Anda di halaman 1dari 2

Al-Imam Al-Syafi’i telah berkata :

Bahwasanya Aku suka dengan adanya Para Mu’adzdzin itu yang ber-
sukarela, dan tidak ada kewajiban bagi Pemimpin/Penguasa untuk
memberikan upah kepada mereka atau salah satu daripada mereka,
selagi ia (Penguasa) tadi menemukan seorang muadzdzin yang sukarela
dari golongan orang yang amanah, melainkan apabila Penguasa tersebut
memberikan upah kepada mereka itu mengambil dari hartanya sendiri.
Dan Saya tidak bisa memprediksi seseorang yang berada di satu
Desa/Daerah yang banyak masyarakatnya ko’ kesulitan untuk
menemukan muadzdzin yang amanah secara pasti juga sukarela. Namun
jika Penguasa itu tidak menemukan muadzdzin yang amanah dan sukarela
maka boleh memberi upah kepadanya.
Abdul-Rahman bin Quddamah al-Maqdisy mengatakan :
Adapun harta yang diambil dari BAITUL MAL itu boleh di tasarrufkan
untuk sesuatu yang manfaatnya melampaui/mengenai beberapa hal
(diatas), karena BAITUL MAL ialah termasuk kemaslahatan muslimin,
maka jika diberikan kepada seseorang yang manfaatnya melampaui
(merembet) kepada orang-orang islam juga ia membutuhkannya maka
termasuk kemaslahatan dan juga ia boleh mengambilnya dikarenakan ia
adalah termasuk ahli/keluarga BAITUL MAL, dan berlakunya hal ini seperti
berlakunya harta wakaf atas orang yang menduduki kemaslahatan,
berbeda dengan upah.
Syaikhul-Islam Ibnu Taymiyah berkata :
Adapun sesuatu yang di ambil dari BAITUL MAL ialah bukan sebagai ganti
atau upah namun sebagai pemberian untuk menolong atas kataatan
(tho’at), maka siapapun dari mereka (muslimin) yang beramal/bekerja
karena Allah maka ia mendapat pahala. Dan sesuatu yang di ambil dari
(BAITUL MAL) itu ialah sebagai pemberian untuk menolong atas ketaatan.
Dan begitu juga harta yang di wakafkan atau di wasiatkan atau di
nadzarkan untuk kebaikan ini semuanya bukan seperti upah/sewa.

Anda mungkin juga menyukai