Anda di halaman 1dari 13

OTORITARIANISME SAYAP KANAN DAN

FUNDAMENTALISME AGAMA SEBAGAI PREDIKTOR


PRASANGKA TERHADAP HOMOSEKSUAL
Farah Dhiba Noer Azizah,
Intan Ratnasari,
Tutut Chusniyah,
Aji Bagus Priyambodo

Fakultas Pendidikan Psikologi


Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang 5, Malang 65145

Abstrak─ Meningkatnya jumlah kelompok homoseksual membuat mereka semakin berani


membuka diri terhadap masyarakat. Keberanian ini menuai banyak reaksi, berupa penolakan,
pelecehan dan kekerasan. Penolakan masyarakat merupakan perwujudan dari prasangka
terhadap homoseksual. Otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme agama merupakan
prediktor prasangka terhadap homoseksual, seperti yang dikemukakan oleh Laythe, Finkel, dan
Kirkpatrick (2001). Otoritarianisme sayap kanan adalah suatu kepatuhan terhadap otoritas, nilai-
nilai tradisional dan menunjukkan permusuhan pada orang di luar kelompok. Sedangkan
fundamentalisme agama adalah kepercayaan dan makna suatu ajaran agama tentang kebenaran
manusia dan Tuhan yang dijadikan sebagai pedoman hidup. Prasangka terhadap homoseksual
mengacu pada semua sikap negatif terhadap individu yang berorientasi homoseksual. Tujuan
penelitian ini untuk melihat otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme agama sebagai
prediktor prasangka terhadap homoseksual. Menggunakan pendekatan kuantitatif dengan
rancangan penelitian prediktif dengan sampel 83 orang anggota KAMMI Universitas Brawijaya
Malang yang diambil dengan teknik accidental sampling. Instrumen dalam penelitian ini berupa
skala otoritarianisme sayap kanan, skala fundamentalisme agama dan skala prasangka terhadap
homoseksual. Analisis data penelitian menggunakan teknik analisis regresi linear berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa otoritarianisme sayap kanan merupakan prediktor
prasangka terhadap homoseksual otoritarianisme dengan nilai r=0.282 (β=0.301),
fundamentalisme agama juga menjadi prediktor prasangka terhadap homoseksual dengan nilai
r=0.120 (β=0.123), sedangkan otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme agama
merupakan prediktor prasangka terhadap homoseksual dengan nilai R = 0,370, F = 6,351 dan
koefisien determinasi 0,137.

Kata kunci: fundamentalisme agama; prasangka; homoseksual

PENDAHULUAN

Meningkatnya pemberitaan mengenai kelompok homoseksual membuat kelompok


tersebut semakin berani untuk membuka diri dan menunjukkan identitas mereka pada
masyarakat luas. Hal ini terlihat dari banyaknya organisasi homoseksual di Indonesia yang
terdiri dari dua jaringan organisasi nasional dan 119 organisasi yang terdapat di 28 provinsi
(Laporan LGBT Nasional Indonesia, 2013). Keberanian ini memunculkan banyak reaksi dari
masyarakat berupa penolakan, pelecehan dan kekerasan. Penolakan masyarakat merupakan
perwujudan dari prasangka terhadap homoseksual. Salah satu organisasi yang menunjukkan

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 558


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Farah Dhiba Noer Azizah, Intan Ratnasari, Tutut Chusniyah, Aji Bagus Priyambodo

penolakan terhadap homoseksual adalah organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim


Indonesia (KAMMI). KAMMI banyak melakukan aksi yang menentang adanya kelompok
homoseksual, aksi penolakan ini telah dilakukan di berbagai daerah, mereka menegaskan
bahwa homoseksual secara prinsip bertentangan dengan nilai-nilai agama, kepribadian dan
budaya bangsa Indonesia yang religius. Penelitian ini dilakukan pada anggota organisasi
KAMMI dikarenakan organisasi KAMMI dianggap sebagai kelompok radikal oleh Saidi
(dalam Gumilang, 2016) yang mengatakan bahwa organisasi KAMMI memiliki hubungan
ideologis dengan kelompok radikal internasional Ikhwanul Muslimin, selain itu di kampus
organisasi KAMMI lebih banyak melakukan radikalisme ideologi dengan cita-cita
mendirikan negara Islam versi mereka sendiri.

Prasangka
Prasangka adalah sikap sosial atau keyakinan kognitif yang dimiliki seseorang yang
bersifat merendahkan, pengekspresian afek negatif, atau tindakan bermusuhan dan
diskriminatif terhadap anggota suatu kelompok yang berkaitan dengan keanggotaannya
dalam kelompok tersebut (Brown, 2005). Menurut Myers (2012), prasangka dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut yakni; (1) perbedaan sosial, (2) sosialisasi, (3)
dukungan institusional, (4) agama (5) konformitas serta (6) kepribadian otoriter.
Farley, Haslanger dan Tuana (dalam Crownover, 2007) menjelaskan prasangka
penting diteliti karena salah satu hal yang bisa menyebabkan pembantaian etnik,
perbudakan, dan diskriminasi berdasarkan kelompok (ras etnik, agama). Target prasangka
yang berdampak pada suatu hal negatif umumnya adalah mereka dari kelompok minoritas
seperti perempuan, homoseksual, dan etnis. Menurut Whitley dan Lee (dalam Christopher,
2011) prasangka terhadap kelompok homoseksual memiliki hubungan dengan
otoritarianisme sayap kanan. Otoritarianisme sayap kanan sangat berkorelasi dengan sikap
anti homoseksual karena lesbian dan pria homoseksual masih dikutuk sebagai penyimpang
oleh beberapa figur otoritas, terutama otoritas keagamaan dan banyak orang masih melihat
homoseksualitas sebagai sesuatu yang melanggar norma-norma sosial tradisional.
Otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme agama, dan prasangka Altemeyer
(dalam Crownover, 2007), menjelaskan bahwa otoritarianisme sayap kanan adalah sebuah
tendensi yang sangat menghormati kekuasaan, mendukung nilai-nilai tradisional dari
otoritas, dan menunjukkan prasangka terhadap anggota kelompok lain. Selanjutnya
Altemeyer (1996) menjelaskan bahwa terdapat sekelompok sikap yang merupakan

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 559


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Otoritarianisme Sayap Kanan dan Fundamentalisme Agama sebagai Prediktor Prasangka
Terhadap Homoseksual

komponen dari otoritarianisme, yakni; (1) authoritarian submission (otoritarian submisif),


yakni kecenderungan untuk tunduk kepada orang-orang yang memiliki otoritas atau status
yang lebih tinggi, mereka menganggap bahwa otoritas merupakan penguasa yang sah dalam
kehidupan masyarakat, (2) authoritarian aggression (otoritarian agresif), yakni agresivitas
berupa sikap permusuhan yang diarahkan terhadap individu yang berada di luar
kelompoknya dan orang-orang yang dianggap menyimpang dan (3) conventionalism
(konvensionalisme), yakni komitmen dan kepatuhan yang kuat terhadap norma-norma dan
nilai-nilai konvensional yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara otoritarianisme sayap
kanan dengan prasangka, seperti penelitian Christopher (2011) yang menunjukkan bahwa
ada hubungan antara otoritarianisme sayap kanan dengan prasangka terhadap homoseksual.
Penelitian Crownover (2007) juga menemukan bahwa otoritarianisme sayap kanan
merupakan prediktor terkuat dari prasangka terhadap homoseksual dibandingkan dengan
perkembangan keyakinan, fundamentalisme agama, orientasi dominansi sosial, dan kristen
ortodoks.
Tidak hanya otoritarianisme sayap kanan, fundamentalisme agama juga sering
dikaitkan dengan prasangka. Fundamentalisme agama ditemukan berkorelasi positif dengan
prasangka terhadap kelompok minoritas dan kaum Kristen (Altemeyer, Hunsberger, Wylie
& Forest dalam Crownover, 2007). Agama, terutama fundamentalisme agama sering
dihubungkan dengan kekerasan, penolakan terhadap ilmu sains, dan prasangka terhadap
kelompok lain (Hunsberger & Jackson dalam Brandt & Reyna, 2010). Penelitian terdahulu
juga menunjukkan bahwa fundamentalisme agama merupakan prediktor prasangka terhadap
agama lain dan aksi terorisme (Putra & Wongkaren, 2010; Putra dan Sukabdi, 2014).
Berkaitan dengan agama sebagai determinan prasangka, Allport, Ross & Cannon
(dalam Putra & Wongkaren, 2010) membuktikan bahwa orang beragama yang orientasinya
ekstrinsik cenderung memiliki prasangka negatif terhadap penganut agama lain daripada
orientasi agama instrinsik. Orientasi agama ekstrinsik juga terbukti tidak hanya memiliki
sikap intoleran kepada agama lain tetapi juga pada etnis, ras dan homoseksual. Faktor lain
yang memengaruhi prasangka oleh umat beragama adalah unsur kefanatikan. Hal tersebut
dipertegas oleh Altemeyer (dalam Putra & Wongkaren, 2010) bahwa intoleransi agama dan
prasangka yang kuat muncul pada penganut agama yang fanatis. Gambaran penganut fanatik
dapat ditemukan pada orang-orang dengan paham fundamentalis, yaitu paham yang
menggunakan agama sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan.

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 560


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Farah Dhiba Noer Azizah, Intan Ratnasari, Tutut Chusniyah, Aji Bagus Priyambodo

Altemeyer dan Hunsberger (1992) mendefinisikan fundamentalisme agama sebagai


kepercayaan tentang suatu ajaran agama yang mengajarkan kebenaran mutlak tentang
manusia dan Tuhan di mana kebenaran ini harus diikuti sesuai dengan dasar yang diajarkan.
Menurut Hood, Hill dan Williamson (2005), mereka berpendapat bahwa fundamentalisme
agama tidak sekedar keyakinan yang kuat, melainkan juga bagaimana keyakinan tersebut
dimaknai dan dipahami. Taylor dan Horgan (2001) mengartikan fundamentalisme agama
sebagai suatu ideologi yang berangkat dari latar belakang keyakinan agama yang kuat dan
kehidupan agama yang dijalankan dengan sangat serius. Keyakinan kelompok
fundamentalis adalah kebenaran total dan mutlak akan ajaran universalnya terhadap
keselamatan manusia (Moghissi, 2004).
Otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme agama merupakan prediktor
prasangka terhadap homoseksual, hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Laythe,
Finkel, dan Kirkpatrick (2001) dengan menggunakan regresi berganda yang menunjukkan
bahwa otoritarianisme sayap kanan lebih tinggi dalam memengaruhi prasangka terhadap
homoseksual dibandingkan fundamentalisme agama. Penelitian lain yan dilakukan oleh
Altemeyer dan Hunsberger (1992) dengan sampel orang dari latar belakang agama Kristen
ditemukan korelasi yang kuat antara fundamentalisme agama, otoritarianisme sayap kanan
dan sikap terhadap homoseksual.
Aksi-aksi penolakan terhadap homoseksual di Indonesia yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok agama menujukkan bahwa homoseksual merupakan hal yang
bertentangan dengan norma agama yang mereka anut. Penelitian ini dilakukan di Indonesia
dikarenakan kajian serupa masih belum banyak dilakukan sedangkan prasangka terhadap
homoseksual banyak ditunjukkan oleh kelompok-kelompok agama. Indonesia sebagai
negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam yang melarang hubungan sesama jenis
menjadi salah satu alasan peneliti memilih Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI) sebagai populasi penelitian, KAMMI juga dianggap sebagai salah gerakan
radikal oleh salah satu peneliti LIPI. Penelitian di lakukan di KAMMI Universitas Brawijaya
karena merupakan salah satu organisasi mahasiswa Islam dengan jumlah anggota yang
besar. Penelitian bertujuan untuk mengetahui apakah otoritarianisme sayap kanan dan
fundamentalisme agama merupakan prediktor prasangka terhadap homoseksual pada
anggota KAMMI Universitas Brawijaya Malang. Penelitian ini penting dilakukan kembali
karena pada penelitian sebelumnya dilakukan pada masyarakat umum sedangkan penelitian

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 561


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Otoritarianisme Sayap Kanan dan Fundamentalisme Agama sebagai Prediktor Prasangka
Terhadap Homoseksual

ini dilakukan pada kelompok yang dianggap radikal yang melakukan aksi penolakan
terhadap homoseksual.

METODE

Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah anggota KAMMI Universitas Brawijaya
Malang, berjumlah 83 orang dengan klasifikasi 17 perempuan dan 66 laki-laki dengan
kisaran usia 19-22 tahun dan merupakan anggota aktif KAMMI yang diambil menggunakan
teknik accidental sampling.

Tabel 1.
Mean Dan Standar Deviasi Otoritarianisme Sayap Kanan, Fundamentalisme Agama Dan
Prasangka Terhadap Homoseksual

Variabel Mean Standar Deviasi


Otoritarianisme Sayap Kanan 65,93 7,91
Fundamentalisme Agama 44,81 7,26
Prasangka terhadap Homoseksual 91,06 12,11

Desain dan Alat Ukur


Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian prediktif.
Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan skala Right-Wing Authoritarianism milik Altemeyer
(1996) yang berjumlah 22 butir, skala fundamentalisme agama Islam milik Putra dan Sukabdi
(2014) yang berjumlah 9 butir, dan juga skala Attitude Toward Gay and Lesbian (ATGL)
milik Herek (dalam Crownover, 2007) yang berjumlah 18 butir. Metode skala yang digunakan
adalah metode penskalaan model Likert.
Dalam penelitian ini metode penskalaan menggunakan enam macam kategori
jawaban, yaitu “Sangat Tidak Setuju (STS), “Tidak Setuju (TS)”, “Agak Tidak Setuju
(ATS)”, “Agak Setuju (AS)”, “Setuju (S)” serta “Sangat Setuju (SS)”. Skor jawaban untuk
butir favorable bergerak dari angka 6 untuk jawaban SS dan 1 untuk jawaban STS.
Sedangkan skor jawaban untuk butir unfavorable bergerak dari angka 1 untuk jawaban SS
dan 6 untuk jawaban STS. Berdasar hasil uji coba yang dilakukan pada 35 anggota KAMMI,
maka diperoleh nilai reliabilitas 0,801 pada skala otoritarianisme sayap kanan, 0,856 pada
skala fundamentalisme agama, dan 0,897 pada skala prasangka. Hasil uji validitas

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 562


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Farah Dhiba Noer Azizah, Intan Ratnasari, Tutut Chusniyah, Aji Bagus Priyambodo

menunjukkan bahwa pada skala otoritarianisme sayap kanan dari 22 butir 6 diantaranya
dinyatakan gugur, sedangkan pada skala fundamentalisme agama dan skala prasangka
semua butir dinyatakan valid.

Prosedur
Peneliti menyiapkan kuesioner sesuai dengan skala Otoritarianisme Sayap Kanan,
skala Fundamentalisme Islam dan skala Prasangka terhadap Homoseksual. Prosedur yang
dilakukan adalah menyerahkan 110 kuesioner kepada Ketua Umum KAMMI, kemudian
yang kembali 83 kuesioner.

Teknik Analisis
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linear berganda.
Analisis regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh antara
otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme agama terhadap prasangka homoseksual.
Sebelumnya dilakukan uji asumsi yaitu normalitas dan linearitas yang menunjukkan bahwa
data normal dan linear.

ANALISIS DAN HASIL

Berdasarkan uji korelasi antara otoritarianisme sayap kanan dengan prasangka


terhadap homoseksual diketahui bahwa otoritarianisme sayap kanan memiliki korelasi yang
positif dengan prasangka terhadap homoseksual (r = 0.282, β = 0.302). Fundamentalisme
agama juga memiliki korelasi yang positif dengan prasangka terhadap homoseksual (r =
0.123, β = 0.123). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin kuat otoritarianisme sayap kanan
dan fundamentalisme agama maka maka akan semakin kuat juga prasangkanya terhadap
homoseksual.
Berdasar hasil uji regresi berganda diketahui bahwa otoritarianisme sayap kanan dan
fundamentalisme agama merupakan prediktor prasangka terhadap homoseksual dan
memberikan kontribusi yang signifikan (R = 0,370, F = 6,351 dan R2 = 0,137). Hal tersebut
menunjukkan bahwa otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme agama
menyumbang sebesar 13,7 % sebagai prediktor prasangka terhadap homoseksual.

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 563


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Otoritarianisme Sayap Kanan dan Fundamentalisme Agama sebagai Prediktor Prasangka
Terhadap Homoseksual

Tabel 2.
Uji Hasil Regresi dan Korelasi Otoritarianisme Sayap Kanan, Fundamentalisme Agama
dan Prasangka Terhadap Homoseksual

R R2 F
Otoritarianisme Sayap Kanan,
0,370 0,137 6,351
Fundamentalisme Agama

Hal tersebut menunjukkan bahwa otoritarianisme sayap kanan dan


fundamentalisme agama berkontribusi pada munculnya prasangka terhadap homoseksual
pada populasi penelitian. Dari nilai β yang diperoleh, diketahui bahwa nilai β dari
otoritarianisme sayap kanan lebih besar daripada nilai β dari fundamentalisme agama yang
menunjukkan bahwa otoritarianisme sayap kanan memberikan pengaruh yang lebih besar
kepada munculnya prasangka terhadap homoseksual dibandingkan fundamentalisme agama.

R = 0.282

Otoritarianisme Sayap Kanan

R = 0.123 Prasangka terhadap


Homoseksual
Fundamentalisme Agama

R = 0.370

Gambar 1. Diagram Hubungan Otoritarianisme Sayap Kanan, Fundamentalisme Agama,


dan Prasangka terhadap Homoseksual

Tanda panah pada bagan berarti bahwa variabel bebas memengaruhi variabel
tergantung.

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 564


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Farah Dhiba Noer Azizah, Intan Ratnasari, Tutut Chusniyah, Aji Bagus Priyambodo

DISKUSI

Hipotesis dalam penelitian ini adalah otoritarianisme sayap kanan dan


fundamentalisme agama merupakan prediktor prasangka terhadap homoseksual. Penelitian
ini dilakukan pada anggota organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI) dikarenakan organisasi KAMMI dianggap sebagai salah satu kelompok radikal
oleh Saidi (dalam Gumilang, 2016) yang mengemukakan bahwa organisasi KAMMI
memiliki hubungan ideologis dengan kelompok radikal internasional Ikhwanul Muslimin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme
agama merupakan prediktor prasangka terhadap homoseksual yang mendukung hipotesis
pada penelitian ini. Penelitian ini membuktikan bahwa walaupun penelitian dilakukan pada
kelompok spesifik, yang dalam penelitian ini adalah kelompok radikal diketahui bahwa
otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme agama tetap menjadi prediktor prasangka
terhadap homoseksual.
Temuan penelitian ini mendukung dan memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang
telah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Laythe, Finkel, dan Kirkpatrick (2002)
dengan menggunakan regresi berganda menunjukkan bahwa otoritarianisme sayap kanan
lebih tinggi dalam memengaruhi prasangka terhadap homoseksual dibandingkan
fundamentalisme agama yang juga dilakukan pada kelompok yang spesifik yakni kelompok
kristen ortodoks. Penelitian lain yang dilakukan oleh Altemeyer dan Hunsberger (1992)
dengan sampel orang dari latar belakang agama Kristen ditemukan korelasi yang kuat antara
fundamentalisme agama, otoritarianisme sayap kanan dan sikap terhadap homoseksual.
Anggota kelompok-kelompok spesifik ini sangat mematuhi ajaran yang dianut oleh
kelompok mereka seingga lebih memungkinkan bagi anggota kelompok spesifik ini untuk
mengembangkan otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme agama dalam diri
mereka. Selain itu, keanggotaan mereka dalam suatu kelompok membuat mereka lebih
mudah untuk memunculkan prasangka pada orang-orang di luar kelompok mereka.
Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa otoritarianisme sayap kanan
merupakan salah satu prediktor prasangka terhadap homoseksual. Orang yang memiliki
otoritarianisme sayap kanan cenderung patuh kepada orang yang berkuasa dan bersikap
agresif serta menghukum orang yang mereka anggap kedudukannya berada di bawah mereka
(Myers, 2012), hal tersebut dikarenakan orang yang otoritarian tidak berani melawan orang
yang memiliki kekuasaan, sehingga mengalihkan agresi mereka kepada orang yang lemah.

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 565


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Otoritarianisme Sayap Kanan dan Fundamentalisme Agama sebagai Prediktor Prasangka
Terhadap Homoseksual

Mereka yang paling mungkin dijadikan “korban” adalah mereka yang dianggap lebih lemah
atau inferior dibandingkan dengan orang yang otoritarian, seperti kelompok etnis minoritas
atau kategori sosial yang dinilai rendah, seperti kelompok homoseksual dan narapidana
(Brown, 2005).
Otoritarianisme sayap kanan menjelaskan bahwa individu yang memiliki rasa
ketakutan dan permusuhan memunculkannya dalam bentuk prasangka. Prasangka dilakukan
sebagai bentuk dari pertahanan diri karena adanya rasa takut yang dimiliki seseorang. Selain
itu, Altemeyer dan Cohrs, dkk. (dalam Myers, 2012) melaporkan bahwa orang yang
memiliki otoritarianisme sayap kanan tinggi merupakan orang yang paling berprasangka.
Hal ini karena otoritarianisme sayap kanan berhubungan dengan kepedulian terhadap rasa
aman dan kendali. Penelitian yang dilakukan oleh Altemeyer dan Duckitt (dalam Jones,
Dovidio & Vietze, 2013) pada budaya yang berbeda menunjukkan bahwa otoritarianisme
sayap kanan memprediksi prasangka terhadap berbagai kelompok yang berbeda secara
sosial, seperti: etnis minoritas, perempuan, orang cacat, orang yang menyimpang, gay dan
lesbian.
Faktor lain yang menjadi penyebab prasangka yaitu adanya perbedaan keyakinan atau
perbedaan agama, hal ini diperkuat oleh pendapat Allport (dalam Crownover, 2007) yang
menyebutkan bahwa perbedaan orientasi agama akan menghasilkan perbedaan dalam derajat
prasangka. Agama dapat menciptakan prasangka tetapi di sisi lain dapat menghambat
prasangka (Allport, 1954). Selain itu yang memengaruhi prasangka pada umat beragama
adalah adanya unsur fanatisme pada penganut dengan paham fundamentalis. Orang-orang
dengan paham fundamentalis akan menjadikan agama sebagai pedoman dalam menjalani
hidup dan berperilaku, sehingga para fundamentalis akan menunjukkan sikap intoleran pada
mereka yang dianggap melanggar nilai dan norma agama mereka yang pada akhirnya dapat
berwujud sebagai prasangka. Kelompok fundamentalis juga akan berprasangka dan
diskriminasi terhadap kelompok lain sebagai salah satu strategi untuk melindungi
ideologinya (Altemeyer, Hunsberger & Jackson dalam Brandt & Reyna, 2010), sehingga
fundamentalis akan menolak orang-orang yang melanggar apa yang dianutnya termasuk
kelompok homoseksual yang dianggap melanggar nilai agama.
Meskipun otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme agama sama-sama
menjadi prediktor prasangka terhadap homoseksual, hasil penelitian menunjukkan bahwa
kontribusi otoritarianisme sayap kanan lebih tinggi dibandingkan fundamentalisme agama
sebagai prediktor prasangka terhadap homoseksual. Hal ini membuktikan bahwa

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 566


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Farah Dhiba Noer Azizah, Intan Ratnasari, Tutut Chusniyah, Aji Bagus Priyambodo

otoritarianisme sayap kanan lebih berpengaruh dalam memunculkan prasangka terhadap


homoseksual dibandingkan fundamentaslisme agama, seperti hasil penelitian yang
dilakukan oleh Laythe, Finkel, dan Kirkpatrick (2002). Temuan penelitian ini juga selaras
dengan penelitian Crownover (2007) yang menemukan bahwa otoritarianisme sayap kanan
merupakan prediktor terkuat dari prasangka terhadap homoseksual dibandingkan dengan
fundamentalisme agama.
Tingginya kontribusi otoritarianisme sayap kanan kepada prasangka terhadap
homoseksual dikarenakan kepribadian otoritarian yang merupakan konsep awal dari
otoritarianisme sayap kanan ini terbentuk karena pengalaman individu dalam keluarga.
Individu yang mengalami pola asuh orang tua yang keras dan moralistis menciptakan cara
pandang yang terlalu bertentangan dengan otoritas, secara sosial pandangan yang dimiliki
bersifat konservatif, memusuhi kelompok minoritas dan kelompok yang “menyimpang”,
seperti kelompok homoseksual (Adorno dkk. dalam Brown, 2005).
Pola asuh orang tua sangat memengaruhi terbentuknya otoritarianisme sayap kanan
seseorang. Kebanyakan orang tua di Indonesia menerapkan pola asuh otoriter kepada anak-
anak mereka. Orang tua sangat patuh terhadap otoritas sehingga mereka menuntut anak-anak
mereka untuk patuh terhadap otoritas dan nilai-nilai tradisional serta memberikan hukuman
pada anak apabila mereka melakukan kesalahan. Hal inilah yang akhirnya memunculkan
otoritarianisme sayap kanan pada diri seseorang dan membuat mereka memiliki prasangka
terhadap homoseksual.
Menurut Jones, Dovidio dan Vietze (2013) individu yang memiliki otoritarianisme
sayap kanan tinggi memiliki rasa hormat yang berlebihan kepada otoritas tetapi berperilaku
agresif terhadap orang lain, dan meremehkan orang yang memiliki status sosial di bawahnya.
Seseorang dengan otoritarianisme sayap kanan tinggi memiliki ciri-ciri; tunduk pada
otoritas, mematuhi tradisi dan nilai-nilai konvensional, berpikiran kaku, tidak toleran pada
ambiguitas, berprasangka terhadap orang-orang yang "berbeda", dan tidak berpikir kritis, hal
ini menunjukkan bahwa akar dari kepribadian otoriter lebih kognitif dibandingkan
emosional (Jones, Dovidio dan Vietze, 2013; Maskowitz, 2005; Butler, 2000 dalam
Khaerina dan Abraham, 2014).
Anggota KAMMI yang memiliki otoritarianisme sayap kanan yang tinggi percaya
bahwa agama adalah otoritas yang harus dihormati dan nilai-nilai agama adalah nilai-nilai
yang benar dan harus dijunjung tinggi sehingga mereka akan menerima apabila menurut
agama hal itu benar dan akan menolaknya apabila agama mengatakan hal itu salah. Oleh

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 567


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Otoritarianisme Sayap Kanan dan Fundamentalisme Agama sebagai Prediktor Prasangka
Terhadap Homoseksual

karena agama memandang bahwa homoseksual adalah hal yang salah dan menyimpang
membuat mereka memunculkan prasangka terhadap homoseksual.
Selain itu, orang yang memiliki otoritarianisme sayap kanan beranggapan bahwa
kelompoknya sangat hebat, sedangkan kelompok yang lain buruk dan memuakkan. Orang
otoritarianisme sayap kanan tinggi menempatkan orang yang berasal dari agama lain, etnis
dan ras lain, orang yang cacat dan berpenyakit mental, orang-orang yang “berbeda” seperti
homoseksual, orang yang meyimpang dari norma-norma masyarakat, dan orang yang
memiliki gaya hidup tidak konvensional di bawah sepatu besi mereka, yakni orang yang
otoriter (Sears, Freedman, & Peplau, 1985; Brown, 2005). Orang otoritarian memiliki
prasangka terhadap homosksual karena mereka menganggap bahwa orang homoseksual
adalah orang yang berbeda dan mereka menyimpang dari norma-norma masyarakat, apalagi
banyak figur otoritas yang mengutuk homoseksual.
Rendahnya kontribusi fundamentalisme agama dibandingkan otoritarianisme sayap
kanan bisa saja disebabkan karena adanya need for closure atau pemikiran tertutup pada
fundamentalisme agama yang merupakan penghubung fundamentalisme agama dengan
prasangka (Brandt & Reyna, 2010). Tidak hanya paham fundamentalis yang berpengaruh
secara langsung terhadap tinggi rendahnya prasangka akan tetapi pemikiran tertutup dari
para fundamentalis itu sendiri juga menjadi perantara hubungan fundamentalisme agama
dengan prasangka. Pemikiran tertutup pada kelompok fundamentalis pun berbeda-beda tiap
individunya, dan juga KAMMI itu sendiri adalah organisasi Islam yang lebih mengutamakan
pemikiran mengenai politik dan kepemimpinan. Berdasar hasil temuan yang dilakukan oleh
Lavenson, D’Mello, dan Aldwin, (2005), fundamentalisme agama seseorang juga dapat
dipengaruhi oleh jenis kelamin dan usia seseorang, salah satu penelitian menyatakan bahwa
orang akan mencapai puncak religiositas pada usia 30 hingga 40 tahun, akan tetapi penelitian
yang lain menjelaskan bahwa tidak menutup kemungkinan seseorang pada usia 20-an juga
akan memiliki tingkat religiositas yang sama dengan usia 30-an. Jenis kelamin
memengaruhi tingkat religiositas seseorang dikarenakan perempuan lebih sering terlibat
dalam aktivitas keagamaan. Mereka yang belum mencapai puncak religiositasnya tidak akan
melindungi ideologi dan paham mereka secara berlebihan sehingga tidak memunculkan
prasangka. Beberapa faktor yang memengaruhi fundamentalisme agama seseorang tersebut
dapat menjadi penyebab rendahnya kontribusi fundamentalisme agama sebagai prediktor
terhadap homoseksual dibandingkan dengan otoritarianisme sayap kanan.

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 568


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Farah Dhiba Noer Azizah, Intan Ratnasari, Tutut Chusniyah, Aji Bagus Priyambodo

SIMPULAN DAN SARAN

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa otoritarianisme sayap kanan dan


fundamentalisme agama merupakan prediktor prasangka terhadap homoseksual.
Otoritarianisme sayap kanan dan fundamentalisme agama memiliki korelasi yang positif
dengan prasangka terhadap homoseksual. Selain itu, dari hasil penelitian diketahui bahwa
kontribusi otoritarianisme sayap kanan lebih tinggi dibandingkan fundamentalisme agama
sebagai prediktor prasangka terhadap homoseksual. Saran praktis, diharapkan masyarakat
meningkatkan keterbukaan terhadap sesuatu yang baru dan berbeda sehingga mereka dapat
memiliki rasa toleransi pada hal tersebut walaupun otoritas yang mereka hormati dan patuhi
menolaknya. Sedangkan bagi anggota KAMMI diharapkan tetap mempertahankan sikap
moderat mereka terhadap kelompok-kelompok minoritas sehingga dapat tercipta kedamaian
dan kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat. Saran teoritis, peneliti selanjutnya
disarankan untuk menggunakan variabel persepsi ancaman, penerimaan sosial, kategorisasi
sosial, konformitas, dukungan institusional, need for closure, proses belajar sosial dan pola
asuh dalam penelitian prasangka terhadap homoseksual, serta menambah jumlah sampel
penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Allport, G. W. (1954). Nature of prejudice. Cambridge: MA Addison-Wesle.


Allport, G.W. (1954). Nature of prejudice. Dalam Crownover, C. (2007). Faith development,
religious fundamentalism, right-wing authoritarianism, social dominance orientation,
christian orthodoxy, and proscribed prejudice as predictors of prejudice (Disertasi
Doktoral). University of Oklahoma, Oklahoma.
Altemeyer, B. (1981). Right-wing authoritarianism. Canada: University of Manitoba Press.
Dalam Crownover, C. (2007). Faith development, religious fundamentalism, right-
wing authoritarianism, social dominance orientation, christian orthodoxy, and
proscribed prejudice as predictors of prejudice (Disertasi Doktoral). University of
Oklahoma, Oklahoma.
Altemeyer, B. & Hunsberger, B. (1992). Authoritarianism religious fundamentalism, quest
and prejudice. International Journal for the Psychology of Religion 2,113-133.
Altemeyer, B. (1996). The authoritarian specter. London: Harvard University Press.
Brandt, M. J., & Reyna, C. (2010). The role of prejudice and the need for closure in religious
fundamentalism. Personality and Social Psychology Bulletin, 36, 715-725.
Brown, R. (2005). Prejudice: Menangani prasangka dari perspektif psikologi sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 569


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Otoritarianisme Sayap Kanan dan Fundamentalisme Agama sebagai Prediktor Prasangka
Terhadap Homoseksual

Christopher. (2011). Right-aing Authoritarianism and prejudice: A meta-analysis (Tesis).


Ball State University, Indiana.
Crownover, C. (2007). Faith development, religious fundamentalism, right-wing
authoritarianism, social dominance orientation, christian orthodoxy, and proscribed
prejudice as predictors of prejudice (Disertasi Doktoral). University of Oklahoma,
Oklahoma.
Gumilang, P. (2016). Radikalisme ideologi menguasai kampus. CNN Indonesia. Diunduh
dari: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160218193025-12
111927/radikalisme-ideologi-menguasai-kampus/.
Hood, R. W., Hill, P. C., & Williamson, P. (2005). The Psychology of religious
fundamentalism. New York-London: The Guildford Press.
Jones, J., Dovidio, J., & Vietze D. (2013). The psychology of diversity: Beyond Prejudice
and Racism. Hoboken, NJ: Wiley-Blckwell.
Khaerina, S. & Abraham, J. (2014). Sexual disorder and right-wing authoritarianism in
Indonesian boarding school. International Journal of Research Studies in Psychology,
3 (4).
Laporan Nasional Indonesia. (2013). Hidup sebagai LGBI di Asia: Tinjauan dan analisa
partisipatif tentang lingkungan hukum dan sosial bagi orang dan masyarakat madani
LGBT. USAID.
Lavenson, M.R., Aldwin, C.M., & D’Mello, M. (2005). Religious development from
adolescence to middle adulthood. Dalam R.F. Paloutzian & C. L. Park (Eds),
Handbook of religion and spirituality (hlm. 144-161). New York; Guilford
Publications.
Laythe, B., Finkel, D., & Kirkpatrick, L. A. (2001). Predicting prejudice from religious
fundamentalism and right-wing authoritarianism: a multiple- regression approach.
Journal for the Scientific Study of Religion, 40 (1),1-10.
Moghisi, H. (2004). Feminisme dan fundamentalisme Islam. Yogyakarta: LKis.
Myers, D. (2012). Psikologi Sosial Jilid 2 (10th ed.). Jakarta: Salemba Humanika.
Putra & Wongkaren. (2010). Konstruksi skala fundamentalisme Islam di indonesia.
Psikobuana, 1, 151-161.
Putra, I. E., & Sukabdi, Z. A. (2014). The role of certain conditions in moderating the effect
of islamic fundamentalism on supporting acts terrorism. Journal of Peace Psychology,
20 (4), 583-589.
Sears, D., Freedman, J., & Peplau, L. (1985). Psikologi sosial jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Taylor, M., & Horgan, J . (2001). The psychological and behavioral bases of Islamic
fundamentalism. Terrorism and political violence. 13(4): 37-71.

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 570


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

Anda mungkin juga menyukai