Anda di halaman 1dari 38

TUGAS MAKALAH HUKUM ACARA PIDANA

" PENYIDIK DITINJAU DARI SEGI ASPEK PENYIDIKAN,


PENYELIDIKAN, DAN OUTPUT PEMBUATAN BAP "

Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Hukum Acara Pidana / A

Dosen Pengampu:

Sumardhan, S.H., M.H.

Disusun Oleh:

Nama Kelompok 1

Titis Sari Dewi Rara R ( 201910110311004 )

Muhammad Dzaka Ramzy ( 201910110311007 )

M. Raekhan Ari ( 201910110311019 )

Putra Mahardhika R ( 201910110311031 )

Dara Kartika Sari ( 201910110311033 )

Ahmad Alkhawarizmi ( 201910110311037 )

Dian Prastiyowati ( 201910110311042 )

Andrean Julianto ( 201910110311043 )

i
Novia Silvania ( 201910110311044 )

Arjuna Yujiro Ono ( 201910110311047 )

Laode Muhammad N. F ( 201910110311048 )

Yoga Afri Ananta ( 201910110311051 )

M. Ryan Rama P ( 201910110311054 )

FAKULTAS HUKUM JURUSAN ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

DESEMBER 2021

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah
memberikan kesempatan kepada kelompok kami untuk menyelesaikan tugas Makalah
Hukum Acara Pidana tentang " PENYIDIK DITINJAU DARI SEGI ASPEK
PENYIDIKAN, PENYELIDIKAN, DAN OUTPUT PEMBUATAN BAP".

Dalam menyelesaikan tugas ini, kami menggunakan buku panduan dan literatur
lain sebagai bahan pendukung. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada
teman - teman yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini.

Penyusunan tugas ini bermaksud untuk memperdalam pemahaman sebagai


seorang mahasiswa dalam memahami materi Hukum Acara Pidana terutama mengenai
materi tentang ruang lingkup Penyidik, Penyidikan, Penyelidikan dan Pembuatan BAP.
Akhir kata semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya,
khususnya dalam materi kuliah Hukum Acara Pidana.

Malang, 13 Desember 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Cover

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

Menyusul

Menyusul

Menyusul

Menyusul

BAB II PEMBAHASAN
Menyusul

Menyusul

Menyusul

BAB III PENUTUP


Kesimpulan
Saran

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah institusi yang


mengemban fungsi pelayanan publik. Polri dituntut mampu memberikan pelayanan
yang terbaik kepada masyarakat dengan menampilkan kinerja kesatuan yang profesional
dan handal di bidangnya. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Pasal 13 menyatakan bahwa Polri memiliki tugas pokok
yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. Dalam era
reformasi tuntutan tugas Polri semakin kompleks, sebagai akibat dari perkembangan
kejahatan yang meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif serta adanya sikap
kritis dari masyarakat terhadap kinerja Polri. Pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat terkandung dalam tugas-tugas penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri
dalam hal ini dilaksanakan oleh fungsi Reserse selaku penyidik / penyidik pembantu.1

Di dalam rumusan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 2 tahun


2002, di sebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara
pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam menegakkan hukum dalam
rangka menciptakan keamanan dan ketertiban dilakukan secara bersama-sama dalam
suatu Sistem Peradilan Pidana yang merupakan suatu proses panjang dan melibatkan
banyak unsur di dalamnya. Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem besar yang di
dalamnya terkandung beberapa subsistem yang meliputi subsistem kepolisian (sebagai
penyidik), subsistem kejaksaan sebagai penuntut umum, subsistem kehakiman sebagai
hakim, dan subsistem lembaga pemasyarakatan sebagai subsistem rehabilitasi.
Keempat subsistem di atas baru bisa berjalan secara baik apabila semua saling
berinteraksi dan bekerjasama dalam rangka mencapai satu tujuan yaitu mencari
kebenaran dan keadilan materiil sebagaimana jiwa dan semangat Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagai hukum acara pidana dalam kerangka
1
MAWARDI, KHOLID. KEBIJAKAN NILAI DASAR HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN
PERKARA PIDANA OLEH PENYIDIK POLRI. Diss. Fakultas Hukum UNISSULA, 2018.

1
penegakan hukum pidana, KUHAP merupakan acuan umum yang harus di jadikan
pegangan bagi semua yang terlibat dalam proses bekerjanya Sistem Peradilan Pidana
dalam rangka mencapai satu tujuan bersama.2

Proses penyidikan merupakan tahap yang paling krusial dalam Sistem Peradilan
Pidana, dimana tugas penyidikan yang di bebankan kepada Polri sangat kompleks,
selain sebagai penyidik juga sebagai pengawas serta sebagai koordinator bagi penyidik
PPNS. Dalam hal ini Polisi selaku penyidik yang melakukan proses penyidikan
sebelumnya telah melakukan keputusan awal (pemutus awal) bahwa suatu peristiwa
merupakan suatu tindak pidana atau bukan (dalam proses penyelidikan). Hal ini tentu
menjadikan adanya rasa puas dan tidak puas dari para pihak yang berperkara. 3

Contoh konkret manakala dalam proses penyelidikan dikatakan seseorang


sebagai terlapor setelah melalui proses terdapat alat bukti yang cukup untuk
ditingkatkan ke penyidikan tentu akan membuat puas pihak pelapor, namun apabila
tidak dapat ditingkatkan ke penyidikan tentu mengecewakan pihak pelapor namun
sebaliknya terjadi manakala peristiwa tersebut dikatakan suatu tindak pidana maka akan
memuaskan pihak pelapor dan mengecewakan pihak terlapor.Hal hal demikian tentu
mulai berawalnya tingkat kepuasan/kepercayaan/Public trusht terhadap Penyidik Polri.
Kompleksitas tugas penyidik Polri semakin bertambah seiring dengan bergulirnya
reformasi di segala bidang kehidupan di Indonesia. Penyidik dituntut untuk berhasil
mengungkap semua perkara yang terindikasi telah melanggar hukum yang ditanganinya.

1.2 Tujuan & Manfaat.

Tujuan :

Memperoleh pemahaman tentang materi " Penyidik Ditinjau Dari Segi Aspek
Penyidikan, Penyelidikan dan Output Pembuatan BAP " dengan menerapkan /
mengetahui perbedaan hal diatas tersebut dengan baik.

2
Asri Agsutiwi, S. H. "Tinjauan Yuridis Terhadap Tugas Dan Wewenang Penyidik Polri Dalam
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi." PROSEDING SEMINAR UNSA. Vol. 1. No. 1. 2014.
3
Tedi, Handika. PELAKSANAAN PENYITAAN BARANG BUKTI NARKOTIKA OLEH PENYIDIK
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG
(Studi di Satuan Reserse Narkoba Polresta Padang). Diss. Universitas Andalas, 2018

2
Manfaat Teoritis :

Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi


perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya,
terlebih lagi mengenai materi tentang hal yang sudah disampaikan diatas tadi dengan
jelas dan mengaplikasikannya dengan benar / baik.

Manfaat Praktis :

Untuk memberikan wawasan, informasi dan pengetahuan secara langsung


maupun tidak langsung kepada mahasiswa mengenai tema sudah dijelaskan di atas.
Mmeberikan sumbangan pemikiran kepada aparat penegak hukum dalam mengatasi
permasalahan – permasalahan yang timbul dalam kehiduap di sekitar kita, guna
menjamin kepastian hukum untuk melindungi kepentingan masyarakat.

1.3 Rumusan Masalah.

1. Apa pengertian dari penyidik ?


2. Bagaimanakah dasar hukum seorang penyidik ?
3. Apa pengertian dari penyidikan ?
4. Apa pengertian dari penyelidikan ?
5. Bagaimanakah cara membuat BAP ?
6. Bagaimana Peran Berita Acara Pemeriksan (BAP) Dalam Penanganan Perkara
Pidana Oleh Penyidik ?
7. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban kejahatan pada tahap penyelidikan
dan penyidikan di kepolisian dalam sistem peradilan pidana?
8. -

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penyidik.

4
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang
untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 butir 1 KUHAP).

Pejabat Polisi negara Republik Indonesia terdiri atas :

1. Pejabat penyidik penuh.


2. Pejabat penyidik pembantu.

5
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 KUHAP).

6
Penyidik pembantu adalah Pejabat Kepolisian negara republik Indonesia yang
karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur
dalam Undang-undang (Pasal 1 butir 3 KUHAP).

7
Penyidik pembantu adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat
kepangkatan (Pasal 10 ayat (1) KUHAP).

Penyidik adalah orang yang paling terdepan dalam rangka menemukan


kebenaran materiil yang tujuan utamanya adalah untuk mencari dan menemukan
bukti agar tindak pidana tersebut menjadi terang serta dapat menemukan
tersangkanya.
4
(Pasal 1 butir 1 KUHAP )
5
(Pasal 1 butir 2 KUHAP).
6
(Pasal 1 butir 3 KUHAP).

7
(Pasal 10 ayat (1) KUHAP).

4
Ketentuan dan wewenang Penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yaitu :

1. Kedudukan Penyidik pegawai negeri sipil berada dibawah :


o Koordinasi penyidik POLRI.
o Pengawasan penyidik POLRI.
2. Untuk kepentingan penyidikan,Penyidik POLRI memberi petunjuk kepada
Penyidik pegawai negeri sipil dan memberi bantuan penyidikan yang
diperlukan.
3. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu harus melaporkan kepada Penyidik
POLRI tentang adanya tindak pidana yang sedang diselidiki.
4. Apabila Penyidik pegawai negeri sipil tersebut selesai dalam melakukan atau
melaksanakan penyidikannya maka hasil penyidikan itu harus diserahkan
kepada Penuntut umum melalui Kepolisian Negara Republik Indonesia.
5. Apabila Penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikannya,maka ia
harus melaporkan kepada Penyidik POLRI dan Penuntut umum.

Wewenang Penyidik pembantu sama dengan kewenangan yang diberikan kepada


Penyidik kecuali mengenai Penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan
wewenang dari Penyidik (Pasal 11 KUHAP).

Kewajiban Penyidik yaitu :

1. Penyidik harus membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan yang


dilakukannya seperti: Pemeriksaan tersangka, Penahanan, Penangkapan,
Penggeledahan (Pasal 8 ayat (1) KUHAP).
2. Penyidik setelah membuat berita acara pemeriksaan maka penyidik wajib
menyampaikan dengan segera berkas pemeriksaan tersebut kepada Penuntut
umum.
3. Saat penyidik mulai melaksanakan Penyidikan maka ia harus menyampaikan
atau memberitahukan dimulainya penyidikan tersebut kepada Penuntut
umum.

Hubungan Penyidik dengan Penuntut umum yaitu :

5
1. Bahwa Penyidik harus menyampaikan berkas perkaranya kepada Penuntut
umum.
2. Dalam hal Penuntut umum berpendapat bahwa berkas masih kurang
lengkap,penuntut umum dapat mengembalikan berkas perkara itu kepada
Penyidik dengan diberi petunjuk untuk dilengkapi, dan apabila penyidikan
sudah dianggap selesai,Penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka
dan barang bukti kepada Penuntut umum.

Perbedaan Penyelidik dan Penyidik :

Perbedaan Penyelidik Penyidik


Yang berwenang Setiap pejabat polisi negara  pejabat polisi negara Republik
Republik Indonesia (Pasal 4 Indonesia.
KUHAP)  pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang.
(Pasal 6 KUHAP)
Wewenangnya: 1. menerima laporan atau 1. menerima laporan atau
pengaduan dari seorang tentang pengaduan dari seorang tentang
adanya tindak pidana; adanya tindak pidana;
2. mencari keterangan dan barang 2. melakukan tindakan pertama
bukti; pada saat di tempat kejadian;
3. menyuruh berhenti seorang 3. menyuruh berhenti seorang
yang dicurigai dan menanyakan tersangka dan memeriksa tanda
serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
pengenal diri; 4. melakukan penangkapan,
4. mengadakan tindakan lain penahanan, penggeledahan dan
menurut hukum yang penyitaan;
bertanggung jawab. 5. melakukan pemeriksaan dan
penyitaan surat;
6. mengambil sidik jari dan
memotret seorang;
Selain itu, atas perintah penyidik,
7. memanggil orang untuk
penyelidik dapat melakukan
didengar dan diperiksa sebagai
tindakan berupa:
tersangka atau saksi;
 penangkapan, larangan 8. mendatangkan orang ahli yang
meninggalkan tempat, diperlukan dalam hubungannya
penggeledahan dan penahanan; dengan pemeriksaan perkara;
 pemeriksaan dan penyitaan 9. mengadakan penghentian
surat; penyidikan;
 mengambil sidik jari dan 1. 10.mengadakan tindakan lain

6
memotret seorang; menurut hukum yang bertanggung
 membawa dan menghadapkan jawab.
seorang pada penyidik.
(Pasal 7 ayat [1] KUHAP)

(Pasal 5 KUHAP)

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP


mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan
pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP. Dalam
melaksanakan tugasnya, penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.

KUHAP mempunyai wewenang melakukan tugas masing masing pada


umumnya di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di daerah hukum masing-masing
dimana ia diangkat sesuai dengan ketentuan undang-undang.

2.2 Dasar Hukum Penyidik

8
Dasar Hukum Penyidik diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 KUHAP yang dimana
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan.

9
Tujuan penyidik perkara pidana adalah untuk menjernihkan persoalan sekaligus
menghindari orang yang tidak bersalah dari tindakan yang dibebankan padanya.
Oleh karena itu alasan tersebut, maka sering kali proses penyidikan yang lakukan
oleh penyidik membutuhkan waktu yang cendurung lama, melelahkan dan mungkin
pula dapat menimbulkan bebas psikis.

Dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen


Penyidikan Tindak Pidana disebutkan pada Pasal 4 Bahwa dilakukan Penyidikan
adalah :

8
(Pasal 1 butir 1 KUHAP )
9
Eddy.o.s. Hiariej, op.cit, hlm. 2.12.

7
a) Laporan Polisi/Pengaduan

b) Surat Perintah

c) Laporan Hasil Penyelidikan

d) Surat Perintah Penyidikan

e) SPDP

10
Adapun  kegiatan penyidikan menurut pasal 10 ayat (1) Perkapolri 6/2019
juga menjabarkan ada 10 kegiatan dalam proses penyidikan diantaranya yaitu
terdiri atas penyelidikan, dimulainya penyidikan, upaya paksa, pemeriksaan,
penetapan tersangka, pemberkasan, penyerahan berkas perkara, penyerahan
tersangka dan barang bukti dan penghentian penyidikan. Dengan Dasar Hukum
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019

Proses Penyidikan ini dilakukan oleh pihak penyidik yang melakukan kegiatan
pemeriksaan pendahuluan/awal (vooronderzoek) yang seharusnya di titik beratkan
pada upaya pencarian atau pengumpulan “bukti faktual” penangkapan dan
penggeledahan, bahkan jika perlu dapat di ikuti dengan tindakan penahanan
terhadap tersangka dan penyitaan terhadap barang atau bahan yang di duga erat
kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi. Penyidikan mempunyai kedudukan
dan peranan yang sangat penting dan strategis untuk menentukan berhasil tidaknya
proses penegakan hukum pidana selanjutnya. Pelaksanaan penyidikan yang baik
akan menentukan keberhasilan Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan
dan selanjutnya memberikan kemudahan bagi hakim untuk menggali/menemukan
kebenaran materiil dalam memeriksa dan mengadili di persidangan.

2.3 Pengertian Penyidikan

Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah


penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak
pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat
itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan

10
Abplawfirm, “cara-membedakan-penyelidikan-dan-penyidikan”, https://abplawfirm.co.id/cara-
membedakan-penyelidikan-dan-penyidikan/

8
penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan”
suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana.

Sedangkan pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan


“mencari serta mengumpulkan bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak
pidana yang ditemukan dan juga menentukan pelakunya. Pengertian penyidikan
tercantum dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP yakni dalam Bab I mengenai Penjelasan
Umum, yaitu:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya”.

Sedangkan KUHAP sendiri diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia


Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan rumusan Pasal 1
butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan adalah:

1. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakantindakan


yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan

2. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik

3. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundangundangan

4. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya.

Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan


penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum
terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang
belum terang itu diketahui dari penyelidikannya.11

Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun


1981 tentang Hukum Acara Pidana, penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik
Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

11
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia , (Malang: Bayumedia
Publishing, April 2005), hal.380-381

9
oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Tugas utama dari penyidik
adalah mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangka.12

Penyidikan meliputi kegiatan penggeledahan dan penyitaan, demikian halnya


penyidikan yang dilakukan terhadap pelaku pidana yang ditangani. Penyitaan ini
erat hubungannya dengan kewenangan Polri sebagai penyidik sering membutuhkan
penyitaan meskipun sifatnya sementara, terutama bila adanya dugaan telah terjadi
suatu perbuatan pidana.13

Penyitaan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan menyita atau pengambilan


milik pribadi oleh pemerintah tanpa ganti rugi. Proses penegakan hukum
mengesahkan adanya suatu tindakan berupa penyitaan. Oleh karenanya penyitaan
merupakan tindakan hukum berupa pengambil alihan dari penguasaan untuk
sementara waktu barang-barang dari tangan seseorang atau kelompok untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pengertian penyitaan itu sendiri
dirumuskan dalam Pasal 1 Angka 16 KUHAP yang berbunyi:

“penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud
atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan
peradilan”.

Sedangkan di dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia


Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti pada pasal 1
ayat 4 berbunyi:

“Penyitaan adalah serangkaian tindkaan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud
atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan
dan peradilan”.

12
Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana Penyelidikan dan Penyidikan , Jakarta:
Sinar Grafika, hal. 11.
13
Bambang Poernomo. 1996. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta. Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, Halaman 57.

10
Dalam penyitaan tentu terdapat ketentuan yang harus dipehatikan dan ada
sesuatu hal yang perlu dimengerti dalam penyitaan, hal ini di atur dalam peraturan
pemerintah tentang kitab Undang-Undang acara pidana Pasal 1 ayat 16 KUHAP,
mangenai paksaan penyitaan, bahkan adanya keputusan menteri pertahanan yang
mengatur masalah penyitaan.14 Arti penting masalah penyitaan tercermin dalam
Pasal 38 Undan-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinyatakan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan
oleh penyidik dengan surat izin ketua Pengadilan Negeri setempat, walaupun dalam
keadaan yang sangat perlu dan mendesak penyidik harus segera bertindak dan dapat
melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan wajib segera melaporkan
kepada ketua pengadilan guna mendapatkan persetujuan. Penyitaan sangat erat
hubungannya dengan hak-hak azasi manusia. Dalam melakukan suatu penyitaan
harus diusahakan adanya imbangan yang layak. Imbangan antara kepentingan
instansi yang dalam melakukan penyitaan terhadap orang yang disangka telah
melakukan tindak kejahatan di satu pihak, dengan kepentingan orang itu sendiri di
lain pihak serta untuk kepentingan masyarakat dimana orang tersebut memegang
peranan penting dalam proses penyidikan tindak pidana.15

2.4 Pengertian Penyelidikan

Penyelidik adalah setiap Pejaat kepolisian Negara Republik Indonesia yang


menurut Pasal 5 penyelidik memiliki wewenang yang relatif luas dalam menerima
laporan dan menyelidiki tindak pidana. Pengertian Penyelidikan menurut UU No.8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.

Dari pengertian penyelidikan menurut undang-undang diatas kita dapat dengan


jelas mengerti bahwa sebenarnya penyelidikan itu adalah penentuan suatu perbuatan
dapat dikatakan suatu tindak pidana atau tidak. Ketika suatu perbuatan tersebut
dianggap sebagai suatu tindak pidana, baru dapat dilakukan proses penyidikan.
Dalam proses penyelidikan ini biasanya dilakukan oleh POLRI dan untuk kasus-
14
Ibid, hlm. 265.
15
Leden Marpaung, 1992, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm 79.

11
kasus tertentu dapat dilakukan oleh Jaksa. Di saat inilah dimana seseorang disebut
sebagai tersangka.

Istilah penyelidikan telah dikenal dalam Undang-undang No 11/PNPS/1963


tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, namun tidak dijelaskan artinya. Definisi
mengenai penyelidikan dijelaskan oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal (5) KUHAP : Yang dimaksud dengan
penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini. Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan, penyelidikan berfungsi
untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi
dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar
permulaan penyidikan.

Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan, penyelidikan berfungsiuntuk


mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnyatelah terjadi dan
bertugas membuat berita acara serta laporannya yangnantinya merupakan dasar
permulaan penyidikan. Istilah penyidikandipakai sebagai istilah yuridis atau hukum
pada tahun 1961 yaitu sejakdimuat dalam Undang-undang No. 13 Tahun 1961
tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara.

Yang Berwenag Sebagai Penyelidik

Menurut pasal 1 butir 4 KUHAP, Penyelidik adalah pejabat polisiNegara


Republik Indonesiayang diberi wewenang oleh undang-undang ini,sesuai yang
dirumuskan pada pasal 4, yang berwenag melaksanak tugassebagai penyelidik
adalah “Setiap pejapat polisi Negara” RepublikIndonesia. Tegasnya, penyelidik
adalah setiap pejabat Polri. Jaksa ataupejabat yang lain tidak berwenag untuk
melakukan penyelidikan.Penyelidikan meurpakan monopoli tunggal bagi Polri.

tugas dan wewenang penyelidik

Tugas Penyelidik adalah melaksanakan penyelidikan (Ngani, Jaya, dan Madani,


1984: 20). Sebagaimana yang disebutkan di dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka

12
4 KUHAP: "Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan."

Sedangkan definisi dari Penyelidikan diatur dalam Ketentuan Umum Pasal 1


angka 5 KUHAP (Martiman Prodjohamidjojo, 1990: 3): "Serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini."

Wewenang penyelidik diatur dalam Pasal 5 KUHAP yang selengkapnya berbunyi


(Martiman Prodjohamidjojo, 1990: 9):

1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:

a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang :

1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

2. mencari keterangan dan barang bukti;

3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa


tanda pengenal diri;

4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;

2. pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan


sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.

Penghentian penyelidikan

13
Dalam hal penyidik menghentikan prnyidikan atas suatu tindak pidana, maka
penyidik harus memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum, tersangka dan
keluarganya.

Alasan-alasan yang menyatakan keabsahan penghentian penyidikan sebagaimana


diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP dan Pasal 76 ayat (1), 77, 78 dan 75 KUHP
adalah sebagai berikut:

a. Perkara tidak cukup bukti

Apabila bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan kesalahan seorang


tersangka dalam tindak pidana yang dipersangkakan ternyata tidak atau belum
cukup walaupun sudah diupayakan secara maksimal. Dalam keadaan bukti yang
kurang, maka penyidikan harus dihentikan demi menjaga kepastian hokum dan hak
asasi tersangka.

Selama ini kasus semacam dalam praktek “ Jarang” dihentikan penyidikannya, ada
kesan dikembangkan (Floating Case) oleh penyidik yang menganut aliran
keselamatan dalam kegiatan penyidikan, artinya yang penting selamat, dari pada
dituntut Praperadilan .

Ada sementara penyidik beranggapan apabila penyidikan dihentikan, khawatir akan


dituntut Praperadilan, sedangkan dalam hal perkara dikembangkan apabila ada
tuntutan Praperadilan tentang sah tidaknya penghentian penyidikan dari pihak yang
merasa dirugikan, maka dapat dijawab bahwa penyidik tidak pernah menghentikan
penyidikan, selamatlah penyidik dari tuntutan Praperadilan, namun disisi lain
tunggakan perkara makin bertumpuk.

b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana

Peristiwa yang dipersangkakan kepda tersangka sebagaimana laporan/ aduan atau


hasil penyelidikan penyelidik ternyata bukan merupakan tindak pidana.

c. Dihentikan demi hukum

Penyidikan dihentikan demi hokum artinya bahwa perkara tersebut “Sudah tidak
dapat lagi dilakukan penyidikan” apapun alasannya, sedangkan penghentian
penyidik tersebut butir a dan b diatas masih dapat dilakukan penyidikan lanjutan

14
apabila dipertemukan bukti-bukti baru yang dapat mendukung dilakukannya
penyidikan ulangan lanjutan terhadap perkara yang telah dihentikan penyidikannya.
Hal-hal yang menyebabkan penyidikan dihentikan demi hukum ialah:

1. Tidak ada pengaduan/ pengaduan dicabut, bagi delik-delik aduan (Pasal 76 ayat
(1) KUHP)

2. Tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut telah diputus oleh Hakim
Pengadilan dengan keputusan yang tidak boleh dirubah lagi/ tetap (Nebis In
Idem) Pasal 76 ayat (1) KUHP)

3. Tersangka meninggal dunia (Pasal 77 KUHP)

4. Hak menurut tindak pidana telah kedaluarsa/ lewat waktu artinya bahwa apabila:

a) Sesudah lewat 1 Tahun bagi segala pelanggaran dan bagi kejahatan yang
dilakukan dengan mempergunakan cetakan

b) Sesudah lewat 6 Tahun bagi kejahatan yang terancam hukuman denda,


kurungan atau penjara yang tidak lebih dari 3 Tahun

c) Sesudah lewat 12 Tahun, bagi segala kejahatan yang terancam hukuman


penjara sementara yang lebih dari 3 Tahun

d) Sesudah lewat 18 Tahun, bagi semua kejahatan yang diancam hukuman mati
atau penjara seumur hidup

Sedangkan Penghentian Penyidikan oleh PPNS dilaksanakan setelah mendapat


petunjuk dari Penyidik Polri bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana atau dihentikan demi hukum dan
selanjutnya melalui penyidik Polri Pemberitahuan Penghentian hasil penyidikan
harus segera disampaikan kepada Penuntut Umum, Keluarganya atau Kuasanya
(Pasal 108 ayat (2) dan (3) KUHAP dan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor:
M.04.PW.07.03 Tahun 1983 tentang wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) Pasal 2 huruf h)

2.5 Cara Membuat BAP

15
BAP : catatan atau tulisan dalam bentuk resmi, yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atas kekuatan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.Teknik
Pembuatan BAP :

a. Pemeriksaan dilakukan dengan tanya jawab menggunakan bahasa Indonesia.


Jika terperiksa tidak dapat berbahasa Indonesia, maka pemeriksaan dilakukan
dengan mendatangkan penerjemah yang sudah bersertifikat.
b. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang mudah
dimengerti, sopan dan tidak menyinggung perasaan terperiksa.
c. Proses pemeriksaan direkam.
d. Penyidik mencatat keterangan yang diberikan saksi, ahli, terperiksa dalam Berita
Acara Pemeriksaan sesuai format yang memenuhi syarat formil dan syarat
materiil.
e. Menciptakan hubungan awal yang baik dengan terperiksa.

Syarat Formil :

a. Pada hal pertama disebelah kiri atas disebutkan Nama Kesatuan dan Wilayah.
b. Dibawah nama kesatuan dituliskan kata-kata Pro Justia atau Demi Keadlilan.
c. Pada bagian tengah halaman pertama ditulis kata-kata BAP dan dibawahnya
antara tanda kurung dituliskan status orang yang diperiksa (saksi, ahli,
tersangka).
d. Pada pendahuluan BAP dicantumkan Hari/Tanggal/Bulan/Tahun/Waktu
Pembuatan, Identitas Penyidik/Penyidik Pembantu yang memeriksa dan
Legalitas Penyidik, Identitas Terperiksa terdiri dari Nama Lengkap, Alias (Nama
Panggilan), Tempat dan Tanggal Lahir (Umur), Agama, Kewarganegaraan,
Tempat Tinggal, Pekerjaan. Semua Identitas tersebut dicocokan dengan KTP,
Passport, SIM, Nomor Telepon. Lalu ditulis juga mengenai alasan pemeriksaan
yang berisikan nomor dan tanggal dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat
perkara dan Pasal Undang-Undang yang dilanggar.
e. Dibagian awal pertanyaan harus ditanyakan tentang kondisi kesehatan
terperiksa, dan juga pemeriksa harus menyampaikan agar terperiksa memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya.

16
f. Lalu mulai ditanyakan hal-hal yaitu meliputi : tentang pendampingan, riwayat
hidup, pengalaman dan keahliannya, saksi yang meringankan, dan keterangan
lainnya.
g. Lalu dihalaman terakhir, Terperiksa dan yang mendampingi memberi paraf pada
pojok kanan bawah BAP.
h. Pada akhir BAP terdapat kolom tandatangan Terperiksa dan pihak lain yang
terlibat kemudian BAP ditutup dengan tandatangan penyidik.

Apabila pemeriksaan belum selesai, maka pemeriksaan dapat dihentikan sementara


dengan menutup dan Terperiksa, Pemeriksa, serta pihak yang terlibat
menandatangani BAP tersebut . Untuk BAP lanjutan, isinya sebagai berikut : Nama
kesatuan dan menggunakan kata Pro Justitia atau Demi Keadlian, Judul BAP
lanjutan saksi/ahli/terperiksa, Nomor pertanyaan merupakan lanjutan dari nomor
BAP sebelumya, Pengantar pembuatan BAP lanjutan sama dengan pengantar BAP
sebelumnya.Ketentuan lain terkait pemeriksaan :

a. Bila Terperiksa tidak dapat baca tulis, maka kolom tandatangan dibubuhkan cap
jempol.
b. Bila Terperiksa tuna rungu dan tuna wicara, maka pemeriksa wajib mencari ahli
bahasa isyarat untuk mendampingi sebagai penerjemah. Yang mana penerjemah
ini harus disebutkan dalam uraian BAP.
c. Bila Terperiksa cacat kedua belah tangannya, maka pemeriksa membubuhkan
keterangan tentang keadaan Terperiksa dan diketahui oleh saksi lain.
d. Bila yang bersangkutan tidak mau menandatangani BAP, maka dibuatkan Berita
Acara Penolakan dengan menulis alasannya.
e. Pada saat pemeriksaan di Luar Negeri, maka Terperiksa harus didampingi oleh
perwakilan negara RI atau Kedubes atau Konjen atau Konsuler dan hasil BAP
nya dilegalisir oleh perwakilan negara RI di Negara tersebut.
f. Pasa setiap awal dan akhir kalimat apabila masih ada ruang harus diisi dengan
garis putus-putus.
g. Bila ada tulisan yang salah perlu diperbaiki supaya tulisan yang salah tersebut
dicoret dan diparaf diujung kiri/kanan, Perbaikan ditulis pada marge dan diparaf
pada ujung kiri dan kanan dengan didahului kata-kata “SAH DIGANTI”.
h. Kata-kata harus ditulis lengkap (tidak disingkat).

17
i. Penulisan angka yang menyebutkan jumlah harus diulangi dengan huruf dalam
tanda kurung.

Syarat Materiil :

Persyaratan materiil yang harus dipenuhi dalam suatu BAP terkait dengan 7
pertanyaan , yaitu :

1. Siapa ;
2. Apa ;
3. Dimana ;
4. Dengan Apa ;
5. Mengapa ;
6. Bagaimana ;
7. Bilamana.
2.6 Peranan Berita Acara Pemeriksan (BAP) Dalam Penanganan Perkara

Pidana Oleh Penyidik

Berita acara pemeriksaan tersangka, saksi, dan ahli adalah catatan atau tulisan yang
bersifat otentik, yang dibuat oleh penyidik atau penyidik pembantu atas kekuatan
sumpah jabatan, yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik atau penyidik
pembantu (petugas yang membuat BAP tersebut) dan tersangka, saksi, atau ahli yang
diperiksa, serta memuat uraian tindak pidana yang disangkakan dengan menyebut
waktu, tempat, dan keadaan pada waktu suatu tindak pidana tersebut dilakukan, berita
acara pemeriksaan juga harus memuat identitas penyidik atau penyidik pembantu dan
yang diperiksa serta keterangan-keterangan yang diperiksa Berdasarkan Pasal 184 ayat
(1) KUHAP menyatakan secara limitative alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.
Selain alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 tersebut, tidak dibenarkan menggunakan
alat bukti lain selain alat bukti yang telah diatur dalam pasal 184 ayat (1) untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam Pasal 187 huruf a KUHAP mengatur bahwa
berita acara, termasuk berita acara pemeriksaan (BAP) merupakan alat bukti surat yang
dapat di gunakan dalam pengadilan. Alat bukti yang sah dan yang dibenarkan
mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat itu saja. 16 Adapun alat

16
Yahya Harahap, 2009, pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP: pemeriksaan sidang
pengadilan, Banding, Kasasi dan peninjauan kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.285-289

18
bukti yang sah menurut Undang Undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal
184 ayat (1) KUHAP adalah:

1. Keterangan saksi.
2. Keterangan ahli.
3. Surat.
4. Petunjuk.
5. Keterangan terdakwa.

Diantaranya terdapat keterangan saksi yang dimuat dalam pembuatan Berita


Acara Pemeriksaan (BAP) yang pada umumnya dibuat oleh penyidik seperti kepolisian
Republik Indonesia. Keterangan saksi adalah alat bukti yang utama, dalam hampir
setiap perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Meskipun
yang dimintai keterangannya oleh hakim dalam persidangan merupakan keterangan
terdakwa, namun dilihat dari hierarki alat-alat bukti yang sah keterangan saksi (terutama
saksi korban) dianggap yang pertama, karena keterangan saksi adalah keterangan yang
disampaikan oleh orang yang mendengar, melihat dan mengalami suatu peristiwa
pidana. Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan dimuka
sidang pengadilan.17

Usaha pembuatan BAP ini merupakan salah satu bagian terpenting dalam
18

penyidikan. Karena proses berita acara pemeriksaan ini merupakan dasar untuk
pemeriksaan selanjutnya, yaitu penuntutan dan menjadi dasar pula dalam proses
pemeriksaan dimuka persidangan pengadilan. Berita acara pemeriksaan itu disajikan
bagi hakim sebagai dasar pemeriksaan suatu peristiwa pidana dalam sebuah sidang
pengadilan. Ida bagus dwiyantara juga mengatakan hal yang sama bahwa BAP pada
dasarnya berfungsi sebagai pedoman atau tuntutan bagi hakim guna memeriksa suatu
perkara pidana yang dipelajari agar hakim mengerti kronologis atau alur tindak pidana.
Mengenai BAP sebagai alat bukti surat Mahkamah Agung memberi penegasan bahwa
berita acara, bukan hanya sekedar pedoman hakim untuk memeriksa suatu perkara
pidana, melainkan sebuah alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian. Dalam hal ini

17
Susmono sumowardojo, Pedoman Dasar dan Cara Pengusutan Peristiwa Tindak Pidana (Semarang SS
Semarang 1969 hlm 10
18
Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan (PemeriksaanSidangPengadilan,
Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.hlm 25

19
merujuk pada Pasal 187 huruf a KUHAP yang tertulis bahwa BAP merupakan alat bukti
surat. BAP ini merupakan bentuk proses verbal yang dianut oleh HIR dan diteruskan
sampai sekarang. BAP dibuat oleh penyidik atau penyidik pembantu yang berwenang
dalam melakukan penyidikan, BAP itu harus disetujui dengan pemberian tanda tangan
oleh tersangka, saksi, atau saksi ahli yang diperiksa pada saat pembuatan Berita Acara
Pemeriksan tersebut.BAP itu adalah bukti dan keyakinan penyidik akan kesalahan
tersangka. Dalam penjelasan yang terdapat pada pasal 305 HIR menyebutkan bahwa
BAP dapat berguna sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan, BAP dapat menjadi
alat bukti keterangan sesuai Pasal 162 KUHAP dan alat bukti surat sesuai Pasal 287
huruf a KUHAP hal yang sama diatur demikian dalam RUU KUHAP revisi 2010 dalam
pasal 177 huruf a.

Apabila dibuat oleh seorang pegawai polisi yang telah disumpah pada waktu
menerima jabatannya maka bunyi penutupan itu ialah sebagai berikut ” Demikian berita
acara ini saya buat dengan mengingat sumpah jabatan. saya tutup dan di tanda
tandatangani di..pada tanggal..bulan.. tahun..” Dalam praktik kepolisian agar suatu
berita acara pemeriksaan ( BAP ) itu menjadi jelas untuk di baca dan tidak mudah
dipalsukan, maka dalam penulisan suatu berita acara pemeriksaan haruslah diperhatikan
ketentuanketentuan sebagai berikut:

1. Berita acara itu harus ditulis dengan kalimat-kalimat sederhana, singkat, tapi
lengkap.
2. Tulisan harus terang, serta diberi garis antara yang cukup apabila ditulis dengan
mesin tulis.
3. Diantara garis-garis itu tidak diperkenankan dituliskan apa apa.
4. Tempat-tempat yang kosong tidak diperbolehkan, garis- garis yang tidak penuh
dengan tulisan harus ditutup dengan garis.
5. Jika menulis manual dilarang menghapus dengan setip.
6. Coretan-coretan atau tambahantambahan kata-kata harus dituliskan pada
halaman kiri yang kosong dan disahkan dengan paraf atau tanda tangan
pembuat.
7. Kata-kata wajib ditulis dengan lengkap, tidak diperbolehkan menyingkat kata-
kata yang tidak umum.

20
8. Angka-angka yang sungguh-sungguh penting harus ditulis dengan huruf atau
diulangi ditulis dengan huruf.
9. Lebih baik apabila nama- nama orang yang tersebut dalam berita acara itu ditulis
dengan huruf huruf besar atau pun bila dengan huruf kecil tetapi digaris bawahi.
Secara konkrit tindakan penyidikan dapat diperinci sebagai tindakan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang,:
a. Tindak pidana apa yang telah dilakukan.
b. Kapan tindak pidana itu dilakukan.
c. Dimana tindak pidana itu dilakukan.
d. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan.
e. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan.
f. Mengapa tindak pidana itu dilakukan.
g. Siapa pembuatnya atau yang melakukuan tindak pidana itu.

Sehingga isi dari berita acara pemeriksaan (BAP) haruslah berkaitan dengan tujuh
pertanyaan pokok diatas. Adapun pasal-pasal dalam KUHAP yang mengatur
keberadaan perihal berita acara pemeriksaan ini, ialah sebagai berikut:

1. Pasal 8 ayat (1) KUHAP :Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan
tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 dengan tidak mengurangi
ketentuan lain dalam undang-undang ini.
2. pasal 12 KUHAP: Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan
berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan
singkat yang dapat langsung diserahkan kepada Penuntut Umum.
3. Pasal 33 ayat (5) KUHAP : Dalam waktu dua hari setelah memasuki atau
menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya
disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.
4. Pasal 49 ayat (1) KUHAP : Penyidik membuat berita acara tentang tindakan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 dan pasal 75. Pasal 49 ayat (2) KUHAP :
Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kantor pos
dan telekomunikasi, Kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau
pengangkutan yang bersangkutan.

21
5. Pasal 72 KUHAP: Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat
yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk
kepentingan pembelaannya.
6. Pasal 75 ayat (1) KUHAP: Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:
pemeriksaan tersangka. - Penangkapan. - Penahanan. - Penggeledahan. -
Pemasukan rumah. - Penyitaan benda. - Pemeriksaan surat. - Pemeriksaan saksi.
- Pemeriksaan ditempat kejadian. - Pelaksanaan penetapan dan putusan
pengadilan. - Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang
ini.

19
Pasal 75 ayat (2) KUHAP : Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam
melakukan tindakan tersebut pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.
Pasal 75 ayat (3) : berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada
ayat (2) ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut
pada ayat (1).9 Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) KUHAP Penyidik memiliki kewajiban
sebagai berikut:

1. Menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka.
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara.
9. Mengadakan penghentian penyidikan.
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab

Kewenangan yang diberikan ke Penyidik yang tersebut di atas, dalam hal pelaksanaan
tugasnya haruslah mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain
kewajiban di atas, dalam setiap tugasnya seorang penyidik harusmenjunjung tinggi

19
Pasal 75 ayat (2) KUHAP dan Pasal 75 ayat (3)

22
hukum yang berlaku (Pasal 7 ayat (3) KUHAP). Dalam melaksanakan tugasnya,
penyidik akan membuat sebuah Berita Acara dan Penyidik yang selanjutnya akan
diserahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Penyidik hanya menyerahkan
berkas perkara saja, akan tetapi apabila pelaksanaan penyidikan dianggap telah cukup
atau selesai, maka penyidik akan menyerahkan seluruh tanggung jawab atas seorang
tersangka kepada Penuntut Umum seperti yang tertulis dalam Pasal 8 KUHAP.

20
Penyidik mempunyai wewenang memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi ditingkat penyidikan, penyidik yang melakukan
pemeriksaan harus dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, penyidik
berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk di periksa,
dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar
antara diterimanya panggilan dan hari orang itu diharuskan memenuhi panggilan
tersebut. Orang yang di panggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang,
penyidik berhak memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas yang
berwenang untuk membawanya. Pada umumnya suatu berita acara yang baik haruslah
memenuhi beberapa syarat, sebagai berikut:

1. Berita acara haruslah dibuat oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini
penyidik yang melakukan proses penyidikan.
2. Berita acara itu harus memuat hari, tanggal, dan jam dilakukannya tindakan
pemeriksaan itu oleh penyidik tersebut dengan menyebutkan juga nama,
pangkat, dan ditandatangani oleh baik penyidik maupun oleh si terperiksa.
Artinya bahwa penyidik itulah yang bertanggung jawab atas kebenaran isi berita
acara tersebut. Adapun tangal itu perlu untuk menjamin agar berita acara dengan
secepat mungkin dibuatnya.
3. Berita acara itu harus memuat gambaran yang jelas tentang terjadinya perkara
pidana. Di dalam berita acara tersebut, harus dimuat hal-hal dan keadaan-
keadaan yang telah didengar, dilihat dan dialami sendiri oleh saksi tersebut.
Serta disebutkan dengan nyata alasan-alasan pengetahuannya tidak boleh dari
kata orang lain.

20
R.soesilo(e), Membuat Berita Acara dan laporan polisi (menurut KUHAP) ,cet 1, ( Bogor Politeia
1985 ,hlm 10

23
4. Berita acara itu harus memuat segala unsur-unsur hukum sebagaimana yang di
maksudkan oleh undang-undang hukum acara pidana.
5. Harus dibuat atas sumpah jabatan, agar menjamin bahwa apa yang tersebut
dalam berita acara itu benar, tidak palsu.

Agar suatu acara pemeriksaan itu dapat digunakan sejalan dengan yang
dimaksudkan oleh undang-undang, karena itulah dalam suatu berita acara pemeriksaan
harus memuat, sebagai berikut:

1. Keadaan-keadaan pada waktu tindak pidana itu dilakukan haruslah dituliskan dalam
berita acara pemeriksaan itu.
2. Macam tindak pidana yang telah dilakukan, misalnya suatu pembunuhan atau suatu
pencurian atau penggelapan atau suatu penganiayaan dan sebagainya.
3. Waktu bilamana tindak pidana itu dilakukan, misalnya jam, waktu siang atau
malam, hari bulan dan tahun.
4. Tempat dimana tindak pidana itu telah terjadi.
5. Bukti-bukti serta penunjukanpenunjukan yang memberatkan kesalahan terdakwa
tentang tindak pidana itu.

Syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh penyidik, agar suatu berita acara menjadi sah
adalah:

1. Berita acara tersebut harus dibuat oleh pejabat yang bersangkutan, yakni
penyidik yang melakukan tindakan penyidikan, dan dibuat atas kekuatan sumpah
jabatan (Pasal 75 ayat (2) KUHAP).
2. Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat penyidik yang
bersangkutan, juga harus ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat dalam
tindakan penyidikan tersebut.

2.7 Perlindungan Hukum Terhadap Korban Dalam Tahap Penyelidikan Dan


Penyidikan Di Kepolisian
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan Lembaga
pemerintahan yang mempunyai tugas pokok di bidang penegakan hukum,
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pelayanan,
perlindungan serta pengayoman masyarakat. Dalam pelaksanaannya, tugas

24
pokok tersebut dilakukan oleh segenap anggota Polri yang bertugas mulai dari
pejabat Polri di pusat sampai pejabat di daerah, dan bahkan anggota yang
bertugas di lapangan. Sesuai dengan azas negara hukum Republik Indonesia,
maka pelaksanaan tugas tersebut harus mendasari kepada hukum yang berlaku.
Kepolisian diberikan kewenangan atau diskresi oleh hukum pidana kita
untuk melakukan seluruh rangkaian proses terhadap siapa saja yang terlibat
dalam kejahatan19. Wewenang kepolisian bukanlah untuk mempengaruhi
jalannya proses pemidanaan, namun untuk memperkuat proses penegakan
hukum.
Pengaturan mengenai penyelidikan dan penyidikan di tingkat kepolisian
diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kemudian
dijelaskan dalam Perkap No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan
Tindak Pidana.
Penyidikan tindak pidana tersebut harus dilaksanakan dengan
professional, transparan dan akuntabel terhadap setiap perkara pidana, guna
terwujudnya supremasi hukum yang mencerminkan rasa keadilan.
Penyidikan tindak pidana dilaksanakan berdasarkan Laporan Polisi dan
surat perintah penyidikan. Laporan Polisi sebagaimana dimaksud dalam Perkap
No 14 Tahun 2012 pada pada pasal 5 ayat (1) yang diterima Sentra Pelayanan
Kepolisian Terpadu (SPKT) atau Siaga Bareskrim Polri dibuat dalam bentuk
Laporan Polisi Model A (perkara ditemukan oleh polisi) dan Laporan Polisi
Model B (adanya laporan dari masyarakat).
Setelah Laporan Polisi dibuat, penyelidik/penyidik pembantu yang
bertugas di SPKT atau Siaga Bareskrim Polri segera menindaklanjuti dengan
melakukan pemeriksaan terhadap pelapor dalam bentuk berita acara
pemeriksaan saksi pelapor. Kepala SPKT atau Kepala Siaga Bareskrim Polri
segera meneruskan laporan polisi dan berita acara pemeriksaan saksi pelapor
sebagaimana dimaksud pada pasal 14 ayat (3) kepada: a. Karobinops Bareskrim
Polri untuk laporan yang diterima di Mabes Polri; b. Direktur Reserse Kriminal
Polda untuk laporan yang diterima di SPKT Polda sesuai jenis perkara yang
dilaporkan; c. Kapolres/Wakapolres untuk laporan yang diterima di SPKT
Polres; dan d. Kapolsek/Wakapolsek untuk laporan yang diterima di SPKT

25
Polsek. Laporan Polisi dan berita acara pemeriksaan saksi pelapor sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat dilimpahkan ke kesatuan yang lebih rendah atau
sebaliknya dapat ditarik ke kesatuan lebih tinggi. Kegiatan penyidikan
dilaksanakan secara bertahap meliputi: 21
a. Penyelidikan;
b. Pengiriman SPDP;
c. Upaya paksa;
d. Pemeriksaan;
e. Gelar perkara;
f. Penyelesaian berkas perkara;
g. Penyerahan berkas perkara ke penuntut umum;
h. Penyerahan tersangka dan barang bukti; dan
i. Penghentian penyidikan.

Seluruh rangkaian kegiatan penyidikan tersebut, ditujukan untuk


mengungkap tindak pidana dan berorientasi pada tertangkapnya pelaku tindak
pidana. Serangkaian kegiatan tersebut akan melibatkan korban kejahatan dalam
prosesnya.

Namun, pengaturan mengenai penyidikan di kepolisian tidak mengatur


korban di dalamnya. Keberadaan korban didalam proses penyidikan hanya
untuk kepentingan pembuktian perbuatan ataupun kesalahan pelaku tindak
pidana. Dalam hal ini, korban hanya sebagai alat bukti keterangan saksi.

Kurangnya perlindungan hukum terhadap korban dapat menyebabkan


korban bersikap pasif dan cenderung non-kooperatif dengan petugas. Bahkan
terdapat korelasi antara kurangnya perlindungan dengan keengganan korban
untuk melapor kepada aparat, terlebih lagi setelah korban melapor, peran dan
kedudukannya bergeser sedemikian rupa sehingga aparat peradilan merasa
satu-satunya pihak yang dapat mewakili semua kepentingan korban.

Hak-hak dan kepentingan korban sama sekali tindak mendapatkan


perlindungan secara jelas dan seimbang. Sehingga korban mengalami kerugian
21
Yulia R,Herli d,Prakasa A. (2019). “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEJAHATAN PADA
PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA”. Jurnal Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Hlm.664

26
untuk yang kedua kali. Kerugian pertama karena sebagai objek tindak pidana.
Kerugian kedua, materi dan waktu yang digunakan untuk proses pengungkapan
tindak pidana dalam tahap penyidikan. Atau dengan kata lain korban
mengalami viktimisasi sekunder.

Hak hak korban telah diatur secara umum di dalam Undang-Undang


Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tepatnya di dalam Pasal
5, yang menguraikan hak-hak saksi dan korban sebagai berikut:22

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya,


serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya;
Hak diatas, dalam proses penyidikan di kepolisian belum sepenuhnya dapat
diperoleh korban. Hasil wawancara diperoleh data bahwa korban belum
memperoleh perlindungan keamanan pribadi, keluarga, dan harta benda. Proses
penyelidikan ataupun penyidikan belum menempatkan korban sebagai objek
ataupun subjek yang dilindungi, bahkan adakalanya sebagian penyidik tidak
mengetahui tentang hak ini.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
Menentukan perlindungan sendiri dengan kata lain ingin dilindungi seperti apa
belum terlaksana dalam proses penyidikan. Perlindungan yang diberikan
belumlah memadai, dalam kasus lain penyidik beranggapan tersangkalah yang
harus dilindungi dengan ditahan dikantor polisi agar terhindar dari amukan
masa.
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
pertanyaan kepada korban adakalanya dipenuhi dengan tekanan, hal itu dianggap
sebagai bagian dari strategi untuk mendapatkan keterangan yang diinginkan.
d. Mendapat penerjemah;

22
Yulia R,Herli d,Prakasa A. (2019). “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEJAHATAN PADA
PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA”. Jurnal Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Hlm.666

27
Hak ini yang sudah dilaksanakan meski dengan cara bukan ada penerjemah
tetapi penyidik bertanya dengan Bahasa di daerah itu.
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
Pertanyaan menjerat dengan yang tidak menjerat adalah tipis perbedaannya.
Menjerat disini dengan maksud menjebak agar menjawab dengan jujur atau
menjawab sesuai dengan keinginan penyidik. Dalam beberapa kasus, pertanyaan
menjerat dilakukan agar terungkap informasi yang valid dengan waktu yang
tidak terlalu lama.
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
Informasi perkembangan kasus dalam tahap penyidikan sudah diperoleh pihak
korban dengan baik. Yaitu adanya SP2HP, Surat Pemberitahuan Perkembangan
Hasil Penyidikan yang disampaikan kepada korban. SP2HP ini ada beberapa
tahapan, yang meliputi:
1. Format A1: perihal pemberitahuan perkembangan hasil penelitian laporan
dibuat penyidik setelah 3 hari menerima laporan.
2. Format A2: perihal pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan. Hal ini
dilakukan apabila perkara tersebut tersangkanya belum tertangkap atau
terungkap dan masih dalam proses penyelidikan.
3. Format A3: perihal pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan apabila
dalam proses penyelidikan ditemukan bukti permulaan yang cukup dan dapat
ditingkatkan untuk proses penyidikan.
4. Format A4: perihal pemberitahuan hasil penyidikan dibuat secara bertahap
selama perkara tersebut dalam proses penyidikan sampai dengan pengiriman
tersangka dan barang bukti ke JPU (Tahap II)
5. Format A5: perihal pemberitahuan perkembangan hasil
penyelidikan/penyidikan apabila perkara tersebut proses
penyidikan/penyelidikannya dihentikan dengan alasan:
a. Perkaranya bukan tindak pidana;
b. Perkaranya tidak cukup bukti/kadaluwarsa;
c. Tersangkanya meninggal dunia;
d. Tersangkanya dinyatakan gila yang dikuatkan dengan surat keterangan
saksi ahli.

28
Meski demikian, SP2HP adakalanya tidak sampai kepada korban, dengan
berbagai kendala.

2.8 Kerjasama Polri dan LPSK; Upaya Perlindungan Terhadap Korban

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban juga mengatur hak-hak saksi dan korban sebagai berikut:
a. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
b. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
c. Dirahasiakan identitasnya;
d. Mendapatkan identitas baru;
e. Mendapat tempat kediaman sementara;
f. Mendapatkan tempat kediaman baru;
g. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
h. Mendapatkan nasihat hukum; dan/atau
i. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai waktu perlindungan
berakhir;
j. Mendapat pendampingan.
Beberapa hak-hak korban di atas mungkin tidak berkaitan langsung dengan
tugas dan kewenangan kepolisian dalam hal penyidikan. Beberapa hak di atas,
menjadi pertanyaan penyidik, apakah memang harus diberikan oleh penyidik
atau ada sub sistem peradilan lain yang memiliki tugas dan kewenangan
tersebut.
Hak untuk mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan, hak untuk
mendapatkan informasi dalam hal terpidana dibebaskan, hak dirahasiakan
identitasnya, Hak untuk mendapat identitas baru, adalah merupakan hak-hak
korban yang diperoleh bukan pada tahap penyidikan, sehingga tidak menjadi
kewenangan penyidik untuk pemenuhan hak-hak tersebut.

29
Hak dirahasiakan identitasnya dapat juga diperoleh di tahap penyidikan. Hak ini
merupakan hak baru yang ada dalam perubahan undang-undang perlindungan
saksi dan korban.
Adapun hak-hak korban lainnya adalah mendapat tempat kediaman sementara;
mendapatkan tempat kediaman baru; memperoleh penggantian biaya
transportasi sesuai dengan kebutuhan; mendapatkan nasihat hukum; dan/atau;
memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai waktu perlindungan
berakhir; mendapat pendampingan. Hak-hak tersebut akan sulit di
implementasikan dalam tahap penyidikan, apabila hanya penyidik yang
melaksanakan. Oleh karenanya diperlukan lembaga lain yang berwenang untuk
secara koordinasi memenuhi hak-hak korban.
Sebagai contoh hak mendapat kediaman sementara dan hak mendapatkan
kediaman baru tidak bisa diberikan oleh penyidik tanpa peran lembaga lain
yang berwenang. Kemudian selama ini penyidik tidak dapat memberikan
penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan kepada korban, hal ini
mengingat anggaran di kepolisian yang terbatas, selain itu fokus manajemen
anggaran adalah untuk pengungkapan pelaku tindak pidana.
Hak untuk mendapatkan nasihat hukum dan hak untuk mendapatkan
pendampingan memerlukan kerjasama dengan advokat dan lembaga sosial
ataupun lembaga psikososial.

Pada dasarnya, hak-hak korban di atas memang merupakan hak-hak korban


tindak pidana yang secara umum diatur dalam Undang-Undang Perlindungan
Saksi dan Korban. Oleh sebab itu pelaksanaannya juga memerlukan kerjasama
dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bertanggungjawab untuk
menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban
berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-undang
ini. Secara eksistensial, hadirnya LPSK diharapkan agar proses penegakan
hukum pada umumnya dan penegakan sistem peradilan pidana pada khususnya,
dapat semakin mengembirakan dalam wujud pencapaian kepastian hukum dan
penciptaan keadilan.7

30
Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, LPSK
berwenang:
a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan pihak
lain yang terkait dengan permohonan;
b. Menelaah keterangan, surat, dan/atau dokumen yang terkait untuk
mendapatkan kebenaran atas permohonan;
c. Meminta salinan atau fotokopi surat dan/atau dokumen terkait yang
diperlukan dari instansi manapun untuk memeriksa laporan pemohon sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum;
e. Mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
f. Mengelolarumahaman;
g. Memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman;
h. Melakukan pengamanan dan pengawalan;
i. Melakukan pendampingan Saksi dan/atau Korban dalam proses peradilan; dan
j. Melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian Restitusi dan Kompensasi.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014
tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban mengatur tentang perlindungan terhadap saksi/korban
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 5 diberikan sejak tahap penyelidikan
dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang. Dengan demikian, hak- hak yang sebagaimana sudah
diuraikan di atas, harus diberikan pada tahap penyelidikan dan penyidikan.
Pasal 8 ayat (2) mengatur bahwa dalam keadaan tertentu, perlindungan
diberikan sesaat setelah permohonan diajukan kepada LPSK.
Melihat pengaturan yang terdapat dalam Undang-undang perlindungan saksi
dan Korban, rasanya sudah lengkap dan dapat diimpementasikan dengan baik.
Akan tetapi dalam proses penyidikan masih memerlukan berbagai perangkat
dan dukungan dalam pemberian perlindungan korban tersebut.

31
Peraturan kepolisian yang substansinya merupakan instrumen bagi Polri dalam
memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban yaitu Peraturan Kapolri
No 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara
Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana.

Dalam perkap tersebut telah diatur mengenai prinsip penyelenggaraan


pelayanan saksi dan/atau korban, antara lain:
a. Menjunjung tinggi hak asasi manusia;
b. Memberikan jaminan keselamatan terhadap saksi dan/atau korban yang
memberikan keterangan;
c. Menjaga kerahasiaan saksi dan/atau korban;
d. Meminta persetujuan secara lisan akan kesediaan saksi dan/atau korban untuk
memberikan keterangan;
e. Mengajukan pertanyaan dengan cara yang bijak;
f. Tidak menghakimi saksi dan/atau korban;
g. Menyediakan penerjemah, apabila diperlukan;
h. Mendengarkan keterangan korban dengan aktif dan penuh pengertian;
i. Memberikan informasi tentang perkembangan perkaranya;
j. Menjaga profesionalisme untuk menjamin terwujudnya keadilan dan
kepastian
hukum;
k. Memperlakukan saksi dan/atau korban dengan penuh empati.
Melihat prinsip-prinsip di atas, sesungguhnya sejalan dengan hak-hak korban
yang harus dipenuhi. Namun, Perkap ini memang ditujukan untuk korban
perempuan dan/atau anak, tetapi tidak ada salahnya jika diterapkan kepada
seluruh korban tindak pidana.
Dalam perkembangannya, ada beberapa peraturan baru terkait dengan
penyelesaian tindak pidana, yaitu terbitnya Surat Edaran Kapolri Nomor:
SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Surat Edaran tersebut memuat beberapa hal
terkait dengan keberadaan korban dalam proses penyelesaian perkara pidana.

32
Dasar atau pertimbangan tersebut antara lain mengenai proses penyelidikan dan
penyidikan suatu tindak pidana merupakan kunci utama untuk menentukan
dapat tidaknya suatu perkara dilanjutkan ke proses penuntutan dan peradilan
pidana. Hal ini guna mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian
hukum dan kemanfaatan, mengedepankan asas peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan.
Untuk mewujudkan tujuan hukum tersebut, metode penegakan hukum harus
mengikuti perkembangan keadilan masyarakat. Keadilan yang sedang
berkembang saat ini adalah keadilan restoratif. Prinsip keadilan restoratif yang
merefleksikan keadilan sebagai bentuk keseimbangan hidup manusia.
Model penyelesaian perkara yang dilakukan adalah upaya mengembalikan
keseimbangan tersebut dengan membebani kewajiban terhadap pelaku
kejahatan dengan kesadarannya mengakui kesalahan, meminta maaf, dan
mengembalikan kerusakan dan kerugian korban seperti semula atau setidaknya
menyerupai kondisi semula, yang dapat memenuhi rasa keadilan korban.
Meski demikian, dalam beberapa pasal yang diatur terdapat hal yang sulit
diimplementasikan. Misalnya terkait dengan polisi yang harus menjadi mediator
dalam penyelesaian perkara. Selain mediator memiliki syarat-syarat tersendiri
dan khusus, juga ada pandangan bahwa polisi tidak boleh intervensi dalam
menyelesaikan suatu perkara. Dalam Surat Edaran disebutkan bahwa
penyelidik/penyidik sebagai mediator, tetapi dalam praktek tidak aman bagi
penyelidik/penyidik. Karena belum ada pelatihan mediator bagi
penyelidik/penyidik Polri.
Hal lain adalah adanya prinsip pembatas terkait dengan penerapan keadilan
restoratif dalam proses penyidikan hanya sebelum SPDP dikirim ke Penuntut
Umum sangat mempersulit penyelesaian perkara pidana dengan penerapan
keadilan restoratif dan dipandang mempersempit atau sangat membatasi
“ruang” penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana pada
proses penyidikan tindak pidana. Proses restoratif hanya dapat dilakukan pada
perkara yang masih dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan sebelum SPDP.
Oleh karena itu, proses restoratif justice dapat dimaksimalkan pada saat
penyelidikan saja.

33
Restorative justice juga digunakan untuk menanggulangi perkara yang sudah
menumpuk, meski dalam praktek terjadi permasalahan. Pertama, restorative
justice disalahkaprahkan sebagai tidak melanjutkan kasus (mirip diskresi) atau
penghentian kasus (mirip penangguhan penahanan perkara) padahal keduanya
tidak benar.

Meski demikian, semangat keadilan restoratif yang diusung Surat Edaran


tersebut telah setidaknya memperhatikan kepentingan korban, kerugian korban
dan keterlibatan korban dalam menyelesaikan perkara pidana di tingkat
penyelidikan dan penyidikan.
Dengan demikian, perlindungan hukum terhadap korban kejahatan dalam tahap
penyidikan di kepolisian telah diatur dalam beberapa peraturan kepolisian,
antara lain peraturan kapolri dan surat edaran. Akan tetapi pelaksanaan dari
aturan tersebut belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh, mengingat
beberapa peraturan tersebut dikhususkan untuk tindak pidana tertentu, bukan
untuk semua tindak pidana.

34

Anda mungkin juga menyukai