Azizah2016 Isi - Artikel - 575920231977
Azizah2016 Isi - Artikel - 575920231977
PENDAHULUAN
Prasangka
Prasangka adalah sikap sosial atau keyakinan kognitif yang dimiliki seseorang yang
bersifat merendahkan, pengekspresian afek negatif, atau tindakan bermusuhan dan
diskriminatif terhadap anggota suatu kelompok yang berkaitan dengan keanggotaannya
dalam kelompok tersebut (Brown, 2005). Menurut Myers (2012), prasangka dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut yakni; (1) perbedaan sosial, (2) sosialisasi, (3)
dukungan institusional, (4) agama (5) konformitas serta (6) kepribadian otoriter.
Farley, Haslanger dan Tuana (dalam Crownover, 2007) menjelaskan prasangka
penting diteliti karena salah satu hal yang bisa menyebabkan pembantaian etnik,
perbudakan, dan diskriminasi berdasarkan kelompok (ras etnik, agama). Target prasangka
yang berdampak pada suatu hal negatif umumnya adalah mereka dari kelompok minoritas
seperti perempuan, homoseksual, dan etnis. Menurut Whitley dan Lee (dalam Christopher,
2011) prasangka terhadap kelompok homoseksual memiliki hubungan dengan
otoritarianisme sayap kanan. Otoritarianisme sayap kanan sangat berkorelasi dengan sikap
anti homoseksual karena lesbian dan pria homoseksual masih dikutuk sebagai penyimpang
oleh beberapa figur otoritas, terutama otoritas keagamaan dan banyak orang masih melihat
homoseksualitas sebagai sesuatu yang melanggar norma-norma sosial tradisional.
Otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme agama, dan prasangka Altemeyer
(dalam Crownover, 2007), menjelaskan bahwa otoritarianisme sayap kanan adalah sebuah
tendensi yang sangat menghormati kekuasaan, mendukung nilai-nilai tradisional dari
otoritas, dan menunjukkan prasangka terhadap anggota kelompok lain. Selanjutnya
Altemeyer (1996) menjelaskan bahwa terdapat sekelompok sikap yang merupakan
ini dilakukan pada kelompok yang dianggap radikal yang melakukan aksi penolakan
terhadap homoseksual.
METODE
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah anggota KAMMI Universitas Brawijaya
Malang, berjumlah 83 orang dengan klasifikasi 17 perempuan dan 66 laki-laki dengan
kisaran usia 19-22 tahun dan merupakan anggota aktif KAMMI yang diambil menggunakan
teknik accidental sampling.
Tabel 1.
Mean Dan Standar Deviasi Otoritarianisme Sayap Kanan, Fundamentalisme Agama Dan
Prasangka Terhadap Homoseksual
menunjukkan bahwa pada skala otoritarianisme sayap kanan dari 22 butir 6 diantaranya
dinyatakan gugur, sedangkan pada skala fundamentalisme agama dan skala prasangka
semua butir dinyatakan valid.
Prosedur
Peneliti menyiapkan kuesioner sesuai dengan skala Otoritarianisme Sayap Kanan,
skala Fundamentalisme Islam dan skala Prasangka terhadap Homoseksual. Prosedur yang
dilakukan adalah menyerahkan 110 kuesioner kepada Ketua Umum KAMMI, kemudian
yang kembali 83 kuesioner.
Teknik Analisis
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linear berganda.
Analisis regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh antara
otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme agama terhadap prasangka homoseksual.
Sebelumnya dilakukan uji asumsi yaitu normalitas dan linearitas yang menunjukkan bahwa
data normal dan linear.
Tabel 2.
Uji Hasil Regresi dan Korelasi Otoritarianisme Sayap Kanan, Fundamentalisme Agama
dan Prasangka Terhadap Homoseksual
R R2 F
Otoritarianisme Sayap Kanan,
0,370 0,137 6,351
Fundamentalisme Agama
R = 0.282
R = 0.370
Tanda panah pada bagan berarti bahwa variabel bebas memengaruhi variabel
tergantung.
DISKUSI
Mereka yang paling mungkin dijadikan “korban” adalah mereka yang dianggap lebih lemah
atau inferior dibandingkan dengan orang yang otoritarian, seperti kelompok etnis minoritas
atau kategori sosial yang dinilai rendah, seperti kelompok homoseksual dan narapidana
(Brown, 2005).
Otoritarianisme sayap kanan menjelaskan bahwa individu yang memiliki rasa
ketakutan dan permusuhan memunculkannya dalam bentuk prasangka. Prasangka dilakukan
sebagai bentuk dari pertahanan diri karena adanya rasa takut yang dimiliki seseorang. Selain
itu, Altemeyer dan Cohrs, dkk. (dalam Myers, 2012) melaporkan bahwa orang yang
memiliki otoritarianisme sayap kanan tinggi merupakan orang yang paling berprasangka.
Hal ini karena otoritarianisme sayap kanan berhubungan dengan kepedulian terhadap rasa
aman dan kendali. Penelitian yang dilakukan oleh Altemeyer dan Duckitt (dalam Jones,
Dovidio & Vietze, 2013) pada budaya yang berbeda menunjukkan bahwa otoritarianisme
sayap kanan memprediksi prasangka terhadap berbagai kelompok yang berbeda secara
sosial, seperti: etnis minoritas, perempuan, orang cacat, orang yang menyimpang, gay dan
lesbian.
Faktor lain yang menjadi penyebab prasangka yaitu adanya perbedaan keyakinan atau
perbedaan agama, hal ini diperkuat oleh pendapat Allport (dalam Crownover, 2007) yang
menyebutkan bahwa perbedaan orientasi agama akan menghasilkan perbedaan dalam derajat
prasangka. Agama dapat menciptakan prasangka tetapi di sisi lain dapat menghambat
prasangka (Allport, 1954). Selain itu yang memengaruhi prasangka pada umat beragama
adalah adanya unsur fanatisme pada penganut dengan paham fundamentalis. Orang-orang
dengan paham fundamentalis akan menjadikan agama sebagai pedoman dalam menjalani
hidup dan berperilaku, sehingga para fundamentalis akan menunjukkan sikap intoleran pada
mereka yang dianggap melanggar nilai dan norma agama mereka yang pada akhirnya dapat
berwujud sebagai prasangka. Kelompok fundamentalis juga akan berprasangka dan
diskriminasi terhadap kelompok lain sebagai salah satu strategi untuk melindungi
ideologinya (Altemeyer, Hunsberger & Jackson dalam Brandt & Reyna, 2010), sehingga
fundamentalis akan menolak orang-orang yang melanggar apa yang dianutnya termasuk
kelompok homoseksual yang dianggap melanggar nilai agama.
Meskipun otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme agama sama-sama
menjadi prediktor prasangka terhadap homoseksual, hasil penelitian menunjukkan bahwa
kontribusi otoritarianisme sayap kanan lebih tinggi dibandingkan fundamentalisme agama
sebagai prediktor prasangka terhadap homoseksual. Hal ini membuktikan bahwa
karena agama memandang bahwa homoseksual adalah hal yang salah dan menyimpang
membuat mereka memunculkan prasangka terhadap homoseksual.
Selain itu, orang yang memiliki otoritarianisme sayap kanan beranggapan bahwa
kelompoknya sangat hebat, sedangkan kelompok yang lain buruk dan memuakkan. Orang
otoritarianisme sayap kanan tinggi menempatkan orang yang berasal dari agama lain, etnis
dan ras lain, orang yang cacat dan berpenyakit mental, orang-orang yang “berbeda” seperti
homoseksual, orang yang meyimpang dari norma-norma masyarakat, dan orang yang
memiliki gaya hidup tidak konvensional di bawah sepatu besi mereka, yakni orang yang
otoriter (Sears, Freedman, & Peplau, 1985; Brown, 2005). Orang otoritarian memiliki
prasangka terhadap homosksual karena mereka menganggap bahwa orang homoseksual
adalah orang yang berbeda dan mereka menyimpang dari norma-norma masyarakat, apalagi
banyak figur otoritas yang mengutuk homoseksual.
Rendahnya kontribusi fundamentalisme agama dibandingkan otoritarianisme sayap
kanan bisa saja disebabkan karena adanya need for closure atau pemikiran tertutup pada
fundamentalisme agama yang merupakan penghubung fundamentalisme agama dengan
prasangka (Brandt & Reyna, 2010). Tidak hanya paham fundamentalis yang berpengaruh
secara langsung terhadap tinggi rendahnya prasangka akan tetapi pemikiran tertutup dari
para fundamentalis itu sendiri juga menjadi perantara hubungan fundamentalisme agama
dengan prasangka. Pemikiran tertutup pada kelompok fundamentalis pun berbeda-beda tiap
individunya, dan juga KAMMI itu sendiri adalah organisasi Islam yang lebih mengutamakan
pemikiran mengenai politik dan kepemimpinan. Berdasar hasil temuan yang dilakukan oleh
Lavenson, D’Mello, dan Aldwin, (2005), fundamentalisme agama seseorang juga dapat
dipengaruhi oleh jenis kelamin dan usia seseorang, salah satu penelitian menyatakan bahwa
orang akan mencapai puncak religiositas pada usia 30 hingga 40 tahun, akan tetapi penelitian
yang lain menjelaskan bahwa tidak menutup kemungkinan seseorang pada usia 20-an juga
akan memiliki tingkat religiositas yang sama dengan usia 30-an. Jenis kelamin
memengaruhi tingkat religiositas seseorang dikarenakan perempuan lebih sering terlibat
dalam aktivitas keagamaan. Mereka yang belum mencapai puncak religiositasnya tidak akan
melindungi ideologi dan paham mereka secara berlebihan sehingga tidak memunculkan
prasangka. Beberapa faktor yang memengaruhi fundamentalisme agama seseorang tersebut
dapat menjadi penyebab rendahnya kontribusi fundamentalisme agama sebagai prediktor
terhadap homoseksual dibandingkan dengan otoritarianisme sayap kanan.
DAFTAR PUSTAKA