Berbekal sebilah belati dan misi membunuh Raja Alastair, Verity pun pergi
menuju Austmarr untuk menikahi sang Raja yang terkenal tak punya hati.
Namun, semua di luar dugaan. Di tengah kekalutan, Verity perlahan
mengungkap sesuatu yang telah terkubur sekian tahun, termasuk siapa jati
dirinya.
Inkarnate Map and Family Tree
House of Austmarr
House of Selencia
House of Colthas
House of Raria
House of Thaurin
House of Dragør
Status: Destroyed
Prolog
Dia Harus Membunuh sang raja sekarang. Verity menelan ludah dengan
susah payah, tangannya gemetar ketika mengambil belati bertatah permata
yang diberikan Ratu Amaranta. Ia akan membunuh Raja Alastair dan meraih
kebebasan. Ratu Amaranta tidak bisa lagi mengikat dan memaksanya
menjadi budak di Kerajaan Selencia. Verity bahkan tidak peduli siapa yang
akan memimpin Austmarr bila sang raja mati di tangannya. Ia tidak peduli
bila lima kerajaan akan beradu memperebutkan Kerajaan Austmarr yang
selama ini menjadi pemimpin utama.
Verity menggenggam belati lebih erat, ia hanya perlu menusuk jantung raja
yang tengah terlelap. Kebebasannya sudah depan mata. Verity menarik
napas dalam-dalam, memejamkan mata, lalu menancapkan belati di dada
raja.
"Siapa kau?" Mata Verity melebar ketakutan melihat noda darah yang
menyebar di pakaian Raja Alastair. Bagaimana mungkin sang raja tidak
mati? Verity yakin sudah menancapkan belati cukup dalam, bahkan sang
raja sendiri membantu dengan menancapkan belati lebih dalam lagi.
Verity mengatupkan bibir, tidak peduli apa yang akan terjadi berikutnya.
Pria yang baru ia nikahi ini akan memberi hukuman mati karena melakukan
percobaan pembunuhan, ditambah Ratu Amaranta akan membunuhnya
karena gagal melaksanakan tugas.
I
THE QUEEN
Namun, malang baginya. Tidak ada satu pun pencuri yang selamat dari sang
ratu. Verity menerima lima cambukan sebelum Ratu Amaranta datang dan
menghentikan hukuman. Untuk sesaat Verity mengira kalau wanita cantik
itu akan menyelamatkannya, ternyata Ratu Amaranta mengurungnya di
penjara bawah tanah.
"Di mana makananku?" Tidak ada satu pun makanan yang dibawa si sipir.
"Ratu Amaranta memanggilmu, Tikus Kecil." Sipir itu menarik tangan Verity
dan memaksanya berjalan cepat ke tempat di mana sekelompok pelayan
wanita menunggu. "Kuharap kali ini Ratu Amaranta benar-benar
membunuhmu." Ia mendecih kesal dan berlalu pergi.
Verity mendekati Ratu Amaranta yang duduk di kursi paling ujung meja
makan. Wanita itu tidak mendongakkan kepala atau berusaha menatap
ketika seseorang mengumumkan kedatangan Verity. Verity memperhatikan
setiap tingkah Ratu Amaranta yang tengah menikmati kue dengan anggun,
membuat perutnya semakin terasa nyeri karena menahan lapar.
"Minum sekarang!"
Verity mengambil cangkir, lalu menyesap teh sedikit. Rasa lega memenuhi
hati, tetapi segera hilang tergantikan sesal. Rasa panas seumpama api mulai
membakar tenggorokan. Ratu Amaranta lagi-lagi meracuninya. Kali ini Verity
memilih diam dan tidak mengucap sepatah kata pun, apalagi memohon
kepada sang ratu untuk membunuhnya. Racun itu menyiksa, membuat
paru-parunya panas membara seperti akan meledak. Verity terbatuk,
segumpal darah keluar dari mulutnya. Sebelum kesadaran benar-benar
hilang, Verity melihat senyuman sinis terpasang di bibir sang ratu.
"Tuan Putri!"
Verity bangun dengan kepala yang berdentum hebat. Perutnya terasa perih
dan mual luar biasa, matanya berkunangkunang ketika berusaha
menyesuaikan cahaya yang masuk. Cahaya. Verity diam sejenak. Ratu
Amaranta tidak mengembalikannya ke penjara bawah tanah yang selalu
minim cahaya.
Rasa mual itu kembali. Verity memiringkan tubuh, lalu memuntahkan cairan
bening ke wadah yang disediakan seseorang.
"Tutup mulutmu, Tikus Kecil!" Maisie menampar keras pipi Verity. "Diamlah!
Sebelum Ratu Amaranta menyelipkan racun lagi di minumanmu. Kali ini aku
sendiri yang akan memastikan kalau kau tidak akan selamat. Siksaanmu
akan begitu panjang dan lama!"
Verity menatap Maisie nyalang. "Bagaimana bisa aku berakhir sebagai Putri
Clementine di sini!" Verity tidak pernah bertemu Clementine dan tidak ada
seorang pun yang tahu bagaimana rupa putri satu-satunya Ratu Amaranta
sekaligus penerus kerajaan Selencia.
"Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menjadi seorang putri!" Verity
memekik frustrasi. Sepuluh tahun hidupnya dihabiskan dalam penjara
bawah tanah kerajaan Selencia. Ia tidak bisa membaca dan menulis bila
bukan karena Ratu Amaranta yang berbaik hati mengirimkan seseorang
untuk mengajarinya. la bahkan masih tidak tahu cara berjalan mengenakan
sepatu yang benar. Ia bukan Putri Clementine!
"Kenapa?"
Wajah Verity semakin memucat mendengar nama Matthias, pria tua itulah
yang dikirimkan Ratu Amaranta untuk mengajari membaca dan menulis.
Verity melihat telapak tangannya, sebuah garis panjang tipis nyaris tak
terlihat merupakan bekas luka yang diberikan Matthias.
"Apa yang terjadi pada kakiku?" Verity menatap Maisie yang tersenyum
angkuh.
"Racun itu membuatmu lumpuh. Sayangnya, kakimu akan kembali seperti
semula besok." Maisie melemparkan senyuman sinis sebelum pergi
meninggalkan Verity sendiri di kamar besar dengan ornamen indah.
"Ckck, Ratu Amaranta terlalu baik kepadamu." Matthias duduk di kursi dan
membiarkan Verity menghabiskan makanannya. "Aku tidak tahu kenapa ia
memilihmu menjadi pengantin Raja Alastair."
"Austmarr?" Ada lima kerajaan dan Verity tidak tahu empat lainnya. Ia
selama ini tinggal di penjara bawah tanah tanpa pernah menyentuh dunia
luar.
"Kau memang bodoh. Naif dan bodoh, seperti yang mereka katakan!"
Matthias menatap jijik. Baju indah yang dikenakan Verity telah dikotori sisa-
sisa makanan, begitu juga tangan dan mulutnya.
"Mungkin ini akan menjadi pelajaran pertamamu, Tikus Kecil. Ada lima
kerajaan: Raria yang dipimpin Ratu Rania,
"Seperti apa Austmarr?" Seperti apa tempat yang akan ia datangi nanti?
"Kau tidak bisa mengacaukan ini, Tikus Kecil. Selencia dan Austmarr bisa
perang bila kau mengacaukannya. Kau harus berperan sebagai Putri
Clementine dengan baik. Ada alasan kenapa Raja Alastair menjadi
pemimpin lima kerajaan sekaligus Kerajaan Austmarr selama dua puluh
tahun terakhir. Bukan hanya Selencia dan Austmarr, lima kerajaan bisa
berusaha membunuhmu bila kau gagal."
ii
THE FIVE KINGDOMS
"Bangun! Kau sudah harus bisa menghapal setiap nama kerajaan dan
pemimpinnya!" Matthias memukul-mukul tongkat kayu di telapak
tangannya. "Aku bisa saja menghajarmu habishabisan bila bukan karena
Ratu Amaranta ingin melihat hasil belajarmu selama sebulan terakhir. Kau
akan bertemu Raja Arthur sore nanti. Tidak sepertimu dan aku, Raja Arthur
pernah bertemu dengan Putri Clementine sebelumnya. Ratu Amaranta
pernah menitipkan Putri Clementine saat tuan putri masih kecil, hubungan
baik keduanya masih terjaga sampai sekarang,"
Verity menegakkan badan dan menatap lurus ke arah Matthias. Seperti apa
Putri Clementine yang sebenarnya? Kenapa ia tidak pernah bertemu putri
itu selama sebulan terakhir di istana?
'Kuil Merayang sudah lama ditinggalkan oleh lima kerajaan. Kuil itu masih
ada tentu saja, dijaga oleh sekelompok pendeta yang tidak peduli dengan
keadaan politik lima kerajaan.
"Seperti yang kukatakan, Tikus Kecil. Semua itu hanya rumor. Tidak ada
gunanya kau mempelajari sebuah dongeng seperti naga atau
memperdulikan Dragor yang sudah punah."
Verity merapikan baju dan rambut berulang kali. Rambut hitamnya terlihat
kontras dengan gaun ungu pucat yang dikenakan. Maisie mendesis marah
kepadanya agar tetap berjalan anggun dan sopan meski kakinya sakit akibat
mengenakan sepatu yang terlalu sempit.
"Tidak ada yang peduli dengan kakimu, Tikus Kecil. Raja Arthur dari Thaurin
akan menemuimu! Ini merupakan sebuah kehormatan besar untukmu."
Maisie menyeret Varety menjauh dari para pengawal dan melontarkan
serentetan makian kepadanya. "Seandainya saja rambutmu pirang seperti
warga Selencia lainnya, mungkin ia tidak akan terlalu mencurigaimu.
Rambutmu yang hitam membuatmu seperti bangsa lain! Warga Thaurin dan
Selencia tidak memiliki rambut hitam sepertimu."
Verity menarik napas gugup, ia tidak bisa melakukan apa pun kepada
rambutnya bukan? Dia bukan penyihir yang bisa mengubah warna rambut
sesuka hati.
Verity melangkah dengan hati-hati mendekati dua buah kursi kerajaan tinggi
berwarna emas. Tiga undakan tangga dan sebuah karpet merah panjang
menuju kursi telah ia lewati tanpa terjatuh atau tersandung.
"Hormat saya untuk Paduka Raja Arthur dari Thaurin dan Ratu Amaranta
dari Selencia." Verity menundukkan kepala, berusaha keras untuk tidak
kembali menatap wajah sang ratu.
"Thaurin disebut sebagai kaum elf. Ini bukan rumor karena konon katanya
kami memang keturunan para elf yang bercampur dengan manusia." Raja
Arthur tertawa kecil. "Sama seperti Colthas yang merupakan keturunan
sang naga, atau Raria yang memiliki darah para pelaut. Tapi aku masih
manusia tentu saja."
"Clementine .... " Verity melihat Raja Arthur dengan tatapan waspada. "Apa
kau bisa melakukannya?"
Tangan Verity gemetar, entah karena marah atau takut. "Aku tak tahu apa
yang Anda bicarakan, Yang Mulia."
"Hahahaha, kau pintar sekali memilih seseorang, Ratu." Raja Arthur tertawa
keras, sementara Ratu Amaranta memiliki ekspresi yang sulit untuk Verity
baca. "Kau hanya perlu membunuh Alastair. Maka kebebasan akan menjadi
milikmu."
"Kau akan bebas. Kau bisa menjadi ratu di Austmarr tentu saja."
Verity tidak peduli dengan Austmarr, tapi kata 'bebas' membuatnya tertarik.
"Dragor?" Verity tidak percaya kalau Dragor dan naga itu benar benar nyata.
"Apa ini ada hubungannya dengan kehancuran kerajaan keenam?"
"Colthas mungkin bisa mengendalikan sang naga. Tapi bukan dia yang
menghancurkan Dragor." Ratu Amaranta menatap Verity, mata violetnya
terlihat berkilat licik. "Selencia lah yang menghancurkan Dragor."
"Kenapa?"
Verity mendesah keras, dia harus menikah dengan pria yang mungkin
usianya lebih tua dari Ratu Amaranta atau Raja Arthur. Sepanjang hidup, ia
selalu merasa sial, tetapi tidak lebih sial dari ini. Sekarang ia terjebak dalam
politik lima kerajaan dan diperintahkan untuk membunuh sang pemimpin.
Ia sungguhsungguh ingin bebas! Tapi sepadankah kebebasannya dengan
membunuh seseorang? Verity menatap langit-langit kamar berhias lukisan-
lukisan indah. Keindahan yang hanya berlangsung sementara karena ia bisa
saja mati kalau gagal menjalankan perintah Ratu Amaranta.
"Yang Mulia harus segera berangkat menuju Austmarr malam ini." Beberapa
pelayan maju mendekati lemari dan mengambil gaun-gaun milik Verity,
kemudian memasukkannya ke peti-peti berhias emas dengan terburu.
"Ke Austmarr? Malam ini?" Verity menggigit bibirnya gelisah. "Berapa lama
waktu yang dibutuhkan untuk tiba di Austmarr?"
"Hutan Pinus?" Verity tidak pernah menginjakkan kakinya di luar istana. Dari
balik jendela kamar, ia bisa melihat daundaun pepohonan yang indah saat
terang, tetapi menyeramkan saat gelap.
"Melewati Hutan Pinus adalah jalur tercepat, Yang Mulia. Melewati jalan
biasa akan menimbulkan banyak kecurigaan. Ada beberapa perampok yang
menunggu sepanjang jalan menuju Austmarr." Verity pernah menemui
beberapa perampok di dalam penjara dan seperti yang para pelayannya
katakan, para perampok itu memang menyeramkan. Sebagian besar dari
mereka berakhir di tangan algojo karena tidak ada seorang pun yang layak
dihukum gantung atau racun.
"Apa kau yakin berangkat malam ini akan aman?"
"Sangat aman. Yang Mulia Ratu Amaranta juga menyiapkan lima puluh
pengawal untuk menemani perjalanan Anda." Lima puluh pengawal
mengantarnya menuju pintu kematian. Verity tidak pernah takut mati
sebelumnya, tapi kali ini, ketika kebebasan di penghujung mata, ia tidak
ingin mati sia-sia.
Verity masuk ruang singgasana dan melihat Ratu Amaranta sudah duduk di
sana. Wajahnya terlihat tenang, berbanding terbalik dengan Verity yang
terlihat gelisah dan panik.
Verity berjengit ketika mendengar kata hadiah. "Terima kasih, Yang Mulia."
"Hadiah ini gunakanlah untuk membunuh Raja Alastair bila saatnya tepat."
Sang ratu memanggil Verity dengan gerakan tangan. Ragu-ragu Verity
mendekat. Sesampainya di hadapan sang ratu, Verity kembali membungkuk.
"Sebuah belati berhiaskan permata. Bunuhlah Raja Alastair menggunakan
ini."
"Tiga hari lagi waktu pernikahanmu." Verity terdiam. Sesaat ia lupa kalau ia
tengah menyamar menjadi Putri Clementine. Misinya bukan hanya
membunuh sang raja, tetapi menjadi pengantin raja. "Buatlah Alastair
percaya kepadamu, lalu tusuk jantungnya!? Jantung Verity berdegup
semakin kencang. Ia harus membunuh, ia hanya perlu menusuk jantung
sang raja dengan belati yang Ratu Amaranta berikan, maka ia dapat meraih
kebebasan. Seandainya, seandainya saja Verity tahu kalau membunuh sang
raja tidak akan semudah itu.
III
THE BANDITS
Verity mengeluarkan kepalanya dari jendela kecil kereta yang ia naiki. Dunia
luar terlihat begitu asing baginya, Verity mengeluarkan tangannya dan
merasakan hembusan angin juga udara yang lembap. Penjaranya di Selencia
tidak bisa menampilkan pemandangan seperti ini. Selama sepuluh tahun,
Verity hanya pernah melihat lumpur atau kotoran dari lubang kecil yang
juga berfungsi sebagai sirkulasi udara. Bila Ratu Amaranta memanggilnya,
maka ia beruntung dapat masuk ke dalam kerajaan dan melihat istana
Selencia yang luas.
Pelayan itu nampak tersentak kaget. "Na-nama saya, Yang Mulia?" Pelayan
itu terlihat masih muda, tidak seperti Maisie. Usianya mungkin lebih tua
beberapa tahun daripada Verity, rambut pirangnya dicepol dengan kuat dan
rapi, pakaiannya licin, dan meski nampaknya ia telah lelah juga mengantuk,
pelayan itu juga terlihat waspada.
"Ya. Namamu." Verity menunggu dengan rasa antisipasi yang besar. Ia tidak
pernah punya teman sebelumnya. Lagipula selain Maisie dan Matthias,
pelayan-pelayan lain tidak diperbolehkan untuk berbicara dengannya.
"Nama saya Jenny." Jenny, namanya terdengar biasa saja seperti
penampilannya. Jenny terlihat seperti rakyat Selencia lainnya, rambut
pirang, mata biru, dan kulit yang pucat. Dari seluruh rakyat Selencia yang
pernah ia temui, Ratu Amaranta lah yang terlihat paling berbeda. Mata
violetnya atau ekspresi wajahnya yang angkuh membuatnya mudah
dibedakan.
"Apakah anda lapar, Yang Mulia?" Jenny menyodorkan sebuah roti yang
dibungkus dengan kain kepadanya. Verity memandang roti gandum yang
telah sedikit mendingin itu. Putri Clementine selalu mendapatkan makanan
yang terbaik, tidak seperti Verity yang harus menunggu makanannya
bahkan hingga seminggu lamanya. Terkadang ia hanya mendapatkan sup
sayur encer atau roti gandum setengah busuk yang telah mengeras seperti
batu. "Maafkan saya, Yang Mulia! Saya akan meminta para pengawal
berhenti, mungkin mereka bisa menangkap rusa atau kelinci dan
memasaknya untuk makanan anda." Bila saja Jenny bisa berlutut di dalam
kereta kecil ini pasti ia akan segera melakukannya ketika melihat Verity tak
kunjung mengambil roti gandum yang berada di tangannya.
"Eh, ini... Tidak apa-apa." Verity berkata canggung ketika mengambil roti
gandum itu sementara Jenny sendiri sudah terlihat nyaris menangis karena
mengira dirinya telah melakukan kesalahan besar.
"Sa-saya akan meminta para pengawal untuk berhenti." Verity tak sempat
mengatakan apapun ketika Jenny melongokkan kepalanya dan berteriak
kepada kusir yang duduk di depan kereta untuk menghentikan keretanya.
Derap langkah para pengawal dan kuda-kuda berhenti saat itu. "Yang Mulia
Putri Clementine ingin beristirahat sebentar selama satu jam. Para
pengawal bisa mengistirahatkan kuda-kudanya dan juga mencari rusa atau
kelinci untuk Tuan Putri."
Wajah sedih Jenny perlahan-lahan surut tergantikan raut rona bahagia dan
lega. "Saya akan menyiapkan perlengkapan memasak untuk rusa atau
kelinci yang para pengawal dapatkan untuk anda." Jenny meloncat turun
dari atas kereta, meninggalkan Verity sendirian di atasnya.
"Aku tidak pernah keluar dari istana sebelumnya." Verity tidak tengah
berbohong, ia memang tidak pernah menjejakkan kakinya keluar dari
Selencia apalagi istana selama sepuluh tahun terakhir. Verity bahkan telah
lupa bagaimana kehidupannya sebelum masuk ke dalam penjara. Terkadang
Verity membayangkan seperti apa kedua orang tuanya, kenapa mereka
memberinya nama Verity yang memiliki arti kebenaran, apa yang mereka
pikirkan ketika Verity menghilang.
Si kusir yang terlihat iba dengan Verity memberikan sebuah senyuman sedih
kepadanya, "Anda bisa melihat-lihat, Yang Mulia. Tapi jangan jauh-jauh dari
sini."
Verity hanya mengangguk kepada pria tua itu merasa dirinya tidak perlu
membalas kata-kata si kusir kepadanya. Langkah kakinya terasa cepat dan
ringan ketika ia melihat-lihat ke sekelilingnya. Verity bahkan menyentuh
pohon pinus dan merasakan batangnya yang kasar, ia menatap takjub ke
arah pohon itu lalu berjalan memutarinya. Sekilas, pohon pinus itu terlihat
sama dengan yang lainnya, namun ketika telapak tangan Verity merasakan
batangnya yang kasar, mereka semua berbeda. Verity mendongakkan
kepalanya dan melihat cahaya matahari yang perlahan menyusup masuk
melewati celah-celah dedaunan. Dunia ternyata lebih luas dari yang Verity
bayangkan. Tanpa Verity sadari ia telah berjalan begitu jauh ke dalam hutan,
bahkan ia mendapati sebuah anak-anak sungai yang sepertinya mengarah
langsung ke sungai besar. Verity melepaskan sepatunya yang kesempitan
lalu mencelupkannya ke air sungai yang dingin akibat es di musim salju yang
telah mencair. Rasa dinginnya membuat lecet juga rasa perih di kakinya
berkurang.
"Liat apa yang aku temukan di sini." Verity tersentak kaget, ia nyaris jatuh
bila bukan karena dua buah tangan kekar yang menahan lengannya dan
memutar badannya hingga punggung Verity menempel dengan dada pria
itu.
"Siapa kau?! Lepaskan aku sekarang juga!" pikiran pertama yang terlintas di
benak Verity adalah perampok. Pria ini tentu seorang perampok seperti
yang pelayannya katakan kepadanya. Harusnya ia tidak terlena dengan
keindahan alam bebas seperti ini.
"Putri Clementine! Yang Mulia!" Suara Jenny dan juga para pengawalnya
semakin mendekat. Verity hendak meneriakkan sesuatu ketika pria itu
membungkam mulutnya secara tiba-tiba.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Beberapa kali kepala Verity terantuk oleh dinding kayu kereta yang keras.
Siang telah berganti malam, sebentar lagi mereka tiba di Austmarr. Salah
seorang pengawal berhasil menangkap seekor kelinci hutan saat mereka
istirahat tadi, para pelayan memasaknya dengan bumbu seadanya yang
mereka temukan di dalam hutan dan memberikannya kepada Verity
sementara para pelayan dan lima puluh pengawal yang mengiringi
perjalanannya hanya berbagi bekal berupa roti yang mereka bawa dari
Selencia. Verity tidak keberatan memakan roti dingin yang nyaris keras
bersama dengan para pelayannya tapi Jenny bersikeras kalau seorang putri
sepertinya tidak pantas memakan makanan yang merakyat. Kini setelah
menghabiskan setengah ekor kelinci, perutnya terasa sangat penuh. Verity
yakin bila dirinya saat ini masih tinggal di dalam penjara, dia mampu
bertahan selama seminggu.
"Yang Mulia, lihat! Gerbang pintu Austmarr!" mendengar suara Jenny yang
berkata dengan nada riang membuat Verity tidak jadi tertidur dan memilih
untuk melihat kerajaan terbesar di Inkarnate. Austmarr memang lebih besar
daripada Selencia. Jauh sebelum pintu gerbang sudah ada berhektar-hektar
perkebunan yang luas, para petani dan pekebun berhenti untuk melihat
iring-iringan kereta yang membawa Verity. Setelah itu mereka melewati
pintu gerbang yang dijaga beberapa orang pengawal, tatapan mereka yang
tajam membuat Verity kembali menyembunyikan wajahnya di balik
tudungnya yang gelap. Orang-orang di Austmarr terlihat begitu penasaran,
beberapa kali anak-anak kecil berusaha mengintip ke jendela kereta yang
Verity naiki. Untung saja orang-orang yang menonton iringan mereka
semakin berkurang ketika mereka melewati perumahan elite yang dihuni
para bangsawan. Berbeda dengan rakyat jelata yang berlomba-lomba keluar
dari rumah mereka dan berkerumun di jalanan, para bangsawan
menyambut kedatangan Verity dengan dingin. Tak ada seorang pun yang
keluar, jalanan sunyi senyap meski beberapa kali Verity mendapati orang-
orang yang mengintip kedatangannya dari balik jendela yang tertutup
gorden tebal nan gelap. Setelah melewati rumah para bangsawan, masih
ada jalan panjang sebelum mereka tiba ke pintu gerbang istana.
Kereta yang Verity naiki berjalan semakin lambat ketika menuju ke Istana
Austmarr hingga akhirnnya berhenti di pintu utama yang terlihat begitu
besar. Seseorang telah menunggu di sana, pakaiannya yang mewah atau
penampilannya yang terlihat begitu bersahaja membuat Verity yakin kalau
pria tua itu merupakan salah satu pelayan setia Raja Alastair.
"Yang Mulia Putri Clementine," Pria itu membantu Verity turun dari atas
kereta lalu memberikan sebuah kecupan di punggung tangan Verity.
"Perkenalkan nama saya Richard Blaxton, salah satu penasehat Yang Mulia
Raja Alastair."
"Apakah... Apakah saya tidak perlu menemui Yang Mulia Raja Alastair
malam ini?" Verity mencengkram gaunnya. Tajamnya belati yang terikat
kuat di pahanya begitu terasa. Bila ia bisa membunuh Raja Alastair saat ini
juga maka ia tidak perlu menikah dengannya besok.
IV
The King
"Saya mengira Yang Mulia Tuan Putri Clementine sedang sangat lelah,
Pangeran Alexander. Anda bisa menemuinya besok di acara pernikahan."
Verity bersyukur di dalam hati ketika Alexander tidak memaksa Richard
untuk berbicara dengannya. "Selamat malam Yang Mulia."
"Terima kasih." Verity bergumam pelan. Ia tidak sabar ingin segera tidur di
atas sebuah kasur yang nyaman. Selama dua hari perjalanan dari Selencia
menuju Austmarr, Verity memang tidur di atas kereta kecil yang ia naiki
bersama Jenny. Kereta itu memang tidak nyaman karena membuat
kepalanya terantuk berkali-kali di pintu kereta. Tapi seperti yang sepuluh
tahun ini Verity jalani, ia selalu berusaha mencari kenyamanan di balik
setiap hal yang ia lalui. Verity pernah tidur berdiri ketika bilik penjaranya
saat itu kemasukan air hingga kebanjiran, bahkan setelah air surut Verity
masih harus tidur setengah berjongkok karena banyaknya kecoak yang
masuk ke dalam penjaranya.
Verity menarik nafas gusar, ia duduk di atas sofa bundar yang terletak di
tengah-tengah kamarnya, berhadapan langsung dengan cermin besar di
sudut ruangan. Verity melepaskan kepangan rambut hitamnya hingga jatuh
tergurai, ia merapikannya dengan tangan, melihat ujung-ujungnya yang
terpotong rapi tidak mati atau kering saat ia tinggal di penjara. Rasa lelah
menjeranya namun ia tidak ingin naik ke atas kasur sebelum membasuh
dirinya terlebih dahulu. Kemewahan mandi memang tidak pernah
dirasakannya selama di penjara, tapi bukan berarti Verity tidak menikmati
air yang membasahi tubuhnya, membasuh kotoran-kotoran yang menempel
di kulitnya.
Tidak pernah keluar dari bawah tanah membuat kulit Verity terlihat pucat,
namun setelah berjalan-jalan di hutan pinus dan merasakan matahari tepat
di wajahnya, kulit Verity menjadi lebih merona dan bercahaya. Ia tidak sabar
segera kembali menjelajahi alam bebas setelah ia menerima kebebasannya
nanti. Mungkin ia bisa hidup di tengah-tengah rakyat biasa, di rumah-rumah
sederhana, tidak seperti penjara yang dingin ini.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Richard Blaxton melewati kamar Putri Clementine setelah Tuan Putri itu
masuk ke dalam dan di pastikan dalam keadaan aman di dalam sana.
Sesekali kepalanya mengangguk kepada para penjaga yang bersembunyi di
balik bayangan gelap, sama sekali tak terlihat karena pakaian mereka juga
sama gelapnya. Langkah kakinya terhenti di hadapan pintu kayu besar
dengan ketukan besi berbentuk kepala singa. Baru sekali Richard mengetuk
pintu itu ketika ia dengar suara samar yang berasal dari dalam kamar.
"Masuk." perintah suara itu singkat membuat Richard dengan sigap segera
masuk ke dalam kamar. Ia tidak ingin terlalu lama di sini dan mengurangi
waktu istirahat sang raja.
"Kau tidak perlu berbasa-basi, Richard." Raja Alastair tengah duduk di atas
kursi kayu besar dengan dudukan empuk berwarna merah marun, warna
khas Kerajaan Austmarr. Seperti Raria yang memiliki warna biru, Colthas
warna abu-abu, Thaurin warna hijau dan Selencia yang berwarna ungu.
Keunikan mereka terlihat jelas di balik pakaian kerajaan juga bendera tiap
kerajaan. "Ada apa?" Alastair tengah mengasah pedangnya. Sebuah pedang
panjang pemberian raja terdahulu yang memiliki keunikan di gagang
pedangnya. Sebuah singa lagi-lagi menghiasi pedang itu.
"Bagaimana putri itu? Apakah dia seperti yang mereka bicarakan?" Tidak
pernah ada seorang pun yang pernah melihat Putri Clementine sebelumnya,
bahkan orang-orang Selencia sekalipun. Kehadiran putri itu seperti rumor
sebelumnya, hingga ada dua berita yang membuat orang-orang sedikit
yakin dengan keberadaannya. Satu, saat Putri Clementine menjadi tunangan
Pangeran Alexander dan yang kedua, saat Putri Clementine akhirnya muncul
menjadi pengantin Raja Alastair. Nyaris menjadi pasangan dua penerus
langsung kerajaan membuat orang-orang semakin bertanya-tanya seperti
apakah rupa sang putri yang misterius.
"Ya." Dari sekian banyak kata yang Richard jelaskan kepadanya sepertinya
hanya beberapa saja yang rajanya dengar. Alastair kembali terlihat tidak
peduli.
"Bagaimana ekspresinya?"
Di antara lima kerajaan, yang memiliki penerus yang cukup dewasa untuk
dinikahi Raja Alastair hanya Putri Clementine dari Selencia. Raja Zacharias
belum memiliki penerus, sepasang anak kembar Ratu Rania baru berusia
lima tahun, Raja Arthur hanya memiliki penerus laki-laki, yang tersisa hanya
Putri Clementine. Hubungan Austmarr dan Selencia yang tidak berjalan baik
juga diharapkan dapat berubah setelah pernikahan keduanya.3
"Bagimu mungkin ini adalah sebentuk koalisi, Richard. Tapi aku melihat ini
sebagai kesempatan. Ratu Amaranta tidak bisa menolak niat baik Austmarr
untuk menjadikan putrinya ratu dari kerajaan ini. Austmarr adalah kerajaan
terbesar di Inkarnate, menolak niat baikku akan mencoreng nama baiknya.
Ratu Amaranta tidak akan bisa melakukan apapun karena putrinya berada
disini, menjadi tameng pelindung sekaligus tahanan Kerajaan Austmarr."
Richard Blaxton mengakui kehebatan sang raja meski umur Raja Alastair
sendiri belum menginjak tiga puluh tahun. Pria itu dinobatkan menjadi raja
semenjak kedua orang tuanya meninggal di saat perang yang
menghancurkan Dragør. Perang itu menghancurkan siapa saja, termasuk
jiwa anak usia sepuluh tahun yang dipaksa maju menjadi raja dan
membunuh siapapun yang berusaha menghancurkan kerajaannya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity turun dari atas kasurnya dan menatap hutan pinus dari jendela
kamarnya. Dia ingin melihat matahari dan berada di bawahnya seperti tadi.
Sedikit lagi, sedikit lagi Verity dapat meraih kebebasannya. Verity tersenyum
kecil membayangkan apa saja yang bisa ia lakukan nanti. Mungkin ia bisa
belajar memasak, Verity harus berkerja nanti setelah keluar dari sini. Ia rela
melakukan pekerjaan apapun sepanjang ia dibebaskan untuk melihat dunia
luar. Dia bahkan rela membunuh sang raja demi meraih kebebasannya.
***
Verity masuk ke dalam kamar mandi luas dengan bak berukuran sedang
berhiaskan ukiran singa. Aroma bunga mawar yang semerbak memenuhi
indra penciumannya. Verity masuk ke dalam bak, membiarkan tubuhnya
relaks di dalam air hangat sementara Jenny membersihkan rambutnya
dengan wewangian khusus.
"Apakah anda pernah bertemu Yang Mulia Raja Alastair sebelumnya, Tuan
Putri?" Jenny memulai pembicaraan sembari membersihkan badannya.
"Apakah anda bisa menikahi orang yang tidak pernah anda temui
sebelumnya?" Verity tahu pernikahannya ini seperti judi. Raja Alastair
memerintah sejak dua puluh tahun lalu, pria itu sudah cukup tua pastinya.
Matthias selalu mengatakan kalau orang-orang Austmarr adalah orang
barbar. Richard Blaxton terlihat cukup baik dan bersahaja, namun ia tidak
tahu dengan Raja Alastair. Apakah pria itu seperti yang mereka bicarakan
atau tidak. "Saya tidak bisa membayangkan bila harus menikah dengan
orang yang tidak pernah saya temui."
"Sudah, Yang Mulia." jawaban Jenny membuat Verity kaget. Jenny terlihat
cukup muda, hanya lebih tua beberapa tahun darinya.
"Umur saya sudah dua puluh lima tahun, Yang Mulia. Saya menikah saat
umur saya dua puluh tahun." umur Jenny hanya lebih tua dua tahun darinya
saat menikah dulu. Verity menghela nafas panjang, tangannya
mengumpulkan busa-busa sabun lalu mengusapnya ke tubuhnya. "Yang
paling harus anda siapkan adalah malam pertama."7
"Tidak. Kurasa ibuku benar-benar ingin menjagaku dari dunia luar." Verity
meringis ketika menyebut Ratu Amaranta sebagai ibunya. Wanita yang
sudah menyiksanya berkali-kali itu tidak bisa disebut sebagai ibu.
"Suami anda nanti adalah seorang raja. Memiliki keturunan adalah hal
wajib, Yang Mulia. Anda membutuhkan penerus kerajaan Austmarr juga
Selencia." Verity menggosok kulitnya lebih keras dengan jari-jarinya yang
mulai mengeriput. Air yang tadinya hangat perlahan mendingin tanda ia
sudah terlalu lama berada di dalam sana.
"Aku punya seorang anak laki-laki, dia masih berusia tiga tahun. Bayi kecilku
yang kurindukan. Aku akan segera kembali ke Selencia setelah pernikahan
anda." Jenny membantunya berdiri dan memberikan sebuah handuk besar
yang lembut untuk menutupi tubuhnya.
"Ya, Yang Mulia. Begitu juga lima puluh pengawal dan pelayan anda yang
lain." Verity mengangguk sedih mendengarkan perkataan Jenny. Sesaat ia
mengira kalau ia bisa menemukan teman di dalam diri Jenny, namun setelah
mendengarkannya Verity tahu kalau memiliki teman mustahil baginya.
Mungkin nanti, ia bisa memiliki teman nanti setelah membunuh sang raja.
"Awalnya mungkin akan sedikit sakit, tapi selanjutnya akan baik-baik saja
bila suami anda sedikit bersabar." Jenny menjelaskan dengan sabar sembari
membantu Verity mengenakan korset yang sebenarnya tidak akan
menambah bentuk apapun di tubuh Verity yang kurus. Verity
menggertakkan giginya dan menahan rasa tak nyaman ketika Jenny
memasang korsetnya terlalu erat, memaksa tubuhnya untuk memiliki
bentuk ideal seperti wanita-wanita lain. "Bagaimana Yang Mulia?"
Verity memang memiliki kulit pucat dan korset yang terlalu erat juga tidak
membantunya sama sekali. "Aku rasa aku tidak bisa melakukan malam
pertama." Verity tidak akan melakukan malam pertama karena dua hal,
selain karena ia terlalu takut dengan pria yang akan menjadi suaminya
nanti, ia juga akan membunuh pria itu.
"Obat tidur, Yang Mulia. Anda bisa memberikannya kepada Raja Alastair bila
anda memang benar-benar tidak siap. Tenang saja, ini sangat aman. Anda
tidak perlu khawatir." Verity menyimpan kembali obat tidur itu di salah satu
laci meja kamarnya. "Sekarang anda hanya perlu mengenakan ini." Jenny
membawa gaun pernikahannya yang berwarna putih dengan aksen emas
dan merah. Verity melihat gaun itu lalu menarik nafas panjang dengan
tekad bulat yang tergambar jelas di wajahnya, ia harus membunuh sang raja
malam ini.
V
THE BRIDE
"Aku sangat gugup." jawab Verity jujur. Ia merapikan gaunnya yang sedikit
kusut akibat remasannya tadi lalu berusaha berdiri dengan hati-hati.
Sementara Jenny memberikan sebuah buket aneka bunga ke tangannya.
"Yang Mulia?" Richard Blaxton masuk ke dalam ruangannya. Pria tua itu
mengenakan pakaian formal khas kerajaan dengan aksen merah dan emas
seperti gaunnya. "Saya akan menemani anda menuju ke altar."
"Altar?" Verity menelan ludahnya susah payah dan melihat senyum kecil
terbentuk di wajah Richard Blaxton.
"Ratu Amaranta tak hadir di pernikahan anda. Raja Matthew, ayah anda,
sudah meninggal sejak perang yang juga membunuh kedua orang tua Raja
Alastair. Karena saya merupakan salah satu penasehat terdekat sekaligus
tertua di Austmarr, Raja Alastair meminta kepada saya untuk menemani
anda berjalan di altar." bila Verity masih memiliki kesempatan untuk
bertemu Matthias atau bahkan memutar waktu kembali saat ia belajar dulu,
ia ingin menanyakan banyak hal kepada Matthias. Matthias selalu
menceritakan kejayaan Selencia namun menghindari topik-topik yang
berhubungan dengan perang yang terjadi nyaris dua dekade lalu atau
perang dingin yang kini terjadi di antara lima kerajaan.
"Aku yakin kau akan baik-baik saja, Yang Mulia. Anda bisa menjadi ratu yang
baik untuk Raja Alastair. Anda sudah dipersiapkan untuk ini sejak dulu."
Verity tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Dia
bukan Putri Clementine, dia tidak pernah dipersiapkan untuk menjadi
seorang ratu. Seolah menyadari kegugupan Verity, Richard menepuk tangan
Verity lembut. "Angkat kepalamu dan tatap lurus. Tersenyumlah, Yang
Mulia." Verity mengikuti saran Richard Blaxton dan mengangkat kepalanya
serta memberikan sebuah senyuman tipis ketika keduanya masuk ke dalam
ruang singgasana. Ruang terbesar sekaligus tempat pernikahannya ini.
Alunan nada lembut yang keluar dari mulut paduan suara mengiringi
langkah Verity yang entah kenapa semakin melambat ketika ia mendekati
altar tempat pendeta dan Raja Alastair berada. Verity melihat punggung
Raja Alastair lalu berusaha menenangkan degup jantungnya. Dia harus mati
malam ini.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"... Apakah anda, Yang Mulia Raja Alastair Leonel Austmarr, bersedia untuk
mencintainya, menghiburnya dan melindunginya, dalam sakit maupun
sehat, dalam suka maupun duka..." Alastair tak memperdulikan satu pun
kata pendeta itu hingga semuanya diam dan senyap seolah menunggu
jawabannya.
"Saya bersedia." ucap Alastair singkat. Dia harus segera pergi mengurus
perbatasan yang semakin meresahkan dengan keberadaan orang-orang
asing yang tidak berasal dari Austmarr, seharusnya urusan itu telah selesai
dari kemarin namun persiapan pernikahannya membuatnya terpaksa
menunda semua pekerjaannya.
"Saya bersedia." Alastair melirik kembali Clementine ketika wanita itu juga
menunggu cukup lama untuk menjawab pertanyaan sang pendeta.
Suaranya terdengar bergetar dan ragu-ragu, mungkin sama sepertinya,
Clementine juga tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi ini adalah jalan
terbaik untuk menghindari perang lagi. Ratu Amaranta tak bisa
menyerangnya di sini bila putrinya juga berada di sini. Wanita itu licik,
harusnya Alastair menyingkirkannya dari dulu saat ia memiliki kesempatan.
Namun kehilangan seorang pemimpin kerajaan tanpa penerus bisa memiliki
resiko tinggi. Perang saudara bahkan hingga perang antar lima kerajaan
untuk memperebutkan kekuasaan bisa saja terjadi.
"Anda bisa memasangkan cincinnya sekarang, Yang Mulia." Untuk pertama
kalinya keduanya berdiri saling berhadap-hadapan. Alastair memanggil
Richard Blaxton yang membawa cincin berlian untuk Putri Clementine. Pria
tua itu mendekat sembari membawa bantal kecil berwarna merah tempat
cincin itu diletakkan. Alastair meraih tangan Clementine lalu menyadari
kalau ujung jari wanita itu terluka. Apakah ada benda tajam yang ia sentuh
sebelum kemari? Alastair mengabaikannya dan memasangkan cincin berlian
itu di jari manis wanita itu.
"Dengan ini saya sahkan keduanya sebagai suami istri." Sang pendeta
mengakhiri rangkaian upacara pernikahan sementara para tamu menepuk
tangan. Alastair melihat Clementine sekali lagi, Clementine memang tak
terlihat seperti Ratu Amaranta. Entah ini merupakan petaka atau
keberuntungan baginya. Alastair memilih untuk tidak mengambil pusing dan
mendekati pengantinnya, wanita yang ia baru saja nikahi beberapa saat lalu.
Clementine terlihat begitu kaget dan ketakutan ketika Alastair mendekat,
meraih dagunya lalu menghadiahinya sebuah ciuman tepat di bibirnya di
hadapan seluruh tamu undangan kerajaan.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Kedua kaki Verity lemas, tangannya bergetar hebat ketika sang raja tiba-tiba
mendekatinya. Sesaat ia mengira kalau sang raja mungkin menyadari siapa
dirinya dan hendak mencekiknya saat itu juga. Verity telah siap untuk mati
saat itu juga, sayangnya ia tidak siap untuk menerima ciuman dari sang raja
di bibirnya. Bila berciuman saja bisa membuatnya nyaris pingsan karena
ketakutan, bagaimana nanti kalau ia harus melakukan tugas utamanya
sebagai seorang ratu? Memberikan penerus bagi Kerajaan Austmarr.
Suara tepukan juga siulan atau tawa membahana yang tadinya memenuhi
ruangan kembali senyap. Ketika Richard Blaxton kembali datang ke hadapan
Raja Alastair dan membawa sebuah pedang panjang dengan hiasan
berbentuk kepala singa di gagangnya.
"Mohon maafkan Raja Alastair, Yang Mulia. Ada rapat penting yang harus
Raja datangi bersama beberapa menteri." Verity mengangguk mengerti
ketika ia juga melihat beberapa pria mengikuti Raja Alastair dan
meninggalkan ruangan.
"Apa yang kau bicarakan, sayang? Orion adalah bocah paling baik yang
pernah ku temui." Suami Ratu Rania memiliki perawakan badan yang besar,
separuh wajahnya tertutupi janggut tebal yang dimaini oleh seorang anak
perempuan yang juga berada digendongannya. "Namaku Kilorn. Kau tidak
perlu menambahkan embel-embel raja didepan namaku. Wanita ini adalah
pemimpinnya."
"Kurasa Zachary benar. Kau tidak seperti berasal dari Selencia, tapi kau jelas
anak Ratu Amaranta." Jenderal Kilorn juga ikut memperhatikannya. "Ini
pertama kalinya aku melihat Putri Clementine yang misterius secara
langsung. Kau tidak seperti yang ku bayangkan."
"Aku bertaruh kalau kau juga tengah mengira akan menikah dengan pria tua
hari ini." Verity tak menjawab perkataan Zacharias dan membuat pria itu
tertawa semakin keras. "Mungkin kau mengira kalau aku adalah Raja
Zacharias ke II, yang merupakan ayahku."
"Kau terlihat gugup, Clementine. Kau sudah disiapkan untuk ini sejak kecil,
kau akan tahu apa yang akan kau lakukan nanti bila saatnya tiba." Ratu
Rania memberikan nasehat kepada Verity. Orion, anak laki-laki yang berada
digendongan Ratu Rania kembali merengek. "Sebentar sebentar. Aku harus
menenangkannya dulu." Verity tersenyum kecil dan mempersilahkan
keluarga itu pergi dari hadapannya sementara ia berdiri gugup di sebelah
Raja Zacharias.
Karena merasa tak nyaman, Verity membalik badannya lalu menatap Raja
Zacharias. "Bagaimana hubungan Colthas dengan Austmarr, Yang Mulia?"
"Berapa umur anda, Yang Mulia?" Raja Alastair terlihat muda. Benar-benar
tidak seperti yang Verity bayangkan. Saat ia bersiap bertemu dengan pria
tua gendut berkepala botak, Verity malah bertemu seorang pria muda
dengan badan tinggi tegap, tatapan sinis yang sesekali Alastair lemparkan
kepadanya membuat Verity menyadari kalau Alastair mungkin mulai
menyadari sikapnya yang ganjal.
"Ehm... Ulang tahun saya berada di awal musim dingin, Yang Mulia." Verity
berdehem sebentar. Ia tidak ingat ulang tahunnya sendiri tapi ia ingat ulang
tahun Putri Clementine. "Kenapa anda mengatakan kalau saya mirip dengan
Ratu Amaranta?"
"Dia tetap seorang ratu walaupun dia juga merupakan ibu saya." jawaban
diplomatis Verity sepertinya memuaskan Zacharias hingga pria itu tidak lagi
terlihat curiga kepadanya.
"Kau berbeda dari rakyat Selencia. Tidak ada orang yang mengira kalau Putri
Clementine memiliki rambut hitam atau badan yang lebih tinggi dari rakyat
Selencia lainnya." Mata hitam Zacharias menatap langsung ke mata violet
Verity. "Tapi hanya keturunan langsung Raja atau Ratu Selencia lah yang
memiliki mata violet, Clementine. Tidak ada yang meragukanmu sebagai
Putri Clementine karena kau memiliki mata violet."
Jantung Verity berdetak begitu cepat. Mata hitam Raja Zacharias dari
Colthas bertemu dengan mata violetnya seperti mengetahui sesuatu yang ia
sembunyikan, Verity menelan ludahnya susah payah dan berjalan mundur
menjauhi Zacharias tanpa ia sadari. "Clementine?"
VI
The Dance
Verity menatap kedua mata hijau Alexander lekat, berharap kalau Alexander
bisa memberikannya sebuah petunjuk tentang keberadaan Putri
Clementine. "Pangeran Alexander, bagaimana kabar anda?" suara Verity
terdengar seperti cicitan tikus, terlalu kecil dan gugup.
"Ah, kau benar Zachary." Alexander Thaurin jelas lebih muda daripada Raja
Zacharias, tapi ia tidak berusaha menutupi rasa tidak sukanya kepada raja
dari Colthas ini. "Kuharap suamimu memperlakukanmu dengan baik,
Clement."
"Terima kasih, Yang Mulia." Verity menunduk semakin dalam. Dia jelas-jelas
bukan Putri Clementine, kenapa Alexander memperlakukannya seperti ialah
sang putri yang sebenarnya? Apa ini merupakan salah satu perintah Raja
Arthur? Apakah Raja Arthur memintanya untuk memperhatikan Verity dari
kejauhan dan memastikan penyamaran Verity tak terbongkar? Verity
memutuskan kalau opsi terakhir adalah yang paling masuk akal. Dia bukan
Putri Clementine. Pangeran Alexander bersikap seperti ini agar Verity tidak
lupa dengan misinya yang sebenarnya.
"Cukup panggil aku Alexander, Clement. Aku yakin kita akan sering bertemu
nanti." Verity bisa merasakan kemiripan Raja Arthur dan Pangeran
Alexander. Seperti kesan pertama Verity kepada Raja Arthur, ia yakin
Pangeran Alexander juga menyembunyikan sesuatu di balik topeng wajah
baik miliknya.
"Kau orang yang menarik, Clementine. Kau benar-benar tidak seperti yang
ku perkirakan." Perkataan Raja Zacharias mengusiknya namun Verity
memutuskan untuk diam. Mata hitam Raja Zacharias mengatakannya
dengan jelas, pria itu tidak memercayainya. Untuk saat ini Verity aman,
mata violet dan konfirmasi tak langsung dari Pangeran Alexander telah
menyelamatkannya. Bila untuk meyakinkan raja dari Colthas saja sesulit ini,
Verity tidak yakin ia bisa meyakinkan Raja Alastair.
***
"Apakah ada hal lain yang bisa ku bantu, Yang Mulia?" Verity menatap mata
biru Jenny lalu mengembuskan nafas gusar. Kemungkinan besar Jenny akan
kembali ke Selencia besok atau lusa. Ia akan ditinggal sendirian di istana
asing ini. Verity benar-benar merasa kalau ia baru saja masuk ke dalam
penjara baru. Kali ini penjaranya lebih mewah dan lebih besar tentu saja.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity tidak berhasil menaruh obat tidur itu ke dalam makanan sang raja.
Acara makan malam juga dihadiri oleh semua tamu undangan juga menteri
dan penasehat kerajaan Austmarr. Raja Alastair duduk di kursi paling ujung
sementara Verity duduk di sisi kanannya. Kursi-kursi di isi dengan tingkatan
dan jabatan masing-masing sehingga Verity merasa cukup beruntung bisa
duduk di sebelah Ratu Rania. Raja Zacharias duduk di sisi kiri Raja Alastair
lalu diikuti dengan Pangeran Alexander dan Jenderal Kilorn, suami Ratu
Rania. Anak-anak Ratu Rania, Orion dan Cassiopeia duduk di sebelah Ratu
Rania. Sayangnya karena Orion dan Cassiopeia merengek terus ingin
berdekatan dengan ibu merek, Ratu Rania terpaksa pindah dari sisi Verity
dan duduk di tengah-tengah keduanya. Membuat Verity duduk di sebelah
Orion tanpa pilihan.
"Maaf kau harus berada di dekat Orion, Clementine." ucap Ratu Rania
dengan nada penuh perminta maafan saat ia mendudukkan Orion ke
kursinya dan pindah ke sebelah Cassiopeia.
"Eh, tidak masalah." ucap Verity canggung. Raja Alastair tidak berkomentar
banyak saat makan, pria itu lebih memilih memakan makanannya dengan
cepat hingga tandas. Sementara Verity sendiri memainkan supnya dengan
gelisah.
"Siapa namamu?" tanya Verity penasaran kepada pangeran kecil itu. Orion
mirip dengan ibunya. Kulit gelap dan mata kecoklatan yang berkelip jenaka
dan penuh rasa penasaran.
"Orion."
"Kau tahu kalau nama mereka adalah nama bintang?" Jenderal Kilorn
bertanya kepadanya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Maafkan saya, Yang Mulia!" bisik Clementine ketika wanita itu tidak
sengaja menginjak kakinya. Tidak sampai semenit kemudian, Clementine
kembali menginjak kakinya. Alastair mengembuskan nafas kesal lalu
menunduk dan melihat Clementine yang nyaris menangis. "Maafkan saya."
***
Verity berusaha menahan rasa malu teramat sangat ketika sang raja
meninggalkannya begitu saja di tengah-tengah ruangan. Seharusnya ia
belajar lebih giat lagi saat berada di Selencia. Dia tidak akan membuat
dirinya atau sang raja malu karena hal seperti ini. Verity mengepalkan
tangannya lalu meninggalkan ruangan dansa yang di penuhi orang-orang
itu.
Entah sudah berapa lama Verity berjalan menjauh dari ruangan itu hingga ia
tiba di taman. Austmarr memang tidak memiliki pemandangan seindah di
Selencia, tapi istananya memiliki koleksi tanaman yang tidak berbeda
dengan Selencia. Bahkan ada beberapa bunga yang tidak pernah Verity lihat
sebelumnya. Verity menunduk dan memperhatikan tanaman-tanaman itu
satu per satu. Verity tahu beberapa bunga yang pernah ia lihat sebelumnya
seperti mawar dan lavender. Verity menikmati kesendiriannya, kesendirian
yang selama sepuluh tahun ini di bencinya kini menjadi temannya. Verity
mencabut sebuah bunga berwarna putih dengan semburat pink di setiap
kelopaknya lalu menyentuh permukaannya yang halus. Verity membuka
telapak tangannya dan menyadari kelopak bunga itu jatuh berguguran
karena sentuhan tangannya.
Bekas luka panjang di telapak tangannya yang berwarna keputihan terlihat
begitu jelas di bawah sinar rembulan. Verity ingat saat Matthias
menyuruhnya menulis menggunakan darah karena ia terlalu bodoh dan
buta huruf. Sekarang kebodohannya lagi membuatnya berada di posisi
seperti ini. Ia hanya bisa mempermalukan dirinya sendiri dan Raja Alastair.
"Peony." Verity tersentak kaget dan segera bangkit berdiri ketika melihat
Pangeran Alexander Thaurin menyandarkan badannya ke pilar-pilar tinggi
yang memisahkan istana dan taman. "Bunga yang kau pegang itu. Namanya
Peony."
"Untuk apa? Kau dan Raja Alastair menghilang begitu saja." Verity
menundukkan kepalanya dan mengangguk mengerti sembari
memperhatikan bunga yang berada di tangannya. "Kau harus berhasil
membunuh sang raja, Clement."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair masuk ke dalam kamar yang akan mereka bagi bersama malam
ini tepat saat Verity baru saja menyembunyikan belati itu ke dalam laci.
Verity tersentak kaget melihat sang raja masuk dan langsung membuka
pakaiannya.
"Yang Mulia!" Dia tidak harus melakukannya malam ini bukan? Verity benar-
benar ketakutan karena harus berbagi kamar dengan sang raja yang tidak ia
kenal sama sekali. Bahkan percakapan mereka pun bisa dihitung dengan
jari, tidak seperti Raja Zacharias atau Pangeran Alexander yang juga baru ia
temui hari ini.
"Kita... Kita..." Verity tidak dapat menemukan kata yang tepat. Wajahnya
sudah memerah seperti kepiting rebus.
"Kita apa?" Raja Alastair menatap kedua mata violet Verity dan
menunggunya mengatakan sesuatu.
Verity menelan ludahnya susah payah dan berusaha menemukan kata yang
tepat, tapi pikirannya teralih ketika melihat wajah Raja Alastair. Seharian ini
Verity terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri dan terlalu gugup untuk
menatap langsung mata kecoklatan sang raja. Raja Alastair benar-benar
tidak seperti yang ada di dalam bayangannya. Sikap sang raja juga berubah-
ubah dan sangat membingungkan. Terkadang pria itu terlalu tegas
kepadanya atau bahkan cukup baik kepada Verity dengan menjelaskan
beberapa hal yang berbeda dengan Selencia.
Verity melepaskan genggaman tangannya dari belati itu secara tiba-tiba. Dia
harus lari secepat mungkin sebelum Raja Alastair menyadari siapa dia
sebenarnya. Sayangnya Verity memang bukan pembunuh yang handal, dia
hanya seorang budak yang diperintah Ratu Amaranta untuk menyamar
menjadi sang putri dan membunuh pemimpin Kerajaan Austmarr ini. Raja
Alastair lebih gesit darinya, sang raja meraih pinggangnya dan
membantingnya ke atas kasur. Belati yang tadinya menancap di dada pria itu
kini berada di lehernya.
"Siapa kau?" Mata Verity melebar ketakutan melihat noda darah yang
menyebar di pakaian yang sang raja kenakan. Bagaimana mungkin sang raja
tidak mati saat itu juga? Verity yakin ia sudah menancapkan belatinya cukup
dalam, bahkan sang raja sendiri membantunya dengan menancapkan belati
itu lebih dalam lagi. "Apa Ratu Amaranta mengirimmu?" Raja Alastair
seperti tengah menilai ekspresinya. Verity mengatupkan bibirnya, tidak
peduli apa yang akan terjadi berikutnya. Pria yang baru ia nikahi beberapa
saat lalu ini akan memberikan hukuman mati karena melakukan percobaan
pembunuhan, begitu juga Ratu Amaranta akan tetap membunuhnya karena
gagal membunuh sang raja. "Kenapa kau tiba-tiba menjadi bisu,
Clementine? Apakah itu benar-benar namamu? Siapa namamu yang
sebenarnya?"
VII
THE DAGGER
"Bawa belati ini dan cepat cari tahu darimana benda itu berasal!" Raja
Alastair menunjuk belati bertatahkan permata yang ditusukkan Clementine
ke dadanya.
"Yang Mulia, Anda terluka!" Richard Blaxton membelalakkan mata kaget
melihat belati juga pakaian sang raja yang berlumur darah.
Raja Alastair menggertakkan giginya geram. "Semua ini karena wanita itu."
"Apakah yang Anda maksud adalah Yang Mulia Putri Clementine?" tanya
Richard Blaxton dengan hati-hati. Sang raja sudah pasti sangat marah saat
ini, bahkan di medan perang pun Raja Alastair tidak pernah terluka parah.
Sekarang karena wanita itu, sang raja sampai harus menahan dadanya yang
terluka cukup dalam.
"Aku mengikatnya." Raja Alastair menjawab acuh tak acuh. Rasa kesal dan
marah masih bercokol begitu dalam di hatinya. Bukan hanya karena wanita
itu berani melukainya, tetapi juga karena wanita itu tidak mau
mengucapkan sepatah kata pun.
"Apa yang akan Anda lakukan kepada Putri Clementine? Apakah Anda akan
memasukkannya ke penjara?" Richard Blaxtonberanibertaruh kalau rajanya
sangat ingin memberikan hukuman terberat untuk sang putri saat ini juga.
"Sampaikan berita kepada Ratu Amaranta kalau aku berterima kasih atas
hadiahnya."
"Aku punya harga diri yang harus kujaga, Richard. Aku tidak mungkin
mengabarkan ke seluruh dunia kalau diriku terluka karena wanita itu."
Harga diri Raja Alastair benar-benar terkoyak sekarang. Mungkin beberapa
orang akan mengira kalau Putri Clementine melukainya karena ia melakukan
sesuatu kepada wanita itu. Lagi pula reputasinya sebagai pria kejam tak
berbelas kasihan telah tersebar ke mana-mana, berbeda dengan Putri
Clementine yang misterius dan nyaris tak memiliki rumor apa pun.
"Segera cari tahu siapa wanita itu sebenarnya. Aku ingin tahu apakah dia
benar-benar Clementine. Bila dia bukan Clementine, aku ingin tahu
siapakah dia sebenarnya dan dimana Clementine yang asli berada." Raja
Alastair akan segera kembali dan memaksa wanita itu berbicara.
Verity mendengkus dalam hati ketika pikiran itu sempat tercetuskan. Raja
Alastair tidak akan membebaskannya setelah ini, ia yakin kalau sang raja
akan memberikan hukuman mati karena telah berani bertindak sadis. Verity
melihat jendela besar di kamar sang raja yang menghadap ke taman.
Pemandangan berbeda dengan kamar yang ia tempati sebelumnya, tetapi
sama berartinya. Kebebasannya hanya terpisahkan sebuah kaca tipis. Ia tak
bisa menahan air mata yang jatuh, ia benar-benar sudah lelah. Lebih baik
mati daripada harus masuk ke penjara lagi.
Entah berapa lama Verity menatap taman kerajaan hingga ia tertidur dalam
keadaan tangan masih terikat di tiang kasur. la terbiasa tidur dengan kondisi
apa pun di Selencia, jadi tak masalah meski saat terbangun nanti tangannya
akan kram dan pegal karena dipaksa berada di posisi sama selama berjam-
jam. Verity mengerjapkan matanya beberapa kali dan menyadari bulan
sudah digantikan matahari, menyakiti matanya yang tidak terlalu terbiasa
dengan cahaya terang.
"Kau sudah bangun?" Verity memutar kepala dan melihat Raja Alastair yang
berdiri di tengah ruangan dengan tatapan marah. Ia mengatupkan bibir dan
lagi-lagi menggeram kesal ketika menyadari tangannya masih terikat.
"Aku akan melepaskan ikatan tanganmu bila kau mau." Raja Alastair
menyunggingkan senyuman mengejek.
"Tolong lepaskan ikatan tangan saya, Yang Mulia." Verity menelanrasa malu
juga marahnya bulat-bulat. Rasa marah itu tidak ditujukan untuk sang raja
tentu saja, tetapi kepada diri sendiri yang mau menerima tawaran Ratu
Amaranta demi sebuah kebebasan.
Raja Alastair tidak mengatakan apa pun ketika melepaskan ikatan di kedua
tangan Verity dan membantu wanita itu duduk. Verity menatap jendela
besar sekali lagi dengan muram, lalu memijit tangannya yang pegal.
"Aku tidak tahu." Verity menggumamkan jawabannya. Untuk apa sang raja
bertanya lagi saat ia saja tidak tahu siapa dirinya sebenarnya. Baru dua hari
berada di Austmarr, tetapi ia menyadari banyak hal yang luput dari
kehidupannya selama ini. Siapakah ia sebenarnya sebelum masuk penjara
Selencia.
Raja Alastair terlihat tidak puas dengan jawaban Verity. la mendekat, lalu
mengentakkan kepala Verity agar tatapan keduanya bertemu. Mata violet
Verity menatap pasrah sang raja. Benar-benar pasrah, tidak peduli apakah ia
akan mati sebentar lagi atau tidak.
"Kau benar-benar wanita licik." Raja Alastair menatap wajah polos Verity
dengan tawa miris. Sikap ceroboh dan gugup wanita itu kemarin benar-
benar membuatnya tidak curiga sama sekali. Namun, sekarang ia bisa
melihat sifat asli wanita itu.
Tidak ada usaha untuk melawan, hanya ada kepasrahan karena Verity tetap
membiarkan Raja Alastair mencengkram rambut dan memaksa kepalanya
mendongak agar tatapan mereka bertemu. Ia tersenyum kecil.
"Kau ingin mati rupanya." Gumaman Raja Alastair tidak luput dari
pendengaran Verity. Verity sudah siap untuk segala kemungkinan, termasuk
mati. Setidaknya kali ini ia tidak perlu bertahan di penjara. "Tapi aku tidak
bisa mengabulkan keinginanmu yang ini, Clementine. Aku tidak bisa
membuat orang-orang berpikir kalau aku telah membunuh pengantin yang
baru kunikahi sehari yang lalu bukan?"
Verity meneguk ludahnya, lalu mengangguk. "Apa yang ingin Anda lakukan
kepada saya, Yang Mulia?"
"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" Verity tertegun ketika mendengar kata
'kita' dari mulut Alastair. la hanya ingin bebas dan tidak terikat lagi dengan
semua politik juga intrik kerajaan.
"Kau dikirim ke sini bukan tanpa alasan, Clementine." Raja Alastair menatap
mata violet Verity lekat-lekat. Bila kecurigaannya terbukti benar, siapakah
wanita ini sebenarnya? Di manakah Clementine yang asli berada?
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Aku mendapatkan tidur yang cukup, Yang Mulia. Selencia cukup berbeda
dari Austmarr, namun kurasa aku akan cepat mudah beradaptasi di sini."
Verity balas tersenyum. Ratu Rania tertawa kecil mendengarnya.
"Kaumendapatkan tidur yang cukup?" Kali ini tidak hanya Ratu Rania, Raja
Zacharias juga tertawa mencemooh. "Apa ini artinya kita tidak akan
mendapatkan kabar bahagia dalam waktu dekat?"
"Ada apa denganmu, Alexander?" tanya Raja Zacharias yang kali ini
menatap tajam Pangeran Alexander. "Kau lebih diam daripada biasanya."
Verity menatap Pangeran Alexander dan teringat perkataan pria itu kemarin
malam di taman. Kegagalan membunuh Raja Alastair mungkin akan
membawa petaka baginya. Tangan Pangeran Alexander menggenggam erat
pisau dan garpu. Bahkan Verity sendiri yang cenderung tidak peka, bisa
menyadari kalau saat ini Pangeran Alexander sedang memendam amarah.
Tingkah Pangeran Alexander juga tidak luput dari pengamatan Raja Alastair,
tetapi ia memilih diam dan tidak mengungkit. Saat ini pikirannya dipenuhi
wanita di sebelah kanannya. Ia masih mencari tahu dari mana wanita itu
mendapatkan belati khusus untuk membunuhnya. Untung saja putri dari
Selencia benar-benar bukan pembunuh andal, belati itu bisa saja melukai
lebih parah bila tahu cara menggunakannya.
Seorang pelayan mengambil piring makanan pembuka di hadapan Verity
yang telah kosong karena isinya telah habis berpindah ke perut Verity. Si
pelayan lalu mengganti dengan makanan utama, sebuah piring yang lebih
besar berisi bacon, egg benedict dengan saus hollandaise, dan buah-
buahan. Verity melihat beberapa anggota kerajaan lain mendapatkan menu
berbeda, seperti anak-anak Ratu Rania yang memakan cheese blintz
casserole dengan saus blueberry. Meski telah kenyang, ia meyakinkan diri
kalau bisa jadi ini makanan lezat terakhir yang didapatkan. la pun
memotong egg benedict, memberikan lebih banyak saus hollandaise,
kemudian melahapnya. Rasa manis gurih telur itu menyatu dengan
sempurna. Verity mengambil potongan telur lain dan memakannya cepat.
Namun, pada suapan kedua, ia merasakan panas membara seumpama api
yang membakar tenggorokannya. Ia terbatuk beberapa kali, berusaha
meredakan panas yang menggerogoti tenggorokan hingga perut. Meneguk
air, tetapi rasa panas itu tidak berkurang.
"Ada apa denganmu?" Raja Alastair menatap Verity dengan tatapan tajam
dan juga cemas di saat bersamaan.
Verity terbatuk lebih keras. Segumpal darah keluar dari mulutnya. Racun.
Racun sama seperti yang pernah Ratu Amaranta berikan. Tangan Verity
gemetaran ketika menyadari Ratu Amaranta bisa memiliki kuasa sebesar ini,
bahkan berani meracuninya di hadapan sang raja. Jantungnya memompa
lebih cepat, darah yang ia muntahkan semakin banyak. Matanya berkabut
dengan tangan mencengkram pinggir meja berusaha menahan diri agar
tidak jatuh. Dada terasa sesak juga napas semakin sulit.
Kalau kau membiarkannya seperti itu, dia bisa mati kapan saja."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair menatap tanpa sepatah kata. Keracunan hemlock bisa sangat
berbahaya, seharusnya Pangeran Alexander tidak memberikan napas
buatan karena berbahaya bila masih ada racun yang tersisa. Siapakah
wanita itu sebenarnya? Bila ia bukan Clementine, untuk apa Pangeran
Alexander berusaha keras menolong?
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Apa kau yakin dia akan baik-baik saja?" Raja Alastair tidak bisa percaya
begitu saja kepada Pangeran Alexander. Diam-diam ia sudah
memerintahkan Richard Blaxton untuk memeriksa seluruh kamar, bahkan
kamar para tamu kerajaan. Hemlock terlarang di Austmarr, kalau
Clementine bisa sampai keracunan hemlock, maka ada seseorang yang
membawa tanaman beracun itu masuk ke kerajaannya.
"Saya butuh berbicara berdua dengan Anda, Yang Mulia." Bisikan tabib tua
itu tidak luput dari pendengaran Pangeran Alexander.
"Kau tidak perlu mengusirku, aku akan pergi sendiri," cetus Pangeran
Alexander yang langsung meninggalkan kamar. "Apa yang ingin kau
sampaikan?" Raja Alastair kembali fokus ketabib.
"Ratu Clementine bisa saja mati kalau tidak ada Pangeran Alexander," jawab
sang tabib dengan hati-hati.
"Aku tahu. Kau tidak perlu mengingatkanku berkali-kali," kata Raja Alastair.
"Saya tidak tahu, Yang Mulia. Dibutuhkan tes lain untuk melihat apakah ia
juga pernah menerima jenis racun lain." Raja Alastair mengangguk. Ia tidak
membutuhkan tes lain, fakta kalau Clementine sering mendapat racun sama
dalam dosiskecil saja sudah cukup mengejutkan.
"Bagaimana dengan luka Anda, Yang Mulia?" Dua kejadian yang nyaris
membunuh dua orang dengan jabatan tertinggi di Austmarr disaat
bersamaan, benar-benar bukan kebetulan. Pasti adadalangdi balik semua
ini. Kalau Ratu Amaranta pelakunya, kenapaia berusaha membunuh
putrinya sendiri?
Luka tusuk sang raja memang cukup dekat dengan organ vital, tetapi itu
bukan luka pertamanya. Sudah banyak luka perang yang menghiasi
tubuhnya, beberapa memang cukup berbahaya hingga nyaris merenggut
nyawa. Raja Alastaira harus mengakui kalau tusukan Clementine termasuk
luka yang cukup parah. Bukan karena serangan Clementine, tetapi belati itu.
Entah apa yang ada di dalamnya hingga sampai sekarang lukanya masih
terasa perih dan menyakitkan.
"Bila lukanya masih terasa perih, Anda bisa memberikan salep untuk
menutup lukanya."
"Baiklah. Kau bisa kembali sekarang." Raja Alastair benarbenar lelah saat ini.
Ia tidak berbohong saat mengatakan belum tidur sejak tiga hari lalu.
Kini sang istri sudah terlihat jauh lebih bersih, hanya tersisa sedikit noda di
tangan pucatnya. Mungkin itu efek karena tadi berusaha menahan
muntahan. Raja Alastair mengambil lap basah, lalu membersihkan tangan
pucat Verity hingga darah yang lengket itu tersingkirkan. Setelah bersih,
Raja Alastair melihat ujung-ujung kuku Verity yang membiru, ia lalu
membalikkan telapak tangan Verity, dan menyadari ada bekas luka. Luka
tersembunyi cukup baik karena ada di telapak tangan. Daftar pertanyaan
Raja Alastaira pun semakin banyak.
"Aku sudah bosan makan daging kelinci kering, Barney." Barney,pria yang
tengah mengunyah itu terbahak, lalu menyingkirkandaging kelinci dari
hadapan Tybalt.
"Jadi apa yang terjadi pada Clementine?" Tybalt mengatakannya sambil lalu.
Namun, ia masih teringat wanita yang ditemui beberapa hari lalu.
Untung saja sekarang bukan musim dingin karena mereka juga tidak bisa
menyalakan api unggun. Mereka hanya bisa mengandalkan sinar bulan di
kala malam serta alkoholyang membuat tubuh sedikit menghangat.
IX
THE TRAITOR
Pangeran Alexander Thaurin memegang tangannya yang gemetaran akibat
terkena racun hemlock saat tadi memasukkan jarinya ke mulut Verity.
Tingkahnya yang sedikit aneh, tidak luput dari pengamatan Raja Zacharias
Colthas yang diam memperhatikan situasi sekitar.
"Aku bisa saja mati demi wanita itu. Untuk apaaku melakukan sejauh ini bila
aku ingin dia mati, Zachary? Pangeran Alexander mendengus keras.
"Kapan dia akan bangun?" "Tiga hari lagi." Pangeran Alexander menjawab
pertanyaan terakhir Raja Zacharias singkat.
"Tabib harus memperhatikan keadaannya tiga hari terakhir. Dia bisa saja
terkena serangan jantung tiba-tiba. Racun hemlock melumpuhkan otot-otot
di tubuh dan bisa saja membunuh. Clement beruntung karena ia tidak
terkena serangan jantung saat itu juga," ucap Pangeran Alexander muram.
"Aku tahu."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Richard Blaxton menatap penasaran sang raja yang duduk di hadapannya.
Nyaris dua puluh tahun menemani, ia tidak pernah benar benar bisa
menduga isi pikiran sang raja. Bahkan saat menemani raja kecil itu dulu,
Raja Alastair memiliki pemikiran yang berbeda dengan anak-anak
seumurannya.
Kehilangan kedua orang tua di usia belia memaksa Raja Alastair lebih cepat
dewasa, ditambah perang yang berkecamuk juga keadaan kerajaan kacau
balau, membuatnyaharus mengedepankan kerajaan dibanding diri sendiri.
Bahkan hingga detik ini, Raja Alastair selalu mementingkan kedamaian lima
kerajaan. Bila ia mau, ia bisa saja memilih salah satu perempuan yang
menarik hati, tetapi memilih mengalah dan menerima saran Richard Blaxton
untuk menikahi putri dari wanita yang ia benci hanya demi menjamin
kedamaian lima kerajaan.
"Yang Mulia ...." Richard Blaxton menegur Raja Alastair yang sepertinya
terlalu larut dalam pikirannya sendiri.
"Apa yang kau temukan?" Kedua mata coklat Raja Alastair menatap tajam
Richard Blaxton. Membuat pria tua itu tanpa sadar bergidik ngeri karena
tatapan raja seolah menembus jantungnya.
'Saya menemukan ini di salah satu pelayan yang dibawa oleh Yang Mulia
Ratu Clementine." Richard Blaxton mengeluarkan dua buah kantung
menyerupai kantung teh yang dibungkus sapu tangan dari saku celananya.
"Siapa?"
"Jenny membawa dua kantung, satu berisi obat tidur dan yang lainnya berisi
hemlock. Ratu Clementine membawa obat tidur yang sama." Raja Alastair
tampak berpikir sejenak melihat dua barang temuan Richard Blaxton. Ada
kemungkinan Clementine berencana menyusupkan obat tidur ke
makanannya, lalumembunuhnya dengan belati itu.
"Ada di penjara bawah tanah, Yang Mulia. Dia akan mendapatkan hukuman
mati karena berusaha membunuh anggotakerajaan." Buktinya sudah di
depan mata. Tidak ada alasanbagi wanita itu untuk menghindari hukuman
mati.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity masih tidak sadarkan diri meskipun sudah nyaris dua hari berlalu.
Setidaknya ia masih bernapas dan tidak mengalami serangan jantung.
"Dia bisa bangun kapan saja. Kita hanya perlu memperhatikan kondisinya."
Pangeran Alexander tersenyum miris melihat pakaian yang Verity kenakan.
Sehelai pakaian terlalu besar, mungkin milik Raja Alastair. Wanita itu
harusnya membunuh Alastair, bukan membuat dirinya nyaris terbunuh.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Tetaplah jalan ke depan. Ibu akan menemuimu di sana."
"Ibu?" Wanita yang menyebut dirinya ibu itu berjongkok di hadapan Verity,
menyejajarkkan wajah, lalu memegang kedua pipi Verity.
"Ibu mencintaimu."
"Tenanglah ini bukan racun. Aku tidak mungkin menarikmu dari kematian
bila aku ingin membunuhmu."
"Kau tertidur selama tiga hari akibat hemlock yang ditaruh di dalam
makananmu." Pangeran Alexander menjelaskan dengan singkat.
Verityterdiam, ini sudah pasti akibat Ratu Amaranta. Wanita itu tahu kabar
kegagalannya hingga ia harus mati saat itu juga. Verity berusaha duduk,
tetapi tangannya masih gemetaran seperti jelly dan lemas.
"Tanganku juga lumpuh," ucap Verity panik. Dulu hanya kakinya yang
lumpuh dan masih bisa menggerakkan badan dengan menyeretnya
menggunakan tangan. Sekarang nyaris semua anggota badannya lumpuh
dan ia benar-benar ketakutan. Bagaimana kalau ia lumpuh selamanya?
"Tenang saja. Obat yang tadi kuberikan akan membuatmu sehat kembali."
Pangeran Alexander menatap teliti Verity.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Verity melihat sekeliling dan menyadari
kalau ini kamar yang ia tempati bersama Raja Alastair setelah pernikahan
mereka. Kenapa Pangeran Alexander bisa masuk kamar?
"Aku mengawasimu selama tiga hari terakhir," jawab Pangeran Alexander
singkat. "Alastair tidak bisa mengatakan. apa pun karena Ratu Amaranta
menyerahkan segala urusan tentangmu kepadaku." Verity mengerutkan
kening, diam-diam menarik napas lega. Di Austmarr hanya Pangeran
Alexander yang tahu tujuan sebenarnya ia berada di sini. Setidaknya ia tidak
perlu bersikap berpura-pura di hadapan Alexander ketika pria itu tahu ia
harus membunuh Raja Alastair.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair, Ratu Rania, Jenderal Kilorn, Richard Blaxton bahkan Raja
Zacharias Colthas kini berada di hadapan Verity. Semuanya terlihat terkesan
dengan perkembangan Verity.
"Kau mungkin orang pertama yang selamat dari racun hemlock." Raja
Zacharias Colthas lagi-lagi terlihat acuh tak acuh dengan keselamatan Verity.
Namun, tentu saja di dalam hati sangat terkesan. "Kita perlu mengucapkan
selamat Pangeran Alexander yang berhasil membawamu dari kematian." la
menepuk pundak Pangeran Alexander, membuat pria itu menggeram tidak
suka.
"Maafkan saya, Yang Mulia." Verity tersenyum tipis Dibanding yang lain,
Ratu Rania merupakan bentuk ideal kepala kerajaan yang ia bayangkan
selama ini. Tidak seperti Ratu Amaranta, Raja Arthur, Raja Zacharias, atau
bahkan suaminy sendiri, Raja Alastair.
Mereka semua cenderung dingin dar menjaga jarak, sedangkan Ratu Rania
tidak segan merangkulny dalam sebuah pelukan hangat. "Kuharap aku tidak
menaku Pangeran Orion dan Putri Cassiopeia."
Verity terdiam sesaat sebelum menatap Raja Alastair yang berdiri di pojok
ruangan, terlihat terasing di kamarnya sendiri. "Jadi siapa pelakunya?"
"Apamaksud Anda, Yang Mulia?" Berarti ini memang ulah Ratu Amaranta,
bisik Verity di dalam hati geram. Wanita licik itu benar benar ingin
membunuhnya setelah ia gagal menjalankan tugas.
"Kau mengenal Jenny bukan? Dia pelayan pribadi yang kau bawa dari
Selencia." Wajah Verity memucat. la kini benar-benar tidak tahu lagi siapa
kawan dan siapa lawan.
Lidah Verity terasa kelu, ia tidak bisa mengatakan apa pun. "Kumohon
jangan berikan hukuman mati kepadanya."
"Aku penasaran seperti apa pernikahan kalian nanti." Raja Zacharias Colthas
menatap keduanya, kemudian menyeringai lebar. "Bila pada awal
pernikahan kalian saja sudah banyak masalah seperti ini, aku tidak tahu
bagaimana nanti."
"Kurasa itu keputusan yang adil. Bagaimana pun juga, dialah yang nyaris
mati karena ulah wanita itu." Jenderal Kilorn ikut dalam pembicaraan
ketiganya.
Sudah nyaris tengah hari dan Jenny telah dibawa ke tengah tengah lapangan
besar serupa colosseum dengan undakanundakan tinggi tempat para
penonton, juga sebuah panggung besar untuk tempat duduk anggota
kerajaan.
Verity terdiam, keningnya berkerut dalam seperti tengah memikirkan
sesuatu, la ingin kematian Jenny terasa cepat dan jauh dari kata
menyakitkan.
"Aku ingin dia diracun," gumamnya, membuat tiga pria yang berada di
sisinya, menatap kaget seperti ia baru saja menumbuhkan kepala baru.
"Kau tahu, kan kalau hukuman racun hanya diberikan kepada orang-orang
kasta tertinggi yang berkhianat?" Raja Zacharias Colthas tidak bisa
menyembunyikan nada heran dari mulutnya.
Verity tidak tahu peraturan semacam itu sebelumnya, jadi untuk menutupi
kegugupannya ia berdeham keras. "Ia meracuniku, jadi kurasa hanya itu cara
yangsetimpaluntuk membalas perbuatannya."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Apa kau tidak ingin mengubah keinginanmu?" Raja Alastair yang berada di
sebelah Verity berbisik.
Verity menggelengkan kepalanya tegas. Jenny hanya salah satu pion Ratu
Amaranta. Wanita itu tidak bersalah.
"Jenny dari Selencia akan menerima hukuman mati karena telah melakukan
percobaan pembunuhan kepada ratuku! la harusnya menerima hukuman
gantung atau penggal, namun karena kebaikan hati ratuku, ia menerima
hukuman racun." Raja Alastair terdiam sesaat. la menatap langsung bola
mata biru Jenny, lalu berdecak tidak senang. Hukuman racun hanya
diberikan kepada kasta tertinggi, bukan seorang pelayan. "Berikan
racunnya!"
X
THE DEATH
"Maafkan aku." Verity menutup kedua mata Jenny yang terbuka lebar, lalu
memperbaiki posisi tubuhnya. Melepas seluruh ikatan-ikatan pada kedua
tangan dan kaki dan memosisikan tangan Jenny telungkup di dada.
"Seharusnya aku yang mati, bukan kau." Verity berbisik di telinga Jenny. Ia
berharap setidaknya Jenny akan mendapatkan pemakaman yang layak,
tidak ditinggalkan begitu saja, menjadi santapan gagak. Verity menoleh dan
melihat Raja Alastair yang masih berdiri di sebelah singgasananya, meneliti
sikap anehnya hanya untuk seorang pelayan.
"Dia hanya pelayan." Raja Alastair masih tak mengerti kenapa Verity begitu
terpengaruh oleh kematian seorang pelayan yang telah berusaha
membunuhnya. Ia seorang ratu dan kerajaan terbesar di Inkarnate, bukan
pelayan seperti wanita itu. Tatapan Verity menajam mendengar perkataan
Raja Alastair, senyumnya sedingin es. "Dia juga manusia. Dia seorang ibu
untuk anak-anaknya, seorang istri untuk suaminya. Dia juga seorang anak
perempuan untuk kedua orang tuanya, seorang saudara perempuan untuk
saudara-saudaranya. Dia lebih dari seorang pelayan." Ia tak bisa lupa kalau
dirinya hanyalah seorang budak rendahan sebelum masuk ke Austmarr. Apa
yang akan Raja Alastair lakukan bila pria itu tahu kalau ia hanyalah seorang
budak yang bahkan posisinya jauh di bawah pelayan?
"Kematian tidak bisa dihindari, Clementine. Kau harus sadar kalau kau tidak
bisa bersikap baik kepada semua orang. Akan banyak orang yang datang
berusaha membunuhmu, bahkan seorang pelayan terdekatmu. Atau ratumu
sendiri." Ucapan Raja Alastair secara langsung menyinggung Verity,
membuat senyuman dinginnya hilang tak berbekas. "Kau harus ingat kalau
aku juga seorang manusia. Aku seorang raja, kematianku akan
mempengaruhi kehidupan ratusan ribu rakyat yang bergantung kepadaku."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Pangeran Alexander melihat Verity yang berdiri di tepi jendela mosaik besar
dengan tatapan kosong. Wanita itu masih mengenakan pakaian sama sejak
pagi tadi. Rambut hitamnya yang basah membuat pakaiannya semakin
lembap.
"Kau akan sakit lagi." Pangeran Alexander bergumam ketika menghampiri
ratu Austmarr itu.
"Pelayan itu punya nama!" Tanpa Verity sadari, ia mengeluarkan nada tinggi
untuk Pangeran Alexander. "Maaf, tapi aku sedang tidak ingin berbincang
denganmu, Alexander."
"Kau akan sendiri setelah ini, Clement. Aku akan kembali ke Thaurin, begitu
juga yang lainnya," kata Pangeran Alexander.
Selama beberapa hari ini, Verity menyadari pengaruh Ratu Rania, Pangeran
Alexander, bahkan Raja Zacharias di kehidupannya. Mereka membawa
warna berbeda dan membuatnya tidak merasa kesepian. Tidak seperti Raja
Alastair yang dingin. Percakapannya keduanya bisa dihitung jari. Satu-
satunya percakapan terpanjang hanyalah saat ia berusaha membunuh sang
raja. Jelas, itu bukan awal yang baik.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity berdiri di depan cermin besar setinggi dirinya, la tengah dirias oleh
seorang pelayan dari Austmarr, terlihat dari pakaian juga karakteristik
mereka yang berbeda jauh dari orang-orang Selencia. Pelayan itu menata
rambutnya, menempelkan mutiara mutiara kecil yang terlihat kontras
dengan rambut hitamnya.
"Begitu juga pelayan-pelayan dan pengawal yang kau bawa dari Selencia."
Raja Alastair meneliti ekspresi Verity dari pantulan cermin. Wanita itu hanya
menghela napas panjang dan mengangguk. "Kau tidak akan protes?"
"Aku tidak ingin ada yang terbunuh lagi di sini." Ucapan pelan Verity
membuat Raja Alastair tersenyum samar.
"Lucu mendengarmu mengatakan itu ketika beberapa hari lalu kaulah yang
berusaha membunuhku, Clementine." Raja Alastair membalik badan Verity,
memaksa wanita itu menghadap dan menatap matanya. "Apa kau tidak
ingin membuka mulut sekarang dan memberitahuku siapa kau
sebenarnya?"
melihat kepalan erat tangan Raja Alastair. "Aku tidak punya jawaban untuk
pertanyaan Anda, Yang Mulia," kata Verity lelah.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Aku tidak tahu kalau kau punya selera fashion yang tinggi, Zachary."
Jenderal Kilorn terbahak. "Tapi kau benar, Ratu Clementine memang terlihat
pucat. Dia sepertinya cukup terpukul dengan kematian si pelayan."
"Kita berharap saja dia tidak akan mati karena kepolosannya." Raja
Zacharias tidak peduli jika Ratu Clementine mati atau tidak, tetapi ia cukup
tertarik terhadap interaksi sang ratu dengan Pangeran Alexander dan Raja
Alastair. Wanita misterius itu mengacaukan kedamaian kecil di tengah
perang dingin Thaurin dan Austmarr.
"Dia dibawa kemari sebagai bentuk perjanjian kerja sama, Zachary. Dia
adalah bentuk kedamaian. Membunuhnya sama saja memecahkan perang
di lima kerajaan." Jenderal Kilorn merupakan salah seorang yang berperang
bersama raja terdahulu Raria. Kehancuran Dragør dua dekade lalu,
membuat perang berhenti karena Austmarr menarik semua tentaranya,
begitu juga Raria dan Colthas, menyisakan Dragør yang terpuruk sendirian.
"Anda akan lewat mana saat kembali ke Colthas nanti?"
"Anda akan melewati Hutan Pinus?" Jenderal Kilorn lebih memilih melewati
jalan antar desa yang cukup aman. Meski ia seorang jenderal tertinggi di
Raria dan bisa melawan para perampok dengan tangan kosong, ia tidak
ingin mengabaikan keselamatan keluarganya.
"Jalan antar desa sangat panjang." Memotong jalan lewat Hutan Pinus
memang bisa membuat perjalanan mereka lebih singkat daripada melewati
jalan biasa. "Apa Alastair tidak melakukan sesuatu kepada para perampok
itu?"
"Aku akan mencari udara segar sebentar." Verity pamit, lalu berjalan keluar
dari ballroom menuju taman. Ia hanya perlu udara segar sebentar sebelum
kembali berbaur bersama para bangsawan dengan parfum menyengat
sembari meringis melihat makanan yang tak henti-hentinya datang
memenuhi perut mereka. Sampai sekarang ia masih tak terbiasa makan
lebih banyak. Raja mengira, ia tak mau makan karena takut kembali
diracuni.
Malam ini penjagaan di sayap kiri istana tidak seketat sebelumnya, memang
masih ada beberapa penjaga, tetapi mayoritas berjaga di ballroom istana.
Sebagian lagi bersembunyi di balik bayangan, luput dari pengamatan Verity.
"Aku sudah bilang, kan kalau kita akan bertemu lagi, Yang Mulia?"
Seseorang bersuara.
"Tybalt!" Verity terbelalak melihat pria itu berada di dalam istana Austmarr,
lebih kaget ketika ia mendapati penjaga telah terbaring lemas di dekat
Barney. "Apa kau membunuhnya?" "Tidak." Tybalt terlihat heran dengan
pertanyaannya.
"Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa 'masuk?" Tembok itu
berbatasan langsung dengan Hutan Pinus, juga jurang tinggi yang
seharusnya tidak mudah dilewati penyusup.
Verity melangkah mundur dengan hati-hati, beberapa meter lagi akan ada
penjaga lain. Ia bisa berteriak dan mereka pasti segera datang.
XI
THE LOST KINGDOM
"Diamlah, Zachary!" Raja Alastair berkata kesal. Rapat baru saja selesai
ketika teriakan Verity terdengar hingga ke ruang rapat. Bahkan tamu-tamu
di ballroom juga berlarian ke sumber suara dan mendapati sang ratu yang
baru beberapa menit lalu menemani mereka, kini menjadi sandera.
Raja Alastair menatap Tybalt tajam, tetapi tatapannya lebih tertuju kepada
Verity yang tampak semakin pucat. Wanita itu memang memancing
kematian di mana pun berada, bahkan tubuh Jenny belum membusuk
ketika lagi-lagi seseorang berusaha membunuhnya.
"Tybalt, kau akan mati! Kalau bukan sekarang, maka nanti," ancamnya.
Verity tersentak kaget ketika mendengar nama Tybalt keluar dari mulut Raja
Alastair. Mereka saling mengenal? Seorang raja dan bandit dari kelas
rendahan saling mengenal?
"Siapa kau?" Verity berucap lirih. Kepalanya pusing dan berat, aroma anyir
juga membuatnya mual. Ia belum memakan apa pun sejak kematian Jenny,
kecuali hanya menyuap sup atau meminum air. Tubuhnya terasa lebih
lemah dibanding ketika mendekam di penjara dan tidak mendapatkan jatah
makan lebih dari seminggu.
Tybalt mengabaikan pertanyaan Verity dan menekan belati lebih dalam lagi.
"Bagaimana kalau ratumu mati lebih dulu, Alastair?"
"Apa yang kau inginkan?" Raja Alastair tidak suka harus bernegosiasi
dengan musuh-musuhnya, terutama yang sudah jelas menyerang secara
langsung.
Tybalt mungkin salah satu dari orang-orang Dragør yang tersisa. Namun,
kerajaan itu telah lama mati, begitu juga para keturunannya. Tidak ada lagi
yang tersisa selain reruntuhan dan puing-puing kerajaan, serta sebagian
kecil rakyat mereka yang kini hidup terlunta-lunta mengharapkan belas
kasihan dari lima kerajaan. Sebagian dari mereka memilih bergabung
dengan lima kerajaan, sisanya sekumpulan orang-orang yang masih percaya
kalau suatu hari, Dragør akan bangkit dan bergabung bersama Tybalt, salah
satu bangsawan dari Dragør yang memiliki hubungan dekat dengan anggota
kerajaan terdahulu.
"Mereka bahkan belum berumur tiga belas tahun!" Raung Tybalt marah,
mataanya menyorot nyalang. "Pasukanmu yang menyisir Hutan Pinus
selama beberapa hari terakhir, membuat kami kesulitan mendapatkan
makanan!"
Mata Verity membelalak semakin lebar. Tiga belas tahun. Bocah itu mencuri
makanan di pasar karena kelaparan, mengingatkan kepada dirinya yang dulu
diberi hukuman cambuk karena mencuri. Hukuman di Austmarr rupanya
lebih berat dari Selencia, ia merasa lebih beruntung karena kedua
tangannya masih utuh hingga detik ini.
"Bebaskan dia!"
"Bebaskan dia." Verity mengulangi, suaranya kian lirih dan kepalanya terasa
semakin berat. "Apa kau ingin aku mati sekarang?"
Raja Alastair mendengkus kesal. Ia lebih senang bila wanita itu diam dan
tidak ikut campur. Bukan sekali ini Dragør membuat ulah, tetapi yang paling
mencengangkan adalah keberanian Tybalt masuk istana, bahkan
menyandera istrinya. "Aku akan membebaskan bocah itu," ucapnya dengan
nada tak suka.
"Bawa dia kemari!" Kedua tangan Raja Alastair mengepal erat, rahangnya
mengeras menahan amarah. Bernegosiasi dengan musuh tidak harus ia
lakukan sebelumnya. Seandainya saja istrinya tidak berada dalam
cengkeraman Tybalt, maka ia akan langsung membunuh pria itu.
Tidak lama kemudian, tentara itu kembali dengan tiga orang anak kecil. Yang
tertua, Verity bisa menebak baru berusia tiga belas tahun. Sementara dua
lainnya: seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dan mata coklat
terang, mungkin masih berusia sebelas tahun, dan bocah laki-laki yang
paling kecil, mungkin berusia sembilan tahun. Ketiganya terlihat kurus
dengan mata yang terlihat terlalu besar dibanding wajah cekungnya,
pakaian mereka kotor, lutut juga siku membiru dan lecet.
"Peter!" Verity bisa mendengar napas lega Tybalt. Bocah laki-laki ingin
segera kembali ke pelukan Barney dan Tybalt, tetapi ditahan tentara-tentara
Austmarr.
"Tidak! Berikan ketiganya lebih dahulu. Aku tidak bisa memastikan kalau kau
tidak akan melepaskan panah-panah itu bila aku melepaskan ratumu lebih
dulu." Nada penuh penegasan Tybalt juga tak adanya tanda-tanda pria itu
akan segera melepaskan Verity, membuat Raja Alastair kembali memberi
aba-aba kepada tentaranya agar melepaskan ketiga bocah. Mereka segera
berlari ke pelukan Barney dan sembunyi di balik punggungnya.
"Aku tidak ingin kau berada di Hutan Pinus! Daerah itu terlarang untukmu
mulai detik ini. Aku memberimu waktu lima menit sebelum pasukanku
mengejar setelah kau keluar dari istana ini." Raja Alastair memberikan
penawaran terakhir. Setelah ini, ia tidak ingin ada satu pun rakyat Dragør
yang tersisa di Austmarr. Sebagian Hutan Pinus memang merupakan daerah
kekuasaannya.
"Kau tahu, kan kalau lima menit yang kumaksud adalah saat mereka mulai
melewati tembok itu?" Raja Alastair mengatakannya dengan nada ejekan.
Setiap pasukan pemanah sudah bersiap menyerang bila ia memerintahkan.
"Sampai jumpa lagi, Yang Mulia." Tybalt berbisik kepada Verity untuk yang
terakhir kali sebelum melepas tawanannya begitu saja, membuat Verity
terjatuh di rumput yang lembap. Tangan kanannya menahan leher yang
terluka, matanya membelalak kaget melihat Tybalt segera berlari melewati
tembok pembatas hanya beberapa detik sebelum panah-panah pasukan
Raja Alastair dilepaskan.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Barney melihat wajah pucat Tybalt. Sebuah anak panah berhasil melukai
lengannya.
Tybalt melilit luka di tangannya dengan sobekan kain, lalu menatap ketiga
bocah yang juga tak kalah pucat dengannya. "Peter, apa kau baik-baik saja?"
Peter, bocah tertua mengangguk lemah. "Aku minta maaf, Ty. Samuel
menginginkan sebuah manisan, dan kau tahu kami sangat kelaparan."
"Dia juga terlihat cukup peduli dengan tentara yang kubuat pingsan itu,"
imbuh Barney, "kau tidak menekan belatinya cukup dalam dan Raja Alastair
sepertinya menyadari itu. Dia bisa saja membunuhmu bila Ratu Clementine
tidak mengatakan apa pun."
"Diamlah, Barney!" Tybalt tak suka ketika Barney mulai mengusik isi
pikirannya. Ratu Clementine mungkin naif dan sangat berbeda dari ibunya
yang licik. Ia tidak menyangka kalau Ratu Clementine akan peduli kepada
tentara rendahan, juga para bandit sepertinya. "Dia putri Ratu Amaranta,
juga istri Raja Alastair. Kita tidak boleh lupa kalau mereka penyumbang
terbesar kehancuran Dragør."
"Kau benar," sahut Barney. Seandainya saja wanita itu bukan putri Ratu
Amaranta atau istri Raja Alastair, mereka mungkin masih bisa menyisakan
sedikit rasa simpati kepadanya.
"Barney! Tybalt!" Suara mereka dipenuhi rasa kelegaan yang kental, "aku
mendengar suara-suara tentara Austmarr saat berusaha masuk kembali ke
Hutan Pinus. Kukira kalian telah mati."
seroang.
Seekor rusa berukuran cukup besar bisa menjadi makan malam mereka.
Barney memeluk mereka satu per satu, wajahnya terlihat lega juga bahagia
karena bisa berkumpul kembali di tanah yang mereka pernah menyebutnya
rumah.
"Tybalt, kau tidak ingin makan malam dulu?" Barney bertanya kepada Tybalt
yang terus melangkah menuju tepi sungai.
XII
THE HEART
"Lukanya tidak terlalu dalam. Dia akan baik-baik saja, Yang Mulia." Tabib tua
yang pernah memeriksa Verity sebelumnya berucap yakin.
"Aku bisa menjamin kalau itu tidak akan terjadi lagi," tukas Raja Alastair.
Kekuasaan dan keamanan kerajaan dipertaruhkan karena seorang bandit
yang berhasil masuk istana, bahkan melukai istrinya.
"Kau harus bersiap berperang. Tidak hanya dengan Selencia, tetapi juga
Thaurin bila hal sama terjadi untuk yang ketiga kalinya."
Sang tabib mengusap keringat dingin yang membasahi dahi dengan sapu
tangan, tangannya gemetaran karena gugup ditatap oleh orang terpenting
dari dua kerajaan. "Yang Mulia Ratu Clementine akan baik-baik saja. Kurasa
dia mengalami tekanan batin yang cukup hebat hingga bisa pingsan seperti
ini, Yang Mulia. Dia hanya perlu beristirahat lebih lama dan memakan
makanan yang lebih bernutrisi untuk mengembalikan stamina tubuh."
"Beri dia sup kaldu saat ia bangun nanti. Sejak pagi, ia tidak memakan apa
pun." Raja Alastair mengepalkan tangan mendengar perintah yang
dikeluarkan Pangeran Alexander kepada sang tabib.
"Kau tidak perlu khawatir dengan keadaan Clementine." Raja Alastair tidak
sabar ingin segera mengusir pria itu dari Austmarr.
"Ratu Amaranta-"
"Katakan itu sekali lagi, maka aku akan membunuhmu saat ini juga! Kau
bukan apa-apa, Alexander. Kau masih berada di bawah kuasa ayahmu!" Raja
Alastair memberikan senyuman sinis. "Tidak seharusnya kau menghinaku di
kerajaanku sendiri, Alexander!"
"Ratu Amaranta tidak akan tinggal diam! Clementine nyaris mati dua kali
selama berada di kerajaanmu. Angka yang cukup signifikan bila dibanding
saat ia berlindung di Thaurin," sinis Pangeran Alexander.
"Kau tidak tahu bukan? Apa kau benar-benar mengenal istrimu sendiri,
hm?" cibir Pangeran Alexander.
"Aku tidak peduli masa lalumu dengannya, Alexander! Aku punya seumur
hidup untuk mengenal Clement." Raja Alastair berjanji di dalam hati,
setelah istrinya bangun nanti, ia akan bertanya dan mencari tahu siapa
wanita itu sebenarnya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Ibu! Ibu!" Verity berlari entah berapa lama hingga kaki-kakinya menyerah
dan napasnya terasa berat.
"Yang Mulia?" Verity terbelalak melihat Raja Alastair yang kini menatap
tajam. Kedua tangan pria itu menahan kepalanya agar tak menghindari
tatapan.
"Apa yang kau pikirkan ketika keluar dari ballroom, hah!" Wajah Verity
semakin memucat mendengar bentakan kasar Raja Alastair yang berada
tepat di hadapannya. "Apa kau benar-benar berusaha membuat dirimu
terbunuh? Aku tidak akan membiarkannya, Clement. Kau tidak akan mati
sebelum aku mendapatkan jawabanku!"
Verity menatap kesal. Raja Alastair bukan seorang raja seperti di dongeng-
dongeng yang pernah ia baca. Pria itu tidak ramah, cenderung dingin, dan
lebih sering mengabaikannya. Pria itu hanya datang ketika masalah
menghampiri yang selama ini selalu berhubungan dengan nyawa seseorang.
Andai saja Raja Alastair bisa melakukan sesuatu kepada mulut lancang
istrinya, tetapi melihat rona pucat Verity juga perkataannya, membuat rasa
marah terhadap diri sendiri menumpuk semakin tinggi. "Kenapa kau
meminta para bandit itu dilepaskan?"
"Kenapa kau peduli? Apa yang kau ketahui dari anak-anak seperti mereka?
Kau tidak pernah merasakan lapar hingga harus mencuri atau mengais
makanan di pasar. Ibumu selalu memberikan yang terbaik kepadamu. Kau
hanya seorang tuan putri yang terkurung di dalam sangkar emasnya
sendiri." Ucapan Raja Alastair benar-benar menohok ulu hati, membuat
mata Verity berkaca-kaca ketika ia berusaha bangkit dan menjauh.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Yang Mulia! Apa yang Anda lakukan di sini? Anda tidak beristirahat?"
Kehadiran Richard Blaxton membuat Verity menarik napas lega. Pria itu
mengulurkan tangan, Verity serta merta menaruh tangan di lekukan
sikunya. Keduanya pun berjalan beriringan.
"Aku membutuhkan waktu sendiri." Tak terasa dua jam berlalu sejak Verity
keluar dari kamar Raja Alastair dan menangis sesenggukan di anak tangga.
"Aku tidak tahu apa tujuanku berada di sini. Semua orang berusaha
membunuhku." Richard Blaxton tersenyum kecil. Tanpa sepengetahuan
Verity, ia juga tahu kalau wanita itu berusaha membunuh Raja Alastair.
"Jenny tidak seharusnya mati. .. "
"Tuhan telah menentukan garis mereka masing-masing Yang Mulia. Bila saja
raja dan ratu Austmarr terdahulu masih hidup, mungkin Raja Alastair belum
menjadi raja." Richard Blaxton berhenti di hadapan pintu besar tingginya
yang mungkin mencapai langit-langit. Kedua pengawal segera membukakan
pintu, membuat Verity takjub dengan pemandangan di hadapannya. Sebuah
perpustakaan tiga lantai terbesar yang pernah ia lihat.
"Apa maksudmu?"
"Anda adalah ratu Austmarr yang baru. Kuharap Anda memahami semua
yang terjadi di kerajaan ini." Perkataan Richard Blaxton terdengar masuk
akal di telinga Verity. Ia bisa mulai mencari sejarah lima kerajaan sebelum
perang besar yang menghancurkan Dragør. Pelajaran dari Matthias selalu
terdengar membosankan, tetapi perkataan Richard Blaxton membuat
semangat di matanya menyala kembali.
"Terima kasih, Richard. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku
lakukan tanpamu." Verity tersenyum kaku.
"Richard...."
"Ya, Yang Mulia?" Richard Blaxton membalik badannya, lalu menatap Verity
kembali.
"Apa kau tahu alasan Raja Alastair tega memberi hukuman berat kepada
anak-anak itu?" Verity yakin Raja Alastair masih memiliki setidaknya sedikit
rasa simpati untuk anak-anak. Namun, melihat sikapnya pagi tadi, apakah
Raja Alastair benar benar memiliki hati?
"Sebagai seorang raja, Raja Alastair harus bersikap adil kepada semuanya. Ia
tidak bisa bersikap simpati kepada seseorang hanya karena Anda
memintanya, Yang Mulia."
"Hubungan kalian berdua tidak bisa dikatakan mudah, Yang Mulia. Raja
Alastair dan Anda memiliki hubungan platonik yang memiliki tujuan untuk
menyatukan dua kerajaan, Selencia dan Austmarr." Richard Blaxton
terdengar gugup, tidak lagi setenang sebelumnya. Verity yakin kalau pria ini
tahu sesuatu yang disembunyikan Raja Alastair.
"Sejak beliau menjadi raja. Saya diangkat oleh Yang Mulia Raja Alastair
karena hanya saya yang bisa dipercaya pada saat itu," jawab Richard
Blaxton.
Raja Alastair tidak memiliki hati, itukah alasan kenapa pria itu tidak mati
saat jantungnya ditusuk?
XIII
THE PRINCESS
"Malam yang suram, eh?" Raja Zacharias yang sudah berada di atas kuda
hitamnya menatap rendah Pangeran Alexander. Bahkan hingga hari terakhir,
keduanya masih tidak ingin menurunkan sikap waspada terhadap pihak
masing-masing.
"Clementine? Kau tidak perlu khawatir. Wanita itu masih punya stok nyawa
yang mungkin masih bisa kau selamatkan lain kali," cibir Raja Zacharias.
Pangeran Alexander menaiki kudanya dengan sekali entakan, lantas
memegang erat tali kekang kuda. Ia tidak terima dengan perkataan sinis
Raja Zacharias yang cenderung mengejeknya.
"Aku akan lewat utara. Menurutmu apa yang sedang aku rencanakan,
Alexander?" Raja Zacharias tersenyum miring, lalu menutupi wajahnya
dengan kain hitam.
Semua tentara mengikuti gerakan sang raja. Dengan hal itu, tidak ada yang
bisa membedakan mereka selain emblem abu abu di dada Raja Zacharias
yang lebih berkilauan.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Ssh!" Pria itu beberapa kali memelankan langkah kuda untuk menghindari
tentara-tentara Austmarr yang masih bersembunyi di Hutan Pinus.
Raja Zacharias berusaha mencari dua Dragørian yang kabur setelah berhasil
melukai Ratu Clementine. Ia yakin mereka menuju Dragør sekarang.
"Tybalt!" Para pria Dragør segera berdiri dan mengeluarkan senjata yang
tidak lebih dari belati atau senjata tua usang.
Mereka bisa saja langsung mati bila Raja Zacharias memerintahkan tentara-
tentaranya.
"Tybalt." Raja Zacharias turun dari kudanya dan menyapa Tybalt sembari
membuka kain hitam yang munutup wajah.
"Apa yang ingin dilakukan seorang raja Colthas di tanah Dragor? Kau tidak
diterima di sini!" Tybalt membalik badan dan berjalan menuju warga Dragør
yang bersikap waspada.
"Apa yang kau inginkan di sini, Raja Zacharias?" Tybalt menatap curiga. "Kau
tidak mungkin mengkhianati Austmarr dengan datang kemari bukan?"
"Aku datang kemari karena Dragør memiliki sesuatu yang kubutuhkan." Raja
Zacharias mendekati Tybalt dan mengulurkan sesuatu ke tangan pria itu.
"Aku bisa membantumu membangun kembali Dragør."
"Apa yang kau butuhkan, Zachary?" Tybalt menatap benda di tangan dan
mencengkeramnya erat. Ia akan segera menuntaskan misinya untuk
membunuh Ratu Amaranta dan Raja Alastair, lalu membangun kembali
Dragør.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Hanya Raja Alastair yang benar-benar tahu, Yang Mulia." Kata-kata ambigu
Richard Blaxton membuat Verity kesal karena penasaran juga takut. Siapa
sebenarnya pria yang ia nikahi ini? "Richard, apa maksudmu membawaku ke
perpustakaan ini?"
"Semua jawaban ada di perpustakaan ini, Yang Mulia. Kecuali tentu saja
mengenai keberadaan hati Yang Mulia Raja Alastair. Hanya beliau yang bisa
memberikan penjelasan sebenarnya kepada Anda. Saya yakin Raja Alastair
akan segera memberitahu bila beliau sudah cukup memercayai Anda."
Richard Blaxton membungkukkan badan, memberikan sebuah
penghormatan sebelum undur diri, meninggalkan Verity di perpustakaan
bersembunyi. bersama pengawalnya yang sejak tadi.
"Putri Clementine ...." Verity berbisik lirih dan menatap nama Putri
Clementine yang terletak setelah nama kedua orang tuanya.
Putri Clementine lebih tua setahun dari Verity. Wanita itu Ilahir saat
ayahnya, Raja Matthew dibunuh oleh salah satu tentara Dragør. Berita
kematian sang raja membuat Ratu Amaranta mengalami pendarahan hebat
dan nyaris membunuh janin yang tengah dikandung.
Verity menarik napas bosan dan membalik setiap halaman di buku hingga
terhenti di sebuah gambar keluarga Kerajaan Selencia yang terselip. Ia
menemukan wajah muda Ratu Amaranta yang menatap sang pelukis
dengan keanggunan tak terkira. Selain Ratu Amaranta, masih ada beberapa
orang lagi yang diduga keluarga besar Kerajaan Selencia. Lukisan itu hitam
putih. Setiap orang di gambar memiliki karakteristik serupa, rambut pirang
dan mata terang.
MARIELLA DRAGØR
"Apa yang kau lakukan di sini?" Jantung Verity nyaris copot saat sebuah
tangan besar merebut buku dari tangannya.
"Yang Mulia?" Verity menelan ludah ketika melihat Raja Alastair yang
menatapnya marah.
"Apa yang kau lakukan di sini, Clementine?" ulang Raja Alastair penuh
penekanan.
"Tidak seharusnya kau masuk daerah ini!" Raja Alastair meletakkan buku
sejarah Kerajaan Selencia di rak, kemudian menarik tangan Verity untuk
menjauh.
"Apa maksud Anda, Yang Mulia? Tentu saja aku tidak dilarang membaca di
perpustakaan bukan?" Verity tidak mengerti kenapa Raja Alastair berusaha
menyembunyikan sejarah Kerajaan Selencia dari dirinya yang kini tengah
berpura pura menjadi Putri Clementine.
"Tempat itu terlarang untukmu." Raja Alastair tidak menjelaskan apa pun,
membuat Verity kesal dan menarik tangannya dari cengkeraman sang raja.
"Apa kau benar-benar ingin tahu kenapa kau tidak boleh masuk ke sana,
Clementine? Tempat itu terlarang untukmu karena kau bukan anggota
kerajaan yang sebenarnya. Hanya raja dan ratu Austmarr yang bisa masuk
tempat itu. Kau bukan Putri Clementine, kau hanya penipu yang berusaha
membunuhku! Verity tidak menyangka Raja Alastair akan mengucapkan
kalimat sepanjang itu di hadapannya. "Berhentilah bersikap seolah-olah kau
adalah ratu di Austmarr, Clement ... atau siapa pun namamu!"
"Apa yang dipahami raja sepertimu? Beberapa saat lalu kau menuduhku
sebagai putri manja yang selalu dilayani, lalu sekarang kau menuduhku
sebagai penipu dan pembunuh. Apa bedanya aku denganmu, Yang Mulia?
Oh, aku tahu. Mungkin karena aku punya hati dan kau tidak!" Verity
tersentak kaget ketika sang raja tiba-tiba mencekik leher dan
mendorongnya ke rak buku terdekat. "Y-yang Mu-lia...."
"Richard Blaxton bilang semua jawabannya ada di sini. Sama seperti Anda,
Yang Mulia. Saya hanya tengah mencari jawaban." Verity memberanikan diri
menatap Raja Alastair.
"Bila kau mengira semua jawabannya berada di sini, maka kau salah.
Mungkin kau akan mendapatkan sesuatu yang baru namun itu tidak akan
membantumu melangkah ke mana pun!"
Verity memegang lehernya yang terasa sakit. Raja Alastair mungkin tidak
berniat membunuhnya sekarang, tetapi pria itu dapat membuatnya berada
di ambang kematian.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity tidak bisa lagi menunggu perintah Ratu Amaranta hingga hukuman
mati untuknya tiba. Setidaknya sekarang ia bisa memulai dari petunjuk yang
diberikan Richard Blaxton. Dimulai dari Mariella Dragør, kemudian hati Raja
Alastair.
XIV
THE SONG
"DAISY, DAISY, WHO shall it be? Who shall it be who will marry me? Rich
man, poor man, beggarman, thief. Doctor, lawyer, merchant, chief. Tinker,
tailor, soldier, sailor." Verity menyenandungkan lagu anak-anak ketika
melihat bunga daisy yang berada di taman istana. Ia kembali teringat lagu
itu dan menyanyikannya pelan sembari menyentuh kelopak putih bunga
daisy. "Daisy, daisy, who shall it be?"
"Apa yang kau lakukan?" Verity tersentak kaget dan nyaris terjatuh ke
semak bunga berduri bila bukan karena Raja Alastair yang mencengkeram
lengannya.
"Kau tidak ingin bertemu ibumu sendiri, Clement?" Wajah Verity memucat
mendengar pertanyaan yang dilontarkan Raja Alastair dengan nada santai.
"Aku menemukan beberapa hal menarik saat ke Selencia. Seperti belati ini
misalnya. Belati yang kau bawa, Clement. Juga kenapa Amaranta
menyuruhmu membunuhku."
"Aku tidak tahu apa-apa, Yang Mulia." Bibir Verity bergetar, lidahnya
mungkin nyaris hitam karena terlalu sering berbohong. Namun, ia benar-
benar tidak tahu kenapa Ratu Amaranta ingin menyingkirkan Raja Alastair.
Bila wanita itu ingin mengambil alih kerajaan Austmarr sebagaimana yang
telah dilakukan kepada Dragør, maka tidak masuk akal. Ratu Amaranta
sendiri pernah berkata, bila Verity bisa menetap atau pergi dari istana
setelah berhasil membunuh sang raja.
"Mungkin kau boleh bersikap tidak tahu seperti ini, tapi aku akan
mengungkapkan kebenarannya, Clementine. Bersiaplah ketika hari itu tiba."
Raja Alastair membalikkan badan, meninggalkan Verity di taman.
Hari-hari tenangnya telah usai. Sekarang Verity harus menghadapi sang raja.
Entah apa yang Ratu Amaranta katakan hingga Raja Alastair bersikap lebih
defensif.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Amaranta tidak mengatakan apa pun kepadaku. Wanita licik itu mengirim
utusan untuk membunuhku, namun tidak berhasil sama sekali."
"Apa yang akan Anda lakukan sekarang, Yang Mulia?" Richard Blaxton
menunggu. Ia melihat sang raja duduk di singgasananya dan termenung
cukup lama.
"Dia tidak seperti warga Selencia lainnya, tapi matanya violet dan bukankah
sudah jelas kalau keturunan langsung kerajaan Selencia akan memiliki
warna mata violet, Yang Mulia?" Richard Blaxton berpendapat.
"The Queen took your heart. She ripped it out. It's kind of her thing. She
never wanted you to be able to feel again."
Apakah yang dimaksud adalah Ratu Amaranta atau Mariella? Dragør telah
lama hancur, tetapi hatinya masih tidak tersembuhkan.
"Apakah ada hal lain yang perlu saya siapkan untuk menyambut
kedatangan Anda, Yang Mulia?" tanya Richard Blaxton.
"Tidak ada."
Richard Blaxton menatap cukup lama, lalu memilah kata kata dengan hati-
hati. "Untuk menjadi seorang raja yang arif dan bijak, Anda membutuhkan
hati, Yang Mulia. Kerajaan Anda mungkin bisa makmur, tapi Anda akan
dikenal sebagai raja yang barbar dan tidak berprikemanusiaan."
"Apakah itu penting?" Raja Alastair mendengkus tak suka. "Di dunia ini
hanya ada bertahan atau melawan. Lihatlah apa yang terjadi kepada kedua
orang tuaku karena mereka memilih bertahan dibanding melawan."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Kalung mutiara yang pernah Anda kenakan saat pesta perpisahan dengan
anggota kerajaan lain, Yang Mulia." Verity mengernyitkan kening sesaat
sebelum teringat ketika ia dijadikan tawanan Tybalt.
Si pelayan tidak mengucapkan sepatah kata lagi dan segera membuka pintu
keluar. Sebuah meja panjang besar menyambut, membuat Verity semakin
ragu untuk melangkah. Raja Alastair telah duduk di ujung meja makan,
sementara makanannya tertata di sisi kanan raja yang berarti mau tak mau
ia harus duduk di sebelah pria itu.
"Clement." Raja Alastair mengangguk sekilas ketika Verity melangkah ragu
mendekati kursinya. "Duduklah!"
"Terima kasih, Yang Mulia." Verity pun duduk. Ia melihat sup labu berwarna
oranye kental dan mulai menyantapnya pelan.
Tidak, Yang Mulia. Makanan ini sangat enak." Suara Verity seperti cicitan
tikus. Saat Raja Alastair menghabiskan makanan pembuka, ia berhenti
menyendok sup yang bahkan nyaris tak tersentuh.
"Tidak, Yang Mulia. Saya akan menerima makanan pembuka seperti Anda,"
tukas Verity.
"Kau selalu memiliki ekspresi yang aneh ketika makan," kata Raja Alastair.
Lagi-lagi Verity nyaris tersedak. Ia mengambil gelas berisi air putih dan
meneguknya hingga tandas. "Apa maksud Anda Yang Mulia?"
"Kau memakannya seperti kau baru saja mencoba makanan itu. Apa Ratu
Amaranta tidak pernah membiarkanmu memakan makanan seperti ini
sebelumnya?"
Kali ini ia tidak bisa menahan diri dan bertanya, "Apa ini?" "Parfait." Verity
lupa kalau saat ini ia tengah makan bersama Raja Alastair. Sehingga
pertanyaan apa pun yang ia lontarkan, akan membuat sang raja curiga.
"Kau bisa menghabiskan makanan penutupnya. Aku tidak menyukai
makanan manis.".
Verity membelalakkan mata dan mengangguk pelan menyadari sang raja
membiarkannya menyelesaikan makan, bahkan menunggu di meja.
"Terima kasih, Yang Mulia," ucap Verity. Rasa asam manis yoghurt yang
berpadu buah-buahan dalam parfait ternyata lebih ringan dari
bayangannya. Tidak seperti sup atau steak domba, ia mampu
menghabiskan parfait itu.
Verity tak mampu menjawab pertanyaan Raja Alastair karena garis antara
Putri Clementine dan dirinya semakin mengabur.
XV
THE OTHER SIDE
Raja Alastair berbalik dan menatap bola mata Richard Blaxton yang
berwarna kelabu. Pria ini sudah nyaris dua dekade menemani dan
menuntunnya hingga berada di puncak takhta Kerajaan Austmarr. "Dia
berusaha membunuhku."
"Dia juga seorang ratu di Austmarr, Yang Mulia." Richard Blaxton menatap
Verity sejenak dan menghela napas panjang. Ia hanya berusaha membantu
wanita itu dengan memberitahukan rahasia Raja Alastair dan jalan menuju
perpustakaan. Ia tak menyangka kalau sang raja akan terus bersikap curiga.
"Apa yang Ratu Amaranta katakan kepada Anda saat di Selencia?"
"Aku tidak bisa memercayai wanita licik itu." Raut wajah Alastair berubah
tak senang. "Aku tak percaya harus menikah dengan anak wanita itu."
"Ratu Clementine sangat berbeda dengan ibunya." Tentu saja bukan fisik
mereka yang Richard Blaxton maksud. Ratu Clementine tidak bersikap
angkuh atau terlalu anggun khas aristokrat Selencia. Kebalikannya, sang
ratu terlihat begitu canggung dan hati-hati meski sekarang sedikit berubah.
Ia tidak pernah menghabiskan terlalu banyak waktu di dalam ruangan,
lebih suka berada di taman diikuti pelayan dan beberapa tentara bayangan.
Bila Verity mampu membuat sang raja memikirkannya berulang kali dalam
sehari, maka Raja Alastair mengabulkan karena penasaran dengan sikapnya
yang misterius, bukan karena menyukai. Mungkin saja suatu hari nanti
Verity menjadi jawaban yang bisa mematahkan kutukan sang raja dan
membuat hatinya yang telah lama membeku kembali berdetak.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Queen anne's lace." Suara dari belakang nyaris membuat jantung Verity
copot. "Kau selalu kaget bila mendengarku. Tidak siap bila aku menikammu
tiba-tiba?"
Verity mengerut kening kesal mendengar selera humor sang raja yang
buruk. "Anda akan membunuhku dengan tikaman, Yang Mulia?" Ia tidak
yakin kalau Raja Alastair tengah bercanda atau mengancamnya.
"Mungkin. Apa yang kau lakukan di sini?" Raja Alastair yang tinggi besar,
membuat Verity terpaksa mendongak untuk melihatnya.
"Untuk apa? Aku tak bisa masuk ke perpustakaan dan membaca buku. Aku
bisa berada di sini dan menatapnya setiap hari sembari menunggu bunga
mati perlahan." Verity melihat bunga sekali lagi, lalu berusaha mengingat
di mana ia pernah melihat bunga serupa Queen anne's lace. "Apa ini bunga
yang langka, Yang Mulia?"
"Apa yang Anda lakukan di sini, Yang Mulia?" Verity berdiri dan merapikan
gaunnya yang sedikit kotor terkena tanah.
"Hari ini kita akan menemui penduduk Austmarr sekaligus berbincang
dengan menteri-menteri." Raja memperhatikan Verity dan menyadari kulit
wanita itu tidak lagi sepucat saat mereka pertama bertemu. Pipinya
merona bila terkena cahaya matahari, mata violetnya semakin kontras
dengan rambut hitam dan kulit yang kecokelatan.
"Kita?" Verity bahkan tidak pernah melihat seperti apa Austmarr setelah
masuk istana.
"Ya. Ganti pakaianmu, lalu temui aku di ruang singgasana!" "Apakah kita
akan tetap berada di dalam atau keluar istana?" Verity tak bisa menahan
nada penasaran juga semangat ketika bertanya kepada Raja Alastair. Ia tak
sabar melihat seperti apa kota Austmarr. Ia hanya pernah melihat sekali
ketika matahari telah terbenam dan masyarakatnya lebih memilih berada
di dalam rumah.
"Tidak. Simpan harapanmu itu, Clement. Kau tidak akan keluar dari istana
ini." Wajah riang Verity seketika berubah. Ia hanya ingin bebas, sungguh.
Walaupun berada di Istana Austmarr lebih baik daripada penjara Selencia,
ia tetap merasa istana ini seperti penjara.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Clementine!"
"Yang Mulia!" Pelayan menunduk ketika Raja Alastair lagi lagi masuk kamar
tanpa pemberitahuan.
"Tidak perlu. Kau bisa meninggalkan kami berdua," potong Raja Alastair.
Verity tidak mengucapkan sepatah kata. Untuk yang ke sekian, Raja Alastair
pemilik kerajaan ini. Dia yang lebih berhak berada di istana, keluar masuk
ruangan atau menyuruh siapa pun untuk pergi.
"Yang Mulia, Anda bisa meminta. ... " Verity hanya menyayangkan perintah
Raja Alastair yang menyuruh pelayannya keluar sebelum selesai
memasangkan korset.
Bulu kuduk Verity meremang ketika jemari Raja Alastair menyentuh kulit
punggungnya dan memasangkan ikatan korset satu per satu. Ia berusaha
keras untuk menutup mulut hingga sang raja mengencangkan ikatan
teratas.
"Cukup." Verity menjawab singkat. "Apa yang Ada lakukan di sini, Yang
Mulia? Kukira Anda akan menunggu di ruang singgasana."
"Terima kasih, Yang Mulia." Verity hendak mengambil mahkota dari tangan
Raja Alastair, tetapi lagi-lagi ia tak diindahkan. Pria itu meletakkannya tepat
di kepala Verity, lalu menatap dengan reaksi tak terbaca.
"Ini mahkota ibuku. Berat tanggung jawab yang berada di sini, harus kau
tanggung ketika berada di ruang singgasana nanti."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair berusaha untuk tidak memedulikan Verity yang kini duduk di
sebelahnya di ruang singgasana. Satu per satu penduduk datang membawa
hadiah untuk ratu baru Austmarr yang langsung diserahkan kepada
pelayan. Menteri-menteri duduk di jejeran kursi sebelah kanan dan kiri,
melihat penduduk Austmarr yang mereka keluhkan. Verity masih terdiam,
lebih banyak yang datang, sesekali memberikan saran atas masalah
tersenyum canggung, dan mengucapkan terima kasih saat penduduk
Austmarr memuji kecantikannya atau memberikan hadiah.
Semuanya berjalan lancar hingga dua anak kecil, sepasang kakak beradik
laki-laki dan perempuan, berjalan cepat ke hadapan Verity, dan melewati
garis pembatas. Para pengawal segera bertindak untuk menjauhkan kedua
bocah itu.
Kedua bocah itu terisak keras karena para pengawal yang menarik tubuh
ringkih mereka dengan kasar.
"Yang Mulia ...." Salah satu pengawal menatap Raja Alastair, menunggu
perintah.
"Yang Mulia?" Kedua bocah itu berhenti terisak dan memberikan salam
hormat untuk Verity.
"Aku tidak bisa memakai mahkota ini sekarang, tapi aku bisa mengubah ini
menjadi gelang." Tangan Verity bergerak cepat menjalin kembali mahkota
bunga hingga lingkarannya lebih kecil, kemudian dikenakannya di
pergelangan tangan. "Terima kasih."
"Sudah kuduga kau akan pergi menghampiri mereka." Ucapan Raja Alastair
membuat Verity mengerutkan kening sekilas.
"Kau juga melakukan hal sama ketika menyelamatkan anak anak Dragør
itu." Raja Alastair melirik gelang bunga di tangan Verity dan kembali
bergumam. "Lepaskan bunga itu! Kita tidak tahu bila salah satu bunganya
mengandung racun."
"Mereka masih anak-anak. Demi Tuhan!" ucap Verity tak percaya dengan
sikap Raja Alastair yang terlalu berlebihan mencurigai sesuatu.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Sudah, Yang Mulia." Pelayan itu meletakkan sisir perak ke meja, lalu
menyiapkan kasur untuk Verity.
Para pelayan pun undur diri sebelum ia mengunci pintu kamar. Ia tidak
tahu apa yang mereka bicarakan di belakangnya, tetapi ia bisa menduga
beberapa mungkin membicarakan hubungannya dengan sang raja yang
rumit. Verity berbaring di kasur dan memutuskan untuk tidak peduli. Ia
berusaha memejamkan mata dan mengistirahatkan tubuh serta pikirannya
yang cukup lelah hari ini.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Daisy, daisy, who shall it be? Who shall it be who will marry me? Rich
man, poor man, beggarman, thief. Doctor, lawyer, merchant, chief. Tinker,
tailor, soldier, sailor."
"How about a king?" Verity berbalik dan melihat sosok yang cukup familiar.
"Al!" Kata bocah laki-laki yang telah menyelamatkannya beberapa hari lalu
dan membalut luka di kakinya setelah jatuh akibat tersandung akar pohon.
"Apa kau baik-baik saja sekarang?" Alexander memeriksa kaki Verity dan
melihat telapaknya yang masih terluka karena gadis kecil itu berlari tanpa
mengenakan alas kaki.
"Apa ayahmu tidak marah kau berada di sini?" Verity takut dengan ayah
Alexander. Pria itu punya aura yang berbeda dan selalu menatapnya
dengan reaksi tak terbaca.
"Aku melihat bunga daisy, Al." Verity menunjuk bunga daisy yang
berdampingan dengan bunga putih lain. "Bunga apa ini, Al?"
"Queen anne's lace." Alexander bergumam, melihat bunga itu sekali lagi,
lalu menghentikan tangan Verity untuk menyentuhnya. "Menjauh dari
sana!"
"Itu...." "
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Sayang, sosok gelap itu segera menahannya di atas kasur. Belatinya sudah
siap menghunus jantung Verity, sementara Verity memejamkan mata dan
berharap siapa pun segera datang untuk menyelamatkannya.
XVI
THE ENEMIES
"Kau harus mati!" Pria itu mengabaikan pisau yang tertancap begitu dalam
di punggungnya dan masih berusaha mendekati Verity.
"Baik, Yang Mulia." Para pengawal segera menyeret jasad si pria keluar dari
kamar, meninggalkan Verity berdua bersama sang raja.
"Ke kamarku. Kamarmu tidak bisa lagi digunakan, Clement. Kita juga tidak
tahu kapan pembunuh yang berikutnya akan datang mengincarmu." Raja
Alastair mengeratkan rahangnya. Ia bisa menjamin kalau keamanan
Austmarr tidak ada celah, beberapa pengawal bahkan diletakkan di sudut
yang tak terlihat Seharusnya tidak ada seorang pun yang bisa masuk tanpa
ketahuan. Ia harus segera ke barak setelah menjamin keamanan Verity. Kali
ini ia tidak akan meninggalkan wanita itu sendirian tanpa pengawal lagi.
Raja Alastair melangkah dalam diam, ia tak mengucap sepatah kata lagi
ketika menyadari rasa lelah juga kaget yang melanda, membuat Verity
dengan mudah terlelap di gendongannya. Seorang pengawal dengan sigap
membukakan pintu ketika melihatnya datang. Ia lalu meletakkan Verity
perlahan di kasur dan melihat kembali luka di kedua tangan istrinya.
Lukaanya tidak parah, tetapi cukup untuk membuatnya merasakan perih
esok hari. Verity tidak mengeluhkan apa pun ketika digendong, mungkin
karena syok atau tidak ingin membuat Raja Alastair khawatir.
Raja Alastair menyobek kain dari selimut Verity yang telah kotor untuk
membebat luka. Ia akan ke barak sebentar, lalu kembali ke kamar sembari
membawa tabib.
Alastair baru saja hendak beranjak ketika tangan Verity menahannya. "Al,
kau mau ke mana?"
"Ke barak, Clement." Raja Alastair melihat mata violet Verity dan
menyadari kalau wanita itu tengah mengigau. la menghela napas dan
dikeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan pekat laudanum dari nakas di
sebelah kasur. Laudanum mengandung obat tidur, juga dapat mengurangi
rasa sakit. "Minum ini, aku akan kembali nanti."
Raja Alastair menatap Verity lekat, lalu menyadari wanita itu tengah
mengucapkan kejujuran yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. "Apa
yang aku berikan kepadamu?"
"Ini bukan Queen's Anne lace, Clement. Ini laudanum. Minumlah." Raja
Alastair menyuruh Verity meneguk cairan pahit laudanum, lalu menunggu
beberapa saat hingga wanita itu benar-benar terlelap.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Suasana barak cukup berisik dengan teriakan-teriakan para jenderal juga
tentara yang kesakitan menerima hukuman berat setelah lalai dalam tugas.
Tentara Austmarr terkenal yang terbaik di Inkarnate, tetapi sekarang
dengan bukti tiga kali percobaan pembunuhan Ratu Clementine, mungkin
mereka harus mempertimbangkan kembali gelar yang dipegang selama
bertahun-tahun itu.
"Yang Mulia!" Jenderal Irvin, pria bertubuh tinggi besar dengan jenggot
lebat, segera memberikan salam hormat kepada Raja Alastair yang baru
masuk barak, diikuti seluruh tentara.
"Ada alasan yang bisa kau berikan, Jenderal?" Raja Alastair kewibawaan
dan berdiri di hadapan Jenderal Irvin. Meski Jenderal Irvin lebih tinggi
beberapa senti, tetapi aura kepemimpinannya membuat pria bertubuh
besar itu menunduk.
"Tidak ada, Yang Mulia." Sontak setelah Jenderal Irvin berkata demikian,
Raja Alastair menendang perutnya hingga jatuh tersungkur sembari
menahan rasa sakit.
Jenderal Irvin bersusah payah bangkit, lalu berkata pelan. "Dua penjaga
Ratu Clementine ditemukan tewas dengan luka tusukan di leher mereka,
Yang Mulia. Ini adalah kejahatan yang terencana. Siapa pun pelakunya,
mereka sangat mengenal situasi Kerajaan Austmarr."
Raja Alastair tahu, penjahat ini sangat mengenal setiap sudut Austmarr,
sehingga mudah baginya menemukan celah. "Bagaimana dengan penjahat
itu?"
"Kami menemukan ini di pakaiannya." Salah seorang tentara menyerahkan
sebuah emblem abu-abu ke tangan Raja Alastair.
Raja Alastair menggeram marah dan meremas emblem abu abu kecil milik
tentara elite Colthas. Penjahat itu mungkin salah satu dari sepuluh tentara
yang dibawa Raja Zacharias ke kerajaannya sebulan lalu.
"Kirim kembali kepala tentara itu ke Colthas," ucap Raja Alastair dingin.
Hukuman pancung akan tetap dijalankan meski pria itu tidak lagi
bernyawa.
Raja Zacharias tidak termasuk salah satu pembelot, ia melakukan ini pasti
karena ada sesuatu yang ia ketahui tentang Clementine.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity terbangun dengan kepala berat dan pusing, tetapi fubuhnya terasa
beratus-ratus kali lebih baik. Ia mengedarkan pandangan dan tersadar kini
berada di kamar Raja Alastair. Ingatannya terasa kabur, ia bahkan lupa
bagaimana cara sakit di tangannya sama sekali tak terasa, hanya sedikit
kebas penjahat itu masuk ke kamar dan nyaris membunuhnya. Rasa
bercampur perih.
"Yang Mulia." Verity melihat pelayan sudah menunggu dengan handuk dan
gaun di tangan. "Yang Mulia Raja Alastair meminta Anda untuk
menemuinya nanti."
"Di taman, Yang Mulia. Anda akan sarapan di taman bersama Raja Alastair,"
jawab si pelayan.
Setelah selesai, Verity bergegas ke taman dan melihat Raja Alastair tengah
duduk di salah satu kursi. Mata pria itu mengawasi danau buatan juga
dinding pembatas yang kini dijaga ketat para pengawal. Tingkat keamanan
Austmart ditingkatkan lagi rupanya.
"Yang Mulia." Verity memberikan salam hormat kepada Raja Alastair dan
menunggu dipersilakan duduk.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Aku baik-baik saja, Yang Mulia. Terima kasih karena telah menyelamatkan
saya kemarin," ucap Verity. Ia lalu duduk di salah satu kursi dan
mengangguk kecil ketika menerima sepiring omelet dari pelayan.
Melihat Raja Alastair tak ikut makan, ia pun bertanya, "Anda tidak sarapan,
Yang Mulia?"
"Aku sudah sarapan." Jawaban singkat Raja Alastair tidak lagi membuat
Verity heran. Ia memilih mulai memotong omelet dan melahapnya.
"Bagaimana tanganmu?"
"Kau punya bekas luka di tanganmu. Bekas luka apa itu, Clement?"
Pertanyaan tersebut membuat Verity terdiam sejenak. Satu-satunya luka di
tubuhnya adalah pemberian Matthias karena Ratu Amaranta lebih senang
menyiksa dengan racun.
"Aku terjatuh saat kecil." Sebuah kebohongan kecil keluar dengan lancar
dari mulut Verity.
"Aku tidak menemukan luka lain di tubuhmu selain bekas. luka itu. Apa kau
berbohong kepadaku, Clement?" Raja Alastair melihat cahaya matahari
yang menyinari Verity, membuat mata violetnya lebih terang dan unik
daripada sebelumnya.
Raja Alastair mungkin menganggap Ratu Amaranta dan Selencia sebagai
salah satu kerajaan terlicik sekaligus penyumbang terbesar kehancuran
kedua orang tuanya di masa lalu. Namun, ia tidak bisa memungkiri kalau
mata violet Verity adalah salah satu mata terindah yang pernah ia lihat.
Warnanya unik dan tidak pernah ia tenemui seorang pun yang memiliki
mata serupa selain Ratu Amaranta tentu saja.
"Aku tidak punya alasan untuk berbohong kepada Anda, Yang Mulia. Dan
apa maksud Anda ketika mengatakan tidak pernah menemukan luka lain di
tubuhku?" Mata violet Verity melebar ketika menatap Raja Alastair.
Verity tertawa kecil dengan nada sumbang. "Peran penting apa yang aku
miliki hingga mereka ingin membunuhku, Yang Mulia?"
"Mungkin karena aku gagal melakukan sesuatu, Yang Mulia," kata Verity.
"Ya," Verity bergumam, "tapi bukankah lebih baik aku yang mati daripada
seorang raja?" Ia berusaha bersikap lebih tenang.
"Kau tahu apa yang terjadi kalau kau mati, Clement?" Raja Alastair melihat
kedua bola mata Verity. "Lima kerajaan akan berperang. Apa itu yang kau
inginkan?"
"Kau akan tidur denganku mulai saat ini." Raja Alastair memperhatikan
gerakan tangan Verity dan menyadari kalau wanita itu tidak pernah benar-
benar menghabiskan makanannya.
"Kau akan lebih aman di kamarku. Lagipula ada kabar lain yang akan
kusampaikan kepadamu," ujar Raja Alastair.
XVII
THE MOTHER
KEDATANGAN RATU AMARANTA jelas membuat Verity gelisah. Wanita itu
lagi-lagi duduk termangu menatap bunga di taman lewat salah satu jendela
kaca besar ruang rekreasi. Demi keselamatan, Raja Alastair melarangnya
keluar, dan ia memilih untuk patuh.
sementara ia hanya seorang putri palsu yang berada di istana untuk misi
membunuh raja.
"Yang Mulia." Richard Blaxton, pria tua itu menjadi satu satunya orang
yang masih mau mencurahkan sedikit perhatian kepada Verity daripada
Raja Alastair yang kaku dan cenderung menjaga jarak, atau para pelayan.
"Apa Anda baik-baik saja?"
"Raja Alastair jarang melewati tempat ini," ucapnya. Hanya ada beberapa
pengawal terlihat, tidak seperti di sayap kanan istana yang nyaris setiap
sudutnya terdapat pengawal.
"Tempat apa ini, Richard?" Verity menatap penasaran ke arah taman yang
terlihat tak begitu terawat. Terdapat banyak tanaman liar, sebuah kolam
kecil dipenuhi bunga teratai, dan tempat mandi burung yang berwarna
kehijauan karena lumut.
"Ruang takhta yang lama." Richard Blaxton lalu berhenti di depan sebuah
pintu besar dan mendorongnya pelan.
"Dia terlihat berbeda." Verity tak bisa menahan rasa penasaran ketika
melihat Raja Alastair yang jauh berbeda dari apa yang ia lihat sekarang.
"Seorang ratu mengutuknya agar dia tak bisa merasakan apa pun." Richard
Blaxton berjalan ke lukisan lainnya. Kali ini Ratu Austmarr duduk di
singgasana tanpa suami atau anaknya. Sebuah mahkota emas dengan
permata rubi yang pernah Verity kenakan, duduk manis di kepalanya.
"Apa maksudmu?" Verity melihat lukisan itu sekali lagi, berusaha meneliti
setiap sudutnya, dan menemukan beberapa karakteristik sang ratu yang
diturunkan kepada Raja Alastair.
"She ripped his heart out. Dia tidak mau Raja Alastair merasakan perasaan
apa pun lagi." Kening Verity berkerut bingung mendengar penjelasan
Richard Blaxton.
"Kenapa dia melakukannya?" "Tidak ada yang tahu, Yang Mulia. Ratu
Mariella melakukannya sebelum ada yang bisa mencegah." Jantung Verity
seolah terhenti beberapa saat.
"Aku?"
"Dia mati di ruangan ini?" Verity menatap sekeliling dan menyadari debu di
ruangan lebih tebal daripada di luar. Jejak kosong di dinding membuktikan
ada beberapa lukisan yang dipindahkan ke ruangan lain, tetapi tidak
dengan lukisan keluarga Raja Alastair sendiri.
"Dia tengah hamil anak kedua ketika pasukan Dragør yang seharusnya
berada di Dragør menyerang tempat ini dan membunuhnya," imbuh
Richard Blaxton.
"Tidak ada yang benar-benar yakin kalau pelakunya Dragør, Yang Mulia."
Richard Blaxton bergumam. "Karena pada hari yang sama, berita
kehancuran Dragør juga terdengar. Raja Alastair naik takhta secara tiba-
tiba, menggantikan ayahnya yang mati di medan perang. Beliau lalu
memerintahkan seluruh tentara kembali ke Austmarr, sementara Dragør
perlahan runtuh karena ada serangan tiba-tiba."
"Serangan tiba-tiba?" Verity teringat sisik naga yang diberikan Raja Arthur.
Apakah lagi-lagi Selencia dan Thaurin yang berada di balik serangan ke
Austmarr? Apa mereka berusaha menghancurkan dua kerajaan sekaligus
dengan menaruh kecurigaan kepada Drager?
"Tidak ada yang tahu hingga saat ini, Yang Mulia. Serangan itu
menghancurkan Dragør hingga tak bersisa," jawab Richard Blaxton.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Rombongan Ratu Amaranta tiba lebih cepat. Tidak hanya Ratu Amaranta,
Pangeran Alexander pun ikut datang. Wajah Raja Alastair yang sedari awal
terlihat tak senang semakin muram. Dia hanya memerintahkan jamuan
makan malam sederhana untuk menyambut kedatangan dua tamu
penting, lalu pergi meninggalkan Verity di ruang kedatangan untuk
menyambut tamu.
pelukan kecil yang tak disangka Verity. "Aku merindukanmu." Ucapan Ratu
Amaranta terdengar jelas, bulu kuduk Verity meremang, teringat sang ratu
yang menyiksa juga nyaris membunuhnya beberapa kali. "Kau bisa panggil
aku ibu, Clementine."
Suara Ratu Amaranta yang terdengar ringan tanpa beban saat memasuki
ruang makan, rupanya tak membuat Pangeran Alexander ataupun Raja
Alastair merasa senang.
"Apa Anda tak peduli putri Anda nyaris mati, Yang Mulia?" sinis Raja
Alastair, membuat Ratu Amaranta menatap langsung ke matanya.
"Kalau aku tak peduli, aku tak akan datang ke sini, Alastair." Ratu Amaranta
memotong hidangan utama dengan tenang. "Lagi pula Clementine masih
hidup."
Raja Alastair semakin tak menyukai Ratu Amaranta. la yakin ratu itu berada
di balik setiap kejadian yang nyaris menghabisi nyawa Verity.
"Terima kasih untuk rasa peduli Anda, Yang Mulia." Verity berkata pelan,
berusaha mencairkan suasana yang terlalu kaku.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Tawa kecil Ratu Amaranta membuat Verity menyadari ada rencana lain
yang disembunyikan sang ratu di balik wajah bersahabatnya.
"Apa kau akan membunuhku, atau membunuh Raja Alastair lagi?" Verity
bertanya frustrasi. Ia bosan menjadi pihak yang paling tidak tahu di antara
semuanya, "Apa ini ada hubungannya dengan Mariella Drager?"
menyuruhku
"Oh, kenapa? Karena aku bisa menghancurkan seluruh rencana licikmu bila
aku mengucapkan namanya dan memberitahu mereka kalau kaulah
pelakunya?" Perkataan berani Verity berhasil menyulut emosi Ratu
Amaranta.
Ratu Amaranta berjalan mendekat dan menyentuh wajah Verity. "Apa kau
kira kau akan mendapatkan keuntungan dari itu? Rahasiamu akan
terbongkar! Alastair akan tetap membunuhmu. Jadi jangan bersikap sok
pintar di hadapanku, Nak!" geramnya.
"Dia tidak akan membunuhku bila ia tahu kaulah pelakunya." Kalimat Verity
terdengar begitu jelas di telinga Ratu Amaranta.
"Apa yang kau inginkan? Apa kau mau aku mati atau kau mau aku
membunuh Raja Alastair lagi?" Verity menatap mata violet Ratu Amaranta
lurus. Mata yang begitu serupa dengan miliknya. Hubungan apa yang
mereka miliki sebenarnya?
menepuk-nepuk pipi Verity pelan. "Aku ingin kau dan Raja Alastair tetap
hidup untuk melanjutkan rencanaku." "Apa yang kau inginkan?" tanya
Verity untuk ke sekian kali
"Anakku?"
"Anakmu dan Raja Alastair tentu saja. Pewaris Kerajaan Austmarr." Semua
susunan rencana berubah, tetapi ada satu yang pasti, Ratu Amaranta masih
ingin menghancurkan Austmarr.
XVIII
THE TRUTH
"Dasar tak tahu diuntung!" Ucapan Ratu Amaranta jelas tak sekeras
tamparan kedua yang mengenai pipi Verity.
"Karena dalam hidup ini, kau hanya akan dihancurkan bila kau tidak
menghancurkan lebih dulu, Tikus Kecil," desis Ratu Amaranta.
"Tidak!" Verity menjawab tegas. Dia sangat menyadari tidak akan pernah
bebas dari cengkeraman.
"Kau atau dia yang mati, Verity?" Ratu Amaranta menatap Verity nyalang.
Wajahnya yang cantik tidak bisa menutupi kobaran amarah.
"Apa kau yang mengirim mereka selama ini?" Verity menatap Ratu
Amaranta tak percaya. Ada begitu banyak cara untuk membunuh Raja
Alastair, tetapi sang ratu memilih mengirimnya. "Kenapa kau tidak
membunuhnya langsung dengan tanganmu sendiri?"
"Apa yang aku dapatkan dari ini?" Verity memberanikan diri menatap Ratu
Amaranta yang berdiri di dekatnya. Sekilas, mata keduanya serupa, tetapi
jelas berbeda. Mata Verity lebih pucat dan redup jika diteliti.
Verity mengulangi kata "mungkin" di dalam hati berulang kali. Mungkin dia
akan bahagia, mungkin juga tidak Menghancurkan atau dihancurkan. Ratu
Amaranta jelas tidak memberikan pilihan kepadanya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity menarik napas lirih. "Kau mungkin salah, aku tidak sama dengan
orang yang kau kenal dulu."
"Tidak, aku tidak salah, Clement! Kau masih Clementine yang sama, yang
suka berlari tanpa mengenakan alas kaki di Istana Thaurin. Rambut
hitammu masih sama, mata violetmu juga sama." Ucapan Pangeran
Alexander membuat Verity sontak berbalik dan menatap sang pangeran tak
percaya.
"Aku tidak mengingatnya." Kali ini Verity menunduk, melihat kaki yang
mulai terbiasa mengenakan sepatu, dan tidak lagi kesakitan saat pertama
kali mengenakannya. Rasa sedih menjalar di hati ketika menyadari ia
melupakan sebagian besar masa kecilnya.
"Queen's anne lace jenis lain dari Baby's breath. Hanya tanaman biasa yang
menyerupai ilalang, namun bisa mematikan kalau kau mencabut jenis yang
salah." Ada begitu banyak tanaman liar di taman itu, tetapi Pangeran
Alexander menyadari kalau tanaman-tanaman mematikan yang biasa
dipergunakan sebagai racun tidak berada di sana. "Apa yang Ratu
Amaranta sampaikan kepadamu?"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity berusaha memberanikan diri kali ini. Beberapa hari terakhir ia selalu
berbagi kamar dengan Raja Alastair, meskipun ia menyadari kalau pria itu
tidur di sisinya dan bangun lebih cepat, terbukti dengan sisi kasur yang
telah berantakan.
"Apa yang kau lakukan?" Verity tersentak kaget melihat Raja Alastair masuk
kamar dengan penampilan berantakan. "Kenapa kau belum tidur?"
Verity memainkan jemari dan melihat Raja Alastair yang seperti tak tahu
malu membuka atasan kemeja dan menggantinya dengan kemeja lain.
"Aku ...."
"Dari mana aku tahu kalau kau menemui Alexander di ruang singgasana
yang lama?" potong Raja Alastair sembari berjalan mendekati Verity dan
tertawa sumbang. "Kau tahu kalau ini istanaku bukan?"
"A-aku...." Lidah Verity terasa kaku dan tak bisa mengucapkan sepatah kata
pun. Ia jelas tahu raja tak menyukai Thaurin maupun Selencia.
"Tak bisa mengatakan apa pun, Clement?" Mata Raja Alastair menyapu
tubuh Verity yang hanya terbalut gaun tidur tipis. "Apa yang kau
rencanakan sekarang?"
Verity tersentak kaget. Mata violetnya melebar bukan hanya karena kaget,
tetapi juga marah. Di hati terdalam, ia tahu memiliki andil cukup besar
untuk membuat seorang Raja Alastair yang selalu diibaratkan sebagai
seekor singa kini terbangun. Melakukan perintah Ratu Amaranta jelas
membawa hal tidak baik untuknya.
"Bukankah itu yang ingin kau lakukan? Mengenakan pakaian seperti itu dan
terbangun hingga larut malam?" kata Raja Alastair.
"A-Anda salah...." Pipi Verity memerah menahan malu juga marah karena
harga dirinya seperti diinjak-injak.
"Aku salah? Coba ulangi sekali lagi, Clement. Apa ibumu menyuruhmu
menggodaku, lalu menusukku lagi saat aku tidur?" cecar Raja Alastair.
Verity menyadari kesalahannya ketika melihat wajah Raja Alastair yang
benar-benar marah sekarang. Raja pernah marah beberapa kali di
hadapannya, salah satunya berakhir dengannya yang nyaris pingsan karena
tercekik.
"Apa ini cara Selencia berkonsolidasi, hm? Apa kau juga melakukan hal
yang sama kepada Alexander, Clement? Apa karena itu Alexander selalu
mengikuti perkembanganmu meskipun kau seorang Ratu Austmarr
sekarang?" Kemarahan Raja Alastair kali ini benar-benar mengerikan, ia
bahkan tidak memberikan sedikit pun ruang kepada Verity untuk
membalas.
"Alexander tidak ada hubungan apa pun dengan-" Ucapan Verity terhenti
ketika tiba-tiba Raja Alastair melumat bibirnya kasar.
Ciuman panas Raja Alastair tidak sedingin seperti saat pernikahan mereka.
Verity juga bisa merasakan sececap anggur di ujung lidah Raja Alastair dan
menyadari kalau pria itu setengah mabuk.
"Yang Mulia ...." Verity berusaha mendorong dada Raja Alastair menjauh,
tetapi pria itu menahan kedua tangannya dan semakin memperdalam
ciuman. Ia juga berusaha keras untuk tidak mengucapkan sepatah kata
meski tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan.
"Aku akan memberikan apa yang kau inginkan, Clement." Mata cokelat
Raja Alastair menatap sesaat, lalu kembali mencium Verity.
Lumatan bibirnya terasa kasar ketika tidak lagi menjamah bibir Verity,
tetapi juga rahang dan leher wanita itu. Verity melenguh pelan, perasaan
bersalah bercokol di hati terdalam karena ia terlena dan membiarkan Raja
Alastair menyentuhnya saat pria itu tengah marah dan merendahkan harga
dirinya.
Raja Alastair menurunkan lengan gaun tidur Verity dan memperlihatkan
bahunya yang mulus tanpa luka. Raja Alastair menciumnya perlahan, lalu
menyentuh payudara Verity di balik gaun, sementara Verity memejamkan
mata menyadari kalau mungkin tidak akan ada kata kembali atau berhenti
untuk saat ini.
"Bukankah ini yang kau inginkan, Clement?" Raja Alastair terus menatap
Verity. Penampilan wanita itu bahkan lebih berantakan daripada
sebelumnya, sekujur bahu juga leher jenjangnya dipenuhi jejak-jejak
keunguan bekas ciuman. Pakaiannya tersampir berantakan,
memperlihatkan bahu, bahkan nyaris payudaranya.
"A-aku tahu ini tugasku T-tapi Verity memeluk dirinya, berusaha menahan
pakaian yang kini terasa terlalu tipis dan tidak menutupi tubuhnya seinci
pun.
"Tugas apa yang kau bicarakan?" Raja Alastair mendekat meski Verity
refleks menjauh, hingga ia pun menahan kedua bahu, dan memaksa wajah
wanita itu agar mendongak dan melihatnya.
"Se-sebagai ratu di Austmarr ... A-aku harus.... bisa memberikan alasan apa
pun. Ia tidak menyangka Raja Alastair akan datang dan memperlakukannya
seperti ini. la berusaha mengingat-ingat pembahasan tentang malam
pertama teringat .." Verity tidak atau hubungan suami istri, tetapi satu-
satunya yang adalah pelajaran dari Jenny.
Raja Alastair mengembuskan napas gusar dan melihat Verity yang gemetar
ketakutan, bahunya ringkih dan kurus, membuatnya menyadari betapa
rapuhnya wanita itu bila tidak diperlakukan dengan hati-hati. "Apa yang
kau inginkan sebenarnya, Clementine?"
"Aku tidak ingin berada di sini." Verity berusaha mengungkapkan isi hati
terdalam, kejujuran yang tak bisa ia pendam lagi, ia ingin bebas, ia tidak
ingin berada di istana dan terlibat semua ini.
Verity memberanikan diri menatap kedua mata cokelat Raja Alastair yang
kini terlihat dingin. Ia tak bisa menyalahkan pria itu bila saja tiba-tiba
mencekiknya lagi karena telah berani memancing kemarahannya.
"Aku tidak bisa memberikan apa yang kau inginkan, Clementine. Kau akan
tetap berada di sini sebagai Ratu Austmarr." Ucapan dingin Raja Alastair
meremukkan harapan terakhir Verity.
XIX
THE COAT OF ARMS
"Aku bahkan tak tahu siapa aku sebenarnya." Verity menelan ludah.
Beragam pertanyaan bermunculan.
Rahasia yang membuatnya berada di sini. Verity menyadari sejak awal Raja
Alastair tahu ia bukan Putri Clementine. Ia juga menyadari jika seluruh
rahasia terbongkar saat ini, maka Raja Alastair tak memiliki alasan lagi
untuk mempertahankannya. Bila bukan raja yang menyingkirkan, maka
Ratu Amaranta akan dengan senang hati membunuhnya.
"Aku sudah bosan dengan jawaban seperti ini, Clementine." Bahkan Raja
Alastair tahu kalau wanita di hadapannya Clementine. "Mari kita coba
kembali. Siapa namamu yang sebenarnya?"
Verity menggigit bibir gelisah. Raja Alastair tampak beratus-ratus kali lebih
mengerikan dari yang selama ini ia lihat. "A-aku...." "
"Dia...."
"Bahkan Richard pun tak bisa menemukan latar belakangmu." Mata Verity
membelalak kaget, tak menyangka kalau penasihat Raja Alastair telah
berusaha mencari tahu tentangnya. "Hanya ada latar belakang Putri
Clementine."
"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" Verity menyadari kalau kini punggungnya
sudah nyaris menabrak dinding dan Raja Alastair masih berusaha
mendekat.
"Apa kau yakin? Lalu siapa Al, Clement? Apa itu aku atau
Alexander?" selidik Raja Alastair. Tak ada satu kata yang bisa Verity
ucapkan, membuat Raja Alastair semakin gusar. Pria itu melihat setiap sisi
tubuh Verity sekali lagi. Melihat bibirnya yang memerah, rambut acak-
acakan, leher, dada, dan bajunya yang tampak berantakan, lalu berucap
kasar. "Buat dirimu lebih layak lain kali, Clement."
Raja Alastair bisa melihat wajah kaget, takut, bercampur malu yang
teramat dari Verity. Ucapan kasar juga sikapnya telah menghancurkan
harga diri wanita itu.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair tak bisa menyembunyikan rasa gusar melihat Verity yang
selalu kebingungan dan ketakutan bila berada di hadapannya. Ia bisa saja
mencecar sejuta pertanyaan kepada wanita itu, tetapi ia yakin hanya akan
berakhir kesia-siaan. Entah apa yang Ratu Amaranta berikan hingga
berhasil menghapus sebagian besar ingatan Verity. Kedatangan Ratu
Amaranta dan Pangeran Alexander telah berhasil mengobrak-abrik
kerajaan, membuatnya ingin mengusir mereka secepat mungkin.
Meninggalkan Verity sebelum selesai urusan mungkin bukan pilihan yang
bijak, tetapi ia membutuhkan waktu sendiri karena beberapa alasan.
Pertama pikirannya kacau akibat kedatangan dua orang yang paling tidak
disukai, kedua karena provokasi Verity yang ujung-ujungnya dihentikan
wanita itu sendiri. Raja Alastair mengakui kalau ia meminum lebih banyak
anggur malam ini karena Ratu Amaranta dan Pangeran Alexander tentu
saja, tetapi pada akhir ia minum semakin banyak untuk menenangkan
darah yang berdesir cepat ketika mengingat setiap inci lekuk tubuh Verity,
juga meredam rasa sakit di tubuhnya.
"Sial!" Raja Alastair meneguk kembali anggurnya entah yang ke berapa kali.
"Kau mau ini?" Raja Alastair menawarkan segelas anggur yang diterima
Richard Blaxton dengan kening berkerut dalam dan wajah kebingungan.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity berusaha membuat dirinya tampak lebih layak seperti ucapan Raja
Alastair. Ia menurunkan rambut, berusaha menutupi jejak keunguan yang
disebabkan sang raja di sekitar dada juga leher, memoles bedak tebal-
tebal, atau mencari pakaian dengan leher tinggi. Ia menjerit frustrasi di
dalam hati ketika masih ada satu jejak keungun yang tersembunyi rapi di
belakang telinga. Para pelayan sedari tadi hanya bisa membantu
memasangkan pakaian dan memilihkan baju yang tidak membuatnya
terlihat seperti wanita murahan.
"Apa ini bagus?" Verity bertanya kepada salah satu pelayan yang sering
membantunya mengenakan korset. Wanita itu hanya tersenyum tipis dan
mengangguk.
"Kau tidak perlu khawatir." Verity tersentak kaget melihat Raja Alastair
yang masuk, masih terlihat berantakan dengan kantung mata menghitam
pertanda pria itu tidak tidur sedetik pun sejak keluar dari kamar semalam.
"Apa pun yang kau rencanakan bersama Ratu Amaranta akan membuatnya
semakin senang melihat jejak-jejak yang kutinggalkan di badanmu."
Verity sontak memukul dada raja karena ciuman tak terduga itu
membuatnya tak bisa bernapas. "Apa yang Anda lakukan?" Ia menyadari
Raja Alastair masih dalam pengaruh alkohol dari aroma anggur yang masih
kental.
"Apa yang Anda bicarakan, Yang Mulia?" Verity semakim tak paham.
"Apa kau akan menyerahkan dirimu seutuhnya kepadaku tanpa kuminta,
Clementine?"
Raja Alastair tersenyum kecil, nyaris seperti mengejek Verity. "Karena aku
sedang mempertimbangkan untuk menyelesaikan apa yang kau mulai
semalam, Clement."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Bila yang ia katakan benar, aku yakin semuanya akan mengikuti arahanmu.
Jenderal Wildemarr telah berhasil membawa kita sejauh ini. Tapi beliau...."
Barney menarik napas panjang dan melihat Tybalt sekali lagi. "Ratu
Amaranta akan mendapatkan balasannya."
"Aku juga tak bisa memercayai Raja Colthas begitu saja, Barney." Tybalt
menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sekaligus. "Emblem
ini milik anggota kerajaan Dragør yang tersisa."
"Menurut Raja Colthas, Ratu Mariella masih hidup. Emblem yang berada di
tangan Tybalt berkilauan ketika tertimpa cahaya matahari.
"Itu tidak mungkin bukan?" Barney tahu saat serangan datang, orang-orang
pertama yang dibunuh para tentara tentu saja keluarga kerajaan. Raja
Ferdinand adalah orang pertama yang tumbang, mati dengan puluhan
tusukan di dada karena berusaha melindungi keluarganya juga kerajaan
Dragør.
"Kau tak akan percaya kalimat yang ia katakan selanjutnya, Barney." Tybalt
memelankan suara, dan kembali melanjutkan, "Keturunan terakhir
Kerajaan Dragør juga masih hidup. Anak Ratu Mariella dan Raja Ferdinand."
XX
THE VENGEANCE
"Aku yakin ini yang terbaik untuk seluruh Dragør yang tersisa." Barney ikut
melihat dari rimbun pepohonan. Ia masih kecil saat perang berkecamuk
dan menghancurkan Drager, tetapi ia tidak bisa melupakan bagaimana
serangan itu menghabisi semua anggota keluarganya. Ia sendiri selamat
karena meringkuk bersembunyi di dekat tungku. Jenderal Wildemarr
menyelamatkan setiap Dragørian yang tersisa dan membentuk kelompok
kecil, lalu mati ketika tiba di Selencia untuk meminta bantuan mereka.
"Namun hanya ini satu-satunya cara yang kita miliki, Tybalt." Barney
menatap satu per satu Dragørian yang tersisa. Mereka hanya rakyat biasa,
tak pernah dibina sebagai tentara.
Kemampuan mereka terbatas, tak seperti para tentara yang dimiliki lima
kerajaan. "Perang tak akan bisa dimenangkan tanpa pengorbanan. Kau
masih ingat rasa sakit yang kau rasakan ketika tak bisa melindungi orang-
orang yang kau cintai."
Perjalanan mereka akan lebih sulit kali ini karena harus melewati daerah
jurang terjal yang jarang dilewati. Mereka tak punya pilihan, tempat itu
satu-satunya jalan yang diyakini tak diawasi tentara Austmarr.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity tak habis pikir apa yang telah merasuki Raja Alastair hingga keluar
kalimat-kalimat mengejutkan dari mulutnya. Verity membuka mulut sekilas
dan dikatupkan lagi, tak benar benar tahu harus berkata apa kepada sang
raja yang berdiri dan menunggunya mengatakan sesuatu.
"Aku...."
Raja Alastair melirik Verity, lalu membanting pintu, membuat Verity tak
bisa lanjut mendengarkan percakapan mereka.
Verity menarik napas panjang dan melihat ke luar jendela. Hujan deras
membuatnya kembali merindukan taman istana yang penuh bunga. Ia
menunduk sedih teringat Jenny, hujan pertama juga terakhir yang
dirasakan tepat saat Jenny diberi hukuman mati oleh Raja Alastair. Kali ini
ia hanya bisa melihat hujan dari balik jendela, menunggu tanpa kepastian
karena ia hanyalah boneka milik Ratu Amaranta dan tidak memiliki
wewenang apa pun di istana.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Siapa yang menyangka kalau hari itu akan segera tiba?" Raja Zacharias
menatap Hadrian, sang adik yang lebih muda dua tahun darinya. Sama
dengan sebagian besar lima kerajaan di Inkarnate, hanya tersisa mereka
berdua dari seluruh anggota kerajaan. Sebagian dibunuh langsung oleh
ayah mereka, Raja Zacharias II, yang tidak ingin membagi kekuasaan.
Sebagian lagi seperti ibu dan adik bungsu mereka, Soraya dan Isaiah
Colthas, mati saat perang besar berkecamuk di Inkarnate. Mereka
terbunuh saat pembunuh bayaran berhasil masuk ke istana.
"Harus kuakui kalau kau semakin mirip ayah, Zachary." Hadrian Colthas
melangkah tertatih, kaki sebelah kirinya buntung karena keracunan darah
dan diamputasi. Sebuah tongkat kayu cedar dengan gagang emas
berbentuk simbol Kerajaan Colthas menjadi pengganti kaki kirinya. "Culas.
Mengerikan. Aku bahkan tidak tahu siapa yang lebih mengerikan di antara
kalian sekarang, kau atau Alastair."
Raja Zacharias II menyerang Dragør atas nama balas dendam, tetapi ia tahu
ayahnya ingin membunuh para Dragorian karena mereka perlahan lebih
berkuasa daripada yang seharusnya, menggoyahkan keutuhan Inkarnate,
dan memengaruhi kekuasaannya. Bila Dragør saat itu masih utuh dan tetap
berkembang, bisa saja mereka kini telah menjadi pengganti Austmarr
memimpin lima kerajaan.
"Perang tak pernah berakhir, My Dear Brother." Mata hitam Raja Zacharias
berkilat melihat kaki adiknya yang buntung. "Kehancuran Dragør bukanlah
akhir, namun awal dari segalanya."
"Apa kau yakin kalau keturunan terakhir Dragør masih hidup?" Hadrian
Colthas menumpukan beban tubuhnya ke kaki sebelah kanan yang masih
utuh, tangannya terasa lelah karena menopang dengan tongkat terus-
menerus.
"Mariella Dragør masih hidup, begitu pula anaknya." Ini bukan informasi
yang Raja Zacharias dapatkan setengah setengah. Sebab, tidak ada seorang
pun yang dapat menemukan jasad Ratu Mariella, bahkan di antara
tumpukan mayat-mayat para pelayannya. "Keberadaannya akan
menguatkan hubungan Colthas dan Dragør."
"Tapi Dragør tak bisa membawa apa pun." Hadrian melihat senyuman
misterius Raja Zacharias dan menyadari kalau kakaknya mungkin saja tahu
lebih banyak dari apa yang ia perlihatkan. "Kerajaan mereka hancur,
mereka bahkan tak bisa menyumbang tentara untuk perang."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Apa kau tahu apa yang aku dapatkan ketika tiba di Dragør?" Ratu
Amaranta mengernyitkan kening, mengingat kembali kenangan tak
menyenangkan yang membuat cuping hidungnya berkerut jijik. "Mayat.
Mayat bergelimpangan di mana-mana."
"Bukankah Raja Klaus, ayah Alastair, termasuk salah satu anggota kerajaan
yang membantu Dragør?" Pangeran Alexander tak bisa melewatkan fakta
mencengangkan kalau Raja Alastair memilih jalur yang berbeda dengan
kedua orang tuanya. Raja Alastair tidak menarik seluruh tentaranya,
melainkan memerintahkan mereka untuk membunuh seluruh warga
Dragør yang tersisa, lalu kembali. "Ratu Eleanor bersahabat dengan
Mariella Dragør."
"Colthas juga ikut menghabiskan yang tersisa." Mata violet Ratu Amaranta
kembali menatap mata hijau Pangeran Alexander. "Apa kau benar-benar
tahu siapa musuhmu yang sebenarnya, Alexander?"
"Dragør telah hancur," ulang Pangeran Alexander. "Dan Austmarr akan
menjadi yang berikutnya."
"Kau pikir aku akan tetap membiarkannya menikahi monster itu?" Ratu
Amaranta tertawa kecil, "Austmarr tidak akan bisa kukuasai tanpa
keturunan kerajaan langsung. Aku tidak bisa mengendalikan Alastair,
mengendalikan anak mereka." namun aku bisa
"Siapa yang tahu, Alexander? Siapa tahu kalau hatinya yang telah lama
membatu bisa berdetak kembali?" Perkataan Ratu Amaranta menyimpan
segudang pertanyaan lain yang semakin menumpuk di benak Pangeran
Alexander. Pangeran Alexander mengetatkan rahangnya tak senang.
XXI
SECRET AND LIES
RAJA ALASTAIR MENUTUP pintu, lalu menatap Richard Blaxton tajam. "Di
mana Tybalt sekarang?"
"Lalu? Apa menurutmu dia akan membunuhku begitu saja tanpa alasan?"
Raja Alastair melangkah menjauh dari depan ruangan, tidak ingin wanita
itu mencuri dengar percakapan keduanya.
"Saya masih mencari tahu siapa Ratu Clementine yang sebenarnya, Yang
Mulia. Mata violet Ratu Clementine yang membuatku yakin kalau dia anak
Ratu Amaranta, tapi tidak mungkin Ratu Amaranta menyakiti anaknya
seperti itu." Richard Blaxton berkata dengan hati-hati. "Apa yang akan
Anda lakukan kepada Ratu Clementine sekarang? Dia bisa menjadi ratu
yang hebat bila diarahkan dengan baik,"
Raja Alastair tersenyum sinis. "Apa yang membuatmu berpikir kalau
seorang penipu bisa menjadi seorang ratu, Richard?"
"Dia peduli kepada rakyat Austmarr, Yang Mulia. Dia bisa menjadi
pelembut untuk sisi Anda yang keras." Richard Blaxton mungkin satu-
satunya orang yang berani terang-terangan memberikan nasihat kepada
Raja Alastair semenjak sang raja naik takhta dan memimpin Austmarr
beserta empat kerajaan lain, menggantikan Raja Klaus dan Ratu Eleanor
yang telah meninggal.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair menelan makannnya, lalu meneguk segelas air putih yang
disediakan pelayan. "Tentu saja kau harus kembali," sahutnya.
"Tentu saja. Tentu saja." Ratu Amaranta tertawa kecil. Ia lalu melirik
Pangeran Alexander di sebelahnya dan ikut makan dengan tenang, tidak
seperti Verity yang begitu terlihat gugup. "Alexander akan tetap di sini. Dia-
"
"Tidak! Aku tidak mengizinkan orang asing tinggal di istanaku. Ini bukan
istanamu, Amaranta! Hanya aku yang berhak menentukan siapa yang
tinggal atau keluar dari istana ini," tegas Raja Alastair.
Ratu Amaranta terdiam, lalu berkata dingin. "Aku mengerti, Yang Mulia."
"Apa kau sakit?" Pangeran Alexander terus melihat wajah pucat Verity yang
terlihat begitu gugup.
"Kenapa-"
Suasana tegang dan kaku di meja makan membuat Verity menarik napas
panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Setelah ini ia harus segera
menyusun rencana yang mungkin saja dapat menyelamatkannya nanti.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Siapa dan apa tujuan kalian?" Pengawal yang bertubuh lebih tinggi dan
besar dari Tybalt menatap selidik.
"Tybalt Wildemarr, beritahu Raja Zacharias Colthas kalau aku ingin
bertemu dengannya." Pengawal itu menatap Tybalt tak ramah. Matanya
terpaku pada penanda yang Tybalt bawa, lalu mengangguk ke arah
rekannya yang membukakan pintu gerbang untuk mereka.
"Hanya boleh satu orang yang masuk istana menemui Raja Colthas.
Pengikutmu harus menunggu di luar istana."
Langkah Tybalt yang besar dan lebar berjalan cepat masuk melewati
gerbang besar Kerajaan Colthas. Simbol Colthas berada di mana-mana.
Para warga Colthas memiliki ciri khas unik. Mereka semua berhenti sesaat
untuk menatap selidik Tybalt dan rombongannya.
"Aku ingin pengikutku juga masuk istana." Tybalt melihat sebuah bangunan
besar yang berdiri di tengah-tengah kota. Istana Colthas cukup unik
rupanya, tidak seperti Austmarr atau kerajaan lain yang selalu berada di
ujung bukit, jauh dari pemukiman.
"Woah, woah. Tenang! Apa jaminan yang bisa kau berikan kalau kami akan
baik-baik saja?" Barney maju dan menatap tajam si pengawal.
"Aku ingin semua Dragør ikut masuk bersamaku." Tybalt maju dan
berbicara lurus dengan pengawal khusus Raja Colthas.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Aku datang ke sini bukan tanpa alasan, Zacharias," ucap Tybalt tak senang.
"Kau memberikan sesuatu yang belum dapat dipastikan."
Raja Zacharias tertawa kecil. "Tentu saja semua yang kuberikan telah pasti
kebenarannya, Tybalt."
"Apa yang kau inginkan?" Tybalt tak ingin berbasa-basi dengan Raja
Zacharias. Semua anggota kerajaan punya maksud dan niat tersembunyi
yang tentu saja dapat menghancurkan bila ia salah mengambil langkah.
"Mungkin kau lupa kalau ayahku orang terakhir yang dapat mengontrol
Qyrsi." Raja Zacharias terdiam sesaat. "Qyrsi masih berada di Dragør,
bahkan setelah menghancurkan kota itu."
Aku tidak tahu apa yang kalian pikirkan pada saat mengumumkan kalau
Dragør tak pernah ada, bahkan membiarkan Selencia dan Austmarr
mengambil sebagian besar wilayahnya."
"Apa kau tahu kalau Selencia yang memulai perang lebih dulu?" Raja
Zacharias bertanya tenang. Kebencian Ratu Amaranta kepada
kembarannya sendiri, Ratu Mariella yang kemudian menikah dengan Raja
Ferdinand Dragor, telah menjadi rahasia umum untuk seluruh penduduk
Inkarnate. Selencia yang menghabisi keluarga Kerajaan Dragør.
"Aku tahu itu. Seandainya ayahku tahu lebih cepat, maka dia tidak akan
pergi menuju Selencia untuk meminta bantuan ratu licik itu." Tybalt masih
ingat ketika ia harus menerima kenyataan kalau ayahnya dihukum gantung
oleh Selencia entah atas dasar kesalahan apa. Ia masih ingat kalimat
terakhir sang ayah sebelum mati. Jenderal Wildemarr berjanji untuk
menghancurkan Selencia dan membalaskan dendam Dragør kepada sang
ratu.
"Tidak. Ini emblem milik anak Ratu Mariella," jawab Raja Zacharias.
"Dari mana kau tahu?" Tybalt membalik emblem, tetapi tidak menemukan
satu pun petunjuk kalau emblem itu milik anak Ratu Mariella. "Bahkan
tidak ada satu pun yang tahu di mana Ratu Mariella berada sekarang atau
apakah anaknya masih hidup."
"Anak Ratu Mariella masih hidup, aku melihatnya dengan mata kepalaku
sendiri." Raja Zacharias tersenyum kecil. "Anak Ratu Mariella dititipkan
kepada pengasuhnya, seorang wanita Dragør yang mati karena pembunuh
bayaran mengincar nyawa anak Ratu Mariella."
"Kau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri?" Tybalt menatap Raja
Zacharias tak percaya.
"Setelah itu anak Ratu Mariella menghilang. Tak ada seorang pun yang
menemuinya lagi dan aku juga mengira kalau ia sudah mati." Raja Zacharias
mengabaikan pertanyaan Tybalt dan terus melanjutkan kalimatnya.
"Sampai aku melihatnya langsung."
"Ayahku, Zacharias II adalah salah satu orang yang mengincar nyawa anak
Ratu Mariella. Dia mencari-cari anak Ratu Mariella dan aku menemukan
sedikit informasi tentangnya. Ayahku menginginkan kekayaan yang akan
dia dapatkan bila berhasil mengusai Dragør." Raja Zacharias mungkin tidak
ingin kejayaan Dragør pada saat itu karena ia masih sangat muda. "Dragør
merupakan salah satu kerajaan terkaya, mereka punya tambang permata
dan baja. Sebagian besar senjata dibuat oleh Dragør pada saat itu, dan
sekarang Austmarr menguasai tambang-tambang Dragør."
"Apakah kau tidak sama seperti ayahmu yang juga mencari anak Ratu
Mariella untuk mengeruk kekayaan Dragør?" selidik Tybalt.
"Kau juga pernah melihatnya, Tybalt. Matanya violet seperti Ratu Mariella
karena dia keturunan Selencia langsung, dan beberapa ciri khas lainnya
sama dengan Raja Ferdinand, seperti rambutnya yang hitam. Anak Ratu
Mariella adalah Putri Verity Dragør atau yang sekarang kita kenal dengan
nama Ratu Clementine Selencia."
XXI
THE FATEFUL NIGHT
Dragor
Great War I, Mid Fall (19 tahun yang lalu)
berjalan menuju pintu tanpa alas kaki. "Yang Mulia!" Marja, pelayan
pribadinya yang telah sejak lama, memanggil. "Anda tidak boleh keluar."
Wanita muda itu menuntun tubuh sang ratu agar kembali masuk ruangan.
"Ada banyak tentara di luar sana, Yang Mulia. Raja Klaus bahkan datang
dari Austmarr." Pupil mata cokelat milik Marja membesar, napasnya
memburu, keringatnya bercucuran. "Anda tidak boleh keluar."
"Apa yang kau bicarakan, Marja?" Ratu Mariella berusaha bersikap tenang,
tetapi pikirannya kini dipenuhi oleh sang suami. "Apa terjadi sesuatu pada
Ferdinand?"
"Tentara-tentara itu datang tiba-tiba. Mereka membunuh semuanya!"
Mata Marja melihat ke seluruh penjuru ruangan. Ia tiba-tiba melepaskan
genggaman tangan sang ratu dan berlari mengambil sofa, kemudian
mendorongnya ke pintu, memblokir akses masuk. "Anda harus segera
pergi, Yang Mulia."
"Di mana Jenderal Wildemarr?" Ratu Mariella berseru tiba tiba ketika
melihat Marja berusaha mendorong furnitur yang bahkan lebih besar dari
ukuran badannya ke depan pintu. "Di mana Ferdinand?"
"Aku tidak tahu. Anda harus segera pergi!" Marja mendorong furnitur
terakhir, sebuah kursi berukuran sedang, lalu meletakkan di depan pintu.
"Yang Mulia...." .." Marja mendekati Ratu Mariella yang masih terdiam di
tengah-tengah ruangan. Ia berlutut di hadapan sang ratu dan
menggenggam kedua tangannya. "Anda harus pergi. Masa depan Dragør
berada di tangan Anda."
Wajah pucat pasi Marja juga air matanya yang mulai berlinang, membuat
Ratu Mariella menarik napas panjang. Ia ikut berlutut, lalu membantu
wanita itu untuk berdiri. "Bagaimana Ferdinand?"
Air mata Marja terus bercucuran ketika berucap dengan kalimat putus-
putus. "Raja Ferdinand sudah mati, Yang Mulia. Mereka membunuhnya,
para tentara itu membunuhnya...."
"Aku tidak tahu," jawab Marja sembari tersedu-sedu. Kerajaan yang selama
ini melindunginya, tiba-tiba saja hancur dalam semalam. Ia tersentak kaget
ketika mendengar gedoran pintu juga suara sekumpulan laki-laki yang
sepertinya tengah bersiap mendobrak pintu. "Anda harus segera pergi,
Yang Mulia!"
"Harus ada seseorang yang menahan para tentara itu, Yang Mulia." Marja
mengerjapkan mata. Tubuhnya masih gemetar hebat mengingat ia segera
berlari ketika melihat salah satu tentara Dragor ditusuk, kepalanya ditebas
hingga jatuh dan terguling ke dekat kakinya.
"Kau harus ikut denganku!" Ratu Mariella menarik tangan Marja, membuat
tubuh wanita itu secara refleks terdorong dan masuk ke jalur rahasia.
Ratu Mariella menutup pintu lemari tepat saat para tentara berhasil
mendobrak pintu kamar dan meneriakkan namanya berulang kali. Tentara-
tentara dengan emblem Selencia tersemat di dada mereka, tak berapa
lama, tentara Thaurin juga ikut masuk menyerbu kamar Ratu Mariella.
"Selencia," bisik Mariella ketika ia menutup pintu lemari, lalu ikut bersama
Marja memasuki lorong gelap menuju dunia luar.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Segera cari warga yang masih hidup. Kumpulkan mereka, lalu pergi ke
perbatasan Selencia!" Jenderal Wildemarr memberikan perintah
terakhirnya kepada para tentara Dragør yang tersis. Ia lalu melepaskan
jubah kebangsaan dan menggantinya dengan jubah tentara Colthas yang
baru saja ia lawan.
Samar-samar terdengar suara Qyrsi, naga milik Colthas yang selama ini
terikat di penjara bawah tanah Colthas. Bila Qyrsi sudah keluar dari
sangkarnya, maka bisa dipastikan tidak ada lagi kesempatan bagi Dragør
untuk melawan. "Apa yang akan Anda lakukan, Jenderal?"
Jenderal Wildemarr melihat anak buahnya yang baru beberapa menit lalu
ia tinggalkan. Serangan lain datang dan ia menyadari seragam tentara
Austmarr yang berwarna merah serupa darah, serta simbol singa ada di
setiap tameng yang mereka bawa. Para pemanah, pasukan berkuda, juga
para prajurit biasa membunuh warga Dragør satu per satu.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Yang Mulia, apa Anda baik-baik saja?" Marja membantu Ratu Mariella
keluar dari lubang yang tepat mengeluarkan mereka di sebuah bukit tepi
hutan perbatasan.
"Marja!" panggilnya.
Dari kejauhan ia bisa melihat bendera perang milik Colthas dan Austmarr,
satu per satu tentaranya membunuh warga Dragør yang bahkan tidak
memiliki senjata untuk bertahan atau melawan. Perang ini tidak adil, sama
sekali tidak adil. Satu per satu warga Dragør tumbang bersama rumah-
rumah mereka.
"Tidak!" Mata Marja melebar melihat Qyrsi, naga yang selama ini hanya
dianggap rumor. Tidak seharusnya Qyrsi keluar dan ikut memorak-
porandakan Dragør. "Austmarr Austmarr ikut menyerang Dragør." Ia
melihat salah satu tentara berjubah merah Austmarr menusuk salah satu
warga Dragør.
Ada begitu banyak kehancuran yang tercipta begitu saja. Dimulai dari
ancaman Selencia ke Dragør, lalu serangan tiba-tiba yang menghancurkan
Dragør. Perang ini tidak adil, dan dari apa yang Marja lihat selama ini,
perang selalu membawa sisi tergelap dalam diri seseorang.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Ayah?" Tybalt berlari menuju sang ayah, lalu memeluk tubuhnya yang
jauh lebih besar. Jenderal Wildemarr hanya bisa mengelus puncak kepala
Jenderal Wildemarr menatap warga Dragør satu per satu termasuk anak
buahnya yang selama ini menerima keputusannya tanpa bertanya.
Kerajaan tanpa pemimpin akan hancur. Kerajaan-kerajaan lain akan
berusaha mengklaim kekuasaan mereka, para petinggi akan berlomba-
lomba berusaha menjadi raja, tetapi tidak akan ada raja yang sebenarnya
selain keturunan langsung Dragør.
"Ratu Amaranta adalah saudara Ratu Mariella. Hanya ini yang bisa
kupikirkan untuk saat ini. Meminta bantuan Ratu
"Ayah akan kembali, Ty. Berjanjilah kalau kau akan menjadi penggantiku
selama aku pergi." Jenderal Wildemarr menunduk, menyejajarkan wajah
keduanya, lalu berdiri dan mengusap kepala Tybalt. "Ayo!"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Aku tidak menyangka kalau kau akan datang secepat ini, Jenderal." Ratu
Amaranta berhenti di hadapan Jenderal Wildemarr. "Bagaimana
saudariku?"
"Mariella bukan lagi ratu, dia sudah mati." Ratu Amaranta berdecak tidak
puas.
"Aku tidak akan mengatakan kalau dia sudah mati sebelum aku melihatnya
secara langsung." Jawaban diplomatis Jenderal Wildemarr membuat Ratu
Amaranta berusaha menahan emosi.
"Hahaha. Kau kira kau bisa membunuhku semudah itu, Jenderal?" Tawa
mengejek Ratu Amaranta membuat Jenderal Wildemarr tidak segan-segan
menyerang. Akan tetapi, di saat bersamaan puluhan tentara Selencia
mengepung. "Kau bisa melukaiku, Martin. Tapi ingatlah, keluargamu juga
Dragorian yang berada di garis perbatasan akan mati di hadapanmu."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Dragør
After The Great War I, Early Winter (19 tahun yang lalu)
"Ratu Mariella telah mati, Yang Mulia." Jenderal itu berkata kembali.
"Amaranta!" Raja Arthur tetap di atas kudanya. Wajahnya mengernyit jijik
melihat tubuh membeku para warga Dragør.
"Kita terlalu terlambat bukan?" Ratu Amaranta tersenyum sinis. "Tidak ada
yang tersisa selain segelintir kecil para Dragør yang berkumpul di garis
perbatasan, mengais-ngais belas kasihan kerajaan lain."
"Eleanor Austmarr dibunuh oleh Dragør saat Klaus pergi untuk membantu
Dragør."
"Mereka akan saling menunjuk siapa yang menyerang lebih dahulu. Dragør
atau Austmarr." Ratu Amaranta berhenti di salah satu mayat gadis kecil
yang masih utuh. "Kerajaan lain akan saling berebut siapa yang paling
berhak terhadap kekayaan Dragør."
"Kerajaan tanpa pemimpin akan hancur seperti Drager." Mata gadis kecil
itu terbuka lebar seperti boneka kaca, seolah olah menyimpan berbagai
rahasia yang ia lihat sebelum kematian. Tangannya menggenggam erat
sesuatu yang membuat Ratu Amaranta penasaran, hingga wanita itu
membuka tangan si gadis kecil dan melihat apa yang ia sembunyikan.
"Tanpa pemimpin, Austmarr akan hancur. Mereka akan saling berebut
siapa yang akan menjadi raja. Tapi tidak akan ada raja tanpa keturunan
langsung Austmarr. Kerajaan lain pun akan saling berebut hingga tersisa
satu."
"Kau ingin membunuh Alastair? Bunuh dia selagi bocah itu masih baru
memimpin." Raja Arthur mendengkus tak suka ketika Ratu Amaranta
menyentuh sebuah mayat.
"Gadis kecil itu telah melihat neraka tepat di hadapan matanya." Ratu
Amaranta melihat sisik Qyrsi yang ia temukan di genggaman mayat tadi.
"Bersabarlah."
XXII
THE HOLLOWNESS OF HEART
"Apa Anda baik-baik saja, Yang Mulia?" Verity berbalik dan melihat Richard
Blaxton. Lagi-lagi pria tua itu hadir di saat ia bersedih.
"Aku bahkan tidak tahu apa tujuanku berada di sini, Richard." Verity
menghela napas panjang. Kedatangan Ratu Amaranta dan Pangeran
Alexander meninggalkan banyak pertanyaan yang bahkan ia sendiri tak bisa
menemukan jawabannya. Siapakah dia sebenarnya? Ia hanya seorang
budak biasa yang terkurung di penjara bawah tanah Selencia selama
bertahun-tahun.
"Kau selalu bertanya apakah aku baik-baik saja selama berada di sini."
Verity tersenyum tipis. Richard Blaxton satu satunya orang yang peduli
dengan kehadirannya di istana. "Anda adalah seorang ratu di Austmarr,
Yang Mulia Keberadaan Anda sangat penting." Senyum lembut Richard
Blaxton membuat Verity terenyuh.
"Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan di sini, Richard.
Cepat atau lambat akan ada seseorang lagi yang berusaha membunuhku.
Aku bahkan tidak akan bisa menikmati hidupku." Verity menghela napas
panjang.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair menatap Richard Blaxton dingin. Verity berada di sebelah pria
itu, wajahnya tertunduk, terlihat seperti telah menyerah. "Tidak." Ia
berkata tegas.
"Yang Mulia, Ratu Clementine tidak pernah melihat Austmarr. Dia adalah
ratu di negeri ini, tapi bahkan rakyat Austmarr pun tidak tahu bagaimana
rupa Ratu Clementine." Richard Blaxton berusaha berargumen lagi.
"Yang Mulia, kami bisa membawa beberapa prajurit yang akan mengawasi
dalam kerumunan-"
"Yang Mulia?"
"Tidak perlu. Aku baik-baik saja." Verity menarik napas dalam dan
melanjutkan langkahnya menuju tepi taman. "Bisakah kau memberikanku
waktu untuk sendiri?"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity menatap langit yang kini berubah kelabu, tanda hujan sebentar lagi
akan turun. Seharusnya ia tidak banyak berharap ketika Richard Blaxton
menawarinya untuk pergi ke kota dan melihat festival rakyat Austmarr. Ia
tahu harapan itu akan hancur seketika bila mendengar penolakan Raja
Alastair. la bukanlah siapa-siapa di Austmarr, hanya seorang tahanan milik
raja yang tak punya hati.
Tetes demi tetes air hujan hanya bisa dinikmati Verity dari tempatnya
bernaung. Ia refleks mengulurkan tangan untuk merasakan air hujan ketika
seseorang menahan dan menariknya mundur.
"Aku masih berada di dalam istana bila itu yang Anda tanyakan, Yang
Mulia." Verity menjawab sinis.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Raja Alastair kembali bertanya. Ia masih
menggenggam tangan Verity, tidak melonggarkan sedikit pun. "Kenapa kau
selalu berada di sini?"
"Kau tidak pernah merasakan air hujan?" Raja Alastair nyaris tidak bisa
memercayai pendengarannya sendiri.
"Anda tidak punya hati, Yang Mulia. Bagaimana mungkin Anda bisa
merasakan sesuatu?" Verity menatap Raja Alastair dengan senyuman miris
di bibirnya. "Anda hidup dengan gelimangan harta, bagaimana mungkin
Anda tidak memiliki sesuatu?"
Kali ini Verity mengabaikan karena tahu setiap pertanyaan yang Raja
Alastair berikan, dia tidak akan pernah bisa memberikan jawabannya.
Verity menatap kedua mata Raja Alastair yang gelap, tampak dalam, dan
lebih kelam dari lautan terdalam. "Bagaimana rasanya tidak memiliki hati,
Yang Mulia? Di mana hati Anda, Yang Mulia?"
"Is it true that you don't have a heart?" Verity menelan rasa takutnya dan
menutupi dengan rasa muak karena diperlakukan seperti boneka oleh
setiap anggota kerajaan yang telah ia temui. "Anda tidak akan mendapat
apa pun dengan menahanku di sini, Yang Mulia."
"Apa Anda ...." Verity tersentak ketika tiba-tiba Raja Alastair menarik salah
satu tangannya, lalu meletakkan di dada raja. "Kau mencari hatiku bukan?"
Raja Alastair menahan tangan
Verity yang dingin di dadanya, tempat di mana jantung seharusnya
berdetak dan mengalirkan darah ke seluruh tubuh.
"Jantung Anda tidak berdetak." Mata Verity melebar dan melihat wajah
Raja Alastair yang kini tersenyum sinis. "Apakah apakah...."
"I don't have a heart? Apakah kau masih berpikir kalau itu adalah kiasan
semata, Clement?" kata Raja Alastair.
"Apa kau menyadari kesalahanmu, Clement? Kau terlalu naif." Kalimat Raja
Alastair bagaikan ribuan jarum yang menyerang tepat sasaran.
Naif dan bodoh. Kata yang seringkali Ratu Amaranta sebutkan untuk
mengingatkan Verity kalau ia tidak ada bedanya dengan pengerat yang
selama ini menjadi teman di dalam penjara bawah tanah Selencia. "Apa
kesalahanku? Apa salahku karena berusaha bebas dari semua ikatan ini?"
bisiknya.
"Ikatan? Kau tidak ada bedanya dengan boneka Amaranta, Clement. Dia
memperalatmu untuk kebebasan semu yang t tidak akan pernah kau
dapatkan."
"Siapa bilang aku tidak pernah punya hati, Clement?" Raja Alastair menarik
Verity hingga menempel ke tubuhnya. Bibir Verity dibungkam dengan
sebuah ciuman dalam, sementara satu tangannya menekan leher wanita
itu, dan tangan yang lain menahan tubuh Verity agar tetap menempel
padanya.
"Buka mulutmu." Raja Alastair berbisik pelan, lalu mencuri sebuah ciuman
lagi ketika Verity membuka mulutnya untuk menghirup udara.
Verity membuka mata dan melihat mata Raja Alastair yang menggelap
karena gairah dan nafsu. Ia menggigit bibirnya yang merah dengan gelisah
karena pria itu masih menahan tangannya.
"Apa yang kau rasakan?" Raja Alastair mendekatkan tubuhnya lebih rapat
kepada Verity, lalu menghidu aroma bunga dari leher wanita itu. "Apa yang
kau rasakan, Clementine?"
Verity berusaha mencari sesuatu yang dimaksud oleh pria itu. Keningnya
berkerut tak mengerti, lalu terbelalak. Jantung Raja Alastair, jantung yang
beberapa saat lalu tidak bisa ia rasakan detakannya, kini berdetak begitu
kencang.
"Jantung Anda berdetak, Yang Mulia!" Verity berseru ketika pria itu
bersandar di pundaknya, menumpukan sebagian berat badan ke tubuhnya
yang ringkih.
XXIV
THE CURE AND THE CURSE
Ini bukan kali pertama Raja Alastair merasakan jantungnya berdetak saat
berada di dekat Verity. Namun, ini pertama kalinya ia merasakan jantung
yang bertalu-talu seperti hendak melesak keluar dari rongga dada. Rasanya
sangat menyakitkan.
Richard Blaxton berlari menuju kamar Raja dan Ratu Austmarr. Raja
Alastair jatuh sakit, sangat tiba-tiba, dan tidak terduga karena sebelumnya
ia menemui pria itu yang terlihat baik-baik saja.
"Yang Mulia?" Richard Blaxton mengetuk pintu tidak sabaran dan melihat
sekelompok tabib kerajaan, dayang, juga sang ratu telah berada di sisi Raja
Alastair.
"Kalian bisa pergi sekarang." Richard Blaxton para tabib sekaligus dayang
untuk pergi. Tidak ada seorang pun menyuruh yang tahu keadaan jantung
Raja Alastair selain dia, tabib utama kerajaan, dan sekarang Verity.
"Apa yang terjadi, Yang Mulia?" Richard Blaxton melihat keadaan Raja
Alastair yang terbaring lemah di kasur.
Kali ini Richard Blaxton tidak bisa menemukan jawaban untuk pertanyaan
Verity. Luka Raja Alastair bukanlah luka di permukaan, yang bisa mereka
sembuhkan dengan obat-obatan dari tabib.
"Cepatlah!"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity duduk di sisi Raja Alastair, ragu-ragu menyentuh kembali dada pria
itu, merasakan dentuman jantung yang anehnya kini tidak sekencang tadi
dan nyaris hilang. Ia mengerutkan kening bingung.
"Apa yang kau lakukan?" Verity terkesiap ketika tiba-tiba saja Raja Alastair
terbangun dan menahan tangannya agar tidak berpindah atau melakukan
apa pun.
"Kenapa kau peduli?" Raja Alastair meringis pelan, lalu berusaha duduk,
menyandarkan tubuh ke tumpukan bantal yang disusun tinggi di belakang
punggungnya.
Verity mengerutkan kening. "Aku tidak mengerti, Yang Mulia." Dia hanya
pernah mencoba membunuh Raja Alastair sekali.
"Tidak perlu. Kau tidak perlu mengerti." Verity menarik tangan dari dada
Raja Alastair, lalu menumpukannya di atas paha, terlalu gugup untuk saat
ini.
"Apa yang Anda lakukan, Yang Mulia?" Verity menatap tidak mengerti
ketika Raja Alastair tiba-tiba menyelipkan salah satu anak rambutnya ke
belakang telinga, lalu mendekatkan wajah, seperti hendak menciumnya
kembali.
"Aku tidak tahu. Mari kita coba saja." Kali ini Raja Alastair memagut bibir
Verity dengan gerakan yang lebih pelan seperti hendak mengetes reaksi
jantungnya.
Raja Alastair memperdalam ciuman ketika Verity tidak lagi menolak atau
melakukan perlawanan. Perlahan ia mengajari wanita itu untuk
memuaskan dirinya. Bahkan tanpa perintah atau arahan, Verity
memberanikan diri menyentuh dadanya, sekadar merasakan seperti
apakah detak jantungnya sekarang.
"Apa yang kau rasakan?" tanya Raja Alastair. "Samar." Verity bergumam.
Raja Alastair tidak lagi melakukan semuanya dengan perlahan. Pria itu
memagut bibirnya, memberikannya sebuah ciuman yang panas dan dalam,
menandainya dengan jejak-jejak merah keunguan. Bahkan kini tangan Raja
Alastair telah menyentuh payudaranya dan meremas pelan. Verity
memejamkan mata, melenguh pelan ketika merasakan gelenyar gelenyar
aneh. Kali ini rasanya begitu berbeda, rasa takut itu masih ada, tetapi
tersimpan rapat-rapat, tergantikan nafsu juga gairah.
Raja Alastair melihat mata violet Verity yang kini tampak berkabut
sepertinya, pertanda keduanya merasakan hal sama. "Panggil namaku,"
bisiknya ketika lagi-lagi memberikan ciuman ciuman seringan bulu yang
membuat Verity refleks melengkungkan punggungnya, membuat keduanya
semakin berdekatan.
Selama nyaris dua puluh tahun menjadi raja, ia tidak pernah ragu-ragu
untuk membunuh seseorang. Di hadapannya kini, ada seorang wanita yang
bisa saja menjadi kunci untuk melepaskan kutukan atau malah
membunuhnya. Sebelum wanita itu bisa membunuh karena membuat
jantungnya menggila dengan perasaan tak menentu, maka ia harus
menghabisi lebih dulu.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Tybalt Wildemarr, anak dari Jenderal Wildemarr. Dia bukan anak raja atau
anggota keluarga kerajaan. Meskipun sekarang ia menjadi orang yang
paling dipercayai para Dragørian.
"Tybalt, apa yang kau bicarakan dengan Raja Zacharias?" Barney datang
membawakan sebaki penuh aneka makanan.
Tybalt hanya pernah melihat Raja dan Ratu Dragør beberapa kali saat
mengunjungi istana, menemani sang ayah yang merupakan seorang
Jenderal sekaligus tangan kanan raja. Tybalt mengabaikan fakta kalau Verity
adalah Putri Dragør karena ia tidak tahu kalau Ratu Mariella masih hidup,
bahkan sempat melahirkan sang putri di tengah konflik lima kerajaan juga
akhir perang besar yang menghancurkan Dragør.
"Siapa dia?" Bila saja Barney tidak segera meletakkan baki di meja,
mungkin saja semua makanan di atasnya akan jatuh berhamburan.
"Verity Dragør atau yang lebih kita kenal sebagai Clementine Selencia."
Mengucapkan nama Selencia, meninggalkan getir juga pahit di hati dan
lidah Tybalt. Selencia yang memulai perang, menghancurkan Dragør, dan
membunuh ayahnya. Entah berapa lama Verity Dragør berada di Kerajaan
Selencia, ia yakin wanita itu disiksa oleh Ratu Amaranta karena rasa benci
kepada kembarannya sendiri.
"Tidak mungkin! Dari mana Raja Zacharias tahu? Apa kau yakin ia tidak
berusaha mempermainkanmu, Ty?" Barney mencengkeram kerah baju
Tybalt. Menunjuk putri dari kerajaan lain sebagai putri yang sebenarnya
dari Dragør bukanlah perkara main-main, bila mereka salah, maka mereka
bisa mati percuma. Bila mereka benar, maka akan lebih buruk lagi karena
Verity Dragør telah terikat dengan Alastair Austmarr, pemimpin lima
kerajaan yang tentu saja tidak akan melepaskan Verity dengan mudah.
Bukan hanya karena Verity telah menikah dengan pria itu, tetapi Verity
adalah Putri Dragør yang seharusnya sudah lama mati.
"Dia minta Qyrsi kembali ke Colthas." Naga tidak akan pernah bisa
dijinakkan. Membiarkan Qyrsi menyerang Drager dua dekade lalu adalah
kesalahan Raja Zacharias II. "Aku yakin dia menginginkan hal lain. Namun
untuk sekarang, itulah yang ia mau, Barney."
"Apakah kau yakin? Austmarr masih memiliki tentara terbaik dari seluruh
lima kerajaan, Tybalt. Percobaan pembunuhan yang terjadi kepada Ratu
Clementine telah membuat kerajaan itu lebih waspada dengan keamanan
yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Kau tidak akan memiliki
kesempatan, Tybalt. Raja Alastair tidak akan melepaskan Putri Verity,
terutama bila Raja Alastair tahu dia berasal dari Dragør," kata Barney.
"Aku harus mencobanya, Barney. Bahkan bila itu menjadi alasan kenapa
aku mati nanti." Seperti yang Tybalt telah duga, bila suatu saat ia bertemu
kembali dengan Putri Verity, mungkin Raja Alastair akan membunuhnya.
XXV
FRIENDS AND FOE
"Yang Mulia?" Raja Alastair bisa mendengar suara Richard Blaxton yang
mengetuk-ngetuk pintunya.
tunggu
Richard menarik napas lega melihat Raja Alastair. "Syukurlah Anda telah
sadar, Yang Mulia. Aku harus memberitahukan sesuatu yang penting."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Sejak kapan?" Raja Alastair menatapnya tajam. "Apa yang kau ketahui
tentang kutukan itu sebenarnya, Richard?"
"Anda tidak seharusnya merasakan apa pun," kata Richard ragu, "tapi bila
Ratu Clementine dapat membuat Anda merasakan sesuatu, bukankah itu
hal yang baik, Yang Mulia? Dia baik untuk Austmarr."
"Apa yang dia katakan?" Raja Zacharias tidak terlihat begitu dekat dengan
Verity selama pernikahan mereka. Dia memang selalu cenderung sinis
kepada orang-orang di sekitarnya.
"Saya masih menyelidikinya, Yang Mulia. Tetapi sepertinya mereka tengah
berusaha mencari-cari latar belakang Ratu Clementine seperti apa yang
tengah kita lakukan saat ini."
"Aku ingin kau mencari tahu siapa Clementine yang bersama Alexander
saat mereka masih kecil dulu." Alexander Thaurin mungkin bisa menjadi
petunjuk baru untuk mereka saat ini.
"Clementine tidak perlu tahu apa pun, Richard. Selidiki apa pun yang
Colthas dan Dragør lakukan sekarang, lalu laporkan kepadaku sesegera
mungkin." Raja Alastair berdecak tidak puas dan kembali berkata, "Cari
tahu juga apakah Alexander memiliki hemlock."
Raja Alastair mendengkus tidak senang. Tidak ada satu pun jejak siksaan di
kulit Verity selain sebuah garis melintang di telapak tangannya. Wanita itu
terlalu menyimpan banyak rahasia untuk seorang penyusup yang berperan
sebagai ratunya.
"Jalankan perintahku, Richard! Pastikan tidak ada seorang pun yang tahu
ini."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Apa kau mengenal Ratu Mariella, Joseph?" Rania Raria melihat lautan luas
tanpa batas yang menjadi pelindung mereka dari dunia luar.
Joseph Kilorn, Jenderal Raria sekaligus suami Rania Raria tidak langsung
menjawab. Darat, laut, bahkan udara menyerang Dragør secara
bersamaan, menghancurkan kerajaan yang telah berjaya selama ratusan
tahun dalam semalam. "Apa yang sedang kau bicarakan, Rania?" keningnya
mengernyit tak suka. Perang besar mungkin telah lama berakhir, tetapi rasa
sakit itu masih tersisa begitu dalam.
"Apa menurutmu tindakan kita saat itu sudah paling tepat?" Orion dan
Cassiopeia lahir saat perang reda, dan Raja Alastair telah berhasil
meredakan memperebutkan takhta pemegang kekuasaan lima kerajaan.
"Alastair benar-benar telah menjadi raja di Inkarnate. Apa yang harus kita
lakukan?" perpecahan yang
"Mereka telah memilih sekutu mereka, Joseph." Wajah gelisah Ratu Rania
tak juga reda, bahkan setelah apa yang dilakukan Jenderal Kilorn. "Mariella
bukanlah orang yang bisa kita pertimbangkan dengan setengah hati,
Joseph. Amaranta yang memulai perang, namun Mariella yang
memutuskan untuk mengakhirinya. Zacharias II tidak pernah berhenti
mencari Mariella hingga kematiannya, dan aku yakin yang lain juga akan
mulai mencarinya."
"Dia berada di tangan yang tepat sekarang, Rania. Tidak ada yang dapat
menemukannya. Apa yang membuatmu tiba tiba berpikir seperti ini,
Rania?" Jenderal Kilorn menatap istrinya.
"Aku merasa kalau Amaranta tengah berusaha untuk memulai perang lagi,
Joseph," ungkap Ratu Raria. "Kenapa? Apa yang membuatmu merasa
seperti itu?"
"Cari tahu apa yang Arthur sedang berusaha lakukan sekarang." Arthur
Thaurin, ayah dari Alexander Thaurin, sekaligus raja juga sekutu Selencia.
"Arthur?"
"Aku yakin ada sebagian hal yang Amaranta tidak beritahu kepada Arthur,
begitu pun sebaliknya. Tidak ada persekutuan yang bertahan begitu lama
tanpa balasan, Joseph." Dua dekade persekutuan mereka berjalan tanpa
kendala dan Rania dapat mencium aroma mencurigakan. Bila memang
tujuan utama Ratu Amaranta adalah menghancurkan Dragør, apa yang
Thaurin dapatkan dari serangan itu? Atau apa tujuan Ratu Amaranta
memulai perang lagi setelah sekian lama?
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Kau harus memperbaiki engsel pintu karatan ini," ucapnya ketika melihat
Raja Zacharias tengah duduk mengerjakan tumpukan kertas di tengah
ruangan.
"Apa yang kau inginkan?" Raja Zacharias tersenyum kecil, terlihat tidak
keberatan dengan sikap tidak sopan Tybalt.
"Kau bilang Ratu Clementine adalah Putri Verity bukan? Kapan kita bisa
mendapatkannya?" Pertanyaan Tybalt membuat Raja Zacharias
mengangkat kepala, mengalihkan pandangannya dari tumpukan kertas,
terlihat sangat tenang seperti telah memprediksi sikap Tybalt.
"Kau tahu kalau kita butuh rencana bukan?" Raja Zacharias mengetuk-
ngetukkan jemari di permukaan meja yang "Alastair mencurigai Colthas
karena salah satu pria menyamar menggunakan pakaian seragam khusus
tentaraku untuk menyakiti ratunya."
Salah satu tentara menendang kaki Tybalt hingga pria itu jatuh berlutut,
lalu menahan bahunya.
"Apa kau lupa kalau kau sendiri juga telah menyakiti putri dari kerajaanmu
sendiri?" Raja Zacharias berdiri, tampak penuh perhitungan ketika
menatap Tybalt. "Kau berada di rumahku, Tybalt. Makan makanan yang
kuberikan kepadamu, tidur di kasur yang kusediakan untukmu. Apakah
menurutmu ini tindakan yang pantas?"
"Dragør tidak akan pernah tunduk pada siapa pun. Apa kau lupa kalau itu
alasan kenapa Dragør tidak diterima di mana pun?" Tybalt membalas tanpa
ragu.
"Kau benar." Raja Zacharias terus menatap Tybalt. "Kau seperti naga yang
tidak bisa dijinakkan, Tybalt. Kau adalah aset yang berharga untuk Dragør,
juga untukku bila kau berhasil membawa Qyrsi kembali kepadaku."
"Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk itu," Raja Zacharias tertawa kecil,
"Clementine menikah dengan Alastair.
Aku tidak bisa tiba-tiba datang dan mengakui kalau Clementine adalah
Verity."
"Di mana Clementine yang asli berada?" Pertanyaan Tybalt membuat Raja
Zacharias terdiam. "Alastair menikah dengan Clementine, bukan Verity. Di
mana Clementine yang asli berada? Apa dia sudah mati?"
"Tidakkah kau merasa kalau kelima kerajaan saling mencurigai satu sama
lain sekarang?" Tybalt memberontak dari belenggu tentara Colthas yang
masih mengunci kedua tangannya dan menahan bahu agar ia tetap
berlutut di hadapan Raja Zacharias. "Apa rencanamu sebenarnya,
Zacharias? Bila kau tahu Qyrsi tidak bisa dijinakkan, apa yang membuatmu
yakin kalau ia bisa kembali ke Colthas suatu hari nanti?"
"Kelima kerajaan saling mencurigai satu sama lain?" Raja Zacharias
terbahak-bahak. "Mereka memang tidak mempercayai satu sama lain,
Tybalt. Tidak pernah akan ada kedamaian hingga tersisa satu yang paling
kuat."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Malam semakin larut dan Verity kini duduk di tepi kasur dengan kepala
yang berat dan rasa kantuk tidak tertahankan. Raja Alastair memintanya
untuk menunggu, bukan untuk tidur.
Namun, Raja Alastair juga tidak kunjung kembali semenjak Richard Blaxton
mengetuk pintu kamar mereka dan membuat pria itu gusar karena merasa
terganggu.
Alastair yang baru saja kembali dari rapatnya bersama Richard "Yang
Mulia?" Verity mengusap mata dan melihat Raja Blaxton.
"Melakukan apa?" Verity merasakan usapan tangan Raja Alastair yang lagi-
lagi menurunkan gaunnya, memperlihatkan bahunya yang dipenuhi jejak-
jejak kemerahan.
XXVI
THE POISON
Pria itu maju dengan langkah ragu-ragu, lalu berdiri di hadapan Pangeran
Alexander yang masih duduk di atas kudanya. "Dragør bergabung bersama
Colthas," katanya.
"Colthas percaya kalau hanya mereka yang bisa mengontrol Qyrsi, Yang
Mulia. Naga itu sudah terlalu lama di Dragør. Zacharias II tidak bisa
mengontrolnya setelah serangan membabi buta di Dragør malam itu." Pria
itu benar-benar gelisah ketika tentara-tentara Pangeran Alexander turun
dari kuda mereka dan mengelilinginya.
"Ratu Clementine adalah Putri Verity yang hilang!" ucap pria itu cepat,
berharap bila informasi ini dapat menyelamatkannya.
Pangeran Alexander menatap si pria dengan rasa kecewa yang cukup
dalam. "Seorang pengkhianat.... tidak boleh tetap dibiarkan hidup!"
"Selencia ... tidak boleh dibiarkan seperti ini terlalu lama." Pangeran
Alexander tampak bimbang sejenak.
Perang dingin yang telah lama berkecamuk membuat lima kerajaan tidak
bisa saling memercayai satu sama lain. Kabar Ratu Amaranta dengan
ambisinya untuk menghabisi seluruh Kerajaan Dragør dan menguasai
Inkarnate telah berembus sejak lama. Raja Alastair berperan sebagai
pemegang kekuasaan di lima kerajaan Inkarnate bukanlah sesuatu yang
pernah mereka pertimbangkan sebelumnya. Bila ini terus dibiarkan,
kekuasaan Raja Alastair akan semakin absolut, dan bila Selencia kalah
perang, maka secara tidak langsung sang raja dapat menguasai tiga
kerajaan sekaligus.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Gadis kecil itu pernah nyaris menyentuh salah satu tanaman racun karena
mengira itu bunga Queen's anne lace yang serupa dengan hemlock.
Mereka melewati pilar-pilar besar yang terbuat dari marmer indah, cahaya
matahari menyusup masuk melewatinya. Alexander mengembuskan napas
panjang ketika tiba di depan pintu besar ruang singgasana.
"Bisakah kau menunggu di sana?" Alexander menunjuk sebuah kursi di
antara pilar yang cukup jauh dari pintu ruang singgasana. "Aku akan
mengetuk pintunya dan memberitahu ayahku."
memanggilnya.
"Verity Ibadan Verity, mengarahkan gadis kecil itu untuk kembali ke ibunya.
... ibumu duduk di sana." Alexander mendorong lembut Namun, sepertinya
Verity sama sekali tidak mengenali Ratu Amaranta.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Dia tidak mengenalku," gumam Ratu Amaranta. "Aku yakin Marja yang
bersamanya selama ini, bukan Mariella."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Aku tidak mau!" Verity menangis ketika Alexander memajukan botol kecil
itu ke hadapannya. "Mereka akan menghukumku bila kau tidak
meminumnya."
Dengan berat hati, Verity menerima botol kecil itu, dan meminumnya. Efek
racun langsung terlihat, Verity menyemburkan cairan pekat kemerahan
yang bercampur dengan darahnya. Ia memukul mukul dada, lalu
menggenggam tangan Alexander. "Rasanya sakit sekali, Al."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Verity?" panggilannya.
"Al!" Verity turun dari kasur dan menghambur ke pelukan Alexander. "Aku
bertanya-tanya di mana kau berada."
"Aku menunggu hingga kau terbangun." Alexander menelan ludahnya
susah payah, merasa bersalah karena nyaris membunuh gadis kecil itu.
"Apa kau baik-baik saja?"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Pangeran Alexander melihat kepala pria yang baru saja ditebas oleh
tentaranya, pria itu salah satu petinggi Kerajaan Colthas. Ia mungkin
merasa cukup pintar karena berhasil membodohi kerajaannya sendiri,
tetapi ia tidak cukup pintar untuk membodohi Pangeran Alexander. Dragør
pergi ke Colthas adalah langkah yang cukup mengejutkan. Dibandingkan
serangan oleh tentara-tentaranya, serangan Qyrsi yang paling berdampak,
bahkan masih bisa dirasakan hingga saat ini.
"Mereka tengah menyusun rencana untuk mengambil Putri Verity dari sisi
Raja Alastair," ucap tentaranya lagi. Kali ini langkah Tybalt bisa diterka
dibanding sebelumnya.
"Bersiap untuk perang, itulah yang harus kita lakukan." Pangeran Alexander
memerintahkan tentara-tentaranya kembali ke Thaurin. Ia tidak seperti
Tybalt yang menyiapkan semuanya dengan terburu. Bila membiarkan
Verity berada di Austmarr adalah langkah terbaik, maka ia akan
membiarkan hingga waktu yang tepat tentu saja.
XXVII
HEAVEN AND HELL
"Yang Mulia ...." telinganya. Semuanya terasa buram dan begitu cepat, ia
telah Desahan Verity seperti musik di terjebak dalam hipnotis aneh yang
wanita itu lakukan.
Raja Alastair kembali tersadar ketika Verity menyentuh dadanya saat
pakaian mereka telah lepas entah ke mana, dan kini Verity berada di
bawahnya.
"Yang Mulia ...." Cicitan Verity membuat Raja Alastair mengangkat kepala
dan menatap kedua bola mata violetnya. "Aku... Aku tidak tahu apa yang
harus aku lakukan."
Verity menggigit bibirnya gelisah. Raja Alastair satu satunya pria yang hadir
di hidupnya dan melakukan hal di luar dugaan.
Raja Alastair kembali menunduk, mengusap bibir Verity yang ranum. "Aku
juga tidak tahu," gumamnya.
"Anda Anda tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya?" Verity bertanya
ragu. Biasanya seorang raja memiliki lebih dari seorang gundik sebelum ia
menikah secara resmi.
"Tapi apa, Clementine?" Raja Alastair bisa melihat keraguan Verity, lalu
menahan tangan wanita itu untuk merasakan detak jantungnya yang begitu
cepat. Rasanya masih menyakitkan, tetapi kini ia bisa menahannya. "Apa
yang kau rasakan?"
Tidak samar seperti sebelumnya, detak jantung Raja Alastair terasa begitu
kuat. "Kuat." Verity bergumam ragu. Raja Alastair menggeram pelan ketika
melihat keraguan dan ketakutan di mata Verity. "Cium aku!"
Verity melihat Raja Alastair, menelan ludah gelisah, lalu mengusap dada
pria itu ragu. Ia perlahan memberanikan diri untuk mencium lebih dulu,
sementara Raja Alastair diam, menunggunya melakukan sesuatu yang
diinginkan.
Verity mencium bibir Raja Alastair sekilas dan melihat reaksi pria itu.
Matanya mengerjap beberapa kali ketika Raja Alastair tampak seperti
menunggunya. Kali ini ia lebih memberanikan diri, mencium bibir raja lebih
lama, berusaha melumat pelan, lalu mengalihkan ciumannya ke pipi hingga
telinga pria itu. Raja Alastair mengerang pelan ketika Verity mencium
lehernya, menjilat dengan kikuk karena ia benar-benar tidak tahu apa yang
harus dilakukan selain meniru perlakuan raja terhadapnya.
"Ah!" Verity tersentak kaget ketika lagi-lagi Raja Alastair mengubah posisi
mereka. Pria itu kembali berada di atasnya.
Jenny tidak mengatakan banyak hal selain semuanya akan baik-baik saja
bila suaminya lebih bersabar, tetapi Verity tidak merasa lebih baik sedikit
pun bahkan saat Raja Alastair melepaskan penyatuan mereka dan
berbaring di sebelahnya. la memilih untuk mengumpulkan selimut,
menutupi tubuh yang telanjang, lalu bergelung sejauh mungkin dari Raja
Alastair.
"Ada apa?" Raja Alastair yang melihat tingkah aneh Verity segera membalik
tubuh wanita itu dan menghadapkan. ke arahnya. Ia melihat air mata yang
membasahi pipi wanita itu.
"Rasanya sakit." Suara Verity terdengar serak dan seperti bisikan samar.
Sekujur tubuhnya terasa sakit.
Raja Alastair tidak mengatakan apa pun lagi. Ia hanya menarik tubuh Verity
mendekat dan memeluknya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Richard Blaxton mengetuk pintu besi beberapa kali, hingga seorang sipir
penjara membuka jendela kecil berbentuk persegi panjang yang berada di
pintu. Tidak perlu waktu lama bagi sipir itu untuk membukakan pintu,
mempersilakannya masuk tanpa diikuti seorang prajurit yang berjaga.
aroma anyir darah yang tercium begitu jelas, tanda kalau pria itu
Richard Blaxton hanya perlu melangkah beberapa kali untuk melihat secara
langsung wajah si pria. "Apakah itu benar?" Ia menunduk, sedikit jijik
ketika pakaian yang ia kenakan tak sengaja menyentuh luka menganga pria
itu.
"Dia ... dia ... Pria itu menjilat bibirnya yang kering dengan gelisah. "Dia
salah satu bangsawan di Colthas."
Richard Blaxton berdecak tidak puas. "Siapa yang ingin kalian temui?"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair melihat Verity yang masih tertidur, sebagian tubuhnya terlihat
saat bergerak pelan, membuat selimutnya turun. Raja Alastair
memperbaikinya, lalu melangkah keluar dari kamar. Ia tengah mengusap
rambut yang separuh basah ketika mendapati Richard Blaxton telah
menunggu di depan kamar.
"Apa yang kau lakukan sepagi ini di depan kamarku?" Raja Alastair
mengernyit dan segera menutup pintu kamar ketika melihat tatapan
penasaran Richard Blaxton kepadanya.
Richard Blaxton berdeham sekilas sebelum kembali menatap Raja Alastair
yang menunggunya berbicara. "Ada hal penting."
"Salah satu dari mereka berhasil ditangkap oleh prajurit perbatasan, Yang
Mulia. Sebuah rumor beredar kalau Ratu Clementine...." Richard menatap
Alastair takut, "Ratu Clementine sebenarnya adalah Putri Verity, anak Ratu
Mariella dan Raja Ferdinand."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair tiba di salah satu penjara. "Buka pintunya!" Suaranya bahkan
terdengar lebih dingin daripada suhu penjara bawah tanah.
Pintu besi itu terbuka lebar, memperlihatkan seorang sipir penjara yang
gemetar ketakutan melihatnya. "Yang Mulia...
Raja Alastair mengabaikan sipir penjara itu, lalu melihat sesosok mayat pria
yang terikat di dinding dengan dua bola baja di kedua kakinya.
Raja Alastair bisa mencium aroma anyir darah dan bau busuk mayat, tanda
kalau kematian pria itu mungkin lebih lama daripada laporan yang ia
terima. "Kemarilah." la tangan, memanggil si sipir untuk mendekat.
menggerakkan
"Sialan!" Raja Alastair meninju perut sipir itu, membuatnya jatuh terduduk
menahan sakit dan mual yang tiba-tiba menyeruak.
Raja Alastair bisa melihat luka menganga di mayat pria itu, juga luka-luka
baru yang mungkin diberikan si sipir atas dasar kepuasan pribadi. Lagi-lagi
ia kehilangan kunci untuk membuka tabir rahasia istrinya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity masih terlelap di alam mimpi ketika merasakan guncangan di lengan
dan bahunya. Ia pun mengerjapkan mata beberapa kali sebelum
mendapati tubuhnya masih polos selain tertutupi selimut.
"Yang Mulia!" Verity terpekik pelan ketika Raja Alastair tiba-tiba mencekik
lehernya, membuatnya teringat kejadian di perpustakaan dulu.
XXVIII
THE BOND
"Anda tahu kalau saya tidak punya alasan untuk menyakiti Putri
Clementine." Jawaban Norman merupakan bukti terakhir yang
menguatkan kalau Raja Arthur adalah perancang racun untuk Verity di
Austmarr.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair tidak bisa mengerti perasaannya yang tiba-tiba tumbuh dan
berkembang karena kedatangan Clementine, atau Verity. Ia bahkan tidak
bisa melakukan apa-apa ketika melihat mata Verity yang begitu ketakutan.
Bagaimana mungkin keadaan mereka berubah seratus delapan puluh
derajat setelah kejadian semalam?
Raja Alastair menarik napas gusar, lalu menarik tangannya menjauh dari
Verity. "Kenapa kau melakukannya?" Ia melihat mata violet Verity sekali
lagi dan menyadari betapa pucatnya wanita itu.
"Yang Mulia!"
Raja Alastair mengabaikan Verity dan keluar dari kamar. la tidak percaya
kepada diri sendiri yang bisa menumbuhkan perasaan begitu dalam kepada
wanita itu.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Richard Blaxton melihat Raja Alastair Austmarr. Raja muda itu tengah
menundukkan kepala, menatap berlembar-lembar laporan yang diberikan
para menteri. Ia sadar pilihannya dengan memberitahu jati diri Verity tidak
akan diterima baik oleh sang raja, tetapi ini langkah terbaik untuk
Austmarr. Bila Austmarr tertinggal dari kerajaan-kerajaan lain, maka bisa
saja kalah ketika perang tiba-tiba datang seperti dua dekade lalu.
"Yang Mulia, apa yang harus kita lakukan kepada Richard Blaxton terdiam
sesaat. Ia sendiri bingung, memanggil putri Kerajaan Dragør itu sebagai
Verity atau Clementine.
"Richard, apa kau ingat apa yang telah Mariella lakukan kepadaku?" Raja
Alastair berkata lebih dulu.
"Mengutuk hati dan jantung Anda, Yang Mulia." Richard Blaxton menjawab
singkat, menegakkan punggung, berusaha bersikap lebih tegap.
"Apa kau tahu berapa banyak pembunuh bayaran yang berhasil menusuk
jantungku, tetapi tidak berhasil membunuhku?" Kali ini Raja Alastair tidak
membiarkan Richard Blaxton menjawab. "Cukup banyak, Richard! Mereka
semua pada akhirnya mati di tanganku."
"Mereka tidak peduli," kata Alastair acuk tak acuh. "Aku yakin Amaranta
tidak tahu kutukanku yang sebenarnya."
"Apa Anda akan tetap membunuhnya? Saya yakin Ratu Clementine, Putri
Verity, atau siapa pun ia, tidak mengetahui kutukan Anda, Yang Mulia,"
Richard Blaxton berujar cepat, "Ratu Amaranta mungkin tidak akan peduli,
tapi ini akan menjadi alasan baginya untuk memulai perang kembali.
Seorang raja yang membunuh ratunya sendiri tidak pantas menjadi
pemimpin lima kerajaan." Ia telah bersiap menerima hukuman apa pun
karena telah berani bersikap kurang ajar kepada Raja Alastair.
"Kau terlihat cukup peduli kepada wanita itu." Kata-kata Raja Alastair
terdengar tajam, membuat Richard Blaxton menelan ludahnya susah
payah.
"Kesetiaanku berada di tangan Anda, Yang Mulia. Anda Itahu sendiri kalau
sayalah yang memberitahu jati diri Ratu Clementine kepada Anda." Richard
Blaxton membela diri.
"Lalu menurutmu apa yang harus kulakukan kepada wanita itu, Richard?"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity menggerakkan tubuh di kasur dengan gelisah. Ia tidak tahu apa yang
Raja Alastair rencanakan, bahkan setelah para pelayan masuk,
membantunya mandi, dan mengganti sepre yang bernoda darah, tidak ada
satu pun pengawal datang untul menyeretnya masuk penjara.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Aku yakin ayahku tidak akan marah. Kau ingin melihat kupu kupu di
taman?" Alexander mengalihkan pembicaraan dan membawa Verity ke
taman, tempat favorit gadis itu.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Al?" Verity menyentuh pipi Alexander, tetapi pemuda itu lebih memilih
memalingkan wajah, tidak membiarkan disentuhnya, "Alexander!"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Hemlock bisa menjadi racun atau obat." Alexander terdiam sesaat. "Apa
menurutmu ingatannya bisa kembali?"
"Selama beberapa bulan terakhir dia belum menerima racun apa pun."
Pangeran Alexander bergumam.
"Dia akan mengingat semuanya tentu saja, Yang Mulia. Hal hal baik dan
buruk yang telah Anda lakukan kepadanya, bahkan masa lalunya sebelum
datang ke Thaurin." Norman menjawab dengan tenang.
"Apa maksud Anda mengatakan ini kepada saya, Yang Mulia?" Norman
mengerutkan kening.
"Aku mengenal ayahku, Norman. Meskipun dia bisa membuat racun yang
sama, dia tidak akan merendahkan diri sendiri dan mengotori kedua
tangannya." Pangeran Alexander menampilkan reaksi misterius.
"Yang Mulia?" Norman melihat seluruh penjuru ruang kerjanya yang kecil.
"Aku tahu tatapan matamu ketika melihat tangan kananku, Norman, Kau
yang membuatnya bukan?" Pangeran Alexander menarik pedangnya.
"Ini karena perintah ayah Anda, Yang Mulia!" Ketenangan yang sedari
melingkupi, surut seketika.
XXIX
COUP DE GRÂCE
"Bukan Tybalt. Aku tidak khawatir dengan pria itu." Raja Zacharias
mengetuk-ngetuk permukaan jendela di hadapannya. "Aku mencurigai
salah satu menteriku yang bersikap aneh semenjak kedatangan Tybalt."
"Tidak. Dia telah ditemukan mati dengan kepala yang terpisah dari
tubuhnya di perbatasan Austmarr dan Thaurin jawab Raja Zacharias.
"Kita harus melakukan sesuatu sebelum itu terjadi," ucap Hadrian cepat,
terlihat resah. "Mungkin Tybalt benar, Verity tidak bisa berlama-lama di
Austmarr."
Tidak." Raja Zacharias menatap sekilas kaki adiknya, ada sedikit rasa
mengganjal dan mengganggu hatiya. "Kita harus menemukan Ratu
Mariella."
Tidak lama kemudian, datang salah satu dari sepuluh prajurit elite Colthas.
Emblem Colthas yang berwarna perak keabuan terlihat mencolok di
pakaian serba hitamnya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Al? Apa itu untukku atau yang lain?" Verity memejamkan mata kuat-kuat
ketika tangan Raja Alastair hendak menyentuh wajahnya. Bayangan
tamparan Ratu Amaranta atau cekikan pria itu membuatnya secara refleks
mempersiapkan diri. "Apa kau mengira aku akan memukulmu?"
Verity membuka mata dan menatap Raja Alastair. Tangan pria itu masih
terangkat meski tidak menyentuh kulitnya sedikit pun. "Apa Anda akan
memukulku?"
"Tidak." Raja Alastair mengusap pipi dan menghapus air mata Verity yang
mulai menetes. Wanita itu gemetar ketakutan padahal ia tidak akan
melakukan sesuatu.
Mata Verity terbelalak kaget ketika Raja Alastair menarik tengkuk dan
mencium bibirnya gusar, seperti tengah menumpahkan semua emosi. Pria
itu tidak mencium lembut, lumatan bibirnya menyiksa, membuat Verity
sesak napas dengan perasaan yang tidak dapat dimengerti.
"Apa yang Anda bicarakan, Yang Mulia?" Verity berusaha menahan diri
untuk tidak menyingkirkan jari sang raja yang kini bermain-main di
bibirnya.
"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" Tanpa sadar, Verity menjengit ketika Raja
Alastair mengucapkan nama aslinya.
Raja Alastair menarik tali yang mengikat korset Verity, lalu membuka
pakaiannya, meninggalkan kecupan di setiap sisi yang la sentuh
sebelumnya. Verity tidak menolak atau melawan, hanya terdiam, berusaha
menerima, dan menikmati setiap sentuhan.
Tubuh mereka terbaring kaku, lagi-lagi tanpa sehelai pakaian selain selimut
yang menutupi. Perasaan gelisah itu kembali datang, kali ini seperti
mencabik-cabik hati. Verity menarik selimut sembari berusaha
memejamkan mata ketika Raja Alastair memberikan kecupan singkat di
tengkuk dan bahunya.
"Dragør. Verity Dragør." Nada getir dan ejekan terdengar lagi dari bisikan
singkat Raja Alastair. "Suatu hari tanganmu akan berlumur darahku bila aku
membiarkanmu lepas."
Verity Dragør. Sekarang Verity bisa mengerti kenapa Ratu Amaranta begitu
membencinya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Verity Dragør." Verity mendengar suara Ratu Amaranta dan Raja Arthur
yang seperti tengah membicarakan sesuatu dengan sengit. "Berapa lama
kau akan membiarkannya di sini?"
"Bersabarlah, Amaranta."
Alexander menarik tangan Verity agar menjauh dari pintu besar terhubung
ke ruang singgasana. Suara langkah mereka yang terdengar jelas, membuat
seorang pengawal membuka pintu, yang memperlihatkan ekspresi gusar
Ratu Amaranta dan Raja Arthur yang melihat keduanya telah berlari
menjauh.
"Al?" Verity memegang pakaian yang Alexander kenakan ketika pemuda itu
menunduk, terlihat kepayahan setelah berlari cukup jauh. "Apa yang
mereka bicarakan? Aku telah meminumnya, mereka tidak akan
menjauhkanmu dariku bukan?"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Al!" Verity menjerit saat mimpi itu datang lagi, membuatnya terbangun di
tengah malam.
"Siapa yang kau panggil di mimpimu, Verity?" Verity menatap Raja Alastair
yang masih berada di sisinya, terlihat tidak tidur sedetik pun. "Al? Apa itu
Alexander?"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Kita harus selalu menyiapkan diri untuk hal-hal tak terduga." Raja Arthur
melirik tangan kanan anaknya sekilas. "Kau tidak akan melakukan sesuatu
kepada tanganmu?"
"Kau pikir aku tidak mengenal anakku sendiri?" Rahang Raja Arthur
berkedut marah, berusaha menahan emosi di hadapan anaknya sendiri.
"Kalau kau memang mengenalku dengan baik, maka kau tahu kalau aku
tidak suka ketika mainanku diambil." Pangeran Alexander memberikan
seringai penuh ejekan.
"Jati dirinya perlahan mulai terungkap. Menurutmu apa yang akan aku
lakukan?" Perang. Karena Raja Alastair juga tidak akan suka bila mainannya
diambil begitu saja.
"Alastair tidak bisa mati meski senjata yang berasal dari Dragør dapat
menyakitinya begitu parah." Raja Arthur terdiam sesaat, melihat ekspresi
anaknya yang terlihat tertarik. "Verity bukan hanya sekedar mainan,
Alexander. Dia juga senjata dari Dragør."
Perang membutuhkan taktik dan strategi yang tepat, jadi tidak boleh
terburu-buru dalam menyelesaikan sesuatu.
XXX
À OUTRANCE
"AKU PERCAYA ADA hal lebih penting yang bisa kita khawatirkan," ucap
Tybalt gusar. "Kita harus melakukan sesuatu, apa pun. Selain menunggu."
Tybalt menarik napas gusar. "Kurang dari seratus. Sepertiganya masih anak-
anak yang lahir setelah perang."
"Apa kau tahu kenapa Verity begitu berharga? Bahkan setelah kehancuran
Dragør, dia masih berharga di mata kerajaan lain." Raja Zacharias
memajukan tubuhnya sedikit. "Karena kalian tidak akan bisa menguasai
Dragør bila keturunan resmi Dragør masih hidup."
"Raja Zacharias II dan aku sangat berbeda. Aku percaya Dragør dapat
berjaya kembali. Ada atau tidaknya Dragør akan tetap menimbulkan
perpecahan di Inkarnate, seperti yang kau lihat sekarang. Bahkan Selencia
dan Thaurin pun tidak selamanya dapat menjalin sebuah kerja sama."
"Aku telah berhasil membawa Dragør sejauh ini dengan harapan suatu hari
nanti Dragør akan kembali seperti dulu." Mata Tyblat berkelebat marah.
"Clementine atau Verity, kita harus mencari tahu. Bukankah itu yang ingin
kau lakukan? Kau bisa memilih tentara terbaik Colthas yang akan
menemanimu ke Thaurin." Kalimat Raja Zacharias terlihat menggiurkan.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Beberapa hari di dalam kamar, rasa mual juga mimpi buruk tentang
Alexander memaksa Verity bergerak menuju pintu yang ternyata tidak
dikunci. Ia menarik napas lega sebelum menengok kiri kana lorong. Masih
ada penjaga di depan pintu, tetapi tidak satu pun yang bergerak ketika ia
melangkah pergi.
Verity berjalan menyusuri lorong depan kamar Raja Alastair yang terlihat
lebih terang, membuatnya refleks menggunakan tangan untuk menghalau
cahaya. Seorang penjaga mengendap di belakangnya, menjaga jarak aman.
Verity memilih mengabaikan sepanjang penjaga itu tidak menariknya
kembali masuk kamar.
"Apa Anda baik-baik saja?" Richard Blaxton mencermati setiap inci wajah
Verity dan menghela napas lega ketika tak ditemukan hal mencurigakan.
"Apa kau berharap aku baik-baik saja?" Verity tersenyum tipis, lega karena
bisa berbicara dengan orang selain Raja Alastair yang hanya akan datang
untuk tidur bersamanya, lalu pergi keesokannya.
"Tentu saja, Yang Mulia. Tidak ada yang bisa menebak perasaan Raja
Alastair akhir-akhir ini. Ini lebih susah daripada saat beliau benar-benar
tidak memiliki setitik perasaan." Richard Blaxton mengerutkan kening
dalam. "Bila kuingat kembali, Raja Alastair selalu menggunakan otaknya
dalam menyusun strategi. Namun, akhir-akhir ini beliau juga menggunakan
hati."
"Apa kau tahu bagaimana rasanya ketika hidup yang selama ini kau jalani
hanyalah kebohongan?" Verity mencetak senyuman dingin di wajah
pucatnya. "Apa kau tahu hidup yang selama kujalani ini, Richard? Bila kau
mengira Amaranta mengurungku di kamar mewah dengan penjagaan ketat
dan makanan teratur seperti yang rajamu lakukan saat ini, maka kau
salah."
Richard Blaxton menatap mata violet Verity, menyadari wanita itu telah
mengalami hal-hal mengerikan hanya karena nama belakangnya, Dragør.
"Yang Mulia, kita semua memiliki sisi terang dan gelap dalam diri,
terpenting sisi mana yang akan kita utamakan."
Richard Blaxton hanyalah pria tua yang telah merasakan pahit manisnya
hidup. Ia telah mendampingi dua raja Austmarr dan melihat bagaimana
perang begitu mengerikan. Ia menyadari sesuatu yang tiba-tiba akan
mengubahnya entah ke arah lebih baik atau buruk. "You are not a bad
person, Your Majesty."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Zacharias melihat rombongan Tybalt yang hanya terdiri dari sembilan
pasukan elite dan satu orang Dragør, Barney, tangan kanan sekaligus orang
kepercayaan Tybalt.
"Apa kau yakin hanya akan pergi dengan sepuluh orang?" Udara semakin
menghangat di Colthas, penanda musim panas telah datang, menggantikan
udara musim semi. "Kau akan melewati Austmarr."
"Tentu saja." Raja Zacharias mendengkus pelan. Matanya melihat satu per
satu tentara elite yang biasa mengikutinya selama ini, sekarang berada di
baris terdepan, menemani Tybalt dan misi bunuh dirinya. "Apa kau tahu
apa yang harus kau cari?"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Keadaan di Selencia lebih sunyi dan senyap, tidak ada suara selain
embusan angin yang menyapa.
Ratu Amaranta berjalan melewati pilar demi pilar putih terang. Seumur
hidup dihabiskannya di tempat ini. Tidak seperti saudaranya yang lain,
Mariella tinggal di Dragør setelah menikah, dan Jordan, saudara laki-laki
mereka, pernah tinggal di Austmarr untuk melatih kemampuan berperang.
Posisi Ratu Amaranta tidak akan seperti sekarang bila Jordan yang
seharusnya menjadi raja Selencia masih hidup. Bila ia mati, maka Mariella
sebagai penerus berikutnya.
Ratu Amaranta hanya seperti domba hitam. Kedua orang tuanya selalu
membanggakan Mariella yang pintar atau Jordan dengan keahlian
bertarungnya. Ia hanya akan mendekam di kamar, sibuk dengan buku-
buku, dan menyusun strategi berperangnya sendiri.
Langkah Ratu Amaranta terhenti ketika tiba di sebuah makam paling besar
yang ada di Selencia. Dua gundukan teratas adalah tempat raja dan ratu
Selencia terdahulu, kedua orang tuanya. Dua gundukan selanjutnya adalah
tempat orang-orang terkasih, Matthew dan Clementine. Matthew, satu-
satunya orang yang percaya dengan kemampuannya, dan Clementine, putri
mereka satu-satunya.
XXXI
COUP D'ÉTAT
Tybalt terlihat begitu waspada di kudanya. Wajar saja, Raja Alastair telah
memerintahkan para tentara untuk langsung membunuhnya bila masih
berani menginjak tanah Austmarr.
"Bagaimana kita mencari tahu kelemahan Alexander Tybalt? Ini adalah misi
bunuh diri." Barney tampak tak yakin.
"Kita harus dan aku pasti akan mendapatkannya, Barney." Ucapan tegas
Tybalt membuat Barney mengetatkan rahangnya tidak setuju.
"Barney, kuharap kau percaya kepadaku seperti yang telah kau lakukan
beberapa tahun terakhir. Aku melakukan yang terbaik untuk Dragør dan
Putri Verity," kata Tybalt.
"Apa kau yakin ini untuk rakyat Dragør? Bukan karena Putri Verity saja?"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Dari jarak mereka ke pintu gerbang, aku menduga kalau mereka tidak
tengah mengincar Austmarr, Yang Mulia," jawab Jenderal Irvin.
"Kau ingat kepala salah satu menteri Colthas yang ditemukan di perbatasan
Austmarr dan Thaurin? Zacharias mungkin tengah bermain-main dengan
nyawa pion kesayangannya sekarang." Raja Alastair menyeringai lagi.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Aku sudah menyingkirkannya bila itu yang kau cari." Verity sontak berbalik
dan melihat Raja Alastair telah berdiri di belakangnya.
"Tidak perlu! Dragør sudah hancur dan tidak ada apa pun yang tersisa di
sana." Raja Alastair berkata dingin.
"Kau kira aku peduli? Setelah apa yang kita lakukan semalam." Raja Alastair
bergerak mendekat dan menyentuh pipi Verity, mengelusnya pelan.
Bila tatapan mata dapat membunuh, maka Verity bisa saja mati karena
tatapan tajam Raja Alastair.
Raja Alastair terdiam sesaat, menatap mata violet Verity, lalu melanjutkan
kembali. "Aku tidak akan mengizinkanmu membuatku merasakan kematian
lagi, Verity. Aku adalah keluargamu sekarang. Bukan Dragør, bukan juga
Selencia. Kau akan melahirkan anak-anakku dan tetap berada di sini hingga
kematianmu." Ia pun pergi, tidak membiarkan Verity membalas
perkataannya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Kalau begitu kita bisa lebih cepat ke Thaurin." Raja Alastair benar-benar
membiarkannya lewat kali ini, tetapi apakah pria itu akan mengizinkan
kembali ke Colthas atau tidak? Tybalt sendiri tidak tahu.
"Sebentar lagi kita sebentar lagi kita akan mendapatkan apa inginkan,
Barney. Kejayaan Dragør, bangkitnya Dragør, dan rakyat Dragør tidak perlu
hidup seperti yang bandit di kerajaan kita sendiri lagi."
Hanya butuh beberapa jam lagi dan mereka akan tiba di Thaurin.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Raja Arthur-"
"Aku tidak melakukan kejahatan tanpa alasan, Vander. Bila kau tetap
bersikeras ingin tahu." Pangeran Alexander memotong sebelum Vander
selesai bicara.
"Tapi Dragør?"
"Ratu Amaranta akan mati dan Selencia jatuh ke tangan Putri Clementine.
Lalu-"
"Di mana para tentara Thaurin?" Mata Vander panik mencari-cari para
tentara Thaurin yang harusnya melindungi ketika mereka dikepung lawan.
"Putri Verity?"
"Oh, ya, kau tidak tahu kalau Putri Verity, atau yang sekarang bernama
Clementine pernah menjadi tunanganku dan tinggal di sini?" Pangeran
Alexander jelas tidak mengacuhkan tatapan kaget Tybalt.
"Kau tahu?"
"Tentu saja. Tapi aku tidak punya waktu bermain-main denganmu, Tybalt.
Ada hal lain yang harus kulakukan."
Tybalt menyadari posisi mereka kini berbalik dan ialah yang terkepung.
Tentara elite Pangeran Alexander telah menunggu di luar rumah kaca.
"Tentu saja! Tentu saja, Yang Mulia!" Vander ketakutan. "Bagus." Pangeran
Alexander mengeluarkan sebilah pisau tajam yang ia gunakan untuk
mengiris leher Vander, membuat pria itu menatapnya tak percaya, terbatuk
sesaat sebelum jatuh dan mati.
XXXII
NODUS
"Aku tahu ini tidak akan berjalan baik." Hadrian membalas ucapan
kakaknya getir. "Aku akan memerintahkan kepala pertahanan untuk
mengunci seluruh Dragør yang berada di Colthas...."
Raja Zacharias mengangkat tangan, menghentikan ucapan Hadrian
seketika. "Tidak." Ia mengetuk-ngetukkan jemarinya cepat.
"Putri Verity atau Ratu Clementine atau siapa pun dia, dia tidak akan diam
saja bila mendengar rakyatnya menjadi tawanan di Colthas," tutur Hadrian.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Di mana Alexander?" Tybalt tidak melihat jejak Pangeran Alexander sedikit
pun. Pria itu benar-benar meninggalkan mereka.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Cahaya lilin mulai redup dan mati seketika ketika angin malam berembus.
Verity berusaha memejamkan mata, mengistirahatkan pikiran serta
tubuhnya yang lelah, tetapi tidak bisa. Verity menarik napas dalam-dalam,
menyingkirkan selimut, dan berjalan menuju jendela. Cahaya bulan malam
ini lebih terang, membuatnya lebih mudah melihat hutan pinus dari balik
kegelapan. Ia bisa melihat beberapa tentara yang berjaga di sekitar istana
atau menyaru dengan bayangan. Ada lebih banyak tentara daripada
biasanya, membuat keningnya berkerut bingung.
"Perintah dari Yang Mulia Raja Alastair." Jawaban wanita itu hanya
membuat Verity mengangguk singkat. "Anda tidak beristirahat? Apakah
saya mengganggu tidur Anda?"
"Ada lebih banyak tentara yang berjaga di luar sana." Verity menunjuk ke
luar jendela.
"Ada tahanan yang kabur. Anda tidak perlu khawatir, Yang Mulia." Jawaban
pelayan wanita itu sedikit mencurigakan.
"Apakah ada banyak tahanan yang kabur?" Verity tahu bila hanya ada satu
atau dua tahanan yang kabur. Lagi pula seberapa kuatnya tentara Austmarr,
tidak perlu banyak tentara biasanya Raja Alastair tidak menyimpan tahanan
di penjara karena pria itu langsung membunuhnya.
Raja Alastair tengah menyembunyikan sesuatu darinya dan semua ini pasti
berhubungan dengan Dragør. "Sebaiknya Anda beristirahat sekarang," kata
si pelayan yang lebih mirip sebuah titah.
"Kau tidak akan memberitahuku apa pun?" Verity menatap wanita yang
langsung menunduk, menghindari tatapannya. "Saya hanya akan
menemani Anda di sini hingga Raja
Raja Alastair menyadari malam semakin larut dan mungkin saja Verity telah
tertidur sekarang. Namun, ia masih menunggu saat yang tepat hingga
mangsa kejaran masuk perangkap, untuk kemudian dibunuhnya.
"Lima ratus tentara berjaga di sekitar istana, Yang Mulia. Sisanya berjaga di
perbatasan, termasuk perbatasan Dragør." Jenderal Irvin mengenakan
pakaian perangnya, lengkap dengan pedang dan jubah. "Kita bisa saja
menyerang lima kerajaan yang lain sekarang, Yang Mulia."
"Apa yang akan Anda lakukan kepada Dragør?" Jenderal Irvin tahu betul
siapa mangsa mereka malam ini, Tybalt Wildemarr. Pria itu telah berani
melewati Austmarr, mengabaikan perintah Raja Austmarr, bahkan
berencana memasuki Thaurin.
Raja Alastair tahu seperti apa Dragør, dia bahkan sempat melihat kejayaan
kerajaan itu sebelum hancur lebur. Seandainya saja Dragør masih utuh
sekarang, maka bisa saja menjadi musuh atau sekutu terbesar Austmarr.
"Kita akan lihat sejauh mana mereka akan mempertahankan sesuatu yang
telah tiada."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Kau tahu Thaurin cukup lemah dalam penjagaan seperti ini. Tidak seperti
Austmarr atau Colthas. Kalian dalam, bukan dari luar." Pangeran Alexander
berdiri di tengah menyerang dari ruangan. Cahaya bulan masuk melewati
jendela besar yang berada a tepat di atas kepalanya.
"Aku tahu rencanamu selama ini, Ayah." Pangeran Alexander tertawa kecil,
pedangnya masih berada di tangan, tergenggam kuat dan erat.
"Berarti kau tahu kalau Thaurin yang berada di balik kehancuran lima
kerajaan?"
dengan bangga.
berbisik,
"Mereka
"Di laut. Seperti biasanya." Raja Arthur tertawa misterius akhirnya ikut
menghancurkan Dragør. Tapi Raria menyimpan kekuatan yang sebelum
cukup besar, dan kurasa mereka tahu di mana Mariella Dragør berada."
"Oh." Pangeran Alexander tidak terdengar tertarik sama sekali. "Aku tidak
suka kursi itu, Ayah."
Wajah Raja Arthur terlihat tidak senang ketika mendengar nada sarkasme
dan ejekan panggilan dari Pangeran Alexander. "Apa kau tahu ada berapa
banyak jiwa Thaurin yang mati untuk mempertahankan kursi ini,
Alexander?" Ia bertanya.
Seharusnya ia menghabisi gadis kecil itu dulu, saat dia masih Dragør, dalam
bentuk apa pun tetaplah berbahaya. lemah dan tidak tahu apa-apa.
"Tidak. Ini balasan untukmu yang telah menghajarku saat aku kecil dulu."
Pangeran Alexander mengangkat pedangnya, lalu menusuk tepat di
jantung sang ayah. Kedua tangannya tidak bergetar sedetik pun saat
menghunuskan pedang, menghabisi nyawa Arthur Thaurin dalam sekali
tusukan.
Pangeran Alexander berbalik dan melihat Tybalt yang telah berhasil tiba di
ruang singgasana Thaurin. Mata pria itu terbelalak kaget melihatnya yang
berdiri di hadapan tubuh Raja Arthur.
"Kau akan menyesali ini." Tybalt mengumpat ketika dua prajurit Thaurin
menahan pundak dan lengannya, memaksanya berlutut di hadapan
Pangeran Alexander.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Arthur mati. Kabar itu tersebar begitu cepat seperti angin malam yang
berembus kencang.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Raja Arthur telah mati, Yang Mulia." Ratu Amaranta terpaku mendengar
berita yang baru saja dibawa salah satu penasihatnya. Kabar Thaurin
diserang oleh Dragør dan Raja Arthur mati di tangan Tybalt Wildemarr
mungkin telah tersebar ke seluruh penjuru Inkarnate sekarang.
"Penobatan Raja Alexander sebagai Raja Thaurin yang baru akan
dilaksanakan sebelum Raja Alastair menentukan hukuman kepada
pembunuh itu."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Raja Arthur mati." Jenderal Kilorn melihat wajah pucat pasi Ratu Rania
saat memberikan kabar itu. "Raria akan baik-baik saja. Aku bersumpah
kepadamu, Ratuku."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair tidak segera menjawab, ia terdiam cukup lama seperti tengah
berpikir.
"Apa yang akan Anda lakukan kepada Dragør, Yang Mulia?" Richard Blaxton
menarik napas dalam, lalu bertanya kembali. "Penobatan Raja Alexander
akan dilakukan sebelum pengumuman Tybalt." hukuman yang akan Anda
berikan kepada
XXXIII
HABEAS CORPUS
RATU RANIA MELIHAT matahari yang baru saja terbit. Kapal kapal
bersandar di pelabuhan, para pelaut dan nelayan yang tadinya bersenda
gurau berhenti ketika melihatnya turun dari kereta.
"Kapal nelayan? Kapal barang?" Ratu Rania bertanya sambil lalu. Para
nelayan dan pelaut yang ia lewati segera memberi hormat.
"Lima belas kapal nelayan dan lima kapal barang, Yang Mulia." Norbert
berdeham singkat. Jumlah kapalnya mungkin termasuk sedikit bila
dibandingkan para bangsawan Raria. Namun, ia menaruh kebanggaan
besar kepada kapal dan para awak yang dimiliki. Mereka semua bisa
mengarungi samudra terluas di Inkarnate.
"Siapa namamu?" Ratu Rania memutar badannya dan melihat dengan jelas
kepala pelaut yang cukup terkenal di Raria ini.
"Aku ingin kau pergi bersama dua puluh awak kapalku." Ratu Rania
mungkin bisa memercayai Norbert.
"Pulau Mera." Rania berucap cepat. "Bersiaplah. Kau bisa saja pergi
sewaktu-waktu."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Raja Alexander tidak seperti Raja Arthur, pria itu terlalu lembek." Tybalt
mendengkus kesal mendengar pembicaraan kedua sipir itu.
"Berhentilah menghina raja yang baru. Dia baru saja memecat seluruh
menteri dan penasihat yang telah mengabdi sejak masa Raja Arthur." Sipir
yang lain ikut menegur.
"Apa yang kalian lakukan?" Tybalt membuka mata, lalu mengintip dari
jendela. Ia melihat di hadapan dua sipir yang saling mengobrol tadi, berdiri
seorang tentara memakai jubah perang. Seluruh wajahnya tertutup, hanya
menyisakan sedikit lubang yang memperlihatkan mata. "Penghinaan
terhadap raja akan mendapatkan hukuman berat di Inkarnate!"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Apa itu Dragør?" Verity memutar badan, tidak peduli dengan korsetnya
yang belum terpasang benar.
"Kau tidak bisa menyembunyikan apa yang terjadi selamanya, Yang Mulia."
Di dalam diri Verity masih darah Drager. Dia bukan Clementine Selencia,
melainkan Verity Drager.
"Kau benar." Raja Alastair memegang pinggul dan memutar badan Verity.
Perlahan memasangkan jalinan-jalinan korset sebelum melanjutkan, "Pakai
mahkotamu, Ratuku. Mereka akan datang sebentar lagi, menentukan
hukuman yang tepat untuk Tybalt Wildemarr."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Ratu Rania dan Jenderal Kilorn tidak membawa anak-anak mereka. Sikap
sang jenderal juga lebih seperti seorang pengawal ratu, jauh berbeda dari
sebelumnya. Ratu Rania duduk di ujung kiri, sementara Jenderal Kilorn
berdiri di sebelahnya dengan seragam perang lengkap dan terlihat begitu
waspada.
Kini hanya tersisa dua kursi kosong, kursi di sebelah kanan Verity dan
sebelah kiri Ratu Amaranta yang memang diperuntukkan untuk Raja
Alastair dan Pangeran Alexander. Keduanya datang tidak lama kemudian.
Raja Alastair berjalan lebih dulu, lalu segera duduk di sebelah Verity.
Menyusul Pangeran Alexander yang langsung duduk di sebelah Ratu
Amaranta.
"Tybalt Wildemarr!"
"Apa kau mengakui apa yang telah kau lakukan, Tybalt Wildemarr?" Satu
tanya mengudara.
Salah satu pria maju dan berdiri di podium saksi, rambut pirang dan mata
hijaunya membuat Verity tahu kalau ia seorang warga Thaurin.
Satu per satu saksi datang dan memberikan kesaksian di hadapan lima
kerajaan. Hukuman yang Tybalt terima akan semakin berat bila ia tidak
sesegera mengakui kesalahan. Mereka akan menyiksa lebih dulu sebelum
membiarkannya mati perlahan.
"Aku tidak membunuh Raja Arthur!" Tatapan Tybalt tidak lepas sedikit pun
dari mata violet Verity.
"Tidak mungkin! Tidak masuk akal!" Salah satu pria berteriak nyaring,
membuat seisi ruangan gaduh. "Dia tidak bisa menerima keringanan atau
menuntut kebebasan!"
"Aku bersumpah atas tanah Dragør, untuk semua leluhurku, raja dan ratu
Dragør yang telah tiada karena ketidakadilan kalian. Aku bersumpah, bukan
aku yang membunuh Raja Arthur! Aku bersumpah Dragør akan segera
bangkit kembali! Kejayaan yang pernah kami miliki akan kami raih kembali.
Dan aku akan membalaskan apa yang telah kalian lakukan!" Tybalt terdiam
sesaat sebelum kembali melanjutkan, "Pembunuhnya berada di hadapan
kalian. Alexander Thaurinlah yang telah membunuh ayahnya sendiri!"
"Tidak akan ada yang percaya kepadamu." Entah siapa percaya kepada
Tybalt. Pria itu yang mengucapkannya, tetapi Verity tahu betul dalam
situasi yang akan berasal dari kerajaan yang telah hancur, posisinya tidak
sekuat sekarang, tidak ada Pangeran Alexander.
Verity telah meminta dua hal yang paling tidak masuk akal untuk Tybalt
Wildemarr. Habeas corpus dan trial by combat. Dua hal itu seharusnya
tidak diberikan begitu saja karena Tybalt telah membunuh seorang raja dan
ia bukan bangsawan yang bisa meminta trial by combat.
"Yang Mulia?" Hakim menatap Raja Alastair yang memiliki ekspresi tidak
terbaca.
"Berikan saja apa yang Ratu Clementine inginkan." Verity melirik Pangeran
Alexander tidak percaya. Ketika Raja Alastair masih terdiam, pria itu
menerima gugatannya.
"Trial by combat. Kau sendiri yang Tybalt." Tiga ketukan palu telah
menetapkan. melakukannya,
Kegaduhan semakin jelas, tidak ada satu pun yang menerima keputusan
dua raja di Inkarnate.
XXXIV
BLOOD OF THE COVENANT
VERITY BISA MERASAKAN tatapan beragam para panel, hakim, juga jaksa di
ruangan tadi. Mereka saling berbisik, menggumamkan ketidaksetujuan atas
keputusan Raja Alastair.
Tybalt melihat ke arah Verity sekali lagi sebelum para tentara menariknya
turun dari podium dan membawa pergi.
Verity menoleh, melihat Ratu Rania bersama Jenderal Kilorn yang kini telah
bangkit dan berjalan ke arahnya.
"Kau membuat Raja Alastair terlihat lemah di hadapan yang lain." Ucapan
Ratu Rania sontak membuat Verity melirik Raja Alastair yang balas
menatapnya misterius.
"Apa yang kau inginkan?" Verity bisa melihat rona pucat di wajah Ratu
Amaranta. Wanita itu tidak terlihat seperti biasanya.
"Apa kau tahu?" Ratu Amaranta tersenyum sinis. "Kau membunuh kedua
orang tuaku." Verity mendesis marah.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Apa kau juga beranggapan kalau keputusanku akan membuat Raja Alastair
terlihat lemah?" tebak Verity.
Richard Blaxton mengangguk ragu. "Tapi aku percaya Raja Alastair punya
alasan di balik semua tindakannya, Yang Mulia."
"Tidak ada yang benar-benar tahu, Yang Mulia. Raja Alastair menyetujui
habeas corpus karena dari semua keterangan para saksi, tidak ada satu pun
yang melihat langsung Tybalt membunuh Raja Arthur," Richard terdiam
sesaat, "Anda tahu Istilah habeas corpus dan trial by combat?"
"Kau tahu? Kenapa kau masih bersikap baik kepadaku bila kau tahu?"
Kening Verity berkerut samar.
"Aku tidak punya alasan untuk membenci Anda, Yang Mulia." Richard
Blaxton meraih tangan Verity dan menepuknya simpatik. "Sedangkan Raja
Alastair ...."
"Dia punya ribuan alasan untuk membenciku, bukan? Bagaimana pun juga,
ibuku yang telah mengutuknya." Verity bergumam.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Zacharias menyadari setiap tatapan sinis yang diberikan para panelis
kepada Verity atau adiknya. Hadrian Colthas yang cacat, dianggap tidak
pantas lagi berada di antara anggota kerajaan. Sementara Verity dianggap
telah mengacaukan sidang karena wanita itu bersikap terlalu lembek
kepada Tybalt Wildemarr.
Raja Zacharias berdecak beberapa kali. Tidak suka dengan pengawal yang
mengiringi setiap langkahnya di Austmarr. "Aku melihat tanganmu lebih
parah dari sebelumnya, Alexander."
"Aku ingin tahu apa efek samping yang bisa hemlock berikan kepada
Clementine."
Pangeran Alexander mengangkat alisnya. "Apa maksudmu?"
"Apa yang akan terjadi kepada Clementine, Alexander? Dia juga meminum
hemlocknya, bukan?" Mata hitam Raja Zacharias ketika memperhatikan
tangan kanan Pangeran Alexander yang membiru dan memiliki jejak-jejak
hitam. berkilat
"Aku hanya ingin tahu apa yang ada di dalam pikiranmu." Raja Zacharias
terkekeh, tidak peduli dengan tatapan curiga terhadapnya. "Apa yang
terjadi kepada Tybalt berada di luar kendaliku."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity merasa resah. Tidak seharusnya ia berada di kamar mewah ini ketika
tidak tahu bagaimana keadaan Dragør yang lain.
"Apa yang tengah kau lakukan?" Verity bisa merasakan panas tubuh Raja
Alastair saat pria itu membaringkan tubuh di sebelahnya.
Verity bisa merasakan detak jantung Raja Alastair yang bertalu-talu. "Kukira
kau akan membiarkanku menjadi ratu tanpa kekuasaan di sini. Kenapa kau
menerima tuntutan yang kuberikan untuk menyelamatkan Tybalt?"
"Apa kau khawatir kepadaku?" Ada nada geli yang terselip di pertanyaan
Raja Alastair.
"Bisa saja." Raja Alastair bergumam. "Tidak ada yang bisa menebak isi
kepala pria itu."
"Apa yang terjadi bila Tybalt mati dan Dragør benar-benar hancur?"
"Tidak akan ada yang terjadi karena Dragør memang telah hancur dan kau
adalah Ratu Austmarr sekarang," jawab Raja Alastair.
"Setelah apa yang kau lakukan di persidangan, aku nyaris percaya kalau kau
peduli."
"Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu," jawab Verity getir. Sudah
cukup hidupnya dipenuhi oleh kebohongan dan ketidakpastian.
"Apa pun yang terjadi kepada Dragør atau Inkarnate sekali pun, kau akan
tetap berada di sisiku." Perkataan Raja Alastair seolah menjadi penutup
bagi Verity untuk tidak membicarakan Drager lagi. Apa pun yang terjadi
besok, ia telah berusaha menyelamatkan pria itu.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Kau bangun lebih pagi." Pangeran Alexander menyapa Raja Alastair yang
telah berdiri di ruang singgasana, memperhatikan Verity di taman bersama
para pengawalnya. "Dia pernah menjadi milikku."
Raja Alastair melirik Pangeran Alexander sekilas, tidak ingin terhasut oleh
pancingan pria itu. "Tapi dia akan menghabiskan seluruh hidupnya
bersamaku." Ia tersenyum mencemooh.
"Kau juga bangun lebih pagi, Alexander. Tidak siap bila Tybalt menang dan
menyatakan kalau kaulah ayahmu?" Raja Alastair berkata sinis.
"Tidak ada yang bisa tidur di saat-saat seperti ini, Yang Mulia." Pangeran
Alexander tersenyum tipis. "Aku yakin Clementine juga tidak bisa tidur."
"Ya," sahut Alastair, "tapi untuk alasan yang jauh berbeda. Aku bisa
membuatnya melupakan bocah itu, Alexander. Jadi kau tidak perlu
mengkhawatirkan ratuku."
"Aku pernah hampir mati." Raja Alastair melihat mata hijau Pangeran
Alexander. Sekilas, Pangeran Thaurin itu terlihat polos, tetapi ia tahu,
Pangeran Alexander lebih licik daripada Raja Arthur.
Raja Alastair pernah hampir mati saat masih berusia sepuluh. Beberapa
bulan setelah dirinya dinobatkan sebagai raja, seorang pembunuh bayaran
berhasil menyusup ke kamar dan menusuk jantungnya tiga kali. Rasa sakit
teramat membuatnya ingin mati detik itu juga. Terakhir kali ia merasakan
kesakitan serupa adalah saat Austmarr dan Colthas berperang. Raja
Zacharias II menusuk jantungnya dengan tombak. Seakan tidak cukup, pria
itu juga membakarnya. Hingga keesokan paginya, ia terbangun di tengah-
tengah padang ilalang dengan luka mengerikan di punggung dan dada.
"Itu tidak terelakkan bila kau pergi ke medan perang." Raja Alastair
melanjutkan ucapannya. Ia melihat telapak tangan, goresan demi goresan
bekas luka menghiasi, tidak seperti Verity yang mulus.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Ke neraka, Nak." Sipir itu terlihat tak bersahabat, tetapi tetap menjawab.
"Ya, ya, ya, bilang saja begitu." Sipir mendengkus kesal, terlihat tidak
peduli dengan apa yang terjadi kepada Tybalt. "Raja Alexander memilih
lawan yang lebih kuat daripada kau. Bersiaplah!"
Suara terompet terdengar lagi. Kali ini pintu gerbang di hadapan Tybalt
terbuka lebar. Seorang prajurit keluar dari sana. Tybalt mengenalinya
sebagai pria yang membunuh dua sipir Thaurin kemarin.
Raja Alastair memajukan badan sedikit. "Apa kau punya kata-kata terakhir
sebelum kau mati, Tybalt Wildemarr?"
"They're on our right, they're on our left, they're in front of us, they're
behind us; they can't get away from us this time." Ucapan lantang Tybalt
mengalahkan sorak sorai para penonton. "Aku bersumpah kepada Putri
Verity Dragør, anak Mariella Selencia dan Ferdinand Dragør. Pewaris takhta
Dragør yang sah. Dragør akan bangkit kembali!"
XXXV
THE SAINT AND THE SINNER
"Apa kau punya kata-kata terakhir sebelum kau mati, Tybalt Wildemarr?"
Verity melirik Raja Alastair, raut wajahnya suram dan gelap.
"They're on our right, they're on our left, they're in front of us, they're
behind us; they can't get away from us this time. Aku bersumpah kepada
Putri Verity Dragør, anak Mariella Selencia dan Ferdinand Dragør. Pewaris
takhta Dragør yang sah. Dragør akan bangkit kembali!" Verity bisa
merasakan bulu kuduknya meremang ketika mendengar kata-kata Tybalt.
Mata cokelat terang pria itu menatap mata violetnya.
Verity melirik Raja Alastair lagi. Kali ini raut wajah pria itu benar-benar
gelap, terlihat sangat marah.
"Kalian bisa memulainya!" Raja Alastair mengangkat tangan kanan, sebuah
pertanda untuk memulai pertarungan itu.
"Apa yang kau lakukan!" Verity menahan darah yang keluar dari pundak
Raja Alastair. Pria itu baru saja melindunginya dari serangan tombak
prajurit yang seharusnya melawan Tybalt di dalam arena.
"Apa kau baik-baik saja?" Verity menatap Raja Alastair dengan mata
terbelalak saat pria itu berbalik dan menusuk salah satu prajurit yang
mengenakan seragam Austmarr, tetapi hendak menyerangnya.
"Aku sudah menduga ini akan terjadi." Pria itu mendengkus kesal, tidak
tampak kesakitan sedikit pun meski baru saja terluka.
"Apa Anda baik-baik saja, Yang Mulia?" Richard Blaxton melihat wajah
pucat Verity, lalu mengulurkan jubahnya untuk menutupi gaun Verity yang
telah ternodai darah, sekaligus menyamarkan dari para penyerang.
"Aku tidak ingin melukaimu, Richard, aku hanya ada sedikit urusan dengan
ratumu." Raja Zacharias memainkan belati di tangannya, terlihat tidak
segan-segan membunuh Richard Blaxton bila pria tua itu mengucapkan
satu kata lagi. "Sedikit sulit menemukanmu, Verity. Amaranta dan Thaurin
menyembunyikanmu dengan baik..."
"Apa yang kau inginkan, Zachary? Kau juga yang menjebak Tybalt bukan?
Para tentaramu berada di Thaurin bersama Tybalt!"
"Richard, kau pria yang baik tapi juga naif. Aku akan memastikan
kematianmu berlangsung cepat dan tak menyakitkan." Raja Zacharias
berkata saat kembali memainkan belatinya, lalu menusuk jantung Richard
Blaxton beberapa kali.
"Aku tidak ingin membuat ini terdengar rumit untukmu, tapi aku
membutuhkanmu. Lebih tepatnya membutuhkan darah Dragør yang
mengalir di tubuhmu untuk Verity, t masuk ke Dragør dan mendapatkan
Qyrsi kembali." Raja dapat Zacharias terlihat benar-benar tenang, tidak
seperti telah membunuh seseorang.
"Well, sayang sekali bila kau mati, Clementine. Tapi kau tidak seberharga
yang kau bayangkan. Mungkin bagi Amaranta, Alexander, dan Alastair,
tetapi tidak bagiku. Kau mati atau hidup tidaklah penting bagiku." Raja
Zacharias tertawa kecil. "Lebih baik bila kau ikut denganku dan pergi
dengan tenang."
"Aku tidak akan mati semudah itu." Pangeran Alexander bangkit kembali,
hendak memberikan serangan, tetapi gerakan Raja Zacharias yang tidak
terduga membuatnya lengah dan mengorbankan tangan kanan.
"Alexander!" Verity berteriak tepat saat Raja Zacharias menyabet tangan
kanan Pangeran Alexander, memotong tangannya dengan begitu mudah
seperti pisau yang memotong mentega. "Tangan kananmu...."
"Aku senang kalian bisa saling mengingat satu sama lain lagi," Raja
Zacharias terkekeh senang, "tapi aku tidak bisa berlama-lama di sini."
"Al, apa yang kau lakukan?" Verity menghampiri Pangeran Alexander, lalu
membuka jubah yang ia kenakan dan merobeknya untuk membebat
tangan kanan Pangeran Alexander.
"Al, biarkan aku...." Verity berusaha menahan rasa mual saat melihat
tangan Pangeran Alexander, lalu mengambil alih kain yang belum terpasang
rapi.
"Darah siapa itu?" Pangeran Alexander melihat bercak bercak merah yang
mengotori gaun Verity.
Tangan kiri Pangeran Alexander menyentuh pipi Verity, membuat wanita itu
refleks mendongak dan menatap mata hijaunya. "Bukan darahmu?" Verity
menggelengkan kepala.
"Verity!" Verity mengembuskan napas lega saat melihat Raja Alastair yang
masuk bersama para tentara Austmarr. Pria itu menelaah situasi di
hadapannya. Ada banyak tentara yang mati di depan pintu ruangan:
tentara Colthas, Austmarr, juga Thaurin. Sementara di dalam ruangan
hanya ada tiga orang, Alexander yang terlihat tengah sekarat di pangkuan
Verity dan tubuh Richard Blaxton telah terbujur kaku di sudut ruangan.
"Alastair! Cepat tolong Al-Alexander," ucap Verity frustrasi. Air mata telah
membasahi pipinya.
Raja Alastair berjalan menghampiri Verity. "Apa kau baik baik saja?"
"Perang." Raja Alastair menatap mata violet Verity. Dia tidak peduli lagi
siapa sosok di hadapannya ini. Verity tidak mengenal Dragør, dia bukan
anak Ratu Mariella Dragør karena Ratu Mariella tidak pernah
membesarkannya. Bila Verity adalah kunci kematiannya, maka dengan
senang hati ia akan menerima, tentunya setelah membunuh Ratu Mariella
dan pihak lain yang ingin menghancurkannya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Norbert, apa kau yakin ini ide yang bagus?" Cuaca di Pulau Mera tidak
seperti di Inkarnate. Tidak menentu. Seperti saat ini, langit gelap dan petir
menyambar ketika mereka semakin dekat ke pulau. Bila mereka
menjauhkan kapal, mereka bisa melihat cuaca terang benderang.
"Ingatlah, kita adalah pelaut! Rintangan apa pun di Pulau Mera tidak ada
apa-apanya dibanding semua yang telah kita hadapi " Norbert
meneriakkan kata-kata penyemangat kepada para awak kapal yang mulai
ragu mendekati Pulau Mera.
"Kapten, apa kau yakin Pulau Mera hanya berisi para pendeta yang tidak
peduli dengan keadaan di Inkarnate?" Seorang awak kapal di atas menara
berteriak ke arah Norbert
"Mereka bilang, ada juga seorang ratu di dalam sana."
Norbert berlari ke salah satu awak kapal dan melihat dari atas,seperti apa
Pulau Mera serta kapal-kapal yang hendak menyerang mereka. "Ini tidak
mungkin. Persiapkan meriamnya!"
Norbert berteriak ke seluruh awak kapal. Hujan deras juga gulungan ombak
laut tidak menghentikan langkahnya yang berlari mendekati meriam
terbesar. "Dengarkan aba-abaku lalu tembakkan meriamnya!" Ia
mengambil korek di kantong celana dan menyalakan dengan susah payah
karena hujan deras membuat batang kayunya basah.
"Satu! Dua! Tiga!" Norbert menyerahkan koreknya ke salah satu awak kapal
dan kembali berlari ke ujung dek. Ia melihat ada beberapa kapal yang
terbakar karena serangan meriamnya. "Siapkan lagi meriamnya!" "Apakah
itu kapal kerajaan lain yang juga hendak ke Pulau Mera?"
XXXVI
RISE AND FALL
"Alastair!"
Raja Alastair menoleh dan melihat Verity yang berada di depan pintu,
terlihat ragu untuk mendekat. "Apa yang kau lakukan di sini?" Ia bertanya
dengan suara berat.
Verity telah menghabiskan waktunya di sisi pria itu sejak Raja Alastair
menemukannya di menara pengawas bersama jenazah Richard Blaxton,
tangan kanan sekaligus penasihat Raja Alastair. Bukan hanya Pangeran
Alexander saja yang kehilangan tangan kanannya, beberapa saat lalu, Raja
Alastair juga kehilangan tangan kanannya meskipun hanya secara figuratif.
"Apa kau akan tetap berada di sisi Alexander sekarang setelah kau
mengingat semuanya?" Raja Alastair mendengkus keras.
"Apa yang kau bicarakan?" Raja Alastair tersentak ketika merasakan telapak
tangan Verity di punggungnya yang kaget telanjang. "Dari mana luka ini
berasal, Alastair?"
"Apa yang kau lakukan?" Raja Alastair berbalik dan menahan tangan Verity
agar tidak menyentuhnya lebih jauh lagi. "Kenapa kau berada di sini?"
"Aku tidak tahu. Apakah kau akan tetap berada di sini?" "Aku... tidak tahu."
Verity benar-benar tidak tahu, apakah ia akan tetap berada di sini atau
kembali ke Dragør, ke tempat asalnya, ke tempat semuanya bermula.
Raja Alastair menahan tangan Verity, sementara tangan kanannya
menyentuh pipi wanita itu, menorehkan sedikit basah karena air. "Tetaplah
di sini," ucapnya parau. "Kau keluargaku satu-satunya, Verity. Kau istriku."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Kau juga membunuh tentaramu sendiri." Hadrian tidak melihat ada satu
pun tentara Colthas yang mengikuti kakaknya.
Hanya ada dua hal yang bisa menjadi penyebab: tentara Austmarr
membunuh membunuhnya sendiri. mereka atau Raja Zacharias
"Kenapa kau begitu membutuhkan Verity? Kita bisa pergi ke Dragør tanpa
wanita itu, Kakak." Hadrian naik ke kuda dibantu salah satu tentaranya.
Langkahnya memang lambat, karena itu Raja Zacharias tidak
membiarkannya tetap berada di dalam Austmarr saat pertarungan Tybalt
hendak dimulai. Ia bisa saja mati karena tidak bisa menyelamatkan diri.
"Kau tidak tahu seperti apa Dragør." Raja Zacharias terdiam sesaat sebelum
melanjutkan, "Mariella Dragør melindunginya dengan sihir. Sihir yang
harusnya lenyap kalau wanita itu sudah mati."
"Aku hanya bisa berada di pinggirnya, tidak masuk ke dalam istana atau
merebut Qyrsi kembali." Raja Zacharias lagi lagi berdecak, matanya
menerawang, teringat saat terakhir ia berusaha ke Dragør dan bertemu
Tybalt bersama para Dragorian yang tersisa. "Bahkan para rakyat Dragør
pun tidak bisa masuk ke dalam tempat itu. Mereka hanya bisa berada di
pinggirnya dan melihat dari kejauhan reruntuhan sisa kerajaan itu."
"Wanita itu harusnya menjadi penerus Selencia setelah Jordan mati." Raja
Zacharias berkata pelan. "Aku mendengar banyak hal yang berbeda dari
setiap orang yang berusaha memasuki tempat itu."
"Apa saja? Aku yakin bukan hanya kau yang telah berusaha memasuki
Dragør." Hadrian fokus menyimak.
"Apa yang kau lakukan kepada Putri Verity, Bajingan!" Tybalt brutal
menyerang, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak karena kedua tangan dan
kakinya diikat dengan bola besi.
"Apa kau tidak belajar tata krama? Apakah begitu caramu berterima kasih
kepada orang yang sudah menyelamatkanmu dari tempat terkutuk itu?"
Raja Zacharias mengelap sudut bibirnya dan memberikan satu tinjuan
balasan di wajah Tybalt.
"Kau tidak pernah peduli kepada Raria sebelumnya." Hadrian yang telah
menyusul dengan kuda, melihat Raja Zacharias dan Tybalt diselimuti emosi.
"Rania adalah ratu yang lemah. Tanpa kehadiran Jenderal di sisinya,
mengatakannya cepat. dia bukanlah siapa-siapa." Tybalt
"Kau tidak akan mengatakan hal yang sama bila kau tahu di mana Ratu
Mariella berada." Hadrian mengangkat alisnya dan menatap Tybalt. Sikap
terburu-buru pria itu melemahkan sisi mereka. Bila saja ia bisa
mendapatkan kelemahan Pangeran Alexander tanpa perlu terlibat rencana
licik pria itu, mungkin saja perang tidak akan dimulai secepat ini. "Wanita
itu berada di Pulau Mera. Hanya ada satu cara menuju ke sana."
"Austmarr dan Dragør seperti air dan minyak, mereka tidak bisa bersatu."
Hadrian tersenyum tipis. "Saat yang satu meraih kejayaannya, yang lain
akan melemah. Kita hanya perlu menunggu hingga keduanya saling
menghancurkan satu sama lain."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Kapal Kerajaan Raria hancur begitu saja setelah diserang oleh kapal Dragør,
hal yang sangat tidak masuk akal karena Dragør telah hancur dan kapal-
kapal itu tidak seharusnya menggunakan simbol Kerajaan Dragør.
"Si-siapa kau?"
"Kau kapten kapalnya bukan?" Pria itu mengambil sebilah pisau dan
memainkannya di hadapan Norbert, siap menyiksa bila tidak mendapat
jawaban.
"Norbert. Namaku Norbert!" Norbert berteriak keras ketika pria itu tiba-
tiba menusuk pahanya. Ia bahkan tidak tahu kapan pria itu menyerang
karena kain gelap yang masih menutupi. "Di mana awak kapalku?"
"Kau cukup banyak berbicara ketika seharusnya kau berada di pihak yang
lemah dan memohon pengampunan di sini, Norbert."
"Yang Mulia." Sebuah jalan terbentuk hingga Norbert bisa melihat sosok
yang duduk di singgasana.
"Tapi aku masih hidup dan berada di sini." Ratu Mariella Dragør tersenyum
lebar. Ia jelas belum mati seperti yang dikatakan orang-orang. "Bukankah
kau dikirim ke sini untuk membunuhku? Atau Rania memiliki rencana lain
setelah berhasil membuangku ke sini dan berharap aku mati belasan tahun
yang lalu?"
"Masih terlalu muda dan naif saat itu. Tapi kesalahan kecilnya berubah
semakin besar seiring berjalannya waktu, Norbert." Ratu Mariella Dragør
tersenyum penuh arti, mata violetnya lekat menatap Norbert. "Norbert,
apa yang paling kau inginkan di dunia ini?"
Mulailah memohon! jerit hati kecil Norbert ketika menatap kedua mata
wanita itu.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair bisa merasakan napas teratur Verity ketika wanita itu terlelap
di sebelahnya. Ia menarik selimut dan menutupi tubuh telanjang Verity
hingga ke bawah dagunya. Apakah percintaan mereka berarti Verity akan
tetap berada di sisinya atau akan tetap pergi?
XXXVII
A MOMENT OF WEAKNESS
"Mariella Dragør. Dia adalah jawaban dari semua pertanyaan kita. Sejak
perang pertama, Amaranta tidak pernah beristirahat. Wanita itu tidak akan
berhenti sebelum ia mendapatkan Mariella." Mata hitam Hadrian berkilat
ketika melihat kakaknya yang termenung di depan pintu tenda, "Mariella
pasti punya kelemahan. Kita bisa masuk ke Dragør saat ia melemah."
"Ya," Raja Zacharias mengangguk lagi, "dan Amaranta bisa masuk Dragør
meski hanya sesaat."
"Aku tidak tahu." Raja Colthas sebelumnya tidak memberikan petunjuk lagi
kepada mereka. Pencarian terhadap Ratu Mariella Dragør berhenti setelah
wanita itu menghilang tanpa jejak dan Dragør tidak bisa dimasuki lagi.
"Apa yang kau lihat di dalam sana sebenarnya? Selain api dan beruang itu."
Hadrian mendesak. Apa sebenarnya yang membuat kakaknya begitu
terpaku dengan keberadaan sisa anggota keluarga kerajaan Dragør.
"Zachary, apa yang ada di dalam sana? Aku harus tahu agar aku bisa
menyusun rencana perang kita untuk merebut Qyrsi kembali."
"Apa ini artinya .." Mereka tidak mengenal siapa lawan sebenarnya, itu
jauh melenceng dari perkiraan. "Bila Mariella semakin menguat, bisa saja
sihirnya membunuhmu kali ini."
"Karena itu aku membutuhkan Verity Dragør. Dia adalah kunci untuk
memasuki Dragør." Raja Zacharis mengembuskan napas panjang dan
melanjutkan, "Aku berharap Qyrsi masih hidup dan tidak terluka sedikit
pun."
"Kenapa?"
"Qyrsi merupakan naga terakhir yang dimiliki Colthas, Hadrian. Aku tidak
tahu kenapa ayah kita memilih Qyrsi dibanding naga lain." Raja Zacharias
menatap mata hitam Hadrian dan menyadari kalau adiknya sudah mengerti
sekarang. "Naga adalah makhluk langka di manapun ia berada. Sisiknya
saja bisa menjadi senjata yang mematikan."
"Bakar tubuh penyihir itu," Hadrian bergumam, "sihirnya tidak mempan
dengan api bukan? Dan sisik Qyrsi bisamembunuh Mariella."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Ratu Mariella berdiri di hadapan Norbert. Wanita itu tidak terlihat seperti
hendak memberinya kesempatan sedikit pun. "Apa yang kau inginkan,
Norbert?"
Setelah menatap cukup lama, Norbert menyadari mata Ratu Mariella tidak
memiliki cahaya yang sama seperti Ratu Amaranta atau Clementine
Selencia. Tidak ada kilatan api yang membara atau menggebu-gebu, selain
ungu pucat, terlihat dingin seperti es. Beberapa orang mungkin mengira ia
buta bila melihat sekilas karena warnanya nyaris menyaru dengan bola
mata yang berwarna putih.
"Apa yang kau inginkan, Norbert?" Ratu Mariella bertanya sekali lagi. Para
bandit, pelaut, dan bajak laut milik Raria yang dibuang ke Pulau Mera
berada di sisinya.
"Apa kau tahu kekuatan yang lebih hebat daripada cinta, Norbert?"
Norbert menggelengkan kepala. Ia bisa mendengar debur ombak juga
badai yang berada di Pulau Mera.
"Rasa benci akan membawa kehancuran yang lebih besar lagi. Seperti apa
yang adikku lakukan kepadaku." Ratu Mariella tertawa kecil.
"Aku tahu." Mata violet Ratu Mariella terlihat menerawang. Norbert bisa
merasakan bulu kuduknya meremang ketika tak sengaja menatap mata
wanita itu, benar-benar mengerikan.
"Tidak, tidaaaak! Yang Mulia! Yang Mulia!" Norbert menjerit ketika salah
satu bandit mengeluarkan pedang dan segera memenggal kepalanya.
Pangeran Alexander menatap tangan kanannya yang kini tidak lebih dari
sepotong lengan tak berguna. "Aku melihat Verity yang menari di
hadapanku, menjebakku untuk mencipipi hemlock di tangannya."
"Apa yang kau lakukan di sini, Jenderal Kilorn? Tidak bersama Ratu Rania
dan mengawasinya?" Pangeran Alexander mengembuskan napas gusar. Ia
tidak bisa merasakan apa pun di tangan kanannya. Ia merasa telah cacat
sekarang.
"Kau tidak tahu apa yang telah kau lakukan, Boy. Ada perang di luar sana
dan kau-"
"Thaurin." Pangeran Alexander memotong, terdiam sesaat. "Aku bukan
ayahku, Kilorn. Thaurin tidak bersekutu dengan Selencia."
"Wanita yang dinikahi Raja Alastair berasal dari Selencia dan Dragør. Apa
kau lupa apa alasan Clementine Selencia menikah dengan Raja Alastair?
Untuk menghindari perang." Jenderal Kilorn nyaris membentak Pangeran
Alexander.
Selain Colthas yang membelot dari Inkarnate dan Ratu Amaranta yang
menghilang semenjak pemberontakan Colthas, mereka semua berada di
Austmarr sekarang. Pangeran Alexander di Austmarr karena tangannya
yang buntung setelah dipotong Raja Zacharias, sementara Ratu Rania dan
Jenderal Kilor akan segera kembali ke Raria setelah mendiskusikan rencana
perang mereka dengan Raja Alastair.
"Aku tidak ingin membicarakan ini lagi, Kilorn." Pangeran Alexander
menegak mead-nya kembali. Cairan itu satu-satunya obat untuk
meringankan rasa sakit di tangannya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"I think I am falling in love with you, Verity." Raja Alastair menarik bahu
Verity agar menghadapnya. "Aku tahu kalau kau terbangun, Verity."
"Aku tidak tahu." Raja Alastair menarik tangan Verity dan mengecupnya.
"Apa kau ingat saat kau benar-benar ingin membunuhku?"
"Kau tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya, Verity." Raja
Alastair bergumam ketika menatap mata violet Verity. "Mereka akan balas
dendam atas apa yang mereka dapatkan."
"Apa kau tidak tahu betapa berbahayanya seorang anak yang tumbuh
dewasa dengan dendam di dalam hatinya?" Raja Alastair tengah
membicarakan dirinya sendiri tentu saja. Hatinya mengeras seperti batu
karena kutukan Ratu Mariella. Penyihir itu mengisi hatinya dengan
dendam, mengubah hatinya hingga sehitam arang, tanpa menyisakan
sedikit pun ruang untuk rasa kasihan apalagi cinta. Tidak ada, sebelum
Verity datang dan membuat jantungnya berdetak kembali. "Apa yang telah
Amaranta lakukan kepadamu, Verity?"
"Verity." Raja Alastair berbicara dengan nada lebih pelan dan merapatkan
tubuhnya kepada Verity, memaksa wanita itu untuk berbicara.
"Aku tinggal di dalam penjara Selencia seumur hidupku, Yang Mulia. Atau
begitulah yang kuingat," Verity mengembuskan napas panjang, "hingga
beberapa saat lalu, aku bahkan tidak ingat pernah tinggal di Thaurin
sebagai Clementine Selencia."
XXXVIII
DRAGON'S SCALE
Bocah itu segera berlutut di hadapan Ratu Mariella, kali ini tatapannya
lurus ke bawah. "K-kenapa terima kasih, Yang Mulia?"
"Karena dia telah membuka jalan untuk perang kedua." Jawaban tidak
terduga Ratu Mariella membuat bocah itu menunduk semakin dalam
karena tidak tahu apa isi kepala seluruh anggota kerajaan. "Bawa kepala
Norbert ke hadapan Alexander dan Rania!"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Apa kau tidak menyadari kekuatan yang kau pendam di dalam dirimu?"
Raja Alastair menatap tajam, membuat Verity mengerutkan kening tidak
mengerti. "Kau lebih kuat daripada saat pertama kali datang ke Austmarr.
Kau bisa menghadapi Amaranta, bahkan seluruh Inkarnate sekali pun."
"Kenapa Anda mengira kalau Anda mencintai saya, Yang Mulia?" Verity
menarik napas panjang dan mengembuskannya. Perasaan lelah
menggelayuti hati. Ia ingin hidup tenang tanpa adanya perang yang
berkecamuk atau permainan penuh muslihat seperti sekarang.
"Karena kau bisa menjadi obat untuk kutukanku. Karena kau satu-satunya
orang yang bisa membuat jantungku berdetak kembali." Raja Alastair
meletakkan tangan Verity di dadanya.
Verity bisa merasakan detak jantung Raja Alastair. Ritmenya tenang, tidak
menggebu-gebu seperti dulu. Raja Alastair terlihat lebih manusiawi
sekarang, meski begtiu, ia masih ragu pria itu tahu arti cinta ketika
mengucapkannya.
Verity terdiam sesaat, lalu menarik tangannya menjauh. "Kurasa ini bukan
saat yang tepat untuk mencintai seseorang Yang Mulia."
Raja Alastair tersenyum tipis. "Kau benar. Ada luar sana yang harus kita
menangkan."
"Kita?"
"Kau bagian dariku sekarang. Menang atau kalah, kau akan tetap berada di
sisiku."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Semilir angin menerbangkan helaian rambut juga gaun biru tua Verity. Para
pengawal setia mengikuti, jarak mereka tidak lebih dari dua langkah di
belakangnya. Perang membuat semuanya lebih rumit, Austmarr dijaga
lebih ketat dengan pengawasan dan pengamanan berlapis, tidak hanya di
istana, tetapi di perbatasan juga. Ada kabar yang berembus kalau Tybalt
Wildemarr masih berada di Austmarr dan perintah bunuh di tempat telah
diberikan oleh Raja Alastair.
"Aku
"Bila kau ingin minta maaf, kau bisa menyimpannya di dalam hatimu. Aku
tidak menyalahkanmu atas semua yang terjadi, Verity. Kau juga korban dari
semua ini." Alih-alih merasa lega, perkataan Pangeran Alexander semakin
membuat Verity merasa bersalah.
"Lalu kenapa kau melakukannya?" Verity menelan ludah susah payah. Pria
di hadapannya ini telah melindunginya selama bertahun-tahun saat masih
berada di dalam cengkeraman Ratu Amaranta. Walau ia juga yang nyaris
menghancurkan Tybalt Wildemarr.
"Kau tahu kenapa," gumam Pangeran Alexander singkat. "Apa yang ayahku
lakukan kepadamu tidak termaafkan. Tybalt hanya datang di saat dan
waktu yang tidak tepat."
"Karena aku berjanji kepadamu belasan tahun lalu. Janji itu tidak pernah
berubah." Pangeran Alexander bangkit berdiri, lalu berjalan hingga ke
depan jendela. "Apa kau tahu kenapa perang pertama terjadi, Verity? Apa
kau tahu apa yang suamimu berusaha sembunyikan dari seluruh
Inkarnate?"
"Qyrsi, naga itu berada di Dragør sekarang. Sedangkan Selencia adalah ahli
sihir. Dan Dragør adalah kerajaan terkaya di Inkarnate, seluruh tambang
emas dan permata berada di tanah Dragør." Pangeran Alexander
menjelaskan.
"Amaranta yang memulai perang itu, tetapi ketakutan Klaus Austmarr yang
menjadi alasan wanita itu untuk memulai perang."
"Lalu?"
"Benar," Pangeran Alexander tersenyum tipis, "lalu para bajak laut Raria
disingkirkan ke Pulau Mera setelah mereka memperkosa para wanita di
desa yang mereka jarah."
"Salah. Klaus Austmarr mati karena pria itu tahu tidak ada persekutuan
yang dapat bertahan selamanya, apalagi bila satu pihak telah mendapatkan
apa yang dia inginkan. Ferdinand Dragør membunuhnya tanpa ampun,
ketamakan pria itulah yang telah menghancurkannya. Pada malam itu,
tidak hanya raja-raja di Dragør saja yang mati. Soraya Colthas dan Eleanor
Austmarr juga mati di tangan tentara Thaurin yang berpakaian seperti
tentara Dragør." Pangeran Alexander tertawa miris.
"Tidak ada yang sempurna di dunia ini, Verity. Bahkan Dragør pun memiliki
kesalahan."
"Tidak ada yang tahu apa yang terjadi sebenarnya selain anggota keluarga
kerajaan, Verity. Yang mereka tahu adalah, akan selalu ada seseorang atau
sesuatu yang dikorbankan, dan kebetulan saja Dragør menjadi korbannya."
Pangeran Alexander menarik tangan Verity untuk menyentuh tangan
kanannya. "Aku mengorbankan tanganku."
"Aku melakukan ini demi kau, Verity. Bukan demi Dragor atau Inkarnate."
Pangeran Alexander merapikan helaian rambut Verity dan tersenyum tipis.
Matanya menatap ke luar jendela sekilas sebelum menarik wanita itu agar
menjauh, hingga keduanya jatuh di antara serpihan-serpihan pecahan kaca
jendela.
"Apa kau baik-baik saja?" Pangeran Alexander memeriksa setiap inci tubuh
Verity dan melihat wanita itu tidak terluka sama sekali, selain sedikit luka
memar karena terjatuh tadi.
Para pengawal masuk ruangan dan mengelilingi bocah yang terlihat sangat
pucat. Ia membawa sesuatu seperti bundelan berukuran cukup besar di
pelukannya.
"Alexander Thaurin." Suara dingin si bocah membuat Verity refleks
menggenggam tangan Pangeran Alexander dan menarik pria itu menjauh.
"Alexander Thaurin." Bocah itu mengulangi. Kali ini wajahnya tidak lagi
menunduk dan lurus ke arah Pangeran Alexander.
"A-apa dia...." Verity terkesiap ketika melihat mata bocah itu yang putih
seperti susu.
"Perang telah dimulai," ucap bocah itu lagi, "Dragør akan berada di garis
terdepan untuk menghancurkan kalian!"
"Sihir hitam?"
"Mariella Dragør kembali." Pangeran Alexander menatap wajah pucat
Verity. "Dan dia jauh lebih kuat daripada sebelumnya."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Tybalt!"
Tybalt membuka mata. Ia masih berada di dalam kereta tanpa jendela milik
Colthas saat seperti ada seseorang yang memanggilnya.
"Tybalt!" Tybalt mendengarnya lagi, tetapi tidak ada seorang pun yang
membuka pintu kereta. Ia mendorong bola besi dan bergerak menuju
pintu.
"Tybalt, mereka datang. Mereka akan kembali!" Suara itu kini berubah
seperti bisikan.
"TYBALT!"
Tybalt menggedor pintu kereta. Ia harus segera keluar dari tempat terkutuk
ini.
"Apa kau kira aku sanggup melakukan hal seperti ini?" Hadrian tertawa
mengejek. Ia lalu menunjuk satu-satunya jasad pria yang tidak bersimbah
darah.
"Kembali ke Colthas tentu saja, Dragør yang kau bawa bersamamu masih
berada di sana." Ada sekumpulan prajurit berjumlah tidak lebih dari lima
orang di ujung perkemahan, membawa kuda dan sebagian perlengkapan.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Mungkin dia juga mendengar hal yang sepertimu. Mariella Dragør tengah
berusaha mengumpulkan semua Dragørian yang tersisa, termasuk anaknya
sendiri," jawab Hadrian Colthas.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Belati yang Ratu Amaranta berikan dulu kepadaku, apa itu berasal dari
Dragør?" Verity menelan ludah susah payah. Ia berusaha memahami apa
yang suara itu inginkan. "Kenapa kau bertanya?"
"Belati itu terbuat dari sisik naga. Sisik naga adalah senjata yang hebat bila
digunakan dengan tepat. Sisik naga yang ayahku berikan kepadamu adalah
pecahan sisik Qyrsi, sedangkan bagian yang lebih besar dibentuk menjadi
sebuah senjata." Pangeran Alexander menjawab pertanyaan Verity.
"Apakah itu bisa membunuh?"
XXXIX
THE TWINS TALE
"YANG MULIA, APA yang harus kita lakukan?" Salah satu penasihat Selencia
menatap Ratu Amaranta khawatir. Ia sangat menyadari apa dan betapa
berbahayanya sosok di hadapan mereka bila terus dibiarkan.
"Bakar dia!" Ratu Amaranta turun dari singgasana dan berjalan hingga
undakan tangga terakhir, melihat sosok seperti mayat yang beberapa saat
lalu masih berbicara di hadapannya.
"Dia membawa pesan dari Ratu Mariella Dragør, Yang Mulia." Sosok serupa
Mayat itu salah satu petinggi Kerajaan Selencia, wajahnya pucat dengan
mata seputih susu. Ratu Mariella berhasil merasuki orang-orangnya adalah
bencana terbesar.
"Ini sihir hitam, Yang Mulia!" Para petinggi Kerajaan Selencia tidak
mengerti dengan sikap terlalu tenang yang diperlihatkan oleh Ratu
Amaranta setelah melihat efek sihir hitam. "Mariella Dragør telah berhasil
merasuki salah satu petinggi Selencia! Kita harus membentuk sekutu, Yang
Mulia. Raja Arthur telah tiada, tetapi saya yakin Raja Alexander akan
bersedia menjadi sekutu kita."
"Dragør bisa saja menyerang kita sekarang, Yang Mulia." Pria itu menunduk
dalam. Rasa takut mengalahkan segalanya, hingga ia berani
mempertanyakan kesiapan Selencia untuk menghadapi perang yang bisa
tiba kapan saja. "Selencia tidak siap, Yang Mulia."
"Karena kita tidak lagi memiliki darah penyihir seperti Mariella?" Ratu
Amaranta berdiri di hadapan sosok serupa mayat yang masih bergelung di
lantai marmer.
"Atau karena kalian menyadari kalau akulah yang memulai perang dua
dekade lalu?" Ratu Amaranta berdiri dengan tenang di hadapan para
petinggi Selencia. "Apakah kalian akan tetap di sini, mendukungku, atau
kalian telah bersiap untuk menusukku dari belakang?"
"Yang Mulia!" Para petinggi Selencia itu berlutut, menyerahkan diri mereka
di tangan sang ratu.
"Bakar dia!" Ratu Amaranta melihat sosok malang yang menjadi pengantar
pesan Ratu Mariella.
"Apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia? Kita bisa bersekutu dengan
Thaurin atau Austmarr. Putri Clementine Selencia menikah dengan Raja
Alastair, mereka tentu-"
"Tidak ada. Kita tidak bisa mempercayai siapa pun." Ratu Amaranta melihat
sosok di tengah ruangan yang telah hangus terbakar. "Siapkan tentara
Selencia! Kita akan berangkat menuju Dragør."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Setiap kali kau membunuh satu musuhmu, akan ada dua musuh lain yang
muncul." Perkataan Jenderal Kilorn terdengar lantang di ruangan itu.
"Ada yang ingin kau jelaskan kepada kita semua, Rania?" Raja Alastair tidak
perlu melihat Ratu Rania untuk menyadari wanita itu tengah ketakutan.
"Dia ... Norbert." Ratu Rania bergumam melihat kepala di sebelah bocah
itu. Norbert, pria yang begitu gagah berani mengatakan akan membawa
Ratu Mariella ke hadapannya.
"Tidakkah ini begitu jelas, Yang Mulia?" Ratu Rania balas menoleh, mata
coklatnya terlihat marah dan berkaca-kaca, sementara buku-buku jarinya
memutih karena mencengkeram lengan kursi begitu erat.
"Oh, ya? Tidakkah kau lihat apa yang ada di hadapanmu itu?" Pangeran
Alexander berdiri dari singgasananya dan berjalan menuruni undakan
tangga hingga ke hadapan mayat si bocah.
"Bawa obor api itu ke sini!" Pangeran Alexander memerintahkan salah satu
pengawal untuk membawa obor yang menerangi ruangan. "Bersyukurlah
kalian karena Mariella tidak menggunakan bocah ini lagi dalam waktu
dekat. Ia hanya sedang memperingati kita semua."
"Apa itu?" Verity tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya. Sosok
menyerupai mayat, pucat, dengan mata seputih susu ini baru pertama kali
ia temui. Hal menakjubkan sekaligus mengerikan.
"Dzel. Sebelumnya dia juga hidup seperti kita. Manusia biasa." Pangeran
Alexander menjelaskan sembari memperhatikan bocah itu benar-benar
hangus terbakar. "Hanya sihir hitam paling tinggilah yang bisa
membangkitkan sosok ini. Dia tidak bisa disembuhkan."
"Dia pernah menjadi manusia biasa seperti kita?" Verity memperhatikan
raut wajah Raja Alastair, pria di sisinya itu masih terlihat tenang. Ratu
Mariella adalah ibunya. Ia tidak tahu siapa yang harus dipercayai dalam
situasi seperti ini, ibunya yang tidak pernah ia temui atau Raja Alastair.
"Tidak seperti ungrad yang sudah mati sebelum dirasuki, dzel adalah
manusia biasa yang dirasuki oleh siapa pun pengirimnya. Bila ia tidak cukup
kuat menjadi wadah untuk orang yang merasukinya, dia akan mati seperti
bocah ini. Hingga saat ini, belum ditemukan orang yang cukup kuat
menjadi dzel dan tetap hidup setelah dirasuki." Pangeran Alexander
menjelaskan dengan tenang. Dzel ataupun ungrad, sosok itu amat
berbahaya, apalagi bila Ratu Mariella berhasil merasuki salah satu dari
mereka. "Membakarnya merupakan salah satu cara untuk menyingkirkan
dzel atau ungrad. Dia bisa bangkit lagi bila pengirimnya menginginkannya."
"Apa yang bisa ia lakukan?" Verity menelan ludah susah payah. Ratu
Mariella akan membalaskan dendamnya dan semua anggota kerajaan di
Inkarnate akan hancur satu per satu. "Kenapa Mariella menunggu waktu
selama ini untuk balas dendam?"
"Karena dia lemah!" ketus Rania Raria, "Pulau Mera adalah pulau terasing.
Penyihir sekuat apa pun seharusnya tidak bisa mencapai Inkarnate."
"Kau datang secara tiba-tiba, Yang Mulia. Clementine Selencia, yang tidak
pernah terlihat sebelumnya, tersembunyi dari seluruh Inkarnate." Jenderal
Kilorn mencengkeram erat pedangnya, bersiap mengeluarkan menyerang
bila Verity bergerak seinci saja. "Namun, kau bukan Clementine, kan?
Tybalt mengumumkan kalau kau adalah Verity. Verity Dragor!"
"Kilorn tidak melakukan kesalahan apa pun. Kita harus tahu apa yang kita
hadapi saat ini." Ratu Rania memperhatikan Verity lekat. "Bila dia anak
Mariella Dragør, bukankah itu berarti dia juga memiliki sihir seperti wanita
itu?"
Verity refleks menunduk, meremas-remas gaun, tidak tahu apa yang harus
ia lakukan atau katakan untuk membalas. Mereka benar, bila ia memang
anak Ratu Mariella atau setidaknya keturunan Selencia, seharunya ia
memiliki sedikit sihir.
"Atau bisa saja ia seperti Amaranta yang tidak memiliki sihir." Pangeran
Alexander menambahkan.
"Hanya ada satu cara untuk tahu." Jenderal Kilorn mengulurkan sebilah
belati ke tangan Ratu Rania. "Darah."
"Al.... " Verity memohon kepada Pangeran Alexander. Tidak ada satu pun
pengawal yang mendekat atau berusaha menahan ketika pria itu berada di
hadapannya. Bahkan Raja Alastair tidak mengatakan apa pun untuk
menghentikan semua omong kosong ini.
"Apa yang akan kau lakukan?" Verity berdiri di hadapan dzel itu.
XL
END OF THE BARGAIN
Verity memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Sekali, dua kali, ia nyaris
berbalik ketika mendengar suara pelan dari dalam.
"Masuk!"
"Kalian bisa menunggu di luar!" Verity mengulangi ketika tidak ada seorang
pun yang bergerak.
"Kalian bisa menunggu di luar!" Salah satu pengawal berani bicara, meski
pada akhir dipotong oleh Verity.
Pengawal tadi kembali bicara. "Setelah apa yang terjadi kepada Anda
karena dzel tadi dan-"
"Istana ini tidak bisa melindungiku dari tiga percobaan pembunuhan. Aku
selamat karena bisa menjaga diriku sendiri, bukan karena pengawalan
kalian." Verity menarik napas dalam dalam, lalu kembali menatap mereka
satu per satu. "Kalian bisa menunggu di luar."
"Bagaimana rasanya?"
"Kenapa kau melukai tangan kirimu?" Verity mengambil perban dari tangan
Pangeran Alexander. "Apa kau tidak perlu memberinya obat lebih dahulu?"
"Aku tidak perlu susah payah memotong tanganku sendiri bila aku
memang berniat membunuhmu, Verity," jawab Pangeran Alexander.
"Fair enough." Verity menenggak cairan pahit di dalam botol kaca, lalu
mendesis ketika Pangeran Alexander tiba-tiba menyiram lukanya dengan isi
botol kaca yang baru saja ia minum. "Apa ini?"
"Tidakkah kau lihat apa yang akan mereka lakukan?" Pangeran Alexander
menghela napas panjang. "Seperti yang kau katakan tadi, istana ini lebih
berbahaya daripada dzel yang dikirim Mariella."
"Kembali ke rumah."
"Apa kau akan tetap di sini? Bahkan ketika pintu keluar terbuka begitu
lebar?" Pangeran Alexander melepaskan genggamannya. "Sejauh apa pun
kau pergi, Dragør tetap rumahmu."
"Alexander, kau adalah raja sekarang. Kau garis terakhir keturunan Thaurin,
aku tidak mungkin membiarkanmu .... "
"Begitu juga kau dan Alastair. Kau garis terakhir keturunan Dragør. Apa kau
tidak ingin melihat tempat di mana semuanya bermula?" Ucapan Pangeran
Alexander membuat Verity semakin bingung.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity berjalan gontai menuju kamar Raja Alastair. Entah sudah berapa
lama mereka tidur bersama tanpa menyentuh satu sama lain atau
membicarakan sesuatu, sesuatu yang tidak berhubungan dengan perang
atau Selencia. Verity menyadari kalau ia tidak mengenal betul Raja Alastair
walaupun pria itu seperti sangat mengenalnya.
"I never lie to you." Napas Raja Alastair menggelitik tengkuk ketika pria itu
berbisik di telinganya. "Apa ia memberitahu yang sejujurnya kepadamu?"
"Aku tidak tahu." Perkataan Raja Alastair jelas membuat perasaan Verity
kembali mencintaiku?" Kenapa ragu. "Apa kau benar-benar kau
membiarkan mereka? Pertanyaan terakhir terhenti tepat di ujung lidahnya.
Verity tak yakin pria seperti Raja Alastair tahu apa definisi cinta. Pria itu
hidup tanpa jantung yang berdetak sebelumnya, hatinya hampa dan
kosong. Bisa saja seluruh perasaan yang tiba tiba menyeruak itu bukan
cinta.
"Kita tidak punya waktu setelah ini." Verity tersenyum tipis lalu berjinjit,
setengah memaksa pria itu untuk menunduk dan menciumnya.
Verity merintih pelan ketika mereka telah berpindah ke kasur. Raja Alastair
berada di atasnya, menguasainya. Tidak hanya tubuh, tetapi juga isi
pikirannya. Ciuman pria itu berpindah dari bibir, ke leher, payudara, perut,
dan setiap inci tubuhnya. Verity berusaha membalas setiap hal yang
pernah pria itu lakukan kepadanya. Lagi-lagi ia mengerang ketika tubuh
mereka menyatu. Semuanya berlangsung begitu cepat. Kini gilirannya
berada di atas pria itu.
"Kau tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya," ucap Raja Alastair
pelan sembari mengelus rambut panjang Verity yang berada di atasnya,
mendengar detak jantungnya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"We'll go home."
"Aku tidak bisa menahannya. Dia tidak akan berhenti sebelum tahu yang
sebenarnya." Raja Alastair terkekeh pelan. Tidak menyangka bila ratunya
punya keberanian untuk pergi setelah malam indah mereka. Di antara yang
lain, harusnya Verity paling tahu kalau ia mudah terbangun dengan gerakan
sekecil apa pun.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia?" Jenderal Irvin tak bisa
mengerti jalan pikiran Raja Alastair. Pria itu tidak menentang apa pun yang
diperintahkan oleh ratunya.
"Ratu Rania, apa yang harus kita lakukan?" Raja Alastair berbalik, melihat
Ratu Rania yang menatapnya penuh kebencian.
Ratu Rania menjerit lagi ketika melihat kepala Jenderal Kilorn yang
beberapa detik lalu baru terpisah dari badan tegapnya, berlumur darah,
matanya masih terbuka, mulut menganga. "Kau membunuhnya!"
"Apa maksudmu?"
"Suatu hari nanti mereka akan tumbuh dan mengenalmu sebagai ibu yang
meninggalkan anak-anaknya karena keserakahan. Tenang saja, aku akan
menjaga mereka dan Raria hingga tiba waktunya untuk Orion menjadi Raja
Raria." Raja Alastair kini mendekati ratu tak berdaya itu.
"Kau memilih jalan yang sulit. "Raja Alastair memerintahkan Jenderal Irvin
untuk menusuk leher Raty Rania.
"Dzel membunuh Rania dan Kilorn. Orion dan Cassiopeia akan berada di
Austmarr hingga mereka cukup umur untuk memimpin. Aku yakin para
penasihat Raria tidak akan begitu peduli dengan keadaan anak-anak Rania,
mereka akan berebut untuk menjadi pemimpin sementara." Jenderal Irvin
mengangguk ketika mendengar perintah Raja Alastair.
"Kita tidak bisa menyusul mereka, berarti Colthas bukanlah pilihan karena
mereka bersekutu dengan Tybalt Wildemarr. Lalu Amaranta ...." Raja
Alastair tampak berpikir.
"Yang Mulia?" Jenderal Irvin tak habis pikir kenapa Raja Alastair
memberinya perintah yang sulit dimengerti.
Selain Richard Blaxton, hanya ada sebagian kecil petinggi Austmarr yang
tahu kondisi Raja Alastair, Jenderal Irvin salah satunya.
Untuk saat ini, ia harus mengurus sesuatu yang harusnya selesai puluhan
tahun lalu. "Aku akan menyelesaikan perang."
XLI
THE WOLVES
Rahang Tybalt mengeras. Waktu berjalan begitu cepat selama ia pergi dari
Colthas menuju Thaurin dan berakhir di persidangan Austmarr. "Barney
mati di tangan Thaurin." Ia tak bisa menyembunyikan nada getir di
suaranya. Kehilangan sahabat tidaklah mudah, tetapi ada hal yang lebih
penting saat nyawa orang lain berada di tangannya.
"Tidak seharusnya kau meremehkan Putri Dragør itu. Verity Dragør lebih
kuat dari yang kau bayangkan, tidakkah kau lihat bagaimana ia
menyelamatkanmu di persidangan?" Raja Zacharias tersenyum
mencemooh, tatapannya sekilas beralih ke arah lain. "Bisa saja Verity
Dragør dapat membantu kita masuk Dragor."
Tybalt terdiam. Tanpa habeas corpus dan permintaan Verity, la tidak akan
hidup saat ini. Raja Alastair membiarkan Verity berada di depannya dan
mengambil keputusan. Jelas pria itu tidak meremehkan ratunya sendiri.
"Apa kau membakar dzel yang nyaris membunuh semua tentaraku?" Raja
Zacharias mengabaikan pertanyaan Tybalt dan menatap adiknya. Dzel itu
cukup kuat, menghabisi nyaris semua tentara dan menyerangnya.
"Apa dia masih di Pulau Mera?" Raja Zacharias mendengkus kesal. Ia bisa
mengetahui pergerakan setiap kerajaan, seperti Selencia, Austmarr, bahkan
Raria, tetapi tidak dengan Dragør. Pengawasannya terbatas karena Ratu
Mariella yang berada di Pulau Mera, terpisah dari Inkarnate. Ia tidak punya
mata-mata di kerajaan kecil yang dibangun wanita itu.
"Pintu gerbang Dragør belum terbuka." Raja Zacharias dari atas kudanya
melihat wajah penuh harap para Dragørian. "Kita akan menuju Dragør
ketika Verity berhasil membuka gerbangnya. Kita akan menuju ke Dragør,
bila waktunya tepat."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Aku tidak pernah naik kuda sebelumnya." Suara Verity samar dan lirih. Ia
mencengkeram kuat jubah milik Pangeran Alexander yang menutupi
tubuhnya. Ia takut bila salah satu warga Austmarr mengenali dan
menghentikan rombongan mereka.
Verity terdiam sesaat, berusaha tetap tenang di atas pelana kuda yang tak
nyaman. Mata violetnya mencermati Hutan Pinus yang biasanya hanya bisa
dilihat dari balik jendela. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati aroma
hutan yang sangat berbeda dengan penjara Selencia atau istana Austmarr.
"Ibuku?" Kepala Verity refleks berputar dan melihat mata hijau cemerlang
Pangeran Alexander. Ia nyaris jatuh jika tangan kanan Pangeran Alexander
yang mengenakan gauntlet perak tidak menahan pinggangnya.
"Di Pulau Mera, saat badai dan petir nyaris menyambar kapal Thaurin dan
menenggelamkannya." Pangeran Alexander menatap mata violet Verity
dan menyadari kalau wanita ini lebih mirip Ferdinand Dragør dibandingkan
sisi Selencia.
Ratu Mariella tentu saja menolak. Bila sebaliknya, Verity tidak mungkin
tinggal di penjara Selencia selama nyaris dua dekade. Tinggal bersama para
pembunuh, tahanan kelas kakap, ditemani kecoak dan tikus yang keluar
masuk penjara. Ratu Amaranta menyiksanya selama bertahun-tahun
dengan racun dan pukulan yang membekas di hatinya.
"Mariella tidak memiliki pilihan. Dia lemah." Pangeran Alexander berbisik.
Ratu Mariella mungkin cukup lemah saat itu, tetapi tidak sekarang. Wanita
itu berkembang pesat, tidak lagi terikat dan dipasung di Pulau Mera.
"Tidak. Aku memberitahumu seperti apa dia saat itu. Raja Arthur tidak
menginginkan sekutu yang lemah." Pangeran Alexander mengingat betul
saat kedua tangan Ratu Mariella terikat, pakaiannya compang-camping,
tubuhnya lemah, tetapi tatapan tajam mata violet pucatnya begitu
membekas di ingatan Pangeran Alexander.
"Aku bukan seorang Selencia. Aku tidak bisa berdiri di barisan paling depan
seperti kau atau Alastair." Ia juga bukan Ratu Mariella atau Ratu Amaranta
yang bisa bangkit dengan kedua kaki dan tangan sendiri.
"Apa yang terjadi?" Verity melihat ke seluruh penjuru arah, hanya ada dia
dan Pangeran Alexander. Para pengawal yang tadinya bersama mereka
sudah tak terlihat lagi.
"Al, apa itu?" Verity berbisik lirih melihat lima ekor serigala berukuran
besar yang keluar dari persembunyian.
"Alexander, apa yang harus kita lakukan?" Verity bertanya panik melihat
lima serigala yang sudah mengelilingi mereka.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
XLII
DRAGØR
"My Queen, kita sudah dekat." Seringai di bibirnya tidak bisa lagi
disembunyikan ketika melihat dermaga Raria.
"Apa Anda yakin Ratu Rania telah tiada, Yang Mulia?" Roran menggosok
kedua tangannya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Kuda yang dinaiki Pangeran Alexander dan Verity meringkik gelisah karena
dikepung lima ekor serigala kelaparan.
Verity mengetatkan jubah, suhu dingin membuat pipi dan ujung hidungnya
memerah. Dragør benar-benar dipenuhi sihir. la masih ingat musim panas
di Austmarr sebelum masuk Hutan Pinus. Keadaannya berbeda seratus
delapan puluh derajat dibandingkan istana Austmarr.
Pangeran Alexander memacu kudanya mendekati suara itu. Lari kuda tidak
berhenti sebelum mereka tiba di tepi hutan yang bersinggungan dengan
sebuah danau beku.
Serigala putih tengah bermain-main dengan gadis kecil itu. Suara jeritannya
berubah kikikan geli dan senang. Jubah hitam yang dia kenakan membuat
wajah dan rambutnya tertutupi.
"Al!" Verity diam terpaku ketika menyadari kalau gadis kecil itu adalah
dirinya, mata violet dan rambut hitam yang sama. Perbedaan mereka
hanya dari segi umur dan tinggi. Usia gadis kecil itu mungkin tidak lebih
dari tujuh atau delapan tahun.
Setelah yakin kuda yang dinaiki telah cukup tenang, Verity berusaha turun
dengan hati-hati dan menghampiri Pangeran Alexander yang kini jatuh
berlutut melihat serigala hitam tadi meninggalkan gadis kecil itu di tengah
danau es bersama serigala putih setelah menyelamatkannya.
"Itu kau dan aku... dan Alastair." Pangeran Alexander terlihat begitu
terguncang.
Verity duduk di hadapan Pangeran Alexander, mengalungkan tangannya di
leher pria itu, dan memeluk erat. "Itu hanya sihir. Aku berada di sini, di
sebelahmu." Ia kembali berbisik.
"Gadis kecil itu begitu mirip denganmu," ucap Pangeran Alexander pelan.
Serigala dan gadis kecil yang mereka lihat tadi telah menghilang, tidak ada
seorang pun di danau es selain mereka berdua. "Apa keinginan
terdalammu?"
"Mereka sudah pergi." Pangeran Alexander berbisik lirih.. "Aku tidak tahu
seberapa kuat sihir Mariella bila kita masuk semakin dalam ke Dragør.
Lebih baik kita terus berjalan."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair tahu mereka semua akan bergerak menuju Dragor, ke tempat
semua bermula dan pada nantinya akan berakhir. Kabar yang dibawa
Jenderal Irvin tidak lagi membuatnya kaget atau bahkan mengubah
rencana. Bila sebelumnya Dragor adalah pihak yang paling tidak
diuntungkan dalam perang pertama, bisa saja kali ini mereka harus
mempertimbangkan dan mempersiapkannya. Kekalahan Dragor
sebelumnya terjadi karena mereka tidak siap, tetapi kini ketika dengung
perang telah berkumandang, setiap kerajaan telah siap untuk kalah atau
menang.
"Ratu Amaranta telah menuju Austmarr, Yang Mulia. Kita akan segera
menemuinya."
"Berapa lama aku harus menunggu?" Raja Alastair mengambil sebuah pion
milik Pangeran Alexander, lalu meletakkannya di Dragør bersama pion milik
Verity.
"Mungkin ia akan tiba malam nanti, Yang Mulia," kata Jenderal Irvin.
"Dari mana Anda tahu kalau Ratu Mariella berada di Raria, Yang Mulia?"
Jendral Irvin terlihat penasaran.
Raja Alastair menatap Jenderal Irvin sekilas dan menjawab, "Mariella akan
membalaskan dendamnya lebih dahulu kepada Raria yang telah
mengirimnya ke Pulau Mera, sekaligus memenuhi janjinya kepada para
tahanan Pulau Mera yang kini menjadi pengikutnya."
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Jordan sudah mati," jawab Ratu Amaranta getir. "Orang orang bilang kalau
ia mati secara misterius karena penyakit. Dia mati karena sihir yang tidak
terkontrol."
XLIII
THE BEGINNING OF AN END
"Sudah cukup." Alexander bergumam, tetapi tidak ada seorang pun yang
mendengarkannya.
Kali ini jumlah racun yang harus Verity minum lebih banyak daripada
biasanya. Raja Arthur berdiri di belakang Alexander, mengawasi orang-
orangnya menahan tubuh Verity dan memaksanya menghabiskan sebotol
hemlock.
"Diam dan awasi, Alexander!" Raja Arthur mengeluarkan sebilah belati, lalu
berjalan ke arah gadis kecil itu.
"Tidak. Tidak. Tidak!" Tatapan penuh rasa takut terlihat begitu jelas dari
mata violet Verity.
"Tidaaak!" Verity menjerit ketakutan, takut bila Raja Arthur tiba tiba
memutuskan untuk membakarnya.
Raja Arthur meremas tangan Verity hingga darahnya terkumpul cukup
banyak, lalu meletakkannya di atas api yang membara. "Apakah kau benar-
benar punya kekuatan Selencia?"
Alexander tidak dapat melakukan apa pun ketika tetes pertama darah
Verity jatuh ke api yang membara. Api di obor itu tiba-tiba berkobar terang,
seolah-olah menjilat lezat darah Verity yang menetes, cahayanya tidak lagi
berwarna oranye atau merah terang, tetapi biru dan ungu.
"Berhenti!" teriak Alexander lagi ketika ia tersadar. Ia melihat ayahnya yang
diam terpaku, antara senang atau takut, entah apa yangada di benak pria
itu ketika masih menggenggam erat tangan Verity, sementara gadis kecil itu
tidak lagi menjerit ketakutan seperti sebelumnya.
"Selencia. Aku bisa menguasai Selencia dengan gadis kecil ini." Raja Arthur
terkekeh. Verity Dragør bisa saja menjadi keturunan Dragør dan Selencia
terakhir yang masih memiliki kekuatan sihir Tentu dengan kekuatan itu, ia
bisa menguasai tidak hanya Dragør, tetapi juga Selencia.
"Cepat tahan dia!" Raja Arthur berteriak, memerintahkan siapa pun untuk
menahan Verity. "Tahan dia! Tahan dia!"
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Tidak ada sihir?" Verity mendekat ke api unggun yang baru saja dinyalakan
Pangeran Alexander. Entah sudah berapa lama mereka di sini, kurang dari
sehari mungkin, atau bisa saja lebih. Ia tidak tahu, siang dan malam
berjalan seperti biasa, tetapi cuacanya yang tidak biasa.
"Seperti apa sihirnya bekerja?" Suara kertakan kayu yang terbakar api
mewarnai keheningan malam. Bintang-bintang bertaburan di langit,
cuacanya nyaris seperti biasa bila saja saat ini mereka tidak duduk di tanah
berselimut lapisan es tipis di tengah musim panas.
"Selencia dan Dragør yang paling berbeda untuk saat ini. Keduanya
memperbarui sihir mereka setiap dekade. Sihir Selencia melindungimu
selama kau berada di sana, tetapi perlahan-lahan sihir yang Selencia miliki
mengikis karena Amaranta tidak memiliki kemampuan sihir." Pangeran
Alexander menjelaskan dengan sabar.
"Seperti yang kau lihat dan rasakan. Mariella baru saja memperbarui
perlindungannya, mengutuk tanah Dragør agar tidak menerima siapa pun.
Sihir itu membuatnya lemah, ia nyaris mati." Pangeran Alexander
mengembuskan napas berat.
"Sihirnya sangat kuat, tidak ada yang bisa menduga hal apa yang akan
menyerang kita nanti." Verity mendekatkan tangannya ke api, mencari
kehangatan di tengah-tengah dinginnya Dragør yang mencekam. "Kenapa
kau melukai tanganmu sendiri, Al?"
"Sihir." Pangeran Alexander bergumam lirih.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Wajah Ratu Amaranta mengeras, menyadari kalau kali ini Raja Alastair
tidak akan segan-segan membunuhnya. Pria itu tahu seluruh kesalahan
juga perbuatannya, termasuk mengirim Verity untuk berpura-pura sebagai
Clementine Selencia.
"Sihir Mariella termasuk salah satu sihir yang paling kuat yang pernah
kulihat, Yang Mulia." Ia akhirnya menjawab.
"Apa kau tahu di mana Mariella sekarang?" Raja Alastair menarik napas
dalam-dalam dan mengembuskannya dengan gusar. "Dia berada di Raria,
menunggu saat yang tepat untuk ke Dragør."
Kali ini raut wajah Ratu Amaranta berubah dingin, nama Mariella masih
meninggalkan jejak pahit di lidahnya. Ia menginginkan hal-hal yang
saudarinya miliki: sihir, anak, serta rasa kagum warga kepada setiap
anggota kerajaan yang memiliki sihir.
"Tidak bila pintu gerbangnya terbuka. Siapa pun bisa masuk ke sana."
Sihir bekerja dengan cara paling kompleks dan rumit, bahkan hingga saat
ini tidak ada yang tahu pasti bagaimana caranya bekerja. Namun, masih
ada setitik celah untuk menghancurkan sihir itu. Cara terbaiknya adalah
menunggu, menunggu hingga pewaris sah Dragør dapat membuka pintu
gerbang dan membiarkan mereka masuk dalam waktu yang sempit itu.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Kita bisa berhenti sejenak." Pangeran Alexander turun dari kuda dan
membantu Verity turun.
"Sepertinya masih sangat jauh." Verity tidak bisa melihat ada bangunan
apa di puncak itu. "Apa ada naga di atas sana?"
"Aku tidak tahu." Pangeran Alexander menjawab ragu. "Sudah lama Qyrsi
tidak terlihat, semenjak Mariella menghilang."
Verity terdiam sesaat, teringat bagaimana culas dan liciknya Raja Zacharias
III Colthas. Pria itu memanfaatkan Tybalt juga Dragorian yang tersisa untuk
mendapatkan naganya kembali.
"Kenapa Austmarr yang dipilih menjadi pemimpin lima kerajaan lain kalau
kerajaan lain lebih kuat dari mereka?"
Mereka telah benar-benar terkepung sekarang, tidak ada jalan keluar lagi.
Kuda Pangeran Alexander meringkik panik ketika para ungrad
mengepungnya.
Berbeda dengan belati yang pernah Ratu Amaranta berikan, pecahan sisik
naga dan arsenik pemberian Pangeran Alexander masih berada di
tangannya dan nyaris dibawa setiap waktu. Namun, mereka masih bisa
menemukan jalan keluar selain mencabut nyawa sendiri.
"Akan lebih baik daripada mati perlahan dan penuh siksaan, Verity."
Pangeran Alexander berusaha meyakinkan.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Langit gelap dan hawa dingin menusuk tidak melingkupi Dragør saja,
melainkan seluruh penjuru Inkarnate. Saat kilat dan gemuruh guntur
menggelegar, saat itu juga ia sadar kalau pintu gerbang Dragør telah
terbuka.
"Bagaimana dengan Mariella?" Raja Alastair bertanya. Apa pun yang telah
terjadi di dalam sana, seseorang telah berhasil membuka pintu
gerbangnya, entah Ratu Mariella membukanya begitu saja atau Verity.
"Dia yang paling tahu apa yang terjadi di Dragør," Ratu Amaranta menarik
napas dalam-dalam, "bisa saja dialah yang mempersiapkan ini semua."
"Awal untuk sebuah akhir," Raja Alastair bergumam, "kali ini akan
kupastikan kalau ini akhir dari semua peperangan dan perpecahan dua
dekade lalu."
XLIV
DEEPEST DARKEST DESIRE
Ratu Mariella mendongakkan kepala ketika melihat salju turun dari langit
yang kelabu. Pintu gerbang Dragør benar-benar terbuka, sihir yang ia miliki
untuk melindungi kerajaan itu telah pecahberkeping-keping. Gulungan-
gulungan awan hitam keabuan dari puncak tertinggi Inkarnate nyaris
menyelimuti seluruh kawasan Inkarnate. Kuda yang ia naiki meringkik
gelisah ketika dipaksa berjalan semakin dekat menuju Perbatasan Dragør.
"Yang Mulia, apa masih ada sihir di dalam sana?" Roran terlihat kagum
sekaligus takut melihat gulungan awan hitam di atasnya.
Ratu Mariella terdiam sejenak, ia tahu betul sihir pelindung Dragør rusak
karena ada kekuatan yang lebih besar terperangkap di dalamnya. Verity. Ia
mendengkus ketika menyadari Ratu Amaranta tidak pernah berniat
mengajari anaknya untuk mengontrol kekuatan. Sihir yang dimiliki Verity
tidak hanya bisa menyakiti orang lain, tetapi juga dirinya sendiri.
Sihir yang Verity keluarkan beberapa saat lalu begitu besar, Hidak hanya
membuat jantung berdenyut menyakitkan, tetapi mematahkan sihir milik
Ratu Mariella yang di waktu bersamaan memudahkan kerajaan lain untuk
masuk Dragør. Pangeran Alexander tahu, cepat atau lambat kerajaan-
kerajaan lain akan segera berkumpul dan berusaha menghancurkan satu
sama lain. Bahkan tentara kerajaan Thaurin pun sudah menunggu di luar
pintu gerbang Dragør bila terlihat sebuah pertanda pintu itu terbuka. Ia
melihat Istana Dragør yang berada di puncak tertinggi Inkarnate. Mereka
harus segera ke sana sebelum semua kehancuran dimulai.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Sekarang semuanya akan jauh lebih adil. Tidak ada kerajaan yang memiliki
kekuatan berlebih selain Dragør, selain Mariella dan Verity. Tidak ada Qyrsi
yang bisa membantu Colthas. Tidak ada sihir yang melindungi Selencia.
"Kau haus dengan perang," ucap Ratu Amaranta getir. "Apa menghabisi
Rania tidak cukup untukmu?"
"Aku tidak segan menghabisimu bila kau tidak bisa menutup mulutmu,
Amaranta." Raja Alastair mengangkat tangan, menghentikan langkah
puluhan ribu pasukan yang ikut di belakangnya. "Apa masih ada sihir di
Dragør?"
"Masih ada, Yang Mulia." Ratu Amaranta memperhatikan kabut itu. "Tidak
ada pilihan, kita tetap harus melewati sihir Dragør untuk masuk ke
dalamnya."
Kabut itu gelap dan pekat. Raja Alastair memegang ujung pedangnya,
bersiap menyerang siapa pun yang menghampiri. Dari sisi kirinya, ia bisa
melihat Ratu Amaranta yang juga terlihat waspada.
"Apa kau tahu jalan keluar dari sini?" Raja Alastair menahan gerakan
kudanya dengan gelisah. Ia juga melihat sosok yang mirip Ratu Mariella di
tengah kabut tebal di hadapan mereka, sosoknya berkilauan seperti
sumber cahaya.
Ratu Amaranta menggelengkan kepala. "Bila ini sihir, tidak ada gunanya
menghabisi sosok itu. Dia tidak nyata."
Tanpa aba-aba atau perkataan lagi, Raja Alastair memacu kudanya untuk
menerjang sosok itu dan menebas kepalanya tanpa ampun. Ia berhenti
sejenak melihat sosok yang baru saja diserang, lalu diam terpaku.
"Verity?" Raja Alastair menarik napas panjang melihat kepala yang terpisah
dari tubuhnya. Rambut sosok itu tidak pirang seperti Ratu Mariella,
melainkan hitam seperti istrinya, matanya yang semula berwarna ungu
pucat berubah violet terang. Sosok itu berubah menjadi Verity.
"Ini hanya sihir." Raja Alastair bergumam, berusaha menyadarkan diri dari
keterpanaannya saat melihat sosok itu yang perlahan-lahan menghilang
bersama kabut yang kian menipis.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Zacharias menyadari kalau masuk Dragør tidak akan semudah yang
terlihat meski pintu gerbang kerajaan telah terbuka begitu lebar. Hawa
dingin yang berembus kencang tidak membuatnya gentar atau berhenti
melangkah. Bila perhitungannya tepat, mereka masih harus menghadapi
sihir pelindung Dragør.
"Aku tahu setelah masuk ke dalam sana, perjanjian kita bisa hancur kapan
saja." Tybalt melirik Raja Zacharias yang balas menatapnya dengan tatapan
tajam. "Aku hanya minta agar kau fidak membunuh Putri Verity."
"Apa kau masih ingat perjanjiannya? Qyrsi kembali ke anganmu dan kau
tidak menyentuh Putri Verity." Tybalt menyadari Raja Zacharias akan
melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keinginannya, bahkan
mengotori perjanjian yang telah mereka sepakati dengan memancing
keributan di Austmarr dan mengarahkan tombaknya ke Verity.
"Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan setelah ini," imbuhnya.
Raja Zacharias tersenyum tipis. "Baiklah. Anggap saja ini balasan karena
Verity berhasil memecahkan sihir yang ibunya buat bertahun-tahun lalu."
"Sihirnya bahkan lebih kuat dari saat aku masuk ke sini dulu." Di sebelah
Tybalt, Raja Zacharias tersenyum lebar.
Raja Zacharias terlihat begitu antusias melihat naga yang pernah Colthas
miliki melintas di hadapannya. "Qyrsi." Ia bergumam sembari menarik
pedangnya.
"Apa ini sihir? Bila ini sihir, kau tidak bisa mengendalikan nagamu,
Zachary." Tybalt mengendalikan kudanya dengan susah payah.
"Sihir atau bukan, naga tidak pernah bisa dijinakkan. Kita harus menuju ke
puncak tertinggi Inkarnate!" Raja Zacharias berseru. Bila yang berada di
hadapannya ini adalah sihir, maka tidak ada gunanya membuang waktu di
sini.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Langkah kuda yang Pangeran Alexander naiki berhenti tepat di depan pintu
gerbang Istana Dragør. Setelah cukup jauh melewati jalanan terjal dan
curam, kuda itu nyaris menyerah dan meringkik lemah.
"Verity?" Pangeran Alexander mengusap pipi Verity yang pucat, berusaha
membangunkan. Wanita itu menghabiskan para ungrad. Ia tak tahu masih
ada berapa rintangan lagi yang harus dihadapi sebelum semua kehancuran
berakhir dan ia bisa sebagian besar menepati janjinya, janji yang telah ia
buat belasan tahun lalu untuk melindungi mereka dari tenaganya untuk
melindungi dan tidak membiarkan seorang pun menyakiti Verity.
Pangeran Alexander tahu, masih ada perang lain yang ia harus hadapi
setelah ini, tetapi tubuhnya melemah dan matanya terlalu fokus menatap
kepala-kepala tahanan yang ditancapkan di tombak-tombak gerbang Istana
Dragør. Tidak hanya itu, saat kudanya melangkah masuk ke dalam istana,
ada beberapa tubuh berpakaian pelayan dan bangsawan menggantung di
sebuah pohon yang memiliki sulur-sulur panjang.
Dengan berat hati, Pangeran Alexander turun dari kuda dan membawa
tubuh Verity ke tengah-tengah ruangan yang mungkin dulunya sebuah aula
besar atau ruang pertemuan. Ia meletakkan tubuh Verity dengan hati-hati
di lantai, lalu perlahan meninggalkannya.
XLV
MARIELLA DRAGØR
Kudanya tak berhenti sebelum tiba di tepi bukit, di mana para pengawal
yang sempat terpisah dengannya saat memasuki Dragør telah menunggu.
Pangeran Alexander memperhatikan mereka satu per satu, lalu menarik
napas dalam-dalam.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Tidak ada yang lebih menakjubkan dari melihat ratusan bahkan ribuan
pasukan ungrad, berkumpul bersama mereka, membuat sebuah pasukan
yang tidak hanya berisi orang-orang hidup dan berasal dari pulau terbuang,
melainkan orang mati yang digerakkan dengan sihir Ratu Mariella.
"A-apa ini?" Roran diam terpaku melihat ratusan ungrad yang bergerak dan
berjalan di sisi mereka.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair mengembuskan napas gusar ketika satu demi satu ungrad
yang menyerangnya bergerak lebih cepat dan berhasil mengepung. Meski
demikian, ia masih mampu menjatuhkan mereka satu per satu. Panah juga
bola-bola api yang ditembakkan pasukannya juga membantu mengurangi
jumlah ungrad yang menyerang.
"Apa yang kau lakukan, Amaranta?" Raja Alastair menggeram gusar ketika
melihat Ratu Amaranta yang juga terkepung bersama para pengawalnya.
"Ini semua ulah Mariella!" Ratu Amaranta berteriak lantang. Ungrad dan
dzel hanya bisa dibangkitkan dengan sihir hitam dan pengorbanan darah.
Entah siapa yang menjadi korban Ratu Mariella hingga wanita itu mampu
membuat sihir sekuat ini.
"Apa ini salah satu ilusi lagi?" Ratu Amaranta berbisik lirih. Para pengawal
melindunginya dari berbagai sisi, sementara tangan kanannya
menggenggam pedang yang terlihat tidak sebanding dengan lengan
kurusnya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Tybalt!" Kali ini Tybalt benar-benar tak bisa menggerakkan kakinya saat
mendengar suara ayahnya, Martin Wildemarr, yang tiba-tiba
memanggilnya. "Ayah akan kembali, Ty. Berjanjilah kalau kau akan menjadi
penggantiku selama aku pergi."
"Apa kau akan tetap di sini atau pergi?" Raja Zacharias bertanya tak
sabaran. Ia tak ingin menunggu sebuah ketidakpastian. Pergi atau tidak,
Tybalt tak akan membawa banyak perubahan untuknya. Tybalt hanya salah
satu jalan agar ia mendapatkan keinginannya. Setelah berada sejauh ini di
dalam Dragør, ia merasa tak membutuhkan Tybalt lagi.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Di dalam perang akan selalu ada dua sisi: sisi yang menyerang dan sisi yang
bertahan. Selama belasan tahun, Raja Alastair selalu menjadi sisi yang
bertahan. Bertahan demi mempertahankan mahkota di atas kepala, harga
diri, dan kedudukannya sebagai raja, tidak hanya di Austmarr, tetapi juga
Inkarnate.
"Alastair!" Raja Zacharias yang juga berada di baris terdepan di antara para
pasukannya, terkekeh ketika melihat Raja Alastair juga sekumpulan tulang
belulang sisa para ungrad yang menyerang mereka menyangka akan
menemuimu secepat ini." tadi. "Aku tidak
"Agar kalian menghabisi satu sama lain tentu saja. Sementara ia mencari
sesuatu yang lebih penting." Ratu Amaranta menarik napas gusar. Ia jelas
menyadari kalau Raja Zacharias tidak pernah peduli siapa yang akan
dihadapi sepanjang bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Aku hanya menginginkan Qyrsi. Bila aku juga bisa menghancurkan Alastair
dalam proses itu, kenapa tidak?" Pria itu benar-benar gila.
Raja Zacharias mungkin melupakan hal terpenting yang ada, Qyrsi juga
terkurung di tempat ini, dan naga itu tidak bisa dijinakkan begitu saja
hanya karena ia penerus Colthas yang sah.
"Aku tidak memiliki waktu untuk ini." Raja Alastair bergerak menjauh. Ia
tidak akan menghadapi perang kosong bersama Raja Zacharias walaupun ia
ingin, Tujuannya datang ke Drager adalah untuk menghancurkan Ratu
Mariella dan menemukan Verity.
"Apa kau takut?" Tawa mengejek Raja Zacharias terdengar begitu jelas di
telinga Raja Alastair.
"Kuharap kau tak mati karena ketamakanmu sendiri, Zachary." Raja Alastair
mengembuskan napas gusar. Ia menarik napas dalam-dalam saat
mendengar terompet penanda perang, juga pekikan hewan buas raksasa
yang tiba-tiba melintas di atas mereka.
"Qyrsi," ucap Raja Zacharias takjub saat hewan buas raksasa itu
mengembuskan napas api yang membakar hutan di sekeliling mereka.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari tempat ini." Ratu Mariella
berseru lantang. Ada empat sisi yang saling berlawanan di antara mereka:
Selencia, Dragør, Colthas, dan Austmarr. Sementara sebagian orang-orang
Raria berada di sisinya. "Serang mereka!"
Ratu Mariella tersenyum sinis saat ungrad yang digerakkan oleh sihir
hitamnya bergerak cepat dan mulai menyerang siapa saja. Pasukan Colthas
terlihat kepayahan dan tidak siap ketika ungrad itu tidak juga mati
walaupun kepala dan badannya telah terpisah atau ditusuk dengan
pedang.
Raja Zacharias terlalu terpaku menghadapi Qyrsi yang tidak bisa dengan
mudah dijinakkan. Ayahnya adalah orang terakhir yang dapat
mengendalikan naga itu dan sudah nyaris dua dekade berlalu semenjak
Qyrsi bertemu kembali dengan tuannya.
Di tengah kekacauan yang ada, Raja Alastair menyadari Ratu Mariella pergi
seorang diri meninggalkan pasukannya. "Amaranta!" Ia berseru, lalu
mendekati Ratu Amaranta dan menarik lengannya dari atas kuda.
Ratu Amaranta juga menyadari Ratu Mariella telah pergi dengan memacu
cepat kudanya. "Puncak tertinggi Inkarnate."
"Aku tidak menyangka kau akan berada di sini, Alexander." Ratu Mariella
menyadari Pangeran Alexander semakin dewasa, tidak lagi seperti remaja
tanggung yang pernah ia temui dulu di Pulau Mera. Ia menyadari kalau pria
di hadapannya ini tak bisa diremehkan.
"Aku tahu kau akan tiba ke tempat ini, Mariella," kata Pangeran Alexander
dingin.
"Kau tahu?" Ratu Mariella tertawa nyaring. "Tidak ada seorang pun yang
menyadarinya karena bahkan tanpa kedua mataku pun, aku masih bisa
melihat dengan baik."
"Aku tahu kau tidak membutuhkan kedua matamu untuk dapat melihatku,
Alastair, atau Amaranta. Tapi bagaimana dengan anakmu sendiri? Apa kau
bisa melihatnya?"
Ratu Mariella terdiam sesaat, lalu kembali tersenyum sinis. "Apa kau akan
membiarkanku lewat atau tidak?"
"Tahu apa kau, Alexander? Saat dirimu sendiri membunuh ayahmu dan
mengancam Alastair demi mendapatkan apa yang kau inginkan?" Ratu
Mariella menggerakkan tangan, sihirnya membuat longsoran es bergerak
semakin cepat ke arah Pangeran Alexander.
XLVI
WAYWARD SISTERS
"Apa yang akan kau lakukan di sana?" Raja Alastair menatap selidik mata
violet Ratu Amaranta. "Apa yang membuatmu berada di sini? Sejauh ini,
Amaranta?"
"Apa kau lupa kalau kau juga pernah menganggapnya sebagai pionmu?"
balas Ratu Amaranta.
"Itu adalah kesalahanku. Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama."
Mungkin pada mulanya Verity hanyalah salah satu alat bagi Raja Alastair
untuk mempersatukan Inkarnate. Pernikahan mereka direncanakan
sedemikian rupa untuk menggabungkan kekuatan Selencia dan Austmarr,
juga menghindari perpecahan di antara kedua kerajaan. Siapa yang
menyangka ternyata wanita itu berhasil merebut hatinya dan tidak lagi
dijadikan pion untuk menggerakkan kerajaan lain.
Suara gemuruh petir yang tiba-tiba menggelegar dari puncak tertinggi
Inkarnate membuat keduanya menatap kembali ke Istana Dragør.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Apa kau kira kau bisa menyingkirkanku dengan mudah?" Ratu Mariella
berbalik dan melihat Pangeran Alexander yang nyaris tidak terpengaruh
dengan sihirnya tadi.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Raja Alastair berhasil masuk Istana Dragør, mengabaikan sisa sisa perang
dua dekade lalu di sekitarnya. Matanya bisa menangkap Pangeran
Alexander yang terbaring tak jauh dari sebuah pilar besar, sebuah pertanda
kalau Ratu Mariella telah benar-benar berada di sana.
"Hidup?" Ratu Mariella tertawa kecil melihat kembarannya. "Aku tahu kau
berharap aku mati, Sister."
"Menjauh dari sana, Mariella!" Raja Alastair memperingati sekali lagi ketika
menyadari Ratu Mariella hendak melakukan sesuatu kepada Verity.
Raja Alastair menahan napasnya saat melihat mata Verity yang biasanya
berwarna violet terang, berubah seputih susu, nyaris menyerupai mata
Ratu Mariella.
"Kau mengubah putrimu sendiri menjadi Dzel!" Dzel nyaris dengan Ungrad,
yang membedakan hanyalah sama bila ungrad berasal dari orang-orang
yang telah mati dan nantinya akan kembali mati, Dzel berasal dari orang-
orang yang masih hidup dan hingga saat ini tidak ada yang bisa bertahan
hidup setelah menjadi Dzel.
"Verity, apa kau mengenaliku?" Raja Alastair menatap mata violet pucat
Verity, wanita itu tidak merespons sedikit pun. "Kenapa kau melakukan ini,
Mariella?"
"Bukankah ini yang kau inginkan?" Ratu Mariella bergerak menuju Ratu
Amaranta, lalu menunduk ke hadapannya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Apa itu?" Jenderal Irvin melihat kedatangan pasukan baru yang bahu
membahu membantu mereka melawan Colthas dan ungrad.
Tombak baja melesat kencang ke arah Qyrsi dan berhasil melukainya. Naga
raksasa itu memekik kencang dan menyemburkan apinya yang mengenai
para ungrad dan pasukan Colthas.
Sihir itu berhasil menjebak mereka selama beberapa saat sebelum Tybalt
mendengar suara Qyrsi dan memerintahkan seluruh warga Dragør untuk
mengikutinya. Kini mereka berada di tengah-tengah peperangan antara
lima kerajaan-bila saja sebagian orang-orang terbuang yang berasal dari
Raria tidak dihitung sebagai pasukan Raria.
"Tybalt!" Tybalt mendengar seruan warga Dragør yang tiba tiba berada di
dalam kepungan prajurit Colthas.
"Tidakkah kau lihat apa yang ada di depan sana, Tybalt? Ungrad. Aku harus
membunuh Mariella agar bisa mengendalikan nagaku kembali." Raja
Zacharias menarik pedang dan mengarahkannya ke Tybalt.
"Kau tahu aku tidak bisa melakukan apa pun untuk membantumu." Tybalt
menatap Raja Zacharias, pria yang telah dibutakan oleh ketamakannya
sendiri. Cara apa pun tidak akan membuatnya puas sebelum mendapatkan
apa yang diinginkan.
"Mungkin saja ratumu bisa melakukan sesuatu demi rakyatnya?"
Tybalt melihat ke belakang Raja Zacharias, Jenderal Irvin yang telah siap
dengan busur panahnya. "Aku tidak tahu." Ia menjawab perkataan Raja
Zacharias tepat saat Jenderal Irvin menarik tali busur dan anak panahnya
melesat cepat hingga tertancap di punggung Raja Zacharias.
Tybalt mengambil alih pedang Raja Zacharias, lalu menusuk dada pria itu.
Ia memastikan Raja Zacharias telah benar-benar mati sebelum menarik
pedang yang tertancap di dada pria itu dan menghabisi prajurit Colthas
yang menyerangnya satu per satu.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Verity!"
"Verity!"
"Verity, aku tahu ini bukan kau yang sesungguhnya." Raja Alastair berbisik
lirih. Ia mencengkeram dadanya sendiri, menahan sakit yang teramat
sangat.
"Verity!" Ratu Mariella memanggil ketika menyadari sihirnya tidak lagi bisa
memengaruhi Verity.
"Aku bebas." Verity bergumam ketika ia berbalik dan melihat Ratu Mariella
yang terpaku di tengah ruangan. Terkejut karena untuk pertama kalinya, ia
melihat Dzel yang sanggup melawan tuannya.
"Tidak!" Raja Alastair menusuk dada Ratu Mariella, membuat wanita itu
terhuyung kaget.
Verity terkejut ketika melihat sosok yang selama ini tidak pernah ada dalam
hidupnya, kini berada di hadapannya. "Ibuku d-dia... dia bukan keluargaku.
A-aku tidak memiliki keluarga. A-ku tidak punya siapa-siapa lagi." Ia tidak
bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat
ini.
"Aku akan menjadi keluargamu. Aku adalah keluargamu. Kita punya satu
sama lain sekarang." Raja Alastair memeluk Verity semakin erat dan
membiarkan wanita itu terisak di dadanya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Musuh kini saling bersatu menjadi sekutu bersama-sama melawan ungrad
yang terus hidup kembali, tak peduli berapa kali mereka menebas kepala,
tangan, dan anggota tubuh mereka.
"Sihirnya." Jenderal Irvin terdiam saat melihat satu per satu ungrad yang
menyerang mereka kembali mati berubah menjadi abu. "Sihirnya...
berakhir."
Tybalt membuka mata, ungrad yang mereka lawan telah roboh dan kembali
ke wujud mereka yang sesungguhnya yang seharusnya telah hancur sejak
bertahun-tahun lalu. Musim dingin yang berlangsung terus menerus
selama dua dekade mengawetkan tubuh mereka, tetapi kini, setelah
sihirnya berakhir, para ungrad berubah menjadi debu, menyisakan sisa sisa
jasad para prajurit yang tidak berhasil diselamatkan.
"Berhenti." Tybalt menggeleng. "Biarkan dia. Hanya Colthas sejati yang bisa
mengendalikan naga." Berusaha melawan makhluk purba itu hanya akan
membawa kehancuran kepada mereka. Qyrsi telah terperangkap selama
nyaris dua dekade di dalam sihir yang menyelubungi Dragør. Tidak akan
mudah membawa makhluk itu keluar dari Dragør. Sama seperti dirinya,
mereka mungkin bisa membawa raganya keluar dari Dragor, tetapi mereka
tidak bisa membawa Dragør keluar dari dalam dirinya.
Pada akhirnya perang berakhir, ungrad yang musnah pun juga menjadi
pertanda bahwa Mariella Dragør telah tiada. Bila ini adalah akhir demi
sebuah kedamaian, Tybalt tak bisa membantahnya. Verity Dragør adalah
penerus sah takhta kerajaan Dragor.
EPILOGUE
Tiga bulan berlalu semenjak perang kedua pecah dan lima kerajaan lagi-lagi
berperang demi membalaskan dendam mereka. Kematian Ratu Mariella
tidak hanya menghentikan langkah para ungrad, tetapi membuka segel
sihir yang mengunci Kerajaan Dragør selama belasan tahun.
Pada hari ini bukan hanya Verity yang disahkan menjadi ratu di Dragør dan
Selencia, Hadrian Colthas menggantikan kakaknya yang gugur di medan
perang, dan Orion Raria juga akan menggantikan ibunya. Namun, karena
usia Orion yang masih sangat muda, Raja Alastair akan menggantikannya
untuk sementara.
"Apa itu?" Verity mengerutkan kening, kembali teringat saat Raja Alastair
membawa kotak berisi mahkota ibunya ke hadapannya.
Pangeran Alexander mengambil kotak lain yang lebih besar dan kembali
memberikannya kepada Verity. "Ini milik ayahmu, Ferdinand Dragør."
Sebuah mahkota berukuran cukup besar dengan batu permata hitam yang
langka berada di dalamnya.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
Verity melangkah ke hadapan Raja Alastair. Mata violetnya menatap lurus
ke depan, tidak lagi menunduk seperti dulu. Hadrian Colthas telah berdiri
di depan sana, mahkota Raja Colthas berada di kepalanya. Pria itu telah
benar-benar menggantikan Raja Zacharias III Colthas. Di sebelahnya berdiri
Tybalt Wildemarr yang menatap lurus ke arah Verity. Pria itu menjadi
Jenderal Wildemarr dan menetap di Dragør sembari membangun kembali
kerajaannya yang hancur.
"Berlutut!"
Suara tepukan tangan terdengar dari segala penjuru arah ketika dua
pelayan wanita membantunya kembali berdiri. Ia adalah seorang ratu
sekarang, tidak hanya ratu di Dragør, tetapi juga di Selencia dan Austmarr.
亗 TheKɪɴɢBride 亗
"Apa kau yakin ini yang kau inginkan?" Raja Alastair berbisik di telinga
Verity yang hanya diangguki sekilas sebagai jawaban pertanyaannya. "Kau
bisa bebas, Verity."
"Setidaknya kita punya satu sama lain sekarang." Raja Alastair meraih
tangan Verity dan mengecupnya sekilas sebelum diletakkan di dadanya.
Verity bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tenang.
"Dan kita punya waktu sekarang." Verity tertawa kecil ketika melihat
kerutan di wajah Raja Alastair. Ia lalu berjinjit dan mengecup pipi Raja
Alastair. "Terima kasih karena telah membebaskanku.
"Where there is love, nothing is too much trouble and there is always
time."
-THE END-