Anda di halaman 1dari 28

Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam

Volume 5 No. 1. January-June 2021


ISSN: 2549 – 3132; E-ISSN: 2549 – 3167
DOI:

Determination of Auspicious Days for Marriage in Mandarese Society,


Indonesia: Perspective of Islamic Law

Abstrak: Penentuan hari-hari baik masih menjadi diskursus yang menjadi


polemik dan tidak jarang dinilai melanggar ajaran Islam, terutama dalam
wilayah akidah. Penelitian akan menawarkan multi pendekatan untuk
membedah hal tersebut dengan fokus melakukan analisis mengenai
penentuan hari-hari baik untuk acara pernikahan dalam perspektif
masyarakat mandar dan hukum Islam. Pengumpulan data dilakukan dengan
menerapkan teknik triangulasi. Selanjutnya, data yang terkumpul didisplay
dan dianalisis. Analisis data dituntun oleh multi pendekatan yang mencakup
teori perubahan sosial, teori perubahan hukum Islam, pendekatan al-‘urf,
istihsan, dan maslahah. Berdasarkan pendekatan tersebut diperoleh
pemahaman bahwa penentuan hari-hari baik dalam perspektif masyarakat
Mandar masih dirawat oleh sebagian besar masyarakat setempat. Selain itu,
ada pula yang sudah menyesuaikan dengan perkembangan sosiokultural,
kebijakan pemerintah, dan Islam yang berbasis pada nilai maslahat dan
kebaikannya. Selama penetuan hari baik itu tidak menyimpang dari
ketentuan Islam tidak mempersulit maka dapat diakomodir sebagai
pertimbangan hukum Islam, namun apabila menyimpamg dari Islam maka
perlu dilakukan pembinaan.
Kata Kunci: Hari Baik, Hukum Islam, Kearifan Lokal, Mandar, Pernikahan,

║ Submitted: ║ Accepted: ║Published:

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
1
2
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

Introduction
Diskursus tentang penentuan hari-hari baik menjadi diskusi menuai
tanggapan pro dan kontra. Berbagai perspektif seringkali digunakan untuk
menjelaskannya. Dengan waktu manusia bisa menjadi orang yang beruntung
dan bisa pula menjadi merugi (Q.S. al-Ashr). Begitu pentingnya, Allah
seringkali menyebut waktu dengan lafal sumpah dan pemanfaatannya. Allah
mendorong manusia untuk memperhatikan keberadaannya untuk sebagai
kesempatan untuk melakukan kebaikan. Hal ini sejalan kultur masyarakat
untuk menggunakan waktu-waktu yang baik pula untuk melaksanakan suatu
aktivitas yang baik, dengan harapan agar kegiatan tersebut mendatangkan
kebaikan dan keberuntungan. Akan tetapi, apakah perspepsi kebaikan itu
selalu sejalan dengan kebaikan berdasarkan petunjuk Islam atau tidak, hal
tersebut perlu diposisikan secara tepat berdasarkan pendekatan analisis yang
mengintegrasikan antara kearifan lokal dan ajaran Islam.
Pandangan tentang hari-hari baik dalam masyarakat sudah lama
tumbuh dan hidup dalam keyakinan dan praktik masyarakat. Dalam
penelitian Rini Haryati yang bertajuk “Tradisi A’pa’tantu Allo Baji
(Penentuan Hari Baik) Pernikahan Di Desa Camba-camba Kecamatan
Batang Kebupaten Jeneponto” (Haryati, 2020). menunjukkan bahwa
masyarakat Jeneponto meyakini adanya hari-hari baik untuk mengadakan
acara pernikahan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menjawab
beberapa pertanyaan: 1. Bagaimana gambaran tradisi a’pa’tantu allo baji
(penentuan hari baik) pernikahan dalam masyarakat Desa Camba-camba
Kecamatan Batang Kabupaten Jeneponto. 2. Apa nilai yang terkandung
dalam tradisi a’pa’tantu allo baji (penentuan hari baik) pernikahan dalam
Masyarakat Desa Camba-camba Kecamatan Batang Kabupaten Jeneponto. 3.
Bagaimana eksistensi tradisi a’pa’tantu allo baji (penentuan hari baik)
pernikahan dalam masyarakat Desa Camba-camba Kecamatan Batang
Kabupaten Jeneponto.
Jenis penelitian tersebut merupakan penelitian kualitatif yang
menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi dalam pengumpulan
data. Data yang diperoleh selanjutnya analisis melalui empat tahapan yaitu
mereduksi dan menyajikan data, dan menarik kesimpulan. Hasil
penelitiannya menunjukkan: 1. tradisi a’pa’tantu allo baji (penentuan hari
baik) pernikahan dalam masyarakat Desa Camba-camba Kecamatan Batang
Kabupaten Jeneponto dapat dilihat dari langkah awal untuk mengawali
tradisi penentuan hari baik para tokoh adat melakukan perhitungan bulan
menggunakan bulan-bulan dalam Islam. 2. Nilai yang terkandung dalam

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
3
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

tradisi a’pa’tantu allo baji (penentuan hari baik) pernikahan dalam


Masyarakat Desa Camba-camba Kecamatan Batang Kabupaten Jeneponto
terdiri atas a) Nilai Pendidikan, b) Nilai Sosial Budaya, c) Nilai
Kekeluargaan, dan d) Nilai Religius/Agama, 3) Eksistensi tradisi a’pa’tantu
allo baji (penentuan hari baik) pernikahan dalam masyarakat Desa Camba-
camba Kecamatan Batang Kabupaten Jeneponto dapat bertahan dengan
adanya a) Faktor Agama, b) Faktor Ketelitian, c) Faktor Lingkungan d)
Faktor Kontak Dengan Budaya Lain, dan e) Faktor Yang Terjadi Karena
Mengadopsi Suatu Pengetahuan.
Tradisi penentuan hari baik juga terjadi di luar masyarakat Sulawesi
Selatan, misalnya pada masyarakat Jawa. Dalam riset Moh. Fathul Hidayat
dan Endang Fardiansari yang bertajuk “Penentuan Hari Baik sebagai Sistem
Budaya Jawa (Studi Kearifan Lokal dalam Budaya di Desa Genaharjo
Semanding, Tuban)” (Hidayat dan E. Fardiansari, 2016: 533-542) mereka
mengungkapkan bahwa penentuan hari baik dalam sistem budaya Jawa
disebut pitungan (primbon), yaitu penentuan hari yang baik untuk seseorang
melakukan pekerjaan, seperti: hajatan, bepergian, memulai bekerja,
perjodohan,membangun rumah, dan sebagainya. Sistem ini merupakan
wujud dari cara berpikir masyarakat Jawa dalam bertindak dan berbuat
dalam rangka menjaga keselarasan dan keharmonisan tatanan kehidupan
manusia secara individu, sosial, spiritual, dan religius. Penelitian yang
dilakukan oleh Fathul Hidaya dkk. ini bertujuan untuk mengetahui dan
mendeskripsikan sistem penentuan hari baik yang digunakan oleh
masyarakat Genaharjo, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. Teknik
yang diterapkan adalah wawancara etnografi. Teori James Spradley tentang
metode alur maju bertahap (Development Research of Sequency), yang
dimodifikasi sesuai kebutuhan dan tujuan penelitian ini. Dengan menetapkan
seorang informan yang tepat, penelitian ini diharakan ada temuan yang akan
memperkaya referensi tentang kearifan lokal khususnya filsafat dan
kebudayaan Jawa.
Hal serupa juga ditelitti oleh Atiek Walidaini Oktiasasi dan Sugeng
Harianto. Mereka mengungkapkan dalam laporan risetnya yang berjudul
“Perhitungan Hari Baik dalam Pernikahan (Studi Fenomenologi pada
Keluarga Muhammadiyah Pedesaan di Kecamatan Kertosono Kabupaten
Nganjuk)” (Oktiasasi dan S. Harianto, 2016: 1-10). Ini adalah sebuah artikel
yang lahir dari penelitian skripsi, sebuah studi fenomenologi perhitungan
hari baik dalam pernikahan pada keluarga Muhammadiyah pedesaan di
Kecamatan Kertosono Kabupaten Nganjuk. Penelitian ini menjelaskan motif

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
4
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

sebab dan motif tujuan yang mendasari keluarga Muhammadiyah pedesaan


menggunakan perhitungan hari baik sebelum menyelenggarakan hajatan
pernikahan. Berbeda halnya dengan anggota Muhammadiyah yang menolak
tradisi, sebagian keluarga Muhammadiyah pedesaan justru masih meyakini
perhitungan hari baik sebagai warisan turun-temurun. Ini tentu sesuatu yang
menarik karena warga Muhammadiyah seringkali dipersepsikan sebagai
masyarakat yang berpaham modernis terutama dalam hal akidah.
Teori yang digunakan dalam penelitiannya yaitu teori tindakan
rasional yang digagas oleh Max Weber. Teori tersebut digunakan sebagai
penuntun untuk melakukan analisis dalam menjawab rumusan masalah.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi yang dikemukakan oleh Alferd Schutz. Setelah pengumpulan
data yang dilakukan melalui observasi, wawancra, dan studi pustaka maka
peneliti dapat menunjukan bahwa sosialisasi mengenai perhitungan hari baik
dilakukan oleh agen sosialisasi primer dan sekunder yakni keluarga dan
lingkungan sekitar. Motif sebab yang mendasari keluarga Muhammadiyah
pedesaan menggunakan perhitungan hari baik adalah rasa menghormati
terhadap nilai tradisi yang diwariskan leluhur, meyakini atas kebenaran
perhitungan hari baik, serta berada pada lingkungan masyarakat Jawa.
Sedangkan motif tujuannya adalah ingin mendapat kelancaran dan
keselamatan dalam hidup, serta enggan dianggap melupakan tradisi leluhur
oleh lingkungan sekitar.
Riset-riset tersebut mendeskripsikan fakta yang terjadi dengan
berbagai pendekatan, lokasi penelitian, dan waktu pelaksanaannya masing-
masing. Riset-riset tersebut tidaklah mendeskripsikan perhitungan dan
penentuan hari-hari baik berdasarkan pandangan dan praktek masyarakat
Mandar pada umumnya dan masyarakat Kecamatan Matakali pada
khususnya. Penelitian ini bermaksud melakukan analisis dari perspektif
hukum Islam terhadap pandangan dan praktek perhitungan dan penentuan
hari-hari baik dalam versi masyarakat Mandar di Kecamatan Matakali
Polewali Mandar Sulawesi Barat dalam berbagai aktivitas dan hajatan.
Karena masalah tujuan penentuan hari-hari baik itu meliputi banyak aspek
kehidupan dan aktivitas masyarakat maka artikel ini membatasi pada
penentuan hari-hari baik dalam rangka acara pernikahan untuk menjawab
dua pertanyaan saja, yaitu: 1) Bagaimana metode penentuan har-hari baik
untuk pernikahan pada masyarakat Mandar di Kecamatan Matakali? 2)
Bagaimana kedudukan praktek pada masyarakat Mandar di Kecamatan

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
5
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

Matakali terhadap penentuan hari-hari baik dalam pernikahan dilihat dari


perpsektif hukum Islam?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penelitian ini
menerapkan seperangkat pendekatan hukum Islam yang terintegrasi.
Pendekatan integrasl tersebut meliputi pendekatan ‘urf dan maslahah.
Puncaknya adalah maslahat sebab diasumsikan bahwa maslahat yang benar
tidak mungkin bertentangan secara hakiki dengan teks-teks suci karena
seluruh teks suci diturunkan sebagai tuntunan bagi manusia untuk meraih
kemaslahatn di dunia dan di akhirat. Analisis ini akan dituntun oleh
pendekatan teori perubahan social dan teori peruabahn hukum sebab yang
dikaji adalah aktivitas sosial yang tidak statis, bahkan selalu dinamis.
Dinamika itu akan berimplikasi kepada perubahan hukum. Dalam konteks
itulah teori perubahan hukum menemukan relevansinya untuk digunakan
untuk merumuskan kesimpulan hukum.

Islam dan Kultur di Tanah Mandar


Kajian tentang masuknya Islam di Mandar tidak terpisahkan dari
kajian tentang sejarah Islam di Nusantara. Islam di Tanah Mandar
merupakan bagian dari sejarah Islam di Nusantara sejak awal hingga saat ini.
Islamisasi di Nusantara melalui jalur kultural telah mendorong tumbuhnya
Islam yang mengakar dalam basis-basis kultural masyarakat Indonesia pada
perkembangannya selanjutnya. Tahap institusionalisasi hukum Islam juga
memberikan ruang bagi nilai-nilai kearifan lokal sebagai salah satu
pertimbangan dalam merumuskan hukum Islam (Asni, 2017: 54-69). Dalam
mendialogkan antara nilai-nilai kearifan lokal dan pesan teks suci
dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang menuntun bagi lahirnya rumusan
hukum Islam, yaitu ‘urf dan maslahah. Kultur yang sudah berlangsung lama
dan diyakini mengandung kemaslahatan itu sejalan dengan Islam dapat
menjadi pertimbangan dalam merumuskan (meng-istimbath) hukum Islam.
Proses akulturasi yang merupakan konsep untuk menggambarkan
proses panjang bertemunya dua atau lebih tata nilai antara Islam dan nilai-
nilai lokal di mana individu, kelompok, dan masyarakat bertempat tinggal
dan berinteraksi dengan budaya yang telah dimilikinya. Munculnya protes
terhadap ajaran baru harus dipahami sebagai bagian dari kecintaan
masyarakat terhadap nilai-nilai lama (kearifan lokal). Pada satu sisi, ia
adalah proses belajar untuk memahami nilai-nilai baru (Islam). Pada kondisi
seperti ini, tidak tepat digunakan klaim menang atau kalah, antara Islam vis a
vis budaya lokal (Widiana, 2015: 198-215). Hal ini sejalan dengan kaidah:

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
6
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

“melestarikan hal-hal lama yang mendatangkan maslahat, dan


mengakomodir hal-hal baru yang lebih bermaslahat”.
Kaidah ini menuntun dan mendorong agar kajian Islam mampu
menghadirkan pendekatan yang mengakomodir nilai-nilai kearifan lokal dan
ajaran Islam yang murni. Semangat inilah yang mengilhami lahirnya istilah
“Islam Nusantara” di tengah realitas masyarakat Indonesia yang multi agama
dan multicultural (H. J. P. Astuti, 2017: 27-52). Agama dan budaya lokal
dipandang sebagai sumber nilai-nilai kebaikan yang tidak semestinya
dipertentangkan sebab keduanya diyakini dan dipersepsikan mengandung
nila-nilai kebaikan. Keragaman budaya dan suku di Nusantara menjadikan
budaya Indonesia berwarna-warni. Warna-warni budaya itu selanjutnya
mempengaruhi Islam di Nusantara.
Berkaitan dengan gambaran tersebut, untuk diketahui bhhwa suku
Mandar adalah salah satu suku terbesar yang ada di Sulawesi Barat (Saidong,
2001: 13). Sulawesi Barat merupakan Provinsi yang relatif baru di Indonesia
yang merupakan provinsi pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan. Ibukota
Sulawesi Barat adalah Mamuju. Provinsi ini lebih banyak dihuni oleh suku
Mandar dibanding dengan suku bangsa lainnya, seperti Toraja, Bugis, Jawa,
dan Makassar sehingga adat dan tradisi suku Mandar lebih berkembang di
Provinsi tersebut. Sejak dahulu masyarakat Mandar memadukan sistem
syarak (agama), negara, dan budaya dalam satu sistem nilai yang dijalankan
dalam rangkaian pernikahan (Kartika, 2019; Abd, 2006). Sistem nilai
berdasarkan agama, negara, dan budaya menjadi rujukan dalam pelaksanaan
pernikahan.
Dalam sistem budaya yang berlaku di beberapa wilayah di Nusantara
dikenal istilah “hari-hari baik” untuk melaksanakan hajatan-hajatan tertentu.
Kajian mengenai hari-hari baik yang diyakini oleh masyarakat muslim
sebagai kajian yang berkaitan dengan perspesi yang terbangun dari
masyarakat secara turun temurun sehingga dipandang sebagai bagian dari
kearifan lokal. Penelitian mengenai hari-hari baik dipandang penting dilatari
oleh pertimbangan-pertimbangan. Pertama, jika persepsi tentang hari-hari
baik sejalan dengan nash primer Islam dan nilai-nilai kearifan lokal maka
perlu ditegaskan untuk dikuatkan menjadi ketetapan fatwa atau ditingkatkan
menjadu regulasi. Kedua, apabila bertentangan antara keyakinan masyarakat
dengan prinsip Islam maka mestinya diluruskan berdasarkan Islam. Diantara
perspesi tersebut adalah Allo masippi’ (Bugis: esso taccipik). Kajian ini
penting dilakukan sebab tidak hanya menyangkut nilai-nilai kearifan lokal,
tetapi juga termasuk bagian dari perbincangan yang berkaitan dengan ajaran

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
7
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

vital dalam Islam, yaitu akidah. Ketika ini ditarik kedalam konteks akidah
maka rentan terjadi gesekan dan benturan antara masyarakat menganut hari-
hari baik untuk mengadakan hajatan tertentu berhadapan dengan pihak yang
menentangnya dari tinjauan akidah. Dalam kondisi itu perdebatan dapat
memasuki ranah justifikasi teologis (bid’ah dan syirik). Hal ini perlu
diterangkan secara ilmiah untuk membantu masyarakat keluar dari
ketidakpastian hukum Islam atau tetap merawat tradisi lama serta
menerangkan bagian-bagian dari Islam dan kearifan lokal yang
memungkinkan untuk diintegrasikan.
Metode penggalian hukum Islam yang mengakomodir pendekatan
kearifan lokal (al-‘urf /adat) dengan sumber-sumber primer hukum Islam ,
yaitu Al-Quran dan hadis. Hal inilah yang memungkinkan dijadikan
argumen untuk merumuskan pendekatan alternatif untuk menghadirkan titik
temu antara penganut kearifan lokal di satu sisi dan tetap menjaga akidah
dari bid’ah dan syirik di sisi yang lain. Pendekatan kearifan lokal dan
pendekatan teologis seringkali tidak dapat dihindarkan dari pertentangan
tetapi dalam batas-batas tertentu, Islam terbuka dan akomodatif terhadap
nilai-nilai kearifan lokal yang tidak bertentangan nash-nash primer.
Berdasarkan itu, kajian tentang hari-hari baik dalam Islam dan hari hari-hari
baik dalam perspektif masyarakat Mandar dapat menjadi model kajian
alternatif bagi suku lainnya.
Batas-batas tolernasi dan titik temu Islam dan kearifan lokal adalah
maslahat. Islam datang membawa kemaslahatan dan mencegah mafsadat.
Maslahat merupakan inti ajaran Islam dan alasan utama masyarakat sepakat
merawat nilai-nilai kearifan lokal. Jika penentuan hari-hari itu menghadirkan
maslahat dan tidak tidak menimbulkan mafsadat maka itu sejalan dengan
ajaran Islam. Dalam al-Qur’an dan sunnah pun ditemukan adanya hari-hari
afdal (yang utama) untuk melakukan suatu amalan tertentu. Kearifan lokal
menemukan relevansinya dengan Islam apabila tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariat. Dalam konteks ini, pendekatan kearifan lokal tentang
hari-hari baik dimaksudkan untuk mengakomdir hasil pemikiran manusia
yang membawa kemaslahatan di dunia, sedangkan pendekatan teologis
selalu berorientasi pada kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Penentuan
hari-hari baik pada mulanya dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan
dalam melakukan aktivitas pada hari-hari tersebut dan setelahnya. Apa yang
dipandang baik oleh umat Islam atau oran-orang beriman maka baik pula di
sisi Allah. Satemen inilah yang perlu dikaji dengan pendekatan ‘urf, teori
perubahan hukum, asas maslahat.

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
8
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

Hari-Hari Baik dan Teori Perubahan Sosial


Perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi dalam sistem
social (Harahap, et. al., 2021: 549-565). Perubahan sosial adalah perubahan
dalam hubungan interaksi antar individu, organisasi atau komunitas yang
bertalian dengan struktur sosial atau pola nilai dan norma. Dengan demikian
perubahan yang dimaksud adalah perubahan “sosial-budaya”, karena
sejatinya manusia adalah makhluk sosial yang tidak terlepas dari
kebudayaan. Masyarakat selalu bergerak, berkembang, dan berubah.
Dinamika masyarakat ini dapat terjadi karena faktor internal yang melekat
dalam diri masyarakat itu sendiri, dan dapat pula karena faktor lingkungan
eksternal. Dari pandangan serupa ini lahir berbagai teori perubahan social.
Narwoko misalnya, mengatakan bahwa ada banyak perspektif teori yang
menjelaskan tentang perubahan sosial, misalnya perspektif teori
sosiohistoris, struktural fungsional, struktural konflik, dan pikologi social
(Dwi & B. Suyanto, 2004: 365).
Hukum harus terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman,
seperti dalam teori relativitas Albert Einstein, bahwa “tidak ada sesuatu yang
bergerak melebihi kecepatan cahaya, kecepatan cahaya adalah batas
kecepatan dalam alam semesta, diluar kecepatan cahaya semuanya bergerak
relatif, relativitas gerak itu berpengaruh terhadap kerelatifitasan ruang,
waktu, dan massa”. Dari argumentasi inilah kemudian dalam memandang
hukum juga harus berubah, hukum tidak lagi dipandang sebagai tatanan yang
mutlak dan konstan (Kusuma, 2009: 20). Perubahan merupakan realitas dan
keniscayaan yang tidak terbantahkan, termasuk hukum Islam. Meski teks
suci tidak berubah (statis) namun maknanya harus berubah (dinamis) sesuai
dinamika dan kemaslahatan bersamanya. Apabila dikaitkan antara hari-hari
baik dan perubahan social maka perubahan social akan mempengaruhi cara
pandang masyarakat tentang hari-hari baik khususnya penentuan hari- hari
baik untuk pernikahan.

1. Hari-Hari Baik dan Teori Perubahan Hukum Islam


Teori perubahan hukum Islam, yaitu sebuah teori atau konsep yang
memandang bahwa konstruksi hukum Islam itu dipengaruhi oleh beberapa
variabel. Pendekatan teori perubahan hukum yang diguanakan, yaitu
perubahan social dan hukum Islam. Teori perubahan social dan hukum
dalam konteks ini senantiasa memperhatikan hubungan konstrusksi hukum
seirama dengan konstruksi sosioklutural yang terjadi. Hal ini dapat

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
9
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

ditemukan dalam kitab “I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin”. ‫فى تغير‬
‫ ”الفتوى واختالفها بحسب تغير األزمنة واألمكنة واألحوال والنيات والعواعد‬Perubahan dan
perbedaan fatwa berdasarkan perubahan waktu, tempat, keadaan, niat, dan
kebiasaan (adat) (Basri, 2018: 190-191).
P oin utama dari konstruksi teoretis Ibnu al-Qayyim tersebut
menghubungkan perubahan hukum berdasarkan variabel waktu, tempat,
keadaan, niat (motivasi), dan kebiasaan (adat). Kelima factor (variabel) ini
senantiasa mempengaruhi terjadinya perubahan hukum Islam (Basri,
2018:190-191). Akan tetapi, di atas semua factor tersebut nilai-nilai yang
mengikat adalah kemaslahatan, sebab agama diturunkan untuk menuntun
manusia kepada kemaslahatan. Tidaklah mungkin terjadi pertentangan antar
nilai maslahat dengan agama (Islam) yang benar.
Apabila dikaitkan antara hari-hari baik dan perubahan hukum maka
perubahan situasi dan kondisi serta tempat akan mempengaruhi cara pandang
masyarakat tentang hari-hari baik khususnya penentuan hari- hari baik untuk
pernikahan. Penentuan hari hari-hari baik dalam hokum Islam mengacu
kepada maslahat. Misalnya di kota besar, hari-hari baik untuk pernikahan
dan resepsi adalah hari-hari yang memungkinkan mendapatkan gedung
pernikahan yang kosong, sehingga dapat digunakan untuk pernikahan dan
resepsi pernikahan, hari-hari libur kerja, dan sebagainya. Alasannya adalah,
karena hari-hari itu lebih dekat kepada maslahat.

2. Pendekatan kearifan lokal (al-‘Urf).


Secara etimologis, kata ‘urf berasal dari akar kata ‘arafa-ya’rifu yang
berarti mengetahui (Munawwir, n..d.: 987), kemudian dipakai dalam arti
sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik, dan diterima oleh akal sehat
(Hanafi, 1970: 77). Kata itu juga berarti apa yang diketahui dan dikenal atau
kebiasaan (Coulson, 1987: 270). Sedangkan menurut istilah ahli ushul,
Abdul Wahhab Khalaf, urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang
banyak dan dikerjakan oleh mereka, baik dari perkataan atau perbuatan atau
sesuatu yang ditinggalkan. Hal ini juga dinamakan adat. Meskipun menurut
para ahli hukum Islam tidak ada perbedaan antara al- ‘urf dengan al-„adah”
(Khallaf, 1994: 89). Berdasarkan pengertian ‘urf yang dikemukakan oleh
Abdul Wahhab Khalaf tersebut dapat diambil pemahaman bahwa istilah ‘urf
memiliki pengertian yang sama dengan ‘adat’. Akan tetapi, ada ulama yang
lain yang membedakan antara ‘urf dengan adat. Al-Jurjaniy mendefinisikan
‘urf sebagai sesuatu (perbuatan atau perkataan) yang dengannya jiwa
merasakan ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan dengan

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
10
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiannya” (Syarif, 1983: 149).
Ini sama dengan komentar al-Ghazali dalam karyanya al-Mustashfa,
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Fahmi Abu Sunnah, “‘urf adalah sesuatu
(perkataan atau perbuatan) yang telah menjadi kemantapan jiwa dari segi
dapatnya diterima oleh akal dan watak yang sehat atau baik” (Sunnah, 1947:
8). Berdasarkan itu, ‘urf mengandung tiga unsur, yaitu: pertama, adanya
perbuatan atau perbuatan yang berlaku berdasarkan kemantapan jiwa.
Kedua, sejalan dengan pertimbangan akal sehat. Ketiga, dapat diterima oleh
watak pembawaan manusia. Sedangkan adat didefinisikan sebagai “sesuatu
yang dilakukan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional” (Sunnah,
1947: 10).
Term ‘urf dan adat adalah term yang memiliki arti sama di satu sisi,
tetapi pada sisi tertentu terdapat pula perbedaan. Hukum adat ialah
keseluruhan aturan tingkah laku psitif yang di satu pihak mempunyai sanksi
(karena itulah ia sebagai hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak
dikodifikasikan (karena itulah ia sebagai adat kebiasaan). Karena itu ‘adat’
kebiasaan dianggap sebagai patokan hukum ketika sudah berlaku umum, dan
jika menyimpang maka tidak bisa dijadikan sebagai salah satu patokan
hukum”. Begitu pula ‘urf, ada yang ‘urf shahih (baik dan sehat) dan ‘urf
fasid (rusak dan menyimpang). ‘Urf shahih (baik) dapat dijadikan sebagai
pertimbangan hukum, sedangkan ‘urf fasid (menyimpang) harus ditolak.
Pendekatan teoretis yang menuntun penulis dalam menganalisis
tentang hari-hari baik dalam perspektif masyarakat Mandar dan Hukum
Islam didasarkan teori perubahan sosial, teori perubahan hukum Islam, ‘urf,
istihsan, dan maslahat. Pendekatan-pendekatan tersebut didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan. Pertama, teori perubahan social digunakan
sebagai upaya memahami bahwa dalam kehidupan masyarakat dan nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat mempengaruhi kehidupan masyarakat tersebut.
Demikian pula sebaliknya, perubahan masyarakat mempengaruhi sikap
masyarakat terhadap nilai-nilai tersebut. Kedua, di dalam setiap komunitas,
nilai-nilai kearifan lokal tersebut ada yang sejalan dengan ajaran Islam dan
ada pula bertentangan. Nilai-nilai yang relevan dan sejalan dengan ajaran
Islam itu mesti dirawat, sedangkan nilai budaya yang bertentangan dengan
Islam itu mesti diluruskan. Ketiga, konstruksi hukum Islam itu dipengaruhi
oleh perubahan beberapa faktor (vaiabel) hukum. Islam memberikan ruang
bagi masyarakat yang berbudaya mengekspresikan nilai-nilai budaya mereka
termasuk dalam penentuan hari-hari baik untuk pelaksanaan hajatan,
khususnya dalam urusan har-hari pernikahan. Kearifan lokal merupakan

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
11
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

salah satu sumber pertimbangan dalam penetapan hokum Islam. Apa yang
dipandang baik oleh para mujtahid yang beriman maka baik pula di sisi
Allah.

3. Hari-Hari Baik dalam pendekatan Istihsan


Di dalam bahasa Arab, Istihsan bermakna “menganggap sesuatu itu
baik” atau “mengikuti sesuatu yang baik” atau “menganggap baik/bagus”
(Munawwir, 1997: 265). Definisi Istihsan di kalangan para Ulama Ahli
Ushul berbeda-beda sesuai dengan tinjauannya masing-masing dan
kemampuannya dalam menyimpulkan pengertian Istihsan di dalam kata-
kata. Dalam konteks ini pengertian yang digunakan adalah yang berorietasi
pada kemaslahatan. Menurut Abu Hasan al-Karkhi bahwa Istihsan ialah:
Perpindahan seorang mujtahid di dalam memberikan hukum dalam suatu
masalah, seperti yang sudah diberikan hukum padanya kepada hukum yang
berbeda dengan hukum yang sudah ditentukan tersebut, karena ada segi yang
lebih kuat dari hukum sebelumnya.
Pengertian tersebut sejalan Ahli Ushul Fiqh (Madzhab Hanafi dan
Hambali) meski mereka berbeda di dalam memformulasikan kata-katanya,
namun mereka sepakat bahwa pengertian Istihsan ialah: Perpindahan dari
suatu hukum kepada hukum lainnya dalam sebagian kasus atau
meninggalkan suatu hukum, karena adanya hukum lain yang lebih kuat atau
pengecualian yang bersifat Juz‟iyyah dari hukum yang Kulliyah atau
mengkhususkan sesuatu hukum yang umum dengan hukum yang khusus
(Kadenun, 2018: 89-105). Pandangan itu antara lain merujuk kepada atsar
sahabat. Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata:
“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya setelah nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam maka Allah menjumpai hati para
sahabat merupakan hati yang terbaik lalu dijadikanlah mereka sebagai
pendamping nabi-Nya yang berperang di atas agama-Nya. Maka Apa yang
dipandang oleh kaum muslimin sebagai kebaikan maka di sisi Allah sebagai
sebuah kebaikan. Dan apa yang dipandang oleh kaum muslimin sebagai
kejelekan maka ia di sisi Allah adalah sebagai sebuah kejelekan”.
Penilaian para kritikus hadis berbeda-beda. Ada sebagian pihak yang
menilai, atsar tersebut derajatnya mauquf hasan. Imam Ash Sakhawiy dalam
al-Maqashid al-Hasanah menilainya “Mauquf hasan” (al-Hindiy, n.d. : 959),
Al-Haitsamiy dalam Majma’ Zawaaid menilainya “Perawi-perawinya
terpercaya” (Hasan, n.d.: 177), Ibnu Hajar dalam al-Dirayah menilainya
“sanad Hasan” (Hasan, n.d.: 178), Ibnu ‘Abdil Hadiy berkata, “diriwayatkan

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
12
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

secara marfu’ dari jalur Anas bin Malik dengan sanad yang gugur dan yang
shahih bahwa atsar tersebut mauquf kepada Ibnu Mas’ud (al-‘Azuliy, n.d.:
2/188; al-Hindiy, n.d. 46-47). Ibnul Qayim berkata, “bukan ucapan
Rasulullah Saw. namun telah menisbatkan kepadanya. Al ‘Ainiy
mengatakan, “Di-rafa’-kannya hadis itu kepada Nabi Saw. tidaklah shahih
namun ia adalah ucapan yang mauquf kepada Ibnu Mas’ud” ( al-Hindy, n.d.:
46-47). Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albaniy dalam Silsilah al-Hadits
al-Dha’ifah bahwa riwayat ini secara marfu’ kepada Nabi Saw. adalah
maudhu (Silsilah ahadits dha’ifah no: 532).
Kajian ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan hal itu, namun yang
perlu diberikan aksentuasi dalam konteks ini adalah makna lafal “muslimun”
dalam atsar tersebut maksudnya adalah para sahabat Nabi Saw. karena
makna yang dhahir dari ”‫( ”ال‬alif lam) dalam atsar tersebut adalah alif lam
untuk ‘ahd (mengikat sesuatu yang telah dikenal) dan ma’hud-nya (yang
diikat) adalah apa yang disebutkan sebelumnya.
Istihsan dapat menjadi sumber hukum Islam jika ia telah menjadi
produk hukum dan dapat menjadi metode hukum Islam jika ia dijadikan
sebagai suatu proses atau cara dalam menetapkan suatu hokum (Kadenun,
2018: 89-105). Dalam konteks ini, Istihsan diposisikan sebagai metode
pendekatan istimbath hukum Islam. Meskipun ada pula ulama yang
menolaknya sebagai satu sumber pertimbangan hukum Islam, seperti Imam
Syafii’. Dengan tegas ia membatalkan tentang dalil Istihsan, karena itu ia
menguraikannya dalam pasal tersendiri yang terdapat di dalam kitabnya
yaitu al-Umm dengan judul “Ibthal al-Istihsan” (pembatalan dalil Istihsan).
Dan alasan-alasan yang ia sebutkan itu dapat diketahui beberapa aspek
tentang Istihsan, adapun alasan-alasan tersebut dapat diringkas ke dalam
enam hal yaitu sebagaimana dikemukakannya ke dalam beberapa tempat
secara terpencar di dalam kitab ar-Risalah dan dalam kitab al-Umm dalam
pasal Ibthal al-Istihsan.
Tulisan ini tidak menempatkan Istihsan sebagai sumber hukum
Islam, melainkan sebagai metode pendekatan istimbath hukum Islam.
Pendapat dari Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah yang
mengatakan bahwa Istihsan adalah dalil syara‟ dengan alasan yaitu: a.
Istihsan yang ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus dan
hukum-hukum yang ternyata bahwa penggunaan Qiyas adalah menerapkan
yang umum atau dalil yang Kulli yang kadang-kadang di dalam beberapa
kasus menyebabkan hilangnya kemashlahatan manusia, karena kasus-kasus
ini mempunyai kekhususan-kekhususan tersendiri (Kadenun, 2018: 89-105).

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
13
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

Hal ini merupakan suatu keadilan dan rahmat bagi semua manusia apabila
dibuka jalan bagi seorang mujtahid di dalam memecahkan kasus seperti ini
yaitu men-tarjih dalil agar tercapai kemaslahatan dan menolak kemadaratan,
dengan kata lain seperti ungkapan dalam kaidah fikih yaitu: “Dar‟u al-
Mafasid wa Jalbu al-Mashalih” (Menolak kemafsadatan dan meraih
kamaslahatan). Dalam konteks ini, istihsan digunakan untuk mendapatkan
kemaslahatan dan menolak kemadaratan atau menemukan maslahat yang
lebih kuat dan madarat yang lebih sedikit.
Istihsan yang sanadnya Qiyas, yang menjadi dasar di sini yaitu
kemudahan dan menghilangkan kesempitan. Hal ini sesuai dengan ayat al-
Qur‟an surat al-Baqarah: 185, “Allah hendak (membuat) keringanan bagimu
dan tidak hendak (membuat) keberatan (kesusahan) atas kamu”. Dan juga
sesuai dengan Hadis Nabi SAW., “Sebaik-baik agamamu adalah
kemudahan”. Misalnya yang dicontohkan di dalam Qiyas Khafi yaitu: 1).
Istihsan yang sanadnya ‘Urf yang shahih yaitu: Meninggalkan apa yang
menjadi konsekuensi Qiyas menuju kepada hukum lain yang berbeda, karena
Urf yang umum berlaku, baik Urf yang bersifat perkataan maupun
perbuatan. 2). Istihsan yang sanadnya Nash yaitu: uruusan yang pada setiap
masalah menunjukkan hukum yang bertentangan dan berbeda dengan kaidah
yang telah ditetapkan oleh yang mempunyai Nash dari Allah SWT. 3).
Istihsan yang sanadnya Darurat yaitu: Ketika seorang Mujtahid melihat ada
sesuatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan
Qiyas demi memenuhi hajat orang yang darurat itu atau mencegah
kemudaratan. Sedangkan para ulama Malikiyah membagi Istihsan kepada:
1). Istihsan yang sanadnya ‘urf. 2). Istihsan yang sanadnya Mashlahah. 3).
Istihsan yang sanadnya Raf’u al-Kharaj (Djazuli dan I. Nurol Aen, 1997:
134-137). Semua aspek pertimbangan tersebut mengerucut pada titik temu,
yaitu maslahah.

4. Hari-hari Baik dan Maslahah


Al-Qur'an sudah final - termasuk hadits -, sedangkan persoalan terus
mengalami dinamika setiap saat. Hal ini sejalan dengan adagium, seperti
berikut ini; ‫النصوص متناهية والوقائع غيرمتناهية‬, yang berarti bahwa nash
hukumnya terbatas pada hakikatnya, sedangkan perkara hukumnya tidak
terbatas pada spektrum waktu tertentu (Anwar, 2000: 273). Oleh karena itu,
sangat penting untuk membahas teori mashlahah, karena tidak mungkin
untuk menentang teks-teks suci secara fundamental. Najamuddin at-Tufi
(w.716H/1318M) dan Abu Ishaq al-Shatibi (W.790H/1388 M) adalah tokoh-

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
14
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

tokoh terkemuka tentang Maslaha (Basri, 2011: 177). Cara berpikir kedua
tokoh tersebut dan ulama fiqh lainnya sangat kritis karena teori yang
dikembangkan berbeda dengan teori yang dikembangkan oleh ulama ushul
lainnya.
Menurut At-Tufi, maslaha berasal dari makna hadits: ‫الضرروالضرار‬,
“tidak boleh merugikan dan merugikan orang lain” (At-Tufi, 1993: 23),
hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad. Al-
Hakim berpendapat bahwa hadits ini sahih berdasarkan kriteria Imam
Muslim. Hal tersebut menjadi dasar argumentasi at-Tufi untuk menganut
empat prinsip mashlahah, yang membedakannya dengan ulama lain yang
membagi mashlahah menjadi tiga (al-Gazali, 1993: 174). Bagi at-Tufi,
pemekaran bukanlah hal yang esensial karena tujuan masyarakat muslim
adalah kemaslahatan yang positif. Segala bentuk maslaha, baik yang
didukung oleh nash atau tidak, harus dicapai tanpa penjelasan yang rinci
(Dahlan (ed.), 1997: 1836). Keempat asas di atas antara lain 1) Akal bebas
menentukan kemaslahatan dan kekurangan, terutama dalam hal muamalah
dan adat. Ini menyiratkan bahwa masuk akal untuk menggunakan logika
untuk menentukan apakah hal-hal tertentu termasuk dalam maslaha (Dahlan
(ed.), 1997: 1147). 2) Maslaha adalah dalil yang berdiri sendiri dalam
menentukan hukum. Dengan demikian, untuk membenarkan maslaha tidak
diperlukan syarat-syarat hukum yang mendukung karena hanya berdasarkan
pendapat. 3) Maslaha hanya berlaku untuk hal-hal yang berkaitan dengan
muamalah dan adat.
Al-Shathibi dianggap sebagai 'pendiri maqāshid asy-syar'ah' karena
perannya dalam membahas topik secara sistematis dalam bukunya al-
Muwāfaqat (Hallaq, 1997: 78). Namun, dia bukan orang pertama yang
mengusulkan item tersebut. Al-Juwaini (w. 478 H), lebih dikenal sebagai
Imam Haramain, telah mengangkat masalah ini dengan mengusulkan
gagasan menjadikan maqāshid asy-syarī'ah sebagai nilai universal dan
mengangkatnya dari zhanny (prasangka) ke tingkat qath'iy (kepastian). Hal
itu dilatarbelakangi oleh keprihatinannya terhadap merosotnya peradaban
sosial, khususnya ulama dan politisi Islam. Sebagian besar ulama Syafi’iyah
dan sebagian ahli pada saat itu memang mengatakan bahwa mashlahah
hanya bisa diterima jika ada nash yang mendasar. Jika manfaatnya
bertentangan dengan teks, tidak boleh digunakan (Juwaini, 1400 H.: 295,
923-964).
Hal ini mirip dengan ulama klasik Ushul fiqh. Hanafi membahas
maqāshid asysharī’ah dengan menghadirkan masalah maslaha. Seperti al-

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
15
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

Syāthibi, Hanafi menyatakan bahwa menegakkan kemaslahatan adalah dasar


dari Syariah. Ia juga mengkategorikannya menjadi beberapa bagian, yaitu al-
dharūriyat, al-hajjiyat dan al-tahsniyat. Beliau juga memberikan empat fase
maqashid al-Syariah, yaitu menentukan konsep atau dasar syariah pada fase
pertama; dalam fase ini, ia menggambarkan posisi maslaha sebagai kondisi
yang mendasarinya. Dalam hal ini, iman merupakan landasan utama karena
menjadi dasar bagi kehadiran syariah, tidak sesempurna mungkin (Hanafi,
1970: 489). Kedua, fase penentuan pemahaman syariah; dalam fase ini, ia
menganjurkan bahwa harus ada sumber Syariah untuk mencapai tujuannya
di mana maslaha, yang merupakan tujuan Syariah, tidak akan tercapai tanpa
adanya pemahaman yang jelas tentang konsep tersebut. Ketiga, pengenaan
(taklīf); ini membutuhkan kesepakatan dari seseorang yang bersedia untuk
mewujudkan maslaha. Taklīf (kewajiban) hanya berlaku untuk individu yang
sehat mental karena pikiran adalah sarana untuk memahami Syariah. Oleh
karena itu, menjadi syarat taklf (Hanafi, 1970: 489). Keempat, fase
implementasi maqashid al-Shāri’ah (tujuan hukum syariah). Penerapannya
dapat dikaitkan dengan ritual mahdlah (ritual holistik), yang berarti bahwa
maslaha harus dicapai baik dalam lingkungan pribadi maupun publik. Dia
mengutip al-Shatibi, yang menyatakan bahwa ritual yang dilakukan untuk
mukallaf pada dasarnya dan pada dasarnya adalah manifestasi dari
pengabdian tanpa memperhatikan manfaat. Sebaliknya, setiap ritual yang
berkaitan dengan tradisi atau kebiasaan harus memperhatikan manfaat atau
nilai (Al-Syātibi, 2003: 300).
Tampaknya pandangan at-Tufi lebih relevan digunakan, perhitungan
hari-hari baik diterapkan dalam konteks muamalah dan budaya. Titik temu
pandangan ini yaitu ketika Asy-Syatibi menggunakan teori Qath’iyyul al-
Wurud dan Zhanniyyu al-Tanfizh pada ayat-ayat al-Qur’an. Keduanya
bermuara pada satu titik persamaan yaitu pada maslaha. Perhitungan hari-
hari baik dapat ditetapkan boleh atau tidak dengan melihat pada dampak
yang ditimbulkan baik dampak teologis (syirik) maupun dampak sociologis.
Jika tidak merusak akidah dan tetap mendatangkan kemaslahatan social
maka hal itu sejalan dengan Islam.

Perhitungan dan Penentuan Hari-hari Baik


Pada bagian dipaparkan data tentang pedoman perhitungan dan
penentuan hari hari-hari baik dan ‘tidak baik’ untuk menggelar hajatan,
terutama pernikahan.

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
16
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

3 6 2 4 7 3 5 1
JIM WAU BA DZA ZEI JIM HA 1
3 6 2 1 7 3 5 1 Muharram 7
5 1 4 6 2 5 7 3 Shafar 2
6 2 5 7 3 6 1 4 Rabiul Awal 3
1 4 7 2 5 1 3 6 Rabiul Akhir 5
2 5 1 3 6 2 4 7 Jumadil Awal 6
4 7 3 5 1 4 6 2 Jumadil 1
Akhir
5 1 4 6 2 5 7 3 Rajab 2
7 3 6 1 4 7 2 5 Sya’ban 4
1 4 7 2 5 1 3 6 Ramadhan 5
3 6 2 4 7 3 5 1 Syawal 7
4 7 3 5 1 4 6 2 Dzulqaidah 1
6 2 5 7 3 6 1 4 Dzulhijjah 3
1426 1425 14 1431 1430 1429 1428 1
H H 24 H H H H 4
H 2
14 7
32 H
H
1 Selasa
2 Rabu
3 Kamis
4 Jumat
5 Sabtu
6 Minggu
7 Senin
1426 H1425 H1424 H
1432 H1431 H1430 H1429 H1428 H1427 H
1424 H. Tahun Ba s.d. 21 Februari 2004
1425 H. Tahun Wau 22 Februari s.d. 9 Februari 2005
1426 H. Tahun Jim Kamis 10 Februari 2005 s.d. 30 Januari 2006
1427 H. Tahun Alif
1428 H. Tahun Ha Sabtu Januari 2007 dan seterusnya berputar

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
17
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

Kata atau kalimat yang berwarna merah merupakan waktu-waktu


yang dihindari untuk melakukan hajatan dalam hal ini pernikahan (akad
nikah dan pestanya). Tampak pada data tersebut ada menekankan pada hari-
hari tertentu dan bulan-bulan tertentu berdasarkan nama-nama tahunya.
Menurut Bapak Muh. Nasir/56 tahun (2022), dasar – atau boleh juga disebut
cara - penentuan hari-hari pernikahan di Kecamatan Matakali sebagai
berikut:
1. Menggunakan Perhitungan Kalender Hijriyah
Mereka melihat hari apa kemudian dikonversi ke perhitungan
kalender hijriyah. Terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan
berdasarkan keyakinan mereka. Pertama, Pantangannya adalah hari Rabu,
terutama hari Rabu terakhir dalam setiap bulan. Kedua, mereka pada
umumnya, mereka sangat senang dengan hari Senin dan Kamis. Persepsi dan
keyakinan ini dipengaruhi oleh tradisi Islam. Seorang guru yang bernama
Pak Nasir di Mandar mengaku menerima secara turun-temurun dari nenek
dan kakek moyangnya tentang rumus-rumus menentukan hari hari baik.
Tercatat dalam dokumennya, hari Selasa tanggal 12 Januari 2004 di rumah
nenek yang bernama nenek Bi’ah. Tampak pada bahwa tanggal 17 Agustus
2004 adalah hari simbol masara yang berarti buruk dalam versi bilangan 9
karena jatuh pada hari selasa.
2. Hari baik versi telapak tangan.
Pada umumnya pernikahan di Kecamatan Matakali dalam
perhitungan hari baik mengacu kepada perhitungan tangan. Adapun tata cara
perhitungan. Pertama, pada telapak tangan bagian depan pangkal induk
tangan angka satu dan dua, dan kalau angka ini dianggap baik (Mandar:
macoa) untuk melakuakan pernikahan sebab dianggap menggeggam atau
menguasai. Kedua, untuk angka 3 berada di belakang tangan dianggap tidak
baik sebab dianggap di belakang tangan yang tidak bisa dikuasai atau bukan
menjadi kekuasaan. Ketiga, hari baik versi hari kelahiran. Hari kelahiran
juga dijadikan sebagai dasar dalam melaksanakan pernikahan di Kecamatan
Matakali sebab hari lahir dianggap sangat makna yang sangat penting untuk
dijadikan dasar dalam rangka memulai bahtera rumah tangga. Adapun
perhitungannya sebagai berikut:
1. Hari Sabtu = Sengsara
2. Hari kelahiran ahad = Maddara
3. Hari senin = penderitaan
4. Hari Selasa = Makanan

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
18
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

Pernikahan versi hari kelahiran yang dianggap baik adalah hari selasa
sebagai hari makanan, sebagai sumber awal mengkomsumsi makanan untuk
melanjutkan kehidupan awal setelah keluar dari rahim ibunya.
3. Penentuan hari baik versi lontara /putika

Gambar di atas merupakan Lontara waktu yang berdasar pada


hitungan Qamariyah (ompona ulengnge). Lontara atau vitaka merupakan
acuan dalam melakukan atau untuk menentukan hari jadi untuk pelaksanaan
pernikahan, dalam hal ini tentunya lontara ini mengacu pada.

Populasi
Kondisi populasi Kecamatan Matakali Kabupaten Polewali Mandar
merupakan dapat digambarkan pada table berikut ini.

Tabel 1
Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kec. Matakali 2021

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
19
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

Jenis Kelamin JUMLAH


No. Kelompok Umur
Laki-laki Perempuan
1 0 s/d 14 Tahun 5.272 5.232 10.504
2 15 s/d 64 Tahun 3.750 3.202 6.952
3 65 Tahun Keatas 2.225 3.004 5.229
Jumlah 11.247 11.438 22.685

Tabel 2
Pemeluk Agama Kec. Matakali 2021

Pemeluk Agama
No
Kelurahan / Desa Kris Prote Konh
. Islam Hindu Budha
ten stan uchu
1 Matakali 3295 - - - - -
2 Barumbung 2600 - 1 - - -
3 Indo Makkombong 2895 - 260 - - -
4 Tonrolima 2650 - 35 - - -
5 Patampanua 5361 - - - - -
6 Pasiang 3465 1 - - - -
7 Bunga-bunga 1632 - - - - -
Jumlah 21898 1 296 0 0 0

Tabel 3
Peristiwa Nikah KUA Kecamatan Matakali

Tahun 2021
No Kelurahan / M A M S N D Ju
Ja Fe Ju Jul Au O
. Desa a p a e o e ml
n b ni i g ct
r r y p v c ah
1 Matakali 2 5 2 6 3 3 1 1 4 5 2 1 35
2 Barumbung 4 2 2 4 2 1 6 1 1 2 4 1 30
Indo
3
Makkombong   2 1 3 2 1 1 1 2 4 2 1 20
4 Tonrolima     3 3 3 1 3 2 3 3 2 3 26
5 Patampanua   4 2 4 4 3 6 2 2 6 3 4 40
6 Pasiang 2 1 4 7 2 3 3   3 2 1 4 32

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
20
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

7 Bunga-bunga 1   1 3 2   4       3   14
1 3 1 1 2 1 1 19
Jumlah
9 14 5 0 8 12 24 7 5 2 7 4 7

Peristiwa Nikah KUA Kecamatan Matakali 2021

Tabel 4
Janda dan duda yang menikah lagi: Kec. Matakali tahun 2018
Jumlah
No. Kelurahan / Desa Jumlah
Janda Duda
1 Matakali
2 Barumbung
3 Indo Makkombong
4 Tonrolima
5 Patampanua
6 Pasiang
7 Bunga-bunga
Jumlah 34 24 58

Discussion
Penentuan hari baik untuk keselamatan dan berkah
Penentuan hari baik berlaku pula untuk aktivitas di luar pernikahan.
Penentuan hari-hari baik itu disertai aktivitas tradisi religious yang disebut
Makkuliwa. Secara umum, masyarakat Mandar memiliki tradisi yang disebut
“Makkuliwa”. Selain berdasarkan hari-hari baik, menurut Muh. Ifdhal
Muliadi (2018) tradisi Makkuliwa memiliki makna sebagai doa keselamatan
ketika akan menggunakan berbagai benda yang baru dimiliki, seperti perahu
baru, motor baru, mobil baru, dan barang baru lainnya sehingga memperoleh
keselamatan dan tahan lama dipakai. Jadi, nilai dalam tradisi Makkuliwa
yang dapat dipahami yaitu, nilai agama/religius, nilai budaya, dan nilai
sosial. Tradisi Makkuliwa merupakan tradisi untuk mengkuliwakan atau
membacakan doa keselamatan ketika memiliki benda baru sehingga
memperoleh keselematan dan tahan lama dipakai. Nilai yang terdapat pada
tradisi Makkuliwa itu pula yaitu nilai agama/religius, nilai budaya, dan nilai
sosial.

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
21
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

Tradisi membaca doa selamat ketika memiliki barang baru ini


menjadi fenomena umum pada masyarakat Mandar. Ini sama dengan praktek
masyarakat Bugis terutama kalangan Nahdhiyin setiap pindah rumah, masuk
rumah baru, membeli barang-barang penting dan berharga maka sebelum
digunakan mereka menggelar baca doa selamatan disertai dengan menu
utamanya, yaitu onde-onde. Ini adalah semangat dan harapan mendapatkan
keselamatan (senureng) dan keberkahan (mabbarakka) menggunakan barang
tersebut (Wawancara dengan Baharuddin, 2022).
Demikian pula semangat pemilihan waktu-waktu baik dalam
melaksanakan pernikahan, yaitu agar mendapatkan keselamatan,
keberkahan, dan langgen dalam pernikahan serta dapat membangun rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Dalam tardisi masyarakat
Makassar ini disebut tradisi A’pa’tantu Allo Baji (penentuan hari baik),
terutama yang berkaitan dengan prosesi hari pernikahan (Rini Haryati,
2020). Untuk praktek pemilihan hari-hari baik di Mandar, itu mempunyai
hubungan dengan masuknya Islam di daerah ini.
Secara historis, masuknya Islam di Tanah Mandar menjadikan
budaya setempat mengalami integrasi dengan budaya Islam. Awal Islam
datang ke Tanah Mandar tidak serta merta menghilangkan budaya lokal yang
ada, bahkan Islam memperbaiki budaya yang perlu diperbaiki termasuk
dalam budaya pernikahan. Sistem pernikahan adat Mandar yang disebut
“masa’alana nikka” merupakan bagian dari ajaran “ada’ pura onro” saat
ajaran Islam masuk secara bertahap diterima oleh masyarakat Mandar.
Begitulah, akhirnya ajaran Islam banyak mempengaruhi sistem pernikahan
masyarakat Mandar (Sriesagimoon, 2009: 33). Penentuan hari baik untuk
pernikahan tidak berdiri sendiri, melainkan merujuk pada sumber nilai
agama, aturan negara, dan budaya. Ketiganya saling mempengaruhi dan
terintegrasi menjadi faktor pertimbangan dalam penentuan hari atau waktu
pelaksanaan acara pernikahan.
Secara khusus, masyarakat Kecamatan Matakali menikahkan anaknya
mengacu pada bulan-bulan yang lebih umum menikah di luar hari jumat dan
di luar bulan Syawal, tetapi lebih dominan pernikahan pada bulan Sya’ban
dan hari-hari lain di luar hari jumat. Cara mereka menentukan hari baik
dengan menggunakan pendekatan tersendiri. Salah satu pertimbangan hari
jumat dihindari adalah agar umat Islam khususnya laki-laki lebih fokus
melaksanakan rangkaian salat jumat. Begitu pula bulan Syawal karena baru
saja melaksanakan ibdah puasa dan segera bersiap-siap berangkat ibadah
haji. Dipilihnya sebelum Ramadhan yaitu bulan Sya’ban karena mereka agar

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
22
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

setelah itu dapat lebih fokus menyambut dan memasuki bulan suci
Ramadhan.
Hari Pernikahan dalam Islam
Berdasar pada kalender Hijriyah masyarakat setempat menghindari
hari rabu terakhir setiap bulan, senin dan kamis –seperti yang tampak pada
data sebelumnya, dipengaruhi oleh tradisi Islam. Mereka menggunakan
penanggalan hijriyah selanjutnya dikonversi ke hari masihiyah. Meskipun
dalam Islam, semua hari itu diciptakan untuk menjadi kesempatan
melakukan amal-amalan saleh sebagai pembuktian atas keimanan. Untuk
melaksanakan amal-amal tertentu, sering disebutkan waktu-waktu khusus
yang di dalamnya lebih utama. Ada pula waktu tertentu diharamkan
melaksanakan amal tertentu. Misalnya, tanggal 1 Syawal haram hukum
berpuasa kecuali alasan darurat. Kondisi darurat pun ada aturan dan kadar
kedaruratannya. Larangan berpuasa pada hari tersebut tentu berdasar pada
dalil dan puasa adalah salah satu jenis ibadah. Kaidah hukum Islam
menyatakan, pada dasarnya ibadah itu haram kecuali ada dalil yang
menunjukkan perintah atau kebolehannya. Dalam masalah ini, larangan
berpuasa pada tanggal 1 Syawal dalam kondisi normal maka dalam kondisi
yang tetap itu maka hukum asalnya tetap haram. Jika ada alasan syar’i yang
membolehkan atau mengharuskan puasa maka hukum asal itu tidak berlaku.
Misalnya, seorang yang harus berpuasa untuk menjalani operasi maka itu
dapat menggeser hukum asal menjadi boleh karena mencegah mudarat harus
diperioritaskan.
Dalam memilih hari-hari baik dalam soal muamalah termasuk hajatan
pernikahan itu adalah aspek yang bersifat teknis (muamalah) sehingga
diserahkan urusannya kepada manusia. Dalam konteks ini berlaku kaidah
dasar bahwa dalam urusan muamalat, segala sesuatu itu boleh (mubah)
selama tidak ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehannya. Memilih hari
baik berdasarkan pertimbangan kemaslahatan itu boleh dan menghindari
resiko yang lebih buruk maka itu wajib sebab agama melarang
mencampakkan diri sendiri ke dalam kebinasaan. Pertimbangan hari-hari
baik dalam untuk kegiatan muamalah dipengaruhi oleh situasi dengan segala
dampak dan manfaatnya.
Hari-hari baik itu bisa berbeda karena faktor tempat dan keadaan.
Itulah sebabnya, hari-hari baik untuk rangkaian pernikahan bagi masyarakat
perkotaan dan masyarakat pedesaan itu berbeda. Acara pernikahan dan
resepi bagi masyarakat pedesaan tidak banyak bergantung pada gedung
resepsi, sehingga tidak ada antrian untuk penggunaan gedung pernikahan.

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
23
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

Bagi masyarakat perkotaan, mereka bergantung pada ketersediaan gedung.


Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan maslahat maka hari yang baik
adalah hari di mana ada gedung pernikahan yang kosong.
Pernikahan merupakan ibadah sebab perintah Allah Swt. kepada
manusia agar melakukan pernikahan untuk melanjutkan keturunan di muka
bumi. Dengan pernikahan, setiap orang berharap beruntungan nasib baik dan
selamat dari nasib buruk. Mempercayai dan meyakini hari baik atau hari sial
dalam pernikahan pada jam-jam, bulan, hari tertentu dapat dikategorikan
sebagai suatu kemusyrikan dan ketidak-yakinan bahwa segala sesuatu sudah
ditentukan oleh Allah Swt. Oleh karena itu pernikahan yang didasari dengan
penentuan waktu-waktu baik dapat dikategorikan sebagai Thiyarah
sebagaima Nabi saw bersabda: “Thiyarah itu Syirik (3 X diulangi)”. Tentu
saja, pernyataan seperti memiliki konteks sosio-historis.
Jika dilihat dari perspektif teori perubahan social maka waktu-waktu
yang baik untuk melangsungkan rangkaian pernikahan akan dipengaruhi
kondisi social budaya masyarakat tersebut. Begitu pula perubahan hukumnya
akan dipengaruhi oleh factor waktu, tempat, keadaan, niat, dan kebiasaan
(adat). Perubahan factor tersebut akan mempengaruhi perubahan status
hukum. Jika merujuk kepada pendekatan istihsan maka indicator kebaikan
itu menurut ulama Malikiyah, (1) Istihsan yang sanadnya ‘urf, yakni
berdasarkan nilai kearifan lokal (2). Istihsan sejalan dengan mashlahah. (3).
Istihsan yang bertujuan Raf’u al-Kharaj. Hari baik bagi masyarakat di
daerah, termasuk di Matakali akan berbeda dengan hari baik bagi masyarakat
perkotaan. Hari baik bagi masyarakat bagi perkotaan antara lain adalah hari
di mana gedung pernikahan yang kosong dan dapat digunakan. Ini karena
ada konteks tempat dan keadaan sebagai factor yang berpengaruh. Selain itu,
nilai istihsannya itu lebih maslahat dan tidak memaksakan keadaan. Hukum
Islam selalu menghendaki solusi sehingga hokum Islam berkorelasi dengan
ada atau tidak adanya ‘illat.
Pada dasarnya, pernikahan tidak terikat dengan hari-hari tertentu,
waktu tertentu, namun demikian, dalam ajaran Islam hari yang paling mulia
adalah hari Jumat sebagai (syayyidul ayyam) untuk melakukan pernikahan.
Pernikahan yang dilakukan pada hari jumat tidak dapat dipastikan
mempengaruhi nasib baik atau nasib buruk terhadap suatu pernikahan. Jika
ada kondisi dan faktor lainnya yang menyebabkan tidak kondusifnya
melakukan pernikahan pada hari itu maka bukan hari yang terbaik untuk
melaksanakan prosesi dan rangkaian pernikahan. Menentukan hari jumat
sebagai hari baik mesti disertai argument (‘illat) yang kuat. Begitu juga

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
24
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

sebaliknya, tidak memilih hari jumat sebagai hari pernikahan bukan karena
hari dipastikan dasarnya buruk, melainkan karena variabel lain seperti
kondisi yang tidak memungkinkan.
Dalam Islam mengenai bulan yang baik untuk menikahkan anak atau
keluarga adalah pada bulan Syawal, sebagaiman dijelaskan dalam kitab
Quratul Uyun karya Asy-Syekh al-Imam Abu Muhammad yaitu, sebuah
pernikahan lebih baik diselenggarakan pada bulan Syawal dan disunnahkan
pada bulan Ramadhan (kutip keluarga samana com.). Pandangan ini tentu
dilatarbelakangi oleh kondisinya sendiri. Penentuan bulan Syawal sebagai
waktu yang baik berbeda dengan keyakinan masyakat Mandar yang justru
menghindari bulan tersebut. Tradisi ziarah menziarahi dan silaturrahim di
bulan Syawal itu membutuhkan waktu dan setelah itu mereka
mempersiapkan manasik yang akan berangkat haji. Dahulu perjalanan haji
ditempuh tiga sampai bulan sehingga acara pernikahan dipercepat di bulan
Sya’ban atau ditunda hingga jamaah haji datang.
Terdapat banyak dalil Islam baik yang bersumber dari Al-Qur’an
maupun hadis-hadis Nabi Saw.` Keutamaan hari tertentu dan untuk amalan
tertentu ditemukan dalam teks-teks primer dalam Islam. Misalnya, hadis
yang menerangkan hari jumat mengandung nilai historis yang tinggi hingga
disebut sebagai hari yang paling utama, penghulu semua hari (sayyidul
ayyam). Dari Abî Lubânah bin Abd. al-Munzîr ra.berkata, Nabi Saw.
bersabda : "Sesungguhnya penghulu hari adalah hari jum'at, dan ia
merupakan hari terbesar disisi Allah. (H.R. Ibn Majah) (al-Qazwainî, 1997:
321.
Ini adalah teks secara tegas memosisikan hari jumat sebagai
penghulu semua hari dalam sepekan. Selain itu juga disebutkan diabadikan
namanya dalam al-Quran dengan surah al-jumu’ah yang diambil dari salah
satu lafal yang terdapat pada surah itu yait pada ayat ke-9. “Sebaik-baik hari
manakala matahari terbit adalah hari jum’at, pada hari itu Nabi Adam as.
Diciptakan, hari itu pula dimasukan kedalam surga dan kemudian
dikeluarkan daripadanya, dan kiamatpun tidak akan terjadi kecuali pada hari
jum’at” (H.R. Muslim/ al-Naisabûri, 1993: 9).
Bilangan hari yang mempunyai keutamaan yang sangat tinggi ini,
ternyata tidak disia-siakan oleh sebagian besar umat Islam. Oleh sebab itu,
terdapat segolongan umat Islam memanfaatkannya dengan melakukan
kegiatan-kegiatan atau praktek-praktek ibadah pada hari yang dimuliakan
tersebut. Beragam kegiatan atau amalan dilakukan oleh sebagian besar umat
Islam, karena hal tersebut telah dijelaskan dalam dua pokok pedomaan

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
25
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan makna kandungan
dari hari jum’at dan menguraikan keutamaannya. Karena keutamaan hari
jumat maka dianjurkan untuk memperbanyak salawat melebihi hari-hari
lainnya dalam satu pekan. Meskipun hari jumat adalah hari paling utama
(afdhal) untuk bersalawat kepada Rasulullah Saw. (al-Judâ’i, 2004: 185).
Dalam salah satu ayat Alquran, terdapat petunjuk umum keharusan
bersalawat untuk Nabi Saw. sebagaima firman Allah Swt. "Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang
yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56)".
Ini adalah dalil yang bersifat umum yang memerintahkan untuk
bersalawat kapan saja. Itu menunjukkan bahwa secara umum semua waktu
adalah baik untuk bersalawat, namun ada hari tertentu yang lebih utama
(afdhal) untuk bersalawat, yaitu pada hari jumat seperti diterangkan dalam
hadis.
Dari ‘Aus bin ‘Aus, bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Salah satu hari yang paling utama adalah hari jum’at. Pada hari itu
Adam diciptakan, dan pada hari itu pula dicabut rohnya, dan juga pada hari
itu ditiupnya sangkala dan semua makhluk dimatikan. Karena itu,
perbanyaklah membaca shalawat untukku karena bacaan shalawatmu itu
akan diperlihatkan kepadaku. Para sahabat bertanya: ‘Ya Rasulullah,
bagaimana bacaan shalawat itu akan diperlihatkan kepadamu padahal waktu
itu jasadmu telah hancur lebur? ‘Beliau menjawab: Sesungguhnya Allah
telah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (Hadis ini
diriwayat oleh lima perawi, kecuali Tirmidzî (al-Rahbawî, 1983: 347-348).
Dari Abî Darda r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:
“Perbanyaklah membaca shalawat untukku pada hari jum’at, karena
hari jum’at itu adalah hari penyaksian yang disaksikan oleh para malaikat.
Dan sesungguhnya seseorang tidaklah ia membaca shalawat kepadaku
melainkan do’a shalawatnya itu pasti ditampakkan kepadaku, sehingga ia
selesai bershalawat.” (HR. Ibnu Mâja/al-Nabâni, n.d.: 21).
Diriwayatkan dari Abû Hurairâh ra. Bahwasanya Nabi Saw.
bersabda:
"Kita adalah umat terakhir, tetapi terkemuka. Mereka (Yahudi, dan
Nashrani) terlebih dahulu menerima kitab (melalui Nabi-nabi mereka). Dan
hari ini (jum'at) adalah hari diwajibkan kepada mereka shalat, tetapi mereka
berselisih pendapat tentang itu. Oleh karena itu Allah Swt., memberi
petunjuk kepada kita tentang hari itu, sedang orang-orang lain mengikuti

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
26
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

dibelakang kita, yaitu Yahudi besoknya (sabtu) dan Nashrani besoknya lagi
(ahad)." (al-Bukhârî, 1993: 1).
Al-Hâfiz al-Sakhowî dengan menukil perkataan Imam Syafî’I
berkata: Aku paling suka memperbanyak membaca shalawat atas Nabi
dalam segala waktu. Sebab pada malam dan hari jum’at, maka lebih aku
tekankan menjadi wirid sunat (al-Nabâni, n.d.: 23). Demikian pula Ibnu
Hâjar dalam kitabnya al-Dûrîl Maushûd, yang dikutip ulang oleh Yûsuf bin
Ismâil al-Nabâni dalam bukunya, Ibnu Hajar dengan menukil perkataan
ulama’ mengatakan bahwa memperbanyak membaca shalawat pada malam
dan hari jum’at pahalanya itu lebih besar daripada memperbanyak membaca
al-Qur’an selain surah al-Kahfi. Yang demikian berdasarkan hadis tentang
pembacaan shalawat di hari dan malam jum’at (al-Nabâni, n.d.: 23).
Adapun manfaat atau kegunaan dari memperbanyak membaca
shalawat pada hari dan malam jum’at, Ibnu Qoyyîm mengatakan, bahwa
karena Rasulullah itu Sayyîd al-Anâm, sedang hari jum’at itu Sayyîd al-
Ayyâm. Dengan begitu membaca shalawat pada hari dan malam jum’at itu
berarti Mâziyah atau berfaedah dan bukan karena yang lain. Selain itu pula
untuk kebaikan umat Nabi Muhammad Saw. di dunia dan di akhirat (al-
Nabâni, n.d.: 23; Sabiq, I, n.d.: 251; Hamka, 1985: 242). Masih banyak lagi
hal-hal yang telah atau akan terjadi pada hari jum’at, baik itu hal yang nyata
ataupun hal gaib. Dengan demikian terdapat banyak amalan yang
diwajibkan, disunnahkan, dan dilarang untuk dilaksanakan, mengingat pada
hari tersebut terdapat banyak hal yang dapat menolong dan membantu umat
Islam jika melaksanakan hal-hal yang diwajibkan, disunnahkan, dan
menjauhkan segala yang dilarang pada hari jumat tersebut.
Ada pula yang mencoba menempatkan sebagai Istihsan yang dikenal
sebagai sebuah pendekatan untuk memahami “hari baik” terutama untuk
pernikahan dengan menggunakan primbon seperti yang tulisan Syamsuri
(Syamsuri & I. Effendy, 2021: 28-43). Ia meneliti pada masyarakat
Karanggeger adalah Tradisi yang telah diwarisi oleh leluhur masyarakat
tersebut, sebagaimana dalam Islam tentu tradisi ini bertentangan dengan
syariat islam, walaupun masyarakat Karanggeger mayoritas beragama Islam,
namun tradisi tersebut masih dilakukan sebagai kebiasaan yang telah turun
temurun dilakukan oleh masyarakat tersebut, untuk menentukan hukum dari
tradisi masyarakat tersebut, maka pendekatan untuk menilainya adalah
Istihsan, dimana Istihsan menilai suatu kejadian berdasarkan ada atau
tidaknya manfaat di dalamnya. Penelitiannya difokuskan untuk Untuk
mengetahui proses penentuan hari akad nikah di desa Karanggeger

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
27
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

menggunakan Primbon dan melakukan kajian Istihsan terhadap penentuan


penentuan akad nikah menggunakan primbon tersebut. Dengan
menggunakan pendakatan fenomenologi, ia melakukan observasi,
wawancara, dan dokumentasi.

Conclusion
Berdasarkan pendekatan dan analisis di atas masyarakat Matakali
menentukan hari-hari baik dalam rangka acara pernikahan dapat
dikalsifikan pada dua kategori. Petama penentuan hari baik berdasarkan
pedoman secara turun temurun dari leluhur mereka. Kedua, penentuan
hari baik berdasarkan Islam dan kearifan lokal, yaitu pertimbangan
kemaslahatan. Sampai penentuan hari-hari baik masih dapat diterima jika
pertimbangan itu masih sejalan dengan maslahat dalam Islam. Akan tetapi
apabila sudah sampai ‘urf fasidah (praktik budaya yang rusak) atau
mengabaikan akal sehat (asas maslahat) maka itu tidak dapat diterima
sebab hal itu menyimpang dari akidah yang lurus. Berdasarkan beberapa
ayat al-Quran dan Sunnah ditemukan hari-hari diutamakan oleh Allah untuk
melaksanakan ibadah-ibadah tertentu, tetapi Allah tidak menjelekkan hari-
hari tertentu selain itu. Setiap kebaikan (terutama ibadah) ada waktu yang
sudah ditetapkan dan setiap waktu ada ibadah yang sudah ditetapkan.
Untuk urusan muamalat, diserahkan kepada manusia dalam urusan teknis
dan penentuan waktunya. Selama penentuan hari-hari baik itu tidak
menimbulkan dampak buruk, baik terhadap akidah maupun terhadap
urusan individu dan sosial maka itu dapat ditolerir dan diakomodir dalam
hokum Islam. Sebaliknya, jika hal merusak maka Islam memprioritaskan
untuk mencegahnya.

References
The references are arranged alphabetically and is written 1 space by
giving tabs the second line and so on, while the first line is not. Please use
Mendeley or Zotero manager reference app. The examples of writing
references are:

‘Abd al-Bāqy, Muhammad Fuād, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fādh al-


Qur’ān al-Karīm, Ed. I; Mesir: Dār al Hadīth, 1996.

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
28
Title: 3-7 Words
Author
DOI:

A. Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam: Sebuah Pengantar, Ed. II; Surabaya:
Risalah Gusti, 1996.
Abu Zahrah, Muhammad, Uṣūl al-Fiqh, Mesir: Dār al-Fikr al-Arabī, 1958.
Al- Āmidī, Saifuddīn Abī al-Husain Ali bin Abī Ali bin Muhammad, Al-
Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, Juz I, Ed. I; Lebanon: Dar al-Fikr, 1997.
Devy, Soraya, dan Dwi Mekar Suci. “The Implementation of Verdict
Execution on Providing Maḍiyah Maintenance Following Divorce
According to Islamic Law (Case Study in Syar’iyyah Court Banda
Aceh).” Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam 4, no.
2 (2020).
Djawas, Mursyid. “Implementasi Pengelolaan Zakat di Aceh.” Mazahib 15,
no. 1 (2016).
Djawas, Mursyid, and Sri Astuti Abdul Samad. “Conflict, Traditional, and
Family Resistance: The pattern of Dispute Resolution in Acehnese
Community According to Islamic Law.” Samarah: Jurnal Hukum
Keluarga dan Hukum Islam 4, no. 1 (2020).
Hanapi, Agustin, dan Edy Yuhermansyah. “Urgency of Marriage
Registration for Women and Child Protection in Gayo Lues District.”
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam 4, no. 2 (2020).
Hasballah, Khairuddin. “The Milk Al-Yamin Concept as a Validity of
Sexual Relationship in a Modern Context: an Analysis of
Muhammad Syahrur’s Thoughts.” Samarah: Jurnal Hukum
Keluarga dan Hukum Islam 4, no. 2 (2020).
Kasim, Fajri M, dan Abidin Nurdin. “Study of Sociological Law on Conflict
Resolution Through Adat in Aceh Community According to Islamic
Law.” Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam 4, no. 2
(2020).

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah

Anda mungkin juga menyukai