http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
1
2
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
Introduction
Diskursus tentang penentuan hari-hari baik menjadi diskusi menuai
tanggapan pro dan kontra. Berbagai perspektif seringkali digunakan untuk
menjelaskannya. Dengan waktu manusia bisa menjadi orang yang beruntung
dan bisa pula menjadi merugi (Q.S. al-Ashr). Begitu pentingnya, Allah
seringkali menyebut waktu dengan lafal sumpah dan pemanfaatannya. Allah
mendorong manusia untuk memperhatikan keberadaannya untuk sebagai
kesempatan untuk melakukan kebaikan. Hal ini sejalan kultur masyarakat
untuk menggunakan waktu-waktu yang baik pula untuk melaksanakan suatu
aktivitas yang baik, dengan harapan agar kegiatan tersebut mendatangkan
kebaikan dan keberuntungan. Akan tetapi, apakah perspepsi kebaikan itu
selalu sejalan dengan kebaikan berdasarkan petunjuk Islam atau tidak, hal
tersebut perlu diposisikan secara tepat berdasarkan pendekatan analisis yang
mengintegrasikan antara kearifan lokal dan ajaran Islam.
Pandangan tentang hari-hari baik dalam masyarakat sudah lama
tumbuh dan hidup dalam keyakinan dan praktik masyarakat. Dalam
penelitian Rini Haryati yang bertajuk “Tradisi A’pa’tantu Allo Baji
(Penentuan Hari Baik) Pernikahan Di Desa Camba-camba Kecamatan
Batang Kebupaten Jeneponto” (Haryati, 2020). menunjukkan bahwa
masyarakat Jeneponto meyakini adanya hari-hari baik untuk mengadakan
acara pernikahan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menjawab
beberapa pertanyaan: 1. Bagaimana gambaran tradisi a’pa’tantu allo baji
(penentuan hari baik) pernikahan dalam masyarakat Desa Camba-camba
Kecamatan Batang Kabupaten Jeneponto. 2. Apa nilai yang terkandung
dalam tradisi a’pa’tantu allo baji (penentuan hari baik) pernikahan dalam
Masyarakat Desa Camba-camba Kecamatan Batang Kabupaten Jeneponto. 3.
Bagaimana eksistensi tradisi a’pa’tantu allo baji (penentuan hari baik)
pernikahan dalam masyarakat Desa Camba-camba Kecamatan Batang
Kabupaten Jeneponto.
Jenis penelitian tersebut merupakan penelitian kualitatif yang
menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi dalam pengumpulan
data. Data yang diperoleh selanjutnya analisis melalui empat tahapan yaitu
mereduksi dan menyajikan data, dan menarik kesimpulan. Hasil
penelitiannya menunjukkan: 1. tradisi a’pa’tantu allo baji (penentuan hari
baik) pernikahan dalam masyarakat Desa Camba-camba Kecamatan Batang
Kabupaten Jeneponto dapat dilihat dari langkah awal untuk mengawali
tradisi penentuan hari baik para tokoh adat melakukan perhitungan bulan
menggunakan bulan-bulan dalam Islam. 2. Nilai yang terkandung dalam
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
3
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
4
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
5
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
6
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
7
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
vital dalam Islam, yaitu akidah. Ketika ini ditarik kedalam konteks akidah
maka rentan terjadi gesekan dan benturan antara masyarakat menganut hari-
hari baik untuk mengadakan hajatan tertentu berhadapan dengan pihak yang
menentangnya dari tinjauan akidah. Dalam kondisi itu perdebatan dapat
memasuki ranah justifikasi teologis (bid’ah dan syirik). Hal ini perlu
diterangkan secara ilmiah untuk membantu masyarakat keluar dari
ketidakpastian hukum Islam atau tetap merawat tradisi lama serta
menerangkan bagian-bagian dari Islam dan kearifan lokal yang
memungkinkan untuk diintegrasikan.
Metode penggalian hukum Islam yang mengakomodir pendekatan
kearifan lokal (al-‘urf /adat) dengan sumber-sumber primer hukum Islam ,
yaitu Al-Quran dan hadis. Hal inilah yang memungkinkan dijadikan
argumen untuk merumuskan pendekatan alternatif untuk menghadirkan titik
temu antara penganut kearifan lokal di satu sisi dan tetap menjaga akidah
dari bid’ah dan syirik di sisi yang lain. Pendekatan kearifan lokal dan
pendekatan teologis seringkali tidak dapat dihindarkan dari pertentangan
tetapi dalam batas-batas tertentu, Islam terbuka dan akomodatif terhadap
nilai-nilai kearifan lokal yang tidak bertentangan nash-nash primer.
Berdasarkan itu, kajian tentang hari-hari baik dalam Islam dan hari hari-hari
baik dalam perspektif masyarakat Mandar dapat menjadi model kajian
alternatif bagi suku lainnya.
Batas-batas tolernasi dan titik temu Islam dan kearifan lokal adalah
maslahat. Islam datang membawa kemaslahatan dan mencegah mafsadat.
Maslahat merupakan inti ajaran Islam dan alasan utama masyarakat sepakat
merawat nilai-nilai kearifan lokal. Jika penentuan hari-hari itu menghadirkan
maslahat dan tidak tidak menimbulkan mafsadat maka itu sejalan dengan
ajaran Islam. Dalam al-Qur’an dan sunnah pun ditemukan adanya hari-hari
afdal (yang utama) untuk melakukan suatu amalan tertentu. Kearifan lokal
menemukan relevansinya dengan Islam apabila tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariat. Dalam konteks ini, pendekatan kearifan lokal tentang
hari-hari baik dimaksudkan untuk mengakomdir hasil pemikiran manusia
yang membawa kemaslahatan di dunia, sedangkan pendekatan teologis
selalu berorientasi pada kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Penentuan
hari-hari baik pada mulanya dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan
dalam melakukan aktivitas pada hari-hari tersebut dan setelahnya. Apa yang
dipandang baik oleh umat Islam atau oran-orang beriman maka baik pula di
sisi Allah. Satemen inilah yang perlu dikaji dengan pendekatan ‘urf, teori
perubahan hukum, asas maslahat.
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
8
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
9
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
ditemukan dalam kitab “I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin”. فى تغير
”الفتوى واختالفها بحسب تغير األزمنة واألمكنة واألحوال والنيات والعواعدPerubahan dan
perbedaan fatwa berdasarkan perubahan waktu, tempat, keadaan, niat, dan
kebiasaan (adat) (Basri, 2018: 190-191).
P oin utama dari konstruksi teoretis Ibnu al-Qayyim tersebut
menghubungkan perubahan hukum berdasarkan variabel waktu, tempat,
keadaan, niat (motivasi), dan kebiasaan (adat). Kelima factor (variabel) ini
senantiasa mempengaruhi terjadinya perubahan hukum Islam (Basri,
2018:190-191). Akan tetapi, di atas semua factor tersebut nilai-nilai yang
mengikat adalah kemaslahatan, sebab agama diturunkan untuk menuntun
manusia kepada kemaslahatan. Tidaklah mungkin terjadi pertentangan antar
nilai maslahat dengan agama (Islam) yang benar.
Apabila dikaitkan antara hari-hari baik dan perubahan hukum maka
perubahan situasi dan kondisi serta tempat akan mempengaruhi cara pandang
masyarakat tentang hari-hari baik khususnya penentuan hari- hari baik untuk
pernikahan. Penentuan hari hari-hari baik dalam hokum Islam mengacu
kepada maslahat. Misalnya di kota besar, hari-hari baik untuk pernikahan
dan resepsi adalah hari-hari yang memungkinkan mendapatkan gedung
pernikahan yang kosong, sehingga dapat digunakan untuk pernikahan dan
resepsi pernikahan, hari-hari libur kerja, dan sebagainya. Alasannya adalah,
karena hari-hari itu lebih dekat kepada maslahat.
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
10
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiannya” (Syarif, 1983: 149).
Ini sama dengan komentar al-Ghazali dalam karyanya al-Mustashfa,
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Fahmi Abu Sunnah, “‘urf adalah sesuatu
(perkataan atau perbuatan) yang telah menjadi kemantapan jiwa dari segi
dapatnya diterima oleh akal dan watak yang sehat atau baik” (Sunnah, 1947:
8). Berdasarkan itu, ‘urf mengandung tiga unsur, yaitu: pertama, adanya
perbuatan atau perbuatan yang berlaku berdasarkan kemantapan jiwa.
Kedua, sejalan dengan pertimbangan akal sehat. Ketiga, dapat diterima oleh
watak pembawaan manusia. Sedangkan adat didefinisikan sebagai “sesuatu
yang dilakukan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional” (Sunnah,
1947: 10).
Term ‘urf dan adat adalah term yang memiliki arti sama di satu sisi,
tetapi pada sisi tertentu terdapat pula perbedaan. Hukum adat ialah
keseluruhan aturan tingkah laku psitif yang di satu pihak mempunyai sanksi
(karena itulah ia sebagai hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak
dikodifikasikan (karena itulah ia sebagai adat kebiasaan). Karena itu ‘adat’
kebiasaan dianggap sebagai patokan hukum ketika sudah berlaku umum, dan
jika menyimpang maka tidak bisa dijadikan sebagai salah satu patokan
hukum”. Begitu pula ‘urf, ada yang ‘urf shahih (baik dan sehat) dan ‘urf
fasid (rusak dan menyimpang). ‘Urf shahih (baik) dapat dijadikan sebagai
pertimbangan hukum, sedangkan ‘urf fasid (menyimpang) harus ditolak.
Pendekatan teoretis yang menuntun penulis dalam menganalisis
tentang hari-hari baik dalam perspektif masyarakat Mandar dan Hukum
Islam didasarkan teori perubahan sosial, teori perubahan hukum Islam, ‘urf,
istihsan, dan maslahat. Pendekatan-pendekatan tersebut didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan. Pertama, teori perubahan social digunakan
sebagai upaya memahami bahwa dalam kehidupan masyarakat dan nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat mempengaruhi kehidupan masyarakat tersebut.
Demikian pula sebaliknya, perubahan masyarakat mempengaruhi sikap
masyarakat terhadap nilai-nilai tersebut. Kedua, di dalam setiap komunitas,
nilai-nilai kearifan lokal tersebut ada yang sejalan dengan ajaran Islam dan
ada pula bertentangan. Nilai-nilai yang relevan dan sejalan dengan ajaran
Islam itu mesti dirawat, sedangkan nilai budaya yang bertentangan dengan
Islam itu mesti diluruskan. Ketiga, konstruksi hukum Islam itu dipengaruhi
oleh perubahan beberapa faktor (vaiabel) hukum. Islam memberikan ruang
bagi masyarakat yang berbudaya mengekspresikan nilai-nilai budaya mereka
termasuk dalam penentuan hari-hari baik untuk pelaksanaan hajatan,
khususnya dalam urusan har-hari pernikahan. Kearifan lokal merupakan
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
11
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
salah satu sumber pertimbangan dalam penetapan hokum Islam. Apa yang
dipandang baik oleh para mujtahid yang beriman maka baik pula di sisi
Allah.
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
12
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
secara marfu’ dari jalur Anas bin Malik dengan sanad yang gugur dan yang
shahih bahwa atsar tersebut mauquf kepada Ibnu Mas’ud (al-‘Azuliy, n.d.:
2/188; al-Hindiy, n.d. 46-47). Ibnul Qayim berkata, “bukan ucapan
Rasulullah Saw. namun telah menisbatkan kepadanya. Al ‘Ainiy
mengatakan, “Di-rafa’-kannya hadis itu kepada Nabi Saw. tidaklah shahih
namun ia adalah ucapan yang mauquf kepada Ibnu Mas’ud” ( al-Hindy, n.d.:
46-47). Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albaniy dalam Silsilah al-Hadits
al-Dha’ifah bahwa riwayat ini secara marfu’ kepada Nabi Saw. adalah
maudhu (Silsilah ahadits dha’ifah no: 532).
Kajian ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan hal itu, namun yang
perlu diberikan aksentuasi dalam konteks ini adalah makna lafal “muslimun”
dalam atsar tersebut maksudnya adalah para sahabat Nabi Saw. karena
makna yang dhahir dari ”( ”الalif lam) dalam atsar tersebut adalah alif lam
untuk ‘ahd (mengikat sesuatu yang telah dikenal) dan ma’hud-nya (yang
diikat) adalah apa yang disebutkan sebelumnya.
Istihsan dapat menjadi sumber hukum Islam jika ia telah menjadi
produk hukum dan dapat menjadi metode hukum Islam jika ia dijadikan
sebagai suatu proses atau cara dalam menetapkan suatu hokum (Kadenun,
2018: 89-105). Dalam konteks ini, Istihsan diposisikan sebagai metode
pendekatan istimbath hukum Islam. Meskipun ada pula ulama yang
menolaknya sebagai satu sumber pertimbangan hukum Islam, seperti Imam
Syafii’. Dengan tegas ia membatalkan tentang dalil Istihsan, karena itu ia
menguraikannya dalam pasal tersendiri yang terdapat di dalam kitabnya
yaitu al-Umm dengan judul “Ibthal al-Istihsan” (pembatalan dalil Istihsan).
Dan alasan-alasan yang ia sebutkan itu dapat diketahui beberapa aspek
tentang Istihsan, adapun alasan-alasan tersebut dapat diringkas ke dalam
enam hal yaitu sebagaimana dikemukakannya ke dalam beberapa tempat
secara terpencar di dalam kitab ar-Risalah dan dalam kitab al-Umm dalam
pasal Ibthal al-Istihsan.
Tulisan ini tidak menempatkan Istihsan sebagai sumber hukum
Islam, melainkan sebagai metode pendekatan istimbath hukum Islam.
Pendapat dari Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah yang
mengatakan bahwa Istihsan adalah dalil syara‟ dengan alasan yaitu: a.
Istihsan yang ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus dan
hukum-hukum yang ternyata bahwa penggunaan Qiyas adalah menerapkan
yang umum atau dalil yang Kulli yang kadang-kadang di dalam beberapa
kasus menyebabkan hilangnya kemashlahatan manusia, karena kasus-kasus
ini mempunyai kekhususan-kekhususan tersendiri (Kadenun, 2018: 89-105).
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
13
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
Hal ini merupakan suatu keadilan dan rahmat bagi semua manusia apabila
dibuka jalan bagi seorang mujtahid di dalam memecahkan kasus seperti ini
yaitu men-tarjih dalil agar tercapai kemaslahatan dan menolak kemadaratan,
dengan kata lain seperti ungkapan dalam kaidah fikih yaitu: “Dar‟u al-
Mafasid wa Jalbu al-Mashalih” (Menolak kemafsadatan dan meraih
kamaslahatan). Dalam konteks ini, istihsan digunakan untuk mendapatkan
kemaslahatan dan menolak kemadaratan atau menemukan maslahat yang
lebih kuat dan madarat yang lebih sedikit.
Istihsan yang sanadnya Qiyas, yang menjadi dasar di sini yaitu
kemudahan dan menghilangkan kesempitan. Hal ini sesuai dengan ayat al-
Qur‟an surat al-Baqarah: 185, “Allah hendak (membuat) keringanan bagimu
dan tidak hendak (membuat) keberatan (kesusahan) atas kamu”. Dan juga
sesuai dengan Hadis Nabi SAW., “Sebaik-baik agamamu adalah
kemudahan”. Misalnya yang dicontohkan di dalam Qiyas Khafi yaitu: 1).
Istihsan yang sanadnya ‘Urf yang shahih yaitu: Meninggalkan apa yang
menjadi konsekuensi Qiyas menuju kepada hukum lain yang berbeda, karena
Urf yang umum berlaku, baik Urf yang bersifat perkataan maupun
perbuatan. 2). Istihsan yang sanadnya Nash yaitu: uruusan yang pada setiap
masalah menunjukkan hukum yang bertentangan dan berbeda dengan kaidah
yang telah ditetapkan oleh yang mempunyai Nash dari Allah SWT. 3).
Istihsan yang sanadnya Darurat yaitu: Ketika seorang Mujtahid melihat ada
sesuatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan
Qiyas demi memenuhi hajat orang yang darurat itu atau mencegah
kemudaratan. Sedangkan para ulama Malikiyah membagi Istihsan kepada:
1). Istihsan yang sanadnya ‘urf. 2). Istihsan yang sanadnya Mashlahah. 3).
Istihsan yang sanadnya Raf’u al-Kharaj (Djazuli dan I. Nurol Aen, 1997:
134-137). Semua aspek pertimbangan tersebut mengerucut pada titik temu,
yaitu maslahah.
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
14
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
tokoh terkemuka tentang Maslaha (Basri, 2011: 177). Cara berpikir kedua
tokoh tersebut dan ulama fiqh lainnya sangat kritis karena teori yang
dikembangkan berbeda dengan teori yang dikembangkan oleh ulama ushul
lainnya.
Menurut At-Tufi, maslaha berasal dari makna hadits: الضرروالضرار,
“tidak boleh merugikan dan merugikan orang lain” (At-Tufi, 1993: 23),
hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad. Al-
Hakim berpendapat bahwa hadits ini sahih berdasarkan kriteria Imam
Muslim. Hal tersebut menjadi dasar argumentasi at-Tufi untuk menganut
empat prinsip mashlahah, yang membedakannya dengan ulama lain yang
membagi mashlahah menjadi tiga (al-Gazali, 1993: 174). Bagi at-Tufi,
pemekaran bukanlah hal yang esensial karena tujuan masyarakat muslim
adalah kemaslahatan yang positif. Segala bentuk maslaha, baik yang
didukung oleh nash atau tidak, harus dicapai tanpa penjelasan yang rinci
(Dahlan (ed.), 1997: 1836). Keempat asas di atas antara lain 1) Akal bebas
menentukan kemaslahatan dan kekurangan, terutama dalam hal muamalah
dan adat. Ini menyiratkan bahwa masuk akal untuk menggunakan logika
untuk menentukan apakah hal-hal tertentu termasuk dalam maslaha (Dahlan
(ed.), 1997: 1147). 2) Maslaha adalah dalil yang berdiri sendiri dalam
menentukan hukum. Dengan demikian, untuk membenarkan maslaha tidak
diperlukan syarat-syarat hukum yang mendukung karena hanya berdasarkan
pendapat. 3) Maslaha hanya berlaku untuk hal-hal yang berkaitan dengan
muamalah dan adat.
Al-Shathibi dianggap sebagai 'pendiri maqāshid asy-syar'ah' karena
perannya dalam membahas topik secara sistematis dalam bukunya al-
Muwāfaqat (Hallaq, 1997: 78). Namun, dia bukan orang pertama yang
mengusulkan item tersebut. Al-Juwaini (w. 478 H), lebih dikenal sebagai
Imam Haramain, telah mengangkat masalah ini dengan mengusulkan
gagasan menjadikan maqāshid asy-syarī'ah sebagai nilai universal dan
mengangkatnya dari zhanny (prasangka) ke tingkat qath'iy (kepastian). Hal
itu dilatarbelakangi oleh keprihatinannya terhadap merosotnya peradaban
sosial, khususnya ulama dan politisi Islam. Sebagian besar ulama Syafi’iyah
dan sebagian ahli pada saat itu memang mengatakan bahwa mashlahah
hanya bisa diterima jika ada nash yang mendasar. Jika manfaatnya
bertentangan dengan teks, tidak boleh digunakan (Juwaini, 1400 H.: 295,
923-964).
Hal ini mirip dengan ulama klasik Ushul fiqh. Hanafi membahas
maqāshid asysharī’ah dengan menghadirkan masalah maslaha. Seperti al-
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
15
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
16
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
3 6 2 4 7 3 5 1
JIM WAU BA DZA ZEI JIM HA 1
3 6 2 1 7 3 5 1 Muharram 7
5 1 4 6 2 5 7 3 Shafar 2
6 2 5 7 3 6 1 4 Rabiul Awal 3
1 4 7 2 5 1 3 6 Rabiul Akhir 5
2 5 1 3 6 2 4 7 Jumadil Awal 6
4 7 3 5 1 4 6 2 Jumadil 1
Akhir
5 1 4 6 2 5 7 3 Rajab 2
7 3 6 1 4 7 2 5 Sya’ban 4
1 4 7 2 5 1 3 6 Ramadhan 5
3 6 2 4 7 3 5 1 Syawal 7
4 7 3 5 1 4 6 2 Dzulqaidah 1
6 2 5 7 3 6 1 4 Dzulhijjah 3
1426 1425 14 1431 1430 1429 1428 1
H H 24 H H H H 4
H 2
14 7
32 H
H
1 Selasa
2 Rabu
3 Kamis
4 Jumat
5 Sabtu
6 Minggu
7 Senin
1426 H1425 H1424 H
1432 H1431 H1430 H1429 H1428 H1427 H
1424 H. Tahun Ba s.d. 21 Februari 2004
1425 H. Tahun Wau 22 Februari s.d. 9 Februari 2005
1426 H. Tahun Jim Kamis 10 Februari 2005 s.d. 30 Januari 2006
1427 H. Tahun Alif
1428 H. Tahun Ha Sabtu Januari 2007 dan seterusnya berputar
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
17
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
18
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
Pernikahan versi hari kelahiran yang dianggap baik adalah hari selasa
sebagai hari makanan, sebagai sumber awal mengkomsumsi makanan untuk
melanjutkan kehidupan awal setelah keluar dari rahim ibunya.
3. Penentuan hari baik versi lontara /putika
Populasi
Kondisi populasi Kecamatan Matakali Kabupaten Polewali Mandar
merupakan dapat digambarkan pada table berikut ini.
Tabel 1
Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kec. Matakali 2021
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
19
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
Tabel 2
Pemeluk Agama Kec. Matakali 2021
Pemeluk Agama
No
Kelurahan / Desa Kris Prote Konh
. Islam Hindu Budha
ten stan uchu
1 Matakali 3295 - - - - -
2 Barumbung 2600 - 1 - - -
3 Indo Makkombong 2895 - 260 - - -
4 Tonrolima 2650 - 35 - - -
5 Patampanua 5361 - - - - -
6 Pasiang 3465 1 - - - -
7 Bunga-bunga 1632 - - - - -
Jumlah 21898 1 296 0 0 0
Tabel 3
Peristiwa Nikah KUA Kecamatan Matakali
Tahun 2021
No Kelurahan / M A M S N D Ju
Ja Fe Ju Jul Au O
. Desa a p a e o e ml
n b ni i g ct
r r y p v c ah
1 Matakali 2 5 2 6 3 3 1 1 4 5 2 1 35
2 Barumbung 4 2 2 4 2 1 6 1 1 2 4 1 30
Indo
3
Makkombong 2 1 3 2 1 1 1 2 4 2 1 20
4 Tonrolima 3 3 3 1 3 2 3 3 2 3 26
5 Patampanua 4 2 4 4 3 6 2 2 6 3 4 40
6 Pasiang 2 1 4 7 2 3 3 3 2 1 4 32
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
20
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
7 Bunga-bunga 1 1 3 2 4 3 14
1 3 1 1 2 1 1 19
Jumlah
9 14 5 0 8 12 24 7 5 2 7 4 7
Tabel 4
Janda dan duda yang menikah lagi: Kec. Matakali tahun 2018
Jumlah
No. Kelurahan / Desa Jumlah
Janda Duda
1 Matakali
2 Barumbung
3 Indo Makkombong
4 Tonrolima
5 Patampanua
6 Pasiang
7 Bunga-bunga
Jumlah 34 24 58
Discussion
Penentuan hari baik untuk keselamatan dan berkah
Penentuan hari baik berlaku pula untuk aktivitas di luar pernikahan.
Penentuan hari-hari baik itu disertai aktivitas tradisi religious yang disebut
Makkuliwa. Secara umum, masyarakat Mandar memiliki tradisi yang disebut
“Makkuliwa”. Selain berdasarkan hari-hari baik, menurut Muh. Ifdhal
Muliadi (2018) tradisi Makkuliwa memiliki makna sebagai doa keselamatan
ketika akan menggunakan berbagai benda yang baru dimiliki, seperti perahu
baru, motor baru, mobil baru, dan barang baru lainnya sehingga memperoleh
keselamatan dan tahan lama dipakai. Jadi, nilai dalam tradisi Makkuliwa
yang dapat dipahami yaitu, nilai agama/religius, nilai budaya, dan nilai
sosial. Tradisi Makkuliwa merupakan tradisi untuk mengkuliwakan atau
membacakan doa keselamatan ketika memiliki benda baru sehingga
memperoleh keselematan dan tahan lama dipakai. Nilai yang terdapat pada
tradisi Makkuliwa itu pula yaitu nilai agama/religius, nilai budaya, dan nilai
sosial.
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
21
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
22
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
setelah itu dapat lebih fokus menyambut dan memasuki bulan suci
Ramadhan.
Hari Pernikahan dalam Islam
Berdasar pada kalender Hijriyah masyarakat setempat menghindari
hari rabu terakhir setiap bulan, senin dan kamis –seperti yang tampak pada
data sebelumnya, dipengaruhi oleh tradisi Islam. Mereka menggunakan
penanggalan hijriyah selanjutnya dikonversi ke hari masihiyah. Meskipun
dalam Islam, semua hari itu diciptakan untuk menjadi kesempatan
melakukan amal-amalan saleh sebagai pembuktian atas keimanan. Untuk
melaksanakan amal-amal tertentu, sering disebutkan waktu-waktu khusus
yang di dalamnya lebih utama. Ada pula waktu tertentu diharamkan
melaksanakan amal tertentu. Misalnya, tanggal 1 Syawal haram hukum
berpuasa kecuali alasan darurat. Kondisi darurat pun ada aturan dan kadar
kedaruratannya. Larangan berpuasa pada hari tersebut tentu berdasar pada
dalil dan puasa adalah salah satu jenis ibadah. Kaidah hukum Islam
menyatakan, pada dasarnya ibadah itu haram kecuali ada dalil yang
menunjukkan perintah atau kebolehannya. Dalam masalah ini, larangan
berpuasa pada tanggal 1 Syawal dalam kondisi normal maka dalam kondisi
yang tetap itu maka hukum asalnya tetap haram. Jika ada alasan syar’i yang
membolehkan atau mengharuskan puasa maka hukum asal itu tidak berlaku.
Misalnya, seorang yang harus berpuasa untuk menjalani operasi maka itu
dapat menggeser hukum asal menjadi boleh karena mencegah mudarat harus
diperioritaskan.
Dalam memilih hari-hari baik dalam soal muamalah termasuk hajatan
pernikahan itu adalah aspek yang bersifat teknis (muamalah) sehingga
diserahkan urusannya kepada manusia. Dalam konteks ini berlaku kaidah
dasar bahwa dalam urusan muamalat, segala sesuatu itu boleh (mubah)
selama tidak ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehannya. Memilih hari
baik berdasarkan pertimbangan kemaslahatan itu boleh dan menghindari
resiko yang lebih buruk maka itu wajib sebab agama melarang
mencampakkan diri sendiri ke dalam kebinasaan. Pertimbangan hari-hari
baik dalam untuk kegiatan muamalah dipengaruhi oleh situasi dengan segala
dampak dan manfaatnya.
Hari-hari baik itu bisa berbeda karena faktor tempat dan keadaan.
Itulah sebabnya, hari-hari baik untuk rangkaian pernikahan bagi masyarakat
perkotaan dan masyarakat pedesaan itu berbeda. Acara pernikahan dan
resepi bagi masyarakat pedesaan tidak banyak bergantung pada gedung
resepsi, sehingga tidak ada antrian untuk penggunaan gedung pernikahan.
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
23
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
24
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
sebaliknya, tidak memilih hari jumat sebagai hari pernikahan bukan karena
hari dipastikan dasarnya buruk, melainkan karena variabel lain seperti
kondisi yang tidak memungkinkan.
Dalam Islam mengenai bulan yang baik untuk menikahkan anak atau
keluarga adalah pada bulan Syawal, sebagaiman dijelaskan dalam kitab
Quratul Uyun karya Asy-Syekh al-Imam Abu Muhammad yaitu, sebuah
pernikahan lebih baik diselenggarakan pada bulan Syawal dan disunnahkan
pada bulan Ramadhan (kutip keluarga samana com.). Pandangan ini tentu
dilatarbelakangi oleh kondisinya sendiri. Penentuan bulan Syawal sebagai
waktu yang baik berbeda dengan keyakinan masyakat Mandar yang justru
menghindari bulan tersebut. Tradisi ziarah menziarahi dan silaturrahim di
bulan Syawal itu membutuhkan waktu dan setelah itu mereka
mempersiapkan manasik yang akan berangkat haji. Dahulu perjalanan haji
ditempuh tiga sampai bulan sehingga acara pernikahan dipercepat di bulan
Sya’ban atau ditunda hingga jamaah haji datang.
Terdapat banyak dalil Islam baik yang bersumber dari Al-Qur’an
maupun hadis-hadis Nabi Saw.` Keutamaan hari tertentu dan untuk amalan
tertentu ditemukan dalam teks-teks primer dalam Islam. Misalnya, hadis
yang menerangkan hari jumat mengandung nilai historis yang tinggi hingga
disebut sebagai hari yang paling utama, penghulu semua hari (sayyidul
ayyam). Dari Abî Lubânah bin Abd. al-Munzîr ra.berkata, Nabi Saw.
bersabda : "Sesungguhnya penghulu hari adalah hari jum'at, dan ia
merupakan hari terbesar disisi Allah. (H.R. Ibn Majah) (al-Qazwainî, 1997:
321.
Ini adalah teks secara tegas memosisikan hari jumat sebagai
penghulu semua hari dalam sepekan. Selain itu juga disebutkan diabadikan
namanya dalam al-Quran dengan surah al-jumu’ah yang diambil dari salah
satu lafal yang terdapat pada surah itu yait pada ayat ke-9. “Sebaik-baik hari
manakala matahari terbit adalah hari jum’at, pada hari itu Nabi Adam as.
Diciptakan, hari itu pula dimasukan kedalam surga dan kemudian
dikeluarkan daripadanya, dan kiamatpun tidak akan terjadi kecuali pada hari
jum’at” (H.R. Muslim/ al-Naisabûri, 1993: 9).
Bilangan hari yang mempunyai keutamaan yang sangat tinggi ini,
ternyata tidak disia-siakan oleh sebagian besar umat Islam. Oleh sebab itu,
terdapat segolongan umat Islam memanfaatkannya dengan melakukan
kegiatan-kegiatan atau praktek-praktek ibadah pada hari yang dimuliakan
tersebut. Beragam kegiatan atau amalan dilakukan oleh sebagian besar umat
Islam, karena hal tersebut telah dijelaskan dalam dua pokok pedomaan
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
25
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan makna kandungan
dari hari jum’at dan menguraikan keutamaannya. Karena keutamaan hari
jumat maka dianjurkan untuk memperbanyak salawat melebihi hari-hari
lainnya dalam satu pekan. Meskipun hari jumat adalah hari paling utama
(afdhal) untuk bersalawat kepada Rasulullah Saw. (al-Judâ’i, 2004: 185).
Dalam salah satu ayat Alquran, terdapat petunjuk umum keharusan
bersalawat untuk Nabi Saw. sebagaima firman Allah Swt. "Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang
yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56)".
Ini adalah dalil yang bersifat umum yang memerintahkan untuk
bersalawat kapan saja. Itu menunjukkan bahwa secara umum semua waktu
adalah baik untuk bersalawat, namun ada hari tertentu yang lebih utama
(afdhal) untuk bersalawat, yaitu pada hari jumat seperti diterangkan dalam
hadis.
Dari ‘Aus bin ‘Aus, bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Salah satu hari yang paling utama adalah hari jum’at. Pada hari itu
Adam diciptakan, dan pada hari itu pula dicabut rohnya, dan juga pada hari
itu ditiupnya sangkala dan semua makhluk dimatikan. Karena itu,
perbanyaklah membaca shalawat untukku karena bacaan shalawatmu itu
akan diperlihatkan kepadaku. Para sahabat bertanya: ‘Ya Rasulullah,
bagaimana bacaan shalawat itu akan diperlihatkan kepadamu padahal waktu
itu jasadmu telah hancur lebur? ‘Beliau menjawab: Sesungguhnya Allah
telah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (Hadis ini
diriwayat oleh lima perawi, kecuali Tirmidzî (al-Rahbawî, 1983: 347-348).
Dari Abî Darda r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:
“Perbanyaklah membaca shalawat untukku pada hari jum’at, karena
hari jum’at itu adalah hari penyaksian yang disaksikan oleh para malaikat.
Dan sesungguhnya seseorang tidaklah ia membaca shalawat kepadaku
melainkan do’a shalawatnya itu pasti ditampakkan kepadaku, sehingga ia
selesai bershalawat.” (HR. Ibnu Mâja/al-Nabâni, n.d.: 21).
Diriwayatkan dari Abû Hurairâh ra. Bahwasanya Nabi Saw.
bersabda:
"Kita adalah umat terakhir, tetapi terkemuka. Mereka (Yahudi, dan
Nashrani) terlebih dahulu menerima kitab (melalui Nabi-nabi mereka). Dan
hari ini (jum'at) adalah hari diwajibkan kepada mereka shalat, tetapi mereka
berselisih pendapat tentang itu. Oleh karena itu Allah Swt., memberi
petunjuk kepada kita tentang hari itu, sedang orang-orang lain mengikuti
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
26
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
dibelakang kita, yaitu Yahudi besoknya (sabtu) dan Nashrani besoknya lagi
(ahad)." (al-Bukhârî, 1993: 1).
Al-Hâfiz al-Sakhowî dengan menukil perkataan Imam Syafî’I
berkata: Aku paling suka memperbanyak membaca shalawat atas Nabi
dalam segala waktu. Sebab pada malam dan hari jum’at, maka lebih aku
tekankan menjadi wirid sunat (al-Nabâni, n.d.: 23). Demikian pula Ibnu
Hâjar dalam kitabnya al-Dûrîl Maushûd, yang dikutip ulang oleh Yûsuf bin
Ismâil al-Nabâni dalam bukunya, Ibnu Hajar dengan menukil perkataan
ulama’ mengatakan bahwa memperbanyak membaca shalawat pada malam
dan hari jum’at pahalanya itu lebih besar daripada memperbanyak membaca
al-Qur’an selain surah al-Kahfi. Yang demikian berdasarkan hadis tentang
pembacaan shalawat di hari dan malam jum’at (al-Nabâni, n.d.: 23).
Adapun manfaat atau kegunaan dari memperbanyak membaca
shalawat pada hari dan malam jum’at, Ibnu Qoyyîm mengatakan, bahwa
karena Rasulullah itu Sayyîd al-Anâm, sedang hari jum’at itu Sayyîd al-
Ayyâm. Dengan begitu membaca shalawat pada hari dan malam jum’at itu
berarti Mâziyah atau berfaedah dan bukan karena yang lain. Selain itu pula
untuk kebaikan umat Nabi Muhammad Saw. di dunia dan di akhirat (al-
Nabâni, n.d.: 23; Sabiq, I, n.d.: 251; Hamka, 1985: 242). Masih banyak lagi
hal-hal yang telah atau akan terjadi pada hari jum’at, baik itu hal yang nyata
ataupun hal gaib. Dengan demikian terdapat banyak amalan yang
diwajibkan, disunnahkan, dan dilarang untuk dilaksanakan, mengingat pada
hari tersebut terdapat banyak hal yang dapat menolong dan membantu umat
Islam jika melaksanakan hal-hal yang diwajibkan, disunnahkan, dan
menjauhkan segala yang dilarang pada hari jumat tersebut.
Ada pula yang mencoba menempatkan sebagai Istihsan yang dikenal
sebagai sebuah pendekatan untuk memahami “hari baik” terutama untuk
pernikahan dengan menggunakan primbon seperti yang tulisan Syamsuri
(Syamsuri & I. Effendy, 2021: 28-43). Ia meneliti pada masyarakat
Karanggeger adalah Tradisi yang telah diwarisi oleh leluhur masyarakat
tersebut, sebagaimana dalam Islam tentu tradisi ini bertentangan dengan
syariat islam, walaupun masyarakat Karanggeger mayoritas beragama Islam,
namun tradisi tersebut masih dilakukan sebagai kebiasaan yang telah turun
temurun dilakukan oleh masyarakat tersebut, untuk menentukan hukum dari
tradisi masyarakat tersebut, maka pendekatan untuk menilainya adalah
Istihsan, dimana Istihsan menilai suatu kejadian berdasarkan ada atau
tidaknya manfaat di dalamnya. Penelitiannya difokuskan untuk Untuk
mengetahui proses penentuan hari akad nikah di desa Karanggeger
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
27
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
Conclusion
Berdasarkan pendekatan dan analisis di atas masyarakat Matakali
menentukan hari-hari baik dalam rangka acara pernikahan dapat
dikalsifikan pada dua kategori. Petama penentuan hari baik berdasarkan
pedoman secara turun temurun dari leluhur mereka. Kedua, penentuan
hari baik berdasarkan Islam dan kearifan lokal, yaitu pertimbangan
kemaslahatan. Sampai penentuan hari-hari baik masih dapat diterima jika
pertimbangan itu masih sejalan dengan maslahat dalam Islam. Akan tetapi
apabila sudah sampai ‘urf fasidah (praktik budaya yang rusak) atau
mengabaikan akal sehat (asas maslahat) maka itu tidak dapat diterima
sebab hal itu menyimpang dari akidah yang lurus. Berdasarkan beberapa
ayat al-Quran dan Sunnah ditemukan hari-hari diutamakan oleh Allah untuk
melaksanakan ibadah-ibadah tertentu, tetapi Allah tidak menjelekkan hari-
hari tertentu selain itu. Setiap kebaikan (terutama ibadah) ada waktu yang
sudah ditetapkan dan setiap waktu ada ibadah yang sudah ditetapkan.
Untuk urusan muamalat, diserahkan kepada manusia dalam urusan teknis
dan penentuan waktunya. Selama penentuan hari-hari baik itu tidak
menimbulkan dampak buruk, baik terhadap akidah maupun terhadap
urusan individu dan sosial maka itu dapat ditolerir dan diakomodir dalam
hokum Islam. Sebaliknya, jika hal merusak maka Islam memprioritaskan
untuk mencegahnya.
References
The references are arranged alphabetically and is written 1 space by
giving tabs the second line and so on, while the first line is not. Please use
Mendeley or Zotero manager reference app. The examples of writing
references are:
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
28
Title: 3-7 Words
Author
DOI:
A. Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam: Sebuah Pengantar, Ed. II; Surabaya:
Risalah Gusti, 1996.
Abu Zahrah, Muhammad, Uṣūl al-Fiqh, Mesir: Dār al-Fikr al-Arabī, 1958.
Al- Āmidī, Saifuddīn Abī al-Husain Ali bin Abī Ali bin Muhammad, Al-
Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, Juz I, Ed. I; Lebanon: Dar al-Fikr, 1997.
Devy, Soraya, dan Dwi Mekar Suci. “The Implementation of Verdict
Execution on Providing Maḍiyah Maintenance Following Divorce
According to Islamic Law (Case Study in Syar’iyyah Court Banda
Aceh).” Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam 4, no.
2 (2020).
Djawas, Mursyid. “Implementasi Pengelolaan Zakat di Aceh.” Mazahib 15,
no. 1 (2016).
Djawas, Mursyid, and Sri Astuti Abdul Samad. “Conflict, Traditional, and
Family Resistance: The pattern of Dispute Resolution in Acehnese
Community According to Islamic Law.” Samarah: Jurnal Hukum
Keluarga dan Hukum Islam 4, no. 1 (2020).
Hanapi, Agustin, dan Edy Yuhermansyah. “Urgency of Marriage
Registration for Women and Child Protection in Gayo Lues District.”
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam 4, no. 2 (2020).
Hasballah, Khairuddin. “The Milk Al-Yamin Concept as a Validity of
Sexual Relationship in a Modern Context: an Analysis of
Muhammad Syahrur’s Thoughts.” Samarah: Jurnal Hukum
Keluarga dan Hukum Islam 4, no. 2 (2020).
Kasim, Fajri M, dan Abidin Nurdin. “Study of Sociological Law on Conflict
Resolution Through Adat in Aceh Community According to Islamic
Law.” Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam 4, no. 2
(2020).
http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah