SKRIPSI
Oleh :
Binti Masruroh
NIM 170210302051
SKRIPSI
diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Strata
Satu (S1) Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember
dan mencapai gelar Sarjana Pendidikan
Oleh :
Binti Masruroh
NIM 170210302051
ii
PERSEMBAHAN
iii
MOTO
If freedom of speech is taken away, then dumb and silent we may be led, like sheep to
the slaughter “jika kebebasan berbicara diambil, maka bodoh dan diam kita mungkin
akan membawa seperti domba ke pembantaian”(George Washington)*)
atau
Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu**)
*)
David M Robertson. 2009. An American warning. United state. iuniverse.com. Hal 16
**)
Undang-Undang 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 huruf I ayat (2)
iv
PERNYATAAN
Binti Masruroh
170210302051
v
SKRIPSI
Oleh
Binti Masruroh
NIM 170210302051
Pembimbing
v
PENGESAHAN
Tim Penguji:
Ketua, Anggota I
Mengesahkan
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
v
RINGKASAN
Eks Tapol adalah mantan tahanan politik. Dalam hal ini tahanan politik
yang di maksud adalah orang-orang yang pernah, di tangkap dan ditahan selama
bertahun-tahun tanpa melalui proses eksekusi, Pada saat operasi penupasan PKI.
Hal tersebut dikarenakan mereka dianggap memiliki hubungan dengan organisasi
yang berbau kiri (PKI). Eks Tapol yang di maksud dalam penelitian ini adalah Eks
Tapol yang pernah tersangkut pada peristiwa Trisula di Blitar Selatan. Pasca
peristiwa 65 militer terus melakukan operasi terhadap wilayah-wilayah yang
dianggap sebagai sarang maupun tempat pelarian anggota PKI yang berhasil
meloloskan diri. Blitar Selatan merupakan salah satu daerah tempat persembunyian
anggota PKI dari pusat yang berhasil melarikan diri. Sehingga mengetahui hal
tersebut, Militer menggelar Operasi Trisula di Blitar Selatan untuk menupas
anggota PKI yang berhasil melarikan diri ke Blitar Selatan.
Operasi Trisula yang bertujuan untuk menupas PKI bukan hanya
memerangi anggota pelarian PKI dari pusat saja, melainkan juga memerangi orang-
orang yang minim kaitannya dengan PKI dan bahkan tidak ada hubungan sama
sekali dengan PKI. Pada saat itu, militer menggap masyarakat Blitar Selatan
sebagai musuh karena telah membantu anggota pelarian PKI dari pusat yang
sebenarnya masyarakat pun juga tidak mengetahui bahwa mereka merupakan
pelarian PKI dari pusat. Sehingga banyak masyarakat Blitar Selatan yang menjadi
korban dan menjadi tahanan politik pada saat itu. Dalam upaya memberantas
kebangkitan komunis di Indonesia pemerintah Orde Baru menetapkan sejumlah
peraturan diskriminatif dan melakukan pengawasan terhadap tahan politik PKI, hal
tersebut tentunya berdampak terhadap kehidupan baik sosial maupun ekonomi Eks
Tahanan Politik di Blitar Selatan.
vi
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagiamana pengawasan
pemerintah daerah terhadap Eks Tapol di Blitar Selatan dibebaskan dari tahanan
1968-1998; (2) bagaimana dinamika kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar
Selatan pasca berakhirnya operasi Trisula dalam kurun waktu tahun 1968 hingga
tahun 2000. Tujuan penelitian ini adalah Mendeskripsikan pengawasan pemerintah
daerah terhadap Eks Tapol di Blitar Selatan setelah dibebaskan dari tahanan 1968-
1998 dan Mengkaji dinamika (Perubahan, perkembangan serta kesinambungan)
kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar Selatan pasca berakhirnya operasi
Trisula dalam kurun waktu tahun 1968 hingga tahun 2000. Penelitian ini
menggunakan metode sejarah dengan 4 tahapan, yakni heuristik, verifikasi,
interpretasi dan historiografi. Dalam penelitian ini menggunakan sampel 9 Eks
Tapol di Blitar Selatan dan menggunakan 2 Narasumber yang mengetahui
kronologi peristiwa 68 di Blitar Selatan yaitu Carik desa Ngrejo (salah satu daerah
di Blitar Selatan) dan Ketua LSM The Post Institute yang pernah melakukan
rekonsiliasi terhadap Eks Tapol di Blitar Selatan.
Hasil penelitian ini adalah pengawasan dan pembinaan yang di terapkan
oleh pemerintah daerah terhadap mantan tahanan politik di Blitar Selatan
diantaranya yaitu : (1) Kebijakan wajib lapor, (2) Pencabutan Hak sipil dan Hak
politik, (3) Pemberian kode Khusus (ET) terhadap KTP para Eks Tapol.
Dinamika kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol di Blitar Selatan pasca
berakhirnya operasi Trisula adalah dari segi Ekonomi para Eks Tapol di Blitar
Selatan banyak yang bekerja sebagai seorang petani. Hal tersebut dikarenakan
pendidikan yang rendah dan adanya peraturan bahwa Eks Tapol beserta
keturunanya dilarang memiliki pekerjaan tertentu serta dilarang menjadi PNS
membuat para Eks Tapol di Blitar Selatan tidak punya pilihan lain, selain menjadi
seorang petani. Penghasilan sebagai seorang petani yang tidak menentu, membuat
beberapa Eks Tapol di Blitar Selatan menambah penghasilan mereka dengan
memelihara binatang ternak seperti sapi, kambing, dan ayam. sedangkan dari segi
Sosial adanya stigma bahwa Eks Tapol PKI merupakan musuh negara membuat
sebagian masyarakat di Blitar Selatan memilih menjauhui Eks Tapol dan enggan
memiliki hubungan dengan Eks Tapol.
vi
SUMMARY
ix
Blitar after the end of Trisula operations in the period 1968 to 2000. The purpose of
this study is to describe the local government's supervision of Ex Tapol in South
Blitar after being released from detention 1968-1998 and Examine the dynamics
(Changes, development and continuity) of Ex-Tapol Socio-Economic life in South
Blitar after the end of trisula operations in the period 1968 to 2000. This research
uses historical methods with 4 stages, namely heuristics, verification, interpretation
and historiography. In this study using a sample of 9 Ex Tapol in South Blitar and
using 2 resource persons who knew the chronology of 68 events in South Blitar,
namely Carik Ngrejo village (one of the areas in South Blitar) and the Chairman of
the NGO The Post Institute who had reconciled to Eks Tapol in South Blitar.
The results of this study are supervision and coaching applied by the local
government to former political prisoners in South Blitar, including: (1) Mandatory
reporting policy, (2) Civil rights and political rights, (3) Provision of Special Codes
(ET) for ex-Tapol ID cards.
The dynamics of Ex-Tapol Socio-Economic life in South Blitar after the end
of trident operations is in terms of economy of the Ex Tapol in South Blitar many
who work as farmers. This is due to low education and the regulation that Ex Tapol
and his descendants are prohibited from having certain jobs and are prohibited from
being civil servants, making ex-tapols in South Blitar have no other choice but to
become a farmer. Income as an uncertain farmer, making some Ex Tapol in South
Blitar increase their income by raising livestock such as cows, goats, and chickens.
while in terms of Social there is a stigma that ex-Tapol PKI is an enemy of the state
makes some people in South Blitar choose to stay away from Ex Tapol and
reluctant to have a relationship with Ex Tapol.
x
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Dinamika Kehidupan
Eks Tapol di Blitar Selatan 1968-2000”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah
satu syarat menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Program Studi
Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Iwan Taruna, M.Eng, selaku rektor Universitas Jember;
2. Prof. Dr. Bambang Soepeno, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Jember;
3. Dr. Sumardi, M.Hum, selaku ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial;
4. Drs. Marjono, M.Hum, selaku ketua Program Studi Pendidikan Sejarah
Universitas Jember;
5. Drs. Kayan Swastika, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah
meluangkan waktu, pikiran, dan memberikan bimbingan serta arahan dan
perhatian selama proses penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran;
6. Dr. Moh Na‟im, M.Pd, selaku Dosen Penguji Utama yang telah meluangkan
waktu, pikiran, dan memberikan bimbingan serta arahan dan perhatian selama
proses penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran;
7. Dr. Nurul Umamah, M.Pd, selaku Dosen Penguji Anggota selaku Dosen
Penguji Utama sekaligus Dosen Pembimbing Akademik (DPA) yang
membimbing dari awal hingga akhir dan telah berkenan meluangkan waktu,
pikiran dan bimbingan serta arahan selama proses penulisan ini;
8. Dosen-dosen Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan ilmu
dan membimbing dari awal semester hingga saat ini;
9. Kedua orang tua dan Keluarga besar yang selalu memberikan dukungan dan
motivasi lahir batin untuk kelancaran studi;
xi
10. Teman-teman Program Studi Pendidikan Sejarah angkatan 2017 yang telah
berjuang bersama dari awal semester hingga saat ini untuk mendapatkan gelar
sarjana pendidikan;
11. Paman dan Bibi Saya yang selama ini telah memotivasi tanpa berhenti;
12. Serta semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat.
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL..............................................................................................ii
HALAMAN PERSEMBAHAN...........................................................................iii
HALAMAN MOTO..............................................................................................iv
HALAMAN PERNYATAAN................................................................................v
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................vi
RINGKASAN.......................................................................................................vii
PRAKATA.............................................................................................................xi
DAFTAR ISI.......................................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................xv
DAFTAR TABEL...............................................................................................xvi
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................xvii
BAB 1. PENDAHULUAN.....................................................................................1
xi
3.1.1 Heuristik................................................................................................17
3.1.2. Kritik.....................................................................................................19
3.1.3 Interprestasi............................................................................................22
4.3 Pemberian kode Khusus (ET) terhadap KTP para Eks Tapol...................35
BAB 6. PENUTUP................................................................................................48
6.1 Simpulan...................................................................................................48
6.2 Saran.........................................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................51
LAMPIRAN..........................................................................................................55
xi
DAFTAR GAMBAR
Halama
x
DAFTAR TABEL
Halaman
x
DAFTAR
Halama
xv
BAB 1.
1
2
Tragedi 65 atau dikenal dengan Peristiwa Gestok yang terjadi pada Satu
Oktober 1965 saat dini hari, dimana terjadi penculikan terhadap Menteri Panglima
Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani beserta lima jenderal staf umumnya oleh
suatu gerombolan yang menyebut dirinya sebagai Gerakan 30 September
(disingkat G 30 S) di Jakarta. Dimana gerakan tersebut mengatakan bahwa aksi
mereka bertujuan untuk melindungi Presiden Soekarno dan menghalangi kup
kontra-revolusioner yang akan direncanakan oleh golongan yang dikenal dengan
sebutan Dewan Jenderal (Gede, 2012:115).
Gerakan 30 September tersebut runtuh secepat dengan kemunculannya.
Dengan tidak adanya Jenderal Ahmad Yani, membuat Mayor Jenderal Suharto
mengambil alih komando Angkatan Darat pada 1 Oktober pagi hari, dan saat
petang hari ia mengadakan serangan balik. Beberapa pasukan yang dianggap
pemberontak akhirnya berhasil ditangkap sedangkan sisanya berhasil pergi dan
melarikan diri dari Jakarta pada 2 Oktober pagi hari (Roosa, 2008:4). Setelah
Angkatan Darat mengadakan serangan balik dan berhasil memukul mundur
pasukan G 30 S, Angkatan Darat dengan segera melakukan penupasan terhadap
Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan tanpa adanya bukti yang jelas angakatan
darat menuduh PKI sebagai dalang dari G 30 S (Gede, 2012:115). Hal tersebut
berdampak terhadap anggota PKI di seluruh daerah tak terkecuali Blitar.
Tidak lama kemudian setelah peristiwa tersebut, dimulailah masa
perburuan dan pembantaian terhadap orang-orang yang diduga memiliki
keterkaitan dengan PKI ataupun simpatisan PKI. di Kota Blitar (Blitar wilayah
utara) pada saat itu sudah ramai terjadi pembunuhan dan penculikan terhadap
orang orang yang dianggap PKI (Kontras, 2012:22). Operasi besar-besaran untuk
menupas PKI di Blitar kemudian digelar oleh militer ketika mengetahui Para
anggota PKI yang selamat dari reprsi di Jawa bersembunyi di Blitar selatan pada
tahun 1996-1967, hal tersebut dikarenakan Blitar selatan merupakan daerah yang
masih terpencil dan sulit dijangkau oleh Militer. Menurut buku versi rezim
pemerintahan Orde Baru, pada Oktober 1967 anggota PKI yang berhasil lolos dari
kejaran militer, mulai membangun basis dan membentuk Compro (komite Proyek
Basis) di Blitar Selatan (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994:162).
3
Pada akhir tahun 1967, gerakan di Blitar selatan mulai diketahui oleh
militer, hal tersebut dikarenakan aksi-aksi yang dilakukan oleh datasemen kompro
tidak jauh dari daerah tersebut. Khodam Brawijaya menggerakkan ribuan pasukan
dengan peralatan tempur untuk menggelar sebuah Operasi, operasi yang digelar
Militer tersebut dinamai operasi Trisula, dimana operasi tersebut secara efektif
dimulai pada bulan Mei hingga Juli, Militer berhasil menangkap 257 orang, dan
menembak mati beberapa tokoh yang dianggap inti serta menyita sejumlah senjata
api yang digunakan dalam perlawanan yang terjadi di Blitar Selatan (Semdam
VIII Brawidjaja, 1969:2). Operasi Trisula yang bertujuan untuk menupas PKI di
Blitar ini bukan Hanya memerangi golongan yang benar-benar merupakan
anggota PKI. melainkan juga banyak orang yang dibunuh, ditangkap, ditahan, dan
banyak di antara mereka yang memiliki kaitan sangat minim atau bahkan tidak
memiliki hubungan dan keterkaitan sama sekali dengan PKI, namun tetap ditahan
dan mendapatkan perlakuan diskriminatif yang tidak manusiawi selama menjadi
tahanan politik (Kontras, 2012:8).
Perlakuan diskriminatif yang dialami oleh para tapol bukan saja terjadi
pada saat penahanan, melainkan juga terjadi ketika mereka telah dibebaskan dari
tahanan dan dikembalikan kepada masyarakat, dimana mereka harus mengikuti
beberapa peraturan yang ditetapkan pemerinah sebagai syarat dari pembebasan
mereka. Sesuai Instruksi Mentri No 32 tahun 1981 pemerintah pusat maupun
daerah tetap melakukan pengawasan secara ketat terhadap para Tapol yang telah
dibebaskan. Selain itu, dalam Intruksi Mentri No 32 tahun 1981 juga terdapat
beberapa jenis pekerjaan yang dilarang bagi para bekas tahanan dan bekas
Narapidana G 30 S PKI, hal tersebut dilakukan pemerintah dengan tujuan untuk
mencegah bangkit dan berkembangnya ajaran komunisme.
Upaya pemberantasan bangkitnya ajaran komunisme di segala aspek
kehidupan, secara terus-menerus tetap dilakukan oleh pemerintah Orde Baru
dimana Suharto merupakan peran utama dari adanya rencana ini. Upaya
pemberantasan komunisme secara terstruktur dan represif telah dilakukan selama
32 tahun lamanya, diantaranya, dengan menetapkan kebijakan dan peraturan
perundang-undangan diskriminatif yang diperuntukkan bagi para eks-tapol PKI.
4
Selain itu, ada 30 butir undang-undang yang ditujukan bagi seluruh mantan
anggota PKI dan ormas yang bearada dibawah naungannya. Bukan hanya itu, Hal
yang menyakitkan juga harus dirasakan oleh orang-orang yang tidak ada
sangkutpautnya dengan PKI. Dimana terdapat peraturan „surat bebas G 30 S‟ bagi
orang-orang yang hendak bersekolah dan melamar suatu pekerjaan, yaitu harus
melampirkan surat pernyataan „bersih diri‟ dan „lingkungan‟ ditujukan bagi orang
yang memiliki keluarga atau sanak-saudara yang diduga ataupun dituduh dekat
dengan eks tapol PKI, bahkan ada kebijakan bahwa anak keturunan eks Tapol PKI
dilarang menjadi anggota TNI, POLRI, PNS serta bekerja di instansi
pemerintahan (Munsi, 2016:30).
Adanya instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 1981 yang
melarang Eks tapol dan keturununanya untuk menjadi PNS, TNI, POLRI serta
dilarang untuk memiliki jenis pekerjaan tertentu, secara tidak langsung membatasi
ruang gerak kehidupan para Eks Tapol untuk memperoleh pekerjaan serta
menghambat para Eks Tapol untuk meningkatkan status sosial mereka dalam
masyarakat. Selain itu, peraturan diskrimatif yang diterapkan oleh pemerintah
orde baru serta stigma bekas tahanan politik G 30 S /PKI membuat keberadaan
Eks Tapol sulit diterima oleh masyarakat sehingga kehidupan Eks Tapol semakin
terpojokkan (Wawancara dengan Sutrisno, 26 agustus 2021).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kontras (Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak kekerasan) di daerah Blitar ada sekitar 1.977 Ex
Tahanan G 30 S/PKI yang telah dibebaskan. Jumlah tersebut terbagi menjadi tiga
Golongan. Golongan A (Orang-orang yang terlibat secara langsung dengan
peristiwa G 30 S) berjumlah 1 orang, Golongan B (anggota PKI berserta
simpatisannya yang ditahan dan disaingkan ke Pulau buru) berjumlah 176 orang,
Golongan C (orang-orang yang terlanjur tertangkap tanpa alasan yang jelas, bisa
dari keluarga dan kerabat Orang PKI) berjumlah 1.800 orang, jumlah tersebut
tersebar di seluruh kecamatan yang ada di Blitar. Menurut pihak Kontras data
tersebut dikeluarkan pada tahun 1995 yang diperoleh dari korami-koramil
setempat yang ada di Blitar. Sedangkan data yang diperoleh dari LSM (lembaga
Swadaya Masyarakat) The Post Institute di Blitar Selatan terdapat 83 Eks Tapol
5
yang masih hidup. Namun, lambat laun jumlah data tersebut semakin berkurang,
hal ini dikarenakan, berdasarkan penelusuran peneliti, banyak Eks Tahanan
Politik 65 di Blitar yang sudah meninggal karena faktor usia, dan sebagian dari
mereka ada yang pidah dari Blitar untuk tinggal menetap di daerah lain.
Ketertarikan Peneliti dalam mengkaji persoalan ini adalah untuk
mengetahui kondisi sosial-ekonomi Eks Tapol yang ada di Blitar khususnya Blitar
Selatan dalam kurun waktu 1968 sampai 2000, terkait bagamaimana Eks Tapol
menjalani kehidupanya ditengah Stigma dan peraturan diskriminatif yang
diterapakan pemerintah Orde Baru. Dengan adanya penelitian ini diharapkan
pemerintah lagi mendiskriminasikan Eks Tapol karena mereka juga adalah bagian
dari warga negara Indonesia yang memiliki hak hidup yang sama sebagaimana
warga negara Indonesia yang lainnya.
Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji tentang
“Dinamika Kehidupan sosial-ekonomi Eks Tapol di Blitar Selatan tahun
1968-2000”.
(PKI). Eks Tapol yang di maksud dalam penelitian ini adalah Eks Tapol yang
pernah tersangkut pada peristiwa Trisula di Blitar Selatan.
Jadi maksud dari penegasan judul Dinamika Kehidupan sosial-ekonomi
Eks Tapol di Blitar 1968-2000 adalah Perubahan, perkembangan kehidupan
sosial-ekonomi mantan tahanan politik (Eks Tapol) yang ditangkap karena
dianggap memiliki hubungan dengan PKI di Blitar pada tahun 1968-2000.
Dimana perubahan dan perkembangan tersebut terjadi karena adanya penetapan
kebijakan pemerintah Orde Baru yang ditujukan kepada Eks Tapol (mantan
tahanan politik).
Ruang lingkup Penelitian ini, dibagi menjadi tiga yaitu Ruang Lingkup
Tempat (Scope Spasial), Ruang Lingkup Waktu, (Scope Temporal) dan Ruang
Lingkup materi (Isi). Scope Spasial dalam penelitian ini yaitu Blitar Selatan. Hal
tersebut dikerenakan Blitar merupakan salah satu wilayah yang dianggap sebagai
salah satu basis komunis. Hal itu dibuktikan Pada pemilu 1955, di Kabupaten
Blitar, PKI mampu memperoleh 25 suara dari 45 kursi Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR-GR). Sedangkan di Kotamadya Blitar, PKI berhasil
memperoleh 10 suara dari 15 kursi. Selain itu, daerah Blitar Selatan pernah
dijadikan sebagai tempat persembunyian anggota atau pimpinan PKI yang selamat
dari kejaran militer. Hal tersebut yang melatarbelakangi adanya Operasi
penupasan PKI di Blitar yang mengakibatkan penahanan dan penangkapan
Puluhan orang yang tak bersalah selama bertahun-tahun karena dinilai memiliki
hubungan dengan organisasi yang bersifat kiri (PKI). Adapun Blitar Selatan yang
8
11
1
tempat yang kejam, kebanyakan dari mereka setelah keluar dari penjara
mengalami benban mental dan sakit fisik. Beberapa diantaranya para intelektual
seperti guru, wartawan, seniman, kehilangan kemampuan berfikir kritis dan
kreatif, mereka dan keluarganya menjadi miskin. Ribuan orang yang disingkirkan
dari militer dan birokrasi juga jatuh dalam kemiskinan karena kehilangan hak
pensiun (Wieringa, 2020:109). Buku ini membantu peneliti untuk memahami
bagaimana propaganda yang dilakukan pemerintah orde baru dan dampaknya
terhadap kehidupan tapol, namun tidak mengkhususkan daerah tertentu,
sedangkan ruang lingkup yang diambil oleh peneliti berbeda yaitu Blitar Selatan.
Buku karya Restaria F. Hutabarat yang berjudul “Stigma 65 : Strategi
mengajukan Gugatan Class Action”. Buku ini menggambarkan tentang tuduhan
atau stigma terhadap warga negara Indonesia dari kebijakan-kebijakan pemerintah
melalui presiden ketika terjadi peristiwa 65 yang diinstrusikan langsung oleh
Sueharto selaku presiden. Instruksi tersebut telah merusak tatanan kehidupan
secara ekonomi, sosial, dan budaya warga negara Indonesia yang menjadi
pengurus atau anggota simpatisan PKI, dan terhadap orang-orang yang dekat
dengan presiden Soekarno, bahkan juga berdampak terhadap keturunan maupun
keluarga dari mereka yang menjadi pengurus anggota simpatisan PKI yang mana
mereka merupakan orang-orang yang tidak terlibat sama sekali. Akibat belum
adanya penelusuan dan perubahan kebijakan pemerintah terhadap tragedi
kemanusiaan pada tahun 1965. Sampai sekarang ini, warga negara yang menjadi
korban stigma PKI, diberhentikan dengan tidak hormat oleh atasannya, diputus
hubungan kerjanya tanpa pensiun dan pesangon. Peristiwa ini terjadi di
departemen-departemen yang menjalankan kebijakan pemerintah. Sebagian besar
korban juga kehilangan harta pribadi berupa tanah dan bangunan beserta isinya,
dimusnahkan karya seni dan budayanya, terhambat untuk melanjutkan
pendidikan, dan dijauhkan dari pergaulan masyarakat (Hutabarat, 2011:9-10).
Korban baik secara perseorangan maupun tergabung dalam kelompok
masyarakat telah berulang kali memohon untuk direhabilitasi dengan cara
memohon langsung atau mengirimkan surat kepada seluruh instansi pemerintah
dan lembaga-lembaga tinggi negara yang terkait, termasuk kepada presiden,
1
namun tidak ada itikad baik dari presiden untuk merespon semua permohonan
tersebut, setelah memohon rehabilitasi atas hak-haknya melalui upaya non hukum,
para korban akhirnya memilih menggunakan jalur hukum melalui tim kuasa
hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Hal ini dilakukan agar presiden
merehabilitasi warga negara yang menjadi korban stigma PKI dan
mengembalikan hak-hak korban yang telah dirampas (Hutabarat, 2011:11), buku
ini memberikan gambaran kepada peneliti terkait stigma yang dialami oleh korban
tragedi 65 selama bertahun-tahun dan bagaimana perjuangan korban untuk
mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia pada umumnya yang
telah di rampas oleh pemerintah orde baru. Pendekatan dalam buku ini adalah atas
dasar hukum, sedangkan pendekatan yang digunakan peneliti adalah pendekatan
sosial ekonomi.
Buku karya Coki Naipospos yang berjudul “50 Th Merdeka dan Problem
Tapol Napol”. Buku ini menggambarkan tentang perlakuan diskriminatif yang
dilakukan pemerintah terhadap Tapol (orang-orang yang terlibat PKI), perlakuan
diskriminatif tersebut meliputi penambahan kode ET pada kartu tanda penduduk,
larangan untuk bekerja pada sektor tertentu, wajib lapor, dan perampasan hak
sebagai warga negara Indonesia pada umumnya yang meliputi hak atas pekerjaan,
pendidikan, kesehatan, dan hak pilih pada saat pemilu. Harian Republika tanggal
1995 memberitakan hasil penelitian pantimda Jawa Timur yang mencatat
sejumlah 446.232 orang terlibat PKI. Dari jumlah tersebut yang diperbolehkan
ikut dalam pemilihan umum sebanyak 437.854 orang sedangkan sisanya tidak
diperbolehkan dan tidak memiliki hak pilih disebabkan oleh tiga hal, pertama
perilaku yang bersangkutan. Kedua pindah alamat tanpa ada laporan, ketiga
berpergian dalam waktu cukup lama tanpa melapor ke aparat di tempat asal
maupun aparat di tempat baru (Naipospos, 1995:5). Buku ini memberikan
gambaran kepada peneliti terkait perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap Tapol namun tidak memfokuskan pada daerah tertentu,
sedangkan ruang lingkup fokus kajian peneliti adalah pemerintah daerah Blitar.
Jurnal yang di tulis oleh Aziz Setyagama (2015:10) yang berjudul
“Kebijakan Perlakuan Diskriminatif terhadap hak-hak Konstitusional mantan
1
Tapol PKI dan Keluarganya pada masa Orde Baru” jurnal ini memberikan
gambaran kepada Peneliti bahwa Pasca peristiwa 65 pemerintah orde Baru
menetapkan beberapa kebijakan yang bersifat diskriminatif yang ditujukan kepada
Mantan tahanan politik PKI beserta keluarganya. kebijakan tersebut diwujudkan
dalam bentuk peraturan yang mengikat dan membatasi ruang gerak para mantan
tapol dan keluarganya. Setelah pemerintah orde baru berakhir, mantan Tapol dan
keluarganya secara perlahan sudah dapat merasakan kebebasan karena beberapa
peraturan yang bersifat mengikat telah dihapus namun masih meninggalkan
trauma dan kesedihan yang mendalam, karena hak dan kebebasan mereka
dirampas selama bertahun-tahun oleh rezim Orde Baru.
Jurnal yang di tulis oleh Fathikul Amin (2014:183) yang berjudul
“Dampak Peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia terhadap
Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa Timur 1965-1998” jurnal ini memberikan
gambaran kepada peneliti bahwa peristiwa G 30 S PKI memiliki dampak yang
besar terhadap kehidupan sosial masyarakat di Jawa Timur diantaranya yaitu
terpecahnya masyarakat yang memicu adanya konflik terbuka antara golongan
yang mendukung PKI dan Golongan non PKI, selain itu Peristiwa G 30 S PKI
mengakibatkan perlakuan diskriminatif terhadap anggota simpatisan PKI dan
keluarganya di Jawa Timur. Di sisi lain peristiwa G 30 S juga berdampak terhadap
psikologi masyarakat Jawa timur khususnya terhadap Psikologi para Eks Tapol.
Kebanyakan mereka memilih diam dan membisu serta enggan untuk bercerita
ataupun mengingat peristiwa 65, karena bagi mereka peristiwa tersebut
merupakan peristiwa yang terpuruk yang terjadi dalam kehidupanya.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa Stigma
Anti Komunis yang di kampanyekan pemerintah orde baru dan kebijakan
pemerintah yang mengekang para mantan Tapol PKI beserta keluarganya bukan
hanya membuat mantan Tapol beserta keluarganya kehilangan kebebasan dan
haknya sebagai warga Indonesia pada umumnya akan tetapi juga berdampak
terhadap kehidupan sosial-ekonomi Eks Tapol. Penelitian mengenai kehidupan
Eks Tapol bukanlah hal yang baru lagi dalam historiografi, namun belum banyak
peneliti yang membahas mengenai kehidupan Sosial-Ekonomi Eks Tapol dalam
1
lingkup Lokal seperti di Blitar, dengan batasan tahun 1968-2000. Sehingga posisi
penelitian ini bersifat baru.
Dalam sebuah penelitian membutuhkan data yang relevan dan valid. Data
yang relevan dan valid dapat diperoleh dalam penelitian apabila menngunakan
metode penelitian yang benar dan sesuai. Metode sendiri berasal dari bahasa
Yunani yaitu Methodos memiliki arti jalan atau cara, jika dihubungkan dengan
penelitian ilmiah, metode dapat didefinisikan sebagai usaha kerja agar bisa
menguasai obyek yang dijadikan sasaran ilmu dan memiliki keterkaitan. Metode
juga bisa didefinisikan sebagai suatu jalan atau cara yang dilakukan penelliti
untuk mendapatkan suatu ilmu atau pengetahuan (how to know) (Kartodirdjo,
1992:9). Pengetahuan yang diperoleh akan dipergunakan untuk memecahkan
problem penelitian. Metode berkaitan dengan suatu jalan, teknik atau prosedur
yang terstuktur dan sistematis dalam memperoleh suatu obyek ataupun material
yang diteliti (Sjamsuddin, 1996:2).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah. Penulisan dengan
metode sejarah harus melalui proses menguji dan menganalisa secara kritis
terhadap rekam jejak dan peninggalan-peninggalan masa lampau, rekonstruksi
terhadap peristiwa dari masa lampau manusia haruslah otentik dan dapat
dipercaya (Gottschalk, 1989:32). Adapun langkah-langkah penelitian
menggunakan metode sejarah diantaranya yaitu, (1) heuristik (pengumpulan
sumber), kritik, interpretasi, dan historiografi (penulisan).
3.1.1 Heuristik
Langkah yang pertama yaitu Heuristik atau Pengumpulan sumber. Dalam
sebuah penelitian terdapat sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
yang diperoleh dalam penelitian ini didapat dari wawancara, Arsip Suara,
Peraturan-peraturan yang diterapkan pemerintah diantaranya yaitu Keputusan
Presiden No.28/1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat
G.30.S/PKI Golongan C, dan Intruksi Mentri Dalam Negri No 32. /1981 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G
17
1
berjudul Tahun yang tak berakhir karya John Roosa, dkk (2004:5) dalam buku
tersebut dijelaskan mengenai kesaksian para penyintas korban 1965 dari berbagai
daerah. Buku Putih yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia
pada masa rezim Orde Baru (1994:11) yang berjudul Gerakan 30 September,
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar belakang, Aksi, Penupasannya,
buku tersebut menjelaskan bahwa PKI adalah salah satunya dalang dari
terjadinya peristiwa G 30 S. Buku yang berjudul Menyusun Puzzle Pelanggaran
HAM 1965 yang dikeluarkan oleh Komisi orang Hilang dan korban kekerasan,
Buku tersebut berisi mengenai data-data korban orang hilang dan kekerasan yang
terjadi pada saat dan pasca peristiwa 65 dari berbagai daerah.
Berhubungan dengan model penelitian yang juga bersifat studi literatur,
maka metode pengumpulan data juga dilaksanakan dengan teknik dokumentasi.
Dokumentasi merupakan metode atau cara pengumpulan data yang didapat dari
sumber tertulis seperti buku-buku yang memiliki keterkaitan dengan teori, dalil,
arsip-arsip, dan pendapat yang berkaitan dengan penelitian. Sedangkan untuk
bentuk karya tertulisnya dapat diperoleh di perpustakaan-perpustakaan; seperti
Perpustakaan Pusat Universitas Jember, Perpustakaan Prodi Pendidikan Sejarah
Universitas Jember, Perpustakaan Daerah, dan di gerai toko buku lainnya.
3.1.2. Kritik
Tahap selanjutnya yang dilakukan setelah sumber terkumpul adalah kritik
terhadap sumber. Dalam penelitian ini langkah yang pertama peneliti melakukan
kegiatan kritik ekstern. Kritik ekstern dilakukan melalui kegiatan memferivikasi
kredibilitas sumber yang digunakan untuk menentukan apakah sumber tersebut
adalah sumber yang valid dan benar. Sementara kritik intern dilakukan setelah
melalui kritik ekstern digunakan untuk memastikan bahwa sumber yang
diperoleh adalah sumber yang diperlukan (Notosusanto, 1984:21). Tujuan akhir
melakukan kritik dari sebuah sumber adalah untuk memastikan keabsahan dan
kebenaran sumber yang telah diuji sehingga menghasilkan sebuah fakta sejarah.
Pertama, peneliti melakukan kritik intern dan ekstern terhadap sumber
primer yang diperoleh yaitu berupa Peraturan-peraturan yang diterapkan
2
mengenai sumber buku ini sudah relevan bagi peneliti karena Buku tersebut
berisi mengenai data-data korban orang hilang dan kekerasan yang terjadi pada
saat dan pasca peristiwa 65 dari berbagai daerah yang di ambil dari sumber arsip,
dokumen, dan laporan-laporan yang dapat dipercaya kebenarannnya. Buku ini
digunakan peneliti sebagai sumber penunjang mengenai kekerasan yang dialami
oleh korban (Eks Tapol) saat dan pasca peristiwa 65.
Peneliti juga melakukan kritik terhadap sumber lisan yang diperoleh dari
wawancara. Dilakukan kritik ekstern dan intern terhadap sumber sejarah yang
didapat. Pada penelitian ini, peneliti melalukan kritik ekstern pada sumber lisan
dengan melihat usia serta kesehatan fisik dan mental narasumber yang
diwawancarai. Setelah melakukan kritik ekstern, selanjutnya peneliti masuk ke
tahap kritik intern terhadap sumber sejarah. Narasumber yang diwawancarai
merupakan Pelaku Sejarah yaitu Korban dalam operasi Trisula dan juga pihak
yang terlibat dalam operasi tersebut. Penulis menganalisis informasi-informasi
yang didapat dari narasumber, dan melakukan kritik intern pada sumber lisan
yang diperoleh. Untuk mengetahui kebenaran hasil wawancara, dilakukan
perbandingan anatra informasi yang didapat dari hasil wawancara dengan sumber
dokumen yang memiliki kedekatan dengan tema penelitian, agar data yang
diperoleh dapat berubah menjadi sebuah fakta yang dianggap valid dan benar.
Peneliti berupaya untuk selektif dalam memilih sumber yang akan digunakan,
kemudian data yang telah terpilih dituangkan ke dalam sebuah penulisan.
3.1.3 Interprestasi
Langkah ketiga yaitu interpretasi adalah penjelasan atau penafsiran atas
sumber-sumber yang telah terpilih atau terseleksi dan merangkaikan fakta-fakta
yang telah didapat, yang pada akhirnya dapat digunakan untuk historiografi.
Setelah mendapatkan fakta-fakta mengenai tema yang akan dikaji dari sumber
yang telah di kritik. Fakta-fakta yang didapat harus sudah melalui proses
perbandingan antara sumber tertulis dari buku atau dokumen lain dengan sumber
lisan yang didapat dari hasil wawancara lapangan yaitu di Blitar, dari hasil
perbandingan tersebut menghasilkan interpretasi dari peneliti terkait bagaimana
2
Pengumpulan sumber dan data baik primer ataupun sekunder yang berkaitan Kehidupan E
Sumber Sekunder
Fakta-fakta : diperoleh dari
sejarah yang
Hasil penafsiran yang berasal Rekonstruksi Buku, jurnal, artikel ilmiah, data, yang berkai
penelitian di Lapangan (Blitar Selatan)
dari mengaitkan sumber/data
disajikan dalam bentuk tulisan sejarah
dengan fakta di lapang akan Sejarah (historiografi) dalam bentuk narasi
diolah dan disajikan dalam
sejarah.
2
27
2
Sukiman juga menyatakan para tapol didesanya wajib melakukan abesen tersebut
apabila mereka tidak melakukan absen wajib lapor sesuai yang telah di
instruksikan maka para tapol yang ada di desanya akan mendapakan hukuman
kekerasan fisik dari militer berupa penganiayaan dan pemukulan (Wawancara
dengan Sukiman, 20 Agustus 2021).
Selain Sukiman, nasib yang sama juga dialami oleh Yateman yang juga
merupakan Tapol Golongan C dari Wonotirto, Yateman harus menjalani absen
(wajib Lapor) ke Koramil bakung setiap seminggu sekali hal ini dikarenakan pada
saat itu wilayah wonotirto masih merupakan bagian dari wilayah Bakung.
Meskipun jarak antara Bakung dan Wonotirto sangatlah jauh harus melewati
beberapa sungai, karena pada saat itu belum dibangun jembatan, namun peraturan
wajib lapor tersebut harus tetap dijalani karena jika tidak menjalankan peraturan
tersebut maka akan diberi hukuman berupa kerja paksa membangun fasilitas
pemerintah di desa tersebut. Dan apabila ada alasan yang tidak memungkinkan
untuk pergi absen ke koramil seperti sakit maka Eks tapol harus mengurus surat
izin yang dikeluarkan oleh kepala desa setempat agar bisa mendapatkan izin dan
tidak mendapatkan hukuman (Wawancara dengan Yateman, 3 September 2021).
Selain para tapol diwajibkan untuk lapor atas keberadaanya dan lapor atas
kegiatan keagamaan maupun kegiatan kemasyarakatan yang mereka ikuti, para
tapol juga diwajibkan untuk melaporkan aktivitas keseharianya seperti harus lapor
setiap kali menerima tamu, dari mana asal tamu tersebut, apa yang dibicarakan,
apakah mereka menerima surat, apa isi suratnya atau apakah mereka menerima
telefon harus dilaporkan secara detail kepada petugas desa setempat, dan
diwajibkan untuk minta izin kepada aparatur desa terlebih dahulu, apabila mereka
hendak bepergian ke luar kota atau luar daerah (Wieringa, 2020:109).
Apabila para eks tapol hendak berstransmigrasi ke daerah lain karena
situasi dan kondisi yang mengharuskan mereka untuk pindah dari tempat asalnya,
maka pemerintah mengadakan trasnmigrasi khusus yang diperuntukkan bagi para
eks Tapol, dan mereka di tempatkan di lokasi khusus agar pembinanan dan
pengawasan terhadap para eks tapol yang dilakukan oleh aparatur pemerintah
daerah dan keamanan menjadi lebih mudah. Mengeai mobilitas antar daerah bagi
3
para Eks Tapol PKI ini, Pamgkopkamtib memberikan ketentuan bahwa para Eks
Tapol boleh saja berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya di Indonesia.
Namun ada ketentuan bahwa setibanya mereka di tempat yang baru harus
melaporkan diri kepada pihak pemerinah daerah dan aparat keamanan setempat,
sedangkan apabila Eks Tapol merupakan seorang pegawai (swasta) yang
dipindahkan oleh perusahaannya ke kota lain, maka perusahaan wajib untuk
melaporkan kepada pihak pemerintah daerah dan aparat keamanan setempat (Jawa
pos, 20 September 1982).
Pada tahun 1988, terdapat tanda-tanda bahwa PKI akan bangkit kembali
melalui tulisan, penerbitan buku, organisasi-organisasi tersembunyi, dan ada eks
tapol yang menjadi menjadi kepala desa serta pengusaha. Adanya berita tersebut
menjadikan Kopkamtib memerintahkan pemeriksaan ulang terhadap berkas-
berkas mantan tahanan politik karena (Siregar, 1995:33). Sehingga pengawasan
pemerintah kepada Eks Tapol menjadi lebih ketat. Namun pengawasan menjadi
meluas bukan hanya ditujukan kepada para Eks Tapol tetapi juga ditujukan
terhadap keluarga eks tapol dan warga yang notabene tidak memiliki keterkaitan
apapun. Terdapat peraturan bahwa bagi yang ingin pindah ke lokasi baru harus
memiliki surat tanda kelakuan baik dan surat tanda melaporkan diri. Kedua
dokumen tersebut wajib dimiliki oleh warga yang bersangkutan untuk
menyatakan keberadaan mereka pada peristiwa 30 September 1965 dan untuk
memastikan bahwa mereka atau anggota keluarganya tidak memiliki hubungan
dengan PKI atau organisasi yang terafiliasi (Wieringa, 2020:110). Kebijakan
wajib Lapor ini harus tetap dijalani oleh para eks tapol semasa pemerintah Orde
baru dan baru berakhir ketika waktu pemutihan (bebas wajib Lapor) di masa
pemerintahan Gus Dur (Kontras, 2012:40).
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum; (3) hak
atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan; (4) hak atas status
kewarganegaraan dan hak untuk berpindah; (5) hak atas kebebasan beragama
sedangkan Robert A. Dahl (1989:11) memberikan indikator untuk mengukur
eksistensi hak politik, yaitu (1) hak untuk memberikan suara; (2) hak untuk
memperebutkan jabatan publik; (3) hak berkompetisi dalam memperebutkan
suara; (4) pemilihan yang bebas dan adil; dan (5) pembuatan kebijakan
pemerintah berdasarkan suara atau pilihan publik.
Peristiwa G 30 S/PKI atau tragedi 65 sampai saat ini masih menyisakan
masalah dan menjadi beban sejarah bangsa ini. Dampak dari peristiwa tersebut
berimplikasi pada konstruksi politik bagi mereka yang terlibat maupun tidak
terlibat sebagai pengurus, anggota, atau simpatisan PKI yang dianggap sebagai
musuh negara. Konstruksi politik tersebut juga berakibat pada terampasnya hak
ekonomi, sosial dan budaya dari mereka sebagai manusia yang merdeka dan juga
sebagai warga negara yang semestinya secara hukum dilindungi, dijamin dan
dipenuhi hak-haknya oleh negara dan pemerintan (Hutabarat, 2011:9).
Demi melancarkan kepentingan kekuasaan pemerinah orde baru merampas
hak sipil dan hak politik para mantan tapol dengan dalih untuk mencegah
bangkitnya ajaran komunis. Bagi mantan tahanan politik dan keluarganya era
Orde Baru merupakan masa yang paling kejam, karena kebanyakan dari mereka
setelah keluar dari penjara mengalami beban mental dan sakit fisik. Beberapa
diantaranya para intelektual seperti guru, wartawan, seniman, kehilangan
kemampuannya untuk berfikir kritis dan kreatif. Mereka dan keluarganya menjadi
miskin. Ribuan orang yang yang disingkirkan dari militer dan birokrasi juga jatuh
dalam kemiskinan karena kehilangan hak pensiun. Para eks tapol tidak pernah
merasa bebas meskipun telah dibebaskan dari tahanan atau masa pengasingan.
Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebagai syarat dari
pembebasan mereka diantaranya yaitu mereka harus berjanji untuk melakukan
apapun yang diminta oleh Kopkamtib untuk mengamankan ketertiban akibat ulah
pemberontak dan pengkhianatan yang dilakukan oleh G 30 S/PKI, mereka juga
3
tahanan politik tidak meninggalkan desa atau kota tanpa seizin petugas (Wieringa,
2020:108).
Selain kebebasan para eks tapol dirampas, Pemerintah orde baru juga
merampas hak eks tapol untuk berpolitk hal ini didasarkan oleh undang-undang
No 15/1969 yang menyebutkan bahwa warga negara Indonesia yang pernah
terlibat sebagai anggota PKI baik langsung maupun tidak langsung dilarang untuk
memilih ataupun dipilih. Pada tahun 1981 jumlah pemilih di seluruh Indonesia
adalah 82.134.195 jiwa, berdasarkan hasil penelitian dan penilaian, warga negara
Republik Indonesia yang terlibat G 30 S/PKI tercatat 1.580.020 orang namun
penggunaan hak memilihnya tidak dapat dipertimbangkan dalam pemilu 1982
(Surabaya Post, 3 Desember 1981).
Namun Kondisi di Blitar Selatan berbeda, salah satu tapol Golongan B
dari desa Bakung bernama Talam yang ditangkap karena menjadi anggota
Sarbuksi (Sarikat Buruh Perhutani indonesia) mengungkapkan setiap pemilu pada
masa orde baru Eks Tapol di Bakung tidak memiliki hak pilih, meskipun tidak
memiliki hak pilih, namun Talam beserta teman-teman senasibnya tetap dipaksa
untuk memilih partai penguasa yaitu partai Golkar. Sehingga setiap pemilu pada
masa Orde Baru Golkar selalu memperoleh suara tertinggi di Bakung. Selain itu
para Eks tapol yang ada didesanya juga tidak perbolehkan untuk ikut berpolitik
maupun ikut bergabung dalam partai politik apapun (Wawancara dengan Talam,
20 Agustus 2021).
Hal yang sama juga dialami oleh Tapol dari Golongan C dari kecamatan
Wonotirto yang bernama Sukiman. Sukiman merupakan Tapol yang ditangkap
karena mengikui kesenian Lekra yang berkembang di desanya pada saat itu,
Sukiman mengungkapkan sejak pemilu tahun 1977 para eks tapol yang ada di
desanya, di kumpulkan di koramil setempat untuk membuat pernyataan bahwa
mereka harus memilih partai penguasa yaitu partai Golkar. Hal ini selalu
dilakukan pada masa Orde baru, dan baru berakhir ketika pemerintah orde baru
lengser berganti ke era reformasi (Wawancara dengan Sukiman, 20 Agustus
2021).
3
kehilangan hak atas milik pribadi. Talam yang merupakan Tapol Golongan B
mengungkapkan ketika telah dibebaskan dari pengasingan, ia kehilangan hak
milik tanah nya karena dirampas oleh militer. Tanah tersebut dirampas dan tidak
dikembalikan. Di tanahnya tersebut dibangun fasilitas umum pemerintah berupa
sekolah taman kanak (TK) karena di desanya pada saat itu belum ada TK.
Meskipun kehilangan hak milik atas atas tanahnya, Talam hanya bisa diam
menerima kondisi tersebut. dan tidak bisa mengajukan gugatan karena apabila ia
mengajukan gugatan maka dianggap sebagai pembangkang dan akan
mendapatkan hukuman (Wawancara dengan Talam, 20 Agustus 2021).
Dosa turunan juga harus ditanggung oleh keluaga Eks Tapol PKI sejak
diberlakukannya “Sampul D”. Sampul D merupakan lembaran yang berisi tentang
data-data bukan hanya mengenai bekas tahanan politik yang bersangkutan
melainkan juga berisi tentang anak, cucu, saudara serta seseorang yang memiliki
hubungan kekerabatan dengan Eks Tapol. Data tersebut tersimpan di Sampul D
dalam file A perorangan yang terdiri dari data yang telah dikumpulkan dari
berbagai komando militer setempat para pejabat pemerintah sipil dan polisi tanpa
sepengatahuan orang yang bersangkutan. Semua instansi pemerinah dan
perusahaan vital memiliki data Sampul D tersebut. Dengan adanya data tesebut
membuat lapangan kerja semakin sempit bagi Eks Tapol beserta keluaganya, para
Eks tapol dan keuarganya bukan hanya dilarang di bekerja di Instansi pemerintah
tetapi nama-nama yang tertera dalam data tersebut juga dilarang untuk menikah
dengan anggota aparatur negara seperti TNI dan POLRI (Mustika, 2007:141).
4.3 Pemberian kode Khusus (ET) terhadap KTP para Eks Tapol
Perlakuan dikriminatif pemerintah Orde Baru terhadap Eks Tapol juga
ditujukkan dengan membedakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) para mantan
Tahanan Politik PKI dengan KTP Masyarakat pada umumnya, dalam KTP
mantan tahanan politik (Tapol) tertulis Kode ET yang menunjukkan bahwa
pemegangnya adalah seseorang bekas anggota organisasi terlarang, selain pada
KTP Kode ET juga dicantumkan pada KK (Kartu Keluarga), hal ini dilakukan
3
37
3
dan sakit-sakit an sehingga tidak dapat digali keterangannya. Para Eks tapol yang
ada di Blitar Selatan saat ini sudah banyak yang meninggal karena faktor usia.
sehingga hanya sebagian Eks Tapol yang berhasil di wawancarai oleh peneliti.
terdapat anggota PKI yang berhasil melarikan diri dan bersembunyi di Blitar
Selatan. selain itu, adanya isu bahwa anggota PKI yang berhasil melarikan diri
dan bersembunyi di Blitar Selatan, berhasil mempengaruhi masyarakat setempat
untuk membangun kembali basis PKI di Blitar Selatan, menyebabkan masyarakat
Blitar Selatan banyak yang menjadi korban dan sasaran militer pada saat operasi
penupasan PKI di Blitar (Operasi Trisula). Banyak masyarakat setempat yang
tidak tahu-menahu apa itu PKI, namun ikut-ikutan tertangkap dan dipenjara
karena di anggap bekerja sama dengan anggota atau Pentolan-pentolan PKI yang
berhasil melarikan diri dan bersembunyi di Blitar Selatan. Minimnya pengetahuan
dan rendahnya pendidikan masyarakat mengakibatkan penduduk desa setempat
merasa ketakutan dan ikut-ikutan lari ketika ada militer dengan membawa pistol
datang melakukan operasi di desa-desa Blitar Selatan. Situasi tersebut membuat
membuat penduduk (masyarakat) setempat tidak berdaya dan pasrah terhadap
takdir hidup mati mereka, Karena banyak penduduk yang lari namun malah
terkena tembak ketika bertemu dengan militer, sehingga kebanyakan dari mereka
memilih menyerahkan diri dan mengikuti perintah yang di tetapkan oleh militer.
Orang-orang (penduduk) yang yang berhasil tertangkap maupun menyerahkan diri
tersebut disebut sebagai Eks Tapol oleh militer dan untuk menandai bahwa
mereka adalah seorang Eks Tapol maka Militer mencukur ramput orang-orang
(penduduk) yang tertangkap tersebut ramput sampai gundul. Hal ini dilakukan
untuk menandai bahwa mereka merupakan orang-orang Eks Tapol yang
berbahaya dan harus diawasi (Wawancara dengan Iwan, 24 Agustus 2021).
Berdasarkan data dan hasil observasi di lapangan para Eks Tapol yang ada
di Blitar Selatan rata-rata mereka tidak berpendidikan. Selain karena kemiskinan
dan kentalnya kepercayaan masyarakat terhadap mitos dan tahayul, Blitar Selatan
dahulunya merupakan daerah yang terpencil dan jauh dari pusat kota. Pada saat
itu belum di bangun fasilitas-fasilitas umum seperti sekarang sehingga masyarakat
Blitar Selatan sulit untuk memperoleh akses pendidikan (Wawancara dengan
Sullen, 22 Agustus 2021).
Berdasarkan data dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) The Post
Institute dari jumlah 83 Eks Tapol di Blitar Selatan hanya terdapat 17 Eks Tapol
4
yang berhasil lulus sekolah SR (Sekolah Rakyat) atau setara SD (sekolah Dasar),
dan hanya 3 orang Eks Tapol di Blitar Selatan yang berpendidikan setara SLTP.
Selain itu, terdapat 37 Eks tapol di Blitar Selatan yang tidak berpendidikan (tidak
sekolah), dan 26 Eks Tapol lainya hanya berpendidikan sekolah dasar namun
tidak tamat. Hal tersebut dikarenakan faktor ekonomi yang menyebabkan mereka
tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Adapun pembagian jumlah pendidikan
Eks Tapol yang ada di Blitar Selatan dapat dilihat secara rinci dalam tabel 5.2
sebagai berikut.
Tabel 5 2. Data Pendidikan Eks Tapol di Blitar Selatan
menjadi petani dengan memanfaat sepetak lahan yang dimilikinya, selain itu
untuk menambah penghasilannya karena menjadi petani dirasa belum cukup
untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Suparman berusaha mencari
pekerjaan sampingan yaitu bekerja sebagai buruh di pabrik swasta milik orang
Tionghoa di Blitar. Adanya kebijakan pemeritah yang melarang Eks Tapol dan
keturunannya menjadi PNS, TNI, POLRI dan bekerja di lembaga Instansi
pemerintah, bukan hanya berdampak terhadap kehidupan para Eks Tapol saja,
namun juga berdampak terhadap kehidupan keluarga mereka. Karena kebijakan
tersebut, Suparman terpaksa harus rela menghapus daftar nama anaknya dalam
kartu Keluarganya dan meminta kerabat nya yang tidak pernah tersangkut
peristiwa 65 untuk memasukkan nama anaknya dalam daftar kartu Keluarga
kerabatnya hal ini dilakukan agar anaknya dapat melanjutkan pendidikan dan
tidak kesulitan untuk mencari pekerjaan (Wawancara dengan Suparman, 26
Agustus 2021).
Hal serupa juga dilakukan oleh Wiyono salah satu Eks Tapol Golongan C
di Blitar Selatan, agar anaknya dapat melanjutkan pendidikannya dan tidak
kesulitan dalam mencari pekerjaan, maka Wiyono meminta bantuan temannya
yang tidak pernah tersangkut peristiwa 65 untuk memasukkan nama anaknya
kedalam daftar anggota kartu keluarganya, alhasil anak-anaknya bisa melanjutkan
pendidikannya dan ada yang menjadi PNS (Wawancara dengan Wiyono, 21 Maret
2021). Berbeda dengan kadir salah satu Eks Tapol Golongan C (Walap) di Blitar
Selatan mengungkapkan Ketika telah mengetahui bahwa ayahnya (Kadir)
merupakan seorang Eks Tapol maka anak Kadir memillih untuk tidak melanjutkan
pendidikannya (putus sekolah) dan memilih untuk bekerja membatu ayahnya
bertani di kebun sambil bertenak ikan lele. Hal tersebut dikarenakan ia berfikir
bahwa percuma saja melanjutkan pendidikan tinggi-tinggi kalau tidak bisa
menjadi PNS atau mendapatkan pekerjaan dan karir yang bagus dikarenakan latar
belakang keluarganya (Wawancara dengan Sullen, 22 Agustus 2021).
Menurut Iwan yang merupakan carik di desa Ngrejo salah satu daerah
yang berada di Blitar Selatan mengatakan bahwa ada penduduk yang menjadi
depresi (gila) akibat karena telah mendaftar PNS namun tidak diterima pada saat
4
seleksi pemberkasan, hal itu dikanenakan orang tuanya merupakan bekas tahanan
Politik, sehingga pemerintah membatalkan penduduk tersebut menjadi anggota
PNS (Wawancara dengan Iwan 24 Agustus 2021). Hal tersebut yang merupakan
salah satu alasan, mengapa sebagian besar penduduk atau masyarakat yang
menjadi Eks Tapol di Blitar Selatan pada saat itu berprofesi atau bekerja sebagai
seorang petani. Selain bertani, beberapa dari mereka juga ada yang bertani sambil
memelihara hewan ternak berupa ayam, kambing maupun sapi untuk menambah
penghasilan, karena cuaca di Blitar Selatan berubah-rubah, sehingga berdampak
terhadap hasil pertanian yang tidak sesuai harapan, oleh karena itu, para Eks
Tapol di Blitar Selatan tidak bisa hanya mengandalkan hasil dari petanian untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari. Adapun pembagian jumlah pekerjaan Eks
Tapol yang ada di Blitar Selatan dapat dilihat secara rinci dalam tabel 5.3 sebagai
berikut.
Bakung Ngrejo 27 1 26 -
Lorejo 19 - 19 -
Wonotirto Pasiraman 13 - 13 -
Tambakrejo 24 - 24 -
Jumlah 83 1 82 -
Sumber : Data diolah dari LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) The Post Institute
Tabel 5.4 Data Hasil Produksi panen tanaman Pokok masyarakat Blitar Selatan
pasca Operasi Trisula tahun 1968
Income Per Capita tahun 1968 adalah = Rp. 6.663.250 = Rp. 437,-
15.245 Jiwa
Pendapatan Perkapita Masyarakat Blitar pada saat itu bisa dikatakan masih
sangat kecil karena jika dibuat perbandingan dengan buruh di daerah lain sangat
mencolok dimana buruh pabrik pada waktu sudah menerima gaji sebesar Rp 750
dan buruh diluar pabrik pada waktu itu sebesar Rp 100. Sedangkan harga rata-rata
beras di Kabupaten Blitar pada tahun tersebut telah mencapai Rp 36,- per
kilogramnya dan rata-rata gula di tahun yang sama mencapai Rp 90,- per
kilogramnya. Sehingga dapat dikatakan penghasilan atau pendapatan mereka
masih rendah belum bisa mencukupi kebutuhan primer maupun sekunder sehari-
hari dan masuk dalam kategori kelas masyarakat menengah kebawah (BPS,
2000:335-343).
Penghasilan atau pendapatan hasil panen di Blitar Selatan yang dirasa
kurang bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Beberapa Eks Tapol di Blitar
4
6.1 Simpulan
Dalam usaha mencegah terjadinya bangkitya paham Komunis di Indonesia
pemerintah memberikan perlakuan khusus terhadap orang-orang yang dianggap
pernah terlibat dengan PKI atau organisasi yang bebau komunis. Hal ini dilakukan
sesuai dengan adanya Keputusan Presiden No.28/1975 tentang Perlakuan
terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S/PKI Golongan C, Selain itu, Pemerintah
pusat maupun daerah tetap melakukan Pengawasan dan pembinaan terhadap
mantan Tahanan Politik yang telah dibebaskan dan tetap melakukan pengawasan t
terhadap daerah-daerah yang dianggap memiliki potensi untuk membangkitkan
lagi ajaran komunis seperti daerah Blitar Selatan (Inmendagri No. 32 tahun 1981).
Beberapa pengawasan dan pembinaan yang di terapkan oleh pemerintah daerah
terhadap mantan tahanan politik di Blitar Selatan diantaranya yaitu : (1)
Kebijakan wajib lapor, (2) Pencabutan Hak sipil dan Hak politik, (3) Pemberian
kode Khusus (ET) terhadap KTP para Eks Tapol.
Pasca dibebaskan dari tahanan para tapol bukan hanya mendapatkan
hukuman dari pemerintah tetapi beberapa dari mereka juga mendapatkan
hukuman sosial dari masyakat setempat. Memiliki latar belakang sebagai bekas
tahanan politik dan adanya label yang diberikan pemeritah Orde Baru terhadap
para PKI beserta simpatisannya merupakan musuh Negara membuat sebagian
masyarkat enggan untuk memiliki hubungan dengan para mantan Tahanan Politik.
Setelah dibebaskan dari Pengasingan para Eks Tapol di Blitar berusaha membaur
dengan masyarakat setempat, dan salah satu dari mereka ikut aktif dalam kegiatan
kemasyarakatan agar bisa diterima kembali dalam masyarakat. Kebijakan
pemerintah yang melarang Eks Tapol beserta keturunannya menjadi PNS, TNI,
POLRI, dan adanya larangan untuk memiliki pekerjaan tertentu Seperti Guru,
dosen, wartawan, dalang dan anggota lembaga bantuan hukum dan menjadi
anggota dalam lembaga hukum, tentunya berdampak terhadap kehidupan ekonomi
eks tapol, kebanyakan Eks Tapol di Blitar bekerja sebagai petani karena tidak ada
pilihan lainya, adanya latar belakang sebagai bekas tahanan politik membuat
48
4
6.2 Saran
Melalui penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan
kelompok masyarakat sipil dapat digunakan menjadi bahan pertimbangan dan
perbandingan dalam memahami persoalan 65 dan menjadi evaluasi bagi
pemerintah untuk tidak mendiskriminasikan Eks Tapol dan menyamakan Hak
Asasi Manusia, Hak Sipil dan Hak Politik terhadap Eks Tapol di Indonesia pada
umumnya dan Eks Tapol di Blitar Selatan pada khususnya. Diharapkan dengan
adanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan oleh lembaga swadaya
masyarakat, lembaga pemerintahan atau organisasi masyarakat sipil lainnya dalam
upaya rekonsiliasi semua pihak yang terlibat dalam konflik 1965 di Blitar Selatan.
Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, maka saya berharap
kepada peneliti selanjutnya agar melengkapi sumber menggunakan data yang
lebih banyak dengan pembahasan yang lebih mendalam dan masih banyak hal-hal
yang masih bisa dikaji melalui peristiwa Trisula di Blitar Selatan seperti
bagaimana kehidupan Eks Tapol pada masa reformasi, apakah para korban
peristiwa 65 khususnya di Blitar Selatan telah mendapatkan keadilan dan
5
mendapakan perlakuan yang sama seperti masyarakat yang lain pada umumnya.
Dan bagaimana perjuangan mereka dalam mendapatkan keadilan dari pemerintah
saya rasa menarik untuk diteliti dan dikaji.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2000. Kabupaten Blitar dalam Angka 1999. Blitar: BPS
Kab. Blitar.
Dahl, R. A. 1989. The Past and The Future of Democracy. Siena: Universitas
Degli studi di Siena.
Intruksi Mentri Dalam Negri No 32. Tahun 1981. Pembinaan dan Pengawasan
Terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G 30/S PKI. 22
Agustus 1981. Departemen Dalam Negri Republik Indonesia. Jakarta.
John, R., A. Ratih, dan H. Farid. 2004. Tahun yang Tak Pernah Berakhir:
Memahami Pengalaman Korban 65: Esai-Esai Sejarah Lisan. Jakarta:
Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, dan ISSI.
51
5
Kontras (Komisi orang Hilang dan korban kekerasan). 2012. Menyusun Puzzle
Pelanggaran HAM 1965: Sebuah Upaya Pendokumentasian. Jakarta:
ICTJ.
Patria, N. dan A. Arief. 2015. Antonio Gramsci Negara & Hegemoni. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
5
Soekanto, S. 2009. Sosiologi: Suatu Pengantar Edisi Baru. Jakarta: Rajawali Pers.
Semdam VIII Brawidjaja. 1969. Operasi Trisula Kodam VIII Brawidjaja. Malang:
Jajasan Taman Tjandrawilwatikta.
Surabaya Post. Karena terlibat G 30 S/PKI : 1.580.020 orang tak boleh gunakan
hak pilih. Jakarta. 3 Desember 1981.
Undang-Undang 1945 Bab XA. Pasal 28 huruf I ayat (2). Hak Asasi Manusia. 18
Agustus 2000. Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Jakarta.
5
Penelitian yang
relevan
5
LAMPIRAN 2. PEDOMAN PENGUMPULAN
TEMA DAN TOPIK MASALAH PENELITIAN TEKNIK PENGUMPULAN
PENELITIAN SUMBER
SL D W
TEMA : 1. Bagaimana pengawasan pemerintah daerah ✓ ✓
Sejarah Sosial – Ekonomi terhadap Eks Tapol di Blitar setelah dibebaskan
dari tahanan 1968-1998 ?
TOPIK / JUDUL : ✓ ✓
Dinamika Kehidupan 2. Bagaimana Perubahan, perkembangan serta
Sosial – Ekonomi Eks kesinambungan kehidupan Sosial-Ekonomi Eks
Tapol di Blitar Selatan Tapol pasca Operasi Trisula Berakhir dalam kurun
1968 – 2000 waktu tahun 1968 sampai tahun 2000 ?
Keterangan :
SL : Survei Lapangan D : Dokumenter W : Wawancara
5
LAMPIRAN 3. PEDOMAN
MASALAH PENELITIAN DATA/INFORMASI YANG SUMBER TERTULIS YANG
DIBUTUHKAN AKAN DIKUMPULKAN
1. Bagaimana pengawasan 1. Peraturan apa saja yang harus dipatuhi Sumber Primer :
pemerintah daerah terhadap Eks Eks Tapol pasca dibebaskan dari 1. Inmendagri No 32. /1981
Tapol di Blitar setelah tahanan 2. Keputusan Presiden No.28/1975
dibebaskan dari tahanan 1968- 2. Hukuman yang harus di terima apabila 3. Depdagri No. 3 tahun 1982/1983
1998 ? Eks Tapol tidak menjalankan 4. Arsip daerah tentang pengawasan
peraturan sesuai yang telah ditetapkan Eks Tapol di Blitar
oleh aparatur desa setempat. 5. Arsip pribadi Eks Tapol berupa
3. Berapa lama Eks Tapol harus KTP Eks Tapol dan surat
menjalani peraturan diskriminatif yang Pembebasan Eks Tapol
telah ditetapkan oleh pemerintah Orde 6. Jawa Post. 20 September 1982
Baru 7. Jawa Post. 12 Agustus 1982.
4. Kapan Peraturan Diskriminatif 8. Surabaya Post. 3 Desember 1981
tehadap Eks Tapol di hapus atau telah Sumber Sekunder :
ditiadakan 1. Buku dan jurnal-jurnal lain yang
relevan.
2. Bagaimana Perubahan, 1. Dampak Kebijakan Diskriminatif Orde Sumber Primer :
perkembangan serta Baru terhadap Kehidupan Sosial- 1. Data jumlah Eks Tapol dari LSM
kesinambungan kehidupan ekonomi Eks Tapol (The Post Institute)
Sosial-Ekonomi Eks Tapol 2. Data Sosial-ekonomi (Jumlah, 2. Data sosial-Ekonomi (pendidikan,
pasca Operasi Trisula Berakhir Pendidikan, Pekerjaan, Penghasilan) Pekerjaan) diperoleh dari Ktp dan
dalam kurun waktu tahun 1968 Eks Tapol di Blitar Selatan. KK yang telah di data oleh LSM
sampai tahun 2000 ? (The Post Institute)
3. Data Penghasilan eks Tapol yang
diperoleh dari BPS daerah dan
5
MASALAH PENELITIAN DATA/INFORMASI YANG SUMBER TERTULIS YANG
DIBUTUHKAN AKAN DIKUMPULKAN
Laporan penelitian terdahulu
Sumber Sekunder :
1. Buku dan jurnal-jurnal lain yang
relevan.
5
LAMPIRAN 4. PEDOMAN WAWANCARA
6
MASALAH PENELITIAN DATA/INFORMASI YANG INFORMAN YANG AKAN
DIBUTUHKAN DIWAWANCARAI
Sosial-Ekonomi Eks Tapol Pendidikan, Pekerjaan, Penghasilan) Blitar Selatan
pasca Operasi Trisula Berakhir Eks Tapol di Blitar Selatan. 3. Para Eks Tapol di Blitar Selatan
dalam kurun waktu tahun 1968 yang telah di sebutkan di atas.
sampai tahun 2000 ?
6
6
Nama :
Pekerjaan :
Umur :
Alamat :
13. Bagaiamana kehidupan anda setelah presiden ke-4 Gus Dur mecabut
beberapa peraturan diskriminatif terhadap eks Tapol ?
6
Nama : Talam
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 83
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Ngrejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar
Nama : Sukiman
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 72
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Nama : Sullen
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 75
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Lorejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar
Nama : Kasilah
Jenis kelamin : Perempuan
Usia 71
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Nama : Wiyono
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 84
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Tambak, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Nama : Sukaji
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 80
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Ngrejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar
Nama : Suparman
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 86
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Tambak, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Nama : Sutrisno
6
Nama : Yateman
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 72
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Nama : Iwan
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 52
Pekerjaan : Kepala Desa
Alamat : Desa Ngrejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar
6
Nama : Talam
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 83
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Ngrejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar
Waktu Wawancara : 20 Agustus 2021
Talam merupakan salah satu Eks Tapol yang berasal dari desa Ngrejo
Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar. Ia merupakan Tapol Golongan B yang
ditangkap karena mengikuti organisasi SARBUKSI (Sarikat Buruh Perhutani
Indonesia). Ia tidak tahu menau mengenai politik namun pada tahun 1968 ia ikut-
ikutan terseret karena mengikuti organisasi Sarbuksi yang dianggap sebagai
organisasi di bawah naungan PKI pada kala itu. Motif Talam bergabung dalam
organisasi Sarbuksi pada saat itu adalah karena Sarbuksi menawarkan banyak
program yang menguntungkan bagi para buruh, sehingga ia tertarik untuk
mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh organsasi tersebut dan tertarik
untuk menjadi anggota dari organisasi Sarbuksi tersebut. Hal itulah yang
membuat Talam di tangkap tanpa diadili oleh militer hingga diasingkan ke pulau
Buru selama bertahun-tahun. Selama di tahan dan diasingkan ke Pulau Buru ia
sering mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi oleh militer, bahkan ketika
dalam masa pengasingan ia sering dipekerja paksakan tanpa di gaji maupun diberi
makanan ataupun minuman, hal tersebut dialaminya selama bertahun-tahun.
Pasca dibebaskan dari masa tahanan dan pengasinagan pulau Buru pada
tahun 1977, Talam juga tidak sepenuhnya dapat merasakan kebebasan sejumlah
peraturan diskriminatif yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru di tujukan kepada
para Eks Tapol yang telah dibebaskan dari masa tahanan atau pengasingan dengan
dalih untuk mencegah bangkitnya ajaran komunis di Indonesia. Hal tersebut
tentunya juga berdampak terhadap kehidupan Talam. Sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan ia harus melakukan wajib lapor atas keberadaanya setiap
seminggu sekali ke koramil Bakung. Bukan hanya itu ia juga harus meminta izin
dan mengurus surat ke apaatur desa setempat apabila hendak pergi ke luar kota.
Selain itu di KTP nya juga terdapat kode ET yang menunjukkan bahwa
pemegangnya merupakan seseorang yang pernah terlibat dalam organisasi
terlarang. Hal ini dilakukan agar pemerintah atau aparatur desa setempat mudah
dalam melakukan pengawasan terhadap orang-orang yang dianggap berbahaya
dan pernah terlibat dalam peristiwa 65 dan organisasi terlarang.
Peraturan diskriminatif pemeritah Orde Baru yang ditujukan terhadap Eks
Tapol juga berdampak terhadap kehidupan Sosial-Ekonomi Talam. Latar
belakang sebagai seorang tahananan politik membuatnya kesulitan dalam mencari
pekerjaan, apalagi ditambah dengan peraturan yang membatasi dan melarang para
Eks Tapol untuk tidak memiliki pekejaan di sektor tertentu membuat kehidupan
ekonominya pada saat itu menjadi sangat sulit. Akhirnya ia hanya bisa menjadi
seorang petani dengan memanfaatkan lahan peninggalan orang tuanya yang tersisa
6
pada saat itu untuk memenuhi kebutuhanya sehari-hari. Tanaman yang Ia tanam
pada saat itu hanyalah berupa tanaman Palawija diantaranya yaitu Padi, Ketela,
dan Jagung. Namun tanaman tersebut hanya bisa di panen sekali dalam satu tahun
karena pada saat itu masyarakat Bakung masih menggunakan alat sederhana untuk
membajak sawah dan masih menggunakan pupuk kandang atau kompos untuk
merabuk tanaman. Produksi tanamannya setiap panen bisa mencapai satu Ton
lebih apabila hasil panen nya bagus, namun apabila hasilnya kurang bagus dan
cuaca tidak mendukung maka produksi tanamannya juga menurun tidak dapat
mencapai satu ton hanya berkisar satu sampai dua kwital saja. Meskipun Orde
Baru menerapkan peraturan yang bersifat diskrimatif terhadap para Eks Tapol,
namun nasib beruntung berpihak kepada Talam karena keluarga, kerabat maupun
tetangga masih bersikap baik dan tidak mengucilkan dan mendiskriminasikan
dirinya. Hal tersebut dikarenakan sebelum Talam di asingkan ke Pulau Buru
Talam sudah memiliki hubungan baik dengan para kerabat maupun tetangga,
sehingga ketika ia dipulangkan dari pengasingan para tetangga maupun kerabat
sudah mengenalnya dan tetap memiliki hubungan yang baik sehigga tidak
mengucilkannya.
Markus Talam
6
Nama : Sukiman
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 72
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Waktu Wawancara : 20 Agustus 2021
Sukiman
7
Nama : Sullen
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 75
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Lorejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar
Waktu Wawancara : 22 Agustus 2021
Sullen
7
Nama : Kasilah
Jenis kelamin : Perempuan
Usia 71
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Waktu Wawancara : 22 Agustus 2021
pada masa Gus Dur peraturan diskriminatif yang mengikat para Eks Tapol di
hapus. Sehingga Ia merasa bahwa Gus Dur pantas bukan hanya saja disebut
sebagai presiden. Namun, juga disebut sebagai pahlawan bagi rakyatnya yang
pluralisme yang tidak membeda-bedakan masyarakat.
Kasilah
7
Nama : Wiyono
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 84
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Tambak, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Waktu Wawancara : 24 Agustus 2021
Jagung, Ketela) dan hasil panen nya bisa mencapai kwintalan hingga ton-ton an
per panennya jika cuacanya mendukung karena pada saat itu petani di Blitar
Selatan masih mengantugkan cuaca sebagai tolak ukur baik buruknya hasil panen.
Sama seperti halnya dengan para Eks Tapol lainnya Wiyono baru bisa merasakan
kebebasan seutuhnya pada masa pemerintahan presiden Gus Dur karena pada
masa Gus Dur peraturan diskriminatif yang mengikat dan membatasi Eks Tapol di
hapus.
Wiyono
7
Nama : Sukaji
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 80
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Ngrejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar
Waktu Wawancara : 24 Agustus 2021
halnya dengan para Eks Tapol lainnya, Sukaji baru merasakan kebebasan pada
saat masa pemerintahan Gus Dur. Karena pada masa Gus dur peraturan
diskriminatif yang membatasi Eks Tapol beserta keturunannya dihapus dan
dihilangkan.
Sukaji
7
Nama : Suparman
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 86
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Tambak, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Waktu wawancara : 26 Agustus 2021
Suparman
8
Nama : Sutrisno
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 75
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Tambak, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Waktu wawancara : 26 Agustus 2021
Sutrisno
8
Nama : Yateman
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 72
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar
Waktu wawancara : 3 September 2021
Yateman
8
Mawan Mahyuddin
8
Nama : Iwan
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia 52
Pekerjaan : Carik (Sekertaris Desa)
Alamat : Desa Ngrejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar
Waktu Wawancara : 24 Agustus 2021
namun tidak diterima pada saat seleksi pemberkasan, hal itu dikanenakan orang
tuanya merupakan bekas tahanan Politik, sehingga pemerintah membatalkan
penduduk tersebut menjadi anggota PNS.
Iwan
8
Gambar 6.1 Foto dengan Informan Yateman (Eks Tapol Golongan C Wonotirto)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Gambar 6.2 Foto dengan Informan Kasilah (Eks Tapol Golongan C Wonotirto)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
8
Gambar 6.3 Foto dengan Informan Sukaji (Eks Tapol Golongan C Bakung)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Gambar 6.4 Foto dengan Informan Suparman (Eks Tapol Golongan B Wonotirto)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
9
Gambar 6.5 Foto dengan Informan Sutrisno (Eks Tapol Golongan B Wonoirto)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Gambar 6.6 Foto dengan Informan Wiyono (Eks Tapol Golongan B Wonoirto)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
9
Gambar 6.7 Foto dengan Informan Sullen (Eks Tapol Golongan C Bakung)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Gambar 6.8 Foto dengan Informan Talam (Eks Tapol Golongan B Bakung)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
9
Gambar 6.9 Foto dengan Informan Sukiman (Eks Tapol Golongan C Wonotrirto)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Gambar 9.1. Berita Tentang karena terlibat G 30 S/PKI : 1.580.020 orang tak
boleh gunakan hak pilih.
Sumber : Surabaya Post. 3 Desember 1981
10
Gambar 9.2 Berita tentang Tidak boleh bertransmigrasi Eks Tahanan G 30 S/PKI
Sumber : Jawa Post. 20 September 1982
Gambar 9.3 Berita tentang Straregi Departemen Dalam Negeri Untuk menangkal
Bahya Komunisme
Sumber : Majalah Mimbar Departemen Dalam Negeri No. 3 Th 1982/1983 Hal 2
10
Keterangan : Pembuatan kode khusus, yakni ET, di dalam Kartu Tanda Penduduk
(KTP) yang menyatakan bahwa pemegangnya adalah eks-tapol, atau anggota
dari organisasi terlarang.
10