Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bab ini dipaparkan bagian-bagian pokok pendahuluan


yang terdiri dari a) latar belakang masalah, b) batasan masalah, c)
rumusan masalah, d) tujuan penelitian, e) manfaat penelitian, f)
batasan istilah.
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki keberagaman suku, agama, ras,
dan antargolongan yang tersebar di seluruh wilayah,
mempunyai kekhasan yang beragam bagi masyarakatnya
masing-masing, seperti kebudayaan. Herimanto dan Winarno
(2016:35) mengatakan penyebaran kebudayaan atau difusi
adalah proses menyebarnya unsur-unsur kebudayaan dari
suatu kelompok ke kelompok lain atau suatu masyarakat ke
masyarakat lain. Pernyataan di atas menjelaskan walaupun
tiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, namun
diyakini mendukung keunggulan negara Indonesia.
Wujud kebudayaan itu dalam bentuk ide, gagasan,
nilai-nilai, norma dan peraturan yang berbeda, yang diyakini
mempunyai tradisi sakral. Kebudayaan Jawa yang mencakup
seperti rumah adat, seni tradisi, lagu-lagu Jawa, alat musik
tradisional, adat istiadat maupun tradisi yang sekarang ini
tersebar di seluruh Nusantara, diantaranya telah menghuni
berbagai wilayah. Ahmad Khalil (2018:11) mengatakan
kebudayaan Jawa merupakan salah satu bagian dari
kebudayaan yang ada di Indonesia dengan keanekaragaman-
nya banyak mengilhami masyarakat Jawa dalam tindakan
maupun perilaku keberagamaannya.
Pendapat dari Ahmad Khalil, memang Indonesia
mempunyai keberagaman yang memiliki daya tarik
tersendiri sehingga menunjukkan identitas yang unik.
Masyarakat Jawa memiliki keunikan yang tampak dari
kepercayaan masyarakat, bahasa, kesenian dan tradisinya
yang menyatu dengan jiwa dan perilaku masyarakat Jawa
yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari

1
2

dan masih menjalankan nilai-nilai budaya Jawa, baik


kebiasaan perilaku maupun tradisi yang diyakini.
Jawa Timur terkenal dengan budaya yang terlahir
dari masyarakat Jawa sehingga diikat oleh norma-norma,
sejarah, tradisi maupun agama. Pandangan hidup orang Jawa
banyak dipengaruhi oleh budaya animisme-dinamisme sejak
lama sehingga sebagian masyarakat telah memiliki
kepercayaan. Kepercayaan itulah yang menyebabkan
masyarakat yang ada di Jawa selalu melaksanakan dan
mengutamakan termasuk di desa guna menghargai adat
istiadat setempat.
Masyarakat desa sangat multikultur akan
kepercayaan dan tradisi yang sudah dilakukan turun-
temurun. Masyarakat percaya jika tidak dilaksanakan maka
akan terjadi malapetaka. Kepercayaan yang ditopang dengan
teguh akan menghasilkan sebuah nilai yang ada di
masyarakat tersebut yaitu sebuah etika sosial. Nilai etika
sosial yang tersebar dikalangan masyarakat sangat melekat
tentang adanya kepercayaan menghitung angka kelahiran
ketika perkawinan. Perkawinan yang dilandasi oleh saling
ada rasa cinta kasih sayang bahkan keikhlasan mengenai
kesepakatan untuk bersama dipercayai oleh masyarakat
bahwasannya akan mencapai kehidupan yang bahagia dan
damai.
Kepercayaan yang dianut masyarakat menyebabkan
masyarakat desa masih mempertahankan tradisi kepercayaan
mengenai tradisi perhitungan Jawa berdasarkan hari dan
pasaran dalam masyarakat Jawa. Perhitungan itu merupakan
ajaran dalam etika orang Jawa yang sangat penting, karena
dalam setiap tindak-tanduk atau keperluan hajat pasti
menggunakan perhitungan. Sehingga nilai-nilai dan norma
kehidupan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat Jawa
berguna untuk mewujudkan keseimbangan dalam kehidupan
masyarakat berkaitan dalam perjalanan hidup manusia
meliputi: kelahiran, masa kanak-kanak, masa remaja, masa
3

berumah tangga, masa setelah menikah, masa tua dan setelah


meninggal dunia.
Penggunaan perhitungan Jawa dalam kegiatan
perkawinan yang terpenting adalah untuk menentukan jodoh
dan hari baik pelaksanaan ijab qabul sedangkan untuk acara
temu manten atau perayaan mengikuti saat ijabnya.
Mengetahui neptu/weton kedua calon pengantin sangatlah
penting untuk mencari hari baik dalam pelaksanaan
perkawinannya, karena untuk mengetahui jumlah neptu
keduanya tepat atau tidak dan memperhatikan asal usul dari
calon pengantinnya. Hariwijaya dalam Maftuhah (2018:8)
mengatakan weton adalah perhitungan hari lahir kedua calon
mempelai. Istilah weton dimaksudkan sebagai ramalan nasib
masa depan kedua mempelai apabila jatuh kepada kebaikan,
itulah doa yang diharapkan oleh kedua orang tua. Sehingga
jatuh kepada hal yang kurang beruntung, diharapkan kedua
mempelai berdoa dan bertawakkal kepada Tuhan Yang
Maha Esa agar selamat dunia akhirat.
Tradisi perhitungan Jawa yang biasanya disebut
petung mempunyai makna tersendiri bagi yang
mempercayainya. Geertz dalam Liana (2016:8) menjelaskan
petung merupakan cara untuk menghindarkan semacam
disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan
membawa ketidakuntungan. Makna petung yang dianggap
hanya sebagai mitos yang tidak memiliki dampak terhadap
keberlangsungan hidup masyarakat modern dan sebaliknya
jika masyarakat yang memegang teguh mengenai
perhitungan itu, mereka akan tetap melaksanakan tanpa
terkecuali. Perhitungan Jawa yang dianggap sakral akan
lebih mendominasi masyarakat Jawa ketika menjelang
perkawinan, salah satunya di desa Mindugading Kecamatan
Tarik, Sidoarjo.
Misalnya Jika kedua pasangan mempelai dihitung
berdasarkan hari kelahiran kedua pasangan dan bertemu
Selasa dengan Jum’at maka pasangan tersebut tidak
diperbolehkan untuk menikah karena akan bercerai apabila
4

neptu hari dan pekan pasaran dari kelahiran calon suami dan
isteri masing-masing dijumlahkan, hasilnya dibagi dengan 9
dan dicatat berapa sisa dari calon suami dan berapa calon
istri. Melihat fenomena di atas, tradisi perhitungan Jawa
terhadap perkawinan di desa Mindugading Kecamatan Tarik,
Sidoarjo masih kental dan dijalankan sesuai dengan tradisi
yang ada. Adapun peneliti mengangkat penelitian ini adalah
guna mengetahui nilai-nilai dan pandangan masyarakat
terhadap tradisi perhitungan Jawa yang sangat dipercayai
dan sakral oleh masyarakat desa, sehingga menciptakan
kebahagiaan yang semestinya harus dilaksanakan
perhitungan Jawa.
B. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang, peneliti membatasi
masalah pada pandangan masyarakat dan nilai terhadap
perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan desa
Mindugading menurut warga Mindugading Kecamatan Tarik
Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur. Perkawinan yang
dimaksud adalah perkawinan adat Jawa yang masih
mempercayai adanya perhitungan Jawa.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap perhitungan
Jawa dalam tradisi perkawinan di desa Mindugading
Kecamatan Tarik, Sidoarjo?
2. Nilai-nilai apa saja yang terkandung pada perhitungan
Jawa dalam tradisi
perkawinan di desa Mindugading Kecamatan Tarik,
Sidoarjo?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap
perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan di desa
Mindugading Kecamatan Tarik, Sidoarjo.
5

2. Untuk mengetahui nilai-nilai perhitungan Jawa dalam


tradisi perkawinan di desa Mindugading Kecamatan
Tarik, Sidoarjo.
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan, maka
manfaat penelitian ini adalah :
1. Bagi Masyarakat
Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa
membuat masyarakat lebih tanggap dan paham
mengenai perhitungan jawa dalam tradisi perkawinan
dan membuat rujukan masayaraka desa Mindugading
untuk membuat acara perkawinan sesuai keinginannya
tanpa meningalkan nilai-nilai adat istiadat.
2. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan mampu
menambah pengalaman dan keilmuan peneliti, supaya di
lain hari mampu membuat penelitian yang lebih baik lagi
dari sebelumnya.
F. Batasan Istilah
1. Perhitungan Jawa : Kebiasaan yang
dilaksanakan masyarakat desa Mindugading untuk
menghitung weton, hari dan pasaran dalam menentukan
hari baik perkawinan Jawa.
2. Tradisi Perkawinan Jawa : Adat kebiasaan turun-
temurun (dari nenek moyang) mengenai prosesi
perkawinan Jawa yang masih dijalankan dalam
masyarakat sehingga terjadi pertemuan antar keluarga
yang berbeda budaya, perilaku dan golongan.
6

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini dipaparkan bagian-bagian pokok kajian pustaka


yang terdiri dari a) landasan teori, b) kajian penelitian terdahulu,
c) kerangka konseptual
A. Konsepsi Perhitungan Jawa
Seringkali kita mendengar mengenai perhitungan Jawa
dalam adat istiadat masyarakat tradisional khususnya di Jawa
khususnya dikenal dengan petung. Bayuuadhy (2015:111)
mengatakan perhitungan Jawa (petung) bertujuan untuk
mendapatkan hasil yang baik dan terhindar dari petaka, petung
bukan sekedar perhitungan matematis, tetapi juga bernuansa
magis dan psikologis. Sedangkan menurut Geertz dalam
Liana (2016:8) menjelaskan petungan merupakan cara untuk
menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum
alam yang hanya akan membawa ketidakuntungan”
Mengacu pada beberapa pengertian pakar tentang
perhitungan Jawa (petung) diatas, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan perhitungan Jawa adalah perhitungan
yang melibatkan hari kelahiran seseorang yang digunakan
untuk menghindari malapetaka ketika calon pasangan
pengantin akan melaksanakan perkawinan.
a. Jenis-Jenis Perhitungan Jawa
Bayuadhy (2015:110) menjelaskan ada empat
perhitungan Jawa (petung) yang biasanya dilakukan yaitu :
1) Pasaran
Dalam petung Jawa, hari dan pasaran mempunyai nilai
(neptu) sebagai berikut:
a) Neptu hari: Minggu = 5, Senin = 4, Selasa = 3, Rabu =
7, Kamis= 8, Jum’at = 6, Sabtu = 9.
b) Neptu Pasaran : legi = 5, Pahing = 9, Pon = 7, Wage = 4,
Kliwon = 8.
c) Pertemuan antara neptu hari dan pasaran
Pertemuan antara neptu dan pasaran merupakan
penjumlahan nilai neptu hari dan pasaran, misalnya ada
7

bayi yang baru lahir di hari Senin Kliwon jadi pertemuan


antara neptu dan pasaran berjumlah 4+8= 12.

2) Petung dalam perjodohan


Sebelum calon pasangan melaksanakan
perkawinan, maka menurut tradisi Jawa, mempelai
harus menghitung neptu dalam perjodohan.
Ranoewidjojo dalam Nuha (2019:30) menyatakan neptu
adalah gabungan antara hari dan pasaran saat bayi
dilahirkan”. Penjelasan di atas menyatakan yang
mempunyai arti penjumlahan hari-hari dalam seminggu
(Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum‟at, Sabtu, dan
Minggu) dan hari dalam pasaran Jawa (Legi, Pahing,
Pon, Wage, Kliwon).
3) Petung dalam pemberian nama
Petung dalam pemberian nama bertujuan
agar nama yang diberikan orang tua kepada anaknya
berefek sangat baik bagi akhlaknya. Nama orang
menurut neptu didasarkan pada susunan aksara Jawa
dan memiliki nilai yang berbeda. Angka tersebut
digunakan untuk menghitung nilai total dari nama
seseorang yang dijumlahkan dari nilai setiap penggalan
suku kata.
4) Petung dalam memulai usaha
Agar usaha yang dijalankan mendapatkan hasil yang
baik yaitu rezekinya gangsar (lancar, mudah dan terus
mengalir), maka dipilih dina apik (hari baik) untuk
memulai usaha.
b. Cara Perhitungan Jawa
Ada beberapa patokan yang digunakan masyarakat
Jawa untuk menghitung dalam melaksanakan perkawinan.
Noeradyo (1994:13) menjelaskan mengenai perhitungan
untuk calon mempelai menurut hari kelahiran kedua
pasangan jika :
a) Ahad dengan Ahad, sering sakit
b) Ahad dengan Senin, banyak penyakitnya
8

c) Ahad dengan Selasa, miskin


d) Ahad dengan Rabu, yuwana
e) Ahad dengan Kamis, bertengkar
f) Ahad dengan Jum”at, yuwana
g) Ahad dengan Sabtu, Miskin dll.
Sedangkan menurut Santosa (2016:43) mengatakan
mengenai perhitungan didasarkan pada : a) Sri berarti
menunjukan baik yaitu dalam perjodohan selalu
mendapatkan rezki banyak dan selamat rumah tangganya.
b) Lungguh berarti salah satu dari suami atau istri akan
mendapatkan jabatan yang terhormat dan mulia. c) Dunia
berati rumah tangganya bahagia, kekayaan ( rizki ) yang
melimpah ruah. d) Lara berarti gangguan sangat berat
yang berakibat menderita suami istri. e) Pati berarti sangat
menderita dalam rumah tangga dan sering terdapat
kematian dalam angota keluarganya.
B. Konsepsi Tradisi Perkawinan
Setiap kebudayaan dalam masyarakat tentunya
mempunyai sebuah tradisi yang sudah dianggap sebagai
sistem keyakinan dan mempunyai arti penting bagi
pelakunya. Tradisi dalam masyarakat mempunyai posisi
yang sentral, karena dapat mempengaruhi aspek kehidupan
dalam masyarakat. Sztompka dalam Liana (2016:7)
menjelaskan tradisi adalah kumpulan benda material dan
gagasan yang diberi makna khusus yang berasal dari masa
lalu.
Tradisi (Bahasa Latin : traditio, “diteruskan”) atau
kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah
sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian
dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari
suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.
Tradisi bertahan dalam jangka waktu tertentu dan mungkin
bisa lenyap bila benda material atau gagasan ditolak atau
dilupakan. Sejalan dengan definisi tersebut maka tradisi
menurut Hesterman dalam Liana (2016:7) menyatakan
tradisi itu harus imanen dalam situasi actual supaya serasi
9

dengan realitas yang berubah, sekaligus harus transenden


sehingga bisa memenuhi fungsinya yaitu memberi orientasi
dan legitimasi.
Sedangkan Perkawinan menurut menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1
disebutkan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan Demartoto (2015:77) menyatakan perkawinan
adalah suatu peralihan atau life cycle dari tingkat hidup
remaja ke tingkat hidup berkeluarga dari semua manusia di
dunia. Sari dkk (2017:814) menjelaskan nilai perkawinan
sebagai ibadah menjadi semakin luas dengan pengertian
bahwa segala perbuatan baik apabila dengan niatan yang
baik akan dicatat oleh Allah sebagai ibadah.
Sari dkk (2017:812) mengatakan perkawinan Jawa
adalah suatu rangkaian upacara yang dilakukan sepasang
kekasih untuk menghalalkan semua perbuatan yang
berhubungan dengan kehidupan suami-istri guna
membentuk suatu keluarga dan meneruskan garis keturunan.
Merujuk pernyataan Sari dkk bahwa perkawinan Jawa
menitikberatkan pada menghalalkan perbuatan sepasang
kekasih sesuai tradisi Jawa. Pernyataan mengenai tradisi
dan perkawinan merupakan kebiasaan yang sudah dilakukan
oleh masyarakat yang tujuannya untuk meneruskan garis
keturunan keluarga sehingga mencapai kehidupan yang
sakinah, mawaddah dan warahmah. Tradisi perkawinan ini
dilakukan pada saat pasangan muda-mudi akan memasuki
jenjang berumah tangga. Upacara perkawinan ini sering
dilaksanakan dalam beberapa tahap, yakni: a) Tahap
sebelum akad perkawinan, b) Tahap akad perkawinan dan c)
Tahap sesudah perkawinan (ngundhuh manten, resepsi
pengantin).
a. Prosesi Tradisi Perkawinan
1. Tradisi Menjelang Upacara Perkawinan
10

Bayuadhy (2015:60-62) menyatakan tradisi


perkawinan menjelang upacara perkawinan sebagai berikut :
a) Nontoni, pada dasarnya nontoni adalah suatu upaya dari
pihak calon pengantin laki-laki untuk mengenal calon
pengantin perempuan. b) Nglamar (Melamar), pada
dasarnya dilakukan oleh utusan dari pihak calon pengantin
laki-laki. c) Tengeran (Peningset), apabila jeda antara
lamaran dengan hari perkawinan masa lama, biasanya
diadakan acara peningset atau tukar cincin. d) Gethak Dina,
adalah penentuan hari ijab qabul dan resepsi perkawinan
yang biasanya ditentukan oleh sesepuh atau orang yang ahli
dan mengetahui penanggalan Jawa.
2. Persiapan Menjelang Perkawinan
Rohman (2015:56-57) menjelaskan persiapan
perkawinan sebagai berikut: a) Pasang Tarub, yakni jika
tanggal perkawinan sudah disetujui maka yang dilakukan
selanjutnya pemangsan tarub dengan penyajian tumpeng
lengkap. b) Midodareni, rangkaian upacara menjelang
upacara perkawinan dengan acara siraman.
3. Pelaksanaan Upacara Perkawinan Tradisi Jawa
Bayuadhy (2015:65-71) mengatakan pelaksanaan upacara
perkawinan sebagai berikut:
a) Pelaksanaan Ijab, hal yang paling penting dalam
melegalkan sebuah perkawinan.
b) Upacara Panggih Temanten, dilaksanakan dirumah
pengantin perempuan dan pengantin laki-laki akan
diantar oleh teman-teman atau kerabatnya.
c) Balangan Suruh, saat kedua pasangan pengantin
bertemu dan berhadapan langsung pada jarak sekitar
dua atau tiga meter, mereka akan berhenti dan saling
melempar ikatan daun sirih berisi kapur sirih dan diikat
dengan benang.
d) Wiji Dadi, yaitu pengantin laki-laki menginjak sebuah
telur ayam kampung hingga pecah dengan telapak kaki
kanannya dan dibasuh oleh pengantin perempuan.
11

e) Sindhur Binayang, ayah pengantin wanita berjalan di


depan kedua pengantin menuju kursi pengantin
sedangkan ibu pengantin perempuan berjalan di
belakang pengantin sambil menutupi pundak kedua
pengantin dengan kain sindhur yang melambangkan
bahwa sang ayah menunjukkan jalan menuju
kebahagiaan dan sang ibu mendukungnya.
f) Timbang, pasangan pengantin bersama duduk
dipangkuan ayah pengantin.
g) Tanem, ayah pengantin perempuan mendudukkan
sepasang pengantin di kursi mahligai perkawinan.
h) Bubak Kawak, upacara ini dilakukan jika seorang ayah
baru pertama kali menikahkan anak perempuan maka
ayah dari pengantin perempuan meminum rujak kelapa
muda (rujak degan) di depan pajangan.
i) Tumplak Punjen, jika seorang menikahkan anak
perempuan yang terakhir maka upacara ini dilakukan
dengan diberi bungkusan kecil berisi bumbu-bumbu,
nasi kuning, uang logam dan sebagainya yang
melambangkan bahwasannya orang tua pengantin
perempuan memberikan semua miliknya kepada semua
anak dan keturunanya.
j) Kacar-Kucur, kedua pengantin duduk di pajangan
(krobongan) untuk melaksanakan upacara kacar-kucur
(menerima penghasilan).
k) Dhahar Kembul, kedua pengantin makan bersama dan
saling menyuapi.
l) Upacara Sungkeman, pasangan pengantin melakukan
sungkem kepada kedua orang pengantin perempuan lalu
orang tua laki-laki.
m) Resepsi Perkawinan, setelah selesai ijab qabul maka
resepsi dilaksanakan.
C. Hubungan Perhitungan Jawa dalam Tradisi Perkawinan
Jawa
Perhitungan Jawa merupakan tradisi masyarakat
Mindugading yang bersifat sakral. Hal ini dibuktikan dengan
12

penggunaan perhitungan untuk menentukan baik tidaknya


tindakan/aktivitas yang akan dilakukan oleh masyarakat desa
Mindugading. Petangan Jawi merupakan catatan dari leluhur
berdasarakan pengalaman baik buruk yang dicatat dan
dihimpun dalam primbon. Purwadi dan Siti Maziyah dalam
Listyana dan Hartono (2015:124) menjelaskan dalam kata
primbon berasal dari kata ; rimbu, berarti simpan atau
menyimpan, maka primbon memuat bermacam-macam
catatan oleh suatu generasi diturunkan kepada generasi
penerusnya. Menurut Kamajaya dalam Listyana dan Hartono
(2015:124) menyatakan primbon hendaklah tidak
diremehkan, meskipun diketahui tidak mengandung
kebenaran mutlak.
Hari dalam petung Jawa berjumlah tujuh yang
disebut dina pitu dan pasaran yang disebut dina lima, atau
sering disingkat dina lima dina pitu. Keduanya akan
menentukan jumlah neptune dina (hidupnya hari dan
pasaran). Suwardi dalam Listyana dan Hartono (2-15:124)
mengatakan pasaran yang dimaksud meliputi Legi, Pahing,
Pon, Wage dan Kliwon sedangkan harinya adalah seperti
hari biasa yaitu Senin hingga Sabtu. Dengan menentukan
perhitungan hari dan pasaran kemudian akan mendapatkan
jawaban atau ramalan sesuai hal yang diinginkan. Noeradyo
(1994:7) menjelaskan hari dan pasaran beserta neptunya
sebagai berikut :
Tabel 2.1 Tabel Hari dan Pasaran
Hari Neptu Pasaran Neptu

Minggu 5 Kliwon 8
Senin 4 Legi 5
Selasa 3 Pahing 9
Rabu 7 Pon 7
Kamis 8 Wage 4
Jum”at 6
Sabtu 9
13

Dalam menentukan waktu perkawinan masyarakat


Jawa masih menggunakan petung sebagai pedoman untuk
mencari waktu yang baik. Hal ini dilakukan karena untuk
mendapatkan keluarga yang selamat dan banyak rezeki.
Djanudji dalam Listyana dan Hartono (2015:124)
menyatakan dalam menentukan perhitungan orang akan
berumah tangga kuncinya berada pada hari akad perkawinan
karena hari akad perkawinan harus bisa mengatasi semua
petung yang jelek. Berikut adalah langkah-langkah untuk
mencari hari perkawinan:
1) Menentukan Perhitungan Hari Naas dari Kedua
Mempelai Beserta Kedua Orang Tuanya
Hari naas adalah hari dimana hari tersebut
merupakan hari yang tidak baik atau apes. Untuk mencari
hari naas manusia ada tiga macam seperti yang diulas
berikut: a) Hari ketiga dari hari kelahiranya. b) Jumlah
neptu hari dan pasaran kelahiran. c) Hari meninggalnya
kedua orang tua. Setelah mengetahui hari naas dari calon
kedua mempelai beserta kedua orang tuanya, maka hari-
hari tersebut harus dihindari dalam menentukan hari akad
perkawinannya.
2) Menentukan Bulan Baiknya Ritual Akad Perkawinan
Dalam menentukan bulan yang akan dipakai
untuk melakukan perkawinan hendaknya dicari yang
cocok wataknya khusus untuk perkawinan, walaupun
semua bulan itu baik untuk pernikahan, tetapi kalau
dalam bulan tidak ada hari Selasa Kliwon dan biasanya
disebut bulan Sunya, yang artinya suwung atau kosong
seta disebut juga bulan yang tidak ada anggara kasihnya,
wataknya menjadi jelek dan perlu dihindari.
Daftar watak bulan untuk ijab pengantin
sebagai berikut : a) watak Sura: bertengkar, kesusahan b)
Sapar: kekurangan, banyak hutang c) Rabiul Awal:
meninggal salah satu d) Rabiul Akhir: selalu digunjing e)
Jumadil Awal: sering kehilangan, ditipu, dan banyak
14

musuh f) Jumadil Akir : sugih mas salaka f) Rejeb: kaya


anak dan selamat g) Ruwah: baik segalanya puasa celaka
h) Besar Sawal: kekurangan,banyak hutang i)
Dulkaidah/Sela: sakit-sakitan, sering bertengkar dengan
teman j) Besar: sugih nemu sukaharja.
15

3) Menentukan Hari Akad Perkawinan


Dalam menentukan jam akad perkawinan dan
keperluan lainnya banyak sekali, pedoman dalam
menentukan saat perkawinan hanyalah hari, tanpa melihat
pasarannya diantaranya hari dan waktu pelaksanaan akad
perkawinan (Ahad 6, 7, 11, 1, 5), (Senin 8, 10, 1, 3, 5),
(Selasa 7, 10, 12, 2, 5), (Rabu 7, 9, 11, 2, 4), (Kamis 8,
11, 1, 3, 4,), (Jumat 8, 10, 12, 3, 4), (Sabtu 7, 9, 12, 2, 4).
Misalnya, akad perkawinan pada hari Sabtu Legi (yang
menjadi pedoman adalah hari Sabtu sebaiknya
dilaksanakan pada pukul 7 dan 9 pagi, pukul 12 dan 2
siang, serta pukul 4 sore ( bisa dipilih salah satu).
Orang Jawa begitu besar dalam
memperhatikan keselamatan, sehingga pada akhirnya
akan tergolong orang beruntung (begja). Keberuntungan
juga ditandai apabila dalam perkawinan mendapatkan
keturunan yang baik. Karena itu filosofi Jawa banyu kuwi
mili mudhun, artinya bahwa perwatakan orang tua akan
menurun pada anaknya. Endraswara dalam Nuha
(2019:33) dengan kata lain menyatakan perkawinan
adalah masa persiapan atau peletakan fondasai keluarga,
sehingga selalu diupayakan menuju kesempurnaan hidup.
Suryomentaran dalam Nuha (2019:33) mengatakan
sempurna itu artinya tidak mengalami kesulitan dan yang
mendorong orang mencari sempurna ialah pengharapan
bahwa mungkin tidak mengalami kesulitan selamanya.

D. Kajian Penelitian Terdahulu


Beberapa penelitian yang telah dilakukan perihal
perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan bagi masyarakat.
Liana (2016:139) hasil penelitian menunjukkan secara umum
berusaha mengungkap secara kultural-sosial-religi pada
masyarakat Desa Grinting, sebagai masyarakat yang masih
menjalankan praktik tradisi petung . Listyana dan Hartono
(2015: 102-117) dengan hasil penelitian menjelaskan bahwa
dalam menentukan hari pernikahan di masyarakat Desa
16

Jonggrang ada dua cara yaitu menggunakan nama kedua


pasangan pengantin dan menggunakan hari pasaran atau
kedua pasangan pengantin.
Nuha (2019:62) hasil penelitiannya masyarakat desa
Sidokerto masih sangat kuat memegang tadisi perhitungan
Jawa dan banyak yang menggunakannya serta relavan
dilakukan oleh masyarakat desa Sidokerto sekarang ini.
Zubaidah (2019:221) dengan hasil penelitian masyarakat
Ngaringan mempercayai bahwa perhitungan adalah sarana
yang tepat untuk mencapai kehidupan rumah tangga yang
penuh kedamaian dan kebahagiaan. Santosa (2016:43)
menunjukkan hasil penelitiannya bahwa masyarakat desa
Pesahangan dalam memilih pasangan dengan
menggabungkan kedua jumlah neptu antara calon pengantin
laki-laki dan wanita lalu dihitung jika sampai lima maka
kembali lagi dari satu, demikian seterusnya hingga habis
sampai jumlah penggabungan bilangan neptu kedua calon
pengantin.

E. Kerangka Konseptual
Dalam penelitian ini, konsep yang akan dipaparkan
mengenai nilai-nilai dan pandangan masyarakat desa
Mindugading kecamatan Tarik, Sidoarjo mengenai
perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan. Dengan
berpedoman pada kajian pustaka dan kajian empiris,
masyarakat akan di wawancarai mengenai perhitungan Jawa
dalam tradisi perkawinan di desa Mindugading kecamatan
Tarik Kabupaten Sidoarjo. Adapun bagan kerangka
konseptual sebagaimana berikut:
17

Gambar 2.2 Kerangka Konseptual

Merujuk kerangka konseptual di atas bahwasannya


dalam perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan di desa
Mindugading Kecamatan Tarik, Sidoarjo digunakan untuk
menentukan hari baik perkawinan yang mempunyai nilai-
nilai yang sakral dan masih dijalankan guna menghargai
tradisi tersebut. Berdasarkan fenomena yang terjadi,
mengakibatkan pandangan masyarakat satu dengan lainnya
berbeda dalam mempercayai perhitungan Jawa dalam tradisi
perkawinan, sehingga peneliti mencari sumber data dari
tokoh dan kelompok masyarakat guna menghasilkan data
yang sesuai dengan penelitian.
18

BAB III
METODE PENELITIAN

Dalam bab ini dipaparkan bagian-bagian pokok metode


penelitian yang terdiri dari a) pendekatan penelitian, b) lokasi
penelitian, c) data dan sumber data, d) teknik pengumpulan data,
e) teknik analisis data, f) keabsahan data
A. Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini
adalah penelitian kualitatif. Straus dan Corbin dalam Sujarweni
(2014:19) menyatakan penelitian kualitatif adalah jenis
penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak
dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur
statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran).
Penelitian kualitatif yang dijelaskan diatas, menggambarkan
bahwasanya peneliti harus menghasilkan penemuan-penemuan
yang didasarkan peristiwa yang terjadi secara faktual.
Sugiyono (2015:9)
Mengatakan metode penelitian kualitatif
adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi
obyek alamiah, (sebagai lawannya adalah
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai
instrumen kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi (gabungan),
analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna dari pada generalisasi.

Merujuk pengertian di atas yang dimaksud metode


penelitian kualitatif mengutamakan kondisi alamiah dan
menekankan pada makna generalisasi, sehingga peneliti
harus memahami teori yang akan dikembangkan dan
menemukan teori yang baru dalam penelitiannya. Alasan
menggunakan jenis penelitian kualitatif pada penelitian ini
19

adalah meneliti fenomena sosial-budaya yang terjadi


dimasyarakat desa Mindugading yang berhubungan dengan
perhitungan Jawa di desa tersebut yang datanya disajikan
berupa kualitatif tentang perhitungan Jawa dalam tradisi
perkawinan di desa Mindugading.

B. Lokasi Penelitian
Mindugading adalah salah satu desa di Kecamatan
Tarik Kabupaten Sidoarjo Provisnsi Jawa Timur. Secara
kultur di desa Mindugading ini hampir sama dengan desa
lainnya di Tarik, tetapi desa ini masih sangat mempercayai
kebudayaan dan tradisi mengenai perhitungan Jawa di desa
tersebut. Desa Mindugading sendiri terbagi menjadi 2 (dua)
dusun yaitu Mindu dan Gading. Secara letak geografis desa
Mindugading berbatasan langsung dengan desa Sumo-
kembangsri (Utara), desa Selawe (Selatan), Desa Kemuning
(Timur), dan desa Gamping-rowo(Barat).
Letak geografisnya yang sangat mendukung
membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di desa
Mindugading Kecamatan Tarik, Sidoarjo. Adapaun
dilaksanakan penelitian yang menjadikan tempat ini sebagai
lokasi adalah karena berdasarkan pengamatan terbatas oleh
peneliti, di desa ini sering menggunakan perhitungan Jawa
dalam tradisi perkawinan. Perhitungan Jawa yang
dimaksudkan ialah menghitung weton, hari, pasaran berserta
neptu kedua mempelai yang akan melangsungkan
perkawinan.
Jika perhitungan Jawa dihitung dan tidak sesuai
harapan, maka calon mempelai harus siap menerima
konsekuensi membatalkan perkawinan atau tetap
melanjutkan perkawinan dengan menerima sakralitas
perhitungan Jawa. tidak hanya menghitung weton saja,
namun di desa Mindugading juga menggunakan pasangan
hari pasaran serta bulan yang baik untuk menentukan hari
akad perkawinan. Fenomena tersebut membuat pandangan
masyarakat mengenai perhitungan Jawa masih dilakukan
20

guna menghargai nilai adat istiadat desa Mindugading dalam


tradisi perkawinan Jawa.
C. Data dan Sumber Data
Fauzi (2018:38) mengatakan data merupakan hasil
dari beberapa kumpulan fakta. Pernyataan tersebut
menjelaskan data sangat penting dalam menemukan fakta
yang ada di lapangan. Karena peneliti menggunakan
penelitian kualitatif maka data tentang pandangan
masyarakat dan nilai-nilai yang terkandung mengenai
perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan desa
Mindugading Kecamatan Tarik, disajikan dalam bentuk
uraian atau penjelasan. Jadi data yang didapatkan berupa
catatan dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti
dengan narasumber yang didukung dengan dokumentasi.
Sujarweni (2014:73) menyatakan sumber data
adalah subjek dari mana asal data penelitian itu diperoleh.
Merujuk pernyataan yang menjelaskan bahwasannya sumber
data dalam peneliti itu ialah responden. Artinya orang yang
merespon atau menjawab pertanyaan, baik tertulis maupun
lisan. Begitupula sumber data utama dalam penelitian ini
adalah jawaban responden yang dihasilkan dari wawancara
yang didukung dengan dokumentasi penelitian seperti data
penduduk, foto narasumber dan sejenisnya. Berdasarkan
uraian di atas, karena jumlah penduduk yang cukup besar,
maka peneliti menetapkan narasumber yaitu kaur kesra
(modin) dan sesepuh desa Mindugading.
D. Teknik Pengumpulan Data
Sugiyono (2015:224) menjelaskan teknik
pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Merujuk pernyataan di atas maka teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi dalam
pengambilan data. Adapun uraiannya sebagai berikut:
1. Wawancara
21

Esterbeg dalam Sugiyono (2015:231)


mengatakan wawancara adalah pertemuan dua orang
untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab,
sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik
tertentu. Dalam pernyataan yang telah dikemukakan
Esterbeg, wawancara berupa pertanyaan dari
pewawancara yang diberikan informan untuk mencari
informasi. Dalam penelitian ini, jenis wawancara yang
digunakan ialah wawancara terarah.
Sujarweni (2014:32) menjelaskan wawancara terarah
adalah wawancara dimana peneliti menanyakan kepada
subyek yang diteliti berupa pertanyaan-pertanyaan yang
menggunakan pedoman yang telah disiapkan sebelumnya.
Setelah itu bentuk wawancara yang digunakan adalah
instrumen wawancara sebagai pedoman dan alat bantu
berupa kamera, tape recorder dan buku catatan. Pada
lembar tersebut akan disediakan pertanyaan mengenai
nilai-nilai dan pandangan masyarakat mengenai
perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan desa
Mindugading Kecamatan Tarik, Sidoarjo untuk dijawab
oleh narasumber yaitu kaur kesra (modin) dan sesepuh.
2. Dokumentasi
Sugiyono (2015:240) menjelaskan bahwa
dokumen adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Merujuk pengertian di atas dokumentasi dapat diartikan
sebagai proses pengambilan data yang dilakukan oleh
peneliti dari sumber tertulis dari tempat dimana penelitian
dilakukan. Dokumen bisa berbentik tulisan, gambar atau
karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang
berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah
kehidupan (life histories), caritera, biograi, peraturan dan
kebijakan.
Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya
foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang
berbentuk karya misalnya karya seni yang dapat berupa
gambar, patung, film dan lain-lain. Dokumen ini
22

digunakan sebagai data pelengkap dari wawancara


penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian yang
dilakukan kali ini menggambarkan dokumen tertulis yaitu
berupa data penduduk desa Mindugading, dan juga
berupa dokumen gambar yaitu foto kegiatan wawancara
yang dilakukan peneliti dengan narasumber.

E. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Analisis data
merupakan suatu proses penyusunan transkip wawancara,
catatan-catatan, serta bahan-bahan lain yang didapat saat
penelitian sehingga dapat mudah dimengerti dan temuannya
dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dalam
penelitian kualitatif tidak dilakukan sekali melainkan
berulang kali secara terus menerus selama penelitian
berlangsung pada setiap tahapan penelitian sampai tuntas,
dan datanya sampai jenuh. Dalam penelitian ini analisis data
yang digunakan yaitu analisis data interaktif menurut Miles
dan Huberman. Dalam Sugiyono (2015:245-252) aktifitas
dalam analisis meliputi reduksi data (data reduction),
penyajian data (data display), penarikan kesimpulan
(conclusion drawing/verification).
1. Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dari hasil observasi,
wawancara dan dokumentasi dicatat dalam catatan
lapangan yang berisi tentang apa yang dilihat, didengar,
dirasakan, disaksikan, dialami, serta segala temuan yang
dijumpai selama penelitian di lapangan. Pencatatan ini
harus dilakukan secara rinci, teliti dan cermat.
2. Reduksi Data (Data reduction)
Reduksi data merupakan kegiatan merangkum
pokok-pokok data yang telah dikumpulkan. Reduksi data
perlu dilakukan karena data yang diperoleh dari lapangan
merupakan data yang kompleks dan rumit hingga perlu
segera dilakukan analisis data dengan cara mereduksi
23

data. Reduksi data bertujuan agar peneliti menemukan


hal-hal penting dari data yang telah dikumpulkan,
sehingga dapat diketahui fokus dan polanya dari data
tersebut.
Melalui kegiatan reduksi ini diharapkan peneliti
dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai hasil
penelitian. Reduksi data dilakukan dengan memusatkan
perhatian pada data yang telah terkumpul berupa
penyeleksian data yakni memilih dan memilah data yang
relevensi dengan fokus penelitian ini atau tujuan
penelitian ini. Dalam penelitian ini data yang direduksi
yaitu data dari hasil wawancara mengenai pandangan
masyarakat dan nilai-nilai yang terkandung mengenai
perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan di desa
Mindugading Kecamatan Tarik, Sidoarjo.
3. Penyajian data (Display data)
Data yang diperoleh dalam penelitan setelah
melewati tahap reduksi data selanjutnya akan disajikan.
Penyajian data ini dilakukan agar memberi gambaran
penelitian secara menyeluruh dengan menyajikan data
secara jelas, singkat dan terperinci dengan mencari pola
hubungannya sehingga akan memudahkan pembaca
dalam memahami gambaran-gambaran terhadap setiap
aspek yang diteliti baik secara keseluruhan maupun
bagian demi bagian. Dalam penelitian ini, data tentang
pandangan masyarakat dan nilai-nilai yang terkandung
mengenai perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan di
desa Mindugading Kecamatan Tarik, Sidoarjo yang akan
disajikan dalam uraian atau laporan sesuai dengan data
hasil penelitian yang diperoleh.
4. Tahap penarikan kesimpulan (conclusion drawing)
Seluruh data yang diperoleh dan telah disajikan
selanjutnya akan disimpulkan dalam bentuk pernyataan
singkat dan mudah dengan mengacu pada tujuan
penelitian. Penarikan kesimpulan ini merupakan tahap
akhir dalam pengolahan data. Berikut merupakan
24

gambaran dari analisis data interaktif menurut Miles dan


Huberman yang dilakukan dalam penelitian ini untuk
menganalisa data mengenai perhitungan Jawa dalam
tradisi perkawinan di desa Mindugading Kecamatan
Tarik, Sidoarjo.

Gambar 3.2 Model Interaktif Miles dan Huberman

F. Keabsahan Data
Sebelum peneliti merasa yakin dengan kesimpulan
yang dibuat berdasarkan analisis data maka peneliti
melakukan verifikasi atau mevalidasi kesimpulan. Moleong
(2018) menyatakan kriteria keabsahan data penelitian
kualitatif meliputi uji derajat kepercayaan (credibility),
keteralihan (transferability), kebergantungan
(dependability), dan kepastian (confirmability). Dalam
penelitian ini peneliti hanya menggunakan uji derajat
kepercayaan (credibility) dimana uji ini dapat dilakukan
dengan beberapa cara yakni:

1. Meningkatkan ketekunan
Sugiyono (2015:272) mengatakan bahwa
meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan
secara terus menerus pada penelitian tentang nilai-nilai
dan pandangan masyarakat mengenai perhitungan Jawa
dalam tradisi perkawinan di desa Mindugading
Kecamatan Tarik, Sidoarjo. Dengan meningkatkan
25

ketekunan maka kepastian data dan urutan peristiwa


dalam penelitian akan dapat direkam serta diuraikan
secara pasti dan sistematis.
2. Triangulasi
Teknik verifikasi atau menvalidasi kesimpulan
data dalam penelitian ini menggunakan teknik
triangulasi. Moleong (2016:330) menjelaskan
triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Triangulasi juga
dapat diartikan sebagai kegiatan mengambil data dengan
menggunakan rujukan yang berbeda. Pengambilan
rujukan yang berbeda dalam pengambilan data ini
ditujukan agar data yang diperoleh dapat dibandingkan
atau diadu sehingga dapat diketahui kebenarannya dari
berbagai sisi.
Membandingkan data dapat dilakukan dengan
membandingkan data dari sumber yang berbeda atau
membandingkan data yang diperoleh dari metode yang
berbeda. Kegiatan membandingkan ini dilakukan agar
didapatkan data yang akurat. Ada 4 macam triangulasi
sebagai teknik pemeriksaan dalam penelitian kualitatif
tetapi dalam penelitian ini peneliti menggunakan 2
teknik pemeriksaan keabsahan data yaitu:
a) Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber merupakan proses
pengumpulan data dari sumber yang berbeda.
Peneliti mencari sumber data dari berbagai sumber
yang beragam yang masih terikat antara satu dengan
yang lain. Dalam penelitian ini, peneliti akan
mencari sumber dari kelompok masyarakat desa
Mindugading kecamatan Tarik, Sidoarjo.
b) Triangulasi Teknik
Sugiyono (2015:274) menjelaskan
triangulasi teknik merupakan pengecekan pada data
kepada sumber yang sama dengan teknik yang
berbeda. Pengambilan data dengan teknik yang
26

berbeda yang dimaksud dalam penelitian ini adalah


menggali data dengan berbagai cara, misalnya data
diambil menggunakan wawancara dan dokumentasi,
maka peneliti akan mengecek dari kedua teknik ini
apakah ditemukan suatu garis besar yang sama.
Pengambilan data dengan teknik yang
berbeda dimaksudkan agar data yang diperoleh
benar-benar akurat sesuai dengan keadaan
alamiahnya seperti hakikat penelitian kualitatif yang
meneliti kebenaran dari suatu gejala atau peristiwa.
Dalam penelitian ini peneliti membandingkan dan
mengecek kembali data terhadap pandangan
masyarakat dan nilai-nilai yang terkandung
mengenai perhitungan Jawa dalam tradisi
perkawinan desa Mindugading Kecamatan Tarik,
Sidoarjo yang diambil dangan teknik wawancara dan
dokumentasi.
c) Menggunakan bahan referensi
Bahan referensi digunakan sebagai
pendukung untuk membuktikan data yang telah
ditemukan oleh peneliti, seperti adanya rekaman
wawancara dan foto-foto yang berkaitan dengan
penelitian.
27

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini dipaparkan bagian-bagian hasil penelitian dan


pembahasan yang terdiri dari: a) Hasil Penelitian, b) Pembahasan
A. Hasil Penelitian
1. Profil desa Mindugading
Mindugading adalah salah satu desa yang berada di
Kecamatan Tarik Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur.
Secara kultur di desa Mindugading ini hampir sama dengan
desa lainnya, namun desa ini mempunyai ciri khas tersendiri
yaitu masyarakatnya masih percaya mengenai adat istiadat
desa tersebut. Secara keadaan monografi, total penduduk
desa Mindugading pada bulan Januari 2021 adalah 2.522
penduduk yang terdiri dari dusun Mindu dan dusun Gading
sebanyak 1.271 laki-laki dan 1.251 perempuan. Untuk kartu
keluarga yang ada di desa Mindugading total berjumlah 722
yang sudah meliputi dusun Mindu dan Gading. Selain
menjelaskan tentang jumlah penduduk, dibawah ini juga
dijelaskan tentang peta desa Mindugading

Map data @2020 Google


Gambar 4.1 peta lokasi desa Mindugading

Peta lokasi desa Mindugading dapat dilihat pada


gambar di atas. Jarak antara desa Mindugading dengan kota
Sidoarjo adalah 28 km sedangkan jarak dari desa
Mindugading ke kecamatan Tarik adalah 2,7 km.
28

Selanjutnya akan dijelaskan tentang komposisi batas wilayah


desa Mindugading.
Batas Utara : Desa Sumokembangsri, Kec.
Balongbendo, Kab. Sidoarjo
Batas Selatan : Desa Selawe, Kec. Tarik, Kab.
Sidoarjo
Batas Timur : Desa Kemuing, Kec. Tarik,
Kab. Sidoarjo
Batas Barat : Desa Gampingrowo, Kec.
Tarik, Kab. Sidoarjo
2. Temuan Penelitian
Temuan penelitian merupakan penjelasan tentang
pemaparan data yang diperoleh berdasarkan teknik
pengumpulan data yang dijelaskan di BAB III yaitu
wawancara dan dokumentasi. Berikut akan diuraikan hal-hal
yang berkaitan dengan data yang diperoleh peneliti selama di
lapangan, yaitu tentang perhitungan Jawa dalam tradisi
perkawinan di desa Midugading kecamatan Tarik kabupaten
Sidoarjo. Dalam penelitian ini obyeknya adalah perhitungan
Jawa dengan peneliti mencari data mengenai pandangan
masyarakat dan nilai-nilai yang terkandung dalam
perhitungan Jawa di tradisi perkawinan di desa
Mindugading. Sedangkan subyeknya adalah sesepuh desa,
modin, dan kelompok masyarakat desa Mindugading yang
ditentukan menggunakan snawball sampling. Untuk hasil
penelitian ini akan dijabarkan di bawah ini.

1) Deskripsi Hasil Wawancara


Sesuai dengan teknik pengumpulan data pada
penelitian ini, teknik yang digunakan adalah wawancara dan
dokumentasi. Untuk wawancara terdiri dari 12 pertanyaan
yang akan dijawab oleh partisipan. Adapun deskripsi
jawaban wawancara menggunakan analisis data kualitatif.
29

a) Pandangan Masyarakat Mengenai Perhitungan Jawa


Dalam Tradisi Perkawinan di desa Mindugading
Kecamatan Tarik, Sidoarjo.
Kepercayaan masyarakat yang berhubungan
dengan adat istiadat yaitu perhitungan Jawa dalam
perkawinan di desa Mindugading masih sangat dijalankan
dengan beraneka ragam. Pelaksanaan perhitungan Jawa
membuat masayarakat sangat menghargai dan menjadikan
pegangan dikehidupan sehari-hari tak terkeculai dalam
perkawinan. Tradisi perkawinan yang biasanya dilaksanakan
di desa Mindugading kecamatan Tarik, Sidoarjo selalu
menggunakan perhitungan Jawa untuk menentukan hari akad
perkawinan.
Menurut Jiman (Sesepuh desa Mindugading)
perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan mempunyai
makna yaitu agar calon mempelai dan pihak pembuat acara
menghindari malapetaka dan bisa mencapai kehidupan yang
damai dan harmonis. Sehingga calon mempelai akan
menghitung weton, hari dan pasaran, serta menentukan hari,
bulan yang baik untuk perkawinan. (Wawancara, Selasa 26
Januari 2021)
Sesuai dengan pernyataan dari Jiman terhadap
perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan di desa
Mindugading kecamatan Tarik, Sidoarjo calon mempelai
yang akan melaksanakan perkawinan harus menghitung
weton, hari maupun pasaran yang berbentuk angka untuk
diketahui hasil gabungan angka tersebut. Adapun pengaruh
perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan di desa
Mindugading kecamatan Tarik, Sidoarjo yang dari hasil
wawancara dengan narasumber.
Pernyataan oleh Modin Mindugading mengenai
pengaruh perhitungan Jawa memang banyak terutama dalam
tradisi perkawinan. Perhitungan Jawa yang melibatkan untuk
menentukan hari baik akad, sangat mempunyai arti di bulan
dan hari yang diperbolehkan dalam perhitungan Jawa. Bulan
dan hari yang diperbolehkan dianggap mempunyai arti yang
30

baik untuk calon mempelai dalam membina rumah


tangganya. Sehingga hari akad juga disebut hari baik untuk
calon mempelai terhadap kehidupannya selanjutnya. Hal ini
juga dalam tradisi perkawinan di desa ini tidak ada
perubahan dalam menggunakan perhitungan Jawa.
(Wawancara, Kamis 28 Januari 2021).
Sesuai dengan pernyataan di atas menunjukkan
bahwa pengaruh perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan
sangat besar untuk kehidupan calon mempelai, hal tersebut
disebabkan calon mempelai tidak menginginkan malapetaka
untuk kehidupan rumah tangganya kelak. Karena di tiap
bulan dan hari yang digunakan dalam pelaksanakaan akad
nikah harus mempunyai arti baik untuk mendapatkan
keluarga yang selamat dan banyak rezeki.
Menenukan hari baik untuk akad, maka
pelaksanaan perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan juga
dipahami oleh masyarakat desa Mindugading kecamatan
Tarik, Sidoarjo. “Pelaksanaan perhitungan Jawa dalam
tradisi perkawinan di desa ini yaitu calon mempelai sebelum
menentukan hari baik akad, maka pertama yang harus
dilakukan menemui sesepuh atau orang yang paham
mengenai perhitungan Jawa di keluarga masing-masing.
Biasanya tergantung keluarga yang mau menghitung weton
terlebih dahulu atau langsung menentukan hari baik akadnya
saja. Karena semakin kesini, calon mempelai tidak
menghitong weton, hari dan pasaran namun langsung
menentukan hari baik untuk akad serta menghindai hari naas
kedua orang tua/keluarga,” ujar Ansari (28) warga desa
Mindugading yang akan melaksanakan perkawinan.
(Wawancara, Minggu 24 Januari 2021)
Merujuk pernyataan Ansari mengenai pelaksanaan
perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan yang semakin
kesini calon mempelai langsung menentukan hari dan bulan
baik tanpa menghitung weton, hari dan pasaran calon.
Karena jika dihitung berdasarkan weton dan hasilnya tidak
sesuai maka calon mempelai tersebut akan berpisah atau
31

tetap kukuh untuk melanjutkan ke jenjang perkawinan


dengan konsekuensi ditanggung sendiri. Hal ini juga peran
orang tua mempelai juga ikut andil dalam memutuskan acara
perkawinan juga. “Sekarang tidak zamannya untuk
menghitung weton, hari dan pasaran calon mempelai, karena
kita biasanya sudah dilandasi rasa cinta kasih sayang bahkan
keikhlasan mengenai kesepakatan untuk bersama. Maka
hanya perhitungan Jawa untuk menentukan hari akadnya,
dengan mengetahui hari naasnya keluarga yang telah
meninggal,” kata Asri (22) salah satu warga desa
Mindugading yang sudah menikah. (Wawancara, Sabtu 23
Januari 2021)
Merujuk pernyataan Asri dalam pelaksanaan
perhitungan Jawa maka perkawinan hanya dilandasi oleh
rasa kasih sayang dengan keikhlasan sehingga perhitungan
weton, hari dan pasaran tidak dilakukan dengan mengetahui
angka dari calon mempelai. Namun, hari akad akan di
tentukan mengenai hari dan bulan yang tidak ada yang
berhubungan dengan hari naas. Hari naas dicari agar tidak
bersamaan dengan hari akad, karena masyarakat di desa
Mindugading percaya bahwasannya jika menggelar acara
perkawinan di tanggal naas dari keluarga, maka dipercaya
salah satu ada yang meninggal.
Menurut Jiman (Sesepuh desa Mindugading)
mengatakan bahwasannya di desa Mindugading kecamatan
Tarik, Sidoarjo kebanyakan menggunakan macam-macam
perhitungan Jawa untuk menentukan hari dan bulan yang
baik dalam perkawinan. Salah satunya menentukan hari baik
dan bulan biasanya sudah tertera dalam perhitungan Jawa,
Misalnya bulan yang baik untuk melangsungkan perkawinan
yaitu Besar, Bada’ Awal, Bada’ Akhir, dan Rejeb.
Sedangkan untuk pasangan hari dan pasaran yang baik yaitu
Jum’at Pon, Minggu Pon, Rabu Wage, Selasa Legi dan
Jum’at Legi. (Wawancara, Selasa 26 Januari 2021).
Pernyataan sesepuh desa Mindugading bahwasannya calon
mempelai harus menggunakan pasangan hari dan pasaran
32

lalu bulan yang baik sesuai dengan aturan perhitungan Jawa.


Jika diluar bulan baik dan hari baik maka biasanya disebut
hari dan bulan naas.
“Macam-macam perhitungan Jawa dalam tradisi
perkawinan di desa Mindugading kecamatan Tarik, Sidoarjo
sangat banyak. Yang saya ketahui perhitungan weton kedua
mempelai, hari, pasaran, perhitungan hari naas kedua orang
tua yang meninggal. Namun di desa ini hanya menggunakan
perhitungan Jawa untuk menentukan hari baik untuk akad.
Selanjutnya untuk perhitungan weton sudah ditinggalkan,”
kata Hj. Mukhayah (68) salah satu warga desa Mindugading.
(Wawancara, Rabu 27 Januari 2021). Merujuk pernyataan
dari Hj. Mukhayah mengenai macam-macam perhitungan
Jawa di desa Mindugading kecamatan Tarik, Sidoarjo calon
mempelai hanya mengutamakan dalam penentuan hari baik
akad saja dan menghindari bulan serta hari yang buruk. Hal
ini dapat dibuktikan dengan pernyataan Jiman (Wawancara,
Selasa 26 Januari 2021).
“Bulan dan hari yang tidak sesuai dengan
perhitungan Jawa maka disebut bulan dan hari naas.
Pantangan tersebut harus dijalankan dan dihindari agar tidak
terjadi musibah menimpah salah satu mempelai. Misalnya
bulan yang harus dihindari untuk menentukan hari akad yaitu
Maulid dan syawal. Jika bulan Maulid diadakan tradisi
perkawinan maka ada musibah salah satu pengantin akan
meninggal, sedangkan jika diadakan bulan syawal maka ada
musibah salah satu orang tua mempelai meninggal.
Selanjutnya untuk pasangan hari dan pasaran yang harus
dihindari yaitu Minggu Pahing, Selasa Wage, Rabu Legi,
Kamis Pon dan Sabtu Kliwon,” kata Sesepuh desa Mindu.
Sesuai pernyataan sesepuh desa Mindugading
maka pantangan-pantangan mengenai hari dan bulan harus
dihindari. Namun tergantung dengan kepercayaan masing-
masing individu. “Saya tidak percaya, semakin ke arah
modern ini, saya hanya bisa berdoa kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan selalu berusaha. Karena saya percaya takdir
33

itu berasal dari pencipta, meskipun saya juga di kucilkan dan


banyak yang membicarakan saya karena tidak memakai
perhitungan Jawa di tradisi perkawinan anak saya, namun
hidup saya serahkan kepada Tuhan sepenuhnya,”
(Wawancara, Rabu 27 Januari 2021). Mengenai tanggapan
Hj. Mukhayah (68) salah satu warga desa Mindugading,
memang kepercayaan atau pandangan setiap orang berbeda-
beda, sehingga ada yang percaya dan tidaknya juga
tergantung orangnya. Hal ini juga dibuktikan dari pernyataan
salah satu warga desa Mindugading.
Pernyataan Asri (22) warga desa Mindugading
mengungkapkan sangat percaya dengan perhitungan Jawa,
karena perhitungan Jawa sudah tradisi dan merupakan
pegangan untuk masyarakat Jawa terutama didesa ini.
(Wawancara, 23 Januari 2021). Merujuk pernyataan
wawancara diatas, maka masyarakat desa juga percaya
dikarenakan memang sudah tradisi. Hal ini juga diperkuat
oleh Ansari sekaligus warga desa Mindugading yang akan
melangsungkan perkawinan. “Saya juga percaya dengan
perhitungan Jawa, apalagi berhubungan dengan perkawinan.
Karena perhitungan Jawa juga sangat sakral dan jika
dilaksanakan maka hidup juga damai dan tentram,”
(Wawancara, Minggu 24 Januari 2021). Sesuai dengan
pernyataan diatas maka membuktikan kepercayaan tidak bisa
di ukur dalam diri manusia dan tidak bisa ditebak akan
melaksanakan atau tidaknya perhitungan Jawa dalam
kehidupan sehari-hari, terutama dalam tradisi perkawinan.
b. Nilai-Nilai Yang Terkandung Pada Perhitungan Jawa
Dalam Tradisi Perkawinan di desa Mindugading
kecamatan Tarik, Sidoarjo.
Perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan
memang sangat sakral di kehidupan sehari-hari. Masyarakat
desa Mindugading biasanya menggunakan perhitungan Jawa
ketika melakukan sebuah kegiatan yang berhubungan dengan
adat istiadat Jawa. sejak turun-temurun, ketika seseorang
akan memasuki rumah, menanam padi di sawah dan buka
34

usaha maka mereka juga akan menggunakan perhitungan


Jawa, tak terkecuali dalam tradisi perkawinan. Dalam setiap
rangkaian acara dalam adat Jawa maka mempunyai makna
sekaligus nilai yang terkandung sehingga pada perhitungan
Jawa dalam tradisi perkawinan di desa Mindugading juga
mempunyai nilai yang terkandung.
Menurut Hj. Mukhayah (68) mengatakan
bahwasannya nilai yang terkandung pada perhitungan Jawa
dalam tradisi perkawinan yaitu nilai adat istiadat dan nilai
pendidikan. Nilai adat istiadat juga sudah dilaksanakan sejak
dahulu dan dilaksanakan secara turun-temurun sesuai
kepercayaannya. Sedangkan nilai pendidikannya terletak
pada toleransi yang sudah dijalankan oleh masyarakat dan
selalu menaati tentang perhitungan Jawa dalam tradisi
perkawinan di desa Mindugading. (Wawancara, Rabu 26
Januari 2021)
Sesuai dengan pernyataan di atas nilai adat istiadat sekaligus
nilai pendidikan sangat utama. Hal ini dibuktikan dengan
pernyataan dari modin desa Mindugading. “Menurut saya,
nilai yang paling utama yaitu nilai sosial dan pendidikan,
karena nilai sosial itu mengatur tentang kemasyarakatan atau
hubungan manusia dengan leluhurnya. Sedangkan nilai
pendidikannya itu saling menghargai,” (Wawancara, Kamis
28 Januari 2021). Pernyataan di atas juga mengutamakan
nilai sosial dan nilai pendidikan.
Selanjutnya menurut Jiman sesepuh desa
Mindugading menyatakan nilai-nilai yang terkandung dalam
perhitungan Jawa sangat banyak salah satunya a) Nilai Adat
istiadat seperti melakukan tradisi secara turun-temurun
artinya dapat menghargai, selanjutnya yaitu kepercayaan
yang sangat kental akan budaya Jawa. b) selanjutnya yaitu
Nilai Pendidikan yang sangat utama untuk generasi muda. c)
Nilai Sosial yang sangat melekat dalam masayarakat. d)
Nilai Moral yang menjadikan dasar perhitungan Jawa masih
dijalankan. Sesuai dengan pernyataan Jiman maka dipastikan
nilai pendidikan juga sangat berpengaruh pada perhitungan
35

Jawa dalam tradisi perkawinan. (Wawancara, Selasa 26


Januari 2021).
b) Dokumentasi (Terlampir)

B. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis wawancara yang telah
dipaparkan maka gambaran tentang perhitungan Jawa dalam
tradisi perkawinan di desa Mindugading akan dianalisis
sebagaimana berikut.
1. Pandangan masyarakat mengenai perhitungan Jawa
dalam tradisi perkawinan di desa Mindugading
kecamatan Tarik, Sidoarjo.
Pandangan masyarakat desa Mindugading pada
perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan membuat
keberagaman pandangan. Keberagaman manusia artinya
bahwa setiap manusia memiliki perbedaan. Herimanto dan
Winarno (97:2016) mengatakan perbedaan manusia itu ada
karena manusia adalah makhluk individu yang setiap
individu memiliki ciri-ciri khas tersendiri. Merujuk
pernyataan Herimanto dan Winarno bahwasannya manusia
memiliki perbedaan karena bermula dari makhluk individu,
sehingga pandangan masyarakat mengenai perhitungan Jawa
dalam tradisi perkawinan juga memiliki perbedaan.
Sesuai dengan pernyataan di atas menunjukkan
bahwa kepercayaan masyarakat pada perhitungan Jawa
dalam tradisi perkawinan di desa Mindugading ada
perbedaan pandangan. Dibuktikan dari hasil wawancara
dengan 5 (Lima) responden terdapat 4 (empat) orang percaya
mengenai perhitungan Jawa dan 1 (satu) orang tidak percaya
mengenai perhitungan Jawa karena perhitungan Jawa
merupakan tradisi turun-temurun dan sekaligus sangat sakral
jika tidak dilaksanakan. Menurut Jiman sesepuh desa
Mindugading, perhitungan Jawa perhitungan Jawa dalam
tradisi perkawinan mempunyai makna yaitu agar calon
mempelai dan pihak pembuat acara menghindari malapetaka
36

dan bisa mencapai kehidupan yang damai dan harmonis.


Sehingga calon mempelai akan menghitung weton, hari dan
pasaran, serta menentukan hari, bulan yang baik untuk
perkawinan.
Menurut Geertz dalam Liana (2016:8) menjelaskan
petungan merupakan cara untuk menghindarkan semacam
disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan
membawa ketidakuntungan”. Sesuai dengan pernyataan
Geertz dalam Liana pengaruh perhitungan Jawa memang
banyak terutama dalam tradisi perkawinan. Perhitungan
Jawa yang melibatkan untuk menentukan hari baik akad,
mempunyai arti di bulan dan hari yang diperbolehkan dalam
perhitungan Jawa.
Pernyataan diatas juga sesuai dengan data hasil
wawancara dari Modin desa Mindugading yakni bulan dan
hari yang diperbolehkan dianggap mempunyai arti yang baik
untuk calon mempelai dalam membina rumah tangganya.
Sehingga hari akad juga disebut hari baik untuk calon
mempelai terhadap kehidupannya selanjutnya. Hal ini juga
dalam tradisi perkawinan di desa ini tidak ada perubahan
dalam menggunakan perhitungan Jawa.
Mengenai perhitungan Jawa dalam tradisi
perkawinan di desa Mindugading yang menjadi pegangan
untuk menentukan hari baik akad calon pengantin, desa
Mindugading menggunakan hari dan bulan baik saja, tanpa
menghitung weton. Karena jika menghitung weton calon
mempelai dan tidak ada kecocokan, maka calon mempelai
akan berpisah. Sedangkan sesuai perhitungan Jawa untuk
menentukan hari baik untuk akad, maka harus menghindari
hari naas keluarga yang meninggal dan bulan yang tidak
diperbolehkan.
Bayuadhy (2015:60-62) menyatakan tradisi
perkawinan menjelang upacara perkawinan salah satunya
Gethak Dina. Gethak dina adalah penentuan hari ijab qabul
dan resepsi perkawinan yang biasanya ditentukan oleh
sesepuh atau orang yang ahli dan mengetahui penanggalan
37

Jawa. Hal ini juga dibuktikan bahwasannya masyarakat desa


Mindugading kecamatan Tarik, Sidoarjo menentukan hari
akad sangat diutamakan. Calon mempelai yang akan
melaksanakan perkawinan maka harus menemui sesepuh
desa atau orang yang paham mengenai perhitungan Jawa.
selanjutnya, calon mempelai akan diberikan pasangan hari
beserta pasaran yang sesuai perhitungan Jawa, yang biasanya
dianggap hari baik diantaranya Jum’at Pon, Minggu Pon,
Rabu Wage, Selasa Legi dan Jum’at Legi.
Setelah pasangan hari dan pasaran ditentukan, maka
calon mempelai akan menentukan bulan yang baik sesuai
dengan perhitungan Jawa diantaranya Besar, Bada’ Awal,
Bada’ Akhir dan Rejeb. Bulan baik yang sudah sesuai
dengan perhitungan Jawa mempunyai watak yang baik
sehingga dianggap masyarakat desa Mindugading sebagai
doa untuk melaksanakan tradisi perkawinan. Berdasarkan
data dari hasil wawancara yang disampaikan oleh sesepuh
desa Mindugading sesuai dengan daftar watak bulan baik
menurut Djanudji dalam Listyana dan Hartono (2015:124).
Daftar watak bulan untuk ijab pengantin sebagai
berikut : a) watak Sura: bertengkar, kesusahan b) Sapar:
kekurangan, banyak hutang c) Rabiul Awal: meninggal salah
satu d) Rabiul Akhir: selalu digunjing e) Jumadil Awal:
sering kehilangan, ditipu, dan banyak musuh f) Jumadil Akir
: sugih mas salaka f) Rejeb: kaya anak dan selamat g)
Ruwah: baik segalanya puasa celaka h) Besar Sawal:
kekurangan,banyak hutang i) Dulkaidah/Sela: sakit-sakitan,
sering bertengkar dengan teman j) Besar: sugih nemu
sukaharja.
Sedangkan untuk pasangan hari dan pasaran yang
dilarang sesuai dengan perhitungan Jawa dalam tradisi
perkawinan di desa Mindugading kecamatan Tarik, Sidoarjo
diantaranya Minggu Pahing, Selasa Wage, Rabu Legi, Kamis
Pon dan Sabtu Kliwon. Jika salah satu pasangan hari dan
pasaran tersebut dilaksanakan maka akan tertimpa musibah
dan bisa dikatakan seda (meninggal). Selanjutnya untuk
38

bulan yang dilarang diantaranya Maulid dan Syawal. Jika


bulan Maulid dilaksanakan tradisi perkawinan maka akan
terjadi salah satu pengantin meninggal dan jika bulan Syawal
diadakan perkawinan maka salah satu orang tua dari calon
mempelai maka akan meninggal.
b. Nilai-Nilai Yang Terkandung Pada Perhitungan Jawa
Dalam Tradisi Perkawinan di desa Mindugading
kecamatan Tarik, Sidoarjo.
Herimanto dan Winarno (2016:126) mengatakan
nilai merupakan sesuatu yang diharapkan (das solen) oleh
manusia. Harapan tersebut merujuk kepada sesuatu yang
baik dan dicitakan manusia sehingga bermanfaat bagi
manusia baik lahir maupun batin. Pada perhitungan Jawa
dalam tradisi perkawinan di desa Mindugading kecamatan
tarik, Sidoarjo mempunyai nilai yang terkandung di
dalamnya.
Sesuai dengan hasil wawancara dengan partisipan
mengenai perhitungan Jawa di desa Mindugading
bahwasannya nilai yang terkandung ialah nilai adat istiadat,
nilai sosial, nilai moral dan nilai pendidikan. Hal ini sesuai
dengan perhitungan Jawa yang dilaksanakan secara turun-
temurun sehingga perhitungan Jawa didalamnya terkandung
sebuah nilai dan bernilai bagi manusia. Nilai menjadikan
manusia terdorong untuk melakukan tindakan agar harapan
tersebut terwujud dikehidupannya. Sesuai dengan hasil
wawancara dengan Asri, pada perhitungan Jawa di dalam
tradisi perkawinan mempunyai nilai adat istiadat.
Masyarakat yang selalu menggunakan dalam pelaksanaan
perkawinan membuat tradisi tersebut menjadi bernilai.
Menurut Walter dalam Kaelan (2014:82)
menggolongkan nilai-nilai manusiawi kedalam delapan
kelopok, salah satunya nilai sosial yang berasal mula dari
keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan. Hal ini
juga berkaitan dengan hasil wawancara dengan Modin desa
Mindugading karena nilai sosial juga sangat mempengaruhi
dan terkandung pada perhitungan Jawa membuat masyarakat
39

semakin menjunjung tinggi kebudayaan dan menjaga tingkah


laku agar tidak terjadinya malapetaka jika melanggar
perhitungan Jawa.
Sedangkan untuk nilai moral yang berhubungan
tingkah laku manusia juga terkandung dalam perhitungan
Jawa. Herimanto dan Winarno (2016:129) mengatakan
moral berasal dari bahasa latin mores yang berarti adat
kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia, kata moral berarti
akhlak (bahasa arab) atau kesusilaan yang mengandung tata
tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi
pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Perhitungan
Jawa yang mempunyai pantangan sekaligus arah bagi
masyarakat untuk kehidupan sehari-hari juga menjadi
batasan masyarakat untuk melakukan tak terkecuali dalam
perkawinan.
Untuk nilai pendidikan yang terkandung pada
perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan sendiri sudah
mencangkup nilai religius, sosial bahkan moral. Menurut
Hilmy (2017:5) menyatakan pendidikan adalah masalah
semua orang, sebagai suatu proses memanusiakan manusia.
Ditinjau dari 6 partisipan dalam hasil wawancara
membuktikan dari 6 partisipan menjawab nilai pendidikan
yang diutamakan. Nilai pendidikan sangat memberikan
corak kepada masyarakat bahwasannya didalam nilai
pendidikan tersebut sudah mencakup nilai sosial, nilai moral
bahkan nilai adat istiadat juga masuk dalam nilai pendidikan.
Tidak hanya itu saja, nilai pendidikan juga terdapat nilai
religius masyarakat akan kepercayaan terhadap perhitungan
Jawa dalam tradisi perkawinan di desa Mindu-gading
kecamatan Tarik, Sidoarjo.
40

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini dipaparkan bagian-bagian simpulan dan saran yang


terdiri dari: a) Simpulan Penelitian, b) Saran.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pandangan Masyarakat terhadap perhitungan Jawa dalam
tradisi perkawinan di desa Mindugading kecamatan Tarik,
Sidoarjo.
Masyarakat desa Mindugading kecamatan Tarik,
Sidoarjo mayoritasnyaa masih menggunakan perhitungan
Jawa untuk tradisi perkawinan. Kepercayaan tersebut
dijalankan karena perhitungan Jawa akan mempengaruhi
kehidupan calon mempelai jika di tentukan sesuai
perhitungan Jawa. Biasanya calon mempelai akan menemui
sesepuh desa atau orang yang paham mengenai perhitungan
Jawa dalam menentukan hari akad perkawinan, dengan
menentukan pasangan hari dan pasaran serta bulan baik
sesuai dengan perhitungan Jawa. Pasangan hari dan pasaran
dalam perhitungan Jawa yaitu Jum’at Pon, Minggu Pon,
Rabu Wage, Selasa Legi dan Jum’at Legi. Sedangkan untuk
bulan yang baik untuk menentukan hari akad yaitu Besar,
Bada’ Awal, Bada’ Akhir, dan Rejeb.
2. Nilai-nilai yang terkandung pada perhitungan Jawa dalam
tradisi perkawinan di desa Mindugading keamatan Tarik,
Sidoarjo.
Pada perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan di
desa Mindugading kecamatan tarik, Sidoarjo mempunyai
nilai yang terkandung di dalamnya sehinggan masyarakat
tetap menjalankan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai yang
terkandung ialah nilai pendidikan karena didalam nilai
pendidikan tersebut sudah mencakup nilai sosial, nilai moral
bahkan nilai adat istiadat juga masuk dalam nilai pendidikan.
Tidak hanya itu saja, nilai pendidikan juga terdapat nilai
41

religius yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.


Sehingga pada perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan
masyarakat juga menghargai dan tetap menjalankan tetapi
masyarakat juga tetap berdoa dan berusaha kepada Tuhan
YME.
B. Saran
Berdasarkan hasil penyusunan skripsi tentang
perhitungan Jawa dalam tradisi perkawinan di desa
Mindugading kecamatan Tarik, Sidoarjo, penulis
memberikan saran sebagai berikut:
1. Kepada pembaca diharapkan tidak hanya sekedar
membaca tetapi juga untuk memberikan masukan serta
kritikan kepada skripsi ini. Demi terciptanya suatu karya
ilmiah yang lebih baik lagi untuk kedepannya.
2. Bagi peneliti selanjutnya mengenai perhitungan Jawa di
desa, diharapkan skripsi ini dapat dijadikan rujukan atau
referensi penelitian selanjutnya.
42

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, dkk. 2016. Pendidikan Agama Islam Kontekstual di


Perguruan Tinggi. Surabaya : UNESA University Press.

Bayuadhy Gesta.2015. Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur


Jawa. Yogyakarta: DIPTA.

Ciputra. 2018. Metode Pengumpulan dalam Penelitian


http://ciputrauceo.net/blog/2016/2/18/metode-
pengumpulan-data-dalam-penelitian di akses pada Kamis,
15 Oktober 2020 pukul 12.36

Dermatoto Argyo. 2015. Pemaknaan Perkawinan : Studi Kasus


Pada Perempuan Lajang Yang Bekerja di Kecamatan
Bulukerto Kabupaten Wonogiri.Jurnal Analisa Sosiologi.
https://media.neliti.com/media/publications/227605-
pemaknaan-perkawinan-studi-kasus-pada-pe-ce6bc1ef.pdf
di akses pada Jum’at, 16 Oktober 2020 Pukul 12.00

Fauzi Akhmad. 2018. Persepsi Masyarakat Desa Leminggir


Mengenai Pemimpin Desa Ideal. Surabaya: Universitas
PGRI Adi Buana Surabaya.

Herimanto, Winarno. 2016. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.


Jakarta: PT Bumi Akasara.

http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU1-1974Perkawinan.pdf , diakses
pada Senin, 21 September 2020 pukul 09.00.

http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=tradisi%20adat
%20dan%20budaya%20sedekah%20kamppngka%20barat
%20%20Indonesia&&nomorurut_artikel=333/2014/08/20/09
:46 di akses pada Minggu, 18 Oktober 2020 pukul 10.00 wib
43

Hilmy Masdar. 2017. Guru Indonesia dan Kualitas Pendidikan


Nasional. Jakarta: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Kaelan. 2014. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma

Keunikan masyarakat Jawa terlihat dalam keberagamaannya,


terutama yang beragama Islam. Jika merunut pada tesis
Geertz terletak pada gerak spiritualitas yang dilakukan
golongan Abangan. Lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri,
Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), 13. Lihat pula Ahmad Khalil,
Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa
(Malang: UIN-Malang Press, 2008), 11. Lihat pula, Nur
Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), 245.
http://digilib.uinsby.ac.id/794/4/Bab%201.pdf di akses pada
Senin, 05 Oktober 2020 pukul 14:22.

Liana Deni Ilfa. 2016. Keberadaan Tradisi Petung di Masyarakat


Desa Grinting Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes.
Skripsi Sosiologi dan Antropologi.
https://lib.unnes.ac.id/29088/1/3401412167.pdf diakses pada
Jum’at, 25 Oktober 2020 pukul 12.00

Listyana dan Hartono. 2015. Persepsi dan Sikap Masyarakat


Terhadap Penanggalan Jawa Dalam Penentuan Waktu
Pernikahan (Studi Kasus Desa Jonggrang Kecamatan Barat
Kabupaten Magetan Tahun 2013). Jurnal Agastya VOL 5 No
1 Januari 2015.
http://e-journal.unipma.ac.id/index.php/JA/article/view/898/8
10 di akses pada Minggu, 18 Oktober 2020 pukul 07.00

Maftuhah, Lailatul. 2018. Pandangan Masyarakat Islam Terhadap


Dasar Tradisi Weton Sebagai Perjodohan di Desa
Karangagung Glagah Lamongan.
http://digilib.uinsby.ac.id/27320/7/Lailatul%20
maftuhah_e82211050.pdf, diakses pada Kamis, 22
September 2020 pukul 22.13.
44

Moleong. 2018. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya
.
Noeradyo, Sri Woerjan Soemadiyah. Tanpa Tahun. Kitab
Prombon Betaljemur Adammakna. Ngayogyakarta: CV
Buana Raya.

Nuha Rista Aslin. 2019. Tradisi Dalam Perkawinan Masyarakat


Kabupaten Pati Perspektif Hukum Islam. Skripsi Syariah dan
Hukum.
http://103.229.202.68/dspace/bitstream/123456789/47263/1/
RISTA%20ASLIN%20NUHA-FSH.pdf di akses pada
Jum’at, 25 September 2020 pukul 12.33

Rohman, Fatkhur (2015) Makna filosofi tradisi upacara


perkawinan adat Jawa Kraton Surakarta dan Yogyakarta
(studi komparasi).Undergraduate (S1) thesis, UIN
Walisongo.

Santosa Kukuh Imam.2016. Tradisi Perhitungan Sebagai Syarat


Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Islam. Skripsi IAIN
Purwokerto.
http://repository.iainpurwokerto.ac.id/2552/1/COVER_BAB
%20I_BAB%20V_DAFTAR%20PUSTAKA.pdf di akses
pada Rabu, 30 September 2020 pukul 14.07

Sari Titin Mulya, dkk. Perkawinan Adat Jawa Perspektif Hukum


Islam di Desa Terlanggu Kecamatan Brebes. Jurnal Hukum
dan Pranata Sosial.
http://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/am/article/vi
ew/473 di akses pada Sabtu, 17 Oktober 2020 Pukul 07.09

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan


R&D. Bandung: Alfabeta CV
45

Sujarweni V Wiratna.2014. Metodologi Penelitian. Yogyakarta:


Pustaka Baru Press.
Zubaidah Dwi Arini. 2019. Penentuan Kesepadanan
Pasangan Pernikahan Berdasarkan Perhitungan . VOL
2.2 VOLKSGEIST 2019.
http://digilib.uin-suka.ac.id/40901/ diakses pada
Minggu, 18 Oktober 2020 pukul 08.00

Anda mungkin juga menyukai