Anda di halaman 1dari 4

“Si Miskin”

Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya


bibuang dari keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal
sebagai si Miskin.
Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan
mencari rezeki berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera
Dewa. Ke mana mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai
dengan disertai penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya.
Sepanjang perjalanan menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya.
Waktu malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.
Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang
ada di taman raja. Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya
itu, tetapi istri itu makin menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, “Diamlah.
Tuan jangan menangis. Biar Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat,
Kakanda berikan kepada tuan.”
Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan
yang lain. Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan,
pergilah si Miskin menghadap raja memohon mempelam. Setelah diperolehnya setangkai
mangga, pulanglah ia segera. Isterinya menyambut dengan tertawa-tawa dan terus
dimakannya mangga itu.
Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki
bernama Marakarmah (=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih
sayang.
Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal,
didapatnya sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja
sampai kepada anak cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang
komplet perlengkapannya.
Si Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan
Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya
yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesuma.
Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan
kerajaan Puspa Sari dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah
Berantah.
Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya,
dicarinya ahli-ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.
Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan
bahwa Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi
orangtuanya.
Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa.
Maka, dengan hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-
putrinya itu.
Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar.
Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah
pohon beringin. Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke
kampung, karena disangka mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian
dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemu oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari
Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi isteri putera mahkota itu dan bernama
Mayang Mengurai.
Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di
pangkalan raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk
akan dimakan. Waktu Cahaya Chairani berjalan–jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah
dalam keadaan terikat tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan
Cahaya Chairani berusaha lari dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal. Timbul
birahi nahkoda kapal itu kepada Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut,
yang seterusnya ditelan oleh ikan nun yang membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam
Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah Nenek Kebayan yang kemudian terus
membelah perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat petunjuk dari burung
Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.
Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya
berjual bunga. Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan bunga
Marakarmah dikenal oleh Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu kembali
antara suami-isteri itu.
Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan seorang
puteri di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah bahwa
puteri tersebut adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang jahat itu
dibunuhnya.
Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali.
Dengan kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala
perlengkapannya seperti dahulu kala.
Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh
Raja Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani).
Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di
Mercu Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi raja
di Palinggam Cahaya.
“IBNU HASAN”

Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan, bernama Syekh Hasan, banyak
harta banyak uang, terkenal kesetiap negeri, merupakan orang terkaya, bertempat tinggal du
negeri Bagdad, yang terkenal kemana-mana, sebagai kota yang paling ramai saat itu.
Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan,
menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik,
walaupun harus mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak
pengikutnya.
Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak, laki-laki yang sangat tampan,
pendiam, dan baik budi, berusia sekitar tujuh tahun. Ibnu Hasan namanya.
Ibnu Hasan sedang lucu-lucuya, semua orang senang melihatnya, apalagi orang tuanya,
namun demikian anak itu, tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun hidupnya
dimanjakan, tidak kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan sama suka bersolek, karena
itulah kedua orang tuanya sangat menyayanginya.
Ayahnya berfikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas, tanpa pertimbangan,
bagaimana kalau akhirnya, dimirkai Allah Yang Agung, aku pasti durhaka, tak dapat mendidik
anak, mengkaji ilmu yang bermanfaat.”
Dipanggilnya putranya. Anak itu segera mendatanginya, diusap-usapnya putranya sambil
dinasihati, bahwa Ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku, sebenarnya aku
kuatir, tapi, pergilah ke Mesir, carilah jalan menuju keutamaan.”
Ibnu Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan
kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan ku
tolak, siang malam hanya perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.”
Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat kepesantren, berpisah dengan kedua
orangtuanya, hatinya sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis terisak-isak, harus berpisah
dengan putranya, yang masih sangat kecil, belum cukup usia.
“Kelak, apabila ananda sudah sampai, ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga diri,
karena jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya hidup, jangan keras kepala, angkuh dan
menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu menghina
sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan senangkaena dimusuhi semua
orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan diperhatikan, berada
dirantau orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan, hati-hatilah menjaga diri jangan
menganggap enteng segala hal.”
Ibnu Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan
kucatat dalam hati, doakanah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan
yang salah, pesan Ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”
Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin dan
Mairun,mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan pakaian,
sementara Mairin mengikuti dari belakang, sesekali menggantikan tugas Mairun.
Perasaan sedih prihatin, kehujanan, kepanasan, selama perjalanan yang makan waktu
berhari-hari namun akhirnya sampai juga dipusat kota Negara Mesir, dengan selamat berkat
do’a Ayah dan Ibunda, selanjutnya, segera Ian menemui seorang alim ulama, terus berguru
padanya.
Pada suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang bernama
Saleh, yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari mana?”
Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,” Sekolah itu
apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah anda belum tahu?”
“sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar
tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap
sesama, harus sesuai dengan aturan.”
Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, di segera pulang,
menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna mencari ilmu. Sekarang
katakan padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.”
Kyai berkata demikian, tujuan untuk menguji muridnya, apakah betul-betul ingin mencari
ilmu atau hanya alasan supaya mendapat pujian.
Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa hamba
besusah payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu.
Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang,
ternaknyapun banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan kekurangan.
Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah sudah
tiada, sudah menunggal dunia, semua hartanya jatuh ketangan hamba.
Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu habis, bukan
bertambah. Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini bodoh.
Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah
pendapat saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan.
Pangkat anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihiorang tua, paling tidak harus sama
dengan orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin, ibaratnya anak
seorang patih.”
Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.

Anda mungkin juga menyukai