Anda di halaman 1dari 193

PERAMALAN CURAH HUJAN DI KOTA SAMARINDA

MENGGUNAKAN MODEL AUTOREGRESSIVE INTEGRATED


MOVING AVERAGE DAN FUNGSI TRANSFER

SKRIPSI

Al Fitri Syawal
NIM. 1807015005

PROGRAM STUDI S1 STATISTIKA


JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2022
PERAMALAN CURAH HUJAN DI KOTA SAMARINDA
MENGGUNAKAN MODEL AUTOREGRESSIVE INTEGRATED
MOVING AVERAGE DAN FUNGSI TRANSFER

SKRIPSI

Diajukan kepada
Program Studi S1 Statistika Jurusan Matematika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Mulawarman untuk memenuhi sebagian persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Statistika

Oleh :

Al Fitri Syawal
NIM. 1807015005

PROGRAM STUDI S1 STATISTIKA


JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2022

ii
ABSTRAK

Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) dan fungsi transfer


merupakan model peramalan analisis data runtun waktu. Model ARIMA hanya
melihat ketergantungan satu variabel pada data masa lalu tanpa melibatkan
ketergantungan dengan variabel lain. Fungsi transfer adalah model yang melihat
ketergantungan satu variabel dengan melibatkan ketergantungan pada variabel lain.
Pada penelitian ini akan dilakukan pemodelan dan peramalan curah hujan bulanan
di Kota Samarinda menggunakan model ARIMA dan fungsi transfer. Pada model
fungsi transfer terdapat beberapa unsur cuaca yang diduga memengaruhi curah
hujan yaitu kelembaban udara, kecepatan angin, suhu udara dan tekanan udara.
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data curah hujan, kelembaban
udara, kecepatan angin, suhu udara dan tekanan udara bulanan di kota Samarinda
periode Januari 2016 hingga Desember 2021. Hasil penelitian menunjukan bahwa
model ARIMA (6, 1, 1) adalah model terbaik sedangkan pada model fungsi transfer
multi input curah hujan dipengaruhi oleh kelembapan udara dan kecepatan angin.
Model ARIMA (6, 1, 1) memiliki tingkat akurasi yang baik dengan MAPE sebesar
19,27%, sedangkan model fungsi transfer multi input memiliki tingkat akurasi yang
cukup baik dengan MAPE sebesar 23,50%. Hasil peramalan curah hujan periode
Januari sampai dengan Desember Tahun 2022 di Kota Samarinda dengan
menggunakan model ARIMA (6, 1, 1) menunjukkan bahwa curah hujan cenderung
meningkat tiap bulannya. Tingkat curah hujan terendah terjadi pada bulan Januari
2022 yaitu sebesar 210,3869 mm. Tingkat curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
April 2022 yaitu sebesar 271,5705 mm.

Kata kunci: ARIMA, Fungsi Transfer, Curah Hujan.

iii
ABSTRACT

Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) and transfer function


are forecasting models for time series data analysis. The ARIMA model only looks
at the dependence of one variable on the past data without involving dependencies
with other variables. The transfer function is a model that looks at the dependence
of one variable by involving the dependence on another variable. In this study, the
modeling and forecasting of monthly rainfall in Samarinda City will be carried out
using the ARIMA model and the transfer function. In the transfer function model,
there are several weather elements that are thought to affect rainfall, namely air
humidity, wind speed, air temperature and air pressure. The data used in this study
are rainfall data, air humidity, wind speed, air temperature and monthly air
pressure in the city of Samarinda for the period January 2016 to December 2021.
The results show that the ARIMA model (6, 1, 1) is the best model, while the ARIMA
model (6, 1, 1) is the best model. In the multi-input transfer function model, rainfall
is affected by humidity and wind speed. The ARIMA (6, 1, 1) model has a good level
of accuracy with a MAPE of 19.27%, while the multi-input transfer function model
has a fairly good level of accuracy with a MAPE of 23.50%. The results of
forecasting rainfall for the period January to December 2022 in Samarinda City
using the ARIMA (6, 1, 1) model show that rainfall tends to increase every month.
The lowest level of rainfall occurred in January 2022, which was 210.3869 mm.
The highest level of rainfall occurred in April 2022, which was 271.5705 mm.

Keywords: ARIMA, Transfer Function, Rainfall..

iv
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul
“Peramalan Curah Hujan di Kota Samarinda Menggunakan Metode
Autoregressive Integrated Moving Average dan Fungsi Transfer”. Tugas akhir
ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan masa
pembelajaran pada jenjang S-1 di Program Studi Statistika, Jurusan Matematika,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Mulawarman.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendoakan, membimbing, memotivasi serta memberikan dukungan kepada
penulis, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Sri Wahyuningsih, M.Si selaku Dosen Pembimbing I serta Ibu
Meiliyani Siringoringo, M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan waktu dan tenaga dalam memberikan bimbingan, arahan serta
motivasi yang telah berdampak sangat besar dalam membantu Penulis
sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan.
2. Ibu Ika Purnamasari, S.Si., M.Si selaku Dosen Penguji I serta Bapak Dr. M.
Fathurahman, M.Si selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan saran dan
kritik yang membangun guna membantu kesempurnaan dalam penulisan
tugas akhir ini.
3. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Matematika yang telah memberikan ilmu
pengetahuan baik akademik maupun non-akademik selama menempuh
Pendidikan S-1 Statistika FMIPA Universitas Mulawarman.
4. Kedua orang tua tercinta Bapak Mukmin dan Ibu Samsidar, Kakak tersayang
Muh. Zainal Basri serta Adik tersayang Muh. Risky Sya’ban dan Nur Adilah

v
Dzulqaidah yang telah memberikan kesabaran, kasih sayang, doa dan
dukungan moral maupun materi yang tiada hingga juga selalu memberikan
semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian tugas
akhir dengan baik.
5. Teman seperjuangan bimbingan skripsi dan teman dalam suka dan duka (Lisa
Dwi Nurul Khasanah, Anggi Jaya Utami, Muhammad Taufik Nur dan
Muhammad Syahril Basri), yang selalu membantu dan mengingatkan selama
penyusunan tulisan ini serta seluruh mahasiswa Statistika Angkatan 2018
yang selalu memberikan dukungan selama masa perkuliahan berlangsung.
6. Garden Hills Squad (Musafira Rahmania, Nurul Shabrina M., Saskia
Maulina, Syafrina Aulia Sari dan Ananda Nur Aulia Ansar) dan CC (Aisyah
Amartria, Agus Selviana dan Nur Jannatul M.) teman perjalanan sejak SMA
yang selalu mengingatkan, memberikan semangat, menghibur dan
mendukung penulis selama penyusunan tulisan ini.
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
memberikan semangat, dukungan, serta masukan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan
kritik dan saran dari berbagai pihak yang membangun guna kesempurnaan tulisan
ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi wawasan dan pengetahuan
serta dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Samarinda, 19 Mei 2022

Al Fitri Syawal

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


ABSTRAK ............................................................................................................ iii
ABSTRACT ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR SIMBOL .................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 5
2.1 Peramalan ............................................................................................. 5
2.2 Analisis Runtun Waktu ........................................................................ 6
2.3 Uji Bartlett of Sphericity ...................................................................... 8
2.4 Periodogram ....................................................................................... 10
2.5 Uji Stasioneritas Data......................................................................... 12
2.6 Autocorrelation Function dan Partial Autocorrelation Function...... 14
2.7 Model Linier Stasioner....................................................................... 17
2.8 Model Linier Nonstasioner ................................................................ 18
2.9 Estimasi Parameter Model ................................................................. 19
2.10 Pengujian Signifikansi Parameter ...................................................... 20
2.11 Uji Diagnostik Model ......................................................................... 21
2.12 Pemilihan Model Terbaik................................................................... 22
2.13 Fungsi Transfer .................................................................................. 23
2.14 Model Fungsi Transfer Multi Input .................................................... 24
2.14.1 Pre-whitening Runtun Input dan Output.............................. 25

vii
2.14.2 Perhitungan Korelasi Silang (Cross Correlation) Dan
Autocorrelation untuk Runtun Input dan Runtun Output ... 26
2.14.3 Penetapan (r, s, b) untuk Model Fungsi Transfer................. 26
2.14.4 Pengujian pendahuluan Runtun Gangguan (Noise Series) .. 28
2.14.5 Penetapan Model ARIMA dari Runtun Gangguan (Noise
Series) .................................................................................. 29
2.14.6 Penaksiran Parameter-Parameter Model Fungsi Transfer ... 29
2.14.7 Uji Disgnostik Model Fungi Transfer .................................. 30
2.15 Ketetapan Metode Peramalan ............................................................ 31
2.16 Curah Hujan ....................................................................................... 32
2.16.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Curah Hujan ............... 33
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 35
3.1 Rancangan Penelitian ......................................................................... 35
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 35
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ......................................................... 36
3.4 Variabel Penelitian ............................................................................. 36
3.5 Teknik Sampling ................................................................................ 36
3.6 Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 36
3.7 Teknik Analisis Data .......................................................................... 37
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 42
4. 1 Deskripsi Data .................................................................................... 42
4. 2 Uji Independensi Antar Variabel ....................................................... 46
4. 3 Pemodelan ARIMA Curah Hujan di Kota Samarinda ....................... 50
4.3.1 Pemeriksaan Pola Data ........................................................ 50
4.3.2 Pengujian Pola Musiman menggunakan Analisis Periodogram
.............................................................................................. 51
4.3.3 Pemeriksaan Stasioneritas Data Curah Hujan...................... 56
4.3.4 Pengujian Signifikansi Parameter Model ARIMA .............. 61
4.3.5 Pemeriksaan Diagnostik Data Model ARIMA .................... 64
4.3.6 Pemilihan Model ARIMA Terbaik ...................................... 67

viii
4.3.7 Peramalan Curah Hujan di Kota Samarinda Menggunakan
Model ARIMA Terbaik ....................................................... 68
4. 4 Pemodelan Fungsi Transfer Curah Hujan di Kota Samarinda ........... 70
4.4.1 Pemodelan ARIMA Runtun Input Kelembapan Udara (𝑿𝟏𝒕)
.............................................................................................. 70
a. Pemeriksaan Pola Data 𝑿𝟏𝒕................................................. 70
b. Pemeriksaan Stasioneritas data 𝑿𝟏𝒕 .................................... 71
c. Pengujian Signifikansi Parameter Model ARIMA .............. 76
d. Pemeriksaan Diagnostik Model ARIMA ............................. 77
e. Pemilihan Model Terbaik ARIMA Data 𝑿𝟏𝒕 ...................... 80
4.4.2 Pemodelan ARIMA Runtun Input Kecepatan Angin (𝑿𝟐𝒕) 81
b. Pemeriksaan Stasioneritas Data 𝑿𝟐𝒕 ................................... 82
c. Pengujian Signifikansi Parameter Model ARIMA .............. 87
d. Pemeriksaan Diagnostik Model ARIMA ............................. 88
e. Pemilihan Model Terbaik ARIMA Data 𝑿𝟐𝒕 ...................... 91
4.4.3 Menetapkan Model ARIMA Runtun Input Suhu Udara (𝑿𝟑𝒕)
.............................................................................................. 92
b. Pemeriksaan Stasioneritas Data 𝑿𝟑𝒕 ................................... 92
4.4.4 Menetapkan Model ARIMA Runtun Input Tekanan Udara
(𝑿𝟒𝒕) .................................................................................... 93
b. Pemeriksaan Stasioneritas Data 𝑿𝟒𝒕 ................................... 94
4. 5 Pre-whitening Runtun Input Kelembapan Udara (𝑿𝟏𝐭) dan Kecepatan
Angin (𝑿𝟐𝐭) ....................................................................................... 95
4. 6 Pre-whitening Runtun Output Curah Hujan (𝒀𝒕)𝟑 ............................ 95
4. 7 Penentuan Orde Model Fungsi Transfer ............................................ 96
4. 8 Penaksiran Parameter Model Awal Fungsi Transfer ......................... 97
4. 9 Pemodelan ARIMA untuk Runtun Noise Model Awal Fungsi Transfer
............................................................................................................ 98
4. 10 Pemodelan Fungsi Transfer Multi Input .......................................... 101
4.11.1 ......... Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model Fungsi
Transfer Multi Input Akhir .............................................................. 101

ix
4.11.2 ............... Pemeriksaan Diagnostik Model Fungsi Transfer Multi Input
.......................................................................................................... 103
4.11.3 .............. Peramalan Menggunakan Model Fungsi Transfer Multi Input
.......................................................................................................... 105
4. 11 Perbandingan Model ARIMA (6, 1, 1) dan Model Fungsi Transfer 106
BAB 5 PENUTUP ............................................................................................. 107
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 107
5.2 Saran ................................................................................................. 107
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 109
LAMPIRAN ....................................................................................................... 116

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Nilai kritis 𝜶 = 𝟎, 𝟎𝟓 untuk Nili Periodogram Terbesar .................... 13


Tabel 2.2 Transformasi Box-Cox ......................................................................... 13
Tabel 2.3 Pola Umum ACF dan PACF untuk model AR dan MA ..................... 16
Tabel 2.4 Model Fungsi Transfer dengan 𝒓 = 𝟎 .. Error! Bookmark not defined.
Tabel 2.5 Model Fungsi Transfer dengan 𝒓 = 𝟏 .. Error! Bookmark not defined.
Tabel 2.6 Model Fungsi Transfer dengan 𝒓 = 𝟐 .. Error! Bookmark not defined.
Tabel 4.1 Data Curah Hujan di Kota Samarinda (𝒎𝒎)..................................... 42
Tabel 4.2 Data Kelembapan Udara di Kota Samarinda (%) .............................. 43
Tabel 4.3 Data Kecepatan Angin di Kota Samarinda (m/det) ............................ 44
Tabel 4.5 Data Tekanan Udara di Kota Samarinda (𝒎𝒃) .................................. 45
Tabel 4.6 Analisis Periodogram Data Curah Hujan Kota Samarinda Periode
Januari 2016 sampai dengan Desember 2021 .................................... 53
Tabel 4.7 Model ARIMA Sementara Data Curah Hujan ................................... 62
Tabel 4.8 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model ARIMA ... 63
Tabel 4.9 Hasil Pengujian Kenormalan Residual .............................................. 65
Tabel 4.10 Pemilihan Model Terbaik menggunakan AIC ................................... 65
Tabel 4.11 Hasil Peramalan Curah Hujan di Kota Samarinda 12 Periode yang
Akan Datang....................................................................................... 65
Tabel 4.12 Model ARIMA Sementara Data Kelembapan Udara......................... 77
Tabel 4.13 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model ARIMA ... 78
Tabel 4.14 Hasil Pengujian Kenormalan Residual .............................................. 79
Tabel 4.15 Pemilihan Model Terbaik menggunakan AIC ................................... 82
Tabel 4.16 Model ARIMA Sementara Data Kelembapan Udara......................... 88
Tabel 4.17 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model ARIMA ... 89
Tabel 4.18 Hasil Pengujian Kenormalan Residual .............................................. 92
Tabel 4.19 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model Awal Fungsi
Transfer Kelembapan Udara ............................................................ 102
Tabel 4.20 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model Awal Fungsi
Transfer Kecepatan Angin ............................................................... 102

xi
Tabel 4.21 Uji Cross Correlation 𝑿𝟏𝒕 dan Y ..................................................... 103
Tabel 4.22 Uji Cross Correlation 𝑿𝟐𝒕 dan Y ..................................................... 103
Tabel 4.23 Model ARIMA runtun noise 𝑿𝟏𝒕 ..................................................... 105
Tabel 4.24 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model Runtun Noise
𝑿𝟏𝒕 .................................................................................................... 106
Tabel 4.25 Pemilihan Model Runtun Noise Terbaik menggunakan AIC .......... 107
Tabel 4.26 Model ARIMA runtun noise 𝑿𝟐𝒕 ..................................................... 108
Tabel 4.27 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model Runtun Noise
𝑿𝟐𝒕 .................................................................................................... 109
Tabel 4.28 Pemilihan Model Runtun Noise Terbaik menggunakan AIC .......... 110
Tabel 4.29 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model Fungsi
Transfer ............................................................................................ 112
Tabel 4.30 Hasil output Cross Correlation pada Model Fungsi Transfer ........ 112
Tabel 4.31 Hasil output Autocorrelation pada Model Fungsi Transfer ............ 113
Tabel 4.32 Hasil Peramalan Curah Hujan di Kota Samarinda 12 Periode yang
Akan Datang .................................................................................... 115

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pola data horizontal ........................................................................... 7


Gambar 2.2 Pola data tren ..................................................................................... 7
Gambar 2.3 Pola data musiman ............................................................................ 7
Gambar 2.4 Pola data siklis .................................................................................. 8
Gambar 3.1 Rancangan penelitian ...................................................................... 35
Gambar 3.2 Tahapan analisis data ....................... Error! Bookmark not defined.
Gambar 4.1 Grafik data runtun waktu curah hujan di Kota Samarinda ............ 50
Gambar 4.2 Grafik Periodogram ....................................................................... 55
Gambar 4.3 Grafik Box-Cox curah hujan ......................................................... 57
Gambar 4.4 Grafik data runtun waktu curah hujan setelah di transformasi ...... 58
Gambar 4.5 Grafik ACF data curah hujan setelah transformasi ....................... 58
Gambar 4.6 Grafik ACF data curah hujan setelah transformasi dan differencing
orde 1 60
Gambar 4.7 Grafik data runtun waktu curah hujan setelah di transformasi dan
differencing orde 1......................................................................... 61
Gambar 4.8 Grafik ACF data curah hujan setelah transformasi dan differencing
orde 1 61
Gambar 4.9 Grafik pengujian Ljung-Box data curah hujan .............................. 67
Gambar 4.10 Grafik data aktual dan hasil ramalan curah hujan di Kota Samarirnda
....................................................................................................... 71
Gambar 4.11 Grafik data runtun waktu kelembapan udara di Kota Samarinda . 71
Gambar 4.12 Grafik Box-Cox kelembapan udara ............................................... 72
Gambar 4.13 Grafik data runtun waktu kelembapan udara di Kota Samarinda . 73
Gambar 4.14 Grafik ACF data kelembapan udara setelah transformasi ............. 73
Gambar 4.15 Grafik ACF data kelembapan udara setelah transformasi dan
differencing orde 1......................................................................... 75
Gambar 4.16 Grafik data runtun waktu kelembapan setelah di transformasi dan
differencing orde 1......................................................................... 76

xiii
Gambar 4.17 Grafik PACF data kelembapan udara setelah transformasi dan
differencing orde 1 76
Gambar 4.18 Grafik pengujian Ljung-Box data kelembapan udara .................... 80
Gambar 4.19 Grafik data runtun waktu kecepatan angin di Kota Samarinda ..... 82
Gambar 4.20 Grafik Box-Cox kecepatan angin .................................................. 83
Gambar 4.21 Grafik data runtun waktu kecepatan angin di Kota Samarinda ..... 84
Gambar 4.22 Grafik ACF data kecepatan angin setelah transformasi ................ 84
Gambar 4.23 Grafik ACF data kecepatan angin setelah transformasi dan
differencing orde 1......................................................................... 86
Gambar 4.24 Grafik data runtun waktu kecepatan angin setelah di transformasi
dan differencing orde 1 .................................................................. 87
Gambar 4.25 Grafik PACF data kelembapan udara setelah transformasi dan
differencing orde 1 87
Gambar 4.26 Grafik pengujian Ljung-Box data kelembapan udara .................... 93
Gambar 4.27 Grafik data runtun waktu suhu udara di Kota Samarinda ............. 95
Gambar 4.28 Grafik Box-Cox suhu udara .......................................................... 96
Gambar 4.29 Grafik data runtun waktu tekanan udara di Kota Samarinda ........ 97
Gambar 4.30 Grafik Box-Cox tekanan udara...................................................... 97
Gambar 4.31 Grafik CCF antara curah hujan dengan kelembapan udara ......... 100
Gambar 4.32 Grafik CCF antara curah hujan dengan kecepatan angin ............ 100
Gambar 4.33 Grafik ACF runtun noise X1t ...................................................... 104
Gambar 4.34 Grafik PACF runtun noise X1t ................................................... 104
Gambar 4.35 Grafik ACF runtun noise X2t ...................................................... 107
Gambar 4.36 Grafik PACF runtun noise X2t ................................................... 108
Gambar 4.37 Grafik peramalan curah hujan di Kota Samarinda menggunakan
model fungsi transfer 116

xiv
DAFTAR SIMBOL

Simbol Arti
𝛼 Taraf signifikansi
n Banyaknya data pengamatan
𝑚 Banyaknya variabel penelitian
t Indeks waktu
𝑰 Matriks identitas
|𝑹| Determinan matriks korelasi antar variabel
𝑎𝑖 Parameter 𝑎 koefisien Fourier ke-𝑖
𝑏𝑖 Parameter 𝑏 koefisien Fourier ke-𝑖
𝜋 Radian 180⋄
𝐼(𝜔𝑖 ) Nilai periodogram pada frekuensi Fourier ke-𝑖

𝐼 (1) (𝜔(1) ) Nilai maksimum periodogram

𝑇 Statistik hitung analisis periodogram


gα Nilai kritis untuk nilai periodogram
𝑊𝑡 Hasil differencing data pengamatan pada waktu ke-𝑡
𝑍𝑡 Data pengamatan pada waktu ke-𝑡
𝜆 Parameter transformasi
d Orde differencing
B Operator backshift (operator mundur)
(1 − 𝐵)𝑑 Differencing orde ke-𝑑
∆𝑍𝑡 Differencing pertama dari 𝑍𝑡
𝜇 Koefisien regresi untuk lag
𝛾 Koefisien regresi untuk lag differencing
𝑒𝑡 Noise pada waktu ke-𝑡
𝜇̂ Nilai estimasi dari 𝜇
SE(𝜇̂ ) Standard error dari 𝜇̂

xv
p Orde autoregressive
q Orde moving average
𝑍𝑡+𝑘 Nilai pada waktu ke 𝑡+𝑘
k Nilai lag
𝜙𝑝 Parameter autoregressive orde ke-𝑝
𝜃𝑞 Parameter moving average orde ke-𝑞
Dhitung Statistik uji Kolmogorov-Smirnov
𝑌𝑡 Runtun output ke-𝑡
𝑋𝑡 Runtun input ke-𝑡
et-q Noise pada waktu ke 𝑡-𝑞
𝜏𝛼:𝑑𝑏 Tabel dari uji McKinnon
𝑛𝑝 Banyaknya parameter
𝐹0 (𝑍) Fungsi distribusi kumulatif normal
𝑆𝑛 (𝑍) Fungsi distribusi kumulatif sampel
Q Nilai statistik uji Ljung-Box
𝑄0 Statistik hitung dari uji korelasi silang (cross
correlation)
𝑄1 Statistik hitung dari uji autocorrelation
𝜌𝑘 Autocorrelation function pada lag ke-k
𝜙𝑘𝑘 Partial autocorrelation function pada lag ke-k
𝑡ℎ𝑖𝑡 Statistik hitung dari uji t
𝑡𝛼⁄2:𝑑𝑏 Tabel distribusi 𝑡 untuk tingkat signifikansi sebesar
𝛼⁄ dan derajat bebas adalah 𝑑𝑏
2
𝜏 Parameter model ARIMA (mencakup 𝜙, 𝜃, dan 𝜇)
𝑛𝑡 Variabel error (runtun noise)
𝑣(𝐵) Koefisien model fungsi transfer
𝑣̂(𝐵) Penaksiran fungsi parameter sementara
𝑣𝑗 (𝐵) Fungsi transfer runtun input ke-𝑗
𝑏, r, s Orde model fungsi transfer

xvi
𝜔𝑠 (𝐵) Operator dengan orde 𝑠
𝛿𝑟 (𝐵) Operator dengan orde 𝑟

xvii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Aswi dan Sukarna (2006), Peramalan merupakan suatu teknik untuk
memperkirakan suatu nilai pada masa yang akan datang dengan memperhatikan
data masa lalu maupun data saat ini. Metode peramalan dapat dibagi dalam dua
kategori utama, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kualitatif
lebih banyak menuntut analisis yang didasarkan pada pemikiran intuitif, pemikiran
logis dan informasi atau pengetahuan yang telah diperoleh peneliti sebelumnya.
Metode kualitatif biasanya digunakan untuk peramalan jangka pendek. Sedangkan
untuk metode kuantitatif adalah metode peramalan yang didasarkan pada data masa
lalu (data historis) yang berbentuk angka atau nilai. Metode peramalan secara
kuantitatif mendasarkan ramalannya pada metode statistika dan matematika.
Terdapat dua jenis metode peramalan kuantitatif yaitu, metode runtun waktu (time
series) dan metode regresi.
Menurut Hanke dan Wicheren (2005), runtun waktu adalah himpunan
observasi data terurut dalam waktu. Metode runtun waktu adalah metode peramalan
dengan menggunakan analisa pola hubungan antara variabel yang akan
diperkirakan dengan variabel waktu. Peramalan data runtun waktu perlu
memperhatikan pola data, data yang digunakan adalah data yang dikumpulkan
secara periodik berdasarkan urutan waktu, bisa dalam jam, hari, minggu, bulan,
kuartal dan tahun.
Peramalan data runtun waktu dapat dilakukan untuk satu variabel (univariat)
dan banyak variabel (multivariat). Misalnya dalam bidang pemasaran, volume
penjualan tergantung pada metode pemasaran, bentuk promosi dan bidang
pemasaran yang masing-masing memiliki lebih dari satu jenis faktor. Jika analisis
peramalan hanya berdasarkan volume penjualan tanpa memperhitungkan faktor-
faktor yang mempengaruhinya, maka informasi tentang pengukuran keberhasilan
pemasaran tidak lengkap, sehingga tidak mencapai tujuan peramalan sepenuhnya.
Menurut Aldrian (2011). Peran peramalan dieksplorasi di berbagai bidang,
termasuk bidang meteorologi yang berkaitan dengan prakiraan cuaca dan curah
hujan. Curah hujan adalah banyaknya air yang jatuh ke permukaan bumi dalam
satuan milimeter (𝑚𝑚) per satuan luas 1𝑚2 dengan catatan tidak ada yang
menguap, meresap atau mengalir. Intensitas curah hujan merupakan ukuran jumlah
hujan per satuan waktu tertentu selama hujan berlangsung. Banjir terjadi jika
intensitas curah hujan cenderung meningkat dari 125 𝑚𝑚/hari sampai dengan lebih
dari 500 𝑚𝑚/hari (BMKG, 2013). Metode yang umum digunakan untuk
memprediksi curah hujan adalah Fuzzy Time Series, Autoregressive Integrated
Moving Average with Exogenous (ARIMAX), Seasonal Autoregressive Integrated
Moving Average (SARIMA), Autoregressive Integrated Moving Average
(ARIMA). Model ARIMA adalah model Autoregressive Moving Average (ARMA)
nonstasioner yang telah didifferenciing sehingga menjadi model stasioner.
Salah satu penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Aprialis (2010) mengenai
peramalan curah hujan menggunakan perbandingan model ARIMA dan fungsi
transfer dengan studi kasus curah hujan dan kelembapan udara di Kota Semarang.
Penelitian tersebut menyatakan bahwa peramalan model fungsi transfer lebih baik
dibandingkan dengan model ARIMA. Penulis menyarankan untuk penelitian
selanjutnya agar menggunakan lebih banyak variabel input yang merupakan faktor-
faktor berpengaruh terhadap curah hujan. Hidayah (2015) melakukan penelitian
mengenai perbandingan model ARIMA dan fungsi transfer di Kabupaten
Wonosobo, penelitian tersebut menyatakan adanya hubungan antara curah hujan
dengan suhu dan kelembapan udara. Fathurahman (2009) melakukan pemodelan
fungsi transfer multi input dengan studi kasus curah hujan di Kota Surabaya Periode
1989-2002, pemodelan ini menunjukkan bahwa kelembapan udara, temperatur dan
kecepatan angin dapat dijadikan prediktor yang signifikan untuk mengukur tingkat
curah hujan pada waktu ke-t. Data curah hujan, suhu dan kelembapan merupakan
data runtun waktu yang memiliki karakteristik data yang tidak saling bebas. Hal
inilah yang mendasari model fungsi transfer untuk diterapkan dalam meramalkan
curah hujan.
Menurut Makridakis dan Hibon (1995) model fungsi transfer adalah suatu
model peramalan runtun waktu berganda yang menggabungkan beberapa
karakteristik dari model ARIMA univariat dengan beberapa karakteristik analisis
regresi berganda. Model fungsi transfer merupakan pengembangan dari metode
ARIMA yang modelnya terdiri dari dua variabel tetapi masing-masing variabel
mempunyai model ARIMA tertentu. Fungsi transfer single input menggambarkan
nilai prediksi dari suatu runtun waktu yang mempunyai hubungan terhadap variabel
input. Sedangkan, pada fungsi transfer multi input terdapat beberapa variabel input
yang dimasukkan pada suatu pemodelan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan peramalan curah hujan
di Kota Samarinda. Secara geografis Kota Samarinda memiliki rata-rata curah
hujan berkisar 181,5833 mm3 pertahun sejak 2015-2021. Karakteristik iklim
sepanjang tahun 2020 di Kota Samarinda memiliki suhu tertinggi 36,20℃ dengan
curah hujan tertinggi pada bulan September dan hari hujan terbanyak pada bulan
Agustus (BPS Samarinda, 2020). Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan
penelitian ilmiah dengan judul “Peramalan Curah Hujan di Kota Samarinda dengan
Menggunakan model Autoregressive Integrated Moving Average dan Fungsi
Transfer”.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana model ARIMA yang dapat meramalkan curah hujan di Kota
Samarinda?
2. Bagaimana model fungsi transfer yang menjelaskan hubungan antara
kelembapan udara, suhu udara, kecepatan angin, dan tekanan udara terhadap
curah hujan di Kota Samarinda??
3. Bagaimana perbandingan hasil peramalan curah hujan di Kota Samarinda
dengan model ARIMA dan fungsi transfer?
4. Bagaimana hasil peramalan curah hujan periode Januari sampai dengan
Desember Tahun 2022?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Memperoleh model ARIMA yang dapat meramalkan curah hujan di Kota
Samarinda.
2. Memperoleh model fungsi transfer yang menjelaskan hubungan antara
kelembapan udara, suhu udara, kecepatan angin, dan tekanan udara terhadap
curah hujan di Kota Samarinda.
3. Memperoleh perbandingan hasil peramalan curah hujan di Kota Samarinda
dengan model ARIMA dan fungsi transfer.
4. Memperoleh hasil peramalan curah hujan Januari sampai dengan Desember
Tahun 2022.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Sebagai salah satu aplikasi penerapan konsep model peramalan menggunakan
model ARIMA dan fungsi transfer.
2. Dapat membantu pemerintah dalam mempersiapkan program untuk
mengantisipasi bencana banjir di Kota Samarinda.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peramalan
Menurut Aswi dan Sukarna (2006), peramalan adalah bagian dari proses
pengambilan keputusan. Keputusan yang efektif dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang tidak dapat dilihat pada waktu keputusan itu diambil. Peramalan merupakan
salah satu cara untuk meramalkan suatu nilai pada masa yang akan datang dengan
memperhatikan data masa lalu maupun data masa kini. Menurut Makridakis,
Wheelwright dan McGree (1999), peramalan memiliki tujuan sebagai penduga
perubahan yang akan terjadi dan dilakukan untuk menghadapi kondisi yang tidak
pasti dengan cara meminimumkan kesalahan dalam meramalkan melalui
pengukuran tingkat akurasi peramalan.
Menurut Aswi dan Sukarna (2006), metode peramalan dibedakan menjadi
dua kategori yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kualitatif
adalah peramalan menurut argumen suatu pihak dan data tidak dapat
direpresentasikan secara tegas menjadi suatu nilai atau angka. Metode kualitatif
pada umumnya digunakan untuk mengetahui ramalan jangka pendek. Metode
kuantitatif adalah metode peramalan yang didasarkan pada data masa lalu (data
historis) yang berbentuk angka atau nilai. Metode peramalan ini membutuhkan
informasi masa lalu yang dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik, sehingga
data tersebut dapat diramalkan menggunakan metode statistika dan matematika.
Metode peramalan kuantitatif dibagi menjadi dua, yaitu metode runtun waktu
dan metode regresi. Metode runtun waktu yaitu metode yang digunakan untuk
meramalkan masa depan dengan menggunakan data historis. Metode runtun waktu
mencoba melihat apa yang terjadi pada masa mendatang dengan menggunakan data
masa lalu untuk meramalkannya. Sedangkan, metode regresi adalah metode analisis
yang dilakukan dengan memasukkan dan menguji variabel-variabel yang diduga
memengaruhi variabel terikat (Makridakis, Wheelwright dan McGree, 1999).
2.2 Analisis Runtun Waktu
Analisis runtun waktu digunakan untuk melakukan analisis data yang
mempertimbangkan pengaruh waktu. Analisis runtun waktu dapat dilakukan
peramalan data beberapa periode ke depan yang sangat membantu dalam menyusun
perencanaan ke depan. Metode runtun waktu yang telah berkembang antara lain:
Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA), moving average,
exponential smoothing, dan time series regression. Metode runtun waktu ini disebut
sebagai metode runtun waktu klasik (Makridakis, Wheelwright dan McGree, 1999).
Analisis runtun waktu adalah salah satu metode statistika yang digunakan untuk
mengolah data runtun waktu sehingga diperoleh model pada peramalan (Aswi dan
Sukarna, 2006).
Suatu urutan pengamatan memiliki model runtun waktu jika memenuhi
asumsi berikut (Aswi dan Sukarna, 2006) :
1. Interval waktu dapat dinyatakan dalam satuan waktu yang sama.
2. Adanya hubungan antara kejadian masa mendatang terhadap masa sebelumnya
atau lebih dikenal dengan istilah adanya autocorrelation antara suatu variabel
pada waktu tertentu dengan variabel itu sendiri pada waktu-waktu sebelumnya.
3. Data masa depan mengikuti pola data yang terjadi di masa lalu.
Metode peramalan runtun waktu memiliki tujuan untuk menemukan pola
pada runtun historis dan meramalkan nilai pola tersebut ke masa yang akan datang.
Menurut Makridakis, Wheelwright dan McGree (1999), langkah penting dalam
memilih model runtun waktu yang sesuai yaitu dengan memperhatikan jenis pola
data, sehingga model yang sesuai dengan pola tersebut dapat dianalisis pola data
dapat dibedakan menjadi 4 jenis yaitu:
1. Pola horizontal, pola data ini terjadi jika data berfluktasi disekitar rata-rata yang
konstan. Runtun seperti ini stasioner terhadap nilai rata-ratanya. Bentuk pola
horizontal pada umumnya ditunjukkan seperti Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Pola data horizontal

2. Pola tren, pola data ini terjadi jika terdapat kenaikan atau penurunan sekuler
jangka panjang dalam data. Bentuk pola tren ditunjukkan seperti Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Pola data tren

3. Pola Musiman, pola data ini terjadi jika suatu runtun dipengaruhi oleh faktor
musiman, Komponen musiman menunjukkan pola perubahan yang berulang-
ulang secara periodik. Bentuk pola musiman ditunjukkan seperti Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Pola data musiman


4. Pola Siklis, pola data ini terjadi jika datanya dipengaruhi oleh fluktuasi ekonomi
jangka panjang seperti yang berhubungan dengan siklus bisnis. Bentuk pola
siklis ditunjukkan seperti Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Pola data siklis

2.3 Uji Bartlett of Sphericity


Uji Bartlett of Sphericity merupakan salah satu pengujian korelasi dengan
menggunakan hipotesis statistik untuk mengetahui hubungan antara semua variabel
pengamatan dalam kasus multivariat. Langkah-langkah uji hipotesis Bartlett of
Sphericity adalah sebagai berikut:
Hipotesis
H 0 : R = I (tidak terdapat korelasi antar variabel)

H1 : R  I (terdapat korelasi antar variabel)


Statistik Uji
2 2𝑚−5
𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = − (𝑛 − 1 − ) 𝑙𝑛|𝑹| (2.1)
6

dengan,
ry1y1 ry1y2 ⋯ ry1ym
ry2y1 ry2y2 ⋯ ry2ym
R= [ ⋮ ] (2.2)
⋮ ⋮ ⋱
rymy1 rymy2 ⋯ rymym
Keterangan:
I : matriks identitas berukuran m  m

𝑚 : banyak variabel penelitian


n : banyak data pengamatan
ryiyj : koefisien korelasi antara variabel ke-i dan variabel ke-j

R : determinan dari matriks korelasi antar variabel

Daerah Penolakan
H 0 ditolak jika  2 hitung   2 ;1 2m m 1 , artinya terdapat korelasi antar variabel

yang diujikan
Penentuan koefisien korelasi denganmenggunakan metode analisis korelasi
Pearson dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
∑𝑛𝑡=1(𝑦1𝑡 − 𝑦̅1𝑡 )(𝑦2𝑡 − 𝑦̅2𝑡 )
𝑟𝑦𝑖𝑦𝑗 = (2.3)
√∑𝑛𝑡=1(𝑦1𝑡 − 𝑦̅1𝑡 )2 ∑𝑛𝑡=1(𝑦2𝑡 − 𝑦̅2𝑡 )2
dari hasil yang diperoleh dengan rumus di atas, dapat diketahui tingkatpengaruh
variabel 𝑦𝑖 dan variabel 𝑦𝑗 . Pada hakikatnya nilai r dapat bervariasi dari -1 hingga
+1, atau secara matematis dapat ditulis menjadi -1 ≤ r ≤ +1. Hasil dariperhitungan
akan memberikan tiga alternatif, yaitu:
a. Bila r = 0 atau mendekati 0, maka korelasi antar kedua variabel sangat lemahatau
tidak terdapat hubungan antara variabel 𝑦𝑖 dan variabel 𝑦𝑗 .
b. Bila r = +1 atau mendekati +1, maka korelasi antar kedua variabel adalah kuatdan
searah, dikatakan positif.
c. Bila r = -1 atau mendekati -1, maka korelasi antar kedua variabel adalah kuatdan
berlawanan arah, dikatakan negatif.
Sebagai bahan penafsiran terhadap koefisien korelasi yang ditemukan besaratau
kecil, maka dapat berpedoman pada ketentuan berikut ini:

Tabel 2.1 Pedoman untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi


Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat Lemah
0,20 – 0,399 Lemah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat Kuat
(Sugiyono, 2013).
2.4 Periodogram
Periodogram merupakan fungsi spektrum kuasa atas frekuensinya.
Sedangkan untuk menelaah perioditas data dilakukan terhadap frekuensi yang
berpasangan dengan titik-titik puncak garis spektrumnya. Persamaan periodogram
dapat dituliskan sebagai berikut (Wei, 2006) :
𝑛(𝑎𝑖2 +𝑏𝑖2 ) 𝑖 = 1, 2, … , [𝑛 − 1)/2] jika 𝑛 ganjil dan
𝐼(𝜔𝑖 )= ,{ (2.4)
2 𝑖 = 1, 2, … , [(𝑛/2) − 2]ika 𝑛 genap,
di mana 𝑎𝑖 dan 𝑏𝑖 merupakan koefisien Fourier yang dituliskan sebagai berikut :
n
1
[∑ ft cos(𝜔𝑖 𝑡)] , n
n i=0 dan i= 2 jika n genap,
t=1
ai = n 𝑖 = 1, 2, … , [𝑛 − 1)/2] jika 𝑛 ganjil dan (2.5)
2
[∑ ft cos(𝜔𝑖 𝑡)] , 𝑖 = 1, 2, … , [(𝑛) − 2] jika 𝑛 genap,
{ n 2
t=1

N
2 𝑖 = 1, 2, … , [𝑛 − 1)/2] jika 𝑛 ganjil dan
bi = [∑ Zt sin(𝜔𝑖 𝑡)] , (2.6)
n 𝑖 = 1, 2, … , [(𝑛/2) − 2]ika 𝑛 genap,
t=1
2𝜋𝑖 𝑛
𝜔𝑖 = di mana 𝑖 = 0, 1, 2, … , 2 (2.7)
𝑛

Tahapan selanjutnya dalam analisis mengguakan periodogram adalah


pengujian hipotesis. Hipotesis dalam analisis periodogram dilakukan untuk
mengetahui apakah data pengamatan dipengaruhi oleh faktor musiman. Pengujian
dapat dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut (Wei, 2006) :
Hipotesis
𝐻0 : 𝑎𝑖 = 𝑏𝑖 = 0, i = 0, 1, 2, … , 36
(Tidak terdapat pola musiman)
𝐻1 : 𝑎𝑖 ≠ 𝑏𝑖 ≠ 0, i = 0, 1, 2, … , 36
(Terdapat pola musiman)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 5%
Statistik Uji
𝐼 (1) (𝜔(1) )
𝑇= (2.8)
∑𝑛/2
𝑖=1 𝐼 (𝜔(𝑖) )
Daerah Penolakan
Menolak 𝐻0 jika 𝑇 > gα.
di mana,
𝐼 (1) (𝜔(1) ) : max{𝐼(𝜔𝑖 )}
𝐼(𝜔𝑖 ) : nilai periodogram pada frekuensi Fourier ke−𝑖
Nilai g α terbagi menjadi dua jenis, yaitu g α by exact formula dan g α by first
term only. Persamaan untuk memperoleh nilai g α by exact formula dapat
ditunjukkan sebagai berikut:
𝑚∗
𝑁
𝑃(𝑇 > g) = ∑(−1)(𝑗−1) ( ) (1 − 𝑗𝑔)𝑁−1 (2.9)
𝑗
𝑗=1

dengan g > 0 dan 𝑚∗ merupakan integer terbesar yang kurang dari 1⁄g. Jadi untuk
setiap 𝛼 taraf signifikansi tertentu, dapat dignakan Persamaan (2.8) untuk
menemukan nilai kritis g α seperti berikut :
𝑃(𝑇 > g) = 𝛼 (2.10)
sedangkan untuk memperoleh g α by first term only diperoleh dengan pendekatan
dari Persamaan (2.9), sehingga diperoleh:
𝑃(𝑇 > g) ≃ 𝑁(1 − g)𝑁−1 (2.11)
Hasil g α by first term only hampir sama atau tidak jauh berbeda, bahkan
untuk sampel kecil bernilai sama dengan g α by exact formula. Sehingga untuk
mendapatkan nilai g α sampel besar lebih disarankan by first term only karena alasan
kepraktisan (Darmawan, Handoko dan Zulhanif, 2017). Hasil perhitungan by first
term only dapat ditunjukkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Nilai kritis 𝛼 = 0,05 untuk Nilai Periodogram Terbesar

N gα by first term only

5 0,6838

10 0,4450

15 0,3364
Tabel 2.2 Nilai kritis 𝛼 = 0,05 untuk Nilai Periodogram Terbesar (Lanjutan)

N gα by first term only

20 0,2705

25 0,2281

30 0,1979

35 0,1753

40 0,5175

45 0,1432

50 0,1315

N=(n-1)/2 jika n ganjil dan N=(n/2)-1 jika n genap


Sumber: Darmawan, Handoko dan Zulhanif (2017)

2.5 Uji Stasioneritas Data


Stasioneritas pada data runtun waktu ditunjukkan apabila rata-rata dan
variansinya konstan setiap waktu. Cara untuk menstasionerkan data terhadap
variansi digunakan transformasi Box-Cox. Box-Cox (1964) dalam Aswi dan Sukarn
(2006) memperkenalkan transformasi berpangkat (power transformation) sebagai
berikut:
Zλt -1
, λ≠0
Z*t = { λ (2.12)
ln Zt , λ=0
Transformasi pada Persamaan (2.10) sering disebut transformasi Box-Cox
untuk data yang bernilai positif (Zt > 0) di mana 𝜆 adalah parameter transformasi.
Apabila data bernilai negatif, maka dapat dilakukan penambahan dengan suatu
konstanta sehingga transformasi dapat dilakukan. Tabel 2.3 merupakan beberapa
nilai 𝜆 yang biasa digunakan pada transformasi Box-Cox.
Tabel 2.3 Transformasi Box-Cox
Nilai Estimasi 𝝀 Transformasi
-1 1⁄𝑍𝑡
-0,5 1⁄√𝑍𝑡
0 ln 𝑍𝑡
0,5 √𝑍𝑡
1 𝑍𝑡 (tidak ada transformasi)
Sumber : Aswi dan Sukarna (2006)
Terdapat beberapa ketentuan untuk stasioneritas variansi, yaitu:
1. Transformasi boleh dilakukan hanya untuk 𝑍(𝑡) yang positif.
2. Transformasi dilakukan sebelum melakukan pembedaan dan pemodelan runtun
waktu.
3. Transformasi tidak hanya menstabilkan variansi, tetapi juga dapat membuat
distribusi menjadi normal.
Setelah data telah stasioner dalam variansi, selanjutnya dilakukan identifikasi
kestasioneran data terhadap rata-rata. Identifikasi kestasioneran terhadap rata-rata
dapat dilakukan secara visual dengan menggunakan time series plot dan
menggunakan plot ACF. Data runtun waktu bersifat stasioner terhadap rata-rata jika
plot time series berfluktuasi disekitar nilai rata-rata yang konstan. Apabila data time
series tidak stasioner dalam rata-rata, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
differencing. Rumus differencing secara umum adalah sebagai berikut (Wei, 2006).
Wt =(1-B)d Zt (2.13)
di mana:
𝑑 = orde differencing
𝐵 = operator backshift (operator mundur)
Pengujian kestasioneran data dapat dilakukan menggunakan uji Augmented
Dickey Fuller (ADF). Adapun model dari uji ADF adalah sebagai berikut :
∆𝑍𝑡 = 𝜇𝑍𝑡−1 + ∑𝑛𝑖=2 𝛾𝑖 ∆𝑍𝑡−1 + 𝑒𝑡 (2.14)

di mana,
∆𝑍𝑡 = differencing pertama dari 𝑍𝑡
𝜇 = koefisien regresi untuk lag
𝛾 = koefisien regresi untuk lag differencing
𝑒𝑡 = noise pada waktu ke−𝑡
Prosedur yang digunakan pada pengujian ADF adalah sebagai berikut:
Hipotesis
𝐻0 : 𝜇 = 0, (Data tidak stasioner dalam rata-rata)
𝐻1 : 𝜇 ≠ 0, (Data stasioner dalam rata-rata)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 5%
Statistik Uji
̂
𝜇
𝜏 = 𝑆𝐸(𝜇̂) (2.15)

Daerah Penolakan
Menolak 𝐻0 jika |𝜏| > |𝜏𝛼;𝑑𝑏 | atau p-value < 𝛼
𝜏𝛼;𝑑𝑏 diperoleh dari Tabel MacKinnon dengan 𝛼 adalah taraf signifikansi dan
db adalah derajat bebas dimana 𝑑𝑏 = 𝑛 − 𝑛𝑝 . 𝑛 adalah banyak data pengamatan
dan 𝑛𝑝 adalah banyaknya parameter dalam model (Widarjono, 2007).

2.6 Autocorrelation Function dan Partial Autocorrelation Function


Menurut Cryer (2008), Autocorrelation Function (ACF) dan Partial
Autocorrelation Function (PACF) dapat digunakan untuk menetapkan apakah
terdapat suatu pola autoregressive (AR), moving average (MA), autoregressive
moving average (ARMA), dan ARIMA dalam suatu kumpulan data. ACF
merupakan alat utama dalam menentukan model yang cocok pada suatu data
pengamatan. Menurut Wei (2006), dari proses stasioner suatu data runtun waktu 𝑍𝑡
diperoleh 𝐸(𝑍𝑡 ) = 𝜇, variansi var 𝑍𝑡 = 𝐸(𝑍𝑡 − 𝜇)2 = 𝜎 2 yang konstan dan
kovariansi cov(𝑍𝑡 , 𝑍𝑡+𝑘 ) yang fungsinya hanya ada pada perbedaan waktu. Maka
dari itu, dapat ditulis kovariansi antara 𝑍𝑡 dan 𝑍𝑡+𝑘 adalah:
𝛾𝑘 = 𝑐𝑜𝑣(𝑍𝑡 , 𝑍𝑡+𝑘 ) = 𝐸(𝑍𝑡 − 𝜇)(𝑍𝑡+𝑘 − 𝜇) `(2.16)
dan korelasi antara 𝑍𝑡 dan 𝑍𝑡+𝑘 didefinisikan sebagai berikut:
𝑐𝑜𝑣(𝑍𝑡 , 𝑍𝑡+𝑘 ) 𝛾𝑘
𝜌𝑘 = = (2.17)
√𝑣𝑎𝑟(𝑍𝑡 )𝑣𝑎𝑟(𝑍𝑡+𝑘 ) 𝛾0

dengan notasi var(𝑍𝑡 ) = var (𝑍𝑡+𝑘 ) = 𝛾0 sebagai fungsi k, 𝛾𝑘 , disebut fungsi


otokovariansi dan 𝜌𝑘 disebut ACF.
Menurut Makridakis, Wheelwright dan McGree (1999), koefisien
otokorelasi 𝜌𝑘 dapat diduga dengan persamaan sebagai berikut:
∑𝑛−𝑘 ̅ ̅
𝑡=1 (𝑍𝑡 − 𝑍𝑡 )(𝑍𝑡+𝑘 − 𝑍𝑡 )
𝜌𝑘 = 2 (2.18)
∑𝑛𝑡=1(𝑍𝑡 − 𝑍̅𝑡 )
di mana:
𝜌𝑘 = koefisien otokorelasi pada lag-𝑘
𝑘 = selisih waktu (lag)
𝑛 = banyak data pengamatan
Z̅t = rata-rata dari 𝑍𝑡
𝑍𝑡 = data pada waktu ke-𝑡
Zt+k = data pada waktu ke 𝑡+k
Koefisien otokorelasi memiliki makna yang hampir sama dengan koefisien
korelasi, yakni hubungan antara dua atau lebih variabel. Pada korelasi, hubungan
tersebut merupakan dua variabel yang berbeda pada waktu yang sama, sedangkan
pada otokorelasi, hubungan tersebut merupakan dua variabel yang sama dalam
rentang waktu yang berbeda. ACF digunakan untuk melihat apakah ada sifat MA
(moving average) dari suatu runtun waktu, yang dalam Persamaan ARIMA
direpresentasikan oleh besaran 𝑞. Besar nilai 𝑞 dinyatakan sebagai banyaknya nilai
ACF sejak lag 1 hingga lag ke−𝑘 yang terletak di luar selang kepercayaan secara
berturut-turut. Nilai 𝑞 pada umumnya bernilai 1 atau 2, sangat jarang ditemui suatu
model dengan nilai 𝑞 lebih dari 2. Grafik ACF dapat digunakan sebagai alat untuk
mengidentifikasi kestasioneran data. Jika grafik ACF cenderung turun lambat atau
turun secara linier, maka dapat disimpulkan data belum stasioner dalam rata-rata
(Aswi dan Sukarna, 2006).
Menurut Aswi dan Sukarna (2006), PACF merupakan alat lain untuk
mengidentifikasi model yang sesuai dengan data pengamatan dengan menunjukkan
besarnya korelasi parsial antara pengamatan pada waktu ke-𝑡 ( 𝑍𝑡 ) dengan
pengamatan pada waktu-waktu sebelumnya( 𝑍𝑡−𝑘 ). Fungsi ini digunakan untuk
mengukur tingkat keeratan (association) antara 𝑍𝑡 dan 𝑍𝑡−𝑘 , apabila pengaruh dari
lag waktu ke−1, 2, 3, … , 𝑘 − 1 dianggap terpisah. PACF merupakan suatu fungsi
yang menunjukkan besarnya korelasi parsial antara pengamatan pada waktu ke−𝑡
dengan pengamatan pada waktu-waktu sebelumnya (dinotasikan dengan
𝑍𝑡−1 , 𝑍𝑡−2 , … , 𝑍𝑡−𝑘 ), rumus PACF adalah sebagai berikut:
𝜙𝑘𝑘 = 𝑐𝑜𝑟𝑟(𝑍𝑡 , 𝑍𝑡−𝑘 |𝑍𝑡−1 𝑍𝑡−2 , … , 𝑍𝑡−𝑘+1 ) (2.19)
Nilai 𝜙𝑘𝑘 dapat ditentukan melalui Persamaan sebagai berikut:
𝜙𝑘𝑗 = 𝜙𝑘−1,𝑗 − 𝜙𝑘𝑘 𝜙𝑘−1,𝑘−𝑗 untuk 𝑗 = 1, 2, … , 𝑘 − 1. (2.20)
𝜌𝑘 −∑𝑘−1
𝑗=1 𝜙𝑘−1,𝑗 𝜌𝑘−𝑗
𝜙𝑘𝑘 = (2.21)
1−∑𝑘−1
𝑗=1 𝜙𝑘−1,𝑗 𝜌𝑗

di mana:
𝜙𝑘𝑘 = fungsi PACF ke-𝑘
𝑍𝑡 = nilai pada waktu ke-𝑡
𝑍𝑡+𝑘 = nilai pada waktu ke-𝑘
𝑍̂𝑡 = dugaan variabel Z pada waktu ke-𝑡
(Wei, 2006).

Tabel 2.4 Pola Umum ACF dan PACF untuk model AR dan MA
Proses ACF PACF
Dies Down (turun secara Cuts off after lag p
AR(p)
eksponensial/sinusoidal) (terputus setelah lag p)
Cuts off after lag q Dies Down (turun secara
MA(q)
(terputus setelah lag q) eksponensial/sinusoidal)
Dies Down (turun secara Dies Down (turun secara
ARMA(p,q)
eksponensial/sinusoidal) eksponensial/sinusoidal)
AR(p) atau Cuts off after lag q Cuts off after lag p
MA(q) (terputus setelah lag q) (terputus setelah lag p)
Sumber : Gujarati (2003)
2.7 Model Linier Stasioner
Model-model linier yang stasioner adalah model Autoregressive (AR) (𝑝),
Moving Average (MA) (𝑞), dan Autoregressive Moving Average (ARMA) (𝑝, 𝑞):
a. Model Autoregressive (AR)
Autoregressive adalah suatu bentuk regresi tetapi bukan yang
menghubungkan variabel tak bebas, melainkan menghubungkan dengan nilai-nilai
sebelumnya pada selang waktu, sehingga suatu model autoregressive akan
menyatakan suatu ramalan sebagai fungsi nilai-nilai sebelumnya dari data runtun
waktu. Bentuk umum dari model AR(𝑝) atau ARIMA (𝑝, 0,0) dituliskan sebagai
berikut :
Zt − 𝜙𝑍𝑡−1 − 𝜙𝑍𝑡−2 − ⋯ − 𝜙𝑝 𝑍𝑡−𝑝 = 𝑒𝑡 (2.22)
Persamaan di atas dapat diubah dalam bentuk
𝑍𝑡 = 𝜙𝑍𝑡−1 − 𝜙𝑍𝑡−2 − ⋯ − 𝜙𝑝 𝑍𝑡−𝑝 + 𝑒𝑡 (2.23)
di mana:
ϕp = parameter autoregressive orde ke-𝑝

et = noise pada waktu ke-𝑡


𝜙𝑝 (𝐵) = 1 − 𝜙1 𝐵 − 𝜙2 𝐵 2 − ⋯ − 𝜙𝑝 𝐵 𝑝
(Wei, 2006).
b. Model Moving Average (MA)
Model lain dari model ARIMA adalah moving average yang dinotasikan MA
(𝑞) atau ARIMA (0, 0, 𝑞) ditulis dalam persamaan berikut :
𝑍𝑡 = 𝑒𝑡 − 𝜃1 𝑒𝑡−1 −𝜃2 𝑒𝑡−2 − ⋯ − 𝜃𝑞 𝑒𝑡−𝑞 (2.24)
di mana:
et = noise pada waktu ke-𝑡
𝜃𝑞 = parameter MA orde ke-𝑞
et-q = noise pada waktu ke 𝑡-𝑞
(Wei, 2006).
c. Model ARMA (𝑝, 𝑞)
Model ARMA merupakan gabungan dari dua model yaitu AR dan MA
dengan bentuk ARMA (𝑝, 𝑞) yang secara umum dapat dituliskan sebagai berikut :
𝑍𝑡 =Zt-1 -ϕZt-2 -…-ϕp Z +ei -θ1 et-1 -θ2 et-2 -…-θq e (2.25)
t-p t-q

atau dengan menggunakan operator AR(𝑝) dan MA(𝑞) sehingga persamaan diatas
dapat disederhanakan menjadi :
ϕp (B)Zt =θq (B) et (2.26)

di mana,
𝐵 = operator backshift (operator mundur)
ϕp (B) = 1-ϕ1 (B)-ϕ2 (B)2 -…-ϕp (B)p

θq (B) = 1-θ1 (B)-θ2 (B)2 -…-θq (B)q


(Wei, 2006).

2.8 Model Linier Nonstasioner


Menurut Aswi dan Sukarna (2006), model ARIMA diperkenalkan pada
Tahun 1970 oleh Box dan Jenkins melalui bukunya yang berjudul Time Series
Analysis. ARIMA sering juga disebut metode runtun waktu Box-Jenkins, ARIMA
sangat baik ketepatannya untuk peramalan baik jangka pendek maupun jangka
panjang ARIMA dapat diartikan sebagai gabungan dari dua model, yaitu model
autoregressive (AR) yang diintegrasikan dengan model moving average (MA).
Secara umum model ARIMA (𝑝, 𝑑, 𝑞) dapat dituliskan sebagai berikut:
𝜙𝑝 (𝐵)(1 − 𝐵)𝑑 𝑍𝑡 = 𝜃𝑞 (𝐵) 𝑒𝑡 (2.27)
Keterangan :
𝐵 = operator backshift (operator mundur)
𝑑 = orde differencing
ϕp (B) = 1 − 𝜙1 (𝐵) − 𝜙2 (𝐵)2 − ⋯ − 𝜙𝑝 (𝐵)𝑝

θq (B) = 1 − 𝜃1 (𝐵) − 𝜃2 (𝐵)2 − ⋯ − 𝜃𝑞 (𝐵)𝑞


Persamaan (2.15) dapat dijabarkan dalam bentuk lain, yaitu:
1-ϕ1 B-ϕ2 B2 -…-ϕp Bp )(1-B)d Zt =(1-θ1 B-θ2 B2 -…-θq Bq )et (2.28)

Zt -ϕ1 Zt-1 -ϕ2 Zt-2 -…-ϕp Zt-p )(1-B)d =et -θ1 et-1 -θ2 et-2 -…-θq et-q (2.29)
2.9 Estimasi Parameter Model
Tahap selanjutnya setelah p dan q ditentukan adalah mengestimasi parameter
AR dan MA yang ada pada model, sehingga didaptkan besaran koefisien model.
Pada penelitian ini metode estimasi yang digunakan adalah maximum likelihood
estimation. Teknik maximum likelihood estimation dapat diterapkan namun terlebih
dahulu harus membuat asumsi tentang bentuk fungsi probabilitas dari data yang di
amati. Asumsi yang paling sering digunakan adalah bahwa data observasi berasal
dari distribusi normal multivariat. Dalam hal ini, analisis yang sebenarnya dimulai
dengan asumsi bahwa error 𝑒𝑡 adalah sebagai berikut :
Fungsi kepadatan probabilitas suatu error 𝑒𝑡 adalah sebagai berikut :
𝑒 2
𝑓(𝑒𝑡 |𝜎𝑒2𝑡 ) = (2𝜋𝜎𝑒2𝑡 )−𝑛⁄2 𝑒𝑥𝑝 (− 2𝜎𝑡2 ) (2.20)
𝑒𝑡

Karena error saling bebas, maka distribusi bersamanya untuk 𝑒1 , 𝑒2 , … , 𝑒𝑛 adalah


sebagai berikut :
1
𝑓(𝑒1 , 𝑒2 , … , 𝑒𝑛 |𝜎𝑒2𝑡 ) = (2𝜋𝜎𝑒2𝑡 )−𝑛⁄2 𝑒𝑥𝑝 (− 2𝜎2 ∑𝑛𝑡=1 𝑒𝑡 2 ) (2.30)
𝑒𝑡

Setiap 𝑒𝑡 dapat dinyatakan dalam bentuk observasi Z, parameter-parameter ϕ,θ dan


𝜎𝑒2 , serta error-error sebelumnya yaitu :
𝑒𝑡 = 𝑍𝑡 − 𝜙1 𝑍𝑡−1 − ⋯ − 𝜙𝑝 𝑍𝑡−𝑝 − 𝜃1 𝑒𝑡−1 − ⋯ − 𝜃𝑞 𝑒𝑡−𝑞 (2.31)
Persamaan diatas dapat dipandang sebagai hubungan berulang antara 𝑒𝑡 yang
berurutan, jika diketahui paramater-parameter dan observasi 𝑍𝑡 . Akibatnya nilai
setiap 𝑒𝑡 dapat dihitung sebagai fungsi parameter dan observasi. Selanjutnya yaitu
mensubtitusikan Persamaan (2.31) kedalam Persamaan (2.30), maka akan diperoleh
fungsi kepadatan bersama Z sebagai berikut :
1
𝑓(𝑍|𝜙, 𝜃, 𝜎𝑒2𝑡 ) = (2𝜋𝜎𝑒2𝑡 )−𝑛⁄2 × 𝑒𝑥𝑝 (− 2𝜎2 ∑𝑛𝑡=1(𝑍𝑡 − 𝜙1 𝑍𝑡−1 − ⋯ − 𝜙𝑝 𝑍𝑡−𝑝 −
𝑒𝑡

𝜃1 𝑒𝑡−1 − ⋯ − 𝜃𝑞 𝑒𝑡−𝑞 )2 ) (2.32)

Maka fungsi likelihood untuk parameter-parameternya jika diketahui data observasi


adalah sebagai berikut :
1
𝐿(𝜙, 𝜃, 𝜎𝑒2𝑡 |𝑍) = (2𝜋𝜎𝑒2𝑡 )−𝑛⁄2 × 𝑒𝑥𝑝 (− 2𝜎2 𝑆(𝜙, 𝜃)) (2.33)
𝑒𝑡

di mana,
𝑆(𝜙, 𝜃) = ∑𝑛𝑡=1(𝑍𝑡 − 𝜙1 𝑍𝑡−1 − ⋯ − 𝜙𝑝 𝑍𝑡−𝑝 − 𝜃1 𝑒𝑡−1 − ⋯ − 𝜃𝑞 𝑒𝑡−𝑞 )2 (2.34)
Karena pada akhirnya hanya akan mengarah pada besar relative likelihood, maka
cukup jika memandang ln likelihoood yang diberikan dengan rumus sebagai berikut
:
𝑛 𝑛
𝑙(𝜙, 𝜃, 𝜎𝑒2𝑡 ) = − 2 𝑙𝑛2𝜋 − 2 𝑙𝑛2𝜎𝑒2𝑡 𝑆(𝜙, 𝜃) (2.35)

dari persamaan diatas dapat dilihat bahwa 𝜙 dan 𝜃 hanya bisa masuk dalam bagian
jumlah kuadrat fungsi likelihoood, maka untuk memaksimumkan likelihood kita
hanya perlu meminimumkan fungsi jumlah kuadrat untuk seluruh nilai parameter-
parametere itu. Setelah taksiran maximum likelihood parameter-parameter tersebut
diperoleh, dapat ditunjukkan bahwa taksiran maximxum likelihood untuk 𝜎𝑒2𝑡 adalah
sebagai berikut :
̂ ,𝜃
𝑆̂(𝜙 ̂)
𝜎𝑒2𝑡 = (2.36)
𝑛

2.10 Pengujian Signifikansi Parameter


Menurut Aswi dan Sukarna (2006), model ARIMA yang baik dalam
menggambarkan suatu kejadian adalah model yang salah satunya menunjukkan
bahwa penaksiran parameternya signifikan berbeda dengan nol. Misalkan 𝜏 adalah
suatu parameter model ARIMA (mencakup 𝜙, 𝜃 dan 𝜇) dan 𝜏̂ adalah nilai estimasi
dari parameter tersebut, serta 𝑆𝐸(𝜏̂ ) adalah standard error dari nilai estimasi 𝜏̂ ,
tahapan uji signifikansi parameter adalah sebagai berikut:
- Hipotesis
𝐻0 : 𝜏 = 0, (Parameter tidak cukup signifikan)
𝐻1 : 𝜏 ≠ 0, (Parameter cukup signifikan)
- Statistik Uji
𝜏̂
𝑡ℎ𝑖𝑡 = 𝑆𝐸(𝜏̂) (2.37)

- Daerah Penolakan

𝐻0 di tolak jika |𝑡ℎ𝑖𝑡 | > |𝑡𝛼⁄2:𝑑𝑏 | atau p-value < 𝛼


𝑡𝛼⁄2:𝑑𝑏 diperoleh dari Tabel nilai kritis t dengan 𝛼 adalah taraf signifikansi

dan db adalah derajat bebas dimana 𝑑𝑏 = 𝑛 − 𝑛𝑝 . 𝑛 adalah banyaknya data


dan 𝑛𝑝 adalah banyaknya parameter.
(Salamah, Suhartono dan Wulandari, 2003).

2.11 Uji Diagnostik Model


Pemeriksaan diagnostik model terbagi menjadi dua bagian yang meliputi uji
residual berdistribusi normal dan uji independensi residual.
a. Uji Residual Berdistribusi Normal
Uji residual berdistribusi normal merupakan uji asumsi yang bertujuan untuk
mengetahui apakah data rsidual telah memenuhi asumsi kenormalan atau belum.
Salah satu uji kenormalan adalh menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan
hipotesis sebagai berikut.
Hipotesis
𝐻0 : 𝐹0 (𝑍) = 𝑆𝑛 (𝑍), (Residual berdistribusi normal)
𝐻1 : 𝐹0 (𝑍) ≠ 𝑆𝑛 (𝑍), (Residual tidak berdistribusi normal)
Statistik Uji
𝐷ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = sup{|𝐹𝑛 (𝑍) − 𝑆𝑛 (𝑍)| (2.38)
di mana:
𝐹0 (𝑍) = fungsi distribusi kumulatif normal
𝑆𝑛 (𝑍) = fungsi distribusi kumulatif sampel
Daerah Penolakan
Menolak 𝐻0 jika |𝐷ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 | > |𝐷(𝛼:𝑛) | atau p-value < 𝛼
𝐷𝛼:𝑛 diperoleh dari Tabel nilai kritis D dalam uji satu sampel Kolmogorov-
Smirnov dengan 𝛼 adalah taraf signifikansi dan n adalah banyaknya data.
(Sholihin, Mustafid dan Safitri, 2014).
b. Uji Independensi Residual
Pengujian terhadap residual dapat dilakukan secara individu ataupun
bersama-sama. Pengujian secara individu dapat dilakukan jika diketahui distribusi
dari taksiran residual secara umum mendekati normal dengan mean 0. Sedangkan
pengujian secara bersama dapat dilakukan menggunakan uji Ljung-Box yang dapat
dituliskan sebagai berikut :
Hipotesis
𝐻0 : 𝜌1 = 𝜌2 = ⋯ = 𝜌𝑘 = 0 (Tidak terjadi otokorelasi pada residual)
𝐻1 : minimal ada satu 𝜌𝑗 ≠ 0, untuk 𝑗 = 1,2, … , 𝑘 (Terjadi otokorelasi pada
residual)
Statistik Uji
∗ ̂2
𝜌
𝑄 ∗ = 𝑛′(𝑛′ + 2) ∑𝑘𝑘=1 (𝑛−𝑘)
𝑘
(2.39)

di mana 𝜌̂𝑘2 diperoleh


∑𝑛−𝑘
𝑡=1 (𝑍̂𝑡 −𝑍̂ )(𝑍̂𝑡+𝑘 −𝑍̂ )
𝜌̂𝑘2 = ∑𝑛 ̂ ̂ 2
(2.40)
𝑡=1(𝑍𝑡 −𝑍 )

dengan
𝑛 = banyak data pengamatan
𝑘 = nilai lag
𝑘 ∗ = maksimum lag
𝜌̂𝑘 = penaksir otokorelasi pada lag k
𝑍̂𝑡 = penaksir data pengamatan pada waktu ke −𝑡
𝑍̂ = rata-rata penaksir data pengamatan
Daerah Penolakan
2
𝐻0 ditolak jika 𝑄 ∗ > 𝜒𝛼;𝑑𝑏 atau p-value < 𝛼
2
𝜒𝛼;𝑑𝑏 diperoleh dari tabel nilai kritis Chi-Square dengan 𝛼 adalah taraf
signifikansi dan db adalah derajat bebas di mana db=𝑘 ∗ − 𝑛𝑝 . 𝑘 ∗ adalah
maksimum lag dan 𝑛𝑝 adalah banyaknya parameter.
(Aswi dan Sukarna, 2006).

2.12 Pemilihan Model Terbaik


Dalam analisis runtun waktu, beberapa model mungkin cukup mewakili data
yang diberikan. Pemilihan model terbaik berbeda dengan identifikasi model seperti
ACF dan PACF yang hanya digunakan untuk mengidentifikasi kemungkinan model
yang memadai. Untuk menentukan model terbaik digunakan kriteria berdasarkan
residual dan kesalahan peramalan (Wei, 2006). Kriteria pemilihan model yang
berdasarkan residual yang digunakan pada penelitian ini adalah Akaike’s
Information Criterion (AIC)
Diasumsikan bahwa model runtun waktu mempunyai parameter 𝑀. Nilai AIC
didefinisikan sebagai berikut:
𝐴𝐼𝐶(𝑀) = 𝑛 ln 𝜎̂𝑎2 + 2𝑀 (2.41)
di mana :
𝑛 = banyaknya pengamatan
𝑀 = jumlah parameter di dalam model
𝜎̂𝑎2 = penduga 𝜎𝑎2

2.13 Fungsi Transfer


Menurut Wei (2006), metode fungsi transfer merupakan suatu model yang
menggambarkan nilai prediksi masa depan dari suatu data runtun waktu (output
series atau 𝑌𝑡 ) adalah berdasarkan pada nilai-nilai masa lalu dari runtun waktu itu
sendiri dan berdasarkan pula pada satu atau lebih runtun waktu yang lain (input
series atau 𝑋𝑡 ) yang berhubungan dengan output series tersebut.
Sedangkan menurut Makridakis, Wheelwright dan McGree (1999), model
fungsi transfer merupakan salah satu model runtun waktu yaitu penggabungan
pendekatan regresi dan runtun waktu (ARIMA) untuk error-nya. Dalam fungsi
transfer, terdapat runtun berkala output yang disebut 𝑌𝑡 yang diperkirakan akan
dipengaruhi oleh salah satu atau lebih runtun berkala input yang disebut 𝑋𝑡 dan
input-input lain yang akan digabungkan dalam satu kelompok yang disebut
gangguan (noise) 𝑛𝑡 Dengan kata lain, runtun input 𝑋𝑡 memberikan pengaruhnya
kepada runtun output 𝑌𝑡 melalui fungsi transfer, yang mendistribusikan dampak 𝑋𝑡
melalui beberapa periode waktu yang akan datang. Tujuan pemodelan fungsi
transfer adalah untuk menetapkan model yang sederhana, yang menghubungkan 𝑌𝑡
dengan 𝑋𝑡 dan 𝑛𝑡 . Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan utama pemodelan
jenis ini adalah untuk menetapkan peranan indikator penentu (leading indicator)
atau runtun input dalam rangka menetapkan variabel runtun output.
Bentuk umum model fungsi transfer didasarkan pada ACF dan cross
correlation function (CCF). Bentuk umum model fungsi transfer untuk input
tunggal 𝑋𝑡 , dan output tunggal, 𝑌𝑡 , adalah (Wei, 2006):
𝑌𝑡 = 𝑣0 𝑋𝑡 + 𝑣1 𝑋𝑡−1 + 𝑣2 𝑋𝑡−2 + ⋯ + 𝑛𝑡 (2.42)
𝑌𝑡 = 𝑣(𝐵)𝑋𝑡 +𝑛𝑡 (2.43)
di mana:
𝑌𝑡 = runtun output yang stasioner
𝑋𝑡 = runtun input yang stasioner
𝑛𝑡 = runtun noise yang mengikuti suatu model ARMA tertentu
𝑣(𝐵) = 𝑣0 + 𝑣1 𝐵 + 𝑣2 𝐵 2 + ⋯ merupakan koefisien model fungsi transfer atau
bobot respon impuls. Bobot respon impuls dapat dinyatakan sebagai berikut:
𝜔(𝐵) ∗
𝑌𝑡 = 𝑋𝑡−𝑏 +𝑛𝑡 (2.44)
𝛿(𝐵)

sehingga
𝜔(𝐵) ∗ 𝜃(𝐵)
𝑌𝑡 = 𝑋𝑡−𝑏 + 𝑎
𝛿(𝐵) 𝜙(B) 𝑡
(2.45)
keterangan:
𝑏 = banyaknya periode sebelum runtun input mulai berpengaruh terhadap
runtun output.
𝜔𝑠 (𝐵) = 𝜔0 − 𝜔1 𝐵 − 𝜔2 𝐵 2 − ⋯ − 𝜔𝑠 𝐵 𝑠 merupakan operator dengan orde 𝑠, yang
merepresentasikan jumlah pengamatan masa lalu 𝑥𝑡 yang berpengaruh
terhadap 𝑦𝑡
𝛿𝑟 (𝐵) = 𝛿0 − 𝛿1 𝐵 − 𝛿2 𝐵 2 − ⋯ − 𝛿𝑠 𝐵 𝑟 merupakan operator dengan orde 𝑟, yang
merepresentasikan jumlah pengamatan masa lau dari runtun output itu
sendiri yang berpengaruh terhadap 𝑦𝑡 .
𝑋𝑡∗ = nilai 𝑋𝑡 yang telah di transformasi dan differencing

2.14 Model Fungsi Transfer Multi Input


Secara umum, runtun output mungkin dipengaruhi oleh beberapa runtun
input, sehingga model kausal untuk fungsi transfer multi input adalah:
𝑌𝑡 = ∑𝑘𝑗=1 𝑣𝑗 (𝐵)𝑋𝑗𝑡∗ + 𝑛𝑡 (2.46)
atau
𝜔 (𝐵) 𝜃(𝐵)
𝑌𝑡 = ∑𝑘𝑗=1 𝛿 𝑠(𝐵) 𝐵 𝑏𝑗 𝑋𝑗𝑡∗ + 𝜙(𝐵) 𝑎𝑡 (2.47)
𝑟

𝜔𝑠 (𝐵)
di mana 𝑣𝑗 (𝐵) = 𝐵 𝑏𝑗 adalah fungsi transfer untuk runtun input 𝑋𝑗𝑡∗ ke-𝑗 dan
𝛿𝑟 (𝐵)

𝑎𝑡 diasumsikan independen untuk setiap runtun input 𝑋𝑗𝑡∗ , 𝑗 = 1,2, . . , 𝑘. Bobot


𝜔𝑠 (𝐵)
respon fungsi transfer 𝐵 𝑏𝑗 untuk masing-masing variabel input didefinisikan
𝛿𝑟 (𝐵)

pada model fungsi transfer single input (Wei, 1990).

2.14.1 Pre-whitening Runtun Input dan Output


Pre-whitening runtun input dilakukan untuk menyederhanakan runtun input
dengan menghilangkan seluruh pola yang diketahui supaya tersisa hanya white
noise. Pre-whitening runtun input 𝑋𝑡∗ dengan proses ARIMA (𝑝𝑥 , 0, 𝑞𝑥 ) adalah:
𝜙𝑥 (𝐵)𝑋𝑡∗ = 𝜃𝑥 (𝐵)𝑎𝑡 (2.48)
mengubah runtun input 𝑋𝑡 menjadi runtun 𝑎𝑡 sebagai berikut:
𝜙𝑥 (𝐵) ∗
𝑎𝑡 = 𝑋 (2.49)
𝜃𝑥 (𝐵) 𝑡

Apabila pre-whitening dilakukan untuk 𝑋𝑡∗ maka pre-whitening juga diterapkan


terhadap 𝑌𝑡∗ agar dapat mempertahankan integritas hubungan fungsional. Sehingga
dihasilkan
Input 𝑋𝑡∗ fungsi transfer output 𝑌𝑡∗
𝜙𝑥 (𝐵) ∗
Input 𝑋𝑡∗ fungsi transfer output 𝑌
𝜃𝑥 (𝐵) 𝑡

Transformasi pada 𝑌𝑡∗ tidak harus mengubah 𝑌𝑡∗ menjadi white noise. Oleh sebab
itu kata “pre-whitening” ditulis dalam tanda kutip untuk mengingatkan terhadap
kejadian ini. Berikut merupakan pre-whitening runtun 𝑌𝑡∗ yang telah di pre-
whitening akan disebut 𝛽𝑡 :
𝜙𝑥 (𝐵) ∗
𝛽𝑡 = 𝑌 (2.50)
𝜃𝑥 (𝐵) 𝑡

(Makridakis, Wheelwright dan McGree, 2006).


2.14.2 Perhitungan Korelasi Silang (Cross Correlation) Dan Autocorrelation
untuk Runtun Input dan Runtun Output
Dalam memodelkan fungsi transfer, autocorrelation memerankan peran
kedua untuk koefisien cross correlation. Kenyataannya, terdapat perbedaan yang
sangat kecil antara cross correlation dengan apa yang biasa disebut korelasi, karena
kita berhubungan dengan dua runtun 𝑋 dan 𝑌 yang terpisah (dalam bentuk yang
telah diputihkan, 𝑎 dan 𝛽). Dalam menghadapi time series, perlu sekali mempelajari
hubungan satu runtun yang dilambatkan (lag) dengan lainnya dan sebaliknya.
Taksiran kovariansi silang dihitung dengan rumus sebagai berikut:
1
𝐶𝑋𝑌 (𝑘) = 𝑛 ∑𝑛−𝑘 ̅ ̅
𝑡=1 (𝑋𝑡 − 𝑋 )(𝑌𝑡+𝑘 − 𝑌 ), (2.51)

atau
1
𝐶𝑌𝑋 (𝑘) = 𝑛 ∑𝑛−𝑘 ̅ ̅
𝑡=1 (𝑌𝑡 − 𝑌 )(𝑋𝑡+𝑘 − 𝑋 ), (2.52)

di mana 𝑘 = 0, 1, 2, 3, …
Kovariansi silang dapat dengan mudah diubah menjadi cross correlation
dengan membagi kovariansi tersebut oleh dua standar deviasi sebagai berikut:
𝐶(𝑘) 𝐶𝑋𝑌 (𝑘)
𝑟𝑋𝑌 = 𝜌̂𝑋𝑌 (𝑘) = = , (2.53)
√𝐶𝑋𝑋 (0)𝐶𝑌𝑌 (0) 𝑆𝑥 𝑆𝑦

di mana 𝑘 = 0, ±1, ±2, ±3, …

2.14.3 Penetapan (r, s, b) untuk Model Fungsi Transfer


Tiga parameter kunci di dalam fungsi transfer adalah (r, s, b), di mana r
menunjukkan derajat fungsi 𝛿(𝐵), s menunjukkan derajat fungsi 𝜔(𝐵), dan b
menunjukkan keterlambatan b periode sebelum x mulai memengaruhi y. Parameter
b mungkin merupakan yang paling sederhana untuk dihadapi. Apabila cross
correlation function (CCF) diuji dan 𝑟𝛼𝛽 (0) = 𝑟𝛼𝛽 (1) = 𝑟𝛼𝛽 (2) = 0, tetapi
𝑟𝛼𝛽 (3) = 0,5 maka kita mengetahui bahwa 𝑏 = 3. Dengan kata lain, terdapat lag
absolut sebesar 3 periode sebelum runtun input 𝛼 mulai mempengaruhi runtun
output 𝛽.
Menurut Makridakis, Wheelwright dan McGree (1999) prinsip petunjuk
untuk menentukan nilai yang tepat untuk (r, s, b) adalah sebagai berikut:
a. setiap lag waktu ke-b, korelasi silang tidak akan berbeda dari nol secara
signifikan.
b. Untuk s lag waktu selanjutnya, korelasi silang tidak akan memperlihatkan
adanya pola yang jelas.
c. Untuk r lag waktu selanjutnya, korelasi silang tidak akan memperlihatkan suatu
pola yang jelas.
Pada kenyataannya bahwa jarang untuk menguji diagram CCF dan membuat
ketiga nilai (r, s, b) tersebut menampakkan diri secara jelas.
Tabel 2.5, Tabel 2.6, dan Tabel 2.7 menunjukkan nilai 𝑟 dan 𝑠 yang sesuai
untuk model fungsi transfer. Menurut Makridakis, Wheelwright dan McGree
(1999) Nilai b diperoleh dengan melihat pada lag berapa yang memiliki nilai
korelasi silang terbesar. Terdapat tiga kondisi nilai r, yaitu 𝑟 = 0 apabila banyaknya
bobot respon impuls hanya terdiri dari beberapa lag yang kemudian langsung
terpotong seperti pada Tabel 2.5, nilai 𝑟 = 1 apabila bobot respon impuls
menunjukkan suatu pola eksponensial yang menurun secara perlahan seperti pada
Tabel 2.6, dan nilai 𝑟 = 2 apabila bobot respon impuls menunjukkan suatu pola
eskponensial yang menurun serta berpola sinusoidal seperti pada Tabel 2.7.

Tabel 2.5 Model Fungsi Transfer dengan 𝒓 = 𝟎


(𝒓, 𝒔, 𝒃) Fungsi Transfer Tipe Plot Bobot Impuls

(0,0,2) 𝑣(𝐵)𝑥𝑡 =𝜔0 𝑥𝑡−2

(0,1,2) 𝑣(𝐵)𝑥𝑡 =(𝜔0 − 𝜔1 𝐵)𝑥𝑡−2

(0,2,2) 𝑣(𝐵)𝑥𝑡 =(𝜔0 − 𝜔1 𝐵 − 𝜔2 𝐵 2 )𝑥𝑡−2


Tabel 2.6 Model Fungsi Transfer dengan 𝒓 = 𝟏
(𝒃, 𝒓, 𝒔) Fungsi Transfer Tipe Plot Bobot Impuls

𝜔
(1,0,2) 𝑣(𝐵)𝑥𝑡 =(1−𝛿0 𝐵) 𝑥𝑡−2
1

0 𝜔 −𝜔 𝐵)
1
(1,1,2) 𝑣(𝐵)𝑥𝑡 =( (1−𝛿 𝑥
𝐵) 𝑡−2
1

(𝜔0 −𝜔1 𝐵−𝜔2 𝐵2 )


(1,2,2) 𝑣(𝐵)𝑥𝑡 = 𝑥𝑡−2
(1−𝛿1 𝐵)

Tabel 2.7 Model Fungsi Transfer dengan 𝒓 = 𝟐


(𝒃, 𝒓, 𝒔) Fungsi Transfer Tipe Plot Bobot Impuls

𝜔0
(2,0,2) 𝑣(𝐵)𝑥𝑡 =(1−𝛿 2)
𝑥𝑡−2
1 𝐵−𝛿2 𝐵

(𝜔0 −𝜔1 𝐵)
(2,1,2) 𝑣(𝐵)𝑥𝑡 = 𝑥
(1−𝛿1 𝐵−𝛿2 𝐵2 ) 𝑡−2

(𝜔0 −𝜔1 𝐵−𝜔2 𝐵2 )


(2,2,2) 𝑣(𝐵)𝑥𝑡 = 𝑥𝑡−2
(1−𝛿1 𝐵−𝛿2 𝐵2 )

(Wei, 2006).

2.14.4 Pengujian pendahuluan Runtun Gangguan (Noise Series)


Pada tahap penaksiran langsung bobot respon implus, bobot 𝑣 diukur secara
langsung dan ini memungkinkan dilakukannya perhitungan nilai taksiran dari
runtun gangguan noise (𝑛𝑡 ). Karena
𝑦𝑡 = 𝑣(𝐵)𝑋𝑡 +𝑛𝑡 (2.54)
maka,
𝑛𝑡 = 𝑦𝑡 − 𝑣0 𝑋𝑡 − 𝑣1 𝑋𝑡−1 − 𝑣2 𝑋𝑡−2 − ⋯ − 𝑣𝑔 𝑋𝑡−𝑔 (2.55)

di mana g adalah nilai praktis yang dipilih oleh peneliti. Fungsi 𝑣(𝐵) mempunyai
jumlah suku tak terbatas, akan tetapi pada tahap penaksiran langsung bobot respon
impuls hanya 10 atau 15 bobot 𝑣 yang akan dihitung, dan ini sudah dianggap
memuaskan sebagai analisis pendahuluan dari runtun gangguan (noise series) (Wei,
2006).

2.14.5 Penetapan Model ARIMA dari Runtun Gangguan (Noise Series)


Menurut Wei (2006), setelah mengukur runtun gangguan, kemudian nilai-
nilai 𝑛𝑡 , dianalisis dengan cara ARIMA biasa untuk menentukan apakah terdapat
model ARIMA (𝑝𝑛 , 0, 𝑞𝑛 ) yang tepat untuk menjelaskannya. Otokorelasi parsial
dan spektrum garis ditetapkan dan selanjutnya nilai 𝑝𝑛 dan 𝑞𝑛 untuk
autoregressive dan moving average, berturut-turut dipilih. Dengan cara ini fungsi
𝜙𝑛 (𝐵)𝑛𝑡 dan 𝜃𝑛 (𝐵)𝛼𝑡 untuk runtun gangguan 𝑛𝑡 , pada persamaan (2 diperoleh,
untuk medapatkan:
𝜙𝑛 (𝐵)𝑛𝑡 = 𝜃𝑛 (𝐵)𝑎𝑡 (2.56)

2.14.6 Penaksiran Parameter-Parameter Model Fungsi Transfer


Penaksiran parameter model fungsi transfer menggunakan metode
conditional least square (CLS), dengan melibatkan parameter 𝜔, 𝛿, 𝜙 𝑑𝑎𝑛 𝜃.
Metode CLS merupakan suatu metode yang dilakukan untuk mencari nilai
parameter dengan meminimumkan jumlah kuadrat kesalahan. Setelah
mengidentifikasi model fungsi transfer, selanjutnya parameter 𝛿 = 𝛿1 , … , 𝛿𝑟 )′, 𝜔 =
𝜔0 , 𝜔1 , … , 𝜔𝑠 )′, 𝜙 = 𝜙1 , … , 𝜙𝑝 )′, dan 𝜎𝑎2 akan diestimasi. Maka persamaan dapat
ditulis dalam bentuk sebagai berikut :
𝛿𝑟 (𝐵)𝜙(𝐵)𝑌𝑡 = 𝜙(𝐵)𝜔𝑠 (𝐵)𝑋𝑡−𝑏 + 𝛿𝑟 (𝐵)𝜃(𝐵)𝑎𝑡 (2.57)
atau dapat ditulis dalam bentuk:
𝑐(𝐵)𝑌𝑡 = 𝑑(𝐵)𝑋𝑡−𝑏 + (𝐵)𝑎𝑡 (2.58)
dengan
𝑐(𝐵) = 𝛿(𝐵)𝜙(𝐵) = (1 − 𝛿1 𝐵 − ⋯ − 𝛿𝑟 𝐵 𝑟 )(1 − 𝜙1 𝐵 − ⋯ − 𝜙𝑝 𝐵 𝑝 )
= (1 − 𝑐1 𝐵 − 𝑐2 𝐵 2 − ⋯ − 𝑐𝑝+𝑟 𝐵 𝑝+𝑟 ),
𝑑(𝐵) = 𝜙(𝐵)𝜔(𝐵) = (1 − 𝜙1 𝐵 − ⋯ − 𝜙𝑝 𝐵 𝑝 )(𝜔0 − 𝜔1 𝐵 − ⋯ − 𝜔𝑠 𝐵 𝑠 )
= (𝑑0 − 𝑑1 𝐵 − 𝑑2 𝐵 2 − ⋯ − 𝑐𝑝+𝑠 𝐵 𝑝+𝑠 ),
dan
𝑒(𝐵) = 𝛿(𝐵)𝜃(𝐵) = (1 − 𝛿1 𝐵 − ⋯ − 𝛿𝑟 𝐵 𝑟 )(1 − 𝜃1 𝐵 − ⋯ − 𝜃𝑞 𝐵 𝑞 )
= (1 − 𝑒1 𝐵 − 𝑒2 𝐵 2 − ⋯ − 𝑐𝑟+𝑞 𝐵𝑟+𝑞 ),
maka
𝑎𝑡 = 𝑌𝑡 − 𝑐1 𝑌𝑡−1 − ⋯ − 𝑐𝑝+𝑟 𝑌𝑡−𝑝−𝑟 − 𝑑0 𝑋𝑡−𝑏 + 𝑑1 𝑋𝑡−𝑏−1 + ⋯ +
𝑑𝑝+𝑠 𝑋𝑡−𝑏−𝑝−𝑠 + 𝑒𝑟+𝑞 𝑎𝑡−𝑟−𝑞 (2.59)

dengan 𝑐𝑖 , 𝑑𝑗 , dan 𝑒𝑘 adalah fungsi dari 𝛿𝑖 , 𝜔𝑗 , 𝜙𝑘 , dan 𝜃𝑡 . Estimasi parameter


model fungsi transfer dapat digunakan dengan asumsi bahwa 𝑎𝑡 yang tidak
diketahui sama dengan nol. Maka estimasi parameter model fungsi transfer
diperoleh dengan meminimalkan :
𝑆0 (𝛿, 𝜔, 𝜙, 𝜃) = ∑𝑛𝑡=1 𝑎𝑡2 (2.60)
(Wei, 2006).

2.14.7 Uji Diagnostik Model Fungi Transfer


Setelah dilakukan identifikasi model dan penaksiran parameter, selanjutnya
sangat penting untuk dilakukan uji kelayakan model sebelum model tersebut
digunakan untuk peramalan, pengendalian, dan tujuan lain. Asumsi yang digunakan
dalam fungsi transfer bahwa 𝑎𝑡 white noise dan tidak tergantung pada runtun input
𝑋𝑡 , dan juga tidak tergantung pada pemutihan runtun input 𝑎𝑡 . Dengan demikian
untuk melakukan uji diagnostik model fungsi transfer harus dilakukan pemeriksaan
residual 𝑎̂𝑡 dari model noise dan residual 𝑎𝑡 , dari pre-whitening model input.
Pengujian-pengujian yang dilakukan yaitu:
a. Pemeriksaan korelasi silang (cross correlation check)
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah runtun noise 𝑎𝑡 dan runtun
input 𝑥𝑡 telah independen. Untuk model yang memadai sampel CCF, 𝑝̂ 𝑎𝑎̂ (𝑘), antara
𝑎̂𝑡 dan 𝑎𝑡 harus menunjukan tidak ada pola. Pendeteksiannya dapat dilakukan
dengan menggunakan statistik uji Portmanteau, yaitu:
Hipotesis
𝐻0 : Runtun noise dan runtun input tidak signifikan
𝐻1 : Runtun noise dan runtun input signifikan
Statistik Uji
𝑄0 = 𝑚(𝑚 + 2) ∑𝑘𝑗=0(𝑚 − 𝑗)𝑝̂ 𝑎𝑎
2
̂ (𝑗) (2.61)
Daerah Penolakan
2
Menolak 𝐻0 jika 𝑄0 > 𝜒𝛼;𝑑𝑓 ; 𝑑𝑓 = (𝐾 + 1) − 𝑀 atau p-value < 𝛼
dimana 𝑚 = 𝑛 − 𝑡0 + 1 dan 𝑀 adalah derajat bebas, di mana 𝑚 = 𝑛 − 𝑡0 + 1,
yang merupakan jumlah residu 𝑎̂𝑡 dihitung, dan M adalah jumlah parameter 𝛿𝑖 dan
𝜔(𝐵)
𝜔𝑗 yang diestimasi dalam fungsi transfer 𝑣(𝐵) = . Jumlah derajat bebas untuk
𝛿(𝐵)

𝑄0 independen pada jumlah parameter yang diestimasi dalam model noise.


b. Pemeriksaan otokorelasi (autocorrelation check)
Untuk memeriksa apakah model noise memadai, pengujian ini dilakukan
dengan statistik uji Portmanteau yaitu :
Hipotesis
𝐻0 : otokorelasi antara residual model tidak signifikan
𝐻1 : otokorelasi antara residual model signifikan
Statistik Uji
𝑄1 = 𝑚(𝑚 + 2) ∑𝑘𝑗=0(𝑚 − 𝑗)𝑝̂ 𝑎2̂ (𝑗) (2.62)
Daerah Penolakan
2
Menolak 𝐻0 jika 𝑄1 > 𝜒𝛼;𝑑𝑓 ; 𝑑𝑓 = (𝑘 − 𝑝 − 𝑞) atau p-value < 𝛼
di mana p adalah orde AR dan q adalah orde MA untuk runtun noise.
(Wei, 2006).

2.15 Ketetapan Metode Peramalan


Ketepatan metode permalan yang digunakan dalam mengestimasi model
untuk menentukan keakuratan hasil peramalan dari sebuah model yaitu dapat dilihat
dari nilai Mean Absolute Precentage dan Error (MAPE). MAPE merupakan rata-
rata dari keseluruhan presentase kesalahan (selisih) antara data aktual dengan hasil
peramalan. Rumus MAPE dituliskan sebagai berikut:
𝑛
1 𝑍̂𝑖𝑡 − 𝑍𝑖𝑡
𝑀𝐴𝑃𝐸𝑖 = ∑ | | × 100% (2.63)
𝑛 𝑍𝑖𝑡
𝑡=1
Keterangan:
𝑍̂𝑖𝑡 : data hasil peramalan variabel ke-i pada periode ke-t
𝑍𝑖𝑡 : data aktual variabel ke-i pada periode ke-t untuk t  1,2,..., n
𝑛 : banyak data pengamatan
dengan kriteria penilaian nilai MAPE sebagai berikut:

Tabel 2.8 Kriteria Penilaian Nilai MAPE


No Nilai MAPE Kesimpulan
1 MAPE<10% Sangat Baik
2 10%≤MAPE≤20% Baik
3 20%≤MAPE≤50% Cukup
4 MAPE>50% Sangat tidak baik
(Wahyu, Kusnandar, Sulistianingsih, 2019).

2.16 Curah Hujan


Menurut Wirjohamidjojo (2007) curah hujan merupakan hujan yang sampai
ke permukaan tanah yang diukur berdasarkan volume air hujan per satuan luas.
Satuan yang digunakan adalah mm/jam. Dalam meteorologi butiran hujan dengan
diameter lebih dari 0.5 mm disebut hujan dan diameter antara 0.1 - 0.5 mm disebut
gerimis. Semakin besar ukuran hujan maka semakin besar juga kecepatan jatuhnya.
Ketelitian alat ukur curah hujan adalah 1/10 mm. pembacaan dilakukan satu kali
dalam sehari dan dicataat sebagai curah hujan hari kemarin. Peramalan banyaknya
curah hujan dapat menunjang kegiatan sosial ekonomi di Indonesia yang kemudian
hasilnya dapat dijadikan informasi yang berguna bagi berbagai macam aktifitas
kehidupan seperti: keselamatan masyarakat, produksi pertanian, perkebunan,
perikanan, penerbangan, dan sebagainya.
2.16.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Curah Hujan
Curah hujan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu kelembapan
udara, suhu udara, kecepatan angin dan tekanan udara. Kelembapan udara adalah
perbandingan antara massa uap dengan massa uap yang jenuh dalam suatu satuan
volume pada suhu yang sama. Secara umum kelembapan menyatakan banyaknya
kadar air yang ada di udara. Banyaknya uap yang bergerak di dalam atmosfer
berpengaruh terhadap besarnya hujan, lamanya hujan, dan intensitas curah hujan.
Kelembapan tertinggi umumnya terjadi pada musim penghujan dan paling rendah
pada musim kemarau. Makin tinggi kelembapan udara akan dapat menyebabkan
bertambah banyak uap air yang dapat diserap awan. Uap air itu akan menghasilkan
tekanan yang dinyatakan dengan satuan tinggi air raksa (1 mmHg = 1,33 milibar).
Tekanan yang diberikan oleh uap air disebut dengan tekanan uap air (Suyono,
1985).
Suhu udara adalah keadaan panas atau dinginnya udara. Suhu juga disebut
temperatur yang diukur dengan alat termometer. Beberapa faktor yang
mempengaruhi suhu udara diantaranya: tinggi tempat, daratan/lautan, radiasi
matahari, indeks datang matahari dan angin. Pengukuran biasa dinyatakan dalam
skala Celsius (C), Reamur (R), dan Fahrenheit (F). Suhu udara tertinggi di
permukaan bumi adalah di daerah tropis (sekitar ekuator) dan makin ke kutub
makin dingin (Soewarno, 2000).
Kecepatan angin adalah udara yang bergerak akibat adanya perbedaan
tekanan udara dengan arah aliran angin dari tempat yang memiliki tekanan tinggi
ke tempat yang bertekanan rendah atau dari daerah yang memiliki suhu/temperatur
rendah ke wilayah bersuhu tinggi. Angin memiliki hubungan yang erat dengan sinar
matahari karena daerah yang terkena banyak paparan sinar mentari akan memiliki
suhu yang lebih tinggi serta tekanan udara yang lebih rendah dari daerah lain di
sekitarnya sehingga menyebabkan terjadinya aliran udara. Angin juga dapat
disebabkan oleh pergerakan benda sehingga mendorong udara di sekitarnya untuk
bergerak ke tempat lain (Soewarno, 2000).
Tekanan udara merupakan tenaga yang bekerja untuk menggerakkan massa
udara dalam setiap satuan luas tertentu. Diukur dengan menggunakan barometer.
Satuan tekanan udara adalah milibar (mb). Garis yang menghubungkan tempat‐
tempat yang sama tekanan udaranya disebut sebagai isobar. Tekanan udara dibatasi
oleh ruang dan waktu. Artinya pada tempat dan waktu yang berbeda, besarnya juga
berbeda. Semakin tinggi suatu tempat maka tekanan udaranya semakin menurun,
sedangkan tekanan udara pada daerah yang mempunyai rata‐rata ketinggian sama
maka tekanan udara dipengaruhi oleh suhu udara. Daerah yang suhu udaranya
tinggi akan bertekanan rendah dan daerah yang bersuhu udara rendah tekanannya
tinggi (Soewarno, 2000).
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini secara umum terdiri dari rancangan yang disajikan dalam
Gambar 3.1

Studi literatur

Merumuskan masalah

Menentukan variabel

Mengumpulkan data

Analisis data

Hasil dan Pembahasan

Kesimpulan

Gambar 3.1 Rancangan penelitian


Penelitian ini menggunakan rancangan kausal komparatif yang bersifat ex
post facto artinya data dikumpulkan setelah semua kejadian berlangsung.
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data bulanan curah hujan di Kota
Samarinda dari bulan Januari 2016 sampai dengan Desember 2021 sebagai objek
penelitian.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada Bulan Januari 2021 sampai dengan bulan Mei
2022. Tempat pengolahan data dilakukan di Laboratorium Statistika Ekonomi dan
36

Bisnis, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas


Mulawarman.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah data bulanan curah hujan, kelembapan
udara, kecepatan angin, suhu udara dan tekanan udara di Kota Samarinda. Sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan curah hujan, kelembapan
udara, kecepatan angin, suhu udara dan tekanan udara di Kota Samarinda yang
dicatat oleh Badan Pusat Statistika (BPS) Kota Samarinda periode Januari 2016
sampai dengan Desember 2021.

3.4 Variabel Penelitian


Variabel penelitian terdiri dari satu runtun output dan empat runtun input
yang digunakan sebagai berikut:
Runtun output : 𝑌 = curah hujan Kota Samarinda (mm3)
Runtun input : 𝑋1 = kelembapan udara (%)
𝑋2 = suhu udara (°C)
𝑋3 = kecepatan angin (𝑚⁄𝑑𝑒𝑡)
𝑋4 = tekanan udara (mb)

3.5 Teknik Sampling


Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan mempertimbangkan
sampel yang memiliki informasi yang diperlukan bagi peneliti dimana sampel data
pengamatan diambil secara runtun dari data terbaru.

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengambil data sekunder.
Data yang dikumpulkan adalah data bulanan curah hujan, kelembapan udara,
kecepatan angin, suhu udara dan tekanan udara Kota Samarinda periode Januari
2016 sampai dengan Desember 2021 melalui website resmi BPS Kota Samarinda
37

https://samarindakota.bps.go.id dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika


(BMKG).

3.7 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis statistika deskriptif,
metode ARIMA dan Fungsi Transfer. Teknik analisis dalam penelitian ini
menggunakan bantuan software R. Langkah-langkah dalam Melakukan analisis
statistika deskriptif danperamalan dengan metode ARIMA dan fungsi transfer
adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan data bulanan curah hujan, kelembapan udara, kecepatan
angin, suhu udara dan tekanan udara Kota Samarinda periode Januari 2016
sampai dengan Desember 2021.
2. Mendeskripsikan data berupa nilai rata-rata minimum dan maksimum per
bulan.
3. Melakukan uji independensi antar variabel curah hujan, kelembapan udara,
kecepatan angin, suhu udara dan tekanan udara
4. Melakukan pemodelan ARIMA untuk curah hujan menggunakan bantuan
software R. Langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Membuat grafik runtun waktu.
b. Melakukan analisis periodogram untuk pengujian pola musiman pada data
curah hujan.
c. Melakukan pemeriksaan stasioneritas data curah hujan Kota Samarinda
periode Januari 2016 sampai dengan Desember 2021. Jika data belum
stasioner pada variansinya maka perlu dilakukan transformasi Box-Cox dan
jika data belum stasioner pada rata-rata maka perlu dilakukan differencing
d. Melakukan identifikasi model ARIMA dengan mengamati plot ACF dan
PACF dari data yang telah stasioner.
e. Mengestimasi parameter model ARIMA menggunakan Maximum Likelihood
Estimation (MLE).
38

f. Melakukan pengujian signifikansi parameter dan pemeriksaan diagnostik


model ARIMA (uji residual berdistribusi normal dan uji independensi
residual).
g. Melakukan pemilihan model ARIMA terbaik yang memenuhi seluruh
pengujian pada pemeriksaan diagnostik model berdasarkan nilai AIC terkecil.
h. Melakukan peramalan curah hujan periode Januari-Desember 2022
menggunakan model ARIMA.
5. Membuat model fungsi transfer input ganda untuk meramalkan curah hujan.
Langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Melakukan pemodelan ARIMA terbaik untuk masing-masing (𝑋𝑖𝑡 )
kelembapan udara (𝑋1𝑡 ), kecepatan angin (𝑋2𝑡 ), suhu udara (𝑋3𝑡 ), dan
tekanan udara (𝑋4𝑡 ).
b. Melakukan pre-whitening untuk masing-masing runtun input (𝑋𝑖𝑡 ).
c. Melakukan pre-whitening runtun output (𝑌𝑡 )
d. Menentukan nilai r, s, dan b model fungsi transfer untuk setiap runtun input
berdasarkan grafik CCF masing-masing runtun input 𝑋𝑖𝑡 dan runtun output
yang telah dilakukan pre-whitening 𝑌𝑡 .
e. Menentukan dugaan model fungsi transfer multi input awal.
f. Mengidentifikasi model ARIMA runtun noise 𝑋𝑖𝑡 .
g. Menentukan dugaan model fungsi transfer multi input akhir.
h. Melakukan uji diagnostik model fungsi transfer .
i. Melakukan peramalan curah hujan periode Januari-Desember 2022
menggunakan model fungsi transfer.
6. Membandingkan hasil peramalan kedua model berdasarkan nilai MAPE.
Berdasarkan tahapan-tahapan analisis data, maka dibentuk diagram alir
sebagai berikut :
39

Mulai

Input data

Melakukan analisis statistika deskriptif

Membuat grafik runtun waktu

Melakukan analisis periodogram

Tidak
Apakah stasioner Transformasi
dalam variansi

Ya

Apakah stasioner
dalam rata-rata

Ya Tidak
Melakukan differencing data

Menetapkan model ARIMA (p,d,q)


sementara

Mengestimasi parameter model ARIMA

A B

Gambar 3.2 Tahapan analisis data


40

A B

Melakukan Uji Tidak


Diagnostik model

Ya

Menentukan model ARIMA terbaik dengan AIC

Melakukan Pemodelan ARIMA untuk masing-


masing runtun input (𝑋𝑖𝑡 )

Melakukan Pre-whitening untuk masing-masing runtun input (𝑋𝑖𝑡 )

Melakukan Pre-whitening runtun output (𝑌𝑡 )

Mengidentifikasi awal nilai b, r, dan s

Mengestimasi parameter fungsi transfer multi input awal

C D

Gambar 3.2 Tahapan analisis data (lanjutan)


41

D
C

Mengidentifikasi model runtun noise 𝑛𝑡

Mengestimasi parameter fungsi transfer multi


input akhir

Ya
Tidak

Melakukan uji diagnostik


model fungsi transfer

Melakukan peramalan menggunakan model fungsi transfer

Membandingkan model ARIMA dan fungsi transfer

Selesai

Gambar 3.2 Tahapan analisis data (lanjutan)


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Deskripsi Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan curah hujan,
kelembapan udara, kecepatan angin, suhu udara dan tekanan udara di Kota
Samarinda periode Januari 2016 sampai dengan Desember 2021 sebanyak 72 data.
Data bulanan curah hujan di Kota Samarinda periode Januari 2016 sampai dengan
Desember 2021 dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Data dan Analisis Rata-rata Curah Hujan di Kota Samarinda (mm)
Tahun
Bulan Rata-rata
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Januari 158,8 160,8 215,9 179,8 259,0 369,0 194,9
Februari 99,3 138,6 97,7 41,6 95,0 148,0 94,4
Maret 317,6 88,1 154,1 198,2 132,0 274,0 178,0
April 369,2 343,3 180,2 123,5 175,0 256,0 238,2
Mei 224,6 309,3 296,0 193,6 201,0 117,0 244,9
Juni 202,0 421,8 197,0 252,7 165,0 141,0 247,7
Juli 162,7 160,9 136,9 52,1 144,0 212,0 131,3
Agustus 99,3 249,7 47,9 62,5 228,0 350,0 137,5
September 226,4 100,0 127,4 49,2 276,0 244,0 155,8
Oktober 174,5 152,0 151,9 202,8 166,0 265,0 169,4
November 291,9 218,8 126,6 121,9 173,0 282,0 186,4
Desember 356,5 223,1 169,5 401,3 119,0 231,0 253,9

Berdasarkan Tabel 4.1 dilakukan analisis statistika deskriptif berupa nilai


rata-rata minimum dan maksimum perbulan dengan data yang digunakan adalah
data curah hujan di Kota Samarinda selama periode Januari 2016 sampai dengan
Desember 2021. Diperoleh rata-rata minimum curah hujan di Kota Samarinda
adalah sebesar 94,4 mm yang menunjukkan bahwa intensitas hujan pada bulan
43

Februari rendah karena berada pada rentang (0-100 mm/bulan). Curah hujan
maksimum di Kota Samarinda adalah sebesar 253,9 mm yang menunjukkan bahwa
intensitas hujan pada bulan Desember sedang karena berada pada rentang (100-300
mm/bulan).

Tabel 4.2 Data dan Analisis Rata-rata Kelembapan Udara di Kota Samarinda (%)
Tahun
Bulan Rata-rata
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Januari 76,0 82,0 81,0 80,0 74,4 84,0 80,5
Februari 75,0 80,0 82,0 76,0 70,1 84,0 78,8
Maret 77,0 81,0 80,0 78,0 71,8 83,0 79,5
April 78,0 82,0 82,0 80,0 72,8 83,0 80,7
Mei 82,0 86,0 84,0 82,0 78,5 84,0 83,5
Juni 83,0 84,0 83,0 83,0 79,7 82,0 83,3
Juli 82,0 82,0 81,0 62,0 79,2 83,0 81,5
Agustus 80,0 83,0 78,0 59,0 77,2 83,0 80,7
September 83,0 82,0 77,0 55,0 78,2 83,0 80,3
Oktober 79,0 77,0 81,0 65,0 76,0 74,0 75,8
November 84,0 81,0 82,0 85,0 76,0 83,0 82,0
Desember 57,0 76,0 80,0 76,0 78,0 78,0 73,0

Berdasarkan Tabel 4.2 dilakukan analisis statistika deskriptif berupa nilai


rata-rata minimum dan maksimum perbulan dengan data yang digunakan adalah
data kelembapan udara di Kota Samarinda selama periode Januari 2016 sampai
dengan Desember 2021. Diperoleh rata-rata kelembapan udara di Kota Samarinda
> 65% dengan nilai minimum dan maksimum berturut-turut adalah sebesar 73,0%
pada bulan Desember dan 83,5% pada bulan Mei yang berarti terlalu lembap.
44

Tabel 4.3 Data dan Analisis Rata-rata Kecepatan Angin di Kota Samarinda
(m/det)
Tahun
Bulan Rata-rata
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Januari 6,0 3,0 3,7 3,9 4,2 3,8 4,1
Februari 6,0 4,0 3,4 5,1 5,0 3,4 4,5
Maret 5,0 4,0 4,2 4,1 4,4 3,8 4,3
April 5,0 4,0 3,5 3,6 4,2 3,4 4,0
Mei 4,0 4,0 3,3 3,2 3,0 3,4 3,5
Juni 3,0 4,0 2,9 3,6 2,7 3,6 3,3
Juli 4,0 4,0 4,0 4,4 3,2 3,8 3,9
Agustus 4,0 4,0 4,2 4,7 3,3 3,6 4,0
September 4,0 4,0 4,3 4,8 3,1 3,6 4,0
Oktober 4,0 4,0 3,4 3,2 3,2 4,0 3,6
November 4,0 4,0 3,5 3,4 3,2 3,1 3,5
Desember 4,0 4,0 3,7 3,0 3,4 3,4 3,6

Berdasarkan Tabel 4.3 dilakukan analisis statistika deskriptif berupa nilai


rata-rata minimum dan maksimum perbulan dengan data yang digunakan adalah
data kecepatan angin di Kota Samarinda selama periode Januari 2016 sampai
dengan Desember 2021. Diperoleh rata-rata minimum kecepatan angin di Kota
Samarinda adalah tingkat 3 dengan nilai sebesar 3,3 m/det pada bulan Juni. Rata-
rata maksimum kecepatan angin di Kota Samarinda adalah tingkat 4 yaitu sebesar
4,5 m/det pada bulan Februari.

Tabel 4.4 Data dan Analisis Rata-rata Suhu Udara di Kota Samarinda (℃)
Tahun
Bulan Rata-rata
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Januari 28,7 27,4 27,6 27,7 28,2 27,6 27,9
Februari 29,0 27,9 27,6 28,4 28,6 27,3 28,1
45

Tabel 4.4 Data Analisis Rata-rata Suhu Udara di Kota Samarinda (℃) (Lanjutan)
Tahun
Bulan Rata-rata
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Maret 29,0 27,6 27,9 28,2 28,7 27,4 28,1
April 29,0 27,8 27,8 28,5 28,6 27,5 28,2
Mei 28,7 27,7 27,8 28,3 28,4 28,0 28,2
Juni 27,6 27,3 27,8 27,7 27,6 27,7 27,6
Juli 27,8 27,7 27,9 27,7 27,3 27,4 27,6
Agustus 27,9 27,2 28,0 27,9 27,5 27,2 27,6
September 27,4 27,8 28,1 28,5 27,6 27,4 27,8
Oktober 27,6 28,3 27,8 28,0 28,0 28,2 28,0
November 27,7 28,1 27,9 28,1 28,1 27,6 27,9
Desember 27,5 28,0 28,2 27,8 27,7 27,5 27,8

Berdasarkan Tabel 4.4 dilakukan analisis statistika deskriptif berupa nilai


rata-rata minimum dan maksimum perbulan dengan data yang digunakan adalah
data suhu udara di Kota Samarinda selama periode Januari 2016 sampai dengan
Desember 2021. Diperoleh rata-rata minimum adalah sebesar 27,6 ℃ pada bulan
Juni, Juli dan Agustus yang menunjukkan kondisi normal karena berada pada
rentang (22,0℃ − 33,0℃) dan rata-rata maksimum suhu udara adalah sebesar
28,2 ℃ pada bulan April dan Mei juga menunjukkan kondisi normal karena berada
pada rentang (22,0℃ − 33,0℃)

Tabel 4.5 Data dan Analisis Rata-rata Tekanan Udara di Kota Samarinda (𝑚𝑏)
Tahun
Bulan Rata-rata
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Januari 1.012,8 1.014,0 1.011,8 1.011,1 1.012,8 1.009,5 1.012,0
Februari 1.013,1 1.013,0 1.012,3 1.012,0 1.014,0 1.010,1 1.012,4
Maret 1.013,4 1.014,0 1.012,4 1.012,0 1.013,2 1.009,6 1.012,4
April 1.012,2 1.013,0 1.012,8 1.011,5 1.012,2 1.009,6 1.011,9
46

Tabel 4.5 Data dan Analisis Rata-rata Tekanan Udara di Kota Samarinda (𝑚𝑏)
(Lanjutan)
Tahun
Bulan Rata-rata
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Mei 1.012,7 1.012,0 1.011,9 1.011,7 1.012,5 1.008,9 1.011,6
Juli 1.013,1 1.012,0 1.012,7 1.011,7 1.012,8 1.008,4 1.011,8
Agustus 1.013,1 1.012,0 1.012,1 1.012,5 1.013,0 1.009,0 1.011,9
September 1.013,4 1.013,0 1.012,5 1.012,9 1.013,8 1.008,9 1.012,4
Oktober 1.013,8 1.012,0 1.011,7 1.013,0 1.012,5 1.008,2 1.011,9
November 1.012,0 1.011,0 1.009,4 1.011,5 1.011,1 1.008,6 1.010,6
Desember 1.012,7 1.011,0 1.011,0 1.011,8 1.012,1 1.007,9 1.011,1

Berdasarkan Tabel 4.5 dilakukan analisis statistika deskriptif berupa nilai


rata-rata minimum dan maksimum dengan data yang digunakan adalah data tekanan
udara di Kota Samarinda selama periode Januari 2016 sampai dengan Desember
2021. Diperoleh rata-rata minimum dan maksimum tekanan udara di Kota
Samarinda berturut-turut adalah sebesar 1011,6 mb pada bulan November dan
1012,4 mb pada bulan Februari, Maret dan September. Hal ini menunjukkan bahwa
tekanan udara normal karena tidak terjadi perubahan signifikan.

4. 2 Uji Independensi Antar Variabel


Pada analisis runtun waktu multivariat perlu dilakukan pengujian dependensi
(analisis korelasi) antar variabel, yaitu pengujian yang dilakukan untuk melihat
pengaruh antara variabel curah hujan, kelembapan udara, kecepatan angin, suhu
udara dan tekanan udara. Pengujian dependensi dapat dilakukan dengan
menggunakan uji Bartlett of Sphericity untuk membuktikan apakah antara variabel
memiliki keterkaitan satu sama lain atau tidak. Adapun hipotesis pengujian Bartlett
of Sphericity adalah sebagai berikut.
𝐻0 : 𝑅 = 𝐼 (Tidak terdapat korelasi antar variabel)
𝐻0 : 𝑅 ≠ 𝐼 (Terdapat korelasi antar variabel)
47

Statistik pengujian Bartlett of Sphericity dilakukan dengan menggunakan


Persamaan (2.1) dan matriks korelasi didapatkan dari nilai koefisien korelasi
dengan hasil perhitungan sebagai berikut:
∑72
𝑡=1(𝑦1𝑡 − 𝑦
̅1𝑡 )(𝑦2𝑡 − 𝑦̅2𝑡 )
𝑟𝑦1𝑦2 = 𝑟𝑦2𝑦1 = = 0,0973 (4.1)
√∑72
𝑡=1(𝑦1𝑡 − 𝑦̅1𝑡 )2 ∑72
𝑡=1(𝑦2𝑡 − 𝑦̅2𝑡 )2

∑72
𝑡=1(𝑦1𝑡 − 𝑦
̅1𝑡 )(𝑦3𝑡 − 𝑦̅3𝑡 )
𝑟𝑦1𝑦3 = 𝑟𝑦3𝑦1 = = −0,1857 (4.2)
√∑72 ̅1𝑡 )2 ∑72
𝑡=1(𝑦1𝑡 − 𝑦 ̅3𝑡 )2
𝑡=1(𝑦3𝑡 − 𝑦

∑72
𝑡=1(𝑦1𝑡 − 𝑦
̅1𝑡 )(𝑦4𝑡 − 𝑦̅4𝑡 )
𝑟𝑦1𝑦4 = 𝑟𝑦4𝑦1 = = −0,2249 (4.3)
√∑72
𝑡=1(𝑦1𝑡 − 𝑦̅1𝑡 )2 ∑72
𝑡=1(𝑦4𝑡 − 𝑦̅4𝑡 )2

∑72
𝑡=1(𝑦1𝑡 − 𝑦
̅1𝑡 )(𝑦5𝑡 − 𝑦̅5𝑡 )
𝑟𝑦1𝑦5 = 𝑟𝑦5𝑦1 = = −0,1900 (4.4)
√∑72
𝑡=1(𝑦1𝑡 − 𝑦̅1𝑡 )2 ∑72
𝑡=1(𝑦5𝑡 − 𝑦̅5𝑡 )2

∑72
𝑡=1(𝑦2𝑡 − 𝑦
̅2𝑡 )(𝑦3𝑡 − 𝑦̅3𝑡 )
𝑟𝑦2𝑦3 = 𝑟𝑦3𝑦2 = = −0,383 (4.5)
√∑72
𝑡=1(𝑦2𝑡 − 𝑦̅2𝑡 )2 ∑72
𝑡=1(𝑦3𝑡 − 𝑦̅3𝑡 )2

∑72
𝑡=1(𝑦2𝑡 − 𝑦
̅2𝑡 )(𝑦4𝑡 − 𝑦̅4𝑡 )
𝑟𝑦2𝑦4 = 𝑟𝑦4𝑦2 = = −0,3623 (4.6)
√∑72
𝑡=1(𝑦2𝑡 − 𝑦̅2𝑡 )2 ∑72
𝑡=1(𝑦4𝑡 − 𝑦̅4𝑡 )2

∑72
𝑡=1(𝑦1𝑡 − 𝑦
̅1𝑡 )(𝑦5𝑡 − 𝑦̅5𝑡 )
𝑟𝑦1𝑦5 = 𝑟𝑦5𝑦1 = = −0,1510 (4.7)
√∑72 ̅1𝑡 )2 ∑72
𝑡=1(𝑦1𝑡 − 𝑦 ̅5𝑡 )2
𝑡=1(𝑦5𝑡 − 𝑦

∑72
𝑡=1(𝑦3𝑡 − 𝑦
̅3𝑡 )(𝑦4𝑡 − 𝑦̅4𝑡 )
𝑟𝑦3𝑦4 = 𝑟𝑦4𝑦3 = = 0,5814 (4.8)
√∑72
𝑡=1(𝑦3𝑡 − 𝑦̅3𝑡 )2 ∑72
𝑡=1(𝑦4𝑡 − 𝑦̅4𝑡 )2

∑72
𝑡=1(𝑦3𝑡 − 𝑦
̅3𝑡 )(𝑦5𝑡 − 𝑦̅5𝑡 )
𝑟𝑦3𝑦5 = 𝑟𝑦5𝑦3 = = 0,2541 (4.9)
√∑72
𝑡=1(𝑦3𝑡 − 𝑦̅3𝑡 )2 ∑72
𝑡=1(𝑦5𝑡 − 𝑦̅5𝑡 )2

∑72
𝑡=1(𝑦4𝑡 − 𝑦
̅4𝑡 )(𝑦5𝑡 − 𝑦̅5𝑡 )
𝑟𝑦4𝑦5 = 𝑟𝑦5𝑦4 = = 0,2596 (4.10)
√∑72 ̅4𝑡 )2 ∑72
𝑡=1(𝑦4𝑡 − 𝑦 ̅5𝑡 )2
𝑡=1(𝑦5𝑡 − 𝑦

Berdasarkan perhitungan nilai koefisien korelasi di atas, diperoleh nilai


koefisien korelasi antara curah hujan dan kelembapan udara pada Persamaan (4.1)
yaitu sebesar 0,0973, di mana termasuk korelasi yang sangat lemah dan memiliki
48

arah hubungan linier positif, yang berarti semakin tinggi curah hujan maka
kelembapan udara akan semakin tinggi begitupun sebaliknya.
Koefisien korelasi antara curah hujan dan kecepatan angin pada Persamaan
(4.2) yaitu sebesar -0,1857, di mana termasuk korelasi yang sangat lemah dan
memiliki arah hubungan linier negatif, yang berarti semakin tinggi curah hujan
maka kecepatan angin akan semakin rendah begitupun sebaliknya.
Koefisien korelasi antara curah hujan dan suhu udara pada Persamaan (4.3)
yaitu sebesar -0,2249, di mana termasuk korelasi yang lemah dan memiliki arah
hubungan linier negatif, yang berarti semakin tinggi curah hujan maka suhu udara
akan semakin rendah begitupun sebaliknya.
Koefisien korelasi antara curah hujan dan tekanan udara pada Persamaan
(4.4) yaitu sebesar -0,1900, di mana termasuk korelasi yang lemah dan memiliki
arah hubungan linier negatif, yang berarti semakin tinggi curah hujan maka tekanan
udara akan semakin rendah begitupun sebaliknya.
Koefisien korelasi antara kelembapan udara dan kecepatan angin pada
Persamaan (4.5) yaitu sebesar -0,3834, di mana termasuk korelasi yang lemah dan
memiliki arah hubungan linier negatif, yang berarti semakin tinggi kelembapan
udara maka kecepatan angin akan semakin rendah begitupun sebaliknya.
Koefisien korelasi antara curah hujan dan suhu udara pada Persamaan (4.6)
yaitu sebesar -0,3623, di mana termasuk korelasi yang lemah dan memiliki arah
hubungan linier negatif, yang berarti semakin tinggi kelembapan udara maka suhu
udara akan semakin rendah begitupun sebaliknya.
Koefisien korelasi antara kelembapan udara dan tekanan udara pada
Persamaan (4.7) yaitu sebesar -0,1510, di mana termasuk korelasi yang sangat
lemah dan memiliki arah hubungan linier negatif, yang berarti semakin tinggi
kelembapan udara maka tekanan udara akan semakin rendah begitupun sebaliknya.
Koefisien korelasi antara kecepatan angin dan suhu udara pada Persamaan
(4.8) yaitu sebesar 0,5814, di mana termasuk korelasi yang sedang dan memiliki
arah hubungan linier positif, yang berarti semakin tinggi kecepatan angin maka
suhu udara akan semakin tinggi begitupun sebaliknya.
49

Koefisien korelasi antara kecepatan angin dan tekanan udara pada Persamaan
(4.9) yaitu sebesar 0,2541, di mana termasuk korelasi yang lemah dan memiliki
arah hubungan linier positif, yang berarti semakin tinggi kecepatan angin maka
tekanan udara akan semakin rendah begitupun sebaliknya.
Koefisien korelasi antara suhu udara dan tekanan udara pada Persamaan
(4.10) yaitu sebesar 0,2596, di mana termasuk korelasi yang lemah dan memiliki
arah hubungan linier positif, yang berarti semakin tinggi suhu udara maka tekanan
udara akan semakin rendah begitupun sebaliknya.
Berdasarkan perhitungan koefiesien korelasi di atas, maka diperoleh matriks
korelasi pada Persamaan (4.11) dan hasil statistik uji Bartlett of Sphericity pada
Persamaan (4.12) berikut:
ry1y1 ry1y2 ry1y3 ry1y4 ry1y5
ry2y1 ry2y2 ry2y3 ry2y4 ry2y5
R= ry3y1 ry3y2 ry3y3 ry3y4 ry3y5
ry4y1 ry4y2 ry4y3 ry4y4 ry4y5
[ry5y1 ry5y2 ry5y3 ry5y4 ry5y5 ]
1 0,0973 -0,1857 -0,2249 -0,1900
0,0973 1 -0,3834 -0,3623 -0,1510
= -0,1857 -0,3834 1 0,5814 0,2541
-0,2249 -0,3623 0,5814 1 0,2569
[ -0,1900 -0,1510 0,2541 0,2569 1 ]

2
2𝑚 − 5
𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = − (𝑛 − 1 − ) 𝑙𝑛|𝑹|
6
2(5) − 5
= − (144 − 1 − ) 𝑙𝑛|0,4632|
6
= 53,9918
Dari hasil perhitungan pada Persamaan (4.12) menuunjukkan bahwa nilai
𝜒 2 ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 53,9918 lebih besar dari 𝜒 2 𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝜒 2 0,05;10 = 18,037 yang artinya

𝐻0 ditolak. Dapat disimpulkan bahwa antara curah hujan, kelembapan udara,


kecepatan angin, suhu udara dan tekanan udara memiliki korelasi. Selanjutnya
dapat dilakukan analisis model univariat antara variabel curah hujan, kelembapan
udara, kecepatan angin, suhu udara dan tekanan udara di Kota Samarinda.
50

4. 3 Pemodelan ARIMA Curah Hujan di Kota Samarinda


Melakukan pemodelan ARIMA untuk data curah hujan di Kota Samarinda
periode Januari 2016 sampai dengan Desember 2021.

4.3.1 Pemeriksaan Pola Data


Grafik runtun waktu digunakan untuk melihat pola pada data, agar dapat
melihat pola data curah hujan maka dibuat grafik runtun waktu yang ditampilkan
pada Gambar 4.1.

Grafik Runtun Waktu


400
300
Data Curah Hujan

200
100

0 10 20 30 40 50 60 70

Time

Gambar 4.1 Grafik data runtun waktu curah hujan di Kota Samarinda

Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa data bulanan curah hujan di
Kota Samarinda periode Januari 2016 sampai dengan Desember 2021 tidak
membentuk pola yang stasioner dan tren, tetapi cenderung membentuk pola
musiman. Hal ini dikarenakan pola dari data tersebut mengalami kenaikan dan
penurunan yang berulang-ulang secara periodik. Pemeriksaan yang dilakukan
dengan melihat grafik memberikan hasil subjektif, maka perlu dilakukan analisis
periodogram untuk mengetahui apakah terdapat pola musiman pada data curah
hujan di Kota Samarinda.
51

4.3.2 Pengujian Pola Musiman menggunakan Analisis Periodogram


Berikut adalah beberapa langkah untuk menentukan nilai periodogram data
curah hujan di Kota Samarinda periode Januari 2016 sampai dengan Desember
2021. Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan nilai kofisien Fourier
(𝜔𝑝𝑖 ) untuk menghitung koefisien Fourier. Berdasarkan Persamaan (2.6) akan
𝑛
dilakukan perhitungan nilai frekuensi koefisien Fourier di mana i = 0, 1, 2, … , 2

dan 𝑛 = 72. Perhitungan frekuensi Fourier 𝑖 = 0 adalah sebagai berikut:


2 × 3,1416 × 0
𝜔𝑝0 =
72
= 0,0000
untuk frekuensi Fourier di mana 𝑖 = 1 adalah sebagai berikut:
2 × 3,1416 × 1
𝜔𝑝1 =
72
= 0,0861
Perhitungan frekuensi Fourier dilakukan sampai dengan 𝑖 = 35 dan 𝑖 = 36, di
mana hasil perhitungan untuk 𝑖 = 35 adalah sebagai berikut:
2 × 3,1416 × 35
𝜔𝑝35 =
72
= 3,0125
Hasil perhitungan frekuensi Fourier untuk 𝑖 = 36 adalah sebagai berikut:
2 × 3,1416 × 36
𝜔𝑝36 =
72
= 3,0986
Setelah memperoleh nilai frekuensi Fourier, selanjutnya adalah menghitung
nilai koefisien Fourier (𝑎′ 𝑖 ) menggunakan persamanan (2.4). Untuk menghitung
koefisien Fourier (𝑎′ 𝑖 ) di mana 𝑖 = 0 adalah sebagai berikut:
72

1
𝑎 0 = [∑ 𝑓𝑡 cos(𝜔𝑝0 𝑡)]
72
𝑡=1

(0,97 × cos(0,0000 × 1)) + (0,12 × cos(0,0000 × 2)) + ⋯ +


[ ]
(0,25 × cos(0,0000 × 72))
=
72
= 195,1082
52

untuk koefisien Fourier (𝑎′ 𝑖 ) di mana 𝑖 = 1 adalah sebagai berikut:


72

2
𝑎 1 = [∑ 𝑓𝑡 cos(𝜔𝑝0 𝑡)]
72
𝑡=1

(0,97 × cos(0,0873 × 1)) + (0,12 × cos(0,0873 × 2)) + ⋯ +


2[ ]
(0,25 × cos(0,873 × 72))
=
72
= 40,0977
Perhitungan koefisien Fourier dilakukan sampai dengan 𝑖 = 35 dan 𝑖 = 36, di
mana hasil perhitungan untuk 𝑖 = 35 adalah sebagai berikut:
72

2
𝑎 35 = [∑ 𝑓𝑡 cos(𝜔𝑝35 𝑡)]
72
𝑡=1

(0,97 × cos(3,0543 × 1)) + (0,12 × cos(3,0543 × 2)) + ⋯ +


[ ]
(0,25 × cos(3,0543 × 72))
=
72
= 2,3298
Hasil perhitungan koefisien Fourier untuk 𝑖 = 36 adalah sebagai berikut:
72

2
𝑎 36 = [∑ 𝑓𝑡 cos(𝜔𝑝36 𝑡)]
72
𝑡=1

(0,97 × cos(3,1416 × 1)) + (0,12 × cos(3,1416 × 2)) + ⋯ +


2[ ]
(0,25 × cos(3,1416 × 72))
=
72
= −3,3667
Selanjutnya adalah menghitung nilai koefisien Fourier (𝑏𝑖 ) menggunakan
persamanan (2.5). Untuk menghitung koefisien Fourier (𝑏𝑖 ) di mana 𝑖 = 1 adalah
sebagai berikut:
72
1
𝑏1 = [∑ 𝑓𝑡 sin(𝜔𝑝1 𝑡)]
72
𝑡=1

(0,97 × sin(0,0873 × 1)) + (0,12 × sin(0,0873 × 2)) + ⋯ +


[ ]
(0,25 × sin(0,0873 × 72))
=
72
= 14,1441
53

Perhitungan koefisien Fourier (𝑏𝑖 ) dilakukan sampai dengan 𝑖 = 35, di mana hasil
perhitungan untuk 𝑖 = 35 adalah sebagai berikut:
72
1
𝑏35 = [∑ 𝑓𝑡 sin(𝜔𝑝35𝑡)]
72
𝑡=1

(0,97 × sin(3,0543 × 1)) + (0,12 × sin(3,0543 × 2)) + ⋯ +


[ ]
(0,25 × sin(3,0543 × 72))
=
72
= 2,3298
Selanjutnya adalah menghitung nilai periodogram I(𝜔𝑝𝑖 ) menggunakan Persamaan
(2.3). Untuk nilai periodogram dengan 𝑖 = 0 adalah sebagai berikut:
𝐼(𝜔𝑝0 ) = 72(𝑎02 )
= 72((0,02407)2 )
= 2778906,8549
untuk nilai periodogram dengan 𝑖 = 1 adalah sebagai berikut:
72(𝑎12 + 𝑏12 )
𝐼(𝜔𝑝1 ) =
2
72((−0,0402)2 + (−0,0959)2 )
=
2
= 65987,6213
Perhitungan nilai periodogram dilakukan sampai dengan 𝑖 = 35 dan 𝑖 = 36, di
mana hasil perhitungan 𝑖 = 35 adalah sebagai berikut:
72(a235 +b235 )
I(𝜔𝑝35 )=
2
72((−0,0392)2 + (−0,0613)2 )
=
2
= 973,9437
untuk nilai periodogram dengan 𝑖 = 36 adalah sebagai berikut:
2
𝐼(𝜔𝑝36 ) = 72(𝑎36 )
= 72((0,0190)2 )
= 827,4319
Hasil lengkap perhitungan frekuensi Fourier, koefisien Fourier, dan nilai
periodogram dapat dilihat pada Tabel 4.6.
54

Tabel 4.6 Analisis Periodogram Data Curah Hujan Kota Samarinda Periode
Januari 2016 sampai dengan Desember 2021
i 𝝎𝒑𝒊 𝑎′ 𝒊 𝒃𝒊 𝑰(𝝎𝒑𝒊 )
𝟎 𝟎, 𝟎𝟎𝟎𝟎 𝟏𝟗𝟓, 𝟏𝟎𝟖𝟐 𝟏𝟒, 𝟏𝟒𝟒𝟎 𝟐. 𝟕𝟒𝟐. 𝟐𝟖𝟔, 𝟖𝟑𝟔𝟖
1 0,0861 40,0977 −6,5674 6.8623,0032
2 0,1721 −13,5875 −7,8663 6.765,5880
3 0,2582 8,0774 −5,2170 4.507,6776
4 0,3443 8,3848 7,2036 4.394,1819
5 0,4304 1,7726 6,1578 3.072,3436
6 0,5164 −3,4958 −27,0774 3.877,4069
7 0,6025 1,9648 6,4342 22.646,9720
8 0,6886 −10,0734 −4,0145 4.336,1817
9 0,7746 −4,7183 −40,1457 463,0444
10 0,8726 −34,6491 −13,7670 64.248,8500
11 0,9599 −41,3615 −29,9645 68.411,0200
12 1,0471 26,8944 16,4100 58.362,5200
13 1,1344 −5,2286 9,2790 10.678,6000
14 1,2217 −0,0731 −9,9011 3.099,8310
15 1,3089 13,3619 −16,0569 9.956,6870
16 1,3962 −5,2216 −9,8833 10.263,2200
17 1,4835 8,8041 12,8055 6.306,9350
18 1,5707 24,2527 −11,1791 27.078,4600
19 1,6580 19,1894 −11,4691 17.755,5000
20 1,7453 −0,4606 −5,11579 4.743,0710
21 1,8325 1,9557 −10,0742 1.079,8610
22 1,9198 4,4141 2,1233 4.355,0630
23 2,0071 −14,3811 13,4233 7.607,7160
24 2,0943 15,9611 0,8835 15.658,0000
25 2,1816 3,2360 19,6225 405,0958
26 2,2689 1,2316 −1,4085 13.916,2000
55

Tabel 4.6 Analisis Periodogram Data Curah Hujan Kota Samarinda Periode
Januari 2016 sampai dengan Desember 2021 (Lanjutan)
i 𝝎𝒑𝒊 𝒂′ 𝒊 𝒃𝒊 𝑰(𝝎𝒑𝒊 )
27 2,3561 −3,4568 −4,8279 501,6006
28 2,4434 −1,8592 −8,97702 963,5801
29 2,5307 -20,0831 14,2552 17.421,0500
30 2,6179 −15,4460 −10,2159 15.904,4700
31 2,7052 2,5914 17,0544 3.998,8950
32 2,7925 9,6759 24,0815 13.841,1800
33 2,8797 16,4434 −13,7670 30.611,0300
34 2,9670 −14,6111 −29,9645 19.560,8000
35 3,0543 2,3298 −23,2092 2.110,5911
36 3,1412 −3,3667 4,6104 1.790,0139
Sumber: Lampiran 8

Hipotesis analisis periodogram adalah sebagai berikut :


Hipotesis
𝐻0 : 𝑎𝑖 = 𝑏𝑖 = 0, i = 0, 1, 2, … , 36
(Tidak terdapat pola musiman pada data curah hujan)
𝐻1 : 𝑎𝑖 ≠ 𝑏𝑖 ≠ 0, i = 0, 1, 2, … , 36
(Terdapat pola musiman pada data curah hujan)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 5%
Statistik Uji
𝐼 (1) (𝜔(1) )
𝑇 = ∑36
𝑖=1 𝐼 (𝜔(1) )

Daerah Penolakan
Menolak 𝐻0 jika 𝑇 > gα.
Statistik Hitung

𝐼 (1) (𝜔𝑝 (𝑖) )


𝑇=
∑36
𝑖=1 𝐼 (𝜔𝑝 (𝑖) )
56

549373,2
=
2778906,8459+65987,6213+8312,9596+…+827,4319
75738,87
=
548007,3
= 0,1249114

Keputusan
Karena 𝑇 < g0,05 di mana 𝑇 = 0,1382 dan nilai kritis berdasarkan Tabel 2.1

adalah g0,05 = 0,1753 maka diputuskan 𝐻0 gagal ditolak

Kesimpulan
Tidak terdapat pola musiman pada data curah hujan
Berdasarkan pengujian hipotesis diperoleh kesimpulan bahwa data curah
hujan di Kota Samarinda periode Januari 2016 sampai dengan Desember 2021
merupakan data yang tidak berpola musiman

4.3.3 Pemeriksaan Stasioneritas Data Curah Hujan


Tahapan awal dalam mengidentifikasi model adalah memeriksa apakah data
curah hujan sudah stasioner dalam variansi ataupun stasioner dalam rata-rata.
stasioneritas terhadap variansi dapat dilakukan dengan pemeriksaan pada grafik
Box-Cox yang dapat dilihat pada Gambar 4.3.
-100

95%
-200
-300
log-Likelihood

-400
-500
-600

-2 -1 0 1 2

Gambar 4.3 Grafik Box-Cox curah hujan


57

Berdasarkan Gambar 4.3 terlihat bahwa data tidak stasioner dalam variansi,
dimana nilai dari 𝜆 = 0,5085639. Nilai 𝜆 belum mendekati 1 sehingga dapat
disimpulkan bahwa data curah hujan belum stasioner dalam variansi. Oleh karena
data curah hujan belum stasioner dalam variansi, maka perlu dilakukan
(0,5085639)
transformasi Box-Cox pada data curah hujan yaitu 𝑍𝑡 . Setelah dilakukan
transformasi pada data, maka dilakukan pemeriksaan kembali pada nilai 𝜆 yang
dapat dilihat pada Lampiran 9 dan diperoleh nilai 𝜆 = 0,999999. Nilai 𝜆 telah
mendekati 1, maka syarat dari nilai estimasi telah terpenuhi dan dapat disimpulkan
bahwa data curah hujan telah stasioner dalam variansi.

Grafik Runtun Waktu


20
Data Curah Hujan Setelah di Transformasi

15
10

0 10 20 30 40 50 60 70

Time

Gambar 4.4 Grafik data runtun waktu curah hujan setelah di transformasi

Berdasarkan Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa grafik data runtun waktu setelah
ditransformasi membentuk pola yang stasioner dalam variansi. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan stasioneritas terhadap rata-rata dengan pemeriksaan pada
grafik ACF data curah hujan setelah di transformasi yang dapat dilihat pada Gambar
4.5
58

Grafik ACF Data Curah Hujan Setelah T ransformasi

1.0
0.8
0.6
0.4
ACF

0.2
0.0
-0.2

0 10 20 30 40 50 60 70

Lag

Gambar 4.5 Grafik ACF data curah hujan setelah transformasi

Berdasarkan Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa pada grafik ACF data curah
hujan nilai lag telah cut off setelah lag 0, sehingga dapat dikatakan data curah hujan
telah stasioner dalam rata-rata. Pemeriksaan stasioneritas rata-rata yang dilakukan
dengan melihat grafik ACF memberikan hasil yang subjektif, maka perlu dilakukan
pemeriksaan dengan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Berdasarkan uji ADF
pada Lampiran 10 diperoleh hipotesis sebagai berikut :
Hipotesis
𝐻0 : 𝛿 = 0, (Data curah hujan setelah tranformasi tidak stasioner dalam rata-
rata)
𝐻1 : 𝛿 ≠ 0, (Data curah hujan setelah tranformasi stasioner dalam rata-rata)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 5%
Statistik Uji
̂
𝜇
𝛿 = 𝑆𝐸(𝜇̂)

Daerah Penolakan
Menolak 𝐻0 jika |𝛿| > |𝜏𝛼;𝑑𝑏 | atau p-value < 𝛼
Keputusan
Karena |𝛿| < |𝜏0,05;72 | di mana |−0,5969| < |−1,95| atau p-value > 𝛼 di
mana 0,4222 > 0,05 maka diputuskan H0 gagal ditolak.
Kesimpulan
Data curah hujan setelah transformasi tidak stasioner dalam rata-rata.
59

Berdasarkan grafik ACF dan uji ADF dapat disimpulkan bahwa data curah
hujan setelah transformasi tidak stasioner dalam rata-rata, maka perlu dilakukan
differencing orde 1 pada data curah hujan setelah transformasi. Grafik ACF untuk
data curah hujan setelah transformasi dan differencing orde 1 dapat dilihat pada
Gambar 4.6.

Grafik ACF Data Curah Hujan Setelah T ransformasi dan differencing orde 1
1.0
0.8
0.6
0.4
ACF

0.2
0.0
-0.2
-0.4

0 10 20 30 40 50 60 70

Lag

Gambar 4.6 Grafik ACF data curah hujan setelah transformasi dan differencing
orde 1

Berdasarkan Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa pada grafik ACF nilai lag
telah cut off setelah lag 1, sehingga dapat dikatakan data curah hujan setelah
dilakukan differencing telah stasioner dalam rata-rata Pemeriksaan yang dilakukan
dengan melihat grafik ACF memberikan hasil yang subjektif, maka perlu dilakukan
pemeriksaan dengan uji ADF. Berdasarkan uji ADF pada Lampiran 10 diperoleh
hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis
𝐻0 : 𝛿 = 0, (Data curah hujan setelah tranformasi dan differencing tidak
stasioner dalam rata-rata)
𝐻1 : 𝛿 ≠ 0, (Data curah hujan setelah tranformasi dan differencing stasioner
dalam rata-rata)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
̂
𝜇
𝛿 = 𝑆𝐸(𝜇̂)
60

Daerah Penolakan
Menolak 𝐻0 jika |𝛿| > |𝜏𝛼;𝑑𝑏 | atau p-value < 𝛼
Keputusan
Karena |𝛿| < |𝜏0,05;72 | di mana |−7,755| > |−1,95| atau p-value < 𝛼 di
mana 0,01 < 0,05 maka diputuskan H0 ditolak.
Kesimpulan
Data curah hujan setelah transformasi stasioner dalam rata-rata.

Grafik Runtun Waktu


10
Data Curah Hujan Setelah di Transformasi dan Differencing

5
0
-5

0 10 20 30 40 50 60 70

Time

Gambar 4.7 Grafik data runtun waktu curah hujan setelah di transformasi dan
differencing orde 1

Berdasarkan Gambar 4.7 dapat dilihat bahwa grafik data runtun waktu curh
hujan setelah di transformasi dan differencing orde 1 membentuk pola yang
stasioner dalam rata-rata. Hal ini dikarenakan data cenderung berfluktuasi disekitar
rata-rata yang konstan dari waktu ke waktu.

Grafik PACF Data Curah Hujan Setelah T ransformasi


0.2
0.1
0.0
PACF

-0.1
-0.2
-0.3
-0.4

0 10 20 30 40 50 60 70

Lag

Gambar 4.8 Grafik PACF data curah hujan setelah transformasi dan differencing
orde 1
61

Identifikasi model ARIMA sementara dilakukan dengan melihat Grafik ACF


dan PACF. Berdasarkan Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa nilai ACF cut off setelah
lag 1 dan berdasarkan Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa nilai PACF cut off setelah
lag 6, sehingga diperoleh kombinasi model ARIMA sementara yang diperoleh
dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Model ARIMA Sementara Data Curah Hujan


Model Sementara Model
ARIMA (0, 1, 1) 𝑍𝑡 = 𝑍𝑡−1 + 𝑒𝑡 − 𝜃1 𝑒𝑡−1
ARIMA (1, 1, 0) 𝑍𝑡 = (1 + 𝜙1 )𝑍𝑡−1 − 𝜙1 𝑍𝑡−2 + 𝑒𝑡
ARIMA (1, 1, 1) 𝑍𝑡 = (1 + 𝜙1 )𝑍𝑡−1 − 𝜙1 𝑍𝑡−2 + 𝑒𝑡 − 𝜃1 𝑒𝑡−1
𝑍𝑡 = (1 + 𝜙1 )𝑍𝑡−1 + (𝜙2 − 𝜙1 )𝑍𝑡−2 − 𝜙1 𝑍𝑡−2 +
ARIMA (2,1,1)
𝑒𝑡 − 𝜃1 𝑒𝑡−1
ARIMA (3, 1, 1) 𝑍𝑡 = (1 + 𝜙1 )𝑍𝑡−1 + (𝜙2 − 𝜙1 )𝑍𝑡−2 + (𝜙3 − 𝜙2 )𝑍𝑡−3 −
𝜙3 𝑍𝑡−4 + 𝑒𝑡 − 𝜃1 𝑒𝑡−1
ARIMA (4, 1, 1) 𝑍𝑡 = (1 + 𝜙1 )𝑍𝑡−1 + (𝜙2 − 𝜙1 )𝑍𝑡−2 + (𝜙3 − 𝜙2 )𝑍𝑡−3 +
(𝜙4 − 𝜙3 )𝑍𝑡−4 − 𝜙4 𝑍𝑡−5 + 𝑒𝑡 −𝜃1 𝑒𝑡−1
ARIMA (5, 1, 1) 𝑍𝑡 = (1 + 𝜙1 )𝑍𝑡−1 + (𝜙2 − 𝜙1 )𝑍𝑡−2 + (𝜙3 − 𝜙2 )𝑍𝑡−3 +
(𝜙4 − 𝜙3 )𝑍𝑡−4 + (𝜙5 − 𝜙4 )𝑍𝑡−5 − 𝜙5 𝑍𝑡−6 + 𝑒𝑡 −𝜃1 𝑒𝑡−1
ARIMA (6, 1, 1) 𝑍𝑡 = (1 + 𝜙1 )𝑍𝑡−1 + (𝜙2 − 𝜙1 )𝑍𝑡−2 + (𝜙3 − 𝜙2 )𝑍𝑡−3 +
(𝜙4 − 𝜙3 )𝑍𝑡−4 + (𝜙5 − 𝜙4 )𝑍𝑡−5 + +(𝜙6 − 𝜙5 )𝑍𝑡−6 −
𝜙6 𝑍𝑡−7 + 𝑒𝑡 −𝜃1 𝑒𝑡−1

4.3.4 Pengujian Signifikansi Parameter Model ARIMA


Model ARIMA diperoleh pada tahap identifikasi model, selanjutnya akan
dilakukan penaksiran dan pengujian signifikansi parameter model ARIMA
berdaarkan model dugaan yang diperoleh. Penaksiran dan pengujian signifikansi
parameter dilakukan menggunakan bantuan software R. Pengujian signifikansi
parameter pada model ARIMA adalah sebagai berikut:
62

Hipotesis
𝐻0 : 𝜏 = 0, (Parameter tidak signifikan dalam model)
𝐻1 : 𝜏 ≠ 0, (Parameter signifikan model)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
𝜏̂
𝑡ℎ𝑖𝑡 =
𝑆𝐸(𝜏̂ )
Daerah Penolakan
Menolak 𝐻0 jika |𝑡ℎ𝑖𝑡 | > |𝑡0,025:𝑑𝑏 | atau p-value < 𝛼, dengan 𝑑𝑏 = 𝑛 − 𝑛𝑝
di mana 𝑛 adalah 72 dan 𝑛𝑝 adalah banyaknya parameter.
Pada kasus ini, 𝜏 mencakup parameter ARIMA yaitu 𝜙1 , 𝜙2 , 𝜙3 , 𝜙4 , 𝜙5 , 𝜙6
dan 𝜃1 . Hasil penaksiran dan pengujian signifikansi parameter dapat dilihat pada
Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model ARIMA


Taksiran
Model 𝒕𝒉𝒊𝒕 db 𝒕𝟎,𝟎𝟐𝟓:𝒅𝒃 p-value Keputusan
Parameter
ARIMA
𝜃̂1 = −1,0000 −28,148 71 1,9939 <2,2×10-16 𝐻0 ditolak
(0, 1, 1)
ARIMA
𝜙̂1 = −0,6689 −7,5098 71 1,9939 1,352e×10-10 𝐻0 ditolak
(1, 1, 0)
ARIMA 𝜙̂1 = −0,3852 −3,516 70 1,9944 0,0008 𝐻0 ditolak
(1, 1, 1) 𝜃̂1 = −1,0000 -27,304 70 1,9944 <2,2×10-16 𝐻0 ditolak

𝜙̂1 = −0,4243 −3,5700 69 1,9950 0,0007 𝐻0 ditolak


ARIMA
𝐻0 gagal
(2, 1, 1) 𝜙̂2 = −0,1000 −0,8253 69 1,9950 0,4121
ditolak
𝜃̂1 = −1,0000 −27,0555 69 1,9950 <2,2×10-16 𝐻0 ditolak
63

Tabel 4.8 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model ARIMA


(Lanjutan)
Taksian
𝒕𝒉𝒊𝒕 db 𝒕𝟎,𝟎𝟐𝟓:𝒅𝒃 p-value Keputusan
Model Parameter
̂ 1 = −0,4637
ϕ −4,0972 68 1,9955 0,0001 𝐻0 ditolak
ARIMA
𝐻0 gagal
(3, 1, 1) ̂ 2 = −0,2471
ϕ −1,9519 68 1,9955 0,0551
ditolak
̂ 3 = −0,3094
ϕ −2,6817 68 1,9955 0,0091 𝐻0 ditolak

θ̂1 = −1,000 −25,0323 68 1,9955 <2,2×10-16 𝐻0 ditolak


̂ 1 = −0,5976
ϕ −5,5013 67 1,9961 6,380×10-07 𝐻0 ditolak
̂ 2 = −0,3453
ϕ −2,9109 67 1,9961 0,0049 𝐻0 ditolak
ARIMA
̂ 3 = −0,5079
ϕ −4,3397 67 1,9961 4,92×10-05 𝐻0 ditolak
(4, 1, 1)
̂ 4 = −0,4020
ϕ −3,6404 67 1,9961 0,0005 𝐻0 ditolak

θ̂1 = −1,0000 −21,2704 67 1,9961 <2,2×10-16 𝐻0 ditolak


̂ 1 = −0,7330
ϕ −6,5169 66 1,9966 7,716×10-11 𝐻0 ditolak
̂ 2 = −0,5160
ϕ −4,0745 66 1,9966 4,611×10-05 𝐻0 ditolak
ARIMA
̂ 3 = −0,6201
ϕ −5,3178 66 1,9966 1,050×10-16 𝐻0 ditolak
(5, 1, 1)
̂ 4 = −0,6011
ϕ −4,8351 66 1,9966 1,331×10-16 𝐻0 ditolak
̂ 5 = −0,3222
ϕ −2,8235 66 1,9966 0,0048 𝐻0 ditolak
θ̂1 = −0,9999 −11,6531 66 1,9966 <2,2×10-16 𝐻0 ditolak
̂ 1 = −0,8429
ϕ −7,2305 65 1,9971 6,783×10-10 𝐻0 ditolak
̂ 2 = −0,7150
ϕ −4,9031 65 1,9971 6,608×10-06 𝐻0 ditolak

ARIMA ̂ 3 = −0,8226
ϕ −5,8966 65 1,9971 1,457×10-07 𝐻0 ditolak
(6, 1, 1) ̂ 4 = −0,7642
ϕ −5,6102 65 1,9971 4,475×10-07 𝐻0 ditolak
̂ 5 = −0,5583
ϕ −3,8817 65 1,9971 0,0002 𝐻0 ditolak
̂ 6 = 0,2962
ϕ −2,5051 65 1,9971 0,0147 𝐻0 ditolak

θ̂1 = −0,9961 −16,7781 65 1,9971 <2,2×10-16 𝐻0 ditolak


Sumber : Lampiran 12
64

Berdasarkan pengujian signifikansi parameter pada Tabel 4.8 terdapat


beberapa nilai p-value yang lebih besar dari 𝛼 = 0,05 sehingga diputuskan 𝐻0
gagal ditolak. Dapat disimpulkan bahwa model yang memiliki parameter signifikan
yaitu model ARIMA(0, 1, 1), ARIMA(1, 1, 0), ARIMA(1, 1, 1), ARIMA(4, 1, 1),
ARIMA(5, 1, 1) dan ARIMA(6, 1, 1) .

4.3.5 Pemeriksaan Diagnostik Data Model ARIMA


Pemeriksaan diagnostik pada model ARIMA dilakukan dengan uji residual
berdistribusi normal dan uji independensi residual.
a. Uji Residual Berdistribusi Normal
Uji residual berdistribusi normal dalam pemeriksaan diagnostik dilakukan
untuk mengetahui apakah data residual telah memenuhi asumsi kenormalan atau
tidak. Uji kenormalan yang digunakan pada penelitian ini adalah uji Kolmogorov-
Smirnov dengan bantuan software R. Pengujian kenormalan residual adalah sebagai
berikut:
Hipotesis
𝐻0 : 𝐹0 (𝑍) = 𝑆𝑛 (𝑍), (Residual berdistribusi normal)
𝐻1 : 𝐹0 (𝑍) ≠ 𝑆𝑛 (𝑍), (Residual tidak berdistribusi normal)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
𝐷ℎ𝑖𝑡 = sup|𝐹0 (𝑍) − 𝑆𝑛 (𝑍)|
di mana:
𝐹0 (𝑍) = fungsi distribusi kumulatif normal
𝑆𝑛 (𝑍) = fungsi distribusi kumulatif sampel
Daerah Penolakan
Menolak 𝐻0 jika |𝐷ℎ𝑖𝑡 | > |𝐷𝛼:𝑛 | di mana n adalah 72
65

Tabel 4.9 Hasil Pengujian Kenormalan Residual


Model 𝑫𝒉𝒊𝒕 𝑫𝟎,𝟎𝟐𝟓:𝟕𝟐 p-value Keputusan
ARIMA (0,1,1) 0,0527 0,1603 0,9833 𝐻0 gagal ditolak
ARIMA (1,1,0) 0,0642 0,1603 0,9136 𝐻0 gagal ditolak
ARIMA (1,1,1) 0,0588 0,1603 0,9542 𝐻0 gagal ditolak
ARIMA (4, 1, 1) 0,0692 0,1603 0,8625 𝐻0 gagal ditolak
ARIMA (5, 1, 1) 0,0731 0,1603 0,8152 𝐻0 gagal ditolak
ARIMA (6, 1, 1) 0,0763 0,1603 0,7731 𝐻0 gagal ditolak
Sumber : Lampiran 13
Berdasarkan pengujian kenormalan residual pada Tabel 4.9 dapat
disimpulkan bahwa seluruh model ARIMA memiliki residual yang berdistribusi
normal yaitu model ARIMA(0, 1, 1), ARIMA(1, 1, 0), ARIMA(1, 1, 1), ARIMA(2,
1, 1), ARIMA(3, 1, 1), ARIMA(4, 1, 1), ARIMA(5, 1, 1) dan ARIMA(6, 1, 1).
b. Uji Independensi Residual
Uji independensi residual dilakukan setelah uji kenormalan residual. Uji
independensi residual dilakukan untuk mengetahui apakah data residual telah
independen. Pengujian independensi residual yang digunakan pada penelitian ini
adalah uji Ljung-Box dengan bantuan software R adalah sebagai berikut:
Hipotesis
𝐻0 : 𝜌1 = 𝜌2 = ⋯ = 𝜌𝑘 = 0 (Tidak terjadi autocorreltion pada residual)
𝐻1 : minimal ada satu 𝜌𝑗 ≠ 0, untuk 𝑗 = 1,2, … , 𝑘 (Terjadi autocorrelation
pada residual)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
∗ ̂2
𝜌
𝑄 ∗ = 𝑛′(𝑛′ + 2) ∑𝑘𝑘=1 (𝑛−𝑘)
𝑘

Daerah Penolakan
2
Menolak 𝐻0 jika 𝑄 ∗ > 𝜒0,05;72 atau p-value > 𝛼
66

Pengujian independensi residual dilakukan dengan membuat grafik runtun


waktu dari setiap nilai p-value pada pengujian Ljung-Box yang kemudian
dibandingkan dengan taraf signifikansi yang telah ditentukan yaitu 𝛼 = 0,05.
Model ARIMA dikatakan memenuhi asumsi independensi residual apabila p-value
lebih besar dari 𝛼 = 0,05 (berada di atas garis threshold). Grafik runtun waktu dari
pengujian Ljung-box untuk setiap model dapat dilihat pada Gambar 4.9.

Ljung-Box ARIMA(0,1,1) Ljung-Box ARIMA(1,1,0)


1.0

1.0
0.8

0.8
0.6

0.6
p value

p value
0.4

0.4
0.2

0.2
0.0

0.0

5 10 15 20 5 10 15 20

lag lag

(a) (b)

Ljung-Box ARIMA(1,1,1) Ljung-Box ARIMA(4,1,1)


1.0

1.0
0.8

0.8
0.6

0.6
p value

p value
0.4

0.4
0.2

0.2
0.0

0.0

5 10 15 20 5 10 15 20

lag lag

(c) (d)
Gambar 4.9 Grafik pengujian Ljung-Box data curah hujan
67

Ljung-Box ARIMA(5,1,1) Ljung-Box ARIMA(6,1,1)

1.0
1.0

0.8
0.8

0.6
0.6

p value
p value

0.4
0.4

0.2
0.2

0.0
0.0

5 10 15 20 5 10 15 20

lag lag

(e) (f)

Gambar 4.9 Grafik pengujian Ljung-Box data curah hujan (Lanjutan)

Berdasarkan Gambar 4.9 menunjukkan bahwa model ARIMA(4, 1, 1),


ARIMA(5, 1, 1) dan ARIMA(6, 1, 1) telah memenuhi asumsi independensi
residual dikarenakan nilai p-value untuk setiap 𝑡 berada diatas garis threshold atau
taraf signfikansi yaitu 𝛼 = 0,05. Diperoleh kesimpulan bahwa model ARIMA yang
residualnya independen atau tidak terjadi otokorelasi antar residual adalah model
ARIMA(4, 1, 1), ARIMA(5, 1, 1) dan ARIMA(6, 1, 1).

4.3.6 Pemilihan Model ARIMA Terbaik


Setelah dilakukan pemeriksaan diagnostik didapatkan model ARIMA
sementara yang memenuhi asumsi. Selanjutnya dilakukan pemilihan model terbaik
berdasarkan nilai AIC terkecil. Tabel Pemilihan model terbaik ARIMA
menggunakan kriteria AIC dapat dilihat pada Tabel 4.10.
68

Tabel 4.10 Pemilihan Model Terbaik menggunakan AIC


Model AIC
ARIMA(4,1,1) 389,0
ARIMA(5,1,1) 383,6
ARIMA(6,1,1) 379,8
Sumber : Lampiran 16

Berdasarkan Tabel 4.10 menunjukkan bahwa model peramalan terbaik untuk


data curah hujan di Kota Samarinda berdasarkan nilai AIC terkecil adalah model
ARIMA(6, 1, 1). Secara matematis ARIMA (6, 1, 1) yang terdapat pada Tabel 4.7
dapat ditulis sebagai berikut :
𝑍̂𝑡 = (1 + 𝜙̂1 )𝑍̂𝑡−1 + (𝜙̂2 − 𝜙̂1 )𝑍̂𝑡−2 + (𝜙̂3 − 𝜙̂2 )𝑍̂𝑡−3 + (𝜙̂4 − 𝜙̂3 )𝑍̂𝑡−4 +
(𝜙̂5 − 𝜙̂4 )𝑍̂𝑡−5 + (𝜙̂6 − 𝜙̂5 )𝑍̂𝑡−6 − 𝜙̂6 𝑍̂𝑡−7 + 𝑒𝑡 −𝜃̂1 𝑒𝑡−1
dengan mensubtitusikan nilai masing-masing parameter pada Tabel 4.8 maka
diperoleh model sebagai berikut :
𝑍̂𝑡 = (1 − 0,8429)𝑍̂𝑡−1 + (−0,7150 + 0,8429)𝑍̂𝑡−2 + (−0,8226 +
0,7150)𝑍̂𝑡−3 + (−0,7642 + 0,8226)𝑍̂𝑡−4 + (−0,5583 +
0,7642)𝑍̂𝑡−5 + (−0,2962 + 0,5583)𝑍̂𝑡−6 + 0,2962𝑍̂𝑡−7 +
𝑒𝑡 +0,9661𝑒𝑡−1
𝑍̂𝑡 = 0,1571𝑍̂𝑡−1 + 0,1279𝑍̂𝑡−2 − 0,1076𝑍̂𝑡−3 + 0,0584𝑍̂𝑡−4 +
0,2059𝑍̂𝑡−5 + 0,2621𝑍̂𝑡−6 + 0,2962𝑍̂𝑡−7 + 𝑒𝑡 +0,9661𝑒𝑡−1

Persamaan model ARIMA curah hujan menunjukan bahwa curah hujan di


Kota Samarinda pada periode ke−𝑡 dipengaruhi oleh curah hujan satu bulan, dua
bulan, tiga bulan, empat bulan, lima bulan, enam bulan dan tujuh bulan sebelumnya.

4.3.7 Peramalan Curah Hujan di Kota Samarinda Menggunakan Model


ARIMA Terbaik
Berikut adalah hasil peramalan curah hujan di Kota Samarinda dengan
menggunakan model ARIMA (6, 1, 1) dengan menggunakan bantuan software R
69

diperoleh hasil prediksi untuk data curah hujan di Kota Samarinda selama 12 bulan
atau satu tahun ke depan yaitu bulan Januari hingga Desember 2022 yang dapat
dilihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4. 11 Hasil Peramalan Curah Hujan di Kota Samarinda 12 Periode yang


Akan Datang
Periode Bulan Hasil Peramalan
73 Januari 210,3869
74 Februari 229,1523
75 Maret 269,5416
76 April 271,5705
77 Mei 265,4336
78 Juni 250,3644
79 Juli 236,6863
80 Agustus 234,6619
81 September 245,1583
82 Oktober 259,2064
83 November 262,7007
84 Desember 257,0368
Sumber: Lampiran 17

Berdasarkan hasil peramalan dibentuk sebuah grafik runtun waktu dari hasil
peramalan curah hujan di Kota Samarinda tahun 2016-2022. Grafik perbandingan
antara data aktual dan data hasil peramalan menggunakan model ARIMA (6, 1, 1)
dapat dilihat pada Gambar 4.10.
70

Aktual vs Prediksi
500

Prediksi Aktual
400
Jumlah Curah Hujan

300
200
100
0

0 20 40 60 80

Waktu

Gambar 4.10 Grafik data aktual dan hasil ramalan curah hujan di Kota
Samarinda

Berdasarkan Gambar 4.10 menunjukkan bahwa pola data pada grafik hasil
prediksi dan peramalan curah hujan di Kota Samarinda tidak mendekati pola data
aktual. Gambar 4.10 juga menampilkan perbandingan hasil peramalan curah hujan
Kota Samarinda tahun 2022 dengan data aktual terbaru yaitu periode Januari 2022
sampai dengan Februari 2022 yang diperoleh dari BMKG Kota Samarinda.

4. 4 Pemodelan Fungsi Transfer Curah Hujan di Kota Samarinda


Pemodelan fungsi transfer dilakukan untuk meramalkan curah hujan di Kota
Samarinda periode Januari 2016 sampai dengan Desember 2021. Tahap-tahap
dalam pemodelan.

4.4.1 Pemodelan ARIMA Runtun Input Kelembapan Udara (𝑿𝟏𝒕 )


a. Pemeriksaan Pola Data 𝑋1𝑡
Grafik runtun waktu digunakan untuk melihat pola pada data, agar dapat
melihat pola data curah hujan maka dibuat grafik runtun waktu yang ditampilkan
pada Gambar 4.11.
71

Grafik Runtun Waktu


85
80
Data Kelembapan Udara

75
70
65
60

0 10 20 30 40 50 60 70

Time

Gambar 4.11 Grafik data runtun waktu 𝑋1𝒕 di Kota Samarinda

Berdasarkan Gambar 4.11 dapat dilihat bahwa data bulanan kelembapan


udara di Kota Samarinda periode Januari 2016 sampai dengan Desember 2021 tidak
membentuk pola yang stasioner.
b. Pemeriksaan Stasioneritas data 𝑿𝟏𝒕
Tahapan awal dalam mengidentifikasi model adalah memeriksa apakah data
𝑋1𝒕 sudah stasioner dalam variansi ataupun stasioner dalam rata-rata. stasioneritas
terhadap variansi dapat dilakukan dengan pemeriksaan pada grafik Box-Cox yang
dapat dilihat pada Gambar 4.12.

95%
50
0
-50
log-Likelihood

-100
-150
-200
-250

-20 -10 0 10 20

Gambar 4.12 Grafik Box-Cox 𝑋1𝑡


72

Berdasarkan Gambar 4.12 terlihat bahwa data tidak stasioner dalam variansi,
dimana nilai dari 𝜆 = 10,3871. Nilai 𝜆 belum mendekati 1 sehingga dapat
disimpulkan bahwa data kelembapan udara belum stasioner dalam variansi. Oleh
karena data kelembapan udara belum stasioner dalam variansi, maka perlu
(10,3871)
dilakukan transformasi Box-Cox pada data kelembapan udara yaitu 𝑍𝑡 .
Setelah dilakukan transformasi pada data, maka dilakukan pemeriksaan kembali
pada nilai 𝜆 yang dapat dilihat pada Lampiran 19 dan diperoleh nilai 𝜆 = 1. Nilai
𝜆 adalah 1, maka syarat dari nilai estimasi telah terpenuhi dan dapat disimpulkan
bahwa data kelembapan udara telah stasioner dalam variansi.

Grafik Runtun Waktu


1.5e+18
Data Kelembapan Udara Setelah di Transformasi

1.0e+18
5.0e+17
0.0e+00

0 10 20 30 40 50 60 70

Time

Gambar 4.13 Grafik data runtun waktu 𝑋1𝒕

Berdasarkan Gambar 4.13 dapat dilihat bahwa grafik data runtun waktu
setelah di transformasi belum membentuk pola yang stasioner dalam rata-rata.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan stasioneritas terhadap rata-rata dengan
pemeriksaan pada grafik ACF data kelembapan udara setelah yang dapat dilihat
pada Gambar 4.14
73

Grafik ACF Data Kelembapan Udara Setelah Transformasi


1.0
0.8
0.6
0.4
ACF

0.2
0.0
-0.2

0 10 20 30 40 50 60 70

Lag

Gambar 4.14 Grafik ACF data 𝑋1𝒕

Berdasarkan Gambar 4.14 dapat dilihat bahwa pada grafik ACF data
kelembapan udara cut off setelah lag 2. Pemeriksaan yang dilakukan dengan
melihat grafik ACF memberikan hasil yang subjektif, maka perlu dilakukan
pemeriksaan dengan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Berdasarkan uji ADF
pada Lampiran diperoleh hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis
𝐻0 : 𝛿 = 0, (Data klembapan udara setelah tranformasi tidak stasioner dalam
rata-rata)
𝐻1 : 𝛿 ≠ 0, (Data kelembapan udara setelah tranformasi stasioner dalam rata-
rata)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
̂
𝜇
𝛿= ̂)
𝑆𝐸(𝜇

Daerah Penolakan
𝐻0 di tolak jika |𝛿| > |𝜏𝛼;𝑑𝑏 | atau p-value < 𝛼
Keputusan
Karena |𝛿| < |𝜏0,05;72 | di mana |−0,8062| < |−1,95| atau p-value < 𝛼 di
mana 0,3556 > 0,05 maka diputuskan H0 gagal ditolak.
74

Kesimpulan
Data kelembapan udara setelah tranformasi tidak stasioner dalam rata-rata.

Grafik ACF Data Kelembapan Udara Setelah Transformasi


1.0
0.8
0.6
0.4
ACF

0.2
0.0
-0.2

0 10 20 30 40 50 60 70

Lag

Gambar 4.15 Grafik ACF data 𝑋1𝒕 setelah differencing orde 1

Berdasarkan grafik ACF dan uji ADF dapat disimpulkan bahwa data
kelembapan udara tidak stasioner dalam rata-rata, maka perlu dilakukan
differencing orde 1 pada data kelembapan udara. Grafik ACF untuk data
kelembapan udara setelah differencing orde 1 dapat dilihat pada Gambar 4.15.
Berdasarkan Gambar 4.15 dapat dilihat bahwa pada grafik ACF nilai lag telah
cut off setelah lag 2. Namun perlu dilakukan pemeriksaan dengan uji ADF.
Berdasarkan uji ADF pada Lampiran diperoleh hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis
𝐻0 : 𝛿 = 0, (Data kelembapan udara setelah transformasi dan differencing
tidak stasioner dalam rata-rata)
𝐻1 : 𝛿 ≠ 0, (Data kelembapan udara setelah transformasi stasioner dan
differencing dalam rata-rata)
Taraf Signifikansi
𝛼 =0,05
Statistik Uji
̂
𝜇
𝛿 = 𝑆𝐸(𝜇̂)

Daerah Penolakan
Menolak 𝐻0 jika |𝛿| > |𝜏𝛼;𝑑𝑏 | atau p-value < 𝛼
75

Keputusan
Karena |𝛿| > |𝜏0,05;72 | di mana |−7,3044| > |−1,95| atau p-value < 𝛼 di
mana 0,01 < 0,05 maka diputuskan H0 ditolak.
Kesimpulan
Data kelembapan udara setelah transformasi dan differencing stasioner dalam
rata-rata.
5e+19
0e+00
datadiff_ku

-5e+19
-1e+20

0 10 20 30 40 50 60 70

Time

Gambar 4.16 Grafik data runtun waktu 𝑋1𝒕 setelah di transformasi dan
differencing orde 1

Berdasarkan Gambar 4.16 dapat dilihat bahwa grafik data runtun waktu
setelah ditransformasi dan differencing orde 1 membentuk pola yang stasioner
dalam rata-rata. Hal ini dikarenakan data cenderung berfluktuasi di sekitar rata-rata
yang konstan dari waktu ke waktu.

Grafik PACF Data Kelembapan Udara Setelah Transformasi dan differencing orde 1
0.2
0.0
PACF

-0.2
-0.4

0 10 20 30 40 50 60 70

Lag

Gambar 4.17 Grafik PACF data 𝑋1𝒕 setelah transformasi dan differencing orde 1
76

Identifikasi model ARIMA sementara dilakukan dengan melihat Grafik ACF


dan PACF. Berdasarkan Gambar 4.15 dapat dilihat bahwa nilai ACF cut off setelah
lag 1 dan berdasarkan Gambar 4.17 dapat dilihat bahwa nilai PACF cut off setelah
lag 1, sehingga diperoleh kombinasi model ARIMA sementara yang diperoleh
dapat dilihat pada Tabel 4.12.

Tabel 4.12 Model ARIMA Sementara Data 𝑋1𝑡


Model Sementara Model
ARIMA (0, 1, 1) 𝑍𝑡 = 𝑍𝑡−1 + 𝑒𝑡 − 𝜃1 𝑒𝑡−1
ARIMA (1, 1, 0) 𝑍𝑡 = (1 + 𝜙1 )𝑍𝑡−1 − 𝜙1 𝑍𝑡−2 + 𝑒𝑡
ARIMA (1, 1, 1) 𝑍𝑡 = (1 + 𝜙1 )𝑍𝑡−1 − 𝜙1 𝑍𝑡−2 + 𝑒𝑡 − 𝜃1 𝑒𝑡−1
ARIMA (0, 1, 2) 𝑍𝑡 = 𝑍𝑡−1 + 𝑒𝑡 − 𝜃1 𝑒𝑡−1 − 𝜃2 𝑒𝑡−2
ARIMA (1, 1, 2) 𝑍𝑡 = (1 + 𝜙1 )𝑍𝑡−1 − 𝜙1 𝑍𝑡−2 + 𝑒𝑡 − 𝜃1 𝑒𝑡−1 − 𝜃2 𝑒𝑡−2

c. Pengujian Signifikansi Parameter Model ARIMA 𝑋1𝑡


Model ARIMA diperoleh pada tahap identifikasi model, selanjutnya akan
dilakukan penaksiran dan pengujian signifikansi parameter model ARIMA
berdasarkan model dugaan yang diperoleh. Penaksiran dan pengujian signifikansi
parameter dilakukan menggunakan bantuan software SAS for student. Pengujian
signifikansi parameter pada model ARIMA adalah sebagai berikut:
Hipotesis
𝐻0 : 𝜏 = 0, (Parameter tidak cukup signifikan)
𝐻1 : 𝜏 ≠ 0, (Parameter cukup signifikan)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
𝜏̂
𝑡ℎ𝑖𝑡 =
𝑆𝐸(𝜏̂ )
Daerah Penolakan

Menolak 𝐻0 jika |𝑡ℎ𝑖𝑡 | > |𝑡0,05⁄ | atau p-value < 𝛼


2:𝑑𝑏
77

Pada kasus ini, 𝜏 mencakup model ARIMA yaitu 𝜙1 , 𝜃1 dan 𝜃2 Hasil


penaksiran dan p ngujian signifikansi parameter dapat dilihat pada Tabel 4.13.

Tabel 4.13 Penaksiran dan Pengiujian Signifikansi Parameter Model ARIMA 𝑋1𝑡
Taksiran
𝒕𝒉𝒊𝒕 db 𝒕𝟎,𝟎𝟐𝟓:𝒅𝒃 p-value Keputusan
Model Parameter
ARIMA
𝜃̂1 = 0,8973 16,6000 71 1,9939 < 0,0001 𝐻0 ditolak
(0,1,1)
ARIMA
𝜙̂1 = −0,6098 −6,3300 71 1,9939 < 0,0001 𝐻0 ditolak
(1,1,0)
ARIMA 𝜙̂1 = 0,0474 0,13442 70 1,9944 < 0,0001 𝐻0 ditolak
(1,1,1) 𝜃̂1 = 0,9152 0,0548 70 1,9944 0,0253 𝐻0 ditolak
Sumber : Lampiran 23

Berdasarkan pengujian signifikansi parameter pada Tabel 4.13 beberapa nilai


p-value yang lebih besar dare 𝛼 = 0,05 sehingga diputuskan 𝐻0 gagal ditolak.
Dapat disimpulkan bahwa semua model memiliki parameter signifikan yaitu model
ARIMA (0, 1, 1) dan ARIMA(1, 1, 0) dan ARIMA (1, 1, 1).
d. Pemeriksaan Diagnostik Model ARIMA
Pemeriksaan diagnostik pada model ARIMA dilakukan dengan uji residual
berdistribusi normal dan uji independensi residual.
1. Uji Residual Berdistribusi Normal
Uji residual berdistribusi normal dalam pemeriksaan diagnostik dilakukan
untuk mengetahui apakah data residual telah memenuhi asumsi kenormalan atau
tidak. Uji kenormalan yang digunakan pada penelitian ini adalah uji
Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan software R. Pengujian kenormalan
residual adalah sebagai berikut:
Hipotesis
𝐻0 : 𝐹0 (𝑍) = 𝑆𝑛 (𝑍), (Residual berdistribusi normal)
𝐻1 : 𝐹0 (𝑍) ≠ 𝑆𝑛 (𝑍), (Residual tidak berdistribusi normal)
78

Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
𝐷ℎ𝑖𝑡 = sup|𝐹0 (𝑍) − 𝑆𝑛 (𝑍)|
di mana:
𝐹0 (𝑍) = fungsi distribusi kumulatif normal
𝑆𝑛 (𝑍) = fungsi distribusi kumulatif sampel
Daerah Penolakan
𝐻0 di tolak jika |𝐷ℎ𝑖𝑡 | > |𝐷𝛼/2:𝑑𝑏 |

Tabel 4.14 Hasil Pengujian Kenormalan Residual 𝑋1𝑡


Model 𝑫𝒉𝒊𝒕 𝑫𝟎,𝟎𝟐𝟓:𝒅𝒃 p-value Keputusan
ARIMA
0,0809 0,1603 0,7106 𝐻0 gagal ditolak
(0, 1, 1)
ARIMA
0,1040 0,1603 0,3997 𝐻0 gagal ditolak
(1 , 1, 0)
ARIMA
0,0675 0,1603 0,8811 𝐻0 gagal ditolak
(1, 1, 1)

Berdasarkan pengujian kenormalan residual pada Tabel 4.14 dapat


disimpulkan bahwa seluruh model ARIMA memiliki residual yang berdistribusi
normal yaitu model ARIMA(0, 1, 1), ARIMA(1, 1, 0) dan ARIMA(1, 1, 1).
2. Uji independensi Residual
Uji independensi residual dilakukan setelah uji kenormalan residual. Uji
independensi residual dilakukan untuk mengetahui apakah data residual telah
independen. Pengujian independensi residual yang digunakan pada penelitian ini
adalah uji Ljung-Box sebagai berikut:
Hipotesis
𝐻0 : 𝜌1 = 𝜌2 = ⋯ = 𝜌𝑘 = 0 (Tidak terjadi otokorelasi pada residual)
79

𝐻1 : minimal ada satu 𝜌𝑗 ≠ 0, untuk 𝑗 = 1,2, … , 𝑘 (Terjadi otokorelasi


pada residual)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
∗ ̂2
𝜌
𝑄 ∗ = 𝑛′(𝑛′ + 2) ∑𝑘𝑘=1 (𝑛−𝑘)
𝑘

Daerah Penolakan
2
𝐻0 di tolak jika 𝑄 ∗ > 𝜒0,05;72 atau p-value > 𝛼
Pengujian independensi residual dilakukan dengan membuat grafik runtun
waktu dari setiap nilai p-value pada pengujian Ljung-Box yang kemudian
dibandingkan dengan taraf signifikansi yang telah ditentukan yaitu 𝛼 = 0,05.
Model ARIMA dikatakan memenuhi asumsi independensi residual apabila p-value
lebih besar dari 𝛼 = 0,05 (berada diatas garis threshold). Grafik runtun waktu dari
pengujian Ljung-box untuk setiap model dapat dilihat pada Gambar 4.18.

Ljung-Box ARIMA(0,1,1) Ljung-Box ARIMA(1,1,0)


1.0

1.0
0.8

0.8
0.6

0.6
p value

p value
0.4

0.4
0.2

0.2
0.0

0.0

5 10 15 20 5 10 15 20

lag lag

(a) (b)

Gambar 4.18 Grafik pengujian Ljung-Box data 𝑋1𝑡


80

Ljung-Box ARIMA(1,1,1)

1.0
0.8
0.6
p value

0.4
0.2
0.0

5 10 15 20

lag

(c)
Gambar 4.18 Grafik pengujian Ljung-Box data 𝑋1𝑡 (Lanjutan)

Berdasarkan Gambar 4.18 menunjukkan bahwa tidak ada model ARIMA


yang memenuhi asumsi independensi residual dikarenakan nilai p-value untuk
beberapa lag berada di bawah garis threshold atau taraf signfikansi yaitu 𝛼 = 0,05.
Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa seluruh model ARIMA memiliki residual
yang independen atau terjadi otokorelasi pada tiap model.

e. Pemilihan Model Terbaik ARIMA 𝑋1𝑡


Setelah dilakukan pengujian signifikansi parameter dan pemeriksaan
diagnostik didapatkan model ARIMA sementara yang memenuhi asumsi.
Selanjutnya dilakukan pemilihan model terbaik berdasarkan nilai AIC terkecil.
Tabel Pemilihan model terbaik ARIMA menggunakan kriteria AIC dapat dilihat
pada Tabel 4.15.

Tabel 4.15 Pemilihan Model Terbaik menggunakan AIC


Model AIC
ARIMA(0,1,1) 413,0688
ARIMA(1,1,0) 420,0032
ARIMA(1,1,1) 421,7590
81

Berdasarkan (Lampiran 23) menunjukkan bahwa model ARIMA(0, 1, 1)


memiliki nilai AIC terkecil yaitu sebesar 413,0688. Secara matematis ARIMA (0,
1, 1) yang terdapat pada Tabel 4.12 dengan mensubtitusikan nilai masing-masing
parameter pada Tabel 4.13, maka diperoleh model sebagai berikut :
𝑍̂𝑡 = 𝑍̂𝑡−1 + 𝑒𝑡 + 0,8973𝑒𝑡−1 (4.1)

4.4.2 Pemodelan ARIMA Runtun Input Kecepatan Angin (𝑿𝟐𝒕 )


a. Pemeriksaan Pola Data 𝑋2𝑡
Grafik runtun waktu digunakan untuk melihat pola pada data, agar dapat
melihat pola data curah hujan maka dibuat grafik runtun waktu yang ditampilkan
pada Gambar 4.19.

Grafik Deret Waktu


6.0
5.5
5.0
DataKecepatan Angin

4.5
4.0
3.5
3.0

0 10 20 30 40 50 60 70

Time

Gambar 4.19 Grafik data runtun waktu 𝑋2𝑡

Berdasarkan Gambar 4.19 dapat dilihat bahwa data bulanan kecepatan angin
di Kota Samarinda periode Januari 2016 sampai dengan Desember 2021
membentuk pola yang stasioner. Pemeriksaan yang dilakukan dengan melihat
grafik runtun waktu memberikan hasil yang subjektif, maka perlu dilakukan
identifikasi stasioneritas.
82

b. Pemeriksaan Stasioneritas Data 𝑋2𝑡


Tahapan awal dalam mengidentifikasi model adalah memeriksa apakah data
kecepatan angin sudah stasioner dalam variansi ataupun stasioner dalam rata-rata.
stasioneritas terhadap variansi dapat dilakukan dengan pemeriksaan pada grafik
Box-Cox yang dapat dilihat pada Gambar 4.20.

95%
-20
-40
log-Likelihood

-60
-80
-100
-120

-10 -5 0 5 10

Gambar 4.20 Grafik Box-Cox 𝑋2𝑡

Berdasarkan Gambar 4.20 terlihat bahwa data tidak stasioner dalam variansi,
dimana nilai dari 𝜆 = −1,573465. Nilai 𝜆 belum mendekati 1 sehingga dapat
disimpulkan bahwa data kecepatan angin belum stasioner dalam variansi. Oleh
karena data kelembapan udara belum stasioner dalam variansi, maka perlu
(−1,573465)
dilakukan transformasi Box-Cox pada data kelembapan udara yaitu 𝑍𝑡 .
Setelah dilakukan transformasi pada data, maka dilakukan pemeriksaan kembali
pada nilai 𝜆 yang dapat dilihat pada Lampiran 27 dan diperoleh nilai 𝜆 =
0,9999997. Nilai 𝜆 telah mendekati 1, maka syarat dari nilai estimasi telah
terpenuhi dan dapat disimpulkan bahwa data kecepatan angin telah stasioner dalam
variansi.
83

Grafik Runtun Waktu Setelah Transformasi


0.12
0.10
Zt1_ka

0.08
0.06

0 10 20 30 40 50 60 70

Time

Gambar 4.21 Grafik data runtun waktu 𝑋2𝑡

Berdasarkan Gambar 4.21 dapat dilihat bahwa grafik data runtun waktu
setelah ditransformasi membentuk pola yang stasioner dalam rata-rata. Hal ini
dikarenakan data cenderung berfluktuasi disekitar rata-rata yang konstan dari waktu
ke waktu. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan stasioneritas terhadap rata-rata
dengan pemeriksaan pada grafik ACF data kecepatan angin setelah di transformasi
yang dapat dilihat pada Gambar 4.22.

Grafik ACF Data Kecepatan Angin


1.0
0.8
0.6
0.4
ACF

0.2
0.0
-0.2

0 10 20 30 40 50 60 70

Lag

Gambar 4.22 Grafik ACF data 𝑋2𝑡

Berdasarkan Gambar 4.22 dapat dilihat bahwa pada grafik ACF data
kecepatan angin nilai lag telah cut off setelah lag 1, sehingga dapat dikatakan bahwa
data kecepatan angin telah stasioner dalam rata-rata. Pemeriksaan yang dilakukan
84

dengan melihat grafik ACF memberikan hasil yang subjektif, maka perlu dilakukan
pemeriksaan dengan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Berdasarkan uji ADF
pada Lampiran diperoleh hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis
𝐻0 : 𝛿 = 0, (Data kecepatan angin tidak stasioner dalam rata-rata)
𝐻1 : 𝛿 ≠ 0, (Data kecepatan angin stasioner dalam rata-rata)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05

Statistik Uji
̂
𝜇
𝛿 = 𝑆𝐸(𝜇̂)

Daerah Penolakan
Menolak 𝐻0 jika |𝛿| > |𝜏𝛼;𝑑𝑏 | atau p-value < 𝛼
Keputusan
Karena |𝛿| < |𝜏𝛼;𝑑𝑏 | di mana |−0,2577| > |−1,95| atau p-value < 𝛼 di
mana 0,53 < 0,05 maka diputuskan H0 ditolak.
Kesimpulan
Data kecepatan angin setelah transformasi tidak stasioner dalam rata-rata.
Berdasarkan grafik ACF dan uji ADF dapat disimpulkan bahwa data
kecepatan angin setelah transformasi tidak stasioner dalam rata-rata, maka perlu
dilakukan differencing orde 1 pada data kecepatan angin setelah transformasi.
Grafik ACF untuk data kecepatan angin setelah transformasi dan differencing orde
1 dapat dilihat pada Gambar 4.23.
85

Grafik ACF Data Kecepatan Angin


1.0
0.8
0.6
0.4
ACF

0.2
0.0
-0.2

0 10 20 30 40 50 60 70

Lag

Gambar 4.23 Grafik ACF data 𝑋2𝑡 setelah transformasi dan differencing orde 1

Berdasarkan Gambar 4.23 dapat dilihat bahwa nilai ACF cut off setelah lag
3. Namun perlu dilakukan pemeriksaan dengan uji ADF. Pemeriksaan yang
dilakukan dengan melihat grafik ACF memberikan hasil yang subjektif, maka perlu
dilakukan pemeriksaan dengan uji ADF. Berdasarkan uji ADF pada Lampiran 29
diperoleh hipotesis sebagai berikut :
Hipotesis
𝐻0 : 𝛿 = 0, (Data kecepatan angin setelah transformasi dan differencing orde
1 tidak stasioner dalam rata-rata)
𝐻1 : 𝛿 ≠ 0, (Data kecepatan angin setelah transformasi dan differencing orde
1 stasioner dalam rata-rata)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 5%
Statistik Uji
̂
𝜇
𝛿 = 𝑆𝐸(𝜇̂)

Daerah Penolakan
Menolak 𝐻0 jika |𝛿| > |𝜏𝛼;𝑑𝑏 | atau p-value < 𝛼
Keputusan
Karena |𝛿| < |𝜏𝛼;𝑑𝑏 | di mana |−7,1116| > |−1,95| atau p-value < 𝛼 di
mana 0,01 < 0,05 maka diputuskan H0 ditolak.
86

Kesimpulan
Data kecepatan angin setelah transformasi dan differencing orde 1 stasioner
dalam rata-rata
0.04
0.02
datadiff_ka

0.00
-0.02
-0.04

0 10 20 30 40 50 60 70

Time

Gambar 4.24 Grafik runtun waktu 𝑋2𝑡 setelah differencing orde 1

Berdasarkan Gambar 4.24 dapat dilihat bahwa grafik data runtun waktu
setelah ditransformasi membentuk pola yang stasioner dalam rata-rata. . Hal ini
dikarenakan data cenderung berfluktuasi disekitar rata-rata yang konstan dari waktu
ke waktu.

Grafik PACF Data Kecepatan Angin Setelah differencing orde 1


0.2
0.1
0.0
PACF

-0.1
-0.2
-0.3

0 10 20 30 40 50 60 70

Lag

Gambar 4.25 Grafik PACF data 𝑋2𝑡 setelah differencing orde 1

Identifikasi model ARIMA sementara dilakukan dengan melihat Grafik ACF


dan PACF. Berdasarkan Gambar 4.23 dapat dilihat bahwa nilai ACF cut off setelah
87

lag 8 dan berdasarkan Gambar 4.25 dapat dilihat bahwa nilai PACF cut off setelah
lag 6. sehingga diperoleh kombinasi model ARIMA sementara yang diperoleh
dapat dilihat pada Tabel 4.16.

Tabel 4.16 Model ARIMA Sementara Data Kecepatan Angin


Model Sementara Model
ARIMA (3, 1, 0) 𝑍𝑡 = (1 + 𝜙1 )𝑍𝑡−1 + (𝜙2 − 𝜙1 )𝑍𝑡−2 − 𝜙2 𝑍𝑡−3 −
𝜙3 𝑍𝑡−4 + 𝑒𝑡 − 𝜃1 𝑒𝑡−1 − 𝜃2 𝑒𝑡−2 −𝜃3 𝑒𝑡−3
ARIMA (3 , 1, 3) 𝑍𝑡 = (1 + 𝜙1 )𝑍𝑡−1 + (𝜙2 − 𝜙1 )𝑍𝑡−2 + (𝜙3 −
𝜙2 )𝑍𝑡−3 − 𝜙3 𝑍𝑡−4 + 𝑒𝑡 − 𝜃1 𝑒𝑡−1 − 𝜃2 𝑒𝑡−2 −𝜃3 𝑒𝑡−3
ARIMA (0, 1, 3) 𝑍𝑡 = 𝑍𝑡−1 + 𝑒𝑡 − 𝜃1 𝑒𝑡−1 − 𝜃2 𝑒𝑡−2 −𝜃3 𝑒𝑡−3
c. Pengujian Signifikansi Parameter Model ARIMA
Model ARIMA diperoleh pada tahap identifikasi model, selanjutnya akan
dilakukan penaksiran dan pengujian signifikansi parameter model ARIMA
berdaarkan model dugaan yang diperoleh. Penaksiran dan pengujian signifikansi
parameter dilakukan menggunakan bantuan software SAS. Pengujian signifikansi
parameter pada model ARIMA adalah sebagai berikut:
Hipotesis
𝐻0 : 𝜏 = 0, (Parameter tidak signifikan)
𝐻1 : 𝜏 ≠ 0, (Parameter signifikan)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
𝜏̂
𝑡ℎ𝑖𝑡 =
𝑆𝐸(𝜏̂ )
Daerah Penolakan

Menolak 𝐻0 jika |𝑡ℎ𝑖𝑡 | > |𝑡𝛼⁄2:𝑑𝑏 | atau p-value < 𝛼, dengan 𝑑𝑏 = 𝑛 − 𝑛𝑝 di

mana 𝑛 adalah 72 dan 𝑛𝑝 adalah banyaknya parameter.


Pada kasus ini, 𝜏 mencakup model ARIMA yaitu 𝜙1 , 𝜙3 , 𝜃1 , dan 𝜃3 Hasil
penaksiran dan pengujian signifikansi parameter dapat dilihat pada Tabel 4.17.
88

Tabel 4.17 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model ARIMA


Penaksiran
Model 𝒕𝒉𝒊𝒕 db 𝒕𝟎,𝟎𝟐𝟓:𝒅𝒃 p-value Keputusan
Parameter
ϕ̂ 1 = −0,1599 −2,3800 69 1,996008 0,0031 𝐻0 ditolak
ARIMA
ϕ̂ 2 = −0,1212 −2,0200 69 1,996008 0,0095 𝐻0 ditolak
(3 , 1, 0)
ϕ̂ 3 = −0,3222 −2,7200 69 1,996008 0,0083 𝐻0 ditolak

𝜃̂1 = 0,2603 2,2200 69 1,996008 0,0300 𝐻0 ditolak


ARIMA
𝜃̂2 = 0,2603 2,4900 69 1,996008 0,0271 𝐻0 ditolak
(0 , 1, 3)
𝜃̂3 = 0,2906 2,4000 69 1,996008 0,0190 𝐻0 ditolak
ϕ̂ 1 = 0,8248 3,0500 69 1,996008 0,0034 𝐻0 ditolak

ϕ̂ 2 = −0,8533 −3,2300 69 1,996008 0,0020 𝐻0 ditolak


ARIMA ϕ̂ 3 = −0,0487 −1,1800 69 1,996008 0,0501 𝐻0 ditolak
(3 , 1, 3) 𝜃̂1 = 1,1344 −1,0700 69 1,996008 < 0,0001 𝐻0 ditolak
𝜃̂2 = −1,1233 4,6300 69 1,996008 < 0,0001 𝐻0 ditolak
𝜃̂3 = 0,4469 −4,6600 69 1,996008 0,0508 𝐻0 ditolak
Sumber : Lampiran 31

Berdasarkan pengujian signifikansi parameter pada Tabel 4.17 diperoleh


kesimpulan bahwa semua model memiliki parameter signifikan yaitu model
ARIMA(3, 1, 0), ARIMA(3, 1, 3) dan ARIMA(3, 1, 0).
d. Pemeriksaan Diagnostik Model ARIMA
Pemeriksaan diagnostik pada model ARIMA dilakukan dengan uji residual
berdistribusi normal dan uji independensi residual.
1. Uji Residual Berdistribusi Normal
Uji residual berdistribusi normal dalam pemeriksaan diagnostik dilakukan
untuk mengetahui apakah data residual telah memenuhi asumsi kenormalan atau
tidak. Uji kenormalan yang digunakan pada penelitian ini adalah uji
89

Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan software R. Pengujian kenormalan


residual adalah sebagai berikut :
Hipotesis
𝐻0 : 𝐹0 (𝑍) = 𝑆𝑛 (𝑍), (Residual berdistribusi normal)
𝐻1 : 𝐹0 (𝑍) ≠ 𝑆𝑛 (𝑍), (Residual tidak berdistribusi normal)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
𝐷ℎ𝑖𝑡 = sup|𝐹0 (𝑍) − 𝑆𝑛 (𝑍)|
di mana:
𝐹0 (𝑍) = fungsi distribusi kumulatif normal
𝑆𝑛 (𝑍) = fungsi distribusi kumulatif sampel
Daerah Penolakan
Menolak 𝐻0 jika |𝐷ℎ𝑖𝑡 | > |𝐷𝛼:𝑛 | di mana n adalah 72

Tabel 4.18 Hasil Pengujian Kenormalan Residual 𝑋2𝑡


Model 𝑫𝒉𝒊𝒕 𝑫𝟎,𝟎𝟐𝟓:𝒅𝒃 p-value Keputusan
ARIMA
0,12319 0,1603 0,2314 𝐻0 gagal ditolak
(3 , 1, 0)
ARIMA
0,092048 0,1603 0,5531 𝐻0 gagal ditolak
(3 , 1, 3)
ARIMA
0,083036 0,1603 0,7118 𝐻0 gagal ditolak
(0 , 1, 3)

Berdasarkan pengujian kenormalan residual pada Tabel 4.18 dapat


disimpulkan bahwa model ARIMA(3, 1, 0), ARIMA(3, 1, 3) dan ARIMA(0, 1,
3) memiliki residual yang berdistribusi normal.
2. Uji independensi Residual
Uji independensi residual dilakukan setelah uji kenormalan residual. Uji
independensi residual dilakukan untuk mengetahui apakah data residual telah
90

independen. Pengujian independensi residual yang digunakan pada penelitian ini


adalah uji Ljung-Box dengan bantuan software R adalah sebagai berikut:
Hipotesis
𝐻0 : 𝜌1 = 𝜌2 = ⋯ = 𝜌𝑘 = 0 (Tidak terjadi autocorrelation pada residual)
𝐻1 : minimal ada satu 𝜌𝑗 ≠ 0, untuk 𝑗 = 1,2, … , 𝑘 (Terjadi autocorrelation
pada residual)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
∗ ̂2
𝜌
𝑄 ∗ = 𝑛′(𝑛′ + 2) ∑𝑘𝑘=1 (𝑛−𝑘)
𝑘

Daerah Penolakan
2
Menolak 𝐻0 jika 𝑄 ∗ > 𝜒𝛼;𝑑𝑏 atau p-value < 𝛼
Pengujian independensi residual dilakukan dengan membuat grafik runtun
waktu dari setiap nilai p-value pada pengujian Ljung-Box yang kemudian
dibandingkan dengan taraf signifikansi yang telah ditentukan yaitu 𝛼 = 0,05.
Model ARIMA dikatakan memenuhi asumsi independensi residual apabila p-value
lebih besar dari 𝛼 = 0,05 (berada diatas garis threshold). Grafik runtun waktu dari
pengujian Ljung-box untuk setiap model dapat dilihat pada Gambar 4.26.

Ljung-Box ARIMA(3,1,0)
Ljung-Box ARIMA(3,1,3)
1.0

1.0
0.8

0.8
0.6

0.6
p value

p value
0.4

0.4
0.2

0.2
0.0

0.0

5 10 15 20 5 10 15 20

lag lag

(a) (b)
Gambar 4.26 Grafik runtun waktu pengujian Ljung-Box data 𝑋2𝑡
91

Ljung-Box ARIMA(4,1,0)

1.0
0.8
0.6
p value

0.4
0.2
0.0
5 10 15 20

lag

(c)
Gambar 4.26 Grafik runtun waktu pengujian Ljung-Box data 𝑋2𝑡

Berdasarkan Gambar 4.26 menunjukkan bahwa model ARIMA(3, 1, 3) telah


memenuhi asumsi independensi residual dikarenakan nilai p-value untuk setiap 𝑡
berada diatas garis threshold atau taraf signfikansi yaitu 𝛼 = 0,05. Sehingga
diperoleh kesimpulan bahwa model ARIMA yang residualnya independen atau
tidak terjadi otokorelasi antar residual adalah model ARIMA (3, 1, 3)

e. Pemilihan Model Terbaik ARIMA 𝑋2𝑡


Setelah dilakukan pengujian signifikansi parameter dan pemeriksaan
diagnostik didapatkan model ARIMA sementara yang memenuhi asumsi distribusi
normal dan otokorelasi antar residual adalah model ARIMA (3, 1, 3) dengan nilai
AIC sebesar 116,0335. Secara matematis ARIMA (3, 1, 3) yang terdapat pada
Tabel 4.16 dapat ditulis sebagai berikut :
𝑍𝑡 = (1 + 𝜙1 )𝑍𝑡−1 + (𝜙2 − 𝜙1 )𝑍𝑡−2 + (𝜙3 − 𝜙2 )𝑍𝑡−3 − 𝜙3 𝑍𝑡−4 + 𝑒𝑡 − 𝜃1 𝑒𝑡−1
−𝜃2 𝑒𝑡−2 −𝜃3 𝑒𝑡−3
dengan mensubtitusikan nilai masing-masing parameter pada Tabel 4.17, maka
diperoleh model sebagai berikut :
𝑍𝑡 = (1 + 0,8248)𝑍𝑡−1 + (−0,8533 − 0,8428)𝑍𝑡−2 + (−0,0487
+ 0,8553)𝑍𝑡−3 + 0,0487𝑍𝑡−4 + 𝑒𝑡 − 1,1344𝑒𝑡−1
+ 1,1233𝑒𝑡−2 +0,4469𝑒𝑡−3
92

𝑍𝑡 = 1,8248𝑍𝑡−1 − 1,6961𝑍𝑡−2 − 0,8066𝑍𝑡−3 + 0,4877𝑍𝑡−4


+𝑒𝑡 − 1,1344𝑒𝑡−1 + 1,1233𝑒𝑡−2 +0,4469𝑒𝑡−3

4.4.3 Menetapkan Model ARIMA Runtun Input Suhu Udara (𝑿𝟑𝒕 )


a. Pemeriksaan Pola Data 𝑋3𝑡
Untuk melihat pola data maka dibuat grafik runtun waktu yang ditampilkan
pada Gambar 4.17. Berdasarkan Gambar 4.27 dapat dilihat bahwa data bulanan
suhu udara di Kota Samarinda periode Januari 2016 sampai dengan Desember 2021
membentuk pola yang tidak stasioner.

Grafik Runtun Waktu


29.0
28.5
Data Suhu Udara

28.0
27.5

0 10 20 30 40 50 60 70

Time

Gambar 4.27 Grafik data runtun waktu 𝑋𝟑𝒕 di Kota Samarinda


b. Pemeriksaan Stasioneritas Data 𝑋3𝑡
Tahapan awal dalam mengidentifikasi model adalah memeriksa apakah data
suhu udara sudah stasioner dalam variansi ataupun stasioner dalam rata-rata.
stasioneritas terhadap variansi dapat dilakukan dengan pemeriksaan pada grafik
Box-Cox yang dapat dilihat pada Gambar 4.28.
93

95%

140
120
100
log-Likelihood

80
60
40
20

-100 -50 0 50 100

Gambar 4.28 Grafik Box-Cox s𝑿𝟑𝒕

Berdasarkan Gambar 4.28 terlihat bahwa data tidak stasioner dalam variansi,
dimana nilai dari 𝜆 berada pada rentang 0 − 50. Nilai 𝜆 belum mendekati 1,
sehingga dapat disimpulkan bahwa data suhu udara belum stasioner dalam variansi.
Karena nilai 𝜆 sangat jauh dari 1 maka tidak bisa dilakukan transformasi data,
sehingga variabel input suhu udara tidak memenuhi asumsi.

4.4.4 Menetapkan Model ARIMA Runtun Input Tekanan Udara (𝑿𝟒𝒕 )


a. Grafik Runtun Waktu 𝑋4𝑡
Untuk melihat pola data maka dibuat grafik runtun waktu yang ditampilkan
pada Gambar 4.29. Berdasarkan Gambar 4.29 dapat dilihat bahwa data bulanan
tekanan udara di Kota Samarinda periode Januari 2016 sampai dengan Desember
2021 cenderung membentuk pola tren turun.
94

Grafik Runtun Waktu


1014
1013
1012
Data Tekanan Udara

1011
1010
1009
1008

0 10 20 30 40 50 60 70

Time

Gambar 4.29 Grafik data runtun waktu 𝑋4𝑡 di Kota Samarinda

b. Pemeriksaan Stasioneritas Data 𝑋4𝑡


Tahapan awal dalam mengidentifikasi model adalah memeriksa apakah data
tekanan udara sudah stasioner dalam variansi ataupun stasioner dalam rata-rata.
stasioneritas terhadap variansi dapat dilakukan dengan pemeriksaan pada grafik
Box-Cox yang dapat dilihat pada Gambar 4.29.

95%
320
310
log-Likelihood

300
290
280
270

-500 0 500 1000

Gambar 4.30 Grafik Box-Cox 𝑋4𝑡

Berdasarkan Gambar 4.30 terlihat bahwa data tidak stasioner dalam variansi,
dimana nilai dari 𝜆 berada pada rentang 0 − 50. Nilai 𝜆 belum mendekati 1,
95

sehingga dapat disimpulkan bahwa data tekanan udara belum stasioner dalam
variansi. Karena nilai 𝜆 sangat jauh dari 1 maka tidak bisa dilakukan transformasi
data, sehingga variabel input tekanan udara tidak memenuhi asumsi.

4. 5 Pre-whitening Runtun Input Kelembapan Udara (𝑿𝟏𝐭 ) dan Kecepatan


Angin (𝑿𝟐𝐭 )
Proses pre-whitening runtun input dilakukan menggunakan model ARIMA
yang sudah terbentuk. Tahap ini menggunakan unsur white noise model tersebut.
Proses ini bertujuan menghitung cross correlation, sehingga dapat digunakan
untuk menentukan hubungan antara runtun input dan runtun output. Berdasarkan
identifikasi model ARIMA runtun input kelembapan udara yang menghasilkan
model ARIMA (0, 1, 1) atau secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
𝑋1𝑡 = 𝑋1𝑡−1 + 𝑎1𝑡 + 0,8973𝑎1𝑡−1
dan setelah dilakukan pre-whitening runtun input kelembapan udara (𝑋1𝑡 ) diperoleh
hasil model sebagai berikut :
𝑎1𝑡 = 𝑋1𝑡 + 𝑋1𝑡−1 + 0,8973𝑎1𝑡−1 (4.11)
Untuk variabel input kecepatan angin yang menghasilkan model ARIMA (3, 1,
3) atau secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
𝑋2𝑡 = 1,8248𝑋2𝑡−1 − 1,6961𝑋2𝑡−2 − 0,8066𝑋2𝑡−3 + 0,4877𝑋2𝑡−4
+ 𝑎2𝑡 − 1,1344𝑎2𝑡−1 + 1,1233𝑎2𝑡−2 +0,4469𝑎2𝑡−3
dan setelah dilakukan pre-whitening runtun input kecepatan angin (𝑋2𝑡 ) diperoleh
hasil model sebagai berikut :
𝑎2𝑡 = 𝑋2𝑡 +0,9988𝑋2𝑡−1 + 0,5422𝑋2𝑡−2 + 1,9132𝑋2𝑡−3 − 0,4566𝑋2𝑡−4 +
0,5800𝑎2𝑡−1 − 0,3636𝑎2𝑡−2 −0,3428𝑎2𝑡−3 (4.12)

4. 6 Pre-whitening Runtun Output Curah Hujan (𝒀𝒕 )


Proses selanjutnya 𝑋1𝑡 ditetapkan sebagai 𝑌𝑡 , demikian juga dengan 𝑋2𝑡 .
Karena terdapat dua runtun input, maka diperoleh pula dua model pre-whitening
runtun output 𝑌𝑡 . Runtun output 𝑌𝑡 yang telah di pre-whitening akan disebut runtun
96

𝛽𝑡 dan berdasarkan Persamaan (4.11) maka diperoleh model pre-whitening Y


sebagai berikut:
𝛽1𝑡 = 𝑌𝑡 + 𝑌𝑡−1 + 0,8973𝛽1𝑡−1 (4.13)
Berdasarkan Persamaan (4.12) maka diperoleh model pre-whitening Y
sebagai berikut:
𝛽2𝑡 = 𝑌𝑡 +0,9988𝑌𝑡−1 + 0,5422𝑌𝑡−2 + 1,9132𝑌𝑡−3 − 0,4566𝑦𝑡−4 +
0,5800𝛽2𝑡−1 − 0,3636𝛽2𝑡−2 −0,3428𝛽2𝑡−3 (4.14)

4. 7 Penentuan Orde Model Fungsi Transfer


Pembentukan model awal fungsi transfer adalah dengan melihat plot CCF
antara runtun input dan runtun output yang telah mengalami proses pre-whitening,
sehingga dapat ditentukan konstanta (b, r, s). Nilai b dapat ditentukan dari lag
bernilai positif yang pertama kali signifikan pada plot CCF. Nilai s merupakan
bilangan pada lag plot CCF sebelum terjadinya pola menurun atau berapa lama
runtun input memengaruhi runtun output setelah lag pertama yang nyata. Nilai r
menyatakan bahwa runtun output dipengaruhi oleh nilai-nilai masa lalu dari runtun
output tersebut, nilai r dapat ditentukan berdasarkan pola lag, jika memiliki
memiliki pola eksponensial maka 𝑟 = 1 dan memiliki pola gelombang sinus maka
𝑟 = 2.

(a) (b)
Gambar 4.31 Grafik CCF (a) 𝑌𝑡 dengan 𝑋1𝑡 dan (b) 𝑌𝑡 dengan 𝑋2𝑡
97

Berdasarkan Gambar 4.31 dapat dilihat bahwa lag yang pertama kali
signifikan adalah lag ke−7 maka diperoleh orde 𝑏 = 7. Berdasarkan Gambar 4.30
tidak terdapat lag yang signifikan setelah lag ke−7, maka diperoleh orde 𝑠 = 0.
berdasarkan Gambar 4.31 grafik CCF tidak membentuk pola sinus atau
eksponensial, maka diperoleh 𝑟 = 0. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa orde (𝑏, 𝑟, 𝑠) adalah (7, 0, 0). Orde 𝑏 = 7 menunjukan keterlambatan 7
periode sebelum runtun input kelembapan udara memengaruhi runtun ouput curah
hujan. Model fungsi transfer orde (7, 0, 0) adalah sebagai berikut :
Berdasarkan Gambar 4.31 dapat dilihat bahwa tidak terdapat lag yang
pertama kali signifikan maka diasumsikan orde 𝑏 = 0 dan orde 𝑠 = 0. berdasarkan
Gambar 4.32 plot CCF tidak membentuk pola sinus atau eksponensial, maka
diperoleh 𝑟 = 0. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa orde (𝑏, 𝑟, 𝑠)
adalah (0, 0, 0). Model fungsi transfer orde (0, 0, 0) adalah sebagai berikut :

4. 8 Penaksiran Parameter Model Awal Fungsi Transfer


Tahap estimasi parameter merupakan tahap penaksiran parameter-parameter
pada model awal fungsi transfer. Penaksiran dan pengujian signifikansi parameter
dilakukan menggunakan bantuan software SAS. Pengujian signifikansi parameter
pada model fungsi transfer adalah sebagai berikut:
Hipotesis
𝐻0 : 𝜔0 = 0, (Parameter 𝜔0 tidak signifikan)
𝐻1 :𝜔0 ≠ 0, (Parameter 𝜔0 signifikan)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
̂0
𝜔
𝑡ℎ𝑖𝑡 =
𝑆𝐸(𝜔
̂)0

Daerah Penolakan

Menolak 𝐻0 jika |𝑡ℎ𝑖𝑡 | > |𝑡𝛼⁄2:𝑑𝑏 | atau p-value < 𝛼,


98

Pada kasus ini 𝜔0 mencakup parameter model fnugsi transfer yaitu 𝜔01 dan 𝜔02.
Hasil penaksiran dan pengujian signifikansi parameter model awal fungsi transfer
kecepatan angin dapat dilihat pada Tabel 4.19.

Tabel 4.19 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model Awal Fungsi
Transfer
Taksiran
Parameter Standard Error 𝑡ℎ𝑖𝑡 p-value
Parameter
𝜔01 5,5362 2,4134 2,2900 0,0252
𝜔02 -46,3063 20,5520 -2,2500 0,0278
Sumber : Lampiran 39

Berdasarkan Tabel 4.19 dapat dilihat bahwa model awal fungsi transfer
kelembapan udara dan kecepatan angin terhadap curah hujan memiliki nilai p-value
< 0,05. Dapat diputuskan bahwa 𝐻0 ditolak dan disimpulkan bahwa Parameter
𝜔01 dan 𝜔02 signifikan.
Setelah dilakukan penaksiran dan penguian signifikansi parameter
didapatkan model awal fungsi transfer multi input berdasarkan Persamaan (2.46)
adalah sebagai berikut :
𝑌𝑡 = 𝜔01 𝑋1𝑡−7 + 𝜔02 𝑋2𝑡 + 𝑛𝑡 (4.15)
dengan mensubtitusikan nilai masing-masing parameter berdasarkan tabel 4.19,
maka diperoleh model sebagai berikut:
𝑌𝑡 = 5,5362𝑋1𝑡−7 − 46,3063𝑋2𝑡 + 𝑛𝑡 (4.16)

4. 9 Pemodelan ARIMA untuk Runtun Noise Model Awal Fungsi Transfer


Model awal fungsi transfer multi input digunakan untuk menghitung noise
(𝑛𝑡 ) pada model berdasarkan Persamaan (4.16). Identifikasi model dilakukan
dengan memeriksa grafik ACF dan PACF dari runtun noise model awal fungsi
transfer. Grafik ACF dan PACF dapat diihat pada Gambar 4.32.
99

(a) (b)
Gambar 4.32 Grafik (a) ACF runtun noise dan (b) PACF runtun noise

Berdasarkan Gambar 4.32 dapat dilihat bahwa grafik ACF dan PACF cut off
setelah lag 0, sehingga tidak diperoleh kombinasi model ARIMA runtun noise
model awal fungsi trnasfer. Dilakpukan percobaan menggunakan orde
autoregressive dan moving average masing-masing 1 sehingga diperoleh
kombinasi model ARIMA runtun noisemodel awal fungsi transfer adalah ARIMA
(0, 0, 1), ARIMA (1, 0, 0) dan ARIMA (1, 0, 1).

Tabel 4.20 Model ARIMA runtun noise


Deret Input Deret Input Model
Persamaan Model
(𝑿𝟏𝒕 ) 𝑿𝟐𝒕 Sementara
b=7, r=0, s=0 b=0, r=0, s=0 ARIMA (0, 0, 1) 𝑛1𝑡 = (1 − 𝜃1 𝐵)𝑎1𝑡
𝑎1𝑡
ARIMA (1, 0, 0) 𝑛1𝑡 =
1 − 𝜙1 𝐵
1 − 𝜃1 𝐵
ARIMA (1, 0, 1) 𝑛1𝑡 = 𝑎
1 − 𝜙1 𝐵 1𝑡

Selanjutnya akan dilakukan penaksiran dan pengujian signifikansi parameter


model ARIMA runtun noise 𝑋1𝑡 . Penaksiran dan pengujian signifikansi parameter
dilakukan menggunakan bantuan software SAS. Pengujian signifikansi parameter
pada model ARIMA adalah sebagai berikut:
100

Hipotesis
𝐻0 : 𝜏 = 0, (Parameter tidak signifikan)
𝐻1 : 𝜏 ≠ 0, (Parameter signifikan)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
𝜏̂
𝑡ℎ𝑖𝑡 =
𝑆𝐸(𝜏̂ )
Daerah Penolakan
𝐻0 di tolak jika |𝑡ℎ𝑖𝑡 | > |𝑡0,025:𝑑𝑏 | atau p-value < 𝛼
Pada kasus ini, 𝜏 mencakup model ARIMA yaitu 𝜙1 , dan 𝜃1 . Hasil
penaksiran dan pengujian signifikansi parameter dapat dilihat pada Tabel 4.21.

Tabel 4.21 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model Runtun Noise
Taksiran
Model 𝒕𝒉𝒊𝒕 db 𝒕𝟎,𝟎𝟐𝟓:𝒅𝒃 p-value Keputusan
Parameter
ARIMA 𝐻0 gagal
𝜃̂1 = 0,1915 1,8706 70 1,9955 0,06141
(0 , 0, 1) ditolak
ARIMA
ϕ̂ 1 = 0,3031 2,3652 70 1,996008 0,02076 𝐻0 ditolak
(1 , 0, 0)
ϕ̂ 1 = 0,6567 −2,5736 70 1,996008 0,01218 𝐻0 ditolak
ARIMA
𝐻0 gagal
(1 , 0, 1) 𝜃̂1 = −0,3770 −1,2227 70 1,9955 0,22555
ditolak

Berdasarkan Tabel 4.21 dapat dilihat bahwa Model ARIMA (1, 0, 0)


memiliki nilai 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼=0,05. Dapat diputuskan 𝐻0 ditolak dan disimpulkan
bahwa parameter model ARIMA runtun noise (1, 0, 0) signifikan. Setelah dilakukan
pengujian signifikansi parameter, selanjutnya dilakukan pemilihan model runtun
noise terbaik berdasarkan nilai AIC. Pemilihan model terbaik ARIMA yang
digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan kriteria AIC dengan bantuan
101

software SAS. Berdasarkan (Lampiran 25) menunjukkan bahwa model ARIMA (1,
0, 0) memiliki nilai AIC sebesar 849,0918.

4. 10 Pemodelan Fungsi Transfer Multi Input


Identifikasi akhir model fungsi transfer dengan dua rpuntun input dilakukan
dengan mengkombinasikan model awal serta model noise-nya berdasarkan
Persamaan (2.47) dengan model runtun noise (1, 0, 0) berdasarkan Tabel (4.20).
Kombinasi model fungsi transfer awal dengan model ARIMA runtun noisenya
adalah sebagai berikut:
𝑎
𝑌𝑡 = 𝜔01 (𝐵)𝐵 𝑏 + 𝜔02 (𝐵) + 1−𝜙𝑡
1𝐵

𝑎𝑡
𝑌𝑡 (1 − 𝜙1 𝐵) = 𝜔01 (𝐵)𝐵𝑏 (1 − 𝜙1 𝐵) + 𝜔02 (𝐵)(1 − 𝜙1 𝐵) + (1
1 − 𝜙1 𝐵
− 𝜙1 𝐵)
𝑌𝑡 − 𝑌𝑡 𝜙1 𝐵 = (𝜔01 𝐵 𝑏 𝐵 − 𝜙1 𝐵𝜔01 (𝐵)𝐵𝑏 + 𝜔02 (𝐵) − 𝜙1 𝜔02 𝐵 2 + 𝑎𝑡
(4.17)

4.11.1 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model Fungsi


Transfer Multi Input Akhir
Setelah diperoleh model fungsi transfer multi input, tahapan selanjutnya
adalah penaksiran dan pengujian signifikansi parameter. Penaksiran dan pengujian
signifikansi parameter ini dilakukan dengan bantuan software SAS. Pengujian
signifikansi parameter pada model ARIMA adalah sebagai berikut :
Hipotesis
𝐻0 : 𝜏 = 0, (Parameter tidak signifikan)
𝐻1 : 𝜏 ≠ 0, (Parameter signifikan)
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
𝜏̂
𝑡ℎ𝑖𝑡 =
𝑆𝐸(𝜏̂ )
Daerah Penolakan
102

Menolak 𝐻0 jika |𝑡ℎ𝑖𝑡 | > |𝑡0,025:𝑑𝑏 | atau p-value < 𝛼


Pada kasus ini, 𝜏 mencakup model fungsi transfer yaitu 𝜙1 , 𝜔01 dan 𝜔02 .
Hasil penaksiran dan pengujian signifikansi parameter dapat dilihat pada Tabel
4.22.

Tabel 4.22 Penaksiran dan Pengujian Signifikansi Parameter Model Akhir Fungsi
Transfer
Model Taksiran
𝒕𝒉𝒊𝒕 db 𝒕𝟎,𝟎𝟐𝟓:𝒅𝒃 p-value Keputusan
Runtun noise Parameter
ϕ̂ 1 = 0,2192 1,72 71 1,996008 0,0089 𝐻0 ditolak
ARIMA
𝜔
̂01 = 6,3435 2,66 71 1,9955 0,0099 𝐻0 ditolak
(1 , 0, 0)
𝜔
̂02 = −44,1994 −2,01 71 1,9955 0,0486 𝐻0 ditolak

Berdasarkan Tabel 4.22 dapat dilihat bahwa model memiliki nilai 𝑝 −


𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼=0,05. Dapat diputuskan 𝐻0 ditolak dan disimpulkan bahwa parameter
model akhir fungsi transfer signifikan.
Setelah dilakukan pengujian signifikansi parameter didapatkan model akhir
fungsi transfer multi input yang dapat digunakan untuk meramalkan curah hujan di
Kota Samarinda dengan variabel input kelembapan udara dan kecepatan angin
adalah model fungsi transfer berdasarkan Persamaan (4.17). Dengan
mensubtitusikan nilai masing-masing parameter pada Tabel 4.22, maka diperoleh
model sebagai berikut :
𝑌𝑡 − 0,2192𝑌𝑡−1 = −148.54061+6,3435𝑋1𝑡−7 −
(0,2192 × 6,3435)𝑋1𝑡−8 − 44,1994𝑋2𝑡
−(0,2192 × (−44,1994))𝑋2𝑡 + 𝑎𝑡
𝑌𝑡 = −148.54061+0,2192𝑌𝑡−1 + 6,3435𝑋1𝑡−7 −
(1,3905)𝑋1𝑡−8 − 44,1994𝑋2𝑡 + 9,6885𝑋2𝑡 + 𝑎𝑡
Persamaan model fungsi transfer multi input yang diperoleh dapat
disimpulkan bahwa curah hujan di Kota Samarinda bulan ini dipengaruhi oleh data
curah hujan pada satu bulan yang lalu, curah hujan satu bulan yang lalu dipengaruhi
103

kelembapan udara tujuh dan delapan bulan sebelumnya dan dipengaruhi oleh
kecepatan angin pada bulan ini.

4.11.2 Pemeriksaan Diagnostik Model Fungsi Transfer Multi Input


Pemeriksaan diagnostik pada model fungsi transfer multi input ada 2 tahap,
yaitu :
1. Pemeriksaan Cross Correlation
Tabel 4.23 Hasil output Cross Correlation pada Model Fungsi Transfer
Variabel 𝒍𝒂𝒈 𝝌𝟐 p-value Keputusan
5 2,06 0,9138 𝐻0 gagal ditolak
11 9,09 0,6955 𝐻0 gagal ditolak
𝑋1𝑡
17 11,0 0,8935 𝐻0 gagal ditolak
23 18,18 0,7944 𝐻0 gagal ditolak
5 1,10 0,9976 𝐻0 gagal ditolak
11 2,48 1,0000 𝐻0 gagal ditolak
𝑋2𝑡
17 4,50 0,9999 𝐻0 gagal ditolak
23 8,80 0,9993 𝐻0 gagal ditolak

Adapun uji hipotesis yang digunakan adalah:


Hipotesis
𝐻0 : Korelasi silang signifikan terhadap runtun noise dan runtun input
𝐻1 : Korelasi silang tidak signifikan terhadap runtun noise dan runtun input
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
𝑄0 = 𝑚(𝑚 + 2) ∑𝑘𝑗=0(𝑚 − 𝑗)𝑝̂ 𝑎𝑎
2
̂ (𝑗)

Daerah Penolakan
Menolak 𝐻0 jika p-value < 𝛼
Keputusan
Berdasarkan hasil uji Ljung-box diperoleh bahwa setiap lag pada variabel
input memiliki p-value > 𝛼, maka 𝐻0 gagal ditolak
104

Kesimpulan
Korelasi silang tidak signifikan terhadap runtun noise dan runtun input atau
dapat disimpulkan bahwa runtun noise dan runtun input saling independen.
2. Pemeriksaan Autocorrelation antara residual
Tabel 4.24 Hasil Output Autocorrelation pada Model Fungsi Transfer
Model
𝒍𝒂𝒈 𝝌𝟐 p-value Keputusan
Runtun Noise
5 5,06 0,4081
12 10,62 0,4754 𝐻0 gagal
ARIMA (1 , 0, 0)
18 21,03 0,2249 ditolak
24 24,19 0,3933
Adapun uji hipotesis yang digunakan adalah:
Hipotesis
𝐻0 : Otokorelasi antara residual model noise tidak signifikan
𝐻1 : Otokorelasi antara residual model noise signifikan
Taraf Signifikansi
𝛼 = 0,05
Statistik Uji
𝑄0 = 𝑚(𝑚 + 2) ∑𝑘𝑗=0(𝑚 − 𝑗)𝑝̂ 𝑎2̂ (𝑗)
Daerah Penolakan
Menolak 𝐻0 jika p-value < 𝛼
Keputusan
Berdasarkan hasil uji Ljung-box diperoleh bahwa setiap lag pada variabel
input memiliki p-value > 𝛼, maka 𝐻0 gagal ditolak
Kesimpulan
Otokorelasi antara residual model noise tidak signifikan atau dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi antar lag.
105

4.11.3 Peramalan Menggunakan Model Fungsi Transfer Multi Input


Berikut adalah hasil peramalan ciurah hujan di Kota Samarinda
menggunakan model fungsi transfer multi input. Hasil prediksi untuk data curah
hujan di Kota Samarinda selama periode Bulan Januari sampai dengan Desember
2022 atau selama 12 periode dapat dilihat pada Tabel 4.32

Tabel 4.25 Hasil Peramalan Curah Hujan di Kota Samarinda 12 Periode yang
Akan Datang
Periode Bulan Hasil Peramalan
73 Januari 198,0152
74 Februari 197,4293
75 Maret 198,8926
76 April 211,1028
77 Mei 161,4657
78 Juni 217,2093
79 Juli 173,3068
80 Agustus 187,2508
81 September 189,9684
82 Oktober 202,5721
83 November 210,395
84 Desember 209,4171

Hasil peramalan yang telah diperoleh pada Tabel 4.25 selanjutnya disajikan
dalam bentuk grafik pada Gambar 4.33. Berdasarkan Gambar 4.33 menunjukkan
bahwa pola data pada grafik hasil prediksi dan peramalan curah hujan di Kota
Samarinda tidak mendekati pola data aktual. Gambar 4.33 juga menampilkan
perbandingan hasil peramalan curah hujan Kota Samarinda tahun 2022 dengan data
aktual terbaru yaitu periode Januari 2022 sampai dengan Februari 2022 yang
diperoleh dari BMKG Kota Samarinda.
106

500
Aktual vs Prediksi

Prediksi Aktual
400
Jumlah Curah Hujan

300
200
100
0

0 20 40 60 80

Waktu

Gambar 4.37 Grafik peramalan curah hujan di Kota Samarinda menggunakan


model fungsi transfer
.
4. 11 Perbandingan Model ARIMA (6, 1, 1) dan Model Fungsi Transfer
Dengan menggunakan Mean Absolute Precentage Error (MAPE) dapat
diketahui kesalahan pramalan dengan menggunakan model ARIMA (6, 1, 1) adalah
19,27% sedangkan kesalahan pramalan dengan menggunakan model fungsi transfer
adalah 18,55%. Dari nilai MAPE tersebut dapat disimpulkan bahwa model fungsi
transfer lebih baik daripada model fungsi transfer.
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Model ARIMA untuk peramalan curah hujan di Kota Samarinda adalah
𝑍𝑡 = 0,1571𝑍𝑡−1 + 0,1279𝑍𝑡−2 − 0,1076𝑍𝑡−3 + 0,0584𝑍𝑡−4 +
0,2059𝑍𝑡−5 + 0,2621𝑍𝑡−6 + 0,2962𝑍𝑡−7 + 𝑒𝑡 +0,9661𝑒𝑡−1.
2. Model fungsi transfer multi input untuk peramalan curah hujan di Kota
Samarinda adalah 𝑌𝑡 = −148.54061 + 0,2192𝑌𝑡−1 + 6,3435𝑋1𝑡−7
−(1,3905)𝑋1𝑡−8 − 44,1994𝑋2𝑡 + 9,6885𝑋2𝑡 + 𝑎𝑡
3. Model ARIMA memiliki tingkat akurasi yang baik yaitu sebesar 19,27%
sedangkan model fungsi transfer memiliki tingkat akurasi yang cukup baik
yaitu sebesar 18,55%.
4. Hasil peramalan curah hujan di Kota Samarinda dengan menggunakan model
fungsi transfer menunjukkan bahwa curah hujan cenderung konstan tiap
bulannya. Tingkat curah hujan terendah terjadi pada bulan Mei 2022 yaitu
sebesar 161,4657 mm. Tingkat curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juni
2022 yaitu sebesar 217,2013 mm.

5.2 Saran
Berdasarkan penelitian pada skripsi ini, penulis menyarankan agar dalam
penelitian selanjutnya dapat ditambahkan variabel-variabel lain yang berpengaruh
kuat terhadap runtun output seperti lama penyinaran matahari. Selain itu penulis
menyarankan agar peneliti selanjutnya memperluas populasi penelitian seperti
Provinsi Kalimantan Timur dan dapat menggunakan analisis Generalized Spatial
Time Autoregressive (GSTAR) untuk melakukan peramalan data runtun waktu dan
spasial.
108
DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E, Budiman, Mimin K. (2011). Adaptasi dan Migrasi Perubahan Iklim di


Indonesia. Jakarta(ID): BMKG.
Aprialis. (2011). Skripsi: Perbandingan Model Fungsi Transfer dan ARIMA Studi
Kasus antara Curah Hujan dengan Kelembapan Udara. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah.
Aswi dan Sukarna. (2006). Analisis Runtun Waktu Aplikasi dan Teori. Makassar:
Andira Publisher.
Box, G.E.P. & G.M.Jankins. (1976). Time Series Analysis Forecasting and Control.
Edisi Revisi. San Fransisco: Holden day.
BPS. (2020). Kota Samarinda dalam Angka 2021. Samarinda : Badan Pusat
Provinsi Samarinda. https://samarindakota.bps.go.id. (24 September
2021).
Cryer, J.D. & Chan, K.S. 2008. Time Series Analysis with Application in R. Lowa
City: Springer.
Darmawan, G., Handoko, B., dan Zulhanif. (2017). Identifikasi Perubahan Pola
Curah Hujan Melalui Periodogram Standar. JMP, 9(1), 103-112.
Fathurahman. (2009). Pemodelan Fungsi Transfer Multi input. Jurnal Informatika
Mulawarman, 8-17.
Hanke,J.E dan Wicheren DW. 2005. Business Forcecasting. 8th edition.
Fngewood: Cliffs Prentice Hall
Gujarati, D. N. (2003). Ekonometrika Dasar. Jakarta: Erlangga.
Makridakis, S. & Hibon, M. (1995). ARMA Models and the Box Jenkins
Methodology. Fontainebleau(FR): Insead.
Makridakis, S., Wheelwright, S.C. & McGree, V.E. (1999). Metode dan Aplikasi
Peramalan (Edisi ke-2). Jakarta: Erlangga
Makridakis, S., Wheelwright, S.C. dan Hyndman, R.J. (1998). Forcasting: Method
and Aplication. Wiley: New York.
Salamah, M., Suhartono & Wulandari, S. (2003). Buku Ajar: Analisis Time Series.
Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November.
110

Sholihin, I. N., Mustafid & Safitri, D. (2014). Analisis Faktor Konfirmatori Strategi
Positoning Pasar Indomaret (Studi Kasus Wilayah Tembalang Kota
Semarang). Jurnal Gaussian, 3(3), 431-440.
Siti Lis Ina Atul Hidayah. (2015). Perbandingan Model ARIMA dan Fungsi
Transfer pada Peramalan Curah Hujan Kabupaten Wonosobo. Jurnal
Gaussian, 2339-2541.
Soewarno. (2000). Hidrologi Operasional. Jilid kesatu. Bandung: Citra Aditya.
Suhartono. (2005). Modul Analisis Time Series. Modul Perkuliahan. Surabaya: ITS
Surabaya.
Sosrodarsono, Suyono. (1985). Hidrologi. Jakarta: PT. Pradya Paramita.
Wahyu, K., Kusnandar, N., Sulistianingsih, E. 2019. Estimasi Parameter Regresi
Spline Dengan Metode Penalized Spline, BuletinIlmiah Mat. Stat. dan
Terapannya. Bimaster: Semarang.
Wei, W.W.S. (1990). Time Series Analysis Univariate and Multivariate Methods.
Califonia: Adisson Wesley Publishing Company.
Wei, W. W. S. (2006). Time Series Analysis Univariate and Multivariate Methods
(Second Edition). Boston: Pearson AddisonWesley.
Widarjono, A. (2007). Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan
Bisnis. Yogyakarta: Ekonisia.
Wirjohamidjojo, S., &Y. S. Swirinoto. (2007). Praktek Meteorologi Pertanian.
Jakarta: Badan Meteorologi dan Geofisika.
111

LAMPIRAN
112

Lampiran 1. Sintaks dan output Software Excel Rata-rata Data Curah Hujan
113

Lampiran 2. Sintaks dan output Software Excel Rata-rata Data Kelembapan


Udara
114

Lampiran 3. Sintaks dan output Software Excel Rata-rata Data Suhu Udara
115

Lampiran 4. Sintaks dan output Software Excel Rata-rata Data Kecepatan


Angin
116

Lampiran 5. Sintaks dan output Software Excel Rata-rata Data Tekanan Udara
117

Lampiran 6. Sintaks dan output Software R Uji Independensi antar Variabel


> Data=read.table("D:/dataupdate.txt",header=T)
> n<-length(Data$Curah_Hujan)
> n
[1] 72
> m<-5
> koefkor<-cor(Data)
> koefkor
Curah_Hujan Kelembapan_Udara Kecepatan_Angin
Suhu_Udara
Curah_Hujan 1.00000000 0.09737366 -0.1856734 -
0.2249396
Kelembapan_Udara 0.09737366 1.00000000 -0.3834160 -
0.3623227
Kecepatan_Angin -0.18567345 -0.38341601 1.0000000
0.5814979
Suhu_Udara -0.22493962 -0.36232268 0.5814979
1.0000000
Tekanan_Udara -0.19005829 -0.15102841 0.2541537
0.2596134
Tekanan_Udara
Curah_Hujan -0.1900583
Kelembapan_Udara -0.1510284
Kecepatan_Angin 0.2541537
Suhu_Udara 0.2596134
Tekanan_Udara 1.0000000
> c<-det(koefkor)
> c
[1] 0.4632539
> bartlettoffspher=-(n-1-((2*m-5)/6))*log(c)
> bartlettoffspher
[1] 53.99185
118

Lampiran 7. Sintaks dan output Software R Grafik Runtun Waktu Data Curah
Hujan
> #GRAFIK RUNTUN WAKTU CURAH HUJAN
> datatku<-ts(Data$Curah_Hujan)
> plot(datatku, main="Grafik Runtun Waktu", ylab=
+ "Data Curah Hujan", xlab="Time", pch=20, type="o")
> abline(h=mean(Data$Curah_Hujan),col="blue")
119

Lampiran 8. Sintaks dan output Software R Analisis Periodogram Data Curah


Hujan
> #ANALISIS PERIODOGRAM CURAH HUJAN
> Data=(Data$Curah_Hujan)
> data<-ts(Data,start=c(2015,1),frequency=12)
> n=length(data)
> k=n/2
> m=k+1
> t<-c(1:n)
>#Mencari Nilai Frekuensi Fourier untuk
i=0,1,2,...,(n/2)
> omega<-c()
> for(i in 1:m-1){
+ omega[i+1]=(2*pi*i)/n
+ }
> #Mencari Nilai Frekuensi Fourier dan Nilai
Periodogram
> md=matrix(0,nrow=m,ncol=n)
> mt=matrix(0,nrow=m,ncol=n)
> mdata=matrix(0,nrow=m,ncol=n)
> cosomega=matrix(0,nrow=m,ncol=n)
> sinomega=matrix(0,nrow=m,ncol=n)
> for(i in 1:m)
+ {
+ md[i,]<-omega[i]
+ mt[i,]<-t
+ mdata[i,]<-data[t]
+ cosomega<-mdata*cos(md*mt)
+ sinomega<-mdata*sin(md*mt)
+ }
> a1<-c()
> a2<-c()
> a3<-c()
> b<-c()
> periodogram1<-c()
> periodogram2<-c()
> periodogram3<-c()
> for(i in 1:m)
+ {
+ a1<-(1/n)*sum(cosomega[1,]) #untuk i=0
+ a2<-(1/n)*sum(cosomega[m,]) #untuk i=n/2
+ a3[i]<-(2/n)*sum(cosomega[i,]) #untuk
i=1,2,...,(n/2)-1
+ b[i]<-(2/n)*sum(sinomega[i,]) #untuk
i=1,2,...,(n/2)-1
+ periodogram1<-(n*(a1^2)) #untuk i=0
120

Lampiran 8. Sintaks dan output Software R Analisis Periodogram Data Curah


Hujan (Lanjutan)
+ periodogram2<-(n*(a2^2)) #untuk i=n/2
+ periodogram3[i]<-((n*((a3[i]^2)+(b[i]^2)))/2) #untuk
i=1,2,...,(n/2)-1
+ }
> a<-c(a1,a3[c(2:k)],a2)
> b<-b[c(2:k)]
> periodogram<-c(periodogram1,periodogram3[c(2:k)],
+ periodogram2)
> Thitung<-(max(periodogram[-
c(1)]))/(sum(periodogram[
+ -c(1)]))
> #Frekuensi Fourier untuk i=0,1,2,...,n/2
> omega
[1] 0.00000000 0.08726646 0.17453293 0.26179939 0.34906585 0.43633231
[7] 0.52359878 0.61086524 0.69813170 0.78539816 0.87266463 0.95993109
[13] 1.04719755 1.13446401 1.22173048 1.30899694 1.39626340 1.48352986
[19] 1.57079633 1.65806279 1.74532925 1.83259571 1.91986218 2.00712864
[25] 2.09439510 2.18166156 2.26892803 2.35619449 2.44346095 2.53072742
[31] 2.61799388 2.70526034 2.79252680 2.87979327 2.96705973 3.05432619
[37] 3.14159265
> #Koefisien Fourier (ai) untuk i=0,1,2,...,n/2
> a
[1] 195.15972222 41.71800770 -12.96254713 7.64998514 8.89907371
[6] 5.73141398 1.26825626 -2.99089896 -4.20016766 -0.88764490
[11] -34.64914249 -41.36151165 26.89444444 -5.22860428 -0.07310174
[16] 13.36196495 -5.22162350 8.80412328 24.25277778 19.18949358
[21] -0.46063613 1.95572856 4.41419745 -14.38113256 15.96111111
[26] 3.23604194 1.23168260 -3.45679954 -1.85927091 -20.08310904
[31] -15.44603404 2.59146226 9.67595782 16.44343246 -14.61108869
[36] -1.54195292 1.97638889
> #Koefisien Fourier (bi) untuk i=1,2,...,(n/2)-1
> b
[1] 12.8764268 -4.4615436 -8.1664554 -6.5472968 7.2452587 10.3003531
[7] -24.9025516 10.1394394 3.4748282 -24.1687265 -13.7670456 -29.9644790
[13] 16.4100422 9.2790666 -9.9011381 -16.0568993 -9.8833217 12.8055556
[19] -11.1790758 -11.4690790 -5.1157854 -10.0741666 2.1233187 13.4233938
[25] 0.8835693 19.6225374 -1.4085051 -4.8279628 -8.9770212 14.2552024
[31] -10.2159058 17.0544133 24.0815252 -18.1623673 -9.9871191
> #Nilai Periodogram untuk i=1,2,...,(n/2)
> periodogram
[1] 2742286.8368 68623.0032 6765.5880 4507.6776 4394.1819
[6] 3072.3436 3877.4069 22646.9720 4336.1871 463.0444
[11] 64248.8549 68411.0229 58362.5211 10678.6004 3099.8312
[16] 9956.6872 10263.2172 6306.9349 27078.4614 17755.5024
[21] 4743.0705 1079.8608 4355.0630 7607.7164 15658.0044
[26] 405.0958 13916.1966 501.6006 963.5801 17421.0544
[31] 15904.4675 3998.8947 13841.1782 30611.0277 19560.7980
[36] 3676.3260 281.2401
> #Thitung
> max=max(periodogram[-c(1)])
121

Lampiran 8. Sintaks dan output Software R Analisis Periodogram Data Curah


Hujan (Lanjutan)
> max
[1] 68623
> jumlah=sum(periodogram[-c(1)])
> jumlah
[1] 549373.2
> Thitung=max/jumlah
> Thitung
[1] 0.1678223
> #Besaran Periode
> p=which.max(periodogram[-c(1)])
> p
[1] 1
> period=2*pi/omega[p]
> period
inf
> y<-ts(periodogram[-c(1)])
>plot(y,main="Grafik
Periodogram",xlim=c(1,37),ylim=c(200,100000),xlab="Fr
ekuensi",ylab="Periodogram", type="o", pch=20)
122

Lampiran 9. Sintaks dan output Software R Pemeriksaan Stasioneritas dalam


Variansi untuk Data Curah Hujan
> #TRANSFORMASI BOX-COX
> library(MASS)
> Zt=datatch+1
> boxcox(Zt~1, lambda = seq(-2, 2, 1/10))
> #PEMERIKSAAN STASIONER DALAM VARIANSI
> library(car)
> p<-powerTransform(Zt)
> p
Estimated transformation parameter
Zt
0.5085639
> lambda=0.5085639
> Zt1<-(Zt^lambda)
> Zt1
Time Series:
Start = 1
End = 72
Frequency = 1
[1] 13.202604 10.418121 18.752554 20.240165 15.733426 14.911083
13.365501
[8] 10.418121 15.797143 13.847084 17.967366 19.884012 13.286382
12.325691
[15] 9.809286 19.507184 18.502493 21.654963 13.290557 16.600581
10.455035
[22] 12.913834 15.526399 15.680138 15.421878 10.333268 13.003674
14.074006
[29] 18.094837 14.723159 12.249127 7.229720 11.812452 12.909541
11.774965
[36] 13.645029 14.058197 6.739985 14.768472 11.628602 14.594036
16.701312
[43] 7.539122 8.257064 7.326837 14.940939 11.552358 21.114467
16.910960
[50] 10.188531 12.025808 13.867133 14.873682 13.460675 12.565904
15.853572
[57] 17.464535 13.501852 13.786768 11.412913 20.234603 12.741017
17.400292
[64] 16.811443 11.315777 12.433006 15.280227 19.699324 16.407546
17.108316
[71] 17.655909 15.958857
> #DATA TELAH DI TRANSFORMASI
> p1<-powerTransform(Zt1)
> p1
Estimated transformation parameter
Zt1
0.9999999
> #GRAFIK RUNTUN WAKTU CURAH HUJAN SETELAH DI
TRANSFORMASI
> plot(Zt1, main="Grafik Runtun Waktu", ylab="Data
Curah Hujan Setelah di Transformasi", xlab="Time",
123

type="o", pch=20,
abline(h=mean(Data$Curah_Hujan),pch=19,col="blue"))
> abline(h=mean(Data$Curah_Hujan),pch=19,col="blue")
124

Lampiran 9. Sintaks dan output Software R Pemeriksaan Stasioneritas dalam


Variansi untuk Data Curah Hujan (Lanjutan)
> #GRAFIK ACF DATA CURAH HUJAN SETELAH TRANSFORMASI
> acf(Zt1,72,main="Grafik ACF Data Curah Hujan Setelah
Transformasi",ylab="ACF",xlab="Lag")
> abline(h=0)
#GRAFIK RUNTUN WAKTU CURAH HUJAN SETELAH DI
TRANSFORMASI
plot(Zt1, main="Grafik Runtun Waktu", ylab="Data Curah
Hujan Setelah di Transformasi, type="o", pch=20)
125

Lampiran 10. Sintaks dan output Software R Pemeriksaan Stasioneritas dalam


Rata-rata untuk Data Curah Hujan
> #PEMERIKSAAN STASIONER DALAM RATA-RATA
> #UJI ADF SETELAH TRANSFORMASI DATA
> library(fUnitRoots)
> adfTest(Zt1)
Title:
Augmented Dickey-Fuller Test

Test Results:
PARAMETER:
Lag Order: 1
STATISTIC:
Dickey-Fuller: -0.5969
P VALUE:
0.4222
> datadiff=diff(Zt1,differences=1)
> datadiff
Time Series:
Start = 2
End = 72
Frequency = 1
[1] -2.7844828 8.3344331 1.4876103 -4.5067384 -0.8223434 -1.5455822
[7] -2.9473794 5.3790217 -1.9500590 4.1202824 1.9166459 -6.5976305
[13] -0.9606904 -2.5164052 9.6978980 -1.0046909 3.1524696 -8.3644057
[19] 3.3100235 -6.1455458 2.4587988 2.6125649 0.1537392 -0.2582597
[25] -5.0886098 2.6704058 1.0703320 4.0208303 -3.3716774 -2.4740319
[31] -5.0194069 4.5827315 1.0970888 -1.1345755 1.8700636 0.4131685
[37] -7.3182128 8.0284870 -3.1398698 2.9654341 2.1072763 -9.1621897
[43] 0.7179413 -0.9302270 7.6141019 -3.3885803 9.5621086 -4.2035069
[49] -6.7224287 1.8372768 1.8413248 1.0065487 -1.4130070 -0.8947706
[55] 3.2876682 1.6109632 -3.9626830 0.2849155 -2.3738544 8.8216894
[61] -7.4935862 4.6592758 -0.5888496 -5.4956655 1.1172290 2.8472209
[67] 4.4190964 -3.2917779 0.7007703 0.5475926 -1.6970512
> #GRAFIK RUNTUN WAKTU CURAH HUJAN SETELAH DI
TRANSFORMASI DAN DIFFERENCING
> plot(Zt1, main="Grafik Runtun Waktu", ylab="Data
Curah Hujan Setelah di Transformasi dan Differencing",
xlab="Time", type="o", pch=20)
> adfTest(datadiff)
Title:
Augmented Dickey-Fuller Test

Test Results:
PARAMETER:
Lag Order: 1
Lampiran 10. Sintaks dan output Software R Pemeriksaan Stasioneritas dalam
Rata-rata untuk Data Curah Hujan (Lanjutan)
126

STATISTIC:
Dickey-Fuller: -7.755
P VALUE:
0.01

Description:
Fri Mar 18 07:09:11 2022 by user: asus

Warning message:
In adfTest(datadiff) : p-value smaller than printed p-
value
127

Lampiran 11. Sintaks Software R Grafik ACF dan PACF Data Curah Hujan
#GRAFIK ACF DATA CURAH HUJAN SETELAH TRANSFORMASI DAN
DIFFERENCING
> acf(datadiff,72,main="Grafik ACF Data Curah Hujan
Setelah Transformasi dan differencing orde
1",ylab="ACF",xlab="Lag")
˃ abline(h=0)
#GRAFIK PACF DATA CURAH HUJAN SETELAH TRANSFORMASI DAN
DIFFERENCING
˃ pacf(datadiff,72,main="Grafik PACF Data Curah Hujan
Setelah Transformasi",ylab="PACF",xlab="Lag")
˃ abline(h=0)
128

Lampiran 12. Sintaks dan output Software R Untuk Estimasi dan Pengujian
Signifikansi Parameter
> #PENAKSIRAN DAN PENGUJIAN SIGNIFIKANSI PARAMETER
> library(lmtest)
> fit1=arima(x=Zt1,order=c(0,1,1))
> fit1
Call:
arima(x = datadiff, order = c(0, 1, 1))

Coefficients:
ma1
-1.0000
s.e. 0.0355

sigma^2 estimated as 18.54: log likelihood = -203.65, aic =


411.3
> coeftest(fit1,DF=71)
z test of coefficients:

Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)


ma1 -1.000000 0.035526 -28.148 < 2.2e-16 ***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
> fit2=arima(x=Zt1,order=c(1,1,0))
> fit2
Call:
arima(x = datadiff, order = c(1, 1, 0))

Coefficients:
ar1
-0.6689
s.e. 0.0891

sigma^2 estimated as 28.66: log likelihood = -217.06, aic =


438.13
> coeftest(fit2,df=71)
t test of coefficients:

Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)


ar1 -0.668941 0.089076 -7.5098 1.352e-10 ***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
> fit3=arima(x=Zt1,order=c(1,1,1))
> fit3
Call:
arima(x = Zt1, order = c(1, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ma1
0.3852 -1.0000
129

Lampiran 12. Sintaks dan output Software R Untuk Estimasi dan Pengujian
Signifikansi Parameter (Lanjutan)
s.e. 0.1095 0.0366

sigma^2 estimated as 15.61: log likelihood = -198.05, aic =


402.09
> coeftest(fit3,df=70)
t test of coefficients:

Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)


ar1 -0.385164 0.109545 -3.516 0.0007732 ***
ma1 -0.999953 0.036622 -27.304 < 2.2e-16 ***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
> fit4 =arima(x=datadiff,order=c(2,1,1))
> fit4
Call:
arima(x = datadiff, order = c(2, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ar2 ma1
-0.4243 -0.1000 -1.000
s.e. 0.1189 0.1212 0.037

sigma^2 estimated as 15.42: log likelihood = -197.71, aic =


403.42
> coeftest(fit4,df=69)
t test of coefficients:

Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)


ar1 -0.424323 0.118856 -3.5700 0.0006552 ***
ar2 -0.099986 0.121159 -0.8253 0.4120733
ma1 -1.000000 0.036961 -27.0555 < 2.2e-16 ***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

> fit5 =arima(x=datadiff,order=c(3,1,1))


> fit5
Call:
arima(x = datadiff, order = c(3, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ma1
-0.4637 -0.2471 -0.3094 -1.0000
s.e. 0.1132 0.1266 0.1154 0.0387

sigma^2 estimated as 13.84: log likelihood = -194.35, aic =


398.7
> coeftest(fit5,df=68)

t test of coefficients:

Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)


130

Lampiran 12. Sintaks dan output Software R Untuk Estimasi dan Pengujian
Signifikansi Parameter (Lanjutan)
ar1 -0.463661 0.113166 -4.0972 0.0001137 ***
ar2 -0.247050 0.126566 -1.9519 0.0550638 .
ar3 -0.309404 0.115376 -2.6817 0.0091853 **
ma1 -0.999999 0.038711 -25.8323 < 2.2e-16 ***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

> fit6 =arima(x=datadiff,order=c(4,1,1))


> fit6

Call:
arima(x = datadiff, order = c(4, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ar4 ma1
-0.5976 -0.3453 -0.5079 -0.4020 -1.000
s.e. 0.1086 0.1186 0.1170 0.1104 0.047

sigma^2 estimated as 11.47: log likelihood = -188.48, aic =


388.96
> coeftest(fit6,df=67)

t test of coefficients:

Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)


ar1 -0.597629 0.108634 -5.5013 6.380e-07 ***
ar2 -0.345325 0.118632 -2.9109 0.0048890 **
ar3 -0.507864 0.117029 -4.3397 4.928e-05 ***
ar4 -0.401989 0.110424 -3.6404 0.0005308 ***
ma1 -0.999999 0.047014 -21.2704 < 2.2e-16 ***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

> fit7 =arima(x=datadiff,order=c(5,1,1))


> fit7

Call:
arima(x = datadiff, order = c(5, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ar4 ar5 ma1
-0.7330 -0.5160 -0.6201 -0.6011 -0.3222 -0.9999
s.e. 0.1125 0.1266 0.1166 0.1243 0.1141 0.0858

sigma^2 estimated as 10.16: log likelihood = -184.81, aic =


383.61
> coeftest(fit7,DF=66)

z test of coefficients:
131

Lampiran 12. Sintaks dan output Software R Untuk Estimasi dan Pengujian
Signifikansi Parameter (Lanjutan)
Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
ar1 -0.732965 0.112471 -6.5169 7.176e-11 ***
ar2 -0.515988 0.126637 -4.0745 4.611e-05 ***
ar3 -0.620146 0.116616 -5.3178 1.050e-07 ***
ar4 -0.601144 0.124329 -4.8351 1.331e-06 ***
ar5 -0.322248 0.114132 -2.8235 0.004751 **
ma1 -0.999909 0.085806 -11.6531 < 2.2e-16 ***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

> fit8 =arima(x=datadiff,order=c(6,1,1))


> fit8

Call:
arima(x = datadiff, order = c(6, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ar4 ar5 ar6
ma1
-0.8429 -0.7150 -0.8226 -0.7642 -0.5583 -0.2962 -
0.9661
s.e. 0.1166 0.1458 0.1395 0.1362 0.1438 0.1183
0.0576

sigma^2 estimated as 9.423: log likelihood = -181.9, aic =


379.8
> coeftest(fit8,df=65)

t test of coefficients:

Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)


ar1 -0.842863 0.116571 -7.2305 6.783e-10 ***
ar2 -0.715047 0.145834 -4.9031 6.608e-06 ***
ar3 -0.822585 0.139501 -5.8966 1.457e-07 ***
ar4 -0.764181 0.136213 -5.6102 4.475e-07 ***
ar5 -0.558297 0.143828 -3.8817 0.0002451 ***
ar6 -0.296249 0.118257 -2.5051 0.0147558 *
ma1 -0.966107 0.057582 -16.7781 < 2.2e-16 ***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
132

Lampiran 13. Sintaks dan output Softw are R Untuk Pengujian Normalitas
Residual
> #UJI NORMALITAS RESIDUAL
> res1=resid(fit1)
> ks.test(res1,"pnorm",mean(res1),sd(res1))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test

data: res1
D = 0.052682, p-value = 0.9833
alternative hypothesis: two-sided

> res2=resid(fit2)
> ks.test(res2,"pnorm",mean(res2),sd(res2))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test

data: res2
D = 0.064172, p-value = 0.9136
alternative hypothesis: two-sided

> res3=resid(fit3)
> ks.test(res3,"pnorm",mean(res3),sd(res3))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test

data: res3
D = 0.058881, p-value = 0.9542
alternative hypothesis: two-sided

> res4=resid(fit4)
> ks.test(res4,"pnorm",mean(res4),sd(res4))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test

data: res4
D = 0.068409, p-value = 0.8712
alternative hypothesis: two-sided

> res5=resid(fit5)
> ks.test(res5,"pnorm",mean(res5),sd(res5))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test


133

Lampiran 13. Sintaks dan output Softw are R Untuk Pengujian Normalitas
Residual (Lanjutan)
data: res5
D = 0.077231, p-value = 0.7615
alternative hypothesis: two-sided

> res6=resid(fit6)
> ks.test(res6,"pnorm",mean(res6),sd(res6))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test

data: res6
D = 0.069192, p-value = 0.8625
alternative hypothesis: two-sided

> res7=resid(fit7)
> ks.test(res7,"pnorm",mean(res7),sd(res7))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test

data: res7
D = 0.073145, p-value = 0.8152
alternative hypothesis: two-sided

> res8=resid(fit8)
> ks.test(res8,"pnorm",mean(res8),sd(res8))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test

data: res8
D = 0.076373, p-value = 0.7731
alternative hypothesis: two-sided
134

Lampiran 14. Sintaks Software R Untuk Pengujian Independensi Residual


> #UJI INDEPENDENSI RESIDUAL
> x<-res1
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24) pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")
+ $p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box ARIMA(0,1,1)",
+ xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")
>
> x<-res2
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24)pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")
+ $p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box ARIMA(1,1,0)",
+ xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")

> x<-res3
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24)pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")
+ $p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box ARIMA(1,1,1)",
+ xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")

> x<-res4
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24)pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")
+ $p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box ARIMA(2,1,1)",
+ xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")
>
> x<-res5
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24)pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")
+ $p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box ARIMA(3,1,1)",
+ xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")
135

Lampiran 14. Sintaks Software R Untuk Pengujian Independensi Residual


(Lanjutan)
> x<-res6
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24)pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")
+ $p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box ARIMA(4,1,1)",
+ xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")

> x<-res7
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24)pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")
+ $p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box ARIMA(5,1,1)",
+ xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")

> x<-res8
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24)pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")
+ $p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box ARIMA(6,1,1)",
+ xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")
136

Lampiran 15. Sintaks dan output Software R Pemilihan Model Terbaik untuk Data
Curah Hujan
> #PEMILIHAN MODEL TERBAIK#
> model6=arima(datadiff,order=c(4,1,1))
> model6

Call:
arima(x = datadiff, order = c(4, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ar4 ma1
-0.5976 -0.3453 -0.5079 -0.4020 -1.000
s.e. 0.1086 0.1186 0.1170 0.1104 0.047

sigma^2 estimated as 11.47: log likelihood = -188.48, aic =


388.96
> model7=arima(datadiff,order=c(5,1,1))
> model7

Call:
arima(x = datadiff, order = c(5, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ar4 ar5 ma1
-0.7330 -0.5160 -0.6201 -0.6011 -0.3222 -0.9999
s.e. 0.1125 0.1266 0.1166 0.1243 0.1141 0.0858

sigma^2 estimated as 10.16: log likelihood = -184.81, aic =


383.61
> model8=arima(datadiff,order=c(6,1,1))
> model8

Call:
arima(x = datadiff, order = c(6, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ar4 ar5 ar6 ma1
-0.8429 -0.7150 -0.8226 -0.7642 -0.5583 -0.2962 -
0.9661
s.e. 0.1166 0.1458 0.1395 0.1362 0.1438 0.1183 0.0576

sigma^2 estimated as 9.423: log likelihood = -181.9, aic = 379.8


>
137

Lampiran 16. Sintaks dan Software R Nilai Peramalan ARIMA untuk Data Curah
Hujan
> #PEMILIHAN MODEL TERBAIK#
> model6=arima(datadiff,order=c(4,1,1))
> model6

Call:
arima(x = datadiff, order = c(4, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ar4 ma1
-0.5976 -0.3453 -0.5079 -0.4020 -1.000
s.e. 0.1086 0.1186 0.1170 0.1104 0.047

sigma^2 estimated as 11.47: log likelihood = -188.48, aic =


388.96
> model7=arima(datadiff,order=c(5,1,1))
> model7

Call:
arima(x = datadiff, order = c(5, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ar4 ar5 ma1
-0.7330 -0.5160 -0.6201 -0.6011 -0.3222 -0.9999
s.e. 0.1125 0.1266 0.1166 0.1243 0.1141 0.0858

sigma^2 estimated as 10.16: log likelihood = -184.81, aic =


383.61
> model8=arima(datadiff,order=c(6,1,1))
> model8

Call:
arima(x = datadiff, order = c(6, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ar4 ar5 ar6 ma1
-0.8429 -0.7150 -0.8226 -0.7642 -0.5583 -0.2962 -
0.9661
s.e. 0.1166 0.1458 0.1395 0.1362 0.1438 0.1183 0.0576

sigma^2 estimated as 9.423: log likelihood = -181.9, aic = 379.8


138

Lampiran 17. Sintaks dan output Software R Plot Prediksi Curah Hujan
Menggunakan Arima
> #PLOT PREDIKSI CURAH HUJAN MENGGUNAKAN ARIMA#
> data=read.table("D://forecastchu.txt",header=TRUE)
> data
Aktual
1 158.8
2 99.3
3 317.6
4 369.2
5 224.6
6 202.0
7 162.7
8 99.3
9 226.4
10 174.5
11 291.9
12 356.5
13 160.8
14 138.6
15 88.1
16 343.3
17 309.3
18 421.8
19 160.9
20 249.7
21 100.0
22 152.0
23 218.8
24 223.1
25 215.9
26 97.7
27 154.1
28 180.2
29 296.0
30 197.0
31 136.9
32 47.9
33 127.4
34 151.9
35 126.6
36 169.5
37 179.8
139

Lampiran 17. Sintaks dan output Software R Plot Prediksi Curah Hujan
Menggunakan Arima (Lanjutan)
38 41.6
39 198.2
40 123.5
41 193.6
42 252.7
43 52.1
44 62.5
45 49.2
46 202.8
47 121.9
48 401.3
49 259.0
50 95.0
51 132.0
52 175.0
53 201.0
54 165.0
55 144.0
56 228.0
57 276.0
58 166.0
59 173.0
60 119.0
61 369.0
62 148.0
63 274.0
64 256.0
65 117.0
66 141.0
67 212.0
68 350.0
69 244.0
70 265.0
71 282.0
72 231.0
73 145.0
74 134.0
> aktual=ts(data$Aktual)
> aktual
Time Series:
Start = 1
140

Lampiran 17. Sintaks dan output Software R Plot Prediksi Curah Hujan
Menggunakan Arima (Lanjutan)
End = 74
Frequency = 1
[1] 158.8 99.3 317.6 369.2 224.6 202.0 162.7 99.3 226.4 174.5 291.9
356.5
[13] 160.8 138.6 88.1 343.3 309.3 421.8 160.9 249.7 100.0 152.0 218.8
223.1
[25] 215.9 97.7 154.1 180.2 296.0 197.0 136.9 47.9 127.4 151.9 126.6
169.5
[37] 179.8 41.6 198.2 123.5 193.6 252.7 52.1 62.5 49.2 202.8 121.9
401.3
[49] 259.0 95.0 132.0 175.0 201.0 165.0 144.0 228.0 276.0 166.0 173.0
119.0
[61] 369.0 148.0 274.0 256.0 117.0 141.0 212.0 350.0 244.0 265.0 282.0
231.0
[73] 145.0 134.0
> data=read.table("D://Predictchu.txt",header=TRUE)
> data
prediksi
1 159.64020
2 142.82128
3 167.20622
4 261.24050
5 294.44387
6 203.38692
7 160.38091
8 193.77915
9 206.37488
10 264.42397
11 276.84380
12 224.11773
13 222.58998
14 167.15571
15 139.12373
16 205.83354
17 258.82354
18 289.23994
19 243.50799
20 181.11800
21 165.47094
22 225.05692
23 265.72554
24 302.57045
25 289.32203
26 211.48923
27 178.84539
28 159.67320
29 199.28980
30 217.46449
141

Lampiran 17. Sintaks dan output Software R Plot Prediksi Curah Hujan
Menggunakan Arima (Lanjutan)
31 197.27614
32 151.49130
33 142.35568
34 179.33115
35 213.56752
36 197.66616
37 161.11252
38 144.45766
39 101.93151
40 125.60040
41 163.53313
42 139.00740
43 165.15481
44 130.90495
45 94.86532
46 160.26393
47 179.74240
48 174.61045
49 166.07145
50 141.29477
51 63.50932
52 108.95675
53 209.48160
54 221.97975
55 234.11906
56 190.03069
57 171.67027
58 188.83008
59 168.39988
60 159.79467
61 179.58911
62 219.15254
63 226.23915
64 183.45682
65 214.29093
66 182.42231
67 181.40721
68 258.33346
69 252.43782
70 229.62218
71 186.26680
72 196.87934
142

Lampiran 17. Sintaks dan output Software R Plot Prediksi Curah Hujan
Menggunakan Arima (Lanjutan)
73 210.38690
74 229.15230
75 269.54159
76 271.57052
77 265.43363
78 250.36443
79 236.68633
80 234.66190
81 245.15834
82 259.20638
83 262.70072
84 257.03678
> prediksi=ts(data$prediksi)
> win.graph()
> plot(prediksi,ylim=c(0,500),main="Aktual vs
Prediksi",
+ xlab= "Waktu",ylab="Jumlah Curah Hujan",col="white")
> points(prediksi[1:82],cex=1,col="Red",pch=19)
> lines(prediksi,col="Red",lwd=2)
> points(aktual[1:82],cex=1,col="black",pch=19)
> lines(aktual,col="black",lwd=2,cex=1.5)
> legend("topleft",legend=c("Prediksi"),cex=1,lty=1,
+ col="red",pch=10)
> legend("topright",legend=c("Aktual"),cex=1,lty=1,
+ col="black",pch=10)
> grid()
143

Lampiran 18. Sintaks dan output Software R Grafik Runtun Waktu Data
Kelembapan Udara
#ARIMA KELEMBAPAN UDARA
> Data=read.table(file.choose(),header=T)
> datatku<-ts(Data$Kelembapan_Udara)
> plot(datatch, main="Grafik Runtun Waktu", ylab="Data
Kelembapan Udara", xlab="Time", type="o", pch=20)
> abline(h=mean(Data$ Kelembapan_Udara)
+ ,ity=6,pch=20,col="blue")
144

Lampiran 19. Sintaks dan output Software R Pemeriksaan Stasioneritas dalam


Variansi untuk Data Kelembapan Udara
> #TRANSFORMASI BOX-COX
> Zt_ku=datatku+1
> boxcox(Zt_ku~1, lambda = seq(-20, 20, 1/10))
> #PEMERIKSAAN STASIONER DALAM VARIANSI
> p_ku<-powerTransform(Zt_ku)
> p_ku
Estimated transformation parameter
Zt_ku
10.3871
> lambda_ku=10.3871
> Zt1_ku<-(Zt_ku^lambda_ku)
> Zt1_ku
Time Series:
Start = 1
End = 72
Frequency = 1
[1] 3.937022e+19 3.437153e+19 4.501693e+19 5.138571e+19 8.583335e+19
[6] 9.720338e+19 8.583335e+19 6.662309e+19 9.720338e+19 5.855797e+19
[11] 1.099176e+20 2.074450e+18 8.583335e+19 6.662309e+19 7.567908e+19
[16] 8.583335e+19 1.399524e+20 1.099176e+20 8.583335e+19 9.720338e+19
[21] 8.583335e+19 4.501693e+19 7.567908e+19 3.937022e+19 7.567908e+19
[26] 8.583335e+19 6.662309e+19 8.583335e+19 1.099176e+20 9.720338e+19
[31] 7.567908e+19 5.138571e+19 4.501693e+19 2.995359e+19 8.583335e+19
[36] 2.605534e+19 6.662309e+19 3.937022e+19 5.138571e+19 6.662309e+19
[41] 8.583335e+19 9.720338e+19 5.138571e+19 4.501693e+19 2.995359e+19
[46] 3.937022e+19 7.567908e+19 3.937022e+19 6.662309e+19 3.937022e+19
[51] 5.138571e+19 5.855797e+19 9.720338e+19 1.241163e+20 9.720338e+19
[56] 9.720338e+19 9.720338e+19 3.437153e+19 7.567908e+19 5.138571e+19
[61] 1.099176e+20 1.099176e+20 9.720338e+19 9.720338e+19 1.099176e+20
[66] 8.583335e+19 9.720338e+19 9.720338e+19 9.720338e+19 2.995359e+19
[71] 9.720338e+19 5.138571e+19
> #DATA TELAH DI TRANSFORMASI
> p1_ku<-powerTransform(Zt1_ku)
> p1_ku
Estimated transformation parameter
Zt1_ku
1
> #GRAFIK RUNTUN WAKTU KELEMBAPAN UDARA SETELAH DI
TRANSFORMASI
> plot(Zt1_ku, main="Grafik Runtun Waktu",pch=20, ylab
+ ="Data Kelembapan Udara Setelah di Transformasi",
xlab="Time", type="o")
>
abline(h=mean(Data$Kelembapan_Udara),pch=19,col="blue
")
> #GRAFIK ACF DATA KELEMBAPAN UDARA SETELAH
TRANSFORMASI
> acf(Zt1_ku,72,main="Grafik ACF Data Kelembapan Udara
Setelah Transformasi",ylab="ACF",xlab="Lag")
145

Lampiran 20. Sintaks dan output Software R Pemeriksaan Stasioneritas dalam


Rata-rata untuk Data Kelembapan Udara
> #PEMERIKSAAN STASIONER DALAM RATA-RATA
> #UJI ADF SETELAH TRANSFORMASI DATA
> adfTest(Zt1_ku)

Title:
Augmented Dickey-Fuller Test

Test Results:
PARAMETER:
Lag Order: 1
STATISTIC:
Dickey-Fuller: -0.8062
P VALUE:
0.3556
> datadiff_ku=diff(Zt1_ku,differences=1)
> datadiff_ku
Time Series:
Start = 2
End = 72
Frequency = 1
[1] -4.998687e+18 1.064540e+19 6.368783e+18 3.444764e+19
1.137003e+19
[6] -1.137003e+19 -1.921026e+19 3.058030e+19 -3.864541e+19
5.135965e+19
[11] -1.078432e+20 8.375890e+19 -1.921026e+19 9.055999e+18
1.015426e+19
[16] 5.411908e+19 -3.003480e+19 -2.408427e+19 1.137003e+19 -
1.137003e+19
[21] -4.081642e+19 3.066216e+19 -3.630887e+19 3.630887e+19
1.015426e+19
[26] -1.921026e+19 1.921026e+19 2.408427e+19 -1.271424e+19 -
2.152430e+19
[31] -2.429337e+19 -6.368783e+18 -1.506334e+19 5.587976e+19 -
5.977801e+19
[36] 4.056774e+19 -2.725287e+19 1.201549e+19 1.523738e+19
1.921026e+19
[41] 1.137003e+19 -4.581767e+19 -6.368783e+18 -1.506334e+19
9.416629e+18
[46] 3.630887e+19 -3.630887e+19 2.725287e+19 -2.725287e+19
1.201549e+19
[51] 7.172259e+18 3.864541e+19 2.691293e+19 -2.691293e+19
0.000000e+00
[56] 0.000000e+00 -6.283185e+19 4.130755e+19 -2.429337e+19
5.853191e+19
[61] 0.000000e+00 -1.271424e+19 0.000000e+00 1.271424e+19 -
2.408427e+19
[66] 1.137003e+19 0.000000e+00 0.000000e+00 -6.724979e+19
6.724979e+19
[71] -4.581767e+19
> #GRAFIK RUNTUN WAKTU KELEMBAPAN UDARA SETELAH DI
TRANSFORMASI DAN DIFFERENCING
146

> plot(datadiff_ku, main="Grafik Runtun Waktu",pch=20,


ylab="Data Kelembapan Udara Setelah di Transformasi",
xlab="Time", type="o")
>
abline(h=mean(Data$Kelembapan_Udara),pch=19,col="blue
")
> adfTest(datadiff_ku)
147

Lampiran 20. Sintaks dan output Software R Pemeriksaan Stasioneritas dalam


Rata-rata untuk Data Kelembapan Udara (Lanjutan)
Title:
Augmented Dickey-Fuller Test

Test Results:
PARAMETER:
Lag Order: 1
STATISTIC:
Dickey-Fuller: -7.3044
P VALUE:
0.01
148

Lampiran 21. Sintaks Software R Grafik ACF dan PACF Data Kelembapan
Udara
> #GRAFIK ACF DATA KELEMBAPAN UDARA SETELAH
TRANSFORMASI DAN DIFFERENCING
> acf(datadiff_ku,72,main="Grafik ACF Data Kelembapan
Udara Setelah Transformasi dan differencing orde
1",ylab="ACF",xlab="Lag")
> abline(h=0)
> #GRAFIK PACF DATA KELEMBAPAN UDARA SETELAH
TRANSFORMASI
> pacf(datadiff_ku,72,main="Grafik PACF Data
Kelembapan Udara Setelah Transformasi dan differencing
orde 1",ylab="PACF",xlab="Lag")
> abline(h=0)
149

Lampiran 22. Sintaks dan output Software R Untuk Estimasi dan Pengujian
Signifikansi Parameter
> #PENAKSIRAN DAN PENGUJIAN SIGNIFIKANSI PARAMETER
> fit1_ku=arima(x=datadiff_ku,order=c(0,1,1))
> fit1_ku

Call:
arima(x = datadiff_ku, order = c(0, 1, 1))

Coefficients:
ma1
-1.0000
s.e. 0.0367

sigma^2 estimated as 1.151e+39: log likelihood = -


3249.42, aic = 6502.84
> coeftest(fit1_ku,DF=71)

z test of coefficients:

Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)


ma1 -1.000000 0.036659 -27.278 < 2.2e-16 ***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’
0.1 ‘ ’ 1

> fit2_ku=arima(x=datadiff_ku,order=c(1,1,0))
> fit2_ku

Call:
arima(x = datadiff_ku, order = c(1, 1, 0))

Coefficients:
ar1
-0.7901
s.e. 0.0743

sigma^2 estimated as 1.392e+39: log likelihood = -


3254.43, aic = 6512.86
> coeftest(fit2_ku,df=71)

t test of coefficients:
150

Lampiran 22. Sintaks dan output Software R Untuk Estimasi dan Pengujian
Signifikansi Parameter (Lanjutan)
Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
ar1 -0.790054 0.074279 -10.636 2.424e-16 ***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’
0.1 ‘ ’ 1

> fit3_ku=arima(x=datadiff_ku,order=c(1,1,1))
> fit3_ku

Call:
arima(x = datadiff_ku, order = c(1, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ma1
-0.5653 -1.0000
s.e. 0.0983 0.0406

sigma^2 estimated as 7.751e+38: log likelihood = -


3236.2, aic = 6478.41
> coeftest(fit3_ku,df=70)

t test of coefficients:

Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)


ar1 -0.565279 0.098322 -5.7493 2.157e-07 ***
ma1 -0.999999 0.040559 -24.6557 < 2.2e-16 ***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’
0.1 ‘ ’ 1

> fit4_ku=arima(x= datadiff_ku,order=c(0,1,2))


> fit4_ku

Call:
arima(x = datadiff_ku, order = c(0, 1, 2))

Coefficients:
ma1 ma2
-1.6596 0.6596
s.e. 0.1689 0.1648
Lampiran 22. Sintaks dan output Software R Untuk Estimasi dan Pengujian
Signifikansi Parameter (Lanjutan)
151

sigma^2 estimated as 7.916e+38: log likelihood = -


3237.64, aic = 6481.28
> coeftest(fit4_ku,DF=71)

z test of coefficients:

Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)


ma1 -1.65959 0.16886 -9.8279 < 2.2e-16 ***
ma2 0.65960 0.16476 4.0033 6.245e-05 ***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’
0.1 ‘ ’ 1

> fit5_ku=arima(x= datadiff_ku,order=c(1,1,2))


> fit5_ku

Call:
arima(x = datadiff_ku, order = c(1, 1, 2))

Coefficients:
ar1 ma1 ma2
-0.5679 -0.9961 -0.0039
s.e. 0.1968 0.2520 0.2487

sigma^2 estimated as 7.751e+38: log likelihood = -


3236.2, aic = 6480.41
> coeftest(fit5_ku,df=71)

t test of coefficients:

Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)


ar1 -0.5679394 0.1967517 -2.8866 0.0051562 **
ma1 -0.9961141 0.2520219 -3.9525 0.0001806 ***
ma2 -0.0038834 0.2487391 -0.0156 0.9875874
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’
0.1 ‘ ’ 1
152

Lampiran 23. Sintaks dan output Software R Untuk Pengujian Normalitas


Residual
> #UJI NORMALITAS RESIDUAL
> res1_ku=resid(fit1_ku)
> ks.test(res1_ku,"pnorm",mean(res1_ku),sd(res1_ku))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test

data: res1_ku
D = 0.080908, p-value = 0.7106
alternative hypothesis: two-sided
> res2_ku=resid(fit2_ku)
> ks.test(res2_ku,"pnorm",mean(res2_ku),sd(res2_ku))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test

data: res2_ku
D = 0.10394, p-value = 0.3997
alternative hypothesis: two-sided
> res3_ku=resid(fit3_ku)
> ks.test(res3_ku,"pnorm",mean(res3_ku),sd(res3_ku))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test

data: res3_ku
D = 0.067489, p-value = 0.8811
alternative hypothesis: two-sided
> res4_ku=resid(fit4_ku)
> ks.test(res4_ku,"pnorm",mean(res4_ku),sd(res4_ku))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test

data: res4_ku
D = 0.12241, p-value = 0.2191
alternative hypothesis: two-sided
> res5_ku=resid(fit5_ku)
> ks.test(res5_ku,"pnorm",mean(res5_ku),sd(res5_ku))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test

data: res5_ku
D = 0.068356, p-value = 0.8718
alternative hypothesis: two-sided

Lampiran 24. Sintaks Software R Untuk Pengujian Independensi Residual


153

R Untuk Pengujian Independensi Residual (Lanjutan)


> x<-res1_ku
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24)pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")$
+ p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box
+ ARIMA(0,1,1)",xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")

> x<-res2_ku
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24)pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")$
+ p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box ARIMA(1,1,0)",
+ xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")

> x<-res3_ku
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24)pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")$
+ p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box ARIMA(1,1,1)",
+ xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")

> x<-res4_ku
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24)pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")$
+ p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box ARIMA(0,1,2)",
+ xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")

> x<-res5_ku
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24)pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")$
+ p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box ARIMA(1,1,2)",
+ xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")

Lampiran 25. Sintaks dan output Software R Pemilihan Model ARIMA Terbaik
untuk Data Kelembapan Udara
> #PEMILIHAN MODEL TERBAIK#
> model3_ku=arima(datadiff_ku,order=c(1,1,1))
154

> model3_ku

Call:
arima(x = datadiff_ku, order = c(1, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ma1
-0.5653 -1.0000
s.e. 0.0983 0.0406

sigma^2 estimated as 7.751e+38: log likelihood = -


3236.2, aic = 6478.41
> summary(model3_ku)

Call:
arima(x = datadiff_ku, order = c(1, 1, 1))

Coefficients:
ar1 ma1
-0.5653 -1.0000
s.e. 0.0983 0.0406

sigma^2 estimated as 7.751e+38: log likelihood = -


3236.2, aic = 6478.41

Training set error measures:


ME RMSE MAE
MPE MAPE MASE
Training set -2.262891e+18 2.764351e+19 2.128175e+19
NaN Inf 0.4751252
ACF1
Training set -0.02369239
> model4_ku=arima(datadiff_ku,order=c(0,1,2))
> model4_ku

Call:
arima(x = datadiff_ku, order = c(0, 1, 2))

Coefficients:
Lampiran 25. Sintaks dan output Software R Pemilihan Model ARIMA Terbaik
untuk Data Kelembapan Udara (Lanjutan)
ma1 ma2
-1.6596 0.6596
s.e. 0.1689 0.1648
155

sigma^2 estimated as 7.916e+38: log likelihood = -


3237.64, aic = 6481.28
> summary(model4_ku)

Call:
arima(x = datadiff_ku, order = c(0, 1, 2))

Coefficients:
ma1 ma2
-1.6596 0.6596
s.e. 0.1689 0.1648

sigma^2 estimated as 7.916e+38: log likelihood = -


3237.64, aic = 6481.28

Training set error measures:


ME RMSE MAE
MPE MAPE MASE
Training set -3.410652e+18 2.793693e+19 2.101748e+19
NaN Inf 0.4692251
ACF1
Training set -0.02804756
156

Lampiran 26. Sintaks dan output Software R Grafik Runtun Waktu Data
Kecepatan Angin
> #ARIMA KECEPATAN ANGIN
> datatka<-ts(Data$Kecepatan_Angin)
> plot(datatka, main="Grafik Runtun Waktu", ylab="Data
+ Kecepatan Angin", xlab="Time", pch=20, type="o")
> abline(h=mean(Data$Kecepatan_Angin),col="blue")
157

Lampiran 27. Sintaks dan output Software R Pemeriksaan Stasioneritas dalam


Variansi untuk Data Kecepatan Angin
> #TRANSFORMASI BOX-COX
> Zt_ka=datatka+1
> library(MASS)
> library(car)
> boxcox(Zt_ka~1,lambda=seq(-10, 10, 1/10))
> #PEMERIKSAAN STASIONER DALAM VARIANSI
> p_ka<-powerTransform(Zt_ka)
> p_ka
Estimated transformation parameter
Zt_ka
-1.573465
> lambda_ka=-1.573465
> Zt_ka1<-(Zt_ka^lambda_ka)
> Zt_ka1
Time Series:
Start = 1
End = 72
Frequency = 1
[1] 0.04680237 0.04680237 0.05964942 0.05964942 0.07946853 0.11289629
[7] 0.07946853 0.07946853 0.07946853 0.07946853 0.07946853 0.07946853
[13] 0.11289629 0.07946853 0.07946853 0.07946853 0.07946853 0.07946853
[19] 0.07946853 0.07946853 0.07946853 0.07946853 0.07946853 0.07946853
[25] 0.08759464 0.09717392 0.07471259 0.09379787 0.10075336 0.11748449
[31] 0.07946853 0.07471259 0.07250655 0.09717392 0.09379787 0.08759464
[37] 0.08203527 0.05811804 0.07703057 0.09060950 0.10455362 0.09060950
[43] 0.07040509 0.06466323 0.06291769 0.10455362 0.09717392 0.10859405
[49] 0.07471259 0.05964942 0.07040509 0.07471259 0.11289629 0.12763050
[55] 0.10455362 0.10075336 0.10859405 0.10455362 0.10455362 0.09717392
[61] 0.08474045 0.09717392 0.08474045 0.09717392 0.09717392 0.09060950
[67] 0.08474045 0.09060950 0.09060950 0.07946853 0.10859405 0.09717392
> #GRAFIK RUNTUN WAKTU KECEPATAN ANGIN SETELAH DI
TRANSFORMASI
> plot(Zt_ka1, main="Grafik Runtun Waktu",pch=20,
ylab="Data Kecepatan Angin Setelah di Transformasi",
xlab="Time", type="o")
>
abline(h=mean(Data$Kecepatan_Angin),pch=19,col="blue"
)
158

Lampiran 28. Sintaks dan output Software R Pemeriksaan Stasioneritas dalam


Rata-rata untuk Data Kecepatan Angin
> #PEMERIKSAAN STASIONER DALAM RATA-RATA
> adfTest(Zt_ka1)
Title:
Augmented Dickey-Fuller Test

Test Results:
PARAMETER:
Lag Order: 1
STATISTIC:
Dickey-Fuller: -0.2577
P VALUE:
0.53
> datadiff_ka=diff(Zt_ka1,differences=1)
> datadiff_ka
Time Series:
Start = 2
End = 72
Frequency = 1
[1] 0.000000000 0.012847056 0.000000000 0.019819104 0.033427765
[6] -0.033427765 0.000000000 0.000000000 0.000000000 0.000000000
[11] 0.000000000 0.033427765 -0.033427765 0.000000000 0.000000000
[16] 0.000000000 0.000000000 0.000000000 0.000000000 0.000000000
[21] 0.000000000 0.000000000 0.000000000 0.008126116 0.009579280
[26] -0.022461331 0.019085278 0.006955495 0.016731124 -0.038015961
[31] -0.004755936 -0.002206037 0.024667368 -0.003376054 -0.006203227
[36] -0.005559370 -0.023917228 0.018912522 0.013578936 0.013944112
[41] -0.013944112 -0.020204414 -0.005741863 -0.001745536 0.041635925
[46] -0.007379693 0.011420132 -0.033881463 -0.015063169 0.010755667
[51] 0.004307502 0.038183700 0.014734210 -0.023076886 -0.003800251
[56] 0.007840690 -0.004040439 0.000000000 -0.007379693 -0.012433475
[61] 0.012433475 -0.012433475 0.012433475 0.000000000 -0.006564420
[66] -0.005869055 0.005869055 0.000000000 -0.011140976 0.029125528
[71] -0.011420132
> #GRAFIK RUNTUN WAKTU KECEPATAN ANGIN SETELAH DI
TRANSFORMASI DAN DIFFERENCING
> plot(datadiff_ka, main="Grafik Runtun Waktu",pch=20,
ylab="Data Kecepatan Angin Setelah di Transformasi dan
Differencing", xlab="Time", type="o")
>
abline(h=mean(Data$Kecepatan_Angin),pch=19,col="blue"
)
> adfTest(datadiff_ka)
Title:
Augmented Dickey-Fuller Test

Test Results:
PARAMETER:
Lag Order: 1
159

Lampiran 28. Sintaks dan output Software R Pemeriksaan Stasioneritas dalam


Rata-rata untuk Data Kelembapan Udara (Lanjutan)
STATISTIC:
Dickey-Fuller: -7.1116
P VALUE:
0.01

Description:
Sun Mar 20 01:13:44 2022 by user: asus

Warning message:
In adfTest(datadiff_ka) : p-value smaller than printed
p-value
160

Lampiran 29. Sintaks Software R Grafik ACF dan PACF Data Kelembapan
Udara
> #GRAFIK ACF DATA KELEMBAPAN UDARA SETELAH
TRANSFORMASI DAN DIFFERENCING
> acf(datadiff_ka,72,main="Grafik ACF Data Kecepatan
Angin Setelah Transformasi dan differencing orde
1",ylab="ACF",xlab="Lag")
> abline(h=0)
> #GRAFIK PACF DATA KELEMBAPAN UDARA SETELAH
TRANSFORMASI
> pacf(datadiff_ka,72,main="Grafik PACF Data Kecepatan
Angin Setelah Transformasi dan differencing orde
1",ylab="PACF",xlab="Lag")
> abline(h=0)
161

Lampiran 30. Sintaks dan output Software R Untuk Estimasi dan Pengujian
Signifikansi Parameter
> #PENAKSIRAN DAN PENGUJIAN SIGNIFIKANSI PARAMETER
> library(lmtest)
> fit1_ka=arima(x=datadiff_ka,order=c(3,1,3))
> fit1_ka
Call:
arima(x = datadiff_ka, order = c(3, 1, 3))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ma1 ma2 ma3
0.5800 -0.3636 -0.3428 -1.9988 1.4554 -
0.4566
s.e. 0.2191 0.1727 0.1381 0.2304 0.3856 0.2019

sigma^2 estimated as 0.0001814: log likelihood =


198.61, aic = -383.22
> coeftest(fit1_ka,DF=66)
z test of coefficients:

Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)


ar1 0.58005 0.21912 2.6471 0.0081174
**
ar2 -0.36363 0.17268 -2.1058 0.0352213
*
ar3 -0.34282 0.13814 -2.4817 0.0130757
*
ma1 -1.99884 0.23041 -8.6752 < 2.2e-16
***
ma2 1.45544 0.38560 3.7745 0.0001603
***
ma3 -0.45660 0.20190 -2.2615 0.0237282
*
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’
0.1 ‘ ’ 1
> fit2_ka=arima(x=datadiff_ka,order=c(4,1,3))
> fit2_ka
Call:
arima(x = datadiff_ka, order = c(4, 1, 3))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ar4 ma1
ma2 ma3
-0.5900 0.0542 -0.4065 -0.3941 -0.8122 -
0.6999 0.5121
s.e. 0.2044 0.2074 0.1440 0.1229 0.2386
0.2527 0.2191

Lampiran 30. Sintaks dan output Software R Untuk Estimasi dan Pengujian
Signifikansi Parameter (Lanjutan)
162

sigma^2 estimated as 0.0001776: log likelihood =


198.96, aic = -381.92
> coeftest(fit2_ka,df=65)

t test of coefficients:

Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)


ar1 -0.589986 0.204400 -2.8864 0.005284 **
ar2 0.054214 0.207434 0.2614 0.794645
ar3 -0.406495 0.144027 -2.8224 0.006319 **
ar4 -0.394143 0.122894 -3.2072 0.002081 **
ma1 -0.812224 0.238553 -3.4048 0.001139 **
ma2 -0.699868 0.252675 -2.7698 0.007303 **
ma3 0.512093 0.219100 2.3372 0.022517 *
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’
0.1 ‘ ’ 1
163

Lampiran 31. Sintaks dan output Software R Untuk Pengujian Normalitas


Residual
> #UJI NORMALITAS RESIDUAL
> res1_ka=resid(fit1_ka)
> ks.test(res1_ka,"pnorm",mean(res1_ka),sd(res1_ka))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test

data: res1_ka
D = 0.092048, p-value = 0.5531
alternative hypothesis: two-sided

> res2_ka=resid(fit2_ka)
> ks.test(res2_ka,"pnorm",mean(res2_ka),sd(res2_ka))

One-sample Kolmogorov-Smirnov test

data: res2_ka
D = 0.1157, p-value = 0.276
alternative hypothesis: two-sided
164

Lampiran 32. Sintaks dan output Software R Uji Independensi Residual untuk
Data Kecepatan Angin
> x<-res1_ka
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24)pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")
+ $p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box ARIMA(3,1,3)",
+ xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")

> x<-res2_ka
> pv2<-rep(1,24)
> for(i in 1:24)pv2[i]=Box.test(x,lag=i,type="Ljung")
+ $p.value
> plot(pv2,type="p",main="Ljung-Box ARIMA(3,1,4)",
+ xlab="lag",ylab="p value",ylim=c(0,1))
> abline(h=0.05,lty=1,col="blue")
165

Lampiran 33. Sintaks dan output Software R Pemilihan Model ARIMA Terbaik
untuk Data Kecepatan Angin
> #PEMILIHAN MODEL TERBAIK
> model1_ka=arima(y,order=c(3,1,3))
> model1_ka

Call:
arima(x = y, order = c(3, 1, 3))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ma1 ma2 ma3
-0.8319 -0.1420 0.1185 0.6632 -0.5570 -
0.9595
s.e. 0.2081 0.2692 0.2041 0.1724 0.2139 0.1730

sigma^2 estimated as 237369313: log likelihood = -


389.94, aic = 793.88
> summary(model1_ka)
Call:
arima(x = y, order = c(3, 1, 3))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ma1 ma2 ma3
-0.8319 -0.1420 0.1185 0.6632 -0.5570 -
0.9595
s.e. 0.2081 0.2692 0.2041 0.1724 0.2139 0.1730

sigma^2 estimated as 237369313: log likelihood = -


389.94, aic = 793.88

Training set error measures:


ME RMSE MAE MPE
MAPE MASE ACF1
Training set -4380.725 15191.31 10659.08 -382.021
400.4118 0.8430939 0.03841899
> model2_ka=arima(y,order=c(4,1,2))
> model2_ka
Call:
arima(x = y, order = c(4, 1, 2))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ar4 ma1 ma2
-0.0251 0.1226 -0.2472 0.0305 -0.2506 -
0.6361
s.e. 0.7898 0.5232 0.3041 0.2055 0.7776 0.7136
166

Lampiran 33. Sintaks dan output Software R Pemilihan Model ARIMA Terbaik
untuk Data Kecepatan Angin (Lanjutan)
sigma^2 estimated as 292833963: log likelihood = -
391.7, aic = 797.4
> summary(model2_ka)
Call:
arima(x = y, order = c(4, 1, 2))

Coefficients:
ar1 ar2 ar3 ar4 ma1 ma2
-0.0251 0.1226 -0.2472 0.0305 -0.2506 -
0.6361
s.e. 0.7898 0.5232 0.3041 0.2055 0.7776 0.7136

sigma^2 estimated as 292833963: log likelihood = -


391.7, aic = 797.4

Training set error measures:


ME RMSE MAE MPE
MAPE MASE
Training set -4844.569 16873.05 12448.77 -465.8193
488.6685 0.9846519
ACF1
Training set -0.02370112
167

Lampiran 34. Sintaks dan output Software R Grafik Runtun Waktu Data Suhu
Udara
#GRAFIK RUNTUN WAKTU SUHU UDARA
> datatsu<-ts(Data$Suhu_Udara)
> plot(datatsu,main="Grafik Runtun Waktu",ylab="Data
Suhu + Udara",xlab="Time")
>abline(h=mean(Data$Suhu_Udara),ity=6,pch=19,col="bl
ue")
168

Lampiran 35. Sintaks dan output Software R Pemeriksaan Stasioneritas dalam


Variansi untuk Data Suhu Udara
> #TRANSFORMASI BOX-COX
> Zt_su=datatsu+1
> Zt_su
Time Series:
Start = 1
End = 72
Frequency = 1
[1] 29.7 30.0 30.0 30.0 29.7 28.6 28.8 28.9 28.4 28.6 28.7 28.5 28.4 28.9 28.6
[16] 28.8 28.7 28.3 28.7 28.2 28.8 29.3 29.1 29.0 28.6 28.6 28.9 28.8 28.8 28.8
[31] 28.9 29.0 29.1 28.8 28.9 29.2 28.7 29.4 29.2 29.5 29.3 28.7 28.7 28.9 29.5
[46] 29.0 29.1 28.8 29.2 29.6 29.7 29.6 29.4 28.6 28.3 28.5 28.6 29.0 29.1 28.7
[61] 28.6 28.3 28.4 28.5 29.0 28.7 28.4 28.2 28.4 29.2 28.6 28.5
> boxcox(Zt_su~1,lambda = seq(-30, 20, 1/10))
> #PEMERIKSAAN STASIONER DALAM VARIANSI
> p_su<-powerTransform(Zt_su)
Error in qr.resid(xqr, w * fam(Y, lambda, j = TRUE,
...)) :
NA/NaN/Inf in foreign function call (arg 5)
169

Lampiran 36. Sintaks dan output Software R Grafik Runtun Waktu Data
Tekanan Udara
#GRAFIK RUNTUN WAKTU TEKANAN UDARA
> #GRAFIK RUNTUN WAKTU TEKANAN UDARA
> datattu<-ts(Data$Tekanan_Udara)
> plot(datattu,main="Grafik Runtun Waktu",ylab=
+ "Data Tekanan + Udara",xlab="Time")
>abline(h=mean(Data$Tekanan_Udara),ity=6,pch=19,
+ col="blue")
170

Lampiran 37. Sintaks dan output Software R Pemeriksaan Stasioneritas dalam


Variansi untuk Data Tekanan Udara
> #TRANSFORMASI BOX-COX
> Zt_tu=datattu+1
> Zt_tu
Time Series:
Start = 1
End = 72
Frequency = 1
[1] 1013.8 1014.1 1014.4 1013.2 1013.7 1013.4 1014.1 1014.1 1014.4
1014.8
[11] 1013.0 1013.7 1015.0 1014.0 1015.0 1014.0 1013.0 1014.0 1013.0
1013.0
[21] 1014.0 1013.0 1012.0 1012.0 1012.8 1013.3 1013.4 1013.8 1012.9
1013.6
[31] 1013.7 1013.1 1013.5 1012.7 1010.4 1012.0 1012.1 1013.0 1013.0
1012.5
[41] 1012.7 1013.6 1012.7 1013.5 1013.9 1014.0 1012.5 1012.8 1013.8
1015.0
[51] 1014.2 1013.2 1013.5 1013.1 1013.8 1014.0 1014.8 1013.5 1012.1
1013.1
[61] 1010.5 1011.1 1010.6 1010.6 1009.9 1010.1 1009.4 1010.0 1009.9
1009.2
[71] 1009.6 1008.9
> boxcox(Zt_tu~1,lambda = seq(-100, 100, 1/10))
> #PEMERIKSAAN STASIONER DALAM VARIANSI
> p_tu<-powerTransform(Zt_tu)
Error in qr.resid(xqr, w * fam(Y, lambda, j = TRUE,
...)) :
NA/NaN/Inf in foreign function call (arg 5)
171

Lampiran 38. Sintaks dan Output Penaksiran Parameter Model Awal Fungsi
Transfer
identify var=ch crosscorr=(ka) nlag=12;

run;

estimate input=(7$ (0)/(0)ku) input=(0$ (0)/(0)ka) plot; run;

Conditional Least Squares Estimation

Standard Approx
Parameter Estimate Error t Value Pr > |t| Lag Variable Shift

MU -75.81087 214.49062 -0.35 0.7250 0 ch 0

NUM1 5.53616 2.41335 2.29 0.0252 0 ku 7

NUM2 -46.30630 20.55205 -2.25 0.0278 0 ka 0

Constant Estimate -75.8109

Variance Estimate 6690.97

Std Error Estimate 81.79835

AIC 759.944

SBC 766.4671

Number of Residuals 65

* AIC and SBC do not include log determinant.

Correlations of Parameter Estimates

Variable ch ku ka
Parameter MU NUM1 NUM2

ch MU 1.000 -0.932 -0.444

ku NUM1 -0.932 1.000 0.094

ka NUM2 -0.444 0.094 1.000


172

Autocorrelation Check of Residuals

To Chi- Pr >
Lag Square DF ChiSq Autocorrelations

6 8.36 6 0.2130 0.211 0.106 -0.180 -0.033 0.027 0.171

12 14.06 12 0.2968 0.232 0.010 0.030 -0.084 0.102 0.049

18 24.40 18 0.1423 0.075 -0.223 -0.067 -0.218 -0.084 -0.061

24 26.86 24 0.3110 0.090 -0.009 -0.089 0.023 -0.072 -0.055

Crosscorrelation Check of Residuals with Input ku

To Chi- Pr >
Lag Square DF ChiSq Crosscorrelations

5 2.67 6 0.8494 0.048 0.061 0.172 0.063 0.021 -0.077

11 8.89 12 0.7125 -0.081 0.169 -0.074 0.004 -0.243 -0.088

17 10.64 18 0.9092 -0.065 0.127 0.023 0.054 -0.026 -0.076

23 16.48 24 0.8698 -0.195 0.085 -0.183 0.069 -0.079 -0.106

Crosscorrelation Check of Residuals with Input ka

To Chi- Pr >
Lag Square DF ChiSq Crosscorrelations

5 0.47 6 0.9982 0.005 0.062 0.026 -0.012 0.032 -0.040

11 0.73 12 1.0000 0.010 -0.032 0.011 -0.032 -0.014 -0.038

17 4.82 18 0.9991 -0.023 -0.054 -0.094 -0.178 -0.137 0.005

23 9.10 24 0.9974 0.080 0.127 -0.063 -0.056 -0.190 -0.004

Model for variable ch

Estimated Intercept -75.8109


173

Input Number 1

Input Variable ku

Shift 7

Overall Regression Factor 5.53616

Input Number 2

Input Variable ka

Overall Regression Factor -46.3063


174

Lampiran 39. Sintaks dan Output Penaksiran Parameter Model Akhir Fungsi
Transfer

identify var=ch crosscorr=(ka) nlag=12;

run;

estimate p=1 input=(7$ (0)/(0)ku) input=(0$ (0)/(0)ka) plot; run;

Conditional Least Squares Estimation

Standard Approx
Parameter Estimate Error t Value Pr > |t| Lag Variable Shift

MU -148.54061 215.24869 -0.69 0.4928 0 ch 0

AR1,1 0.21918 0.12708 1.72 0.0096 1 ch 0

NUM1 6.34353 2.38336 2.66 0.0099 0 ku 7

NUM2 -44.19942 21.96844 -2.01 0.0486 0 ka 0

Constant Estimate -115.984

Variance Estimate 6486.353

Std Error Estimate 80.5379

AIC 758.8683

SBC 767.5658

Number of Residuals 65

* AIC and SBC do not include log determinant.

Correlations of Parameter Estimates

Variable ch ch ku ka
Parameter MU AR1,1 NUM1 NUM2

ch MU 1.000 -0.178 -0.923 -0.471


175

Correlations of Parameter Estimates

Variable ch ch ku ka
Parameter MU AR1,1 NUM1 NUM2

ch AR1,1 -0.178 1.000 0.148 0.122

ku NUM1 -0.923 0.148 1.000 0.100

ka NUM2 -0.471 0.122 0.100 1.000

Autocorrelation Check of Residuals

To Chi- Pr >
Lag Square DF ChiSq Autocorrelations

6 5.06 5 0.4081 -0.013 0.107 -0.210 -0.006 -0.007 0.124

12 10.62 11 0.4754 0.209 -0.044 0.045 -0.105 0.116 0.016

18 21.03 17 0.2249 0.112 -0.246 0.018 -0.204 -0.028 -0.064

24 24.19 23 0.3933 0.103 -0.008 -0.111 0.065 -0.063 -0.029

Crosscorrelation Check of Residuals with Input ku

To Chi- Pr >
Lag Square DF ChiSq Crosscorrelations

5 2.06 6 0.9138 0.043 0.059 0.152 0.030 0.011 -0.079

11 9.09 12 0.6955 -0.064 0.189 -0.113 0.019 -0.258 -0.036

17 11.02 18 0.8935 -0.061 0.146 -0.009 0.049 -0.036 -0.067

23 18.18 24 0.7944 -0.178 0.138 -0.206 0.113 -0.104 -0.082

Crosscorrelation Check of Residuals with Input ka

To Chi- Pr >
Lag Square DF ChiSq Crosscorrelations

5 0.52 6 0.9976 0.018 0.064 0.017 -0.012 0.033 -0.046


176

Crosscorrelation Check of Residuals with Input ka

To Chi- Pr >
Lag Square DF ChiSq Crosscorrelations

11 0.81 12 1.0000 0.013 -0.023 0.029 -0.034 -0.006 -0.042

17 3.67 18 0.9999 -0.014 -0.047 -0.076 -0.155 -0.103 0.033

23 7.75 24 0.9993 0.076 0.114 -0.089 -0.042 -0.182 0.036

Model for variable ch

Estimated Intercept -148.541

Autoregressive Factors

Factor 1: 1 - 0.21918 B**(1)

Input Number 1

Input Variable ku

Shift 7

Overall Regression Factor 6.343529

Input Number 2

Input Variable ka

Overall Regression Factor -44.1994

Anda mungkin juga menyukai