Anda di halaman 1dari 15

TINDAK PIDANA PERS

ANDREAN JULIANTO
NIM: 201910110311043
HUKUM PIDANA III / A
Tindak pidana pers adalah kelompok tindak pidana mempublikasikan berita dengan
tulisan yang isinya bersifat melawan hukum. Tersebar di KUHP dan di peraturan
perundang-undangan lainnya.
Penyelesaian kasus pidana pers tidak bisa dipaksakan dengan UU Pers. Tindak
pidana pers bukan lex specialis dalam UU Pers. Meskipun dengan alasan harus terlebih
dulu menggunakan hak jawab dan usaha mediasi. Tidak menggunakan hak jawabatau
mediasi bukan alasan peniadaan penuntutan. Hak jawab sekedar hak untuk menempatkan
berita yang semula dianggap salah pada keadaan yang sebenarnya. Pemenuhan hak jawab
atau mediasi tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Mediasi sekedar
menyelesaikan  konflik keperdataan saja.
Undang-undang tidak mengenal istilah tindak pidana pers. Istilah itu
dikenal dalam masyarakat, merupakan istilah sosial. Suatu istilah
yang menggambarkan sekelompok tindak pidana yang mengandung
ciri-ciri: 
·Dilakukan dengan perbuatan mempublikasikan.wujudnya bisa
bermacam-macam bergantung dan berhubungan dengan unsur
perbuatan yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana
tertentu yang bersangkutan. Misalnya menyerang kehormatan
atau nama baik dengan tulisan (Pasal 310 KUHP); menyiarkan,
mempertunjukkan atau menempelkan tulisan (Pasal 144, 155, 157
KUHP).
Caranya atau sarananya dengan menggunakan tulisan/barang
cetakan.
·Di dalam berita/informasi mengandung sifat melawan hukum.
Karena isinya melanggar kepentingan hukum orang pribadi
atau masyarakat termasuk Negara yang dilindungi hukum. 
Agar dapat dipidananya tindak pidana pers, selain perlu
memenuhi unsur tersebut juga harus adanya kesengajaan, yang
ditujukan baik terhadap perbuatnnya, sifat melawan hukumnya
perbuatanmaupun sifat melawan hukum mengenaiisi beritanya.
Kesengajaan harus dibuktikan ataukah tidak, bergantung
dicantumkan ataukah tidak di dalam rumusan tindak pidana in
concreto. Unsur sengaja selalu harus dianggap ada pada setiap
kejahatan, kecuali jika dinyatakan secara expressis verbis kulpa.Jika
dicantumkan wajib dibuktikan, sebaliknya jika tidak – tidak perlu
dibuktikan. Dengan terbuktinya perbuatan unsur sengaja dianggap
terbukti pula. Sebaliknya kalau yang terbuktiketiadaankesengajaan
(pengetahuan) terhadap unsur tertentu, tidak boleh dipidana.
Ketiadaan kesengajaan (pengetahuan) merupakan alasan penghapus
kesalahan.
Tindak pidana bentuk apapun, baru dapat dimasukkan ke dalam
kelompok tindak pidana pers, apabila memenuhi ciri-ciri tersebut.
Tindak pidana yang memenuhi ciri itu, terdapat pada bermacam-
macam tindak pidana tertentu. Misalnya dalam bentuk-bentuk
penghinaan, penghasutan, pornografi, menyiarkan berita bohong,
pembocoran rahasia Negara, dll.
PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA PERS
•Pertanggungjawaban Pidana Redaktur
Perusahaan pers harus berbentuk badan hukum. Diancam pidana bilamenjalankan 
kegiatan pers tanpa berbadan hukum. Badan hukumsebagaimana dalam hukum.
 perdata sebagai pendukung hak dankewajiban disebut rechtspersoon. Pasal 18 Ay
at (2) dan Ayat (3) UU Pers secara tegas menyatakan “Perusahaan Pers” sebagai p
embuatnya(subjek hukum) tindak pidana/
delik pers. Dengan demikianberdasarkan UU Pers tidak mungkin pertanggungjaw
aban pidanapribadi terdapat pada tindak pidana pers.
Pertanggungjawaban pribadi
Dalam tindak pidana pers, apabila tindak pidana tersebut timbul dariperbuatan me
mpublikasikan berita atau informasi dengan
PertanggungjawabanPidana Perusahaan Pers
•Berbeda halnya dengan pertanggungjawaban pidanaredaktur, pertanggungjawaban 
pidana pada perusahaanpers ini hanya berlaku pada delik pers yang dirumuskandala
m Pasal 18 Ayat (2) dan (3) UU No.
40 Tahun 1999 tentang Pers dan perbedaan yang
paling mencolok daripertanggungjawaban pidana perusahaan pers adalahpertanggun
gjawaban pidana redaktur tidak disebutkan danditentukan secara khusus dalam perat
uran perundang-
undangan sedangkan pertanggungjawaban pidana padaperusahaan pers disebut secar
a formal dan ditentukandalam Pasal 18 Ayat (2) dan (3)
UU Pers sebagaimanadisebutkan sebelumnya.
TEORI KEBEBASAN PERS
Pers Otoritarian
Sistem pers otoriter dikenal sebagai sistem tertua, yang lahir sekitarabad 15-
16 pada masa pemerintahan absolut. Pers dalam sistem Iniberfungsi sebagai p
enunjang negara (kerajaan) untuk memajukanrakyat. Pemerintah menguasai s
ekaligus mengawasi media. Berbagaikejadian yang akan diberitakan, dikontr
ol pemerintah karena kekuasaanraja sangat mutlak. Negara
(dengan raja sebagai penguasa) adalahpusatsegala kekuatan. Oleh karena itu, 
individu tidak penting,
yang lebih penting adalah negara sebagai tujuan akhir individu. Mussolini
(Italia)  dan Adolf Hitler
(Jerman) adalah dua penguasa yang menguasaisistem persotoriter.
Pers Libertarian
Perlindungan Hukum padaJurnalis Warga di Indonesia 
•Dalam Undang-
undang RI Nomor 23 Tahun 2004 TentangPenghapusan Kekerasan Dalam Ru
mah Tangga diartikanperlindungan hukum adalah segala upaya yang ditujuka
nuntuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak kelu
arga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak la
innya baiksementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. 
•Sedangkan perlindungan yang tertuang dalam PeraturanPemerintah No.
2 Tahun 2002 tentang TatacaraPerlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelang
garan HakAsasi Manusia yang Berat adalah suatu bentuk pelayananyang waji
b dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atauaparat keamanan untuk memb
erikan rasa aman baik fisikmaupun mental, kepada korban dan saksi dari anca
man, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada 
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutandan atau pemeriksaan di sidang pe
ngadilan.
Pembahasan Perlindungan Hukum Citizen Journalism Ditinjau Dari
UU PersUU Pers dalam berbagai pasal-pasal menjelaskan bahwa
citizen journalism telah diakomodasi oleh berbagai aturan dalam
rangka melakukan berbagai kegiatan peliputan mengenai berita dan
informasi. Berdasarkan Pasal 8 UU dijelaskan bahwa dalam
melaksanakan profesinya maka wartawan mendapatkan perlindungan
hukum dan ditambah dengan Pasal 5 ayat 1UU No 11 Tahun 1966
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (selanjutnya disebut UU
Ketentuan Pokok Pers) bahwa jaminan hukum dimana kemerdekaan
pers sesuai dengan hak asasi warga negara.
Proses kegiatan citizen journalism bukan tanpa resiko meskipun
peliputan berita yang dilakukan murni sesuai fakta dan tempat kejadian
tanpa rekayasa apapun namun pada pihak tertentu dimana pemberitaan
yang dilakukan oleh citizen journalism dianggap menimbulkan masalah
dan mengakibatkan timbulnya konflik. Pelaporan atas pencemaran nama
baik merupakan salah satu masalah atau resiko yang ditimbulkan akibat
dari adanya kegiatan citizen journalism.Pada tataran hukum pidana
pencemaran nama baik posisi citizen jurnalism ini tidak diuntungkan
sama sekali, berbeda dengan wartawan yang secara hukum mendapatkan
perlindungan hukum oleh konstitusi sesuai dengan Pasal 1 angka 4 UU
Pers, wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan
jurnalistik. Dalam pembuatan berita sendiri, wartawan memiliki pedoman
yang salah satunya adalah setiap berita harus melalui verifikasi.
Sementara citizen journalism lebih tidak bisa mendapatkan perlindungan
tersebut dan lebih beresiko untuk dapat dituntut atas dasar pencemaran nama
baik sesuai Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang- Undang Hukum
Pidana (“KUHP”). Akan tetapi, menurut Pasal 310 ayat (3) KUHP, perbuatan
seseorang bisa tidak dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran nama
baik bila dilakukan untuk membela kepentingan umum atau karena terpaksa
untuk membela diri.Berdasarkan beberapa pasal yang tertuang di dalam UU
Pers dapat dijelaskan kedudukan citizen journalism dapat disamakan dengan
wartawan dalam hal kegiatan jurnalistik serta memiliki hak sama dalam
perolehan perlindungan hukum sebagai pelaku peliputan berita jurnalistik
meskipun tidak di bawah naungan perusahaan pers baik nasional maupun asing.
Kepastian hukum terkait kedudukan dan perlindungan citizen journalism
diperlukan sebab kondisi ini dapat mengganggu posisi citizen journalism dalam
melakukan kegiatan jurnalistik karena tidak adanya norma hukum yang
mengatur.
KESIMPULAN maka kesimpulan pada penelitian ini diuraikan sebagai
berikut:1. Aktivitas jurnalisme warga adalah ; Mencari,memperoleh,
mengumpulkan menyebarluaskan gagasan dan informasi yang dilakukan oleh
warga biasa. Meskipun aktivitas itu menyerupai aktivitas jurnalistik yang
dilakukan oleh profesi wartawan, kedudukan warga yang melakukan jurnalime
warga tidak bisa disamakan dengan kedudukan profesi wartawan. Karena
wartawan melakukan aktivitas jurnalistik secara terus menerus secara
profesional dan konsisten sehingga kedudukan wartawan dapat dikategorikan
sebagai profesi. Sehingga sesuai dengan kode etik keprofesian dalam
menjalankan profesinya, wartawan memiliki pedoman dan kepastian yang
diatur dalam kode etik jurnalistik (KEJ) dan diakui keabsahannya oleh Dewan
Pers. Sedangkan warga yang melakukan aktivitasjurnalistik tidak dapat
dikategorikan sebagai profesi. Karena tidak ada pedoman yang sah dan
aktivitas jurnalistik yang dilakukan warga tidak dilakukan secara terus menerus
atau/ konsisten sehingga belum dapat dikatakan profesional.
SUMBER REFERENSI
•Otorita, Hosea. “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP  
 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM DELIK      
 PERS MENURUT KUHP”, Lex Privatum, No. 7, Vol. 4,    hlm. 112-114.
•Hadijah Arnus, Sri. “JEJAK PERKEMBANGAN SISTEM PERS  
 INDONESIA”, hlm. 105-107.
•Puasa Handayani, Emi. “PERLINDUNGAN HUKUM    JURNALISME WARGA”,
Journal Diversi, No. 1, Vol. 2,    hlm. 244-255.
http://www.infoteratas.com/2017/02/situs-seword- dilaporkan-ke-polda-
metro.html.http://www.kompasiana.com/himitshu/supremasi-hukum- dalam-citizen-
journalism-dan-e- commerce_551b5b29813311c6339de0d4 diakses pada tanggal 10
Mei 2017 pk. 3.45 pm.https://news.okezone.com/read/2009/06/04/58/225991/eti ka-
komunikasi-kasus-prita l

Anda mungkin juga menyukai