Anda di halaman 1dari 101

SKRIPSI

KEWENANGAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA


DALAM PENYELESAIAN LAPORAN ASESMEN
TES WAWASAN KEBANGSAAN KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI

Disusun dan diajukan oleh

DEWI KARTIKASARI TULAK


B021181009

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
HALAMAN JUDUL

KEWENANGAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DALAM


PENYELESAIAN LAPORAN ASESMEN TES WAWASAN
KEBANGSAAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

OLEH:

DEWI KARTIKASARI TULAK


B021181009

SKRIPSI

Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana pada


Program Studi Hukum Administrasi Negara

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa Skripsi mahasiswa:

Nama : Dewi Kartikasari Tulak

Nomor Pokok : B021181009

Program Studi : Hukum Administrasi Negara

Judul : Kewenangan Ombudsman Republik Indonesia

dalam Penyelesaian Lporan Asesmen Tes

Wawasan Kebangsaan Komisi Pemberantasan

Korupsi

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi.

Makassar, April 2022

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Dr. Zulkifli Aspan, S.H., M.H. Ahsan Yunus, S.H.,M.H.


NIP. 196807112003121004 NIP. 198905162019043001

ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Dewi Kartikasari Tulak
Nomor Induk Mahasiswa : B021181009
Program Studi : Hukum Administrasi Negara
Jenjang : S-1
Menyatakan dengan ini bahwa Skripsi dengan judul “Kewenangan
Ombudsman Republik Indonesia dalam Penyelesaian Laporan Asesmen
Tes Wawasan Kebangsaan Komisi Pemberantasan Korupsi” adalah karya
saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang
lain.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa
sebagian atau keseluruhan isi skripsi ini merupakan hasil karya orang lain
atau dikutip tanpa menyebut sumber, maka saya bersedia menerima
sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 27 Februari 2022


Yang bersangkutan

Dewi Kartikasari Tulak

iii
ABSTRAK

DEWI KARTIKASARI TULAK (B021181009) dengan Judul


“Kewenangan Ombudsman Republik Indonesia dalam Penyelesaian
Laporan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan Komisi
Pemberantasan Korupsi”, di bawah bimbingan (Zulkifli Aspan)sebagai
pembimbing utama, dan (Ahsan Yunus) sebagai pembimbing
pendamping.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan kewenangan
Ombudsman RI dalam penanganan laporan Asesmen Tes Wawasan
Kebangsaan KPK dan implikasi hukum rekomendasi Ombudsman RI atas
perkara Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan KPK.

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan


pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan
hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, serta bahan hukum
sekunder yang disusun secara sistematis dan preskripsi untuk
memberikan gambaran dan solusi atas isu hukum yang diteliti. Teknik
pengumpulan bahan hukum menggunakan metode kepustakaan dan
didukung dengan teknik wawancara yang dilakukan terhadap
Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, 1.). Kewenangan Ombudsman RI


sebagai lembaga yang mengawasi dan menyelesaian sengketa
maladministrasi pelayanan publik cukup terbatas dalam menyelesaian
laporan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan KPK. Hal ini disebabkan
karena Asesmen Tes Wawasan kebangsaan KPK merupakan sengketa
kepegawaian yang tidak hanya melibatkan tentang pelayanan publik,
melainkan juga tentang keabsahan dasar hukumnya, pelaksanaannya,
hak pegawai KPK, hingga keabsahan surat keputusan hasil asesmen.
Penyelesaian dan rekomendasi yang ditetapkan oleh Ombudsman RI
telah melampaui batas kewenangannya sebagaimana dalam Pasal 36 UU
No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Ketentuan tersebut
menegaskan bahwa Ombudsman dapat melakukan penolakan terhadap
beberapa laporan diantaranya, a) bukan kewenangan Ombudsman, dan
b) laporan sedang atau telah menjadi objek sengketa di pengadilan. 2)
Implikasi hukum yang ditimbulkan atas penyelesaian laporan Asesmen
Tes Wawasan Kebangsaan KPK oleh Ombudsman RI antara lain, a)
menimbulkan kerugian secara hukum, moral, dan politik terhadap KPK
sebagai terlapor, dan b) mempengaruhi proses penyelesaian asesmen
TWK dimasa yang akan datang maupun sengketa pelayanan publik
lainnya.

Kata Kunci: Akibat Hukum; Tes Wawasan Kebangsaan; Komisi


Pemberantasan Korupsi; Ombudsman; Kewenangan.

iv
ABSTRACT

DEWI KARTIKASARI TULAK (B021181009) entitled "The Authority of


the Ombudsman of the Republic of Indonesia in Completing the
Assessment Report on the National Insight Test of the Corruption
Eradication Commission", under the guidance of (Zulkifli Aspan) as the
primary supervisor, and (Ahsan Yunus) as a co-supervisor.

This study aims to analyze and explain the authority of the Indonesian
Ombudsman in handling the KPK National Insight Test Assessment report
and the legal implications of the RI Ombudsman's recommendation on the
KPK National Insight Test Assessment case.

The type of research used is normative legal research with a statutory and
conceptual approach. The legal materials used are primary legal materials
and secondary legal materials, which are arranged systematically and with
prescriptions to provide an overview and solution to the legal issues under
study.

The results of the study, namely 1). The Indonesian Ombudsman's


authority as an institution that oversees and resolves public service
maladministration disputes is limited in completing the KPK's National
Insight Test Assessment report. That is because the National Insight Test
Assessment of the KPK is a personnel dispute involving public services
and the validity of its legal basis, its implementation, the rights of KPK
employees, to the validity of the decision letter resulting from the
assessment. The resolutions and recommendations set by the
Ombudsman of the Republic of Indonesia have exceeded the limits of their
authority as stated in Article 36 of Law no. 37 of 2008 concerning the
Ombudsman of the Republic of Indonesia. This provision confirms that the
Ombudsman can reject several reports, including a) it is not within the
authority of the Ombudsman, and b) the report is or has become the
object of a dispute in court. 2) The legal implications arising from the
completion of the KPK National Insight Test Assessment report by the
Indonesian Ombudsman include, among others, a) causing legal, moral,
and political harm to the KPK as the reported party, and b) influencing the
process of resolving future TWK assessments and disputes other public
services.

Keywords: National Insight Test Assessment, Corruption Eradication


Commission, Ombudsman

v
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil‘alamin, puji dan syukur penulis panjatkan

kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: “Kewenangan

Ombudsman Republik Indonesia dalam Penyelesaian Laporan

Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan Komisi Pemberantasan

Korupsi” yang merupakan tugas akhir sebagai syarat mendapatkan gelar

Sarjana Hukum, Program Studi Hukum Administrasi Negara di Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin.

Penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda Nurdin Tulak, Ibunda Eny Eka

Ernawati, Adik Ari Anggara Tulak, dan Adik Tri Hapsari Tulak atas doa

serta dukungan yang tulus, dan menjadi semangat terbesar penulis untuk

bisa tiba dititik ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-

dalamnya kepada:

1. Ibu Prof. Dwia Aries Tina Palubuhu, MA.selaku Rektor Universitas

Hasanuddin.

2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H.

selaku Wakil Dekan I, Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. selaku

Wakil Dekan II dan Dr. Muh.Hasrul, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan III.

vi
3. Bapak Dr. Muhammad Ilham Arisaputra, S.H.,M.H selaku Ketua

Program Studi Hukum Administrasi Negara.

4. Bapak Dr. Zulkifli Aspan, S.H., M.H. selaku Pembiming Utama dan

Bapak Ahsan Yunus, S.H., M.H. selaku Pembimbing Pendamping atas

waktu yang telah diluangkan untuk membimbing penulis dalam proses

penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Romi Librayanto, S.H., M.H. dan Bapak Fajlurrahman, S.H.,

M.H selaku Penilai, yang telah memberikan saran dan masukan

kepada penulis untuk melakukan perbaikan.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang

selama kurang lebih empat tahun memberikan banyak ilmu

pengetahuan, nasehat, dan hal-hal positif lainnya yang tentu sangat

bermanfaat bagi penulis untuk menjadi lebih baik terutama dalam

bidang akademik.

7. Seluruh staf akademik, kemahasiswaan, perpustakaan, dan pegawai

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin atas segala bantuan dan

pelayanan yang dibutuhkan penulis.

8. Kepada LeDHaK FH-UH, terima kasih karena sudah menjadi

organisasi yang memberikan penulis banyak pengetahuan,

pengalaman, terutama dalam hal public speaking. Terima kasih juga

kepada FORMAHAN FH-UH yang selalu memberikan kepercayaan

bagi penulis dalam melaksanakan suatu tugas, termasuk MC yang

membuat penulis lebih percaya diri saat berbicara di depan umum.

vii
Kepada LP2KI, terima kasih karena sudah memberikan ilmu dan

pengetahuan tentang metode penulisan karya ilmiah.

9. Kepada Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan terutama Bapak

Arwifan Arshad yang telah memberikan jalan dan arahan bagi penulis

untuk dapat melakukan penelitian di instansi tersebut. Terima kasih

juga kepada Bapak Muslimin B. Putra selaku Kepala Bidang

Pencegahan Ombudsman RI Provinsi Sulsel yang telah bersedia

memberikan data pendukung untuk menguatkan hasil penelitian

penulis.

10. Kepada tim Rain(du), Nelvi Oryenti Sarumaha, Fatmawati, Nining

Herdianty, dan Annur Amin yang telah menemani suka duka penulis

selama kurang lebih empat tahun di kota Makassar.

11. Dirwansyah yang telah menjadisupport system yang sabar,

menyenangkan, menenangkan, memberikan saran dan nasehat, serta

mengingatkan akan hal-hal tertentu kepada penulis.

12. Tim BERDIKARI (Berpikir Idealis Kritis Nan Komprehensif), tim debat

yang mengajarkan penulis tentang cara mengkaji suatu isu, kritis

terhadap setiap permasalahan, membangun solusi dan saran untuk

memperbaiki permasalahan yang dihadapi, serta menjadi teman yang

mengibur dan saling menguatkan terutama saat menerima hasil lomba

yang tidak sesuai harapan.

13. Keluarga besar Pemerintahan Kota Makassar terutama bagian

Organisasi dan Tata Laksana (Ortala), ibu indar, ibu nurbaety, ibu

eliavita, kak laras, kak wika, kak dian, kak wawa, kak vika, dan pak

viii
caha’ yang sudah menerima penulis dalam melaksanakan kegiatan

magang, mengganggap penulis sebagai bagian dari keluarga ortala,

dan memberikan pengalaman baru bagi penulis untuk menjadi bekal

dalam memasuki dunia kerja.

14. Terakhir kepada seluruh teman-teman dan pihak-pihak yang

membantu penulis dalam menjalankan pendidikan hingga

menyelesaikan tugas akhir (Skripsi) di Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

kata sempurna. Oleh karena itu, penulis memohon maaf atas segala

kekurangan dalam skripsi ini. Besar harapan penulis agar kekurangan

tersebut dapat memperoleh perbaikan dimasa yang akan datang sehingga

dapat menjadi hasil penelitian yang lebih baik. Penulis juga berharap, agar

skripsi ini tidak hanya memberikan manfaat bagi penulis, tetapi juga dapat

bermanfaat bagi siapapun yang membutuhkan. Semoga Allah SWT selalu

mencurahkan nikmat, berkah, sertahidayah-Nya kepada kita semua.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Makassar, 27 Maret 2022

Dewi Kartikasari Tulak

ix
DAFTAR ISI

Contents
HALAMAN JUDUL............................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................................ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI................................................iii
ABSTRAK........................................................................................................iv
ABSTRACT.......................................................................................................v
KATA PENGANTAR........................................................................................vi
DAFTAR ISI......................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................6
C. Tujuan Penelitian.....................................................................................6
D. Kegunaan Penelitian...............................................................................7
E. Keaslian Penelitian..................................................................................7
F. Metode Penelitian..................................................................................10
BAB II......................TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS KEWENANGAN
OMBUDSMAN RI DALAM PENANGANAN LAPORAN ASESMEN TES
WAWASAN KEBANGSAAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI........................................................................................................19
A. Tinjauan Pustaka...................................................................................19
1. Kewenangan..................................................................................19
2. Ombudsman RI..............................................................................27
3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi (KPK)....38
4. Pegawai Aparatur Sipil Negara......................................................40
B. Analisis..................................................................................................42
1. Pengalihan Status Pegawai KPK sebagai Bagian dari Administrasi
Kepegawaian........................................................................................42

x
2. Kesesuaian Asesmen TWK KPK terhadap Konsep Kepegawaian44
3. Kesesuaian Legal Standing Pegawai KPK dalam Proses Asesmen
TWK KPK terhadap Konsep Pelayanan Publik....................................46
4. Kesesuaian Rekomendasi Ombudsman RI tentang Asesmen TWK
KPK terhadap Kewenangan Ombudsman RI.......................................50
BAB III...............TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS IMPLIKASI HUKUM
REKOMENDASI OMBUDSMAN RI ATAS LAPORAN ASESMEN TES
WAWASAN KEBANGSAAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI........................................................................................................64
A. Tinjauan Pustaka...................................................................................64

1. Implikasi Hukum.............................................................................64
2. Administrasi Kepegawaian.............................................................66
3. Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan KPK...................................67
B. Analisis..................................................................................................73

1. Sifat Rekomendasi Ombudsman...................................................73


2. Daluwarsa Penyelesaian Laporan dan Pelaksanaan Rekomendasi
Ombudsman RI....................................................................................77
BAB IVPENUTUP...........................................................................................81
A. Kesimpulan............................................................................................81

B. Saran.....................................................................................................83

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................84

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum administrasi negara merupakan bagian dari hukum

publik yang mengatur tindakan dan hubungan antara pemerintah

dengan warga negara atau antara organ pemerintahan itu sendiri. 1

Artinya, hukum administrasi negara juga mengatur bagaimana tugas

dan kewenanganpejabat pemerintahan yang menjadi dasar dalam

memberikan pelayanan publik bagi warga negara. Dalam kaitannya

dengan asas legalitas, maka proses administrasi termasuk pelayanan

publik yang dilaksanakan oleh para penyelenggara harus dijalankan

berdasarkan kewenangan yang dimiliki sesuai peraturan perundang-

undangan.2

Pelaksanaan pelayanan publik oleh setiap administrator yang

diduga melakukan maladministrasi berhak untuk membuktikan dirinya

tidak bersalah dan tidak serta merta dijatuhkan sanksi oleh suatu

lembaga (Presumption of Legality).3 Menurut Roberto Beca Marino, “Es

necesario considerar que esta presunción de inocencia, tiene pleno

reconocimiento en el ámbitoadministrativo, al cual ha sido trasladada

como presunción de licitud.”4 Artinya, asas praduga tak bersalah diakui

1
Azmiati Zuliah dan Asri Pulungan, “Pelayanan Publik Dalam Kajian Hukum Administrasi
Negara dan Hak Asasi Manusia,”Jurnal Ilmiah Penelitian Law Jurnal, Vol. 1. Nomor 2,Juli
2020, hlm. 32.
2
Sahya Anggara, 2018, Hukum Administrasi Negara, Bandung, Pustaka Setia, hlm. 58.
3
Roberto Beca Marino, “Alcances de la presunción de licitud en el procedimiento
administrativo sancionador (Scope of the presumption of legality in the administrative
sanctioning procedure)”, Revista Derecho & Sociedad, N° 54 (I), Junio 2020, hlm. 268.
4
Ibid.

1
sepenuhnya dalam administrasi yang dikenal sebagai praduga

legalitas.

Dalam menyelesaikan perkara maladministrasi pelayanan

publik, setiap negaraseperti Swedia, Inggris, Prancis, Belanda, dan

Indonesia telah membentuk suatu lembaga yang kewenangannya

berfokus pada administrasi.5 Secara hukum, pemerintah Indonesia

telah membentuk lembaga independen yang fokus kewenangannya

adalah mengawasi, menjalankan, dan menyelesaikan perkara

maladministrasi dalam bidang pelayanan publik (Ombudsman

RI).6Secara yuridis, Ombudsman memiliki beberapa tugas, fungsi, dan

wewenangyaitu, mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik,

menerima laporan, melakukan pemeriksaan, menindaklanjuti laporan,

melakukan investigasi, dan memberikan rekomendasi terhadap

dugaan maladminsitrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 7

Pada tataran praktik nya,Ombudsman sebagai pengawal dalam

mewujudkan pelayanan publik yang bebas dari maladministrasi justru

melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewenangannya.

Penyalahgunaan kewenangan tersebut berupa penyelesaian laporan

asesmen Tes Wawasan Kebangsaan Komisi Pemberantasan Korupsi

(TWK KPK).

5
Galang Asmara, “Karakteristik Lembaga Ombudsman di Indonesia Dibandingkan
dengan Lembaga Ombudsman Swedia, Inggris, Prancis, dan Belanda”, Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 3. No. 1, 2016, hlm. 43.
6
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia.
7
Pasal 6 Jo. Pasal 7 Jo. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia.

2
Laporan asesmen TWK KPK ke Ombudsman RI dilatar

belakangi oleh terbitnya Surat Keputusan (SK) Ketua KPK No. 652

Tahun 2021 yang menetapkan 75 pegawai Tidak Memenuhi Syarat

(TMS) dalam rangka pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN dan

menyerahkan tugas serta tanggung jawab kepada atasan langsung.

Atas terbitnya SK No. 652 Tahun 2021, Tim Advokasi Selamatkan

KPK mengajukan laporan kepada Ombudsman RI perihal dugaan

penyimpangan prosedur Asesmen TWK dalam alih status pegawai

KPK menjadi pegawai ASN.

Menindaklanjuti laporan tersebut, Ombudsman RI melakukan

pemeriksaan dan menemukan adanya tindakan maladministrasi

berupa proses pembentukan kebijakan (Peraturan KPK No. 1 Tahun

2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan

Korupsi Menjadi Aparatur Sipil Negara), pelaksanaan Asesmen TWK,

hingga penetapan hasil Asesmen TWK. Penemuan tersebut kemudian

ditetapkan oleh Ombudsman dalam laporan akhir hasil pemeriksaan

Ombudsman Nomor Register 0503/LM/V/2021/JKT dan siaran pers

No. 030/HM.01/VII/2021.8

Pada proses penyelesaian laporan asesmen TWK KPK, ada

beberapa tindakan dan hasil penetapan rekomendasi yang justru

menyimpang dari kewenangan yang dimiliki oleh Ombudsman.

Pertama, penetapan maladministrasi terhadap pembentukan

Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan


8
Ombudsman RI, Konferensi Pers: Ombudsman RI Sampaikan Laporan Akhir Hasil
Pemeriksaan Aduan Pegawai KPK, Youtube: https://youtu.be/wWy-W_EWXzQ, Juli
2021, Diakses tanggal 9 September 2021, Pukul 21.08 WITA.

3
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Menjadi Aparatur Sipil

Negara. Artinya, Ombudsman RI telahmenetapkan bahwa

pembentukan Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021 cacat secara formil,

namun dalam UU tentang Ombudsman RI tidak menyatakan adanya

kewenangan Ombudsman untuk menentukan keabsahan suatu

peraturan perundang-undangan baik secara formil maupun materil.

Tindakan Ombudsman tersebut secara konsekuen telah menabrak

kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung

(MA)yaitu menguji peraturan perundang undangan yang lebih rendah

terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi 9 (Judicial

Review). Judicial Reviewtidak hanya merujuk pada konsepsi uji

materil, melainkan juga uji formil.10

Kedua, penetapan SK No. 652 Tahun 2021 tentang Hasil

Asesmen TWK Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat dianggap

“merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan

alasan apapun”sebagaimana dalam Putusan MK Nomor 70/PUU-

XVII/2019. Sedangkan Putusan MK Nomor 34/PUU-XIX/2021 paragraf

3.12mempertegas kembali bahwa hak pengangkatan pegawai KPK

menjadi pegawai ASN adalah hak untuk memperoleh kesempatan

yang sama menjadi ASN berdasarkan persyaratan yang ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan.Artinya, Ombudsman

menjadikan hasil asesmen sebagai dasar dalam menetapkan adanya


9
Pasal 24A Ayat (1) dan Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
10
Adnan Buyung Nasution, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:
Studi Sosio Legal Atas Konstituante 1956-1959, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, hlm 236,
(Lihat juga: Idul Rishan, “Konsep Pengujian Formil Undang-Undang di Mahkamah
Konstitusi,”Jurnal Konstitusi, Vol. 18. Nomor 1, Maret 2021, hlm. 5.

4
kerugian hak pegawai KPK untuk dialihkan menjadi ASN. Sementara

dalam Putusan MK menegaskan bahwa hak yang dimaksud adalah

hak untuk memperoleh kesempatan yangsama dalam melaksanakan

proses alih status pegawai KPK sesuai dengan syarat yang

ditentukan. Disamping itu, terkait SK No. 652 Tahun 2021 tentang

Hasil Asesmen TWK Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat

merupakan salah satu Surat Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)

yang seharusnya menjadi objek sengketa di PTUN.11

Ketiga,Ombudsman menetapkan Menteri PAN-RB, Menteri

Hukum dan HAM, Kepala BKN, 5 (lima) Pimpinan KPK, Ketua KASN

dan Kepala LAN melakukan pengabaian terhadap pernyataan

Presiden tanggal 17 Mei 2021.Presiden menyatakanbahwa “hasil

TWK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan

terhadap individu maupun institusi KPK; tidak serta merta dijadikan

dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak

lolos tes.”Pernyataan Presiden yang dijadikan sebagai dasar oleh

Ombudsman dalam menentukan tindakan Pengabaian Menteri Hukum

dan HAM, Kepala BKN, 5 (lima) Pimpinan KPK, Ketua KASN dan

Kepala LAN tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Secara

legitimasi, Pernyataan Presiden bukan bagian dari Peraturan

Presiden, Keputusan Presiden, Surat Edaran Presiden, maupun

Instruksi Presiden.

11
Ali Irfan Effendi Rangkuti, 2021, Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Polemik Tes Wawasan Kebangsaan Komisi Pemberantasan Korupsi, Skripsi, Universitas
Pendidikan Ganesha, hlm. 20.

5
Berdasarkan uraian diatas, penyelesaian Laporan Asesmen

TWK KPK oleh Ombudsman RI telah menyimpang dari kewenangan

yang diberikan sebagaimana dalam peraturan perundang-undangan.

Tindakan tersebut dapat mempengaruhi proses penyelesaian laporan

maladministrasi dalam bidang pelayanan publik termasuk

penyelenggaraan asesmen dimasa yang akan datang, timbulnya

rekomendasi Ombudsman yang bertentangan dengan Putusan

Pengadilan, dan dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam

laporan maladministrasi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang kewenangan Ombudsman RI, dan

implikasi hukum yang dapat ditimbulkan dalam penyelesaian Laporan

Asesmen TWK KPK.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kewenangan Ombudsman RI dalam penanganan

laporan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

2. Bagaimana implikasi hukumadanya rekomendasi Ombudsman

RI atas laporanAsesmenTes Wawasan Kebangsaan Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kewenangan Ombudsman RI dalam

penanganan laporan Asesmen TWK.

2. Untuk mengetahui implikasi hukum rekomendasi Ombudsman

RI atas perkara Asesmen TWK KPK.

6
D. Kegunaan Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumbangsi bagi para

akademisi terutama dibidang hukum adminsitrasi negara dalam

hal memahami keselarasan antara kewenangan Ombudsman

RI sebagaimana dalam peraturan perundang-undangan dengan

asesmen TWK KPK.

2. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan masukan

dalam bidang hukum administrasi negara terkait pelaksanaan

kewenangan Ombudsman RI atas laporan Asesmen TWK KPK.

E. Keaslian Penelitian

Peneliti telah melakukan penulusuran terhadap tulisan ilmiah

yang subjek maupun objeknya hampir sama, namun belum ada hasil

penelitian yang membahas mengenai penyelesaian laporan Asesmen

TWK KPK oleh lembaga Ombusman RI. Atas dasar itu, peneliti dapat

mempertanggung jawabkan orisinalitas penelitian ini dengan tetap

menelusuri dan menjelaskan perbedaannya dengan tulisan ilmiah

lainnya. Adapun review terhadap kajian terdahulu yang telah dilakukan,

antara lain:

1. Triyono: 2019, “Pengawasan Dan Implikasi Hukum Rekomendasi

Ombudsman Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik Studi

Kasus Jalan Jatibaru Tanah Abang Jakarta,” Skripsi, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Skripsi tersebut membahas tentang kewenangan

Ombudsman dalam mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik

7
yang dikaitkan dengan kasus kebijakan penataan pedagang kaki

lima di jalan Jatibaru Tanah Abang oleh Gubernur DKI Jakarta.

Disamping variabel tersebut, skripsi Triyano juga membahas

mengenai implikasi hukum atas rekomendasi Ombudsman RI

terhadap kasus kebijakan penataan pedagang kaki lima di jalan

Jatibaru Tanah Abang. Tulisan tersebut memiliki beberapa

perbedaan yang signifikan dengan penelitian ini. Pertama,

penelitian Triyono mengangkat hak dan tugas Ombudsman RI

dalam hal ini pengawasan dan rekomendasi atas kasus kebijakan

penataan pedagang kaki lima di Jalan Jatibaru Tanah Abang.

Berbeda dengan peneliti yang mengangkat mengenai fungsi, tugas,

dan wewenang Ombudsman RI atas laporan Asesmen TWK KPK

dalam rangka pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN.

Kedua, Subjek yang diangkat oleh Triyono dalam skripsinya adalah

Ombudsman RI, Gubernur DKI Jakarta, dan pedagang kaki lima

Jalan Jatibaru Tanah Abang, sedangkan yang diangkat dalam

penelitian ini adalah Ombudsman RI, KPK, dan Pegawai KPK.

Ketiga, Triyono membahas implikasi hukum rekomendasi

Ombudsman atas kasus kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima

di Jalan Jatibaru Tanah Abang, sedangkan peneliti membahas

implikasi hukum adanya rekomendasi Ombudsman RI atas perkara

Asesmen TWK KPK. Oleh karena itu, skripsiTriyono dan penilitian

inimemiliki perbedaan yang signifikan namuntetap memiliki korelasi

8
dalam lingkup tugas, hak, kewajiban, kewenangan, dan implikasi

hukum terhadap rekomendasi Ombudsman.

2. Muhammad Junaidi Fitriawan Trisnanda, “Akibat Hukum

Keberlakuan Peraturan pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 Tentang

Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja

Terhadap Pengangkatan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi

Yang Belum Berstatus Pegawai Aparatur Sipil Negara,” Jurnal

Jurist-Diction Vol. 4, Nomor 1, 2021. Jurnal tersebut membahas

mengenai status hukum penyelidik dan penyidik KPK, serta

pegawai KPK yang belum menjadi pegawai ASN berdasarkan UU

Kepegawian. Titik fokus lainnya dalam jurnal tersebut yaitu

bagaimana hak yang diperoleh oleh penyelidik dan penyidik KPK,

serta hak pegawai KPK sebelum dan sesudah diangkat menjadi

pegawai ASN. Penelitian Muhammad Junaidi juga mengangkat

terkait pihak yang berwenang, bagaimana prosedur dan

pelaksanaan terhadap tata cara konversi pengangkatan hingga

menjadi pegawai ASN. Atas dasar itu, ditemukan beberapa

perbedaan saat dibandingkan dengan penelitian ini. Adapun

peneliti sendiri terfokus pada kewenangan Ombudsma RI dalam

menangani laporan pegawai KPK perihal Asesmen TWK, serta

bagaimana implikasi hukum rekomendasi tersebut. Oleh karena itu,

substansi peneliti memiliki perbedaan dengan jurnal Muhammad

Junaidi, namuntetap memiliki korelasi dalam lingkup pengalihan

pegawai ASN menjadi pegawai KPK.

9
3. Ali Irfan Effendi Rangkuti, 2021, “Kewenangan Pengadilan Tata

Usaha Negara Dalam Polemik Tes Wawasan kebangsaan Komisi

Pemberantasan KorupsiI”, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas

Pendidikan Ganesha. Skripsi tersebut membahas tentangSK No.

652 Tahun 2021 yang seharusnya menjadi objek sengketa PTUN.

Ali Irfan Effendi membedah kewenangan PTUN atas SK No. 652

Tahun 2021 dari segi subjek hukum, objek hukum, kewenangan

PTUN terhadap polemik TWK KPK, dan alasan pengajuan gugatan

ke PTUN. Berbeda hal nya dengan peneliti yang akan membahas

laporan asesmen TWK KPK dari segi kewenangan dan

rekomendasi Ombudsman RI. Dapat disimpulkan bahwa skripsi

tersebut berbeda dengan penilitan ini, namun tetap memiliki

keterkaitan dalam hal analisis tentang pihak yang berwenang

dalam pengujian SK No. 652 Tahun 2021.

F. Metode Penelitian

1. Tipe dan Sifat Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum

normatif yang titik fokusnya berada pada kajian tertulis seperti

peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori

hukum, asas-asas hukum, prinsip-prinsip hukum dan dapat

berupa hasil karya ilmiah para sarjana (doktrin). 12 Berdasarkan

fokus kajiannya, tipe penelitian ini sering juga disebut sebagai

penelitian hukum doktrinal, teoritis, maupun kepustakaan untuk

12
Irwansyah, Editor, Ahsan Yunus, 2020, Penelitian Hukum, Pilihan Metode & Praktik
Penulisan ArtikelCat. 3, Ed. Revisi, Yogyakarta, Mirra Buana Media, hlm. 98.

10
mencari suatu kebenaran berdasarkan logika keilmuan maupun

data-data dari segi normatifnya.13

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian adalah sarana untuk menyusun

rencana konsep dan prosedur yang memuat langkah-langkah

pengumpulan data, analisis serta interpretasi guna memperoleh

informasi yang tepat, logis, dan akurat dari berbagai aspek atas

isu yang sedang dicari atau dipecahkan permasalahannya. 14

Berdasarkan tipe penelitian, pendekatan yang digunakan

oleh penelitiyaitu:

a.) Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

merupakan penelitian yang dilakukan dengan menelaah

produk hukum termasuk peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti. Isu hukum

yang dimaksud dapat berupa kelemahan norma hukum dan

keselarasanterhadap implementasinya.

b.) Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan

pendekatan yang menggunakan konsep hukum, pengertian

hukum, maupun asas hukum yang memiliki korelasi dengan

permasalahan hukum yang diteliti.Pendekatan ini berupa

hasil pandangan atau doktrin yang berkembang dalam ilmu

13
Muhaimin, 2020, Metode Penelitian Hukum, Majapahit, Mataram University Press, hlm.
45.
14
Irwansyah, Loc. Cit.

11
hukumsehingga dapat dijadikan pijakan dalam

menyelesaikan isu hukum yang dihadapi.15Berkaitan dengan

pendekatan ini, peneliti akan menggunakan konsep hukum

mengenai substansi kewenangan Ombudsman yang

dikemukakan oleh pakar hukum dan dikaitkan dengan

prosedur penyelesaian laporan Asesmen TWK KPK. Hasil

penelitian tersebut akan diteliti lebih lanjut dari segi implikasi

hukum yang ditimbulkan atas pelaksanaan kewenangan

Ombudsman dalam menyelesaikan laporan Asemsen TWK

KPK. Implikasi tersebut akan membahas tentang daluwarsa

penyelesaian Asesmen TWK, baik itu terhadap KPK maupun

rekomendasi Ombudsman. Oleh karena itu, peneliti

menggunakan pendekatan ini untuk memahami konsep-

konsep yang berkaitan dengan isu hukum yang dianalisis

kesesuaiannya terhadap dasar hukum dan pelaksanaannya.

3. Bahan Hukum

Isu hukum yang dihadapi memerlukan bahan-bahan

hukum untuk mencapai hasil penelitian dengan argumentasi

yang tepat dan akurat.Adapun bahan hukum yang digunakan,

antara lain:

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang

memiliki legalitas keberlakuannya seperti, peraturan

perundang-undangan, putusan pengadilan, dan dokumen

15
Ibid. hlm. 147.

12
resmi negara. Bahan hukum primer yang digunakan dalam

penelitian ini,yaitu:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun

2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 6409);

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494);

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun

2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5601);

5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun

2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4899);

13
6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun

2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);

7) Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 51 Tahun

2009tentangPerubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5079);

8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

1986 tentang PeradilanTata Usaha Negara (Lembaran

Negara Republik IndonesiaTahun 1986 Nomor 77,

Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor

3344);

9) Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 43 Tahun

1999tentangPerubahan AtasUndang-Undang Nomor 8

Tahun 1974 TentangPokok-Pokok Kepegawaian

(Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1999

Nomor 169, Tambahan Lembaran NegaraRepublik

Indonesia Nomor 3890);

14
10) Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 26

Tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan,

Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan (Berita Negara

Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1035);

11) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang

Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi

Menjadi Aparatus Sipil Negara (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 181);

12) Peraturan Pemerintah Nomor48 Tahun 2016 tentang

Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada

Pejabat Pemerintahan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2016 Nomor 230, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5943);

13) Peraturan Pemerintah Reublik Indonesia Nomor 11

Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017

Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 6037);

14) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96

Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 2009 TentangPelayanan

Publik(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012

Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5357);

15
15) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1

Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai

Komisi Pemberantasan Korupsi Menjadi Aparatur Sipil

Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021

Nomor 49);

16) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XIX/2021;

17) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

70/PUU-XVII/2019;

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum

yang sifatnya bukan sebagai dokumen-dokumen resmi

melainkan memberi penjelasan terhadap bahan hukum

primer.16Bahan hukum sekunder dapat berupa buku, jurnal,

laporan, teori-teori, dan pendapat para ahli ilmu hukumyang

berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang

melengkapi bahan hukum primer dan sekunder dengan

memberikan petunjuk maupun penjelasan misalnya, kamus

hukum, kamus besar bahasa Indonesia, kamus bahasa

inggris, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya. 17

16
I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi
Teori Hukum, Jakarta, Kencana, hlm. 142-148 (Lihat Juga Dalam Bachtiar, 2018, Metode
Penelitian Hukum, Tangerang Selatan, Unpam Press, hlm. 141.
17
Ishaq, 2017, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, serta Disertasi,
Bandung, Alfabeta, hlm. 68.

16
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Tersedianya bahan hukum sebelum melakukan

penelitian merupakan langkah awal yang penting untuk

dilakukan berdasarkan kemampuan, ketelitian, dan kecermatan

dengan memperhatikan prosedur atau tatacara penelusurannya.

Berdasarkan pendekatan yang digunakan, peneliti akan

melakukan penelusuran literatur dengan mencari dan

mengumpulkan peraturan perundang-undangan, buku, jurnal,

kamus dan literatur lainnya yang relevan dengan isu hukum

yang dihadapi. Bahan hukum tersebut kemudian akan ditelusuri

satu persatu dengan cara mengkaji, menganalisis, dan

mengelolah secara komperhensif hingga memperoleh hasil

penelitian yang tepat dan akurat.

Teknik pengumpulan bahan hukum ini juga ditunjang

dengan teknik wawancara yang akan dilakukan terhadap

Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan. Peneliti

melakukan wawancara terhadap Ombudsman Ombudsman RI

Perwakilan Sulawesi Selatan untuk mengetahui sudut pandang

terhadap penyelesaian laporan Asesmen TWK KPK yang

dilakukan oleh Ombudsman RI. Adapun data yang diperlukan

peneliti dari Ombudsman RI telah diperoleh melalui siaran Pers

yang dilakukan oleh Ombudsman RI. Siaran Pers tersebut

mencantumkan dan menjelaskan secara detailIsi rekomendasi

tentang penyelesaian laporan Asesmen TWK KPK. Siaran Pers

17
tentang isi rekomendasi tersebut telah memaparkan beberapa

hal, yaitu:

a. Uraian tentang Laporan yang disampaikankepada

Ombudsman;

b. Uraian tentang hasil pemeriksaan;

c. Bentuk Maladministrasi yang telah terjadi; dan

d. Kesimpulan dan pendapat Ombudsmanmengenai hal-hal

yang perlu dilaksanakanTerlapor dan atasan Terlapor.

5. Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum yang digunakan yaitu analisis

kualitatif dengan caramenginterpretasikan(menafsirkan) bahan

hukum yang telah dikumpulkan dan diolah.18 Hal ini bertujuan

untuk memberikan telaah baik berupa menentang, mengkritik,

mendukung, menambah, atau memberikan komentar hingga

menghasilkan suatu kesimpulan dan solusi dengan pikiran

sendiri, serta bantuan dari literatur yang digunakan.atas hasil

penelitian yang dilakukan.19

18
Muhaimin, Op. Cit. hlm. 68.
19
Ibid. hlm. 71.

18
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS KEWENANGAN OMBUDSMAN


RI DALAM PENANGANAN LAPORAN ASESMEN TES WAWASAN
KEBANGSAAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kewenangan

a. Pengertian Kewenangan

Kewenangan, wewenang, dan kekuasaan merupakan tiga

istilah yang sering kali dimaknai dalam suatu artian yang sama.

Bagir manan berpendapat bahwa, wewenang dalam bahasa

hukum berbeda dengan kekuasaan.20Kekuasaan hanya

menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu

menurut kehendaknya sedangkan wewenang mengandung hak

dan kewajiban.21 Adapun menurut Prajudi Atmosudirjo, perlu

membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dan

wewenang (competence, bevoegdheid).22Kewenangan adalah apa

yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang bersumber dari

undang-undang (kekuasaan legislatif) atau dari kekuasaan

eksekutif administratif, sedangkan wewenang adalah suatu

onderdeel (bagian tertentu saja) dari kewenangan untuk

melakukan tindakan hukum publik.23 Berdasarkan definisi tersebut,


20
Nandang Alamsah, Soni Akhmad Nulhaqim, et.al, 2004, Teori dan Praktek
Kewenangan Pemerintahan, Bandung, Unpad Pres, hlm. 6.
21
Ibid.
22
Prajudi Atmosudirji, 1994, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm.
78.
23
Ibid.

19
peneliti menyimpulkan bahwa kewenangan merupakan kedudukan

atas suatu jabatan, sedangkan wewenang merupakan hak dan

kewajiban atas kewenangan yang dimiliki. Kewenangan bersifat

umum, sedangkan wewenang bersifat khusus dan merupakan

pengejewantahan dari kewenangan yang diperoleh secara sah.

Adapun kekuasaan dapat diperoleh secara sah (berkitan dengan

hukum) maupun tidak sah (tidak berkaitan dengan hukum).

Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van

Maarseven menyebutnya sebagai blote match, sedangkan

kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber

menyebutnya sebagai wewenang rasional atau legal yang

dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta

dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan diperkuat oleh negara. 24

Berbeda dengan hukum positif Indonesia yang telah

menormakan kekuasaan menjadi kewenangan atau wewenang

guna menentukan parameter keabsahannya, baik berdasarkan

peraturan perundang-undangan, maupun asas-asas umum

pemerintahan yang baik.Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 30

Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, “Wewenang

adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk

mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan

pemerintahan.” Selanjutnya, Pasal 1 angka 6 UU No. 30 Tahun

24
Riawan Tjandra, 2018, Hukum Administrasi Negara, Jakarta Timur, Sinar Grafika, hlm.
97

20
2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan bahwa

“Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut

Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak

dalam ranah hukum publik.” Kedua ayat tersebut menerangkan

terkait adanya tindakan Badan dan/atau Penyelenggara

Negara.Dalam Pasal 1 angka 7 UU Administrasi Pemerintahan

mendefinisikan “Tindakan Administrasi Pemerintahan yang

selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat

Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk

melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam

rangka penyelenggaraan pemerintahan.” Pada frasa “melakukan

dan/atau tidak melakukan” yang jika dikaitkan dengan pengertian

kekuasaan menurut Bagir Manan, maka tindakan administrasi

yang lahir dari kewenangan dan wewenang dapat dimaknai sama

dengan kekuasaan.

b. Unsur-Unsur Kewenangan

Menurut Lukman Hakim, bahwa kewenangan sebagai

konsep hukum publik memiliki beberapa unsur atau elemen,

yaitu:25

a.) Pengaruh merujuk pada penggunaan suatu wewenang

dengan tujuan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum;

b.) Setiap wewenang pemerintah harus dapat dibuktikan dasar

hukumnya; dan
25
Nandang Alamsah, Soni Akhmad Nulhaqim, et.al, Op. Cit, hlm. 13.

21
c.) Konformitas hukum, mengandung maknaadanya standar

wewenang baik standar umum(semua jenis wewenang) dan

standar khusus(untuk jenis wewenang tertentu). Artinya,

perlu adanya konfirmasi secara hukum mengenai standar

kewenangan untuk mengetahui batasan-batasan terhadap

suatu kewenangan.

c. Sumber Kewenangan

Administrasi negara merupakan proses berjalannya roda

pemerintahan yang dalam pengelolaannya harusberdasarkan

kewenangan yang diakui secara hukum. Salah satu penentu

keabsahan suatu kewenangan adalah bagaimana cara

memperoleh kewenangan itu sendiri.

Cara memperoleh kewenangan pada umumnya dibagi

kedalam tiga sumber,yaituAtribusi, Delegasi dan, Mandat. 26

1) Wewenang Atribusi
Indrohartomengemukakan bahwa, wewenang atribusi

adalah pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh

suatu ketentuan peraturan perundang-undangan, baik yang

diadakan oleh original legislator ataupun delegated

legislator.27Berdasarkan pengertian tersebut, wewenang

atribusi terdiri dari tiga unsur, yaitu wewenang baru, diberikan

kepada pemerintahan, dan oleh ketentuan peraturan

perundang-undangan. Sejalan dengan ketentuan Pasal 12


26
Ade Kosasih, John Kenedi dan Imam Mahdi, 2017, Dinamika Hukum Administrasi
Indonesia, Bengkulu, Panda, hlm. 24.
27
Ibid. hlm. 25 (Lihat Juga: Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang tentang
PeradilanTata Usaha Negara, Jakarta, Sinar Harapan, hlm. 91).

22
Ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan bahwa Administrasi Pemerintahan memperoleh

wewenang atribusi apabila:

a. Diatur dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945

dan/atau undang-undang;

b. Merupakan Wewenang baru atau sebelumnya

tidak ada; dan

c. Atribusi Diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan.

Administrasi pemerintahan yang wewenangnya

bersumber dari atribusi memiliki tanggung jawab kewenangan

pada Administrasi Pemerintahan yang bersangkutan.

Kewenangan atribusi juga tidak dapat didelegasikan, kecuali

diatur dalam UUD NRI 1945 dan/atau UU.28

2) Wewenang Delegasi
Menurut H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dalam

Ridwan H. R bahwa:

Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene


bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah
pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya). 29

Artinya, wewenang yang didelegasikan oleh Organ

Pemerintahan merupakan wewenang yang telah dimiliki

sebelumnya. Secara logis, pembentukan wewenang atribusi

dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukannya pelimpahan


28
Ibid. hlm. 25-26.
29
Ridwan H. R, 2016, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 102.

23
wewenang berupa delegasi. Wewenang delegasi dalam

Algemene Wet Besruursrecht (AwB) diartikan sebagai

pelimpahan wewenang dari Organ Pemerintahan kepada

Organ Pemerintahan lainnyauntuk mengambil keputusan

dengan tanggungjawab sendiri. 30Berdasarkan hal tersebut

maka, tanggung jawab dan tanggung gugat juga beralih

kepada penerima delegasi.

Berbeda halnya dengan Pasal 1 Angka 23 UU No. 30

Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ketentuan

tersebut menetapkan bahwa subjek pelimpahan delegasi

bukanlah organ pemerintahan dengan organ pemerintahan

lainnya, melainkan pelimpahan wewenang dari Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah

dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada

penerima delegasi.

3) Wewenang Mandat
F.A.M. Stroink dan J.G Steenbeek dalam Ridwan H.R:

Mandat tidak dibicarakan penyerahan wewenang, tidak


pula pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat tidak
terjadi perubahan wewenang apapun (setidak-tidaknya
dalam arti yuridis formal). Yang ada hanyalah hubungan
internal, sebagai contoh Menteri dengan pegawai, Menteri
mempunyai kewenangan dan melimpahkan kepada
pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas nama
Menteri, sementara secara yuridis wewenang dan
tanggungjawab tetap berada pada organ kementrian.

30
Ibid. hlm. 104.

24
Pegawai memutuskan secara faktual, Menteri secara
yuridis.31

Berdasarkan pengertian tersebut, Badan dan/atau

PejabatPemerintahanmemperoleh Mandat apabiladitugaskan

oleh Badandan/atau PejabatPemerintahan yang ada di

atasnya dan merupakan hubungan rutin antara atasan dan

bawahan kecuali dilarang tegas.32Atas dasar itu, segala

keputusan dan/atau tindakan yang dilakukanoleh penerima

mandat tetap dilakukan atas namapemberi mandat,

sehinggatanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada

pada pemberi mandat.

d. Penyalahgunaan Wewenang

UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan memaknai secara implisit bahwa,

penyalahgunaan wewenang merupakan keputusan dan/atau

tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang

dilakukan dengan melampauai wewenang, mencampuradukkan

wewenang, dan/atau sewenang-wenang.

1) Melampaui Wewenang
Tindakan dan/atau Keputusan Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan dikatakan melampaui wewenang apabila,

melampaui masa jabatan atau batas waktuberlakunya


31
Ibid. hlm. 103.
32
Pasal 14 Ayat (1) Jo Ayat (2) Jo Ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Adiministrasi Pemerintahan.

25
wewenang, melampaui batas wilayah berlakunyawewenang,

dan/atau bertentangan dengan ketentuan

peraturanperundang-undangan.33

2) Mencampuradukkan Wewenang
Tindakan dan/atau keputusan Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan disebut mencampuradukkan wewenang

apabila, di luar cakupan bidang atau materi wewenangyang

diberikan, dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang

yangdiberikan.34

3) Sewenang-wenang
Pasal 18 Ayat (3) UU No. 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa, tindakan

dan/atau keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan

dikategorikan sewenang-wenang apabila, tanpa dasar

Kewenangan dan/atau bertentangan dengan Putusan

Pengadilan yangberkekuatan hukum tetap.

2. Ombudsman RI

a. Sejarah Pembentukan Ombudsman


Pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia bermula

ketika pengaduanmaladministrasi pelayanan publik hanya

disampaikan kepada instansi yangdilaporkan dan


33
Pasal 18 Ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
34
Pasal 18 Ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

26
penanganannya pun sering dilakukan oleh pejabat yang

dilaporkan.35 Akibatnya, masyarakat belum memperoleh

perlindungan dan tindak lanjut yangmemadai. Disamping cara

tersebut, pelayanan publik juga selama itu dilakukan dengan

mengajukan gugatan baik ke Pengadilan Negeri maupun

Pengadilan Tata Usaha Negara.36 Penyelesaian perkara

dipengadilan merupakan proses yang rigid dengan hukum acara,

sehingga memerlukan waktu yang cukup lama, biaya perkara

yang tidak sedikit, belum lagi ketika adanya penundaan yang

berlarut atas perkara di pengadilan. Atas dasar itu, diperlukan

suatu lembaga khusus untuk menangani kasus maladministrasi

dalam bidang pelayanan publik, mengingat pelayanan

merupakan hubungan antara masyarakat dengan administrasi

yang terus berjalan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat itu

sendiri. Inilah yang kemudian menjadi celah bagi oknum tertentu

untuk melakukan tindakan administrasi yang menyimpang dari

prosedur, aturan, dan tujuan yang seharusnya.

Sejalan dengan semangat reformasi untuk melakukan

penataan terhadap penyelenggaraan negara termasuk dalam

bidang pelayanan publik, maka pada tanggal 10 Maret 2000

melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 Tentang

Komisi Ombudsman Nasional dan diperkokoh dengan

35
Hendra Nurtjahjo, “Perbedaan Teoritis Antara LembagaPenyelesaian Kasus
Maladministrasi(Ombudsman) Dengan Lembaga Peradilan Administrasi (PTUN),”Jurnal
Selisik, Vol. 2. Nomor 4, Desember 2016, hlm. 33.
36
Ibid. hlm. 33-34.

27
membentuk UU Nomor 37 Tahun2008 tentang Ombudsman

Republik Indonesia. Keberadaan UU tentang Ombudsman RI

menimbulkan konsekuensi dicabutnya Perpres No. 44 Tahun

2000,serta memperkuat keberadaan Ombudsman sebagai

lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan

pemerintahan yang mengatur tugas, fungsi, dan kewenangan

Ombudsman.

Secara konkrit,lembaga Ombudsman merupakan lembaga

independen yang mengawal dan mengawasi penyelenggaraan

pelayanan publik sertamenangani kasus maladministrasi dalam

bidang pelayanan publik.37 Adapun para penyelenggara

pelayanan publik yang diawasi yaitu, penyelenggara negara dan

pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan

Usaha Milik Negara, Badan Usaha MilikDaerah, dan Badan

Hukum Milik Negara serta badanswasta atau perseorangan yang

diberi tugasmenyelenggarakan pelayanan publik tertentu

yangsebagian atauseluruh dananya bersumber darianggaran

pendapatan dan belanjanegara dan/ataudaerah. 38

b. Kedudukan dan Kewenangan Ombudsman


Dalam sistem ketatanegaraan, setiap jabatan yang

ditentukan oleh hukum dapat disebut sebagai organ asalkan

memiliki fungsi-fungsi yang bersifat menciptakan norma

(normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm


37
Pasal 1 Angka 1 Jo. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia.
38
Pasal 1 Angka 1 Jo. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia.

28
applaying).39Berdasarkan fungsi tersebut, lembaga negara

Indonesia dikelompokkan kedalam beberapa bagian, salah

satunya auxiliary state organ (lembaga negara bantu sebagai

lapis ketiga).40 Lembaga negara lapis ketiga merupakan lembaga

independen yang dibentuk melalui peraturan perundang-

undangan guna menunjang pelaksanaan fungsi negara dan

pemerintah, dapat melibatkan unsur-unsur pemerintah, swasta

dan masyarakat sipil.41

Dikaitkan dengan Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2008 tentang

Ombudsman RI, “Ombudsman merupakan lembaga negara yang

bersifatmandiri dan tidak memiliki hubungan organik

denganlembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta

dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebasdari campur

tangan kekuasaan lainnya.”Oleh karena itu, Ombudsman dapat

dikategorikan sebagai lembaga yang sejajar dan tidak berada

dibawah pengaruh kekuasaan lainnya.

Dalam hal kedudukannya sebagai lembaga yang

menunjang proses penyelenggaraan pemerintah, Ombudsman

memiliki kewenangan untuk mengawasi, mencegah, dan

menyelesaikan maladministrasi dibidang pelayanan publik. 42

Kedudukan dan kewenangan itulah yang menjadi esensi

keberadaan Ombudsman di Indonesia, sehingga perlu untuk


39
Fajlurrahman Jurdi, Editor, Muhammad Fauzan Zarkasi, 2019, Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta, Kencana, hlm. 227.
40
Ibid. hlm. 334.
41
Ibid. hlm. 337-338.
42
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia.

29
memahami terlebih dahulu tentang maladministrasi dan

pelayanan publik.

K. C. Wheare dalam Hendra Nurtjahjo memberikan

gambaran bahwa penyakit suatu pemerintahan yang kerap kali

terjadi adalah penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan. Perilaku

disfungsional tersebut menjadi sorotan publik karena berdampak

langsung bagi masyarakat dan menjadi sumber perilaku

menyimpang lainnya. Perilaku disfungsional inilah yang

dikatakan sebagai malfunction inadministrative action

(maladministrasi).43 Lebih lanjut K. C Wheare juga menuliskan

bahwa:

Maladministration may be described as ‘administrative


action (or inaction)based on or influenced by improper
considerations or conduct.’ Arbitrariness,malice or bias,
including discrimination, are examples of improper
consideration.Neglect, unjustifiable delay, failure to observe
relevant rules and procedures,failure to take relevant
considerations into account, failure to establish orreview
procedures where there is a duty or obligation on a body to
do so, areexamples or improper conduc.44

Dari pengertian tersebut, maladminsitrasi digambarkan

sebagai tindakan administratif yang lamban dengan didasarkan

atau dipengaruhi oleh pertimbangan atau perilaku yang tidak

pantas. Pertimbangan yang tidak pantas disebutkan oleh K. C.

Wheare, yaitu kesewenang-wenangan, kedengkian atau bias,

dan diskriminasi. Adapun perilaku berupa pertimbangan yang

tidak tepat, yaitu kelalaian, keterlambatan yang tidak dapat

43
Op. Cit 38-39.
44
Ibid.hlm. 39.

30
dibenarkan,kegagalan untuk mematuhi aturan dan prosedur

yang relevan, kegagalan untuk mempertimbangkan

pertimbangan yang relevan, dan kegagalan untuk menetapkan

atau melaksanakan prosedur peninjauan yang di mana itu

menjadi tugas atau kewajiban badan hukum.

Hal menarik lainnya adalah pengertian maladministrasi

yang dikemukakan Ombudsman, bahwamaladministrasi

merupakan perilaku atau perbuatanmelawan hukum dan etika

yang terjadi dalam proses administrasi pelayanan publik. 45

Perbatan tersebut meliputi penyalahgunaan wewenang/jabatan,

kelalaian dalam tindakan dan pengambilan keputusan,

pengabaian kewajiban hukum, melakukanpenundaan berlarut,

tindakan diskriminatif, permintaan imbalan, dan lain-lain yang

dapat dinilai sekualitas dengan kesalahan tersebut. 46 Artinya,

perbuatan yang dikategorikan maladministrasi tersebut tidak

cukup jika hanya dinilai berupa pelanggaran terhadap hukum

perdata, hukum pidana, dan hukum administrasi melainkan,

harus juga dipandang sebagai ranah etika.

Dalam Pasal 1 Angka 3 UU No. 37 Tahun 2008 tentang

Ombudsman Republik Indonesia, “Maladministrasi adalah

perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang,

menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi

tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian

45
Hendra Nurtjahjo, Yustus Maturbongs, Diani Indah Rachmitasar, 2013, Memahami
Maladministrasi, Jakarta, Graha Mandiri, hlm. 4.
46
Ibid.

31
kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik

yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan

yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi

masyarakat dan orang perseorangan.”

Berdasarkan konsep pengertian maladmisnitrasi diatas,

secara umum bentuk-bentuknyaterdiri ataspenyalahgunaan

wewenang, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban

hukum, tidak transparan, kelalaian, diskriminasi, tidak

profesional, ketidakjelasan informasi, penundaan berlarut,

tindakan sewenang wenang,ketidakpastian hukum, salah

pengelolaan.47

Pada yurisdiksi Ombudsman selanjutnya adalah pelayanan

publik. Menurut Winarsih dan Ratminto dalam Rahman

Mulyawan, pelayanan publik didefinisikan sebagai bentuk

pelayanan yang menjadi tanggungjawab dan dilaksanakan oleh

instansi pemerintah dalam rangka pemenuhan kebutuhan

masyarakat.48

Definisi pelayanan publik juga dikemukakan oleh Kotler

dalam Mubarok dan Nanang Suparman bahwa, pelayanan publik

merupakan aktifitas yang ditawarkan oleh satu pihak kepada

47
Ibid. hlm. 5.
48
Rahman Mulyawan, 2016, Birokrasi dan Pelayanan Publik, Jawa Barat, Unpad Press,
hlm. 41

32
pihaklain yang pada dasarnya tidak berwujud (intangible) dan

tidak menghasilkan kepemilikan (un-ownership).49

Lewis dan Gilman dalam Mubarok dan Nanang Suparman

mendefinisikan pelayanan publik sebagai kepercayaan

publik.50Kepercayaan tersebut bersumber dari harapan

masyarakat agar memperoleh pelayanan yang jujur, pengelolaan

sumber peghasilan yang tepat, adil, dan dapat

dipertanggungjawabkan kepada publik. 51

Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009

tentang Pelayanan Publik “Pelayanan Publik adalah kegiatan

atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan

pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi

setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau

pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara

pelayanan publik.” Selanjutnya, Pasal 1 Ayat (2) UU No. 25

Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mendefinisikan

Penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi

penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang

dibentuk berdasarkan UU untuk kegiatan pelayanan publik, dan

badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan

pelayanan publik.

49
Mubarok dan Nanang Suparman, 2019, Pelayanan Publik Kontemporer, Administrasi
Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, hlm. 11
50
Ibid.
51
Ibid.

33
Konsep pengertian pelayanan publik diatas dapat dimaknai

sebagai aktifitas pemerintah dengan melayani masyarakat

sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pelayanan berdasarkan

peraturan perundang-undangan. Artinya, para penyelenggara

pelayanan publik dan organisasi publik dibentuk oleh hukum

dengan misi utamanya yaitu melayani dan memenuhi kebutuhan

publik. Berbeda halnya dengan pelayanan umum yang

merupakan kegiatan melayani masyarakat umum tetapi dengan

motif mencari untung dengan cara melayani masyarakat atau

konsumen yang dapat memberikan keuntungan. 52 Salah satu

contoh yang melaksanakan pelayanan umum adalah organisasi

bisnis. Apabila dari suatu kelompok konsumen tidak akan

diperoleh keuntungan, maka organisasi bisnis umumnya tidak

bersedia melayaninya.53Dapat dimaknai bahwa, pelayanan

umum tidak mengandung unsur pelayanan publik, melainkan

pelayananan yang semata-mata demi keuntungan organisasi itu

sendiri.

Secara kolektif, konsekuensi dari pelayanan publik adalah

tidak ada yang disebut sebagai kekuasaan tunggal, baik itu

pemerintah (pemberi pelayanan) maupun masyarakat (penerima

pelayanan). Hal itulah yang menjadikan etika sebagai pilar dalam

menjalankan pelayanan publik, serta mewujudkan kepercayaan

52
Achmad Batinggi dan Badu Ahmad, Modul 1, Pengertian Pelayanan Umum dan Sistem
Manajemen, hlm. 1.4.
53
Ibid.

34
masyarakat sebagai dasar untuk menciptakan pemerintahan

yang baik.

Dikaitkan dengan kewenangan Ombudsman RI dalam

penyelesaian perkara Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan

KPK, perlu untuk membedah terlebih dahulu terkait ruang lingkup

pelayanan publik. Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2009 tentang

Pelayanna Publik, lingkup pelayanan publik terdiri atas

pelayanan barang publik, pelayanan jasa publik, dan pelayanan

administratif publik.

1) Pelayanan Barang Publik

Pelayanan barang publik adalah layanan yang

menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang

dibutuhkan oleh publik, misalnya penyediaan tenaga listrik,

air bersih, dan lain-lain. Adapun instansi yang memberikan

pelayanan barang diantaranya, PLN, PDAM, Perusahaan

Minyak dan Gas, dan sebagainya.54

2) Pelayanan Jasa Publik

Pelayanan jasa adalah layanan yang menghasilkan

berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya

pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan

transportasi, POS, dan lain-lain. Instansi yang memberikan

layanan tersebut diantaranya, RSU, kantor POS, lembaga

pendidikan, dan sebagainya.55

54
Ulber Silalahi dan Wirman Syafri, 2015, Desentralisasi dan Demokrasi Pelayanan
Publik, Sumedang, IPDN Press, hlm. 19.
55
Ibid.

35
3) Pelayanan Administratif Publik

Layanan administratif publik adalah layanan yang

menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang

dibutuhkan oleh publik misalnya, KTP,akte, izin mendirikan

bangunan, buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB),

surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), sertifikat

termasuk sertifikat kompetensi, dan lain-lain. Instansi yang

memberikan layanantersebut diantaranya, Kantor Catatan

Sipil, Samsat, Badan Pertanahan Nasional, Dinas

Kependudukan, Dinas Tenaga Kerja, Imigrasi, dan Layanan

Satu Pintu.56

c. Laporan Pengaduan Lingkup Kewenangan Ombudsman RI


Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 UU No. 37 Tahun 2008

tentang Ombudsman RI “Laporan adalah pengaduan atau

penyampaian fakta yang diselesaikan atau ditindaklanjuti oleh

Ombudsman yang disampaikan secara tertulis atau lisan oleh

setiap orang yang telah menjadi korban Maladministrasi.” Lebih

lanjut dalam Pasal 7 UU ini menegaskan terkait tugas

Ombudsman yang salah satu diantaranya:

1) Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam

penyelenggaraan pelayanan publik;

2) Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;

56
Ibid. hlm. 20.

36
3) Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang

lingkup kewenangan Ombudsman.

Ketentuan tersebut menetapkan bahwa, jenis laporan yang

menjadi bagian dari tugas dan wewenang Ombudsman adalah

laporan dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan

pelayanan publik.Selanjutnya, Pasal 36 UU No. 37 Tahun 2008

tentang Ombudsman RI menetapkan laporan pengaduan dapat

dilakukan penolakan oleh Ombudsman dalam hal:

1) Pelapor belum pernah menyampaikan keberatan tersebut


baik secara lisan maupun secara tertulis kepada pihak
yang dilaporkan;
2) Substansi Laporan sedang dan telah menjadi objek
pemeriksaan pengadilan, kecuali Laporan tersebut
menyangkut tindakanMaladministrasi dalam proses
pemeriksaan di pengadilan;
3) Laporan tersebut sedang dalam proses penyelesaian oleh
instansi yang dilaporkan dan menurut Ombudsman
prosespenyelesaiannya masih dalam tenggang waktu
yang patut;
4) Pelapor telah memperoleh penyelesaian dari instansi yang
dilaporkan;
5) Substansi yang dilaporkan ternyata bukan wewenang
Ombudsman;
6) Substansi yang dilaporkan telah diselesaikan dengan cara
mediasi dan konsiliasi oleh Ombudsman berdasarkan
kesepakatan para pihak; atau
7) Tidak ditemukan terjadinya Maladministrasi.

3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi


(KPK)

a. Sejarah Pembentukan KPK


Pemberantasan korupsi merupakan upaya pemerintah

Indonesia yang telah diselenggarakan sejak orde lama, orde

baru, hingga orde reformasi. Berbagai lembaga telah dibentuk

dimasa orde lama dan orde baru untuk memberantas korupsi,

37
namun dalam tataran praktiknya belum berfungsi secara efektif

dan efisien.57 Atas dasar itu, tuntutan pemberantasan tindak

pidana korupsi terus disuarakan hingga UU No. 3 Tahun 1971

diganti dengan UU NO. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. UU tersebut kemudian diubah kembali

dengan UU No. 20 Tahun 2001, dan diteguhkan dengan

ratifikasi United Nations Convention against Corruption melalui

UU No. 7 Tahun 2006.58 Kelembagaan anti korupsi yang

dibentuk pada masa reformasi masih terus mengalami pasang

surut,sehingga melalui Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999,

dibentuklah UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. 59 Sejak saat

itu, KPK berdiri sebagai lembaga independen yang

eksistensinya kembali diperkuat melalui Putusan MK No.

36/PUU-XV/2017 yaitu sebagai berikut:

Dengan demikian, dasar pembentukan KPK ialah karena


belum optimalnyalembaga negara in casu Kepolisian dan
Kejaksaan yang mengalami publicdistrust dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam
rangkamengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap penegakan hukum,dibentuklah KPK. Dalam
konstruksi demikian, secara tugas dan fungsi,Kepolisian,
Kejaksaan dan KPK merupakan lembaga yang berada di
ranaheksekutif..............Dalam pandangan Mahkamah,
KPK sebenarnya merupakan lembaga di ranah eksekutif,
yang melaksanakan fungsi-fungsi dalam doma in
eksekutif, yakni penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan. KPK jelas bukan di ranah yudikatif, karena
bukan badan pengadilan yang berwenang mengadili dan
memutus perkara. KPK juga bukan badan legislatif,
karena bukan organ pembentuk undang-undang 60
57
Fajlurrahman Jurdi, Op. Cit. hlm. 373-374.
58
Denny Indrayana, 2016, Jangan Bunuh KPK, Malang, Intrans Publishing Wisma
Kalimetro, hlm. 30.
59
Ibid. hlm. 39.
60
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017.

38
Berdasarkan putusan diatas, pengertian KPK semakin kuat

ditetapkan sebagai lembaga dalam rumpun kekuasaan

eksekutif yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya

(mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi) bersifat

independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.61

b. Kedudukan dan Kewenangan KPK


Berdasarkan original intent pembentukan dan sifatnya

sebagai lembaga independen, KPK merupakan lembaga lapis

ketiga yang menunjang pelaksanaan fungsi negara dan

pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi. 62 Dalam

hal memberantas korupsi, KPK memiliki kewenangan yang

berhubungan erat dengan domain kerja eksekutif yaitu

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, maka dalam UU

KPK ditetapkan bahwa KPK merupakan lembaga dalam

rumpun kekuasaan eksekutif.Keberadaan KPK semakin

diperkuat dengan adanya UU No. 19 Tahun 2019 tentang

Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang

menjadikan pegawai KPK sebagai pegawai ASN.

Dalam kaitannya dengan Pasal 5 Ayat (4) Peraturan

KPK No. 1 Tahun 2021, KPK memiliki kewenangan untuk

melakukan pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN

bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

61
Pasal 1 angka 3 Jo. Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
62
Fajlurrahman Jurdi, Loc Cit.

39
Secara hukum, KPK dan BKN memiliki tugas dan kewenangan

untuk bekerja sama dalam melaksanakan proses Asesmen

TWK KPK.Pelaksanaan kewenangan tersebut tidak diatur lebih

lanjut dalam peraturan perundang-undangan manapun. Hal

itulah yang menyebabkan segala rangkaian proses

pelaksanaan asesmen TWK KPK menjadi objek laporan baik itu

di Pengadilan, Ombudsman, maupun di Komnas HAM.

4. Pegawai Aparatur Sipil Negara

Dalam Pasal 1 Angka 6 UU No. 19 Tahun 2019 tentang

Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK,

Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah Aparatur Pipil

Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-

undangan mengenai aparatur sipil negara.Berdasarkan pengertian

tersebut, KPK melaksanakan AsesmenTWK sebagai salah satu

syarat untuk dialihkannya pegawai KPK menjadi ASN.

Aparatur Sipil Negara (ASN)merupakan profesi bagi pegawai

negeri sipil danpegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang

bekerja pada instansi pemerintah.63 Pasal 1 Angka 2 UU No. 5

Tahun 2014 juga menyatakan “Pegawai Aparatur Sipil Negara yang

selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan

pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh

pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu

jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji

berdasarkan peraturan perundang-undangan.” Artinya, ASN


63
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

40
merupakan pegawai yang hubungan dinasnya berkaitan dengan

pemerintah atau negara.

41
B. Analisis

1. Pengalihan Status Pegawai KPK sebagai Bagian dari


Administrasi Kepegawaian

Menurut Golembiewski,administrasi negara meliputi: 64

a. Publik management core (kepegawaian, teori organisasi,


keuangan negara, dan sebagainya);
b. Management specialization (pemrosesan data, sitem
informasi, dan sebagainya);
c. Policy specialization (kebijaksanaan pemerintah dibidang-
bidang tertentu, seperti kebijaksanaan dibidang transportasi,
perumahan, lapangan kerja dan sebagainya).

Teori tersebut mengkategorikan adminsitrasi kepegawaian

sebagai bagian dari adminsitrasi negara yang membahas

bagaimana memperoleh dan melaksanakan manajemen pegawai

negeri sipil sesuai peraturan perundang-udangan, mulai dari

penerimaan hingga pemberhentiannya.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU No. 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan “Administrasi Pemerintahan

adalah tata laksanadalam pengambilan keputusan dan/atau

tindakanoleh badan dan/atau pejabat pemerintahan”. Artinya,

administrasi pemerintahan merupakan kegiatan yang berkaitan

dengan penyelenggaraan suatu kebijakan berupa pengambilan

keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat

pemerintahan. Adapun ruang lingkup administrasi pemerintahan

dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf (a) UU No. 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan yaitu “Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan yangmenyelenggarakan Fungsi Pemerintahan

64
Sahya Anggara, 2016, Ilmu Administrasi Negara, CV Pustaka Setia, Bandung, hlm. 157

42
dalamlingkup lembaga eksekutif”. Salah satu fungsi pemerintahan

yang diselenggarakan oleh eksekutif adalah fungsi kepegawaian

dalam hal pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian

Pegawai Negeri Sipil.65 Fungsi tersebut merupakan kewenangan

presiden selaku penyelenggara pemerintahan yang memiliki

kedudukan tertinggi namun dapat didelegasikan kepada: 66

a. Menteri di kementerian;

b. Pimpinan lembaga di lembaga pemerintahnonkementerian;

c. Sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara

danlembaga nonstruktural;

d. Gubernur di provinsi; dan

e. Bupati/walikota di kabupaten/kota.

Sebagai lembaga non-kementrian yang bersifat

independen, maka KPK berwenang untuk menyelenggarakan

proses fungsi kepegawaian termasuk pengangkatan pegawai ASN

dalam lembaga KPK itu sendiri. Menindak lanjuti pengangkatan

pegawai KPK menjadi ASN, maka konsep yang digunakan adalah

pengalihan pegawai KPK menjadi ASN.67 Konsep tersebut diatur

lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.

41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi

Pegawai ASN. Pasal 1 PP No. 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan

65
Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
66
Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
67
Pasal 1 Angka 6, Pasal 69B Ayat (1), Ayat (2), dan Pasal 69C Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

43
Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN mendefinisikan bahwa,

“Pengalihan adalah suatu proses pengangkatan Pegawai Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sampai menjadi Pegawai

Aparatur Sipil Negara”. Secara yuridis, pengangkatan pegawai

KPK menjadi ASN merupakan konsep administrasi pemerintahan

dalam hal organisasi dan tata kelola pegawai yang

diselenggarakan oleh eksekutif (KPK dan BKN). Bidang

keorganisasian dan tata kelola tersebut akan melakukan proses

pengalihan pegawai KPK menjadi ASN, mulai dari seleksi

administrasi, asesmen TWK, hingga penetapan hasil asesmen

TWK sebagai syarat pengalihan pegawai KPK menjadi ASN.

2. Kesesuaian Asesmen TWK KPK terhadap Konsep


Kepegawaian

Dalam Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemberantasan

Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 TentangTata Cara

PengalihanPegawai KPK Menjadi Pegawai ASN menetapkan

bahwa, “Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi

menjadi PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

dengan syarat:

a. Bersedia menjadi PNS;

b. Setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan

Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah;

44
c. Tidak terlibat kegiatan organisasi yang dilarang pemerintah

dan/atau putusan pengadilan;

d. Memiliki integritas dan moralitas yang baik;

e. Memiliki kualifikasi sesuai dengan persyaratan jabatan; dan

f. Memiliki kompetensi sesuai dengan persyaratan jabatan”.

Selanjutnya, dalam Pasal 5 Ayat (3) Perkom No. 1 Tahun

2021 TentangTata Cara PengalihanPegawai KPK Menjadi

Pegawai ASN menetapkan bahwa, “Syarat sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d

dituangkan dalam surat pernyataan sebagaimana tercantum

dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari

Peraturan Komisi ini”. Surat pernyataan tersebut terdiri atas:

a. Pernyataan Kesediaan Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK);

b. Pernyataan Kesetiaan; dan

c. Pernyataan Tidak Terlibat Organisasi Terlarang.

Pada proses pemenuhan syarat “Setia dan taat pada

Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan

pemerintah yang sah”,maka dilakukan Asesmen TWK oleh KPK

bekerja sama dengan BKN.68 Hasil Asesmen TWK tersebut akan

dituangkan dalam SK Ketua KPK dan menjadi tolok ukur atas

pemenuhan surat Pernyataan Kesetiaan sebagaimana dalam

68
Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Tata
Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara

45
Lampiran 1 Perkom KPK No. 1 Tahun 2021. Dapat disimpulkan

bahwa TWK merupakan bagian dari administrasi kepegawaian

dalam hal pelaksanaan Tes Kompetensi Dasar 69 yang wajib diikuti

oleh para pegawai KPK sebagai syarat pengalihan pegawai KPK

menjadi ASN.

3. Kesesuaian Legal Standing Pegawai KPK dalam Proses


Asesmen TWK KPK terhadap Konsep Pelayanan Publik

Dalam Pasal 1 Ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009 tentang

Pelayanan Publik “Pelayanan Publik adalah kegiatan atau

rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan

pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi

setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau

pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara

pelayanan publik”. Pelayanan publik dapat dimaknai sebagai

aktifitas pemerintah dengan melayani masyarakat sebagai upaya

pemenuhan kebutuhan pelayanan berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Legal Standing publik seringkali

dipertanyakan ketika berada dalam kasus terkait pelayanan publik,

termasuk Laporan Asesmen TWK KPK yang ditangani oleh

Ombudsman RI.

Secara teori, Frederickson dalam Sri Maulidiah menyebut

publik sebagai warga negara. Perspektif ini melihat publik sebagai

unsur warganegara yang tidak hanya mewakili kepentingan

69
Digital Computer Assisted Test (CAT) Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), 2014, Tes
Wawasan kebangsaan Pancasila, UUD NRI 1945, Bhineka Tunggal Ika, Negara
Kesatuan republik Indonesia (NKRI), Bahasa Indonesia, hlm. 2

46
individunya saja, namun juga untuk kepentingan publik. 70

Sementara dalam Pasal 1 Ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009 tentang

Pelayanan Publik menetapkan bahwa publik adalah warga negara

dan penduduk. Hal tersebut juga dinyatakan secara eksplisit dalam

Pasal 1 Angka 4 bahwa “Masyarakat adalah seluruh pihak baik

warga negara, maupun penduduk, sebagai orang perseorangan,

kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai

penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun

tidak langsung”. Artinya, publik adalah seluruh masyarakat dan

warga negara baik itu secara individu maupun kelompok. Dikaitkan

dengan penyelenggaraan Asesmen TWK KPK yang dilaksanakan

oleh KPK bekerja sama dengan BKN,maka kedudukan pegawai

KPK merupakan bagian dari publik meskipun dalam rumpun Komisi

itu sendiri. Mengingat bahwa, pegawai KPK juga merupakan warga

negara Indonesia.

Kedudukan tersebut juga diperkuat oleh pendapat Rauf

melalui bentuk-bentuk pelayanan publik yang terdiri atas: 71

1) Pelayanan internal; dan

2) Pelayanan eksternal

Pelayanan internal merupakan proses pemenuhan

kebutuhan dalam organisasi atauinstitusi dari pemerintah itu

sendiri. Seperti, pelayanan publik dari bawahan terhadap unsur

atasan(pimpinan), yakni bawahan menyiapkan data-data yang

70
Sri Maulidiah, 2014, Pelayanan Publik, CV. Indra Prahasta, Bandung, hlm. 59
71
Ibid. hlm. 102

47
diperlukan oleh atasan (pimpinan) pada saatakan mengadakan

pertemuan.72 Pelayanan ini juga dapat berupa pelayanan yang

diberikan olehpimpinan kepada bawahan, misalnya pemberian

asuransi, pemberian motivasi dalam bentuk bonus,dan lain-lain. 73

Artinya, pelayanan internal ini merupakan pelayanan yang

diselenggarakan oleh institusi itu sendiri dalam upayan

pemenuhan kebutuhan baik itu oleh atasan maupun bawahannya.

Pelayanan eksternal merupakan proses pemenuhan

kebutuhan yang diberikan oleh pemberilayanan kepada unsur-

unsur diluar dari kelembagaan pemberi layanan, seperti kepada

masyarakatdan kepada pelanggan.74

Secara internal, pegawai KPK memiliki legal standing

sebagai publik sebab, pegawai KPK juga berstatus sebagai warga

negara yang harus dipenuhi kebutuhannya oleh KPK dan BKN

dalam rangka mengikuti asesmen TWK KPK. Dalam Siaran Pers

BKN Nomor: 13/RILIS/BKN/V/2021 Mengenai Pelaksanaan

Asesmen TWK Dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK Menjadi

ASN, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan yang disediakan oleh

KPK dan BKN sebagai penyelenggara asesmen TWK KPK yaitu:

a. Parameter atau ukuran

b. Teknik atau metode pengukuran

c. Pengukur atau asesor

d. Mekanisme atau prosedur pengukuran; dan

72
Ibid. hlm. 103
73
Ibid.
74
Ibid.

48
e. Pelaksanaan pengukuran tersebut

Pada UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah

membedakan jenis-jenis pelayanan publik kedalam 3 bagian yaitu,

pelayanan barang publik, jasa publik, dan administrasi publik.

Penjelasan pasal demi pasal dalam UU tersebut menjelaskan

bahwa:

1) Pelayanan barang publik merupakan pelayanan yang

menghasilkan barang yang dibutuhkan oleh publik seperti

obat untuk flu burung oleh Departemen Kesehatan, kapal

penumpang oleh PT (Persero) PELNI, infrastruktur

transportasi perkotaan, listrik oleh PT (Persero) PLN, dan air

bersih oleh perusahaan daerah air minum (Penjelasan Pasal

5 Ayat (3) huruf a);

2) Pelayanan jasa publik merupakan jenis pelayanan yang

menghasilkan jasa yang dibutuhkan publik (pelayanan

kesehatan berupa rumah sakit dan puskesmas), pelayanan

pendidikan (sekolah dasar, sekelah menengah pertama,

sekolah menengah atas, perguruan tinggi), pelayanan

navigasi laut (mercu suar, lampu suar), pelayanan peradilan,

pelayanan kelalulintasan (lampu lalu lintas), pelayanan

keamanan (jasa kepolisian), dan pelayanan pasar

(Penjelasan Pasal 5 Ayat (4) huruf a);

3) Pelayanan administrasi merupakan pelayanan pemberian

dokumen oleh pemerintah misalnya akta kelahiran, akta

49
kematian, termasuk segala hal ihwal yang diperlukan oleh

penduduk dalam menjalani kehidupannya, seperti

memperoleh izin mendirikan bangunan, izin usaha, sertifikat

tanah, dan surat nikah. Adapun pelayanan pemberian

dokumen oleh nonpemerintah contohnya, urusan perbankan,

asuransi kesehatan, pengelolaan kawasan industri, dan

pengelolaan kegiatan sosial (Penjelasan Pasal 5 Ayat (7)

huruf a dan huruf b)

Dikaitkan dengan asesmen TWK, maka proses tersebut

merupakan bagian dari pelayanan administrasi publik. Hal ini

disebabkan karena hasil asesmen TWK merupakan syarat

pengalihan pegawai KPK menjadi ASN dan seharusnya setiap

pegawai memperoleh sertifikat yang berisikan nilai perolehan

asesmen.

4. Kesesuaian Rekomendasi Ombudsman RI tentang


Asesmen TWK KPK terhadap Kewenangan Ombudsman RI

Pada tanggal 7 Mei 2021, Pimpinan KPK menerbitkan SK

No. 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen Tes Wawasan

Kebangsaan Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat Dalam

Rangka Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN. Adapun

empat poin utama yang tercantum dalam SK tersebut yaitu:

1) Menetapkan nama-nama pegawai yang terlampir dalam SK

ini sebagai pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat dalam

rangka Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN

50
2) Memerintahkan kepada pegawai sebagaimana dimaksud

pada Diktum Kesatu agar menyerahkan tugas dan tanggung

jawab kepada atasannya langsung sambil menunggu

keputusan lebih lanjut.

3) Menetapkan lampiran dalam keputusan ini merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini.

4) Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila

dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam

keputusan ini, akandilakukan perbaikan sebagaimana

mestinya.

Surat Keputusan tersebut, dibuat berdasarkan data dari

jumlah peserta yang mengikuti asesmen hingga hasil Asesmen

TWK sebagaimana pada data berikut:

Tabel 1. Hasil Asesmen TWK KPK

Jumlah
No. Keterangan
(Total 1.357)
Kehadiran
1. Peserta yang Hadir 1.349
2. Peserta yang Tidak Hadir 8
Kategori Memenuhi dan Tidak Memenuhi Syarat
1. Peserta yang Memenuhi Syarat (MS) 1.274
2. Peserta yang Tidak Memenuhi Syarat 75
(TMS)
Tindak Lanjut Terhadap Peserta TMS
1. Peserta yang Diberhentikan 59
2. Peserta yang Dibina Kembali 16
Sumber: Novianti, Dampak Hukum Alih Status Kepegawaian KPK, Jurnal
Parliamentary Review, Vol. III, Nomor. 3. 2022 (diolah).

Berdasarkan tabel diatas, total keseluruhan peserta yang

diusulkan adalah 1.357 pegawai KPK, namun yang hadir dalam

pelaksanaan Asesmen TWK sebanyak 1.349 peserta. Dari hasil

51
pelaksanaan Asesmen TWK KPK, peserta yang Memenuhi Syarat

(MS) sebanyak 1.274, sedangkan yang tidak memenuhi syarat

berjumlah 75 orang, termasuk 8 peserta yang tidak hadir. Peserta

yang tidak hadir disebabkan oleh beberapa alasan, dengan rincian

sebagai berikut:

a. 3 peserta senang tugas belajar di luar negeri,

b. 1 peserta sudah pensiun,

c. 2 peserta mengundurkan diri,

d. 1 peserta diberhentikan sebagai pegawai KPK,

e. 1 peserta tanpa keterangan.

Tindak lanjut terhadap peserta yang tidak memenuhi syarat,

terbagi lagi kedalam dua kategori yaitu diberhentikan dan dibina

kembali. Peserta yang diberhentikan berjumlah 59 pegawai KPK

dengan alasan tidak memenuhi syarat dalam Asesmen TWK KPK.

Sedangkan pegawai yang dapat dibina kembali berjumlah 16

orang tanpa adanya landasan yang jelas. Artinya, KPK tidak

memiliki dasar yang kuat dalam menetapkan pemberhentian

maupun pembinaan kembali terhadap 75 pegawai KPK yang tidak

memenuhi syarat.

Sebelum adanya ketetapan lebih lanjut tentang

pemberhentian pegawai KPK, 75 Pegawai KPK tidak memenuhi

syarat melalui kuasa hukumnya "Tim Advokasi Selamatkan KPK"

mengajukan laporan kepada Ombudsman RI dengan harapan

52
agar asesmen TWK dihapuskan sebagai proses alih status

pegawai KPK serta SK No. 652 Tahun 2021 dapat dibatalkan. 75

Berdasarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Nomor

Register 0503/LM/V/2021/JKT tentang Dugaan Penyimpangan

Prosedur Dalam Proses Pengalihan Status Pegawai KPK Menjadi

Pegawai ASN, terdapat 3 fokus pemeriksaan Ombudsman, yaitu: 76

1) Dasar Hukum (Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021)

Pada hasil pemeriksaaan ini, Ombudsman menemukan

adanya maladministrasi berupa Penyimpangan prosedur dan

penyalahgunaanwewenang terkait pembentukan Peraturan

KPK No. 1 Tahun 2021.

a) Penyimpangan prosedur terjadi pada pelaksanaan rapat

harmonisasi yang dihadiri Pimpinan Kementerian/Lembaga,

yang seharusnya dihadiri para perancang, JPT,

Administrator yang dikoordinasi dan dipimpin Dirjen

Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan

HAM.

b) Rancangan Peraturan KPK tidak disebarluaskan pada

sistem informasi internal setelah dilakukan proses

perubahan hingga 6 (enam) kali rapat harmonisasi

terhadap rancangan Peraturan KPK tersebut.

75
Ombudsman RI. Konferensi Pers: Ombudsman RI Sampaikan Laporan Akhir Hasil
Pemeriksaan Aduan Pegawai KPK. Youtube: http://youtu.be/wWy-W_EWXzQ. Juli 2021.
Diakses tanggal 9 September 2021.
76
Siaran Pers Ombudsman Republik Indonesia No. 030/HM.01/VII/2021.

53
c) Penyalahgunaan wewenang terjadi dalam hal

penandatanganan Berita Acara pengharmonisasian yang

dilakukan oleh pihak yang justru tidak hadir pada rapat

harmonisasi tersebut (Kepala Biro Hukum KPK dan Direktur

Pengundangan, Penerjemahan dan Publikasi Peraturan

Perundang-undangan Ditjen Peraturan Perundang-

undangan Kementerian Hukum dan HAM).

d) Pemenuhan syarat Pasal 5 Ayat (2) huruf b dengan

mekanisme asesmen TWK yang dilakukan oleh KPK

bekerja sama dengan BKN merupakan penyisipan ayat

baru pada Pasal 5 rancangan peraturan KPK pada tanggal

25 Januari 2021.

2) Pelaksanaan Asesmen TWK

Pada tahapan ini, Ombudsman menemukan adanya

maladministrasi berupa BKN yang tidak berkompetendalam

melaksanakan asesmen TWK. Pelaksanaan yang dilakukan oleh

BKN ternyata tidak memiliki alat ukur, instrumen dan asesor

untuk melakukan asesmen,sehingga menggunakan instrumen

yang dimiliki Dinas Psikologi AD. Adapun pihak BKN itu sendiri

hanya bertindak selaku pengamat (observer), sementara

asesmen sepenuhnya dilakukan oleh Dinas Psikologi Angkatan

Darat (DISPSIAD), Badan Intelijen Strategis (BAIS-TNI), Pusat

Intelijen TNI Angkatan Darat  (PUSINTEL AD), Badan Nasional

54
Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara

(BIN).

3) Penetapan Hasil

Pada tahap penetapan hasil melalui SK No. 652 Tahun

2021 tentang Hasil Asesmen TWK Pegawai yang Tidak

Memenuhi Syarat (TMS) Dalam Rangka Pengalihan Pegawai

KPK menjadi Pegawai ASN, Ombudsman RI menemukan

beberapa maladministrasi diantaranya:

a) Ketua KPK telah melakukan perbuatan tidak patut dalam

menerbitkan SK No. 652 Tahun 2021 tentang Hasil

Asesmen TWK Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat

(TMS) Dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi

Pegawai ASN. SK tersebut dianggap merugikan hak

pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan

apapun sesuai Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019.

b) PengabaianKPK sebagai Lembaga Negara yang masuk

dalam rumpun kekuasaan eksekutif terhadap pernyataan

Presiden tanggal 17 Mei 2021, yang menegaskan bahwa

"hasil TWK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-

langkah perbaikan terhadap individu maupun institusi KPK;

tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75

pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes”.

c) Pengabaian terhadap pernyataan Presiden tanggal 17 Mei

2021, dan penyalahgunaan wewenang oleh Menteri PAN-

55
RB, Menteri Hukum dan HAM, Kepala BKN, 5 (lima)

Pimpinan KPK, Ketua KASN dan Kepala LAN terhadap

kepastian status Pegawai KPK dan hak memperoleh

perlakukan adil dalam hubungan kerja (Pasal 28D ayat (2)

UUD Tahun 1945) bagi 75 pegawai KPK. Pengabaian dan

penyalahgunaan wewenang ini diakibatkan karena lembaga

tersebut tidak mengikuti proses asesmen, namun

menandatangani Berita Acara terkait Hasil Asesmen TWK

Dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai

ASN.

Berdasarkan penemuan sebagaimana dalam rekomendasi

Ombudsman di atas, terdapat beberapa poin yang menjadi

landasan penulis menyatakan adanya penyalahgunaan

wewenang secara subsanti kewenangan dan prosedur oleh

Ombudsman, yaitu:

a) Maladministrasi pada proses harmonisasi peraturan KPK No. 1

Tahun 2021 dan penyisipan ayat baru pada Pasal 5 rancangan

peraturan KPK. Artinya, Ombudsman telah menetapkan bahwa

Perkom tersebut telah cacat secara formil. Sementara dalam

pengujian keabsahan suatu peraturan perundang-undangan

baik secara formil maupun materil terhadap peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi merupakan kewenangan

Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Kewenangan

tersebut dikenal sebagai Judicial Review. Disamping itu,

56
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan bukanlah

bagian dari pelayanan publik, melainkan bagian dari

pembentukan dasar hukum yang akan digunakan dalam

menjalankan dan menentukan keabsahan penyelenggaraan

pelayanan publik.

Menurut Muslimin B. Putra (Kepala Bidang Pencegahan

Ombudsman RI Provinsi Sulsel), bahwa:

Ombudsman RI tidak memiliki kewenangan menguji


keabsahan suatu peraturan. Tetapi dalam konteks
memeriksa proses peralihan pegawai KPK menjadi
pegawai ASN memiliki kewenangan sebagai bagian dari
tindak lanjut pengaduan pegawai KPK.

Artinya, Ombudsman tidak berwenang untuk menguji

keabsahan suatu peraturan perundang-undangan, melainkan

kewenangannya hanya terbatas pada penentuan sah tidaknya

proses peralihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN sebagai

bagian dari pelayanan publik. Pelayanan publik adalah

rangkaian kegiatan untuk melakukan pemenuhan terhadap

kebutuhan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan

bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan

pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara

pelayanan publik.77 Pelayanan publik yang dimaksud dalam

peraturan tersebut yaitu kegiatan berupa proses atau cara

melayani dan membantu masyarakat dalam memenuhi

77
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, dan Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

57
kebutuhannya baik itu dalam bentuk barang, jasa, maupun

administrasi.

Dapat disimpulkan bahwa penetapan rekomendasi oleh

Ombudsman dalam hal keabsahan proses pembentukan

Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara

PengalihanPegawai KPK Menjadi Pegawai ASN merupakan

penyalahgunaan wewenang dalam hal mencampuradukkan

wewenang sebab, kewenangan tersebut di luar dari cakupan

bidang atau materi wewenangyang diberikan kepada

Ombudsman. Mengingat dalam Pasal 36 Ayat (1) huruf “e” UU

No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI bahwa

“Ombudsman menolak laporan dalam halsubstansi yang

dilaporkan ternyata bukanwewenang Ombudsman”. Selain itu,

secara prosedur pengujian keabsahan Perkom KPK No. 1

Tahun 2021 tentang Tata Cara PengalihanPegawai KPK

Menjadi Pegawai ASN seharusnya diuji terlebih dahulu oleh MA,

kemudian pelaksanaan Asesmen baru dapat diuji oleh

Ombudsman RI.78

b) SK No. 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen TWK Pegawai

yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) Dalam Rangka Pengalihan

Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN telah merugikan hak

pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan

apapun sebagaimana dalam Putusan MK Nomor

70/PUU-XVII/2019. Rekomendasi Ombudsman ini dikeluarkan


78
Hasil Wawancara terhadap Komisioner Ombudsman Kota Makassar

58
sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang

dimana perkara tersebut masih dalam pemeriksaan oleh MK.

Hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 36 Ayat (1) huruf

b UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI yang

menyatakan bahwa laporan pengaduan dapat dilakukan

penolakan oleh Ombudsman dalam hal Substansi Laporan

sedang dan telah menjadiobjek pemeriksaan pengadilan,

kecualiLaporan tersebut menyangkut tindakanMaladministrasi

dalam proses pemeriksaan dipengadilan.

Objek perkara yang ditangani Ombudsman RI dan MK

merupakan dua hal yang berbeda namun, substansi yang diuji

tidak terlepas dari hak pegawai KPK terhadap Putusan MK

Nomor 70/PUU-XVII/2019. Putusan tersebut menjadi bahan

pertimbangan MK dalam memutuskan perkara Pengujian UU

No. 19 Tahun2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30

Tahun 2002tentang KPK terhadap Undang-UndangDasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Akibat mendahului putusan MK, rekomendasi

Ombudsman justru bertolak belakang dengan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XIX/2021 paragraf 3.12

yang menegaskan kembali makna “tidak boleh merugikan hak

pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASNdengan alasan

apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut” yaitu

sebagai berikut:

59
“tidak boleh merugikan” dalam konteks individu pegawai
KPK,mengandung arti bahwa dalam pelaksaanaan alih
status dari pegawai KPKke pegawai dengan status ASN,
semua pegawai KPK mempunyai kesempatanyang sama
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan
harus tetapmengedepankan sumber daya manusia
pegawai KPK yang bukan hanyaprofesional tapi juga
berintegritas, netral dan bebas dari intervensi politik,
sertabersih dari penyalahgunaan wewenang dalam
menjalankan tugas dan fungsinyasebagai pegawai KPK.

Artinya, setiap pegawai KPK yang mengalami alih status

menjadi pegawai ASN memiliki kesempatan yang samamenjadi

ASN dengan cara memenuhi segala persyaratan sebagaimana

dalam peraturan perundang-undangan. Kesempatan itulah yang

menjadi hak pegawai KPK yang tidak boleh dicederai atau

dihalangi sedikitpun untuk mengikuti seluruh rangkaian proses

dan syarat alih status pegawai KPK menjadi pegawai ASN.

Sedangkan Ombudsman memaknai pernyataan tersebut bahwa

hasil asesmen TWK tidak boleh menghalangi hak pegawai KPK

untuk dialihkan menjadi ASN padahal, pelaksanaan dan hasil

asesmen ini merupakan syarat utama untuk dilakukannya

pengalihan pegawai KPK menjadi ASN.

Selain itu, SK No. 652 Tahun 2021  merupakan bagian

dari sengketa kepegawaian. Menurut Soegeng Prijodarminto,

sengketa kepegawaian adalah sengketa yang timbul akibat

ditetapkannya Keputusan Tata Usaha Negara tentang

kepegawaian oleh badan dan/atau pejabat pembina

kepegawaian.79 Hal ini juga diperkuat melalui UU No. 51 Tahun


79
Robinsar Marbun, “Transformasi Upaya Administratif DalamPenyelesaian Sengketa
Kepegawaian,” Jurnal Yuridis, Vol. 4. Nomor. 2, Desember 2017, hlm. 209.

60
2009TentangPerubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun

1986Tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa:

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang


timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat
tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha
negara, termasuksengketa kepegawaian
berdasarkanperaturan perundang-undangan yang
berlaku.

Artinya, sengketa kepegawaian merupakan objek

pengujian Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam hal

memeriksan, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha

negara.80 Selain itu, SK tersebut merupakan bagian dari

Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). KTUN merupakan

penetapantertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat

tatausaha negara yang berisi tindakan hukum tata usahanegara

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

bersifat konkret,individual, dan final, yang menimbulkan akibat

hukumbagi seseorang atau badan hukum perdata. 81

Hal tersebut dapat dibuktikan sebagai berikut: Pertama,

SK No. 652 Tahun 2021 memiliki sifat yang kongkrit yaitu hanya

berisi tentang Hasil Asesmen TWK bagi pegawai yang tidak

memenuhi syarat dalam rangka pengalihan pegawai KPK

menjadi pegawai ASN. Kedua, SK ini bersifat individual sebab


80
Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999TentangPerubahan
AtasUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 TentangPokok Pokok Kepegawaian, Jo.
Pasal 4, Jo. 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
81
Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

61
hanya ditujukan kepada 75 pegawai KPK tidak memenuhi syarat

yang namanya disebutkan secara satu persatu dalam lampiran.

Ketiga, SK tersebut bersifat final sebab, telah menjadi akhir dari

pelaksanaan Asesmen TWK bagi pegawai KPK yang

dinyatakan tidak memenuhi syarat.

Oleh karena itu, pengujian SK No. 652 Tahun 2021 bukan

menjadi bagian dari substansi kewenangan Ombudsman, 82 dan

juga tidak sejalan dengan Putusan MK No. 34/PUU-XIX/2021.

Berdasarkan analisis peneliti, maka Ombudsman tidak dapat

menindaklanjuti laporan tentang SK No. 652 Tahun 2021,

mengingat laporan yang diajukan kepada Ombudsman

dinyatakan selesai apabila Ombudsman tidak berwenang

melanjutkan pemeriksaan, substansi yang dilaporkan bukan

wewenang Ombudsman, dan menjadi objek pemeriksaan di

Pengadilan.83

c) Pengabaian terhadap pernyataan Presiden tanggal 17 Mei

2021, dan penyalahgunaan wewenang oleh Menteri PAN-RB,

Menteri Hukum dan HAM, Kepala BKN, 5 (lima) Pimpinan KPK,

Ketua KASN dan Kepala LAN terhadap kepastian status

Pegawai KPK dan hak memperoleh perlakukan adil dalam

hubungan kerja (Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945) bagi 75

pegawai KPK. Pernyataan Presiden yang disampaikan secara


82
Muslimin B. Putra (Kepala Bidang Pencegahan Ombudsman RI Provinsi Sulawesi
Selatan), Hasil Penelitian (Interview), Maret 2022, Ombudsman RI Provinsi Sulawesi
Selatan..
83
Pasal 28 Ayat (1) Huruf (d), (e), (f) Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor
26 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian
Laporan.

62
lisan telah menjadi dasar bagi Ombudsman untuk menetapkan

bahwa Menteri Hukum dan HAM, Kepala BKN, 5 (lima)

Pimpinan KPK, Ketua KASN dan Kepala LAN telah melakukan

tindakan pengabaian.

Secara yuridis, pernyataan presiden bukan merupakan

Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Surat Edaran

Presiden, maupun Instruksi Presiden, melainkan hanya suatu

pernyataan yang disampaikan secara lisan oleh Presiden,

sehingga tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum yang

kuat. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Muslimin B. Putra

bahwa, “pernyataan lisan presiden tidak memiliki kekuatan

hukum kecuali dituangkan dalam peraturan tertulis seperti

Peraturan presiden (Perpres) atau Instruksi Presiden (Inpres).”

63
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS IMPLIKASI HUKUM


REKOMENDASI OMBUDSMAN RI ATAS LAPORAN ASESMEN
TES WAWASAN KEBANGSAAN KOMISI PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tinjauan Pustaka

1. Implikasi Hukum

Black’s Law Dictionary Ninth Editionmendefinisikan kata

“implikasi” sebagai berikut:

Implication. (15c) 1. The act of showing involvement in


something, eps. A crime or misfeasance <the implication of
the judge in the bribery scheme>. 2. An inference drawn
from something said or observed <the implication was that
the scheme involved several persons>.84

Definisi implikasi diatas telah dibagi kedalam dua bagian

yaitu, implikasi merupakan tindakan yang menunjukkan

keterlibatan terhadap sesuatu khususnya penyimpangan berupa

kejahatan atau kesalahan. Definisi kedua bahwa implikasi

merupakan kesimpulan yang diambil dari sesuatu yang dikatakan

atau diamati. Kedua definisi tersebut jika disimpulkan maka,

implikasi merupakan tindakan yang menunjukkan keterlibatan

terhadap sesuatu dan menghasilkan kesimpulan termasuk

konsekuensi dari apa yang dikatakan atau diamati. Disamping itu,

Kamus Bahasa Indonesia mengartikan implikasi

84
Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law Dictonary, Ninth (9th) Edition, West Publishing Co,
United States of America, hlm. 822

64
sebagaiketerlibatan.85Menurut Islamy, implikasi adalah segala

sesuatu yang telah dihasilkan dengan adanya proses perumusan

kebijakan.86Dapat disimpulkan bahwaimplikasi adalah akibat,

konsekuensi atau dampak yang ditumbulkan dari suatu tindakan

maupun pelaksanaan kebijakan tertentu.

Adapun definisi hukum yang dikemukakan oleh beberapa

para diantaranya sebagai berikut:

1) Hans Kelsen, “Hukum adalah suatu perintah

memaksaterhadap perilaku manusia.Hukum adalah

normaprimer yang menetapkan sanksi-sanksi.”87

2) Utrecht, “hukum adalah himpunan petunjuk, perintah, dan

larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu

masyarakat yang bersangkutan. Pelanggaran petunjukhidup

tersebut dapat menimbulkan tindakan olehpemerintah atau

penguasa masyarakat itu.”88

3) Achmad Ali, “Hukum adalah seperangkat kaidah atau ukuran

yang tersusun dalam suatu sistem yang menentukan apa

yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai

warga dalam kehidupan bermasyarakatnya. Hukum tersebut

bersumber, baik dari masyarakat sendiri maupun dari

sumber lain yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi


85
Qonita Alya, 2009, Kamus Bahasa Indonesia, Bandung, PT. Indah Jaya Adipratama
(Anggota IKAPI), hlm. 280.
86
M. Irfan Islamy, 2003, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta,Bumi
Aksara, hlm. 114-115 (Lihat juga: Dirwansyah, 2021, Analisis Hukum Pinjaman Likuiditas
Jangka Pendek Bank Indonesia Dalam Pencegahan Risiko Sistemik Pada Masa
Pandemi Covid-19, Skripsi, Universitas Hasanuddin, hlm 71).
87
Yati Nurhayati, 2020, Pengantar Ilmu Hukum, Nusa Media, Bandung, hlm. 4.
88
Ibid.

65
dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar diberlakukan

oleh warga masyarakat (sebagai satu keseluruhan) dalam

kehidupannya.”89

Para ahli tersebut menilai bahwa hukum merupakan

seperangkat aturan, petunjuk, maupun perintah yang diakui

keberlakuannya, baik dalam bentuk regulasi ataupun kebijakan

yang mengikat seluruh warga masyarakat, menjadi dasar dalam

bertindak, dan bersifat memaksa.

Jika kata “implikasi” dan “hukum” dikaitkan satu sama lain,

implikasi hukum merupakan keterlibatan atau ketertautan

beberapa aspek hukum akibat pengaturan hukum. 90 Peneliti

menyimpulkan bahwa, implikasi hukum merupakan akibat, hasil,

dampak, maupun konsekuensi hukum yang memiliki keterkaitan

atas pelaksanaan suatu kebijakan atau tindakan tertentu.

2. Administrasi Kepegawaian

Menurut Burhanuddin A. Tayipnapis:91

Administrasi kepegawaian adalah upaya memperoleh


pegawai negeri sipil yang loyal kepada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, cakap, terampil, jujur, dan disiplin dalam
melaksanakan pokok pemerintahan dan pembangunan.

89
Achmad Ali, 2015, Menguak Tabir Hukum, Jakarta,Kencana, hlm. 46.
90
Aan Eko Widiarto, “Implikasi Hukum Pengaturan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
dalam Bentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi,” Jurnal Konstitusi, Vol. 16. Nomor 1,
Januari 2019, hlm. 30.
91
Anwar, et.al, 2021, Teori dan Aplikasi Hukum Administrasi Negara, Provinsi Aceh,
Yayasan Penerbit Muhammad Zaini, hlm. 79-80.

66
William E. Monser dan J. Donald Kingsley juga

mengemukakan bahwa:92

Administrasi kepegawaian membahas seluruh aktifitas dan


kinerja pegawai yang dimulai dari penerimaan pegawai, tes
masuk pegawai, penilaian kecapakapan pegawai,
pemindahan pegawai, kenaikan pangkat, latihan dan
pendidikan, kehadiran absensi, pengeluaran pegawai,
kesehatan, rekreasi, kesejahteraan, lingkungan kerja, kerja
sama pegawai, kerja sama pegawai-atasan, peraturan, dan
ketentuan lainnya.

Arifin Abdurrrachman juga mendefinisikan Administrasi

kepegawaian adalah salah satu cabang dari administrasi negara

yang berkaitan dengan para pegawai negara. 93 Dapat

disimpulkan, administrasi kepegawaian adalah bagian dari

administrasi negara yang membahas bagaimana memperoleh dan

melaksanakan manajemen pegawai negeri sipil sesuai peraturan

perundang-udangan, mulai dari penerimaan hingga

pemberhentiannya.

3. Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan KPK

a. Pengertian Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan


Menurut Hays dalam Isrofin dan Binti “Asesmen is an

umbrella term for theevaluation methods counselors use to better

understand characteristicsof people, places, and things”.94 Dari

definisi tersebut, Asesmen dapat dimaknai sebagai istilah umum

untuk metode evaluasi yang digunakan konselor dalam

92
Ibid. hlm 80.
93
Ibid.
94
Isrofin dan Binti, 2019, Modul 1 Asesmen Kebutuhan Peserta Didik dan Sekolah,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 8.

67
memahami karakteristik orang, tempat, benda, atau objek

apapun itu.

The standart for educational and PsychologicalTesting

(American Educational Research Association (AERA), APA,

NCME:

Assessment as “any systematicmethod of obtaining


information from tests and other sources suchas
standardized test, rating scale and observation,
interview,classification tecnic dan record, used to draw
inferences aboutcaracteristics of people, object, or
progam help counselorsunderstand their client and
situastiona in which client findthemselves”.95

Pengertian tersebut mengandung makna bahwa, asesmen

merupakan setiap metode yang sistematis untuk memperoleh

informasi dari tes dan sumber lain seperti: tes standar, skala

penilaian dan observasi, wawancara, teknik klasifikasi dan

catatan, digunakan untuk menarik kesimpulan tentang

karakteristik orang, objek, atau program yang dapat membantu

konselor dalam memahami klien mereka dan situasi di mana

klien menemukan dirinya sendiri.

Pada pelaksanaan Asesmen TWK sebagai syarat

pengalihan pegawai KPK menjadi ASN, maka perlu juga

memahami terkait Tes Wawasan Kebangsaan. Tes Wawasan

kebangsaan (TWK) merupakan salah satu Tes KompetensiDasar

yang wajib diikuti oleh para peserta dalam uji seleksi

penerimaanCPNS.96 Tes Wawasan Kebangsaan diberlakukan

95
Ibid. hlm. 9.
96
Digital Computer Assisted Test (CAT) Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), 2014, Tes
Wawasan kebangsaan Pancasila, UUD NRI 1945, Bhineka Tunggal Ika, Negara

68
untukmenguji kemampuan peserta dalam hal penguasaan materi

kebangsaan Indonesia (UUD NRI 1945, Bhineka Tunggal

Ika,dan NKRI). Berbeda dengan Pasal 69 Ayat (3) huruf “c” UU

No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang

menggolongkan wawasan kebangsaan sebagai bagian dari

kompetensi sosial kultural. Adapun kompetensinya diukur

berdasarkan pengalaman kerja yang berkaitan dengan

masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya.

b. Kronologi Terbentuknya Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan


KPK
Pelaksanaan Asesmen TWK KPK merupakan salah satu

syarat untuk memenuhi ketentuan Pasal 1 Angka 6 UU No. 19

Tahun 2019 tentang KPK yang menyatakan bahwa, pegawai

KPK adalah aparatur sipil negara. Pasal 69C UU No. 19/2019

memberikan jangka waktu paling lama dua (2) tahun terhitung

sejak UU ini berlaku untuk dapat mengangkat pegawai KPK

menjadi pegawai ASN. Menindak lanjuti amanat tersebut, Pasal

3 PP No. 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK

menjadi Pegawai ASN menetapkan syarat pengalihan yang

salah satu diantaranya terdapat terdapat pada huruf “b” yakni,

“Setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dan pemerintah yang sah.”

Kesatuan republik Indonesia (NKRI), Bahasa Indonesia, hlm. 2.

69
Berdasarkan ketentuan diatas,maka dibentuk Perkom KPK

No. 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK

menjadi Pegawai ASN. Pasal 5 Ayat (4) Perkom ini menegaskan

adanya Asesmen TWK sebagai cara untuk memenuhi salah satu

syarat pengalihan pegawai KPK menjadi ASN, yakniSetia dan

taat pada Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan pemerintah yang

sah.

c. Pelaksanaan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan KPK


Seluruh peraturan perundang-undangan yang menjadi

dasar Asesmen TWK KPK hingga saat ini belum ada yang

mengatur secara spesifik terkait pelaksanaannya. Untuk

mengetahui pelaksanaannya, maka sumber data yang

digunakan adalah Siaran Pers Badan Kepegawaian Negara

Nomor: 13/RILIS/BKN/V/2021 Mengenai Pelaksanaan Asesmen

Tes Wawasan KebangsaanDalam Rangka Pengalihan Pegawai

Komisi PemberantasanKorupsi Menjadi ASN. Siaran Pers

tersebut menuliskan bahwa jenis tes pengalihan pegawai KPK

menjadi ASN berbeda dengan TWK CPNS.

Adapun jenis tes yang membedakan antara keduanya

Berdasarkan Siaran Pers BKN No.:13/RILIS/BKN/V/2021 yaitu:

PNS adalah entrylevel, sehingga soal-soal TWK yang


diberikan berupa pertanyaanterhadap pemahaman akan
wawasan kebangsaan. Sedangkan TWK bagipegawai KPK
ini dilakukan terhadap mereka yang sudah
mendudukijabatan senior (Deputi, Direktur/Kepala Biro,
Kepala Bagian, PenyidikUtama, dll) sehingga diperlukan
jenis tes yang berbeda, yang dapatmengukur tingkat
keyakinan dan keterlibatan mereka dalam prosesberbangsa
dan bernegara.

70
Sebagai lembaga yang independen, metode yang

digunakan dalam melaksanakan asesmen TWK KPKadalah

Assessment Center atau dikenal sebagai multi-metode danmulti-

asesor.97

a) Multi-metode (penggunaan lebih dari satu alat ukur). Alat

ukur yang digunakan dalam metode ini yaitu tes tertulis

Indeks Moderasi Bernegara dan Integritas (IMB-68),

penilaiaan rekam jejak (profiling) dan wawancara.

b) Multi-Asesor. Metode ini melibatkan instansi diluar dari BKN

yang memiliki pengalaman dan selama ini bekerja sana

dengan BKN untuk mengembangkan alat ukur TWK.

Adapun instansi yang dilibatkan yaitu, Dinas Psikologi TNI

AD, Badan Nasional PenanggulanganTerorisme (BNPT),

BAIS dan Pusat Intelijen TNI AD.

Setiap tahapan proses Asesmen TWK, observasi oleh Tim

Observer yang anggotanya tidak hanya berasal dariBKN akan

tetapi juga dari Instansi lain seperti BAIS, BNPT, PusatIntelijen

TNI AD, Dinas Psikologi TNI AD dan BIN. Hal tersebut bertujuan

untuk menjaga objektivitas hasil penilaian dan mencegah adanya

intervensi dalam penilaian.98 Atas dasar itu, maka penentuanhasil

penilaian akhir dilakukan melalui Assessor Meeting.99

Pelaksanaan asesmenjuga dilakukan perekaman baik secara


97
Siaran Pers Badan Kepegawaian Negara Nomor: 13/RILIS/BKN/V/2021 Mengenai
Pelaksanaan Asesmen Tes Wawasan KebangsaanDalam Rangka Pengalihan Pegawai
Komisi PemberantasanKorupsi Menjadi ASN, hlm. 2-3.
98
Ibid. hlm. 3.
99
Ibid.

71
video maupun audio untukmemastikan bahwa pelaksanaan

asesmen dilakukan secara obyektif,transparan dan akuntabel. 100

Dapat disimpulkan bahwa metode asesmen ini dilakukan

dengan menggunakan beberapa alat ukur, yaitu tes tertulis indeks

moderasi bernegara dan integritas (IMB 68), penilaian rekam jejak

(profiling), dan wawancara.101

Pada pelaksanaan Asesmen TWK KPK, terdapat beberapa

tahapan yang dilakukan yaitu:102

a) Persiapan yang dilakukan sejak ditetapkannya Perkom

KPK No. 1 Tahun 2021 pada tanggal 27 Februari2021;

b) Pelaksanaan tes Indek Moderasi Bernegara (IMB-68) dan

integritasdilaksanakan pada tanggal 9 s.d 10 Maret 2021.

Bagi yangberhalangan hadir dilakukan tes susulan pada

tanggal 16 Maret2021 (Susulan I) dan 8 April 2021

(Susulan II). Tes ini dikoordir oleh Tim dari Dinas Psikologi

Angkatan Darat;

c) Tes wawancara dilaksanakanpada 18 Maret s.d. 9 April

2021;

d) Penetapan hasil pelaksanaan Asesmen TWK KPK

e) Penyerahan Hasil pelaksanaan Asesmen TWK KPK oleh

Kepala BKNkepada Sekjen KPK pada tanggal 27 April

2021 di KantorKementerian PAN dan RB yang disaksikan

100
Ibid.
101
Novianti, “Dampak Hukum Alih Status Kepegawaian KPK,” Jurnal Parliamentary
Review, Vol. III, Nomor. 3, September 2021, hlm. 116.
102
Ibid. hlm. 4-5.

72
oleh MenteriPAN dan RB, Ketua KPK dan Para Wakil Ketua

serta Dewan KPK,Ketua KASN, dan para JPT Madya dari

KemenpanRB, BKN, LAN danANRI.

B. Analisis

1. Sifat Rekomendasi Ombudsman

Ombudsman RI merupakan lembaga independen yang

memiliki kewenangan untuk menyelesaikan laporan maladministrasi

dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Penyelesaian laporan

maladministrasi oleh Ombudsman RI dapat dilakukan dengan tiga

cara yaitu, konsiliasi, mediasi, ajudikasi dan/ataupenerbitan

rekomendasisetelah hasilPemeriksaanmenyatakan bahwa telah

terja diMaladministrasi olehpenyelenggara Pelayanan Publik. 103

Ombudsman RI melalui Pasal 1 Angka 7 UU No. 37 Tahun 2008

tentang Ombudsman RI mengatur bahwa “Rekomendasi adalah

kesimpulan, pendapat, dansaran yang disusun berdasarkan hasil

investigasiOmbudsman, kepada atasan Terlapor untukdilaksanakan

dan/atau ditindaklanjuti dalam rangkapeningkatan mutu

penyelenggaraan administrasipemerintahan yang baik”. Hal

tersebut menunjukkan bahwa produk hasil penyelesian sengketa

pelayanan publik oleh Ombudsman berbentuk “Rekomendasi”

bukan berbentuk “Putusan”.

Memahami sifat rekomendasi Ombudsman, tidak jarang

masyarakat yang menganggap bahwa rekomendasi tersebut tidak

103
Pasal 1 Angka 18 Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2017
tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan.

73
memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak menimbulkan sanksi

apapun bagi pihak yang tidak melaksanakan rekomendasi

Ombudsman. Dalam hal apabila terlapor tidak melaksanakan

rekomendasi Ombudsman,maka Ombudsman akan menempuh tiga

cara, yaitu:104

a) Masalah tersebut akan disampaikan kepada DPR dengan

rekomendasi agar mengambil tindakan politik terhadap

institusi yangmembangkang.

b) Mengajukan rekomendasi kepada presiden selaku kepala

negara agar sistembirokrasi diperbaiki.

c) Mengajukan rekomendasi kepada Ketua MA untuk mengambil

tindakan yangdiperlukan agar kekeliruan hakim bisa

diperbaiki.

Sejalan dengan pendapat Nuryanto A. Daim yang

menyebutkan bahwa ada tiga macam kekuatan yang dimiliki oleh

rekomendasi Ombudsman yaiu:105

1.) Kekuatan mengikat secara hukum (Legally Binding)

Kekuatan ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 38

Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI

menyatakan bahwa “Terlapor dan atasan Terlapor wajib


104
Ezriani Mardiana Idris Harahap, 2012, Kedudukan dan Kewenangan
LembagaOmbudsman Dalam Sistem KetatanegaraanRepublik Indonesia, Tesis,
Universitas Sumatera Utara, hlm. 111.
105
Nuryanto A. Daim, Telaah Yuridis Kekuatan Hukum Rekomendasi Ombudsman,
Ombudsman
Republik Indonesia-Perwakilan Jawa Timur, (Lihat juga: Muhammad Rus’an Yasin,
“Telaah tentang Rekomendasi Ombudsman terhadap Fraud Perbankan”, e-Jurnal
Katalogis, Vol. 4, Nomor 11, November 2016, hlm. 113).

74
melaksanakanRekomendasi Ombudsman”. Lebih lanjut dalam

Pasal 39 UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI,

“Terlapor dan atasan Terlapor yang melanggar

ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1),

ayat(2), atau ayat (4) dikenai sanksi administrasi sesuaidengan

ketentuan peraturan perundang-undangan”.

2.) Kekuatan mengikat secara moral (Morally Binding)

Menurut Masdar F. Masudi, morally binding bertujuan

untuk memperbaiki kesadaran moral suatu instansi atau

individu dalam menyelenggarakan proses pelayanan publik

yang baik.106 Rekomendasi Ombudsman memiliki kekuatan

mengikat secara moral dalam hal ini memberikan kesempatan

kepada instansi tertentu dalam memperbaiki penyelenggaraan

pelayanan publik dengan cara seperti permohonan maaf secara

lisan dan/atau tertulis yang disampaikan kepada publik, dan

sejenisnya.

3.) Kekuatan mengikat secara politik (Politically Binding)

Kekuatan mengikat ini dimuat dalam Pasal 38 Ayat (4) UU

No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI bahwa “Dalam hal

Terlapor dan atasan Terlapor tidakmelaksanakan Rekomendasi

atau hanyamelaksanakan sebagian Rekomendasi


106
Ibid., hlm. 114.

75
denganalasan yang tidak dapat diterima oleh

Ombudsman,Ombudsman dapat mempublikasikan

atasanTerlapor yang tidak melaksanakan Rekomendasidan

menyampaikan laporan kepada DewanPerwakilan Rakyat dan

Presiden”. Ombudsman dalam hal ini melakukan penilaian

terhadap alasan yang diberikan oleh suatu instansi terkait

penolakan pelaksanaan rekomendasi. Jika ditemukan alasan

yang tidak dapat diterima, Ombudsman berhak

mempublikasikan maladministrasi dari instansi tersebut

sehingga publik akan mempertanyakan kredibilitas instansi

terkait.

Selain itu, Ombudsman juga dapat mengajukan laporan

kepada representasi politik dalam hal ini DPR dan representasi

eksekutif dalam hal ini presiden yang dapat bermuara pada

adanya sanksi selanjutnya yakni sanksi administratif. Hal

tersebut dapat mengurangi kepercayaan masyarakat maupun

pemerintah atas kinerja KPK untuk menduduki suatu jabatan

tertentu, terutama dalam menyelenggarakan pelayanan publik

dan memberantas tindak pidana korupsi.

Berdasarkan sifat dan kekuatan rekomendasi Ombudsman RI

yang dapat memberikan dampak bagi pihak terkait, maka perlu

untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyelesaikan

sengketa pelayanan publik melalui rekomendasi. Penyalahgunaan

wewenang yang dilakukan oleh Ombudsman RI berupa

76
penyelesaian laporan Asesmen TWK KPK diluar dari substansi

kewenangannya, maka hal ini dapat menimbulkan kerugian bagi

KPK, baik itu secara hukum, moral, dan politik.

2. Daluwarsa Penyelesaian Laporan dan Pelaksanaan


Rekomendasi Ombudsman RI

Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu

atau untuk dibebaskan dari suatuperikatan dengan lewatnya waktu

tertentu dan atas syarat yang telahditentukan oleh undang-

undang.107Menurut Helmi, daluwarsamerupakan berakhirnya jangka

waktuyang telah ditentukan sehingga mengakibatkan hilang atau

gugurnya hak untukmenuntut dan memberikan hukuman

kepada orang yang melakukan tindakpidana. 108

Istilah daluwarsa tidak hanya digunakan dalam proses

hukum pidana maupun perdata, melainkan juga berlaku dalam

proses hukum administrasi negara di peradilan tata usaha negara.

Soemaryono dan Anna Erliyana mengemukakan bahwa jika

pengajuan gugatan telah melewati jangka waktu yang diberikan

sebagaimana dalam UU PTUN, maka hilanglah hak dari pihak yang

merasa dirugikan atas keputusan TUN untuk dapat membatalkan

KTUN tersebut di PTUN.109 Dapat disimpulkan bahwa Daluwarsa

merupakan jangka waktu yang diberikan kepada pihak terkait


107
Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
108
Helmi .M.,“Ketiadaan DaluwarsaPenuntutan dalam Hukum PidanaIslam dan
Pembaruan HukumPidana di Indonesia,” Mazahib Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol.
XV. Nomor 2, Desember 2016, hlm. 196.
109
Soemaryono, dan Anna Erliyana, 1999, Tuntutan Praktik Beracara di Peradilan Tata
Usaha Negara, PT. Primamedia Pustaka, Jakarta, hlm. 57, (Lihat Juga: Renius Albert
Marfin, dan Anna Erliyana, “Polemik Jangka Waktu Pengajuan Gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara,” Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 49. Nomor 4, Desember
2019, hlm. 943.

77
dalam mengikuti tahapan peradilan seperti penuntutan dan

pelaksanaan hukuman. Hal ini menyebabkan adanya batasan

waktu yang mengakibatkan hilang atau gugurnya hak seseorang

ketika melakukan penuntutan atau pelaksanaan hukuman yang

melewati batas waktu yang diberikan.

Menurut Muslimin B. Putra:

Rekomendasi Ombudsman RI tidak memiliki batas


daluwarsa karena memliki sifat yang fleksibel. Dalam
konteks TWK KPK, jika dalam waktu 30 hari sejak
diserahkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) kepada
KPK, maka LAHP ditingkatkan menjadi rekomendasi. Jika
rekomendasi juga tidak dilaksanakan oleh KPK maupun
atasan KPK (ketua KPK), maka rekomendasi tersebut
diserahkan kepada presiden dan DPR untuk dilaksanakan.
Daluwarsa KPK dapat dimaknai sebagai laporan atau
rekomendasi yang dinyatakan selesai atau berakhir karena
telah dilaksanakan sebagian atau seluruhnya.
Berdasarkan Pasal 28 Ayat (1) Peraturan Ombudsman RI No.

26 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan

Penyelesaian Laporan, ada beberapa yang menyebabkan suatu

laporan dinyatakan selesai, yaitu:

a. Telah memperoleh penyelesaian dari Terlapor ;


b. Tidak ditemukan Maladministrasi;
c. Laporan dalam proses penyelesaian oleh instansidalam
tenggang waktu yang patut;
d. Ombudsman tidak berwenangmelanjutkan
Pemeriksaan;
e. Substansi yang dilaporkan ternyata bukan
wewenangOmbudsman;
f. Substansi telah atau sedang menjadi
objekPemeriksaan di Pengadilan;
g. Telah mencapai kesepakatan dalam Konsiliasidan/atau
Mediasi; atau
h. Telah diterbitkan Rekomendasi

Pasal 28 Ayat (1) huruf “e” dan “f” menetapkan bahwa, jika

sengketa yang bukan bagian dari kewenangan Ombudsman, serta

78
substansi yang dilaporkan merupakan objek pemeriksaan di

Pengadilan maka laporan tersebut dapat dinyatakan selesai oleh

Ombudsman RI. Berdasarkan hasil penelusuran oleh peneliti,

ditemukan bahwa penyelesaian Asesmen TWK KPK tersebut telah

menyimpang dari kewenangan Ombudsman RI dan menyalahi

prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik. KPK sebagai

terlapor dalam kasus tersebut menilai hal yang sama dan

melakukan penolakan atas rekomendasi yang diterbitkan oleh

Ombudsman RI.110 Penolakan tersebut berujung pada

dipublikasikannya rekomendasi Ombudsman RI serta pelaporan

kepada presiden dan DPR.111

Dalam pasal 28 Ayat (2) huruf “d” Peraturan Ombudsman RI

No. 26 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan,

dan Penyelesaian Laporan, “Laporan dapat ditutup pada setiap

tahapan penyelesaianLaporan apabila rekomendasi tidak

dilaksanakan dan telahdipublikasikan atau telah dilaporkan kepada

DewanPerwakilan Rakyat dan Presiden”. Artinya, laporan Asesmen

TWK KPK dinyatakan ditutup sebab, rekomendasi tersebut tidak

dilaksanakan oleh KPK dan telah diajukan kepada presiden dan

DPR.

Menurut Muslimin B. Putra, rekomendasi Ombudsman RI

terkait Asesmen TWK KPK telah ditindaklanjuti oleh presiden


110
Nurul Ghufron, Konferensi Pers: Tolak Rekomendasi Ombudsman, Wakil Ketua KPK:
Keberatan Bukan Pembangkangan, tapi Hak, Youtube: https://youtu.be/J1cGq7IKXbQ,
Agustus 2021, Diakses tanggal 19 Maret 2022, Pukul 14.49 WITA.
111
Agus Rahmat dan Edwin Firdaus, Artikel: Ombudsman RI Kirim Rekomendasi TWK
KPK ke Jokowi dan DPR, September 2021, Diakses tanggal 19 Maret 2022, Pukul 14.56
WITA.

79
dengan cara tetap menjamin hak para pegawai KPK yang

dinyatakan tidak memenuhi syarat dan diberhentikan. Penjaminan

hak tersebut dilakukan melalui intstruksi presiden kepada polri

untuk menarik pegawai KPK menjadi ASN dilingkungan kepolisian

RI. Dapat disimpulkan bahwa perkara Asesmen TWK KPK telah

dinyatakan selesai karena akhir dari rekomendasi Ombudsman RI

adalah tidak dilaksanakannya oleh pihak KPK. Selain itu, inti

rekomendasi tersebut juga tidak ditindaklanjuti oleh presiden

maupun DPR.Dapat dikatakan bahwa rekomendasi Ombudsman

terdapat tumpang tindih antara ketentuan yang menegaskan

kewajiban untuk melaksanakan rekomendasi Ombudsman, sanksi

administrasi, hingga pelaksanaannya yang sering kali tidak

diindahkan. Padahal, isi rekomendasi Ombudsman RI tentang

Asesmen TWK KPK dapat dilaksankan sebagaian oleh KPK yaitu

terkait pelaksanaan asesmen sebagai bagian dari pelayanan publik.

80
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ombudsman RI merupakan lembaga independen yang memiliki

kewenangan untuk mengawasi dan menyelesaikan sengketa

maladministrai dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Kewenangan tersebut cukup lemah dalam menyelesaikan

perkara Aseesmen TWK KPK sebab, perkara Asesmen TWK

bukan hanya tentang pelayanan publik, tetapi juga tentang

kepegawaian, pengujian dasar hukum, dan pengujian hasil

Asesmen TWK KPK.Hal inilah yang menimbulkan lemahnya

prinsip kehati-hatian dalam menjaga batasan kewenangan yang

diberikan kepada Ombudsman RI. Tindakan ini disebut sebagai

penyalahgunaan wewenang oleh Ombudsman RI dalam hal

sewenang-wenang(tanpa dasar Kewenangan dan/atau

bertentangan dengan Putusan Pengadilan yangberkekuatan

hukum tetap), dan mencampuradukkan kewenangan (karena di

luar cakupan bidang atau materi wewenangyang diberikan)..

Akibatnya, penyalahgunaan wewenang ini dapat merugikan

pihak terlapor (KPK) baik itu dari segi hukum, moral, dan politik.

Selain itu, penyalahgunaan wewenang ini juga dapat

mengancam keberlangsungan proses penyelesaian sengketa

malasministrasi dalam pelayanan publik dimasa yang akan

datang.

81
2. Penyelesaian laporan dan pelaksanaan rekomendasi

Ombudsman tidak memiliki batas daluwarsa karena sifatnya

yang fleksibel. Pada saat rekomendasi Ombusman RI tidak

dilaksanakan oleh pihak terkait, maka rekomendasi tersebut

ditingkatkan dengan cara diserahkan kepada atasan, presiden,

maupun DPR agar rekomendasi tersebut dilaksanakan. Unsur

itulah yang menjadi salah satu penyebab Asesmen TWK KPK

dinyatakan selesai karena, rekomendasi tersebut tidak

dilaksanakan oleh KPK baik itu sebagian maupun seluruhnya.

Selain itu, rekomendasi Asesmen TWK KPK juga telah

diserahkan kepada presiden dan DPR meskipun tidak

ditindaklanjut dalam hal pelaksanaannya. Artinya, terdapat

tumpang tindih antara aturan yang menegaskan kewajiban

untuk melaksanakan rekomendasi Ombudsman, sanksi

administrasi, hingga pelaksanaannya yang sering kali tidak

diindahkan. Padahal, isi rekomendasi Ombudsman RI tentang

Asesmen TWK KPK dapat dilaksankan sebagaian oleh KPK

yaitu terkait pelaksanaan asesmen sebagai bagian dari

pelayanan publik.

82
B. Saran

1. Ombudsman RI perlu melakukan analisis kembali dan

mengetahui batasan-batasan kewenangannya sebelum

menerima dan menyelesaikan suatu laporan untuk mengindari

adanya penyalahgunaan wewenang dalam menyelesaikan

sengketa pelayanan publik.

2. Ombudsman RI harus memperhatikan sengketa pelayanan

publik, apakah memerlukan prosedur pengujian terlebih dahulu

oleh suatu lembaga yang berwenang atau tidak. Hal ini

bertujuan untuk menghindari adanya putusan yang tumpang

tindih terhadap rekomendasi Ombudsman, dan menghindari

adanya kerugian terhadap pihak terkait.

3. Ombudsman RI seharusnya dapat menganalisis lebih lanjut

terkait dasar hukum yang dapat dijadikan parameter untuk

menguji tindakan maladministrasi dalam penyelenggaraan

pelayanan publik. Hal ini disebabkan karena pernyataan

presiden secara lisan tidak memiliki kekuatan hukum untuk

memutus sengketa Asesmen TWK KPK.

4. Perlu adanya teguran bagi Ombudsman RI atas tindakan

penyalahgunaan wewenang yang dilakukan dalam

menyelesaikan laporan Asesmen TWK KPK.

83
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Achmad Ali, 2015.Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Kencana.


Ade Kosasih, John Kenedi, dan Imam Mahdi, 2017. Dinamika Hukum
Administrasi Indonesia. Bengkulu: Panda.
Adnan Buyung Nasution, 1995.Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di
Indonesia: Studi Sosio Legal Atas Konstituante 1956-1959. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Anwar, et.al, 2021. Teori dan Aplikasi Hukum Administrasi
Negara.Provinsi Aceh: Yayasan Penerbit Muhammad Zaini.
Bachtiar, 2018.Metode Penelitian Hukum. Tangerang Selatan: Unpam
Press.
Denny Indrayana, 2016. Jangan Bunuh KPK. Malang: Intrans Publishing
Wisma Kalimetro.
Fajlurrahman Jurdi, Editor, Muhammad Fauzan Zarkasi, 2019. Hukum
Tata Negara Indonesia. Jakarta: Kencana.
Hendra Nurtjahjo, Yustus Maturbongs, dan Diani Indah Rachmitasar,
2013.Memahami Maladministrasi. Jakarta: Graha Mandiri.
I Made Pasek Diantha, 2016. Metodologi Penelitian. Hukum Normatif
dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Kencana.
Indroharto, 1991.Usaha Memahami Undang-Undang tentang
PeradilanTata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Harapan.
Irwansyah, Editor, Ahsan Yunus, 2020.Penelitian Hukum, Pilihan Metode
& Praktik Penulisan ArtikelCat. 3, Ed. Revisi. Yogyakarta: Mirra
Buana Media.
Ishaq, 2017.Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, serta
Disertasi. Bandung: Alfabeta.
M. Irfan Islamy, 2003. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara.
Jakarta: Bumi Aksara.
Mubarok dan Nanang Suparman, 2019.Pelayanan Publik Kontemporer.
Bandung: Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN Sunan Gunung Djati.
Muhaimin, 2020.Metode Penelitian Hukum. Majapahit: Mataram University
Press.
Nandang Alamsah, Soni Akhmad Nulhaqim, et.al, 2004. Teori dan Praktek
Kewenangan Pemerintahan.Bandung: Unpad Pres.

84
Prajudi Atmosudirji, 1994.Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Rahman Mulyawan, 2016.Birokrasi dan Pelayanan Publik. Jawa Barat:
Unpad Press.
Riawan Tjandra, 2018.Hukum Administrasi Negara. Jakarta Timur: Sinar
Grafika.
Ridwan H. R, 2016.Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Sahya Anggara, 2018.Ilmu Administrasi Negara. Bandung: CV. Pustaka
Setia.
Hukum Administrasi Negara.Bandung: CV. Pustaka
Setia.
Soemaryono, dan Anna Erliyana, 1999. Tuntutan Praktik Beracara di
Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Primamedia Pustaka.
Sri Maulidiah, 2014.Pelayanan Publik. Bandung: CV. Indra Prahasta.
Ulber Silalahi dan Wirman Syafri, 2015.Desentralisasi dan Demokrasi
Pelayanan Publik. Sumedang: IPDN Press.
Yati Nurhayati, 2020.Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Nusa Media.

Jurnal
Aan Eko Widiarto. (2019). Implikasi Hukum Pengaturan Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi dalam Bentuk Peraturan Mahkamah
Konstitusi. Jurnal Konstitusi. Vol.16, Nomor 1.
Azmiati Zuliah dan Asri Pulungan. (2020). Pelayanan Publik Dalam Kajian
Hukum Administrasi Negara dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Ilmiah
Penelitian Law Jurnal. Vol. 1, Nomor 1.
Galang Asmara. (2016). Karakteristik Lembaga Ombudsman di Indonesia
Dibandingkan dengan Lembaga Ombudsman Swedia, Inggris,
Prancis, dan Belanda. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3, Nomor 1.
Helmi .M. (2016). Ketiadaan DaluwarsaPenuntutan dalam Hukum
PidanaIslam dan Pembaruan HukumPidana di Indonesia. Mazahib
Jurnal Pemikiran Hukum Islam. Vol. XV. Nomor 2.
Hendra Nurtjahjo. (2016). Perbedaan Teoritis Antara
LembagaPenyelesaian Kasus Maladministrasi(Ombudsman) Dengan
LembagaPeradilan Administrasi (PTUN). Jurnal Selisik. Vol. 2,
Nomor 4.
Idul Rishan. (2021). Konsep Pengujian Formil Undang-Undang di
Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi. Vol. 18, Nomor 1.

85
Muhammad Junaidi Fitriawan Trisnanda. (2021). Akibat Hukum
Keberlakuan Peraturan pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 Tentang
Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja Terhadap
Pengangkatan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Yang Belum
Berstatus Pegawai Aparatur Sipil Negara. Jurnal Jurist-Diction. Vol.
4, Nomor 1.
Muhammad Rus’an Yasin. (2016). Telaah tentang Rekomendasi
Ombudsman terhadap Fraud Perbankan. e-Jurnal Katalogis. Vol. 4,
Nomor 11.
Novianti. (2021). Dampak Hukum Alih Status Kepegawaian KPK. Jurnal
Parliamentary Review. Vol. III, Nomor. 3.
Renius Albert Marfin, dan Anna Erliyana. (2019). Polemik Jangka Waktu
Pengajuan Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Jurnal
Hukum dan Pembangunan. Vol. 49, Nomor 4.
Roberto Beca Marino. (2020). Alcances de la presunción de licitud en el
procedimiento administrativo sancionador (Scope of the presumption
of legality in the administrative sanctioning procedure).Revista
Derecho & Sociedad. N° 54 (I).
Robinsar Marbun. (2017). Transformasi Upaya Administratif
DalamPenyelesaian Sengketa Kepegawaian.Jurnal Yuridis. Vol. 4.
Nomor. 2.

Modul
Achmad Batinggi dan Badu Ahmad. Modul 1. Pengertian Pelayanan
Umum dan Sistem Manajemen.
Isrofin dan Binti. 2019. Modul 1 Asesmen Kebutuhan Peserta Didik dan
Sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Digital Computer Assisted Test (CAT) Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
2014. Tes Wawasan kebangsaan Pancasila, UUD NRI 1945,
Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI),
Bahasa Indonesia.

Skripsi

Ali Irfan Effendi Rangkuti. 2021. Kewenangan Pengadilan Tata Usaha


Negara dalam Polemik Tes Wawasan Kebangsaan Komisi
Pemberantasan Korupsi. Skripsi. Universitas Pendidikan Ganesha.

Dirwansyah. 2021. Analisis Hukum Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek


Bank Indonesia Dalam Pencegahan Risiko Sistemik Pada Masa
Pandemi Covid-19. Skripsi. Universitas Hasanuddin.

86
Triyono. 2019. Pengawasan Dan Implikasi Hukum Rekomendasi
Ombudsman Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik Studi Kasus
Jalan Jatibaru Tanah Abang Jakarta. Skripsi. Universitas Islam
Negeri Syaruf Hidayatullah Jakarta.

Tesis
Ezriani Mardiana Idris Harahap. 2012. Kedudukan dan Kewenangan
LembagaOmbudsman Dalam Sistem KetatanegaraanRepublik
Indonesia. Tesis. Universitas Sumatera Utara.

Peraturan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5494).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5601).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4899).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5038).
Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 43 Tahun
1999tentangPerubahan AtasUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
TentangPokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik
IndonesiaTahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran
NegaraRepublik Indonesia Nomor 3890).

87
Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 51 Tahun
2009tentangPerubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079).
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Menjadi Aparatus Sipil
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
181).
Peraturan Pemerintah Nomor48 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 230,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5943).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2012 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
TentangPelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5357).
Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang
Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi
Menjadi Aparatur Sipil Negara (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2021 Nomor 49).
Peraturan Pemerintah Reublik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang
Manajemen Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6037).
Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2017
tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian
Laporan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
1035).
Kitap Undang-Undang Hukum Perdata.

Putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017.
Siaran Pers Badan Kepegawaian Negara Nomor: 13/RILIS/BKN/V/2021
Mengenai Pelaksanaan Asesmen Tes Wawasan KebangsaanDalam
Rangka Pengalihan Pegawai Komisi PemberantasanKorupsi Menjadi
ASN
Siaran Pers Ombudsman Republik Indonesia No. 030/HM.01/VII/2021.

88
Kamus
Qonita Alya. 2009.Kamus Bahasa Indonesia. PT. Indah Jaya Adipratama
(Anggota IKAPI). Bandung.
Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law Dictonary, Ninth (9th) Edition, West
Publishing Co, United States of America.

Interview
Muslimin B. Putra (Kepala Bidang Pencegahan Ombudsman RI Provinsi
Sulawesi Selatan). Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan
Provinsi Sulawesi Selatan. Maret 2022.

Internet
Agus Rahmat dan Edwin Firdaus. Artikel: Ombudsman RI Kirim
Rekomendasi TWK KPK ke Jokowi dan DPR. Internet:
https://www.viva.co.id/berita/nasional/1405242-ombudsman-ri-kirim-
rekomendasi-twk-kpk-ke-jokowi-dan-dpr. September 2021. Diakses
tanggal 19 Maret 2022.
Andita Rahma. Artikel: Pimpinan KPK Tolak Surat Keberatan Pegawai
yang Tolak Hasil TWK. Internet:
https://nasional.tempo.co/read/1468437/pimpinan-kpk-tolak-surat-
keberatan-pegawai-yang-tolak-hasil-twk. Juni 2021. Diakses tanggal
13 Januari 2021.
Nurul Ghufron. Tolak Rekomendasi Ombudsman, Wakil Ketua KPK:
Keberatan KPK Bukan Pembangkangan, tapi Hak. Youtube:
https://www.youtube.com/watch?v=J1cGq7IKXbQ. Agustus 2021.
Diakses tanggal 9 September 2021.
Ombudsman RI. Konferensi Pers: Ombudsman RI Sampaikan Laporan
Akhir Hasil Pemeriksaan Aduan Pegawai KPK. Youtube:
http://youtu.be/wWy-W_EWXzQ. Juli 2021. Diakses tanggal 9
September 2021.

89

Anda mungkin juga menyukai