Ditujukan kepada:
PT. Cibaliung Sumberdaya
Banten
Disusun oleh:
Thaha Rizal Ulhaque
270110150056
BAB I
PENDAHULUAN
1
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI 2
UNIVERSITAS PADJADJARAN
kekar, air tanah, dan tegangan induksi. Dari nilai kualitas massa batuan Q-System dapat
dikorelasikan sehingga menghasilkan rekomendasi penguatan dan penyanggaan massa batuan.
3 Pekerjaan Studio
Penyusunan
4
Laporan
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN 5
Gambar 1.1 Peta geologi regional sebagian daerah Cibaliung Sudana dan Santosa, 1992)
Kabupaten Pandeglang dialiri oleh 18 aliran sungai dengan panjang total 835 km. Sungai-
sungai tersebut dapat dikelompokan ke dalam 3 (tiga) Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang
mencakup seluruh wilayah kabupaten ini, yaitu: bagian utara berada di dalam SWS hulu Sungai
Ciujung, Cibanten dan Cidanau, bagian tengah berada di dalam SWS Ciliman-Cibungur dan
bagian selatan berada di dalam SWS Cibaliung-Cisawarna.
Gambar 1.2 Peta struktur geologi daerah Cibaliung (PT. CSD, 2010 dalam Muttaqien, 2013)
Dimana,
RQD : Bobot nilai Rock Quality Designation
Jn : Bobot nilai Joint set number atau jumlah set kekar
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN 8
Pengukuran RQD dapat juga dilakukan tidak dari inti bor, melainkan langsung di
singkapan menggunakan persamaan yang dicetuskan Hudson (1979), yaitu,
𝑅𝑄𝐷 = 100 (0.1 𝜆 + 1)𝑒 −0.1 𝜆 ……………………………………………………(2.2)
Dimana,
λ : Rasio antara jumlah kekar dengan panjang scanline (kekar/meter)
e : Konstanta dengan nilai 2,718
Tabel 2.1 Deskripsi dan pembobotan dari parameter RQD
pelunakan dan wash-out pada kekar dengan isian lempung. Hal tersebut dapat
memudahkan blok batuan tergeser.
Nilai Q yang didapat dihubungkun dengan dimensi ekivalen (equivalent dimension) dari
galian untuk kebutuhan penyanggaan terowongan (Barton, 1974). Dimensi ekivalen merupakan
fungsi dari ukuran dan kegunaan dari galian, didapat dengan membagi span, diameter atau tinggi
dinding galian dengan nilai yang disebut Excavation Support Ratio (ESR). Span diameter
digunakan untuk menganalisis dimensi ekivalen dari atap (roof) dan span tinggi digunakan untuk
menganalisis penyanggaan pada dinding.
𝑆𝑝𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 (𝑚)
𝐷𝑖𝑚𝑒𝑛𝑠𝑖 𝐸𝑘𝑖𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛 = ……………………………………………………(2.3)
𝐸𝑆𝑅
Dari nilai Q dan nilai ESR kemudian bisa didapatkan informasi rekomendasi penyangga
dan panjang spasi rockbolt. Hal tesebut dijelaskan oleh Grimstad dan Barton (1993) pada grafik
hubungan antara nilai Q dan nilai ESR pada gambar 2.1.
Selanjutnya untuk melengkapi grafik tersebut, Grimstad dan Barton (1993) menambahkan
informasi mengenai panjang rockbolt, span maksimum, dan tekanan penyangga atap. Panjang L
dari rockbolt ditentukan dari lebar penggalian (B) dan dari nilai ESR melalui persamaan,
2 + 0.15 𝐵
𝐿= ……………………………………………………………………………...……(2.4)
𝐸𝑆𝑅
Tabel 2.7 Deskripsi dan pembobotan dari parameter ESR yang digunakan untuk menghitung
Dimensi Ekivalen
Gambar 2.1 Grafik hubungan antara nilai Q dan nilai ESR untuk didapatkan rekomendasi
penyangga.
Metode Q-System merupakan metode yang masih dikembangkan sampai saat ini, oleh
karena itu metode ini memiliki kelebihan dan kelemahan yang dijelaskan pada tabel 2.8.
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN 15
Tabel 2.8 Kelebihan dan kelemahan metode Q-System (Swart, A. H., 2004)
Kelebihan Kelemahan
Telah dikenal dan digunakan secara luas. Berdasarkan persepsi dari Afrika Selatan,
metode ini hanya berlaku untuk klasifikasi
massa batuan untuk terowongan semata.
Telah terbukti konsisten lebih dari 20 tahun Relatif sulit untuk digunakan karena memiliki
dimana sistem dasarnya tidak berubah. tabel klasifikasi yang banyak. Namun, akan
lebih mudah digunakan jika sudah terbiasa.
Deskripsi terhadap indeks untuk setiap Pengaruh dari arah kekar tidak
parameter yang berbeda sangat terinci. Dalam dipertimbangkan. Dalam kasus lombong-
penerapannya, Q-System berfokus pada lombong dengan span yang lebih besar dari
parameter-parameter yang seringkali dilupakan terowongan, arah dari kekar sangat
pada saat tahap penyelidikan lapangan. mempengaruhi kestabilan dari panel. Pada
beberapa kasus, arah penggalian diubah karena
pengaruh dari arah set kekar mayor.
Joint roughness dan Joint alteration dianalisis Meskipun memberikan deskripsi yang rinci
secara terpisah. untuk joint roughness dan isian kekar, Q-
System tidak memperhitungkan kemenerusan
kekar dan separasi dari kekar. Parameter-
parameter ini dapat memberikan pengaruh yang
besar terhadap kekuatan dari kekar-kekar.
Koefisien
Persamaan Penulis, Tahun Asal Tipe
Korelasi
Beragam
RMR = 9 ln Q + 44 Bienawski, 1976 Tunnel 0,77
Tempat
Rutledge & Selandia
RMR = 5,9 ln Q + 43 - 0,81
Preston, 1978 Baru
RMR = 5,4 ln Q + 55,2 Moreno, 1980 - - 0,55
Afrika
RMR = 5 ln Q + 60,8 Cameron, 1981 Tunnel High Scatter
Selatan
Mining Soft
RMR = 10,5 ln Q + 41,8 Abad, 1984 Spanyol 0,66
Rock
Pada penelitian kali ini konversi yang dilakukan menggunakan persamaan korelasi terbaru
yang direkomendasikan oleh Barton (1995).
𝑅𝑀𝑅 = 15 log 𝑄 + 50……………...……………………………………..………………..…(2.7)
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN 17
Akan tetapi, perlu dipahami bahwa setiap klasifikasi memiliki parameter-parameter serta
penghitungan pembobotan yang berbeda. Oleh karena itu, melakukan estimasi nilai kelas massa
batuan suatu metode dengan melakukan konversi dari metode lain, tidak disarankan.
Gambar 2.2 Korelasi antara nilai Q dan RMR (Goet, dkk., 1995)
Gambar 2.3 Korelasi antara waktu runtuh (stand-up time) dengan lubang bukaan tanpa
penguatan (unsupported span) untuk beragam kelas massa batuan berdasarkan RMR
𝑃𝑅𝑀𝑅 = ℎ𝑡 × 𝜌 ……………...………….………………………………..………………..…(2.10)
Dimana,
ht : tinggi runtuh (m)
RMR : bobot nilai batuan
B : lebar terowongan (m)
PRMR : beban runtuh (ton/m2)
ρ : massa jenis (gr/cm3)
Berdasarkan persamaan tersebut, maka tinggi runtuh merupakan fungsi dari lebar lubang
bukaan dengan nilai RMR massa batuan. Sedangkan, beban runtuh yang diterima penyangga
tergantung dari besarnya tinggi runtuh dan densitas batuan.
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN 19
Gambar 2.4 Tinggi runtuh dan beban batuan (Hoek, Kaiser, & Bawden, 1993)
Dimana,
L : panjang rockbolt (m)
B : lebar penggalian (m)
Nilai ESR dihubungkan dengan tujuan pengalian dan tingkat keamanan, yang
pemasangannya dimaksudkan untuk menjaga kestabilan suatu penggalian. Nilai ESR didapatkan
dari tabel pembobotan ESR berdasarkan jenis kategori penggalian, seperti pada tabel 2.7.
Splitset pertama kali dikembangkan oleh Scott pda 1983 (Hoek & Kaiser, 1993). Lalu
Ingersoll-Rand mendistribusikan splitset. Sistem yang bekerja pada splitset yakni dengan
memasangnya ke dalam lubang bor berdiameter lebih kecil dari ukurannya.
Splitset berupa tabung baja berlubang (seperti paku) dengan sebuah face plate yang
memiliki kekuatan yang tinggi. Terdapat tiga model splitset yaitu, model SS-33, SS-39, dan SS-
46.
Kelemahan pada sistem penguatan menggunakan splitset adalah korosi yang dapat
membuatnya menjadi lemah. Kelebihan dari penguat ini adalah pemasangannya yang mudah dan
cepat. Beban yang diterima splitset harusnya tidak melebihi kapasitas kemampuannya sendiri.
Menentukan rekomendasi penguatan dengan menghitung berapa jumlah splitset yang dipakai
dalam satu baris, jarak kerapatan dalam pemasangan antarbaris dengan persamaan Cemal dan
Biron pada 1983 (Bieniawski, 1984) sebagai berikut,
𝐵.ℎ𝑡.𝑐.𝜌.𝐹𝐾 𝐵.ℎ𝑡.𝑐.𝜌.𝐹𝐾
𝜂= = 0,875.𝑑2 .𝜎 …………………………………………..………………...…..…(2.15)
𝑅𝑚𝑎𝑥 𝑎
𝜂
𝐷 = 𝐵.𝑐 …………...………………………………………...………..………………...…..…(2.16)
𝐵
𝑠 = 𝜂 …………...………………………………………...……...…..………………...…..…(2.17)
Dimana,
η : jumlah rockbolt yang dibutuhkan (jumlah)
B : labar lubang bukaan (m)
ht : tinggi runtuh batuan (m)
c : panjang bukaan (m)
ρ : massa jenis batuan (ton/m3)
FK : Faktor Keamanan; 1,25 untuk daerah crosscut; dan 1,5 untuk daerah development
Rmax : kemampuan tarik maksimum atau maximum bearing capacity; 5,25 ton untuk daerah
crosscut; dan 4,4 untuk daerah development (ton)
d2 : diameter rockbolt (cm)
σa : yield strength dari rockbolt (kg/cm2)
D : kerapatan pemasangan rockbolt (jumlah/m2)
S : spasi pemasangan rockbolt dalam satu baris (m)
Baik rockbolt jenis kinloch maupun splitset memiliki karakter masing-masing. Kinloch
memiliki kemampuan penyanggaan beban hingga sekitar 30 ton per set. Untuk mengetahui nilai
pasti kemampuan penyanggaan kinloch yang dipakai, maka digunakan persamaan sebagai berikut,
𝐹𝑅𝐵 = 𝑃𝑝𝑢𝑙𝑙𝑜𝑢𝑡 𝑅𝐵 . 𝐿𝑅𝐵 ……...…………………………...……...…..………………...…..…(2.18)
Dimana,
FRB : kemampuan penyanggaan rockbolt kinloch per set (ton)
Ppullout RB : nilai pullout rockbolt (ton/m)
LRB : panjang rockbolt (m)
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN 23
Tabel 2.10 Spesifikasi splitset yang dikeluarkan Perusahaan Ingersoll-Rand (Hoek, dkk.,
1993)
Tabel 2.11 Nilai pullout test yang digunakan pada kelas massa batuan RMR yang berbeda
(Martin, 2004)
Kapasitas penyanggaan total yang diberikan penyangga rockbolt dapat dihitung dengan
persamaan berikut,
𝐹𝑅𝐵 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝐹𝑅𝐵 𝑝𝑒𝑟 𝑠𝑒𝑡 . 𝑁𝑅𝐵 𝑝𝑒𝑟 𝑠𝑝𝑎𝑛 ……...…………...……..…...…………………...…..…(2.20)
𝐹𝑆𝑆 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝐹𝑆𝑆 𝑝𝑒𝑟 𝑠𝑒𝑡 . 𝑁𝑆𝑆 𝑝𝑒𝑟 𝑠𝑝𝑎𝑛 ……...…………...……...…..……………..……...…..…(2.21)
Dimana,
FRB total : kapasitas penyanggaan kinloch total (ton/m3)
FRB per set : kapasitas penyanggaan kinloch per set (ton/m3)
NRB per span : Jumlah kinloch per span (jumlah)
F SS total : kapasitas penyanggaan splitset total (ton/m3)
FSS per set : kapasitas penyanggaan splitset per set (ton/m3)
NSS per span : Jumlah splitset per span (jumlah)
Fungsi wire mesh untuk menahan batuan yang lepas pada dinding dan atap terowongan.
Kelemahan pada wire mesh yaitu mudah untuk terkena korosi. Perlu adanya proses galvanisasi
untuk mengurangi adanya korosi. Shotcrete dapat melindungi wire mesh dari ternjadinya korosi.
Ada dua jenis wire mesh yang sering digunakan pada terowongan bawah tanah, yaitu weld
mesh dan chainlink mesh. Weld mesh terbuat dari kawat baja berbentuk persegi empat dengan
ukuran grid 100 x 100 mm. Jenis ini dapat meloloskan partikel shotcrete. Chainlink mesh dapat
digunakan untuk menguatkan batuan yang berada di atap dan dinding terowongan. Kelemahannya
adalah memiliki ukuran yang terlalu kecil sehingga sulit untuk meloloskan partikel shotcrete,
sehingga tidak mudah untuk diasosiasikan.
Gambar 2.6 Wire mesh dengan jenis grid 100 x 100 mm pada tunnel
2.2.5.3 Shotcrete
Beton tembak atau shotcrete adalah jenis penguat berupa campuran beton yang tidak
memiliki agregat kasar dan ditembakkan pada bidang tertentu dengan alat mekanis dengan sistem
semprot atau spray. Alat ini didorong oleh kompresor yang memiliki udara bertekanan tinggi.
Ada dua jenis shotcrete berdasarkan lamanya waktu pencampuran air, material agregat,
dan semen yaitu wet shotcrete dan dry shotcrete. Wet shotcrete adalah beton basah yang
ditembakkan dengan percampuran air, material agregat, dan semen yang diaduk menjadi satu.
Sedangkan dry shotcrete merupakan beton yang ditembakkan bersamaan dengan air dimana
sebelumnya ada percampuran material agregat dan semen yang telah diaduk menjadi satu.
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN 26
Awal mula penggunaan shotcrete merupakan percampuran beberapa bahan seperti material
semen, agregat kasar, pasir, dan air. Namun, semakin berkembangnya teknologi, saat ini telah
ditemukan silika fume dan steel fiber. Silika fume merupakan material pozzolan yang memiliki
sifat baik dalam mengikat. Material ini dapat bereaksi dengan kalsium hidroksida selama
terjadinya suatu proses hidrasi semen. Penambahan kedua material ini ke dalam campuran
shotcrete dapat memperkuat daya tahan shotcrete itu sendiri.
Shotcrete termasuk penguatan pasif karena dapat menahan beban tekanan massa batuan.
Pada penelitian ini penggunaan shotcrete lebih diperuntukan jika modifikasi penguatan tunnel
menggunakan rockbolt belum dapat memenuhi, atau jika terdapat sejumlah keter dapatan
kandungan lempung yang cukup tinggi pada tunnel yang diteliti (>30%). Dibutuhkan material
penguat lainnya untuk membantu penyanggaan shotcrete yang dapat berupa fiber ata wire mesh
yang berfungsi untu menahan massa batuan. Ketebalan shotcrete dapat ditentukan dengan
persamaan berikut,
𝑃𝑅𝑀𝑅 . 𝐵
𝛿 = 0,434 . ……...…………...……...…..……………..……..........................…..…(2.22)
𝜏
𝐿𝐵
𝜏 = 0,2 . 𝐹𝐾 ……...…………...……................…..……………..……..........................…..…(2.23)
Dimana,
δ : ketebalan shotcrete (m)
PRMR : beban runtuh (ton/m2)
B : lebar lubang bukaan (m)
τ : shear stress dari concrete (ton/m2)
LB : UCS shotcrete (ton/m2)
FK : Faktor kemanan; 1,25 untuk daerah produksi; 1,5 untuk daerah development
Kondisi massa batuan yang mengandung banyak air tanah perlu dikeluarkan dengan
penyalir. Hal ini berguna untuk mengurangi tekanan air yang tinggi. Air dapat menambah beban
pada massa batuan dan dapat melemahkan kekuatan dari shotcrete. Air juga dapat membuat
rockbolt dan wire mesh mengalami korosi dimana dapat melemahkan penguatan pada massa
batuan.
Pada penelitian ini shotcrete akan digunakan jika penyanggaan dengan menggunakan
rockbolt masih belum cukup atau bila ditemukan adanya keberadaan mineral lempung yang cukup
dominan. Untuk itu, tebal shotcrete yang diperlukan perlu dihitung dengan persamaan sebagai
berikut,
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN 27
𝐹𝑠ℎ𝑜𝑡𝑐𝑟𝑒𝑡𝑒 = 𝜏 . 𝐴 ……......…...……................…..……………..……..........................…..…(2.24)
𝐹𝑠ℎ𝑜𝑡𝑐𝑟𝑒𝑡𝑒 = 𝜏 . 𝐵 . 𝑡 ……......…...……................…..…………..……..........................…..…(2.25)
Dimana,
Fshotcrete : beban sisa yang masih perlu disanggah menggunakan shotcrete (ton)
τ : shear strength (ton/m2)
B : lebar lubang bukaan tunnel (m)
t : tebal shotcrete yang dicari (m)
2.2.5.4 H-Beam
Penyanggaan H-Beam dianggap sebagai pilihan terakhir pada penelitian ini apabila
penyanggaan menggunakan rockbolt dan shotcrete tidak lagi cukup. Pilihan ini juga merupakan
pilihan yang dapat diambil jika membutuhkan pertimbangan geoteknik seperti, sedikitnya
keberadaan mineral lempung yang minor tetapi memiliki beban runtuh yang cukup tinggi.
Pertimbangan geoteknik seperti ini dapat digunakan untuk memilih penyanggaan H-Beam
langsung setelah penggunaan rockbolt, tanpa perlu menggunakan shotcrete terlebih dahulu.
Adapun jumlah penyanggaan yang dibutuhkan per span satu meter bukaan dapat dihitung
menggunakan persamaan berikut,
𝑊𝑡 𝑟𝑒𝑠𝑖𝑑𝑢 = 𝐹𝐻 𝐵𝑒𝑎𝑚 𝑝𝑒𝑟 𝑠𝑒𝑡 . 𝑁𝐻 𝐵𝑒𝑎𝑚 𝑝𝑒𝑟 𝑠𝑝𝑎𝑛 ….…..…………..……..........................…..…(2.26)
Dimana,
Wt residu : beban runtuh sisa yang memerlukan penyanggaan (ton)
FH Beam per set : kemampuan penyanggaan H-Beam per set (ton/jumlah)
NH Beam per span : jumlah H-Beam per span (jumlah)
Untuk kemudahan teknis, rekomendasi H-Beam umumnya diberikan bukan dalam bentuk
densitas melainkan spasi penyanggaan. Sehingga nilai spasi ini dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut,
𝑁𝐻 𝐵𝑒𝑎𝑚 𝑝𝑒𝑟 𝑠𝑝𝑎𝑛
𝑆𝐻 𝐵𝑒𝑎𝑚 = ….…..…………..……........................................................…..…(2.27)
𝐵
Dimana,
SH Beam : Spasi penyanggaan H-Beam (jumlah/meter)
NH Beam : Jumlah set H-Beam yang disarankan dalam span satu meter lubang bukaan (jumlah)
B : lebar lubang bukaan terowongan (meter)
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BAB III
METODE PENELITIAN
BAB IV
PENUTUP
Demikian proposal penelitian Tugas Akhir ini disusun sebaik-baiknya dengan harapan :
1. Memberikan manfaat bagi PT. Cibaliung Sumberdaya sebagai salah satu referensi dalam
operasi penambangan khususnya penguatan terowongan bawah tanah.
2. Sebagai salah satu pemenuhan syarat penyelesaian Tugas Akhir pada Program Studi
Teknik Geologi, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran
Segenap bantuan serta dukungan dari semua pihak sangat saya harapkan. Atas
perhatian dan kerja samanya saya mengucapkan terima kasih.
31
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
DAFTAR PUSTAKA
32