“PNS tersebut tentu akan diperiksa oleh yang berwajib apakah dia pengguna
atau pengedar, di mana konsekuensi hukumnya berbeda. Jika pengguna biasanya
akan direhabilitasi, tetapi kalau pengedar biasanya akan dijatuhi hukuman
penjara
Lebih rinci dijelaskan, jika tersangka tersebut dipenjara maka statusnya sebagai
abdi negara bisa saja diberhentikan. Namun bisa juga statusnya tetap sebagai
PNS karena telah menjalankan hukuman penjara.
“Menurut Pasal 247 PP 11 Tahun 2017, PNS dapat diberhentikan dengan hormat
atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan pidana
yang dilakukan tidak berencana,” jelasnya.
Ancaman hukuman disiplin akan diberikan sesuai dampak yang ditimbulkan dari
perbuatannya tersebut. Hukuman akan diberikan oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian (PPK).
(2) PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena
dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana.
(3) PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena
melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat. (4) PNS diberhentikan tidak
dengan hormat karena: a. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. dihukum
penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau
tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana
umum; c. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau d. dihukum
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.
KEjahatan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang PNS maka hukuman dapat
ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 52 KUHP, mengatur “Bilamana seorang pejabat
karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari
jabatannya , atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan,
kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya
dapat ditambah sepertiga”.
Undang-Undang ini bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, di
mana perlu dilakukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri,
sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 23E Undang-Undang Dasar 1945.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, selain berpedoman pada IAR,
dalam pelaksanaan pemeriksaan BPK juga berpedoman pada Indische Comptabiliteitswet atau
lCW (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448 sebagaimana telah berkali-kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1968).
BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan, yakni perencanaan,
pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup
kebebasan dalam menentukan obyek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknya
telah diatur tersendiri dalam undang undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus
dari lembaga perwakilan.
Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat
lembaga perwakilan. Permintaan dimaksud dapat berupa hasil keputusan rapat paripurna, rapat
kerja, dan alat kelengkapan lembaga perwakilan.
Dalam rangka membahas permintaan, saran, dan pendapat sebagaimana dimaksud, BPK atau
lembaga perwakilan mengadakan pertemuan konsultasi.
Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK
dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Untuk keperluan
sebagaimana dimaksud, laporan hasil pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada
BPK.
Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga
ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK. Penggunaan pemeriksa dan/atau
tenaga ahli dari luar BPK dilakukan apabila BPK tidak memiliki/tidak cukup memiliki pemeriksa
dan/atau tenaga ahli yang diperlukan dalam suatu pemeriksaan. Pemeriksa dan/atau tenaga ahli
dalam bidang tertentu dari luar BPK dimaksud adalah pemeriksa di lingkungan aparat
pengawasan intern pemerintah, pemeriksa, dan/atau tenaga ahli lain yang memenuhi persyaratan
yang ditentukan oleh BPK. Penggunaan pemeriksa yang berasal dari aparat pengawasan intern
pemerintah merupakan penugasan pimpinan instansi yang bersangkutan.
BPK dapat memanfaatkan hasil pekerjaan yang dilakukan oleh aparat pengawasan intern
pemerintah. Dengan demikian, luas pemeriksaan yang akan dilakukan dapat disesuaikan dan
difokuskan pada bidang bidang yang secara potensial berdampak pada kewajaran laporan
keuangan serta tingkat efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan negara. Untuk itu, aparat
pengawasan intern pemerintah wajib menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada BPK.
Dalam rangka meminta keterangan kepada sesorang sebagaimana dimaksud, BPK dapat
melakukan pemanggilan kepada seseorang. Tata cara pemanggilan dimaksud ditetapkan oleh
BPK setelah berkonsultasi dengan Pemerintah.
Dalam rangka pemeriksaan keuangan dan/atau kinerja, pemeriksa melakukan pengujian dan
penilaian atas pelaksanaan sistem pengendalian intern pemerintah. Pengujian dan penilaian
dimaksud termasuk atas pelaksanaan sistem kendali mutu dan hasil pemeriksaan aparat
pemeriksa intern pemerintah. Dengan pengujian dan penilaian dimaksud BPK dapat
meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan pemeriksaan. Hasil pengujian dan penilaian
tersebut menjadi masukan bagi pemerintah untuk memperbaiki pelaksanaan sistem pengendalian
dan kinerja pemeriksaan intern.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut
kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tata
cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud diatur bersama oleh BPK dan Pemerintah
Berdasarkan amanat yang tercantum dalam UUD tahun 1945 tersebut, kemudian
dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946
yang berisi tentang pembentukan Badan Pemeriksaan Keuangan. Pada awalnya
BPK mulai bekerja pada tanggal 1 Januari 1947 dan memiliki kedudukan
sementara di Magelang. Pada saat pembentukan ini, BPK memiliki 9 orang
pegawai yang diketuai oleh R. Soerasno.
Tugas
4. Hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh BPK harus dibahas sesuai dengan
standar pemeriksaan keuangan negara yang berlaku.
6. Jika terbukti adanya tindakan pidana, maka BPK wajib melapor pada instansi
yang berwenang paling lambat 1 bulan sejak diketahui adanya tindakan pidana
tersebut.
Wewenang
2. Semua data, informasi, berkas dan semua hal yang berkaitan dengan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara hanya bersifat sebagai alat untuk bahan
pemeriksaan.
3. BPK juga berwenang dalam memberikan pendapat kepada DPR, DPD, DPRD,
dan semua lembaga keuangan negara lain yang diperlukan untuk menunjang sifat
pekerjaan BPK.
C. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen dalam melindungi Hak Asasi Manusia bagi
Penyandang Disabilitas di Indonesia. Sebagai salah satu negara yang turut dalam
penandatanganan konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Indonesia mengesahkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of
Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Selain itu, disahkan juga
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, menggantikan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Pergeseran penyebutan cacat menjadi difabel merupakan bentuk perubahan paradigma yang terus
berkembang hingga kini. Semula melihat Penyandang Disabilitas melalui pendekatan
spiritualisme, yang mana Penyandang Disabilitas dianggap sebagai hukuman/dosa akibat
perbuatan yang menyalahi norma masyarakat atau agama. Lalu berkembang menjadi dianggap
sebagai orang yang sakit, lalu berkembang menjadi bagian dari warga negara yang memiliki hak
untuk hidup (civil rights model) dan terakhir muncul bahwa difabel adalah bagian dari
masyarakat. Paradigma inilah yang meyakini bahwa Penyandang Disabilitas dengan kondisinya
yang berbeda tidak bisa diekslusifkan keberadaannya, namun perlu mewujudukan kondisi yang
inklusif di Indonesia.
Penyandang Disabilitas menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 diartikan sebagai setiap
orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan
kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa Penyandang Disabilitas memiliki
berbagai keterbatasan yang tidak dimiliki masyarakat non disabilitas. Dengan keterbatasannya,
Penyandang Disabilitas ingin mengembangkan dirinya melalui kemandirian yang bermartabat,
memiliki hak dan akses yang sama dalam pelayanan publik, dan inklusivitas dalam berbagai
aspek pembangunan Indonesia (wawancara dengan salah satu penyandang disabilitas pada 14
November 2019).
4. A.1. Memperkuat ketahanan sosial dan budaya masyarakat berdasakan nilai luhur budaya
lokal.
2.Pengembangan kreativitas masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam.
3.Menata kehidupan masyarakat yang aman, tertib, taat hukum, dan harmonis.
4.Meciptakan program untuk mewujudkan sebuah desa dengan masyarakat yang sadar
tentang kesehatan, gizi, pola hidup sehat, dan bersih baik jasmani dan rohanis.
a. kesetiakawanan;
b. keadilan;
c. kemanfaatan;
d. keterpaduan;
e. kemitraan;
f. keterbukaan;
g. akuntabilitas;
h. partisipasi;
i. profesionalitas; dan
j. keberlanjutan.
Pasal 4
Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pasal 5
(1) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada:
a. perseorangan;
b. keluarga;
c. kelompok; dan/atau
d. masyarakat.
(2) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang
tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial:
a. kemiskinan;
b. ketelantaran;
c. kecacatan;
d. keterpencilan;
e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku;
f. korban bencana; dan/atau
g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.