PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan
diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan promotif, pencegahan
penyakit preventif, penyembuhan penyakit kuratif dan pemulihan kesehatan rehabilitatif, yang
dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya
kesehatan ini menjadi pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas kesehatan di Indonesia
termasuk rumah sakit. Rumah sakit yang merupakan salah satu dari sarana kesehatan, merupakan
rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang
bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien.
Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang
menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor : 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang menyebutkan
bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat
yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi, mengharuskan adanya
perubahan pelayanan dari paradigma lama drug oriented ke paradigma baru yaitu patient
oriented dengan filosofi Pharmaceutical Care (pelayanan kefarmasian). Praktek pelayanan
kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah
dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan.
Instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) merupakan suatu unit di rumah sakit dengan fasilitas
penyelenggaraan kefarmasian di bawah pimpinan seorang farmasis / apoteker dan memenuhi
persyaratan secara hukum untuk mengadakan, menyediakan, dan mengelola seluruh aspek
penyediaan perbekalan kesehatan di rumah sakit yang berintikan pelayanan produk yang lengkap
dan pelayanan farmasi klinik yang sifat pelayanannya berorientasi kepada kepentingan penderita.
Kegiatan pada instalasi ini terdiri dari pelayanan farmasi minimal yang meliputi perencanaan,
pengadaan, penyimpanan perbekalan farmasi, dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita
rawat inap dan rawat jalan, pengendalian mutu, pengendalian distribusi pelayanan umum dan
spesialis, pelayanan langsung pada pasien serta pelayanan klinis yang merupakan program rumah
sakit secara keseluruhan.
D. Batasan Operasional
a. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit,
merawat orang sakit, serta pemulihan kesehatan, pada manusia dan atau membentuk struktur
dan memperbaiki fungsi tubuh.
b. Evaluasi adalah proses penilaian kinerja pelayanan farmasi di rumah sakit yang
meliputi penilaian terhadap sumber daya manusia (SDM), pengelolaan perbekalan
farmasi, pelayanan kefarmasian kepada pasien/pelayanan farmasi klinik.
c. Mutu pelayanan farmasi rumah sakit adalah pelayanan farmasi yang menunjuk pada tingkat
kesempurnaan pelayanan dalam menimbulkan kepuasan pasien sesuai dengan tingkat kepuasan
rata-rata masyarakat, serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar pelayanan profesi yang
ditetapkan serta sesuai dengan kode etik profesi farmasi.
E. Landasan Hukum
Landasan hukum buku pedoman Instalasi Farmasi adalah :
a. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
b. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
c. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
d. Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
e. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian
f. Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1009/Menkes/SK/X/1995 tentang
Pembentukan Komite Nasional Farmasi dan Terapi
Setiap posisi yang tercantum dalam bagan organisasi harus dijabarkan secara jelas fungsi
ruang lingkup, wewenang, tanggung jawab, hubungan koordinasi, fungsional, dan uraian tugas serta
persyaratan / kualifikasi sumber daya manusia untuk dapat menduduki posisi tersebut.
B. Distribusi Ketenagaan
1. Jenis Ketenagaan
a. Untuk pekerjaan kefarmasian di RSKIA Harapan Bunda Bandung dibutuhkan tenaga :
Apoteker
Sarjana Farmasi
Tenaga Teknis Kefarmasian (D3 Farmasi, SMF)
b. Untuk pekerjaan administrasi dibutuhkan tenaga :
Operator Komputer /Teknisi yang memahami kefarmasian
Tenaga Administrasi
c. Pembantu Pelaksana
Reseptur
2. Beban Kerja
Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh pada
kegiatan yang dilakukan, yaitu :
Kapasitas tempat tidur dan BOR
Jumlah resep atau formulir per hari
Volume perbekalan farmasi
Idealnya 30 tempat tidur = 1 Apoteker (untuk pelayanan kefarmasian)
3. Pendidikan
Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik, dalam penentuan kebutuhan tenaga
harus dipertimbangkan :
Kualifikasi pendidikan disesuaikan dengan jenis pelayanan/tugas fungsi
Penambahan pengetahuan disesuaikan dengan tanggung jawab
Peningkatan keterampilan disesuaikan dengan tugas
23 3
16 4
22
5
15
21
14
8
20 6
1
19 3
12
7
18 10
9
0
17
11
2. RAK OBAT (TABLET DAN TOPIKAL) 17. RAK OBAT INJEKSI DAN CAIRAN 10. RAK ARSIP
3. RAK OBAT (TABLET DAN SIRUP) 18. TOILET 11. LEMARI PENYIMPANAN PSIKO DAN
1 NARKOTIK
4. MEJA PENYIAPAN OBAT 19. WASTAFEL (BAK CUCI)
12. LEMARI PENDINGIN
Pembagian Ruangan
1. Meja pimpinan
2. Ruang Penyimpanan
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi, sanitasi temperatur sinar / cahaya,
kelembaban, fentilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas
yang terdiri dari:
a. Kondisi Umum untuk Ruang Penyimpanan
Obat jadi
Alat kesehatan dan Iain-lain.
b. Kondisi Khusus untuk Ruang Penyimpanan :
Obat termolabil
Alat kesehatan dengan suhu rendah
Obat mudah terbakar
Obat/bahan obat berbahaya
3. Ruang Distribusi/Pelayanan
Ruang distribusi yang cukup untuk seluruh kegiatan farmasi rumah sakit:
Ruang distribusi untuk pelayanan rawat jalan , rawat Inap dan kebutuhan lainnya
Ada ruang khusus/terpisah untuk penerimaan resep dan persiapan obat
Ruang distribusi untuk pelayanan rawat inap
Ada ruang khusus/terpisah dari ruang penerimaan barang dan penyimpanan barang
Dilengkapi kereta dorong trolley
C. Peralatan
Fasilitas peralatan harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan terutama untuk perlengkapan
dispensing baik untuk sediaan steril, non steril, maupun cair untuk obat luar atau dalam. Fasilitas
peralatan harus dijamin sensitif pada pengukuran dan memenuhi persyaratan, peneraan dan
kalibrasi untuk peralatan tertentu setiap tahun.
Peralatan minimal yang harus tersedia :
a. Peralatan untuk penyimpanan, peracikan dan pembuatan obat baik nonsteril maupun
aseptik
b. Peralatan kantor untuk administrasi dan arsip
c. Kepustakaan memadai untuk melaksanakan pelayanan informasi obat
d. Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika
e. Lemari pendingin dan AC untuk obat yang termolabil
f. Penerangan, sarana air, ventilasi dan sistem pembuangan limbah yang baik
g. Bel
Macam-macam Peralatan
1. Peralatan Kantor
Furniture (meja, kursi, lemari buku/rak, filing cabinet dan Iain-lain)
Komputer/mesin tik
Alat tulis kantor
Telpon dan Faximile
* Disesuaikan dengan kondisi Rumah Sakit
Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang menjamin seluruh rangkaian kegiatan perbekalan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta
memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan
kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,
pengendalian, dan administrasi yang diperlukan bagi kegiatan Pelayanan Kefarmasian.
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus dilaksanakan
secara multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan proses yang efektif untuk menjamin kendali mutu
dan kendali biaya. Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit menyatakan bahwa Pengelolaan Alat Kesehatan, Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis
Pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu. Alat Kesehatan yang
dikelola oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu berupa alat medis habis pakai/peralatan non
elektromedik, antara lain alat kontrasepsi (IUD), alat pacu jantung, implan, dan stent.
Sistem satu pintu adalah satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan formularium,
pengadaan, dan pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien melalui Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Dengan
demikian semua Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang beredar di Rumah
Sakit merupakan tanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit, sehingga tidak ada pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang dilaksanakan selain oleh
Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Dengan kebijakan pengelolaan sistem satu pintu, Instalasi Farmasi sebagai satu-satunya
penyelenggara Pelayanan Kefarmasian, sehingga Rumah Sakit akan mendapatkan manfaat dalam hal:
a. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai.
b. Standarisasi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
c. Penjaminan mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
d. Pengendalian harga Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
b. Lokasi penyimpanan
1) Narkotika disimpan dalam lemari narkotika yang mempunyai aturan standar sesuai
ketentuan
2) Barang mudah terbakar disimpan dalam gudang yang berjauhan dengan sumber api
yang dilengkapi dengan alat pemadam kebakaran
c. Bentuk/jenis barang yang disimpan
1) Obat-obatan disimpan terpisah dari bahan beracun
2) Bahan mudah terbakar disimpan dalam gudang yang jauh dari sumber api
3) Obat luar dipisahkan dari obat dalam
4) Berdasarkan bentuk kemasan dari obat/alat kesehatan
d. Sistem penyimpanan
1) Berdasarkan abjad atau nomor
2) Berdasarkan farmakologi
3) Berdasarkan frekuensi penggunaan (sistem FIFO/FEFO)
e. Barang dibedakan berdasarkan Barang Farmasi atau Barang Apotek
d. Sistem Kombinasi
Sistem pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi a + b atau b + c atau a + c.
2) Proses pemusnahan
a) Petugas gudang mengumpulkan alat kesehatan yang akan dimusnahkan dan
dibuat daftarnya
b) Pengajuan ijin pemusnahan kepada direktur
c) Dengan ijin direktur, petugas farmasi membuat berita acara pemusnahan alat
kesehatan dan melakukan proses pemusnahan dengan cara: Alat kesehatan
digunting dan dibuang sebagai sampah medik dan limbahnya diserahkan kepada
pihak ke 3 untuk memusnahkan alat kesehatan yang kadaluwarsa atau rusak.
8. Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan penggunaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Pengendalian penggunaan Sediaan
Tujuan pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai adalah untuk:
a. Penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit;
b. Penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi;
c. Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta pengembalian
pesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Cara untuk mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai adalah:
a. Melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving);
b. Melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu tiga bulan berturut-
turut (death stock);
c. Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.
9. Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk memudahkan
penelusuran kegiatan yang sudah berlalu.
Kegiatan administrasi terdiri dari:
a. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penerimaan, pendistribusian, pengendalian persediaan, pengembalian, pemusnahan dan
penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Pelaporan dibuat
secara periodik yang dilakukan Instalasi Farmasi dalam periode waktu tertentu (bulanan,
triwulanan, semester atau pertahun). Jenis-jenis pelaporan yang dibuat menyesuaikan dengan
peraturan yang berlaku.
Pencatatan dilakukan untuk:
1) Persyaratan Kementerian Kesehatan/BPOM;
2) Dasar akreditasi Rumah Sakit;
3) Dasar audit Rumah Sakit; dan
4) Dokumentasi farmasi.
Pelaporan dilakukan sebagai:
1) Komunikasi antara level manajemen;
b. Administrasi Penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak terpakai karena kadaluwarsa, rusak,
mutu tidak memenuhi standar dengan cara membuat usulan penghapusan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai kepada pihak terkait sesuai dengan prosedur yang
berlaku.
B. PELAYANAN FARMASI KLINIK
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada
pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek
samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup
pasien (quality of life) terjamin.
5. Konseling
4) Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, phenytoin);
5) Pasien yang menggunakan banyak obat (polifarmasi); dan
6) Pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.
6. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Apoteker
secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien
secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan Reaksi Obat
yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat
kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar Rumah Sakit baik atas
permintaan pasien maupun sesuai dengan program Rumah Sakit yang biasa disebut dengan
Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
Sebelum melakukan kegiatan visite Apoteker harus mempersiapkan diri dengan
mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medik
atau sumber lain.
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi
Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
Tahapan PTO:
a. Pengumpulan data pasien;
b. Identifikasi masalah terkait obat;
c. Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat;
d. Pemantauan; dan
e. Tindak lanjut.
A. PENGERTIAN
Keselamatan pasien (Patient safety) secara sederhana didefinisikan sebagai suatu upaya untuk
mencegah bahaya yang terjadi pada pasien.
Strategi untuk meningkatkan keselamatan pasien :
a. Menggunakan obat dan peralatan yang aman
b. Melakukan praktek klinik yang aman dan dalam lingkungan yang aman
c. Melaksanakan manajemen risiko, contoh : pengendalian infeksi
d. Membuat dan meningkatkan sistem yang dapat menurunkan risiko yang
berorientasi kepada pasien.
e. Meningkatkan keselamatan pasien dengan :
mencegah terjadinya kejadian tidak diharapkan (adverse event)
membuat sistem identifikasi dan pelaporan adverse event
mengurangi efek akibat adverse event
B. TUJUAN
1. Tujuan umum
Sebagai acuan bagi apoteker yang melakukan pelayanan kefarmasian di rumah sakit dan
komunitas dalam melaksanakan program keselamatan pasien.
2. Tujuan khusus
a. Terlaksananya program keselamatan pasien bagi apoteker di rumah sakit secara sistematis
dan terarah.
2. Peran apoteker dalam mewujudkan keselamatan pasien meliputi dua aspek yaitu:
a. Aspek manajemen meliputi pemilihan perbekalan farmasi, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan dan distribusi, alur pelayanan, sistem pengendalian (misalnya memanfaatkan
IT).
b. Aspek klinik meliputi skrining permintaan obat (resep atau bebas), penyiapan obat dan obat
khusus, penyerahan dan pemberian informasi obat, konseling, monitoring dan evaluasi.
Kegiatan farmasi klinik sangat diperlukan terutama pada pasien yang menerima pengobatan
dengan risiko tinggi. Keterlibatan apoteker dalam tim pelayanan kesehatan perlu didukung
mengingat keberadaannya melalui kegiatan farmasi klinik terbukti memiliki konstribusi besar
dalam menurunkan insiden/kesalahan
c. Penyimpanan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk menurunkan kesalahan pengambilan
obat dan menjamin mutu obat :
1) Simpan obat dengan nama, tampilan dan ucapan
mirip (look-alike, sound-alike medication names) secara terpisah.
2) Obat-obat dengan peringatan khusus (high alert
drugs) yang dapat menimbulkan cedera jika terjadi kesalahan pengambilan, simpan di
tempat khusus. Misalnya : menyimpan cairan elektrolit pekat seperti KCl inj, heparin,
warfarin, insulin, kemoterapi, narkotik opiat, neuromuscular blocking agents, thrombolitik,
dan agonis adrenergik, kelompok obat antidiabet jangan disimpan tercampur dengan obat
lain secara alfabetis, tetapi tempatkan secara terpisah.
3) Simpan obat sesuai dengan persyaratan
penyimpanan.
7. Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan itupun harus
dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta benar, dengan mengeja nama
obat serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus diberikan kepada petugas yang
meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang menerima permintaan harus menulis dengan jelas
instruksi lisan setelah mendapat konfirmasi.
8. Pemantauan patient safety dilakukan saat pelayanan kefarmasian meliputi:
a. Dispensing
b. Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SPO
c. Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga kali : pada saat pengambilan
obat dari rak, pada saat mengambil obat dari wadah, pada saat mengembalikan obat ke rak.
d. Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda.
e. Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai, pemeriksaan
kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep terhadap isi etiket.
f. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
Edukasi dan konseling kepada pasien diberikan mengenai hal-hal yang penting tentang obat
dan pengobatannya. Hal-hal yang harus diinformasikan dan didiskusikan pada pasien adalah :
1) Pemahaman yang jelas mengenai indikasi penggunaan dan bagaimana menggunakan
obat dengan benar, harapan setelah menggunakan obat, lama pengobatan, kapan harus
kembali ke dokter
2) Peringatan yang berkaitan dengan proses pengobatan
9. Penggunaan Obat
Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien rawat inap di rumah sakit
dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya, bekerja sama dengan petugas kesehatan lain. Hal yang
perlu diperhatikan adalah :
a. Tepat pasien
b. Tepat indikasi
c. Tepat waktu pemberian
d. Tepat obat
e. Tepat dosis
f. Tepat label obat (aturan pakai)
g. Tepat rute pemberian
10. Monitoring dan Evaluasi
Apoteker harus melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui efek terapi,
mewaspadai efek samping obat, memastikan kepatuhan pasien. Hasil monitoring dan evaluasi
didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan dan mencegah pengulangan
kesalahan.
Seluruh personal yang ada di tempat pelayanan kefarmasian harus terlibat didalam program
keselamatan pasien khususnya medication safety dan harus secara terus menerus
4) Staf farmasi harus mendapat edukasi tentang kebijakan dan SPO yang berkaitan dengan
proses dispensing yang akurat, mengenai nama dan bentuk obat-obat yang
membingungkan, obat-obat formularium/non formularium, obat-obat yang ditanggung
asuransi/non-asuransi, obat-obat baru dan obat-obat yang memerlukan perhatian
khusus. Disamping itu petugas farmasi harusmewaspadai dan mencegah medication
error yang dapat terjadi.
5) Tumbuhkan budaya tidak menyalahkan (no blaming culture) agar staf berani melaporkan
setiap insiden yang terjadi.
2) Buat solusi yang mencakup penjabaran ulang sistem (re-design system), penyesuaian
SOP yang menjamin keselamatan pasien.
3) Sosialisasikan solusi kepada seluruh staf Instalasi Farmasi/Apotek.
BAB VI
KESELAMATAN KERJA
A. Tujuan
1. Tujuan umum
Terlaksananya kesehatan dan keselamatan kerja di Instalasi Farmasi Rumah Sakit agar
tercapainya pelayanan kefarmasian dan produktivitas kerja yang optimal.
2. Tujuan khusus
a. Memberikan perlindungan kepada pekerja farmasi, pasien
dan pengunjung.
b. Mencegah kecelakaan kerja, paparan / pajanan bahan
berbahaya, kebakaran dan pencemaran lingkungan.
C. Prosedur
Dalam pelayanan kesehatan kerja dikenal tahapan pencegahan akibat kerja (PAK) dan kecelakan
akibat kerja (KAK) yakni:
1. Pencegahan primer, meliputi pengenalan hazard (potensi bahaya).
Faktor kimia (bahan kimia dan obat-obatan antibiotika, cytostatika, narkotika dan lain-lain,
pemaparan dengan dosis kecil namun terus menerus seperti anstiseptik pada kulit, gas anestesi
pada hati, Formaldehyde untuk mensterilkan sarung tangan karet medis atau paramedis dikenal
sebagai zat yag bersifat karsinogenik), faktor ergonomi (cara duduk, mengangkat pasien yang
salah), faktor fisik yaitu pajanan dengan dosis kecil, pengendalian pajanan yag terdiri dari
monitoring lingkungan kerja, monitoring biologi, identifikasi pekerja yang rentan, pengendalian
teknik, administrasi, pengunaan APD.
2. Pencegahan sekunder meliputi screening penyakit, pemeriksaan kesehatan berkala,
pemeriksaan kesehatan bagi pekerja yang berpotensi terpajan hazard tertentu, berdasarkan
peraturan perundangan (statutory medical examination).
Pekerja : Alat pelindung diri, ruang isolasi untuk istirahat, rotasi pekerja, pengendalian
jadwal kerja
2. Listrik
Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit pemanfaatan aliran listrik digunakan untuk penerangan dan
penggerak peralatan. Namun jika penggunaannya tanpa didukung pengetahuan listrik yang
memadai dapat menimbulkan kecelakaan terhadap listrik.
3. Panas
3. Bahaya Kimia
Adanya zat-zat kimia di rumah sakit dapat menimbulkan bahaya bagi para penderita maupun
para pekerjanya
4. Bahaya Ergonomi
Instalasi farmasi rumah sakit merupakan salah satu instalasi yang berada di rumah sakit. Seperti
halnya instalasi-instalasi lainnya di rumah sakit, tentu saja ada resiko dari pajanan bahaya di
lingkungan di tempat kerja dimana seharusnya ada kewaspadaan dari masing-masing pihak yang
terlibat di instalasi tersebut. Kewaspadaan ini bisa berupa pengaturan atau lingkungan tempat
kerja di Instalasi Farmasi di rumah sakit.
Permasalahan ergonomik
1. Rutinitas dari pekerjaan, misal : pekerjaan penyimpanan
masalah ergonomik biasanya postur yang kaku, berarti menekuk atau memutar bagian
tubuh, beban statis berarti bertahan lama pada satu postur sehingga menyebabkan
kontraksi otot. Resiko ergonomik lainnya antara lain tekanan, artinya tubuh tertekan pada
suatu permukaan atau tepian saat bekerja.
BAB VII
PENGENDALIAN MUTU
Untuk mengukur pencapaian standar yang telah ditetapkan diperlukan indikator, suatu
alat/tolok ukur yang hasilnya merujuk pada ukuran kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan.
Indikator dibedakan menjadi :
1. Indikator persyaratan minimal yaitu indikator yang digunakan untuk mengukur terpenuhi
tidaknya standar masukan, proses, dan lingkungan.
2. Indikator penampilan minimal yaitu indikator yang ditetapkan untuk mengukur tercapai
tidaknya standar penampilan minimal pelayanan yang diselenggarakan.
Berdasarkan waktu pelaksanaan evaluasi, dibagi menjadi 3 (tiga) jenis program evaluasi, yaitu:
Dengan ditetapkanya Pedoman Pelayanan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak
Harapan Bunda Bandung, tidaklah berarti semua permasalahan tentang pelayanan kefarmasian di RSKIA
Harapan Bunda Bandung menjadi mudah dan selesai. Dalam pelaksanaannya dilapangan akan
menghadapi berbagai kendala, antara lain sumber daya manusia / tenaga farmasi, kebijakan manajemen
serta pihak – pihak terkait yang umumnya masih dengan paradigma lama yang melihat pelayanan farmasi
di rumah sakit hanya mengurusi masalah pengadaan dan distribusi obat saja. Untuk itu perlu komitmen
dan kerjasama yang lebih baik antara manajemen sebagai pembuat kebijakan, medis, dan paramedis
yang menangani penderita serta farmasi yang telah melaksanakan paradigma baru yaitu asuhan
kefarmasian, sehingga pelayanan rumah sakit kepada pengguna jasa akan semakin optimal.