Anda di halaman 1dari 34

Tuhan dan Sains Modern

(Part 1) : Tuhan dan Alam

Manusia secara naluriah percaya adanya Tuhan sebagai zat maha kuasa yang mengatur alam
semesta (Wilson, 1978). Petir misalnya, disebabkan oleh amarah Tuhan tertentu. Terjadinya
tsunami dimaknai sebagai tindakan yang dilakukan Tuhan untuk memperingatkan umat
tertentu agar tidak berbuat dosa. Bayi yang lahir dengan kondisi cacat dipandang sebagai
hukuman Tuhan pada orang tuanya. Asosiasi antara gejala alam dan Tuhan sangat erat dari
dahulu.

Asal usul keyakinan pada Tuhan tampaknya dari usaha menjelaskan pengalaman manusia
tentang hal-hal baru dan peristiwa-peristiwa yang diluar kebiasaan alam (bencana alam
misalnya). Tuhan ada sebagai pengisi celah atas hal-hal tersisih dan abnormal di alam. Jevons
(1896:23) menyebutkan kalau Tuhan diawali dengan usaha menjelaskan ketidakteraturan dan
kejadian yang bersifat kebetulan.

Kemunculan Tuhan untuk menjelaskan sebab-sebab fenomena fisikal ini memang tidak
bersifat sakral. Max Muller (1891) berpendapat kalau tidak ada beda yang besar antara Agni,
sang dewa api, dengan konsep eter yang dipakai fisikawan masanya untuk menjelaskan
fenomena optika. Sakralitas baru datang ketika ide tentang Tuhan dibawa ke ranah sosial-
politik.

Karena Tuhan dikonsepsikan oleh manusia dan ketika dipercaya oleh mayoritas orang dalam
masyarakat, maka masuklah konsepsi Tuhan ke dalam politik. Dari sini lahirlah magi, sebuah
usaha untuk menggunakan “Tuhan” untuk meraih kekuasaan (Van Peursen, 1988:50).
Dengan adanya magi, manusia merasa mampu memanipulasi alam. Durkheim (1992:133)
mencontohkan ritus-ritus seperti merubah arah angin, memaksa turunnya hujan, atau bahkan
menghentikan gerak matahari. Dari magi inipun berkembanglah agama dimana Tuhan dan
hukum disatukan untuk memberikan rasa aman dan menghubungkan manusia dengan
kekuatan di luar alam. Hal ini mungkin datang dari kesadaran kalau manusia sendirian tidak
mampu menghadapi alam. Mereka membutuhkan agen yang mengatasi alam tersebut.
Dengan adanya agen ini, Tuhan, manusia yang beriman mampu menciptakan mukjizat.
Mukjizat para nabi misalnya, pada dasarnya merupakan gambaran superioritas manusia untuk
menghadapi alam yang dipandang begitu kuat. Dengan adanya personifikasi pada alam,
muncul gagasan untuk menyatukan keseluruhannya ke dalam sebuah semesta. Pada
gilirannya membawa pada agama-agama besar yang lebih universal dalam memandang alam
Seiring berjalannya waktu, orang mulai merasa tidak puas dengan penjelasan Tuhan, apalagi
bila penjelasan tersebut erat kaitannya dengan kekuasaan. Suatu gejala alam tampaknya
terjadi begitu saja dan selalu begitu. Sebagai contoh, Aristoteles bicara kalau batu selalu jatuh
ke bawah ketika dilempar. Ada sebuah aturan yang tidak dapat dilanggar walau
bagaimanapun di alam ini. Dengan asumsi yang disebut determinisme ini, orang mulai
mencari penjelasan hukum atau mekanisme alam, sebuah penjelasan yang tidak lagi
memerlukan agen Tuhan sebagai penyebab peristiwa alam tersebut terjadi. Hal ini diperkuat
lagi mengenai isu keadilan dan kejahatan yang muncul dari para pemikir ketika dihadapkan
dengan argumen sebab Tuhan.

Referensi

Aristoteles. 2000. Nicomachean Ethics (Terjemahan oleh Roger Crisp). Cambridge:


Cambridge University Press

Durkheim, E. 1992. The Elementary Forms of the Religious Life. New York: Free Press

Jevons, F.B. 1896. Introduction to the History of Religions. London: Methuen.

Muller, M. 1891. Physical Religion. London: Longmans

Van Peursen, C.A. 1988. Strategi Kebudayaan (Terjemahan oleh Dick Hartoko). Jakarta:
Kanisius

Wilson, E.O. 1978. On Human Nature. Massachusett: Harvard University Press

(Part 2): Hakikat Sains

Menurut Einstein, sains adalah usaha membuat keanekaragaman yang kacau dalam
pengalaman inderawi kita menjadi sebuah sistem pemikiran yang seragam secara logis
(Einstein, 1954). Definisi ini membatasi sains ke dalam dua batasan: pertama, ia harus
bersangkut paut dengan pengalaman inderawi. Kedua, ia harus membentuk sistem pemikiran
yang konsisten. Batasan pertama sering disebut empiris dan batasan kedua disebut teoritis.
Logika adalah asas kelurusan berpikir (Sudarminta, 2002: 40). Pengalaman inderawi dan
sistem pemikiran yang menyusun sains berinteraksi dengan perangkat kelurusan berpikir ini.
Ada tiga cara bagaimana dua unsur sains tersebut berinteraksi yaitu cara deduktif, induktif,
dan abduktif. Bernalar deduktif menarik kesimpulan dari sebuah pernyataan atau hukum
umum. Bernalar induktif adalah menarik kesimpulan dari beberapa pernyataan atau kejadian
khusus yang mirip. Bernalar abduktif adalah menarik kesimpulan dari sebuah dugaan yang
kebenarannya masih harus diuji coba. Dengan ketiga bentuk bernalar ini, beserta logika,
maka sainspun berkembang.

Pada perkembangannya, sains memiliki tujuan ekstrinsik dan tujuan intrinsik (Nola dan Irzik,
2005:189). Tujuan ekstrinsik adalah tujuan demi kepentingan manusia itu sendiri entah untuk
berperang atau menciptakan perdamaian. Tujuan ekstrinsik terikat pada siapa ilmuan yang
mengerjakan sains itu. Sama halnya dengan pisau, tujuan ekstrinsiknya adalah memotong
sayur atau menikam manusia, tergantung siapa penggunanya.

Tujuan intrinsik adalah tujuan sains untuk sains itu sendiri. Ini adalah sesuatu yang ideal dan
dapat diringkas sebagai menjaga kehidupan sains itu sendiri. Tujuan ini antara lain: (1)
keterujian, (2) Memperoleh kebenaran dan menghindari kesalahan, (3) Prediksi, dan (4)
kemajuan.

Keterujian (testability) merujuk pada kemampuan sains untuk menguji pernyataan. Hal ini
dapat ditarik dari pandangan falsifikasi yang diajukan oleh filsuf Karl Popper. Menurutnya,
“karakteristik pembeda dari pernyataan empiris (adalah) kerentanannya pada revisi –
faktanya ia dapat dikritik dan diganti oleh yang lebih baik” (Popper, 1959:49). Sains hanya
berurusan dengan pernyataan empiris, yaitu pernyataan yang hanya dapat difalsifikasi.
Sebuah pernyataan yang tidak dapat dikritik bukanlah pernyataan ilmiah dan bukan urusan
dari sains. Dengan kata lain, sebuah teori yang tidak dapat diuji benar-salahnya bukanlah
teori yang ilmiah. Agar dapat diuji, sebuah teori harus berkaitan dengan dunia nyata dan
harus bersifat objektif. Hal ini sejalan juga dengan pendapat filsuf Quine dan Ullian
(1978:79) yang disebut ketertolakan. Ketertolakan berarti sebuah pernyataan harus dapat
ditolak oleh suatu pernyataan jika pernyataan penolak tersebut benar.

Sifat keterujian ini menjadikan sebuah makalah penelitian sains berbeda dengan makalah
bidang ilmu lainnya. Sebuah makalah penelitian sains mengandung bagian „metode‟
(Gorsuch, 2002). Bagian metode ini merupakan bagian wajib dan menjadi inti dari sebuah
karya ilmiah sains. Bagian metode memungkinkan orang lain meniru bagaimana penelitian
dilakukan dan mengkonfirmasi kebenarannya. Ketika sebuah metode menemukan hasil dan
para ilmuan lainnya, menggunakan metode yang sama, menemukan hasil yang sama, maka ia
menjadi fakta.

Tujuan kedua, yaitu memperoleh kebenaran dan menghindari kesalahan adalah sebuah tujuan
berpasangan. Memperoleh kebenaran dan menghindari kesalahan merupakan tujuan yang
ideal. Pada prakteknya, tujuan sains adalah memaksimalkan jumlah kebenaran yang
didapatkan dan meminimalkan jumlah kesalahan yang diperoleh. Hal ini berkaitan dengan
teori sebagai senjata sains. Sebuah teori terdiri dari beberapa pernyataan, sebagian empiris
dan sebagian tidak. Jika sebuah teori memiliki proposisi yang seluruhnya empiris dan
benarpun, ia tidak dipandang sebagai benar mewakili realitas. Mungkin ada sebuah teori lain
yang memiliki proposisi lebih banyak, semua empiris, dan semua terbukti benar. Hal ini telah
terjadi pada kasus teori gerak Newton yang digantikan oleh teori relativitas Einstein.

Tujuan ketiga adalah prediksi. Prediksi merupakan tujuan tertua dari sains. Sebagai contoh,
para astronom di masa Mesir Kuno tidak bicara tentang falsifikasi, tapi bicara apakah sebuah
teori mampu memprediksi sesuatu. Di sisi lain, Marx dan Comte tampaknya memandang
prediksi sebagai tahap final dimana ilmu melakukan prediksi dan memegang kedaulatan
mutlak atas kepastian dan kebenaran (Watloly, 2001:82). Fakta yang diperoleh sebelumnya
lewat metode, kemudian dimasukkan dalam teori dan teori yang telah dimasuki fakta tersebut
kemudian dituntut menghasilkan prediksi. Jika teori tersebut mampu memprediksi sesuatu,
katakanlah kapan terjadinya gerhana, teori tersebut dapat dipandang ilmiah. Lebih lanjut, jika
lain yang tidak memiliki kekuatan penjelas atau terbukti salah akan dihapus. Hal ini telah
ditunjukkan dalam kasus teori evolusi. Pada abad ke-19, ada tujuh versi teori evolusi (Mayr,
2001:117). Seiring waktu, hanya satu dari tujuh teori ini yang bertahan hingga sekarang yaitu
teori evolusi dengan seleksi alam dari Darwin. Teori evolusi lain, seperti Lamarck, Haeckel,
Neo-Lamarckian, Huxley, De Vries, dan Morgan, gugur dan tak lagi dipandang. Sains terlihat
tidak menyukai pluralisme teori karena mengejar kebenaran ini. Penolakan atas pluralisme
teori inipun membawa pada tujuan sains selanjutnya yaitu kemajuan.

Tujuan sains yang keempat adalah kemajuan. Sains berusaha mencapai keseluruhan. Teori-
teori berkembang dari satu ranah menuju ke ranah yang lebih luas. Teori tentang bulan harus
dapat diselaraskan dengan teori tentang matahari dan membentuk teori yang lebih luas
tentang tata surya misalkan. Hal ini terus beranjak hingga teori mencapai puncaknya yaitu
bicara tentang keseluruhan alam semesta. Dalam sains, hirarki teori dapat diperluas terus
mencapai detail dan mencapai keluasan. Mulai dari ilmu sosial yang bicara tentang
masyarakat manusia menuju ke psikologi yang bicara sifat manusia, terus menanjak ke
biologi hingga mencakup seluruh kehidupan. Beberapa pakar mengharap suatu saat seluruh
sains akan lengkap dan mencapai kemandekan dimana segalanya telah dipelajari dan
diketahui (Horgan, 1997). Hal ini tergambar dengan baik dalam peta sains yang dibuat oleh
Tegmark (2007).

Gambar 1: Peta Sains (diadaptasi dari Tegmark, 2007).

Dalam pijakan dasar di atas, sains hidup lewat metode ilmiah. Metode ilmiah yang digunakan
di masa sekarang berangkat dari dua filsuf masa renaisans yaitu Bacon dengan bukunya
Novum Organum dan Descartes dalam bukunya Discourse on the Method of Properly
Conducting One’s Reason and of Seeking the Truth in the Sciences. Metode ilmiah yang
dirintis oleh mereka berdua membagi proses sains ke dalam dua tahap: empiris dan statistik
(Alper, 2008:15). Pada tahap empiris, manusia mengindera alam. Ia mencari pola-pola
tertentu di alam seperti kesadaran kalau matahari selalu terbit dan tenggelam atau eksperimen
atau pengamatan modern yang melibatkan alat bantu inderawi seperti teleskop, mikroskop,
dan sebagainya. Ia mencoba membuat penjelasan atas peristiwa tersebut dan mengujinya
dengan tahap kedua, yaitu tahap statistik. Tahap statistik bertujuan memeriksa apakah
penjelasan yang dibuatnya itu benar atau salah dengan mengajukan sebuah prediksi yang
akan diuji. Tahap statistik tidak harus diartikan sebuah uji statistik seperti yang dilakukan
piranti komputasi seperti SPSS atau Excel. Sebuah pengamatan yang konsisten kalau
matahari selalu terbit dan tenggelam sudah menjadi bentuk uji statistik dengan kepastian
100%. Tentu saja, sains sangat hati-hati memberikan nilai 100% ini. Dalam penelitian-
penelitian modern, para ilmuan paling tinggi memberikan kepastian 99.9999….%. Sebuah
prediksi dikatakan lemah jika ia hanya punya kepastian di bawah 95%.
sebagai sesuatu komponen alam dan tidak memiliki kelebihan dari komponen alamiah
lainnya. Humanisme sebaliknya, memuliakan manusia atas alam (antroposentrisme) yang
pada bentuk ekstrimnya memunculkan eksistensialisme yang memuliakan individu manusia
atas alam. Baik buruknya aliran filsafati ini kita serahkan pada filsafat moral.

Eratnya sains dengan materialisme karena sains berusaha menjelaskan alam semesta dengan
sebab-sebab natural. Sebab-sebab natural yang dimaksud disini adalah sesuatu yang dapat
diperiksa kebenarannya lewat metode yang objektif dan memenuhi tujuan-tujuan internal
sains yang telah disebutkan sebelumnya. Sesuatu dapat dipandang objektif jika ia dapat
didefinisikan dengan baik. Pendefinisian pada dasarnya adalah pembatasan sifat suatu konsep
sehingga ia dapat diperiksa oleh berbagai pihak secara konsisten (objektif). Tuhan tidak dapat
didefinisikan karena mendefinisikan Tuhan berarti membatasinya dengan seperangkat sifat.
Kalaupun didefinisikan, seperti sifat-sifat tertentu yang diberikan oleh agama-agama kepada
Tuhannya, tidak ada cara yang objektif untuk memilih mana Tuhan dari agama mana yang
dimaksud.

Referensi

Alper, A. 2008. The God Part of the Brain: A Scientific Interpretation of Human Spirituality
and God. Naperville: Sourcebooks, Inc.

Einstein, A. 1954. Ideas and Opinions. New York: Crown Publishers

Gorsuch, R. L. 2002. The Pyramids of Sciences and of Humanities, American Behavioral


Scientist 45, 1822–38.

Horgan, J. 1997. The End of Science: Facing the Limits of Knowledge in the Twilight of the
Scientific Age. New York: Bantam Books.

Mayr, E. 2001. What Evolution Is? Orion Publishing Group.

Nola, R., Irzik, G. 2005. Philosophy, Science, Education, and Culture. Amsterdam: Springer.

Popper, K. 1959. The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge

Quine, W., Ullian, J. 1978. The Web of Belief. New York: Random House

Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius

Tegmark, M. 2007. The Multiverse Hierarchy. Dalam Universe or Multiverse? B. Carr (ed),
Cambridge: Cambridge University Press

Watloly, A. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi Secara


Kultural. Jakarta: Kanisius.
(Part 3): Tuhan dalam Sains

Dengan dikembangkannya metode ilmiah oleh Descartes dan Bacon dan penemuan-
penemuan besar oleh Copernicus dan Newton, sains secara resmi berpisah dari agama.
Sebelum mereka, sains tetap sejalan dengan pandangan dunia monoteistik. Sains membangun
sendiri pandangan dunia yang ateistik, dalam artian tidak menyertakan Tuhan dalam
pengembaraannya memahami alam (Russel, 2004:112). Dari sisi metodis oleh Descartes dan
Bacon, hal ini ditujukan untuk beberapa kepentingan ideal sains : (1) keterujian, (2)
Memperoleh kebenaran dan menghindari kesalahan, (3) Prediksi, dan (4) kemajuan. Dari segi
empiris, Copernicus dan Newton pada dasarnya telah membangun sains dalam dua arah.
Copernicus menyanggah monoteisme dengan penemuannya kalau Bumi bukanlah pusat tata
surya. Newton membenarkan ateisme dengan penjelasan yang mekanistik dimana seluruh
tatanan dunia tidak lagi memerlukan Tuhan di dalamnya dan alam bekerja lewat seperangkat
hukum yang tak pernah ingkar (hukum Newton). Peran keempat tokoh ini menjadi dasar
lenyapnya keterikatan sains dengan agama.

Kembali pada metode ilmiah, gagasan Tuhan juga tidak sejalan dengan idealisme sains. Mari
kita telusuri satu per satu. Keterujian, apakah Tuhan dapat diuji kebenarannya, ada tidaknya
ia? Membawa Tuhan ke ranah empiris berarti harus mendefinisikan Tuhan. Mendefinisi
Tuhan berarti membatasiNya. Para filsuf agama mungkin tidak senang. Tapi kesulitan lain
muncul: pertanyaannya menjadi Tuhan yang mana? Siapkah agama-agama menjadikan
Tuhannya sebagai objek ilmiah? Paksaan untuk memasukkan Tuhan dalam sains mewujud
menjadi konsep Tuhan yang baru dan lebih aneh lagi yang dapat dipandang sebagai konsep
sains tentang Tuhan (Russel, 2004:2). Apakah konsepsi baru mengenai Tuhan ini mau
diterima oleh manusia, terutama yang menggunakan konsepsi lama mengenai Tuhan dalam
agama mereka?

Prinsip memperoleh kebenaran dan menghilangkan kesalahan, bagaimana jika prinsip ini
dihubungkan dengan Tuhan? Sebagian kemudian berpikir bahwa segala yang dikeluarkan
oleh Tuhan adalah yang benar. Kebenaran dari Tuhan adalah kebenaran mutlak. Padahal
kebenaran dalam sains adalah kebenaran relatif. Dalam prinsip dasar inilah, sains menjadi
mati. Ketika sains menemukan kebenaran mutlak, ia tidak dapat maju lagi karena ciri dari
kemutlakan adalah ketidak berubahan. Dengan tetap memegang pandangan kitab suci tentang
Tuhan dan perannya di alam misalnya, sains akan kesulitan memastikan letak Tuhan dalam
sebuah gejala alam. Ambil contoh bencana Tsunami, dimana posisi Tuhan? Apakah ia
menyebabkan Tsunami? Tidak, sains menemukan kalau penyebab tsunami adalah pergeseran
kerak Bumi. Apakah Tuhan yang menggeser kerak Bumi? tidak, sains menemukan kerak
Bumi bergeser karena dinamika perut Bumi. Apakah dinamika perut Bumi disebabkan
Tuhan? tidak, ia disebabkan pergerakan Bumi pada orbitnya dan pengaruh benda-benda
(2007:56) mengeluh kalau Tuhan tersisihkan sains dan menjadi subjek pembicaraan yang
khusus dimana nilai kebenaran menjadi sulit diabsahkan. Sains tidak menyukai pluralisme
teori, sementara dapat dipastikan kalau konsepsi manusia mengenai Tuhan sangat bersifat
plural. Kemunculan ilmu-ilmu melenyapkan kehendak Tuhan didalamnya dan membawa
Tuhan ke wilayah kata benda.

Prediksi. Apakah Tuhan dapat dimasukkan dalam komponen prediksi. Tuhan, tampaknya
disepakati oleh semua pihak, memiliki ciri-ciri hidup yaitu berkehendak. Dapatkah sains
memprediksi suatu gejala alam jika kehendak Tuhan dilibatkan disana? Tampaknya Tuhan
tidak berkehendak apapun. Walau begitu, tetap ada usaha untuk menunjukkan kalau kitab
“suci” (teks yang diyakini berasal dari Tuhan) telah melakukan prediksi melebihi jamannya.
Banyak penafsiran dalam beberapa agama seperti Kristen, Islam, dan Hindu, yang mendaku
kalau teks suci mereka memprediksi temuan sains di masa modern (misalnya Sudarmojo,
2006 untuk Islam dan Schroeder, 2009 untuk Kristen). Hal ini adalah kesalahan memahami
sifat sains. Kitab suci bukanlah buku teori, ia memiliki proposisi-proposisi yang dapat
ditafsirkan apapun tergantung pembacanya, berbeda dengan teori-teori sains. Karena itu,
prediksi yang dihasilkannya pun dapat benar atau salah, bukan tergantung pada teksnya, tapi
pada penafsiran orang yang membacanya. Lebih lanjut, dakuan kalau kitab suci memprediksi
temuan sains modern adalah masalah penggeseran agen. Sebuah temuan “sains modern”
hanya muncul ketika temuan tersebut sudah ada, bukan sebelumnya. Hal ini berkebalikan
dengan sifat prediksi yang meramalkan sesuatu sebelum terjadinya. Ia adalah postdiksi, yaitu
meramalkan sesuatu setelah terjadinya. Artinya, orang tinggal menghubung-hubungkan
antara temuan yang sudah ada dengan tulisan yang ada ditangannya, melihat kesesuaian (atau
bahkan merekayasa kesesuaian) lalu mengklaim kalau ia melihat sebuah prediksi, bukannya
postdiksi (contoh modern postdiksi adalah teori “ilmiah” yang digagas Andrulis, 2012).
Inilah mengapa sebuah klaim bahwa temuan sains modern sesuai dengan teks kitab suci
muncul setelah temuan tersebut ada, bukan sebelumnya. Bahkan seandainya teks kitab suci
sesuai dengan temuan sains modern “sekarang”, belum tentu ia sesuai dengan temuan sains di
masa depan. Jika ditemukan di masa depan sesuatu yang meruntuhkan teori lama, dan ini
sudah seringkali terjadi dalam sejarah sains, siapkah kitab suci dinyatakan salah? Atau tafsir
baru akan muncul dan kembali dibuat klaim kalau kitab suci telah memprediksi temuan baru
tersebut?

Prinsip kemajuan, apakah keberadaan Tuhan dalam sains membawa pada prinsip kemajuan?
Jika Tuhan dimasukkan definisi seperti “Tuhan yang memiliki hubungan intelektual dan
afektif dengan umat manusia” yang digunakan dalam survey keyakinan pada Tuhan kepada
seribu ilmuan dari American Men and Women of Science (Roth, 2008:24), hal ini akan
membuat sains yang berbeda dari sekarang. Tuhan semacam ini adalah Tuhan yang dapat
menjawab doa orang yang kesusahan. Ia dapat ikut campur seperti menurunkan mukjizat
yang melanggar hukum-hukum alam. Jika hukum alam tidak menjadi sesuatu yang ketat
tanpa pengecualian, maka kita mungkin akan melihat banyak kerusakan dalam teknologi
buatan manusia yang tidak dapat dijelaskan kecuali karena doa orang yang teraniaya. Para
perancang senjata mungkin mencari jalan untuk menjaga agar senjatanya kebal doa atau
bahkan mereka sendiri merancang doa tertentu yang pasti mendapat jawaban dari Tuhan.
Tentunya hal semacam ini tidak kita lihat dalam sains yang berkembang sekarang. Tidak ada
ilmuan yang meletakkan jimat dalam rangkaian komputer untuk berjaga-jaga kalau Tuhan
yang marah pada pengguna komputernya akan memakai komputer untuk menurunkan bala.
Satu-satunya konsepsi Tuhan yang mungkin dapat mendorong kemajuan atau setidaknya
netral terhadap kemajuan sains adalah konsep Tuhan sebagai alam, atau Tuhan tipe deisme.

Telah saya tunjukkan bagaimana konsep Tuhan tidak dapat bersesuaian dengan sains dan hal
ini telah cukup lama disebut-sebut dalam berbagai literatur. Penemuan sains terus menggeser
posisi Tuhan sehingga Tuhan hanya dapat dipakai mengisi celah-celah kecil dalam
pengetahuan (God of the Gap) dan pada gilirannya, Tuhan terhapus sedikit demi sedikit
seiring terisinya celah tersebut oleh penemuan baru.

Gagasan Tuhan yang lebih modern berpegang pada keteraturan alam itu sendiri. Ia tidak lagi
digunakan sebagai penjelasan hal-hal istimewa di alam atau ketidakteraturan tampak di alam
ketuhanan yang tidak menyebut dirinya agama (deisme, panteisme) menyatakan keteraturan
alam sebagai bukti adanya Tuhan. Dalam bentuk geseran ini, Tuhan didamaikan dengan
sains. Terisinya celah-celah hanya memperkuat bukti adanya Tuhan, bukannya
menyingkirkannya.

Dalam pandangan modern ini, argumen yang paling sering dikutip adalah argumen
kosmologis. Dan sainspun mulai pula menggeser Tuhan dalam wilayah ini, bukan dengan
menyebutkan kalau alam ini pada dasarnya tidak teratur (berarti bunuh diri sains itu sendiri),
tetapi dengan cara yang lebih elegan, dengan meminta bantuan ranah ilmu yang lebih tinggi,
matematika. Tabel berikut menunjukkan bagaimana konsep Tuhan dan sains saling
berinteraksi membentuk sebuah evolusi konsep Tuhan dari masa ke masa.

Masa Konsep Tuhan Argumen Sains


Masa Semua benda itu hidup dan memiliki Benda terbagi dua berdasarkan sifat
animisme ruh, contoh: api, batu, jimat hidupnya: benda hidup dan benda tak
hidup
Masa Argumen Pengisi Celah versi 1 (God Gejala itu gejala alam biasa, hanya
politeistik of the Gap 1): Gejala langka adalah frekuensinya lebih jarang terjadi sehingga
bukti adanya Tuhan, contoh: gunung sulit dikaji, tapi dapat dijelaskan secara
meletus, gerhana, tsunami alamiah
Masa Argumen Pengisi Celah versi 2 (God Hal-hal tersebut tidak mungkin terjadi
monoteisme of the Gap 2): Mukjizat yang tidak karena melanggar hukum alam. Alam ini
masuk akal adalah bukti adanya memiliki hukum yang tak dapat dilanggar
Tuhan, contoh: Musa membelah laut, karena jika tidak, maka alam ini ada
manusia berumur 900 tahun, tidur kecacatannya. Jika ada Tuhan, Tuhan
selama 300 tahun tidak akan menciptakan kecacatan di
alam
Masa Argumen Kosmologis: Alam ini Keteraturan alam adalah bukti adanya
pencerahan begitu teratur, tidak ada cacat di hukum, bukan bukti adanya Tuhan. Alam
dalamnya. Ini adalah bukti adanya semesta mungkin telah ada selamanya,
Tuhan, contoh: hukum Newton, tidak punya awal (Hume, 1980).
hukum Gas Ideal, desain mahluk
hidup
Abad ke-20 Alam semesta punya awal (Big Awal alam semesta itu imajiner
Bang). Jadi Tuhan ada. (Hawking, 1988), alam semesta ini hanya
generasi terbaru (Musser, 2004)
Masa Argumen Penyetelan Halus (fine- Alam semesta kita hanya satu dari tak
modern tuning): Alam semesta diciptakan terhingga alam semesta, masing-masing
dengan parameter-parameter yang dengan kombinasi parameternya sendiri-
disetel dengan hati-hati. Pasti ada sendiri. Kita kebetulan hidup di alam
Tuhan yang menciptakan alam, semesta dengan parameter yang
contoh: konstanta gravitasi, massa memungkinkan kita ada.
proton, gaya nuklir lemah
Masa depan ? ?

Sebelum beranjak pada bagaimana sains menggeser posisi Tuhan modern ini, mari kita lihat
bagaimana argumen kosmologis diajukan.

Referensi

Andrulis, E.D. 2012. Theory of the Origin, Evolution, and Nature of Life. Life, 2, 1-105

Hawking, S.W. 1988, A Brief History of Time, New York: Bantam Books

Hume, D. 1980, Dialogues Concerning Natural Religion, Indianapolis: Hackett

Jacobs, T. 2004. Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi. Jakarta:
Roth, A.A. 2008. Science Discovers God: Seven Convincing Lines of Evidence for His
Existence. Autumn House Publishing.

Russel, P. 2004. From Science to God: A Physicist’s Journey into the Mystery of
Consciousness. New World Library.

Schroeder, G.L. 2009. The Science of God: The Convergence of Scientific and Biblical
Wisdom. Simon and Schuster.

Steele, C.E. 2009. Discovering God in Science: Science Discoveries that Suggest there is a
Creator. Tate Publishing.

Sudarmojo, A.H. 2006. Perjalanan Akbar Ras Adam: Menyibak Rahasia Sains Bumi dalam
Al-Quran. Mizan Publika.

(Part 4): Argumen Kosmologis

Dengan melihat keteraturan di alam ini, para teolog mencoba membangun argumentasi lain
mengenai keberadaan Tuhan. Ketimbang menisbahkan Tuhan pada gejala langka yang tak
terjelaskan untuk sementara, mereka ikut mengambil asumsi sains, yaitu alam semesta ini
secara keseluruhan teratur. Keteraturan alam semesta merupakan argumen yang digunakan
sains untuk melawan adanya Tuhan pengisi celah (Tuhan yang menjawab do‟a dan
menurunan mukjizat). Walau begitu, argumen lawan ini diambil sebagai argumen dasar
dengan menarik kesimpulan kalau pasti ada yang mengatur dan menciptakan alam ini, dan
sang pengatur dan pencipta itu Tuhan.

Argumen kosmologis memiliki satu komponen menarik yang mirip sains, yaitu prediksi. Ia
memprediksi kalau alam semesta ini diciptakan. Walaupun prediksi ini tidak dapat dibuktikan
langsung, ia dapat dibuktikan tidak langsung. Jika alam semesta diciptakan, maka ia memiliki
awal.

Sementara itu, sains kosmologi masih belum cukup berkembang untuk menjawab pertanyaan
apakah alam ini memiliki awal atau tidak. Teori yang cukup kuat adalah teori keadaan tetap,
yaitu alam selalu ada selamanya. Teori ini, menariknya, sama dengan konsepsi Jainisme,
sebuah agama turunan dari Hindu, yang juga berasumsi demikian. Dan dengan ini, berarti
Selain mengandung komponen sains, argumen kosmologis sendiri kental dengan komponen
skriptural. Tuhan menciptakan alam semesta, misalnya dalam agama Abrahamaik yang
menyebutkan kalau Tuhan menciptakan alam semesta dalam tujuh hari (masa). Ia bukan
berasal dari sebuah argumentasi asli filsuf, tapi argumentasi atau bahkan mungkin asumsi
dari para pendiri agama Abrahamaik. Dan ini bukan juga unik Abrahamaik, secara umum
keyakinan di dunia, mengatakan kalau alam semesta ini ada yang menciptakan.

Argumen kosmologis sendiri terbagi menjadi tiga tipe (Craig, 1980:282):

1. Argumen Aquinas. Argumen ini didasarkan pada kemunduran tanpa akhir yang
mustahil. Argumen ini bukan berasal dari Aquinas tetapi dari para pemikir Islam abad
pertengahan, tapi pada gilirannya, itupun dapat dirunut hingga ke Plato.
2. Argumen kal?m. Didasarkan pada kemustahilan kemunduran waktu tanpa akhir
karena ketakhinggaan aktual itu mustahil. Argumen ini datang dari para pemikir islam
dan merupakan modifikasi dari argumen pertama (Fakry, 1957).
3. Argumen Leibniz dan Clarke. Dibangun berdasarkan Prinsip Bernalar Cukup.

Ketiga argumen di atas dapat diringkas menjadi “Jika segalanya diciptakan, maka alam
semesta diciptakan, pencipta alam semesta adalah Tuhan.” Begitu pula, argumen ini
umumnya dibalas dengan bertanya “Siapa pencipta Tuhan?” (Hawking, 1988:174). Davis
(1997) tidak setuju dengan keabsahan mempertanyakan “Siapa pencipta Tuhan?” Alasannya,
Tuhan adalah mahluk perlu (O‟Connor, 2008). Ia adalah mahluk yang jika ada, maka tidak
dapat tidak ada. Jika ia tidak ada, maka ia tidak dapat ada (Reichenbach, bab 6). Ia perlu ada
untuk menutup kemunduran tanpa akhir yang terus muncul dalam rantai sebab akibat. Jika
tidak diputus di Tuhan, maka kita akan terus merujuk ke masa lalu tanpa akhir. Eksistensi
Tuhan sebagai penghenti regresi bukan argumen logis (karena memang bisa ditanyakan siapa
pencipta Tuhan) tetapi argumen metafisik. Metafisika bukan bagian yang dapat diterapkan
logika di dalamnya (ingat bagaimana sains menghindari metafisika karena tidak dapat diuji,
disalahkan, dan sebagainya). Scotus (1962:46) bahkan lebih bebas lagi. Ia mengizinkan
urutan sebab akibat berjalan tanpa akhir. Regresi ke masa lalu selalu ada dan tidak perlu
Tuhan menghentikan itu. Tetapi sesuatu pasti selalu mempunyai sebab dalam deretan tak
terhingga ini. Jika kita ambil sepotong dari deretan ini sebagai sebuah akibat dan potongan ini
adalah alam semesta kita, maka ia punya sebab, dan sebab itu adalah Tuhan. Pertanyaan
“siapa pencipta Tuhan?” itu boleh diajukan, tetapi dapat diabaikan. Seluruh sebab sebelum
Tuhan, bahkan dapat dinyatakan sebagai Tuhan, karena Tuhan tak terbatas (Lihat Gambar 2).
Argumen keterbatasan waktu yang diajukan oleh para filsuf kal?m. Termasuk argumen yang
paling kuat. Suatu saat di masa lalu, menurut mereka, waktu memiliki awal (Gambar 3(b)).
Para ilmuan masa itu umumnya cukup mengatasi masalah ini dengan menyebutkan kalau
alam semesta ada selamanya (Gambar 3(a)). Hume (1980, part 9) misalnya, berargumentasi
kalau karena kita menurunkan konsep sebab-akibat dari pengamatan kita pada sesuatu dalam
keseluruhan (komponen dari alam semesta), sementara keseluruhan (alam semesta) tidak
dapat kita amati (karena kita bagian dari alam semesta), maka kita juga tidak dapat
menerapkan konsep sebab-akibat pada alam semesta. Alam semesta telah begitu adanya
selamanya, karena ia alam semesta.

Reichenbach (1972: Bab 5) mengakui kalau asumsi bahwa alam semesta berperilaku seperti
isinya (yang punya sebab-akibat) berpotensi salah. Tetapi alam semesta mungkin terhindar
dari kesalahan ini jika kita melihat contoh positif. Contoh negatif misalnya, jika batu bata
kecil, maka temboknya kecil. Ini contoh negatif karena belum tentu batu bata kecil tapi
seluruh batu bata (tembok)nya kecil juga. Contoh positif misalnya, tembok sesungguhnya
batu bata, karena penyusun tembok adalah batu bata. Menurut Reichenbach (1972) alam
semesta kita memiliki sifat seperti contoh positif ini dan bisa menerapkan pernyataan “alam
semesta memiliki sebab karena komponen-komponennya memiliki sebab.” Kita dapat
melihat kalau argumen ini tidak langsung merujuk pada Tuhan, karena kita dapat
membayangkan sesuatu yang tidak dapat disebabkan agen, misalnya sesuatu yang terjadi
secara kebetulan (kayu-kayu yang hanyut menyumbat sungai dan kebetulan membentuk
jembatan).

Versi lain dari gagasan Hume, yang didukung oleh kosmologi modern, adalah tipe alam
semesta siklis (Gambar 3(d)). Versi ini menyatakan kalau, walaupun alam semesta berawal
dari Big Bang, ia bukanlah alam semesta pertama (Musser, 2004). Versi ini disebut juga versi
osilasi, yang menyatakan alam semesta kita merupakan alam semesta terbaru. Sebelum Big
Bang, ada alam semesta lain, yang runtuh mengerut (kebalikan dari pengembangan) ke satu
titik. Alam semesta adalah siklus dari mengembang mengerut dst. Osilasi ini tampaknya
memiliki awal tetapi gagasan adanya awal (dan akhir) ini datang dari asumsi kalau hukum
fisika yang berlaku di setiap siklus alam semesta adalah sama (Silk, 2001:380). Bagaimana
jika setiap terjadi big bang, hukum fisika yang ada dikocok ulang oleh suatu mekanisme, jika
seperti ini, setiap alam semesta lahir, ia adalah generasi yang sungguh-sungguh baru, bukan
sisa dari alam semesta sebelumnya. Pilihan pertama tampaknya lebih didukung, karena alam
semesta siklis digunakan untuk menjelaskan kelimpahan materi gelap di alam semesta.
Materi gelap datang dari alam semesta sebelumnya, dan berarti alam semesta sekarang tidak
benar-benar baru.

Pendekatan yang lebih modern, dengan adanya pengetahuan baru mengenai Big Bang,
diberikan oleh Hawking. Hawking (1988:116) mendekati masalah ini dengan menyatakan
kalau waktu tidaklah berjalan linier, tetapi asimptotik. Semakin mendekati awal waktu, waktu
semakin panjang, sedemikian panjangnya bahkan tidak mungkin ada awal waktu (Gambar
3(c)). Akibatnya, awal waktu adalah sesuatu yang ada di ketakhinggaan, sesuatu yang
imajiner, dan berarti alam semesta tidak memiliki awal. Jika alam semesta tidak memiliki
awal, maka tidak ada pencipta.

Oppy (2002) memberikan contoh paradoks Tristam Shandy. Shandy, seorang tokoh imajiner,
butuh waktu satu tahun untuk menulis diari tentang satu hari dalam hidupnya. Jika ia hidup
selama setahun, maka ia butuh waktu menulis diarinya untuk tahun itu selama 365 tahun.
Pada akhirnya, ia tidak akan pernah selesai menulis diarinya, karena waktu menulis diari
lebih lama dari waktu menjalani pengalaman. Lebih parah lagi, bebannya untuk menulis diari
akan semakin besar seiring bertambahnya usia. Bahkan jika Shandy adalah mahluk abadi,
bebannya untuk menulis diari akan semakin besar tak terhingga di atas tak hingga. Jika awal
waktu dipandang sebagai akhir dari diari tersebut, maka awal waktu ini adalah imajiner.
Seperti inilah awal waktu yang asimtotik tersebut.
Empat versi argumentasi ini ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3: Perbandingan Empat Versi tentang Awal Waktu dan Realita

Lebih jauh, Silk (2001:63) menekankan empirisme dalam kasus Big Bang. Apa yang kita
tahu dari Big Bang adalah alam semesta berada dalam ukuran sangat kecil. Teis terlalu
berlebihan dengan menyebutkan alam semesta mewujud ketika Big Bang. Sains dengan
kemampuan sebelum sekarang tidak mampu secara teoritis maupun empiris mengetahui apa
yang terjadi dalam jarak sangat sempit ini (jarak Planck). Silk menekankan kalau dalam jarak
demikian kecil, ada tiga kemungkinan yang ada:

1. Alam semesta terus menjadi kecil dan lenyap pada waktu mundur, berarti alam
semesta berawal. Ini yang disukai oleh Teis karena bisa ditarik kalau ada sang
Pencipta.
2. Alam semesta mengembang lagi pada waktu mundur, berarti big bang hasil
pengerutan alam semesta sebelumnya yang mencapai batas yang mungkin untuk
mengerut. Ini yang disukai ateis, karena berarti alam semesta tak punya awal, hanya
melalui siklus.
3. Alam semesta dalam kemungkinan lain yang tak terbayangkan. Mungkin ia
selamanya seperti itu dan pengembangan alam semesta adalah anomali. Mungkin ada
yang salah dengan teori kosmologi modern. Mungkin alam semesta masuk ke level
ruang-waktu berbeda, dan mungkin. Ada banyak sekali cara aneh membayangkan
alam semesta di masa ini, sejauh kemampuan imajinasi kita memunculkan fantasi.

Dengan adanya argumen dari teisme (Tuhan mencipta alam semesta), materialisme (mungkin
alam semesta abadi), dan humanisme (kita tidak tahu karena kita terbatas sebagai manusia),
Swinburne (1996:Bab 3) melakukan analisis kemungkinan dan mengajukan kalau argumen
yang paling sederhana adalah yang paling pantas diterima. Argumen adanya Tuhan adalah
yang paling sederhana, cukup begitu saja, Tuhan ada, selesai masalah. Tetapi, dalam
petualangan intelektual manusia memahami alam semesta, muncul konsep yang sedemikian
sederhana, lebih sederhana katanya adari Tuhan ada. Konsep ini adalah multijagad. Sebelum
beranjak ke penjelasan multijagad, silakan rujuk Tabel 2 untuk rangkuman evolusi
argumentasi kosmologis.
Argumentasi Agama Argumentasi Sains
Segala yang ada di alam pasti punya sebab, Siapa yang menciptakan Tuhan?
jadi alam semesta punya sebab, yaitu Tuhan
(Plato, kal?m, Al Ghazali, Aquinas)

Tuhan perlu untuk menghentikan regresi Alam semesta tidak punya awal. Apa bukti
(Aquinas), regresi tidak masalah tapi segala alam semesta punya awal?
sebab sebelum alam semesta adalah Tuhan
(Scotus)
Tidak ada yang tidak berawal di dunia, jadi Tidak selalu ciri komponen (isi alam semesta)
alam semesta juga punya awal mencirikan keseluruhan (alam semesta)

Alam semesta bersifat sama dengan Atas dasar apa anda memilih kemungkinan itu
penyusunnya (Reichenbach) dari kemungkinan lainnya?

Alam semesta diciptakan (Big Bang) Itu hanya satu kemungkinan dari tafsir Big
Bang (Silk). Apa dasar anda memilih
kemungkinan itu?
Keberadaan materi gelap tidak dapat Berarti alam semesta bersifat siklis (Musser)
dijelaskan sains (God of the Gap)
Alam semesta siklis pasti punya awal Teori siklis tidak sekuat Big Bang. Materi
gelap suatu saat bisa dijelaskan dalam
kerangka Big Bang. Kembali, apa alasan anda
memilih kemungkinan ini dibandingkan
kemungkinan lain?
Keberadaan Tuhan adalah penjelasan yang Ada yang lebih sederhana lagi, yaitu
paling sederhana (Swinburne) multijagad (Einstein, Everett, Tegmark)

Tabel 2: Rangkuman Evolusi Argumentasi Kosmologis

Referensi

Craig, William Lane, 1980, The Cosmological Argument from Plato to Leibniz, London: The
Macmillan Press.

Davis, Stephen, 1997, God, Reason & Theistic Proofs, Grand Rapids: Eerdmans.

Fakry, Majid, 1957, “The Classical Islamic Arguments for the Existence of God”, The
Muslim World: 133–145

Hawking, S.W. 1988, A Brief History of Time, New York: Bantam Books

Hume, David, 1980, Dialogues Concerning Natural Religion, Indianapolis: Hackett

Musser, George, 2004, “Four Keys to Cosmology,” Scientific American, February: 43.

O‟Connor, Timothy, 2008, Theism and Ultimate Explanation: the Necessary Shape of
Contingency, London: Wiley-Blackwell

Oppy, Graham, 2002, “The Tristram Shandy Paradox,” Philosophia Christi 4, no. 2: 335–349

Reichenbach, Bruce R., 1972, The Cosmological Argument: A Reassessment, Springfield:


Charles Thomas.
Silk, Joseph, 2001, The Big Bang, San Francisco: W.H. Freeman

Swinburne, Richard, 1996, Is There a God? Oxford: Oxford University Press

Tegmark, M. 1997. On the Dimensionality of Spacetime. Class. Quantum Grav. 14, L69-L75

(Part 5): Alam Semesta

Selama bermilenia orang bicara tentang adanya dunia lain selain dunia kita. Agama-agama
bicara tentang aneka alam semesta: dunia jin, dunia malaikat, dunia akhirat, surga, neraka,
nirwana, dan sebagainya. Dalam perkembangan yang mengherankan, sains juga merujuk ke
arah multijagad. Tegmark (2007) membagi multijagad ke dalam empat tingkatan. Sebelum
masuk ke bahasan ini, pertama-tama, mari kita perjelas apa itu sebuah alam semesta atau
sebuah jagad.

Anda, saya, semua manusia (kecuali beberapa astronot) tinggal di planet Bumi. Anda sudah
cukup dapat membayangkan seberapa besar planet ini. Planet ini memiliki sebuah pengawal,
Bulan. Pasangan Bumi dan Bulan mengikuti sebuah orbit mengelilingi benda yang lebih
besar, sejuta kali ukuran Bumi, benda itu adalah Matahari. Jarak dari Bumi ke Matahari
adalah delapan menit perjalanan cahaya. Ini artinya, informasi tentang Matahari yang kita
lihat sekarang, sesungguhnya informasi yang datang dari Matahari, delapan menit lalu. Jarak
di alam semesta biasanya diukur dengan lamanya waktu yang ditempuh cahaya untuk
mencapainya. Mulai sekarang, kita pakai waktu cahaya sebagai ukuran jarak.

Bukan hanya Bumi yang mengelilingi matahari, jauh di ujung sana, 13 kali jarak Bumi ke
Matahari, ada Neptunus, dan 97 kali jarak Bumi ke Matahari, ada Eris, sebuah batu raksasa
yang bersemayam dalam Sabuk Kuiper, hutan benda sejenisnya. 100 ribu jarak Bumi ke
Matahari, ada kabut Oort, sebuah awan inti komet yang menyelubungi Tata Surya
membentuk bola. Bola ini, dengan segala isinya, adalah Tata Surya kita.
Posisi kita di Alam Semesta

Selanjutnya, Tata Surya hanyalah satu dari, 300 juta Tata Surya yang mungkin ada dalam
satu sistem yang lebih besar, yang kita sebut Galaksi Bima Sakti. Tata Surya kita berada di
salah satu lengan spiralnya lebih dekat ke pinggir. Tentu saja, ini ukuran maksimum. Tidak
seorang ilmuanpun mampu melihat satu demi satu tata surya di galaksi kita. Tapi setidaknya,
setiap tata surya, punya bintang di tengahnya, seperti Matahari, dan karena ada 300 miliar
bintang di Bima Sakti (Wethington, 2008), dan anggaplah hanya 0.1% nya saja yang ditutupi
selubung seperti Kabut Oort, maka ada 300 juta tata surya. Galaksi Bima Sakti merupakan
cakram mirip lingkaran obat nyamuk ganda dengan diameter sekitar 100 ribu tahun cahaya.
Bintang-bintang ini mengalami siklus hidup mati dan jumlahnya terus berubah-ubah. Ada
yang membentuk gerombolan hingga satu juta bintang, ada yang hanya berdua saja (binari),
dan banyak juga yang sendirian seperti matahari kita. Ada yang kecil sekali seukuran Bumi
ada juga yang Maharaksasa hingga sejuta kali ukuran Matahari. Menariknya, semakin
kecilnya bintang, semakin panjang umurnya.

Galaksi Bima Sakti dulunya dianggap pulau di tengah kekosongan jagad. Lalu ditemukan
galaksi lain, Andromeda. Lalu ditemukan galaksi lain lagi, ditemukan lagi, dan lagi. Sekarang
setidaknya ada, 170 miliar galaksi yang telah ditemukan (Gott et al, 2005). Kembali
strukturnya berulang, ada galaksi yang sendirian, ada yang mengelompok beberapa buah,
beberapa ratus, beberapa juta, dan bahkan beberapa miliar. Diameter cakrawala alam semesta
yang memuat 170 miliar galaksi ini sekitar 92 miliar tahun cahaya (Bielewicz dan Banday,
2011).

Referensi

Bielewicz, P., Banday, A.J., IRAP. 2011. Constraining the Topology of the Universe using
CMB. arXiv:1111.6046

Gott III, J. R.; et al. 2005. “A Map of the Universe”. Astrophysical Journal 624 (2): 463–484.

Tegmark, M. 2007. The Mathematical Universe. arXiv 0704.0646 [gr-qc], Foundations of


Physics
(Part 6): Multijagad Tingkat Satu: Jagad Inflasi

Struktur alam semesta ini, yang ada kita di dalamnya, pada dasarnya terdiri dari kepadatan
tertentu dan materi tertentu. Jika lebih renggang dari sekarang, kita akan melihat lebih sedikit
galaksi. Jika lebih padat dari sekarang, tentu kita melihat lebih banyak galaksi. Begitu pula,
jika partikel penyusunnya beda, maka zat pengisi alam semesta yang kita lihat akan berbeda
pula. Kepadatan dan materi beserta parameternya seperti tetapan kopling dan massa partikel,
disebut sebagai kondisi awal alam semesta. Ia ditentukan oleh hukum fisika, yang disebut
model standar.

Model standar menyebutkan kalau kekosongan dalam fisika berbeda dengan kekosongan
sejati. Ketika kita bicara kekosongan, kita membayangkan ketiadaan apa-apa. Sesuatu yang
berdimensi negatif satu dalam matematika. Kosong ya kosong, tidak ada apa-apa (true
vacuum). Kekosongan dalam fisika berbeda. Anggap seluruh alam semesta ini kita buang
isinya, apa yang tertinggal adalah kekosongan itu sendiri. Tetapi kekosongan ini tetap
memiliki sesuatu. Ia tipe kekosongan yang disebut kekosongan palsu (false vacuum). Alam
semesta dengan cara ini dapat dibayangkan sebuah mangkuk berisi jus cincau. Kondisi
kosong palsu tercapai ketika hanya ada mangkuk, tidak ada jus cincau lagi. Kondisi kosong
sejati tercapai ketika tidak ada mangkuk sama sekali.

Dalam kekosongan palsu terdapat gejolak eksistensi yang disebut ilmuan sebagai fluktuasi
kuantum. Gejolak eksistensi ini ditandai dengan muncul lalu lenyapnya materi palsu. Sebuah
materi sub atom muncul lalu lenyap, dalam selang waktu sepersemiliar detik atau kurang.
Gejolak ini memunculkan apa yang disebut ilmuan sebagai gaya kuantum. Dan ini bukan
spekulasi, sudah ada eksperimennya dan sudah ada ilmuan yang mendapat nobel karenanya.
Gejala ini disebut efek Casimir. Lebih jauh, fluktuasi kuantum ditemukan di alam semesta
dan disebut fluktuasi purba oleh pengamatan observatorium COBE (Smoot et al.1992)

Gejolak kuantum inilah yang menjadi asal muasal kondisi awal alam semesta. Alam semesta
adalah efek Casimir yang mewujud menjadi nyata. Ia eksis, tapi gagal lenyap, dan menjadi
nyata, mengembang bersama kondisi awalnya yang seperti sekarang. Tetapi, sebuah
pertanyaan menggelitik, dan ini disebut argumen penyetelan halus (fine-tuning universe):
kenapa kondisi awal yang kita peroleh seperti ini, bukan lainnya?

Para fisikawan bertanya, mengapa massa elektron yang dihasilkan gejolak kuantum seperti
sekarang, bukan massa yang lain? Setelah diperiksa, dari sekian banyak kemungkinan, hanya
ada sedikit kemungkinan yang dapat memunculkan susunan yang memungkinkan kehidupan
muncul. Kenapa harus yang seperti ini? Ada dua kubu : kubu Tuhan dan kubu multijagad.
Kubu Tuhan bilang, ya ini karena Tuhan yang memilihkan kondisi awal seperti ini. Kubu
Multijagad bilang, itu kebetulan. Kebetulan di alam semesta kita kombinasi yang muncul
seperti itu, dan ada tak terhingga alam semesta.

Bagaimana mungkin ada tak terhingga alam semesta? Hal tersebut hanya mungkin benar
secara ilmiah jika kita melihat alam semesta lain selain alam semesta kita bukan? Hal ini
sebenarnya konsekuensi logis dari teori inflasi. Mari kita tinjau sebentar tentang teori inflasi.

Telah disebutkan kalau diameter alam semesta 92 miliar tahun cahaya. Artinya seandainya
kita diubah menjadi planet Bumi dan melihat ke kiri, kita mampu mengindera jagad raya
hingga sejauh 46 miliar tahun cahaya. Melihat ke kanan, kita bisa melihat jagad raya sejauh
46 miliar tahun cahaya juga. Masuk akal jika usia alam semesta ini adalah 46 miliar tahun,
karena itulah waktu minimal yang diperlukan materi bergerak dari satu ujung ke ujung lain
jagad raya. Ingat, menurut teori relativitas, kecepatan tertinggi di alam semesta adalah
kecepatan cahaya. Tapi, tak disangka, alam semesta usianya hanya 12,8 miliar tahun. Bahkan
tak sampai separuh diameter jagad raya. Ini artinya, alam semesta memuai dengan kecepatan
melebihi kecepatan cahaya itu sendiri. Bagaimana mungkin? Ini yang disebut masalah
domain dalam teori Big Bang.

Untuk menambal kekurangan ini, ilmuan mengajukan teori inflasi (Bucher dan Spergel,
1999). Teori inflasi mengatakan, beberapa saat setelah Big Bang, alam semesta mengembang
sangat cepat, sedemikian cepat, hingga melebihi kecepatan cahaya. Seperti balon yang ditiup.
Bagian-bagian dari balon ini tidak sempat berhubungan satu sama lain karena kecepatan
pengembangan melebihi kecepatan yang bisa ditempuh informasi dari bagian-bagian tersebut
untuk menyeberang ke bagian lain. Seberapa cepat inflasi ini? Tampaknya itu bisa diketahui
jika kita mengetahui kecepatan gerak bagian terjauh dari alam semesta. Tetapi bagian
tersebut sedemikian jauhnya sehingga informasinya belum sampai ke kita. Lebih parah lagi,
bagian tersebut semakin menjauh dari kita dengan gerak dipercepat. Informasinya tidak akan
pernah sampai ke kita.

Tetapi ilmuan punya cara lain, yaitu mengukur temperatur alam semesta. Jika alam semesta
memuai begitu cepatnya pada masa inflasi, semakin cepat ia mengembang, maka alam
semesta semakin luas kan? Semakin luas artinya alam semesta semakin datar. Eksperimen
dan pengamatan, dilakukan di Antartika dan di luar angkasa, menemukan bahwa, alam
semesta kita berbentuk benar-benar datar! (Netterfield et al. 1995; Scott et al. 1996;
Lineweaver et al. 1997)

Gambar 5: Kemungkinan Bentuk Alam Semesta. Alam semesta kita berbentuk datar.

Apa artinya alam semesta datar? Artinya alam semesta kita tak terhingga luasnya. Tak
terhingga dalam artian datar, bukan seperti donut atau bola yang terhingga tapi tak terbatas
(Baltovic, 1999). Ini sangat sederhana bukan? Kita tidak membayangkan kalau pesawat
bergerak lurus, tanpa dipengaruhi gravitasi, suatu saat ia akan menabrak sebuah benda, tidak
mungkin ia menabrak ujung alam semesta.

Dalam masa inflasi, karena kecepatan informasi terbatas, maka daerah-daerah dalam bagian
alam semesta yang memuai memiliki konfigurasinya sendiri-sendiri. Fluktuasi kuantum tidak
mampu saling menyatu dan akibatnya kondisi awal dari tiap wilayah terpisah ini berbeda-
beda. Alam semesta kita hanya satu bintik dari tak terhingga bintik dalam balon yang
mengembang ini. Bintik kita, memiliki kondisi awal seperti yang kita amati sekarang. Bintik
lain, berbeda. Lebih menyeramkannya lagi, dalam alam semesta tak terhingga, akan ada
bintik-bintik yang 100% sama persis dengan alam semesta kita. Dan karena jumlahnya tak
terhingga, jumlah bintik-bintik ini juga tak terhingga banyaknya. Tegmark (2008) bahkan
menghitung kalau salinan yang tepat seperti anda dan mengerjakan hal yang anda lakukan
sekarang, membaca artikel ini, berada pada jarak sekitar 10 10^(29) meter jauhnya dari anda
sekarang.

Inflasi menyebabkan fluktuasi kuantum mewujudkan seluruh kombinasi yang mungkin dari
kondisi awal dan karena kombinasi yang mungkin itu terhingga, maka ada tak terhingga
jumlah kombinasi yang sama. Ada tak terhingga anda di dalam jagad yang muncul dari Big
Bang, masing-masing tinggal dalam bintiknya sendiri. Para ilmuan menyebut bintik alam
semesta lokal ini sebagai volume Hubble atau dilambangkan dengan O (huruf kapital o
dengan model huruf ParkAvenue BT).

Dua asumsi pendukung multijagad ini adalah alam semesta tak terbatas dan distribusi materi
yang seragam. Kita telah menyebutkan bagaimana alam semesta tak terbatas dikonfirmasi
oleh sains, bagaimana dengan distribusi materi yang seragam. Ini mirip dengan argumen yang
diajukan oleh Reichenbach sebelumnya bahwa komponen penyusun anggota himpunan
mencirikan himpunan itu sendiri, bagian mencirikan keseluruhan. Tapi bagaimana kita yakin?
Bisa jadi kasusnya malah seperti bata kecil menyusun tembok besar, bukannya tembok
adalah bata karena tersusun dari bata.

Sayangnya para ilmuan hanya menduga hal ini benar berdasarkan pengamatan pada alam
semesta kita. Dalam volume Hubble, distribusi materi terlihat seragam ke segala arah.
Ketidak seragaman hanya dideteksi pada sutruktur kurang dari sekitar 10 24 meter (100 juta
tahun cahaya). Ukuran ini sangat kecil dibandingkan dengan O. Jika kita bandingkan,
ketidakseragaman hanya mencakup sepersejuta dari bagian volume Hubble. Masuk akal jika
ditarik kesimpulan kalau seluruh multijagad bersifat seragam karena ukurannya lebih besar
lagi dari volume Hubble. Dalam skala yang jauh lebih besar dari volume Hubble, dapat ada
sebuah domain dimana tetapan kopling dan massa partikel dalam model standar tidak
konsisten dengan kehidupan dan karenanya, tidak mengherankan kalau kita hidup di volume
Hubble yang mendukung kita hidup, jika tidak, kita tidak akan mengajukan pertanyaan
mengapa alam semesta kita (O. yang kita tempati) memiliki konfigurasi yang mendorong
kehidupan.
Gambar 6: Alam Semesta Kita dalam Multijagad Level 1

Multijagad tipe ini disebut multijagad tingkat 1 oleh Tegmark karena alam semesta-alam
semesta hanya berbeda dalam kondisi awalnya saja, sementara hukum fisika yang mengatur
alam semesta ini sama. Ia lebih sederhana dari asumsi jagad tunggal yang membutuhkan
jawaban atas pertanyaan: mengapa distribusi materi dan kerapatan alam semesta seperti
sekarang, kenapa tidak yang lain? Gerakan ID menyebut sebabnya adalah Tuhan yang
mereka pandang lebih sederhana. Kesederhanaan ini dimunculkan dari asumsi kalau sebuah
peristiwa dengan kemungkinan yang kecil tidak muncul karena kebetulan (Dembski,
1998:48). Tentu saja asumsi ini tidak logis karena kemungkinan apapun, sejauh tidak nol,
tetap dapat mewujud secara kebetulan. Ambil contoh seperangkat kartu remi dengan 52 kartu,
kemungkinan sebuah konfigurasi 7 kartu ada di tangan anda adalah 1:
(52x51x50x49x48x47x46) atau satu dari 674274182400 kemungkinan atau secara pecahan,
kemungkinannya adalah 0,000000000001, tetapi tetap saja ia mewujud di tangan anda kan?
Dan dalam alam semesta tak terhingga luasnya, kemungkinan ini pasti akan mewujud
(Monton, 2004). Itu mengapa para ilmuan (setidaknya filsuf sains), memandang gagasan
multijagad yang memunculkan segala kondisi awal yang mungkin lebih sederhana karena
kita tidak perlu memilih salah satu dan adanya kita di volume Hubble sekarang hanyalah
kebetulan belaka. Tapi, Tegmark beranjak lebih jauh dengan memberikan deskripsi
multijagad tingkat kedua, yang lebih sederhana lagi dari tingkat 1.

Referensi

Baltovic, Mark. 1999. The Topology of the Universe. Online. Tersedia di:
http://www.maths.lse.ac.uk/Personal/mark/topos.pdf

Bucher, M.A. and D. N. Spergel. 1999. Inflation in a low-density Universe, Scientific


American. 1/1999

Dembski, William, 1998, The Design Inference, Cambridge University Press.

Lineweaver, C., Barbosa, D., Blanchard, A., & Bartlett, J. 1997, Constraints on h, b and o
Netterfield, C. B., Jarosik, N., Page, L., Wilkinson, D., & Wollack E. 1995,
The anisotropy in the cosmic microwave background at degree angular scales Astrophysical
Journal, 445, L69

Scott, P. F. et al. (VSA collab.) 1996, Measurements of Structure in the Cosmic Background
Radiation with the Cambridge Cosmic Anisotropy Telescope. Astrophysical Journal, 461, L1

Smoot G. F. et al. (COBE collab.) 1992, Structure in the COBE differential microwave
radiometer first-year maps Astrophysical Journal 396, L1

Tegmark, M. 2008. Many World in Context. Dalam “Many Worlds? Everett, Quantum
Theory and Reality”, S. Saunders, J. Barrett, A. Kent & D. Wallace (eds), Oxford Univ. Press

(Part 7): Mutijagad Tingkat Dua: Jagad Fraktal

Bayangkan sebuah segitiga. Lalu ada empat segitiga kecil di dalam segitiga besar tersebut.
Kemudian, di dalam segitiga kecil tersebut ada empat segitiga yang lebih kecil lagi. Dalam
segitiga yang lebih kecil itu ada lagi empat segitiga yang lebih kecil lagi, dan seterusnya
tanpa akhir. Kembali ke segitiga besar, ia ternyata hanya sebuah segitiga dari empat segitiga
besar dalam segitiga yang lebih besar. Dan pembesaran ini terus berulang semakin besar.
Segitiga di dalam segitiga di dalam segitiga, setiap segitiga sama bentuknya hanya beda
ukurannya (Lihat Gambar 7). Inilah fraktal, objek geometri dengan bentuk replikasi diri
dalam skala berbeda.
Gambar 7: Segitiga Fraktal atau disebut juga Gasket Sierpinski (sumber: Harris dan Stocker,
1998)

Bagaimana jika alam semesta kita yang mencakup multijagad tingkat satu, hanya merupakan
satu jagad dari tak terhingga jagad raya dalam satu jagad yang lebih besar. Alam semesta kita
adalah satu segitiga besar di dalam segitiga yang lebih besar lagi. Multijagad fraktal, dimana
alam semesta kita di dalam alam semesta lain dan alam semesta tersebut berada di dalam
alam semesta lain dan seterusnya tanpa akhir (ad infinitum), merupakan versi multijagad
yang mengeksploitasi ruang dimensi tinggi. Dalam multijagad tingkat satu (jagad raya
sesungguhnya), kita secara teoritis dapat datang ke volume Hubble yang lain, apabila
kecepatan memungkinkan. Kita dapat hidup di sana karena perbedaan antar jagad hanya
dalam massa materi dan kepadatan materi. Walau begitu, dalam jagad fraktal, alam semesta
sepenuhnya terpisah. Masing-masing diatur oleh hukum fisika efektif yang berbeda. Lebih
jauh lagi, alam semesta level pertama kita sudah tak terhingga luasnya. Bagaimana keluar
dari sesuatu yang tak terhingga?

Hal ini berangkat dari teori inflasi pula, dan didukung oleh oleh teori string (Susskind,
2003:12), yaitu fakta kalau jagad raya kita mengembang. Jika ia mengembang, maka ada
sebuah ruang yang terisi. Sebuah balon tidak akan mengembang jika tempat ia mengembang
sudah dipenuhi oleh dirinya. Karena ada ruang untuk jagad raya mengembang, maka ruang
ini juga memiliki daerah kosong untuk menjadi daerah pengembangan lanjutan. Bagaimana
Akibatnya, dalam ruang pengembangan jagad raya terdapat tak terhingga jagad raya yang
mengembang. Semua berawal dari Big Bang nya masing-masing dan tidak harus Big
Bangnya terbentuk 12,8 miliar tahun lalu seperti alam semesta kita. Malah, Big Bang terjadi
setiap saat. Ada tak terhingga jagad raya gelembung yang terpisah satu sama lain.

Tetapi jumlah jagad raya tak berhenti sampai di sini. Fakta lain selain jagad raya
mengembang adalah ia mengembang abadi (Linde, 1990; Vilenkin, 1083; Starobinsky, 1986;
Goncharov, Linde, dan Mukhanov, 1987; Salopek dan Bond, 1991; Linde, Linde, dan
Mezhlumian, 1994). Karena pengembangannya abadi, maka suatu saat dalam wilayah
pengembangannya, akan mungkin muncul Big Bang. Artinya Big Bang di dalam Big Bang.
Hal ini sejalan dengan segitiga kecil di dalam segitiga besar dimana kita adalah segitiga besar
tersebut. Ada aspek menarik dari hipotesis ini, kita suatu saat dapat mengamati kemunculan
alam semesta baru di dalam alam semesta kita, gelembung di dalam gelembung.

Ide lain bagaimana alam semesta muncul di dalam alam semesta adalah lewat lubang hitam.
Smolin (1997) mengajukan kalau lubang hitam di alam semesta kita, memiliki lubang putih
di alam semesta lain atau tempat lain di alam semesta kita. Setiap materi yang masuk ke
dalam lubang hitam mewujud di lubang putih sebagai Big Bang baru. Karena materi terus
menerus masuk ke dalam lubang hitam, maka Big Bang terus menerus terjadi di satu titik
tetap di mulut lubang putih. Akibatnya, akan terwujud alam semesta bawang dimana satu
lapisan alam semesta berada di dalam lapisan alam semesta lain, seperti halnya bawang
ataupun boneka Matrioskha.

Selain berbeda ukuran, beberapa gelembung pada akhirnya tidak akan berkembang lebih
jauh. Beberapa bahkan akan runtuh menuju Big Crunch (kebalikan dari Big Bang).
Kecepatan pengembangannya juga dapat berbeda-beda. Hal ini disebabkan tiga skenario yang
mungkin dari geometri alam semesta dari masing-masing gelembung (Lihat kembali Gambar
5) yaitu terbuka, tertutup, dan datar. Alam semesta kita telah terbukti datar, pengembangan
melambat tapi tidak pernah berhenti, tapi alam semesta lain dapat terbuka, dimana
pengembangan terus semakin dipercepat, atau tertutup, dimana pengembangan pada akhirnya
berhenti dan menjadi pengerutan (Linde, 1994).

Walaupun waktu yang ada mungkin tak terhingga, seiring bertambahnya waktu, jumlah jagad
raya akan semakin banyak. Hal ini karena setidaknya ada satu alam semesta terbuka atau
alam semesta datar lahir setiap saat, dan alam semesta tipe ini tak pernah berhenti
mengembang. Dan alam semesta dari dua jenis ini adalah alam semesta yang produktif dalam
membentuk Big Bang baru.

Mutijagad Level 2 menyanggah argumen penyetelan halus lebih jauh lagi. Jika sebelumnya,
multijagad Level 1 menyanggah kalau Tuhan memilihkan massa partikel dan kepadatan jagad
raya agar terbentuk kehidupan dengan menyatakan seluruh massa dan kepadatan yang
mungkin itu ada entah di mana dalam alam semesta tak terhingga, maka multijagad
gelembung menyanggah kalau Tuhan memilihkan dimensi ruang waktu yang ada agar
terbentuk kehidupan. Dalam setiap Big Bang baru, struktur ruang waktu di alam semesta
yang akan terbentuk kemudian diacak dan semua kemungkinan dimensi muncul. Tentu saja,
jagad dengan 3 dimensi ruang dan 1 dimensi waktu masih yang paling mungkin menerima
kehidupan kompleks seperti kita ketimbang ruang dengan kombinasi dimensi ruang dan
waktu lainnya. Tetapi karena ada tak terhingga jagad raya, maka tak terhingga pula jagad
raya dengan 3 dimensi ruang dan 1 dimensi waktu. Akibatnya, Tuhan tidak perlu
memilihkan, kehidupan adalah konsekuensi dari dunia dengan 3 dimensi ruang dan 1 dimensi
waktu (Lihat Tabel 3). Dan ini juga menjalar ke konstansta-konstanta lain yang menjadi dasar
sistem fisika dunia tersebut karena dimensionalitas mempengaruhi batas-batas yang mungkin
dari nilai-nilai tersebut (Barrow dan Tipler, 1986:259).

Dalam dunia dengan dimensi waktu lebih atau kurang dari 1, persamaan diferensial parsial
alam akan kekurangan sifat hiperbolisitas yang memungkinkan pengamat melakukan
prediksi. Dunia demikian menjadi kacau. Dalam dunia dengan dimensi ruang lebih dari tiga,
tidak dapat ada atom tradisional (atom dalam makna lain mungkin ada) dan mungkin
mutlak, dunia dengan dimensi ruang 0 adalah titik, dunia dengan dimensi ruang 1 adalah
garis (panjang), dan dunia dengan dimensi ruang 2 adalah bidang (panjang x lebar). Kita
hidup di dunia dengan dimensi ruang 3 yang merupakan volume (panjang x lebar x tinggi).

Jumlah Dimensi Ruang


0 1 2 3 4 5
0 Kacau Kacau Kacau Kacau Kacau Kacau
Terlalu Terlalu Kita Hidup Tidak Tidak
1 Kacau
Sederhana Sederhana Disini stabil stabil
Jumlah Dimensi Terlalu
2 Kacau Kacau Kacau Kacau Kacau
Waktu Sederhana
Hanya
3 Kacau Kacau Kacau Kacau Kacau
Tachyon
4 Kacau Tidak stabil Kacau Kacau Kacau Kacau
5 Kacau Tidak stabil Kacau Kacau Kacau Kacau

Tabel 3: Kombinasi Dimensi Waktu dan Ruang yang Mungkin (Sumber: Tegmark, 1997)

Argumentasi multijagad merupakan bagian dari struktur argumentasi yang lebih besar yang
diwacanakan sejak tahun 1974 oleh Carter. Argumentasi ini disebut prinsip antropik. Ia
merupakan jawaban sains terhadap masalah argumen sebab Tuhan. Sementara argumen sebab
Tuhan bicara kalau kebetulan-kebetulan (massa, kepadatan, dimensi) alam semesta
memungkinkan manusia hidup adalah karena Tuhan membuatnya demikian agar kita bisa
ada, argumen Antropik bicara kalau kebetulan-kebetulan tersebut adalah bagian dari struktur
jagad raya. Ia mengajukan dua prinsip yaitu prinsip antropik lemah (PAL) dan prinsip
antropik kuat (PAK). PAL menyatakan kalau: Kita harus bersiap menghadapi fakta kalau
lokasi kita di alam semesta perlu ada agar sesuai dengan keberadaan kita sebagai pengamat.
PAK menyatakan kalau: Alam semesta (dan parameter dasar yang tergantung padanya)
harusnya sedemikian hingga memungkinkan adanya pengamat dalam salah satu tahapnya.
Dengan kata lain, kita ada karena alam semesta seperti ini ada, bukan alam semesta seperti ini
ada karena kita ada (diinginkan Tuhan). Pada perkembangannya, prinsip ini memiliki sekitar
30 versi hingga sekarang (Stenger, 2009).

Dengan adanya multijagad tingkat 1 dan tingkat 2, tampaknya ahli kosmologi telah cukup
menghanguskan argumen penyetelan halus yang bersebab Tuhan. Namun masih ada
multijagad tingkat 3 dan tingkat 4.

Referensi

Barrow, J.D., and F. J. Tipler, 1986. The Anthropic Cosmological Principle. Oxford:
Clarendon Press

Goncharov, A.S., A. D. Linde, and V. F. Mukhanov, 1987. The Global Structure Of The
Inflationary Universe. International Journal of Modern Physics A, 2, 561

Harris, J. W. and Stocker, H. 1998. “Sierpinski Gasket.” §4.11.7 in Handbook of


Mathematics and Computational Science. New York: Springer-Verlag, p. 115

Linde, A.D., D. A. Linde, and A. Mezhlumian, 1994. From the big bang theory to the theory
of a stationary universe. Physical Review D, 49, 1783

Linde, A., 1994,The Self-Reproducing Inflationary Universe, Scientific American, 271, 32

Linde, A.D. 1990. Particle Physics and Inflationary Cosmology. Switzerland: Harwood.

Salopek, D.S and J. R. Bond, 1991. Stochastic inflation and nonlinear gravity. Physical
Review D, 43, 1005
Starobinsky, A.A. 1986, Stochastic de sitter (inflationary) stage in the early universe. in
Current Topics in Field Theory, Quantum Gravity and Strings, Lecture Notes in Physics, vol.
246, ed. H. J. de Vega H J and N. Sanchez, Heidelberg: Springer

Stenger, V. 2009. The Anthropic Principle. In The Encyclopedia of Nonbelief. Prometheus


Books.

Susskind, L. 2003. The Anthropic Landscape of String Theory. hep-th/0302219

Tegmark, M. 1997. On the Dimensionality of Spacetime. Class. Quantum Grav. 14, L69-L75

Vilenkin, A. 1983. The Birth Of Inflationary Universes. Physical Review D, 27, 2848

(Part 8): Multijagad Tingkat Tiga: Jagad Everett

Tahun 1957, mahasiswa pasca sarjana fisika Hugh Everett III menunjukkan secara matematis
apa yang selama tiga puluh tahun membuat pusing para fisikawan kuantum (Everett, 1957).
Para fisikawan kuantum saat itu dibingungkan oleh fakta kenapa dunia makro sangat berbeda
dengan dunia mikro (atom). Dalam dunia mikro, semua potensialitas ada, semua
kemungkinan itu bisa terjadi. Tetapi ketika mewujud, hanya satu dari sekian banyak
kemungkinan tersebut yang terlahir ke realitas. Einstein terkenal dengan menyatakan kalau
Tuhan tidak bermain dadu. Secara fisika, hal ini disebut keruntuhan fungsi gelombang.
Sebuah himpunan segala kemungkinan keadaan atom yang dengan sempurna diwakili oleh
sebentuk fungsi gelombang, harus pecah, runtuh hingga hanya satu manifestasi saja.

Apa yang diajukan oleh Everett adalah : sebenarnya tidak terjadi runtuh fungsi gelombang
sama sekali (Tegmark, 2007). Segala potensialitas terwujud sekaligus, kita hanya kebetulan
berada di satu dunia yang mencerap satu dari sekian banyak potensi tersebut. Apa artinya ini?
Artinya ketika sebuah fenomena kuantum mewujud, katakanlah atom tersebut punya enam
keadaan yang mungkin, maka saat itu juga keenam keadaan itu hadir. Tapi karena setiap
keadaan hanya dapat ada di satu dunia sendiri, maka tercipta enam realitas sekaligus. Ada
enam dunia terbentuk seketika dan dunia yang kita alami saat ini adalah salah satunya (de
Witt, 2003). Inilah multijagad Everett atau sering pula disebut jumlahan sejarah Feynman
(Hawking dan Mlodinow, 2010:146).

Gagasan Everett begitu bertentangan dengan pikiran filsuf paling radikal sekalipun.
Bagaimana mungkin setiap saat terbentuk dunia baru? Dalam contoh kita, hanya ada satu
atom dengan enam kemungkinan, sementara di alam semesta ada berapa atom? Sebagian
besar ilmuan tampaknya tidak setuju dengan gagasan ini namun sejauh ini, yang kritik yang
Multijagad Everett merupakan multijagad yang paling terkenal di dunia fisika (Davies, 2004).
Ia sering disebut sebagai jagad paralel karena dunia-dunia baru yang lahir hanya berbeda satu
karakteristik dari dunia yang kita alami. Dunia yang kita alami sendiri tidaklah statis, kita
setiap saat berada di dunia baru karena setiap saat ada kemungkinan baru yang diberikan
kepada kita. Kenapa kita mengalami pilihan ini ketimbang yang lain? Pertanyaan ini juga
akan diajukan oleh kembaran kita di dunia lain. Jika ada enam dunia baru tercipta sekarang,
maka setiap orang dapat bertanya kenapa di dunia saya pilihannya seperti ini. Setiap salinan
akan sama nyatanya dengan anda dan setiap dunia juga sama nyatanya dengan dunia ini
(Deutsch, 1997).

Dunia Everett berbeda dengan dunia multijagad tingkat 1 dan tingkat 2 sebelumnya. Jika
setiap dunia dalam jagad fraktal dan jagad inflasi memiliki sejarah sendiri sejak awal Big
Bang, dunia dalam jagad Everett memiliki sejarah yang sama hingga titik dimana mereka
membelah. Sejarah keenam dunia yang kita contohkan semua sama hingga titik dimana
mereka masing-masing mendapat satu dari enam keadaan kuantum berbeda. Bahkan, dapat
kita katakan kalau sebelum keadaan tersebut, keenam dunia tidak ada, hanya ada satu dunia.
Hal ini dapat dibayangkan seperti percabangan pohon dengan ranting-rantingnya. Ini juga
mengapa mereka disebut jagad paralel karena dunia baru relatif sama walau semakin berbeda
seiring bertambahnya waktu.

Setiap dunia baru yang terbentuk dari peristiwa kuantum Everett memiliki multijagad tingkat
pertama dan keduanya masing-masing. Jadi masuk akal kalau kita bayangkan dunia Everett
sebagai dunia yang lebih banyak dari multijagad level kedua dan pertama (walau setiap level
jumlahnya tak terhingga dunia). Walaupun Tegmark (2007) meletakkan multijagad Everett
dalam level ketiga klasifikasinya, ia berargumen kalau jumlah multijagad ini sama banyak
dengan jumlah multijagad level pertama. Alasannya adalah karena dalam jagad level pertama
semua kemungkinan dari keadaan kuantum terwujud di alam semesta yang jauh di sana
sementara dalam jagad level ketiga, semua kemungkinan dari keadaan kuantum terwujud
dalam percabangan fungsi gelombang. Keduanya sama dan berarti tidak ada yang baru (Lihat
Gambar 8).

Gambar 8: Perbedaan Antara Jagad Level 1 dan Jagad Level 3 (Sumber: Tegmark, 2008).

Alam semesta tempat dunia-dunia membelah dalam peristiwa kuantum tertentu ini disebut
ruang Hilbert. Sistem kuantum sendiri adalah keadaan murni yang berada di ruang Hilbert
Hilbert. Karena mekanika kuantum sendiri memiliki dua komponen yaitu komponen
deterministik yaitu waktu, dan komponen stokastik yaitu eksistensi keadaan kuantum yang
terlihat acak di satu dunia, maka Ruang Hilbert adalah ruang deterministik karena seluruh
kemungkinan tersebut mewujud dan tidak ada lagi keacakan. Ruang Hilbert dipakai karena
matematika yang digunakan oleh mekanika kuantum bukanlah integral diferensial yang
umum dipakai dalam teori-teori fisika sebelumnya, namun menggunakan aljabar linier untuk
memfasilitasi segala kemungkinan ke dalam matriks kalkulasi.

Seandainya kita mengambil sudut pandang seekor elang yang terbang di atas ruang Hilbert
dan kita sebagai seorang individu diwakili oleh sebuah bintik merah, maka elang tersebut
akan melihat bintik merah yang bergerak menjalar dari satu cabang ke cabang lain dalam
pohon fungsi gelombang raksasa yang berawal dari Big Bang. Ini adalah sebuah gagasan
menarik dan membingungkan, namun lebih sederhana lagi dari multijagad level 2. Tetapi,
masih ada multijagad level 4, yang paling sederhana yang mungkin.

Referensi

Davies, P.C.W. 2004. Multiverse Cosmological Models. Mod.Phys.Lett.A19:727-744

de Witt, B. 2003, The Everett Interpretation of Quantum Mechanics. in Science and Ultimate
Reality: From Quantum to Cosmos, ed. Barrow, J. D., Davies, P. C. W., & Harper, C. L.
(Cambridge Univ. Press: Cambridge)

Deutsch, D. 1997. The Fabric of Reality. Allan Lane

Everett III, 1957. Relative State Formulation of Quantum Mechanics Rev. Mod. Phys. 29, 454

Gill, R.D. 2008. On An Argument of David Deutsch. in: QuantumProbability and Infnite
Dimensional Analysis: from Foundations to Applications (M.Schurmannand U.Franz, eds.),
vol.18, pp.277–292. Singapore: World Scientific

Hawking, S.W., Mlodinow, L. 2010. The Grand Design (Terjemahan oleh Zia Anshor).
Jakarta: Gramedia.

Tegmark, M. 2007. The Mathematical Universe. arXiv 0704.0646 [gr-qc], Foundations of


Physics

Tegmark, M. 2008. Many World in Context. Dalam “Many Worlds? Everett, Quantum
Theory and Reality”, S. Saunders, J. Barrett, A. Kent & D. Wallace (eds), Oxford Univ. Press

(Part 9): Multijagad Tingkat 4: Struktur Matematis

Fakta bahwa kita mampu mencerap ruang dan


memahami bentuk-bentuk geometri memunculkan
sejarah mengenai bagaimana manusia merasakan
bentuk jagad raya. Pada awalnya, manusia
memandang kalau Bumi kita datar. Baru
kemudian para pemikir Yunani, salah satunya
Erastothenes, membuktikan kalau Bumi
berbentuk bulat.

Sejak zaman Euklid hingga seabad lalu, ada


pemahaman kalau jagad raya kita berbentuk ruang
mengajukan teori relativitasnya. Jagad raya kita tidak lagi dipandang ruang berdimensi tiga
tetapi ruang berdimensi empat (dengan menjadikan waktu sebagai satu dimensi baru).
Struktur matematis yang mewakilinya sekarang adalah manifold pseudo-Riemann berdimensi
3+1 dengan medan tensor. Konsekuensinya fatalistik, alam semesta dalam ruang maupun
waktu telah ditentukan. Masa depan telah ada, hanya kita belum merasakannya. Tetapi,
gagasan inipun digugurkan dalam waktu singkat dalam perkembangan mekanika kuantum.
Perilaku atom yang membingungkan membawa pada konsepsi struktur jagad raya baru yang
disebut aljabar medan bernilai-operator. Lagi-lagi, struktur jagad raya semacam ini ditentang
oleh perkembangan teori penguapan lubang hitam yang digagas oleh Hawking (Tegmark,
2007). Hingga sekarang, para ilmuan masih mencari-cari bentuk matematis sesungguhnya
dari jagad raya kita. Perkembangan ini sejalan pula dengan perkembangan untuk mencari
teori segalanya (Theory of Everything).

Pelajaran yang dapat diambil dari perkembangan sejarah sains di atas cukup ironis: sains
semakin menggerus eksistensialisme hingga tak berbekas. Dalam ruang dimensi tiga fisika
klasik, individu terdefinisi dengan baik. Masing-masing kita adalah individu yang unik,
punya koordinat dalam ruang yang jelas. Dalam manifold pseudo-Riemann eksistensi ini
diragukan. Kita tak lagi sebuah bintik padat tetapi hanya sebuah garis dunia yang tergores
dalam sumbu ruang-waktu. Sebuah garis bukanlah sesuatu yang unik. Ambil selembar kertas,
ada tak terhitung garis dapat anda tarik di kertas tersebut. Pembatas antar garis tidak ada
karena jika ada, maka kita dapat membuat garis baru di antara kedua garis tersebut. Hal ini
dapat dilakukan ad infinitum. Itu mengapa saya menyebutnya menggerus habis
eksistensialisme. Dan eksistensialisme yang telah tergerus tersebut akhirnya tertiup angin dan
lenyap ketika fisika kuantum bicara tentang multijagad tingkat 3. Setiap garis ini hanyalah
satu dari tak terhingga garis eksistensi diri kita. Bagaimana anda bisa bicara inilah saya ketika
ada tak terhingga anda yang seratus persen sama dalam jagad raya tak terbatas?

Perkembangan sains di atas menunjukkan kalau pemahaman kita tentang jagad raya semakin
abstrak. Bukan abstrak seperti kata-kata sastra tentang perasaan, tetapi abstrak dalam artian
begitu ketatnya, sebuah matematika. Hal ini sangat deterministik dan membangkitkan roh
Pitagoras yang tidur di masa Yunani Kuno. Dahulu ketika para filsuf bicara alam tersusun
dari unsur air, api, udara, dan tanah, Pitagoras malah mengatakan kalau alam tersusun dari
unsur matematis yaitu bilangan-bilangan. Di masa kini, sains bicara pula kalau alam tersusun
dari hukum-hukum matematis. Efektivitas matematika dalam fisika sedemikian terangnya
sehingga bermunculan teknologi yang luar biasa presisi, misalnya komputer yang ada di
depan anda. Perhatikan gambar 9. Rumus tersebut adalah persamaan medan Einstein yang
mendeskripsikan jagad raya kita di masa Einstein. Abstraksi alam semesta ke dalam
matematika merupakan sebuah kecenderungan yang merupakan konsekuensi logis dari
efektivitas matematika dalam fisika. Lebih jauh, ini membawa pada Wheeler dan Hawking
(1988) yang bertanya: mengapa harus persamaan ini, bukannya persamaan yang lain?
Mengapa alam semesta kita diatur oleh rumus-rumus yang ini bukannya rumus-rumus lain
yang mungkin dibuat dan memang bertebaran dalam jurnal-jurnal matematika murni?
Gambar 9: Persamaan Medan Einstein

Tegmark (1998) membagi hubungan antara matematika dan fisika dalam dua kategori:

1. Dunia Fisika sepenuhnya matematis. Ada tiga kemungkinan dalam hal ini yaitu (a)
segala yang ada secara matematis juga ada secara fisik, (b) sebagian yang ada secara
matematis ada secara fisik, sementara sebagian tidak, dan (c) tidak ada yang ada
secara matematis ada secara fisik.
2. Dunia fisika tidak sepenuhnya matematis.

Sebagian fisikawan tampaknya lebih percaya kalau dunia fisika tidak sepenuhnya matematis,
yaitu kategori 2, dan ia menyebut alasan agama termasuk dalam kategori ini. Tuhan
diperlukan agar sebagai God of the Gap agar tetap ada kehendak bebas dalam dunia fisika.
Kategori ini katanya tidak memberikan kekuatan prediktif penuh dan disingkirkan dari
kemungkinan benar. Hal yang sama juga berlaku pada kemungkinan 1.c.

Kemungkinan kalau segala hal yang ada secara matematis tidak seluruhnya ada secara fisika
(kategori 1.b) lebih masuk akal. Walau begitu kemungkinan ini dikritik oleh Wheeler (1994),
Nozick (1981), dan Weinberg (1992) karena menyisakan pertanyaan seperti yang telah
diajukan sebelumnya: mengapa persamaan ini bukan yang lain? Mengapa struktur matematis
dengan rasio massa elektron proton 1836 ada sementara rasio 1996 tidak ada? Mengapa
manifold 3+1 harus ada sementara 27+5 tidak ada? Penjelasan yang lebih sederhana, dan
paling sederhana dari semua kesederhanaan, adalah semuanya ada.

Tegmark (1998) menjadikan pernyataan kalau “ada secara fisika adalah sama dengan ada
secara matematis”. Ada secara matematis sendiri adalah “keberadaan yang bebas dari
multijagad tingkat 3. Pada multijagad tingkat 3, semua keadaan kuantum yang mungkin
dipandang ada secara fisik, namun hukum fisika tetap sama. Pada multijagad tingkat 4, semua
struktur matematis yang mungkin dipandang ada secara fisik dan hukum fisika yang ada tidak
mesti sama.

Eksistensi fisika dari struktur matematis ini diturunkan dari beberapa teori gravitasi kuantum.
Gravitasi kuantum memungkinkan adanya berbagai metrik dan topologi ruang waktu yang
berbeda (Hawking, 1984; Isham, 1989). Dari sekian banyak topologi dan metrik ruang waktu
ini, tidaklah beralasan kalau alam semesta kita hanya memiliki satu tipe topologi dan satu tipe
metrik. Topologi dan metrik lain konsisten dan memungkinkan hukum fisika, walaupun
berbeda dengan hukum fisika yang kita rasakan di alam semesta kita. Hal ini juga didukung
oleh keberadaan fisik tetapan fisika yang berbeda dan keberadaan fisik dimensi ruang waktu
yang berbeda sebagai mana dalam multijagad tingkat 2 berbasis pada teori inflasi (Linde dan
Zelnikov, 1988), teori big bang (Wheeler, 1977), teori lubang cacing (Coleman, 1988), dan
teori superstring (Albrecht, 1994). Nielsen (1983), Froggatt dan Nielsen (1991), dan Nielsen,
Rugh, dan Surlykke (1994) bahkan telah membuat program komputer yang mensimulasikan
dunia-dunia yang diatur oleh persamaan-persamaan matematika yang berbeda.

Teori segalanya yang digagas Tegmark (1998) yang berbasis pada asumsi segala yang
konsisten secara matematis pasti ada di dunia nyata mengembalikan makna probabilitas ke
makna awalnya. Seperti yang telah diilustrasikan sebelumnya dalam kemungkinan kartu di
tangan anda, maka segala yang mungkin (probabilitas tidak nol) adalah pasti, tentunya
dengan ruang kemungkinan yang tak terbatas. Dengan kata lain, multijagad adalah ruang
sampel bagi probabilitas apapun.

Penrose (1989) memberikan contoh eksistensi matematis yang mewujud menjadi eksistensi
fisik lewat pembuatan android (robot yang direkayasa sedemikian hingga fisiknya
menyerupai manusia) yang memiliki kesadaran diri. Eksistensi diri yang dirasakan sang robot
adalah murni matematis dari sudut pandang program yang dibuat manusia penciptanya.
Tetapi sang pembuat maupun sang robot melihat bahwa eksistensi tersebut juga berupa
eksistensi fisik.

Tegmark (1998) memberikan dukungan atas teorinya dengan memberikan kecenderungan


lain dalam sejarah fisika. Eddington (1920) menyebutkan kalau orang dahulu mengatakan
bahwa kapanpun ada cahaya, maka ada gelombang dalam medan elektromagnetik. Fisika
modern menunjukkan kalau cahaya itu sendiri adalah gelombang dalam medan
elektromagnet. Orang dahulu mengatakan kalau kapanpun ada materi, ada gelombang dalam
kelengkungan ruang waktu. Fisika modern mengatakan kalau materi itu sendiri adalah
gelombang dalam kelengkungan ruang waktu. Orang dahulu menyatakan kalau kapanpun ada
eksistensi fisika, ada struktur matematika yang menopangnya. Tegmark (1998) mengatakan
kalau eksistensi fisika itu sendiri adalah struktur matematika.

Apabila ada sebuah struktur matematika yang konsisten, maka ada sebuah eksistensi fisika
dari struktur matematika tersebut. Dalam eksistensi fisika ini, kemungkinan kalau ada mahluk
cerdas (yang disebut sebagai SAS (Self-Aware Substructures) oleh Tegmark) maka ia dapat
bertanya mengapa alam yang ia tinggali diatur oleh persamaan ini bukan yang lain. Pada
dunia yang lebih tinggi, multijagad tingkat 4, semua persamaan yang mungkin memiliki
dunia tersendiri yang diaturnya (ruang waktu Malament-Hogarth misalnya (Piccinini, 2011)).

Agar struktur matematis dapat eksis dalam realitas, ia harus konsisten dalam dirinya.
Konsistensi sendiri tidak menjamin eksistensi SAS (misalnya kita atau program komputer).
Sebuah struktur matematis memerlukan tiga syarat lagi untuk dapat memiliki SAS yaitu
kompleksitas, prediktabilitas, dan stabilitas. Sebuah struktur matematis yang konsisten namun
tidak cukup kompleks, tidak terprediksi, atau tidak stabil, tidak dapat memungkinkan
keberadaan SAS. Prediktabilitas dan stabilitas telah disebutkan dalam deskripsi mengenai
multijagad level 2. Mengenai kompleksitas, yang dimaksud disini adalah kompleksitas dari
struktur matematis, bukan dari dunia yang dihasilkannya. Kompleksitas sebuah struktur
matematis ditentukan oleh aksiomanya.
namun bukan merupakan pernyataan yang benar dengan sendirinya. Ada banyak sekali
aksioma yang menyusun matematika. Aksioma pilihan misalnya mengatakan kalau ada satu
himpunan yang anggotanya himpunan tak kosong, maka ada setidaknya satu himpunan yang
mengandung tepat satu anggota yang merupakan anggota bersama dari semua himpunan tak
kosong tersebut (Moore, 1982). Hal ini tidak perlu dibuktikan karena secara intuitif kita pasti
tahu kalau pernyataan ini benar.

Setiap struktur matematika mengandung setidaknya satu aksioma sebagai landasan ia ditarik.
Struktur matematika paling sederhana adalah aljabar Boolean yang berada di bagian paling
bawah Gambar 10 sebelum sistem formal. Sistem formal sendiri adalah kumpulan dari
simbol dan aturan untuk membentuk aksioma, dan aturan untuk membentuk teorema (turunan
dari aksioma). Aljabar Boolean terdiri dari empat aksioma, kalkulus predikat rendah terdiri
dari enam aksioma (empat berasal dari aljabar Boolean), dan teori bilangan terdiri dari tujuh
aksioma. Semakin banyak aksioma semakin kompleks sebuah sistem matematika. Walau
begitu, jumlah aksioma tidak dapat terlalu banyak. Jika aksioma dalam suatu sistem
matematika terlalu banyak, maka sistem tersebut runtuh diri karena menjadi tidak konsisten.
Hal ini karena semakin banyak aksioma, maka semakin besar kemungkinan muncul
kontradiksi antar aksioma itu sendiri. Sebuah struktur matematika yang cukup kompleks
dengan aksioma yang tidak terlalu banyak adalah struktur matematika yang dapat
mengandung SAS.

Gambar 10: Peta Matematika berdasarkan Aksioma penyusunnya. Peta ini dapat diperluas ke
atas tak terbatas seiring berkembangnya ilmu matematika murni (Tegmark, 1998)
sejarah sains yang telah dibeberkan di awal. Kita pernah merasa kita mampu hidup dalam
ruang dimensi 3 (kotak Rn dalam Gambar 10 untuk n=3). Lalu kita juga pernah merasa
mampu hidup dalam ruang manifold 3+1 dengan medan tensor (bagian atas dibawah
Relativitas Umum). Terakhir kita juga merasa mampu berada dalam dunia aljabar medan
(kotak teori medan kuantum yang ada di pojok kanan atas). SAS lain mungkin ada di dunia
dengan struktur matematis himpunan Mandelbrot, oktahedron, busa Menger, bola, torus,
jagad datar, jagad terbuka, ruang simpul dan sebagainya. Intinya, pada multijagad tingkat 4,
segala struktur matematika yang konsisten memiliki dunianya sendiri-sendiri.

Dengan adanya multijagad tingkat 4, sempurnalah prinsip kesederhanaan. Tidak ada yang
lebih sederhana dari segalanya mungkin. Segala yang bisa ada maka ada, itulah multijagad
sempurna. Jadi, dimana Tuhan?

Referensi

Albrecht, A, 1994. The Theory of Everything vs the Theory of Anything. in The Birth of the
Universe and Fundamental Forces, ed. F. Occionero. Berlin: Springer, Berlin

Coleman, S. 1988. Why there is nothing rather than something: A theory of the cosmological
constant. Nuclear Physics B, 307, 867

Eddington, A. 1920. Space, Time, and Gravitation. Cambridge: Cambridge University Press.

Froggatt, C.D., Nielsen, H.B. 1991. Origin of Symmetries. Singapore: World Scientific.

Hawking, S.W. 1984. The Quantum State of the Universe. Nuclear Physics B, 244, 135

Hawking, S.W. 1988, A Brief History of Time, New York: Bantam Books

Isham, C.J. 1989. Quantum topology and quantisation on the lattice of topologies . Classical
and Quantum Gravity, 6, 1509

Linde, A.D., & M. I. Zelnikov, 1988. Inflationary Universe with Fluctuating Dimension.
Physics Letter B, 215, 59

Moore, G. H. 1982. Zermelo’s Axiom of Choice: Its Origin, Development, and Influence.
New York: Springer-Verlag

Nielsen, H.B. 1983. Field theories without fundamental gauge symmetries. Phil. Trans. Royal
Soc. London, A310, 261

Nielsen, H.B., S. E. Rugh & C. Surlykke, 1994. Seeking Inspiration from the Standard Model
in Order to Go Beyond it. hep-th/9407012

Nozick, R. 1981. Philosophical Explanations. Cambridge: Harvard University Press.

Penrose, R. 1989. The Emperor’s New Mind. New York: Touchstone

Piccinini, G. 2011. The Physical Church-Turing Thesis: Modest or Bold. British Journal for
the Philosophy of Science.

Tegmark, M. 1998. Is “The Theory of Everything” Merely the Ultimate Ensemble Theory?
Annals of Physics, 270, 1-51

Tegmark, M. 2007. The Mathematical Universe. arXiv 0704.0646 [gr-qc], Foundations of


Physics
(Part 10): Posisi Tuhan dalam Multijagad

Multijagad bukannya tanpa kritik dari dalam sains itu sendiri. Schmidhuber (2002)
mengkritik kalau kriteria menentukan apakah sebuah jagad matematis dapat eksis atau tidak
berdasarkan probabilitasnya, memerlukan pengetahuan atas segala struktur matematis yang
mungkin ada. Sayangnya hingga kini kita tidak tahu seberapa banyak struktur matematis
yang bisa konsisten ini. Akibatnya, kita hanya dapat mengatakan sebuah struktur matematis
pasti ada tetapi tidak dapat memastikan berapa besar kemungkinannya untuk ada.

Kritik lain diberikan oleh Page (2007) yang menyebutkan kemungkinan adanya struktur
matematis puncak. Dengan adanya struktur matematis puncak, maka komposisi dasar alam
semesta pada akhirnya adalah sebuah jagad raya tunggal, bukannya multijagad. Jagad raya
tunggal ini tentunya menyangkut banyak jagad raya (tingkat 1 hingga 3) tetapi makna
puncaknya adalah ada sebuah jagad raya terbesar dan merupakan realitas puncak. Jika
merujuk pada Gambar 10, maka pada suatu saat, matematika akan memiliki suatu struktur
segalanya, sama halnya dengan fisika yang mengejar sebuah teori segalanya.

Kritik manapun pada multijagad tampaknya membawa pada matinya konsepsi Tuhan
tradisional. Cita-cita agama-agama besar untuk menyatukan kembali sains dengan agama
seperti di masa Eropa pra-renaisans kecil kemungkinannya. Apa yang dapat dilakukan
sekarang tampaknya berusaha mensejajarkan saja antara sains dan agama ataupun setidaknya
menginjeksi sains ke dalam agama, bukan sebaliknya. Sains tampak akan selalu bersikukuh
dengan argumentasi antropis dan ketiadaan agen pencipta alam semesta ataupun multijagad.

Di lihat dari epistemologi, ini berarti sains tidak akan pernah menemukan Tuhan yang
diinginkan oleh agama. Begitu pula, Tuhan versi agama hanya dapat ada dalam pengetahuan
berbasis wahyu dalam agama. Walau begitu, kesuksesan sains yang besar di masa kini
memunculkan kecemburuan epistemologis dari agama. Alih-alih menempatkan wahyu
sebagai sumber utama pengetahuan, dimana sains seharusnya dibenarkan oleh wahyu, kaum
agama modern cenderung menempatkan sains di atas wahyu (lihat Gambar 11). Ambil
contoh Harun Yahya (2003) yang memberikan sains kekuasaan untuk memverifikasi wahyu.
Gambar 11: Dua Kedudukan yang Mungkin dari Wahyu dan Akal: (a) Wahyu lebih tinggi
dari akal sehingga memverifikasi akal, sebuah strategi epistemologi agama yang digunakan di
abad pertengahan, (b) Wahyu lebih rendah dari akal sehingga diverifikasi oleh akal, strategi
epistemologi agama yang umum digunakan di masa modern.

Tuhan mungkin tidak mati, tapi ia berevolusi di masa modern. Tuhan versi modern adalah
Tuhan pencipta tanpa keMaha-kuasaan. Dalam multijagad tak terhingga banyaknya, pasti ada
tak terhitung jagad raya yang diciptakan oleh suatu agen cerdas. Tidak perlu jauh-jauh, di
laboratorium modern di berbagai lokasi di bumi ini, beberapa tim ilmuan sedang berlomba-
lomba menciptakan bentuk kehidupan baru dari zat mati (Cooper et al, 2011; Pasparakis dan
Alexander, 2008; Doi, et al, 2008; Lartigue et al, 2009). Beberapa bahkan mendaku suatu saat
kita mampu menciptakan alam semesta sendiri di laboratorium (Sakai et al, 2006: Kim,
Maeda, dan Sakai, 1996). Para pelaku sains yang menolak Tuhan dalam ilmunya namun tidak
menolak untuk menjadi Tuhan.

Tentunya ada pula ilmuan yang memikirkan hal sebaliknya: jangan-jangan kita juga
diciptakan oleh ilmuan dari alam semesta yang lebih tinggi. Whitworth (2008) dan Bostrom
(2003) berspekulasi kalau alam semesta kita sebenarnya sebuah program komputer seperti
halnya dunia yang dihuni manusia dalam film Matrix. Di jagad raya yang lebih tinggi, bisa
jadi seorang programmer komputer (Tuhan) merancang alam semesta yang sekarang kita
tinggali dan kita tak lain semata program-program komputer yang sadar seperti robot. Sebuah
SAS buatan dengan lingkungan buatan yang mengikuti skenario rancangan sang programmer.

Jika Tuhan adalah sesuatu yang tak berubah, konsekuensi dari kesempurnaan seperti
diwacanakan Lovejoy (1936) dalam rantai besar keberadaannya, maka bisa jadi multijagad
matematis menggantikan Tuhan, atau multijagad matematis itu sendiri lah Tuhan.

Referensi

Bostrom, N. 2003. Are You Living in a Computer Simulation? Philosophical Quarterly, 53,
211, 243-255

Cooper, G.J.T., Philip J. Kitson, Ross Winter, Michele Zagnoni, De-Liang Long, Leroy
Cronin. 2011. Modular Redox-Active Inorganic Chemical Cells: iCHELLs. Angewandte
Chemie International Edition

Doi, Y., Chiba, J., Morikawa, T., Inouye, M. 2008. Artificial DNA made exclusively of
Nonnatural Type of Nonnatural Bases. Journal of the American Chemical Society, 130, 27,
8762-8768

Kim, Y., Maeda, K., Sakai, N. 1996. Monopole-Bubble in Early Universe. Nuclear Physics B
481, 453-478
Lovejoy, A.O. 1936. The Great Chain of Being. Cambridge: Harvard University Press.

Page, D.N. 2007. Predictions and Test of Multiverse Theories. in B. J. Carr, ed., Universe or
Multiverse? Cambridge: Cambridge University Press. pp. 401-419

Pasparakis, G., Alexander, C. 2008. Sweet-talking Double Hydrophilic Block Copolymer


Vesicles. Angewandte Chemie International Edition.

Sakai, Nobuyuki; Nakao, Ken-ichi; Ishihara, Hideki; Kobayashi, Makoto. 2006. The
Universe out of a Monopole in the Laboratory? Physical Review D, 024026

Schmidhuber, J. 2002. Algorithmic Theories of Everything. International Journal of


Foundations of Computer Science 13(4):587-612

Whitworth, B. 2008. The Physical World as a Virtual Reality. Eprint arXiv:0801.0337

Yahya, H. 2003. Keajaiban pada Atom. Bandung: Dzikra.

(Part 11): Penutup


Beberapa fisikawan besar seperti Susskind dan
Weinberg tertarik dengan masalah multijagad
karena gagasan ini tidak membutuhkan Tuhan
lagi sebagai penjelasan desain kosmis (Carr,
2007:16). Walau begitu, Robin Collins (2007)
menegaskan kalau eksistensi multijagad tidak
melarang adanya Tuhan. Menurutnya mengapa
tidak sang Pencipta bertindak lewat skema
multijagad. Namun pesimistis juga muncul,
Neil Manson (2003) menuduh kalau multijagad
adalah pertahanan terakhir bagi ateis. Tentu
bagi yang netral, kembali, tidak peduli
multijagad ada atau tidak, sains tidak akan pernah mampu membuktikan ada tidaknya Tuhan.
Dan karenanya, bahkan fisikawan religius pun, tidak mendasarkan keyakinan adanya Tuhan
pada wahyu ilmiah (Wilbur, 2001).

Sekarang tampaknya pertanyaan dimana posisi Tuhan di alam semesta menjadi tidak relevan.
Pertanyaannya sekarang adalah, seperti apa itu sederhana? Apakah Tuhan sederhana atau
multijagad yang lebih sederhana? Lebih jauh, haruskah Tuhan dan alam semesta harus
sederhana? Sejauh sains dan Tuhan dijadikan pegangan, mungkin jawaban yang paling
kompromistis adalah “Tuhan tidak punya pilihan” dalam menyetel alam semesta ini, seperti
yang dikatakan Einstein (Bennet dan Shostak, 2012:70).

Referensi

Bennet, J., Shostak, S. 2012. Life in the Universe. 3rd Edition. Addison-Wesley

Carr, B. 2007. Universe or Multiverse. Cambridge: Cambridge University Press

Collins, R. 2007. The Multiverse Hypothesis: A Theistic Perspective. in B. J. Carr, ed.,


Universe or Multiverse? Cambridge: Cambridge University Press. pp. 459-481

Manson, N.A. 2003. God and Design. London: Routledge

Wilbur, K. 2001. Quantum Questions: Mystical Writings of the Worlds Greatest Physicist.
Boston: Shambala

Anda mungkin juga menyukai