Anda di halaman 1dari 123

DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL - EKONOMI EKS TAPOL DI BLITAR

SELATAN 1968 - 2000

SKRIPSI

Oleh :

Binti Masruroh
NIM 170210302051

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2022
DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL - EKONOMI EKS TAPOL DI BLITAR
SELATAN 1968 - 2000

SKRIPSI

diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Strata
Satu (S1) Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember
dan mencapai gelar Sarjana Pendidikan

Oleh :
Binti Masruroh
NIM 170210302051

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2022

ii
PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk :


1. Ibunda tercinta Asnal Muna dan ayahanda Kusen, serta keluarga besar saya,
yang telah memberikan kasih sayang tulus, memberikan doa, memberikan
nasehat, semangat dan segalanya hingga penulis semangat dalam menimba
ilmu dan menyelesaikan studi;
2. Guru-guruku yang terhormat di TK Al-Hidayah Bacem 1, MI Miftahul Huda,
SMP Mamba‟us Sholihin dan MA Sirojut Tholibin;
3. Para Dosen yang terhormat di Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Jember, yang telah
memberikan ilmu beserta bimbingannya;
4. Almamater Universitas Jember, khususnya Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah.

iii
MOTO

If freedom of speech is taken away, then dumb and silent we may be led, like sheep to
the slaughter “jika kebebasan berbicara diambil, maka bodoh dan diam kita mungkin
akan membawa seperti domba ke pembantaian”(George Washington)*)

atau

Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif

itu**)

*)
David M Robertson. 2009. An American warning. United state. iuniverse.com. Hal 16
**)
Undang-Undang 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 huruf I ayat (2)

iv
PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini


: Nama : Binti Masruroh
NIM : 170210302051
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul “Dinamika
Kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar Selatan 1968-2000” adalah benar-
benar hasil karya sendiri, kecuali kutipan yang sudah saya sebutkan sumbernya,
belum pernah diajukan pada institusi mana pun, dan bukan karya jiplakan. Saya
bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah
yang harus dijunjung tinggi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada tekanan
maupun paksaan dari pihak mana pun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika
ternyata di kemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 10 April 2022


Yang menyatakan,

Binti Masruroh
170210302051

v
SKRIPSI

DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL-EKONOMI EKS TAPOL DI BLITAR


SELATAN 1968-2000

Oleh

Binti Masruroh
NIM 170210302051

Pembimbing

Dosen Pembimbing Utama : Drs. Kayan Swastika, M.Si


Dosen Pembimbing Anggota : Drs. Sumarjono, M. Si

v
PENGESAHAN

Skripsi berjudul “Dinamika Kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar Selatan


1968-2000” karya Binti Masruroh telah diuji dan disahkan pada:
hari, tanggal :
tempat :

Tim Penguji:

Ketua, Anggota I

Drs. Kayan Swastika, M.Si. Drs. Sumarjono, M.Si


NIP 196702102002121002 NIP 195808231987021001

Anggota II Anggota III

Dr. Mohamad Na‟im, M.Pd Dr. Nurul Umamah M.Pd


NIP 196603282000121001 NIP 196902041993032008

Mengesahkan
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Prof. Dr. Bambang Soepeno, M.Pd


NIP 196006121987021001

v
RINGKASAN

Dinamika Kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar Selatan 1968-2000;


Binti Masruroh, 170210302051; 2022: 105 halaman; Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Universitas Jember.

Eks Tapol adalah mantan tahanan politik. Dalam hal ini tahanan politik
yang di maksud adalah orang-orang yang pernah, di tangkap dan ditahan selama
bertahun-tahun tanpa melalui proses eksekusi, Pada saat operasi penupasan PKI.
Hal tersebut dikarenakan mereka dianggap memiliki hubungan dengan organisasi
yang berbau kiri (PKI). Eks Tapol yang di maksud dalam penelitian ini adalah Eks
Tapol yang pernah tersangkut pada peristiwa Trisula di Blitar Selatan. Pasca
peristiwa 65 militer terus melakukan operasi terhadap wilayah-wilayah yang
dianggap sebagai sarang maupun tempat pelarian anggota PKI yang berhasil
meloloskan diri. Blitar Selatan merupakan salah satu daerah tempat persembunyian
anggota PKI dari pusat yang berhasil melarikan diri. Sehingga mengetahui hal
tersebut, Militer menggelar Operasi Trisula di Blitar Selatan untuk menupas
anggota PKI yang berhasil melarikan diri ke Blitar Selatan.
Operasi Trisula yang bertujuan untuk menupas PKI bukan hanya
memerangi anggota pelarian PKI dari pusat saja, melainkan juga memerangi orang-
orang yang minim kaitannya dengan PKI dan bahkan tidak ada hubungan sama
sekali dengan PKI. Pada saat itu, militer menggap masyarakat Blitar Selatan
sebagai musuh karena telah membantu anggota pelarian PKI dari pusat yang
sebenarnya masyarakat pun juga tidak mengetahui bahwa mereka merupakan
pelarian PKI dari pusat. Sehingga banyak masyarakat Blitar Selatan yang menjadi
korban dan menjadi tahanan politik pada saat itu. Dalam upaya memberantas
kebangkitan komunis di Indonesia pemerintah Orde Baru menetapkan sejumlah
peraturan diskriminatif dan melakukan pengawasan terhadap tahan politik PKI, hal
tersebut tentunya berdampak terhadap kehidupan baik sosial maupun ekonomi Eks
Tahanan Politik di Blitar Selatan.

vi
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagiamana pengawasan
pemerintah daerah terhadap Eks Tapol di Blitar Selatan dibebaskan dari tahanan
1968-1998; (2) bagaimana dinamika kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar
Selatan pasca berakhirnya operasi Trisula dalam kurun waktu tahun 1968 hingga
tahun 2000. Tujuan penelitian ini adalah Mendeskripsikan pengawasan pemerintah
daerah terhadap Eks Tapol di Blitar Selatan setelah dibebaskan dari tahanan 1968-
1998 dan Mengkaji dinamika (Perubahan, perkembangan serta kesinambungan)
kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar Selatan pasca berakhirnya operasi
Trisula dalam kurun waktu tahun 1968 hingga tahun 2000. Penelitian ini
menggunakan metode sejarah dengan 4 tahapan, yakni heuristik, verifikasi,
interpretasi dan historiografi. Dalam penelitian ini menggunakan sampel 9 Eks
Tapol di Blitar Selatan dan menggunakan 2 Narasumber yang mengetahui
kronologi peristiwa 68 di Blitar Selatan yaitu Carik desa Ngrejo (salah satu daerah
di Blitar Selatan) dan Ketua LSM The Post Institute yang pernah melakukan
rekonsiliasi terhadap Eks Tapol di Blitar Selatan.
Hasil penelitian ini adalah pengawasan dan pembinaan yang di terapkan
oleh pemerintah daerah terhadap mantan tahanan politik di Blitar Selatan
diantaranya yaitu : (1) Kebijakan wajib lapor, (2) Pencabutan Hak sipil dan Hak
politik, (3) Pemberian kode Khusus (ET) terhadap KTP para Eks Tapol.
Dinamika kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar Selatan pasca
berakhirnya operasi Trisula adalah dari segi Ekonomi para Eks Tapol di Blitar
Selatan banyak yang bekerja sebagai seorang petani. Hal tersebut dikarenakan
pendidikan yang rendah dan adanya peraturan bahwa Eks Tapol beserta
keturunanya dilarang memiliki pekerjaan tertentu serta dilarang menjadi PNS
membuat para Eks Tapol di Blitar Selatan tidak punya pilihan lain, selain menjadi
seorang petani. Penghasilan sebagai seorang petani yang tidak menentu, membuat
beberapa Eks Tapol di Blitar Selatan menambah penghasilan mereka dengan
memelihara binatang ternak seperti sapi, kambing, dan ayam. sedangkan dari segi
Sosial adanya stigma bahwa Eks Tapol PKI merupakan musuh negara membuat
sebagian masyarakat di Blitar Selatan memilih menjauhui Eks Tapol dan enggan
memiliki hubungan dengan Eks Tapol.

vi
SUMMARY

Dynamics of Ex-Tapol Socio-Economic Life in South Blitar 1968-2000; Binti


Masruroh, 170210302051; 2022: 105 pages; Department of Social Sciences
Education, University of Jember.

Ex Tapol is a former political prisoner. In this case the political prisoners in


question are people who have been, arrested and detained for many years without
going through the execution process, at the time of the PKI's infiltration operation.
This is because they are considered to have links to leftist organizations (PKI). Ex
Tapol referred to in this study is Ex Tapol who was caught in the Trisula event in
South Blitar. After the events of 65 the military continued to conduct operations
against areas that were considered as nests and escape places for PKI members who
managed to escape. South Blitar was one of the hiding areas where PKI members
from the center managed to escape. Knowing this, the Military held Trisula
Operation in South Blitar to defeat PKI members who managed to escape to South
Blitar.
Trisula Operation which aims to eradicate the PKI is not only fighting pki
escape members from the center, but also fighting people who have little
connection to the PKI and even no connection at all with the PKI. At that time, the
military took the people of South Blitar as enemies because they had helped pki
escape members from the center who actually did not know that they were PKI
escapers from the center. So many people of South Blitar were victims and became
political prisoners at that time. In an effort to eradicate the rise of communists in
Indonesia, the New Order government established a number of discriminatory
regulations and conducted surveillance on pki political resistance, it certainly had
an impact on the social and economic life of former political prisoners in South
Blitar.
The formulation of the problem in this study is (1) for how local
government supervision of Ex Tapol in South Blitar was released from detention
from 1968-1998; (2) how the dynamics of Ex-Tapol Socio-Economic life in South

ix
Blitar after the end of Trisula operations in the period 1968 to 2000. The purpose of
this study is to describe the local government's supervision of Ex Tapol in South
Blitar after being released from detention 1968-1998 and Examine the dynamics
(Changes, development and continuity) of Ex-Tapol Socio-Economic life in South
Blitar after the end of trisula operations in the period 1968 to 2000. This research
uses historical methods with 4 stages, namely heuristics, verification, interpretation
and historiography. In this study using a sample of 9 Ex Tapol in South Blitar and
using 2 resource persons who knew the chronology of 68 events in South Blitar,
namely Carik Ngrejo village (one of the areas in South Blitar) and the Chairman of
the NGO The Post Institute who had reconciled to Eks Tapol in South Blitar.
The results of this study are supervision and coaching applied by the local
government to former political prisoners in South Blitar, including: (1) Mandatory
reporting policy, (2) Civil rights and political rights, (3) Provision of Special Codes
(ET) for ex-Tapol ID cards.
The dynamics of Ex-Tapol Socio-Economic life in South Blitar after the end
of trident operations is in terms of economy of the Ex Tapol in South Blitar many
who work as farmers. This is due to low education and the regulation that Ex Tapol
and his descendants are prohibited from having certain jobs and are prohibited from
being civil servants, making ex-tapols in South Blitar have no other choice but to
become a farmer. Income as an uncertain farmer, making some Ex Tapol in South
Blitar increase their income by raising livestock such as cows, goats, and chickens.
while in terms of Social there is a stigma that ex-Tapol PKI is an enemy of the state
makes some people in South Blitar choose to stay away from Ex Tapol and
reluctant to have a relationship with Ex Tapol.

x
PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT. atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Dinamika Kehidupan
Eks Tapol di Blitar Selatan 1968-2000”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah
satu syarat menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Program Studi
Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Iwan Taruna, M.Eng, selaku rektor Universitas Jember;
2. Prof. Dr. Bambang Soepeno, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Jember;
3. Dr. Sumardi, M.Hum, selaku ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial;
4. Drs. Marjono, M.Hum, selaku ketua Program Studi Pendidikan Sejarah
Universitas Jember;
5. Drs. Kayan Swastika, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah
meluangkan waktu, pikiran, dan memberikan bimbingan serta arahan dan
perhatian selama proses penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran;
6. Dr. Moh Na‟im, M.Pd, selaku Dosen Penguji Utama yang telah meluangkan
waktu, pikiran, dan memberikan bimbingan serta arahan dan perhatian selama
proses penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran;
7. Dr. Nurul Umamah, M.Pd, selaku Dosen Penguji Anggota selaku Dosen
Penguji Utama sekaligus Dosen Pembimbing Akademik (DPA) yang
membimbing dari awal hingga akhir dan telah berkenan meluangkan waktu,
pikiran dan bimbingan serta arahan selama proses penulisan ini;
8. Dosen-dosen Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan ilmu
dan membimbing dari awal semester hingga saat ini;
9. Kedua orang tua dan Keluarga besar yang selalu memberikan dukungan dan
motivasi lahir batin untuk kelancaran studi;

xi
10. Teman-teman Program Studi Pendidikan Sejarah angkatan 2017 yang telah
berjuang bersama dari awal semester hingga saat ini untuk mendapatkan gelar
sarjana pendidikan;
11. Paman dan Bibi Saya yang selama ini telah memotivasi tanpa berhenti;
12. Serta semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat.

Jember, 10 April 2022

Penulis

xi
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL..............................................................................................ii

HALAMAN PERSEMBAHAN...........................................................................iii

HALAMAN MOTO..............................................................................................iv

HALAMAN PERNYATAAN................................................................................v

HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................vi

RINGKASAN.......................................................................................................vii

PRAKATA.............................................................................................................xi

DAFTAR ISI.......................................................................................................xiii

DAFTAR GAMBAR............................................................................................xv

DAFTAR TABEL...............................................................................................xvi

DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................xvii

BAB 1. PENDAHULUAN.....................................................................................1

1.1 Latar Belakang Pemilihan Masalah............................................................1

1.2 Penegasan Pengertian Judul.......................................................................5

1.3 Rumusan Masalah......................................................................................7

1.4 Ruang Lingkup Penelitian..........................................................................7

1.5 Tujuan Penelitian.......................................................................................9

1.6 Manfaat Penelitian...................................................................................10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................11

2.1 Sejarah Penelitian dan Penulisan.............................................................11

2.2 Kerangka Pemikiran..................................................................................15

BAB 3. METODE PENELITIAN.......................................................................17

3.1 Prosedur dan Teknik Penelitian...............................................................17

xi
3.1.1 Heuristik................................................................................................17

3.1.2. Kritik.....................................................................................................19

3.1.3 Interprestasi............................................................................................22

3.1.4 Historiografi (Penulisan).......................................................................23

3.2 Kerangka Penelitian.................................................................................26

BAB 4. PENGAWASAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP EKS


TAPOL DI BLITAR SELATAN SETELAH DIBEBASKAN DARI
TAHANAN 1968-1998.........................................................................................27

4.1. Kebijakan Wajib Lapor............................................................................27

4.2 Pencabutan hak Sipil dan Hak Politik.......................................................30

4.3 Pemberian kode Khusus (ET) terhadap KTP para Eks Tapol...................35

BAB 5. DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL-EKONOMI EKS TAPOL


DI BLITAR SELATAN PASCA BERAKHIRNYA OPERASI TRISULA
TAHUN 1968-2000 ........................................................................................ 37

5.1. Jumlah Eks Tapol di Blitar Selatan..........................................................37

5.2. Pendidikan Eks Tapol..............................................................................39

5.3 Pekerjaan (Profesi) Eks Tapol..................................................................41

5.4 Pendapatan (Penghasilan) Eks Tapol........................................................44

5.5 Status sosial kehidupan Eks Tapol dalam masyarakat..............................46

BAB 6. PENUTUP................................................................................................48

6.1 Simpulan...................................................................................................48

6.2 Saran.........................................................................................................49

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................51

LAMPIRAN..........................................................................................................55

xi
DAFTAR GAMBAR

Halama

n Bagan 3.1 Alur Penelitian...................................................................................25

x
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 5.1 Jumlah Eks Tapol di Blitar Selatan..........................................................38


Tabel 5 2. Data Pendidikan Eks Tapol di Blitar Selatan..........................................41
Tabel 5.3 Data Pekerjaan Eks Tapol di Blitar Selatan.............................................43
Tabel 5.4 Data hasil Produksi panen tanaman pokok masyarakat Blitar Selatan
pasca Operasi Trisula tahun 1968.............................................................................45

x
DAFTAR

Halama

n lampiran 1. Tabel Matriks Penelitian..................................................................55


Lampiran 2. Pedoman Pengumpulan Sumber........................................................57
Lampiran 3. Pedoman Dokumenter.......................................................................58
Lampiran 4. Pedoman Wawancara........................................................................60
Lampiran 5. Instrumen Wawancara.......................................................................62
Lampiran 6. Daftar Informan.................................................................................64
Lampiran 7. Transkrip Wawancara........................................................................66
Lampiran 8. Foto Kegiatan Penelitian...................................................................88
Lampiran 9. Surat Pembebasan Eks Tapol............................................................93
Lampiran 10. Keputusan Presiden No.28/1975 tentang Perlakuan terhadap
Mereka yang terlibat G.30.S/PKI Golongan C......................................................95
Lampiran 11. Instrusksi Dalam Negeri No.32/1981 tentang Pembinaan dan
Pengawasan terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G 30 S/PKI...........98
Lampiran 12. Berita Koran atau Majalah terkait Eks Tapol................................100
Lampiran 13. KTP Eks Tapol..............................................................................103
Lampiran 14. Surat Perizinan Penelitian..............................................................104

xv
BAB 1.

1.1 Latar Belakang Pemilihan Masalah

Kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1965/1966 adalah sejarah


terpuruk bagi bangsa Indonesia. Dari berbagai macam cerita yang tersebar dari
para korban, pelaku, serta saksi masih terlukis jelas dalam ingatan mereka
bagaimana gambaran dari peristiwa tersebut. Permasalahan politik dan kekuasaan
menyebabkan jatuhnya berbagai korban, salah satunya berasal dari kalangan
masyarakat sipil yang dibunuh secara sengaja diluar proses hukum, ditangkap dan
ditahan secara sewenang-wenang tanpa melalui proses pengadilan yang jelas,
disiksa, diperkosa sampai kehilangan harta bendanya. Ribuan orang diasingkan
dan dipisahkan secara paksa dari keluarga dan kerabatnya dan harus hidup diam
karena ketakutan dan trauma, serta harus menerima hukuman sosial dari
masyarakat karena sebuah kesalahan yang tidak pernah mereka lakukan. Hal ini
juga dikuatkan dengan adanya Kebijakan Negara dan peraturan-peraturan
diskriminatif yang menstigmatisasi korban. Hampir 50 tahun sudah berlalu,
namun peristiwa ini masih menjadi mistery dan belum terkuak kebenaranya.
Sedangkan korban usianya semakin tua, namun masih berusaha memperjuangkan
hak untuk keadilan dan rehabilitasinya (Kontras, 2012:1).
Blitar merupakan salah satu wilayah yang dianggap sebagai basis kaum
komunis. Hal tersebut dibuktikan oleh cukup mendominasi perpolitikan PKI di
Blitar sebelum adanya G 30 S. Pada pemilu 1955, di Kabupaten Blitar, PKI
mampu memperoleh 25 suara dari 45 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DPR-GR). Sementara itu, di Kotamadya Blitar, PKI berhasil
memperoleh 10 suara dari 15 kursi (Gde Putra dkk, 2012:119). Menurut beberapa
sumber menyebutkan sekitar 85% penduduk memlih PKI. Bagi kebanyakan
orang, PKI memiliki daya tarik tersendiri karena partai-partai yang lain tidak
memilki hubungan dengan ormas-ormas seperti Lekra, BTI, Gerwani, dan
Pemuda rakyat yang bersedia dan rela bekerja sampai ke desa-desa yang
daerahnya masih pelosok (terpencil) (Rossa, 2008:169).

1
2

Tragedi 65 atau dikenal dengan Peristiwa Gestok yang terjadi pada Satu
Oktober 1965 saat dini hari, dimana terjadi penculikan terhadap Menteri Panglima
Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani beserta lima jenderal staf umumnya oleh
suatu gerombolan yang menyebut dirinya sebagai Gerakan 30 September
(disingkat G 30 S) di Jakarta. Dimana gerakan tersebut mengatakan bahwa aksi
mereka bertujuan untuk melindungi Presiden Soekarno dan menghalangi kup
kontra-revolusioner yang akan direncanakan oleh golongan yang dikenal dengan
sebutan Dewan Jenderal (Gede, 2012:115).
Gerakan 30 September tersebut runtuh secepat dengan kemunculannya.
Dengan tidak adanya Jenderal Ahmad Yani, membuat Mayor Jenderal Suharto
mengambil alih komando Angkatan Darat pada 1 Oktober pagi hari, dan saat
petang hari ia mengadakan serangan balik. Beberapa pasukan yang dianggap
pemberontak akhirnya berhasil ditangkap sedangkan sisanya berhasil pergi dan
melarikan diri dari Jakarta pada 2 Oktober pagi hari (Roosa, 2008:4). Setelah
Angkatan Darat mengadakan serangan balik dan berhasil memukul mundur
pasukan G 30 S, Angkatan Darat dengan segera melakukan penupasan terhadap
Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan tanpa adanya bukti yang jelas angakatan
darat menuduh PKI sebagai dalang dari G 30 S (Gede, 2012:115). Hal tersebut
berdampak terhadap anggota PKI di seluruh daerah tak terkecuali Blitar.
Tidak lama kemudian setelah peristiwa tersebut, dimulailah masa
perburuan dan pembantaian terhadap orang-orang yang diduga memiliki
keterkaitan dengan PKI ataupun simpatisan PKI. di Kota Blitar (Blitar wilayah
utara) pada saat itu sudah ramai terjadi pembunuhan dan penculikan terhadap
orang orang yang dianggap PKI (Kontras, 2012:22). Operasi besar-besaran untuk
menupas PKI di Blitar kemudian digelar oleh militer ketika mengetahui Para
anggota PKI yang selamat dari reprsi di Jawa bersembunyi di Blitar selatan pada
tahun 1996-1967, hal tersebut dikarenakan Blitar selatan merupakan daerah yang
masih terpencil dan sulit dijangkau oleh Militer. Menurut buku versi rezim
pemerintahan Orde Baru, pada Oktober 1967 anggota PKI yang berhasil lolos dari
kejaran militer, mulai membangun basis dan membentuk Compro (komite Proyek
Basis) di Blitar Selatan (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994:162).
3

Pada akhir tahun 1967, gerakan di Blitar selatan mulai diketahui oleh
militer, hal tersebut dikarenakan aksi-aksi yang dilakukan oleh datasemen kompro
tidak jauh dari daerah tersebut. Khodam Brawijaya menggerakkan ribuan pasukan
dengan peralatan tempur untuk menggelar sebuah Operasi, operasi yang digelar
Militer tersebut dinamai operasi Trisula, dimana operasi tersebut secara efektif
dimulai pada bulan Mei hingga Juli, Militer berhasil menangkap 257 orang, dan
menembak mati beberapa tokoh yang dianggap inti serta menyita sejumlah senjata
api yang digunakan dalam perlawanan yang terjadi di Blitar Selatan (Semdam
VIII Brawidjaja, 1969:2). Operasi Trisula yang bertujuan untuk menupas PKI di
Blitar ini bukan Hanya memerangi golongan yang benar-benar merupakan
anggota PKI. melainkan juga banyak orang yang dibunuh, ditangkap, ditahan, dan
banyak di antara mereka yang memiliki kaitan sangat minim atau bahkan tidak
memiliki hubungan dan keterkaitan sama sekali dengan PKI, namun tetap ditahan
dan mendapatkan perlakuan diskriminatif yang tidak manusiawi selama menjadi
tahanan politik (Kontras, 2012:8).
Perlakuan diskriminatif yang dialami oleh para tapol bukan saja terjadi
pada saat penahanan, melainkan juga terjadi ketika mereka telah dibebaskan dari
tahanan dan dikembalikan kepada masyarakat, dimana mereka harus mengikuti
beberapa peraturan yang ditetapkan pemerinah sebagai syarat dari pembebasan
mereka. Sesuai Instruksi Mentri No 32 tahun 1981 pemerintah pusat maupun
daerah tetap melakukan pengawasan secara ketat terhadap para Tapol yang telah
dibebaskan. Selain itu, dalam Intruksi Mentri No 32 tahun 1981 juga terdapat
beberapa jenis pekerjaan yang dilarang bagi para bekas tahanan dan bekas
Narapidana G 30 S PKI, hal tersebut dilakukan pemerintah dengan tujuan untuk
mencegah bangkit dan berkembangnya ajaran komunisme.
Upaya pemberantasan bangkitnya ajaran komunisme di segala aspek
kehidupan, secara terus-menerus tetap dilakukan oleh pemerintah Orde Baru
dimana Suharto merupakan peran utama dari adanya rencana ini. Upaya
pemberantasan komunisme secara terstruktur dan represif telah dilakukan selama
32 tahun lamanya, diantaranya, dengan menetapkan kebijakan dan peraturan
perundang-undangan diskriminatif yang diperuntukkan bagi para eks-tapol PKI.
4

Selain itu, ada 30 butir undang-undang yang ditujukan bagi seluruh mantan
anggota PKI dan ormas yang bearada dibawah naungannya. Bukan hanya itu, Hal
yang menyakitkan juga harus dirasakan oleh orang-orang yang tidak ada
sangkutpautnya dengan PKI. Dimana terdapat peraturan „surat bebas G 30 S‟ bagi
orang-orang yang hendak bersekolah dan melamar suatu pekerjaan, yaitu harus
melampirkan surat pernyataan „bersih diri‟ dan „lingkungan‟ ditujukan bagi orang
yang memiliki keluarga atau sanak-saudara yang diduga ataupun dituduh dekat
dengan eks tapol PKI, bahkan ada kebijakan bahwa anak keturunan eks Tapol PKI
dilarang menjadi anggota TNI, POLRI, PNS serta bekerja di instansi
pemerintahan (Munsi, 2016:30).
Adanya instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 1981 yang
melarang Eks tapol dan keturununanya untuk menjadi PNS, TNI, POLRI serta
dilarang untuk memiliki jenis pekerjaan tertentu, secara tidak langsung membatasi
ruang gerak kehidupan para Eks Tapol untuk memperoleh pekerjaan serta
menghambat para Eks Tapol untuk meningkatkan status sosial mereka dalam
masyarakat. Selain itu, peraturan diskrimatif yang diterapkan oleh pemerintah
orde baru serta stigma bekas tahanan politik G 30 S /PKI membuat keberadaan
Eks Tapol sulit diterima oleh masyarakat sehingga kehidupan Eks Tapol semakin
terpojokkan (Wawancara dengan Sutrisno, 26 agustus 2021).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kontras (Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak kekerasan) di daerah Blitar ada sekitar 1.977 Ex
Tahanan G 30 S/PKI yang telah dibebaskan. Jumlah tersebut terbagi menjadi tiga
Golongan. Golongan A (Orang-orang yang terlibat secara langsung dengan
peristiwa G 30 S) berjumlah 1 orang, Golongan B (anggota PKI berserta
simpatisannya yang ditahan dan disaingkan ke Pulau buru) berjumlah 176 orang,
Golongan C (orang-orang yang terlanjur tertangkap tanpa alasan yang jelas, bisa
dari keluarga dan kerabat Orang PKI) berjumlah 1.800 orang, jumlah tersebut
tersebar di seluruh kecamatan yang ada di Blitar. Menurut pihak Kontras data
tersebut dikeluarkan pada tahun 1995 yang diperoleh dari korami-koramil
setempat yang ada di Blitar. Sedangkan data yang diperoleh dari LSM (lembaga
Swadaya Masyarakat) The Post Institute di Blitar Selatan terdapat 83 Eks Tapol
5

yang masih hidup. Namun, lambat laun jumlah data tersebut semakin berkurang,
hal ini dikarenakan, berdasarkan penelusuran peneliti, banyak Eks Tahanan
Politik 65 di Blitar yang sudah meninggal karena faktor usia, dan sebagian dari
mereka ada yang pidah dari Blitar untuk tinggal menetap di daerah lain.
Ketertarikan Peneliti dalam mengkaji persoalan ini adalah untuk
mengetahui kondisi sosial-ekonomi Eks Tapol yang ada di Blitar khususnya Blitar
Selatan dalam kurun waktu 1968 sampai 2000, terkait bagamaimana Eks Tapol
menjalani kehidupanya ditengah Stigma dan peraturan diskriminatif yang
diterapakan pemerintah Orde Baru. Dengan adanya penelitian ini diharapkan
pemerintah lagi mendiskriminasikan Eks Tapol karena mereka juga adalah bagian
dari warga negara Indonesia yang memiliki hak hidup yang sama sebagaimana
warga negara Indonesia yang lainnya.
Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji tentang
“Dinamika Kehidupan sosial-ekonomi Eks Tapol di Blitar Selatan tahun
1968-2000”.

1.2 Penegasan Pengertian Judul


Penegasan pengertian judul bertujuan untuk menghindari adanya
kesalahan penafsiran dalam mengartikan judul penelitian. Oleh karena itu perlu
penjabaran mengenai istilah-istilah konsep judul yang dipilih oleh peneliti untuk
membantu memahami maksud dari judul penelitian ini. Judul yang dipilih oleh
peneliti adalah Dinamika Kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar 1968-
2000.
Dinamika adalah perubahan yang terjadi secara cepat ataupun lambat dan
dapat diartikan perubahan yang terjadi dalam skala besar ataupun kecil, Dinamika
dapat didefinisikan sebagai perubahan yang terjadi secara cepat ataupun lambat
dalam skala besar maupun kecil yang mempengaruhi suatu kondisi ataupun
keadaan. Dinamika terbagi menjadi tiga komponen yaitu perubahan,
perkembangan serta kesinambungan. Perubahan yang dimaksud disini meliputi
perubahan kondisi Sosial-Ekonomi Eks tapol pasca operasi Trisula berakhir pada
masa orde baru sampai era reformasi dalam kurun waktu 1968 sampai 2000,
6

Perkembangan yang dimaksud meliputi perkembangan kehidupan Sosial-


Ekonomi Eks Tapol di Blitar pada tahun 1968-2000, Kesinambungan mencakup
kesinambungan kebijakan atau peraturan yang di tetapkan pemerintah terhadap
Eks tapol di Indonesia serta dampaknya terhadap kehidupan sosial ekonomi Eks
Tapol di Blitar.
Menurut Slamet Santoso (2004:5), Dinamika adalah perilaku penduduk
satu secara langsung dapat berpengaruh terhadap penduduk yang lain yang terjadi
secara timbal balik. Dinamika yaitu terjadinya suatu hubungan yang terjalin antara
anggota golongan yang satu dengan anggota golongan yang lain yang terjadi
secara keseluruhan. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa Dinamika
adalah kedinamisan atau keselarasan yang jelas dan terjadi dalam suatu hubungan
secara psikologis. yakni peraturan, aturan, ataupun hukum. Jadi dapat disimpulkan
perubahan ekonomi yang dimaksud adalah mencakup perubahan keaadaan atau
kondisi ekonomi, profesi (pekerjaan) dan perkembangan suatu golongan atau
kelompok agar memperoleh profit lebih banyak melalui usaha yang telah
dilakukan.
Berhubungan dengan pengertian diatas, maka dapat digaris bawahi bahwa
pengertian “sosial-ekonomi” adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan suatu golongan atau kelompok, atau kebutuhan suatu
masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Hal-hal yang berkaitan dengan
Pemenuhan kebutuhan kehidupan tersebut meliputi kebutuhan sosial (kehidupan
yang layak) dan kebutuhan ekonomi (profesi atau pekerjaan). Melly G. Tan
mengklasifikasikan kedudukan sosial ekonomi seseorang dapat dilihat melalui
pendidikan, profesi atau pekerjaan, penghasilan, dan kehidupan sosialnya.
Berdasarkan pembagian tersebut masyarakat dapat dikelompokkan dalam
kedudukan atau kalangan sosial ekonomi yang rendah, sedang, dan tinggi
(Koentjaraningrat, 1981:35).
Eks Tapol adalah mantan tahanan politik. Dalam hal ini tahanan politik
yang di maksud adalah orang-orang yang pernah, di tangkap dan ditahan selama
bertahun-tahun tanpa melalui proses eksekusi, Pada saat operasi penupasan PKI
karena mereka dianggap memiliki hubungan dengan organisasi yang berbau kiri
7

(PKI). Eks Tapol yang di maksud dalam penelitian ini adalah Eks Tapol yang
pernah tersangkut pada peristiwa Trisula di Blitar Selatan.
Jadi maksud dari penegasan judul Dinamika Kehidupan sosial-ekonomi
Eks Tapol di Blitar 1968-2000 adalah Perubahan, perkembangan kehidupan
sosial-ekonomi mantan tahanan politik (Eks Tapol) yang ditangkap karena
dianggap memiliki hubungan dengan PKI di Blitar pada tahun 1968-2000.
Dimana perubahan dan perkembangan tersebut terjadi karena adanya penetapan
kebijakan pemerintah Orde Baru yang ditujukan kepada Eks Tapol (mantan
tahanan politik).

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagiamana pengawasan pemerintah daerah terhadap Eks Tapol di Blitar


Selatan dibebaskan dari tahanan 1968-1998 ?
2. Bagaimana dinamika (Perubahan, perkembangan serta kesinambungan)
kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar Selatan pasca berakhirnya
operasi Trisula dalam kurun waktu tahun 1968 hingga tahun 2000 ?

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup Penelitian ini, dibagi menjadi tiga yaitu Ruang Lingkup
Tempat (Scope Spasial), Ruang Lingkup Waktu, (Scope Temporal) dan Ruang
Lingkup materi (Isi). Scope Spasial dalam penelitian ini yaitu Blitar Selatan. Hal
tersebut dikerenakan Blitar merupakan salah satu wilayah yang dianggap sebagai
salah satu basis komunis. Hal itu dibuktikan Pada pemilu 1955, di Kabupaten
Blitar, PKI mampu memperoleh 25 suara dari 45 kursi Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR-GR). Sedangkan di Kotamadya Blitar, PKI berhasil
memperoleh 10 suara dari 15 kursi. Selain itu, daerah Blitar Selatan pernah
dijadikan sebagai tempat persembunyian anggota atau pimpinan PKI yang selamat
dari kejaran militer. Hal tersebut yang melatarbelakangi adanya Operasi
penupasan PKI di Blitar yang mengakibatkan penahanan dan penangkapan
Puluhan orang yang tak bersalah selama bertahun-tahun karena dinilai memiliki
hubungan dengan organisasi yang bersifat kiri (PKI). Adapun Blitar Selatan yang
8

di maksud peneliti meliputi wilayah : Kecamatan Bakung, dan Kecmatan


Wonotirto, hal itu dikarenan wilayah tersebut merupakan titik awal atau tempat
terjadinya operasi Trisula guna untuk menupas PKI di Blitar.
Adapun Scope Temporal dalam penelitian ini ada dua, yaitu batas awal
penelitian dan batas akhir penelitian. Batas awal penelitian ini adalah tahun 1968,
hal tersebut dikarenakan tahun 1968 merupakan tahun digelarnya operasi Trisula
yang dilaksanakan oleh Militer di Blitar Selatan. Operasi Tersebut mengakibatkan
banyaknya korban mati terbunuh dan banyaknya masyarakat Blitar Selatan yang
tertangkap dan di tahan selama bertahun-tahun karena di anggap memiliki
hubungan dengan PKI. Pada saat operasi di gelar militer bukan hanya memerangi
golongan yang benar-benar merupakan anggota PKI. melainkan juga banyak
orang-orang yang dibunuh, ditangkap, ditahan, dan banyak di antara mereka yang
memiliki kaitan sangat minim atau bahkan tidak memiliki hubungan dan
keterkaitan sama sekali dengan PKI, namun tetap ditahan dan ikut-ikutan terseret
sehingga mereka menjadi tahanan politik dan mengalami diskriminasi pada masa
Orde Baru (Kontras, 2012:8).
Batas akhir penelitian ini adalah tahun 2000, karena pada tahun ini,
merupakan masa presiden ke-4 yaitu Abdur Rahman Wahid yang memerintah,
diamana ia mengusulkan kebijakan agar Tap MPRS no 25 tahun 1966 berisi
tentang larangan berbau komunis dicabut, usulan tersebut belum sepenuhnya
disetujui oleh seluruh pihak pemerintah, namun semenjak adanya usulan
mengenai pencabutan kebijakan tersebut kehidupan sosial-ekonomi Eks Tapol
menjadi lebih baik, dan peraturan-peraturan diskriminatif yang ditujukan kepada
Eks Tapol dan Kode ET pada KTP Eks Tapol dihilangkan (Rossa, 2008:21).
Selain itu, tepat pada tanggal 15 Maret 2000 Presiden ke-4 tersebut juga meminta
maaf kepada korban tahanan politik 65 atas keterlibatan organisasi islam (NU)
dalam tragedi pembantaian 65-66, hal tersebut disiarkan langsung oleh Televisi
Republik Indonesia dan dimuat dalam harian Kompas Maret 2000.
Ruang Lingkup isi (materi) dalam penelitian ini meliputi : Pengawasan
pemerintah daerah terhadap Eks Tapol di Blitar setelah dibebaskan dari tahanan,
sesuai dengan Istruksi dalam Negeri No 32 tahun 1981 pemerintah melakukan
9

pengawasan dan memberikan perlakuan khusus serta menetapkan beberapa


peraturan terhadap Eks Tapol yang telah dibebaskan dari penahanan atau masa
pengasingan. Aspek pengawasan pemerintah yang menjadi fokus kajian dalam
penelitian ini adalah : (a) Kebijakan wajib Lapor, (b) Pencabutan Hak Sipil dan
hak Politik (c) Pemberian kode Khusus (ET) terhadap KTP para Eks Tapol. Selain
itu ruang lingkup materi pada penelitian ini juga berisi tentang Bagaimana
dinamika (Perubahan, perkembangan serta kesinambungan) kehidupan Sosial-
Ekonomi Eks Tapol Pasca berakhirnya operasi Trisula dalam kurun waktu 1968
sampai 2000. “sosial-ekonomi” adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan suatu golongan atau kelompok, atau kebutuhan suatu
masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Hal-hal yang berkaitan dengan
Pemenuhan kebutuhan kehidupan tersebut meliputi kebutuhan sosial (kehidupan
yang layak) dan kebutuhan ekonomi (profesi atau pekerjaan). Melly G. Tan
mengklasifikasikan kedudukan sosial ekonomi seseorang dapat dilihat melalui
pendidikan, profesi atau pekerjaan, penghasilan atau pendapatan, dan status sosial
kehidupan seseorang atau kelompok dalam masyarakat (Koentjaraningrat,
1981:35). Berdasarkan pernyataan tersebut maka aspek dinamika sosial-ekonomi
yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah : (a) pendidikan, (b) profesi atau
pekerjaan, (c) penghasilan atau pendapatan, (d) status sosial kehidupan Eks Tapol
dalam masyarakat.

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dijelaskan, maka tujuan


penelitian dalam penelitian ini antara lain :
1. Mendeskripsikan pengawasan pemerintah daerah terhadap Eks Tapol di Blitar
Selatan setelah dibebaskan dari tahanan 1968-1998.
2. Mengkaji dinamika (Perubahan, perkembangan serta kesinambungan)
kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar Selatan pasca berakhirnya
operasi Trisula dalam kurun waktu tahun 1968 hingga tahun 2000.
1

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dihadapkan dalam penelitian yang disusun oleh


peneliti ini antara lain:
1. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat digunakan sebagai acuan
kelompok masyarakat sipil, Organisasi non pemerintah dan lembaga
akademisi lain yang membutuhkan informasi seputar Eks Tapol yang ada di
Blitar.
2. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat digunakan menjadi bahan
pertimbangan dan perbandingan dalam memahami persoalan 65 dan menjadi
evaluasi bagi pemerintah untuk tidak mendiskriminasikan Eks Tapol dan
menyamakan Hak Asasi Manusia, Hak Sipil dan Hak Politik terhadap Eks
Tapol di Indonesia pada umumnya dan Eks Tapol di Blitar pada khususnya.
3. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan oleh
lembaga swadaya masyarakat, lembaga pemerintahan atau organisasi
masyarakat sipil lainnya dalam upaya rekonsiliasi semua pihak yang terlibat
dalam konflik 1965 di Blitar.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Penelitian dan Penulisan

Suatu penelitian ilmiah, pada umumnya selalu menggunakan tinjauan


pustaka yang bertujuan untuk meletakkan posisi di mana perspektif sebuah
penelitian dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan
menggunakan suatu objek yang sama. Tinjauan pustaka berisi pemaparan hasil
penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan pembahasan dengan pembahasan
penelitian yang akan diteliti oleh peneliti yaitu “Dinamika Kehidupan Sosial-
Ekonomi Eks Tapol di Blitar 1968-2000”. Selain itu, dalam bab tinjauan pustaka
ini peneliti juga akan memaparkan perbedaan kajian pembahasan dalam
penelitiannya dengan penelitian terdahulu. Beberapa karya yang bisa dijadikan
sumber pendukung dapat dijabarkan sebagai berikut :
Buku karya Saskia E. Wieringa yang berjudul “Propaganda dan Genosida
di Indonesia sejarah rekayasa hantu 1965”. Buku ini menggambarkan tentang
peran propaganda dalam menghasut dan membenarkan pembunuhan massal
1965–66 serta memberi stigma kepada para korbannya secara terus-menerus.
Hingga kini di Indonesia, versi resmi dari peristiwa 1965 adalah PKI sebagai
dalang penculikan dan pembunuhan para jenderal serta bertujuan membentuk
pemerintahan komunis. Propaganda dilakukan Soeharto dan sekutunya dengan
menuduh PKI sebagai dalang dari adanya Gerakan 30 September. Didukung oleh
tentara dan cerita-cerita mengerikan tentang dugaan penyiksaan dan mutilasi
jenderal di Lubang Buaya, hal tersebut menimbulkan demonstrasi anti-PKI dan
kekerasan yang menyebakan PKI dan organisasi afiliasinya binasa. PKI
digambarkan tidak hanya sebagai kumpulan orang yang tidak manusiawi dan
mendorong kejahatan seksual, tetapi juga ateis dan “selalu menjadi” musuh
negara serta ideologi Pancasila (Wieringa, 2020:15-65).
Stigma anti-PKI tersebut juga berdampak terhadap anggota Organisasi
yang berada di bawah naungan PKI, Bagi mantan tahanan politik dan
keluarganya, Pancasila sebagai asas tunggal negra di era Orde Baru merupakan

11
1

tempat yang kejam, kebanyakan dari mereka setelah keluar dari penjara
mengalami benban mental dan sakit fisik. Beberapa diantaranya para intelektual
seperti guru, wartawan, seniman, kehilangan kemampuan berfikir kritis dan
kreatif, mereka dan keluarganya menjadi miskin. Ribuan orang yang disingkirkan
dari militer dan birokrasi juga jatuh dalam kemiskinan karena kehilangan hak
pensiun (Wieringa, 2020:109). Buku ini membantu peneliti untuk memahami
bagaimana propaganda yang dilakukan pemerintah orde baru dan dampaknya
terhadap kehidupan tapol, namun tidak mengkhususkan daerah tertentu,
sedangkan ruang lingkup yang diambil oleh peneliti berbeda yaitu Blitar Selatan.
Buku karya Restaria F. Hutabarat yang berjudul “Stigma 65 : Strategi
mengajukan Gugatan Class Action”. Buku ini menggambarkan tentang tuduhan
atau stigma terhadap warga negara Indonesia dari kebijakan-kebijakan pemerintah
melalui presiden ketika terjadi peristiwa 65 yang diinstrusikan langsung oleh
Sueharto selaku presiden. Instruksi tersebut telah merusak tatanan kehidupan
secara ekonomi, sosial, dan budaya warga negara Indonesia yang menjadi
pengurus atau anggota simpatisan PKI, dan terhadap orang-orang yang dekat
dengan presiden Soekarno, bahkan juga berdampak terhadap keturunan maupun
keluarga dari mereka yang menjadi pengurus anggota simpatisan PKI yang mana
mereka merupakan orang-orang yang tidak terlibat sama sekali. Akibat belum
adanya penelusuan dan perubahan kebijakan pemerintah terhadap tragedi
kemanusiaan pada tahun 1965. Sampai sekarang ini, warga negara yang menjadi
korban stigma PKI, diberhentikan dengan tidak hormat oleh atasannya, diputus
hubungan kerjanya tanpa pensiun dan pesangon. Peristiwa ini terjadi di
departemen-departemen yang menjalankan kebijakan pemerintah. Sebagian besar
korban juga kehilangan harta pribadi berupa tanah dan bangunan beserta isinya,
dimusnahkan karya seni dan budayanya, terhambat untuk melanjutkan
pendidikan, dan dijauhkan dari pergaulan masyarakat (Hutabarat, 2011:9-10).
Korban baik secara perseorangan maupun tergabung dalam kelompok
masyarakat telah berulang kali memohon untuk direhabilitasi dengan cara
memohon langsung atau mengirimkan surat kepada seluruh instansi pemerintah
dan lembaga-lembaga tinggi negara yang terkait, termasuk kepada presiden,
1

namun tidak ada itikad baik dari presiden untuk merespon semua permohonan
tersebut, setelah memohon rehabilitasi atas hak-haknya melalui upaya non hukum,
para korban akhirnya memilih menggunakan jalur hukum melalui tim kuasa
hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Hal ini dilakukan agar presiden
merehabilitasi warga negara yang menjadi korban stigma PKI dan
mengembalikan hak-hak korban yang telah dirampas (Hutabarat, 2011:11), buku
ini memberikan gambaran kepada peneliti terkait stigma yang dialami oleh korban
tragedi 65 selama bertahun-tahun dan bagaimana perjuangan korban untuk
mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia pada umumnya yang
telah di rampas oleh pemerintah orde baru. Pendekatan dalam buku ini adalah atas
dasar hukum, sedangkan pendekatan yang digunakan peneliti adalah pendekatan
sosial ekonomi.
Buku karya Coki Naipospos yang berjudul “50 Th Merdeka dan Problem
Tapol Napol”. Buku ini menggambarkan tentang perlakuan diskriminatif yang
dilakukan pemerintah terhadap Tapol (orang-orang yang terlibat PKI), perlakuan
diskriminatif tersebut meliputi penambahan kode ET pada kartu tanda penduduk,
larangan untuk bekerja pada sektor tertentu, wajib lapor, dan perampasan hak
sebagai warga negara Indonesia pada umumnya yang meliputi hak atas pekerjaan,
pendidikan, kesehatan, dan hak pilih pada saat pemilu. Harian Republika tanggal
1995 memberitakan hasil penelitian pantimda Jawa Timur yang mencatat
sejumlah 446.232 orang terlibat PKI. Dari jumlah tersebut yang diperbolehkan
ikut dalam pemilihan umum sebanyak 437.854 orang sedangkan sisanya tidak
diperbolehkan dan tidak memiliki hak pilih disebabkan oleh tiga hal, pertama
perilaku yang bersangkutan. Kedua pindah alamat tanpa ada laporan, ketiga
berpergian dalam waktu cukup lama tanpa melapor ke aparat di tempat asal
maupun aparat di tempat baru (Naipospos, 1995:5). Buku ini memberikan
gambaran kepada peneliti terkait perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap Tapol namun tidak memfokuskan pada daerah tertentu,
sedangkan ruang lingkup fokus kajian peneliti adalah pemerintah daerah Blitar.
Jurnal yang di tulis oleh Aziz Setyagama (2015:10) yang berjudul
“Kebijakan Perlakuan Diskriminatif terhadap hak-hak Konstitusional mantan
1

Tapol PKI dan Keluarganya pada masa Orde Baru” jurnal ini memberikan
gambaran kepada Peneliti bahwa Pasca peristiwa 65 pemerintah orde Baru
menetapkan beberapa kebijakan yang bersifat diskriminatif yang ditujukan kepada
Mantan tahanan politik PKI beserta keluarganya. kebijakan tersebut diwujudkan
dalam bentuk peraturan yang mengikat dan membatasi ruang gerak para mantan
tapol dan keluarganya. Setelah pemerintah orde baru berakhir, mantan Tapol dan
keluarganya secara perlahan sudah dapat merasakan kebebasan karena beberapa
peraturan yang bersifat mengikat telah dihapus namun masih meninggalkan
trauma dan kesedihan yang mendalam, karena hak dan kebebasan mereka
dirampas selama bertahun-tahun oleh rezim Orde Baru.
Jurnal yang di tulis oleh Fathikul Amin (2014:183) yang berjudul
“Dampak Peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia terhadap
Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa Timur 1965-1998” jurnal ini memberikan
gambaran kepada peneliti bahwa peristiwa G 30 S PKI memiliki dampak yang
besar terhadap kehidupan sosial masyarakat di Jawa Timur diantaranya yaitu
terpecahnya masyarakat yang memicu adanya konflik terbuka antara golongan
yang mendukung PKI dan Golongan non PKI, selain itu Peristiwa G 30 S PKI
mengakibatkan perlakuan diskriminatif terhadap anggota simpatisan PKI dan
keluarganya di Jawa Timur. Di sisi lain peristiwa G 30 S juga berdampak terhadap
psikologi masyarakat Jawa timur khususnya terhadap Psikologi para Eks Tapol.
Kebanyakan mereka memilih diam dan membisu serta enggan untuk bercerita
ataupun mengingat peristiwa 65, karena bagi mereka peristiwa tersebut
merupakan peristiwa yang terpuruk yang terjadi dalam kehidupanya.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa Stigma
Anti Komunis yang di kampanyekan pemerintah orde baru dan kebijakan
pemerintah yang mengekang para mantan Tapol PKI beserta keluarganya bukan
hanya membuat mantan Tapol beserta keluarganya kehilangan kebebasan dan
haknya sebagai warga Indonesia pada umumnya akan tetapi juga berdampak
terhadap kehidupan sosial-ekonomi Eks Tapol. Penelitian mengenai kehidupan
Eks Tapol bukanlah hal yang baru lagi dalam historiografi, namun belum banyak
peneliti yang membahas mengenai kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol dalam
1

lingkup Lokal seperti di Blitar, dengan batasan tahun 1968-2000. Sehingga posisi
penelitian ini bersifat baru.

2.2 Kerangka Pemikiran

Proses rekonstruksi sejarah membutuhkan metode, pendekatan dan teori


yang digunakan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai masalah yang berkaitan
dengan peristiwa sekaligus untuk menghubungkan fakta yang satu dengan fakta
yang lainya. Sehingga terbentuk suatu penjelasan yang utuh. Penulisan sejarah
membutuhkan kerangka teori sebagai dasar pemikir yang digunakan dalam
melakukan suatu analisis (Kartodirjo, 1993:2).
Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosial-ekonomi, Smelser dan
Swerdberg mendefinisikan Sosiologi Ekonomi sebagai cabang disiplin ilmu
sosiologi yang memfokuskan bagaimana individu atau kelompok masyarakat
memenuhi kebutuhan hidup mereka untuk mencapai kesejahteraan. Sosiologi
ekonomi memfokuskan kajian pada bidang ekonomi, yang berhubungan dengan
produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi barang serta jasa sebagai sumber
daya yang terbatas. Namun menggunakan perspektif sosiologi yang meliputi
interaksi individu maupun kelompok, struktur sosial (lembaga), kontrol sosial
yang berupa sanksi, norma dan nilai (Smelser dan Swerdberg, 2005:3).
Sosisologi Ekonomi selalu memandang proses Ekonomi sebagai bagian
Organik dari masyarakat. Hal tersebut menjadikan Sosiologi eknomi terfokus
pada tiga alur penelusuran : (1) analisis sosiologi pada proses ekonomi yaitu
hubungan antara pelaku (eks Tapol) dalam proses-proses ekonomi (2) analisis
hubungan dan interaksi antara ekonomi dan masyarakat lainnya; dan (3) studi
tentang perubahan parameter institusional dan budaya yang membentuk konteks
sosial ekonomi (Smelser dan Swerdberg, 2005:6). Melalui penelusuran tersebut
dapat membantu peneliti dalam menganalisis bagaimana upaya individu atau
kelompok Eks Tapol memenuhi kebutuhan hidup mereka untuk mencapai
kesejahteraan hidup, ditengah adanya stigma anti komunis yang dikampanyekan
oleh pemerintah orde baru serta peraturan dkriminatif yang melarang eks tapol
untuk bekerja di sektor-sektor tertentu.
1

Sedangkan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori


Hegemoni Gramsci. Teori ini menjelaskan bahwa hegemoni suatu kelas dan
anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas dibawahnya dengan cara
persuasi dan kekerasan. Hegemoni menurut Gramsci merupakan penguasaan kelas
yang menghegemoni untuk menciptakan ketertundukan melalui sebuah organisasi
konsensus. Gramsci memberi tiga batasan konseptualisasi yakni ekonomi,
masyarakat politik (political society), dan masyarakat sipil (civil society). Dalam
Masyarakat Politik, merupakan tempat munculnya birokrasi negara dan prkatek
kekerasan negara. Birokrasi dalam masyarakat politik ini diidentifikasikan sebagai
pelayanan sipil, kesejahteraan dan insitusi pendidikan (Patria & Arief, 2015:25).
Dalam Praktiknya Gramsci membedakan tiga jenis Hegemoni diantaranya
yaitu :
1. Hegemoni Minimum adalah hegemoni yang belum berhasil ditanamkan dan
ditanggapi dengan perlawanan dan pemberontakan.
2. Hegemoni Total adalah hegemoni yang secara efektif bekerja menyeluruh
aspek kehidupan masyarakat sehingga mematikan inisiatif pemberontakan.
3. Hegemoni Merosot adalah hegemoni yang tidak cukup efektif dan tidak
berhasil melumpuhkan kepantuhan masyarakat (Hendarto, 1993:82-84).
Teori Hegemoni yang diperkenalkan oleh Gramsci sesuai dengan Topik
kajian yang di bahas oleh peneliti dinama dalam hal ini, demi melancarkan
kepentingan kekuasaan dan menciptakan ketertundukan pemeritah Orde baru
melakukan hegemoni total dengan cara kekerasan dan persuai melalui stigma anti
komunis yang ditujukan kepada Eks Tapol serta merampas hak sipil maupun hak
politik Eks tapol yang secara tidak lansung membuat kehidupan eks Tapol
terdiskriminasikan. Kekerasan dan Persuasi di lakukan oleh lembaga pemerintah
daerah dan aparatur desa setempat.
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Prosedur dan Teknik Penelitian

Dalam sebuah penelitian membutuhkan data yang relevan dan valid. Data
yang relevan dan valid dapat diperoleh dalam penelitian apabila menngunakan
metode penelitian yang benar dan sesuai. Metode sendiri berasal dari bahasa
Yunani yaitu Methodos memiliki arti jalan atau cara, jika dihubungkan dengan
penelitian ilmiah, metode dapat didefinisikan sebagai usaha kerja agar bisa
menguasai obyek yang dijadikan sasaran ilmu dan memiliki keterkaitan. Metode
juga bisa didefinisikan sebagai suatu jalan atau cara yang dilakukan penelliti
untuk mendapatkan suatu ilmu atau pengetahuan (how to know) (Kartodirdjo,
1992:9). Pengetahuan yang diperoleh akan dipergunakan untuk memecahkan
problem penelitian. Metode berkaitan dengan suatu jalan, teknik atau prosedur
yang terstuktur dan sistematis dalam memperoleh suatu obyek ataupun material
yang diteliti (Sjamsuddin, 1996:2).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah. Penulisan dengan
metode sejarah harus melalui proses menguji dan menganalisa secara kritis
terhadap rekam jejak dan peninggalan-peninggalan masa lampau, rekonstruksi
terhadap peristiwa dari masa lampau manusia haruslah otentik dan dapat
dipercaya (Gottschalk, 1989:32). Adapun langkah-langkah penelitian
menggunakan metode sejarah diantaranya yaitu, (1) heuristik (pengumpulan
sumber), kritik, interpretasi, dan historiografi (penulisan).

3.1.1 Heuristik
Langkah yang pertama yaitu Heuristik atau Pengumpulan sumber. Dalam
sebuah penelitian terdapat sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
yang diperoleh dalam penelitian ini didapat dari wawancara, Arsip Suara,
Peraturan-peraturan yang diterapkan pemerintah diantaranya yaitu Keputusan
Presiden No.28/1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat
G.30.S/PKI Golongan C, dan Intruksi Mentri Dalam Negri No 32. /1981 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G

17
1

30 S/PKI, selain itu peneliti juga menggunakan, laporan pengawasan pemerintah


daerah Kabupaten Blitar terhadap bekas Tapol G 30 S/PKI, diantaranya yaitu :
Laporan Bulan adanya bekas tahanan atau narapidana G.30 S/PKI golongan A, B,
C dan Walap, Laporan Tapol yang pergi tanpa izin dan yang meninggal Dunia,
Laporan mutasi bekas tahanan Narapidana Walap G 30 S/PKI Gol B, C, dan
Walap, Laporan Tri Bulanan evaluasi tingkah laku bekas tahanan atau narapidana
G 30 S/PKI yang dikembalikan yang dikembalikan ke Masyarakat Tribulanan II
Tahun 1995 (April s/d Juni), dan Arsip Pribadi Eks Tapol (KTP Eks Tapol, surat
Perjanjian eks Tapol untuk mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah, data
sosial-ekonomi masayarakat Blitar Selatan tahun 1968-2000 yang diperoleh dari
badan Statistik Kabupaten Blitar, Arsip, majalah dan koran yang sezaman
observasi dan dokumentasi.
Wawancara dilaksanakan oleh peneliti agar memperoleh kebenaran data
secara lisan dengan melakukan tatap muka. Metode wawancara dilaksanakan
agar mendapatkan data yang benar dan akurat dari narasumber atau informan
(Koentjaraningrat, 1997:108-239). Dalam hal ini, wawancara dilaksanakan
dengan orang-orang yang memahami bagaimana dinamika kehidupan sosial-
ekonomi Eks di Blitar pada tahun 1968-2000. Narasumber yang diwawancarai
oleh Peneliti adalah beberapa Mantan Tapol (tahanan politik) yang masih hidup
di Blitar diantaranya adalah, Markus Talam, Suparman, Sutrisno, (Mantan Tapol
Gol B yang diasigkan ke Pulau Buru), Sukiman, Yateman (Mantan Tapol Gol C
Penjara Blitar), Wiyono, Sukaji, Kasilah, Sullen (Tapol Gol C wajib Lapor).
Kemudian dalam upaya mengkaji hasil yang telah didapat, harus dilakukan
analogi atau perbandingan serta analisis yang mendalam dengan memakai sumber
dokumen atau buku yang telah didapat oleh peneliti. Dokumenter adalah metode
atau cara pengumpulan data dari sumber tertulis yang berbentuk seperti buku-
buku yang berkaitan dengan teori, arsip-arsip, dalil serta suatu pendapat yang
berkaitan dengan penelitian (Kartodirdjo, 1993:16). Sementara sumber sekunder
yang digunakan yaitu berupa buku-buku tentang Penupasan PKI, jurnal, dan
artikel-artikel yang relevan dan sesuai dengan penelitian. Beberapa sumber
sekunder yang digunakan untuk memperkuat penelitian ini, yaitu buku yang
1

berjudul Tahun yang tak berakhir karya John Roosa, dkk (2004:5) dalam buku
tersebut dijelaskan mengenai kesaksian para penyintas korban 1965 dari berbagai
daerah. Buku Putih yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia
pada masa rezim Orde Baru (1994:11) yang berjudul Gerakan 30 September,
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar belakang, Aksi, Penupasannya,
buku tersebut menjelaskan bahwa PKI adalah salah satunya dalang dari
terjadinya peristiwa G 30 S. Buku yang berjudul Menyusun Puzzle Pelanggaran
HAM 1965 yang dikeluarkan oleh Komisi orang Hilang dan korban kekerasan,
Buku tersebut berisi mengenai data-data korban orang hilang dan kekerasan yang
terjadi pada saat dan pasca peristiwa 65 dari berbagai daerah.
Berhubungan dengan model penelitian yang juga bersifat studi literatur,
maka metode pengumpulan data juga dilaksanakan dengan teknik dokumentasi.
Dokumentasi merupakan metode atau cara pengumpulan data yang didapat dari
sumber tertulis seperti buku-buku yang memiliki keterkaitan dengan teori, dalil,
arsip-arsip, dan pendapat yang berkaitan dengan penelitian. Sedangkan untuk
bentuk karya tertulisnya dapat diperoleh di perpustakaan-perpustakaan; seperti
Perpustakaan Pusat Universitas Jember, Perpustakaan Prodi Pendidikan Sejarah
Universitas Jember, Perpustakaan Daerah, dan di gerai toko buku lainnya.

3.1.2. Kritik
Tahap selanjutnya yang dilakukan setelah sumber terkumpul adalah kritik
terhadap sumber. Dalam penelitian ini langkah yang pertama peneliti melakukan
kegiatan kritik ekstern. Kritik ekstern dilakukan melalui kegiatan memferivikasi
kredibilitas sumber yang digunakan untuk menentukan apakah sumber tersebut
adalah sumber yang valid dan benar. Sementara kritik intern dilakukan setelah
melalui kritik ekstern digunakan untuk memastikan bahwa sumber yang
diperoleh adalah sumber yang diperlukan (Notosusanto, 1984:21). Tujuan akhir
melakukan kritik dari sebuah sumber adalah untuk memastikan keabsahan dan
kebenaran sumber yang telah diuji sehingga menghasilkan sebuah fakta sejarah.
Pertama, peneliti melakukan kritik intern dan ekstern terhadap sumber
primer yang diperoleh yaitu berupa Peraturan-peraturan yang diterapkan
2

pemerintah diantaranya yaitu Keputusan Presiden No.28/1975 tentang Perlakuan


terhadap Mereka yang Terlibat G 30 S/PKI Golongan C, dan Intruksi Mentri
Dalam Negri No 32. /1981 tentang Pembinaan dan Pengawasan Terhadap Bekas
Tahanan dan Bekas Narapidana G 30 S/PKI, Kritik ekstern pada Peraturan-
peraturan yang diterapkan pemerintah tersebut adalah dengan melihat tahun
disahkan atau dikeluarkannya peraturan tersebut sesuai atau tidaknya dengan
scope temporal yang dikaji peneliti, sedangkan kritik Intern terhadap Peraturan-
peraturan pemerintah tersebut adalah kesesuaian isi peraturan tersebut dengan
tema penelitian yang akan di kaji peneliti.
Kemudian, peneliti juga menggunakan sumber pimer berupa Arsip laporan
pengawasan pemerintah daerah Kabupaten Blitar terhadap bekas Tapol G 30
S/PKI, diantaranya yaitu : Laporan Bulan adanya bekas tahanan atau narapidana
G.30 S/PKI golongan A, B, C dan Walap, Laporan Tapol yang pergi tanpa izin
dan yang meninggal Dunia, Laporan mutasi bekas tahanan Narapidana atau
Walap G 30 S/PKI Gol B, C, dan Walap, Laporan Tri Bulanan evaluasi tingkah
laku bekas tahanan atau narapidana G 30 S/PKI yang dikembalikan yang
dikembalikan ke Masyarakat Tribulanan II Tahun 1995 (April s/d Juni), dan
Arsip Pribadi Eks Tapol (KTP Eks Tapol, surat Perjanjian eks Tapol untuk
mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah. Kritik ekstern pada Laporan dan
arsip tersebut adalah dengan melihat keakuratan data yang terdapat dalam
laporan, dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya karena laporan tersebut
temasuk dokumen pemerintah daerah yang berisi data-data mengenai eks tapol
yang ada di Blitar. sedangkangkan kritik intern pada Laporan dan arsip tersebut
adalah kesesuaian data yang ada dalam laporan dengan tema penelitian yang akan
dikaji.
Selain itu, peneliti juga menggunakan sumber primer berupa data sosial-
ekonomi masayarakat Blitar Selatan tahun 1968-2000 yang diperoleh dari badan
Statistik Kabupaten Blitar, Kritik ekstern pada sumber data tersebut adalah
dengan melihat sesuai atau tidaknya tahun dikeluarkan atau diterbitkannya sensus
data sosial-ekonomi tersebut dengan scope temporal yang dikaji peneliti.
Sedangkan kritik intern terhadap sumber data tersebut adalah kesesuaian isi data
2

atau informasi sosial-ekonomi masyarakat dengan scope pembahasan yang dikaji


peneliti.
Peneliti juga melakukan kritik Intern dan Ekstern terhadap sumber
pendukung (sekunder) yang telah diperoleh berupa buku yang sesuai dengan
tema penelitian. Buku yang pertama berjudul Tahun yang tak berakhir yang
ditulis oleh Sejarawan yang bernama John Rossa dkk, John Rossa bukanlah
pelaku sejarah, namun, dalam buku nya yang berjudul Tahun yang tak berakhir
tersebut berisi tentang kesaksian para penyintas korban persitiwa 65 mengenai
seputar rangkaian peristiwa yang dialami oleh korban (eks Tapol) dalam upaya
pihak militer menghabisi kekuatan PKI. Dalam buku tersebut juga dicantumkan
identitas para korban peristiwa 65 yang menjadi narasumber dalam penelitian,
selain itu, John Rossa juga mencantumkan daftar tulisan korban 65 sebagi sumber
pendukungnya. Keakuratan mengenai sumber buku ini sudah relevan bagi
peneliti karena sudah mencakup bukti-bukti dokumentasi yang sudah dapat
dipercaya kebenaranya.
Buku Kedua berjudul Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai
Komunis Indonesia, Latar belakang, Aksi, Penupasannya, yang dikeluarkan oleh
Sekretariat Negara Republik Indonesia pada masa rezim Orde Baru terbitan tahun
1994. Buku ini berisi penjelasan mengenai PKI adalah salah satunya dalang di
balik peristiwa G 30 S, Penyebutan G 30 S/PKI yang terdapat dalam buku
tersebut sebagai bagian sebuah propaganda untuk membenarkan bahwa PKI
adalah satu-satunya dalang dibalik peristiwa penculikan dan pembunuhan
terhadap para jenderal Angkatan Darat, penyebutan tersebut digunakan selama
bertahun-tahun dalam pelajaran sejarah di sekolah sebagai satu-satunya cerita
sejarah yang benar, sehingga kecil kemungkinan munculnya cerita versi lain yang
memiliki perspektif berbeda atas peristiwa tersebut. Konklusi tersebut diambil
tanpa dilakukan sebuah penyelidikan terlebih dahulu. Buku ini hanya ditulis
berdasarkan narasi Orde Baru. Peneliti menggunakan buku ini sebagai sumber
penunjang mengenai peristiwa 65 yang dikaji dari sisi pemeritahan Orde Baru.
Buku yang ketiga berjudul Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965
yang dikeluarkan oleh Komisi orang Hilang dan korban kekerasan, Keakuratan
2

mengenai sumber buku ini sudah relevan bagi peneliti karena Buku tersebut
berisi mengenai data-data korban orang hilang dan kekerasan yang terjadi pada
saat dan pasca peristiwa 65 dari berbagai daerah yang di ambil dari sumber arsip,
dokumen, dan laporan-laporan yang dapat dipercaya kebenarannnya. Buku ini
digunakan peneliti sebagai sumber penunjang mengenai kekerasan yang dialami
oleh korban (Eks Tapol) saat dan pasca peristiwa 65.
Peneliti juga melakukan kritik terhadap sumber lisan yang diperoleh dari
wawancara. Dilakukan kritik ekstern dan intern terhadap sumber sejarah yang
didapat. Pada penelitian ini, peneliti melalukan kritik ekstern pada sumber lisan
dengan melihat usia serta kesehatan fisik dan mental narasumber yang
diwawancarai. Setelah melakukan kritik ekstern, selanjutnya peneliti masuk ke
tahap kritik intern terhadap sumber sejarah. Narasumber yang diwawancarai
merupakan Pelaku Sejarah yaitu Korban dalam operasi Trisula dan juga pihak
yang terlibat dalam operasi tersebut. Penulis menganalisis informasi-informasi
yang didapat dari narasumber, dan melakukan kritik intern pada sumber lisan
yang diperoleh. Untuk mengetahui kebenaran hasil wawancara, dilakukan
perbandingan anatra informasi yang didapat dari hasil wawancara dengan sumber
dokumen yang memiliki kedekatan dengan tema penelitian, agar data yang
diperoleh dapat berubah menjadi sebuah fakta yang dianggap valid dan benar.
Peneliti berupaya untuk selektif dalam memilih sumber yang akan digunakan,
kemudian data yang telah terpilih dituangkan ke dalam sebuah penulisan.

3.1.3 Interprestasi
Langkah ketiga yaitu interpretasi adalah penjelasan atau penafsiran atas
sumber-sumber yang telah terpilih atau terseleksi dan merangkaikan fakta-fakta
yang telah didapat, yang pada akhirnya dapat digunakan untuk historiografi.
Setelah mendapatkan fakta-fakta mengenai tema yang akan dikaji dari sumber
yang telah di kritik. Fakta-fakta yang didapat harus sudah melalui proses
perbandingan antara sumber tertulis dari buku atau dokumen lain dengan sumber
lisan yang didapat dari hasil wawancara lapangan yaitu di Blitar, dari hasil
perbandingan tersebut menghasilkan interpretasi dari peneliti terkait bagaimana
2

dinamika sosial-ekonomi Eks Tapol di Blitar pada tahun 1968-2000 yang


didasarkan dari penuman fakta-fakta dan dapat dibuktikan kebenaranya, kemudian
peneliti berupaya melaksanakan analisis secara mendalam yang berhubungan
dengan penggabungan sumber yang disusun secara berurutan (kronoligis)
berdasarkan pada aspek kajian (pembahasan) sebagai berikut : (1) Pengawasan
pemerintah daerah terhadap Eks Tapol di Blitar Selatan Setelah dibebaskan dari
tahanan 1968-1998. (2) Dinamika (perubahan, Perkembangan, Kesinambungan)
kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar Selatan pasca berakhirnya operasi
Trisula dalam kurun waktu tahun 1968 hingga tahun 2000.

3.1.4 Historiografi (Penulisan)


Historiografi adalah tahapan terakhir dalam penulisan sejarah. Tahap ini
adalah proses rekonstruksi yang mengandalkan kemampuan imajinatif penulis
terhadap fakta-fakta tentang masa lampau yang ditempuh melalui suatu proses
(Gottschalk, 1989:95). Fakta-fakta yang dihimpun melalui proses interpretasi
kemudian dirangkai agar dapat membentuk suatu cerita peristiwa sejarah.
Peristiwa sejarah yang disusun haruslah kronologis sehingga mampu menjadi
cerita sejarah yang menarik dan kredibel namun tetap tidak menghilangkan sifat
ilmiah dari sebuah penulisan sejarah. Kemahiran penulis dalam berbahasa dan
berimajinasi tidak boleh merusak fakta yang ada, melainkan fakta tersebut dapat
semakin kuat keberadaannya (Sugiyanto, 2009:43). Penulis harus mempunyai
kreativitas dalam menyusun kata-kata ataupun kalimat dan disesuaikan dengan
jalan cerita yang sebenarnya sesuai sumber yang diperoleh. Selain itu penulis juga
harus mempunyai sifat yang objektif (netral) tidak berpihak pada siapapun dalam
menulis sebuah peristiwa sehingga validitas cerita peristiwa tersebut dapat
dibuktikan keakuratannya. Kemudian cerita yang disajikan harus berbentuk cerita
sejarah berdasarkan aturan-aturan atau kaidah-kaidah tata tulis bahasa baku
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hasil tulisan ini nantinya berupa kisah
sejarah yang disajikan dalam bentuk karya tulis ilmiah.
Hal terpenting pada tahap Historiografi (Penulisan) adalah penulisan yang
kronologis dan sistematis. Sistematika penulisan mengenai judul Kehidupan
2

sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar tahun 1968-2000 dituliskan secara kronologis


sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan. Apaila fakta tersusun secara terstuktur
dan sistematis dalam suatu kata yang baku (sintesa) yang berurutan (kronologis),
maka fakta tersebut diharapkan dapat menjadi suatu penjelasan yang menyeluruh
dan komprehensif.
Gambaran visual keseluruhan proses penelitian ini tersaji pada Gambar 3.1
di bawah ini
2

Bagan 3.1 Bagan Alur Penelitian

1.Bagan 1. Alurpengawasan pemerintah daerah terhadap Eks Tapol di Blitar Selatan


Bagiamana
Penelitian
Setelah dibebaskan
DINAMIKA dari tahananSOSIAL-EKONOMI
KEHIDUPAN 1968-1998 ?. EKS TAPOL
2. Bagaiman Dinamika DI BLITAR
(perubahan,SELATAN 1968 - 2000
Perkembangan, Kesinambungan) kehidupan
Sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar Selatan pasca berakhirnya operasi Trisula
dalam Primer
Sumber kurunEkstern
Kritik waktu
: tahun 1968 hingga tahun 2000 ?. Kritik Intern
0 S/PKI, Arsip pribadi Eks Tapol &, Data statistik Sosek masyarakat Blitar Selatan & Transkip data Hasil wawancara langsu

Menafsirkan sumber/data yang dikaitkan dengan fakta-fakta yang diperoleh


di lapang

Pengumpulan sumber dan data baik primer ataupun sekunder yang berkaitan Kehidupan E

Sumber Sekunder
Fakta-fakta : diperoleh dari
sejarah yang
Hasil penafsiran yang berasal Rekonstruksi Buku, jurnal, artikel ilmiah, data, yang berkai
penelitian di Lapangan (Blitar Selatan)
dari mengaitkan sumber/data
disajikan dalam bentuk tulisan sejarah
dengan fakta di lapang akan Sejarah (historiografi) dalam bentuk narasi
diolah dan disajikan dalam
sejarah.
2

3.2 Kerangka Penelitian

Rancangan sistematika penulisan proposal berjudul “Kehidupan sosial-


Ekonomi Eks Tapol di Blitar Selatan tahun 1968-2000 disusun sebagai berikut :
1. Bab 1. Dalam bab ini berisi latar belakang masalah dan argumentasi penulisan
yang mencakup latar belakang, Penegasan Judul, Rumusan Masalah, Ruang
Lingkup Penelitian, Tujuan dan Manfaat Penelitian.
2. Bab 2. Dalam Bab ini berisi Tinjauan pustaka, yaitu review dari penelitian-
penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan atau hubungan dengan
penelitian yang akan disusun oleh peneliti dan menunjukkan posisi penulis
dalam penelitian tersebut, serta pemaparan terkait pendekatan dan teori yang
digunakan dalam penelitian ini.
3. Bab 3. Dalam Bab ini berisi Metodologi penelitian, dalam bab ini dijabarkan
mengenai langkah-langkah penulis dalam usahanya memperoleh sumber data
untuk penelitian serta cara peneliti menyusunya menjadi sebuah tulisan
sejarah.
4. BAB 4. Bab ini berisi tentang jawaban rumusan masalah 1 yaitu mengenai
pengawasan pemerintah daerah terhadap Eks Tapol di Blitar Selatan Selatan
dibebaskan dari tahanan 1968-1998
5. Bab 5. Bab ini berisi tentang jawaban rumusan masalah 2 yaitu Dinamika
(Perubahan, perkembangan serta kesinambungan) kehidupan Sosial-Ekonomi
Eks Tapol di Blitar Selatan pasca berakhirnya operasi Trisula dalam kurun
waktu tahun 1968 hingga tahun 2000.
6. Bab 6. Penutup. Berisi simpulan dan saran. Simpulan merupakan pernyataan
singkat berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang merupakan
jawaban atas permasalahan penelitian. Saran diajukan atau ditujukan kepada
pihak-pihak tertentu secara tegas dan jelas sesuai dengan manfaat hasil
penelitian ini.
BAB 4. PENGAWASAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP EKS
TAPOL DI BLITAR SELATAN SETELAH DIBEBASKAN DARI
TAHANAN 1968-1998

4.1. Kebijakan Wajib Lapor


Tahanan politik yang telah dibebaskan dari tahanan maupun yang di
pulangkan dari masa pengasingan di Pulau Buru nyatanya tidak benar-benar
merasakan kebebasan. Sejumlah peraturan ditetapkan untuk membatsi ruang
gerak para Eks Tapol yang telah dibebaskan. Hal tersebut dilakukan oleh
pemerintah sebagai upaya mencegah bangkitya paham Komunis di Indonesia.
Dalam hal ini, pemerintah memberikan perlakuan khusus terhadap orang-orang
yang dianggap pernah terlibat dengan PKI atau organisasi yang bebau komunis.
Sesuai dengan adanya Keputusan Presiden No.28/1975 tentang Perlakuan
terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S/PKI Golongan C, Pemerintah pusat
maupun daerah tetap melakukan Pengawasan dan pembinaan terhadap mantan
Tahanan Politik yang telah dibebaskan dan juga tetap melakukan pengawsan
terhadap daerah-daerah yang dianggap memiliki potensi untuk membangkitkan
lagi ajaran komunis seperti daerah Blitar Selatan (Inmendagri No. 32 tahun 1981).
Tujuan dari adanya pembinaan dan pengawasan terhadap para Eks Tapol
yang telah dibebaskan adalah untuk menstrasnformasikan sikap mental para tapol
dari orientasi ideologi komunis/PKI ke orientasi Pancasila serta Undang-Undang
Dasar 1945. Hal tersebut dilakukan agar para tapol yang telah dibebaskan
memiliki kesadaran sebagai warga negara yang taat dan berpegang teguh pada
ideologi Pancasila serta tidak berusaha untuk membangkitkan lagi ajaran komunis
di masyarakat. Upaya pembinaan tersebut berfokus pada bidang rohani, mental
atau psikologi dan bidang sosial-ekonomi (Depdagri, 1983:3).
Pembinaan di bidang mental ideologi dilakukan dengan memberikan
penataran P4 sehigga ideologi Panasilanya semakin melekat. Dalam masalah
pembinaan terhadap para Eks Tapol G 30 S PKI, instansi pertama yang paling

27
2

bertanggung jawab adalah pemerintah daerah melalui direktorat sosial politik di


kantor Gubernur atau bupati masing-masing. Instansi tersebut bekerja sama
dengan pihak kepolisian dan Laksusda setempat bersama dengan aparatur lainnya.
sedangkan dibidang pengawasan Pangkopkamtip meminta agar pihak pemda
benar-benar mengetahui secara tepat keberadaan para Eks Tapol yang telah
dibebaskan. Kemanapun para Eks Tapol pergi harus diketahui oleh aparat pemda
setempat sekalipun ketika mereka pindah tempat antar propinsi atau antar pulau
(Jawa pos, 12 Agustus 1982).
Salah satu bentuk pengawasan terhadap mantan Tahanan Politik yang
telah di bebaskan dari masa penahanan, adalah dikeluarkannya kebjakan wajib
lapor bagi para Eks Tapol. Wajib lapor dilakukan selama seminggu sekali,
kemudian bertahap menjadi dua minggu sekali, lalu berangsur sebulan sekali, dan
tiga bulan sekali, dengan melihat perkembangan perilaku setiap tahanan politik.
Pada saat wajib lapor, para Eks Tapol memperoleh pembekalan dan Santiaji
santikrama dari pemerintah daerah setempat (Lestariningsih, 2011:281).
Santiaji Santikrama merupakan program pemerintah Orde Baru yang
bertujuan untuk mengawasi gerak-gerik atau perilaku Eks Tapol di masyakat.
Program tersebut sangat membatasi ruang gerak para Eks Tapol, karena setiap Eks
Tapol wajib melaporkan semua kegiatan yang hendak mereka lakukan, misalnya
bila Eks Tapol hendak melakukan kegiatan keagamaan seperti Naik haji, maka
para Eks Tapol harus memperoleh izin dari pemerintah daerah atau aparatur desa
setempat dahulu sebelum melakukan kegiatan tersebut. Ketentutan itu wajib
dilakukan, dan baru akan dicabut, bila gerak-gerik Eks Tapol dirasa tidak
membahayakan dan sudah dapat menunjukkan perilaku yang baik dalam
pergaulan di masyarakat (Kontars, 2012:16).
Beberapa Narasumber di Blitar Selatan mengatakan pasca dibebaskan
mereka diharuskan absen (wajib Lapor) ke koramil setempat atas keberadaan
mereka setiap seminggu sekali, salah satunya, narasumber dari Pasiraman
bernama Sukiman yang merupakan tapol kategori Golongan C ditangkap karena
mengikuti kesenian Lekra, mengungkapkan hukuman berupa absen (wajib lapor)
ke koramil setempat dijalaninya selama kurang lebih sepuluh tahun lamanya,
2

Sukiman juga menyatakan para tapol didesanya wajib melakukan abesen tersebut
apabila mereka tidak melakukan absen wajib lapor sesuai yang telah di
instruksikan maka para tapol yang ada di desanya akan mendapakan hukuman
kekerasan fisik dari militer berupa penganiayaan dan pemukulan (Wawancara
dengan Sukiman, 20 Agustus 2021).
Selain Sukiman, nasib yang sama juga dialami oleh Yateman yang juga
merupakan Tapol Golongan C dari Wonotirto, Yateman harus menjalani absen
(wajib Lapor) ke Koramil bakung setiap seminggu sekali hal ini dikarenakan pada
saat itu wilayah wonotirto masih merupakan bagian dari wilayah Bakung.
Meskipun jarak antara Bakung dan Wonotirto sangatlah jauh harus melewati
beberapa sungai, karena pada saat itu belum dibangun jembatan, namun peraturan
wajib lapor tersebut harus tetap dijalani karena jika tidak menjalankan peraturan
tersebut maka akan diberi hukuman berupa kerja paksa membangun fasilitas
pemerintah di desa tersebut. Dan apabila ada alasan yang tidak memungkinkan
untuk pergi absen ke koramil seperti sakit maka Eks tapol harus mengurus surat
izin yang dikeluarkan oleh kepala desa setempat agar bisa mendapatkan izin dan
tidak mendapatkan hukuman (Wawancara dengan Yateman, 3 September 2021).
Selain para tapol diwajibkan untuk lapor atas keberadaanya dan lapor atas
kegiatan keagamaan maupun kegiatan kemasyarakatan yang mereka ikuti, para
tapol juga diwajibkan untuk melaporkan aktivitas keseharianya seperti harus lapor
setiap kali menerima tamu, dari mana asal tamu tersebut, apa yang dibicarakan,
apakah mereka menerima surat, apa isi suratnya atau apakah mereka menerima
telefon harus dilaporkan secara detail kepada petugas desa setempat, dan
diwajibkan untuk minta izin kepada aparatur desa terlebih dahulu, apabila mereka
hendak bepergian ke luar kota atau luar daerah (Wieringa, 2020:109).
Apabila para eks tapol hendak berstransmigrasi ke daerah lain karena
situasi dan kondisi yang mengharuskan mereka untuk pindah dari tempat asalnya,
maka pemerintah mengadakan trasnmigrasi khusus yang diperuntukkan bagi para
eks Tapol, dan mereka di tempatkan di lokasi khusus agar pembinanan dan
pengawasan terhadap para eks tapol yang dilakukan oleh aparatur pemerintah
daerah dan keamanan menjadi lebih mudah. Mengeai mobilitas antar daerah bagi
3

para Eks Tapol PKI ini, Pamgkopkamtib memberikan ketentuan bahwa para Eks
Tapol boleh saja berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya di Indonesia.
Namun ada ketentuan bahwa setibanya mereka di tempat yang baru harus
melaporkan diri kepada pihak pemerinah daerah dan aparat keamanan setempat,
sedangkan apabila Eks Tapol merupakan seorang pegawai (swasta) yang
dipindahkan oleh perusahaannya ke kota lain, maka perusahaan wajib untuk
melaporkan kepada pihak pemerintah daerah dan aparat keamanan setempat (Jawa
pos, 20 September 1982).
Pada tahun 1988, terdapat tanda-tanda bahwa PKI akan bangkit kembali
melalui tulisan, penerbitan buku, organisasi-organisasi tersembunyi, dan ada eks
tapol yang menjadi menjadi kepala desa serta pengusaha. Adanya berita tersebut
menjadikan Kopkamtib memerintahkan pemeriksaan ulang terhadap berkas-
berkas mantan tahanan politik karena (Siregar, 1995:33). Sehingga pengawasan
pemerintah kepada Eks Tapol menjadi lebih ketat. Namun pengawasan menjadi
meluas bukan hanya ditujukan kepada para Eks Tapol tetapi juga ditujukan
terhadap keluarga eks tapol dan warga yang notabene tidak memiliki keterkaitan
apapun. Terdapat peraturan bahwa bagi yang ingin pindah ke lokasi baru harus
memiliki surat tanda kelakuan baik dan surat tanda melaporkan diri. Kedua
dokumen tersebut wajib dimiliki oleh warga yang bersangkutan untuk
menyatakan keberadaan mereka pada peristiwa 30 September 1965 dan untuk
memastikan bahwa mereka atau anggota keluarganya tidak memiliki hubungan
dengan PKI atau organisasi yang terafiliasi (Wieringa, 2020:110). Kebijakan
wajib Lapor ini harus tetap dijalani oleh para eks tapol semasa pemerintah Orde
baru dan baru berakhir ketika waktu pemutihan (bebas wajib Lapor) di masa
pemerintahan Gus Dur (Kontras, 2012:40).

4.2 Pencabutan hak Sipil dan Hak Politik


Hak Sipil dan Hak Politik adalah sebuah satu kesatuan yang tidak bisa di
pisahkan. Pemenuhan hak sipil merupakan suatu syarat diakuinya hak politik
dalam konteks pemilihan umum. Hak sipil dan politik menurut Undang-Undang
Dasar 1945 terdiri dari: (1) hak untuk hidup; (2) hak atas pengakuan, jaminan, dan
3

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum; (3) hak
atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan; (4) hak atas status
kewarganegaraan dan hak untuk berpindah; (5) hak atas kebebasan beragama
sedangkan Robert A. Dahl (1989:11) memberikan indikator untuk mengukur
eksistensi hak politik, yaitu (1) hak untuk memberikan suara; (2) hak untuk
memperebutkan jabatan publik; (3) hak berkompetisi dalam memperebutkan
suara; (4) pemilihan yang bebas dan adil; dan (5) pembuatan kebijakan
pemerintah berdasarkan suara atau pilihan publik.
Peristiwa G 30 S/PKI atau tragedi 65 sampai saat ini masih menyisakan
masalah dan menjadi beban sejarah bangsa ini. Dampak dari peristiwa tersebut
berimplikasi pada konstruksi politik bagi mereka yang terlibat maupun tidak
terlibat sebagai pengurus, anggota, atau simpatisan PKI yang dianggap sebagai
musuh negara. Konstruksi politik tersebut juga berakibat pada terampasnya hak
ekonomi, sosial dan budaya dari mereka sebagai manusia yang merdeka dan juga
sebagai warga negara yang semestinya secara hukum dilindungi, dijamin dan
dipenuhi hak-haknya oleh negara dan pemerintan (Hutabarat, 2011:9).
Demi melancarkan kepentingan kekuasaan pemerinah orde baru merampas
hak sipil dan hak politik para mantan tapol dengan dalih untuk mencegah
bangkitnya ajaran komunis. Bagi mantan tahanan politik dan keluarganya era
Orde Baru merupakan masa yang paling kejam, karena kebanyakan dari mereka
setelah keluar dari penjara mengalami beban mental dan sakit fisik. Beberapa
diantaranya para intelektual seperti guru, wartawan, seniman, kehilangan
kemampuannya untuk berfikir kritis dan kreatif. Mereka dan keluarganya menjadi
miskin. Ribuan orang yang yang disingkirkan dari militer dan birokrasi juga jatuh
dalam kemiskinan karena kehilangan hak pensiun. Para eks tapol tidak pernah
merasa bebas meskipun telah dibebaskan dari tahanan atau masa pengasingan.
Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebagai syarat dari
pembebasan mereka diantaranya yaitu mereka harus berjanji untuk melakukan
apapun yang diminta oleh Kopkamtib untuk mengamankan ketertiban akibat ulah
pemberontak dan pengkhianatan yang dilakukan oleh G 30 S/PKI, mereka juga
3

tidak diperkenankan untuk mengajukan tuntutan terhadap Republik Indonesia


(Wieringa, 2020:108).
Terdapat beberapa kebijakan yang mendiskriminasikan Eks tapol salah
satunya yaitu Keputusan Presiden No.28/1975 tentang Perlakuan terhadap
Mereka yang Terlibat G.30.S/PKI Golongan C yang menyebutkan bahwa tahanan
Politik yang masuk dalam kategori Golongan C yaitu seseorang yang terlibat
diduga terlibat secara tidak langsung dalam peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI
apabila berstatus sebagai Pegawai Negeri maka sejak saat itu seseorang tesebut
diberhentikan sebagai Pegawai Negeri secara tidak hormat, dilakukan penahanan
dan dikenakan tindakan administratif dengan memperhatikan berat ringanya
keterlibatan mereka. Kebijakan tersebut berdampak terhadap Eks Tapol Golongan
C yang bernama Wiyono, ia merupakan seseorang Guru yang mengikuti
organisasi PGRI Non vaksentral, akibat mengikuti organisasi tersebut ia di pecat
dan dikeluarkan dari sekolah secara tidak hormat tanpa di beri pesangon
(Wawancara dengan Wiyono, 24 Agustus 2021).
Di sisi lain terdapat lima kondisi yang ditetapkan untuk pembebasan para
tapol. Para tahanan harus siap secara mental harus menunjukkan bahwa mereka
telah menjalani nilai-nilai pancasila selama di penjara, dan keluarga mereka harus
siap menerima mereka ketika mereka pulang, begitu juga para tetangga. Kondisi
terakhir yang harus dipersiapkan. Mereka harus siap mengisi lowongan pekerjaan
yang ditawarkan kepada mereka. Namun, mereka tidak bisa langsung bekerja
karena setelah pembebasan, para Eks tapol di tahan di rumah setelah itu harus
tinggal di desa atau di kota mereka. Mereka juga tidak bisa mendapatkan
pekerjaaan di pemerintah atau di sektor yang dianggap penting secara nasional.
Guna mengendalikan gerakan mereka, dibentuk Sistem Keamanan Lingkungan
(Siskampling) sehingga tetangga juga dapat mengawasi kegiatan mereka.
Keluarga para Eks Tapol pun juga harus menandatangani dokumen yang
menyebutkan bahwa mereka siap menerima Eks Tapol yang telah di tahan atas
tuduhan terlibat gerakan 30 S/PKI. Keluarga juga harus berjanji untuk
memastikan mereka tidak terlibat aktivitas politik atau menerima tamu yang tidak
memiliki hubungan dengan keluarga, selain itu juga memastikan para mantan
3

tahanan politik tidak meninggalkan desa atau kota tanpa seizin petugas (Wieringa,
2020:108).
Selain kebebasan para eks tapol dirampas, Pemerintah orde baru juga
merampas hak eks tapol untuk berpolitk hal ini didasarkan oleh undang-undang
No 15/1969 yang menyebutkan bahwa warga negara Indonesia yang pernah
terlibat sebagai anggota PKI baik langsung maupun tidak langsung dilarang untuk
memilih ataupun dipilih. Pada tahun 1981 jumlah pemilih di seluruh Indonesia
adalah 82.134.195 jiwa, berdasarkan hasil penelitian dan penilaian, warga negara
Republik Indonesia yang terlibat G 30 S/PKI tercatat 1.580.020 orang namun
penggunaan hak memilihnya tidak dapat dipertimbangkan dalam pemilu 1982
(Surabaya Post, 3 Desember 1981).
Namun Kondisi di Blitar Selatan berbeda, salah satu tapol Golongan B
dari desa Bakung bernama Talam yang ditangkap karena menjadi anggota
Sarbuksi (Sarikat Buruh Perhutani indonesia) mengungkapkan setiap pemilu pada
masa orde baru Eks Tapol di Bakung tidak memiliki hak pilih, meskipun tidak
memiliki hak pilih, namun Talam beserta teman-teman senasibnya tetap dipaksa
untuk memilih partai penguasa yaitu partai Golkar. Sehingga setiap pemilu pada
masa Orde Baru Golkar selalu memperoleh suara tertinggi di Bakung. Selain itu
para Eks tapol yang ada didesanya juga tidak perbolehkan untuk ikut berpolitik
maupun ikut bergabung dalam partai politik apapun (Wawancara dengan Talam,
20 Agustus 2021).
Hal yang sama juga dialami oleh Tapol dari Golongan C dari kecamatan
Wonotirto yang bernama Sukiman. Sukiman merupakan Tapol yang ditangkap
karena mengikui kesenian Lekra yang berkembang di desanya pada saat itu,
Sukiman mengungkapkan sejak pemilu tahun 1977 para eks tapol yang ada di
desanya, di kumpulkan di koramil setempat untuk membuat pernyataan bahwa
mereka harus memilih partai penguasa yaitu partai Golkar. Hal ini selalu
dilakukan pada masa Orde baru, dan baru berakhir ketika pemerintah orde baru
lengser berganti ke era reformasi (Wawancara dengan Sukiman, 20 Agustus
2021).
3

Kebijakan pemerintah yang juga bersifat mendiskriminasikan Eks Tapol


yaitu Instruksi Pemerintag dalam Negeri No 32/1981 yang menyebutkan bahwa
Eks Tapol beserta keturunannya dilarang menjadi PNS, TNI, POLRI serta bekerja
dalam birokrasi pemerintahan, selain itu, juga terdapat larangan untuk memiliki
pekerjaan tertentu Seperti Guru, dosen, wartawan, dalang dan menjadi anggota
lembaga bantuan hukum. Kebijakan tersebut menjadikan kehidupan Eks Tapol
semakin terpojokkan dan membuat para eks Tapol semakin sulit untuk
mendapatkan pekerjaan.
Pemerintah Orde Baru juga membentuk lembaga Bakortsanas (Badan
Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional. Sesuai dengan Keputusan
Presiden No 16 tahun 1990 lembaga Bakorstnas tersebut dibentuk bertujuan untuk
melakukan penelitian khusus setiap ada penerimaan Pegawai Negeri baru, hal ini
dilakukan untuk memastikan bahwa pelamar yang bersangkutan tidak pernah
terlibat peristiwa Gerakan 30 Sepetember/PKI atau memiliki hubungan partai
maupun organisasi terlangarang tersebut. Penelitian khusus (Litsus) ini bukan
hanya ditujukan bagi seseorang yang terlibat peristiwa G 30 S/PKI saja namun
juga ditujukan bagi warga yang terlibat dalam gerakan atau organisasi lainnya,
seperti DI/TII, PRRI/Permesta, Masyumi, PSI dan sebainya. Namun pada
prakteknya lebih ditekankan kepada mereka yang terlibat dalam kasus peristiwa G
30 S/PKI baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk bagi seseorang
yang memiliki keluarga, sahabat, atau seseorang yang dekat dengan Eks Tapol
Bagi seseorang yang terkena Litsus maka akan kehilangan hak Perdatanya
misalnya seperti, yang bersangkutan akan dilarang untuk menempati posisi
jabatan umum yang vital di lembaga pemerintah maupun swasta (Setiawan,
2003:171). Litsus mulai diberlakukan sejak tanggal 17 April 1990, Litsus juga
dikenal sebagai metode yang efektif untuk menyeleksi para pejabat dan pegawai
publik dari para Eks Tapol dan keluarga Eks Tapol PKI, di bawah kekuasaan
presiden Soeharto anggota PKI beserta keluarganya dianggap sebagai musuh
negara (Kompas, 2 Sepetember 1991).
Diskriminasi yang dialami oleh Eks Tapol pada masa orde baru bukan
hanya kehilangan hak atas pekerjaan dan juga hak politik. Tetapi mereka juga
3

kehilangan hak atas milik pribadi. Talam yang merupakan Tapol Golongan B
mengungkapkan ketika telah dibebaskan dari pengasingan, ia kehilangan hak
milik tanah nya karena dirampas oleh militer. Tanah tersebut dirampas dan tidak
dikembalikan. Di tanahnya tersebut dibangun fasilitas umum pemerintah berupa
sekolah taman kanak (TK) karena di desanya pada saat itu belum ada TK.
Meskipun kehilangan hak milik atas atas tanahnya, Talam hanya bisa diam
menerima kondisi tersebut. dan tidak bisa mengajukan gugatan karena apabila ia
mengajukan gugatan maka dianggap sebagai pembangkang dan akan
mendapatkan hukuman (Wawancara dengan Talam, 20 Agustus 2021).
Dosa turunan juga harus ditanggung oleh keluaga Eks Tapol PKI sejak
diberlakukannya “Sampul D”. Sampul D merupakan lembaran yang berisi tentang
data-data bukan hanya mengenai bekas tahanan politik yang bersangkutan
melainkan juga berisi tentang anak, cucu, saudara serta seseorang yang memiliki
hubungan kekerabatan dengan Eks Tapol. Data tersebut tersimpan di Sampul D
dalam file A perorangan yang terdiri dari data yang telah dikumpulkan dari
berbagai komando militer setempat para pejabat pemerintah sipil dan polisi tanpa
sepengatahuan orang yang bersangkutan. Semua instansi pemerinah dan
perusahaan vital memiliki data Sampul D tersebut. Dengan adanya data tesebut
membuat lapangan kerja semakin sempit bagi Eks Tapol beserta keluaganya, para
Eks tapol dan keuarganya bukan hanya dilarang di bekerja di Instansi pemerintah
tetapi nama-nama yang tertera dalam data tersebut juga dilarang untuk menikah
dengan anggota aparatur negara seperti TNI dan POLRI (Mustika, 2007:141).

4.3 Pemberian kode Khusus (ET) terhadap KTP para Eks Tapol
Perlakuan dikriminatif pemerintah Orde Baru terhadap Eks Tapol juga
ditujukkan dengan membedakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) para mantan
Tahanan Politik PKI dengan KTP Masyarakat pada umumnya, dalam KTP
mantan tahanan politik (Tapol) tertulis Kode ET yang menunjukkan bahwa
pemegangnya adalah seseorang bekas anggota organisasi terlarang, selain pada
KTP Kode ET juga dicantumkan pada KK (Kartu Keluarga), hal ini dilakukan
3

agar pengawasan pemerintah yang berhubungan dengan administrasi Eks Tapol


lebih mudah (Inmendagri No. 32 tahun 1981).
Stigmatisasi terhadap para Eks Tapol dilanjutkan dengan di sahkannya
Keputusan Dalam Negeri No.24 tahun 1991 tentang jangka waktu Kartu Tanda
Penduduk (KTP) yang didalamnya menyatakan bahwa para Eks Tapol yang sudah
berusia lebih dari 60 tidak boleh mendapatkan KTP seumur hidup karena para Eks
Tapol harus melaporkan diri setiap tiga bulan sekali untuk memberbaruhi KTP
mereka. Namun bagi warga negara pada umumnya ketika telah berusia 60 tahun
mereka secara otomatis akan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang
berlaku untuk seumur hidup (Kontras, 2012:17).
Sukiman merupakan Eks Tapol Golongan C dari kecamatan Wonotirto
yang ditangkap karena menjadi anggota organisasi kesenian Lekara
mengungkapkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan syarat utama
administrasi dalam melamar pekerjaan. Dengan adanya kode ET di KTP membuat
para Eks Tapol kesulitan dalam mencari pekerjaan, karena kode tersebut
menujukkan bahwa pemegangnya merupakan mantan anggota PKI yang dianggap
sebagai pemberontak negara, kebanyakan perusahaan atau instansi tidak bisa
menerima pegawai yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang berstatus
ET. Sehingga pada saat itu Sukiman hanya bisa memilih pekerjaan seadanya yang
tidak menggunakan KTP sebagai syarat administrsi seperti buruh tani dan buruh
kasar (Wawancara dengan Sukiman, 20 Agustus 2021).
Hal yang sama juga di alami Sutrisno Tapol Golongan B yang ditangkap
karena ikut organisasi CGMI mengungkapkan kode ET yang yang terdapat pada
kartu penduduknya membuatnya kesusahan dalam mencari pekerjaan. Pasca
dibaskan ia hanya bisa bekerja sebagai kuli karena tidak ada pilihan lain selain
pekerjaan tersebut. Kebanyakan pabrik atau perusahaan pada saat itu tidak mau
menerima pelamar yang memiliki latar bekalang seoarang tahanan politik PKI.
Selain itu, karena terdapat Kode ET di Kartu Tanda Penduduknya (KTP), Sutrisno
juga sering kali mengalami kesulitan ketika hendak mengurus andministrasi di
Instansi pemerintah seperti bank pemerintah (Wawancara dengan Sutrisno, 26
Agustus 2021).
BAB 5. DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL-EKONOMI EKS TAPOL DI
BLITAR SELATAN PASCA BERAKHIRNYA OPERASI TRISULA
TAHUN 1968-2000

5.1. Jumlah Eks Tapol di Blitar Selatan


Menurut data dari LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) The Post Institute
yang berada di Blitar. Korban peristiwa 65 (Eks Tapol) yang berhasil di data oleh
lembaga tersebut berjumlah sekitar 83 orang. The Pos Institute sendiri merupakan
lembaga swadaya masyarakat di Blitar yang bergerak di bidang sosial dan
kemanusiaan. Lembaga tersebut mulai melakukan rekonsiliasi dan pendataan
terhadap korban peristiwa 65 di Blitar Selatan sejak tahun 2003. Tujuan dari
adanya rekonsiliasi dan pendataan yang digencarkan oleh lembaga The Post
Institute adalah agar para korban 65 khususnya di Blitar Selatan mendapatkan
keadilan berupa bantuan dan kompensasi dari pemerintah, karena dampak dari
peristiwa 65 memakan banyak korban yang dibunuh, ditangkap dan di tangkap
secara sewenang-wenang tanpa melalui proses hukum, bukan hanya itu,
masyarakat di Blitar Selatan banyak yang tidak tahu menahu tetapi ikut-ikutan
terseret dan menjadi sasaran militer pada saat operasi penupasan PKI tahun 1968,
selain itu mereka juga banyak yang kehilangan harta benda, dikerja paksakan
selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun dan mengalami penderitaan selama
bertahun-tahun karena perlakuan dan peraturan diskriminatif yang ditetapkan oleh
pemerintah Orde Baru terhadap orang-orang yang di anggap pernah tersangkut
peristiwa 65 (Wawancara dengan Mawan Wahyudin, 2 Agustus 2021).
Jumlah 83 orang yang berhasil di data oleh lembaga The Post Institute
tersebut terbagi dalam dua kecamatan yang ada di Blitar Selatan diantaranya yaitu
Kecamatan Bakung dan juga Kecamatan Wonotirto, di kecamatan Bakung
terdapat 46 Eks Tapol yang terbagi dalam dua desa yaitu desa Ngrejo dan desa
Lorejo. Di desa Ngrejo terdapat 27 orang (Eks Tapol), sedangkan di desa Lorejo
terdapat 19 orang (Eks Tapol). sedangkan di kecamatan Wonotirto terdapat 37
orang, yang terbagi dalam dua desa yaitu Desa Pasiraman dan Desa Tambakrejo.

37
3

Di desa Pasiraman terdapat 13 orang (Eks Tapol) sedangkan di desa Tambakrejo


terdapat 24 orang (Eks Tapol).
Eks Tapol Menurut LPKP (Lembaga penelitian korban Peristiwa 1965)
terbagi menjadi 3 golongan, diantaranya yaitu Golongan A (Orang-orang yang
terlibat secara langsung dengan peristiwa G 30 S dan langsung diadili), Golongan
B (anggota PKI berserta simpatisannya yang di tangkap dan ditahan secara
sewenang-wenag tanpa proses pengadilan dan disaingkan ke Pulau buru bagi laki-
laki serta Kamp Plantungan bagi perempuan), Golongan C (orang-orang yang
terlanjur tertangkap tanpa alasan yang jelas, bisa dari keluarga dan kerabat Orang
PKI) yang dikenakan Wajib Lapor (walap) selama berbulan-bulan hingga tahunan
(LPKP, 2012:126).
Dari jumlah 83 Eks Tapol di Blitar Selatan yang terdata dalam LSM
(lembaga Swadaya Masyarakat) The Post Institute kebanyakan dari mereka
merupakan Eks Tapol Golongan C. Hal ini dikarenakan Blitar Selatan dahulunya
merupakan tempat pelarian anggota PKI dari pusat, namun banyak masyarakat
sekitar yang tidak tahu menau tetapi menjadi korban sasaran operasi penupasan
PKI (Trisula) di Blitar Selatan pada tahun 1968 (Wawancara dengan Mawan, 2
Agustus 2021). Adapun pembagian jumlah Eks Tapol yang ada di Blitar Selatan
dapat dilihat dalam tabel 5.1 sebagai berikut.

Tabel 5.1 Jumlah Eks Tapol di Blitar Selatan

Kecamatan Desa Jumlah Gol A Gol B Gol C


Bakung Ngrejo 27 - 2 25
Lorejo 19 - - 19
Wonotirto Pasiraman 13 - - 13
Tambakrejo 24 - 2 22
Jumlah 83 - 4 79

Sumber : LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) The Post Institute

Namun berdasarkan penelusuran peneliti dari jumlah 83 orang saat ini


hanya tersisa sekitar 40 orang dan dari sebagian mereka usianya sudah sangat tua
3

dan sakit-sakit an sehingga tidak dapat digali keterangannya. Para Eks tapol yang
ada di Blitar Selatan saat ini sudah banyak yang meninggal karena faktor usia.
sehingga hanya sebagian Eks Tapol yang berhasil di wawancarai oleh peneliti.

5.2. Pendidikan Eks Tapol


Pada tahun 60 an Daerah Blitar Selatan tingkat pendidikan rakyatnya
masih sangat rendah, dan sebagian besar mereka masih buta huruf. Hal-hal
tersebut disebabkan oleh tingkat kehidupannya yang sangat rendah (miskin)
sehingga banyak masyarakat Blitar Selatan yang tak mampu membiayai sekolah
anak-anaknya. Selain itu, masyarakat Blitar Selatan masih sangat mempercayai
tahayul, bahwa nasib kehidupan itu berada di tangan danyang-danyang mereka.
Karena tingkat pendidikan masyarakat Blitar Selatan masih rendah, maka mereka
sangat menghargai dan menghormati pendatang-pendatang yang di anggap nya
memiliki pemikiran lebih maju dan dapat diminta untuk memberikan petunjuk
yang bisa menguntungkan mereka. Sehingga para anggota pelarian PKI dari pusat
memanfaatkan peluang tersebut untuk mempengarui masyarakat di Blitar Selatan
Selatan (Semdam VIII Brawidjaja, 1969:33).
Menurut buku dari militer menyebutkan rendahnya pendidikan masyarakat
Blitar Selatan dan daerah yang masih terpencil yang jauh dari pusat keramain kota
kala itu, di manfaatkan para pelarian anggota PKI dari pusat untuk bersembunyi
dan mempengaruhi masyarakat untuk membangun basis kembali PKI di Blitar
Selatan (Semdam VIII Brawidjaja, 1969:34). Namun menutut cerita masyakat
setempat, pada tahun 68 banyak orang-orang pendatang yang bukan asli penduduk
setempat, bertamu ke rumah-rumah penduduk di Blitar Selatan bahkan ada yang
sampai menginap beberapa hari di rumah mereka. Sesuai dengan budaya
masyarakat setempat ketika ada tamu yang berkunjung ke rumah mereka, maka
mereka harus menerima dan memulyakan tamu tersebut. Namun masyarakat
Blitar Selatan tidak menyadari bahwa orang yang bertamu dan berkunjung di
rumah mereka merupakan buronan atau pelarian anggota PKI dari pusat.
Rendahnya pengetahuan dan minimnya informasi di Blitar Selatan mengakibatkan
masyarakat setempat ikut-ikut an terseret ketika militer mengetahui bahwa
4

terdapat anggota PKI yang berhasil melarikan diri dan bersembunyi di Blitar
Selatan. selain itu, adanya isu bahwa anggota PKI yang berhasil melarikan diri
dan bersembunyi di Blitar Selatan, berhasil mempengaruhi masyarakat setempat
untuk membangun kembali basis PKI di Blitar Selatan, menyebabkan masyarakat
Blitar Selatan banyak yang menjadi korban dan sasaran militer pada saat operasi
penupasan PKI di Blitar (Operasi Trisula). Banyak masyarakat setempat yang
tidak tahu-menahu apa itu PKI, namun ikut-ikutan tertangkap dan dipenjara
karena di anggap bekerja sama dengan anggota atau Pentolan-pentolan PKI yang
berhasil melarikan diri dan bersembunyi di Blitar Selatan. Minimnya pengetahuan
dan rendahnya pendidikan masyarakat mengakibatkan penduduk desa setempat
merasa ketakutan dan ikut-ikutan lari ketika ada militer dengan membawa pistol
datang melakukan operasi di desa-desa Blitar Selatan. Situasi tersebut membuat
membuat penduduk (masyarakat) setempat tidak berdaya dan pasrah terhadap
takdir hidup mati mereka, Karena banyak penduduk yang lari namun malah
terkena tembak ketika bertemu dengan militer, sehingga kebanyakan dari mereka
memilih menyerahkan diri dan mengikuti perintah yang di tetapkan oleh militer.
Orang-orang (penduduk) yang yang berhasil tertangkap maupun menyerahkan diri
tersebut disebut sebagai Eks Tapol oleh militer dan untuk menandai bahwa
mereka adalah seorang Eks Tapol maka Militer mencukur ramput orang-orang
(penduduk) yang tertangkap tersebut ramput sampai gundul. Hal ini dilakukan
untuk menandai bahwa mereka merupakan orang-orang Eks Tapol yang
berbahaya dan harus diawasi (Wawancara dengan Iwan, 24 Agustus 2021).
Berdasarkan data dan hasil observasi di lapangan para Eks Tapol yang ada
di Blitar Selatan rata-rata mereka tidak berpendidikan. Selain karena kemiskinan
dan kentalnya kepercayaan masyarakat terhadap mitos dan tahayul, Blitar Selatan
dahulunya merupakan daerah yang terpencil dan jauh dari pusat kota. Pada saat
itu belum di bangun fasilitas-fasilitas umum seperti sekarang sehingga masyarakat
Blitar Selatan sulit untuk memperoleh akses pendidikan (Wawancara dengan
Sullen, 22 Agustus 2021).
Berdasarkan data dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) The Post
Institute dari jumlah 83 Eks Tapol di Blitar Selatan hanya terdapat 17 Eks Tapol
4

yang berhasil lulus sekolah SR (Sekolah Rakyat) atau setara SD (sekolah Dasar),
dan hanya 3 orang Eks Tapol di Blitar Selatan yang berpendidikan setara SLTP.
Selain itu, terdapat 37 Eks tapol di Blitar Selatan yang tidak berpendidikan (tidak
sekolah), dan 26 Eks Tapol lainya hanya berpendidikan sekolah dasar namun
tidak tamat. Hal tersebut dikarenakan faktor ekonomi yang menyebabkan mereka
tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Adapun pembagian jumlah pendidikan
Eks Tapol yang ada di Blitar Selatan dapat dilihat secara rinci dalam tabel 5.2
sebagai berikut.
Tabel 5 2. Data Pendidikan Eks Tapol di Blitar Selatan

Kecamatan Desa Jumlah Tidak SR/SD SR/SD SLTP


Sekolah Tidak Tamat
Tamat
Bakung Ngrejo 27 11 9 6 1
Lorejo 19 9 7 3 -
Wonotirto Pasiraman 13 4 6 1 2
Tambakrejo 24 13 4 7 -
Jumlah 83 37 26 17 3
Sumber : Data diolah dari LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) The Post Institute

5.3 Pekerjaan (Profesi) Eks Tapol


Menurut data dan hasil wawancara sebagian besar Eks Tapol di Blitar
Selatan berprofesi sebagai petani. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan yang
melarang Eks tapol dan keturununanya untuk menjadi PNS, TNI, POLRI serta
memiliki jenis pekerjaan tertentu, membuat para Eks Tapol di Blitar Selatan tidak
punya pilihan lain, selain bekerja sebagai seorang petani dengan memanfaatkan
lahan seadanya atau lahan wariasan orang tua yang mereka miliki. Namun
beberapa dari mereka ada juga yang menjadi buruh (kuli) dan membuat suatu
karya kerajian untuk di jual karena hasil panen pertanian belum cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Salah satu tahanan politik yang bernama Suparman yang merupakan
tahanan Politik kategori Gol B mengatakan bahwa pasca dibebaskan dari tahanan
(pengasingan) sempat kesulitan mencari pekerjaan, sehingga ia hanya bisa
4

menjadi petani dengan memanfaat sepetak lahan yang dimilikinya, selain itu
untuk menambah penghasilannya karena menjadi petani dirasa belum cukup
untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Suparman berusaha mencari
pekerjaan sampingan yaitu bekerja sebagai buruh di pabrik swasta milik orang
Tionghoa di Blitar. Adanya kebijakan pemeritah yang melarang Eks Tapol dan
keturunannya menjadi PNS, TNI, POLRI dan bekerja di lembaga Instansi
pemerintah, bukan hanya berdampak terhadap kehidupan para Eks Tapol saja,
namun juga berdampak terhadap kehidupan keluarga mereka. Karena kebijakan
tersebut, Suparman terpaksa harus rela menghapus daftar nama anaknya dalam
kartu Keluarganya dan meminta kerabat nya yang tidak pernah tersangkut
peristiwa 65 untuk memasukkan nama anaknya dalam daftar kartu Keluarga
kerabatnya hal ini dilakukan agar anaknya dapat melanjutkan pendidikan dan
tidak kesulitan untuk mencari pekerjaan (Wawancara dengan Suparman, 26
Agustus 2021).
Hal serupa juga dilakukan oleh Wiyono salah satu Eks Tapol Golongan C
di Blitar Selatan, agar anaknya dapat melanjutkan pendidikannya dan tidak
kesulitan dalam mencari pekerjaan, maka Wiyono meminta bantuan temannya
yang tidak pernah tersangkut peristiwa 65 untuk memasukkan nama anaknya
kedalam daftar anggota kartu keluarganya, alhasil anak-anaknya bisa melanjutkan
pendidikannya dan ada yang menjadi PNS (Wawancara dengan Wiyono, 21 Maret
2021). Berbeda dengan kadir salah satu Eks Tapol Golongan C (Walap) di Blitar
Selatan mengungkapkan Ketika telah mengetahui bahwa ayahnya (Kadir)
merupakan seorang Eks Tapol maka anak Kadir memillih untuk tidak melanjutkan
pendidikannya (putus sekolah) dan memilih untuk bekerja membatu ayahnya
bertani di kebun sambil bertenak ikan lele. Hal tersebut dikarenakan ia berfikir
bahwa percuma saja melanjutkan pendidikan tinggi-tinggi kalau tidak bisa
menjadi PNS atau mendapatkan pekerjaan dan karir yang bagus dikarenakan latar
belakang keluarganya (Wawancara dengan Sullen, 22 Agustus 2021).
Menurut Iwan yang merupakan carik di desa Ngrejo salah satu daerah
yang berada di Blitar Selatan mengatakan bahwa ada penduduk yang menjadi
depresi (gila) akibat karena telah mendaftar PNS namun tidak diterima pada saat
4

seleksi pemberkasan, hal itu dikanenakan orang tuanya merupakan bekas tahanan
Politik, sehingga pemerintah membatalkan penduduk tersebut menjadi anggota
PNS (Wawancara dengan Iwan 24 Agustus 2021). Hal tersebut yang merupakan
salah satu alasan, mengapa sebagian besar penduduk atau masyarakat yang
menjadi Eks Tapol di Blitar Selatan pada saat itu berprofesi atau bekerja sebagai
seorang petani. Selain bertani, beberapa dari mereka juga ada yang bertani sambil
memelihara hewan ternak berupa ayam, kambing maupun sapi untuk menambah
penghasilan, karena cuaca di Blitar Selatan berubah-rubah, sehingga berdampak
terhadap hasil pertanian yang tidak sesuai harapan, oleh karena itu, para Eks
Tapol di Blitar Selatan tidak bisa hanya mengandalkan hasil dari petanian untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari. Adapun pembagian jumlah pekerjaan Eks
Tapol yang ada di Blitar Selatan dapat dilihat secara rinci dalam tabel 5.3 sebagai
berikut.

Tabel 5.3 Data Pekerjaan Eks Tapol di Blitar Selatan

Kecamatan Desa Jumlah Buruh Petani Karyawan


Tani/Pabrik Swasta

Bakung Ngrejo 27 1 26 -
Lorejo 19 - 19 -
Wonotirto Pasiraman 13 - 13 -
Tambakrejo 24 - 24 -
Jumlah 83 1 82 -
Sumber : Data diolah dari LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) The Post Institute

Kebijakan terkait larangan Eks Tapol beserta keturunannya menjadi PNS,


baru dihapus ketika pada masa pemrintahan Gus Dus, pada masa tersebut eks
tapol baru merasakan angin segar karena peraturan-peraturan diskrimanatif yang
ditujukan kepada eks tapol dan keturunanya dihapus oleh Gus Dur. Eks tapol juga
baru mendapatkatkan haknya pada masa pemerintahan Gus Dur (Wawancara
dengan Talam, 20 Agustus 2021).
4

5.4 Pendapatan (Penghasilan) Eks Tapol


Pendapatan atau Penghasilan Eks Tapol di Blitar Selatan rata-rata
diperoleh dari hasil pertanian. Hal tersebut dikarenakan para Eks Tapol di Blitar
Selatan sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Menurut hasil dari
wawancara kepada sebagian Eks Tapol di Blitar Selatan perhasilan mereka rata-
rata diperoleh dari hasil menanam padi, jagung dan Singkong dan beberapa
tanaman kacang-kacangan. Hasil panen para petani di Blitar Selatan pada saat itu
tidak sebagaus hasil panen petani seperti saat ini, karena pada saat itu, petani di
Blitar Selatan masih menggunakan pupuk kandang untuk menyuburkan tanah dan
juga masih menggunakan alat sederhana seperti sapi untuk membajak sawah dan
belum mengenal pupuk kimia dan mesin traktor seperti sekarang. Hal tersebut
juga berpengaruh terhadap hasil panen mereka, Petani di Blitar Selatan pada saat
itu hanya bisa panen satu kali per tahunnya, berbeda dengan petani jaman
sekarang yang bisa panen sebanyak tiga kali per tahunnya karena memang telah
mengenal pupuk kimia dan menggunakan mesin modern pertanian. Pada saat itu,
petani di Blitar Selatan juga bergantung pada Cuaca, apabila Cuaca tidak
mendukung maka juga akan berpengaruh pada baik buruknya hasil panen
pertanian di Blitar Selatan (Wawancara dengan Sullen, 22 Agustus 2021).
Menurut hasil wawancara terhadap beberapa Eks Tapol yang bermata
pencaharian sebagai petani rata-rata perolehan hasil penen Padi mereka pada
tahun 60-80 an berkisar 1-2 Kuintal per tahunya, Selain padi rata-rata perolehan
hasil panen Jagung di Blitar Selatan pada saat itu berkisar ½ - 1 Ton per tahunnya,
sedangkan hasil panen singkong di tahun tersebut sudah mecapai kurang lebih 5
Kuintal per tahunnya. Namun, jumlah tersebut dapat berubah karena kondisi
cuaca di Blitar Selatan pada saat itu tidak menentu dan petani di Blitar Selatan
masih menggantungkan cuaca (musim) dalam bertani, sehingga baik buruknya
cuaca juga dapat mempengaruhi hasil panen petani di Blitar Selatan (Wawancara
dengan Sukaji, 24 Agustus 2022).
4

Tabel 5.4 Data Hasil Produksi panen tanaman Pokok masyarakat Blitar Selatan
pasca Operasi Trisula tahun 1968

NO Hasil Komoditi Kwt Harga/Kwt Jumlah (Rp)


(Rp)
1 Padi 422 4.000,- 1.688.000
2 Jagung 113 2.500,- 282.500
3 Kaspe 720 720,- 540.000
4 Kedelai 3 5.000,- 15.000
5 Kacang tanah 13 5.000,- 65.000
6 Kelapa 1.015 4.000,- 4.060.000
7 Ketela Rambat 17 750,- 12.750
Jumlah 2303 Rp. - Rp. 6.663.250
Sumber : Data diolah dari Laporan Deskripsi Data Sosek di Blitar Selatan 1968

Adapun jumlah penduduk Blitar selatan terutama di wilayah Bakung dan


sekitarnya Setelah operasi Trisula adalah 15.245 jiwa dengan 3.404 kepala
keluarga (Mustopo, 1969:92). Dari tabel di atas dapat dicari Income Masyarakat
Blitar Selatan pasca operasi Trisula pada tahun 1968 sebagai berikut :

Income Per Capita tahun 1968 adalah = Rp. 6.663.250 = Rp. 437,-
15.245 Jiwa
Pendapatan Perkapita Masyarakat Blitar pada saat itu bisa dikatakan masih
sangat kecil karena jika dibuat perbandingan dengan buruh di daerah lain sangat
mencolok dimana buruh pabrik pada waktu sudah menerima gaji sebesar Rp 750
dan buruh diluar pabrik pada waktu itu sebesar Rp 100. Sedangkan harga rata-rata
beras di Kabupaten Blitar pada tahun tersebut telah mencapai Rp 36,- per
kilogramnya dan rata-rata gula di tahun yang sama mencapai Rp 90,- per
kilogramnya. Sehingga dapat dikatakan penghasilan atau pendapatan mereka
masih rendah belum bisa mencukupi kebutuhan primer maupun sekunder sehari-
hari dan masuk dalam kategori kelas masyarakat menengah kebawah (BPS,
2000:335-343).
Penghasilan atau pendapatan hasil panen di Blitar Selatan yang dirasa
kurang bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Beberapa Eks Tapol di Blitar
4

Selatan ada yang menambah penghasilanya dengan memelihara binatang ternak


seperti Sapi, Kambing, dan ayam. Selain itu juga ada yang membuat kerajinan alat
kesenian barong yang di jual ke luar daerah untuk menambah penghasilan
(Wawancara dengan Sukaji, 24 Agustus 2021). Namun lambat laun di tahun 90 an
Jumlah hasil panen pertanian di Blitar Selatan mulai meningkat karena pada saat
itu pendistribusian pupuk kimia sudah mulai dididtribusikan di Blitar Selatan.
Selain itu, pengolahan lahan juga sudah mulai menggunakan perlataan yang lebih
modern seperti menggunakan traktor untuk membajak sawah, Hal tersebut
tentunya juga berpengaruh terhadap hasil panen pertanian di Blitar Selatan yang
sedikit demi sedikit juga semakin meningkat meskipun perkembangannya lambat
dibandingkan dengan daerah-daerah di Blitar lainya (Wawancara dengan Kasilah,
22 Agustus 2021).

5.5 Status sosial kehidupan Eks Tapol dalam masyarakat


Pasca dibebaskan dari tahanan para tapol bukan hanya mendapatkan
hukuman dari pemerintah tetapi beberapa dari mereka juga mendapatkan
hukuman sosial dari masyakat setempat. Memiliki latar belakang sebagai bekas
tahanan politik dan adanya label yang diberikan pemeritah Orde Baru terhadap
para PKI beserta simpatisannya merupakan musuh Negara membuat sebagian
masyarakat enggan untuk memiliki hubungan dengan para mantan Tahanan
Politik. Diskriminasi sosial, politik dan ekonomi dari pemerintah Orde Baru
maupun masyarakat setempat, secara tidak langsung menghambat Eks tapol dalam
meningkatkan status sosial kehidupannya dalam masyarakat.
Di Blitar Selatan sendiri beberapa masyarakat ada yang bersikap terbuka
dan menerima keberadaan Eks Tapol, tetapi ada pula masyarakat yang enggan
menerima keberadaan Eks Tapol dan bersikap memilih untuk menjauhi eks Tapol,
di daerah Blitar Selatan kebanyakan masyarakat disana bersikap terbuka dan
menerima keberadaan Eks Tapol setelah dibebaskan dari tahanan (pengasingan),
salah satu Narasumber yang bernama Talam yang merupakan salah satu Tapol
Golongan B, mengungkapkan pasca dibebaskan dari pengasiangan (Pulau Buru),
masyakat bersikap seperti biasa dan tidak mendiskriminasikan dirinya beserta
4

keluarganya meskipun ia merupakan bekas Narapidana G 30 S PKI (bekas Tapol),


hal ini dikarenakan sebelum ia ditahan dan diasingkan selama bertahun-tahun
dipulau Buru, masyarakat sudah mengenal kepribadiannya, selain itu di Blitar
Selatan sendiri banyak orang yang tersangkut dan dianggap sebagai simpatisan
PKI karena Blitar Selatan merupakan tempat pelarian PKI, adanya kesamaan
nasib pernah dituduh sebagai simpatisan PKI, membuat kebanyakan masyarakat
di Blitar Selatan memiliki sifat terbuka dan bisa menerima keberadaan Eks Tapol
(Wawancara dengan Talam, 20 Agustus 2021).
Namun hal tersebut tidak berlaku di beberapa dusun yang terdapat di desa
Tambakrejo yang ada di Blitar Selatan, sebagian masyarakat bersikap tertutup dan
enggan untuk memiliki hubugan dengan para bekas tahanan Politik, stigma dan
labelisasi pemeritah orde baru terhadap eks tapol, membuat pandagan masyarakat
terhadap Eks Tapol di Tambakrejo mejadi Negatif, sehigga para Eks Tapol di
Tambakrejo harus menarik simpati masyarakat agar bisa mendapatkan
kepercayaan kembali dari masyarakat setempat, salah satuya cara yang dilakukan
Sutrisno yang merupakan mantan tahanan Politik kategori Gologan B, adalah
dengan selalu aktif mengikuti kegiatan kemasyarakatan yang ada di desanya dan
ikut ambil peran dalam kegiatan tersebut, sehingga lambat laun masyakat mulai
terbuka dan mulai mempercayaiya (Wawancara dengan Sutrisno, 26 Agustus
2021).
Hal yang sama juga dilakukan Wiyono yang merupakan Tapol kategori
Gologan C, ia mengungkapkan bahwa ia pernah dikucikan oleh masyarakat
karena ia merupakan seorang tapol sehingga untuk mendapatkan kepercayaan
masyarakat selain aktif dalam kegiatan kemasyarkatan, ia selalu berusaha untuk
membatu masyarakat sekitar apabila ada tetangganya yang sedang mengalami
kesulitan, dan selalu menawarkan makanan dan minuman terhadap tetangga yang
duduk di depan rumahya. Hal tersebut membuat masyarakat yang awalnya
memiliki pandangan negatif terhadapnya berubah menjadi positif (Wawancara
dengan Wiyono, 24 Agustus 2021).
BAB 6. PENUTUP

6.1 Simpulan
Dalam usaha mencegah terjadinya bangkitya paham Komunis di Indonesia
pemerintah memberikan perlakuan khusus terhadap orang-orang yang dianggap
pernah terlibat dengan PKI atau organisasi yang bebau komunis. Hal ini dilakukan
sesuai dengan adanya Keputusan Presiden No.28/1975 tentang Perlakuan
terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S/PKI Golongan C, Selain itu, Pemerintah
pusat maupun daerah tetap melakukan Pengawasan dan pembinaan terhadap
mantan Tahanan Politik yang telah dibebaskan dan tetap melakukan pengawasan t
terhadap daerah-daerah yang dianggap memiliki potensi untuk membangkitkan
lagi ajaran komunis seperti daerah Blitar Selatan (Inmendagri No. 32 tahun 1981).
Beberapa pengawasan dan pembinaan yang di terapkan oleh pemerintah daerah
terhadap mantan tahanan politik di Blitar Selatan diantaranya yaitu : (1)
Kebijakan wajib lapor, (2) Pencabutan Hak sipil dan Hak politik, (3) Pemberian
kode Khusus (ET) terhadap KTP para Eks Tapol.
Pasca dibebaskan dari tahanan para tapol bukan hanya mendapatkan
hukuman dari pemerintah tetapi beberapa dari mereka juga mendapatkan
hukuman sosial dari masyakat setempat. Memiliki latar belakang sebagai bekas
tahanan politik dan adanya label yang diberikan pemeritah Orde Baru terhadap
para PKI beserta simpatisannya merupakan musuh Negara membuat sebagian
masyarkat enggan untuk memiliki hubungan dengan para mantan Tahanan Politik.
Setelah dibebaskan dari Pengasingan para Eks Tapol di Blitar berusaha membaur
dengan masyarakat setempat, dan salah satu dari mereka ikut aktif dalam kegiatan
kemasyarakatan agar bisa diterima kembali dalam masyarakat. Kebijakan
pemerintah yang melarang Eks Tapol beserta keturunannya menjadi PNS, TNI,
POLRI, dan adanya larangan untuk memiliki pekerjaan tertentu Seperti Guru,
dosen, wartawan, dalang dan anggota lembaga bantuan hukum dan menjadi
anggota dalam lembaga hukum, tentunya berdampak terhadap kehidupan ekonomi
eks tapol, kebanyakan Eks Tapol di Blitar bekerja sebagai petani karena tidak ada
pilihan lainya, adanya latar belakang sebagai bekas tahanan politik membuat

48
4

mantan Tapol kesulitan mendapatkan pekerjaan. Selain itu, pendapatan atau


penghasilan sebagai petani yang pada saat itu tidak menentu dan masih kurang
untuk mencukuppi kebutuhan seharari-hari, dikarenakan para petani di Blitar
Selatan masih menggantungkan cuaca sebagai tolak ukur baik buruknya hasil
panen tanaman yang di dapat, beberapa Eks Tapol di Blitar Selatan menambah
penghasilanya dengan memelihara binatang ternak seperti sapi, kambing dan
ayam untuk menambah pendapatan atau penghasilan. Selain itu, salah satu dari
mereka juga ada yang membuat alat kerajinan kesenian untuk dijual demi
menambah penghasilan agar kebutuhan sandang pangan sehari-hari dapat
tercukupi. Kebijakan terkait larangan Eks Tapol beserta keturunannya menjadi
PNS, baru dihapus ketika pada masa pemrintahan Gus Dus, pada masa tersebut
eks tapol baru merasakan angin segar karena peraturan-peraturan diskrimanatif
yang ditujukan kepada eks tapol dan keturunanya dihapus oleh Gus Dur, Eks tapol
baru mendapatkatkan haknya pada masa pemerintahan Gus Dur.

6.2 Saran
Melalui penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan
kelompok masyarakat sipil dapat digunakan menjadi bahan pertimbangan dan
perbandingan dalam memahami persoalan 65 dan menjadi evaluasi bagi
pemerintah untuk tidak mendiskriminasikan Eks Tapol dan menyamakan Hak
Asasi Manusia, Hak Sipil dan Hak Politik terhadap Eks Tapol di Indonesia pada
umumnya dan Eks Tapol di Blitar Selatan pada khususnya. Diharapkan dengan
adanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan oleh lembaga swadaya
masyarakat, lembaga pemerintahan atau organisasi masyarakat sipil lainnya dalam
upaya rekonsiliasi semua pihak yang terlibat dalam konflik 1965 di Blitar Selatan.
Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, maka saya berharap
kepada peneliti selanjutnya agar melengkapi sumber menggunakan data yang
lebih banyak dengan pembahasan yang lebih mendalam dan masih banyak hal-hal
yang masih bisa dikaji melalui peristiwa Trisula di Blitar Selatan seperti
bagaimana kehidupan Eks Tapol pada masa reformasi, apakah para korban
peristiwa 65 khususnya di Blitar Selatan telah mendapatkan keadilan dan
5

mendapakan perlakuan yang sama seperti masyarakat yang lain pada umumnya.
Dan bagaimana perjuangan mereka dalam mendapatkan keadilan dari pemerintah
saya rasa menarik untuk diteliti dan dikaji.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, F. 2014. Dampak Peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis


Indonesia terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa Timur 1965-
1998. Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo. 2 (2): 2337-
9707.

Badan Pusat Statistik. 2000. Kabupaten Blitar dalam Angka 1999. Blitar: BPS
Kab. Blitar.

Dahl, R. A. 1989. The Past and The Future of Democracy. Siena: Universitas
Degli studi di Siena.

David, M. R. 2009. An American warning. United state. iuniverse.com.

Gottschalk, L. 1989. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto dari


Understanding History: A Primer of Historical Method. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.

Hendarto, H. 1993. Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci. Jakarta: Gramedia.

Hutabarat, R. F. 2011. Stigma 65 : Strategi mengajukan Gugatan Class Action.


Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Intruksi Mentri Dalam Negri No 32. Tahun 1981. Pembinaan dan Pengawasan
Terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G 30/S PKI. 22
Agustus 1981. Departemen Dalam Negri Republik Indonesia. Jakarta.

Jawa Post. Eks Tapol G 30 S Boleh kembali ke Profesinya. Jakarta. 12 Agustus


1982.

Jawa Post. Tidak boleh bertransmigrasi Eks Tahanan G 30 S/PKI. Jakarta. 20


September 1982.

John, R., A. Ratih, dan H. Farid. 2004. Tahun yang Tak Pernah Berakhir:
Memahami Pengalaman Korban 65: Esai-Esai Sejarah Lisan. Jakarta:
Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, dan ISSI.

51
5

Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Keputusan Presiden No.28 Tahun 1975. Perlakuan terhadap Mereka yang


Terlibat G.30.S/PKI Golongan C. 25 Juni 1975. Lembaran Negara
Republik Indonesia. Jakarta.

Kontras (Komisi orang Hilang dan korban kekerasan). 2012. Menyusun Puzzle
Pelanggaran HAM 1965: Sebuah Upaya Pendokumentasian. Jakarta:
ICTJ.

Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lestariningsih, A. D. 2011 Gerwani Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan.


Jakarta: Kompas.

LPKP (Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 1965). 2012. Kesaksian Korban


pasca Peristiwa G. 30 S. 65. Jakarta: Departemen Sejarah dan
Dokumentasi. Institute for Research on the Victims of 1965 Affairs.

Majalah Mimbar Departemen Dalam Negeri. 1982. Untuk menangkal Bahya


Komunisme perlu suasana yang tidak memungkinkan terjadi keresahan.
Jakarta. No. 3. Jakarta. 1 April. Halaman 2.

Mustika. S. R. 2007. Gerwani Stigmatisasi dan Orde Baru. Yogyakarta: Polgow.

Mustopo. 1969. Laporan Deskripsi Data Penelitian Sosial di Blitar Selatan.


Malang: IKIP.

Naipospos, C. 1995. 50 Th Merdeka dan Problem Tapol Napol. Jakarta: MIK


(Masyarakat Indonesia intuk Kemanusiaan).

Notosusanto, N. 1984. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Suatu


Pengalaman). Jakarta: Inti Idayu Press.

Patria, N. dan A. Arief. 2015. Antonio Gramsci Negara & Hegemoni. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
5

Putra, G dkk. 2012. Pulangkan Mereka!, Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa


di Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM).

Roosa, J. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta


Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.

Santoso, S. 1999. Dinamika Kelompok Cetakan ke-2. Jakarta: Bumi Aksara.

Setyagama, A. 2015. Kebijakan Perlakuan Diskriminatif terhadap hak-hak


Konstitusional mantan Tapol PKI dan Keluarganya pada masa Orde
Baru. Jurnal Ilmiah UIS Fakultas Hukum. 3 (1): 2355-6056.

Siregar, M. R. 1995. Tragedi manusia dan kemanusiaan : Kasus Indonesia :


sebuah holokaus yang di terima sesudah perang dunia kedua. Jakarta: N
P Progres.

Sjamsuddin, H. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud Proyek Pendidikan


Tenaga Akademik.

Soekanto, S. 2009. Sosiologi: Suatu Pengantar Edisi Baru. Jakarta: Rajawali Pers.

Semdam VIII Brawidjaja. 1969. Operasi Trisula Kodam VIII Brawidjaja. Malang:
Jajasan Taman Tjandrawilwatikta.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1994. Gerakan 30 September,


Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar belakang, Aksi,
Penupasannya. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.

Setiawan, H. 2003. Kamus Gestok. Yogyakarta: Galang Press.

Sugiyanto. 2009. Pengantar Ilmu Sejarah. Jember: Universitas Jember.

Surabaya Post. Karena terlibat G 30 S/PKI : 1.580.020 orang tak boleh gunakan
hak pilih. Jakarta. 3 Desember 1981.

Swedberg, R dan N. J. Smelser. 2005. The Handbook of Economic Sociology.


Inggris Raya: Princeton University Press.
5

Undang-Undang 1945 Bab XA. Pasal 28 huruf I ayat (2). Hak Asasi Manusia. 18
Agustus 2000. Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Jakarta.

Wieringa, S. E. 2020. Propaganda dan Genosida di Indonesia, Sejarah Rekayasa


Hantu 1965. Depok: Komunitas Bambu.
LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. TABEL MATRIKS PENELITIAN

TEMA JUDUL JENIS DAN SIFAT PERMASALAHAN SUMBER DATA METODE


PENELITIAN PEBELITIAN PENELITIAN

Sejarah Dinamika a. Jenis Penelitian: 1. Bagaimana 1. Laporan a. Metode


Sosial- Kehidupan Penelitian pengawasan pengawasan penelitian sejarah
ekonmi sosial-ekonomi lapangan dan studi pemerintah daerah pemerintah daerah dengan langkah-
lokal Eks Tapol di Pustaka terhadap Eks Tapol di Kabupaten Blitar langkah:
Blitar Selatan b. Sifat Penelitian: Blitar setelah terhadap bekas 1. Heuristik
tahun 1968- (Eksploratif dibebaskan dari Tapol G/30 S PKI 2. Kritik
2000 Research) tahanan 1976-1998 ? 2. Arsip Pribadi Eks 3. Interpretasi
Penelitian Baru 2. Bagaimana Tapol 4. Historiografi
Perubahan, 3. Data sosial- b. Pendekatan:
perkembangan serta ekonomi Sosial Ekonomi
kesinambungan masayarakat c. Teori:
kehidupan Sosial- Blitar Selatan Hegemoni
Ekonomi Eks Tapol tahun 1968-2000 Gramsci
pasca Operasi Trisula 4. Arsip koran dan
Berakhir dalam kurun majalah yang
waktu tahun 1968 relevan dan
sampai tahun 2000 ? sezaman
5. Data hasil
Wawancara
dengan Eks tapol
6. Buku dan Jurnal

5
Penelitian yang
relevan

5
LAMPIRAN 2. PEDOMAN PENGUMPULAN
TEMA DAN TOPIK MASALAH PENELITIAN TEKNIK PENGUMPULAN
PENELITIAN SUMBER
SL D W
TEMA : 1. Bagaimana pengawasan pemerintah daerah ✓ ✓
Sejarah Sosial – Ekonomi terhadap Eks Tapol di Blitar setelah dibebaskan
dari tahanan 1968-1998 ?

TOPIK / JUDUL : ✓ ✓
Dinamika Kehidupan 2. Bagaimana Perubahan, perkembangan serta
Sosial – Ekonomi Eks kesinambungan kehidupan Sosial-Ekonomi Eks
Tapol di Blitar Selatan Tapol pasca Operasi Trisula Berakhir dalam kurun
1968 – 2000 waktu tahun 1968 sampai tahun 2000 ?

Keterangan :
SL : Survei Lapangan D : Dokumenter W : Wawancara

5
LAMPIRAN 3. PEDOMAN
MASALAH PENELITIAN DATA/INFORMASI YANG SUMBER TERTULIS YANG
DIBUTUHKAN AKAN DIKUMPULKAN
1. Bagaimana pengawasan 1. Peraturan apa saja yang harus dipatuhi Sumber Primer :
pemerintah daerah terhadap Eks Eks Tapol pasca dibebaskan dari 1. Inmendagri No 32. /1981
Tapol di Blitar setelah tahanan 2. Keputusan Presiden No.28/1975
dibebaskan dari tahanan 1968- 2. Hukuman yang harus di terima apabila 3. Depdagri No. 3 tahun 1982/1983
1998 ? Eks Tapol tidak menjalankan 4. Arsip daerah tentang pengawasan
peraturan sesuai yang telah ditetapkan Eks Tapol di Blitar
oleh aparatur desa setempat. 5. Arsip pribadi Eks Tapol berupa
3. Berapa lama Eks Tapol harus KTP Eks Tapol dan surat
menjalani peraturan diskriminatif yang Pembebasan Eks Tapol
telah ditetapkan oleh pemerintah Orde 6. Jawa Post. 20 September 1982
Baru 7. Jawa Post. 12 Agustus 1982.
4. Kapan Peraturan Diskriminatif 8. Surabaya Post. 3 Desember 1981
tehadap Eks Tapol di hapus atau telah Sumber Sekunder :
ditiadakan 1. Buku dan jurnal-jurnal lain yang
relevan.
2. Bagaimana Perubahan, 1. Dampak Kebijakan Diskriminatif Orde Sumber Primer :
perkembangan serta Baru terhadap Kehidupan Sosial- 1. Data jumlah Eks Tapol dari LSM
kesinambungan kehidupan ekonomi Eks Tapol (The Post Institute)
Sosial-Ekonomi Eks Tapol 2. Data Sosial-ekonomi (Jumlah, 2. Data sosial-Ekonomi (pendidikan,
pasca Operasi Trisula Berakhir Pendidikan, Pekerjaan, Penghasilan) Pekerjaan) diperoleh dari Ktp dan
dalam kurun waktu tahun 1968 Eks Tapol di Blitar Selatan. KK yang telah di data oleh LSM
sampai tahun 2000 ? (The Post Institute)
3. Data Penghasilan eks Tapol yang
diperoleh dari BPS daerah dan

5
MASALAH PENELITIAN DATA/INFORMASI YANG SUMBER TERTULIS YANG
DIBUTUHKAN AKAN DIKUMPULKAN
Laporan penelitian terdahulu

Sumber Sekunder :
1. Buku dan jurnal-jurnal lain yang
relevan.

5
LAMPIRAN 4. PEDOMAN WAWANCARA

MASALAH PENELITIAN DATA/INFORMASI YANG INFORMAN YANG AKAN


DIBUTUHKAN DIWAWANCARAI
1. Bagaimana pengawasan 1. Peraturan apa saja yang harus dipatuhi 1. Talam, Mantan Eks Tapol
pemerintah daerah terhadap Eks Tapol pasca dibebaskan dari Golongan B di Blitar Selatan
Eks Tapol di Blitar setelah tahanan 2. Sutrisno Mantan Eks Tapol
dibebaskan dari tahanan 1968- 2. Hukuman yang harus di terima apabila Golongan B di Blitar Selatan
1998 ? Eks Tapol tidak menjalankan peraturan 3. Sukiman mantan Eks Tapol
sesuai yang telah ditetapkan oleh Golongan C di Blitar Selatan
aparatur desa setempat. 4. Sullen mantan Eks Tapol Golongan
3. Berapa lama Eks Tapol harus menjalani C di Blitar Selatan (walap)
peraturan diskriminatif yang telah 5. Kasilah mantan Eks Tapol
ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru Golongan C di Blitar Selatan
4. Kapan Peraturan Diskriminatif tehadap (Walap)
Eks Tapol di hapus atau telah 6. Wiyono mantan Eks Tapol
ditiadakan Golongan C di Blitar Selatan
(terkena dampak peristiwa 65)
7. Sukaji mantan Eks Tapol Golongan
C di Blitar Selatan (Walap)
8. Suparman. Mantan Eks Tapol
Golongan B di Blitar Selatan
9. Yateman Mantan Eks Tapol
Golongan C di Blitar Selatan
1. Dampak Kebijakan Diskriminatif Orde 1. Mawan Mahyudin Ketua sekaligus
2. Bagaimana Perubahan, Baru terhadap Kehidupan Sosial- Pendiri Lembaga Swadaya
perkembangan serta ekonomi Eks Tapol Masyarakat The Post Institute.
kesinambungan kehidupan 2. Data Sosial-ekonomi (Jumlah, 2. Iwan Kepala desa Ngrejo daerah

6
MASALAH PENELITIAN DATA/INFORMASI YANG INFORMAN YANG AKAN
DIBUTUHKAN DIWAWANCARAI
Sosial-Ekonomi Eks Tapol Pendidikan, Pekerjaan, Penghasilan) Blitar Selatan
pasca Operasi Trisula Berakhir Eks Tapol di Blitar Selatan. 3. Para Eks Tapol di Blitar Selatan
dalam kurun waktu tahun 1968 yang telah di sebutkan di atas.
sampai tahun 2000 ?

6
6

LAMPIRAN 5. INSTRUMEN WAWANCARA


Pertanyaan Untuk Eks Tapol

Nama :

Pekerjaan :

Umur :

Alamat :

1. Bagaimana upaya anda agar dapat diterima kembali di keluarga dan


masyarakat pasca bebas dari masa tahanan ?
2. Baigamanakah hubungan anda dengan keluarga dan masyarakat setelah
dibebaskan dari tahanan ?
3. Bagiamana perlakuan masyarakat terhadap anda ketika mengetahui bahwa
anda adalah seorang Eks Tapol ?
4. Apakah anda selama di stigma sebagai Eks Tapol pernah dilibatkan dalam
kegiatan atau organisasi kemasyarakatan ?
5. Apa saja peraturan yang harus dipatuhi pasca dibebaskan dari tahanan ?
6. Berapa lama anda menjalani peraturan terkait kebijakan wajib lapor dan
adakah hukuman apabila tidak melaksanakan peraturan tersebut ?
7. Apakah dampak yang paling anda rasakan saat itu dari kebijakan
diskriminatif pemerintah terhadap para eks-tahanan politik ?
8. Bagaimana kondisi ekonomi anda dan keluarga setelah dibebaskan dari
tahanan dan adanya peraturan bahwa eks tapol serta keturunannya dilarang
untuk memiliki pekerjaan tertentu dan menjadi PNS ?
9. Pernahkah anda mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan setelah
dibebaskan dari tahanan ?
10. Apakah profesi atau pekerjaan anda pasca di bebaskan dari tahanan ?
11. Berapakah pendapatan yang anda peroleh dari pekerjaan anda pada saat itu,
dan apakah dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari anda dan keluarga ?
12. Adakah perubahan peraturan mengenai eks tapol dan berdampak pada
kehidupan anda setelah pemeritah Orde Baru berakhir ?
6

13. Bagaiamana kehidupan anda setelah presiden ke-4 Gus Dur mecabut
beberapa peraturan diskriminatif terhadap eks Tapol ?
6

LAMPIRAN 6. DAFTAR INFORMAN

Nama : Talam
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 83
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Ngrejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar

Nama : Sukiman
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 72
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar

Nama : Sullen
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 75
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Lorejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar

Nama : Kasilah
Jenis kelamin : Perempuan
Usia 71
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar

Nama : Wiyono
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 84
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Tambak, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar

Nama : Sukaji
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 80
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Ngrejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar

Nama : Suparman
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 86
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Tambak, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar

Nama : Sutrisno
6

Jenis kelamin : Laki-laki


Usia 75
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Tambak, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar

Nama : Yateman
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 72
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar

Nama : Mawan Mahyuddin


Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 42
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Desa Bence, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar

Nama : Iwan
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 52
Pekerjaan : Kepala Desa
Alamat : Desa Ngrejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar
6

LAMPIRAN 7. TRANSKRIP WAWANCARA

Nama : Talam
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 83
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Ngrejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar
Waktu Wawancara : 20 Agustus 2021

Talam merupakan salah satu Eks Tapol yang berasal dari desa Ngrejo
Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar. Ia merupakan Tapol Golongan B yang
ditangkap karena mengikuti organisasi SARBUKSI (Sarikat Buruh Perhutani
Indonesia). Ia tidak tahu menau mengenai politik namun pada tahun 1968 ia ikut-
ikutan terseret karena mengikuti organisasi Sarbuksi yang dianggap sebagai
organisasi di bawah naungan PKI pada kala itu. Motif Talam bergabung dalam
organisasi Sarbuksi pada saat itu adalah karena Sarbuksi menawarkan banyak
program yang menguntungkan bagi para buruh, sehingga ia tertarik untuk
mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh organsasi tersebut dan tertarik
untuk menjadi anggota dari organisasi Sarbuksi tersebut. Hal itulah yang
membuat Talam di tangkap tanpa diadili oleh militer hingga diasingkan ke pulau
Buru selama bertahun-tahun. Selama di tahan dan diasingkan ke Pulau Buru ia
sering mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi oleh militer, bahkan ketika
dalam masa pengasingan ia sering dipekerja paksakan tanpa di gaji maupun diberi
makanan ataupun minuman, hal tersebut dialaminya selama bertahun-tahun.
Pasca dibebaskan dari masa tahanan dan pengasinagan pulau Buru pada
tahun 1977, Talam juga tidak sepenuhnya dapat merasakan kebebasan sejumlah
peraturan diskriminatif yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru di tujukan kepada
para Eks Tapol yang telah dibebaskan dari masa tahanan atau pengasingan dengan
dalih untuk mencegah bangkitnya ajaran komunis di Indonesia. Hal tersebut
tentunya juga berdampak terhadap kehidupan Talam. Sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan ia harus melakukan wajib lapor atas keberadaanya setiap
seminggu sekali ke koramil Bakung. Bukan hanya itu ia juga harus meminta izin
dan mengurus surat ke apaatur desa setempat apabila hendak pergi ke luar kota.
Selain itu di KTP nya juga terdapat kode ET yang menunjukkan bahwa
pemegangnya merupakan seseorang yang pernah terlibat dalam organisasi
terlarang. Hal ini dilakukan agar pemerintah atau aparatur desa setempat mudah
dalam melakukan pengawasan terhadap orang-orang yang dianggap berbahaya
dan pernah terlibat dalam peristiwa 65 dan organisasi terlarang.
Peraturan diskriminatif pemeritah Orde Baru yang ditujukan terhadap Eks
Tapol juga berdampak terhadap kehidupan Sosial-Ekonomi Talam. Latar
belakang sebagai seorang tahananan politik membuatnya kesulitan dalam mencari
pekerjaan, apalagi ditambah dengan peraturan yang membatasi dan melarang para
Eks Tapol untuk tidak memiliki pekejaan di sektor tertentu membuat kehidupan
ekonominya pada saat itu menjadi sangat sulit. Akhirnya ia hanya bisa menjadi
seorang petani dengan memanfaatkan lahan peninggalan orang tuanya yang tersisa
6

pada saat itu untuk memenuhi kebutuhanya sehari-hari. Tanaman yang Ia tanam
pada saat itu hanyalah berupa tanaman Palawija diantaranya yaitu Padi, Ketela,
dan Jagung. Namun tanaman tersebut hanya bisa di panen sekali dalam satu tahun
karena pada saat itu masyarakat Bakung masih menggunakan alat sederhana untuk
membajak sawah dan masih menggunakan pupuk kandang atau kompos untuk
merabuk tanaman. Produksi tanamannya setiap panen bisa mencapai satu Ton
lebih apabila hasil panen nya bagus, namun apabila hasilnya kurang bagus dan
cuaca tidak mendukung maka produksi tanamannya juga menurun tidak dapat
mencapai satu ton hanya berkisar satu sampai dua kwital saja. Meskipun Orde
Baru menerapkan peraturan yang bersifat diskrimatif terhadap para Eks Tapol,
namun nasib beruntung berpihak kepada Talam karena keluarga, kerabat maupun
tetangga masih bersikap baik dan tidak mengucilkan dan mendiskriminasikan
dirinya. Hal tersebut dikarenakan sebelum Talam di asingkan ke Pulau Buru
Talam sudah memiliki hubungan baik dengan para kerabat maupun tetangga,
sehingga ketika ia dipulangkan dari pengasingan para tetangga maupun kerabat
sudah mengenalnya dan tetap memiliki hubungan yang baik sehigga tidak
mengucilkannya.

Blitar, 20 Agustus 2021


Menyetujui Informan Penelitian

Markus Talam
6

Nama : Sukiman
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 72
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Waktu Wawancara : 20 Agustus 2021

Sukiman merupakan Tahanan Politik Golongan C yang ditangkap karena


merupakan anggota pemain Ludruk dibawah naungan kesenian LEKRA, dimana
Lekra pada saat itu merupakan organisasi kesinian masyarakat yang diaggap
berada dalam naungan PKI. Sukiman menuturkan bahwa Ia tidak mengenal
politik sama sekali namun ia tetap ikut-ikutan terseret ditangkap dan ditahan di
penjara Blitar selama setahun. Selain itu ia mengungkapkan bahwa saudara
kandung (kakaknya) juga menjadi korban pada saat peristiwa operasi Trisula. Ia
mengugkapkan Kakaknya di bunuh dan dikubur secara tidak hormat di lubang
pembantaian. Pada masa penahanan ia juga sering kali mengalami penyiksaan dan
perlakuan yang tidak manusiawi dari militer.
Pasca bebas dari masa penahanan pun sama seperti hal nya para tapol
lainnya ia juga harus menandatangani dan mengikuti sejumlah peraturan
diskriminatif yang berlakukan bagi para tapol. Pasca dibebebaskan dari masa
tahanan Ia harus melakukan wajib lapor atas keberadaanya ke koramil Bakung
setiap satu minggu sekali. Selain itu, ia juga dipekerja paksakan untuk
membangun monumen Trisula dan beberapa fasilitas pemerintahanan tanpa di gaji
maupun di makanan ataupun minuman. Seperti hal nya para Tapol lainnya KTP
Sukiman juga diberi tanda ET yang meunjukkan bahwa pemegangnya merupakan
mantan seseorang yang pernah memiliki hubungan dengan organisasi terlarang.
Latar belakang seorang tapol menjadikan Sukiman kesulitan dalam mencari
pekerjaan sehingga ia hanya bisa bekerja sebagai seorang petani dengan
memanfaatkan lahan seadanya pada saat itu. Penghasilan dari petani bisa
mencapai satu kwintal hingga satu Ton per panennya yang diperoleh dari hasil
menanam tanaman Palawija (Padi, Jagung, Ketela), namun hasil tersebut tidak
menentu karena pada saat itu, baik buruknya hasil panen ditetntukan oleh cuaca.
Karena penghasilan dari bertani dirasa belum bisa mencukupi kebutuhan sehari-
hari maka ia juga memelihara binatang ternak berupa Sapi untuk mencukupi
kebutuhan sehari-harinya.
Kebijakan Diskriminatif pemerintah orde Baru bukan hanya berdampak
bagi kehidupannya namun juga berdampak terhadap kehidupan anaknya. Salah
satu putrinya yang paling tua sempat mengalami susah dalam mencari jodoh
karena tidak ada orang mau mendekat dikarenakan ayahnya (Sukiman) merupakan
seorang tahanan politik. Karena pada saat itu seseorang yang memiliki hubungan
saudara atau kerabat dengan seoarang tahanan politik maka akan dipesulit ketika
6

hendak mengurus surat menyurat administrasi di aparatur pemerintah daerah


setempat. Diskriminasi pemerintah Orde Baru baru berakhir ketika Gus Dur
menjabat sebagai presiden, menurut nya presiden paling adil terhadap rakyat pada
kala itu hanya Gus Dur, karena tanpa Gus Dur mungkin Ia bersama keturunannya
masih mengalami diskriminasi dari pemerintah hingga sekarang.

Blitar, 20 Agustus 2021


Menyetujui Informan Penelitian

Sukiman
7

Nama : Sullen
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 75
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Lorejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar
Waktu Wawancara : 22 Agustus 2021

Sulen merupakan Tapol Golongan C di Blitar Selatan yang tertangkap


karena di anggap PKI. Pada saat itu Sullen ikut-ikut an lari pada saat operasi
Trisula sehingga militer menganggap Sullen merupakan anggota PKI yang ingin
kabur dan melarikan diri dari Operasi penupasan PKI (Trisula) tersebut. Tanpa
diadili Sullen langsung di tangkap dan di bawa ke markas mililer untuk di
introgasi agar mengakui bahwa dirinya merupakan anggota PKI. Padahal ia
mengungkapkan bahwa Ia tidak mengetahui dan tidak tahu-menahu apa itu PKI,
bahkan Ia juga buta huruf tidak terlalu mengenal baca tulis karena pendidikannnya
hanya berakhir di tingkat SR (Sekolah Rakyat) setingkat SD (Sekolah Dasar) pada
zaman sekarang. Namun militer tetap tidak percaya kepada Sullen sehingga ia
sempat mengalami penyiksaan pada saat di Interograsi. Selain itu, Ia juga
digundul kepalanya dengan tujuan agar militer lebih mudah dalam melakukan
pengawasan. Ia sempat di tahan di markas militer selama 2 bulan, pada saat
penahanan Ia sering mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi oleh militer.
Pasca di bebaskan dari masa penahanan sama seperti hal nya para tahnan
politik lainya Sullen juga harus mengikuti dan menaati sejumlah peraturan
diskriminatif yang di tujukan kepadanya. Salah satunya seperti absen atas
keberadaanya ke koramil Bakung dan juga ikut dipekerja paksakan ikut
membangun monumen Trisula dan fasilitas pemerintah seperti jalan, sekolah, dan
kantor-kantor lainya tanpa upah atau gaji manupun diberi minuman ataupun
makanan. Pasca di bebaskan dari tahanan Ia hanya bisa bekerja sebagai petani
karena tidak ada pilihan pekerjaan lainnya. Peraturan Diskriminatif yang
membatasi ruang gerak para Eks Tapol membuat Sullen pasrah akan hidupnya
dan hanya bisa mengikuti perintah dan peraturan pemerintah yang telah di
tetapkan kepadanya. Penghasilan dari panen pertanian yang tidak menentu karena
petani di Blitar Selatan pada saat itu masih menggunakan sistem tradisional,
menjadikan Sullen bekerja mencari penghasilan tambahan sebagai kuli bangunan
dan mebel di desanya. Hasil panen dari tanaman pertanianya meliputi tanaman
palawija diantaranya yaitu Padi, Jagung, dan Ketela per panennya bisa mencapai
Kwintalan hingga 1 Ton apabila hasil panennya bagus. Sama seperti para Eks
Tapol lainya Sullen baru mendapatkan kebebasan dan memperoleh haknya pada
masa pemerintah Gus Dur.
7

Blitar, 22 Agustus 2021


Menyetujui Informan Penelitian

Sullen
7

Nama : Kasilah
Jenis kelamin : Perempuan
Usia 71
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Waktu Wawancara : 22 Agustus 2021

Kasilah merupakan salah satu Tapol perempuan Golongan C di Blitar


Selatan yang di tangkap karena terdapat seseorang yang pernah bertamu ke
rumahnya dan menginap beberapa hari di rumahnya yang mana tamu tersebut
merupakan anggota pelarian PKI dari pusat. Hal tersebut yang membuat Kasilah
beserta keluarganya di tangkap karena dianggap telah memberikan perlindungan
kepada seorang pemberontak PKI. Selain di tangkap beberapa saudara lainnya
juga menjadi korban ada yang di bunuh dan tidak dimakamkan secara hormat di
buang begitu saja di lubang pembantaian. Selain itu, salah satu adik kandungnya
juga sempat mengalami penyiksaan pada saat itu. Karena Kasilah merupakan
Tapol perempuan Ia tidak penyiksaan yang berat seperti para Tapol laki-laki.
Namun, Kasilah di suruh untuk ikut kepada salah satu militer yang menangkapnya
pada saat itu ke Jakarta untuk di jadikan sebagai pembantu di rumah militer
tersebut selama satu tahun tanpa upah atau gaji.
Pada saat itu, ia sangat dan tidak ada pilihan lainya selain mengikuti
instruksi dari militer tersebut. Namun setelah satu tahun Ia memberanikan diri
memohon agar dirinya bisa di lepaskan dan ingin pulang ke Blitar menemui
keluarganya, alhasil karena Kasilah selalu turut dan taat kepada instruksi militer
tersebut, Ia diizinkan pulang ke Blitar. Namun setelah pulang dari Blitar sama
sepeti halnya para para Tapol lainnya Kasilah harus tetap mengikuti sejumlah
peraturan diskriminatif yang telah di tetapkan oleh pemerintah terhadap para Eks
Tapol. Sama seperti hal nya dengan para Tapol yang lainya Kasilah juga harus
ikut absen atas keberadaanya selama satu minggu sekali ke koramil Bakung.
Selain itu, ketika ingin keluar kota atau daerah ia juga harus menurus surat
perizinan ke aparatur desa setempat, dapat dikatakan bahwa meskipun Ia telah di
bebaskan dari penahanan rumah militer dan sudah dapat berkumpul lagi bersama
keluarganya setelah dipisahkan selama satu tahun. Namun, ia tetap berada dalam
pengawasan aparatur desa setempat. Kurangnya pendidikan dan pengetahuan yang
hanya bisa menempuh pendidikan dasar tidak tamat karena terhambat oleh faktor
ekonomi membuat kasilah tidak dapat melawan selain pasrah akan hidupnya dan
tetap menaati peraturan diskriminatif yang telah ditetapkan terhadapnya.
Pekerjaan Kasilah pada kala itu hanyalah seorang petani dengan memanfaatkan
lahan peninggalan orang tuanya karena memang tidak ada pilihan pekerjaan
lainnya. Sama halnya seperti para Eks Tapol lainnya Kasilah baru bisa merasakan
udara segar berupa kebebasan pada masa pemerintahan presiden Gus Dur. Karena
7

pada masa Gus Dur peraturan diskriminatif yang mengikat para Eks Tapol di
hapus. Sehingga Ia merasa bahwa Gus Dur pantas bukan hanya saja disebut
sebagai presiden. Namun, juga disebut sebagai pahlawan bagi rakyatnya yang
pluralisme yang tidak membeda-bedakan masyarakat.

Blitar, 22 Agustus 2021


Menyetujui Informan Penelitian

Kasilah
7

Nama : Wiyono
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 84
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Tambak, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Waktu Wawancara : 24 Agustus 2021

Wiyono merupakan salah satu Tapol golongan C di Blitar Selatan yang


terkena dampak ikut ditangkap pada saat operasi Trisula karena Ia pernah
mengikuti organisansi PGRI non vaksentral. Pada saat itu Ia berprofesi sebagai
guru dan tertarik untuk mengikuti organisasi PGRI non vaksentral karena
program-progam yang di tawarkan sangat bagus dan menyejahterakan para guru
terutama guru honorer. Namun karena Ia mengikuti organisasi tersebut Ia harus
terkena dampak dari adanya peristiwa 65 yaitu dipecat secara tidak hormat dari
profesinya tanpa di beri pesangon, karena organisasi PGRI non vaksentral pada
saat itu disebut sebagai salah satu organisasi yang berada dalam naungan PKI.
Selain dipecat tidak hormat, sama halnya seperti para tahanan politik lainnya. Ia
juga merasakan dan mengikuti beberapa pertauran dikriminatif yang di tetapkan
terhadap para Eks Tapol. KTP (kartu tanda penduduk) Wiyono juga di beri tanda
ET seperti halnya para Eks Tapol lainnya. selain itu hal yang paling menyakitkan
adalah peraturan diskriminatif bukan hanya berdampak terhadap kehidupannya
melainkan juga berdampak terhadap kehidupan keturununannya.
Kebijakan Diskriminatif yang melarang para Eks Tapol PKI dan
keturunanya menjadi PNS, membuat Wiyono terpaksa harus rela menghapus
daftar nama anaknya dalam kartu keluarga agar anaknya dapat melanjutkan
pendidikannya dan tidak kesulitan dalam mencari pekerjaan. Wiyono meminta
bantuan temannya yang tidak pernah tersangkut peristiwa 65 untuk memasukkan
nama anaknya kedalam daftar anggota kartu keluarganya, alhasil anak-anaknya
bisa melanjutkan pendidikannya dan ada yang menjadi PNS. Dikrimnasi bukan
hanya berasal dari pemerintah saja namun juga berasal dari masyarakat setempat.
ia mengungkapkan bahwa ia pernah dikucikan oleh masyarakat karena ia
merupakan seorang tapol sehingga untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat
selain aktif dalam kegiatan kemasyarkatan, ia selalu berusaha untuk membatu
masyarakat sekitar apabila ada tetangganya yang sedang mengalami kesulitan, dan
selalu menawarkan makanan dan minuman terhadap tetangga yang duduk di
depan rumahya. Hal tersebut membuat masyarakat yang awalnya memiliki
pandangan negatif terhadapnya berubah menjadi positif. Setelah dipecat dari
profesi sebagai guru Ia kemudian bekerja sebagai petani karena memang tidak ada
pilihan pekerjaan lainnya. Tanaman panennya berupa tanaman Palawija (Padi,
7

Jagung, Ketela) dan hasil panen nya bisa mencapai kwintalan hingga ton-ton an
per panennya jika cuacanya mendukung karena pada saat itu petani di Blitar
Selatan masih mengantugkan cuaca sebagai tolak ukur baik buruknya hasil panen.
Sama seperti halnya dengan para Eks Tapol lainnya Wiyono baru bisa merasakan
kebebasan seutuhnya pada masa pemerintahan presiden Gus Dur karena pada
masa Gus Dur peraturan diskriminatif yang mengikat dan membatasi Eks Tapol di
hapus.

Blitar, 24 Agustus 2021


Menyetujui Informan Penelitian

Wiyono
7

Nama : Sukaji
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 80
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Ngrejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar
Waktu Wawancara : 24 Agustus 2021

Sukaji merupakan salah satu tapol golongan C di Blitar Selatan yang


tertangkap karena ikut-ikutan lari pada saat operasi Trisula berlansung, sehingga
militer mengira bahwa Sukaji merupan anggota PKI yang ingin melarikan diri. Ia
tidak tahu-menuahu mengenai persoalan politik pada saat itu Ia hanya merasa
ketatukan pada saat militer melakukan operasi sehingga ia ikut-ikutan lari. Pada
saat itu Sukaji di tahan di koramil Bakung selama beberapa minggu dan juga
sempat mendapatkan penyiksaaan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari
militer. Ia juga pernah dicukur botak oleh militer untuk menandai dan
mempermudah pengawasan bahwa yang kepalanya botak merupakan orang-orang
yang tersangkut dan harus diawasi. Setelah bebas dari tahanan Sukaji juga
melakukan absen atas keberadaan dirinya ke koamil Bakung setiap seminggu
sekali. Selain itu, Sukaji juga ikut dikerja paksakan sama halnya seperti para Eks
Tapol lainya untuk membangun monumen Trisula dan membangun fasilitas
pemerintahan seperti sekolah, kantor, jalan tanpa upah atau gaji maupun diberi
makanan atau minuman.
Latar Belakang sebagai seorang Eks Tapol membuat Sukaji beserta teman-
temannya kesulitan dalam mencari pekerjaan sehingga tidak ada pilihan pekerjaan
lainnya kecuali bekerja sebagai seorang petani. Selain itu tingkat pendidikan yang
rendah yaitu tidak lulus Sekolah Dasar (SD) membuat Sukaji hanya bisa pasrah
akan hidupnya pada saat itu pekerjaan apapun akan ia jalani yang penting
pekerjaan tersebut halal. Ia bertani dengan memanfaatkan lahan sepetak
peninggalan oranga tuanya. Hasil panen pertaniannya meliputi tanaman palawija
berupa Padi, jagung, Ketala, dan tanaman kacang-kacangan seperti kedelai dan
kacang tanah. Setiap panen bisa mengahasilkan kwintal hingga ton-ton an per
tahunnya. Namun hasil tersebut tidak menentu karena Ia hanya mengandalkan
cuaca dalam bertani dan masih menggunakan alat sederhana seperti sapi untuk
membajak sawah, belum menggunakan mesin modern seperti traktor seperti saat
ini. Hasil panen yang dirasa belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
membauat Sukaji berinisiatif untuk membuat kerajinan alat barongan untuk di
jual. Kepiawiannya dalam mengukir ia gunakan untuk menambah penghasilan.
Alhasil kerajinan tangannya berhasil dia jual hingga ke luar kota. Harga alat
kejaninannya dipatok mulai Rp 1000-2000 tergantung model atau motif ukiranya.
Namun, penghasilannya juga tidak menentu, karena pemesanan hanya datag di
bulan-bulan tertentu yaitu pada saat adanya acara pementasan budaya. Sama
7

halnya dengan para Eks Tapol lainnya, Sukaji baru merasakan kebebasan pada
saat masa pemerintahan Gus Dur. Karena pada masa Gus dur peraturan
diskriminatif yang membatasi Eks Tapol beserta keturunannya dihapus dan
dihilangkan.

Blitar, 24 Agustus 2021


Menyetujui Informan Penelitian

Sukaji
7

Nama : Suparman
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 86
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Tambak, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Waktu wawancara : 26 Agustus 2021

Suparman merupakan Eks Tapol golongan B yang di tangkap karena


pernah menjadi seorang carik (Sekertaris Desa) yang mana pada saat itu ketika
pemilihan Carik di desanya ia menggunakan partai PKI sebagai partai pengusung
dalam mengikuti pemilu pemilihan Carik pada saat itu. Sehingga Ia dituduh
sebagai bagian dari kelompok orang kiri. Ia di penjara dan di asingkan ke pulau
Buru selama kurang lebih sepuluh tahun, mulai dari tahun 1968 dan dibebaskan
pada tahun 1979. Pada masa penahanan dan pengasingan di pulau Buru ia sering
mengalami penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari militer. Selain
itu, Ia bersama dengan teman-teman senasibnya juga harus membangun fasilitas
pemerintah berupa jalan, kantor di pulau Buru yang pada saat itu masih hutan
belantara tanpa upah ataupun gaji dan sepeser makanan atau minuman. Suparman
beserta teman-temannya di pekerja paksakan dan di suruh mencari makan sediri
dengan mengolah tanaman yang ada di pulau Buru pada saat itu. Hal tersebut
dialaminya selama bertahun-tahun.
Setelah di bebaskan dari pengasingan di Pulau Buru pada tahun 1979
kehidupan Suparman tidak langsung sepenuhnya bebas, Ia harus menandatangani
sejumlah peraturan diskriminatif yang mengikatnya dan keluarganya sebagai
syarat dari kebebasanya. Seperti hal nya dengan para Eks tapol lainnya Ia tetap di
haruskan wajib lapor atas keberadaanya selama seminggu sekali di Koramil
Bakung. Pasca dibebaskan latar belakang sebagai seorang tahanan politik
membuatnya kesulitan dalam mencari pekerjaan sehingga Ia hanya bisa bertani
dengan memanfaatkan lahan sepetak peninggalan orang tuanya. Selain itu karena
penghasilan bertani di rasa tidak bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari, maka
Ia menambah penghasilan dengan menjadi buruh di salah satu orang etnis
Tionghoa di Blitar. Menurut Suparman peraturan Diskriminatif dari pemerintah
Orde baru yang sangat menyakitkan adalah larang Para Eks Tapol PKI beserta
Keturunannya menjadi PNS, hal tersebut menjadikan Suparman berfikir dan
memutuskan untuk menghapus daftar nama anaknya dari kartu keluarga dan
meminta tolong kepada kerabatnya yang tidak memiliki keterkaitan atau tidak
perah tersangkut peristiwa 65 untuk memasukkan daftar nama anaknya ke kartu
keluarga kerabatnya tersebut. Hal tersebut dilakukan agar anak-anaknya dapat
melanjutkan pendidikan dengan mudah dan dapat memperoleh pekerjaan yang
layak dan bisa berkarir di pemerintahan. Al-hasil usaha Suparman yang rela
mengahspus daftar nama anak nya dari kartu keluarganya membuat salah satu
7

anaknya menjadi PNS. Peranturan Diskriminatif pemerintah Orde Baru harus


tetap ia jalani dan Ia terima karena jika Ia membangkang dan tidak menjalankan
peraturan sesuai surat perjanjian maka hukuman lebih berat akan dijatuhkan
kepadanya. Kondisi tersebut dialaminya selama bertahun-tahun dan baru bisa
merasakan kebebasan pada masa pemerintahan Gus Dur.

Blitar, 26 Agustus 2021


Menyetujui Informan Penelitian

Suparman
8

Nama : Sutrisno
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 75
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Tambak, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Waktu wawancara : 26 Agustus 2021

Sutrisno merupakan tahanan politik 65 Golongan B dari Blitar Selatan


yang di tangkap karena pernah ikut organisasi CGMI. Organisasi CGMI
merupakan organisasi ekstra kampus, di universitas nya pada saat itu. Pada waktu
itu, CGMI dianggap sebagai organisasi yang berada di bawah naungan PKI,
sehingga ia harus ikut-ikut an terseret di tangkap dan di tahan selama bertahun-
tahun sebagaimana yang dialami para tahanan politik lainnya. Pada masa
penahanan ia sering kali mendapatkan penyiksaan dan perlakuan yang tidak
manusiawi, bukan hanya ditahan tapi ia juga dijauhkan dari masyarakat dan
keluarga nya serta diasingkan di pulau Buru. Pulau Buru pada saat itu merupakan
pulau yang amat terpencil, dan ia beserta teman-teman senasib nya, di asingkan di
sana dengan maksud untuk membangun fasilitas pemerintah di pulau Buru, ia di
pulau Buru di pekerjakan secara paksa, selain itu setelah bebas dari pengasingan
pada tahun 1979 ia juga harus mematuhi kebijakan diskriminatif pemerintah yang
ditujukan kepada dirinya dan seseorang yang senasib dengan nya.
Kebijakan diskriminatif pemerintah Orde Baru bukan hanya berdampak
pada dirinya tetapi juga berdampak terhadap keluarga dan anak turunnya, hal
tersebut dikarenakan pada saat itu terdapat kebijakan yang melarang bahwa anak
mantan tahanan politik di larang menjadi PNS dan berkeja di instansi pemerintah,
selain itu ada beberapa pekerjaan yang dilarang bagi seorang mantan tahanan
politik, sehingga menjadikan kondisi Ekonomi nya pada saat itu semakin sulit,
pada saat itu ia hanya bisa bekerja sebagai buruh kasar dan juga bertani dengan
memanfaatkan lahan peninggalan orang tuanya yang tersisa, karena memang tidak
pilihan pekerjaan lainya, akses untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dan
memiliki karir yang bagus sudah tertutup baginya karena memiliki latar belakang
sebagai seorang tahanan politik. Hal yang paling menyakitkan adalah diskriminasi
bukan hanya berasal dari pemerintah tapi juga dari masyarakat setempat, latar
belakang sebagai tahanan politik membuat masyarakat di lingkungannya enggan
dekat dan memiliki hubungan dengan nya, sehingga ia harus berusaha untuk
menanamkan citra yang baik terhadap masyarakat agar tidak dijauhi masyarakat
sekitar. kondisi seperti ini dialaminya selama bertahun-tahun, ia baru
mendapatkan hak dan kebebasan sepenuhnya pada masa pemerintahan presiden
Gus Dur, dimana pada masa pemerintahan Gus Dur beberapa peraturan
diskriminatif yang di berlakukan kepada mantan tahanan politik telah di hapus,
sehingga mantan tahanan politik mulai merasakan kebebasan yang sebenarnya
dan sudah mulai mendapatkan hak nya sebagai warga negara Indonesia yang tidak
di diskriminasikan.
8

Blitar, 26 Agustus 2021


Menyetujui Informan Penelitian

Sutrisno
8

Nama : Yateman
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 72
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Waktu wawancara : 3 September 2021

Yateman merupakan salah satu Eks Tapol Golongan C di Blitar Selatan


yang di tangkap karena pernah menjadi bagian salah satu anggota Lekra (lembaga
kebudayaan rakyat) dimana Ia pada saat itu hanya bertugas sebagai pemain ludruk
di organisasi tersebut. Pada saat itu Lekra disebut sebagai organisasi yang berada
di bawah naungan PKI sehingga ia ikut-ikutan di tangkap pada saat operasi
Trisula (operasi penupasan PKI) di Blitar Selatan pada tahun 1968. Yateman di
tangkap dan di penjara di lapas Blitar Selama satu tahun. Sama halnya seperti para
Eks tapol lainnya Yateman juga sering mengalami perlakuan yang tidak
manusiawi dan kekerasan dari militer pada saat dipenjara. Pasca dibebaskan pun
ia juga harus menandatangani surat yang berisi tentang sejumlah peraturan
diskrimanatif yang harus ia taati sebagai syarat dari kebebasannya. Salah satu
peraturan yang harus Ia jalankan adalah setiap minggu Ia harus absen atas
keberadaannya di koramil Bakung. Yateman harus menjalani absen (wajib Lapor)
ke Koramil bakung setiap seminggu sekali hal ini dikarenakan pada saat itu
wilayah wonotirto masih merupakan bagian dari wilayah Bakung. Meskipun jarak
antara Bakung dan Wonotirto sangatlah jauh harus melewati beberapa sungai,
karena pada saat itu belum dibangun jembatan, namun peraturan wajib lapor
tersebut harus tetap dijalani karena jika tidak menjalankan peraturan tersebut
maka akan diberi hukuman berupa kerja paksa membangun fasilitas pemerintah di
desa tersebut. Dan apabila ada alasan yang tidak memungkinkan untuk pergi
absen ke koramil seperti sakit maka Eks tapol harus mengurus surat izin yang
dikeluarkan oleh kepala desa setempat agar bisa mendapatkan izin dan tidak
mendapatkan hukuman. Hal tersebut ia jalani selama bertahun-tahun dan tetap Ia
ikuti agar tidak mendapatkan hukuman yang lebih berat dari militer.
Kebijakan diskriminatif pemerintah Orde Baru bukan hanya berdampak
terhadap kehidupannya tetapi juga berdampak terhadap kehidupan anak-anaknya
karena beberapa anaknya memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya
dikarenakan latar bekalakang ayah yang merupakan seorang Eks Tahanan politik.
Hal tersebut dikarenakan mereka mengetahui bahwa adanya kebijakan yang
melarang para Eks Tapol beserta keturunannya menjadi PNS. Hal tersebut
tentunya sangat tidak adil dan menyakitkan bagi Yateman dan para Eks Tapol
lainnya karena menurut Yateman anak mereka tidak pernah memiliki hubungan
dengan PKI maupun peristiwa 65 tetapi harus terkena dampaknya akibat dari
adanya kebijakan tersebut. Pasca dibebaskan dari tahanan, latar belakang sebagai
seorang Eks Tapol membuat Yateman kesulitan dalam mencari pekerjaan
sehingga Ia hanya bisa bekerja sebagai seorang petani dengan memanfaatkan
lahan seadanya karena memang tidak ada pilihan pekerjaan lainnya. beberapa
tanamannya berupa tanaman palawija (padi, jagung, ketela) dan beberapa kacang-
kacangan yaitu kedelai dan kacang tanah. Hasil panen nya bisa mencapai
8

kwintalan hingga ton-ton an disetiap panennya. Namun hasil tesebut tidak


menentu karena memang pada tahun 70 sampai 80 an petani di Blitar Selatan
masih menggantungkan cuaca sebagai tolak ukur baik-buruknya hasil panen.
Sama halnya seperti para Eks Tapol lainnya Yateman baru bisa merasakan
kebebasan dan memperoleh haknya sebagai mana masyarkat indonesia pada
umunya di masa pemerintahan Gus Dur. Karena, pada masa pemerintahan Gus
Dur pemeraturan diskriminatif Orde baru yang membatasi ruang gerak para Eks
tapol di hapus.

Blitar, 3 September 2021


Menyetujui Informan Penelitian

Yateman
8

Nama : Mawan Mahyuddin


Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 42
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Desa Bence, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar
Waktu wawancara : 2 Agustus 2021

Mawan merupakan pendiri Lembaga Swadaya Masyarakat The Post


Institute. The Pos Institute sendiri merupakan lembaga swadaya masyarakat di
Blitar yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. Lembaga tersebut mulai
melakukan rekonsiliasi dan pendataan terhadap korban peristiwa 65 di Blitar
Selatan sejak tahun 2003. Tujuan dari adanya rekonsiliasi dan pendataan yang
digencarkan oleh lembaga The Post Institute adalah agar para korban 65
khususnya di Blitar Selatan mendapatkan keadilan berupa bantuan dan
kompensasi dari pemerintah, karena dampak dari peristiwa 65 memakan banyak
korban yang dibunuh, ditangkap dan di tangkap secara sewenang-wenang tanpa
melalui proses hukum, bukan hanya itu, masyarakat di Blitar Selatan banyak yang
tidak tahu menahu tetapi ikut-ikutan terseret dan menjadi sasaran militer pada saat
operasi penupasan PKI tahun 1968, selain itu mereka juga banyak yang
kehilangan harta benda, dikerja paksakan selama berbulan-bulan hingga bertahun-
tahun dan mengalami penderitaan selama bertahun-tahun karena perlakuan dan
peraturan diskriminatif yang ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru terhadap
orang-orang yang di anggap pernah tersangkut peristiwa 65. Hal tersebut yang
Mawan berinisiatif untuk mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat The Post
Institute. Sebelum mendirikan The Post Institute Mawan juga pernah bergabung
dalam Lakpesdam yaitu Lembaga Kajian dan pengembangan Sumber daya
Manusia yang dinaungi oleh Nahdhatul Ulama.
Jumlah Eks Tapol di Blitar Selatan yang berhasil di data oleh lembaga The
Post Institute tersebut sebanyak 83 orang yang jumlah tersebut terbagi dalam dua
kecamatan yang ada di Blitar Selatan diantaranya yaitu Kecamatan Bakung dan
juga Kecamatan Wonotirto, di kecamatan Bakung terdapat 46 Eks Tapol yang
terbagi dalam dua desa yaitu desa Ngrejo dan desa Lorejo. Di desa Ngrejo
terdapat 27 orang (Eks Tapol), sedangkan di desa Lorejo terdapat 19 orang (Eks
Tapol). sedangkan di kecamatan Wonotirto terdapat 37 orang, yang terbagi dalam
dua desa yaitu Desa Pasiraman dan Desa Tambakrejo. Di desa Pasiraman terdapat
13 orang (Eks Tapol) sedangkan di desa Tambakrejo terdapat 24 orang (Eks
Tapol). Dari jumlah 83 Eks Tapol di Blitar Selatan yang terdata dalam LSM
(lembaga Swadaya Masyarakat) The Post Institute kebanyakan dari mereka
merupakan Eks Tapol Golongan C. Hal ini dikarenakan Blitar Selatan dahulunya
merupakan tempat pelarian anggota PKI dari pusat, namun banyak masyarakat
sekitar yang tidak tahu menau tetapi menjadi korban sasaran operasi penupasan
PKI (Trisula) di Blitar Selatan pada tahun 1968.
8

Blitar, 2 Agustus 2021


Menyetujui InformanPenelitian

Mawan Mahyuddin
8

Nama : Iwan
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 52
Pekerjaan : Carik (Sekertaris Desa)
Alamat : Desa Ngrejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar
Waktu Wawancara : 24 Agustus 2021

Iwan merupakan Kepala Desa Ngrejo Kecamatan bakung Kabupaten


Blitar. Menurut Iwan pada tahun 60 an Masyarakat Blitar Selatan masih minim
pendidikan pengetahuannya dan informasi, sehingga masyarakat tidak mengetahui
adanya pelarian anggota PKI dari pusat yang lari ke Blitar Selatan. Pada tahun 68
banyak orang-orang pendatang yang bukan asli penduduk setempat, bertamu ke
rumah-rumah penduduk di Blitar Selatan bahkan ada yang sampai menginap
beberapa hari di rumah mereka. Sesuai dengan budaya masyarakat setempat
ketika ada tamu yang berkunjung ke rumah mereka, maka mereka harus menerima
dan memulyakan tamu tersebut. Namun masyarakat Blitar Selatan tidak
menyadari bahwa orang yang bertamu dan berkunjung di rumah mereka
merupakan buronan atau pelarian anggota PKI dari pusat. Rendahnya
pengetahuan dan minimnya informasi di Blitar Selatan mengakibatkan masyarakat
setempat ikut-ikut an terseret ketika militer mengetahui bahwa terdapat anggota
PKI yang berhasil melarikan diri dan bersembunyi di Blitar Selatan. selain itu,
adanya isu bahwa anggota PKI yang berhasil melarikan diri dan bersembunyi di
Blitar Selatan, berhasil mempengaruhi masyarakat setempat untuk membangun
kembali basis PKI di Blitar Selatan, menyebabkan masyarakat Blitar Selatan
banyak yang menjadi korban dan sasaran militer pada saat operasi penupasan PKI
di Blitar (Operasi Trisula).
Banyak masyarakat setempat yang tidak tahu-menahu apa itu PKI, namun
ikut-ikutan tertangkap dan dipenjara karena di anggap bekerja sama dengan
anggota atau Pentolan-pentolan PKI yang berhasil melarikan diri dan
bersembunyi di Blitar Selatan. Minimnya pengetahuan dan rendahnya pendidikan
masyarakat mengakibatkan penduduk desa setempat merasa ketakutan dan ikut-
ikutan lari ketika ada militer dengan membawa pistol datang melakukan operasi di
desa-desa Blitar Selatan. Situasi tersebut membuat membuat penduduk
(masyarakat) setempat tidak berdaya dan pasrah terhadap takdir hidup mati
mereka, Karena banyak penduduk yang lari namun malah terkena tembak ketika
bertemu dengan militer, sehingga kebanyakan dari mereka memilih menyerahkan
diri dan mengikuti perintah yang di tetapkan oleh militer. Orang-orang
(penduduk) yang yang berhasil tertangkap maupun menyerahkan diri tersebut
disebut sebagai Eks Tapol oleh militer dan untuk menandai bahwa mereka adalah
seorang Eks Tapol maka Militer mencukur ramput orang-orang (penduduk) yang
tertangkap tersebut ramput sampai gundul. Hal ini dilakukan untuk menandai
bahwa mereka merupakan orang-orang Eks Tapol yang berbahaya dan harus
diawasi. Peraturan disriminatif pemerintah Orde Baru terhadap Eks Tapol bukan
hanya berdampak terhadap kehidupan Eks Tapol di Blitar Selatan saja namun,
Juga berdampak terhadap keturunan mereka. Menurut Iwan mengatakan bahwa
ada penduduk yang menjadi depresi (gila) akibat karena telah mendaftar PNS
8

namun tidak diterima pada saat seleksi pemberkasan, hal itu dikanenakan orang
tuanya merupakan bekas tahanan Politik, sehingga pemerintah membatalkan
penduduk tersebut menjadi anggota PNS.

Blitar, 24 Agustus 2021


Menyetujui Informan Penelitian

Iwan
8

LAMPIRAN 8. FOTO KEGIATAN PENELITIAN

Gambar 6.1 Foto dengan Informan Yateman (Eks Tapol Golongan C Wonotirto)
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Gambar 6.2 Foto dengan Informan Kasilah (Eks Tapol Golongan C Wonotirto)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
8

Gambar 6.3 Foto dengan Informan Sukaji (Eks Tapol Golongan C Bakung)
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Gambar 6.4 Foto dengan Informan Suparman (Eks Tapol Golongan B Wonotirto)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
9

Gambar 6.5 Foto dengan Informan Sutrisno (Eks Tapol Golongan B Wonoirto)
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Gambar 6.6 Foto dengan Informan Wiyono (Eks Tapol Golongan B Wonoirto)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
9

Gambar 6.7 Foto dengan Informan Sullen (Eks Tapol Golongan C Bakung)
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Gambar 6.8 Foto dengan Informan Talam (Eks Tapol Golongan B Bakung)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
9

Gambar 6.9 Foto dengan Informan Sukiman (Eks Tapol Golongan C Wonotrirto)
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Gambar 6.10 Foto dengan Informan Iwaan (Carik Desa


Bakung) Sumber : Dokumentasi Peneliti
9

LAMPIRAN 9. SURAT PEMBEBASAN EKS TAPOL

Gambar 7.1 Foto Surat Pembebasan Eks Tapol Gol C


Yateman Sumber : Dokumentasi Peneliti
9

Gambar 7.1 Foto Surat Pembebasan Eks Tapol Gol B Markus


Talam Sumber : Dokumentasi Peneliti
95

LAMPIRAN 10. KEPUTUSAN PRESIDEN NO.28/1975 TENTANG


PERLAKUAN TERHADAP MEREKA YANG TERLIBAT G.30.S/PKI
GOLONGAN C
9
9

Sumber : JDIH database Peraturan BPK.RI.


https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/78534/keppres-no-28-tahun-1975
9

LAMPIRAN 11. INSTRUSKSI DALAM NEGERI NO.32/1981 TENTANG


PEMBINAAN DAN PENGAWASAN TERHADAP BEKAS TAHANAN
DAN BEKAS NARAPIDANA G 30 S/PKI
9

Sumber : Perpustakaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia


https://perpustakaan.komnasham.go.id/opackomnas/index.php?
p=show_detail&id
=6581&keywords=
10

LAMPIRAN 12. BERITA KORAN ATAU MAJALAH TERKAIT EKS


TAPOL

Gambar 9.1. Berita Tentang karena terlibat G 30 S/PKI : 1.580.020 orang tak
boleh gunakan hak pilih.
Sumber : Surabaya Post. 3 Desember 1981
10

Gambar 9.2 Berita tentang Tidak boleh bertransmigrasi Eks Tahanan G 30 S/PKI
Sumber : Jawa Post. 20 September 1982

Gambar 9.3 Berita tentang Eks Tapol G 30 S Boleh kembali ke Profesinya


Sumber : Jawa Post. 12 Agustus 1982
10

Gambar 9.3 Berita tentang Straregi Departemen Dalam Negeri Untuk menangkal
Bahya Komunisme
Sumber : Majalah Mimbar Departemen Dalam Negeri No. 3 Th 1982/1983 Hal 2
10

LAMPIRAN 13. KTP EKS TAPOL

Sumber : Kontras (Komisi orang Hilang dan korban kekerasan) 2012

Keterangan : Pembuatan kode khusus, yakni ET, di dalam Kartu Tanda Penduduk
(KTP) yang menyatakan bahwa pemegangnya adalah eks-tapol, atau anggota
dari organisasi terlarang.
10

LAMPIRAN 14. SURAT PERIZINAN PENELITIAN


10

Anda mungkin juga menyukai