NOMOR 420/MENKES/SK/III/2010
TENTANG
1
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN
LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI KOMPREHENSIF PADA
GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT.
KEDUA : Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif Pada Gangguan
Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam
2
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
3
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Lampiran
Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor: 420/MENKES/SK/III /2010
Tanggal: 31 Maret2010
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk merespon masalah ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya
(NAPZA), yang semakin marak di Indonesia sejak tahun 80-an Kementerian Kesehatan
telah menetapkan kebijakan bahwa 10% kapasitas tempat tidur Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
dialokasikan untuk pasien ketergantungan NAPZA. Dalam beberapa tahun terakhir
hampir semua RSJ mengembangkan pelayanan NAPZA. Dari hasil evaluasi dijumpai
bahwa masyarakat tidak memanfaatkan pelayanan NAPZA yang telah tersedia di RSJ.
Sebagian besar pasien yang dirawat tidak murni karena ketergantungan NAPZA tapi
merupakan pasien dengan dual diagnosis (Gangguan jiwa dan Ketergantungan NAPZA).
Beberapa penyebab kurangnya pemanfaatan RSJ bagi masyarakat yang ketergantungan
NAPZA, antara lain :
masih tingginya stigma terhadap gangguan jiwa, sehingga seorang pecandu tidak mau
datang berobat ke RSJ kecuali sebelumnya sudah ada gangguan jiwa yang diinduksi
oleh penggunaan NAPZA seperti kanabis, stimulan atau alkohol.
Pelayanan yang ditawarkan RSJ tidak memenuhi kebutuhan pasien yang mengalami
Ketergantungan NAPZA. Terbatasnya jenis pelayanan dan kemampuan petugas RSJ
untuk berbagai modalitas terapi. Sebagian besar RSJ hanya menyediakan pelayanan
untuk detoksifikasi saja.
RSJ biasanya bekerja sendiri dan menunggu pasien secara sukarela datang. Masih
terbatasnya kerjasama dengan masyarakat, LSM dan kelompok pengguna dimana
mereka dapat berperan sebagai petugas penjangkau yang akan membawa pasien
ketergantungan NAPZA berobat ke RSJ.
Mengacu pada hal tersebut diatas maka perlu disusun pedoman penanggulang-an
gangguan penggunaan NAPZA secara komprehensif yang berbasis rumah sakit,
misalnya pedoman dengan pendekatan therapeutic community dan pedoman terapi
rumatan.
4
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
5
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
6
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
7
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
8
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Komitmen dari pimpinan dan seluruh staf serta karyawan dalam organisasi merupakan
pendukung yang sangat penting dalam memberikan pelayanan pada pasien gangguan
penggunaan NAPZA. Kesinambungan program harus terus dievaluasi agar dapat
memenuhi kebutuhan tiap pasien.
B. Terapi Efektif Pada Gangguan Penggunaan NAPZA
Efektifitas terapi pada gangguan penggunaan NAPZA perlu dievaluasi dan
ditindaklanjuti secara periodik atau berkala. Di Indonesia monitoring dan evaluasi
efektivitas terapi gangguan penggunaan NAPZA sangat minimal atau bahkan tidak
dilakukan. Hal ini semestinya sangat penting dilakukan agar layanan yang diberikan
dapat optimal dan efektif dalam proses pemulihan mereka.
National Institute on Drug Abuse (NIDA) pada tahun 1999 telah mempublikasikan
sebuah buku tentang terapi efektif berdasarkan penelitian di lapangan yang meliputi 13
prinsip:
1. TIDAK ADA satu bentuk terapi yang SESUAI UNTUK SEMUA
2. Kebutuhan terapi harus SIAP DAN TERSEDIA ketika diperlukan
3. Terapi yang efektif mengakomodasi KEBUTUHAN YANG BERAGAM, tidak
hanya untuk masalah NAPZA saja
4. Rencana terapi dan layanan lain harus DIKAJI SECARA KONTINYU dan
DIMODIFIKASI BILA DIPERLUKAN untuk memenuhi kebutuhan perubahan
pada pasien
5. Berada dalam program terapi untuk PERIODE WAKTU YANG ADEKUAT
merupakan hal yang sangat penting untuk perubahan perilaku yang signifikan
6. Konseling (individu dan/atau kelompok) dan terapi perilaku lainnya merupakan
hal yang SANGAT PENTING
7. Medikasi adalah elemen yang PENTING untuk banyak klien, khususnya
bilamana dikombinasi dengan terapi perilaku
8. Orang dengan komorbiditas gangguan mental harus ditangani dengan cara yang
TERINTEGRASI
9. Detoksifikasi hanya merupakan LANGKAH AWAL dari pengobatan gangguan
penggunaan NAPZA dan detoksifikasi hanya memberi sedikit perubahan terkait
PENGGUNAAN NAPZA JANGKA PANJANG
10. Pengobatan yang efektif TIDAK harus secara sukarela
11. Kemungkinan menggunakan NAPZA selama pengobatan harus DIMONITOR
secara kontinyu
12. Program pengobatan harus menyediakan kajian untuk HIV/AIDS dan infeksi lain
serta konseling untuk membantu pasien merubah perilakunya baik untuk
HIV/AIDS dan risiko dari infeksi lainnya
9
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
13. Kepulihan dari gangguan penggunaan NAPZA dapat menjadi PROSES YANG
PANJANG dan seringkali memerlukan beberapa kali episode pengobatan
C. Berbagai Modalitas Terapi Dan Pendekatan
Berbagai kondisi yang mandasari gangguan penggunaan NAPZA akan mempengaruhi
jenis pengobatan yang akan diberikan kepada pasien, kebijakan untuk merawat dan
memulangkan pasien, hasil yang dlharapkan, sumber daya manusia yang akan
memberikan pelayanan, dan sikap terhadap perilaku pasien. Dibawah ini akan diuraikan
beberapa model yang popular dilaksanakan pada masalah Gangguan penggunaan
NAPZA.
1. Therapeutic Community -TC Model, model ini merujuk pada keyakinan bahwa
Gangguan penggunaan NAPZA adalah gangguan pada seseorang secara
menyeluruh. Dalam hal ini norma-norma perilaku diterapkan secara nyata dan ketat
yang diyakinkan dan diperkuat dengan memberikan reward dan sangsi yang
spesifik secara langsung untuk mengembangkan kemampuan mengontrol diri dan
sosial/komunitas. Pendekatan yang dilakukan meliputi terapi individual dan
kelompok, sesi encounter yang intensif dengan kelompok sebaya dan partisipasi
dari lingkungan terapeutik dengan peran yang hirarki, diberikan juga keistimewaan
(privileges) dan tanggung jawab. Pendekatan lain dalam program termasuk tutorial,
pendidikan formal dan pekerjaan sehari-hari. TC model biasanya merupakan
perawatan inap dengan periode perawatan dari dua belas sampai delapan belas
bulan yang diikuti dengan program aftercare jangka pendek.
2. Model Medik, model ini berbasis pada biologik dan genetik atau fisiologik sebagai
penyebab adiksi yang membutuhkan pengobatan dokter dan memerlukan
farmakoterapi untuk menurunkan gejala-gejala serta perubahan perilaku. Program
ini dirancang berbasis rumah sakit dengan program rawat inap sampai kondisi bebas
dari rawat inap atau kembali ke fasilitas di masyarakat.
3. Model Minnesota, model ini dikembangkan dari Hazelden Foundation dan
Johnson Institute. Model ini fokus pada abstinen atau bebas NAPZA sebagai tujuan
utama pengobatan. Model Minessota menggunakan program spesifik yang
berlangsung selama tiga sampai enam minggu rawat inap dengan lanjutan aftercare,
termasuk mengikuti program self help group (Alcohol Anonymous atau Narcotics
Anonymous) serta layanan lain sesuai dengan kebutuhan pasien secara individu.
Fase perawatan rawat inap termasuk ; terapi kelompok, terapi keluarga untuk
kebaikan pasien dan anggota keluarga lain, pendidikan adiksi, pemulihan dan
program 12 langkah. Diperlukan pula staf profesional seperti dokter, psikolog,
pekerja sosial, mantan pengguna sebagai addict counselor
4. Model Eklektik, model ini menerapkan pendekatan secara holistik dalam program
rehabilitasi. Pendekatan spiritual dan kognitif melalui penerapan program 12
langkah merupakan pelengkap program TC yang menggunakan pendekatan
perilaku, hal ini sesuai dengan jumlah dan variasi masalah yang ada pada setiap
pasien adiksi.
10
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
11
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
12
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
13
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
14
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
15
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
16
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
pasien untuk berpartisipasi dalam kelompok dukungan mandiri (Self Help Group).
H. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi hasil pengobatan dilakukan secara periodik dalam setiap fase/tahapan
pengobatan. Diperlukan pembentukan tim untuk mengevaluasi kemajuan setiap pasien
yang terdiri dari berbagai profesi. Apabila evaluasi menunjukkan tidak adanya
kemajuan pada pasien maka perlu ditinjau ulang program terapi selanjutnya agar
diperoleh hasil yang optimal.
Beberapa ha! yang perlu dievaluasi untuk setiap pasien adalah :
a. Kondisi fisik/medis
b. Kondisi penggunaan NAPZA
c. Masalah psikologis
d. Masalah keluarga
e. Masalah sosial, termasuk masalah pekerjaan, pendidikan, finansial, hukum
f. Masalah lain yang penting dan terkait dengan adiksi
g. Pengobatan dan intervensi sosial yang telah diberikan
h. Penilaian efektifitas program secara keseluruhan
I. Rekruitmen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia (SDM) merupakan modal utama dalam melaksanakan program
pengobatan dan rehabilitasi pasien gangguan penggunan Napza. Seringkali sulit untik
mendapat SDM yang berkualitas dan mempunyai ketertarikan pada masalah gangguan
penggunaan NAPZA. Hal ini seringkali disebabkan adanya persepsi yang salah bahwa
bekerja di bidang ini banyak kerja dengan sedikit kemungkinan untuk perkembangan
karier dan kenaikan pangkat. Oleh karena itu, setiap institusi perlu untuk membuat
suatu ketentuan mengenai pengembangan karier dan promosi bagi setiap SDM yang
bekerja pada pusat layanan gangguan penggunaan NAPZA.
Seleksi SDM yang baik merupakan dasar untuk memberdayakan SDM tersebut secara
efektif, meskipun tidak ada garansi penuh bahwa mereka yang sudah diterima akan
bekerja secara efisien dan produktif, banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi
efisiensi dan stabilitas SDM. Pelamar dapat dimotivasi dengan pertimbangan lain selain
hanya uang/gaji seperti pendidikan, pelatihan atau kesempatan untuk mengembangkan
keahlian di bidang gangguan penggunaan NAPZA.
Sejak pengobatan dan rehabilitasi bukan lagi merupakan organisasi yang tradisional,
ada keunikan dalam melakukan penerimaan SDM dimana tidak banyak orang yang
tertarik untuk melakukan pekerjaan dalam waktu yang panjang (lebih 8 jam kerja), on
call 24 jam dalam 7 hari, bekerja saat hari libur, tinggal dalam suatu fasilitas dan yang
sangat nyata mereka harus menghadapi pasien dengan masalah ketergantungan NAPZA
yang seringkali melakukan kekerasan, ketidakstabilan mental, hal ini bisa
diklasifikasikan sebagai pekerjaan berisiko tinggi.
1. Beberapa strategi untuk rekrutmen/penerimaan SDM :
17
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
18
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
19
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
20
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Jiwa.
Seiring dengan banyaknya kasus ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), perlu dibentuk
kelompok sebaya khusus untuk ODHA pada penasun (pengguna NAPZA suntik)
5. Layanan Psikososial dan Penunjang
Pada umumnya Rumah Sakit Jiwa sudah melakukan konseling dasar, terapi kelompok
dan psikoedukasi keluarga.
6. Evaluasi Terapi
Kebanyakan Rumah Sakit Jiwa belum melakukan secara khusus, kecuali residen yang
sudah mengalami komplikasi medis atau psikiatris.
7. Sistem Rujukan/Jejaring
Sebagian Rumah Sakit Jiwa sudah melaksanakan kerjasama dengan berbagai institusi
baik pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
B. Tantangan Di Lapangan
1. Sumber Daya Manusia
Biasanya tenaga medis dan paramedis terbatas dan kurang berminat untuk bekerja
di bangsal gangguan penggunaan NAPZA, mereka lebih tertarik untuk bekerja di
bangsal umum atau bangsal penyakit jiwa. Salah satu alasan mereka enggan
bekerja di bangsal gangguan penggunaan NAPZA karena kurangnya pengetahuan
dan kekhawatiran berlebihan terhadap pasien gangguan penggunaan NAPZA
yang terinfeksi HIV.
Ketrampilan petugas dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan
penggunaan NAPZA masih terbatas. Ada petugas yang belum mengikuti
pelatihan, ada juga yang enggan mengikuti pelatihan.
Komitmen untuk merencanakan dan menjalankan program dari pengambil
keputusan sampai pelaksana kurang kuat dijumpai di beberapa Rumah Sakit Jiwa.
Kesulitan untuk mendapat peer educator/konselor pada awal menjalankan
program.
Reward/honor petugas yang belum memenuhi standar minimal
2. Penerapan Program
Penerapan program sulit dilaksanakan karena pengetahuan dan ketrampilan
terbatas sehingga kurang percaya diri untuk menjalankan program
Keterbatasan dana sehingga beberapa program tidak dapat dilaksanakan misalnya
outing, terapi vokasional, terapi rekreasional.
Keterbatasan pengalaman dalam penanganan kasus dengan dual diagnosis
Kesinambungan (sustainability) program yang mendapatkan bantuan tidak
direncanakan kelanjutannya sehingga program terhenti ketika bantuan itu
21
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
berhenti.
3. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana seringkali dipersepsikan harus terpisah dari kegiatan rumah
sakit secara keseluruhan, Sebagian RS telah melakukan pelayanan dengan
menggunakan fasilitas RS yang tersedia.
4. Evaluasi Terapi
Sudah dilaksanakan evaluasi terapi secara sederhana, belum dilakukan dengan
menggunakan tools/panduan yang terstandarisasi
5. Rujukan/Jejaring
Kerjasama RSJ dengan LSM, RSU, Puskesmas, Lapas di banyak tempat masih
terbatas. RSJ yang sudah melayani ODHA umumnya kerjasama sudah berjalan
baik dalam bidang HIV/AIDS
Advokasi ke beberapa pemangku kepentingan (Badan Narkotika Propinsi, Badan
Narkotika Kabupaten/Kota, Komisi Penanggulangan AIDS, Pemerintah Daerah)
masih ada kendala
Kerjasama lintas sektor dan lintas program belum berjalan dengan optimal
22
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
23
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
24
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
25
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
26
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
4. BENZODIAZEPIN
Semua benzodiazepin bersifat sedatif, ansiolitik dan anti konvulsan.
a. Efek jangka pendek
o mengantuk, letargi, kelelahan
o gerakan yang tidak terkoordinasi, penurunan reaksi terhadap waktu dan ataksia
o penurunan fungsi kognisi dan memori (terutama amnesia anterograde)
o kebingungan
o kelemahan otot atau hipotoni
o depresi
o nistagmus, vertigo
o disarthria, bicara cadel/tidak jelas
27
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
28
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
5. ALKOHOL
a. Intoksikasi Alkohol Akut
Intoksikasi dapat dikenali dengan gejala-gejala :
ataksia dan bicara cadel/tak jelas
emosi labil dan disinhibisi
napas berbau alkohol
mood yang bervariasi
b. Komplikasi akut pada intoksikasi atau overdosis :
paralisis pernapasan, biasanya bila muntahan masuk saluran pernapasan
obstructive sleep apnoea
aritmia jantung fatal ketika kadar alkohol darah lebih dari 0,4 mg/ml
c. Gejala klinis sehubungan dengan overdosis alkohol dapat meliputi:
penurunan kesadaran, stupor atau koma
perubahan status mental
kulit dingin dan lembab, suhu tubuh rendah
d. Gejala putus alkohol:
Biasa terjadi 6-24 jam sesudah konsumsi alkohol yang terakhir: Gejala putus
alkohol ringan :
Tremor
Khawatir dan agitasi
Berkeringat
Mual dan muntah
Sakit kepala
Takikardia
Hipertensi
Gangguan tidur
Suhu tubuh meningkat
Gejala putus alkohol berat:
muntah
agitasi berat
disorientasi
kebingungan
paranoia
hiperventilasi
delirium tremens (DTs) adalah suatu kondisi gawat darurat pada putus alkohol
yang tidak ditangani .muncul 3-4 hari setelah berhenti minum alkohol. DTs
mencakup gejala agitasi, restlessness, tremor kasar, disorientasi,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, berkeringat dan demam tinggi,
29
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
30
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
31
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
disinhibisi
c. Efek jangka pendek/efek negatif:
mengantuk
gejala mirip flu
mual dan muntah
sakit kepala
diare, nyeri abdominal
pernapasan tidak nyaman
perdarahan hidung dan tenggorokan
perilaku berisiko.
d. Efek pada dosis tinggi:
berbicara tidak jelas
koordinasi motorik lemah
disorientasi, kebingungan
tremor
sakit kepala
delusi
gangguan penglihatan atau halusinasi
perilaku yang tidak dapat diprediksi
- ataksia
- stupor
- final stages ( kejang, koma cardiopulmonary arrest, kematian ).
e. Gejala Overdosis
Dosis tinggi dapat menyebabkan pasien mengalami:
konvulsi, koma
Gangguan pernafasan
Aritmia jantung
Gangguan atau kematian dapat terjadi karena:
perilaku yang berisiko (tenggelam, jatuh, dll)
sufokasi
aspirasi muntahan
terbakar, ledakan
keracunan, kegagalan organ tubuh (pengguna kronis)
Laryngeal Spasm (Butane) Respiratory Arrest
keracunan logam (bensin/solar)
f. Gejala putus zat:
Permulaan dan lamanya: tidak diklasifikasikan dalam DSM IV tapi sifat dari gejala
putus yang memungkinkan dapat terjadi pada 24-48 jam sesudah penggunaan
berakhir Gejalanya:
gangguan tidur
tremor
32
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
33
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
34
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
35
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
36
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
37
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
merasa terancam
Buat suasana tenang dan bila perlu tawarkan makan
Beri dosis rendah sadatif: Lorazepam 1-2 mg atau Haloperidol 5
mg oral, bila gaduh gelisah berikan sacara parenteral (I.m)
38
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
39
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Simptomatik
Pasien dengan gangguan neurologik yang nyata, misalnya neuropati
atau persistent ataxia, harus dievaluasi sebagaimana mestinya dan
follow up yang ketat.
b. Rawat Jalan :
Model Tradisional : model layanan ini sama seperti layanan penyakit lain, dokter
hanya melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan kemudian pengobatan
farmakoterapi sesuai dengan diagnosis kerja. Tenaga yang dibutuhkan hanya satu
orang dokter dan satu orang perawat yang telah terlatih masalah gangguan
penggunaan Napza
Model Komprehensif/Holistik : model ini menyatukan layanan dari berbagai
profesi sesuai dengan kebutuhan pasien. Profesi yang terlibat antara lain;
psikiater, dokter umum terlatih, psikolog klinis, pekerja sosial, perawat terlatih,
konselor. Bilamana pasien mengalami suatu komplikasi medis dapat dirujuk
kepada spesialis lain sesuai dengan hasil pemeriksaan medis. Dalam layanan ini
jenis intervensi yang dapat diberikan adalah :
- Farmakoterapi
- Konseling
- Psikoterapi individual dengan pendekatan khusus seperti Terapi Kognitif dan
Perilaku
- Terapi kelompok
- Terapi Keluarga
- Evaluasi Psikologis
- Evaluasi Sosial
Dalam intervensi psikososial minimal dapat diberikan konseling umum, untuk pasien
yang mempunyai risiko tinggi terpapar HIV dapat diberkan layanan VCT (Voluntary
Counseling and Testing) dan edukasi tentang berbagai penyakit terkait dengan
penggunaan NAPZA khusunya NAPZA dengan cara suntik. Bilamana sudah
memiliki dokter yang terlatih dalam CST (Care, Support and Treatment),maka
poliklinik dapat memberikan layanan pengobatan untuk Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA).
c. Layanan rumatan, merupakan suatu layanan jangka panjang untuk pasien dengan
ketergantungan opioida/heroin. Layanan ini harus memenuhi kriteria sesuai dengan
pedoman yang telah dibuat secara nasional. Beberapa jenis terapi rumatan bagi
ketergantungan opioida yang ada adalah:
1. Metadon
- Merupakan opioida sintetik yang bekerja long acting (24-36 jam) Digunakan
di Amerika Serikat sejak tahun 60 an
- Bilamana digunakan untuk terapi rumatan (maintenance) tidak menimbulkan
eforia, sedasi atau efek analgesik
40
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
41
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
metadon
- Waktu kerja mencapai 72 jam (3 hari) sehingga pemberian hanya dilakukan 3
hari sekali
- Mengingat efek toksik yang cukup tinggi LAAM saat ini jarang digunakan
4. Suboxone
- Merupakan kombinasi antara Buprenorfin sembilan bagian dengan Nalokson
satu bagian (antagonis opioida)
- Cara kerja, farmakodinamik, cara penggunaan, dosis dan cara penggunaan
sama dengan Buprenorfin
- Obat ini sulit untuk disalahgunakan (disuntikan) karena adanya antagonis
opioida akan melepas ikatan opioida pada mu-reseptor sehingga. akan timbul
gejala putus opioida
d. Rawat Inap, tidak semua pasien memerlukan rawat inap. Rawat inap diperuntukkan
bagi pasien yang kondisi fisik maupun psikologisnya sulit untuk diatasi dengan rawat
jalan seperti : kondisi putus NAPZA berat, putus NAPZA yang memerlukan tapering
off pengobatan (Alkohol, Benzodiazepin) atau adanya penyulit baik secara fisik
maupun mental.
Detoksifikasi, Rehabilitasi, Rawat Komplikasi Fisik dan Psikiatrik;
1. Detoksifikasi
Merupakan suatu langkah awal dalam proses pemulihan
Bertujuan mengatasi kondisi putus NAPZA
Tidak semua pasien memerlukan perawatan detoksifikasi dengan rawat inap,
hanya pada kondisi putus NAPZA berat untuk heroin, benzodiazepin dan
alkohol atau adanya komplikasi fisik maupun psikologis
Untuk ruangan kondisinya sebaiknya terpisah dengan bangsal penyakit lain
karena kemungkinan akan mengganggu pasien lainnya
Detoksifikasi biasanya dilakukan dengan standar minimal dengan
simptomatis, apabila memungkinkan dikembangkan untuk detokisifikasi
dengan zat substitusi atau UROD (Ultra Rapid Opioid Detoxification)
Beberapa jenis detoksifikasi yang dapat diberikan untuk beberapa jenis
NAPZA akan dijelaskan dibawah ini.
1.1. Putus Opioida
Putus seketika (Abrupt Withdrawal )
Simptomatik, sesuai gejala klinis beri analgetika (Tramadol, Asam
Mefenamat, Parasetamol), Spasmolitika (Papaverin), Dekongestan,
Sedatif-Hipnotik, Antidiare
Subtitusi dengan golongan Opioida : Kodein, Metadon, Buprenorfin
yang diberikan secara tapering off. Untuk Metadon dan Buprenorfin
terapi dapat dilanjutkan untuk jangka panjang (Rumatan)
42
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
43
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Kalau timbul toksitas, 1-2 dosis Luminal berikut dihapus, lalu dosis
harian dihitung kembali
44
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
- 500 mg Khloralhidrat
- 400-600 mg Meprobamat
- 250-300 mg Metakualon
- 100 mg Chlordiazepoxide
- 50 mg khlorazepat
- 50 mg Diazepam
- 60 mg Flurazepam
Penatalaksanaan dengan tapering off Benzodiazepin
- Berikan salah satu Benzodiazepin (Diazepam,Klobazam.
Lorazepam) dalam jumlah cukup.
- Lakukan penurunan dosis (kira-kira 5 mg) setiap 2 hari
- Berikan hipnotika malam saja (misalnya ; Clozapine 25 mg,
Estazolam 1-2 mg )
- Berikan vitamin B complex.
- Injeksi Diazepam intramuskuler/intravena 1 ampul (10 mg) bila
pasien kejang/agitasi, dapat diulangi beberapa kali dengan selang
waktu 30-60 menit.
e. Rehabilitasi, Program dapat dimulai rehabilitasi jamgka pendek dan bila
sarana/prasarana dan SDM sudah memenuhi kriteria dapat dikembangkan menjadi
program rehabilitasi jangka panjang
1. Short Term ( Jangka Pendek)
Lama perawatan berlangsung antara 1 sampai 3 bulan tergantung dari kondisi
dan kebutuhan pasien
Pendekatan yang dapat dilakukan kearah medik dan psikososial
Masalah medik masih menjadi fokus utama, asesmen dilakukan secara
lengkap termasuk pemeriksaan penunjang medik
Indikasi diberikan kepada pasien yang memiliki kegiatan rutin (bekerja,
sekolah, dsb)
Asesmen yang perlu dilakukan pada model terapi ini antara lain :
- evaluasi masalah penggunaan NAPZA (Jenis, jumlah, lama pemakaian,
dampak yang ditimbulkan, keinginan untuk berhenti)
- evaluasi medis: riwayat penyakit, kondisi fisik saat ini dan penyakit-
penyakit lain yang terkait dengan penggunaan NAPZA
- evaluasi psikologis melalui wawancara dan tes psikologi
- evaluasi sosial : riwayat keluarga, pendidikan, pekerjaan dan hubungan
sosial
- evaluasi tentang kegiatan agama, penggunaan waktu senggang dan
kehidupan pribadi lainnya
Untuk melakukan asesmen memerlukan suatu hubungan terapeutik yang
45
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
terbina antara pasien dengan terapis dan hasil asesmen tersebut menjadi acuan
untuk terapi selanjutnya
Pengobatan dapat dilanjutkan dengan rawat jalan atau bila masalah yang
dihadapi pasien khususnya perilaku belum memungkinkan dapat dilanjutkan
dengan rehabilitasi jangka panjang
2. Rehabilitasi Jangka Panjang, dalam hal ini yang akan dibahas adalah modalitas
terapi Therapeutic Community (TC) yang menggunakan pendekatan perubahan
perilaku.
Direkomendasikan bagi pasien yang sudah mengalami masalah penggunaan
NAPZA dalam waktu lama dan berulang kali kambuh atau sulit untuk berada
dalam kondisi abstinen atau bebas darl NAPZA
TC dapat digambarkan sebagai model yang cocok atau sesuai dengan pasien
yang membutuhkan llngkungan yang mendukung dan dukungan lain yang
bermakna dalam mempertahankan kondisi bebas NAPZA atau abstinen.
Gambaran dari TC adalah sebagai berikut:
a. Program dangan struktur yang tinggi/ketat
b. Umumnya pasien berada dalam program untuk 6-12 bulan
c. Program pengobatan
d. Program pendidikan
e. Latihan ketrampilan sosial dan penerapannya (seringkali pasien
mengalami gangguan fungsi kehidupan yang serius)
f. Diarahkan pada pasien yang mempunyai riwayat perilaku kriminal
g. Mengembangkan sistem dukungan yang sesuai kebutuhan pasien
h. Menstabilkan fungsi kehidupan pasien
i. Rehabilitasi vokasional
Program ini mempunyai suatu aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang
diistilahkan dengan cardinal rules dan five pilars yang sangat mengikat setiap
residen untuk menjalankan dan siap menerima sanksi bila melanggar aturan
tersebut ( pasien peserta TC lazim disebut residen )
Tahapan program TC yang harus dijalani oleh setiap residen adalah sebagai
berikut:
a. Proses Intake dan Orientasi (2-4 minggu);
- Wawancara awal
- Informed consent
- Pemeriksaan fisik
- Pengisian formulir
- Orientasi program (walking paper}
- Pengenalan program dan fasilitas layanan
b. Primary Stage (6 sampai 9 bulan):
46
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
47
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
o Fase C (2 bulan);
Mengikuti kegiatan kelompok
Dapat dikunjungi setiap waktu
Diberi ijin pulang
Boleh meminta tambahan uang jajan
Boleh melakukan kegiatan di luar fasilitas TC
Konseling final bagi residen maupun keluarga untuk persiapan
pulang
d. Aftercare Program
Program yang ditujukan bagi mantan residen/alumni TC, Program ini
dilaksanakan di luar fasilitas TC dan dlikuti oleh semua angkatan
dibawah supervisi staf re-entry. Tempat pelaksanaan disepakati
bersama
Program ini bertujuin agar alumni TC mempunyai tempat/kelompok
yang sehat dan mengerti tentang dirinya serta mempunyai lingkungan
hidup yang positif
Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah :
- Sharing dalam kelompok tanpa ditanggapi
- Meminta anggota untuk menanggapi suatu topik
- Waktu dan tempat pelaksanaan disepakati bersama
e. Intervensi Psikososial, suatu pendekatan yang mengutamakan pada
masalah psikologis dan sosial yang disandang oleh pasien dengan tujuan
untuk meningkatkan kemampuan pasien menghadapi setiap masalah
(Coping Mechanism).
Intervensi psikososial merupakan komponen kunci untuk terapi
gangguan penggunaan NAPZA yang komprehensif baik secara
individu maupun kelompok
Intervensi ini dapat diberikan pada setiap tahapan terapi baik dalam
keadaan intoksikasi sampai pada saat fase rehabilitasi yang
disesuaikan dengan kondisi pasien khususnya pasien dengan kesadaran
penuh
Untuk melaksanakan intervensi ini diperlukan pelatihan ketrampilan
yang khusus dan memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan jenis
intervensi
Pendekatan psikososial saja bukan yang superior, program terapi harus
didesain sesuai kebutuhan pasien dengan mempertimbangkan faktor
budaya, umur, gender serta komorbiditas
Beberapa model intervensi psikososial yang dapat dilakukan dalam
layanan pengobatan Gangguan penggunaan NAPZA antara lain :
48
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
49
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
50
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
51
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
52
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Keterampilan-keterampilan khusus
Wawancara motivasional dilaksanakan dengan menggunakan lima
keterampilan khusus. Keterampilan ini bertujuan untuk mendorong
pasien mau berbicara, menggali ambivalensi mereka terhadap
penggunaan NAPZA dan menjelaskan alasan mereka untuk
mengurangi atau berhenti menggunakan NAPZA. Empat keterampilan
pertama tersebut sering dikenal dengan singkatan OARS:-Open ended
questions (Pertanyaan terbuka), Affirmation (Penegasan), Reflective
listening (mendengarkan dengan cara merefleksikan), Summarising
(menyimpulkan).
Keterampilan kelima adalah "berbicara mengenai perubahan" OARS
dapat membantu pasien menyampaikan argumentasi untuk mengubah
perilaku pengguna NAPZA mereka.
OARS
Pertanvaan terbuka (Open Ended Questions)
Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban
panjang dan membuka pintu kepada seseoranc igar mareka mau
berbicara. Contoh pertanyaan terbuka antara lain:
" Apa manfaat yang anda rasakan dengan menggunakan NAPZA"?
"Ceritakan kepada sayi, hal apt yang anda rasakan kurang baik
tentang penggunaan....(NAPZA)
"Anda kelihatan khawatir dengan penggunaan NAPZA yang
anda lakukan selama ini?" bisa disampaikan pada saya tentang hal
53
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
54
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
55
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
56
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
57
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
58
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
59
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
60
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
61
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
62
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
63
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
64
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
65
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
yang kuat telah semakin diperkokoh, masa lalu yang buruk telah
dengan jujur di ditelusuri dan dibersihkan, dan kerusakan-
kerusakan baik pada diri sendiri atau yang berhubungan dengan
orang lain telah diperbaiki, lalu bagaimana mempertahankan semua
pencapaian ini? Langkah-langkah sepuluh, sebelas dan duabelas
adalah langkah-langkah khusus untuk tujuan itu. Di Langkah
Kesepuluh pecandu diminta untuk terus-menerus mengawasi
dirinya sendiri, memonitor kehidupannya sehari-hari, dan dengan
jujur mengakui apabila berbuat kesalahan atau berperilaku seperti
pola lama ketika masih aktif dalam kecanduannya.
Konselor dapat membantu pecandu dalam proses analisa diri yang
diminta dalam langkah ini. Dari setiap hasil dari pengawasan atau
inventarisasi yang secara rutin dilakukan, sesuatu hal yang baru
akan dapat dipelajari, dan dalam proses pembelajaran ini peran
konselor menjadi sangat penting. Mereka yang telah mencapai
tahap ini biasanya akan lebih pro-aktif dan mempunyai tingkat
kesediaan yang tinggi untuk menjalani program, membuatnya
mudah untuk dibimbing dan diajak bakerjasama. Pada tahap ini
jugalah seringkali banyak perubahan kepribadian yang bisa
disaksikan dengan nyata.
Langkah Sebelas
"Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk
memperbaiki kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita
mamahamiNya, berdoa hanya untuk mengetahui kehendakNya atas
diri kita dan kekuatan untuk melaksanakannya."
Langkah Kesebelas berfungsi sebagai jembatan menuju Higher
Power sebagai sumber kekuatan, dan bagaimana memastikan
bahwa kekuatan itu terus ada dengan membina hubungan yang
terus menerus juga dengan Higher Power itu. Di Langkah ini
meditasi dan doa dianjurkan untuk terus dilakukan dan disebutkan
secara bersamaan, menunjukkan bahwa keduanya adalah praktek
yang lazim digunakan dalam Langkah Sebelas untuk berhubungan
dengan Higher Power. Sekali lagi perlu dicatat, program 12
Langkah bukanlah program keagamaan. Artinya, tidak ada anjuran
untuk menjadi pemeluk agama tertentu untuk bisa menjalani 12
Langkah. Tetapi yang dianjurkan adalah, meyakini akan adanya
kekuatan lain selain diri sendiri yang dapat membantu, apapun
bentuk dari sumber kekuatan tersebut, dan untuk terus berhubungan
melalui doa dengannya. Program 12 Langkah adalah program
spiritual khusus bagi mereka yang mempunyai penyakit adiksi, dan
harus bisa mengakomodasi kepentingan dari semua pecandu dari
66
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
67
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
68
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Jumlah Kebutuhan
No. Jenis Tenaga Pratama Utama
(Skrining) (Konfirmasi)
1. Penanggung Jawab
Teknis:
Sarjana Kedokteran, 1 1
Sarjana Farmasi,
Apoteker, atau Sarjana
Kimia/Biokimia
2. Tenaga Teknis 2 2
Analis 2 2
Perawat 1 1
3. Tenaga Administrasi
Lulusan SMU atau 1 1
sederajat
8. Layanan Outreach/Komunitas
a. Ruang Lingkup
Kegiatan Penjangkauan dan Pendampingan adalah pendukung
dari program penanggulangan gangguan penggunaan NAPZA
berbasis Rumah Sakit Jiwa yang dilaksanakan oleh kelompok
masyarakat, ataupun lembaga swadaya masyarakat.
Program Penjangkauan dan Pendampingan (outreach) adalah
proses penjangkauan langsung yang dilakukan secara aktif
kepada pada pengguna NAPZA baik secara kelompok maupun
individu. Populasi ini sulit dijangkau dengan metode yang
lebih formal karena stigma dan diskriminasi yang sangat kuat
di dalam masyarakat terhadap status penggunaan NAPZAnya.
Dalam proses penjangkauan dan pendampingan para pekerja
lapangan melakukan proses identifikasi lokasi yang biasa
menjadi tempat para pengguna NAPZA berkumpul atau tempat
yang memungkinkan untuk melakukan interaksi langsung.
Proses penjangkauan dan pendampingan memberi peluang bagi
para pengguna NAPZA untuk dapat mengakses berbagai
layanan kesehatan yang dibutuhkannya, seperti: mendapatkan
layanan informasi terkait NAPZA, risiko penggunaan NAPZA,
tes HIV dan konseling, layanan kesehatan dasar yang tersedia,
layanan manajemen kasus untuk pengguna NAPZA yang
membutuhkan, akses terhadap material pencegahan (termasuk
jarum suntik untuk pengguna NAPZA suntik) dan layanan
69
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
70
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
71
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
memburuk
b. Petugas di ruangan harus dapat mengenali adanya gejala-gejala penyakit tertentu yang
sangat mungkin tidak merupakan bagian dari kondisi intoksikasi atau putus NAPZA
c. Ketika ditemukan adanya gejala dan tanda yang mencurigakan petugas harus
mengetahui kemana harus merujuk (misalnya ke ruang emerjensi, ruang dokter)
d. Setiap setting untuk perawatan pasien Gangguan penggunaan NAPZA sebaiknya
dilengkapi dengan peralatan dan obat-obatan untuk kondisi emerjensi seperti tabung
oksgen, alat kesehatan untuk pemeriksaan tanda-tanda vital dan pertolongan hidup
dasar
e. Klinikus harus selalu ingat untuk melakukan konsultasi dengan dokter-dokter spesialis
lain seperti Ahli Penyakit Dalam, Ahli Penyakit Jantung, Neuorolog, Ahli Penyakit
Kandungan, Ahli Bedah dan lain-lain
f. Staf medis harus menyadari akibat dari Gangguan penggunaan NAPZA akan
mempengaruhi keseluruhan kondisi kesehatan pasien, setiap staf harus siap untuk
membantu pasien mengatasi gangguan medis maupun gangguan psikiatrik dan
melakukan evaluasi terhadap penyakit-penyakit kronis lainnya yang dapat ditimbulkan
oleh Gangguan penggunaan NAPZA
Dampak Dan Perhatian Pada Kondisi Khusus
1. Wanita hamil
NAPZA pada wanita hamil sudah diketahui akan memberikan efek samping
terhadap bayi dalam kandungan
Deteksi dan intervensi dini pada wanita hamil yang menggunakan NAPZA akan
memberikan hasil yang efektif untuk mengurangi efek samping NAPZA terhadap
janin
Dilakukan asesmen yang bertujuan untuk:
menentukan jumlah dan frekuensi penggunaan NAPZA sejak pasien
mendapatkan menstruasi yang terakhir
menentukan tindakan apabila penggunaan NAPZA masih berlangsung
kajian terhadap kemungkinan efek samping yang ditimbulkan oleh NAPZA
yang digunakan
memberikan informasi aktual efek dari NAPZA yang digunakan selama
kehamilan
melakukan eksplorasi dari pilihan terapi yang akan diberikan sesuai dengan
umur kehamilan dan kondisi pasien
Efek yang dapat diberikan selama kehamilan atau saat menyusui pada beberapa
jenis NAPZA diterangkan sebagai berikut:
1. Alkohol
- efek pre natal antara lain : meningkatkan risiko abortus spontan, kelahiran
72
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
2. Heroin
- efek pre-natal yang ditimbulkan berupa kelahiran prematur, pendarahan
sebelum kelahiran, kematian bayi di dalam kandungan, meningkatkan risiko
keguguran, meningkatkan plasenta yang tak sempurna
- efek terhadap janin : berat badan bayi dan ukuran lingkar kepala kurang dari
normal, foetal distress/ ada meconium, meningkatnya risiko tertular
HIV/AIDS, hepatitis B dan C
- efek pada bayi : Neonatal Abstinence Syndrome, meningkatnya risiko
Suden Infant Death Syndrome ( SIDS )
- terapi paling aman dengan metadon yang dosisnya diturunkan perlahan
sampai dosis rendah. Bila ibu menyusui sebaiknya diperbolehkan apabila
dosis metadon sudah rendah
3. Psikostimulan (Amfetamin-Kokain)
- efek psikostimulan pada kehamilan tergantung pada saat umur kehamilan,
jumlah dan pola penggunaan, perbedaan metabolisms
- efek prenatal ; hipertensi pada ibu, perdarahan plasenta mendadak, kelahiran
prematur
- efek pada janin ; kelahiran prematur, foetal distress, berat badan dan ukuran
lingkar kepala bayi kurang dari normal, meningkatnya risiko kelainan
kongenital
- efek pada bayi kemungkinan akan menimbulkan gangguan pada perilaku,
namun belum ada data yang jelas mengenai hal ini
2. Pasien dengan Penyakit Infeksi dan HIV/AIDS
Data menunjukkan bahwa infeksi Hepatitis C dan HIV/AIDS merupakan kasus
yang sangat tinggi diantara pasien dengan Gangguan penggunaan NAPZA
73
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
74
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
75
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Untuk program Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan Care, Support
and Treatment (CST) untuk pasien HIV/AIDS perlu ada pelatihan khusus
sesuai buku pedoman VCT dan Pedoman Terapi Anti Retro Viral (ARV)
P2M - Kementerian Kesehatan
3. Pasien dengan Gangguan Jiwa /Psikiatris
Kasus ini cukup banyak di lapangan, mencapai 10-30% dari populasi Gangguan
penggunaan NAPZA
Kelainan yang ada sangat bervariasi
Bilamana dalam satu periode tertentu dltemukan adanya gangguan psikiatri lain
pada pasien Gangguan penggunaan NAPZA balk itu sebagai akibat penggunaan
NAPZA maupun sebagai penyakit yang mendasari disebut sebagai
KOMORBIDITAS
Komorbiditas sangat berhubungan dengan hasil terapi yang tidak optimal dan angka
relapse yang cukup tinggi
Pengobatan seringkali melibatkan layanan yang lain, tetapi hasil yang baik akan
diperoleh dengan terapi yang terintegrasi dan komprehensif
label 1: Gangguan jiwa yang paling sering terkait dengan penggunaan Napza
CNS
Depresan
Opioida X X X X
Sedatif-
X X X X X X
Hipnotik
Solven-
X X X X X
Inhalansia
Alkohol X X X X X X X
CNS
Stimulant
Amfetamin X X X X X X
Kafein X X
Kokain X X X X X X
Nikotin X X
Halusinogen X X X X
76
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
77
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
78
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
79
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
VII. PENUTUP
Telah diuraikan berbagai hal yang perlu dipersiapkan dan dilaksanakan dalam memberikan
terapi dan rehabilitasi secara komprehensif untuk pasien dengan gangguan penggunaan
NAPZA. Untuk membuat suatu terapi yang komprehensif memerlukan suatu komitmen
yang tinggi dan harus didukung oleh berbagai profesi yang rnempunyai integritas yang
tinggi. Beberapa hal yang dianggap penting dan menjadi topik bahasan dalam pedoman ini
antara lain:
Manajemen dari program terapi dan rehabilitasi pasien dengan gangguan penggunaan
NAPZA
Pemgalaman dari beberapa rumah sakit yang telah menjalankan program terapi dan
rehabilitasi gangguan penggunaan NAPZA
Berbagai modalitas terapi dan rehabilitasi yang dapat diterapkan sesuai dengan sarana
dan prasarana yang tersedia
Pengembangan jejaring dengan institusi pemerintah maupun LSM
Berbagai kondisi medik maupun psikiatrik yang terkait dengan masalah gangguan
penggunaan NAPZA serta tatalaksananya
Sumber daya manusia yang tertarik dan bersedia untuk menjadi bagian dari program terapi
gangguan penggunaan NAPZA yang komprehensif merupakan titik krusial yang harus
diantisipasi dalam operasional layanan gangguan penggunaan NAPZA. Saat ini sudah
banyak tenaga yang dilatih di bidang gangguan penggunaan NAPZA akan tetapi banyak
yang pada akhirnya kurang dapat menerapkan ilmu yang sudah dipelajarinya. Untuk itu
pihak manajemen harus dapat membuat suatu terobosan agar sumber daya manusia yang
tersedia di pusat layanan kesehatan khususnya RSU dan RSJ bersedia untuk melaksanakan
program terapi dan rehabilitasi pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA Kondisi lain
yang harus diperhatikan adalah kompleksitas dari pasien dengan gangguan penggunaan
80
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NAPZA, baik itu akibat langsung dari efek NAPZA maupun lingkungan yang kurang
mendukung. Bagaimanapun pengguna NAPZA adalah bagian dari masyarakat kita yang
harus dibantu, apabila stigma dari lingkungan keluarga atau masyarakat terhadap mereka
masih sangat tinggi maka terapi apapun tidak akan memberikan hasil yang optimal.
Kepedulian keluarga dan petugas kesehatan merupakan suatu bentuk dukungan yang
dibutuhkan oleh pasien pengguna NAPZA.
Masalah penggunaan NAPZA berkembang dari waktu ke waktu baik itu jenis NAPZA,
kelompok pengguna maupun dampak yang ditimbulkan. Kondisi yang saat ini kita hadapi
adalah penularan berbagai penyakit infeksi khususnya HIV/AIDS dan gangguan
jiwa/psikiatris baik sebagai komplikasi maupun kondisi yang memperberat gangguan
psikiatris yang sudah ada sebelumnya. Pengetahuan dan ketrampilan petugas dituntut untuk
selalu mempelajari hal-hal baru mengenai masalah gangguan penggunaan NAPZA agar
pengobatan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dan kemajuan ilmu dan
teknologi dalam bidang gangguan penggunaan NAPZA. Satu model terapi belum tentu
efektif untuk setiap orang sehingga setiap institusi kesehatan perlu menyediakan berbagai
model layanan terapi dan rehabilitasi pasien gangguan penggunaan NAPZA agar dapat
memberikan terapi secara optimal. Apabila tidak memungkinkan perlu adanya pembuatan
dan perluasan jejaring dengan berbagai fasilitas layanan lain yang lebih lengkap. Dengan
penguatan jejaring akan mempermudah melaksanakan sistem rujukan.
Masa yang akan datang setiap layanan kesehatan khususnya RSU dan RSJ diharapkan
sudah dapat memberikan layanan untuk pasien gangguan panggunaan NAPZA baik
minimal maupun yang komprehensif. Pedoman ini diharapkan dapat memberikan
gambaran kepada kita semua bagaimana masalah gangguan penggunaan NAPZA
merupakan hal yang harus menjadi perhatian kita semua agar anak bangsa di masa datang
mempunyai kualitas yang lebih baik dan tidak terjadi suatu Lost Generation
81
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
4. Cocaine
Yang diperiksa adalah Darah Immunoassay Kit + +
Metabolit cocaine dalam Urine Kromatografi Elisa + +
82
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
B PSIKOTROPIKA
1. Amphetamine Darah
Yang diperiksa adalah : Immunoassay Kit + +
Metabolit amphetamine Urine Kromatografi Elisa + +
dalam bentuk KLT +
amphetamine KLT Scanner +
HPLC atau +
GC/GCMS +
2. Derivat Amphetamine
a, MDMA (3,4 metilin Darah Immunoassay Kit + +
dioksi Kromatografi Elisa + +
Methamphetamine atau Urine KIT +
Ektasi). Yang diperiksa KLT Scanner +
adalah Metabolit MDMA HPLC atau +
dalam bentuk HMMA (4 GC/GCMS +
hidroksi 3 metoxi
Metamphetamine)
b. MDMA (3,4 metilin Darah Immunoassay Kit + +
dioksi Methamphetamine Kromatografi Elisa + +
atau Ektasi). Yang Urine Spektrofotometri KLT +
diperiksa adalah Metabolit KLT Scanner +
MDMA dalam bentuk HPLC atau +
HMA (4 hidroksi 3 GC/GCMS +
metoxi Metamphetamine) Spektrofotom
eter UV-VIS
2
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
GC/GCMS +
Spektrofotom
eter UV-VIS
3
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
4
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
5
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
6
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
7
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
8
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
9
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
10
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
11
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
12
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
13
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
14
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
15