Anda di halaman 1dari 97

kKEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 420/MENKES/SK/III/2010

TENTANG

PEDOMAN LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI


KOMPREHENSIF PADA
GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA
BERBASIS RUMAH SAKIT

DIREKTORAT JENDERAL BINA PELAYANAN MEDIK


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 420/MENKES/SK/III/2010
TENTANG
PEDOMAN LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI KOMPREHENSIF PADA
GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa gangguan penggunaan NAPZA merupakan masalah yang


kompleks dan memerlukan penanggulangan yang terpadu dari semua
pihak yang terkait;
b. bahwa rumah sakit memiliki peran yang penting dalam memberikan
terapi dan rehabilitasi pada gangguan penggunaan NAPZA;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan b perlu menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang
Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif Pada
Gangguan Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika (United Nation Convention Againts Illicit
Trafic in Narcotic Drugs and Psycotropic Substances) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3673);
2. Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844);
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

1
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82 , Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2002
tentang Badan Narkotika Nasional;
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 996/Menkes/ SKA/lll/2002
tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi
Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkotika, Psikotropika dan Zat
Aditif Lainnya;
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/ XII/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 439/Menkes/PerA/t/2009;
11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 486/Menkes/ SK/IV/2007
tentang Kebijakan dan Rencana Strategis Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkotika, Psiko-tropika dan Zat Aditif Lainnya;
12. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/ SK/ll/2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008. tentang
Rekam Medis;
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/ III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN
LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI KOMPREHENSIF PADA
GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT.
KEDUA : Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif Pada Gangguan
Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam

2
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Diktum Kesatu tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.


KETIGA : Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif Pada Gangguan
Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam
Diktum Kedua digunakan sebagai acuan bagi tenaga kesehatan dalam
memberikan pelayanan terapi dan rahabilitasi gangguan penggunaan
NAPZA di fasilitas pelayanan kesehatan.
KEEMPAT : Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pedoman ini dilaksanakan oleh
Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, dengan melibatkan organisasi profesi terkait sesuai dengan
tugas dan fungsi masing-masing.
KELIMA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

3
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Lampiran
Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor: 420/MENKES/SK/III /2010
Tanggal: 31 Maret2010

PEDOMAN LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI KOMPREHENSIF


GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk merespon masalah ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya
(NAPZA), yang semakin marak di Indonesia sejak tahun 80-an Kementerian Kesehatan
telah menetapkan kebijakan bahwa 10% kapasitas tempat tidur Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
dialokasikan untuk pasien ketergantungan NAPZA. Dalam beberapa tahun terakhir
hampir semua RSJ mengembangkan pelayanan NAPZA. Dari hasil evaluasi dijumpai
bahwa masyarakat tidak memanfaatkan pelayanan NAPZA yang telah tersedia di RSJ.
Sebagian besar pasien yang dirawat tidak murni karena ketergantungan NAPZA tapi
merupakan pasien dengan dual diagnosis (Gangguan jiwa dan Ketergantungan NAPZA).
Beberapa penyebab kurangnya pemanfaatan RSJ bagi masyarakat yang ketergantungan
NAPZA, antara lain :
 masih tingginya stigma terhadap gangguan jiwa, sehingga seorang pecandu tidak mau
datang berobat ke RSJ kecuali sebelumnya sudah ada gangguan jiwa yang diinduksi
oleh penggunaan NAPZA seperti kanabis, stimulan atau alkohol.
 Pelayanan yang ditawarkan RSJ tidak memenuhi kebutuhan pasien yang mengalami
Ketergantungan NAPZA. Terbatasnya jenis pelayanan dan kemampuan petugas RSJ
untuk berbagai modalitas terapi. Sebagian besar RSJ hanya menyediakan pelayanan
untuk detoksifikasi saja.
 RSJ biasanya bekerja sendiri dan menunggu pasien secara sukarela datang. Masih
terbatasnya kerjasama dengan masyarakat, LSM dan kelompok pengguna dimana
mereka dapat berperan sebagai petugas penjangkau yang akan membawa pasien
ketergantungan NAPZA berobat ke RSJ.
Mengacu pada hal tersebut diatas maka perlu disusun pedoman penanggulang-an
gangguan penggunaan NAPZA secara komprehensif yang berbasis rumah sakit,
misalnya pedoman dengan pendekatan therapeutic community dan pedoman terapi
rumatan.

4
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

B. Tujuan Umum Dan Khusus


Umum:
Sebagai acuan bagi petugas kesehatan dalam penanggulangan gangguan penggunaan
NAPZA
Khusus:
Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan di rumah sakit dalam manajemen
gangguan penggunaan NAPZA
C. Sasaran
1. petugas kesehatan rumah sakit jiwa
2. petugas kesehatan rumah sakit umum
3. LSM
4. Kelompok pengguna NAPZA yang dapat berperan sebagai petugas penjangkau
membawa pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA berobat ke rumah sakit
D. Kebijakan
Kebijakan Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA Kementerian Kesehatan Rl
dilaksanakan berdasarkan Kepmenkes Nomor 486/Menkes/ SK/IV/2007, melalui upaya:
1. Peningkatan kesehatan dan pencegahan penyalahgunaan NAPZA melalui upaya
promotif dan preventif.
2. Komprehensif dan multi disiplin melalui upaya yang dilakukan sesuai dengan kondisi
budaya dan sosial masyarakat setempat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif.
3. Pelayanan terapi terintegrasi pada sistem pelayanan kesehatan yang ada. Rumah Sakit
Jiwa milik pemerintah menyediakan 10% dari tempat tidur untuk penderita
Gangguan penggunaan NAPZA.
4. Mendukung upaya pemulihan oleh masyarakat dan mantan pengguna (ex-users)
5. Melindungi hak asasi manusia dan keselamatan pasien.
6. Pengurangan dampak buruk (harm reduction) pada pengguna Napza suntik
7. Keseimbangan dan koordinasi lintas sektor.
Untuk memperoleh hasil yang optimal, perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak,
termasuk dengan LSM dan swasta. Pemerintah Daerah mendukung dengan
menyediakan tempat dan terapi/obat gangguan penggunaan Napza yang terjangkau,
secara berjenjang dari Puskesmas, Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Jiwa
8. Pengembangan sistem informasi
9. Legislasi dan peraturan perundang-undangan.

5
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

E. Strategi Dan Rencana Aksi


Sampai tahun 2010, prioritas untuk penanggulangan gangguan NAPZA dilakukan
melalui 6 strategi:
1. Advokasi
Advokasi merupakan komponen yang penting untuk mengajak semua pemangku
kepentingan (stakeholders) dapat berperan serta dalam upaya penanggulangan
Gangguan penggunaan NAPZA Untuk itu Dinas Kesehatan perlu rnengidentifikasi
semua stakeholders antara lain DPRD, Bappeda, BNP/BNK, KPAD, lintas sektor
seperti Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Kementerian Hukum dan HAM, Lembaga
Swadaya Masyarakat, keluarga, media, akademis, tokoh masyarakat, tokoh agama
dan lembaga donor. Keterlibatan semua pemangku kepentingan penting dalam
penyusunan program yang bisa menjawab kebutuhan nyata serta lebih jauh mereka
juga dapat berperan serta dalam pembiayaan.
Advokasi ini bertujuan untuk mengurangi hambatan yang mungkin terjadi seperti:
ketiadaan pelayanan, stigma terhadap pengguna NAPZA atau pelanggaran hak
pasien, tidak ada perumahan dan pekerjaan bagi pasien yang telah selesai mengikuti
program pemulihan.
2. Pemberdayaan Masyarakat
Strategi pencegahan penanggulangan gangguan penggunaan NAPZA melalui
pemberdayaan masyarakat diarahkan secara dini untuk meningkatkan keterampilan
hidup (life skill) remaja serta pemberdayaan orangtua agar dapat mencegah anak-
anaknya dari gangguan pengunaan NAPZA.
Sasaran dari pemberdayaan masyarakat ini dapat dilakukan melalui kelompok-
kelompok masyarakat yang terorganisir (seperti karang taruna pramuka, organisasai
agama) dan masyarakat luas dengan cara meningkatkan pengetahuan, kesadaran,
kepedulian dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan gangguan penggunaan
NAPZA.
Untuk masyarakat luas komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dilakukan melalui
media massa baik cetak maupun elektronik atau modalitas lain, sedangkan
masyarakat yang terorganisir dapat dilakukan dengan tatap muka ataupun melakukan
pelatihan untuk terbentuknya perilaku hidup sehat.
3. Peningkatan Kapasitas SDM
Guna menjamin terlaksananya penanggulangan Gangguan penggunaan NAPZA,
diperlukan tenaga profesional yang mengabdi di pemerintahan, swasta dan
masyarakat.
Tenaga profesional tersebut membutuhkan pelatihan-pelatihan yang didesain sesuai
kebutuhan dan keterampilan khusus, seperti: pelatihan relapse prevention, pelatihan
konselor adiksi, instruktur Cognitive Behaviour Therapy, instruktur motivational
enhancement therapy, pendamping ODHA dan lain-lain.

6
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

4. Penguatan Sistem Kesehatan


Sistem kesehatan terkait dengan upaya penanggulangan gangguan penggunaan
NAPZA perlu ditingkatkan mulai dari pelayanan kesehatan dasar sampai dengan
pelayanan rujukan atau spesialistik,
Peran dan tanggung jawab berbagai institusi kesehatan mulai dari Kementerian
Kesehatan, dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten /Kota, Puskesmas,
RSU, RSJdan RSKO harus lebih jelas.
5. Pengembangan Model Pelayanan Gangguan Penggunaan NAPZA
Semua pelayanan gangguan penggunaan NAPZA harus dapat menjamin terapi dan
perawatan yang terstandarisasi dan memiliki beberapa prinsip pelayanan:
a. Evidence-based: pelayanan yang diberikan harus berbasis bukti dan hasil
(outcome) yang dapat terukur dan terstandarisasi
b. komprehensif: pelayanan diberikan secara komprehensif melalui upaya promotif-
preventif serta kuratif-rehabilitatif
c. Multidisiplin: Pelayanan harus dilaksanakan oleh tenaga profesional yang
multidisiplin dengan memiliki kepemimpinan dan keterampilan teknis tinggi.
Pelayanan harus dilaksanakan melalui kerjasama tim yang solid, kompak dan
utuh serta mampu menerapkan prinsip pelayanan manajemen kasus.
6. Pengembangan Pembiayaan dan Keterlibatan Sektor Swasta
Upaya penanggulangan ini tidak akan berhasil, tanpa pembiayaan yang memadai.
Mengingat masalah ini sudah menjadi masalah bangsa (bukan hanya masalah
kesehatan masyarakat), maka pemerintah baik pusat maupun daerah perlu
mengangkat hal ini menjadi salah satu program yang mendapat perhatian khusus.
Disisi lain, keterbatasan dana Pemerintah merupakan salah satu hambatan utama,
(yang selama ini lebih banyak digunakan untuk penanggulangan HIV/AIDS,
sedangkan dana untuk penanganan gangguan penggunaan NAPZA sangat sedikit),
oleh karena itu perlu digalang kerjasama dengan berbagai LSM dan swasta/dunia
usaha dalam mencapai kelestarian program intervensi. Masyarakat juga perlu
digerakkan untuk memberikan kontribusi dalam penanggulangan.
Pada tahun 2005 pemerintah telah menetapkan bahwa jumlah masyarakat miskin dan
tidak mampu sebanyak 60.000.000 jiwa. Penderita gangguan penggunaan NAPZA
yang termasuk dalam kategori keluarga miskin mempunyai hak untuk mendapatkan
jaminan pemeliharaan kesehatan askeskin.
F. Pengertian
1. Layanan adalah tempat, baik rumah sakit atau klinik umum ataupun khusus yang
melaksanakan sebuah program atau kegiatan yang berkaitan dengan masalah
Gangguan penggunaan NAPZA
2. Terapi suatu proses pemulihan dengan memberikan intervensi secara fisik, psikologis

7
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

maupun sosial kepada pasien gangguan penggunaan NAPZA


3. Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien gangguan penggunaan NAPZA
baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang yang bertujuan mengubah perilaku
mereka agar siap kembali ke masyarakat.
4. Komprehensif adalah suatu terapi yang diberikan secara menyeluruh untuk masalah
gangguan penggunaan NAPZA, gangguan jiwa lain (dual diagnosis) serta juga
dampak lain yang ditimbulkan akibat gangguan penggunaan NAPZA.
5. Gangguan penggunaan NAPZA adalah suatu pola penggunaan NAPZA yang
menimbulkan hendaya atau penyulit/komplikasi yang berarti secara klinis dan atau
fungsi sosial, seperti kesulitan untuk menunaikan kewajiban utama dalam
pekerjaan/rumah tangga/sekolah, berada dalam keadaan intoksikasi yang dapat
membahayakan fisik ketika mengoperasikan mesin atau mengendarai kendaraan,
melanggar aturan atau cekcok dengan pasangan.
6. Rumah Sakit adalah tempat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik
dasar dan spesialistik, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan
perawatan secara rawat jalan dan rawat inap.

II. MANAJEMEN DALAM PENATALAKSANAAN TERAPI GANGGUAN


PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT
A. Pendahuluan
Masalah gangguan penggunaan NAPZA merupakan suatu masalah yang kompleks
sehingga penatalaksanaan terapinya tidak dapat hanya dilaksanakan oleh tenaga medis.
Dengan perubahan tren NAPZA yang digunakan, setiap petugas kesehatan seharusnya
memahami spesifikasi setiap jenis NAPZA dan masalah yang timbul akibat
penggunaan NAPZA itu.
Pada umumnya tenaga medis masih memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang
terbatas tentang gangguan penggunaan NAPZA yang pada akhirnya berdampak pada
penatalaksanaan terhadap pasien. Kondisi ini serlngkali menimbulkan rasa jenuh atau
bahkan menimbulkan kesulitan dalam memberikan terapi pasien dengan gangguan
penggunaan NAPZA yang pada akhirnya membuat petugas kesehatan tidak berminat
untuk memberikan pelayanan kepada pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA.
Kurangnya mutu pelayanan dalam bidang kesehatan termasuk kepada pasien dengan
gangguan penggunaan NAPZA bukan merupakan suatu kebetulan, hal itu seringkali
merupakan perencanaan program yang tidak disiapkan secara terinci dan komprehensif.
Rekrutmen petugas yang akan memberikan layanan kepada pasien merupakan titik
kritis sebelum menentukan program atau kegiatan. Menentukan kriteria petugas yang
sesuai dengan jenis layanan harus dilakukan dengan seksama agar tujuan pelayanan
tersebut dapat berjalan secara efektif.

8
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Komitmen dari pimpinan dan seluruh staf serta karyawan dalam organisasi merupakan
pendukung yang sangat penting dalam memberikan pelayanan pada pasien gangguan
penggunaan NAPZA. Kesinambungan program harus terus dievaluasi agar dapat
memenuhi kebutuhan tiap pasien.
B. Terapi Efektif Pada Gangguan Penggunaan NAPZA
Efektifitas terapi pada gangguan penggunaan NAPZA perlu dievaluasi dan
ditindaklanjuti secara periodik atau berkala. Di Indonesia monitoring dan evaluasi
efektivitas terapi gangguan penggunaan NAPZA sangat minimal atau bahkan tidak
dilakukan. Hal ini semestinya sangat penting dilakukan agar layanan yang diberikan
dapat optimal dan efektif dalam proses pemulihan mereka.
National Institute on Drug Abuse (NIDA) pada tahun 1999 telah mempublikasikan
sebuah buku tentang terapi efektif berdasarkan penelitian di lapangan yang meliputi 13
prinsip:
1. TIDAK ADA satu bentuk terapi yang SESUAI UNTUK SEMUA
2. Kebutuhan terapi harus SIAP DAN TERSEDIA ketika diperlukan
3. Terapi yang efektif mengakomodasi KEBUTUHAN YANG BERAGAM, tidak
hanya untuk masalah NAPZA saja
4. Rencana terapi dan layanan lain harus DIKAJI SECARA KONTINYU dan
DIMODIFIKASI BILA DIPERLUKAN untuk memenuhi kebutuhan perubahan
pada pasien
5. Berada dalam program terapi untuk PERIODE WAKTU YANG ADEKUAT
merupakan hal yang sangat penting untuk perubahan perilaku yang signifikan
6. Konseling (individu dan/atau kelompok) dan terapi perilaku lainnya merupakan
hal yang SANGAT PENTING
7. Medikasi adalah elemen yang PENTING untuk banyak klien, khususnya
bilamana dikombinasi dengan terapi perilaku
8. Orang dengan komorbiditas gangguan mental harus ditangani dengan cara yang
TERINTEGRASI
9. Detoksifikasi hanya merupakan LANGKAH AWAL dari pengobatan gangguan
penggunaan NAPZA dan detoksifikasi hanya memberi sedikit perubahan terkait
PENGGUNAAN NAPZA JANGKA PANJANG
10. Pengobatan yang efektif TIDAK harus secara sukarela
11. Kemungkinan menggunakan NAPZA selama pengobatan harus DIMONITOR
secara kontinyu
12. Program pengobatan harus menyediakan kajian untuk HIV/AIDS dan infeksi lain
serta konseling untuk membantu pasien merubah perilakunya baik untuk
HIV/AIDS dan risiko dari infeksi lainnya

9
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

13. Kepulihan dari gangguan penggunaan NAPZA dapat menjadi PROSES YANG
PANJANG dan seringkali memerlukan beberapa kali episode pengobatan
C. Berbagai Modalitas Terapi Dan Pendekatan
Berbagai kondisi yang mandasari gangguan penggunaan NAPZA akan mempengaruhi
jenis pengobatan yang akan diberikan kepada pasien, kebijakan untuk merawat dan
memulangkan pasien, hasil yang dlharapkan, sumber daya manusia yang akan
memberikan pelayanan, dan sikap terhadap perilaku pasien. Dibawah ini akan diuraikan
beberapa model yang popular dilaksanakan pada masalah Gangguan penggunaan
NAPZA.
1. Therapeutic Community -TC Model, model ini merujuk pada keyakinan bahwa
Gangguan penggunaan NAPZA adalah gangguan pada seseorang secara
menyeluruh. Dalam hal ini norma-norma perilaku diterapkan secara nyata dan ketat
yang diyakinkan dan diperkuat dengan memberikan reward dan sangsi yang
spesifik secara langsung untuk mengembangkan kemampuan mengontrol diri dan
sosial/komunitas. Pendekatan yang dilakukan meliputi terapi individual dan
kelompok, sesi encounter yang intensif dengan kelompok sebaya dan partisipasi
dari lingkungan terapeutik dengan peran yang hirarki, diberikan juga keistimewaan
(privileges) dan tanggung jawab. Pendekatan lain dalam program termasuk tutorial,
pendidikan formal dan pekerjaan sehari-hari. TC model biasanya merupakan
perawatan inap dengan periode perawatan dari dua belas sampai delapan belas
bulan yang diikuti dengan program aftercare jangka pendek.
2. Model Medik, model ini berbasis pada biologik dan genetik atau fisiologik sebagai
penyebab adiksi yang membutuhkan pengobatan dokter dan memerlukan
farmakoterapi untuk menurunkan gejala-gejala serta perubahan perilaku. Program
ini dirancang berbasis rumah sakit dengan program rawat inap sampai kondisi bebas
dari rawat inap atau kembali ke fasilitas di masyarakat.
3. Model Minnesota, model ini dikembangkan dari Hazelden Foundation dan
Johnson Institute. Model ini fokus pada abstinen atau bebas NAPZA sebagai tujuan
utama pengobatan. Model Minessota menggunakan program spesifik yang
berlangsung selama tiga sampai enam minggu rawat inap dengan lanjutan aftercare,
termasuk mengikuti program self help group (Alcohol Anonymous atau Narcotics
Anonymous) serta layanan lain sesuai dengan kebutuhan pasien secara individu.
Fase perawatan rawat inap termasuk ; terapi kelompok, terapi keluarga untuk
kebaikan pasien dan anggota keluarga lain, pendidikan adiksi, pemulihan dan
program 12 langkah. Diperlukan pula staf profesional seperti dokter, psikolog,
pekerja sosial, mantan pengguna sebagai addict counselor
4. Model Eklektik, model ini menerapkan pendekatan secara holistik dalam program
rehabilitasi. Pendekatan spiritual dan kognitif melalui penerapan program 12
langkah merupakan pelengkap program TC yang menggunakan pendekatan
perilaku, hal ini sesuai dengan jumlah dan variasi masalah yang ada pada setiap
pasien adiksi.

10
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

5. Model Multi Disiplin, program ini merupakan pendekatan yang lebih


komprehensif dengan menggunakan komponen disiplin yang terkait termasuk
reintegrasi dan kolaborasi dengan keluarga dan pasien
6. Model Tradisional, tergantung pada kondisi setempat dan terinpirasi dari hal-hal
praktis dan keyakinan yang selama ini sudah dijalankan. Program bersifat jangka
pendek dengan aftercare singkat atau tidak sama sekali. Komponen dasar terdiri
dari : medikasi, pengobatan alternatif, ritual dan keyakinan yang dimiliki oleh
sistem lokal contoh : pondok pesantren, pengobatan tradisional atau herbal.
7. Faith Based Model, sama dengan model tradisional hanya pengobatan tidak
menggunakan farmakoterapi
D. Fungsi Inti Layanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Napza
1. Skrining, merupakan proses untuk menentukan apakah pasien dapat masuk atau
mengikuti model terapi yang tersedia
2. Intake, proses administrasi dan asesmen awal untuk masuk ke dalam program
3. Orientasi, memberikan gambaran kepada pasien tentang ; program secara umum
dan tujuan dari masing-masing program, ketentuan/aturan yang harus dipatuhi agar
pasien bisa keluar dari program sesuai dengan tujuan program, untuk program
rawat jalan dijelaskan jam pelayanan dan jenis layanan yang tersedia, biaya
pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien, jika ada serta hak-hak pasien
4. Asesmen, prosedur ini dilaksanakan oleh konselor atau petugas yang ditunjuk untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, masalah yang dimiliki
pasien dan rencana kebutuhan terapi untuk pasien secara individu
5. Rencana Pengobatan, proses yang dilakukan oleh konselor atau profesi lain
bersama pasien untuk mengidentifikasi dan membuat urutan masalah dan solusi
yang diperlukan; membuat persetujuan segera untuk sasaran program jangka
pendek dan jangka panjang; menetapkan proses pengobatan dan sumber daya yang
dibutuhkan
6. Konseling (individual, kelompok dan orang lain yang bermakna): menggunakan
ketrampilan khusus untuk membantu pasien, keluarga atau kelompok dalam
mencapai tujuan pengobatan melalui eksplorasi masalah dan pengaruhnya terhadap
pasien; menilai sikap dan perasaan pasien; mempertimbangkan alternatif
pemecahan masalah; dan membuat keputusan
7. Manjemen Kasus, aktifitas yang diberikan oleh tempat layanan, agensi, sumber
lain, atau orang lain di luar layanan yang bersama sama merencanakan rancangan
dan aksi dalam rangka mencapai sasaran/tujuan pengobatan. Kegiatan ini dapat
melibatkan orang yang menjadi penghubung (misal LSM) atau pendamping
8. Intervensi Krisis, layanan ini merespons kondisi akut baik emosional dan/atau
distres fisik yang terjadi pada pengguna NAPZA

11
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

9. Pendidikan Pasien, menyediakan informasi untuk individu maupun kelompok


mengenai masalah NAPZA serta layanan atau sumber daya yang tersedia untuk
membantu pasien
10. Rujukan, mengidentifikasi kebutuhan pasien yang tidak dapat diperoleh dari
konselor/terapis atau tempat layanan serta membantu pasien untuk menggunakan
layanan dukungan dan sumber daya lain yang tersedia di masyarakat
11. Memelihara pencatatan dan pelaporan, membuat grafik hasil dari asesmen dan
rencana pengobatan, menulis laporan, catatan kemajuan pasien, kesimpulan saat
pulang dan data lain yang berhubungan dengan kondisi pasien.
12. Konsultasi dengan profesional lain berkaitan dengan pengobatan atau layanan
pasien, yang berhubungan dengan staf yang berada di dalam pusat layanan atau
professional lain di luar layanan untuk meyakinkan kualitas pengobatan pasien
yang komprehensif.
E. Komponen Program Terapi Dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan NAPZA
Tidak ada pengobatan yang lengkap tanpa memperhatikan kebutuhan lain pasien secara
bermakna. Sesuai dengan sifat adiksi pasien membutuhkan layanan baik secara
multipel maupun bervariasi. penting bagi pasien untuk mendapatkan kontribusi lain
yang berarti untuk mencapai keberhasilan dalam program pengobatan yang seharusnya
diberikan secara lengkap/sesuai oleh penyedia layanan.
Dua belas layanan yang seharusnya tersedia atau tergabung sebagai komponen dalam
pusat layanan adalah :
1. Medik/Klinis - menyediakan layanan medis/psikiatris secara profesional pada
tempat dan saat diperlukan serta mampu untuk menentukan baik kondisi fisik
maupun psikologis pasien.
2. Nutrisi/Gizi - merencanakan diet yang dibutuhkan pasien.
3. HIV, Hepatitis B dan C, IMS (Infeksi Menular Seksual) melakukan pemeriksaan
HIV, Hepatitis B/C dan IMS serta melakukan tindakan yang sesuai termasuk VCT
(Voluntar, Counseling and Testing) dan PITC (Provider Initiated Testing and
Counselling).
4. Spiritual - menyediakan pendidikan agama dan mendorong pasien untuk
melaksanakan kegiatan ibadah sesuai dengan kepercayaan mereka.
5. Layanan/Terapi Keluarga termasuk intervensi keluarga untuk mendorong pasien
yang menolak masuk ke dalam program pengobatan dan juga untuk memelihara
dukungan kepada pasien dalam proses pemulihan.
6. Pencegahan kekambuhan mengajarkan pasien untuk mengenali situasi dengan
risiko tinggi dan pencatus yang mungkin menyebabkan menggunakan NAPZA
kembali, untuk mengembangkan strategi kemampuan menghadapi tekanan dari
luar dan belajar untuk mengelola situasi slip (menggunakan NAPZA kembali

12
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

sekali, jatuh atau kambuh menggunakan NAPZA).


7. Aftercare - merupakan suatu kelanjutan dari layanan perawatan seperti dukungan
kepada kelompok pemulihan, konseling, latihan ketrampilan hidup, penempatan
kerja, rujukan dan layanan lain sesuai kebutuhan pasien.
8. Konseling - hubungan terapeutik antara pasien yang membutuhkan bantuan
dengan konselor yang dapat menyediakan pertolongan dan dapat secara individu,
kelompok atau keluarga.
9. Bantuan hukum - bertugas untuk membantu pasien dalam kebutuhan atau masalah
yang berkaitan dengan aspek legal.
10. Terapi vokasional - mengajarkan untuk mampu bersosialisasi dan ketrampilan
bekerja untuk pasien yang sesuai dengan minat dan kompetensi mereka.
11. Latihan ketrampilan hidup - mengembangkan ketrampilan sosial untuk
berkomunikasi lebih baik, meningkatkan harga diri dan menerapkan dasar-dasar
kehidupan bebas/bersih dari NAPZA (sober).
12. Pendidikan dan informasi - melanjutkan pendidikan formal yang relevan dengan
kemampuan pasien, meningkatkan pengetahuan tentang konsekuensi gaya hidup
berisiko dan lain-lain.
F. Tahapan Pengobatan Dan Hasil Yang Diharapkan
Merupakan program yang dibangun untuk jangka panjang dengan tahapan-tahapan
yang merupakan satu rangkaian pengobatan yang panjang. Dalam mengejar pemulihan,
pasien dituntun untuk memiliki kemajuan secara berurutan dari satu layanan ke layanan
lain seperti dari detoksifikasi ke rehabilitasi fase primary ke tahap aftercare dan follow
up (lanjutan). Tahapan dalam program ini dirancang berdasarkan perkembangan yang
diharapkan dari pasien dengan gangguan penggunaan zat melalui proses pengobatan.
Setelah proses intake/awal, pasien diproses untuk tahapan orientasi, diikuti dengan
tahapan awal, tahapan menengah, tahapan akhir dan tahapan re-entry. Akhirnya tahapan
akan dilalui sesuai dan berhubungan dengan kemajuan pasien. Hal ini kemungkinan
dapat diperlihatkan dalam berbagai tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepada
pasien dalam berbagai periode selama dalam program pengobatan. Akan bijaksana
bilamana jumlah dan jenis keistimewaan yang diberikan membuat pasien gembira atau
menikmati.
Kemajuan akan dibuat grafik sesuai dengan rangkaian pengobatan dari keadaan
ketergantungan menjadi tidak ketergantungan NAPZA secara lengkap.
1. Pra Pengobatan
a. Identifikasi dan Intervensi Krisis
b. Penerimaan dalam program
c. Orientasi
d. Detoksifikasi
e. Pengobatan Komorbiditas, masalah medis dan psikiatris

13
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

2. Perawatan Primer (Primary Care)


a. Program terapi untuk pasien dan keluarga
b. Pendidikan
c. Rekreasi
d. Spiritual
e. Perawatan kesehatan baik fisik maupun mental
f. Kesadaran diri
g. Evaluasi
3. Perawatan Sekunder (Secondary Care)
a. Lanjutan konseling untuk pasien dan keluarga
b. Rekreasi
c. Pendidikan
d. Spiritual
e. Perawatan kesehatan
f. Dukungan sebaya
g. Rehabilitasi vokasional
h. Pencegahan kekambuhan
i. Aftercare

Tahap Aktifitas Waktu Hasil yang diharapkan


Pra pengobatan 1-3
minggu

Identifikasi- Konseling individu dan  Memotivasi pasien untuk


intervensi krisis keluarga mendapat pengobatan
 Menciptakan kesadaran
tentang masalah yang
dihadapi pasien
Penerimaan Pendaftaran  Memperoleh informasi
tentang pasien, keluarga dan
Skrining (pemeriksaan
riwayat penggunaan
tubuh, wawancara, tes
NAPZA
urin)

Orientasi Tur fasilitas layanan,  Pemahaman aturan dan tata


Program pengenalan singkat tertib dalam fasilitas
peraturan dan tata tertib layanan
layanan

14
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Diskusi dengan pasien  Persiapan psikologis pasien


dan keluarga untuk pengobatan
 Membangun hubungan
dengan penanggung jawab
 Merencanakan pengobatan

Detoksifikasi Isolasi dalam ruang  Penatalaksanaan gejala


pengobatan/perawatan putus NAPZA

Penatalaksanaan Melakukan kajian dan  Stabilisasi


Komorbiditas pemeriksaan secara  Layanan kesehatan untuk
medis penyakit lainnya

evaluasi Kajian ulang dan  Membantu kemajuan dan


tinjauan untuk kemampuan pasien secara
pengobatan lanjut atau keseluruhan
rencana pengobatan baru

Tahapan Aktifitas Waktu Hasil yang diharapkan


Sekunder 3-12
bulan

Sesi Terapeutik Konseling individu,  Kegiatan lanjutan dalam


Sesi kelompok, Sesi pemulihan
keluarga  Membangun ikatan dengan
recovering addict yang
senior
Rekreasional Permainan Outing  Meningkatkan kesehatan
dan mempererat ikatan
dalam program

Pendidikan Seminar, bicara dan  Mengikutsertakan dalam


workshop kegiatan publik dan
aktifitas umum
Spiritual Seminar, Diskusi, Latihan  Menerima kekuatan yang
dan penerapan tetinggi dan memahami
keberadaan Tuhan

Perawatan Asesmen/pemeriksa-an  Menjaga kesehatan fisik


Kesehatan dan Pengobatan dan mental
Seminar kesehatan

15
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Pemahaman Membentuk hubungan/  Memperkuat keyakinan


diri Berbagi/Diskusi dan mempertimbang-kan
nilai-nilai yang dianut
selama ini

Kelompok Pertemuan Alcohol  Bersiap-siap untuk masuk


Dukungan Anonymous dan Narcotic program reentry
Anonymous  Mengembangkan
ketrampilan sosial
Vokasional Latihan Kerja/Job  Program latihan kerja
Training, Wawancara  Penempatan di tempat
kerja bekerja
Pengelolaan waktu dan
keuangan
Pencegahan Seminar, Workshop,  Mengenali pola kambuh
Diskusi dan pencetus kekambuhan
Kekambuhan
 Mengembangkan
kemampuan menghadapi
masalah, mengelola
terpeleset, terjatuh atau
kambuh menggunakan
NAPZA

Tahapan Aktifitas Waktu Hasil yang diharapkan


Aftercare Setelah
12-18
bulan
Pertemuan Konseling berkelanjutan,  Menguatkan kestabilan
kelompok dukungan kelompok  Meningkatkan proses
dukungan 12 dalam proses pemulihan pemulihan secara
langkah keseluruhan
(Twelve Step)

G. Layanan Lain Yang Tersedia


1. Outreach/Penjangkauan - membawa program layanan kepada lingkungan
masyarakat.
2. Rawat Jalan/Ambulatory - pasien datang ke pusat layanan untuk mendapatkan
layanan, informasi, konseling, daycare, manajemen kasus, pelatihan dan lajn-lain.
3. Family Support Group - menginisiasi/fasilitasi untuk berbagi pengalaman diantara
anggota keluarga.
4. Recovery Support Group/Kelompok Pendukung Pemulihan fasilitasi/ memotivasi

16
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

pasien untuk berpartisipasi dalam kelompok dukungan mandiri (Self Help Group).
H. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi hasil pengobatan dilakukan secara periodik dalam setiap fase/tahapan
pengobatan. Diperlukan pembentukan tim untuk mengevaluasi kemajuan setiap pasien
yang terdiri dari berbagai profesi. Apabila evaluasi menunjukkan tidak adanya
kemajuan pada pasien maka perlu ditinjau ulang program terapi selanjutnya agar
diperoleh hasil yang optimal.
Beberapa ha! yang perlu dievaluasi untuk setiap pasien adalah :
a. Kondisi fisik/medis
b. Kondisi penggunaan NAPZA
c. Masalah psikologis
d. Masalah keluarga
e. Masalah sosial, termasuk masalah pekerjaan, pendidikan, finansial, hukum
f. Masalah lain yang penting dan terkait dengan adiksi
g. Pengobatan dan intervensi sosial yang telah diberikan
h. Penilaian efektifitas program secara keseluruhan
I. Rekruitmen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia (SDM) merupakan modal utama dalam melaksanakan program
pengobatan dan rehabilitasi pasien gangguan penggunan Napza. Seringkali sulit untik
mendapat SDM yang berkualitas dan mempunyai ketertarikan pada masalah gangguan
penggunaan NAPZA. Hal ini seringkali disebabkan adanya persepsi yang salah bahwa
bekerja di bidang ini banyak kerja dengan sedikit kemungkinan untuk perkembangan
karier dan kenaikan pangkat. Oleh karena itu, setiap institusi perlu untuk membuat
suatu ketentuan mengenai pengembangan karier dan promosi bagi setiap SDM yang
bekerja pada pusat layanan gangguan penggunaan NAPZA.
Seleksi SDM yang baik merupakan dasar untuk memberdayakan SDM tersebut secara
efektif, meskipun tidak ada garansi penuh bahwa mereka yang sudah diterima akan
bekerja secara efisien dan produktif, banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi
efisiensi dan stabilitas SDM. Pelamar dapat dimotivasi dengan pertimbangan lain selain
hanya uang/gaji seperti pendidikan, pelatihan atau kesempatan untuk mengembangkan
keahlian di bidang gangguan penggunaan NAPZA.
Sejak pengobatan dan rehabilitasi bukan lagi merupakan organisasi yang tradisional,
ada keunikan dalam melakukan penerimaan SDM dimana tidak banyak orang yang
tertarik untuk melakukan pekerjaan dalam waktu yang panjang (lebih 8 jam kerja), on
call 24 jam dalam 7 hari, bekerja saat hari libur, tinggal dalam suatu fasilitas dan yang
sangat nyata mereka harus menghadapi pasien dengan masalah ketergantungan NAPZA
yang seringkali melakukan kekerasan, ketidakstabilan mental, hal ini bisa
diklasifikasikan sebagai pekerjaan berisiko tinggi.
1. Beberapa strategi untuk rekrutmen/penerimaan SDM :

17
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

 Membuat iklan di surat kabar atau radio


 Layanan On line (jika dimungkinkan tersedia internet/ website)
 Berhubungan dengan sekolah sesuai dengan profesi yang dibutuhkan
 Rujukan/rekomendasi dari petugas atau pasien
 Melakukan jejaring dengan profesi yang berbeda dan organisasi pemerintah
 Melakukan seleksi melalui kampus
2. Kebutuhan dasar untuk SDM pada pusat pengobatan dan rehabilitasi NAPZA
 Usia sedikitnya antara 21 sampai 35 tahun, agar masa penyesuaiannya lebih
mudah
 Pendidikan yang sesuai dengan posisi dan tugasnya
 Untuk recovering addict, harus sudah lulus dari pusat layanan yang mempunyai
reputasi dan sedikitnya sudah 2 tahun abstinensi, mempunyai pengalaman
melaksanakan program 12 Langkah dan modalitas terapi lainnya
 Untuk konselor harus memiliki sertifikat konselor adiksi
 Bersedia untuk memberikan waktunya lebih panjang dari pegawai tempat lain
 Kualitas personal dalam dedikasi, loyalitas dan ketertarikan pada bidang
pekerjaan tinggi
 Harus memiliki 'hati' dan 'jiwa' untuk menolong orang dengan spirit
kemanusiaan yang tinggi
 Mampu berkreasi, mempunyai dorongan diri yang kuat dan berorientasi pada
hasil
 Bersedia untuk menceburkan diri ke dalam program fasilitas residensial
 Bersedia mengikuti berbagai pelatihan baik secara lokal, regional maupun
internasional
3. Proses Seleksi
a. Tes psikologi, untuk mengetahui kepribadian dan motivasi kerja individu
b. Wawancara Individu; untuk memperoleh SDM yang berkualitas, memberikan
informasi tentang bidang kerja, menentukan tingkat intelejensi pelamar,
menciptakan keinginan baik organisasi. Wawancara akan meliputi:
 Kematangan emosional
 Keterandalan
 Percaya diri
 Sikap terhadap pekerjaan
 Kreativitas
 Sistem nilai
 Gaya hidup
 Sikap kritikal
c. Wawancara Kelompok: pendekatan ini sangat direkomendasi sebagai tambahan
dari hasil wawancara individu, Beberapa jenis wawancara kelompok yang
dilakukan meliputi:

18
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

 Ketrampilan komunikasi dan menulis


 Pemahaman dan tilikan diri yang mendalam
 Ketulusan hati dan komitmen untuk ikut serta dalam misi melindungi
kehidupan
 Kemampuan untuk berinteraksi dengan teman lainnya
 Tingkat komprehensif
 Menentukan pencapaian tujuan
 Keseriusan dalam melaksanakan pekerjaan
III. PEMBELAJARAN DARI RUMAH SAKIT JIWA DALAM LAYANAN TERAPI
DAN REHABILITASI PASIEN GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA
A. Layanan Yang Dilaksanakan Di Rumah Sakit Jiwa
1. Gawat Darurat Pada Gangguan Penggunaan NAPZA
Pada prinsipnya penatalaksanaan gawat darurat gangguan penggunaan NAPZA
dapat dilakukan di unit gawat darurat untuk pelayanan umum atau unit gawat
darurat untuk gangguan jiwa yang terdapat di Rumah Sakit Jiwa tanpa harus
menyediakan unit gawat darurat tersendiri. Bila memungkinkan unit gawat darurat
gangguan penggunaan NAPZA dapat dibuat tersendiri.
Untuk dapat menangani kasus-kasus gawat darurat NAPZA dengan baik perlu
dilakukan pelatihan untuk tim unit gawat darurat yang meliputi ketrampilan untuk
menangani kasus-kasus kedaruratan medik yang terjadi akibat penggunaan
NAPZA, seperti overdosis opioida, intoksikasi benzodiazepin, intoksikasi
amfetamin.
Beberapa Rumah Sakit Jiwa dapat menangani kasus intoksikasi amfetamin, alkohol
dan halusinogen. Untuk intoksikasi NAPZA lain (misal: Benzodiazepin,
Dekstrometorfan) beberapa Rumah Sakit Jiwa dapat menangani kondisi akut,
termasuk kondisi gaduh gelisah.
Untuk kasus overdosis; khususnya overdosis heroin biasanya pasien dibawa ke
Rumah Sakit Umum meskipun seringkali dokter gawat darurat Rumah Sakit Umum
tidak tahu diagnosis overdosis heroin/kasus heroin
Beberapa Rumah Sakit Jiwa telah menggunakan skala penilaian putus NAPZA
untuk kasus putus heroin (opioida). Masih perlu dilakukan pelatihan Gawat Darurat
Gangguan penggunaan NAPZA karena umumnya Tim gawat darurat Rumah Sakit
Jiwa belum pernah mendapatkan pelatihan kegawatdaruratan dalam bidang
Gangguan penggunaan Napza,
Pasien yang telah menunjukkan perbaikan setelah ditangani di unit gawat darurat
dapat dilanjutkan dengan parawatan rawat inap atau detoksifikasi untuk kasus putus
NAPZA atau berobat jalan untuk kondisi yang sudah memungkinkan untuk pulang.
2. Rawat Jalan/Rumatan:
- Umumnya medikasi yang tersedia di Rumah Sakit Jiwa untuk penanganan

19
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

simtomatis. Semua jenis NAPZA dapat dilayani termasuk komplikasi medis


maupun psikiatris. Terapi rumatan di Rumah Sakit Jiwa umumnya belum tersedia.
- Umumnya Layanan Psikososial seperti Konseling Dasar Individual/Kelompok,
Terapi Kelompok, Family Support Group, Dukungan Kelompok Sebaya, Terapi
Musik, Outing, Terapi Vokasional, Motivational Interviewing, Cognitive
Behavioural Therapy, ReEmotive Behaviour Therapy di Rumah Sakit Jiwa masih
kurang.
- Umumnya Rumah Sakit Jiwa telah dapat menyediakan Layanan Penunjang Dasar
seperti laboratorium dasar Kimia Klinik. Untuk pemeriksaan NAPZA umumnya
menggunakan Deep Stick disertai tes konfirmasi. Pemeriksaan radiologi dan
elektromedik (EEG, Brain Mapping, EKG) juga tersedia di Rumah Sakit Jiwa.
3. Detoksifikasi
Umumnya detoksifikasi dilakukan di fasilitas rawat inap Rumah Sakit Jiwa dengan
menggunakan medikasi simtomatis. Khusus untuk detoksifikasi heroin (opioida) selain
simtomatis juga ada yang mempunyai pengalaman tapering off dengan metadon dan
buprenorfin
4. Rehabilitasi
 Jangka Pendek (Short Term) (1-3 bulan)
Beberapa Rumah Sakit Jiwa telah melaksanakan program ini dengan fokus pada
perubahan perilaku. Dilakukan skrining masalah medis dan psikologis.
 Jangka Panjang - Long term (6 bulan - lebih)
Beberapa Rumah Sakit Jiwa sudah dapat melaksanakan program rehabilitasi untuk
jangka waktu 6 bulan. Ada juga yang sudah menjalankan program re-entry (hingga
9 bulan). Ada juga yang sudah menjalankan Therapeutic Community (TC) secara
penuh yang dilanjutkan dengan/aftercare
Setiap intervensi dilakukan secara bertahap, misalnya untuk lama waktu dilaksanakan
rehabilitasi untuk pasien (dalam program rehabilitasi biasanya disebut residen) dimulai
dengan program jangka pendek terlebih dahulu. Bila rehabilitasi sudah dapat berjalan
secara bermakna, lama waktu dilaksanakan rehabilitasi untuk residen kemudian
diperpanjang, misalnya menjadi minimal 6 bulan.
Umumnya diperlukan waktu yang cukup lama sejak mulai berdirinya rehabilitasi
sampai dapat melakukan program yang melibatkan keluarga. Pada awal program,
biasanya keluarga hanya dilibatkan terkait masalah residen. Untuk selanjutnya keluarga
dapat diajak bekerjasama agar terlibat dalam beberapa program, seperti program
dukungan keluarga dengan anak yang terlibat gangguan penggunaan NAPZA atau
program dukungan residen dengan HIV positif.
Memulai program aftercare hanya jika program jangka pendek sudah berhasil dilalui
dengan baik. Biasanya kegiatan aftercare dilaksanakan di luar lingkungan Rumah Sakit

20
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Jiwa.
Seiring dengan banyaknya kasus ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), perlu dibentuk
kelompok sebaya khusus untuk ODHA pada penasun (pengguna NAPZA suntik)
5. Layanan Psikososial dan Penunjang
Pada umumnya Rumah Sakit Jiwa sudah melakukan konseling dasar, terapi kelompok
dan psikoedukasi keluarga.
6. Evaluasi Terapi
Kebanyakan Rumah Sakit Jiwa belum melakukan secara khusus, kecuali residen yang
sudah mengalami komplikasi medis atau psikiatris.
7. Sistem Rujukan/Jejaring
Sebagian Rumah Sakit Jiwa sudah melaksanakan kerjasama dengan berbagai institusi
baik pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
B. Tantangan Di Lapangan
1. Sumber Daya Manusia
 Biasanya tenaga medis dan paramedis terbatas dan kurang berminat untuk bekerja
di bangsal gangguan penggunaan NAPZA, mereka lebih tertarik untuk bekerja di
bangsal umum atau bangsal penyakit jiwa. Salah satu alasan mereka enggan
bekerja di bangsal gangguan penggunaan NAPZA karena kurangnya pengetahuan
dan kekhawatiran berlebihan terhadap pasien gangguan penggunaan NAPZA
yang terinfeksi HIV.
 Ketrampilan petugas dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan
penggunaan NAPZA masih terbatas. Ada petugas yang belum mengikuti
pelatihan, ada juga yang enggan mengikuti pelatihan.
 Komitmen untuk merencanakan dan menjalankan program dari pengambil
keputusan sampai pelaksana kurang kuat dijumpai di beberapa Rumah Sakit Jiwa.
 Kesulitan untuk mendapat peer educator/konselor pada awal menjalankan
program.
 Reward/honor petugas yang belum memenuhi standar minimal
2. Penerapan Program
 Penerapan program sulit dilaksanakan karena pengetahuan dan ketrampilan
terbatas sehingga kurang percaya diri untuk menjalankan program
 Keterbatasan dana sehingga beberapa program tidak dapat dilaksanakan misalnya
outing, terapi vokasional, terapi rekreasional.
 Keterbatasan pengalaman dalam penanganan kasus dengan dual diagnosis
 Kesinambungan (sustainability) program yang mendapatkan bantuan tidak
direncanakan kelanjutannya sehingga program terhenti ketika bantuan itu

21
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

berhenti.
3. Sarana dan Prasarana
 Sarana dan prasarana seringkali dipersepsikan harus terpisah dari kegiatan rumah
sakit secara keseluruhan, Sebagian RS telah melakukan pelayanan dengan
menggunakan fasilitas RS yang tersedia.
4. Evaluasi Terapi
 Sudah dilaksanakan evaluasi terapi secara sederhana, belum dilakukan dengan
menggunakan tools/panduan yang terstandarisasi
5. Rujukan/Jejaring
 Kerjasama RSJ dengan LSM, RSU, Puskesmas, Lapas di banyak tempat masih
terbatas. RSJ yang sudah melayani ODHA umumnya kerjasama sudah berjalan
baik dalam bidang HIV/AIDS
 Advokasi ke beberapa pemangku kepentingan (Badan Narkotika Propinsi, Badan
Narkotika Kabupaten/Kota, Komisi Penanggulangan AIDS, Pemerintah Daerah)
masih ada kendala
 Kerjasama lintas sektor dan lintas program belum berjalan dengan optimal

IV. EFEK DAN GEJALA KLINIS GANGGUAN PENGGUNAAN NAP2A


Bab ini akan membahas pengaruh segera atau beberapa saat (efek akut) sesudah
menggunakan NAPZA dan pengaruh penggunaan jangka panjang (efek kronis). Pengguna
NAPZA apapun jenisnya, selalu mengharapkan efek yang menyenangkan bagi dirinya
("efek positif) yaitu euforia, tenang, rileks dan disinhibisi. Efek lainnya pada umumnya
tidak disukai ("efek negatif) misalnya halusinasi, waham, berdebar-debar. Efek NAPZA
terhadap pengguna dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu jenisnya (CNS depressant atau
CNS stimulant), dosisnya (intoksikasi saja atau overdose), lamanya penggunaan
(toleransi atau belum ada toleransi), NAPZA lain yang digunakan bersamaan, situasi
(sendiri atau berkelompok) dan harapan pengguna terhadap NAPZA tersebut (ingin lepas
kendali agar lebih berani atau ingin tenang).
Dalam Bab ini hanya akan dibahas NAPZA yang sering digunakan saat ini di Indonesia.
1. AMFETAMIN
a. Efek Fisik dan Psikologis
Efek dari metamfetamin lebih kuat dibandingkan efek dari amfetamin.
Metamfetamin diketahui lebih bersifat adiktif, dan cenderung mempunyai dampak
yang lebih buruk. Pengguna metamfetamin dilaporkan lebih jelas menunjukkan
gejala ansietas, agresif, paranoia dan psikosis dibandingkan pengguna amfetamin.
Efek psikologis yang ditimbulkan mirip seperti pada pengguna kokain, tapi
berlangsung lebih lama.

22
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Efek fisik akut dan psikologis :


Dosis rendah Dosis tinggi
Susunan Syaraf Pusat,  Penigkatan stimulasi,  Stereotipik atau
neurologi, perilaku insomnia, dizziness, tremor perilaku yang sukar
ringan ditebak
 Euforia/disforia,bicara  Perilaku kasar atau
berlebihan irasional, mood yang
berubah-ubah.
 Meningkatkan rasa percaya
termasuk kejam dan
diri dan kewaspadaan diri
agresif
 Cemas, panik
 Bicara tak jelas
 Menekan nafsu makan
 Paranoid,kebingungan
 Dilatasi pupil dan gangguan persepsi
 Peningkatan energi, stamina  Sakit kepala,
dan penurunan rasa lelah pandangan kabur,
dizziness
 Psikosis (halusinasi
delusi, paranoia)
 Dengan penambahan  Gangguan
dosis.dapat meningkatkan serebrovaskular
libido  Kejang
 Sakit kepala  Koma
 Gemerutuk gigi  Gemerutuk gigi
 Distorsi bentuk tubuh
secara keseluruhan
Kardiovaskular  Takikardia (mungkin juga  Stimulasi kardiak
bradikardia) (takikardia.angina.MI)
 .hipertensi  vasokonstriksi/
hipertensi
 Palpitasi.arimia
 kolap kardiovaskuler
Pernapasan  Peningkatan frekwensi napas  Kesulitan
dan kedalaman pernapasan bernapas/gagal napas

23
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Gastrointestinal  Mual dan muntah  Mulut kering


 Konstipasi ,diare atau kram  Mual dan muntah
abdominal  kram abdominal
Kulit  kulit berkeringat.pucat  kemerahan atau
flushing
 hiperpireksia
 hiperpireksia, disforesis

Otot  peningkatan refleks tendon

b. Efek fisik dan psikologis jangka panjang :


 berat badan menurun, malnutrisi, penurunan kekebalan
 gangguan makan, anpreksia atau defisiensi gizi
 kemungkinan atrofi otak dan cacat fungsi neuropsikologis
 daerah injeksi: bengkak, skar, abses
 kerusakan pembuluh darah dan organ akibat sumbatan partikel amfetamin pada
pembuluh darah yang kecll.
 disfungsi seksual
 gejala kardiovaskuler
 delirium.paranoia, ansietas akut, halusinasi. Amphetamines induced psychosis
akan berkurang bila penggunaan Napza dihentikan , bersamaan dengan
diberikan medikasi jangka pendak.
 depresi, gangguan mood yang lain (misal distimia), atau adanya gangguan
makan pada protracted withdrawal.
 penurunan fungsi kognitif, terutama daya ingat dan konsentrasi.
c. Gejala Intoksikasi:
 Agitasi
 Kehilangan berat badan
 Takikardia
 Dehidrasi
 Hipertermi
 Imunitas rendah
 Paranoia
 Delusi
 Halusinasi
 Kehilangan rasa lelah
 Tidak dapat tidur
 Kejang
 Gigi gemerutuk.rahang atas dan bawah beradu
 Stroke
 Gangguan kardiovaskular
 Kematian

24
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

d. Perilaku sehubungan dengan kondisi intoksikasi:


 Agresif/ perkelahian
 Penggunaan alkohol
 Berani mengambil risiko
 Kecelakaan
 Sex tidak aman
 Menghindar dari hubungan sosial dengan sekitarnya
 Penggunaan obat-obatan lain
 Problem hubungan dengan orang lain
e. Gejala withdrawal:
 Depresi
 Tidak dapat beristirahat
 Craving
 Ide bunuh diri
 Penggunaan obat-obatan
 Masalah pekerjaan
 Pikiran-pikiran yang bizzare
 Mood yang datar
 Ketergantungan
 Fungsi sosial yang buruk
2. KANABIS
a. Komplikasi fisik dan psikososial
Efek akut
Seperti umumnya dengan napza , efek dari kanabis tergantung dengan dosis yang
digunakan.individunya dan kondisi saat itu. Beberapa hal di bawah ini di anggap
sebagai efek positif bagi pengguna.yaitu :
 perasaan tenang (relaksasi)
 euforia
 disinhibisi
 peningkatan persepsi penglihatan dan pendengaran
 nafsu makan meningkat
 persepsi waktu yang salah
 sulit untuk konsentrasi
Sedangkan efek akut negatif adalah:
 ansietas dan panik
 paranoia
 halusinasi pendengaran dan penglihatan
 gangguan koordinasi
 kehilangan memori jangka pendek

25
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

 takikardia dan aritmia supraventrikuler


Kanabis tidak menyebabkan overdosis yang fatal
Gejala yang umum terj$di pada kondisi putus kanabis adalah
 ansietas, tidak dapat beristirahat dan mudah tersinggung
 anoreksia
 tidur terganggu dan sering mengalami mimpi buruk
 gangguan gastrointestinal
 keringat malam hari
 tremor
Gejala-gejala yang terjadi biasanya ringan dan berakhir setelah satu atau dua
minggu. Pasien dengan putus kanabis hanya memerlukan manajemen gejala jangka
pendek.
3. OPIODA
a. Efek Opioda
SISTIM ORGAN EFEK
Sistim Saraf  Analgesi
 euforia
 sedasi, mengantuk, depresi pernapasan
 penekanan refleks batuk
 pupil konstriksi
Gastroitestinal  mual dan muntah
 konstipasi
 spasme biliar ( peningkatan tonus sfingter Oddi)
Endrokrin  perubahan hormon sex pada wanita (kadar FSH dan LH
rendah ,peningkatan kadar prolaktin) berdampak pada
gangguan siklus menstruasi, penurunan libido,
galaktorhea
 penurunan kadar testosteron pada laki-laki,penurunan
libido
 meningkatnya hormon anti diuretik (ADH), penurunan
kadar ACTH
Lainnya  gatal-gatal,berkeringat,kulit kemerahan (reaksi
histamin)
 kekeringan pada daerah mulut.mata dan kulit
 pengeluaran urin yang sulit
 tekanan darah rendah

26
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

b. Simpton putus opioid dengan kerangka waktu


Jarak waktu dari Gejala Umum
suntikan terakhir

6 – 12 jam  mata dan hidung berair, menguap


 berkeringat
12 – 24 jam  agitasi dan iritabel
 berdiri bulu roma (goosebumps)
 berkeringat, perasaan panas dan dingin
 kehilangan nafsu makan
Lebih dari 24 jam  keinginan kuat untuk menggunakan heroin (craving)
 kram perut, diare
 kehilangan nafsu makan, mual, muntah
 nyeri punggung.nyeri per§sndian,tangan atau kaki, sakit
kepala
 sulit tidur
 letargi, kelelahan
 tidak dapat istirahat, irritable, agitasi
 sulit konsentrasi
 perasaan panas dan dingin, keringat meningkat
Hari ke 2 sampai 4  semua gejala mencapai puncaknya
Hari ke 5 sampai 7  kebanyakan gejala fisik mulai berkurang.
 nafsu makan mulai kembali

Minggu ke 2  gangguan fisik mulai menghilang. Dapat muncul keluhan


lain seperti tidak dapat tidur, rasa lelah, irirtable, craving
Beberapa minggu  kembali ke pola tidur .level aktivitas dan mood normal.
sampai beberapa bulan Meningkatnya kesehatan secara umum dan penurunan
craving

4. BENZODIAZEPIN
Semua benzodiazepin bersifat sedatif, ansiolitik dan anti konvulsan.
a. Efek jangka pendek
o mengantuk, letargi, kelelahan
o gerakan yang tidak terkoordinasi, penurunan reaksi terhadap waktu dan ataksia
o penurunan fungsi kognisi dan memori (terutama amnesia anterograde)
o kebingungan
o kelemahan otot atau hipotoni
o depresi
o nistagmus, vertigo
o disarthria, bicara cadel/tidak jelas

27
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

o pandangan kabur, mulut kering


o sakit kepala
o euforia paradoksal, rasa girang, tidak dapat beristirahat, hipomania dan perilaku
inhibisi yang ekstrim (terutama pengguna dosis tinggi dapat merasa tidak dapat
dilukai, kebai terhadap serangan atau pukulan dan merasa dirinya tidak dapat
dilihat orang sekitarnya)
o efek potensiasi dengan napza depresah susunan syaraf pusat lainnya, misal
alkohol dan opioid yang dapat meningkatkan risiko penekanan pernapasan

b. Efek jangka panjang


Mirip dengan efek jangka pendek, ditambah dengan :
 toleransi terhadap efek sedatif/hipnotik dan psikomotor
 emosi yang "tumpul" (ketidakmampuan merasa bahagia atau duka sehubungan
dengan hambatan terhadap emosi)
 siklus menstruasi tidak teratur, pembesaran payudara
 ketergantungan (dapat terjadi setelah 3 sampai 6 bulan dalam dosis terapi)
d. Gejala Putus Benzodiazepin :
Umumnya mencakup:
 insomnia
 ansietas
 irritable
 tidak dapat beristirahat
 agitasi
 depresi
 tremor
 dizziness
Jarang terjadi, tapi perlu penanganan serius :
 kejang (kejang hampir menyerupai pengguna alkohol dosis tinggi)
 delirium
Gejala lain mencakup:
 kedutan otot dan nyeri
 anoreksia, mual
 kelelahan
 tinnitus
 hiperakusis, fotofobia, gangguan persepsi
 depersonalisasi, derealisasi
 pandangan kabur

28
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

5. ALKOHOL
a. Intoksikasi Alkohol Akut
Intoksikasi dapat dikenali dengan gejala-gejala :
 ataksia dan bicara cadel/tak jelas
 emosi labil dan disinhibisi
 napas berbau alkohol
 mood yang bervariasi
b. Komplikasi akut pada intoksikasi atau overdosis :
 paralisis pernapasan, biasanya bila muntahan masuk saluran pernapasan
 obstructive sleep apnoea
 aritmia jantung fatal ketika kadar alkohol darah lebih dari 0,4 mg/ml
c. Gejala klinis sehubungan dengan overdosis alkohol dapat meliputi:
 penurunan kesadaran, stupor atau koma
 perubahan status mental
 kulit dingin dan lembab, suhu tubuh rendah
d. Gejala putus alkohol:
Biasa terjadi 6-24 jam sesudah konsumsi alkohol yang terakhir: Gejala putus
alkohol ringan :
 Tremor
 Khawatir dan agitasi
 Berkeringat
 Mual dan muntah
 Sakit kepala
 Takikardia
 Hipertensi
 Gangguan tidur
 Suhu tubuh meningkat
Gejala putus alkohol berat:
 muntah
 agitasi berat
 disorientasi
 kebingungan
 paranoia
 hiperventilasi
 delirium tremens (DTs) adalah suatu kondisi gawat darurat pada putus alkohol
yang tidak ditangani .muncul 3-4 hari setelah berhenti minum alkohol. DTs
mencakup gejala agitasi, restlessness, tremor kasar, disorientasi,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, berkeringat dan demam tinggi,

29
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

halusinasi lihat dan paranoia.


6. KOKAIN
a. Efek yang diharapkan :
 euforia
 banyak bicara
 bertambahnya percaya diri
 energi
 berkurang keinginan untuk tidur
b. Efek akut pada dosis rendah :
 anastesi lokal
 dilatasi pupil
 vasokonstriksi
 peningkatan pernapasan
 peningkatan denyutjantung
 peningkatan tekanan darah
 peningkatan suhu tubuh
c. Efek akut pada dosis tinggi (reaksi toksik):
 stereotipik, perilaku repetitif
 ansietas/ agitasi berat/ panik
 agresif
 kedutan otot/tremor/hilang koordinasi
 peningkatan refleks
 gagal napas
 peningkatan tekanan darah yang bermakna
 nyeri dada/angina
 edema paru
 gagal ginjal akut
 konvulsi
 penglihatan kabur
 stroke akut
 kebingungan/delirium
 halusinasi, lebih sering halusinasi dengar
 dizziness
 kekakuan otot
 lemah, nadi cepat
 aritmia jantung
 iskemi miokardial dan infark
 berkeringat/suhu tubuh sangat tinggi (suhu rektal bisa mencapai 41°C)
 sakit kepala
 nyeri perut/mual/muntah

30
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

d. Efek pada penggunaan kronis :


 insomnia
 depresi
 agresif atau liar
 kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan
 kedutan otot
 ansietas
 psikosis - waham curiga, halusinasi
 hilang libido dan/atau impotensi
 peningkatan refleks
 peningkatan denyut nadi
e. Gejala putus kokain (terjadi setelah beberapa hari penggunaan kokain)
 mood disforia (anhedonia atau kesedihan mirip depresi) dan
 kelelahan
 insomnia atau hipersomnia
 agitasi psikomotor atau retardasi
 craving
 peningkatan nafsu makan
 mimpi buruk
 gejala putus alkohol mencapai puncaknya dalam 2-4 hari
 gejala disforia bisa berlangsung sampai 10 minggu

7. VOLATILE SUBSTANCE (SENYAWA YANG MUDAH MENGUAP)


a. Efek pada penggunaan akut
 mata merah dan berair
 bersin dan batuk
 nafas berbau napza kimia
 lem, solven, bekas cat tertinggal pada baju, jari tangan, hidung, atau mulut
 intoksikasi terlihat jelas/ perilaku menyimpang/ berani mengambil risiko
 kebingungan
 koordinasi yang lemah
 mengeluarkan keringat yang berlebihan
 ada tanda-tanda tidak biasa/rash,
 iritasi kulit di sekitar mulut dan hidung
 sekresi nasal yang berlebihan,
 secara langsung menghirup
b. Efek yang diharapkan :
 euforia
 rasa girang
 rasa melambung
 rasa tidak dapat dilukai/disakiti

31
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

 disinhibisi
c. Efek jangka pendek/efek negatif:
 mengantuk
 gejala mirip flu
 mual dan muntah
 sakit kepala
 diare, nyeri abdominal
 pernapasan tidak nyaman
 perdarahan hidung dan tenggorokan
 perilaku berisiko.
d. Efek pada dosis tinggi:
 berbicara tidak jelas
 koordinasi motorik lemah
 disorientasi, kebingungan
 tremor
 sakit kepala
 delusi
 gangguan penglihatan atau halusinasi
 perilaku yang tidak dapat diprediksi
- ataksia
- stupor
- final stages ( kejang, koma cardiopulmonary arrest, kematian ).
e. Gejala Overdosis
Dosis tinggi dapat menyebabkan pasien mengalami:
 konvulsi, koma
 Gangguan pernafasan
 Aritmia jantung
Gangguan atau kematian dapat terjadi karena:
 perilaku yang berisiko (tenggelam, jatuh, dll)
 sufokasi
 aspirasi muntahan
 terbakar, ledakan
 keracunan, kegagalan organ tubuh (pengguna kronis)
 Laryngeal Spasm (Butane) Respiratory Arrest
 keracunan logam (bensin/solar)
f. Gejala putus zat:
Permulaan dan lamanya: tidak diklasifikasikan dalam DSM IV tapi sifat dari gejala
putus yang memungkinkan dapat terjadi pada 24-48 jam sesudah penggunaan
berakhir Gejalanya:
 gangguan tidur
 tremor

32
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

 mudah tersinggung dan depresi


 mual
 diaforesis
 ilusi hilang dengan cepat

V. LAYANAN KOMPREHENSIF GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS


RUMAH SAKIT
1. Rekruitmen SDM
a. Sosialisasi program, sebelum dirancang program operasional terapi dan rehabilitasi
Gangguan penggunaan NAPZA seharusnya pihak manajemen melakukan sosialisasi
kepada seluruh karyawan rumah sakit dan pemangku kepentingan lain yang terkait
(donator, LSM atau pemda setempat). Dalam sosialisasi perlu dijelaskan tentang
beberapa hal terkait dengan operasional layanan untuk gangguan penggunaan
NAPZA tersebut yang meliputi :
 Keuntungan yang akan diperoleh ataupun kerugian (kalau ada) yang akan dialami
rumah sakit
 Jenis layanan atau program terapi dan rehabilitasi gangguan penggunaan NAPZA
yang akan dilaksanakan
 Staf dan karyawan yang akan terlibat dalam program
 Jejaring yang harus dibentuk dengan pemangku kepentingan
 Pendanaan dan penghasilan yang dapat diperoleh dari layanan gangguan
penggunaan NAPZA
b. Skrining motivasi untuk bekerja di unit gangguan penggunaan NAPZA dan HIV,
umumnya akan terjadi penolakan ketika akan dilakukan rekrutmen atau skrining
staf/karyawan yang akan mengelola program untuk gangguan penggunaan NAPZA.
Untuk itu pihak manajemen harus mampu meyakinkan kepada karyawan/staf tentang
reward yang dapat diperoleh bagi petugas/staf di bangsal gangguan penggunaan
NAPZA seperti:
 Pelatihan khusus masalah gangguan penggunaan NAPZA
 Pemberian insentif khusus sesuai dengan jam kerja
 Promosi kenaikan pangkat
 Promosi untuk pendidikan berkelanjutan, dan lain-lain sesuai kemampuan rumah
sakit
c. Jenis dan jumlah tenaga/profesi yang dibutuhkan, sangat tergantung dengan jenis
layanan yang akan dilaksanakan. Tidak semua jenis profesi harus tersedia dalam
sebuah pusat layanan, bilamana memerlukan suatu layanan profesi khusus dapat
dilakukan dengan cara sistern rujukan atau membuat kesepakatan kerja.
Dalam bidang teknis-medis tenaga minimal yang diperlukan :
 1 orang psikiater dan atau dokter umum yang terlatih di bidang gangguan
penggunaan NAPZA

33
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

 1 tim (8 orang) perawat/paramedik


 1-2 orang instruktur/guru sesuai jenis kegiatan
 1 tim (3 orang) konselor adiksi yang sudah terlatih
 1 orang pekerja sosial
 1 orang pembimbing agama
Dalam bidang administrasi kegiatan pelayanan dibutuhkan :
 1 orang tenaga pimpinan/program manajer
 1 orang petugas tata usaha
 1 orang petugas keuangan
 1 orang petugas kebersihan
 1 tim (4 orang) petugas keamanan
d. Pelatihan/ketrampilan yang perlu dimiliki, untuk awal pelaksanaan program perlu
dilakukan pelatihan pada semua tim teknis/medis baik peningkatan ketrampilan
melalui pelatihan maupun magang pada pusat layanan yang sudah mapan/mempunyai
kredibilitas.
Pelatihan untuk staf teknis/medis meliputi;
 Pengetahuan tentang gangguan penggunaan NAPZA dan praktek
pengobatan/perawatan
 Ketrampilan yang berkaitan untuk pengkajian/asesment, rencana pengobatan dan
konseling individu/kelompok/keluarga
 Isu-isu lain berkaitan dengan koordinasi, dokumentasi, kelompok kerja dan
profesional/tanggung jawab etika dalam pelayanan
 Pengembangan manajemen dan ketrampilan supervisi
Pelatihan untuk non klinikal/teknis staf meliputi:
 Komunikasi, manajemen waktu, ketrampilan berkaitan dengan pekerjaan seperti
komputer/ IT, kepuasan pelanggan dan lain-lain
 Menjaga keamanan di lingkungan fasilitas/kerja
e. Tugas pokok dan fungsi yang jelas, program yang diterapkan pada pusat terapi dan
rehabilitasi umumnya merupakan program yang terstruktur sehingga pembagian kerja
dari masing-masing individu harus sangat jelas agar program dapat berjalan dengan
baik.
 Promosi dalam pengembangan kompetensi (termasuk perencanaan pelatihan),
secara periodik sebaiknya dinilai kinerjanya disertai dengan rencana promosi bagi
staf/karyawan yang mempunyai dedikasi dan ketrampilan yang bisa diandalkan.
Supervisi teknis sangat diperlukan untuk kita ketahui demi kebutuhan
pengembangan ketrampilan apa yang dibutuhkan untuk menunjang layanan yang
optimal. Persiapan untuk rencana pelatihan diperoleh dengan melakukan :
 Training Need Assesment (TNA) setiap tahun
 Jadwal tahunan setiap tahun
 Alokasi dana untuk pelatihan
 Dokumentasi hasil pelatihan

34
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

 Membuat perpustakaan di dalam pusat layanan


2. Sarana Dan Prasarana
Persyaratan minimal disesuaikan dengan jenis layanan yang akan dibuka, pelayanan
dapat memanfaatkan sarana yang selama ini sudah tersedia bahkan meskipun sangat
sederhana/minimal. Fasilitas (sarana/prasarana) bisa digabung dengan pelayanan lain
pada rumah sakit, tentunya dengan mempertimbangkan keamanan dan kenyaman pasien
lainnya. Dibawah ini diterangkan apa saja yang dimaksud dengan sarana dan prasarana
dalam layanan terapi dan rehabilitasi Gangguan penggunaan NAPZA
Sarana:
 Bangunan atau gedung, misalnya; kantor, ruang pemeriksaan, ruang perawatan, ruang
konseling, ruang kelas, asrama, ruang ketrampilan, aula, dapur dan sebagainya.
Prasarana:
 Jalan, listrik, telepon, air minum, pagar, saluran air buangan/drainage, peralatan
kantor, peralatan layanan baik medis maupun non medis dan sebagainya (generator
untuk daerah sering mati listrik, sumur pompa untuk daerah yang air ledengnya sering
tidak mengalir).
Kebutuhan minimal dalam pelayanan Gangguan penggunaan NAPZA:
a. Rawat Jalan ; untuk poliklinik Gangguan penggunaan NAPZA dapat digabung
dengan poliklinik lain khususnya poliklinik psikiatri, apabila tidak
memungkinkan hari layanan untuk pasien dengan Gangguan penggunaan NAPZA
tidak diberikan setiap hari tetapi dalam seminggu 2 atau 3 kali layanan. Beberapa
sarana yang diperlukan adalah :
 Ruang periksa dokter
 Ruang konseling/pemeriksaan psikologi
 Ruang terapi kelompok untuk sekitar 8-12 orang
b. Rawat Inap :
 Detoksifikasi : Ruang perawatan (6-10 tempat tidur) yang aman dari benda-
benda yang membahayakan seperti; tiang/pipa besi yang dapat dipatahkan,
kisi-kisi yang bisa untuk menggantung diri, kaca, benda tajam
 Rehabilitasi : asrama, ruang kantor, ruang kelas, ruang ketrampilan, ruang
makan/rekreasi, aula, dapur, ruang olah raga, ruang untuk service area, dan
sebagainya sesuai dengan kebutuhan program
3. Model Layanan
a. Rawat Darurat; dapat dilayani kondisi gawat darurat gangguan penggunaan NAPZA
dengan mengacu pada standar minimal RSJ tipe A, B, Rumah Sakit Ketergantungan
Obat dan RSU tipe A,B maupun C
Penatalaksanaan umum kondisi emergensi gangguan penggunaan NAPZA:

35
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

 Tindakan terfokus pada masalah penyelamatan hidup (life threatening) melalui


prosedur ABC (Airway, Breathing, Circulation) dan menjaga tanda-tanda vital
 Bila memungkinkan hindari pemberian obat-obatan, karena dikhawatirkan akan
terjadi interaksi dengan NAPZA yang digunakan pasien. Apabila NAPZA yang
digunakan pasien sudah diketahui, obat dapat diberikan dengan dosis yang
adekuat
 Merupakan hal yang selalu penting untuk memperoleh riwayat penggunaan
NAPZA sebelumnya baik melalui auto maupun alloanamnesa (terutama dengan
keluarganya). Bila pasien tidak sadar perhatikan alat-alat atau barang yang ada
pada diri pasien (seperti adanya jarum suntik, obat-obatan dsb)
 Sikap dan tata cara petugas membawakan diri merupakan hal yang penting
khususnya bila berhadapan dengan pasien panik, kebingungan atau psikotik
 Terakhir, penting untuk menentukan atau meninjau kembali besarnya atau
beratnya masalah penggunaan NAPZA pasien berdasar kategori dibawah ini:
1. Pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA dalam jumlah banyak dan
tanda-tanda vital yang membahayakan berkaitan dengan kondisi intoksikasi.
Kemungkinan akan disertai dengan gejala-gejala halusinasi, waham dan
kebingungan akan tetapi kondisi ini akan kembali normal setelah gejala-gejala
intoksikasi mereda
2. Tanda-tanda vital pasien pada dasarnya stabil tetapi ada gejala-gejala putus
NAPZA yang diperlihatkan pasien maka bila ada gejala-gejala kebingungan
atau psikotik hal itu merupakan bagian dari gejala putus NAPZA.
3. Pasien dengan tanda-tanda vital yang stabil dan tidak memperlihatkan gejala
putus NAPZA yang jelas tetapi secara klinis menunjukkan adanya gejala
kebingungan seperti pada kohdisi delirium atau demensia. Dalam
perjalanannya mungkin timbul gejala halusinasi atau waham, tetapi gejala ini
akan menghilang bilamana kondisi klinis delirium atau dementia sudah
diterapi dengan adekuat
4. Bilamana tanda-tanda vital pasien stabil dan secara klinis tidak ada gejala-
gejala kebingungan atau putus NAPZA secara bermakna, tetapi menunjukkan
adanya halusinasi atau waham dan tidak memiliki insight maka pasien
menderita psikosis
5. Penatalaksanaan kondisi gawat darurat gangguan penggunaan NAPZA akan
diuraikan sebagai berikut:

5.1. Intoksikasi/Overdosis Opioida:


 Merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan penanganan secara
cepat
 Atasi vital sign (Tekanan Darah, Pernafasan, Denyut Nadi, Temperatur)

36
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

 Berikan antidotum Naloxon HCL (Narcan, Nokoba) dengan dosis 0,01


mg/kg.BB secara iv, im, sc
 Kemungkinan perlu perawatan ICU, khususnya bila terjadi penurunan
kesadaran
 Observasi selama 24 jam untuk menilai stabilitas tanda-tanda vital
5.2. Intoksikasi Amfetamin atau NAPZA yang menyerupai
 Simptomatik, tergantung kondisi klinis, untuk penggunaan oral :
merangsang muntah dengan activated charcoal atau kuras lambung
adalah penting
 Antipsikotik , Haloperidol 2-5 mg atau Chlorpromazine 1 mg/kg BB
setiap 4-6 jam bila timbul gejala psikotik
 Antihipertensi bila Tekanan Darah diatas 140/100 mHg
 Kontrol temperatur dengan selimut dingin atau antipiretika untuk
mencegah temperatur tubuh meningkat
 Aritmia cordis, lakukan Cardiac monitoring ; Propanolol 2-3x40 mg
(perhatikan kontraindikasinya)
 Bila ada gejala ansietas berikan ansiolitik golongan Benzodiazepin ;
Diazepam 3 x 5 mg atau Chlordia-zepoxide 3x25 mg
 Asamkan urin dengan Amonium Chlorida 2,75 mEq/kg atau
Ascorbic Acid 8 mg/hari sampai pH urin <5 akan mempercepat
ekskresi NAPZA
5.3. Intoksikasi Kanabis
 Umumnya tidak perlu farmakoterapi, dapat diberikan terapi suportif
dengan talking down
 Bila ada gejala ansietas berat:
 Lorazepam 1-2 mg oral, atau
 Alprazolam 0.5 - 1 mg oral, atau
 Chlordiazepoxide 10-50 mg oral
 Bila terdapat gejala psikotik menonjol dapat diberikan Haloperidol
1-2 mg oral atau i.m ulangi setiap 20-30 menit
5.4. Intoksikasi Alkohol
 Bila terdapat kondisi Hipoglikemia injeksi 50 mg Dextrose 50%
 Bila keadaan Koma :
 Posisi face down untuk cegah aspirasi
 Observasi ketat tanda vital setiap 15 menit
 Injeksi Tiamine 100 mg i.v untuk profilaksis terjadinya Wernicke
Encephalopathy.ialu 50 ml Dekstrose 50% iv (urutan jangan
sampai terbalik)
 Problem Perilaku (gaduh/gelisah):
 Petugas keamanan dan perawat siap bila pasien agresif
 Terapis harus toleran dan tidak membuat pasien takut atau

37
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

merasa terancam
 Buat suasana tenang dan bila perlu tawarkan makan
 Beri dosis rendah sadatif: Lorazepam 1-2 mg atau Haloperidol 5
mg oral, bila gaduh gelisah berikan sacara parenteral (I.m)

Kadar Alkohol Dalam Darah dan Hubungannya Dengan


Gejala Pada Sistem Saraf Pusat
KONSENTRASI (g/dl) PEMINUM PEMINUM KRONIK
SPORADIK
0,050-0,075 (taraf pesta) Euforia, Suka -Tak tampak gejala
berkumpul -Sering masih terlihat
gregarious), suka segar
mengomel
(garroulous)

0,100 (intoksikasi secara Tidak terkoordinasi Gejala minimal


hukum*)
0,125-0,150 . Perilaku tak Menyenangkan, mulai
terkontrol euforia, kurang
koordinasi

0,200-0,250 Hilang Membutuhkan


kewaspadaan, usaha untuk mem-
lethargy pertahankan
emosi/kontrol motorik

0,300-0,350 Stupor sampai koma Mengantuk, lamban


Lebih dari 0,500 Fatal, mungkin mem- Koma
butuhkan
hemodialisis
*) Di beberapa Negara (atau negara bagian di AS seperti California)
secara hukum kadar 0.080 sudah ditetapkan sebagai intoksikasi.
5.5. Intosikasi Sedatif-Hipnotik (Benzodiazepin)
 Diperlukan terapi kombinasi yang bertujuan :
a) Mengurangi efek obat dalam tubuh

38
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

b) Mengurangi absorbsi obat lebih lanjut


c) Mencegah komplikasi jangka panjang
 Langkah I: Mengurangi efek Sedatif-Hipnotik :
 Untuk tingkat serum sedatif-hipnotik yang tingginya
ekstrim dan gejala-gejala sangat berat, pikirkan untuk
haimoperfusion dengan Charcoal resin/Norit. Cara ini
juga berguna bila ada intoksikasi berat barbiturat yang
lebih short acting.
 Tindakan suportif termasuk:
a) pertahankan jalan nafas, pernafasan buatan bila
diperlukan
b) perbaiki gangguan asam basa
 Alkalinisasi urin sampai pH 8 untuk memperbaiki
pengeluaran obat dan untuk diuresis berikan
Furosemide 20-40 mg atau Manitol 12,5-25mg.
 Langkah II: Mengurangi absorbsi lebih lanjut:
 Rangsang muntah, bila baru terjadi pemakaian. Kalau
tidak, pikirkan Activated Charcoal, Selama perawatan
pasien harus diperhatikan supaya tidak terjadi aspirasi.
 Langkah III: Mencegah komplikasi:
 Perhatikan tanda-tanda vital dan depresi pernafasan,
aspirasi dan edema paru.
 Bila sudah terjadi aspirasi, berikan antibiotik
 Bila pasien berusaha bunuh diri, maka dia harus
ditempatkan di tempat khusus dengan pengawasan
perawat.
5.6. Intoksikasi Halusinogen
 Intervensi Non Farmakologik : .
o Lingkungan yang tenang, aman dan mendukung
o Reassurance : bahwa obat tersebut menimbulkan gejala-gejala
itu; dan ini akan hilang dengan berjalannya waktu (talking
down)
 Intervensi Farmakologik:
o Bila terjadi bad trip (rasa tidak nyaman) atau serangan panik;
berikan anti ansietas : Diazepam 10-30 mg oral
5.7. Intoksikasi Inhalansia
 Pertahankan agar pernafasan berlangsung dengan baik agar tidak
kekurangan oksigen
 Tidak ada antidotum yang spesifik

39
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

 Simptomatik
 Pasien dengan gangguan neurologik yang nyata, misalnya neuropati
atau persistent ataxia, harus dievaluasi sebagaimana mestinya dan
follow up yang ketat.
b. Rawat Jalan :
 Model Tradisional : model layanan ini sama seperti layanan penyakit lain, dokter
hanya melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan kemudian pengobatan
farmakoterapi sesuai dengan diagnosis kerja. Tenaga yang dibutuhkan hanya satu
orang dokter dan satu orang perawat yang telah terlatih masalah gangguan
penggunaan Napza
 Model Komprehensif/Holistik : model ini menyatukan layanan dari berbagai
profesi sesuai dengan kebutuhan pasien. Profesi yang terlibat antara lain;
psikiater, dokter umum terlatih, psikolog klinis, pekerja sosial, perawat terlatih,
konselor. Bilamana pasien mengalami suatu komplikasi medis dapat dirujuk
kepada spesialis lain sesuai dengan hasil pemeriksaan medis. Dalam layanan ini
jenis intervensi yang dapat diberikan adalah :
- Farmakoterapi
- Konseling
- Psikoterapi individual dengan pendekatan khusus seperti Terapi Kognitif dan
Perilaku
- Terapi kelompok
- Terapi Keluarga
- Evaluasi Psikologis
- Evaluasi Sosial
Dalam intervensi psikososial minimal dapat diberikan konseling umum, untuk pasien
yang mempunyai risiko tinggi terpapar HIV dapat diberkan layanan VCT (Voluntary
Counseling and Testing) dan edukasi tentang berbagai penyakit terkait dengan
penggunaan NAPZA khusunya NAPZA dengan cara suntik. Bilamana sudah
memiliki dokter yang terlatih dalam CST (Care, Support and Treatment),maka
poliklinik dapat memberikan layanan pengobatan untuk Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA).
c. Layanan rumatan, merupakan suatu layanan jangka panjang untuk pasien dengan
ketergantungan opioida/heroin. Layanan ini harus memenuhi kriteria sesuai dengan
pedoman yang telah dibuat secara nasional. Beberapa jenis terapi rumatan bagi
ketergantungan opioida yang ada adalah:
1. Metadon
- Merupakan opioida sintetik yang bekerja long acting (24-36 jam) Digunakan
di Amerika Serikat sejak tahun 60 an
- Bilamana digunakan untuk terapi rumatan (maintenance) tidak menimbulkan
eforia, sedasi atau efek analgesik

40
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

- Dosis adekuat sangat individual


- Zat aktif: Metadon Hidrokhlorida
- Zat inaktif: Magnesium stearat dan selulosa
- Bentuk sediaan : tablet: disebut juga Diskettes.
- Setiap tablet mengandung 40 mg. Metadon HCI Liquid, dispensing dengan
pompa otomatis sehingga dosis kecil dapat terukur dengan baik. Setiap 1 ml
mengandung 10 mg metadon HCI
- Penggunaan iv setara dengan morfln
- Mempunyai cara kerja yang serupa dengan morfin, bekerja pada mu reseptor
(depresi pernafasan, ketergantungan flsik dan eforia)
- Oral bioavisbility 80 - 90%, artinya bila digunakan melalui oral akan diserap
tubuh sebesar 80-90%
- Oiabsorbsi secara perlahan setalah 30 menit pemberian dan mencapai efek
puncak 2-4 jam
- Dengan pemberian dosis yang berulang waktu paruh rata-rata 22 jam
2. Buprenorfin
- Buprenorfin merupakan derivat tebain (dalam hukum diklasifikasikan sebagai
narkotika)
- Memiliki sifat partial agonist
- Potensi kuat dengan cara kerja 24 jam pada dosis lazim dan 12 jam pada dosis
minimal
- Pemberian secara sublingual dengan rasa yang sedikit pahit
- Memberikan efek agonis yang cukup dirasakan oleh pasien
- Tersedia dalam bentuk tablet dengan dosis 2 mg dan 8 mg
- Masa kerja lama bila digunakan untuk pengobatan ketergantungan opioida
berbeda dengan efek analgesiknya yang singkat
- Afinitas yang tinggi terhadap mu-reseptor opioida
- Bersaing dengan opioida lain dan memblok efek opioida lain
- Disosiasi yang lambat dari mu-reseptor opioida
- Efek terapeutik yang lebih lama pada pengobatan ketergantungan opioida
(berbeda dengan efek analgetik yang relatif singkat)
3. Levo Alfa Asetil Metadol (LAAM)
- Merupakan opioida sintetis agonis yang sama efeknya dengan metadon
- Perubahan rantai kimia menyebabkan efek kerja LAAM lebih lama dari

41
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

metadon
- Waktu kerja mencapai 72 jam (3 hari) sehingga pemberian hanya dilakukan 3
hari sekali
- Mengingat efek toksik yang cukup tinggi LAAM saat ini jarang digunakan
4. Suboxone
- Merupakan kombinasi antara Buprenorfin sembilan bagian dengan Nalokson
satu bagian (antagonis opioida)
- Cara kerja, farmakodinamik, cara penggunaan, dosis dan cara penggunaan
sama dengan Buprenorfin
- Obat ini sulit untuk disalahgunakan (disuntikan) karena adanya antagonis
opioida akan melepas ikatan opioida pada mu-reseptor sehingga. akan timbul
gejala putus opioida
d. Rawat Inap, tidak semua pasien memerlukan rawat inap. Rawat inap diperuntukkan
bagi pasien yang kondisi fisik maupun psikologisnya sulit untuk diatasi dengan rawat
jalan seperti : kondisi putus NAPZA berat, putus NAPZA yang memerlukan tapering
off pengobatan (Alkohol, Benzodiazepin) atau adanya penyulit baik secara fisik
maupun mental.
Detoksifikasi, Rehabilitasi, Rawat Komplikasi Fisik dan Psikiatrik;
1. Detoksifikasi
 Merupakan suatu langkah awal dalam proses pemulihan
 Bertujuan mengatasi kondisi putus NAPZA
 Tidak semua pasien memerlukan perawatan detoksifikasi dengan rawat inap,
hanya pada kondisi putus NAPZA berat untuk heroin, benzodiazepin dan
alkohol atau adanya komplikasi fisik maupun psikologis
 Untuk ruangan kondisinya sebaiknya terpisah dengan bangsal penyakit lain
karena kemungkinan akan mengganggu pasien lainnya
 Detoksifikasi biasanya dilakukan dengan standar minimal dengan
simptomatis, apabila memungkinkan dikembangkan untuk detokisifikasi
dengan zat substitusi atau UROD (Ultra Rapid Opioid Detoxification)
 Beberapa jenis detoksifikasi yang dapat diberikan untuk beberapa jenis
NAPZA akan dijelaskan dibawah ini.
1.1. Putus Opioida
 Putus seketika (Abrupt Withdrawal )
 Simptomatik, sesuai gejala klinis beri analgetika (Tramadol, Asam
Mefenamat, Parasetamol), Spasmolitika (Papaverin), Dekongestan,
Sedatif-Hipnotik, Antidiare
 Subtitusi dengan golongan Opioida : Kodein, Metadon, Buprenorfin
yang diberikan secara tapering off. Untuk Metadon dan Buprenorfin
terapi dapat dilanjutkan untuk jangka panjang (Rumatan)

42
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

 Subtitusi non opioida ; Klonidin dengan dosis 17mcg/Kg.BB dibagi


dalam 3-4 dosis diberikan selama 10 hari dengan tapering off 10%/hari,
perlu pengawasan tekanan darah. bila sistole kurang dari lOOmmHg
atau diastole kurang 70 mmHg HARUS DIHENTIKAN
 Pemberian Sedatif-Hipnotika, Neuroleptika (yang memberi efek sedatif,
mis ; klozapine 25 mg) dapat dikombinasikan dengan obat-obat lain
 Ultra Rapid Opioid Detoxification (UROD):
- Merupakan detoksifikasi cepat dangan menggunakan anaestesi atau
dalam kaadaan tidak sadar saat melepaskan ikatan opioida dari mu-
reseptor dengan menggunakan antagonis opioida yaitu Nalokson
injeksi
- Harus dilakukan dalam ruang Intensif Care Unit (ICU) karena harus
dalam pengawasan dokter dengan monitor terpasang di tubuh selama
pasien tidak sadar
- Setelah seletsi pasien harus menaruskan pengobatan oral dengan
Naltrekson 50 mg/hari selama 6 bulan sampai 2 tahun sesuai dengan
kondisi klinis pasien
1.2. Putus Amfetamin atau Napza yang serupa
- Observasi 24 jam untuk menilai kondisi fisik dan psikiatrik
- Rawat inap diperlukan apabila gejala psikotik berat. gejala depresi berat
atau Kecenderungan bunuh diri, dan kompllkasi flsik lain
- Terapi : Antipsikotik (Haloperidol 3 x 1,5-Smg, Risperidon 2 x 1,5-3
mg), Antiansietas (Alprazolam 2 X 0,25-0,5 mg, Diazepam 3 x 5-10 mg,
Clobazam 2 x 10 mg) atau Antidepresi golongan SSRI atau
Trisiklik/Tetrasiklik sesuai kondisi klinis
1.3. Putus Alkohol
- Pemberian cairan atas dasar hasil pemeriksaan elektrolit dan keadaan
umum pasien
- Atasi kondisi gelisah dan agitasinya dengan golongan Benzodiazepin
atau Barbiturat
- Pemberian injeksi vitamin B kompleks dosis besar (mis : Vitamin
neurotropik) kemudian dilanjutkan dengan pemberian oral vitamin B1,
multivitamin dan Asam Folat 1 mg
- Bila ada riwayat kejang, putus alkohol atasi dengan Benzodiazepin
(Diazepam 10 mg iv perlahan). Dapat juga diberikan Tiamine 100 mg
ditambah 4 mg Magnesium Sulfat dalam 1 liter dari 5% Dekstrosa /
normal saline selama 1 -2 jam
- Bila terjadi Delirium Tremens HARUS ADA ORANG YANG
SELALU MENGAWASI.
1.4. Putus Sedatif-Hipnotik
 Abrupt withdrawal ( pelepasan mendadak ) dapat berakibat fatal karena

43
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

itu tidak dianjurkan.


 Gradual withdrawal (pelepasan bertahap) dianggap lebih rasional,
dimulai dengan memastikan dosis toleransi, disusul dengan pemberian
suatu sedatif: Benzodiazepin atau Barbiturat ( Pentotal, Luminal) dalam
jumlah cukup banyak sampai terjadi gejala-gejala intoksikasi ringan,
atau sampai kondisi pasien tenang. Lalu diteruskan selama beberapa hari
sampai keadaan pasien stabil, kemudian baru dimulai dengan penurunan
dengan kecepatan maksimal 10 % per 24 jam sampai dosis sedatif nol.
Bila penurunan dosis menyebabkan pasien gelisah / insomnia/ agitatif
atau kejang, ditunda sampai keadaan pasien stabil, setelah itu penurunan
dosis dilanjutkan.
 Untuk keadaan putus Barbiturat, dapat diberikan obat yang biasa
digunakan oleh pasien. Penurunan dosis total 10 % per hari, maksimal
100 mg/hari,
 Teknik substitusi Fenobarbital (Luminal):
- Digunakan Luminal sebagai pengganti, atau barbiturat masa kerja
lama yang lain. Sifat long acting akan mengurangi fluktuasi pada
serum yang terlalu besar, memungkinkan digunakannya dosis kecil
yang lebih aman. Waktu paruhnya antara 12-24 jam , dosis tunggal
sudah cukup. Dosis letal 5 kali lebih besar daripada dosis toksis dan
tanda-tanda toksisitasnya lebih mudah diamati (sustained nystagmus,
slurred speech/cadel dan ataxia). Intoksikasi Luminal biasanya tidak
menimbulkan disinhibisi, karenanya jarang menimbulkan problema
tingkah laku yang umum dijumpai pada Barbiturat short acting.
Kadang-kadang pasien tidak bersedia dberikan Luminal. Dosis
Luminal tidak boleh melebihi 500 mg sehari berapa besarnya
sekalipun dosis Barbiturat yang diakui pasien dalam anamnesis.
Rumus yang dipakai:

Satu dosis sedatif = satu dosis hipnotik


(short acting Barbiturat yang dipakai)

Kalau timbul toksitas, 1-2 dosis Luminal berikut dihapus, lalu dosis
harian dihitung kembali

Daftar Dosis Ekivalen = (untuk detoksifikasi


Sedatif Hipnotik lain)

- 30 mg Luminal kira-kira setara dengan :


- 100 mg Pentonal

44
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

- 500 mg Khloralhidrat
- 400-600 mg Meprobamat
- 250-300 mg Metakualon
- 100 mg Chlordiazepoxide
- 50 mg khlorazepat
- 50 mg Diazepam
- 60 mg Flurazepam
 Penatalaksanaan dengan tapering off Benzodiazepin
- Berikan salah satu Benzodiazepin (Diazepam,Klobazam.
Lorazepam) dalam jumlah cukup.
- Lakukan penurunan dosis (kira-kira 5 mg) setiap 2 hari
- Berikan hipnotika malam saja (misalnya ; Clozapine 25 mg,
Estazolam 1-2 mg )
- Berikan vitamin B complex.
- Injeksi Diazepam intramuskuler/intravena 1 ampul (10 mg) bila
pasien kejang/agitasi, dapat diulangi beberapa kali dengan selang
waktu 30-60 menit.
e. Rehabilitasi, Program dapat dimulai rehabilitasi jamgka pendek dan bila
sarana/prasarana dan SDM sudah memenuhi kriteria dapat dikembangkan menjadi
program rehabilitasi jangka panjang
1. Short Term ( Jangka Pendek)
 Lama perawatan berlangsung antara 1 sampai 3 bulan tergantung dari kondisi
dan kebutuhan pasien
 Pendekatan yang dapat dilakukan kearah medik dan psikososial
 Masalah medik masih menjadi fokus utama, asesmen dilakukan secara
lengkap termasuk pemeriksaan penunjang medik
 Indikasi diberikan kepada pasien yang memiliki kegiatan rutin (bekerja,
sekolah, dsb)
 Asesmen yang perlu dilakukan pada model terapi ini antara lain :
- evaluasi masalah penggunaan NAPZA (Jenis, jumlah, lama pemakaian,
dampak yang ditimbulkan, keinginan untuk berhenti)
- evaluasi medis: riwayat penyakit, kondisi fisik saat ini dan penyakit-
penyakit lain yang terkait dengan penggunaan NAPZA
- evaluasi psikologis melalui wawancara dan tes psikologi
- evaluasi sosial : riwayat keluarga, pendidikan, pekerjaan dan hubungan
sosial
- evaluasi tentang kegiatan agama, penggunaan waktu senggang dan
kehidupan pribadi lainnya
 Untuk melakukan asesmen memerlukan suatu hubungan terapeutik yang

45
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

terbina antara pasien dengan terapis dan hasil asesmen tersebut menjadi acuan
untuk terapi selanjutnya
 Pengobatan dapat dilanjutkan dengan rawat jalan atau bila masalah yang
dihadapi pasien khususnya perilaku belum memungkinkan dapat dilanjutkan
dengan rehabilitasi jangka panjang
2. Rehabilitasi Jangka Panjang, dalam hal ini yang akan dibahas adalah modalitas
terapi Therapeutic Community (TC) yang menggunakan pendekatan perubahan
perilaku.
 Direkomendasikan bagi pasien yang sudah mengalami masalah penggunaan
NAPZA dalam waktu lama dan berulang kali kambuh atau sulit untuk berada
dalam kondisi abstinen atau bebas darl NAPZA
 TC dapat digambarkan sebagai model yang cocok atau sesuai dengan pasien
yang membutuhkan llngkungan yang mendukung dan dukungan lain yang
bermakna dalam mempertahankan kondisi bebas NAPZA atau abstinen.
Gambaran dari TC adalah sebagai berikut:
a. Program dangan struktur yang tinggi/ketat
b. Umumnya pasien berada dalam program untuk 6-12 bulan
c. Program pengobatan
d. Program pendidikan
e. Latihan ketrampilan sosial dan penerapannya (seringkali pasien
mengalami gangguan fungsi kehidupan yang serius)
f. Diarahkan pada pasien yang mempunyai riwayat perilaku kriminal
g. Mengembangkan sistem dukungan yang sesuai kebutuhan pasien
h. Menstabilkan fungsi kehidupan pasien
i. Rehabilitasi vokasional
 Program ini mempunyai suatu aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang
diistilahkan dengan cardinal rules dan five pilars yang sangat mengikat setiap
residen untuk menjalankan dan siap menerima sanksi bila melanggar aturan
tersebut ( pasien peserta TC lazim disebut residen )
 Tahapan program TC yang harus dijalani oleh setiap residen adalah sebagai
berikut:
a. Proses Intake dan Orientasi (2-4 minggu);
- Wawancara awal
- Informed consent
- Pemeriksaan fisik
- Pengisian formulir
- Orientasi program (walking paper}
- Pengenalan program dan fasilitas layanan
b. Primary Stage (6 sampai 9 bulan):

46
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Untuk Younger Member (anggota termuda 1-3 bulan)


- Aktif mengikuti program
- Penerapan sanksi (reward and punishment)
- Dikunjungi keluarga
- Kegiatan Family Support Group
- Kegiatan Kelompok
Untuk Middle Member (anggota menengah 4-6 bulan)
- Mulai bertanggung jawab terhadap sebagian operational
fasilitas/rumah
- Menjadi buddy bagi younger member
- Sudah dapat keluar fasilitas TC dengan pendamping
- Kegiatan dalam kelompok
- Dilakukan Family Support Group (FSG)
Untuk Older member (anggota lama 6-8 bulan) •
- Sudah bertanggung jawab penuh terhadap rumah/fasilitas.
- Pelaksanaan reward dan punishment secara penuh
- Boleh meninggalkan fasilitas/rumah
- Dilakukan kegiatan FSQ
- Mengikuti kegiatan kelompok
- Dinyatakan graduate/lulus
c. Tahapan Re-Entry (3 sampai 6 bulan):
o Fase Orientasi (2 minggu);
 Pengenalan program re-entry
 Didampingi buddy
 Tidak boleh dikunjungi keluarga
 Tidak boleh meninggalkan fasilitas TC
 Sanksi berupa tugas-tugas mengurus fasilitas
 Mengikuti kegiatan kelompok
o Fase A (1,5 - 2 bulan);
 Mengikuti kegiatan kelompok
 Dapat dikunjungi keluarga setiap waktu
 Diberi ijin menginap 1 malam setiap 2 minggu sekali
 Boleh menerima uang jajan setiap minggu secara teratur
 Boleh melakukan aktifitas di luar fasilitas TC
o Fase B (2 bulan);
 Mengikuti kegiatan kelompok
 Dapat dikunjungi setiap waktu
 Diberi ijin pulang menginap 2 malam setiap 2 minggu
 Boleh meminta tambahan uang jajan
 Boleh melakukan aktifitas di luar fasilitas TC

47
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

o Fase C (2 bulan);
 Mengikuti kegiatan kelompok
 Dapat dikunjungi setiap waktu
 Diberi ijin pulang
 Boleh meminta tambahan uang jajan
 Boleh melakukan kegiatan di luar fasilitas TC
 Konseling final bagi residen maupun keluarga untuk persiapan
pulang
d. Aftercare Program
 Program yang ditujukan bagi mantan residen/alumni TC, Program ini
dilaksanakan di luar fasilitas TC dan dlikuti oleh semua angkatan
dibawah supervisi staf re-entry. Tempat pelaksanaan disepakati
bersama
 Program ini bertujuin agar alumni TC mempunyai tempat/kelompok
yang sehat dan mengerti tentang dirinya serta mempunyai lingkungan
hidup yang positif
 Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah :
- Sharing dalam kelompok tanpa ditanggapi
- Meminta anggota untuk menanggapi suatu topik
- Waktu dan tempat pelaksanaan disepakati bersama
e. Intervensi Psikososial, suatu pendekatan yang mengutamakan pada
masalah psikologis dan sosial yang disandang oleh pasien dengan tujuan
untuk meningkatkan kemampuan pasien menghadapi setiap masalah
(Coping Mechanism).
 Intervensi psikososial merupakan komponen kunci untuk terapi
gangguan penggunaan NAPZA yang komprehensif baik secara
individu maupun kelompok
 Intervensi ini dapat diberikan pada setiap tahapan terapi baik dalam
keadaan intoksikasi sampai pada saat fase rehabilitasi yang
disesuaikan dengan kondisi pasien khususnya pasien dengan kesadaran
penuh
 Untuk melaksanakan intervensi ini diperlukan pelatihan ketrampilan
yang khusus dan memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan jenis
intervensi
 Pendekatan psikososial saja bukan yang superior, program terapi harus
didesain sesuai kebutuhan pasien dengan mempertimbangkan faktor
budaya, umur, gender serta komorbiditas
 Beberapa model intervensi psikososial yang dapat dilakukan dalam
layanan pengobatan Gangguan penggunaan NAPZA antara lain :

48
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

1. Brief Intervention (Bl)


Brief Intervention dipertimbangkan untuk berbagai kondisi yang
melibatkan waktu tenaga profesional yang terbatas untuk mencoba
merubah penggunaan NAPZA.Berbagai intervensi membutuhkan
waktu antara 5 menit sampai 2 jam.
Bl khususnya dapat dipargunakan untuk pelayanan dasar di
puskesmas dan dapat juga digunakan di ruang emergensi, bangsal
rumah sakit, dan berbagai kondisi layanan kesehatan lain.
Intervensi direkomendasikan untuk beberapa kondisi seseorang
seperti dibawah ini:
 Penggunaan alkohol yang membahayakan tetapi belum
ketergantungan
 Ketergantungan alkohol ringan sampai sedang
 Ketergantungan nikotin/perokok
 Ketergantungan kanabis ringan sampai sedang
Bl tidak direkomendasikan untuk kondisi dibawah ini ;
 Pasien yang kompleks dengan isu-isu masalah psikologis/
psikiatrik
 Pasien dengan ketergantungan berat
 Pasien dengan kemampuan membaca yang rendah
 Pasien dengan kesulitan terkait dengan gangguan fungsi
kognitif
Pada kondisi ini direkomendasikan untuk melakukan wawancara
mendalam.
Bl dapat menggunakan barbagai bentuk format tetapi seringkali
termasuk:
1. asesmen singkat
2. materi self- help ( materi yang membantu pemahaman NAPZA
contoh leaflet tentang penanganan overdosis.cara menyuntik
3. informasi tingkat penggunaan yang aman
4. anjuran untuk mengurangi konsumsi
5. pengurangan dampak buruk
6. pencegahan kekambuhan
7. asesmen untuk kesiapan berubah termasuk wawancara
memotivasi
8. Konseling singkat termasuk pemecahan masalah dan tujuan
9. follow -up.
Enam elemen terapi dalam intervensi singkat yang sering
digunakan dan berhasil adalah:
F : Feedback  memberikan umpan balik hasil asesmen klinis

49
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

R : Responsibility  meyakinkan bahwa perilaku penggunaan


NAPZA dan masalah yang ditimbulkannya menjadi tanggung
jawab individu .
A : Advice  memberikan kejelasan, anjuran praktis dan materi
self help
M : Menu  memberikan beberapa opsi dan intervensi dalam
perubahan perilaku
E : Empathy  memperlihatkan sikap tidak menghakimi dan
menghayati pasien
S : Self-Efficacy  menekankan kepercayaan terhadap
kemampuan individu untuk berubah
2. Konseling Dasar
"....konseling sendiri biasanya tidak cukup untuk merubah perilaku
penggunaan NAPZA pada kebanyakan pasien...,"
 Konseling adalah suatu proses pertolongan dimana seseorang,
dengan tulusdan tujuan jelas, memberikan waktu, perhatian
dan keahliannya membantu pasien untuk mempelajari situasi
mereka, mengenali dan melakukan pemecahan masalah
terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan mereka.
 Tujuan dan fungsi konseling ;
 Membantu pasien untuk mempelajari dan memperoleh solusi
jangka panjang yang memuaskan bagi masalah-masalah yang
dialaminya.
 Fungsi Utama Konseling ;
1. Menyampaikan informasi penting
2. Membantu pasien mengklarifikasi dan menempatkan
masalah
3. Membantu pasien memilih dan mengambil pendekatan
realistik
4. Memberikan dukungan psikomotor melalui ketrampilan
komunikasi
 Konselor membuat suatu kondisi dimana pasien dapat menjadi
teman baik melalui pikiran dan perasaan mereka
 Konselor tidak memberikan nasehat, tetapi membantu orang
untuk:
o Mampu mengerti perasaan mereka
o Menemukan dan memilih alternatif yang nampaknya paling
baik bagi mereka
 Karakteristik konseling adalah :

50
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

- Merupakan suatu proses interaktif


- Merupakan hubungan yang interaktif
- Berdasarkan pada kolaborasi
- Melibatkan berbagai ketrampilan konselor
- Menekankan pada kebebasan personal Menekan-kan
pilihan
- Menggunakan penguatan positif Menggunakan dukungan
emosional
- Pencatatan secara formal
 Dalam proses konseling agar terbangun suatu hubungan
terapeutik seorang konselor harus mampu
 Melakukan percakapan yang efektif:
- Mendengarkan dengan aktif
- Mencoba mengerti perasaan pasien
- Menanyakan pertanyaan yang baik
- Menghargai pasien maupun perasaan pasien, dan tidak
memaksanya berubah
- Tidak menyalahkan atau menghakimi
- Mehyediakan informasi yang tepat
- Menyatakan bahwa pasien tidak sendiri menghadapi
masalah  untuk mencegah pasien merasa gagal atau
ditolak
 Memahami prinsip-prinsip umum dalam konseling
3. Wawancara Motivasional (Motivational Interviewing -Ml)
Motivasi adalah suatu keadaan kesiapan atau keinginan untuk
berubah, selalu berfluktuasi dari waktu ke waktu atau dari situasi
kesituasi lain. Dasar pemikiran atau alasan melakukan wawancara
motivasional ini adalah bahwa untuk mencapai perubahan adalah
lebih mudah bila motivasi untuk berubah tersebut datang dari
dalam dirinya sendiri, dari pada dipaksakan oleh konselor atau
terapis.
Wawancara motivasionil adalah sebuah wawancara yang
interaksinya berpusat pada pasien dan bertujuan untuk membantu
seseorang menggali dan mengatasi ambivalensi tentang
penggunaan NAPZA melalui tahap perubahan. Ini sangat berguna
bila dilakukan pada pasien yang berada pada tahap prekontemplasi
dan kontemplasi, tapi prinsip dan keterampilan wawancara sangat
penting pada semua tahap.

51
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Wawancara motivasional didasari pada pengertian bahwa:


 Pengobatan yang efektif dapat membantu proses perubahan
 Motivasi untuk berubah terjadi dalam konteks hubungan antara
pasien dan terapis
 Gaya dan semangat dari intervensi sangat menentukan
keberhasilan terapis, khususnya empati yang dihubungkan
dengan perbaikan hasil pengobatan.
Pendekatan intervensi singkat ini didasarkan pada prinsip
wawancara motivasional yang dikembangkan oleh Miller dan
kemudian di perluas oleh Miller dan Rollnick.
Prinsip wawancara motivasional
Mengekpresikan Empati
Dalam situasi klinis keterlibatan empati memberikan gambaran bahwa
konselor atau petugas kesehatan menerima pasien apa adanya, tidak
menghakimi dan dapat memahami pasien serta menghindari
memberikan label, misalnya menyebut pasien sebagai "alkoholik" atau
"pecandu". Hal ini sangat penting untuk menghindari adanya
konfrontasi dan menyalahkan atau mengkritik pasien. Keterampilan
mendengarkan dan merefleksikan merupakan bagian penting dari
ekpresi empati. Empati yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
merupakan faktor penting untuk mengetahui bagaimana respon pasien
terhadap intervensi yang diberikan.
Ketidakcocokan (perbedaan).
Orang lebih mungkin dimotivasi untuk mengubah perilaku
penggunaan NAPZA bila mereka melihat ada perbedaan. antara
penggunaan NAPZA dan masalah yang berhubungan dengan perilaku
mereka saat ini serta arah yang mereka inginkan dalam kehidupan
mereka.
Semakin besar perbedaan antara tujuan, nilai dan perilaku mereka saat
ini, kemungkinkan besar pasien dapat berubah. Wawancara
motivasional bertujuan untuk menciptakan dan menjelaskan perbedaan
antara perilaku saat ini dan tujuan yang lebih basar dan menilai cara
pandang pasien terhadap hal tersebut. Hal ini penting bagi pasien
untuk mengidentifikasi tujuan/dan nilai serta untuk mengekspresikan
alasan-alasan mereka untuk berubah.
Menghindari argumentasi
Prinsip utama dari wawancara motivasional adalah dapat menerima
bahwa adanya ambivalensi dan resistensi untuk berubah adalah suatu

52
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

hal yang normal dan untuk mengajak pasien mempertimbangkan


antara informasi yang didapat dan pandangan terhadap penggunaan
NAPZA mereka. Pada saat pasien memperlihatkan resistensinya,
tenaga kesehatan harus dapat menggambarkan kembali atau
merefleksikannya. Ini biasanya penting untuk menghindari
argumentasi dan perdebatan.
Dukungan keyakinan diri (kepercayaan)
Seperti yang telah didiskusikan diatas pasien yakin bahwa mengurangi
atau menghentikan perilaku penggunaan NAPZA adalah penting dan
mereka mampu melakukannya. Melakukan negosiasi dan membangun
kepercayaan untuk membujuk pasien bahwa sesuatu yang dapat
mereka lakukan adalah bagian penting dari wawancara motivasional.
Kepercayaan terapis pada kemampuan pasien untuk mengubah
perilaku mereka juga penting dan dapat menjadi sugesti diri sendiri.

Keterampilan-keterampilan khusus
Wawancara motivasional dilaksanakan dengan menggunakan lima
keterampilan khusus. Keterampilan ini bertujuan untuk mendorong
pasien mau berbicara, menggali ambivalensi mereka terhadap
penggunaan NAPZA dan menjelaskan alasan mereka untuk
mengurangi atau berhenti menggunakan NAPZA. Empat keterampilan
pertama tersebut sering dikenal dengan singkatan OARS:-Open ended
questions (Pertanyaan terbuka), Affirmation (Penegasan), Reflective
listening (mendengarkan dengan cara merefleksikan), Summarising
(menyimpulkan).
Keterampilan kelima adalah "berbicara mengenai perubahan" OARS
dapat membantu pasien menyampaikan argumentasi untuk mengubah
perilaku pengguna NAPZA mereka.
OARS
Pertanvaan terbuka (Open Ended Questions)
Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban
panjang dan membuka pintu kepada seseoranc igar mareka mau
berbicara. Contoh pertanyaan terbuka antara lain:
 " Apa manfaat yang anda rasakan dengan menggunakan NAPZA"?
 "Ceritakan kepada sayi, hal apt yang anda rasakan kurang baik
tentang penggunaan....(NAPZA)
 "Anda kelihatan khawatir dengan penggunaan NAPZA yang
anda lakukan selama ini?" bisa disampaikan pada saya tentang hal

53
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

tersebut lebih lanjut?"


 "Seberapa khawatirnya anda pada hal tersebut"
 " Bagaimana perasaan anda tentang.......?"
 "Apa yang akan anda lakukan berkaitan dengan hal tersebut?"
 " Apa yang anda ketahui tentang .......?"
Penegasan (Affirmation)
Termasuk pernyataan apresiasi serta pengertian membantu
menciptakan lingkungan yang mendukung, serta membangun relasi
dengan pasien. Memberikan penegasan terhadap kekuatan pasien dan
usaha untuk berubah dapat membantu membangun keyakinan,
sementara penegasan pernyataan motivasi diri (atau berbicara tentang
perubahan) mendorong kesiapan untuk berubah.
Contoh penegasan termasuk:
 "Terima kasih untuk kedatangannya pada hari ini"
 "Saya menghargai kemauan saudara untuk berbicara pada saya
tentang penggunaan NAPZA"
 "Anda adalah orang yang tepat untuk mengatasi kesulitan ini"
 "Saya dapat melihat bahwa anda merupakan orang yang tangguh"
 "Itu adalah ide yang bagus"
 "Hal ini sulit untuk dibicarakan mengenai.................... saya sangat
menghargai jika anda tetap seperti ini" .
Mendenqarkan dengan cara merefleksikan (Reflective listening)
Mendengarkan dengan cara merefleksikan adalah suatu pernyataan
yang dapat menebak apa yang dimaksud pasien. Hal ini penting untuk
merefleksikan kembali perkataan dan perasaan pasien yang telah di
ucapkan. Mendengarkan dengan cara merefleksikan adalah sama
halnya seperti menggunakan cermin untuk seseorang sehingga mereka
dapat mendengar apa yang dikatakan terapis seperti apa yang telah
mereka sampaikan.
Mendengarkan dengan cara merefleksikan menunjukkan pada pasien
bahwa terapis mengerti apa yang telah dikatakan atau dapat digunakan
untuk mengklarifikasi apa yang dimaksud oleh pasien. Mendengarkan
dengan cara merefleksi yang efektif dapat mendorong pasien untuk
tetap berbicara, untuk itu terapis harus memberikan cukup waktu agar
hal ini dapat dilakukan
Dalam wawaneara motivasional, mendengarkan dengan cara
merefleksikan digunakan secara aktif untuk menyoroti ambivalensi
pasien tentang penggunaan NAPZA , mengarahkan pasien untuk
mengenali dan peduli dengan masalahnya serta memperkuat

54
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

parnyataan yang mengindikasikan bahwa pasien berfikir tentang


perubahan. Contoh :
 "Anda terkejut bahwa skor anda memperlihatkan bahwa anda
mempunyai masalah yang berisiko"
 "Hal ini sangat penting untuk mempertahankan hubungan anda
dengan istri"
 "Anda merasa tidak nyaman membicarakah hal ini"
 "Anda marah karena istri sering mengomeli bila anda banyak
merokok"
 "Maukah anda mengurangi penggunaan alkohol pada saat pesta"
 "Anda sangat menikmati ekstasi dan tidak mau menghentikannya
tapi secara bersamaan anda juga melihat bahwa hal ini dapat
menyebabkan beberapa masalah yang berkaitan dengan finansial
dan hukum".
Membuat kesimpulan (Summarising)
Membuat kesimpulan atau merangkum adalah hal yang penting
untuk menyamakan persepsi terhadap apa yang telah dikatakan
pasien serta mempersiapkan pasien untuk berubah.
Pertama pasien dapat mendengarkan apa yang ia katakan
kemudian ia mendengar terapisnya merefleksikan apa yang telah
diucapkan dan kemudian ia mendengarkan kembali dalam
kesimpulan atau rangkuman. Terapis memilih apa yang akan
dimasukkan dalam rangkuman dan petunjuk apa yang dapat
digunakan untuk berubah. Hal ini penting untuk membuat suatu
rangkuman.
Sebagai contoh suatu rangkuman:
"Jadi kelihatannya anda benar-benar menikmati ekstasi dan shabu
pada saat pesta dan anda tidak memikirkan bahwa anda
menggunakannya lebih banyak dari teman anda . Pada sisi lain
anda lebih banyak menghabiskan uang untuk membeli NAPZA
dibandingkan penghasilan anda dan ini sangat mengkawatirkan
anda. Anda juga menemui kesulitan untuk membayar tagihan dan
kartu kredit anda ditolak. Pasangan anda sangat marah dan sangat
membenci perilaku anda. Anda juga mempunyai masalah tidur dan
kesulitan mengingat sesuatu."
Berbicara menqenai perubahan (Eliciting change talk)
Keterampilan kelima adalah "Berbicara mengenai perubahan"
adalah suatu strategi untuk membantu pasien mengatasi

55
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

ambivalensi dan bertujuan agar pasien dapat menyampaikan


pendapatnya untuk mau berubah. Ada empat kategori penting
untuk membicarakan perubahan :
 Mengenali kerugian bila tetap menggunakan NAPZA
 Mengenali manfaat blla tidak menggunakan NAPZA
 Menyampaikan optimisme tentang perubahan
 Menyampaikan tujuan untuk berubah
Terdapat beberapa cara yang dapat menggambarkan "berbicara
mengenai perubahan" dari pasien,
 Mengajukan pertanyaan langsung dan terbuka, contoh :
 "Apa yang menyebabkan anda khawatirkan dengan
penggunaan NAPZA ?"
 "Apa yang anda pikirkan terjadi jika anda tidak berubah?"
 > "Manfaat apa yang akan didapatkan jika anda
mengurangi penggunaan NAPZA ?"
 > "Apa yang anda inginkan dalam kehidupan anda
lima tahun mendatang?"
 "Apa yang akan anda kerjakan apabila anda memutuskan
untuk berubah?"
 "Seberapa yakinkah anda bahwa anda dapat berubah?"\
 "Seberapa penting bagi anda untuk mengurangi
penggunaan NAPZA?"
 "Apa yang anda fikirkan saat ini tentang penggunaan
NAPZA anda ?"
4. Cognitif Behavioral Therapy (CBT)
Cognitive Behavioral Therapy atau yang lebih dikenal dengan
CBT adalah sebuah psikoterapi yang mulai banyak digunakan oleh
para profesional dan terapis dalam menghadapi berbagai
persoalan-persoalan psikologis individual, bahkan sampai kepada
penggunaan dalam manajemen perusahaan dalam meningkatkan
kinerja dan produktifitas yang sustainable dan resilience. CBT
sebagai sebuah bentuk psikoterapi digunakan oleh para profesional
karena:
1. CBT adalah jangka pendek, sangat kompatibel dengan berbagai
sumber daya yang tersedia bagi pasien.
2. CBT telah teruji secara klinis dan didukung oleh percobaan
empirikal yang solid.
3. CBT terstruktur, goal-oriented (berorientasi pada sasaran
perawatan yang telah dirancang), fokus pada masalah yang
dihadapi saat ini yang bergumul untuk mengatasi problem
NAPZA yang dialami pasien.

56
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

4. CBT sangat fleksibel, pendekatan sangat individual tetapi dapat


disesuaikan dengan berbagai bentuk perawatan (inpatient,
outpatient) demikian juga formatnya (kelompok dan
perorangan).
5. Sangat cocok dikombinasikan dengan berbagai terapi seperti
MET, Ml, Medis, dll.
Dengan dasar diatas, maka para ahli yang menggunakan CBT
mengembangkan apa yang disebut kompetensi CBT untuk
berbagai gangguan yang didasari oleh meta-analisa diatas. Asumsi
yang dipakai adalah, setiap bentuk gangguan sifatnya sangat
khusus. terhadap pribadi yang khusus, lingkungan yang khusus,
dan sasaran individu (penderita gangguan) yang juga khusus.
Maka untuk setiap gangguan, harus dilakukan studi yang
mendalam sehingga dapat diterapkan secara efektif dan efisien,
sesuai dengan sifatnya / hakekat CBT.
Intervensi CBT lahir dari 2 (dua) teori - teori ilmu psikologi yang
telah berkembang sejak tahun 1950 sampai 1970, yaitu mulai dari
psikoanalisa; client center Rogerian; terapi perilaku dalam bentuk
desentisisasi, modifikasi perilaku, aktivasi perilaku-conditioning;
(1950an); lalu terapi kognitif REBT menurut Albert ElHs,
cognitive therapy dari Aaron Beck tahun 1970an; dan pada tahun
1990an pendekatan-pendekatan yang baru muncul seperti mindful
therapy and acceptance & committment therapy, dengan tujuan
utama adalah merestruktur cara berpikir lama dan merubah
perilaku lama dalam suatu proses pembelajaran.
Dasar Teori CBT
Setiap model dan metoda intervensi, apapun pendekatannya,
memerlukan dasar teori yang sudah terbukti (evidence based} dan
teruji secara klinis. CBT menggunakan dua teori, yaitu teori terapi
kognitif dan teori terapi perilaku yang telah ada dalam dunia terapi
selama ini. Untuk menghemat waktu dan mengejar efektifitas,
maka dalam praktik, digunakan sekitar 80% terapi kognitif;
khususnya bagi pasien remaja dan dewasa.
Terapi kognitif, bertujuan untuk membangun pikiran dan tindakan
yang lebih rasional, dengan mengidentifikasi keyakinan-keyakinan
inti dan asumsi-asumsi yang tidak rasional yang mengakibatkan
atau menjadi kebiasaan (otomatis) dan bekerja kearah
mengkoreksinya. Sedangkan muatan terapi perilaku, lebih
menekankan teori pembelajaran sosial berupa modeling dan
conditioning sebagaimana pasien belajar menggunakan NAPZA.
Didasari atas kedua terapi diatas, CBT dikembangkan sesuai

57
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

dengan kondisi dan latar belakang pasien, lingkungan hidupnya,


dan budaya lingkungannya. Semakin luas pengetahuan terapis,
maka akan sangat efektif bagi terapis dalam mengaplikasikan CBT
terhadap pasien. Jadi CBT didasari atas meta-analisa, maka dari itu
efektifitasnya sangat tinggi yang akibatnya memiliki efisiensi atau
waktu perawatan yang relatif singkat dibanding dengan cara
pendekatan tradisional.
Kesiapan Terapis CBT
CBT untuk adiksi didasari atas asumsi pendekatan biopsikososial.
Dengan demikian para terapis harus mengembangkan pemikiran
yang komprehensif terlebih dahulu sebelum melakukan perawatan;
pertanyaan-pertanyaan dibawah ini harus menjadi bagian dari
asumsi-asumsi terapis sebelum menghadapi pasien; yang akan
ditanyakan dan di selidiki:
- Apakah pasian memiliki gangguan atau penyakit tertentu
sebelum menggunakan NAPZA dan sebagai akibat dari
penggunaan NAPZA; kemana saya harus merujuknya bila hal
ini ada?
- Apakah pasien memiliki gejala dual diagnosis? Merujuk ke
psikiater mana yang mengerti masalah adiksi dan gangguan
psikiatrik yang berhubungan dengan adiksi.
- Gangguan psikologis apa saja yang diderita pasien? Perangkat
asesmen dan analisa apa yang harus dipakai untuk
mengetahuinya?
- Kemudian dari hasil-hasil diatas apakah tingkat keparahannya
pasien? Tingkat perawatan apa yang berguna dan harus
dilaksanakan bagi pasien bersangkutan?
- Apa saja faktor-faktor berisiko bagi pasien bila dia harus
menjalani perawatan rawat jalan maupun rawat inap?
- Sampai dimana tingkat motivasi pasien untuk berhenti
menggunakan NAPZA? Apa faktor-faktor penentu motivasi
tersebut sehingga pasien datang keperawatan atau dipaksa
menjalankan keperawatan.
- Apa kekuatan dan kelemahan yang dimiliki pasien sehingga
dia mampu bertahan dengan keadaan emosional dan pefilaku
sampai saat ini? Latar belakang sosial dan individual perlu
diperhatikan.
- Dan beberapa pertanyaan yang spesifik yang timbul ketika
berhadapan dengan pasien secara langsung; termasuk alat

58
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

assessmen apa yang nanti akan digunakan, siapa yang akan


menjadi pendamping (peer counselor), siapa yang menjadi
manager kasus, dan terakhir apakah fasilitas yang dimiliki
terapis sudah memadai dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan diatas.
Keberhasilan menjawab sebanyak mungkin pertanyaan diatas akan
menentukan langkah-langkah intervensi selanjutnya apakah
menjadi mudah atau sulit. Terapis harus melengkapi diri dengan
pertanyaan-pertanyaan diatas yang akan dilakukan pada pasien
pada tahap awal perawatan primer.
5. Pencegahan Kekambuhan, kambuh merupakan pengalaman yang
sering terjadi dalam porses pemulihan pasien Gangguan
penggunaan NAPZA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor
yang dapat diprediksi dalam kekambuhan adalah sistem keyakinan
yang salah dan menetap (....'Saya seorang pecandu dan saya tidak
bisa berhenti menggunakan NAPZA...')
Di bawah ini beberapa strategi yang digunakan dalam pencegahan
kekambuhan :
 Tingkatkan komitmen untuk berubah (misal menggunakan
wawancara memotivasi)
 Identifikasi situasi resiko tinggi yang menimbulkan
kekambuhan (Kapan, dimana, dengan siapa dan bagaimana
penggunaan Napza bisa terjadi)
 Mengajarkan kam§mpuan msnghadapi masalah (coping skill),
misalnya ; ketrampilan sosial, ketrampilan manajemen diri,
monitoring diri dari penggunaan NAPZA,
 Mengembangkan strategi untuk menghadapi situasi yang dapat
menyebabkan terjadinya kekambuhan :
- apa yang harus dilakukan pasien dalam suatu kejadian
yang dapat menimbulkan kambuh?
- dimana pasien mendapatkan dukungan?
- apa peran yang dapat diberikan dari teman atau keluarga?
- seberapa cepat pasien harus membuat perjanjian untuk
kembali ke tempat praktek?
6. Program 12 Langkah
Fokus dari Program 12 Langkah adalah penerapan langkah-
langkah itu dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah penggunaan
istilah Falsafah menjadi lebih relevan, karena langkah-langkah ini

59
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

menjadi panduan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang


pecandu yang ingin mempertahankan kebersihannya dan membina
perjalanan spiritualnya. Jadi, lebih dari sekedar peraturan, 12
Langkah menjadi "Falsafah Hidup" seorang pecandu, untuk
diamalkan ketika menjalani kehidupan kesehariannya. Dan,
berdasarkan paradigma Disease Model of Addiction, penyakit
kecanduan mempunyai potensi untuk kambuh sewaktu-waktu
apabila tidak diredam oleh program pemulihan yang
berkesinambungan. Dengan pengamalan atau praktek dari langkah-
langkah inilah para pecandu akan dapat meredam penyakitnya agar
tidak kambuh, sepanjang hayatnya. Pada penjelasan ini, setiap
langkah akan diuraikan secara singkat maknanya dan karena setiap
langkah di targetkan untuk mengatasi setiap aspek spesifik dalam
penyakit kecanduan, uraian ini akan mencakup fungsi klinikal
.yang dapat diterapkan baik dalam kondisi di dalam atau d iluar
institusi/panti rehabilitasi.
Berikut ini adalah contoh 12 Langkah seperti yang tertera dalam
program Narcotic Anonymous (NA)
12 LANGKAH NARCOTIC ANONYMOUS
1. Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita,
sehingga hidup kita menjadi tidak terkendali.
2. Kita menjadi yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari
kita sendiri yang dapat mengembatikan kita kepada kewarasan.
3. Kita membuat keputusan untuk menyerahkan kemauan dan
arah kehidupan kita kepada kasih Tuhan sebagaimana kita
mamahamiNya.
4. Kita membuat inventaris moral diri kita sendiri secara penuh,
menyeluruh dan tanpa rasa gentar.
5. Kita mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri dan
kepada seorang manusia lalnnya, setepat mungkin sifat dari
kesalahan-kesalahan kita.
6. Kita siap sepenuhnya agar Tuhan menyingkirkan semua
kecacatan karakter kita.
7. Kita dengan rendah hati memohon kepadaNya untuk
menyingkirkan semua kekurangan-kekurangan kita.
8. Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan
menyiapkan diri untuk meminta maaf kepada mereka semua.
9. Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-
orang tersebut bilamana memungkinkan, kecuali bila
melakukannya akan justru melukai mereka atau orang lain.
10. Kita secara terus menerus melakukan inventarisasi pribadi kita
dan bilamana kita bersalah, segera mengakui kesalahan kita.

60
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

11. Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk


memperbaiki kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita
memahamiNya, berdoa hanya untuk mengetahui kehendakNya
atas diri kita dan kekuatan untuk melaksanakannya.
12. Setelah mengalami pencerahan spiritual sebagai hasil dari
langkah-langkah ini, kita mencoba menyampaikan pesan ini
kepada para pecandu dan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini
dalam segala halyang kita lakukan.
Langkah Pertama
"Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita,
sehingga hidup kita menjadi tidak terkendali."
Langkah pertama adalah pernyataan masalah. Sebuah pengakuan
atas adanya suatu masalah, dimana pengakuan ini diperlukan untuk
memulai proses pemulihan. Suatu penerimaan di dalam diri yang
memerlukan pengkajian diri yang jujur dan dipatahkannya
penyangkalan harus mendahului pengakuan ini. Langkah ini adalah
satu-satunya langkah yang menyebutkan adiksi, alkoholisme, atau
perilaku kecanduan yang lain. Perlu dicatat bahwa Langkah Satu
tidak mengatakan ."berhenti melakukan ini, setelah itu lakukan
ini." Pecandu diharapkan sudah mencapai titik maksimal dalam
kehancurannya, lalu mencari jawabannya dalam program ini. Dua
hal yang dibicarakan dalam langkah ini adalah ketidakberdayaan
dan ketidakterkendalian. Kedua hal ini tidak sama;
ketidakberdayaan berarti kecanduan itu sendiri, ketidakmampuan
untuk mengatur perilakunya, sementara ketidakterkendalian dilihat
dari akibat atau konsekuensi dari perilaku kecanduan itu. Ini adalah
langkah yang sukar untuk diambil, karena, siapa yang suka untuk
mengaku kalah? Untuk mencapai titik ini, seorang pecandu harus
sudah mencapai tahap yang disebut Hit Bottom (mencapai dasar),
dimana dampak dari kecanduan itu sudah begitu banyak
menghasilkan penderitaan sehingga pecandu mulai berpikir untuk
merubah hidupnya, atau bahkan mulai mencari pertolongan.
Sebelum mereka mencapai tahap ini, para pecandu akan tetap
berpikir bahwa dengan membuat perubahan-perubahan kecil dalam
hidupnya maka masalah akan tereelesaikan. Konselor harus
berhati-hati agar tidak terperangkap dalam membantu pecandu
meyelesaikan masalah-masalah ini. Pecandu akan terus mencari
alasan dari kecanduannya, apakah itu orangtua, lingkungan,
pergaulan, dsb. Seringkali terdengar mereka mengeluh, "kalau saja
masalah ini selesai, saya tentu tidak akan pakai NAPZA lagi'.
"Masalah ini" adalah masalah yang mengecohkan dari
permasalahan yang sebenarnya, yaitu adiksi itu sendiri. Konselor

61
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

harus bisa membantu pecandu untuk melewati rintangan yang


berupa penyangkalan ini, yang memang merupakan masalah utama
yang dihadapi dalam pemahaman Langkah Pertama.
Langkah Kedua
"Kita menjadi yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kita
sendiri yang dapat mengembalikan kita kepada kewarasan."
Pada langkah inilah unsur spiritual dari program 12 langkah mulai
nampak. Langkah kedua mewakili pemikiran para pendahulu AA
yang meyakini bahwa satu-satunya solusi dari masalah kecanduan
ini terletak di aspek spiritual dari seorang pecandu, Ketika di
Langkah Satu pecandu berhadapan dengan keadaan yang tidak
memberikan banyak harapan, dan pada akhirnya terpuruk dan
menyerah kalah, di Langkah Dua harapan mulai bersinar lagi. Di
langkah kedua inilah juga dijelaskan penekanan atas perbedaan
antara proses spiritual dan proses keagamaan. Pembinaan spiritual
bermakna mengakui ketidakberdayaan pada diri sendiri dan
menemukan kekuatan di luar diri sendiri, suatu proses yang bisa
dilakukan melalui program keagamaan atau tidak. Karena 12
Langkah ditetapkan untuk semua pecandu, program ini menjauh
dari membela atau mementingkan agama tertentu. Konselor yang
bekerja menolong orang yang sedang menjalani Langkah ini, harus
memberikannya banyak ruangan agar ia dapat menemukan sendiri
konsep Kekuatan yang lebih besar yang ia rasa paling nyaman
baginya.
Langkah Ketiga
" Kita membuat keputusan untuk menyerahkan kemauan dan arah
kehidupan kita kepada kasih Tuhan sebagaimana kita
memahamiNya"
Langkah ketiga lebih mengembangkan lagi konsep Kekuatan yang
Lebih Besar, atau Higher Power yang bisa juga disebut Tuhan oleh
mereka yang mempercayainya. Langkah ini membawa kepada
tindakan yang konkrit untuk pertama kalinya, yaitu menyerahkan
seluruh kehidupan seorang pecandu kepada Higher Power yang
diyakininya. Disinilah seorang konselor berperan untuk membantu
pecandu menemukan konsep Higher Power yang paling bisa
diterima dan di percaya olehnya. Program 12 langkah bukanlah
program keagamaan. Program ini diperuntukkan kepada semua
pecandu, apapun latar belakang agamanya, atau tidak beragama
sekalipun. Langkah ini mendorong pecandu untuk menyerahkan
kendali atas hidupnya, karena seperti dibuktikan di Langkah
Pertama, ia tidak dapat lagi mengendalikannya. Higher Power

62
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

tidak perlu menyerupai konsep Tuhan seperti dalam agama formal,


tetapi apa saja yang dapat mendatangkan rasa "penguatan" pada
diri pecandu, dan disinilah konselor dapat membantu untuk
menemukannya.
Langkah Keempat dan Kelima
"Kita membuat inventaris moral diri kita sandiri secara penuh,
menyeluruh dan tanpa rasa gentar."
"Kita mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri dan kepada
seorang manusia lainnya, setepat mungkin sifat dari kesalahan-
kesalahan kita."
Ketiga langkah pertama, apabila diserap dengan baik, akan menjadi
fondasi spiritual yang kokoh, memungkinkan proses analisa diri
yang lebih mendalam dan memerlukan lebih banyak lagi kejujuran
dan keberanian. Kedua Langkah ini bertalian karena keduanya
membentuk suatu proses tertentu yang sangat penting di dalam
proses pelaksanaan 12 langkah. Keduanya membentuk satu ritual
yang khusus, yaitu membuka diri secara total,
mendokumeritasikannya, dan menceritakannya kepada paling
sedikit satu orang lain. Dalam konsep 12 langkah, "penyembuhan
luka-luka lama" tidak akan terjadi apabila luka-luka tersebut tidak
dibawa kepermukaan dan diakui keberadaannya. Baru setelah
itulah proses penyembuhan bisa dimulai. Ketiga kategori utama
yang biasanya diminta untuk dituliskan adalah kebencian,
ketakutan, dan sex. Karena ketiga topik ini begitu berkaitan dengan
dua isu utama yang selalu menghantui pecandu, yaitu perasaan
malu dan perasaan bersalah. Menyembunyikan atau memendam
pengalaman-pengalaman hidup yang berhubungan dengan ketiga
topik tersebut akan menjadikannya beban spiritual yang tidak
memungkinkan proses perubahan dan pertumbuhan yang positif.
Untuk meringankan beban itu dan memulai adanya perbaikan
rohani dalam diri seorang pecandu, ia harus bisa menerima
kenyataan itu mengenai masa lalunya untuk kemudian bisa
memaafkan. Oleh sebab itu, setelah berbagai hal yang menyakitkan
tersebut terangkat ke permukaan dan tidak lagi ditutup-tutupi,
pecandu diminta untuk berbagi mengenai cerita itu dengan satu
orang lagi yang bisa ia percayai. Bisa dibayangkan tentunya kedua
langkah ini adalah langkah yang cukup sulit dan seringkali bahkan
menakutkan, terutama bagi mereka yang baru mencobanya untuk
pertama kali. Disinilah peran konselor menjadi sangat penting
untuk membantu pecandu untuk mendapatkan kekuatan untuk
menyelesaikan langkah Ini. Pecandu harus dapat melihat bahwa

63
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

kejujuran menjadi modal utama, dan tugas konselor jugalah untuk


memupuk sifat yang baik ini dalam pecandu yang ditolongnya.
Langkah Keenam dan Ketujuh
"Kita siap sepenuhnya agar Tuhan menyingkirkan semua kecacatan
karakter kita." "Kita dengan rendah hati memohon kepadanya
untuk menyingkirkan semua kekurangan-kekurangan kita."
Kedua Langkah ini adalah esensi dari proses perubahan diri dalam
12 Langkah. Lima langkah pertama telah mendapatkan masalah
utama, mencari solusi spiritual, dan mencari dan mengangkat
berbagai beban dan kesulitan yang memperberat masalah utama.
Setelah itu, kedua Langkah ini, enam dan tujuh, menawarkan
kepada pecandu apabila la ingin meneruskan proses perubahan
memasuki tahap yang baru dan memerlukan taraf kepercayaan dan
keyakinan yang lebih mantap lagi. Kedua Langkah inilah yang
membawa proses ini melampaui lebih dari hanya berhenti
menggunakan NAPZA atau kecanduan lainnya. Di titik inilah
menjadi semakin jelas bahwa 12 langkah akan membawa pecandu
kepada perbaikan diri yang terus-menerus. Pecandu akan sadar
bahwa dengan hanya berhenti menggunakan NAPZA, tetapi
perilaku hidupnya, kondisi mental dan spiritualnya, masih
menyerupai ketika ia aktif dalam kecanduannya, ia tetap tidak akan
mendapatkan kebahagiaan. Kedua Langkah ini menjadi papan
loncatan untuk suatu proses ke depan yang akan memakan masa
dan tenaga yang cukup banyak. Setelah mengetahui dengan jelas
semua kerusakan yang ada pada diri pecandu, ia diharapkan untuk
bertanya pada dirinya, apakah ia sudah siap untuk merubahnya?
Dan apakah ia sudah sampai pada titik kerendahan hati dimana ia
tidak akan merasa selalu mampu untuk menyelesaikan semua
masalah, tetapi meminta kepada Higher Power untuk
melakukannya untukdia? Rekan konselor adalah membantu
pecandu melewati rasa "serba mampu" yang datang dari ego yang
besar dan menumbuhkan kerendahan hati, yang merupakan prinsip
spiritual yang diperlukan untuk kedua langkah ini.
Langkah Delapan dan Langkah Sembilan
"Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan
menyiapkan diri untuk meminta maaf kepada mereka semua."
"Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-orang
tersebut bilamana memungkinkan, kecuali bila melakukannya akan
justru melukai mereka atau orang lain."
Sampai pada langkah ketujuh, fokus dari proses 12 langkah ini

64
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

masih ditujukan kepada diri pecandu yang menjalani proses ini


sendiri. Memasuki langkah kedelapan, tahap perkembangan dan
kematangan spiritual pecandu sudah dianggap cukup mantap untuk
mulai melihat keluar dirinya kepada kerusakan-kerusakan yang
ditimbulkan dalam hubungannya dengan orang-orang lain. Ada tiga
tugas utama yang diminta disini: membuat daftar (berbeda dengan
daftar pada Langkah Empat), menyadiakan diri, dan memperbaiki
kesalahan secara langsung. Pada kedua langkah ini, usaha untuk
menyelesaikan perasaan malu dan perasaan bersalah ditingkatkan
intensitasnya. Dengan mengadakan perbaikan langsung, apakah itu
meminta maaf, memperbaiki kerusakan, atau membayar hutang
atau barang yang pernah dicuri, proses ini membebaskan pecandu
secara total dari belenggu perasaan malu, takut, dan bersalah, dan
akan lebih meringankan lagi beban mental pecandu dan
memungkinkan untuk pertumbuhan spiritual yang lebih sehat lagi.
Daftar yang dibuat tidak sepenuhnya sama dengan daftar yang telah
dibuat di Langkah Empat. tetapi berdasarkan apa yang telah dicapai
di langkah itu. Setelah itu, kesediaan diperlukan untuk menyiapkan
diri sebelum membuat perbaikan langsung. Kesediaan juga
memudahkan pecandu untuk mulai belajar memaafkan. Memaafkan
orang lain, dan yang terpenting adalah memaafkan diri sendiri,
sesuatu yang sering sulit bagi seorang pecandu. Kemudian,
keberanian yang luar biasa diperlukan untuk mengambil Langkah
Sembilan, dimana tindakan yang sebenarnya akan dilakukan.
Kecenderungan utama dari seorang pecandu adalah untuk
memusatkan perhatiannya kepada rasa ketakutan, malu, dan
bersalahnya. Disinilah peran konselor menjadi sangat penting untuk
mempersiapkan pecandu. Diperlukan bimbingan yang tepat untuk
menilai kesiapan yang sesungguhnya. Langkah ini ditempatkan
pada nomor sembilan karena untuk mencapainya harus melalui
proses pemantapan spiritual yang prima, agar tidak menimbulkan
kerugian atau menyakiti orang lain dan diri sendiri. Perlu
pertimbangan yang benar-benar matang untuk memutuskan
perbaikan mana yang harus didahulukan dan yang mana mungkin
belum sampai pada saatnya. Bayangkan, bagaimana misalnya
susahnya mendatangi orangtua dari seseorang yang pernah dibunuh
dan mengakui sebagai pembunuhnya dan meminta maaf.
Langkah Sepuluh
"Kita secara terus menerus melakukan inventarisasi pribadi kita
dan bilamana kita bersalah, segera mengakui kesalahan kita."
Langkah ini adalah permulaan dari apa yang disebut langkah-
langkah pemeliharaan. Dari Langkah Satu sampai Sembilan dasar

65
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

yang kuat telah semakin diperkokoh, masa lalu yang buruk telah
dengan jujur di ditelusuri dan dibersihkan, dan kerusakan-
kerusakan baik pada diri sendiri atau yang berhubungan dengan
orang lain telah diperbaiki, lalu bagaimana mempertahankan semua
pencapaian ini? Langkah-langkah sepuluh, sebelas dan duabelas
adalah langkah-langkah khusus untuk tujuan itu. Di Langkah
Kesepuluh pecandu diminta untuk terus-menerus mengawasi
dirinya sendiri, memonitor kehidupannya sehari-hari, dan dengan
jujur mengakui apabila berbuat kesalahan atau berperilaku seperti
pola lama ketika masih aktif dalam kecanduannya.
Konselor dapat membantu pecandu dalam proses analisa diri yang
diminta dalam langkah ini. Dari setiap hasil dari pengawasan atau
inventarisasi yang secara rutin dilakukan, sesuatu hal yang baru
akan dapat dipelajari, dan dalam proses pembelajaran ini peran
konselor menjadi sangat penting. Mereka yang telah mencapai
tahap ini biasanya akan lebih pro-aktif dan mempunyai tingkat
kesediaan yang tinggi untuk menjalani program, membuatnya
mudah untuk dibimbing dan diajak bakerjasama. Pada tahap ini
jugalah seringkali banyak perubahan kepribadian yang bisa
disaksikan dengan nyata.
Langkah Sebelas
"Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk
memperbaiki kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita
mamahamiNya, berdoa hanya untuk mengetahui kehendakNya atas
diri kita dan kekuatan untuk melaksanakannya."
Langkah Kesebelas berfungsi sebagai jembatan menuju Higher
Power sebagai sumber kekuatan, dan bagaimana memastikan
bahwa kekuatan itu terus ada dengan membina hubungan yang
terus menerus juga dengan Higher Power itu. Di Langkah ini
meditasi dan doa dianjurkan untuk terus dilakukan dan disebutkan
secara bersamaan, menunjukkan bahwa keduanya adalah praktek
yang lazim digunakan dalam Langkah Sebelas untuk berhubungan
dengan Higher Power. Sekali lagi perlu dicatat, program 12
Langkah bukanlah program keagamaan. Artinya, tidak ada anjuran
untuk menjadi pemeluk agama tertentu untuk bisa menjalani 12
Langkah. Tetapi yang dianjurkan adalah, meyakini akan adanya
kekuatan lain selain diri sendiri yang dapat membantu, apapun
bentuk dari sumber kekuatan tersebut, dan untuk terus berhubungan
melalui doa dengannya. Program 12 Langkah adalah program
spiritual khusus bagi mereka yang mempunyai penyakit adiksi, dan
harus bisa mengakomodasi kepentingan dari semua pecandu dari

66
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

latarbelakang kelompok apapun. Penekanan ataa pentingnya berdoa


adalan Bagian yang cukup sentral dari program 12 Langkah, karena
dengan berdoa artinya pecandu menjangkau kekuatan yang ada di
luar dirinya, yang berarti ia sudah memahami bahwa dalam dirinya
ini ada suatu kondisi yang tidak terelakkan dan tidak akan hilang,
yaitu adiksi. Dan satu-satunya cara untuk meredam adiksi ini agar
tidak kambuh atau relapse adalah dengan membina pertumbuhan
spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menerapkan apa
yang disarankan oleh metode 12 Langkah, seorang pecandu
memastikan pertumbuhan spiritual dalam hidupnya tetap terjaga.
Langkah Dua belas
"Setelah mengalami pencerahan spiritual sebagai hasil dari langkah-
langkah ini.kita mencoba menyampaikan pesan ini kepada para
pecandu dan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini dalam segala hal
yang kita lakukan."
Pada Langkah ini, hasil dari kerja keras seorang pecandu
mempelajari dan mengamalkan kesebelas langkah sebelumnya
akhirnya dapat diraih. "Pencerahan Spiritual" yang dimaksud adalah
perubahan yang menyeluruh dalam jiwa pecandu sehingga ia
mencapai keterbukaan, keyakinan, dan kepercayaan yang begitu
dalam terhadap Tuhan dalam bentuk yang dipercayainya. Pada
tahap ini perubahan terjadi pada semua level, baik spiritual, mental,
dan emosional. Kemudian, pecandu akan diminta untuk
menyampaikan anugerah yang sudah didapatnya ini kepada
pecandu lain yang masih menderita. Berdasarkan kejadian pertama
ketika Bill Wilson berbagi kepada Dr. Bob mengenai
alkoholismenya dan setelah itu keinginan untuk minum sirna, begitu
jugalah para anggota program 12 langkah diminta untuk dengan
murah hati berbagi mengenai cerita kehidupannya dalam pemulihan
dengan pecandu yang masih menderita. Dan ini bukan saja baik
bagi pendengar atau pendatang baru, tetapi inilah tulang punggung
dari program 12 Langkah, yaitu seorang pecandu hanya bisa tetap
menyimpan kekuatan yang ia miliki untuk bertahan bersih apabila
ia membagikannya pada orang lain.
7. Layanan Penunjang, dalam pedoman ini pelayanan penunjang
akan difokuskan pada pemeriksaan laboratorium.
 Layanan laboratorium terdiri dari pemeriksaan patologi klinik
dan laboratorium pemeriksaan NAPZA
 Untuk laboratorium patologi klinik yang diperlukan adalah
pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan kimia darah
 Untuk pemeriksaan NAPZA, jenis pemeriksaan yang dilakukan

67
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

dapat dilihat pada daftar persyaratan minimal layanan


penunjang.
 Beberapa persyaratan yang mesti diperhatikan adalah :
a. Bangunan
 Untuk pemeriksaan NAPZA tata ruang laboratorium
harus mempunyai tata ruang yang baik dan sesuai dengan
alur pelayanan, mendapatkan cahaya sinar matahari
dalam jumlah yang cukup
 Persayaratan bangunan mengacu Keputusan Menteri
Kesehatan Rl No.04/Menkes/SK/l/2002
 Persyaratan lain yang perlu diperhatikan: ruangan yang
mudah dibersihkan, permukaan meja pemeriksaan tidak
tembus air, tahan asam, alkali dan larutan organik,
koridor, gang dan lantai harus bersih
b. Peralatan:
 Peralatan harus sesuai untuk pemeriksaan NAPZA dan
mempunyai spesifikasi yang sesuai dengan fasilitas
seperti luas ruangan, fasilitas listrik dan air yang ada,
serta tingkat kelembaban.
 Persyaratan minimal dapat dilihat pada daftar persyaratan
minimal layanan penunjang.
c. Tenaga:
 Tenaga untuk laboratorium pemeriksaan NAPZA harus
mempunyai persyaratan tenaga teknis minimal sesuai
untuk persyaratan laboratorium NAPZA seperti:
i. Penanggung jawab, minimal seorang Sarjana
Kedokteran, Sarjana Farmasi, Apoteker atau Sarjana
Kimia/Biokimia dan mempunyai pengalaman 3 tahun
dl laboratorium (Untuk penanggung jawab
pemeriksaan HIV/AIDS dlsarankan konsultasi dengan
dokter umum terlatih atau Spesialis Patologi Klinik).
ii. Tenaga Teknis, 2 orang tenaga analis dimana 1 orang
lainnya dapat diganti dengan tenaga Asisten Apoteker
atau Analis Kimia. Untuk pemeriksaan HIV/AIDS
harus memenuhi standar
Kementerian Kesehatan sebsgai Laboratorium pratama
atau utama sbb;

68
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Jumlah Kebutuhan
No. Jenis Tenaga Pratama Utama
(Skrining) (Konfirmasi)

1. Penanggung Jawab
Teknis:
Sarjana Kedokteran, 1 1
Sarjana Farmasi,
Apoteker, atau Sarjana
Kimia/Biokimia
2. Tenaga Teknis 2 2
Analis 2 2
Perawat 1 1
3. Tenaga Administrasi
Lulusan SMU atau 1 1
sederajat

8. Layanan Outreach/Komunitas
a. Ruang Lingkup
Kegiatan Penjangkauan dan Pendampingan adalah pendukung
dari program penanggulangan gangguan penggunaan NAPZA
berbasis Rumah Sakit Jiwa yang dilaksanakan oleh kelompok
masyarakat, ataupun lembaga swadaya masyarakat.
Program Penjangkauan dan Pendampingan (outreach) adalah
proses penjangkauan langsung yang dilakukan secara aktif
kepada pada pengguna NAPZA baik secara kelompok maupun
individu. Populasi ini sulit dijangkau dengan metode yang
lebih formal karena stigma dan diskriminasi yang sangat kuat
di dalam masyarakat terhadap status penggunaan NAPZAnya.
Dalam proses penjangkauan dan pendampingan para pekerja
lapangan melakukan proses identifikasi lokasi yang biasa
menjadi tempat para pengguna NAPZA berkumpul atau tempat
yang memungkinkan untuk melakukan interaksi langsung.
Proses penjangkauan dan pendampingan memberi peluang bagi
para pengguna NAPZA untuk dapat mengakses berbagai
layanan kesehatan yang dibutuhkannya, seperti: mendapatkan
layanan informasi terkait NAPZA, risiko penggunaan NAPZA,
tes HIV dan konseling, layanan kesehatan dasar yang tersedia,
layanan manajemen kasus untuk pengguna NAPZA yang
membutuhkan, akses terhadap material pencegahan (termasuk
jarum suntik untuk pengguna NAPZA suntik) dan layanan

69
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

lainnya yang memungkinkan.


b. Tujuan
 Membuka akses sebesar mungkin bagi pengguna NAPZA
yang berada di komunitas,
 Memberikan informasi yang memadai mengenai bahaya
penggunaan NAPZA dan dampak buruk penggunaan
NAPZA sehingga menimbulkan kesadaran pengguna
NAPZA untuk menghentikan penggunaan, atau
mengurangi risiko terhadap dampak buruk yang mungkin
muncul bagi yang maaih belum dapat berhenti
 Memotivasi dan melibatkan pengguna NAPZA untuk
menghentikan pemakaian atau mengurangl risiko perilaku
penggunaan NAPZA suntik melalui berbagai upaya yang
memungkinkan untuk dicoba,
 Memberikan dukungan secara terus menerus pada
pengguna NAPZA untuk mempertahankan perubahan
perilaku lebih aman yang mungkin terjadi
 Melibatkan pengguna NAPZA agar secara aktif melakukan
penyebaran informasi dan membentuk kepedulian sesama,
sehingga ikut terlibat dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan penggunaan NAPZA pada umumnya.
c. Sasaran
Sasaran program penjangkauan dan pendampingan adalah
semua pengguna NAPZA yang ada di komunitas, mulai dari
pecandu NAPZA, para pengguna NAPZA sampai ke mereka
yang termasuk dalam kelompok yang rentan untuk mencoba
menggunakan NAPZA.
Pecandu NAPZA menjadi sasaran utama (primer) sedangkan
pengguna NAPZA yang lain dan kelompok rentan menjadi
sasaran sekunder. Selain itu masyarakat di sekitar pengguna
NAPZA baik keluarga, orang kunci dan teman-temannya
menjadi sasaran tersier. Dengan demikian proses penjangkauan
dan pendampingan dilakukan di berbagai lokasi yang biasa
menjadi tempat para pengguna NAPZA berkumpul atau
beraktivitas dalam keseharian. Tempat ini dapat berupa tempat
orang muda berkumpul, taman-taman, titik tertentu di tempat-
tempat keramaian (pasar, mall, pinggir jalan), lokasi tertentu di
wilayah perumahan, dan tempat-tempat lainnya.
4. Pelaksana

70
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Kegiatan penjangkauan dan pendampingan dapat


diselenggarakan oleh lembaga pemerintah maupun lembaga
non pemerintah, termasuk kelompok swadaya masyarakat,
Lembaga tersebut seperti:
 institusi/lembaga kesehatan
 LSM atau organisasi kemasyarakatan
 Institusi/lembaga non pemerintah
 Kelompok masyarakat (karang taruna, kelompok pemuda,
dll)
Pelaksana program penjangkauan dan pendampingan adalah
sebuah tim yang terdiri dari petugas lapangan dan koordinator
penjangkauan. Petugas lapangan bisa yang mempunyai latar
belakang mantan pengguna NAPZA atau individu yang
mempunyai kemampuan dan kesediaan untuk masuk dalam
komunitas pengguna NAPZA. Sedangkan koordinator
penjangkauan berperan dalam memberikan dukungan dan
pemantauan terhadap proses penjangkauan dan pendampingan
di lapangan sehingga searah dengan tujuan program yang
dikembangkan. Tim penjangkauan dan pendampingan,
sebelum melaksanakan program sudah mendapatkan pelatihan
khusus mengenai penjangkauan dan pendampingan. .

VI. PENGEMBANGAN PROGRAM TERAPI DAN REHABILITASI GANGGUAN


PENGGUNAAN NAPZA PADA KONDISI KHUSUS
Ruang Lingkup
Yang dimaksud dengan kondisi khusus adalah suatu kondisi yang terkait dengan masalah
fisik maupun psikologis sebagai akibat dari gangguan penggunaan NAPZA, atau kondisi
penyakit tertentu yang bukan merupakan akibat gangguan penggunaan NAPZA akan tetapi
dapat memperparah kondisi pasien tersebut apabila tidak diberikan pengobatan secara
komprehensif.
Kondisi khusus yang akan dibahas dalam pedoman ini sebagai berikut:
a. Wanita hamil
b. Remaja dan anak-anak
c. Orang dengan penyakit infeksi termasuk HIV/AIDS (ODHA)
d. Orang dengan masalah kesehatan jiwa (ODMK)
Prinsip-Prinsip Umum Perawatan Pasien Gangguan Penggunaan Napza Dengan
Masalah Medik
a. Kondisi gangguan kesehatan secara fisik/medik seringkali ditemukan pada pasien
Gangguan penggunaan NAPZA, untuk itu terapis harus memberikan pengobatan
khususnya untuk detoksifikasi yang tidak menyebabkan kondisi medis pasien semakin

71
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

memburuk
b. Petugas di ruangan harus dapat mengenali adanya gejala-gejala penyakit tertentu yang
sangat mungkin tidak merupakan bagian dari kondisi intoksikasi atau putus NAPZA
c. Ketika ditemukan adanya gejala dan tanda yang mencurigakan petugas harus
mengetahui kemana harus merujuk (misalnya ke ruang emerjensi, ruang dokter)
d. Setiap setting untuk perawatan pasien Gangguan penggunaan NAPZA sebaiknya
dilengkapi dengan peralatan dan obat-obatan untuk kondisi emerjensi seperti tabung
oksgen, alat kesehatan untuk pemeriksaan tanda-tanda vital dan pertolongan hidup
dasar
e. Klinikus harus selalu ingat untuk melakukan konsultasi dengan dokter-dokter spesialis
lain seperti Ahli Penyakit Dalam, Ahli Penyakit Jantung, Neuorolog, Ahli Penyakit
Kandungan, Ahli Bedah dan lain-lain
f. Staf medis harus menyadari akibat dari Gangguan penggunaan NAPZA akan
mempengaruhi keseluruhan kondisi kesehatan pasien, setiap staf harus siap untuk
membantu pasien mengatasi gangguan medis maupun gangguan psikiatrik dan
melakukan evaluasi terhadap penyakit-penyakit kronis lainnya yang dapat ditimbulkan
oleh Gangguan penggunaan NAPZA
Dampak Dan Perhatian Pada Kondisi Khusus
1. Wanita hamil
 NAPZA pada wanita hamil sudah diketahui akan memberikan efek samping
terhadap bayi dalam kandungan
 Deteksi dan intervensi dini pada wanita hamil yang menggunakan NAPZA akan
memberikan hasil yang efektif untuk mengurangi efek samping NAPZA terhadap
janin
 Dilakukan asesmen yang bertujuan untuk:
 menentukan jumlah dan frekuensi penggunaan NAPZA sejak pasien
mendapatkan menstruasi yang terakhir
 menentukan tindakan apabila penggunaan NAPZA masih berlangsung
 kajian terhadap kemungkinan efek samping yang ditimbulkan oleh NAPZA
yang digunakan
 memberikan informasi aktual efek dari NAPZA yang digunakan selama
kehamilan
 melakukan eksplorasi dari pilihan terapi yang akan diberikan sesuai dengan
umur kehamilan dan kondisi pasien
 Efek yang dapat diberikan selama kehamilan atau saat menyusui pada beberapa
jenis NAPZA diterangkan sebagai berikut:
1. Alkohol
- efek pre natal antara lain : meningkatkan risiko abortus spontan, kelahiran

72
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

prematur, berat dan ukuran bayi kurang dari normal


- efek terhadap janin : tergantung dari jumlah alkohol yang diminum, bulan
kehamilan, kondisi kesehatan umum pasien
Foetal Alcohol Syndrome (FAS) ; gambaran klinis menunjukkan adanya
pertumbuhan yang lambat dari berat dan ukuran bayi, adanya anomali pada
struktur dan fungsi otak yang dalam perkembangannya akan memperlambat
perkembangan kemampuan bayi adanya defek/kelainan pada jantung, wajah
dan bibir (sumbing), efek yang berat adalah kematian atau kerusakan pada
perkembangan otak dan kranium
- tidak direkomendasikan untuk menyusui apabila ibu masih minum minuman
beralkohol

2. Heroin
- efek pre-natal yang ditimbulkan berupa kelahiran prematur, pendarahan
sebelum kelahiran, kematian bayi di dalam kandungan, meningkatkan risiko
keguguran, meningkatkan plasenta yang tak sempurna
- efek terhadap janin : berat badan bayi dan ukuran lingkar kepala kurang dari
normal, foetal distress/ ada meconium, meningkatnya risiko tertular
HIV/AIDS, hepatitis B dan C
- efek pada bayi : Neonatal Abstinence Syndrome, meningkatnya risiko
Suden Infant Death Syndrome ( SIDS )
- terapi paling aman dengan metadon yang dosisnya diturunkan perlahan
sampai dosis rendah. Bila ibu menyusui sebaiknya diperbolehkan apabila
dosis metadon sudah rendah
3. Psikostimulan (Amfetamin-Kokain)
- efek psikostimulan pada kehamilan tergantung pada saat umur kehamilan,
jumlah dan pola penggunaan, perbedaan metabolisms
- efek prenatal ; hipertensi pada ibu, perdarahan plasenta mendadak, kelahiran
prematur
- efek pada janin ; kelahiran prematur, foetal distress, berat badan dan ukuran
lingkar kepala bayi kurang dari normal, meningkatnya risiko kelainan
kongenital
- efek pada bayi kemungkinan akan menimbulkan gangguan pada perilaku,
namun belum ada data yang jelas mengenai hal ini
2. Pasien dengan Penyakit Infeksi dan HIV/AIDS
 Data menunjukkan bahwa infeksi Hepatitis C dan HIV/AIDS merupakan kasus
yang sangat tinggi diantara pasien dengan Gangguan penggunaan NAPZA

73
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

khususnya pada pengguna NAPZA suntik


 Penelitian terakhir menunjukkan semua peralatan pribadi yang berkaitan dengan
penggunaan NAPZA suntik mempunyai potensi untuk menularkan penyakit-
penyakit infeksi melalui darah, meskipun pertukaran barang tersebut tidak terjadi,
tetapi kebersihan alat-alat dan indlvidu tidak terjaga sehingga dapat tertular bakteri
dan jamur
 Masalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA suntik
adalah:
- Endocarditis, yang terbanyak adalah infeksi pada katup Trikuspidal, Subacute
Bacterial Endocarditis (SBE) pada ventrikel kiri sering terjadi pada pengguna
NAPZA suntik akibat infeksi bakteri stafllokokus
- Ophtalmitis
- Bakteriaemia
- Tuberkulosis
- Tetanus
 Beberapa penyakit yang ditularkan melalui darah khususnya penyakit yang
disebabkan virus: Hepatitis C,B dan D, HIV
a. Hepatitis C :
 Paling banyak ditemukan pada pengguna NAPZA suntik, yaitu sekitar 90%
dalam dekade terakhir
 penularan paling tinggi melalui pertukaran jarum suntik dan alat-alat
menyuntik lainnya serta jarang sekali karena hubungan seksual
 infeksi vertikal dari ibu yang HCV-RNA positif kepada anak saat
melahirkan berkisar 5-8%
 Tidak ada data tentang penularan melalui ASI
 Tes untuk HCV - Ab baru terlihat positif setelah 15-30 minggu terpapar
sedangkan HCV-RNA terdeteksi setelah 2-3 minggu terpapar virus
 Beberapa kondisi alamiah pada infeksi HCV adalah : sampai 30% pasien
akan bersih dari virus dalam 12 bulan (abortif), 10-15% akan menjadi
infeksi yang kronis dan 20-30 tahun kemudian akan menderita Sirosis
hepatis dan risiko akan meningkat pada pasien usia tua ketika terinfeksi,
laki-laki, peminum alkohol, bertambahnya usia. Pada pasien dengan Sirosis
hepatis mempunyai risiko kanker hati sebesar 4% setiap tahunnya dan
sebagian besar pasien terinfeksi HCV bukan mati karena komplikasi
HCVnya
 Pemberian terapi dengan antiviral (Interferon) sebagai monoterapi tidak
selalu memberikan hasil seperti yang diharapkan. Terapi kombinasi antara
interferon dan Ribavirin memberikan respons yang baik kepada banyak
pasien. Kombinasi terapi ini merupakan kontra indikasi untuk pasien dengan

74
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

gangguan jantung koroner, tiroiditis karena akan mempengaruhi autoimun


pada pasien
 Monitoring harus dilakukan kepada pasien karena bila timbul efek samping
atau karena perkembangan penyakitnya, terapi harus ditinjau ulang atau
bahkan dihentikan. Monitor yang harus dilakukan adalah : tes fungsi hati
setiap 6 bulan, pemeriksaan HCV-RNA ulang bila ada perubahan fungsi
'hati, monitor fetoprotein setiap 6 bulan pada pasien sirosis, pertimbangkan
pemberian imunisasi HBV dan HAV meskipun hasilnya belum pasti
 Pencegahan yang terpenting adalah menghentikan penggunaan jarum suntik
dan pengobatan diubah dengan memberikan substitusi oral khususnya
Program Rumatan Metadon
 Penerapan Universal Precaution sangat diharuskan
b. Infeksi HIV/AIDS
 angka penularan HIV pada pengguna NAPZA suntik di Indonesia sudah
memprihatinkan, diperkirakan saat ini sudah mencapai angka 60% dan
merupakan angka tertinggi dari cara penularan HIV lainnya
 tes serologis HIV biru dapat memberikan hasil positif 3 minggu setelah saat
masuk virus ke dalam tubuh sedangkan HIV-DNA baru bisa terdeteksi
setelah beberapa hari timbulnya gejala masa inkubasi (perasaan lelah seperti
orang flu, badan meriang) dan menghilang setelah 1 bulan
 perlu pengulangan dan konsultasi kepada ahli tentang HIV untuk
menentukan saat tes (merujuk pada buku Pedoman VCT P2M-Kementerian
Kesehatan). Setiap pengguna NAPZA suntik, meskipun sudah tidak
menggunakan NAPZA suntik lagi sebaiknya dilakukan tes HIV melalui pre
dan posttestand Counselling (VCT)
 pengobatan HIV sangat tergantung dengan tahapannya, umumnya yang
menjadi masalah adalah infeksi oportunistik yang berarti sudah masuk
dalam stadium AIDS
 pencegahan penularan dengan program pengurangan dampak buruk atau
Harm Reduction merupakan pilihan yang utama. Informasi terhadap pasien
dan pasangannya secara menyeluruh sangatlah penting untuk menurunkan
angka penularan dan kondisi yang memburuk
 pengguna NAPZA suntik yang masih aktif sebaiknya jangan menyangkal
tentang kemungkinan tertular HIV dan mau datang berobat untuk mencegah
berbagai infeksi lain.
 infeksi lain yang terjadi pada HIV/AIDS seperti tuberkulosis, pneumonia,
SEE, kriptokokus dan Candida akan mernperparah kondisi infeksi lainnya
seperti Hepatitis C

75
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

 Untuk program Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan Care, Support
and Treatment (CST) untuk pasien HIV/AIDS perlu ada pelatihan khusus
sesuai buku pedoman VCT dan Pedoman Terapi Anti Retro Viral (ARV)
P2M - Kementerian Kesehatan
3. Pasien dengan Gangguan Jiwa /Psikiatris
 Kasus ini cukup banyak di lapangan, mencapai 10-30% dari populasi Gangguan
penggunaan NAPZA
 Kelainan yang ada sangat bervariasi
 Bilamana dalam satu periode tertentu dltemukan adanya gangguan psikiatri lain
pada pasien Gangguan penggunaan NAPZA balk itu sebagai akibat penggunaan
NAPZA maupun sebagai penyakit yang mendasari disebut sebagai
KOMORBIDITAS
 Komorbiditas sangat berhubungan dengan hasil terapi yang tidak optimal dan angka
relapse yang cukup tinggi
 Pengobatan seringkali melibatkan layanan yang lain, tetapi hasil yang baik akan
diperoleh dengan terapi yang terintegrasi dan komprehensif
label 1: Gangguan jiwa yang paling sering terkait dengan penggunaan Napza

Ggn. Ggn. Ggn. Ggn. Ggn. Ggn.


Jenis Napza Delirium
Amnestik Cemas Mood Psikotik Fs.Seksual Tidur

CNS
Depresan

Opioida X X X X

Sedatif-
X X X X X X
Hipnotik
Solven-
X X X X X
Inhalansia
Alkohol X X X X X X X
CNS
Stimulant
Amfetamin X X X X X X
Kafein X X
Kokain X X X X X X
Nikotin X X
Halusinogen X X X X

76
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

KOMORBIDITAS DARI PERSPEKTIF PENGGUNAAN NAPZA


 Alkohol dan Gangguan Mood
 Seringkali berhubungan dengan gejala gangguan depresi. Depresi biasanya timbul
setelah beberapa minggu abstinen/berhenti dari alkohol. Gangguan bipolar juga cukup
banyak dan relapse seringkali terjadi pada saat Episode manik
 Alkohol dan Psikosis
 Masalah penggunaan alkohol sangat terkait dengan meningkatnya risiko terjadinya
halusinasi dan waham sebagai gejala psikotik.
 Penggunaan alkohol diantara penderita Skizofrenia memberikan kontribusi dalam
ketidakpatuhan dalam pengobatan, meningkatkan gejala-gejala, meningkatnya
problem medik dan gangguan perllaku
 Kanabis/Ganja dan Psikosis
 Pengalaman yang paling sering pada pengguna kanabis adalah gejala psikotik ringan
seperti Paranoia.
 Kanabis dapat menginduksi terjadinya episode psikotik setelah beberapa hari gejala
intoksikasi menurun
 Kanabis dapat mempresipitasl/memicu gangguan Skizofrenia pada individu yang
mempunyai faktor predisposisi gangguan ini
 Opioida dan gangguan kesehatan jiwa
 Laju gangguan jiwa pada pengguna opioida sangat tinggi, khususnya terkait dengan
gangguan depresi, fobia sosial dan gangguan cemas lain
 Stimulan dan gangguan kesehatan jiwa
 Kondisi intoksikasi stimulan akan menimbulkan beberapa gejala psikotik, beberapa
hari sampai beberapa minggu setelah periode intoksikasi
 Kadangkala kondisi menyerupai Skizofrenia kronik dapat timbul setelah penggunaan
amfetamin kronik yang berat
KOMORBIDITAS DARI PERSPEKTIF KESEHATAN JIWA
 Gangguan cemas dan penggunaan NAPZA
 Individu dengan penggunaan alkohol akan mempunyai risiko tinggi untuk menderita
gangguan cemas, dan gangguan cemas juga dapat timbul sebagai bagian dari
sindroma penggunaan alkohol-
 Gangguan panik dan fobia sosial merupakan gangguan yang paling sering pada
pasien Ketergantungan alkohol
 Menurunkan jumlah penggunaan alkohol akan mengoptimalkan pengobatan

77
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Gangguan cemas pasien


 Pertimbangkan penyalahgunaan benzodiazepin pada pengobatan gangguan cemas,
apabila:
o gejala-gejala masih menetap meskipun sudah dalam pengobatan
o pasien menolak untuk mendapatkan intervensi dan terapi
o tetap menggunakan benzodiazepin untuk mengatasi setiap situasi yang
memprovokasi timbulnya Gangguan cemas
 Gangguan kepribadian dan penggunaan NAPZA
 Gangguan kepribadian yang paling banyak berkaitan adalah Gangguan kepribadian
antisosial
 gangguan kepribadian lain yang banyak terkait antara lain : Histrionik, Ambang,
Narsisistik, Menghindar, dan Obsessif kompulsif
 Gangguan psikotik dan penggunaan NAPZA
 Pasien dengan gangguan psikotik akan meningkatkan tindak kekerasan, tidak
memiliki rumah (tunawisma), psikosis yang memburuk, pemulihan penggunaan
NAPZA akan berjalan dengan lambat dan relapse tinggi
 Penggunaan alkohol dan kanabis dengan gangguan psikotik kronis tiga sampai lima
kaii lebih besar kemungkinannya menjadi Ketergantungan NAPZA
 Kanabis akan menginduksi gejala psikotik akut bila digunakan dalam dosis tinggi
tetapi tidak menimbulkan gangguan psikotik kronis. Kanabis dapat menjadi faktor
presipitasi pada individu yang mempunyai kerentanan untuk psikotik dan akan
mengeksaserbasi gejala-gejala psikotik yang sudah ada
 Stimulan dan halusinogen lebih disukai pasien gangguan psikotik, tetapi zat tersebut
akan mengeksaserbasi gejala-gejala psikotik yang ada
 Bunuh diri dengan penggunaan NAPZA
 Bunuh diri lebih disebabkan karena kondisi penggunan NAPZA yang memburuk dan
tidak menemukan jalan keluar untuk abstinen
 Memburuknya mood akibat psikosis yang diderita pasien
PENATALAKSANAAN :
 Pendekatan terintegrasi dalam suatu layanan yang dilakukan oleh terapis yang
mempunyai ketrampilan dan pengetahuan pada ke dua area (gangguan penggunaan
NAPZA dan gangguan jiwa) akan lebih efektif dan dapat diterima
 Tidak ada pendekatan konfrontatif, diperlukan penatalaksanaan yang asertif dan sukarela
o Prinsip-prinsip Perawatan
1. Keamanan baik bag! petugas, pasien maupun pengunjung

78
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

2. Stabilisasi, untuk pasien dengan kondisi intoksikasi, putus NAPZA, gejala-gejala


psikotik, krisis psikososial, gejala-gejala kecemasan atau depresi berat
3. Asesemen komprehensif, sangat penting dan dilakukan selama dalam perawatan
4. Manajemen kasus klinis, umumnya diinisiasi oleh tim kesehatan jiwa tetapi
membutuhkan koordinasi dan kesinambungan perawatan selanjutnya
5. Pengobatan yang terintegrasi, melibatkan terapis yang mempunyai ketrampilan
dalam bidang kesehatan jiwa dan Gangguan penggunaan NAPZA
o Asesmen dan Penatalaksanaan
1. Melakukan skrining untuk ke dua bidang gangguan
2. Kajian :
 Diperolah melalui asesmen yang seksama
 Penatalaksanaan gejala putus NAPZA dan asesmen ulang bila diperlukan
 Tinjauan ulang diperlukan dalam Waktu tertentu
 Tanyakan, mana yang lebih dahulu timbul?, apakah gejala-gejala psikotik
timbul selama beberapa waktu setelah periode abstinen?
 Observasi kondisi jiwa sebagai efek setelah melewati fase intoksikasi
Bilamana gejala gangguan jiwa akibat diinduksi NAPZA, akan hilang dengan
sendirinya
3. Libatkan untuk pengobatan jangka panjang
 Penting tetapi tidak mudah. Kekambuhan penggunaan NAPZA dan gangguan
jiwa sangat sering
4. Pengobatan
 bangun motivasi untuk berubah, tujuan dan hasil pengobatan harus bersifat
realistik. Misalnya : pasieh dengan Skizofrenia yang tidak terkontrol akan
sulit untuk merubah kehidupan mereka dan bebas dari penggunaan NAPZA
 Motivational Enhancement (dimodifikasi untuk pendekatan pasien gangguan
psikotik)
 Terapkan strategi minimalisasi dampak buruk (Harm Minimisation)
 Gunakan tujuan jangka panjang
5. Adanya kedua gangguan (komorbiditas)
 Bila gangguan kesehatan jiwa membaik, maka Gangguan penggunaan
NAPZA akan berkurang
 Pemberian farmakoterapi untuk kedua kondisi tergantung dari jenis NAPZA
yang digunakan, misalnya ; antidepresan trisiklik (Amitriptilin) dan
penggunaan alkohol sebaiknya dihindari. Perhatikan interaksi obat yang

79
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

diberikan dengan NAPZA yang digunakan.


 Umumnya penggunaan psikofarmaka seperti antidepresan kurang efektif bila
pasien masih tetap menggunakan NAPZA seperti alkohol, benzodiazepin
6. Psikofarmakoterapi
 Pemberian antidepresan golongan Trisklik dan SSRI dapat dipertimbangkan
bila gejala depresi cukup signifikan
 Ansiolitik golongan benzodizepin (Diazepam, Klobazam, Alprazolam,
Lorazepam) untuk jangka pendek dapat diberikan khusushya pada awal
kondisi akut
 Kombinasi antara antipsikotik tipikal (generasi baru) maupun atipikal dengan
ansiolitik maupun antidepresan dapat diberikan untuk jangka panjang apabila
gangguan jiwa pasca intoksikasi maupun putus zat masih menetap.

VII. PENUTUP
Telah diuraikan berbagai hal yang perlu dipersiapkan dan dilaksanakan dalam memberikan
terapi dan rehabilitasi secara komprehensif untuk pasien dengan gangguan penggunaan
NAPZA. Untuk membuat suatu terapi yang komprehensif memerlukan suatu komitmen
yang tinggi dan harus didukung oleh berbagai profesi yang rnempunyai integritas yang
tinggi. Beberapa hal yang dianggap penting dan menjadi topik bahasan dalam pedoman ini
antara lain:
 Manajemen dari program terapi dan rehabilitasi pasien dengan gangguan penggunaan
NAPZA
 Pemgalaman dari beberapa rumah sakit yang telah menjalankan program terapi dan
rehabilitasi gangguan penggunaan NAPZA
 Berbagai modalitas terapi dan rehabilitasi yang dapat diterapkan sesuai dengan sarana
dan prasarana yang tersedia
 Pengembangan jejaring dengan institusi pemerintah maupun LSM
 Berbagai kondisi medik maupun psikiatrik yang terkait dengan masalah gangguan
penggunaan NAPZA serta tatalaksananya
Sumber daya manusia yang tertarik dan bersedia untuk menjadi bagian dari program terapi
gangguan penggunaan NAPZA yang komprehensif merupakan titik krusial yang harus
diantisipasi dalam operasional layanan gangguan penggunaan NAPZA. Saat ini sudah
banyak tenaga yang dilatih di bidang gangguan penggunaan NAPZA akan tetapi banyak
yang pada akhirnya kurang dapat menerapkan ilmu yang sudah dipelajarinya. Untuk itu
pihak manajemen harus dapat membuat suatu terobosan agar sumber daya manusia yang
tersedia di pusat layanan kesehatan khususnya RSU dan RSJ bersedia untuk melaksanakan
program terapi dan rehabilitasi pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA Kondisi lain
yang harus diperhatikan adalah kompleksitas dari pasien dengan gangguan penggunaan

80
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

NAPZA, baik itu akibat langsung dari efek NAPZA maupun lingkungan yang kurang
mendukung. Bagaimanapun pengguna NAPZA adalah bagian dari masyarakat kita yang
harus dibantu, apabila stigma dari lingkungan keluarga atau masyarakat terhadap mereka
masih sangat tinggi maka terapi apapun tidak akan memberikan hasil yang optimal.
Kepedulian keluarga dan petugas kesehatan merupakan suatu bentuk dukungan yang
dibutuhkan oleh pasien pengguna NAPZA.
Masalah penggunaan NAPZA berkembang dari waktu ke waktu baik itu jenis NAPZA,
kelompok pengguna maupun dampak yang ditimbulkan. Kondisi yang saat ini kita hadapi
adalah penularan berbagai penyakit infeksi khususnya HIV/AIDS dan gangguan
jiwa/psikiatris baik sebagai komplikasi maupun kondisi yang memperberat gangguan
psikiatris yang sudah ada sebelumnya. Pengetahuan dan ketrampilan petugas dituntut untuk
selalu mempelajari hal-hal baru mengenai masalah gangguan penggunaan NAPZA agar
pengobatan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dan kemajuan ilmu dan
teknologi dalam bidang gangguan penggunaan NAPZA. Satu model terapi belum tentu
efektif untuk setiap orang sehingga setiap institusi kesehatan perlu menyediakan berbagai
model layanan terapi dan rehabilitasi pasien gangguan penggunaan NAPZA agar dapat
memberikan terapi secara optimal. Apabila tidak memungkinkan perlu adanya pembuatan
dan perluasan jejaring dengan berbagai fasilitas layanan lain yang lebih lengkap. Dengan
penguatan jejaring akan mempermudah melaksanakan sistem rujukan.
Masa yang akan datang setiap layanan kesehatan khususnya RSU dan RSJ diharapkan
sudah dapat memberikan layanan untuk pasien gangguan panggunaan NAPZA baik
minimal maupun yang komprehensif. Pedoman ini diharapkan dapat memberikan
gambaran kepada kita semua bagaimana masalah gangguan penggunaan NAPZA
merupakan hal yang harus menjadi perhatian kita semua agar anak bangsa di masa datang
mempunyai kualitas yang lebih baik dan tidak terjadi suatu Lost Generation

81
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

DAFTAR PERSYARATAN PERALATAN LAYANAN PENUNJANG


LABORATORIUM
NO JEN1S PEMERIKSAAN SPESIMEN METODA PERALATAN PRATAMA UTAMA
(Skrining)
Konfirmasi
A Narkotika
1 Heroin (Diethil morphine) Darah Immunoassay Kit + +
Yang diperiksa adalah : Urine Kromatografi Elisa + +
Metabolit morphine dalam KIT +
bentuk Morphine 3 D KLT Scanner +
Qlucoronide dan 6 MAM HPLC atau +
GC/GCMS +
2. Morphine
Yang diperiksa adalah Darah Immunoassay Kit + +
Metabolit morphine dalam Urine Kromatografi Elisa + +
bentuk 3 B morphine- KLT +
Qlucoronide KLT Scanner +
HPLC atau +
GC/GCMS +
3. Canabis
Yang diperiksa adalah Darah Immunoassay Kit + +
Metabolit cannabis dalam Urine Kromatografi Elisa + +
bentuk 1 1 nor-9 carboxy KLT +
THC KLT Scanner +
(Tetrahydoccanabinol HPLC atau +
Carboksilat) GC/GCMS +

4. Cocaine
Yang diperiksa adalah Darah Immunoassay Kit + +
Metabolit cocaine dalam Urine Kromatografi Elisa + +

82
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Bentuk Benzoylecgonine KLT +


KLT Scanner +
HPLC atau +
GC/GCMS +

5. Codein Darah Immunoassay Kit + +


Kromatografi Elisa + +
Urine KLT +
KLT Scanner +
HPLC atau +
GC/GCMS +

6. Dll Darah Immunoassay Kit + +


Urine Kromatografi Elisa + +
KLT +
KLT Scanner +
HPLC atau +
GC/GCMS +

B PSIKOTROPIKA
1. Amphetamine Darah
Yang diperiksa adalah : Immunoassay Kit + +
Metabolit amphetamine Urine Kromatografi Elisa + +
dalam bentuk KLT +
amphetamine KLT Scanner +
HPLC atau +
GC/GCMS +
2. Derivat Amphetamine
a, MDMA (3,4 metilin Darah Immunoassay Kit + +
dioksi Kromatografi Elisa + +
Methamphetamine atau Urine KIT +
Ektasi). Yang diperiksa KLT Scanner +
adalah Metabolit MDMA HPLC atau +
dalam bentuk HMMA (4 GC/GCMS +
hidroksi 3 metoxi
Metamphetamine)
b. MDMA (3,4 metilin Darah Immunoassay Kit + +
dioksi Methamphetamine Kromatografi Elisa + +
atau Ektasi). Yang Urine Spektrofotometri KLT +
diperiksa adalah Metabolit KLT Scanner +
MDMA dalam bentuk HPLC atau +
HMA (4 hidroksi 3 GC/GCMS +
metoxi Metamphetamine) Spektrofotom
eter UV-VIS

3. Methamphetamine Darah Immunoassay Kit + +


Methamphetamine dalam Urine Kromatografi Elisa + +
bentuk Spektrofotometri KLT +
KLT Scanner +
HPLC atau +

2
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

GC/GCMS +
Spektrofotom
eter UV-VIS

4. Benzodiazepin Darah Immunoassay Kit + +


a. Diazepam yang Urine Kromatografi Elisa + +
diperiksa adalah : Spektrofotometri KLT +
metabolit diazepam KLT Scanner +
dalam bentuk M,Des HPLC atau +
Metyl GC/GCMS +
Diazepam/Temazep Spektrofotom
am/Nordizepam/Oxa eter UV-VIS
zepam
b. Nitrazepam Yang Darah Immunoassay Kit + +
diperiksa adalah Urine Kromatografi Elisa + +
Metabolit Nitrazepam Spektrofotometri KLT +
dalam bentuk 7 onimo KLT Scanner +
Nitrazepam HPLC atau +
GC/GCMS +
Spektrofotom
eter UV-VIS
c. Klor Diazepoksid Darah Immunoassay Kit + +
Yang diperiksa adalah Urine Kromatografi Elisa + +
Metabolite Klor Spektrofotometri KLT +
Diazepoksid dalam KLT Scanner +
bentuk 4 HPLC atau +
Hydroksinordiazepa GC/GCMS +
m/Oxazepam Spektrofotom
eter UV-ViS

5. Barbital Darah Immunoassay Kit + +


a. Phenobarbital Yang Urine Kromatografi Elisa + +
diperiksa adalah Spektrofotometri KLT +
Metabolite KLT Scanner +
Phenobarbital dalam HPLC atau +
bentuk GC/GCMS +
Phydroksyphenobar- Spektrofotom
bital eterUV-VIS

b. Thipental Yang Darah Immunoassay Kit + +


diperiksa adalah : Urine Kromatografi Elisa + +
Metabolit thipental Spektrofotometri KIT +
dalam bentuk as. KIT Scanner +
Carboksilat HPLC atau +
GC/GCMS +
Spektrofotom
eter UV-VIS

ZATADIKTIFLAINNYA Tes Warna Peralatan + +


1. AIkohol Mikrodifusi gelas + +
2. Metanol Kromatografi Cawan +

3
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

3. Etanol Spektrofotometri conway +


KIT manual +
KLT Scanner +
HPLC atau
GC/GCMS
Spektrofotom
eter UV-VIS
Ket: 1. Skrining : adalah pemeriksaan laboratorium sebagai upaya mengetahui adanya jenis
obat yang menimbulkan afek toksis atau efek yang tidak diinginkan yang dilakukan
secara cepat.
2. Konfirmasi: adalah pemeriksaan laboratorium lanjutan sebagai upaya untuk
menegaskan hasil yang positif dari pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan lebih
akurat.

4
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

5
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

6
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

7
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

8
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

9
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

10
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

11
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

12
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

13
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

14
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

15

Anda mungkin juga menyukai