamuk.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Sedikit lagi, Verity." Verity merasakan telapak tangan yang menghapus


jejak air mata di pipinya.
 

"Aku tidak mau. Kumohon, Al. Kumohon." Verity menunduk sembari


menjauhkan tangan yang menyodorkan botol kecil kepadanya. "Baiklah."
Alexander menarik tangannya, lalu melempar botol kecil hingga jatuh dan
pecah berantakan.
 

"Apakah kau akan baik-baik saja?" Alexander hanya tersenyum mendengar


perkataan Verity.
 

"Aku yakin ayahku tidak akan marah. Kau ingin melihat kupu kupu di
taman?" Alexander mengalihkan pembicaraan dan membawa Verity ke
taman, tempat favorit gadis itu.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Apa yang terjadi?" Verity menatap Alexander dengan mata terbelalak.


Beberapa sudut wajah pemuda itu lebam, tetapi ia masih bisa tersenyum.
 

"Aku terjatuh," kilah Alexander. "Apa kau mau ke taman lagi?"


 
"Apa mereka menghukummu?" Perasaan bersalah menghunjam hati
Verity. "Mereka menghukummu karena aku tidak meminumnya bukan?"
 

"Aku terjatuh." Alexander mengulangi kebohongannya.


 

"Al?" Verity menyentuh pipi Alexander, tetapi pemuda itu lebih memilih
memalingkan wajah, tidak membiarkan disentuhnya, "Alexander!"
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Lagi-lagi Verity terbangun dengan perasaan gelisah. Ia tidak dapat


melupakan mimpinya tadi. Ia berada di Thaurin dan mengenal Pangeran
Alexander. Pangeran itu teman baiknya semasa kecil, apa maksudnya?
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Norman menatap Pangeran Alexander yang kini termenung di hadapannya.


"Apa Anda masih membutuhkan hemlock?"
 

"Hemlock bisa menjadi racun atau obat." Alexander terdiam sesaat. "Apa
menurutmu ingatannya bisa kembali?"
 

"Tentu saja." Norman mengangguk, lalu melanjutkan, "Metode yang


diberikan ayah Anda kepada Putri Clementine akan luntur bila tidak
dilakukan berulang-ulang."
 

Pangeran Alexander kembali melihat tangannya dengan perasaan jijik. Dia


yang membuat racun dan menyuapkannya kepada Verity. Dia akan disiksa
apabila Verity tidak menurut. Raja Arthur tahu ikatan keduanya yang saling
melindungi. Saat dipaksa untuk membuat racun itu, dengan sengaja dia
mengurangi dosis hemlock, dan perlahan-lahan membentuk kekebalan
tubuh Verity terhadap racun hemlock.
 

"Selama beberapa bulan terakhir dia belum menerima racun apa pun."
Pangeran Alexander bergumam.
 

"Maka memorinya perlahan-lahan akan kembali, Yang Mulia," sambung


Norman.
 
 

"Apa yang terjadi bila memorinya kembali?" Pangeran Alexander bertanya


kepada tabib yang merupakan gurunya selama ini, mengajarinya berbagai
racun dan obat.
 

"Dia akan mengingat semuanya tentu saja, Yang Mulia. Hal hal baik dan
buruk yang telah Anda lakukan kepadanya, bahkan masa lalunya sebelum
datang ke Thaurin." Norman menjawab dengan tenang.
 

"Aku telah membunuh banyak orang, Norman," Pangeran Alexander


bergumam, "beberapa di antaranya karena ayahku memberi perintah
untuk membunuh mereka. Aku bahkan melakukannya tanpa mengedipkan
mata saat menebas kepala mereka." Ia melihat tangan kanan yang
getarannya mereda karena telah meminum obat racikan Norman.
 

"Beberapa kubunuh untuk kepuasanku sendiri." Kali ini Pangeran


Alexander memperlihatkan tangan kirinya yang bersih tanpa luka.
"Sebagian lagi kubunuh untuk melindungi wanita itu. Saat ia menginjak
Austmarr, perintah pertamaku adalah membunuh dua orang yang
mengetahui jati dirinya. Matthias dan Maisie, dua pelayan Selencia itu mati
dengan cara mengenaskan."
 

"Apa maksud Anda mengatakan ini kepada saya, Yang Mulia?" Norman
mengerutkan kening.
 
"Aku mengenal ayahku, Norman. Meskipun dia bisa membuat racun yang
sama, dia tidak akan merendahkan diri sendiri dan mengotori kedua
tangannya." Pangeran Alexander menampilkan reaksi misterius.
 

"Yang Mulia?" Norman melihat seluruh penjuru ruang kerjanya yang kecil.
 

"Aku tahu tatapan matamu ketika melihat tangan kananku, Norman, Kau
yang membuatnya bukan?" Pangeran Alexander menarik pedangnya.
 

"Ini karena perintah ayah Anda, Yang Mulia!" Ketenangan yang sedari
melingkupi, surut seketika.
 

"Aku sudah bilang bukan? Aku membunuh sebagian karena perintah


ayahku, sebagian lagi untuk kepuasaanku sendiri." Tidak butuh waktu lama
bagi Pangeran Alexander untuk membunuh pria tua itu. Norman tidak
sempat melawan dan mati saat pedang sang pangeran menusuk lehernya.
 

"Dan yang ini untuk kepuasaanku sendiri," geram Pangeran Alexander.


 

 
 

XXIX
COUP DE GRÂCE
 

HADRIAN COLTHAS MELIHAT Raja Zacharias, lalu memanggilnya. "Zachary!"


Sembari tertatih mendekat.
 
"Apa yang kau lakukan?" Raja Zacharias menundukkan kepala, kedua
tangannya mencengkeram erat rambut hitam yang mulai memanjang.
"Kenapa kau masih terbangun?"
 

"Apa kau sedang berusaha menghancurkan mereka, atau kau sedang


berusaha menghancurkan dirimu sendiri?" Hadrian melihat wajah lelah
juga putus asa Raja Zacharias. "Kupikir kau benar-benar semakin mirip
ayah, tapi setelah melihat kelemahanmu malam ini, kurasa kau tidak
seperti raja sebelumnya."
 

"Zacharias II tidak pernah segan-segan membunuh saudaranya sendiri,


Hadrian." Raja Zacharias mendengkus keras, melihat kaki adiknya yang
buntung, lalu bangkit berdiri. "Untuk saat ini, bila aku mati, maka kaulah
yang akan menjadi penggantiku."
 

"Bagaimana Tybalt? Apa dia melakukan sesuatu?" Hadrian berusaha


mengikuti kakaknya yang sudah berjalan lebih dahulu mendekati jendela.
 

"Bukan Tybalt. Aku tidak khawatir dengan pria itu." Raja Zacharias
mengetuk-ngetuk permukaan jendela di hadapannya. "Aku mencurigai
salah satu menteriku yang bersikap aneh semenjak kedatangan Tybalt."
 

"Bunuh dia!" Hadrian mengucapkannya sambil lalu. Siapa pun yang


mencurigakan memang harus dimusnahkan sebelum salah satu pihak
menjadi korban.
 

"Seandainya bisa semudah itu." Lagi-lagi Raja Zacharias mendengkus keras.


"Salah satu mata-mataku membuntutinya yang pergi menuju perbatasan."
 

"Apa dia mendapatkan sesuatu?"


 
"Dia jelas tidak menemui Alastair. Salah satu dari mereka tertangkap dan
mati di Austmarr. Alastair memenggal kepalanya dan menancapkannya di
tombak dekat perbatasan Colthas. Pengkhianat itu juga mati." Raja
Zacharias berdecak tidak puas.
 

"Apa Alastair yang membunuhnya?" Hadrian terlihat penasaran.


 

"Tidak. Dia telah ditemukan mati dengan kepala yang terpisah dari
tubuhnya di perbatasan Austmarr dan Thaurin jawab Raja Zacharias.
 

Hadrian terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, "Bila kabar Clementine


adalah Putri Verity Dragør telah sampai ke telinga Alastair, maka kita hanya
bisa berharap pria itu tidak langsung membunuhnya."
 

"Mungkin dia tidak akan langsung membunuhnya. Dia akan


memenjarakannya hingga Ratu Amaranta mati." Raja Zacharias menerka-
nerka.
 

"Kita harus melakukan sesuatu sebelum itu terjadi," ucap Hadrian cepat,
terlihat resah. "Mungkin Tybalt benar, Verity tidak bisa berlama-lama di
Austmarr."
 

Tidak." Raja Zacharias menatap sekilas kaki adiknya, ada sedikit rasa
mengganjal dan mengganggu hatiya. "Kita harus menemukan Ratu
Mariella."
 

"Mariella? Tidak ada seorang pun yang tahu di mana keberadaannya


sekarang," sahut Hadrian.
 

"Tentu saja ada. Ada seseorang yang membantunya keluar, sementara


Verity tinggal bersama Marja." Raja Zacharias telah membaca lembar-
lembar perkamen berisi informasi terakhir Dragor yang telah dikumpulkan
ayahnya selama bertahun tahun. "Mariella adalah orang yang harus kita
waspadai nanti."
 

"Nanti? Bagaimana dengan saat ini?" "Alexander Thaurin." Raja Zacharias


mengetuk-ngetukkan telunjuknya di kaca jendela yang sedikit buram.
 

Tidak lama kemudian, datang salah satu dari sepuluh prajurit elite Colthas.
Emblem Colthas yang berwarna perak keabuan terlihat mencolok di
pakaian serba hitamnya.
 

"Kita membutuhkan Dragør, keberadaannya akan mengganggu rencanaku,"


kata Raja Zacharias.
 

"Kau ingin membunuh penerus Thaurin?" Colthas dan Thaurin tidak


berdekatan, membunuh Pangeran Alexander tidak akan membawa
keuntungan apa pun. Terkecuali bila Colthas menyingkirkan semua
kerajaan yang tersisa seperti usaha Selencia selama ini.
 

"Aku ingin mencari kelemahannya, Hadrian."


 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity menekuk kaki dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang.


Selain masih terkurung di kamar, Raja Alastair tidak membawanya ke
penjara membiarkannya kelaparan. Para pelayan masih datang silih
berganti, membantunya bawah tanah atau mengganti baju, membawakan
makanan, meski kini mereka lebih diam daripada biasanya, bahkan
langsung keluar begitu selesai mengerjakan tugas.
 

Mimpi tentang Pangeran Alexander dan Thaurin masih menghantui. Verity


berusaha mengingat kembali potongan memori di Thaurin yang hilang,
tetapi sia-sia saja. Ia hanya ingat wajah Pangeran Alexander yang babak
belur dan botol keal berisi cairan aneh. Verity mengembuskan napas,
menyembunyikan wajah, dan berusaha menghapus setiap perasaan gelisah
yang terus datang.
 

Verity baru sesaat menutup mata ketika seseorang menyentuh tangannya.


"Al?" Ia terkesiap kaget melihat Raja Alastair yang menatap tajam. "Yang
Mulia?"
 

"Al? Apa itu untukku atau yang lain?" Verity memejamkan mata kuat-kuat
ketika tangan Raja Alastair hendak menyentuh wajahnya. Bayangan
tamparan Ratu Amaranta atau cekikan pria itu membuatnya secara refleks
mempersiapkan diri. "Apa kau mengira aku akan memukulmu?"
 

Verity membuka mata dan menatap Raja Alastair. Tangan pria itu masih
terangkat meski tidak menyentuh kulitnya sedikit pun. "Apa Anda akan
memukulku?"
 

"Tidak." Raja Alastair mengusap pipi dan menghapus air mata Verity yang
mulai menetes. Wanita itu gemetar ketakutan padahal ia tidak akan
melakukan sesuatu.
 

"Apa kau takut kepadaku?" Verity menganggukkan kepalanya ragu-ragu.


"Bagus."
 

Mata Verity terbelalak kaget ketika Raja Alastair menarik tengkuk dan
mencium bibirnya gusar, seperti tengah menumpahkan semua emosi. Pria
itu tidak mencium lembut, lumatan bibirnya menyiksa, membuat Verity
sesak napas dengan perasaan yang tidak dapat dimengerti.
 

"Kenapa Anda melakukannya?" Verity bertanya ketika Raja Alastair


melepaskan pagutan.
 
"Apa ini yang kau rencanakan?" Raja Alastair mengusap bibirnya yang
memerah.
 

"Apa yang Anda bicarakan, Yang Mulia?" Verity berusaha menahan diri
untuk tidak menyingkirkan jari sang raja yang kini bermain-main di
bibirnya.
 

"Apa kau berencana untuk menggodaku lalu membunuhku nanti?" Verity


mengerutkan kening. Raja Alastair memang benar, tetapi semua itu karena
perintah Ratu Amaranta yang menginginkan anak keduanya. "Kau menang,
Verity."
 

"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" Tanpa sadar, Verity menjengit ketika Raja
Alastair mengucapkan nama aslinya.
 

"Kau menang." Raja Alastair membisikkan kalimatnya ketika kembali


mencium yang dibalas kikuk oleh Verity. "Aku akan membiarkanmu
menjadi ratu tanpa kekuasaan di Austmarr."
 

Raja Alastair menarik tali yang mengikat korset Verity, lalu membuka
pakaiannya, meninggalkan kecupan di setiap sisi yang la sentuh
sebelumnya. Verity tidak menolak atau melawan, hanya terdiam, berusaha
menerima, dan menikmati setiap sentuhan.
 

Tubuh mereka terbaring kaku, lagi-lagi tanpa sehelai pakaian selain selimut
yang menutupi. Perasaan gelisah itu kembali datang, kali ini seperti
mencabik-cabik hati. Verity menarik selimut sembari berusaha
memejamkan mata ketika Raja Alastair memberikan kecupan singkat di
tengkuk dan bahunya.
 

"Dragør. Verity Dragør." Nada getir dan ejekan terdengar lagi dari bisikan
singkat Raja Alastair. "Suatu hari tanganmu akan berlumur darahku bila aku
membiarkanmu lepas."
 

Jari telunjuk Raja Alastair mengusap punggung Verity, membuatnya


merinding seketika. Tubuhnya bergetar bukan hanya karena takut,
melainkan nama Dragør yang kini tersemat di belakang namanya.
 

Verity Dragør. Sekarang Verity bisa mengerti kenapa Ratu Amaranta begitu
membencinya.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Verity Dragør." Verity mendengar suara Ratu Amaranta dan Raja Arthur
yang seperti tengah membicarakan sesuatu dengan sengit. "Berapa lama
kau akan membiarkannya di sini?"
 

"Bersabarlah, Amaranta."
 

"Dia harus berada di Selencia sesegera mungkin!" Gema langkah Ratu


Amaranta menandakan kalau wanita itu tengah gelisah. "Kau harus
menjauhkan Alexander darinya."
 

"Aku tahu itu. Alexander mulai membangkang, aku tidak bisa


memercayainya lagi untuk memberikan hemlock kepada Verity."
 

"Verity!" Verity terkesiap kaget ketika melihat Alexander yang memanggil


namanya. Wajah pemuda itu tidak lagi terlihat separah beberapa waktu
lalu. "Apa yang kau lakukan di sini?"
 

Alexander menarik tangan Verity agar menjauh dari pintu besar terhubung
ke ruang singgasana. Suara langkah mereka yang terdengar jelas, membuat
seorang pengawal membuka pintu, yang memperlihatkan ekspresi gusar
Ratu Amaranta dan Raja Arthur yang melihat keduanya telah berlari
menjauh.
 

"Al?" Verity memegang pakaian yang Alexander kenakan ketika pemuda itu
menunduk, terlihat kepayahan setelah berlari cukup jauh. "Apa yang
mereka bicarakan? Aku telah meminumnya, mereka tidak akan
menjauhkanmu dariku bukan?"
 

Alexander menegapkan badan sebelum memegang kedua bahu Verity.


Wajah gadis itu masih pucat setelah meminum racun hemlock beberapa
hari terakhir. "Percayalah kepadaku, bila mereka menjauhkanmu dariku,
aku akan selalu datang kepadamu."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Al!" Verity menjerit saat mimpi itu datang lagi, membuatnya terbangun di
tengah malam.
 

"Siapa yang kau panggil di mimpimu, Verity?" Verity menatap Raja Alastair
yang masih berada di sisinya, terlihat tidak tidur sedetik pun. "Al? Apa itu
Alexander?"
 

Gerakan Verity yang berubah defensif adalah pertanda kalau perkataan


Raja Alastair benar. "Akan lebih mudah bila ia bukan penerus kerajaan."
Pria itu berdecak kesal.
 

"Yang Mulia...." Verity memejamkan mata ketika hantaman memori yang


sama terulang kembali. "Al-Alastair. Verity Dragør, apa itu aku?"
 

Raja Alastair sontak menatap Verity yang tiba-tiba memanggil namanya.


terbit di bibirnya. "Kau tidak tahu? Amaranta memanfaatkanmu bukan?"
Segaris senyuman penuh ejekanterbit di bibirnya.
 

"Kau hanya boneka baginya." Raja Alastair mengambil sejumput rambut


Verity dan memainkannya. "Kau hanya boneka. Boneka yang sangat
berharga." Ia bergumam.
 

Verity menggenggam seprai erat, perkataan Raja Alastair seperti menohok


jantungnya. Namun, pria itu benar, selama ini ia memang boneka Ratu
Amaranta. Sebuah mainan yang akan segera disingkirkan bila tidak lagi
menyenangkan.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Pangeran Alexander menghapus cipratan darah Norman yang mengotori


wajahnya. Ia melihat mayat sang tabib di antara kubangan darah, lalu
mendengkus gusar menyingkirkan tangan pria itu yang menutupi jalannya.
sembari
 

"Kau membunuhnya?" Raja Arthur menatap Pangeran Alexander yang baru


saja keluar dari ruang tabib. Pria itu tidak lagi terlihat takut kepadanya.
"Kau membunuhnya lebih cepat dari yang kukira."
 

Pangeran Alexander menjatuhkan pedangnya. "Kau membutuhkan waktu


dua hari untuk membunuh dua pelayan Selencia dengan menyiksanya
perlahan."
 

"Aku bukan Alastair yang membiarkan tahanannya diikat di lapangan lalu


dimakan gagak hingga mati," sahut Raja Arthur.
 

"Apa kau masih membenciku karena memberikan mainanmu kepada orang


lain?" Pangeran Alexander menatap ayahnya tajam.
 
"Aku tahu kalau kau sudah bersiap untuk perang." Seorang pengawal
memungut pedang pangeran, sementara dua pengawal lain membawa
mayat Norman dan menyeretnya menjauh.
 

"Kita harus selalu menyiapkan diri untuk hal-hal tak terduga." Raja Arthur
melirik tangan kanan anaknya sekilas. "Kau tidak akan melakukan sesuatu
kepada tanganmu?"
 

"Oh, kau tahu?" Pangeran Alexander mengangkat tangan kanan dan


memperlihatkan jejak-jejak kehitaman.
 

"Kau pikir aku tidak mengenal anakku sendiri?" Rahang Raja Arthur
berkedut marah, berusaha menahan emosi di hadapan anaknya sendiri.
 

"Kalau kau memang mengenalku dengan baik, maka kau tahu kalau aku
tidak suka ketika mainanku diambil." Pangeran Alexander memberikan
seringai penuh ejekan.
 

"Apa dia benar-benar hanya mainan untukmu?" Pangeran Alexander bukan


lagi bocah remaja yang penurut seperti dulu, ia akan melawan karena
kelemahannya tidak berada di sini. "Kau bisa mendapatkannya kembali,
Alexander."
 

"Selencia tidak bisa lagi dibiarkan." Pangeran Alexander mendekati


ayahnya dan melihat kedua mata hijau cemerlang yang sama sepertinya.
 

"Apa yang akan kau lakukan?"


 

"Jati dirinya perlahan mulai terungkap. Menurutmu apa yang akan aku
lakukan?" Perang. Karena Raja Alastair juga tidak akan suka bila mainannya
diambil begitu saja.
 
"Alastair tidak bisa mati meski senjata yang berasal dari Dragør dapat
menyakitinya begitu parah." Raja Arthur terdiam sesaat, melihat ekspresi
anaknya yang terlihat tertarik. "Verity bukan hanya sekedar mainan,
Alexander. Dia juga senjata dari Dragør."
 

"Dia senjata? Kalian menginginkan penerus Austmarr untuk menjadi


boneka berikutnya!" Pangeran Alexander berujar gusar.
 

"Berbagai senjata juga prajurit terbaik telah dikerahkan untuk membunuh


Alastair selama bertahun-tahun. Namun pria itu tidak dapat mati, ia juga
hanya terluka dengan senjata yang berasal dari Dragør. Kutukan Mariella
membuatnya seperti itu. Raja Arthur melihat tangan kanan Pangeran
Alexander dan mencermatinya. Keracunan darah akan berbahaya bila terus
dibiarkan. "Verity adalah senjata terakhir yang berasal dari Dragør. Mariella
yang mengutuknya, maka mungkin Verity bisa menjadi akhir dari
kutukannya."
 

"Apa maksudmu hanya Verity yang bisa membunuhnya?" Pangeran


Alexander mengernyit.
 

"Menurut perkiraanku seperti itu, Alexander." Raja Arthur tersenyum tipis.


 

Perang membutuhkan taktik dan strategi yang tepat, jadi tidak boleh
terburu-buru dalam menyelesaikan sesuatu.
 

 
 

 
 

 
 
 

XXX
À OUTRANCE
 

"AKU PERCAYA ADA hal lebih penting yang bisa kita khawatirkan," ucap
Tybalt gusar. "Kita harus melakukan sesuatu, apa pun. Selain menunggu."
 

Tybalt menatap Raja Zacharias yang duduk di kursi singgasana megahnya.


Mata hitam pris itu balas menatap tajam, sementara tangannya menumpu
kepala.
 

"Apa kau punya saran?" Raja Zacharias menunggu Tybalt mengatakan


sesuatu. Semenjak datang ke Colthas, ia tidak henti hentinya berlatih
mengayunkan pedang, melawan tentara terbaik Colthas satu demi satu,
semua demi mendapatkan hak Dragør kembali. "Apa kau tahu ada berapa
jumlah Dragør yang tersisa?"
 

Tybalt menarik napas gusar. "Kurang dari seratus. Sepertiganya masih anak-
anak yang lahir setelah perang."
 

"Apa kau punya tentara untuk melawan Austmarr?" Raja Zacharias


bertanya kembali. Ketergesa-gesaan tidak akan membawa keuntungan,
bahkan Tybalt tidak akan membawa kemenangan bila mereka mengambil
langkah ceroboh.
 

"Apa kau akan menyuruhku untuk menunggu?"


 

"Kau tidak ingin menunggu?" Raja Zacharias menjawab dengan pertanyaan


lain.
 

"Tentara-tentara Colthas tidak melewatkan waktu sedetik pun ketika


mereka menebas kepala-kepala rakyat Dragør, api nagamu bahkan
menghancurkan istana hingga tak bersisa." Tybalt bosan menunggu di
Colthas tanpa kepastian sementara keberadaan Ratu Mariella masih tak
diketahui.
 

"Apa kau tahu kenapa Verity begitu berharga? Bahkan setelah kehancuran
Dragør, dia masih berharga di mata kerajaan lain." Raja Zacharias
memajukan tubuhnya sedikit. "Karena kalian tidak akan bisa menguasai
Dragør bila keturunan resmi Dragør masih hidup."
 

Tybalt menyunggingkan senyum getir. Darah Dragør dan Selencia yang


mengalir di tubuh Verity, membuatnya semakin berharga.
 

"Bukan hanya itu, Tybalt." Raja Zacharias mengusap dagu dan


mengembuskan napas panjang. "Alasan yang sama kenapa lima kerajaan
memilih untuk menghancurkan Dragør, ini bukan hanya tentang ambisi
Amaranta yang ingin menghancurkan saudarinya. Arthur, ayahku, bahkan
Klaus dan Rania. Mereka semua menghancurkan Dragør karena menyadari
kekuatan Dragør mengancam."
 

"Kalian menghancurkan Dragør karena takut kekuatan kalian akan


berkurang?" Tybalt tak bisa menyembunyikan tawa Imiris dan getir ketika
mendengarkan alasan Raja Zacharias. "Apa ini akan menjadi alasan yang
sama bila kau sudah mendapatkan Qyrsi? Kau akan menghancurkan
kerajaan lainnya seperti yang telah kau lakukan kepada Dragør?"
 

"Membunuh atau dibunuh, menghancurkan atau dihancurkan." Raja


Zacharias menyandarkan punggung dan melipat kedua tangannya di dada.
"Kau tentu pernah mendengarnya bukan? Bila Dragør tetap dibiarkan,
kelak mereka akan menghancurkan kerajaan lainnya."
 
"Aku tidak tahu kalian sepengecut itu dengan bersama sama
menghancurkan satu kerajaan dalam semalam." Tybalt mendengkus gusar.
 

"Raja Zacharias II dan aku sangat berbeda. Aku percaya Dragør dapat
berjaya kembali. Ada atau tidaknya Dragør akan tetap menimbulkan
perpecahan di Inkarnate, seperti yang kau lihat sekarang. Bahkan Selencia
dan Thaurin pun tidak selamanya dapat menjalin sebuah kerja sama."
 

"Dan kau masih ingin menyuruhku menunggu?" Tybalt tahu berada di


Colthas begitu lama tidak akan berefek apa pun. Bila Colthas benar-benar
ingin membantu Dragør memperoleh kembali kejayaannya, ia tahu kalau
mereka tidak bisa berleha leha seperti sekarang.
 

Raja Zacharias mengusap dagunya ketika menatap Tybalt. "Kau tidak


sabaran. Itu akan mencelakaimu nanti."
 

"Aku telah berhasil membawa Dragør sejauh ini dengan harapan suatu hari
nanti Dragør akan kembali seperti dulu." Mata Tyblat berkelebat marah.
 

"Tentu saja. Tentu saja," kata Raja Zacharias, tampak seperti


mempertimbangkan sesuatu. "Kau mengenal Alexander bukan?"
 

"Alexander Thaurin." Tybalt melihat sekelebat kilatan di mata Raja


Zacharias.
 

"Clementine Selencia pernah tinggal di Thaurin selama beberapa tahun.


Seorang pengkhianat Colthas mati di perbatasan Austmarr dan Thaurin
beberapa hari lalu, aku membutuhkan seseorang untuk mencari tahu apa
yang tengah Alexander rencanakan," ucap Raja Zacharias pelan, seperti
tengah menilai apa yang akan Tybalt lakukan.
 
"Clementine pernah tinggal di sana selama beberapa tahun?" Tybalt
menatap curiga.
 

"Clementine atau Verity, kita harus mencari tahu. Bukankah itu yang ingin
kau lakukan? Kau bisa memilih tentara terbaik Colthas yang akan
menemanimu ke Thaurin." Kalimat Raja Zacharias terlihat menggiurkan.
 

Tybalt berbalik, bersiap keluar dari ruang singgasana, tetapi kata-kata


terakhir Raja Zacharias membuatnya berhenti.
 

"Ingatlah Tybalt, membunuh atau dibunuh. Itu pilihanmu."


 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Beberapa hari di dalam kamar, rasa mual juga mimpi buruk tentang
Alexander memaksa Verity bergerak menuju pintu yang ternyata tidak
dikunci. Ia menarik napas lega sebelum menengok kiri kana lorong. Masih
ada penjaga di depan pintu, tetapi tidak satu pun yang bergerak ketika ia
melangkah pergi.
 

Verity berjalan menyusuri lorong depan kamar Raja Alastair yang terlihat
lebih terang, membuatnya refleks menggunakan tangan untuk menghalau
cahaya. Seorang penjaga mengendap di belakangnya, menjaga jarak aman.
Verity memilih mengabaikan sepanjang penjaga itu tidak menariknya
kembali masuk kamar.
 

"Yang Mulia?" Verity terperanjat kaget melihat Richard Blaxton yang


tengah cemas dan waswas di hadapannya.
 

"Apa Anda baik-baik saja?" Richard Blaxton mencermati setiap inci wajah
Verity dan menghela napas lega ketika tak ditemukan hal mencurigakan.
 
"Apa kau berharap aku baik-baik saja?" Verity tersenyum tipis, lega karena
bisa berbicara dengan orang selain Raja Alastair yang hanya akan datang
untuk tidur bersamanya, lalu pergi keesokannya.
 

"Tentu saja, Yang Mulia. Tidak ada yang bisa menebak perasaan Raja
Alastair akhir-akhir ini. Ini lebih susah daripada saat beliau benar-benar
tidak memiliki setitik perasaan." Richard Blaxton mengerutkan kening
dalam. "Bila kuingat kembali, Raja Alastair selalu menggunakan otaknya
dalam menyusun strategi. Namun, akhir-akhir ini beliau juga menggunakan
hati."
 

Verity memilih diam mendengarkan ucapan Richard Blaxton. Rencananya


saat ini masih kosong, bahkan setelah tahu kalau ia sebenarnya anak Ratu
Mariella dan Raja Ferdinand.
 

Langkah mereka terhenti di dekat taman. Mata Verity melihat rimbun


pepohonan juga hutan pinus. Ia teringat Tybalt, pria Dragør yang
menyanderanya dulu. Tangannya mengepal ketika teringat tiga bocah
malang, separah itukah perang besar hingga para Dragørian tidak punya
tempat di mana pun?
 

"Yang Mulia?" Richard Blaxton mengikuti tatapan Verity. "Anda ingin ke


taman?"
 

"Tidak." Verity menjawab singkat. Ia harus menghabiskan bertahun-tahun


di penjara bawah tanah hanya karena kebencian Ratu Amaranta kepada
Ratu Mariella.
 

"Anda ingin ke mana?"


 

"Aku ingin ke perpustakaan." Verity kembali menjawab singkat sebelum


beranjak, sementara Richard Blaxton masih setia menemani.
 
"Aku tahu ini semua sangat tiba-tiba bagi Anda...." Richard Blaxton
menghentikan kalimat ketika Verity tiba-tiba berbalik menatapnya.
 

"Apa kau tahu bagaimana rasanya ketika hidup yang selama ini kau jalani
hanyalah kebohongan?" Verity mencetak senyuman dingin di wajah
pucatnya. "Apa kau tahu hidup yang selama kujalani ini, Richard? Bila kau
mengira Amaranta mengurungku di kamar mewah dengan penjagaan ketat
dan makanan teratur seperti yang rajamu lakukan saat ini, maka kau
salah."
 

Richard Blaxton menatap mata violet Verity, menyadari wanita itu telah
mengalami hal-hal mengerikan hanya karena nama belakangnya, Dragør.
"Yang Mulia, kita semua memiliki sisi terang dan gelap dalam diri,
terpenting sisi mana yang akan kita utamakan."
 

Richard Blaxton hanyalah pria tua yang telah merasakan pahit manisnya
hidup. Ia telah mendampingi dua raja Austmarr dan melihat bagaimana
perang begitu mengerikan. Ia menyadari sesuatu yang tiba-tiba akan
mengubahnya entah ke arah lebih baik atau buruk. "You are not a bad
person, Your Majesty."
 

"Katakan itu kepada mereka ketika berusaha membunuh orang tuaku,


rakyat Dragør, bahkan seorang anak kecil tanpa kekuatan apa pun." Verity
menggenggam erat gaunnya. Dia lelah menghadapi pelik perpecahan lima
kerajaan yang mengorbankan dirinya.
 

Verity menarik napas dalam-dalam sebelum meninggalkan Richard Blaxton


yang masih terpaku di tempat.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 
Raja Zacharias melihat rombongan Tybalt yang hanya terdiri dari sembilan
pasukan elite dan satu orang Dragør, Barney, tangan kanan sekaligus orang
kepercayaan Tybalt.
 

"Apa kau yakin hanya akan pergi dengan sepuluh orang?" Udara semakin
menghangat di Colthas, penanda musim panas telah datang, menggantikan
udara musim semi. "Kau akan melewati Austmarr."
 

Tybalt mengelus surai kuda pemberian Colthas. Ia memakai pakaian khusus


prajurit Colthas dengan emblem Dragør. "Perintah bunuh di tempat
untukku bukan?" Ia tertawa kecil, terlihat tidak peduli bila nanti tentara
Austmarr berhasil menangkap dan membunuhnya.
 

"Ini adalah keinginanmu, Tybalt." Raja Zacharias mengingatkan sekali lagi.


"Kau mengirimku karena kau percaya kepadaku." Tybalt mengatakan
dengan percaya diri.
 

"Tentu saja." Raja Zacharias mendengkus pelan. Matanya melihat satu per
satu tentara elite yang biasa mengikutinya selama ini, sekarang berada di
baris terdepan, menemani Tybalt dan misi bunuh dirinya. "Apa kau tahu
apa yang harus kau cari?"
 

"Kelemahan Alexander Thaurin." Tybalt bergumam, lalu naik ke kuda diikuti


yang lain. Perjalanan mereka akan memakan waktu lebih lama dari
biasanya.
 

"Semoga beruntung, Tybalt."


 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Keadaan di Selencia lebih sunyi dan senyap, tidak ada suara selain
embusan angin yang menyapa.
 

Ratu Amaranta berjalan melewati pilar demi pilar putih terang. Seumur
hidup dihabiskannya di tempat ini. Tidak seperti saudaranya yang lain,
Mariella tinggal di Dragør setelah menikah, dan Jordan, saudara laki-laki
mereka, pernah tinggal di Austmarr untuk melatih kemampuan berperang.
Posisi Ratu Amaranta tidak akan seperti sekarang bila Jordan yang
seharusnya menjadi raja Selencia masih hidup. Bila ia mati, maka Mariella
sebagai penerus berikutnya.
 

Ratu Amaranta hanya seperti domba hitam. Kedua orang tuanya selalu
membanggakan Mariella yang pintar atau Jordan dengan keahlian
bertarungnya. Ia hanya akan mendekam di kamar, sibuk dengan buku-
buku, dan menyusun strategi berperangnya sendiri.
 

Langkah Ratu Amaranta terhenti ketika tiba di sebuah makam paling besar
yang ada di Selencia. Dua gundukan teratas adalah tempat raja dan ratu
Selencia terdahulu, kedua orang tuanya. Dua gundukan selanjutnya adalah
tempat orang-orang terkasih, Matthew dan Clementine. Matthew, satu-
satunya orang yang percaya dengan kemampuannya, dan Clementine, putri
mereka satu-satunya.
 

Ratu Amaranta berlutut di hadapan makam Matthew, lalu mencium batu


nisannya. "Aku bersumpah kepadamu, akan membalaskan apa yang telah
Mariella lakukan kepadaku, kepada kita!"
 

Ratu Amaranta bergerak mendekati pusara Clementine. "Verity adalah


milikku, dia telah menjadi Clementineku. Aku tidak akan menyerahkannya
kepada Mariella atau siapa pun lagi." Semilir angin menerbangkan rambut
dan pakaian yang ia kenakan saat berdiri.
 

Sebelum benar-benar pergi, ia berbisik ke kuburan orang tuanya. "Aku akan


membuktikan kalau aku bisa menjadi Ratu Selencia! Mariella telah mati,
aku akan menguburkan mayatnya di sini nanti. Kalian bisa menunggu."
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

XXXI
COUP D'ÉTAT
 

BARNEY MENATAP SEKELILING jeli, ia bisa mendengar gerisik dedaunan


juga hewan malam yang sudah tidak asing lagi. Mereka telah berada di
hutan perbatasan Austmarr dan Colthas. Bila bisa selamat melewati
Austmarr, maka jalan menuju Thaurin akan lebih mudah.
 

Tybalt terlihat begitu waspada di kudanya. Wajar saja, Raja Alastair telah
memerintahkan para tentara untuk langsung membunuhnya bila masih
berani menginjak tanah Austmarr.
 

"Tybalt!" Barney mempercepat gerak kudanya ke arah Tybalt yang


memimpin rombongan mereka.
 
"Matahari sebentar lagi terbit. Kita harus segera meninggalkan perbatasan
Austmarr dan menuju ke Thaurin Tybalt tidak menolehkan kepala untuk
melihat Barney.
 

"Bagaimana kita mencari tahu kelemahan Alexander Tybalt? Ini adalah misi
bunuh diri." Barney tampak tak yakin.
 

"Kita harus dan aku pasti akan mendapatkannya, Barney." Ucapan tegas
Tybalt membuat Barney mengetatkan rahangnya tidak setuju.
 

"Apa rencanamu sebenarnya? Apa kau mengira kau bisa segera


mendapatkan kelemahan Alexander secepat itu?" Barney tahu kalau
sebenarnya mereka tidak mempunyai rencana apa pun.
 

Raja Zacharias tengah mengetes Tybalt, ingin melihat seberapa bergunanya


pria itu untuk masa depan Colthas. Dibunuh atau membunuh, Raja
Zacharias terus mengulanginya seperti yakin kalau cepat atau lambat,
Tybalt akan menghadapi sesuatu yang di luar batas kemampuannya.
 

"Barney, kuharap kau percaya kepadaku seperti yang telah kau lakukan
beberapa tahun terakhir. Aku melakukan yang terbaik untuk Dragør dan
Putri Verity," kata Tybalt.
 

"Apa kau yakin ini untuk rakyat Dragør? Bukan karena Putri Verity saja?"
 

"Keberadaan Putri Verity menjadi penanda kalau Dragør bisa bangkit


kembali, Barney." Tybalt bergumam.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Rombongan Tybalt bersama tentara Colthas tidak luput dari pengamatan


Raja Alastair yang kini duduk di singgasananya melalui laporan Jenderal
Irvin
 

Tybalt Wildemarr bersama sepuluh tentara elite Colthas melewati wilayah


perbatasan Austmarr, Yang Mulia." Jenderal Irvin hanya tinggal menunggu
perintah sang raja.
 

Raja Alastair mengetuk-ngetukkan jemari di kursi, lalu bertanya, "Apa yang


mereka lakukan?"
 

"Dari jarak mereka ke pintu gerbang, aku menduga kalau mereka tidak
tengah mengincar Austmarr, Yang Mulia," jawab Jenderal Irvin.
 

"Thaurin." Raja Alastair menyeringai ketika pergerakan Tybalt. "Mereka


akan ke Thaurin. Biarkan saja menyadari mereka lewat."
 

"Dari mana Anda...."


 

"Kau ingat kepala salah satu menteri Colthas yang ditemukan di perbatasan
Austmarr dan Thaurin? Zacharias mungkin tengah bermain-main dengan
nyawa pion kesayangannya sekarang." Raja Alastair menyeringai lagi.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity membuka pintu perpustakaan dan segera berjalan menuju deretan


buku-buku sejarah Selencia. Ia mencari-cari buku yang pernah ditemukan
saat itu. Clementine Selencia mungkin telah mati karena pendarahan hebat
yang dialami Ratu Amaranta, tetapi kenapa lima kerajaan memutuskan
untuk menyingkirkan Dragør? Ada begitu banyak pertanyaan di tengah
pencarian.
 

"Aku sudah menyingkirkannya bila itu yang kau cari." Verity sontak berbalik
dan melihat Raja Alastair telah berdiri di belakangnya.
 

"Aku ingin tahu apa yang terjadi pada Dragør."


 

"Tidak perlu! Dragør sudah hancur dan tidak ada apa pun yang tersisa di
sana." Raja Alastair berkata dingin.
 

"Masih ada rakyatku," jawab Verity cepat.


 

"Rakyatmu?" Raja Alastair menyunggingkan senyum mengejek. "Tidak ada


rakyatmu lagi, Tuan Putri. Semua sudah hancur."
 

"Tybalt." Mata Raja Alastair menggelap mendengarnya. dia berasal dari


Dragør, bukan? Masih ada "Pria itu Dragerian yang tersisa, Yang Mulia."
 

"Tidak ada Dragør yang tersisa." Raja Alastair berujar tegas.


 

Verity menatap marah. kebenarannya!" "Aku akan mencari tahu


 

"Kebenaran apa?" Raja Alastair lagi-lagi tertawa mengejek. adalah Ratu


Austmarr sekarang. Ada atau "Kau tidaknya Dragør, tidak akan mengubah
apa pun." "Clementine Selencia adalah Ratu Austmarr. Aku bukan
 

Clementine, namaku Verity," tegas Verity.


 

"Kau kira aku peduli? Setelah apa yang kita lakukan semalam." Raja Alastair
bergerak mendekat dan menyentuh pipi Verity, mengelusnya pelan.
 

"Kau memperlakukanku seperti pelacur." Verity menepis tangan Raja


Alastair. "Aku akan menemukan keluargaku. Dragør adalah keluargaku
sekarang, meskipun kedua orang tuaku telah tiada karena kalian
menghancurkannya."
 

Bila tatapan mata dapat membunuh, maka Verity bisa saja mati karena
tatapan tajam Raja Alastair.
 

"Aku tidak bisa mengizinkanmu, Verity." Raja Alastair berujar getir.


 

"Aku tidak membutuhkan-'


 

"Mariella Dragør mengutukku, membuatku merasakan jutaan kematian."


Raja Alastair mengatakannya dengan nada sinis. "Aku telah merasakan
ribuan kematian, Verity. Semua itu karena ibumu."
 

Raja Alastair terdiam sesaat, menatap mata violet Verity, lalu melanjutkan
kembali. "Aku tidak akan mengizinkanmu membuatku merasakan kematian
lagi, Verity. Aku adalah keluargamu sekarang. Bukan Dragør, bukan juga
Selencia. Kau akan melahirkan anak-anakku dan tetap berada di sini hingga
kematianmu." Ia pun pergi, tidak membiarkan Verity membalas
perkataannya.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Semuanya berjalan terlalu mudah, membuat Tybalt khawatir karena ia bisa


melewati Austmarr tanpa kendala apa pun. Tidak ada serangan tentara
tiba-tiba atau gerakan mencurigakan apa pun. Karena tidak adanya
serangan ini juga, perjalanan mereka lebih cepat.
 

"Apakah seharusnya seperti ini?" Barney bertanya untuk yang ke sekiian.


Matahari telah terbit dan kini berada tepat di atas kepala mereka.
 

"Tidak." Tybalt mengetatkan rahang ketika melihat kepala demi kepala


yang ditancapkan di tombak kayu perbatasan. Kepala para pengkhianat,
pelaku kejahatan, juga beberapa penyusup. Sebagian telah membusuk,
sebagian terlihat telah habis dimakan gagak.
 

"Tidak ada satu pun tentara yang kulihat."


 

"Kalau begitu kita bisa lebih cepat ke Thaurin." Raja Alastair benar-benar
membiarkannya lewat kali ini, tetapi apakah pria itu akan mengizinkan
kembali ke Colthas atau tidak? Tybalt sendiri tidak tahu.
 

"Tybalt?" Barney terlihat ragu.


 

"Aku tidak butuh keraguanmu sekarang, Barney." Mereka telah berjalan


sejauh ini, bahkan Putri Verity sudah tidak jauh dari posisi sekarang. Tybalt
hanya perlu membuktikan kepada Raja Zacharias kalau ia tidak bisa
diragukan.
 

"Sebentar lagi kita sebentar lagi kita akan mendapatkan apa inginkan,
Barney. Kejayaan Dragør, bangkitnya Dragør, dan rakyat Dragør tidak perlu
hidup seperti yang bandit di kerajaan kita sendiri lagi."
 

Hanya butuh beberapa jam lagi dan mereka akan tiba di Thaurin.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Pangeran Alexander tahu Thaurin tidak akan bergerak sebelum kerajaan


lain mendahului. Di antara lima kerajaan yang tersisa, Raria belum
melakukan pergerakan apa pun, seperti telah menyimpan kekuatan besar.
Mungkin ia tidak perlu mengkhawatirkan Jenderal Kilorn karena pria itu
akan selalu mengikuti perintah istrinya, Ratu Rania.
 
"You do bad things for no reason." Mata Pangeran Alexander bergerak
mengikuti gerakan Vander yang menemuinya di rumah kaca, tempat berisi
tanaman obat-obatan juga racun paling berbahaya berada. "Anda
membunuh Norman tanpa alasan. Kukira Anda menganggapnya sebagai
figur ayah, Yang Mulia."
 

"Norman bukan ayahku." Pangeran Alexander menjawab acuh tak acuh.


"Kematiannya tidak akan mengubah banyak hal."
 

"Raja Arthur tidak mengatakan sesuatu kepada Anda?"


 

"Aku tidak membutuhkan nasehatmu, Vander." Pangeran Alexander


bergumam. Ia tengah sibuk berpikir dan tidak ingin diganggu oleh
penasihat ayahnya.
 

"Raja Arthur-"
 

"Aku tidak melakukan kejahatan tanpa alasan, Vander. Bila kau tetap
bersikeras ingin tahu." Pangeran Alexander memotong sebelum Vander
selesai bicara.
 

"Raja Arthur beranggapan keberadaan Putri Clementine di Selencia adalah


jalan keluar terbaik untuk menyingkirkan Raja Alastair."
 

"Menyingkirkan?" Pangeran Alexander mendengkus gusar. "Aku tidak


selalu setuju dengan keputusan ayahku."
 

"Keberadaan Dragør dapat mengancam Thaurin, Yang Mulia." Vander


memberikan penjelasan singkat yang telah ia dengar sejak lama. Alasan itu
tidak masuk akal dan ia tidak peduli dengan keberadaan Dragør. "Mereka
bisa saja menyingkirkan Austmarr, apalagi Thaurin."
 
"Kalian pengecut!" Pangeran Alexander tersenyum kecut dan menatap
mata Vander. "Bila kalian mengira menghancurkan kerajaan itu dalam
semalam dapat menyelesaikan segalanya, lihatlah apa yang terjadi
sekarang. Kerajaan masih saling berusaha menghancurkan satu sama lain
bukan?"
 

"Tapi Dragør?"
 

"Drager adalah ancaman terbesar sekaligus sumber kesombongan kalian.


Berhasil menghancurkan Dragør tidak berarti bisa menghancurkan
kerajaan lain." Pangeran Alexander menjabarkan fakta yang telah ia
ketahui. "Aku tahu rencana ayahku selanjutnya, Vander. Tidak ada
persekutuan yang bertahan begitu lama, ia akan menghancurkan Selencia
selanjutnya."
 

"Ratu Amaranta akan mati dan Selencia jatuh ke tangan Putri Clementine.
Lalu-"
 

"Atau Alastair." Pangeran Alexander kembali memotong ucapan Vander.


"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Vander. Dan berbicara tentang
Dragør ...." Matanya menangkap satu tentara elite Colthas yang berhasil
menyaru dengan bayangan. Tanpa disadari, ia telah menghabiskan waktu
berjam jam di rumah kaca hingga matahari telah terbenam.
 

"Yang Mulia!" Vander segera bergerak untuk melindungi Pangeran


Alexander.
 

"Thaurin cukup lemah rupanya." Pangeran Alexander tertawa miris melihat


betapa mudahnya penyusup masuk istana mereka.
 

"Tadinya aku hanya ingin mendengar pembicaraan kalian. Percakapan


kalian terdengar begitu menarik." Mata Tybalt berkilat marah. Bahkan
setelah dua dekade berlalu, masih ada saja orang-orang yang ingin
menyingkirkan kerajaannya hingga ke akar.
 

"Di mana para tentara Thaurin?" Mata Vander panik mencari-cari para
tentara Thaurin yang harusnya melindungi ketika mereka dikepung lawan.
 

"Mereka mati." Tybalt menjawab singkat. "Putri Clementine pernah tinggal


di sini?" Matanya melihat beberapa ornamen khas Thaurin. Kerajaan ini
nyaris mirip Selencia, memiliki suasana tenang dengan ornamen putih dan
bendera hijau.
 

"Verity pernah tinggal di sini." Pangeran Alexander tertawa kecil.


 

"Putri Verity?"
 

"Oh, ya, kau tidak tahu kalau Putri Verity, atau yang sekarang bernama
Clementine pernah menjadi tunanganku dan tinggal di sini?" Pangeran
Alexander jelas tidak mengacuhkan tatapan kaget Tybalt.
 

"Kau tahu?"
 

"Tentu saja. Tapi aku tidak punya waktu bermain-main denganmu, Tybalt.
Ada hal lain yang harus kulakukan."
 

Tybalt menyadari posisi mereka kini berbalik dan ialah yang terkepung.
Tentara elite Pangeran Alexander telah menunggu di luar rumah kaca.
 

"Yang Mulia!" Vander terpaku di tempat mendengar kenyataan kalau masih


ada anggota Kerajaan Dragør yang hidup.
 
Hanya segelintir orang yang tahu kalau Verity adalah Clementine dan
Pangeran Alexander masih mempertahankannya seperti itu. "Kau harus
membawa rahasia ini hingga kematianmu!" ancamnya. ingin
 

"Tentu saja! Tentu saja, Yang Mulia!" Vander ketakutan. "Bagus." Pangeran
Alexander mengeluarkan sebilah pisau tajam yang ia gunakan untuk
mengiris leher Vander, membuat pria itu menatapnya tak percaya, terbatuk
sesaat sebelum jatuh dan mati.
 

"Bersyukurlah karena kematianmu cepat, Vander." Pangeran Alexander


menepuk-nepuk tangannya yang seolah telah ternodai. "Kuharap kau tidak
mati sekarang, Tybalt. Ada hal lain yang harus kulakukan."
 

XXXII
NODUS
 

RAJA ZACHARIAS DUDUK di singgasananya, menunggu kabar baik maupun


buruk dari Thaurin. Austmarr belum melakukan apa pun, tetapi tidak
berarti Raja Alastair akan terus menunggu. Sepuluh tentara terbaiknya
berada di Thaurin bersama Tybalt dan Barney.
 

"Bersiaplah berperang." Raja Zacharias bergumam ketika Hadrian masuk.


 

"Aku tahu ini tidak akan berjalan baik." Hadrian membalas ucapan
kakaknya getir. "Aku akan memerintahkan kepala pertahanan untuk
mengunci seluruh Dragør yang berada di Colthas...."
 
Raja Zacharias mengangkat tangan, menghentikan ucapan Hadrian
seketika. "Tidak." Ia mengetuk-ngetukkan jemarinya cepat.
 

"Putri Verity atau Ratu Clementine atau siapa pun dia, dia tidak akan diam
saja bila mendengar rakyatnya menjadi tawanan di Colthas," tutur Hadrian.
 

"Alastair tidak akan peduli." Raja Zacharias berujar tenang "Persiapkan


seribu tentara terbaik Colthas."
 

"Apa yang kau rencanakan, Zacharias?" "Kehancuran." Raja Zacharias


memejamkan matanya sesaat.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Tybalt menyadari semuanya terlalu mudah. Masuk Istana Thaurin bahkan


jauh lebih mudah daripada ke kediaman bangsawan di Colthas.
Pengamanannya sangat longgar, tentaranya tidak terlatih dan cenderung
kewalahan ketika menghadapi musuh. Ia bahkan tidak perlu menghadapi
tentara Austmarr yang berjaga di sekitar perbatasan. Semuanya seperti
telah direncanakan oleh Raja Austmarr dan Thaurin.
 

Tybalt benar-benar dijebak ketika Pangeran Alexander meninggalkann dan


membiarkannya melawan prajurit Thaurin yang jauh lebih baik. Ia sedikit
kewalahan ketika serangan demi serangan nyaris melukai. Setelah setengah
jam berlalu, ia tahu motif mereka sebenarnya, yakni menahannya di
ruangan cukup lama.
 

"Ini mencurigakan." Barney hanya mengangguk ketika mendengar


gumaman Tybalt.
 

"Di mana Alexander?" Tybalt tidak melihat jejak Pangeran Alexander sedikit
pun. Pria itu benar-benar meninggalkan mereka.
 

"Merencanakan sesuatu. Entah apa pun itu. Firasatku mengatakan kalau


bajingan itu telah menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya daripada ini,"
geram Barney.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Cahaya lilin mulai redup dan mati seketika ketika angin malam berembus.
Verity berusaha memejamkan mata, mengistirahatkan pikiran serta
tubuhnya yang lelah, tetapi tidak bisa. Verity menarik napas dalam-dalam,
menyingkirkan selimut, dan berjalan menuju jendela. Cahaya bulan malam
ini lebih terang, membuatnya lebih mudah melihat hutan pinus dari balik
kegelapan. Ia bisa melihat beberapa tentara yang berjaga di sekitar istana
atau menyaru dengan bayangan. Ada lebih banyak tentara daripada
biasanya, membuat keningnya berkerut bingung.
 

"Yang Mulia!" Verity mendengar ketukan pintu sebelum seorang pelayan


wanita masuk, membawa lilin baru untuknya. "Saya akan menemani Anda
malam ini."
 

"Kenapa?" Verity menatap si pelayan tidak mengerti. Tidak biasanya ada


seorang pelayan mau menemaninya bila malam tiba.
 

"Perintah dari Yang Mulia Raja Alastair." Jawaban wanita itu hanya
membuat Verity mengangguk singkat. "Anda tidak beristirahat? Apakah
saya mengganggu tidur Anda?"
 

"Ada lebih banyak tentara yang berjaga di luar sana." Verity menunjuk ke
luar jendela.
 

"Ada tahanan yang kabur. Anda tidak perlu khawatir, Yang Mulia." Jawaban
pelayan wanita itu sedikit mencurigakan.
 
"Apakah ada banyak tahanan yang kabur?" Verity tahu bila hanya ada satu
atau dua tahanan yang kabur. Lagi pula seberapa kuatnya tentara Austmarr,
tidak perlu banyak tentara biasanya Raja Alastair tidak menyimpan tahanan
di penjara karena pria itu langsung membunuhnya.
 

"Cukup banyak, Yang Mulia." Lagi-lagi jawaban singkat pelayan itu


membuat Verity menyunggingkan senyum sinis.
 

Raja Alastair tengah menyembunyikan sesuatu darinya dan semua ini pasti
berhubungan dengan Dragør. "Sebaiknya Anda beristirahat sekarang," kata
si pelayan yang lebih mirip sebuah titah.
 

"Kau tidak akan memberitahuku apa pun?" Verity menatap wanita yang
langsung menunduk, menghindari tatapannya. "Saya hanya akan
menemani Anda di sini hingga Raja
 

Alastair datang, Yang Mulia." "Baiklah." Verity mengangkat bahunya acuh


tak acuh. Bila Raja Alastair tidak ingin memberitahu apa pun, maka sia-sia
memaksa. "Kau bisa tetap di sini hingga Raja Alastair datang."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair menyadari malam semakin larut dan mungkin saja Verity telah
tertidur sekarang. Namun, ia masih menunggu saat yang tepat hingga
mangsa kejaran masuk perangkap, untuk kemudian dibunuhnya.
 

"Ada berapa tentaramu di luar sana, Jenderal?" Ia duduk di singgasana. Ia


tahu pasti setiap raja di Inkarnate mungkin telah menunggu hal sama.
Colthas telah bergerak dengan membawa pion terpentingnya, Tybalt, ke
Thaurin.
 

"Lima ratus tentara berjaga di sekitar istana, Yang Mulia. Sisanya berjaga di
perbatasan, termasuk perbatasan Dragør." Jenderal Irvin mengenakan
pakaian perangnya, lengkap dengan pedang dan jubah. "Kita bisa saja
menyerang lima kerajaan yang lain sekarang, Yang Mulia."
 

"Ketidaksabaran tidak akan membawa kita ke mana pun, Jenderal. Akan


ada perang untuk menaklukkan keenam kerajaan agar mereka tunduk dan
menyadari siapa raja yang Raja Alastair tertawa kecil.
 

"Apa yang akan Anda lakukan kepada Dragør?" Jenderal Irvin tahu betul
siapa mangsa mereka malam ini, Tybalt Wildemarr. Pria itu telah berani
melewati Austmarr, mengabaikan perintah Raja Austmarr, bahkan
berencana memasuki Thaurin.
 

Raja Alastair tahu seperti apa Dragør, dia bahkan sempat melihat kejayaan
kerajaan itu sebelum hancur lebur. Seandainya saja Dragør masih utuh
sekarang, maka bisa saja menjadi musuh atau sekutu terbesar Austmarr.
 

"Kita akan lihat sejauh mana mereka akan mempertahankan sesuatu yang
telah tiada."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Pangeran Alexander membawa pedangnya, setengah menyeret masuk ke


ruang singgasana di mana ayahnya berada. Raja Arthur duduk di
singgasana, melihat darah yang mengotori pedangnya, lalu menatap tajam.
 

"Aku mendengar ada Dragørian yang masuk ke Thaurin. Kau


membiarkannya?" Raja Arthur berdiri dari singgasananya.
 

"Kau tahu Thaurin cukup lemah dalam penjagaan seperti ini. Tidak seperti
Austmarr atau Colthas. Kalian dalam, bukan dari luar." Pangeran Alexander
berdiri di tengah menyerang dari ruangan. Cahaya bulan masuk melewati
jendela besar yang berada a tepat di atas kepalanya.
 

"Aku menjaga kerajaanku seperti yang seharusnya, Alexander." Raja Arthur


tertawa kecil. Rambut dan pakaian Pangeran Alexander kotor karena darah.
"Kau lihat kursi di sana?"
 

Raja Arthur menunjuk kursi singgasananya yang berwarna Putih, terbuat


dari marmer, cukup berat hingga tidak pernah dipindahkan. "Aku
menjaganya untukmu. Suatu hari nanti kau akan menyadari betapa
beratnya pengorbanan yang aku lakukan agar kau bisa menerima kursi itu
tanpa susah payah, Anakku." "Aku tidak menginginkan kursi itu." Pangeran
Alexander
 

mendengkus kecil. "Aku tahu. Aku menyimpankan sesuatu untukmu yang


lebih berharga tentu saja." Raja Arthur kembali duduk di singgasana, lalu
tersenyum tenang ke arah anaknya. "Inkarnate. Lima kerajaan."
 

"Aku tahu rencanamu selama ini, Ayah." Pangeran Alexander tertawa kecil,
pedangnya masih berada di tangan, tergenggam kuat dan erat.
 

"Berarti kau tahu kalau Thaurin yang berada di balik kehancuran lima
kerajaan?"
 

"Thaurin yang mengirim tentara untuk membunuh anggota kerajaan


Colthas dan Austmarr saat keduanya tengah sibuk berperang di Dragør."
Suara tepukan tangan Raja Arthur bergema ketika mendengar jawaban
Pangeran Alexander. "Aku tahu kau anak yang cerdas, Alexander," katanya
 

dengan bangga.
 

"Bagaimana dengan Raria?" Pangeran Alexander menghela napas panjang.


 
"Raria selalu terlihat mencurigakan bukan?" Raja Arthur tertawa kecil.
"Tapi kerajaan itu juga akan hancur tentu saja. Rania tidak bisa menjaga
kerajaannya sendiri bila bukan karena Jenderal Kilorn."
 

"Di mana posisi Raria saat kehancuran Dragør?" Pangeran Alexander


merenggangkan lehernya yang terasa kaku dan kembali menatap ayahnya.
Hanya ada mereka berdua di ruang singgasana luas itu. Suara keduanya
bergema, terdengar cukup keras meski berbicara pelan-pelan.
 

berbisik,
 

"Mereka
 

"Di laut. Seperti biasanya." Raja Arthur tertawa misterius akhirnya ikut
menghancurkan Dragør. Tapi Raria menyimpan kekuatan yang sebelum
cukup besar, dan kurasa mereka tahu di mana Mariella Dragør berada."
 

"Oh." Pangeran Alexander tidak terdengar tertarik sama sekali. "Aku tidak
suka kursi itu, Ayah."
 

Wajah Raja Arthur terlihat tidak senang ketika mendengar nada sarkasme
dan ejekan panggilan dari Pangeran Alexander. "Apa kau tahu ada berapa
banyak jiwa Thaurin yang mati untuk mempertahankan kursi ini,
Alexander?" Ia bertanya.
 

"Aku tahu." Pangeran Alexander mendekati ayahnya sembari menyeret


pedang yang berlumuran darah. "Seperti berapa banyak darah Thaurin
yang hari ini melekat di pedangku."
 

"Kau membunuh prajuritmu sendiri?" Raja Arthur menatap tajam.


 
"Bukan hanya prajuritku sendiri, Ayah." Pangeran Alexander tersenyum
tipis juga sinis.
 

"Apa ini balasan untuk ayahmu?" Raja Arthur berdiri kokoh. Ia


mengetatkan rahang, tampak menggeram menahan marah. "Apa ini semua
untuk gadis kecil itu? Ada banyak wanita lain di luar sana, Alexander!"
 

Seharusnya ia menghabisi gadis kecil itu dulu, saat dia masih Dragør, dalam
bentuk apa pun tetaplah berbahaya. lemah dan tidak tahu apa-apa.
 

"Tidak. Ini balasan untukmu yang telah menghajarku saat aku kecil dulu."
Pangeran Alexander mengangkat pedangnya, lalu menusuk tepat di
jantung sang ayah. Kedua tangannya tidak bergetar sedetik pun saat
menghunuskan pedang, menghabisi nyawa Arthur Thaurin dalam sekali
tusukan.
 

Pangeran Alexander menarik pedangnya, membiarkan tubuh sang raja


tumbang di singgasana kesayangannya. "Selamat jalan, Yang Mulia, dan
selamat datang, Tybalt."
 

Pangeran Alexander berbalik dan melihat Tybalt yang telah berhasil tiba di
ruang singgasana Thaurin. Mata pria itu terbelalak kaget melihatnya yang
berdiri di hadapan tubuh Raja Arthur.
 

"Kau membunuh Raja Thaurin." Ucapan pelan Tybalt bergema di ruangan


itu.
 

"Tidak. Kau yang membunuh Raja Thaurin, Tybalt." Pangeran Alexander


melewati undakan tangga hingga berdiri tak jauh di hadapan Tybalt. Hanya
tersisa lima orang prajurit Colthas sekarang, lima lainnya mungkin telah
mati di tangan prajurit setia miliknya.
 
"Kau juga membunuh prajurit-prajurit Thaurin di luar sana bukan?" Tybalt
tahu karena terlihat begitu mencurigakan ketika ia melewati lorong
panjang menuju ruang singgasana dan nyaris semua tentara yang berjaga
telah mati.
 

Pangeran Alexander tersenyum tipis. "Kau seharusnya menunduk dan


menghormat ketika bertemu seorang raja, Tybalt."
 

Prajurit-prajurit setia milik Pangeran Alexander tiba, mengepung musuh


yang tersisa.
 

"Kau akan menyesali ini." Tybalt mengumpat ketika dua prajurit Thaurin
menahan pundak dan lengannya, memaksanya berlutut di hadapan
Pangeran Alexander.
 

"Tidak, Tybalt. Bahkan di hadapan Dragør pun kau bersalah." Pangeran


Alexander berjalan ke salah satu sisi kursi singgasana dan melihat tubuh
ayahnya yang telah bermandikan darah. "Kau telah membunuh sang raja."
 

"Kau akan menyesali ini!" Tybalt mengumpat keras, memberontak dari


cengkeraman dua prajurit Thaurin itu. "Barney?"
 

Setiap prajurit Colthas yang tersisa juga Barney, berada dalam


cengkeraman prajurit Thaurin.
 

"Ini akan menjadi pelajaran untukmu, Tybalt." Pangeran Alexander


bergumam, lalu menjentikkan jemarinya.
 

"Maafkan aku." Barney mencicit ketika melihat Tybalt. Ia memejamkan


mata saat pedang menghunus dada dan mencabut nyawanya saat itu juga.
 
"Barney! Barney!" Mata Tybalt memerah karena emosi meledak-ledak. Ia
kehilangan sahabat yang telah meneman selama nyaris dua dekade
terakhir. "Kau akan menyesali ini, Bajingan! Kenapa kau tidak bunuh saja
aku, hah!"
 

"Aku tidak berhak membunuhmu, Tybalt." Mata hijau Pangeran Alexander


menatap Tybalt. "Dengan berat hati aku harus memberitahumu, sebagai
pembunuh Raja Thaurin, hanya raja tertinggi di Inkarnate yang berhak
menentukan hukumanmu."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Arthur mati. Kabar itu tersebar begitu cepat seperti angin malam yang
berembus kencang.
 

"Raja Arthur mati." Hadrian Colthas membuka pintu Singgasana kakaknya


dan melihat Raja Zacharias telah berada di depan jendela dengan seekor
elang yang tengah dielusnya. Sementara, tangan kiri sang raja memegang
selembar surat.
 

"Aku tahu. Tybalt membunuhnya." Raja Zacharias tertawa kecil ketika


selesai membaca isi surat. "Aku tidak mengira kalau kita akan bertemu
secepat ini dengan lima kerajaan yang lain. Bersiaplah, Alastair akan
menentukan hukuman kepadanya."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Raja Arthur telah mati, Yang Mulia." Ratu Amaranta terpaku mendengar
berita yang baru saja dibawa salah satu penasihatnya. Kabar Thaurin
diserang oleh Dragør dan Raja Arthur mati di tangan Tybalt Wildemarr
mungkin telah tersebar ke seluruh penjuru Inkarnate sekarang.
 
"Penobatan Raja Alexander sebagai Raja Thaurin yang baru akan
dilaksanakan sebelum Raja Alastair menentukan hukuman kepada
pembunuh itu."
 

"Baiklah." Ratu Amaranta hanya mengangguk kecil. Ia baru saja kehilangan


sekutu terbesarnya. Perang yang dengan mudah ia menangkan dua dekade
lalu, mungkin akan lebih sulit bila tanpa Thaurin.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Raja Arthur mati." Jenderal Kilorn melihat wajah pucat pasi Ratu Rania
saat memberikan kabar itu. "Raria akan baik-baik saja. Aku bersumpah
kepadamu, Ratuku."
 

"Persiapkan kapalnya, Kilorn." Suara Ratu Rania nyaris lenyap ketika


memerintahkan suaminya untuk mempersiapkan kapal terbaik mereka.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Yang Mulia Raja Alastair mengangkat tangan, menghentikan ucapan


Richard Blaxton. Di sisi kanan sang raja, sudah ada burung elang yang
membawa kabar dari Thaurin. "Apa yang akan Anda lakukan?"
 

"Alexander akan membawa Tybalt secara khusus ke Austmarr." Raja


Alastair tidak suka arah permainan Pangeran Alexander kali ini. Pria itu
benar-benar tidak mudah ditebak.
 

"Bagaimana dengan Yang Mulia Ratu?" Sebagaimana yang telah mereka


ketahui, Ratu Clementine adalah Putri Dragør.
 

Raja Alastair tidak segera menjawab, ia terdiam cukup lama seperti tengah
berpikir.
 

"Apa yang akan Anda lakukan kepada Dragør, Yang Mulia?" Richard Blaxton
menarik napas dalam, lalu bertanya kembali. "Penobatan Raja Alexander
akan dilakukan sebelum pengumuman Tybalt." hukuman yang akan Anda
berikan kepada
 

"Persiapkan saja semuanya, Richard," titah Raja Alastair sembari


memejamkan mata. Ia bisa membayangkan mata violet Verity, rambut
hitamnya, dan setiap ciri yang begitu mirip Ferdinand Dragør, tetapi ia
abaikan dulu. Seandainya saja Verity tidak berasal dari Dragør dan ia bukan
Raja Austmarr.
 
 

 
 

 
 

XXXIII
HABEAS CORPUS
 

RATU RANIA MELIHAT matahari yang baru saja terbit. Kapal kapal
bersandar di pelabuhan, para pelaut dan nelayan yang tadinya bersenda
gurau berhenti ketika melihatnya turun dari kereta.
 

"Yang Mulia!" Norbert, salah satu kepala pelaut di Raria, segera


melepaskan topi, lalu memberi hormat untuk sang ratu. "Apakah ada yang
bisa saya lakukan untuk Anda, Yang Mulia?"
 
"Ada berapa kapal yang kau miliki?" Ratu Rania menghirup aroma laut
dalam-dalam. Suara gulungan ombak terempas ketika menyentuh tepi
pantai, pekikan burung pelikan, juga embusan udara laut sedikit
menenangkannya.
 

"Dua puluh, Yang Mulia." Norbert berjalan beberapa langkah di belakang


Ratu Rania.
 

"Kapal nelayan? Kapal barang?" Ratu Rania bertanya sambil lalu. Para
nelayan dan pelaut yang ia lewati segera memberi hormat.
 

"Lima belas kapal nelayan dan lima kapal barang, Yang Mulia." Norbert
berdeham singkat. Jumlah kapalnya mungkin termasuk sedikit bila
dibandingkan para bangsawan Raria. Namun, ia menaruh kebanggaan
besar kepada kapal dan para awak yang dimiliki. Mereka semua bisa
mengarungi samudra terluas di Inkarnate.
 

"Siapa namamu?" Ratu Rania memutar badannya dan melihat dengan jelas
kepala pelaut yang cukup terkenal di Raria ini.
 

Tubuh Norbert kekar dengan kulit berwarna seperti tembaga, mungkin


karena pria itu terlalu sering menghabiskan waktu di laut dan terpapar
sinar matahari. Rambutnya nyaris memutih, tetapi ia jelas tidak terlihat
akan jatuh dalam sekali entakan.
 

"Norbert, Yang Mulia."


 

"Aku ingin kau pergi bersama dua puluh awak kapalku." Ratu Rania
mungkin bisa memercayai Norbert.
 

"Awak kapal kerajaan, Yang Mulia?" Norbert melebarkan matanya.


"Apakah Anda bermaksud...."
 

"Kau akan memimpin perjalanan mereka." Ratu Rania bisa melihat


sekelebat sinar bahagia di mata Norbert. Pria itu tentu tidak akan menolak
penawarannya. "Kau akan menjadi kapten kapal."
 

"Ke manakah tujuannya, Yang Mulia?"


 

"Pulau Mera." Rania berucap cepat. "Bersiaplah. Kau bisa saja pergi
sewaktu-waktu."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Kematian Raja Arthur yang begitu tiba-tiba tidak hanya menimbulkan


kekacauan di Thaurin, tetapi juga di semua kerajaan. Pangeran Alexander
yang baru saja naik takhta, mengganti seluruh penasihat dan orang-orang
kepercayaan ayahnya, menimbulkan gejolak internal di dalam kerajaan.
Keputusannya untuk menyerahkan Tybalt kepada Raja Alastair juga
menyebabkan perpecahan besar. Sebagian besar tidak setuju, sebagian lagi
percaya kalau Raja Alastair bisa memberikan balasan setimpal untuk
Tybalt. Apalagi setelah desas-desus Tybalt adalah orang suruhan Raja
Zacharias merebak.
 

"Yang Mulia Pangeran Alexander." Penasihat yang baru itu berdeham


sekilas ketika sepasang mata Pangeran Alexander menatapnya datar.
"Pangeran Alexander akan mengambil alih takhta dan kepemimpinan Raja
Arthur."
 

"Cukup!" Pangeran Alexander menarik napas panjang, lalu kembali melihat


penasihat yang baru saja dilantik. "Di mana tahanannya?"
 

"Yang Mulia!" Penasihatnya segera berlari mengikuti Pangeran Alexander


yang sudah lebih dulu pergi sebelum acara penobatannya selesai.
 
"Alastair akan bertemu denganku lagi bukan?" Pangeran Alexander
memutar badannya tiba-tiba. "Siapkan saja semuanya, Raja Austmarr juga
akan meresmikan penobatanku sebagai Raja Thaurin nanti."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Tybalt menatap jendela kecil berukuran persegi panjang di hadapannya,


satu-satunya sumber penerangan yang ada di kereta itu. Seperti kata
Pangeran Alexander, mereka akan membawanya ke Austmarr dan
membiarkan Raja Alastair menentukan hukuman. Ia akan tetap mati, entah
Raja Alastair akan memberinya hukuman yang lebih mengenaskan.
 

Tybalt menggerak-gerakkan tangan dan kakinya terikat rantai besi,


membuat kereta berhenti sesaat karena mendengar sedikit gaduh.
 

"Diam kau, Bajingan!" Salah satu sipir menggedor keretanya dan


mengumpat keras. "Kenapa Raja Alexander tidak membunuhnya saat itu
juga?" .
 

"Jangan berbicara dengannya," tegur sipir yang lain.


 

"Raja Alexander tidak seperti Raja Arthur, pria itu terlalu lembek." Tybalt
mendengkus kesal mendengar pembicaraan kedua sipir itu.
 

Di antara semua anggota kerajaan yang pernah ia temui, Pangeran


Alexander memang terlihat paling lemah. Bahkan bila dibanding Ratu
Amaranta dan Ratu Rania, Pangeran Alexander tetap di urutan terakhir.
Pria itu terlihat pendiam, terlalu baik, dan naif. Siapa yang menyangka
kalau pria itu lebih licik daripada seluruh anggota kerajaan lain?
 

"Berhentilah menghina raja yang baru. Dia baru saja memecat seluruh
menteri dan penasihat yang telah mengabdi sejak masa Raja Arthur." Sipir
yang lain ikut menegur.
 

Keduanya kini berbicara lebih pelan, sementara Tybalt memejamkan mata.


 

"Apa yang kalian lakukan?" Tybalt membuka mata, lalu mengintip dari
jendela. Ia melihat di hadapan dua sipir yang saling mengobrol tadi, berdiri
seorang tentara memakai jubah perang. Seluruh wajahnya tertutup, hanya
menyisakan sedikit lubang yang memperlihatkan mata. "Penghinaan
terhadap raja akan mendapatkan hukuman berat di Inkarnate!"
 

"Tu-Tuan...." Sebelum kalimat tuntas, tentara itu lebih dulu menebas


kepala kedua sipir tanpa ampun. sengaja berserobok dengan mata Tybalt.
Mata hitamnya tak
 

Tybalt melangkah mundur, memutuskan kembali duduk tenang di kereta


saat tentara itu menutup jendela kecil, membuat keretanya gelap gulita.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Yang Mulia." Si pelayan wanita menghormat kepada Raja Alastair sebelum


undur diri.
 

"Kau belum...." Verity mengembuskan napas kesal saat korsetnya belum


terpasang dengan baik sementara pelayan wanita itu langsung pergi begitu
saja.
 

"Aku bisa memasangkannya." Raja Alastair berdiri di belakang Verity dan


mengikatkan jalinan rumit korset. "Akan lebih mudah bila melepaskannya."
 

"Kau pergi." Verity berusaha menahan rasa penasaran, tetapi sikap


mencurigakan Raja Alastair yang semalaman tidak kembali ke kamar,
membuatnya berani bertanya. "Apa yang terjadi? Aku melihat ada banyak
tentara berjaga di luar."
 

"Ada tahanan yang kabur." Raja Alastair bergumam, lebih memilih


bermain-main dengan pita yang seharusnya mengikat korset Verity. "Apa
yang akan kau lakukan bila rakyatmu terluka?"
 

"Apa itu Dragør?" Verity memutar badan, tidak peduli dengan korsetnya
yang belum terpasang benar.
 

"Bukan. Austmarr. Kau adalah Ratu Austmarr sekarang. Raja Alastair


tersenyum sinis.
 

"Kau tidak bisa menyembunyikan apa yang terjadi selamanya, Yang Mulia."
Di dalam diri Verity masih darah Drager. Dia bukan Clementine Selencia,
melainkan Verity Drager.
 

"Kau benar." Raja Alastair memegang pinggul dan memutar badan Verity.
Perlahan memasangkan jalinan-jalinan korset sebelum melanjutkan, "Pakai
mahkotamu, Ratuku. Mereka akan datang sebentar lagi, menentukan
hukuman yang tepat untuk Tybalt Wildemarr."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Lima keluarga kerajaan berkumpul di Austmarr. Ruang singgasana mulai


dipenuhi para jaksa penuntut, beberapa saksi, juga dewan parlemen.
 

Ratu Rania dan Jenderal Kilorn tidak membawa anak-anak mereka. Sikap
sang jenderal juga lebih seperti seorang pengawal ratu, jauh berbeda dari
sebelumnya. Ratu Rania duduk di ujung kiri, sementara Jenderal Kilorn
berdiri di sebelahnya dengan seragam perang lengkap dan terlihat begitu
waspada.
 

Raja Zacharias datang bersama adiknya. Ia terlihat bosan seperti biasa,


duduk di sebelah Ratu Rania. Sementara Hadrian Colthas yang berdiri di
dekatnya, tersenyum kepada Verity karena sedari tadi wanita itu kedapatan
meliriki kaki pincangnya, terlihat gugup dan mencurigakan.
 

Di antara semuanya, Ratu Amaranta memiliki sikap yang paling misterius.


Wanita itu duduk tenang di singgasana yang berada di ujung kanan, tidak
ada siapa pun di sisinya.
 

Kini hanya tersisa dua kursi kosong, kursi di sebelah kanan Verity dan
sebelah kiri Ratu Amaranta yang memang diperuntukkan untuk Raja
Alastair dan Pangeran Alexander. Keduanya datang tidak lama kemudian.
Raja Alastair berjalan lebih dulu, lalu segera duduk di sebelah Verity.
Menyusul Pangeran Alexander yang langsung duduk di sebelah Ratu
Amaranta.
 

Suara ketukan palu terdengar. Verity mencengkeram gaunnya gelisah


sebelum para panel itu mulai berbicara.
 

"Hari ini lima kerajaan di Inkarnate berkumpul untuk menentukan


hukuman kepada Tybalt warga Dragør." Verity melirik Raja Alastair sesaat
karena hakim itu menyebutkan Kerajaan Dragør seolah-olah masih
keberadaannya. "Tybalt Wildemarr telah membunuh Raja Arthur Thaurin,
menusuk jantung Raja Arthur, dan membuat beliau meninggal saat itu
juga." mengakui
 

XXX Suara bisik-bisik terdengar dari seluruh penjuru ruangan.


 

"Tybalt Wildemarr!"
 

Ruangan berubah riuh dipenuhi umpatan ketika derit pintu terdengar


nyaring dan Tybalt masuk dengan langkah pasti, matanya tidak menunduk
atau tampak bersalah. Seorang prajurit mengawal. Ia mendongakkan
kepala dan menatap lurus ke arah Verity Dragør yang duduk bersama
anggota kerajaan lain, berperan sebagai Clementine Selencia, ratu di
Austmarr sekaligus istri Raja Alastair.
 

"Diam!" Suara Raja Alastair sontak membuat seluruh panel


 

di ruangan terdiam. Hening hingga Tybalt berdiri di podium, matanya


masih menatap lekat Verity.
 

"Apa kau mengakui apa yang telah kau lakukan, Tybalt Wildemarr?" Satu
tanya mengudara.
 

"Tidak! Aku tidak membunuh Raja Arthur," ucap Tybalt sungguh-sungguh.


Pandangannya tidak beralih, seperti tengah berbicara kepada Verity yang
berada jauh di depan.
 

"Apa kau membunuh Raja Arthur Thaurin, Tybalt Wildemarr?" Hakim


bertanya sekali lagi. "Tidak. Aku tidak membunuh Raja Arthur."
 

Umpatan terdengar nyaring dan begitu jelas di ruang singgasana.


 

Suara ketukan palu sang hakim lagi-lagi menghentikan singgasana.


keriuhan. "Panggil saksinya!"
 

Salah satu pria maju dan berdiri di podium saksi, rambut pirang dan mata
hijaunya membuat Verity tahu kalau ia seorang warga Thaurin.
 

"Tybalt Wildemarr masuk ke Thaurin bersama seorang warga Dragør lain


dan sepuluh tentara Colthas." Verity menatap Raja Zacharias yang kini
terkekeh di singgasananya.
 
"Tybalt Wildemarr telah membunuh Raja Arthur."
 

Satu per satu saksi datang dan memberikan kesaksian di hadapan lima
kerajaan. Hukuman yang Tybalt terima akan semakin berat bila ia tidak
sesegera mengakui kesalahan. Mereka akan menyiksa lebih dulu sebelum
membiarkannya mati perlahan.
 

"Tybalt Wildemarr?" Hakim bertanya sekali lagi, menuntut jawaban dan


pengakuan dari Tybalt.
 

"Aku tidak membunuh Raja Arthur!" Tatapan Tybalt tidak lepas sedikit pun
dari mata violet Verity.
 

"Habeas corpus." Verity bergumam. Seluruh panel terdiam mendengar


perkatannya.
 

"Tidak mungkin! Tidak masuk akal!" Salah satu pria berteriak nyaring,
membuat seisi ruangan gaduh. "Dia tidak bisa menerima keringanan atau
menuntut kebebasan!"
 

"Habeas corpus tidak berlaku bila ia melakukan pemberontakan atau


kudeta, Yang Mulia." Sang hakim berdeham sekilas.
 

"Lakukan seperti apa yang ratuku katakan!" Raja Alastair menyandarkan


punggung di singgasananya, lalu menatap mata Tybalt, seolah menantang
pria itu untuk mengatakan sesuatu.
 

"Tybalt Wildemarr, apakah pembelaan yang dapat Anda berikan?" Hakim


kembali bertanya.
 

"Aku tidak membunuh Raja Arthur. Pembunuhnya berada di sini, duduk di


antara kalian." Kegaduhan tidak bisa meredam apa yang baru saja Tybalt
ucapkan.
 

"Anda tidak bisa menuduh seseorang sembarangan." Sang hakim


menggelengkan kepala, tidak percaya Raja Alastair baru saja memberikan
hak habeas corpus kepada pria itu.
 

"Pembunuhnya berada di sana, Yang Mulia. Duduk tenang di antara para


anggota kerajaan yang lain." Untuk pertama kalinya, Tybalt mengalihkan
tatapan dari Verity ke Pangeran Alexander yang duduk tenang di sebelah
Ratu Amaranta. "Alexander Thaurinlah yang membunuh Arthur!"
 

"Diam!" Raja Alastair berteriak guna meredam kegaduhan yang kian


menjadi.
 

"Aku bersumpah atas tanah Dragør, untuk semua leluhurku, raja dan ratu
Dragør yang telah tiada karena ketidakadilan kalian. Aku bersumpah, bukan
aku yang membunuh Raja Arthur! Aku bersumpah Dragør akan segera
bangkit kembali! Kejayaan yang pernah kami miliki akan kami raih kembali.
Dan aku akan membalaskan apa yang telah kalian lakukan!" Tybalt terdiam
sesaat sebelum kembali melanjutkan, "Pembunuhnya berada di hadapan
kalian. Alexander Thaurinlah yang telah membunuh ayahnya sendiri!"
 

"Tidak akan ada yang percaya kepadamu." Entah siapa percaya kepada
Tybalt. Pria itu yang mengucapkannya, tetapi Verity tahu betul dalam
situasi yang akan berasal dari kerajaan yang telah hancur, posisinya tidak
sekuat sekarang, tidak ada Pangeran Alexander.
 

Di tengah kekalutannya sendiri, Verity pun tidak bisa memercayai ucapan


Tybalt begitu saja. Ia melihat Pangeran Alexander r yang masih duduk
tenang di kursinya, sama sekali tidak terpengaruh dengan keributan di
hadapannya. Pangeran Alexander tidak akan membunuh ayahnya begitu
saja, ia terlihat baik dan tulus.
 
"Alexander?" Panggilan lirih Verity menarik perhatian Pangeran Alastair
juga Tybalt. "I demand trial by combat for Tybalt Wildemarr."
 

"Tidak mungkin! Tidak masuk akal!" Kegaduhan lagi-lagi terdengar.


 

Verity telah meminta dua hal yang paling tidak masuk akal untuk Tybalt
Wildemarr. Habeas corpus dan trial by combat. Dua hal itu seharusnya
tidak diberikan begitu saja karena Tybalt telah membunuh seorang raja dan
ia bukan bangsawan yang bisa meminta trial by combat.
 

"Yang Mulia?" Hakim menatap Raja Alastair yang memiliki ekspresi tidak
terbaca.
 

Verity meremas gaunnya gelisah, menunggu Raja mengonfirmasi


permintaannya.
 

"Berikan saja apa yang Ratu Clementine inginkan." Verity melirik Pangeran
Alexander tidak percaya. Ketika Raja Alastair masih terdiam, pria itu
menerima gugatannya.
 

"Yang Mulia?" Hakim masih menunggu persetujuan Raja Alastair,


sementara ruangan semakin gaduh.
 

"Trial by combat. Kau sendiri yang Tybalt." Tiga ketukan palu telah
menetapkan. melakukannya,
 

Kegaduhan semakin jelas, tidak ada satu pun yang menerima keputusan
dua raja di Inkarnate.
 

"Alastair, terima ka ...." Verity tidak sempat menyelesaikan ucapan karena


Raja Alastair membungkam mulutnya dengan ciuman dalam.
 
"Apa yang kau lakukan?" Verity menatap Raja Alastair yang telah
menciumnya di hadapan banyak orang.
 

"Bayaran," Raja Alastair terkekeh pelan, "karena memanggilku Alastair,


bukan Al. Juga bayaran untukku yang sudah membiarkan pria itu hidup
sehari lagi." Nada sinis dan menusuknya bisa dirasakan oleh yang lain.
Terutama Pangeran Alexander dan Tybalt yang masih bisa hidup sehari lagi
sebelum kemampuannya akan menentukan apakah ia pantas untuk hidup
atau tidak.
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

XXXIV
BLOOD OF THE COVENANT
 

VERITY BISA MERASAKAN tatapan beragam para panel, hakim, juga jaksa di
ruangan tadi. Mereka saling berbisik, menggumamkan ketidaksetujuan atas
keputusan Raja Alastair.
 

Tybalt melihat ke arah Verity sekali lagi sebelum para tentara menariknya
turun dari podium dan membawa pergi.
 

"Dia akan mati!"


 

Verity menoleh, melihat Ratu Rania bersama Jenderal Kilorn yang kini telah
bangkit dan berjalan ke arahnya.
 

"Dia akan mati!" Rania mengulanginya sekali lagi.


 

"Setidaknya aku telah memberinya kesempatan untuk membersihkan


nama," sahut Verity. Dia masih bisa merasakan tatapan tidak setuju dari
semua panel di ruangan.
 

Raja Zacharias "Keputusan yang bijak, Clementine." tertawa mendengar


penuturannya.
 

Verity terdiam sesaat. Lupa bila namanya sekarang Clementine Austmarr,


bukan Verity.
 

"Kau membuat Raja Alastair terlihat lemah di hadapan yang lain." Ucapan
Ratu Rania sontak membuat Verity melirik Raja Alastair yang balas
menatapnya misterius.
 

"Aku juga menyetujui keputusan Ratu Clementine. Meskipun pria itu


menuduhku membunuh ayahku sendiri Pangeran Alexander tersenyum
tipis kepada Verity.
 
"Alexander?" Verity menatapnya, merasa bersalah karena memberikan
kesempatan kepada Tybalt.
 

"Apa kau membunuh Raja Arthur?" Raja Zacharias bertanya kepada


Pangeran Alexander.
 

Diam-diam Ratu Amaranta ikut memperhatikan keduanya. Mata violetnya


tak sengaja berserobok dengan mata Verity. "Bisa kita berbicara sebentar,
Clementine?" Tanpa menunggu persetujuan, ia segera meninggalkan ruang
singgasana diikuti Verity.
 

"Apa yang kau inginkan?" Verity bisa melihat rona pucat di wajah Ratu
Amaranta. Wanita itu tidak terlihat seperti biasanya.
 

"Apa kau tahu?" Ratu Amaranta tersenyum sinis. "Kau membunuh kedua
orang tuaku." Verity mendesis marah.
 

"Kau tahu." Ratu Amaranta mengangguk tenang. "Apa Alastair tahu?"


 

"Kau tidak dapat menyuruhku membunuh Alastair lagi." Verity menarik


napas dalam-dalam. Tidak ada setitik pun memori indah tentang wanita di
hadapannya ini. "Kau bisa mengirim pembunuh terbaikmu untuk
membunuhku atau Alastair. Aku tidak peduli lagi."
 

"Aku membiarkanmu tetap hidup meskipun sebenarnya kau juga harus


mati bersama Dragør yang lain." Ratu Amaranta menatap misterius.
 

"Seharusnya kau melakukannya dari dulu, Amaranta. Ini adalah


kesalahanmu karena membiarkanku tetap hidup," balas Verity tanpa rasa
takut sedikit pun.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Keamanan kerajaan ditingkatkan lagi. Beberapa tentara juga pelayan


wanita mengikuti Verity ke mana pun pergi. Ia tahu mereka diam-diam
menjaga jarak dan memberinya kesempatan berbicara dengan Ratu
Amaranta tadi. Tentu saja mereka akan melaporkan apa pun yang ia
lakukan kepada Raja Alastair.
 

"Yang Mulia!" Richard Blaxton berjalan tergopoh-gopoh menghampiri


Verity.
 

Verity tersenyum kecil. "Richard, aku tidak melihatmu di sidang tadi."


 

"Aku mendengar keputusan yang Anda berikan untuk Tybalt Wildemarr,


Yang Mulia." Raut wajah Richard Blaxton terlihat khawatir juga sangat
lelah.
 

"Apa kau juga beranggapan kalau keputusanku akan membuat Raja Alastair
terlihat lemah?" tebak Verity.
 

Richard Blaxton mengangguk ragu. "Tapi aku percaya Raja Alastair punya
alasan di balik semua tindakannya, Yang Mulia."
 

"Apa menurutmu Alexander benar-benar membunuh Raja Artur? "


 

"Tidak ada yang benar-benar tahu, Yang Mulia. Raja Alastair menyetujui
habeas corpus karena dari semua keterangan para saksi, tidak ada satu pun
yang melihat langsung Tybalt membunuh Raja Arthur," Richard terdiam
sesaat, "Anda tahu Istilah habeas corpus dan trial by combat?"
 

"Semua jawabannya ada di perpustakaan. Bukan begitu, Richard?" Verity


melihat ke arah taman. "Aku mencari tahu apa yang terjadi kepada ...."
 
"Dragør?" Richard Blaxton melanjutkan perkataan Verity. "Aku tahu, Yang
Mulia."
 

"Kau tahu? Kenapa kau masih bersikap baik kepadaku bila kau tahu?"
Kening Verity berkerut samar.
 

"Aku tidak punya alasan untuk membenci Anda, Yang Mulia." Richard
Blaxton meraih tangan Verity dan menepuknya simpatik. "Sedangkan Raja
Alastair ...."
 

"Dia punya ribuan alasan untuk membenciku, bukan? Bagaimana pun juga,
ibuku yang telah mengutuknya." Verity bergumam.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Zacharias menyadari setiap tatapan sinis yang diberikan para panelis
kepada Verity atau adiknya. Hadrian Colthas yang cacat, dianggap tidak
pantas lagi berada di antara anggota kerajaan. Sementara Verity dianggap
telah mengacaukan sidang karena wanita itu bersikap terlalu lembek
kepada Tybalt Wildemarr.
 

Raja Zacharias berdecak beberapa kali. Tidak suka dengan pengawal yang
mengiringi setiap langkahnya di Austmarr. "Aku melihat tanganmu lebih
parah dari sebelumnya, Alexander."
 

Pangeran Alexander menyembunyikan tangan kanannya, lalu mendengkus


kesal. "Kau selalu memperhatikan hal-hal kecil yang bukan urusanmu sama
sekali."
 

"Aku ingin tahu apa efek samping yang bisa hemlock berikan kepada
Clementine."
 
Pangeran Alexander mengangkat alisnya. "Apa maksudmu?"
 

"Apa yang akan terjadi kepada Clementine, Alexander? Dia juga meminum
hemlocknya, bukan?" Mata hitam Raja Zacharias ketika memperhatikan
tangan kanan Pangeran Alexander yang membiru dan memiliki jejak-jejak
hitam. berkilat
 

"Tidak akan terjadi apa pun kepadanya." Pangeran Alexander menjawab


singkat.
 

"Kenapa tidak?" Raja Zacharias tahu seberapa parah efek samping


hemlock. Verity seharusnya sudah mati, tetapi melihat wanita itu tidak
terpengaruh sedikit pun, membuatnya curiga.
 

"Karena aku tidak membiarkannya, Zachary. Berhentilah bersikap curiga


kepadaku." Pangeran Alexander kembali mendengkus kesal. "Bukankah
posisi kita terbalik, Zachary? Aku harusnya curiga kepadamu karena kau
mengirim bajingan itu ke Thaurin."
 

"Aku hanya ingin tahu apa yang ada di dalam pikiranmu." Raja Zacharias
terkekeh, tidak peduli dengan tatapan curiga terhadapnya. "Apa yang
terjadi kepada Tybalt berada di luar kendaliku."
 

"Tybalt hanya datang di waktu dan tempat yang tidak tepat."


 

Raja Zacharias melirik Pangeran Alexander, memperhatikan gerak-gerik pria


itu sebelum mengangguk. "Tentu saja."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity merasa resah. Tidak seharusnya ia berada di kamar mewah ini ketika
tidak tahu bagaimana keadaan Dragør yang lain.
 

"Apa yang tengah kau lakukan?" Verity bisa merasakan panas tubuh Raja
Alastair saat pria itu membaringkan tubuh di sebelahnya.
 

"Apa kau akan benar-benar membunuh Tybalt?" Cicitan Verity nyaris


tenggelam.
 

Raja Alastair memutar badan Verity agar menghadapnya. "Jangan pikirkan


pria lain saat berada di sebelahku." Ia mencium bibir Verity sebelum
mendekap erat wanita itu.
 

Verity bisa merasakan detak jantung Raja Alastair yang bertalu-talu. "Kukira
kau akan membiarkanku menjadi ratu tanpa kekuasaan di sini. Kenapa kau
menerima tuntutan yang kuberikan untuk menyelamatkan Tybalt?"
 

"Kau semakin berani sekarang," Raja Alastair memainkan rambut hitam


Verity, "kau harus tahu, kalau seorang raja tidak akan terlihat lemah hanya
karena memberikan apa yang ratunya inginkan."
 

"Kau terlihat lemah di mata yang lain." Verity berujar lemah.


 

"Apa kau khawatir kepadaku?" Ada nada geli yang terselip di pertanyaan
Raja Alastair.
 

"Tidak." Verity membalikkan punggungnya. "Apa menurutmu Alexander


yang melakukannya?"
 

"Bisa saja." Raja Alastair bergumam. "Tidak ada yang bisa menebak isi
kepala pria itu."
 

"Apa yang terjadi bila Tybalt mati dan Dragør benar-benar hancur?"
 
"Tidak akan ada yang terjadi karena Dragør memang telah hancur dan kau
adalah Ratu Austmarr sekarang," jawab Raja Alastair.
 

"Setelah apa yang kau lakukan di persidangan, aku nyaris percaya kalau kau
peduli."
 

"Apa aku pernah membohongimu?"


 

"Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu," jawab Verity getir. Sudah
cukup hidupnya dipenuhi oleh kebohongan dan ketidakpastian.
 

"Apa pun yang terjadi kepada Dragør atau Inkarnate sekali pun, kau akan
tetap berada di sisiku." Perkataan Raja Alastair seolah menjadi penutup
bagi Verity untuk tidak membicarakan Drager lagi. Apa pun yang terjadi
besok, ia telah berusaha menyelamatkan pria itu.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Pengadilan untuk Tybalt semakin dekat. Semuanya gelisah, tidak ada


seorang pun yang bisa tidur nyenyak di saat-saat seperti ini. Tybalt akan
mati atau tidak dapat melihat mentari lagi.
 

"Kau bangun lebih pagi." Pangeran Alexander menyapa Raja Alastair yang
telah berdiri di ruang singgasana, memperhatikan Verity di taman bersama
para pengawalnya. "Dia pernah menjadi milikku."
 

Raja Alastair melirik Pangeran Alexander sekilas, tidak ingin terhasut oleh
pancingan pria itu. "Tapi dia akan menghabiskan seluruh hidupnya
bersamaku." Ia tersenyum mencemooh.
 

"Kau juga bangun lebih pagi, Alexander. Tidak siap bila Tybalt menang dan
menyatakan kalau kaulah ayahmu?" Raja Alastair berkata sinis.
 

"Tidak ada yang bisa tidur di saat-saat seperti ini, Yang Mulia." Pangeran
Alexander tersenyum tipis. "Aku yakin Clementine juga tidak bisa tidur."
 

"Ya," sahut Alastair, "tapi untuk alasan yang jauh berbeda. Aku bisa
membuatnya melupakan bocah itu, Alexander. Jadi kau tidak perlu
mengkhawatirkan ratuku."
 

Senyum di bibir Pangeran Alexander lenyap setelah mendengar perkataan


Raja Alastair. "Kau membiarkan dirimu terlihat lemah karena menyetujui
semua yang ia katakan di pengadilan."
 

"Aku membiarkannya menjadi ratuku, Alexander. Menyetujui apa yang ia


katakan bukan berarti membiarkan diriku terlihat lemah." Raja Alastair
tahu, Ratu Amaranta mengirim Verity ke Austmarr untuk membunuhnya,
menjadikan wanita itu senjata mematikan. Namun, ia juga tahu kalau
keberadaan Verity bisa memberikan keuntungan. Ia tahu Pangeran
Alexander menyimpan perasaan istimewa terhadap Verity. Kelemahan kecil
yang dapat dimanfaatkan sebelum ia benar-benar menyingkirkan pria itu.
 

"Aku dengar kau tidak bisa mati."


 

"Aku pernah hampir mati." Raja Alastair melihat mata hijau Pangeran
Alexander. Sekilas, Pangeran Thaurin itu terlihat polos, tetapi ia tahu,
Pangeran Alexander lebih licik daripada Raja Arthur.
 

Raja Alastair pernah hampir mati saat masih berusia sepuluh. Beberapa
bulan setelah dirinya dinobatkan sebagai raja, seorang pembunuh bayaran
berhasil menyusup ke kamar dan menusuk jantungnya tiga kali. Rasa sakit
teramat membuatnya ingin mati detik itu juga. Terakhir kali ia merasakan
kesakitan serupa adalah saat Austmarr dan Colthas berperang. Raja
Zacharias II menusuk jantungnya dengan tombak. Seakan tidak cukup, pria
itu juga membakarnya. Hingga keesokan paginya, ia terbangun di tengah-
tengah padang ilalang dengan luka mengerikan di punggung dan dada.
 

"Itu tidak terelakkan bila kau pergi ke medan perang." Raja Alastair
melanjutkan ucapannya. Ia melihat telapak tangan, goresan demi goresan
bekas luka menghiasi, tidak seperti Verity yang mulus.
 

Keduanya terdiam beberapa saat sebelum terdengar suara terompet yang


menandakan pengadilan untuk Tybalt akan segera dimulai.
 

"Ini hari yang indah untuk pertumpahan darah." Pangeran Alexander


bergumam ketika melihat mentari pagi yang bersinar indah.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Tybalt Wildemarr!" Suara kelontang besi membuat Tybalt membuka mata.


 

Sipir Austmarr itu terlihat lebih menyeramkan daripada para sipir di


Thaurin. Tubuhnya tinggi, tegap, dan tambun. Jenggotnya tebal, matanya
hitam dan kecil. Dia kemudian membuka belenggu besi yang mengikat
tangan Tyblat, lalu mendorong kasar.
 

"Ke mana kita?" Tybalt berusaha menyesuaikan mata yang tiba-tiba


menerima sinar matahari.
 

"Ke neraka, Nak." Sipir itu terlihat tak bersahabat, tetapi tetap menjawab.
 

Tybalt mendengar kegaduhan juga teriakan orang-orang yang


mengumpatinya. Kali ini penontonnya lebih banyak daripada saat sidang
kemarin.
 
"Ratu Clementine menerima banyak cemoohan karena menolongmu." Sipir
melemparkan beberapa senjata tua nan usang. "Wanita itu membuat Raja
Alastair terlihat lemah."
 

"Aku tidak membunuh Raja Arthur." Tybalt mengambil sebuah pedang


usang yang setidaknya masih terlihat lebih baik.
 

"Ya, ya, ya, bilang saja begitu." Sipir mendengkus kesal, terlihat tidak
peduli dengan apa yang terjadi kepada Tybalt. "Raja Alexander memilih
lawan yang lebih kuat daripada kau. Bersiaplah!"
 

Sipir mendorong Tybalt masuk arena. Sebuah tempat luas berbentuk


lingkaran dengan dinding-dinding tinggi juga deretan bangku di atasnya.
Para penonton meneriakkan cacian hinaan untuknya, sebagian lagi
melemparkan batu atau apa saja.
 

Tybalt melihat ke deretan bangku para anggota kerajaan. Lagi-lagi Verity


berada di sana, menatap khawatir. Wanita itu memakai gaun krem dengan
bordiran putih yang membuatnya terlihat lebih pucat. Seperti urutan di
sidang kemarin: Ratu Rania dan Jenderal Kilorn berada di sisi paling kiri,
Raja Zacharias dan Hadrian Colthas, Verity dan Raja Alastair di tengah,
terakhir Pangeran Alexander dan Ratu Amaranta.
 

Suara terompet terdengar lagi. Kali ini pintu gerbang di hadapan Tybalt
terbuka lebar. Seorang prajurit keluar dari sana. Tybalt mengenalinya
sebagai pria yang membunuh dua sipir Thaurin kemarin.
 

Prajurit itu masih mengenakan pakaian perang yang sama. Wajahnya


tertutup helm, hanya menyisakan sedikit lubang di area mata. Tangan
kirinya memegang tombak panjang, sementara pedang di tangan kanan.
Tybalt yang hanya mengenakan secarik pakaian biasa dan membawa
senjata tua usang, terlihat tidak ada apa-apanya.
 
"Hari ini kita akan menentukan apakah Tybalt Wildemarr bersalah atau
tidak," suara hakim terdengar lantang di antara ruh, "dengan bertarung
hingga mati."
 

Sorakan juga umpatan terdengar dari segala penjuru. Tybalt


memperhatikan Verity yang kini terlihat semakin pucat. la merogoh
sesuatu dari saku celana, beruntung kalung mutiara Verity cukup kecil
hingga tidak ditemukan para sipir yang memeriksa tubuhnya.
 

Raja Alastair memajukan badan sedikit. "Apa kau punya kata-kata terakhir
sebelum kau mati, Tybalt Wildemarr?"
 

"They're on our right, they're on our left, they're in front of us, they're
behind us; they can't get away from us this time." Ucapan lantang Tybalt
mengalahkan sorak sorai para penonton. "Aku bersumpah kepada Putri
Verity Dragør, anak Mariella Selencia dan Ferdinand Dragør. Pewaris takhta
Dragør yang sah. Dragør akan bangkit kembali!"
 

Wajah Raja Alastair menggelap mendengar perkataan Tybalt. "Kalian bisa


memulainya." Ia menggerakkan tangan kanan sebagai pertanda agar
pertarungan segera dimulai.
 

Suara terompet panjang terdengar kembali. Dibunuh atau membunuh.


Dihancurkan atau menghancurkan. Semuanya berada di tangan Tybalt
sekarang.
 

 
 

XXXV
THE SAINT AND THE SINNER
 

VERITY MEMPERHATIKAN SELURUH anggota kerajaan yang berada di


panggung bersamanya. Jenderal Kilorn mengenakan pakaian perang,
terlihat jauh lebih waspada di sebelah Ratu Rania. Hadrian Colthas berbisik
di telinga kakaknya, Raja Zacharias, yang hanya mengangguk, lalu
mempersilakannya pergi dengan langkah tertatih ditemani salah satu
pengawal. Pangeran Alexander dan Ratu Amaranta hanya duduk
menunggu pertarungan segera dimulai. Mereka terlihat tenang, tidak
seperti dirinya yang gelisah karena Tybalt bisa saja mati di arena.
 

Verity mengedarkan tatap ke sekitar. Ada lebih banyak prajurit daripada


biasanya, berbaur dengan para penonton yang bersorak di kursi mereka.
 

"Bunuh dia! Habisi dia!"


 

la tidak pernah benar-benar menyadari betapa brutalnya Austmarr.


Hukuman mati Jenny tidak seramai ini. Mereka juga bersorak saat kematian
pelayan itu, tetapi jelas rakyat kematian Jenny tidak ada apa-apanya
dengan hukuman Tybalt.
 

"Apa kau punya kata-kata terakhir sebelum kau mati, Tybalt Wildemarr?"
Verity melirik Raja Alastair, raut wajahnya suram dan gelap.
 

"They're on our right, they're on our left, they're in front of us, they're
behind us; they can't get away from us this time. Aku bersumpah kepada
Putri Verity Dragør, anak Mariella Selencia dan Ferdinand Dragør. Pewaris
takhta Dragør yang sah. Dragør akan bangkit kembali!" Verity bisa
merasakan bulu kuduknya meremang ketika mendengar kata-kata Tybalt.
Mata cokelat terang pria itu menatap mata violetnya.
 

Verity melirik Raja Alastair lagi. Kali ini raut wajah pria itu benar-benar
gelap, terlihat sangat marah.
 
"Kalian bisa memulainya!" Raja Alastair mengangkat tangan kanan, sebuah
pertanda untuk memulai pertarungan itu.
 

Verity memejamkan mata, lalu berdoa di dalam hati. Suara terompet


panjang terdengar begitu jelas, begitu juga sorakan dari penonton.
 

"AWAS!" Verity membuka mata dan melihat prajurit yang harusnya


melawan Tybalt berbalik ke deretan podium para anggota kerajaan. Hanya
beberapa detik berlalu ketika tombak yang berada di tangan kirinya
menyabet pundak Raja Alastair.
 

"Apa yang kau lakukan!" Verity menahan darah yang keluar dari pundak
Raja Alastair. Pria itu baru saja melindunginya dari serangan tombak
prajurit yang seharusnya melawan Tybalt di dalam arena.
 

"Kita diserang!" Seseorang berteriak, menimbulkan kekacauan di tengah-


tengah penonton.
 

"Apa kau baik-baik saja?" Verity menatap Raja Alastair dengan mata
terbelalak saat pria itu berbalik dan menusuk salah satu prajurit yang
mengenakan seragam Austmarr, tetapi hendak menyerangnya.
 

"Aku sudah menduga ini akan terjadi." Pria itu mendengkus kesal, tidak
tampak kesakitan sedikit pun meski baru saja terluka.
 

Verity melihat kekacauan yang terjadi di mana-mana. Para penonton


berlarian ke sana kemari, berlindung dari hujan panah yang tiba-tiba
datang entah dari mana, tentara Austmarr menyerang tentara Austmarr
lain, tak bisa dibedakan siapa kawan siapa lawan.
 

"Pergilah berlindung di istana! Aku akan segera menyusulmu nanti." Raja


Alastair mendorong tubuh Verity ke Richard Blaxton yang berlari tergopoh-
gopoh ke arah mereka, diikuti beberapa tentara khusus Austmarr.
 

"Apa Anda baik-baik saja, Yang Mulia?" Richard Blaxton melihat wajah
pucat Verity, lalu mengulurkan jubahnya untuk menutupi gaun Verity yang
telah ternodai darah, sekaligus menyamarkan dari para penyerang.
 

Richard Blaxton merangkul pundak Verity sebelum berjalan cepat di antara


kekacauan, berlindung di antara para tentara yang melindungi mereka.
Verity melihat singgasana, Raja Alastair masih di sana, melawan entah
berapa banyak tentara yang berusaha melukainya. Jenderal Kilorn bersama
Ratu Rania telah pergi ke arah lain, tentara-tentara Raria juga ikut
melindungi mereka. Raja Zacharias dan Pangeran Alexander tidak lagi
terlihat keberadaannya, mungkin telah pergi bersama entara-tentara
mereka, atau mungkin merekalah dalang penyerangan kali ini.
 

Mata Verity berusaha mencari Tybalt, tetapi tidak ditemukan di antara


kerumunan manusia yang berusaha menyelamatkan diri. Alih-alih
menangkap sosok Ratu Amaranta yang terlihat begitu kontras di antara
kerumunan warga Austmarr. Wanita itu terlihat tak terpengaruh sama
sekali dengan genangan darah atau hujan panah di atas kepalanya. Jarak
mereka begitu jauh, tetapi terasa begitu dekat. Ratu Amaranta menatap
matanya lekat, sementara a terus berjalan menjauhi kekacauan.
 

"Kau seharusnya mendengarku, Verity." Verity tidak dapat mendengar jelas


apa yang Ratu Amaranta katakan, tetapi ia bisa membaca gerakan bibir
wanita Matanya lagi-lagi melihat Raja Alastair yang masih melawan para
tentara. Mayat bergelimpangan di bawah kakinya, menandakan ia tidak
mudah dikalahkan seperti yang mereka katakan.
 

"Yang Mulia, cepatlah! Cepatlah!" Richard Blaxton menarik Verity ke salah


satu menara pengawas. "Ada pintu yang bisa membawa kita ke dalam
istana." Ia tampak panik dan tergesa gisa ketika mendorong salah satu
pintu sebelum kembali menarik Verity masuk.
 

Blaxton "Tidak secepat menyembunyikan tubuh Verity di belakangnya saat


seseorang itu, Richard!" Richard tendobrak pintu ruangan dan memaksa
masuk. "Well, well, siapakah yang kita temui di sini? Ratu Clementine
ataukah Putri Verity Dragor?"
 

"Zacharias Colthas, jadi kau pelakunya?" Verity tidak bisa menyembunyikan


nada sinis saat pria itu menyeringai lebar.
 

"Tidak perlu bersikap seberani itu, Clementine. Para prajurit yang


mengawalmu sudah mati." Mata hitam Raja Zacharias terlihat begitu
tajam, seperti hendak menusuknya.
 

"Jangan dekati Ratu Clementine!" Richard Blaxton menggunakan tubuhnya


untuk melindungi Verity.
 

"Aku tidak ingin melukaimu, Richard, aku hanya ada sedikit urusan dengan
ratumu." Raja Zacharias memainkan belati di tangannya, terlihat tidak
segan-segan membunuh Richard Blaxton bila pria tua itu mengucapkan
satu kata lagi. "Sedikit sulit menemukanmu, Verity. Amaranta dan Thaurin
menyembunyikanmu dengan baik..."
 

"Apa yang kau inginkan, Zachary? Kau juga yang menjebak Tybalt bukan?
Para tentaramu berada di Thaurin bersama Tybalt!"
 

"Aku tidak menjebaknya. Aku membantunya." Pria itu terkekeh mendengar


perkataan Verity. "Aku juga tidak menyangka, menemuimu sebagai Ratu
Clementine sama susahnya. Kau mungkin tidak menyadari, tapi Alastair
tidak melepaskan pandangannya darimu. Aku mengira saat serangan
terjadi, dia akan tetap membiarkanmu di sisinya, ternyata tidak seperti
yang kubayangkan."
 
"Aku tidak akan membiarkan Anda menyentuh Ratu Clementine sedikit
pun!" Richard Blaxton mendorong Verity agar menjauh.
 

"Richard, kau pria yang baik tapi juga naif. Aku akan memastikan
kematianmu berlangsung cepat dan tak menyakitkan." Raja Zacharias
berkata saat kembali memainkan belatinya, lalu menusuk jantung Richard
Blaxton beberapa kali.
 

Richard Blaxton menyentuh lukanya, melihat belati yang menancap di dada


dengan tatapan tak percaya.
 

"Richard!" Verity segera menghampiri Richard Blaxton yang terjatuh dan


segera menahan luka pria itu. Namun, ia segera menyadari pria itu telah
tiada saat menyentuh area dada. "Kenapa kau melakukan ini?"
 

"Aku tidak ingin membuat ini terdengar rumit untukmu, tapi aku
membutuhkanmu. Lebih tepatnya membutuhkan darah Dragør yang
mengalir di tubuhmu untuk Verity, t masuk ke Dragør dan mendapatkan
Qyrsi kembali." Raja dapat Zacharias terlihat benar-benar tenang, tidak
seperti telah membunuh seseorang.
 

"Kau tidak akan mendapatkannya!" Verity menarik belati yang tertancap di


dada Richard Blaxton, lalu mengarahkan ke dadanya sendiri.
 

"Well, sayang sekali bila kau mati, Clementine. Tapi kau tidak seberharga
yang kau bayangkan. Mungkin bagi Amaranta, Alexander, dan Alastair,
tetapi tidak bagiku. Kau mati atau hidup tidaklah penting bagiku." Raja
Zacharias tertawa kecil. "Lebih baik bila kau ikut denganku dan pergi
dengan tenang."
 

"Kau tidak akan pergi dengannya!"


 
"Aku tahu kalau ini tidak akan mudah." Raja Zacharias berbalik dan melihat
Pangeran Alexander dengan pedangnya yang berlumur darah.
 

"Kau seharusnya tidak membuatnya mudah, Zachary. Terlalu banyak


tentara Colthas yang berjaga di luar sana." Pangeran Alexander
menyeringai lebar. Matanya melirik Verity sekilas. "Alastair masih berada di
luar sana, mencarimu."
 

Raja Zacharias mengeluarkan pedang dan mengacungkannya ke arah


Pangeran Alexander. "Kalau begitu, Raja Cepat kita selesaikan ini sebelum
Alastair datang."
 

Raja Zacharias jelas lebih hebat dari Pangeran Alexander dalam


mengayunkan pedang. Beberapa kali Pangeran Alexander tampak
kewalahan melawan, tetapi pria itu masih dapat menghindari serangan-
serangan yang Raja Zacharias berikan.
 

Suara gemuruh juga teriakan-teriakan dari luar terdengar begitu jelas


sekarang. Ada derap langkah juga kuda dari berbagai penjuru.
 

"Para tentara sudah datang. Kau terkepung, Zachary!" Pangeran Alexander


terlihat kelelahan, tidak seperti Raja Zacharias yang berdiri tegap di
hadapannya.
 

"Oh, ya?" Raja Zacharias mengacungkan pedangnya di hadapan Pangeran


Alexander. "Kau harusnya menyayangi nyawamu, Alexander. Hanya kau
yang tersisa di garis keturunan Thaurin setelah kau membunuh ayahmu
sendiri."
 

"Aku tidak akan mati semudah itu." Pangeran Alexander bangkit kembali,
hendak memberikan serangan, tetapi gerakan Raja Zacharias yang tidak
terduga membuatnya lengah dan mengorbankan tangan kanan.
 
"Alexander!" Verity berteriak tepat saat Raja Zacharias menyabet tangan
kanan Pangeran Alexander, memotong tangannya dengan begitu mudah
seperti pisau yang memotong mentega. "Tangan kananmu...."
 

Pangeran Alexander cepat memungut kembali pedangnya dengan tangan


kiri yang tersisa. "Aku berjanji untuk melindungimu bukan?" katanya
sembari meringis.
 

Verity membelalakkan mata, menyadari kalau mimpi yang selama ini ia


alami bukan hanya sekadar bunga tidur. "Al...." Ia melihat tangan kanan
Pangeran Alexander yang mengucurkan darah. Pria itu baru saja
mengorbankan tangan kanannya untuknya.
 

"Aku senang kalian bisa saling mengingat satu sama lain lagi," Raja
Zacharias terkekeh senang, "tapi aku tidak bisa berlama-lama di sini."
 

"Yang Mulia!" Seorang tentara Colthas mendobrak pintu. Mereka datang!"


 

"Sampai jumpa lagi, Verity." Raja Zacharias berlari mengikuti tentaranya,


sementara Pangeran Alexander jatuh terduduk.
 

"Al, apa yang kau lakukan?" Verity menghampiri Pangeran Alexander, lalu
membuka jubah yang ia kenakan dan merobeknya untuk membebat
tangan kanan Pangeran Alexander.
 

"Sudah lama aku ingin menyingkirkan tangan ini." Pangeran Alexander


tidak membiarkan Verity untuk membebat lukanya. Ia menarik secarik kain
yang berada di tangan Verity, lalu mengerjakannya sendiri dengan tangan
kiri dan giginya.
 

Verity melihat tangan Pangeran Alexander yang pucat dengan urat-urat


bertonjolan berwarna biru dan ungu kehitaman. "Al, apa yang terjadi pada
tangan kananmu?"
 

Pangeran Alexander tidak menjawab pertanyaan Verity, ia sibuk mengikat


lukanya sendiri. Bulir-bulir keringat membasahi kening dan pakaiannya. Ia
tampak kepayahan ditambah tangan yang putus dan berusaha dibebat
seadanya.
 

"Al, biarkan aku...." Verity berusaha menahan rasa mual saat melihat
tangan Pangeran Alexander, lalu mengambil alih kain yang belum terpasang
rapi.
 

"Darah siapa itu?" Pangeran Alexander melihat bercak bercak merah yang
mengotori gaun Verity.
 

"Alastair, Richard, dan sekarang darahmu." Verity menundukkan kepala,


berusaha menahan darah yang terus keluar.
 

Tangan kiri Pangeran Alexander menyentuh pipi Verity, membuat wanita itu
refleks mendongak dan menatap mata hijaunya. "Bukan darahmu?" Verity
menggelengkan kepala.
 

"Syukurlah," ucap Pangeran Alexander sebelum tubuhnya ambruk, tak


sadarkan diri di pangkuan Verity. Ia telah kehilangan banyak darah.
 

Suara derap langkah dan keributan terdengar lagi. Verity mencengkeram


belati erat-erat, bersiap bila salah satu tentara Colthas atau Raja Zacharias
kembali untuk menyelesaikan urusan mereka.
 

"Verity!" Verity mengembuskan napas lega saat melihat Raja Alastair yang
masuk bersama para tentara Austmarr. Pria itu menelaah situasi di
hadapannya. Ada banyak tentara yang mati di depan pintu ruangan:
tentara Colthas, Austmarr, juga Thaurin. Sementara di dalam ruangan
hanya ada tiga orang, Alexander yang terlihat tengah sekarat di pangkuan
Verity dan tubuh Richard Blaxton telah terbujur kaku di sudut ruangan.
 

"Alastair! Cepat tolong Al-Alexander," ucap Verity frustrasi. Air mata telah
membasahi pipinya.
 

"Apa yang terjadi dengannya?" Raja Alastair berjalan selangkah dan


berhenti.
 

"Zacharias memotong tangannya," jawab Verity.


 

Raja Alastair mengangguk. Sekarang ia mengerti dari mana darah yang


menggenang di sekitar Pangeran Alexander dan Verity.
 

"Bawa dia!" Salah satu tentara segera mengangkat tubuh Pangeran


Alexander dari pangkuan Verity setelah mendengar perintah Raja Alastair.
 

Raja Alastair berjalan menghampiri Verity. "Apa kau baik baik saja?"
 

"Aku baik-baik saja." Raja Alastair membantu Verity berdiri, memeriksa


setiap inci tubuh, dan memastikan kalau darah yang mengotori gaun
bukanlah darah wanita itu.
 

"Tapi Richard mati, dan Al-Alexander Pangeran Alexander kehilangan


tangan kanannya. Rasa bersalah itu menyelubungi hati Verity. Pangeran
Alexander tidak akan terluka bila pria itu segera pergi untuk
menyelamatkan dirinya. "Colthas yang melakukannya. Apa Alexander akan
selamat?"
 

"Itu pilihannya," gumam Raja Alastair, tidak senang mendengar Verity


mengkhawatirkan pria lain di hadapannya.
 
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" Verity tidak bisa menyembunyikan
rasa panik dalam suaranya.
 

"Perang." Raja Alastair menatap mata violet Verity. Dia tidak peduli lagi
siapa sosok di hadapannya ini. Verity tidak mengenal Dragør, dia bukan
anak Ratu Mariella Dragør karena Ratu Mariella tidak pernah
membesarkannya. Bila Verity adalah kunci kematiannya, maka dengan
senang hati ia akan menerima, tentunya setelah membunuh Ratu Mariella
dan pihak lain yang ingin menghancurkannya.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Norbert membawa kapalnya ke ujung Pulau Mera, satu-satunya daerah


netral di Inkarnate. Tidak ada seorang pun yang dapat masuk pulau tanpa
izin penghuni aslinya, para pendeta yang tidak pernah menginjak
Inkarnate. Kapal menghindari tebing tebing terjal yang mengelilingi Pulau
Mera.
 

"Norbert, apa kau yakin ini ide yang bagus?" Cuaca di Pulau Mera tidak
seperti di Inkarnate. Tidak menentu. Seperti saat ini, langit gelap dan petir
menyambar ketika mereka semakin dekat ke pulau. Bila mereka
menjauhkan kapal, mereka bisa melihat cuaca terang benderang.
 

"Ingatlah, kita adalah pelaut! Rintangan apa pun di Pulau Mera tidak ada
apa-apanya dibanding semua yang telah kita hadapi " Norbert
meneriakkan kata-kata penyemangat kepada para awak kapal yang mulai
ragu mendekati Pulau Mera.
 

"Kapten, apa kau yakin Pulau Mera hanya berisi para pendeta yang tidak
peduli dengan keadaan di Inkarnate?" Seorang awak kapal di atas menara
berteriak ke arah Norbert
 
"Mereka bilang, ada juga seorang ratu di dalam sana."
 

Norbert terkekeh. Seorang wanita tidak ada apa-apanya dengan


 

awak kapalnya yang kuat dan tangguh.


 

"Aku melihat ada banyak kapal yang mengarah ke sini, Kapten!"


 

Norbert berlari ke salah satu awak kapal dan melihat dari atas,seperti apa
Pulau Mera serta kapal-kapal yang hendak menyerang mereka. "Ini tidak
mungkin. Persiapkan meriamnya!"
 

Norbert berteriak ke seluruh awak kapal. Hujan deras juga gulungan ombak
laut tidak menghentikan langkahnya yang berlari mendekati meriam
terbesar. "Dengarkan aba-abaku lalu tembakkan meriamnya!" Ia
mengambil korek di kantong celana dan menyalakan dengan susah payah
karena hujan deras membuat batang kayunya basah.
 

"Satu! Dua! Tiga!" Norbert menyerahkan koreknya ke salah satu awak kapal
dan kembali berlari ke ujung dek. Ia melihat ada beberapa kapal yang
terbakar karena serangan meriamnya. "Siapkan lagi meriamnya!" "Apakah
itu kapal kerajaan lain yang juga hendak ke Pulau Mera?"
 

Norbert mengangguk ragu. "Tapi Dragør sudah lama hancur. Tidak


seharusnya mereka punya armada sekuat itu."
 

 
 

 
 

 
 
 

 
 

XXXVI
RISE AND FALL
 

RAJA ALASTAIR BERENDAM di kolam air panas. Ia meringis kala luka-luka di


tubuh bersentuhan dengan air panas, lalu melihat telapak tangan dan bahu
yang juga terluka. Ia semakin lemah, ia bisa merasakan itu.
 

Raja Zacharias menyerang Austmarr, Pangeran Alexander kehilangan


tangan kanannya, Ratu Rania mengirim armada terbaik ke Pulau Mera, dan
Ratu Amaranta, hanya wanita itu yang tidak ia ketahui rencananya. Ia telah
memperhitungkan setiap langkah untuk menjebak Raja Zacharias dan
Pangeran Alexander, tetapi ia mendapatkan lebih dari perkiraan. Bila
perang akan dimulai kembali, ia tidak hanya harus melawan dua,
melainkan semua kerajaan sekaligus dan menyisakan satu Satu kerajaan
yang nantinya akan berdiri sendiri.
 

Raja Alastair memperhatikan kembali luka-luka di tangannya, rasanya


sangat menyakitkan. Tubuhnya melemah atau kutukan Ratu Mariella telah
memudar, ia akan mati dengan mudah kali ini. Ia mendengkus keras, Ratu
Mariella benar-benar tahu bagaimana cara menyiksa orang lain. Wanita lick
itu tidak membiarkannya mati saat pembunuh bayaran masuk ke kamar
dan menusuk jantungnya berkali-kali. Wanita itu juga tidak membiarkannya
mati saat tersiksa di padang luas dengan punggung terbakar dan tombak di
dada, membuatnya memohon, mengemis agar wanita itu melepaskan
kutukan saat itu juga. Namun kini, setelah ia memiliki tujuan untuk hidup
dan ingin melindungi sesuatu yang merupakan miliknya, ia harus menerima
kenyataan kalau ia tidak lagi seperti dulu. Semuanya adil di dalam perang
sekarang, Raja Alastair bisa mati, begitu pun lawan-lawannya.
 

"Alastair!"
 

Raja Alastair menoleh dan melihat Verity yang berada di depan pintu,
terlihat ragu untuk mendekat. "Apa yang kau lakukan di sini?" Ia bertanya
dengan suara berat.
 

"Aku hanya ingin tahu keadaanmu." Verity berusaha mendekat, langkahnya


pelan dan ragu.
 

Raja Alastair memalingkan wajah, lebih tertarik memperhatikan luka-luka


di tangannya. "Bagaimana keadaan Alexander?"
 

Verity telah menghabiskan waktunya di sisi pria itu sejak Raja Alastair
menemukannya di menara pengawas bersama jenazah Richard Blaxton,
tangan kanan sekaligus penasihat Raja Alastair. Bukan hanya Pangeran
Alexander saja yang kehilangan tangan kanannya, beberapa saat lalu, Raja
Alastair juga kehilangan tangan kanannya meskipun hanya secara figuratif.
 

"Dia baik-baik saja. Para tabib berhasil menghentikan pendarahannya dan


sedang berusaha menutup lukanya." Verity terdiam sejenak, seperti ragu
hendak mengatakan sesuatu. "Aku mengingat sebagian kecil masa laluku,
Alastair."
 

"Apa kau akan tetap berada di sisi Alexander sekarang setelah kau
mengingat semuanya?" Raja Alastair mendengkus keras.
 

"Apa yang kau bicarakan?" Raja Alastair tersentak ketika merasakan telapak
tangan Verity di punggungnya yang kaget telanjang. "Dari mana luka ini
berasal, Alastair?"
 
"Apa yang kau lakukan?" Raja Alastair berbalik dan menahan tangan Verity
agar tidak menyentuhnya lebih jauh lagi. "Kenapa kau berada di sini?"
 

"Apa yang kau bicarakan?" Verity berada di hadapannya, duduk di tepi


kolam. Wanita itu tidak terlihat takut ketika berbicara dengannya atau
melihat luka di punggungnya.
 

"Kau tidak perlu lagi berpura-pura menjadi Clementine. Kau sudah


mengingat semuanya, bukan? Setelah apa yang Tybalt ucapkan di arena,
aku yakin sebagian dari mereka telah menyadari kalau kaulah Verity
Dragør." Raja Alastair mengetatkan genggamannya di tangan Verity yang
rapuh. Ia menyadari kalau bukan hanya dirinya yang berubah, Verity juga
semakin bertambah kuat. Wanita itu tidak lagi seperti saat mereka
pertama bertemu.
 

"Apakah perang akan mengubah semuanya sekarang? Kau


menyelamatkanku beberapa saat lalu. Apa kau ingin membunuhku
sekarang?" Verity bertanya tidak mengerti. Raja Alastair baru saja
menyelamatkannya dari serangan tombak tentara itu, tetapi sekarang pria
itu bersikap seolah-olah dialah musuhnya.
 

"Kau berasal dari Dragør."


 

"Apa itu akan mengubah segalanya?" Mata violet Verity mengerjap


beberapa kali. Ia memang berasal dari Dragør, tetapi bukan ia yang
mengutuk jantung Raja Alastair dan membuat pria itu hidup menderita.
 

"Aku tidak tahu. Apakah kau akan tetap berada di sini?" "Aku... tidak tahu."
Verity benar-benar tidak tahu, apakah ia akan tetap berada di sini atau
kembali ke Dragør, ke tempat asalnya, ke tempat semuanya bermula.
 
Raja Alastair menahan tangan Verity, sementara tangan kanannya
menyentuh pipi wanita itu, menorehkan sedikit basah karena air. "Tetaplah
di sini," ucapnya parau. "Kau keluargaku satu-satunya, Verity. Kau istriku."
 

Raja Alastair menyentuh tengkuk Verity, lalu mencium bibirnya dalam.


Jantungnya berdegup kencang, satu hal yang selalu terjadi bila ia berada di
sisi wanita itu. Saat Verity balas mencium, jantungnya kembali menggila.
Raja Alastair mengangkat sebagian tubuhnya dan memeluk wanita itu,
membiarkan tubuh dan pakaian yang dikenakan Verity ikut basah. Raja
Alastair mencium tengkuk, leher, setiap inci tubuh Verity, dan bercinta
dengannya semalaman seolah-olah tidak ada lagi hari esok.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Hadrian Colthas melihat kakaknya dengan tubuh berlumuran darah dan


pakaian perang yang sudah rusak di setiap sisi. "Aku nyaris tidak bisa
mengenalimu, Brother." Ia melemparkan sapu tangan yang diterima
kakaknya disertai kekehan lebar.
 

"Bersyukurlah karena aku sudah menghabisi semua tentara Austmarr yang


mengikuti kita." Raja Zacharias mengelap wajahnya yang kotor karena
darah.
 

"Kau juga membunuh tentaramu sendiri." Hadrian tidak melihat ada satu
pun tentara Colthas yang mengikuti kakaknya.
 

Hanya ada dua hal yang bisa menjadi penyebab: tentara Austmarr
membunuh membunuhnya sendiri. mereka atau Raja Zacharias
 

"Aku tidak bisa membiarkan mereka tetap hidup." Raja Zacharias


melepaskan jubah perangnya satu demi satu dan melemparnya ke tentara
di sebelah Hadrian. "Yang berjalan begitu lambat akan dibunuh tentara
Austmarr, yang terluka dan tidak dapat mengikuti perjalanan akan dibunuh
di tempat."
 

"Kau memutuskan untuk membunuh tentaramu sendiri karena mereka


memperlambat perjalananmu?"
 

"Juga karena mereka dapat ditemukan tentara Austmar dengan mudah."


Raja Zacharias berdecak kesal. "Aku tidak akan meninggalkanmu meski
jalanmu lambat, Hadrian."
 

"Kenapa kau begitu membutuhkan Verity? Kita bisa pergi ke Dragør tanpa
wanita itu, Kakak." Hadrian naik ke kuda dibantu salah satu tentaranya.
Langkahnya memang lambat, karena itu Raja Zacharias tidak
membiarkannya tetap berada di dalam Austmarr saat pertarungan Tybalt
hendak dimulai. Ia bisa saja mati karena tidak bisa menyelamatkan diri.
 

"Kau tidak tahu seperti apa Dragør." Raja Zacharias terdiam sesaat sebelum
melanjutkan, "Mariella Dragør melindunginya dengan sihir. Sihir yang
harusnya lenyap kalau wanita itu sudah mati."
 

"Apa kau pernah ke sana setelah Dragør hancur?"


 

"Aku hanya bisa berada di pinggirnya, tidak masuk ke dalam istana atau
merebut Qyrsi kembali." Raja Zacharias lagi lagi berdecak, matanya
menerawang, teringat saat terakhir ia berusaha ke Dragør dan bertemu
Tybalt bersama para Dragorian yang tersisa. "Bahkan para rakyat Dragør
pun tidak bisa masuk ke dalam tempat itu. Mereka hanya bisa berada di
pinggirnya dan melihat dari kejauhan reruntuhan sisa kerajaan itu."
 

"Ada apa di dalam sana?"


 
"Api." Raja Zacharias menjawab singkat. "Aku pernah masuk ke sana dan
melihat hal paling menakjubkan juga paling mengerikan dalam hidupku.
Aku melihat hutan dan beruang yang dilalap api, dia berlari ke arahku."
 

Sehebat itukah sihir Mariella?"


 

"Wanita itu harusnya menjadi penerus Selencia setelah Jordan mati." Raja
Zacharias berkata pelan. "Aku mendengar banyak hal yang berbeda dari
setiap orang yang berusaha memasuki tempat itu."
 

"Apa saja? Aku yakin bukan hanya kau yang telah berusaha memasuki
Dragør." Hadrian fokus menyimak.
 

"Amaranta juga pernah melakukannya. Ia menemukan mayat yang


bergelimpangan di pintu masuk Dragør. Ayah kita, Zacharias II, juga melihat
api sepertiku. Alastair bahkan tidak bisa masuk ke tempat itu. Tanah Dragør
tidak menerimanya." Raja Zacharias mengerutkan kening dan kembali
berkata, "Aku menduga hanya Verity Dragør dan pengikutnyalah yang bisa
masuk ke sana. Aku membutuhkannya, hidup atau mati. Bila ia mati
mungkin sihirnya akan lenyap."
 

"Bagaimana dengan Rania Raria? Apakah dia pernah masuk ke dalam


sana?"
 

"Aku tidak tahu." Raja Zacharias mengembuskan napas gusar. "Sekarang di


mana Tybalt?"
 

"Sesuai perintahmu, Brother." Hadrian Colthas menunjuk ke arah kereta


yang berada cukup jauh di hadapan mereka.
 

Raja Zacharias berjalan ke arah kereta itu, lalu membuka pintunya. Ia


langsung menerima sebuah tinjuan tepat di rahangnya.
 

"Apa yang kau lakukan kepada Putri Verity, Bajingan!" Tybalt brutal
menyerang, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak karena kedua tangan dan
kakinya diikat dengan bola besi.
 

"Apa kau tidak belajar tata krama? Apakah begitu caramu berterima kasih
kepada orang yang sudah menyelamatkanmu dari tempat terkutuk itu?"
Raja Zacharias mengelap sudut bibirnya dan memberikan satu tinjuan
balasan di wajah Tybalt.
 

"Aku tidak memintamu menyelamatkanku, Bajingan! Kau nyaris


membunuh Putri Verity!" murka Tyblat.
 

"Melukai Alastair." Raja Zacharias menjawab singkat. "Dengan


mengarahkan tombaknya kepada Putri Verity? Yang benar saja!" Tybalt
meludah kesal.
 

"Alastair akan menyelamatkan wanita itu tentu saja." Raja Zacharias


menatap Tybalt tajam. Ia tidak ingin menghabiskan banyak waktu di sini
ketika perang siap berkecamuk di Inkarnate. Pangeran Alexander tentu
akan menghabisi nyawanya setelah ia memotong tangan kanan pria itu.
 

"Apa kau bahkan peduli-"


 

"Tidak." Raja Zacharias memotong perkataan Tybalt dan segera menjawab,


"Aku harus masuk ke dalam Dragør dan mendapatkan Qyrsi kembali.
Karena aku tidak bisa mendapatkan Verity, maka kita harus segera
menyusul Rania dan mendapatkan Mariella."
 

"Kau tidak pernah peduli kepada Raria sebelumnya." Hadrian yang telah
menyusul dengan kuda, melihat Raja Zacharias dan Tybalt diselimuti emosi.
 
"Rania adalah ratu yang lemah. Tanpa kehadiran Jenderal di sisinya,
mengatakannya cepat. dia bukanlah siapa-siapa." Tybalt
 

"Kau tidak akan mengatakan hal yang sama bila kau tahu di mana Ratu
Mariella berada." Hadrian mengangkat alisnya dan menatap Tybalt. Sikap
terburu-buru pria itu melemahkan sisi mereka. Bila saja ia bisa
mendapatkan kelemahan Pangeran Alexander tanpa perlu terlibat rencana
licik pria itu, mungkin saja perang tidak akan dimulai secepat ini. "Wanita
itu berada di Pulau Mera. Hanya ada satu cara menuju ke sana."
 

"Hanya Raria yang bisa melakukannya." Raja Zacharias berdecak kesal.


 

"Atau Thaurin." Hadrian menambahkan.


 

"Tidak setelah aku memotong tangan kanannya, Brother. Aku tidak


menyesal telah melakukannya, tapi fdak ada cara lain menuju Pulau Mera
selain bersama Raria." Raja Zacharias terdiam sesaat. "Atau menunggu lagi
agar bisa mendapatkan Verity."
 

"Austmarr dan Dragør seperti air dan minyak, mereka tidak bisa bersatu."
Hadrian tersenyum tipis. "Saat yang satu meraih kejayaannya, yang lain
akan melemah. Kita hanya perlu menunggu hingga keduanya saling
menghancurkan satu sama lain."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Norbert mengerjapkan beberapa kali, tetapi kain gelap yang menutupi


kepala benar-benar membuatnya buta. "Apa yang kalian lakukan!" Ia
berteriak putus asa.
 

Kapal Kerajaan Raria hancur begitu saja setelah diserang oleh kapal Dragør,
hal yang sangat tidak masuk akal karena Dragør telah hancur dan kapal-
kapal itu tidak seharusnya menggunakan simbol Kerajaan Dragør.
 

"Arrgh!" Norbert berteriak ketika merasakan siraman air sedingin es yang


tiba-tiba membasahi kepalanya. "Apa yang kalian lakukan?"
 

"Siapa namamu?" Norbert mengerjap lagi ketika mendengar suara seorang


pria.
 

"Si-siapa kau?"
 

"Kau kapten kapalnya bukan?" Pria itu mengambil sebilah pisau dan
memainkannya di hadapan Norbert, siap menyiksa bila tidak mendapat
jawaban.
 

"Norbert. Namaku Norbert!" Norbert berteriak keras ketika pria itu tiba-
tiba menusuk pahanya. Ia bahkan tidak tahu kapan pria itu menyerang
karena kain gelap yang masih menutupi. "Di mana awak kapalku?"
 

"Menunggu giliran mereka." Pria itu menjawab singkat.


 

"Pulau Mera harusnya berisi para pendeta!" Norbert kembali berteriak


ketika pria itu semakin menancapkan pisau lebih dalam di pahanya.
 

"Kau cukup banyak berbicara ketika seharusnya kau berada di pihak yang
lemah dan memohon pengampunan di sini, Norbert."
 

Norbert bergerak gelisah ketika kain yang menutup kepalanya tiba-tiba


dibuka. Ia bisa melihat bukan hanya satu, tetapi ada banyak pria lain di
hadapannya. Mereka terlihat seperti para bandit atau penjahat
dibandingkan pendeta.
 
"Siapa kalian?" Norbert bertanya kalut.
 

"Mulailah memohon, Norbert!" perintah pria tadi.


 

"A-apa maksud kalian?"


 

"Yang Mulia." Sebuah jalan terbentuk hingga Norbert bisa melihat sosok
yang duduk di singgasana.
 

"Ratu Amaranta." Norbert membelalakkan mata, tidak percaya melihat


sosok berambut pirang dengan mata violet yang kini berjalan ke arahnya.
 

"Coba lagi." Wanita itu berbicara di hadapannya.


 

"Ratu Mariella." Wanita itu tersenyum lebar ketika Norbert akhirnya


menyadari siapa sosok di hadapannya ini. "Kau seharusnya sudah lama
mati."
 

"Tapi aku masih hidup dan berada di sini." Ratu Mariella Dragør tersenyum
lebar. Ia jelas belum mati seperti yang dikatakan orang-orang. "Bukankah
kau dikirim ke sini untuk membunuhku? Atau Rania memiliki rencana lain
setelah berhasil membuangku ke sini dan berharap aku mati belasan tahun
yang lalu?"
 

"Ratu Rania...." Norbert jelas tak mengerti.


 

"Masih terlalu muda dan naif saat itu. Tapi kesalahan kecilnya berubah
semakin besar seiring berjalannya waktu, Norbert." Ratu Mariella Dragør
tersenyum penuh arti, mata violetnya lekat menatap Norbert. "Norbert,
apa yang paling kau inginkan di dunia ini?"
 
Mulailah memohon! jerit hati kecil Norbert ketika menatap kedua mata
wanita itu.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair bisa merasakan napas teratur Verity ketika wanita itu terlelap
di sebelahnya. Ia menarik selimut dan menutupi tubuh telanjang Verity
hingga ke bawah dagunya. Apakah percintaan mereka berarti Verity akan
tetap berada di sisinya atau akan tetap pergi?
 

Raja Alastair merapikan anak-anak rambut Verity yang berantakan, lalu


mengecup singkat pipi wanita itu. "I think I have falling in love with you,
Verity."
 
 

 
 

XXXVII
A MOMENT OF WEAKNESS
 

MARIELLA DRAGØR PASTI punya kelemahan." Hadrian Colthas bergumam.


Mereka tengah berada di sebuah perkemahan di tengah Hutan Pinus.
"Tentara-tentara Austmarr masih mengejar kita?"
 

"Perang sudah dimulai, Brother. Saat tombak itu mengarah ke Verity


Dragør, saat itu juga perang dimulai." Raja Zacharias berdecak kesal. Mata
hitamnya melihat ke sudut tergelap hutan yang dijaga beberapa tentara
Colthas. Tybalt Wildemarr berada di sana, masih dengan kedua tangan dan
kaki yang terikat bola besi. Bila Verity Dragør benar-benar peduli keadaan
Dragør, wanita itu akan mencari Tybalt sesegera mungkin.
 

"Apa yang kita lakukan sekarang? Menunggu?" Hadrian menyeret kakinya


dibantu tongkat yang selalu setia membantu.
 

"Alastair tidak akan melakukan semuanya dengan gegabah.


Amaranta.....apa yang wanita itu pikirkan sekarang setelah bonekanya
berbalik arah melawannya?" Raja Zachariasmenebak-nebak.
 

"Mariella Dragør. Dia adalah jawaban dari semua pertanyaan kita. Sejak
perang pertama, Amaranta tidak pernah beristirahat. Wanita itu tidak akan
berhenti sebelum ia mendapatkan Mariella." Mata hitam Hadrian berkilat
ketika melihat kakaknya yang termenung di depan pintu tenda, "Mariella
pasti punya kelemahan. Kita bisa masuk ke Dragør saat ia melemah."
 

"Dia punya kelemahan," Raja Zacharias mengangguk, "segelnya terbuka


belasan tahun lalu. Aku menduga ia lemah karena baru saja melahirkan."
 

"Lalu Rania berhasil mendapatkannya?" tanya Hadrian dengan nada


berbisik. Tidak boleh ada seorang pun yang mendengar percakapan
mereka, terutama Tybalt Wildemarr.
 

"Ya," Raja Zacharias mengangguk lagi, "dan Amaranta bisa masuk Dragør
meski hanya sesaat."
 

"Kau tidak menceritakan semuanya kepadaku, Zachary. Apa yang Amaranta


dapatkan di dalam sana?" Hadrian penasaran.
 

"Aku tidak tahu." Raja Colthas sebelumnya tidak memberikan petunjuk lagi
kepada mereka. Pencarian terhadap Ratu Mariella Dragør berhenti setelah
wanita itu menghilang tanpa jejak dan Dragør tidak bisa dimasuki lagi.
 

"Apa yang kau lihat di dalam sana sebenarnya? Selain api dan beruang itu."
Hadrian mendesak. Apa sebenarnya yang membuat kakaknya begitu
terpaku dengan keberadaan sisa anggota keluarga kerajaan Dragør.
"Zachary, apa yang ada di dalam sana? Aku harus tahu agar aku bisa
menyusun rencana perang kita untuk merebut Qyrsi kembali."
 

Raja Zacharias terdiam cukup lama, matanya memejam tubuhnya kaku. Ia


benar-benar tidak suka membicarakan apa yang ia lihat hari itu di Dragør.
"Mariella semakin menguat, Hadrian. Apa yang aku lihat hari itu tidak ada
apa-apanya dengan apa yang akan kita hadapi nanti."
 

"Apa yang terjadi pada hari itu, Zachary?"


 

"Api. Beruang." Raja Zacharias mengembuskan napas gusar. "Itu semua


adalah ilusi yang terasa sangat nyata, Hadrian."
 

"Ilusi?" Hadrian mengerutkan kening.


 

"Aku melihat api dan merasakan panasnya membakar kulitku, melelehkan


jubah perang yang kukenakan, tapi setelah keluar dari Dragør ... kulitku
tidak terluka sedikit pun." Raja Zacharias sangat yakin saat itu mungkin hari
terakhirnya di dunia setelah nyaris mati di tanah Dragør.
 

"Apa ini artinya .." Mereka tidak mengenal siapa lawan sebenarnya, itu
jauh melenceng dari perkiraan. "Bila Mariella semakin menguat, bisa saja
sihirnya membunuhmu kali ini."
 

"Karena itu aku membutuhkan Verity Dragør. Dia adalah kunci untuk
memasuki Dragør." Raja Zacharis mengembuskan napas panjang dan
melanjutkan, "Aku berharap Qyrsi masih hidup dan tidak terluka sedikit
pun."
 

"Kenapa?"
 

"Qyrsi merupakan naga terakhir yang dimiliki Colthas, Hadrian. Aku tidak
tahu kenapa ayah kita memilih Qyrsi dibanding naga lain." Raja Zacharias
menatap mata hitam Hadrian dan menyadari kalau adiknya sudah mengerti
sekarang. "Naga adalah makhluk langka di manapun ia berada. Sisiknya
saja bisa menjadi senjata yang mematikan."
 
"Bakar tubuh penyihir itu," Hadrian bergumam, "sihirnya tidak mempan
dengan api bukan? Dan sisik Qyrsi bisamembunuh Mariella."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Ratu Mariella berdiri di hadapan Norbert. Wanita itu tidak terlihat seperti
hendak memberinya kesempatan sedikit pun. "Apa yang kau inginkan,
Norbert?"
 

Norbert membuka mulut dan mengatupkannya kembali. Kenapa dia yang


terpilih dari semua pelaut dan tentara milik Raria? "Aku ingin...."
 

Setelah menatap cukup lama, Norbert menyadari mata Ratu Mariella tidak
memiliki cahaya yang sama seperti Ratu Amaranta atau Clementine
Selencia. Tidak ada kilatan api yang membara atau menggebu-gebu, selain
ungu pucat, terlihat dingin seperti es. Beberapa orang mungkin mengira ia
buta bila melihat sekilas karena warnanya nyaris menyaru dengan bola
mata yang berwarna putih.
 

"Apa yang kau inginkan, Norbert?" Ratu Mariella bertanya sekali lagi. Para
bandit, pelaut, dan bajak laut milik Raria yang dibuang ke Pulau Mera
berada di sisinya.
 

"Aku ingin kesempatan," ucap Norbert pada akhirnya.


 

"Apa kau tahu kekuatan yang lebih hebat daripada cinta, Norbert?"
Norbert menggelengkan kepala. Ia bisa mendengar debur ombak juga
badai yang berada di Pulau Mera.
 

"Rasa benci," imbuh Ratu Mariella.


 

"Rasa benci?" Norbert membeo.


 

"Rasa benci akan membawa kehancuran yang lebih besar lagi. Seperti apa
yang adikku lakukan kepadaku." Ratu Mariella tertawa kecil.
 

"Ratu Rania menyampaikan ini." Norbert menjilat bibirnya gelisah. Ia bisa


merasakan campuran rasa asin laut dan darah. "Putri Verity. Verity Dragør!
Dia masih hidup!"
 

"Aku tahu." Mata violet Ratu Mariella terlihat menerawang. Norbert bisa
merasakan bulu kuduknya meremang ketika tak sengaja menatap mata
wanita itu, benar-benar mengerikan.
 

"Anda membiarkan putri Anda disiksa di Selencia dan Austmarr?" Mata


Norbert membelalak. Seharusnya ia tidak meremehkan Ratu Mariella
hanya karena ia seorang wanita.
 

"Ada pengorbanan untuk sesuatu yang kita inginkan, Norbert." Ratu


Mariella membalik punggungnya, tidak lagi tertarik berbicara dengan pria
itu. "Bunuh dia!"
 

"Tidak, tidaaaak! Yang Mulia! Yang Mulia!" Norbert menjerit ketika salah
satu bandit mengeluarkan pedang dan segera memenggal kepalanya.
 

Ratu Mariella melihat kepala Norbert yang jatuh menggelinding, mata


coklatnya terbelalak, sementara tubuhnya masih terikat di kursi pesakitan.
"Panggil día!" Seorang pria, tidak, bocah laki-laki ditarik keluar dari
persembunyian di antara pilar-pilar kuil. "Yang Mulia." Bocah itu segera
memberi hormat di hadapan Ratu Mariella. Ia berusaha sekeras mungkin
untuk tidak melihat kepala Norbert yang tergeletak di dekatnya.
 

"Sampaikan rasa terima kasihku kepada Alexander Thaurin!"


 
亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Dragør memperlihatkan keinginanmu yang paling gelap dan paling dalam.


Keinginan yang kau simpan rapat-rapat di dalam hatimu. Keinginan yang
juga merupakan kelemahanmu," Pangeran Alexander terdiam sesaat,
"Zacharias III Colthas menginginkan naganya kembali, karena itu ia melihat
api di dalam Dragør. Amaranta ingin kematian saudarinya, karena itu ia
melihat mayat yang bergelimpangan di jalannya."
 

"Lalu apa yang kau lihat?"


 

Pangeran Alexander menatap tangan kanannya yang kini tidak lebih dari
sepotong lengan tak berguna. "Aku melihat Verity yang menari di
hadapanku, menjebakku untuk mencipipi hemlock di tangannya."
 

"Kau menginginkan Verity Dragør?" Pria di hadapannya menatap tak


percaya.
 

"Apa yang kau lakukan di sini, Jenderal Kilorn? Tidak bersama Ratu Rania
dan mengawasinya?" Pangeran Alexander mengembuskan napas gusar. Ia
tidak bisa merasakan apa pun di tangan kanannya. Ia merasa telah cacat
sekarang.
 

"Aku ingin memperingatimu," jawab Jendral Kilorn.


 

"Untuk?" Pangeran Alexander meneguk lebih banyak mead. Matanya


berkunang-kunang, tidak fokus melihat wajah Jenderal Kilorn.
 

"Kau tidak tahu apa yang telah kau lakukan, Boy. Ada perang di luar sana
dan kau-"
 
"Thaurin." Pangeran Alexander memotong, terdiam sesaat. "Aku bukan
ayahku, Kilorn. Thaurin tidak bersekutu dengan Selencia."
 

"Verity Dragør tetaplah Clementine Selencia. Dia tetap Ratu Austmarr."


Jenderal Kilorn mengguncang pundak Pangeran Alexander, berusaha
menyadarkan.
 

"Aku mengorbankan tanganku, bukan? Ada pengorbanan untuk setiap hal


yang aku inginkan, Kilorn." Pangeran Alexander mendengkus kesal, mata
hijaunya terlihat kosong.
 

"Raja Alastair akan membalas pemberontakan Colthas." Jenderal Kilorn


melihat tangan kanan Pangeran Alexander yang ditutupi lengan kemeja
panjang. "Raria memilih bersekutu dengan Austmarr, Selencia akan
bersama Austmarr. Bagaimanapun juga, Clementine Selencia adalah anak-"
 

"Verity Dragør." Pangeran Alexander memotong perkataan Jenderal Kilorn


lagi.
 

"Wanita yang dinikahi Raja Alastair berasal dari Selencia dan Dragør. Apa
kau lupa apa alasan Clementine Selencia menikah dengan Raja Alastair?
Untuk menghindari perang." Jenderal Kilorn nyaris membentak Pangeran
Alexander.
 

Selain Colthas yang membelot dari Inkarnate dan Ratu Amaranta yang
menghilang semenjak pemberontakan Colthas, mereka semua berada di
Austmarr sekarang. Pangeran Alexander di Austmarr karena tangannya
yang buntung setelah dipotong Raja Zacharias, sementara Ratu Rania dan
Jenderal Kilor akan segera kembali ke Raria setelah mendiskusikan rencana
perang mereka dengan Raja Alastair.
 
"Aku tidak ingin membicarakan ini lagi, Kilorn." Pangeran Alexander
menegak mead-nya kembali. Cairan itu satu-satunya obat untuk
meringankan rasa sakit di tangannya.
 

"Aku hanya memperingatimu, Alexander!" Jenderal Kilorn menggebrak


meja, membuat botol mead di atasnya jatuh hingga pecah berkeping-
keping, membuang cairan kuning keemasan di luar sana yang tidak bisa kau
menangkan tanpa bantuan siapa yang menguarkan aroma manis madu dan
alkohol. "Ada perang Pun."
 

Pangeran Alexander meneguk mead yang tersisa di gelasnya, lalu


menjawab santai. "Aku tahu, Jenderal."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity memejamkan mata kuat-kuat ketika merasakan tangan Raja Alastair


yang mengusap pipi dan merapikan anak rambutnya. Ia berusaha
menenangkan degup jantung ketika pria itu mendekat, lalu memberikan
sebuah kecupan singkat di pipinya.
 

"I think I am falling in love with you, Verity." Raja Alastair menarik bahu
Verity agar menghadapnya. "Aku tahu kalau kau terbangun, Verity."
 

Verity membuka mata, mengerjap beberapa kali, lalu berusaha menerka


ekspresi di wajah Raja Alastair dengan bantuan cahaya bulan dan api
perapian. "Apa yang membuat Anda berpikir seperti itu, Yang Mulia?"
 

"Aku tidak tahu." Raja Alastair menarik tangan Verity dan mengecupnya.
"Apa kau ingat saat kau benar-benar ingin membunuhku?"
 

"Karena Anda berusaha membunuh anak-anak dari Dragør itu, Yang


Mulia," jawab Verity.
 

"Kau tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya, Verity." Raja
Alastair bergumam ketika menatap mata violet Verity. "Mereka akan balas
dendam atas apa yang mereka dapatkan."
 

"Mereka hanya anak-anak."


 

"Apa kau tidak tahu betapa berbahayanya seorang anak yang tumbuh
dewasa dengan dendam di dalam hatinya?" Raja Alastair tengah
membicarakan dirinya sendiri tentu saja. Hatinya mengeras seperti batu
karena kutukan Ratu Mariella. Penyihir itu mengisi hatinya dengan
dendam, mengubah hatinya hingga sehitam arang, tanpa menyisakan
sedikit pun ruang untuk rasa kasihan apalagi cinta. Tidak ada, sebelum
Verity datang dan membuat jantungnya berdetak kembali. "Apa yang telah
Amaranta lakukan kepadamu, Verity?"
 

Verity mengerjapkan mata beberapa kali, lalu berusaha membalik


punggungnya, menyelesaikan pembicaraan mereka tanpa jawaban.
 

"Verity." Raja Alastair berbicara dengan nada lebih pelan dan merapatkan
tubuhnya kepada Verity, memaksa wanita itu untuk berbicara.
 

"Aku tinggal di dalam penjara Selencia seumur hidupku, Yang Mulia. Atau
begitulah yang kuingat," Verity mengembuskan napas panjang, "hingga
beberapa saat lalu, aku bahkan tidak ingat pernah tinggal di Thaurin
sebagai Clementine Selencia."
 

"Dari mana kau mendapatkan luka ini?" Raja Alastair menggenggam


telapak tangan Verity.
 

"Matthias. Ia pernah menghukumku karena tidak bisa menulis dengan


lancar. Aku menggunakan darahku sendiri sebagai tinta untuk menulis."
Tidak ada lagi kebohongan, Verity mengatakan yang sebenarnya sekarang.
 

"Apa yang Amaranta inginkan ketika ia membawamu masuk ke Austmarr?"


 

"Membunuh Anda, Yang Mulia." Verity merasakan kecupan-kecupan ringan


yang diberikan Raja Alastair di pundaknya.
 

"Apa yang dia inginkan sekarang?"


 

Verity terdiam sesaat, berusaha mengingat-ingat apa yang Ratu Amaranta


katakan. "Kita tidak bisa meneruskan ini, Alastair.
 

"Apa yang dia inginkan, Verity?" Raja Alastair menghentikan ciumannya,


lalu menatap mata Verity. Wanita itu terlihat ragu, ketakutan, juga merasa
bersalah.
 

"Dia menginginkan anakku." Verity menjawab ragu.


 

"Anakmu?" Raja Alastair mengerutkan kening.


 

"Anak kita. Pewaris Kerajaan Dragør dan Austmarr." Verity


mengucapkannya cepat. "Dia ingin menguasai Inkarnate dengan
menjadikan pewaris Kerajaan Dragør dan Austmarr sebagai bonekanya."
 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

XXXVIII
DRAGON'S SCALE
 

T-TERIMA K-KASIH, YANG MULIA?" Bocah di hadapan Ratu Mariella


membelalakkan mata, ragu-ragu mengangkat kepala, dan melihat mata
violet sang ratu yang kini lurus menatapnya.
 

"Jangan bertanya. Lakukan saja!" Salah satu bandit berkepala plontos


segera mendorong dan membuat bocah itu jatuh tersungkur tak jauh dari
kepala Norbert.
 

Ratu Mariella mengangkat tangan, menghentikan si pria yang siap


menghajar bocah itu. "Kenapa kau bertanya?"
 

Bocah itu segera berlutut di hadapan Ratu Mariella, kali ini tatapannya
lurus ke bawah. "K-kenapa terima kasih, Yang Mulia?"
 

"Karena dia telah membuka jalan untuk perang kedua." Jawaban tidak
terduga Ratu Mariella membuat bocah itu menunduk semakin dalam
karena tidak tahu apa isi kepala seluruh anggota kerajaan. "Bawa kepala
Norbert ke hadapan Alexander dan Rania!"
 

"B-baik, Yang Mulia." Bocah itu menggenggam rambut Norbert, lalu


mengangkatnya ragu-ragu.
 
Norbert, pria yang gagah berani berusaha melawan Ratu Mariella beberapa
saat lalu, kini tidak ada bedanya dengan makanan gagak di perbatasan
Austmarr. Satu kesalahan saja dan ia akan bernasib sama.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Apa kau tidak menyadari kekuatan yang kau pendam di dalam dirimu?"
Raja Alastair menatap tajam, membuat Verity mengerutkan kening tidak
mengerti. "Kau lebih kuat daripada saat pertama kali datang ke Austmarr.
Kau bisa menghadapi Amaranta, bahkan seluruh Inkarnate sekali pun."
 

"Kenapa Anda mengira kalau Anda mencintai saya, Yang Mulia?" Verity
menarik napas panjang dan mengembuskannya. Perasaan lelah
menggelayuti hati. Ia ingin hidup tenang tanpa adanya perang yang
berkecamuk atau permainan penuh muslihat seperti sekarang.
 

"Karena kau bisa menjadi obat untuk kutukanku. Karena kau satu-satunya
orang yang bisa membuat jantungku berdetak kembali." Raja Alastair
meletakkan tangan Verity di dadanya.
 

Verity bisa merasakan detak jantung Raja Alastair. Ritmenya tenang, tidak
menggebu-gebu seperti dulu. Raja Alastair terlihat lebih manusiawi
sekarang, meski begtiu, ia masih ragu pria itu tahu arti cinta ketika
mengucapkannya.
 

Verity terdiam sesaat, lalu menarik tangannya menjauh. "Kurasa ini bukan
saat yang tepat untuk mencintai seseorang Yang Mulia."
 

Raja Alastair tersenyum tipis. "Kau benar. Ada luar sana yang harus kita
menangkan."
 

"Kita?"
 

"Kau bagian dariku sekarang. Menang atau kalah, kau akan tetap berada di
sisiku."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Semilir angin menerbangkan helaian rambut juga gaun biru tua Verity. Para
pengawal setia mengikuti, jarak mereka tidak lebih dari dua langkah di
belakangnya. Perang membuat semuanya lebih rumit, Austmarr dijaga
lebih ketat dengan pengawasan dan pengamanan berlapis, tidak hanya di
istana, tetapi di perbatasan juga. Ada kabar yang berembus kalau Tybalt
Wildemarr masih berada di Austmarr dan perintah bunuh di tempat telah
diberikan oleh Raja Alastair.
 

Verity membuka pintu dan melihat Pangeran Alexander yang duduk


termangu di depan jendela kaca. "Al!" panggilnya.
 

Pangeran Alexander menoleh dan melihat Verity yang berada di ambang


pintu, seperti tengah menunggunya untuk mempersilakan masuk. Ia
melihat ke seluruh pengawal yang mengikuti Verity, lalu kembali menatap
jendela di hadapannya.
 

"Kalian bisa menunggu di depan pintu." Verity ementara ia masuk ruangan


dan menutup pintunya. "Apa kau memerintahkan baik-baik saja?" seluruh
pengawalnya untuk menunggu,
 

"Aku baik-baik saja," jawab Pangeran Alexander singkat. Ia mengambil


mead di sebelahnya dan meneguk sebagian.
 

"Aku
 
"Bila kau ingin minta maaf, kau bisa menyimpannya di dalam hatimu. Aku
tidak menyalahkanmu atas semua yang terjadi, Verity. Kau juga korban dari
semua ini." Alih-alih merasa lega, perkataan Pangeran Alexander semakin
membuat Verity merasa bersalah.
 

"Lalu kenapa kau melakukannya?" Verity menelan ludah susah payah. Pria
di hadapannya ini telah melindunginya selama bertahun-tahun saat masih
berada di dalam cengkeraman Ratu Amaranta. Walau ia juga yang nyaris
menghancurkan Tybalt Wildemarr.
 

"Kau tahu kenapa," gumam Pangeran Alexander singkat. "Apa yang ayahku
lakukan kepadamu tidak termaafkan. Tybalt hanya datang di saat dan
waktu yang tidak tepat."
 

"Lalu bagaimana dengan Dragør?" Verity nyaris berbisik ketika


mengucapkannya.
 

"Aku tidak peduli kepada Dragør." Pangeran Alexander mengangkat kepala


dan menatap mata violet Verity. "Bagiku, kaulah yang terpenting. Bukan
Dragør, bukan Inkarnate."
 

"Kenapa?" Verity mengerutkan kening tidak mengerti.


 

"Karena aku berjanji kepadamu belasan tahun lalu. Janji itu tidak pernah
berubah." Pangeran Alexander bangkit berdiri, lalu berjalan hingga ke
depan jendela. "Apa kau tahu kenapa perang pertama terjadi, Verity? Apa
kau tahu apa yang suamimu berusaha sembunyikan dari seluruh
Inkarnate?"
 

Verity menggelengkan kepala. Richard Blaxton selalu menghentikan


ceritanya tepat saat permulaan perang pertama. Ada yang hilang dari
serpihan-serpihan cerita pria tua itu: kenapa di antara seluruh musuh Ratu
Mariella, wanita itu memilih untuk memberi kutukan kepada Raja
Austmarr? Dan kenapa ia tidak mengutuk semua orang yang telah
berusaha menghancurkannya?
 

"Ini adalah Inkarnate." Dengan tangan kirinya, Pangeran Alexander


menggambar peta Inkarnate di permukaan jendela. "Austmarr, Dragør,
Raria, Colthas, Selencia, dan Thaurin. Apa kau tahu kelebihan mereka?"
 

"Austmarr memiliki pasukan dan armada terhebat, Raria memiliki angkatan


laut yang kuat, Thaurin ahli obat-obatan." Verity terdiam ketika menyadari
ada bagian yang dulu tidak Matthias jelaskan kepadanya. "Colthas memiliki
naga?"
 

"Qyrsi, naga itu berada di Dragør sekarang. Sedangkan Selencia adalah ahli
sihir. Dan Dragør adalah kerajaan terkaya di Inkarnate, seluruh tambang
emas dan permata berada di tanah Dragør." Pangeran Alexander
menjelaskan.
 

Verity mengangguk, masih tidak mengerti kenapa Raja Austmarr


memutuskan untuk menghapus sebagian sejarah lima kerajaan. "Bukankah
Amaranta yang memulai perang?"
 

"Amaranta yang memulai perang itu, tetapi ketakutan Klaus Austmarr yang
menjadi alasan wanita itu untuk memulai perang."
 

"Ketakutan? Bukankah Austmarr adalah kerajaan terkuat di Inkarnate?"


Verity mengerutkan kening tak mengerti.
 

"Austmarr mungkin memiliki pasukan terhebat dan terletak di jantung


Inkarnate, tapi luas daratan selalu lebih kecil daripada lautan, mereka bisa
dikalahkan dengan mudah oleh Raria seandainya seluruh bagian Inkarnate
terendam banjir." Pangeran Alexander tertawa kecil dengan nada suram.
"Dulu naga-naga Colthas ada puluhan jumlahnya, pekikan juga kepakan
sayap mereka bisa terdengar hingga Thaurin."
 

"Lalu?"
 

"Austmarr tidak bisa membiarkan kerajaan lain lebih kuat daripada


mereka. Dia tidak bisa menjadi pemimpin kerajaan seandainya lima
kerajaan lain memutuskan untuk menyerang." Pangeran Alexander
menarik napas panjang, pertanda ia akan menerangkan lebih banyak. "Lalu
di sinilah peran Dragor muncul. Raja Ferdinand Dragør memutuskan untuk
menjadi sekutu Austmarr seandainya perang pecah di Inkarnate. Namun,
sebelum perang benar-benar terjadi, mereka tentu harus melemahkan
kerajaan-kerajaan yang lain terlebih dahulu."
 

"Austmarr membunuh naga-naga itu?"


 

Pangeran Alexander mengangguk. "Salah satu naga yang dimiliki Colthas,


Rhionen, menghancurkan sebuah desa dan memakan penduduknya."
 

"Austmarr dan Dragør jadi memiliki alasan untuk menyingkirkan naga-naga


itu."
 

"Benar," Pangeran Alexander tersenyum tipis, "lalu para bajak laut Raria
disingkirkan ke Pulau Mera setelah mereka memperkosa para wanita di
desa yang mereka jarah."
 

"Bagaimana dengan Selencia dan Thaurin?"


 

"Ayahku dan Amaranta memutuskan untuk bekerja sama tentu saja.


Austmarr dan Dragør tidak bisa terus dibiarkan. Kebencian Amaranta
kepada saudarinya menjadi alasan bagi wanita itu untuk menyerang Dragør
secara diam-diam dan menghabisi setiap anggota kerajaan Dragør.
Zacharias II Colthas yang melihat pintu untuk membalaskan dendamnya
terbuka lebar, mengirimkan satu-satunya naga milik Colthas yang tersisa,
Qyrsi, untuk menghancurkan Dragør dalam sekejap." Pangeran Alexander
berbalik dan melihat Verity yang masih berusaha mengerti situasi perang
pertama dulu. "Apa yang dia katakan kepadamu tentang Klaus Austmarr?"
 

"Klaus Austmarr mati karena mereka berusaha menyelamatkan Dragør."


 

"Salah. Klaus Austmarr mati karena pria itu tahu tidak ada persekutuan
yang dapat bertahan selamanya, apalagi bila satu pihak telah mendapatkan
apa yang dia inginkan. Ferdinand Dragør membunuhnya tanpa ampun,
ketamakan pria itulah yang telah menghancurkannya. Pada malam itu,
tidak hanya raja-raja di Dragør saja yang mati. Soraya Colthas dan Eleanor
Austmarr juga mati di tangan tentara Thaurin yang berpakaian seperti
tentara Dragør." Pangeran Alexander tertawa miris.
 

"Apa itu berarti semua kerajaan memiliki kesalahan?" Verity berusaha


menyimpulkan.
 

"Tidak ada yang sempurna di dunia ini, Verity. Bahkan Dragør pun memiliki
kesalahan."
 

Verity menggelengkan kepala tidak mengerti. "Lalu kenapa Alastair


memutuskan untuk mengubur ini semua?"
 

"Untuk menghindari perpecahan. Lima kerajaan yang tersisa telah cukup


hancur setelah perang. Bila Inkarnate tahu kalau ketakutan Raja Austmarr
yang menjadi akar masalahnya, tentu akan membuat Austmarr jatuh dan
tidak dapat memimpin lagi." Pangeran Alexander memperlihatkan tangan
kanannya kepada Verity. "Orang-orang tidak akan peduli kepada kerajaan
yang telah hancur. Dragør dijadikan sebagai kambing hitam untuk semua
permasalahan yang ada."
 
"Apa karena itu kalian memperlakukan seluruh warga Dragør dengan
semena-mena?"
 

"Tidak ada yang tahu apa yang terjadi sebenarnya selain anggota keluarga
kerajaan, Verity. Yang mereka tahu adalah, akan selalu ada seseorang atau
sesuatu yang dikorbankan, dan kebetulan saja Dragør menjadi korbannya."
Pangeran Alexander menarik tangan Verity untuk menyentuh tangan
kanannya. "Aku mengorbankan tanganku."
 

"Apa kau berbohong kepadaku?" Mata Verity berkaca-kaca. Pikirannya


sesak oleh tanya yang berkecamuk.
 

"Aku melakukan ini demi kau, Verity. Bukan demi Dragor atau Inkarnate."
Pangeran Alexander merapikan helaian rambut Verity dan tersenyum tipis.
Matanya menatap ke luar jendela sekilas sebelum menarik wanita itu agar
menjauh, hingga keduanya jatuh di antara serpihan-serpihan pecahan kaca
jendela.
 

"Apa kau baik-baik saja?" Pangeran Alexander memeriksa setiap inci tubuh
Verity dan melihat wanita itu tidak terluka sama sekali, selain sedikit luka
memar karena terjatuh tadi.
 

"Apa yang terjadi?" Verity membelalakkan mata melihat seorang bocah


berusia tidak lebih dari lima belas tahun merangsek masuk lewat jendela,
membuat kacanya hancur berkeping-keping beberapa saat lalu.
"Bagaimana dia bisa masuk?"
 

Para pengawal masuk ruangan dan mengelilingi bocah yang terlihat sangat
pucat. Ia membawa sesuatu seperti bundelan berukuran cukup besar di
pelukannya.
 
"Alexander Thaurin." Suara dingin si bocah membuat Verity refleks
menggenggam tangan Pangeran Alexander dan menarik pria itu menjauh.
 

"Alexander Thaurin." Bocah itu mengulangi. Kali ini wajahnya tidak lagi
menunduk dan lurus ke arah Pangeran Alexander.
 

"A-apa dia...." Verity terkesiap ketika melihat mata bocah itu yang putih
seperti susu.
 

Bocah itu mengeluarkan bundelan dari pelukannya. Sebuah kepala lelaki,


pucat dan berlumur darah. "Alexander Thaurin,"
 

"Al." Verity memperhatikan ekspresi Pangeran Alexander dan mendapati


pria itu tenang-tenang saja.
 

"Perang telah dimulai," ucap bocah itu lagi, "Dragør akan berada di garis
terdepan untuk menghancurkan kalian!"
 

Para pengawal menodongkan senjata ke kepala si bocah, tetapi ia tidak


terlihat ketakutan sedikit pun. "Terima kasih, Alexander Thaurin, karena
kau telah memberikanku alasan untuk menghancurkanmu." Usai berucap,
ia jatuh meluruh seperti ada dorongan tak kasat mata.
 

"Apa ini? Bagaimana dia bisa berada di sini?"


 

"Sihir hitam." Pangeran Alexander menjawab singkat. Para pengawal


segera mengikat dan membawa bocah itu. "Tidak perlu repot-repot, bocah
itu sudah mati."
 

"Sihir hitam?"
 
"Mariella Dragør kembali." Pangeran Alexander menatap wajah pucat
Verity. "Dan dia jauh lebih kuat daripada sebelumnya."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Tybalt!"
 

Tybalt membuka mata. Ia masih berada di dalam kereta tanpa jendela milik
Colthas saat seperti ada seseorang yang memanggilnya.
 

"Tybalt!" Tybalt mendengarnya lagi, tetapi tidak ada seorang pun yang
membuka pintu kereta. Ia mendorong bola besi dan bergerak menuju
pintu.
 

"Tybalt, mereka datang. Mereka akan kembali!" Suara itu kini berubah
seperti bisikan.
 

tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kali ini ia mendengar seperti


 

"TYBALT!"
 

Tybalt membelalakkan mata, berusaha mencari suara sang ayah yang


meneriakkan namanya.
 

"Dragør, Dragør... Verity Dragør."


 

Tybalt menggedor pintu kereta. Ia harus segera keluar dari tempat terkutuk
ini.
 

Seseorang tiba-tiba membuka pintu kereta. Mata hitamnya menatap Tybalt


datar. "Kau mendengarnya bukan?"
 

"Hadrian?" Tybalt menyipitkan mata melihat Hadrian Colthas berada di


hadapannya. Tangan pria itu tidak hanya menggenggam tongkat, tetapi
kunci untuk ikatan besi yang membelegu tangan dan kakinya.
 

"Mariella Dragør, dia memanggilmu bukan?"


 

"Dari mana kau tahu?" Tybalt membiarkan Hadrian Colthas membuka


ikatan di tangan dan kakinya, lalu beranjak keluar dari kereta. Langkahnya
terhenti ketika melihat tentara-tentara Colthas yang harusnya mengiringi
mereka, telah mati bersimbah darah. "Apa kau melakukan ini?"
 

"Apa kau kira aku sanggup melakukan hal seperti ini?" Hadrian tertawa
mengejek. Ia lalu menunjuk satu-satunya jasad pria yang tidak bersimbah
darah.
 

"Apa dia...." Tybalt melihat mata putih tentara Colthas itu.


 

"Dia sudah mati." Hadrian menjawab singkat.


 

"Apa yang terjadi?" Tybalt menatap Hadrian Colthas.


 

"Mariella Dragør." Hadrian berjalan pelan di antara mayat mayat prajurit


Colthas. "Aku yakin ia juga melakukan hal sama kepada seluruh Dragørian
yang lain."
 

"Di mana Zacharias?"


 

"Kembali ke Colthas tentu saja, Dragør yang kau bawa bersamamu masih
berada di sana." Ada sekumpulan prajurit berjumlah tidak lebih dari lima
orang di ujung perkemahan, membawa kuda dan sebagian perlengkapan.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
 

"Bagaimana dengan Verity Dragør?"


 

"Mungkin dia juga mendengar hal yang sepertimu. Mariella Dragør tengah
berusaha mengumpulkan semua Dragørian yang tersisa, termasuk anaknya
sendiri," jawab Hadrian Colthas.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Verity, Verity, Verity...." Verity memejamkan mata, berusaha mengabaikan


suara yang terus-menerus memanggilnya. "Belati, belati, belati...."
 

"Apa kau baik-baik saja, Verity?" Pangeran Alexander menatapnya


khawatir.
 

"Belati yang Ratu Amaranta berikan dulu kepadaku, apa itu berasal dari
Dragør?" Verity menelan ludah susah payah. Ia berusaha memahami apa
yang suara itu inginkan. "Kenapa kau bertanya?"
 

"Ayahmu, Raja Arthur memberikanku sisik naga. Apa maksudnya itu?"


Belati itu masih berada di tangan Raja Alastair dan disembunyikan entah di
mana.
 

"Belati itu terbuat dari sisik naga. Sisik naga adalah senjata yang hebat bila
digunakan dengan tepat. Sisik naga yang ayahku berikan kepadamu adalah
pecahan sisik Qyrsi, sedangkan bagian yang lebih besar dibentuk menjadi
sebuah senjata." Pangeran Alexander menjawab pertanyaan Verity.
"Apakah itu bisa membunuh?"
 

"Membunuh penyihir atau memecahkan ikatan sihir." Pangeran Alexander


menatap Verity.
 
Verity diam terpaku. Berarti kutukan Ratu Mariella memudar setelah ia
menusuk jantung Raja Alastair. Kesimpulannya, ia bukan penawar untuk
kutukan pria itu,melainkan penghancur.
 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

XXXIX
THE TWINS TALE
 

"YANG MULIA, APA yang harus kita lakukan?" Salah satu penasihat Selencia
menatap Ratu Amaranta khawatir. Ia sangat menyadari apa dan betapa
berbahayanya sosok di hadapan mereka bila terus dibiarkan.
 

"Bakar dia!" Ratu Amaranta turun dari singgasana dan berjalan hingga
undakan tangga terakhir, melihat sosok seperti mayat yang beberapa saat
lalu masih berbicara di hadapannya.
 

"Dia membawa pesan dari Ratu Mariella Dragør, Yang Mulia." Sosok serupa
Mayat itu salah satu petinggi Kerajaan Selencia, wajahnya pucat dengan
mata seputih susu. Ratu Mariella berhasil merasuki orang-orangnya adalah
bencana terbesar.
 

"Aku tahu." Ratu Amaranta menjawab singkat. Ia mengerti rasa takut


orang-orangnya setelah melihat apa yang Ratu Mariella lakukan. Merasuki
seseorang menjadi pertanda kalau sihir Ratu Mariella telah bertambah
kuat. Dulu, saudarinya itu penyihir hebat. Sekarang bisa saja ia telah berkali
lipat hebat, bahkan menguasai semua ilmu sihir yang terlarang.
 

"Ini sihir hitam, Yang Mulia!" Para petinggi Kerajaan Selencia tidak
mengerti dengan sikap terlalu tenang yang diperlihatkan oleh Ratu
Amaranta setelah melihat efek sihir hitam. "Mariella Dragør telah berhasil
merasuki salah satu petinggi Selencia! Kita harus membentuk sekutu, Yang
Mulia. Raja Arthur telah tiada, tetapi saya yakin Raja Alexander akan
bersedia menjadi sekutu kita."
 

"Untuk apa?" Ratu Amaranta mengangkat kepala dan menatap mata


penasihatnya.
 

"Dragør bisa saja menyerang kita sekarang, Yang Mulia." Pria itu menunduk
dalam. Rasa takut mengalahkan segalanya, hingga ia berani
mempertanyakan kesiapan Selencia untuk menghadapi perang yang bisa
tiba kapan saja. "Selencia tidak siap, Yang Mulia."
 

"Karena kita tidak lagi memiliki darah penyihir seperti Mariella?" Ratu
Amaranta berdiri di hadapan sosok serupa mayat yang masih bergelung di
lantai marmer.
 

Seluruh penasihat juga para petinggi Kerajaan Selencia terdiam. Sudah


bukan rahasia lagi kalau Ratu Amaranta tidak memiliki kekuatan sihir. Dari
seluruh anggota keluarga Kerajaan Selencia, dia jauh berbeda, tidak
memiliki kemampuan sihir seperti saudara-saudaranya, Mirella dan Jordan.
Saat Jordan mati, seluruh Selencia yakin Ratu Mariella yang akan
menggantikan kakak lelakinya itu. Namun, ia malah memilih menikah
dengan Ferdinand Dragør, kemudian Ratu Amaranta maju menjadi Ratu
Selencia.
 

Keraguan yang sedari dulu membayangi seluruh Selencia, lerhapuskan


sejenak ketika kabar kematian Ratu Mariella tersebar bertepatan dengan
kehancuran Dragør. Kini, saat bukti Ratu Mariella masih hidup, keraguan itu
kembali muncul secara perlahan, memaksa mereka untuk segera
mengambil tindakan.
 

"Atau karena kalian menyadari kalau akulah yang memulai perang dua
dekade lalu?" Ratu Amaranta berdiri dengan tenang di hadapan para
petinggi Selencia. "Apakah kalian akan tetap di sini, mendukungku, atau
kalian telah bersiap untuk menusukku dari belakang?"
 

"Yang Mulia!" Para petinggi Selencia itu berlutut, menyerahkan diri mereka
di tangan sang ratu.
 

"Bakar dia!" Ratu Amaranta melihat sosok malang yang menjadi pengantar
pesan Ratu Mariella.
 

Salah satu pengawal mengambil obor, lalu menjalankan perintah. Ratu


Amaranta bisa mendengar desisan juga rintihan pelan dari sosok itu
sebelum benar-benar hangus terbakar.
 

"Apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia? Kita bisa bersekutu dengan
Thaurin atau Austmarr. Putri Clementine Selencia menikah dengan Raja
Alastair, mereka tentu-"
 

"Cukup dengan omong kosong ini!" Gelegar suara Ratu Amaranta


membuat pria itu terdiam.
 
"Siapa yang dapat kita percayai, Yang Mulia?" Pria itu memberanikan diri
untuk bertanya sekali lagi saat Ratu Amaranta kembali duduk di
singgasananya.
 

"Tidak ada. Kita tidak bisa mempercayai siapa pun." Ratu Amaranta melihat
sosok di tengah ruangan yang telah hangus terbakar. "Siapkan tentara
Selencia! Kita akan berangkat menuju Dragør."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Setiap kali kau membunuh satu musuhmu, akan ada dua musuh lain yang
muncul." Perkataan Jenderal Kilorn terdengar lantang di ruangan itu.
 

Mereka semua tengah berkumpul di ruang takhta. Verity hanya bisa


terpaku melihat mayat bocah yang tubuhnya masih dipasung dan ditahan.
 

"Ada yang ingin kau jelaskan kepada kita semua, Rania?" Raja Alastair tidak
perlu melihat Ratu Rania untuk menyadari wanita itu tengah ketakutan.
 

"Kau tidak membunuhnya?" Pangeran Alexander bertanya tenang. "Kau


pasti tahu siapa dia."
 

"Dia ... Norbert." Ratu Rania bergumam melihat kepala di sebelah bocah
itu. Norbert, pria yang begitu gagah berani mengatakan akan membawa
Ratu Mariella ke hadapannya.
 

"Apa maksud Mariella mengirimkan ini kepadamu?" Raja Alastair kini


melihat Ratu Rania.
 

"Tidakkah ini begitu jelas, Yang Mulia?" Ratu Rania balas menoleh, mata
coklatnya terlihat marah dan berkaca-kaca, sementara buku-buku jarinya
memutih karena mencengkeram lengan kursi begitu erat.
 

"Kau tidak membunuhnya?" Pangeran Alexander terkekeh pelan. "Apa kau


kira kau bisa mengontrol Mariella Dragør?"
 

Mata Ratu Rania membelalak marah ketika menatap Pangeran Alexander


yang terang-terangan menertawakan kebodohannya. "Aku
mendapatkannya, itulah yang terpenting."
 

"Oh, ya? Tidakkah kau lihat apa yang ada di hadapanmu itu?" Pangeran
Alexander berdiri dari singgasananya dan berjalan menuruni undakan
tangga hingga ke hadapan mayat si bocah.
 

"Mariella tidak mungkin melakukannya." Ratu Rania kembali


mencengkeram erat lengan kursinya.
 

"Bawa obor api itu ke sini!" Pangeran Alexander memerintahkan salah satu
pengawal untuk membawa obor yang menerangi ruangan. "Bersyukurlah
kalian karena Mariella tidak menggunakan bocah ini lagi dalam waktu
dekat. Ia hanya sedang memperingati kita semua."
 

Mereka terdiam ketika Pangeran Alexander mengambil obor dari tangan


pengawal, lalu melemparkannya ke bocah itu. Suara desisan juga jeritan
kecil terdengar.
 

"Apa itu?" Verity tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya. Sosok
menyerupai mayat, pucat, dengan mata seputih susu ini baru pertama kali
ia temui. Hal menakjubkan sekaligus mengerikan.
 

"Dzel. Sebelumnya dia juga hidup seperti kita. Manusia biasa." Pangeran
Alexander menjelaskan sembari memperhatikan bocah itu benar-benar
hangus terbakar. "Hanya sihir hitam paling tinggilah yang bisa
membangkitkan sosok ini. Dia tidak bisa disembuhkan."
 
"Dia pernah menjadi manusia biasa seperti kita?" Verity memperhatikan
raut wajah Raja Alastair, pria di sisinya itu masih terlihat tenang. Ratu
Mariella adalah ibunya. Ia tidak tahu siapa yang harus dipercayai dalam
situasi seperti ini, ibunya yang tidak pernah ia temui atau Raja Alastair.
 

"Tidak seperti ungrad yang sudah mati sebelum dirasuki, dzel adalah
manusia biasa yang dirasuki oleh siapa pun pengirimnya. Bila ia tidak cukup
kuat menjadi wadah untuk orang yang merasukinya, dia akan mati seperti
bocah ini. Hingga saat ini, belum ditemukan orang yang cukup kuat
menjadi dzel dan tetap hidup setelah dirasuki." Pangeran Alexander
menjelaskan dengan tenang. Dzel ataupun ungrad, sosok itu amat
berbahaya, apalagi bila Ratu Mariella berhasil merasuki salah satu dari
mereka. "Membakarnya merupakan salah satu cara untuk menyingkirkan
dzel atau ungrad. Dia bisa bangkit lagi bila pengirimnya menginginkannya."
 

"Apa yang bisa ia lakukan?" Verity menelan ludah susah payah. Ratu
Mariella akan membalaskan dendamnya dan semua anggota kerajaan di
Inkarnate akan hancur satu per satu. "Kenapa Mariella menunggu waktu
selama ini untuk balas dendam?"
 

"Karena dia lemah!" ketus Rania Raria, "Pulau Mera adalah pulau terasing.
Penyihir sekuat apa pun seharusnya tidak bisa mencapai Inkarnate."
 

"Penyihir yang tidak memiliki ilmu hitam." Pangeran Alexander


menambahkan. "Tidakkah kau lihat apa yang ada di hadapanmu, Rania?
Dzel, ungrad, semua ini berasal dari sihir hitam. Mariella tidak akan
menggunakan cara bersih untuk membalaskan dendamnya."
 

"Mariella semakin kuat setiap tahunnya." Jenderal Kilorn bergumam, lalu


melihat ke arah Verity, memperhatikan wanita itu lekat-lekat. "Tidakkah
seharusnya kita mencurigai Ratu Clementine dibandingkan satu sama
lain?"
 
"Apa maksudmu?" Verity tidak bisa menghapus nada sinis nan dingin
ketika mendengar penuturan Jenderal Kilorn.
 

"Kau datang secara tiba-tiba, Yang Mulia. Clementine Selencia, yang tidak
pernah terlihat sebelumnya, tersembunyi dari seluruh Inkarnate." Jenderal
Kilorn mencengkeram erat pedangnya, bersiap mengeluarkan menyerang
bila Verity bergerak seinci saja. "Namun, kau bukan Clementine, kan?
Tybalt mengumumkan kalau kau adalah Verity. Verity Dragor!"
 

"Wanita ini adalah istriku!" Raja Alastair memecah ketegangan dengan


sebuah kalimat sederhana dan nada yang tenang. "Clementine Selencia
atau Verity Dragør, siapa pun wanita ini, dia adalah istriku. Kuharap kau
menyadari kalau kau masih berada di tanah Austmarr. Melukai anggota
kerajaan adalah pengkhianatan terbesar di Inkarnate. Yang kau butuhkan
sekarang adalah sekutu, bukan tambahan musuh lagi, Jenderal."
 

Verity mengembuskan napas yang sedari tadi tertahan. Jenderal Kilorn


nyaris melukai hanya karena ia anak Ratu Mariella.
 

"Anda benar, Yang Mulia. Maafkan saya." Jenderal Kilorn melepas


cengkeraman dari pedangnya. Ia menarik napas dalam dalam, lalu
menunduk.
 

"Kilorn tidak melakukan kesalahan apa pun. Kita harus tahu apa yang kita
hadapi saat ini." Ratu Rania memperhatikan Verity lekat. "Bila dia anak
Mariella Dragør, bukankah itu berarti dia juga memiliki sihir seperti wanita
itu?"
 

Verity refleks menunduk, meremas-remas gaun, tidak tahu apa yang harus
ia lakukan atau katakan untuk membalas. Mereka benar, bila ia memang
anak Ratu Mariella atau setidaknya keturunan Selencia, seharunya ia
memiliki sedikit sihir.
 
"Atau bisa saja ia seperti Amaranta yang tidak memiliki sihir." Pangeran
Alexander menambahkan.
 

Mereka semua memperhatikan Verity yang masih terdiam dan tidak


membalas tuduhan Ratu Rania.
 

"Hanya ada satu cara untuk tahu." Jenderal Kilorn mengulurkan sebilah
belati ke tangan Ratu Rania. "Darah."
 

"Darah?" Verity mengangkat kepala dan menatap memohon kepada Raja


Alastair. Namun, pria itu tidak mengatakan apa pun atau mencegah mereka
melukainya seperti tadi.
 

"Berikan belatinya kepadaku." Pangeran Alexander mengambil belati dari


tangan Ratu Rania, lalu berjalan ke hadapan Verity.
 

"Al.... " Verity memohon kepada Pangeran Alexander. Tidak ada satu pun
pengawal yang mendekat atau berusaha menahan ketika pria itu berada di
hadapannya. Bahkan Raja Alastair tidak mengatakan apa pun untuk
menghentikan semua omong kosong ini.
 

"Percaya kepadaku." Pangeran Alexander tersenyum tipis.


 

Verity berusaha memercayai kata-kata Pangeran Alexander. la berdiri dari


singgasana dan mengikuti pria itu berjalan ke tengah aula, tempat dzel tadi
dibakar. Bara apinya masih menyala terang.
 

"Apa yang akan kau lakukan?" Verity berdiri di hadapan dzel itu.
 

"Berikan tanganmu!" Verity mengulurkan tangannya dengan ragu.


 
"Kita membutuhkan darahmu untuk membuktikan apakah kau seorang
penyihir seperti Mariella Dragør atau bukan." Tangan kiri Pangeran
Alexander menggenggam belati, bersiap melukainya.
 

Pangeran Alexander mengiris telapak tangan Verity, lalu melempar belati.


Dia meremasnya hingga darah yang keluar terkumpul semakin banyak.
Verity meringis pelan, nyaris tangannya tadi. Mata violetnya melihat Raja
Alastair yang menangis ketika duduk di singgasanannya dengan 1 Pangeran
Alexander mengiris telapak raut wajah datar.
 

Pangeran Alexander membawa tangan mereka ke bara api yang masih


menyala. Darah yang menetes membuat bara api membesar, lalu kembali
seperti biasa. Tetes berikutnya tidak memberi efek apa pun.
 

"Dia bukan penyihir." Pangeran Alexander berkata lantang sembari


melepaskan tangan Verity.
 

Verity berusaha menahan getaran tangannya sembari berjalan menjauhi


bara api dan dzel yang terbakar. Ia mendongak ketika menyadari Raja
Alastair telah berada di hadapannya, meraih tangannya, lalu mengikatkan
sebuah kain untuk menutupi luka.
 

"Kenapa?" Verity bertanya karena merasa heran.


 

"Mereka tidak akan berhenti sebelum mengetahui yang sebenarnya." Raja


Alastair tidak melepas genggaman terhadap telapak tangan Verity yang
terluka.
 

"Siapa yang bisa kupercayai di sini?" Verity memperhatikan Ratu Rania


yang melihatnya penuh kebencian, tidak seperti saat pertama kali mereka
bertemu. Jenderal Kilorn juga menatapnya curiga.
 
"Tidak ada. Tidak ada yang bisa kau percayai." Raja Alastair mengusap
punggung tangan Verity. "Bahkan aku, Alexander, atau Tybalt, tidak ada
yang bisa kau percayai."
 

Verity memperhatikan tangan kiri Pangeran Alexander yang masih basah


karena darah. Bukan darahnya, tetapi darah pria itu sendiri. Pangeran
Alexander melukai dirinya, lalu mencampur darah mereka saat
mengarahkannya ke bara api. Apa artinya ini semua?
 

XL
END OF THE BARGAIN
 

TIDAK ADA YANG bisa dipercayai, Raja Alastair ataupun Pangeran


Alexander. Tidak ada satu pun. Ia sendirian di sini, ia selalu sendirian.
 

Verity menunggu di depan pintu. Entah sudah berapa lama ia berdiri di


sana, menunggu pintu terbuka, atau seseorang datang menghampiri. Ia
tidak bisa memercayai Pangeran Alexander, tetapi pria itu satu-satunya
orang yang berani mengungkapkan sedikit kebenaran, mungkin sedikit
kebohongan. Ia benar-benar tak tahu.
 

Verity memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Sekali, dua kali, ia nyaris
berbalik ketika mendengar suara pelan dari dalam.
 

"Masuk!"
 

Verity mendorong pintu dan melihat Pangeran Alexander yang tengah


membebat tangan kanannya. Mata pria itu hanya menatapnya sekilas.
 
"Kalian bisa menunggu di luar." Verity berbalik, menunggu para pengawal
mengikuti perintahnya.
 

"Kalian bisa menunggu di luar!" Verity mengulangi ketika tidak ada seorang
pun yang bergerak.
 

"Yang Mulia, Raja Alastair meminta-"


 

"Kalian bisa menunggu di luar!" Salah satu pengawal berani bicara, meski
pada akhir dipotong oleh Verity.
 
 

Pengawal tadi kembali bicara. "Setelah apa yang terjadi kepada Anda
karena dzel tadi dan-"
 

"Ibuku tidak akan membunuhku!" Verity menghadap para pengawalnya,


menatap mereka satu per satu. "Istana ini jauh lebih berbahaya daripada
dzel yang menyampaikan pesan."
 

"Yang Mulia ...." Para pengawal terlihat tidak setuju.


 

"Istana ini tidak bisa melindungiku dari tiga percobaan pembunuhan. Aku
selamat karena bisa menjaga diriku sendiri, bukan karena pengawalan
kalian." Verity menarik napas dalam dalam, lalu kembali menatap mereka
satu per satu. "Kalian bisa menunggu di luar."
 

Para pengawal menunduk, tidak sanggup lagi berkata-kata atau membalas.


Mereka memberikan hormat sekilas kepada Verity dan Pangeran Alexander
sebelum pergi.
 
"Kau semakin terlihat seperti Ratu setiap harinya," komentar singkat
Pangeran Alexander membuat Verity menaikkan alisnya.
 

"Bagaimana rasanya?"
 

"Tangan kananku?" Pangeran Alexander bertanya sambil lalu ketika


berusaha membebat tangan kiri sebisa mungkin dengan mulut dan
jemarinya. "Menyakitkan. Aku tidak tahu kenapa aku tidak berteriak saat
bajingan itu memotong tangan kananku. Kurasa karena sebagian tangan
kananku telah membusuk, separuh sarafnya telah mati. Cepat atau lambat,
aku harus memotong tangan sialan itu." la mengembuskan napas gusar
ketika tidak berhasil melakukannya dengan satu tangan.
 

"Kenapa kau melukai tangan kirimu?" Verity mengambil perban dari tangan
Pangeran Alexander. "Apa kau tidak perlu memberinya obat lebih dahulu?"
 

"Tidak perlu." Pangeran Alexander menjawab singkat, membiarkan Verity


membebat tangan kirinya dengan rapi. "Bagaimana tanganmu?"
 

"Kau tidak menjawab pertanyaanku, memperlihatkan tangannya yang


terluka.
 

"Lukanya lebih dalam dari yang kuduga." Pangeran Alexander mengambil


sebuah botol kaca cokelat, lalu menyerahkan kepada Verity. "Minum ini!"
 

"Apa ini racun?" Verity memperhatikan isi botol kaca itu.


 

"Aku tidak perlu susah payah memotong tanganku sendiri bila aku
memang berniat membunuhmu, Verity," jawab Pangeran Alexander.
 

"Fair enough." Verity menenggak cairan pahit di dalam botol kaca, lalu
mendesis ketika Pangeran Alexander tiba-tiba menyiram lukanya dengan isi
botol kaca yang baru saja ia minum. "Apa ini?"
 

"Mead. Kau tidak pernah minum alkohol?" Pangeran Alexander


membersihkan luka dan mengambil secarik kain untuk menutupinya.
 

"Kenapa kau melakukannya, Al?" Verity menarik langannya.


 

"Tidakkah kau lihat apa yang akan mereka lakukan?" Pangeran Alexander
menghela napas panjang. "Seperti yang kau katakan tadi, istana ini lebih
berbahaya daripada dzel yang dikirim Mariella."
 

"Kenapa kau peduli?" Verity menatap mata hijau Pangeran Alexander.


 

"Karena aku berjanji kepadamu, Verity."


 

"Siapa yang dapat kupercayai di sini?" Verity memberikan pertanyaan sama


seperti yang ia berikan kepada Raja Alastair.
 

"Percaya kepada dirimu sendiri." Pangeran Alexander tersenyum tipis. "Aku


tidak akan berada di sini selamanya untuk membimbing atau
melindungimu."
 

"Kau akan kembali ke Thaurin." Verity bergumam. Ia tidak bisa mencerna


perasaannya saat ini.
 

Cepat atau lambat, Pangeran Alexander harus kembali ke rumahnya dan ia


akan kembali sendirian. Tidak ada Richard Blaxton yang menemani atau
Pangeran Alexander yang dengan suka rela melindungi. Hanya Raja Alastair
yang ia sendiri tidak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan pria itu.
Cinta, pria itu berucap demikian, tetapi tidak melakukan apa pun ketika
Pangeran Alexander mengiris tangannya.
 
"Maukah kau ikut denganku?"
 

"Ikut denganmu?" Verity mengangkat kepala dan menambahkan, "Ke


Thaurin?"
 

"Kembali ke rumah."
 

"Rumah?" Verity kali ini menggelengkan kepala. "Thaurin bukan rumahku


walaupun aku pernah menghabiskan masa kecil di sana. Aku bahkan lupa
seperti apa masa kecilku di Thaurin, Al. Aku tidak mungkin ke Thaurin, tidak
dengan perang yang semakin dekat."
 

"Aku tidak membicarakan Thaurin." Pangeran Alexander meraih tangan


Verity dan meremasnya pelan. "Aku membicarakan Dragor, rumahmu."
 

Aku bahkan tidak "Dragør, rumahku? pernah menginjakkan kakiku ke sana.


Alastair juga tidak akan membiarkanku."
 

"Apa kau akan tetap di sini? Bahkan ketika pintu keluar terbuka begitu
lebar?" Pangeran Alexander melepaskan genggamannya. "Sejauh apa pun
kau pergi, Dragør tetap rumahmu."
 

Pangeran Alexander melihat keraguan di mata Verity. Ia mengerti kalau


wanita itu takut menginjakkan kakinya keluar dari penjara yang diciptakan
orang-orang di sekelilingnya. "Aku tidak memaksamu untuk pergi
denganku, Verity. Sebelum matahari terbit, aku sudah pergi meninggalkan
Austmarr."
 

"Alexander, kau adalah raja sekarang. Kau garis terakhir keturunan Thaurin,
aku tidak mungkin membiarkanmu .... "
 
"Begitu juga kau dan Alastair. Kau garis terakhir keturunan Dragør. Apa kau
tidak ingin melihat tempat di mana semuanya bermula?" Ucapan Pangeran
Alexander membuat Verity semakin bingung.
 

"Alexander." Verity nyaris memohon kepada Pangeran Alexander. Sudah


terlalu jauh bila mereka ingin mencegah perang. Perang akan tetap terjadi,
sekalipun ia pergi dari Austinarr atau tidak.
 

Pangeran Alexander seperti bertanya kepadanya untuk memilih Austmarr


atau Dragør, Raja Alastair atau Pangeran Alexander. Verity kini berada di
titik dilema untuk memutuskan masa depannya.
 

"Aku tidak memaksamu. Aku akan meninggalkan Austmarr sebelum


matahari terbit, Verity." Pangeran Alexander mengulangi pernyataannya.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity berjalan gontai menuju kamar Raja Alastair. Entah sudah berapa
lama mereka tidur bersama tanpa menyentuh satu sama lain atau
membicarakan sesuatu, sesuatu yang tidak berhubungan dengan perang
atau Selencia. Verity menyadari kalau ia tidak mengenal betul Raja Alastair
walaupun pria itu seperti sangat mengenalnya.
 

Raja Alastair tidak seperti rumor yang berkembang sebelum ia


menginjakkan kaki di Austmarr. Pria itu memiliki langkah terencana, setiap
keputusan yang diambil penuh perhitungan. Sejauh ini Raja Alastair belum
pernah menentang keinginannya ataupun melakukan hal di luar batas.
Verity telah beberapa kali mengambil langkah yang menimbulkan
perpecahan di Austmarr. Ia tidak tuli, entah berapa kali mendengar kalau
Raja Alastair berubah setelah menikah dengannya. Pria itu menjadi lemah
karenanya. Bukan hanya karena belati yang ia tusukkan, tetapi
mencintainya juga akan membuat pria itu semakin lemah.
 
"Kau semakin sering ke kamar Alexander akhir-akhir ini."
 

"Alastair!" Verity terkesiap melihat Raja Alastair yang sudah berdiri di


hadapannya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
 

"Aku tidak boleh berdiri di depan kamarku sendiri?" Raja Alastair


mengangkat alis sembari memperhatikan raut wajah wanita di
hadapannya. "Apa yang kau lakukan di kamar Alexander?"
 

"Membicarakan berbagai hal." Verity menjawab sambil lalu.


 

"Berbagai hal?" Raja Alastair membuka pintu dan mempersilakan Verity


masuk lebih dulu. "Apa ada sesuatu yang harus kukhawatirkan dari kalian
berdua?"
 

"Berbagai hal yang kau sembunyikan dariku, Alastair." Verity lagi-lagi


tersentak ketika menyadari Raja Alastair telah berdiri tepat di belakangnya.
 

"I never lie to you." Napas Raja Alastair menggelitik tengkuk ketika pria itu
berbisik di telinganya. "Apa ia memberitahu yang sejujurnya kepadamu?"
 

"Aku tidak tahu." Perkataan Raja Alastair jelas membuat perasaan Verity
kembali mencintaiku?" Kenapa ragu. "Apa kau benar-benar kau
membiarkan mereka? Pertanyaan terakhir terhenti tepat di ujung lidahnya.
 

Verity tak yakin pria seperti Raja Alastair tahu apa definisi cinta. Pria itu
hidup tanpa jantung yang berdetak sebelumnya, hatinya hampa dan
kosong. Bisa saja seluruh perasaan yang tiba tiba menyeruak itu bukan
cinta.
 

Raja Alastair tidak menjawab. Ia membalikkan tubuh Verity, lalu


meletakkan telapak tangan Verity di dadanya. "Aku tahu kalau kita tidak
punya waktu untuk cinta ketika perang ada di depan mata."
 

"Kita tidak punya waktu." Verity mengangguk singkat dan mendongak.


Memperhatikan mata cokelat Raja Alastair, rambut, tinggi badan, dan
setiap goresan luka di tubuhnya. Berusaha mengingat setiap inci raut wajah
juga memori yang diberikan olehnya.
 

"Kita tidak punya waktu setelah ini." Verity tersenyum tipis lalu berjinjit,
setengah memaksa pria itu untuk menunduk dan menciumnya.
 

Raja Alastair tidak membutuhkan waktu lama untuk membalas ciuman


Verity. Semuanya terasa begitu cepat, begitu mudah tanpa perencanaan,
seperti insting untuk bertahan hidup. Raja Alastair merapatkan tubuh
Verity begitu erat ke tubuhnya. Menjadi satu, menjadi bagian dari dirinya
seperti yang pernah ia ucapkan.
 

Verity merintih pelan ketika mereka telah berpindah ke kasur. Raja Alastair
berada di atasnya, menguasainya. Tidak hanya tubuh, tetapi juga isi
pikirannya. Ciuman pria itu berpindah dari bibir, ke leher, payudara, perut,
dan setiap inci tubuhnya. Verity berusaha membalas setiap hal yang
pernah pria itu lakukan kepadanya. Lagi-lagi ia mengerang ketika tubuh
mereka menyatu. Semuanya berlangsung begitu cepat. Kini gilirannya
berada di atas pria itu.
 

"Kau tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya," ucap Raja Alastair
pelan sembari mengelus rambut panjang Verity yang berada di atasnya,
mendengar detak jantungnya.
 

"Because we don't have time." Verity menjawab pelan. Ia mencium dada


pria itu, lalu bibirnya perlahan. Mereka melakukannya lagi untuk terakhir
kali.
 
Untuk terakhir kalinya. Verity hanya bisa bergumam di dalam hati.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity melihat matahari yang nyaris terbit. Pangeran Alexander


menunggunya atau mungkin telah pergi dari Austmarr. Dengan seluruh
keberanian, Verity memilih jalan memutar, melewati pintu para pelayan-
satu-satunya pintu yang terbuka di pagi buta seperti ini-lalu berjalan
menuju pintu gerbang Kerajaan Austmarr.
 

"Alexander." Verity menarik napas lega melihat Pangeran Alexander masih


menunggunya di depan pintu gerbang. Hanya ada pengawal Pangeran
Alexander yang berpakaian serba hitam dengan pin Kerajaan Thaurin
tersemat di dada. "Kau belum pergi."
 

"Aku berjanji kepadamu."Pangeran Alexander mengulurkan tangan. "Apa


kau siap?"
 

"Aku ingin pulang." Verity bergumam, lalu mengangguk dan menerima


uluran tangan Pangeran Alexander.
 

Pangeran Alexander dengan mudah mengangkat tubuh Verity dan


mendudukkannya di atas sadel kuda. "Kereta akan membuat kepergianmu
begitu mudah terlihat. Aku akan memegangimu, tenang saja." Ia ikut naik,
lalu melepas jubah untuk menutupi Verity.
 

"We'll go home."
 

Raja Alastair berada di depan jendela, melihat kepergian mereka dengan


tatapan muram.
 
"Yang Mulia, apa yang harus kita lakukan?" Jenderal Irvin menunggu
perintahnya.
 

"Aku tidak bisa menahannya. Dia tidak akan berhenti sebelum tahu yang
sebenarnya." Raja Alastair terkekeh pelan. Tidak menyangka bila ratunya
punya keberanian untuk pergi setelah malam indah mereka. Di antara yang
lain, harusnya Verity paling tahu kalau ia mudah terbangun dengan gerakan
sekecil apa pun.
 

"Lalu apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia?" Jenderal Irvin tak bisa
mengerti jalan pikiran Raja Alastair. Pria itu tidak menentang apa pun yang
diperintahkan oleh ratunya.
 

Selama Clementine Selencia berada di Austmarr, sang rajamembiarkannya


bergerak sesuka hati sembari mengawasi, tidak menahannya seperti saat
ini-saat Clementine Selencia memilih kabur bersama Pangeran Alexander,
tunangannya dulu.
 

"Ratu Rania, apa yang harus kita lakukan?" Raja Alastair berbalik, melihat
Ratu Rania yang menatapnya penuh kebencian.
 

"Lepaskan anak-anakku!" Ratu Rania menjerit keras. Kedua tangan dan


kakinya diikat borgol besi.
 

"Mereka berada di sebelah. Kau tidak ingin mereka terbangun karena


suaramu, bukan?" Ratu Rania mengatupkan bibir, tak mengucapkan
sepatah kata lagi ketika Raja Alastair berada di hadapannya. Inilah Raja
Alastair yang sesungguhnya. Pria tanpa hati. Pria barbar yang bengis, yang
rela bermain kotor demi mendapatkan keinginannya.
 

"Ini kesalahanmu," Raja Alastair menatap dingin, "aku menyuruhmu


membunuh Mariella bukan?"
 
"Apa kau kira aku akan mendengarkan perintah anak muda sepertimu?"
Ratu Rania meludah tepat di wajah Raja Alastair.
 

Raja Alastair hanya mengusap wajahnya, lalu menghadap ke arah Jenderal


Irvin yang sudah siap dengan belatinya.
 

"Tidaaaak!" Ratu Rania menjerit ketika Jenderal Irvin memotong


rambutnya, merendahkan harga diri dan martabatnya sebagai seorang
ratu. "Aku ini seorang Ratu! Ratu!"
 

"Kau datang ke tempat yang salah, Rania." Salah satu pengawal


melemparkan sesuatu ke hadapannya. "Weak. Weak. Queen."
 

Ratu Rania menjerit lagi ketika melihat kepala Jenderal Kilorn yang
beberapa detik lalu baru terpisah dari badan tegapnya, berlumur darah,
matanya masih terbuka, mulut menganga. "Kau membunuhnya!"
 

"Dia mengancam istriku. Menurutmu aku harus tetap membiarkannya


hidup?" Ratu Rania membelalakkan mata, tidak sanggup mengatakan apa
pun lagi. "Inilah bayaran karena kau tidak mematuhi perintahku, Rania!"
 

"Mariella terlalu kuat." Ratu Rania berusaha membela diri ketika


mendengar tangisan dari ruangan di sebelahnya, Orion dan Cassiopeia
yang seharusnya berada di Raria sekarang. "Lepaskan anak-anakku,
Alastair."
 

Ratu Rania memohon, merendahkan diri dan martabat demi anak-anak


yang ia cintai.
 

"Semakin besar cintamu kepada seseorang, semakin lemah dirimu. Mereka


akan tumbuh dengan penuh kebencian karena dirimu, Rania." Raja Alastair
menatapnya lekat.
 

"Apa maksudmu?"
 

"Suatu hari nanti mereka akan tumbuh dan mengenalmu sebagai ibu yang
meninggalkan anak-anaknya karena keserakahan. Tenang saja, aku akan
menjaga mereka dan Raria hingga tiba waktunya untuk Orion menjadi Raja
Raria." Raja Alastair kini mendekati ratu tak berdaya itu.
 

"Yang Mulia Raja Alastair ... kumohon. Kumohon." Ratu Rania


menggelengkan kepala ketika melihat sebuah racun di hadapannya.
 

"Minum racunnya, Rania!" Ratu Rania terus menggelengkan kepala,


enggan dipaksa menerima hukuman paling rendah yang biasa diberikan
kepada anggota keluarga kerajaan. Meminum racun berarti mengakui
kesalahannya, kekalahannya, dan menghukum dirinya sendiri hingga mati.
 

"Kau memilih jalan yang sulit. "Raja Alastair memerintahkan Jenderal Irvin
untuk menusuk leher Raty Rania.
 

Jenderal yang Irvin dengan senang hati melakukannya. terhuyung lemas


karena kehabisan darah.
 

"Apa yang akan kita katakan kepada rakyat Raria?"


 

"Dzel membunuh Rania dan Kilorn. Orion dan Cassiopeia akan berada di
Austmarr hingga mereka cukup umur untuk memimpin. Aku yakin para
penasihat Raria tidak akan begitu peduli dengan keadaan anak-anak Rania,
mereka akan berebut untuk menjadi pemimpin sementara." Jenderal Irvin
mengangguk ketika mendengar perintah Raja Alastair.
 

"Apakah Anda benar-benar perlu membunuh Ratu Rania, Yang Mulia?"


 
"Rania Raria mengira ia bisa menggigit sesuatu yang lebih besar, tetapi
tidak. Ia melakukan kesalahan karena sifat naifnya. Cepat atau lambat,
mereka juga akan menyadarinya. Aku tidak bisa membiarkannya," jawab
Raja Alastair.
 

"Bagaimana dengan Ratu Clementine dan Raja Alexander?" Jenderal Irvin


melihat matahari pagi yang sudah semakin tinggi, pertanda Pangeran
Alexander dan Clementine telah berjalan cukup jauh untuk mereka kejar.
 

"Ke mana mereka pergi?"


 

"Ke utara, Yang Mulia. Menuju Dragør."


 

"Kita tidak bisa menyusul mereka, berarti Colthas bukanlah pilihan karena
mereka bersekutu dengan Tybalt Wildemarr. Lalu Amaranta ...." Raja
Alastair tampak berpikir.
 

"Ratu Amaranta, Yang Mulia?" Jenderal Irvin mengerutkan kening.


 

"Bukankah itu tujuanku menikah dengan putrinya? Untuk menghindari


perang. Kita berada di akhir perjanjian sekarang." Raja Alastair berusaha
mengingat perkataan terakhir Verity. Karena kita tidak memiliki waktu.
Namun, mereka masih punya banyak waktu. Seumur hidup.
 

"Yang Mulia?" Jenderal Irvin tak habis pikir kenapa Raja Alastair
memberinya perintah yang sulit dimengerti.
 

"Ratu Amaranta adalah saudara kembar Mariella. Dia akan membantuku


masuk ke dalam Dragør." Ucapan Raja Alastair sedikit memecah teka-teki di
benak Jenderal Irvin.
 
Jenderal itu kini mengangguk paham. Raja Alastair memang tak bisa masuk
Dragør karena kutukan Ratu Mariella. Penyihir itu membuatnya tak
diterima di tanah Dragør. Setiap kali mencoba, maka ia akan jalan berputar-
putar hingga berhari hari dan kembali ke Austmarr atau Selencia begitu
saja.
 

Selain Richard Blaxton, hanya ada sebagian kecil petinggi Austmarr yang
tahu kondisi Raja Alastair, Jenderal Irvin salah satunya.
 

"Anda akan membawa Ratu Clementine kembali?"


 

Raja Alastair menggeleng. "Keputusan kembali ke Austmarr berada


sepenuhnya di tangan Clement." Ia tidak akan seperti Ratu Amaranta yang
menahan Verity selama bertahun-tahun. Ia yakin wanita itu akan kembali
suatu hari nanti.
 

Untuk saat ini, ia harus mengurus sesuatu yang harusnya selesai puluhan
tahun lalu. "Aku akan menyelesaikan perang."
 

 
 

 
 

 
 

 
 

XLI
THE WOLVES
 

TYBALT MEMACU KUDANYA cepat, melewati Hadrian Colthas dan para


pengawal yang mengiringinya. Seluruh warga Drager menunggu di depan
pintu gerbang Colthas dengan wajah pucat, panik, dan kebingungan karena
tak tahu pasti apa yang tengah terjadi.
 

"Ratu Mariella ...." Salah berbicara. satu warga Dragør mulai


 

Tybalt mengangguk cepat. "Kalian juga mendengar suara Ratu Mariella?"


 

"Dia memanggil kita kembali ke Dragør." Mereka saling mengangguk satu


sama lain, pertanda setuju. "Di mana Barney? Bagaimana dengan Putri
Verity?"
 

Rahang Tybalt mengeras. Waktu berjalan begitu cepat selama ia pergi dari
Colthas menuju Thaurin dan berakhir di persidangan Austmarr. "Barney
mati di tangan Thaurin." Ia tak bisa menyembunyikan nada getir di
suaranya. Kehilangan sahabat tidaklah mudah, tetapi ada hal yang lebih
penting saat nyawa orang lain berada di tangannya.
 

Walaupun Dragør perlahan-lahan bangkit dan Ratu Mariella telah


membuka pintu kepada mereka untuk kembali ke tanah kelahiran, Dragør
masih berada di posisi yang tidak menguntungkan. Raja Zacharias mungkin
telah menjadi sekutu mereka, tetapi pria itu hanya ingin Qyrsi kembali agar
bisa menguasai seluruh Inkarnate. Persekutuan semacam itu tidak bisa
bertahan selamanya, apalagi bila Raja Zacharias menyadari tiket masuk
Dragør hanya ada di tangan Ratu Mariella dan Verity.
 

"Bagaimana dengan Putri Verity?" Mereka bertanya lagi dengan wajah


penuh harap, menunggu kabar baik kalau sang putri akan kembali dan
membantu mereka merebut kejayaan.
 

"Dia bersama Alexander." Jawaban singkat Raja Zacharias yang datang


bersama para tentara khusus, membuat Tybalt tanpa sadar memegang
kekang kudanya semakin erat. "Bahkan Dragør pun terpecah di dalam
keadaan seperti ini."
 

"Kau memotong tangan bajingan itu. Jadi, bisa saja ia menginginkan


sesuatu dari Putri Verity." Tybalt menggeram marah.
 

"Tidak seharusnya kau meremehkan Putri Dragør itu. Verity Dragør lebih
kuat dari yang kau bayangkan, tidakkah kau lihat bagaimana ia
menyelamatkanmu di persidangan?" Raja Zacharias tersenyum
mencemooh, tatapannya sekilas beralih ke arah lain. "Bisa saja Verity
Dragør dapat membantu kita masuk Dragor."
 

Tybalt terdiam. Tanpa habeas corpus dan permintaan Verity, la tidak akan
hidup saat ini. Raja Alastair membiarkan Verity berada di depannya dan
mengambil keputusan. Jelas pria itu tidak meremehkan ratunya sendiri.
 

"Apa kau akan ke Dragør juga?"


 

"Apa kau membakar dzel yang nyaris membunuh semua tentaraku?" Raja
Zacharias mengabaikan pertanyaan Tybalt dan menatap adiknya. Dzel itu
cukup kuat, menghabisi nyaris semua tentara dan menyerangnya.
 

"Dzel?" Tybalt mengerutkan kening. Ini baru pertama kalinya ia mendengar


istilah asing seperti itu.
 

"Mayat bermata putih yang menyerang tentaraku." Raja Zacharias


menjelaskan singkat. "Kau tidak membakarnya?"
 
"Dia bisa saja hidup kembali, begitu juga mayat para tentara yang mati."
Hadrian menghela napas panjang seebelum melanjutkan, "Dzel dan
ungrad. Semoga saja Mariella akan lebih adil kali ini."
 

"Apa dia masih di Pulau Mera?" Raja Zacharias mendengkus kesal. Ia bisa
mengetahui pergerakan setiap kerajaan, seperti Selencia, Austmarr, bahkan
Raria, tetapi tidak dengan Dragør. Pengawasannya terbatas karena Ratu
Mariella yang berada di Pulau Mera, terpisah dari Inkarnate. Ia tidak punya
mata-mata di kerajaan kecil yang dibangun wanita itu.
 

"Semua bergerak menuju Dragør. Mungkin Mariella juga akan bergerak


menuju Dragør." Hadrian menyimpulkan. Mata hitamnya melihat ke arah
langit yang berwarna abu-abu sejak pagi.
 

"Mungkin ...." Ia bergumam, tidak yakin dengan perkataannya sendiri.


 

"Bagaimana dengan Alastair?" Raja Zacharias menyipitkan mata, melihat


warga Dragør satu per satu. Mereka hanya mencermati pembicaraan yang
tengah berlangsung, menunggu masa depan mereka di tangan Tybalt
Wildemarr.
 

Hadrian Colthas menggelengkan kepala. "Sejak Verity Dragor pergi


bersama Alexander, tidak ada seorang punyang tahu di mana keberadaan
Raja Alastair."
 

"Apa Ratu Amaranta tahu di mana keberadaan Alastair?" Tybalt menyela


pembicaraan mereka. Raja Alastair membiarkan Verity Dragør pergi? Yang
benar saja. Ia mendengkus di dalam hati. Pria itu terang-terangan
menunjukkan kalau Verity adalah miliknya.
 

"Tidak." Hadrian Colthas menjawab dan terdiam sesaat. "Ratu Amaranta


juga telah mempersiapkan tentaranya."
 
"Kau tunggu apa lagi?" Tybalt menarik napas gusar. Verity tidak seharusnya
berada di sisi Raja Alastair ataupun Pangeran Alexander. Keduanya
berbahaya, jauh atau mungkin sama berbahayanya dengan dua bersaudara
di hadapannya ini.
 

"Pintu gerbang Dragør belum terbuka." Raja Zacharias dari atas kudanya
melihat wajah penuh harap para Dragørian. "Kita akan menuju Dragør
ketika Verity berhasil membuka gerbangnya. Kita akan menuju ke Dragør,
bila waktunya tepat."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity berusaha duduk dengan tegap di atas kuda. Ia sebenarnya takut


jatuh karena baru pertama kali naik kuda.
 

"Kau terlihat begitu kaku." Pangeran Alexander terkekeh di dadanya


beberapa kali menabrak punggung Verity karena gerakan kuda yang cukup
kencang saat mereka terus berpacu meninggalkan Austmarr.
 

"Aku tidak pernah naik kuda sebelumnya." Suara Verity samar dan lirih. Ia
mencengkeram kuat jubah milik Pangeran Alexander yang menutupi
tubuhnya. Ia takut bila salah satu warga Austmarr mengenali dan
menghentikan rombongan mereka.
 

"Aku akan mengajarimu nanti." Pangeran Alexander memelankan laju kuda


ketika memasuki Hutan Pinus. Raja Alastair mungkin membiarkan mereka
pergi, tetapi ia tak tahu sampai kapan pria itu akan melepaskan ratunya
dan menunggu waktu yang tepat untuk mengejar.
 

Verity terdiam sesaat, berusaha tetap tenang di atas pelana kuda yang tak
nyaman. Mata violetnya mencermati Hutan Pinus yang biasanya hanya bisa
dilihat dari balik jendela. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati aroma
hutan yang sangat berbeda dengan penjara Selencia atau istana Austmarr.
 

"Apa kau pernah ke Dragør?" Verity menatap tangan kanan Pangeran


Alexander dan baru menyadari kalau pria itu mengenakan sebuah gauntlet.
 

"Pernah." Pangeran Alexander terdiam sesaat dan menyadari kalau Verity


masih memperhatikan tangan kanannya. "Apa kau masih merasa
bersalah?"
 

"Kau menyelamatkanku... entah berapa kali, aku tidak bisa


menghitungnya." Verity berusaha mengingat-ingat sudah berapa kali
Pangeran Alexander menyelamatkannya selama berada di Austmarr dan
Thaurin.
 

Pangeran Alexander menerima beberapa pukulan dari Raja Arthur karena


menolak memberinya racun, menyelamatkan dari kematian setelah ia
menerima racun dari Ratu Amaranta, tangan kanan terpotong karena
menolongnya dari Zacharias, dan ia juga mengiris tangan kiri untuk
mengalihkan Ratu Rania. Pria itu telah menyelamatkan dari empat kerajaan
yang mencoba membunuhnya.
 

Empat kerajaan kecuali Austmarr. Verity termenung ketika menyadari kalau


meskipun Raja Alastair tidak melakukan apa pun, pria itu tidak seperti
anggota kerajaan lain yang berbondong-bondong mencari kelemahannya
dan memanfaatkan. Raja Alastair tengah menunggu, entah untuk apa atau
sampai kapan. Verity tidak bisa terus di sisi pria itu ketika menyadari ia bisa
saja menjadi sumber malapetaka, seperti yang diinginkan Ratu Amaranta.
 

"Seperti apa Dragør?" Verity tidak bisa menahan rasa penasarannya.


Mereka tengah menuju Dragør sekarang, tetapi ia tidak tahu sedikit pun
tentang tanah kelahirannya itu.
 
"Penuh dengan sihir," ucap Pangeran Alexander lirih. "Aku pernah bertemu
Mariella."
 

"Ibuku?" Kepala Verity refleks berputar dan melihat mata hijau cemerlang
Pangeran Alexander. Ia nyaris jatuh jika tangan kanan Pangeran Alexander
yang mengenakan gauntlet perak tidak menahan pinggangnya.
 

"Ibumu, Mariella Dragør." Pangeran Alexander terdiam sesaat. Kudanya


melangkah pelan ketika semakin memasuki Hutan Pinus menuju Dragøri.
"Tak lama setelah aku bertemu denganmu."
 

"Di mana kau menemuinya?" Verity melihat tatapan Pangeran Alexander


yang menerawang.
 

"Di Pulau Mera, saat badai dan petir nyaris menyambar kapal Thaurin dan
menenggelamkannya." Pangeran Alexander menatap mata violet Verity
dan menyadari kalau wanita ini lebih mirip Ferdinand Dragør dibandingkan
sisi Selencia.
 

"Ayahku ingin memberikan penawaran kepada Mariella." Verity terdiam,


menunggu Pangeran Alexander melanjutkan cerita. "Dia menginginkan
sihir Mariella dan kau akan kembali bersamanya, tinggal bersamanya di
Pulau Mera."
 

Verity mengetatkan rahangnya ketika menyadari ke arah mana cerita ini


berakhir. "Ibuku menolak." Ia menyimpulkan.
 

Ratu Mariella tentu saja menolak. Bila sebaliknya, Verity tidak mungkin
tinggal di penjara Selencia selama nyaris dua dekade. Tinggal bersama para
pembunuh, tahanan kelas kakap, ditemani kecoak dan tikus yang keluar
masuk penjara. Ratu Amaranta menyiksanya selama bertahun-tahun
dengan racun dan pukulan yang membekas di hatinya.
 
"Mariella tidak memiliki pilihan. Dia lemah." Pangeran Alexander berbisik.
Ratu Mariella mungkin cukup lemah saat itu, tetapi tidak sekarang. Wanita
itu berkembang pesat, tidak lagi terikat dan dipasung di Pulau Mera.
 

"Apa kau membelanya?"


 

"Tidak. Aku memberitahumu seperti apa dia saat itu. Raja Arthur tidak
menginginkan sekutu yang lemah." Pangeran Alexander mengingat betul
saat kedua tangan Ratu Mariella terikat, pakaiannya compang-camping,
tubuhnya lemah, tetapi tatapan tajam mata violet pucatnya begitu
membekas di ingatan Pangeran Alexander.
 

Ratu Mariella memenuhi janji untuk kembali dan membalaskan


dendamnya. Untuk Austmarr yang telah membalik punggung mereka dan
menjadikannya sebagai kambing hitam, Raria yang telah mengirimnya ke
pulau orang orang terbuang, Colthas yang telah membakar habis istananya,
Selencia yang menyerangnya, dan Thaurin yang menertawakan
kelemahannya. Wanita itu kembali untuk menghancurkan mereka.
 

"Apa peranku di dalam peperangan ini, Al?" Verity menghela napas


panjang. Ia lahir setelah perang pertama usai, keberadaannya
disembunyikan selama bertahun-tahun oleh Selencia dan Thaurin, masa
lalunya disembunyikan Austmarr yang mengubur sejarah Dragør.
 

"Aku bukan seorang Selencia. Aku tidak bisa berdiri di barisan paling depan
seperti kau atau Alastair." Ia juga bukan Ratu Mariella atau Ratu Amaranta
yang bisa bangkit dengan kedua kaki dan tangan sendiri.
 

"Apa yang kau inginkan, Verity?" Langkah kuda Pangeran Alexander


terhenti tepat di perbatasan Austmarr dan Dragør. Hutan Pinus yang
tadinya terang benderang dengan aroma musim panas, kini berubah
seolah-olah mereka telah memasuki dimensi berbeda. Cahaya matahari
meredup, langit berwarna keabuan seperti musim dingin.
 

"Apa yang terjadi?" Verity melihat ke seluruh penjuru arah, hanya ada dia
dan Pangeran Alexander. Para pengawal yang tadinya bersama mereka
sudah tak terlihat lagi.
 

"Tidak mungkin." Pangeran Alexander bergumam. Mereka tidak


seharusnya tiba di Dragør secepat ini.
 

"Al, apa itu?" Verity berbisik lirih melihat lima ekor serigala berukuran
besar yang keluar dari persembunyian.
 

"Serigala." Pangeran Alexander menjawab singkat. Ia baru saja hendak


mengeluarkan pedang ketika menyadari kalau inibisa saja salah satu sihir
Ratu Mariella untuk menghentikan siapa pun yang masuk lebih dalam ke
Dragør.
 

"Alexander, apa yang harus kita lakukan?" Verity bertanya panik melihat
lima serigala yang sudah mengelilingi mereka.
 

"Apa maksudnya ini?" Pangeran Alexander melihat para serigala kelaparan


itu.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair mengangkat sebuah pion dan meletakkannya di salah satu


titik di peta Inkarnate. Derap langkah juga pintu yang tiba-tiba terbuka
tidak serta-merta membuatnya kaget. Ia hanya diam, menunggu orang
yang lancang menerjang pintu dengan terburu dapat berbicara.
 

"Yang Mulia ...." Jenderal Irvin menjilat bibirnya gelisah, napasnya


memburu dengan wajah panik.
 
Raja Alastair tanpa Ratu Clementine sama seperti dulu. Pria itu lebih
memilih menyelesaikan masalah hingga ke akar tanpa mediasi atau
negosiasi lebih dulu, terbukti saat menghabisi Jendral Kilorn dengan sekali
tebasan pedang. Ia menunggu Jenderal Irvin bicara, sementara tatapan
matanya tak beralih dari peta Inkarnate.
 

"Ratu Mariella... dia telah berusaha kembali ke Dragør."


 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

XLII
DRAGØR
 

RATU MARIELLA MEMIMPIN seluruh pasukannya melewati lautan menuju


Raria, tempat sebagian besar pengikutnya berasal. Ratu Rania telah mati
bersama Jenderal Kilorn di Austmarr. Kerajaan itu akan runtuh tanpa
penerus sesungguhnya. Para menteri tak berguna hanya akan saling
menyerang satu sama lain demi memperebutkan takhta kekuasaan Raria.
 
Dragør di tiang kapal yang mereka naiki. Butuh bertahun-tahun Roran,
salah satu pengikutnya, mengibarkan bendera bagi Ratu Mariella untuk
keluar dari Pulau Mera, dan sekarang ia sudah sangat tidak sabar untuk
menghabisi orang-orang yang telah mengasingkannya ke pulau terkutuk
itu.
 

"My Queen, kita sudah dekat." Seringai di bibirnya tidak bisa lagi
disembunyikan ketika melihat dermaga Raria.
 

Ratu Mariella mengangguk sekilas. Ia tidak pernah menyukai perjalanan


lewat laut, tubuhnya tidak seperti bangsa Raria. Ia sama seperti bangsa
Selencia lainnya, bertubuh kecil dan ramping dengan rambut pirang
keemasan yang khas, mata violetnya menjadi perbedaan satu-satunya
antara anggota Kerajaan Selencia dan rakyat biasa yang bermata biru.
 

"Siapkan sekocinya! Siapkan sekocinya!" Roran berteriak. Para budak


berusia belasan tahun segera berlari-lari mempersiapkan sekoci dan
menurunkan jangkar.
 

"Apa Anda yakin Ratu Rania telah tiada, Yang Mulia?" Roran menggosok
kedua tangannya.
 

"Aku bisa merasakannya, Roran," ucap Mariella tenang. Seperti saudarinya,


ia bukan tipe yang senang berbasa-basi dan menghabiskan suara untuk
menjelaskan setiap hal. Namun, ia juga menyadari kalau pengikutnya yang
berasal dari berbagai golongan tidak selalu mengerti bagaimana cara
sihirnya bekerja.
 

Sihir Selencia yang ia miliki pernah melemah beberapa kali: saat


melahirkan dan kehilangan banyak darah akibat disiksa mereka. Meski
begitu, sihirnya berhasil melindungi Dragør atau apa pun yang tersisa dari
kerajaan itu, termasuk putrinya sendiri, Verity Dragør. Darah Dragør dan
Selencia yang mengalir di tubuh Verity akan melindunginya.
 

"Apakah kita bisa memenangkan perang?"


 

Ratu Mariella mengangguk sekilas. "Aku tidak akan membuat kesalahan


yang sama."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Kuda yang dinaiki Pangeran Alexander dan Verity meringkik gelisah karena
dikepung lima ekor serigala kelaparan.
 

"Alexander?" Verity memutar kepala dan melihat Pangeran Alexander yang


tengah mencari jalan keluar dari kepungan para serigala. "Ada apa di sini?"
 

"Sihir." Pangeran Alexander menjawab singkat, tangannya masih


menggenggam erat pedang. Percuma ia menghabisi serigala itu satu per
satu bila mereka memang berasal dari sihir Ratu Mariella. Mereka akan
datang lagi, lagi, dan lagi, tidak akan ada habisnya sebelum ia benar-benar
mengerti apa tujuan sihir Ratu Mariella. "Mariella melindungi Dragør
dengan sihir. Sihirnya akan memperlihatkan keinginan terdalammu."
 

Verity memperhatikan seringai para serigala satu per satu sebelum


berkata, "Aku tidak mengerti, Al."
 

Pangeran Alexander memperhatikan para serigala, sihir di hadapannya ini


jelas bukan keinginan terdalamnya. Ia pernah masuk Dragor dan yang
dilihat saat itu adalah Verity tengah menari dan menawarkan racun
hemlock. Ia nyaris saja meminum racun itu bila tidak segera tersadar. Verity
kini berada di hadapannya, apa berarti sihir ini adalah gabungan keinginan
terdalam keduanya?
 
Sesaat sebelum Pangeran Alexander menarik pedangnya, ia mendengar
jeritan anak kecil yang begitu kencang di tengah hutan.
 

"Aaaaaaal!" Jeritan itu terdengar lagi.


 

"Alexander!" Verity berteriak, menyadarkan Pangeran Alexander yang diam


terpana. Sihir Ratu Mariella kali ini jelas lebih kuat dari sebelumnya. "Para
serigala itu pergi."
 

Pangeran Alexander melihat para serigala yang tadinya mengitari mereka,


kini berlari menuju sumber suara. "Sebaiknya kita pergi dari sini."
 

Pangeran Alexander kembali memacu kudanya. Langit kelabu berubah


semakin gelap ketika mereka memasuki hutan semakin dalam. Mereka
lagi-lagi seolah telah berpindah ke dimensi lain.
 

"Salju." Verity mengulurkan tangannya, menangkap sekeping salju yang


turun.
 

"Musim dingin di tengah musim panas. Sepertinya kita masuk semakin


dalam ke Dragør." Pangeran Alexander dengan cepat menyimpulkan.
 

Verity mengetatkan jubah, suhu dingin membuat pipi dan ujung hidungnya
memerah. Dragør benar-benar dipenuhi sihir. la masih ingat musim panas
di Austmarr sebelum masuk Hutan Pinus. Keadaannya berbeda seratus
delapan puluh derajat dibandingkan istana Austmarr.
 

"Aaaaaaaal!" Jeritan itu kini terdengar semakin dekat.


 

Pangeran Alexander memacu kudanya mendekati suara itu. Lari kuda tidak
berhenti sebelum mereka tiba di tepi hutan yang bersinggungan dengan
sebuah danau beku.
 

"Al?" Verity menyentuh tangan kanan palsu Pangeran Alexander. Keduanya


bisa melihat jelas sosok anak kecil yang duduk di atas danau beku bersama
salah satu serigala tadi.
 

"Apa ini benar-benar sihir?" Verity nyaris tidak bisa memercayai


pengelihatannya sendiri. Sihir ini begitu nyata.
 

Serigala putih tengah bermain-main dengan gadis kecil itu. Suara jeritannya
berubah kikikan geli dan senang. Jubah hitam yang dia kenakan membuat
wajah dan rambutnya tertutupi.
 

"Al." Verity berusaha memanggil Pangeran Alexander yang begitu terpaku


dengan gadis kecil di atas danau.
 

"Verity." Gumaman Pangeran Alexander nyaris tak terdengar ketika Verity


memusatkan fokus penglihatan, membawanya semakin ke tengah danau
yang membeku. Tudungnya terbuka, rambut hitam gadis kecil itu terlihat
dengan jelas.
 

"Al!" Verity diam terpaku ketika menyadari kalau gadis kecil itu adalah
dirinya, mata violet dan rambut hitam yang sama. Perbedaan mereka
hanya dari segi umur dan tinggi. Usia gadis kecil itu mungkin tidak lebih
dari tujuh atau delapan tahun.
 

"Alexander!" Verity berteriak memanggil Pangeran Alexander ketika pria


itu tiba-tiba turun dari kuda dan berjalan menghampiri gadis kecil itu.
"Alexander! Menjauh dari sana!"
 

Pangeran Alexander tidak menghiraukan panggilan Verity dan terus


berjalan menuju ke tengah danau.
 
"Alexander!" Verity berteriak keras ketika mendengar suara retakan es,
sementara Pangeran Alexander berlari menuju gadis kecil itu, berusaha
menyelamatkannya.
 

"Aaaaal!" Gadis kecil itu juga berteriak ketika es di bawahnya retak,


membuatnya jatuh terhempas ke dalam danau yang dingin. Serigala putih
yang sedari tadi bermain dengannya melolong kencang.
 

"Alexander!" Verity berusaha menahan kuda yang bergerak gelisah. "Itu


hanya sihir!"
 

Langkah Pangeran Alexander sejenak terhenti ketika ada berenang ke


dalam sungai es, lalu menarik gadis kecil itu keluar. serigala hitam yang
berlari melewatinya dan langsung terjun,
 

Setelah yakin kuda yang dinaiki telah cukup tenang, Verity berusaha turun
dengan hati-hati dan menghampiri Pangeran Alexander yang kini jatuh
berlutut melihat serigala hitam tadi meninggalkan gadis kecil itu di tengah
danau es bersama serigala putih setelah menyelamatkannya.
 

"Alexande?" Verity memegang pundak Pangeran Alexander dan berbisik


lirih. "Itu hanya sihir."
 

"It was you." Pangeran Alexander membalas bisikan Verity.


 

Verity melepaskan jubah, lalu menyampirkannya ke pundak Pangeran


Alexander. "Itu hanya sihir."
 

"Itu kau dan aku... dan Alastair." Pangeran Alexander terlihat begitu
terguncang.
 
Verity duduk di hadapan Pangeran Alexander, mengalungkan tangannya di
leher pria itu, dan memeluk erat. "Itu hanya sihir. Aku berada di sini, di
sebelahmu." Ia kembali berbisik.
 

Getaran di tubuh Pangeran Alexander perlahan-lahan berkurang. Ia


membalas pelukan Verity. "Sihir Mariella seharusnya memperlihatkan
keinginan terdalam."
 

"Kau ingin menyelamatkanku." Verity tersenyum kecil dan menepuk


punggung Pangeran Alexander. "Kau telah melakukannya lebih daripada
yang seharusnya, Al. Tidak seharusnya kau masih merasa bersalah."
 

"Gadis kecil itu begitu mirip denganmu," ucap Pangeran Alexander pelan.
Serigala dan gadis kecil yang mereka lihat tadi telah menghilang, tidak ada
seorang pun di danau es selain mereka berdua. "Apa keinginan
terdalammu?"
 

Verity terdiam mendengar pertanyaan Pangeran Alexander. Keinginan


terdalamnya? Ia tidak pernah memikirkan sejauh itu. Dulu saat tinggal di
penjara bawah tanah Selencia, ia hanya berharap dapat melihat matahari.
Saat tinggal di istana Austmarr, ia hanya ingin hidup bebas dan jauh dari
segala polemik lima kerajaan. Namun, kini ia telah mendapatkan
kebebasan dan telah terlibat begitu dalam di polemik lima. kerajaan. Ia
tidak bisa lari lagi.
 

"Mereka sudah pergi." Pangeran Alexander berbisik lirih.. "Aku tidak tahu
seberapa kuat sihir Mariella bila kita masuk semakin dalam ke Dragør.
Lebih baik kita terus berjalan."
 

Verity mengangguk dan beranjak berdiri. Mereka sudah pergi, tetapi


serigala hitam tadi rupanya masih di sana, dari balik pepohonan. Serigala
hitam itu menyeringai kepada Verity, memperlihatkan taring-taringnya
mengawasi yang tajam, lalu berlari masuk ke dalam hutan.
 

"Sebaiknya kita pergi sekarang." Verity menggenggam tangan Pangeran


Alexander yang sedingin es. Apa pun yang terlihat tadi, jelas jauh dari
pemikirannya, dan ia tidak tahu apa yang akan mereka hadapi nantinya.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair tahu mereka semua akan bergerak menuju Dragor, ke tempat
semua bermula dan pada nantinya akan berakhir. Kabar yang dibawa
Jenderal Irvin tidak lagi membuatnya kaget atau bahkan mengubah
rencana. Bila sebelumnya Dragor adalah pihak yang paling tidak
diuntungkan dalam perang pertama, bisa saja kali ini mereka harus
mempertimbangkan dan mempersiapkannya. Kekalahan Dragor
sebelumnya terjadi karena mereka tidak siap, tetapi kini ketika dengung
perang telah berkumandang, setiap kerajaan telah siap untuk kalah atau
menang.
 

"Bagaimana dengan Ratu Amaranta?"


 

"Ratu Amaranta telah menuju Austmarr, Yang Mulia. Kita akan segera
menemuinya."
 

Raja Alastair mengambil sebuah pion lagi,menyingkirkannya. Pion milik


Ratu Rania digantinya dengan pion lebih kecil dan diletakan di Austmarr,
untuk para penerus Raria yang kini berada di tangannya.
 

"Berapa lama aku harus menunggu?" Raja Alastair mengambil sebuah pion
milik Pangeran Alexander, lalu meletakkannya di Dragør bersama pion milik
Verity.
 

Jenderal Irvin melihat peta Inkarnate besar di hadapannya. Ada beberapa


pion di sana, untuk orang-orang penting yang ia awasi langkahnya setiap
waktu. Ia memperhatikan tangan Raja Alastair yang memindahkan pion
milik Ratu Mariella ke Raria dan Raja Zacharias serta adiknya, Hadrian
Colthas kembali ke Colthas.
 

"Mungkin ia akan tiba malam nanti, Yang Mulia," kata Jenderal Irvin.
 

"Baiklah." Raja Alastair memindahkan pion Ratu Amaranta ke Hutan Pinus.


 

"Dari mana Anda tahu kalau Ratu Mariella berada di Raria, Yang Mulia?"
Jendral Irvin terlihat penasaran.
 

Raja Alastair menatap Jenderal Irvin sekilas dan menjawab, "Mariella akan
membalaskan dendamnya lebih dahulu kepada Raria yang telah
mengirimnya ke Pulau Mera, sekaligus memenuhi janjinya kepada para
tahanan Pulau Mera yang kini menjadi pengikutnya."
 

Raja Alastair menyentuh dadanya sendiri, merasakan denyut jantung yang


berdetak pelan, tidak seperti saat Verity berada di sisinya. Kini, saat wanita
itu bersama Pangeran Alexander pergi menuju Dragør untuk mencari
kebenaran yang sesungguhnya, ia bisa merasakan degup jantungnya
perlahan semakin melambat. Apakah ini pertanda bila ia akan kembali
hidup sebagai manusia tanpa hati seperti dulu, ataukah akan mati?
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Pesan Raja Alastair untuk datang ke Austmarr tidak membuat Ratu


Amaranta takut atau gentar. Alih-alih takut, ia lebih penasaran kenapa Raja
Alastair memilih bersekutu dengannya.
 

Saat langkah Ratu Amaranta berhenti di ruang singgasana yang lama, ia


tidak melihat Raja Alastair duduk di kursi milik mendiang ayahnya. Pria itu
berada di depan lukisan keluarganya, melihat Klaus dan Eleanor Austmarr
yang bersahaja di dalam lukisan.
 

"Apa kau mengenal orang tuaku, Amaranta?" Pertanyaan Raja Alastair


membuat Ratu Amaranta mengerti kenapa mereka bertemu di ruang
singgasana yang lama, tempat Eleanor Austmarr mati perlahan karena
kehabisan darah setelah perutnya ditusuk berkali-kali. Wanita itu tengah
hamil dan tidak bisa membela diri.
 

"Aku mengenalnya." Ratu Amaranta menjawab singkat, ingin melihat ke


arah mana pembicaraan mereka ini nantinya.
 

"Mereka mati malam itu, seperti Ferdinand Dragør, Matthew Selencia,


Soraya Colthas, dan juga ratusan, ribuan warga juga pasukan dari segala
penjuru Inkarnate. Kenapa kau memulai perang, Amaranta?" Raja Alastair
bertanya dengan nada dingin.
 

"Kau tahu kalau akar permasalahannya adalah ayahmu." Ratu Amaranta


berdiri di sebelah Raja Alastair, ikut melihat lukisan, lalu tertawa
mencemooh. "Apa yang aku lakukan adalah puncak dari semua yang
ayahmu telah perbuat sebelumnya."
 

"Kenapa kau menjadi ratu di Selencia?" Raja Alastair menghadap ke arah


Ratu Amaranta, melihat mata violet wanita itu. "Ada Jordan dan Mariella,
tetapi kenapa mereka memilihmu? Ratu Selencia yang tidak memiliki sihir."
 

"Jordan sudah mati," jawab Ratu Amaranta getir. "Orang orang bilang kalau
ia mati secara misterius karena penyakit. Dia mati karena sihir yang tidak
terkontrol."
 

"Mariella." Raja Alastair tersenyum sinis ketika menyimpulkan perkataan


Ratu Amaranta.
 
"Dari dulu ia memang jauh lebih berbakat dari Jordan atau aku, yang
memang tidak memiliki sihir." Ratu Amaranta berjalan ke lukisan lain, raja-
raja Austmarr yang sebelumnya. Simbol singa terlihat jelas di dada mereka.
"Kedua orang tuaku memutuskan kalau dia berbahaya dan harus tetap
berada di bawah kontrol mereka."
 

"Tetapi kemudian ia menikah dengan Ferdinand Dragør?"


 

"Ferdinand menawarkan sebuah persekutuan. Dragør merupakan salah


satu kerajaan yang terkuat, bukan karena keahlian mereka, tetapi kekayaan
mereka." Ratu Amaranta menarik napas dalam-dalam dan
mengembuskannya sekaligus. "Kedua orang tuaku mengajukanku sebagai
pengantin Ferdinand, tetapi ia menginginkan Mariella."
 

"Mereka tidak bisa menghentikannya?"


 

Ratu Amaranta menggelengkan kepala. "Mariella mungkin berbahaya,


tetapi Ferdinand dapat memikatnya. Ferdinand tahu bagaimana cara
memperlakukan ratunya. Sihir Mariella tidak lagi lepas kontrol seperti dulu.
Kedua orang tuaku menyesal telah mengirim Mariella ke Dragør, tetapi
mereka tidak dapat melakukan apa pun lagi."
 

"Lalu kau berakhir seperti ini? Mendapatkan kedudukanmu karena tidak


ada pilihan lain bagi mereka." Keduanya berhenti di hadapan kursi
singgasana Klaus dan Eleanor Austmarr. "Apa Verity memiliki kemampuan
yang sama seperti ibunya?"
 

"Dia punya," jawab Ratu Amaranta tenang. "Sihirnya akan berkembang


lebih kuat dari Mariella bila ia melatihnya, tetapi aku tidak pernah melatih
sihirnya. Aku membuatnya lupa setiap kali sihirnya lepas kontrol dengan
racun hemlock."
 
"Verity tidak pernah lagi meminum racun yang kau berikan selama ia
berada di sini.'
 

Ratu Amaranta mengangguk. "Perlahan dia akan ingat."


 

"And all hell breaks loose if she cannot control it."


 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

XLIII
THE BEGINNING OF AN END
 

"BERHENTI! KUMOHON BERHENTI!" Verity menjerit ketika mereka


memaksanya meminum sebotol hemlock. "Kumohon, Al, kumohon.' ." Ia
menjerit, memanggil nama Alexander ketika remaja lelaki itu terdiam di
sana, melihatnya dengan tatapan kasihan, tetapi tidak dapat melakukan
apa pun.
 
"Alexander, Alexander ...." Verity tersedak cairan hemlock. Rasa pahit
memenuhi mulutnya, lehernya panas membara seperti menelan api. Ia
terbatuk beberapa kali, memuntahkan darah dan sebagian racun yang
tertelan.
 

"Sudah cukup." Alexander bergumam, tetapi tidak ada seorang pun yang
mendengarkannya.
 

Kali ini jumlah racun yang harus Verity minum lebih banyak daripada
biasanya. Raja Arthur berdiri di belakang Alexander, mengawasi orang-
orangnya menahan tubuh Verity dan memaksanya menghabiskan sebotol
hemlock.
 

"Alexander .... "Verity berusaha menggapai Alexander yang baru saja


hendak melangkah, tetapi dihentikan oleh ayahnya sendiri.
 

"Diam dan awasi, Alexander!" Raja Arthur mengeluarkan sebilah belati, lalu
berjalan ke arah gadis kecil itu.
 

"Tidak. Tidak. Tidak!" Tatapan penuh rasa takut terlihat begitu jelas dari
mata violet Verity.
 

Alexander diam terpaku ketika ayahnya menarik tangan Verity, lalu


mengiris telapaknya. Gadis kecil itu menjerit ketika darah mengucur keluar
dengan deras.
 

"Api." Raja Arthur memerintahkan salah satu pengawalnya untuk


membawa sebuah obor.
 

"Tidaaak!" Verity menjerit ketakutan, takut bila Raja Arthur tiba tiba
memutuskan untuk membakarnya.
 
Raja Arthur meremas tangan Verity hingga darahnya terkumpul cukup
banyak, lalu meletakkannya di atas api yang membara. "Apakah kau benar-
benar punya kekuatan Selencia?"
 

"Berhenti!" Alexander akhirnya berteriak setelah cukup lama terdiam. Ia


tidak bisa melihat lagi kekerasan di depan matanya. Namun, lagi-lagi ia
tidak didengarkan.
 

Alexander tidak dapat melakukan apa pun ketika tetes pertama darah
Verity jatuh ke api yang membara. Api di obor itu tiba-tiba berkobar terang,
seolah-olah menjilat lezat darah Verity yang menetes, cahayanya tidak lagi
berwarna oranye atau merah terang, tetapi biru dan ungu.
"Berhenti!" teriak Alexander lagi ketika ia tersadar. Ia melihat ayahnya yang
diam terpaku, antara senang atau takut, entah apa yangada di benak pria
itu ketika masih menggenggam erat tangan Verity, sementara gadis kecil itu
tidak lagi menjerit ketakutan seperti sebelumnya.
 

"Selencia. Aku bisa menguasai Selencia dengan gadis kecil ini." Raja Arthur
terkekeh. Verity Dragør bisa saja menjadi keturunan Dragør dan Selencia
terakhir yang masih memiliki kekuatan sihir Tentu dengan kekuatan itu, ia
bisa menguasai tidak hanya Dragør, tetapi juga Selencia.
 

"Verity." Alexander bergumam ketika melihat Verity yang terdiam, mata


violetnya berubah ungu pucat, nyaris putih seperti susu.
 

"Verity." Alexander memanggil lagi, tetapi sepertinya ia tidak didengarkan.


 

"Aarrgh!" Raja Arthur tiba-tiba menjatuhkan tangan Verity dan mengerang.


"Sialan!"
 

"Verity!" Alexander berusaha mendekati Verity, tetapi gadis kecil itu


mengabaikannya, terlihat seperti tidak mengenalinya.
 

Verity berjalan mendekati Raja Arthur yang mengerang kesakitan sembari


memegang dadanya.
 

"Cepat tahan dia!" Raja Arthur berteriak, memerintahkan siapa pun untuk
menahan Verity. "Tahan dia! Tahan dia!"
 

Alexander berlari mendekati Verity, mendahului para pengawal ayahnya


yang sudah bersiap menangkap gadis kecil itu dengan tombak mereka.
"Verity! Apa kau baik-baik saja?"
 

Perhatian Verity sejenak teralihkan ke Alexander yang memegang


tangannya. "Berhenti." Verity bergumam, tangannya yang basah karena
darah menyentuh dada Alexander.
 

Alexander berteriak kesakitan ketika tangan Verity menyentuh dadanya.


Jantungnya seperti diremas-remas, dadanya sesak, napasnya tidak
beraturan. Ia berusaha meraih tangan Verity. "Verity, ini aku."
 

Alexander tidak dapat mengenali gadis kecil di hadapannya, ia bukan Verity


yang selama ini dikenalnya. Gadis kecil itu menyakitinya, meremas
jantungnya dengan sihir.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity terkesiap kaget. Ia terbangun dan mendapati dirinya masih berada di


tengah-tengah hutan. Jubah milik Pangeran Alexander menyelimuti
tubuhnya yang kini bersandar di batang pohon. Setelah disorientasi sesaat,
ia teringat kalau ia berada di Dragør bersama Pangeran Alexander, tengah
mencari kebenaran yang selama ini Raja Alastair sembunyikan untuk
menjaga kedamaian Inkarnate.
 
"Verity, kau sudah bangun?" Pangeran Alexander menghampiri sembari
membawa seekor kelinci yang sudah dikuliti dan siap dipanggang.
 

"Apa terjadi sesuatu?" Verity menegakkan tubuh letihnya. Dragør terasa


seperti dimensi lain yang jauh berbeda dari seluruh penjuru Inkarnate.
 

"Tidak ada." Pangeran Alexander memindahkan ranting ranting pohon dan


menyalakan api.
 

"Tidak ada sihir?" Verity mendekat ke api unggun yang baru saja dinyalakan
Pangeran Alexander. Entah sudah berapa lama mereka di sini, kurang dari
sehari mungkin, atau bisa saja lebih. Ia tidak tahu, siang dan malam
berjalan seperti biasa, tetapi cuacanya yang tidak biasa.
 

"Tidak ada." Pangeran Alexander menjawab singkat sembari meletakkan


kelinci hasil buruannya ke bara api.
 

"Di mana kau mendapatkan kelincinya, Al?" Verity Penasaran, pasalnya


serigala kemarin merupakan sihir, bisa saja Semua hewan di sini hanya ilusi.
 

"Di hutan." Pangeran Alexander menatap Verity sejenak, lalu menarik


napas panjang. "Apa ada pertanyaan yang ingin kau tanyakan?"
 

"Seperti apa sihirnya bekerja?" Suara kertakan kayu yang terbakar api
mewarnai keheningan malam. Bintang-bintang bertaburan di langit,
cuacanya nyaris seperti biasa bila saja saat ini mereka tidak duduk di tanah
berselimut lapisan es tipis di tengah musim panas.
 

Pangeran Alexander mengambil ranting, menggambar sebuah lingkaran di


permukaan salju, dan meletakan batu kerikil di tengahnya. "Seperti ini.
Batu kecil ini adalah pusat Dragør, Istana Dragør yang terletak di puncak
tertinggi Inkarnate. Lingkaran ini adalah garis sihir, setiap kerajaan di
Inkarnate memiliki garis sihir yang digambarkan oleh para penyihir Selencia
jauh sebelum perang pertama pecah."
 

"Bahkan Austmarr?" Verity berusaha mengingat-ingat saat pertama kali


masuk Kerajaan Austmarr. Ia merasakan perasaan tidak nyaman, tetapi
tidak pernah terpikirkan sedikit pun kalau itu adalah sihir.
 

"Bahkan Austmarr," jawab Pangeran Alexander singkat. "Garis sihir yang


mengelilingi para kerajaan di Inkarnate tidak lagi sekuat dulu, tetapi masih
cukup efektif."
 

Verity menggelengkan kepala. Bila cukup efektif, seharusnya ia tidak nyaris


mati berulang kali di Austmarr. "Dragør sepertinya berbeda dengan
kerajaan lain."
 

"Selencia dan Dragør yang paling berbeda untuk saat ini. Keduanya
memperbarui sihir mereka setiap dekade. Sihir Selencia melindungimu
selama kau berada di sana, tetapi perlahan-lahan sihir yang Selencia miliki
mengikis karena Amaranta tidak memiliki kemampuan sihir." Pangeran
Alexander menjelaskan dengan sabar.
 

"Bagaimana dengan Dragør?"


 

"Seperti yang kau lihat dan rasakan. Mariella baru saja memperbarui
perlindungannya, mengutuk tanah Dragør agar tidak menerima siapa pun.
Sihir itu membuatnya lemah, ia nyaris mati." Pangeran Alexander
mengembuskan napas berat.
 

"Sihirnya sangat kuat, tidak ada yang bisa menduga hal apa yang akan
menyerang kita nanti." Verity mendekatkan tangannya ke api, mencari
kehangatan di tengah-tengah dinginnya Dragør yang mencekam. "Kenapa
kau melukai tanganmu sendiri, Al?"
 
"Sihir." Pangeran Alexander bergumam lirih.
 

Sihir. Verity menyimpulkan di dalam hati. Ada potongan memori yang ia


ingat. Siksaan yang ia terima selama ini semuanya karena sihir, dan
keserakahan mereka.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Kursi singgasana berderit ketika Raja Alastair mendudukinya. Singgasana


ayahnya terlihat begitu sederhana dan tua karena termakan usia. Ratu
Amaranta tidak bisa menampik kemiripan antara ayah dan anak, meskipun
Raja Alastair terlihat jauh lebih keras dan berpengalaman dibanding
ayahnya.
 

"Bagaimana cara masuk ke dalam Dragør, Amaranta?" Raja Alastair


menatap mata violet Ratu Amaranta. Ia mengakui kecerdasan wanita di
depannya ini. Ratu Amaranta Selencia yang memulai perang besar dua
dekade lalu ketika Raja Klaus memutuskan untuk diam-diam menyerang
kerajaan lain dan mencari-cari kesalahan mereka. "Aku tidak tahu." Ratu
Amaranta menjawab singkat.
 

"Jangan berbohong kepadaku." Raja Alastair tersenyum sinis. "Apa kau


tahu apa yang terjadi pada Rania Raria dan Joseph Kilorn?"
 

Wajah Ratu Amaranta mengeras, menyadari kalau kali ini Raja Alastair
tidak akan segan-segan membunuhnya. Pria itu tahu seluruh kesalahan
juga perbuatannya, termasuk mengirim Verity untuk berpura-pura sebagai
Clementine Selencia.
 

"Sihir Mariella termasuk salah satu sihir yang paling kuat yang pernah
kulihat, Yang Mulia." Ia akhirnya menjawab.
 
"Apa kau tahu di mana Mariella sekarang?" Raja Alastair menarik napas
dalam-dalam dan mengembuskannya dengan gusar. "Dia berada di Raria,
menunggu saat yang tepat untuk ke Dragør."
 

Kali ini raut wajah Ratu Amaranta berubah dingin, nama Mariella masih
meninggalkan jejak pahit di lidahnya. Ia menginginkan hal-hal yang
saudarinya miliki: sihir, anak, serta rasa kagum warga kepada setiap
anggota kerajaan yang memiliki sihir.
 

"Kita hanya bisa menunggu hingga pintu gerbangnya terbuka," ujarnya


dengan nada getir yang terselip di setiap kata.
 

"Dragør tidak menerimaku."


 

"Tidak bila pintu gerbangnya terbuka. Siapa pun bisa masuk ke sana."
 

Sihir bekerja dengan cara paling kompleks dan rumit, bahkan hingga saat
ini tidak ada yang tahu pasti bagaimana caranya bekerja. Namun, masih
ada setitik celah untuk menghancurkan sihir itu. Cara terbaiknya adalah
menunggu, menunggu hingga pewaris sah Dragør dapat membuka pintu
gerbang dan membiarkan mereka masuk dalam waktu yang sempit itu.
 

"Hingga Verity dapat membukanya?"


 

"Hingga Clementine dapat membukanya," timpal Ratu Amaranta.


 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Verity dan Pangeran Alexander melanjutkan perjalanan mereka menuju


puncak tertinggi di Dragor, tempat Istana Dragor berada. Kuda yang mereka
naiki berjalan semakin lambat karena kelelahan.
 
"Apa sebaiknya kita berhenti?" Verity mengelus leher kuda yang ia naiki
bersama Pangeran Alexander. "Apa kita bisa naik ke atas sana?"
 

"Kita bisa berhenti sejenak." Pangeran Alexander turun dari kuda dan
membantu Verity turun.
 

"Sepertinya masih sangat jauh." Verity tidak bisa melihat ada bangunan
apa di puncak itu. "Apa ada naga di atas sana?"
 

"Aku tidak tahu." Pangeran Alexander menjawab ragu. "Sudah lama Qyrsi
tidak terlihat, semenjak Mariella menghilang."
 

"Hanya Colthas yang bisa mengendalikannya, bukan?" Pertanyaan Verity


dijawab dengan anggukan Pangeran Alexander. "Aku tidak bisa
membayangkan seekor naga di Inkarnate."
 

"Dulu Colthas memiliki banyak naga, Austmarr memerintahkan untuk


membunuh naga-naga itu karena salah satu naga mereka melahap seorang
anak kecil," terang Pangeran Alexander.
 

Verity terdiam sesaat, teringat bagaimana culas dan liciknya Raja Zacharias
III Colthas. Pria itu memanfaatkan Tybalt juga Dragorian yang tersisa untuk
mendapatkan naganya kembali.
 

"Kenapa Austmarr yang dipilih menjadi pemimpin lima kerajaan lain kalau
kerajaan lain lebih kuat dari mereka?"
 

Pangeran Alexander tertawa kecil mendengar pertanyaan Verity. "Austmarr


jauh lebih kuat, karena dia tidak membutuhkan naga atau sihir atau apa
pun untuk menguasai Inkarnate."
 
Tiba-tiba langkah mereka terhenti, Pangeran Alexander meletakkan
telunjuk tangan kiri di bibirnya, menyuruh Verity untuk diam dan tidak
mengeluarkan suara apa pun. Ia menggenggam pedang, bersiap
mengeluarkannya ketika terdengar suara derap langkah.
 

"Apa serigala-serigala itu kembali?" Verity berbisik, melindungi dirinya di


belakang Pangeran Alexander.
 

"Ungrad." Pangeran Alexander berbisik lirih ketika sosok menyerupai mayat


berjalan mendekati mereka. Sosok mayat itu mungkin dulunya salah satu
prajurit Austmarr, terbukti dengan pakaian perang dan simbol singa yang
tersemat di dadanya.
 

"Kita membutuhkan api." Verity berusaha mencari-cari korek api yang


tersimpan di kantong pelana kuda. Tangannya yang bergetar tanpa sengaja
menjatuhkan benda itu ke tanah berselimut salju. "Sial!"
 

"Mereka semakin banyak." Pangeran Alexander mengawasi sekelilingnya.


Para ungrad itu datang dari segala penjuru dengan mengenakan aneka
seragam.
 

"Aku tidak bisa menyalakan koreknya, Al." Verity bersusah payah


menyalakan korek dengan tangan yang gemetaran. Korek itu telah
setengah basah setelah terjatuh ke salju, membuatnya semakin kesulitan.
 

"Berlindung di belakangku." Pangeran Alexander memerintahkan. Verity


mendekat, melindunginya dari para ungrad yang semakin mendekat dan
mengelilingi mereka.
 

"Alexander!" Verity menjerit ketika salah satu ungrad mendekat,


memegang lengannya dengan tangan setengah busuk dimakan belatung
yang menggeliat keluar.
 
"Sialan!" Pangeran Alexander mengeluarkan pedangnya, lalu menebas
tangan ungrad itu dan menendangnya.
 

Verity kembali berusaha menyalakan korek api, sementara Pangeran


Alexander susah payah melawan seluruh ungrad yang semakin
mengerubungi, mendekati, dan berusaha menyakiti mereka.
 

"Al!" Verity berhasil menyalakan sebatang korek api dan melemparnya ke


arah ungrad yang menyerang Pangeran Alexander.
 

"Mereka terlalu banyak." Pangeran Alexander melirik sekilas ke arah Verity.


Satu ungrad telah tumbang karena terbakar. "Pergilah Verity!"
 

"Kau menyuruhku meninggalkanmu?" Verity membelakkan mata.


 

"Mereka terlalu banyak. Aku bisa menahan mereka di sini. Pergilah ke


puncak tertinggi Dragør. Istananya ada di sana." Pangeran Alexander
berbicara dengan napas terengah.
 

"Aku tidak bisa," tegas Verity.


 

Mereka telah benar-benar terkepung sekarang, tidak ada jalan keluar lagi.
Kuda Pangeran Alexander meringkik panik ketika para ungrad
mengepungnya.
 

"Pergi sekarang!" Pangeran Alexander berteriak ketika ia berhasil


membuka akses keluar dari kerumunan ungrad.
 

"Aku tidak bisa!" Verity menggenggam pakaian Pangeran Alexander, tidak


berniat beranjak seinci pun dari sisi pria itu.
 
"Apa kau ingat arsenik yang pernah kuberikan kepadamu?" Verity tidak
bisa mengerti perkataan Pangeran Alexander di tengah kekacauan yang
semakin mengepung mereka. "Bila benar-benar terdesak, bisakah kau
berikan itu kepadaku?"
 

"Kau ingin mencabut nyawamu sendiri?" Verity membelalakkan mata.


 

Berbeda dengan belati yang pernah Ratu Amaranta berikan, pecahan sisik
naga dan arsenik pemberian Pangeran Alexander masih berada di
tangannya dan nyaris dibawa setiap waktu. Namun, mereka masih bisa
menemukan jalan keluar selain mencabut nyawa sendiri.
 

"Akan lebih baik daripada mati perlahan dan penuh siksaan, Verity."
Pangeran Alexander berusaha meyakinkan.
 

"Tidak." Verity menggelengkan kepala.


 

"Aarrrgh!" Pangeran Alexander berteriak kesakitan ketika salah satu ungrad


berhasil melukainya dengan pedang tua dan berkarat.
 

"Tidaaak!" Suara desisan terdengar ketika tangan Verity menyentuh salah


satu ungrad dan mendorongnya menjauh.
 

Pangeran Alexander melihat mata Verity yang berubah ungu pucat.


Sihirnya kembali lepas kontrol dan menyerang siapa pun yang berusaha
mendekatinya.
 

Salah satu ungrad mendekati Verity dan berhasil melukainya. Alih-alih


berusaha menghentikan pendarahan di tangan, Verity malah meremas
lukanya, lalu mendekati sosok ungrad yang terbakar. Darahnya menetes,
menyisakan jejak-jejak merah di atas salju, hingga tetesan darahnya jatuh
ke ungrad yang terbakar itu. Dalam sekejap, api itu berkobar hebat,
warnanya berubah menjadi biru keunguan, percikannya menari-nari dan
melahap setiap tetes darah Verity yang jatuh.
 

Pangeran Alexander menatap ke arah langit yang berubah semakin gelap.


Gulungan-gulungan awan menyerupai ombak berada tepat di atas mereka,
pekikan guntur dan kilat petir bersahutan. Pintu gerbang Dragør terbuka.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Zacharias tengah bersama pasukannya dan warga Dragor di


perbatasan Dragør. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk datang dan
menunggu setelah melihat perubahan cuaca yang tiba-tiba di puncak
tertinggi Inkarnate itu.
 

"Pintunya terbuka." Tybalt Wildemarr menelan ludahnya susah payah. Ia


telah menunggu ini selama bertahun-tahun, saat di mana Dragor bisa
meraih kembali kejayaan dan mengembalikan harga diri mereka.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair berada di baris terdepan pasukan dengan pakaian perangnya.


Simbol singa Austmarr tidak hanya tersemat di dadanya, tetapi juga
tameng yang digunakan.
 

Langit gelap dan hawa dingin menusuk tidak melingkupi Dragør saja,
melainkan seluruh penjuru Inkarnate. Saat kilat dan gemuruh guntur
menggelegar, saat itu juga ia sadar kalau pintu gerbang Dragør telah
terbuka.
 

"Pintunya terbuka." Ratu Amaranta bergumam. Bukan hanya Austmarr


yang akan pergi menuju tempat terkutuk itu, tetapi Selencia, bahkan ia
juga menduga kalau pasukan Thaurin dan Colthas pun bersiap di depan
sana bila pintu telah terbuka.
 

"Bagaimana dengan Mariella?" Raja Alastair bertanya. Apa pun yang telah
terjadi di dalam sana, seseorang telah berhasil membuka pintu
gerbangnya, entah Ratu Mariella membukanya begitu saja atau Verity.
 

"Dia yang paling tahu apa yang terjadi di Dragør," Ratu Amaranta menarik
napas dalam-dalam, "bisa saja dialah yang mempersiapkan ini semua."
 

"Awal untuk sebuah akhir," Raja Alastair bergumam, "kali ini akan
kupastikan kalau ini akhir dari semua peperangan dan perpecahan dua
dekade lalu."
 
 

 
 

 
 

 
 

XLIV
DEEPEST DARKEST DESIRE
 

MARIELLA JUGA BISA merasakan bahkan hingga ke setiap aliran darahnya


yang terikat kuat dengan sihir pelindung Dragør. Ia masih ingat dengan jelas
bagaimana Raja Arthur menertawakan saat melihatnya lemah, terkurung,
dan terikat di Pulau Mera. Ia bukan lagi seorang ratu, hanya wanita lemah
yang nyaris mati dan kehilangan sihirnya.
 

Ratu Mariella mendongakkan kepala ketika melihat salju turun dari langit
yang kelabu. Pintu gerbang Dragør benar-benar terbuka, sihir yang ia miliki
untuk melindungi kerajaan itu telah pecahberkeping-keping. Gulungan-
gulungan awan hitam keabuan dari puncak tertinggi Inkarnate nyaris
menyelimuti seluruh kawasan Inkarnate. Kuda yang ia naiki meringkik
gelisah ketika dipaksa berjalan semakin dekat menuju Perbatasan Dragør.
 

"Yang Mulia, apa masih ada sihir di dalam sana?" Roran terlihat kagum
sekaligus takut melihat gulungan awan hitam di atasnya.
 

"Tentu saja masih ada." Ratu Mariella mendengkus mendengar pertanyaan


bodoh yang dilontarkan oleh pengikutnya. "Salju dan gulungan awan
hitam itu adalah sihir."
 

"Milik Anda, Yang Mulia?" Roran membulatkan mata kagum. Ia pernah


meremehkan wanita di hadapannya ini, tetapi setelah melihat kemampuan
wanita itu mengelilingi Pulau Mera dan membunuh beberapa rekannya
dengan sihir, ia memilih untuk tunduk dan mengikuti tanpa banyak
bertanya.
 

Ratu Mariella terdiam sejenak, ia tahu betul sihir pelindung Dragør rusak
karena ada kekuatan yang lebih besar terperangkap di dalamnya. Verity. Ia
mendengkus ketika menyadari Ratu Amaranta tidak pernah berniat
mengajari anaknya untuk mengontrol kekuatan. Sihir yang dimiliki Verity
tidak hanya bisa menyakiti orang lain, tetapi juga dirinya sendiri.
 

"Bukan." Ratu Mariella menjawab singkat. Ia kembali mendongakkan


kepala, lalu menghela napas panjang. Bagaimana dengan Qyrsi? Apa naga
itu sudah terbangun dan segera mencari tuannya?
 
亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Verity?" Pangeran Alexander memanggil, tetapi Verity tidak


mendengarnya sama sekali. Para ungrad yang tadinya mengerubungi
mereka telah habis tak bersisa dan berubah kembali menjadi mayat, bukan
ungrad yang siap hidup kembali untuk menyerang mereka.
 

"Verity?" Pangeran Alexander menghela napas panjang dengan susah


payah, tangan kirinya menahan lengan kanan yang terluka. "Verity...."
 

Pangeran Alexander segera berlari menghampiri Verity yang terjatuh ketika


baru melangkah di atas salju. Kulitnya pucat, napasnya tak beraturan,
darah segar tidak hanya mengalir dari tangan yang terluka, tetapi juga
hidungnya, dan tubuhnya seperti membeku.
 

"Verity?" Pangeran Alexander segera menarik dan menghangatkan Verity


dengan jubah yang ia kenakan. Mengabaikan luka di tangan, ia lalu bersiul
memanggil kuda dan segera mencari sekumpulan obat yang bisa menutupi
luka di tangan Verity.
 

"Kau akan baik-baik saja." Pangeran Alexander bergumam sembari


membalut luka di tangan Verity dengan susah payah. Ia mengeluarkan
sebuah pil bulat berwarna cokelat kehitaman dan mengunyahnya sebelum
menyuapkan ke mulut Verity.
 

"Kau akan baik-baik saja." Pangeran Alexander bergumam sekali lagi.


 

Sihir yang Verity keluarkan beberapa saat lalu begitu besar, Hidak hanya
membuat jantung berdenyut menyakitkan, tetapi mematahkan sihir milik
Ratu Mariella yang di waktu bersamaan memudahkan kerajaan lain untuk
masuk Dragør. Pangeran Alexander tahu, cepat atau lambat kerajaan-
kerajaan lain akan segera berkumpul dan berusaha menghancurkan satu
sama lain. Bahkan tentara kerajaan Thaurin pun sudah menunggu di luar
pintu gerbang Dragør bila terlihat sebuah pertanda pintu itu terbuka. Ia
melihat Istana Dragør yang berada di puncak tertinggi Inkarnate. Mereka
harus segera ke sana sebelum semua kehancuran dimulai.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Ratu Amaranta melirik Raja Alastair berkali-kali, masih tak menyangka


sosok yang berkali-kali ia coba untuk bunuh itu kini menjadi sekutu untuk
menghancurkan Ratu Mariella.
 

"Kenapa kau memilih menghancurkan Mariella?" Ratu Amaranta bertanya


sambil lalu. Ia bisa merasakan aura dingin mencekam yang semakin pekat
ketika mereka semakin dekat dengan Dragør.
 

"Apa aku harus menjawab pertanyaanmu?" Raja Alastair mengangkat alis.


Sudah lama ia menghancurkan kerajaan seperti ini. tidak berperang dan
 

Sekarang semuanya akan jauh lebih adil. Tidak ada kerajaan yang memiliki
kekuatan berlebih selain Dragør, selain Mariella dan Verity. Tidak ada Qyrsi
yang bisa membantu Colthas. Tidak ada sihir yang melindungi Selencia.
 

"Apa kau menyadari semua kekuatan Selencia berada di tangan Dragør


sekarang?"
 

"Kau haus dengan perang," ucap Ratu Amaranta getir. "Apa menghabisi
Rania tidak cukup untukmu?"
 

"Aku tidak segan menghabisimu bila kau tidak bisa menutup mulutmu,
Amaranta." Raja Alastair mengangkat tangan, menghentikan langkah
puluhan ribu pasukan yang ikut di belakangnya. "Apa masih ada sihir di
Dragør?"
 

Raja Alastair melihat kabut pekat di hadapannya. Mereka seharusnya


belum tiba di pusat inti Dragør. Pintu gerbang Dragør juga sepertinya
mengeluarkan sebagian sihir yang melindungi Dragør.
 

"Masih ada, Yang Mulia." Ratu Amaranta memperhatikan kabut itu. "Tidak
ada pilihan, kita tetap harus melewati sihir Dragør untuk masuk ke
dalamnya."
 

"Seperti apa sihirnya?" tanya Raja Alastair.


 

"Sihirnya akan memperlihatkan keinginan terdalammu." Raja Alastair


mengangguk sekilas dan kembali mengangkat langannya. "Kita akan
berjalan ke sana! Ke dalam Kerajaan Drager!" ucapnya dengan lantang.
 

Suara derap langkah juga kuda yang menghentak seolah menyetujui


perkataannya. Puluhan ribu tentara Austmarr dan Selencia masuk kabut
itu, perlahan-lahan dipertemukan dengan keinginan terpendam mereka,
keinginan yang akan menghancurkan mereka dari dalam.
 

Kabut itu gelap dan pekat. Raja Alastair memegang ujung pedangnya,
bersiap menyerang siapa pun yang menghampiri. Dari sisi kirinya, ia bisa
melihat Ratu Amaranta yang juga terlihat waspada.
 

"Mariella." Ratu Amaranta berbisik ketika melihat sosok yang berdiri di


hadapan mereka. Sosok itu terlihat begitu mirip Mariella, rambut
pirangnya terjalin di belakang kepala, mata violetnya ungu pucat, nyaris
putih seperti susu. "Alastair, kita harus segera meninggalkan tempat ini!"
 

"Apa kau tahu jalan keluar dari sini?" Raja Alastair menahan gerakan
kudanya dengan gelisah. Ia juga melihat sosok yang mirip Ratu Mariella di
tengah kabut tebal di hadapan mereka, sosoknya berkilauan seperti
sumber cahaya.
 

Ratu Amaranta menggelengkan kepala. "Bila ini sihir, tidak ada gunanya
menghabisi sosok itu. Dia tidak nyata."
 

Raja Alastair mengeluarkan pedangnya. "Apa kau takut?" Ia terkekeh


melihat Ratu Amaranta yang duduk gelisah dikudanya. "Tidak ada pilihan,
Amaranta. Kita harus melewati sosok itu.."
 

Tanpa aba-aba atau perkataan lagi, Raja Alastair memacu kudanya untuk
menerjang sosok itu dan menebas kepalanya tanpa ampun. Ia berhenti
sejenak melihat sosok yang baru saja diserang, lalu diam terpaku.
"Verity?" Raja Alastair menarik napas panjang melihat kepala yang terpisah
dari tubuhnya. Rambut sosok itu tidak pirang seperti Ratu Mariella,
melainkan hitam seperti istrinya, matanya yang semula berwarna ungu
pucat berubah violet terang. Sosok itu berubah menjadi Verity.
 

"Ini hanya sihir." Raja Alastair bergumam, berusaha menyadarkan diri dari
keterpanaannya saat melihat sosok itu yang perlahan-lahan menghilang
bersama kabut yang kian menipis.
 

"Ungrad!" Ratu Amaranta berseru ketika melihat sekumpulan ungrad yang


berjalan ke arah mereka.
 

Raja Alastair mengangkat kepala dan tersenyum miris melihat sekumpulan


pasukan ungrad. Pakaian mereka compang camping, tubuh mereka sudah
rusak dimakan belatung dan ulat, sebagian telah kehilangan salah satu
anggota tubuh. Tidak ada satu pun yang benar-benar utuh.
 

"Setidaknya ini lebih adil, Mariella." Raja Alastair


 

bergumam getir sembari memegang erat pedangnya. "Api!" Raja Alastair


berseru memerintahkan pasukannya untuk menyerang. Sekumpulan bola-
bola api melintasi kabut, menerjang para ungrad, dan menjatuhkan mereka
satu per satu.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Zacharias menyadari kalau masuk Dragør tidak akan semudah yang
terlihat meski pintu gerbang kerajaan telah terbuka begitu lebar. Hawa
dingin yang berembus kencang tidak membuatnya gentar atau berhenti
melangkah. Bila perhitungannya tepat, mereka masih harus menghadapi
sihir pelindung Dragør.
 

Tybalt Wildemarr yang berada di sebelahnya diam terpaku saat melihat


kabut tebal di hadapan mereka. Kabut itu seperti selubung tipis yang
memisahkan antara dunia luar dan Dragør. Menyerah atau masuk. Bila
mereka memilih untuk masuk, maka idak ada jalan keluar lagi. Tybalt
mencengkeram erat kekang kudanya. Ia sudah tidak sabar menghabisi
Pangeran Alexander dan Raja Alastair.
 

"Aku tahu setelah masuk ke dalam sana, perjanjian kita bisa hancur kapan
saja." Tybalt melirik Raja Zacharias yang balas menatapnya dengan tatapan
tajam. "Aku hanya minta agar kau fidak membunuh Putri Verity."
 

Raja Zacharias menaikkan alisnya tinggi-tinggi, lalu tertawa mencemooh.


"Bagaimana dengan Ratu Mariella dan Dragør?"
 

"Apa kau masih ingat perjanjiannya? Qyrsi kembali ke anganmu dan kau
tidak menyentuh Putri Verity." Tybalt menyadari Raja Zacharias akan
melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keinginannya, bahkan
mengotori perjanjian yang telah mereka sepakati dengan memancing
keributan di Austmarr dan mengarahkan tombaknya ke Verity.
 

"Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan setelah ini," imbuhnya.
 
Raja Zacharias tersenyum tipis. "Baiklah. Anggap saja ini balasan karena
Verity berhasil memecahkan sihir yang ibunya buat bertahun-tahun lalu."
 

Tybalt mengangguk sebelum berjalan memasuki kabut itu. Hawa dingin


yang ia rasakan di luar tadi, berbanding terbalik dengan hawa panas
menusuk dan aroma asap hutan yang terbakar.
 

"Apa ini?" la terpana melihat kehancuran di sekitarnya. Tidak hanya hutan,


tetapi juga rumah-rumah penduduk, hancur berantakan seperti dua
dekade lalu saat Qyrsi menghancurkan desa mereka dan membunuh warga
Dragør.
 

Warga Dragor di belakangnya diam terpaku melihat kehancuran yang dulu


pernah mereka rasakan.
 

"Sihirnya bahkan lebih kuat dari saat aku masuk ke sini dulu." Di sebelah
Tybalt, Raja Zacharias tersenyum lebar.
 

"Qyrsi?" Tybalt membelalakkan mata melihat seekor naga berukuran besar


yang melintas di atas mereka. Pekikan dan raungannya terdengar begitu
jelas hingga membuat tubuhnya gemetar. Ia telah mempersiapkan diri
untuk ungrad, tetapi tidak untuk hewan raksasa itu.
 

Raja Zacharias terlihat begitu antusias melihat naga yang pernah Colthas
miliki melintas di hadapannya. "Qyrsi." Ia bergumam sembari menarik
pedangnya.
 

"Apa ini sihir? Bila ini sihir, kau tidak bisa mengendalikan nagamu,
Zachary." Tybalt mengendalikan kudanya dengan susah payah.
 

"Sihir atau bukan, naga tidak pernah bisa dijinakkan. Kita harus menuju ke
puncak tertinggi Inkarnate!" Raja Zacharias berseru. Bila yang berada di
hadapannya ini adalah sihir, maka tidak ada gunanya membuang waktu di
sini.
 

"Istana Dragør." Tybalt bergumam. Ia melihat desanya yang hancur sekali


lagi, lalu menarik napas dalam-dalam, berusaha mengabaikan jeritan
permintaan tolong dari seseorang yang terjebak di salah satu rumah.
 

"Ini hanya sihir." Ia berusaha mengingatkan diri sembari terus berjalan


dengan tangan gemetar dan hati yang tak siap.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Pangeran Alexander memeluk tubuh Verity erat-erat, wanita itu masih


belum siuman sejak kehilangan kontrol atas sihirnya beberapa saat lalu.
Mereka kini berada di atas kuda menuju Istana Dragor yang terlihat
semakin dekat.
 

"Bahkan Dragor pun menyambutmu, Verity." Pangeran Alexander


bergumam ketika angin kencang juga salju yang turun tidak lagi sederas
tadi, semenjak mereka semakin dekat ke puncak tertinggi Inkarnate itu.
Pasukan Thaurin tentu sebentar lagi tiba di Dragør, begitu juga pasukan
empat kerajaan yang lain. Membawa Verity ke Istana Dragør adalah pilihan
teraman untuk saat ini.
 

Pangeran Alexander menggenggam tangan Verity yang dingin membeku


dan memeluk tubuhnya semakin erat. "Sebentar lagi. Sebentar lagi kita
sampai."
 

Langkah kuda yang Pangeran Alexander naiki berhenti tepat di depan pintu
gerbang Istana Dragør. Setelah cukup jauh melewati jalanan terjal dan
curam, kuda itu nyaris menyerah dan meringkik lemah.
 
"Verity?" Pangeran Alexander mengusap pipi Verity yang pucat, berusaha
membangunkan. Wanita itu menghabiskan para ungrad. Ia tak tahu masih
ada berapa rintangan lagi yang harus dihadapi sebelum semua kehancuran
berakhir dan ia bisa sebagian besar menepati janjinya, janji yang telah ia
buat belasan tahun lalu untuk melindungi mereka dari tenaganya untuk
melindungi dan tidak membiarkan seorang pun menyakiti Verity.
 

Pangeran Alexander tahu, masih ada perang lain yang ia harus hadapi
setelah ini, tetapi tubuhnya melemah dan matanya terlalu fokus menatap
kepala-kepala tahanan yang ditancapkan di tombak-tombak gerbang Istana
Dragør. Tidak hanya itu, saat kudanya melangkah masuk ke dalam istana,
ada beberapa tubuh berpakaian pelayan dan bangsawan menggantung di
sebuah pohon yang memiliki sulur-sulur panjang.
 

Pangeran Alexander menunduk dan refleks menatap wajah pucat Verity. Ia


menghela napas panjang dengan pikiran berkecamuk, lalu mendongak
ketika merasakan sebuah bayangan gelap tiba-tiba melewatinya.
 

Pangeran Alexander menunduk dan refleks menatap wajah pucat Verity.


Apa ia sanggup meninggalkan wanita itu di dalam istana yang penuh
dengan kehancuran ini? Namun, bukankah ia sudah meninggalkan wanita
itu selama bertahun-tahun di tangan penuh tirani ayahnya dan Amaranta?
 

"Qyrsi." Ia bergumam melihat Qyrsi. Naga itu bahkan sempat meliriknya


sesaat sebelum terbang melewati Istana Dragør menuju tempat yang
diduga sebagai tempat semuanya akan berakhir nanti.
 

Dengan berat hati, Pangeran Alexander turun dari kuda dan membawa
tubuh Verity ke tengah-tengah ruangan yang mungkin dulunya sebuah aula
besar atau ruang pertemuan. Ia meletakkan tubuh Verity dengan hati-hati
di lantai, lalu perlahan meninggalkannya.
 

"May God, save the queen."


 

 
 

 
 

XLV
MARIELLA DRAGØR
 

PANGERAN ALEXANDER MEMACU kudanya menjauh dari Istana Dragør,


tempat Verity kini berada dan berlindung di dalamnya. Ia menengadahkan
kepala, melihat langit yang kembali suram kelabu, perlahan-lahan kabut
kembali menebal dan menutupi puncak tertinggi Inkarnate.
 

Pangeran Alexander menyadari kalau ia tak bisa membawa Verity ke zona


perang dan menghancurkan semuanya, apalagi wanita itu telah kehilangan
nyaris seluruh tenaga setelah melawan para ungrad.
 

"Ini adalah yang terbaik." Pangeran Alexander bergumam lirih ketika


langkah kudanya semakin menjauh.
 

Kudanya tak berhenti sebelum tiba di tepi bukit, di mana para pengawal
yang sempat terpisah dengannya saat memasuki Dragør telah menunggu.
Pangeran Alexander memperhatikan mereka satu per satu, lalu menarik
napas dalam-dalam.
 

"Sudah menghancurkan mereka."


 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Ratu Mariella dapat melewati rintangan sihirnya dengan mudah.


Bagaimana pun juga, ia yang menciptakan dan menguatkan sihir itu.
Pasukannya yang tidak lebih dari kumpulan orang-orang terbuang dari
Pulau Mera, hanya bisa menatap kagum setiap kali cahaya sihir ungunya
menghapuskan sekaligus memasang kembali lapisan-lapisan sihir itu,
membuat sebuah perisai tak kasat mata yang melindungi mereka.
 

"Ungrad." Ratu Mariella tersenyum ketika melihat sekumpulan tulang


belulang berjalan, sisa-sisa pasukan yang telah mati dan binasa pada
perang dua dekade lalu, kini berjalan dengan tunduk dan patuh ke arahnya.
Mereka membawa perisai tua usang dan senjata karatan.
 

"Yang Mulia!" Roran membelalakkan mata. Ia pernah mendengar kisah


penyihir laut, bagaimana para bajak laut yang mati akan terus hidup dalam
keabadian seperti sosok di hadapannya ini.
 

Tidak ada yang lebih menakjubkan dari melihat ratusan bahkan ribuan
pasukan ungrad, berkumpul bersama mereka, membuat sebuah pasukan
yang tidak hanya berisi orang-orang hidup dan berasal dari pulau terbuang,
melainkan orang mati yang digerakkan dengan sihir Ratu Mariella.
 

"A-apa ini?" Roran diam terpaku melihat ratusan ungrad yang bergerak dan
berjalan di sisi mereka.
 

"Ungrad. Pasukan orang mati." Ratu Mariella tidak bisa menyembunyikan


senyum sinisnya ketika ribuan ungrad itu mengikuti perintahnya. Kali ini ia
akan memastikan kalau Dragør berada di atas angin dan memiliki kelebihan
yang tidak dimiliki pihak lain.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 
Raja Alastair mengembuskan napas gusar ketika satu demi satu ungrad
yang menyerangnya bergerak lebih cepat dan berhasil mengepung. Meski
demikian, ia masih mampu menjatuhkan mereka satu per satu. Panah juga
bola-bola api yang ditembakkan pasukannya juga membantu mengurangi
jumlah ungrad yang menyerang.
 

"Apa yang kau lakukan, Amaranta?" Raja Alastair menggeram gusar ketika
melihat Ratu Amaranta yang juga terkepung bersama para pengawalnya.
 

"Ini semua ulah Mariella!" Ratu Amaranta berteriak lantang. Ungrad dan
dzel hanya bisa dibangkitkan dengan sihir hitam dan pengorbanan darah.
Entah siapa yang menjadi korban Ratu Mariella hingga wanita itu mampu
membuat sihir sekuat ini.
 

Raja Alastair menggenggam pedangnya lebih erat ketika keheningan yang


mencekam tiba-tiba menghantam mereka.
 

"Apa ini salah satu ilusi lagi?" Ratu Amaranta berbisik lirih. Para pengawal
melindunginya dari berbagai sisi, sementara tangan kanannya
menggenggam pedang yang terlihat tidak sebanding dengan lengan
kurusnya.
 

"Ssh, diamlah!" Raja Alastair berusaha menajamkan pendengaran. Ia tidak


lagi mendengar langkah para ungrad yang terseok-seok berusaha berjalan
di atas salju, ia hanya mendengar deru napas para pasukan juga kuda-kuda
yang mereka naiki.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Ini hanya sihir." Tybalt terus bergumam dengan tangan terkepal. Ia


berusaha mengabaikan jerit tangis juga permintaan tolong di antara
rumah-rumah yang nyaris runtuh dilalap api.
 
"Kita harus menolongnya!" Satu per satu warga Dragør berhenti dan
terlihat ragu untuk meneruskan perjalanan mereka. "Ini hanya sihir!"
Tybalt berseru ketika melihat warga Dragør yang mengikutinya itu sudah
berlari menuju desa dan berusaha menyelamatkan siapa pun.
 

"Tybalt!" Raja Zacharias menatap Tybalt dengan tatapan mencemooh


seolah-olah menyadari kalau sihir itu membuat para Dragorian yang
bersamanya lemah. Ia tidak membutuhkan orang-orang lemah yang tidak
mampu melawan sihir semacam ini. "Apa kau ingin lanjut atau tetap
berada di sini?"
 

Tybalt diam terpaku, tampak menimbang. Ia bisa saja meninggalkan semua


pengikutnya demi terus bersama Raja Zacharias dan ikut perang.
 

"Tybalt!" Kali ini Tybalt benar-benar tak bisa menggerakkan kakinya saat
mendengar suara ayahnya, Martin Wildemarr, yang tiba-tiba
memanggilnya. "Ayah akan kembali, Ty. Berjanjilah kalau kau akan menjadi
penggantiku selama aku pergi."
 

"Apa kau akan tetap di sini atau pergi?" Raja Zacharias bertanya tak
sabaran. Ia tak ingin menunggu sebuah ketidakpastian. Pergi atau tidak,
Tybalt tak akan membawa banyak perubahan untuknya. Tybalt hanya salah
satu jalan agar ia mendapatkan keinginannya. Setelah berada sejauh ini di
dalam Dragør, ia merasa tak membutuhkan Tybalt lagi.
 

"Aku akan tetap di sini." Tybalt mengembuskan napas panjang setelah


sekian lama diam. "Aku tidak bisa meninggalkan mereka."
 

"Baiklah." Raja Zacharias memacu kudanya bersama ribuan pasukannya


yang melewati Tybalt begitu saja.
 
Tybalt menengadahkan kepala, melihat salju yang tiba-tiba turun dan
memadamkan api di desa dengan mudah. Tidak ada lagi yang tersisa selain
puing-puing rumah dan salju berwarna abu-abu karena berpadu dengan
asap.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Di dalam perang akan selalu ada dua sisi: sisi yang menyerang dan sisi yang
bertahan. Selama belasan tahun, Raja Alastair selalu menjadi sisi yang
bertahan. Bertahan demi mempertahankan mahkota di atas kepala, harga
diri, dan kedudukannya sebagai raja, tidak hanya di Austmarr, tetapi juga
Inkarnate.
 

Selama perjalanannya sebagai seorang raja di Inkarnate, tidak hanya sekali


ia mengalami percobaan pembunuhan atau perang yang terang-terangan
menyerang kerajaannya. Namun, ini pertama kalinya ia harus menghadapi
perang seperti ini. Di mana dua kubu yang ada tidak berada di sisi
menyerang atau bertahan. Mereka Menghancurkan dan membunuhnya
adalah hadiah untuk semua memiliki semua kerja keras yang mereka
lakukan. agenda tersendiri.
 

Keheningan yang tadinya begitu pekat, terpecahkan ketika mereka


mendengar derap langkah juga kuda yang semakin mendekat. Bahkan
tanah lapang luas di bawah mereka bergetar cukup kencang.
 

Raja Alastair mengganggam pedangnya lalu menggerakkan kuda untuk


berada di baris terdepan. "Bersiap!" Ia mengangkat langan, bersiap
memerintahkan pasukannya untuk melempar bola-bola api bila para
ungrad itu bangkit kembali.
 

"Alastair!" Raja Zacharias yang juga berada di baris terdepan di antara para
pasukannya, terkekeh ketika melihat Raja Alastair juga sekumpulan tulang
belulang sisa para ungrad yang menyerang mereka menyangka akan
menemuimu secepat ini." tadi. "Aku tidak
 

"Apa yang kau harapkan di sini, Zacharias?"


 

"Qyrsi tentu saja!" Raja Zacharis menjawabnya dengan lantang sembari


mendengkus keras.
 

"Tak menyangka akan bertemu denganku di sini? Mariella telah


mempersiapkan ini. Bukan begitu, Amaranta?"
 

Ratu Amaranta yang berada di antara para pengawalnya ikut maju.


"Mariella mengumpulkan kita semua di sini, dia juga mengarahkanmu
untuk datang ke tempat ini."
 

"Untuk apa?" Raja Zacharias mengangkat alisnya tinggi tinggi.


 

"Agar kalian menghabisi satu sama lain tentu saja. Sementara ia mencari
sesuatu yang lebih penting." Ratu Amaranta menarik napas gusar. Ia jelas
menyadari kalau Raja Zacharias tidak pernah peduli siapa yang akan
dihadapi sepanjang bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.
 

"Aku hanya menginginkan Qyrsi. Bila aku juga bisa menghancurkan Alastair
dalam proses itu, kenapa tidak?" Pria itu benar-benar gila.
 

Raja Zacharias mungkin melupakan hal terpenting yang ada, Qyrsi juga
terkurung di tempat ini, dan naga itu tidak bisa dijinakkan begitu saja
hanya karena ia penerus Colthas yang sah.
 

"Aku tidak memiliki waktu untuk ini." Raja Alastair bergerak menjauh. Ia
tidak akan menghadapi perang kosong bersama Raja Zacharias walaupun ia
ingin, Tujuannya datang ke Drager adalah untuk menghancurkan Ratu
Mariella dan menemukan Verity.
 

"Apa kau takut?" Tawa mengejek Raja Zacharias terdengar begitu jelas di
telinga Raja Alastair.
 

"Kuharap kau tak mati karena ketamakanmu sendiri, Zachary." Raja Alastair
mengembuskan napas gusar. Ia menarik napas dalam-dalam saat
mendengar terompet penanda perang, juga pekikan hewan buas raksasa
yang tiba-tiba melintas di atas mereka.
 

"Qyrsi," ucap Raja Zacharias takjub saat hewan buas raksasa itu
mengembuskan napas api yang membakar hutan di sekeliling mereka.
 

"Ungrad!" Ratu Amaranta berseru ketika pasukan tulang belulang itu


kembali bangkit dan mengepung, membuat mereka semakin terjebak.
 

"Mariella!" Raja Alastair menggeram ketika melihat wanita berambut


pirang platina yang tiba di hadapan mereka.
 

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari tempat ini." Ratu Mariella
berseru lantang. Ada empat sisi yang saling berlawanan di antara mereka:
Selencia, Dragør, Colthas, dan Austmarr. Sementara sebagian orang-orang
Raria berada di sisinya. "Serang mereka!"
 
 

Ratu Mariella tersenyum sinis saat ungrad yang digerakkan oleh sihir
hitamnya bergerak cepat dan mulai menyerang siapa saja. Pasukan Colthas
terlihat kepayahan dan tidak siap ketika ungrad itu tidak juga mati
walaupun kepala dan badannya telah terpisah atau ditusuk dengan
pedang.
 
Raja Zacharias terlalu terpaku menghadapi Qyrsi yang tidak bisa dengan
mudah dijinakkan. Ayahnya adalah orang terakhir yang dapat
mengendalikan naga itu dan sudah nyaris dua dekade berlalu semenjak
Qyrsi bertemu kembali dengan tuannya.
 

Di tengah kekacauan yang ada, Raja Alastair menyadari Ratu Mariella pergi
seorang diri meninggalkan pasukannya. "Amaranta!" Ia berseru, lalu
mendekati Ratu Amaranta dan menarik lengannya dari atas kuda.
 

"Apa yang ingin kau lakukan!"


 

"Di mana Istana Dragør?" Raja Alastair berkata tegas.


 

Ratu Amaranta juga menyadari Ratu Mariella telah pergi dengan memacu
cepat kudanya. "Puncak tertinggi Inkarnate."
 

"Verity berada di sana." Raja Alastair bergumam.


 

"Jenderal!" Jenderal Irvin yang sedari tadi memerintahkan semua


pasukannya untuk menyerang dan menghabisi para ungrad, segera
menghampiri Raja Alastair. "Ya, Yang Mulia?"
 

"Bunuh Zacharias Colthas! Bagaimana pun caranya."


 

"Siap, Yang Mulia." Jenderal Irvin memacu kembali kudanya,


memerintahkan para pasukannya untuk menyerang Qyrsi dan memastikan
kalau Raja Zacharias tidak berada di dekat makhluk buas itu.
 

"Kita harus segera menuju ke Istana Dragør!" Ratu Amaranta mengangguk


dan mengikuti Raja Alastair menuju puncak tertinggi Inkarnate.
 
亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Ratu Mariella menghentikan kudanya ketika melihat empat sosok berjubah


hitam yang berada di kaki gunung Dragør sekaligus jalan masuk menuju
istana.
 

"Aku tidak menyangka kau akan berada di sini, Alexander." Ratu Mariella
menyadari Pangeran Alexander semakin dewasa, tidak lagi seperti remaja
tanggung yang pernah ia temui dulu di Pulau Mera. Ia menyadari kalau pria
di hadapannya ini tak bisa diremehkan.
 

"Aku tahu kau akan tiba ke tempat ini, Mariella," kata Pangeran Alexander
dingin.
 

"Di mana pasukanmu?" Ratu Mariella mengembuskan napas panjang. "Apa


kau meremehkanku dengan mempersiapkan tiga pengawalmu?"
 

"Aku tidak pernah meremehkanmu, Mariella." Mata hijau Pangeran


Alexander menatap mata ungu pucat Ratu Mariella. Ia mengembuskan
napas panjang ketika menyadari sejauh mana wanita ini telah
mengorbankan diri demi sihir hitam yang ia dapatkan sekarang. "Kau
bahkan mengorbankan kedua matamu demi menguasai Inkarnate."
 

"Kau tahu?" Ratu Mariella tertawa nyaring. "Tidak ada seorang pun yang
menyadarinya karena bahkan tanpa kedua mataku pun, aku masih bisa
melihat dengan baik."
 

"Aku tahu kau tidak membutuhkan kedua matamu untuk dapat melihatku,
Alastair, atau Amaranta. Tapi bagaimana dengan anakmu sendiri? Apa kau
bisa melihatnya?"
 
Ratu Mariella terdiam sesaat, lalu kembali tersenyum sinis. "Apa kau akan
membiarkanku lewat atau tidak?"
 

Pangeran Alexander mendengar gemuruh longsor salju yang berada di


atasnya. "Apa yang paling kau ingin, Mariella? Setelah bermain-main
dengan semua keinginan terdalam orang orang ini, apa keinginanmu? Saat
mengutuk hati Raja Austmarr kau juga kehilangan hatimu dalam prosesnya
bukan? Ada timbal balik dalam sihir hitam, Mariella. Musim dingin di
Dragør ini bukan proses sihir alami, melainkan isi hatimu yang dingin dan
kelam, dipenuhi niat balas dendam." la memperhatikan mata ungu pucat
Ratu Mariella yang nyaris putih seperti susu.
 

"Tahu apa kau, Alexander? Saat dirimu sendiri membunuh ayahmu dan
mengancam Alastair demi mendapatkan apa yang kau inginkan?" Ratu
Mariella menggerakkan tangan, sihirnya membuat longsoran es bergerak
semakin cepat ke arah Pangeran Alexander.
 

Di saat Pangeran Alexander berusaha menghindarinya, Ratu Mariella


bergerak menuju Istana Dragør, tempat di mana semuanya bermula dan
berakhir baginya.
 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

 
 

XLVI
WAYWARD SISTERS
 

RATU AMARANTA MENARIK napas dalam-dalam, lalu memacu kudanya


semakin cepat menuju puncak tertinggi Dragør, mengabaikan badai salju
yang semakin kencang. Raja Alastair juga melakukan hal sama meski kini
Istana Dragør tidak terlihat karena tertutup kabut dan badai salju.
 

"Berhenti!" Raja Alastair berteriak saat mereka melihat beberapa pengawal


Pangeran Alexander yang berpakaian serba hitam berada di bawah tebing
curam. "Apa itu Alexander?" Ratu Amaranta terkesiap kaget
 

melihat sebagian dari mereka telah mati karena terjatuh. mendongak,


berusaha melihat Istana Dragør yang semakin "Bukan." tertutup badai
salju. "Dia berada di atas sana." Raja Alastair menggelengkan kepala dan
"Semua ini karena Mariella! Kita harus segera ke sana." Ratu Amaranta
memegang erat tali kekang kudanya.
 

"Apa yang akan kau lakukan di sana?" Raja Alastair menatap selidik mata
violet Ratu Amaranta. "Apa yang membuatmu berada di sini? Sejauh ini,
Amaranta?"
 

"Clementine adalah putriku." Ratu Amaranta menggeram marah. Mereka


telah berada cukup dekat dengan Istana Dragør dan Raja Alastair menahan
langkahnya di sini.
 
"Putrimu?" Raja Alastair menyadari kalau seluruh sihir di Dragør adalah
jebakan, memerangkap dengan keinginan terdalam yang fana,
mempermainkan berulang kali, lagi dan lagi, seolah tiada henti. Ia berhasil
melewati, terus berjalan sampai sejauh ini, hanya untuk menyelamatkan
Verity dan menyelesaikan apa pun yang tersisa dari perang dua dekade
lalu.
 

"Verity bukan putrimu!" tegasnya setelah lama terdiam. "Mariella mungkin


orang yang telah melahirkannya, tetapi akulah yang membesarkannya. Dia
adalah putriku, Alastair." Ratu Amaranta berbicara tak kalah tegas.
 

"Kau membesarkannya untuk membalas dendammu, Amaranta. Kau


membenci Mariella." Raja Alastair menatap mata violet Ratu Amaranta, ia
bisa melihat sekelebat amarah juga dendam di mata wanita itu. Amarah
juga dendam yang tidak bisa disingkirkan walaupun Ratu Mariella telah
dianggap mati selama belasan tahun. Karena wanita itu hanyalah
menginginkan sebuah pengakuan, pengakuan yang tidak bisa ia dapatkan
dari rakyat Selencia bahkan kedua orang tuanya.
 

"Menguasai Inkarnate tidak akan membuatmu serta-merta menjadi lebih


hebat daripada Mariella. Verity bukan bonekamu lagi," imbuh Raja Alastair.
 

"Apa kau lupa kalau kau juga pernah menganggapnya sebagai pionmu?"
balas Ratu Amaranta.
 

"Itu adalah kesalahanku. Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama."
Mungkin pada mulanya Verity hanyalah salah satu alat bagi Raja Alastair
untuk mempersatukan Inkarnate. Pernikahan mereka direncanakan
sedemikian rupa untuk menggabungkan kekuatan Selencia dan Austmarr,
juga menghindari perpecahan di antara kedua kerajaan. Siapa yang
menyangka ternyata wanita itu berhasil merebut hatinya dan tidak lagi
dijadikan pion untuk menggerakkan kerajaan lain.
 
Suara gemuruh petir yang tiba-tiba menggelegar dari puncak tertinggi
Inkarnate membuat keduanya menatap kembali ke Istana Dragør.
 

Ratu Amaranta membelalakkan mata melihat petir yang bersahutan dan


badai salju semakin deras, mengaburkan pandangannya. "Apa yang terjadi
di atas sana?"
 

Raja Alastair mengabaikan perkataan Ratu Amaranta, dia memaksa


kudanya untuk naik ke Istana Dragør.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Jenderal Irvin menyipitkan mata, berusaha melihat gerakan Raja Zacharias


yang berada di antara prajurit Colthas dan berusaha melawan naganya
sendiri.
 

"Ungrad!" Di sisi lain, ada para ungrad menyerang mereka dengan


kecepatan membabi buta. Dragør mungkin tidak memiliki banyak prajurit
terlatih, sebagian besar mereka adalah orang-orang terbuang dari Pulau
Mera dan Raria, sementara sisanya para ungrad. Meski begitu, kekuatan
mereka tidak bisa dianggap sepele. Ungrad-ungrad nyaris sama seperti
prajurit biasa, bahkan bisa dianggap lebih kuat karena mereka tidak mati
hanya dengan sekali tusukan.
 

"Siapkan apinya!" Jenderal Irvin mengangkat tangan, memberikan aba-aba


kepada para prajurit yang membawa anak panah serta pelontar bola api.
"Serang!"
 

Serangan berhasil mengenai beberapa ungrad juga prajurit Colthas di


hadapan mereka.
 
"Serang!" Jenderal Irvin memerintahkan lagi. Seandainya saja ia bisa
memancing Qyrsi agar menyemburkan apinya dan menyerang para Ungrad
itu.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Ratu Mariella melangkah memasuki Istana Dragør, satu satunya tempat di


mana sihirnya tidak bisa menyentuh para mayat di bawah sana dan
mengubahnya menjadi Ungrad. Keadaan kerajaan masih sama seperti saat
ia pergi dulu. Masih banyak perabotan juga ornamen yang tersisa
meskipun tertutup debu dan rusak termakan usia. Sementara
bangunannya masih bisa disebut sebagai istana, Istana Dragør yang hancur.
 

"Apa kau kira kau bisa menyingkirkanku dengan mudah?" Ratu Mariella
berbalik dan melihat Pangeran Alexander yang nyaris tidak terpengaruh
dengan sihirnya tadi.
 

"Aku tahu kalau aku tidak bisa menyingkirkanmu dengan mudah,


Alexander." Ratu Mariella mengangkat tangan, hendak menyerang
Pangeran Alexander dengan sihir ketika ia menangkap sekelebat tatapan
khawatir dari mata pria itu. "Kenapa kau-"
 

"Tidak seharusnya kau menempatkannya di posisi seperti ini, Mariella.


Hatimu telah rusak, kau mengorbankannya demi dendam." Pangeran
Alexander memotong perkataan Ratu Mariella. Ia mengatakan hal yang
orang-orang telah katakan kepada wanita itu belasan tahun lalu, sebelum
kehancuran Dragør mengubah dan merusaknya.
 

"Katakan itu kepada orang-orang yang menghancurkan istanaku,


membunuh telah suamiku, merebut anakku, dan menyiksaku!" Ratu
Mariella mengangkat tubuh Pangeran Alexander dengan sihirnya dan
melemparnya ke dinding. Ia lalu melangkah masuk ke ruang aula terbesar
di dalam istana. Tempat yang dulu pernah dipenuhi canda tawa dan suka
cita, kini tersisa sebagai ruangan kosong yang hampa. Namun, Verity
terbaring di sana.
 

"Verity...." Ratu Mariella berbisik lirih saat mendekati sosok itu.


 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

Raja Alastair berhasil masuk Istana Dragør, mengabaikan sisa sisa perang
dua dekade lalu di sekitarnya. Matanya bisa menangkap Pangeran
Alexander yang terbaring tak jauh dari sebuah pilar besar, sebuah pertanda
kalau Ratu Mariella telah benar-benar berada di sana.
 

"Mariella!" Suara Raja Alastair menghentikan gerakan Ratu Mariella yang


hendak mendekati Verity. "Berhenti!"
 

Ratu Mariella menegakkan tubuhnya dan berbalik menghadap Raja


Alastair. "Kau berada di sini." Ia menyunggingkan senyuman tipis dan
menatap misterius ke arah Verity. "Mencari putriku?".
 

"Mariella!" Ratu Amaranta yang berada di belakang Raja Alastair, melihat


Ratu Mariella dengan mata terbelalak lebar. "Kau masih. .. "
 

"Hidup?" Ratu Mariella tertawa kecil melihat kembarannya. "Aku tahu kau
berharap aku mati, Sister."
 

"Menjauh dari sana, Mariella!" Raja Alastair memperingati sekali lagi ketika
menyadari Ratu Mariella hendak melakukan sesuatu kepada Verity.
 

"Seorang Raja Inkarnate seharusnya tidak memperlihatkan kelemahannya


dengan jelas." Ratu Mariella berkata dengan nada mencemooh.
 
"Apa kau akan mengorbankan putrimu sendiri....." Raja Alastair segera
menemukan jawaban ketika melihat tubuh Verity yang tadinya terbaring
perlahan bangkit. "Verity!"
 

Raja Alastair menahan napasnya saat melihat mata Verity yang biasanya
berwarna violet terang, berubah seputih susu, nyaris menyerupai mata
Ratu Mariella.
 

"Dzel!" Ratu Amaranta terkesiap kaget.


 

"Kau mengubah putrimu sendiri menjadi Dzel!" Dzel nyaris dengan Ungrad,
yang membedakan hanyalah sama bila ungrad berasal dari orang-orang
yang telah mati dan nantinya akan kembali mati, Dzel berasal dari orang-
orang yang masih hidup dan hingga saat ini tidak ada yang bisa bertahan
hidup setelah menjadi Dzel.
 

"Verity." Ratu Mariella tersenyum tipis saat menggenggam tangan putrinya


yang kini tidak ada bedanya dengan mayat hidup.
 

"Verity, apa kau mengenaliku?" Raja Alastair menatap mata violet pucat
Verity, wanita itu tidak merespons sedikit pun. "Kenapa kau melakukan ini,
Mariella?"
 

"Karena dia adalah kelemahanmu."


 

Verity mengangkat tangannya dan menatap Raja Alastair.


 

"Verity?" Raja Alastair menekan dadanya yang tiba-tiba sesak dan


menyakitkan. Jantungnya seperti tengah diremas dengan kekuatan yang
sangat besar.
 
"Dia bisa membuatmu merasa hidup, juga bisa membuatmu berada di
ambang kematian," ucap Ratu Mariella lirih. "Sementara kau, Amaranta.
Bila saja aku bisa membuatmu merasakan apa yang telah kau lakukan
selama ini kepada putriku dengan mudah.... "
 

Ratu Amaranta terjatuh ketika merasakan darahnya memanas seperti telah


menelan api. Alih-alih menjerit kesakitan, ia malah tertawa. "Aku senang
kau tidak setengah-setengah ketika melawanku, Mariella."
 

"Bukankah ini yang kau inginkan?" Ratu Mariella bergerak menuju Ratu
Amaranta, lalu menunduk ke hadapannya.
 

"Kau mengeluarkan seluruh kekuatanmu dan aku mengeluarkan seluruh


kekuatanku." Ratu Amaranta terkekeh mendengar suaranya sendiri yang
serak. "Aku telah memberikan hal terbaik yang aku bisa untuk
menghancurkanmu."
 

"Kau!" Ratu Mariella terpekik ketika Ratu Amaranta menyabet lengannya


dengan belati. "Bodoh! Ini tidak akan bisa membunuhku dengan mudah."
 

"Aku tahu." Ratu Amaranta memejamkan mata sekilas ketika merasakan


api yang semakin membara di dalam dirinya. "Aku yang membesarkan
Clementine... Verity, putrimu."
 

Ratu Amaranta terbatuk beberapa kali dan memuntahkan darah berwarna


hitam pekat. Ia tertawa getir. "Mengubahnya menjadi dzel, aku tidak
menyangka ka-u akan melakukannya. Dia jauh le-bih ku-at daripada itu." Ia
berucap terpatah-patah dan menyadari hidupnya kini berada di ujung
tanduk. Sihir Ratu Mariella telah berhasil merusak tubuhnya.
 
"Karena a-ku... y-ang membesarkannya." Ratu Amaranta tersenyum sinis
ketika melihat raut wajah Ratu Mariella berubah sebelum wanita itu
menyerangnya secara membabi buta, membuatnya menjerit kesakitan
karena merasakan kematian yang pelan dan menyakitkan.
 

"Verity, bunuh dia!" Ratu Mariella menghadap ke arah Verity dan


memerintahkan wanita itu untuk tidak lagi memainkan jantung Raja
Alastair, melainkan segera bunuh pria itu.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Apa itu?" Jenderal Irvin melihat kedatangan pasukan baru yang bahu
membahu membantu mereka melawan Colthas dan ungrad.
 

"Thaurin, Jenderal." Jenderal Irvin mengangguk saat melihat bala bantuan


menyatu dengan pasukan. Ia melihat sosok Qyrsi yang masih terbang di
atas mereka. "Siapkan tombaknya!"
 

Pasukann segera menyiapkan sebuah tombak terbesar yang terbuat dari


baja terbaik di Inkarnate. Satu-satunya senjata yang dapat menembus kulit
keras raksasa itu dan menyakitinya.
 

"Serang!" Jenderal Irvin tidak akan menyia-nyiakan momentum untuk


menghabisi musuh.
 

Tombak baja melesat kencang ke arah Qyrsi dan berhasil melukainya. Naga
raksasa itu memekik kencang dan menyemburkan apinya yang mengenai
para ungrad dan pasukan Colthas.
 

Tidak ada perang tanpa pengorbanan. Jenderal Irvin bergumam di dalam


hati ketika melihat sebagian pasukannya ikut terkena semburan dan mati.
 
"Ada jalan menuju Raja Zacharias, Jenderal." Salah satu anak buahnya
menunjuk ke arah Raja Zacharias.
 

"Persiapkan pasukan untuk membuka jalannya! Aku sendiri yang akan


membunuhnya." Jenderal Irvin mencengkeram pedangnya ketika melihat
sekumpulan orang-orang asing yang tiba-tiba berada di antara pasukan
Colthas.
 

"Tybalt Wildemarr." Jenderal Irvin bergumam ketika melihat sosok itu


berada di antara mereka.
 

Sihir itu berhasil menjebak mereka selama beberapa saat sebelum Tybalt
mendengar suara Qyrsi dan memerintahkan seluruh warga Dragør untuk
mengikutinya. Kini mereka berada di tengah-tengah peperangan antara
lima kerajaan-bila saja sebagian orang-orang terbuang yang berasal dari
Raria tidak dihitung sebagai pasukan Raria.
 

"Tybalt!" Tybalt mendengar seruan warga Dragør yang tiba tiba berada di
dalam kepungan prajurit Colthas.
 

"Apa yang kau inginkan, Zacharias?" Tybalt menggeram marah melihat


sekutunya telah kembali berbalik arah menjadi musuh.
 

"Tidakkah kau lihat apa yang ada di depan sana, Tybalt? Ungrad. Aku harus
membunuh Mariella agar bisa mengendalikan nagaku kembali." Raja
Zacharias menarik pedang dan mengarahkannya ke Tybalt.
 

"Kau tahu aku tidak bisa melakukan apa pun untuk membantumu." Tybalt
menatap Raja Zacharias, pria yang telah dibutakan oleh ketamakannya
sendiri. Cara apa pun tidak akan membuatnya puas sebelum mendapatkan
apa yang diinginkan.
"Mungkin saja ratumu bisa melakukan sesuatu demi rakyatnya?"
 

Tybalt melihat ke belakang Raja Zacharias, Jenderal Irvin yang telah siap
dengan busur panahnya. "Aku tidak tahu." Ia menjawab perkataan Raja
Zacharias tepat saat Jenderal Irvin menarik tali busur dan anak panahnya
melesat cepat hingga tertancap di punggung Raja Zacharias.
 

Tybalt mengambil alih pedang Raja Zacharias, lalu menusuk dada pria itu.
Ia memastikan Raja Zacharias telah benar-benar mati sebelum menarik
pedang yang tertancap di dada pria itu dan menghabisi prajurit Colthas
yang menyerangnya satu per satu.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Verity!"
 

"Verity!"
 

Verity bisa mendengar dua suara yang memanggilnya, memohon juga


memerintahnya. Raja Alastair berada di hadapannya dan memohon,
sementara ia terus berjalan mendekat dan menyakiti pria itu.
 

"Verity, aku tahu ini bukan kau yang sesungguhnya." Raja Alastair berbisik
lirih. Ia mencengkeram dadanya sendiri, menahan sakit yang teramat
sangat.
 

"Ini bu-kan... a-ku." Verity mengucapkannya lirih sembari mengerjapkan


mata berulang kali.
 

"Jangan biarkan mereka mempermainkanmu lagi! Kau bukan pion. Kau


bukan boneka. Kau bebas sekarang." Raja Alastair berbisik kepadanya.
Tangan pria itu tidak lagi meremas dada, tetapi berusaha menyentuh
wajahnya, menyadarkannya.
 

"Verity!" Ratu Mariella memanggil ketika menyadari sihirnya tidak lagi bisa
memengaruhi Verity.
 

"Aku bebas." Verity bergumam ketika ia berbalik dan melihat Ratu Mariella
yang terpaku di tengah ruangan. Terkejut karena untuk pertama kalinya, ia
melihat Dzel yang sanggup melawan tuannya.
 

"Aku bebas!" jerit Verity.


 

Ratu Mariella terpekik ketika merasakan sihir yang tadinya memenjarakan


Verity di dalam tubuhnya sendiri, berbalik arah melawannya. Di tengah
momentum itu, Raja Alastair bangkit dan segera mengeluarkan belati
bertatah permata yang pernah Verity gunakan untuk membunuhnya, belati
yang berasal dari sisik naga yang dapat membunuh penyihir.
 

"Tidak!" Raja Alastair menusuk dada Ratu Mariella, membuat wanita itu
terhuyung kaget.
 

"Tidak, tidak, tidak!" Ratu Mariella terbatuk beberapa kali sembari


menahan dadanya yang tertancap belati.
 

Verity merasakan Raja Alastair yang tiba-tiba memeluknya. Lengannya,


dadanya, aromanya. Verity bahkan tidak menyadari kalau dirinya tiba-tiba
kesulitan bernapas dan tengah berusaha menenangkan degup jantungnya
sendiri.
 

"Bernapas, Verity. Semuanya sudah berakhir sekarang. Kau baik-baik saja


sekarang. Kau bebas." Raja Alastair mengecup puncak kepala Verity.
 

Verity memejamkan mata, berusaha mengingat kembali apa yang terjadi


sebelum ia berakhir di sini. Suara degup jantung Raja Alastair yang tenang
perlahan-lahan ikut membuatnya tenang. Ia lalu menarik napas dalam-
dalam dan menatap Raja Alastair. "Ibu-ku Mariella ... . Am-aranta."
 

Verity terkejut ketika melihat sosok yang selama ini tidak pernah ada dalam
hidupnya, kini berada di hadapannya. "Ibuku d-dia... dia bukan keluargaku.
A-aku tidak memiliki keluarga. A-ku tidak punya siapa-siapa lagi." Ia tidak
bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat
ini.
 

"Aku akan menjadi keluargamu. Aku adalah keluargamu. Kita punya satu
sama lain sekarang." Raja Alastair memeluk Verity semakin erat dan
membiarkan wanita itu terisak di dadanya.
 

Sihir yang memenjarakan Dragør selama bertahun-tahun perlahan runtuh.


Untuk pertama kalinya cahaya matahari berhasil melewati awan kelabu
pekat yang selama ini menggantung di atas langit Dragør.
 

"Sihirnya...." Verity melepaskan pelukannya sesaat. Udara dingin yang


tadinya berembus begitu kuat kini menghangat, layaknya musim semi yang
baru saja tiba. Verity menarik napas dalam, matanya berkaca-kaca saat
melihat jasad dua wanita yang begitu serupa, tetapi juga begitu berbeda di
saat yang bersamaan. Mariella dan Amaranta, ibunya. Verity terisak,
selama bertahun-tahun ia mendambakan sebuah keluarga, tempat tinggal
hangat di pinggir kota, sepiring santapan yang lezat dan mengenyangkan.
Impiannya selama berada di penjara bawah tanah, untuk pertama kali ia
menyadari jika mimpinya bukan hanya sekadar mimpi, bahwa mimpinya
bisa menjadi kenyataan.
 

"Sihirnya berakhir." Alastair mengusap air mata yang membasahi pipi


Verity. "Semuanya sudah berakhir, Verity."
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 
Musuh kini saling bersatu menjadi sekutu bersama-sama melawan ungrad
yang terus hidup kembali, tak peduli berapa kali mereka menebas kepala,
tangan, dan anggota tubuh mereka.
 

Makhluk hidup berbeda dengan makhluk yang telah mati, manusia


memiliki batasan tenaga. Tidak hanya Jenderal Irvin, Tybalt pun nyaris
menyerah ketika ungrad yang mereka lawan hidup kembali. Para prajurit
yang mati pun berubah menjadi ungrad.
 

Tybalt memejamkan mata saat merasakan embusan hangat, tubuhnya


bersiap menerima serangan apa pun yang para ungrad lontarkan, begitu
juga napas api Qyrsi.
 

"Sihirnya." Jenderal Irvin terdiam saat melihat satu per satu ungrad yang
menyerang mereka kembali mati berubah menjadi abu. "Sihirnya...
berakhir."
 

Tybalt membuka mata, ungrad yang mereka lawan telah roboh dan kembali
ke wujud mereka yang sesungguhnya yang seharusnya telah hancur sejak
bertahun-tahun lalu. Musim dingin yang berlangsung terus menerus
selama dua dekade mengawetkan tubuh mereka, tetapi kini, setelah
sihirnya berakhir, para ungrad berubah menjadi debu, menyisakan sisa sisa
jasad para prajurit yang tidak berhasil diselamatkan.
 

Awan pekat yang menyelubungi Dragør memudar, memudahkan cahaya


matahari memasuki tanah Dragør untuk pertama kalinya setelah bertahun-
tahun. Jenderal Irvin membelalakkan mata saat melihat Qyrsi yang terbang
menjauh, para prajurit telah bersiap menembakkan tombak ke arah
makhluk raksasa itu ketika Tybalt menghentikan mereka.
 

"Berhenti." Tybalt menggeleng. "Biarkan dia. Hanya Colthas sejati yang bisa
mengendalikan naga." Berusaha melawan makhluk purba itu hanya akan
membawa kehancuran kepada mereka. Qyrsi telah terperangkap selama
nyaris dua dekade di dalam sihir yang menyelubungi Dragør. Tidak akan
mudah membawa makhluk itu keluar dari Dragør. Sama seperti dirinya,
mereka mungkin bisa membawa raganya keluar dari Dragor, tetapi mereka
tidak bisa membawa Dragør keluar dari dalam dirinya.
 

Pada akhirnya perang berakhir, ungrad yang musnah pun juga menjadi
pertanda bahwa Mariella Dragør telah tiada. Bila ini adalah akhir demi
sebuah kedamaian, Tybalt tak bisa membantahnya. Verity Dragør adalah
penerus sah takhta kerajaan Dragor.
 

 
 

 
 

 
 

EPILOGUE
 

VERITY MENATAP GAUN yang ia kenakan di depan cermin. Ja kembali ke


Austmarr sekarang, bukan sebagai Clementine Selencia, tetapi Verity
Clementine Dragør. Ia memutuskan untuk menyelipkan nama Clementine
sebagai bentuk simbolis kalau ia juga keturunan Selencia, walaupun hanya
pengganti Putri Clementin dan Ratu Amaranta bukan ibunya.
 

Tiga bulan berlalu semenjak perang kedua pecah dan lima kerajaan lagi-lagi
berperang demi membalaskan dendam mereka. Kematian Ratu Mariella
tidak hanya menghentikan langkah para ungrad, tetapi membuka segel
sihir yang mengunci Kerajaan Dragør selama belasan tahun.
 
Pada hari ini bukan hanya Verity yang disahkan menjadi ratu di Dragør dan
Selencia, Hadrian Colthas menggantikan kakaknya yang gugur di medan
perang, dan Orion Raria juga akan menggantikan ibunya. Namun, karena
usia Orion yang masih sangat muda, Raja Alastair akan menggantikannya
untuk sementara.
 

Verity menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan ketika


menyadari dirinya masih belum pantas menjadi ratu. Pada awal musim
semi lalu, ia masih seperti seekor tikus kecil yang terkurung di penjara,
menunggu Ratu Amaranta membebaskannya dari penderitaan selama
belasan tahun. Verity mencengkeram erat gaun yang ia kenakan, tiba-tiba
teringat kembali saat baru menikah dengan Raja Alastair dan mencari
waktu yang tepat untuk membunuh pria itu. Bila saja ia benar benar
membunuh Raja Alastair, mungkin saat ini masih menjadi boneka Ratu
Amaranta dan tidak akan pernah bebas.
 

"Verity?" Verity berbalik dan melihat Pangeran Alexander yang membawa


sebuah kotak. Pria itu maju dengan susah payah. Sebuah tangan palsu yang
terbuat dari perak dan emas menggantikan tangan kanannya, ada gurat-
gurat kesakitan di wajahnya setiap kali ia melangkah. Serangan Ratu
Mariella mengakibatkan luka cukup dalam di tubuhnya.
 

"Apa itu?" Verity mengerutkan kening, kembali teringat saat Raja Alastair
membawa kotak berisi mahkota ibunya ke hadapannya.
 

"Ini berasal dari Selencia." Pangeran Alexander menaruh kotak kayu di


hadapan Verity dan membukanya. Satu set perhiasan dengan hiasan
amethyst dan berlian. "Seperti warna mata para keturunan Selencia. Ini
pernah menjadi milik Mariella dan Amaranta."
 

Verity mengangguk kaku. Ia masih tidak tahu harus memiliki perasaan


seperti apa kepada Ratu Mariella ataupun Ratu Amaranta. Hatinya
mungkin dulu pernah dipenuhi dengan kebencian kepada Ratu Amaranta
karena wanita itu telah menyiksanya, juga kekosongan kepada Ratu
Mariella karena wanita itu tidak pernah berada di sisinya. Namun,
bagaimana pun juga kedua wanita itu adalah ibunya.
 

"Aku..." Verity memutuskan untuk mengatupkan bibirnya, menerima kotak


itu dari tangan Pangeran Alexander, dan meletakkannya di atas meja.
 

Pangeran Alexander mengambil kotak lain yang lebih besar dan kembali
memberikannya kepada Verity. "Ini milik ayahmu, Ferdinand Dragør."
Sebuah mahkota berukuran cukup besar dengan batu permata hitam yang
langka berada di dalamnya.
 

Verity mengangguk lagi. Kini ia benar-benar mengerti maksud Pangeran


Alexander datang dan membawa dua benda bersejarah milik Dragør dan
Selencia. "Terima kasih, Alexander."
 

Verity menyerahkan benda bersejarah itu kepada pelayannya yang segera


memasangkan di leher dan telinganya.
 

"Apa kau siap?" Pangeran Alexander menatap Verity sembari tersenyum


tipis.
 

Dengan ragu-ragu, Verity meletakkan tangannya lekukan tangan Pangeran


Alexander, lalu mengangguk. "Terima kasih telah menemaniku sejauh ini,
Alexander."
 

Hari ini, Pangeran Alexander akan menggantikan Richard Blaxton dan


membawanya ke hadapan Raja Alastair yang akan meresmikannya sebagai
Ratu Dragør dan Selencia.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 
Verity melangkah ke hadapan Raja Alastair. Mata violetnya menatap lurus
ke depan, tidak lagi menunduk seperti dulu. Hadrian Colthas telah berdiri
di depan sana, mahkota Raja Colthas berada di kepalanya. Pria itu telah
benar-benar menggantikan Raja Zacharias III Colthas. Di sebelahnya berdiri
Tybalt Wildemarr yang menatap lurus ke arah Verity. Pria itu menjadi
Jenderal Wildemarr dan menetap di Dragør sembari membangun kembali
kerajaannya yang hancur.
 

Langkah Verity terhenti ketika tiba di ujung altar. Pangeran Alexander


melepaskan genggaman tangan dan tersenyum tipis kepadanya.
 

"Berlutut!"
 

Verity berlutut di hadapan Raja Alastair. Prosesinya berlangsung cepat dan


khidmat, tidak ada satu pun yang bersuara ketika Raja Alastair meletakkan
mahkota Dragør di atas kepalanya.
 

"Dengan ini kusahkan Verity Clementine Dragør menjadi Ratu Dragør,


Selencia, dan Austmarr."
 

Suara tepukan tangan terdengar dari segala penjuru arah ketika dua
pelayan wanita membantunya kembali berdiri. Ia adalah seorang ratu
sekarang, tidak hanya ratu di Dragør, tetapi juga di Selencia dan Austmarr.
 

亗 TheKɪɴɢBride 亗
 

"Apa kau yakin ini yang kau inginkan?" Raja Alastair berbisik di telinga
Verity yang hanya diangguki sekilas sebagai jawaban pertanyaannya. "Kau
bisa bebas, Verity."
 

"Aku memilih terikat bersamamu karena kau berjanji akan menjadi


keluargaku. Aku tidak pernah punya keluarga, Alastair. Hingga kau yang
mengatakan kalau kau akan menjadi keluargaku." Verity berkata lirih.
 

"Setidaknya kita punya satu sama lain sekarang." Raja Alastair meraih
tangan Verity dan mengecupnya sekilas sebelum diletakkan di dadanya.
Verity bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tenang.
 

"Dan kita punya waktu sekarang." Verity tertawa kecil ketika melihat
kerutan di wajah Raja Alastair. Ia lalu berjinjit dan mengecup pipi Raja
Alastair. "Terima kasih karena telah membebaskanku.
 

"Where there is love, nothing is too much trouble and there is always
time."
 
 

-THE END-
 
 

 
 

Anda mungkin juga menyukai