Anda di halaman 1dari 369

UN 6

KLASIFIKASI DAN ESTIMASI SUMBERDAYA


BATUBARA PADA FORMASI BALIKPAPAN
MENGGUNAKAN METODE GEOSTATISTIK

STUDI KASUS : LAPANGAN BATUBARA SANGATTA,


KALIMANTAN TIMUR

CLASSIFICATION AND ESTIMATION OF COAL


RESOURCES IN BALIKPAPAN FORMATION
USING GEOSTATISTICAL METHOD

CASE STUDY: SANGATTA COAL FIELD,


EAST KALIMANTAN

Oleh
Irfan Marwanza
270130140006

DISERTASI
Untuk memperoleh gelar Doktor dalam ilmu Teknik Geologi di Universitas Padjadjaran
Dengan Wibawa Rektor Universitas Padjadjaran

UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2017

Klasifikasi dan Estimasi Sumberdaya Batubara Pada Formasi Balikpapan Menggunakan Metode Geostatistik
Irfan Marwanza
i

Klasifikasi dan Estimasi Sumberdaya Batubara Pada Formasi Balikpapan Menggunakan Metode Geostatistik
Irfan Marwanza
ii

Klasifikasi dan Estimasi Sumberdaya Batubara Pada Formasi Balikpapan Menggunakan Metode Geostatistik
Irfan Marwanza
4

DALIL

1. Matematika geologi berperan penting dalam merumuskan model dan teori-

teori ilmiah untuk meneliti berbagai fenomena geologi yang berbeda.

2. Statistika geologi digunakan untuk merancang proses pengumpulan data,

meringkas ,serta menarik kesimpulan dari data geologi.

3. Geostatistik dapat digunakan untuk membuat model dari data spasial,

geometri dan kualitas batubara yang dapat digunakan dalam

merencanakan eksplorasi dan eksploitasi selanjutnya..

4. Variogram dapat mengungkap variasi dan struktur data secara spasial

5. Kriging merupakan penaksir geostatistik yang dirancang untuk penaksiran

lokal dari nilai suatu blok sebagai kombinasi linier dari conto-conto yang

ada di dalam dan / atau di sekitar blok, sehingga taksiran ini tidak bias dan

memiliki varians minimum.

6. Kriging akan memberikan bobot yang tinggi untuk conto di dalam / di

dekat blok, dan sebaliknya bobot yang rendah untuk conto yang jauh

letaknya.

7. Kondisi kompleksitas geologi dan model geostatistiknya adalah saling

berkaitan.
5

ABSTRAK

Pendekatan geostatistik dengan parameter geometri maupun kualitas batubara


dapat dipertimbangkan secara sekaligus untuk menentukan klasifikasi dan
estimasi sumberdaya batubara. jika pendekatan geostatistik dilakukan, maka
setiap cekungan batubara dengan setting geologi berbeda, maka kemungkinan
dapat memiliki parameter klasifikasi sumberdaya, misalnya jarak pengaruh yang
berbeda dengan cekungan batubara di tempat lain. Pemahaman geologi suatu
daerah adalah sangat penting dalam pemodelan variogram, yaitu untuk
mengurangi faktor ketidakpastian pada hubungan spasial data.
Kompleksitas geologi endapan batubara (sedimentasi dan tektonik) di daerah
penelitian adalah : Pada lokasi peneltian area Pit J, sesuai dengan SNI 5015 tahun
2011 dan bukti-bukti studi geologi dapat dikategorikan menjadi kondisi geologi
komplek, untuk area lapangan batuabara sangatta dapat dibagi menjadi 2 ( dua )
kondisi, yaitu kondisi geologi moderat dan kondisi geologi komplek. Kelompok
kondisi geologi komplek berada pada area bagian timur area, sedangkan
kelompok kondisi geologi moderat berada pada area barat, sedangkan pada lokasi
pembanding di area PT. Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan,
khususnya lapisan batubara A1 dikategorikan menjadi kelompok kondisi geologi
sederhana.
Pendekatan geostatistik untuk klasifikasi dan estimasi sumberdaya dilakukan
menggunakan variogram dan kriging pada empat parameter, yaitu ketebalan
sebagai faktor geometri, serta nilai kalori, kadar abu, dan kadar sulfur sebagai
faktor kualitas. Proses variografi dan kriging dilakukan per unit area yang
selanjutnya akan mendapatkan nilai kemenerusan variogram, kriging estimasi dan
kriging varian, yang selanjutnya akan digunakan untuk mencari nilai error relative
(RKSD). Nilai RKSD ini kemudian menjadi acuan dalam pengklasifikasian
sumberdaya batubara, dimana nilai RKSD ≤ 0,3 dikategorikan sebagai
sumberdaya terukur (measured), antara 0,3-0,5 dikategorikan sebagai sumberdaya
terkira (indicated), dan lebih besar dari >0,5 dikategorikan sebagai sumberdaya
tereka (inferred).
Hasil analisis variogram ketebalan lapisan batubara BE selatan, Nugget Effect
0.26, Range 209 meter dan Sill 0.16; ketebalan lapisan batubara BE utara. Nugget
Effect 0.042, Sill 0.658 dan Range 151,2 meter ; ketebalan lapisan batubara NM
selatan, Nugget Effect 0,861, Sill 3,198 dan Range 475,6 meter ; ketebalan lapisan
batubara NM utara, Nugget Effect 0.0009, Sill 0.0276 dan Range 249,9 meter;
lapisan batubara sangatta zona barat, Nugget Effect 1.722, Sill 6.97 dan Range
528 meter; lapisan batubara sangatta zona timur Nugget Effect 4.51, Sill 3.444
dan Range 277 meter; lapisan batubara A1, Nugget Effect 2.014, Sill 3.286 dan
Range 1034 meter.
Hasil analisis variogram kadar abu lapisan batubara NM, Nugget effect 0,6 ; Sill
9,5 ; Range 341 meter; kadar sulfur lapisan batubara NM, Nugget effect 0; Sill
0.28 ; Range 278,9 meter ; nilai kalor lapisan batubara NM, Nugget effect 0 ; Sill
6

68000 Range 353,4 meter ; kadar abu lapisan batubara BE Nugget effect 0 ; Sill
43,13 Range 217,8 meter; kadar sulfur lapisan batubara BE, Nugget effect 0,192
;Sill 0,24 ; Range 220 meter ; nilai kalor lapisan batubara BE, Nugget effect 2790;
Sill 90210; Range 576 meter; kadar abu lapisan batubara Sangatta, Nugget effect
1.05; Sill 0.435; Range 288 meter ; kadar sulfur lapisan batubara Sangatta Nugget
effect 0.0042 ; Sill 0.07 ; Range 1584 meter ; nilai kalor lapisan batubara sangatta,
Nugget effect 13648.8 ; Sill 35000 ; Range 2790 meter.
Hasil klasifikasi dan estimasi sumberdaya batubara dengan pendekatan
geostatistik didapatkan klasifikasi sumberdaya batubara tereka, tertunjuk dan
terukur dengan estimasi sumberdaya batubara secara berurutan (tereka, tertunjuk
dan terukur) sebagai berikut : Lapisan batubara BE utara 800.000 ton, 300.000
ton. Lapisan batubara BE selatan 70.000 ton, 4.000.000 ton, dan 10.000.000 ton.
Lapisan batubara NM utara 300.000 ton, 300.000 ton, dan 200.000 ton. Lapisan
batubara NM selatan 2.000.000 ton, 8.000.000 ton, dan 7.000.000 juta ton.
Lapisan batubara Sangatta barat 2.000.000 ton, 12.000.000 ton, dan 7.000.000
ton. Lapisan batubara Sangatta timur 10.000.000 ton, 23.000.000 ton, dan 500.000
ton. Lapisan batubara A1 7.000.000 ton, 28.000.000 ton, dan 55.000.000 ton.

Kata kunci : batubara, statistik, geostatistik, variogram, kriging, rksd,


sumberdaya
7

ABSTRACT

Geostatistical approach to geometry and coal quality parameters can be


considered simultaneously to determine the classification and estimation of coal
resources. If the geostatistical approach is done, then any coal basin with different
geological setting, the possibility can have a resource classification parameters,
such as distance influence (range) of different coal basins elsewhere.
Understanding the geology of an area is very important in modeling the
variogram, which is to reduce the uncertainty in the data spatial relationships.
The complexity of the geology of coal deposits (sedimentation and tectonic) in the
study area are: In the location of a study area Pit J, in accordance with SNI 5015
in 2011 and evidence of geological study can be categorized into geological
condition is complex, for Sanggata coalfield area can be divided into two ( two)
conditions, moderate and complex geological conditions. The complex geological
conditions in the eastern part of the Sangatta area, while the moderate geological
conditions that are in the western area, while at the location of a study area of PT.
Bukit Asam, Tanjung Enim, South Sumatra, in particular coal seams are
categorized into groups A1 is the simple geological conditions.
Geostatistical approach to the coal resource classification and estimation was
performed using variogram and kriging on four parameters, thickness as geometry
factors, the calorific value, ash content, and the levels of sulfur as a quality factor.
Variografi process and kriging performed per unit area which in turn will get the
value of continuity of the variogram, kriging estimate and kriging variance, which
would then be used to find the value of relative error (RKSD). RKSD value then
becomes a reference in the classification of coal resources, where the value of ≤
0.3 RKSD categorized as measured resources (measured), between 0.3-0,5
categorized as a probable resource (indicated resources), and greater than> 0,5
categorized as an inferred resource (inferred).
Results of variogram analysis of coal seam thickness : BE south, Nugget Effect
0:26, Range 209 meters and Sill 0:16; BE north, Nugget Effect 0042, 0658 and
Sill Range 151.2 meters; NM south, Nugget Effect 0.861, 3.198 and Range Sill
475.6 meters; NM north, Nugget Effect 0.0009, 0.0276 and Range Sill 249.9
meters; sangatta western zone, Nugget Effect 1722, Sill 6.97 and Range 528
meters; sangatta eastern zone Nugget Effect 4:51, Sill Range 3,444 and 277
meters; coal seam A1, Nugget Effect 2014, Sill Range 3286 and 1034 meters.
Results of variogram analysis of the ash content of the coal seam NM, Nugget
effect of 0.6; Sill 9.5; Range 341 meters; NM sulfur content, Nugget effect 0; Sill
0:28; Range 278.9 meters; NM calorific value, Nugget effect 0; Sill 68000 Range
353.4 meters; BE ash content, Nugget effect 0; Sill Range 43.13 217.8 meters; BE
sulfur content, Nugget effect 0.192; 0.24 Sill; Range of 220 meters; BE calorific
value, Nugget effect in 2790; Sill 90210; Range 576 meters; the ash content of the
8

Sangatta coal seam, Nugget effect 1:05; Sill 0435; Range 288 meters; sulfur
content of the Sangatta coal seam, Nugget effect 0.0042; Sill 0:07; Range 1584
meters; calorific value of the sangatta coal seam, Nugget effect 13648.8; Sill
35000; Range 2790 meters.
The results of the classification and estimation of coal resources with
geostatistical approach, resulting classification of inferred, indicated and measure
coal resources with an estimated coal resource in sequence (inferred, indicated
and measure) as follows: North BE coal seam 800,000 tons, 300,000 tons. South
BE coal seams of 70,000 tons, 4,000,000 tons and 10 million tons. North NM coal
seam of 300,000 tons, 300,000 tons and 200,000 tons. South NM coal seam of
2,000,000 tons, 8,000,000 tons and 7,000,000 million tons. West Sangatta coal
seam of 2,000,000 tons, 12 million tons, and 7,000,000 tons. Eastern Sangatta
coal seam 10 million tons, 23 million tons, and 500,000 tons. A1 coal seam :
7,000,000 tons, 28,000,000 tons and 55,000,000 tons.

Keywords: coal, statistics, geostatistics, variogram, kriging, rksd, resources


9

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan

rahmat, karunia dan petunjukNya yang tiada tara, sehingga penelitian dan

penulisan disertasi ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam semoga tetap

tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Disertasi yang berjudul “Pendekatan

Geologi dan Geostatistik Endapan Batubara, Lapangan Sangatta, Kabupaten Kutai

Timur, Provinsi Kalimantan Timur” ini merupakan hasil penelitian yang ditulis

dalam rangka memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar akademik Doktor (S3),

pada program Pascasarjana Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Bandung.

Penulis sangat sadar bahwa apa yang telah kami raih bukanlah suatu hal mutlak

yang berdiri sendiri, melainkan atas ma’unah Allah SWT sebagai Robbul Jalil,

kepedulian, bimbingan dan dorongan serta bantuan dari berbagai pihak juga turut

menentukan apa yang kami raih ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini,

pertama-tama penulis ingin sampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya

terutama kepada bapak-bapak Promotor yang telah mendidik, membimbing,

memberikan dukungan moral, materil dan memotivasi untuk arahan-arahan dalam

disertasi ini. Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak

Dr. Ir. Ahmad Helman Hamdani, MSi, selaku Ketua Promotor, Dr. Ir. Iyan

Haryanto, MT dan Dr. Ir. Chairul Nas, MSc selaku Promotor dalam disertasi ini.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada


10

Prof. (Em) Dr. Ir. Adjat Sudradjat, M.Sc, Dr. Sc. Yoga Andriana Sendjaja, ST.

M.Sc. dan Dr. Budi Muljana, ST., MT. selaku oponen ahli, atas masukkan saran,

diskusi, curahan ilmu sejak masa perkuliahan dan dukungan dalam

penyempurnaah disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih sebesar-

besarnya kepada Prof. Dr. Rostita L Balia, M.Sc selaku Perwakilan Guru Besar

sekaligus oponen ahli atas masukkan saran dan koreksi dalam penyempurnaan

naskah disertasi. Selanjutnya kepada orang tua, mertua, isteri dan anak serta

keluarga tercinta yang telah memberikan doa serta dukungan moral dan materiil

yang tak terhingga kepada penulis. Di akhir kesempatan, Penulis juga ingin

sampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Ir.Vijaya Isnaniawardhani, MT selaku Dekan Fakultas Teknik

Geologi Unpad yang telah memberikan ijin dalam melaksanakan disertasi

ini.

2. Bapak Dr. Hendarmawan, Ir., MSc, selaku mantan Dekan Fakultas Teknik

Geologi Unpad yang telah memberikan ijin dalam melaksanakan disertasi

ini.

3. Ibu Dr. Euis Tintin Yuningsih, ST., MT., selaku Ketua Program Pasca

Sarjana Program Doktor Teknik Geologi FTG Unpad yang telah

memberikan izin melaksanakan disertasi ini.

4. Dr. Ir. Nana Sulaksana, MSP., selaku mantan Ketua Program Pasca

Sarjana Program Doktor Teknik Geologi FTG Unpad yang telah

memberikan izin melaksanakan disertasii ini.


11

5. Seluruh staf dosen Paska Sarjana dan tata usaha Fakultas Teknik Geologi

Unpad atas segala curahan ilmu selama perkuliahan, bantuan dan

dukungannya.

6. Bapak Dr.Ir. Afiat Anugrahadi, MT selaku Dekan Fakultas Teknologi

Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti Dr. Ir. Sugiatmo Kasmungin,

MSc selaku mantan Dekan Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi,

Universitas Trisakti dan Ibu Dr. Ir. Pancanita Novi Hartami, MT selaku

Ketua Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknologi Kebumian

dan Energi, Universitas Trisakti yang telah memberikan ijin tugas belajar

dan menfasilitasi penulis selama kuliah.

7. Bapak Ir. Aryo Sustyono dan Bapak Ir. Damar yang telah memberi

kesempatan dan memfasilitasi penulis untuk dapat melaksanakan

penelitian di PT. Kaltim Prima Coal.

8. Bapak Mohamad Nur Heriawan, S.T., M.T., Ph.D; Dr. Ir. Ali Djambak,

MT; Dr. Ir. M. Burhanuddin, MSc; Ir. Hermanto Saliman, MT ; Dr, Ir.

Bani Nugroho, MT; Dr. Ir. Masagus Ahmad Azizi, MT; Ir, Syamidi

Patian, MT; Ir, Taat Tri Purwiyono, MT dan Ir. Ronald Sibarani dan

Firman Herdiansyah ST,MT atas diskusi dan sarannya selama penulis

melaksanakan penelitian.

9. Theresa Naomi Putri, ST, Danu Putra, ST, Ignatius Michael dan Satrio,

kolega, adik-adik alumni dan mahasiswa FTKE Univesitas Trisakti yang

telah membantu penulis dalam pengerjaan disertasi.


12

10. Teman-teman seperjuangan melaksanakan kuliah di Pasca Sarjana Teknik

Geologi, Universitas Padjadjaran, terimakasih atas bantuan dan

kebersamaannya.

11. Rekan-rekan dosen di Program Studi Teknik Pertmbangan dan Teknik

Geologi Univesitas Trisakti atas dukungannya.

12. Teman-teman di sekretariat Program Studi Pasca Sarjana Teknik Geologi.

13. Dan semua pihak yang berkontribusi dalam kelancaran jalannya disertasi

ini.

Semoga Allah SWT memberikan imbalan yang berlimpah atas keikhlasan dalam

kebaikan dan amal yang Bapak, Ibu dan Saudara sekalian berikan. Penulis

menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih jauh dari kata sempurna,

mengingat keterbatasan pengetahuan serta pengalaman yang ada pada diri penulis.

Oleh karena itu penulis mohon maaf atas segala kekurangannya dan adanya kritik

serta saran yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan. Akhirnya hanya

seuntai harapan yang dapat penulis sampaikan, semoga laporan ini dapat

memberikan manfaat bagi berbagai pihak, khususnya kalangan yang

berkecimpung di dunia geologi dan khususnya geosatistik.

Jatinangor, 2016

Irfan Marwanza
13

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………… i

LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………… ii

DALIL …………………………………………………………………. iii

ABSTRAK …………………………………………………………… iv

ASTRACT ……………………………………………………………. vi

KATA PENGANTAR.............................................................................. viii

DAFTAR ISI............................................................................................. xii

DAFTAR TABEL..................................................................................... xxvi

DAFTAR GAMBAR................................................................................ xxx

LAMPIRAN ……………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1

1.1. Latar Belakang............................................................................... 1

1.2. Lokasi dan Kesampaian Daerah..................................................... 4

1.3. Daerah Penelitian ............................................................................ 6

1.4. Tinjauan Umum Perusahan............................................................ 6

1.5. Topografi......................................................................................... 9

1.6. Iklim dan Curah Hujan.................................................................... 9

1.7. Rumusan Masalah atau Identifikasi Masalah.................................. 9

1.8. Maksud dan Tujuan Penelitian......................................................... 10

1.9. Kegunaan Penelitian......................................................................... 11


14

1.10. Batasan Penelitian ........................................................................... 11

1.11. Noveltis............................................................................................ 12

1.12. Road Map Penelitian........................................................................ 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

HIPOTESIS .................................................................................... 16

2.1. Kajian Pustaka ................................................................................ 16

2.1.1. Geologi Regional ............................................................................ 16

2.1.1.1. Geologi Regional Cekungan Kutai .............................................. 16

2.1.1.2. Fisiografi Cekungan Kutai .......................................................... 20

2.1.1.3. Stratigrafi Regional Cekungan Kutai........................................... 22

2.1.1.4. Struktur Geologi Regional Cekungan Kutai ............................... 26

2.1.1.5. Geologi Regional Daerah Sangatta............................................... 28

2.2. Geologi Lokal Daerah Sangatta Dan Sekitarnya........................... 32

2.2.1. Morfologi Daerah Penelitian (PIT J dan Lapangan Batubara

Sangatta) ...................................................................................... 32

2.2.2. Geologi Area Pit J.......................................................................... 34

2.2.2.1. Stratigrafi .................................................................................... 34

2.2.2.2. Struktur Geologi ........................................................................ 40

2.2.2.3. Sejarah Geologi Daerah Pinang .................................................. 45

2.2.3.3. Lingkungan Pengendapan.......................................................... 46

2.3. Kajian Pustaka Geologi Batubara................................................. 48

2.3.1. Pembentukan Batubara ................................................................ 49

2.3.2. Posisi Geotektonik (geotectonic position)................................. 51


15

2.3.2.1. Topografi purba (paleotopografi)…………….................…... 51

2.3.2.2. Posisi geografi (geographical position).................................... 51

2.3.3. Iklim (climate)......................................................................... 52

2.3.4. Tumbuhan (flora)..................................................................... 53

2.3.5. Pembusukan (decomposition)................................................... 53

2.3.6. Penurunan dasar cekungan (subsidence).................................. 54

2.3.7. Waktu geologi (geological age)............................................... 54

2.3.8. Sejarah setelah pengendapan (post-depositional history)........ 55

2.3.9. Metamorfosa organik (organic metamorphism)....................... 55

2.3.10. Analisis Cekungan Batubara.................................................... 55

2.3.10.1. Pengertian analisis cekungan batubara..................................... 56

2.3.10.2. Data kritis untuk analisis cekungan......................................... 57

2.3.10.3. Data bawah permukaan untuk analisis cekungan.................... 58

2.3.10.4. Data mineralogi dan petrografi organik................................. 58

2.3.10.5. Data geokimia.......................................................................... 58

2.3.10.6. Data paleontologi, biostratigrafi dan paleoekologi................. 59

2.3.11. Penerapan Model Pengendapan Batubara............................. 59

2.3.11.1. Geometri Lapisan Batubara ................................................... 59

2.3.11.2. Model Lapisan Seam Batubara Akibat Sedimentasi

dan Struktur Geologi............................................................ 65

2.3.11.2.1. Model atau Pola Stratigrafi (Stratigraphic Pattern).............. 65

2.3.11.2.2. Clastic dyke dan injection structures................................... 70

2.3.11.2.3. Cleat.................................................................................... 70
16

2.3.11.2.4. Intrusi batuan beku pada lapisan batubara.......................... 72

2.3.11.2.5. Batuan yang biasanya berasosiasi dengan lapisan batubara... 73

2.3.11.2.6. Batubara Berlapis-lapis atau terkadang dengan

Sedimen Asal Laut................................................................ 74

2.3.11.2.7. Seat Rock dan Underclay...................................................... 74

2.3.11.2.8. Coal balls.............................................................................. 74

2.3.11.2.9. Bentuk Burried Hill ............................................................ 75

2.3.12. Lingkungan Pengendapan.................................................... 75

2.3.12.1. Lingkungan Pengendapan Fluvio Deltaik............................ 77

2.3.12.1.1. Sistem Fluviatil.................................................................... 77

2.3.12.1.2. Sistem Daerah Delta............................................................. 80

2.3.12.1.2.1. Delta Plain ...................................................................... 80

2.3.12.1.2.2. Delta Front ..................................................................... 83

2.3.12.1.2.3. Prodelta............................................................................ 84

2.3.12.1.3. Dataran Pasang Surut (Tidal Flat)......................................... 85

2.3.12.1.4. Estuarin.................................................................................. 86

2.3.13. Interprestasi Lingkungan Berdasarkan Analisis Log

Gamma Ray........................................................................... 86

2.3.14. Kualitas Batubara ................................................................ 90

2.3.15. Klasifikasi Batubara ............................................................. 94

2.3.16. Klasifikasi Sumberdaya Batubara dan Sistem Pelaporan...... 96

2.3.17. Sumberdaya Batubara............................................................ 102

2.3.18. Kelas Sumberdaya Batubara................................................ 102


17

2.4. Metode Statistik dan Geostatistik................................................ 104

2.4.1. Statistik Dasar atau Statistik Deskriptif.................................. 104

2.4.2. Statistik Spasial atau Geostatistik........................................... 107

2.4.2.1. Vertikal Lag Distance ……………………………….......…. 110

2.4.2.2. Horizontal Lag Distance…………………………………...... 111

2.4.2.3. Experimental Variogram.......................................................... 113

2.4.2.4. Permodelan Variogram............................................................ 117

2.4.2.4.1. Model Yang Memiliki Parameter Sill...................................... 118

2.4.2.4.2. Model Isotropi dan Anisotropi.................................................. 119

2.4.2.5. Kriging……………………..................................................... 120

2.5. Klasifikasi Sumberdaya Batubara Berdasarkan Analisis

Geostatistik...................................................................................... 122

2.6. Kerangka Pemikiran ……………………………………………… 125

2.7. Hipotesis…………………………………………………………… 125

BAB III OBYEK DAN METODE PENELITIAN.............................. 126

3.1. Obyek Penelitian............................................................................. 126

3.2. Alat dan Bahan Penelitian............................................................. 126

3.3. Tahapan Penelitian........................................................................ 127

3.4. Metode Penelitian ……………………………………………... 128

3.4.1. Data variabel ............................................................................... 131

3.4.2. Tahapan Pekerjaan …………………………………………….. 131

3.4.2.1. Pesiapan………………………………………………………. 131

3.4.2.2. Data ………………………………………………………….. 13


18

3.4.2.3. Metode Pemerolehan Dan Analisis Data…………………….. 132

3.4.2.4. Uji Statistik Dasar …………………………………………… 132

3.4.2.5. Metode dan Analisis Geostatistik ………………………….. 135

3.4.2.5.1. Penzonaan ……………………………………………….. 137

3.4.2.5.2. Peta Lokasi Lubang Bor ………………………………… 138

3.4.2.5.3. Penggunaan Sofware Variowin …………………………… 139

3.4.2.5.4. Metode Kriging …………………………………………… 142

3.4.2.5.5. Klasifikasi dan Estimasi Sumberdaya Batubara ………….. 147

3.5. Desain Penelitian ………………………………………………........ 149

3.5.1. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ………………………… 151

3.5.1.1. Sumber Data ……………………………………………….... 151

3.5.1.2. Teknik Pengumpulan Data ………………………………....... 153

3.6. Rancangan Analisis ……………………………………………… 154

3.7. Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………….. 154

3.7.1. Lokasi Penelitian …………………………………………………. 154

3.7.2. Waktu Penelitian …………………………………………………. 155

3.8. Diagram Alir Penelitian …………………………………………….. 156

BAB IV HASIL PENELITIAN GEOLOGI …………………………. 182

4.1. Hasil Penelitian. ……………………………………..………. 182

4.1.1. Hasil Penelitian Geologi………………..……………………. 182

4.1.1.1. Endapan Batubara PIT J ...................................................... 183

4.1.1.1.1. Sedimentasi Endapan Batubara di PIT J …………………….. 183

4.1.1.1.2. Struktur Geologi PIT J.................................................................. 188


19

4.1.1.1.3. Karakteristik Geologi Beberapa Seam Batubara di Pit J….. 193

4.1.1.1.3.1. Seam JR........................................................................... 193

4.1.1.1.3.2. Seam BE........................................................................... 194

4.1.1.1.3.3. Seam E2........................................................................... 195

4.1.1.1.3.4. Seam ML.......................................................................... 195

4.1.1.1.3.5. Seam L1................................................................................. 196

4.1.1.1.4. Karakteristik Kualitas Seam Batubara di Pit J........................... 197

4.1.1.1.5. Interpretasi Lingkungan Pengendapan Batubara di Pit J............. 198

4.1.1.1.5.1. Hasil Analisis Elektrofasies di Lokasi Penelitian....................... 199

4.1.1.1.5.2. Interpretasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan

Analisis Struktur Sedimen......................................................... 201

4.1.1.1.6. Endapan Batubara di Lapangan Sangatta.................................. 203

4.1.1.1.6.1. Zona Barat.............................................................................. 206

4.1.1.1.6.2. Zona Pusat............................................................................. 207

4.1.1.1.6.3. Zona Timur............................................................................. 209

4.1.1.1.6.4. Zona Utara............................................................................ 210

4.1.1.1.7. Geometri Lapisan Batubara.......................................................... 211

4.1.1.1.8. Kualitas Lapisan Batubara Sangatta........................................... 217

4.1.1.1.8.1. Kadar Sulfur........................................................................... 217

4.1.1.1.8.2. KadarAbu..................................................................................219

4.1.1.1.8.3. Nilai Kalor dan Zat Terbang..................................................... 220

4.1.1.1.9. Lingkungan Pengendapan........................................................... 221

4.1.1.1.10. Endapan Lapisan Batubara A1 Formasi Muara Enim …… 222


20

4.1.2. Hasil Analisis Geostatistik…………........................................... 222

4.1.2.1. Pengambilan dan Preparasi Data ……………………………. 223


4.1.2.1.1. Data Pemboran PIT J ………………………………………. 223

4.1.2.1.2. Peta Lokasi Titik Bor di PIT J …………………………….. 224

4.1.2.2. Hasil Analisis Statistik Dasar ………………………………… 225

4.1.2.2.1. Hasil Analisis Statistik dan Geostatistik Ketebalan Lapisan

Dan Kualitas Batubara PIT J ……………………………… 225

4.1.2.2.1.1. Statistik Deskriptif Ketebalan Seam BE Utara………… 226

4.1.2.2.1.2. Eksperimental dan Pemodelan Variogram Seam BE Utara… 228

4.1.2.2.1.3. Kriging Ketebalan Seam BE Utara……………………………….229

4.1.2.2.1.4. Klasifikasi Sumberdaya Batubara Seam BE Utara …………….. 230

4.1.2.2.1.5. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan Variogram…230

4.1.2.2.1.6. Statistik Deskriptif Ketebalan Seam NM Utara…………… 231

4.1.2.2.1.7. Eksperimental dan Pemodelan Variogram Seam NM Utara…… 234

4.1.2.2.1.8. Kriging Ketebalan Seam NM Utara…………………………. 235

4.1.2.2.1.9. Klasifikasi Sumberdaya Batubara Seam NM Utara …………… 236

4.1.2.2.1.10. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan Variogram....237

4.1.2.2.1.11. Statistik Deskriptif Ketebalan Seam BE Selatan…………….. 238

4.1.2.2.1.12. Eksperimental dan Pemodelan Variogram Seam BE Selatan…. 240

4.1.2.2.1.13. Kriging Ketebalan Seam BE Selatan………………………… 241

4.1.2.2.1.14. Klasifikasi Sumberdaya Batubara Seam BE Selatan ………… 242

4.1.2.2.1.15. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram……………………………………………………… 243

4.1.2.2.1.16. Statistik Deskriptif Ketebalan Seam NM Selatan……………. 244


21

4.1.2.2.1.17. Eksperimental dan Pemodelan Variogram Seam NM Selatan. 246

4.1.2.2.1.18. Kriging Ketebalan Seam NM Selatan………………………. 247

4.1.2.2.1.19. Klasifikasi Sumberdaya Batubara Seam NM Selatan ……. 248

4.1.2.2.1.20. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram………………………………………………….. 249

4.1.2.2.1.21. Statistik Deskriptif Kadar Abu Seam BE Selatan…………. 250

4.1.2.2.1.22. Eksperimental dan Pemodelan Variogram Kadar Abu

Seam BE Selatan…………………………………………… 252

4.1.2.2.1.23. Kriging Kadar Abu Seam BE Selatan……………………… 253

4.1.2.2.1.24. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram…………………………………………………… 254

4.1.2.2.1.25. Statistik Deskriptif Kadar Sulfur Seam BE Selatan……….. 255

4.1.2.2.1.26. Eksperimental dan Pemodelan Variogram Kadar Abu

Seam BE Selatan………………………………………….. 257

4.1.2.2.1.27. Kriging Kadar Sulfur Seam BE Selatan………………….. 258

4.1.2.2.1.28. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram………………………………………………… 259

4.1.2.2.1.29. Statistik Deskriptif Kalori Seam BE Selatan……………... 260

4.1.2.2.1.30. Eksperimental dan Pemodelan Variogram Kalori Seam

BE Selatan………………………………………………… 262

4.1.2.2.1.31. Kriging Kalori Seam BE Selatan…………………………. 263

4.1.2.2.1.32. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram…………………………………………………… 264
22

4.1.2.2.1.33. Statistik Deskriptif Kadar Abu Seam NM Selatan…………. 265

4.1.2.2.1.34. Eksperimental dan Pemodelan Variogram Kadar Abu

Seam NM Selatan………………………………………….. 267

4.1.2.2.1.35. Kriging Kadar Abu Seam NM Selatan……………………. 268

4.1.2.2.1.36. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram…………………………………………………. 269

4.1.2.2.1.37. Statistik Deskriptif Kadar Sulfur Seam NM Selatan……… 270

4.1.2.2.1.38. Eksperimental dan Pemodelan Variogram Kadar Sulfur

Seam NM Selatan………………………………………… 272

4.1.2.2.1.39. Kriging Kadar Sulfur Seam NM Selatan………………… 273

4.1.2.2.1.40. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram………………………………………………… 274

4.1.2.2.1.41. Statistik Deskriptif Kalori Seam NM Selatan…………….. 275

4.1.2.2.1.42. Eksperimental dan Pemodelan Variogram Kalori

Seam NM Selatan………………………………………….. 277

4.1.2.2.1.43. Kriging Kalori Seam NM Selatan………………………. 278

4.1.2.2.1.44. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram…………………………………………………. 279

4.1.2.2.1.45. Estimasi Sumberdaya Batubara …………………………… 280

4.1.2.2.2. Analisis Statistik Dan Geostatistik Batubara Seam Sangatta

Di Lapangan Sangatta …………………………………………. 281

4.1.2.2.2.1. Persiapan dan Pengumpulan data………………………….. 282

4.1.2.2.2.2. Zona Barat Lapangan Sangatta …………………………… 284


23

4.1.2.2.2.3. Statistik Deskriptif Ketebalan Batubara Zona Barat ……… 284

4.1.2.2.2.3.1. Analisis Variogram Ketebalan Batubara di Zona Barat… 385

4.1.2.2.2.3.2. Metode Kriging ………………………………………….. 387

4.1.2.2.2.3.3. Klasifikasi sumberdaya batubara berdasarkan Relative

Kriging Standard Deviation (RKSD) dan Variogram ….. 388

4.1.2.2.2.3.4. Zona Timur Lapangan Sangatta ………………………… 390

4.1.2.2.2.3.4.1. Statistik Deskriptif Zona Timur ……………………….. 390

4.1.2.2.2.3.4.2. Analisis Variogram Ketebalan Batubara Zona Timur….. 391

4.1.2.2.3. Analisis Statistik dan Geostatistik Kadar Abu Seam Sangatta.. 395

4.1.2.2.3.1. Statistik Deskriptif Kadar Abu……………………………… 395

4.1.2.2.3.2. Statistik Spasial Kadar Abu Seam Sangatta ……………….. 396

4.1.2.2.4. Analisis Statistik dan Geostatistik Kadar Sulfur Seam

Sangatta …………………………………………………….. 399

4.1.2.2.4.1. Statistik Deskriptif Kadar Sulfur ………………………….. 400

4.1.2.2.4.2. Statistik Spasial kadar Sulfur………………………………... 400

4.1.2.2.5. Analisis Statistik dan Geostatistik Calorific Value (CV)

Seam Sangatta ……………………………………………… 403

4.1.2.2.5.1. Statistik Deskriptif Calorific Value CV Seam Sangatta …… 403

4.1.2.2.5.2. Statistik Spasial CV Calorific Value CV Seam Sangatta …… 406

4.1.2.2.6. Analisis Statistik dan Geostatistik Ketebalan Seam A1 …….. 409

4.1.2.2.6.1. Statistik Deskriptif Seam A1………………………………… 409

4.1.2.2.6.2. Statistik Spasial Seam A1……………………………………. 412

4.1.3. Klasifikasi dan Estimasi Sumberdaya Batubara………………….. 415


24

4.1.3.1. Klasifikasi Sumberdaya Batubara ................................................... 415

4.1.3.2. Estimasi Sumberdaya Batubara ....................................................... 416

4.2. Pembahasan ………………………………………………………….. 418

4.2.1. Geologi Batubara …………………………………………………. 418

4.2.1.1. Batubara Lapangan Pit J dan Sangatta ………………………… 418

4.2.1.2. Perbandingan antara Seam Sangatta dan Seam A1 PTBA……. 418

4.2.1.3. Zonasi Endapan Batubara Berdasarkan Sedimentasi dan

Tektonik …………………………………………………………. 421

4.2.1.3.1. Daerah Penelitian Pit J ……………………………………….. 423

4.2.1.3.2. Daerah Penelitian Lapangan Sangatta ……………………. 426

4.2.1.3.3. Daerah Penelitian Lapangan Batubara di PTBA…………. 431

4.2.2. Statistik Dasar ................................................................................. 432

4.2.2.1. Pengujian Stasionaritas………………………………………… 433

4.2.2.2. Variabel Teregional …………………………………………… 433

4.2.2.3. Analisis Statistik Multivarian …………………………………. 434

4.2.3. Variogram ....................................................................................... 439

4.2.3.1. Penentuan Nilai dan Jarak Variasi Data (sill dan range) …….. 439

4.2.3.2. Analisis Nugget Effect ………………………………………… 441

4.2.4. Block Kriging ……………………………………………………… 446

4.2.5. Relative Kriging Standard Deviation ........................................... 446

4.2.6. Standar Nasional Indonesia SNI 5015:2011 ................................ 448

4.2.7. Pengelompokkan Kondisi Geologi Menurut SNI 5015 Tahun

2011dan Usulan Penyempurnaan ................................................. 451


25

4.2.8. Rincian analisis geologi kualitatif kompleksitas geologi

(SNI 5015/2011)........................................................................... 452

BAB V SIMPULAN DAN SARAN.................................................. 464

5.1. Simpulan..................................................................//................. 464

5.1.1. Simpulan Umum ……………………………………………… 464

5.1.2. Simpulan Khusus ……………………………………………… 464

5.2. Saran............................................................................................. 467

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 468


26

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi peringkat batubara oleh ASTM ........................ 120

Tabel 2.2. Parameter aspek vs. kondisi geologi (SNI 5015, 2011)….. 123

Tabel 2.3. Jarak titik informasi menurut kondisi geologi

(SNI 5015:2011) .................................................................. 128

Tabel 4.1. Jenis dan urutan seam di PIT J ( sumber PT. KPC)…….. 184

Tabel 4.2 Kualitas batubara rata-rata di PIT J bagian utara………… 197

Tabel 4.3 Kualitas batubara rata-rata di PIT J bagian selatan………. 198

Tabel 4.4. Karakteristik lapisan batubara sangatta pada keempat zona 215

Tabel 4.5. Statistik deskriptif ketebalan seam BE utara ......................... 242

Tabel 4.6. Hasil klasifikasi sumberdaya seam BE utara ………………. 245

Tabel 4.7. Statistik deskriptif ketebalan seam NM utara ........................ 248

Tabel 4.8. Hasil klasifikasi sumberdaya seam NM utara ……………… 251

Tabel 4.9. Statistik deskriptif ketebalan seam BE selatan....................... 254

Tabel 4.10. Hasil klasifikasi sumberdaya seam BE selatan……………. 257

Tabel 4.11. Statistik deskriptif ketebalan seam NM utara ...................... 260

Tabel 4.12. Hasil klasifikasi sumberdaya seam NM utara …………...... 263

Tabel 4.13. Statistik deskriptif kadar abu seam BE selatan....................... 266

Tabel 4.14. Statistik deskriptif kadar sulfur seam BE selatan...................... 271


27

Tabel 4.15. Statistik deskriptif nilai kalor seam BE selatan....................... 276

Tabel 4.16. Statistik deskriptif kadar abu seam NM selatan....................... 281

Tabel 4.17. Statistik deskriptif kadar sulfur seam NM selatan.................... 286

Tabel 4.18. Statistik deskriptif nilai kalor seam NM selatan....................... 291

Tabel 4.19. Klasifikasi sumberdaya batubara berdasarkan RKSD ……. 295

Tabel 4.20. Klasifikasi sumberdaya batubara berdasarkan sill dan

Jarak lubang bor ……………………………………………. 296

Tabel 4.21. Statistik deskriptif ketebalan seam sangatta zona barat …… 299

Tabel 4.22. Klasifikasi sumberdaya batubara sangatta berdasarkan RKSD

pada zona barat ……. ………………………………………. 303

Tabel 4.23. Klasifikasi sumberdaya batubara berdasarkan sill variogram

pada zona barat ……………………………………………. 304

Tabel 4.24. Statistik deskriptif ketebalan seam sangatta zona timur …… 304

Tabel 4.25. Klasifikasi sumberdaya batubara sangatta berdasarkan RKSD

pada zona timur ……. ………………………………………. 306

Tabel 4.26. Klasifikasi sumberdaya batubara berdasarkan sill variogram

pada zona timur……………………………………………. 306

Tabel 4.27. Statistik deskriptif kadar abu seam sangatta …………….. 307

Tabel 4.28. Klasifikasi jarak titik informasi berdasarkan sill variogram

kadar abu seam sangatta …………………………………. 310

Tabel 4.29. Statistik deskriptif kadar sulfur seam sangatta …………….. 311

Tabel 4.30. Klasifikasi jarak titik informasi berdasarkan sill variogram

kadar sulfur seam sangatta …………………………………. 314


28

Tabel 4.31. Statistik deskriptif calorific value (CV) seam sangatta …….. 315

Tabel 4.32. Klasifikasi jarak titik informasiberdasarkan sill variogram

calorific value (CV) seam sangatta ………………………. 318

Tabel 4.33. Statistik deskriptif ketebalan seam A1 …………………… 319

Tabel 4.34. Klasifikasi sumberdaya batubara seam A1 berdasarkan

RKSD……………………………………………………… 323

Tabel 4.35. Klasifikasi sumberdaya batubara berdasarkan sill variogram

pada zona timur……………………………………………. 323

Tabel 4.36. Hasil klasifikasi sumberdaya batubara berdasarkan RKSD

di daerah penelitian …………………………………….... 324

Tabel 4.37. Hasil estimasi sumberdaya batubara berdasarkan RKSD

di daerah penelitian............................................................... 325

Tabel 4.38. Estimasi jarak data berdasarkan sill dari variogram di daerah

penelitian ……………………………………………… 325

Tabel 4.39. Koefisien variasi lapisan batubara di daerah penelitian…. 327

Tabel 4.40. Hubungan jarak range variogram untuk klasifikasi

sumberdaya terukur dengan kondisi geologi di daerah

penelitian ………………………………………………… 329

Tabel 4.41. Nugget effect ketebalan lapisan batubara di daerah

penelitian ................................................................ ……. 331

Tabel 4.42. Jarak titik informasi menurut analisis geostatistik (range

dalam meter) ....................................................................... 334

Tabel 4.43. Hubungan kelas sumberdaya batubara dengan RKSD........ 335


29

Tabel 4.44. Hubungan kelas sumberdaya batubara dengan nilai sill

variogram ........................................................................... 335

Tabel 4.45. Hubungan kelas sumberdaya batubara vs geostatistik......... 336

Tabel 4.46. Parameter aspek vs. kondisi geologi (SNI 5015, 2011)..... 337

Tabel 4.47. Modifikasi Parameter aspek vs. kondisi geologi (SNI 5015,

tahun 2011) ........................................................................... 342

Tabel 4.48. Parameter aspek vs. kondisi geologi berdasarkan analisis

Geostatistik ………………………………………………. 344


30

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Hubungan mineral bijih dengan kemenerusan.............. 3

Gambar 1.2 Peta wilayah operasional PT. KPC ............................... 8

Gambar 1.3. Distribusi lapisan batubara sangatta dalam empat zona

Spasial............................................................................ 13

Gambar 2.1. Peta regional cekungan kutai.......................................... 16

Gambar 2.2 Evolusi tektonik Cekungan Kutai................................... 19

Gambar 2.3. Tektonik setting Cekungan Kutai................................... 21

Gambar 2.4. Perkembangan tektonik Cekungan Kutai ...................... 21

Gambar 2.5. Fisiografi Cekungan Kutai menurut Supriatna, dkk........ 23

Gambar 2.6. Kolom Stratigrafi Cekungan Kutai................................ 26

Gambar 2.7. Kolom stratigrafi cekungan kutai................................... 27

Gambar 2.8. Peta geologi daerah sagatta dan sekitarnya,

Cekungan Kutai.............................................................. 28

Gambar 2.9. Peta struktur geologi Cekungan Kutai bagian bawah

yang menunjukkan adanya sabuk lipatan Mahakam..... 30

Gambar 2.10. Fase-fase tektonik pulau Sumatra................................... 31

Gambar 2.11 Lima linieament berarah relatif WNW – ESE di

Cekungan Sumatra Selatan.............................................. 33

Gambar 2.12 Model pembentukan struktur diapirik massa lempung di

Sangatta (Biantoro dkk., 1992)........................................ 35


31

Gambar 2.13 Peta anomali gravity PT. KPC........................................ 36

Gambar 2.14 Model profil gravity dan magnetik pada line 1 dan

interpretasi model geologi ............................................... 37

Gambar 2.15 Model profil gravity dan magnetik pada line 2 dan

interpretasi model geologi ............................................... 37

Gambar 2.16. Model profile gravity dan magnetik pada line 3 dan

interpretasi model geologi............................................... 38

Gambar 2.17. Kolom stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan

(modifiksi oleh Ryacudu, 2005)..................................... 39

Gambar 2.18. Stratigrafi regional Cekungan Kutai (Courtney dkk.,

1991) vs Formasi Balikpapan ........................................ 45

Gambar 2.19. Detil Kolom stratigrafi daerah pinang .......................... 46

Gambar 2.20. Peta interpretasi kelurusan peta srtm daerah pinang....... 47

Gambar 2.21. Sesar villa di Pit J........................................................... 50

Gambar 2.22. Drag pada sesar Villa di Pit J.......................................... 50

Gambar 2.23. Peta geologi lapangan sangatta ....................................... 52

Gambar 2.24. Stratigrafi lapangan sangatta yang menunjukkan

perkembangan asosiasi sedimen dari lingkungan laut ke

lingkungan fluviatil ........................................................ 58

Gambar 2.25. Penampang geologi yang memotong area Melawan-

Sangatta, memperlihatkan perubahan fasies dari barat

( fluviatile) ke timur (transisi) ........................................... 59

Gambar 2.26. Skema penampang stratigrafi daerah Tanjung Enim


32

dari tua ke muda .......................................................... 63

Gambar 2.27 Skema detil penampang litologi Tambang Air Laya, .. 64

Gambar 2.28. Bentuk perlapisan batubara menurut Sukandarumidi.... 82

Gambar 2.29. Beberapa bentuk splitting................................................ 86

Gambar 2.30. Tipe wash out pada batubara.......................................... 87

Gambar 2.31. Model Lingkungan pengendapan batubara di daerah

delta (Horne, 1978)........................................................ 98

Gambar 2.32. Model lingkungan pengendapan batubara..................... 100

Gambar 2.33. Bentuk - bentuk elektrofasies dan interpretasi

lingkungan pengendapannya...................................... 111

Gambar 2.34. Model lingkungan tidal dominated delta..................... 113

Gambar 2.35. Hubungan Antara Sumberdaya dan Cadangan

(SNI 5015:2011) .......................................................... 127

Gambar 2.36. Grafik skewness dan kurtosis ...................................... 130

Gambar 2.37. Histogram vs grafik probability ................................... 131

Gambar 2.38. Hubungan probability plot dengan pola distribusi

(Stamatis D.H, 2002) ………………………………… 132

Gambar 2.39. Ilustrasi vertical lag distance………………………….. 136

Gambar 2.40 Ilustrasi horizontal lag distance………………………. 137

Gambar 2.41. Arah dan toleransi dalam menentukan variogram…….. 138

Gambar 2.42 Contoh variogram ekperimental ………………………. 139

Gambar 2.43. Contoh model variogram……………………………. 141

Gambar 3.1. Contoh zonasi area penelitian ……………………….. 164


33

Gambar 3.2. Peta penyebaran lubang bor ………………………….. 164

Gambar 3.3. Hasil prevar 2D ………………………………………. 165

Gambar 3.4. Pengisian parameter variogram ekperimental ………… 166

Gambar 3.5. Contoh hasil vario 2D variogram ekperimental ………. 166

Gambar 3.6. Contoh hasil range, sill dan nugget effect ……………… 167

Gambar 3.7. Contoh model variogram spherical …………………… 168

Gambar 3.8. Contoh penyebaran data ………………………………. 169

Gambar 3.9. Pembuatan grid pembatas area penelitian …………….. 170

Gambar 3.10. Pengisian data ……………………………………….. 171

Gambar 3.11. Pengisian data hasil variogram eksperimental ………. 172

Gambar 3.12. Contoh hasil analisis blok kriging …………………… 172

Gambar 3.13. Contoh hasil kriging varians …………………………. 173

Gambar 4.1 Stratigrafi seam batubara di PIT J ( sumber PT. KPC) … 187

Gambar 4.2. Contoh penampang yang memotong Pit J ……………… 187

Gambar 4.3. Kenampakan struktur parting dari analisa korelasi seam

batubara L2 (log geophysical) di Pit J…………………. 189

Gambar 4.4. Struktur sedimen akresi lateral di Pit J ……………….. 190

Gambar 4.5. Struktur sedimen splitting di Pit J …………………….. 190

Gambar 4.6. Perbedaan karakteristik fisik seam batubara di PIT J

bagian utara dan selatan ……………………………….. 191

Gambar 4.7. Perbedaan karakteristik fisik berupa penebalan seam

batubara di PIT J bagian utara dan selatan …………….. 191

Gambar 4.8. Kenampakan struktur washout dari analisa korelasi


34

seam batubara di Pit J ………………………………….. 192

Gambar 4.9. Singkapan batubara seam JR……………………………. 193

Gambar 4.10 Singkapan batubara seam BE………………………….. 194

Gambar 4.11 Singkapan batubara seam E2…………………………… 195

Gambar 4.12. Singkapan batubara seam ML…………………………. 196

Gambar 4.13. Singkapan batubara seam L1………………………….. 197

Gambar 4.14. model elektrofacies dari analisa logging C20568A…… 199

Gambar 4.15. Model electrofasies dari analisis loging C26156B……. 200

Gambar 4.16 Lingkungan pengendapan daerah penelitian menurut

Horne, 1987……………………………………………. 201

Gambar 4.17. Struktur sedimen akresi lateral di Pit J yang

merupakakan penciri endapan fluvial…………………… 202

Gambar 4.18. Kesebandingan model lingkungan lower delta plain

(Horne, 1987) dengan profil litologi sumur bor R20471… 203

Gambar 4.19. Distribusi lapisan batuabara di lapangan sangatta……. 203

Gambar 4.20. Model blok diagram yang menunjukan hubungan

peat swamp sangatta dengan lingkungan klastik ……….. 205

Gambar 4.21. Distribusi lapisan batubara Sangatta dan empat zona

spasial di lapangan batubara sangatta Lokasi dari channel

sandstone (1) dan zona major washout (2) ditunjukkan

pada peta…………………………………………………205

Gambar 4.22. Korelasi litologi dan lapisan batubara dari lubang bor. 212

Gambar 4.23. Korelasi litologi dan lapisan batubara dari lubang bor
35

menunjukkan perubahan lateral facies dalam interval

klastik…………………………………………………. 213

Gambar 4.24 Penampang karakteristik lapisan batubara sangatta

pada ketiga zona ……………………………………. 217

Gambar 4.25. Litologi dan log geofisika dari lubang bor C3486

yang menunjukkan channel pasir tebal antara laisan

batubara sangatta dan B2 …………………………… 221

Gambar 4.26. Sebuah sekuen channel batupasir di bagian bawah

( dengan struktur akresi lateral di bagian atas), endapan

rawa ( dengan lapisan batubara) dibagian atas.

Photo diambil di selatan area, lebih kurang 50 m barat

TD-3, lapangan batubara sangatta……………………… 222

Gambar 4.27. Kolom stratigrafi di PT. Bukit Asam, 2007 …………. 225

Gambar 4.28. Peta pembagian zona di Pit J, tampak patahan villa

sebagai pembatas ………………………………………. 228

Gambar 4.29. Penampang geologi utara-selatan yang memotong zona

villa fault , PIT J ………………………………………. 229

Gambar 4.30. Kenampakan seam batubara yang terlipat di PIT J…….. 229

Gambar 4.31. Penampang geologi yang memperlihatkan kemenurusan

seam batubara ………………………………………….. 230

Gambar 4.32. Zonasi 1 Kondisi geologi kompleks, ditandai oleh

kenampakan struktur patahan intensif ………………… 231

Gambar 4.33. Kondisi geologi kompleks di PIT J …………………... 231


36

Gambar 4.34. Peta lokasi titik bor di lapngan batubara sangatta,

(a) zona barat, (b) zona timur…………………………… 232

Gambar 4.35. Lapisan batubara sangatta, (a), (b), dan (c)

memperlihatkan kondisi singkapan pada area timur,

(d) memperlihatkan kondisi singkapan pada area barat.. 233

Gambar 4.36. Model penampang endapan lapisan batubara sangatta… 234

Gambar 4.37. Model penampang endapan lapisan batubara sangatta… 234

Gambar 4.38. Patahan tumbuh di Pit Hatari ( zona timur )…………… 235

Gambar 4.39. Korelasi stratigrafi dari lubang bor, area barat laut –

tenggara…………………………………………………. 236

Gambar 4.40. Lapisan batubara di PT. Bukit Asam yang

memperlihatkan kemenerusan lapisan batubara A1…… 237

Gambar 4.41 Histogram dan probability Plot ketebalan seam BE utara…... 241

Gambar 4.42 Eksperimental variogram ketebalan seam BE utara……… 243

Gambar 4.43 Model variogram ketebalan seam BE utara……………... 243

Gambar 4.44. Hasil perhitungan Kriging ketebalan pada lapisan Seam

BE utara (a) Block Kriging (b) Kriging Variance …….…….. 244

Gambar 4.45 Penentuan klasifikasi sumberdaya batubara dan jarak lubang bor 246

Gambar 4.46 Histogram dan probability plot ketebalan seam NM utara……... 247

Gambar 4.47 Eksperimental variogram ketebalan seam NM utara…………… 249

Gambar 4.48. Model variogram ketebalan seam NM utara……,,,………… 249

Gambar 4.49 Hasil perhitungan kriging ketebalan pada lapisan seam NM

utara (a) Block Kriging (b) Kriging Variance……………….. 250


37

Gambar 4.50 Penentuan klasifikasi sumberdaya dan jarak lubang bor ….. 252

Gambar 4.51. Histogram dan probability plot ketebalan seam BE selatan.. 253

Gambar 4.52. Eksperimental variogram ketebalan seam BE selatan……. 255

Gambar 4.53 Model variogram ketebalan seam BE selatan……………… 255

Gambar 4.54 Hasil perhitungan kriging ketebalan pada lapisan seam

BE selatan (a) Block Kriging (b) Kriging Variance………… 256

Gambar 4.55. Penentuan klasifikasi sumberdaya dan jarak lubang bor

berdasarkan analisis variogram…………………………….. 258

Gambar 4.56. Histogram dan probability plot ketebalan seam NM selatan. 259

Gambar 4.57. Eksperimental variogram ketebalan seam NM selatan……. 261

Gambar 4.58. Model Variogram Ketebalan Seam NM Selatan………….. 261

Gambar 4.59. Hasil perhitungan kriging ketebalan pada lapisan seam

NM selatan (a) Block Kriging (b) Kriging Variance …….. 262

Gambar 4.60.Klasifikasi sumberdaya batubara dan penentuan jarak lubang

bor…………………………………………………………. 264

Gambar 4.61 Histogram dan probability plot kadar abu seam BE selatan.. 265

Gambar 4.62. Eksperimental variogram kadar abu seam BE selatan…….. 267

Gambar 4.63. Model variogram kadar abu seam BE selatan…………….. 267

Gambar 4.64. Hasil perhitungan kriging kadar abu seam BE selatan

(a) Block Kriging (b) Kriging Variance…………………… 268

Gambar 4.65. Klasifikasi sumberdaya batubara dan penentuan jarak

lubang bor …………………………………………………. 269

Gambar 4.66. Histogram dan probability plot kadar sulfur seam BE


38

Selatan …………………………………………………… 270

Gambar 4.67. Eksperimental variogram kadar sulfur seam BE selatan….. 272

Gambar 4.68.Model Variogram Kadar Sulfur Seam BE Selatan…………. 272

Gambar 4.69. Hasil Perhitungan Ordinary Kriging Kadar Sulfur Seam

BE selatan (a) Block Kriging (b) Kriging Variance………… 273

Gambar 4.70. Klasifikasi sumberdaya batubara dan penentuan jarak

lubang bor …………………………………………………. .. 274

Gambar 4.71. Histogram dan probability plot nilai kalori seam BE selatan .. 275

Gambar 4.72. Eksperimental variogram nilai kalori seam BE selatan………. 277

Gambar 4.73 Model variogram nilai kalori seam BE selatan ……………... 277

Gambar 4.74. Hasil perhitungan kriging kalori seam BE selatan

(a) Block Kriging (b) Kriging Variance …………………...…. 278

Gambar 4.75. Klasifikasi sumberdaya batubara dan penentuan jarak

lubang bor ………………………………………………………279

Gambar 4.76. Histogram dan probability plot kadar abu seam NM selatan…280

Gambar 4.77. Eksperimental variogram kadar abu seam NM selatan………… 282

Gambar 4.78. Model Variogram Kadar Abu Seam NM Selatan ………………282

Gambar 4.79. Hasil Perhitungan kriging kadar abu seam NM selatan

(a) Block Kriging (b) Kriging Variance ……………………….. 283

Gambar 4.80. Klasifikasi sumberdaya batubara penentuan jarak lubang bor… 284

Gambar 4.81. Histogram dan probability plot kadar sulfur seam NM

Selatan ………………………………………………………….285

Gambar 4.82. Eksperimental variogram kadar sulfur seam NM selatan………287


39

Gambar 4.83. Model variogram kadar sulfur seam NM selatan ………………287

Gambar 4.84. Hasil perhitungan kriging kadar sulfur seam NM selatan

(a) Block Kriging (b) Kriging Variance……………………… 288

Gambar 4.85. Klasifikasi sumberdaya batubara dan penentuan Jarak

lubang bor………………………………………………………289

Gambar 4.86. Histogram dan probability plot nilai kalori seam NM selatan ..290

Gambar 4.87 Eksperimental variogram kalori seam NM selatan……………. 292

Gambar 4.88. Model variogram kalori seam NM selatan …………………… 292

Gambar 4.89. Hasil perhitungan kriging kalori Seam NM selatan

(a) Block Kriging (b) Kriging Variance …………………….. 293

Gambar 4.90. Klasifikasi sumberdaya batubara dan penentuan jarak

lubang bor …………………………………………………….. 294

Gambar 4.91. Peta lokasi lubang bor yang dominan memotong lapisan

batubara sangatta ……………………………………………... 298

Gambar 4.92 Histogram dan probability plot ketebalan batubara zona barat ...300

Gambar 4.93. Eksperimental variogram data ketebalan batubara di zona barat301

Gambar 4.94 Hasil model variogram ketebalan batubara zona barat ……….. 301

Gambar 4.95. Hasil blok kriging ketebalan seam batubara zona Barat ………302

Gambar 4.96. Hasil kriging varians ketebalan seam batubara zona barat…….303

Gambar 4.97. Klasifikasi sumberdaya batubara berdasarkan analisis

variogram ……………………………………………………...304

Gambar 4.98. Histogram dan probability plot ktebalan batubara pada zona

timur …………………………………………………………...305
40

Gambar 4.99. Eksperimental variogram data ketebalan batubara zona timur.. 306

Gambar 4.100 Hasil model variogram ketebalan batubara zona timur………. 306

Gambar 4.101. Hasil blok kriging ketebalan batubara zona timur …………...307

Gambar 4.102. Hasil kkriging varians ketebalan batubara zona timur ………307

Gambar 4.103. Klasifikasi sumberdaya dan jarak lubang bor

berdasarkan analisis variogram zona timur …………………. 308

Gambar 4.104. Histogram dan probability plot pada kadar abu seam sangatta 309

Gambar 4.105. Eksperimental variogram kadar abu batubara seam sangatta... 310

Gambar 4.106. Hasil model variogram kadar abu batubara seam sangatta….. 310

Gambar 4.107. Hasil blok kriging kadar abu seam sangatta………………… 311

Gambar 4.108 Hasil kriging varians kadar abu seam sangatta,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,312

Gambar 4.109. Klasifikasi sumberdaya batubara dan penentuan jararak

titik bor berdasarkan variogram kadar abu seam sangatta….. 313

Gambar 4.110 Histogram dan probability plot pada kadar sulfur seam

sangatta ……………………………………………………….314

Gambar 4.111. Eksperimental variogram kadar sulfur seam sangatta ………..314

Gambar 4.112. Hasil model variogram kadar sulfur seam sangatta ………... 315

Gambar 4.113. Hasil blok kriging kadar sulfur seam sangatta ……………….315

Gambar 4.114. Hasil kriging varians kadar sulfur seam sangatta …………… 316

Gambar 4.115. Histogram dan probability plot calorific value (CV)

seam sangatta ………………………………………………. 317

Gambar 4.116. Eksperimental variogram calorific value (CV) seam sangatta 318

Gambar 4.117. Hasil model variogram calorific value (CV) seam sangatta… 319
41

Gambar 4.118. Hasil blok kriging calorific value (CV) seam sangatta……… 319

Gambar 4.119. Hasil kriging varians calorific value (CV) Seam Sangatta... 320

Gambar 4.120 Klasifikasi berdasarkan kemenerusan variogram calorific

value (CV) seam sangatta…………………………………… 321

Gambar 4.121 Histogram dan probability plot ketebalan seam A1………….. 322

Gambar 4.122 Probability plot ketebalan seam A1………………………….. 322

Gambar 4.123. Eksperimental variogram data ketebalan seam A1…………...323

Gambar 4.124. Hasil model variogram ketebalan seam A1………………….. 324

Gambar 4.126. Hasil kriging varians ketebalan seam A1………………….... 325

Gambar 4.127. Klasifikasi berdasarkan kemenerusan variogram seam A1…. 326


42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cekungan Kutai adalah salah satu cekungan di Indonesia yang berpotensi

endapan batubara. Daerah penelitian termasuk dalam Cekungan Kutai bagian

atas, dengan formasi pembawa batubara yang dijumpai yaitu Formasi Balikpapan.

Endapan batubara di daerah penelitian memiliki karakteristik geologi yang

beragam. Fenomena keberagaman ini menarik untuk diteliti guna

pengklasifikasian kondisi geologi yang mengacu pada aspek-aspek geologi,

seperti sedimentasi dan tektonik, disertai dengan aspek kualitas batubara.

Pengklasifikasian kondisi geologi, jarak titik informasi, sumberdaya dan

cadangan batubara didasari oleh tingkat keyakinan geologi yang berbeda-beda

dalam menentukan prospeksi suatu endapan batubara. Metode pendekatan dan

asumsi yang digunakan setiap ahli geologi pun sangat bervariasi, sehingga

klasifikasi diperlukan agar tepat dalam suatu pengambilan kebijakan

atau keputusan. Klasifikasi ini juga diperlukan sebagai standar dalam

penulisan laporan hasil eksplorasi, yang perlu adanya keseragaman istilah

yang digunakan di seluruh dunia dalam kegiatan eksplorasi sumberdaya dan

cadangan.

Klasifikasi sumberdaya batubara merupakan standar pelaporan hasil

eksplorasi yang tidak bisa ditentukan oleh opini sejumlah kecil ahli geologi,
43

melainkan harus didasarkan atas beberapa aspek. Diantaranya adalah tingkat

keyakinan geologi, kontinuitas geologi, tingkat keyakinan teknis dan

ekonomis, serta nilai harapan (ekspektasi). Standar pengklasifikasian kondisi

geologi, sumberdaya dan cadangan batubara di Indonesia saat ini adalah SNI

(Standar Nasional Indonesia) No.5015 tahun 2011.

Berdasarkan aspek sedimentasi, tektonik dan kualitas batubara, kondisi geologi

didalam SNI 5015 Tahun 2011 dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok,

yaitu kelompok geologi sederhana, kelompok geologi moderat dan kelompok

geologi kompleks, seperti yang terlihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1 Parameter aspek vs. kondisi geologi (SNI 5015, 2011)

Parameter Kondisi Geologi


Sederhana Moderat Kompleks
I. Aspek Sedimentasi
Variasi ketebalan Sedikit bervariasi Bervariasi Sangat bervariasi
Kesinambungan Ribuan meter Ratusan meter Puluhan meter
Percabangan Hampir tidak ada Beberapa Banyak
II. Aspek Tektonik
Sesar Hampir tidak ada Jarang Rapat
Lipatan Hampir tidak Terlipat sedang Terlipat kuat
terlipat
Intrusi Tidak berpengaruh Berpengaruh Sangat
berpengaruh
Kemiringan Landai Sedang Curam
III. Aspek Kualitas
Variasi kualitas Sedikit bervariasi Bervariasi Sangat Bervariasi
44

Jenis kondisi geologi akan sangat berpengaruh dalam klasifikasi dan estimasi

sumberdaya batubara. Metode SNI 5015 tahun 2011, telah dikenal sebagai salah

satu metode pengklasifikasian sumberdaya di Indonesia, namun standar ini dinilai

masih bersifat kualitatif, dimana hanya berdasarkan pada analisis dekriptif faktor

kuantitas dan geometri, kompleksitas struktur geologi maupun kualitas batubara

sebagai pembatas, tetapi kreterianya belum terukur dan sulit dalam

implementasinya.

Hal tersebut diatas adalah yang melatarbelakangi penelitian ini, sehingga pada

penelitian ini penulis akan melakukan evaluasi SNI 5015 tahun 2011, terutama

evaluasi atas beberapa aspek yang mencakup karakteristik geologi ( sedimentasi

dan tektonik), kondisi geologi, kualitas batubara dengan menggunakan analisis

statistik dan geostatistik, yang pada akhirnya akan dapat dihasilkan suatu

pemahaman kondisi geologi kuantitatif yang akan lebih mudah implementasinya

di lapangan.

Pendekatan kuantitatif yang dilakukan adalah dengan menggunakan metoda

statistik dan geostatistik, dimana parameter geometri maupun kualitas batubara

dapat dipertimbangkan secara sekaligus untuk menentukan klasifikasi sumberdaya

batubara. Pendekatan geostatistik untuk estimasi sumberdaya batubara dilakukan

dengan menggunakan analisa variogram dan kriging untuk empat parameter yaitu

ketebalan sebagai faktor geometri, serta nilai kalori, kadar abu, dan kadar sulfur

sebagai faktor kualitas. Proses kriging dilakukan per unit blok yang selanjutnya

akan menghasilkan nilai estimasi dan standar deviasi estimasi yang akan

digunakan untuk mencari nilai error relatif. Jika pendekatan geostatistik ini
45

dilakukan, maka setiap cekungan batubara dengan tatanan geologi tertentu

kemungkinan dapat memiliki parameter klasifikasi sumberdaya, misalnya jarak

pengaruh yang berbeda dengan cekungan batubara di tempat lain.

1.2. Lokasi dan Kesampaian Daerah

Daerah penelitian terletak pada lokasi tambang batubara PT. Kaltim Prima

Coal, Kecamatan Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur,

kira-kira 200 km di sebelah Utara Balikpapan dan 120 km di sebelah Utara

Samarinda, serta 20 km dari pantai Timur Kalimantan. Secara administratif daerah

tersebut termasuk daerah Pinang, Kecamatan Sangatta, Kabupaten Kutai Timur,

Propinsi Kalimantan Timur. Secara geografis daerah tersebut berada pada

koordinat 00 33' 22.8'' - 00 34' 05.1'' Lintang Utara dan 1170 30' 54.8'' – 1170 31'

33.6'' Bujur Timur.

Untuk mencapai daerah penelitian dapat ditempuh dengan jalur udara

menggunakan pesawat menuju ke Balikpapan, dari Balikpapan dapat dilanjutkan

menggunakan jalur darat menuju Sangatta dengan waktu 6-7 jam atau dapat juga

menggunakan jalur udara menggunakan pesawat Casa menuju Bandara Tanjung

Bara dengan waktu tempuh 1 jam, dari Tanjung Bara ke area konsesi PT. KPC

ditempuh dengan jalur darat menggunakan mobil kurang lebih 20 menit. Untuk ke

lokasi penelitian lapangan ditempuh dengan kendaraan khusus (mobil lapangan)

milik PT. KPC.


46

Gambar 1.1 Peta wilayah operasional PT. KPC ( sumber PT. KPC)

1.3. Daerah Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada area Sangatta, khususnya area bukaan tambang

batubara PIT J dan lapangan Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur,

Indonesia, yang merupakan salah satu area penambangan batubara di PT. Kaltim

Prima Coal. Lokasi penelitian sudah dilakukan kegiatan eksplorasi detil, dan

menghasilkan data yang baik dan lengkap, yang dapat dipergunakan dalam

penelitian ini. PIT J dan lapangan Sangatta dipilih karena berdasarkan hasil studi

geologi terdahulu, didapat bahwa area ini memiliki berbagai kondisi geologi, yaitu

kondisi moderat sampai kompleks.

1.4. Tinjauan Umum Perusahan

PT. Kaltim Prima Coal adalah pemegang kuasa eksplorasi penambangan,

produksi, dan pemasaran batubara untuk daerah seluas 90.938 ha di Sangatta,

Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur sampai dengan tahun 2021.

Kegiatan eksplorasi pada wilayah konsesi PT. Kaltim Prima Coal telah
47

dilaksanakan secara intensif sejak tahun 1982 sesuai dengan akta No. 28 tanggal 9

Maret 1982 dan mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman Republik

Indonesia (RI) sesuai dengan Surat Keputusan No. Y.A.5/208/25 tanggal 16

Maret 1982. Selanjutnya, pengesahan tersebut telah diumumkan dalam Berita

Negara Republik Indonesia tanggal 30 Juli 1982 No.61 Tambahan nomor 967.

Pada tanggal 8 April 1982, PT. Kaltim Prima Coal menandatangani Perjanjian

Kerjasama Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan Perum Tambang

Batubara (sekarang PT. Tambang Batubara Bukit Asam/PTBA).

Sejak awal beroperasi, PT. Kaltim Prima Coal merupakan perusahaan modal

asing (PMA) yang dimiliki oleh British Petroleum International Ltd (BP) dan

Conzinc Rio Tinto of Australia Ltd. (Rio Tinto) dengan pembagian saham

masing-masing 50%. Studi kelayakan penambangan PT. Kaltim Prima Coal

selesai pada tahun 1988 dan pembangunan kontruksi tambang dimulai tahun

1989. Berdasarkan Akta No. 9 tanggal 6 Agustus 2003 dan Bukti Pelaporan dari

Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI No. C-UM. 02 01.12927

tertanggal 11 Agustus 2003, saham PT. Kaltim Prima Coal yang dimiliki oleh BP

dan Rio Tinto telah dialihkan kepada Kalimantan Coal Ltd. dan Sengata Holding

Ltd, dan yang selanjutnya pada tanggal 18 Oktober 2005, sesuai dengan Akta

Notaris No 3 tanggal 18 Oktober 2005, PT Bumi Resources Tbk telah

mengakusisi saham Kalimantan Coal Ltd dan Sengata Holding Ltd. Selanjutnya,

pada tahun 2007, terjadi perubahan komposisi kepemilikan saham yaitu sebesar

30% saham yang dimiliki oleh BR dijual kepada Tata Power (Mauritius) Ltd. Dan

telah diakui berdasarkan akta notaris No 34 tanggal 4 Mei 2007.


48

Dalam melaksanakan kegiatan operasional pertambangannya, PT. Kaltim

Prima Coal melaksanakan kegiatan operasional penambangan secara mandiri

yang dikelola oleh Mining Operation Division dan juga bekerjasama dengan

kontraktor penambangan, yakni PT. Darma Henwa, PT. Pama Persada, PT.

Thiess, dan PT. Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA). Sejak awal beroperasi,

PT. Kaltim Prima Coal tidak pernah bekerja sama dengan artisanal and small-

scale mining (ASM).

KPC memproduksi tiga brand batubara:

a. Batubara Prima

Batubara Prima merupakan salah satu kualitas tertinggi yang diperdagangkan

secara bara termal internasional. Ini adalah batubara bitumen bervolatilitas

tinggi disertai dengan nilai kalori yang tinggi, abu yang sangat rendah, sulfur

moderat, dan jumlah kelembaban yang relatif rendah. Ini adalah batubara

mengkilat dengan kandungan vitrinite yang tinggi. Suhu yang lebih tinggi dan

tekanan dalam lapisan batubara dekat Dome menghasilkan batubara dengan

kelembaban rendah dan menyebabkan kandungan panas yang lebih tinggi.

b. Batubara Pinang

Batubara Pinang hampir mirip dengan batubara Prima, namun dengan tingkat

kelembaban dan energi yang lebih rendah.

c. Batubara Melawan

Batubara Melawan merupakan batubara sub-bitumen yang paling bersih

dengan tingkat debu yang paling rendah dan mengandung sulfur. Batubara
49

Pinang dan Melawan terdapat jauh dari Dome dan terkandung dalam lapisan

yang pada umumnya lebih tinggi dalam urutan stratigrafi.

1.5. Topografi

Topografi daerah PT. Kaltim Prima Coal adalah bergelombang dan kubah

Pinang (Pinang Dome) merupakan daerah tertinggi dengan elevasi 325 meter

diatas permukaan laut. Sedangkan titik terendahnya adalah tepi pantai Selat

Makasar. Daerah penambangan disebelah selatan dan timur di batasi oleh sungai

Sangatta dan daratan pantai alluvial serta rawa-rawa.

1.6. Iklim dan Curah Hujan

Daerah Sangatta di pengaruhi oleh hujan hutan tropis dengan pola musim

hujan khas untuk daerah garis lintang equator, dengan ciri-ciri intensitas hujan

yang bervariasi dari rendah sampai lebat dalam waktu yang singkat dan dapat

terjadi dalam waktu yang panjang. Temperatur rata-rata bulanan 26,68oC, minimal

22,50oC dan maksimal 30,80oC. Fluktuasi temperature harian sekitar 3oC.

Kelembaban rata-rata tiap bulan adalah antara 80%-90% dengan kisaran sebesar

70% di sore hari dan 90% pada pagi hari. Penguapan rata-rata untuk daerah

disekitar tambang adalah 4 mm/hari. ( sumber data PT. KPC).

1.7. Rumusan Masalah atau Identifikasi Masalah

Hasil penelitian akan menjawab permasalahan dibawah ini :

1. Bagaimana kondisi geologi endapan batubara (sedimentasi dan

tektonik) di area Sangatta, Cekungan Kutai berdasarkan analisa

kualitatif dan kuantitaif ?

2. Bagaimana usulan penyempurnaan SNI 5015 tahun 2011 ?


50

1.8. Maksud dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk menginventarisasi karakteristik geologi

batubara pada Cekungan Kutai di lapangan Sangatta dan pengaruhnya dalam

penentuan karakteristik geologi dalam SNI 5015:2011, serta klasifikasi dalam

estimasi sumberdaya dengan menggunakan perangkat geosatistik. Adapun tujuan

kajian adalah :

1. Mengetahui kondisi geologi endapan batubara (sedimentasi dan tektonik) di

area Sangatta, Cekungan Kutai berdasarkan analisa kualitatif dan kuantitaif ?

2. Memberikan usulan penyempurnaan SNI 5015 tahun 2011 ?

Untuk mencapai tujuan tersebut, dibawah ini perlu dipelajari secara lebih rinci,

yaitu :

1. Karakteristik Geologi Endapan Batubara daerah Sangatta Cekungan

Kutai.

2. Parameter Geostatistik, Analisis Geostatistik (Variogram dan Kriging)

untuk setiap kondisi geologi.

3. Klasifikasi dan estimasi sumberdaya batubara.

1.9. Kegunaan Penelitian

a. Dapat dimanfaatkan sebagai acuan bagi kegiatan eksplorasi batubara di

seluruh Indonesia yang sedimentasi dan tektonik settingnya serupa.

b. Memberikan contoh dan alternatif jawaban yang lebih fokus dan

spesifik untuk pengklasifikasian sumberdaya batubara di Indonesia.


51

c. Memberikan evaluasi standar pengklasifikasian dan estimasi

sumberdaya batubara di Indonesia yang akan terus berkembang.

d. Memberikan gambaran yang utuh tentang perkembangan geostatistik

bagi batubara di Indonesia dan Dunia.

e. Memberikan kontribusi dalam penyempurnaan pada SNI 5015: 20115

1.10. Batasan Penelitian

Pada penelitian ini terdapat beberapa batasan penelitian, batasan tersebut

adalah:

a. Penelitian ini hanya dilakukan pada lokasi pertambangan batubara

PT. Kaltim Prima Coal, yaitu PIT J (meliputi seam BE dan NM)

dan lapangan batubara Sangatta (seam Sangatta, PIT Bendili),

Kalimantan Timur, dikarenakan lokasi tersebut ideal untuk

melakukan penelitian, dimana kondisi geologinya beragam, mulai

dari kondisi geologi moderat sampai kompleks, selain itu

penunjukan lokasi tersebut adalah keinginan pihak perusahaan.

Untuk pemilihan seam BE, NM dan sangatta dikarenakan ketiga

seam tersebut memiliki kemenerusan yang beragam ( rendah –

tinggi ), dan memiliki data eksplorasi yang lengkap dan juga

merupakan keinginan pihak perusahaan.

b. Studi karakteristik Batubara berdasarkan data pemboran batubara

dan sebaran batubara.

c. Data yang digunakan untuk uji geostatistik adalah hanya data

ketebalan batubara, dan beberapa parameter data kualitas batubara,


52

meliputi Kalori (Calorific Value), Kadar Sulphur dan Kadar Abu

(Ash). Untuk parameter data kualitas batubara, pemilihan

parameter didasari oleh ketiganya merupakan parameter utama

dalam kualitas batubara dan juga memiliki kelengkapan data yang

baik.

d. Usulan penyempurnaan SNI 5015 tahun 2011 untuk aspek kualitas

batubara hanya dibatasi tiga parameter, yaitu parameter Kalori

(Calorific Value), Kadar Sulphur dan Kadar Abu (Ash).

1.11. Noveltis

 Kajian kuantitatif karakteristik geologi endapan batubara ( meliputi

aspek sedimentasi, tektonik dan kualitas batubara ) pada Cekungan

Kutai di daerah lapangan Sangatta.

 Analisis geostatistik untuk penentuan jarak titik bor untuk

klasifikasi sumberdaya yang pernah dilakukan Olivier Bertoli, dkk,

pada kondisi geologi yang lebih komplek, dimana penelitian yang

dilakukan hanya dengan parameter ketebalan dan diterapkan pada

endapan mineral. Prinsip tersebut akan penulis diterapkan pada

endapan batubara.

 Evaluasi SNI 5015 tahun 2011


53

1.12. Road Map Penelitian

Terkait dengan rencana penelitian ini, beberapa penelitian yang telah

dilakukan diantaranya oleh Chairul Nas (1994), berjudul “Spatial Variations

in the Thickness and Coal Quality of the Sangatta Seam. Kutai

Basin.Kalimantan, Indonesia. Penulis ini mengungkapkan bahwa secara

spasial lapisan batubara di Daerah Sangata menunjukkan beberapa domain

dengan variabilitas ketebalan yang tinggi. Low degree of regularity (R = 0.36)

dan low degree of spatial continuity, dengan area pengaruh sebesar 420 m.

Lapisan batubara yang terbentuk di bawah proses yang kompleks yang

melibatkan tahap awal generasi gambut diikuti oleh modifikasi ketebalan

dikaitkan dengan proses geologi seperti erosi (washout) dan patahan.

Distribusi spasial ketebalan anisotropik dengan kelangsungan terbesar

ketebalan dalam arah tenggara (135°) yang sejajar dengan arah sedimentasi

klastik di lapangan batubara. Ada korelasi negatif antara statistik rata-rata

ketebalan lokal dan variabilitas ketebalan. Lapisan batubara Sangatta

diendapkan dalam empat zona geografis.

Dalam setiap zona parameter statistik yang zona tertentu. Di zona Barat,

lapisan yang tebal, memiliki ketebalan dan belerang populasi unimodal,

variabilitas ketebalan terkecil, ketebalan kontinuitas terbesar (kisaran 700m),

ketebalan isotropi terbesar, vitrinite berlimpah, parting klastik sedikit dan

kadar abu yang rendah. Zona pusat memiliki populasi bimodal dan variabilitas

yang tinggi untuk data ketebalan, rendah kontinuitas ketebalan (kisaran

300m), distribusi ketebalan anisotropik rendah, kandungan sulfur yang rendah,


54

sedikit jaringan kayu dan jaringan tanaman sebagian besar rusak. Zona Timur

menunjukkan variabilitas ketebalan terbesar dengan hasil abu yang relatif

tinggi, ketebalan keteraturan terendah (R = 0,23) dan ketebalan anisotropy

yang kuat. Zona utara memiliki parameter statistik yang cenderung memiliki

nilai menengah.

Gambar 1.2 Distribusi lapisan batubara sangatta dalam empat zona


spasial. (Nas, 1994)

Selanjutnya Olivier Bertoli. Dkk (2013), berjudul “Geostatistical drillhole

spacing analysis for coal resource classification in the Bowen Basin,

Queensland”. Penulis ini membahas analisis geostatistik jarak lubang bor untuk

klasifikasi sumber daya dengan menggunakan global estimation variance.

Kesimpulan yang didapat adalah kontinuitas spasial terhadap bebarapa parameter

( seperti ketebalan dan kualitas batubara) dapat menyebabkan variasi jarak yang

berbeda untuk setiap parameter yang berbeda. Pada umumnya penelitian


55

mengungkap analisis geostatistik dalam perhitungan sumberdaya dan cadangan

batubara tanpa menghubungkan dengan kompleksitas geologi. Penelitian yang

sudah dilakukan selama ini belum pernah dilakukan di Indonesia.

Beberapa peneliti lainnya menulis tentang klasifikasi cadangan bijih, dengan

perangkat geostatistik, antara lain Yamamoto (1999) dalam bukunya yang

berjudul “Quantification of Uncertainty in Ore Reverse Estimation”, membahas

klasifikasi cadangan bijih berdasarkan kuantifikasi tingkat kesalahan (Error

Quantification) menggunakan Kriging Deviation; Valee (1986) dalam bukunya

tentang “ Mineral Inventory, from Resource Reconnaissance and Evaluation to

Ore Estimates, yang menyimpulakan tentang “subdivision for reserve estimates”

berdasarkan approximate margin of error.


56

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka Geologi

Pada sub bab ini akan diterangkan tentang kajian pustaka yang berhubungan

dengan teori yang akan digunakan dalam kegiatan penelitian. Deskripsi akan

dimulai dengan pembahasan kajian pustaka geologi, meliputi regional dan geologi

local..

2.1.1. Geologi Regional

Daerah penelitian termasuk kedalam Cekungan Kutai. Cekungan Kutai

merupakan salah satu cekungan sedimentasi berumur Tersier di Indonesia dan

terletak di Kalimantan bagian timur.

2.1.1.1. Cekungan Kutai

Cekungan Kutai terbagi menjadi dua bagian, yaitu Cekungan Kutai bagian atas

(Upper Kutai Basin) dan Cekungan Kutai bagian bawah (Lower Kutai Basin)

(Gambar 2.1). Kedua bagian cekungan tersebut dibedakan berdasarkan umur dan

proses pembentukannya. Cekungan Kutai Bagian Atas terjadi akibat proses

tektonik dan sedimentasi pada masa Paleogen. Sedangkan, Cekungan Kutai

Bagian Bawah terjadi akibat proses tektonik dan sedimentasi pada masa Neogen.

Daerah penelitian termasuk dalam Cekungan Kutai bagian bawah.Cekungan Kutai


57

dibatasi oleh Paternoster platform, Barito Basin, dan Pegunungan Meratus ke

selatan, dengan Blok Schwaner ke Barat Daya, lalu Tinggian Mangkalihat di

sebelah Utara - Timur Laut, dan Central Kalimantan Mountains (Moss dan

Chambers, 1999) untuk Barat dan Utara (Gambar 2.1).

Lokasi penelitian

Gambar 2.1. Peta regional cekungan kutai ( modifikasi dari Moss dan Chambers,
1999)

Cekungan Kutai memiliki sejarah yang kompleks (Moss et al., 1997), dan

merupakan satu-satunya cekungan Indonesia yang telah berevolusi dari internal

rifting fracture/foreland basin ke marginal-sag. Sebagian besar produk awal

pengisi Cekungan Kutai telah terbalik dan terangkat (Satyana et al., 1999), pada

Miosen Tengah sampai Miosen Akhir sebagai akibat dari terjadinya tumbukan /

kolusi block Micro Continent. Berdasarkan peristiwa ini menyebabkan adanya

pengangkatan cekungan, perubahan sumbu antiklin dan erosi permukaan yang

mengontrol sedimentasi pada Delta Mahakam. Delta Mahakam terbentuk di mulut

sungai Mahakam sebelah timur pesisir Pulau Kalimantan, dengan garis pantainya
58

berorientasi arah NE-SW dan dibatasi oleh Selat Makasar, selat yang memisahkan

pulau Kalimantan dan Sulawesi.

Evolusi tektonik Cekungan Kutai terbagi dalam 3 fase tektonik, yaitu : Fase

Syn-rift pada Eosen Tengah - Eosen Akhir, Fase Sagging pada Eosen Akhir –

Oligosen, Fase Pengangkatan dan Penurunan pada Oligosen Akhir – Miosen

(Moss dan Chambers, 1999), terlihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Evolusi tektonik Cekungan Kutai, (Moss & Chambers, 1999).

Berikut penjelasan fase tektonik yang terjadi di Cekungan Kutai:

a. Fase Syn-rift pada Eosen Tengah – Eosen Akhir

Pembentukan Cekungan Kutai dimulai dengan terbentuk sejumlah regangan

berarah timur laut - barat daya pada Kala Eosen Tengah. Regangan terbentuk

karena ekstensi yang memisahkan Kalimantan dan Sulawesi bagian selatan

dan membentuk Selat Makasar sebagai akibat adanya kolisi mikrokontinen

dan subduksi di bagian barat laut Kalimantan dan pembentukan Pegunungan


59

Kalimantan Tengah. Pada fase ini dengan cepat terendapkan sedimen syn-rift.

Regangan ini membentuk seri half graben. Pengisian graben-graben ini

terdiri 2 tipe, yaitu endapan asal darat pada bagian barat dan endapan asal laut

pada bagian timur. Pengisian graben oleh material asal laut ini akibat dari

graben yang berada di bawah muka air laut..

b. Fase Sagging Eosen Akhir - Oligosen

Pada Eosen Akhir, ekstensi Selat Makasar mengakibatkan adanya subsidence.

Ekstensi ini mengakibatkan paleogeografi menjadi lebih dalam daripada

paleeogeografi sebelumnya, sehingga banyak dipengaruhi oleh proses asal

laut. Fase ini secara regional yang menghasilkan sedimen laut dalam yang

didominasi oleh shale yang cukup tebal, dan tinggian basement dan batas

margin terbetuk batuan karbonat. Kemudian terjadi ketidakselarasan akibat

adanya gaya ekstensi baru yang berorientasi tegak lurus terhadap ekstensi

pada Kala Eosen. Hal ini menunjukkan adanya arah gaya pembentuk sesar

yang berbeda di kedua kala tersebut.

c. Fase inversi dan progradasi Miosen

Pada awal Miosen ini terjadi tektonik inversi pada cekungan sehingga terjadi

pendangkalan dan dengan dimulainya progradasi delta ke arah timur. Fase

inversi ini terus berlangsung hingga saat ini. Inversi ini terjadi akibat ekstensi

Laut Cina Selatan pada 14 juta tahun yang lalu serta adanya kolisi blok

Palawan Utara dengan blok Palawan Selatan membentuk deformasi kontraksi

berarah barat laut - tenggara (McClay et al., 2000). Rotasi pulau Kalimantan

dengan arah putaran berlawanan arah jarum jam pada 20 juta tahun yang lalu
60

juga mempengaruhi terjadinya inversi ini (McClay et al., 2000). Subduksi di

bagian timur Sulawesi, menghasilkan kolisi Banggai-Sula pada 10 juta tahun

yang lalu. Kolisi pada 10 juta tahun yang lalu ini menyebabkan terjadinya

percepatan inversi dan memperkuat terbentuknya sabuk lipatan Mahakam.

Rezim kontraksi dengan arah barat laut – tenggara berlangsung hingga saat

ini, diikuti dengan adanya pergerakan lempeng Indo-Australia ke arah utara

menuju ke busur Banda (McClay et al., 2000).

Cekungan Kutai merupakan cekungan intra kraton di Indonesia. Pembentukan

cekungan terjadi selama Neogen, ketika terjadi proses penurunan cekungan dan

sedimentasi yang bersifat trangesif, dan dilanjutkan bersifat regresif di Miosen

Tengah (Barber, 1985).

2.1.1.2. Fisiografi Cekungan Kutai

Secara fisiografis, dari barat ke timur Cekungan Kutai dibagi menjadi 3 zona

geomorfologi yang memanjang dari utara ke selatan (Supriatna, dkk, 1995), yaitu:

a. Rawa-rawa, merupakan zona sinklinorium yang pada permukaannya

berkembang menjadi rawa. Zona ini berkembang di bagian barat Cekungan, di

hulu Sungai Mahakam.

b. Pegunungan Antiklinorium Samarinda, merupakan zona yang terdiri dari

perbukitan bergelombang sedang hingga kuat dan memanjang dengan arah

relatif timur laut-barat daya. Puncak-puncak bukit dan gunung di zona ini

memiliki ketinggian antara 300 - 400 meter yang tersusun seluruhnya oleh

batuan sedimen, membentuk morfologi lembah dan perbukitan bergelombang


61

sedang hingga kuat. Zona ini berada pada bagian tengah dan menempati

sebagian besar Cekungan Kutai.

c. Delta Mahakam, merupakan area yang terletak di bagian paling timur

Cekungan Kutai. Kondisi morfologi komplek ini berupa perbukitan lemah

sampai dataran delta yang berkembang menjadi delta hasil sedimentasi Sungai

Mahakam yang menuju Selat Makasar dan memiliki potensi minyak bumi yang

besar.

= Lokasi penelitian

Gambar 2.5. Fisiografi Cekungan Kutai ( Modifikasi dari Supriatna, dkk, 1995)

2.1.1.3. Stratigrafi Regional Cekungan Kutai

Stratigrafi Cekungan Kutai tersusun atas endapan-endapan sedimen berumur

Tersier yang memperlihatkan endapan fase transgresi dan regresi laut, (Allen dan

Chambers,1998) yaitu:

a. Fase Transgresi Paleogen

Fasa sedimentasi Paleogen dimulai ketika terjadi fasa tektonik ekstensional dan

pengisian rift pada kala Eosen. Pada masa ini, Cekungan Barito, Kutai, dan

Tarakan merupakan zona subsidence yang saling terhubungkan, kemudian


62

sedimentasi Paleogen mencapai puncak pada fasa pengisian pada saat

cekungan tidak mengalami pergerakan yang signifikan, sehingga

mengendapkan serpih laut dalam secara regional dan batuan karbonat pada

Oligosen Akhir.

b. Fase Regresi Neogen

Fase ini dimulai pada Miosen Awal hingga sekarang, yang menghasilkan

progradasi delta (deltaic progradation) yang masih berlanjut hingga sekarang.

Sedimen regresi ini terdiri dari lapisan-lapisan sedimen klastik delta hingga

laut dangkal dengan progradasi dari barat kearah timur dan banyak dijumpai

lapisan batubara (lignite).

Stratigrafi Cekungan Kutai dari tua ke muda ( Miocene – Quarter) menurut

Satyana dkk, 1999, dalam Peta Geologi Lembar Samarinda adalah sebagai berikut

(gambar 2.7):

a. Formasi Pamaluan

Batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, serpih, batugamping dan

batulanau, berlapis sangat baik. Batupasir kuarsa merupakan batuan utama,

kelabu kehitaman – kecoklatan, berbutir halus – sedang, terpilah baik, butiran

membulat – membulat tanggung, padat, karbonan dan gampingan. Setempat

dijumpai struktur sedimen silang siur dan perlapisan sejajar. Tebal lapisan

antara 1-2 m. Batulempung dengan ketebalan rata-rata 45 cm. Serpih, kelabu

kehitaman - kelabu tua, padat, dengan ketebalan sisipan antara 10 – 20 cm.

Batugamping berwarna kelabu, pejal, berbutir sedang-kasar, setempat berlapis


63

dan mengandung foraminifera besar. Batulanau berwarna kelabu tua-

kehitaman. Tebal Formasi lebih kurang 2000 m .

b. Formasi Bebuluh

Batugamping terumbu dengan sisipan batugamping pasiran dan serpih.

Batugamping berwarna kelabu, padat, mengandung foraminifera besar, berbutir

sedang. Setempat batugamping menghablur, terkekar tak beraturan. Serpih,

kelabu kecoklatan berselingan dengan batupasir halus kelabu tua kehitaman.

Tebal formasi sekitar 300 m diendapkan selaras dibawah Formasi Pulau

Balang.

c. Formasi Pulau Balang

Perselingan batupasir greywacke dan batupasir kuarsa sisipan batugamping,

batulempung, batubara dan tufa dasit. Batupasir greywacke berwarna kelabu

kehijauan, padat, tebal lapisan antara 50 – 100 cm. Batupasir kuarsa berwarna

kelabu kemerahan, setempat tufan dan gampingan, tebal lapisan antara 15 -60

cm. Batugamping berwarna coklat muda kekuningan, mengandung

foraminifera besar. Batugamping ini terdapat sebagai sisipan atau lensa dalam

Batupasir kuarsa, ketebalan lapisan 10 - 40 cm. Batulempung, kelabu

kehitaman, tebal lapisan 1 – 2 cm. Setempat berselingan dengan batubara, tebal

ada yang mencapai 4 m. Tufa dasit, putih merupakan sisipan dalam batupasir

kuarsa.

d. Formasi Balikpapan

Perselingan batupasir dan batulempung sisipan batulanau, serpih, Batugamping

dan batubara. Batupasir kuarsa, putih kekuningan, tebal lapisan 1–3 m, disisipi
64

lapisan batubara, tebal 5–10 cm. Batupasir gampingan, coklat, berstruktur

sedimen lapisan sejajar dan silang siur, tebal lapisan 20–40 cm, mengandung

foraminifera kecil disisipi lapisan tipis karbon. Batulempung, kelabu

kehitaman, setempat mengandung sisa tumbuhan, oksida besi yang mengisi

rekahan-rekahan, setempat mengandung lensa batupasir gampingan. Batulanau

gampingan, berlapis tipis, serpih kecoklatan, berlapis tipis. Batugamping

pasiran, mengandung foraminifera besar, menunjukkan umur Miosen Akhir

bagian bawah - Miosen Tengah bagian atas, tebal formasi 1000–1500 m.

e. Formasi Kampung Baru

Batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, serpih, batulanau dan lignit,

pada umumnya lunak, mudah hancur. Batupasir kuarsa, putih setempat

kemerahan atau kekuningan, tidak berlapis, mudah hancur, setempat

mengandung lapisan tipis oksida besi atau kongkresi, tufan atau lanauan, dan

sisipan batupasir konglomeratan atau konglomerat dengan komponen kuarsa,

kalsedon, serpih merah dan lempung, diameter 0,5–1 cm, mudah lepas.

Batulempung, kelabu kehitaman mengandung sisa tumbuhan, kepingan

batubara. Batulanau, kelabu tua, menyerpih, laminasi. Lignit, tebal 1–2 m.

Diduga berumur Miosen Akhir – PlioPlistosen, lingkungan pengendapan delta

- laut dangkal, tebal lebih dari 500 m. Formasi ini menindih selaras dan

setempat tidak selaras terhadap Formasi Balikpapan.


65

f. Formasi Mahakam

Formasi Mahakam terbentuk pada kala Pleistosen-sekarang. Proses

pengendapannya masih berlangsung hingga saat ini, dengan ciri litologi

material lepas berukuran lempung hingga pasir halus.

Interval penelitian

Gambar 2.7. Kolom stratigrafi cekungan kutai (Satyana et all, 1999)


66

2.1.1.4. Struktur Geologi Regional Cekungan Kutai

Seperti halnya beberapa cekungan di Asia Tenggara lainnya, half graben

terbentuk selama Eosen sebagai akibat dari fase ekstensional atau pemekaran

regional (Allen dan Chambers, 1998). Pemekaran ini merupakan manifestasi

tumbukan sub lempeng Benua India dengan lempeng Benua Asia yang memacu

pemekaran di sepanjang rangkaian strike-slip fault dengan arah baratlaut-tenggara

(NW-SE) yang merupakan reaktifasi struktur sebelumnya, yaitu sesar Adang-

Lupar dan sesar Mangkalihat. Cekungan ini mulai terisi endapan sedimen

transgresif pada kala Eosen Akhir hingga Oligosen. Kemudian diikuti oleh sekuen

regresif pada kala Miosen Awal yang merupakan inisiasi kompleks Delta

Mahakam saat ini. Proses progadasi Delta Mahakam meningkat dengan sangat

signifikan pada kala Miosen Tengah, yaitu ketika tinggian Kuching di bagian

Barat terangkat dan inversi pertama terjadi. Progradasi tersebut masih berlangsung

hingga saat ini. Inversi kedua terjadi pada masa Mio-Pliosen, ketika bagian

lempeng Sula-Banggai menabrak Sulawesi dan menghasilkan mega shear Palu-

Koro. Pembentukan dan perkembangan struktur utama yang mengontrol sub

Cekungan Kutai Bawah erat kaitannya dengan proses tektonik inversi kedua, yaitu

struktur-struktur geologi dengan pola kelurusan arah timurlaut-baratdaya (NNE-

SSW). Menurut Allen dan Chambers, (1998) pola ini dapat terlihat pada struktur

umum yang tersingkap di Cekungan Kutai saat ini, yaitu berupa jalur sesar-sesar

anjakan dan kompleks rangkaian antiklin /antiklinorium. Perkembangan struktur

lainnya adalah pola kelurusan berarah baratlaut tenggara (NW-SE), berupa sesar-

sesar normal yang merupakan manifestasi pelepasan gaya utama yang terbentuk
67

sebelumnya. Sesar-sesar ini terutama berada di bagian utara cekungan, memotong

sedimen berumur Miosen Tengah dan bagian lain yang berumur lebih tua.

Struktur geologi yang paling jelas terlihat pada Cekungan Kutai berupa adanya

pegunungan lipatan memanjang yang disebut sebagai Sabuk Lipatan Mahakam

Sabuk lipatan ini terdapat pada area darat dengan sangat intensif dan berkurang

intensitasnya ke arah timur. Antiklin yang terdapat pada cekungan ini umumnya

asimetris, panjang, dan dibatasi oleh patahan (thrust fault-bounded anticline).

Antiklin ini memiliki orientasi utara-timur laut-selatan-barat daya dengan lebar

sekitar 2-5 km dan panjang sekitar 50 km. Antiklin - antiklin ini dipisahkan oleh

adanya sinklin yang luas dan terbuka (McClay et al., 2000). Bagian barat dari

sabuk lipatan Mahakam ini disebut sebagai Antiklinorium Samarinda.

Gambar 2.8. Peta struktur geologi Cekungan Kutai (Allen dan Chambers, 1998).
68

2.1.1.5. Geologi Regional Daerah Sangatta

Daerah Sangatta terletak di antara Delta Mahakam dan Tinggian Mangkalihat

yang merupakan Cekungan Kutai bagian utara. Berdasarkan hasil analisis dari

Formasi Balikpapan di daerah Sangatta, dapat disimpulkan bahwa sistem delta di

Sangatta merupakan perkembangan delta tersendiri, yang berkembang di bagian

utara Cekungan Kutai dan terpisah dari sitem Delta Mahakam purba di bagian

selatan (Snedden dkk., 1996; op.cit. Setiadi, 2008). Di sebelah barat cekungan

terjadi pengangkatan yang disertai erosi yang menyebabkan di daerah timurlaut

(sekitar Sangatta) terjadi sedimentasi, sebaliknya jika pengangkatan di sebelah

barat berkurang intensitasnya maka terjadi transgresi dari timurlaut berlangsung

ke arah barat.

Di kawasan Sangatta pengendapan delta yang cepat pada Miosen Tengah

mulai membebani endapan lempung tebal berumur Tersier dan mengakibatkan

masa lempung yang belum mampat (kompak) itu menjadi labil. Akibatnya masa

lempung mencuat, berdiapirik menerobos sedimen regresif di atasnya, sehingga di

kawasan ini ditemui suatu struktur antiklin yang sempit, memanjang dan sejajar

dengan garis pantai. Struktur antiklin sempit ini dipisahkan oleh sinklin-sinklin

yang lebar. Proses pembentukan struktur ini berlangsung setahap demi setahap,

beruntun bersamaan dengan progradasi pengendapan delta (Samuel, 1976; op.cit.

Setiadi, 2008). Sistem delta Sangatta ini terbentuk bersamaan dengan Proto-delta

Mahakam dan diperkirakan mulai berlangsung sejak Miosen Awal (Duval dkk.,

1992; op.cit. Setiadi, 2008). (Gambar 2.5). Penurunan dasar cekungan selama
69

Kala Eosen hingga Oligosen Awal menyebabkan terjadinya transgresi regional

yang berlangsung dari timurlaut ke barat-baratdaya (Setiadi, 2008).

2.1.1.6. Geologi Lokal Daerah Sangatta Dan Sekitarnya

Geologi Lapangan Sangatta telah dilaporkan oleh beberapa penulis, misalnya

Gunawan (1979), Putra (1978) dan Muggeridge (1987). Dalam beberapa laporan

eksplorasi minyak, juga sempat disebutkan (Sikumbang et al 1981;. Vallet, 1983;

Umar et al 1987). Namun, laporan geologi batubara paling komprehensif adalah

ditulis oleh Muggeridge (1987).. Geologi area Sangatta terbagi dalam pembahasan

morfologi, stratigrafi, struktur geologi dan sejarah geologi, yang akan dirinci lebih

lanjut dibawah ini. Bagian berikut diambil dari hasil laporan para penulis

terdahulu.

2.1.1.6.1. Morfologi dan Topografi

Morfologi di daerah penelitian dapat dibagi menjadi morfologi perbukitan,

dataran rendah dan endapan aluvial. Morfologi dataran rendah rata-rata pada

ketinggian 20-50 meter di atas permukaan laut. Terdapat aliran Sungai Sangatta

yang mengalir di sebelah selatan, dan juga Sungai Murung yang merupakan anak

sungai dari Sungai Sangatta yang membentuk endapan aluvial.

Perkembangan morfologi lokal pada daerah penelitian dipengaruhi oleh

berbagai faktor, antara lain litologi, deformasi tektonik (struktur geologi) dan

proses-proses eksogenik. Faktor struktur geologi sangat berpengaruh dalam

pembentukan bentang alam pada daerah penelitian sehingga mengakibatkan

lapisan-lapisan batubara mengalami perlipatan sampai tersesarkan. Dalam

perkembangannya hingga saat ini, akibat pengaruh proses eksogen seperti erosi
70

dan pelapukan serta aktivitas penambangan, maka morfologi perbukitan pada

sebagian daerah penelitian tidak dapat terekspresikan dengan jelas dan

memperlihatkan pola kelurusan yang tidak teratur. Saat ini bentuk morfologi

permukaan daerah penelitian, khususnya di Pit J telah terubah dari kondisi

alaminya akibat aktivitas tambang terbuka (open pit mining) dan membentuk

lereng yang terjal dan tinggi (highwall).

Topografi di daerah Pinang merupakan bergelombang dan kubah pinang

(pinang dome) merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian 325 meter di atas

permukaan laut, sedangkan titik terendahnya adalah tepi selatan Selat Makasar.

Penambangan dipusatkan pada deposit Pinang yang sebagian besar topografi

permukaannya berupa perbukitan. Hal ini disebabkan adanya peristiwa

pengangkatan perlapisan yang relatif masih muda dan adanya peristiwa geologi

lainnya seperti perlipatan dan patahan kecil. Permukaan yang belum matang

karena peristiwa pengangkatan yang masih muda mengakibatkan lereng-lereng

perbukitan mudah longsor. Dataran-dataran sempit yang terdapat di beberapa

daerah rata-rata berada pada ketinggian 20 hingga 50 meter di atas permukaan

laut. Terdapat dua sungai di daerah penambangan PT. Kaltim Prima Coal, yaitu

Sungai Sangatta yang mengalir di sebelah selatan dari daerah penambangan dan

Sungai Murung yang merupakan anak sungai dari Sungai Sangatta. Sungai

Murung mengalir membelah daerah penambangan dari arah selatan menuju ke

arah utara.
71

2.1.1.6.2. Stratigrafi

Berdasarkan Peta Geologi Daerah Pinang, Sangatta, Kalimantan Timur

(sumber dari PT KPC, 1996), batuan yang tersingkap di daerah penelitian ( PIT J)

terdiri dari 4 satuan batuan, yaitu dari umur yang paling tua satuan batupasir

batulempung (Temp), satuan batupasir (Tmpb), satuan batulempung (Tmba) dan

satuan endapan aluvial (Qal).

a. Satuan Batupasir Batulempung (Temp), terdiri dari batupasir sisipan

batulempung, serpih dan batugamping, berdasarkan kesamaan litologinya

Satuan Batupasir Batulempung disetarakan dengan Formasi Pamaluan yang

berumur Miosen Bawah.

b. Satuan Batupasir (Tmpb), terdiri dari batupasir kuarsa, batulempung dan

batubara, berdasarkan kesamaan litologinya Satuan Batupasir disetarakan

dengan Formasi Pulau Balang yang berumur berumur Miosen Tengah.

c. Satuan Batulempung (Tmba), terdiri batulempung perselingan batulanau dan

batupasir, sisipan batulanau dan batubara, berdasarkan kesamaan litologinya

Satuan Batulempung disetarakan dengan Formasi Balikpapan yang berumur

Miosen Tengah hingga Miosen Atas.

d. Satuan Endapan Aluvial (Qal), merupakan satuan batuan yang paling muda

berumur Holosen dan berlangsung hingga kini, yang menempati pinggiran

sungai-sungai yang besar, satuan ini terdiri dari material lepas yang belum

kompak berukuran lempung hingga pasir halus, serta material organik.


72

Gambar 2.14. Stratigrafi regional Cekungan Kutai (Courtney dkk., 1991) vs


Formasi Balikpapan

Khususnya untuk area lapangan sangatta, juga terdiri atas tiga unit

litostratigrafi, yaitu Formasi Pemaluan, Pulubalang dan Balikpapan. Kontak

stratigrafi antar setiap formasi umumnya bergradasi. Pada lapangan batubara

Sangatta, Formasi Pemaluan memiliki distribusi terbatas dan hanya terdapat pada

inti dari Pinang Dome. Ketebalan unit ini lebih kurang 2000 m (Samuel and

Muchsin, 1976; Rose dan Hartono, 1978; Sikumbang dkk 1981; Muggeridge,

1987). Formasi Pemaluan memiliki lingkungan pengendapan laut dangkal. Tabel

dibawah ini menjelaskan stratigrafi lapangan sangatta.


73

Gambar 2.15. Stratigrafi lapangan sangatta (Muggeridge, 1987).

Formasi Pulubalang selaras diatas Formasi Pamaluan. Pembentukan lapisan

batubara secara signifikan terjadi pada formasi ini. Namun, pembentukan masih
74

menunjukkan pengaruh laut, terutama di bagian bawah yang memiliki lapisan

batu pasir berkapur dan beberapa lensa coralline kapur tipis. Di atas bagian

formasi ditandai oleh beberapa urutan sedimen fluvio-delta dimulai dengan tubuh

batupasir di dasar dan mudstones dengan sisipan lapisan batubara di bagian atas.

Struktur sedimen dengan urutan pengasaran-atas sering dijumpai pada formasi ini.

Di lapangan batubara Sangatta, Formasi Pulubalang didistribusikan terutama di

daerah seputar Pinang Dome dan di sepanjang margin barat lapangan batubara

tersebut.

Formasi Balikpapan didominasi oleh mudstones, siltstones, dan batupasir.

Sikumbang dkk (1981) menunjukkan bahwa bagian atas Formasi Balikpapan

terkandung lapisan batugamping. Namun di lapangan batubara Sangatta, formasi

ditandai dengan tidak adanya batupasir gampingan, dan terdapat lapisan batubara

yang tebal, lebih bersifat fluviatile dan tidak adanya lensa batugamping coral.

Formasi Balikpapan berisi lapisan pembawa batubara di lapangan batubara

Sangatta. Lapisan batubara yang paling ekonomis dalam formasi ini terjadi pada

sisi barat Pinang Dome.

2.1.1.6.3. Struktur Geologi

Struktur geologi yang terdapat didaerah penelitian berupa perlipatan, sesar dan

kelurusan. Sumbu lipatan berarah hampir barat – timur. Tektonik yang dapat

diamati terjadi pada Plio-Plistosen, yang mengakibatkan ketidakselarasan dengan

batuan yang lebih tua dan pengaktifan kembali struktur geologi yang terbentuk

sebelumnya. Struktur mayor yang berkembang di daerah ini adalah sesar Villa

dan Kubah Pinang (Pinang Dome). Kubah Pinang merupakan struktur yang
75

dominan di daerah Pinang. Kubah ini menyerupai bangun Antiklin dengan dua

ujungnya menunjam ke arah selatan dan Utara. Kubah ini diperkirakan dihasilkan

dari lempung yang mengalami overpressure. Lempung ini merupakan sedimen

penyusun bagian dasar cekungan kutai yang tertekan kuat, lalu masuk menembus

sedimen diatasnya.

Lapisan di bagian tengah dan timur kubah mempunyai arah kemiringan yang

seragam, semuanya kearah timur sehingga membentuk monoklin. Besarnya dip

berkisar antara 20o – 40o. Ditempat lain sekitar kubah umumnya lapisan memiliki

dip sebesar 15o – 20o bearah menjauh dari kubah. Gambaran struktur geologi di

daerah penelitian terlihat pada peta struktur geologi dibawah ini.

ta LEGEND
at
Tmba ng
Sa am
Se
20 Strike and Dip of Strata
20
Formational Boundary
m
ea

Anticline with Plunge


gS
an
LEM

Syncline with Plunge


Pin

Cropline of Coal Seam


BAK

Temp
D Downthrow Block and Fault
SYN

Tmpb
U Upthrow Block and Fault
CL
INE

Sangatta

O al Alluvium
Seam

D
PINANG DOME
? Tmba Balikpapan Beds
Temp Tmba
NE
Tmba Tmpb ZO Tmpb Pulau Balang Formation
U
Temp Pamaluan Formation
?
m

T
ea

P4 UL
)
S

FA
ds

Pi Sea
Be
P4

apa
t ng
ulu

na m
Ked na
eb

ng Pi eam D
(B

m
Sea S ?
Sea
m

Temp er
Be
d

erk
L LA M
Sea gatta

ne
VI
Sea a

to
es
m
Prim

Lim
m

Tmba
San

Tmba
Tmpb
?
San U
ga
tt a
Prim
Ri

Sa eam

D aS
ver

S
ng

eam
Sea
P4

at
ta
m

Pinang
Petroleum
Exploration borehole

Figure 5

O al PINANG AREA
STRUCTURAL GEOLOGY
O al Kilometer
2
0 1 3

D r aw n by dr afting s ec tion-P&T-Geology /Pinang.prs

(Sumber : Geology Section, Planning & Technical Department, PT. Kaltim Prima Coal)
Gambar 2.16 Peta struktur geologi area Pinang
76

2.1.1.6.3.1. Lipatan

Dua antiklin utama, berarah utara-selatan, berupa antiklin Melawan dan

Pinang, terdapat di sisi barat dan timur dari Lapangan Sangatta. (Gambar. 2.17).

Antiklin Pinang menunjam ke arah utara dan selatan dan membentuk struktur

kubah disebut 'Pinang Dome'. Struktur diapiric diyakini oleh Muggeridge (1987)

untuk telah mempengaruhi pola peringkat batubara di daerah Sangatta. Antiklin

Melawan, memanjang dari utara ke selatan di bagian barat dari Lapangan

Sangatta.

Sinklin Lembak adalah satu-satunya sinklin utama di Sangatta Lapangan.

Secara struktural, sinklin mengontrol lapisan batubara. Sinklin terletak diantara

Pinang Dome dan Melawan Antiklin dan menunjam ke arah utara. Sayap sinklin

yang umumnya lebih landai daripada kedua antiklin. Pada bagian timur sayap

sinklin Lembak, di bagian utara lapangan batubara, kemiringan lapisan (dip)

bervariasi dari 10 ° sampai 20 ° ke arah barat. Dips menjadi landai (0 sampai 15 °)

di bagian selatan. Di bagian Selatan sinklin, arah sesar ini lurus kearah barat -

timur, namun kemudian di sebelah timur sinklin arah sesar ini berubah menjadi

barat - barat daya dan timur - timur laut. Sesar ini terus kearah timur - timur laut

dan kemudian memotong Kubah Pinang. Pada selatan zona Sesar Villa,

kenampakan sinklin berubah menunjam ke selatan. Hasil pemboran menunjukan

bahwa lapisan yang mengandung seam Pinang telah mengalami penurunan 400

meter kearah selatan zona. Singkapan batubara tersebut telah mengalami

perpindahan relatif ke arah barat dan timur terhadap posisi semula.


77

Antiklin Melawan merupakan antiklin yang menunjam ke arah Utara dan

menjadi batas barat Area Pinang. Endapan batubara Melawan terletak pada sayap

antiklin sebelah Timur Laut dan Barat Laut. Dip pada antiklin Melawan bervariasi

antara 5o – 20o. sesar skala kecil ditemukan pada Area Melawan yang menggeser

seam batubara sekitar 10 – 40 meter secara vertikal.

Gambar 2.17. Peta geologi lapangan sangatta ( Modifikasi Muggeridge, 1987)

2.1.1.6.3.2. Struktur Patahan

Struktur patahan dapat dikategorikan ke dalam patahan besar dan kecil.

Patahan besar telah menyebabkan perpindahan signifikan dari lapisan batubara

baik secara geologis dan teknis. Sebagian besar patahan kecil ditandai sebagai

patahan tumbuh, yang akan signifikan dalam analisis lingkungan pengendapan.

Patahan Villa dan zona sesar di bagian utara yang tidak disebutkan namanya
78

adalah dua patahan besar yang berbatasan dengan endapan batubara Sangatta di

selatan dan utara area (Gambar 19). Patahan Villa (Villa Fault), dengan lebar zona

sesar 100 untuk 500 m. Sesar di Utara, memiliki zona sesar dengan lebar sekitar

100 sampai 350 m. Arah patahan tumbuh bervariasi dari utara-selatan hinga ke

timur-barat. Ini patahan tumbuh selaras dengan arah utara-selatan pengendapan

gambut dari lapisan Sangatta (Muggeridge, 1987). Patahan ini juga menyebabkan

terjadinya splitting lapisan batubara yang besar. Zona sesar Villa terdapat di

bagian ujung Selatan Sinklin Lebak. Zona ini secara struktural ditandai dengan

curamnya kemiringan lapisan, termasuk seam batubara yang memiliki dip 40o -

80o kearah utara dan selatan, pada zona sesar ini.

Patahan tumbuh lainnya yang berarah timur-barat, juga dierkirakan aktif

selama pengendapan lapisan batubara sangatta. Patahan ini menyebabkan

pergeseran lapisan batubara 5-20 meter, dan umumnya berasosiasi dengan

rekahan slickenside pada mudstones dan siltstones. Posisi rekahan adalah parallel

atau sub-parallel dengan bidang perlapisan.

Struktur Sesar Naik Villa ini terbentuk akibat gaya utama yang bekerja

menekan dari arah baratlaut, akibat adanya zona lemah, blok di sebelah baratlaut

relatif naik ke atas blok tenggara dan terus terlipat kuat membentuk struktur sesar

naik, stuktur Sesar Naik Villa ini diperkirakan terjadi pada Kala Miosen Akhir.
79

SESAR VILLA

Gambar 2.17. Sesar villa di Pit J

Gambar 2.18. Drag pada sesar Villa di Pit J

Struktur geologi dalam lapangan batubara yang terutama terdiri dari antiklin,

sinklin, patahan dan lipatan. Lipatan sumbu antiklin dan sinklin umumnya dari

arah utara-selatan, sedangkan patahan berarah timur-barat.

2.1.1.6.4. Lingkungan Pengendapan

Selama pengendapan dari Formasi Pemaluan, Pulubalang dan Balikpapan,

daerah lapangan Sangatta diperkirakan mengalami regresi. Gaya pengendapan

beralih dari laut dangkal ke delta dan kemudian ke lingkungan fluviatile. Formasi

Pemaluan diendapkan pada lingkungan laut dangkal. Hal ini ditunjukkan oleh
80

asosiasi mudstones, napal, dan batupasir gampingan. Batugamping terumbu

ditemukan di bagian atas dan menindikasikan lingkungan air bersih, tenang dan

dangkal. Lingkungan pengendapan berubah secara bertahap dari laut terbuka

menjadi terestrial. Transisi dapat diamati melalui asosiasi batuan sedimen diatas

Formasi Pulubalang. Karakteristik litologi dari formasi ini berubah secara

bertahap dari marine bagian bawah dan fluvial di bagian atas. Sedimentasi delta

mungkin terjadi selama pengendapan bagian tengah Formasi Pulubalang yang

ditandai dengan adanya tubuh batupasir mengkasar keatas, terkait dengan

mudstones bioturbasi.

Perubahan pengendapan secara lateral mungkin terjadi selama pengendapan

Formasi Pulubalang, terutama dari fluviatile di barat ke laut dangkal di timur.

Sebagian besar lapisan di Formasi Balikpapan yang diendapkan melalui proses

aggradasi vertikal, progradasi dan akresi lateral yang dalam satu set lingkungan

sistem fluvial. Setiap sistem dapat dipisahkan menjadi beberapa sub-sistem seperti

channel, natural levee, crevasse splay dan backswamp. Dari asosiasi litologi

tersebut, sistem dapat diartikan sebagai suatu sistem sungai berkelok-kelok

(meandering river system) . Kenampakan struktur washout, splitting dan growth

fault pada lapisan batuan sedimen (terutama di wilayah timur), umum terjadi

selama pengendapan.

Perubahan lateral pada pengendapan Formasi Balikpapan, terutama dari

lingkungan fluviatil di barat ke delta dan laut dangkal di timur. Pengukuran

Paleocurrent menunjukkan bahwa arah pengendapan adalah dari barat laut ke

tenggara (Nas, 1994). Berlokasi di daerah barat dari lapangan batubara, beberapa
81

lapisan batubara lainnya seperti lapisan batubara Pamungkas, Tempudan, Jorang,

Benu dan Melawan terjadi secara berurutan yang berkorelasi dengan lingkungan

fluvio-delta ini. (Gambar. 2.19)

Gambar 2.19. Penampang geologi yang memotong area Melawan-Sangatta,


memperlihatkan perubahan fasies dari barat ( fluviatile) ke timur (transisi) (Nas,
1994)

Pada lapangan batubara Sangatta, diatas sekuen fluvio-deltaic terendapkan

lapisan batubara sangatta yang ekonomis. Dibawah lapisan batubara sangatta,

batubara diendapkan bersama-sama dengan batuan lainnya seperti batupasir.

Beberapa lapisan batubara lainnya seperti Prima, Bintang dan B2, merupakan

lapisan batubara yang berasosiansi juga dengan sedimentasi ini. (Kaltim Prima

Coal, pers. comm, 1992).

2.2. Kajian Pustaka Batubara

Batubara merupakan sedimen organik, lebih tepatnya merupakan batuan

organik, terdiri dari kandungan bermacam-macam pseudomineral. Secara umum

telah diterima bahwa batubara berasal dari tumbuhan yang karena proses-proses
82

geologi, maka terbentuklah endapan batubara. Pembentukan tumbuhan mati

menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap, yaitu tahap diagenesa gambut

(peatification) dan tahap pembatubaraan (coalification). (Hutton dan Jones, 1995

dalam Sukandarrumidi, 2005).

2.2.1. Penerapan Model Pengendapan Batubara

Model pengendapan batubara akan sangat berpengaruh dalam geometri dan

model lapisan batubaranya. Berikut dibawah ini akan dibahas secara rinci tentang

genesa, geometri, struktur pada lapisan batubara.

2.2.1.1. Geometri Lapisan Batubara

Geometri lapisan batubara merupakan aspek dimensi atau ukuran dari suatu

lapisan batubara yang meliputi parameter ketebalan, kemiringan, kemenerusan,

keteraturan, sebaran, bentuk, kondisi roof dan floor, cleat, dan pelapukan

(Kuncoro, 2000). Kondisi lapisan batubara di lapangan dijumpai dalam urutan

yang tidak teratur, pelamparan yang terbatas, sebaran tidak teratur, tidak menerus,

menebal, menipis, terpisah, dan melengkung dengan geometri yang bervariasi.

Kondisi geometri lapisan batubara yang demikian, dapat dipahami jika

hubungannya dengan lapisan batuan yang berasosiasi (lingkungan pengendapan)

diperhitungkan bersamaan dengan proses tektonik yang mempengaruhinya

(Horne, 1978). Agar geometri lapisan batubara menjadi berarti dan menunjang

pada tahap perhitungan sumberdaya batubara maka perlu diketahui mengenai

parameter-parameter dari geometri batubara. Parameter geometri batubara terdiri

dari beberapa parameter, yaitu:


83

a. Ketebalan

Ketebalan lapisan batubara adalah unsur penting yang langsung berhubungan

dengan perhitungan sumberdaya / cadangan, perencanaan produksi, sistem

penambangan dan umur tambang. Kecenderungan arah perubahan ketebalan,

penipisan, pembajian dan splitting terjadi karena diperngaruhi oleh faktor-

faktor geologi. Faktor-faktor yang terjadi selama proses pengendapan, antara

lain akibat perbedaan kecepatan akumulasi batubara, perbedaan morfologi

dasar cekungan, hadirnya channel, sesar dan proses karst atau terjadi setelah

pengendapan, antara lain karena sesar atau erosi permukaan. Ketebalan

lapisan batubara tersebut termasuk parting (gross coal thickness), tebal

lapisan batubara tidak termasuk parting (net coal thickness), atau tebal

lapisan batubara yang dapat ditambang (mineable thickness).

b. Kemiringan

Besarnya kemiringan lapisan batubara berpengaruh terhadap perhitungan

cadangan ekonomis, nisbah pengupasan dan sistem penambangan (Kuncoro,

1988). Pola kemiringan suatu perlapisan batubara dapat berbentuk pola linier,

pola lengkung, atau pola luasan (area) dan pola kemiringan lapisan batubara

tersebut dapat bersifat menerus dan sama besarnya sepanjang cross strike

maupun on strike atau hanya bersifat setempat.

c. Pola sebaran lapisan batubara

Pola sebaran lapisan batubara akan berpengaruh pada penentuan batas

perhitungan sumberdaya / cadangan dan pembagian blok penambangan. Oleh

karena itu, faktor pengendalinya harus diketahui, yaitu apakah dikendalikan


84

oleh struktur lipatan (antiklin, sinklin, menunjam), homoklin, struktur sesar

dengan pola tertentu atau dengan pensesaran kuat (Diessel, 1992). Menurut

Jeremic (1985), pembagian pola kedudukan lapisan batubara atau sebarannya

adalah teratur dan tidak teratur.

d. Kemenerusan lapisan batubara

Menurut Kuncoro (2000) pada parameter ini yang perlu diketahui adalah

apakah kemenerusannya dibatasi oleh proses pengendapan, split, sesar,

intrusi, atau erosi. Pemahaman yang baik tentang split akan sangat membantu

pada kegiatan eksplorasi untuk menentukan sebaran lapisan batubara dan

penentuan perhitungan sumberdaya / cadangan.

e. Keteraturan lapisan batubara

Menurut Kuncoro (2000) keteraturan lapisan batubara ditentukan oleh pola

kedudukan lapisan batubara (jurus dan kemiringan), artinya apakah pola

lapisan batubara di permukaan (cropline) menunjukkan pola teratur (garis

menerus yang lurus, melengkung/meliuk pada elevasi yang hampir sama)

atau membentuk pola tidak teratur (garis yang tidak menerus (washout),

bercabang (splitting), melengkung/meliuk pada elevasi yang tidak sama) dan

apakah bidang lapisan batubara membentuk bidang permukaan yang hampir

rata, bergelombang lemah, atau bergelombang.

f. Bentuk Lapisan Batubara

Bentuk lapisan batubara dikontrol oleh bentuk cekungan sedimentasi, proses

sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah proses pembatubaraan.

Bentuk lapisan batubara sangat menentukan dalam menghitung sumberdaya


85

dan cadangan batubara serta merencanakan cara penambangannya. Bentuk

lapisan batubara adalah perbandingan antara tebal lapisan batubara dan

kemenerusannya, apakah termasuk kategori bentuk melembar, membaji,

melensa, atau bongkah (Kuncoro, 2000). Menurut Sukandarrumidi (1995),

bentuk-bentuk lapisan batubara adalah sebagai berikut :

 Horse back

Bentuk ini dicirikan oleh lapisan batubara dan lapisan batuan sedimen

yang menutupinya melengkung ke arah atas, akibat adanya gaya kompresi.

Tingkat perlengkungan sangat ditentukan oleh besarnya gaya kompresi.

Makin kuat gaya kompresi yang berpengaruh, maka makin besar pula

tingkat perlengkungannya. Ke arah lateral lapisan batubara dapat memiliki

ketebalan yang sama atau mengalami penipisan.

 Pinch

Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada

umumnya bagian bawah (dasar) dari lapisan batubara merupakan batuan

yang plastis, misalnya batulempung, sedangkan di atas lapisan batubara

secara setempat ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan

pengisiansuatu alur. Bentuk pinch ini bukan penampakan tunggal,

melainkan merupakan penampakan berulang-ulang. Ukuran bentuk pinch

bervariasi dari beberapa meter sampai puluhan meter.

 Clay Vein

Bentuk ini terjadi apabila di antara 2 bagian lapisan batubara terdapat urat

lempung ataupun pasir. Bentuk ini terjadi apabila pada satu seri lapisan
86

batubara mengalami patahan, kemudian pada bidang patahan yang

merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung ataupun pasir.

 Burried Hill

Bentuk ini terjadi apabila di daerah dimana batubara semula terbentuk

suatu kulminasi, sehingga lapisan batubara seperti terintrusi. Lapisan

batubara pada bagian yang terintrusi tersebut dapat mengalami penipisan

atau bahkan hilang sama sekali. Bentukan intrusi mempunyai ukuran dari

beberapa meter sampai puluhan meter.

 Fault

Bentuk ini terjadi apabila deposit batubara mengalami beberapa seri

patahan.

 Fold

Bentukan ini terbentuk akaibat dari proses tektonik yang kuat, sehingga

terjadi perlipatan. Lipatan tersebut berupa antiklin dan sinklin yang

bentuknya dapat menunjukkan tingkat intensifitas gaya yang bekerja pada

lapisan tersebut. Semakin kompleks perlipatan yang terjadi, maka gaya

kompresi yang bekerja juga intensif. Pada umumnya lapisan batubara yang

mengalami perlipatan berasosiasi dengan lapisan batubara yang

terpatahkan.
87

Gambar 2.20. Bentuk perlapisan batubara menurut Sukandarumidi (1995) adalah


A) horseback; B) Pinch ;C) Clay vein’ D) Burried hill; E) Fault ;F) Fold.

g. Kondisi Roof dan floor

Kontak batubara dengan roof dan floor merupakan fungsi dari proses

pengendapannya (Kuncoro, 2000). Pada kontak yang tegas menunjukkan

proses pengendapan berlangsung secara tiba-tiba, sebaliknya pada proses

pengendapan yang berlangsung secara lambat diperlihatkan oleh kontak yang

berangsur.
88

2.2.1.2. Model Lapisan Seam Batubara Akibat Sedimentasi dan Struktur

Geologi

Perkembangan kenampakan geologi di sekitar lapisan batubara disebabkan

oleh proses-proses yang terjadi pada lapisan gambut, sifat fisika dan kimia lapisan

batubara itu sendiri serta material bukan batubara yang berbeda-beda (Ward, 1984

dan Kuncoro, 1996). Endapan batubara sering dijumpai berlapis atau berselang-

seling dengan batuan sedimen lain seperti clay stone, sand stone, limestone, dan

lain-lain. Terkadang lapisan batubara ini sangat tebal, tipis-tipis, bercabang dan

terkadang dijumpai pula sisipan-sisipan (lenses) batu lempung atau batupasir.

Pada dasarnya model atau pola (pattern) endapan dan perlapisan pada batubara

dapat digolongkan menjadi dua model, yaitu yang terjadi karena stratigrafinya

(stratigraphic pattern) dan karena pengaruh struktur geologi ( structural pattern).

2.2.1.2.1. Model atau Pola Stratigrafi (Stratigraphic Pattern).

Endapan batubara model ini terjadi bilamana tidak ada pengaruh struktur

geologi (patahan, lipatan, dan lain-lain) yang berarti, tetapi oleh proses

sedimentasi normal atau adanya erosi dan ketidakselarasan (unconformity).

Model-model lapisannya berupa lapisan yang normal mendatar atau sedikit

miring (tebal atau tipis, atau berselang-seling) dan terkadang dijumpai sisipan

batulempung atau batupasir.

a. Lapisan atau Seam Batubara Tebal

Lapisan (seam) batubara yang tebal diperkirakan terjadi karena pada

saat pembentukan lapisan gambut, dasar rawa mengalami penurunan yang


89

signifikan dan terus-menerus. Apabila kecepatan penurunan dasar rawa

tempat pembentukan lapisan gambut tersebut sebanding (seimbang)

dengan kecepatan pembentukan materi asal batubara (gel atau gambut),

maka gambut yang terbentuk akan tebal,hingga memungkinkan terbentuk

seam batubara yang tebal. Keseimbangan ini dikenal sebagai

keseimbangan biotektonik.

b. Lapisan atau Seam Batubara Tipis.

Lapisan batubara yang tipis diperkirakan terjadi karena beberapa hal,

diantaranya adalah ketersediaan bahan-bahan pembentuk gambut

(tetumbuhan) kurang mencukupi. Kemungkinan lain adalah karena pada

saat pembentukan lapisan gambut, rawa terus mengalami pendangkalan

karena tidak adanya penurunan dasar rawa, hingga akhirnya ekosistem

rawa berubah menjadi ekosistem darat. Perubahan ekosistem dan iklim

yang ekstrim (perubahan iklim basah ke iklim kering) diperkirakan juga

menjadi penyebab terputusnya proses pembentukan dan sedimentasi

gambut, hingga menghasilkan lapisan gambut dan batubara yang tipis.

c. Lapisan atau Seam Batubara dengan Sisipan Sedimen Lain

Model lapisan batubara jenis ini diperkirakan terjadi erosi oleh sungai

yang memotong lapisan-lapisan gambut pada saat pembentukannya.

Perpindahan letak sungai, seperti yang sering dijumpai pada proses

meander, pada daerah rawa tempat pembentukan gambut tersebut

diperkirakan menjadi penyebab utama munculnya sisipan-sisipan lempung

atau pasir pada suatu batubara. Pembentukan lapisan gambut pada suatu
90

rawa gambut (mire/moor), dapat tererosi dan terpotong oleh aliran sungai,

sehingga akan diendapkan sedimen asing di tempat tersebut. Apabila

kemudian sungai ini mati atau berpindah (sering dijumpai pada peristiwa

meander sungai), sedimen yang terdapat di bekas sungai itu akan dapat

tertutup lagi oleh sedimentasi gambut. Hasil akhir dari proses ini

menghasilkan bentuk-bentuk perlapisan (seam) batubara yang disisipi oleh

sedimen lempung atau pasir. Selama sedimentasi bahan gambut dan

setelah batubara terbentuk, terjadi interaksi dengan berbagai macam proses

geologi yang dapat menyebabkan adanya variasi distribusi lapisan

batubara. Proses tersebut antara lain menyebabkan terjadinya splitting,

washouts dan floor rolls.

 Splitting

Splitting adalah fenomena dimana lapisan batubara terbagi menjadi 2

lapisan atau lebih. Material (sedimen) bukan batubara yang

memisahkan lapisan tersebut dikenal sebagai parting atau band.

Parting atau band merupakan hasil deposisi material klastik yang

menggantikan akumulasi material organik. Material tersebut dapat

dihasilkan oleh karena pembanjiran mire oleh air sungai atau air laut

secara periodik.
91

Gambar 2.21. Beberapa bentuk splitting (Thomas, 2002).


a) simple splitting,

b) multiple splitting,

c) Z/S shape splitting

 Washout

Washout terbentuk pada saat lapisan batubara tererosi oleh

gelombang atau arus dan kemudian terisi oleh sedimen. Tipe washout

pada batubara menurut Thomas, 2002 adalah :

Gambar 2.22. Tipe washout pada batubara ( sumber: Thomas, 2002)


a) Channel yang terisi pasir membentuk atap pada lapisan batubara
b) Channel yang terisi pasir material rombakan lain mengerosi lapisan
batubara
c) Channel yang terisi mudstone mengerosi lapisan batubara
92

d) Multiple channel sekuen yang mengerosi lapisan batubara

 Roof rolls

Channel yang tidak beraturan pada atap lapisan, biasanya disebut roof

rolls sebagai akibat paleo channel utama.

 Floor rolls

Floor rolls adalah kenampakan dimana material batuan menyodok atau

menembus lapisan batubara ke atas dari bawah. Hal ini terjadi karena

kompaksi gambut batubara tidak terjadi pada tingkat yang sama sehingga

terdapat bagian lapisan yang lebih atau kurang tertekan dibandingkan

bagian lapisan yang lain.

2.2.1.2.2. Intrusi batuan beku pada lapisan batubara

Karena material organik dalam batubara mengalami perubahan mendasar

apabila dipanaskan, adanya intrusi batuan beku memiliki pengaruh yang besar

pada lapisan batubara daripada yang dialami oleh batuan bukan batubara.

Batubara yang dekat dengan tubuh intrusi batuan beku, secara lokal meningkat

derajatnya sehubungan dengan meningkatan panas yang menyertainya.

Intrusi batuan beku biasanya berkembang menjadi komplek, dimana pada titik

pertemuan antara tubuh intrusi dengan lapisan batubara membentuk kontak yang

meliuk. Hal ini berhubungan dengan perilaku plastik dari bahan organik karena

pemanasan serta berkurangnya kandungan air didalam batubara.


93

2.2.2. Lingkungan Pengendapan Batubara

Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral,

ketebalan, komposisi, dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan

yang berarti diperlukan suatu susunan pengendapan dimana terjadi produktifitas

organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan namun terus menerus

terjadi dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat sirukulasi air yang cepat

sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan. Kondisi demikian

dapat terjadi diantaranya di lingkungan paralik (pantai) dan limnik (rawa-rawa).

Diessel (1992) membagi lingkungan pengendapan tempat terbentuknya

batubara menjadi 5 bagian yaitu :

a. Braid Plain, merupakan dataran aluvial intramountana yang pada daerah

ini terendapkan sedimen kasar.

b. Alluvial Valley and Upper Delta Plain. Dua lingkungan pengendapan ini

mempunyai kesamaan litofasies dan sifat batubara yang terbentuk.

Transisi dari lembah dan dataran aluvial dengan dataran delta, biasanya

melalui sungai stadium dewasa yang banyak memiliki meander.

c. Lower Delta Plain. Lingkungan pengendapan ini dibedakan dengan upper

delta plain dari tingkat pengaruh air laut terhadap sedimentasi. Batas

antara kedua lingkungan pengendapan tersebut adalah batas tertinggi dari

air pasang.

d. Backbarrier Strand Plain. Morfologi garis pantai dikontrol oleh rasio

sedimentasi dengan energi pantai yaitu gelombang, pasang, dan arus. Jika
94

nilai rasio tinggi maka akan terbentuk delta namun jika nilai rasio rendah,

maka sedimentasi akan terdistribusi di sepanjang pantai.

e. Estuari. Jika nilai rasio antara sedimentasi dengan energi pantai sangat

rendah, maka yang terbentuk adalah estuari.

Proses pengendapan batubara pada umunya berasosiasi dengan lingkungan

fluvial flood plain dan delta plain. Akumulasi dari endapan sungai (fluvial) di

daerah pantai akan membentuk delta dengan mekanisme pengendapan progradasi

(Allen & Chambers, 1998). Beberapa lingkungan pengendapan batubara akan

dibahas dibawah ini.

2.2.2.1.1. Sistem Daerah Delta

Delta merupakan lingkungan pengendapan batubara yang sering ditemukan.

Berdasarkan morfologinya lingkungan delta dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

delta plain, delta front, dan prodelta.

2.2.2.1.1.1. Delta Plain

Delta plain sendiri dapat dibagi menjadi upper delta plain dan lower delta

plain. Horne (1978) memberikan kriteria cara untuk mengenali lingkungan

pengendapan antara lain barier, back-barier, lower delta plain, transitional lower

delta plain dan upper delta plain-fluvial.


95

Gambar 2.23. Model Lingkungan pengendapan batubara di daerah delta (Horne,


1978).
Berdasarkan karakteristik endapan batubara, ada empat lingkungan

pengendapan batubara di daerah delta menurut Horne (1978) (Gambar 2.24) yaitu:

a. Lingkungan back barrier, dengan ciri lapisan batubaranya tipis, pola

sebarannya memanjang sejajar sistem penghalang atau sejajar jurus

perlapisan, bentuk lapisan melembar karena dipengaruhi tidal channel setelah

pengendapan atau bersamaan dengan proses pengendapan, kandungan sulfur

tinggi. Urutan stratigrafi pada lingkungan back barier dicirikan oleh

batulempung dan batulanau berwarna abu-abu gelap yang kaya akan material

organik, kemudian ditutupi oleh lapisan tipis batubara yang tidak menerus

atau zona sideritik dengan burrowing. Semakin ke arah laut akan ditemukan

batupasir kuarsa, sedangkan ke arah daratan terdapat batupasir greywacke

dari lingkungan fluvial-deltaik (Gambar 2.24 a).

b. Lingkungan lower delta plain, dengan ciri lapisan batubaranya tipis,

kandungan sulfur bervariasi yang cenderung tinggi, pola sebaran umumnya

sepanjang channel atau jurus pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh


96

hadirnya splitting karena endapan creavase play, tersebar meluas cenderung

memanjang jurus pengendapan tetapi kemenerusan secara lateral sering

terpotong channel bentuk lapisan batubara. Endapan pada daerah ini

didominasi oleh urutan butiran mengkasar ke atas yang tebal, pada bagian

atasnya terdapat batupasir dengan struktur sedimen ripple mark (Gambar

2.24b.).

c. Lingkungan transitional lower delta plain, dengan ciri lapisan batubaranya

tebal, kandungan sulfur rendah. Ditandai oleh perkembangan rawa yang

ekstensif. Lapisan batubara tersebar meluas dengan kecenderungan agak

memanjang sejajar dengan jurus pengendapan. Splitting juga berkembang

akibat channel kontemporer dan wash out oleh aktivitas channel subsekuen.

Batuan sedimen berbutir halus pada bagian bay fill sequences lebih tipis

daripada di bagian lower delta plain. Pada zona ini terdapat fauna air payau

sampai laut dan banyak ditemui burrowing.

d. Lingkungan upper delta plain - fluvial, dengan ciri lapisan batubaranya tebal,

kandungan sulfur rendah, lapisan batubara terbentuk sebagai tubuh-tubuh

podshaped pada bagian bawah dari dataran limpahan banjir yang berbatasan

dengan channel sungai bermeander. Sebarannya meluas cenderung

memanjang sejajar kemiringan pengendapan, tetapi kemenerusan secara

lateral sering terpotong channel atau sedikit yang menerus, bentuk batubara

ditandai hadirnya splitting akibar channel kontemporer dan washout oleh

channel subsekuen. Urutan stratigrafinya didominasi oleh tubuh batupasir


97

yang menerus (Gambar 2.24 c) dan untuk lingkungan backswamp, terdiri dari

urutan batubara, batulempung dan batulanau.

Gambar 2.24. Model lingkungan pengendapan batubara.


(2.24 a) Back barier, (2.24 b) Lower Delta Plain. (2.24 c) Upper Delta Plain
(Horne, 1978).

Berdasarkan kendali lingkungan pengendapannya, maka lingkungan back

barier dan lower delta plain cenderung tipis batubaranya, sebaliknya lingkungan

transitional lower delta plain dan upper delta plain-fluvial, lapisan batubaranya

relatif tebal. Pada distal bar, urutan fasies cenderung menghalus ke atas,

umumnya tersusun atas pasir halus. Struktur sedimen yang umumnya dijumpai

antara lain laminasi, perlapisan silang siur tipe through.

2.2.2.1.1.1.1. Delta Front

Delta Front merupakan sublingkungan dengan energi yang tinggi dan sedimen

secara tetap dipengaruhi oleh adanya proses pasang-surut, arus laut sepanjang

pantai dan aksi gelombang. Delta front terbentuk pada lingkungan laut dangkal

dan akumulasi sedimennya berasal dari distributary channel. Batupasir yang

diendapkan dari distributary channel tersebut membentuk endapan bar yang

berdekatan dengan teluk atau mulut distributary channel tersebut. Pada


98

penampang stratigrafi, endapan bar tersebut memperlihatkan distribusi butiran

mengkasar ke atas dalam skala yang besar dan menunjukkan perubahan fasies

secara vertikal ke atas, mulai dari endapan lepas pantai atau prodelta yang

berukuran butir halus ke fasies garis pantai yang didominasi batupasir. Diantara

bar pada mulut distributary channel akan terakumulasi lempung lanauan atau

lempung pasiran dan bergradasi menjadi lempung ke arah laut.

2.2.2.1.1.1.2. Prodelta

Prodelta merupakan sub lingkungan transisi antara delta front dan endapan

normal marine shelf yang berada di luar delta front. Prodelta merupakan

kelanjutan delta front ke arah laut dengan perubahan litologi dari batupasir bar ke

endapan batulempung dan selalu ditandai oleh zona lempungan tanpa pasir.

Daerah ini merupakan bagian distal dari delta, dimana hanya terdiri dari

akumulasi lanau dan lempung dan biasanya sendiri serta fasies mengkasar ke atas

memperlihatkan transisi dari lempungan prodelta ke fasies yang lebih batupasir

dari delta front. Litologi dari prodelta ini banyak ditemukan bioturbasi yang

merupakan karakteristik endapan laut.

2.2.3. Interpretasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Analisis Log

Gamma Ray

Beberapa pakar membagi lingkungan pengendapan berdasarkan versi masing-

masing, Selley (1988) misalnya, membagi lingkungan pengendapan menjadi 3

(tiga) bagian besar yaitu darat, peralihan dan laut, sedangkan penulis disini

menganalisis model lingkungan pengendapan batubara berdasarkan model Horne,

1978 dengan mengikuti pola defleksi grafik log GR. Interpretasi lingkungan
99

pengendapan kemudian digabung dengan data log gamma ray. Analisis log

gamma ray dapat digunakan untuk membantu analisis lingkungan pengendapan.

Analisis ini disebut analisis elektrofasies. Analisis ini memanfaatkan bentuk-

bentuk pola log dari log gamma ray. Bentuk dari pola log ini memperlihatkan

besar butir dari suatu litologi dan pola urutan vertikal ke atas. Setiap

lingkungan pengendapan memiliki energi yang berbeda-beda untuk

mengendapkan butiran sedimen sehingga tiap lingkungan pengendapan memiliki

pola urutan vertikal yang khas. Oleh karena itu, secara tidak langsung pola log

juga mencerminkan lingkungan pengendapan. Bentuk dari pola log gamma ray

dapat digunakan sebagai interpretasi awal karena hanya dapat menerjemahkan

bentuk dari kenampakan fisik pola log gamma ray itu sendiri.

Gambar 2.25. Bentuk - bentuk elektrofasies dan interpretasi lingkungan


pengendapannya (Cant, 1992).

Log gamma ray mencerminkan variasi dalam satu suksesi ukuran besar butir.

Suatu suksesi ukuran besar butir tersebut menunjukkan perubahan energi


100

pengendapan (Cant, 1992). Tiap-tiap lingkungan pengendapan menghasilkan pola

energi pengendapan yang berbeda. Gambar 2.25 menunjukkan lima pola bentuk

dasar dari kurva log GR, sebagai respons terhadap proses pengendapan.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai bentuk dasar kurva log:

1. Cylindrical.

Bentuk silinder pada log GR atau log SP dapat menunjukkan sedimen tebal dan

homogen yang dibatasi oleh pengisian channel (channel-fills) dengan kontak

yang tajam. Cylindrical merupakan bentuk dasar yang mewakili homogenitas

dan ideal sifatnya. Bentuk cylindrical diasosiasikan dengan endapan sedimen

braided channel, estuarine atau sub-marine channel fill, anastomosed channel,

eolian dune, tidal sand.

2. Funnel shape.

Profil berbentuk corong (funnel) menunjukkan pengkasaran regresi atas yang

merupakan bentuk kebalikan dari bentuk bell. Bentuk funnel kemungkinan

dihasilkan regresi progradasi seperti sub marine fan lobes, regressive shallow

marine bar, barrier islands atau karbonat terumbu depan yang berprogradasi di

atas mudstone, delta front (distributary mounth bar), creavase splay, beach dan

barrier beach (barrier island), strandplain, shoreface, prograding (shallow

marine) shelf sands dan submarine fan lobes.

3. Bell Shape.

Profil berbentuk bell menunjukkan penghalusan ke arah atas, kemungkinan

akibat pengisian channel (channel fills). Pengamatan membuktikan bahwa

range besar butir pada setiap level cenderung sama, namun jumlahnya
101

memperlihatkan gradasi menuju berbutir halus (dalam arti lempung yang

bersifat radioaktif makin banyak ke atas). Bentuk bell dihasilkan oleh endapan

point bars, tidal deposits, transgresive shelfsands (Dominated tidal), sub

marine channel dan endapan turbidit.

4. Symmetrical-Asymetrical Shape.

Bentuk symmetrical merupakan kombinasi antara bentuk bell-funnel.

Kombinasi coarsening-finning upward ini dapat dihasilkan oleh proses

bioturbasi. Selain tatanan secara geologi yang merupakan ciri dari shelf sand

bodies, submarine fans dan sandy offshore bars. Bentuk asymmetrical

merupakan ketidakselarasan secara proporsional dari kombinasi bell-funnel

pada lingkungaan pengendapan yang sama.

5. Irregular.

Bentuk ini merupakan dasar untuk mewakili heterogenitas batuan reservoar.

Bentuk irregular diasosiasikan dengan regressi alluvial plain, floodplain, tidal

sand, shelf atau back barriers. Umumnya mengidentifikasikan lapisan tipis

silang siur (thin interbedaed). Unsur endapan tipis mungkin berupa creavasse

splay, overbanks regressi dalam laguna serta turbidit.

2.2.4. Kualitas Batubara

Kualitas batubara berperan penting dalam menentukan kelas batubara

(Thomas, 1994). Kualitas suatu batubara dapat ditentukan dengan cara analisa

parameter tertentu baik secara fisik maupun secara kimia. Parameter yang

ditentukan dari suatu analisa batubara tergantung tujuan untuk apa batubara

tersebut digunakan. Berdasarkan panduan kualitas batubara Thomas (1994),


102

parameter kualitas batubara terdiri dari: Total Moisture, Proximate, Total Sulfur,

Calorific Value, Ultimate Analysis dan Ash Analysis, berikut penjelasannya:

a. Kadar air (Moisture)

Kadar air (moisture), yaitu kandungan air yang terdapat pada batubara. Tinggi

rendahnya total moisture akan tergantung pada peringkat batubara, ukuran

distribusi dan kondisi pada saat sampling. Kadar air total (total moisture),

merupakan jumlah dari kadar air bebas ditambah dengan kadar air bawaan.

b. Analisis Proksimat

Analisis proksimat digunakan untuk menentukan kelas batubara (coal rank).

Analisis proksimat adalah rangkaian analisis yang terdiri dari air dried

moisture, ash, volatile matter dan fixed carbon (Thomas, 1994).

 Air dried moisture (ADM) adalah moisture yang terkandung dalam

batubara setelah batubara tersebut dikering udarakan. Besar kecilnya nilai

ADM dipengaruhi oleh peringkat batubara. Semakin tinggi peringkat

batubara, semakin rendah kandungan ADM nya.

 Kadar abu (ash content), yaitu kandungan bahan inorganik yang tertinggal

atau tidak terbakar sewaktu batubara dibakar pada suhu 815°C. Abu pada

pembakaran batubara dapat dihasilkan dari pengotor bawaan maupun

pengotor sebagai hasil penambangannya. Semakin tinggi kadar abu pada

jenis batubara yang sama, semakin rendah nilai kalorinya.

 Zat terbang (volatile matter), yaitu komponen-komponen dalam batubara

yang dapat lepas atau menguap pada saat dipanaskan di ruang hampa

udara pada suhu 900°C. Zat terbang ini meliputi zat terbang mineral
103

(volatile mineral matter) dan zat terbang organic (volatile organic matter).

Volatile meter adalah bagian organik batubara yang menguap ketika

dipanaskan pada temperature tertentu. Kadar Volatile Matter dalam

batubara ditentukan oleh peringkat batubara. Semakin tinggi peringkat

suatu batubara akan semakin rendah kadar volatile matter-nya.

 Karbon tertambat (fixed carbon), merupakan jumlah karbon yang

tertambat pada batubara setelah kandungan-kandungan air, abu dan zat

terbangnya dihilangkan.

c. Sulfur

Di dalam batubara, sulfur dapat merupakan bagian dari mineral sulfat dan

sulfida. Salah satu senyawa yang umum dijumpai pada endapan batubara

adalah sulfur. Beberapa jenis sulfur yang umum dijumpai pada batubara, yaitu:

 Pirit (FeS2) , dijumpai berupa bentukan makrodeposit, seperti lensa, urat

dan sekahan (joint).

 Sulfur organik, umumnya dijumpai berupa kalsium sulfat dan besi sulfat

dengan jumlah antara 20-80%.

 Sulfur sulfat, umunya dijumpai berupa kalsium sulfat dan besi sulfat

dengan jumlah relatif kecil.

d. Nilai kalori (calorific value)

Calorific value adalah nilai energi yang dapat dihasilkan dari pembakaran

batubara. Nilai Kalori batubara bergantung pada peringkat batubara. Semakin

tinggi peringkat batubara, semakin tinggi nilai kalorinya. Pada batubara yang
104

sama Nilai kalori dapat dipengaruhi oleh moisture dan juga Abu. Semakin

tinggi moisture atau abu, semakin kecil nilai kalorinya.

e. Analsis ultimat

Analisis ultimat adalah analisis sederhana yang digunakan untuk mengetahui

unsur-unsur pembentuk batubara dengan hanya memperhatikan unsur kimia

pembentuk yang penting dan mengabaikan keberadaan senyawa kompleks

yang ada di dalam batubara. Unsur-unsur penyusun batubara, yaitu Karbon (C),

Hydrogen (H), Oksigen (O), Sulfur (S), Nitrogen (N).

2.2.5. Klasifikasi Sumberdaya Batubara dan Sistem Pelaporan

Klasifikasi sumberdaya batubara merupakan standar pelaporan hasil eksplorasi

yang tidak bisa ditentukan oleh opini sejumlah kecil ahli geologi melainkan harus

didasarkan atas beberapa aspek. Di antaranya adalah tingkat keyakinan geologi,

kontinuitas geologi, tingkat keyakinan teknis dan ekonomis, serta nilai harapan

(ekspektasi). Cara pengklasifikasian sumberdaya dan cadangan batubara dan

mineral di Indonesia bahkan di dunia sangat beragam sehingga perlu beberapa

standar untuk dijadikan acuan. Standar yang akan dibahas untuk pengklasifikasian

sumberdaya dan cadangan ini di Indonesia sendiri adalah SNI (Standar Nasional

Indonesia) dan JORC (Joint Ore Reserves Committee) Code. SNI (Standar

Nasional Indonesia) adalah satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di

Indonesia saat ini. SNI dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh Badan

Standardisasi Nasional. SNI sangat penting dalam hal standarisasi dalam

pengklasifikasian sumberdaya dan cadangan batubara Indonesia. Standar ini

diperlukan untuk menghindari kerancuan dalam menafsirkan berbagai istilah dan


105

pengertian yang berkenaan dengan sumberdaya dan cadangan batubara Indonesia.

Dasar-dasar klasifikasi SNI terdiri dari beberapa aspek, meliputi aspek geologi

dan aspek ekonomis. SNI yang digunakan untuk klasifikasi sumberdaya dan

cadangan saat ini adalah SNI 5015:2011.

SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk klasifikasi sumberdaya dan cadangan

Batubara memiliki kode terbaru yaitu SNI 5015:2011 yang dikeluarkan Badan

Standarisasi Nasional pada tahun 2011. Memiliki enam bagian yaitu :

1. Ruang Lingkup

2. Acuan

3. Istilah dan Definisi

4. Tipe endapan Batubara

a. Kompleksitas Geologi

b. Dasar Klasifikasi

5. Persyaratan

a. Persyaratan yang berhubungan dengan aspek geologi

b. Persyaratan yang berhubungan dengan aspek ekonomi

6. Pelaporan

a. Pelaporan sumberdaya

b. Pelaporan cadangan batubara

c. Pelaporan Kualitas

Di dalam SNI (Tabel 2.2), diberikan tipe endapan batubara dan kondisi

geologi. Dalam kondisi geologinya, karakteristik geologi dapat dikelompokkan

menjadi tiga yaitu sederhana, moderat dan kompleks.


106

Tabel 2.2. Parameter aspek vs. kondisi geologi (SNI 5015, tahun 2011)

Parameter Kondisi Geologi


Sederhana Moderat Kompleks
IV. Aspek Sedimentasi
Variasi ketebalan Sedikit bervariasi Bervariasi Sangat bervariasi
Kesinambungan Ribuan meter Ratusan meter Puluhan meter
Percabangan Hampir tidak ada Beberapa Banyak
V. Aspek Tektonik
Patahan Hampir tidak ada Jarang Rapat
Lipatan Hampir tidak Terlipat sedang Terlipat kuat
terlipat
Intrusi Tidak berpengaruh Berpengaruh Sangat berpengaruh
Kemiringan Landai Sedang Curam
VI. Aspek Kualitas
Variasi kualitas Sedikit bervariasi Bervariasi Sangat Bervariasi

Berdasarkan aspek sedimentasi dan pengaruh tektonik, dan kualitas,

karakteristik geologi tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama

(SNI 5015:2011), yaitu Kelompok geologi sederhana, kelompok geologi moderat,

dan kelompok geologi kompleks. Uraian tentang batasan umum untuk masing-

masing kelompok tersebut beserta tipe lokalitasnya adalah sebagai berikut:

a. Kelompok Geologi Sederhana

Endapan batubara dalam kelompok ini umumnya tidak dipengaruhi oleh

aktivitas tektonik, seperti sesar, lipatan, dan intrusi. Lapisan batubara pada

umumnya landai, menerus secara lateral sampai ribuan meter, dan hampir

tidak mempunyai percabangan. Ketebalan lapisan batubara secara lateral dan

kualitasnya tidak memperlihatkan variasi yang berarti.


107

b. Kelompok Geologi Moderat

Batubara dalam kelompok ini diendapkan dalam kondisi sedimentasi yang

lebih bervariasi dan sampai tingkat tertentu telah mengalami perubahan paska

pengendapan dan tektonik. Sesar dan lipatan tidak banyak, begitu pula

pergeseran dan perlipatan yang diakibatkannya relatif sedang. Kelompok ini

dicirikan pula oleh kemiringan lapisan dan variasi ketebalan lateral yang

sedang serta berkembangnya percabangan lapisan batubara, namun

sebarannya masih dapat diikuti sampai ratusan meter. Kualitas batubara secara

langsung berkaitan dengan tingkat perubahan yang terjadi baik pada saat

proses sedimentasi berlangsung maupun pada pasca pengendapan. Pada

beberapa tempat intrusi batuan beku mempengaruhi struktur lapisan dan

kualitas batubaranya.

c. Kelompok Geologi Kompleks

Batubara pada kelompok ini umumnya diendapkan dalam sistim sedimentasi

yang komplek atau telah mengalami deformasi tektonik yang ekstensif yang

mengakibatkan terbentuknya lapisan batubara dengan ketebalan yang

beragam. Kualitas batubaranya banyak dipengaruhi oleh perubahan-

perubahan yang terjadi pada saat proses sedimentasi berlangsung atau pada

pasca pengendapan seperti pembelahan atau kerusakan lapisan (wash out).

Pergeseran, perlipatan dan pembalikan (overturned) yang ditimbulkan oleh

aktivitas tektonik, umum dijumpai dan sifatnya rapat sehingga menjadikan

lapisan batubara sukar dikorelasikan. Perlipatan yang kuat juga


108

mengakibatkan kemiringan lapisan yang terjal. Secara lateral, sebaran lapisan

batu baranya terbatas dan hanya dapat diikuti sampai puluhan meter.

2.2.6. Sumberdaya Batubara

Sumberdaya batubara (Coal Resources) adalah bagian dari endapan batubara

dalam bentuk dan kuantitas tertentu serta mempunyai prospek beralasan yang

memungkinkan untuk ditambang secara ekonomis. Lokasi, kualitas, kuantitas

karakteristik geologi dan kemenerusan dari lapisan batubara yang telah diketahui,

diperkirakan atau diinterpretasikan dari bukti geologi tertentu. Klasifikasi

sumberdaya batubara didasarkan pada tingkat keyakinan geologi dan kajian

kelayakan. Pengelompokan tersebut mengandung dua aspek, yaitu aspek geologi

dan aspek ekonomi.

2.2.7. Kelas Sumber Daya Batubara

1. Sumberdaya Batubara Tereka ( Inferred Coal Resource)

Sumberdaya Batubara tereka adalah bagian dari total estimasi sumberdaya

batubara yang kualitasnya hanya dapat diperkirakan dengan tingkat

kepercayaan rendah. Titik informasi yang mungkin didukung oleh data

pendukung tidak cukup untuk membuktikan kemenerusan lapisan batubara

dan/atau kualitasnya. Estimasi dari kategori kepercayaan ini dapat berubah

secara berarti dengan eksplorasi lanjut.

2. Sumberdaya Batubara Tertunjuk (Indicated Coal Resource)

Sumberdaya Batubara Tertunjuk adalah bagian dari total sumberdaya

batubara yang kualitas dan kuantitasnya dapat diperkirakan dengan tingkat

kepercayaan yang masuk akal, didasarkan pada informasi yang didapatkan


109

dari titik-titik pengamatan yang mungkin didukung oleh data pendukung.

Titik informasi yang ada cukup untuk menginterpretasikan kemenerusan

lapisan batubara, tetapi tidak cukup untuk membuktikan kemenerusan lapisan

batubara dan/atau kualitasnya

3. Sumberdaya Batubara Terukur (Measured Coal Resourced)

Sumberdaya Batubara Terukur adalah bagian dari total sumberdaya batubara

yang kualitas dan kuantitasnya dapat diperkirakan dengan tingkat

kepercayaan tinggi, didasarkan pada informasi yang didapatkan dari titik-titik

pengamatan yang diperkuat dengan data-data pendukung. Titik-titik

pengamatan jaraknya cukup berdekatan untuk membuktikan kemenerusan

lapisan batubara dan/atau kualitasnya.

Gambar 2.26. Hubungan Antara Sumberdaya dan Cadangan (SNI 5015:2011)

Persyaratan yang berhubungan dengan aspek geologi adalah jarak titik informasi

untuk setiap kondisi geologi dan kelas sumberdayanya. Sedangkan untuk


110

persyaratan yang berhubungan dengan aspek ekonomi adalah persyaratan batas

minimal ketebalan batubara yang dapat ditambang

Tabel 2.3. Jarak titik informasi menurut kondisi geologi (SNI 5015:2011)

Kondisi Sumberdaya
Kriteria
Geologi Tereka Tertunjuk Terukur
Sederhana Jarak titik informasi 1000<x≤ 1500 500 <x ≤ 1000 X ≤ 500
(m)
Moderat Jarak titik informasi 500 <x ≤ 1000 250 < x ≤ 500 X ≤ 250
(m)
Kompleks Jarak titik informasi 200 < x ≤ 400 100 < x ≤ 200 X ≤ 100
(m)

2.3. Metode Statistik dan Geostatistik

Statistika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan,

mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data

sedangkan geostatistik merupakan cabang daripada statistik terapan yang dibantu

dengan deskripsi matematik dan analisa (observasi) geologi.

2.3.1. Statistik Dasar atau Satistik Deskriptif

Statistik deskriptif lebih berkenaan dengan pengumpulan dan peringkasan

data, serta penyajian hasil peringkasan tersebut. Data-data statistik, yang bisa

diperoleh hasil pengamatan atau lainnya umumnya masih bersifat acak, “mentah”

dan tidak terorganisir dengan baik (raw data). Data-data tersebut harus diringkas

dengan baik dan teratur, baik dalam bentuk tabel atau presentasi grafis yang

berguna sebagai dasar dalam proses pengambilan keputusan. Penyajian tabel dan

grafis yang digunakan dalam statistik deskriptif dapat berupa:


111

a. Distribusi frekuensi

b. Presentasi grafis seperti histogram, probability log dan sebagainya.

Selain tabel dan grafik, untuk mengetahui deskripsi data diperlukan ukuran

yang lebih eksak, yang biasa disebut summary statistik (ringkasan statistik). Dua

ukuran penting yang sering dipakai dalam pengambilan keputusan adalah:

a. Mencari central tendency (kecenderungan memusat), seperti Mean,

Median, dan Modus

b. Mencari ukuran dispersi, seperti Standar Deviasi, Varians dan

Koefisien Variasi.

Histogram merupakan suatu gambaran dari distribusi suatu data ke dalam

beberapa kelas yang memiliki interval kelas tertentu dan kemudian menentukan

jumlah data dari masing-masing kelas (frekuensi). Salah satu media dalam

penyajian data statistik adalah berupa grafik. Grafik histogram adalah grafik yang

berupa diagram batang yang mewakili rentang ( range ) data tertentu pada sumbu-

X (absis) dan nilai frekuensi (biasanya dalam persen ) pada sumbu Y(ordinat).

Dengan histogram kita bias dengan mudah mengetahui sifat statistik dari suatu

populasi data secara visual, contohnya suatu populasi yang bersifat distribusi

normal akan berbentuk suatu kurva setangkup (simetris) atau berbentuk lonceng.

Grafik probability adalah suatu grafik yang dibuat sedemikian rupa sehingga

suatu populasi data yang berdistribusi normal akan tergambar sebagai suatu garis

lurus. Grafik ini dibuat dengan skala logaritmik pada sumbu-X (absis) dan skala

biasa pada sumbu-Y (ordinat), tapi kadang-kadang sering dipakai juga skala

logaritmik pada sumbu-Y (log-normal). Kelebihan dari grafik ini dari histogram
112

adalah grafik probability akan lebih mudah mengetahui apakah suatu populasi

bersifat unimodal, bimodal atau polimodal. Kelebihan yang lain adalah dalam

proses pemilahan suatu sub-populasi dalam suatu populasi, akan lebih mudah

dilakukan dalam grafik ini.

Salah satu pengujian normalitas yaitu dengan kriteria skewness dan kurtosis.

Uji normalitas dengan Skewness dan Kurtosis memberikan kelebihan tersendiri,

yaitu bahwa akan diketahui grafik normalitas menceng ke kanan atau ke kiri,

terlalu datar atau mengumpul di tengah. Skewness merupakan ukuran untuk

mengetahui kemencengan dsitribusi suatu data, apakah simetri, menceng kiri atau

menceng ke kanan, sedangkan kurtosis merupakan ukuran tingkat keruncingan

dari distribusi suatu data.

Gambar 2.27. Grafik skewness dan kurtosis (Mathematical Foundations of Monte


Carlo Methods-Scratchapixel)

Contoh histogram dan grafik probability ditampilkan pada gambar 2.28,

terlihat bahwa bentuk histogram berupa kurva setangkup (simetris), ini berarti

data dalam populasi ini terdistribusi normal sekaligus juga bersifat unimodal.

Sedangkan pada grafik probability (sebelah kanan) pola distribusi normal-


113

unimodal berupa garis lurus. Normal probability plot, garis lurus diagonal

menunjukan sebaran data distribusi teoritis (normal), sedangkan plot data

empirisnya akan berada disekitar garis lurus tersebut. Jika set data yang akan diuji

benar-benar memiliki sebaran data normal yang sempurna, maka plot data tersebut

berada tepat pada garis lurus diagonal. Semakin jauh plot data dengan garis

diagonal, maka data tersebut semkin jauh dari distribusi normal. Tentu saja cara

uji normalitas ini sangat bersifat subyektif karena berdasarkan visualisasi gambar.

Gambar 2.27. Histogram vs grafik probability (Stamatis D.H, 2002)

2.3.2. Statistik Spasial atau Geostatistik

Geostatistik merupakan salah satu ilmu yang menggunakan analisis spasial.

Analisis spasial merupakan analisis yang memiliki atribut lokasi, seperti halnya

lokasi absolut (koordinat). Geostatistik muncul pada awal 1980-an sebagai

perpaduan ilmu pertambangan, geologi, matematika, dan statistik. Geostatistik

awalnya dikembangkan dalam industri mineral untuk menaksir sumberdaya

deposit mineal yang ada dibumi. Geostatistik mengenal variasi spasial pada skala

besar maupun skala kecil, atau jika dalam bahasa statistikanya mampu
114

memodelkan baik kecenderungan spasial (spatial trends) maupun korelasi spasial

(spatial correlation).

Geostatistik menganut teori Regional Variables yang menyatakan bahwa data

yang diambil dalam satu zona saling berhubungan, untuk itu dapat juga

geostatistik disebut spatial statistic karena memperhatikan ruang dan waktu.

Teknik perhitungan yang digunakan dalam metode ini tidak semata-mata

berdasarkan jarak tetapi juga memperhitungkan korelasi ruang (spatial) antara

contoh yang merupakan fungsi dari jarak juga. Korelasi ruang antara contoh ini

dikualifikasikan oleh variogram.

Variogram adalah suatu fungsi vektor yang dapat digunakan untuk

mengkuantifikasikan tingkat kemiripan atau variabilitas antara dua conto yang

terpisah oleh jarak tertentu dengan grafik x - y yang dihasilkan dari plot jarak dan

varians dari data yang berpasangan. Sifat - sifat yang merupakan ciri khas dari

variabel terregional antara lain:

1. Suatu variabel terregional terlokalisir (menempati lokasi tertentu), dimana

variasi terjadinya deposit, ukuran, dan orientasi tertentu.

2. Variabel terregional dapat mencerminkan variasi kontinuitas yang relatif

tinggi ataupun rendah.

3. Variabel terregional mencerminkan anisotropi, artinya tingkat distribusi

varians dari variabel berbeda pada masing-masing arah.

Di sisi lain, data variogram yang memiliki jarak antar conto tidak teratur

diperlukan suatu toleransi untuk kedua variabel tersebut. David (1977)

menjelaskan istilah angle classes (θ±α/2) dan distance classes (h±∆h) sebagai
115

toleransi untuk menghitung pasangan data dengan jarak antar data yang tidak

teratur. Semua titik conto atau data yang berada pada search area yang

didefinisikan dengan angle classes dan distance classes akan dianggap sebagai

titik-titik conto yang berjarak h dari titik x0 (titik origin) pada arah yang

dimaksud.

Lag variogram diproses dengan menganalisa pasangan-pasangan data.

Pasangan-pasangan data tersebut dapat berbentuk continous variable seperti data

ketebalan yang dapat dihitung dengan variogram pada segala arah yaitu horisontal

dan vertical (Michael J. Pyrcz, dkk 2014). Konsep yang membandingkan

pasangan-pasangan data pada perbedaan jarak yang tetap disebut dengan lag.

Perhitungan harga setiap sampel data misalnya ketebalan, kualitas, dan lain

sebagainya yang berpasangan dikurangi satu sama lainnya dan hasilnya

dikuadratkan sehingga menghasilkan nilai yang positif. Apabila hasil perhitungan

mendekati nol maka menunjukkan perbedaan yang kecil sedangkan perhitungan

yang menghasilkan perbedaan kuadrat yang besar, menunjukkan separation

distance yang besar. Setelah penentuan arah untuk kalkulasi variogram dipilih,

selanjutnya dilakukan penentuan jarak lag. Penentuan jarak lag pada grid data

yang teratur tapi akan menjadi lebih kompleks pada grid data yang tidak teratur

atau acak. Jarak lag diukur pada arah vertikal dan horisontal. Perbedaan jarak data

yang signifikan antara jarak vertikal dan horizontal mengakibatkan proses

kalkulasi dilakukan secara terpisah walaupun akhirnya akan dimodelkan secara

bersamaan. Oleh karena itu penentuan parameter toleransi untuk arah vertikal dan
116

horisontal yang tepat penting dilakukan sehingga akan memberikan detil resolusi

jarak dan arah anisotropi yang maksimal.

2.3.2.1. Vertikal Lag Distance

Parameter toleransi untuk vertical lag yang terdiri dari jarak (h), toleransi jarak

(htol), toleransi sudut (atol) dan bandwith (gambar 2.28). Beberapa pedoman dalam

penentuan parameter-parameter yaitu :

 Separasi jarak lag h biasanya dipilih sesuai dengan jarak data. Misalnya harga

porositas log berjarak setiap 0.5 ft maka unit lag distance yang dipilih h=0.5

atau kelipatan 0.5.

 Toleransi jarak (htol) seringkali dipilih setengah dari unit lag distance (h). Nilai

toleransi jarak dapat juga dikurangi misalnya ¼ dari unit lag distance jika

jumlah data banyak dan berdekatan. Dan juga dapat dinaikkan misalnya ¾ dari

unit lag distance apabila jumlah data sedikit. Menaikkan nilai toleransi jarak

lebih dari setengah unit lag distance biasanya akan mengakibatkan kontribusi

data menjadi multiple sehingga disarankan nilai toleransi jarak kurang dari

setengah dari unit lag distance (h).

 Toleransi sudut (atol) dibutuhkan apabila sumur tidak vertikal. Nilai toleransi

sudut yang biasanya digunakan adalah 10º - 20º. Sedangkan pada sumur

horizontal tidak dapat dilakukan kalkulasi variogram vertikal.

 Parameter bandwith, digunakan untuk membatasi deviasi maksimum dari arah

vertikal. Penentuan bandwith harus mempertimbangkan deviasi sumur.


117

Gambar 2.28. Ilustrasi vertical lag distance. (Michael J. Pyrcz, dkk 2014)

2.3.2.2. Horizontal Lag Distance

Parameter toleransi untuk horizontal lag yang terdiri dari jarak (h), toleransi

jarak (htol), toleransi sudut horisontal (ahtol) dan horizontal bandwith, toleransi

sudut vertikal (avtol) dan vertikal bandwith (Gambar 2.29). Beberapa pedoman

dalam penentuan parameter-parameter yaitu :

 Apabila tidak ada anisotropi data horisontal maka parameter toleransi sudut

horisontal bias di set pada 90º atau lebih yang dapat mengakomodasi semua

arah horisontal.

 Apabila ada anisotropi data horisontal maka parameter toleransi sudut

horisontal harus dibatasi. Apabila ahtol terlalu kecil maka hanya akan ada

sedikit pasangan data yang dapat dikalkulasi dan apabila terlalu besar akan

menghasilkan gambar anisotropi yang tidak jelas.

 Paramater horizotal bandwith, digunakan untuk membatasi deviasi maksimum

dari arah horisontal. Nilai parameter besar digunakan untuk kalkulasi


118

omnidirectional variogram atau jika memiliki jumlah data sedikit misalnya 1

atau 3 kali lag distance.

 Nilai toleransi sudut vertikal sebaiknya kecil apabila memiliki variabilitas yang

besar pada arah vertikal. Biasanya kombinasi nilai toleransi sudut vertikal yang

kecil misalnya 5º dan nilai vertikal bandwith yang juga kecil dapat secara

efektif membatasi kalkulasi data yang terdapat pada posisi stratigrafi yang

sama.

Gambar 2.29 Ilustrasi horizontal lag distance. (Geoff Bohling, 2005)

Gambar 2.30. Arah dan toleransi dalam menentukan variogram


(Mike Shepherd, 2009)
119

2.3.2.3. Experimental Variogram

Experimental variogram adalah suatu nilai dugaan dari variogram

berdasarkan pada penarikan sampel. Dalam metode umum memplot

eksperimental variogram, sumbu-sumbu jarak yang memisahkan antara dua

titik dibagi ke dalam selang berurutan, serupa dengan histogram. Sebagai alat

analisis eksploitasi, experimental variogram mempunyai drawback yang

grafiknya bergantung pada pemilihan selang-selang dan dipengaruhi oleh

metode rata-ratanya. Variogram didapat dari perhitungan dengan rumus

sebagai berikut:

(2.1)

Keterangan:

 (h)
= Nilai Variogram dengan jarak h
N = Jumlah Pasangan
h = Jarak antar data
i = urutan data

Gambar 2.31 Contoh variogram ekperimental (Pardo-Iguzquiza, 2013)


120

Yang termasuk dalam experimental variogram adalah:

a. Dekat dengan Pusat

Kelakuan variogram pada jarak-jarak yang kecil menentukan apakah

fungsi spasial terlihat kontinu dan mulus. Sedangkan kelakuan

experimental variogram pada pusat (pada jarak-jarak pendek) menyatakan

derajat fungsi kemulusannya.

b. Large-Scale Bahavior

Kelakuan variogram pada jarak-jarak yang sebanding dengan ukuran

daerahnya menentukan apakah fungsi tersebut merupakan fungsi

stationary. Sebagai suatu fungsi, experimental variogram akan

menstabilkan suatu nilai disekitarnya, yakni sill. Sebagai fungsi

stationary, sill yang diperoleh akan mendeskripsikan panjang scalenya.

(Kitanidis, 1997).

Pengerjaan variogram harus melakukan berulang-ulang untuk menemukan

nilai yang paling sesuai yaitu positif definit dimana hasil dari variogram semakin

lama semakin besar hingga mencapai suatu titik tertentu menjadi konstan. Untuk

itu variogram biasanya disebut experimental variogram. Variogram juga terbagi

menjadi Omnidirectional dan directional. Omnidirectional variogram yaitu

perhitungannya tidak mempunyai arah yang spesifik sehingga semua data yang

ada akan di hitung. Sedangkan directional variogram yaitu perhitungan yang

dilakukan mempunyai arah tertentu sesuai yang diinginkan oleh peneliti.

Variogram eksperimental dibuat berdasarkan pengukuran korelasi spasial

antara 2 (dua) conto/ data yang dipisahkan dengan jarak tertentu sebesar h. Data
121

tersebut merupakan data yang diperoleh dari pengukuran di lapangan, dapat

berupa data kadar, ketebalan, ketinggian topografi, porositas, dan permeabilitas.

Pada arah atau baris tertentu terdapat n buah data dengan jarak tertentu sebesar h,

dimana dalam tiap baris terdapat (n – 1) pasangan data untuk menghitung

variogram γ(h) dan (n – 2) pasangan data untuk menghitung variogram γ(2h) dan

seterusnya hingga mencapai lag tertentu yang tergantung dari jumlah n data. Hasil

perhitungan variogram di plot pada suatu koordinat kartesian antar jarak antar

pasangan data (h) dan variogram γ(h).

Gambar 2.32. Contoh variogram (Geoff Bohling, 2005)

Komponen dalam variogram atau semivariogram adalah sebagai berikut :

1. Range

Menurut Isaaks dan Srivastava (1989), range adalah jarak dimana variogram

merupakan sebuah dataran tinggi. Jarak yang dimaksud adalah variogram

harus mencapai nilai sill . Sedangkan menurut Dorsel dan Breche (1997),

range adalah jarak antara lokasi - lokasi dimana pengamatannya terlihat


122

independen, yakni ragamnya tidak mengalami suatu kenaikan. Dalam grafik

variogram, range dinyatakan dengan lambang "a” yaitu jarak pada sumbu

horizontal mulai dari titik nol sampai titik proyeksi perubahan variogram dari

miring ke mendatar. Pada jarak range, variabel dipengaruhi oleh suatu posisi.

2. Sill

Menurut Isaaks dan Srivastava (1989), sill adalah masa stabil suatu variogram

dalam mencapai range. Variogram menjadi suatu wilayah yang datar yakni

ragamnya tidak mengalami suatu kenaikan.

3. Nugget Effect

Kediskontinuan pada pusat variogram terhadap garis vertikal yang melompat

dari nilai 0 pada pusat nilai variogram dengan pemisahan jarak terkecil

disebut dengan nugget effect.

Pada jarak yang dekat (sumbu horisontal), semivariance bernilai kecil, tetapi

pada jarak yang lebih besar, semi-variance bernilai tinggi yang menunjukkan

bahwa variasi dari nilai z tidak lagi berhubungan dengan jarak sampel point.

2.3.2.4. Permodelan Variogram

Untuk dapat memodelkan variogram, sebelumnya kita harus memahami

terlebih dahulu parameter-parameter modelnya. Parameter yang penting adalah

range dan sill. Range adalah jarak lag terpendek ketika nilai variogram konstan

sedangkan sill adalah nilai variogram yang konstan dan biasanya terjadi pada

jarak lag yang besar. Nilai variogram yang konstan menunjukkan bahwa data

secara spasial sudah tidak berkorelasi lagi karena jaraknya sudah jauh. Modeling
123

variogram diperlukan untuk menaksir nilai variabel pada jarak tertentu yang

belum tersampel. Modeling variogram dilakukan dengan melakukan pencocokan

antara kurva variogram yang dihitung dari data sampel dengan kurva variogram

teoritis dengan parameter variogram tertentu. Bentuk-bentuk model variogram

dipengaruhi oleh parameter sill dan range, hole-e

ect dan anisotropi. Berikut pengelompokkannya berdasarkan [Kelkar dan Perez,

2002]: (Catatan:Model-model di bawah ini akan melambangkan range dengan a,

sill dengan C0 dan lag dengan L)

2.3.2.4.1. Model Yang Memiliki Parameter Sill

(a) Model Sperical, didenisikan:

(2.2)

Dimana:

h = jarak lokasi antar sampel


C = sill, yaitu nilai variogram untuk jarak pada saat besarnya konstan (tetap).
Nilai ini sama dengan nilai variansi data.
a = range, yaitu jarak pada saat nilai variogram mencapai sill.

(b) Model Eksponensial,didenisikan:

(2.3)

(c) Model Gauss, didenisikan:

(2.4)
124

Gambar 2.33. Model variogram (Sujung Kim, 2015)

2.3.2.4.2. Model Isotropi dan Anisotropi

Mengingat jarak antar pasangan data (h) merupakan suatu vektor, maka

suatu variogram harus ditentukan untuk berbagai arah. Berikut ini adalah

beberapa sifat isotropi/anisotropi dari variogram :

a. Isotropi

Jika variogram pada berbagai arah sama, maka dapat diartikan bahwa

merupakan fungsi dengan harga absolut h. Bila harga-harga jarak pengaruh

diplotkan kedalam suatu diagram cartesius maka harga range merupakan jarak

yang sama dan berbentuk seperti lingkaran.

b. Anisotropi Geometri

Bentuk anisotropi geometri dicirikan dengan nilai sill dan nugget effect

yang sama, dengan nilai range yang berbeda. Bila harga-harga jarak pengaruh

diplotkan kedalam suatu diagram cartesius maka akan menghasilkan suatu

bentuk ellips.

c. Anisotropi Zonal
125

Dalam beberapa hal kemungkinan dijumpai bahwa variogram pada arah

tertentu sangat berbeda, misalnya pada endapan yang mempunyai struktur

perlapisan, dimana variasi kadar pada arah tegak lurus terhadap bidang

perlapisan sangat besar dibandingkan variasinya pada bidang perlapisan. Pada

kasus ini model variogramnya benar-benar anisotropi sempurna. Model

anisotropi meliputi anisotropi geometrik dan zonal. Untuk mencari model dari

data, tidak harus menggunakan satu macam model, tetapi dapat juga berupa

model komposit. Kita juga harus tahu bentuk kurva dasar dari model-model

diatas untuk mempermudah melakukan pemilihan model teoritis yang cocok

sehingga akan mempermudah pencocokan kurva variogramnya.

Anisotropi Zonal

Anisotropi Geometri

Gambar 2.34. Model variogram anisotropi (Journel & Huijbreght, 1978)


126

2.3.2.5. Kriging

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dikenal suatu metode

penaksiran yaitu kriging. Kriging menjadi alat yang penting dalam geostatistik,

ilmu yang merupakan gabungan antara geologi, statistika, teknik dan matematika

(Cressie,1993). Tujuan yang ingin dicapai dengan menggunakan kriging adalah

untuk menaksir nilai di suatu lokasi, berupa titik atau blok berdasarkan informasi

nilai-nilai dari lokasi lain di sekitar lokasi yang akan ditaksir. Tahapan dalam

menggunakan metode ini adalah: analisa statistik dari sampel data, pemodelan

variogram, membuat hasil interpolasi dan menganalisa nilai variance. Metode ini

sangat tepat digunakan bila kita mengetahui korelasi spasial jarak dan orientasi

dari data. Oleh sebab itu, metode ini sering digunakan dalam bidang ketanahan

dan geologi.

Kriging dapat diartikan sebagai metode untuk menangani variabel

teregionalisasi (regionalized variable). Variabel teregionalisasi adalah variabel

yang dapat mempunyai nilai yang berbeda (bervariasi / berfluktuasi) dengan

berubahnya lokasi / tempat. Variabel teregionalisasi berbeda dengan variabel

random, karena mempunyai karakter deterministik pada kontinuitas spasialnya.

Kriging memiliki kelebihan dibandingkan metoda interpolasi deterministik seperti

inverse distance, triangulation dan yaitu memperhitungkan hubungan spasial

yang direpresentasikan oleh variogram. Kriging juga memberikan ukuran kualitas

hasil interpolasi kita yaitu melalui variansi kriging. Sehingga Kriging dapat

disebut metoda interpolasi statistik atau probabilistik. Selain itu dalam kriging kita

dapat memperhitungkan pula efek anisotropi, sesuatu yang tidak dapat dilakukan
127

oleh operator interpolasi lainnya. Oleh karena itu, secara umum hasil interpolasi

kriging lebih unggul dan lebih realistik dibandingkan dengan yang lainnya.

[Deutsch dan Journel, 1992] menyebut kriging sebagai operator interpolasi yang

berdasarkan BLUE (best linear unbiased estimate).

Metode estimasi ini mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi

akurasi estimasi, yaitu: banyaknya sampel, posisi sampel, jarak antar sampel

dengan titik yang akan diestimasi, kontinuitas spasial dari variabel-variabel yang

terlibat dan lain-lain. Dengan kata lain metode ini digunakan untuk mengestimasi

besarnya nilai karakteristik dari estimator (𝑧) pada titik tidak tersampel

berdasarkan informasi dari titik-titik tersampel yang berada disekitarnya.

Kriging memberikan ukuran error dan confidence. Metode ini menggunakan

semivariogram yang merepresentasikan perbedaan spasial dan nilai diantara

semua pasangan sampel data. Semivariogram juga menunjukkan bobot (weight)

yang digunakan dalam interpolasi. Semivariogram dihitung berdasarkan sampel

semivariogram dengan jarak h, beda nilai z dan jumlah sampel data n.

Bila ditinjau dari cara estimasi dan proses perhitungannya, kriging dapat

dibedakan atas beberapa macam, yakni : Point kriging, Block kriging, Co-kriging,

dan Universal kriging. Point kriging atau simple kriging atau sering disebut juga

dengan Ordinary kriging yaitu metode perhitungan nilai harapan (estimasi) suatu

titik sampel. Block kriging merupakan teknik yang memperkirakan sifat-sifat

statis dari suatu block. Co-kriging adalah suatu teknik khusus dalam interpolasi

dengan memakai dua variabel yang berbeda akan tetapi secara spasial saling

berhubungan. Sedangkan Universal Kriging adalah kriging dari data yang


128

mempunyai kecenderungan trend tertentu. Berdasarkan bentuk lokasi tersebut,

kriging dibedakan menjadi kriging titik atau kriging blok.

2.4. Klasifikasi Sumberdaya Batubara Berdasarkan Analisis Geostatistik

Klasifikasi sumberdaya hanya dipengaruhi oleh tingkat keyakinan geologi

yang diwakili oleh tingkat kesalahan dalam pembuatan model geologi dan

estimasi sumberdaya. Tingkat kesalahan ini diukur dengan kriging variance atau

error variance yang berasal dari estimasi dengan menggunakan kriging. Error

diasumsikan memiliki distribusi normal dan memiliki selang kepercayaan 95%.

Deihl and David (1982) menulis tentang relative error, Sinclair & Blackwell

(2005) juga mengungkapkan hal yang sama. Hubungan antara sumberdaya terukur

(measured), tertunjuk (indicated), dan tereka (inferred) berdasarkan RKSD

(Relative Kriging Standard Deviation) dapat dituliskan sebagai berikut: Measured

0,3 ≤ Indicated 0,5 ≤ Inferred.

Metode klasifikasi sumberdaya dengan metode geostatistik lainnya juga ada

yang mengklasifikasikan sumberdaya, seperti yang disampaikan oleh Snowden

(2001), dengan menggunakan parameter kriging efisiensi, yang juga

mengklasifikasikan sumberdaya menjadi tiga tipe yaitu tereka, tertunjuk, dan

terukur. Rumus Kriging Efisiensi (KE) yaitu KE = (BV – KV)/BV, dimana BV

adalah nilai dari block variance yang didapat dari variasi pada setiap blok yang di

kriging, KV adalah kriging variance yang hasilnya didapat dari hasil kriging

dalam menentukan nilai kriging tersebut, maka tipe – tipe sumberdaya tersebut

dapat ditentukan. Apabila hasil dari Kriging Efisiensi > 0,5 maka sumberdaya

yang di hitung tergolong dalam kategori sumberdaya terukur, apabila hasil dari
129

Kriging Efisiensi yaitu 0,3 – 0,5 maka sumberdaya yang di teliti termasuk dalam

kategori sumberdaya tertunjuk dan apabila hasil perhitungan Kriging Efisiensi

yaitu <0,3 maka sumberdaya masuk ke dalam kategori sumberdaya tereka.

Dalam penentuan klasifikasi sumberdaya, juga dapat dilakukan berdasarkan

besaran sill dari variogram. Klasifikasi Sumberdaya ini dinyatakan sebagai

variogram continuity (Snowden, 1996), yang menyatakan bahwa jika diukur 1/3

dari sill, dapat dikategorikan sumberdaya terukur (Measured), jika diukur 2/3 dari

sill, dapat dikategorikan sumberdaya tertunjuk (Indicated),dan jika diukur 33 dari

sill, dapat dikategorikan sumberdaya tereka (Inferred). Brett Larkin

mengilustrasikan metode ini dalam tulisan seperti yang terlihat pada gambar

dibawah ini.

Gambar 2.35. Ilustrasi klasifikasi sumberdaya berdasarkan nilai sill (Brett Larkin)

Karena batubara terdapat unsur yang berbeda-beda, maka kualitas parameter

dari batubara harus diperhatikan oleh estimatornya. Dimana banyaknya variabel

membutuhkan pertimbangan, alat estimator membutuhkan pertimbangan dari

pendefinisi utama dalam pemilihan variabel kritis yang tepat. Kemenerusan untuk
130

variabel yang berbeda-beda harus dipertimbangkan oleh estimator ketika

menentukan pengaruh maksimum dari setiap data yang diestimasi. Dalam seluruh

keadaan, hasil geostatistik dan keputusan dari estimator harus sesuai rasional

dengan interpertasi geologi.

Area proyek mungkin perlu dibagi menjadi wilayah-wilayah geologi dan

konsistensi statistik untuk variogram dan analisa geostatistik. Estimasi dapat

menjadi sangat mudah dikerjakan jika wilayah yang serupa dipilih untuk semua

variabel, tetapi validitas geologi dan geostatistik dari data harus dipertimbangkan

oleh estimator. Jika kontrol jarak pada satu variabel sangat berbeda satu dengan

yang lain, pengakuan atas perbedaan diwilayahnya mungkin dapat menjadi

jaminan. Sehingga diperlukan ketersediaa titik data yang cukup dalam tiap

wilayah untuk analisa yang lebih mewakili.

2.5. Kerangka Pemikiran

PENGAMATAN GEOLOGI  PEMBUATAN DATABASE


KAJIAN KLASIFIKASI • PENULISAN
LAPANGAN SAGATTA DATA GEOLOGI
KONDISI / LAPORAN
(PETA GEOLOGI, PERMUKAAN DAN
KOMPLEKSITAS DESERTASI
MORFOLOGI, LITOLOGI, BAWAH PERMUKAAN
GEOLOGI ( SNI • PUBLIKASI
SEDIMENTASI, STRUKTUR
5015:2011) JURNAL
GEOLOGI )

STUDI LITERATUR
 Geologi regional Pendekatan Geologi dan
 Tipe Cekungan
 Sedimentary MODELEndapan
Geostatistik

Regional GEOSTATISTIK
Batubara, Lapangan

LAPANGAN
Sangatta, Kabupaten Kutai

SANGATTA
Timur, Provinsi Kalimantan

Timur
PENGAMATAN GEOLOGI ANALISIS DATA GEOLOGI :  ANALISIS STATISTIK
BATUBARA  PETA GEOLOGI DASAR
LAPANGAN SAGATTA  LOG LITOLOGI  ANALISIS GEOSTATISTIK
 GEOPHYSICAL WELL  ANALISIS VARIOGRAFI
 GEOLOGI BATUBARA LOGGING  ANALISIS KRIGING
PERMUKAAN ( SINGKAPAN,  PARAMETER  KLASIFIKASI DAN
SEDIMENTASI, STRUKTUR ) GEOSTATISTIK ESTIMASI SUMBERDAYA
DAN BAWAH PERMUKAAN (KETEBALAN DAN BATUBARA
(TITIK BOR, LOG LITOLOGI DAN KUALITAS BATUBARA)  PENULISAN JURNAL
GEOFISIKA) NASIONAL/
KUALITAS BATUBARA INTERNASIONAL

50 % 40 % 10%
131

2.6. Hipotesis

1. Endapan Batubara pada Daerah lapangan Sagatta Cekungan Kutai

memiliki karakteristik kompleksitas geologi yang berlainan.

2. Kondisi kompleksitas geologi tersebut akan terlihat dalam

karakteristik geostatistiknya.
132

BAB III

OBYEK DAN METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Obyek Penelitian

Obyek penelitian merupakan sesuatu yang menjadi perhatian dalam suatu

penelitian, obyek penelitian ini menjadi sasaran dalam penelitian untuk

mendapatkan jawaban ataupun solusi dari permasalahan yang terjadi. Dalam

kegiatan penelitian ini, obyek yang diteliti dan dikaji adalah sebagai berikut.

1. Karakteristik atau kondisi geologi lapangan batubara Sangatta.

2. Karakteristik endapan batubara Formasi Balikpapan di lapangan Sangatta.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini, peralatan maupun bahan yang

digunakan adalah sebagai berikut:

1. Peta Topografi Lapangan Sangatta

2. Peta Geologi Regional Lembar Sangatta

3. DEM Lapangan Sangatta

4. Peralatan survey geologi, dan

5. Perangkat komputer yang ditunjang oleh program variowin, SGems,

Microsoft Office, dan sebagainya.


133

3.3 Tahapan Penelitian

Secara umum, kegiatan penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, meliputi

tahap persiapan, tahap pengumpulan data, tahap pengolahan dan analisis data, dan

tahap penyusunan laporan.

2.3.1. Tahap Persiapan.

Meliputi kegiatan pengumpulan berbagai informasi melalui studi

pustaka maupun studi literatur mengenai kondisi daerah penelitian.

Data geologi dan hasil penelitian yang terkait dengan tema penelitian

juga dipersiapkan pada tahap ini.

2.3.2. Tahap Pengumpulan Data.

Tahap ini, penelitian dilakukan langsung pada objek penelitian dengan

mencari data baru, memeriksa data hasil penelitian sebelumnya,

ataupun melengkapi data yang sudah ada. Adapun data-data yang

dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Data lapangan dari singkapan di permukaan (peta geologi dan peta

struktur geologi).

b. Data survey topografi.

c. Data bor dan geofisika logging.

d. Data laboratorium : kualitas batubara.

e. Data pendukung : Geologi/tektonik/stratigrafi regional.

f. Data sumberdaya batubara.


134

2.3.3. Tahap Pengolahan dan Analisis.

Data Tahap pengolahan dan analisis data melibatkan berbagai macam

variabel, baik data yang berasal dari tahap pengumpulan data maupun

data uji statistik dan geostatistik.

3.4 Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis tidak lepas dari ilmu tentang penelitian

yang sudah dicoba dan diatur menurut aturan serta urutan secara menyeluruh dan

sistematis. Untuk menerapkan suatu teori terhadap suatu permasalahan,

diperlukan metode yang dianggap relevan dan membantu memecahkan

permasalahan. Berdasarkan dari pengertian di atas, maka metode penelitian adalah

teknik atau cara mencari, memperoleh, mengumpulkan dan mencatat data, baik

data primer maupun data sekunder yang dapat digunakan untuk keperluan

menyusun karya ilmiah yang kemudian menganalisis faktor-faktor yang

berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan sehingga akan didapat suatu

kebenaran atau data yang diinginkan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis

dengan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian yang kemudian diolah dan

dianalisis untuk diambil kesimpulan. Pengertian dari metode deskriptif menurut

Sugiyono, adalah:“Metode yang digunakan untuk menggambarkan atau

menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat

kesimpulan yang lebih luas.”Sedangkan pengertian dari metode deskriptif analisis


135

menurut Moh. Nazir (2003:71), adalah: “Penelitian yang ditujukan untuk

menyelidiki secara terperinci aktivitas dan pekerjaan manusia dan hasil penelitian

tersebut dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk keperluan masa yang

akan datang.”

Pengertian kuantitatif menurut Sugiyono, adalah: “Metode penelitian

kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada

filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu,

teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random,

pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat

kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah

ditetapkan.”

Berdasarkan pengertian diatas, maka penelitian yang dilakukan adalah dengan

metode deskriptif kuantitatif yaitu suatu bentuk penelitian yang berdasarkan data

yang dikumpulkan selama penelitian secara sistematis mengenai fakta-fakta dan

sifat-sifat dari obyek yang diteliti dengan menggabungkan hubungan antar

variabel yang terlibat didalamnya, kemudian diinterpretasikan berdasarkan teori-

teori dan literatur-literatur yang berhubungan. Metode ini bertujuan untuk

memberikan gambaran yang cukup jelas atas masalah yang diteliti. Dalam

penelitian ini penulis memperoleh data, dimana data tersebut nantinya akan diolah

dengan metode statistik dan geostatistik. Kajian geologi yang bersifat deskriptif

kualitatif akan dilakukan berdasarkan analisa stratigrafi, sedimentologi dan

struktur geologi menggunakan data litologi pemboran, geophysical well logging

dan peta geologi batubara.


136

Pada penelitian ini akan dilakukan analisis geostatistik (Kriging) berupa

analisis spasial dengan konstruksi variogram terhadap kerapatan data eksplorasi

(meliputi : data litologi, data pemboran {koordninat, elevasi dan log bor}, dan

data kualitas batubara) di setiap jenis karakteristik geologi untuk menentukan

jarak titik informasi yang optimum, sehingga didapatkan klasifikasi sumberdaya

yang tepat.

Selanjutnya seluruh data dan informasi endapan batubara diolah dan dianalisis

menggunakan pendekatan geostatistik. Dengan analisis geostatistik kita akan

mendapatkan daerah pengaruh dan dapat menganalisis spasi lubang bor. Analisis

Spasi Bor Lubang memungkinkan kita dapat memahami variasi dalam presisi

estimation endapan.

Dalam penelitian ini akan dibuat model endapan batubara Cekungan Kutai,

khusunya di Sangatta, berdasarkan karakteristik tingkat kompleksitas geologi dan

hubungannya dengan klasifikasi sumberdaya dan estimasi sumberdaya batubara.

Untuk mengetahui pengaruh karakteristik tingkat kompleksitas geologi terhadap

estimasi sumberdaya batubara, salah satu metode yang dapat digunakan adalah

melalui pendekatan uji geostatistik. Geostatistik merupakan suatu metode yang

digunakan dalam suatu riset atau penelitian dibidang geologi untuk melakukan

analisis data secara kauntitatif seperti untuk mengetahui apakah suatu variabel

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel lain. Pedoman klasifikasi

sumber daya batubara didasarkan pada ketepatan estimasi. Spasi lubang bor saat

ini ditentukan ini belum mempertimbangkan kontinuitas dan variabilitas lapisan

batubara, atau spesifik geologi. Berdasarkan analisis geostatistik, akan didapat


137

data pengeboran yang cukup untuk memahami kontinuitas dan variabilitas sifat

batubara dan membantu membuat keputusan operasional, seperti klasifikasi

sumber daya, spesifikasi produk atau optimasi pengeboran.

3.4.1. Data Variabel

Data variabel yang akan digunakan dalam penelitian adalah :

a. Sedimentasi

b. Tektonik /Struktur Geologi

c. Koordinat dan Elevasi lubang bor.

d. Ketebalan batubara.

e. Kualitas Batubara, meliputi Kadar Abu Batubara dan Calorivic Value.

3.4.2. Tahapan Pekerjaan

3.4.2.1. Persiapan

 Pengkajian pustaka, (penelitian, peta geologi, citra, data geologi, data

geofisika well logging, data sumberdaya batubara).

 Perijinan perolehan data dan lapangan

3.4.2.2. Data

 Data lapangan dari singkapan di permukaan (peta geologi dan peta struktur

geologi).

 Data survey topografi.

 Data bor dan geofisika logging.

 Data laboratorium : kualitas batubara.

 Data pendukung : Geologi/tektonik/stratigrafi regional.

 Data sumberdaya batubara.


138

3.4.2.3. Metode Pemrosesan dan Analisis Data

a. Metode pemrosesan dan analisis data terdiri dari :

 Data geologi

o Analisis data pemetaan (measure section) di lapangan dan data hasil

eksplorasi (data pemboran berupa data log litologi, data geophysical

well longging, survey topografi data dan hasil uji kulaitas conto

batubara).

 Analisis dan interpretasi geostatistik.

 Evaluasi klasifikasi dan estimasi sumberdaya.

b. Ketersediaan Peralatan

Software dari TRISAKTI dan lainnya

 Geostatistik : Variowin dan The Stanford Geostatistical Modeling

Software (SGeMS)

 Perhitungan Sumberdaya Batubara : Ms. Excel dan Minescape

Hardware dari UNPAD dan TRISAKTI

 Personal Computer

 Printer dan Ploter

3.4.2.4. Uji Statistik Dasar

Pengolahan data awal dalam penelitian ini menggunakan metode statistik

deskriptif. Hasil dari statistik pada penelitian ini direpresentasikan dalam bentuk

tabel frekuensi, histogram dan grafik probability. Data yang digunakan dalam
139

penelitian ini yaitu data ketebalan dan kualitas batubara pada setiap area. Pada

data tersebut akan dilakukan analisis statistik dasar (descriptive statistics).

Analisis yang dilakukan terdiri dari jumlah dari nilai-nilai tersebut, histogram

data, rata-rata, variance sampel, simpangan baku, koefisien variasi dan skewness

(kecondongan) dari histogram data-data tersebut. Selanjutnya setelah analisis

statistika dasar selesai dilakukan, akan dilakukan analisis struktur data dengan

menggunakan analisis geostatistik. Statistik dasar untuk setiap parameter batubara

akan ditampilkan melalui histogram dan kurva probabilitas. Histogram

menampilkan distribusi geometris data menurut kelas yang tepat dan proporsi dari

kelas-kelas dalam data. Histogram digunakan untuk menunjukkan modalitas,

normalitas, penyebaran dan outlier data batubara.

Linearitas dan kemiringan grafik probabilitas menunjukkan normalitas dan

variabilitas masing-masing data. Kinks pada grafik juga menunjukkan jumlah

populasi dari mana data berasal dan memberikan indikasi keseragaman

lingkungan pengendapan untuk endapan mineral (Rendu, 1985). Rendu juga

menunjukkan hubungan antara probabilitas grafik dan jenis endapan mineral.

Histogram dan grafik probabilitas dalam menganalisis lapisan batubara Sangatta

digunakan untuk mengetahui struktur univariat dari distribusi data batubara. Dari

diagram, itu adalah terlihat bahwa data ketebalan yang terdistribusi normal dalam

satu populasii. Mean, median, standar deviasi, variance, skewness dan kurtosis

adalah statistik deskriptif yang ditampilkan dengan histogram.

Ringkasan dasar statistik untuk setiap parameter batubara akan ditabulasikan

pada hasil analisis statistik deskriptif. Karena besarnya masing-masing parameter


140

batubara sangat berbeda, untuk membandingkan tingkat variabilitas antara

parameter batubara (ketebalan, kadar abu, sulfur konten, kadar air, nilai kalor dan

zat terbang) naka dihitung koefisien variasinya. Koefisien variasi diperoleh

dengan membagi standar deviasi dengan mean. Bersama dengan nilai skewness,

koefisien variasi digunakan untuk mengkonfirmasi normalitas distribusi data

seperti yang dibahas oleh Koch dan Link (1971), yang menyatakan bahwa data

dengan koefisien variasi lebih dari 0,5 menunjukkan populasi tidak normal,

sedangkan jika lebih kecil dari 0,5 menunjukkan populasi normal. Shaw (1961, di

Rock, 1989) menunjukkan bahwa nilai 0,2 untuk koefisien variasi umumnya

perbatasan antara populasi normal dan lognormal.

Pengolahan data statistik univarian ini dilakukan terhadap ketebalan lapisan

batubara batubara BE, NM, Sangatta dan A1, serta kualitas batubara berupa

kandungan abu , Calorific Value dan sulfur pada masing-masing lapisan batubara,

karena estimasi sumberdaya berdasarkan variable-variabel tersebut. Dalam

melakukan uji statistik dasar digunakan software untuk pembuatan histogram dan

statistik deksriptif. Hasil pengolahan statistik deskriptif diperoleh:

1. Mean

2. Median

3. Mode

4. Standard deviation

5. Variance

6. Skewness

7. Kurtosis
141

8. Range

9. Minimum

10. Maximum

11. Summary

12. Count

3.4.2.5. Metode dan Analisis Geostatistik

Dalam mengawali proses analisis perlu dilakukan registering seluruh data yang

diperlukan. Hal ini dilakukan untuk dapat menggunakan data – data tersebut pada

tahapan selanjutnya. Langkah – langkah analisa yang harus dilakukan meliputi:

1. Eksplorasi Data.

Pemahaman yang menyeluruh pada data yang ada sangat diperlukan untuk

dapat menganalisis geostatistik. Eksplorasi dari pendistribusian data, melihat

batasan–batasan secara global dan lokal, melihat pola–pola global, memeriksa

korelasi spasial, dan memahami kovariasi dari berbagai data.

2. Pembuatan Model.

Pada mulanya, geostatistik merupakan sinonim dari "kriging”, namun dalam

perkembangannya juga meliputi metode deterministik. Metode deterministik

tidak memiliki penilaian untuk kesalahan prediksi, tidak ada asumsi untuk

data. Sedangkan metode kriging memiliki penilaian untuk kesalahan prediksi

dan mengasumsikan data dari proses stokastik. Peta yang dihasilkan dapat
142

berupa peta prediksi (peta interpolasi), peta standar eror, peta quantile, peta

probability.

3. Melakukan Diagnostik.

Dalam pemodelan geologi, khususnya pemodelan reservoir, model yang baik

akan memiliki satu kualitas yang sederhana yaitu: harus menyediakan

prediksi yang baik dari perilaku reservoir untuk merespon keadaan (Tyson

and Math, 2009).

4. Membandingkan Model.

Beberapa model yang dihasilkan dari beberapa perlakuan harus dibandingkan

untuk melihat mana yang lebih baik. Penggunaan cross validation statistic

sangat membantu dalam pembandingan ini.

Secara singkat langkah-langkah analisis geostatistik adalah :

1. Menguji asumsi stasioneritas pada setiap variabel.

2. Menghitung variogram eksperimental.

3. Fitting model variogram

4. Melihat gejala anisotropi atau isotropi.

5. Melakukan analisis struktural, dengan membuat model variogram untuk

spasi pemboran yang berbeda-beda untuk setiap karakteristik geologi dan

data eksplorasi.

6. Menaksir variable sumberdaya batubara dengan menggunakan metode

blok kriging.

7. Mengestimasi sumberdaya batubara.


143

Beberapa masalah yang sering muncul dalam menghitung variogram:

a. Kekurangan pasangan data.

Dapat diatasi dengan membatasi jarak lag sampai setengah jarak terjauh data.

Misalnya jika jarak terjauh antara dua posisi data adalah 1000 m, maka lag

maksimumnya adalah 500 m. Cara yang lain untuk menangani masalah

kekurangan data ini adalah dengan memberlakukan toleransi dalam jarak

maupun arah.

b. Ketidakstabilan.

Salah satu penyebab ketidastabilan adalah adanya selisih data yang sangat

besar, kerena variogram merupakan rata-rata. Diatasi dengan menambah

pasangan data atau menghilangkan pencilan atau pasangan data yang

memberikan selisih sangat besar. Kehadiran pasangan data ekstrim ini dapat

dipastikan dengan membuat scatter plot.

c. Outlier

Dalam distribusi normal outlier merupakan data yang yang jatuh ±3 dari mean.

Data permeabilitas biasanya mengandung beberapa outlier. Kehadiran outlier

ini akan menimbulkan ketidakstabilan sehingga akan menyulitkan identikasi

struktur spasial. Untuk mengatasinya dapat dilakukan transformasi logaritmik.

3.4.2.5.1. Penzonaan

Area penelitian dibuat cluster atau zonasi, dimana dasarnya adalah hasil

analisis geologi. Berikut dibawah ini adalah contoh zonasi di daerah penelitian.
144

Gambar 3.1.Contoh zonasi area penelitian

3.4.2.5.2. Peta Lokasi Lubang Bor

Selanjutnya adalah membuat peta penyebaran lubang bor untuk setiap zona.

Contohnya data hasil lubang bor seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 3.2. Peta penyebaran lubang bor


3.4.2.5.3. Penggunaan Software Variowin
145

Sebelum estimasi pada software SgeMS, dilakukan permodelan variogram

eksperimental dengan menggunakan software variowin. Tahapan penggunaan

software variowin adalah sebagai berikut:

1. Pengolahan Data Menggunakan Variowin

a) Prevar2D

Data yang diinput pada software ini adalah:

 Koordinat easting

 Koordinat northing

 Collar

 Ketebalan

 Kualitas

Gambar 3.3 Hasil Prevar 2D


b) Vario2D

Software Vario2D berguna untuk mendapatkan nilai dari jarak antar contoh

(lag spacing) dan toleransi lag (lag tolerance) serta number of lag.
146

Gambar 3.4 Pengisian parameter variogram eksperimental

Setelah parameter ditentukan sesuai gambar di atas, maka didapatkan sebuah

model variogram eksperimental seperti pada gambar 3.5.

Gambar 3.5. Contoh hasil vario 2D variogram eksperimental

c) Model Variogram Eksperimental


147

Software ini membantu untuk mengetahui besarnya nilai sill, range, dan

nugget dengan cara membuat model spherical yang menyentuh mayoritas

dari titik-titik hitam yang terdapat pada grafik.

Gambar 3.6 Contoh hasil range, sill, dan nugget Effect

Model variogram eksperimental yang digunakan ialah omnidirectional

yang berarti mempunyai radius pencarian data ke segala arah.

Gambar 3.7 Contoh model variogram spherical

3.4.2.5.4. Metode Kriging


148

Nilai estimasi variabel dari masing-masing blok dilakukan dengan Estimator

Kriging bisa ditulis (Fischer dan Getis, 2010, p338-341) menggunakan persamaan

sebagai berikut:

…………………………………………………(3.1)

dimana

…………………………………………………………….(3.2)

Keterangan:

= Nilai Prediksi pada variabel X


= Pembobot yang menentukan ukuran jarak antar titik
= 1,2,, n, dimana n adalah banyaknya data yang akan diolah
= Nilai Actual pada variabel X pada data ke i

……………….(3.3)

S  w  h   w  h   w  h   
2
1 1p 2 2p 3 3p
……………………………………………………..(3.4)

Software yang digunakan dalam perhitungan Kriging yaitu SGeMS. Hasil dari

kriging dengan menggunakan SGeMS akan menghasilkan besar nilai-nilai kriging

dari tiap blok.


149

Gambar 3.9 Contoh Penyebaran Data

Penyebaran data lubang bor digunakan sebagai dasar dalam pembuatan grid.

Tahapan dalam pembuatan grid sebagai pembatas daerah yang akan diestimasi.

Gambar 3.9 Pembuatan grid pembatas area analisis

Setelah membuat grid sebagai pembatas daerah, selanjutnya dilakukan

estimasi dengan menggunakan metode Kriging. Dengan memasukkan grid yang

akan diestimasi pada General and Data lalu menamakan properti dan memilih

Ordinary Kriging, kemudian memasukkan nilai titik pencarian x=2, y=2, dan z=1

karena menggunakan 2dimensi. Dan juga mengisi range sesuai dengan hasil dari

variogram eksperimental.
150

Gambar 3.10 Pengisian data

Langkah berikutnya ialah mengisi hasil variogram eksperimental seperti nugget

effect, sill, dan range.


151

Gambar 3.11 Pengisian hasil variogram eksperimental

Setelah melakukan semua tahapan, maka Algoritma dapat dijalankan dan

hasil blok kriging dan kriging varians akan muncul seperti pada gambar :

Gambar 3.12 Contoh hasil analisis blok kriging


30

Gambar 3.13 Contoh hasil kriging varians

Dari blok kriging didapat warna yang menyatakan nilai pada tiap blok.

Terdapat indeks warna pada sebelah kanan yang menyatakan bobot tiap warna

untuk setiap masing-masing blok. Selanjutnya untuk mengetahui besarnya

sumberdaya batubara dapat menggunakan microsoft excel dengan cara

mengkalikan dimensi blok dengan bobot tiap blok dan berat jenis batubara.

3.4.2.5.5. Klasifikasi dan Estimasi Sumberdaya Batubara

Dalam penelitian ini digunakan cara estimasi dengan metode block yang

berasal dari software SGeMS dimana panjang dan lebar pada block yang

digunakan pada software SGeMS adalah 200 meter x 200 meter, dengan

menggunakan rumus:

Sumberdaya Batubara = Panjang x lebar x ketebalan x berat jenis batubara….(3.5)

Hubungan antara sumberdaya terukur, tertunjuk, dan tereka berdasarkan

RKSD dan kemenerusan variogram dijelaskan pada Bab IV. Menurut Sinclair dan

Blackwell (2005) hubungan sumberdaya terukur, tertunjuk, dan tereka


31

berdasarkan nilai Relative Kriging Standard Deviation (RKSD) dirumuskan

sebagai berikut:

……………………………………….(3.6)

Dimana: σE = Kriging standard deviation


z* = Kriging value
Penelitian yang dilakukan Sinclair dan Blackwell (2005) adalah pada mineral

sedangkan untuk penerapan di batubara harus diuji kembali. Berdasarkan nilai

RKSD sumberdaya batubara menurut hasil penelitian penulis dikelompokkan

sebagai berikut:

a) Terukur (measured) adalah saat suatu blok mempunyai nilai RKSD <0,5.

b) Terunjuk (indicated) adalah saat suatu blok mempunyai nilai

0,5≤RKSD≤0,3.

c) Tereka (inffered) adalah saat suatu blok mempunyai nilai RKSD >0,3.

Klasifikasi sumberdaya juga dilakukan berdasarkan kemenerusan variogram:

……………(3.7)

Dimana: h = Jarak antar data


c = Sill
Co = Nugget effect
a = Range

3.5. Desain Penelitian


32

Dalam melaksanakan suatu penelitian sangat diperlukan desain penelitian, agar

penelitian yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan sistematis. Pengertian

lain dari desain penelitian menurut Moh. Nazir (2003:72), adalah “Desain

penelitian adalah semua proses yang diperlakukan dalam perencanaan dan

pelaksanaan penelitian.” Desain penelitian merupakan rancangan penelitian yang

digunakan sebagai pedoman dalam melakukan proses penelitian. Desain

penelitian akan berguna bagi semua pihak yang terlibat dalam proses penelitian.

Menurut Sugiyono (2008:13) proses penelitian dapat disimpulkan seperti teori

sebagai berikut:

“Proses penelitian meliputi:

1. Sumber masalah

2. Rumusan masalah

3. Konsep dan teori yang relevan dan penemuan yang relevan

4. Pengajuan hipotesis

5. Metode penelitian

6. Menyusun instrument penelitian

7. Kesimpulan”.

Berdasarkan proses penelitian yang dijelaskan di atas, maka desain pada

penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:

1. Sumber Masalah

Peneliti melakukan survey awal untuk menentukan fenomena yang terjadi

untuk dijadikan sebagai sumber masalah sebagai dasar penelitian. Fenomena

dalam penelitian ini adalah pengelompokkan kompleksitas geologi yang masih


33

bersifat kualitatif di SNI 5015 tahun 211, yang menyulitkan untuk

diinterpretasi pada saat implementasi dalam klasifikasi dan estimasi

sumberdaya batubara.

2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan suatu pertanyaan yang akan dicari jawabannya

melalui pengumpulan data. Proses penemuan masalah merupakan tahap

penelitian yang paling sulit karena tujuan penelitian ini adalah menjawab

masalah penelitian sehingga suatu penelitian tidak dapat dilakukan dengan baik

jika masalahnya tidak dirumuskan secara jelas. Masalah dalam penelitian ini

meliputi:

a. Bagaimana kompleksitas geologi endapan batubara (sedimentasi dan

tektonik) di area Sangatta, Cekungan Kutai ?

b. Bagaimana model geostatistik setiap variabel pada setiap karateristik

geologi dan seberapa besar pengaruhnya terhadap penentuan spasi titik

bor eksplorasi, klasifikasi dan estimasi sumberdaya batubara ?

3. Pengajuan Hipotesis

4. Uji Hipotesis

Untuk menguji hipotesis tersebut peneliti dapat memilih metode penelitian

yang sesuai. Pada penelitian ini metode penelitian yang digunakan adalah

metode deskriptif analisis dengan pendekatan kuantitatif.

5. Menyusun Instrumen Penelitian

Setelah metode penelitian yang sesuai dipilih, maka peneliti dapat menyusun

instrumen penelitian. Instrumen ini digunakan sebagai alat pengumpul data.


34

Sebelum instrumen digunakan untuk pengumpulan data, maka instrumen

penelitian harus terlebih dulu diuji validitas dan reabilitasnya. Dimana validitas

digunakan untuk mengukur kemampuan sebuah alat ukur dan reabilitas

digunakan untuk mengukur sejauhmana pengukuran tersebut dapat dipercaya.

Setelah data terkumpul maka selanjutnya dianalisis untuk menjawab rumusan

masalah dan menguji hipotesis.

6. Kesimpulan

Kesimpulan adalah langkah terakhir dari suatu periode penelitian yang berupa

jawaban terhadap rumusan masalah. Dengan menekankan pada pemecahan

masalah berupa informasi mengenai solusi masalah yang bermanfaat sebagai

dasar untuk pembuatan keputusan.

3.5.1. Sumber dan Teknik Penentuan Data


3.5.1.1. Sumber Data

Jenis data yang digunakan peneliti dalam penelitian mengenai “Pendekatan

Geologi dan Geostatistik Endapan Batubara Lapangan Sangatta, Kabupaten Kutai

Timur, Provinsi Kalimantan Timur” adalah data primer dan sekunder.

1. Data Primer

“Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada

pengumpul data”. (Sugiyono). Pengumpulan data primer dalam penelitian ini

melalui cara pengambilan atau perekaman data geologi di lapangan dan

melakukan wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang berhubungan

dengan penelitian yang dilakukan, dalam hal ini tim eksplorasi PT. Kaltim

Prima Coal.

2. Data Sekunder
35

“Sumber sekunder adalah sumber data yang diperoleh dengan cara membaca,

mempelajari dan memahami melalui media lain yang bersumber dari literatur,

buku-buku, serta dokumen perusahaan”. (Sugiyono). Metode yang digunakan

adalah metode deskriptif analisis karena penelitian ini berkaitan dengan data

geologi yang bersifat deskriptif. Objek penelitian dalam studi kasus ini

dititikberatkan pada masalah karakteristik geologi endapan batubara Formasi

Balikpapan di Lapangan Sangatta. Penelusuran data sekunder dilakukan melalui

kunjungan langsung ke PT. Kaltim Prima Coal untuk memperoleh informasi

mengenai data geologi, eksplorasi, sumberdaya, keekonomian dan cadangan batu-

bara. Adapun data sekunder sebagai penunjang kajian diperoleh melalui studi

berbagai laporan yang terkait dengan kajian,antara lain dengan mendatangi

berbagai instansi yang mengelola atau punya otoritas di bidang batubara, yaitu

instansi di Badan Pusat Statistik, Dinas Pertambangan dan Energi, Kementerian

Energi dan Sumberdaya Mineral (Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara serta

Badan Geologi), serta berbagai literatur dari situs internet.

3.5.2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk menunjang hasil penelitian, maka penulis melakukan pengumpulan data

yang diperlukan dengan cara sebagai berikut:

1. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan (Field Research), dilakukan dengan cara mengadakan

peninjauan langsung pada instansi yang menjadi objek untuk mendapatkan


36

data primer (data yang diambil langsung dari perusahaan). Data primer ini

didapatkan melalui teknik-teknik sebagai berikut:

a. Metode Pengamatan Langsung (observasi)

Pengamatan langsung, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara

pencarian dan pengumpulan data yang dilakukan dengan pengamatan

secara langsung.

b. Metode Wawancara (Interview)

Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan melakukan tatap

muka secara langsung dengan pihak yang bersangkutan yakni dengan

mengadakan tanya jawab sesuai dengan data-data yang diperlukan dalam

memecahkan masalah yang akan dibahas.

d. Dokumen

Proses pengumpulan data dengan mempelajari dan menganalisa

dokumen, misalnya laporan eksplorasi.

2. Studi Kepustakaan (Library Research)

Penelitian ini dilakukan untuk menghimpun teori-teori, pendapat yang

dikemukakan oleh para ahli yang diperoleh dari buku-buku kepustakaan

serta literatur lainnya yang dijadikan sebagai landasan teoritis dalam rangka

melakukan pembahasan. Landasan teori ini dijadikan sebagai pembanding

dengan kenyataan di perusahaan.

3.6. Rancangan Analisis

Dalam menganalisis data, metode penelitian yang digunakan penulis adalah

metode deskriptif dengan analisis kuantitatif, yaitu data yang diperoleh dan
37

dikumpulkan kemudian dianalisis berdasarkan metode yang diterapkan, dengan

tujuan untuk mengkuantifikasi kondisi geologi.

Analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih

mudah diinterpretasikan. Analisis data diperlukan agar peneliti dapat

menghasilkan hasil yang dapat dipercaya. Data yang dihimpun dari hasil

penelitian akan penulis bandingkan antara data yang dilapangan dengan data

kepustakaan, kemudian dilakukan analisis untuk menarik kesimpulan.

3.7. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.7.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada pada lokasi tambang batubara PT. Kaltim Prima Coal

yang berada di Kecamatan Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi

Kalimantan Timur, kira-kira 200 km di sebelah Utara Balikpapan dan 120 km di

sebelah Utara Samarinda, serta 20 km dari pantai Timur Kalimantan. Lokasi

penambangan sekitar 13 km dari pelabuhan laut dan pelabuhan udara Tanjung

Bara.

Lokasi kuasa pertambangan yang diberikan pemerintah terbagi pada dua

daerah, sebagian berada disebelah Utara Taman Nasional Kutai yang meliputi

Kecamatan Bontang dan Sangkuriang, sedang yang lain berada disebelah Selatan

Taman Nasional Kutai dekat Samarinda meliputi Kecamatan Loa Kulu, Loa

Janan, Tenggarong, Sebulu, Muara Badak dan Muara Kaman, serta berlanjut ke

Bontang.

Daerah penelitian terletak di lapangan Sangatta dan Pit J, yang merupakan

salah satu bagian dari wilayah konsesi pertambangan batubara milik PT Kaltim
38

Prima Coal (KPC), Sangatta. Secara administratif daerah tersebut termasuk daerah

Pinang, Kecamatan Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur

(Gambar 1.1). Secara geografis daerah tersebut berada pada koordinat 00 33' 22.8''

- 00 34' 05.1'' Lintang Utara dan 1170 30' 54.8'' – 1170 31' 33.6'' Bujur Timur.

Untuk mencapai daerah penelitian dapat ditempuh dengan jalur udara

menggunakan pesawat menuju ke Balikpapan, dari Balikpapan dapat dilanjutkan

menggunakan jalur darat menuju Sangatta dengan waktu 6-7 jam atau dapat juga

menggunakan jalur udara menggunakan pesawat Casa menuju Bandara Tanjung

Bara dengan waktu tempuh 1 jam, dari Tanjung Bara ke area konsesi PT. KPC

ditempuh dengan jalur darat menggunakan mobil kurang lebih 20 menit. Untuk ke

lokasi penelitian ditempuh dengan kendaraan khusus (mobil lapangan) milik PT.

KPC.

3.7.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian lapangan dilaksanakan selama 1 (satu) bulan, dimulai pada

bulan September 2015 sampai dengan bulan Oktober 2015.

3.8. Diagram Alir Penelitian

APLIKASI METODA GEOSTATISTIK DALAM PENYEMPURNAAN


STANDAR NASIONAL INDONESIA NO. 5015 TAHUN 2011
STUDI KASUS : LAPANGAN BATUBARA SANGATTA, FORMASI BALIKPAPAN, KABUPATEN
KUTAI TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

KAJIAN PUSTAKA

PENGAMBILAN DATA

DATA PRIMER DATA SEKUNDER


Data Geologi ( litologi, struktur)  Data geologi regional dan lokal (petrologi,
stratigrafi, sedimentology, struktur geologi
dan lingkungan pengendapan)
 Data lubang bor (koordinat, elevasi,
kedalaman, ketebalan dan kualitas batubara
(abu, sulfur dan Calorific value)
39

PENGOLAHAN DATA PENGOLAHAN DATA


 Analisa Geologi Deskriptif  Uji statistik deskriptif
 Evaluasi SNI 5015/2011  Uji Geostatistik & validasi data
 Evaluasi SNI 5015/2011
 Evaluasi SNI 5015/ 2011 
SNI 5015/ HASIL
 HASIL
2011  Modifikasi SNI 5015/
(LAMA)  Modifikasi SNI 5015/ 2011
2011
 Klasifikasi Sumberdaya Batubara
 Modifikasi Kondisi geologi
 Estimasi Sumberdaya Batubara
 Modifikasi Kondisi geologi
 Jarak titik Informasi

PEMBAHASAN
SNI 5015/ 2011 (BARU)

KESIMPULAN
40

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian serta pembahasan dari

hasil penelitian tersebut. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk grafik dan tabel

yang merupakan rangkuman dari hasil penelitian. Grafik dan tabel tersebut

ditampilkan sesuai dengan jenis sub bahasan sehingga diharapkan dapat

memudahkanpembaca dalam memahami hasil penelitian ini.

Pendekatan terpadu yang terdiri dari geologi dan geostatistik (kualitatif dan

kuantitatif) analisis yang digunakan dalam penelitian ini. Metode termasuk

analisis peta geologi, lithologi, log geofisika, fitur singkapan dan petrologi

batubara. Analisis kuantitatif, yang terdiri dari statistik dasar dan spasial,

digunakan data ketebalan dan kualitas dari analisis kualitas batubara. Pembahasan

yang tercakup dalam bab ini adalah: (1) Hasil penelitian geologi; (2) Hasil

penelitian statistik dan geostatistik; dan (3) Pembahasan. Urutan pembahasan ini

disusun dengan tujuan agar pembaca dapat melihat dengan runtut dan lebih

mudah memahami pembahasan dari hasil penelitian ini.

4.1.1. Hasil Penelitian Geologi

Penelitian geologi mencakup area lapangan sangatta dan area pit J. Penelitian

dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan dan menggunakan data hasil


41

eksplorasi. Data tersebut dikompilasi dan dianalisis dengan latar belakang

pengetahuan geologi. Berikut dibawah ini akan dibahas satu persatu hasil

pengamatan geologi dan analisisnya.

4.1.1.1. Endapan Batubara Pit J

Hasil penelitian dan analisis geologi endapan batubara di pit J meliputi aspek

sedimentasi, aspek struktur, karakteristik lapisan dan lingkungan pengendapan.

Pada sub bab dibawah ini akan dibahas secara rinci.

4.1.1.1.1. Sedimentasi Endapan Batubara di Pit J

Berdasarkan hasil observasi singkapan pada daerah penelitian, endapan

batubara berada pada satuan batulempung. Lapisan-lapisan batubara merupakan

sisipan dalam satuan batulempung yang merupakan anggota dari Formasi

Balikpapan berumur Miosen Tengah - Miosen Akhir (15 juta – 5 juta tahun yang

lalu). Seam-seam batubara di daerah penelitian terdapat pada satuan batulempung

Formasi Balikpapan yang berumur Miosen Tengah – Miosen Akhir, yang

merupakan salah satu formasi pembawa batubara di Cekungan Kutai. Area

penambangan batubara di Pit J terbagi menjadi dua, yaitu blok batubara utara dan

blok batubara selatan. Berdasarkan data yang berasal dari data singkapan batubara

dan data pemboran yang tersebar di daerah penelitian Pit J, diketahui di daerah

penelitian terdapat 93 (sembilan puluh tiga) lapisan batubara, dimulai dari tua ke

muda yaitu seam S1 sampai seam K1. Berikut tabel lapisan batubara stratigrafi di

Pit J.
42

Tabel 4.1. Jenis dan urutan seam di PIT J ( sumber PT. KPC)

No Seam name Main Seam Remark


1 K1 K1 KEDAPAT 1 SEAM
2 KD KD KEDAPAT SEAM
3 MA MA MANDILI UPPER SEAM
4 MN MN MANDILI SEAM
5 P7 P7 PINANG 7 SEAM
6 P6 P6 PINANG 6 SEAM
7 P5 P5 PINANG 5 SEAM
8 P5LR P5 PINANG 5 Lower Rider
9 P4 P4 PINANG 4 SEAM
10 P3 P3 PINANG 3 SEAM
11 P2 P2 PINANG 2 SEAM
12 P1 P1 PINANG 1 SEAM
13 NU PN PINANG UPPER SEAM
14 PN PN PINANG SEAM
15 NL PN PINANG LOWER SEAM
16 PNLR PN PINANG Lower Rider
17 MD MD MIDDLE SEAM
18 SN SN SANGATTA SEAM
19 B2UR B2 BINTANG 2 Upper Rider
20 B2 B2 BINTANG 2 SEAM
21 B2LR B2 BINTANG 2 Lower Rider
22 B1 B1 BINTANG 1 SEAM
23 BNUR BN BINTANG Upper Rider
24 BN BN BINTANG SEAM
25 BNLR BN BINTANG Lower Rider
43

No Seam name Main Seam Remark


26 PR1 PR1 PRIMA 1 SEAM
27 PU PR PRIMA UPPER SEAM
28 PR PR PRIMA SEAM
29 PL PR PRIMA LOWER SEAM
30 PRLR PR PRIMA Lower Rider
31 L4 L4 MELAWAN 4 SEAM
32 L4LR L4 MELAWAN 4 SEAM
33 L3UR L3 MELAWAN 3 Upper Rider
34 L3 L3 MELAWAN 3 SEAM
35 L2UR L2 MELAWAN 2 Upper Rider
36 L2 L2 MELAWAN 2 SEAM
37 L2LR L2 MELAWAN 2 Lower Rider
38 L1UR L1 MELAWAN 1 Upper Rider
39 L1 L1 MELAWAN 1 SEAM
40 L1LR L1 MELAWAN 1 Lower Rider
41 MLUR ML MELAWAN Upper Rider
42 ML ML MELAWAN SEAM
43 MLLR ML MELAWAN Lower Rider
44 E3 E3 BENU 5 SEAM
45 E2 E2 BENU 2 SEAM
46 E1 E1 BENU 1 SEAM
47 BEUR BE BENU Upper Rider
48 BE BE BENU SEAM
49 BELR BE BENU Lower Rider
50 J4 J4 JORANG 4 SEAM
51 J3 J3 JORANG 3 SEAM
52 J2 J2 JORANG 2 SEAM
53 J1 J1 JORANG 1 SEAM
54 JR JR JORANG SEAM
55 TMUR TM TEMPUDAU Upper Rider
56 TM TM TEMPUDAU SEAM
57 TMLR TM TEMPUDAU Lower Rider
58 U5 U5 PAMUNGKAS 5 SEAM
59 U4 U4 PAMUNGKAS 4 SEAM
60 U2 U2 PAMUNGKAS 2 SEAM
61 U1 U1 PAMUNGKAS 1 SEAM
62 PM PM PAMUNGKAS SEAM
63 PMLR PM PAMUNGKAS Lower Rider
64 N5 N5 NORTH MELAWAN 5 SEAM
65 N4 N4 NORTH MELAWAN 4 SEAM
66 N2 N2 NORTH MELAWAN 2 SEAM
67 NMUR NM NORTH MELAWAN Upper Rider
68 NM NM NORTH MELAWAN SEAM
44

No Seam name Main Seam Remark


69 NMLR NM NORTH MELAWAN Lower Rider
70 O5U O5 BARAMUTU 5 Upper SEAM
71 O5 O5 BARAMUTU 5 SEAM
72 O4AU O4A BARAMUTU 4A Upper Rider
73 O4A O4A BARAMUTU 4A
74 O4AL O4A BARAMUTU 4A Upper Lower
75 O4 O4 BARAMUTU 4 SEAM
76 O3UR O3 BARAMUTU 3 SEAM Upper Rider
77 O3 O3 BARAMUTU 3 SEAM
78 O3LR O3 BARAMUTU 3 SEAM Lower Rider
79 O2 O2 BARAMUTU 2 SEAM
80 O1 O1 BARAMUTU 1 SEAM
81 BMUR BM BARAMUTU 1 SEAM
82 BM BM BARAMUTU SEAM
83 BMLR BM BARAMUTU Lower Rider
84 G1 G1 GENDENG 1 SEAM
85 GN GN GENDENG SEAM
86 R3 R3 PENJOL 3 SEAM
87 R2 R2 PENJOL 2 SEAM
88 R1 R1 PENJOL 1 SEAM
89 PJ PJ PENJOL SEAM
90 S4 S4 SUNDELBOLONG 4 SEAM
91 S3 S3 SUNDELBOLONG 3 SEAM
92 S2 S2 SUNDELBOLONG 2 SEAM
93 S1 S1 SUNDELBOLONG 1 SEAM

Berdasarkan data tersebut di atas juga diketahui yang tersingkap di daerah

penelitian terdapat 6 ( enam) seam batubara utama, yaitu Seam JR, Seam BE,

Seam E2, Seam ML, Seam L1 dan Seam NM. Penentuan seam batubara utama

adalah dilihat dari kemenerusan lapisan yang baik, ketebalan yang baik dan

memungkinkan untuk ditambang. Jenis batuan utama tanah penutup (overburden)

adalah siltstone, mudstone, dan sandstone. Mudstone yang sebagian

carbonaceous, biasanya berbatasan langsung dengan lapisan batubara. Sandstone

tidak ditemukan dalam keadaan menerus secara lateral, melainkan berbentuk lensa

dalam berbagai ukuran. Urut-urutan lapisan siltstone dan interbanded mudstone,

siltstone, atau sandstone merupakan bentuk perlapisan yang biasa dijumpai,


45

sedangkan sandstone serta mudstone dalam keadaan yang lebih massive

mempunyai perkembangan perlapisan yang buruk. Siltstone ditemukan sebagai

sisipan tipis dalam lapisan batulempung. Batubara ditemukan sebagai sisipan pada

satuan batulempung, dengan ciri umum batubara berwarna hitam, gores hitam,

kilap bright - dull, terdapat cleat yang terisi lempung dan mineral pirit. Berikut

dibawah ini adalah gambar kolom stratigrafi di area pit J, memperlihatkan 5 (

lima) seam batubara, yang berurutan mulai dari eam JR, BE, E2, ML dan L1, dan

dengan overburden dan interburden berupa batulempung.

Gambar 4.1 Stratigrafi seam batubara di PIT J ( sumber PT. KPC)


46

Keberadaan seam tersebut dapat dilihat pada penampang geologi batubara

seperti yang terlihat pada gambar 4.2.

Gambar 4.2. Contoh penampang yang memotong Pit J

4.1.1.1.2. Struktur Geologi Pit J

Struktur geologi yang berkembang sangat mempengaruhi penyebaran endapan

batubara dan kualitas batubara itu sendiri. Endapan batubara di daerah penelitian

telah mengalami deformasi tektonik berupa perlipatan dan pensesaran. Akibat dari

proses perlipatan menyebabkan lapisan batubara memiliki kemiringan yang landai

hingga terjal, bahkan bagian yang terlipat sangat kuat memiliki kemiringan

lapisan yang tegak. Pensesaran yang ditimbulkan oleh aktivitas tektonik

menjadikan penyebaran lapisan batubara sukar untuk dikorelasikan.


47

Arah umum dari perlapisan batubara di daerah penelitian antara N 1200 E

sampai dengan N 1750 E, dengan kemiringan lapisannya berkisar 10-200 dengan

arah kemiringan ke arah baratdaya. Penyebaran lapisan batubara di Pit J

memanjang ke arah baratlaut-tenggara (NW-SE). Penyebaran lapisan batubara di

lapangan, lapisan-lapisannya menerus secara lateral, lapisannya tipis - tebal (0,3-

19 meter), pada beberapa lokasi terdapat parting berupa batulempung, contohnya

pada bagian barat Pit J ( titik bor R6339, seam L2) dengan tebal 20 cm.

Gambar 4.3. Kenampakan struktur parting dari analisa korelasi seam batubara L2
(log geophysical) di Pit J (sumber PT.KPC)

Gejala parting pada batubara di daerah penelitian dapat terjadi karena pada

saat pengendapan batubara yang kemudian terjadi limpahan banjir pada sungai

atau terjadi pasang naik air laut yang mengakibatkan material-material sedimen

klastik halus masuk ke dalam overbank swamp sehingga akumulasi material

organik tergantikan untuk sesaat oleh akumulasi material klastik pada daerah

tersebut, namun ketika suplai material detritus berhenti, maka vegetasi kembali

tumbuh dan pembentukan gambut terjadi kembali yang akhirnya terbentuk gejala
48

parting (terdapatnya lapisan tipis bahan sedimen klastik halus diantara lapisan

batubara).

Gambar 4.4. Struktur sedimen akresi lateral di Pit J

Akresi lateral terbentuk pada kelokan dalam channel sungai meander. Akresi

lateral memperlihatkan perlapisan perlapisan pasir seperti yang mencirikan

pertumbuhan bar) yang mengisi kelokan dalam channel sungai bermeander

dengan kenampakan butiran menghalus keatas (Finning Upward).

Dari data pemboran inti batubara diketahui lapisan batubara juga mengalami

splitting, contohnya seam BE yang terlihat dari lubang bor R20461 di Pit J utara

dan lubang bor R20421. (lihat gambar 4.6)

Gambar 4.5. Struktur sedimen splitting di Pit J


49

Gambar 4.6. Perbedaan karakteristik fisik seam batubara di PIT J bagian utara dan
selatan (sumber PT.KPC)

Gambar 4.7. Perbedaan karakteristik fisik berupa penebalan seam batubara di PIT
J bagian utara dan selatan (sumber PT.KPC)

Di daerah penelitian juga terdapat lapisan batubara yang menebal dan menipis

seperti yang terlihat pada seam JR di lubang bor R201461 dan R20421 ( gambar

4.7), proses penebalan dan penipisan lapisan batubara ini dipengaruhi oleh dua

proses, yaitu proses yang bekerja selama pengendapan dan proses setelah

pengendapan. Proses yang bekerja selama pengendapan adalah penurunan

cekungan, jika penurunan cekungan cepat maka batubara yang dihasilkan tebal,
50

demikian pula sebaliknya. Sedangkan proses yang bekerja setelah pengendapan

adalah proses erosional oleh channel yang menyebabkan penipisan pada lapisan

batubaranya. Selain itu, bisa pula diakibatkan oleh perbedaan laju pertumbuhan

akumulasi gambut, jika laju pertumbuhan akumulasi gambut lebih cepat maka

batubara yang dihasilkan lebih tebal demikian pula sebaliknya. Perbedaan laju

pertumbuhan gambut ini disebabkan pengaruh lingkungan di dalam rawanya.

Gambar 4.8. Kenampakan struktur washout dari analisa korelasi seam batubara di
Pit J (sumber PT.KPC)

Pada daerah penelitian terdapat wash out yang terbentuk pada saat lapisan

batubara tererosi oleh gelombang atau arus dan kemudian terisi oleh sedimen.

Washout yang ditemukan berupa channel yang terisi pasir pada lapisan batubara.

Kenampakan ini terlihat pada hasil analisa section korelasi seam batubara yang

terlihat pada gambar 4.8.


51

4.1.1.1.3. Karakteristik Geologi Beberapa Seam Batubara di Pit J

Karakteristik batubara di daerah penelitian berdasarkan kondisi fisik,

penyebaran. karakteristik dan ketebalannya dari tua ke muda adalah sebagai

berikut:

4.1.1.1.3.1. Seam JR

Lapisan batubara ini mempunyai jurus perlapisannya N 1090 – 1400 E, dengan

kemiringan lapisan 13 - 190 ke arah baratdaya. Seam JR ini memiliki penyebaran

lapisan relatif baratlaut-tenggara. Berdasarkan data singkapan di lapangan ( E

101314; N 195540), ketebalan seam batubara ini adalah 2,45 – 2,56 meter

(Gambar 4.9). Ciri umum batubara pada seam ini adalah hitam, agak kusam,

kekerasan hard, banyak cleat yang terisi lempung dan pirit. Lapisan roof dan floor

berupa batulempung, abu-abu, non-karbonatan, getas.

Gambar 4.9. Singkapan batubara seam JR.


52

4.1.1.1.3.2. Seam BE

Lapisan batubara ini tersingkap dengan jurus perlapisannya N1110 – 1250 E,

dengan kemiringan lapisan 190 ke arah baratdaya. Seam BE mempunyai

penyebaran yang relatif memanjang baratlaut-tenggara. Berdasarkan data

singkapan di lapangan ( E 101126;N 195465), ketebalan seam batubara ini adalah

0,8 – 1,9 meter. (Gambar 4.10), Ciri umum batubara pada seam ini adalah warna

hitam, mengkilap, terdapat cleat yang terisi lempung dan kekar-kekar, gores

hitam, lapisan batubara terdapat parting berupa lempung. Lapisan alasnya (floor)

berupa batulempung abu-abu, non-karbonatan, berlapis, lunak, sedangkan lapisan

atapnya (roof) berupa batulempung, abu-abu, non-karbonatan.

Gambar 4.10 Singkapan batubara seam BE.


53

4.1.1.1.3.3. Seam E2

Lapisan batubara ini tersingkap denga jurus perlapisannya N 1600 E, dengan

kemiringan lapisan 100 ke arah baratdaya. Seam E2 mempunyai penyebaran yang

relatif memanjang baratlaut-tenggara. Berdasarkan data singkapan di lapangan

(E100640;N195614), ketebalan batubara ini adalah 1,00 meter (Gambar 4.11).

Ciri litologi batubara Seam E2, hitam, agak kusam, banyak cleat, gores hitam.

Lapisan roof batubara seam ini berupa batulempung dengan sisipan batupasir,

sedangkan lapisan floor berupa batulempung, abu-abu, non-karbonatan, getas.

Gambar 4.11 Singkapan batubara seam E2.

4.1.1.1.3.4. Seam ML

Lapisan batubara ini tersingkap dengan besar jurus perlapisannya antara N

1200 E – N 1400 E, dengan kemiringan lapisan 150-190 ke arah baratdaya. Seam

ML mempunyai penyebaran yang relatif memanjang baratlaut-tenggara.


54

Berdasarkan data singkapan di lapangan (E 101035; N 195323), ketebalan seam

batubara ini adalah 1,96 - 2,0 meter (Gambar 4.12). Ciri umum batubara pada

seam ini adalah, hitam, mengkilap, kekerasan hard, gores hitam, ada cleat.

Lapisan atap (roof) berupa batulempung abu-abu, non-karbonatan, keras,

sedangkan lapisan alas (floor) berupa batulempung sisipan lensa batupasir.

Gambar 4.12. Singkapan batubara seam ML.

4.1.1.1.3.5. Seam L1

Lapisan batubara ini memiliki besaran jurus perlapisannya antara N 1100 E –

N 1600 E, dengan kemiringan lapisan 130-150 ke arah baratdaya. Seam L1 ini

memiliki penyebaran lapisan relatif baratlaut-tenggara. Berdasarkan data

singkapan di lapangan (E 100690; N 195397), ketebalan seam batubara ini adalah

0,59 – 0,94 meter (Gambar 4.13). Ciri umum batubara pada seam ini adalah,
55

hitam, mengkilap, banyak retakan-retakan, gores hitam, lapisan lantainya (floor)

berupa batulempung abu-abu, non-karbonatan, getas.

Gambar 4.13. Singkapan batubara seam L1.

4.1.1.1.4. Karakteristik Kualitas Seam Batubara di Pit J

Peringkat batubara di daerah penelitian adalah High Volatile B Bituminous,

berdasarkan klasifikasi ASTM, dengan nilai kalori 13.000 - 14.000 Btu/lb

(dmmf).

Tabel 4.2 Kualitas batubara rata-rata di PIT J bagian utara ( PT. KPC)

Seam Ash (adb) % Sulfur (adb) % CALORIFIV


VALUE (CV) (adb)
L1 6,.40 1,88 7183,00
ML 6,76 1,92 7105,17
BE 6,35 2,69 6939,50
JR 7,18 2,56 6875,00
56

Tabel 4.3 Kualitas batubara rata-rata di PIT J bagian selatan ( PT. KPC)

Seam Ash (adb) % Sulfur (adb) % CALORIFIV


VALUE (CV)
(adb)
L1 1,77 0,49 7562,17
ML 2,59 0,69 7354,00
BE 2,60 0,88 7486,83
JR 1,86 0,39 7299,50

Kandungan abu (ash) dalam batubara di daerah penelitian dapat berasal dari

material-material detrital yang dibawa sungai dan masuk ke dalam rawa atau

berasal dari tumbuhan itu sendiri yang dipengaruhi oleh lingkungan pengendapan

batubara. Untuk kadar sulfur batubara di daerah penelitian dapat berasal dari air

laut yang masuk pada saat terjadi marine transgression, atau dapat berasal dari

lapisan pengapit batubara yang diendapkan di lingkungan laut. Kandungan sulfur

batubara juga dipengaruhi oleh lingkungan pengendapan batubara. Kandungan

sulfur dalam batubara, dapat terbentuk bersamaan dengan lapisan batubara

diendapkan yang disebut sulfur syngenetik atau sulfur yang terbentuk setelah

lapisan batubara diendapkan yang disebut sulfur epigenetik.

4.1.1.1.5. Interpretasi Lingkungan Pengendapan Batubara di Pit J

Identifikasi bermacam lingkungan pengendapan ditunjukkan oleh semua

komponen sistem pengendapan dan letak lapisan batubara pada lingkungan

pengendapan berdasarkan studi lingkungan pengendapan antara lain dengan

didukung data dari profil singkapan (struktur sedimen), pemboran, dan log

geofisika.
57

4.1.1.1.5.1. Hasil Analisis Elektrofasies di Pit J

Analisis elektrofasies mencerminkan variasi dalam satu suksesi ukuran besar

butir. Suatu suksesi ukuran besar butir tersebut menunjukkan perubahan energi

pengendapan. Tiap-tiap lingkungan pengendapan menghasilkan pola energi

pengendapan yang berbeda. Lingkungan pengendapan tidak dapat ditafsirkan

hanya berdasarkan suatu aspek fisik dari batuan saja. Oleh karena itu untuk

menganalisis lingkungan pengendapan harus ditinjau mengenai struktur sedimen,

ukuran butir (grain size), kandungan fosil, kandungan mineral, runtunan tegak dan

hubungan lateralnya,geometri serta distribusi batuannya.

Gambar 4.14 dan 4.15 merupakan hasil analisis lingkungan pengendapan

dengan mengikuti pola log dengan berdasarkan lingkungan pengendapan menurut

Horne, 1978.

Gambar 4.14. Model electrofasies dari analisis loging C20568A


58

Gambar 4.15. Model electrofasies dari analisis loging C26156B

Berdasarkan analisis elektrofasies, hasil logging ini di dominasi oleh bentuk

funnel dan bell bentuk ini diinterpretasikan sebagai lingkungan pengendapan

berupa delta plian. Menurut Horne, 1987, dan Catuneau, 2006 dapat diperkirakan

bahwa lingkungan pengendapan adalah lingkungan pengendapan Delta Plain.


59

Gambar 4.16 Lingkungan pengendapan daerah penelitian menurut Horne, 1987

4.1.1.1.5.2. Interpretasi Lingkungan Berdasarkan Analisis Struktur

Sedimen

Meskipun penentuan lingkungan pengendapan batubara menggunakan model

lingkungan pengendapan Horne, (1987) telah digunakan oleh beberapa peneliti

untuk menafsirkan lingkungan pengendapan batubara di daerah lain, tetapi metode

ini hanyalah sebuah interpretasi, sehingga perlu didukung data-data yang lain

untuk mendukung metode analisis ini. Salah satu data pendukung untuk

menentukan lingkungan pengendapan adalah berdasarkan ciri litologi batuan

pembawa batubara atau struktur sedimen dalam suatu urutan stratigrafi.

Di suatu lokasi singkapan lapisan batubara dijumpai struktur akresi lateral.

Akresi lateral merupakan indikator meandering channel, juga dapat menjadi

indikator pada braided channel (eg. Bluck, 1979; Ori, 1979, 1982; Allen, 1983;
60

Miall, 1992). Sebaran lapisan batubara menerus secara lateral, tetapi di beberapa

lokasi kemenerusan secara lateral terpotong channel. Hal lain ditunjukan dengan

keberadaan batupasir yang menghalus keatas ( fining upward ) dan kenampakan

batubara yang tebalnya dapat mencapai lebih dari 3 meter di daerah penelitian

Gambar 4.17. Struktur sedimen akresi lateral di Pit J yang merupakakan penciri
endapan fluvial

Berdasarkan profil litologi dari salah satu sumur pemboran (R20471), yang

menunjukkan kesebandingan litologi penyusunnya, dapat mendukung interpretasi

lingkungan pengendapan batubara. Berdasarkan litologi di daerah penelitian

diatas, yang terdiri atas perselingan batupasir dan batulanau / batulempung yang

merupakan ciri endapan sedimen lingkungan fluvial sampai upper delta plain.
61

Gambar 4.18. Kesebandingan model lingkungan lower delta plain (Horne, 1987)
dengan profil litologi sumur bor R20471.

Berdasarkan dari 2 (dua) model lingkungan pengendapan batubara diatas, maka

dapat diinterpretasikan lingkungan pengendapan batubara di daerah penelitian

berada pada kisaran lingkungan Fluvio Deltaik. Adanya lingkungan pengendapan

batubara yang berbeda pada daerah yang sama kemungkinan dipengaruhi oleh

kondisi geologi daerah tersebut. Perubahan lingkungan dari lower delta plain,

upper delta plain dan fluvial bisa disebabkan akibat episode pasang-surut air laut

secara bergantian atau proses tektonik berupa pengangkatan atau penurunan di

daerah tersebut.

4.1.1.2. Endapan Batubara di Lapangan Batubara Sangatta

Lapisan batubara di lapangan batubara sangatta terbagi menjadi 19 lapisan,

yang dari tua ke muda adalah paisn batubara prima (PR), Bintang (BN), Bintng 1

(B1), Bintang 2 (B2), Sangatta (SN), Midle (MD), Midle 1 (M1), Pinang (PN),

Pinang 1 (P1), Pinang 2 (P2), Pinang 3 (P3), Pinang 4 (P4), Pinang 5(P5), Pinang
62

6 (P6), Pinang 7 (P7), Mandili (MN), Mandili 1(MA), Keddapat (KD), Kedapat 1

( K1). Masing-masing lapisan batubara sudah ditambang dengan metode open pit.

Pit-pit yng menambang lapisan batubara diatas terbagi menjadi 7 pit, seperti yang

terlihat pada gambar 4.8 dibawah ini.

Gambar 4.19. Distribusi lapisan batuabara di lapangan sangatta (PT. KPC)

. Variasi ketebalan dan kualitas karakteristik batubara menunjukkan bahwa

lapisan batubara diendapkan di rawa gambut yang kondisi morfologi dan air

bervariasi pada skala lokal. Lapisan batubara yang tebal lebih seragam dari yang

tipis, di mana ketebalan menjadi lebih bervariasi. Atas dasar dari sedimentologi

dan geologi batubara, gambut sangatta dapat dikategorikan ke dalam 4 zona zona

yaitu barat, tengah, timur dan utara (Gambar 4.21). Karakteristik lapisan Sangatta

di masing-masing zona dirangkum dalam tabel (4.4).


63

Gambar 4.20. Model blok diagram yang menunjukan hubungan peat swamp
sangatta dengan lingkungan klastik

Gambar 4.21 Distribusi lapisan batubara Sangatta dan empat zona spasial di
lapangan batubara sangatta. Lokasi dari channel sandstone (1) dan zona major
washout (2) ditunjukkan pada peta. ( Nas, 1994)
64

4.1.1.2.1. Zona Barat

Dalam zona ini lapisan batubara Sangatta umumnya didasari oleh bioturbasi

silty mudstone yang massive (seat earth dengan jejak akar). Di beberapa tempat,

mudstone cukup tipis dan lapisan batubara langsung berada diatas channel tubuh

batupasir. Lapisan batubara sangatta adalah lapisan batubara yang paling tebal di

zona barat. Jauh dari pusat zona ini, di mana lapisan batubara yang tebal, splitting

yang biasa dipisahkan oleh sedimen overbank. Sedimen overbank adalah

penggambaran dari tipe endapan aluvial atau sediment yang terendapkan pada

floodplain di sungai. Biasanya endapan berbutir halus.

Pada tahap awal, gambut sangatta mungkin terbentuk di lingkungan air,

ditandai dengan kandungan sulfur rendah di bagian bawah lapisan batubara.

kandungan abu tinggi dan adanya parting shale di bagian bawah lapisan batubara

menandakan bahwa rawa sering dipengaruhi oleh banjir air berlumpur dari

channel di utara dan barat dari rawa gambut. Pada bagian tengah lapisan batubara,

kadar abu menurun secara drastis dan partings tidak hadir. Namun sepanjang

margin barat dari zona barat, kandungan abu tinggi dan banyak partings. Kadar

sulfur secara konsisten rendah dari bawah ke tengah lapisan. sulfur tinggi hanya

dicatat di bagian paling atas dari lapisan sebagai efek dari leaching kandungan

sulfur yang tinggi di lapisan batubara atasnya (lapisan batubara Tengah).

Seluruh lapisan batubara ditandai dengan beberapa krakteristik seperti

kandungan nitrogen yang rendah, rasio SiO / Al2O3 rendah, dan kandungan Ca-

Mg rendah. Petrologis batubara di zona barat ditandai dengan telovitrinite tinggi,


65

telinite dan vitrinit berasal dari kayu angiosperma dan detrovitrinite rendah dan

vitrinit berasal dari jaringan gabus. Vitrinit reflektan adalah rendah.

Analisis statistik dari lapisan batubara Sangatta di zona barat menunjukkan:

a. Distribusi normal unimodal untuk data ketebalan, menunjukkan kondisi

pengendapan reguler untuk batubara .

b. Keteraturan yang relatif tinggi dari data ketebalan (ditandai dengan tinggi

koefisien korelasi (R) dan signifikansi (F) dari analisis tren permukaan

c. Kesinambungan spasial tinggi dari data ketebalan (ditunjukkan dengan

tingginya range variogram.

d. Sifat Isotropi dari data ketebalan (ditunjukkan dengan variograms

directional).

e. variabilitas rendah dari data ketebalan (ditunjukkan dengan koefisien

variasi rendah yang diperoleh dari moving windows statistik dan rasio

nugget / sill rendah pada variogram).

f. variabilitas rendah dari data kadar abu dan belerang (yang diperoleh dari

moving windows).

4.1.1.2.2. Zona Pusat (Central Zone)

Splitting antara lapisan batubara sangatta dan tengah, mungkin disebabkan

oleh pataha tumbuh di bagian selatan dari lapangan batubara, yaitu perbatasan

antara zona barat dan tengah. Zona pusat menempati bagian dari pucak zona

sinklin Lembak. Elevasi dari zona puncak lebih rendah dari yang diperkirakan, hal

menunjukkan bahwa telah terjadi subsidence sebelum terlipat.


66

Di zona pusat, interseam antara lapisan batubara sangatta dan tengah

merupakan sedimen klastik yang tebal. Sedimentologi dari interval ini ditandai

oleh sedimen overbank. Tubuh pasir dalam interval ini diinterpretasikan sebagai

crevasse splay atau crevasse channel dan endapan distributary channel. Erosi

distributary channels merupakan bagian dari lapisan batubara sangatta. Di zona

ini, lapisan batubara sangatta, dicirikan terutama oleh lapisan berbutir halus

meskipun dalam beberapa lubang bor, juga dicatat sedimen kasar, tetapi relatif

tipis dan diinterpretasikan sebagai endapan crevasse (splay atau channel). Lapisan

batubara ini relatif tipis dan terjadi zona washout pada bagian atas lapisan

batubara dan juga terdapat patahan-patahan kecil. Parting batulempung hanya ada

di bagian paling atas dari lapisan di bagian timur zona ini.

Kandungan sulfur komposit adalah terendah di zona pusat dan meningkat ke

arah barat daya. Kenaikan ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan kadar

sulfur dibagian atas lapisan batubara. Kadar abu berkurang ke arah selatan.

Kandungan nitrogen dan CaMg , serta rasio SiO / Al2O3 tertinggi di zona ini.

Secara petrografi, batubara ini ditandai dengan konten detrovitrinite tertinggi dan

telovitrinite terendah dan telinite berasal dari kayu angiosperma. Peringkat

batubara adalah yang tertinggi di cekungan dan variabilitas vitrinit reflektan di

masing-masing sampel rendah.

Dari sudut pandang statistik, di zona pusat, lapisan batubara sangatta ditandai

oleh:

a. Distribusi ketebalan bimodal

b. Keteraturan ketebalan rendah


67

c. Kesinambungan spasial rendah (ditunjukkan dengan nilai range rendah)

d. Variabilitas spasial tinggi (ditunjukkan dengan koefisien variasi besar,

berdasarkan hasil statistik moving windows dan tinggi rasio nugget / sill

dari variogram)

e. Anisotropi yang kuat untuk distribusi spasial ketebalan

f. Variabilitas spasial tinggi untuk kadar abu

4.1.1.2.3. Zona Timur

Di zona ini, lapisan batubara Sangatta dicirikan oleh endapan levee yang tebal

dengan tubuh channel batu pasir terdapat di bawah endapan levee tersebut.

Interval lapisan batubara klastik sangatta-tengah terutama terdiri dari fine-grained

sedimen overbank dan skala kecil channel tubuh batu pasir. Washouts (Beberapa

diisi dengan pasir dan beberapa diisi dengan silts) adalah sering dijumpai di atas

lapisan. Patahan (beberapa patahan tumbuh) juga umum. Parting batu lempung

yang bervariasi dalam ketebalan juga terliht. Pada bagian timur, ketebalan

lapisan batubara berkurang dan lapisan batubara terbagi menjadi beberapa lapisan

batubara di mana intensitas dan ketebalan parting meningkat dengan cepat.

Lapisan batubara ini ditandai dengan kadar abu tertinggi, kandungan sulfur

rendah, konten nitrogen moderat, rasio Si02 / Al203 tinggi dan rendah kandungan

Mg. Kandungan sulfur secara konsisten rendah dari atap ke lantai lapisan

batubara. Secara petrografi, batubara di zona ini memiliki telovitrinite dan

detrovitrinite moderat. Secara statistik, lapisan batubara ini ditandai dengan:

a. Distribusi ketebalan bimodal

b. Keteraturan ketebalan rendah


68

c. Kesinambungan spasial ketebalan rendah.

d. Anisotropi distribusi spasial ketebalan.

e. Variabilitas ketebalan tinggi (ditunjukkan dengan koefisien variasi rendah,

diperoleh dari statistik moving window dan rasio nugget / sill rendah).

f. variabilitas yang tinggi dari kedua hasil abu dan sulfur (diperoleh dari

statistik moving window).

4.1.1.2.4. Zona Utara

Di zona ini, lapisan batubara sangatta didasari oleh endapan overbank yang

umumnya terkait dengan endapan channel ( fluvial ), di mana proporsi batu pasir

adalah relatif tinggi. Interval klastik antara lapisan sangatta dan lapisan batubara

tengah terdiri endapan channel dan overbank. Zona leacing ditemukan di bagian

atas lapisan batubara dan intensitas parting meningkat menuju utara dan selatan.

Beberapa patahan (mungkin berupa patahan tumbuh) juga terjadi. Dari pusat zona

utara, kadar abu meningkat baik ke utara dan selatan, namun kadar sulfur rendah

dan secara konsisten rendah dari atas ke bawah lapisan batubara.

Secara petrografi, batubara memiliki telovitrinite dan telinite tinggi berasal dari

angiosperma. Secara statistik, lapisan batubara sangatta ditandai dengan:

a. Distribusi ketebalan unimodal

b. Keteraturan ketebalan tinggi

c. Kontinuitas ketebalan spasial tinggi

d. Isotropi

e. variabilitas spasial ketebalan rendah.


69

4.1.1.2.5. Geometri Lapisan Batubara

Lapisan batubara sangatta adalah salah satu dari lapisan yang paling banyak

didistribusikan di lapangan batubara Sangatta. Lapisan ini merupakan bagian

utama dari splitting lapisan batubara sangatta di mana lapisan batubara sangatta di

daerah barat spilt ke arah timur menjadi 2 lapisan yaitu lapisan batubara sangatta

bawah (lower sangatta) dan lapisan batubara sangatta tengah/atas. Lapisan

batubara sangatta memanjang di atas bagian selatan dan utara lapangan batubara

Sangatta dan beberapa menerus sampai bagian timur dari lapangan batubara

Melawan. Kenampakan ini terlihat sepanjang bagian timr dan selatan sayap

sinklin Lembak dimana membentuk singkapan berbentuk huruf J (gambar 4.21).

Bentukan huruf J dikendalikan oleh sinklin lembak dan perubahan facies. Pada

bagian barat laut, lapisan batubara tidak berkembang dengan baik karena

dominasi oleh facies klastik.

Pada lapangan batubara sangatta, di fluvio-delta diendapkan lapisan batubara

sangatta, yang merupakan batubara ekonomis. Di bawah lapisan batubara

Sangatta, terdiri pasir, batulanau, batulempung dan batubara dengan proporsi

dari batu pasir m sekitar 30 persen. Beberapa lapisan batubara, seperti lapisan

batubara Prima, Bintang dan B2 adalah lapisan batubara yang tebal, terkait

dengan proses pembentukannya. Dalam posisi stratigrafi yang sama di daerah

Melawan (bagian barat dari lapangan batubara sangatta), proporsi batupasir agak

lebih besar (60%) dengan ketebalan lapisan batubara lebih tipis (Kaltim Prima

Coal, pers. comm., 1992).


70

Di atas lapisan batubara sangatta terdapat interval batuan sedimen klastik yang

didominasi oleh sedimen berbutir halus. Interval ini ditandai dengan terjadinya

lapisan batubara tebal seperti tengah lapisan batubara sangatta, lapisan batubara

M1, Pinang, PI, P2, P3, P4, P5, P6, Mandilli dan lapisan batubara Kerdapat

(Gambar 4.22).

Gambar 4.22. Korelasi litologi dan lapisan batubara dari lubang bor ( Nas,1994)

Pada gambar A, ketebalan lapisan batubara sangatta berada di bagian barat,

kemudian mengalami splitting kearah timur, menjadikan lapisan batubarnya

menjadi 2 (dua), yaitu lapisan batubara sangatta tengah (midle) atau disebut

(upper split) dan lapisan sangatta bawah (lower split). Pada gambar B,

kemiringan lapisan batubara sangatta berubah curam. Channel tubuh batupasir

diatas lapisan batubara sangatta terlihat dibagian barat dan tengah penampang.
71

Channel tubuh batupasir yang lebih kecil terlihat pada bagian tengah lapisan

batubara sangatta di bagian timur penampang.

Gambar 4.23. Korelasi litologi dan lapisan batubara dari lubang bor menunjukkan
perubahan lateral facies dalam interval klastik.
72

Gambar (A) menunjukkan tubuh channel sand mengubah endapan overbank di

interval lapisan batubara sangatta-B2 di barat daya. Interval lapisan batubara

sangatta-B2 menipis ke timur laut. Lapisan batubara sangatta adalah yang paling

tebal di tengah dan splitting ke arah timur laut. Penampang dibuat tegak lurus

dengan trend paleocurrent regional. Gambar (B) menunjukkan tubuh saluran

pasir berada diantara lapisan batubara sangatta dan M1. Facies berubah dari

overbank splay sampai floodplain fine deposits yang terlihat di atas lapisan

batubara sangatta. Lapisan batubara sangatta adalah unsplit. Gambar (C)

menunjukkan tubuh channel sand menebal di atas lapisan batubara Pinang di laut

dan lebih tipis di interval Sangatta-Pinang di tenggara. Penampang ini subparallel

dengan trend palaeocurrent regional.

Pemahaman tentang geometri lapisan batubara sangatta melibatkan identifikasi

roof dan floor lapisan batubara, variasi ketebalan lapisan batubara, struktur dan

morfologi lapisan batubara, pengembangan vertikal lapisan batubara, distribusi

dirt band dan profil kualitas lapisan batubara. Penelitian ini difasilitasi oleh

berbagai log geofisika, log litologi, sampel kualitas data dan pengamatan

singkapan. Tujuannya adalah untuk memahami geometri lapisan batubara sangatta

dalam kaitannya dengan lingkungan pengendapan dan selanjutnya dapat

memberikan model berguna untuk analisa geostatistik.


73

Tabel 4.4. Karakteristik lapisan batubara sangatta pada keempat zona ( Nas,
1994)

Barat Tengah Timur Utara

Penampang

Sedimentologi  Dibawah lapisan  Dibawah  Dibawah Dibawah lapisan


batubara terdapat lapisan lapisan batubara batubara terdapat
batupasir dengan batubara terdapat endapan channel
struktur menghalus terdapat sedimen dan overbank
keatas (fining sedimen overbank
upward) overbank termasuk Dibagian atas
 Dibagian atas  Dibagian atas endapan
lapisan batubara
lapisan batubara, lapisan crevasse splay
kebanyakan berupa batubara, dan channel terdapat
endapan overbank, berupa batupasir endapan over
yang mengisi parting endapan  Dibagian atas bank dan
antara lapisan overbank , lapisan endapan channel
batubara sangatta termasuk batubara,
dan lapisan batubara endapan terdapat (dengan wash
midle. crevasse splay endapan out)
dan channel channel dan
batupasir overbank
 Merupakan
lapisan
batubara
sangatta-midle
yang tebal
Geometri  Tebal, tidak ada  Spliting pada  Splitting kearah  Intensitas
Lapisan parting dibagian bagian bawah timur dengan parting
Batubara tengah dari lapisan kenampakan bertambah
 Split dibagian timur batubara banyak parting kearah utara
pada batas zona ini sangatta  Ketebalan dan selatan
 Tidak ada struktur  Parting parting  Patahan pada
yang signifikan pada dibagian bertambah lapisan
lapisan batubara bawah lapisan dengan cepat batubara
batubara kearah timur
 Ada wash out  Ada wash out
 Patahan terisi batupasir
dengan  Patahan dengan
kenampakan kenampakan
slickenside slickenside
Petrologi High telovitrinite, Low Moderate Moderate
Batubara telinite, low vitrinite telovitrinite, telovitrinite, telovitrinite,
reflectan telinite, high telinite, dan telinite, dan
vitrinite
74

reflectan vitrinite reflectan vitrinite reflectan

Geokimia rendah kadar abu dan moderate kadar Tinggi kadar abu sulfur rendah
sulfur, Mg, rasio abu dan sulfur dan rendah sulfur,
Si02/Al2O3, nitogen rendah , Tinggi moderate
Mg, rasio kandungan
Si02/Al2O3, nitogen , dan
kandungan rendah Mg, rasio
nitogen Si02/Al2O3

Parameter  Distribusi ketebalan  Distribusi  Distribusi  Distribusi


Statistik unimodal ketebalan ketebalan ketebalan
 Ketebalan teratur bimodal bimodal unimodal
 Kontinuitas  Keteraturan  Keteraturan  Keteraturan
ketebalan tinggi lapisan ketebalan ketebalan
 Distribusi ketebalan batubara lapisan batubara lapisan
isotropik rendah rendah batubara tinggi
 Variability ketebalan  Kontinuitas  Kontinuitas  Kontinuitas
rendah spasial rendah ketebalan ketebalan
 Variability kadar abu  Distribusi rendah tinggi
rendah ketebalan  Distribusi  Distribusi
anisotropik ketebalan ketebalan
 Variability anisotropik isotropik
ketebalan  Variability  Variability
tinggi ketebalan tinggi ketebalan
 Variability  Variability rendah
kadar abu kadar abu tinggi  Variability
tinggi
Interpretasi Bagian yang paling Pada tahap awal Batas bagian Batas bagian
stabil dari suatu raise sebagai pusat timur dari raise utara dari raise
bog raise bog, lalu bog bog
berhenti dengan
cepat
75

Gambar 4.24 Penampang karakteristik lapisan batubara sangatta pada ketiga zona
( Nas, 1994)

4.1.1.2.6. Kualitas Lapisan Batubara Sangatta ( Nas, 1994)

Geometri lapisan, dalam banyak kasus, tercermin dari sifat kimia batubara

(Ferm dan Staub, 1984; Esterle dan Ferm, 1986; Cohen et al, 1987). Bagian ini

mendokumentasikan variasi vertikal dan lateral properti kimia batubara dan

hubungan properti ini untuk geometri lapisan batubara sangatta. Penelitian ini

didasarkan pada analisis data banyak dari 1531 sampel ply batubara.

4.1.1.2.6.1. Kadar Sulfur

Sampel yang diambil dari sampel ply batubara dan dianalisis untuk kandungan

sulfur. Pola sulfur rendah sesuai dengan data adalah pada bagian utara dan timur

selatan lapangan batubara sangatta. Nilai-nilai yang rendah konsisten dari bawah
76

ke atas lapisan dengan kandungan sulfur dalam sampel komposit di ini daerah

juga rendah, biasanya kurang dari 1%. Ini adalah khas untuk batubara yang

berasal dari gambut air tawar dengan kondisi yang sangat asam dan tanpa

pengaruh air payau (Casagrande et al, 1977; Price dan Casagrande, 1991). Kearah

selatan pola secara bertahap berubah, kandungan sulfur menjadi cukup tinggi.

Dalam pola ini hanya sampel paling atas dari lapisan Sangatta memiliki

kandungan sulfur yang tinggi. Ini mungkin hasil dari pengaruh air payau

epigenetic pada akhir akumulasi gambut, seperti tercantum dalam contoh lain oleh

Diessel (1992). Air payau dipengaruhi hanya bagian atas lapisan batubara.

Sepanjang margin selatan daerah penelitian kandungan sulfur biasanya lebih

tinggi, baik di bagian atas dan bawah lapisan batubara. Meskipun pengaruh tinggi

kandungan sulfur juga telah meluas ke tengah lapisan batubara, pada bagian ini

masih dalam batas kategori sulfur rendah karena nilai-nilai biasanya kurang dari

1%. Kandungan sulfur yang tinggi di bagian bawah lapisan batubara

menunjukkan bahwa gambut, pada tahap awal pembangunan, itu dipengaruhi oleh

air payau. Selama periode akumulasi gambut paling intensif, bagaimanapun,

permukaan gambut mungkin sedikit ditinggikan, sehingga efek kurang dari air

payau di bagian tengah lapisan batubara. Tapi, selama akumulasi dari atas bagian

dari lapisan batubara, daerah itu lagi mungkin dipengaruhi oleh air payau. Jadi,

fluktuasi ketinggian relatif dari permukaan gambut sehubungan dengan pengaruh

laut mungkin terjadi di bagian rawa gambut sangatta. Dapat juga, struktur seperti

patahan atau cleat di lapisan batubara mungkin telah meninggikan konsentrasi

sulfur di bagian bawah lapisan batubara. Sebuah zona sempit dengan sulfur tinggi
77

(data dari sampel komposit), terletak di dekat Patahan Villa dibagian selatan dari

lapangan batubara sangatta, mendukung hipotesis ini.

Di bagian barat dari lapangan batubara sangatta, di mana lapisan batubara

tengah menyatu dengan bagian atas lapisan sangatta, sulfur tinggi hanya diamati

di bagian lapisan batubara Tengah. Karena pengaruh dari kandungan sulfur yang

tinggi di lapisan batubara tengah.

4.1.1.2.6.2. Kadar Abu (Ash Content)

Pengembangan vertikal yield abu sebanding dengan distribusi parting batuan

klastik dalam lapisan batubara. Lima pola abu yang ada di lapangan batubara

sangatta adalah :

a. Batubara bersih (clean coal). Ini adalah ciri khas untuk lapisan batubara

sangatta di bagian barat, tengah dan utara dari lapangan batubara tersebut.

Di daerah ini parting klastik biasanya tidak hadir di lapisan batubara.

b. Kadar abu yang dipengaruhi elevasi. Hal ini yang khas untuk lapisan

batubara sangatta di bagian timur daerah penelitian, menunjukkan rawa

banjir tidak stabil pada tahap awal akumulasi gambut. Gangguan mungkin

berasal dari saluran fluvial klastik.

c. Peningkatan kadar abu, tapi hanya di bagian atas lapisan batubara di area

selatan dan tengah lapangan batuabara. Bentuk ini dipengaruhi oleh bentuk

sistem fluvial yang sebanding dengan akumulasi bagian atas gambut.

d. Kadar abu tinggi pada lapisan bawah dan atas batubara. Akumulasi gambut

mungkin dimulai dan berakhir di dataran rendah berlumpur dalam kondisi

endapan danau.
78

e. Peningkatan abu di seluruh lapisan (batubara kotor). Dalam situasi ini

lapisan batubara sangatta mungkin diendapkan dekat dengan sedimentasi

klastik aktif yang berpusat di channel fluvial. Ini adalah ciri khas untuk

lapisan batubara sangatta di bagian timur dan jauh di bagian utara lapangan

batubara sangatta.

4.1.1.2.6.3. Nilai Kalor dan Zat Terbang (Volatil Matter)

Kecenderungan nilai kalor biasanya kebalikan dari volatile matter. Namun,

dalam beberapa kasus, terutama di bagian atas lapisan batubara, yang nilai kalor

dan volatile matter mempunyai kecenderungan yang sama. Banyak bagian

mengindikasikan penurunan nilai kalori dan peningkatan materi volatile. Rincian

petrografi dari lapisan di Sangatta lapisan batubara tidak menunjukkan

peningkatan yang signifikan dalam konten liptinite ke arah atas lapisan batubara,

menunjukkan bahwa ini bukan maseral liptinite.

Dengan demikian hipotesis alternatif diperlukan. Air payau di bagian atas

lapisan batubara mungkin telah menyebabkan hubungan ini. Hal ini diketahui

bahwa air payau, dalam banyak kasus, akan meningkatkan kandungan hidrogen

dari batubara (Diessel, 1992; Davis, 1992). Dalam beberapa bagian terlihat

kenaikan nilai kalor dan penurunan volatile matter ke arah atas lapisan batubara.

Ini mungkin telah dihasilkan dari interaksi yang kompleks sifat batubara,

termasuk komposisi maseral dan tingkat pembatubaraan Ini adalah khas untuk

lapisan batubara sangatta di bagian selatan-tengah lapangan batubara sangatta.


79

4.1.1.2.7. Lingkungan Pengendapan Batubara Lapangan Sangatta

Lapisan batubara sangatta seperti yang sudah dibahas di bab sebelumnya

diendapkan pada dataran banjir dari sistem fluvial. Untuk membuktikannya

dilakukan bebarapa analisa. Dalam menganalisis lingkungan pengendapan harus

ditinjau mengenai struktur sedimen, ukuran butir (grain size), kandungan fosil,

kandungan mineral, runtunan tegak dan hubungan lateralnya,geometri serta

distribusi batuannya. Disamping itu analisis berdasarkan log geofisika jug sangat

membantu dalam menganalisis lingkungan pengendapan. Berikut dibawah ini

beberapa hasil nalisis yang menunjang penarikan kesimpulan lingkungan

pengendapan batubara sangatta. Gambar 4.25 merupakan hasil analisis

lingkungan pengendapan dengan mengikuti pola log geofisika, sedangkan gambar

dan 4.26 merupakan hasil analisis struktur sedimen pada singkapan.

Gambar 4.25. Litologi dan log geofisika dari lubang bor C3486 yang
menunjukkan channel pasir tebal antara laisan batubara sangatta dan B2 (Nas,
1994)
80

Gambar 4.26. Sebuah sekuen channel batupasir di bagian bawah ( dengan struktur
alresi lateral di bagian atas), endpan rawa ( dengan lapisan batubara) dibagian
atas. Photo diambil di selatan area, lebih kurang 50 m barat TD-3, lapangan
batubara sangatta.

4.1.2. Hasil Analisis Statistik dan Geostatistik

Analisis statistik memiliki beberapa parameter yang didapat dari hasil

pengukuran langsung di lapangan dan hasil analisa laboratorium dan dievaluasi

secara sistematis variasi spasial setiap parameternya. Hal ini juga akan menjadi

bahan re-evaluasi hubungan spasial antara semua parameter dengan kenyataan

lapangan. Ada tahapan dasar ketika membuat model geologi untuk menjelaskan

distribusi spasial dan variasi parameter ketebalan serta kualitas batubara. Sebagian

besar analisis statistik dalam penelitian ini menggunakan data PT. Kaltim Prima

Coal dan PT. Bukit Asam. Data beupa data lubang bor termasuk koordinat,

elevasi dan semua parameter batubara.

Dalam bab ini akan mendeskripsikan proses analisa statistik data parameter

batubara seperti ketebalan, kadar abu, kadar sulfur dan calorific value. Deskripsi
81

dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu pengambilan data, preparasi data dan analisis

statistik. Analisis geostatistik dilakukan untuk lapisan batubara batubara di lokasi

lapangan Sanggatta, PIT J dan Tanjung Enim. Untuk lapangan Sanggatta, lapisan

batubara yang diamati adalah lapisan batubara sangatta, sedangkan untuk PIT J

hanya dibatasi untuk 2 lapisan batubara batubara, yaitu Lapisan batubara BE dan

Lapisan batubara NM. Disamping kedua lokasi tersebut diatas, penulis juga

mencantumkan analisis lapisan batubara di daerah Tanjung Enim, Sumatera

Selatan, tepatnya di lokasi tambang PT. Batubara Bukit Asam, yaitu lapisan

batubara A1. Untuk lapisan batubara A1 ini hanya digunakan untuk

membandingkan kondisi geologi batubara di cekungan Sumatera Selatan dan

Cekungan Kutai.

4.1.2.1. Pengambilan dan Preparasi Data

Dalam penentuan perhitungan geostatistik data pemboran adalah data mutlak

yang diperlukan, karena data pemboran merupakan perwakilan batuan yang

berada dibawah permukaan bumi. Data-data yang digunakan dalam melakukan

penelitian ini akan di jelaskan pada subbab berikut.

4.1.2.1.1. Data Pemboran PIT J

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data dari hasil pengeboran

eksplorasi sebanyak 1.019 lubang bor, dimana yang digunakan dalam

perhitungan geostatistik hanya titik bor yang memiliki data lengkap, baik

ketebalan dan kulitasnya. Data hasil pengeboran terdiri dari:

1. Data kordinat Easting (X)


82

2. Data kordinat Northing (Y)

3. Data Elevasi (Z)

4. Top Batubara

5. Bottom Batubara

6. Tebal Batubara

7. Kualitas Batubara

Ketujuh variabel diatas yang digunakan dalam menjalankan perhitungan

statistik dan geostatistik. Data bor yang diambil berjumlah 1.019 lubang, dengan

spasi lubang bor rata-rata 100 meter, yang terbagi menjadi full coring, touch

coring dan open hole. Kombinasi data bor (lubang bor) mengandung data

ketebalan, kualitas, koordinat (x,y), collar dan kedalaman top dan bottom batubara

untuk setiap lubang bor. Elevasi lapisan batubara batubara dihitung dari collar dan

kedalaman. Data lubang bor 236 lubang bor membuktikan ketebalan batubara

lapisan batubara NM dan data lubang bor 522 lubang bor membuktikan ketebalan

lapisan batubara BE.

4.1.2.1.2. Peta Lokasi Titik Bor di PIT J

Area PIT J telah dilakukan pemetaan topografi detil dengan skala 1 : 10.000.

Lokasi titik bor menyebar di seluruh area PIT J. Dalam penelitian ini pengamatan

dan analisis dilakukan dengan membagi area PIT J menjadi 2 ( dua) bagian, yaitu

bagian utara dan bagian selatan, yang mana keduanya dibatasai oleh suatu patahan

mayor yaitu patahan/sesar Villa, dimana berdasarkan kenampakan geologi antara

kedua area berbeda ( peta lihat lampiran)


83

4.1.2.2. Hasil Analisis Statistik Dasar

Statistika deskriptif adalah bagian dari statistika yang mempelajari alat, teknik,

atau prosedur yang digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan

kumpulan data atau hasil pengamatan yang telah dilakukan. Kegiatan-kegiatan

tersebut antara lain adalah kegiatan pengumpulan data, pengelompokkan data,

penentuan nilai dan fungsi statistik, serta pembuatan grafik, diagram dan gambar.

Statistika deskriptif ini merupakan metode-metode yang berkaitan dengan

pengumpulan, peringkasan, dan penyajian suatu data sehingga memberikan

informasi yang berguna dan juga menatanya ke dalam bentuk yang siap untuk

dianalisis. Dalam fase ini dibahas mengenai ukuran-ukuran statistik seperti ukuran

pusat, ukuran sebaran, dan ukuran lokasi dari persebaran / distribusi data.

Adapun analisis statistika deskriptif ini memiliki tujuan untuk memberikan

gambaran (deskripsi) mengenai suatu data agar data yang tersaji menjadi mudah

dipahami dan informatif bagiorang yang membacanya. Statistika deskriptif

menjelaskan berbagai karakteristik data seperti rata-rata (mean), jumlah (sum)

simpangan baku (standard deviation), varians (variance), rentang (range), nilai

minimum, maximum, skewness, kurtosis dan koefisien variasi dari data yang ada.

4.1.2.2.1. Hasil Analisis Statistik dan Geostatistik Ketebalan Lapisan dan

Kualitas Batubara di PIT J

Analisis statistik dasar atau statistik deskriptif dilakukan untuk parameter

ketebalan lapisan batubara, dan parameter kualitas batubara meliputi kadar abu,

kadar sulfur dan nilai kalori.


84

4.1.2.2.1.1. Statistik Deskriptif Ketebalan Seam BE Utara

Gambar 4.27 Histogram dan probability plot ketebalan seam BE utara


85

Berdasarkan hasil histogram terlihat bahwa ada penyebaran yang tidak normal

pada ketebalan lapisan seam BE Utara, dan pada probability plot menggambarkan

penyebaran data masih 1 populasi dan sedikit tidak normal yaitu terletak pada

beberapa data yang kemenerusannya jauh. Maka berdasarkan dari hasil histogram

dan Probability Plot dilihat nilai statstik deskriptifnya sebagai berikut

Tabel 4.5 Statistik deskriptif ketebalan seam BE utara

Ketebalan

Mean 1,06

Median 0,86

Mode 0,60

Standard Deviation 0,83

Sample Variance 0,69

Kurtosis 7,06

Skewness 2,42

Range 5,05

Maksimum 5,16

Minimum 0,11

Sum 121,21

Cont 114

CoV 0,78
86

Berdasarkan hasil statistik deskriptif data ketebalan sebanyak 114 data dengan

nilai rata-rata ketebalan 1 meter. Penyebaran datanya memilikini nilai skewness

positif dan data ini memiliki tingkat variasi yang tinggi.

4.1.2.2.1.2. Eksperimental Dan Pemodelan Variogram Seam BE Utara

Gambar 4.28 Eksperimental variogram ketebalan seam BE utara

Pada pembuatan eksperimental variogram denggan Try and Error maka

didapatkan eksperimental variogram yang dapat dimodelkan dengan nilai Lag

Spacing 30 dan Lag Tolerance 10. Eksperimental variogram kemudian

dimodelkan untuk melihat bentuk variogramnya dengan hasil sebagai berikut.

Gambar 4.29 Model variogram ketebalan seam BE utara


87

Berdasarkan hasil permodelan maka didapatkan nilai range 151,2 , sill 0.658, dan

Nugget Effect sebesar 0.04.

4.1.2.2.1.3. Kriging Ketebalan Seam BE Utara

Dari data variogram maka dibuat perhitungan dengan metode Kriging yang

akan digunakan untuk klasifikasi dan estimasi sumberdaya.

(a)

(b)

Gambar 4.30. Hasil perhitungan kriging ketebalan pada lapisan Seam BE utara
(a) Block Kriging (b) Kriging Variance
88

4.1.2.2.1.4. Klasifikasi Sumberdaya Batubara Seam BE Utara

Berdasakan dari perhitungan Kriging maka klasifikasi sumberdaya dapat

dilakukan dengan metode RKSD dengan mengubah parameternya menjadi <0.3

Measured , 0.3-0,5 Indicated, >0,5 Inferred.

Tabel 4.6 Hasil klasifikasi sumberdaya seam BE utara

Berdasarkan hasil, klasifikasi sumberdaya di Seam BE Utara lebih dominan

sumberdaya inferred dengan sedikit sumberdaya indicated yang menandakan

jarak antar lubang bor pada Seam BE utara bisa dirapatkan

4.1.2.2.1.5. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan Variogram

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan Variogram

dapat dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3
89

sill dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya

menjadi inferred,indicated, atau measured.

Gambar 4.31 Penentuan klasifikasi sumberdaya batubara dan jarak lubang bor

Berdasarkan data dilapangan jarak rata-rata lubang bor pada seam BE Utara

adalah 131 meter. Jarak 1/3 Sill didapatkan nilai 50 meter , jarak 2/3 sill

didapatkan nilai 80 meter, jarak 3/3 sill didapatkan nilai 151 meter

4.1.2.2.1.6. Statistik Deskriptif Ketebalan Seam NM Utara

Data ketebalan lapisan batubara NU utara dibauat histogram dan grafik

probability. Hasil histogram terlihat bahwa ada penyebaran yang tidak normal

pada ketebalan lapisan seam NM Utara, dan pada probability plot

menggambarkan penyebaran data masih dalam 1 populasi tetapi memiliki variasi.


90

Gambar 4.32 Histogram dan probability plot ketebalan seam NM utara


91

Maka berdasarkan dari hasil histogram dan Probability Plot dilihat nilai

statstik deskriptifnya sebagai berikut

Tabel 4.7. Statistik deskriptif ketebalan seam NM utara

Ketebalan

Mean 0.47

Median 0.40

Mode 0.38

Standard Deviation 0.17

Sample Variance 0.03

Kurtosis 1.73

Skewness 1.52

Range 0.70

Minimum 0.30

Maximum 1.00

Sum 19.20

Count 41.00

CoV 0.36

Berdasarkan hasil statistik deskriptif data ketebalan sebanyak 41 data dengan

nilai rata-rata ketebalan 0.47 meter, standar deviasi 0,17. Penyebaran datanya

memilikini nilai skewness positif dan data ini memiliki tingkat variasi yang

rendah.
92

4.1.2.2.1.7. Eksperimental Dan Pemodelan Variogram Seam NM Utara

Gambar 4.33 Eksperimental variogram ketebalan seam NM utara

Pada pembuatan eksperimental variogram denggan Try and Error maka

didapatkan eksperimental variogram yang dapat dimodelkan dengan nilai Lag

Spacing 50 dan Lag Tolerance 10. Eksperimental variogram kemudian

dimodelkan untuk melihat bentuk variogramnya dengan hasil sebagai berikut.

Gambar 4.34 Model variogram ketebalan seam NM utara

Berdasarkan hasil permodelan maka didapatkan nilai range 249,9 , sill 0.0276,

dan Nugget Effect sebesar 0.0009.


93

4.1.2.2.1.8. Kriging Ketebalan Seam NM Utara

Dari data variogram maka dibuat perhitungan dengan metode Kriging yang

akan digunakan untuk klasifikasi dan estimasi sumberdaya.

(a)

(b)
Gambar 4.35 Hasil perhitungan kriging ketebalan pada lapisan seam NM utara
(b) Block Kriging (b) Kriging Variance
94

4.1.2.2.1.9. Klasifikasi Sumberdaya Batubara Seam NM Utara

Berdasakan dari perhitungan Kriging maka klasifikasi sumberdaya dapat

dilakukan dengan metode RKSD dengan mengubah parameternya menjadi <0.3

Measured , 0.3-0,5 Indicated, >0,5 Inferred. Hasil perhitungan yang didapat

menghasilkan klasifikasi sumberdaya batubara inferred, indicated dan measure .

Tabel 4.8. Hasil klasifikasi sumberdaya batubara seam NM utara

Berdasarkan hasil, klasifikasi sumberdaya di Seam NM Utara lebih dominan

sumberdaya tereka ( inferred ) dengan sedikit sumberdaya tertunjuk ( indicated )

dan terukur (measured) yang menandakan jarak antar lubang bor pada Seam NM

utara harus dirapatkan jika ingin mendapatkan sumberdaya terukur..


95

4.1.2.2.1.10. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan Variogram

dapat dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3

sill dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya

menjadi inferred,indicated, atau measured.

Gambar 4.36 Penentuan klasifikasi sumberdaya dan jarak lubang bor

Berdasarkan data dilapangan jarak rata-rata lubang bor pada seam NM Utara

adalah 123 meter. Jarak 1/3 Sill didapatkan nilai 60 meter , jarak 2/3 sill

didapatkan nilai 120 meter , jarak 3/3 sill didapatkan nilai 250 meter
96

4.1.2.2.1.11. Statistik Deskriptif Ketebalan Seam BE Selatan

Gambar 4.37. Histogram dan probability plot ketebalan seam BE selatan


97

Berdasarkan hasil histogram terlihat bahwa ada penyebaran yang normal pada

ketebalan lapisan Seam BE Selatan, dan pada probability plot menggambarkan

penyebaran data masih dalam 1 populasi tetapi memiliki variasi. Maka

berdasarkan dari hasil histogram dan Probability Plot dilihat nilai statstik

deskriptifnya sebagai berikut

Tabel 4.9 Statistik deskriptif ketebalan seam BE selatan

Ketebalan

Mean 2.79

Median 2.90

Mode 3.20

Standard Deviation 0.77

Sample Variance 0.59

Kurtosis 6.12

Skewness 0.42

Range 7.77

Minimum 0.37

Maximum 8.14

Sum 1455.10

Count 522.00

CoV 0.28

Berdasarkan hasil statistik deskriptif data ketebalan sebanyak 522 data dengan

nilai rata-rata ketebalan 2.79 meter dan standar deviasi 0,77. Penyebaran datanya

memilikini nilai skewness positif dan data ini memiliki tingkat variasi yang rendah
98

4.1.2.2.1.12. Eksperimental Dan Pemodelan Variogram Ketebalan Seam BE

Selatan

Gambar 4.38. Eksperimental variogram ketebalan seam BE selatan

Pada pembuatan eksperimental variogram denggan Try and Error maka

didapatkan eksperimental variogram yang dapat dimodelkan dengan nilai Lag

Spacing 110 dan Lag Tolerance 15. Eksperimental variogram kemudian

dimodelkan untuk melihat bentuk variogramnya dengan hasil sebagai berikut.

Gambar 4.39 Model variogram ketebalan seam BE selatan

Berdasarkan hasil permodelan maka didapatkan nilai range 209 , sill 0.16, dan

Nugget Effect sebesar 0.26


99

4.1.2.2.1.13. Kriging Ketebalan Seam BE Selatan

Dari data variogram maka dibuat perhitungan dengan metode Kriging yang

akan digunakan untuk klasifikasi dan estimasi sumberdaya.

(a)

(b)

Gambar 4.40 Hasil perhitungan kriging ketebalan pada lapisan seam BE selatan

(a) Block Kriging (b) Kriging Variance


100

4.1.2.2.1.14. Klasifikasi Sumberdaya Batubara Seam BE Selatan

Berdasakan dari perhitungan Kriging maka klasifikasi sumberdaya dapat

dilakukan dengan metode RKSD dengan mengubah parameternya menjadi <0.3

Measured , 0,3-0.5Indicated, >0,5 Inferred. Hasil perhitungan RKSD dapat dilihat

contohnya pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.10 Hasil klasifikasi sumberdaya seam BE selatan

Berdasarkan hasil, klasifikasi sumberdaya di Seam BE Selatan lebih dominan

sumberdaya Measured dengan sedikit sumberdaya indicated dan inferred . Hal ini

mengidikasikan jarak lubang bor sudah sesuai.


101

4.1.2.2.1.15. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan Variogram

dapat dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3

sill dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya

menjadi inferred,indicated, atau measured.

Gambar 4.41. Penentuan klasifikasi sumberdaya dan jarak lubang bor berdasarkan

analisis variogram

Berdasarkan data dilapangan jarak rata-rata lubang bor pada seam BE

Selatan adalah 126 meter. Jarak 1/3 Sill didapatkan nilai 60 meter , jarak 2/3 sill

didapatkan nilai 122 meter , jarak 3/3 sill didapatkan nilai 210 meter
102

4.1.2.2.1.16. Statistik Deskriptif Ketebalan Seam NM Selatan

Gambar 4.42. Histogram dan probability plot ketebalan seam NM selatan

Berdasarkan hasil histogram terlihat bahwa penyebaran yang normal pada

ketebalan lapisan seam NM Selatan, dan pada probability plot menggambarkan

penyebaran data masih dalam 1 populasi , memiliki cukup variasi dan penyebaran

data normal. Maka berdasarkan dari hasil histogram dan Probability Plot dilihat

nilai statstik deskriptifnya sebagai berikut.


103

Tabel 4.11. Statistik deskriptif ketebalan seam NM selatan

Tebal
Mean 5.17
Standard Error 0.13
Median 5.12
Mode 3.36
Standard Deviation 2.01
Sample Variance 4.02
Kurtosis 0.71
Skewness 0.15
Range 12.81
Minimum 0.24
Maximum 13.05
Sum 1220.01
Count 236.00
CoV 0.39

Berdasarkan hasil statistik deskriptif data ketebalan sebanyak 236 data dengan

nilai rata-rata ketebalan 5.17 meter. Penyebaran datanya memilikini nilai skewness

positif dan data ini memiliki tingkat variasi yang rendah.


104

4.1.2.2.1.17. Eksperimental Dan Pemodelan Variogram Seam NM Selatan

Gambar 4.43. Eksperimental variogram ketebalan seam NM selatan

Pada pembuatan eksperimental variogram denggan try and error maka

didapatkan eksperimental variogram yang dapat dimodelkan dengan nilai Lag

Spacing 45 dan Lag Tolerance 5. Eksperimental variogram kemudian dimodelkan

untuk melihat bentuk variogramnya dengan hasil sebagai berikut.

Gambar 4.44. Model variogram ketebalan seam NM selatan

Berdasarkan hasil permodelan maka didapatkan nilai range 475,6 , sill 3.198,

dan Nugget Effect sebesar 0.861


105

4.1.2.2.1.18. Kriging Ketebalan Seam NM Selatan

Dari data variogram maka dibuat perhitungan dengan metode Kriging yang

akan digunakan untuk klasifikasi dan estimasi sumberdaya.

(a)

(b)

Gambar 4.45. Hasil perhitungan kriging ketebalan pada lapisan seam NM selatan

(c) Block Kriging (b) Kriging Variance


106

4.1.2.2.1.19. Klasifikasi Sumberdaya Batubara Seam NM Selatan

Berdasakan dari perhitungan Kriging maka klasifikasi sumberdaya dapat

dilakukan dengan metode RKSD dengan mengubah parameternya menjadi

<0.3Measured , 0.3-0,5 Indicated, >0,5 Inferred.

Tabel 4.12 Hasil RKSD klasifikasi sumberdaya seam NM selatan

Berdasarkan hasil, klasifikasi sumberdaya di Seam NM Selatan lebih dominan

sumberdaya measured diikuti sumberdaya indicated dan sedikit sumberdaya

inferred. Hal ini mengidikasikan bahwa jarak antar lubang bor di lapangan sudah

sesuai.
107

4.1.2.2.1.20. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan Variogram

dapat dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3

sill dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya

menjadi inferred,indicated, atau measured.

Gambar 4.46. Klasifikasi sumberdaya batubara dan penentuan jarak lubang bor

Berdasarkan data dilapangan jarak rata-rata lubang bor pada seam NM Selatan

adalah 133 meter. Jarak 1/3 Sill didapatkan nilai 100 meter , jarak 2/3 sill

didapatkan nilai 250 meter , jarak 3/3 sill didapatkan nilai 475 meter.
108

4.1.2.2.1.21. Statistik Deskriptif Kadar Abu Seam BE Selatan

Gambar 4.47 Histogram dan probability plot kadar abu seam BE selatan

Berdasarkan hasil histogram terlihat bahwa ada penyebaran yang tidak normal

pada kadar abu lapisan seam BE Selatan, dan pada probability plot

menggambarkan penyebaran data masih dalam 1 populasi, memiliki cukup variasi

dan penyebaran data normal. Maka berdasarkan dari hasil histogram dan

Probability Plot dilihat nilai statstik deskriptifnya sebagai berikut


109

Tabel 4.13 Statistik deskriptif kadar abu seam BE selatan

Kadar Abu

Mean 4,71

Median 3,94

Mode 3,90

Standard Deviation 2,96

Sample Variance 8,78

Kurtosis 8,26

Skewness 2,54

Range 16,05

Maksimum 17,70

Minimum 1,65

Sum 244,82

Cont 52,00

CoV 0,63

Berdasarkan hasil statistik deskriptif data ketebalan sebanyak 52 data dengan

nilai rata-rata kadar abu 4.7%. Penyebaran datanya memiliki nilai skewness positif

dan data ini memiliki tingkat variasi yang tinggi.


110

4.1.2.2.1.22. Eksperimental Dan Pemodelan Variogram Kadar Abu Seam

BE Selatan

Gambar 4.48. Eksperimental variogram kadar abu seam BE selatan

Pada pembuatan eksperimental variogram denggan Try and Error maka

didapatkan eksperimental variogram yang dapat dimodelkan dengan nilai Lag

Spacing 100 dan Lag Tolerance 55. Eksperimental variogram kemudian

dimodelkan untuk melihat bentuk variogramnya dengan hasil sebagai berikut.

Gambar 4.49. Model variogram kadar abu seam BE selatan

Berdasarkan hasil permodelan maka didapatkan nilai range 217,8 , sill 3.13, dan

Nugget Effect sebesar 0.


111

4.1.2.2.1.23. Kriging Kadar Abu Seam BE Selatan

Dari data variogram maka dibuat perhitungan dengan metode Kriging

yang akan digunakan untuk klasifikasi dan estimasi sumberdaya.

(a)

(b)

Gambar 4.50. Hasil perhitungan kriging kadar abu seam BE selatan

(a) Block Kriging (b) Kriging Variance


112

4.1.2.2.1.24. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan Variogram

dapat dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3

sill dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya

menjadi inferred,indicated, atau measured.

Gambar 4.51. Klasifikasi sumberdaya batubara dan penentuan jarak lubang bor

Berdasarkan data dilapangan jarak rata-rata lubang bor pada kualitas seam BE

Selatan adalah 226 meter. Jarak 1/3 Sill didapatkan nilai 50 meter , jarak 2/3 sill

didapatkan nilai 110 meter , jarak 3/3 sill didapatkan nilai 217 meter.
113

4.1.2.2.1.25. Statistik Deskriptif Kadar Sulfur Seam BE Selatan

Gambar 4.52. Histogram dan probability plot kadar sulfur seam BE selatan

Berdasarkan hasil histogram terlihat bahwa ada penyebaran yang normal pada

kadar sulfur seam BE Selatan, dan pada probability plot menggambarkan

penyebaran data masih dalam 1 populasi dan penyebaran data normal. Maka

berdasarkan dari hasil histogram dan Probability Plot dilihat nilai statstik

deskriptifnya sebagai berikut.


114

Tabel 4.14. Statistik deskriptif kadar sulfur seam BE selatan

Kadar Sulfur

Mean 1,18

Median 1,19

Mode 1,13

Standard Deviation 0,43

Sample Variance 0,19

Kurtosis -0,51

Skewness 0,14

Range 1,85

Maksimum 2,09

Minimum 0,24

Sum 61,56

Cont 52,00

CoV 0,37

Berdasarkan hasil statistik deskriptif data ketebalan sebanyak 52 data dengan

nilai rata-rata kadar sulfur 1.18%. Penyebaran datanya memiliki nilai skewness

positif dan data ini memiliki tingkat variasi yang rendah.


115

4.1.2.2.1.26. Eksperimental Dan Pemodelan Variogram Kadar Sulfur Seam

BE Selatan

Gambar 4.53. Eksperimental variogram kadar sulfur seam BE selatan

Pada pembuatan eksperimental variogram denggan Try and Error maka

didapatkan eksperimental variogram yang dapat dimodelkan dengan nilai Lag

Spacing 110 dan Lag Tolerance 10. Eksperimental variogram kemudian

dimodelkan untuk melihat bentuk variogramnya dengan hasil sebagai berikut.

Gambar 4.54.Model variogram kadar sulfur seam BE selatan

Berdasarkan hasil permodelan maka didapatkan nilai range 220 , sill 0.24, dan

Nugget Effect sebesar 0.192


116

4.1.2.2.1.27. Kriging Kadar Sulfur Seam BE Selatan

Dari data variogram maka dibuat perhitungan dengan metode Kriging

yang akan digunakan untuk klasifikasi dan estimasi sumberdaya.

(a)

(b)

Gambar 4.55. Hasil perhitungan kriging kadar sulfur seam BE selatan

(a) Block Kriging (b) Kriging Variance


117

4.1.2.2.1.28. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan Variogram

dapat dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3

sill dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya

menjadi inferred,indicated, atau measured.

Gambar 4.56. Klasifikasi sumberdaya batubara dan penentuan jarak lubang bor

Berdasarkan data dilapangan jarak rata-rata lubang bor pada kualitas seam BE

Selatan adalah 226 meter. Jarak 1/3 Sill didapatkan nilai 50 meter , jarak 2/3 sill

didapatkan nilai 100 meter , jarak 3/3 sill didapatkan nilai 220 meter
118

4.1.2.2.1.29. Statistik Deskriptif Kalori Seam BE Selatan

Gambar 4.57. Histogram dan probability plot nilai kalori seam BE selatan

Berdasarkan hasil histogram terlihat bahwa ada penyebaran yang tidak

normal pada nilai kalori lapisan seam BE Selatan, dan pada probability plot

menggambarkan penyebaran data masih dalam 1 populasi dan penyebaran data

normal. Maka berdasarkan dari hasil histogram dan Probability Plot dilihat nilai

statstik deskriptifnya sebagai berikut.


119

Tabel 4.15. Statistik deskriptif nilai kalori seam BE selatan

Nilai Kalori

Mean 6975.19

Median 7043.44

Mode 7117.00

Standard Deviation 306.40

Sample Variance 93880.68

Kurtosis 3.35

Skewness -1.34

Range 721.55

Minimum 5921.00

Maksimum 7542.55

Sum 362709.98

Cont 52

CoV 0,04

Berdasarkan hasil statistik deskriptif data ketebalan sebanyak 52 data dengan

nilai rata-rata kalori 6975 kcal/kg Penyebaran datanya memiliki nilai skewness

negatif dan data ini memiliki tingkat variasi yang rendah.


120

4.1.2.2.1.30. Eksperimental Dan Pemodelan Variogram Nilai Kalori Seam

BE Selatan

Gambar 4.58. Eksperimental variogram nilai kalori seam BE selatan

Pada pembuatan eksperimental variogram denggan Try and Error maka

didapatkan eksperimental variogram yang dapat dimodelkan dengan nilai Lag

Spacing 150 dan Lag Tolerance 40. Eksperimental variogram kemudian

dimodelkan untuk melihat bentuk variogramnya dengan hasil sebagai berikut.

Gambar 4.59 Model variogram nilai kalori seam BE selatan

Berdasarkan hasil permodelan maka didapatkan nilai range 576, sill 90210,

dan Nugget Effect sebesar 2790.


121

4.1.2.2.1.31. Kriging Kalori Seam BE Selatan

Dari data variogram maka dibuat perhitungan dengan metode Kriging yang

akan digunakan untuk klasifikasi dan estimasi sumberdaya.

(a)

(b)

Gambar 4.60. Hasil perhitungan kriging nilai kalori seam BE selatan

(a) Block Kriging (b) Kriging Variance


122

4.1.2.2.1.32. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan Variogram

dapat dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3

sill dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya

menjadi inferred,indicated, atau measured.

Gambar 4.61. Klasifikasi sumberdaya batubara dan penentuan jarak lubang bor

Berdasarkan data dilapangan jarak rata-rata lubang bor pada kualitas seam BE

Selatan adalah 226 meter. Jarak 1/3 Sill didapatkan nilai 110 meter , jarak 2/3 sill

didapatkan nilai 300 meter , jarak 3/3 sill didapatkan nilai 576 meter
123

4.1.2.2.1.33. Statistik Deskriptif Kadar Abu Seam NM Selatan

Gambar 4.62. Histogram dan probability plot kadar abu seam NM selatan

Berdasarkan hasil histogram terlihat bahwa ada penyebaran yang tidak normal

pada kadar abu seam NM Selatan, dan pada probability plot menggambarkan

penyebaran data masih dalam 1 populasi dan penyebaran data tidak normal.

Maka berdasarkan dari hasil histogram dan Probability Plot dilihat nilai statstik

deskriptifnya sebagai berikut.


124

Tabel 4.16. Statistik deskriptif kadar abu seam NM selatan

Kadar Abu

Mean 4,86

Median 4,13

Mode 1,40

Standard Deviation 3,20

Sample Variance 10,22

Kurtosis 2,48

Skewness 1,47

Range 14,38

Maksimum 15,60

Minimum 1,22

Sum 179,73

Cont 37.00

CoV 0,66

Berdasarkan hasil statistik deskriptif data ketebalan sebanyak 37 data dengan

nilai rata-rata kadar abu 4.86%. Penyebaran datanya memiliki nilai skewness

positif dan data ini memiliki tingkat variasi yang tinggi.


125

4.1.2.2.1.34. Eksperimental Dan Pemodelan Variogram Kadar Abu Seam

NM Selatan

Gambar 4.63. Eksperimental variogram kadar abu seam NM selatan

Pada pembuatan eksperimental variogram denggan Try and Error maka

didapatkan eksperimental variogram yang dapat dimodelkan dengan nilai Lag

Spacing 100 dan Lag Tolerance 45. Eksperimental variogram kemudian

dimodelkan untuk melihat bentuk variogramnya dengan hasil sebagai berikut.

Gambar 4.64. Model variogram kadar abu seam NM selatan

Berdasarkan hasil permodelan maka didapatkan nilai range 341 , sill 9.5, dan

Nugget Effect sebesar 0.6


126

4.1.2.2.1.35. Kriging Kadar Abu Seam NM Selatan

Dari data variogram maka dibuat perhitungan dengan metode Kriging yang

akan digunakan untuk klasifikasi dan estimasi sumberdaya.

(a)

(b)

Gambar 4.65. Hasil Perhitungan kriging kadar abu seam NM selatan

(a) Block Kriging (b) Kriging Variance


127

4.1.2.2.1.36. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan Variogram

dapat dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3

sill dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya

menjadi inferred,indicated, atau measured.

Gambar 4.66. Klasifikasi sumberdaya batubara penentuan jarak lubang bor

Berdasarkan data dilapangan jarak rata-rata lubang bor pada kualitas seam NM

Selatan adalah 166 meter. Jarak 1/3 Sill didapatkan nilai 90 meter , jarak 2/3 sill

didapatkan nilai 190 meter , jarak 3/3 sill didapatkan nilai 341 meter.
128

4.1.2.2.1.37. Statistik Deskriptif Kadar Sulfur Seam NM Selatan

Gambar 4.67. Histogram dan probability plot kadar sulfur seam NM selatan

Berdasarkan hasil histogram terlihat bahwa ada penyebaran yang normal pada

kadar abu seam NM Selatan, dan pada probability plot menggambarkan

penyebaran data masih dalam 1 populasi dan penyebaran data normal. Maka

berdasarkan dari hasil histogram dan Probability Plot dilihat nilai statstik

deskriptifnya sebagai berikut.


129

Tabel 4.17. Statistik deskriptif kadar sulfur seam NM selatan

Kadar Sulfur

Mean 1,21

Median 0,99

Mode #N/A

Standard Deviation 0,62

Sample Variance 0,39

Kurtosis 2,92

Skewness 1,57

Range 2,90

Maksimum 3,29

Minimum 0,39

Sum 44,69

Cont 37.00

CoV 0,52

Berdasarkan hasil statistik deskriptif data ketebalan sebanyak 37 data dengan

nilai rata-rata kadar sulfur 1.21%. Penyebaran datanya memiliki nilai skewness

positif dan data ini memiliki tingkat variasi yang tinggi.


130

4.1.2.2.1.38. Eksperimental Dan Pemodelan Variogram Kadar Sulfur Seam

NM Selatan

Gambar 4.68. Eksperimental variogram kadar sulfur seam NM selatan

Pada pembuatan eksperimental variogram denggan Try and Error maka

didapatkan eksperimental variogram yang dapat dimodelkan dengan nilai Lag

Spacing 110 dan Lag Tolerance 55. Eksperimental variogram kemudian

dimodelkan untuk melihat bentuk variogramnya dengan hasil sebagai berikut.

Gambar 4.69. Model variogram kadar sulfur seam NM selatan


131

Berdasarkan hasil permodelan maka didapatkan nilai range 278.9 , sill 0.29, dan

Nugget Effect sebesar 0.

4.1.2.2.1.39. Kriging Kadar Sulfur Seam NM Selatan

Dari data variogram maka dibuat perhitungan dengan metode Kriging

yang akan digunakan untuk klasifikasi dan estimasi sumberdaya.

(a)

(b)

Gambar 4.70. Hasil perhitungan kriging kadar sulfur seam NM selatan

(a) Block Kriging (b) Kriging Variance


132

4.1.2.2.1.40. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan Variogram

dapat dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3

sill dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya

menjadi inferred,indicated, atau measured.

Gambar 4.71. Klasifikasi sumberdaya batubara dan penentuan Jarak lubang bor

Berdasarkan data dilapangan jarak rata-rata lubang bor pada kualitas seam NM

Selatan adalah 166 meter. Jarak 1/3 Sill didapatkan nilai 50 meter , jarak 2/3 sill

didapatkan nilai 130 meter , jarak 3/3 sill didapatkan nilai 278 meter.
133

4.1.2.2.1.41. Statistik Deskriptif Kalori Seam NM Selatan

Gambar 4.72. Histogram dan probability plot nilai kalori seam NM selatan

Berdasarkan hasil histogram terlihat bahwa ada penyebaran yang tidak normal

pada kalori seam NM Selatan, dan pada probability plot menggambarkan

penyebaran data masih dalam 1 populasi dan penyebaran data normal. Maka

berdasarkan dari hasil histogram dan Probability Plot dilihat nilai statstik

deskriptifnya sebagai berikut.


134

Tabel 4.18. Statistik deskriptif nilai kalori seam NM selatan

Nilai Kalori

Mean 6969.32

Median 7003.07

Mode #N/A

Standard Deviation 263.88

Sample Variance 69633.80

Kurtosis 2,91

Skewness -1,32

Range 1370.02

Maksimum 6104.77

Minimum 7474.80

Sum 257864.78

Cont 37.00

CoV 0,04

Berdasarkan hasil statistik deskriptif data ketebalan sebanyak 30 data dengan

nilai rata-rata kalori 6969 kcal/kg Penyebaran datanya memiliki nilai skewness

negatif dan data ini memiliki tingkat variasi yang rendah


135

4.1.2.2.1.42. Eksperimental Dan Pemodelan Variogram Kalori Seam NM

Selatan

Gambar 4.73 Eksperimental variogram kalori seam NM selatan

Pada pembuatan eksperimental variogram denggan Try and Error maka

didapatkan eksperimental variogram yang dapat dimodelkan dengan nilai Lag

Spacing 110 dan Lag Tolerance 50. Eksperimental variogram kemudian

dimodelkan untuk melihat bentuk variogramnya dengan hasil sebagai berikut.

Gambar 4.74. Model variogram kalori seam NM selatan

Berdasarkan hasil permodelan maka didapatkan nilai range 353 , sill 68000,

dan Nugget Effect sebesar 0.


136

4.1.2.2.1.43. Kriging Kalori Seam NM Selatan

Dari data variogram maka dibuat perhitungan dengan metode Kriging yang

akan digunakan untuk klasifikasi dan estimasi sumberdaya.

(a)

(b)

Gambar 4.75. Hasil perhitungan kriging kalori Seam NM selatan

(a) Block Kriging (b) Kriging Variance


137

4.1.2.2.1.44. Klasifikasi Sumberdaya Berdasarkan Kemenerusan

Variogram

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan Variogram

dapat dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3

sill dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya

menjadi inferred,indicated, atau measured.

Gambar 4.76. Klasifikasi sumberdaya batubara dan penentuan jarak lubang bor

Berdasarkan data dilapangan jarak rata-rata lubang bor pada kualitas seam NM

Selatan adalah 166 meter. Jarak 1/3 Sill didapatkan nilai 100 meter , jarak 2/3 sill

didapatkan nilai 200 meter , jarak 3/3 sill didapatkan nilai 353 meter
138

4.1.2.2.1.45. Estimasi Sumberdaya Batubara

Hasil estimasi sumberdaya batubaradihitung dengan menggunakan rumus.

Nilai ini didapatkan dari hasil perkalian tebal batubara, nilai berat jenis batubara,

dan dimensi blok ( panjang x lebar ). Klasifikasi sumberdaya dilakukan dengan

menggunakan metode RKSD yang ditemukan oleh Sinclair&Blackwell (2005).

Hasil Klasifikasi sumberdaya batubara berdasarkan nilai RKSD adalah sebagai

berikut

Tabel 4.19 Estimasi sumberdaya batubara berdasarkan RKSD (dalam satuan ton)

Seam BE BE Utara NM NM Utara Sub Total


Selatan Selatan
Sumberdaya
Tereka 70.000 800.000 2.000.000 300.000 3.170.000
( Inferred)
Tertunjuk 4.000.000 30.000 8.000.000 300.000 12.330.000
(Indicated)
Terukur 10.000.000 0 7.000.000 200.000 17.200.000
(Measured)
Total Sumberdaya Batubara (ton) 32.700.000

Hasil Estimasi Sumberdaya Batubara didapat yaitu lebih kurang 32 juta ton

dengan rincian sumberdaya tereka sebesar 3 juta ton, sumberdaya tertunjuk

sebesar 12 juta ton dan sumberdaya terukur sebesar 17 juta ton. Klasifikasi

berdasarkan nilai kemenerusan variogram yaitu menggunakan sill dan jarak rata-

rata lubang bor adalah sebagai berikut :


139

Tabel 4.20. Klasifikasi jarak titik informasi berdasarkan sill variogram

Seam BE utara BE sealatan NM Utara NM selatan


Parameter
Ketebalan
Spasi lubang 131 meter 126 meter 123 meter 133 meter
bor
Range 151 meter 210 meter 250 meter 475 meter
2/3 sill 80 meter 122 meter 120 meter 250 meter
1/3 sill 50 meter 60 meter 60 meter 100 meter
Kadar Abu
Spasi lubang 226 meter 166 meter
bor
Range 217 meter 341 meter
2/3 sill 110 meter 190 meter
1/3 sill 50 meter 90 meter
Kadar Sulfur
Spasi lubang 226 meter 166 meter
bor
Range 220 meter 278 meter
2/3 sill 100 meter 130 meter
1/3 sill 50 meter 50 meter
Nilai Kalori
Spasi lubang 226 meter 166 meter
bor
Range 576 meter 353 meter
2/3 sill 300 meter 200 meter
1/3 sill 110 meter 100 meter

4.1.2.2.2. Analisis Statistik Dan Geostatistik Batubara Seam Sangatta di

Lapangan Sangatta

Analisis statistik beberapa parameter lapisan batubara, yang diperoleh dari

pengukuran lapangan dan pekerjaan laboratorium selama tahap eksplorasi di

lapangan batubara sangatta dilakukan untuk mengevaluasi secara sistematis

variasi spasial masing-masing parameter. Ini adalah langkah-langkah dasar dalam


140

merumuskan model geologi yang dapat menjelaskan distribusi spasial dan variasi

ketebalan dan parameter kualitas batubara. Variabilitas dapat dijelaskan oleh

lingkungan selama pembentukan dan sebagian oleh proses paska pengendapan

lapisan batubara. Sebagian besar, analisis statistik dalam penelitian ini telah

menggunakan data asli dari program eksplorasi. Data dikumpulkan dari informasi

lubang bor, termasuk koordinat dan nilai-nilai dari masing-masing parameter

batubara, termasuk ketebalan, kadar abu, kadar sulfur dan nilai kalor. Deskripsi

dipisahkan menjadi tiga bagian: pengumpulan data dan persiapan, metodologi

yang terdiri dari statistik dasar dan spasial dan hasil analisis statistik. Hasilnya

dijelaskan secara terpisah untuk masing-masing parameter.

4.1.2.2.2.1. Persiapan dan Pengumpulan data

Terdapat 426 data lubang bor untuk analisis ketebalan batubara yang berada di

Zona Barat dengan rata-rata spasi ± 60 m, di Zona Timur terdapat 818 data lubang

bor untuk analisis ketebalan batubara yang berada dengan rata-rata spasi ± 40 m.

Untuk analisa berdasarkan kualitas, menggunakan 16 data lubang bor untuk

analisis kadar abu dan sulfur yang berada di Seam Sangatta dengan rata-rata spasi

± 110 m, 146 data lubang bor untuk analisis nilai kalori (CV) ) yang berada di

Seam Sangatta dengan rata-rata spasi ± 140 m.


141

Zona
Zona
Timur
barat

= Daerah Penelitian

Gambar 4.77. Peta lokasi lubang bor yang dominan memotong lapisan batubara
sangatta
142

4.1.2.2.2.2. Zona Barat Lapangan Sangatta

Data ketebalan batubara pada zona barat lapangan sangatta dianalisis dengan

analisis statistik dasar, selanjunya dianalisis secara geostatistik dengan

menggunakan variogram dan kriging. Analisis statistik dasar meliputi pembuatan

grafik histogram, grafik probability, untuk mengetahui semua parameter

statistiknya.

4.1.2.2.2.3. Statistik Deskriptif Ketebalan Batubara Zona Barat

Hasil pengolahan statistik deskriptif diperoleh sebagai berikut:

Tabel 4.21. Statistik deskriptif ketebalan zona barat seam sangatta

Mean 6.793
Median 6.830
Mode 7.49
Std. Deviation 2.861
Variance 8.186
Skewness
-0,025
Kurtosis 0.082
Range 14.14
Minimum 0.40
Maximum 14.54
Sum
2893.96
CoV 0.421
Count 426
41

Gambar 4.78 Histogram dan probability plot ketebalan batubara zona barat

Dari pengolahan secara statistik deskriptif rata-rata ketebalan sebesar

6,793 m dan standar deviasi 2,861 m maka didapat Coefficient of Variation

sebesar 0,421 menunjukkan variasi data yang normal dan probabilty plot yang

normal dan menunjukkan satu populasi, maka pengolahan data dapat dilanjutkan

ke statistik spasial. Pengolahan secara Statistik Spasial yang dilakukan sebagai

berikut:

4.1.2.2.2.3.1. Analisis Variogram Ketebalan Batubara di Zona Barat

Pada data ketebalan Zona Barat digunakan jarak antar contoh (lag spacing) 60

m dengan toleransi lag (lag tolerance) 30 m, tujuannya adalah untuk mendapatkan

pasangan data variogram yang baik sesuai dengan spasi data lubang bor pada

Zona Barat secara horizontal ± 60 m.


42

Gambar 4.79. Eksperimental variogram data ketebalan batubara di zona


barat

Dalam permodelan variogram eksperimental, untuk mendapatkan nilai jarak

antar data yang masih berpengaruh (range), rata-rata variasi data (sill), dan

Variasi data pada jarak yang kecil (nugget effect) maka perlu mencocokkan

(fitting) dengan menggunakan model spherical yang terdapat pada Variowin.

Berikut merupakan hasilnya:

Gambar 4.80 Hasil model variogram ketebalan batubara zona barat


43

Dari permodelan yang dilakukan maka didapat range sebesar 528 m, sill 6.97

dan nugget effect 1.722 pada data ketebalan Zona Barat Seam Sangatta.

4.1.2.2.2.3.2. Metode Kriging

Pengolahan dilakukan menggunakan software SGeMS dengan metode Kriging

dengan grid 50 x 50. Hasil pengolahan dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 4.81. Hasil blok kriging ketebalan seam batubara zona Barat

Hasil blok kriging menunjukkan banyak yang berwarna biru muda sampai

hijau muda yang memiliki kisaran 4,97 – 8,54.


44

Gambar 4.82. Hasil kriging varians ketebalan seam batubara zona barat

Hasil kriging varians menunjukkan mayoritas nilai kesalahan yang kecil yaitu

berwarna biru tua dikisaran 2,3-4.

4.1.2.2.2.3.3. Klasifikasi dan estimasi sumberdaya batubara berdasarkan

Relative Kriging Standard Deviation (RKSD) dan Variogram

Berdasakan dari perhitungan Kriging maka klasifikasi sumberdaya dapat

dilakukan dengan metode RKSD dengan mengubah parameternya menjadi

<0.3Measured , 0.3-0,5 Indicated, >0,5 Inferred. Hasil yang didapat adalah

klasifikasi sumberdaya batubara zona barat menghasilkan klasifikasi sumberdaya

batubara terukur, tertunjuk dan tereka, dimana kelas sumberdaya yang dominan

adalah sumberdaya tertunjuk, hal ini mengindikasikan bahwa untuk mendapatkan

sumberdaya batubara terukur, jarak atau spasi lubang bor harus lebih dirapatkan.
45

Tabel 4.22 Estimasi sumberdaya batubara berdasarkan RKSD pada zona barat

Sumberdaya Batubara

Terukur (Measured) ±7 juta ton

Tertunjuk (Indicated) ±12 juta ton

Tereka (Inferred) ±2 juta ton

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan Variogram


dapat dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3
sill dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya
menjadi inferred,indicated, atau measured. Klasifikasi Sumberdaya batubara
berdasarkan kemenerusan variogram dengan menggunakan nilai sill adalah
sebagai berikut:

Gambar 4.83. Klasifikasi sumberdaya batubara berdasarkan analisis variogram

Berdasarkan variograam diatas maka didapat jarak pengaruh yang dihitung dari
sill seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini.
46

Tabel 4.23 Klasifikasi berdasarkan sill variogram ketebalan batubara di zona barat

Sumberdaya Batubara
Terukur (Measured) = 1/3 sill 116 meter
Tertunjuk (Indicated) = 2/3 sill 266 meter
Tereka (Inferred) = 3/3 sill 528 meter

4.1.2.2.2.4. Zona Timur Lapangan Sangatta

Data ketebalan batubara pada zona timur lapangan sangatta dianalisis dengan

analisis statistik dasar, selanjunya dianalisis secara geostatistik dengan

menggunakan variogram dan kriging. Analisis statistik dasar meliputi pembuatan

grafik histogram, grafik probability, untuk mengetahui semua parameter

statistiknya.

4.1.2.2.2.4.1. Statistik Deskriptif Zona Timur

Hasil pengolahan statistik deskriptif diperoleh sebagai berikut:

Tabel 4.24 Statistik deskriptif ketebalan seam sangatta zona timur

Mean 6.103
Median 6.250
Mode 2.00
Std. Deviation 2.861
Variance 8.188
Skewness 0.209
Kurtosis 1.113
Range 19.13
Minimum 0.10
Maximum 19.23
Sum 4992.39
CoV 0.4688
Count 818
47

Gambar 4.84. Histogram dan probability plot ktebalan batubara pada zona timur

Dari pengolahan secara statistik deskriptif rata-rata ketebalan sebesar 6,103 m

dan standar deviasi 2,861 m maka didapat Coefficient of Variation sebesar 0,4688

menunjukkan variasi data yang normal dan probability plot yang normal,

pengolahan data dapat dilanjutkan ke statistik spasial.

4.1.2.2.2.4.2. Analisis Variogram Ketebalan Batubara Zona Timur

Pada data ketebalan zona timur digunakan jarak antar contoh 40 m dengan
toleransi lag 20 m, karena spasi data lubang bor zona timur secara horizontal ± 40-
50 m.

Gambar 4.85. Eksperimental variogram data ketebalan batubara zona timur


48

Model variogram spherical digunakan untuk mendaptkan nilai varibel variogram

seperti terlihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 4.86 Hasil model variogram ketebalan batubara zona timur

Dari permodelan yang dilakukan maka didapat range sebesar 244 m, sill 3.116

dan nugget effect 4.51 pada data ketebalan Zona Timur Seam Sangatta. Data

tersebut selanjutnya dianalisis menggunakan kriging, sehingga dihasilkan blok

kriging seperti terlihat dibawah ini.

Gambar 4.87. Hasil blok kriging ketebalan batubara zona timur


49

Hasil blok kriging menunjukkan warna yang bervariasi dengan mayoritas

dikisaran 4 – 8. Hasil kriging varians menunjukkan mayoritas nilai kesalahan

berwarna biru tua dikisaran 5-7.

Gambar 4.88. Hasil kriging varians ketebalan batubara zona timur

Berdasakan dari perhitungan Kriging maka klasifikasi sumberdaya dapat

dilakukan dengan metode RKSD dengan mengubah parameternya menjadi

<0.3Measured , 0.3-0,5 Indicated, >0,5 Inferred. Hasil yang didapat adalah

klasifikasi sumberdaya batubara zona barat menghasilkan klasifikasi sumberdaya

batubara terukur, tertunjuk dan tereka, dimana kelas sumberdaya yang dominan

adalah sumberdaya terukur, hal ini mengindikasikan bahwa, jarak atau spasi

lubang bor sudah sesuai.

Tabel 4.25 Klasifikasi sumberdaya batubara berdasarkan RKSD pada zona timur

Sumberdaya Batubara
Terukur (Measured) ±500 ribu ton
Tertunjuk (Indicated) ±23 juta ton
Tereka (Inferred) ± 10 juta ton
50

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan Variogram

dapat dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3

sill dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya

menjadi inferred,indicated, atau measured. Klasifikasi Sumberdaya batubara

berdasarkan kemenerusan variogram dengan menggunakan nilai sill adalah

sebagai berikut:

Gambar 4.89. Klasifikasi sumberdaya dan jarak lubang bor berdasarkan analisis

variogram zona timur

Berdasarkan variograam diatas maka didapat jarak pengaruh yang dihitung dari

sill seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.26 Klasifikasi berdasarkan sill variogram pada zona timur

Sumberdaya Batubara
Terukur (Measured) = 1/3 sill 60 meter
Tertunjuk (Indicated) = 2/3 sill 190 meter
Tereka (Inferred) = 3/3 sill 277 meter
51

4.1.2.2.3. Analisis Statistik dan Geostatistik Kadar Abu Seam Sangatta

Data kadar abu batubara pada lapangan sangatta dianalisis dengan analisis

statistik dasar, selanjunya dianalisis secara geostatistik dengan menggunakan

variogram dan kriging. Analisis statistik dasar meliputi pembuatan grafik

histogram, grafik probability, untuk mengetahui semua parameter statistiknya.

4.1.2.2.3.1. Statistik Deskriptif Kadar Abu

Hasil pengolahan statistik deskriptif diperoleh sebagai berikut:

Tabel 4.27 Statistik deskriptif kadar abu seam sangatta

Mean 2.157
Median 1.900
Mode 1.1
Std. Deviation 1.215
Variance 1,.477
Skewness 1.639
Kurtosis 5.021
Range 8.39
Minimum 0.39
Maximum 8.78
Sum 364.64
CoV 0.56
Count 169

Dari pengolahan secara statistik deskriptif rata-rata kadar abu sebesar 2,157%

dan standar deviasi 1,215% maka didapat Coefficient of Variation sebesar 0,56
52

menunjukkan variasi data yang cukup tinggi dan Probability plot yang normal,

maka pengolahan data dapat dilanjutkan ke statistik spasial.

Gambar 4.90. Histogram dan probability plot pada kadar abu seam sangatta

Statistik Spasial Kadar Abu Seam Sangatta

Gambar 4.91. Eksperimental variogram kadar abu batubara seam sangatta


53

Gambar 4.92. Hasil model variogram kadar abu batubara seam sangatta

Dari permodelan yang dilakukan maka didapat range sebesar 288 m, sill 0.435

dan nugget effect 1.05 pada kadar abu Seam Sangatta.

Gambar 4.93. Hasil blok kriging kadar abu seam sangatta


54

Hasil blok kriging menunjukkan warna yang bervariasi dengan mayoritas

dikisaran 0,17 – 0,7.

Gambar 4.94 Hasil kriging varians kadar abu seam sangatta

Hasil kriging varians menunjukkan nilai kesalahan yang bervariasi dari 1,3 –

2,9 dengan mayoritas nilai kesalahan ialah 1,36.

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan Variogram

dapat dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3

sill dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya

menjadi inferred,indicated, atau measured. Klasifikasi Sumberdaya batubara

berdasarkan kemenerusan variogram dengan menggunakan nilai sill adalah

sebagai berikut:
55

Tabel 4.28 Klasifikasi jarak titik informasi berdasarkan sill variogram kadar abu

seam sangatta

Sumberdaya Batubara
Terukur (Measured) = 1/3 sill 45 meter
Tertunjuk (Indicated) = 2/3 sill 120 meter
Tereka (Inferred) = 3/3 sill 288 meter

Gambar 4.95. Klasifikasi sumberdaya batubara dan penentuan jararak titik


bor berdasarkan variogram kadar abu seam sangatta

4.1.2.2.4. Analisis Statistik dan Geostatistik Kadar Sulfur Seam Sangatta

Data kadar sulfur batubara pada lapangan sangatta dianalisis dengan analisis

statistik dasar, selanjunya dianalisis secara geostatistik dengan menggunakan

variogram dan kriging. Analisis statistik dasar meliputi pembuatan grafik

histogram, grafik probability, untuk mengetahui semua parameter statistiknya.

4.1.2.2.4.1. Statistik Deskriptif Kadar Sulfur Seam Sangatta

Hasil pengolahan statistik deskriptif diperoleh hasil sebagai berikut:


56

Gambar 4.96 Histogram dan probability plot pada kadar sulfur seam sangatta

Dari pengolahan secara statistik deskriptif rata-rata kadar sulfur sebesar

0,425% dan standar deviasi 0,264% maka didapat Coefficient of Variation sebesar

0,621 menunjukkan variasi data yang tinggi dan probability plot yang tidak

normal. Selanjutnya dilakukan pengolahan data statistik spasial.

4.1.2.2.4.2. Statistik Spasial Kadar Sulfur

Gambar 4.97. Eksperimental variogram kadar sulfur seam sangatta

Pada Kadar Abu dan Sulfur digunakan jarak antar contoh 110 m dengan

toleransi lag 55 m, karena spasi data lubang bor data kadar abu dan sulfur secara

horizontal ± 110 m.
57

Gambar 4.98. Hasil model variogram kadar sulfur seam sangatta

Dari permodelan yang dilakukan maka didapat range sebesar 1584 m, sill 0.07

dan nugget effect 0.0042 pada kadar sulfur Seam Sangatta.

Gambar 4.99. Hasil blok kriging kadar sulfur seam sangatta


Hasil blok kriging menunjukkan warna yang bervariasi dari biru tua sampai

merah tua 0,15 – 1,23. Hasil kriging varians menunjukkan warna nilai kesalahan

yang bervariasi dimana warna biru tua yang mendominasi dengan nilai kesalahan

0,01
58

Gambar 4.100. Hasil kriging varians kadar sulfur seam sangatta

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan variogram dapat

dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3 sill

dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya menjadi

inferred,indicated, atau measured. Klasifikasi Sumberdaya batubara berdasarkan

kemenerusan variogram dengan menggunakan nilai sill adalah sebagai berikut:

Tabel 4.30 Klasifikasi jarak titik informasi berdasarkan variogram kadar sulfur
seam sangatta

Sumberdaya Batubara

Terukur (Measured) = 1/3 sill 380 meter

Tertunjuk (Indicated) = 2/3 sill 780 meter


59

Tereka (Inferred) = 3/3 sill 1584 meter

4.1.2.2.5. Analisis Statistik dan Geostatistik Calorific Value (CV) Seam

Sangatta

Data Calorific Value (CV) batubara pada lapangan sangatta dianalisis dengan

analisis statistik dasar, selanjunya dianalisis secara geostatistik dengan

menggunakan variogram dan kriging. Analisis statistik dasar meliputi pembuatan

grafik histogram, grafik probability, untuk mengetahui semua parameter

statistiknya.

4.1.2.2.5.1. Statistik Deskriptif Nilai Calorific Value (CV) Seam Sangatta

Berdasarkan data nilai Calorific Value (CV) Seam Sangatta yang diperoleh,

data tersebut dioleh dengan statistik deskriptif untuk mendapatkan nilai rata-rata,

standar deviasi, koefisien variasi, pola skewness dan kurtosis. Hasil pengolahan

statistik deskriptif nilai Calorific Value (CV) Seam Sangatta akan menjadi

masukkan dalam analisis geostatistik . Nilai statistik yanag diperoleh dapat dilihat

pada tabel dibawah ini sebagai berikut.

Tabel 4.31 Statistik deskriptif calorific value (CV) seam sangatta

Mean 13520.193

Median 13531.8750

Mode 13334.35
60

Std. Deviation 187.138

Variance 35020.844

Skewness 0.098

Kurtosis 0.387

Range 1144.54

Minimum 13025.59

Maximum 14170.13

Sum 1973948.24

CoV 0.013

Count 146
61

Gambar 4.101. Histogram dan probability plot calorific value (CV) seam

sangatta

Dari pengolahan secara statistik deskriptif rata-rata Calorific Value (CV) Seam

Sangatta sebesar 13520 (btu/lb) dan standar deviasi 187,128 (btu/lb) maka didapat

Coefficient of Variation sebesar 0,013 menunjukkan variasi data yang normal dan

homogen. Selanjutnya dilakukan pengolahan data statistik spasial.

4.1.2.2.5.2. Statistik Spasial Calorific Value (CV) Seam Sangatta

Gambar 4.102. Eksperimental variogram calorific value (CV) seam sangatta


62

Pada data Calorific Value (CV) Seam Sangatta digunakan jarak antar contoh

140 m dengan toleransi lag 70 m, karena spasi data lubang bor data Calorific

Value (CV) Seam Sangatta secara horizontal ± 140 m.

Gambar 4.103. Hasil model variogram calorific value (CV) seam sangatta

Dari permodelan yang dilakukan maka didapat range sebesar 2790 m, sill

35000 dan nugget effect 13648.8 pada Calorific Value (CV) Seam Sangatta Seam

Sangatta.
63

Gambar 4.104. Hasil blok kriging calorific value (CV) seam sangatta

Hasil blok kriging menunjukkan warna yang bervariasi dengan nilai kriging

13190 - 13710. Hasil kriging varians menunjukkan mayoritas nilai kesalahan 0,06

yang ditunjukkan dengan warna biru muda.


64

Gambar 4.105. Hasil Kriging Varians Calorific Value (CV) Seam Sangatta

Klasifikasi sumberdaya batubara dengan melihat kemenerusan variogram dapat

dilakukan dengan cara menghitung jarak berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3 sill

dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai patokan klasifikasi sumberdaya menjadi

inferred,indicated, atau measured. Klasifikasi Sumberdaya batubara berdasarkan

kemenerusan variogram dengan menggunakan nilai sill adalah sebagai berikut:

Tabel 4.32 Klasifikasi jarak titik informasi berdasarkan kemenerusan variogram

calorific value (CV) seam sangatta

Sumberdaya Batubara
Terukur (Measured) = 1/3 sill 766 meter
Tertunjuk (Indicated) = 2/3 sill 1400 meter
Tereka (Inferred) = 3/3 sill 2790 meter
65

Gambar 4.106 Klasifikasi berdasarkan kemenerusan variogram Calorific Value

(CV) seam sangatta

4.1.2.2.6. Analisis Statistik dan Geostatistik Ketebalan Seam A1

Berdasarkan data ketebalan lapisan batubara A1 yang diperoleh, data tersebut

dioleh dengan statistik deskriptif untuk mendapatkan nilai rata-rata, standar

deviasi, koefisien variasi, pola skewness dan kurtosis. Hasil pengolahan statistik

deskriptif ketebalan Seam A1 akan menjadi masukkan dalam analisis geostatistik .

Nilai statistik yanag diperoleh dapat dilihat pada tabel dibawah ini sebagai

berikut.

4.1.2.2.6.1. Statistik Deskriptif Seam A1

Data ketebalan Seam A1 didapat berdasarkan data162 lubang bor yang berada

di PT. Bukit Asam. Spasi rata-rata lubang bor ± 80 m. Hasil pengolahan statistik

deskriptif diperoleh beberapa parameter statistik seperti nilai rata-rata, standar

deviasi, koefisien variasi dan lain-lain seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini

:
66

Tabel 4.33 Statistik deskriptif ketebalan seam A1

Mean 6.834

Median 7.255

Mode 7.50

Std. Deviation 2.290

Variance 5.248

Skewness -0,714

Kurtosis 0.459

Range 12.00

Minimum 0.50

Maximum 12.50

Sum 1107.20

CoV 0.335

Count 162
67

Gambar 4.107 Histogram dan probability plot ketebalan seam A1

Gambar 4.108 Probability plot ketebalan seam A1

Dari pengolahan secara statistik deskriptif rata-rata ketebalan sebesar 6,834 m

dan standar deviasi 2,290 m maka didapat Coefficient of Variation sebesar 0,335

menunjukkan variasi data yang normal dan probability plot yang normal.

Selanjutnya dilakukan pengolahan data statistik spasial.


68

4.1.2.2.6.2. Statistik Spasial Seam A1

Gambar 4.109. Eksperimental variogram data ketebalan seam A1

Pada data ketebalan Seam A1 digunakan jarak antar contoh 80 m dengan

toleransi lag 40 m, karena spasi data lubang bor data ketebalan Seam A1 secara

horizontal ± 80 m.

Gambar 4.110. Hasil model variogram ketebalan seam A1


69

Dari permodelan yang dilakukan maka didapat range sebesar 1034 m, sill

3.286 dan nugget effect 2.014 pada data ketebalan Seam A1.

Gambar 4.111. Hasil blok kriging ketebalan seam A1

Hasil blok kriging menunjukkan blok yang bervariasi dari 0,5 sampai 9,4.

Gambar 4.112. Hasil kriging varians ketebalan seam A1


70

Hasil kriging varians menunjukkan nilai kesalahan dominan dikisaran 2,7 –

6,63 yang ditunjukkan dengan warna biru tua sampai hijau muda.

Tabel 4.34 Klasifikasi sumberdaya batubara seam A1 berdasarkan RKSD

Sumberdaya Batubara

Terukur (Measured) ±55 juta ton

Tertunjuk (Indicated) ±28 juta ton

Tereka (Inferred) ± 7 juta ton

Klasifikasi sumberdaya batubara berdasarkan RKSD mendapatkan hasil

sumberdaya batubara seam A1 dominan terukur. Hal ini menidikasikan bahwa

jarak lubang bor yang ada sudah sesuai. Klasifikasi sumberdaya batubara dengan

melihat kemenerusan variogram dapat dilakukan dengan cara menghitung jarak

berdasarkan nilai dari 1/3 sill, 2/3 sill dan 3/3 sill. Jarak ini digunakan sebagai

patokan klasifikasi sumberdaya menjadi inferred,indicated, atau measured.

Klasifikasi Sumberdaya batubara berdasarkan kemenerusan variogram dengan

menggunakan nilai sill adalah sebagai berikut:

Tabel 4.35 Klasifikasi jarak titik informasi batubara berdasarkan kemenerusan


variogram seam A1

Sumberdaya Batubara

Terukur (Measured) = 1/3 sill 257 meter

Tertunjuk (Indicated) = 2/3 sill 557 meter

Tereka (Inferred) = 3/3 sill 1034 meter


71

Gambar 4.113. Klasifikasi berdasarkan kemenerusan variogram seam A1

4.1.3. Klasifikasi dan Estimasi Sumberdaya Batubara

Klasifikasi dan estimasi suberdaya batubara adalah upaya pengelompokan

sumberdaya batu bara berdasarkan keyakinan geologi dan kelayakan ekonomi

serta perhitungan jumlah tonasenya. Pada penelitian ini klasifikasi sumberdaya

batubara menggunakan metode Relative Kriging Standard Deviation (RKSD) dan

berdasarkan nilai sill dari variogram.

4.1.3.1. Klasifikasi Sumberdaya Batubara

Proses kriging dilakukan per unit blok yang selanjutnya akan menghasilkan

nilai estimasi dan standar deviasi estimasi yang akan digunakan untuk mencari

nilai error relatif atau disebut Relative Kriging Standard Deviation (RKSD). Nilai

error relatif ini kemudian menjadi acuan dalam pengklasifikasian sumberdaya

dimana blok yang mempunyai error relatif lebih kecil dari 0,3 dikategorikan

sebagai sumberdaya terukur (measured), antara 0,3-0,5 dikategorikan sebagai

sumberdaya terkira (indicated), dan lebih besar dari 0,5 dikategorikan sebagai

sumberdaya tereka (inferred). Klasifikasi sumberdaya batubara berdasarkan nilai


72

RKSD diharapkan mampu memberi alternatif dalam penentuan klasifikasi

sumberdaya batubara di daerah penelitian. Klasifikasi sumberdaya batubara

berdasarkan nilai RKSD pada seam di lokasi penelitian menghasilkan klasifikasi

sebagai berikut :

Tabel 4.36. Hasil klasifikasi sumberdaya batubara berdasarkan RKSD di daerah


penelitian

Nama Lapisan Batubara Klasifikasi Sumberdaya Batubara

Seam BE Utara Tereka Tertunjuk -


Selatan Tereka Tertunjuk Terukur
Seam NM Utara Tereka Tertunjuk Terukur
Selatan Tereka Tertunjuk Terukur
Seam Sangatta Barat Tereka Tertunjuk Terukur
Timur Tereka Tertunjuk Terukur
Seam A1 Tereka Tertunjuk Terukur

4.1.3.2. Estimasi Sumberdaya Batubara

Estimasi sumberdaya batubara berdasarkan nilai relative kriging standard

deviation (RKSD) dan sill diharapkan mampu memberi alternatif dalam

penentuan klasifikasi sumberdaya batubara di endapan batubara. Klasifikasi

sumberdaya batubara berdasarkan nilai relative error pada setiap lapisan batubara

(seam) di lokasi penelitian menghasilkan estimasi sumberdaya batubara untuk

setiap lapisan batubara ( seam ). Selanjutnya hasil klasifikasi yang didapat,

dihitung jumlah tonase batubaranya satu persatu sesuai klasifikasinya. Hsil

perhitungan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :


73

Tabel 4.37. Hasil estimasi sumberdaya batubara berdasarkan RKSD

Nama Lapisan Batubara Estimasi Sumberdaya (ton)


Tereka Tertunjuk Terukur
Seam BE Utara 816.446 339.976 0
Selatan 78.104 2.397.564 6.935.240
Seam NM Utara 399.443 51.480 131.508
Selatan 2.170.688 8.280.532 6.685.796
Seam Barat 2.218.996 12.471.992 7. 638.124
Sangatta Timur 10. 102.404 21.185.008 1.092.000
Seam A1 6.926.036 27.871.272 55.060.668

Selanjutnya dengan menngunakan klasifikasi kemenerusan variogram atau

berdasarkan nilai sill ( 1/3, 2/3 dan 3/3) akan didapat klasifikasi sumberdaya.

Untuk daerah penelitian didapat klasifikasi sumberdaya seperti yang tercantum

dibawah ini.

Tabel 4.38 Estimasi jarak titik informasi berdasarkan sill dari variogram di daerah
penelitian
Jarak ( meter )
Nama Lapisan Batubara ≤3/3 {range} 1/3 -2/3 sill ≤ 1/3 sill
(Tereka) (Tertunjuk) (Terukur)
Seam BE Utara 151.2 110 45
Selatan 209 100 50
Seam NM Utara 249.9 122 59
Selatan 475.6 250 100
Seam Sangatta Barat 528 266 116
Timur 244 110 55
Seam A1 1034 557 257
74

4.2. Pembahasan

4.2.1. Geologi Batubara

Analisis geologi batubara meliputi geologi batubara area pit J, area sangatta,

Kalimantan Timur dan area batubara PT. Bukit Asam, Sumatera Selatan. Berikit

disub bab selanjunya akan dibahas satu persatu geologi batubara per area.

4.2.1.1. Batubara Lapangan Pit J dan Sangatta

Lapisan batubara Pit J memiliki kisaran ketebalan lapisan 0,4 – 5,1 meter,

sedangkan batubara lapisan sangatta rata-rata 6 m, yang terendapkan pada sistem

sedimentasi fluvio-deltaic pada Formasi Balikpapan berumur Miocene tengah-

akhir di Cekungan Kutai bagian utara. Perubahan lokal dari sedimentary facies

terjadi di area sangatta, yang mengindikasikan setting sedimentary fluvial yang

belum matang. Parting klastik dan washouts didalam seam Sangatta berhubungan

dengan sedimentasi fluvial.

Deformasi syn-depositional seperti differential compaction dan differential

rates dari subsidence lokal, bersama-sama terjadi sedimentasi klastik yang

menyebabkan terjadinya splitting didalam batubara Sangatta.

4.2.1.2. Perbandingan antara seam Sangatta dan seam A1 Tambang Bukit

Asam

Salah satu endapan batubara Indonesia Miosen yang penting lainnya adalah

endapan batubara Bukit Asam di Sumatera Selatan. Seam ekonomi utama di

Tambang Batubara Bukit Asam diendapkan selama fase regresif (Miosen Akhir)

dari Formasi Muara Enim di zona foreland (back arc) dari Cekungan Sumatera
75

Selatan. Selama deposisi batubara, cekungan pada dasarnya stabil dengan pola

penurunan teratur (Kinhill-Ottogold, 1984). Kondisi ini memungkinkan seam

untuk diendapkan simpan dengan distribusi yang relatif teratur.

Pada skala lapangan batubara, beberapa fitur yang cukup berbeda ketika

Tambang Batubara Bukit Asam dibandingkan dengan lapangan batubara

Sangatta. Perbedaan antara kedua seam dijelaskan secara rinci di bawah ini.

a. Ketebalan Batubara lebih bervariasi pada seam Sangatta. Hal ini ditunjukkan

dengan koefisien variasi lebih tinggidibandingkan batubara bukit asam.

b. Widespread clastic partings tidak terdapat pada seam Sangatta. Partings pada

seam Sangatta adalah tertransportasi melalui air dan mengandung coaly shale

dan siltstone (mungkin endapan overbank). Sebaliknya, sebagian besar parting

pada batubara Bukit Asam terdiri darimaterial tufaan pucat dan yang parting

tipis umumnya pelletoid (tidak diamati di lapangan batubara Sangatta). Parting

pada batubara Bukit Asam umumnya tersebar luas dan diinterpretasikan

berasal dari kegiatan voleanic (Kinhill-Ottogold, 1984). Pada batubara Bukit

Asam, material tertransport oleh air, umumnya berkarakter shaly (material silty

tidak hadir), yang mengidikasikan asal suspensi.

c. Washouts dan crevasse splay yang umum dijumpai pada batu bara Sangatta

menunjukkan bahwa seam itu terkait erat dengan sedimen fluviatile. Dalam

batubara Bukit Asam washouts tersebut dan crevasse splay jarang ditemukan

menunjukkan bahwa batubara Bukit Asam diendapkan lebih stabil, dengan

rawa lebih matang (mature swamps), dimungkinkan bahwa batubara Bukit

Asam berkaitan dengan batu lumpur tebal (umumnya masif, dengan clay-rich
76

ironstone). Sekali lagi ini menunjukkan dataran banjir yang stabil dan matang

di mana periode basah dan kering terjadi.

d. Rawa gambut Sangatta dikembangkan dalam rawa yang kurang stabil sehingga

seam kurang seragam (misalnya terjadi spliting cepat dan meruncing).

Akumulasi gambut dalam seam Al (Bukit Asam) adalah seragam (Kinhill-

Ottogold, 1984) dan lebih luas di Cekungan Sumatera Selatan (Matasak dan

Koesumadinata, 1976).

Dari perbandingan ini, disimpulkan bahwa seam Sangatta telah diendapkan

kurang stabil dan tidak meluas seperti batubara Bukit Asam. ( Tabel 4 ). Seam

sangatta diendapkan pada kondisi geologi yang lebih kompleks jika dibandingkan

dengan seam A1 batubara bukit asam. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua

lapangan batubara tersebut memiliki kondisi geologi yang berbeda dan dapat

menjadi acuan guna analisis statistik dan geostatistik.

Tabel 4.39 Perbandingan seam sangatta dan seam A1

Seam Sangatta Seam A1

Fasies Sedimentasi berubah secara Fasies Sedimentasi berubah pada jarak

lokal yang panjang

Umum dijumpai sedimen overbank dan Tidak dijumpai sedimen overbank dan

parting parting

Umum dijumpai tapering, washout dan Tidak dijumpai tapering, washout dan

splitting pada seam batubara splitting pada seam batubara


77

Umumnya merupakan deformasi syn Bukan merupakan deformasi syn

depotional depotional

Sedimen setting kurang matang Sedimen setting matang

Rawa gambut kurang stabil Rawa gambut stabil

Cekungan kurang stabil Cekungan stabil

4.2.1.3. Zonasi Endapan Batubara Berdasarkan Sedimentasi dan Tektonik

Didalam SNI 5015 tahun 2011, berdasarkan proses sedimentasi dan pengaruh

tektonik, kondisi geologi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama :

geologi sederhana, geologi moderat, dan geologi kompleks. Uraian tentang

batasan umum untuk masing-masing kelompok tersebut beserta tipe lokalitasnya

adalah sebagai berikut:

d. Kelompok Geologi Sederhana

Endapan batubara dalam kelompok ini umumnya tidak dipengaruhi oleh

aktivitas tektonik, seperti patahan, lipatan, dan intrusi. Lapisan batubara pada

umumnya landai, menerus secara lateral sampai ribuan meter, dan hampir

tidak mempunyai percabangan. Ketebalan lapisan batubara secara lateral dan

kualitasnya tidak memperlihatkan variasi yang berarti.

e. Kelompok Geologi Moderat

Batubara dalam kelompok ini diendapkan dalam kondisi sedimentasi yang

lebih bervariasi dan sampai tingkat tertentu telah mengalami perubahan pasca
78

pengendapan dan tektonik. Patahan dan lipatan tidak banyak, begitu pula

pergeseran dan perlipatan yang diakibatkannya relatif sedang. Kelompok ini

dicirikan pula oleh kemiringan lapisan dan variasi ketebalan lateral yang

sedang serta berkembangnya percabangan lapisan batu bara, namun

sebarannya masih dapat diikuti sampai ratusan meter. Kualitas batubara secara

langsung berkaitan dengan tingkat perubahan yang terjadi baik pada saat

proses sedimentasi berlangsung maupun pada pasca pengendapan. Pada

beberapa tempat intrusi batuan beku mempengaruhi struktur lapisan dan

kualitas batubaranya.

f. Kelompok Geologi Kompleks

Batubara pada kelompok ini umumnya diendapkan dalam sistim sedimentasi

yang komplek atau telah mengalami deformasi tektonik yang ekstensif yang

mengakibatkan terbentuknya lapisan batubara dengan ketebalan yang

beragam. Kualitas batubaranya banyak dipengaruhi oleh perubahan-

perubahan yang terjadi pada saat proses sedimentasi berlangsung atau pada

paska pengendapan seperti pembelahan atau kerusakan lapisan (wash out).

Pergeseran, perlipatan dan pembalikan (overturned) yang ditimbulkan oleh

aktivitas tektonik, umum dijumpai dan sifatnya rapat sehingga menjadikan

lapisan batubara sukar dikorelasikan. Perlipatan yang kuat juga

mengakibatkan kemiringan lapisan yang terjal. Secara lateral, sebaran lapisan

batu baranya terbatas dan hanya dapat diikuti sampai puluhan meter.
79

4.2.1.3.1. Daerah Penelitian Pit J

Daerah penelitian Pit J, secara geologi dibagi menjadi 2 zona, yaitu zona utara

dan selatan. Dasar pembagian ini adalah patahan mayor yang menjadi pembatas

kedua zona, yaitu patahan naik villa, dimana blok utara relatif naik terhadap blok

selatan. Pada area utara dan selatan ditemukan struktur geologi yang cukup

komplek antara lain berupa kenampakan perlapisan batuan yang relatif tegak,

ditemukan struktur parting, rekahan dan washout.

Gambar 4.114. Peta pembagian zona di pit J, tampak patahan villa sebagai
pembatas

Beberapa bukti geologi yang didapat di lapangan untuk zonasi utara adalah

terjadinya struktur ikutan, meliputi adanya lipatan dan patahan lokal yang

berpengaruh di area utara. Data pengukuran strike dan dip memperlihatkan pola

yang acak, dan terjadi perubahan kemiringan mendadak, dari kemiringan landai

sampai terjal.
80

north south

Gambar 4.115 Penampang geologi utara-selatan yang memotong zona villa fault ,
PIT J (sumber PT. KPC)

Dari penampang geologi hasil korelasi titik bor pada zona Villa fault diatas,

didapat bahwa zonasi lebih kurang berdimensi 350 meter, terlihat bahwa seam

batubara tidak menerus secara normal, namun terkena struktur yang intensif

berupa perlipatan dan patahan.

Zona patahan

Gambar 4.116. Kenampakan seam batubara yang terlipat di PIT J


81

Kondisi lainnya untuk zona selatan, memperlihatkan kemiringan lapisan dan

variasi ketebalan lateral yang beragam, ditemukan percabangan lapisan batubara

yang sebarannya masih dapat diikuti puluhan sampai puluhan meter. Kondisi

lainnya terlihat dari penampang bahwa lapisan batubaranya menerus, kemiringan

sedang-curam dan dari hasil log litologi terlihat percabangan. Pada penampang

dibawah ini yang memotong area diluar zonasi kompleks, terlihat kemenerusan

lapisan batubara.

Gambar 4.117. Penampang geologi yang memperlihatkan kemenerusan


seam batubara

Pada lokasi peneltian area Pit J, sesuai dengan SNI 5015 tahun 2011 dan bukti-

bukti studi geologi dapat dikategorikan menjadi kelompok kondisi geologi

komplek. Kelompok geologi komplek berada pada area bagian utara, dan di

bagian selatan dari Pit J seperti yang terlihat dibawah ini :


82

S U

KOMPLEK VILLA FAULT

Gambar 4.118. Komplek patahan ditandai oleh kenampakan struktur patahan


intensif di PIT J

S U

KONDISI
KONDISI GEOLOGI KOMPLEK KOMPLEK VILLA GEOLOGI
FAULT KOMPLEK

Gambar 4.119. Kondisi geologi kompleks di PIT J

4.2.1.3.2. Daerah Penelitian Lapangan Sangatta

Area lapangan batubara sangatta dapat dikelompokkan menjadi 2 ( dua), yaitu

area zona barat dan zona timur. Penamaan zona barat dan timur berdasarkan letak

lokasinya pada peta. Pembagian zonasi didasari oleh kenampakan kondisi geologi

yang sangat berbeda. Berikut pada paragraf selanjutnya akan dibahas secara rinci

bukti-bukti lapangan yang ada.


83

Gambar 4.120. Peta lokasi titik bor di lapngan batubara sangatta, (a) zona barat,
(b) zona timur

Bukti- bukti geologi yang didapat di lapangan untuk penentuan zonasi adalah

sebagai berikut :
84

a. Berdasarkan data singkapan batubara, tampak perbedaan yang signifikan.

Untuk area / zona barat lapisan batubaranya bersih (clean coal), sedangkan

area/zona timur banyak terdapat parting, ketebalan bervariasi, seperti yang

terlihat pada foto dibawah ini.

Gambar 4.121. Fota lapisan batubara sangatta, (a), (b), dan (c) memperlihatkan kondisi
singkapan pada area timur, (d) memperlihatkan kondisi singkapan pada area barat ( Nas,
1994)

b. Berdasarkan data pemetaan geologi detil, didapat pada zona barat terlihat

kondisi lapisan batubara menerus dengan ketebalan seragam dan semakin

kearah timur lapisan batubara mulai mengalami percabangan menjadi

batubara dengan ketebalan tipis. Hal ini dapat dilihat pada model endapan

batubara di bawah ini.


85

Gambar 4.122. Model penampang endapan lapisan batubara sangatta ( Nas, 1994)

Gambar 4.123. Model penampang endapan lapisan batubara sangatta ( Nas, 1994)

Area timur memperlihatkan lapisan batubara pada umumnya diendapkan dalam

sistim sedimentasi yang komplek atau telah mengalami deformasi tektonik yang

ekstensif yang mengakibatkan terbentuknya lapisan batubara dengan ketebalan

yang beragam. Pergeseran dan perlipatan yang ditimbulkan oleh aktivitas


86

tektonik, umum dijumpai dan sifatnya rapat sehingga menjadikan lapisan batubara

sukar dikorelasikan.

c. Pada zona timur dijumpai patahan, berupa patahan tumbuh, yang menandakan

area ini memiliki struktur yang intensif, seperti yang terlihat pada peta

struktur geologi dibawah ini :

Gambar 4.124. Patahan tumbuh di Pit Hatari ( zona timur ) ( Nas, 1994)

d. Korelasi stratigrafi dari lubang bor yang menghubungkan area barat dan timur

juga memperlihatkan variasi secara vertical dan lateral, dimana pada area

barat variasinya relatif kecil, sedangkan pada area timur variasinya besar.

Penampang korelasi lapisan batuabra sangatta dari barat laut ke tenggara

dapat dilihat pada gambar dibawah ini.


87

Gambar 4.125. Korelasi stratigrafi dari lubang bor, area barat laut - tenggara ( Nas,
1994)

Setelah mengamati secara detil area lokasi peneltian lapangan batubara

sangatta, dengan merujuk klasifikasi kondisi geologi SNI 5015 tahun 2011 dan

bukti-bukti studi geologi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa area lapangan

batuabra sangatta dapat dibagi menjadi 2 ( dua ) kondisi, yaitu kondisi geologi

moderat dan kondisi geologi komplek. Kelompok kondisi geologi komplek berada

pada area bagian timur area, sedangkan kelompok kondisi geologi moderat

berada pada area barat.

4.2.1.3.3. Daerah Penelitian Lapangan Batubara di PT. Bukit Asam,

Tanjung Enim, Sumatera Selatan

Karakteristik batubara lapisan A1 adalah memiliki distribusi yang luas,

ketebalan lapisan batubara relatif tebal , variasi ketebalan dalam jarak yang jauh (

ribuan meter), kenampakan struktur geologi sangat sedikit, dan batubaranya

tergolong bersih (clean coal).


88

Gambar 4.126. Lapisan batubara di PT. Bukit Asam yang memperlihatkan


kemenerusan lapisan batubara A1 ( Nas,1994)

Pada lokasi peneltian area PT. Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan,

khususnya lapisan batubara A1, sesuai dengan SNI 5015 tahun 2011 dan bukti-

bukti studi geologi dapat dikategorikan menjadi kelompok kondisi geologi

sederhana.

4.2.2. Statistik Dasar

Hasil analisis statistik dijelaskan untuk setiap parameter batubara, contohnya

ketebalan, kadar abu, kadar sulfur, dan nilai calorific. Setiap pembahasan dimulai

dengan hasil statistik dasar dan juga merangkum variasi spasial parameter

batubara.
89

4.2.2.1. Pengujian Stasionaritas

Pada analisis kriging diperlukan asumsi stasioneritas data sehingga dari

keseluruhan data tersebut dilakukan ploting data untuk dapat mengetahui apakah

data yang diperoleh stasioner atau tidak. Kestasioneritasan akan terlihat setelah

titik-titik kandungan tersebut diplotkan dan akan terlihat apakah data memiliki

kecenderungan trend atau tidak. Proses prediksi dengan metode ini didapat

prediksi bahwa data penelitian merupakan data yang tidak stasioner atau memiliki

kecenderungan trend (drift) tertentu.

4.2.2.2. Variabel Teregional

Suatu variabel dikatakan teregional jika terdistribusi dalam ruang dan biasanya

mencirikan suatu fenomena tertentu, misalnya sebagai ketebalan dan kualitas

lapisan batubara, yang merupakan karakteristik suatu endapan batubara. Secara

matematik variabel teregional merupakan penyajian atau realisasi nilai fungsi f(x)

yang menempati setiap titik x pada ruang. Umumnya pada endapan batubara,

perilaku karakteristik atau struktur variabilitas dalam ruang dari variabel

terregional dapat dilihat / dikenali aspek erratic secara lokal, contohnya dimana

terdapat zona yang batubaranya lebih tebal dibandingkan yang lain. Selain itu

parameter-parameter di alam mempunyai kecenderungan saling berhubungan

dengan kontinuitas ruang (spatial continuity) dimana dua buah data saling

berdekatan mempunyai probabilitas besar memiliki data yang mirip daripada dua

buah data yang saling berjauhan.

Geostatistik merupakan aplikasi teori variabel terregional dalam mempelajari

fenomena-fenomena gejala alam, salah satunya untuk menentukan volume


90

endapan. Setiap eksperimen yang dibuat dalam kerangka ruang (seperti data

dalam koordinat ruang dan nilai) dapat menggunakan geostatistik sebagai alat

bantu untuk mengolah dan menginterpretasikannya. Struktur spasial ini

dikarakterisasi oleh variogram. Pada penelitian ini akan digunakan untuk

pembuatan grid, klasifikasi dan mengestimasi sumberdaya, dan mengestimasi

eror. Variabel teregional yang dipakai pada penelitian ini adalah variable data

ketebalan, kadar abu, kadar sulfur dan nilai kalori batubara.

4.2.2.3. Analisis Statistik Multivarian

Analisis statistik yang dilakukan yaitu analisis statistik univarian untuk

ketebalan batubara. Analisis statistik ini dilakukan untuk melihat variasi ketebalan

dan kualitas batubara. Dengan demikian dapat diketahui apakah ketebalan

batubara merata di seluruh daerah atau terdapat penipisan dan penebalan yang

berarti. Berdasarkan hasil statistik univarian terhadap data ketebalan batubara

diperoleh rata-rata ketebalan batubara di daerah penelitian yaitu terlihat pada tabel

4.40. . Bersadarkan data rata-rata ketebalan, didapat lapisan batubara yang paling

tebal adalah seam A1 yaitu 6,83 meter dan seam tertipis adalah seam NM Utara

yaitu 0,47 meter.

Standar Deviasi yakni besar perbedaan dari nilai sampel terhadap rata-rata.

Secara tidak langsung, standar deviasi ini juga menyatakan besarnya keragaman

sampel yang anda dapatkan. Semakin besar nilai standar deviasi yang didapatkan

maka semakin besar pula keragaman data, begitu pula sebaliknya yakni jika

standar deviasi yang anda dapatkan kecil maka data semakin tidak beragam. Jika

nilai standar deviasi 0 (nol), ini menandakan data pengamatan homogen, semua
91

data memiliki nilai yang identik. Semakin besar nilai standar deviasi, menandakan

semakin menyebar data pengamatan, dan memiliki kecenderungan setiap data

berbeda satu sama lain.

Besaran nilai standar deviasi ketebalan seam BE dan NM berkisar dari 0.13 -

0,83 menunjukkan bahwa data relatif homogen. Nilai standar deviasi ketebalan

seam sangatta dan seam A1 berkisar dari 2,2 -2,8 menunjukkan bahwa heterogen.

Kecenderungan skewness negatif, seperti yang terlihat pada ketebalan seam

sangatta barat dan A1 yang berarti ketebalan batubara sebagian besar berada

diatas ketebalan rata-rata. Kecenderungan skewness positif, seperti yang terlihat

pada ketebalan seam NM, BE dan sangatta timur yang berarti ketebalan batubara

sebagian besar berada dibawah ketebalan rata-rata.

Tabel 4.40 Tabel rata-rata ketebalan, standard deviasi dan skewness batubara di
daerah penelitian
Nama Lapisan Lokasi Rata-rata Standar Skewness
Batubara Ketebalan Deviasi
(meter)
Seam BE Utara 1,06 0,83 +
Selatan 2,79 0,77 +

Seam NM Utara 0,47 0,17 +

Selatan 5,17 0,13 +

Seam Sangatta Barat 6,7 2,8 -

Timur 6,1 2,8 +

Seam A1 6,83 2,29 -


92

Nilai standar deviasi kandungan abu batubara seam BE selatan , NM selatan,

sangatta menunjukkan bahwa data heterogen. Nilai standar deviasi kandungan

sulfur menunjukkan bahwa data relatif homogen. Nilai standar deviasi nilai kalori

menunjukkan bahwa data relatif homogen. Kecenderungan skewness negatif,

seperti yang terlihat pada nilai kalori seam NM dan BE selatan yang berarti nilai

kalori batubara sebagian besar berada diatas ketebalan rata-rata. Kecenderungan

skewness positif, seperti yang terlihat pada kandungan abu dan sulfur seam NM,

BE selatan dan sangatta serta nilai kalori seam sangatta yang berarti kandungan

abu dan sulfur serta nilai kalori seam sangatta sebagian besar berada dibawah

kandungan abu dan sulfur serta nilai kalori rata-rata.

Tabel 4.41. Tabel rata-rata kualitas (abu, sulfur dan nilai kalori) batubara di
daerah penelitian
Nama Lapisan Lokasi Rata-rata Standar Skewness

Batubara Deviasi

Kandungan Abu (%)

Seam NM Selatan 4,86 3,20 +

Seam BE Selatan 4,71 2,96 +

Seam Sangatta 2,157 1,215 +

Kandungan Sulfur (%)

Seam NM Selatan 1,21 0,62 +


93

Seam BE Selatan 1,18 0,43 +

Seam Sangatta 0,425 0,264 +

Nilai Kalori

Seam NM Selatan 6969 kcal/gr 263,88 -

Seam BE Selatan 6975 kcal/gr 306,4 -

Seam Sangatta 13520 btu/lb 187,138 +

4.2.2.4. Analisis Koefisien Variasi

Salah satu variabel statistik deskriptif yang perlu diperhatian sebelum

dilakukan analisis geostatistik adalah koefisien variasi (Coefficient of variation).

Koefisien variasi (atau CV) adalah ukuran normal dispersi dari distribusi

probabilitas. Nilai absolut Koefisien Variasi kadang-kadang disebut Relatif

Standar Deviasi (atau RSD). Hasil yang didapat dari perhitungan nilai CV

dinyatakan sebagai semakin kecil koefisien variasi semakin besar bararti suatu

data itu semakin tidak seragam. Untuk batubara, koefisien variasi lebih dari 0,5

menunjukkan populasi tidak normal, sedangkan jika lebih kecil dari 0,5

menunjukkan populasi normal. Hasil penelitian untuk ketiga lokasi penelitian

didapat nilai CV yang beragam, yang dapat menunjukkan hubungan data dengan

kondisi geologi, jika nilai CV >0,5 mengindikasikan variasi geologi tinggi,

sedangkan bila nilai CV <0,5 mengindikasikan variasi geologi rendah


94

Hasil penelitian didapat nilai CV untuk ketiga area penelitian adalah seperti

yang terlihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.39 Koefisen variasi lapisan batubara di daerah penelitian

Nama Lapisan Lokasi Koefisien Variasi


Batubara

Ketebalan Kualitas Batubara

Ash Sulfur Calorific


Value

Seam BE Utara 0,78


Selatan 0,28 0,63 0,37 0,04
Seam NM Utara 0,36
Selatan 0,26 0,66 0,52 0,04
Seam Sangatta Barat 0,42
Timur 0,46 0,56 0,61 0,01
Seam A1 0,33 - - -

Berdasarkan tabel diatas, terlihat jika berdasarkan data ketebalan lapisan

batubara, dominan CV < 0,5, sehingga dapat disimpulkan bahwa variasi ketebalan

batubara untuk lapisan batubara BE selatan, NM utara, NM selatan, Sangatta

barat, Sangatta timur dan A1 adalah rendah, hanya lapisan batubara BE utara yang

tinggi variasinya. Hal ini dikarenakan pada bagian utara datanya masih sangat

jarang dan pengarus struktur sangat dominan.

Secara umum untuk data kualitas lapisan batubara, kadar abu (ash), dan kadar

sulfur bernilai dominan >0,5 kecuali untuk lapisan batuabara BE. Hal ini

mengidentifikasikan bahwa data kualitas abu dan sulfur sangat bervariasi. Untuk
95

nilai kaloir (Calorific Value) bernilai dominan <0,5. Namun untuk analisa kualitas

batubara belum bias menjadi acuan karena keterbatasan jumlah data kualitas

batubara yang ada, sehingga penulis lebih memperhatikan data ketebalan.

4.2.3. Variogram

Pada tahapan pemodelan geostatistik lapisan batubara diperlukan suatu analisa

hubungan spasial (spatial relationship) antara pasangan atau beberapa pasangan

data geologi untuk mengetahui geometri dan kontinuitas batubara. Salah satu

analisa tersebut adalah analisa variogram. Parameter utama variogram terdiri dari

empat bagian yaitu trend (melihat penyebaran lapisan batubara), sill and range,

serta nugget. Beberapa parameter yang diperlukan untuk mendeskripsikan model

semivariogram adalah range, yang merupakan jarak maksimum dimana masih

terdapat korelasi antar data, sill (C0+C) yang merupakan sebuah nilai tertentu

yang konstan yang dimiliki oleh semivariogram untuk jarak tertentu sampai

dengan jarak yang tidak terhingga atau nilai semivariogram dimana menunjukkan

sudah tidak terdapat lagi korelasi antar data dan nugget effect (C0) yang

merupakan pendekatan nilai semivariogram pada jarak di sekitar nol.

Analisis variogram yang baik adalah analisis yang memasukan atau

menggabungkan data geologi pada setiap penentuan parameter variogram. Pada

sub-bab berikut akan dijelaskan setiap data geologi yang mengontrol penentuan

parameter variogram.

4.2.3.1. Penentuan Nilai dan Jarak Variasi Data (Sill dan Range)

Pada penentuan nilai dan jarak variasi data, sifat nilai dan jarak variasi dari

data geologi kualitatif dan data geostatistik, sehingga pada penentuan nilai variasi
96

dari data proses geologi akan dinyatakan dalam tiga nilai yaitu; besar, sedang dan

kecil sedangkan jarak variasi data dinyatakan dengan jauh dan dekat. Idealnya

penentuan nilai dan jarak variasi dari data proses geologi dilakukan pada semua

seam batubara dalam berbagai lingkungan pengendapan. Hal ini untuk melihat

secara jelas perbandingan nilai dan jarak variasi data untuk setiap jenis seam

batubara.

Pada penelitian ini, analisis geostatistik hanya difokuskan pada 7 (tujuh) jenis

seam batubara yang berbeda kondisi geologinya sehingga nilai dan jarak variasi

dari data proses geologi dapat menjadi acuan daerah lainya dengan kondisi

geologi yang sama. Berikut dibawah ini tabel sill dan range seam batubara yang

diteliti.

Tabel 4.40 Tabel sill dan range seam batubara telitian

Seam BE utara BE sealatan NM Utara NM selatan


Parameter
Ketebalan

Range 151 meter 210 meter 250 meter 475 meter

sill 0,658 0,16 0,027 3,198

Kadar Abu

Range - 217 meter - 341 meter

sill - 3,13 - 9,5

Kadar Sulfur

Range - 220 meter - 278 meter

sill - 0,24 - 0,29


97

Nilai Kalori

Range - 576 meter - 353 meter

Sill - 90210 - 68000

Seam Sangatta Sangatta A1

Parameter Barat Timur

Ketebalan

Range 258 meter 244 meter 1034 meter

Sill 6,97 3,116 3.286

Kadar Abu

Range 288 meter -

Sill 0,435 -

Kadar Sulfur

Range 1584 meter -

Sill 0,07 -

Nilai Kalori

Range 2790 meter -

Sill 3500 -

4.2.3.2. Analisis Nugget Effect

Nugget effect (C0) dikenal sebagai fenomena yang menunjukkan variabilitas

data pada jarak dekat (dikenal juga sebagai struktur mikro). Semakin besar nilai
98

nugget effect maka variasi antar data yang berdekatan akan semakin besar.

Berikut tabel nugget effect di daerah penelitian :

Tabel 4.41 Nugget effect ketebalan lapisan batubara di daerah penelitian

Nama Lapisan Lokasi Nugget Effect


Batubara
Seam BE Utara 0.04

Selatan 0.26

Seam NM Utara 0,0009

Selatan 0,861

Seam Sangatta Barat 1,72

Timur 4,51

Seam A1 2,01

Hasil fitting variogram eksperimental data di daerah penelitian menunjukkan

bahwa sebagian besar data mempunyai nilai nugget yang besar, dan sebagian kecil

bernilai rendah. Bersadarkan tabel diatas terlihat nilai nugget effect yang besar,

yaitu pada seam batubara sangatta dan seam A1, sedang yang rendah untuk seam

batubara BE dan NM. Penyebab dari membesarnya nilai nugget diakibatkan oleh

sebaran data dan jarak antar data. Data yang tersebar tidak teratur yang

menghasilkan model variogram yang mempunyai nugget effect yang lebih besar

nol. Kehadiran efek nugget di variogram ketebalan khas juga menyiratkan bahwa

variasi ketebalan cukup eratic.


99

Nilai nugget effect akan sama dalam satu zona dan satu variabel untuk spasi

yang sama, tapi dapat mempunyai perbedaan yang cukup signifikan untuk spasi

yang berbeda. Dari hasil perhitungan model variogram didapatkan bahwa semua

nilai nugget effect selalu berbeda untuk spasi yang berbeda. Perbedaan ini

berhubungan dengan spasi antar data yang sudah semakin tidak teratur.

Berdasarkan jarak data berdasarkan sill dari variogram, yang telah dibahas

dalam bab sebelumnya, terlihat korelasi antara kondisi geologi dengan jarak range

dari variogram. Untuk kondisi sederhana, jarak range mencapai lebih dari 250

meter, yang mengindikasikan lapisan batubaranya menerus secara lateral dengan

variasi kecil, hal ini terlihat pada lapisan batubara A1 yang secara geologi

digolongkan kedalam kondisi sederhana. Selanjutnya untuk kondisi moderate

jarak range mencapai kurang lebih 100 meter, mengindikasikan lapisan

batubaranya mempunyai variasi ketebalan lateral yang sedang serta terlihat variasi

geometri lapisan batu bara, namun sebarannya masih dapat diikuti sampai ratusan

meter, hal ini terlihat pada lapisan batubara sangatta barat yang secara geologi

digolongkan kedalam kondisi geologi moderate. Untuk seam NM selatan, secara

geologi digolongkan kedalam kategori kondisi geologi kompleks, namun secara

geostatistik digolongkan kedalam kondisi geologi moderate, hal ini dimungkinkan

karena letak seam NM selatan yang berada dibagian bawah, kemungkinan secara

pembentukannya berbeda dengan seam diatasnya, khususnya kemenurusan

struktur geologi dan lain-lain.

Kondisi geologi kompleks memperlihatkan variasi lapisan batubara dengan

ketebalan dan geometri yang tinggi, sehingga secara lateral, sebaran lapisan batu
100

baranya terbatas dan hanya dapat diikuti sampai puluhan meter. Kondisi kompleks

ini berdasarkan analisis geostatistik terlihat pada lapisan batubara BE utara, BE

selatan, NM utara dan Sangatta timur, yang secara pengamatan geologi

menunjukkan kondisi yang komlpleks juga. Berikut dibawah ini adalah tabel

hubungan jarak range variogram untuk klasifikasi sumberdaya terukur dengan

kondisi geologi.

Tabel 4.42 Hubungan jarak range variogram untuk klasifikasi sumberdaya

terukur dengan kondisi geologi di daerah penelitian

Nama Lapisan Batubara Range (meter ) Kondisi


Inferred Coal Geologi
Resources
Seam BE Utara 151,2 Kompleks
Selatan 209 Kompleks
Seam NM Utara 249 Kompleks
Selatan 475 Moderate
Seam Barat 528 Moderate
Sangatta Timur 277 Kompleks
Seam A1 1034 Sederhana

Kerapatan jarak titik informasi atau dalam penelitian ini adalah jarak lubang

bor dan kondisi akan sangat berhubungan dengan klasifikasi sumberdaya. Untuk

area yang dengan kondisi geologi sederhana seperti lapisan batubara A1 yang

memiliki jarak/spasi lubang bor yang rata-rata 80 meter, berdasarkan analisis

geostatistik sudah dapat dikategorikan menjadi sumberdaya terukur, bahkan jika

merujuk hasil analisis range variogram, jarak/ spasi lubang bor dapat ditingkatkan
101

menjadi 257 meter untuk sumberdaya terukur. Untuk area yang dengan kondisi

geologi moderate seperti lapisan batubara sangatta barat yang memiliki

jarak/spasi lubang bor yang rata-rata 60 meter, berdasarkan analisis geostatistik

sudah dapat dikategorikan menjadi sumberdaya terukur, bahkan jika merujuk hasil

analisis range variogram, jarak/ spasi lubang bor dapat ditingkatkan menjadi 116

meter untuk sumberdaya terukur, sedangkan lapisan batubara NM selatan yang

yang memiliki jarak/spasi lubang bor yang rata-rata 133 meter, berdasarkan

analisis geostatistik tidak dapat dikategorikan menjadi sumberdaya terukur, untuk

menjadi sumberdaya terukur, jarak/ spasi lubang bor harus dipendekkan menjadi

100 meter.

Kerapatan titik informasi untuk kondisi geologi kompleks secara teoritis

seharusnya makin rapat untuk mendapatkan sumberdaya batubara terukur. Pada

kondidi geologi kompleks diperlukan kerapatan lubang bor yang pendek,

dikarenakan sangat besar variasi dari geometri dan kemenerusan batubara. Jika

dilihat lapisan batubara BE utara dan selatan, lapisan batubara NM utara, serta

lapisan batubara sangatta timur, yang tergolong kondisi geologi kompleks,

memiliki kerapatan lubang bor diatas 100 meter, berdasarkan analisis geostatistik

hal ini tidak dapat dikategorikan menjadi sumberdaya terukur, untuk menjadi

sumberdaya terukur, jarak/ spasi lubang bor harus dipendekkan menjadi kurang

dari 100 meter, yaitu lapisan batubara BE utara menjadi 50 meter, lapisan

batubara BE selatan menjadi 60 meter, lapisan batubara NM utara menjadi 60

meter dan lapisan batubara sangatta timur menjadi 60 meter.


102

4.2.4. Blok Kriging

Dalam analisis kriging, salah satu parameter yang harus ditentuakan adalah

dimensi blok 2D. Umumnya untuk endapan batubara digunakan dimensi blok 200

m x 200 m, 100 m x 100 m atau 50 x 50 m, tergantung dengan jarak spasi lubang

bor. Tidak dianjurkan grid kriging saangat kecil, misalnya 10 m x 10 m ( Margaret

Amstrong, 1998), karena hasil yang didapat akan bias. Hasil analisis kriging yang

didapat akan menghasilkan nilai yang berbeda-beda. Secara teoritis, semakin kecil

dimensi blok akan menghasilkan nilai yang lebih detil. Pada penelitian ini penulis

mencoba untuk menerapkan ketiga dimensi blok yang berbeda. Hasil yang didapat

adalah dimensi blok yang kecil (50 m x 50 m) menghasilkan nilai yang lebih

sesuai untuk pengklasifikasian sumberdaya batubara.

4.2.5. Relative Kriging Standard Deviation

Metode RKSD (Relative Kriging Standard Deviation) yang ditemukan oleh

Sinclair & Blackwell,2005 mengklasifikasikan sumberdaya mineral menjadi

sumberdaya batubara terukur (measured), tertunjuk (indicated), dan tereka

(inferred) dengan ketentuan : Measured 0,3 ≤ Indicated 0,5 ≤ Inferred, ternyata

dapat diterapkan pada batubara. Dari jurnal yang dikeluarkan Sinclair &

Blackwell,2005 , semua dilakukan untuk mineral, namun untuk endapan batubara

penulis menggunakan formula yang sama yaitu klasifikasi sumberdaya batubara

menggunakan aturan : Measured ≤ 0,3 ; Indicated 0,3 – 0,5 ; Inferred ≥0,5. Hal

ini telah teruji dengan tiga tipe batubara yang diamati di daerah penelitian.
103

Dalam pengklasifikasian dan estimasi sumberdaya batubara berdasarkan

RKSD (Relative Kriging Standard Deviation), hubungan antara klasifikasi dan

estimasi sumberdaya batubara terukur (measured), tertunjuk (indicated), dan

tereka (inferred) berdasarkan RKSD sangat erat hubungannya juga dengan kondisi

geologi, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Hasil penelitian menunjukkan kesamaan interpretasi, seperti pada lapisan

batubara Sangatta, dimana lapisan batubara sangatta bagian timur yang tergolong

kondisi geologi kompleks dan dengan kerapatan data yang kurang rapat,

menunjukkan hasil estimasi sumberdaya terukur lebih sedikit dari batubara

sangatta bagian barat yang tergolong kondisi geologi moderate dan dengan

kerapatan data yang kurang rapat juga. Hal yang menarik terlihat pada lapisan

batubara di Pit J, yaitu lapisan batubara BE utara, BE, selatan, NM utara dan NM

selatan, terlihat bahwa pada kondisi geologi yang sama terlihat hasil estimasi

sumberdaya terukur yang berbeda, dimana pada area utara jumlah sumberdaya

terukur lebih kecil dari di area selatan. Hal ini diakibatkan karena jumlah lubang

bor yang berbeda, dimana pada area utara lebih sedikit dibandingkan dengan di

area selatan, juga di area selatan memiliki kerapatan data yang lebih rapat

dibandingkan dengan di area utara. Untuk batubara Bukit Asam, yang tergolong

kondisi geologi sederhana dan dengan kerapatan data yang realtif sama,

menghasilkan hasil estimasi sumberdaya terukur terbanyak dibandingkan dengan

lapisan batubara lainnya yang diamati dalam penelitian ini. Dari peryataan diatas,

didapat bahwa dalam pengklasifikasian dan estimasi sumberdaya batubara, faktor

yang sangat menentukan yaitu kondisi geologi, jumlah dan kerapatan data.
104

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan ternyata metode Relative

Kriging Standard Deviation yang saat ini hanya dipakai dalam klasifikasi dan

estimasi sumberdaya mineral, ternyata dapat juga dipakai dalam klasifikasi dan

estimasi sumberdaya batubara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode

Relative Kriging Standard Deviation terbukti benar dan dapat diterapkan ke

endapan-endapan batubara lainnya di Indonesia yang mempunyai kondisi geologi

yang sama.

4.2.6. Standar Nasional Indonesia SNI 5015:2011

SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk klasifikasi sumberdaya dan cadangan

batubara yaitu SNI 5015:2011 telah membagi secara kualitatif karakteristik

geologi yang mengelompokkan kondisi geologi menjadi tiga yaitu kondisi geologi

sederhana, moderat dan kompleks berdasarkan aspek sedimentasi dan pengaruh

tektonik, dan kualitas. Berdasarkan hasil penelitian penulis, penulis mencoba

untuk memberikan masukkan bahwa pembagian kondisi geologi dapat diperkuat

dengan metode geostatistik, sehingga dapat bersifat kuantitatif. Hasil analisis

variogram, khususnya jarak range variogram dapat memberikan kontribusi dalam

penentuan kondisi geologi. Selanjutnya jarak titik informasi menurut kondisi

geologi dalam SNI 5015:2011 telah ditentukan seperti yang terlihat pada tabel 2.4.

Penulis juga mencoba memberikan kontribusi jarak titik informasi ( jarak lubang

bor) menurut hasil analisis geostatistik ( analisis kemenerusan variogram atau

nilai sill), yang menghasilkan tabel dibawah ini :


105

Tabel 4.43 Jarak titik informasi menurut analisis geostatistik (range dalam meter)

Kondisi Geologi Sumberdaya Batubara

Tereka Tertunjuk Terukur

Sederhana 550-1000 250 -550 x≤250

Moderat 260-500 100 -260 x≤100

Kompleks 150-250 50 -150 x≤50

Klasifikasi sumberdaya batubara didalam SNI 5015 tahun 2011, membagi

sumberdaya batubara didasarkan pada tingkat keyakinan geologi, menghasilkan

kelas sumberdaya batubara tereka ( Inferred Coal Resource), sumberdaya batubara

tertunjuk (Indicated Coal Resource) dan sumberdaya batubara terukur (Measured

Coal Resourced). Penulis dalam penelitian ini memberi kontribusi dalam

pengklasifikasian sumberdaya batubara dengan menggunakan salah satu metode

geostatistik, yaitu dengan menggunakan RKSD (Relative Kriging Standard

Deviation), dimana saat ini metode RKSD hanya dilakukan untuk endapan

mineral, penulis mencoba menerapkannya pada endapan batubara,

Klasifikasi sumberdaya batubara mengacu kepada batasan besaran hasil

perhitungan RKSD, dimana jika kelas sumberdaya batubara tereka ( Inferred Coal

Resource) RKSD ≥0,5, sumberdaya batubara tertunjuk (Indicated Coal Resource)

RKSD 0,3 – 0,5dan sumberdaya batubara terukur (Measured Coal Resourced)

RKSD ≤ 0,3. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
106

Tabel 4.44 Hubungan kelas sumberdaya batubara dengan RKSD

Kelas Sumberdaya Batubara RKSD ( Sinclair & Blackwell,2005)

Sumberdaya batubara tereka ≥0,5

Sumberdaya batubara tertunjuk 0,3 – 0,5

Sumberdaya batubara terukur ≤ 0,3

Metode pengklasifikasian sumberdaya batubara selanjutnya dengan

menggolongkan kelas sumberdaya berdasarkan nilai sill dari variogram. Penulis

telah mencoba menerapkan hasil penelitian Snowden dan Brett Larkin yang saat

ini hanya diterapkan pada mineral, ternyata dapat dan tepat juga digunakan untuk

batubara. Untuk kelas sumberdaya batubara tereka ( Inferred Coal Resource )

digunakan 3/3 sill atau sama dengan nilai range, sumberdaya batubara tertunjuk

(Indicated Coal Resource) digunakan 3/3 – 1/3 sill dan sumberdaya batubara

terukur (Measured Coal Resourced) digunakan < 1/3 sill. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.45 Hubungan kelas sumberdaya batubara dengan nilai sill variogram
(Snowden, 1996)

Kelas Sumberdaya Batubara Sill Variogram

Sumberdaya batubara tereka 3/3 atau range

Sumberdaya batubara tertunjuk 3/3 – 1/3

Sumberdaya batubara terukur <1/3


107

Berdasarkan hasil analisis diatas, maka penulis mencoba untuk menyimpulkan

klasifikasi sumberdaya batuabara berdasarkan analisa geostatistik, yang

diharapkan dapat berkontribusi melengkapai klasifikasi SNI 5015 tahun 2011,

yang akan dijabarkan pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.46. Hubungan kelas sumberdaya batubara dengan sill variogram dan
RKSD

Kelas Sumberdaya Sill Variogram RKSD (Relative

Batubara (Snowden, 1996) Kriging Standard

Deviation)

Sumberdaya batubara 3/3 atau range ≥0,5

tereka

Sumberdaya batubara 3/3 – 1/3 0,3 – 0,5

tertunjuk

Sumberdaya batubara <1/3 ≤ 0,3

terukur

4.2.7. Pengelompokkan Kondisi Geologi Menurut SNI 5015 Tahun 2011

dan Usulan Penyempurnaan

Berdasarkan proses sedimentasi dan pengaruh tektonik, karakteristik geologi

secara kualitatif dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama : Kelompok

geologi sederhana, kelompok geologi moderat, dan kelompok geologi kompleks.

Penulis mencoba menguraikan tentang batasan umum untuk masing-masing

kelompok tersebut secara geologi dan geostatistik , yang tertuang dibawah ini:
108

Tabel 4.47 Parameter aspek vs. kondisi geologi (SNI 5015, 2011)

Parameter Kondisi Geologi

Sederhana Moderat Kompleks

VII. Aspek Sedimentasi

Variasi ketebalan Sedikit bervariasi Bervariasi Sangat bervariasi

Kesinambungan Ribuan meter Ratusan meter Puluhan meter

Percabangan Hampir tidak ada Beberapa Banyak

VIII. Aspek Tektonik

Patahan Hampir tidak ada Jarang Rapat

Lipatan Hampir tidak Terlipat sedang Terlipat kuat

terlipat

Intrusi Tidak berpengaruh Berpengaruh Sangat

berpengaruh

Kemiringan Landai Sedang Curam

IX. Aspek Kualitas

Variasi kualitas Sedikit bervariasi Bervariasi Sangat Bervariasi

4.2.8. Rincian analisis geologi kualitatif kompleksitas geologi (SNI

5015/2011)

Rincian analisis geologi dalam SNI 5015 tahun 2011 meliputi aspek

sedimentasi, aspek tektonik dan aspek kualitas batubara.


109

I. Aspek Sedimentasi

Aspek sedimentasi meliputi variasi ketebalan, kesinambungan, percabangan,

keteraturan lapisan, dan bentuk lapisan batubara. Berikut secara rinci akan dibahas

satu persatudibawah ini.

A. Varisi Ketebalan

Variasi ketebalan lapisan batubara merupakan kecenderungan arah perubahan

ketebalan, penipisan, pembajian, dan splitting. Hal ini perlu dipelajari apakah

terjadi selama proses pengendapan, antara lain akibat perbedaan kecepatan

akumulasi batubara, perbedaan morfologi dasar cekungan, hadirnya channel,

patahan, dan proses karst atau terjadi setelah pengendapan, antara lain karena

patahan atau erosi permukaan. Menurut Jeremic (1985), parameter ketebalan

lapisan batubara terbagi menjadi :

a. sangat tipis, apabila tebalnya kurang dari 0,5 m,

b. tipis 0,5-1,5 m,

c. sedang 1,5-3,5 m,

d. tebal 3,5-25 m, dan

e. sangat tebal, apabila >25 m

Variasi ketebalan yang dimaksud dalam SNI 5015 adalah untuk kondisi

sederhana ketebalan relative konstan atau tidak ada perubahan ketebalan; kondisi

moderate ketebalan batubara dibeberapa tempat sudah terjadi perubahan, baik

berupa penipisan, pembajian, dan splitting : dan kondisi komplels, ketebalan

batubara sudah banyak ditemukan perubahan ketebalan , baik berupa penipisan,

pembajian, dan splitting pada lapisan batubara.


110

B. Kesinambungan

Kesinambungan terbagi menjadi kesinambungan geologi yaitu merupakan

bentuk spasial (fisik) suatu geometri endapan, meliputi primer dan sekunder ; dan

kesinambungan nilai yaitu bentuk distribusi spasial dari suatu parameter endapan,

meliputi ketebalan zona geologi, nilai kualitas pada suatu zona, nugget effect dan

range of influence, trend distribusi kualitas secara spasial pada arah tertentu dan

hubungan trend atau distribusi suatu domain geologi pada beberapa kombinasi

parameter. Kemenerusan yang dimaksud dalam SNI 5015 tidak dijelaskan secara

kuantitatif, dari tulisan yang ditulis oleh Jeremic (1985), parameter geologi

kemenerusan lapisan batubara dapat diikuti dalam jarak :

a. ratusan meter,

b. ribuan meter 5-10 km, dan

c. menerus sampai lebih dari 200 km.

Selain jarak kemenerusan, maka faktor pengendalinya juga perlu diketahui,

yaitu apakah kemenerusannya dibatasi oleh proses pengendapan, split, patahan,

intrusi, atau erosi (Warbroke, 1981 dalam Diessel, 1992)

C. Percabangan

Percabangan batubara pada suatu area dapat terjadi atau tidak terjadi,

tergantung kondisi geologi dan proses pembentukan batubaranya. Jika

percabangan terjadi, sebarannya masih dapat dikuti. Jarak sebarannya bias

puluhan sampai ratusan meter.

D. Keteraturan Lapisan Batubara


111

Keteraturan lapisan batubara ditentukan oleh pola kedudukan lapisan batubara

(jurus dan kemiringan) artinya :

a. Apakah pola lapisan batubara dipermukaan (crop line) menunjukkan pola

teratur (garis lurus, melengkung/meliuk pada elevasi yang hampir sama)

atau membentuk pola yang tidak teratur (garis yang tidak menerus,

melengkung/meliuk pada elevasi yang tidak sama).

b. Apakah bidang lapisan batubara membentuk bidang permukaan yang

hampir rata, bergelombang lemah atau bergelombang kuat)

c. Juga harus dipahami faktor pengendali ketertauran lapisan batubara.

E. Bentuk lapisan batubara

Merupakan perbandingan antara tebal lapisan batubara dan

kemenerusannya, apakah melembar, membaji, melensa atau bongkah.

Bentuk melembar merupakan bntuk yang umum dijumpai, oleh karena itu

selain bentuk melembar, maka perlu dijelaskan faktor-faktor

pengendalinya.

II. Aspek Tektonik

A. Patahan

Patahan atau patahan yang dimaksud dalam SNI 5015 tidak dijelaskan secara

kuantitatif namun hanya berdasarkan intensitasnya, meliputi tidak ditemukannya

patahan pada kondisi geologi sederhana, ditemukan jarang untuk kondisi geologi

moderate dan ditemukan banyak pada kondisi geologi kompleks. Menurut J.D.

Hughes dkk 1989 dalam “ A Standardized Coal Resources/Reserve Reporting


112

System for Canada . Geological Survey of Canada. Paper 88-21”, menjelaskan

lebih detil klasifikasi lipatan berdasarkan keterdapatan dan offset patahan, yaitu:

Kondisi Geologi Jenis Patahan

Low No Fault

Moderate Ditemukan beberapa Patahan, dengan offset

<10 meter

Complexs Banyak dijumpai patahan dengan offset <10

meter

Severe Banyak dijumpai patahan dengan offset>10

meter

Bersadarkan jenisnya, patahan akan memberikan pengaruh dalam kompleksitas

geologi suatu daerah. Beberapa jurnal yang membahas jenis struktur geologi yang

kompleks pada tambang batubara salah satunya P.B. Bright dkk dalam papernya

menyatakan jenis patahan yang sangat berpengaruh di tambang batubara yaitu

patahan naik. Penulis mencoba membuat tabel jenis patahan dan hubungannya

dengan kondisi geologi, seperti yang terlihat dibawah ini .

Kondisi Geologi Jenis Patahan

Sederhana No Fault

Moderate Patahan Normal

Kompleks Patahan geser dan Patahan naik


113

B. Lipatan

Lipatan yang dimaksud dalam SNI 5015 tidak dijelaskan secara kuantitatif,

diklasifikasikan tidak terlipat untuk kondii geologi sederhana, terlipat sedang

untuk kondisi geologi moderate dan terlipat kuat untuk kondisi geologi kompleks.

Klasifikasi lipatan menurut J.D. Hughes dkk, 1989 dalam “ A Standardized Coal

Resources/Reserve Reporting System for Canada . Geological Survey of Canada.

Paper 88-21”, menjelaskan lebih detil klasifikasi lipatan berdasarkan tightness of

fold ( angle of interlimb), yaitu:

Kondisi Geologi Jenis Lipatan

Low No Fold

Moderate Homoklin atau Open Fold (1200-700)

Complexs and Severe Tight Fold (300-700) –overturned fold

C. Intrusi

Intrusi batuan beku dapat mempengaruhi struktur lapisan dan kualitas

batubara. Konstribusi utama dari intrusi batuan beku pada struktur lapisan

batubara adalah pemanasan dan efek devolatilisasi (penguapan materi volatile)

yang terjadi ketika magma panas membentuk suatu sill atau lacolith di dekat

lapisan batubara, atau ketika korok (dike) menembus formasi batubara. Kualitas

batubara atau kandungan karbon akan meningkat dengan semakin dekatnya jarak

lapisan batubara terhadap sumber panas. Terjadinya gradasi dalam rank ini adalah

disebabkan oleh perbedaan tingkat devolatilisasi yang dipengaruhi oleh panas.


114

D. Kemiringan Lapisan batubara

Kemiringan lapisan batubara yang dimaksud dalam SNI 5015 tidak dijelaskan

secara kuantitatif, hanya dikategorikan landau, sedang dan curam. Berdasarkan

Jeremic (1985), parameter kemiringan lapisan batubara terbagi menjadi :

(a) lapisan horisontal,

(b) lapisan landai, bila kemiringannya kurang dari 25o,

(c) lapisan miring, kemiringannya berkisar 25o-45o,

(d) lapisan miring curam, kemiringannya berkisar 45o-75o, dan

(e) vertikal.

III. Aspek Kualitas

Kualitas batubara secara langsung berkaitan dengan tingkat perubahan yang

terjadi baik pada saat proses sedimentasi berlangsung maupun pada pasca

pengendapan, seperti : pembelahan atau kerusakan lapisan (wash out), pergeseran,

perlipatan, dan pembalikan (overturned) yang ditimbulkan oleh aktivitas tektonik.

Parameter kualitas yang sangat signifikan dalam batubara antara lain kadar abu,

kadar sulfur dan nilai kalor ( CV). Hubungan kualitas dengan kondisi geologi

adalah dari tingkat variasin datanya. Penulis mencoba membuat tabel hubungan

kualitas batubara dengan kondisi geologi.


115

Kondisi Parameter Kualitas Batubara

Geologi
Abu, Sulfur dan Calorific Value

Sederhana  Data Homogen, tidak ada fluktuasi data

Moderate  Data Relatif homogen, ada fluktuasi data

 Variasi data kualitas < 10%

Kompleks  Data Heterogen, fluktuasi data besar

 Variasi data kualitas > 10%

Berdasarkan pernyataan diatas, penulis mencoba menyimpulkannya dalam sebuah

tabel berikut :

Tabel 4.48. Modifikasi Parameter aspek vs. kondisi geologi (SNI 5015, tahun
2011)
Parameter Kondisi Geologi

Sederhana Moderat Kompleks

Aspek Sedimentasi

Variasi Tidak Bervariasi, Sangat bervariasi,

ketebalan bervariasi, ditemukan beberapa banyak ditemukan

ketebalan parting, washout, parting, washout,

batubara pinch, splitting, pinch, splitting,

menerus horseback horseback

Kesinambungan menerus  Menerus sampai  Sampai ratusan

sampai lebih ribuan meter ( 5- meter


116

dari 200 km. 10 km).  Kemenerusannya

 Kemenerusannya dibatasi oleh

dibatasi oleh proses

proses pengendapan,

pengendapan, split, sesar, intrusi

split, sesar, intrusi atau erosi

atau erosi

Percabangan Tidak Ada Ditemukan Banyak Ditemukan

Beberapa (sebarannya dapat

(sebarannya dapat diamati sampai

diamati sampai puluhan meter)

ratusan meter)

Keteraturan dan  Pola teratur  Pola yang tidak  Pola yang tidak

Bentuk Lapisan (garis lurus, teratur (garis teratur (garis

pada elevasi yang tidak yang tidak

yang hampir menerus, menerus,

sama) melengkung/meli melengkung/meli

 Bentuk uk pada elevasi uk pada elevasi

melembar yang tidak sama) yang tidak sama)

 Ditemukan  Ditemukan

bentuk melensa, bentuk melensa,

membaji atau membaji atau

bongkah. bongkah.
117

Aspek Tektonik

Patahan No Fault  Jenis patahan  Jenis patahan

normal mendatar dan

 Ditemukan patahan naik

beberapa  Banyak Patahan,

Patahan, dengan dengan offset

offset <10 meter >10 meter

Lipatan No Fold Homoklin atau Tight Fold (300-700)

Open Fold (1200- –overturned fold

700)

Intrusi Tidak Sedikit berpengaruh Sangat Berpengaruh

berpengaruh

Kemiringan  Pola  Pola kemiringan  Pola kemiringan

kemiringan lapisan batubara lapisan batubara

lapisan bersifat hanya tidak menerus

batubara bersifat setempat. atau setempat,

bersifat  Kemiringan dapat membentuk

menerus dan lapisan batubara pola linier, pola

sama berkisar 25o-45o lengkung, atau

besarnya pola luasan

sepanjang  Kemiringan

cross strike lapisan batubara


118

maupun on >45o

strike.

 Kemiringan

lapisan

batubara

< 25o

Aspek Kualitas

Variasi kualitas Data Abu,  Data Abu, Sulfur  Data Abu, Sulfur

Sulfur dan CV dan CV masing- dan CV masing-

masing-masing masing relatif masing

homogen (tidak homogen heterogen.

bervariasi).
 Variasi data  Variasi data

kualitas < 10%. kualitas > 10%.

Untuk lebih menyempurnakan tabel diatas, berdasarkan hasil pengkajian

statistik dan geostatistik data penelitian, maka pada penelitian ini penulis mencoba

membuat tabel parameter aspek diatas dengan menggunakan metode geostatistik,

sehingga tabel parameter aspek lebih bersifat kuantitatisf, seperti yang tertuang

pada tabel dibawah ini :


119

Tabel 4.49. Parameter aspek vs. kondisi geologi berdasarkan analisis geostatistik

Parameter Kondisi Geologi

Sederhana Moderat Kompleks

X. Aspek Sedimentasi

Variasi ketebalan CV<0,5 CV≥0,5 CV>0,5

Kesinambungan Range sampai Range sampai 500 Range ≤50 meter

1000 meter meter

Isotropi, Anisotropi, nested Anisotropi, nested

nugget effect structure structure

mendekati nol nugget effect>0 nugget effect>0

Percabangan Distribusi normal Distribusi tidak Distribusi tidak

(symetri) normal (asymetri normal (asymetri

positif atau positif atau

negatif) negatif)

XI. Aspek Tektonik

Patahan (minor) Isotropi Anisotropi Anisotropi

Lipatan Isotropi Anisotropi Anisotropi

Intrusi Distribusi normal Distribusi tidak Distribusi tidak

(symetri) normal (asymetri normal (asymetri

positif atau positif atau

negatif) negatif)

Kemiringan Distribusi normal Distribusi tidak Distribusi tidak

(symetri) normal (asymetri normal (asymetri


120

positif atau positif atau

negatif) negatif)

XII. Aspek Kualitas ( Abu, Sulfur dan Nilai Kalor)

Variasi kualitas Range sampai Range sampai Range ≤ 50 meter

1000 m 1000 m
121

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Penelitian mengenai “Pendekatan Geologi dan Geostatistik Endapan Batubara,

Lapangan Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur” dapat

ditarik beberapa simpulan. Simpulan hasil penelitian ini terdiri dari simpulan

umum dan simpulan khusus.

5.1.1. Simpulan Umum

1. Kompleksitas geologi endapan batubara (sedimentasi dan tektonik) di daerah

penelitian tergolong sederhana, moderat dan kompleks.

2. Model Geostatistik lapisan batubara didaerah penelitian berkaitan dengan

kompleksitas geologi dan dapat dipakai dalam klasifikasi serta estimasi

endapan batubara.

5.1.2. Simpulan Khusus

1. Kompleksitas geologi endapan batubara (sedimentasi dan tektonik) di

daerah penelitian, sesuai dengan SNI 5015 tahun 2011 dan bukti-bukti

studi geologi lainnya dapat dikategorikan menjadi adalah :

a. Pada lokasi peneltian area Pit J adalah kelompok kondisi geologi

kompleks.
122

b. Area lapangan batuabara sangatta dapat dibagi menjadi 2 ( dua )

kondisi, yaitu kondisi geologi moderat dan kondisi geologi

kompleks. Kelompok kondisi geologi kompleks berada pada area

bagian timur area, sedangkan kelompok kondisi geologi moderat

berada pada area barat.

c. Pada lokasi peneltian area PT. Bukit Asam, Tanjung Enim,

Sumatera Selatan, khususnya lapisan batubara A1, dapat

dikategorikan menjadi kelompok kondisi geologi sederhana.

2. Model Geostatistik yang didapat untuk setiap lapisan batubara didaerah

penelitian menghasilkan :

a. Ketebalan lapisan batubara

Hasil analisis variogram ketebalan lapisan batubara BE selatan Nugget

Effect 0.26 Range 209 meter Sill 0.16; ketebalan lapisan batubara BE

utara Nugget Effect 0.042 Sill 0.658 Range 151,2 meter ; ketebalan lapisan

batubara NM selatan Nugget Effect 0,861 Sill 3,198 Range 475,6 meter ;

ketebalan lapisan batubara NM utara Nugget Effect 0.06 Sill 0.115 Range

249,9 meter; lapisan batubara sangatta zona barat Nugget Effect 1.722 Sill

6.97 Range 528 meter; lapisan batubara sangatta zona timur Nugget Effect

4.51 Sill 3.444 Range 277 meter; lapisan batubara A1 Nugget Effect 2.014

Sill 3.286 Range 1034 meter

b. Kualitas lapisan batubara

Hasil analisis variogram kadar abu lapisan batubara NM Nugget effect 0,6

; Sill 9,5 ; Range 341 meter; kadar sulfur lapisan batubara NM Nugget
123

effect 0 ; Sill 0.28 ; Range 278,9 meter ; nilai kalori lapisan batubara NM

Nugget effect 0 ; Sill 68000 Range 353,4 meter ; kadar abu lapisan

batubara BE Nugget effect 0 ; Sill 3,13 Range 217,8 meter; kadar sulfur

lapisan batubara BE Nugget effect 0,192 ;Sill 0,24 ; Range 220 meter ;

nilai kalori lapisan batubara BE Nugget effect 2799; Sill 90210; Range 576

meter; kadar abu lapisan batubara Sangatta Nugget effect 1.05; Sill 0.45;

Range 288 meter ; kadar sulfur lapisan batubara Sangatta Nugget effect

10,0042 ; Sill 0.07 ; Range 1584 meter ; nilai kalor lapisan batubara

sangatta Nugget effect 13648.8 ; Sill 35000 ; Range 2790 meter

c. Untuk mendapatkan klasifikasi sumberdaya batubara dan jarak titik

informasi, maka didapat untuk kondisi geologi sederhana, sumberdaya

terukur, jarak titik informasi x≤250 meter, sumberdaya tertunjuk 250 -550

meter dan sumberdaya tereka 550-1000 meter. Untuk kondisi geologi

moderat, sumberdaya terukur, jarak titik informasi x≤100 meter,

sumberdaya tertunjuk 100 -260 meter dan sumberdaya tereka 260-500

meter sedangkan untuk kondisi geologi kompleks, sumberdaya terukur,

jarak titik informasi x≤50 meter, sumberdaya tertunjuk 50 -150 meter dan

sumberdaya tereka 150-250 meter.

d. Hasil klasifikasi dan estimasi sumberdaya batubara dengan pendekatan

geostatistik RKSD didapatkan klasifikasi sumberdaya batubara tereka,

tertunjuk dan terukur dengan estimasi sumberdaya batubara secara

berurutan (tereka, tertunjuk dan terukur) sebagai berikut : Lapisan

batubara BE utara 800.000 ton, 300.000 ton. Lapisan batubara BE selatan


124

70.000 ton, 4.000.000 ton, dan 10.000.000 ton. Lapisan batubara NM utara

300.000 ton, 300.000 ton, dan 200.000 ton. Lapisan batubara NM selatan

2.000.000 ton, 8.000.000 ton, dan 7.000.000 juta ton. Lapisan batubara

Sangatta barat 2.000.000 ton, 12.000.000 ton, dan 7.000.000 ton. Lapisan

batubara Sangatta timur 10.000.000 ton, 23.000.000 ton, dan 500.000 ton.

Lapisan batubara A1 7.000.000 ton, 28.000.000 ton, dan 55.000.000 ton

5.2. Saran

1. Penelitian geologi yang umumnya bersifat eksploratif - deskriptif akan

lebih baik jika ditingkatkan menjadi kuantitatif. Metode geostatistik dapat

dimanfaatkan untuk membantu analisis data secara kuantitatif dalam

penelitian geologi.

2. Endapan batubara biasanya heterogen dan mencakup variasi dalam

karakteristik lapisan, baik variasi lateral dan vertikal dalam kompleksitas

sedimentasi dan tektonik serta kualitasnya, sehingga harus

dipertimbangkan untuk dilakukan analisis geostatistik.

3. Perlu dilakuakan evaluasi SNI 5015 tahun 2011 khususnya pada

pengelompokkan kondisi geologi dan jarak titik informasi dalam

pengklasifikasian sumberdaya batubara.


125

DAFTAR PUSTAKA

_________. 2104. Australian Guidelines For The Eestimation and Classification

Of Coal Resources, The Coalfields Geology Council of New South

Wales & the Queensland Resources Council.

_________.2011. Pedoman Pelaporan, Sumberdaya, dan Cadangan Batubara.

SNI 5015:2011” Badan Standarisasi Nasional.

_________,2006. Gravity and Magnetic Surveys Over Pinang Dome, PT. Kaltim

Prima Coal, Lebak Block, East Kalimantan Province. Final Report.

Geophysical Engineerng, ITB.

Abjan Hi. Masuara, Heriawan M.N., Syafrizal, 2011. Perbandingan Antara

Pendekatan Direct Grade dan Accumulation Grade Pada Estimasi

Sumberdaya Nickel Laaterit Dengan Metode Geostatistik.. JTM Vol.

XVIII No. 1/2011.

Addis P, Secci M, Manunza A, Corrias S, Niffoi A, & A. Cau, 2009. A

geostatistical approach for the stock assessment of the edible

seaurchin, Paracentrotus lividus, in four coastal zones of Southern

and West Sardinia (SW Italy, Mediterranean Sea). Fisheries

Research 100 (2009), 215-221

Alan C. Cook and Bukin Daulay, 2000. Comparative analysis of Indonesian coal

fields. Keiraville Konsultants, 7 Dallas St, Keiraville, N.S.W., 2500,

Australia; Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral


126

(MTDRC), Jalan Jendral Sudirman No. 623, Bandung, Jawa Barat,

Indonesia

Alan C. Cook, 1997. Coal Geology and Coal Properties, Keiraville Consultants,

Australia.

Allen, G.p. Chambers, J.L.C.1998. Sedimentation In The Modern and Miocene

Mahakam Delta.Indonesian Petroleum Association. 236p,

Anggayana, K., W.A., Haris, 2007, Interpretasi fasies / lingkungan pengendapan

batubara dan variasi sulfur untuk rekomendasi strategi eksplorasi,

Geoaplika,Vol.2, No.1,hal.35-52.

Armstrong M., C. Bettini, N. Champigny, A. Galli, A. Remacre, 2000.

Geostatistics Rio 2000, Proceedings of the Geostatistics Sessions of

the 31st International Geological Congress, Rio de Janeiro, Brazil.

Armstrong, M. , 1998. Basic Linear Geostatistics, Springer Verlag, New York,

ISBN: 3540618457.153 p ,220 pp.

Armstrong, M. [ed.], 1989. Geostatistics, volumes 1 and 2, Kluwer Academic

Publishers, 1027 pp.

Aryadhi, D, M, 2011. Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara

di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi

Kalimantan Timur.

Baafi, E. Y., 1997. Geostaitsitcs Wollongong ’96 – Quantitative Geology and

Geostatistics, Kluwer Academic Publishers, ISBN: 0792302044,

1333 pp.
127

Bailey, T.C., Krzanowski, W.J., 2012. An overview of approaches to the analysis

and modelling multivariate geostatistical data. Mathematical

Geosciences 44 (4), 381–393.

Bain & Engelhardt.,1992. Introduction to Probability and Mathematical Statistics.

2nd Edition. California: Duxbury Press.

Bancroft, B.A. & Hobbs, G.R. 1986. Distribution of Kriging Error and

Stationarity of the Variogram in a Coal Property. Mathematical

Geology 8(7): 635-651.

Barber, A.J., 1985. The Relationship between The Tectonic Evolution of Southeast

Asia and Hydrocarbon Occurences, In: Tectonostratigraphic

terranes of the Circum-Pasific Region (Howell, D.G., Ed.) Circum-

Pasific Council for Energy and Mineral Resources, Earth Science

Series, 1.

Barnes. R. Variogram Tutorial. Randal Barnes. Golden Software, Inc.

Beretta, F.S, Costa, J.F.C.L, Koppe, J.C., 2010. Reducing coal quality attributes

variability using properly designed blending piles helped by

geostatistical simulation.International Journal of Coal Geology 84

(2), 83–93.

Bertoli, O, Paul, A, Casley, Z., & Dunn, D, 2013. Geostatistical drillhole spacing

analysis for coal resource classification in the Bowen Basin,

Queensland, International Journal of Coal Geology, 112, pp 107-

113.
128

Biantoro, E, Muritno, B.P, Mamuaya, J.M.B, 1992. Inversion Faults As The

Major Structural Control In The Northern Part Of The Kutai Basin,

East Kalimantan. Proceedings of 21st Annual Convention of

Indonesian Petroleum Association,

Blackwell, G.H., 1998. Relative Kriging Errors – A Basis for Mineral Resource

Classification. Expl. Min. Geol., v.7 (1 and 2), pp. 99-106.

Bohling, G., 2005. Introduction to Geostatistics And Variogram Analysis. Kansas

Geological Survey.

Boggs Jr., Sam., 2006. Principles of Sedimentology and Stratigraphy.4th Editions.

Prentice-Hall, Inc.New Jersey

Bright, P.B, Dumpleton. S, Hatton. W, and Oldcorn. R, 2010. Coal Mining in

structurally Complex Geological Settings – Examples From South

Wales and South America.

Bras, R., and Rodriguez-Iturbe, R., 1985, Random Functions and Hydrology,

Addison-Wesley, 559 pp.

Cant, D.J. 1992. Subsurface facies analysis. In Facies Models: Response to Sea

level Change (Walker, R.G.; James, N.P.; editors). Geological

Association of Canada, p. 195-218.

Casagrande, D. J., Sifert, L., Berschinski, C. and Sutton, N., 1977. Sulphur in

peatforming systems of Okefenokee Swamp and Florida Everglades:

origin of sulphur in coal. Geochim Cosmochim. Acta, 41: 161-167.


129

Cecil,C.B.;Stanton,R.W.Neuzil,S.G.;Dulong,F.T;Ruppert,L.F.;Pierce,B.S.,1985.

Paleoclimate controls on late Paleozoic sedimentation and peat

formation in the central Appalachian Basin (U.S.A.).

Chiles, J., and Delfiner, P., 1999. Geostatistics: Modeling Spatial Uncertainty,

John Wiley and Sons, New York, ISBN: 0471083151, 695 pp.

Christakos, G., 2001. Modern Spatiotemporal Geostatistics, Oxford University

Press; ISBN:0195138953, 312 pp.

Clark, I., 1979. Practical Geostatistics, Applied Science Publishers, 129 pp.

Clark, I., and W. V. Harper, 2000. Practical Geostatistics, Ecosse North America,

LLC; ISBN: 0970331703, 442 pp.

Claus F.K. Diessel, 1992. Coal Bearing Depositional Systems, Springer-Verlag

Berlin Heidelberg.

Cohen, A. D., Spackman, W. and Raymond, R. J., 1987. Interpreting the

characteristics of coal seams from chemical physical and

petrographic studies of peat deposits. In: Scott, A. C. (ed), Coal and

Coal Bearing Strata: recent advances. Geol. Soc. Spec. Publ., 32:

107-125.

Courteney, S., Cockcroft, P. Lorentz, R. A. Miller, R. Ott, H. L. Prijosoesilo, P.

Suhendan, A. R. & Wight, A. W. R., 1991. Indonesia-Oil and Gas

Field Atlas. Volume 2 Central Sumatra. Indonesian Petroleum

Association.

Cressie, N. A. C., 1993. Statistics For Spatial Data. New York: John Wiley and

Sons, Inc.
130

Cressie, N., 1991, Statistics for Spatial Data, John Wiley and Sons, New York,

900 pp.

Cressie, N., 1990. The origins of kriging. Mathematical Geology 22:239-252.

David.M.,1977. Geostatistical Ore Reserve Estimation, 2nd edition, Elsevier,

New York, 364.pp

David, M., 1988. Handbook of Applied Advanced Geostatistical Ore Reserve

Estimation, Elsevier, 216 pp.

Davis, A., 1992. Coal under the microscope-deciphering the influence of

depositional environment. CAER-Univ. Kentucky Center for

Applied Energy Reseach, Energia, vol. 3, no. 6, 1-5.

Davis, J., 1973. Statistics and Data Analysis in Geology, Wiley, 550 pp.

Deihl, P., and Dnvid, M., 1982. Classification of Ore Reserves / Resources Based

on Geostaristical Methods. C.I.M. Bulletin, 75:8381127-136.

DeMarsily, G., 1986. Quantitative Hydrogeology, Academic Press, 440 pp.

Deutsch, Clayton, V., Journel, Andre G., 1992. GSLIB - Geostatistical Software

Library and User's Guide. Oxford University Press, New York, 338

pp.

Dieseel. C. F. K., 1992. Coal Bearing Depositional Systems. Springer, Berlin,

721pp.

Draper, N., and Smith, H., 1981. Applied Regression Analysis. second edition,

WileyInterscience, 709 pp.

Dubrule, O., 1998. Geostatistics in Petroleum Geology. American Association of

Petroleum Geologists; ISBN: 0891811877.


131

Edward H. Isaaks and R. Mohan Srivastava., 1989. An Introduction to Applied

Geostatistics. Oxford University Press, New York.

Edward H. Isaaks. Srivastava. R.M., 1986. Applied Geostatistics. Oxford

University Press. New York.

Englund, Evan and Sparka, Allen, 1988. Geostatistical Environmental Assessment

Software -User Guide (GEO-EAS). Las Vegas, Nevada, US.

Esterle, J. S. and Ferm, J. C, 1986. Relationship between petrographic and

chemical properties and coal seam geometry, Hance seam, Breathitt

Formation, southeastern Kentucky. Int. J. Coal Geol, 6: 199-214.

Ferguson, A. & McClay, K., 1997. Structural modelling within the Sanga-Sanga

PSC. Kutai Basin, Kalimantan; Its application to palaeochannel

orientation studies and timing of hydrocarbon entrapment.

Indonesian Petroleum Association. Proceeding of the Petroleum

Systems of SE Asia and Australasia Conference, 727-743.

Ferm, J. C. and Staub, J., 1984. Depositional controls of mineable coal bodies. Li

Rahmani, R. A. and Flores, R. M . (eds) Sedimentology of Coal and

Coal Bearing Sequences. Int. Assoc. Sed. Spec. Publ., 7: 275-289.

Friedrich-Karl Bandelow, 1996. Workshop on Reassessmentn of Coal and

Mineral Deposits under Market Economy Conditions, The 3 -

Dimensional Reservel Resource Classification System - a Practical

Application on Two Coal Deposits, Montan-Consulting GMBH,

Unpublished, I 4 pp.
132

Galloway, W. E., and Hobday, D. K., 1983. Terrigenous clastic depositional

systems—application to petroleum, coal, and uranium exploration:

New York, Springer-Verlag, 423 p.

Galloway,W.E., 1975. Process framework for describing the morphological and

stratigraphic evolution of deltaic depositional systems: in Broussard,

M.L., ed., Deltas, 2nd. ed: Houston Geol. Soc., Houston, Texas, p.

87-98.

Gelhar, L. W., 1993. Stochastic Subsurface Hydrology. Prentice Hall, Englewood

Cliffs, New Jersey, 390 pp.

Gilbert, R.O., 1987. Statistical Methods for Environmental Pollution Monitoring.

Van Nostrand Reihold Company, 320 pp.

Gomez-Hernandez, J., A. Soares, and R. Froidevaux [eds.], Geostatistics for

Environmental Applications, Kluwer Academic Publishers, 562 pp.

Goovaerts, P. 1997. Geostatistics for Natural Resources Evaluation. Oxford

University Press, New York, 483 pp.

Guarascio, M., David, M., and Huijbregts, C. [eds.], 1976. Advanced Geostatistics

in the Mineral Industry, Reidel, 491 pp. Variogram Tutorial Golden

Software, Inc. 22.

Gunawan, R., 1979. Coal Prospects of the Sangatta Area, northeastern part of the

Kutei Basin, East Kalimantan. Rio Tinto Report No. 264.

Gy, P., 1979. Sampling of Particulate Materials, Elsevier, 431 pp.


133

Haddon, F. King, member, Denis W. McMahon, member and George J. Bujtor,

1982. A Guide to the Understanding of Ore reserve Estimation.

Australia. The Australian Institute of Mining and Metallurgy.

Hanes, J., Shepherd, J., 1981. Mining induced cleavage, cleats and instantaneous

outbursts in the Gemini seam at Leichhardt Colliery, Blackwater,

Queensland. Proc. Aust. Inst. Min. Metall. 277, 17–26.

Heriawan, M. N., Koike K., 2007. Uncertainty Assesment of Coal Tonnage by

Spatial Modelling of Seam Structures and Coal Qualities.

Heriawan, M.N., Rivoirard J., and Darijanto, T., 2004. Grade estimation and

geometric modeling of a lateritic nickel deposit using ordinary block

kriging. Jurnal Teknologi Mineral, Vol. XI No.1/2004, pp. 41 - 52.

Horkel, Alexande, 1990. On the Plate-Tectonic Setting of the Coal Deposits of

Indonesia and the Philippines.

Hohn, M. E., 1998. Geostatistics and Petroleum Geology. 2nd edition. Kluwer

Academic Publishers. ISBN: 041275780X, 238 pp.

Horne, J. C., Ferm, J. C., Caruccio, F. T., and Baganz, B. P., 1978. Depositional

models in coal exploration and mine planning in Appalachian

region. American Association of Petroleum Geologists Bulletin, v.

62, p. 2379-2411.

Houlding, S. W., 2000, Practical Geostatistics - Modeling and Spatial Analysis,

Springer-Verlag, New York, 160 pp.

Huddle, J. W. and Patterson, S. H., 1961. Origin of Pennsylvanian underclay and

related seat rocks: Geol. Soc. Amer. Bull. 72, 1643-1660.


134

Hughes, J.D., Klatzel-Mudry, L. and Nikols, D.J.,1989. A Standardized Coal

Resourcel Resewe Reporting System for Canada. Geol. Survey of

Canada. Paper 88-21. Energy Mines and Resources Canada.l7 pp.

Hutchison, C.S., 1996. The 'Rajang Accretionary Prism' and 'Lupar Line'

Problem of Borneo, in R. Hall and D.J.Blundell, (eds.), Tectonic

Evolution of SE Asia. Geological Society of London Special

Publication, p. 247-261.

Hunt.J.W,1982. Relationship between microlithotype and mineral composition of

coal and geological setting of coal measure in the Permian Basin of

Eastern Australia. Aust.Coal.Geol 4.2. 484-502.

Ilian J, Penttinen A, Stoyan H, & Stoyan, D., 2008. Statistical analysis and

modelling of spatial point patterns. John Wiley & Sons Ltd. xix +

534 hal.

Isaaks, E. H., and Srivastava, R. M., 1989. An Introduction to Applied

Geostatistics. Oxford University Press, New York, 561 pp.

Johnson, M. E., 1987. Multivariate Statistical Simulation. John Wiley and Sons,

New York, 230 pp.

Jones, C. M., 1981. The East Kalimantan Coal Project Report on the Coal

Geology Of South Sakakanan, Kutei Basin, East Kalimantan.

Directorate of Mineral Resources Report No. 2206 DE.

Journel, A.G., 1989. Fundamentals of Geostatistics in Five Lessons, American

Geophysical Union, Washington D.C.


135

Journel, A.G., 1988. Geostatistics for the Environmetal Sciences. EPA Project

Report. Project No. CR 811893, EPA/EMSL.Las Vegas. Nevada.

Journel, A.G., and Huijbregts, C., 1978, Mining Geostatistics, Academic Press,

London 600 pp.

Judge, G.G. et al., 1982. Introduction to the Theory and Practice of Econometrics.

John Wiley and Sons. Inc.New York.

Kaltim Prima Coal Internal Report, 1988, General geology, Coal seam geology

and Resources, Reserves and Coal quality. Sections 3,4 and 5.

Kelkar, M., dan Perez, G., 2002. Applied Geostatistics for Reservoir

Characterization, Society of Petroleum Engineers Inc. Richardson,

Texas.

Kim, Sujung, 2015. The Estimation of the Variogram in Geostatistical Data with

Outliers. Graduate School of Environmental and Life Science.

Okayama University.

Kinhill-Ottogold Joint Venture, 1984. South Sumatera Coal Exploration Project.

Review report.

Kitanidis, P. K., 1997. Introduction to Geostatistics: Applications in

Hydrogeology. ISBN 0-521-58747-6.

Knudsen, H.P, 1988. A Short Course on Geostatistical Ore Reserve Estimation.

Division of Mining and Minerals Engineering, Montana Tech.

Koch, G., and Link, R., 1971, Statistical Analysis of Geological Data. volumes I

and II. Wiley.375 pp.


136

Krige, D., 1978, Lognormal DeWijsian Geostatistics for Ore Evaluation, South

African. I.M.M., 55 pp.

Kuncoro, P., 1996. Model Pengendapan Batubara untuk menunjang Ekspolorasi

dan Perencanaan Penambangan, ITB, Bandung.

Land, D. H., and Jones, C. M., 1987. Coal geology and exploration of part of the

Kutei Basin in East Kalimantan, Indonesia. In: Scott, A. C. (ed),

Coal and Coal Bearing Strata: recent advances. Geol. Soc. Spec.

Publ. 32: 235-255.

Larkin. B. When do the Benefits of using Geostatistics for Coal Resource

Estimation outweigh the Costs ? GeoCheck Pty. Ltd.

Laubach. S.E., R.A. Marrett, J.E. Olson , A.R. Scott., 1997. Characteristics and

origins of coal cleat: A review. International Journal of Coal

Geology 35 1998 175–207.

Manoukian, E.B., 1986. Modern Concepts and Theorems of Mathematical

Statistics, SpringerVerlag, 156 pp.

Masuara.A.H. ,Heriawan.N.M., Syafrizal, 2011. Perbandingan Antara

Perbandingan Antara Pendekatan Direct Grade Dan Accumulation

Grade Pada Estimasi Sumberdaya Nickel Laterit Dengan Metode

Geostatistik. JTM Vol. XVIII No. 1/2011.

Matasak, Th. and Koesoemadinata, R. P., 1976. Geology of Coal Deposits, Bukit

Asam South Sumatra. M T D C Report.

Matheron, G., and Armstrong, M. [eds.], 1987. Geostatistical Case Studies.

Reidel, 248 pp.


137

Matheron, G., 1965. Les Variables Regionalisees et leur Estimation. Editions

Masson. Paris.

Matheron, G., 1963. Principles of Geostatistics. Economic Geology. v.58 (8).

pp.1246-1266.

Miall, Andrew, 2000. Principles of Sedimentary Basin Analysis. Third, updated

and enlarged edition. Springer Moore, T.A., and Nas, C., 2013. The

enigma of the Pinang Dome (Kalimantan Timur): A review of its

origin, significance and influence on coal rank and coalbed methane

properties. Proceedings. Indonesian Petroleum Association. 37th

Annual Convention & Exhibition. May 15-17. Jakarta. Indonesia.

Paper IPA13-G-119.

Michael J. Pyrcz Clayton V. Deutsch. 2014. Geostatistical Reservoir Modeling:

Edition 2 Oxford University Press.

Monestiez, P., D. Allard, R. Froidevaux [eds.], 2001. Geostatistics for

Environmental Applications, Kluwer Academic Publishers. ISBN:

0792371070, 555 pp.

Moss, S.J. and Chambers, J.L.C., 1999. Depositional Modelling And Facies

Architecture of Rift And Inversion In The Kutai Basin, Kalimantan,

Indonesia. Indonesian Petroleum Association. Proceedings 27th

Annual Convention. Jakarta. 459-486.

Muggeridge, G. D., 1987. The geology and exploration history of the Pinang coal

deposit, East Kalimantan-Indonesia. P.T. Kaltim Prima Coal.

Internal (unpubl) Report no.49, 44p.


138

Nas, C, 1994. Spatial Variations in the Thickness and Coal Quality of the

Sangatta Seam. Kutai Basin.Kalimantan, Indonesia.

Nas, C. and Indratno, B., 1979. Geology of coal deposits in the Tenggarong Area,

Mahakam, Kutei Basin, East Kalimantan (in Indonesian). Unpubl.

Exploration Report No. 1. M T D C. Bandung.

Nazir, Moh., 2003. Metode Penelitian, Cetakan Kelima. Jakarta. Ghalia Indonesia

Nickelsen, R.P., Hough, V.D., 1967. Joints in the Apalachian Plateau of

Pennsylvania. Geol. Soc. Am. Bull.78. 609–629.

Olea, R.A., Luppens, J.A., Tewalt, S.J., 2011. Methodology for quantifying

uncertainty in coal assessments with an application to a Texas

lignite deposit. International Journalof Coal Geology 85 (1), 78–90.

Olea, R.A, 1999, Geostatistics for Engineers and Earth Scientists. Kluwer

Academic Publishers, Boston. United States of America.MA. 303

pp.

Pannatier, Y., 1996. VARIOWIN: Software for Spatial Data Analysis in 2D.

Springer-Verlag. New York. 91 pp.

Pardo-Iguzquiza, Eulogio, Dowd, Peter Alan, Baltuille, J. M.; Chica-Olmo, M.

Geostatistical modelling of a coal seam for resource risk assessment.

International Journal of Coal Geology, 2013; 112:134-140.

Petitgas, P., 1993. Geostatistics for fish stock assessments: a review and an

acoustic application. ICES J. Mar. Sci. 50, 285–298.


139

Price, F. T. and Casagrande, D. J., 1991. Sulphur distribution and isotopic

composition in peats from the Okefenokee Swamp, Georgia and the

Everglades, Florida. Int. J. Cola Geol, 17: 1-20.

Putra, S., 1978. Field Observation Report on the Sangatta River Reconnaissance

Coal Survey. Rio Tinto Indonesia Report No. 69

Remy. N, Boucher. A & Wu. J., 2009. Applied Geostatistics with SGeMS: A

Users’ Guide.

Rendu, J., 1978. An Introduction to Geostatistical Methods of Mineral Evaluation,

South African. I.M.M., 100pp.

Riwidikdo, H., 2008. Statistika Terapan dengan Program R versi 2.5.1 (open

source). Jogjakarta : MITRA CENDEKIA Press.

Ripley, B., 1981, Spatial Statistics, John Wiley and Sons. New York, 252 pp.

Rivoirard, J., J. Simmonds, K. G. Foote, P. Fernandes, and N. Bez [eds.].

Geostatistics for Estimating Fish Abundance. Blackwell Science Inc.

ISBN: 0632054441, 206 pp.

Rose, P. and Hartono, P., 1978, Geological evolution of the Tertiary Kutei-Melawi

Basin, Kalimantan, Indonesia. Proc. 7h Ann. Conv. Indon. Petrol.

Assoc, 225-251.

Rouhani, S., and M. Srivastava, 1997. Geostatistics for Environmental and

Geotechnical Applcations. ASTM Special Technical Publication

1283. American Society for Testing and Materials. ISBN:

0803124147.
140

Roy D. Merrit, 1986. Coal Exploration, Mine Planning, and Development. Noyes

Publications. New Yersey. USA.

Royle, A.G., 1971. .A Practical Introduction to Geostatistics. Course Notes of the

University of Leeds. Dept. of Mining and Mineral Sciences, Leeds.

Ruppert,L.F.,Cecil,C.B.,and Stanton,R.W. 1985. Authigenic quartz in the Upper

Freeport coal bed, west-central Pennsylvania. Journal of

Sedimentary Petrology. 55. 334-339.

Samuel, L. and Muchsin, S., 1975, Stratigraphy and sedimentation in the Kutai

Basin, Kalimantan. Proc. 4th Ann. Conv., Indon. Petrol. Assoc.

Santosa, B. ,2007. Data Mining Terapan MATLAB. Yogyakarta : GRAHA ILMU.

Santosa, Purbayu B., 2005. Analisis Statistika dengan Microsoft Excel & SPSS.

Yogyakarta.

Satyana, A.H., Nugroho,D.,and Surantoko, I., 1999. Tectonic Controls on The

Hydrocarbon Habitats of The Barito, Kutai and Tarakan

Basin, Eastern Kalimantan, Indonesia; Major

Dissimilarities. Journal of Asian Earth Sciences Special Issue

Vol. 17. No. 1-2. Elsevier Science. Oxford 99-120.

Schlatter’s L.E., 1973. Introduction to Coal and Coal Geology. New York.

Setyadji, B., 2005. Data Geostatistik.

Shell Internationale Petroleum Maatschappij B.V., 1976. Coal Exploration and

Mining Manual. Part I. The Hague. Report Sc. 76.5.

Shepherd, Mike ., 2009. Oil Field Production Geology: AAPG Memoir 91. The

American Association of Petroleoum Geologist. Tusla. Oklahoma


141

Sinclair, A.J., and Blackwell, G.H., 2005. Applied Mineral Inventory Estimation.

Cambridge University Press.

Sikumbang, N., Umar, I. and Sunaryo, R., 1981. Peta Geologi Lembar

Sangatta,Kalimantan Timur: Skala 1: 250000 (Geological Map of

the Sangatta Quardangle, East Kalimantan: Scale 1: 250000). Pusat

Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung (Geological

Research Development Centre. Indonesia. Bandung

Snowden, D. V. 1996. Practical interpretation of resource classification

guidelines. AusIMM Annual Conference “Diversity. The Key to

Prosperity”. Perth.

Soares, A. [ed.], 1992, Geostatistics Troia '92, volumes 1 and 2, Reidel. 1088 pp.

Soares, A., Gomez-Hernandez, J., and R. Froidevaux [eds.]. Geostatistics for

Environmental Applications. Kluwer Academic Publishers. ISBN:

0792345908, 516 pp.

Srivastava, R.M., 2013. Geostatistics: a toolkit for data analysis, spatial

prediction and risk management in the coal industry. International

Journal of Coal Geology (SpecialIssue on Geostatistics).

Stamatis. D. H.., 2002. Statistics and Probability, Six Sigma and Beyond: Volume

III.

Sukandarrumidi, 2005. BatuBara dan Pemanfaatannya. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.
142

Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitaif, Kualitatif,

dan R&D. Penerbit : Alfabeta Bandung. Cet. Ke-16. Hal. 283 s.d

393.

Suprajitno Munadi., 2005. Pengantar Geostatistik. Jakarta. Universitas Indonesia.

Teichmuller M & Teichmuller R, 1982. Stach’s Textbook of Coal Petrology.

Gebruder Borntraeger.Berlin. Stuttgart.

Tercan A.E and Sohrabian B. 2012. Multivariate geostatistical simulation of coal

quality data by independent components. Department of Mining

Engineering, Hacettepe University. 06800. Beytepe. Ankara. Turkey.

International Journal of Coal Geology.

Thomas, L. 2002. Coal Geology. Chichester, Hoboken NJ: John Wiley & Sons.

ISBN 0 471 48531 4. xi + 384 pp.

Thompson, S. K., 1992. Sampling, John Wiley and Sons. New York, 343 pp.

Tyson, Stephen and Math. C., 2009. Regulatory Aspects of Geological Modelling.

Proceedings, Indonesia Petroleoum Association. IPA09-G-054.

Thirty-Third Annual Convention & Exhibition.

Vallee, M. 1986. Mineral Inventory, from Resources Reconnaissance and

Evaluation to Ore Reserve Estimates. Canadian Institute Mining and

Metallurgy, Proceedings of Symposium on Ore Reserve Estimation,

pp. 10-31.

Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia, General Geology and

Adjacent Archipelago 2nd edition. v. IA.


143

Van de Weerd, A. A, and Armin, R.A.,1992. Origin and Evolution of the Tertiary

Hydrocarbon Bearing Basins in Kalimantan (Borneo), Indonesia:

AAPG Bulletin, v.76,p.1778-1803.

Verly, G., David, M., Journel, A.G., and Marachel, A. [eds.], 1984. Geostatistics

for Natural Resources Characterization, volumes 1 and 2. Reidel,

1092 pp.

Walker, R. G and James, N. P. 1992. Facies Models Response To Sea Level

Change. Canada : Geological Association of Canada-Department of

Earth Science. 157 p.

Walpole, R. E., 1982. Pengantar Statistika, Edisi ketiga. (Terjemahan Bambang

Sumantri). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Ward, C.R., 1984. Coal Geology and Coal Technology. Blackwell Scientific

Publications, Singapore.

Webster, R. and M. A. Oliver, 2001, Geostatistics for Environmental Scientists.

John Wiley and Sons, Ltd. Chichester. England. 271 pp.

Williams, C.M., Noppe, M., & Carpenter, J., 2010. Coal Quality estimation error

– Ordinary Kriging challenges inverse distance, Bowen Basin.

Symposium 2010 – Back in (the) Black. Geological Society of

Australia Inc. Coal Group and the Bowen Basin Geologists Group.

Mackay. 77-87.

Wood, G.H., Kehn, T.M., Carter, M.D. and Culbertson, W.C.,1983. Coal

Resource Classification System of the U.S. Geological Survey.

Geological Survey Circular 891. 65 pp.


144

Yamamoto, J.K., 1999. Quantification of Uncertainty in Ore-Reserve Estimation:

Applications to Chapada Copper Deposit, State of Goias, Brazil.

Natural Resources Research, vol.8 (2), pp. 153-163.

Referensi online :

Mathematical Foundations of Monte Carlo Methods-Scratchapixel. Sampling

Distribution: Statistic from Statistics http://www.scratchapixel.com/

[Diakses pada tanggal 10 Januari 2016]

Wikipedia. Kriging. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia.org [5 Desember

2015]

Wikipedia. Lagrange Multiplier. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia.org[5

Desember 2015]

Wikipedia. Batubara. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia.org[1 Nopember

2015]

Wikipedia. Residual Sum of Squares. [Online]. Tersedia:

http://en.wikipedia.org[15 Maret 2016]


145

Anda mungkin juga menyukai